PROSES BERPIKIR SISWA SMP MENGONSTRUKSI BUKTI INFORMAL GEOMETRI SEBAGAI PROSEP

PROSES BERPIKIR SISWA SMP MENGONSTRUKSI BUKTI INFORMAL GEOMETRI SEBAGAI PROSEP

Faaso Ndraha SMAN 3 Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara

Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

e-mail: faandraha@yahoo.com

Abstrak

Memandang bukti visual/simbolik geometri sebagai prosep (proses dan konsep) merupakan perluasan konsep prosep pada bukti geometri. Prosep dimaksud dikembangkan pada awalnya oleh David Tall dan Eddie Gray pada matematika kalkulasi dan komputasi. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan tahap berpikir siswa SMP mengonstruksi bukti geometri sebagai prosep. Deskripsi yang dirumuskan didasarkan pada eksplorasi proses berpikir siswa ketika mengonstruksi bukti suatu teorema yang belum pernah diselesaikannya, hingga mampu memikirkan bukti tersebut sebagai prosep secara proseptual. Penelitian dilakukan terhadap siswa SMP dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, tahap dan karakteristik proses berpikir pengonstruksian bukti visual/simbolik geometri sebagai prosep dimulai dari (1)mengidentifikasi: (a) menentukan bagian prinsipil masalah dan hubungan-hubungannya, (b) membayangkan gambar mental hal yang dipermasalahkan atau melukis gambar mental tersebut, (2)mobilisasi dan reorganisasi data: (a) mengingat dan memilih pengetahuan atau pengalaman sebelumnya yang relevan dengan masalah (b) mengadaptasikan pengetahuan pada kondisi masalah (c) merumuskan atau merobah konsepsi tentang masalah, (3) merumuskan rencana pembuktian (a) merumuskan masalah berdasarkan konsepsi masalah, (b) menentukan prosedur pembuktian, (4) aplikasi: (a) melengkapi gambar menurut rencana pembuktian, (b) menuliskan langkah-langkah bukti, (c) memeriksa kebenaran setiap langkah atau bagian bukti, (d) memperbaiki langkah-langkah bukti, (5) pembentukan makna: (a) merumuskan secara sederhana prosedur pengembangan bukti-bukti, dan (b) merumuskan makna rangkaian bukti, (6) evaluasi: (a) memeriksa kembali ketepatan hasil dan argumen seluruh bukti, (b) menyelesaikan dengan cara berbeda, (c) memilih cara pembuktian yang lebih efisien, (7) tahap prosep: (a)merumuskan proses bukti, (b)merumuskan konsep bukti, (c) memikirkan proses dan konsep bukti secara proseptual.

Kata kunci: prosep, bukti visual/simbolik geometri, proses berpikir.

A. PENDAHULUAN

Bukti dalam pembelajaran geometri SMP sangat penting. Pembuktian pada geometri sekolah tidak hanya dapat meningkatkan pemahaman konsep-konsep matematika, juga dapat melatih berpikir untuk meningkatkan kemampuan bernalar dan membangun karakter peserta didik (Soedjadi, 2000; van Hiele dalam Fuys, dkk., 1988). Walaupun mayoritas siswa SMP hanya mampu menyusun bukti informal dalam pembelajaran (Fuys, dkk, 1998; Sunardi, 2005), tetapi kegiatan mengonstruksi bukti akan mengoptimalkan hasil belajar dan mengembangkan kemampuan mereka mengonstruksi bukti formal matematika lebih lanjut. Karena itu sangat penting memahami proses berpikir siswa SMP mengonstruksi bukti informal dalam kegiatan belajar geometri.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Bukti informal geometri mengandung proses untuk dikerjakan dan konsep untuk dipikirkan (Velleman, 2009). Aspek proses penalaran maupun aspek konsep bukti merupakan dua hal penting yang tidak tepat dipisahkan untuk memahami teorema yang dibuktikan secara optimal. Secara empirik, ada siswa yang tidak mampu menyusun bukti suatu teorema geometri, ternyata tidak memahami makna teorema tersebut secara geometri, walaupun mampu menggunakan teorema tersebut dalam memecahkan masalah. Siswa tersebut hanya memahami makna teorema secara aritmatik. Tetapi siswa lain yang menyusun bukti dan memahami maknanya, mampu memahami makna teorema yang dibuktikan tersebut secara geometri maupun secara aritmatika (Ndraha, 2011). Dengan demikian bukti lebih tepat dipandang sebagai dualitas proses dan konsep, disingkat prosep.

Gray dan Tall (1994) mengembangkan teori prosep berdasarkan teori Piaget (Davis, dkk, 2000). Prosep merupakan campuran proses, konsep, dan simbol yang menyatakan proses dan konsep tersebut. Gray dan Tall (1994,120) menjelaskan bahwa “An elementary procept is the amalgam of three components: a process which produces a mathematical object, and a symbol which is used to represent either process or object. ….. A procept consists of a collection of elementary procepts which have the same object”. Sebagai prosep, bukti juga memiliki proses, konsep dan simbol. Berdasarkan pendapat Gray dan Tall (1994) dan Erh-Tsung (2003), disimpulkan bahwa dengan memandang bukti sebagai prosep, simbol prosep adalah redaksi teorema, yang menyatakan proses dan konsep bukti. Proses bukti adalah prosedur-prosedur yang dinyatakan secara gamblang dan sederhana yang dapat dilakukan dan sukses dalam menyusun bukti, dan konsep bukti adalah makna yang terkandung dalam rangkaian bukti. Gray dan Tall menjelaskan lebih lanjut bahwa ada tiga tahap aktivitas pengonstruksian prosep dalam pikiran yaitu tahap prosedur, proses dan prosep. “ ….. the meaning of symbols developed through a sequence of activities: (a) procedure, where a finite succession of decisions and actions is built up into a coherent sequence, (b) process, where increasingly efficient ways become available to achieve the same result, now seen as a whole, (c) procept, where the symbols are conceived flexibly as processes to do and concepts to think about (Tall, 1997, 13).

Menurut Gray dan Tall, objek matematika dalam mental terbentuk dari suatu aksi dengan melakukan langkah demi langkah prosedur matematika tertentu. Selanjutnya mengulangi beberapa kali prosedur tersebut, sambil berusaha memahami pola kerja dan menghubung-hubungkan makna langkah-langkah dari aksi yang dilakukan. Kegiatan ini adalah tahap proses. Akhirnya mengoordinasikan pemahaman tentang pola aksi dan makna tersebut di dalam pikiran, hingga akhirnya keseluruhan langkah yang dikerjakan dipahami sebagai suatu item pengetahuan atau konsep. Misalnya seorang anak mulai belajar menghitung jumlah lima buah benda dengan belajar prosedur menghitung. Selanjutnya dia mengulangi prosedur menghitung tersebut, misalnya menghitung beberapa kumpulan benda lainnya. Pengulangan kegiatan menghitung akan membentuk pengetahuannya tentang proses menghitung dan konsep bilangan 5 dari hasil hitungannya. Ketika dia melihat simbol ‘5’ pada waktu selanjutnya, mengingatkannya pada konsep bilangan lima dan proses menghitung yang berkaitan dengannya. Mereka yang mengenal 5 sebagai konsep, tetapi tidak memahami proses menghitung, sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksud dengan 5. Hal ini menunjukkan bahwa proses menghitung dan konsep bilangan secara bersama-sama memberi makna pada simbol 5. Dengan demikian, lebih tepat memandang 5 sebagai simbol prosep, menyatakan proses menghitung dan konsep bilangan. Seseorang yang telah sampai pada tahap prosep, memikirkan prosep secara proseptual. Berpikir proseptual adalah memikirkan secara fleksibel berpindah-pindah dari proses ke konsep dan sebaliknya dalam suatu waktu sebagai satu item pengetahuan.

Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan tahap berpikir siswa SMP memahami bukti informal, khususnya bukti visual/simbolik geometri sebagai prosep. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Instrumen terbagi tiga, yang intinya

1) Membuktikan “jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180 0 ”.

2) Menyusun bukti lain dari “jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180 0 ”.

3) Menggunakan pengetahuan selama menyelesaikan tugas 1) dan 2) untuk menyelesaikan masalah. Untuk itu diberikan dua tugas berikut.

a. Membuktikan bahwa ∡BCD sama dengan jumlah ∡BAC dan ∡ABC, jika titik C terletak di antara A dan D.

b. Membuktikan bahwa jumlah besar sudut-sudut jajargenjang 0 A C D adalah 360 .

Tugas 1) diberikan untuk menciptakan kondisi agar terjadi proses berpikir tahap prosedur, tugas 2) untuk tahap proses, dan tugas 3) untuk tahap prosep. Subyek penelitian terdiri dari 2 orang siswa SMP Laboratorium Universitas Negeri Surabya. Untuk mendapatkan data tahap prosedur, subyek penelitian adalah mereka yang belum pernah menyelesaikan tugas 1) dan 2) sebelumnya. Validasi data dilakukan dengan triangulasi data yang dikumpulkan dalam wawancara dengan data dokumen (lembar kerja) dan pengamatan selama siswa menyelesaikan tugas. Untuk audit data, seluruh kegiatan di-shooting dan disimpan bersama dengan dokumen lembar kerja siswa. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara berbasis tugas untuk mengungkap proses berpikir siswa selama mengonstruksi bukti hingga memahaminya sebagai prosep. Analisis data dilakukan dengan melakukan analisis perbandingan tetap antara proses berpikir subyek pertama dengan subyek kedua. Hasil penelitian diharapkan membantu dalam mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan siswa dalam memahami bukti informal geometri sebagai prosep, dan memberikan kontribusi kepada teori psikologi pengajaran matematika, khususnya tentang proses berpikir mengonstruk bukti informal geometri sebagai prosep.

B. HASIL PENELITIAN

Subyek penelitian (S1 dan S2) menyelesaikan tugas pertama (T1), tugas kedua (T2) dan tugas ketiga (T3) dalam bentuk gambar, dilengkapi dengan beberapa pernyataan matematika simbolik. S1 adalah laki-laki, sedangkan S2 adalah perempuan. Kedua subyek belum pernah membuktikan teorema “jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180 0 ”, memaknai

pernyataan atau teorema tersebut secara aritmatik bahwa jumlah hasil pengukuran sudut-sudut segitiga berjumlah 180 0 , pernah mempelajari hubungan sudut-sudut yang terbentuk oleh

garis-garis berpotongan, dan mengonstruksi bukti dalam bentuk visual/simbolik. Penyelesaian tugas sebagian besar direpresentasikan dalam bentuk gambar. Jika memperbaiki gambar i, subyek merepresentasikannya dalam gambar ii, demikian seterusnya hingga menghasilkan gambar sebagai representasi penyelesaian tugas yang benar menurut subyek. Untuk memudahkan memahami proses berpikir yang dilakukan subyek selama mengonstruksi penyelesaian tugas, penulis memberi indeks gambar menurut urutan pengonstruksiannya, dimulai dari i, ii, iii, dan seterusnya. Lembar kerja S1 menyelesaikan tugas T1 dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Lembar kerja S1 tugas T1

Berdasarkan lembar kerja penyelesaian T1, peneliti melakukan wawancara kepada S1. Petikan wawancara sebagai berikut.

P : “Tadi Fikri mulai dengan membaca Petunjuk dan Tugas. Pada saat atau setelah Fikri

membaca tugas itu, apa yang terpikirkan oleh Fikri?”

1 : “Pertama jumlah … Jumlah besar sudut suatu segitiga adalah 180 0 ”

P : “O… itu yang kamu ketahui dari soal itu ‘kan? Ada yang lain?”

1 : “Membuktikan bahwa jumlah sudut, jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga 180 0 ”.

S1 menjelaskan lebih lanjut bahwa ia mengingat ‘hubungan sudut-sudut yang terbentuk oleh garis-garis berpotongan’, dan dia gunakan pengetahuan tersebut mengonstruksi gambar 1 (i). Berikut wawancara berbasis gambar 1(iv).

P : “..... Kemudian kamu menentukan sudut-sudut di sini (menunjuk semua sudut-sudut yang

telah diberi nama). Setelah itu sudah terpikirkah kepadamu cara penyelesaian tugas ini? 1 : “Pertama masih bingung”. P : “Terus... setelah kamu menulis semua ini (menunjuk semua sudut-sudut di sekitar titik

sudut segitiga), apa yang terpikirkan padamu?” 1 : “Tadi mau... anu yang ini (menunjuk tiga sudut yang membentuk sudut lurus: sudut A 2 ,

sudut C dan sudut B 2 ), tapi takut yang ini (menunjuk sudut C).

.............. P : “Tetapi kamu takut karena apa?”

1 : “Di sini (menunjuk A 2 &B 2 ) ada dua, yang ini (menunjuk C) nggak ada”. P : “Oke, sampai di sini apa pengetahuan baru yang kamu peroleh?” 1 : “Cara mengerjakannya mencari pelurus, mencari pelurusnya”.

Berdasarkan pemahamannya ini, S1 membuat rencana penyelesaian tugas, kemudian mengonstruksi gambar 1(v), memeriksa dan memperbaiki yang salah, hingga ia yakin bahwa gambar tersebut merupakan penyelesaian tugasnya. Subyek juga dapat menjelaskan makna gambar penyelesaian (gambar 1(v)). Ketika peneliti menanyakan makna “jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180 0 ” baginya, subyek menjelaskan usaha “mencari pelurus

sudut-sudut segitiga ”. Hal ini menunjukkan bahwa subyek memandang teorema sebagai simbol yang menyatakan prosedur bukti.

Wawancara terhadap S1 berdasarkan T1 menunjukkan bahwa proses berpikir yang terjadi dimulai dengan tahap identifikasi: (1) mengidentifikasi hal-hal prinsipil dalam lembar tugas, dan (2) melukis gambar mental (segitiga) untuk memperjelas masalah. Tahap kedua adalah mobilisasi dan organisasi data: (1) mengingat dan memilih pengetahuan atau pengalaman sebelumnya yang relevan dengan masalah, terutama hubungan sudut-sudut yang terbentuk oleh garis-garis berpotongan, (2) menerapkannya dalam kondisi masalah (gambar 1(i)-(iv)), kemudian (3) mengorganisasikan semua data yang diperoleh untuk membuat konsepsi tentang masalah (gambar 1(iv)). Tahap ketiga adalah membuat rencana: (1) merumuskan masalah berdasarkan konsepsi masalah pada gambar 1(iv)), (2) merumuskan langkah-langkah penyelesaian. Tahap keempat adalah aplikasi rencana (gambar 1.(v)): (1) melengkapi gambar sesuai rencana penyelesaian, (2) memeriksa langkah-langkah pembuktian, dan (3) memperbaiki yang salah. Pada tahap ini, S1 dapat menyebutkan prosedur pembuktian yang dilakukannya, tetapi belum mampu memaknai seluruh rangkaian bukti yang telah dia susun.

Wawancara kepada S1 berbasis penyelesaian tugas T2 (gambar 2) sebagai berikut.

P : “Apa yang membuat kamu yakin bahwa penyelesaian menurut gambar ini (menunjuk gambar 2(i)) sama dengan cara yang pertama?”, sambil menunjuk gambar 1(iv). 1 : “Bentuk gambarnya hampir sama”. P : “O, karena bentuk gambarnya hampir sama. Jadi sekarang prinsipnya, kamu mencari cara

lain dengan apa?” 1 : “Dengan melukis bentuk yang berbeda”. Subyek mengungkapkan lebih lanjut bahwa setelah menyelesaikan tugas T2, dia akan menyelesaikan tugas yang sama dengan cara gambar 2(iv), karena sangat sederhana. Setelah mewawancarai S1 tentang gambar 2(iv), terungkap hal-hal berikut.

P : “Pertanyaan Bapak yang terakhir. Sampai sekarang, kita sudah membuktikan bahwa besar

sudut-sudut suatu segitiga 180 0 . Sekarang coba tenang, tenang, tenangkan pikiranmu. Saya akan mengatakan bahwa ‘jumlah besar sudut-sudut segitiga adalah 180 0’ . Apa yang

terbayang sekarang dalam pikiranmu?” 1 : Melihat gambar 2(iv), kemudian berkata “Jika jumlah sudut segitiga D, E, F digabungkan

akan menghasilkan besar sudut 180 0 ”.

P : “Ada lagi yang muncul dalam pikiranmu?”

1 : “Jika ketiga sudut didekatkan akan membentuk sudut lurus” (menunjuk gambar 2(iv)) P : “Apa lagi?” 1 : “Caranya” (menunjuk gambar 2(iv)). P : “Jadi jika kamu mendengar pernyataan itu (maksudnya ‘jumlah besar sudut-sudut segitiga

180 0 ), kamu juga ingat caranya?” 1 : “Iya”. P : “Bagaimana caranya?” 1 : “Mencari sudut yang sama, yang sama besar, dan membentuk garis lurus”.

(i)

(ii)

(iii)

(iv)

Gambar 2. Lembar kerja S1 tugas T2

Berdasarkan lembar tugas T2 dan wawancara yang dilakukan, terungkap bahwa S1 mengonstruksi bukti dengan mengikuti keempat tahap proses berpikir ketika menyelesaikan T1. Perbedaan keduanya terutama pada pembentukan konsepsi tentang masalah. Pembentukan konsepsi tentang masalah T1 berlangsung dari proses menerapkan pengetahuan relevan (hubungan sudut yang terbentuk oleh garis-garis berpotongan) hingga merumuskan bahwa masalahnya adalah menemukan tiga sudut yang bersisian dan membentuk sudut lurus yang besarnya sesuai dengan ukuran masing-masing sudut segitiga. Sedangkan saat mulai mengerjakan T2, subyek telah memahami masalah seperti T1 tetapi dalam kondisi kerangka gambar penyelesaian yang berbeda dengan kerangka gambar penyelesaian T1. Penyelesaian T2 membantu subyek mengalami tahap proses berpikir lebih lanjut, yaitu tahap kelima: pembentukan makna: (1) merumuskan secara sederhana prosedur pengembangan bukti-bukti, dan (2) merumuskan makna rangkaian bukti, kemudian melakukan tahap keenam: evaluasi bukti: (1) menyusun bukti lain, (2) memilih bukti yang lebih sederhana, dan (3) memeriksa kelengkapan semua bukti.

Tujuan pemberian tugas T3 yang utama bukan untuk mengetahui kemampuan subyek menyelesaikan tugas, tetapi menyiapkan kondisi agar dapat mengungkap apakah subyek telah

memikirkan bukti “jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180 0 ” sebagai prosep secara proseptual. Berikut adalah petikan wawancara dengan S1 sebelum menyelesaikan T3.

P : “Bagaimana kamu yakin benar (penyataan tugas III nomor 1, oleh penulis)? Bisa kamu

jelaskan?” 1 : “Karena sudut A (menunjuk sudut BAC) ditambah sudut B (menunjuk sudut ABC) kan menghasilkan sudut ini (menunjuk sudut BCD)”. P : “Mengapa bisa menghasilkan sudut itu?” Subyek masih

B terus berpikir. P berkata, “Apa dasarnya?” 1 : “Karena besar sudut segitiga membentuk 180 0 ”.

P : “Mana segitiga itu?” 1 : “Ini”, sambil menunjuk segitiga ABC pada lembar Tugas.

A C D P : “Apa maksudnya?”

1 : “Karena jika sudut A (menunjuk sudut A) ditambah dengan sudut B (menunjuk sudut B) kan menghasilkan sudut ini (menunjuk sudut BCD)”. P : “Mengapa bisa menghasilkan sudut itu?”

1 : “Karena jika sudut A (menunjuk sudut A), ditambah dengan sudut B (menunjuk sudut B) akan menghasilkan sudut ini (menunjuk sudut BCD) akan menghasilkan sudut lurus dengan C (menunjuk sudut C)”.

P : “Kalau menghasilkan sudut lurus, terus apa?”

1 : “Kan dasarnya tadi. Jumlah besar sudut-sudut segitiga 180 0 ”. P : “Itu kan 180 0 . Kalau sudut A ditambah sudut B ditambah sudut C itu membentuk sudut

lurus, apa hubungannya?” 1 : “Hubungannya jika ketiga sudut itu (menunjuk sudut A, sudut B, sudut C) didekatkan akan membentuk sudut lurus (menunjuk sudut lurus ACD)”. P : “Sudut apa?” 1 : “Sudut A, B, C”. Penyelesaian tugas 3).b dilakukan dengan membagi jajargenjang menjadi dua segitiga. Bagi subyek, jumlah besar sudut-sudut segitiga adalah 180 0 , maka jumlah besar sudut-sudut jajargenjang sama dengan dua kali jumlah besar sudut-sudut segitiga atau 360 0 . Berdasarkan

analisis data, disimpulkan bahwa:

1) Proses bukti tugas T1 dan T2 bagi subyek adalah mencari sudut-sudut bersisian yang masing-masing sama dengan ukuran sudut-sudut segitiga dan membentuk sudut lurus. Menurut rumusan ini, subyek telah mengabstraksi prosedur yang kompleks. Subyek tidak terikat lagi dengan langkah melukis segitiga lebih dulu, kemudian melukis dua ruas garis yang dipotong oleh ruas garis lain, dan seterusnya. Subyek fokus pada proses menemukan tiga sudut saling berpelurus. Karena dalam bentuk abstraksi yang sederhana, bahkan subyek dapat menggunakan proses bukti tersebut menyelesaikan tugas lain (T3).

2) Konsep bukti yang dipahami subyek terbagi dua, yaitu makna secara geometri dan aritmatika. Secara geometri bermakna gabungan tiga sudut-sudut suatu segitiga membentuk sudut lurus,

dan secara aritmatika bermakna jumlah ukuran sudut-sudut segitiga sama dengan 180 0 .

3) Ketika subyek mengatakan “jumlah besar sudut-sudut segitiga adalah 180 0 ”, secara fleksibel subyek bermaksud menyatakan atau merujuk silih berganti proses atau konsep bukti teorema

tersebut. Pada saat ini, teorema telah menjadi simbol yang menyatakan proses atau konsep bukti, dan subyek memikirkan proses dan konsep tersebut secara proseptual.

Berdasarkan hasil kerja dan wawancara terhadap S1 tersebut, disimpulkan bahwa subyek mengalami tahap berpikir lebih lanjut, yaitu tahap ketujuh: tahap prosep: (1) merumuskan proses bukti, (2) merumuskan konsep bukti, dan (3) memikirkan proses dan konsep bukti tersebut secara proseptual.

Data proses berpikir S2 tidak berbeda secara prinsipil dengan S1. Penyelesaian T1 oleh S2 terdiri dari 3 gambar, dimulai dengan mengidentifikasi data, mobilisasi dan organisasi data, merumuskan rencana dan mengaplikasikannya. Perbedaan terjadi pada tahap mobilisasi dan organisasi data. Setelah tahap identifikasi, S1 mengingat dan menerapkan pengetahuan relevan dengan masalah, dengan mengonstruksi 4 gambar (gambar 1.(i)-(iv), barulah subyek memahami konsepsi masalah, kemudian merumuskan rencana pembuktian. Sedangkan S2 sudah memahami konsepsi masalah sebelum mulai mengonstruksi gambar pertama. Tetapi tahap mobilisasi dan organisasi data proses berpikir S2 memenuhi karakteristik tahap berpikir S1. S2 mengingat pengetahuan hubungan sudut-sudut yang terbentuk oleh garis-garis berpotongan, mengingat

bahwa sudut 180 0 adalah sudut lurus, mengadaptasikannya pada kondisi masalah, kemudian merumuskan konsepsi masalah bahwa masalah yang dihadapinya adalah mencari tiga sudut yang

merupakan pelurus satu sama lain yang masing-masing besarnya sama dengan ukuran masing-masing sudut segitiga. Dengan demikian, perbedaan tersebut tidak prinsipil. S1 melakukan tahap mobilisasi dan organisasi data dengan tindakan langsung mengonstruksi gambar untuk memperjelas konsepsi masalah, sedangkan S2 melakukan tahap yang sama dengan proses berpikir dalam mental saja. Ada data lain yang menarik. Sama seperti S1, S2 belum memahami makna bukti setelah mengerjakan T1, tetapi telah memahami prosedur bukti yaitu “pertama-tama gambar segitiga dulu (menunjuk gambar segitiga), menarik garis-garis (menunjuk perpanjangan sisi-sisi segitiga dalam gambar), lalu menentukan hubungan antar sudut-sudut, sampai ketemu sudut berpelurus ”.

Tugas kedua (T2) diselesaikan oleh S2 dalam 3 cara. Cara pertama berhasil pada gambar ketiga, penyelesaian kedua dalam satu gambar yang selesai dalam 43 detik, dan cara ketiga adalah penyelesaian yang paling sederhana. Berdasarkan data penelitian, subyek mengalami tahap proses berpikir lebih lanjut, yaitu tahap pembentukan makna dan evaluasi, dengan karakteristik yang sama dengan proses berpikir S1.

Tetapi berbeda dengan S1, S2 mencapai tahap prosep setelah menyelesaikan T3. Setelah menyelesaikan tugas, terungkap dalam wawancara hal-hal berikut.

P : “Oke. Sekarang coba tenang dulu ya. Kalau Aulia sekarang mendengar bahwa ‘jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga 180 0 ’, apa maksudnya?” 2 : “Sudut A tambah B tambah C itu 180 0 ”.

P : “O, hasil pengukurannya ya?” 2 : “Iya”. P : “Ada lagi?”

2 : “Kalau digabung membentuk 180 0 ”.

........................ P : “Perhatikan sekali lagi gambarmu (menunjuk gambar 3). Pasti benarkah pernyataan pada

soal?” (pernyataan dalam tugas 3)a-penulis). 2 : Berpikir lama, kemudian berkata “Ya”. P : “Bagaimana bisa?” 2 : “Segitiga sudut-sudutnya 180 0 . Ini sudut C (menunjuk sudut ACB). Sisanya ini kan

membentuk sudut lurus (menunjuk sudut BCD), sama dengan sudut segitiganya”. P : “Apa maksudnya?”

2 : “Jumlahnya 180 0 ”.

Gambar 3. Penyelesaian T3 bagian a oleh S2

Berdasarkan data penelitian, S2 memahami proses maupun konsep bukti, dan memikirkannya secara proseptual. Artinya ketika subyek menyatakan redaksi teorema “jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga 180 0 ”, subyek sedang merujuk silih berganti proses atau konsep

bukti, baik makna secara geometri maupun aritmatik. Perbedaannya dengan S1, S2 mencapai tahap prosep setelah menyelesaikan T3, sedangkan S1 telah mencapai tahap tersebut sebelum menyelesaikan T3, yang terungkap ketika peneliti melakukan wawancara tentang rencana penyelesaian T3 menurut subyek.

Temuan lain adalah sifat kemajuan berpikir. S1 melakukan beberapa kali mobilisasi dan organisasi data sebelum merumuskan rencana pembuktian, selama subyek mengonstruksi gambar 1(i)-(iv). Artinya setelah melakukan mobilisasi dan organisasi data berdasarkan gambar 1.(i), subyek tidak langsung ke tahap merumuskan rencana pembuktian. Mudah dilihat juga bahwa kedua subyek mencapai tahap berpikir evaluasi setelah mengonstruksi beberapa bukti berbeda, dan setiap kali mengonstruksi bukti, subyek melakukan kegiatan berpikir tahap pertama sampai keempat. Berdasarkan fakta-fakta ini, disimpulkan bahwa proses berpikir mengonstruksi bukti sebagai prosep tidak selalu maju terus secara linier dari tahap identifikasi, ke tahap mobilisasi dan organisasi data, sampai ke tahap prosep, tetapi kembali beberapa kali ke tahap-tahap sebelumnya.

C. PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dijelaskan pada bagian B, menunjukkan bahwa pengonstruksian bukti sebagai prosep dalam pembelajaran terdiri dari tujuh tahap. Tahap pertama sampai keenam hampir paralel dengan kemajuan berpikir untuk membuktikan menurut George Polya ( Polya, 1973; 1981). Polya menjelaskan bahwa kemajuan berpikir untuk membuktikan dimulai dengan tahap identifikasi, mobilisasi dan organisasi, pembentukan dan perobahan konsepsi tentang masalah, aplikasi dan melihat kembali (looking back). Perumusan konsepsi masalah dipandang sebagai perumusan masalah dan langkah-langkah pembuktian. Sedangkan pembentukan makna Hasil penelitian yang dijelaskan pada bagian B, menunjukkan bahwa pengonstruksian bukti sebagai prosep dalam pembelajaran terdiri dari tujuh tahap. Tahap pertama sampai keenam hampir paralel dengan kemajuan berpikir untuk membuktikan menurut George Polya ( Polya, 1973; 1981). Polya menjelaskan bahwa kemajuan berpikir untuk membuktikan dimulai dengan tahap identifikasi, mobilisasi dan organisasi, pembentukan dan perobahan konsepsi tentang masalah, aplikasi dan melihat kembali (looking back). Perumusan konsepsi masalah dipandang sebagai perumusan masalah dan langkah-langkah pembuktian. Sedangkan pembentukan makna

Pembentukan makna juga menarik perhatian. Berbeda dengan pandangan Polya, hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan makna merupakan satu tahap tersendiri. Walaupun S1 mampu mengonstruksi bukti berdasarkan tugas T1 dan menjelaskan maksudnya, tetapi dalam wawancara berdasarkan penyelesaian T1, S1 hanya mampu merumuskan prosedur penyusunan bukti, tetapi belum menyadari maknanya. Setelah peneliti mewawancarai S1 tentang langkah-langkah penyelesaian tugas T2 dan memintanya merumuskan makna dari bukti yang disusunnya, barulah subyek mampu merumuskan makna rangkaian bukti dan menyederhanakan prosedur-prosedur dari seluruh penyelesaian yang berhasil dia susun. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang memerlukan waktu untuk memahami makna bukti yang ada. Rumusan hasil penelitian ini menjawab dengan tegas fenomena “mengapa ada yang mampu mengonstruksi bukti tetapi kurang atau tidak memahami makna bukti yang disusunnya”. Hasil penelitian ini memberi penjelasan dengan gamblang, “tahap pembentukan makna terabaikan”. Hasil penelitian ini juga mengamanatkan hal yang penting, bahwa pembentukan makna merupakan kegiatan yang perlu diberi waktu yang cukup, suatu tahap penting dalam pengonstruksian bukti dalam pembelajaran, agar siswa memahami bukti yang dikonstruksinya.

Hal lain yang menarik adalah tahap prosep. Polya tidak menjelaskan tahap ini. Tetapi Gray-Tall (1994), dan Tall (1992; 1995) merumuskan bahwa tahap prosep merupakan tahap proses berpikir yang memberi hasil belajar yang lebih sukses. Pendapat Gray-Tall sesuai dengan hasil penelitian. Pada tahap prosep, makna rangkaian bukti maupun langkah-langkah pengonstruksian bukti yang kompleks diabstraksi hingga bentuknya yang sederhana. Karena bentuk yang sederhana, seseorang yang mampu memikirkan prosep secara proseptual, mampu memikirkan secara fleksibel berpindah-pindah dalam suatu waktu dari proses ke konsep atau sebaliknya, seperti satu item pengetahuan. Karena bentuknya yang sederhana, prosep dapat diterapkan pada masalah-masalah baru, tidak hanya pada masalah rutin. Hal ini menjelaskan “mengapa ada yang mampu mengonstruksi bukti suatu teorema dan memahami maknanya, tetapi gagal menggunakannya menyelesaikan masalah-masalah matematika”. Hal ini terjadi karena mereka belum memahami bukti sebagai prosep, dan belum mampu memikirkannya secara proseptual. Untuk sukses, seseorang harus mencapai tahap prosep. Pada tahap prosep, seseorang memiliki pengetahuan prosedural yaitu proses bukti yang dapat dilakukan, dan pengetahuan konseptual yaitu konsep bukti yang dapat dipikirkan dan dimanipulasi pada proses berpikir lebih lanjut. Proses dan konsep tersebut dipahami dalam bentuknya yang sederhana, sehingga dapat dipikirkan sebagai satu item pengetahuan dalam suatu waktu, dan dapat digunakan sebagai satu langkah saja dalam proses berpikir matematika selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Crowley, dkk pada matematika simbolik. Crowley, dkk menjelaskan, “We believe that procepts are at the root of human ability to manipulate mathematical ideas in arithmetic, algebra and other theories involving manipulable symbols. They allow the biological brain to switch Hal lain yang menarik adalah tahap prosep. Polya tidak menjelaskan tahap ini. Tetapi Gray-Tall (1994), dan Tall (1992; 1995) merumuskan bahwa tahap prosep merupakan tahap proses berpikir yang memberi hasil belajar yang lebih sukses. Pendapat Gray-Tall sesuai dengan hasil penelitian. Pada tahap prosep, makna rangkaian bukti maupun langkah-langkah pengonstruksian bukti yang kompleks diabstraksi hingga bentuknya yang sederhana. Karena bentuk yang sederhana, seseorang yang mampu memikirkan prosep secara proseptual, mampu memikirkan secara fleksibel berpindah-pindah dalam suatu waktu dari proses ke konsep atau sebaliknya, seperti satu item pengetahuan. Karena bentuknya yang sederhana, prosep dapat diterapkan pada masalah-masalah baru, tidak hanya pada masalah rutin. Hal ini menjelaskan “mengapa ada yang mampu mengonstruksi bukti suatu teorema dan memahami maknanya, tetapi gagal menggunakannya menyelesaikan masalah-masalah matematika”. Hal ini terjadi karena mereka belum memahami bukti sebagai prosep, dan belum mampu memikirkannya secara proseptual. Untuk sukses, seseorang harus mencapai tahap prosep. Pada tahap prosep, seseorang memiliki pengetahuan prosedural yaitu proses bukti yang dapat dilakukan, dan pengetahuan konseptual yaitu konsep bukti yang dapat dipikirkan dan dimanipulasi pada proses berpikir lebih lanjut. Proses dan konsep tersebut dipahami dalam bentuknya yang sederhana, sehingga dapat dipikirkan sebagai satu item pengetahuan dalam suatu waktu, dan dapat digunakan sebagai satu langkah saja dalam proses berpikir matematika selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Crowley, dkk pada matematika simbolik. Crowley, dkk menjelaskan, “We believe that procepts are at the root of human ability to manipulate mathematical ideas in arithmetic, algebra and other theories involving manipulable symbols. They allow the biological brain to switch

D. SIMPULAN DAN SARAN

Bukti visual/simbolik yang dikonstruksi oleh siswa SMP dapat dipandang sebagai prosep. Proses berpikir siswa SMP mengonstruksi bukti visual/simbolik tersebut sebagai prosep dilakukan dalam tujuh tahap, yaitu: identifikasi, mobilisasi dan organisasi data, pembuatan rencana, aplikasi rencana, pembentukan makna, evaluasi, dan tahap prosep. Cara pandang dan hasil penelitian ini dapat dijadikan alternatif bahan pertimbangan dalam menyelenggarakan pembelajaran geometri, untuk Indonesia yang lebih baik.

E. DAFTAR PUSTAKA

Crowley, L., DeMarois, P., Gray, E., Maselan Bin Ali, McGowen, M., Pitta, D., Pinto, M., Tall, D., Thomas, M., Yusof, Y. 2001. “Symbols and the Bifurcation between Procedural and Conceptual Thinking”. Canadian Journal of Science, Mathematics and Technology Education 1 , 81–104.

Davis. G., Gray , E., Simpson, A., Tall, D., Thomas, M. 2000. “What is the Object of the Encapsulation of a Process?” http://homepages.warwick.ac.uk/staff/David.Tall/pdfs/ dot2000a-objec-encap-jmb.pdf, diakses 28 April 2011

Erh-Tsung Chin.2003

“Mathematical Proof as Formal Procept in Advanced Mathematical

Thinking”. http://online.terc.edu/PME2003/PDF/ RR_chin.pdf, diakses 4 April 2009 Fuys, D., Geddes, D., and Tischer, R. 1988. The van Hiele Model of Thingking in Geometry

Among Adolescens. Journal for Research in Mathematics Education. Monograph no. 3. Reston : NCTM.

Gray, Eddie dan Tall, David. 1994. ”Duality, Ambiguity and Flexibility : A Proceptual View of

Simple Arithmetic”. Journal for Research in Mathematics Education, 26(2), 115-141. Ndraha, Faaso, 2011. Proses Berpikir Mengonstruksi Bukti Geometri sebagai Prosep

Berdasarkan Teori Gray-Tall dan Polya. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2011 , Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Polya, George. 1973. How to Solve It A New Aspect of Mathematical Method. 2 th

ed. New Jersey: Princeton University Press.

Polya, George. 1981. Mathematical Discovery. New York: John Wiley & Sons. Inc. Soedjadi, R. 2000. Kiat-kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti

Departemen Pendidikan Nasional. Sunardi, 2000. Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa Kelas III SLTP Negeri di Jember.

Sriwulan Adji dan Janson Naiborhu (eds). Prosiding Konferensi Nasional Matematika X, Institut Teknologi Bandung , 6(5), hal. 635-639. Bandung: ITB

Tall, David. 1992. “Construction of Objects through Definition and Proof”. Proceedings of PME Working

Thinking.Durham. http://warwick.ac.uk/staff/David.Tall/pdfs/dot1992m-constr-def-amt.pdf, diakses 14 Juni 2010.

Group

on

Advanced

Mathematical

Tall, David, 1995. Cognitive Development, Representations, and Proof. Makalah pada Konferensi Justifying and Proving in School Matematics, Institute of Education, London, Desember

http://homepages.warwick.ac.uk/staff/David.Tall/ pdfs/dot1995-repns-proof.pdf, diakses 14 Juni 2010.

1995.

Tall, David, 1997. “From School to University: The Effects of Learning Styles in the Transition from Elementary to Advanced Mathematical Thinking”. In Thomas, M. O. J. (Ed.) Proceedings of The Seventh Annual Australasian Bridging Network Mathematics Conference , University of Auckland, 9-26.

P – 36

PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) DIKELAS 7 SMP ISLAMAR-RIDHA BAGANSIAPIAPI ROKAN HILIR RIAU

Gadis Arniyati Athar

STAI Ar-Ridho Bagansiapiapi Rokan Hilir gadiezara@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran, meningkatkan motivasi dan hasil belajar matematika siswa dengan penerapan pendekatan pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik (PMR).Penelitian ini dilaksanakan di kelas 7 SMP Ar-Ridha Bagansiapiapi Rokan Hilir pada Semester Ganjil dari tanggal 1 sampai 19 November tahun 2012, dengan siswa berjumlah 24 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket motivasi belajar dan tes hasil belajar.Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari 2 siklus yakni siklus 1 yang terdiri dari 3 pertemuan dan siklus 2 terdiri dari 4 kali pertemuan. Pada setiap siklus terdapat evaluasi siklus untuk melihat motivasi belajar dan hasil belajar siswa. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa Pendekatan PMR dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Ini dapat dilihat dari hasil rata-rata skor motivasi siswa mengalami peningkatan dari 27,5 (kategori rendah) pada skor dasar menjadi 40,39 (kategori tinggi) pada siklus 1 dan 42, 2 (kategori tinggi) pada siklus 2. Dari hasil perindikator menunjukkan bahwa peningkatan motivasi yang paling besar terjadi pada indikator percaya diri dan minat.Dari hasil tes belajar siswa juga terjadi peningkatan rata-rata dari ketuntasan hasil belajar (KKM ≥ 65) yakni, 21,43% sebelum tindakan menjadi30,4% pada siklus 1 dan 53,57% pada siklus 2.

Kata kunci: Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik (PMR), Motivasi, Hasil Belajar.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Matematika sebagian besar dianggap sebagai mata pelajaran yang “sulit” dan “menakutkan”. Siswa terkesan menjauhi dan membenci matematika. Persepsi siswa terhadap matematika juga sangat buruk, dimana kebanyakan siswa beranggapan bahwa matematika hanya berguna untuk berhitung, sedangkan materi lain tidak atau kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Karena kurang merasakan manfaat matematika maka motivasi dan hasil belajar matematika siswa menjadi rendah.

Soedjadi (2000: 66) mengatakan bahwa “selama ini sebagian besar guru matematika dalam menyajikan matematika kepada siswanya cenderung melaksanakan praktik pengajaran yang monoton dengan tahap-tahap; menyajikan teori, definisi atau teorema dilanjutkan dengan memberikan contoh dan diakhiri dengan latihan soal-soal.” Tahap awal pengajaran matematika yang demikian dimaksudkan oleh guru sebagai upaya “penanaman”

konsep atau prinsip ke dalam pikiran siswa. Karena guru berkeyakinan bahwa hanya dengan memberikan konsep atau prinsip sejak awal para siswa akan dapat menyelesaikan soal-soal yang diberikan selanjutnya. Keyakinan dan pandangan inimemposisikan siswa sebagai objek yang hanya bisa menerima transfer ilmu semata-mata. Seharusnya guru mendorong siswa untuk mengembangkan kemampuannya sendiri. Dengan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Pendapat ini mempunyai kesesuaian dengan apa yang dialami maupun diamati oleh peneliti di SMP Islam Ar-Ridha Bagansiapiapi Rokan Hilir Riau. Gejala siswa terkesan menjauhi dan membenci matematika juga terjadi di SMP Islam Ar-Ridha Bagansiapiapi Rokan Hilir Riau. Siswa tampak acuh ketika pembelajaran berlangsung. Tingkat partisipasi siswa dalam pembelajaran sangat rendah, guru tampak lebih mendominasi

pembelajaran. Siswa banyak tidak memperhatikan guru dan malah cendrung membuat keributan di dalam kelas. Dilihat dari rata-rata ketuntasan klasika dari hasil belajar siswa yakni 21,43%, hanya 5 orang siswa dari 24 orang yang tuntas dengan kriteria ketuntasan minimal 6,5. tampak bahwa ada hal yang harus diperbaiki dalam pembelajaran matematika di SMP Islam Ar-Ridha Bagansiapiapi Rokan Hilir Riau.

Realistic Mathematics Education (Pendidikan Matematika Realistik) adalah suatu bentuk pendekatan dalam pendidikan matematika yang telah dikembangkan di Belanda mulai sekitar tahun 1971 yang lalu oleh Freudenthal. Pengembangan model pembelajaran ini dilakukan dengan mendasarkan pada filosofi yang memandang matematika sebagai hasil kegiatan atau aktivitas manusia. Gravemeijer (1994: 82) mengungkapkan “Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics as an activity” . Implementasi pandangan ini adalah sebuah bentuk pembelajaran matematika sekolah yang menganut pada prinsip re-invention atau “penemuan kembali”.

Menurut Soedjadi (2000: 2) pembelajaran matematika realistik tidak diawali dengan memberikan definisi dan teorema, diikuti contoh penggunaannya dan pemberian masalah sebagai bahan latih siswa menerapkan definisi atau teorema itu, tetapi pengajaran matematika yang dirancang dengan memanfaatkan realistas dan lingkungan yang dipahami siswa. Yang dimaksud dengan realitas tersebut adalah hal-hal nyata atau konkret yang dapat diamati atau dipahami siswa lewat membayangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan tersebut adalah lingkungan tempat siswa berada. Pemanfaatan realitas dan lingkungan tersebut diwujudkan dalam bentuk soal cerita (masalah kontekstual) yang harus dipecahkan siswa.

Gravemeijer (1994: 82) menjelaskan bahwa “yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan, yang disebut dengan matematisasi”. Matematisasi horisontal adalah proses transformasi masalah yang dinyatakan dalam bahasa sehari-hari ke bahasa matematika. Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses dalam matematika itu sendiri. Dengan dorongan dan arahan guru, para siswa diberi kebebasan beraktivitas untuk

menyelesaikan masalah tersebut yang bermuara pada penemuan kembali atau pengkonstruksian sifat, definisi, teorema atau aturan oleh siswa sendiri .

Konsep lain dari pembelajaran matematika realistik dikemukakan Treffers (dalam Fauzan, 2002: 33–34) yang menjelaskan ide kunci dari pembelajaran matematika realistik yang menekankan perlunya kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali matematika dengan bantuan orang dewasa (guru). Selain itu disebutkan pula bahwa pengetahuan matematika formal dapat dikembangkan (ditemukan kembali) berdasar pengetahuan informal yang dimiliki siswa.

Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu (1) guided reinvention and progressive mathematizing (2) didactical phenomenology dan (3) self-developedmodels.

a) Guided reinvention and progressive mathematizing. berdasar prinsip reinvention , para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika a) Guided reinvention and progressive mathematizing. berdasar prinsip reinvention , para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika

b) Didactical phenomenology. berdasar prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i) memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing.

c) Self -developedmodels, menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa.

Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya dijabarkan menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika sebagai berikut ini. Karena hal ini maka beberapa di antara karakteristik berikut ini akan muncul dalam pembelajaran matematika. Menurut Soedjadi (2000: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:

a) Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.

b) Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.

c) Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.

d) Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.

e) Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.

Dari seluruh uraian di atas maka sudah saatnya pembelajaran matematika lebih diarahkan pada pencapaian tujuan instruksional yang lebih memberi tekanan pada proses belajar yang dialami siswa. Hal ini dilakukan dengan mendorong siswa untuk terlibat aktif berpikir dalam membangun pengetahuan yang bermakna untuk dirinya. Salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut adalah menerapkan pembelajaran matematika realistik.

Dari hal diatas, peneliti ingin mengetahui efektifitas model pembelajaran dengan mengadakan penelitian yang diberi judul “Meningkatkan Motivasi Belajar Matematika Siswa dengan Menerapkan Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik (PMR)”

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pada penelitian ini, maka disusunlah satu rumusan masalah sebagai berikut : Apakah penerapan pembelajaran matematika dengan menggunakan dengan Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik dapat meningkatkan motivasi belajar matematika siswa kelas 7 di SMP Islam Ar-Ridha Bagansiapiapi Rokan Hilir Riau ?”

3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah maka tujuan penelitian memperbaiki proses pemebelajaran dan menigkatkan hasil belajar matematika di SMP Islam Ar-Ridha Bagansiapiapi Rokan Hilir Riau dengan penerapan pembelajaran dengan Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik (PMR).

B. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas atau action research yang terdiri dari dua siklus. Siklus pertama terdiri dari tiga kali pertemuan dan satu evaluasi. Siklus kedua terdiri dari empat kali pertemuan dan satu evaluasi. Sehingga keseluruhan menjadi tujuh kali pertemuan pembelajaran dan dua pertemuan evaluasi.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

SMP Islam Ar-Ridha Bagansiapiapi Rokan Hilir Riau Kelas VII Semester ganjil Tahun Ajaran 2012 / 2013. Penelitian dilaksanakan ada bulan November tahun 2012 pada pokok bahasan Persamaan linier satu variabel

3. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP SMP Islam Ar-Ridha Bagansiapiapi Rokan Hilir Riau Kelas VII yang berjumlah 24 orang.

4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Data yang didapat adalah data kualitatif dan kuantitatif, yaitu berupa :

a. Data motivasi Data motivasi diambil dengan cara memberikan angket kepada siswa sebelum dan setelah melakukan tindakan pada setiap siklus. Untuk pembuatan angket disusunlah kisi-kisi angket motivasi yang berlandaskan kajian pustaka mengenai motivasi belajar. Adapun indikator-indikator tersebut sebagai berikut :

a) Persaingan / kompetensi

b) Ketekunan menghadapi tugas

c) Percaya diri

d) Menunjukkan minat terhadap persoalan matematika

e) Ulet dalam menghadapi kesulitan Berdasarkan indikator-indikator diatas disusun pernyataan. Penyusunan skala pengukuran digunakan dengan metode likert Summated Rating (LRS) dengan alternatif pilihan dari interval 1 - 5.Untuk mengubah data kualitatif kebentuk kuantitatif, maka angket diberi bobot pada masing-masing jawaban. Adapun pernyataan dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu pernyataan positif dan pernyataan negatif terhadap matematika. Untuk pernyataan skor untuk masing-masing jawaban adalah sebagai berikut :

Tabel 1

Alternatif Pilihan dan Bobot Nilai Angket

Pernyataan Pilihan

Negatif Sangat Setuju (SS)

Positif

5 1 Setuju (S)

4 2 Ragu-ragu (R)

3 3 Tidak Setuju (TS)

2 4 Sangat Tidak Setuju (STS)

Selanjutnya spesifikasi pernyataan yang disusun berdasarkan indikator. Angket ini terdiri dari 12 pernyataan, kisi- kisi angket dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2

Kisi-kisi Angket Motivasi Pembelajaran Matematika Realistik No

Indikator

Nomor Item Jumlah

(-)

1. Persaingan/Kompetensi

2. Tekun Menghadapi Tugas

3. Percaya Diri

4. Minat yang Besar terhadap Matematika

5. Ulet dalam Menghadapi Kesulitan

b. Tes Hasil belajar (THB) Untuk menjaring data peningkatan pembelajaran, maka dalam penelitian ini menggunakan instrumen yang berbentuk tes hasil belajar. Tes dilakukan pada akhir setiap siklus.

5. Teknik Analisis Data

Data yang dianalisis meliputi hal-hal berikut :

a. Motivasi Siswa Perubahan yang terjadi pada siswa saat pembelajaran maupun sesudah pembelajaran. Analisis yang digunakan adalah deskripsi, memaparkan data hasil pengamatan, dan hasil angket siswa pada akhir siklus 1 dan siklus 2.

Langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisa motivasi adalah sebagai berikut:

a. Data yang berupa skor tanggapan siswa yang diperoleh melalui kuesioner motivasi diubah menjadi data interval. Dalam kuesioner disediakan lima pilihan untuk memberikan tanggapan tentang kualitas produk yang dikembangkan, yaitu: sangat baik (5), baik (4), cukup (3), kurang (2), sangat kurang (1)

b. Skor yang diperoleh, kemudian dikonversikan menjadi data kualitatif skala lima, (Sukardjo, 2005: 101) pada Tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3

Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif dengan Skala Lima Nilai

Interval skor

Kategori

A X> ̅ i + 1, 80 SB i Sangat tinggi

B ̅ i + 0,60 SB i <X ≤ ̅ i + 1, 80 SB i Tinggi

C ̅ i - 0,60 SB i <X ≤ ̅ i + 0, 60 SB i Cukup

D ̅ i – 1, 80 SB i <X ≤ ̅ i - 0,60 SB i Rendah

E X ≤̅ i - 1, 80 SB i Sangat Rendah Keterangan:

= Rerata skor ideal = ½ (skor maksimal ideal+ skor minimal ideal). = Simpangan baku ideal = 1/6 (skor maksimal ideal –skor minimal ideal).

