Analisis Pembaruan Kurikulum di MTs. HM

B. Analisis Pembaruan Kurikulum di MTs. HM

  1. Prinsip Pembaruan Kurikulum di MHM Tingkatan Tsanawiyah

  Dalam melakukan pembaruan kurikulumnya, pimpinan MHM Lirboyo terlihat sangat cermat dan berhati-hati mengambil langkah. Bukan berarti bahwa kurikulum di MHM Lirboyo sudah berketetapan final dan mengikat, namun selayaknya setiap kebijakan pembaruan -terlebih terkait kurikulum- harus dipertimbangkan matang-matang. Terlebih lagi, terdapat kepercayaan – yang didukung dengan kepatuhan- bahwa ‘ijtihad kurikulum’ yang dilakukan para sesepuh (kiai senior terdahulu) tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan dari hasil kontemplasi tingkat tinggi disertai dengan riyadloh yang berat. 115 Dari sini

  dapat dipahami kenapa kurikulum di MHM Lirboyo tidak mengalami perubahan signifikan setiap tahunnya.

  Betapa pun keberadaan kurikulum lama sebagai hasil ijtihad sesepuh selalu membayangi, pembaruan kurikulum tak dapat dielakkan manakala pimpinan MHM memandang terdapat kurikulum alternatif yang lebih ashlah (maslahat). Hal ini membuktikan bahwa pembaruan kurikululm yang dilakukan di tubuh MHM menerapkan prinsip kehati-hatian dan pertimbangan secara matang.

  Disamping itu, pimpinan MHM juga telah menerapkan beberapa prinsip- prinsip yang ditetapkan dalam pengembangan kurikulum. Adapun Prinsip-prisip Disamping itu, pimpinan MHM juga telah menerapkan beberapa prinsip- prinsip yang ditetapkan dalam pengembangan kurikulum. Adapun Prinsip-prisip

  Pertama, prinsip relevansi (kesesuaian), baik relevansi ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke dalam berarti bahwa terdapat kesesuaian pembaruan kurikulum yang telah diterapkan dengan komponen lain dalam sistem pendidikan, yaitu tujuan, metode strategi pembelajaran, maupun sisi evaluasi.

  a. Relevansi Pembaruan Kurikulum dengan Tujuan Pendidikan

  Dalam konteks relevansi kurikulum dengan tujuan pendidikan bisa dilihat dari tujuan awal pendirian pondok pesantren Lirboyo yang dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat desa Lirboyo pada waktu itu yang bermoral rendah, bahkan

  bersifat bromo corah. 116 Berangkat dari kondisi ini, maka bisa disimpulkan bahwa tujuan pertama dari pendirian pesantren ini adalah amar ma’ruf nahi

  munkar. 117 Tujuan pertama ini dalam perkembangannya terus disempurnakan sesuai dengan tuntutan keadaan. Ketika jumlah santri yang berdatangan terus meningkat, maka tujuan dari pesantren ini, menurut KH. Fuad Hasyim, adalah menjadikan dirinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mewariskan ilmu ulama’ as-salaf as-sholih. 118

  Dengan diteguhkannya pesantren Lirboyo sebagai sebuah lembaga pendidikan keagamaan Islam, maka didirikanlah Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien dengan visi misi yang senafas dengan tujuan pertama didirikannya

  116 Moh. Aliyah Zen, ¾ Abad Pondok Pesantren Lirboyo, (Kediri: Siswa Kelas III Aliyah MHM Lirboyo 1984-1985, 1985), hlm. 58.

  pondok pesantren Lirboyo, yaitu ‘menciptakan kader-kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu agama dalam berbagai kondisi’. Untuk memenuhi misi tersebut, maka tata kurikulum di MHM Lirboyo terus disempurnakan dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan masyarakat Hal ini dilakukan dengan Hal ini membuktikan, bahwa terdapat relevansi pengembangan kurikulum dengan tujuan pendidikan.

  Hal ini dapat diilustrasikan dalam gambar di bawah:

  BAGAN 2 KORELASI PEMBARUAN KURIKULUM DAN TUJUAN MHM

  MHM

  Masyarakat

  VISI: menciptakan

  kader ulama yang

  Supply ahli agama

  Membutuhkan ahli

  mampu mentransformasikan

  agama

  ilmu agama

  Pembaruan dan

  Dinamika sosial,

  penyempurnaan

  politik, ekonomi, dll

  Bahan pertimbangan

  kurikulum

  b. Relevansi Pembaruan Kurikulum dengan Metode Pembelajaran

  Relevansi kurikulum dengan metode pembelajaran bisa dilihat dari penyusunan kitab taqrirot 119 sebagai kitab ajar untuk sebagian disiplin ilmu.

