47 kesimpulan bahwa ada pengaruh perlakuan terhadap panjang dan lebar karapas hasil
tangkapan.
5.7 Penyebaran Sumberdaya Hasil Tangkapan
Pada umumnya, rajungan yang ditangkap nelayan Kronjo, banyak ditemukan didaerah sekitar Pulau Laki dengan posisi 05
55’26” – 05 58’39” LS dan 106
27’51” – 106 32’08”
BT dan daerah perairan Tanara dengan posisi 05 57’00” – 06
00’15” LS dan 106 22’14” -
106 25’10” BT. Daerah tersebut memiliki kedalaman 5 – 10 meter, dengan substrat lumpur
berpasir. Salinitas yang berada didaerah tersebut berkisar antara 30‰ - 33‰, dengan suhu rata-rata 29
C. Daerah tersebut merupakan daerah yang subur, karena merupakan muara sungai yang
banyak mengandung nutrient yang menjadi sumber makanan bagi biota perairan. Nutrient tersebut berasal dari proses run off yang terjadi pada muara sungai.
Musim rajungan di daerah Kronjo terjadi pada bulan November hingga Februari atau pada musim Barat. Pada musim tersebut, keadaan cuaca sangat mendukung dalam
pengoperasian alat tangkap, dalam arti gelombang laut tidak terlalu besar. Penelitian yang dilakukan tidak tepat saat musim rajungan, sehingga hasil tangkapan
yang didapat pun sangat sedikit dan tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Pada saat penelitian berlangsung, rajungan banyak terdapat didaerah perairan Lampung, Sumatera
Selatan dan Kalimantan. Hal ini menyebabkan hampir semua nelayan yang mengoperasikan jaring rajungan dan alat tangkap bubu beralih ke daerah tersebut.
Rajungan yang tertangkap saat penelitian adalah rajungan yang sudah mencapai dewasa kelamin, dengan rata-rata panjang karapas adalah 4 cm. Tetapi rajungan-rajungan tersebut
tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rounsefell 1975, bahwa rajungan mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 37 mm,
dengan demikian ada kesempatan rajungan-rajungan tersebut bereproduksi dan yang mempunyai nilai ekonomis adalah rajungan yang mempunyai panjang karapas antara 95 –
228 mm.
48
5.8 Pembahasan
Bubu lipat digunakan untuk menangkap rajungan maupun biota perairan lain. Bubu lipat memiliki kelebihan diantaranya praktis atau dapat dilipat saat tidak dioperasikan,
sehingga tidak banyak memerlukan ruang. Selain itu, dalam pengoperasiannya bubu lipat sangat mudah dikerjakan. Dari segi konstruksi, bubu lipat sangat sederhana, dalam arti
kerangka yang terbuat dari besi bisa menjadi pemberat. Bahan badan bubu juga hampir semuanya terbuat dari bahan jaring yang sama. Kelebihan lain dari hasil tangkapan bubu
yaitu kesegaran mutu, karena hasil tangkapan yang terperangkap didalam bubu masih dalam keadaan hidup
Meskipun memiliki banyak kelebihan, hanya sedikit dari nelayan Kronjo yang menggunakan alat tangkap bubu dan menjadikannya sebagai matapencaharian sampingan.
Hal tersebut dikarenakan alat tangkap bubu membutuhkan modal yang lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap lain. Contohnya antara lain umpan dan harga jaring bubu
yang lebih mahal dibandingkan dengan jaring rajungan. Dua jenis bubu lipat yang dioperasikan memperoleh hasil tangkapan berupa rajungan
14, keong macan 11, keong gondang 75 dan udang barong 0. Hasil tangkapan sampingan terbanyak dari bubu lipat adalah keong gondang dan keong macan.
Hal tersebut disebabkan bau umpan yang berupa ikan asin kurisi yang sangat menyengat dan sifat dari keong tersebut yang merupakan karnivor pemakan bangkai.
Menurut Monintja dan Martasuganda 1991, salah satu yang menyebabkan hasil tangkapan masuk ke alat tangkap adalah tertarik bau umpan. Umpan ikan asin yang
digunakan mengeluarkan bau melalui celah mata jaring dari badan bubu dan terbawa oleh aliran air. Mata jaring pada kedua jenis alat tangkap bubu yang dicobakan adalah sama.
Dengan demikian, peluang untuk lolosnya hasil tangkapan pada alat tangkap bubu juga sama.
Meskipun keong gondang merupakan hasil tangkapan terbanyak, tapi nilai jual dari keong gondang sangat rendah. Untuk 1 kilo hasil tangkapan diberi harga Rp. 800,00. Selain
itu, keong gondang tidak banyak disukai oleh konsumen.