X = Skor Aktual.

Sedangkan untuk memperoleh skor rata-rata penilaian terhadap motivasi belajar matematika secara keseluruhan digunakan rumus sebagai berikut :

X=

Keterangan: = Skor rata-rata ∑X = Jumlah skor Keterangan: = Skor rata-rata ∑X = Jumlah skor

b. Peningkatan hasil belajar

a) Ketuntasan individu Setiap siswa dalam proses belajar mengajar dikatakan tuntas terhadap materi pelajaran yamg diberikan apabila memperoleh nilai lebih besar dari sama dengan 65 (berdasarkan kriteria ketuntasan individu yang digunakan di Islam Ar-Ridho bagansiapiapi Rokan Hilir Riau Adapun rumus gunakan untuk mencari ketuntasan individu yaitu :

 Skor yang dicapai siswa X = x 100%

 skor maksimal

Keterangan :

X = Presentase ketuntasan belajar siswa Jika X  65% maka ketuntasan belajar tercapai, Jika X < 65% maka ketuntasan belajar tidak tercapai

b) Ketuntasan klasikal Untuk menghitung ketuntasan klasikal, rumus yang digunakan adalah

X KK   100 %

Keterangan : KK = ketuntasan klasikal

Z = jumlah siswa

X = jumlah siswa yang memperoleh nilai ≥ 65

Indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah terjadinya peningkatan prestasi belajar siswa dari skor dasar, siklus pertama dan siklus berikutnya. Setelah memperoleh data tes hasil belajar, maka data tersebut dianalisis dengan mencari ketuntasan belajar

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Motivasi

Hasil dari data motivasi belajar siswa dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini:

Tabel 4 Hasil Motivasi Belajar Siswa

No

Kategori Banyak Siswa

Pra Survei

Siklus 1

Siklus 2

1 Sangat Tinggi 0 0 0 2 Tinggi

0 2 3 3 Sedang

4 10 11 4 Rendah

20 12 10 5 Sangat Rendah

0 0 0 Rata-rata Skor Motivasi

Dari table 4 dapat dilihat secara bahwa adanya peningkatan motivasi dari rata-rata motivasi dan dari jumlah siswa pada setiap tingkatan kategori, dari sebelum penerapan dan setelah penerapan pembelajaran PMR.

Dengan cara yang sama dilakukan analisis untuk setiap indikator Hasil analisis pada setiap indikator dapat dilihat pada tabel 5 berikut:

Tabel 5

Data Motivasi Untuk Setiap Indikator

Siklus 2 No

Observasi Awal

Siklus 1

Indikator

Skor Kategori 1. Persaingan/

6,68 Sedang Kompetisi 2. Ketekunan

6,54 Sedang 3. Percaya Diri

7,96 Tinggi 4. Minat

14,25 Tinggi 5. Keuletan

Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa peningkatan motivasi yang besar terjadi pada indikator percaya diri dan minat.

2. Tes Hasil Belajar

Dalam pembelajaran, disetiap akhir siklus diadakan tes tertulis untuk mengukur keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran. Tes ini juga untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa.Berikut ini disajikan secara singkat data hasil tes pada skor dasar yang diambil dari nilai pada materi sebelumnya, siklus I dan siklus 2 :

Tabel 6 Data Ketuntasan Belajar Siswa

Jumlah Siswa

No

Persentasi 1 Skor Dasar

Tuntas

Tidak Tuntas

Dari tabel 6 terlihat bahwa terjadi peningkatan pada hasil belajar siswa. Namun ini belum memenuhi syarat yang ditentukan oleh KTSP yakni ketuntasan belajar secara klasikal harus seratus persen.

D. SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa: :

a. Terdapat peningkatan motivasi setelah penerapan pembelajaran dengan pendekatan PMR di SMP Islam Ar-Ridha Bagansiapiapi Rokan Hilir dari kategori rendah menjadi tinggi.

b. Peningkatan motivasi yang paling besar terjadi pada minat dan percaya diri.

c. Pembelajaran dengan Pendekatan PMR di SMP Islam Ar-Ridha Bagansiapiapi Rokan Hilir dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Namun belum memenuhi syarat ketuntasan dari KTSP yakni tingkat kelulusan seratus persen.

2. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan berdasarkan pada hasil yang telah dicapai pada penelitian ini adalah :

a. Guru hendaknya dapat menggunakan pendekatan PMR dalam pembelajaran.

b. Guru hendaknya dapat menempatkan diri sebagai fasilitator dalam proses belajar mengajar, sehingga siswa dapat lebih terpacu untuk berpartisipasi dalam belajar.

c. Bagi peneliti berikutnya yang ingin mengembangkan hasil penelitian ini diharapkan untuk mencoba menerapkan model pembelajaran matematika realistik pokok bahasan yang lain

E. DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, A. 2002.. Applying Realistic Mathematics Education in Teaching Geometry in Indonesian Primary Schools . Thesis University of Twente. Enschede: Print Partners Ipskamp Press.

Gravemeijer, K. P. E. 1994. Developing realistics mathematics education. Utrecht: Freudental Institut.

Soedjadi. 2000. Kiat pendidikan matematika di Indonesia (konstatasi keadaan masa kini menuju harapan masa depan) . Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Depdiknas.

Soedjadi. 2000 . Nuansa Kurikulum Matematika Sekolah di Indonesia. Dalam majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000

Sukarjo. 2005. Evaluasi pembelajaran. Diktat mata kuliah program studi teknologi pembelajaran. Universitas Negeri Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

P – 37

INVESTIGASI PERKEMBANGAN BELAJAR SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN NGADA, NTT DALAM OPERASI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PECAHAN

1 Gregorius Sebo Bito 2 , Sugiman

1 FKIP Universitas Flores Ende-NTT, 2 FMIPA UNY

1 eris391@yahoo.co.id , 2 sugiman_uny@yahoo.com

Abstrak

Makalah ini dimaksudkan untuk memaparkan pelaksanaan eksperimen pembelajaran operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan yang telah dilaksanakan di kelas IV Sekolah Dasar Katolik Bomari Langa, Ngada, Flores NTT, dengan level aktivitas berdasarkan pendekatan Pendidikan Realistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa dapat menggunakan banyak strategi ketika proses pembelajaran dilaksanakan secara bertahap berdasarkan tingkatan pemodelan yang berbeda. Dalam level situasional, siswa dapat menggambarkan masalah kontekstual yang diberikan berdasarkan pengalaman

ringan dan pengalaman menaikkan-menurunkan penumpang Bemo. Dalam level referential siswa dapat memperagakan aktivitas situasional yang telah dilakukan dengan menggunakan untaian manik-manik yang telah digantungkan kartu pecahan. Gambaran dari untaian manik-manik yang telah digantungkan kartu pecahan (model of) merupakan jembatan yang membawa siswa menuju pada level general dimana garis bilangan digunakan digunakan sebagai model for penalaran matematika formal. Pada level formal, dengan dibimbing oleh untaian bilangan pecahan, siswa dapat mengkonstruksi soal cerita sendiri yang berhubungan dengan operasi pecahan dan menyelesaikannya secara formal.

Kata kunci: membagi makanan ringan, menaikan dan menurunkan penumpang bemo, penjumlahan dan pengurangan pecahan, matematika realistik.

PENDAHULUAN

Pecahan telah terbukti sebagai materi yang kompleks dan sulit untuk dipahami oleh anak-anak (Niekrek, et al, 1999). Makna pecahan yang bervariasi merupakan salah satu penyebab kesulitan anak dalam pembelajaran pecahan (Ayunika, 2012). Di sisi lain, pecahan sangat berguna bagi siswa karena materi ini akan membantu mereka untuk mempelajari materi matematika yang lain di jenjang berikutnya. Kurangnya pemahaman siswa tentang pecahan merupakan faktor yang berkontribusi pada penguasaan matematika yang tidak memadai (Mullis, et al, 1997). Post, Behr & Lesh (Wheeldon, 2008) menemukan bahwa banyak siswa tidak dapat membedakan antara operasi bilangan cacah dan operasi bilangan pecahan. Hal ini karena sebelumnya pada mereka telah terbentuk pengetahuan yang mapan tentang bilangan asli (Liu, Xin & Li, 2012). Di Indonesia hasil penelitian Soedjadi (Nalole, 2008) menyatakan bahwa salah satu masalah yang paling menonjol di pendidikan dasar adalah pada materi pecahan.

Selain temuan yang telah dipaparkan di atas, para peneliti telah mengidentifikasi beberapa masalah utama dalam proses pembelajaran matematika. Salah satunya adalah pembelajaran cenderung ditujukan hanya untuk mencapai pemahaman instrumental, dimana siswa dapat menggunakan rumus untuk menyelesaikan suatu soal tetapi tidak memahami bagaimana rumus itu diperoleh dan mengapa rumus itu dapat berfungsi demikian (Marpaung dalam Sumaji dkk, 2008). Pembelajaran demikian masih dipraktikan oleh hampir seluruh guru di

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Ngada, dimana guru sangat mengandalkan materi pada buku pelajaran yang beredar di pasaran, padahal menurut Zulkardi (2002), buku pelajaran di Indonesia lebih banyak memuat serangkaian aturan, algoritma dan tidak memiliki aplikasi yang berdasarkan pengalaman konkrit siswa.

Kondisi seperti ini tentunya bertentangan dengan tujuan pembelajaran yaitu membawa siswa pada pemahaman. Tanpa pemahaman, pembelajaran matematika direduksi menjadi menghafal rumus dan aturan-aturan matematika sehingga belajar menjadi tidak bermakna, apalagi berguna (Boulet,1998). Pembelajaran yang membawa siswa belajar konsep matematika secara bermakna merupakan penekanan penting dalam pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) yang belakangan ini sudah dipraktikan di beberapa daerah di Indonesia. Teori PMR merupakan salah satu teori yang terus menerus dikembangkan dan disempurnakan dalam siklus berkelanjutan dari merancang, melakukan eksperimen, analisis dan refleksi. Untuk itulah maka, melalui desain riset dengan konteks “membagi serenteng makanan ringan” serta konteks “menaikan dan menurunkan penumpang” akan diinvestigasi perkembangan siswa dalam belajar operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan secara bertahap berdasarkan level aktivitas pemodelan dalam PMR.

Gravemeijer (1994) mengemukakan bahwa ada tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu: (a)guided reinvention/progressive mathematizing, (b) didactical phenomenology dan (c) self-developed models. Gravemeijer (1994) menguraikan perbedaan model of dan model for dalam empat tingkatan aktivitas yaitu : situasional, referensial, general dan formal. Level situasional merupakan yang paling dasar dari pemodelan dimana pengetahuan dan model masih berkembang dalam konteks situasi masalah yang digunakan. Pada level referensional, strategi dan model yang dikembangkan tidak berada dalam konteks situasi, melainkan sudah merujuk pada konteks dimana siswa membuat model untuk menggambarkan situasi konteks sehingga hasil pemodelan pada model ini disebut model dari (model of) situasi. Model yang dikembangkan siswa pada level general sudah mengarah pada pencarian solusi secara matematis yang disebut model untuk (model for) penyelesaian masalah. Pada level formal yang merupakan tahapan perumusan dan penegasan konsep matematika yang dibangun siswa, siswa sudah bekerja dengan menggunakan simbol dan representasi matematis.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi pada pembelajaran operasi pecahan menggunakan prinsip-prinsip PMR. Oleh karena itu metode penelitian desain (design research ) telah dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian. Desain riset terdiri dari tiga tahap, yaitu mengembangkan desain awal atau tahap persiapan, melakukan eksperimen pengajaran di kelas dan melaksanakan analisis retrospektif (Bakker,2004). Pada tahap desain awal, hasilnya adalah perumusan konjektur teori pembelajaran lokal yang terdiri dari tiga komponen yaitu: tujuan pembelajaran bagi siswa, kegiatan pembelajaran direncanakan, alat-alat yang digunakan, dan dugaan proses pembelajaran di mana salah satunya adalah mengantisipasi bagaimana pemikiran dan pemahaman siswa yang mungkin akan berkembang ketika kegiatan pembelajaran dilaksanakan di dalam kelas (Gravemeijer, 2004).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kartu pecahan seperti gagasan Nenden, O. S., et al (2011) dan memodifikasi urutan belajar penjumlahan dan pengurangan bilangan cacah dengan konteks transportasi dari Kairuddin & Darmawijoyo (2011) untuk digunakan dalam

pembelajaran penjumlahan dan pengurangan pecahan di Kelas IV Sekolah Dasar. Selanjutnya dalam melakukan eksperimen di kelas, kegiatan pembelajaran dinilai, direvisi, dan dirancang setiap hari selama percobaan. Hipotesis trayektori belajar (HLT) yang telah disusun pada tahap awal diujicoba dalam tahap eksperimen pilot dengan siswa sebanyak 5 orang. Wawasan dan pengalaman yang diperoleh dalam eksperimen pilot ini menjadi pertimbangan untuk modifikasi HLT yang akan digunakan dalam pembelajaran kelas dengan siswa sebanyak 25 Orang. Dalam tahap analisis retrospektif, semua data selama percobaan dianalisis yang secara umum bertujuan untuk mengembangkan teori pengajaran lokal. Dalam fase ini, HLT awal dibandingkan dengan pembelajaran yang sebenarnya. Berdasarkan analisis tersebut maka HLT direvisi berdasarkan dugaan baru tentang berbagai gagasan atau pemikiran siswa dalam pembelajaran.

PEMBAHASAN

Hasil eksperimen pembelajaran yang dilakukan yang merupakan implementasi dari keempat tipe aktivitas matematika berdasarkan tahap pengembangan model dalam PMR adalah sebagai berikut.

1. Tes Materi Prasyarat

Sebelum melaksanakan eksperimen pembelajaran dilakukan tes materi prasyarat dan hasilnya adalah sebagai berikut (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Tes kemampuan tes prasyarat

Kompetensi Dasar

Indikator

Nomor

Jumlah Siswa

Soal

1a 24 pecahan dan

6.1 Menjelaskan arti

Menghasilkan dan menuliskan nilai

1b 24 urutannya

pecahan

1c 24 1d 24 1e 24 2a 24 2b 24 3a 24 3b 24 3c 24 3d 24 4a 24 4b 24 4c 24 4d 24 4e 24

Menemukan pecahan yang sama

7a 21 7b 22

Menuliskan letak pecahan pada garis

Mengurutkan pecahan yang

8a 15

berpenyebut sama Mengurutkan pecahan sederhana yang

8b 14

berpenyebut tidak sama

2. Tes Awal

Tujuan dari tes awal adalah untuk mengetahui pengetahuan awal siswa tentang operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan. Berdasarkan Kurikulum Matematika Sekolah Dasar Tahun 2006, siswa kelas V telah mengenal pecahan sejak mereka duduk di kelas III. Gagasan tentang pecahan yang telah dipelajari sebelumnya diharapkan dapat membantu mereka dalam pemahaman awal tentang operasi pecahan. Dari hasi tes awal diperoleh gambaran seperti tertera pada Tabel 2.

Dari hasil tes awal ini diketahui bahwa hanya terdapat beberapa siswa dari 24 siswa yang mengikuti tes ini yang sukses menjawab beberapa soal dan tidak ada siswa yang sukses menjawab soal 2, 3a dan 3b. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa tidak dapat menggunakan gagasan tentang pecahan yang telah mereka pelajari sebelumnya untuk menyelesaikan permasalahan kontekstual penjumlahan dan pengurangan pecahan.

Tabel 2. Hasil Tes Awal

Siswa yang Kompetensi Dasar

menjawab benar

Menjumlahkan dua pecahan biasa

4a

6.3 Menjumlahkan

berpenyebut sama

pecahan

Menjumlahkan dua pecahan biasa yang

4c berpenyebut tidak sama

4b 4 6.4 Mengurangkan

Mengurangkan dua pecahan biasa yang

berpenyebut sama

pecahan

Mengurangkan dua pecahan biasa yang

4d berpenyebut tidak sama

Melakukan operasi hitung campuran

4e berpenyebut sama

4f 2 masalah yang

6.5 Menyelesaikan

Melakukan operasi hitung campuran

pecahan berpenyebut tidak sama.

berkaitan dengan

3a 0 pecahan

Membuat soal cerita sendiri dan

menyelesaikannya.

3b 0

Menyelesaikan persoalan sehari-hari

yang berkaitan dengan penjumlahan dan

pengurangan pecahan

Jumlah Soal

4 butir

24 Siswa

3. Level Situasional

Pada level situasional, siswa akan melakukan Drama Matematika dengan memperagakan Skenario 1 dan Skenario 2. Tujuan dari aktivitas ini adalah untuk mengorientasikan siswa pada pada masalah kontekstual yang sering mereka alami setiap hari dalam hubungannya dengan masalah matematika yang akan dipelajari.

Skenario 1

Pada suatu siang sepulangnya dari pasar Bajawa, ibu membawa oleh oleh berupa 1 renteng makanan ringan untuk Owyn. Siang itu Owyn langsung makan 1/5 bagian dan pada sore harinya ia menghabiskan lagi 2/5 bagian. Sisanya akan diberikan pada temannya.

Dari pengamatan terlihat siswa tidak kesulitan dalam memperagakan Skenario 1. Siswa dapat menentukan makanan ringan yang dimakan Owyn pada siang hari sebanyak 1/5 bagian (2 bungkus) dan sore harinya 2/5 bagian (4 bungkus) sehingga total yang dimakan Owyn adalah sebanyak 3/5 bagian (6 bungkus). Selanjutnya, siswa menentukan sisa dari makanan ringan yaitu 2/5 bagian (4 bungkus) Untuk mengetahui gagasan siswa berkaitan dengan aktivitas peragaan Skenario 1, peneliti melakukan percakapan dengan Telin yang berperan membagi makanan ringan sebagai berikut.

Peneliti : Ok, Telin. Bagaimana kamu tahu bahwa yang akan diberikan Owyn pada temannya adalah 4 bungkus. Telin

: Dari soal pak. Siang dia makan 1/5 bagian. Peneliti : Berarti 1/5 bagian itu sama dengan 2 bungkus ? Telin

: Iya pak. Kalau 1/5 itu berarti makanan ringan tadi dibagi 5 bagian. Peneliti : Masing-masing bagian besarnya ? Telin

: 1/5 Pak. Jadi siang dia makan 1 bagian atau 1/5, sore dia 2 bagian atau 2/5, jadi dia sudah makan sebesar 3/5 bagian. Peneliti : Itu artinya yang kamu berikan pada Rufina berapa besarnya ?

Telin : Itu yang saya berikan ke Rufina untuk temannya Owyn besarnya 2/5. Dari percakapan ini siswa dapat terlihat bahwa siswa memahami apa yang mereka

hasilkan dalam Skenario 1. Hal ini dapat terjadi karena tools yang digunakan adalah serenteng makanan ringan yang diketahui isinya 10 bungkus. Setelah melakukan peragaan Skenario 1 siswa mengerjakan soal No. 1 pada LKS yang menggambarkan Drama Matematika yang telah mereka lakukan. Pada soal 1(a) siswa menggambarkan aktivitas pembagian makanan ringan yang telah mereka lakukan, selanjutnya pada soal 1(b) siswa dapat menentukan makanan ringan yang diberikan Owyn pada temannya sebesar 2/5 bagian, dan pada soal 1(c) siswa dapat menentukan makanan ringan yang dimakan Owyn sebesar 3/5 bagian. Pengetahuan siswa tentang pembagian bilangan cacah dan pengertian pecahan sebagai part-whole relation dari aktivitas mempartisi serta interpretasi makanan ringan yang dimakan (misalnya: makan lagi, ambil lagi) dan sisa makanan ringan pada aktivitas Drama Matematika menuntun siswa untuk sukses menyelesaikan soal No.1 (Gambar 1).

Tiga orang siswa dari Kelompok Mawar melakukan peragaan Skenario1.

Rufina memegang 2 bungkus makanan ringan yang diberikan Owyn pada temannya (Kiri). Telin memegang 2 bungkus makanan ringan yang dimakan siang hari dan 4 bungkus yang dimakan pada sore hari (Kanan)

Gambar 1. Aktivitas Drama Matematika (Skenario 1)

Skenario 2.

Bemo Sempati berangkat dari Langa menuju Terminal Bajawa dengan 1/3 dari jumlah tempat duduknya terisi penumpang. Di Watujaji bemo berhenti dan menaikkan penumpang sehingga ¼ bagian dari jumlah tempat duduk lagi terisi penumpang.

Dalam aktivitas menaikan dan menurunkan penumpang, siswa mengalami kesulitan karena siswa tidak mengetahui kapasitas penumpang (jumlah tempat duduk pada Bemo). Peran guru untuk memprovokasi siswa sangat penting terutama membangkitkan pengetahuan yang telah ada pada siswa seperti pada percakapan berikut.

Peneliti : Rizal, tadi kamu tidak dapat menaikkan penumpang sebanyak 1/3 bagian yang dari Langa, ¼ bagian yang naik di Watujaji dan 1/6 yang turun di Waewoki. Kenapa Rizal ? Sulit ya ?

Rizal : Iya, pak. Saya tidak tau Bemo bisa muat penumpangnya berapa orang.

Peneliti : Bagaimanakah caranya agar kalian dapat menentukan 1/3, ¼ dan 1/6 bagian dari jumlah total tempat duduk Bemo. Ok. Berapa jumlah kursi sehingga kita bisa bagi 3 bagian sama banyak, bagi 4 bagian sama banyak dan bagi 6 bagian sama banyak?

Rizal : Oh iya pak, Berarti 1/3 bagian tempat duduk yang diisi penumpang yang dari Langa ada 4 tempat duduk. Peneliti : Bagaimana kamu bisa menentukan itu ? Rizal

: Karena 12 : 3=4, 12:4=3 , 12/6=2 Peneliti : Ok, berarti tempat duduk yang diisi penumpang dari langa ada berapa ? Rizal

: 4 kursi dari 12 kursi Pak atau bisa ditulis 4/12. Peneliti : Artinya apa tuh Rizal ? Rizal

: 1/3 diganti dengan 4/12. Karena siswa memahami 1/3, ¼, 1/6 sebagai besar setiap unit dari hasil partisi pada

pembelajaran di Kelas III dan KPK (3,4,6) maka setelah pertanyaan provokasi tersebut, siswa menentukan bahwa jumlah tempat duduk atau kapasitas penumpang adalah 12. Setelah mengetahui kapasitas penumpang Bemo siswa tidak terlihat kesulitan menaikan dan menurunkan penumpang berdasarkan Skenario 2 (Gambar 2).

Setelah melakukan drama dengan Skenario 2, siswa akan menggambarkan aktivitas tersebut dengan menyelesaikan soal No.2 pada LKS. Interpretasi aktivitas menaikan serta menurunkan penumpang (misalnya naik, turun) merupakan bagian penting dalam aktivitas ini. Siswa menggambarkan situasi dengan kursi-kursi dan bulatan kecil sebagai penumpang dan memberi tanda pada bulatan sebagai gambaran penumpang yang turun. Selanjutnya, siswa dapat menentukan penumpang yang naik dari langa 1/3 bagian tempat duduk dan naik lagi di Watujaji ¼ bagian (sebelum Bemo berhenti di Waewoki untuk menurunkan penumpang) yaitu sebanyak 7/12 bagian dari tempat duduk.

Rizal menaikan 4 penumpang dari Langa.

Rizal menaikan lagi 3 penumpang di Watujaji

Rizal menurunkan 2 penumpang di Waewoki

Gambar 2.

Aktivitas menaikkan dan menurunkan penumpang (Skenario 2) Hal ini menunjukkan siswa dapat melakukan operasi penjumlahan pecahan dengan

penyebut tidak sama dari situasi menaikan (tambah) dan menurunkan (kurang) penumpang. Dari percakapan dengan siswa pada Drama Matematika dan hasil pekerjaan siswa pada soal 1 dan 2 dapat dilihat bahwa siswa dapat menemukan penyelesaian masalah kontekstual dengan penyebut tidak sama dari situasi menaikan (tambah) dan menurunkan (kurang) penumpang. Dari percakapan dengan siswa pada Drama Matematika dan hasil pekerjaan siswa pada soal 1 dan 2 dapat dilihat bahwa siswa dapat menemukan penyelesaian masalah kontekstual dengan

Pada level ini pengetahuan prasyarat siswa sangat diperlukan yaitu pengetahuan tentang pengertian pecahan sebagai hubungan antara bagian-bagian dan sesuatu yang utuh (fraction as part of a whole/part-whole relation ), kemampuan mempartisi sekumpulan obyek diskrit (memproduksi pecahan) dan kemampuan menemukan kesamaan pecahan (generating equivalencies ). Berawal dari mengalami situasi (masalah kontekstual) dalam aktivitas drama matematika), siswa dapat memodelkannya sendiri dengan menyusun, melambangkan dan memvisualisasikan drama tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip pertama dari RME yaitu penggunaan masalah kontekstual (use of contextual problems) dimana aktivitas membagi makanan ringan serta drama menaikkan dan menurunkan penumpang merupakan sumber untuk memproduksi sendiri prosedur operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan. Dengan demikian kedua konteks yang digunakan dalam aktivitas Drama Matematika sukses menstimulasi penalaran siswa tentang penjumlahan dan pengurangan pecahan.

4. Level Referensial

Pada level ini siswa secara berkelompok akan memperagakan Skenario 1 dan Skenario 2 menggunakan manik-manik dan kartu pecahan kosong. Manik-manik putih menggambarkan makanan ringan yang sudah dimakan dan kursi angkot yang kosong. Manik-manik hitam menggambarkan makanan ringan yang belum dimakan dan kursi angkot yang diduduki penumpang. Sedangkan kartu pecahan bertujuan untuk mempartisi manik-manik ke beberapa bagian yang sama sesuai skenario. Setelah siswa memodelkan Skenario 1 dan Skenario dengan manik-manik dan kartu pecahan, siswa menggambarkan untaian manik-manik yang telah digantungkan kartu pecahan yang dihasilkannya pada LKK II (Gambar 3 & Gambar 4).

Gambar 3. Siswa menerjemahkan Skenario 1 dalam untaian manik-manik dan kartu pecahan dan menggambarkannya dalam Lembar Kerja Kelompok.

Pada level aktivitas kedua, siswa, menggunakan manik-manik (hitam dan putih), kartu pecahan kosong, dan senar. Pada tahap ini siswa memodelkan situasi dalam seuntai manik-manik yang digantungkan kartu pecahan. Selanjutnya siswa menggambarkanya sesuai untaian manik-manik yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan prinsip kedua dari RME yaitu, penggunaan model-model (use of models) dimana untaian manik-manik dapat menjadi jembatan menuju pada operasi penjumlahan dan pengurangan menggunakan garis bilangan.

Gambar 4. Siswa menerjemahkan Skenario 1 dalam untaian manik-manik dan kartu pecahan dan menggambarkannya dalam Lembar Kerja Kelompok.

5. Level General

Sebagai refleksi dari aktivitas sebelumnya, saat ini guru memimpin diskusi kelas. Konggres Matematika dilaksanakan untuk memfasilitasi dan membangun pemahaman siswa untuk menggunakan garis bilangan yang dapat membantu membawa mereka pada gagasan tentang prosedur operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan. Manfaat yang diperoleh dalam Konggres Matematika tersebut adalah tidak hanya bertujuan untuk mengkomunikasikan gagasan siswa tetapi juga dapat memberi stimulus pada siswa yang lain untuk mengembangkan strategi yang berbeda. Hal ini berhubungan dengan prinsip keempat dari RME yaitu interaktivitas dimana siswa dapat membagi apa yang dipikirkan mereka dalam diskusi kelas. Dalam kesempatan tersebut guru memegang peranan penting untuk mengatur jalannya proses diskusi. Garis bilangan merupakan model yang sangat berguna untuk membimbing siswa menuju presedur formal operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan. Pada aktivitas ini garis bilangan kosong digunakan untuk pemodelan yang lebih spesifik dengan memanfaatkan kontribusi siswa sebelumnya yaitu peragaan dan gambaran masalah menggunakan untaian manik-manik.

Berdasarkan prinsip ketiga dari RME yaitu, penggunaan kreativitas dan kontribusi siswa, gambaran dari untaian manik-manik sebagai model dari situasi ditransformasikan pada garis bilangan kosong sebagai model untuk penalaran matematika yang lebih formal (Gambar 5). Transformasi ini merupakan momen belajar yang penting bagi siswa dimana mereka dapat menggunakan model untuk beranjak dari konteks yang konkrit menuju matematika yang lebih formal.

Langa Watujaj

Bajawa

Gambar 5. Siswa melengkapi garis bilangan kosong dan menggambarkan garis bilangan pecahan.

6. Level Formal

Aktivitas penalaran matematika formal yang tidak lagi tergantung pada dukungan model untuk kegiatan matematika. Fokus dari diskusi menuju karakteristik model yang lebih spesifik yaitu untaian bilangan yang terkait dengan penjumlahan dan pengurangan pecahan. Dalam aktivitas ini siswa sudah bekerja dengan simbol-simbol pecahan yang lebih formal yaitu untaian

bilangan pecahan (misalnya: 1, 3, 3  dan 3  ) dengan menggunakan aturan

yang telah ditemukan sendiri pada aktivitas sebelumnya. Siswa akan membuat soal sendiri dengan dipandu untaian bilangan sebagai model formal. Setelah membuat soal sendiri siswa akan menyelesaikannya dalam bahasa matematika formal (Gambar 6).

Gambar 6. Siswa membuat soal cerita sendiri dan menyelesaikannya.

7. Tes Akhir

Tes akhir bertujuan untuk mengukur pemahaman siswa setelah mengikuti serangkaian aktivitas pembelajaran. Tes akhir terdiri dari 4 butir yang berhubungan dengan operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan. Dari hasil tes akhir dapat dilihat bahwa seluruh siswa dapat melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan maupun operasi campuran penjumlahan dan pengurangan pecahan berpenyebut sama. Sedangkan beberapa siswa tampak masih kesulitan dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan penyebut tidak sama (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil Tes Akhir

Nomor Jumlah Kompetensi Dasar

Indikator

Soal siswa

4a 24 pecahan

6.3 Menjumlahkan

Menjumlahkan dua pecahan biasa

berpenyebut sama Menjumlahkan dua pecahan biasa

4c 17

yang berpenyebut tidak sama

4b 24 pecahan

6.4 Mengurangkan

Mengurangkan dua pecahan biasa

yang berpenyebut sama Mengurangkan dua pecahan biasa

4d 16

yang berpenyebut tidak sama

e6.5 Menyelesaikan

4e 24 masalah yang berkaitan berpenyebut sama dengan pecahan

Melakukan operasi hitung campuran

Melakukan operasi hitung campuran

4f 15

pecahan berpenyebut tidak sama. Membuat soal cerita sendiri dan

Menyelesaikan persoalan

sehari-hari yang berkaitan dengan

penjumlahan dan pengurangan pecahan Jumlah Soal

4 24 Butir

Siswa

PENUTUP

Konteks membagi makanan ringan serta konteks menaikan dan menurunkan penumpang berpotensi untuk menjadi konteks yang dapat menjembatani kesenjangan antara pengetahuan matematika informal dan matematika formal. Pertama, siswa mengembangkan strategi berhubungan erat dengan konteks. Kemudian, aspek-aspek tertentu dari situasi konteks dapat menjadi lebih umum, dimana karakter model dapat memberikan dukungan untuk pemecahan lain yang terkait masalah. Akhirnya, model memberikan siswa akses ke pengetahuan matematika yang lebih formal. Prinsip PMR mensyaratkan bahwa pembelajaran matematika harus dilalui dengan berbagai tingkat pemahaman mulai dari kemampuan untuk menemukan solusi terkait konteks secara informal berdasarkan cara siswa sendiri sampai pada penemuan solusi dengan konsep matematika formal.

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, A.2004. Design Research in Statistics Education: On Symbolizing and Computer Tools. Desertasi Doktor pada Utrech University : Tidak diterbitkan.

Boulet , G.1998. Didactical implications of children’s difficulties in learning the fraction concept. Focus on Learning Problems in Mathematics, 20 (4), 19-34. Elisabeth Ayunika Permata Sari.2012. Early Fraction Learning of 3 rd Grade Students in SD

Laboratorium Unesa. Fazio, L., & Siegler.2010. Educational Practicles Series - 22: Teaching Fractions. Genewa:

International Academi of Educations-UNESCO Gravemeijer. 2004. Local Instruction Theories as Means of Support for Teacher in Reform

Mathematics Education . Utrecht: Freudenthal Institute & Department of Educational Research, Utrecht University.

Gregorius Sebo Bito.(2013). Eksplorasi Pembelajaran Operasi Pecahan Siswa Kelas IV Menurut Teori Gravemeijer di Kabupaten Ngada NTT. Tesis: UNY, Tidak diterbitkan.

Kairuddin & Darmawijoyo. (2010). The Indonesian’s Road Transportations as the Contexts to Support Primary School Students Learning Number Operation. IndoMS. J.M.E Vol.1 No. 1, pp. 67-78

Liu. C., Xin, Z., & Li, X.,. 2012. The Development of Chinese Students’ Understanding of the Concept of Fractions from Fifth to Eighth Grade. Journal of Mathematics Education Vol.5, No. 1 August 2012, pp. 45-62

Mullis,et al.1997. Mathematics achievement in the primary school years: IEA’s third mathematics and science study . Boston: Center for the Study of Testing, Evaluation, and Educational Policy, Boston College.

Nalole, M.2008. Pembelajaran Pengurangan Pecahan Melalui Pendekatan Realistik di Kelas V Sekolah Dasar. Inovasi, Vol 5, No.3, September 2008.

Nenden , O. S., et al. (2011). Design Research on Mathematics Education: Investigating The Progress of Indonesian Fifth Grade Students’ Learning on Multiplication of Fractions With Natural Numbers. IndoMS. J.M.E Vol. 2 No. 2, pp. 147-162.

Suwarno,P.J., Suparno,P., Rahmanto, B (Eds.).1998. Pendidikan Sains Yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisius

Van Niekrek, T.1999. Successes and Obstacles in the Development of Grade 6 Learners’ Conceptions Of Fractions. Paper presented at the 5th Annual Congress of the Association for Mathematics Education of South Africa (AMESA), Port Elizabeth, 5-9 July 1999.

Wheldon, D.A.2008. Developing Mathematical Practices in A Social Context: An Instructional Sequence to Support Prospective Elementary Teachers’ Learning of Fractions. Disertasi:University of Central Florida. Tidak diterbitkan.

Zulkardi. 2002. Developing A Learning Environment on Realistic Mathematics Education For Indonesian Student Teachers . Enschede: University of Twente.

P – 38

BAHAN BELAJAR SISWA UNTUK SIKLUS KEDUA PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PECAHAN DI KELAS V SEKOLAH DASAR DENGAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK

1 2 Hongki Julie 3 , St. Suwarsono , and Dwi Juniati

3 Sanata Dharma University, Surabaya State University

hongkijulie@yahoo.co.id, stsuwarsono@gmail.com, dwi_juniati@yahoo.com

Abstrak

Ada dua pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu (1) apa konteks-konteks yang dapat dipergunakan untuk mengenalkan makna dari perkalian dua pecahan dan mencari hasil perkalian dua pecahan, dan (2) bagaimana menggunakan konteks-konteks tersebut untuk membantu siswa mengkonstruksi pemahaman tentang makna dari perkalian dua pecahan dan cara mencari hasil perkalian dua pecahan.

Pendekatan pembelajaran yang dipergunakan di dalam merancang proses pembelajaran pecahan adalah pendekatan matematika realistik. Rancangan pembelajaran yang dibuat adalah untuk siswa kelas V SD. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan (development research). Menurut Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006) ada tiga fase dalam penelitian pengembangan, yaitu (1) persiapan uji coba desain, (2) uji coba desain, dan (3) analisis retrospektif. Dalam makalah ini disajikan bahan belajar untuk siswa untuk siklus kedua yang direvisi dari bahan belajar siswa untuk siklus pertama dari tiga siklus yang direncanaka n.

Kata kunci: pecahan; pendekatan matematika realistik; penelitian pengembangan.

PENDAHULUAN

Dari siklus 1 yang sudah dilakukan oleh peneliti, peneliti memperoleh kesimpulan bahwa (1) peneliti perlu membuat lagi aktivitas/masalah yang dapat dipergunakan oleh siswa sebagai jembatan untuk membawa siswa sampai pada pengetahuan formal tentang makna dari mengalikan dua pecahan dari model yang sudah dibangun oleh siswa; dan (2) siswa sudah dapat mencapai pengetahuan formal tentang bagaimana prosedur mengalikan dua pecahan. Dari siklus

1, siswa sudah dapat membangun model untuk makna perkalian dua pecahan dan mencari hasil perkalian dua pecahan dari masalah 2 di hari pertama. Dari masalah tersebut, siswa dapat

membangun model makna perkalian × sebagai bagian dari , dan mencari hasil dari bagian dari atau × . Model yang dibangun oleh siswa untuk makna perkalian × sebagai bagian dari dapat dilihat pada gambar 1. Model yang dibangun oleh siswa adalah sebagai

berikut: (1) siswa membagi satu roti menjadi dua bagian yang sama; (2) tiap potong roti yang diperoleh dibagi lagi menjadi tiga bagian yang sama; dan (3) siswa mendapatkan hasil bahwa

bagian dari adalah . Dari model ini siswa dapat mengembangkan ke prosedur mengalikan dua pecahan, yaitu mengalikan penyebut dengan penyebut, dan pembilang dengan pembilang.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Gambar 1. Model yang dibangun oleh siswa untuk makna perkalian dua pecahan dan cara mencari hasil kali

dua pecahan.

Menurut Lamon (2001, dalam Elisabet, 2012), pembangunan pemahaman makna dari pecahan dalam proses pembelajaran adalah sesuatu proses yang kompleks karena pecahan memiliki banyak interpretasi, yaitu (1) bagian dari keseluruhan, (2) hasil pengukuran, (3) operator, (4) quotient, dan (5) rasio.

Ada dua pertanyaan yang akan dicoba untuk dijawab dalam penelitian ini, yaitu (1) apa konteks-konteks yang dapat dipergunakan untuk mengenalkan makna dari perkalian dua pecahan dan mencari hasil perkalian dua pecahan, dan (2) bagaimana menggunakan konteks-konteks tersebut untuk membantu siswa mengkonstruksi pemahaman tentang makna dari perkalian dua pecahan dan cara mencari hasil perkalian dua pecahan.

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

Filosofi dasar dari PMR adalah matematika sebagai aktivitas manusia, artinya matematika dalam pembelajaran tidak seharusnya pertama-tama dihubungkan dengan matematika sebagai suatu sistem deduktif yang diorganisasikan dengan baik yang bersifat formal, tetapi seharusnya pertama-tama dihubungkan dengan matematika sebagai suatu kegiatan manusia (Freudenthal, 1971, 1973 dalam Gravemeijer, 1994). Jika matematika yang dipelajari siswa di sekolah pertama-tama dihubungkan dengan matematika sebagai suatu sistem deduktif yang bersifat formal, maka siswa akan berpandangan bahwa matematika itu adalah hasil konstruksi pemikiran manusia yang bersifat abstrak yang tidak berkaitan dengan kehidupan nyata manusia. Akibatnya siswa akan berpandangan bahwa di dalam kehidupan nyata, mereka tidak dapat menemukan matematika dan menggunakan matematika. Belajar matematika seharusnya dapat membuat siswa berpandangan bahwa matematika ada di dalam kegiatan manusia, dan dapat digunakan dalam kehidupan nyata yang dijalani oleh manusia.

Filosofi dasar dari PMR berdampak pada perubahan yang amat mendasar pada proses pembelajaran matematika di kelas. Guru di dalam kegiatan belajar mengajar tidak lagi langsung memberikan informasi, tetapi memberikan suatu rangkaian masalah dan merancang kegiatan yang dapat digunakan para siswa untuk membangun pengetahuan formal matematika mereka. Dengan kata lain, guru harus dapat memainkan peran sebagai seorang fasilitator bagi siswanya. Menurut Widjaja, Fauzan, dan Dolk (2009) untuk dapat berperan sebagai seorang fasilitator, guru harus dapat memfasilitasi belajar siswa dengan menggunakan masalah-masalah kontekstual yang kaya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing mengembangkan proses berpikir siswa, dan memimpin diskusi kelas.

Ada empat prinsip utama di dalam PMR, yaitu:

1. Menemukan kembali secara terbimbing;

Menurut prinsip ini, siswa diberi kesempatan untuk dapat menemukan kembali baik konsep maupun prosedur dalam matematika, “seperti” dahulu para matematikawan menemukannya. Kata “seperti” mengandung makna bahwa proses yang dialami oleh siswa tidak sama seratus persen dengan proses yang dialami oleh matematikawan. Karena dalam proses yang dialami oleh siswa, siswa melakukannya secara terbimbing. Meskipun dalam proses ini siswa melakukannya secara terbimbing, tidak berarti bahwa guru harus memberitahukan setiap langkah yang harus dilakukan oleh siswa, atau bahwa setiap langkah yang dilakukan oleh setiap siswa dalam satu kelas harus sama, atau bahwa bimbingan harus berasal dari guru. Hal yang diharapkan terjadi adalah sebaliknya, bimbingan yang diberikan oleh guru harus sesuai dengan jalan yang ditempuh Menurut prinsip ini, siswa diberi kesempatan untuk dapat menemukan kembali baik konsep maupun prosedur dalam matematika, “seperti” dahulu para matematikawan menemukannya. Kata “seperti” mengandung makna bahwa proses yang dialami oleh siswa tidak sama seratus persen dengan proses yang dialami oleh matematikawan. Karena dalam proses yang dialami oleh siswa, siswa melakukannya secara terbimbing. Meskipun dalam proses ini siswa melakukannya secara terbimbing, tidak berarti bahwa guru harus memberitahukan setiap langkah yang harus dilakukan oleh siswa, atau bahwa setiap langkah yang dilakukan oleh setiap siswa dalam satu kelas harus sama, atau bahwa bimbingan harus berasal dari guru. Hal yang diharapkan terjadi adalah sebaliknya, bimbingan yang diberikan oleh guru harus sesuai dengan jalan yang ditempuh

Dalam proses penemuan kembali yang dilakukan oleh siswa, selain ada proses bimbingan dari guru, perlu ada proses komunikasi, dan ada proses negosiasi antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Adanya proses komunikasi dan negosiasi antar siswa dimaksudkan untuk mengembangkan hasil temuan siswa hingga secara bertahap siswa dapat mencapai pengetahuan formal matematika.

2. Proses penemuan kembali dilakukan secara berkelanjutan;

Ada empat tahap dalam proses penyelesaian suatu masalah, yaitu:

a. penyajian masalah;

b. menuliskan masalah dalam bahasa matematika;

c. menyelesaikan masalah secara matematis;

d. menterjemahkan kembali penyelesaian yang diperoleh ke konteks awal. Dalam pendekatan matematika realistik, para siswa belajar untuk membentuk pengetahuan matematika formal melalui proses penyelesaian terhadap serangkaian masalah. Proses seperti ini dalam pendekatan matematika realistik dikenal dengan istilah proses matematisasi. Dalam setiap tahap penyelesaian masalah, seperti yang dijelaskan di atas, siswa diharapkan dapat mengalami perkembangan dari masalah yang satu ke masalah berikutnya. Proses penulisan masalah ke dalam bahasa matematika berkembang mulai dari bahasa informal ke bahasa yang lebih formal. Demikian pula dengan proses penyelesaian berkembang mulai dari strategi informal ke prosedur yang lebih formal. Pada akhirnya, penyelesaian terhadap masalah yang sejenis menjadi rutin. Dengan kata lain, prosedur penyelesaian terhadap masalah yang sejenis semakin dapat disederhanakan dan diformalisasi melalui serangkaian masalah tersebut, sehingga pada akhirnya suatu prosedur yang formal dapat ditemukan oleh siswa. Lewat proses belajar seperti ini, diharapkan pengetahuan matematika formal dapat direkonstruksi oleh siswa sendiri. Proses ini digambarkan pada gambar 2. Dalam PMR, proses perkembangan seperti dijelaskan ini disebut

proses matematisasi progresif (progressive mathematizing).

Pengetahuan matematika formal

Bahasa formal matematika

Prosedur

Menterjemahkan Menyelesaikan masalah

kembali

secara matematis

Menuliskan masalah dalam

Masalah

bahasa matematika

Gambar 2. Proses penemuan kembali melalui proses matematisasi progresif

3. Eksplorasi terhadap serangkaian fenomena;

Para siswa diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi serangkaian fenomena atau situasi yang dapat membuat siswa mengalami proses pembentukan pengetahuan formal matematika secara berkelanjutan. Tujuan dari penyelidikan fenomena oleh siswa adalah untuk menyelidiki situasi-situasi yang merupakan pendekatan terhadap suatu situasi khusus, dan hasil dari penyelidikan tersebut dapat digeneralisasi untuk membangkitkan prosedur-prosedur penyelesaian, sehingga terjadi proses pembangunan pengetahuan matematika formal.

4. Ada model yang dibuat oleh siswa.

Kata model di dalam pendekatan realistik diartikan sebagai representasi dari penulisan masalah dalam bahasa matematika dan penyelesaian masalah secara matematis dalam tahapan penyelesaian masalah. Suatu model dalam pendekatan realistik dapat menyangkut model dari suatu situasi, skema, deskripsi, atau suatu cara untuk menyatakan gagasan atau ide. Proses pembuatan model oleh siswa memainkan peran sebagai jembatan antara pengetahuan matematika informal dan formal. Dalam PMR, model-model harus dibangun oleh siswa sendiri sebagai hasil dari eksplorasi fenomena oleh siswa dan menjadi dasar untuk membentuk pengetahuan matematika formal. Ini berarti bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk membangun model-model tersebut ketika proses menyelesaikan masalah-masalah.

Ketika guru mengupayakan untuk membangun pengetahuan formal matematika siswa, guru perlu melakukannya dengan pendekatan dari bawah ke atas (bottom up). Pertama-tama, suatu model berkaitan dengan aktivitas-aktivitas dalam kehidupan nyata. Setelah itu, suatu model merupakan suatu model konteks khusus dari suatu situasi, dan model yang diperoleh dengan cara demikian diistilahkan dengan model-of atau model dari. Kemudian, model tersebut digeneralisasi atas berbagai situasi-situasi yang mirip, dan model yang dibangun dengan cara demikian diistilahkan dengan model-for atau model untuk. Pada akhirnya, model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada di dalam diri yang membangun model tersebut, dan dapat difungsikan sebagai dasar untuk mencapai pengetahuan formal matematika. Level-level model dalam penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

pengetahuan formal model untuk

model dari situasi-situasi

Gambar 3. model dalam pedekatan matematika realistik

PENELITIAN PENGEMBANGAN

Menurut Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006) ada 3 fase dalam penelitian pengembangan, yaitu

1. Fase pertama: persiapan uji coba desain

Menurut Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006), persiapan untuk uji coba desain dimulai dengan mengklarifikasi tujuan-tujuan yang akan dicapai oleh siswa setelah mereka belajar matematika (endpoints). Setelah selesai menetapkan tujuan yang akan dicapai siswa, peneliti kemudian harus menentukan titik-titik awal pembelajaran (starting points). Sesudah tujuan yang akan dicapai siswa dan titik-titik awal pembelajaran selesai diformulasikan, maka tugas selanjutnya dari peneliti adalah memformulasikan dugaan teori pembelajaran lokal (a conjecturer local instruction theory) dari desain yang akan diujicobakan.

2. Fase Kedua: uji coba desain

Menurut Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006), tujuan dari uji coba desain adalah menguji dan meningkatkan dugaan teori pembelajaran lokal (a conjecture local instruction theory) yang sudah dikembangkan pada fase pertama, serta mengembangkan pemahaman bagaimana desain tersebut bekerja. Menurut Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006), kunci dari proses pengujian, peningkatan, dan pemahaman adalah proses siklik yang terintegrasi dari desain dan proses analisis.

3. Fase ketiga : analisis retrospektif

Menurut Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006), tujuan dari analisis retrospektif tergantung pada tujuan secara teori penelitian pengembangan dilakukan. Lebih lanjut diutarakan bahwa salah satu dari tujuan utama diadakan analisis retrospektif adalah untuk mengembangkan teori pembelajaran lokal (local instruction theory).

Meskipun adanya perbedaan-perbedaan dalam tujuan secara teori dilakukannya penelitian pengembangan direfleksikan dalam perbedaan-perbedaan analisis retrospektif, tetapi bentuk analisis perlu meliputi suatu proses iteratif yang menganalisis sekumpulan data yang masuk.

METODE PENELITIAN

Pada fase ketiga siklus kedua direncanakan ada sepuluh siswa yang terlibat di dalamnya yang berasal dari kelas V suatu SD swasta di Yogyakarta. Pendekatan yang dipergunakan untuk mengembangkan materi belajar siswa maupun petunjuk kegiatan guru dalam penelitian ini adalah pendekatan matematika realistik. Jenis penelitian yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan (design research) dengan tiga siklus. Analisa data dilakukan terhadap data video dan data tertulis dari hasil kerja siswa selama pembelajaran berlangsung, tetapi hasil analisis data belum disajikan dalam makalah ini.. Proses pengambilan gambar dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti pada siklus kedua mengikuti fase-fase dalam penelitian pengembangan yang dikembangkan oleh Koeno Gravemeijer dan Paul Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006), tetapi hasil yang disajikan dalam makalah ini hanya dua fase pada siklus 2.

HASIL PENELITIAN Fase 1 Siklus 2

Tujuan yang ingin dicapai dari desain pembelajaran yang dibuat peneliti adalah siswa dapat (1) mengenal makna perkalian dua pecahan, dan (2) menentukan hasil perkalian dua pecahan. Sebelum siswa mengalami proses pembelajaran yang didesain oleh peneliti, siswa sudah mempelajari tentang pecahan di kelas IV, yaitu (1) makna pecahan, (2) mengurutkan pecahan, (3) menyederhanakan pecahan, dan (4) menjumlahkan dan mengurangkan pecahan.