  Dari studi dokumentasi dapat dilihat bahwa penggunaan kitab taqrirot sebagai

  119 Kitab Taqrirot merupakan istilah kitab karya ulama’ abad pertengahan (antara abad 12- 119 Kitab Taqrirot merupakan istilah kitab karya ulama’ abad pertengahan (antara abad 12-

  masalah yang dianggap penting dan membutuhkan penekanan, sulit dipahami, atau sekedar memberikan contoh aplikatif (biasanya dalam kitab taqrirot disiplin ilmu ketatabahasaan) yang disarikan dari berbagai kitab syarah, hasyiyah, maupun kitab lain sebagai perbandingan.

  Penjelasan yang singkat dan padat ini pada akhirnya membawa dampak sebagai berikut:

  1) membantu santri dalam memahami isi kitab ashal. Penjelasan kitab taqrirot

  yang tidak sampai melebar dari pembahasan inti ini menjadi selaras dengan arahan pimpinan MHM Lirboyo agar dalam penyampaian materi pelajaran menggunakan penjelasan yang standar, dalam arti tidak terlalu melebar dan melangit. Atau dengan kata lain harus menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kemampuan daya tangkap siswa.

  2) merangsang dan menuntut para santri dalam menelaah lebih lanjut kitab- kitab syarah maupun hasyiyah yang menjadi rujukan pengambilan dalam kitab taqrirot tersebut. Rangsangan untuk menelaah kitab syarah maupun hasyiyah ini terbukti cukup efektif memacu para santri untuk terus meningkatkan pemahamannya dari sekedar pemahaman atas materi yang tertulis di kitab taqrirot. Terlebih lagi dengan adanya program musyawaroh yang rutin diadakan, menjadikan santri semakin termotivasi untuk mengadakan pendalaman dan pengkayaan materi.

  Dari sini dapat dipahami bahwa penyusunan kitab taqrirot sebagai kitab ajar dan sekaligus sebagai kurikulum di MHM Lirboyo sangat mempertim- bangkan metode pengajaran yang ada, sehingga antara materi yang diajarkan dan metode yang diterapkan bisa beriringan harmonis dan relevan.

  Adapun relevansi ke luar berarti bahwa kurikulum di MHM harus relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Berdasarkan studi lapangan, diketahui bahwa lulusan MHM Lirboyo lebih banyak telah berkecimpung dalam dunia pendidikan sebagai ustadz guru, baik di lembaga pendidikan formal, informal, maupun non-formal, kiait, modin, dan lain sebagainya. Bahkan setiap tahun angka permohonan penyediaan ‘guru bantu’ dari pondok pesantren atau madrasah lain semakin meningkat. Besarnya angka keterserapan alumni MHM Lirboyo ini membuktikan bahwa kurikulum yang diterapkan di MHM Lirboyo tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat.

  Dalam lingkup yang lebih luas, Kafrawi menjelaskan bahwa pondok pesantren mampu berkembang dan bertahan di tengah arus globalisasi karena masih

  mendapat dukungan dan kepercayaan dari masyarakat. 121 Sedangkan Ali Anwar berpendapat karena pondok pesantren masih sesuai dengan kecendrungan sosio-

  kultural komunitas lingkungannya, yaitu masyarakat yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. 122 Kedua pendapat ini juga turut menguatkan kesimpulan bahwa pondok pesantren mempunyai relevansi keluar.

  Kedua, prinsip fleksibelitas (keluwesan); artinya pembaruan kurikulum tidak kaku dan ada semacam ruang gerak yang memberikan kebebasan dalam Kedua, prinsip fleksibelitas (keluwesan); artinya pembaruan kurikulum tidak kaku dan ada semacam ruang gerak yang memberikan kebebasan dalam

  dalam memilih berbagai pilihan alternatif kajian kitab kuning. Adapun dalam konteks MHM, santri tidak mempunyai ruang untuk memilih satu atau beberapa fan (cabang ilmu) yang disukainya saja, karena materi pelajaran di MHM ‘ditawarkan’ secara paket, mengingat antara cabang ilmu yang satu dengan lainnya terdapat inter-relasi materi yang saling melengkapi satu dengan yang lain.

  Ketiga, prinsip kesinambungan (kontinuitas); yaitu adanya saling keterkaitan antara tingkat pendidikan dan bidang studi. Dari hasil studi dokumentasi, peneliti menemukan bahwa pada penerapan kurikulum baru yang tertuang dalam buku HSPK tahun pelajaran: 1435-1436 H. 2014-2015 M. materi ajar yang disajikan menunjukkan prinsip kesinambungan. Hal ini dapat dilihat dari penyusunan buku ajar dalam satu disiplin ilmu yang dilakukan secara berjenjang dan bertahap sesuai dengan bobot kedalaman dan kesukaran kitab, dimulai dari kitab dasar, kitab menengah, dan kitab besar.

