Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif
dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk
yang tidak aktif Katzung, 2002.
b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan
menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang
overweight Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005.
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan
bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan
dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan
sel β pankreas. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia
postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose
Tjay dan Rahardja, 2002. 2.2 Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami kenaikan tekanan darah di atas normal atau kronis dalam waktu yamg lama. Menurut
WHO, tidak bergantung pada usia, pada keadaan istirahat batas normal teratas untuk tekanan sistolik 140 mmHg, sedangkan tekan diastolik 90 mmHg. Daerah
batas yang harus diamati bila sistolik 140-149 mmHg dan diastolik 90-94 mmHg Anonim, 2008.
2.2.1 Jenis-jenis hipertensi 2.2.1.1 Hipertensi primer essensial
Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90 dari seluruh pasien hipertensi dan 10 lainnya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Oleh karena itu,
upaya penanganan hipertensi primer lebih mendapatkan prioritas. Peninggian tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda pada hipertensi primer.
Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda, kadang-kadang hipertensi primer berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala
setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung. 2.2.1.2 Hipertensi sekunder
Kurang dari 10 penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara
langsung atupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat
Universitas Sumatera Utara
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006.
2.2.2 Klasifikasi tekanan darah
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure JNC
7 klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2 dapat dilihat pada Tabel
2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC
KlsifikasiTekanan Darah
TDS mmHg TDD mmHg
Normal 120
80 Prehipertensi
120 – 139 80 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159
90 – 99 Hipertensi derajat 2
≥ 160 ≥ 100
Keterangan : TDS = Tekanan Darah Sistolik TDD = Tekanan Darah Diastolik
2.2.3 Pengelolaan hipetensi
2.2.3.1 Terapi non farmakologi
Terapi ini dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup seseorang. Semua pasien dan individu dengan riwayat keluarga hipertensi perlu dinasehati
mengenai gaya hidup, seperti menurunkan kegemukan, asupan garam total, 5 ghari, asupan lemak jenuh dan alkohol pria 21 unit dan perempuan 14 unit
per minggu, banyak makan buah dan sayuran, tidak merokok dan berolah raga
Universitas Sumatera Utara
yang teratur, semua ini terbukti dapat merendahkan tekanan darah dapat menurunkan penggunaan obat-obat Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006.
2.2.3.2 Terapi farmakologi
Selain cara non farmakologi, penatalaksanaan utama hipertensi adalah obat. Keputusan untuk memulai memberikan obat antihipertensi berdasarkan
beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya kerusakan organ target, dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskular atau
faktor risiko lain. Adapun obat-obat yang digunakan adalah: Diuretics, Angiostensin
Converting Enzyme Inhibitor ACE Inhibitor, Angiostensin Reseptor Blocker ARB, Beta Blocker BBs, Calcium Chanel Blocker CCB Ditjen Bina Farmasi
dan Alkes, 2006.
2.3 Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi
Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan
memperberat penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner, stroke, nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat
diabetes, yang meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi merupakan faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes
dan menentukan evaluasi dari nefropati dan retinopati penderita diabetes khususnya.
Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi insulinhiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah
diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin
Universitas Sumatera Utara
merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan reabsorpsi natrium Saseen dan Carter, 2005.
Hubungan antara diabetes tipe 2 dan hipertensi lebih kompleks dan tidak berkaitan dengan nefropati. Pada pasien diabetes tipe 2, hipertensi seringkali
bagian dari sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul selama beberapa tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul.
Hiperinsulinemia memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan ekskresi sodium pada ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada
sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui hipertropi vaskular. Penatalakasanaan yang giat dari hipertensi 13080 mmHg
mengurangi perkembangan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular Saseen dan Carter, 2005.
2.3.1 Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi
2.3.1.1 Terapi non farmakologi
Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat hipertensinya. Dalam
penanganan diabetes dengan komplikasi hipertensi, diperlukan perhatian khusus seperti nefropati, retinopati, gangguan serebrovaskular, obesitas, hiperinsulinemia,
hipokalemia, hiperkalemia, impotensi penyakit vaskuler perifer, neuropati autonom, dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan
asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan berolah raga Saseen dan Carter, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.3.1.2 Terapi farmakologi
Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus
mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat. Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus
sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1.