Fase 2 Siklus 2

Masalah-masalah yang dieksplorasi dan diselesaikan oleh siswa dalam empat pertemuan adalah sebagai berikut:

Masalah Pertemuan Pertama

1. Kemarin siang pada saat istirahat sekolah, Pak Guru melihat ada dua kelompok anak-anak yang sedang berbagi roti. Kelompok pertama terdiri dari 2 siswa yang sedang berbagi sepotong roti. Kelompok kedua terdiri dari 4 siswa yang sedang berbagi 2 potong roti. Menurut kalian, apakah bagian yang diperoleh masing-masing siswa di kelompok pertama dan kedua sama besar?

2. Kemarin siang pada saat istirahat sekolah, Pak Guru melihat juga ada dua kelompok anak-anak yang lain lagi sedang berbagi roti. Kelompok pertama terdiri dari 2 siswa yang sedang berbagi sepotong roti. Kelompok kedua terdiri dari 3 siswa yang sedang berbagi 2 potong roti. Menurut kalian, apakah bagian yang diperoleh masing-masing siswa di kelompok pertama dan kedua sama besar?

3. Pada setiap soal dalam masalah ketiga, ada dua kelompok yang sedang berbagi roti. Banyak anggota dan roti tiap kelompok berbeda. Siswa diminta memilih ia akan menjadi anggota kelompok pertama atau kedua dan alasan mengapa ia menentukan pilihannya tersebut.

a. Kelompok pertama ada 4 orang berbagi 2 roti, sedangkan kelompok kedua ada 6 orang berbagi 2 roti.

b. Kelompok pertama ada 4 orang berbagi 2 roti, sedangkan kelompok kedua ada 6 orang berbagi 3 roti.

c. Kelompok pertama ada 3 orang berbagi 2 roti, sedangkan kelompok kedua ada 4 orang berbagi 3 roti.

d. Kelompok pertama ada 4 orang berbagi 1 roti, sedangkan kelompok kedua ada 5 orang berbagi 2 roti.

Masalah Pertemuan Kedua

1. Pak Hongki membagi satu kue untuk teman-temannya dengan cara berikut:

Apakah setiap teman Pak Hongki mendapatkan bagian yang sama?

Masalah Pertemuan Ketiga

1. Masalah ini diinspirasi masalah yang ada dalam buku Young Mathematicians at Work: Constructing Fractions, Decimal, and Percents: hari ini siswa kelas empat SD Mekarsari akan melakukan pengamatan di beberapa objek seni dan budaya di Yogya.

Ketika siswa kembali dari kegiatan pengamatan, para siswa mulai berpendapat bahwa roti yang dibagikan kepada tiap kelompok tidak adil, karena beberapa anak mendapat bagian yang lebih banyak daripada siswa yang lain. Apakah tiap siswa mendapat bagian yang sama?

Masalah Pertemuan Keempat

1. Masalah ini diinspirasi masalah yang ada dalam buku Young Mathematicians at Work: Constructing Fractions, Decimal, and Percents): Bu Niken memberikan soal berikut kepada para siswanya. Bulan berada di kelmpok yang terdiri dari 5 orang. Kelompoknya mendapat 3 roti. Berapa bagian roti yang diperoleh Bulan? Gambar di bawah ini adalah jawaban dari empat orang siswa Bu Niken. Apakah jawaban keempat siswa Bu Niken benar? Apakah jawaban keempat siswa Bu Niken menghasilkan pecahan senilai? Dapatkah kalian menunjukkannya?

Masalah Pertemuan kelima

Gambarkanlah! Isilah titik-titik yang kosong!

1. 1 1 2. 2 3 dar i = ⋯ . dar i = ⋯ .

Evaluasi

Pertemuan keenam diisi dengan kegiatan evaluasi. Berikut adalah soal-soal yang diberikan kepada siswa dalam proses evaluasi:

1. Bu Vivi membuat satu loyang kue lapis. Bu Vivi akan membagi kue tersebut kepada 8 orang tetangga, yaitu Bu Dina, Bu Suci, Bu Mekar, Bu Bulan, Bu Sinar, Bu Bintang, Bu Rosna, dan Bu Rini.Bu Vivi memotong kue lapis untuk para tetangganya dengan cara berikut:

Berapa bagian yang diperoleh setiap tetangga Bu Vivi? Apakah Bu Dina dan Bu Rini mendapatkan bagian yang sama?

2. Hari ini, siswa kelas 4 SD Karya akan melakukan pengamatan di beberapa objek seni dan budaya di Yogya. Para siswa dibekali roti oleh SD Karya. Pada saat pembagian roti, kelompok

1 dan 2 mendapat 10 roti, sedangkan kelompok 3 dan 4 mendapatkan 7 roti. Siswa diminta untuk membagikan roti-roti yang diperolehnya sehingga tiap siswa dalam kelompoknya mendapatkan bagian yang sama. Berikut adalah tujuan, banyak siswa, dan banyak roti tiap kelompok.

Apakah bagian roti yang diperoleh siswa di kelompok 1 dan 2 sama besar dengan yang diperoleh siswa di kelompok 3 dan 4?

3. Mbah Joyo memiliki dua anak, yaitu Pak Jono, dan Pak Jino. Ketika Mbah Joyo meninggal dunia, ia mewariskan sebidang tanah berbentuk persegi panjang seluas 10.000 meter persegi. Mbah Joyo menuliskan pembagian tanah yang diwariskannya sebagai berikut: Pak Jono dan

Pak Jino masing-masing mendapatkan bagian.

a. Gambarkan bagian tanah untuk Pak Jono dan Pak Jino!

b. Berapa luas tanah yang diperoleh Pak Jono?

c. Berapa luas tanah yang diperoleh Pak Jino? Pak Jono memiliki 4 orang anak, yaitu Bulan, Bintang, Sinar, dan Surya. Bagian tanah Pak Jono dibagikan secara rata kepada Bulan, Bintang, Sinar, dan Surya.

d. Gambarkan bagian tanah yang diperoleh Bulan, Bintang, Sinar, dan Surya!

e. Berapa bagian tanah yang diperoleh Bulan, Bintang, Sinar, dan Surya?

f. Berapa luas tanah yang diperoleh Bulan, Bintang, Sinar, dan Surya? Pak Jino memiliki 2 orang anak, yaitu, Wawan, dan Niki. Bagian tanah Pak Jino dibagikan secara rata kepada Wawan, dan Niki.

g. Gambarkan bagian tanah yang diperoleh Wawan, dan Niki!

h. Berapa bagian tanah yang diperoleh Wawan, dan Niki?

i. Apakah Bulan dan Wawan mendapatkan bagian tanah yang sama? j. Berapa luas tanah yang diperoleh Wawan , dan Niki?

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari siklus pertama yang sudah dilakukan oleh peneliti, peneliti memperoleh hasil bahwa untuk lebih memperkuat pembentukan pengetahuan formal tentang bagaimana cara mengalikan dua pecahan, siswa perlu diberikan pengalaman lagi melalui kegiatan eksplorasi dan menyelesaikan masalah-masalah selain yang sudah ada. Karena itu, dalam siklus kedua ini, peneliti membangun aktivitas tambahan untuk semakin memperkuat pengetahuan yang dibentuk siswa tentang bagaimana cara mengalikan dua pecahan. Aktivitas tambahan ini diletakkan di pertemuan yang kelima. Pada masalah dalam pertemuan kelima siswa diminta untuk (1) menyatakan besarnya potongan roti dengan makna dari perkalian dua pecahan, dan diminta menentukan hasil perkalian dari dua pecahan, dan (2) menggambarkan makna perkalian dua pecahan dengan besar potongan roti. Adanya dua masalah ini diharapkan dapat memperkuat pengetahuan siswa tentang makna perkalian dua pecahan, dan menentukan hasil perkalian dari dua pecahan.

Ada beberapa konteks yang dapat dikembangkan dalam penelitian ini untuk mengenalkan makna dari perkalian dua pecahan dan mencari hasil perkalian dua pecahan, yaitu pembagian roti untuk dua kelompok siswa, pembagian kue untuk beberapa teman, membandingkan besar tiga potongan roti, pembagian roti untuk siswa yang akan melakukan kunjungan ke objek seni dan budaya, menganalisa jawaban siswa atas masalah yang diberikan oleh Bu Niken, menentukan besar dari sepotong roti, dan menggambarkan perkalian dua pecahan. Dari siklus pertama, diketahui bahwa konteks-konteks tersebut dapat dipergunakan untuk mengenalkan kepada siswa tentang makna perkalian pecahan, dan membangun pengetahuan siswa tentang bagaimana cara menentukan hasil dari perkalian dua pecahan. Namun, untuk lebih meyakinkan apakah benar konteks-konteks tersebut dapat dipergunakan untuk mengenalkan makna dari perkalian dua pecahan dan mencari hasil perkalian dua pecahan, dan bagaimana menggunakan konteks-konteks tersebut untuk membantu siswa membangun pengetahuan tentang makna dari perkalian dua pecahan dan mencari hasil perkalian dua pecahan, maka perlu langkah lanjutan dari penelitian ini, yaitu mengujicobakan bahan-bahan tersebut kepada siswa yang lain, dan menganalisa data hasil uji coba.

DAFTAR PUSTAKA

Akker, J. v. D., Gravemeijer, K., McKenney, S., & Nieveen, N. (2006). Introduction educational design research. In J. v. D. Akker, K. Gravemeijer, S. McKenney, & N. Nieveen (Eds.), Educational Design Research. New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Ayunika, El. P. S., Juniati, D., & Maesuri, S. P. (2012). Early fractions learning of 3 rd grade

students in SD Laboratorium Unesa. Journal Mathematics Education, 3, 17-28. Fosnot, C. T. and Dolk, M. (2002). Young mathematicians at work: Constructing fractions,

decimal, and percents . Portsmouth: Heinemann. Gravemeijer, K. P. E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal

Institute. Gravemeijer, K. P. E. (1991). An instruction-theoretical reflection on the use of manipulatives. In

L. Steefland (Ed.), Realistic mathematics education in primary school (pp. 57-76). Utrecht: CD- β Press.

Treffers, A. (1991). Didactical background of a mathematics program for primary education. In L. Steefland (Ed.), Realistic mathematics education in primary school (pp. 21-56). Utrecht: CD- β Press.

Widjaja, W., Fauzan, A., dan Dolk, M. (2010). The role of contexts and teacher’s questioning to enhance students’ thinking. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia , 33 (2), 168-186.

P – 39 PENGGUNAAN ASESMEN PORTOFOLIO DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH DASAR UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR DAN SIKAP SISWA TERHADAP MATEMATIKA

Ida Nurmila Isandespha

PGSD Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta idapgsd@uad.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar dan sikap terhadap matematika siswa kelas IVC SD Muhammadiyah Jogodayoh, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 melalui penggunaan asesmen portofolio dalam pembelajaran matematika.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (action research) yang terdiri atas dua siklus. Penelitian ini menggunakan model Kemmis & Taggart yang pada setiap siklusnya terdiri atas empat tahap, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelas IVC SD Muhammadiyah, Jogodayoh tahun ajaran 2012/2013. Jenis tindakan yang dilakukan adalah menggunakan asesmen portofolio dengan melibatkan orang tua siswa untuk memberikan feedback secara tertulis pada setiap tugas portofolio siswa dalam pembelajaran matematika. Kolaborator dalam penelitian ini adalah guru kelas IVC sebagai pelaku tindakan. Teknik pegumpulan data yang digunakan meliputi penilaian portofolio, skala sikap siswa, dan observasi. Instrumen yang digunakan adalah tugas portofolio, skala sikap siswa, dan lembar observasi. Analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif dan kuantitatif.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan terdapat peningkatan prestasi belajar siswa setelah dilaksanakan tindakan pembelajaran matematika menggunakan asesmen portofolio dengan melibatkan orang tua siswa untuk memberikan feedback secara tertulis pada setiap tugas portofolio yang disusun siswa. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan rata-rata nilai matematika yang diperoleh siswa. Rata-rata nilai siswa pada pra tindakan adalah 65,07 dengan ketuntasan belajar 36%. Pada siklus I meningkat menjadi 79,25 dengan ketuntasan belajar 64% dan pada siklus II nilai rata-rata siswa meningkat lagi menjadi 82,52 dengan ketuntasan belajar 86%. Ketuntasan belajar tercapai apabila siswa memiliki skor tes ≥ 75. Berdasarkan hasil analisis skala sikap siswa pada pra tindakan diperoleh 21,43% siswa memiliki skor sikap dengan kriteria positif. Pada siklus I meningkat menjadi 64,29% siswa memiliki skor sikap dengan kriteria positif dan meningkat lagi menjadi 81,71% siswa memiliki skor sikap dengan kriteria positif dan sangat positif.

Kata kunci: Asesmen Portofolio, Prestasi Belajar, Sikap Siswa, Matematika

A. PENDAHULUAN

Sekolah merupakan tempat belajar bagi siswa untuk menumbuhkan berbagai potensi yang dimiliki untuk mempersiapkan dirinya menghadapi masa depan. Masa depan akan semakin penuh dengan tantangan yang harus dipecahkan, tentunya dengan kemampuan yang mereka miliki. Sekolah menjadi cara terbaik untuk meningkatkan perkembangan anak karena sekolah

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Pembelajaran matematika di sekolah sering disampaikan dengan cara yang rumit dan menghafal rumus yang tidak dipahami oleh siswa. Pembelajaran matematika biasanya dimulai dengan menjelaskan mengenai ide-ide yang terdapat dalam buku yang dipelajari, diikuti dengan menunjukkan kepada siswa bagaimana mengerjakan latihan soal. Matematika yang disampaikan cenderung berupa kumpulan rumus-rumus atau aturan-aturan yang harus diikuti untuk menyelesaikan soal. Setelah materi selesai guru mengadakan ulangan harian untuk mengetahui pencapaian belajar anak. Hal serupa juga terjadi di kelas IVC SD Muhammadiyah jogodayoh saat pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil observasi guru selalu menjelaskan materi yang ada di buku acuan yang digunakan, kemudian guru memberikan contoh soal dan siswa diminta untuk menyelesaikan latihan yang ada di buku acuan. Kebanyakan siswa dalam menyelesaikan masalah cenderung menghafal rumus atau langkah-langkah seperti yang dicontohkan guru sehingga apabila soal latihan sudah diganti angkanya siswa merasa kesulitan untuk mneyelesaikannya. Akibatnya sebagian besar nilai ulangan matematika siswa kelas IVC SD Muhammadiyah Jogodayoh dibawah nilai kriteria ketuntasan minimal yang sudah ditentukan. Data awal yang diperoleh rata-rata nilai siswa pada pra tindakan adalah 65,07 dengan ketuntasan belajar 36%. Kriteria ketuntasan minimal yang telah ditentukan adalah 75.

Berdasarkan hasil wawancara awal dengan siswa didapatkan informasi bahwa 64% siswa menyatakan bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit. Ada 71% siswa juga mengaku bahwa mereka tidak menyukai pelajaran matematika. Beberapa siswa malas mengerjakan soal latihan karena dianggap sulit. Siswa yang menyukai pelajaran matematika mengaku senang dengan pelajaran matematika karena siswa tersebut lebih suka berhitung dari pada harus membaca. Berdasarkan pengakuan guru, ketika pelajaran berlangsung masih ada anak-anak yang gojeg, menggambar di buku tulisnya, sibuk sendiri dan tidak memperhatikan guru. Berdasarkan observasi terkadang guru memberikan ancaman bagi siswa yang malas menyelesaikan soal latihan seperti, “bagi siswa yang belum selesai mengerjakan soal maka tidak boleh istirahat” kemudian dengan segera siswa mencoba mengerjakan. Ada pula siswa yang terlihat bosan dan sering bertanya kepada guru kapan pelajaran berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa sikap siswa terhadap matematika masih belum positif.

Sikap terhadap matematika adalah emosi seseorang ketika berinteraksi dengan matematika, persepsi terhadap matematika dan bagaimana orang tersebut berprilaku terhadap matematika. Sikap positif terhadap matematika berarti emosi, persepsi dan perilaku seseorang saat berinteraksi dengan matematika yang mengacu pada makna positif. Makna positif yang mengacu pada persepsi, emosi, dan perilaku dijelaskan sebagai berikut (Zan & di Martino, 2000: 158-159):

1) Mengacu pada persepsi positif yaitu bagaimana persepsi positif terhadap matematika seperti siswa menganggap bahwa belajar matematika itu penting dan berguna baginya.

2) Mengacu pada komponen emosi positif berarti matematika dianggap menyenangkan, sehingga kecemasan ketika menghadapi masalah mtematika dipandang sebagai sisi negatif.

3) Mengacu pada perilaku positif berarti usaha untuk memperoleh keberhasilan. Dalam konteks belajar matematika prilaku positif dihubungkan dengan pencapaian dalam belajar matematika.

Sikap siswa terhadap pelajaran sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Sikap siswa dalam belajar seperti perasaan senang, rasa ingin tahu dalam belajar merupakan faktor penting dalam pencapaian prestasi belajar (Ali & Awan, 2013: 708).

Dalam pembelajaran matematika di sekolah guru menganggap proses mengajar, ujian, dan evaluasi sebagai kegiatan-kegiatan pendidikan yang terpisah (Shore & Grace, 2006: 10). Penilaian harusnya tidak semata-mata menilai siswa, tetapi harus dimanfaatkan juga untuk siswa, Dalam pembelajaran matematika di sekolah guru menganggap proses mengajar, ujian, dan evaluasi sebagai kegiatan-kegiatan pendidikan yang terpisah (Shore & Grace, 2006: 10). Penilaian harusnya tidak semata-mata menilai siswa, tetapi harus dimanfaatkan juga untuk siswa,

Penilaian dalam pembelajaran matematika tidak hanya menilai jawaban siswa benar atau salah namun harus menilai tujuan pembelajaran matematika secara spesifik seperti matematisasi, refleksi, dayacipta dan kreativitas siswa yang tentunya sulit dinilai dengan tes tradisional. Prinsip-prinsip penilaian pembelajaran matematika menurut de Lange (1987: 179-181) adalah:

1. Penilaian harus meningkatkan pembelajaran.

2. Metode penilaian yang digunakan harus mampu menggali apa yang diketahui siswa bukan apa yang tidak diketahui siswa.

3. Metode penilaian harus mampu menilai kemampuan matematisasi, refleksi, dayacipta, dan kreativitas siswa yang artinya penilaian berorentasi pada proses pembelajaran bukan hasil saja.

4. Kemampuan siswa tidak bisa hanya digambarkan dengan penilaian objektif. Portofolio merupakan sekumpulan hasil karya siswa yang sistematis dan terorganisir, yang menunjukkan keahlian dan prestasi siswa. Portofolio tidak hanya kumpulan paper siswa atau kumpulan catatan yang disimpan di map saja. Portofolio merupakan karya atau hasil kerja yang dibuat dan ditata sedemikian rupa sehingga menunjukkan kemajuan siswa dan mengarah pada suatu tujuan. Berryman, Russel & Richard (Santrock, 2008: 591) menyatakan bahwa peranan asesmen portofolio dalam pembelajaran adalah portofolio memberi kesempatan untuk mendorong siswa membuat keputusan dan refleksi diri. Portofolio memotivasi siswa untuk berfikir kritis dan mendalam sehingga portofolio memberi mekanisme yang bagus untuk megevaluasi kemajuan dan peningkatan belajar siswa.

Berdasarkan karakteristiknya, penilaian portofolio sangat sesuai dengan prinsip penilaian pembelajaran matematika. Penilaian portofolio merupakan penilaian yang tidak hanya sekedar berorentasi pada hasil belajar siswa tetapi juga memantau proses pembelajaran. Adapun karakteristik penilaian portofolio diuraikan sebagai berikut:

1. Merupakan hasil karya siswa yang berisi kemauan siswa dan penyelesaian tugas-tugas secara terus-menerus dalam usaha pencapaian kompetensi pembelajaran.

2. Portofolio dapat mengukur setiap prestasi siswa secara individual dan menyadari perbedaan di antara siswa.

3. Merupakan suatu pendekatan kerjasama dalam pembelajaran.

4. Memiliki tujuan untuk menilai diri sendiri.

5. Portofolio dapat memperbaiki dan mengupayakan prestasi.

6. Adanya keterkaitan antara penilaian dan pembelajaran. Berdasarkan latar belakang di atas penelitian ini dibatasi pada penggunaan asesmen portofolio yang belum dilaksanakan di kelas dan pada sikap siswa terhadap matematika yang masih belum positif dimana siswa tidak menyukai matematika karena dianggap sulit serta prestasi belajar siswa yang masih rendah. Oleh karena itu, pnelitian ini difokuskan pada upaya peningkatan prestasi belajar dan sikap siswa terhadap matematika melalui penggunaan asesmen portofolio.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah penggunaan asesmen portofolio untuk meningkatkan prestasi belajar dan sikap siswa terhadap matematika?” Tujuan utama rancangan penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi belajar dan sikap siswa Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah penggunaan asesmen portofolio untuk meningkatkan prestasi belajar dan sikap siswa terhadap matematika?” Tujuan utama rancangan penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi belajar dan sikap siswa

B. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Bentuk PTK ini merupakan penelitian kolaboratif dimana guru dilibatkan sebagai tim yang melaksanakan tindakan. Model PTK yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Kemmis & Tanggart. Masing-masing siklus terdiri dari tahapan perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Tujuan dari model Kemmis & Tanggart adalah apabila pada awal pelaksanaan tidakan masih ditemukan adanya kekurangan maka dapat dilakukan perbaikan pada tindakan atau siklus selanjutnya sampai target yang diinginkan tercapai.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SD Muhammadiyah Jogodayoh Sumbermulyo, Bambanglipuro Bantul, Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2012. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil dialog antara peneliti dan guru mengenai permasalahan yang terjadi di kelas. Kemudian peneliti dan guru melaksanakan observasi awal dan menyepakati untuk menindaklanjuti permasalah tersebut.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IVC SD Muhammadiyah Jogodayoh yang berjumlah 14 siswa, terdiri dari 10 siswa putara dan 4 siswa putri. Objek penelitian meliputi seluruh proses pembelajaran matematika beserta implementasi asesmen portofolio dengan melibatkan orang tua siswa untuk memberikan feedback secara tertulis pada setiap tugas portofolio siswa.

Prosedur Penelitian

1. Perencanaan Perencanaan adalah mengembangkan rencana tindakan untuk meningkatkan prestasi belajar dan sikap siswa terhadap matematika. Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah yang berupa:

a. Mengidentifikasi dan menetapkan permasalahan yang terjadi di kelas saat pembelajaran matematika, mengumpulkan data pendukung, merumuskan masalah dan menganalisisnya untuk menentukan hipotesis tindakan.

b. Merancang RPP, menyusun bahan ajar, dan menyiapkan media belajar.

c. Menyiapkan instrumen penelitian.

2. Pelaksanaan Tindakan Persiapan yang dilakukan pada siklus I antara lain: mempersiapkan RPP sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, lembar observasi aktivitas siswa dan tindakan guru sebagai pedoman bagi observer dalam melaksanakan pengamatan pelaksanaan tindakan berupa implementasi asesmen portofolio dengan melibatkan orang tua siswa untuk memberikan feedback secara tertulis pada setiap tugas portofolio siswa, tugas portofolio yang nantinya juga menjadi koleksi portofolio siswa.

3. Observasi Observasi dilaksanakan untuk memonitor pelaksanan tindakan secara berkelanjutan. Selama aktivitas pembelajaran berlangsung, peneliti dan peneliti sejawat melakukan pemantauan secara sistematis terhadap proses dan aktivitas belajar yang dilakukan guru dan siswa.

4. Refleksi Refleksi dilakukan untuk melihat apakah proses tindakan pembelajaran yang dilakukan sudah memenuhi harapan atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada PTK refleksi 4. Refleksi Refleksi dilakukan untuk melihat apakah proses tindakan pembelajaran yang dilakukan sudah memenuhi harapan atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada PTK refleksi

Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data penelitian digunakan tiga jenis instrument penelitian yaitu:

1. Tugas Portofolio Tugas portofolio digunakan untuk memperoleh nilai akhir tugas portofolio. Pada penelitian ini nilai tugas portofolio digunakan untuk menentukan prestasi belajar siswa.

2. Skala Sikap Skala sikap digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai sikap siswa terhadap matematika. Skala sikap terdiri dari 26 item yang terdiri dari aspek . Skala sikap berbentuk checklist menggunakan skala Linkert yang dimodifikasi dengan 4 alternatif jawaban yaitu: sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Skor masing-masing 4, 3, 2, dan 1 untuk pernyataan yang bersifat positif dan skor 1, 2, 3, dan 4 untuk pernyataan yang bersifat negatif.

3. Lembar Observasi Kegiatan observasi dilakukan dengan pengamatan langsung oleh peneliti dan peneliti sejawat selama proses pembelajaran dilaksanakan. Observasi dilakukan kepada guru dan siswa melalui: lembar observasi terhadap aktivitas belajar siswa dan lembar observasi terhadap tindakan guru.

Teknik Analisis Data

Penelitian tindakan ini mengunakan pendekatan kulitatif-kuantitatif. Dalam penelitian ini ditentukan kriteria ketuntasan minimal dari nilai siswa adalah 75,00. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, komponen penilaian portofolio adalah sebagai berikut:

1. Analisis Tugas Portofolio

Tabel 1. Komponen penilaian portofolio

Nama Siswa: No.

Aspek yang dinilai Skor Maksimal Nilai yang diperoleh

1. Kelengkapan isi portofolio 16 2. Kualitas isi Portofolio: Lembar Kerja

10 Kegiatan 1 Menabung

7 Kegiatan 2 Berbagi Kue

7 Laporan Pengamatan

4 Hasil Karya Hiasan Jendela

10 3. Usaha siswa dalam menyusun isi portofolio

3 4. Pencapaian Kompetensi

8 Jumlah

65 Nilai Akhir = Nilai Total

2. Analisis Skala Sikap Untuk menentukan kriteria hasil pengukuran sikap siswa terhadap matematika digunakan klasifikasi rata-rata ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Si). Dalam penelitian ini sikap siswa terhadap matematika memiliki rentang antara 26 sampai dengan 104. Perhitungan rata-rata ideal dan standar deviasi ideal adalah sebagai berikut:

Mi= (104-26)

2 =65 dan Si = 6 = 13.

Tabel 2. Interval Kriteria Sikap Positif Siswa terhadap Matematika

Interval

Skor (x)

Kriteria

(Mi+2Si)<x ≤(Mi+3 Si) 91< x ≤104 Sangat Positif (Mi+1 Si)<x ≤(Mi+2 Si) 78< x ≤ 91 Positif (Mi-1 Si)<x ≤ (Mi+1 Si) 52< x ≤ 78 Cukup Positif (Mi-2 Si)< x ≤(Mi-1 Si) 38< x ≤ 52 Negatif (Mi-3 Si)< x ≤(Mi-2 Si) 26< x ≤ 38 Sangat Negatif

3. Analisis Hasil Observasi Tabel 4 dan 5 berisi lembar observasi tentang aktivitas siswa dan tindakan guru dalam menyusun portofolio.

Tabel 3. Aspek Aktifitas Siswa yang Dinilai dalam Menyusun Portofolio

Aspek yang dinilai

1. Terlibat aktif dalam merencanakan portofolio. 2. Siswa menuliskan refleksi terhadap kemajuan belajarnya dalam lembar evaluasi diri. 3. Siswa menyelesaikan sendiri tugas portofolio yang menjadi isi portofolio. 4. Siswa mampu menjelaskan isi portofolionya saat dilakukan dialog portofolio. 5. Siswa menuliskan hasil belajar yang penting bagi siswa dalam portofolio. 6. Siswa memperbaiki tugas portofolionya

Tabel 4. Aspek Tindakan Guru dalam Menyusun Portofolio

No.

Aspek yang dinilai

1. Perencanaan Portofolio

a. Menyampaikan kepada siswa tujuan penggunaan portofolio dalam penilaian. b. Menyampaikan jadwal pelaksanaan portofolio kepada siswa. c. Melibatkan peserta didik dalam merencanakan portofolio.

2. Penentuan Tugas Portofolio a. Menyampaikan tugas portofolio kepada siswa. b. Menyampaikan kriteria penilaian portofolio. c. Memberikan tugas portofolio sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dicapai. d. Melakukan pengawasan selama siswa mengerjakan tugas. e. Memberikan waktu untuk menyelesaikan tugas. f. Memberikan referensi sumber belajar yang digunakan untuk megerjakan tugas. g. Membahas tugas yang sulit dikerjakan.

3. Penilaian Portofolio a. Melaksanakan dialog (diskusi) portofolio dengan siswa secara periodik. b. Melakukan penilaian dengan instrumen yang lengkap. c. Pemberian feedback pada portofolio yang sudah disusun siswa.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL Setelah dilakukan tindakan pada siklus I, sikap siswa terhadap matematika mengalami peningkatan dibandingkan sebelum dilaksanakan tindakan. Berdasarkan hasil observasi,

wawancara dan diskusi dengan guru pelaksana tindakan, ditemukan kekurangan pada pelaksanaan pembelajaran dengan asesmen portofolio. Pada pertemuan awal siklus I siswa masih kesulitan dalam memahami tugas portofolio. Bahasa yang digunakan dalam soal tidak mudah dipahami oleh siswa. Tugas yang diberikan guru juga terlalu banyak sehingga diakhir pembelajaran siswa sudah kehabisan energi dan kelihatan kelelahan.

Pada siklus I ini, penyusunan portofolio juga masih belum maksimal. Hal ini bisa dilihat dari hasil observasi pada aktivitas siswa dan tindakan guru dalam menyusun portofolio. Rata-rata aktivitas siswa dalam menyusun portofolio termasuk kriteria cukup aktif dan rata-rata tindakan guru dalam menyusun portofolio termasuk pada kriteria baik. Dari hasil wawancara juga dapat dilihat bahwa sebagian siswa masih belum mengerti apa manfaat portofolio. Siswa juga belum maksimal dalam merefleksikan hasil belajar yang telah diperolehnya.

Orang tua belum maksimal dalam memberikan feedback pada setiap tugas portofolio siswa. Ada beberapa orang tua siswa yang hanya menandatangani saja dan belum memberikan feedback terhadap tugas siswa sehingga belum ada komunikasi antara orang tua dan guru. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang tua masih belum mengapresiasi pekerjaan anaknya.

Untuk mengatasi kekurangan pada siklus I, guru akan memperbaiki proses pembelajarannya pada siklus II. Di siklus II guru akan lebih jelas dalam menyampaikan tujuan dan kriteria penilaian portofolio. Guru juga akan berusaha memaksimalkan peranan orang tua dalam memberikan feedback tertulis pada setiap tugas portofolio siswa.

Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus II, sikap siswa terhadap matematika telah mengalami peningkatan. Pada siklus I rata-rata skor sikap siswa adalah 81,50 dengan kriteria positif dan 64,29% memiliki sikap positif terhadap matematika. Pada siklus II rata-rata sikap siswa terhadap matematika meningkat menjadi 86,76 dengan kriteria positif dan 85,71% siswa sudah memiliki sikap positif dan sangat positif terhadap matematika.

Meningkatnya sikap siswa terhadap matematika juga membawa peningkatan pada prestasi belajar siswa. Prestasi belajar siswa mengalami peningkatan, dibuktikan dengan peningkatan rata-rata nilai matematika yang diperoleh siswa. Rata-rata nilai siswa pada pra tindakan adalah 65,07 dengan ketuntasan belajar 36%. Pada siklus I meningkat menjadi 79,25 dengan ketuntasan belajar 64% dan pada siklus II nilai rata-rata siswa meningkat lagi menjadi 82,52 dengan ketuntasan belajar 86%. Ketuntasan belajar tercapai apabila siswa memiliki skor tes ≥ 75.

Pra Siklus

Siklus I

Siklus II

Gambar1. Peningkatan Nilai Prestasi Belajar Siswa pada tiap Siklus

Tabel 5. Peningkatan Skor Rata-rata Sikap Siswa terhadap Matematika setiap Dimensi

Siklus II Dimensi Sikap Siswa Terhadap Matematika Skor Kriteria Skor Kriteria Skor Kriteria

Pra Siklus

Siklus I

CP 23,29 P Pembelajaran Matematika

Karakteristik dan Struktur Matematika

19.21 CP

P 30,29 P Penilaian Matematika

26.64 CP

P 15,71 P Penerapan/ Manfaat Matematika

P 17,50 P

Skor Total

P 86,79 P

Keterangan: CP : Cukup Positif P : Positif

PEMBAHASAN Setelah dilakukan tindakan dengan menggunakan asesmen portofolio yang juga melibatkan

orang tua siswa untuk memberikan feedback secara tertulis pada setiap tugas portofolio siswa terjadi peningkatan rata-rata sikap siswa terhadap matematika menjadi 81,50 dengan kriteria positif dan baru 64,29% siswa memiliki sikap positif. Karena belum memenuhi target yang diinginkan maka dilaksanakan tindakan berikutnya pada siklus II. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus II rata-rata sikap siswa terhadap matematika meningkat menjadi 86,79 dengan kriteria positif dan 85,71% siswa memiliki sikap positif dan sangat positif.

Hasil penelitian ini menunjukkan sesuai dengan pendapat Zubizarreta (2004: 125) yang menyatakan pembelajaran dengan penilaian portofolio diharapkan dapat meningkatkan semua kemampuan dalam diri siswa agar menjadi lebih baik. Selain itu, dengan menyusun portofolio sikap belajar siswa menjadi lebih baik dan kemampuan intelektualnya juga berkembang pada level yang lebih tinggi.

Dari hasil penilaian tugas portofolio siswa dapat dilihat peningkatan rata-rata prestasi belajar siswa. Rata-rata nilai siswa pada pra tindakan adalah 65,07 dengan ketuntasan belajar 36%. Pada siklus I meningkat menjadi 79,25 dengan ketuntasan belajar 64% dan pada siklus II nilai rata-rata siswa meningkat lagi menjadi 82,52 dengan ketuntasan belajar 86%. Ketuntasan belajar tercapai apabila siswa memiliki skor tes ≥ 75. Dari sini bisa disimpulkan Sikap siswa terhadap pelajaran sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Sikap siswa dalam belajar seperti yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan konatif siswa yang bias berupa perasaan senang, rasa ingin tahu dalam belajar merupakan faktor penting dalam pencapaian prestasi belajar (Ali & Awan, 2013: 708).

D. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Tindakan pembelajaran matematika dengan asesmen portofolio yang melibatkan orang tua siswa untuk memberikan feedback kepada setiap tugas portofolio siswa dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

2. Tindakan pembelajaran matematika dengan asesmen portofolio yang melibatkan orang tua siswa untuk memberikan feedback kepada setiap tugas portofolio siswa dapat meningkatkan sikap siswa terhadap matematika.

Saran

Berdasarkan hasil dan temuan yang diperoleh saran yang disampaikan adalah sebagai berikut: 1) Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai asesmen yang efektif digunakan dalam pembelajaran matematika selain asesmen portofolio, 2) Orang tua hendaknya bias memberikan feedback terhadap hasil pekerjaan anaknya sehingga terjadi komunikasi antara guru, orangtua,

dan siswa melalui koleksi portofolio .

E. DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. S & Awan, A. S. (2013). Attitude towards science and its relationship with student’ achievement in science [Versi elektronik]. International Journal of Contemporary Research in Business . 708, 4, 10.

de Lange, J. (1987). Mathematics insight and meaning. Utrech: OW & OC. Marpaung, Y. (2005). Reformasi pembelajaran matematika sekolah dan asesmennya. Dalam

Soewandi, A.M., Widharyanto, B., Bram., et al (Eds.), Perspektif Pembelajaran Berbagai Bidang Studi . Yogyakarta: USD.

Santrock. J. W. (2008). Educational psycology (3 rd ed.). New York: McGraw Hill Book Company. Shore, E.F. & Grace, C. (2006). Pintar membuat portofolio : Panduan langkah demi langkah

untuk guru . (Terjemahan Fretty H. Panggabean). Beltsville, MD: Gryphon House Publishing. (buku asli diterbitkan tahun 1998)

Zan, R & di Martino, P. (2007). Attitude toward mathematics: Overcoming the positive/negative dichotomy [Versi electronik]. Monograph of The Mountana Council of Teacher of Mathematics, 3, 157-168 .

Zubizarreta, J. (2004). The learning portfolio: Reflektif practice for improving student learning. Bolton, England: Anker.

P – 40

SEMIOTIC LOGICAL APPROACH

Ifada Novikasari

STAIN Purwokerto Ifa_da@yahoo.com

Abstrak

Semiotic awal mulanya digunakan untuk studi pola yang dapat diobservasi dari gejala fisiologis dalam penyakit tertentu. Hippocrates (460-377 SM) penemu pengetahuan medis, telah mengetahui cara bahwa seseorang dalam budaya tertentu akan menunjukkan dan menghubungkan pengetahuan tentang gejala dalam penyakit sebagai dasar dalam memberikan diagnosis yang tepat dan kemudian merumuskan ramalan yang cocok. Semiotic Logical Approach (SLA) dipahami sebagai bentuk teoritis-praktis (eksperimen-formal), bertujuan memberikan alat untuk analisis, deskripsi, dan pengaturan dari situasi problematik atau fenomena dari suatu kealamiahan didaktik matematis dari perspektif yang didasarkan pada semiotik, logika dan model kompetensi (semiosis) dan mengambil satu masalah dari pendidikan matematika, kajian kesulitan dan kesalahan siswa dalam pembelajaran matematika sebagai referensi.

Kata kunci: SLA

A. PENDAHULUAN

Istilah semiotic muncul sebagai usaha dokter dunia barat untuk memahami bagaimana interaksi antara badan dan operasi pikiran terdapat dalam domain budaya tertentu. Semitotic awal mulanya digunakan untuk studi pola yang dapat diobservasi dari gejala fisiologis dalam penyakit tertentu. Hippocrates (460-377 SM) penemu pengetahuan medis, telah mengetahui cara bahwa seseorang dalam budaya tertentu akan menunjukkan dan menghubungkan pengetahuan tentang gejala dalam penyakit sebagai dasar dalam memberikan diagnosis yang tepat dan kemudian merumuskan ramalan yang cocok. Setelah Hippocrates penggunaan istilah semeiosis merujuk pada representasi budaya dari tanda gejala yang akan dimaknai (Sebeok, 2001: xii).

Fenomena yang membedakan bentuk hidup dari objek mati merupakan semiosis. Hal ini dapat didefinisikan secara ssederhana dengan kapasitas naluri dari semua organisme untuk menghasilkan dan memahami signs atau tanda-tanda. Tanda merupakan suatu bentuk fisik yang telah dibayangkan atau dibuat secara eksternal (melalui beberapa media fisik) yang menyatakan objek, kejadian, perasaan dsb, dikenal sebagai referent atau acuan untuk kelas objek, kejadian, perasaan dsb yang serupa (atau berhubungan), dikenal sebagai domain acuan. Dalam kehidupan manusia, tanda-tanda memiliki banyak fungsi karena dapat membantu orang untuk mengenal corak sesuatu; tindakan mereka sebagai petunjuk untuk memprediksikan atau perencanaan untuk mengambil tindakan; mereka menjalankannya sebagai percontohan dari jenis fenomena tertentu; dan daftar yang dapat terus dan terus terjadi (Sebeok, 2001: 3).

Semioti c muncul dari studi ilmiah dari gejala fisiologis dari penyakit atau keadaan fisik tertentu. Hippocrates (460-377 SM), merupakan penemu pengetahuan barat, yang membentuk semiotic sebagai cabang medis untuk studi gejala. Studi tentang sign dalam istilah bukan medis menjadi target filsuf pada masa Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles mendefinisikan sign memiliki tiga dimensi: (1) bagian fisik dari sign itu sendiri (misal, suara yang menandakan kucing); (2) rujukan meminta perhatian (misal kategori tertentu mamalia kucing), dan (3)

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Fakta menunjukkan bahwa teori linguistik dan filsafat kekinian muncul dari matematika logis dan metamatematika. Pengaruh dari formal logis ini pada teori linguistik sejajar dengan adopsi sejumlah linguistik dalam praktik matematika. Hal ini sering menghasilkan konsep bahasa sebagai kalkulus atau sistem formal yang sebanding sistem dari formal logis (Merrell, 1997: x).

John Locke (1632-1704) seorang filsuf yang menyusun prinsip empirisme, mengenalkan studi formal dari tanda-tanda dalam filosofi untuk memahami keterkaitan antara representasi dan pengetahuan. Selanjutnya ahli bahasa swedia Ferdinan de Saussure (1857-1913) dan filsuf Amerika Charles S. Pierce (1839-1914) memberikan dasar untuk membatasi suatu bidang penyelidikan otonom yang berusahan untuk memahami struktur yang mendasari dalam menghasilkan dan diinterpretasi dari tanda-tanda. Dasar pemikiran yang memandu secara terstrultur, semiotic, adalah fakta bahwa pola berulang yang mencirikan tanda yang mencerminkan struktur bawaan daln komposisi sensorik, emosional dan intelektual dari jiwa dan fisik manusia. Hal ini dapat menjelaskan mengapa bentuk ekspresi yang dikreasi manusia dapat secara naluri direspon dengan makna dan mudah dipahami oleh masyarakat lintas budaya (Sebeok, 2001:5).

Ahli linguistik Saussure memberikan istilah ‘semiology’ (istilah Eropa) merupakan pengetahuan yang memepelajari peran tanda-tanda sebagai bagaian dari kehidupan sosial. Filsuf Peirce bidang kajiannya disebut ‘semeiotic’ atau ‘semiotic’ (istilah bahasa Inggris) merupakan ‘formal doctrine of signs’ atau ajaran formal dari tanda-tanda yang berkaitam dengan logika. Namun pada masa sekarang kedua istilah tersebut lebih dikenal semiotic (Chandler, 2007: 3).

Semiotic merupakan ilmu pengetahuan, dengan bagian tersendiri dari temuan dan teori, dan merupakan suatu teknik untuk mempelajari segala sesuatu yang menghasilkan tanda-tanda (Sebeok, 2001: 5). Menurut Deely (1990: 3) semiotic merupakan kesempatan unik yang terbuka dalam perkembangan keseharian manusia dari ajaran mengenai tanda-tanda. Semiotic untuk pertama kalinya terletak dalam jangkauan kita, selanjutnya hanya memberikan sesuatu yang kita pahami dari tanda dan hal ini merupakan fungsi penting hingga mencapai keseluruhan konstruksi tanda.

Menurut Chandler (2007:2) semiotic melibatkan studi yang tidak hanya merujuk pada ‘signs’ atau tanda-tanda dalam ucapan keseharian, tetapi sesuatu yang merupakan ‘singkatan’ dari sesuatu yang lain. Semiotic dapat berarti tanda-tanda yang diambil dari kata, gambar, suara, bahasa tubuh dan objek. Semiotikawan saat ini mempelajari bagaimana pemaknaan dibuat dan bagaimana realitas direpresentasikan.

Semiotic adalah teori realitas dan pengetahuan bahwa seseorang dapat memiliki fenomena melalui tanda-tanda yang merupakan satu-satunya cara yang tersedia. Kesimpulan semiotik yang muncul dari analisis tanda berupa tanda yang dapat diamati dan ekspresi nyata dari penyimpulan, yang dinyatakan oleh Pierce sebagai teori logis (semiotik) yang memiliki tiga referensi yang saling berkaitan (Socas & Hernández, 2013).

B. PEMBAHASAN

Menurut Whannel (Chandler, 2007:10) semiotic memberitahu kita hal yang sudah kita tahu di mana dalam bahasa tidak akan pernah dimengerti. Pengetahuan yang dilibatkan dalam semiotic diantaranya adalah linguistik, filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, literatur, aesthetic dan teori media, psikoanalisis dan ahli pendidikan.

Pierce memformulasikan model tanda, semiotic dan taksonomi tanda. Pierce memberikan model triadic yang terdiri dari (Chandler, 2007: 29):

1. Representamen: bentuk di mana tanda diambil (belum tentu bersifat materi, meskipun biasanya ditafsirkan seperti itu) disebutkan oleh beberapa teori ‘sign vehicle’.

2. Interpretant: bukan seoarang penerjemah tetapi makna yang diperoleh dari tanda.

3. Objek: sesuatu di luar tanda yang dirujuk, dapat mengacu pada suatu ide. Pierce berpendapat bahwa semua pengalaman melalui tanda.

Tipe Tanda-tanda

Terdapat 6 tipe utama tanda yang telah disusun dan diselidiki semiotic, yaitu (Sebeok, 2001: 8-).:

1. Symptom merupakan refleks dari struktur anatomi. Istilah symptom seringkali diperluas secara kiasan merujuk pada fenomena intelektual, emosional dan sosial yang merupakan hasil dari penyebab yang dianggap analog dengan proses fisik. Misalkan, “perilaku mereka merupakan symptom atau gejala dari jaman kita”.

2. Signal merupakan penanda yang bertindak sebagai pengatur yang memunculkan atau menghambat beberapa aksi atau reaksi. Sistem signal dapat juga dibuat untuk tujuan sosial biasa, misalkan lampu peringatan, sinyal kereta api, dsb.

3. Icons merupakan tanda yang dibuat untuk menyerupai, simulasi atau meniru sesuatu yang dirujuk dalam bentuk lain.

4. Index merupakan tanda yang merujuk pada sesuatu atau seseorang dalam istilah keberadaananya atau lokasi dalam waktu atau ruang, atau dalam hubungan dengan sesuatu atau seseorang yang lain.

5. Symbol merupakan tanda yang menunjukkan cara sebarang atau biasa. Kebanyakan semiotikawan setuju bahwa penyimbolan merupakan sejumlah representasi manusia yang memungkinkan manusia merefleksikan dunia terpisah dari situasi stimulus-respon.

6. Name merupakan tanda untuk mengidentifikasi dalam beragam cara. Semiotic Logical Approach (SLA) dipahami sebagai bentuk teoritis-praktis (eksperimen-formal), bertujuan memberikan alat untuk analisis, deskripsi, dan pengaturan dari situasi problematik atau fenomena dari suatu kealamiahan didaktik matematis dari perspektif yang didasarkan pada semiotik, logika dan model kompetensi (semiosis) dan mengambil satu masalah dari pendidikan matematika, kajian kesulitan dan kesalahan siswa dalam pembelajaran matematika sebagai referensi. Aspek logis dan semiotik dari SLA menggunakan fenomenologi Peirce sebagai referensi (Socas & Hernández, 2013).

Peirce, mengawali dari logika yang dipahami sebagai ilmu bahasa, menjelaskan perkembangan ilmu tentang tanda dan makna yang disebut semiotik yang dapat digunakan untuk menganalisis, dalam konstruksi semiotik, fenomena logika yang berbeda, matematika, fisika, dan psikologi, fenomenologi inilah yang digunakan dalam SLA (Socas & Hernández, 2013).

Semiotik adalah teori realitas dan pengetahuan bahwa seseorang dapat memiliki fenomena melalui tanda-tanda yang merupakan satu-satunya cara yang tersedia. Kesimpulan semiotik yang muncul dari analisis tanda berupa tanda yang dapat diamati dan ekspresi nyata dari penyimpulan, yang dinyatakan oleh Pierce sebagai teori logis (semiotik) yang memiliki tiga referensi yang saling berkaitan. Pierce memformulasikannya berupa model dari tanda, semeiotic dan taksonomi tanda, Pierce memberikan model triadic (tiga-bagian).

Oleh karena itu, jika tujuannya adalah untuk mempelajari setiap fenomena (situasi masalah) yang merupakan titik awal dalam SLA, ini akan selalu dianalisis dari konteks tertentu dan melalui tiga referensi yang didefinisikan sebagai fungsi semiotik primer atau dasar yang ditentukan oleh referensi tanda, objek, dan makana. Hal ini dapat digunakan untuk mengetahui konsep representasi sebagai penentu referensi semiosis tersebut. oleh karena itu, representasi adalah tanda bahwa (Socas & Hernández, 2013):

1) Memiliki karakteristik tertentu yang tepat (konteks) 2)

Menetapkan hubungan dari dua kelompok (dyadic) dengan pemaknaan 3)

Menetapkan hubungan dari tiga kelompok (triadic) dengan pemaknaan melalui objek,

Terkait dengan sistem pendidikan SLA menggunakan diagram Begle tentang matematika sekolah sebagai referensi, yang menunjukkan hubungan timbal balik antara komponen yang berbeda dalam proses pelatihan dan membantu kebutuhan untuk mengatur pandangan dan perspektif di bidang pengajaran/pembelajaran matematika sekolah. Untuk Terkait dengan sistem pendidikan SLA menggunakan diagram Begle tentang matematika sekolah sebagai referensi, yang menunjukkan hubungan timbal balik antara komponen yang berbeda dalam proses pelatihan dan membantu kebutuhan untuk mengatur pandangan dan perspektif di bidang pengajaran/pembelajaran matematika sekolah. Untuk

Gambar 1. Unsur Sistem Mikro Pendidikan Terdapat hubungan yang penting, yaitu: Hubungan 1: diantara pengetahuan matematis dan siswa disebut pembelajaran matematika

sekolah sebagai suatu perubahan konseptual Hubungan 2: diantara pengetahuan matematis dan guru, disebut “adaptasi materi kurikulum matematika untuk diajarkan” Hubungan 3: diantara pengetahuan matematis dan guru dengan siswa disebut “interaksi” Dengan demikian, ketiga unsur dan tiga hubungan penting dikontekstualisasikan dalam tiga komponen penentuan konteks proses pembelajaran dalam sistem pengatura, sehingga mencirikan enam materi inti yang merupakan bagian dari pengetahuan professional guru matematika. Selain yang sudah disebutkan sebelumya tiga hubungan, yaitu terdapat pengetahuan matematis sebagai ilmu, pengetahuan kurikulum matematika dan kurikulum matematika dari tahap pendidikan. Dalam kerangka ini, hal tersebut merupakan kesulitan, hambatan dan kesalahan yang siswa miliki atau buat dalam konstruksi pengetahuan matematika. SLA mengatur tiga model kompetensi: Kompetensi Matematika Formal (KMF), Kompetensi Kognitif (KK) dan Kompetensi Mengajar (KM), yang merupakan referensi untuk mendefinisikan Semiosis General yang merencanakan dan mengatur penelitian dalam sistem mikro pendidikan (Socas & Hernández, 2013).