  Sebagai contoh, buku ajar fan fiqih yang diterapkan di MHM Lirboyo secara bertahap dan berjenjang disusun berdasarkan bobot kedalaman pembahasan dan tingkat analitis, disesuaikan dengan tingkat kemampuan menangkap dan mencerna peserta didik (santri). Tercatat secara urut yaitu kitab Fasholatan (I Ibtidaiyah), Safinatus Sholah (II Ibtidaiyah), Tanwirul Hija (III Ibtidaiyah), Sullamut Taufiq (IV Ibtidaiyah), Fathul Qorib I (V Ibtidaiyah), Fathul Qorib II (VI Ibtidaiyah), Fathul Mu’in I (I Tsanawiyah), Fathul Mu’in II (II Tsanawiyah), Fathul Mu’in III (III

  Tsanawiyah), al-Mahalli I (I Aliyah), al-Mahalli II (II Aliyah), al-Mahalli III (III Aliyah).

  Hal ini sesuai dengan rumusan Zamakhsyari Dhofier bahwa, format pendidikan yang diterapkan pondok pesantren disusun menggunakan sistem gradasi berdasarkan pada tingkat kualitas kitab Islam klasik secara berjenjang pada masing- masing disiplin keilmuan. Ia menggolongkan kitab Islam klasik tersebut kedalam

  tiga kelompok, yaitu kitab dasar, kitab menengah, dan kitab besar. 124

  2. Model Pembaruan Kurikulum di MHM Tingkatan Tsanawiyah

  Kurikulum MHM Lirboyo tampak dinamis mengembangkan materi ajarnya. Hal ini bisa dilihat dari proses penyempurnaan yang terus diupayakan setiap tahunnya. Rekam jejak pembaruan kurikulum dapat ditelisik di buku HSPK dari tahun ke tahun.

  Secara garis besar, pembaruan kurikulum di MHM dapat dikatakan sebagai sebuah upaya ‘penyempurnaan’, untuk tidak mengatakan sebagai ‘perombakan’. Kedua terminologi ini mempunyai signifikansi perbedaan arti, dimana ‘penyempurnaan’ mengandung arti bahwa objek yang disempurnakan memiliki kriteria cukup atau sudah sempurna, sementara masih terdapat kekurangan yang non-prinsip sehingga memerlukan perbaikan-perbaikan kecil. Sedangkan ‘perombakan’ mengindikasikan bahwa objek dirasa sudah tidak relevan lagi dan terdapat kekurangan yang prinsip, sehingga memerlukan upaya perbaikan yang relatif besar.

  Bisa dikatakan bahwa dinamika kurikulum MHM Lirboyo -dengan beberapa keeksklusifannya– merupakan upaya menjaga tradisi salaf disertai dengan melakukan pembaruan-pembaruan untuk menunjang keberhasilan pendidikan salafnya. Hal ini terlihat dengan kukuhnya MHM Lirboyo menetapkan kurikulum salafnya, sedangkan pembaruan lebih diprioritaskan pada penguatan ranah intruksional. Ini dikarenakan karena dinamika kurikulum MHM Lirboyo didasari dengan prinsip al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, tanpa melupakan prinsip al- muhafadzhotu ‘ala al-qodim as-sholih.

  Dari sini dapat dipahami alasan kenapa MHM Lirboyo berkali-kali tidak merespon kebijakan pemerintah (Kementrian Agama) terkait konsep mu’adalah yang ‘menuntut’ pondok pesantren untuk memasukkan pelajaran umum dalam

  kurikulumnya, diantaranya pada tahun 1950 126 , tahun 1960 dan pada tahun 2000 127 .

  Konsistensi MHM Lirboyo dalam mengembangkan pendidikan Islam ala salaf pada akhirnya mendapat Pengakuan Kesetaraan Madrasah (Mu’adalah) dari

  Dirjen. Kelembagaan Agama Islam pada tahun 2006. 128 Dalam hal ini, tingkatan Tsanawiyah MHM telah mendapat pengakuan kesetaraan dengan jenjang

  pendidikan Aliyah Cairo Mesir, sehingga Ijazah Tsanawiyah MHM dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Universitas al-Azhar Cairo Mesir. Sementara tingkatan Aliyah MHM mendapat pengakuan kesetaraan

  UU. Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950, bab VI tentang Kewajiban

  Belajar, pasal 10, ayat 2.

