Pembentukan Pemerintahan Persatuan Nasional pada Pemilu 2014
A. Pembentukan Pemerintahan Persatuan Nasional pada Pemilu 2014
Setelah menyelenggarakan 2 kali pemilihan umum secara berkala, yaitu pada 2004 dan 2009, Afghanistan kemudian melaksanakan pemilihan umum ketiga pada 2014. Pemilihan ini diharapkan akan mengantarkan Afghanistan menuju proses demokratisasi selanjutnya, yakni konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi bertujuan untuk membangun rezim demokratis yang kuat dan melembaga setelah runtuhnya rezim otoriter.
Pemilihan Umum 2014 sebagai pemilu ke tiga setelah jatuhnya rezim Taliban memang menjadi harapan terbesar bagi masyarakat Afghanistan untuk menyeleksi pemimpin yang memang benar-benar berkualitas dengan melibatkan seluruh kepentingan masyarakat, sehingga wajar apabila semua pihak menaruh harapan bahwa pemilu 2014 ini akan jauh lebih mapan dan lebih baik dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Terbukti, tingkat partisipasi pemilih Afghanistan cukup menggembirakan. Masyarakat terlihat mulai merespons positif
akan perlunya berdemokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 95 Lebih dari 60% dari sekitar 13.5 juta penduduk Afghanistan yang memiliki
hak pilih menggunakan hak politik mereka dalam pemilu 5 April 2014. Menurut Sekretaris Pemilu, Zia-ur-Rahman, partisipasi pemilih tersebut melampaui
95 Metro Tv News, “Pemilu Afghanistan Banjir Pujian”, artikel ini diakses dari http://m.metrotvnews.com/read/2014/04/06/227179/pemilu-afghanistan-banjir-pujian pada
28 Februari 2017.
harapan. Delapan calon presiden yang bertarung untuk menggantikan Hamid Karzai pun tampak arif, tidak mengumbar pernyataan yang bisa memanas-manasi
situasi politik keamanan. 96 Adapun ke-8 di antaranya adalah Abdullah Abdullah, Mohammad Ashraf Ghani Ahmadzai, Zalami Rassould, Abdul Rasoul Sayyaf,
Qutbuddin Hilal, Hidayat Amin Arsala, Mohammad Daoud Sultanzai dan Gul Agha Sherzai. 97
Namun, jika dilihat dari sepak terjang dan kredibilitas calon, hanya ada dua tokoh yang paling berpengaruh di Afghanistan dan menonjol secara internasional. Kedua calon terkuat kandidat adalah mantan Menteri Luar Negeri, Abdullah Abdullah dan mantan Ahli Ekonomi World Bank sekaligus mantan Menteri Keuangan, Mohammad Ashraf Ghani Ahmadzai. Sosok Abdullah Abdullah dipandang sebagai calon yang relatif liberal dan sangat menjunjung tinggi hak-hak perempuan, sedangkan Mohammad Ashraf Ghani Ahmadzai dikenal sebagai sosok yang tidak sabar, berapi-api tetapi juga menjadi sangat detail.
Hasil sementara pemilihan Presiden Afghanistan pada 5 April 2014 menunjukkan suara Abdullah Abdullah mengungguli Mohammad Ashraf Ghani dengan memperoleh suara sebesar 45%, sementara Mohammad Ashraf Ghani dari Partai Independen memperoleh 31.56% suara. Kemudian Zalmai Rassoul berada pada peringkat ketiga dengan memperoleh 11.37%, disusul oleh Abdul Rasul Sayyaf dengan 7.04%, Qutbuddin Hilal yaitu 2.75%, Gul Agha Sherzai dengan
96 Suara Merdeka, “Menyemaikan Damai di Afghanistan”, artikel ini diakses dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/04/14/258670/Menyemaikan-Damai-
di-Afghanistan pada 28 Februari 2017. 97 Berita Daerah, “Para Calon Presiden Afghanistan Ikut Debat Pemilu Presiden”, artikel ini
diakses dari http://beritadaerah.co.id/2014/02/06/para-calon-presiden-afghanistan-ikuti-debat- pemilu-presiden/ pada 18 Februari 2017.