49 Panjang rata-rata rajungan yang didapat bubu lipat dua pintu sebesar 4,6 cm, lebih besar
dibandingkan dengan bubu lipat tiga pintu 4,3 cm. Sama halnya dengan lebar rata-rata rajungan. Bubu lipat dua pintu memiliki nilai lebar rata-rata 9,3 cm sedangkan bubu lipat
tiga pintu 7,1 cm. Perbedaan dari panjang dan lebar rata-rata yang tidak terlalu besar, pada kedua jenis bubu tersebut, menyimpulkan bahwa rajungan menyebar merata di perairan.
Hasil tangkapan yang didapat tidak banyak, karena pada saat operasi penangkapan dilakukan cuaca tidak mendukung. Trip yang dilakukan berjalan pada musim Timur,
dimana gelombang dan arus yang ada cukup besar. Pengoperasian dilakukan disekitar perairan Tanara dan Pulau Laki.
Meskipun bubu lipat tiga pintu yang berasal dari Kalimantan memiliki pintu yang lebih banyak, tapi hasil tangkapan yang didapat lebih sedikit jika dibandingkan dengan
bubu lipat dua pintu dari Tangerang. Hal ini dikarenakan konstruksi pintu masuk bubu lipat tiga pintu yang berbentuk bulat dan kendur, sehingga menyebabkan rajungan dan biota lain
susah untuk masuk. Berbeda dengan bubu lipat dua pintu, dimana pintu masuknya berbentuk horizontal yang memudahkan masuknya rajungan dan biota lain tapi
menyulitkan untuk keluar. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Wibyosatoto 1994, yang
menyimpulkan bahwa bubu lipat dengan bukaan mulut horizontal memiliki hasil tangkapan yang lebih baik jika dibandingkan dengan bukaan mulut yang bulat atau bercorong.
Hal lain yang sangat mempengaruhi hasil tangkapan bubu lipat tiga pintu tidak terlalu banyak adalah konstruksi bukaan funnel yang kendur. Ketika bubu berada di dasar perairan,
arus dasar yang kuat akan mempengaruhi bukaan funnel tersebut, dalam hal ini funnel tersebut tidak dalam posisi yang efektif untuk memungkinkan hasil tangkapan masuk.
Dalam pengoperasiannya pun, bubu lipat tiga pintu lebih susah dan lebih berat dibandingkan bubu lipat dua pintu. Saat hauling, bubu lipat tiga pintu lebih berat. Hal ini
karena konstruksi bubu yang berbentuk bulat tidak dapat diangkat secara horizontal melainkan secara vertikal. Dimana jika diangkat secara vertikal, maka bubu tersebut
mengalami tahanan hidrodinamik. Berbeda dengan bubu lipat dua pintu, dalam
50 pengoperasiannya bubu dapat diangkat secara horizontal dan tahanan hidrodinamiknya
kecil. Kekurangan lain pada bubu lipat tiga pintu adalah dibutuhkannya biaya yang cukup
besar untuk badan bubu yang terbuat dari jaring. Dalam hal ini, badan jaring yang dibutuhkan, memakan bahan yang lebih banyak dibandingkan dengan bubu lipat dua pintu.
Banyaknya badan jaring pada bubu lipat tiga pintu yang berbentuk bulat, tergantung dari diameter rangka atas dan bawah. Hal tersebut dibuktikan dengan harga bubu lipat tiga pintu
yang lebih mahal Rp. 22.000 untuk satu bubu dibandingkan bubu lipat dua pintu Rp. 14.000 untuk satu buah bubu.
Jika konstruksi funnel pada bubu lipat tiga pintu dibuat lebih efektif, maka alat tangkap tersebut dapat memuat hasil tangkapan yang lebih banyak, dalam arti ruangan tempat hasil
tangkapan lebih luas. Hal yang kurang efektif dari bubu lipat dua pintu adalah penggunaan kerangka besi
yang berdiameter 3 mm. Arus dasar yang kuat dapat menyebabkan bubu tidak dalam posisi yang sempurna. Hal ini memerlukan suatu pemberat yang dapat menahan bubu di
dasar perairan. Kerangka besi pada bubu selain sebagai penguat struktur, juga memiliki fungsi sebagai pemberat. Maka dari itu, perlu kerangka besi yang lebih berat diameter 3
mm untuk menahan bubu dalam posisi yang sempurna. Dari nilai uji yang dilakukan untuk jumlah, bobot, panjang dan lebar untuk hasil
tangkapan rajungan, menunjukkan ada pengaruh perlakuan terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang disebutkan diatas.
Berdasarkan kekurangan dan kelebihan dari penelitian bubu lipat dua dan tiga pintu yang telah disebutkan diatas, maka bubu lipat dua pintu lebih efektif dan efisien dalam
pengoperasian. Tapi, belum bisa dikatakan bahwa bubu lipat dua pintu lebih bagus dibandingkan tiga pintu. Dalam hal ini perlu menganalisis lebih lengkap tentang aspek
sosial dan ekonomi yang belum terukur dalam penelitian ini.
51
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan