Perbedaan Bobot dan Posisi Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat di Desa Mayangan, Kabupaten Subang

(1)

ABSTRAK

RACHMAD CAESARIO, C44060513. Perbedaan Bobot dan Posisi Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat di Desa Mayangan, Kabupaten Subang. Dibimbing oleh MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan posisi dan bobot umpan yang paling efektif untuk menangkap rajungan serta menentukan komposisi spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan bobot dan posisi umpan yang berbeda. Penelitian dilakukan dengan metode experimental fishing menggunakan bubu lipat berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran panjang x lebar x tinggi: 45 cm x 30 cm x 18 cm. Umpan yang digunakan berupa ikan rucah dengan bobot 50 gram , 100 gram , dan 150 gram. Adapun posisi umpan dipasang pada dua tempat yang berbeda yaitu di bagian pengait umpan (di atas) dan diletakkan di dasar bubu (di bawah).

Total hasil tangkapan bubu lipat yang diperoleh pada penelitian ini sebanyak 240 ekor dengan berat total 12,689 kg yang terdiri dari 6 (enam) spesies. Hasil tangkapan dominan pada penelitian ini adalah kepiting batu (Thalamita sp.) dengan jumlah 87 ekor atau 36 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh rajungan (Portunus pelagicus) sebanyak 49 ekor atau setara dengan 20 % dari total hasil tangkapan. Posisi dan bobot umpan yang berbeda tidak menunjukan perbedaan yang nyata terhadap jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan yang diperoleh selama penelitian, namun memberikan perbedaan yang nyata terhadap bobot rata-rata, CL rata-rata, dan CW rata-rata hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 gram. Adapun perbedaan posisi umpan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah total, bobot total, bobot rata-rata, CL rata-rata, dan CW rata-rata hasil tangkapan rajungan.


(2)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan spesies yang hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka (Nontji, 2005). Hewan ini pada umumnya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bubu (Iskandar dan Ramdani, 2009).

Bubu merupakan alat penangkap ikan yang tergolong kedalam kelompok perangkap (traps). Alat ini bersifat pasif, yakni memerangkap ikan untuk masuk ke dalamnya namun sulit untuk meloloskan diri. Bubu terbagi atas tiga jenis berdasarkan cara pengoperasiannya, yaitu : bubu dasar (ground fishpots), bubu apung (floating fishpots), dan bubu hanyut (drifting fishpots) (Subani dan Barus, 1989). Cara pengoperasian bubu ini ditujukan untuk menangkap sasaran tangkapan yang diinginkan. Adapun bubu yang digunakan untuk menangkap rajungan termasuk ke dalam jenis bubu dasar.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu seperti; lama perendaman, tingkat kejenuhan perangkap (gear saturation), habitat, desain bubu, dan umpan (Miller, 1990). Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan di atas, penggunaan umpan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu. Keberadaan umpan sangat penting dalam memikat ikan-ikan di sekitar bubu agar masuk ke dalam bubu.

Ada beragam jenis umpan yang digunakan dalam aktifitas penangkapan ikan, diantaranya adalah umpan alami dan buatan. Adapun pada alat tangkap bubu yang dioperasikan untuk menangkap rajungan biasanya menggunakan umpan alami berupa ikan rucah. Ikan rucah banyak dipakai karena harganya yang murah, mudah diperoleh, dan masih memiliki kesegaran yang baik.

Rajungan di Subang ditangkap dengan menggunakan bubu lipat segi empat dengan diberi umpan berupa ikan rucah. Namun penggunaan jumlah umpan bervariasi pada setiap bubu yang digunakan. Nelayan menggunakan umpan pada bubu yang dioperasikan sesuai dengan keinginan mereka. Beberapa nelayan berpikir bahwa penggunaan umpan yang lebih banyak akan meningkatkan hasil


(3)

tangkapan rajungan. Oleh karena itu beberapa nelayan ada yang menggunakan umpan dengan jumlah yang cukup banyak untuk menarik rajungan agar memasuki perangkap. Namun ada pula nelayan yang beranggapan bahwa jumlah umpan tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil tangkapan rajungan, sehingga mereka hanya menggunakan umpan seadanya.

Hingga saat ini masih jarang penelitian yang mengkaitkan antara jumlah umpan dengan hasil tangkapan bubu. Padahal jumlah umpan yang digunakan sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan (Sainte-Marie, 1994). Adapun Miller (1983) mengatakan bahwa penambahan bobot umpan pada bubu dapat meningkatkan hasil tangkapan secara signifikan.

Penelitian tentang umpan di Indonesia hingga saat ini lebih memfokuskan pada jenis umpan untuk meningkatkan hasil tangkapan. Iskandar dan Ramdani (2009) menggunakan jenis umpan yang berbeda yaitu ikan pepetek segar, ikan pepetek asin, pepetek segar dengan potongan rajungan, serta pepetek segar yang diolesi minyak kedelai. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rata-rata jumlah rajungan secara keseluruhan yang tertangkap dengan menggunakan umpan ikan segar campur minyak kedelai relatif lebih besar dibandingkan dengan rajungan yang tertangkap dengan jenis umpan lainnya, namun ditinjau dari segi ukuran rajungan yang tertangkap, bubu dengan umpan ikan segar campur potongan rajungan menangkap rajungan dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan jenis umpan lainnya. Adapun Tiku (2004) dalam penelitiannya mencoba untuk mengkaji jenis umpan yang paling disukai kepiting bakau dengan menggunakan empat jenis umpan berbeda yaitu kulit kambing, ikan remang, ikan rucah dan kelapa bakar. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hasil tangkapan kepiting bakau dengan menggunakan umpan berupa ikan remang menunjukkan nilai yang berbeda nyata dibandingkan ketiga jenis umpan lainnya.

Saat sedang melakukan survey, penulis menemukan bahwa beberapa bubu lipat yang digunakan sudah tidak memiliki pengait umpan. Hal ini berakibat terjadinya perbedaan posisi umpan yang dipasang pada bubu. Beberapa nelayan beranggapan bahwa posisi umpan tidak terlalu memberi pengaruh terhadap hasil tangkapan. Namun ada juga nelayan yang beranggapan bahwa perbedaan posisi


(4)

umpan memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh. Miller (1990) mengatakan bahwa jika jejak bau umpan tidak menarik kepiting menuju mulut bubu, maka kepiting akan berusaha memasuki bubu melalui badan jaring dimana aroma umpan yang paling kuat berasal. Untuk itulah posisi pemasangan umpan yang baik yang dapat menuntun kepiting menuju mulut bubu merupakan suatu hal yang penting untuk diketahui.

Penelitian tentang pengaruh posisi pemasangan serta bobot umpan terhadap hasil tangkapan masih jarang dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh posisi maupun jumlah umpan terhadap hasil tangkapan rajungan.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan komposisi spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan bobot dan posisi umpan yang berbeda.

2. Menentukan bobot umpan yang paling efektif untuk menangkap rajungan (Portunus pelagicus) dengan menggunakan bobot yang berbeda yaitu sebesar 50 gram, 100 gram, dan 150 gram.

3. Menentukan posisi umpan yang efektif untuk menangkap rajungan.

1.3Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi mengenai bobot dan posisi umpan yang efektif untuk menangkap rajungan (Portunus pelagicus) atau yang sejenisnya;

2. Meningkatkan hasil tangkapan bubu lipat dengan pemberian jumlah umpan dan posisi pemasangan yang tepat.


(5)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Rajungan

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi

Klasifikasi rajungan menurut Stephanuson dan Chambel (1959) yang dikutip oleh Hermanto (2004) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Sub Kingdom : Eumetazoa Grade : Bilateria

Divisi : Eucelomata Section : Prostomia

Filum : Arthropoda

Sub Filum : Mandibulata Kelas : Crustacea

Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda

Sub Ordo : Reptantia Seksi : Brachyura

Sub Seksi : Brachyrhyncha Famili : Portunidae

Sub Famili : Portuninae Genus : Portunus

Species : Portunus pelagicus

Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan famili Portunidae dari seksi Brachyura. Hewan ini memiliki sapit yang memanjang, kokoh dan berduri. Pada hewan ini terdapat perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar, sapitnya pun lebih panjang dari yang betina. Rajungan jantan memiliki warna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan pada rajungan betina memiliki warna dasar kehijau-hijauan dan bercak-bercak keputih-putihan agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar, walaupun belum dewasa (Nontji, 2007).


(6)

Secara umum rajungan memiliki ciri khas berupa sepasang sapit berduri yang memanjang, tiga pasang kaki jalan, dan sepasang kaki renang. Pada rajungan terdapat 5 pasang kaki jalan. Pasangan pertama berubah menjadi sapit (cheliped), sedangkan pasangan kaki jalan ke-5 berubah fungsi sebagai alat pendayung. Kaki renang tereduksi dan tersembunyi di balik abdomen. Pada hewan betina, kaki renang berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Sapit pada rajungan digunakan untuk menangkap dan memegang makanan. Kaki jalan digunakan untuk berjalan di dasar perairan. Sedangkan kaki renang dipergunakan untuk berenang dengan cepat di air sehingga tergolong kedalam Swimming Crab (Portunidae) (Rangka, 2007).

Oemarjati dan Wardhana (1990) mengatakan bahwa rajungan mempunyai karapas yang sangat menonjol dibandingkan abdomennya. Abdomen berbentuk segitiga dan melipat ke sisi ventral karapas. Pada kedua sisi muka (anterolateral) karapas terdapat 9 (sembilan) buah duri. Duri pertama di anterior berukuran lebih besar daripada ketujuh buah duri di belakangnya, sedangkan duri ke-9 yang terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar.

Rajungan memiliki tiga pasang duri frontal dan sembilan pasang duri antero-lateral pada bagian dorsal. Adapun duri kesembilan pada antero-antero-lateral memiliki ukuran paling besar dan panjang. Abdomen pada rajungan jantan berbentuk segitiga yang meruncing ke depan sedangkan pada rajungan betina berbentuk segitiga yang lebih lebar dan membulat (Schmitt, 1973).

Juwana dan Romimohtarto (2000) yang dikutip oleh Ramdani (2007) mengatakan bahwa rajungan dapat mencapai ukuran 18 cm dengan capit yang memanjang, kokoh, dan berduri. Rajungan yang ditangkap di perairan pantai umumnya mempunyai kisaran lebar karapas 8-13 cm dengan rata-rata berat ± 100 gram, sedangkan rajungan yang ditangkap pada perairan yang lebih dalam mempunyai kisaran lebar karapas 12-15 cm dengan berat rata-rata ±150 gram.


(7)

Tampak Dorsal

Abdomen jantan Abdomen betina

Sumber : www.sea-ex.com/fishphotos/crab.htm Gambar 1 Morfologi dan anatomi rajungan.

Dalam pertumbuhannya, rajungan sering berganti kulit (molting). Kulit kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur sehingga tidak dapat terus tumbuh. Jika rajungan akan tumbuh besar maka rajungan akan berganti kulit sehingga kulit lamanya akan ditanggalkan. Rajungan ketika baru berganti kulit memiliki karapas yang sangat lunak dan dibutuhkan beberapa waktu untuk dapat membentuk pelindung yang keras. Masa ini merupakan masa yang rawan pada


(8)

rajungan. Tidak jarang rajungan disergap, dirobek, dan dimakan oleh sesama jenisnya. Kanibalisme pada rajungan merupakan hal yang sering terjadi terutama dalam ruangan yang terbatas, baik pada rajungan dewasa maupun dalam tahap larva (Nontji, 2007).

Menurut Warner (1977) yang dikutip oleh Hermanto (2004) tahap-tahap molting adalah sebagai berikut:

1) Tahap awal molting

- Eksoskeleton menjadi membran yang lunak. Kaki tidak sanggup mendukung bobot tubuh di air dan kepiting menjadi tidak aktif. Absorbs air berlangsung aktif, eksokutikel mulai mengalami mineralisasi;

- Ekseoskleton menjadi seperti kertas, kepiting dapat mendukung bobot tubuhnya. Kandungan air dalam tubuh 80%, endokutikel mengeras, mineralisasi dimulai.

2) Tahap baru saja molting

- Bentuk eksoskeleton menjadi rusak, tetapi tidak pecah; - Bagian eksoskeleton menjadi kaku

3) Tahap intermolting

- Karapas menjadi keras, tapi bagian branchitegites, sternites, bagian merus dan karpus tetap lunak. Bagian ini adalah bagian utama dari pertumbuhan jaringan;

- Karapas menjadi sangat keas. Branchitegites, sternites, serta kaki jalan lunak dan patah jika dibengkokan. Pertumbuhan jaringan tetap berlanjut; - Seluruh eksoskeleton keras, tetapi mineralisasi endokutikel tetap

berlangsung. Lapisan membran yang paling dalam belum sempurna sampai akhir tahap ini;

- Eksoskeleton sempurna, kehadiran lapisan membran dapat diduga dari pecah dan terangkatnya potongan karapas atau putusnya bagian dactylus kaki jalan. Lapisan membran akan mengangkatnya pada epidermis. Pertumbuhan jaringan sempurna dan mengumpulkan metabolism yang berbalik. Kandungan air 60%.


(9)

- Tahap anecdysis terakhir dibedakan oleh lapisan membran yang menempel pada begian eksoskeleton. Kepiting pada saat ini sering memperlihatkan tanda berapa umurnya, eksoskeleton rusak dan mendukung epifauna. 4) Tahap premolting

- Epidermis lepas dari lapisan membran dan mengeluarkan epikutikel baru. Punggung yang baru berkembang di dalam bagian yang sudah tua.bagian ini amat lunak, tetapi dapat dilihat jika dactylus patah dan jaringan diambil. Cadangan makanan dikerahkan dan glycogen dibentuk dalam jaringan epidermis;

5) Tahap ecdysis

- Kepiting lepas dari eksoskeleton tua dan minum air.

Menurut Thompson (1974) yang dikutip oleh Hermanto (2004) rajungan besar biasanya tidak menanggalkan karapasnya untuk jangka waktu yang lama. Rajungan seperti ini memiliki warna yang memudar dan karapasnya sering ditempeli oleh remis/teritip atau sulur rumput laut. Rajungan dapat berjalan sangat baik pada dasar perairan dan daerah interdal berlumpur yang lembab, dan jjuga perenang yang baik.

Menurut Moosa (1996) yang dikutip oleh Nontji (2007) di Indo-pasifik Barat diperkirakan terdapat 234 jenis hewan dari suku Portunidae. Di Indonesia terdapat 124 jenis kepiting dari suku tersebut. Di Teluk Jakarta dan Pulau-pulau Seribu diperkirakan terdapat 46 jenis. Dari sekian jenis tersebut, hanya beberapa jenis yang dikenal oleh banyak orang karena bisa dimakan. Kepiting yang biasanya dimakan adalah kepiting yang memiliki ukuran agak besar. Jenis kepiting yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena tidak memiliki daging yang berarti.

Menurut Hermanto (2004) jenis rajungan yang umum dimakan (edible crab) ialah jenis-jenis yang termasuk cukup besar yaitu sub famili Portunidae atau prodopthalnae. Adapun jenis-jenis lainnya walaupun dapat dimakan tetapi berukuran kecil dan tidak memiliki daging yang berarti. Hal ini menyebabkan jenis kepiting tersebut tidak umum untuk dimakan.


(10)

Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar indonesia ada empat spesies yaitu : rajungan (portunus pelagicus), rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan angin (Podopthalmus vigil), dan rajungan karang (Charybdis feriatus). Menurut Nontji (2007) rajungan bintang mudah dikenali dengan adanya tiga bintik berwarna merah coklat dipunggungnya. Rajungan jenis ini memiliki ukuran lebih kecil dari P. pelagicus, hidup di laut terbuka mulai dari tepi pantai hingga kedalaman lebih dari 30 m. Rajungan karang mempunyai warna yang khas, coklat kemerah-merahan dan di punggungnya terdapat gambaran pucat menyerupai salib. Rajungan angin mempunyai ukuran yang lebih kecil lagi, jenis rajungan ini hidup di laut terbuka sampai kedalaman 70 m. Ciri yang menonjol pada rajungan jenis ini adalah matanya yang mempunyai tangkai yang amat panjang dan bisa direbahkan. Adapun keempat jenis rajungan tersebut dapat dilihat secara lebih jelas pada Gambar 2.

(a) (b)

sumber : www.dpi.nsw.gov.au/fisheries/crab sumber : www.hk-fish.net/eng/database/crabs

(c) (d)

sumber : www.seafood.nmmba.gov.tw sumber : www.cookislands.bishopmuseum.org

Gambar 2 Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar Indonesia: (a) Portunus pelagicus; (b) Portunus sanguinolentus; (c) Charibydis feriatus; (d) Podopthalmus vigil.


(11)

2.1.2 Habitat

Rajungan hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka. Hewan ini hidup dengan membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, atau kadang-kadang dijumpai berenang-renang di permukaan (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Dalam keadaan biasa, ia diam di dasar laut hingga kedalaman lebih dari 65 m, tetapi sesekali ia juga terlihat berenang dekat ke permukaan laut (Nontji, 2007).

Menurut Thomson (1974) yang dikutip oleh Saedi (1997) rajungan dapat merayap dengan baik di dasar dan daerah intertidal (pasang surut) sampai pada lumpur basah yang terbuka. Rajungan juga dapat menguibur diri di bawah pasir dalam sekejap mata untuk menghindari musuh-musuhnya. Seperti kebanyakan penghuni laut aktif lainnya, rajungan menjadikan muara sebagai tempat mencari makan (feeding place) dan pergi ke laut untuk memijah.

Hutan bakau merupakan komunitas laut dangkal yang didominasi oleh beberapa jenis pohon atau semak-semak yang mempunya kemampuan untuk tumbuh di air asin. Hutan bakau dapat terbentuk dengan sendirinya apabila kondisi fisik lingkungan memilki arus yang kecil sehingga endapan partikel yang halus cenderung berkumpul di dasar; substrat di daerah hutan mangrove pada umumnya adalah lumpur; kadar oksigen tanah mangrove rendah dan kadar garamnya tinggi; dan merupakan bagian dari daerah pasang surut (Nyabakken, 1993).

Menurut Nyabakken (1993) hutan bakau dihuni oleh berbagai jenis makhluk hidup. Sementara di bagian atasnya hidup beberapa organisme terestrial, terdapat hewan-hewan laut yang tinggal di bawahnya. Kelompok hewan laut dominan yang hidup di hutan bakau adalah jenis moluska, beberapa krustasea dan jenis ikan-ikan tertentu. Dengan banyaknya sumberdaya yang terdapat pada hutan bakau, menjadikannya sebagai salah satu tempat yang baik untuk perkembangan rajungan.


(12)

2.1.3 Daur hidup

Menurut Nontji (2007) seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi larva dengan jumlah hingga lebih dari sejuta ekor. Bentuk larva yg baru menetas sangatlah berbeda dengan bentuk dewasa. Larva yang baru menetas mengalami beberapa kali perubahan bentuk hingga pada akhirnya memiliki bentuk yang sama dengan rajungan dewasa.

Larva rajungan yang baru menetas (zoea) memiliki bentuk yang lebih mirip udang daripada rajungan. Di kepalanya terdapat semacam tanduk memanjang, matanya besar dan di ujung kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoea ini terdiri dari 4 tingkat dan kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang berbeda. Ciri-ciri tingkat perkembangan Zoea dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Umur dan ciri khas burayak dari tingkat Zoea I sampai Zoea IV

Zoea I Zoea II Zoea

III

Zoea IV

Umur (hari) 2 2 2-3 6

Panjang karapas (cm) 0.3-0.5 0.5-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9

Ruas abdomen (ruas) 5 5 6 6

Seta pada telson 6s* 6s+2h* 6s+2h * 6s+2h *

Seta pada masing-masing ujung

pelopod maksiliped 4 6-8 10 12-14

Sumber : Panggabean dan Aswandy (1982) dikutip oleh Saedi (1997) Keterangan : s adalah serrate seta; h adalah simple seta

Pada saat larva rajungan memasuki tahap megalopa, bentuknya sudah mulai mirip dengan rajungan dewasa. Tubuh larva pada tahap ini sudah mulai melebar, kaki dan sapitnya sudah memiliki wujud yang semakin jelas. Kemudian pada tahap berikutnya terbentuklah juvenile yang sudah merupakan tahap rajungan muda (Nontji, 2007). Tahapan perkembangan larva rajungan dapat dilihat pada Gambar 3.


(13)

(a) (b)

(c)

Digambar ulang oleh Caesario (2010) Keterangan :

(a) Larva rajungan pada tahap zoea; (b) Larva rajungan pada tahap megalopa; (c) Juvenile (rajungan muda).

Gambar 3 Perkembangan larva rajungan.

Nontji (2005) mengatakan bahwa larva rajungan hidup sebagai plankton, berenang-renang dan terbawa arus, berbeda dengan rajungan dewasa yang hidup di dasar perairan. Selanjutnya Juwana dan Romimohtarto (2000) dikutip oleh Ramdani (2007) menambahkan bahwa larva rajungan memiliki ukuran yang sangat kecil sekali dan berenang-renang lemah dalam air laut sebagai plankton. Pada tahap ini larva rajungan bersifat planktonik pemakan plankton (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Daur hidup rajungan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 4.


(14)

Digambar ulang oleh Caesario (2010) Gambar 4 Siklus hidup rajungan.

2.1.4 Reproduksi

Rajungan muda mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 37 mm. Dengan demikian rajungan dapat melakukan proses reproduksi ketika mencapai ukuran tersebut (Rousefell, 1975 in Darya, 2002). Pada rajungan betina terdapat tahap perkembangan gonad sejak awal hingga selesai memijah. Tahap perkembangan gonad ini disebut sebagai Tingkat Kematangan Gonad (TKG). Penentuan TKG dapat dilihat secara morfologi dan histologi. Penentuan secara morfologi dapat dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna serta perkembangan isi gonad, sedangkan secara histologis dapat dilihat dari anatomi perkembangan gonadnya (Effendie, 1997 dikutip oleh Hermanto, 2004).


(15)

Pada kepiting, telur dalam tubuh betina yang sudah matang akan turun ke oviduct dan dibuahi sperma, kemudian dipijahkan dan akan melekat pada rambut-rambut pleopod. Jumlah telur yang dikeluarkan di alam berkisar antara 1-8 juta butir tergantung ukuran induk kepiting, namun hanya sepertiganya yang menempel pada rambut-rambut pleopod (Fielder dan Heasman, 1982; Rukmana, 1992 dalam Hermanto, 2004).

Rajungan betina dapat bertelur antara 180.000 sampai 200.000 telur setiap memijah. Telur dibentuk lebih dari satu periode yang lamanya lebih dari satu hari sebelum dibuahi. Beberapa ratus telur disematkan di bagian bawah tubuh betina yaitu pada bagian perut dengan maksud untuk melindunginya. Perlindungan dilakukan induk betina (maternal care) dengan cara selalu membersihkan telur yang saling menempel ketika induk betinanya keluar dari pasir. Pemijahan dapat terjadi lebih dari sekali dalam satu musim dengan menggunakan sperma dari perkawinan yang pertama. Telur akan menetas kira-kira selama 15 hari pada perairan dengan suhu 24 ˚C (West Australia goverment, 1997; Darya, 2002 dalam Hermanto, 2004).

2.1.5 Makanan

Rajungan (Portunus pelagicus) adalah hewan karnifor yang mencari makan di dasar perairan. Hewan ini memakan bermacam jenis hewan invertebrata yang berifat menetap dan bergerak lambat. Kebutuhan makannya sangat tergantung pada ketersediaaan spesies lokal yang menjadi mangsanya. Makanan utama untuk rajungan pada daerah pasang surut adalah kepiting kecil dan gastropoda, sedangkan untuk rajungan pada daerah sub pasang surut adalah hewan-hewan dari kelas bivalvia dan ophiuridea (Williams, 1982). Patel et al. (1979) yang dikutip oleh Williams (1982) menguji isi perut dari beberapa ratus rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap di Sikka , India. Adapun hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa isi perut rajungan (Portunus pelagicus) sebagian besar terdiri dari potongan kepiting, cangkang gastropoda dan bivalvia, dan seringkali ditemukan ikan yang merupakan jenis makanan utama.

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan 3948 perut kepiting yang dikumpulkan dari perairan dangkal sub-litoral di Kunduchi, teluk Msasani dan


(16)

sungai Mzinga yang terletak di sepanjang pantai Dar es Salaam diketahui bahwa makanan utama rajungan (Portunus pelagicus) terdiri dari Moluska (51.3%), Krustasea (24.1%), tulang ikan (18%) dan bahan makanan yang tidak dapat diidentifikasi (6.6%). Adapun bahan makanan yang paling dominan diantaranya Bivalvia Arcuatula arcuatula dan beberapa jenis Moluska lain yang termasuk ke dalam kelompok Gastropoda seperti genus Nassarius, Littoraria, dan Conus sp. (Chande and Mgaya, 2004).

Menurut Prasad and Tampi (1953) yang dikutip oleh Williams (1982) rajungan adalah hewan pemakan bangkai dan bersifat kanibal. Selain itu Williams (1982) menambahkan bahwa rajungan merupakan hewan yang hampir sepenuhnya bersifat karnifora. Adapun material makanan berupa tanaman sangat jarang ditemukan sebagai makanan dan mungkin dicerna secara tidak sengaja pada saat mangsa diperoleh diantara alga atau rumput laut.

2.1.6 Tingkah laku

Rajungan aktif di malam hari, berenang mengikuti arus pasang menuju pantai, pemakan bangkai dan kanibal, meskipun kadang-kadang memakan tumbuhan air. Menurut Thomson (1974) yang dikutip oleh Hermanto (2004) rajungan sering berenang melewati kapal pada malam hari, sehingga mereka mendapatkan keuntungan untuk ikut bersama. Rajungan juga dapat menggali pasir dalam sekejap untuk menghindari musuh-musuhnya.

Daerah estuari merupakan tempat berkembang biak atau memijah rajungan. Kemudian rajungan betina akan membawa telurnya ke daerah pesisir pantai daerah teluk. Rajungan tumbuh dengan berganti karapas secara berkala (molting) seperti udang-udangan lainnya. Rajungan betina kadang-kadang kawin pada saat karapasnya masih lunak setelah berganti kulit ( Thompson, 1974 dikutip oleh Hermanto, 2004 ).

Archdale, et al (2003) menyebutkan bahwa kepiting memberikan reaksi terhadap alat tangkap bubu yang dipasang di dasar perairan. Kepiting akan datang dan mendekati bubu secara perlahan dengan membentuk pola zig zag. Kemudian kepiting akan melakukan kontak secara langsung terdahap bubu, menunjukkan tanda-tanda sedang mencari makan. Kedua antena pada kepiting akan mendeteksi


(17)

keberadaan umpan di dalam bubu. Rangsangan yang diberikan oleh umpan membuat kepiting terus berusaha mendapatkan umpan dari luar bubu. Kepiting akan bergerak perlahan ke kanan dan kiri menyusuri bagian bubu untuk mencari jalan menuju kedalam bubu untuk dapat meraih umpan. Dengan cara ini kepiting akan menemukan mulut bubu dan berusaha masuk ke dalam bubu. Kepiting yang berhasil masuk ke dalam bubu akan menuju ke arah umpan dan memakannya. Setelah memakan umpan tersebut, lalu kepiting menuju ke bagian sudut bubu.

Dalam penelitiannya untuk menentukan efektifitas penangkapan, Archdale, et al (2003) menemukan bahwa terdapat perbedaan tingkah laku kepiting terhadap dua jenis bubu yang diberi umpan. Adapun bubu yang digunakan dalam penelitiannya adalah bubu berbentuk kotak dengan dua celah pada bagian ujungnya. Adapun bubu lainnya berbentuk kubah dengan pintu masuk berbentuk corong yang terbuka.

Selanjutnya Archdale, et al (2003) menyimpulkan bahwa pada bubu berbentuk kotak, kepiting akan melakukan beberapa usaha sampai akhirnya berhasil masuk kedalam bubu atau menyerah untuk memasuki bubu. Hal ini dikarenakan pintu masuk bubu yang berbentuk celah serta material jaring yang mencegah kepiting untuk masuk karena mengakibatkan duri-duri mereka terjerat pada jaring sehingga kepiting harus berusaha keras untuk mendorong tubuhnya masuk kedalam bubu. Sedangkan pada bubu berbentuk kubah, kepiting dapat masuk dengan mudah dengan cara merayap menyamping. Tingkah laku kepiting terhadap dua jenis alat tangkap bubu secara detail ditunjukkan pada Gambar 5 dan Gambar 6.


(18)

Sumber : Archdale et al (2003)

Gambar 5 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kotak. Keterangan :

a. Mendekat perlahan

b. Kontak dengan jaring atau frame c. Berusaha menjangkau umpan melalui

jaring dan pergerakan lateral d. Menemukan pintu masuk

e. Memasuki bubu f. Memakan umpan

g. Istirahat dan berdiam di sudut z. Tidak berhasil memasuki bubu


(19)

Sumber : Archdale et al (2003)

Gambar 6 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kubah.

2.2 Bubu

2.2.1 Deskripsi Bubu

Bubu adalah alat tangkap sejenis perangkap dimana ikan atau target lainnya dapat memasuki ruangan penangkapan namun sulit untuk keluar, khususnya ketika jalan keluar dilengkapi dengan alat pencegah hasil tangkapan untuk meloloskan diri (non-return device) (Brandt, 1984). Selanjutnya Brandt (1984) membedakan pengertian perangkap dan bubu. Perangkap merupakan alat tangkap Keterangan :

a. Mendekat perlahan

b. Kontak dengan jaring atau frame c. Berusaha menjangkau umpan melalui

jaring dan pergerakan lateral

d. Menemukan pintu masuk e. Memasuki bubu

f. Memakan umpan


(20)

dua dimensi, kadang-kadang pagar perangkap dibuat lebih tinggi dari permukaan air untuk mencegah ikan-ikan lolos dengan cara melompati pagar tersebut. Berbeda dengan perangkap, bubu merupakan alat tangkap tiga dimensi yang memiliki ruangan yang sepenuhnya tertutup, dengan pengecualian, satu atau lebih pintu masuk dilengkapi dengan alat pencegah ikan lolos (non-return device). Perangkap terbuat dari pagar-pagar dimana terdapat satu atau lebih ruangan penangkapan yang terhubung satu dengan yang lain, dan pada tiap ruangan penangkapan tersebut memiliki pintu masuk yang berbentuk corong. Semua jenis bubu merupakan alat tangkap yang dapat dibawa dan dipindah-pindahkan, sedangkan perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindah-pindahkan karena konstruksi dan ukurannya yang besar.

Perikanan bubu skala kecil dioperasikan di perairan yang dangkal, sedangkan untuk skala menengah dan besar biasanya dilakukan di perairan lepas pantai pada kedalaman antara 20 m sampai 700 m (Martasuganda, 2003). Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bubu telah banyak digunakan mulai dari skala kecil, menengah, sampai skala besar. Penangkapan skala kecil dan menengah biasanya banyak dilakukan di perairan pantai di hampir seluruh negara yang masih belum maju sistem perikanannya, sedangkan untuk skala besar banyak dilakukan di negara yang sudah maju sistem perikanannya.

Penggunaan bubu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan alat tangkap lain . Adapun kelebihan dari penggunaan bubu menurut Martasuganda (2003) adalah:

1) Pembuatan alatnya mudah; 2) Pengoperasiannya mudah;

3) Memiliki tingkat kesegaran hasil tangakapan yang tinggi; 4) Daya tangkapnya bisa diandalkan; dan

5) Bisa dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan.

Menurut Martasuganda (2003), secara umum bubu terdiri atas bagian-bagian rangka, badan, dan mulut. Ada juga bubu yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan. Bubu memiliki beberapa bagian secara umum. Alat tangkap ini umumnya


(21)

terdiri atas kerangka (frame), dinding (wall), mulut (funnel), pintu (hatch), dan tempat umpan (bait case) (Subani dan Barus, 1989).

2.2.2 Klasifikasi alat tangkap bubu

Menurut Brandt (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap (traps). Subani dan Barus (1989) junga mengelompokkan bubu kedalam kategori perangkap. Pengelompokan bubu kedalam golongan perangkap dikarenakan alat tangkap ini berusaha untuk memerangkap ikan-ikan yang masuk kedalamnya.

Secara umum Sainsbury (1996) membagi bubu kedalam dua klasifikasi berdasarkan lokasi pemasangannya yaitu :

1) Bubu laut dangkal (Inshore potting)

Alat tangkap bubu ini dioperasikan dengan menggunakan kapal yang berukuran kecil. Bubu ini dioperasikan hingga kedalaman 50 depa (75 meter). 2) Bubu laut dalam (Offshore potting)

Alat tangkap bubu ini dioperasikan di perairan laut dalam sampai kedalaman 300 depa (450 m). Pengoperasian alat tangkap ini melibatkan peralatan dan kapal yang berukuran jauh lebih besar dibandingkan dengan bubu laut dangkal. Selain itu, ukuran bubu yang dioperasikan juga jauh lebih besar dibandingkan dengan bubu laut dangkal.

Selanjutnya Sainsbury (1996) membagi bubu kedalam dua kategori berdasarkan metode pengoperasiannya, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai. 1) Sistem tunggal

Pada pengoperasian bubu dengan menggunakan sistem tunggal, bubu dipasang di dasar perairan secara satu per satu. Bubu jenis ini biasanya dioperasikan pada daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup jauh antara bubu yang satu dengan lainnya. Pada bubu dilengkapi dengan pemberat agar posisi bubu tidak tersapu oleh arus dan berpindah posisi. Untuk dapat mengetahui posisi pemasangan bubu ini, dipasang pelampung tanda untuk memudahkan dalam pencarian bubu. Pemasangan bubu dengan sistem tunggal dapat dilihat pada Gambar 7.


(22)

Sumber : Sainsbury (1996) Gambar 7 Pengoperasian bubu dengan sistem tunggal.

2) Sistem rawai

Pengoperasian bubu pada sistem rawai yaitu bubu dipasang dalam jumlah banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu satu dengan bubu lainnya. Biasanya bubu dengan system rawai dioperasikan pada laut dalam. Bubu yang dipasang dengan sistem rawai biasanya dihubungkan dengan pengait (snap) antara tali cabang dan tali utama. Kemudian ditandai dengan pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar bubu tidak berpindah tempat. Pemasangan bubu dengan system rawai dapat dilihat pada Gambar 8


(23)

Gambar 8 Pengoperasian Bubu dengan sistem rawai.

Subani dan Barus (1989), membagi bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara pengoperasiannya yaitu: bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot), dan bubu hanyut (drifting fishpot).

1) Bubu Dasar (Ground Fishpot)

Bubu dasar adalah bubu dioperasikan di dasar perairan. Pengoperasian bubu jenis ini bisa dilakukan secara tunggal dan bisa pula dioperasikan secara rawai. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang atau di antara karang-karang atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang. Sasaran tangkapan bubu ini adalah jenis ikan demersal.

2) Bubu Apung (Floating Fishpot)

Bubu apung adalah bubu yang dioperasikan dengan cara diapungkan di permukaan perairan. Bubu ini umumnya terbuat dari bambu dan dilengkapi dengan pelampung. Bentuk bubu apung ada yang silindris dan ada pula yang berbentuk seperti kurung-kurung. Bubu jenis ini menangkap jenis ikan pelagis.


(24)

3) Bubu Hanyut

Bubu hanyut adalah bubu yang dioperasikan di permukaan air. Ditinjau dari kedudukannya di air, bubu hanyut sama dengan bubu apung, namun bubu ini kemudian dihanyutkan mengikuti arus air. Bubu jenis ini umumnya dirangkai dari beberapa bubu yang berukuran kecil berjumlah 20-30 buah. Bubu hanyut di Indonesia umumnya dikenal dengan sebutan pakaja, luka, atau patorani. Pakaja atau luka artinya sama yaitu bubu, sedangkan patorani merupakan penamaan bubu karena bubu ini menangkap ikan torani atau ikan terbang (flying fish).

2.2.3 Konstruksi bubu

Menurut Subani dan Barus (1989) bubu secara umum terdiri atas kerangka (frame), dinding (wall), ijeb/mulut (funnel), pintu (hatch), dan tempat umpan (bait case). Slack and Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari rangka, badan, mulut, tempat umpan, pintu, celah pelolosan dan pemberat.

1) Rangka

Rangka bubu berfungsi memberi bentuk pada bubu. Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan. Rangka bubu dapat terbuat dari kayu, besi, baja atau bahkan terbuat dari plastik. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu. Di Kanada dan Timur Laut Amerika Serikat, penangkapan lobster tradisional menggunakan bubu dengan rangka kayu dan kini digantikan dengan rangka besi yang dilapisi plastik. Lain halnya di Kanada dan Barat Laut Amerika Serikat. Di Australia dan New Zealand, bubu dan perangkap kini dibuat dengan menggunakan mata jaring yang terbuat dari baja sehingga tidak memerlukan rangka untuk menjaga bentuknya. Bubu di Indonesia masih banyak yang menggunakan rangka berbahan rotan atau bambu seperti bubu tambun yang digunakan di kepulauan seribu untuk menangkap jenis ikan karang serta bubu wadong untuk menangkap kepiting. Monintja dan Martasuganda (1991) menyatakan bahwa saat ini bubu di Indonesia sudah menggunakan besi sebagai kerangka.


(25)

2) Badan

Badan bubu pada alat tangkap bubu modern biasanya terbuat dari kawat, jaring nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari penggunaan tradisional, dan ketersediaan material, serta biaya dalam pembuatan. Pada beberapa daerah, bambu dan anyaman rotan masih digunakan dalam pembuatan badan bubu. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan.

3) Mulut

Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Selain itu ada juga yang berbentuk celah seperti pada bubu lipat segi empat serta berbentuk horse neck pada jenis bubu tambun. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bubu yang memiliki lebih dari satu mulut menangkap lebih banyak dibandingkan bubu dengan satu mulut (Miller, 1990).

Archdale et al (2003) melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting dengan menggunakan dua jenis bubu yang memiliki mulut berbentuk corong dan bubu berbentuk celah. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa bubu dengan mulut berbentuk corong lebih memudahkan kepiting untuk masuk kedalam bubu dibandingkan dengan bubu dengan mulut berbentuk celah. Hal ini dikarenakan mulut bubu berbentuk celah dapat menyebabkan duri kepiting terjerat serta menyulitkan kepiting untuk masuk kedalam bubu.

4) Tempat umpan

Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Tempat umpan ini bisa terbuat dari kawat, plastik ataupun jaring sintetis. Fungsinya untuk menahan umpan agar tidak terpisah dan tetap pada tempatnya. Dalam beberapa kasus, umpan diletakkan pada ruangan yang terbuat dari besi atau plastik dengan beberapa lubang kecil untuk mengamankan umpan. Cara ini hanya bisa dilakukan apabila umpan yang digunakan sangat atraktif pada ikan yang ingin ditangkap


(26)

5) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan

Pintu biasanya terletak pada bagian tengah badan bubu agar mudah untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Kebanyakan perangkap dilengkapi dengan pintu untuk memudahkan dalam mengeluarkan hasil tangkapan.

6) Celah pelolosan

Celah pelolosan dibuat agar ikan-ikan yang belum layak tangkap dari segi ukuran dapat keluar dari bubu. Bentuk celah pelolosan dapat mempengaruhi keberhasilan bubu dalam meloloskan hasil tangkapan sampingan. Bentuk escape gap sebaiknya disesuaikan dengan morfologi maupun tingkah laku dari target spesies yang akan diloloskan. Adapun bentuk celah pelolosan yang umum digunakan yaitu kotak, persegi panjang, lingkaran, dan oval. Pada beberapa negara, celah pelolosan sudah menjadi keharusan pada setiap alat tangkap untuk meloloskan ikan-ikan dan crustacea yang masih berukuran kecil. Seperti pada pemerintah Australia, New Zealand, dan Kuba yang mengharuskan setiap alat tangkap bubu dipasang celah pelolosan untuk meloloskan ikan-ikan ukuran juvenile. Di Australia dan New Zealand, lobster batu dengan panjang karapas kurang dari 7.6 cm harus dibebaskan atau diperbolehkan untuk meloloskan diri.

7) Pemberat

Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang. Sehingga posisi bubu tidak berpindah-pindah dari tempat setting semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenis batuan lainnya.

2.2.3.1 Bahan

Pemilihan bahan dalam pembuatan bubu tergantung pada tipe bubu yang ingin dibuat dan jenis tangkapan yang diinginkan (Slack and Smith, 2001). Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap terbuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rattan netting), anyaman kawat (wire netting), kere bambu (bamboos screen). Adapun Sudirman dan Mallawa (2004) menyatakan bahwa bubu biasanya terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu,


(27)

atau bahan buatan lainnya seperti jaring. Beberapa jenis bubu menggunakan bahan keramik, cangkang kerang, dan potongan paralon. Pada bagian rangka bubu biasanya terbuat dari bahan lempengan besi, besi behel, bambu serta kayu. Berbeda dengan bagian badan bubu yang tebuat dari anyaman kawat, jaring, waring maupun anyaman bambu. Selanjutnya Martasuganda (2003), menambahkan bahwa kantong umpan pada bubu kebanyakan menggunakan bahan kawat kasa.

Brandt (1984) mengatakan bahwa bahan pembuatan bubu umumnya terbuat dari kayu, kawat besi dan plastik. Kayu merupakan jenis bahan yang pertama kali digunakan untuk membuat bubu. Bubu yang terbuat dari bahan kayu biasanya terbuat dari potongan alang-alang, bambu, rotan, ataupun bilah kayu. Bubu dengan bahan kawat merupakan pengembangan lanjutan dari bubu yang terbuat dari bahan kayu. Bahan kawat dapat digunakan untuk membuat bubu dengan bentuk yang bervariasi. Kekurangan dari bubu yang menggunakan bahan kawat besi adalah rentan terhadap karat. Bubu berbahan kawat yang digunakan pada perikanan laut umumnya dilengkapi dengan anode timah atau aluminium yang berfungsi untuk mengeluarkan arus listrik, mencegah korosi dan meningkatkan kualitas bubu. Adapun bubu dengan bahan plastik awalnya dibuat untuk sport fishing yang menginginkan perangkap yang ringan dan mudah dibawa menggantikan botol kaca yang bagian bawahnya dilubangi secara tradisional untuk menangkap ikan umpan. Walaupun penggunaan bahan plastik sangat menarik untuk diterapkan dalam sport fishing, namun bahan plastik sangatlah mahal untuk digunakan dalam perikanan komersial yang secara umum membutuhkan bubu dengan ukuran lebih besar, jumlah yang lebih banyak, dan harga yang lebih terjangkau. Penggunaan plastik sebagai bahan pembuatan bubu dalam perikanan komersial dapat bernilai ekonomis apabila bubu diproduksi dalam jumlah yang besar.

2.2.3.2 Bentuk alat tangkap bubu

Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Sainsbury (1996) mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang menjadi target tangkapan di setiap daerah


(28)

Keterangan :

a = Bubu kepiting di bagian tenggara Amerika Serikat b = Bubu lobster di Curacao, Amerika bagian Utara

c = Bubu kepiting dan lobster di Curacao, Amerika bagian Utara d = Bubu belut di perairan Miami

(Gambar9). Akan tetapi bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda walaupun hasil tangkapan yang diperoleh sama, hal ini tergantung pada kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya (Martasuganda, 2003).

Sumber : Sainsbury (1996)

Gambar 9 Perbedaan bentuk bubu berdasarkan target tangkapan.

Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia seperti halnya di Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia serta di pantai timur dan barat Amerika Utara yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut Utara. Bubu berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis sedangkan bubu berbentuk hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India


(29)

dan Sri Lanka, selain itu terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut Antillean Z-pot yang berasal dari Karibia. Di Indonesia dan Thailand terdapat bubu yang disebut dengan tubular traps. Bubu tersebut berbentuk seperti corong dan tidak mempunyai mulut (funnel) dengan bagian ujung bebu terbelah-belah (Brandt 1984).

Menurut Subani dan Barus (1989), bubu mempunyai bentuk yang beraneka ragam seperti bentuk bujur sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang, trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran. Adapun menurut Martasuganda (2003), bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Bentuknya sangat beraneka ragam, ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong, persegi panjang, atau bentuk lainnya. Beberapa jenis bubu yang biasa digunakan di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong, pintur/rakkang, dan bubu lipat.

a) Wadong

Wadong adalah alat tangkap yang sifatnya pasif, dipasang menetap di tempat yang diperkirakan akan dilewati kepiting dan supaya kepiting mau memasuki wadong, di dalamnya diberi umpan yang ditusuk dengan bambu supaya tidak terbawa arus atau terjatuh dari bubu. Keseluruhan bagian dari alat tangkap ini terbuat dari bahan bambu termasuk alat pemancang dan alat penusuk umpan. Konstruksi bubu wadong dapat dilihat pada Gambar 10.

Sumber: Martasuganda (2003) Gambar 10 Konstruksi bubu wadong.

b) Pintur/rakkang

Adapun alat tangkap pintur adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Di Sulawesi alat ini

Keterangan :

1. Rangka 2. Pintu 3. Pintu masuk 4. Tiang penyangga 5. Penusuk umpan


(30)

dikenal dengan sebutan bubu rakkang. Alat tangkap ini umumnya memakai rangka dari bambu dan bisa menggunakan besi sebagai rangkanya. Bahan jaring yang digunakan umumnya memakai potongan jaring bekas atau potongan dari jaring yang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena itu tidak ada spesifikasi khusus untuk membuatnya. Konstruksi bubu pintur/rakkang dapat dilihat pada Gambar 11.

Sumber: Martasuganda (2003) Gambar 11 Konstruksi bubu pintur.

Selanjutnya Lastari (2007) menyatakan bahwa terdapat bentuk bubu lipat kotak yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap rajungan. Iskandar dan Ramdani (2009), juga melakukan penelitian mengenai jenis umpan untuk menangkap rajungan dengan menggunakan bubu lipat berbentuk kotak. Konstruksi dari bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 12.

Sumber: Lastari (2007) Keterangan :

1. Tali penyangga 2. Rangka

3. Jaring 4. Pemberat 5. Umpan

Keterangan :

a. Rangka b. Mulut bubu c. Badan bubu d. Engsel

e. Tempat umpan


(31)

2.2.3.3 Umpan

Menurut Miller (1990), salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu adalah umpan. Umpan berperan sebagai salah satu bentuk pemikat (atractant) yang memberikan rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Bau-bau yang terlarut di dalam air dapat merangsang reseptor pada organ olfaktorius yang merupakan bagian dari indera penciuman ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut (Syandri, 1988).

King (1991) yang dikutip oleh Fitri (2008) menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsip kerja umpan adalah menarik ikan mendekati bubu kemudian masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Selanjutnya menurut Slack and Smith (2001), umpan yang baik dibutuhkan untuk penangkapan ikan yang efektif menggunakan bubu. Tipe umpan bervariasi tergantung tipe ikan yang ingin ditangkap. Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan menggunakan bubu sudah dilakukan sejak lama oleh nelayan.

Monintja dan Martasuganda (1991), menyatakan bahwa terperangkapnya udang, kepiting atau ikan-ikan dasar pada bubu disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya dikarenakan tertarik oleh bau umpan. Penciuman crustasea sangat sensitif dan akurat ketika mereka mencari sumber bau-bauan walaupun bau tersebut telah dikacaukan oleh turbulensi lingkungan pada saat bau tersebut didistribusikan (Grasso, 2002). Menurut Miller (1990), umpan dapat dipilih guna mengurangi spesies tangkapan yang tidak diinginkan. Terdapat empat cara untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan pada bubu dan salah satunya adalah pemilihan umpan dengan bau yang dapat menolak spesies yang tidak diinginkan.

Slack dan Smith (2001), menyatakan syarat umpan yang baik adalah sebagai berikut:

1) Efektif untuk menarik ikan target; 2) Ketersediiannya melimpah;

3) Mudah untuk disimpan dan diawetkan dan,


(32)

Martasuganda (2003) mengatakan bahwa umpan yang baik memiliki karakteristik yaitu :

1) Efektif dalam menarik ikan; 2) mudah diperoleh;

3) Murah;

4) Mudah disimpan dan, 5) Tahan lama;

(1) Jenis-jenis umpan

Umpan digunakan untuk membantu agar ikan masuk ke dalam bubu. Jenis umpan yang sering digunakan beraneka ragam, ada yang menggunakan umpan hidup, ikan rucah, atau jenis umpan lainnya (Martasuganda, 2003). Berdasarkan sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Miller 1990). Umpan alami merupakan irisan-irisan daging, sedangkan umpan buatan merupakan campuran substrat kimia yang dibuat menyerupai struktur kimia umpan asli (Mackie, 1973).

Berdasarkan kondisinya, umpan dibagi menjadi dua, yaitu umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait) (Leksono, 1983). Jenis umpan yang digunakan tergantung pada spesies ikan yang akan menjadi target penangkapan (Ferno dan Olsen, 1994) Jenis umpan yang sering digunakan dalam penangkapan yaitu ikan herring (Daniel and Bayer, 1989), potongan mackerel (Lokkeborg, 1989), serta potongan kepiting atau lobster (Miller, 1995).

Menurut Miller (1995), Penggunaan umpan yang dicampur dengan potongan kepiting atau lobster akan menurunkan hasil tangkapan spesies sejenis secara drastis. Ramdani (2007), melakukan penelitian untuk menentukan umpan yang paling baik dalam menangkap rajungan dengan menggunakan empat umpan yang berbeda yaitu pepetek segar, pepetek asin, pepetek segar campur potongan rajungan, dan pepetek segar yang diolesi minyak kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubu dengan umpan ikan pepetek segar campur potongan rajungan menangkap rajungan dengan jumlah yang lebih banyak dan ukuran yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena rajungan yang berukuran besar memiliki sifat agresivitas yang tinggi sehingga mengabaikan bau / substansi kimia yang


(33)

dikeluarkan oleh rajungan yang telah mati. Adapun Komarudin (2009) dalam penelitiannya mengenai celah pelolosan pada bubu tambun, menggunakan bulu babi (diadema sp.) yang dihancurkan sebagai umpan untuk menangkap kerapu koko. Umpan tersebut digunakan berdasarkan kebiasaan nelayan kepulauan seribu yang selalu menggunakan bulu babi dalam pengoperasian bubu tambun.

(2) Posisi umpan

Menurut Martasuganda (2003) umumnya umpan diletakkan di tengah-tengah yaitu pada bagian bawah, tengah-tengah atau bagian atas dari bubu baik dengan cara diikat ataupun digantung menggunakan pembungkus umpan. Archdale et al. (2003) mengatakan bahwa bau umpan akan terdifusi oleh arus air dan akan menyebabkan area yang dipengaruhi oleh aroma umpan akan menjadi daerah aktif.

Archdale, et al. (2003) melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting batu jepang ’ishigani’ Charybdis japonica terhadap dua jenis bubu yang diberi umpan. Dalam penelitiannya, ia menggunakan dua jenis bubu yang berbentuk kotak serta bubu yang berbentuk kubah. Kedua bubu yang digunakan memiliki bentuk yang memanjang, sehingga menyebabkan jarak antara mulut bubu dengan umpan akan lebih jauh dibandingkan dengan kedua sisi dinding bubu. Hal ini akan menyebabkan konsentrasi bau umpan yang dilepaskan akan lebih tinggi pada bagian dinding bubu dibandingkan pada bagian mulut bubu.

Berdasarkan observasi yang dilakukan selama penelitiannya, Archdale, et al. (2003) menemukan bahwa kepiting mendatangi bubu dari arah yang berlawanan dengan arah arus (75%). Hal ini menunjukkan adanya dominasi dari peran aroma yang dikeluarkan oleh umpan yang berfungsi sebagai pemikat. Kepiting yang mendatangi bubu dari arah arus berasal tidak menunjukkan adanya pergerakan bagian mulut dan tidak melakukan gerakan zigzag, hal ini mengindikasikan bahwa kepiting tersebut tidak mengikuti jejak aroma umpan dan hanya bertemu dengan bubu secara tidak disengaja (Gambar 13).


(34)

Gambar 13 Persentase dan jumlah kepiting yang mendekati bubu yang diberi umpan berdasarkan pada arus air.

Archdale, et al. (2003) memasang umpan pada kedua jenis bubu yang diujicobakan dengan cara yang berbeda. Pada bubu berbentuk kotak, umpan dimasukkan kedalam kantong umpan dan kemudian diletakkan di dasar bagian tengah bubu. sedangkan pada bubu berbentuk kubah, umpan dipasang ditusukkan pada kawan dan dilengkungkan di bagian tengah bubu berhadapan dengan arah pintu masuk. Pada bubu kotak, peletakkan umpan pada bagian dasar bubu akan menyesatkan kepiting. Kepiting kerap mendatangi bubu pada bagian samping karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan jarak umpan ke mulut bubu. Peletakan posisi umpan pada bubu berbentuk kubah lebih baik karena mengarahkan kepiting secara langsung ke dalam pintu masuk berbentuk corong.

Daerah aktif umpan termasuk dalam bagian-bagian bubu yang berhubungan dengan aroma umpan, dan biasanya terletak berlawanan dengan arus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh kepiting datang menuju bubu dengan mengikuti jejak aroma umpan (75%), dan kepiting lain yang datang dari arah yang berlawanan kemungkinan terjadi secara tidak sengaja saat kepiting sedang mencari tempat untuk bersembunyi (Archdale, 2003). Nelayan berpendapat bahwa meletakkan mulut bubu searah arus dapat meningkatkan hasil tangkapan. Archdale (2003) mengatakan bahwa tingkat kesuksesan masuknya seekor Cancer productus pada saat pintu masuk bubu diletakkan berlawanan arah dengan arah arus hanyalah sekitar 7%, tetapi ketika pintu masuk bubu dibuat


(35)

pararel terhadap arah arus akan mengakibatkan tingkat kesuksesan meningkat menjadi 65%. Berdasarkan hal ini maka peletakan mulut bubu searah dengan arus air sangatlah penting agar kepiting dapat merndatangi umpan dari arah yang berlawanan dengan arah arus.

(3) Bobot umpan

Bobot umpan merupakan faktor lain yang penting untuk menunjang keberhasilan penangkapan ikan. Miller (1983), menyatakan bahwa perangkap dengan bobot umpan 3 kg dapat menangkap 50% kepiting lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang hanya menggunakan umpan dengan bobot 1 kg dengan waktu perendaman 1 hari dan 4 hari.

Sainte-Marie (1994), melakukan penelitian mengenai hubungan bobot serta pembungkusan umpan terhadap hasil tangkapan dengan menggunakan bubu kepiting yang berasal dari Jepang. Dalam penelitiannya diketahui bahwa penambahan umpan akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan H. araneus dan C. irrotatus secara nyata. Lebih jauh Sainte-Marie (1994) menyimpulkan bahwa peningkatan bobot umpan akan meningkatkan hasil tangkapan pada level tertentu. Bobot umpan optimal akan bervariasi dengan daerah penangkapan, musim penangkapan, dan harga umpan terhadap hasil tangkapan bubu. Miller (1983), menjelaskan bahwa perangkap dengan menggunakan umpan sebanyak 3 kg mendapatkan hasil tangkapan C. opilio yang lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang menggunakan umpan sebanyak 1 kg.

Banyak faktor yang dapat menjelaskan hubungan positif antara hasil tangkapan dengan jumlah umpan yang digunakan. Secara teoritis dapat diduga bahwa wilayah yang dapat dipengaruhi oleh bubu yang diberi umpan dan rata-rata konsentrasi atraktant pada jarak tertentu dari arah sumber umpan akan meningkat seiring dengan peningkatan bobot umpan (Sainte-Marie and Hargrave, 1987 diacu oleh Marie, 1995). Hal ini terjadi karena pengaruh daya tarik kimia yang berasal dari umpan sebanding secara langsung terhadap kualitas umpan (Zimmer-Faust and Case, 1983 dikutip oleh Sainte-Marie, 2005). Area daya tarik yang lebih luas akan menyebabkan lebih banyak hewan yang menyadari keberadaan umpan dan memungkinkan mereka untuk bergerak mendekati umpan (Sainte-Marie and


(36)

Hargrave, 1987 diacu dalam Sainte-Marie, 1995). Selain itu, konsentrasi umpan (attractant) yang lebih besar dapat meningkatkan respons individual terhadap umpan, dan hal ini akan berakibat meningkatnya persentase individu yang bergerak menuju bubu (McLeese, 1973; Fuzessery and Childress, 1975; Pearson et al., 11979; Zimmer-Faust and Case, 1983; Miller, 1990; Sainte-Marie, 1994). Pada akhirnya, ketika waktu perendaman bukanlah sebagai faktor pembatas, umpan dalam jumlah yang besar dapat berkurang lebih lambat dan menangkap ikan lebih lama dibandingkan dengan umpan dalam jumlah yang sedikit dan berakibat langsung pada kecepatan penangkapan.

2.2.4 Metode penangkapan bubu

Metode pemasangan bubu yang diterapkan oleh nelayan biasanya menggunakan sistem tunggal dan sistem rawai. Menurut Sainsbury (1996), bubu dioperasikan secara single atau dengan metode rawai, tergantung dari kedalaman, ruang yang dibutuhkan, serta pola pemasangan bubu. Bubu yang dipasang dengan jarak yang jauh atau yang disetting di sekitar daerah berbatu/karang biasanya disetting secara sendiri-sendiri, terutama di daerah dangkal tanpa arus yang deras. Di wilayah perairan yang lebih dalam, dimana terdapat banyak ruang di sepanjang kontur kedalaman, atau di daerah tertentu yang lebih tinggi, bubu lebih sering disetting dengan cara rawai.

Menurut Martasuganda (2008), waktu pemasangan (setting) dan pengangkatan (hauling) bubu ada yang dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari, sore hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari. Proses pemasangan (setting) dan pengangkatan (hauling) bubu tergantung pada nelayan yang mengoperasikannya. Lama perendaman (soaking time) bubu di perairan ada yang hanya direndam beberapa jam, ada juga yang direndam sampai 7 hari 7 malam.

Metode pengoperasian bubu menurut FAO (1968) yang dikutip oleh Pramono (2006) meliputi :

1) Rigging atau pengikatan tali-temali

Proses ini berupa pemasangan tali-temali pada bubu terutama pemasangan pelampung tanda.


(37)

Proses ini adalah proses dipasangnya umpan yang digunakan untuk memikat ikan masuk kedalam bubu.

3) Pemasangan (setting)

Keberhasilan penangkapan ikan sangat bergantung pada lokasi penanempatan bubu. Adapun posisi penempatan bergantung pada jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan.

4) Lama perendaman (soaking time)

Lamanya perendaman bubu bergantung pada tingkah laku dari ikan sasaran penangkapan dan daya tahan umpan. Saat ikan sangat aktif mencari makan, maka lama perendaman hanya membutuhkan waktu beberapa menit.

5) Pengangkatan (hauling)

Proses pengangkatan (hauling) bubu dilakukan baik secara manual oleh nelayan maupun dengan menggunakan bantuan mesin line hauler. Setelah bubu diangkat, hasil tangkapan dipindahkan ke palka atau keranjang yang telah disiapkan sebelumnya.

Menurut Mariana (2006), terdapat 5 tahap pada pengoperasian bubu lipat, yaitu tahap persiapan, pencarian daerah penangkapan ikan, pemasangan bubu (setting), perendaman bubu (soaking), serta pengangkatan bubu (hauling).

1) Tahap persiapan

Tahap ini dilakukan sebelum operasi penangkapan berlangsung dan meliputi persiapan alat tangkap bubu cadangan, pemeriksaan kondisi kapal seperti pengecekan mesin dan pengisian bahan bakar, umpan dan perbekalan selama melakukan operasi penangkapan. Tahap ini dimulai sehari sebelum operasi penangkapan dilakukan, diantaranya mencari umpan, sehingga pada saat akan melaut hanya melakukan persiapan di atas kapal.

2) Tahap pencarian daerah penangkapan ikan

Tahap pencarian daerah penangkapan ikan umumnya dilakukan berdasarkan pada kebisaaan dan pengalaman nelayan dalam melakukan operasi peangkapan, umumnya lokasi pemasangan bubu berada pada perairan sekitar pantai terbuka yang dipengaruhi gelombang, kecepatan arus tidak terlalu besar, dasar perairan berupa pasir, pasir berlumpur dan lumpur.


(38)

Setelah sampai di daerah penangkapan, bubu diturunkan. Penurunan bubu lipat dimulai dengan menurunkan pemberat pertama, dilanjutkan penurunan bubu yang sudah dipasangi umpan dan sudah dirangkai dengan menggunakan sistem rawai, hingga penurunan pemberat kedua. Proses ini diakhiri dengan penurunan pelampung tanda. Pada saat penurunan bubu, mesin kapal tidak dimatikan dan kapal tetap berjalan dengan kecepatan rendah.

4) Tahap perendaman bubu (soaking)

Tahap perendaman merupakan tahap dimana bubu dibiarkan di dalam perairan selama 11-12 jam. Pada tahap ini target tangkapan yang masuk ke dalam bubu akan terperangkap di dalam bubu dan tidak dapat meloloskan diri. Pada saat bubu disetting, nelayan dapat meninggalkan fishing ground ataupun menunggu saat pengangkatan bubu. Sehingga pada tahap ini nelayan dapat melakukan aktivitas lain, baik melakukan operasi penangkapan dengan alat tangkap lain ataupun melakukan aktivitas selain bidang perikanan.

5) Tahap pengangkatan bubu (hauling)

Tahap terakhir yang dilakukan dalam pengoperasian bubu adalah tahap pengangkatan bubu. Proses pengangkatan bubu dimulai dengan pengangkatan pelampung tanda, pemberat kedua, bubu dan diakhiri pemberat pertama. Adapun pembagian kerja dari nelayan yang melakukan operasi pengangkatan (hauling) yaitu: satu orang nelayan bertugas mengangkat bubu dari perairan, satu orang nelayan lainnya mengambil hasil tangkapan dari dalam bubu untuk kemudian disimpan di tempat yang telah disediakan di atas kapal dan memasang umpan kembali serta merapikan bubu di dek kapal.

2.2.5 Daerah penangkapan bubu

Daerah penangkapan adalah semua tempat dimana ikan ada dan alat penangkap ikan dapat dioperasikan (Djatikusumo, 1975). Menurut Sainsbury (1986) bubu dapat diaplikasikan untuk menangkap hewan-hewan krustasea seperti lobster dan kepiting yang bergerak dengan menggunakan kakinya pada dasar perairan. Daerah penangkapan bubu adalah perairan yang mempunyai dasar perairan berlumpur maupun dasar pasir ataupun daerah berkarang tergantung ikan yang menjadi tujuan penangkapan.


(39)

Penentuan daerah penangkapan untuk perikanan bubu tidak seperti halnya menentukan daerah penangkapan untuk ikan pelagis besar seperti tuna dan ikan pelagis pada umumnya, dimana harus selalu memperhitungkan faktor oseanografi, kelimpahan plankton dan faktor lainnya yang berhubungan. Keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang dalam suatu daerah penangkapan ikan sangat penting untuk diketahui sebelum operasi penangkapan dilakukan . keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang di suatu perairan dapat diketahui dengan alat pendeteksi ikan (fish finder), berdasarkan pada data hasil tangkapan sebelumnya di suatu perairan, atau informasi daerah penangkapan dari instansi terkait (Martasuganda, 2008). Daerah penangkapan rajungan adalah wilayah pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Adapun menurut Ramdani (2007), daerah penangkapan rajungan adalah dasar perairan dengan kisaran kedalaman 6-16 m.

2.2.6 Nelayan

Nelayan adalah orang yang bermatapencaharian melakukan usaha penangkapan ikan. Berdasarkan waktu kerjanya, nelayan dikelompokkan menjadi dua, yaitu nelayan penuh dan nelayan sambilan. Nelayan penuh adalah nelayan yang menggunakan seluruh waktu kerjanya sebagai nelayan. Nelayan sambilan adalah nelayan yang sebagian waktu kerjanya sebagai nelayan disamping pekerjaan lain (UU no.31, 2004).

Menurut Direktorat Jendral Perikanan (2000), nelayan dikelompokkan kedalam 3 jenis yaitu nelayan penuh, nelayan sambilanan utama, serta nelayan sambilan tambahan. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk operasi penangkapan. Sedangkan nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan.

Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat di perairan bakau termasuk ke dalam nelayan penuh. Jumlah nelayan yang mengoperasikan bubu lipat berjumlah 1-3 orang. Pembagian tugas dalam pengoperasian bubu lipat adalah 1 orang


(40)

sebagai juru mudi, 1 orang menyiapkan alat dan umpan dan 1 orang lainnya sebagai penawur bubu.


(41)

3 METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan sejak tahun 2009 hingga April 2010 dengan pengambilan data penelitian berupa operasi penangkapan berlangsung pada bulan Maret-April 2010. Lokasi penelitian berada di perairan Desa Mayangan Kecamatan Legonkulon Kabupaten Subang Jawa Barat (Lampiran 1). Kegiatan operasi penangkapan dilakukan pada 5 stasiun yang berbeda (Lampiran 1).

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1. Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Bubu yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 30 unit, dengan rincian sebagai berikut :

(1) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di atas sebanyak 5 unit

(2) Bubu dengan bobot umpan 100 gram dan posisi pemasangan umpan di atas sebanyak 5 unit

(3) Bubu dengan bobot umpan 150 gram dan posisi pemasangan umpan di atas sebanyak 5 unit

(4) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di bawah sebanyak 5 unit

(5) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di bawah sebanyak 5 unit

(6) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di bawah sebanyak 5 unit

2) Satu unit perahu motor tempel dengan dimensi panjang 5m, lebar 1,5 meter, dalam 0,7 meter kekuatan mesin 16 PK;

3) Timbangan ukuran 5 kg untuk mengukur hasil tangkapan; 4) Kantong plastik untuk menampung hasil tangkapan;


(42)

6) Papan pengukur (measurement board) untuk mengukur panjang hasil tangkapan;

7) GPS (Global Positioning System) untuk melihat posisi daerah penangkapan; 8) Kamera digital untuk pembuatan dokumentasi penelitian;

9) Alat tulis;

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umpan berupa ikan rucah dengan bobot 50 gram, 100 gram, dan 150 gram.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Deskripsi alat yang digunakan

Alat tangkap yang digunakan untuk penelitian ini adalah bubu lipat berbentuk kotak dengan bentuk dan ukuran yang biasa digunakan oleh nelayan Desa Mayangan untuk menangkap rajungan. Bubu yang digunakan dalam penelitian ini memiliki dimensi p x l x t = 45 x 30 x 18 cm. Bubu lipat tersebut menggunakan rangka yan terbuat dari besi berdiameter 0.35 cm. Selanjutnya bubu ditutup dengan menggunakan jaring polyethilene multifilament dengan mesh size berukuran 1.5 x 1.5 cm. Spesifikasi bubu lipat yang digunakan dalam penelitian secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun desain dan konstruksi bubu lipat serta foto bubu yang digunakan sealama penelitian ini dapat dilihat secara detil pada Gambar 14 dan Gambar 15.

Tabel 2 Spesifikasi teknis bubu lipat

No Spesifikasi teknis Bubu Lipat

1 Bahan

-Rangka

-Diameter rangka

Besi Ø 0.35 cm

-Badan jaring PE multifilament

-Mulut PE multifilament

2 Mesh Size 1.5 x 1.5 cm


(43)

Bubu lipat

Mulut bubu Keterangan :

a : Rangka bubu b : Badan jaring c : Mulut bubu d : Engsel


(44)

Gambar 14 Desain dan konstruksi bubu yang digunakan selama penelitian.

Bubu tampak depan Bubu tampan samping

Gambar 15 Bubu lipat yang digunakan dalam penelitian.

3.3.2 Metode pengoperasian bubu 1) Sistem pengoperasian bubu

Pengoperasian bubu lipat dilakukan sebanyak 10 trip yang dilakukan setiap hari secara berturut-turut selama sepuluh hari dan pada tiap trip penangkapan dilakukan satu kali operasi penangkapan. Operasi pemasangan bubu dilakukan pada sore hari sedangkan pengangkatan bubu (hauling) dilakukan pada pagi keesokan harinya. Dengan demikin lama perendaman (soaking time) bubu adalah ±15 jam. Pengoperasian bubu dilakukan dengan sistem tunggal pada kedalaman 1-5 meter.

Bubu yang akan dioperasikan dipasang pada 5 (lima) stasiun yang terpisah secara berselang-seling antara bubu yang menggunakan berbagai jenis bobot dan posisi umpan. Jumlah bubu yang dioperasikan pada tiap stasiun berjumlah 6 buah yang masing-masing dipasangi umpan dengan bobot dan posisi yang berbeda. Adapun lokasi pemasangan bubu ditandai dengan pelampung tanda yang terbuat dari busa dan diikat pada tiap bubu. Untuk lebih memperjelas pola pemasangan bubu, maka rancangan pemasangan bubu lipat pada tiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 16.


(45)

Keterangan:

A = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 50 gram B = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 100 gram C = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 150 gram D = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 50 gram E = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 100 gram F = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 150 gram

Gambar 16 Rancangan pemasangan bubu lipat di perairan.

2) Cara pemasangan umpan

Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan berupa bobot dan posisi pemasangan umpan yang berbeda pada tiap bubu. Bobot umpan yang digunakan dalam penelitian yaitu 50 gram, 100 gram, dan 150 gram. Adapun bobot umpan yang biasa digunakan oleh nelayan bervariasi antara 80-100 gram. Posisi umpan dipasang pada dua tempat yang berbeda yaitu di bagian pengait umpan (di atas) dan di letakkan di dasar bubu (di bawah). Untuk lebih memperjelas maka cara pemasangan umpan pada bubu dapat dilihat pada Gambar 17.


(46)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Keterangan :

a = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 50 gram b = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 100 gram c = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 150 gram d = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 50 gram e = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 100 gram f = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 150 gram


(47)

3.3.3 Metode pengumpulan data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini dikelompokkan atas data primer dan data sekunder. Data perimer yang dikumpulkan meliputi jumlah, jenis dan ukuran hasil tangkapan. Untuk hasil tangkapan jenis kepiting dilakukan penghitungan jumlah individu dan pengukuran panjang karapas, lebar karapas, berat, dan identifikasi jenis kelamin. Jenis kelamin pada rajungan jantan dan rajungan betina dapat dibedakan dari bentuk abdomennya. Rajungan jantan memiliki abdomen berbentuk segitiga yang meruncing, sedangkan pada rajungan betina memiliki abdomen berbentuk segitiga yang melebar (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Adapun pada hasil tangkapan berupa udang dilakukan penghitungan jumlah individu, pengukuran panjang karapas dan berat, untuk hasil tangkapan berupa ikan dilakukan penghitungan jumlah individu, pengukuran panjang total, dan berat.

Panjang karapas rajungan diukur dari duri frontal hingga tepi bawah abdomen, sedangkan lebar karapas diukur dari ujung duri marginal terakhir sebelah kiri hingga ujung duri marginal terakhir sebelah kanan. Panjang karapas pada udang diukur dari bagian pangkal cephalothorax hingga ujung rostrum. Adapun panjang total pada ikan diukur dari bagian ujung kepala hingga bagian ujung ekor. Pengukuran panjang karapas dan lebar karapas pada rajungan dapat dilihat pada Gambar 18, pengukuran panjang karapas pada udang dapat dilihat pada Gambar 19, dan pengukuran panjang total tubuh ikan dapat dilihat pada Gambar 20.


(48)

Keterangan :

CW : Lebar karapas CL : Panjang karapas

Sumber : www.anima.net.au/illustrations_crustaceans.htm (2008) Gambar 18Contoh pengukuran rajungan

Keterangan :

CL : Panjang karapas

Sumber: http://iodeweb2.vliz.be.htm(2010) Gambar 19Contoh pengukuran udang.


(49)

Keterangan : TL : Panjang Total

Sumber: Randall (2006) Gambar 20Contoh pengukuran ikan.

Data sekunder yang diperlukan pada penelitian ini berupa data keadaan wilayah Desa Mayangan, kependudukan, alat penangkapan ikan, keadaan ekonomi dan mata pencaharian penduduk, jumlah armada, serta hasil tangkapan ikan yang diperoleh. Data tersebut diperoleh melalui data statistik perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, Jawa Barat dan Laporan Tahunan Koperasi Mandiri Mina Saluyu Mulya.

3.4 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Kaidah yang harus dipenuhi pada RAK adalah adanya pengamatan pada dua kriteria. Adapun dua kriteria yang diamati adalah posisi umpan serta bobot umpan. Posisi umpan dinyatakan sebagai kelompok, sedangkan bobot umpan yang berbeda dinyatakan sebagai perlakuan. Bahan percobaan dibagi menjadi beberapa grup atau kelompok sedemikian rupa sehingga petak atau satuan yang menyusun suatu kelompok tertentu adalah homogen. Setiap kelompok menyusun sebuah ulangan bagi perlakuannya. Perlakuannya diberikan pada satuan-satuan di dalam setiap kelompok. Adapun model RAK tersebut adalah sebagai berikut (Walpole 1982):


(50)

yij =

μ

+

τ

i +

β

j +

ij

Keterangan :

y

ij = Pengamatan pada perlakuan ke i pada kelompok ke j

μ

= Rataan umum populasi

τ

i = Pengaruh perlakuan ke-i

β

j = Pengaruh kelompok ke-j

ij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

Data hasil penelitian ini kemudian diolah dengan menggunakan statistika non-parametrik, adapun uji non-parametrik digunakan karena data hasil penelitian ini tidak menyebar seraca normal. Uji non-parametrik yang digunakan untuk mengolah data berdasarkan posisi umpan adalah uji Mann-Whitney, sedangkan uji non-parametrik yang digunakan untuk mengolah data berdasarkan posisi dan bobot umpan adalah uji Friedman. Untuk proses pengolahan data hasil penelitian digunakan software microsoft excel dan SPSS 12. Bila hasil uji Friedman yang diperoleh berbeda nyata maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut perbandingan berganda. Rumus uji lanjut perbandingan berganda adalah sebagai berikut :

(

(

1))

6

bp p

D

z

+

Keterangan :

|D|

= Harga mutlak selisih nilai total rank dari dua perlakuan

z

= Nilai distribusi z pada suatu nilai α tertentu

b

= Banyaknya blok

p

= Banyaknya perlakuan

Selanjutnya data berupa spesies hasil tangkapan akan dianalisis dengan menggunakan index Shanon Wiener untuk melihat keragaman spesies. Keragaman spesies hasil tangkapan akan digunakan untuk melihat variasi hasil tangkapan tiap bubu. Rumus untuk mencari keragaman spesies menggunakan index Shannon Wiener adalah sebagai berikut (http://en.wikipedia.org/wiki/Shannon_index) :


(51)

H’ =

(

Pi

) (ln

.Pi

)

Keterangan :

H’ : Index diversitas Shannon Wiener

Pi : Proporsi spesies terhadap total hasil tangkapan s : Jumlah spesies

Jika : H’ memiliki nilai yang lebih besar maka spesies bervariasi (tidak ada Dominansi

Untuk melihat perbedaan jenis kelamin hasil tangkapan dengan menggunakan perlakuan yang berbeda, maka dilakukan uji Chi-Square. Uji ini nantinya akan digunakan untuk melihat perbedaan kebiasaan makan antara rajungan jantan dan rajungan betina. Adapun model matematika Chi-square adalah sebagai berikut:

Keterangan :

X² = Nilai Chi-Square o = Nilai yang diamati e = Nilai yang diharapkan


(52)

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang

Kabupaten Subang terletak antara 1070 31’ – 1070 54’ BT dan 60 11’ – 60 30’ LS. Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan dan 243 desa (Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1999). Dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang, empat kecamatan terletak di wilayah pesisir yaitu Blanakan, Legonkulon, Pusakanegara, dan Pamanukan. Secara administratif, Kabupaten Subang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

• sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung • sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

• sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang • sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta

Luas wilayah Kabupaten Subang adalah 205.176,95 Ha atau 6,34% dari luas Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian tempat antara 0-1500 m dpl. Dilihat dari topografinya, Kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam tiga zona daerah yaitu (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003):

1) Daerah pegunungan dengan ketinggian 500-1500 m dpl di atas permukaan laut dengan luas wilayah 41.035,09 Ha atau 20% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang,

2) Daerah bergelombang atau berbukit dengan ketinggian 50-500 m dpl dengan luas wilayah 71.502,16 Ha atau 34,85% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang,

3) Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0-50 m dpl dengan luas wilayah 92.639,7 Ha atau 45,15% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang.

Apabila dilihat dari kemiringan lahan, maka tercatat bahwa 80,80% wilayah Kabupaten Subang memiliki kemiringan 00-170, sedangkan sisanya memiliki kemiringan di atas 180. Secara umum Kabupaten Subang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per tahun 2.117 mm dengan jumlah hari hujan 90 hari. Kondisi iklim tersebut ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya


(53)

aliran sungai, sehingga menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian.

Wilayah Kabupaten Subang memiliki panjang garis pantai kurang lebih 68 km yang meliputi 4 (empat) wilayah kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Kecamatan Pamanukan, Kecamatan Legonkulon dan Kecamatan Pusakanagara.

Desa Mayangan berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Legonkulon. Desa Mayangan merupakan salah satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Legonkulon. Desa ini terletak di bagian paling utara dari Kecamatan Legonkulon. Secara geografis Desa Mayangan terletak pada koordinat 60 11’ LS serta 1070 31’ dan 1070 54’BT. Secara administratif Desa Mayangan berbatasan dengan Desa Tegal Urung di sebelah Barat, Desa Legon Wetan di sebelah Timur, Desa Legonkulon di sebelah Selatan, dan Laut Jawa di sebelah Utara. Desa Mayangan memiliki luas 678.37 Ha dan sebagian besar dari luas wilayahnya merupakan areal hutan mangrove yaitu seluas 290 Ha yang dimiliki oleh Perum Perhutani. Desa Mayangan memiliki dua buah sungai yaitu Sungai Citerusan di sebelah barat dan Sungai Cigadung di sebelah timur yang menjadikan perairan pantai Desa Mayangan cukup produktif.

4.2 Keadaan Perairan Kabupaten Subang

Suhu di perairan Subang rata-rata adalah 28,50C. Suhu air suatu perairan dipengaruhi oleh suhu udara atasnya yang kisarannya relatif stabil untuk daerah tropis. Kondisi umum pantai Utara Jawa Barat adalah berupa pantai yang landai dengan kemiringan antara 0,06 % hingga 0,4 %. Diperkirakan ada jarak rata-rata 4 km dari garis pantai kedalaman mencapai 5 m, kemudian jarak rata-rata 13 km dari garis pantai menjadi 10 m, dan jarak 21 km kedalaman mencapai 20 m. Kontur kedalaman kurang dari 5 m memperlihatkan kondisi yang relatif sejajar dengan garis pantai. Demikian juga pada kedalaman antara 5 – 10 m dan 10 - 20 m (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003).


(54)

4.2.1 Faktor klimatologi perairan pantai Kabupaten Subang

Perairan pantai Subang yang merupakan bagian dari sistem Laut Jawa sangat dipengaruhi oleh angin muson yang berkembang secara kuat di perairan ini. Di wilayah Laut Jawa munculnya periode musim Barat terjadi pada bulan Desember hingga Februari umumnya diikuti dengan adanya musim hujan. Adapun musim Timur terjadi pada bulan Juni - Agustus dengan adanya kemarau. Dalam musim Timur penguapan yang terjadi di laut lebih besar daripada curah hujannya. Kecepatan angin yang tinggi dan kelembaban yang relatif rendah menyebabkan penguapan lebih dari 100 mm/bulan.

Dari bulan Juni sampai Agustus energi yang diperlukan untuk penguapan tersebut melebihi dari energi yang tersedia dari radiasi matahari, sehingga menimbulkan defisit energi sekitar 5.700 cal/cm2, atau sebanding dengan pendinginan wilayah perairan sedalam 40 m dengan penurunan suhu perairan sekitar 1,4 0C. Pendinginan perairan dalam periode musim Barat bukan disebabkan oleh keseimbangan energi tersebut, tetapi dalam musim ini muson Barat berkembang sangat kuat dan dengan angin yang relatif kuat membawa massa udara dingin dan hujan ke wilayah Laut Jawa ini. Fluktuasi angin muson secara nyata berhubungan dengan fluktuasi suhu perairan.

Hasil pengamatan angin di wilayah pantai Mayangan dalam periode musim Peralihan (Mei) menunjukkan pada siang hari (jam 06.00 – 18.00) kecepatan angin berkisar antara 0 – 7 m/det, dan pada malam hari (jam 18.00 – 06.00) antara 0 – 3.5 m/det dengan arah angin dominan dari Timur, Timur Laut dan Barat Laut.

4.2.2 Karakteristik fisik perairan pantai Subang 1) Suhu dan salinitas perairan

Suhu dan salinitas di wilayah perairan pantai Subang berfluktuasi secara musiman yang dipengaruhi oleh dinamika perairan Laut Jawa. Secara umum fluktuasi suhu bulanan di Laut Jawa menunjukkan adanya dua suhu tertinggi (sekitar 28,7 0C) dan dua suhu terendah (sekitar 27,5 0C). Suhu tertinggi terjadi dalam periode musim peralihan yakni bulan Mei dan November. Adapun suhu terendah terjadi bulan Agustus dan Februari (puncak musim Timur dan Barat). Rata-rata suhu bulanan bervariasi antara 27,5 0C sampai 28,7 0C.


(55)

Rata-rata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa berkisar antara 31,5 0/00 –

33,7 0/00. Salinitas maksimum pertama (33,7 0/00 ) dan kedua (33,3 0/00) terjadi

pada bulan September dan November. Adapun salinitas minimum pertama (31,8

0

/00) dan kedua (31,3 0/00) terjadi masing-masing sekitar bulan Februari dan Mei.

Hasil pengukuran distribusi salinitas di beberapa muara sungai di wilayah pantai Subang menunjukkan bahwa jangkauan pengaruh rambatan pasang surut yang membawa massa air laut ke arah hulu sungai berkisar antara 1 km sampai 3,5 km. Rambatan pasang surut sungai Mayangan dapat mencapai 1,5 – 2,5 km.

2) Bathimetri perairan

Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Perairan dengan kedalaman kurang dari 5 m (disekitar Blanakan) memiliki gradien kedalaman sekitar 2,0027 dan 0,0054 yang berada di sekitar Pusakanagara. Adapun di perairan dengan kedalaman 5 - 10 m memiliki gradient kedalaman berkisar 0,00006 terdapat di sekitar Blanakan. Morfologi daratan pantainya terdiri dari pasir bercampur lumpur dan bahan organik, dengan jenis tanah gleisol hidrik. Pada pantai terdapat rawa-rawa dan vegetasi mangrove.

Umumnya kawasan pantai dipergunakan oleh masyarakat sebagai kawasan pemukiman, pertambakan, dan sebagainya. Pesisir pantai Kabupaten Subang banyak yang mempunyai muara sungai kecil, sehingga terdapat kemungkinan banyaknya jumlah pengendapan di muara sungai besar dan jenis substrat dasar berupa pasir.

3) Pasang surut

Pasang surut merupakan gerakan naik-turun dari muka air laut secara periodik yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik benda angkasa seperti bulan dan matahari. Jenis pasang surut yang terjadi di wilayah pantai Subang mengikuti pola pasang surut di Laut Jawa. Tipe pasang surut (pasut) Pantai Utara Jawa Barat sebagian besar termasuk dalam kategori campuran mengarah ke semidiurnal. Kategori pasut campuran adalah daerah pantai yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dengan ketinggian yang berbeda. Adapun pasut kategori semidiurnal adalah daerah pantai yang mengalami dua kali pasang dan dua kali


(1)

Hasil uji lanjut perbandingan berganda:

A50-A100 28 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A50-A150 15.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A50-B50 30 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A50-B100 22 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A50-B150 42.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A100-A150 12.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata A100-B50 2 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata A100-B100 6 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata

A100-B150 14.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A150-B50 14.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A150-B100 6.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata

A150-B150 27 ≥ 13.76305744 = beda nyata

B50-B100 8 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata B50-B150 12.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata


(2)

Lampiran 14

Uji lanjut perbandingan berganda sebaran CW rajungan pada posisi

dan bobot umpan berbeda

Lebar karapas rata-rata (mm)

CWA50 CWA100 CWA150 CWB50 CWB100 CWB150

103.97 58.5 95.82 74 77.9 72.02

105.4 80.65 50.37 75.41 85.43 71.83

103.97 80.65 95.82 73.23 79.13 71.83

103.97 72.7 90.13 73.23 85.43 71.83

87.5 56.9 83.38 37.45 83.44 71.83

103.97 86.3 95.82 73.23 67 71.83

119.01 80.65 78 96.04 80.3 71.83

103.97 84.02 97.3 73.23 103.7 71.83

103.97 98.5 122.02 83.25 94 80.97

103.97 107.6 62.5 73.23 98.01 62.5

Grading

CWA50 CWA100 CWA150 CWB50 CWB100 CWB150

6 1 5 3 4 2

6 4 1 3 5 2

6 4 5 2 3 1

6 2 5 3 4 1

6 2 4 1 5 3

6 4 5 3 1 2

6 4 2 5 3 1

6 3 4 2 5 1

5 4 6 2 3 1

5 6 1.5 3 4 1.5

sums 58 34 38.5 27 37 15.5

means 5.8 3.4 3.85 2.7 3.7 1.55

α

= 0.05

Z=

1.645

|D|

Z*sqrt(blok*perlakuan(perlakuan+1))/6

|D|

13.7630574


(3)

Hasil uji lanjut perbandingan berganda:

A50-A100 24 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A50-A150 19.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A50-B50 31 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A50-B100 21 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A50-B150 42.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A100-A150 4.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata A100-B50 7 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata A100-B100 3 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata

A100-B150 18.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata

A150-B50 11.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata A150-B100 1.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata

A150-B150 23 ≥ 13.76305744 = beda nyata

B50-B100 10 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata B50-B150 11.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata


(4)

Lampiran 15

Nilai Index Shannon-Wiener

Hasil tangkapan

Hasil tangkapan 50 gram Atas 50 Gram Bawah 100 Gram Atas 100 Gram Bawah 150 Gram Atas 150 Gram Bawah

Rajungan 5 8 7 12 12 5

Kepiting

Bakau 7 1 5 6 5 4

Kepiting

Batu 11 15 25 13 9 14

Kepiting

Bolem 1 2 7 3 0 10

Udang Peci 2 1 5 3 12 11

Ikan

Beloso 2 3 5 4 4 1

total 28 30 54 41 42 45

pi

pi 50 gram Atas 50 Gram Bawah 100 Gram Atas 100 Gram Bawah 150 Gram Atas 150 Gram Bawah

Rajungan 0.1785 0.2857 0.1296 0.2926 0.2857 0.1111

Kepiting

Bakau 0.25 0.0357 0.0925 0.1463 0.1190 0.0888

Kepiting

Batu 0.3928 0.5357 0.4629 0.3170 0.2142 0.3111

Kepiting

Bolem 0.0357 0.0714 0.1296 0.0731 0 0.2222

Udang Peci 0.0714 0.0357 0.0925 0.0731 0.2857 0.2444 Ikan

Beloso 0.0714 0.1071 0.0925 0.0975 0.0952 0.0222

ln(pi)

ln(pi) 50 gram Atas 50 Gram Bawah 100 Gram Atas 100 Gram Bawah 150 Gram Atas 150 Gram Bawah Rajungan -1.7227 -1.2527 -2.0430 -1.2286 -1.2527 -2.1972 Kepiting

Bakau -1.3862 -3.3322 -2.3795 -1.9218 -2.1282 -2.4203 Kepiting

Batu -0.9343 -0.6241 -0.7701 -1.1486 -1.5404 -1.1676

Kepiting

Bolem -3.3322 -2.6390 -2.0430 -2.6149 0 -1.5040

Udang Peci -2.6390 -3.3322 -2.3795 -2.6149 -1.2527 -1.4087 Ikan


(5)

pi x ln(pi)

pi x ln(pi)

50 gram Atas

50 Gram Bawah

100 Gram Atas

100 Gram Bawah

150 Gram Atas

150 Gram Bawah Rajungan -0.3076 -0.3579 -0.2648 -0.3596 -0.3579 -0.2441 Kepiting

Bakau -0.3465 -0.1190 -0.2203 -0.2812 -0.2533 -0.2151 Kepiting

Batu -0.3670 -0.3343 -0.3565 -0.3641 -0.3300 -0.3632

Kepiting

Bolem -0.1190 -0.1885 -0.2648 -0.1913 0 -0.3342

Udang Peci -0.1885 -0.1190 -0.2203 -0.1913 -0.3579 -0.3443 Ikan

Beloso -0.1885 -0.2393 -0.2203 -0.2270 -0.2239 -0.0845 index -1.5172 -1.3581 -1.5472 -1.6147 -1.5232 -1.5857

Indeks Shannon Wiener


(6)

Lampiran 16

Nilai Chi – square proporsi rajungan betina dan jantan pada bubu

dengan posisi dan bobot umpan berbeda

Chi-Square Test

Frequencies

Proporsi Rajungan Jantan dan Betina

Observed N Expected N Residual

Jantan 33 24.5 8.5

Betina 16 24.5 -8.5

Total 49

Test Statistics

Proporsi rajungan jantan dan betina

Chi-Square 5.898a

Df 1

Asymp. Sig. .015

a. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 24,5.