1.57%, Mohammad Daoud Sultanzan dengan 0,46% dan Hidayat Amin Arsala dengan 0.23%.
Tabel IV.1. Hasil Perolehan Suara Pemilu 2014 Putaran Pertama
Calon Kandidat
Partai
Suara Persen (%)
Abdullah Abdullah
2.084.547 45% Mohammad Ashraf Ghani
Independen
Koalisi Afghanistan 2.972.141 31.56% Zalmai Rassoul
750.997 11.37% Abdul Rasul Sayyaf
Independen
465.207 7.04% Qutbuddin Hilal
Dakwah Islam
181.827 2.75% Gul Agha Sherzai
30.685 0.46% Sultanzan Hidayat Amin Arsala
Daoud Independen
15.506 0.23% Sumber: http://www.fpri.org/2014/06/afghan-presidential-election-second-round-opinion-
Independen
survey-findings/
Hasil perolehan suara pemilu presiden 2014 pada putaran pertama di atas menunjukkan bahwa partai politik di Afghanistan tidak memiliki pengaruh yang kuat dalam memenangkan kontestasi politik di Afghanistan dewasa ini. Terlihat dari mayoritas calon kandidat yang berasal dari non-partai (independen) justru memperoleh dukungan yang besar dari masyarakat Afghanistan.
Kurangnya persaingan di antara partai politik di setiap penyelenggaraan pemilu di Afghanistan mengindikasikan bahwa partai politik tidak mempunyai daya tarik bagi masyarakat Afghanistan. Dalam hal ini, akses perorangan untuk Kurangnya persaingan di antara partai politik di setiap penyelenggaraan pemilu di Afghanistan mengindikasikan bahwa partai politik tidak mempunyai daya tarik bagi masyarakat Afghanistan. Dalam hal ini, akses perorangan untuk
Perubahan ini disebabkan oleh cara pandang mereka melihat partai politik yang mana selalu identik dengan pemerintahan komunis di masa lalu. Selain itu, terdapat kekhawatiran bagi masyarakat Afghanistan bahwa partai politik merupakan organisasi yang memiliki kemungkinan untuk memecah belah suatu
etnis. 98 Akan tetapi, saat ini perkembangan partai politik mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, meskipun kenyataannya partai
politik di Afghanistan belum mampu berjalan sebagaimana mestinya.
Hal ini selaras dengan yang diutarakan oleh Mohammad Salim, yakni: 99 “ Yet little research to date has focused on how Afghan parties generally are
evolving, but Afghanistan still needs political movements tied to ideas and governing principles rather than ethnicity or individuals. To be sure, Afghans should choose how to organize, who to lead parties, what reviews their platform should be, and so forth. ”
Artinya, tidak sedikit penelitian yang mengungkapkan bahwa partai politik di Afghanistan mengalami kemajuan, namun Afghanistan masih membutuhkan aksi politik yang mampu mengesampingkan antara kepentingan politik dan etnis. Seperti yang juga dibenarkan oleh Hamidullah Husaini, bahwa masyarakat Afghanistan pada umumnya masih dibatasi oleh permasalahan etnisitas. Hal ini dikarenakan Afghanistan merupakan negara tradisional, yang mana agama
memiliki peranan penting. 100
98 Sarah Chayes, The Punishment of Virtue: Inside Afghanistan After the Taliban, (New York: Penguin Books, 2006), h. 168-170.
99 Hasil Wawancara dengan Mohammad Salim pada 13 Maret 2017. 100 Hasil Wawancara dengan S. Hamidullah Husaini pada 20 Februari 2017.
