12 sekitar 13-16 jam untuk penggunaan waktu luang; b Curahan kerja wanita
nelayan secara bersama-sama dipengaruhi oleh upah, banyaknya anak, umur, pendidikan, dan status pekerjaan; c Wanita nelayan pengolah ikan kering
memiliki produktivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis usaha lainnya; d Keputusan untuk bekerja adalah atas kemauan sendiri.
8 “Women And Natural Resource Management: Illustrations From India And Nepal” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh B. Upadhyay dari
International Water Management Institute IWMI Gujarat dimuat dalam Natural Resources Forum Vol. 29 tahun 2005. Tujuan penelitian adalah untuk
menggambarkan peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam SDA dengan penekanan peran mereka dalam pengelolaan air, pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan. Teknik yang digunakan adalah partisipasi dengan menggunakan in-depth survey, focus group discussion dan
observasi–partisipasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan mengalahkan lelaki dalam hal keterlibatan mereka memanfaatkan dan
mengelola semua sektor yang diteliti. Namun, mereka menghadapi pengabaian dan penolakan pembagian yang sama dari keuntungan yang diperoleh dari
SDA tersebut. Hasil-hasil penelitian yang terdahulu menunjukkan bahwa kaum perempuan dari
komunitas nelayan banyak berperan di kegiatan domestik. Namun demikian, perempuan dari keluarga nelayan miskin juga terlibat dalam berbagai kegiatan
produktif dalam rangka menambah pendapatan rumahtangga.
1.7 Novelty
Kebaruan novelty dari penelitian ini terletak pada 1 Penggunaan kombinasi analisis gender GAP dan Moser, analisis Strengths,
Weaknesses, Opportunities and Threats SWOT dan pendekatan Analytical Hierarchy Process AHP.
a Gender Analysis Pathway GAP merupakan alat analisis pengarusutamaan gender PUG di tingkat kebijakan dan program
pembangunan kelautan dan perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan Dislutkan Kabupaten Subang;
13 b Analisis Moser merupakan alat analisis untuk perencanaan program
pembangunan dengan menganalisis masalah dan isu gender di tingkat rumahtangga komunitas perikanan;
c Analisis SWOT untuk menyusun strategi pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.
d Pendekatan AHP untuk membuat urutan prioritas program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.
Secara bersama-sama kombinasi analisis ini akan menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang
mengintegrasikan aspirasi, pengalaman dan masalah lelaki dan perempuan selaku pemangku kepentingan perikanan, dan selanjutnya akan menyusun
alternatif program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. 2 Pengembangan konsep pembangunan perikanan pantai yang dilandaskan atas
prinsip kesetaraan gender yang melibatkan pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan.
3 Obyek penelitian yang bersifat holistik mencakup masyarakat pesisir, kelembagaan pemerintah daerah Dislutkan, Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desakoordinator Forum Komunikasi, Konsultasi dan Koordinasi Gender Kabupaten Subang dan kelembagaan ekonomi KUD Mina, Bakul
Ikan di Kabupaten Subang.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan
Dalam Perpres No 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009 tercantum bahwa salah satu permasalahan yang menyangkut pembangunan sumberdaya
manusia SDM yang dihadapi Indonesia adalah kesenjangan pencapaian pembangunan antara lelaki dan perempuan RI 2005. Kondisi perempuan
Indonesia dibandingkan dengan lelaki pada tahun 2002 berdasarkan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Susenas 2002 BPS 2003 antara lain adalah sebagai
berikut: • Angka Partisipasi Sekolah penduduk APS usia sekolah 7-18 tahun adalah
80,67 persen perempuan banding 80,53 persen lelaki. • Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf: 12,69 persen
perempuan banding 5,85 persen lelaki. • Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK penduduk usia 15 tahun ke atas:
50,20 persen perempuan banding 85,60 persen lelaki. • Persentase penduduk perempuan yang menjadi kepala rumahtangga KRT:
12,44 persen perempuan banding 87,56 persen lelaki. Alat ukur yang digunakan dalam pembangunan SDM adalah HDI Human
Development Index atau IPM Indeks Pembangunan Manusia dan GDI Gender- related Development Index. HDI dan GDI mengukur pencapaian pembangunan
manusia dari dimensi dan indikator yang sama, tetapi GDI memperhitungkan kesenjangan pencapaian antara lelaki dan perempuan. Selisih yang semakin kecil
antara angka GDI dan HDI menyatakan semakin kecilnya kesenjangan gender. Dimensi dari pengukuran GDI dan HDI adalah kesehatan indikatornya usia
harapan hidup, pendidikan indikatornya melek aksara dan lamanya mengikuti pendidikan formal dan standar hidup layak Pendapatan Domestik Bruto per
kapita. Berdasarkan Human Development Report 2006, angka HDI Indonesia adalah 0,711 yang menempati peringkat ke 108 dari 177 negara. Angka GDI
Indonesia adalah 0,704 yang menempati peringkat 81 dari 140 negara UNDP 2006. Angka GDI yang lebih rendah dari angka HDI menunjukkan adanya
kesenjangan gender.
15 Ukuran lain dalam pembangunan pemberdayaan gender, disamping GDI,
adalah GEM Gender Empowerment Measured. Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004, angka GEM untuk Indonesia adalah 0,546 yang
menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur. Dimensi dari pengukuran GEM adalah partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang politik
indikatornya partisipasi perempuan di parlemen, partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang ekonomi indikatornya perempuan berposisi sebagai
legislator, pejabat tinggi, manajer, pekerja teknis dan profesional, dan kekuatan terhadap sumberdaya ekonomi indikatornya perempuan dalam angkatan kerja
dan rata-rata upah di sektor non-pertanian BPS-Bappenas-UNDP, 2004. Menurut Johansson 2004, “While GDI shows women’s capabilities, GEM shows
womens opportunities in economic and political life”. Pengertian gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara lelaki
dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat KPP 2002a. Jika pembagian peran lebih banyak merugikan salah satu pihak, maka akan timbul
masalah gender. Dalam ruang lingkup pembangunan, kaum perempuan banyak yang belum mendapat kesempatan untuk berpartisipasi seperti dalam kegiatan
pembinaan untuk pengembangan sumberdaya manusia SDM atau pengambilan keputusan. Menurut KPP 2002b, kesenjangan gender merupakan hambatan
utama bagi peningkatan kualitas SDM, perwujudan hak asasi manusia, pengembangan pembinaan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dengan
pemerataan. Semua ini merupakan kunci peningkatan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan dan pemanfaatan
serta penikmat hasil pembangunan. Gender, menurut Instruksi Presiden Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang
Pedoman Pengarusutamaan Gender PUG dalam Pembangunan Nasional, adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab lelaki dan
perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat RI 2000. Gender bukanlah kodrat dari ketentuan Tuhan.
Gender ini berkaitan dengan keyakinan bagaimana seharusnya lelaki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur,
ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada KPP 2002b.
16 Peran terkait dengan status yang keduanya merupakan konsep pokok dalam
struktur sosial. Status adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok dan dalam masyarakat Popenoe 1989 atau sekumpulan hak dan kewajiban Sunarto
2004. Status dibagi menjadi dua yaitu status yang tergariskan ascribed status dan status yang diperoleh dengan usaha sengaja achieved status. Status
tergariskan adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dasar keturunan atau yang dibawa sejak lahir, seperti jenis kelamin, tingkat umur dan kelahiran
dalam kelompok khusus; sedangkan status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dari kemampuan atau prestasi Koentjaraningrat
1986; Abdulsyani 1994; Sunarto 2004. Peran adalah tingkah laku yang diharapkan dari seseorang terkait dengan
kedudukannya Popenoe 1989; Abdulsyani 1994 atau suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai
dengan status yang dimilikinya Abdulsyani 1994. Peran adalah aspek dinamis dari status Abdulsyani 1994; Sunarto 2004. Berkembangnya suatu masyarakat
dan lancarnya roda kehidupan masyarakat karena anggota masyarakat tidak bertindak melampaui batas-batas peranannya; sebaliknya, kehidupan masyarakat
akan rusak jika anggota masyarakat berbuat melampaui atas peranannya atau tidak menyadari akan peranannya Kartasapoetra dan Kreimers 1987. Peran gender
adalah peran sosial yang dihubungkan dengan keadaan lelaki atau perempuan. Peran gender yang diharapkan ini diajarkan dan diperkuat melalui sosialisasi sejak
lahir Popenoe 1989. Dalam sosialisasi gender, agen penting yang berperan adalah keluarga, kelompok bermain teman bergaul, sekolah dan media massa
Popenoe 1989; Sunarto 2004. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan status antara lelaki dan
perempuan baik langsung berupa perlakuan atau sikap maupun tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun struktur masyarakat. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat
diskriminasi gender itu KPP 2002c; Fakih 2004 meliputi 1 Marjinalisasi perempuan yang mendeskripsikan rendahnya status
dan akses serta penguasaan seseorang terhadap sumberdaya ekonomi dan politik. Contoh: tidak adanya hak waris untuk kaum
perempuan di beberapa suku di Indonesia.