Model Kompetensi Matematika Formal (KMF) dapat digunakan untuk menggambarkan bidang konseptual dari objek matematika pada level tematik di mana keduanya mempertimbangkan fungsi dan fenomenologi.

Model Kompetensi Kognitif (KK) merupakan referensi kedua dan memperhatikan penjelasan model kompetensi formal matematika sebelumnya, mengacu pada fungsi kognitif khusus siswa ketika mereka menggunakan objek matematika pertanyaan dan aspek stuktural pembelajaran.

Model Kompetensi Mengajar (KM) acuan ketiga, dan juga mempertimbangkan aspek yang telah disebutkan sebelumnya KFM dan KK dan menggambarkan tindakan dari subjek yang terlibat, proses komunikasi, mediator, situasi, konteks yang terjadi dalam pendidikan.

Tiga asumsi dasar dari SLA di sini adalah: analisis konten matematika. Analisis didaktis, dan pengaturan kurikulum. Analsis didaktis dan pengaturan kurikulum merupakan konsep bahwa SLA menggunakan karakteristik pengetahuan konten matematika dari sudut pandang professional. Analisis didaktis memungkinkan pemahaman akan masalah professional, sementara organisasi kurikulum merupakan rencana pengembangannya (Socas & Hernández, 2013).

Gambar 2. Proposal untuk Pelatihan Guru Matematika

C. SIMPULAN

Semiotik adalah teori realitas dan pengetahuan bahwa seseorang dapat memiliki fenomena melalui tanda-tanda yang merupakan satu-satunya cara yang tersedia. Kesimpulan semiotik yang muncul dari analisis tanda berupa tanda yang dapat diamati dan ekspresi nyata dari penyimpulan, yang dinyatakan oleh Pierce sebagai teori logis (semiotik) yang memiliki tiga referensi yang saling berkaitan. Semiotic Logical Approach (SLA) dipahami sebagai bentuk teoritis-praktis (eksperimen-formal), bertujuan memberikan alat untuk analisis, deskripsi, dan pengaturan dari situasi problematik atau fenomena dari suatu kealamiahan didaktik matematis dari perspektif yang didasarkan pada semiotik, logika dan model kompetensi (semiosis) dan mengambil satu masalah dari pendidikan matematika, kajian kesulitan dan kesalahan siswa dalam pembelajaran matematika sebagai referensi.

D. DAFTAR PUSTAKA

Chandler, Daniel. (2007). Semiotics: The Basics 2nd. USA: Routledge Deeley, John. (1990). Basics of Semiotics. USA: Indiana University Press. Merrell, Floyd. (1997). Pierce, Signs and Meaning. Canada: University of Toronto Press Sebeok, Thomas, A. (2001). Signs: An Introduction to Semiotics 2nd. Canada: University of

Toronto Press. Shulman, Lee S. (1987). Knowledge and Teaching Foundations of the New Reform. Harvard

Educational Review, Vol. 57, No.1, pp.1-21.

Socaz, M., Hernández, J. (2013). Mathematical Problem Solving in Training Elementary Teachers from a Semiotic Logical Approach. The Mathematics Enthusiast, ISSN 1551-3440, Vol. 10, nos.1&2, pp.191-218.

Wiley, Norbert. (1994). The Semiotic Self. Oxford: Blackwell Publishers.

P – 41 IDENTIFIKASI KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL GEOMETRI MATERI DIMENSI TIGA KELAS XI IPA SMA

Ika Kurniasari

Prodi Pendidikan Matematika Jurusan Matematika Unesa ika.kurniasari@gmail.com

Abstrak

Penyelesaian soal materi dimensi tiga bagi siswa SMA terdapat banyak kendala. Kendala yang siswa hadapi yaitu tidak mampu dalam memahami soal sehingga banyak terjadi kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa pada materi dimensi tiga digunakan sebagai acuan untuk memediasi siswa berdasarkan fungsi kognitifnya. Jenis Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Tempat Penelitian yaitu di SMA Al Falah Surabaya dan SMAN 1 Kertosono. Hasil penelitian ini menunjukkan banyak kesalahan yang dilakukan siswa dari tingkat tertinggi sampai ke rendah adalah kesalahan abstraksi yaitu pada pengabstraksian penentuan jarak pada bidang, sudut antara garis dan bidang, kesalahan prosedural yaitu pada perhitungan bentuk akar dan penggunaan rumus phytagoras dan kesalahan konsep terjadi pada konsep jarak serta konsep sudut.

Kata kunci: Kesalahan Siswa, Dimensi Tiga

PENDAHULUAN

Kegiatan belajar mengajar selalu mengalami perubahan, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas serta keberhasilan dalam bidang pendidikan. Salah satu pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas yaitu Rigorous Mathematical Thinking (RMT). Rigorous Mathematical Thinking (RMT) diartikan sebagai suatu pembelajaran yang mana dalam kegiatan pembelajarannya siswa dimediasi untuk membangun dan memunculkan pemahaman dan pengertian dengan memanfaatkan dan memadukan operasi mental yang dimilikinya (Budiarto dkk, 2013:11). Sebagai landasan untuk memediasi siswa perlu informasi sejauh mana kognitif siswa. Kinard (2008) menyampaikan bahwa tindakan berpikir tertentu yang diperlukan untuk menguraikan abstraksi dan generalisasi geometri secara langsung disebut fungsi kognitif kekhususan matematis . Geometri mempunyai arti penting bagi siswa yaitu sebagai suatu alat yang dapat digunakan untuk melatih kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan mempelajari geometri, siswa diharapkan mempunyai kemampuan bernalar yang baik, kemampuan berpikir yang logis, kritis, sistematis dan kreatif yang sangat diperlukan dalam kehidupan.

Geometri merupakan bidang kajian yang penting bagi kelangsungan hidup manusia namun tidak semua individu lantas menyenangi geometri, begitu juga dengan siswa. Ada sebagian siswa yang beranggapan bahwa geometri itu adalah bidang studi yang menyenangkan tetapi ada juga yang sebaliknya yaitu mengganggap bahwa geometri itu sulit dan menakutkan. Bagi siswa yang menyenangi geometri, mereka akan termotivasi dan merasa tidak terbebani ketika mempelajari geometri. Sehingga ketika dihadapkan dengan berbagai permasalahan geometri, mereka akan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Pemahaman konsep untuk pertama kalinya berkaitan dengan pembentukan konsep pada diri siswa. Ketika suatu konsep geometri sudah terbangun pada diri siswa dan mahasiswa maka mereka akan memiliki pemahaman yang baik terkait konsep tersebut. Pembentukan pemahaman konsep ini erat kaitannya dengan pembelajaran yang dilakukan guru dan cara belajar siswa itu sendiri. Ketika dalam pembelajaran di kelas guru memfasilitasi siswa dalam proses pembentukan konsep maka mereka akan mudah mengkonstruksi konsep baru yang diberikan oleh guru.

Banyaknya masalah-masalah geometri yang membutuhkan pemecahan yang cermat akan menuntut siswa untuk berpikir secara teliti dan cermat pula. Dengan demikian mengharuskan guru untuk mengetahui bagaimana konsep geometri terbangun pada diri siswa dan bagaimana cara siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Pada proses mengetahui bagaimana konsep geometri terbangun pada diri siswa dan bagaimana cara siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi akan ditemui beberapa kesalahan yang dilakukan oleh siswa. Oleh karena itu, makalah ini memaparkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal geometri dimensi tiga. Hasil dari pengidentifikasian kesalahan-kesalahan tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam memediasi siswa berdasarkan fungsi kognitif.

PEMBAHASAN

Pada umumnya dalam menyelesaikan soal geometri dilakukan secara berurutan atau dapat dikatakan adanya tahapan-tahapan yang sistematis, ada kemungkinan siswa melakukan kesalahan dalam tahapan-tahapan tersebut. Hal demikian yang dapat terjadi serangkaian kesalahan, yaitu kesalahan pertama menjadi penyebab kesalahan kedua dan seterusnya. Kesalahan adalah suatu bentuk penyimpangan dari suatu kebenaran prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya, atau penyimpangan dari suatu yang diharapkan (Kurniasari, 2007: 19). Dengan demikian, kesalahan jawaban siswa dalam menyelesaikan suatu soal berarti penyimpangan berbedanya jawaban siswa dari jawaban yang benar.

Jika diperhatikan kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal geometri sangatlah bervariasi. Pada penelitian ini peneliti mendefinisikan kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal geometri dalam tiga jenis yaitu: kesalahan abstraksi, kesalahan prosedural dan kesalahan konsep. Kesalahan abstraksi meliputi: ketidakmampuan siswa dalam pengabstraksian penentuan jarak pada bidang dan sudut antara garis dan bidang. Kesalahan prosedural meliputi: pada perhitungan bentuk akar dan penggunaan rumus phytagoras. Kesalahan konsep meliputi: kesalahan dalam memahami konsep jarak, konsep sudut dan kesalahan dalam memahami segitiga siku-siku yang berada pada bangun ruang (terkait dengan penggunaan teorema Phytagoras).

Penyelesaian soal geometri dikhususkan pada materi dimensi tiga. Dimensi tiga ini diberikan pada siswa kelas X IPA. Dimensi tiga membahas tentang menentukan kedudukan, jarak, dan besar sudut yang melibatkan titik, garis, dan bidang dalam ruang dimensi tiga. Hasil Penyelesaian soal geometri dikhususkan pada materi dimensi tiga. Dimensi tiga ini diberikan pada siswa kelas X IPA. Dimensi tiga membahas tentang menentukan kedudukan, jarak, dan besar sudut yang melibatkan titik, garis, dan bidang dalam ruang dimensi tiga. Hasil

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Data-data kualitatif yang digunakan adalah data tentang kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa yang meliputi kesalahan abstraksi, prosedural dan konsep sedangkan untuk data-data kuantitatif adalah data-data persentase banyaknya siswa yang melakukan kesalahan yang sama. Penelitian ini adalah bagian dari penelitian unggulan perguruan tinggi dengan judul Rigorous Mathematical Thinking Dalam Pembelajaran Geometri. Tempat penelitian di SMA Al Falah Surabaya dan SMAN 1 Kertosono. Subjek yang terpilih siswa kelas XI IPA 1 SMA Al Falah Surabaya dan siswa kelas XI IPA 3 SMAN 1 Kertosono yang masing-masing berjumlah 35 siswa. Subjek penelitian yang dipilih adalah yang telah mempelajari materi dimensi tiga yang memiliki criteria sebagai berikut: siswa yang paling banyak melakukan kesalahan dan variasi dan keunikan bentuk kesalahan.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes disgnostik. Tes diagnostik digunakan untuk menganalisis kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh siswa dalam menyelesaikan soal yang diberikan dalam tes tertulis. Bentuk tesnya adalah tes essay. Tehnik analisis data yan digunakan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

KESIMPULAN

Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kesalahan abstraksi yang dilakukan siswa meliputi:

a. Kesalahan pengabstraksian penentuan jarak pada bidang. Persentase kesalahan ini adalah 78% atau dilakukan oleh 55 orang siswa dari 70 orang siswa.

b. Kesalahan sudut antara garis dan bidang. Persentase kesalahan ini adalah 71% atau dilakukan oleh 50 orang siswa dari 70 orang siswa

2. Kesalahan prosedural yang dilakukan siswa meliputi:

a. Kesalahan pada perhitungan bentuk akar. Persentase kesalahan ini adalah 68% atau dilakukan oleh 48 orang siswa dari 70 orang siswa.

b. Kesalahan penggunaan rumus phytagoras. Persentase kesalahan ini adalah 36% atau dilakukan oleh 25 orang siswa dari 70 orang siswa.

3. Kesalahan konsep yang dilakukan siswa meliputi:

a. Kesalahan pada konsep jarak. Persentase kesalahan ini adalah 57% atau dilakukan oleh 40 orang siswa dari 70 orang siswa.

b. Kesalahan pada konsep sudut. Persentase kesalahan ini adalah 36% atau dilakukan oleh 25 orang siswa dari 70 orang siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, dkk. 2013. Rigorous Mathematical Thinking. Surabaya: Proposal Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi tidak dipublikasikan.

Kinard, J. T., & Kozulin, A. 2008. Rigorous Mathematical Thinking : Conceptual Formation in the Mathematics Classroom . New York : Cambridge University Press.

Kurniasari, Ika. 2007. Analisis Kesalahan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 16 Surabaya dalam Menyelesaikan Soal Sistem Persamaan Nonlinear Dua Variabel. Surabaya: Tesis tidak dipubikasikan.

Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

P – 42

NORMA SOSIOMATEMATIK DALAM KELAS MATEMATIKA

Ilham Rizkianto

FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta ilham_rizkianto.uny.ac.id

Abstrak

Salah satu jenis kecerdasan yang menjadi perhatian dalam paham sosial konstruktivis adalah kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial ini diperoleh dari pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sekitar atau disebut juga sebagai interaksi sosial. Pentingnya interaksi sosial juga tertuang dalam salah satu prinsip dari Pendidikan Matematika Realistik, yaitu interactivity yang merupakan interaksi sosial antara pembelajar untuk mendukung proses individu masing-masing pembelajar. Komunikasi adalah salah satu bagian penting dalam matematika dan pendidikan matematika. Melalui kegiatan komunikasi, siswa dapat bertukar ide dan pendapat, mengklarifikasi pemahaman dan pengetahuan yang mereka peroleh, dan lain sebagainya. Kemampuan komunikasi ini tentunya ditunjang dari pengadaan masalah matematika yang menantang (challenging problem). Masalah matematika yang digunakan bersifat terbuka (open-ended) sehingga mendukung terjadinya diskusi antar siswa. Suatu proses belajar akan menjadi lebih efektif dan efisien jika para pembelajar saling mengkomunikasikan ide melalui interaksi sosial. Karenanya, perkembangan kemampuan komunikasi siswa dalam dan melalui pembelajaran merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar dalam pendidikan. Interaksi sosial yang terjadi di antara siswa ketika bekerja sama menyelesaikan suatu masalah matematika maupun dalam mempresentasikan suatu hasil penyelesaian matematis dilandasi oleh norma yang berkembang dalam komunikasi, yaitu norma sosial dan norma sosiomatematik. Norma sosiomatematik merupakan suatu aturan eksplisit maupun implisit yang mempengaruhi partisipasi siswa dalam aktivitas matematika. Norma sosiomatematik berkaitan dengan bagaimana siswa meyakini dan memahami pengetahuan matematika, menempatkan diri dalam suatu interaksi sosial dalam membangun pengetahuan matematika. Pengembangan interaksi sosial di antara siswa dalam proses pembelajaran sejalan dengan program Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementrian Pendidikan Nasional, yang menempatkan pembangunan karakter sebagai salah satu tujuan sekaligus bagian dari pendidikan kita.

Kata kunci: norma sosiomatematik, PMRI, RME, interaksi sosial

A. PENDAHULUAN

1. Latar belakang dan rumusan masalah Salah satu jenis kecerdasan yang menjadi perhatian dalam paham sosial konstruktivis adalah kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial ini diperoleh dari pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sekitar atau disebut juga sebagai interaksi sosial. Vygotsky – seorang penganut sosial konstruktivis – menekankan keutamaan dari interaksi sosial sebagai suatu prasyarat menuju perkembangan kognitif individu melalui internalisasi ide-ide dalam suatu komunitas (Nyikos & Hashimoto, 1997). Pentingnya interaksi sosial juga tertuang dalam salah satu prinsip dari Pendidikan Matematika Realistik. Treffers dalam Bakker (2004) merumuskan interactivity sebagai interaksi sosial antara pembelajar untuk mendukung proses individu masing-masing pembelajar.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), (2000) melalui Principles and Standard for School Mathematics, menempatkan komunikasi sebagai salah satu bagian penting

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

NCTM merumuskan standar komunikasi untuk menjamin kegiatan pembelajaran matematika yang mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam:

1. Menyusun dan memadukan pemikiran matematika melalui komunikasi

2. Mengkomunikasikan pemikiran matematika secara logis dan sistematis kepada sesama siswa, kepada guru, maupun orang lain

3. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran dan strategi matematis orang lain

4. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide matematika secara tepat.

Kemampuan komunikasi ini tentunya ditunjang dari pengadaan masalah matematika yang menantang (challenging problem). Masalah matematika yang digunakan bersifat terbuka (open-ended) sehingga mendukung terjadinya diskusi antar siswa. Karakteristik masalah yang terbuka akan memicu pada terjadinya interpretasi masalah dan strategi penyelesaian. Perbedaan tersebut selanjutnya menjadi objek diskusi siswa untuk merumuskan suatu kesepakatan dan pemahaman bersama. Tujuan tersebut akan tercapai jika proses diskusi berlangsung secara terarah. Oleh karena itu, perlu diperhatikan adanya penggunaan aturan dalam diskusi. Diskusi tidak hanya untuk berbagi gagasan tapi yang lebih penting, adalah diskusi tersebut sekaligus bermanfaat dalam mengklarifikasi serta mengembangkan gagasan menuju suatu pengetahuan dan pemahaman matematis. Aturan tentang bagaimana seseorang bersikap atau bertingkah laku, sering disebut sebagai norma. Dalam suatu kelas, pelaksanaan proses pembelajaran juga diatur oleh adanya norma. Secara umum, norma yang digunakan adalah norma sosial. Pada penerapannya, disadari adanya norma yang hanya berlaku dalam suatu subjek tertentu, dalam hal ini subjek matematika, norma yang mengatur dikenal sebagai norma sosiomatematik.

Banyak penelitian juga telah dilakukan untuk mengkaji berbagai aspek dari tentang interaksi sosial beserta norma sosial dan norma sosiomatematik, khususnya dalam suatu pembelajaran. Tulisan ini adalah produk dari ketertarikan penulis terhadap konsep norma sosial dan sosiomatematik dalam kelas matematika sebagaimana yang diperkenalkan oleh Paul Cobb dkk. Konsep ini sudah digunakan secara luas dalam berbagai penelitian pendidikan di beberapa negara, mulai dari taman kanak-kanak hingga universitas. Berdasarkan kenyataan diperlukannya aturan dalam kelas matematika yang mengatur jalnnya serangkaian aktivitas matematika dalam kelas, maka pertanyaan yang dirumuskan dalam makalah ini adalah: “Bagaimana norma sosiomatematik membantu siswa mengkonstruksi pemahamanya dalam pembelajaran matematika?”

2. Tujuan dan manfaat Tujuan penulis adalah untuk melihat lebih jelas tentang konsep norma sosiomatematik dalam pembentukan pemahaman matematis siswa. Jawaban dari pertanyaan ini mungkin bisa menimbulkan ketertarikan bagi peneliti dan guru yang ingin menginterpretasi sikap atau kelakuan siswa ketika mereka berinterkasi dalam lingkungan matematika. Dalam hal ini, penulis berharap untuk melihat kesinambungan dari teori tertentu yang telah ada.

B. PEMBAHASAN

1. Norma sosial dan norma sosiomatematik Tidak seperti istilah “interaksi sosial” yang sudah relatif familiar bagi masyarakat, istilah “norma sosial” dan “norma sosiomatematik” mungkin bisa dikatakan relatif baru bagi kita. Konsep dari norma berasal dari ide yang lebih luas dari “prescription” yang berarti tingkah laku yang mengindikasikan tingkah laku lainnya harus melekat. Konsep yang serupa dinyatakan bahwa norma adalah “obligation” (Voigt, 1994) yang berhubungan dengan berbagai kebiasaan dalam kelas dan mengatur tingkah laku guru dan siswa. Sementara itu, Cobb, Wood dkk (1992) dan Yackel & Cobb (1996) memperkenalkan istilah “norma” untuk menggambarkan komunikasi atau interaksi antara guru dan siswa ataupun antar siswa yang terjadi pada proses pembelajaran. Tatsis (2007) menyatakan bahwa interaksi sosial yang terjadi di antara siswa ketika bekerja sama menyelesaikan suatu masalah matematika maupun dalam mempresentasikan suatu hasil penyelesaian matematis dilandasi oleh norma yang berkembang dalam komunikasi, yaitu norma sosial dan norma sosiomatematika. Norma yang ada dalam kelas bersifat fleksibel, di mana guru, siswa, dan peneliti sebagai agen pembelajaran, terlibat dalam pembentukannya. Kebutuhan dari agen ini akan berubah seiring dengan kematangan atau kedewasaan yang dicapai siswa, sehingga norma yang ada perlu dinegosiasikan kembali atau bahkan diganti. Yackel dan Cobb (1996) mengatakan bahwa norma yang dibangun akan melewati tahap-tahap perkembangan tertentu, yang terdiri dari komputasi, penjelasan konseptual, dan refleksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Erna Yackel dan Paul Cobb (1996) menegaskan adanya perbedaan antara norma sosial dan norma sosiomatematik. Norma sosial merupakan pola umum interaksi sosial yang tidak terikat pada topik atau materi pembelajaran. Contoh sederhananya adalah bagaimana cara yang baik dalam mengajukan pendapat serta menghargai pendapat orang lain. Norma sosiomatematik, secara khusus dikaitkan pada argumentasi secara matematika, yaitu bagaimana pembelajar melakukan proses interaksi dan negosiasi untuk memahami konsep-konsep matematika. Yackel & Cobb (1996) menyebutkan bahwa “pemahaman dan kesadaran yang dimiliki siswa tentang bagaimana cara yang tepat untuk mengkomunikasikan solusi dan cara berfikir” merupakan suatu contoh norma sosial, sedangkan “pemahaman tentang argumentasi seperti apa yang bisa diterima secara matematis” merupakan contoh dari norma sosiomatematik. Dengan kata lain, norma sosial berkaitan dengan tata krama atau adab dalam berkomunikasi.

Tabel 1. Perbedaan antara norma sosial dan norma sosiomatematik Norma Sosial

Norma Sosiomatematik

Siswa saling bertanya tentang pemikiran Siswa saling mengajukan pertanyaan yang masing-masing

menekankan pada penalaran matematis, jastifikasi, dan pemahaman.

Siswa menjelaskan cara mereka berfikir Siswa menjelaskan solusi yang mereka miliki menggunakan argumen matematis

kesepakatan menyelesaikan masalah

Siswa bekerja

bersama

untuk Siswa

mencapai

menggunakan penalaran dan bukti matematis

Siswa menyelesaikan masalah Siswa membandingkan strategi yang menggunakan pendekatan yang bervariasi mereka

untuk menemukan persamaan dan perbedaan yang penting secara matematis

miliki

Siswa menyadari bahwa melakukan Siswa menggunakan kesalahan sebagai kesalahan merupakan bagian dalam kesempatan untuk berfikir kembali tentang pembelajaran

konsep dari ide matematis yang mereka miliki dan menguji kontradiksi. Kesalahan mendukung pembelajaran baru mengenai matematika.

Ariyadi (2012) menyatakan bahwa norma sosiomatematik merupakan suatu aturan eksplisit maupun implisit yang mempengaruhi partisipasi siswa dalam aktivitas matematika. Norma sosiomatematik berkaitan dengan bagaimana siswa meyakini dan memahami pengetahuan matematika, menempatkan diri dalam suatu interaksi sosial dalam membangun pengetahuan matematika. Secara khusus, Lopez (2007) membedakan norma sosiomatematik menjadi dua, yaitu:

1. Norma sosiomatematik terkait dengan proses pemecahan masalah. Norma ini fokus pada ekspektasi bagaimana pemecahan masalah harus dilakukan. Sebagai contoh adalah mencoba berbagai macam strategi pemecahan masalah dan verifikasi hasil penyelesaian.

2. Norma sosiomatematik terkait dengan partisipasi dalam aktivitas bersama untuk pemecahan masalah. Norma ini fokus pada bentuk ideal interaksi sosial yang diharapkan dapat mendukung aktivitas penyelesaian masalah secara produktif. Norma sosiomatematik ini cenderung merupakan bentuk norma sosial, namun Lopez menekankan pada “objek matematis” dalam norma yaitu “pemecahan masalah”

Sekiguchi (2005) menyebut norma ini sebagai norma matematik karena pertimbangannya bahwa matematika adalah aktivitas sosial budaya sebagaimana tertuang dalam fisafat matematika dan teori sosial budaya. Sekiguchi (2005) menegaskan bahwa walaupun norma matematika tidak sering diajarkan secara eksplisit oleh guru ataupun tertera dalam buku teks, norma ini sangat penting ketika proses pembelajaran matematika dibentuk dari aktivitas matematika. Norma matematika adalah pengetahuan tentang melakukan matematika, oleh karena itu norma ini merupakan pengetahuan meta dalam matematika.

2. Pentingnya aspek persahabatan dalam pembentukan norma Penelitian Edwards (2007) mengungkap salah satu aspek yang hasrus diperhatikan dalam pembentukan norma sosiomatematik, yaitu persahabatan. Karena norma sosiomatematik cenderung digunakan dalam diskusi kelas ataupun diskusi kelompok, maka pembentukan kelompok harus ikut diperhatikan agar pembentukan norma dapat berjalan maksimal. Secara umum, persahabatan merupakan istilah yang menggambarkan perilaku kerja sama dan saling mendukung antara dua atau lebih individu. Ada enam kemampuan sosial yang relevant dari persahabatan dalam kelas matematika, di antaranya kemampuan menerima aturan atau standard, kooperatif dan bersaing, kemampuang mengambil resiko, mengembangkan kemampuan komunikasi, mengembangkan kemampuan bernegosiasi, menghindari konflik, dan mengembangkan pemahaman dalam interaksi kelompok. Familiaritas ditekankan dalam penelitian yang dilakukan Edwards. Hal ini disebabkan karena siswa akan lebih mudah berinterkasi dengan seseorang yang sudah dikenalnya, dan membuat mereka menjadi nyaman dalam belajar, mengeluarkan ide, bertanya, bahkan menantang jawaban yang diberikan oleh temannya. Tentu saja, secara langsung akan memberikan dampak dalam pengkonstruksian pengetahuan.

Kelompok persahabatan muncul karena adanya kebutuhan untuk menyediakan kondisi yang penting untuk siswa untuk secara sukses menantang dan menjustifikasi ide. Persahabatan menawarkan sebuah lingkungan di mana pembelajaran menuntun kepada perubahan kognitif yang lebih besar untuk situasi sosial yang bisa ditransfer kepada pembelajaran matematika. Hal ini dikonfirmasi kembali oleh Zarjac and Hartup (1997) yang menemukan bahwa teman adalah partner belajar yang lebih baik dari yang bukan teman. Sejalan dengan hasil penelitian Edwards (2007), bahwa persahabatan adalah alasan siswa bisa menerima keputusan, opini, dan lain sebagainya, karena adanya penghormatan kepada orang tersebut, dan ini mengarahkan pada penjelasan matematika yang lebih mudah diterima dan efisien.

Tatsis (2007) menghubungkan proses dari pembentukan norma dengan proses pembentukan kepercayaan dan nilai matematis, di mana bertujuan untuk menghubungkan pendekatatn sosiologi dan pisikologi. Dalam penelitian yang dilakukannya Tatsis menemukan salah satu norma yang muncul adalah kerja sama. Hal ini dipertegas dari rekaman di mana siswa menggunakan kata “kita” untuk menunjukkan hasil pekerjaan mereka. Selain itu, perwujudan dari Tatsis (2007) menghubungkan proses dari pembentukan norma dengan proses pembentukan kepercayaan dan nilai matematis, di mana bertujuan untuk menghubungkan pendekatatn sosiologi dan pisikologi. Dalam penelitian yang dilakukannya Tatsis menemukan salah satu norma yang muncul adalah kerja sama. Hal ini dipertegas dari rekaman di mana siswa menggunakan kata “kita” untuk menunjukkan hasil pekerjaan mereka. Selain itu, perwujudan dari

3. Pengembangan norma sosiomatematik dari beberapa hasil penelitian Suatu proses belajar akan menjadi lebih efektif dan efisien jika para pembelajar saling

mengkomunikasikan ide melalui interaksi sosial. Karenanya, perkembangan kemampuan komunikasi siswa dalam dan melalui pembelajaran merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar dalam pendidikan. Guru matematika juga sering dihadapkan pada isi kurikulum, yang menitikberatkan hanya pada pengetahuan matematika dan skil matematika. Yackel dan Cobb (1996) dalam penelitianya bersama Wood (Cobb, Yackel 1989; Yackel, Cobb, dan Wood 1991), menyatakan bahwa norma sosial dalam kelas diantaranya menjelaskan, menjastifikasi, dan berargumen, namun norma sosiomatematik melibatkan pembahasan matematika di setiap langkah penyelesaian.

Perlu diingat bahwa tiap kelas mengembangkan sendiri norma yang sejalan dengan proses pembelajaran matematika. Norma juga bisa menyebabkan terjadinya dilema. Norma apa yang harus digunakan sangat tergantung pada konteks di mana siswa berada. Norma tidak dapat merubah perilaku siswa. Norma tidak lebih dari pengetahuan tentang budaya yang berguna (Sekiguchi, 2005). Gilbert dan Gilbert (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa kemampuan guru untuk menegosiasikan serangkaian norma soisomatematik yang secara sukses mendukung proses pembelajaran siswa bergantung pada pemahaman guru tentang konteks budaya siswa. Sebagai contoh akan peranan norma sosiomatematik dalam pembentukan pemahaman siswa, secara singkat akan diuraikan penelitian yang dilakukan Frye dan Kastberg. Frye dan Kastberg (2013) mengamati perilaku siswa kelas enam pada saat belajar mengenai konsep rasio. Siswa diberikan sebuah soal yang realistik yang diselesaikan secara berkelompok dan kemudian mendiskusikannya bersama. Persisting (persisten) dan challenging and questioning (menantang dan bertanya) adalah kebiasaan yang diharapkan terjadi dalam seluruh diskusi akademik. Kedua norma ini dalam kelas matematika nantinya akan mendorong terbentuknya norma sosiomatematik. Cara-cara tertentu inilah yang berkontribusi dalam kemampuan matematis siswa (mathematical proficiency). Norma sosiomatematik bisa berkembang ketika perhatian siswa fokus berkontribusi dalam diskusi matematis, memahami ide satu dan lainnya, dan mengeksplorasi kualitas dari ide-ide tersebut.

1. Persisten, Menurut Frye dan siswa kelasnya, persisten adalah bekerja untuk mengidentifkasi langkah solusi, menemukan solusi, bekerja dengan solusi ini untuk mengeksplorasi metode lainnya dalam menyelesaikan masalah, serta memperluas masalah berdasarkan pertanyaan yang diberikan. Sebagai contoh, ketika siswa diberikan masalah dan menemukan solusi dari masalah tersebut, mereka tidak boleh merasa bahwa mereka telah selesai. Siswa hendaknya merefleksi pekerjaan mereka dengan menjawab beberapa pertanyaan penting sebagai berikut,

- konsep matematika apa saja yang bisa digunakan dalam menyelesaiakn masalah ini? - strategi manakan yang paling efisien?

- kesalahan-kesalahan apa yang saya buat dan bisa membentu teman-teman belajar lebih

baik? - masalah apa saja yang bisa saya selesaikan menggunakan metode ini? - pertanyaan apa saja yang bisa saya kemukakan dan saya jawab tentang situasi masalah ini?

Dengan menjawab berapa contoh pertanyaan tersebut, pembelajaran matematika di kelas akan menjadi lebih dalam dan bermakna bagi seluruh siswa. Persisten adalah salah satu contoh dari norma sosial karena bukan merupakan sesuatu yang unik dalam pekerjaan komunitas matematikawan. Hal ini tentunya berbeda dengan ketika guru dan siswa berdiskusi tentang perbedaan konsep antara solusi dan proses yang digunakan untuk mengeneralisasi solusi, mereka fokus pada matematika. Penekanannya mengalihkan siswa dari sekedar terlibat dalam cara akademik yang produktif kepada membangun pemahaman ide yang khusus dalam matematika. Abbey, salah satu siswa Frye dalam penelitiannya berkomentar tentang norma persisten dalam kelas. Dari apa yang dikatankannya, Abbey melihat matematika sebagai hal yang sensibel, bermanfaat, dan bernilai (Kilpatrick, Swafford, dan Findell 2001), sebuah karakter produktif dan bagian penting dalam profisiensi matematis.

2. Menantang dan bertanya Dalam sebuah diskusi matematika yang sehat, tiap siswa berpartisipasi aktif mengikuti. Berbagai pertanyaan dan saran dikemukakan, agar inti dari presentasi dapat dipahami oleh semua anggota kelas. Norma sosiomatematik “menantang dan bertanya” tentu bukanlah hal baru dalam pelaksanaan diskusi yang sehat. Tantangan adalah sebuah kesempatan untuk belajar dan mengubah pemikiran karena pasangan (teman kelas) secara meyakinkan menjastifikasi ide mereka adalah bagian dari pembentukan pemahaman. Dengan kata lain, hal tersebut bisa mendorong pembentukan strategi yang lebih efisien dan jastifikasi matematika yang lebih meyakinkan. Pertanyaan yang dimunculkan dalam suatu diskusi merupakan wujud dari keingintahuan. Siswa didorong untuk mendemonstrasikan nilai dari sebuah solusi yang dimiliki temannya dengan mengajukan pertanyaan yang kontemplatif tentang proses pemecahan masalah dan solusi. Walaupun menantang dan bertanya bisa dianggap sebagai norma sosial, diskusi siswa yang fokus pada identifikasi dan pemahaman tentang perbedaan solusi dan proses dan evaluasi dari efisiensi adalah norma sosiomatematik.

Pengembangan kamampuan matematika siswa bisa muncul dari usaha yang dilakukan guru untuk membangun norma sosiomatematik. Mendorong, mengarahkan perhatian siswa, dan mengevaluasi ide matematis yang ada adalah langkah yang penting. Dalam kelas Frye, diskusi dan membandingkan solusi siswa, membantu membangun kemampuan matematis. Karena siswa didukung untuk persisten, menampilkan, dan membagi apa yang mereka peroleh dan metode yang mereka gunakan (mendebatkan perbedaan hasil dan metode penyelesaian), mereka mengembangkan kompetensi strategi, penalaran yang adaptif, dan disposisi yang produktif.

Penelitian yang dilakukan oleh Sekiguchi (2005) menitikberatkan pada 4 norma dalam kelas yang dikembangkan oleh guru, yaitu efisiensi, ide penting dalam penyelesaian yang tidak efisien, kebenaran yang harus dibuktikan terlebih dahulu, dan ketepatan lebih bernilai dari kecepatan. Pengembangan norma ini tidak terlepas dari penggunaan hasil pekerjaan siswa, karena norma adalah tentang bagaimana bekerja dengan matematika, penggunaan pekerjaan matematika siswa merupakan hal yang alami dalam mengkomunikasikan norma. Selain itu, ketika guru berusaha menerapkan suatu norma dalam kelas, maka perlu adanya perhatian khusus pada siswa yang tidak mengikuti norma. Perlu adanya diskusi antara guru dan siswa dengan tetap memperhatikan aspek psikologis dan sosial siswa.

Penelitian yang dilakukan oleh Gilbert dan Gilbert (2011) melibatkan seorang guru, Keoni, dan seluruh siswa dalam kelasnya. Keoni mengawali kelas dengan memodelkan sebuah konsep sehingga siswa memiliki kesempatan untuk mengobservasi pekerjaan ahli. Dia sering berkata pada siswanya “berhenti melakukan apa yang kamu kerjakan, lihat ke sini, dan dengarkan saya.” Selama pembelajaran siswa mulai dengan mengobservasi yang dilakukan guru, mendengar penjelasan guru, merefleksi dan berdiskusi dalam kelompok, serta mempraktekkan keahlian baru. Dari kegiatan ini kemudian siswa didorong untuk mengeluarkan pertanyaan. Hasilnya, apa yang dilakukan Keoni setiap pembelajaran ini, menjadi kebiasaan bagi siswa dalam belajar matematika dan memberikan hasil yang lebih baik untuk post tes yang diikuti siswa. Hal ini membuktikan bahwa pembelajaran matematika dalam berbagai aturan budaya yang pantas, mendukung terlaksananya diskusi kelas yang bermanfaat dan meningkatkan pemahaman siswa.

4. Norma sosiomatematik dalam pembentukan matematikawan yang berkarakter Sebuah pendapat langsung tentang pengimplementasian dan pengembangan norma sosiomatematik dalam kelas, diungkapkan oleh Morgan, salah seorang siswa dalam penelitian Frye (2013), “anda bisa melihat kenapa setiap orang yang tampil ke depan berfikir bahwa mereka benar. Mereka benar-benar berfikir secara mendalam tentang proses menyelesaikan masalah, sehingga anda mengerti bagaimana mereka berfikir. Dalam hidup, jika anda ingin menunjukkan bahwa anda benar dan anda peduli, maka anda harus benar-benar berfikir atau bernalar secara mendalam. Anda harus mencintai satu sama lain untuk mengubah pemikiran seseorang. Dalam kelas kami, kami mencintai satu sama lain sehingga kami bisa mengubah pemikiran yang lain. Kami berbagi fakta dan statistik, serta alasan atau argumen. Bagi orang lain, untuk mengetahui bahwa anda mencintai dan peduli terhadap mereka membuat semuanya menjadi lebih mudah untuk menantang mereka karena mereka tahu kenapa anda berusaha mengubah pemikiran mereka.”

Apa yang diungkapkan Morgan ini berdasarkan pengalaman belajarnya menunjukkan betapa pentingnya saling menghormati dalam komunitas dan peduli dengan orang lain agar bisa bertanya proses pemecahan masalah atau hasil temuan dari pasangan. Pengembangan interaksi sosial di antara siswa dalam proses pembelajaran sejalan dengan program Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementrian Pendidikan Nasional, yang menempatkan pembangunan karakter sebagai salah satu tujuan sekaligus bagian dari pendidikan kita (Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2011). Karakter dapat dikembangkan melalui interaksi sosial yang berlandaskan kebajikan yang terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma. Pengembangan budaya dan karakter bangsa perlu dilakukan secara terintegrasi dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga Negara Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa diarahkan pada upaya mengembangkan nilai-nilai mendasari suatu kebijakan sehingga menjadi suatu kepribadian diri warga Negara.

Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan

Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik. Pemerintah merumuskan 18 nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa, di antaranya adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikasi, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Adanya norma sosial yang berkembang dalam pembelajaran akan berperan dalam membentuk karakter siswa yang mau menghargai pendapat orang lain dan bersikap demokratis. Adanya budaya untuk mepresentasikan gagasan matematika dalam diskusi diharapkan akan berkembang menjadi suatu bentuk kesadaran dan tanggung jawab dalam mengkomunikasikan gagasan kepada lingkungan.

C. SIMPULAN

Norma sosiomatematik adalah suatu aturan tentang melakukan matematika, oleh karena itu norma ini merupakan pengetahuan meta dalam matematika. Norma sosiomatematik secara eksplisit maupun implisit mempengaruhi partisipasi siswa dalam aktivitas matematika dan berkaitan dengan bagaimana siswa meyakini dan memahami pengetahuan matematika, menempatkan diri dalam suatu interaksi sosial dalam membangun pengetahuan matematika. Menjelaskan pemikiran yang dimiliki kepada pasangan (teman), mendengarkan dan berusaha memahami penjelasan pasangan, menantang penjelasan yang dirasa tidak masuk akal, menjastifikasi interpretasi dan solusi dengan tujuan untuk memberi tantangan, dan menyetujui jawaban dan metode penyelesaian yang ada, seluruhnya merupakan manifestasi norma sosiomatematik dalam kelas matematika. Dengan adanya aturan ini, siswa mengkonstruksi pemahaman matematikanya. Namun, perlu diingat bahwa setiap kelas membentuk norma sosiomatematiknya sendiri sesuai dengan budaya yang ada dalam kelas tersebut.

Kebiasaan dalam mengikuti pembelajaran tersebut akan memberikan dampak pada pembentukan karakter siswa. Pembentukan karakter ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Diharapkan dengan berkembanganya norma sosiomatematik dalam kelas matematika ini, maka siswa akan turut membentuk karakter yang baik dan berbudi sehingga mendorong terciptanya kehidupan bangsa yang lebih baik.

D. DAFTAR PUSTAKA

Ariyadi Wijaya. (2012). Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Badan penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. (2011). Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter . Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional

Bakker, A. (2004). Design Research in Statistic Education on Symbolizing and Computer Tools . Amersfoort: Wilco

Cobb, Paul, Erna Yackel, and Terry Wood. 1989. Young Children’s Emotional Acts while Doing Mathematical Problem Solving. In Affect and Mathematical Problem Solving, edited by Doughlas B. McLeod and Verna M. Adams, pp. 117-148. New York: Springer-Verlag.

Edwards, J. (2007). The Language of Friendship: Developing sosiomathematical norms in the secondary school classroom. In European Research in Mathematics Education V. Fifth Congress of the European Society for Research in Mathematics Education (CERME) Spain, European Society for Research in Mathematics Education (ERME), 1190-1199.

Gilbert, B & Gilbert, M. (2011). Developing Effective Sociomathematical Norms in Classrooms to Support Mathematical Discourse. In Proceedings of the 35th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education edited by Ubuz, B. Vol

2, pp 409-416,

Ankara, Turkey: PME

Kastberg, S. E & Frye, S R. 2013. Norms and Mathematical Proficiency. Teaching Children Mathematics. 20 (1): 28-35

Kilpatrick, Jeremy, Jane Swafford, and Bradfors Findell. 2001. Adding It Up: Helping children Learn Mathematics. Washington, DC: National Academic Press.

Lopez, L.M. & Allal, L. (2007). Sociomathematical norms and the regulation of problem solving in classroom multicultures. International Journals of Educational Research 46: 252 – 265

National Council of Teachers of Mathematics. 2000. Principles and Standards for School Mathematics . US: National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

Nyikos, M. & Hashimoto, R. (1997). Constructivist Theory Applied to Collaborative Learning in Teacher Education: In Search of ZPD. The Modern language Journal, 81 (IV): 506 – 517

Sekiguchi, Y. (2005). “Development of Mathematical Norms in an Eight-Grade Japanese Classroom”. In Proceedings of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education edited by Chick, H. L. & Vincent, J. L. Vol 4, pp. 153-160. Melbourne: PME.

Tatsis, K., & Koleza, E. (2006). The Effect of Students Roles on Establishment of Shared Knowledge during Collaborative Problem Solving; A Case Study from the Field of Mathematics. Social Psycology of Education, 9, 443-460.

Tatsis, K. (2007). Investigating the Influence of Social and Sociomathematical Norms in Collaborative Problem Solving. Paper presented at The Fifth Conference of the European Society for Research in Mathematics Education.

Tatsis, K. (2009). Factors Affecting the establishment of social and sociomathematicsl Norms. Greece, University of Ioannina.

Yackel, E, and Cobb, P. (1996). “Sociomathematical Norms, Argumentation, and Autonomy in Mathematics.” Journal for Research in Mathematics Education. 27 (4): 458-477

Yackel, E., Cobb, P., and Wood, T. (1991). “Small-Group Interactions as a Source of Learning Opportunities in Second-Grade Mathematics.” Journal for Research in Mathematics Education. 22 (5): 390-408

Zarjac, R and Hartup, W. (1997) Friends as Coworkers: research review and classroom implications. The Elementary School Journal, 98: 3-13.

P – 43

PEMBELAJARAN DENGAN KOMPUTER: DUA SISI MATA UANG

Jackson Pasini Mairing

Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Palangka Raya Email: jacksonmairing@yahoo.co.id

Abstrak

Saat ini, perkembangan teknologi informasi dan komputer di berbagai bidang demikian pesatnya termasuk dalam dunia pendidikan matematika. Siswa dapat menggambar grafik fungsi dengan sangat mudahnya di komputer bahkan di handphone. Sebelumnya siswa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menggambar grafik fungsi tersebut. Hal tersebut dapat berdampak positif atau negatif bagi siswa (dua sisi mata uang). Dampak negatifnya adalah siswa menjadi malas belajar. Siswa lebih memilih menggunakan komputer untuk menyelesaikan tugas-tugasnya daripada mengonstruksi jawabannya secara manual. Akibatnya siswa kurang memiliki pemahaman atau ketrampilan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya yang berkaitan dengan konsep-konsep tertentu dalam matematika. Di pihak lain, dampak positif penggunaan komputer adalah pembelajaran matematika menjadi lebih efektif dan menyenangkan. Pekerjaan manual yang berulang-ulang dan membosankan dapat dihindari menggunakan komputer. Komputer juga dapat dijadikan media bagi siswa untuk mengonstruksi pengetahuannya secara aktif. Selain itu, penggunaan komputer sebagai media visual dapat memotivasi siswa untuk belajar. Artikel ini membahas bagaimana merencanakan suatu pembelajaran matematika menggunakan komputer agar berdampak positif bagi siswa beserta hasil-hasil penelitian yang relevan.

Kata kunci: pembelajaran matematika, komputer, pengetahuan bermakna.

PENDAHULUAN

Saat ini perkembangan teknologi informasi dan komputer demikian pesatnya. Perkembangan ini terjadi juga dalam dunia pendidikan khususnya bidang studi matematika. Sebagai contoh, siswa dapat menggambar grafik fungsi dengan sangat mudahnya di komputer bahkan di handphone. Beberapa program tersedia gratis di internet untuk menggambar grafik seperti aplikasi Mathematics for Android dan Function Plot untuk handphone; serta Microsoft Mathematics dan Geogebra untuk komputer. Siswa juga dapat menyelesaikan suatu sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) atau menghitung hasil kali dua materiks menggunakan Maple atau Microsoft Mathematics. Masih banyak lagi prosedur-prosedur matematika yang membutuhkan waktu lama dan tenaga cukup banyak bila diselesaikan dengan hitung manual, dapat diselesaikan dengan mudahnya menggunakan komputer.

Siswa juga dapat menemukan jawaban dari soal/masalah matematika yang diberikan guru dengan mencarinya di internet. Siswa tinggal mengetik soal/masalah tersebut atau kata kuncinya ke mesin pencari seperti google. Mesin pencari akan menunjukkan alternatif-alternatif jawaban dari soal/masalah tersebut. Siswa dapat mengunduh jawabannya dari internet dan dijadikan sebagai karyanya sendiri.

Ada tiga kemungkinan respons guru mengenai kondisi di atas. Pertama, guru menolak penggunaan teknologi informasi dan komputer dalam pembelajaran matematika. Artinya guru melarang siswa menggunakan komputer dalam kegiatan pembelajaran di ruang kelas. Respons ini

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Teknologi informasi dan komputer sebaiknya digunakan dalam pembelajaran (Krulik, dkk., 2003). Respons yang kedua adalah memanfaatkan komputer dalam pembelajaran matematika di ruang kelas. Ada dua kemungkinan penggunaan ini. Pertama, guru tidak merencanakannya dengan baik. Artinya siswa diperbolehkan membawa komputer/laptop di kelas, tetapi guru tidak mendesain penggunaannya ketika siswa belajar. Akibatnya penggunaan komputer seakan-akan terpisah (tidak terintegrasi) dengan pembelajaran keseluruhan. Sebagai contoh, guru mengajarkan cara menggambar grafik fungsi menggunakan Microsoft Mathematics. Setelah itu, guru menjelaskan cara hitung manual dalam menggambar grafik tersebut. Pada saat guru menjelaskan cara hitung manual, siswa dapat melakukan aktivitas sendiri dengan komputernya. Atau sebaliknya, guru terlebih dahulu mengajarkan cara manual untuk menggambar grafik fungsi, kemudian menggunakan aplikasi komputer tertentu. Atau sebaliknya, guru terlebih dahulu mengajarkan cara manual menggambar grafik fungsi, kemudian menggunakan komputer. Komputer hanya ada di awal atau di akhir pembelajaran. Penggunaan yang demikian dapat mendorong siswa malas mencari jawaban dengan hitung manual dari soal-soal yang dihadapinya. Siswa cenderung memilih cara cepat untuk mencari jawabannya menggunakan komputer. Penggunaan yang demikian penulis namakan penggunaan komputer yang tidak terintegrasi dengan pembelajaran.

Sebaliknya, penggunaan yang kedua adalah penggunaan komputer yang terintegrasi dengan pembelajaran. Terintegrasi artinya komputer menyatu dengan pembelajaran. Pemakaiannya bukan hanya di awal atau di akhir pembelajaran. Akan tetapi komputer digunakan selama kegiatan belajar. Hal ini dapat dilakukan apabila penggunaannya direncanakan dengan baik sehingga dapat membantu siswa-siswa untuk menemukan konsep yang dimaksud atau menyelesaikan masalah matematika/proyek tertentu. Penggunaan komputer yang demikian dapat membuat pembelajaran matematika menjadi lebih efektif dan menyenangkan. Pekerjaan manual yang berulang-ulang dan membosankan dapat dihindari menggunakan komputer. Selain itu, penggunaan media-media visual atau audio-visual dapat memotivasi siswa untuk belajar.

The National Council of Teachers of Mathematics (Dewan guru-guru matematika di Amerika Serikat) menyatakan bahwa penggunaan komputer dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika. NCTM juga menyarankan bahwa (a) komputer seharusnya ada di setiap ruang kelas, (b) semua siswa sebaiknya dapat mengakses komputer secara individual maupun kelompok, dan (c) siswa sebaiknya menggunakan komputer sebagai alat untuk memproses informasi dan melakukan perhitungan untuk menyelidiki dan menyelesaikan masalah matematika (Krulik, dkk., 2003).

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan komputer bagai memiliki dua sisi mata uang: dapat berdampak positif dan negatif. Pertanyaan untuk refleksi adalah apakah guru yang menggunakan komputer selalu memberikan dampak positif bagi siswa? Penggunaan teknologi informasi dan komputer yang tidak tepat dan tidak direncanakan dengan baik akan berdampak negatif. Sebaliknya, penggunaan komputer yang direncanakan dengan baik akan memberikan dampak positif.