Larry Diamond berpandangan bahwa salah satu indikator utama menuju demokrasi terkonsolidasi diperlukan kelembagaan partai politik sebagai esensi
demokrasi. 101 Pandangan ini sejalan dengan Richard S. Katz yang berpendapat tentang posisi partai politik sebagai institusi paling esensial dan inti dari
pemerintahan demokrasi. 102 Kualitas demokrasi sesungguhnya bergantung pada kualitas partai, keberlangsungan fungsi-fungsi partai akan menentukan wajah
demokrasi. Buruk wajah partai, buruk pula kualitas demokrasi, sebaliknya baik wajah partai baik pula kinerja demokrasi.
Selain itu, menurut Saiful Mujani, agar demokrasi terkonsolidasikan, warga negara diharapkan menjadi seorang yang setia, yakni yang tertarik pada politik dan percaya pada institusi politik. Kepercayaan masyarakat yang lemah terhadap partai politik akan menyebabkan demokrasi juga melemah, dari sini partai politik
harus memainkan peranan-peranan dan fungsi-fungsinya yang strategis. 103 Sementara itu, pandangan yang berbeda disampaikan Frans Beker dan Rene
Cuperus, menurutnya meluasnya konsolidasi demokrasi tidak senantiasa berjalan secara linier dengan menguatnya peran partai politik sebagai lembaga intermediasi kepentingan antara rakyat dan pemerintah. Karena melihat realita yang ada di sejumlah negara, partai politik bahkan mulai digantikan perannya oleh organisasi-
101 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru , (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 221-222.
102 Richard S. Katz, Democracy and Elections, (New York: Oxford University Press, 1997), h. 144.
103 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca -Orde Baru , (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 323.
organisasi mediasi yang menjadikan dirinya sebagai perantara opini antara masyarakat dan negara. 104
Selanjutnya pemilihan umum presiden putaran kedua diselenggarakan pada
14 Juni 2014. Para pemilih akan menentukan Presiden Afghanistan antara Abdullah Abdullah dan Mohammad Ashraf Ghani. Ketua Komisi Independen Pemilu Afghanistan (KIP), Muhammad Yusuf Nuristani mengkonfirmasikan telah melakukan sosialisasi pemilu di berbagai wilayah, khususnya di kawasan terpencil Afghanistan. Mengingat banyak pihak telah memprediksikan tingkat partisipasi masyarakat Afghanistan akan menurun pada pemilu putaran kedua, dikarenakan pelaksanaan pilpres pada putaran kedua akan bersamaan dengan pemilu anggota
dewan provinsi yang diperkirakan dapat mempengaruhi jumlah suara. 105 Selain itu, terdapat masalah lain yang juga menjadi bahan pertimbangan
sejumlah kelompok politik pada pelaksanaan pilpres putaran kedua, yaitu masalah keamanan, sikap Taliban dan kemampuan pemerintah Kabul dalam menggelar pemilu. Hamid Karzai, di akhir masa jabatannya saat itu berencana akan menunjukkan rapor kerja yang baik dalam menyukseskan pelaksanaan pilpres tanpa campur tangan pihak asing. Atas dasar hal itu, Hamid Karzai mendorong para kandidat pilpres pada putaran pertama untuk menentukan wakil mereka dari berbagai kelompok, partai dan etnis, serta membantu meningkatkan antusasis masyarakat Afghanistan dalam berpartisipasi pada pemilu.
Meskipun dibayang-bayangi oleh teror kelompok Taliban yang mengancam akan mensabotase proses pemilihan umum presiden 2014, pemilihan umum tetap
104 Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 2-3.
105 Iran Indonesian Radio, “Afghanistan Menjelang Piplres”.
diselenggarakan. Ancaman ini rupanya tidak mempengaruhi mindset masyarakat Afghanistan. Mereka ingin dilibatkan dalam menentukan masa depan Negara Afghanistan. Mereka yakin bahwa demokrasi merupakan satu-satunya jalan keluar untuk menjauhkan Afghanistan dari konflik yang berkepanjangan, dan partisipasi politik merupakan solusi untuk kehidupan berpolitik di Afghanistan, bukan kekerasan ataupun terorisme.
