Pondok Pesantren
3. Pondok Pesantren
a. Pengertian Pendidikan Salaf
Secara etimologi, salaf mengandung arti ‘yang dulu telah lewat’. 40 Salaf berkonotasi dengan kata tradisional. Sedangkan Pendidikan Salaf secara
terminologi berarti sebuah pendidikan yang menggunakan metode dan buku ajar tradisional.
Adapun pesantren salaf berarti pesantren yang murni mengajarkan ilmu agama baik dengan sistem tradisional (bandongan, wethonan dan sorogan) maupun sistem klasikal (jenjang kelas) yang umum disebut dengan madrasah diniyah atau menganut kedua sistem itu. Pengertian ini kemudian berkembang seiring dengan dinamika pesantren itu sendiri. Dalam perkembangan berikutnya, sebuah pesantren disebut salaf selagi terdapat sistem pendidikan di atas (tradisional dan klasikal) walaupun dikombinasikan dengan pendidikan formal (MI, MTS, MA, dst) yang mengikuti kurikulum Kemdikbud atau Kemenag. 41
Pesantren salaf memiliki ciri-ciri yang khas, diantaranya:
40 Al-Munawwir, hlm. 651.
1) Adanya penekanan pada penguasaan kitab klasik kitab kuning.
2) Masih diberlakukannya sistem sorogan, wethonan bandongan dalam proses KBM.
3) Walaupun di sejumlah pesantren telah menerapkan sistem klasikal, namun tetap fokus pada pengajaran kitab kuning.
4) Secara umum, hubungan emosional kiai-santri di pesantren salaf jauh lebih dekat dibanding pesantren modern. Hal ini karena kiai menjadi figur sentral: sebagai edukator karakter, pembimbing rohani dan pengajar ilmu agama.
5) materi pelajaran umum seperti matematika atau ilmu sosial tidak atau sangat sedikit diajarkan di pondok salaf.
6) pondok salaf yang murni tidak memiliki lembaga pendidikan formal SDMI MTSSMP SMAMA apalagi perguruan tinggi yang kurikulumnya berada di bawah pemerintah via KemdiknasDiknas atau KemenagDepag. Kalau ada sekolah dengan jenjang MI, MTS dan MA biasanya memakai kurikulum sendiri. Sekolah semacam ini disebut dengan madrasah diniyah atau madin.
7) pondok pesantren salaf umumnya dipimpin oleh kiai yang secara kultural berafiliasi ke organisasi NU (Nahdlatul Ulama) walaupun tidak otomatis ada keterikatan secara organisasi. Yang pasti tidak seide dengan kalangan Muhammadiyah atau Wahabi.
8) biaya pendidikan di pesantren salaf relatif murah. Dan jauh lebih murah dibanding pesantren modern. Tidak ada sistem daftar ulang. Dan tidak ada sistem seleksi. Semua santri yang ingin masuk ke 8) biaya pendidikan di pesantren salaf relatif murah. Dan jauh lebih murah dibanding pesantren modern. Tidak ada sistem daftar ulang. Dan tidak ada sistem seleksi. Semua santri yang ingin masuk ke
9) akhlak yang santun. Pesantren salaf menekankan pada perilaku yang sopan dan santun terutama dalam berinteraksi dengan guru, orang
tua dan masyarakat dan antara sesama santri. 42
b. Pembaruan Kurikulum di Pesantren
Dari beberapa difinisi yang dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa pembaruan kurikulum pendidikan pondok pesantren dapat diartikan sebagai: a) kegiatan menghasilkan kurikulum pendidikan pondok pesantren, atau
b) proses yang mengaitkan suatu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan pendidikan pondok pesantren yang lebih baik, atau c) kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan kurikulum
pendidikan pondok pesantren. 43
Dalam pengertian tersebut, sesungguhnya pembaruan kurikulum adalah proses siklus yang tiada pernah berakhir. Adapun proses pembaruan kurikulum tersebut terdiri dari 4 (empat) unsur, yaitu:
o Tujuan: mempelajari dan menggambarkan semua sumber pengetahuan dan
pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang berkenaan dengan mata pelajaran maupun kurikulum secara menyeluruh.
42 http:www.alkhoirot.net201109pondok-pesantren-salaf.html (diakses pada 23 September 2014) 42 http:www.alkhoirot.net201109pondok-pesantren-salaf.html (diakses pada 23 September 2014)
metode-metode dan material institusi untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan pertimbangan pengajar.
o Penilaian (assesment): menilai keberhasilan pekerjaan yang telah
dikembangkan dalam hubungannya dengan tujuan. o Balikan (feedback): umpan balik dari semua pengalaman yang telah
diperoleh, yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi selanjutnya.
c. Macam-macam Metode Pembelajaran di Pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pusat penyebaran agama Islam tertua di Indonesia yang lahir dan berkembang semenjak masa-
masa permulaan kedatangan agama Islam di Indonesia. 44 Proses pendidikan di pesantren dilaksanakan secara totalitas, meliputi pendidikan rohani dan jasmani,
segala bidang disiplin keilmuan Islam, dan dilaksanakan selama 24 jam dalam sehari.