Ada pendapat menyatakan bahwa penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika hanya sebatas penggunaan microsoft powerpoint saja. Media powerpoint memang Ada pendapat menyatakan bahwa penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika hanya sebatas penggunaan microsoft powerpoint saja. Media powerpoint memang

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk menjawab pertanyaan: bagaimana pembelajaran dengan komputer yang dapat memberikan dampak yang positif terutama mendorong siswa lebih aktif dalam belajar matematika? Tujuannya adalah mendeskripsikan pembelajaran dengan komputer yang dapat memberikan dampak yang positif terutama mendorong siswa lebih aktif dalam belajar matematika. Manfaaat dari deskripsi ini adalah membantu guru-guru dalam merancang suatu pembelajaran matematika dimana penggunaan komputer terintegrasi di dalamnya. Pembelajaran yang demikian diharapkan dapat mendorong siswa aktif dalam memahami konsep-konsep matematika dan dalam menyelesaikan masalah /proyek matematika tertentu.

PEMBAHASAN

Pengetahuan mengenai suatu konsep matematika tertentu akan bermakna apabila konsep tersebut sesuai dengan skema yang ada dalam pikiran siswa sebelumnya dan siswa secara aktif mengonstruksi pengetahuan tersebut. Salah satu cara dalam mengonstruksinya adalah siswa menemukan konsep matematika. Setidaknya ada dua cara agar siswa dapat menemukan konsep tersebut yaitu abstraksi dan generalisasi. Siswa yang belajar dengan cara yang bermakna, maka (a) pengetahuan yang diperolehnya akan lebih bertahan lama dalam pikiran, (b) siswa lebih mampu dalam belajar sesuatu yang baru, (c) siswa lebih mampu menggunakan pengetahuan tersebut untuk menyelesaikan suatu masalah matematika dan (d) siswa termotivasi dalam belajar karena mengetahui makna pengetahuan yang dipelajarinya (Mairing, 2013; Skemp, 1982; Hudojo, 2005; Sutawidjaja dan Afgani, 2011).

Selain itu, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa-siswa lebih sering belajar dengan komputer dalam kelas untuk mencari ide dan informasi dalam matematika menunjukkan tingkat motivasi dalam belajar matematika yang lebih tinggi (House, 2009). Penggunaan teknologi dalam kelas dapat menciptakan suatu lingkungan yang memaksimalkan kemungkinan-kemungkinan belajar siswa dan medorong siswa belajar aktif (Galligan, dkk., 2010).

Hasil-hasil penelitian mahasiswa yang dibimbing penulis juga menunjukkan hal serupa. Mustikamaya (2013) melaporkan bahwa pembelajaran matematika dengan aplikasi komputer Wingeom pada materi irisan suatu bidang dengan bangun ruang untuk siswa kelas X SMA Katolik Santo Petrus Kanisius Palangka Raya menunjukkan bahwa ada 70,89% siswa yang aktif dalam kelas. Rata-rata hasil belajarnya juga tergolong tinggi sebesar 79,31 (skala 0-100). Siswa yang merespons positif setelah mengikuti pembelajaran ini sebanyak 98,57%. Hasil belajar yang baik dengan pembelajaran menggunakan komputer juga dilaporkan oleh Sukasih (2013).

Penelitiannya menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa kelas X SMAN 3 Palangka Raya menggunakan aplikasi Geogebra pada materi trigonometri lebih baik dari hasil belajar menggunakan alat peraga benda konkrit.

Berdasarkan uraian di atas, maka komputer sebaiknya digunakan dalam pembelajaran matematika. Akan tetapi, bila pembelajarannya tidak direncanakan dengan baik, maka penggunaan komputer akan memberikan dampak negatif. Sebaliknya, penggunaan komputer akan memberi dampak positif bila pembelajarannya direncanakan dengan baik. Bagian ini membahas beberapa contoh penggunaan komputer yang terintegrasi dengan pembelajaran matematika.

Pada pembelajaran untuk menemukan rumus volume kubus dan balok di SMP. Guru biasanya membutuhkan alat peraga benda konkret berupa beberapa balok besar yang akan dihitung volumenya dan balok-balok satuan. Bila siswa belajar secara berkelompok dan masing-masing kelompok memperoleh 3-4 balok besar maka setidaknya setiap kelompok membutuhkan 20 balok satuan. Jika 1 kelas ada 4 kelompok, maka guru setidaknya membutuhkan

80 balok satuan. Hal ini dapat menyulitkan bila guru berusaha membuatnya. Akan tetapi kesulitan ini dapat diatasi apabila guru menggunakan aplikasi Google Sketchup. Skenario pembelajarannya adalah guru mendemonstrasikan kepada siswa mengenai cara mengoperasikan aplikasi tersebut. Kemudian secara berkelompok (1 kelompok memiliki 1-2 laptop), siswa menggunakan aplikasi ini untuk membentuk 1 balok besar dengan ukuran tertentu dan 1 balok satuan. Ukuran balok besar misalnya panjang 3 cm, lebar 4 cm dan tinggi 2 cm. Ukuran balok satuannya adalah panjang

1 cm, lebar 1 cm dan tinggi 1 cm. Guru menginformasikan bahwa volume balok satuan tersebut adalah 1 cm 3 . Kemudian menggunakan perangkat mouse, siswa mengisi balok-balok besar

dengan balok-balok satuan hingga penuh. Siswa menentukan volume balok besar dengan menghitung banyaknya balok satuan yang dibutuhkan untuk memenuhi balok besar tersebut. Hasil perhitungan tersebut dimasukkan ke dalam tabel yang telah disiapkan guru. Selanjutnya siswa membuat 2 balok besar lagi dengan ukuran yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil perhitungan volume balok besar yang berbeda–beda tersebut, siswa melakukan generalisasi untuk menghitung volume dari suatu balok besar dengan panjang , lebar dan tinggi . Salah seorang siswa kelas VIII SMPN 1 Palangka Raya yang belajar dengan menggunakan aplikasi Google Sketchup pada materi kubus dan balok menyatakan bahwa “aplikasinya bagus, bisa digunakan dengan mudah, dari tampilannya juga keren, terus bisa diukur-ukur segala sehingga luas sama volumenya bisa dicari” (Andri, 2013: 84). Secara umum, ada 90,36% dari keseluruhan siswa yang merespons positif pembelajaran menggunakan aplikasi Geogebra.

Aplikasi lain yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika dan dapat diunduh di internet adalah Microsoft Mathematics atau Geogebra. Aplikasi ini dapat digunakan dalam pembelajaran menggambar grafik fungsi kuadrat di SMA. Salah satu pengetahuan yang perlu dimiliki oleh siswa dalam menggambar grafik fungsi kuadrat ()=

+ + adalah mengetahui bentuk grafik berdasarkan nilai koefisien . Jika >0 , maka grafiknya terbuka ke atas. Jika <0 , maka grafiknya terbuka ke bawah. Guru dapat merancang suatu pembelajaran dengan komputer dimana siswa dapat menemukan pengetahuan tersebut. Berikut skenario singkat dari pembelajarannya.

a. Guru mendemonstrasikan dengan bantuan LCD cara menggambar grafik fungsi kuadrat menggunakan Microsoft Mathematics/Geogebra.

b. Guru menggunakan aplikasi tersebut menunjukkan bentuk fungsi kuadrat yang terbuka ke atas atau ke bawah.

c. Guru dibantu siswa membagikan LKS (lembar kerja siswa).

d. Siswa secara berkelompok menentukan nilai dari kelompok fungsi yang pertama dalam LKS yang telah dibagikan guru sebelumnya. Fungsi-fungsi tersebut adalah (1) ()=

2 +3 − 5 , (2) ()=3 − 3 − 5 dan (3) ()=4 +3 − 5 . Siswa menjawab dalam LKS: apakah nilai lebih dari atau kurang dari 0?

e. Siswa secara berkelompok menggambar ketiga fungsi tersebut menggunakan Microsoft Mathematics/Geogebra. Satu kelompok menggunakan 1–2 laptop. Berdasarkan gambar tersebut, siswa diminta untuk menyimpulkan mengenai keterbukaan grafik fungsi kuadrat berdasarkan nilai koefisien .

f. Hal yang serupa juga untuk kelompok fungsi kuadrat yang kedua: (1) ()= − 2 +

3 − 5 , (2) ()= − 3 − 3 − 5 dan (3) ()= − 4 +3 − 5 .

g. Setelah menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan dalam LKS tersebut, siswa secara bergiliran mempresentasikannya dengan menggambar grafiknya langsung menggunakan Microsoft Mathematics/Geogebra di depan kelas.

h. Berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa diminta untuk menarik kesimpulan mengenai keterbukaan grafik fungsi kuadrat berdasarkan nilai koefisien .

Pada kegiatan pembelajaran di atas, komputer bukan hanya digunakan di awal atau di akhir pembelajaran. Akan tetapi, komputer digunakan selama kegiatan pembelajaran. Selain itu, siswa lah yang lebih aktif dalam penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika bukan guru. Penggunaan yang demikian menunjukkan bahwa komputer terintegrasi dalam pembelajaran matematika. Pengetahuan-pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan menggambar grafik fungsi ini seperti diskriminan, titik potong sumbu- dan sumbu- , persamaan sumbu simetri dan titik maksimum/minimum dapat ditemukan siswa melalui pembelajaran menggunakan aplikasi Microsoft Mathematics/Geogebra.

Komputer juga dapat digunakan dalam pembelajaran di perguruan tinggi. Penulis yang merupakan dosen menggunakan aplikasi komputer dalam matakuliah analisis data pada tahun 2013. Tujuan matakuliah ini adalah agar mahasiswa dapat menganalisis data yang berkaitan dengan tugas akhirnya. Prasyarat matakuliah ini adalah mahasiswa telah menempuh matakuliah Statistika Dasar. Penulis mengintegrasikan aplikasi Minitab dan MS Excel dalam pembelajaran analisis data. Minitab adalah salah satu aplikasi komputer bidang Statistika. Sebelum pembelajaran dimulai, peneliti membagikan LKM (lembar kerja mahasiswa) yang telah disiapkan sebelumnya. LKM tersebut berisi proyek/masalah dan petunjuk singkat penggunaan Minitab untuk menganalisis data berkaitan dengan proyek/masalah yang akan diselesaikan. Petunjuk tersebut juga dapat diunduh oleh mahasiswa di blog penulis: jacksonmairing.wordpress.com. Ada tujuh proyek/masalah matematika dalam LKM yang telah disiapkan penulis yaitu (1) Eksplorasi Data, (2) Perangkuman Data 1 (Ukuran Pemusatan), (3) Perangkuman Data 2 (Ukuran Penyebaran), (4) Perbandingan Dua Sampel, (5) Korelasi, (6) Regresi dan (7) Analisis Ragam Satu Arah.

Pertemuan pertama, penulis menyampaikan tujuan matakuliah ini beserta dengan desain pembelajarannya. Penulis juga menyampaikan proyek/masalah dalam LKM beserta manfaatnya bagi mahasiswa terutama dalam menganalisis data penelitian untuk menyelesaikan tugas akhir. Selanjutnya, penulis menjelaskan secara singkat mengenai Minitab dan mendemonstrasikannya. Mahasiswa mengikuti apa yang dilakukan penulis. Pembelajaran di akhiri dengan penulis menjelaskan proyek yang diselesaikan mahasiswa dalam satu minggu secara berkelompok. Penyelesaian proyek tersebut akan dipresentasikan mahasiswa pada pertemuan minggu berikutnya.

secara berkelompok mempresentasikan penyelesaian masalah/proyek dalam LKM. Penulis tidak pernah menjelaskan prosedur statistika yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/proyek tersebut. Mahasiwa belajar secara berkelompok menggunakan modul pada LKM dan buku-buku Statistika. Pada waktu presentasi tampak mahasiswa terampil menggunakan aplikasi Minitab dan MS Excel. Sebagai contoh, mahasiswa dapat mengeksplorasi data, menentukan kenormalan data dan menghitung statistik -hitung menggunakan Minitab dan MS Excel. Bukan hanya itu, mahasiswa juga tampak percaya diri dalam menggunakan Minitab di depan kelas dan dalam menjelaskan hasil-hasilnya. Mahasiswa juga dapat menggunakan fitur-fitur Minitab yang tidak tertulis dalam modul yang dibuat penulis seperti membuat garis putus-putus (grid) pada histogram yang dihasilkan Minitab. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa belajar sendiri menggunakan fitur tersebut dalam Minitab. Ketika diminta salah seorang mahasiswa untuk mengulangi apa yang dilakukan temannya di depan kelas, mahasiswa tersebut menjawab “sangat bisa”. Padahal apa yang dikerjakan oleh mahasiswa tersebut belum pernah didemonstrasikan penulis pada pertemuan pertama. Keaktifan dan minat mahasiswa dalam belajar juga tampak dari hasil pengamatan. Ada 71% mahasiswa aktif dalam kegiatan pembelajaran. Aktif disini ditunjukkan dengan: (a) mahasiswa mengajukan pertanyaan atau mengemukakan pendapatnya dalam presentasi kelas atau (b) mahasiswa menyampaikan kesimpulannya.

Pada pertemuan-pertemuan

berikutnya,

mahasiswa

Mahasiswa termotivasi dalam menyelesaikan masalah/proyek dalam LKM secara berkelompok. Pada waktu pembelajaran dalam kelas, ada mahasiswa yang meminta kepada penulis untuk belajar salah satu prosedur uji statistika nonparametrik yaitu Mann-Whitney yang terkadang digunakan mahasiswa dalam menyelesaikan menganalisis data penelitiannya. Kemudian, penulis memberikan suatu buku kepada mahasiswa untuk mempelajarinya secara mandiri. Beberapa hari kemudian, sekelompok mahasiswa bertanya di luar jam kuliah Analisis Data mengenai kebenaran uji Mann-Whitney yang telah dikerjakan kelompoknya. Pada waktu bertanya tersebut, mahasiswa-mahasiswa tersebut telah mampu menganalisis data dengan uji tersebut menggunakan Minitab. Mahasiswa bertanya untuk mengetahui penyebab hasil Minitab berbeda dengan hasil MS Excel yang dikerjakannya.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka penggunaan komputer akan berdampak positif bila penggunaan komputer diintegrasikan dalam pembelajaran matematika. Penggunaan demikian terjadi apabila guru merencanakan dengan baik pembelajarannya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan komputer dapat mendorong siswa secara aktif mengonstruksi pengetahuannya. Siswa yang demikian memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar. Motivasi siswa yang tinggi dapat mendorong peningkatan hasil belajarnya.

Berdasarkan contoh-contoh di atas maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam merancang suatu pembelajaran dengan komputer yang dapat memberikan dampak positif bagi proses dan hasil pembelajaran. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.

(a) Guru harus memilih aplikasi komputer yang sesuai dengan materi yang akan dipelajari oleh siswa. (b) Guru harus menguasai aplikasi yang dipilihnya tersebut.

(c) Guru sebaiknya menggunakan LKS dalam pembelajarannya. LKS tersebut berisi (a) pertanyaan/masalah/proyek yang mendorong siswa secara aktif mengonstruksi pengetahuannya dan (b) petunjuk singkat menggunakan aplikasi tersebut.

(d) Aplikasi komputer tidak digunakan hanya untuk membuktikan kebenaran dari jawaban dengan hitung manual. (e) Penggunaan aplikasi komputer terutama ditujukan untuk membantu siswa untuk menemukan suatu konsep atau menyelesaikan masalah matematika /proyek tertentu. (f) Penggunaan komputer bukan hanya di awal atau di akhir, tetapi sebaiknya selama kegiatan pembelajaran (terintegrasi). (g) Pada pertemuan sebelum pembelajaran dengan materi yang dimaksud, guru perlu menjelaskan keunggulan dari aplikasi tersebut, menjelaskan dan mendemonstrasikan penggunaan aplikasi tersebut sedangkan siswa mengikutinya. Tujuan dilakukan pada pertemuan ini agar siswa diberi kesempatan untuk mempelajari aplikasi tersebut secara mandiri di luar jam belajar di sekolah.

(h) Pada tahap awal pembelajaran. Guru perlu memotivasi siswa dengan menjelaskan/

mendemonstrasikan kegunaan aplikasi tersebut dalam pembelajaran matematika. (i) Pada tahap inti. Guru memfasilitasi siswa untuk berdiskusi dalam kelompoknya masing-masing untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan dalam LKS menggunakan aplikasi tersebut. Satu kelompok sebaiknya hanya 1-2 komputer saja. Jika semua siswa menggunakan komputer, maka tidak terjadi kerjasama antar siswa yang berakibat keaktifan siswa menjadi rendah. Selanjutnya, siswa mempresentasikan hasil diskusinya sekaligus langsung mendemonstrasikan penyelesaiannya menggunakan aplikasi tersebut. Pada waktu presentasi ini, guru memfasilitasi terjadi diskusi kelas yang bertujuan agar pengetahuan yang diperoleh siswa menjadi bermakna.

(j) Pada tahap akhir, guru memfasilitasi siswa untuk menarik kesimpulan. Guru juga perlu menginformasikan pertanyaan/masala/proyek yang perlu dipelajari/diselesaikan siswa secara berkelompok sebelum pertemuan berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Andri. 2013. Implementasi Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Berbantuan Program Google Sketchup pada Materi Kubus dan Balok di Siswa Kelas VIII SMPN 1 Palangka Raya . Skripsi Sarjana, tidak diterbitkan, Universitas Palangka Raya.

House, D. J. 2009. Motivational Effects of Computers and Instructional Strategies for Mathematics Teaching in The United States and Korea: Results for The TIMSS 2003 Assessment. International Journal of Instructional Media, 36(3): 351-363.

Hudojo, H. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.

Krulik, S., Rudnick, J., & Milou, E. 2003. Teaching Mathematics in Middle Schools. A Practical Guide . Boston: Pearcson Education, Inc.

Mairing, J. P. 2013. Pembelajaran Matematika Saat Ini? Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Aplikasinya di Aula Depatemen Matematika Universitas Airlangga, Sabtu 21 September 2013, Surabaya.

Mustikamaya, F. R. 2013. Implementasi Wingeom dalam Pembelajaran Materi Irisan Suatu Bidang dengan Bangun Ruang Untuk Siswa Kelas X SMA Katolik Santo Petrus Kanisius Palangka Raya . Skripsi Sarjana, tidak diterbitkan, Universitas Palangka Raya.

Skemp, R. R. 1982. The Psychology of Learning Mathematics. Harmonsworth: Pinguin Books, Ltd.

Sukasih, R. 2013. Perbedaan Hasil Belajar Materi Trigonometri pada Siswa Kelas X SMAN 3 Palangka Raya antara Pembelajaran dengan Menggunakan Aplikasi Geogebra dan Alat Peraga Benda Konkret . Skripsi Sarjana, tidak diterbitkan, Universitas Palangka Raya.

Sutawidjaja, A. & Afgani, J. D. 2011. Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.

P – 44

PEMBELAJARAN DIRECT INSTRUCTION DENGAN MEDIA LAGU TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DI SD SE-KECAMATAN LAWEYAN

1 2 Januar Budi Asmari 3 , Erika Laras Astutiningtyas , Agus Efendi 1,2,3 Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

1 2 bjanuar99@yahoo.com, 3 astutiningtyas@yahoo.co.id, kambang.leng2@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manakah yang memberikan prestasi belajar lebih baik diantara pembelajaran direct instruction dengan media lagu dan pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu. Pada penelitian ini prestasi belajar siswa dibatasi pada materi kelas IV SD dengan materi keliling dan luas jajargenjang. Pada penelitian ini menghasilkan lagu yang berisi materi keliling dan luas jajargenjang dan segitiga.

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri se-Kecamatan Laweyan. Diambil 2 sekolah secara acak sebagai sampel, kemudian diambil 1 kelas dari masing-masing sekolah, jadi ada dua kelas yaitu satu kelas sebagai kelas eksperimen (pembelajaran direct instruction dengan media lagu) dan satu kelas sebagai kelas kontrol (pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu). Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode tes dan metode dokumentasi. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji-t.

Berdasarkan hasil dari hasil penelitian yang dilaksanakan diperoleh t = -2,198 ∈ DK, maka H 0 ditolak. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa terdapat

perbedaan prestasi belajar matematika antara pembelajaran direct instruction dengan media lagu dengan pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu. Jika dilihat dari reratanya maka prestasi belajar pembelajaran direct instruction dengan media lagu lebih baik daripada pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu.

Kata kunci: Prestasi, Direct Instruction, Media Lagu

A. PENDAHULUAN

Pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar mempunyai peranan yang sangat penting karena jenjang ini merupakan pondasi yang sangat menentukan dalam membentuk sikap, kecerdasan, dan kepribadian anak. Akan tetapi, sampai saat ini matematika masih menjadi mata pelajaran yang dianggap sulit, oleh sebagian besar siswa sehingga akan sangat mempengaruhi prestasi belajar matematika.

Kenyataan di lapangan hasil nilai rata-rata Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2011/2012 untuk Sekolah Dasar Se-Kecamatan Laweyan Surakarta adalah 5,26 untuk mata pelajaran matematika; 7,93 untuk mata pelajaran bahasa indonesia; 7,26 untuk mata pelajaran IPA. Hasil nilai rata-rata mata pelajaran bahasa indonesia yang paling tinggi. Hasil nilai rata-rata bahasa indonesia lebih tinggi dari IPA dan matematika, sedangkan hasil nilai rata-rata IPA lebih tinggi dari pada matematika.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya prestasi belajar siswa sekolah dasar pada mata pelajaran matematika. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah pada proses pembelajaran di kelas yang kurang menunjang. Dalam hal ini peran guru sangatlah penting, dikarenakan pemahaman materi (pengetahuan), cara penyampaian materi, proses pembelajaran di kelas kurang optimal. Pembelajaran langsung atau direct instruction dikenal dengan sebutan active teaching. Pembelajaran langsung juga dinamakan whole-class teaching. Menurut Agus Suprijono (2011: 47) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran langsung guru terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada peserta didik dan mengajarkannya secara langsung kepada seluruh kelas.

Penggunaan media pembelajaran yang kurang menarik juga dapat menyebabkan prestasi belajar siswa menjadi rendah. Menurut Cecep Kustandi dan Bambang Sutjipto (2011: 27) mengemukakan bahwa media berfungsi untuk tujuan pembelajaran, dimana informasi yang terdapat dalam media itu harus melibatkan siswa, baik dalam benak atau mental maupun dalam bentuk aktivitas yang nyata, sehingga pembelajaran dapat terjadi. Media dapat berupa alat, benda, visual, game interaktif, lagu, video danmasih banyak lagi. Pada prinsipnya media adalah sebagai alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran.

Beberapa rumus di dalam matematika dapat dibuat menjadi lagu yang menarik, sehingga siswa akan dapat dengan mudah menghafalkan rumus-rumus yang dipelajari. Oleh karena itu, rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa antara pembelajaran direct instruction dengan media lagu dan pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu? Tujuan yang dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui manakah yang memberikan prestasi belajar lebih baik diantara pembelajaran direct instruction dengan media lagu dan pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu.

Manfaat penelitian yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut.

1. Dapat memotivasi para pendidik untuk membuat media pembelajaran yang menarik, inovatif dan menyenangkan untuk melaksanakan proses pembelajaran.

2. Dapat memotivasi para pendidik untuk membuat lagu dari materi ataupun rumus-rumus matematika untuk meningkatkan proses pembelajaran agar lebih baik.

3. Dapat meningkatkan aktivitas para peserta didik dalam proses pembelajaran matematika.

4. Dapat melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai lagu yang berisi materi dan rumus-rumus dalam matematika.

5. Dapat melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai pendekatan, model, metode pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian eksperimental semu (Quasi eksperimental) karena ditujukan untuk memperoleh informasi sebagai perkiraan informasi dari eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol semua variabel yang relevan (Budiyono, 2003:82). Variabel bebas pada penelitian ini adalah pembelajaran dengan media lagu sedangkan variabel terikatnya adalah prestasi belajar matematika siswa pada materi keliling dan luas jajargenjang dan segitiga.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri se-Kecamatan Laweyan Surakarta. Mengingat keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti mempelajari populasi berdasarkan sampel. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik random sampling .

Sebagai sampel random, peneliti mengambil dua sekolah secara acak. Sekolah pertama digunakan sebagai kelas eksperimen (pembelajaran direct instruction dengan media lagu) dan sekolah kedua sebagai kelas kontrol (pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu).

Pada penelitian ini, teknik analisis data menggunakan uji-t yang harus memenuhi asumsi bahwa setiap populasi berdistribusi normal. Untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak, maka dilakukan uji normalitas dengan metode Lilliefors karena datanya tidak dalam distribusi frekuensi data bergolong. Langkah-langkah dengan metode Lilliefors adalah sebagai berikut.

a. Hipotesis

H 0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H 1 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal

b. Tingkat signifikansi  = 5%

c. Statistik uji: L= maks |F(zi) – S(zi)| dengan z i

= skor terstandar untuk x i =

(s = standar deviasi)

F(z i ) = P(Z ≤z i ) S(z i ) = proporsi cacah Z ≤z i terhadap banyaknya Z

d. Daerah kritik : DK = {L|L > L;n}

e. Keputusan uji : H 0 ditolak jika L berada di daerah kritik

(Budiyono, 2009: 170)

Sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rataan prestasi belajar kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, digunakan uji-t. Statistik uji untuk uji-t dibedakan menjadi 2, yaitu untuk populasi yang memenuhi asumsi homogenitas variansi dan untuk populasi yang tidak memenuhi asumsi homogenitas variansi. Oleh karena variansi populasi belum diketahui homogen atau tidak, maka perlu dilakukan uji homogenitas variansi menggunakan uji Bartlett untuk k populasi dengan langkah-langkah sebagai berikut.

a. Hipotesis

H 0 : = (homogenitas variansi dipenuhi)

H 1 : ≠ (homogenitas variansi tidak dipenuhi)

b. Tingkat signifikansi  = 5%

c. Statistik uji:

f logs ~ ,( ) dengan

f logRKG

k = banyaknya populasi N = banyaknya seluruh nilai nj = banyaknya sampel ke-j sj2 = variansi populasi ke-j

c = 1+ ( ) ∑− fj = nj -1 = derajat kebebasan untuk sj2; j = 1, 2, ..., k

f =N–k= ∑ f = derajat kebebasan untuk RKG

RKG

= Rataan Kuadrat Galat =

SSj = ∑ X −

=(n − 1) s

2 2 d. 2 Daerah kritik : DK = {χ |χ >χ

(;k-1) }

e. Keputusan uji : H 2

0 ditolak jika χ berada di daerah kritik

(Budiyono, 2009: 174)

Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas variansi, maka uji-t dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

a. Hipotesis

H 0 : = (Tidak terdapat perbedaan prestasi belajar matematika pembelajaran dengan media lagu dan yang tidak menggunakan media lagu)

H 1 : ≠ (Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika pembelajaran dengan media lagu dan yang tidak menggunakan media lagu)

b. Tingkat signifikansi  = 5%

c. Statistik uji:

1) Jika =

(homogenitas variansi dipenuhi)

(homogenitas variansi tidak dipenuhi)

X = nilai tes prestasi belajar matematika pada kelas eksperimen

X = nilai tes prestasi belajar matematika siswa pada kelas kontrol

1 = variansi kelas eksperimen s 2

2 = variansi kelas kontrol n1 = banyaknya siswa pada kelas eksperimen n2 = banyaknya siswa pada kelas kontrol

d. Daerah kritik

1) Jika =

, DK = tt< − t ⁄;

atau t>t ⁄;

2) Jika ≠

, DK = tt< − t ⁄; atau t>t ⁄;

e. Keputusan uji : H 0 ditolak jika t berada di daerah kritik

(Budiyono, 2009: 151)

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data dari hasil observasi, dilakukan sampling dengan teknik random sampling. Terpilih dua sekolah yang dijadikan sampel. Sekolah yang pertama adalah SDN Begalon I yang digunakan sebagai kelas eksperimen (pembelajaran direct instruction dengan media lagu). Sedangkan sekolah yang kedua adalah SDN Bumi I yang digunakan sebagai kelas kontrol (pembelajaran direct instruction tidak menggunakan media lagu).

Data kemampuan awal diambil dari nilai rapot mata pelajaran matematika pada saat kelas III semester genap tahun pelajaran 2012/2013. Data kemampuan awal digunakan untuk menguji keseimbangan, untuk melihat apakah dua populasi sebelum diberi perlakuan dalam keadaan seimbang atau tidak. Sebelum diuji keseimbangan terlebih dahulu diuji normalitas dan homogenitas.

Berdasarkan uji normalitas dengan metode Liliefors diperoleh data sebagai berikut.

Tabel 1

Rangkuman Hasil Uji Normalitas Data Kemampuan Awal Siswa Kesimpulan

Distribusi Eksperimen

normal Kontrol

Dari tabel 1 menunjukkan bahwa kedua sampel (kelas kontrol dan kelas eksperimen) berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Sedangkan dari hasil uji homogenitas variansi mendapatkan hasil

= 0,438 ∉ DK , maka H o diterima. Hal itu menunjukkan bahwa variansi kedua populasi tersebut sama/homogen. Pada hasil uji keseimbangan rerata kelas kontrol dan kelas eksperimen diperoleh hasil bahwa t = -0,661 ∉ DK , maka H 0 diterima, ini menunjukkan bahwa kelas kontrol dan kelas eksperimen mempunyai rerata yang sama. Ini berarti bahwa kelas kontrol dan kelas eksperimen dalam keadaan seimbang sebelum diberi perlakuan.

Pada penelitian ini menggunakan uji-t untuk melihat apakah terdapat perbedaan prestasi belajar matematika pada pembelajaran matematika direct instruction dengan media lagu dengan pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu. Sebelum uji-t dilakukan uji normalitas terlebih dahulu. Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 2

Rangkuman Hasil Uji Normalitas Tes Prestasi Belajar Siswa Kesimpulan

Distribusi Eksperimen

normal Kontrol

Dari tabel 2 menunjukkan bahwa kedua sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Sedangkan untuk uji homogenitas variansi diperoleh hasil

= 1,311 ∉ DK , maka H 0 diterima. Hal itu menunjukkan bahwa variansi kedua populasi homogen. Kemudian dilakukan uji-t diperoleh bahwa t = -2,198 ∈ DK, maka H 0 ditolak. Sehingga dapat dibuat kesimpulan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar matematika pembelajaran direct instruction dengan media lagu dengan pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu. Apabila dilihat dari reratanya menunjukkan bahwa rerata hasil tes prestasi belajar pembelajaran direct instruction dengan media lagu (22,942857) lebih besar dari hasil tes prestasi belajar pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu (20,916667).

D. SIMPULAN DAN SARAN

1 . Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar matematika pada pembelajaran direct instruction dengan media lagu dengan pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu. Jika dilihat dari reratanya prestasi belajar pembelajaran direct instruction dengan media lagu lebih baik daripada pembelajaran direct instruction yang tidak menggunakan media lagu. Hal ini berarti menunjukkan bahwa pembelajaran direct instruction dengan media lagu dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.

2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut.

a. Kepada para pendidik hendaknya dapat menggunakan media dan model pembelajaran yang menarik dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran agar semakin lebih baik lagi.

b. Kepada para peneliti lain dapat mengkaji pengembangan media lagu pada materi pelajaran yang lain, karena penelitian ini hanya terbatas pada siswa kelas IV SDN dengan materi jajargenjang dan segitiga.

E. DAFTAR PUSTAKA

Ary Nur Wahyuningsih. 2011. Pengembangan Media Komik Bergambar Materi Sistem Saraf Untuk Pembelajaran yang Menggunakan Strategi PQ4R. Jurnal Penelitian Pendidikan. Volume 1 Nomor 2 Hal. 102-109.

Agus Suprijono. 2011. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: UNS Press. ________.2009. Statistika untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press. ________. 2011. Penilaian Hasil Belajar. Surakarta: UNS Press. Cecep Kustandi dan Bambang Sutjipto. 2011. Media Pembelajaran Manual dan Digital. Bogor:

Ghalia Indonesia. Purwa Atmaja Prawira. 2012. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media. Saifudin Azwar. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Thomas Amstrong. 2013. Kecerdasan Multiple di dalam Kelas. Jakarta: Indeks.

P – 45 MENINGKATKAN AKTIFITAS MAHASISWA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH MATA KULIAH STRUKTUR ALJABAR

1 Joko Bekti Haryono 2 , Herry Agus Susanto

Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

herrysanto_62@yahoo.co.id

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan aktifitas mahasiswa melalui pembelajaran berbasis masalah pada mata kuliah struktur aljabar. Design penelitian dilakukan adalah penelitian tindakan kelas.Aktifitas mahasiswa dilihat dari kegiatan bertanya, menjawab pertanyaan dosen, memberikan tanggapan kepada teman dan menyelesaikan masalah di depan kelas.

Dari pertemuan sebanyak tiga kali, dapat diperoleh hasil adanya peningkatan aktifitas bertanya, memberikan tanggapan dan menyelesaikan permasalahan didepan kelas. Dari hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa melalui pembelajaran berbasis masalah, dapat meningkatkan aktifitas mahasiswa. Kata kunci : aktifitas, pembelajaran berbasis masalah

A. PENDAHULUAN

Struktur Aljabar sebagai bagian dari materi matematika merupakan mata kuliah yang mengkaji ide-ide abstrak, oleh karena itu kadang-kadang ide abstrak tersebut tidak semuanya dapat ditampilkan secara riil sehingga agak sulit untuk dimengerti. Namun dengan karakteristik mata kuliah struktur aljabar tersebut, dosen dan mahasiswa perlu untuk memahami secara benar. Dengan pemahaman yang benar oleh dosen, diharapkan juga akan dipahami secara benar oleh mahasiswa. Hal ini dapat terjadi apabila dosen dapat mengelola pembelajaran dengan memperhatikan karakteristik mahasiswa dan karakteristik materi yang disampaikan.

Dalam pembelajaran matematika (khususnya struktur aljabar) tidak cukup hanya membaca, tetapi harus mengerti dan memahami. Belajar matematika harus berorientasi pada berpikir matematik. Berdasarkan pengamatan terhadap perkuliahan yang berjalan beberapa tahun, nampaknya belajar struktur aljabar merupakan masalah tersendiri. Dari hasil wawancara kepada mahasiswa, 70% mahasiswa berpendapat bahwa faktor kesulitan itu terjadi adalah karena materi struktur aljabar sifatnya abstrak. Hasil belajar mahasiswa dalam kurun tiga semester khususnya untuk mata kuliah strutur aljabar rendah. Rata-rata nilai kelas sebesar 5,5 dari skor 1–10. Kalau dijadikan nilai dalam skala 5, rata-rata sebesar 1,75 dengan kategori belum mencapai batas minimum kelulusan.

Dalam menyelenggarakan proses pembelajaran, sebaiknya terjadi hubungan timbal balik antara dosen dan mahasiswa. Harus ada interaksi antara dosen dan mahasiswa, serta antara mahasiswa dan mahasiswa. Pembelajaran tidak hanya satu arah. Dosen tidak lagi menjadi satu- satunya sumber informasi yang dominan, akan tetapi fungsi dan tugasnya adalah sebagai fasilitator, motivator dan dinamisator untuk belajar dan berpikir matematik. Keengganan mahasiswa untuk mencari sumber-sumber informasi ilmu pengetahuan dan teknologi hampir terjadi di semua angkatan dan semua mata kuliah. Keengganan ini dapat disebabkan oleh

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

y y a a n n g g L L e e b b i i h h B B a a i i k k " " pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

UNY UNY

Dari pengalaman beberapa tahun terakhir, dalam pembelajaran matakuliah Struktur Aljabar nampak ada indikasi yang perlu mendapatkan perhatian. Indikasi yang dimaksud adalah: (1) mahasiswa sebanyak 80% enggan menyampaikan pertanyaan maupun permasalahan dalam perkuliahan; (2) kurang adanya interaksi sesama mahasiswa dalam perkuliahan; (3) kurang mampu mancari permasalahan maupun cara pemecahannya (70%); (4) berpandangan selalu menerima apa yang diberikan dan tidak pernah mencari (70%).

Jika permasalahan yang terjadi disebabkan oleh cara pendekatan perkuliahan yang kurang tepat, maka perlu dicari suatu alternatif pendekatan yang memungkinkan mahasiswa mau dan mampu belajar dan berpikir matematik secara baik dan optimal. Dengan melihat karakteristik mata kuliah Struktur Aljabar yang banyak menggunakan logika berfikir dan abstrak, maka orientasi perkuliahan mahasiswa akan lebih bermakna apabila pembelajaran dilakukan dan disesuiakan dengan perkembangan tingkat berfikir mahasiswa.

Agar pembelajaran struktur aljabar dapat diberikan secara baik, maka pembelajarannya harus memungkinkan mahasiswa mempunyai kesempatan menyampaikan ide (permasalahan) dan mendapatkan kesempatan berpikir yang lebih kompleks. Penyampaian ide-ide abstrak matematika memerlukan pemilihan dan pengaturan strategi pembelajaran yang baik. Pembelajaran dikatakan baik apabila disertai strategi yang dapat menggali kreatifitas dan potensi yang dimiliki oleh mahasiswa, baik secara individual maupun kelompok. Ada kecenderungan mahasiswa tidak dapat menyatakan apa yang dipikirkannya kepada teman sebaya atau orang lain dalam belajar. Mahasiswa lebih cenderung pasif dan mahasiswa terbiasa menunggu jawaban dan pertanyaan dari dosen (berdasar pengamatan, tiap tatap muka rata-rata 2 mahasiswa bertanya). Dalam pembelajaran yang seperti ini mahasiswa dapat tidak memperoleh materi apapun. Oleh karena itu perlu direncanakan pembelajaran khususnya pada mata kuliah struktur aljabar yang dapat melibatkan mental mahasiswa, mampu menyampaikan masalah dan sekaligus untuk mencari alternatif pemecahannya. Salah satu alternatif yang dimaksud adalah pembelajaran berbasis masalah.

Berdasarkan alternatif pemecahan masalah tersebut, tujuan umum penelitian ini adalah untuk meningkatkan aktifitas dan hasil belajar mahasiswa. Tetapi secara khusus tujuan penelitian adalah sebagai berikut: (1) untuk meningkatan aktifitas belajar mahasiswa dalam perkuliahan Struktur Aljabar melalui pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM), (2) meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menemukan dan memecahkan masalah matematika, (3) meningkatkan hasil belajar mahasiswa melalui pendekatan PBM pada mata kuliah Struktur Aljabar.

B. MOTODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan pendekatan tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas dilaksanakan pada tahun akademik 2013/1014. Penelitian ini akan dilaksanakan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika semester VI kelas D sebanyak 32 mahasiswa. Mahasiswa yang dipilih pada kelas yang memiliki aktifitas rendah dan prestasi belajar rendah dibandingkan dengan kelas yang laing pada semester yang sama.

Variabel dalam penelitian ini adalah: (1) pelaksanaan pembelajaran PBM, (2) aktifitas, kemampuan menemukan dan memecahkan masalah matematika serta nilai hasil belajar. Tindakaan penelitian meliputi: a. Perencanaan , sebelum melaksanakan pembelajaran, dosen mempersiapkan skenario pembelajaran antara lain bahwa setiap mahasiswa maupun kelompoknya sudah siap dengan permasalahan aktual tentang materi pada waktu kuliah dan cara pemecahannya. Peneliti menyusun rencana perkuliahan. b. Implementasi Tindakan, prosedur pembelajaran disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah, perbaikan tindakan dilakukan sesuai dengan hasil pelaksanaan. Untuk melaksanakan pembelajaran berbasis masalah mahasiswa dikelompokkan dalam kelompok kecil 4-5 orang yang dalam tahap Variabel dalam penelitian ini adalah: (1) pelaksanaan pembelajaran PBM, (2) aktifitas, kemampuan menemukan dan memecahkan masalah matematika serta nilai hasil belajar. Tindakaan penelitian meliputi: a. Perencanaan , sebelum melaksanakan pembelajaran, dosen mempersiapkan skenario pembelajaran antara lain bahwa setiap mahasiswa maupun kelompoknya sudah siap dengan permasalahan aktual tentang materi pada waktu kuliah dan cara pemecahannya. Peneliti menyusun rencana perkuliahan. b. Implementasi Tindakan, prosedur pembelajaran disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah, perbaikan tindakan dilakukan sesuai dengan hasil pelaksanaan. Untuk melaksanakan pembelajaran berbasis masalah mahasiswa dikelompokkan dalam kelompok kecil 4-5 orang yang dalam tahap

Data dan pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (a) Data aktifitas dan kinerja mahasiswa, yaitu kemampuan menemukan dan memecahkan msalah matematika, pengumpulannya menggunakan angket dan observasi dalam pembelajaran. (b) Data hasil pemecahan masalah, data ini diperoleh melalui penyelesaian soal dilakukan pada tahapan siklus.

Analisis data dilakukan dengan analisis kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif menggambarkan kegiatan belajar mahasiswa selama proses pembelajaran. Disini meliputi kegiatan bertaanya, menanggapi pertanyaan ataau pendapat dan menyelesaikan permasalahan.

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan, kriteria keberhasilan dapat dilihat dari persentase peningkatan nilai indikator pencapaian., baik indikator aktifitas maupun prestasi hasil belajar. Indikator aktifitas belajar sebanyak 70% mahasiswa aktif. Kemampuan mengemukakan pendapat 70%.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Mahasiswa program studi pendidikan matematika semeseter VII sebanyak 8 kelas, yaitu kelas A, B, C, D, E, F, G dan H. Masing-masing kelas rata-rata sebanyak 30 mahasiswa. Kelas yang digunakan penelitian adalah semester VII kelas D sebanyak 32 mahasiswa. Sebelum melaksanakan proses penelitian, terlebih dahulu peneliti melakukan kegiatan pengamatan awal dengan tujuan untuk mengetahui kondisi mahasiswa di kelas tersebut. Hasil pengamatan awal antara lain sebagai berikut : (a) pada awalnya memang pembelajaran berpusat pada dosen. Mahasiswa lebih cenderung untuk menerima penjelasan dosen. Mahasiswa masih ada keengganan bertanya, apalagi menanggpi jawaban temannya. Dalam mengerjakan soal atau latihan masih harus sering disuruh dosen ke depan kelas.

Siklus pertama dilakukan melalui tahapan persiapan pada tanggal 9 September 2013 dan pelaksanaan pembelajaran pada tanggal 12 September 2013. Kegiatan refleksi dan evaluasi dilakukan pada tanggal 14 September 2013. Kegiatan persiapan siklus kedua dilakukan pada taggal 17 September 2013 dan pelaksanaan pembelajaran siklus kedua dilakukan pada tanggal

19 September 2013. Kegiatan refleksi dan evaluasi dilakukan pada tanggal 21 September 2013. Kegiatan persiapan siklus ketiga dilakukan pada taggal 24 September 2013 dan pelaksanaan pembelajaran siklus ketiga dilakukan pada tanggal 26 September 2013. Kegiatan refleksi dan evaluasi dilakukan pada tanggal 28 September 2013. Waktu pembelajaran masing masing dilaksanakan selama 2 x 50 menit.

Diskripsi skripsi Hasil Siklus Pertama Siklus pertama dilakukan melalui tahapan persiapan pada tanggal 9 September 2013 dan pelaksanaan pembelajaran pada tanggal 12 September 2013. Kegiatan refleksi dan evaluasi dilakukan pada tanggal 14 September 2013. Sebelum penelitian dilakukan dilakukan pengembangan bahan ajar dan pengembangan instrumen penilaian atau soal. Validasi dilakukan terhadap isi materi yang diajarkan disesuaikan dengan kurikulum. Materi pada pembelajaran siklus pertama adalah definisi ring. Mahasiswa diminta untuk menyelidiki permasalahan. Permasalahan yang diberikan adalah: Diketahui himpunan bilangan bulat dengan operasi Diskripsi skripsi Hasil Siklus Pertama Siklus pertama dilakukan melalui tahapan persiapan pada tanggal 9 September 2013 dan pelaksanaan pembelajaran pada tanggal 12 September 2013. Kegiatan refleksi dan evaluasi dilakukan pada tanggal 14 September 2013. Sebelum penelitian dilakukan dilakukan pengembangan bahan ajar dan pengembangan instrumen penilaian atau soal. Validasi dilakukan terhadap isi materi yang diajarkan disesuaikan dengan kurikulum. Materi pada pembelajaran siklus pertama adalah definisi ring. Mahasiswa diminta untuk menyelidiki permasalahan. Permasalahan yang diberikan adalah: Diketahui himpunan bilangan bulat dengan operasi

Penyelesaian yang diharapkan dari mahasiswa melalui tahapan-tahapan pemecahan masalah meliputi: pemahaman, perencanaan, pelaksanaan dan pengecekan kembali. Mahasiswa diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut sesuai dengan konsep ring. Definisi konsep tersebut adalah: Suatu himpunan R tidak kosong dengan dua operasi penjumlahan (+) dan perkalian (.) merupakan ring apabila memenuhi aksioma-aksioma sebagai berikut:

1. Tertutup terhadap ( + ). (  a, b  R ) (  c  R ) . a + b = c

2. Assosiatif terhadap ( + ). (  a, b, c  R).(a+b)+c=a+(b+c)

3. Ada elemen identitas terhadap ( + ). (  0  R)( aR).0+a=a+0=a

4. Tiap elemen terdapat invers terhadap (+). (  aR ) (  (- a)  R ).(- a) + a = a + (-a) =

5. Komutatif terhadap ( + ). (  a, b  R ) . a + b = b + a

6. Tertutup terhadap ( . ). (  a, b  R ) (  c  R ) . a . b = c

7. Asosiatif terhadap ( . ). (  a, b, c  R ) . ab . c = a . bc

8. Distributif pergandaan kiri dan kanan terhadap penjumlahan. (  a, b, c  R ) . a ( b + c ) = ab + ac (  a, b, c  R ) . ( b + c ) a = ba + ca

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktifitas selama proses pembelajaran, aktifitas mahasiswa dalam bertanya, menanggapi permasalahan dan menyelesaikan. Selain aktifitas seperti tersebut, juga diamati langkah-langkah mahasiswa dalam menyelesaikan masalah.

Tahap pemahaman, mahasiswa membuat tabulasi bilangan bulat. Mahasiswa mengaitkan antara materi baru, dengan mengingat materi pada saat semester ke VI yaitu definisi grup. Pada definisi grup terdapat aksioma tertutup, asosiatif, elemen identitas dan setiap elemen mempunyai invers. Mahasiswa berdiskusi dengan teman yang ada disekitarnya. Dengan diskusi ini, berarti ada aktifitas bertanya dan saling memberi tanggapan dalam menyelesaikan masalah.

Tahap perencanaan, dilakukan dengan jalan membuat tabulasi dan mengambil beberapa contoh bilangan. Misalnya untuk menunjukkan sifat tertutup, mahasiswa mengambil beberapa contoh operasi bilangan 3+4 = 7, 4+6=10, 8+(-2) = 6 dan seterusnya sehingga disimpulkan bahwa berlaku sifat tertutup. Demikian juga dengan aksioma lain, misalnya asosiatif terhadap penjumlahan. Mahasiswa melakukan hal yang sama untuk operasi perkalian.

Tahap pelaksanaan, dilakukan bersamaan setelah perencanaan. Mahasiswa baru sampai pada sifat atau aksioma tertutup dan asosiatif untuk operasi penjumlahan dan perkalian. Mahasiswa dapat menunjukkan elemen identitas terhadap operasi penjumlahan dan invers setiap Tahap pelaksanaan, dilakukan bersamaan setelah perencanaan. Mahasiswa baru sampai pada sifat atau aksioma tertutup dan asosiatif untuk operasi penjumlahan dan perkalian. Mahasiswa dapat menunjukkan elemen identitas terhadap operasi penjumlahan dan invers setiap

Tabel 1: Hasil pengamatan aktifitas selama pembelajaran pada siklus pertama

2 Menanggapi pertanyaan

10 31 atau pendapat

3 Menyelesaikan masalah

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa aktifitas mahasiswa masih tergolong rendah, baik aktifitas bertanya (25%), menanggapi pendapat (31%) dan menyelesaikan masalah (13%). Namun hal ini lebih baik dan ada peningkatan dari kegiatan sebelumnya.

Kendala-kendala yang dihadapi pada tindakan siklus pertama adalah: (a) mahasiswa belum terbiasa bertanya dalam kegiatan perkuliahan, (b) Keengganan bertanya karena ada unsur malu atas malas, (c) Mereka tidak mengetahui apa yang harus ditanyakan, (d) Mahasiswa tidak terbiasa mengecek hasil penyelesaian yang peroleh.

Refleksi dan evaluasi terhadap pelaksanaan pembelajaran siklus pertama digunakan sebagai acuan pada siklus kedua. Pebaikan yang perlu dilakukan pada siklus yang kedua adalah: (a) dibentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari 4-5 mahasiswa, (b) peneliti memberikan penjelasan terhadap langkah dan materi yang sulit bagi mahasiswa, (c) peneliti bersama mahasiswa menyimpulkan materi yang dipelajari.