Situasi tersebut menunjukkan keyakinan masyarakat Afghanistan terhadap penyelenggaraan demokrasi di negara mereka. Dalam konteks inilah konsolidasi demokrasi mampu terlaksana, mengingat esensi dari konsolidasi demokrasi adalah legitimasi; pertumbuhan keyakinan di antara para elit dan warga negara dari partai politik, kepentingan, etnisitas dan ideologi, bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik dan bahwa aturan-aturan yang disediakan di dalamnya
merupakan satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan. 106 Hal serupa disampaikan oleh Juan J. Linz, menurutnya demokrasi menjadi
“ the only game in town ” (satu-satunya aturan yang berlaku). Keyakinan akan demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam situasi politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun. 107 Semakin tinggi keyakinan semua pihak bahwa
demokrasi adalah satu-satunya jembatan untuk menggapai kesejahteraan, semakin terkonsolidasi demokrasi suatu negara. Sebaliknya, demokrasi berada dalam ancaman ketika semakin banyak aktor yang luntur kepercayaannya terhadap demokrasi dan kemudian memiliki skenario lain yang berlawanan dengan arus demokratisasi.
106 Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolida tion, h. 23.
Juan J. Linz, Defining Crafting Democratic Transition, Constitutions, and Consolidation , h. 27.
Menurut Hamidullah Husaini, pemuda yang berpendidikan di Afghanistan memiliki pandangan yang hampir sama mengenai demokrasi. Ia menilai bahwa setiap negara yang beragam seperti Afghanistan tidak memiliki pilihan lain selain demokrasi, dan demokrasi yang dimaksudkan di sini adalah demokrasi yang ikut serta dalam setiap penyelenggaran pemilihan umum, persamaan derajat khususnya bagi kaum minoritas. Menurutnya, semuanya tergantung pada perspektif masing masing, apabila demokrasi mampu bekerja dengan baik, masyarakat tentu akan
memilihnya. 108 Dalam hal ini, terdapat tiga asumsi yang dijadikan dasar pegangan
keyakinan sehingga demokrasi memiliki citra yang positif. Pertama , demokrasi tidak saja merupakan bentuk terbaik pemerintahan, tetapi juga merupakan suatu doktrin politik yang akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara. Kedua , demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan, dianggap mempunyai akar kesejarahan yang amat panjang, sehingga telah teruji sebagai suatu sistem yang stabil dan baik dalam suatu negara. Ketiga , demokrasi dipandang sebagai suatu sistem yang paling alami dan manusiawi, sehingga semua rakyat di negara manapun akan memilih demokrasi, bila mereka diberi kebebasan untuk
menentukan pilihannya. 109 Hasil pemilihan umum presiden 2014 pada putaran kedua telah menggeser
perolehan suara yang diperoleh Abdullah Abdullah pada pemilu putaran pertama. Komisi Independen Pemilu (KIP) mengumumkan bahwa Mohammad Ashraf Ghani terpilih sebagai pemenang pemilu Presiden Afghanistan dengan berhasil
108 Hasil Wawancara dengan S. Hamidullah Husaini.
H.A. Chozin Chumaidy, Etika Politik dan Esensi Demokrasi: Jejak Pemikira n Demokratisasi Politik Indonesia , (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006), h. 10-11.
menghindari kebencian di antara pendukung Abdullah. 110 Tentu hal tersebut menimbulkan tanda tanya bagi pihak pendukung
Abdullah Abdullah. Tidak adanya transparansi dalam pemberitahuan hasil perolehan suara oleh Komisi Independen Pemilu (KIP) menjadi perdebatan yang panjang. Perselisihan mengenai pemilu yang bertujuan mengganti presiden Hamid Karzai telah membuat situasi politik Afghanistan menjadi tidak stabil. Baik Mohammad Ashraf Ghani maupun Abdullah Abdullah mengklaim menang dalam pemilihan umum presiden 2014.
