Kajian Yuridis Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri Di Kota Medan

(1)

KAJIAN YURIDIS PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN

PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI KOTA MEDAN

TESIS

OLEH

NANI ROSITA SARAGIH NIM : 067011058

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

KAJIAN YURIDIS PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN

PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH

NANI ROSITA SARAGIH NIM : 067011058

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : KAJIAN YURIDIS PEROLEHAN TANAH BAGI

PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : NANI ROSITA SARAGIH Nomor Pokok : 067011058

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. M. Yamin Lubis, S.H., M.S., C.N. Ketua

Dr.Budiman Ginting, S.H., M.Hum. Anggota

Notaris/PPAT Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.. Anggota

Ketua Program Studi Direktur


(4)

ABSTRAK

Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri membutuhkan tanah untuk tempat melakukan kegiatan usahanya. Tanah bagi perusahaan dapat diperoleh dari tanah yang berasal dari tanah negara ataupun dari tanah yang telah dilekati hak-hak tertentu seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai. Sehubungan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang membatasi pemilikan hak milik atas tanah bahwa badan usaha swasta Perseroan Terbatas Penanaman Modal Dalam Negeri tidak termasuk yang dapat memperoleh hak milik. Oleh karenanya, dengan peraturan perundang-undangan ada pengaturan tentang proses perolehan tanah bagi penanaman modal yang diatur dalam KMNA/KBPN Nomor 21 Tahun 1994, sehingga hak atas tanah tersebut sesuai dengan apa yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yaitu HGB, HGU, dan HP. Dalam KMNA/KBPN Nomor 21 Tahun 1994 diatur perolehan tanah dengan cara pemindahan hak atau cara penyerahan/pelepasan hak atas tanah dan dalam pelaksanaannya terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan.

Dalam penulisan ini dikemukakan kerangka hukum dan tata cara perolehan tanah serta faktor pertimbangan yang mempengaruhi cara perolehan tanah bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri di Kota Medan. Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif Analistis dengan metode pendekatan Yuridis Normatif dengan perolehan data yang bersumber dari data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yang terkait dengan pembahasan perolehan tanah bagi perusahaan PMDN. Mendukung penelitian ini dilakukan juga wawancara kepada Informan Key pada : Kantor Pertanahan Kota Medan; Badan Investasi dan Promosi Prop. SUMUT; dan Kantor Penanaman Modal Kota Medan.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa dari kerangka hukum yang ada saat ini sebagai bukti bahwa Pemerintah secara konsisten memperjuangkan pembangunan dalam hal ini yang dilakukan oleh penanaman modal demi tercapainya kemakmuran bagi rakyat, terlihat dengan banyaknya perubahan-perubahan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur hal yang sama, namun demikian seharusnya diikuti dengan pencabutan secara tegas sehingga diperoleh kemudahan peraturan mana yang dipedomani. Tata cara perolehan tanah dapat dilakukan dengan cara pemindahan hak yaitu melalui proses penurunan hak kemudian dilakukan peralihan hak atas tanahnya yang sudah


(5)

sesuai dengan hak yang dibutuhkan oleh perusahaan PMDN, atau cara penyerahan/pelepasan hak melalui proses penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya kepada negara sehingga tanah yang sudah diserahkan atau dilepaskan tersebut berubah status menjadi tanah negara yang kemudian dengan berdasarkan pada kesepakatan sebelumnya bahwa tanah tersebut dimohonkan oleh perusahaan PMDN. Untuk memudahkan bagi masyarakat atau penanam modal hendaknya tata cara perolehan tanah ini menyajikan prosesnya dalam petunjuk secara tertulis, dengan memberikan keterangan cara perolehan apa yang sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor keadaan dilapangan.

Kata Kunci : Perolehan Tanah; Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri.


(6)

Any Domestic Investment Corporation requires a land for business operation. The land for any corporation can be acquired from the state-owned lands or the lands inherent by certain rights such as Right of Possession, Right for Business Utility, Right for Building Utility, and Right for Use. Referring to the Governmental Rule No. 38 of 1963 restricting the possession of land that private corporation and Domestic Investment Corporation are excluded to reserve a right of possession. Therefore, given the governmental rules, there is a regulation regarding acquisition process of land for investment as stipulated in KMNA /KBPN No. 21of 1994 that the right on land is complied as enacted by the Laws No. 25 of 2007 involving Right for Building Utility, Right for Business Utility and Right for Use. The KMNA/KBPN No. 21 of 1994 governs methods of land acquisition by surrender of right on land and the implementation is related to the statutory rules.

The present study deals with framework of law and procedures of land acquisition and the consideration factors influencing on the land acquisition by Domestic Investment Corporations in Medan Municipality. The study is a descriptive analysis using a normative juridical approach by collecting the data resulting from secondary data involving primary, secondary and tertiary materials of law related to the discussion of land acquisition for Domestic Investment Corporations. To support the study, an interview was also carried out with the key informant at the Municipal Landform Affairs Office, Provincial Investment and Promotion Board of North Sumatra, and Municipal Investment Office of Medan.

The result of the study showed that in terms of the framework of law, it has been found that the Government has consistently attempted development as implemented by investment for achievement of the society wealthy as indicated by the various amendments in statutory rules governing the same thing. In fact, however, it should be followed by a confirmative cancellation to get a facility of what regulations to be guided. Procedures of land acquisition can be carried out by surrendering the rights namely provision of rights and then followed by removal of rights on land that have been adjusted to those required by any Domestic Investment Corporations or procedures of surrendering rights on land so that the surrendered or waived lands change in the status into the state-owned lands and as agreed previously that the land is applied by the Domestic Investment Corporations. To facility the society to invest, it is suggested that the procedures of such a land acquisition present the process in written instructions by informing them what the best procedures that should be implemented by considering various factors in field.


(7)

Keywords : Land Acquisition ; Domestic Investment Corporations


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Maha Pengasih, karena hanya oleh kasih dan pertolonganNya tesis yang berjudul Kajian Yuridis Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri Di Kota Medan ini dapat diselesaikan.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan pada program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini penulis mendapat perhatian dan bimbingan dari berbagai pihak dan untuk itu diucapkan terimakasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya terutama kepada : 1.Prof. Dr. M. Yamin Lubis, S.H., M.S., C.N.,

2. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., 3. Notaris/PPAT Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. Selanjutnya ucapan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. M.Yamin Lubis, S.H., M.S., C.N, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI, selaku Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Ir. Hj. Sabrina Munthe, M.Si., selaku Kepala Badan Investasi Dan Promosi/ BAINPROM Prop. Sumatera Utara.


(9)

Kota Medan.

7. Dr. Drs. Ronsen Pasaribu, S.H., M.M., selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan.

8. Bapak Rustam Efendi Rasyid, S.H., selaku Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Werda Notaris/PPAT di Kota Medan.

9. Bapak Anthon Malau, S.H., selaku Kepala Sub Bidang Pelayanan Administrasi Industri pada BAINPROM Prop. SUMUT.

10.Drs. Muchlis, M.AP., selaku Kepala Sub Seksi Penetapan Hak Tanah pada Kantor Pertanahan Kota Medan.

11.Para Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana USU.

12.Sahabat, rekan dan semua pihak yang berbaik hati yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhirnya dengan rasa sayang penulis ucapkan terimakasih kepada suami Drs. Orlando Siagian, Ak serta anak kami Arthur dan Arnold Siagian yang memberikan semangat, dorongan dan kesempatan untuk menimba ilmu di Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara ini.

Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan untuk kesempurnaannya. Kiranya penulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2008 Penulis,

Nani Rosita Saragih


(10)

Halaman

ABSTRAK ……… iv

ABSTRACT ………. vi

KATA PENGANTAR ………. viii

DAFTAR ISI……… x

DAFTAR SKEMA ………. xii

DAFTAR SINGKATAN ……… xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 18

C. Tujuan Penelitian... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E. Keaslian Penelitian ... 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 20

1. Kerangka Teori ... 20

2. Konsepsi... 30

G. Metode Penelitian ... 32

BAB II. KERANGKA HUKUM PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI ... 35

A. Peraturan Hukum Atas Penanaman Modal Dalam Negeri dan Badan Koordinasi Penanaman Modal ... 35


(11)

B. Kerangka Hukum Atas Perolehan Tanah Bagi

Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri ... 35

BAB III. TATA CARA PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI KOTA MEDAN……… .... 47

A.Tata Cara, Fasilitas dan Bentuk Kerjasama Penanaman Modal Dalam Negeri………... .... 57

1. Tata cara Penanaman Modal Dalam Negeri ... 57

2. Fasilitas-fasilitas dan perubahan status bagi Penanaman Modal Dalam Negeri ... 75

3. Kerjasama Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri ... 81

B. Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri ... 84

1. Izin Lokasi ... 84

2. Tata Cara Perolehan tanah dan perolehan sertipikat 98 3. Persyaratan Permohonan ... 108

BAB IV. FAKTOR-FAKTOR PERTIMBANGAN PENENTUAN PEROLEHAN TANAH DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI KOTA MEDAN………... 113

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 124


(12)

DAFTAR SKEMA

Nomor Judul Halaman

1.Kerangka Hukum Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Penanaman

Modal Dalam Negeri ………... 56 2.Alur Pengajuan Persetujuan/Perizinan Dalam Rangka Pendirian

Perusahaan PMDN/PMA di Indonesia………. 74 3.Alur Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Penanaman


(13)

DAFTAR SINGKATAN

AMDAL : Analisa Mengenai Dampak Lingkungan APIT : Angka Pengenal Importir Terbatas

BKPM/D : Badan Koordinasi Penanaman Modal/Daerah BAINPROM : Badan Investasi Dan Promosi

HGB : Hak Guna Bangunan HGU : Hak Guna Usaha HP : Hak Pakai

IMTA : Izin Mempekerjakan Tenaga Asing KANWIL : Kantor Wilayah

KANTAH : Kantor Pertanahan

KPMD : Kantor Penanaman Modal Daerah KEPPRES : Keputusan Presiden

KMNA : Keputusan Menteri Negara Agraria KBPN : Kepala Badan Pertanahan Nasional KUHD : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang PT : Perseroan Terbatas

PERDA : Peraturan Daerah

PMDN : Peraturan Menteri Dalam Negeri PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri PMNA : Peraturan Menteri Negara Agraria PM : Penanaman Modal

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak RUPS : Rapat Umum Pemegang Saham

RPTKA : Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing SUMUT : Sumatera Utara

UMKMK : Usaha Mikro Kecil Menengah Dan Koperasi WNA : Warga Negara Asing


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan bagi kehidupan manusia, yang dalam hukum adat tanah mempunyai hubungan yang

magis-religius dengan seseorang jika tanah tersebut dikerjakan secara terus menerus.1

Sebagai contoh suku Amugme dan suku Kamoro dari daerah pedalaman propinsi Papua, menganggap ‘tanah’ (tapare) diibaratkan sebagai seorang ibu (enae tapare) dan tanah itulah yang memberikan nafas kehidupan bagi mereka.2

Namun hubungan yang magis religius tersebut terusik pada masa penjajahan kolonial pada sekitar tahun 1596 dibawah naungan bendera V.O.C (Vereenigde Oost Indiesche Compagnie) yang tidak mengakui keberadaan dari hukum adat tersebut.3 Pada masa itu landasan hukum bidang pertanahan tertuang dalam Agrarische Wet 1870 yang berkonsep feodal, dan dalam hukum Perdata Barat yang bersifat Individualistik-Liberal yang tentu sangat berbeda dengan karakteristik perilaku masyarakat adat maupun hukum tanah golongan pribumi yang berkonsep komunalistik-religius.

1

Chadijah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, Cet. Ke III Ed.Rev.Medan, Universitas Sumatera Utara, 2005, hal. 20

2

Ngadisah, Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua, Yogyakarta, Pustaka Raja, 2003, hal 58

3


(15)

Bagi tanah-tanah yang dimiliki dengan hak-hak barat (seperti eigendom,

erfpacht, hypotheek, hak konsesi, opstal) tersedia hukum yang tertulis dan

lengkap yang sudah terkodifikasi dalam suatu Kitab Undang Undang. Sedangkan bagi sebagian besar tanah yang dipunyai dengan hak-hak adat ( hak milik adat, hak milik turun temurun, hak yasan, hak gogolan tetap, Andarbeni,

Pesini, Grant Sultan, ulayat, girik, dll.)4, hukumnya tidak tertulis sehingga

tidak mudah diketahui isinya, khususnya bagi orang-orang luar masyarakat hukum adat. Disamping itu ketentuan Hukum Tanah Administratif yang ada pada masa itu hampir semua merupakan hukum yang tertulis dengan jumlah yang amat banyak namun tidak terkodifikasi, tersebar dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yang pemberlakuannya pun terpilah-pilah, misal untuk wilayah-wilayah dan daerah daerah tertentu saja, erfpacht untuk pertanian kecil bagi golongan eropa yang kurang mampu, penguasa swapraja membuat aturan untuk daerahnya masing-masing.5 Aturan Hukum Tanah yang demikian beragam untuk berbagai golongan penduduk Eropa, Timur Asing, Tionghoa dan Pribumi semakin tidak memberikan kepastian hukum terutama bagi rakyat Pribumi.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, barulah secara bertahap diadakan reformasi dibidang pertanahan. Secara komprehensif dan

4

John Salindeho, Manusia, Tanah, Hak dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 7

5

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Jakarta, Djambatan, 2003, hal. 69-70.


(16)

fundamental terbentuklah Undang Undang Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 sebagai peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, yang salah satu dalam konsiderannya mencabut segala produk aturan hukum jaman kolonial yaitu Agrarische Wet S.1870.

Undang-Undang Pokok Agraria harus merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan mencakup pasal 33 UUD 1945 sebagai yang ditegaskan dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun secara gotong royong.6 Tentu yang dimaksud dalam UUPA bukan hanya tanah saja yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tetapi seluruh kekayaan sebagaimana yang tercakup dalam pasal 33 khususnya ayat (3) UUD 1945 tertulis ‘ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ‘.

Demikian pentingnya fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu terhadap pembangunan masyarakat yang adil dan makmur yang sebagai tujuan dasar dari Undang-Undang Pokok

6

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan, 2006, hal. 3-4, lihat juga konsideran ‘berpendapat’ point d UUPA.


(17)

Agraria, maka perlu diadakan kegiatan-kegiatan pembangunan.7 Kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, itu berarti harus ada pengelolaan terhadap kekayaan alam itu sendiri, apakah itu dengan cara pemeliharaan/pengolahan ataupun pembangunan. Dengan cara pemeliharaan/pengolahan dalam hal ini oleh si pemilik tanah itu memang kurang dapat menjamin apakah kesejahteraan rakyat itu akan tercapai, bila hanya mengandalkan dari pemeliharaan dan pengolahan tanah dari segi mengusahakannya dengan cara bercocok tanam ataupun membiarkan tanah dalam kondisi tidak dimanfaatkan menunggu perekonomian membaik dan pembangunan meningkat disegala bidang sehingga harga tanah diharapkan akan semakin menggiurkan. Ataukah dengan cara pembangunan, dengan membuka peluang untuk tanah-tanah tersebut dimanfaatkan dengan baik sehingga dapat mendukung pembangunan ekonomi secara riil, yaitu tanah sebagai tempat lokasi perindustrian dengan segala aktifitasnya. Bagaimana hal ini dapat terlaksana untuk tujuan yang akan dicapai dalam hal pembangunan dan kesejahteraan. Pembangunan dibidang ekonomi yang memanfatkan fasilitas sumber kekayaan alam (tanah) tersebut membutuhkan kekuatan ekonomi riil salah satunya melalui usaha penanaman modal.

Pada permulaan masa Orde Baru, Pemerintah telah mencanangkan beberapa program pembangunan salah satunya dibidang perekonomian tentang

7


(18)

pengaturan mengenai pengelolaan modal di Indonesia. Dengan bertolak dari prinsip ekonomi yang rasional dan realitas, dikeluarkanlah Undang Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dimana investor-investor asing diarahkan untuk berperan menunjang akselerasi pembangunan nasional. Kenapa sasaran pertama para investor asing ? karena memang merekalah yang mempunyai modal, pengalaman dan teknologi. Jadi berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia pada umumnya dan dalam hal permodalan pada khususnya, terutama yang berskala besar didominasi oleh orang-orang asing. Sesungguhnya hal ini tidak sesuai dengan semangat Pancasila yang selalu mementingkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Serta pada prinsip nya bahwa Warga Negara Asing tidak diperbolehkan berusaha di Indonesia dengan modal dalam negeri.8

Untuk itu dirasa perlu memberdayakan atau memanfaatkan modal dalam negeri secara maksimal, dan perlu diciptakan iklim yang baik serta menetapkan ketentuan-ketentuan perangsang atau fasilitas-fasilitas bagi penanaman modal dalam negeri. Maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor

8

R.T. Sutantya R. Hadhikusuma, dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Jakarta, Rajawali Pres,1991, hal. 226


(19)

6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

Dengan lebih memperhatikan akan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional khususnya dibidang hukum penanaman modal, serta dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama Internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional, maka baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dengan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang Nomor 6 Tahun 1968 dengan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 sangat penting untuk diganti dan dinyatakan bahwa Undang-Undang tersebut diatas dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.9

Article 1 Law of The Republic of Indonesia Number 25 of 2007 “Investment” means any form of investing activity by both domestic investor and foreign investors to do business in the territory of the state of the Republic of Indonesia.

