Urgensi Kedudukan saksi dalam talak dan rujuk menurut KHI

37 Artinya: “Dari Zaid bin Khalid al-juhani, sesungguhnya Nabi saw., telah bersabda: Suka kah kamu ku beritahukan kepadamu saksi-saksi yang baik? yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta untuk mengemukakanya ”. H.R. Muslim Keberadaan saksi sangat penting bagi seorang penuduh. Artinya apabila Si Penuduh itu mengemukakan tuduhannya dan dibarengi dengan kehadiran saksi, maka hakim mendengar saksi dan memutuskan hukum bagi yang menuduh dengan saksi tersebut. Begitu pun sebaliknya, tanpa saksi maka yang didengar adalah perkataan tertuduh. Hal ini dikarenakan saksi adalah hujjah yang sangat kuat untuk menolak keraguan bagi yang menuduh 8 . Dengan beberapa dalil di atas dapat ditarik benang merah bahwa keberadaan saksi beserta kesaksiannya sangatlah dianjurkan demi menegakkan kebenaran untuk mewujudkan kemaslahatan umat.

B. Urgensi Kedudukan saksi dalam talak dan rujuk menurut KHI

Jika kita cermati pada petikan pasal 116 di bab sebelumnya, kehadiran saksi tidak dijelaskan secara ekplisit, akan tetapi secara implisit kehadiran saksi sangatlah diperlukan. Dari mulai point “a” sampai “c” merupakan sebuah tindakan dan perbuatan yang sangat berpotensi mengundang fitnah, artinya bisa saja salah satu pihak berdusta kepada pihak lain, demi tercapainya maksud dan tujuannya yaitu “perceraian”. Oleh karena itu beberapa hal yang disebutkan dalam 8 Imam Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifâyah al-akhyâr, terj. K.H. Syarifuddin Anwar dan K.H. Misbah Musthafa, Surabaya: Bina Iman, 1993, Bag. 11, h. 566-567. 38 poin-poin tersebut di atas memerlukan bukti yang salah satu bukti itu bisa diperoleh dari kesaksian beberapa orang saksi untuk menyakinkan para Hakim dalam proses persidangan. Dari pernyataan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dikatakan putusnya ikatan perkawinan antara suami-istri, manakala perceraian itu dilakukan di hadapan sidang Pengadilan dan harus mendapat izin Pengadilan. Bahkan selanjutnya tata cara perceraian diatur dalam pasal 129 sampai pasal 146. Berbeda halnya dengan permasalahan rujuk, KHI menjelaskan dengan sangat jelas dalam pasal 167 ayat 4 yang mensyaratkan adanya saksi dalam preoses rujuk. Tentunya hal ini pun bertujuan untuk kemashlahatan dan juga bagi arsa keadilan. Dari tinjauan beberapa penjelasan pasal-pasal di bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kehadiran saksi sangatlah mutlak adanya pada proses perceraian dan rujuk menurut Kompilasi Hukum Islam. Hal ini pun bisa jadi dilakukan untuk meminimalisir kasus-kasus perceraian pada Pengadilan Agama. Secara tegas memang tidak ada nash yang mewajibkan adanya saksi dalam talak dan rujuk dan tidak ada pula nash yang melarang adanya saksi dalam talak dan rujuk. Hanya saja KHI menggunakan beberapa landasan dalam menentukan hukum saksi, yaitu : 1. Landasan Yuridis yaitu Undang-undang no.141970 pasal 20 ayat 1 yang berbunyi : “Hakim sebagai penengak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dan di dalam fiqih ada kaedah yang mengtakan : 39 “Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu,tempat dan keadaan”. Keadaan masyarakat selalu berubah tentunya, bgitupun ilmu fiqih akan selalu berkembang karena mempergunakan metode-metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode tersebut adalah maslahah mursalah,uruf dan lain-lain. 2. Landasan Fungsional yaitu :KHI adalah fiqih Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam Indonesia. Ia bukan merupakan madzhab baru tapi dia mempersatukan berbagai fiqih dalam dalam menjawab satu persoalan fiqih. Ia mengarah pada unifikasi madzhab dalam hukum islam. Dalam sistem hukum Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum Nasioanl Indonesia 9 . Dengan dibuatnya KHI diharapkan tidak ada lagi kesimpang-siuran pendapat dalam memutuskan suatu perkara di lembaga Pengadilan Agama. Hal inilah yang menjadi tujuan awal dikodifikasikannya hukum islam dalam satu buku yaitu KHI yang lahir pada tahun 1991.

C. Urgensi Kedudukan Sakasi dalam Talak dan Rujuk menurut Fiqih