4
poikilotermal, maka setiap jenis serangga memerlukan suhu lingkungan yang berbeda.
Perubahan temperatur diurnal sangat mempengaruhi aktivitas dari ordo
Homoptera, dan juga beberapa spesies ulat dari ordo Lepidoptera Pedgley, 1982.
Kemampuan penyesuaian terhadap suhu lingkungannya tergantung pada tiap spesies
serangga, sehingga ada beberapa spesies serangga yang mampu beradaptasi pada
kisaran suhu yang lebar eury-thermal dan ada pula yang hanya mampu beradaptasi
pada kisaran suhu yang sempit steno- thermal. Namun Sunjaya 1970
menyebutkan bahwa serangga mempunyai suhu optimum sekitar 26
C. Kondisi suhu optimal untuk WBC,
terutama untuk perkembangan stadia telur dan nimfanya adalah
pada suhu 25- 30°C, menurut Hirano 1942, dalam Subroto
et al., 1992 untuk perkembangan embrio WBC akan terhenti pada suhu lingkungan
kurang dari 10 C. Sedangkan Suenega 1963,
dalam Subroto et al., 1992 menyebutkan bahwa WBC makroptera jantan memiliki
kisaran suhu 9-30 C untuk berperilaku
normal, sedangkan WBC makroptera betina antara 10-32
C. Akhirnya Subroto et al. 1992 menyimpulkan bahwa suhu paling
sesuai untuk pemunculan WBC dewasa di lapangan adalah pada suhu 28-30
C di siang hari.
2.2.2 Kelembaban Udara
Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses biologi serangga.
Kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat aktivitas
dan kehidupan serangga, kecuali pada beberapa jenis serangga yang biasa hidup di
tempat basah. Kelembaban optimum serangga berbeda menurut jenis dan stadium
tingkatan kehidupan pada masing-masing perkembangan. Pada serangga, kisaran
kelembaban udara optimum pada umumnya sekitar 73-100 Sunjaya, 1970.
Kelembaban udara merupakan faktor iklim yang penting bagi pertumbuhan
dan perkembangan WBC. WBC sangat menyukai lingkungan yang memiliki
kelembaban tinggi dengan RH optimal berkisar antara 70-85. Serangan WBC
berhubungan dengan kepadatan tanaman, radiasi matahari yang rendah, kelembaban
yang tinggi, dan perbedaan suhu yang kecil antara siang dan malam hari Hino et al.,
1970 dalam Alissa, 1990.
2.2.3 Curah Hujan
Peranan hujan cukup besar pengaruhnya dalam bidang ekologi serangga,
terutama pada pertumbuhan dan aktivitas serangga. Sunjaya 1970 menyatakan
bahwa periodisitas timbulnya suatu hama erat hubungannya dengan periodisitas curah hujan
tahunan dan perubahannya. Tetesan air hujan secara fisik langsung dapat menghanyutkan
serangga-serangga yang berukuran kecil, sedangkan secara tidak langsung curah hujan
dapat mempengaruhi kelembaban udara.
Sebagian kecil peneliti mengatakan bahwa ledakan populasi WBC lebih banyak
terjadi pada musim hujan, tetapi mereka mengakui adanya keterkaitan antara curah
hujan dengan peningkatan populasi WBC Hidayat, 2000.
2.2.4 Cahaya dan Radiasi
Reaksi serangga terhadap cahaya erat hubungannya dengan lingkungan
hidupnya. Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan cahaya minimum
dan lemah, bila intensitas cahaya ditingkatkan akan mengakibatkan
aktivitasnya akan tertekan, begitu pula sebaliknya. Meningkatnya intensitas cahaya
dapat mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat umur imagonya
Sunjaya, 1970. Penyinaran yang kuat dan berlangsung secara kontinu serta dalam
waktu yang cukup lama menyebabkan pertumbuhan serangga terhenti, pembiakan
terhenti, bahkan dapat mati.
Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda antara serangga yang aktif
pada siang hari diurnal dengan yang aktif pada malam hari nokturnal. Pada serangga
yang aktif pada siang hari, keaktifannya akan dirangsang oleh keadaan intensitas maupun
panjang gelombang cahaya di sekitarnya. Sebaliknya pada serangga malam keadaan
cahaya tertentu mungkin dapat menghambat keaktifannya Uvarov, 1931 dalam
Koesmaryono, 1985. 2.2.5 Angin dan Gerak Udara
Pertumbuhan dan perkembangan serangga secara tidak langsung dipengaruhi
oleh angin. Angin mempengaruhi penguapan dan kelembaban udara yang secara tidak
langsung memberi efek pada suhu tubuh serangga maupun kadar air dalam tubuh
serangga.
Pemencaran dan aktivitas serangga dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya saja
pada serangga yang bertubuh ringan
5
walaupun berdaya terbang lemah dan tidak bersayap akan mampu pindah ke daerah yang
lebih jauh, hal ini terjadi karena adanya gerak udara, baik gerak udara vertikal pengaruh
konveksi maupun gerak udara horizontal pengaruh angin musim dan angin pasat
Sunjaya, 1970. 2.2.6 Pengaruh Topografi Terhadap
Penyebaran Serangga
Topografi suatu wilayah menggambarkan situasi alam atau keadaan
setempat dimana sifatnya dapat menghambat, menghalangi, menyebarkan atau
memencarkan suatu hama dari satu daerah ke daerah lainnya. Keadaan topografi antara
suatu wilayah dengan wilayah lainnya tidak akan sama.
Laut adalah penghalang fisiografis yang utama karena laut memisahkan flora
dan fauna di berbagai benua serta mengisolasi pulau yang satu dengan pulau
yang lainnya. Selain laut, topografi yang berupa gunung, sungai, bukit, padang pasir,
padang rumput, serta zona penghalang iklim lainnya merupakan barrier topografi bagi
penyebaran serangga Sunjaya, 1970.
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2007 di
Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB.
Dengan wilayah kajian di daerah endemik WBC Provinsi Jawa Barat.
Tabel 1. Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat
No Kabupaten Ketinggian Tempat
Rata-rata 1. Subang
10 mdpl
2. Karawang 15
mdpl 3. Bekasi
20 mdpl
4. Indramayu 20
mdpl 5. Cirebon
30 mdpl
6. Majalengka 70
mdpl 7. Sukabumi
150 mdpl
8. Tasikmalaya 300
mdpl 9. Garut
400 mdpl
10. Cianjur 900
mdpl
3.2 Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data iklim bulanan di wilayah kajian selama 6 tahun 2001-2006
yaitu data curah hujan CH, data suhu maksimum T maks, data
suhu minimum T min, data suhu rata-rata T rata, dan data
kelembaban udara RH. Sumber : BMG Darmaga
2. Data Luas Serangan WBC bulanan di wilayah kajian selama 6 tahun
2001-2006. Sumber : UPTD BPTPH Provinsi Jawa Barat.
Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office
2007 Word dan Excel dan Minitab 14. 3.3 Metode
Metode yang digunakan dalam analisis data adalah dengan metode regresi
linier sederhana untuk tiap curah hujan, regresi kuadratik sederhana untuk faktor
iklim lainnya, dan regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis
sebelumnya. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan
WBC sebagai peubah respon. Metode regresi lainnya tidak digunakan karena kurang
mewakili pola sebaran data di setiap kabupaten endemik secara umum setelah
dilakukan uji kesesuaian model regresi.. Persamaan umum regresi linier sederhana :
bx a
y +
=
............................... 1 Persamaan umum regresi kuadratik
sederhana :
2 2
2 1
1
x b
x b
a y
+ +
=
.............. 2 Persamaan umum regresi linier berganda:
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
x b
x b
x b
x b
x b
a y
+ +
+ +
+ =
... 3 Dimana
= y
Luas Serangan WBC
= x
Unsur iklim
= b
a,
Konstanta Analisis regresi linier berganda
dilakukan untuk memperoleh hubungan 5 faktor iklim secara bersama-sama terhadap
luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan faktor iklim dan luas serangan
WBC secara umum.