Dalam sejarah awalnya, metode pendidikan yang diterapkan di pesantren bertumpu pada dua metode, yaitu metode wetonan atau bandongan (Jawa Barat) atau halaqah (Sumatera) dan sorogan.
Metode wetonan atau bandongan yaitu “cara penyampaian kitab dimana seorang guru, kiai, atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab, sementara santri, murid, atau siswa mendengarkan, memberikan makna, dan
menerima.” 45 Senada dengan yang diungkapkan oleh Endang Turmudi bahwa, menerima.” 45 Senada dengan yang diungkapkan oleh Endang Turmudi bahwa,
Musyawarah Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesantren, bahwa metode wetonan ialah “pembacaan satu atau beberapa kitab oleh kiai atau pengasuh dengan memberikan kesempatan kepada para santri untuk
menyampaikan pertanyaan atau meminta penjelasan lebih lanjut.” 47
Konon metode ini merupakan warisan dari Timur Tengah (Makah dan Mesir). Karena kedua negara ini dianggap sebagai poros, pusat dari ajaran agama Islam di dunia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mujamil Qamar, bahwa “metode yang disebut bandongan ini ternyata merupakan hasil adaptasi dari metode pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah terutama di makah dan Mesir. Kedua tempat ini menjadi “kiblat” pelaksanaan metode wetonan lantaran dianggap sebagai poros keilmuan bagi kalangan pesantren sejak awal
pertumbuhan hingga perkembangan yang sekarang ini.” 48 Dan metode inilah yang paling banyak digunakan di pesantren-pesantren di Indonesia.
Istilah wethon berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, dikarenakan pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melakukan shalat fardlu. Metode wethon ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran, menyimak kitab masing-masing,
46 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm.
47 Abdurrahman Saleh, Pedoman Pembinan Pondok Pesantren, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), hlm. 79.
dan membuat catatan padanya. Jadi, kiai berperan aktif, sedangkan santri bersifat pasif. Metode wethonan ini dapat bermanfaat ketika jumlah santri cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sedangkan materi yang harus disampaikan cukup banyak.
Adapun Sorogan yaitu sebuah metode pembelajaran dimana santri satu per satu secara bergiliran menghadap kiai ustadz dengan membawa kitab tertentu. Kiai membacakan beberapa baris dari kitab itu dan maknanya,
kemudian santri mengulangi bacaan kiainya.” 49 Husein Muhammad menambahkan bahwa, murid yang membaca sedangkan guru mendengarkan
sambil memberi catatan, komentar, atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi dalam metode ini, dialog murid dan guru belum atau tidak terjadi. 50 Ismail SM,
seperti yang dikutip oleh Mujamil Qamar menyatakan bahwa, ada beberapa kelebihan dari metode sorogan yang secara didaktik- metodik terbukti memiliki efektivitas dan signifikansi yang tinggi dalam mencapai hasil belajar. Sebab metode ini memungkinkan kiai, ustadz mengawasi, menilai, dan membimbing
secara maksimal kemampuan santri dalam penguasaan materi. 51 Metode sorogan ini bisa dipersamakan dengan metode tutorship atau mentorship. 52
Dalam mengimplementasikan metode diatas belum digunakan sistem penjenjangan pendidikan, atau yang populer dikenal dengan sistem klasikal madrasi. Kenaikan tingkat pendidikan santri ditandai dengan tammat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Apabila seorang santri telah menguasai suatu
49 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Van Hoeve, 2000), hlm. 336.
50 Sa’id Aqiel Siradj. Op.cit., hal.281.
kitab dan lulus imtihan (ujian) dari Kiainya, ia bisa melanjutkan mempelajari kitab yang secara kualitas ada diatasnya.
Kemudian dalam perkembangannya, pesantren telah mengembangkan beberapa metode pendidikan. Menurut Husein Muhammad, selain metode wetonan bandongan, dan metode sorogan, diterapkan juga metode diskusi
(munazharah), metode evaluasi, dan metode hafalan. 53
1) Metode Diskusi
Diskusi yang populer di kalangan pesantren dengan istilah musyawarah munadzharah yaitu metode pembelajaran dimana sekelompok santri tertentu membahas suatu permasalahan, baik yang diberikan kiai maupun masalah waqi’iyyah (yang benar-benar terjadi di masyarakat). Diskusi ini dipimpin oleh seorang santri dengan pengamatan dari
pengasuhkiai yang mengoreksi hasil diskusi itu. 54 Metode diskusi bertujuan untuk merangsang pemikiran serta berbagai jenis pandangan agar murid atau
santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis, dan akan lebih memicu para santri untuk menelaah atas kitab-kitab yang lain. Keberhasilan yang dicapai akan ditentukan oleh tiga unsur, yaitu pemahaman, kepercayaan diri sendiri
dan rasa saling menghormati. 55
2) Metode Evaluasi
Metode evaluasi yaitu penilaian atas tugas, kewajiban, dan pekerjaan. Cara ini dilakukan setelah kajian kitab selesai dibacakan atau disampaikan.