Diskripsi skripsi Hasil Siklus Kedua Siklus kedua dilakukan melalui tahapan persiapan pada tanggal 17 September 2013 dan pelaksanaan pembelajaran pada tanggal 19 September 2013. Kegiatan refleksi dan evaluasi dilakukan pada tanggal 21 September 2013. Berdasarkan refleksi pada siklus pertama, maka pada siklus kedua dibentuk kelompok 4-5 mahasiswa. Materi pada pembelajaran siklus kedua adalah sifat-sifat ring. Mahasiswa diminta untuk menyelidiki permasalahan pembuktian. Permasalahan yang diberikan adalah: Jika ( R,+,. ) suatu ring maka berlaku:

e. (  a , b , c  R ) . a ( b - c ) = ab – ac ; ( b – c ) a = ba – ca Mahasiswa terbagi menjadi 7 kelompok, masing masing kelompok beranggotakan 5 mahasiswa 4 kelompok dan 4 mahasiswa 3 kelompok. Karena dalam pembuktian itu ada 7 materi, maka masing-masing mendapatkan 1 materi. Kelompok 1 membuktikan bagian a, yaitu (

 a  R ) . a . 0 = 0 . a = 0. Kelompok 2 membuktikan (  a , b  R ) . – ( - a ) = a. Kelompok

3 membuktikan (  a , b  R ). - ( a + b ) = (- a ) + (- b). Kelompok 4 membuktikan (  a , b  R ) . a ( - b ) = - a ( b ) = - ( ab ). Kelompok 4 membuktikan (  a , b  R ) . a ( - b ) = - a ( b ) = - ( ab ). Kelompok 5 membuktikan (  a , b  R ) . ( - a ) ( - b ) = ab. Kelompok 6 membuktikan (  a , b , c  R ) . a ( b - c ) = ab – ac ; dan Kelompok 7 membuktikan (  a , b ,

c  R ). ( b – c ) a = ba – ca Dari hasil pembuktian masing-masing kelompok, pada akhir pertemuan di bahas beberapa teorema yang dibuktikan. Dari kelompok 1, membuktikan dengan mengambil contoh bilangan bulat dan dikalikan dengan 0, misalnya 4.0 = 0.4 = 0. Ketika ditanyakan mengapa mengambil operasi perkalian, padahal disitu bukan operasi perkalian? Mereka memberikan argumentasi atau jawaban bahwa operasi pada ring yang diberi simbul “.” adalah operasi perkalian. Dari kelompok 1 ini berarti perlu ada penekanan pemahaman tentang definisi operasi. Padahal, pada c  R ). ( b – c ) a = ba – ca Dari hasil pembuktian masing-masing kelompok, pada akhir pertemuan di bahas beberapa teorema yang dibuktikan. Dari kelompok 1, membuktikan dengan mengambil contoh bilangan bulat dan dikalikan dengan 0, misalnya 4.0 = 0.4 = 0. Ketika ditanyakan mengapa mengambil operasi perkalian, padahal disitu bukan operasi perkalian? Mereka memberikan argumentasi atau jawaban bahwa operasi pada ring yang diberi simbul “.” adalah operasi perkalian. Dari kelompok 1 ini berarti perlu ada penekanan pemahaman tentang definisi operasi. Padahal, pada

Pembuktian pada kelompok 2 dilakukan sebagai: (a+b) + ((-a)+(-b) = ((a+b)+(-a)) + (-b)

= (a + (b+(-a))) + (-b) = (a + ((-a)+(b))) + (-b) = (a + (-a))+((b) + (-b)) =0+0 =0

Karena (a+b) + ((-a)+(-b) = 0, berarti diperoleh (-a)+(-b) = -(a+b). Pembuktian di atas, kelompok mahasiswa tidak menyebutkan secara tertulis alasan atau dasar yang digunakan. Misalnya pada langkah pertama, perubahan dari (a+b) + ((-a)+(-b) menjadi ((a+b)+(-a)) + (-b) karena sifat asosiatif. Demikian juga perubahan dari (a + (b+(-a))) + (-b) menjadi (a + ((-a)+(b))) + (-b) karena sifat komutatif. Demikian juga untuk perbahan yang lain, selalu ada dasarnya. Dasarnya dapat diambil dari aksioma ring.

Seperti pada pembelajaran siklus pertama, langkah-langkah pemecahan masalah tidak semuanya dilakukan. Namun, pada siklus kedua ini terdapat beberapa kelompok mahasiswa yang melakukan pengecekan kembali, dengan jalan mengambil contoh ring bilangan bulat dengan operasi penjumlahan dan perkalian. Pengecekannya dengan mengambil beberapa elemen –(4+8) = (-4) + (-8)

Tabel 2: Hasil pengamatan aktifitas selama pembelajaran siklus kedua

2 Menanggapi pertanyaan

13 41 atau pendapat

3 Menyelesaikan masalah

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa aktifitas mahasiswa terdapat peningkatan jika dibandingkan dengan aktifitas pada siklus pertama. Meskipun masih tergolong rendah, misalnya aktifitas bertanya dari 25% menjadi 31%, menanggapi pendapat dari 31% menjadi 41% dan menyelesaikan masalah dari 13% menjadi 19%.

Kendala-kendala pada siklus kedua adalah: (a) mahasiswa tidak mengetahui apa yang harus ditanyakan, (b) mahasiswa kebanyakan masih sulit pada langkah pertama, apa yang harus dilakukan ; dan (c) tidak terbiasa memberikan alasan yang digunakan pada langkah pembuktian.

Diskripsi skripsi Hasil Siklus Ketiga Siklus ketiga dilakukan melalui tahapan persiapan pada tanggal 24 September 2013 dan pelaksanaan pembelajaran pada tanggal 26 September 2013. Kegiatan refleksi dan evaluasi dilakukan pada tanggal 28 September 2013. Berdasarkan refleksi pada siklus kedua, maka pada siklus ketiga masih dibentuk kelompok 4-5 mahasiswa hanya anggota berbeda. Materi pada pembelajaran siklus ketiga adalah ring satuan dan ring komutatif. Permasalahan yang diberikan

kepada mahasiswa adalah: Jika R suatu ring dan berlaku x 2 = x, untuk setiap x anggota R. Buktikan bahwa Ring tersebut komutatif.

Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dapat dilakukan sebagai berikut. Perlu ditunjukkan bahwa x+x = 0. Karena xR, maka (x+x)R, sehingga:

2 (x+x) = (x+x) (x + x)(x + x) = x + x

2 2 2 x 2 +x +x +x = (x+x) + 0 (x + x) + (x + x) = (x+x) + 0

(x + x) = 0

2 Ambil x, y R maka x 2 =x;y = y dan (x+y)  R, sehingga:

2 (x+y) = (x+y)

2 2 x + xy + yx + y =x+y x + xy + yx + y = x + y

xy + yx = 0 xy + yx = yx + yx

xy = yx ; maka terbukti bahwa R suatu ring komutatip. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap aktifitas mahasiswa selama diskusi dalam pemecahan masalah tersebut diperoleh data seperti di bawah ini.

Tabel 3: Hasil pengamatan aktifitas selama pembelajaran siklus ketiga No

2 Menanggapi pertanyaan

14 44 atau pendapat

3 Menyelesaikan masalah

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa aktifitas mahasiswa terdapat peningkatan jika dibandingkan dengan aktifitas pada siklus kedua. Meskipun masih tergolong rendah, misalnya aktifitas bertanya dari mahasiswa yang bertanya hanya 10 mahasiswa (31%) menjadi 12 mahasiswa (38%). Dalam menanggapi pendapat dari 13 mahasiswa (41%) menjadi 14 mahasiswa (44%), sedangkan aktifitas dalam menyelesaikan masalah dari 6 mahasiswa (19%) masih tetap 6 mahasiswa (19%).

Berdasarkan data aktifitas dari setiap siklus, diperoleh data seperti tabel berikut.

Tabel 4: Hasil pengamatan aktifitas selama pembelajaran siklus I, II dan III

Siklus No

2 Menanggapi pertanyaan atau pendapat

13 19 19 Beradasarkan tabel diatas, maka terdapat peningkatan aktifitas dalam setiap kegiatan, meskipun samapai pada siklus ketiga, persentasenya masih tergolong rendah.

3 Menyelesaikan masalah

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan pembelajaran berbasis masalah, maka aktifitas bertanya, menanggapi pertanyaan atau pendapat dan memecahkan masalah mengalami peningkatan. Aktifitas bertanya terdapat kenaikan prosentase sebesar 6% (dari siklus pertama ke siklus kedua) dan 7% (dari siklus kedua ke siklus ketiga). Aktifitas menanggapi pendapat terdapat kenaikan prosentase sebesar 10% (dari siklus pertama ke siklus kedua) dan 3% (dari siklus kedua ke siklus ketiga). Sedangkan aktifitas menyelesaikan masalah terdapat kenaikan prosentase sebesar 6% (dari siklus pertama ke siklus kedua) dan 0% (dari siklus kedua ke siklus ketiga).

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarakan: untuk mahasiswa agar pembelajaran berbasis pemecahan masalah perlu untuk ditingkatkan melalui diskusi kelompok dan diskusi kelas. Bagi dosen, agar pembelajaran ini sebagai alternatif untuk meningkatkan aktifitas pembelajaran. Bagi program studi agar hasil ini sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, khususnya yang berbasis pemecahan masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Herry Agus Susanto. 2012. Struktur Aljabar. Diktat Kuliah. Univet Bantara Sukoharjo Ibrahim M. Dan Nur, M. 2000. Pengajaran Berbasis Masalah. Surabaya : University Press Ibrahim M.,Rachmadiarti F., Nur M. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : University

Press Merrill M David, Twitcell (1994). Instructional Design Theory. Englewood Cliffs, New Yersey:

Educational Technology Publication. Nur, Muhammad. 2000. Strategi-strategi Belajar. Surabaya : University Press Sukirman.2010. Struktur Aljabar. Jakarta. Universitas Terbuka Winkel, 1984. Bimbingan dan konseling di sekolah menengah. Jakarta : Gramedia

P – 46

BERPIKIR KREATIF SISWA MEMBUAT KONEKSI MATEMATIS DALAM PEMECAHAN MASALAH

Karim

FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya karim_unlam@hotmail.com

Abstrak

Salah satu keterampilan berpikir yang menjadi tujuan diberikannya matematika di SMA adalah berpikir kreatif. Proses berpikir kreatif siswa akan muncul bila siswa tersebut diberi stimulus. Stimulus dalam hal ini adalah pemberian masalah matematika, sehingga siswa ditantang untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam menyelesaikan masalah matematika, tentunya banyak konsep/prinsip matematika yang dapat dikoneksikan. Sehingga dalam menyelesaikan suatu masalah sangat dimungkinkan akan terjadi banyak alternatif koneksi matematis yang dapat diguna- kan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Aspek kreatif siswa dalam membuat koneksi matematis yang diamati terdiri dari (1) kefasihan, (2) fleksibilitas, dan (3) kebaruan. Sedangkan aspek koneksi matematis yang diamati adalah (1) mengenali hubungan antarkonsep mate- matika, (2) menggunakan hubungan antarkonsep Matematika, (3) menggunakan keterkaitan konsep dengan prosedur atau operasi hitung, dan (4) menerapkan konsep dan prosedur pada situasi baru (konteks kehidupan nyata). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan dalam hal : (1) mengenali hubungan antarkonsep matematika, (2) menggunakan hu- bungan antarkonsep Matematika, (3) menggunakan keterkaitan konsep dengan prosedur atau operasi hitung, dan (4) menerapkan konsep dan prosedur pada situasi baru (konteks kehidupan nyata) dapat dipenuhi.

Kata Kunci : berpikir kreatif, koneksi matematis, dan pemecahan masalah.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Proses berpikir diperlukan setiap orang dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Proses berpikir ini diperlukan agar seseorang dapat menerima dan mengolah informasi dengan baik. Berpikir merupakan usaha memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori. Tingkatan berpikir dapat dibagi kedalam empat tingkatan, yaitu berpikir yang sifatnya mengingat (recall), berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical) dan berpikir kreatif (creative) (Krulik & Rudnick ,1995; Siswono, 1998; Santrock, 2010).

Berpikir kreatif merupakan suatu kemampuan berpikir yang berawal dari adanya kepekaan terhadap situasi yang sedang dihadapi, dimana pada situasi itu teridentifikasi adanya suatu masalah yang harus diselesaikan. Hasil pikiran yang dimunculkan dari berpikir kreatif itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang baru bagi yang bersangkutan serta merupakan sesuatu yang berbeda dari yang biasanya ia lakukan. Proses kreatif akan muncul bila ada stimulus. Stimulus dalam hal ini adalah pemberian masalah matematika kepada siswa, sehingga siswa ditantang untuk menyelesaikan masalah tersebut (Fisher, 1995; Sabandar, 2009).

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Pertanyaan merupakan masalah bagi seorang siswa apabila pertanyaan yang dihadapkan kepada siswa dapat dimengerti oleh siswa tersebut dan pertanyaan itu tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa. Menyelesaikan masalah adalah mengatasi hambatan untuk menjawab sebuah pertanyaan atau mencapai sebuah tujuan. Jika siswa tidak dapat mengeluarkan jawaban dari memori dengan segera, berarti siswa tersebut terjebak di dalam masalah yang harus dengan segera dipecahkan (Hudoyo, 2001). Jadi yang dimaksud masalah matematika adalah soal matematika yang penyelesaiannya tidak dapat diselesaikan siswa dengan segera.

Kegiatan pemecahan masalah merupakan aktivitas yang membantu siswa untuk dapat mengetahui dan menyadari hubungan berbagai konsep matematika dan juga aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk mengkaitkan konsep/prinsip matematika baik secara internal maupun eksternal dalam pembelajaran matematika. Keterkaitan antara konsep/prinsip matematika secara internal, yaitu hubungan dengan matematika itu sendiri ataupun keterkaitan secara eksternal, yaitu hubungan matematika dengan dengan disiplin ilmu lain, dan keterkaitan matematika dengan dunia nyata siswa diistilahkan dengan koneksi matematis (NCTM 1989; Mikovich dan Monroe, 1994; NCTM 2000; Kusuma, 2008). Koneksi matematis ini sangat penting bagi siswa, karena topik-topik dalam matematika banyak memiliki keterkaitan dengan bidang lain, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Tanpa koneksi matematis, maka siswa harus mempelajari dan mengingat terlalu banyak konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan yang berdiri sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Bruner (Ruseffendi, 1991), yang menyatakan bahwa setiap konsep, prinsip, dan keterampilan dalam matematika dikoneksikan dengan konsep, prinsip, dan keterampilan lainnya. Sehingga dengan koneksi matematis para siswa dapat membangun pemahaman- pemahaman baru berdasarkan pengetahuan sebelumnya.

Dalam menyelesaikan masalah, tentunya banyak konsep, prinsip, maupun prosedur yang dapat dikoneksikan. Sehingga untuk menyelesaikan suatu masalah sangat dimungkinkan akan terjadi banyak alternatif koneksi matematis yang dapat digunakan. Oleh karena itu, akan dapat diketahui bagaimana berpikir kreatif siswa dalam membuat koneksi matematis tersebut.

2. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian adalah bagaimana profil berpikir kreatif siswa membuat koneksi matematis dalam menyelesaikan masalah?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan profil berpikir kreatif siswa membuat koneksi matematis dalam menyelesaikan masalah?

4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan teori berpikir kreatif siswa membuat koneksi matematis.

B. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah eksploratif dengan pendekatan kualitatif.

2. Subyek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dari penelitian disertasi. Untuk mendapatkan deskripsi data permulaan, maka subyek penelitian ini hanya 1 orang, yaitu siswa kelas X SMA Negeri 2 Banjarmasin yang memiliki gaya kognitif field independent dan berjenis kelamin perempuan.

3. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari 4 macam, yaitu peneliti sebagai instrumen utama, perangkat tes gaya kognitif (group embedded figures test), lembar tugas siswa, dan pedoman wawancara. Lembar tugas berisi masalah yang berkaitan dengan materi sistem persamaan linear 2 variabel.

4. Indikator Penelitian

Indikator berpikir kreatif dalam membuat koneksi matematis terdiri dari 12 sub indikator. Keduabelas sub indikator tersebut dinyatakan dalam tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Indikator Berpikir Kreatif Koneksi Matematis

Berpikir

A (A.1)

B (B.1)

C (C.1)

Berpikir kreatif : A.kefasihan, B. fleksibilitas, dan C. kebaruan. Koneksi matematis : 1.mengenali hubungan antarkonsep matematika, 2. menggunakan hubungan antarkonsep matematika, 3. menggunakan keterkaitan konsep dengan prosedur atau operasi hitung, dan 4. menerapkan konsep dan prosedur pada situasi baru (konteks kehidupan nyata).Sub indikator :

A.1 : Menunjukkan dan menjelaskan minimal 2 hubungan antarkonsep matematika.

A.2 : Menggunakan minimal 2 hubungan antarkonsep dalam menyelesaikan masalah.

A.3 : Menggunakan minimal 2 keterkaitan konsep dengan prosedur atau operasi hitung lainnya.

A.4 : Menerapkan konsep dan prosedur pada situasi baru (konteks kehidupan nyata), dengan

2 secara yang beragam. (beragam : tampak berlainan tetapi memiliki pola yang sama).

B.1 : Mengenali hubungan antarkonsep matematika untuk menyelesaikan masalah minimal dengan 2 cara yang berbeda.

B.2 : Menggunakan hubungan antar-konsep matematika untuk menyelesaikan masalah minimal dengan 2 cara yang berbeda.

B.3 : Menggunakan keterkaitan konsep dan prosedur atau operasi hitung lainnya, minimal dengan 2 cara yang berbeda.

B.4 : Menerapkan konsep dan prosedur pada situasi baru (konteks kehidupan nyata) dengan

2 cara yang berbeda. (berbeda : tampak berlainan dan tidak memiliki pola yang sama).

C.1 : Mengenali hubungan antarkonsep matematika yang baru untuk menyelesaikan masalah. (baru: berbeda dari sebelumnya atau tidak lazim menurut perkembangan kognitif siswa).

C.2 : Menggunakan hubungan antarkonsep matematika yang baru untuk menyelesaikan masalah. (baru: berbeda dari sebelumnya atau tidak lazim menurut perkembangan kognitif siswa).

C.3 : Menggunakan minimal 2 keterkaitan konsep dengan prosedur atau operasi hitung lainnya yang berbeda dari prosedur atau operasi hitung sebelumnya.

C.4 : Menerapkan konsep dan prosedur pada situasi baru (konteks kehidupan nyata) yang ber- beda dari sebelumnya.

5. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan memberi lembar tugas siswa kepada subyek penelitian, selanjutnya subyek mengerjakan secara tertulis lalu diklarifikasi dengan wawancara. Meskipun demikian, ada kemungkinan subyek mengemukakan ide-idenya terlebih dahulu baru kemudian ia menjawab secara tertulis. Sehingga jawaban tertulis subyek merupakan bagian dari wawancara. Untuk mendapatkan data yang kredibel, maka diperlukan triangulasi. Jenis triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi waktu.

6. Prosedur Pengolahan Data

Tahap-tahap dalam pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari: (1) membuat transkrip data, (2) menelaah data yang terdapat dalam transkrip, (3) mereduksi data, (4) menganalisis/mengolah data, (5) mengidentifikasi temuan-temuan yang menarik, dan (6) membuat kesimpulan dan rekomendasi.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Hasil wawancara dengan subyek penelitian, diperoleh data yang akan dideskripsikan sesuai sub indikator berpikir kreatif siswa dalam membuat koneksi matematis seperti tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Deskripsi Hasil Wawancara untuk Aspek Kefasihan

No. Sub Indikator Deskripsi Hasil Wawancara

1. A.1.menunjukkan dan menje-

1. Subyek mengemukakan ide bahwa masalah laskan minimal 2 hubungan

dapat diselesaikan dengan membuat model antarkonsep matematika.

matematika terlebih dahulu.

2. Subyek menyebutkan/menunjukkan konsep matematika yang diperlukan untuk menye- lesaikan masalah, yaitu konsep variabel, persamaan, linear, dan sistem persamaan linear.

3. Subyek menjelaskan hubungan antar konsep matematika sbb : variabel diperlukan untuk membentuk persamaan, gabungan 2 buah persamaan linear membentuk suatu sistem persamaan linear.

2. A.2.menggunakan minimal 2

1. Subyek menyelesaikan masalah dengan meng- hubungan antarkonsep da-

gunakan metode eliminasi. lam menyelesaikan masa-

2. Hubungan antarkonsep yang digunakan lah.

subyek adalah variabel dengan persamaan linear, persamaan linear dengan sistem persamaan linear.

3. A.3.menggunakan minimal 2 Karena subyek menggunakan metode eliminasi, keterkaitan konsep dengan maka prosedur yang digunakan

adalah prosedur atau operasi hi- langkah-langkah metode eliminasi dan kaitannya tung lainnya.

dengan konsep persamaan linear dan sistem persamaan linear. Operasi hitung yang digunakan adalah perkalian, pembagian, dan pengurangan.

4. A.4.menerapkan konsep dan Subyek dapat membuat soal dengan menggunakan prosedur pada situasi baru konsep dan prosedur yang telah digunakan (konteks kehidupan nyata), sebelumnya pada situasi baru (konteks kehidupan dengan 2 secara yang bera- nyata), yaitu : gam. (beragam : tampak

1. Soal pertama konteksnya jual beli. berlainan tetapi memiliki

2. Soal kedua konteksnya juga jual beli. pola yang sama).

Deskripsi hasil wawancara untuk aspek fleksibilitas dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Deskripsi Hasil Wawancara untuk Aspek Kefasihan

No. Sub Indikator Deskripsi Hasil Wawancara

1. B.1.Mengenali hubungan an-

1. Subyek menyebutkan cara lain yang dapat tarkonsep

digunakan untuk menyelesaikan masalah di untuk menyelesaikan masa-

matematika

atas adalah dengan menggunakan metode lah minimal dengan 2 cara

substitusi. Subyek mengemukakan konsep yang berbeda.

matematika yang saling berhubungan adalah variabel, persamaan linear, dan sistem persamaan linear.

2. Subyek menyebutkan cara lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah di atas adalah dengan menggunakan metode gabungan substitusi dan eliminasi. Subyek mengemukakan konsep matematika yang saling berhubungan adalah variabel, persamaan linear, dan sistem persamaan linear.

3. Subyek menyebutkan cara lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah di atas (selain metode substitusi dan eliminasi, serta metode gabungan substitusi dan eliminasi) adalah dengan menggunakan metode grafik. Subyek mengemukakan konsep matematika yang saling berhubungan adalah variabel, persamaan linear, sistem persamaan linear, grafik Kartesius, persamaan garis lurus, dan titik potong dua buah garis lurus.

4. Selanjutnya Subyek menyebutkan cara lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah di atas (selain substitusi, eliminasi, gabungan substitusi dengan eliminasi, dan grafik)

dengan menggunakan diterminan matriks. Subyek mengemukakan konsep matematika yang saling berhubungan adalah sistem persamaan linear, matriks, dan diterminan matriks.

adalah

2. B.2.Menggunakan hubungan

1. Subyek menggunakan hubungan antarkonsep antarkonsep

matematika yang meliputi konsep variabel, untuk menyelesaikan masa-

matematika

persamaan linear, dan sistem persamaan linear lah minimal dengan 2 cara

masalah dengan yang berbeda. menggunakan metode substitusi.

untuk

menyelesaikan

2. Subyek menggunakan hubungan antarkonsep matematika yang meliputi konsep variabel, persamaan linear, dan sistem persamaan linear untuk

masalah dengan menggunakan metode gabungan eliminasi dan substitusi.

menyelesaikan

3. Subyek menggunakan hubungan antarkonsep matematika yang meliputi konsep variabel, persamaan linear, sistem persamaan linear, grafik Kartesius, persamaan garis lurus, dan titik potong dua buah garis lurus untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan metode grafik.

4. Subyek menggunakan hubungan antarkonsep matematika yang meliputi konsep variabel, sistem persamaan linear, matriks, dan diterminan matriks untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan metode diterminan matriks.

3. B.3.Menggunakan keterkaitan

1. Subyek menggunakan metode substitusi dalam konsep dan prosedur atau

menyelesaikan masalah. Pada metode menyelesaikan masalah. Pada metode

linear, dan sistem persamaan linear digunakan yang berbeda

nimal dengan 2 cara

sesuai dengan tahapan metode substitusi. Operasi hitung yang digunakan meliputi perkalian, pengurangan, dan pembagian.

2. Subyek menggunakan metode gabungan eliminasi dan substitusi dalam menyelesaikan masalah. Pada metode ini, konsep variabel, persamaan linear, dan sistem persamaan linear digunakan sesuai dengan tahapan metode eliminasi dan substitusi. Operasi hitung yang digunakan meliputi perkalian, penjumlahan, pengurangan, dan pembagian.

3. Subyek menggunakan metode grafik dalam menyelesaikan masalah. Pada metode ini konsep matematika yang digunakan adalah konsep variabel, persamaan linear, sistem persamaan linear, grafik Kartesius, persamaan garis lurus, dan titik potong dua buah garis lurus. Prosedur yang digunakan subyek adalah pada masing- masing persamaan garis dicari terlebih dahulu titik potongnya dengan sumbu koordinat. Setelah itu digambar masing-masing persamaan garis lurus melalui dua titik (titik potong dengan sumbu koordinat). Selanjutnya dicari titik koordinat dari titik potong kedua garis tersebut. Operasi hitung yang digunakan adalah perkalian dan pembagian.

4. Subyek menggunakan metode diterminan dalam menyelesaikan masalah. Pada metode ini, konsep matematika yang digunakan adalah konsep variabel, sistem persamaan linear, matriks, dan diterminan matriks. Prosedur yang digunakan subyek adalah mengkonstruksi sistem persamaan ke dalam bentuk matriks, lalu dilanjutkan dengan mencari diterminan matriks, diterminan matriks dari variabel x, dan diterminan matriks dari variabel y. Operasi hitung yang digunakan adalah operasi pem- bagian.

4. B.4.Menerapkan konsep dan Subyek dapat membuat soal dengan menggunakan prosedur pada situasi baru konsep dan prosedur yang telah digunakan (konteks kehidupan nyata) sebelumnya pada situasi baru (konteks kehidupan dengan 2 cara yang berbeda. nyata), yaitu : (berbeda : tampak berlainan

1. Soal ketiga konteksnya peminjaman buku di dan tidak memiliki pola

perpustakaan sekolah.

yang sama).

2. Soal keempat konteksnya kembali ke jual beli seperti soal pertama dan kedua.

Deskripsi hasil wawancara untuk aspek kebaruan dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Deskripsi Hasil Wawancara untuk Aspek Kebaruan

No. Sub Indikator Deskripsi Hasil Wawancara

1. C.1.Mengenali hubungan an-

1. Menurut subyek, cara lain yang dapat digunakan tarkonsep matematika

untuk menyelesaikan masalah di atas adalah yang baru untuk menyele-

dengan menggunakan invers matriks. Subyek saikan masalah. (baru:

mengemukakan konsep matematika yang saling berbeda dari sebelumnya

berhubungan adalah variabel, persamaan linear, atau tidak lazim menurut

sistem persamaan linear, matriks, kesamaan dua perkembangan kognitif

buah matriks, diterminan matriks, invers matriks, siswa).

dan matriks identitas.

2. Subyek menyatakan bahwa penyelesaian dengan invers matriks ini didapat dari membaca dan mempelajari buku kelas XII IPA.

3. Menurut subyek, konsep dan prosedur yang digunakan merupakan hal yang baru.

2. C.2.Menggunakan hubungan Subyek menggunakan hubungan antarkonsep antarkonsep matematika matematika yang meliputi konsep variabel, yang baru untuk menyele- persamaan linear, sistem persamaan linear, matriks, saikan masalah. (baru: kesamaan dua buah matriks, diterminan matriks, berbeda dari sebelumnya invers matriks, dan matriks identitas untuk atau tidak lazim menurut menyelesaikan masalah dengan menggunakan perkembangan

kognitif invers matriks.

siswa).

3. C.3.Menggunakan minimal 2

1. Subyek menggunakan invers matriks dalam keterkaitan konsep dengan

menyelesaikan masalah. Konsep matematika prosedur atau operasi hi-

yang digunakan adalah konsep variabel, tung lainnya yang berbeda

persamaan linear, sistem persamaan linear, dari prosedur atau operasi

matriks, kesamaan dua buah matriks, diterminan hitung sebelumnya.

matriks, invers matriks, dan matriks identitas. Prosedur yang digunakan subyek adalah mengkonstruksi sistem persamaan linear ke dalam bentuk matriks, lalu dilanjutkan dengan mencari diterminan matriks dan invers matriks. Selanjutnya dicari matriks identitas untuk mendapatkan nilai variabel x dan variabel y.

2. Operasi hitung yang digunakan adalah pembagian, perkalian, dan operasi perkalian dua buah matriks.

4. C.4.Menerapkan konsep dan Subyek dapat membuat soal dengan menggunakan prosedur pada situasi baru konsep dan prosedur yang telah digunakan (konteks kehidupan nyata) sebelumnya pada situasi baru (konteks kehidupan yang berbeda dari sebe- nyata), yaitu soal kelima konteksnya masalah lumnya.

perbandingan umur ayah dan anak.

2. Pembahasan

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa subyek penelitian telah melakukan proses berpikir dalam menyelesaikan matematika yang diberikan. Proses berpikir tersebut dimulai dengan memahami masalah kemudian dilanjutkan dengan merencanakan pemecahan masalah dan melaksanakan rencana pemecahan masalah matematika tersebut. Pada saat merencanakan pemecahan masalah subyek telah mengenali konsep matematika apa saja yang diperlukan dan keterkaitan konsep tersebut dengan konsep matematika yang lain. Selain mengenali konsep yang akan digunakan dan keterkaitan konsep matematika yang satu dengan yang lain, subyek juga telah memikirkan prosedur penyelesaian dan operasi hitung apa saja yang akan digunakan.

Berkaitan dengan berpikir kreatif dalam membuat koneksi matematis, proses berpikir subyek telah memenuhi aspek kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Subyek dapat menyelesaikan masalah dengan beberapa cara yang berbeda dan dapat mengenali hubungan antarkonsep matematika dan dapat menggunakan hubungan antarkonsep tersebut untuk menyelesaikan masalah. Subyek juga dapat menerapkan konsep dan prosedur yang telah Berkaitan dengan berpikir kreatif dalam membuat koneksi matematis, proses berpikir subyek telah memenuhi aspek kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Subyek dapat menyelesaikan masalah dengan beberapa cara yang berbeda dan dapat mengenali hubungan antarkonsep matematika dan dapat menggunakan hubungan antarkonsep tersebut untuk menyelesaikan masalah. Subyek juga dapat menerapkan konsep dan prosedur yang telah

D. SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Indikator berpikir kreatif dalam membuat koneksi matematis terdiri dari 12 sub indikator. Deskripsi berpikir kreatif siswa membuat koneksi matematis dalam memecahkan masalah matematika menunjukkan bahwa profil berpikir subyek telah memenuhi ke 12 indikator yang telah diamati. Hal ini menunjukkan bahwa subyek telah berpikir kreatif membuat koneksi matematis dalam pemecahan masalah matematika.

2. Saran

Subyek penelitian ini hendaknya diperluas, tidak hanya untuk subyek yang bergaya kognitif field independent tetapi juga untuk subyek yang bergaya kognitif field dependent serta tinjauan dari aspek gender.

E. DAFTAR PUSTAKA

Fisher, R. 1995. Thinking Children to Think. Cheltenham, United Kingdom : Stanley Thornes Ltd.

Hudoyo, H. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang : IKIP Malang.

Krulik, Stephan & Rudnick, Jesse A. 1995. The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in elementary School . Needham Heights: Allyn & Bacon.

Kusuma, Y.S. 2008. Konsep Pengembangan dan Implementasi Computer_Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematics Thingking. Pidato Pengukuhan Guru Besar Pendidikan Matematika . Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Micovich, A.K. and Monroe, E.E. 1994. Making Mathematical Connection across the Curriculum : Activities ti Help Teachers Begin. School Science and Mathematics. 94 (7).

NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics, Reston, VA : Arthur.

______. 2000. Principles and Standards for School Mathematics, Reston, VA : Arthur.

Ruseffendi, E.T. 1991. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA . Bandung : Tarsito.

Sabandar, J. 2009. Berpikir Reflektif. Tersedia : http.//www.math.sps.upi.edu/wpcontent/ uploads/2009/11/Berpikir-Reflektif.pdf. (diunduh 28 Maret 2012).

Santrock, Jhon W. 2010. Psikologi Pendidikan. Edisi Kedua. Dialihbahasakan oleh Tri Wibowo. B.S. Jakarta : Kencana.

Siswono, Tatag Y.E. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif .

Penerbit : Unesa University Press. Surabaya.

P – 47

PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI OPERASI BILANGAN BULAT MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DI KELAS VII-1 SMP NEGERI 3 SALAHUTU

Kasman Samin Kamsurya

SMP Negeri 3 Salahutu Email : kasmankamsurya@yahoo.co.id

Abstrak

Berdasarkan pengalaman peneliti dijumpai sebahagian besar siswa

melakukan kesalahan pada operasi bilangan bulat. Salah satu penyebabnya, yakni guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui pendekatan pembelajaran matematika realistik pada materi operasi bilangan bulat. Tipe penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian, yaitu 22 siswa kelas VII-1 SMP Negeri 3 Salahutu pada tahun ajaran 2013/2014. Instrumen penelitian, yaitu perangkat tes dan lembar observasi untuk guru dan siswa. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan pada siklus I terdapat 9 siswa (41%) mencapai ketuntasan belajar, sedangkan pada siklus II terdapat 18 siswa (82%) mencapai ketuntasan belajar . Kata kunci: Pembelajaran Matematika Realistik, Hasil Belajar .

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tak lepas dari dukungan dan peranan matematika sebagai ilmu dasar, karena matematika memiliki kekuatan pada struktur dan penalaranya. Perkembangan matematika dapat menjadi pemicu penerapan pada bidang ilmu lain. Begitu pun sebaliknya, matematika dibutuhkan sebagai solusi berbagai permasalahan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Hingga kini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih terfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan dan ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar sehingga terkesan pembelajaran kurang memfokuskan siswa pada penalaran dan pemecahan masalah. Muhammad (Depdiknas, 2005: 8), menyatakan bahwa proses pembelajaran dengan ceramah saat ini lebih banyak menekankan pada aspek mengingat atau menghafal. Kemampuan siswa untuk bernalar kurang dimaksimalkan oleh guru sehingga siswa terkesan pasif dalam menerima pelajaran.

Berdasarkan pengalaman peneliti pada siswa kelas VII-1 SMP Negeri 3 Salahutu, ketika memberikan soal kepada siswa untuk dikerjakan, misalnya; 5 + (-2) , -5-2, -3x(-4), 4:(-2), sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal seperti di atas, jawaban yang diberikan siswa beragam dan hasilnya tidak benar, sehingga menyebabkan hasil belajarnya rendah. Hal ini karena dalam pembelajaran guru belum mengaitkan materi dengan kehidupan keseharian siswa.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Salah satu strategi pembelajaran yang mengaktifkan, merangsang kreatifitas siswa dan akhirnya pembelajaran menjadi menarik dan menyenangkan adalah Pembelajaran Matematika Realstik (PMR). Menurut Soedjadi, 2001:3), pembelajaran matematika realistik (PMR) adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang menggunakan masalah-masalah kontekstual (contextual problems) sebagai langkah awal dalam proses pembelajaran. Permasalahnya apakah melalui pendekatan pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi operasi bilangan bulat di kelas VII-1 SMP Negeri 3 Salahutu?

Bertolak dari uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi operasi bilangan bulat melalui pendekatan pembelajaran matematika realistik di kelas VII-1 SMP Negeri 3 Salahutu. Penelitian ini juga bermanfaat bagi siswa yakni aktifitas belajar siswa makin baik, bagi guru agar menjadi referensi bagi guru yang lain dalam pembelajaran di kelas, dan bagi sekolah sebagai wahana meningkatkan kompetensi guru yang berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Arikunto (2008: 16), mengemukakan bahwa secara garis besar PTK terdiri atas 4 tahap yang lazim dilalui, yaitu tahap: (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) pengamat atau observasi, dan (4) refleksi. Subjek penelitian ini adalah 22 siswa kelas VII-1 SMP Negeri 3 Salahutu tahun ajaran 2013/2014. Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah yakni melakukan tes awal, melakukan penelitian tindakan kelas yakni siklus 1 (perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, refleksi), siklus 2 melakukan tahapan seperti siklus 1 namun ada perbaikan sesuai hasil refleksi siklus 1. Instrumen penelitian terdiri dari 5 soal tes berbentuk isian dan lembar observasi terhadap aktivitas siswa dan guru. Terdapat 2 jenis data, yaitu data kuantitatif (hasil belajar siswa) dan data kualitatif (hasil pengamatan). Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan rumus :

Hasil belajar =

x 100

Selanjutnya hasil belajar siswa dibandingkan dengan kriteria ketuntasan minimum (KKM), yang telah ditetapkan oleh sekolah SMP Negeri 3 Salahutu Seperti pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel. 1 Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)

KKM

Keterangan

x ≥ 65 Tuntas x < 65 BelumTuntas Keterangan: x hasil belajar

Untuk menghitung persentase siswa yang mencapai ketuntasan secara klasikal digunakan rumus:

KetuntasanKlasikal =

x 100 %

Suryasubroto (2002: 77) mengatakan, syarat suatu pembelajaran dikatakan tuntas secara individual maupun klasikal adalah (1) Seorang dikatakan tuntas belajar jika siswa tersebut mencepai skor minimum 65; (2) suatu kelas dikatakan tuntas belajar jika dalam kelas tersebut telah terdapat 65% dari jumlah seluruh siswa telah mencapai daya serap

≥ 65. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam penelitian ini ditetapkan ketuntasan ≥ 65. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam penelitian ini ditetapkan ketuntasan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Sebelum menerapkan pendekatan pembelajaran matematika realistik, peneliti memberikan tes awal untuk mengetahui kemampuan siswa, guna pengelompokkan mereka di kelas. Siswa yang mengikuti tes awal sebanyak 22 orang. Berdasarkan hasil tes, mereka dibagi menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 orang. Selanjutnya dilakukan penelitian tindakan kelas sebagai berikut.

Siklus I Tahap Perencanaan (Planning)

Peneliti menyiapkan (RPP 01), Bahan Ajar (01), LKS (01) tentang materi Operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, , menyiapkan soal tes akhir siklus

I dan menyiapkan lembar observasi untuk aktivitas guru dan siswa.

Tahap Pelaksanaan Tindakan (Acting)

Sesuai dengan RPP yang dirancang siklus I dilaksanakan dalam satu kali pertemuan sebagai berikut.

1. Pelaksanaan tindakan dilakukan oleh peneliti (guru matematika) di kelas VII-1, sedangkan 3 orang guru sejawat sebagai observer.

2. Guru melaksanakan RPP 01

3. Selama proses pembelajaran, guru meminta siswa mempelajari bahan ajar 01 dan meminta siswa mengerjakan LKS 01.

4. Guru mengarahkan dan menuntun siswa untuk berdiskusi.

5. Guru memberikan PR.

Tahap Pengamatan

a. Hasil Observasi Aktivitas Guru

Sebelum memberikan materi, guru memberikan pertanyaan untuk memancing pengetahuan awal siswa dan mengaitkannya dengan materi yang akan dipelajari. Setelah masing-masing kelompok menyelesaikan soal yang ada pada LKS 01, dan mempresentasikanya di depan kelas, guru tidak memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk menanggapi. Di akhir pembelajaran guru tidak mengajukan pertanyaan sebagai pengujian pemahaman siswa tentang operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yang telah di pelajari, tetapi langsung menyimpulkan materi.

b. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Kelompok A

Terdapat dua siswa saling mengganggu anggota lain. Saat mengerjakan LKS anggota kelompok dapat bekerja sama dan berdiskusi. Salah satu anggota dapat mengerjakan soal nomor 1 tentang operasi penjumlahan bilangan bulat.

Kelompok B

Secara umum memperhatikan penjelasan guru namun ada anggota yang sempat diperingati guru karena berbisik dengan temanya. Saat berdiskusi dua siswa bekerja sama, sedangkan siswa lainnya mengganggu kelompok C yang sedang berdiskusi.

Kelompok C

Semua anggota kelompok tenang dan serius ketika guru menjelaskan materi. Saat mengerjakan LKS anggota kelompok saling berdiskusi. Namun ada kegaduhan akibat pertengkaran seorang anggota kelompok C dengan salah satu anggota dari kelompok B. Ketika diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusi, ada anggota yang mewakili kelompok untuk mengerjakan soal nomor 2 tentang operasi pengurangan bilangan bulat.

Kelompok D

Ketika mengerjakan LKS, anggota kelompok saling berdiskusi. Salah satu anggota bertanya kepada guru tentang cara mengerjakan soal nomor 2 dan 3 akibat kurang mengerti. Ketika diberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok, salah satu anggota kelompok maju untuk mengerjakan soal nomor 3 di depan kelas.

Kelompok E

Ketika guru menjelaskan, seluruh anggota terlihat memperhatikan dengan saksama. Guru meminta siswa untuk mengerjakan LKS 01. Siswa dalam kelompok bekerja sama dan diskusi setelah dibimbing guru. Saat diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil kerja mereka, tidak ada siswa yang bersedia untuk mengerjakan di depan kelas.

Hasil Belajar Siswa Pada Siklus I

Berdasarkan hasil tes akhir siklus I, sebagian siswa belum dapat menghitung penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Berdasarkan hasil tes akhir siklus I, siswa yang memiliki nilai ≥ 65 sebanyak 9 orang (41%). Sedangkan siswa yang memperoleh nilai < 65 sebanyak 13 (59 %). Dengan demikian siswa yang tuntas pada siklus I belum mencapai kriteria ketuntasan klasikal, sehingga pembelajaran dilanjukan pada siklus II.

Siklus II

Tahap Perencanaan (Planning)

Menyiapkan (RPP 02),Bahan Ajar (BA 02), LKS 02 tentang materi operasi perkalian dan pembagian bilangan bulat, serta lembar observasi aktivitas guru dan siswa di dalam kelompok, dan soal tes akhir siklus II.

Tahap Pelaksanaan Tindakan

1. Guru melaksanakan RPP 02.

2. Guru meminta siswa mempelajari bahan ajar 02 serta mengerjakan LKS 02.

3. Guru membimbing siswa untuk berdiskusi.

4. Guru memberikan PR

5. Melaksanakan tes akhir siklus II.

Tahap Pengamatan

a. Hasil Observasi Aktivitas Guru

Diawal pembelajaran, guru mengingatkan siswa tentang materi yang lampau serta materi yang akan dipelajari. Ketika berdiskusi, guru mengontrol dan membimbing siswa. Secara umum aktifitas guru pada siklus II sudah lebih baik di bandingkan siklus 1.

b. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Kelompok A

Saat berdiskusi terlihat semua anggota bekerja sama dan aktif berdiskusi. Guru meminta seorang anggota mengerjakan soal nomor 2 dan jawaban yang diberikan benar.

Kelompok B

Saat berdiskusi hanya dua anggota yang bekerja sama mengerjakan soal pada LKS. Seorang anggota sebagai perwakilan kelompok mengerjakan soal nomor 1 tentang menentukan hasil perkalian bilangan bulat. Diakhir pembelajaran ada seorang anggota kelompok B dapat menjawab pertanyaan dari guru.

Kelompok C

Seluruh anggota serius memperhatikan guru yang sedang menjelaskan.Anggota kelompok C terlihat kompak ketika kerja sama dan berdiskusi. Seorang anggota dapat mengerjakan soal nomor 3 tentang menentukan hasil pembagian bilangan bulat.

Kelompok D

Anggota kelompok memperhatikan penjelasan guru. Semua anggota terlihat aktif berdiskusi. Ada seorang anggota yang bertanya kepada guru. Pada saat diberikan kesempatan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, kelihatan semua anggota dapat menjawab.

Kelompok E

Saat berdiskusi, seorang anggota mengerjakan tugas mata pelajaran lain, namun diskusi antara anggota lain berlangsung baik. Anggota kelompok aktif menjawab pertanyaan.

Hasil Belajar Siswa Pada Siklus II

Hasil Refleksi

Adapun refleksi dari siklus II sebagai berikut.

Aktivitas guru

1. Guru mampu melaksanakan pembelajaran sesuai langkah – langkah di RPP.

2. Kemampuan guru dalam mengontrol masing-masing kelompok menunjukan hasil yang baik. Hal ini terlihat dari diskusi yang dilakukan dapat berlangsung tenang, dan sebagian besar siswa memperhatikan guru dengan saksama.

Aktivitas Siswa

1. Sebagian besar siswa memperhatikan penjelasan guru

2. Saat berdiskusi siswa yang sebelumnya tidak aktif, kini terlihat aktif.

3. Kelompok yang sebelumnya berdiskusi dengan bimbingan guru, kini terlihat lebih

mandiri. Berdasarkan hasil tes siswa pada akhir siklus II, menunjukkan bahwa siswa kelas VII-1 telah mencapai ketuntasan belajar sebanyak 18 orang (82 %). Dengan demikian pembelajaran berakhir pada siklus II.

Pembahasan

Berdasarkan hasil tes awal maka siswa dibagi menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 orang, dengan kemampuan yang beragam yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Menurut Nur (2005: 1-2), pembelajaran matematika realistik merupakan strategi pembelajaran yang mengkondisikan siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, beranggotakan siswa yang berbeda kemampuannya, jenis kelamin bahkan latar belakangnya untuk membantu belajar satu sama lainnya sebagai sebuah tim. Proses pembelajaran siklus I dilakukan dalam satu kali pertemuan. Materi yang diajarkan pada siklus ini adalah operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Selanjutnya, dari refleksi terlihat masih terdapat kekurangan pada siklus I.

Berkaitan dengan proses pembelajaran baik yang berasal dari guru maupun dari siswa. Kekurangan yang berasal dari guru, yaitu guru tidak memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk menanggapi dan tidak mengarahkan siswa untuk membuat rangkuman. Secara umum guru sudah memanfaatkan waktu sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan dalam RPP. Guru sudah mengelola kelas sebaik mungkin agar tercipta suasana belajar yang efektif serta dapat mengontrol siswa dalam proses pembelajaran, namun masih terlihat adanya siswa yang acuh tak acuh.

Kondisi tersebut disebabkan karena siswa belum terbiasa dengan proses pembelajaran baru. Ada kelompok yang berdiskusi serta kerja sama, namun tetap dibimbing oleh guru. Penguasaan siswa terhadap materi operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat belum cukup baik terutama pada penjumlahan bilangan yang berbeda tanda. Motivasi siswa yang rendah menjadi salah satu penyebab siswa belum mampu menyelesaikan soal tersebut.

Melihat kekurangan dan kelemahan yang masih terjadi pada siklus I serta hasil belajar siswa pada siklus I belum mencapai kriteria keberhasilan yang ditetapkan, maka penelitian ini dilanjutkan pada siklus II. Hal-hal yang harus diperbaiki pada tindakan siklus II yaitu, sebelum guru melakukan proses pembelajaran, guru harus memperhatikan Melihat kekurangan dan kelemahan yang masih terjadi pada siklus I serta hasil belajar siswa pada siklus I belum mencapai kriteria keberhasilan yang ditetapkan, maka penelitian ini dilanjutkan pada siklus II. Hal-hal yang harus diperbaiki pada tindakan siklus II yaitu, sebelum guru melakukan proses pembelajaran, guru harus memperhatikan

Proses pembelajaran siklus II juga dilaksanakan dalam satu kali pertemuan. Materi yang diajarkan pada siklus ini adalah operasi perkalian dan pembagian bilangan bulat. Sesuai dengan hasil refleksi, pelaksanaan tindakan pada siklus II dapat dikatakan berlangsung dengan baik. Guru telah melaksanakan seluruh langkah - langkah pembelajaran dalam RPP sesuai waktu yang ditentukan, Perhatian dan ketegasan guru kepada siswa sudah sangat baik. Kemampuan guru dalam mengontrol masing-masing kelompok juga menunjukkan hasil yang baik. Hal ini terlihat dari diskusi yang dilakukan masing-masing kelompok dan kondisi kelas yang berlangsung tenang, serta sebagian besar siswa telah memperhatikan penjelasan guru dengan saksama. Penguasaan siswa pada materi perkalian dan pembagian bilangan bulat sangat baik. Hal itu nampak dari hasil belajar yang diperoleh siswa.

Hasil tes akhir siklus II menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh nilai sama dengan atau lebih dari 65 ( ≥ 65) sebanyak 18 siswa (82%). Pada siklus ini. harapan ketuntasan 65% siswa yang harus memperoleh nilai sama dengan atau lebih dari 65 ( ≥ 65) telah tercapai. Tes hasil belajar dilakukan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. Menurut Azizah (2007: 26), hasil belajar merupakan hal yang penting, karena merupakan petunjuk untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa dalam kegiatan belajar yang telah dilakukan.

Dengan demikian, penggunaan pendekatan pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII-1 SMP Negeri 3 Salahutu pada materi Operasi bilangan bulat.

KESIMPULAN

Sesuai hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII-1 SMP Negeri 3 Salahutu pada Materi Operasi bilangan bulat. Hal ini terlihat dari hasil belajar siswa. Pada Siklus I, siswa memperoleh ketuntasan secara klasikal sebanyak 9 orang (41%) dan pada siklus II meningkat menjadi 18 orang (82%).

SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut yakni pendekatan pembelajaran matematika realistik dapat digunakan sebagai variasi pembelajaran, sehingga menjadi solusi efektif bagi guru dalam mengajar materi pelajaran yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Adinawan, M.C. 2006. Matematika untuk SMP Kelas VII , Erlangga, Jakarta Aisyah, N, dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika, Dirjen DIKTI, Jakarta Arikunto,S. 1998, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta Coob, Y. 1992. Matematika Realistis, www. Coob, Dimyanti dan Mujiono (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Hadi Sutarto, (2009). Majalah Pendidikan Matematika Realisti Indonesia. pmri/vol vii/april 2009. Institut Pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (IP-PMRI) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB

http://www.hasiltesguru.com/2012/04/pengertian- hasil-belajar.html Kunandar.( 2009). Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas. Rajawali, Jakarta Moleong, Lexy, 2001. Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Ngapiningsih. 2007. Matematika Realistik SMP dan MTs kelas VII, Intan Pariwara, Klaten Soedjadi, R. 2007. Masalah Kontekstual Sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Depdiknas

Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA, Surabaya Suryosubroro. 2002. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Suwarsih. 2006. Teori dan Praktik Penelitian Tindakan Kelas (Action Research).Alfabeth,

Yogyakarta.

