Hasil penimbangan posyandu pada tahun 2009 diketahui bahwa di Desa Amal Tani Kecamatan Serapit merupakan desa yang mempunyai jumlah balita gizi buruk
tertinggi yaitu 3 0,53 balita dari 562 balita dan yang menderita gizi kurang sebanyak 16 2,85 balita data Puskesmas Bahorok, 2009.
Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik mengetahui status gizi anak balita ditinjau dari karakteristik dan pola makan keluarga di Desa Amal Tani
Kecamatan Serapit Kabupaten Langkat tahun 2010.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana status gizi anak balita ditinjau dari karakteristik dan
pola makan keluarga di Desa Amal Tani Kecamatan Serapit Kabupaten Langkat tahun 2010.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui status gizi anak balita ditinjau dari karakteristik dan pola makan keluarga di Desa Amal Tani Kecamatan
Serapit Kabupaten Langkat tahun 2010.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakterisik keluarga yang terdiri dari umur orang tua,
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, jumlah anggota keluarga, tingkat pendapatan keluarga dan pengetahuan gizi ibu di Desa Amal Tani
Kecamatan Serapit Kabupaten Langkat tahun 2010 2.
Mengetahui pola makan keluarga yang meliputi jumlah konsumsi energi dan protein keluarga di Desa Amal Tani Kecamatan Serapit Kabupaten
Langkat tahun 2010. 3.
Mengetahui status gizi anak balita di Desa Amal Tani Kecamatan Serapit Kabupaten Langkat tahun 2010.
1.4. Manfaat Penelitian
Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan puskesmas dalam menyusun program gizi masyarakat yang berkaitan dengan peningkatan status gizi anak balita.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Keluarga
2.1.1 Pendidikan Orang Tua
Seseorang yang hanya tamat sekolah dasar belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang
pendidikannya tinggi. Karena sekalipun pendidikannya rendah jika orang tersebut rajin mendengarkan penyuluhan gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih
baik. Hanya saja tetap harus dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan
gizi yang mereka peroleh Apriadji,1989. Salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang
anak adalah pendidikan Supariasa, 2002. Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada perubahan tingkah laku yang baik Suhardjo,1996.
Tingkat pendidikan orang tua yang tinggi akan menjamin diberikan stimulus yang mendukung bagi perkembangan anak-anaknya dibandingkan orang tua dengan
pendidikan rendah. Pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendidikan orang tua melalui mekanisme
hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan kesehatan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung Satoto,1990 dalam
Nurmiati, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit
menerima informasi baru bidang gizi Suhardjo, 1996. Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu
pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi-informasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan tercipta pola
kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat mengetahui kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan lainnya Suhardjo,1996.
Tingkat pendidikan banyak menentukan sikap dan tindak-tanduknya dalam menghadapi berbagai masalah, misalnya memberikan vaksinasi untuk anaknya,
memberi oralit waktu mencret, kesediaan menjadi peserta keluarga berencana, termasuk pengaturan makanan bagi anak balita untuk mencegah timbulnya masalah
kesehatan Depkes RI, 2000.
2.1.2. Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan orang tua turut menentukan kecukupan gizi dalam sebuah keluarga. Pekerjaan berhubungan dengan jumlah gaji yang diterima. Semakin tinggi kedudukan
secara otomatis akan semakin tinggi penghasilan yang diterima, dan semakin besar pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk memenuhi kecukupan gizi dalam keluarga
Soedioetama, 2000. Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum
wanita yang bekerja terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap
pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan pada anak
Universitas Sumatera Utara
yang kurang, dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka
Mulyati, 1990. Orang tua yang bekerja terutama ibu akan mempunyai waktu yang lebih
sedikit untuk memperhatikan dan mengasuh anaknya. Pada umumnya di daerah pedesaaan anak yang orangtuanya bekerja akan diasuh oleh kakaknya atau sanak
saudaranya sehingga pengawasan terhadap makanan dan kesehatan anak tidak sebaik jika orang tua tidak bekerja Soeditama, 2000.
2.1.3. Jumlah Anggota Keluarga
Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo 2003 mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan
kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan
pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya
setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.
Seperti juga yang dikemukakan Berg 1986 bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan
keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit.
Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur 1982 menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga, akan mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
pengeluaran rumah tangga. Harper 1988, mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak
yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa
keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang.