53 Sa’id Aqiel Siradj dkk., Pesantren Masa Depan, hlm. 280.
Di masa lalu cara ini disebut imtihan, yakni suatu pengujian santri melalui munaqasyah oleh para guru atau kiai-ulama di hadapan forum terbuka. Selesai munaqasyah akan ditentukanlah kelulusan. 56
3) Metode Muhafadzhoh Hafalan
Hafalan merupakan metode unggulan dan sekaligus menjadi ciri khas yang melekat pada pesantren sejak dahulu hingga sekarang. Metode hafalan masih tetap dipertahankan sepanjang masih berkaitan dan diperlukan bagi argumen-argumen naqly dan kaidah-kaidah. Dan metode ini biasanya diberikan kepada anak-anak yang berada pada usia sekolah tingkat dasar atau tingkat menengah.
Disamping itu, ada beberapa metode lain dalam proses pendidikan pondok pesantren, yaitu: metode muhawarah, riset penelitian, peragaan, dan wisata ilmiyah, 57 metode amtsilati, metode 33, dan lain-lain.
d. Model Pembaruan Sistem Pendidikan Pesantren
Dalam perkembangan terakhir, pendidikan pesantren sudah memperlihatkan pola-pola baru sebagai akibat dari persentuhan dengan pola pendidikan modern. Pola-pola ini menggambarkan tingkat optimalisasi pemanfaatan fungsi-fungsi, khususnya oleh lembaga pendidikan pesantren dan madrasah. 58
56 Sa’id Aqiel Siradj., dkk. Op.cit., hal.284
57 Komisi “D” Musyawarah Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta, 1978).
Dengan dilatarbelakangi oleh dinamika sosial, politik, dan kultural tertentu, hubungan pesantren dan madrasah itu diwujudkan dalam berbagai model yang bervariasi.
Pertama, model pesantren yang mampu menjaga prinsip al- muhafadzhotu ‘ala al-qodimi as-sholih wa al-akhdzu bi al-jaddidi al-ashlah (menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik). Tanpa harus kehilangan identitas dan karakternya yang khas, model pesantren ini terbukti mampu ber-asimilasi dengan sistem pendidikan modern dengan apik. Misalnya pondok pesantren Lirboyo dan Tebuireng, Jawa Timur. Pesantren tersebut mampu mengembangkan sistem pendidikan madrasah dan sekolah, mulai tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Kedua, merujuk pada pola yang dikembangkan di beberapa pesantren, seperti pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Model pesantren ini masih tetap mempertahankan tradisi salaf (tradisional)-nya dengan utuh. Namun kaitannya dengan madrasah, ia mengadopsinya hanya untuk kepentingan instrumental (sistem pelengkap) saja. Muatan madrasah disana lebih didominasi oleh fan-fan ilmu ala pesantren yang diintensifkan melalui pendekatan madrasi.
Ketiga, diwakili oleh pesantren modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Baik pesantren (dalam pengertian tradisional) maupun madrasah (dalam pengertian formal) hanya diambil pada tingkat instrumental. Muatan pendidikannya dikembangkan sendiri sejalan dengan pemikiran para pendirinya dalam mengantisipasi modernisasi, yakni dengan menekankan penguasaan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Sistem pondok (asrama), otoritas kyai dan beberapa nilai kepesantrenan masih sangat tampak, sedangkan muatan Ketiga, diwakili oleh pesantren modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Baik pesantren (dalam pengertian tradisional) maupun madrasah (dalam pengertian formal) hanya diambil pada tingkat instrumental. Muatan pendidikannya dikembangkan sendiri sejalan dengan pemikiran para pendirinya dalam mengantisipasi modernisasi, yakni dengan menekankan penguasaan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Sistem pondok (asrama), otoritas kyai dan beberapa nilai kepesantrenan masih sangat tampak, sedangkan muatan
Keempat, merujuk pada pesantren Darunnajah di Jakarta atau pesantren as-Salam Surakarta. Kerangka yang dikembangkannya berwujud pesantren dengan menyediakan komplek-komplek pemondokan yang memadai. Sedangkan muatan pendidikannya bertolak dari kurikulum pendidikan sekolah formal. Dengan sistem pesantren, proses pendidikannya diselenggarakan penuh selama 24 jam dengan beberapa tambahan dalam bidang keagamaan dan bahasa, tetapi intensifikasi materinya merujuk pada pelajaran-pelajaran madrasah formal.
Kelima, tampaknya merupakan percobaan mutakhir yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pendidikan elit. Wujudnya memang sekolah, akan tetapi diformat dalam bentuk pesantren (boarding school) atau sekolah ber-asrama. Dengan sendirinya, kurikulum pendidikannya pun mengacu pada program formal, karena memang mempersiapkan lulusannya untuk memasuki dunia formal yang lebih tinggi. Kegiatan-kegiatan ekstra dirancang untuk membina
kepribadian kemampuan bahasa dan penguasaan materi yang lebih mendalam. 59