Urgensi Kedudukan Sakasi dalam Talak dan Rujuk menurut Fiqih

39 “Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu,tempat dan keadaan”. Keadaan masyarakat selalu berubah tentunya, bgitupun ilmu fiqih akan selalu berkembang karena mempergunakan metode-metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode tersebut adalah maslahah mursalah,uruf dan lain-lain. 2. Landasan Fungsional yaitu :KHI adalah fiqih Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam Indonesia. Ia bukan merupakan madzhab baru tapi dia mempersatukan berbagai fiqih dalam dalam menjawab satu persoalan fiqih. Ia mengarah pada unifikasi madzhab dalam hukum islam. Dalam sistem hukum Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum Nasioanl Indonesia 9 . Dengan dibuatnya KHI diharapkan tidak ada lagi kesimpang-siuran pendapat dalam memutuskan suatu perkara di lembaga Pengadilan Agama. Hal inilah yang menjadi tujuan awal dikodifikasikannya hukum islam dalam satu buku yaitu KHI yang lahir pada tahun 1991.

C. Urgensi Kedudukan Sakasi dalam Talak dan Rujuk menurut Fiqih

Dalam masalah ini ulama bisa dikatakan terbagi menjadi dua kubu besar, yaitu pendapat yang berkembang dikalangan ulama sunni yang mengatakan bahwa talak bisa saja jatuh tanpa adanya saksi, mereka menafsirkan ayat ke 49 dalam surat al-Ahzab. Yang menurut mereka tidak ada perintah untuk 9 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama, h.84 40 menyertakan saksi dalam masalah talak. Bahkan denga ayat itu mereka menafsirkan bahwa mentalak adlah menjadi hak penuh seorang suami. Dan yang kedua pendapat ulama Syi’ah yang mengatakan bahwa talak tidak dikatakan jatuh tanpa adanya saksi, mereka menggunakan surat at-Thalak sebagia dalil penopang pendapat mereka. Masih menurut Ulama madzhab Imamiyah, mereka menetapkan bahwa sekalipun semua persyaratan dalam talak sudah terpenuhi seluruhnya, namun belum ada dua orang saksi yang adil, maka talak tidak jatuh pada saat itu - bahkan tidak dipandang cukup pula dengan kehadiran satu orang saksi saja - sekalipun orang tersebut dipandang sebagai seorang yang sangat dipercaya, bahkan ma’shum . Hal senada pun diungkapkan oleh Said Murtadha dalam “al-Intishâr”. Ia mengatakan bahwa talak harus dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil.. Bahkan selain sebagai syarat terjadinya talak, menurut Imam Syafi’i, adanya dua orang saksi tersebut diperlukan untuk menghindarkan terjadinya pertengkaran 10 . Bisa jadi hal ini melihat karena biasanya perkara perceraian merupakan buah dari sebuah pertengkaran. Oleh karena itu kehadiran saksi diharapkan dapat meredam semua kemarahan. Dalam surat at-Thalaq ayat 2 di atas terdapat amar yang menurut ahli al- bait, amar itu menunjukkan atas wajib dan menjadi syarat sah talak. Di antara 10 H.Ibnu Ma’ud dan H.Zainal Abidin S.,Fiqih Mazhab Syafi’i., Edisi lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, Cet. ke-1, h. 382. 41 sahabat yang berpendapat seperti itu ialah, Amir al-Mu’minîn, Ali bin Abi Thalib, Amran bin Husain, dari kalangan Tabi’in: Imam Muhammad Baaqir, Imam Ja’far shadiq, dan putra-putra keduanya dari ahli al-bait, demikian juga Ibnu Juraij, ‘Atha’ dan Ibnu Sirin 11 . Berpendapat jumhur fuqaha dari kalangan salaf dan khalaf bahwasanya talak akan jatuh tanpa adanya saksi, karena talak merupakan sebagian dari hak- hak yang dimiliki seorang suami 12 . Mereka pun berdalih bahwa tidak ada dalil tentang kewajiban adanya saksi dalam perceraian baik dari Rasul ataupun para sahabat. Sudah menjadi sebuah kewajiban apabila pada saat akad nikah dipersaksikan ijab dan kabulnya, maka pada saat bercerai pun disaksikan pula, agar tidak ada pihak-pihak yang mengingkari perceraian itu. Selain itu pula dengan adanya saksi dapat diketahui apakah talak yang dijatuhkan itu merupakan talak raj’i atau talak tiga bain. Bagaimanakah hukum talak dengan menggunakan tulisan? ulama Hanafiyah mengatakan bahwa talak yang menggunakan tulisan atau bisa jadi surat harus mencantumkan nama istrinya dalam surat tersebut. Hukum talak seperti ini sama dengan talak menggunakan kinayah sindiran walaupun lafadz 11 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Mesir: Daar al-Fath, t.th., h. 166. 12 Ibid. 42 dalam tulisanya sarih tegas sehingga membutuhkan adanya niat. 13 Lalu kemudian berpendapat pula Ulama Malikiyyah bahwa apabila suami berniat untuk mentalak saat ia menulis surat, maka akan jatuh talaknya. Begitu pula dengan Ulama Syafi’yah dan Hanabilah mereka memiliki pendapat yang sama tentang hal tersebut. Artinya bahwa menurut Jumhur, talak dengan tulisan akan jatuh apabila dengan niat. Dilihat sekilas dari beberapa pendapat di atas tidak menyinggung sedikitpun tentang adanya saksi, namun dapat dipahami dari keadaan yang tergambarkan bahwa ada atau tidaknya niat pada saat menulis surat perceraian itu harus dipersaksikan, karena kalau tidak, akan membuat kesempatan untuk terjadinya kebohongan. Berbeda halnya dengan rujuk, menurut Imam Malik dan Abu Hanifah penyaksian pada saat rujuk dengan dua orang saksi hukumnya adalah sunnah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i hal itu dihukumi wajib. Senada dengan Imam Syafi’i. Imam Ibnu Hambal mengatakan bahwa jika suami hendak merujuk istrinya maka ia harus mempersaksikannya kepada dua orang laki-laki muslim bahwa ia telah merujuk istrinya. Mengenai apakah rujuk itu sah walau hanya dengan wat’i dan tanpa adanya perkataan dan saksi ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Syafi’i 13 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh al-Islami wa adillatuh, Damaskus: Daar al-Fikr,2000. Juz. 9, h. 6902. 43 mengatakan bahwa rujuk hanya sah dengan perkataan saja 14 . Beliau mengkiaskan rujuk dengan nikah, artinya bahwa dalam pernikahan diperintahkan adanya saksi, maka bagitupun pada rujuk, karena tidaklah ada persaksian tanpa perkataan. Menurut Imam Malik rujuk itu sah dengan Wat’i asalkan jika suami berniat menghendaki rujuk dengan istrinya. Imam Abu Hanifah pun membolehkan rujuk dengan wat’i asalkan ada niat untuk itu. Sekilas dapat dilihat bahwa hukum kedudukan saksi dalam talak dan rujuk dalam Fiqih Islam belum mencapai titik kesepakatan. Hal ini disebabkan perbedaan interpretasi ayat dalam al-Qur’an. Berbeda dengan KHI yang sudah memberikan penjelasan mengenai masalah ini dalam pasal dan ayatnya masing- masing. 14 Ibid., h.64.

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM KHI DAN FIQIH TENTANG

KEDUDUKAN SAKSI DALAM TALAK DAN RUJUK

A. Analisis Perbandingan Hukum antara KHI dan Fiqih Mengenai Urgensi