Menurut Sukarni 1989 penelitian di suatu negara Colombia menunjukan bahwa dengan kenaikan jumlah anak, jumlah makanan per orang akan menurun
sehingga terjadi pertambahan kasus kurang gizi pada anak-anak di bawah lima tahun. Jika jarak kelahiran pendek, akan mempengaruhi status kesehatan dan gizi baik bagi
bayi yang baru lahir ataupun pada anak sapihan, sehingga angka kematian anak kurang dari dua tahun akan meningkat. Ada pengaruh status gizi anak dan masyarakat
pada jumlah keluarga. Dengan adanya perbaikan status gizi anak dan ibu akan meningkatkan tekanan penduduk sehingga dengan demikian program ditujukan pada
pembatasan pertumbuhan penduduk. Pembagian pangan yang tepat kepada setiap anggota keluarga sangat penting
untuk mencapai gizi yang baik. Pangan harus dibagikan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dalam keluarga. Anak, wanita hamil, dan menyusui harus
memperoleh sebagian besar pangan yang kaya akan protein. Semua anggota keluarga sesuai dengan kebutuhan perorangan, harus mendapat bagian energi, protein, dan zat-
zat gizi lain yang cukup setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan tubuh Suhardjo, dkk. 1989.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo 1994
menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan hasil- hasil lain. Pendapatan keluarga mempunyai peran yang penting terutama dalam
memberikan efek terhadap taraf hidup mereka. Efek di sini lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan akan meningkatkan
tingkat gizi masyarakat. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain pendidikan, perumahan, kesehatan, dll yang dapat mempengaruhi
status gizi. Adanya hubungan antara pendapatan dan status gizi telah banyak dikemukakan para ahli.
Sanjur 1982 menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini diperkuat oleh Suhardjo 1989 bahwa
apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk akan meningkat pula mutunya.
Menurut Berg 1986, terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan
kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Sejak lama telah disepakati bahwa pendapatan merupakan hal utama yang berpengaruh terhadap kualitas menu.
Pernyataan itu nampak seperti logis, karena memang tidak mungkin orang makan makanan yang tidak sanggup dibelinya. Pendapatan yang rendah menyebabkan daya
beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk kesehatan keluarga dan akhirnya
Universitas Sumatera Utara
dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi terutama bagi balita. Dalam kaitannya dengan status gizi, Sayogyo, Soehardjo, dan Khumaidi 1980 menyatakan
bahwa pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi
yang baik. Menurut Berg 1986, pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan, karena walaupun banyak pengeluaran uang untuk
pangan, mungkin akan makan lebih banyak, tetapi belum tentu kualitas pangan yang dibeli lebih baik.
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa antara pendapatan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Berlaku hampir universal, peningkatan
pendapatan akan berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga dan selanjutnya berhubungan dengan status gizi. Namun peningkatan pendapatan atau
daya beli seringkali tidak dapat mengalahkan pengaruh kebiasaan makan terhadap perbaikan gizi yang efektif.
2.1.5. Pengetahuan Gizi
Menyusun dan menilai hidangan merupakan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan oleh semua orang, terutama mereka yang bertanggung jawab
atas pengurusan dan penyediaan makanan, baik bagi keluarga maupun bagi berbagai institusi seperti asrama, wisma, dan sebagainya yang harus menyediakan makanan
bagi sejumlah atau sekelompok orang. Seorang ibu rumah tangga yang bukan ahli gizi, juga harus dapat menyusun
dan menilai hidangan yang akan disajikan kepada anggota keluarganya. Susunan
Universitas Sumatera Utara
hidangan yang bagaimanakah yang memenuhi syarat gizi, agar mereka yang akan mengkonsumsinya tertarik dan mendapat kesehatan baik serta dapat mempertahankan
kesehatan tersebut Sediaoetama, 2000. Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting
yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi
lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai Berg, 1986.
Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak,
dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikian juga sebaliknya Depkes, 2004. Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat FKM UI 2007, bahwa seseorang dengan pendidikan rendahpun akan mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut
rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi. Pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar dapat mengatasi masalah-
masalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki
pengetahuan tentang gizi baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal Berg, 1986.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Pola Makan Keluarga
Tingkat konsumsi dan ragam jenis pangan yang dikonsumsi suatu rumah tangga ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor pendapatan merupakan salah satu
faktor penting yang menentukan pola konsumsi rumah tangga. Pendapatan yang semakin tinggi menunjukkan daya beli yang semakin meningkat, dan semakin
meningkat pula aksesibilitas terhadap pangan yang berkualitas lebih baik. Faktor lain yang sangat penting adalah ketersediaan dan distribusi yang baik dari berbagai jenis
bahan pangan, dan pengetahuan yang baik tentang masalah gizi dan kesehatan. Faktor lain yang juga berperan dalam pembentukan pola konsumsi adalah kebiasaan sosio
budaya dan selera. Semua faktor tersebut sangat menentukan kualitas pangan yang dikonsumsi rumah tangga, yang pada akhirnya akan menentukan kualitas gizi dan
kesehatan anggota rumah tangga tersebut Simatupang dan Ariani, 1997.