P – 48 PENGEMBANGAN TEORI PEMBELAJARAN PERILAKU DALAM KAITANNYA DENGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK SISWA DI SMA

La Misu dan Rosdiana

JURUSAN PMIPA UHO KENDARI lamisuhamid@yahoo.co.id

Abstrak

Umumnya, kemampuan siswa baik sekolah dasar maupun sekolah menengah dalam memecahkan masalah matematik sangat rendah. Ini disebabkan karena dalam proses pembelajaran guru kurang melatihkan siswanya dengan soal-soal cerita dan soal opend ended. Disamping itu, ada beberapa kendala dalam memaksimalkan interaksi kooperatif, yaitu banyak waktu terbuang karena materi prasyarat kurang dikuasai, siswa belum terbiasa belajar kooperatif, kemampuan kritis dan kreatif siswa rendah sehingga tidak memiliki banyak strategi dalam memecahkan masalah matematik.

Selanjutnya, untuk mengatasi lemahnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik, guru perlu melatih siswa tentang karakter dan perilaku yang mengarah pada kesiapan siswa dalam mengikuti pelajaran selama di dalam kelas. Ada beberapa hal yang perlu dikembangkan oleh seorang guru kaitannya dengan pemecahan masalah matematik adalah (1) pemilihan kooperatif sebagai pendekatan pembelajaran, (2) melatih siswa menghadapi berbagai masalah yang semakin kompleks, (3) pemecahan masalah lebih ditekankan pada masalah dunia nyata, dan (4) pada proses pembelajaran siswa diberikan penguatan positif dan penguatan negative.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa 1. Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa masih sangat rendah. 2. Kemampaun pemecahan masalah matematik siswa di kelas IPA lebih baik dari kelas IPS. 3. Pada proses pembelajaran umumnya guru belum sepenuhnya menerapkan teori perilaku dan pemberian soal-soal cerita serta permasalahan yang kompleks.

Kata Kunci: Teori Pembelajaran Perilaku, Pemecahan Masalah Matematik Siswa

A. PENDAHULUAN

Umumnya, kemampuan siswa baik sekolah dasar maupun sekolah menengah dalam memecahkan masalah matematik sangat rendah. Ini disebabkan karena dalam proses pembelajaran guru kurang melatihkan siswanya dengan soal-soal cerita dan soal opend ended. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kadir (2008) bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa: (1) kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik masih sangat rendah (rata-rata 27,2 dalam skala 0 – 100); dan (2) ada beberapa kendala dalam memaksimalkan interaksi kooperatif, yaitu banyak waktu terbuang karena materi prasyarat kurang dikuasai, siswa belum terbiasa belajar kooperatif, kemampuan kritis dan kreatif siswa rendah sehingga tidak memiliki banyak strategi dalam memecahkan masalah matematik. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya siswa sekolah menengah masih memiliki kemampuan kritis dan kreatif siswa rendah sehingga tidak memiliki banyak stategi dalam memecahkan masalah matematik.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Selanjutnya, untuk mengatasi lemahnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik, guru perlu melatih siswa tentang karakter dan perilaku yang mengarah pada kesiapan siswa dalam mengikuti pelajaran selama di dalam kelas. Hal ini di dukung oleh penelitian La Misu (2007) bahwa lemahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematika salah satu penyebabnya karena kurangnya kesiapan siswa dalam mengikuti pelajaran di kelas.

Kekuatan teori pembelajaran perilaku ini adalah memberikan perlakuan yang memuaskan kepada siswa sehingga dapat mempengaruhi pikiran maupun perilakunya. Hal ini sesuai dengan Hukum Pengaruh oleh Thorndika bahwa: Jika suatu tindakan diikuti oleh hal yang memuaskan (menyenangkan) dalam lingkungan maka kemungkinan tindakan itu akan diulangi dalam suasana serupa, dan akan meningkat. (Budayasa, 1998: 11)

Berdasarkan uraian di atas, maka melalui penelitian ini akan dikembangkan model pembelajaran perilaku dan kaitannya dengan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Permasalahannya adalah Bagaimana bentuk model pembelajaran perilaku dalam kaitannya dengan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

B. KAJIAN PUSTAKA

1. Teori Belajar Perilaku

Teori belajar perilaku adalah salah satu dari pendidikan karakter yang membuat siswa merasa senang, tenang, dan tidak terbebani dalam menerima pelajaran dari guru. Pengertian karakter disini, menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.

Menurut Skinner (dalam Budayasa, 1998: 14) Prinsip terpenting dari teori belajar perilaku adalah bahwa perilaku berubah sesuai dengan konsekuensi segera dari perilaku tersebut. Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan akan “memperkuat” perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan akan “memperlemah” perilaku. Dengan kata lain, konsekuensi menyenagkan akan meningkatkan frekuensi seseorang melakukan perilaku serupa, sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan menurunkan frekuensi seseorang melakukan perilaku serupa.

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa prinsip dari teori belajar perilaku ada dua hal yaitu konsekuensi yang menyenangkan disebut “penguat” (reinforcer), dan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut “hukuman” (punisher).

Di samping itu, penguatan dapat dibagi atas 2, yaitu: (1) penguatan positif (Positive reinforcement), dan (2) penguatan negatif (Negative reinforcement). Penguatan positif adalah pemberian konsekuensi yang dikehendaki untuk memperkuat perilaku, misalnya: hadiah, pangkat, dan perhatian. Sedangkan penguatan negatif adalah membebaskan dari konsekuensi yang tak diinginkan untuk memperkuat suatu perilaku, misalnya: seorang siswa membebaskan dari hukuman tidak boleh masuk kelas (Nur, 1998: 4).

Pengertian hukuman ((punisher) jangan disamakan dengan penguatan negatif. Hukuman ditujukan pada pengurangan perilaku dengan memberikan konsekuensi yang tidak diinginkan. Hukuman terbagi atas 2, yaitu hukuman paksaan (presentation punishment) dan hukuman larangan (removal punishment) (Budayasa, 1998: 20). Hukuman paksaan adalah hukuman dengan menggunakan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan, misalnya seorang anak bercakap-cakap saat pelajaran berlangsung, lalu anak itu diperintahkan untuk maju ke depan menyelesaikan soal latihan. Sedangkan hukuman larangan adalah hukuman dalam bentuk penghapusan penguatan, misalnya seorang anak yang menyontek pada ujian berlangsung dikurangi nilainya.

Berdasarkan teori perilaku di atas, secara operasional pemberian perilaku kepada siswa dapat dirinci sebagai berikut: (a) Pemberian tugas kepada siswa secara berulang, (b) Pemberian tugas kepada siswa secara mandiri, (c) Pemanggilan kepada siswa di depan kelas ,

(d) Pemberian penghargaan kepada siswa yang menjawab benar, (e) Pemberian hukuman kepada siswa yang menjawab salah, dan (f) Pemberian pekerjaan rumah kepada siswa,

2. Pemecahan Masalah Matematik

Pemecahan masalah adalah suatu proses kognitif yang membuka peluang pemecah masalah untuk bergerak dari suatu keadaan yang tidak diketahui bagaimana memecahkannya ke suatu keadaan tetapi tidak mengetahui bagaimana cara memecahkannya. Sejalan dengan itu, Sumarmo (2000: 8) mengemukakan, pemecahan masalah adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang ditemui untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Menurut Matlin (2003: 361), pemecahan masalah digunakan ketika ingin dicapai suatu tujuan yang tertentu, tetapi pemecahannya tidak jelas. Jika pemecahannya jelas, maka tidak ada masalah. Jadi jika pemecahan masalah sudah diperoleh, maka masalah tersebut sudah bukan masalah lagi bagi seseorang tetapi belum tentu bukan masalah bagi orang lain. Jadi proses pemecahan masalah adalah bagian dari berpikir sebagaimana dikemukakan oleh Arthur (2008: 1), bahwa pemecahan masalah merupakan bagian dari berpikir.

Menurut Goldstein & Levin (1987), atas dasar semakin kompleksnya fungsi-fungsi intelektual, pemecahan masalah telah didefinisikan sebagai proses kognitif tingkat tinggi yang memerlukan modulasi dan kontrol lebih dari keterampilan rutin atau dasar (Arthur, 2008: 1). Kemampuan pemecahan masalah dibutuhkan untuk melatih siswa terbiasa menghadapi berbagai masalah yang semakin kompleks, baik pada masalah matematika maupun di luar matematika. Di sinilah peran matematika sebagai alat pemecah masalah (tools of problem solving). Dalam NCTM (2000: 52) dikatakan, pemecahan masalah adalah bagian integral dari semua pembelajaran matematika.

Para peneliti menyimpulkan bahwa proses pemecahan masalah berbeda berdasarkan domain pengetahuan dan tingkat keahlian (Sternberg, 1995 dalam Arthur, 2008: 2) bahwa, hasil yang diperoleh di laboratorium tidak secara perlu dapat digeneralisasi ke dalam situasi pemecahan masalah di luar laboratorium. Oleh karena itu, selama dua dekade terakhir pemecahan masalah lebih ditekankan pada masalah dunia nyata (Wikipedia, 2008: 1).

Masalah dunia nyata adalah masalah non rutin. Melalui penggunaan masalah non rutin, para siswa tidak hanya terfokus pada bagaimana menyelesaikan masalah dengan berbagai strategi yang ada, tetapi juga menyadari kekuatan dan kegunaan matematika di dunia sekitar mereka dan berlatih melakukan penyelidikan dan penerapan berbagai konsep matematika yang telah dipelajarinya untuk memecahkan masalah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melatihkan siswa empat langkah proses yang dikembangkan oleh Polya (1985: 5 - 6), yaitu: memahami masalah (understanding the problem); merencanakan pemecahan (devising a plan); melakukan perhitungan (carrying out the plan); dan memeriksa kembali (looking back).

Menurut Matlin (2003: 361), pemahaman terhadap masalah merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam memecahkan masalah terkait dengan representasi masalah ke dalam model matematika. Demikian juga pendapat Sternberg dan Ben-Zeev (1996: 34), bahwa secara garis besar, proses pemecahan masalah terbagi atas dua macam, yaitu representasi dan solusi. Representasi muncul ketika pemecah masalah memahami suatu masalah dan solusi muncul ketika pemecah masalah melaksanakan kegiatan untuk memecahkan masalah. Kemampuan memahami masalah dapat ditumbuhkan melalui pemberian masalah kontekstual.

Stanic dan Killpatrick (McIntosh dan Jarret, 2000: 8 - 9) mengidentifikasi peranan pemecahan masalah dalam matematika sekolah yaitu: pemecahan masalah sebagai konteks, pemecahan masalah sebagai keterampilan, dan pemecahan masalah sebagai seni. Sebagai konteks, pemecahan masalah digunakan sebagai justification dalam mengajar matematika, motivasi, rekreasi, dan praktek. Sebagai keterampilan, pemecahan masalah dapat melatih siswa melakukan prosedur umum pemecahan masalah rutin. Setelah siswa memiliki berbagai keterampilan pemecahan masalah, siswa diarahkan untuk memecahkan masalah non-rutin. Sebagai seni, pemecahan masalah digunakan untuk mengembangkan kemampuan siswa menjadi pemecah masalah yang cakap (skillful) dan bersemangat (enthusiastic), pemikir independent yang mampu mengatasi masalah yang ill-structured dan open-ended.

Ketika berlatih memecahkan masalah, siswa telah berlatih melakukan proses kognitif. Menurut Foshay dan Kirkley (2003: 4), pemecahan masalah adalah suatu proses yang kompleks. Pemecah masalah terkadang mengalami kegagalan tetapi juga terkadang memperoleh kesuksesan. Dalam memecahkan masalah, siswa membuat representasi masalah, mencari solusi, dan mengimplementasi solusi. Untuk melakukan proses ini, siswa melakukan recall semua pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika siswa mengalami kegagalan maka ia harus mengecek kembali representasi masalah yang dibuat atau strategi solusi yang sudah dirancang. Ketiga proses tersebut dapat diringkas ke dalam tiga bagian, yaitu memahami masalah, menyelesaikan masalah, dan menjawab masalah yang merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

3.Kaitan Pengembangan Teori Perilaku dengan Pemecahan Masalah Matematik

Teori perilaku menitik beratkan pada aspek-aspek eksternal belajar, termasuk stimulus eksternal, respon perilaku siswa, dan penguatan yang mengikuti respon yang sesuai. Berdasarkan teori perilaku yang dikemukakan oleh Thorndike tentang Law of Effect dalam Budayasa(1998: 11), bahwa respon menyenangkan yang dialami sebelumnya cenderung diulangi dan respon yang tidak menyenangkan yang dialami sebelumnya cenderung dibuang. Sesuai dengan teori Thorndike di atas, pelaksanaan sistem pembelajaran di kelas tidak lepas dari pemberian penghargaan dan hukuman. Di samping dalam penyampaian pembelajaran guru kepada siswa tidak lepas dari penyampaian secara langsung informasi-informasi yang akan dipelajari oleh siswa.

Biggie, 1989, merangkum perbedaan penting antara teori belajar perilaku dengan teori belajar kognitif. Seorang guru penganut teori belajar perilaku berkeinginan mengubah perilaku siswanya, sedangkan guru yang penganut teori belajar kognitif ingin mengubah struktur kognitif (pemahaman) siswanya. Pemecahan masalah matematik, merupakan hasil belajar yang penting dalam ranah kognitif. Untuk melakukan proses ini, siswa melakukan recall semua pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika siswa mengalami kegagalan maka ia harus mengecek kembali representasi masalah yang dibuat atau strategi solusi yang sudah dirancang. Ketiga proses tersebut dapat diringkas ke dalam tiga bagian, yaitu memahami masalah, menyelesaikan masalah, dan menjawab masalah yang merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

Dalam penelitian ini ingin mengaitkan proses berpikir siswa secara kognitif dalam hal ini pemecahan masalah matematik dengan teori perilaku. Maka model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran adalalah model pembelajaran kooperatif.

Secara umum, model pembelajaran dikelompokkan dalam 4 kategori, salah satunya adalah Kelompok Sistem Perilaku (the behavioral system family). Kelompok Sistem Perilaku berorientasi pada teori-teori belajar sosial, sedang yang menjadi dasar pemikiran adalah sistem komunikasi yang mengkoreksi sendiri yang memodifikasi perilaku dalam hubungannya dengan bagaimana tugas dijalankan dengan sebaik-baiknya (Toeti Soekamto, 1993). Model pembelajaran kooperatif adalah salah satu model pembelajaran dari Kelompok Sosial, yang menitik-beratkan pada pengelolaan tingkah laku siswa dalam kerja kelompok, dengan tujuan untuk membangkitkan interaksi yang efektif diantara anggota-anggota kelompok melalui diskusi. Esensi pembelajaran kooperatif adalah tanggung jawab individu sekaligus kelompok, sehingga dalam diri siswa terbentuk ketergantungan positif sehingga kerja kelompok menjadi optimal.

Berdasarkan model pembelajaran kooperatif tersebut, siswa dilatih baik secara kelompok maupun individual untuk merancang penyelesaian masalah matematik dengan menerapkan teori perilaku.

Kemampuan pemecahan masalah dibutuhkan untuk melatih siswa terbiasa menghadapi berbagai masalah yang semakin kompleks. Dalam konteks, pemecahan masalah diartikan sebagai keterampilan. Ketika berlatih memecahkan masalah siswa berlatih melakukan proses kognitif. Oleh karena itu, pemberian perlakuan terhadap siswa baik secara kelompok maupun individual dapat Kemampuan pemecahan masalah dibutuhkan untuk melatih siswa terbiasa menghadapi berbagai masalah yang semakin kompleks. Dalam konteks, pemecahan masalah diartikan sebagai keterampilan. Ketika berlatih memecahkan masalah siswa berlatih melakukan proses kognitif. Oleh karena itu, pemberian perlakuan terhadap siswa baik secara kelompok maupun individual dapat

C. METODE PENELITIAN

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XII SMA Negeri 7 Kendari, yang terdiri dari satu kelas IPA, yaitu IPA 3 dengan jumlah siswa 25 orang dan satu kelas IPS, yaitu IPS 2 dengan jumlah siswa 18 orang.

2. Pelaksanaan Penelitian

Ada empat tahap pelaksanaan dalam penelitian ini, yakni: (1) Penyusunan model pembelajaran perilaku, (2) penyusunan instrumen, yakni Tes Kemampuan pemecahan masalah matematik, dan Angket tentang perilaku siswa di dalam kelas, (3) pelaksanaan uji coba model dan instrumen, yakni melihat keabsahan dan kevalidan instrumen, dan (4) pelaksanaan model serta pelaksanaan tes kemampuan pemecahan masalah matematik dan pengamatan melalui lembar observasi, yakni untuk mengambil data tentang kemampuan pemecahan masalah matematik dan perilaku siswa di dalam kelas.

3. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini ada 2 bentuk, yaitu Tes Kemampuan pemecahan masalah matematik, dan Angket Perilaku Siswa. Tes Kemampuan pemecahan masalah matematik diambil dari materi bahan ajar matematika SMA, dengan bentuk Tes bersifat Open Ended. Sedang Angket Perilaku Siswa mengacu pada teori perilaku menurut Skinner dan di kembangkan oleh Budayasa tahun 1998.

4. Teknik Analisis Data

Data dalam penelitian ini terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari lembar jawaban angket perilaku dan dianalisis secara deskriptif yakni dengan tehnik persentase pada setiap itemnya. Sedang data kuantitaif diperoleh dari Tes kemampuan pemecahan masalah matematik dan dianalisis secara deskriptif yakni menghitung rata-ratanya.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil uji coba baik angket partisipasi siswa terhadap pembelajaran guru maupun angket pembelajaran guru di kelas, terlihat sebagai berikut.

a) Partisipasi siswa terhadap pembelajaran guru di kelas:

Tabel 1: Partisipasi siswa terhadap pembelajaran guru di kelas untuk kelas XII-IPA 3 dan kelas XII-IPS 2

No. Aspek yang Diobservasi IPA IPS

K(% C(% B(% K(% C(% B(

1. Respon siswa secara posistif terhadap

12 67 5 materi prasyarat,

2. Respon siswa terhadap pemberian motivasi

76 33 67 berupa soal yang menantang,

3. Respon siswa terhadap pembelajaran

24 12 64 11 22 67 kooperatif.

4. Respon siswa terhadap penempatan dalam

0 12 88 17 28 55 kelompok,

5. Keaktifan siswa dalam menyelesaikan soal

16 24 60 22 39 39 kelompok

6. Respon siswa terhadap soal cerita 12 48 40 22 11 67

7. Respon siswa terhadap permasalahan yang

16 0 84 0 39 61 kompleks

8. Keberanian siswa menyelesaikan soal di

12 40 48 34 33 33 depan kelas

9. Rasa bangga siswa telah menyelesaikan

0 12 88 11 11 78 soal yang sulit

10. Rasa sedih siswa yang tidak bisa

16 16 68 50 5 45 menyelesaikan soal

11. Respon siswa terhadap pemberian hadiah

48 16 4 22 33 45 dari guru

80 16 4 55 45 0 dari guru

12. Respon siswa terhadap pemberian hukuman

13. Respon siswa terhadap penjelasan guru

12 0 88 0 17 83 secara berlang-ulang

14. Kemampuan siswa menyimpulkan materi

12 44 44 22 50 28 pelajaran

15. Respon siswa terhadap pemberian evaluasi

12 28 60 5 22 73 diakhir pembelajaran

16. Respon siswa terhadap pemberian tugas

16 20 64 33 22 45 pekerjaan rumah.

b) Pembelajaran guru yang berkaitan dengan teori perilaku

Tabel 2: Pembelajaran guru berkaitan teori perilaku di kelas untuk kelas XII-IPA 3 dan kelas XII-IPS 2 No. Aspek yang Diobservasi IPA IPS

K(% C(% B(% K(% C(% B(

1. Guru selalu menunjuk kepada siswa untuk

71 39 33 menjelaskan materi prasyarat

2. Guru selalu membentuk kelompok sebelum

25 39 22 pelajaran di mulai

3. Guru menyuruh setiap anggota kelompok

21 17 15 39 5 56 untuk menyelesaikan soal

4. Guru menjelaskan cara menyelesaikan soal

0 12 88 5 11 84 secara berulang-ulang

17 8 18 11 28 61 untuk berdiskusi kelompok

5. Guru memberi dorongan kepada siswa

6. Guru memberikan hadiah berupa nilai

4 8 88 17 5 78 tambahan bila hasil pekerjaannya benar

7. Guru mengurangi nilai siswa bila hasil

96 4 0 56 22 22 pekerjaannya salah

8. Guru selalu menyuruh anggota kelompok

29 21 50 61 11 28 untuk menyelesaikan soal di depan kelas secara bergilir.

9. Guru menyuruh anggota kelompok untuk

21 29 50 50 17 33 menyimpulkan materi yang sedang dipelajarinya

10. Guru memberi tugas rumah sebagai tindak

96 72 lanjut dari materi yang telah diajarkan.

c) Pembelajaran guru yang berkaitan dengan Pemecahan Masalah Matematik

Tabel 3: Pembelajaran guru berkaitan pemecahan masalah matematik di kelas untuk kelas XII- IPA 3 dan kelas XII-IPS 2

No. Aspek yang Diobservasi IPA IPS

K(% C(% B(% K(% C(% B(

1. Guru selalu memberi motivasi (berupa

88 28 55 permasalahan yang menantang siswa)

2. Umumnya soal yang dibuat guru adalah

17 28 28 soal cerita

3. Soal yang dibuat guru umumnya

17 38 45 17 61 22 permasalahan yang kompleks

4 12 84 0 39 61 pemecahan masalah matematik

4. Guru memberikan cara merencakan

d) Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa

Tabel 4: Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa di kelas XII-IPA 3 dan kelas XII- IPS 2

IPA IPS No. Matematik Siswa

Kemampuan Pemecahan Masalah

1. Rata-Rata 3,1 1,5

2. Pembahasan

Berdasarkan partisipasi siswa terhadap pembelajaran guru di kelas baik kelas IPA maupun kelas IPS umumnya siswa merespon secara positif terhadap penerapan: (1) model pembelajaran kooperatif , (2) pemberian soal cerita, (3) pemberian masalah yang kompleks, (4) penjelasan guru secara berulang-ulang, (5) pemberian hadiah oleh guru kepada siswa yang menjawab benar, dan (5) pemberian evaluasi setiap akhir pembelajaran. Sedangkan perlakuan yang tidak direspon oleh siswa adalah (1) pengajuan pertanyaan pada materi prasyarat, (2) keberanian menyelesaikan soal di depan kelas, dan (3) pemberian hukuman dari guru bagi siswa yang penyelesian soalnya salah.

Kurangnya respon siswa terhadap pemberian perilaku di atas disebabkan karena selama pembelajaran guru jarang melatihkan siswa tentang hal-hal yang menyangkut unsur-unsur dalam teori perilaku. Ada beberapa hal yang diinginkan siswa dalam pembelajaran guru, yakni: (1) guru menjelaskanm materi prasyarat, (2) menjelaskan cara menyelesaikaan soal secara berulang-ulang, (3) pemberian hadiah bagi yang mampu menyelesaikan soal, dan (4) pemberian tindak lanjut materi yang telah diajarkan. Disamping itu, guru kurang memberikan soal-soal yang menantang, permasalahan yang kompleks, cara menyelesaikan pemecahan masalah matematik, dan kurang pemberian soal cerita. Sehingga bila siswa diberi soal tentang pemecahan masalah kemampuan siswa masih sangat rendah

E. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa

1. Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa masih sangat rendah.

2. Kemampaun pemecahan masalah matematik siswa di kelas IPA lebih baik dari kelas IPS.

3. Pada proses pembelajaran umumnya guru belum sepenuhnya menerapkan teori perilaku dan

pemberian soal-soal cerita serta permasalahan yang kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

Arthur L. Benton. (2008). Problem Solving. U.S.: Wikimedia Foundation, Inc. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Problem_Solving.(7 April 2008).

Budayasa, I Ketut, 1998, Teori-Teori Belajar Perilaku, Makalah, Pusat Sains dan Matematika Sekolah, IKIP Surabaya.

Firman P., 1996, Hubungan Kemampuan Penalaran Formal dengan Prestasi Belajar

Matematika siswa Kelas I SMA Pematang Siantar, Tesis PPS IKIP Malang. Foshay, R. dan Kirkley,J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. [Online]. Tersedia:

www.plato.com/downloads/papers/paper_04.pdf [27 Mei 2008] Herman Hudoyo, 1985, Strategi Belajar Mengajar Matematika, Depdikbud P2LPTK – Jakarta. Kadir. (2008). Laporan Hasil Analisis Instrumen Tes Uji Coba: Tes Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematik dan Komunikasi Matematik Siswa Kelas VIII SMP Negeri 5 Kendari. FKIP Unhalu Kendari. Tidak Dipublikasikan.

La Misu, 1997, Tinjauan Kemampuan Penalaran Formal Kelas III SLTP Negeri se Kota Kendari , Laporan Hasil Penelitian Unhalu.

La Misu, 2003, Pengembangan Keterampilan Penalaran Formal pada Mahasiswa Semester Pertama Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Unhalu , Laporan Hasil Penelitian Unhalu.

Matlin, M. W. (2003). Cognition. Fifth Edition. Rosewood Drive, Danvers, MA: John Wiley & Sons, Inc.

McIntosh, R. dan Jarret, D. (2000). Teaching Mathematical Problem Solving: Implementing The Vision.

http://www.nwrel.org/ msec/images/mpm/pdf/monograph.pdf [12 Mei 2008]

[Online].

Tersedia:

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Drive, Reston, VA: The NCTM.

Nur, Muhammad, 1998, Teori Pembelajaran Perilaku, Makalah, Pusat Sains dan Matematika Sekolah, IKIP Surabaya.

Polya, G. (1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Second Edition. New Jersey: Princeton University Press.

Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Hibah Bersaing. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.

Toeti Soekamto, 1993, Prinsip Belajar dan Pembelajaran, bahan Ajar PEKERTI Untuk Dosen Muda.

P – 49

MENUMBUHKAN SOFT SKILLS SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN GENERATIF

La Moma FKIP UNPATTI Ambon

Email: lamoma96@yahoo.com

Abstrak

Di era golobalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, siswa diharapkan bukan saja ditutut untuk menguasai pengetahuan semata, namun juga dituntut menguasai soft skills sehingga nantinya setelah tamat dari bangku pendidikan dapat diandalkan dalam dunia kerja dan dimasyarakat. Untuk mencapai tujuan itu perlu dalam kegiatan pembelajaran khususnya matematika sejak dini siswa dilatih bagaimana berkomunikasi yang efektif, bekerjasama dalam tim), disiplin diri, kerja keras, kreatif, kritis, percaya diri. dengan adanya kebiasaan seperti ini, akan melahirkan manusia yang memiliki kemampuan pengetahuan yang unggul dan disertai dengan etika dan moral baik pula. Salah satu model pembelajaran matematika yang diharapkan dapat menumbuhkan soft skills siswa adalah pembelajaran generatif. Pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran berbasis konstruktivisme, yang lebih menekankan pada pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Model pembelajaran generatif menuntut siswa untuk aktif dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Selain itu, siswa juga diberi kebebasan untuk mengungkap idea atau gagasan dan alasan terhadap permasalahan yang diberikan sehingga akan lebih memahami pengetahuan yang dibentuknya sendiri dan proses pembelajaran yang dilakukan akan lebih optimal. Kata Kunci: Soft skills, Pembelajaran Matematika, Pembelajaran Generatif

Abstract

In the globalization era, the development of scientific and technology latter day, students are expected not only to master the knowledge ditutut alone, but also to master the soft skills so that later after graduating from school education reliable in the world of work and in the community. To achieve this goal especially necessary in the learning activities of students trained in mathematics from an early age how to communicate effectively, work in teams), self-discipline, hard work, creative, critical, self-confident. The existence of such customs, will give birth to human beings who have superior knowledge and skills along with good ethics and morals any way. One of mathematical learning model that is expected to grow soft skills students are generative learning. Generative learning is a learning model based on constructivism, which emphasizes on the integration of new knowledge by actively using students' prior knowledge before. Model of generative learning requires students to be active in constructing knowledge. In addition, students are also given the freedom to uncover the idea or ideas and the reasons given to the problems that will better understand the formation of their own knowledge and their lessons would be more optimal.

Keywords: Soft skills, Mathematical Learning, Generative Learning

PENDAHULUAN

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, siswa diharapkan bukan saja ditutut untuk menguasai pengetahuan semata, namun juga dituntut menguasai ketrampilan lunak

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika unt uk Indonesia

(soft skills) sehingga nantinya setelah tamat dari bangku pendidikan dapat diandalkan dalam dunia kerja dan dimasyarakat. Untuk mencapai tujuan itu perlu dalam kegiatan pembelajaran khususnya matematika sejak dini siswa dilatih bagaimana berkomunikasi yang efektif, bekerjasama dalam kelompok (tim), disiplin diri, kerja keras, kreatif, kritis, percaya diri. dengan adanya kebiasaan seperti ini, akan melahirkan manusia yang memiliki kemampuan pengetahuan yang unggul dan disertai dengan etika dan moral baik pula.

Menurut Napitupulu (2013) bahwa pendidikan di sekolah sampai saat ini umumnya masih berfokus membekali siswa dengan kompetensi-kompetensi hardskills, seperti pengetahuan yang bersifat hafalan. Adapun pengetahuan tentang dunia kerja umumnya didapat saat terjun ke dunia kerja. Sementara itu, komptensi soft skills yang tak kalah pentingnya bagi siswa kurang diperhatikan.

Untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas, seseorang tidak hanya dituntut memiliki kemampuan hard skills saja, tetapi juga kemampuan soft skillsnya. Berdasarkan hasil penelitian dalam dunia pendidikan, seperti penelitian di Harvard University, Amerika Serikat, diyakini bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skills) saja, tetapi juga kemampuan dalam mengelola diri dan orang lain (soft skills). Dari hasil penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skills (Wati, 2010). Selanjutnya, hasil penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa orang yang sukses di dunia ditentukan oleh peranan ilmu sebesar 18%. Sisanya 82% ditentukan oleh ketrampilan emosional, soft skills dan sejenisnya (Elfindri, dkk,2010).

Pentingnya soft skills ini, seyogianya guru dituntut untuk mampu menerapkan atribut- atribut soft skills apa yang hendak dikemmbangkan dalam pembelajaran, dan guru harus memilih dari berbagai model pembelajaran inovatif yang sudah diketahuinya dalam mengajarkan konsep matematika. Dengan demikian soft skills siswa akan tumbuh dengan sendirinya.

Stephen R. Covey (dalam Muqowim, 2012) mengemukakan bahwa perlunya dilakukan tujuh langkah pembiasaan (habit) untuk menjadi manusia unggul, yaitu proaktif, menentukan tujuan akhir, memulai dari yang utama, berpikir menang-menang, berusaha untuk memahami terlebih dahulu ketimbang minta dipahami, melakukan sinergis, dan mengasah diri secara terus menerus. Lebih lanjut Covey menyebut empat hal yang perlu diasah secara terus menerus, yaitu dimensi spiritual, mental, fisik, dan sosial/emosional.

Dalam pandangan Goleman (1998) tentang kecerdasan emosional (emotional intelligence) dijelaskan bahwa untuk mempunyai kecerdasan emosioanl ada lima tahapan, yakni kesadaran diri (self-awareness), pengaturan diri (self-regulation), motivasi, empati, dan ketrampilan sosial (social skill).

Untuk menumbuhkan soft skills siswa dalam pembelajaran, maka perlu adanya model pembelajaran untuk mengatasi permasalahan di atas, salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan yang dimaksud adalah model pembelajaran generatif (generative learning model).

Pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran berbasis konstruktivisme, yang lebih menekankan pada pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Model pembelajaran generatif menuntut siswa untuk aktif dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Selain itu, siswa juga diberi kebebasan untuk mengungkap idea atau gagasan dan alasan terhadap permasalahan yang diberikan sehingga akan lebih memahami pengetahuan yang dibentuknya sendiri dan proses pembelajaran yang dilakukan akan lebih optimal.

Menurut Obsorne & Wittrock (dalam Hulukati, 2005), penerapan model pembelajaran generatif merupakan suatu cara yang baik untuk mengetahui pola berpikir siswa serta bagaimana siswa memahami dan memecahkan masalah dengan baik agar supaya dalam pembelajaran nanti guru dapat menyusun strategi dalam pembelajaran, misalnya bagaimana menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran generatif akan memberikan tantangan kepada siswa untuk memecahkan suatu permasalahan matematika dan mendorong siswa untuk lebih kreatif, termotivasi belajar, percaya diri (self-efficacy), dan dapat mendorong tumbuhnya soft skills, dan juga menuntut guru dalam proses pembelajaran matematika sebaiknya dengan menggunakan masalah-masalah non rutin dan bersifat terbuka dalam penyelesaian masalah dalam pembelajaran matematika. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan dalam tulisan ini sebagai berikut: (1) apa pengertian soft skills ?, dan (2) bagaimana menumbuhkan soft skills siswa dalam pembelajaran matematika? Untuk menjawab permasalahan di atas, pada bagian berikut ini penulis akan menguraikan beberapa hal antara lain: (a) pengertian soft skills; (b) pengembangan soft skills siswa ; (c) pengembangan soft skills dalam pembelajaran; dan (d) pembelajaran generatif.

PEMBAHASAN Pengertian Soft skills

Softskills adalah suatu istilah dalam sosiologi tentang EQ (Emotional Intelegence Quotient) seseorang, yang dapat dikategorikan menjadi kehidupan sosial, komunikasi, bertutur bahasa, kebiasaan, keramahan, optimasi, Wicaksana (dalam http://iwayan.staff.gunadarman.ac.id).Soft skills juga berbeda dengan hard skills yang menekankan kepada IQ, artinya penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya.

Menurut Berthall (dalam Wati, 2010), Soft skills atau ketrampilan lunak merupakan tingkah laku personal dan interpersonal yang dapat mengembangkan dan memaksimalkan kinerja manusia (melalui pelatihan, pengembangan kerja sama tim, inisiatif, pengambilan keputusan lainnya). Ketrampilan lunak ini merupakan modal dasar peserta didik untuk berkembang secara maksimal sesuai dengan pribadi masing-masing. Widhiarso (2009); Anugerawan (2010), soft skills adalah seperangkat kemampuan yang mempengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Soft skills memuat komunikasi efektif, berpikir kreatif dan kritis, membangun tim, serta kemampuan lainnya yang terkait kapasitas kepribadian individu.

Ada beberapa contoh dari softskills yang sangat penting untuk menunjang karir seseorang, menurut Wikipediaa dalah ketrampilan: (1) berpartisipasi sebagai anggota tim, (2) mengajari orang lain, (3) melayani pelanggan, (4) memimpin, (5) bernegosiasi, (6) bekerja dalam keragaman budaya, (7) memotivasi orang lain, dan (8) bertukar pikiran /gagasan/pandangangan dengan orang lain.

Selanjutnya, secara garis besar soft skills dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu: (1) intrapersonal skill dan (2) interpersonal skill. Intrapersonal skill meliputi: self awareness (self confidence, self-assesment, trait & preference, emotional awareness ) dan soft skills (improvement, self control, trust, worthiness, time/ source management, proactivity, conscienc e), sedangkan interpersonal skill mencakup social awareness (politicalawareness, developing others, leveraging diversity,service orientation, empathy dan social skill (leadership, influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy (Wati, 2010).

Wicaksana (http://iwayan.staff.gunadarma.ac.id), kategori dari soft skills ada dua bagian, yaitu: (1) intra-personal skills yang meliputi: ketrampilan seseorang dalam mengatur dirinya sendiri untuk pengembangan kerja secara optimal, (2) inter-personal skills yang meliputi: ketrampilan seseorang dalam hubungan dengan orang lain untuk kerja secara optimal. Sedangkan menurut Kustijono (2011) bahwa Soft skills merupakan kecakapan dalam mengendalikan kepribadian (personal driven) seperti etika, kecakapan dalan bergaul dengan orang lain, mendengarkan dan terlihat dalam pembicaraan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa soft skills merupakan perilaku personal dan interpersonal yang mengembangkan dan memaksimalkan kinerja humanis, selain itu soft skills sering juga disebut sebagai kecakapan lunak yaitu kecakapan yang digunakan dalam berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain.

Menurut Elfindri, dkk (2010) dalam konteks soft skills yang penting dalam pembentukan karakter individu, terdapat sembilang soft skills yang membuat kita semakin sempurna, yaitu:

(1) taat beribadah, (2) ketrampilan berkomunikasi, (3) terbentuk sikap tanggungjawab, (4) kejujuran dan tepat waktu, (5) pekerja keras, (6) berani mengambil resiko, (7) terbiasa bekerja berkelompok, (8) berketrampilan rumah tangga, dan (9) visioner, selanjutnya Sailah (dalam Kustijono, 2011) juga memberikan 10 atribut soft skills yang diperluas oleh Soerati (2009) menjadi 14 atribut yang memberikan alternatif yang memungkinkan dapat dipadukan dalam pembelajaran sebagai berikut: (1) Komitmen, (2) Inisiatif, (3) Kemampuan untuk belajar, (4) Handal, (5) Percaya diri, (6) Kemampuan berkomunikasi, (7) Antusias, (8) Berani mengambil keputusan, (9) Integritas, (10) Motivasi untuk meraih prestasi/gigih, (11) Berkreasi, (12) Kerjasama dalam tim, (13) Berpikir kritis, (14) Menghargai (pendapat) orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, kemampuan soft skills siswa dalam tulisan ini dapat ditunjukkan dengan atribut-atribut soft skills yang digunakan untuk mengetahui kemampuan soft skills siswa dalam pembelajaran matematika yang disesuaikan dengan karakteristik model pembelajaran generatif dalam pembelajaran matematika, antara lain: (1) kemampuan berkomunikasi, (2) bekerjasama dalam tim, (3) kreativitas, (4) berpikir kritis, (5) percaya diri, dan (6) pemecahan masalah.

Pengembangan Soft skills

Ada beberapa hal penting yang terkait dengan pengembangan soft skills, yaitu:

a. Kerja keras (hard work) Untuk memaksimalkan suatu kerja tentu butuh upaya kerja dari diri sendiri maupun lingkungan. Hanya dengan kerja keras, orang akan mampu mengubah garis hidupnya sendiri. Melalui pendidikan yang terencana, terarah dan didukung pengalaman belajar, peserta didik akan memiliki daya tahan dan semangat hidup bekerja keras.

b. Kemandirian Ciri peserta didik mandiri adalah responsive, percaya diri dan berinisiatif. Responsif berarti peserta didik tanggap terhadap persoalan diri dan lingkungan.

c. Kerja sama tim Keberhasilan adalah buah dari kebersamaan. Keberhasilan tugas kelompok adalah pola klasik yang masih relevan untuk menampilkan karakter ini. Pola pelatihan outboard yang sekarang merupakan pola peniruan dari karakter ini (Wati, 2010).

Dari pendapat di atas, jelas bahwa untuk mengembangkan soft skills siswa dalam pembelajaran matematika diperlukan kerja keras, kemandirian diri para siswa dalam kegiatan proses pembelajaran, dan perlu adanya keseimbangan dalam situasi tertentu, baik pengembangan diri, maupun dalam mengatasi stres dalam mengerjakan tugas-tugas dan ini guru harus mampu memilih alternatif model pembelajaran apa yang cocok untuk mengembangkan kemampuan soft skills siswa, misalnya untuk menumbuhkan berkomunikasi efektif, kerja sama dalam tim, kepercayaan diri, integritas diri, kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika.

Mengembangkan Soft skill dalam Pembelajaran

Pada hakekatnya Soft skills juga bisa ditumbuhkan melalui berbagai bentuk kegiatan yang dilaksanakan di sekolah, di lingkungan pendidikan, seperti kampus, dan atau dengan pendidikan formal. Pendidikan yang berfokus hanya pada isi sudah seharusnya bergeser pada proses. Saat ini proses pembelajaran bukan lagi berpusat pada guru melainkan siswa yang mana mereka lebih aktif mengkonstruksi ilmu pengetahuanya sendiri, sehingga penekanan bukan lagi hanya pada teori, melainkan juga pada bagaimana suatu pekerjaan dikerjakan. Oleh karenanya, perubahan pada kurikulum menjadi penting adanya dari kurikulum berbasis isi menjadi KTSP.

Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan SCL (Student- Centered Learning ) menjadi salah satu pilihan dalam KTSP. Soft skills dikembangkan tidak seharusnya melalui satu mata pelajaran tersendiri, melainkan diintegrasikan pada setiap mata pelajaran. Apabila ciri soft skills yang akan dikembangkan adalah komunikasi lisan, maka proses Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan SCL (Student- Centered Learning ) menjadi salah satu pilihan dalam KTSP. Soft skills dikembangkan tidak seharusnya melalui satu mata pelajaran tersendiri, melainkan diintegrasikan pada setiap mata pelajaran. Apabila ciri soft skills yang akan dikembangkan adalah komunikasi lisan, maka proses

Saat ini guru seringkali memberi penugasan berkelompok. Tetapi hasilnya kurang memuaskan, karena guru menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk berkelompok tanpa pendampingan dari guru. Andaikan tugas yang diberikan adalah membuat tugas kelompok, maka guru seharusnya berada di tengah kelompok memperhatikan dan mengarahkan bagaimana mereka menentukan ketuanya, bagaimana mereka memutuskan topik yang akan ditulis, bagaimana mereka membagi tugas dan menulis bersama. Adakah sinkronisasi dilakukan setelah semua tulisan terkumpul. Tidak heran jika tulisan yang disusun tidak runtut dari satu bab ke bab lain, karena siswa tidak benar-benar bekerjasama, tetapi sama-sama bekerja (Tarmidi, 2009).

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa untuk mengembangkan soft skills siswa dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan mengacu pada langkah-langkah dari model pembelajaran generatif sehingga atribut-atribut softskills yang akan dikembangkan dalam pembelajaran matematika dapat memicu munculnya aktivitas-aktivitas siswa dalam pembelajaran, meliputi: pemecahan masalah, kritis, kreativitas, kerjasama tim, komunikasi yang efektif, kepercayaan diri, motivasi, inisiatif, dan integritas diri.

Adapun langkah-langkah persiapan yang harus dilakukan oleh guru mata pelajaran sebagai berikut.

a. Susun tujuan instruksional umum, dan tujuan instruksional khusus. Dalam kaitan ini yang menjadi kebutuhan adalah kemampuan untuk merumuskan kompetensi. Guru seharusnya mampu merumuskan apa saja yang akan dicapai, sesuai dengan ranah pendidikan.

b. Masukan pada setiap tahap pelajaran soft skills apa yang dihasilkan. Setelah kompetensi setiap tahap dirumuskan, kemudian dapat pula dengan memasukkan bagaimana strategi pembelajaran yang menumbuhkan masing-masing atribut soft skills yang diharapkan. Misalnya ingin anak-anak berlatih dalam berkomunikasi efektif, maka tugas yang diberikan oleh guru kemudian direpsentasikan pada hari berikutnya.

c. Rencanakan bagaimana metode operasional melaksanakannya, baik masing-masing tahap ajar, maupun pada beberapa pertemuan.

d. Lakukan uji coba pada kelompok siswa atau suatu kelas.

e. Review hasil ujicoba untuk perbaikan. Review adalah suatu proses pemahaman yang terus menerus, dengan menerapkan small improvement method.

f. Finalisasi metode pembelajaran. Setelah dilakukan cara berulang, kemudian dapat dituliskan dalam bentuk teaching manual sebuah pembelajaran yang berisikan secara lengkap isi bahan ajar, atibut-atribut softskills dan metode pembelajarannya.

Berdasarkan uraian di atas, usaha untuk menumbuhkan aspek-aspek soft skills dalam pembelajaran matematika pada siswa SMP dengan mengacu pada model pembelajaran generatif, seorang guru harus internalisasi setiap sesi pelajaran aspek-aspek soft skills apa yang dihasilkan, bagaimana strategi pembelajaran, isi bahan ajar, dan metode pembelajaran yang digunakan untuk menumbuhkan masing-masing aspek soft skills yang diharapkan.

Dari beberapa aspek di atas, akan diuraikan secara rinci indikator soft skills siswa yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran generatif, antara lain: (1) Ketrampilan berkomunikasi meliputi: (a) membuat pernyataan singkat, jelas dan panjang berbelit-belit, (b) cara bertanya dengan mencari tahu dulu, bertanya tanpa mencari tahu dulu. (c) bahasa tubuh bisa dipahami dengan baik, (d) menyampaikan ide baru sesuai dengaan konteks permasalahan.

(2) Bekerja sama dalam tim, meliputi: (a) tidak memilih-milih teman dalam melaksanakan tugas, (b) memiliki tanggungjawab bersama dalam tim, (c) saling membantu, (d) memiliki tenggang rasa, (e) kemampuan bekerjasama tim, (f) mudah beradaptasi dan bekerja sama, (g) mudah bersosialisasi dalam anggota kelompok, dan (h) memiliki keterbukaan terhadap kritik dan saran.

(3) Kreativitas, meliputi: (a) memiliki gagasan dengan perspektif baru, (b) memiliki rasa ingin tahu yang besar, (c) senang mencobah hal-hal baru, dan (d) memberikan banyak gagasan dan usul terhadap masalah.

(4) Kepercayaan diri, meliputi: (a) percaya pada diri sendiri, (b) percaya pada kemampuan sendiri, (c) memiliki sikap mental yang dapat dipercaya, (d) bergantung pada kemampuan sendiri.

(5) Berpikir kritis, meliputi: (a) kemampuan untuk melakukan analisis, mengklasifikasikan, menafsirkan, menilai suatu masalah, (b) memiliki kemampuan bertanya /menjawab kearah penyelesaian masalah.

(6) Pemecahan masalah, meliputi: (a) kemampuan untuk mengidentifikasi berbagai masalah, (b) menghasilkan gagasan baru dalam menyelesaikan masalah, kemampuan mengenali masalah, dan (d) kemampuan menganalisis masalah

Menumbuhkan Soft skills Siswa melalui Pembelajaran Generatif (Generative Learning)

Pembelajaran generatif (generative learning model) pertama kali diperkenalkan oleh Osborne dan Cosgrove (dalam (Wena, 2009), pembelajaran generatif terdiri atas empat langkah, yaitu: (1) tahap eksplorasi; (2) pemfokusan; (3) tantangan; (4) penerapan. Selain itu, model pembelajaran generatif (PG) menurut Osborno dan Wittrock dalam (Katu, 1995; Dharma, 2011), pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pada pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Pengetahuan baru itu akan diuji dengan cara menggunakannya dalam menjawab persoalan atau gejala yang terkait. Jika pengetahuan baru itu berhasil menjawab permasalahan yang dihadapi, maka pengetahuan baru itu akan disimpan dalam memori jangka panjang.

Model pembelajaran generatif berbasis pada pandangan konstruktivisme, dengan asumsi dasar bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa. Hal ini ditegaskan oleh Wittrock bahwa intisari dari pembelajaran generatif adalah otak tidak menerima informasi dengan pasif, melainkan justru dengan aktif mengkonstruksi suatu interpretasi dari informasi tersebut dan kemudian

Jhon (dalam http://id.shvoong.com/socialsciences/education/2254144-model

membuat

kesimpulan

pembelajaran-generatif/ ). Pembelajaran generatif melibatkan aktivitas mental berpikir. Mental berpikir seseorang yang telah melakukan pembelajaran akan berkembang sesuai dengan proses belajarnya. Aktivitas men tal oleh Piaget (dalam Hudoyo, 2001) menggunakan istilah “skema” yang diartikan sebagai pola tingkah laku yang dapat berulang kembali. Hal ini sejalan dengan pendapat Skemp (dalam Fahinu, 2007), bahwa skema merupakan struktur kognitif, yaitu rangkaian konsep-konsep yang saling berhubungan yang ada dalam pikiran siswa.

Dalam struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Kesimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang telah dimiliki keseimbangan baru yang diperolehnya Suherman, dkk (2003).

Dari beberapa pendapat di atas, pembelajaran generatif adalah suatu model pembelajaran yang dilakukan agar siswa dapat secara aktif mengkonstruksi suatu interpretasi dari suatu informasi dan membuat suatu kesimpulan.

1.Tahap-Tahap Pembelajaran Generatif

Tahapan model pembelajaran generatif digunakan dalam tulisan ini, mengacu pada tahap- tahap yang diusulkan oleh Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005) terdiri dari lima tahap, yaitu:

a. Tahap orientasi. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan mengenai topik matematika yang akan dibahas dengan mengaitkan materi ajar dengan pengalaman mereka sehari-hari. Tujuannya untuk mengarahkan siswa kearah konsep matematika tertentu yang diperkenalkan serta dapat memanfaatkan pengalaman dan a. Tahap orientasi. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan mengenai topik matematika yang akan dibahas dengan mengaitkan materi ajar dengan pengalaman mereka sehari-hari. Tujuannya untuk mengarahkan siswa kearah konsep matematika tertentu yang diperkenalkan serta dapat memanfaatkan pengalaman dan

Misalnya topik yang akan dibahas adalah Sistem Persamaan Linear dua variabel (SPLDV), guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya tentang SPLDV. Contohnya atap rumah memiliki kemiringan yang sama, namun dalam konsep matematika kemiringan bila dikaitkan dengan SPLDV maka memiliki dua persamaan yang berbeda. Gagasan siswa mungkin ada yang sesuai dengan konsepsi ilmiah seperti apa yang diharapkan oleh guru, mungkin juga ada yang tidak sesuai. Hal ini tergantung dari pengalaman belajar siswa yang dialaminya sebelumnya. Pada tahap ini, seorang guru juga perlu memberikan motivasi-motivasi, ketrampilan berkomunikasi, kemampuan pemecahan masalah, berpikir kritis, serta aktivitas dan kretivitas siswa dalam proses pembelajaran tetap terjaga.

b. Tahap pengungkapan ide. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan ide mereka mengenai topik yang akan dibahas. Guru berperan memotivasi siswa dengan cara mengajukkan pertanyaan yang menggali sehingga akan terungkap idea atau gagasan yang ada dalam pikiran siswa. Respon dan gagasan siswa ini diinterpretasi dan diklarifikasi oleh guru yang tujuannya untuk menyusun strategi apa yang harus dilakukan agar pembelajaran berlangsung dengan baik. Sebaliknya pada tahap ini siswa akan menyadari bahwa pada topik yang sedang dipelajari ada pendapatnya yang berbeda dengan teman yang lain. Hal ini akan menimbulkan konflik dalam dirinya yang menghasilkan ketidakpuasannya perubahan.