Efektif menurunkan tekanan darah. 2.
Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipo- hiperglikemia.
3. Tidak mempengaruhi fraksi lipid.
4. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,
tidak meningkatkan risiko impotensi. 5.
Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif Saseen dan Carter, 2005. Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan diabetes
mellitus adalah senagai berikut:
1. Angiostensin Converting Enzyme ACE Inhibitor
ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat perubahan angiostensin I menjadi angiostensin II, dimana angiostensin II adalah
vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006.
ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini merupakan pilihan utama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes.
Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukan penurunan hipertensi yang berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung, peningkatan
Universitas Sumatera Utara
penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes Saseen dan Carter,
2005. ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi
arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat mengurangi proteinuria juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek
pada lipid atau asam urat dalam serum Saseen dan Carter, 2005. Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril, Ramipril,
Enalapril, Tanapres Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006. 2.
Angiostensin II Reseptor Blocker ARB
ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung reseptor angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstrisi,
pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan
konstriksi arteriol efferent dari glomelurus Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2006. ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat
pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan diabetes. ARB lebih disukai sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi dengan diabetes. Secara
farmakologis, ARB akan memberikan nepropoteksi pada vasodilasi dalam efferent arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensifitas insulin Gray,
dkk., 2006. ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati,
diabetes mellitus tipe 2 dengan protenuria dan kejadian penyakit ginjal. ARB
Universitas Sumatera Utara
merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan nefropati Saseen dan Carter, 2005.
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan, Irbesartan, Telmisartan, Olmesartan Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006.
3. Diuretics
Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus kolingentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan
sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif. Contoh diuretik hemat kalium adalah spironolakton. Diuretik ini menyebabkan diuresis tanpa
menyebabkan kehilangan kalium dalam urin Anonim, 2009.
4. Beta Bocker β-blocker
Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien diabetes, dan bahan ini digunakan ketika dibutuhkan. Beta Blocker telah ditunjukan paling
tidak pada satu studi menjadi sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam hal perlindungan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien diabetes Saseen dan
Carter, 2005. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang
kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada penyakit arteri perifer dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi
penyekat beta. Tetapi kardioselektif adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilagan selektifitas
relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1 Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006.
Universitas Sumatera Utara
5. CCB Calcium Chanel Blocker
CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensivitas insulin atau metabolisme
glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes dan hipertensi. Bagaimanapun bukti menunjukkan penurunan kardiovaskular
dengan CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan sebagaimana antihipertensif yang lain diuretic, beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB Sassen dan Carter,
2005. CCB tidak berbahaya bagi penderita diabetes, meskipun demikian, CCB
dianggap sebagai bahan kedua setelah beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB. Target tekanan darah pada pasien diabetes adalah 13080 mmHg karena
kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini,
khususnya bila dikombinasi dengan bahan lain Saseen dan Carter, 2005. Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin, Felodipin, Nifedipin,
Diltiazem, dan Verapamil Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006.
2 .4 Pelayanan Kefarmasian Pharmaceutical Care
Pelayanan kefarmasian adalah praktek berorientasi pada pasien dimana dalam pelaksanaanya bertanggung jawab pada kebutuhan pasien terkait obat.
Pelaksanaan pelayanan kefarmasian bertanggung jawab dalam terapi obat pasien untuk mencapai hasil outcomes yang lebih baik dan untuk memperbaiki kualitas
hidup pasien Cipolle, dkk., 2004. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang beorientasi kepada pelayanan
Universitas Sumatera Utara
pasien, penyediaan obat yang bermutu termasuk pelayanan farmasi klinik. Pelayanan kefarmasian terus berkembang tidak terbatas hanya penyiapan obat dan
penyerahan obat pada pasien tapi juga memerlukan interaksi dengan pasien dan professional kesehatan lainnya.
Tujuan pelayanan farmasi rumah sakit adalah pelayanan farmasi yang paripurna sehingga dapat: tepat pasien, tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat
kombinasi, tepat waktu dan harga. Selain itu pasien diharapkan juga mendapatkan pelayanan penyuluhan yang dianggap perlu oleh farmasi sehingga pasien
mendapatkan pengobatan yang efektif, efisien, aman, rasional bermutu, dan terjangkau Anomim, 2011.
2.5 Drug Related Problems DRPs
DRPs adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang mana melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan cenderung
mengganggu kesembuhan yang pasien inginkan. Drug Related Problems mempunyai dua komponen utama:
1. Peristiwa yang tidak diharapkan atau resiko dari peristiwa yang dialami oleh pasien. Kejadian ini dapat memberikan bentuk dari keluhan medis, gejala,
diagnosis, penyakit, ketidakmampuan, atau sindrom. Peristiwa tersebut dapat disebabkan oleh kondisi psikologi, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.
2. Adanya gejala antara kejadian yang tidak diharapkan pasien dan terapi obat. Keterkaitan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat, saran yang berkaitan
dengan sebab dan efek atau kejadian yang memerlukan terapi obat untuk resolusi dan pencegahannya Cipolle, dkk., 2004.
Universitas Sumatera Utara
Jenis-jenis Drug Related Problems DRPs dan penyebabnya menurut Cipolle, dkk., 2004 disajikan sebagai berikut:
1. Membutuhkan terapi tambahan obat a.
Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal pada obat.
b. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat
berkesinambungan. c.
Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan parmakoterapi kombinasi untuk mencapai efek sinergis atau potesiasi.
d. Pasien dalam keadaan risiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang
dapat dicegah dengan penggunaan alat pencegah penyakit pada terapi obat dan atau tindakan pramedis.
2. Terapi obat yang tidak perlu
a. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada
waktu itu. b.
Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja kemasukan sejumlah racun dari obat atau kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu.
c. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok.
d. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.
e. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana hanya
satu terapi obat yang terindikasi. f.
Pasien yang mendapatkan terapi obat untuk pengobatan yang tidak tepat dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan dengan pengobatan
lainnya.
Universitas Sumatera Utara
3. Terapi obat salah
a. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.
b. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.
c. Bentuk sediaan obat tidak tepat.
4. Dosis terlalu rendah
a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon kepada
pasien. b.
Konsentrasi obat dalam darah pasien dibawah batas teurapetik yang diharapkan.
c. Jarak dan waktu pemberian obat terlalu jarang untuk menghasilkan respon
yang diinginkan. 5.
Reaksi obat yang merugikan a.
Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan. b.
Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan pasien.
c. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki
yang tidak terkait dengan dosis. d.
Penggunaan obat yang kontraindikasi. 6.
Dosis terlalu tinggi a.
Dosis terlalu tinggi untuk pasien. b.
Pasien dengan konsentrasi obat dalam darah diatas batas teurapetik obat yang diharapkan.
c. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat untuk pasien.
d. Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.
Universitas Sumatera Utara
7. Kepatuhan
a. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat penulisan,
pengobatan, pemberian, pemakaian. b.
Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan. c.
Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal. d.
Pasien tidak mengambil beberapa obat-obat yang diresepkan karena kurang mengerti.
e. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah
merasa sehat.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
2.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara pendekatan observasi, pengumpulan data sekaligus pada satu waktu dan menggunakan data yang lalu Notoatmodjo, 2010.
Bahan dan sumber data dari penelitian ini diperoleh dari catatan rekam medis, dan resep di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa periode
Januari 2011 sampai dengan Desember 2011.
2.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Studi resep dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April 2012 di Rumah Sakit Umum Kota Langsa.
2.3 Sampel
Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Kriteria inklusi:
Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan ke dalam penelitian. Yang termasuk dalam kriteria inklusi adalah pasien diabetes
mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011.
Kriteria eksklusi: Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan. Yang termasuk kriteria
Universitas Sumatera Utara