2.3. Pencatatan Makanan Rumah Tangga Household Food Record
Pengukuran dengan metode household food record ini dilakukan sedikitnya dalam periode satu minggu oleh responden sendiri. Dilaksanakan dengan menimbang
atau mengukur dengan URT seluruh makanan yang ada di rumah, termasuk cara pengolahannya.
Biasanya tidak memperhitungkan sisa makanan yang terbuang dan dimakan oleh binatang piaraan. Metode ini dianjurkan untuk tempatdaerah, dimana tidak
banyak variasi penggunaan bahan makanan dalam keluarga dan masyarakatnya sudah bisa membaca dan menulis Supariasa, 2002.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Status Gizi 2.4.1. Pengertian Status Gizi
Menurut Soekirman 2000, status gizi berarti sebagai keadaan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari
ukuran-ukuran gizi tertentu. Sedangkan Notoatmodjo 2003 menyatakan bahwa status gizi adalah konsumsi gizi makanan pada seseorang yang dapat menentukan
tercapainya tingkat kesehatan. Menurut Supariasa 2002, satus gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari
nutrisi dalam bentuk variabel tertentu.
2.4.2. Macam Status Gizi Anak Balita 2.4.2.1. Status Gizi Lebih
Penyakit ini bersangkutan dengan energi di dalam hidangan yang dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan atau penggunaannya. Orang yang kelebihan berat badan
biasanya dikarenakan kelebihan jaringan lemak yang tidak aktif tersebut. Kategori berat badan lebih gizi lebih menurut baku rujukan WHO-NCHS yaitu +2 SD.
Tetapi masih banyak pendapat dimasyarakat yang mengira bahwa anak yang gemuk adalah sehat, sehingga banyak ibu yang merasa bangga kalau anaknya gemuk, dan
disatu pihak ada ibu yang kecewa kalau melihat anaknya tidak segemuk anak tetangganya.
Sebenarnya kekecewan tersebut tidak beralasan, asalkan grafik pertumbuhan anak pada KMS sudah menunjukkan kenaikan yang kontinu setiap bulan sesuai
lengkungan grafik pada KMS dan berada pada pita warna hijau, maka anak tersebut
Universitas Sumatera Utara
pasti sehat. Lebih-lebih kalau anak tersebut menunjukkan perkembangan mental yang normal. Untuk diagnosis obesitas harus ditemukan gejala klinis obesitas dan disokong
dengan pemeriksaan antropometri yang jauh diatas normal. Pemeriksaan ini yang sering digunakan adalah BB terhadap tinggi badan, BB terhadap umur dan tebalnya
lipatan kulit Supariasa, 2002.
2.4.2.2. Status Gizi Baik
Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai dengan adanya penggunaan untuk aktivitas tubuh. Hal ini diwujudkan dengan adanya keselarasan
antara, tinggi badan terhadap umur, berat badan terhadap umur dan tinggi badan terhadap berat badan. Sediaoetama 2000 menyatakan bahwa tingkat kesehatan gizi
yang baik ialah kesehatan gizi optimum. Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat gizi tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya tahan
setinggi-tingginya. Anak yang status gizi baik dapat tumbuh dan kembang secara normal dengan
bertambahnya usia. Tumbuh atau pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam hal besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu,
yang bisa diukur dengan ukuran berat, panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik. Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam
stuktur dan fungsi tubuh yang komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan Soetjiningsih, 1998.
2.4.2.3. Status Gizi Kurang dan Status Gizi Buruk
Status gizi kurang terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa macam zat gizi yang diperlukan. Hal yang menyebabkan status gizi kurang karena
Universitas Sumatera Utara
kekurangan zat gizi yang dikonsumsi atau mungkin mutunya rendah. Gizi kurang pada dasarnya adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan atau
masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Kurang gizi banyak menimpa anak khususnya anak balita
yang berusia di bawah lima tahun karena merupakan golongan yang rentan serta pada fase ini kebutuhan tubuh akan zat gizi meningkat karena selain untuk tumbuh juga
untuk perkembangan sehingga apabila anak kurang gizi dapat menimbulkan berbagai penyakit Supariasa, 2002.
2.4.3. Penilaian Status Gizi dengan Metode Antropometri
Dewasa ini dalam program gizi masyarakat, pemantauan status gizi anak balita mengunakan metode antropometri sebagai cara untuk menilai status gizi
Supariasa, 2000. Mengingat keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka dalam penelitian ini peneliti mengunakan penilaian status gizi dengan cara pemeriksaaan
fisik yang disebut antropometri. Adapun keunggulan antropometri adalah alatnya mudah didapat dan mudah
digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan obyektif, pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus professional, juga oleh
tenaga lain setelah dilatih untuk itu, biayanya relatif murah, hasilnya mudah disimpulkan, dan diakui kebenarannya. Sedangkan kelemahan antropometri adalah
tidak sensitif untuk mendeteksi status gizi dalam waktu singkat, faktor di luar gizi penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi dapat menurunkan spesifikasi
dan sensitifitas pengukuran antropometri. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran Supariasa, 2000.
Universitas Sumatera Utara
2.4.4. Standar Antropometri WHO 2005
Masalah gizi di Indonesia masih cukup banyak. Salah satu cara mengidentifikasi seseorang menderita gizi kurang, gizi baik, gizi lebih, atau obesitas
adalah melalui pengukuran antropometri, dan ahli gizi memiliki keahlian untuk melakukan pengukuran tersebut dan sekaligus merupakan kompetensi yang harus
dimiliki. Dalam pelaksanan pengukuran antropometri, ahli gizi membutuhkan acuan pertumbuhan optimal anak. Beberapa pertemuan dilakukan untuk membahas standar
baru antropometri yang dikeluarkan oleh WHO 2005 sebagai suatu bentuk sumbangsih PERSAGI terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi di
dunia. Pada tahun 2006, Standar Antropometri WHO tersebut diperkenalkan di tingkat SEARO South - East Asia Regional Office dan Indonesia salah satu yang
ikut serta di dalamnya. Di Indonesia, pertemuan pakar dari berbagai universitas dan profesi dilakukan
oleh PERSAGI dan Direktorat Gizi Ditzi. Diharapkan penggunaan Standar Antropometri WHO 2005 sudah dapat terealisir di tahun 2009. Antropometri WHO
2005 adalah didasarkan pada studi di 6 negara di dunia yaitu Brasil, Ghana, Norwey, Oman, USA, dan India. Melibatkan lebih dari 12.000 bayi sehat dan anak-anak
dengan melakukan study longitudinal untuk anak usia 0-24 bulan dan cross-sectional pada anak-anak usia 18-71 bulan.
Kriteria pemilihan bayi yang dimasukkan dalam studi ini adalah tidak adanya sakit dan hambatan sosial ekonomi yang dapat menghambat pertumbuhan anak, dan
ibunya saat hamil tidak merokok dan menyusui bayinya saat lahir secara eksklusif sampai usia minimal 4 bulan. Penilaian pertumbuhan tidak saja didasarkan pada
perkembangan ukuran tubuh tetapi juga pada perkembangan motorik anak dalam
Universitas Sumatera Utara
perkembangannya sejak lahir. Standar antropometri WHO 2005 didesain untuk seluruh anak di dunia yang berusia 0-5 tahun yang studinya saat ini masih berlanjut
untuk usia yang lebih tua agar tumbuh dan berkembang secara optimal Persagi, 2009.
2.5. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan landasan teori, maka kerangka konsep yang berkaitan antara variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut.
: Yang akan diteliti : Tidak diteliti
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat dilihat bahwa status gizi anak balita berkaitan dengan pola makan anak balita yang dapat digambarkan dari
pola makan keluarga yang meliputi jumlah konsumsi energi dan protein keluarga. Pola makan keluarga berkaitan dengan karakteritik keluarga yang meliputi umur
orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga dan pendidikan gizi ibu.
Karakteristik Keluarga :
− Umur orang tua
− Pendidikan orang tua
− Pekerjaan orang tua
− Jumlah anggota keluarga
− Pendapatan keluarga
− Pengetahuan Gizi Ibu
Pola Makan Keluarga :
− Jumlah konsumsi energi
− Jumlah konsumsi protein
Status gizi anak balita
Pola makan anak balita
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.4.Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan desain penelitian cross sectional untuk mengetahui status gizi anak balita ditinjau dari
karakteristik dan pola makan keluarga di Desa Amal Tani Kecamatan Serapit Kabupaten Langkat tahun 2010.
3.5. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian