Kerangka Berfikir TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Kerangka Berfikir

terbukti melakukan pencemaran Penerapan asas pencemar membayar Lingkungan Hidup Deklarasi Stockholm asas asas hukum lingkungan internasional Penegakan Hukum Lingkungan Litigasi melalui pengadilan Hukum Lingkungan Nasional UU Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup Asas pengelolaan lingkungan hidup Indonesia a Tanggung jawab Negara; b Kelestarian dan keberlanjutan; c Keserasian dan keseimbangan; d Keterpaduan; e Manfaat; f Kehati-hatian; g Keadilan; h Ekoregion; i Kenekaragaman hayati; j Pencemar membayar; k Partisipatif; l Kearifan local; m Tata kelola pemerintahan yang baik; n Otonomi daerah Non litigasi diluar Pengadilan Hasil kesepakatan a. Ganti rugi b. Pemulihan Lingkungan c. Tindakan pencegahan dan lain-lain Sanksi : 1. Perdata 2. Administrasi 3. Pidana Kelestarian Lingkungan Hidup Cara yang digunakan dalam penyelesaian sengketa : a. Negosiasi b. Mediasi c. Arbitrase Keterangan : Pengelolaan sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan diharapkan tidak merusak lingkungan hidup. Perwujudan kelestarian lingkungan hidup membutuhkan peraturan atau hukum sebagai bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai Undang-undang yang merevisi Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, diharapkan mampu melindungi kepentingan lingkungan dalam tuntutan perubahan zaman. Dalam Undang-undang tersebut terdapat asas-asas yang diratifikasi baik dari deklarasi, perjanjian internasional. Muncul pemikiran Apakah asas-asas yang diambil dari perjanjian internasional tersebut mampu dan sesuai jika diterapkan dalam peraturan di Indonesia ? Masalah pencemaran lingkungan dalam kenyataan memang tidak sepenuhnya dapat dihindari. Pencemaran dapat terjadi baik dengan unsur kesengajaan, maupun kealpaan serta kejadian alam. Penyelesaian permasalahan lingkungan yang berkembang menjadi sengketa lingkungan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan melalui 2 jalur, yaitu melalui jalur di luar pengadilan dan melalui pengadilan. Pasal 84 ayat 2 menjelaskan bahwa pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh masing-masing pihak. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan terdapat bermacam pilihan, mulai dari penyelesaian langsung oleh kedua pihak yang bersengketa, maupun menggunakan jasa pihak ketiga, melalui mediasi, negosiasi, maupun arbitrasi. Penyelesaian menggunakan jasa pihak ketiga sudah mendapat payung hukum dari pemerintah, dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan untuk memperoleh kesepakatan sesuai yang telah diatur Pasal 85 ayat 1 tentang besarnya ganti rugi, tindakan pemulihan akibat pencemaran danatau perusakan, tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran danatau perusakan, tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam penjelasan Pasal 87 ayat 1 bahwa ganti rugi dan konsekuensi lain terhadap lingkungan adalah bentuk penerapan asas pencemar membayar polluter pays principle yang diadopsi dari deklarasi Stockholm. Dalam pelaksanaan ganti rugi baik terhadap orang-perorang maupun terhadap lingkungan, tentunya ada ukuran tertentu,sehingga ada rasa adil terhadap dampak negatif yang ditimbulkan. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tidak mengatur secara jelas ukuran ganti rugi terhadap pencemaran lingkungan. Untuk mengakomodir kebutuhan hukum akan hal tersebut, pada tahun 2011 Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan produk hukum sebagai dasar perhitungan ganti rugi pencemaran lingkungan yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Rugi Akibat Pencemaran Dan Atau Perusakan Lingkungan. Namun menjadi pertanyaan, Apabila sengketa lingkungan hidup diselesaikan di luar pengadilan, apakah peraturan menteri ini tetap menjadi pedoman dalam penghitungan jumlah ganti rugi akibat pencemaran lingkungan? Jika peraturan tersebut tidak dijadikan landasan, lalu hal-hal apa saja yang dijadikan pertimbangan dalam perhitungan ganti rugi dalam sengketa di luar pengadilan? 48

BAB III METODE PENELITIAN