9


(20)

Untuk penanam modal yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri, maka penanaman modal itu disebut sebagai Penanaman Modal Dalam Negeri/Domestic Investment, sedangkan penanaman modal yang dilakukan oleh penanam modal asing disebut sebagai Penanaman Modal Asing/Foreign

Investment.

Bentuk badan usaha dari suatu Penanaman Modal Dalam Negeri dapat dilakukan dengan berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sedangkan terhadap bentuk badan usaha dari Penanaman Modal Asing wajib dilakukan dalam bentuk Perseroan Terbatas yang berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan didalam wilayah negara Republik Indonesia, demikian digariskan dalam pasal 5 dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dimaksud diatas.

Bagi perusahaan yang mempergunakan penanaman modal baik itu Penanaman Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri, khususnya dalam penelitian ini adalah Penanaman Modal Dalam Negeri, Pemerintah memberikan kebijakan-kebijakan dasar dan fasilitas-fasilitas tertentu selain sebagai upaya menjamin kepastian hukum, juga diharapkan dapat memberikan kepastian berusaha, keamanan berusaha dari semenjak proses pengurusan perizinan, pengurusan perolehan tanah sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal.


(21)

Hubungan antara perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dengan tanah yaitu sebagai tempat dari setiap aktifitas perusahaannya dan sebagai salah satu faktor penting dalam suatu proses produksi. Karena semua proses produksi memerlukan tempat/wadah yaitu berupa pabrik yang harus dibangun di daerah/tempat atau lokasi tertentu10 , maka dalam pasal 21 dari Undang-Undang Penanaman Modal dimaksud diberikan fasilitas untuk memperoleh kemudahan dalam pelayanan dan perizinan mendapatkan hak atas tanah. Membicarakan tanah dapat dikatakan identik dengan membicarakan hak-hak yang melekat pada tanah itu, karena tidak ada lagi bidang-bidang tanah dikawasan yang dihuni oleh manusia yang tidak terkait dengan hak menguasai dan atau hak milik, beserta hak-hak yang terkandung dalam hak milik tersebut.11Oleh karena itu setiap perolehan tanah yang akan diuraikan dalam penulisan ini identik juga dengan cara perolehan hak atas tanah tersebut. Sebagai landasan pokok pengakuan terhadap hak-hak atas tanah tersebut adalah pada pasal 33 khususnya ayat (3) UUD 1945 serta dalam beberapa pasal Undang-Undang Pokok Agraria.

Pengaturan hak menguasai atas tanah oleh negara adalah sebagai hak yang bersifat publik seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UUPA pada

10

Sukanto Reksodiprodjo dan Indriyo Gito Sudarmo, Manajemen Produksi, Yogyakarta,Edisi Ketiga, BPFE, 1984, hal. 101

11

Maria S.W Sumardjono, Martin Samosir, Hukum Pertanahan Dalam Berbagai Aspek, Medan, Bina Media, th. 2000, hal. 48.


(22)

tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Negara dalam hal ini diartikan sebagai Pemerintah Pusat, jadi penguasaan oleh negara pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang oleh ayat (4) dinyatakan dapat di kuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan Peraturan Pemerintah, dan dapat di perbantukan/di-medebewind-kan kepada kewenangan daerah propinsi, Kabupaten/Kota oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dari pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria ini memberikan kekuasaan yang besar dan kewenangan yang sangat luas bagi negara untuk mengatur alokasi atas sumber-sumber agraria,12 namun bahwa ‘hak menguasai’ bukan berarti dimiliki, akan tetapi pengertian yang memberikan wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi melakukan wewenang-wewenangnya seperti disebut dalam pasal 2 ayat (2), yaitu :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

12

www.journal.unair.ac.id/login/filer.pdf., tanggal 30 Januari 2008, Sri Hajati, Penyederhanaan Macam Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Agraria Nasional.


(23)

Dengan rincian kewenangan yang sifatnya mengatur, menentukan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam pasal 2 tersebut oleh UUPA diberikan suatu interpretasi otentik mengenai Hak Menguasai dari Negara yang dimaksudkan oleh UUD 1945, sebagai hubungan hukum yang bersifat

publik semata-mata.13 Kemudian oleh Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun

1979 pasal 1 ayat (1) menyatakan : “bahwa terhadap tanah dengan HGU, HGB, dan HP konversi hak barat yang jangka waktunya akan berakhir pada tanggal 24 September 1980, maka pada saat berakhirnya hak tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara”. Wewenang inilah sebagai pembeda dari apa yang kita kenal dengan ‘Domein Verklaring’ dalam Agrarisch Wet S. 1870 pada masa pemerintahan kolonial, yang memahami bahwa ‘ semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan sesuatu hak eigendom seseorang adalah domein negara. Domein Verklaring penonjolannya pada hak negara atas tanah, yang sudah barang tentu tidak akan menunjang kesejahteraan bagi kehidupan rakyat banyak.

Wewenang penguasaan dalam hal mengatur dan menyelenggarakan peruntukan atas tanah adalah berupa pengaturan macam-macam hak atas tanah

13


(24)

seperti yang terdapat dalam UUPA pasal 4 ayat (1) dan (2), dan pasal 16 ayat (1) dan pasal 53.14

Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA berbunyi sebagai berikut :

(1). Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

(2). Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Macam-macam hak atas tanah dalam sistem pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria menurut UUPA ini dapat dibedakan dalam dua kategori: (1) hak primer yaitu semua hak yang diperoleh langsung dari negara dan (2) hak sekunder artinya semua hak yang diperoleh dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan perjanjian bersama.15

Hak-hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria pasal 4 adalah sebagai hak atas tanah yang bersifat privat/perdata seperti yang tertuang dalam pasal 16 ayat (1) sebagai berikut :

(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah: a. hak milik,

14

Ibid., hal. 286

15


(25)

b. hak guna-usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifat nya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Pasal 53 ayat (1) sebagai berikut :

(1) Hak-hak yang sifat nya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.

Pengaturan dan penyelenggaraan peruntukan atas tanah oleh Negara/ Pemerintah dimaksud dapat terjadi atas tanah negara maupun atas tanah yang telah dimiliki dengan hak tertentu.

Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) UUPA yaitu untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, serta dapat dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.


(26)

Pengaturan yang bersumber pada hubungan hukum terhadap siapa dan hak-hak apa saja yang dapat diberikan, kita lihat dalam pasal-pasal berikut dalam UUPA dan peraturan lainnya.