Pemberitahuan hasil pemilu merupakan mandat dari komisi pemilu, yang mana Komisi Independen Pemilu (KIP) idealnya menyebutkan hasil akhir dari penyelenggaraan pemilu, yakni pemenang pemilu, perolehan suara yang diperoleh setiap kandidat, serta partai yang unggul, sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Hal ini akan membantu untuk meningkatkan kepercayaan terhadap proses pemilu, menghindari persoalan yang akan memunculkan kecurigaan bahwa hasil pemilu dimanipulasi, serta sebagai jaminan terhadap integritas dan transparansi dari lembaga penyelenggaraan pemilu di Afghanistan, yakni Komisi Independen Pemilu (KIP).
Dalam suatu negara demokrasi, peranan lembaga penyelenggara pemilu merupakan salah satu persyaratan penting untuk mencapai pemilu yang
110 Viva, “KPU Umumkan Mohammad Ashraf Ghani Pemenang Pilpres”, artikel ini diakses dari
http://www.viva.co.id/prancis2016/read/542425-kpu-afghanistan-umumkan-ashraf-ghani- pemenang-pilpres pada 3 Maret 2017.
demokratis. 111 Maka dari itu, efektif atau tidaknya fungsi-fungsi kelembagaan negara, salah satunya lembaga penyelenggara pemilu, sangat menentukan kualitas
sistem mekanisme demokrasi yang dikembangkan oleh suatu negara. Seluruhnya sangat bergantung pada kemampuan Independen Pemilu (KIP) untuk dapat beroperasi secara transparan, sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap badan yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemilu.
Dalam hal ini, jika ada kesan bahwa badan tersebut tidak kompeten, tidak netral secara politik, tidak memiliki sumber daya yang cukup, korup, tidak mampu melawan aktor-aktor kuat yang berusaha untuk menggagalkan pemilu, atau tidak dapat menjalankan pemilu dengan cara yang menjamin bahwa pemilu tersebut bebas dan adil, maka hal ini akan secara signifikan melemahkan kepercayaan
publik terhadap demokrasi. 112 Namun, persoalan mengenai hasil pemilu 2014 tidak berlangsung lama.
Kesepakatan pembagian kekuasaan atau pembentukan Persatuan Nasional ( Unity Goverment ) dipandang sebagai jalan terbaik bagi penyelesaiaan sengketa pemilu di Afghanistan. Hal ini merupakan usulan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghindari kembalinya perpecahan etnis di Afghanistan, seperti perang saudara
pada tahun 1990-an. 113
111 Lusy Liani, “Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu”, Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta , Vol. 4 No. 1 (2016: 51-72), h. 52.
Veri Junaidi, Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengawasan Pemilu, (Jakarta: Perludem, 2013), h. 3.
Pertentangan terhadap hasil akhir pemilu dapat memecah masyarakat Afghanistan karena banyak pendukung Mohammad Ashraf Ghani merupakan etnis Pashtun yang berada di wilayah selatan dan timur, sementara pendukung Abdullah adalah etnis Tajikistan dan sejumlah etnis lainnya tinggal di wilayah Afghanistan Utara. Dilihat dari New York Times, “Afghan Presidential Rivals Finally Agree On Power- Sharing Deal”, artikel ini diakses dari https://www.nytimes.com/2014/09/21/world/asia/afghan-presidential-election.html?_r=0 pada 3 Maret 2017.
Masyarakat Afghanistan tentu saja berharap pengumuman hasil pemilu oleh Komisi Independen Pemilu (KIP) akan menghasilkan seorang kandidat sebagai presiden baru Negara Afghanistan. Namun, setelah dicapainya kesepakatan politik di antara dua kandidat, Komisi Independen Pemilu (KIP) Afghanistan akhirnya menetapkan Mohammad Ashraf Ghani sebagai presiden terpilih, Abdullah Abdullah juga sebagai Ketua Dewan Eksekutif yang setara dengan Perdana Menteri, Abdul Rashid Dostum sebagai Wakil Presiden Pertama, serta Sarwar Danish sebagi Wakil Presiden Kedua.