  126 Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1960, Bab II, Pasal 4, ayat 1, Point c.

  dengan Madrasah Aliyah, sehingga Ijazah Aliyah MHM dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi. 129

  Sangat berbeda dengan pola pembaruan yang dilakukan beberapa pondok salaf yang cenderung mengikuti alur perkembangan pendidikan nasional dengan memasukkan pelajaran umum, seperti pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, pesantren Darul ‘Ulum Rejoso, Bahrul ‘Ulum Tambak Beras, dan pesantren Salafiyah Syafi’iyah Tebu Ireng masing-masing dengan Sekolah dan Madrasah dengan kurikulum nasional Diknas ataupun Kemenag, baik swasta maupun negeri. Di samping kelebihan masing-masing kurikulum salaf yang dikembangkan tentunya, pesantren ini cenderung terlihat lebih ‘memasarkan’ nilai tambah pendidikan umum. Sedang pesantren Lirboyo tetap konsisten menjaga tradisi dengan ‘kedigdayaan’ kurikulum salafnya,

  Dalam hal penyusunan kurikulum, MHM Lirboyo terlihat cenderung menggunakan pendekatan humanistik. Ini terlihat dari penggunaan kitab ajar yang secara gradual disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa. Dalam mata pelajaran fiqih misalnya, di Madrasah Tsanawiyah MHM digunakan kitab ajar Fathul Mu’in. Pertimbangan penggunaan kitab tersebut –terlepas dari faktor popularitas kitab– adalah karena kitab Fathul Mu’in dipandang cukup untuk digunakan sebagai referensi hukum, qoul-qoul didalamnya arjah, pembahasannya juga proporsional, dalam arti tidak terlalu berlebih sehingga dirasa cocok untuk dipakai sebagai kurikulum di di Madrasah Tsanawiyah MHM. Padahal masih banyak kitab fiqih yang berkualitas dan cukup memadai.

  Meskipun demikian, dalam beberapa hal MHM Lirboyo juga terkadang menggunakan pendekatan selain humanistik, misalnya pendekatan dengan orientasi pola organisasi bahan dan pendekatan dengan orientasi tujuan. Pendekatan dengan orientasi pola organisasi bahan ditemui pada proses penggantian kitab ajar mata pelajaran Tafsir, dari Tafsir Jalalain menjadi Mukhtashor Tafsir Ayatil Ahkam. Penggantian kitab ajar ini lebih didasarkan pada pertimbangan terciptanya pemahaman siswa yang terintegrasi antara materi pelajaran fiqih dengan tafsir al- Qur’an. Adapun pendekatan dengan orientasi tujuan ditemui pada proses

  penambahan mata pelajaran Tarikh di kelas III Tsanawiyah dengan kitab ajar Manaqib Madzahib al-Arba’ah. Penambahan kitab ajar ini dipandang sangat urgen dalam rangka membekali siswa dengan siroh (perjalanan hidup) ulama’ sebagai suri teladan maupun sebagai benteng ‘aqidah ahlus sunnah wal jama’ah yang merupakan tujuan dari MHM sendiri.

  Pembaruan kurikulum di MHM Lirboyo juga nampak telah melalui tahapan- tahapan pada prosedur pembaruan kurikulum. Dalam hal ini, penggodokan HSPK merupakan pembaruan kurikulum pada tingkat lembaga. Di HSPK dirumuskan tujuan institusional, isi dan struktur program dan strategi pelaksanaan kurikulum secara makro. Rumusan HSPK ini kemudian digodok lagi di tataran dewan Mustahiqqin per-tingkatan kelas untuk merumuskan tujuan kurikuler, misalnya terkait batasan dan standar kompetensi materi pelajaran, serta strategi pelaksanaan. Penggodokan ini terbilang cukup memadai dalam merumuskan tujuan kurikuler, hanya saja hasilnya belum terkodifikasi ke dalam GBPP dan strategi pelaksanaan secara rapi dan sistematis. Hal mana menjadi rahasia umum bahwa kelemahan pondok pesantren salaf adalah di titik manajemen administratifnya.

  Tahap selanjutnya adalah pengembangan kurikulum di tingkat pengajaran di kelas. Hal ini dilakukan oleh Mustahiq dan Munawwib masing-masing sesuai dengan pengalamannya dengan berpedoman pada rumusan kurikulum yang telah ditetapkan. Langkah yang dijalankan Mustahiq misalnya dengan memberi

  Penyusunan dan pembaruan kurikulum di MHM tampaknya juga sangat memperhatikan pola organisasi kurikulum. Pola organisasi kurikulum disini lebih ditekankan pada terciptanya korelasi keterkaitan materi mata pelajaran satu dengan materi pelajaran yang lain. Diantara keterkaitan materi lintas mata pelajaran adalah sebagai berikut:

  a) qo’idah fiqhiyyah - ushul fiqih – fiqih

  b) i’lal – shorof

  c) nahwu – i’rob

  d) badi’ – ma’ani – bayan dan lain-lain. Dalam hal ini, korelasi mata pelajaran qo’idah fiqhiyyah - ushul fiqih – fiqih, nahwu – i’rob, shorof – i’lal merupakan bentuk organisasi kurikulum yang berpola correlated curriculum. Sedangkan pada pelajaran badi’ – ma’ani – bayan terlihat pola broad field curriculum.