17 2 Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting atau utama dibanding lainnya. Contoh: anggapan bahwa perempuan itu emosional sehingga perempuan
tidak dapat memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
3 Pandangan stereotipi pelabelan yaitu citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang
ada. Pelabelan negatif secara umum melahirkan ketidakadilan. Contoh: anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah
melayani suami, sehingga pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.
4 Kekerasan yang merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Pelaku kekerasan
bermacam-macam, ada yang bersifat individu di lingkungan rumahtangga atau tempat umum, juga dalam masyarakat. Contoh:
pelecehan seksual yang bersifat non fisik hingga penyiksaan yang bersifat fisik.
5 Beban kerja yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Hampir 90 persen pekerjaan dalam rumahtangga
dikerjakan oleh perempuan, sehingga bagi perempuan yang bekerja akan memikul beban kerja ganda, di rumah dan di tempat
kerja. Pekerjaan domestik adalah jenis “pekerjaan perempuan” dan dikategorikan “pekerjaan bukan produktif” sehingga tidak
diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara.
Istilah gender terkait dengan istilah feminisme. Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan, di tempat kerja
dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut Bhasin dan Khan 1995; Fakih 2004. Fakih 2004
membagi aliran feminisme menjadi dua aliran besar dalam ilmu sosial yakni aliran fungsionalisme dan aliran konflik, sebagai berikut
1 Aliran fungsionalisme atau fungsionalisme struktural. Teori ini meyakini bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang
saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus-menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai
tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan. Teori ini mempengaruhi pemikiran feminisme liberal dan pengaruh feminisme liberal terwujud dalam
program Women In Development WID. Dasar pemikiran feminisme liberal Umar 2001; Fakih 2004; lihat Ritzer dan Goodman 2003 adalah semua
manusia, lelaki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok ini
18 menghendaki agar perempuan terintegrasikan secara total di dalam semua
peran, sehingga tidak ada kelompok gender yang lebih dominan. 2 Aliran konflik. Menurut Fakih 2004, teori konflik meyakini bahwa setiap
kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan lelaki dan perempuan.
Perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan mengubah posisi dan hubungan. Teori ini dianut oleh feminisme marxis, feminisme sosialis dan
feminisme radikal. Feminisme marxis memandang bahwa penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi.
Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme, dan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Feminisme sosialis
berusaha memerangi konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender. Feminisme sosialis
Ritzer dan Goodman 2003 mendeskripsikan penindasan gender sebagai sesuatu yang muncul dari usaha sistem patriarki dan kapitalis untuk
mengontrol produksi dan reproduksi sosial. Menurut Umar 2001, kelompok feminisme radikal memandang perempuan tidak harus bergantung kepada
lelaki. Aliran ini mengupayakan pembenaran rasional bahwa lelaki adalah masalah bagi perempuan.
Dalam rangka menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi kepada kaum perempuan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, Pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi pertama yang menyangkut kesetaraan dan keadilan gender yaitu Undang-undang UU No. 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Convention On The Elimination Of All Forms
Of Discrimination Against Women, CEDAW, selanjutnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional diterbitkan dalam rangka
mengimplementasikan UU No. 7 Tahun 1984 tersebut dan Beijing Platform for Action BPFA. BPFA merupakan hasil dari Konperensi Internasional Perempuan
Keempat yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1995 di Beijing. Salah satu hasil dari BPFA adalah pentingnya untuk mendisain, menerapkan dan memantau
kebijakan dan program pembangunan yang sensitif gender pada semua tingkatan yang akan membantu pemberdayaan dan kemajuan perempuan KPP 2002a;
19 Handayani dan Sugiarti 2002. Saat ini yang menjadi landasan pokok untuk
meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan adalah Peraturan Presiden Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional RPJMN 2004-2009. Belenggu budaya patriarkhi telah mengakibatkan perempuan tidak
menyadari proses diskriminasi dan subordinasi yang selama ini terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses pewacanaan konsep
kesetaraan dan keadilan gender pada semua warga, baik lelaki dan perempuan Dwi et al. 2002; Subhan 2002. Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000,
kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi lelaki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan
dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan;
sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap lelaki dan perempuan RI 2000.
Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender maka perlu dikembangkan kebijakan pembangunan yang responsif gender, yaitu kebijakan
yang memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan lelaki dan perempuan dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan
struktural dalam mencapai kesetaraan. Sesuai amanat Inpres No. 9 Tahun 2000 maka pembangunan di semua sektor perlu mengintegrasikan pendekatan gender
dalam kebijakan dan programnya dengan melalui strategi Pengarusutamaan Gender PUG. PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan
gender menjadi suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional. Tujuan PUG adalah untuk terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan
nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara RI 2000. Dengan demikian, melalui strategi PUG dapat dikembangkan kebijakan dan program yang responsif gender. Untuk
pembangunan di daerah, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Keputusan No. 132 Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
20 Pelaksanaan PUG Dalam Pembangunan Di Daerah Depdagri 2003; Depdagri
2004. Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 mengatur tentang pembentukan organisasi pelaksanaan PUG yaitu koordinator pelaksana, kelompok kerja dan
focal point PUG serta pembiayaan untuk pelaksanaan PUG sebesar lima persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD di wilayah masing-
masing. Faktor empiris menunjukkan masih adanya kelemahan dalam perencanaan
pembangunan yang belum mengakomodasi kepentingan dan aspirasi perempuan secara seimbang sehingga mengakibatkan potensi, posisi, peran, dan kedudukan
perempuan sering diabaikan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan KPP 2002b. Penyebab perempuan terisolir dari proses
pembangunan adalah karena: 1 beban ganda dimana perempuan melakukan pekerjaan domestik dan sekaligus mencari nafkah; dan 2 kebijakan
pembangunan tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dianggap sebagai kepala rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil dalam komunitas yang
lebih luas Krisnawaty 1993. Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan pembangunan berperspektif gender yang merupakan suatu upaya untuk
mentransformasikan PUG kedalam kegiatan nyata institusi sektor. Intinya adalah mengintegrasikan permasalahan diskriminasi terhadap lelaki dan perempuan
kedalam seluruh komponen perencanaan pembangunan yaitu kebijakan, program dan kegiatan, sehingga kepentingan, aspirasi dan kebutuhan peningkatan peran
dan partisipasi perempuan dan lelaki dalam pembangunan dapat diakomodasikan secara proporsional kedalam kepentingan dan tujuan pembangunan pada institusi
sektor KPP 2002d. Hal ini sesuai dengan pendapat Moser 1993, “The goal of gender planning is the emancipation of women from their subordination, and their
achievement of equality, equity and empowerment”. Perencana kebijakan menggunakan analisis gender untuk menilai dampak
kebijakan bagi perempuan dan lelaki atas program dan atau peraturan yang diusulkan dan dilaksanakan. Analisis gender mengakui bahwa realitas kehidupan
perempuan dan lelaki adalah berbeda, sedangkan kesempatan yang sama tidak harus berarti menghasilkan output yang sama KPP 2002b; Handayani dan
Sugiarti 2002. Analisis gender mengidentifikasi isu gender yang disebabkan oleh adanya perbedaan antara lelaki dan perempuan dalam:
21 1 memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya;
2 berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya pada pengambilan keputusan; dan
3 memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung dari kebijakan, program maupun kegiatan pembangunan KPP 2002d.
Metode analisis gender yang disebut dalam Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 adalah Gender Analysis Pathway GAP. GAP ini digunakan untuk
membantu perencana dalam melakukan PUG dalam perencanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan Depdagri 2003. GAP adalah suatu metode
analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang diperoleh lelaki dan perempuan dalam
program pembangunan KPP 2003. Metode analisis gender lainnya adalah Model Moser atau Teknik Analisis
Moser yang dibuat oleh Caroline O.N. Moser. Model Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi,
merumuskan usulan dalam tingkat kebijakan, program dan kegiatan yang lebih peka gender, dengan menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan,
identifikasi terhadap peranan gender perempuan produktif, reproduktif dan sosial kemasyarakatan dan identifikasi kebutuhan praktis-strategis gender Moser 1993;
Handayani dan Sugiarti 2002; KPP 2003. Regulasi di Indonesia sudah banyak yang mengarusutamakan gender dalam
pembangunan, namun regulasi saja tidak cukup, diperlukan komitmen untuk pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bemmelen 1995 yang
menyatakan bahwa persamaan hak di depan hukum jelas tidak menjamin kesetaraan de facto. Oleh karena itu, menurut Aguilar dan Castaneda 2001,
untuk mengejar tujuan pembangunan yang berkelanjutan, tiap orang mempunyai tanggungjawab dan kewajiban, dengan melakukan bersama semua tindakan yang
akan memungkinkan realisasi ubahan yang diusulkan. Jika orang yang berpartisipasi berada pada posisi yang subordinasi dan tertindas dipandang dari
sudut gender, usia, etnis, kelas atau kondisi sosial-ekonomi, agama, politik, hal ini akan sulit untuk mencapai persetujuan minimum yang dibutuhkan untuk
membawa mereka mengakui satu sama lain sebagai setara yaitu sebagai orang dengan kewajiban yang akan dibagi dan yang dapat dipercayai.
22 Program pembangunan secara formal seringkali dikuasai oleh lelaki dan
karena sumberdaya yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat hampir selalu dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial, ekonomi dan
politik yang lebih kuat maka adanya marjinalisasi terhadap peran perempuan dalam pengambilan keputusan sering diabaikan. Hal ini terjadi karena perempuan
memang jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat formal. Pelibatan perempuan ke dalam wacana yang bersifat pengaturan
sumberdaya kolektif di tingkat komunitas lokal masih belum banyak dibahas dalam pendekatan pembangunan. Padahal, isu pengaturan sumberdaya di tingkat
komunitas merupakan isu penting yang terkait langsung dengan kehidupan perempuan miskin Anonim, 2003.
Menurut Soetrisno 1993, kemiskinan dari sudut pandang perempuan berarti tidak hanya kekurangan ekonomis, tetapi juga penderitaan fisik maupun
pengorbanan dari kehormatannya sebagai perempuan seperti menjual dirinya sebagai perempuan. Menurut Hubeis 2004
“Kombinasi kendala ketiadaan akses pada unsur ekonomi, sosial, dan kekuasaan yang dihadapi oleh perempuan miskin menyebabkan
terjadinya peningkatan feminization of poverty. Sejak tahun 1970-an, jumlah perempuan di dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan
telah meningkat menjadi 50 persen dibanding dengan 30 persen lelaki. Lebih dari 70 persen dari 1.300 juta orang miskin saat kini adalah
perempuan. Untuk kasus Indonesia, keadaan tersebut tak jauh beda.”
Rumahtangga dalam isu gender dan kemiskinan merupakan salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. Ketidaksetaraan di dalam
alokasi sumberdaya dalam rumahtangga memperlihatkan lelaki dan perempuan mengalami bentuk kemiskinan yang berbeda Anonim 2003.
Pada tingkat dunia sudah ada satu komitmen internasional yang terkait dengan persoalan perempuan, kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan yaitu
The Millennium Development Goals MDGs. MDGs merupakan hasil komitmen The Millenium Declaration, yaitu suatu konsensus global dari 189 negara anggota
PBB termasuk Indonesia yang lahir pada tahun 2000. Delapan komitmen kunci yang dikemukakan dalam MDGs
UNIFEM and BMZ 2004 sebagai berikut 1 Eradicate extreme poverty and hunger
2 Achieve universal primary education 3 Promote gender equality and women’s empowerment
4 Reduce child mortality
23 5 Improve maternal health
6 Combat HIVAIDS, malaria and other diseases 7 Ensure environmental sustainability
8 Develop a global partnership for development.
Dari delapan komitmen MDGs, enam komitmen pertama berhubungan langsung dengan kondisi dan kebutuhan perempuan yang perlu ditangani serta memberikan
berbagai bentuk partisipasi kepada perempuan untuk berkiprah dalam pembangunan, sedangkan dua komitmen lainnya terkait dengan pembangunan
berkelanjutan. Menurut OECD 1996, perempuan termasuk pelaku kunci dalam pengelolaan lingkungan yang terkait dengan peran mereka yang menonjol sebagai
pengguna utama sumberdaya untuk keperluan rumahtangga mereka. Penguatan posisi perempuan melalui intervensi pembangunan dapat membawa kemajuan
pembangunan yang lebih berkesetaraan dan pada gilirannya mempertinggi harapan untuk menyuarakan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
2.2 Pembangunan Perikanan Pantai 2.2.1 Kebijakan dan program pembangunan perikanan Indonesia