Meskipun demikian, sejumlah partai politik dan media di Afghanistan menganggap bahwa kesepakatan di antara dua calon presiden sebagai hasil pemilu dan merupakan pergantian kekuasaan secara demokratis. Karena pada tahap pertama pemilu Presiden Afghanistan, terdapat delapan kandidat yang bersaing, yang mana Abdullah Abdullah dengan mengantongi 50 persen suara bersama
Mohammad Ashraf Ghani melangkah ke babak kedua pemilu. 114 Selama proses pemilihan umum tersebut, telah mengarahkan pesta
demokrasi Afghanistan dari nuansa sukuisme menuju nasionalisme. Dampak dari terobosan itu, sekitar 70 persen dari pemilik hak suara antusias mendatangi
tempat-tempat pemungutan suara meskipun menerima ancaman dari Taliban. 115 Dalam hal ini, mereka memiliki pemahaman yang sama guna untuk membangun
demokrasi yang lebih stabil di Afghanistan. Pengumuman hasil pilpres Afghanistan menunjukkan bahwa partai-partai politik dan masyarakat adat di Negara Afghanistan sudah sampai pada kesimpulan
114 Iran Indonesian Radio, “Jalan Terjal Afghanistan Menuju Demokrasi”. 115 BBC News, “Afghan Presidential Contenders Sign Unity Deal”, artikel ini diakses dari
http://www.bbc.com/news/world-asia-29299088 pada 3 Maret 2017.
bahwa kepentingan nasional tidak boleh dikorbankan untuk hal-hal yang berbau kesukuan. Oleh sebab itu, pelaksanaan penuh kesepakatan politik Mohammad Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah dapat menjadi pengalaman berharga bagi masyarakat multi-etnis Afghanistan agar dapat membangun kerjasama yang baik demi kepentingan nasional mereka. Hal ini merupakan sebuah pencapaian bagi Afghanistan setelah 17 tahun berdemokrasi.
Di sisi lain, menurut Patrice Lumumba, Afghanistan masih harus belajar dari negara-negara dengan sistem demokrasi yang sudah mapan, seperti misalnya Amerika Serikat. Ia masih harus belajar bagaimana menjaga keamanan di negara sendiri dengan mengurusi masalah Taliban, terlepas ia sudah menuntaskan transisi
menuju demokrasi dengan melakukan 3 kali pemilu. 116 Juan J. Linz dan Alfred Stepan mengatakan bahwa demokratisasi yang baru
seumur jagung ketika dikelola dengan baik pasti akan berujung pada konsolidasi demokrasi. Tetapi ketika prosesnya tidak berjalan dengan baik, yang terjadi adalah rekonsolidasi otoritarianisme. Konsolidasi demokrasi ditandai dengan kacakapan aktor memikul mandat, kepatuhan pemimpin aktor terhadap konsensus politik, kontrol kekuasaan berjalan, hukum ditegakkan, praktik korupsi ditekan
dan sejumlah kriteria positif lainnya. 117 Pada tahap konsolidasi demokrasi, rakyat berdaulat dan aktor menjadi lebih
bersih. Dengan sendirinya politik akan perlahan bersih dari praktik-praktik busuk. Larry Diamond dalam Developing Democracy Toward Consolidation , menjelaskan bahwa konsolidasi demokrasi itu adalah persoalan bagaimana
116 Hasil Wawancara dengan Patrice Lumumba pada 2 Maret 2017.
Juan J. Linz, Defining Crafting Democratic Transition, Constitutions, and Consolidation,
h. 18.
merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. 118 Hal ini tentu akan tercapai apabila pemimpin mampu mendesain sebuah struktur politik yang dibangun untuk
menyejahterakan rakyat dan bebas kepentingan. Seperti yang mencoba diterapkan oleh Mohammad Ashraf Ghani di Afghanistan, melalui kebijakan-kebijakannya.