Pada Undang-Undang Pokok Agraria :

1. Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik;

2. Pasal 21 ayat (2) menyatakan oleh Pemerintah ditetapkan badan badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik dengan persyaratan yang ditentukan dalam peraturan lain;

3. Pasal 30 ayat (1), menyatakan yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia yang didirikan menurut hukum Indonesia dan yang berkedudukan di Indonesia;

4. Pasal 36 ayat (1), menyatakan yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia yang didirikan menurut hukum Indonesia dan yang berkedudukan di Indonesia;

5. Pasal 42, menyatakan yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah Warga Negara Indonesia, Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, Orang Asing yang


(27)

berkedudukan di Indonesia, dan Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;

6. Pasal 45 menyatakan yang dapat menjadi pemegang Hak Sewa adalah Warga Negara Indonesia, Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, Orang asing yang berkedudukan di Indonesia, dan Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;

7. Pasal 46 terhadap Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, pasal 47 terhadap Hak Guna Air, pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan pasal 48 terhadap Hak Guna Ruang Angkasa, hanya dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia yang pengaturannya lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Kewarganegaraan RI bahwa Warga Negara Indonesia termasuk juga anak yang lahir dari perkawinan campuran yang sah ataupun tidak sah antara WNI dengan WNA yang dilahirkan didalam maupun diluar wilayah Indonesia dan anak WNI yang diangkat secara sah oleh WNA serta yang memiliki


(28)

kewarganegaraan ganda sebelum anak tersebut mencapai usia 18 tahun atau belum kawin.16

Pengaturan dalam peraturan lainnya terdapat pada dan sebagai aturan pelaksana dari UUPA khususnya dalam hal pasal 21 ayat (2) yaitu yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang mengatur penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah. Seperti kita lihat dalam pasal 1 menyebutkan Bank-Bank Negara, Perkumpulan Koperasi Pertanian, Badan-Badan Keagamaan dan Badan-Badan Sosial yang dapat sebagai pemegang hak milik atas tanah. Sedangkan terhadap badan-badan hukum yang tidak disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tersebut di atas, dapat dilihat di berbagai macam peraturan menurut bidangnya masing-masing dengan berbagai hak di luar hak milik.

Pada Peraturan Menteri Dalam negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah untuk keperluan Perusahaan ditetapkan hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perusahaan. Perusahaan disini dimaksudkan baik itu perusahaan yang diselenggarakan dengan fasilitas-fasilitas penanaman modal sebagai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal


(29)

Asing dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri maupun yang diselenggarakan tanpa menggunakan fasilitas penanaman modal. Hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perusahaan dimaksud dapat dilakukan diatas tanah yang berstatus sebagai tanah negara, dan terhadap perusahaan berbentuk badan hukum atau usaha perorangan dan pengusaha berkewarganegaraan Indonesia dapat diberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Bahkan perusahaan dapat menggunaan tanah diatas tanah yang sudah dimiliki hak pihak lain atas dasar sewa atau bentuk lainnya, namun hal ini tidak ikut dalam pembahasan.

Pengaturan khusus lebih lanjut diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal, yang kemudian sebagai aturan pelaksananya dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Perolehan Ijin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan Penanaman Modal yang menyebutkan bahwa hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh Perusahaan dalam rangka penanaman modal tercantum Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.

Perkembangan di tahun 2007 diberlakukan Undang-Undang yang mengatur tentang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 menetapkan Hak


(30)

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang dapat dimiliki oleh perusahaan penanaman modal di Indonesia.

Menindaklanjuti pengaturan tentang perolehan tanah bagi perusahaan penanaman modal dan sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1993 tersebut dikeluarkanlah Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal yang mengatur bagaimana cara memperoleh tanah bagi perusahaan penanaman modal.

Bagaimana cara perolehan tanah bagi perusahaan penanaman modal khususnya bagi Penanaman Modal Dalam Negeri dan terhadap hak atas tanah yang bagaimana diterapkannya alternatif cara perolehan tanah dimaksud menurut peraturan yang berlaku, yang akan diteliti lebih lanjut. Oleh karena dengan dasar latar belakang yang dikemukakan tersebut diatas menarik untuk ditelusuri lebih dalam tentang Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri, Penelitian di Kantor Pertanahan Kota Medan. Dalam penelitian ini dikhususkan pada perusahaan penanaman modal dalam negeri yang berbentuk Badan Hukum Perseroan Terbatas/PT, dan dibatasi pada perolehan tanah asal tanah negara yang tidak dilekati dengan Hak Pengelolaan dan asal tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.


(31)

B. Permasalahan

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, maka ada beberapa permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kerangka hukum yang mengatur hal perolehan tanah bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri ?

2. Bagaimanakah tata cara perolehan tanah bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri di kota Medan?

3. Apakah faktor pertimbangan penentuan perolehan tanah dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri di kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perkembangan peraturan yang berlaku dalam hal perolehan tanah dan hak-haknya bagi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri;

2. Untuk mengetahui tata cara perolehan tanah bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri di Kota Medan;

3. Untuk mengetahui faktor pertimbangan dalam menentukan perolehan tanah bagi Penanaman Modal Dalam Negeri di Kota Medan.


(32)

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara Teoritis :

a. Diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian lebih lanjut dalam ilmu hukum agraria, maupun bidang hukum perusahaan khususnya bidang penanaman modal dalam negeri;

b. Sebagai tambahan ilmu bagi penulis dan pembaca dengan mengetahui pelaksanaan perolehan tanah khususnya bagi pihak penanam modal dalam negeri.

2. Secara Praktis :

Sebagai bahan masukan kepada instansi terkait, penanam modal maupun masyarakat sebagai pemilik tanah dalam hal memberikan dan memperoleh tanah bagi usaha penanaman modal dalam negeri.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan khususnya pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian dengan judul “Kajian Yuridis Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri ”.


(33)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

a. Kerangka Teori

Dalam sejarah bidang hukum di Indonesia, perlahan tapi pasti telah sampai pada momen yang sangat berarti bagi perkembangan aturan hukum khususnya pada bidang pertanahan di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat “, maka oleh Pemerintah disusunlah azas-azas serta soal-soal pokok pada bidang pertanahan yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang akan menjadi acuan bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya. Tujuan pokok Undang-Undang Pokok Agraria adalah :

1. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur;

2. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;

3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.17

Dalam hukum agraria nasional diletakkan dasar-dasar aturan tentang peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kesemuanya itu dilakukan dan merupakan

17


(34)

wewenang atau kekuasaan negara, yang merupakan badan penguasa sebagai pemegang organisasi kekuasaan tertinggi dari bangsa Indonesia. Kekuasaan negara dimaksud mencakup bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum.

Hak atas tanah adalah hak atas bagian tertentu dari permukaan bumi yang berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.18 Menurut UUPA, hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh suatu badan usaha swasta yang berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia selain hak milik yang dikhususkan peruntukkannya bagi badan hukum tertentu sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, juga hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang diatur dalam peraturan lainnya.

Pengertian hak-hak tersebut disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria sebagai berikut :

Pasal 28 ayat(1) :Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

18


(35)

Pasal 35 ayat(1):Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri.

Pasal 41 ayat(1): Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain,………….. .

Menurut Kartini Muljadi bahwa baik terhadap pemegang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, selain orang perorangan warga negara Indonesia tunggal yang dapat menjadi pemegang hak, juga badan hukum yaitu dengan persyaratan sebagai berikut :

1. didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia, dan; 2. berkedudukan di Indonesia.19

Kriteria ini membawa konsekuensi, bahwa setiap badan hukum selama didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dengan tidak mempertimbangkan sumber asal dana yang merupakan modal dari badan hukum tersebut, dapatlah menjadi pemegang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.20

19

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Hak-Hak atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 151, 191, 248

20


(36)

Namun tidak demikian halnya sejak dikeluarkannya UU Nomor 25 Tahun 2007 terhadap perusahaan-perusahaan yang didirikan untuk penanaman modal dalam negeri yang akan dibahas di bawah ini, bahwa asal modal haruslah bersumber dari modal dalam negeri.

Sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bahwa Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

Modal adalah sebagai aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis. Modal dalam bentuk lain dapat berupa hak-hak dan benda-benda (bergerak dan tidak bergerak), seperti tanah, bangunan, kayu di hutan, hak paten, dan lain-lain. Modal tersebut dapat dimiliki oleh Penanam Modal Dalam Negeri (yang disebut sebagai Modal Dalam Negeri), yaitu perseorangan Warga Negara Indonesia, Badan Usaha Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, negara Republik Indonesia atau daerah. Sehingga, penanaman modal dalam negeri adalah suatu “ kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang


(37)

dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri “.

Peraturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan modal dalam negeri adalah bagian daripada kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki oleh Negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia, yang disisihkan/disediakan guna menjalankan sesuatu usaha, sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Maksud pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang modal asing adalah :

a. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan Indonesia;

b. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan, yang dimaksukkan dari luar kedalam wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia;

c. Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan Undang-Undang ini diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia.

Modal dalam negeri diartikan sebagai sumber produktif dari masyarakat Indonesia yang dapat dipergunakan bagi pembangunan ekonomi pada


(38)

umumnya.21 Swasta nasional ataupun swasta asing sebagai pemilik modal harus menggunakan modal dalam negeri, didirikan menurut hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia yang terdiri atas perorangan dan atau badan hukum.

Jadi penanaman modal dalam negeri menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 adalah penggunaan modal seperti dalam pasal 1 bagi usaha-usaha yang mendorong pembangunan ekonomi pada umumnya. Bahwa Penanaman tersebut dapat dilakukan secara langsung, yakni oleh pemilik nya sendiri, atau tidak langsung, yakni melalui pembelian obligasi-obligasi, emisi-emisi lain nya seperti saham-saham yang dikeluarkan oleh Perusahaan, serta deposito dan tabungan yang berjangka sekurang-kurang nya satu tahun.22

Perbedaan dari peraturan lama ke yang baru nampak dalam hal subjek penanam modal yaitu Negara, Swasta Nasional atau Swasta Asing. Swasta Asing (yaitu perorangan dan atau badan hukum asing yang didirikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia) ‘disebut sebagai Penanam Modal Dalam Negeri (Pasal 1 UU No. 6 Th. 1968). Oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa hanya perseorangan Warga Negara Indonesia, badan usaha Indonesia, Negara Republik Indonesia, atau Daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia yang disebut sebagai Penanam Modal Dalam Negeri.

Dalam hal bentuk badan usaha menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1968 tidak jelas disebutkan hanya dapat ditafsirkan dari pernyataan pasal 3

21

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal Di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1999, hal. 192-193.

22


(39)

ayat (3) yang menyebutkan :’ jika usahanya berbentuk perseroan terbatas maka………’, yang dapat diartikan dimungkinkannya bentuk usaha yang bukan perseroan terbatas, dalam arti bukan badan hukum. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 5 menyebutkan secara tegas bahwa penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perorangan. Sebagai suatu Perusahaan Penanaman Modal khususnya Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri, didalam menentukan bidang usahanya harus memperhatikan kriteria dan persyaratan khusus sebagaimana yang diatur dalam aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, yaitu dalam Peraturan Presiden RI Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria Dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal, dan dalam Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal dengan perubahannya dalam Peraturan Presiden RI Nomor 111 Tahun 2007. (Sebelumnya, kriteria dan persyaratan ini diatur dalam aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 yaitu dalam Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 yang diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2000).


(40)

Namun hingga kini belum ada petunjuk pelaksana/juklak tentang tata cara penanaman modal yang baru, sehingga aturan pelaksana dari undang-undang yang lama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 dimaksud.

Fasilitas-fasilitas bagi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri diberikan sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 diantaranya masalah perpajakan, dan dengan pasal 21 diberikan fasilitas berupa kemudahan pelayanan dan/atau perizinan untuk memperoleh hak atas tanah.

Dalam hal perolehan tanah dan hak atas tanah, perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri terlebih dahulu harus memiliki Izin Lokasi agar dapat melaksanakan perolehan tanah dilokasi yang telah ditetapkan dalam Izin Lokasi. Permohonan Izin Lokasi ditujukan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.23 Sebelumnya dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1993 Izin Lokasi ini diberikan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat.

Tanah yang dapat ditunjuk dalam Ijin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan

23

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Th. 1999, Ps.6


(41)

dilaksanakan oleh perusahaan menurut persetujuan penanaman modal yang dipunyainya.24 Diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Jo. Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 Pasal 2 menyebutkan dengan mengingat bidang usaha, keperluan dan persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, kepada perusahaan dapat diberikan sesuatu hak atas tanah negara sebagai berikut : a. Jika perusahaan berbentuk badan hukum, maka dapat diberikan dengan hak

pengelolaan, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;

b. Jika perusahaan merupakan usaha perorangan dan pengusaha berkewarganegaraan Indonesia, maka dapat diberikan dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Perolehan Ijin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal, menyebutkan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang disediakan bagi Perusahaan Penanaman Modal yang dapat diperoleh baik itu dari tanah hak atau tanah negara, demikian disebutkan dalam pasal 6. Dalam hal tanah hak, mencakup

24


(42)

tanah hak yang sudah bersertifikat maupun tanah hak yang belum bersertifikat. Dan dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah kita pedomani Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

Dalam hal penyediaan dan penguasaan tanah yang diperlukan bagi perusahaan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 pasal 10 menyebutkan selama belum diperoleh persetujuan penanaman modal dari Presiden atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, maka perusahaan atau calon investor tidak diperbolehkan melakukan pembelian, penyewaan, pembebasan hak ataupun lain-lain bentuk perbuatan yang mengubah penguasaan tanah yang bersangkutan, baik secara fisik maupun yuridis, baik langsung ataupun tidak langsung untuk kepentingan perusahaan atau calon investor.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1993 menyebutkan perolehan tanah dengan cara pemindahan hak atas tanah. Karena masih dirasa perlu aturan yang mengatur tata cara perolehan tanah bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal dengan maksud untuk memperlancar penanaman modal, maka dibuat aturan yang memberikan alternatif cara perolehan tanah bagi perusahaan Penanaman Modal dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan


(43)

Nasional Nomor 21 Tahun 1994, yaitu perolehan tanah dengan cara pemindahan hak atas tanah dan cara penyerahan atau pelepasan hak atas tanah.

b. Konsepsi

Dengan selalu berpijak pada peraturan dasar Undang-Undang Dasar 1945, sebagai rakyat Indonesia selalu dapat mengklaim akan fungsi, kegunaan dan manfaat tanah dalam wilayah Indonesia sebagai sesuatu yang dapat diperjuangkan untuk dapat menikmatinya bahwa tanah dalam wilayah negara Republik Indonesia adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Untuk itulah bahwa pasal 33 khususnya ayat (3) yang mengemukakan bahwa yang terdapat pada bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dijadikan dasar bagi pembangunan Indonesia.

Namun demikian sebagai warga negara yang patuh akan hukum tidak dapat berlaku seolah-olah tidak ada kepentingan bersama dan kepentingan yang lebih tinggi didalam hidup bernegara.

Bahwa pembangunan harus dilakukan sebagai wujud dari keberadaan manusia yang berakal dan berkembang. Untuk itu hal yang mengarah pada pembangunan harus didukung. Namun sebaliknya pembangunan yang dilaksanakan jangan menyeret jauh hak-hak rakyat kearah ketidakadilan.


(44)

Pelaksanaan pembangunan sangat membutuhkan modal yang cukup besar, yang dapat disediakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat luas, khususnya dunia usaha swasta. Keadaan yang ideal dari segi nasionalisme adalah apabila kebutuhan akan modal tersebut sepenuhnya dapat disediakan oleh kemampuan modal dalam negeri sendiri.25

Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara secara tegas disebutkan bahwa kebijaksanaan dan pengelolaan penanaman modal ditetapkan dan dilakukan oleh Pemerintah yang diwujudkan dalam suatu instrumen kebijaksanaan berupa peraturan perundang-undangan seperti melalui peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri serta keputusan ketua BKPM.26 Salah satu kebijaksanaan pemerintah dikeluarkan melalui Undang-Undang Penanaman Modal, baik menurut UU PMDN Nomor 6 tahun 1968 maupun dalam UU Penanaman Modal Nomor 25 tahun 2007 yang memberikan berbagai kebijaksanaan dan fasilitas-fasilitas bagi penanaman modal. Salah satunya dalam pasal 21 dari UUPM Nomor 25 tahun 2007 adalah berupa

25

Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Prenada Media Cet.ke-1, Jakarta, 2004, hal.1-2

26


(45)

fasilitas dengan memberikan kemudahan pelayanan dan atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah.

Dengan mengikuti prosedur yang tercantum dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1993 dengan pelaksanaannya dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 tahun 1994, bahwa perolehan tanah menurut pasal 3 ayat (1) dapat dilakukan melalui cara pemindahan hak atas tanah atau melalui penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang diikuti dengan pemberian hak. Dan kini tata cara pemberian hak tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999.

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriftif Analistis, yaitu penelitian yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan pelaksanaan hukum positif.27

27

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. III, Semarang, 1988, G.I, hal. 97-98


(46)

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif dengan pertimbangan pendekatan ini dipandang cukup layak untuk diterapkan karena akan didapatkan data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif .

3. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut diatas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder dimaksud antara lain meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier berupa Norma Dasar, perundang-undangan, hasil penelitian ilmiah, buku-buku dan lain sebagainya28. Sebagai penunjang dari data sekunder ini juga akan dilakukan wawancara.

4. Alat Pengumpul Data

a. Studi Dokumen

Dilakukan untuk memperoleh data sekunder berupa bahan primer, bahan sekunder maupun bahan tertier yang ada pada peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum dan bentuk tulisan lainnya yang relevan dengan masalah penelitian.

28

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 30


(47)

b. Wawancara

Dilakukan dengan wawancara langsung (tatap muka) dengan menggunakan pedoman wawancara. Tujuannya agar mendapat data yang diharapkan dan lengkap sehingga dapat dipakai untuk membantu menjawab permasalahan. Wawancara dilakukan pada :

a.Kantor Pertanahan Kota Medan.

b. Badan Investasi dan Promosi Propinsi Sumatera Utara/Bainprom; c.Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan/KPMD.

5. Analisa Data

Penelitian ini dilakukan dan dimulai dengan mengidentifikasi hukum positif dibidang Pertanahan dan peraturan perundang-undangan lain yang mempunyai hubungan erat dengan perolehan tanah dan penanaman modal, khususnya Penanaman Modal Dalam Negeri yang berkedudukan di Medan. Kemudian dilakukan penelitian dan dikaji antara data sekunder dan hasil wawancara yang akan dianalisa secara kwalitatif untuk memperoleh jawaban dari permasalahan penelitian. Dengan menggunakan metode deduktif ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah selesai diolah yang merupakan hasil penelitia


(48)

BAB II

KERANGKA HUKUM PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI

A. Peraturan Hukum Atas Penanaman Modal Dalam Negeri dan Badan

Koordinasi Penanaman Modal

Dalam sejarah perkembangan penanaman modal di Indonesia dikenal pertama kali melalui kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang memperkenankan masuknya modal asing Eropa untuk menanamkan usahanya dalam bidang perkebunan pada tahun 1870,29 dikeluarkanlah Agrarische Wet untuk mengatur pertanahan di Indonesia. Dengan adanya peraturan tersebut, penanaman modal asing khususnya yang datang dari swasta Eropa dan yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintahan Belanda diizinkan untuk melakukan usahanya di Indonesia.30 Pada kurun waktu tahun 1942-1945 Jepang menduduki Indonesia menggantikan posisi Belanda, penanaman modal asing menurun drastis sebab adanya pelarangan-pelarangan oleh Jepang terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan penanaman modal asing seperti melarang impor dan pasokan tenaga kerja bahkan segala aktiva penanaman modal asing diambil alih.31 Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, secara yuridis Indonesia telah memulai babak baru dalam mengelola secara mandiri perekonomian negara guna melaksanakan

29

Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Op.Cit., hal.18

30

Ibid, hal. 19

31


(49)

pembangunan nasional. Namun tidaklah serta merta hal itu dapat dilaksanakan diantaranya karena masalah politik yang lebih hangat diperbincangkan, masih adanya gangguan dari tentara kolonial Belanda, masalah keamanan, dan sumber daya manusia.32 Usaha untuk membangun negeri terus dilakukan namun prospek masuknya penanaman modal asing menjadi sirna dengan dilakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1957, seperti De Javasche Bank dan Koninklijke Paketvaart Maatschppij (NV KPM) dengan diundangkannya UU Nomor 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Di Wilayah RI yang pelaksanaannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 yang salah satu tujuannya untuk kemanfaatan sebesar-besarnya pada masyarakat Indonesia33, menyusul nasionalisasi terhadap perusahaan Inggris, Malaysia pada tahun 1963 dan terhadap perusahaan Amerika Serikat pada tahun 1965.34 Pada tahun 1966 terjadi peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama kepada Orde Baru dengan model pertumbuhan ekonomi dengan menekankan pada pembentukan modal dengan jalan mengadakan pinjaman luar negeri maupun mendorong penanaman modal asing.35 Sasaran pemerintah Orde Baru tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing/PMA Nomor 1 Tahun 1967 ( perubahannya Dalam Undang-Undang

32

Ibid

33 http//jurnalrepublik.blogspot.com/2007/06nasionalisasipelayaran.htm.

34

Aminuddin Ilmar.Op.Cit, hal. 27

35


(50)

Nomor 11 Tahun 1970 ) yang menjanjikan keringanan pajak dan insentif-insentif lainnya. Kebijaksanaan penting lainnya dalam hal penanaman modal asing diamanatkan dalam keputusan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa: “pembangunan ekonomi terutama berarti mengolah kekuatan ekonomi potensial, menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan, penambahan kemampuan berorganisasi, dan manajemen“, yang kesemuanya itu dimiliki oleh penanam modal asing.36 Adanya dominasi modal oleh orang asing dimaksud dirasakan sangat membatasi kemampuan Pemerintah untuk bertindak secara radikal dalam waktu yang sangat singkat, oleh karena itu dengan kesadaran akan perbaikan nasib rakyat, bahwa untuk pembangunan masyarakat adil dan makmur tidak akan tercapai tanpa adanya pemupukan modal dalam negeri sendiri secara besar-besaran, oleh karena itu perlu diadakan ketentuan-ketentuan dan pengaturan-pengaturan yang dapat memperbesar kemampuan masyarakat Indonesia untuk berusaha secara produktif, yang dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan orang asing dan modalnya tanpa meninggalkan realitas-realitas yang berlaku,37 yang dituangkan dalam Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1968. Undang-Undang ini memberikan

36

Keputusan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966, Pasal 9

37


(51)

pengertian bahwa penanam modal dalam negeri atau yang disebut juga sebagai pemegang sahamnya adalah terdiri dari : negara, swasta nasional dan swasta asing yang berdomisili di Indonesia. Terhadap pihak swasta sebagai pemilik modal dapat terdiri atas perorangan dan atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, demikian dinyatakan dalam pasal 1. Sedangkan terhadap bentuk badan usaha tidak dengan jelas disebutkan, hanya dalam penjelasan pasal 3 disarankan berbentuk Perseroan Terbatas. Fasilitas yang diberikan hanya sebatas pada keringanan perpajakan baik terhadap pajak modal maupun terhadap keringanan bea masuk barang impor.

Dalam perkembangan bernegara perubahan dari segala segi akan terus terjadi, demikian juga dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi nasional disamping pembangunan dalam hukum nasional khususnya dibidang penanaman modal saat ini diperlukan peraturan perundangan yang lebih sesuai.38 Amanat yang tercantum dalam Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi yang menyerukan bahwa kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha

38


(52)

mikro, kecil, menengah dan koperasi,39 maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Tujuan penyelenggaraan Penanaman Modal tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) antara lain untuk :

a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b. menciptakan lapangan kerja;

c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;

e. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;

f. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan dasar yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam penanaman modal sangatlah diperlukan, hal mana guna menunjang keberhasilan tujuan daripada penanaman modal di Indonesia. Dalam menetapkan kebijakan dasar tersebut Pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi PMDN maupun PMA dengan memperhatikan kepentingan nasional, dan menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha dan keamanan berusaha dari sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai ketentuan yang berlaku, serta membuka kesempatan perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, demikian tercantum dalam pasal 4 undang-undang tersebut.

Telah disebutkan pada bab pendahuluan bahwa perubahan yang signifikan terdapat pada pengaturan mengenai subjek penanam modal dalam

39


(53)

negeri yang terdiri dari : perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, dan negara/daerah Indonesia yang melakukan usaha di wilayah Indonesia. Bentuk badan usaha secara tegas disebutkan dalam pasal 5 yaitu dapat berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum atau usaha perorangan, namun tidak detail diuraikan dalam penjelasan tentang bentuk usaha yang bukan berbadan hukum. Pengaturan fasilitas bagi penanaman modal lebih luas lagi, dalam pasal 18 disebutkan penanaman modal yang mendapat fasilitas penanaman modal seperti yang ditunjuk oleh pasal 20 hanya berlaku bagi penanaman modal yang berbentuk perseroan terbatas. Penekanan dalam hal koordinasi, bahwa Pemerintah mengkoordinasi kebijakan penanaman modal baik koordinasi antar instansi pemerintah, antar instansi pemerintah dengan Bank Indonesia, dengan pemerintah daerah maupun antara pemerintah daerah itu sendiri guna mengkoordinir kebijakan penanaman modal seperti yang dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), dan dalam ayat (2) disebutkan bahwa Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal tersebut dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal pertama kali dilakukan dengan Keputusan Presiden Nomor 286 tahun 1968 dengan istilah ‘Panitia Teknis Penanaman Modal‘, dalam Keputusan Presiden Nomor 20


(54)

Tahun 1973 dengan istilah ‘Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM ‘yang telah dicabut oleh Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1977 dan kemudian Keppres ini dicabut oleh Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 dan dengan beberapakali mengalami perubahan terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004. Sebagai peraturan pelaksana dari UU PMDN nomor 6 tahun 1968 jo. UU No. 12 tahun 1970, hingga kini peraturan pelaksana tersebut masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 sesuai pasal 37 undang-undang tersebut. Dalam Keppres Nomor 33 Tahun 1981 disebutkan Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM adalah suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Aturan dalam Keppres ini masih relevan dengan UU Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 pada pasal 27 yang menyatakan bahwa BKPM dipimpin langsung oleh seorang kepala, bertanggungjawab, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dasar pertimbangan pembentukan, untuk lebih meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan dan proses penyelesaian penanaman modal sebagai pusat pelayanan kegiatan penanaman modal.40

Menurut Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 28 disebutkan tugas dan fungsi dari BKPM adalah :

40


(55)

a. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan dibidang penanaman modal;

b. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal; c. menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan

pelayanan penanaman modal;

d. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha;

e. membuat peta penanaman modal Indonesia; f. mempromosikan penanaman modal;

g. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;

h. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;

i. mengkoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya diluar wilayah Indonesia; dan

j. mengkoordinasi dan melaksakan pelayanan terpadu satu pintu. Dalam Keppres Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap (dalam istilah UU Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 memakai ‘pelayanan terpadu satu pintu’) pasal 1 ayat (5) menyebutkan pengertian Sistem Pelayanan Satu Atap adalah suatu sistem pelayanan pemberian persetujuan penanaman modal dan perizinan pelaksanaannya pada satu instansi Pemerintah yang bertanggung jawab dibidang penanaman modal. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa penyelenggaraan tersebut dilaksanakan oleh BKPM sebagai instansi


(56)

Pemerintah. Dengan sistem ini diharapkan bahwa pelayanan terpadu di pusat dan di daerah dapat menciptakan penyederhanaan perizinan dan percepatan penyelesaian nya.41

Didalam melaksanakan tugas dan fungsi serta Pelayanan Terpadu Satu Pintu, BKPM harus melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan, demikian disebutkan dalam pasal 29 UU Nomor 25 Tahun 2007. Pedoman dan tata cara permohonan penanaman modal dalam rangka

penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing diatur dalam Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 57 Tahun 2004 jo. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 70 Tahun 2007.

Dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dengan memperhatikan UU tersebut yang mengatakan bahwa pelayanan administrasi penanaman modal adalah sebagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah

41


(57)

Propinsi/Kota/Kabupaten42. Hal ini dipertegas kemudian dalam Peraturan pelaksana undang-undang tersebut yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007. Sebelumnya dalam Keppres Nomor 26 Tahun 1980 yang terakhir dirubah dengan Keppres Nomor 122 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah/BKPMD, yang dibentuk berdasarkan pertimbangan agar lebih mempercepat peningkatan penanaman modal serta pelayanan perijinan penanaman modal diseluruh daerah.43 Oleh karena itu oleh Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara/PERDA Prop. Sumut. Nomor 4 Tahun 2001 yang mengatur tentang Lembaga Teknis Daerah Propinsi Sumatera Utara yang menetapkan Badan

Investasi dan Promosi Propinsi Sumatera Utara atau Bainprom sebagai

penyelenggara investasi dan promosi di bidang penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/ kota, dan untuk penyelenggaraan investasi dan promosi bidang penanaman modal dengan ruang lingkup berada dalam satu kota dibentuk Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan, demikian sesuai aturan dalam pasal 30 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Penanaman Modal.

Bainprom adalah unsur penunjang Pemerintah Propinsi, dipimpin oleh seorang

Kepala yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur

42

UU No.32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah Ps.13 Angka (1) huruf n

43


(58)

Kepala Daerah. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kota menjadi urusan pemerintahan kota dan urusan penanaman modalnya dilakukan oleh Kantor Penanaman Modal Daerah/KPMD dalam lingkungan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Daerah(Walikota).

Badan Investasi dan Promosi Propinsi Sumatera Utara mempunyai tugas membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan investasi dan promosi, dengan menyelenggarakan fungsi :

a. menyiapkan bahan dalam perumusan kebijakan teknis di bidang investasi dan promosi;

b. menyelenggarakan Pelayanan Administrasi, Promosi dan Informasi serta Pengawasan Pengendalian;

c. melakukan Pengkajian dan Evaluasi Penyelenggaraan Promosi dan Investasi.44

Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan menyelenggarakan fungsi :

1. Merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis dibidang penanaman modal;

2. Menyusun rencana dibidang penanaman modal serta mengidentifikasi sumber-sumber potensi daerah untuk kepentingan perencanaan penanaman modal daerah, pemberian pelayanan konsultasi investasi yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan perizinan, kemudahan infrastruktur dan kerjasama investasi;

3. Merumuskan dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan dibidang pengembangan investasi;

44


(59)

4. Melaksanakan seluruh kewenangan yang ada sesuai dengan bidang tugasnya;

5. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah.45 Jika dilihat pada kenyataannya bahwa fungsi atau kewenangan Badan Investasi dan Promosi Propinsi Sumatera Utara dan fungsi Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan yang ada saat ini, tidaklah mencerminkan semangat otonomi daerah yaitu jiwa daripada Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut diatas, karena wewenang memberikan Surat Persetujuan dan Perizinan dalam rangka penanaman modal berada pada Badan Koordinasi Penanaman Modal, sedangkan Bainprom Propinsi Sumut dan KPMD Kota Medan hanya sebatas pemandu, memberikan sosialisasi, pengawasan dan pelaporan tentang penanaman modal, berdasarkan tembusan dari Pusat ke Daerah.46 Bahkan Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan tidak memiliki data yang pasti tentang Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri yang ada di daerah Kota Medan hal tersebut dikarenakan tidak setiap berdirinya Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri di Kota Medan diberikan ‘tembusan/file nya dari BKPM kepada KPMD Kota Medan.47

45

www.pemkomedan.go.id/ktr-pmd.php, tanggal 2 Februari 2008.

46

Wawancara dengan Anthon Malau, Kasubbid.Pelayanan Administrasi Industri pada Kantor BAINPROM Propinsi Sumatera Utara, di Medan, tanggal 1 February 2008

47

Wawancara dengan Halida Hanum, Kasubbag. Tata Usaha pada Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan, di Medan, tanggal 4 February 2008.


(60)

B. Kerangka Hukum Atas Perolehan Tanah Bagi Perusahaan PMDN.

Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam utama, yang selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia, juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang makin beragam dan meningkat baik dalam tingkat nasional maupun dalam hubungan dengan dunia Internasional.48 Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata. Walaupun pada umum nya tanah merupakan benda yang dapat diperjualbelikan, namun dalam pandangan orang Indonesia yang belum mendapat pengaruh pemikiran dunia barat, tanah bukanlah komoditi perdagangan.49

Seiring dengan kemajuan jaman, tanah merupakan faktor penting dalam menunjang setiap pembangunan sebagai tempat beraktifitasnya suatu usaha/perusahaan termasuk sebagai tempat suatu proses produksi berupa pabrik dan lain sebagainya. Di negara agraris, tanah terutama dimanfaatkan untuk lahan pertanian, sementara di negara industri tanah dibutuhkan untuk lokasi perindustrian dengan segala aktivitas yang terkait dengan industri tersebut. Oleh karena itu ketersediaan tanah yang sangat memadai sangatlah dibutuhkan dalam rangka menarik penanam modal untuk menanamkan modalnya.

Kebutuhan tanah untuk keperluan pembangunan harus senantiasa dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur, oleh karena itu harus

48

Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta, Universitas Trisakti, 2002, hal. 3

49


(61)

diusahakan adanya keseimbangan antara keperluan tanah untuk kepentingan perorangan dan untuk kepentingan orang banyak.50

Dalam rangka pembangunan nasional di negara kita, tanah mempunyai dua fungsi utama, yaitu :

a. Sebagai wadah, diatas mana manusia membangun sesuatu, apakah itu tempat tinggal atau tempat ia melakukan kegiatan dalam kehidupannya; b. Sebagai faktor produksi, dimana tanah dipergunakan manusia untuk

mendapatkan hasil tertentu.51

Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut : FUNGSI TANAH

SEBAGAI WADAH SEBAGAI FAKTOR PRODUKSI di Kota di desa

Untuk dapat menunjang pembangunan itu sendiri, kebijakan dan strategi pertanahan diperlukan agar dapat disediakan tanah bagi para penanam modal dalam waktu yang cepat, dengan prosedur yang sederhana, singkat biaya murah dan tetap terjamin kepastian hukumnya.

50

Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hal. 1

51

Arie S. Hutagalung, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyediaan Dan Penyiapan Tanah Transmigrasi, Karya Ilmiah, Unversitas Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 31


(62)

Berawal dari Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Sumber Tertib Hukum dimana semua peraturan perundang-undangan dibawahnya haruslah berpedoman pada Sumber Tertib Hukum tersebut. Dengan semangat seperti yang tersirat dari pasal 33 ayat (3) mengantarkan dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 atau yang secara resmi dinyatakan sebagai Undang-Undang Pokok Agraria, yang menghantarkan pada perubahan fundamental terhadap Hukum Agraria terutama hukum bidang pertanahan.52 Pada saat pembentukan, UUPA masih berorientasi pada pembangunan negara agraris dan yang salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi modal asing sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agraria pada waktu itu Sadjarwo didepan DPR RI yaitu dengan mengurangi jangka waktu hak-hak atas tanah dalam Agrarische Wet 1870. Sedangkan untuk saat ini ada dua hal pokok yang harus dipikirkan, yakni bagaimana Undang-Undang Pokok Agraria dapat mendorong industrialisasi, namun tetap menjaga kepentingan masyarakat banyak, golongan lemah, serta menghormati hak-hak masyarakat lokal (daerah).53 Seiring dengan bertambahnya teknologi, waktu dan perubahan kebutuhan serta aspirasi manusia yang berpengaruh terhadap kebutuhan akan

52

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Op.Cit., hal 1

53


(63)

tanah yang semakin meningkat, sejalan dengan itu bahwa tanah yang tersedia semakin berkurang, maka sangat dibutuhkan adanya peraturan pelaksana dari Undang-Undang Pokok Agraria yang dapat memenuhi aspirasi dari perkembangan jaman itu sendiri.

Sebagai bentuk nyata hak menguasai dari negara sebagaimana telah disebutkan terdahulu, pemerintah merasa perlu untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan, dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan dan kepastian hukum Untuk kebutuhan dimaksud dikeluarkanlah berbagai peraturan sebagai peraturan pelaksana, seperti ketentuan yang mengatur mengenai Penunjukan Badan – Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan, mengenai Tata Cara Memperoleh Ijin Lokasi Dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal, mengenai Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal, mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, mengenai Pendaftaran Tanah, mengenai Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai, Dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai, mengenai Pemberian Ijin Lokasi Dalam


(1)

---, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi

Dan Pelaksanaannya, Jakarta, Jilid I Ed. Rev., Djambatan, 2003.

Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Ed. I, Cet.II, Kencana, 2004.

Kansil, C.S.T. dan Cristine, S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk

Azas-Azas Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2000.

Kartasapoetra, G., Masalah Pertanahan Di Indonesia, Jakarta, Cet. II, Rineka Cipta, 1992.

Kie, Thong, Tan , Studi Notariat, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung, Cet. II, Citra Aditya Bakti, 2002.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta, Prenada Media, 2004.

Marzuki, Mahmud, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta, Cet. II, Kencana Prenada Media Group, 2006.

Ngadisah, Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua, Pustaka Raja, Yogyakarta, 2003

Parlindungan, A.P., Beberapa Masalah Dalam UUPA, Bandung, Alumni, 1987.

--- Beberapa Pelaksanaan Dari UUPA, Bandung, Mandar Maju, Des. 1992.

--- Komentar Atas UUPA, Bandung, Mandar Maju, 1993. --- Tanya Jawab Hukum Agraria Dan Pertanahan,

Bandung, Cet.III, Mandar Maju, 2003.

--- Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1999.

--- Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Bandung, Alumni, 1983.


(2)

Reksodiprodjo, Sukanto dan Indriyo Wito Sudarmo, Manajemen Produksi, Ed.ke III BPFE, Yogyakarta, 1984

Salindeho, John, Manusia, Tanah, Hak dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Sirait, N., Ningrum, Modul Hukum Perusahaan, Medan, Fak. Hukum Program

Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU, 2006.

---, Modul Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas, Program Studi Magister Ilmu Hukum

SPs. USU, Medan, 2007

Sitorus, Oloan dan H.M. Zaki Sierrad, Hukum Agraria Di Indonesia Konsep

Dasar Dan Implementasi, Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah

Indonesia/MK, 2006.

Soemitro, Hanitijo, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Semarang, Cet. III, Ghalia Indonesia, 1988.

Sumardjono, S.W., Maria, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan

Implementasi, Ed. Rev., Jakarta, 2006

---, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan

Budaya, Kompas, Jakarta, 2008

--- dan Martin Samosir, Hukum Pertanahan Dalam

Berbagai Aspek, Medan Bina Media, 2000.

Soetomo, Pedoman Jual Beli Tanah Peralihan Hak Dan Sertifikat, Malang Universitas Brawijaya, 1981.

Soetrisno, D., Tata Cara Perolehan Tanah Untuk Industri, Jakarta, Cet.I, Rineka Cipta, 2004.

Sauni, Herawan dan M. Yamani Komar, Hukum Agraria, Medan, USU Press, 1988.

Thalib, Sayuti, Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta, 1985.


(3)

Yamin, Muhammad, Jawaban Singkat Pertanyaan-Pertanyaan Dalam

Komentar Atas UUPA, Ed. Rev. Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003.

B. MAJALAH/ JURNAL / SURAT KABAR

Bustami, Chairani, Aspek-Aspek Hukum Yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli Yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana USU, Jurnal Compendium, Medan, Des. 2003.

Renvoi, Nomor I. 49. V., 2007.

C. MAKALAH/SEMINAR/SIMPOSIUM

Harsono, Boedi, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002.

Hutagalung, S., Arie, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyediaan dan

Penyiapan Tanah Transmigrasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1982

Soesangobeng, Herman, Menuju Penguatan Jaminan Kepastian Hukum Atas

Pemilikan, Penguasaan Dan Penggunaan Tanah, Banda Aceh, 2006.

Sofyan, Syahril, Pengantar Sisminbakum, Rev. 2007, Lab. Klinis Notariat SPs. USU.

---, Ringkasan Perkuliahan Hukum Perusahaan, tanggal 26 Februari 2007, SPs. USU/MKn.

D. KAMUS

S.M.Burhani dan Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Referensi Ilmiah-

Politik, Ed.Millenium, Lintas Media, Jombang.

Simorangkir, J.C.T, dan Rudi T. Erwin dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Sinar Grafika, 2000.


(4)

E. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Jakarta, Pradnya Paramita, 2001.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Jakarta, Pradnya Paramita, 2000.

Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1968. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU

No. 6 Tahun 1968.

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.

Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/SKLN-VI/2008.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, Tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah Dan Penjelasannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Dan Penjelasannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT.


(5)

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional.

Peraturan Presiden RI Nomor 76 Tahun 2007, tentang Kriteria Dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

Peraturan Presiden RI Nomor 111 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.

Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.

Permeneg. Agraria/KBPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Ijin Lokasi.

Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2001 tentang Lembaga Teknis Daerah Propinsi Sumatera Utara.

Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 21 tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal.

Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 16 tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi HGB atau HP dan HGB menjadi HP.


(6)

Instruksi Meneg. Agraria/KBPN Nomor 5 tahun 1998 tentang Pemberian Ijin Lokasi Dalam Rangka Penataan Penguasaan Tanah Skala Besar.

Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 57/SK/2004 tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri Dan Penanaman Modal Asing.

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-170 Tahun 2003, perihal Pelayanan Pemeriksaan Tanah dan Pemberian Hak Atas Tanah. Surat Edaran Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 300-1954 perihal

penyampaian PMNA/KBPN No. 4/1998. F. INTERNET

www.bapenas.go.id.php.bahanpaparanbkpm

Hajati, Sri, Penyederhanaan Macam Hak Atas Tanah Dalam Rangka

Pembaharuan Hukum Agraria Nasional,

www.journal.unair.ac.id/login/filer.pdf

Radjagugguk, Erman, “Reformasi UUPA”, http://kunami.wordspress.com/2007/11/06 http//jurnalrepublik.blogspot.com/2007/0 nasionalisasipelayaran.htm.