Ketidakpuasan siswa terhadap konsep-konsep yang telah ada dapat membangkitkan dan meningkatkan kepedulian siswa terhadap gagasan-gagasan mereka sendiri, dan mendiskusikan konsep-konsep tersebut. Hal yang demikian akan tumbuh kerjasama tim, dan ketrampilan berkomunikasi yang efektif. Pertanyaan yang menggali dapat membantu siswa menghargai kekurangajean cara berpikir mereka dan mengkonstruksi kembali gagasan mereka dengan cara yang lebih berkaitan secara logis. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggali gagasan mereka dalam diskusi kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama.

Dengan demikian, siswa dapat mengembangkan contoh-contoh dengan multirepresentasi seperti bahasa verbal dan simbolik, diagram, tabel, atau grafik agar pemahamannya terhadap konsep tersebut menjadi luas, selanjutnya konsep-konsep yang telah dipahami dapat digunakan membuktikan kebenaran matematik seperti teorema Pythagoras. Dalam model pembelajaran generatif, siswa sendirilah yang aktif membangun pengetahuannya, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator, motivator, dan mediator dalam kegiatan pembelajaran.

c) Tantangan dan Restrukturisasi. Pada tahap ini guru menyiapkan suasana di mana siswa diminta membandingkan pendapatnya dengan pendapat siswa lain dan mengemukakan keunggulan dari pendapat mereka. Misalnya guru memberikan masalah informal, contohnya atap rumah memiliki kemiringan yang sama, tetapi dalam konteks matematika kemiringan tersebut memiliki dua SPLDV yang berbeda, selama proses ini muncul konflik kognitif antara apa yang dimiliki dan apa yang dilihat dalam kehidupan nyata. Agar supaya siswa mempunyai keinginan untuk mengubah struktur pemahaman mereka, siswa diberikan masalah-masalah yang menantang untuk membangkitkan keberaniannya dalam mengajukkan pendapatnya dan berargumentasi tentang pokok bahasan yang sedang dipelajari. Misalnya seorang siswa yang telah menyelesaikan suatu permasalahan mengenai SPLDV pada LKS, siswa tersebut tampil menuliskan hasil pekerjaannya di papan tulis, sedangkan siswa lain menanggapinya.

Guru mengarahkan siswa dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menggali pengetahuan, bila dalam proses sharing ide tidak mengarah tujuan belajar yang diharapkan.

d. Penerapan. Pada tahap ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan baru yang dipahaminya kepada situasi lain. Misalnya latihan dalam menyelesaikan soal sistem persamaan dua variabel (SPLDV) yang bervariasi, selaini itu d. Penerapan. Pada tahap ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan baru yang dipahaminya kepada situasi lain. Misalnya latihan dalam menyelesaikan soal sistem persamaan dua variabel (SPLDV) yang bervariasi, selaini itu

e. Melihat Kembali. Pada tahap inisiswa diberi kesempatan untuk mengevaluasi kelemahan dari pemahaman konsep yang dikonstruksinya dan mampu memberikan alasan yang tepat tentang pengetahuan baru yang mereka temukan, serta dapat mengingat kembali materi yang mereka telah pelajari. Misalnya siswa setelah selesai mengerjakan soal matematika tertentu, kemudian dari penyelesaian tersebut dapat melihat kembali hal-hal apa saja yang masih belum jelas dari penyelesaian tersebut, dan mengingat kembali konsep baru yang telah diperolehnya serta memperbaikinya dengan memberi alasan-alasan yang jelas.

Melalui tahap-tahap pembelajaran di atas, siswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan, kemampuan serta ketrampilan untuk mengkonstruksi pengetahuannya atau membangun pemahaman sendiri dengan menggunakan pengetahuan awal yang telah dimiliki sebelumnya dan menghubungkannya dengan konsep yang sedang dipelajari, sehingga siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan baru, ini akan memberikan dorongan bagi siswa untuk berpikir kreatif, rasa percaya diri, serta dapat menumbuhkan soft skills siswa dalam usaha untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya dalam pembelajaran matematika.

Menurut Tyles (dalam Hulukati, 2005), ada empat peran guru dalam pembelajaran generatif, yaitu:

a. Sebagai stimulator rasa ingin tahu Guru berperan menggugah perhatian dan motivasi siswa untuk menyimak tujuan riil pembelajaran. Rasa ingin tahu siswa ditumbuhkembangkan. Untuk itu guru harus merancang aktivitas-aktivtas yang dapat memberikan kejutan bagi siswa.

b. Membangkitkan dan menantang ide-ide siswa Guru berperan sebagai pembangkit dan pemberi semangat kepada siswa untuk berpikir kritis dalam mengemukakan argumen maupun dalam melakukan investigasi.

c. Sebagai narasumber Sebagai narasumber guru mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaaan yang mungkin akan ditanyakan siswa. Menyiapkan informasi yang memadai baik tertulis maupun verbal ataupun menyusun rencana untuk menggunakan alat peraga yang mendukung dalam proses belajar mengajar di kelas.

d. Sebagai Co-investigator Guru bertindak sebagai model bagi siswa dalam mengajukkan pertanyaan, merancang suatu aktivitas pembelajaran berupa diskusi ilmiah sehingga timbul sikap respek siswa terhadap teman sejawat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam kegiatan proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran generatif, khususnya dalam pembelajaran matematika, guru harus mengidentifikasi pendapat siswa tentang materi yang akan diajarkan, guru bertindak sebagai fasilitator, menciptakan lingkungan belajar yang nyaman, berperan sebagai pendorong dalam usaha membangkitkan motivasi belajar siswa, sebagai narasumber, dan bertindak sebagai model bagi siswa yang mengajukan pertanyaan, sehingga aspek-aspek soft skills siswa dalam pembelajaran matematika dapat ditumbuhkembangkan, dan siswa juga akan mengikuti kegiatan proses pembelajaran di kelas merasa nyaman dan menyenangkan.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:

1. Salah satu model pembelajaran matematika yang dapat menumbuhkan soft skills siswa adalah model pembelajaran generatif.

2. Beberapa aspek soft skills yang dapat ditumbuhkan dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran generatif, yaitu: aspek ketrampilan komunikasi, kerjasama dalam tim, berpikir kritis, kreativitas, pemecahan masalah, dan kepercayaan diri.

DAFTAR PUSTAKA

Anugerawan, F. (2010). Soft skills bagi Mahasiswa . [Online] . Tersedia: htpp://anugerawan.blogspot.com/2010/04/softskills-bagi-mahasiswa-html. Diakses 26 September 2012..

Dharma,A.(2011). Pembelajaran Generatif. [Online]. Tersedia: hhtp://Reinantaandhi

dharman.blogspot.com/2011/05/pembelajarangeneratif.html. Diakses Maret 2012. Depdiknas. (2006). Kurikulum 2006. Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasardan Menengah Mata Pelajaran Matematika . Jakarta: Depdiknas. Elfindri, Rumengan,J, Wello, M. B, Tobing, P, Yanti, F, Eriyani, Z.E, Indra, R. (2010). Softskills untuk Pendidik. (Tanpa Kota): Baduose Media. Endang, L (2009). Pengembangan Soft skills Mahasiswa Calon Guru melalui Perkuliahan di Jurusan Pendidikan Matematika . Jurusan PMIPA UNY. [Online]. Tersedia: http://www.goole.coid/#slient=ps&hl=id&site=&source=hp&q=pengembangan+softskill +mahasiswa&oq=pengembangan+softskill

+8aq+2&aqi. Diakses 21 November 2011. Fahinu. (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian BelajarMatematika pada Mahasiswa melaluiPembelajaran Generatif .Disertasi Doktor pada SPS. UPI: Tidak diterbitkan.

Goleman D. (1998). Emotional Intelligence. Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Alihbahasa Hermaya T. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Herman, T. (2007). Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP. Makalah.Seminar Nasional. Tanggal 8 Desember 2007 di UPI.

Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan PemecahanMasalah Matematik SiswaSMP melalui Model Pembelajaran Generatif. Disertasi Doktor pada SPS. UPI: Tidak diterbitkan.

Kastijono, R. (2011). Hard skill dan Soft skills. [Online]. Tersedia: http://fisika-dan- Pembelajaran.blogspot.com/2011/02/hard-skills-dan-soft-skills.html . Diakses 21 Oktober 2011 .

Muqowim. 2012. Pengembangan Soft skills Guru. Yogyakarta: Pustaka Insani Madani. Napitupulu.L. E. (2013) . Pendidikan Soft skills Lemah. Kompas. Jakarta. Terbitan selasa, 14 mei

2013. [ ] . tersedia: http://edukasi.kompas.com/red/2013/05/14/184 55697/Pendidikan

softskills. Lemah?utm-source=WP&utm-medium= Box&utm-campaign=Kknwp. Diakses

18 Mei 2013. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar PendidikanNasioanl. Online].Tersedia: http://www.google.co.id/#hl=id&sclient=psyab&q=p+no.19+tahun+20 05+tentang+standar+nasional+pendidikan&

Suherman, E., Turmudi, Suryadi, D., Herman, T., Suhendra, Prabawanto, S., Nurjanah, dan Rohayati, A. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA UPI.

Tarmidi. (2009). Softskills vs Hardskills dalam Proses Belajar. [Online]. Tersedia: http://tarmidi.wordpress.com/ . Diakses 20 September 2011.

Tri Astuti (2009). Perbandingan Metode Pembelajaran Konvensional dengan Metode Pembelajaran

. Tersedia : http://iyasphunhalfreth.blogspo.com/2010/06/perbandingan-metode - pembelajaran.html . diakses 21 Pebruari 2012.

Hyphnoteaching

[Online]

Wena, M. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Suatu Tinjauan Konseptual Operasiona l. Edisi Pertama. Jakarta: Bumi Aksara.

Wicaksana, I. W. S.(Tanpa Tahun). Soft Skills. Universitas Gunadarma. [online]. Tersedia: http://iwayan.staff.gunadarma.ac.id , Diakses 2 April 2011. Wati, W. (2010). Strategi Pembelajaran Soft skills dan Multiple Intelegence. Konsentrasi Pendidikan Fisika , Universitas Negeri Padang. Makalah. [Online].Tersedia: http://didanel.Wordpress.com/2011/07/01/strategi-pembelajaran-softskildanmultiple intelegence/ . Diakses 21 Oktober 2011

Widhiarso, W. (2009). Evaluasi Soft skills dalam Pembelajaran. Makalah. Disampaikan pada Kegiatan Seminar dan Sarasehan “Evaluasi Pembelajaran Mata Kuliah Umum kependidikan”. Yogyakarta. FIP UNY.

P – 50

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR ALJABAR SISWA

Laila Hayati

Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Mataram Email: lailaanugerah@yahoo.com

Abstrak

Makalah ini membahas tentang bagaimana mengembangkan kemampuan berpikir aljabar melalui pendekatan pendidikan matematika realistik pada siswa khususnya siswa Sekolah Dasar. Pembahasan didasarkan pada analisis terhadap: 1) pengertian berpikir aljabar, 2) pengertian pendidikan matematika realistik, 3) keterkaitan pendidikan matematika realistik dan berpikir aljabar, 4) bagaimana mengembangkan kemampuan berpikir aljabar dengan pendekatan pendidikan matematika realistik, 5) contoh soal berpikir aljabar dengan pendekatan pendidikan matematika realistik

Kata kunci: berpikir, aljabar, berpikir aljabar, pendekatan pendidikan matematika realistik

REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION LEARNING TO DEVELOP ALGEBRAIC THINKING OF STUDENTS

Abstract: This paper focuses on how to develop algebraic thinking skills through realistic mathematics education approach in elementary school students. The discussion is based on an analysis of: 1) understanding of algebraic thinking, 2) understanding of realistic mathematics education, 3) realistic mathematics education and algebraic thinking, 4) how to develop algebraic thinking skills with realistic mathematics education approach, 5) examples algebraic thinking with realistic mathematics education approach

Keywords: think, algebra, algebraic thinking, realistic mathematics education approach

I. PENDAHULUAN

Matematika adalah ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memajukan daya pikir serta analisa manusia. Matematika digunakan di seluruh dunia sebagai alat penting di berbagai bidang, termasuk ilmu alam, teknik, kedokteran atau medis, ilmu sosial seperti ekonomi, dan psikologi. Dengan demikian, pendidikan matematika mampu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang ditandai memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi sesuai dengan tuntutan kebutuhan.

Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses dan penalaran (Russeffendi, 2006, h.260). Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk konsep-konsep matematika supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk itu mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat, maka digunakan bahasa

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Aljabar merupakan cabang penting dari matematika, yang sering dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan abstrak. Untuk berpikir aljabar, seseorang harus mampu memahami pola, hubungan dan fungsi, mewakili dan menganalisis situasi matematika dan struktur menggunakan simbol-simbol aljabar, menggunakan model matematika untuk mewakili dan memahami hubungan kuantitatif, dan menganalisis perubahan dalam berbagai konteks. Salah satu hambatan dalam aljabar adalah bagaimana untuk mewakili ekspresi menggunakan simbol- simbol. Standar aljabar menekankan hubungan antara kuantitas, termasuk fungsi, cara untuk mewakili hubungan matematika, dan analisis perubahan. Hubungan fungsional dapat dinyatakan dengan menggunakan notasi simbolis, yang memungkinkan ide-ide matematika yang kompleks untuk diungkapkan secara singkat.

Program pembelajaran dari TK sampai kelas 12 harus memungkinkan semua siswa untuk (NCTM, 2000): # Memahami pola, hubungan, dan fungsi # Mewakili dan menganalisis situasi matematika dan struktur menggunakan simbol-simbol aljabar # Menggunakan model matematika untuk mewakili dan memahami hubungan kuantitatif # Menganalisis perubahan dalam berbagai konteks

Peneliti matematika umumnya sepakat bahwa aljabar adalah alat untuk pemecahan masalah, metode mengungkapkan hubungan, menganalisis dan mewakili pola, dan mengeksplorasi sifat matematika dalam berbagai situasi masalah. Dengan demikian, beberapa peneliti matematika dan pendidik telah berfokus pada menyelidiki pengenalan dan pengembangan kemampuan memecahkan aljabar.

Selama ini, siswa melakukan dengan baik dalam aritmatika, namun mengalami kesulitan dengan hal yang berkaitan dengan aljabar. Siswa terlalu mengandalkan menghafalkan fakta dan algoritma untuk memecahkan masalah berpikir level rendah, sedangkan pada aljabar menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.

Lemahnya kemampuan berpikir aljabar telah banyak mendapat penelitian para pendidik dan peneliti pendidikan matematika seperti beberapa penelitian di tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an menunjukkan bahwa anak-anak tidak mampu belajar aljabar karena tidak memiliki kemampuan kognitif untuk menangani konsep-konsep seperti variabel dan fungsi (Collis, 1975; Filloy & Rojano, 1989; Kuchemann, 1981; Herscovics & Linchevski, 1994; Herscovics & Linchevski, 1996; Mac Gregor, 2001; dalam Kieran, 2004).

Berpikir aljabar merupakan elemen penting dan mendasar dari kemampuan berpikir matematika dan penalaran. Salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa adalah dengan mengembangkan kemampuan berpikir aljabar siswa, dengan membiasakan siswa menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah. Aspek penting dari berpikir aljabar adalah kemampuan untuk mempertimbangkan keterkaitan dan generalisasi dari situasi masalah dan jika generalisasi bisa dipahami maka kemampuan siswa dapat berkembang.

Berpikir aljabar didasarkan pada ide-ide dan konsep matematika dasar dan pada gilirannya ide-ide tsb digunakan untuk memecahkan masalah yang semakin canggih. Dengan mendorong siswa untuk mengembangkan berbagai solusi yang berbeda, siswa mulai dapat melihat keterkaitan matematika, yang pada gilirannya mempengaruhi siswa untuk menggeneralisasi solusi yang diperoleh.

II. PENGERTIAN BERPIKIR ALJABAR

1. Berpikir

Dalam buku psikologi (Shaleh, 2004) dirangkum beberapa pendapat ahli mengenai berpikir, yaitu: (1) Harriman mengemukakan bahwa berpikir (thinking) adalah istilah yang sangat luas dengan berbagai definisi misalnya angan-angan, pertimbangan, kreativitas, tingkah Dalam buku psikologi (Shaleh, 2004) dirangkum beberapa pendapat ahli mengenai berpikir, yaitu: (1) Harriman mengemukakan bahwa berpikir (thinking) adalah istilah yang sangat luas dengan berbagai definisi misalnya angan-angan, pertimbangan, kreativitas, tingkah

Dengan demikian dari beberapa pendapat berpikir yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa berpikir adalah merupakan suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri pada obyek tertentu, menyadari secara aktif dan menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai wawasan tentang obyek tersebut. Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif.

Secara garis besar ada dua macam berpikir (Shaleh, 2004:232) yaitu:

1. Berpikir autistik atau melamun. Contohnya adalah fantasi, menghayal, wisful thinking.

2. Berpikir realistik, disebut juga nalar (reasoning), ialah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Contohnya antara lain penalaran, pemecahan masalah, atau belajar konsep.

Ada tiga macam berpikir realistik, yaitu:

a. Berpikir deduktif

Berpikir deduktif adalah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan; yang pertama merupakan pernyataan umum.

b. Berpikir induktif. Berpikir induktif adalah menarik suatu kesimpulan umum dari berbagai kejadian (data) yang ada di sekitarnya.

c. Berpikir evaluatif. Berpikir evaluatif adalah berpikir kritis, menilai baik buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan.

d. Berpikir analogi. Berpikir analogi adalah berpikir kira-kira, yang didasarkan pada pengenalan kesamaan. Umumnya orang menggunakan perbandingan atau kontras.

Dari pengertian tersebut tampak bahwa ada tiga pandangan dasar tentang berpikir, yaitu (1) berpikir adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku, (2) berpikir merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif, dan (3) berpikir diarahkan untuk memecahkan masalah atau untuk mendapatkan solusi.

Di dalam berpikir, kita menggunakan alat yaitu akal. Selama kita berpikir, pikiran kita mengadakan tanya jawab dengan pikiran kita, tidak tampak tetapi dapat disimpulkan berdasarkan perilaku yang tampak untuk dapat menjawab semua pertanyaan kita. Pertanyaan itulah yang memberi arah pada pikiran kita. Pada proses berpikir individu membuat hubungan antara obyek yang menjadi pokok permasalahan dengan bagian-bagian pengetahuan yang sudah dimilikinya.

2. Proses Berpikir

Dalam proses berpikir orang menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lain untuk mendapatkan pemecahan dari persoalan yang dihadapi. Pengertian-pengertian itu merupakan bahan yang digunakan dalam proses berpikir. Pengertian-pengertian itu dapat dinyatakan dengan kata-kata, gambar, simbol-simbol atau bentuk lain.

Morgan (1999) mengutip pendapat Marzano (1992) (dalam Mahmud, 2013) memberikan kerangka tentang pentingnya pembelajaran berpikir yaitu: (1) berpikir diperlukan untuk mengembangkan sikap dan persepsi yang mendukung terciptanya kondisi kelas yang positif, (2) berpikir untuk memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan, (3) perlu untuk memperluas wawasan pengetahuan, (4) perlu untuk mengaktualisasikan kebermaknaan pengetahuan, (5) perlu untuk mengembangkan perilaku berpikir yang menguntungkan.

Proses-proses yang dilalui selama kita berpikir (Agus, 2009: 57) ialah:

1. Pembentukan pengertian, artinya dari satu masalah, pikiran kita membuang cirri-ciri tambahan, sehingga tinggal cirri-ciri yang tipis (yang tidak boleh tidak ada) pada masalah itu.

2. Pembentukan pendapat, artinya pikiran kita menggabungkan atau memisahkan beberapa pengertian, yang menjadi cirri khas dari masalah itu.

3. Pembentukan keputusan, artinya pikiran kita menggabungkan pendapat-pendapat tersebut.

4. Pembentukan kesimpulan, artinya pikiran kita menarik keputusan dari keputusan- keputusan yang lain. Dari pendapat tersebut, keputusan yang diambil seseorang ambil tergantung dari kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimilikinya, dan keputusan itu melibatkan tindakan nyata.

3. Berpikir Aljabar

Aljabar merupakan cabang penting dari matematika, yang sering dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan abstrak. Untuk berpikir aljabar, seseorang harus mampu memahami pola, hubungan dan fungsi, mewakili dan menganalisis situasi matematika dan struktur menggunakan simbol-simbol aljabar, menggunakan model matematika untuk mewakili dan memahami hubungan kuantitatif, dan menganalisis perubahan dalam berbagai konteks.

Dalam aljabar, simbol dapat digunakan untuk mewakili generalisasi. Misalnya, a+ 0 = adalah representasi simbolis bagi gagasan bahwa ketika nol ditambahkan dengan bilangan manapun tetap sama. Mempelajari dan mewakili hubungan juga merupakan bagian penting dari aljabar. "Bahasa aritmatika berfokus pada jawaban sedangkan bahasa aljabar berfokus pada hubungan." Proses berpikir aljabar dapat diamati ketika siswa menyelesaikan masalah aljabar dan mungkin dipengaruhi oleh minat belajar pada matematika (Kieran, 2004). Bahasa aritmatika fokus pada jawaban siswa sedangkan bahasa aljabar fokus pada hubungan masing-masing kuantitas.

Penelitian menunjukkan bahwa siswa dapat lebih mudah memahami aljabar ketika mereka memiliki pengetahuan yang baik dari sifat-sifat umum dari bilangan (misalnya, identitas aditif, komutatif), hubungan antara bilangan, Banyak konsep-konsep yang diajarkan di SD karena kesalahpahaman yang berkembang sejak dini dapat menghambat kemampuan siswa untuk bekerja dengan simbol dan generalisasi di kemudian waktu.

Konsep persamaan membentuk fondasi yang penting pada aljabar. siswa sering memandang tanda sama dengan sebagai perintah untuk mengambil tindakan daripada memandangnya sebagai representasi dari sebuah hubungan. Karena itu, ketika siswa melihat tanda sama dengan dalam sebuah persamaan, maka mereka ingin melakukan operasi yang mendahului itu. Bagi siswa, tanda sama dengan berarti “dan jawabannya adalah”. Untuk bergerak menuju pemahaman yang lebih bersifat aljabardari suatu persamaan, siswa perlu belajar bahwa tanda sama dengan merupakan persamaan kuantitatif, dengan kata lain bahwa ekspresi di sisi kiri tanda sama dengan merupakan jumlah yang sama seperti ekspresi di kanan tanda sama dengan. Tanda sama berarti “sama”. Tanpa pemahaman ini, siswa akan sulit buntuk bekerja dengan persamaan, misalnya ada yang tidak diketahui di kedua sisi tanda sama dengan.

Untuk mengerjakan soal seperti itu, siswa diberikan contoh soal misalnya 9=3+6 atau 2+7=5+4 . Jadi tanda sama dengan digunakan untuk melihat kesamaan ekspresi dari kedua sisi. Konsep persamaan ini sangat penting bagi siswa untuk dapat berpikir secara aljabar. untuk mengenalkan dan mengajarkan konsep persamaan kepada siswa SD khususnya kelas rendah bisa menggunakan alat peraga seperti batang kuisioner atau dengan menggunakan timbangan. Dengan menggunakan alat peraga yang menarik siswa akan semakin tertarik untuk belajar.

4. Komponen Berpikir Aljabar (Kriegler, 2008)

1. Pengembangan Alat Berpikir Matematis, terbagi dalam tiga topik, yaitu: Keterampilan pemecahan masalah, keterampilan representasi, dan keterampilan penalaran kuantitatif.

2. Gagasan Aljabar Fundamental, terbagi dalam tiga topik, yaitu: aljabar sebagai aritmatika umum, aljabar sebagai bahasa, dan aljabar sebagai alat untuk fungsi dan pemodelan matematika

Alat Berpikir Matematis Gagasan Aljabar Fundamental

Keterampilan

Aljabar sebagai aritmatika umum

pemecahan masalah: • secara konseptual berbasis strategi perhitungan • Menggunakan strategi

• Rasio dan Proporsi pemecahan masalah • Estimasi

• Menyelidiki beberapa Aljabar sebagai Bahasa Matematika pendekatan/

beberapa • arti dari variabel dan ekspresi variabel solusi • Arti solusi

Keterampilan

• Memahami dan menggunakan sifat sistem bilangan Representasi • Membaca, menulis, memanipulasi angka dan simbol

• Menampilkan

menggunakan kaidah aljabar

hubungan-hubungan

simbolik untuk secara visual, secara

• Menggunakan

representasi

memanipulasi rumus, ekspresi, persamaan dan simbolis, secara numerik

pertidaksamaan

dan secara verbal. Aljabar sebagai alat untuk fungsi dan pemodelan

• Menerjemahkan antara matematika representasi-

Mencari, mengungkapkan, generalisasi pola dan representasi

yang

aturan dalam konteks dunia nyata

berbeda 

Merepresentasikan ide-ide matematika dengan • Menafsirkan informasi

menggunakan persamaan, tabel, grafik, atau kata- dalam

representasi-

kata

representasi 

Bekerja dengan pola input dan output

Keterampilan

Penalaran Kuantitatif Mengembangkan keterampilan, grafik koordinat

• Menganalisis masalah untuk menggali dan mengukur hal penting

• Penalaran induktif dan deduktif

Berpikir aljabar adalah melakukan generalisasi dari pengalaman dengan bilangan dan perhitungan, memformalisasikan ide-ide dengan sistem simbol, dan mengeksplorasi konsep-

konsep dari pola dan fungsi (Van De Walle, 2008 dalam Kieran, 2004). Dalam transisi dari aritmatika ke aljabar, siswa perlu membuat banyak penyesuaian, bahkan untuk siswa yang cukup mahir dalam aritmatika. Dengan demikian, penyesuaian yang cukup diperlukan dalam mengembangkan cara berpikir aljabar, yang meliputi tetapi tidak terbatas pada:

1. Fokus pada hubungan dan bukan sekedar perhitungan dari jawaban numerik.

2. Fokus pada operasi serta inversnya, dan pada gagasan terkait doing atau undoing.

3. Fokus pada representasi keduanya dan menyelesaikan masalahnya

4. Fokus pada kedua bilangan dan huruf, bukan pada angka saja. Ini meliputi: a).bekerja dengan huruf yang terkadang menjadi tidak diketahui, variabel atau

parameter.

b). membandingkan ekspresi untuk ekivalensi berdasarkan sifat pada evaluasi numeric.

5. Fokus kembali pada makna tanda sama.

Model dari Kegiatan Aljabar (Kieran, 2004)

Berpikir Aljabar menurut Kaput (1999) terdapat 5 bentuk logika aljabar, yaitu:

1. Generalisasi dari aritmatika dan pola

2. Pemanfaatan simbol

3. Pembelajaran tentang struktur sistem bilangan

4. Pembelajaran tentang pola dan fungsi

5. Pemodelan matematis

Berdasarkan model Kieran (2004), aktivitas generalisasi dari aljabar melibatkan bentuk dari ekspresi dan persamaan yang merupakan objek dari aljabar. Jenis-jenis contoh ini meliputi:

a). persamaan yang berisi variabel yang tak diketahui yang merepresentasikan masalah situasi. b). eksprsi umum yang timbul dari pola geometri atau persamaan numerik.

c) ekspresi dari aturan yang mengatur hubungan numeric

III. PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

Dua poin yang penting pandangan matematika harus terhubung dengan realitas dan matematika sebagai aktivitas manusia (Zulkardi , 2000) . Pertama , matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan setiap situasi kehidupan hari . Namun, kata ' realistis ' , merujuk bukan hanya untuk koneksi dengan dunia nyata , tetapi juga mengacu pada situasi masalah yang nyata pada siswa ' pikiran . Untuk masalah yang harus disampaikan kepada siswa ini berarti bahwa konteks dapat menjadi konteks dunia nyata tapi ini tidak selalu diperlukan .

Menurut Gravemeijer (1994), Pendekatan Matematika Realistik mengandung tiga prinsip utama yaitu:

a. Guided reinvention through progressive mathematizing. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai masalah kontekstual. Masalah kontekstual dijadikan sebagai sarana untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan siswa mencoba memecahkan masalah tersebut dengan caranya sendiri.

b. Didactical Phenomenology. Siswa dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani berpendapat. Tidak mustahil jika cara yang digunakan siswa tidak sama dengan pemikiran guru, tetapi cara dan hasilnya benar. Dengan cara ini, dominasi guru perlu dikurangi dengan menunjukkan kebenaran cara-cara yang digunakan siswa.

c. Self developed models. Prinsip ini berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan matematika informal dan matematika formal siswa. Siswa mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan masalah kontekstual dengan menyusun matematika secara mandiri atau kelompok yang terkait dengan masalah yang dipecahkan. Sesuai dengan ketiga prinsip di atas, lima karakteristik pembelajaran matematika realistik (Gravemeijer, 1994) yaitu: (a) menggunakan masalah kontekstual; (b) menggunakan model; (c) menggunakan kontribusi dan produksi siswa; (d) interaktif; (e) keterkaitan.

IV. KETERKAITAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK DAN BERPIKIR ALJABAR

Aljabar adalah suatu cabang dalam matematika yang sering dianggap sulit dan abstrak . Di SD sebaiknya kita tidak terburu-buru mengajarkan aljabar. Namun demikian, berpikir aljabar harus dimulai sejak dini. Bahkan sejak kelas 1 SD pun harus sudah dimulai cara berpikir aljabar ini. Khususnya, pelajaran matematika perlu diperkaya dengan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa bekerja dengan pola. Dalam RME , belajar matematika berarti melakukan Aljabar adalah suatu cabang dalam matematika yang sering dianggap sulit dan abstrak . Di SD sebaiknya kita tidak terburu-buru mengajarkan aljabar. Namun demikian, berpikir aljabar harus dimulai sejak dini. Bahkan sejak kelas 1 SD pun harus sudah dimulai cara berpikir aljabar ini. Khususnya, pelajaran matematika perlu diperkaya dengan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa bekerja dengan pola. Dalam RME , belajar matematika berarti melakukan

V. CONTOH SOAL

DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

BERPIKIR

ALJABAR

Contoh soal yang menggunakan kedua pendekatan aritmatika dan aljabar untuk menyelesaikan masalah (Soal diambil dari Cai, 2004) 1).

SD Liming mempunyai dana untuk membeli 12 bola basket dengan harga masing- masing 24 yuan. Sebelum membeli bola basket, sekolah menghabiskan 144 yuan dari dana tersebut untuk membeli beberapa sepakbola. Berapa banyak bola basket yang dapat sekolah beli dengan sisa dana yang ada?

Siswa yang menjawab dengan menggunakan solusi aritmatika

Solusi 1: Dimulai dengan menghitung dana yang ada dan menguranginya dengan uang yang habis untuk membeli sepak bola. (24 x 12 – 144) : 24 = 144 : 24 =6 bola basket Solusi 2: dimulai dengan menghitung bola basket yang tidak lebih banyak yang bisa dibeli.

12 – (144 : 24)= 6 bola basket

Siswa yang menjawab dengan menggunakan solusi aljabar

Solusi 3: asumsikan bahwa sekolah dapat membeli x bola basket: (24 x 12 – 144)= 24x Jadi x = 6 bola basket Solusi 4: asumsikan bahwa sekolah dapat membeli x bola basket:

24 x 12 = 24x +144 Jadi x = 6 bola basket Solusi 5: asumsikan bahwa sekolah dapat membeli x bola basket:

12 = (144 : 24) + x Jadi x = 6 bola basket Dari kelima solusi tersebut, ada 3 sifat dalam mengajar untuk menyelesaikan masalah yang menyangkut kedua pendekatan aritmatika dan aljabar, yaitu:

1. Untuk membantu siswa untuk pemahaman mendalam tentang hubungan kuantitatif oleh representasi aritmatika dan aljabar.

2. Untuk menuntun siswa menemukan persamaan dan perbedaan antara pendekatan aritmatika dan aljabar sehingga mereka dapat membuat transisi yang mulus dari berpikir aritmatika ke berpikir aljabar.

3. Untuk mengembangkan keterampilan berpikir siswa yang fleksibel dalam menggunakan pendekatan untuk menyelesaikan masalah.

2. Ali mempunyai 8 mobil mainan, sedangkan David mempunyai 6 mobil mainan. Berapa jumlah mainan Ali dan David? (Soal diadopsi dari Fong (2004)) Dalam contoh ini digunakan konsep bagian dan keseluruhan dengan menggunakan model. Gambar mobil digunakan untuk model situasi masalah dan mobil-mobil tersebut digantikan oleh persegi panjang yang lebih abstrak, dalam hal ini satu persegi panjang merupakan satu mobil. Metode model digunakan untuk memecahkan masalah aritmatika dimana siswa bekerja dengan nilai yang diketahui untuk mencari jumlah mobil keseluruhan.

Ketika sebagian diambil dari keseluruhan, kita mengurangkan untuk mendapatkan bagian yang kiri. Dalam proses mengurangkan, keseluruhan dibagi menjadi 2 bagian dan salah satu bagian diambil. Dapat dikatakan: “satu bagian dikurangkan dari keseluruhan”.

4. Meili mempunyai uang Rp.2500,- Dia menghabiskan 1/5 dari uangnya dan sisa uangnya disimpan. Berapakah jumlah uang yang disimpan?

Rp. 2500,-

5. Radit dan Sandi mempunyai uang Rp.41.000,- Raju mempunyai uang lebih Rp. 10.000,- lebih banyak daripada Sandi. Berapakah uang Sandi?

? Rp. 10.000,- Penggunaan persegi panjang sebagai unit yang mewakili tidak diketahui menyediakan hubungan bergambar dengan ide yang yang lebih abstrak (x+x+10.000=41.000). seluruh struktur model dapat digambarkan sebagai persamaan bergambar. Melalui metode model , siswa yang tidak memiliki pengetahuan aljabar formal dilengkapi dengan alat untuk membangun persamaan bergambar untuk memecahkan masalah yang melibatkan hubungan bagian-keseluruhan.

6. Andre membuat tabel untuk membantu mengumpulkan kuenya Jumlah

1 2 3 4 5 kue Harga

2000 2500 (rupiah) a). Ana membeli 2 kue. Berapa uang yang harus dibayar? b). Ati membeli 4 kue. Berapa uang yang harus dibayar? c). Siti membayar Rp. 2500., Berapa kue yang didapat? d). Berapa kue yang diperoleh Indah jika dia membayar Rp. 3000? Contoh 2. Ada 4 apel dalam setiap kantong. a). Berapa jumlah apel dalam n kantong? b). jika n=8, berapa jumlah apel seluruhnya? C). jika n=11, berapa jumlah apel seluruhnya?

7. dalam satu meja dapat diduduki oleh 4 orang. Berapa meja yang dibutuhkan apabila dapat diduduki oleh 30 orang?

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pendekatan Matematika

Realistik (PMR) dapat memudahkan siswa dalam mengembangkan kemmpuan berpikir aljabar dengan menyajikan materi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa.

DAFTAR PUSTAKA. Cai, Jinfa & Moyer, John. (2007). Developing Algebraic Thinking In Earlier Grades: Some

Insights from International Comparative Studies. The Mathematics Educator 8(1), 1-19.

Cai, Jinfa. (2004). Developing Algebraic Thinking In Earlier Grades: A Case Study of the

Chinese Elementary School Curriculum. The Mathematics Educator. 8, (1),107-130. Carraher, David & Ernest, Darrel. (2006). Arithmetic and Algebra in Early Mathematics

Education. Journal for research in Mathematics education. 37, (2), 87-115. Fauzan, Ahmad; Slettenhaar, Dick & Plomp Tjeerd. (2002). Traditional Mathematics Education

vs. Realistic Mathematics Education: Hoping for Changes, rd Proceedings of the 3 International Mathematics Education and Society Conference. Copenhagen: Centre for

Research in Learning Mathematics, pp. 1-4. Fong, Ng Swee. (2004). Developing Algebraic Thinking In Earlier Grades: A Case Study of the

Singapore Primary School Curriculum. The Mathematics Educator. 8, (1),39-59. Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal

Institute Kieran, Carolyn. (2004). “Algebraic Thinking in the Early Grades: What Is it?”. The

Mathematics Educator . 8, (1), 139-151. Kriegler, Shelley. (2008). “Just What Is Algebraic Thinking? “. Tersedia:

http://www.introtoalg.com/downloads/articles-01-kriegler.pdf. Lawrence, Ann & Hennesy, Charlie. (2002). Lessons For Algebraic Thinking, Grades 6-8. Math

Solutions Publications: Sausalito. Lian, Lim Hooi & Yew, Wun Thiam. (2010). Superitem Test: An Alternative Assessment Tool

To Assess Students Algebraic Solving Ability. International Journal of Instruction, (1308- 1470).

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. USA:NCTM. Patton, Barba & Santos, Estella De Los. (2012). Analyzing algebraic thinking using “guess my

number” problems. International Journal of Instruction, (1308-1470). Retrieved January 2012, from www.e-iji.net.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Shaleh, A. Rahman & Wahab, M. Abdul. (2004). Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam . Jakarta: Prenada Media.

Sujanto, Agus. (2009). Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara. Swirski, T., Wood, L. & Solomonides, I. (2008) Developing creativity: Aligning

community,learning and teaching practices, in Engaging Communities , Proceedings of the 31st HERDSA Annual Conference, Rotorua, 1-4 July 2008: pp 318-328

Syah, Muhibbin. (2010). Psikologi Belajar Divisi Buku Perguruan Tinggi Edisi Revisi 10. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Windsor, Will, and Norton, Stephen. (2011). “Developing Algebraic Thinking: Using A Problem Solving Approach In A Primary School Context”. Proceedings of the 34th annual conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia. Retrieved Descember

www.merga.net.au/documents/RP_WINDSOR & NORTON_MERGA34-AAMT.pdf.

Zulkardi. (2002). Realistic Mathematics Education Theory Meets Web Technology, tersedia di http://eprints.unsri.ac.id/692/1/rme.html .

P - 51

DIAGNOSIS KESALAHAN SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH FAKTORISASI BENTUK ALJABAR

Lia Ardian Sari

Universitas Pendidikan Indonesia lauragazebo@yahoo.co.id

Abstrak

Data utama yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data dari hasil pelaksanaan tes tertulis tentang pokok-pokok bahasan faktorisasi bentuk alajabar. Data dari hasil tes tertulis adalah kesalahan-kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah faktorisasi bentuk aljabar yang memuat kesalahan konseptual dan kesalahan prosedural. Sedangkan data sekunder atau data pendukung yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hasil validasi soal tes diagnosis. Dari penelitian ini diperoleh hasil diagnosis kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah faktorisasi bentuk aljabar meliputi kesalahan konseptual dan kesalahan prosedural. Penyebab kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah faktorisasi bentuk aljabar dapat dilihat dari berbagai hal, antara lain disebabkan ketidakcermatan dalam membaca, ketidakcermatan dalam

berpikir,

kelemahan dalam analisis masalah,

kekuranggigihan, ketidakmampuan melihat masalah yang biasa dengan cara atau pendekatan yang baru atau tidak biasa, salah pengertian, dan kepercayaan diri yang rendah.

Kata kunci: diagnosis, kesalahan siswa, menyelesaikan masalah.

A. PENDAHULUAN

Faktorisasi bentuk aljabar merupakan salah satu materi aljabar yang dipelajari oleh siswa kelas VIII SMP. Faktorisasi bentuk aljabar penting dikuasai oleh siswa karena sebagai dasar untuk menguasai materi selanjutnya, salah satunya yaitu Persamaan Kuadrat di kelas X SMA. Sebagai contoh diberikan masalah persamaan kuadrat

+2 − 3=0 . Siswa akan mengalami kesulitan menyelesaikan masalah persamaan kuadrat tersebut jika siswa tidak menguasai

faktorisasi bentuk aljabar sebelumnya. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat diselesaikan oleh suatu prosedur rutin yang telah dikenal oleh si pelaku (Shadiq, 2004:10). Adapun penyelesaian masalah, secara sederhana, merupakan proses penerimaan masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. (Herman Hudojo, 2003 : 148-151). Penyelesaian masalah yang dimaksud disini dan sesuai dengan uraian tersebut adalah penyelesaian masalah yang mengacu pada pertanyaan yang terkategori sebagai ‘masalah’ bagi siswa.

Menurut Hudojo (2003 : 151) bagi siswa, penyelesaian masalah harus dipelajari. Di dalam menyelesaikan masalah, siswa diharapkan memahami proses penyelesaian masalah

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

UNY UNY

Nampaklah bahwa penyelesaian masalah mempunyai fungsi penting di dalam kegiatan belajar-mengajar matematika. Abidin (dalam Murni,2003 : 65) menyatakan pentingnya penyelesaian masalah yaitu dapat membentuk sikap positif pada diri siswa untuk dapat mengambil keputusan yang tepat dalam situasi tertentu. Sehubungan dengan itu, National Council of Teacher of Mathematics (dalam Murni, 2003 : 65) menjelaskan sedikitnya ada dua fungsi penyelesaian masalah dalam pembelajaran matematika. Pertama, penyelesaian masalah adalah alat yang penting dalam mempelajari materi matematika. Banyak konsep matematika yang dapat dikenalkan secara lebih efektif kepada siswa melalui penyelesaian masalah. Kedua, penyelesaian masalah dapat membekali siswa dengan pengetahuan dan alat sehingga siswa dapat memformulasikan, mendekati, dan menyelesaikan masalah sesuai dengan yang telah mereka pelajari di sekolah. Sebagai implikasinya, siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan – kemampuan dan strategi – strategi penyelesaian masalah. Melalui penyelesaian masalah, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada penyelesaian masalah yang bersifat tidak rutin.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misal perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik (utuh) dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2009 : 6).

Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah menekankan pada karakter penelitian deskriptif. Dimana dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan berupa angka-angka (Moleong, 2009 : 11). Sesuai pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini maka analisis yang digunakan adalah secara induktif.

Melalui pendekatan kualitatif ini, semua fakta baik lisan atau tulisan dari sumber data yang telah diamati dan dokumen yang terkait lainnya, dideskripsikan apa adanya. Peneliti akan merencanakan, merancang, melaksanakan, mengumpulkan, menganilisis data, meyimpulkan, dan membuat laporan penelitian (Moleong, 2009 : 168).

Data utama yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data dari hasil pelaksanaan tes tertulis tentang pokok-pokok bahasan faktorisasi bentuk aljabar. Data dari hasil tes tertulis adalah kesalahan-kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal faktorisasi aljabar yang memuat kesalahan konseptual dan kesalahan prosedural. Sedangkan data sekunder atau data pendukung yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hasil validasi soal tes diagnostik.

Sumber data utama tersebut berasal dari siswa yang mengikuti tes diagnostik kesalahan menyelesaikan masalah faktorisasi bentuk aljabar. Siswa yang mengikuti tes diagnostik adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Bangorejo sejumlah 31 siswa. Sedangkan sumber data pendukung diperoleh dari dua validator yang terdiri dari 1 dosen matematika dan 1 guru matematika kelas

VIII SMP Negeri 1 Bangorejo Banyuwangi. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu validasi soal tes dan tes tertulis. Validasi soal tes untuk mengetahui apakah soal dapat diberikan dan diujikan kepada siswa atau tidak. Data validasi soal yang dikumpulkan dengan cara memberikan lembar validasi soal kepada validator, yaitu 1 dosen Matematika dan 1 guru matematika kelas VIII SMPN 1 Bangorejo Banyuwangi. Kedua, Tes tertulis diperlukan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang langkah pengerjaan soal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan faktorisasi aljabar. Dari langkah – langkah pengerjaan tersebut dapat diketahui kesalahan

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 408

– kesalahan apa saja yang dilakukan oleh siswa. Untuk mendapatkan data atau informasi tersebut, peneliti menggunakan soal uraian.

Soal yang diberikan sebanyak 8 butir soal, yaitu tentang faktorisasi aljabar yang diselesaikan dalam waktu 80 menit berisi tentang menguraikan bentuk aljabar ke dalam faktor – faktornya. Soal yang dibuat dengan perbandingan tingkat kesukaran mudah : sedang : sukar adalah 3 : 3 : 2. Tes tertulis ini lebih menekankan kemampuan siswa untuk menyelesaikan soal melalui strategi penyelesaian masalah menurut George Polya (dalam Gary L. Musser, 1991 : 6) sebagai berikut.

a. Memahami masalah (understand the problem).

b. Merancang suatu rencana (devise a plan).

c. Menyelesaikan rencana (carry out the plan).

d. Memeriksa kembali (look back). Sebelum tes diberikan kepada siswa, soal tersebut divalidasi. Deskriptor dalam lembar validasi soal ini adalah sebagai berikut.

a. Soal dapat digunakan untuk mengukur pemahaman konseptual siswa.

b. Soal dapat digunakan untuk mengukur pemahaman prosedural siswa.

c. Soal memungkinkan siswa untuk memahami masalah dan membuat rencana penyelesaian.

d. Soal memungkinkan siswa untuk melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa kembali.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data ini diperoleh dari siswa setelah menyelesaikan tes tertulis yang merupakan hasil pengerjaan siswa mengenai soal yang telah diberikan. Selanjutnya data ini dianalisis dengan melihat kesalahan-kesalahan siswa dalam mengerjakan soal. Berikut ini disampaikan paparan hasil pengerjaan siswa yang diperoleh dari hasil pengujian instrumen yang telah dibuat. Adapun banyaknya siswa yang melakukan kesalahan untuk seluruh soal disajikan dalam tabel berikut.

Tabel Rekapitulasi Seluruh Kesalahan Yang Dilakukan Siswa Untuk Seluruh Soal

No Banyak

SK

SP

Soal Jawaban

K L M N O P Q Salah

Jumlah Total ( )

Keterangan: SK : Kesalahan Konseptual SP: Kesalahan Prosedural

A: Kesalahan dalam memahami sifat distributif bentuk aljabar

B: Kesalahan dalam memahami sifat perpangkatan pada bentuk aljabar

C: Kesalahan dalam memahami sifat subtitusi pada bentuk aljabar

D: Kesalahan memahami sifat pecahan berpangkat bentuk aljabar

E: Kesalahan dalam memahami sifat perpangkatan dua variabel

F: Kesalahan memahami konsep pecahan bentuk aljabar

G: Kesalahan memahami konsep operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan bentuk aljabar

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 409

H: Kesalahan dalam memahami sifat operasi hitung bilangan

I: Kesalahan memahami konsep perkalian bentuk aljabar J: Kesalahan menuliskan soal dalam proses penyelesaian K: Kesalahan tidak melanjutkan proses penyelesaian L: Kesalahan dalam memahami dan mencermati maksud soal M: Kesalahan dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan N: Kesalahan dalam melakukan operasi perkalian dan pembagian O: Kesalahan tidak mampu memanipulasi langkah P: Kesalahan karena mengambil kesimpulan tanpa didasari alasan Q: Kesalahan karena langkah penyelesaian tidak sistematis

Tabel berikut secara rinci menggambarkan jumlah dan persentase kesalahan yang dilakukan siswa (responden).

Tabel Persentase Kesalahan Tiap Kategori

Kategori Kesalahan

Persentase Kesalahan konseptual

Jumlah

49 38,28% Kesalahan prosedural

79 61,72% Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kesalahan prosedural memiliki persentase yang lebih tinggi dari kesalahan konseptual.

Dari aspek penyelesaian masalah ada beberapa hal yang diperoleh antara lain sebagai berikut. Pada tahap pemahaman masalah, siswa sudah banyak yang memahami maksud dari soal, meskipun ada beberapa siswa yang melakukan kesalahan dalam memahami maksud soal. Selain itu siswa juga mengetahui apa yang diketahui dan yang ditanyakan. Sedangkan pada tahap perencanaan penyelesaian masalah banyak siswa mengalami kesalahan seperti kesalahan dalam menuliskan rumus keliling persegi panjang. Pada tahap pelaksanaan perencanaan, kebanyakan siswa melakukan kesalahan dalam perhitungan aljabar. Kesalahan perhitungan ini seringkali terjadi pada operasi pembagian bentuk aljabar. Pada tahap pengecekan kembali, siswa tidak melakukan pengujian terhadap hasil yang telah diperoleh.

Berdasarkan hasil pekerjaan siswa tersebut, diperoleh beberapa kesalahan meliputi kesalahan konseptual dan kesalahan prosedural. Kesalahan konseptual ini berkaitan dalam hal:

1. Kesalahan dalam memahami sifat distributif bentuk aljabar.

2. Kesalahan dalam memahami sifat perpangkatan pada bentuk aljabar.

3. Kesalahan dalam memahami sifat subtitusi pada bentuk aljabar.

4. Kesalahan memahami sifat pecahan berpangkat dalam bentuk aljabar.

5. Kesalahan dalam memahami sifat perpangkatan dua variabel.

6. Kesalahan memahami konsep pecahan bentuk aljabar.

7. Kesalahan memahami konsep operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan bentuk aljabar.

8. Kesalahan dalam memahami sifat operasi hitung bilangan.

9. Kesalahan memahami konsep perkalian bentuk aljabar. Sedangkan, kesalahan prosedural (algoritma) yaitu kesalahan dalam menyusun langkah-langkah yang hirarkis sistematis untuk menjawab suatu masalah. Kesalahan prosedural ini berkaitan dalam hal:

1. Kesalahan menuliskan soal dalam proses penyelesaian.

2. Kesalahan tidak melanjutkan proses penyelesaian.

3. Kesalahan dalam memahami dan mencermati maksud soal.

4. Kesalahan dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan.

5. Kesalahan dalam melakukan operasi perkalian dan pembagian.

6. Kesalahan tidak mampu memanipulasi langkah.

7. Kesalahan karena mengambil kesimpulan tanpa didasari alasan.

8. Kesalahan karena langkah penyelesaian tidak sistematis.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 410

Kesalahan yang dilakukan siswa ditinjau dari langkah-langkah penyelesaian masalah yaitu merujuk pada langkah penyelesaian masalah menurut George Polya (dalam Gary L. Musser, 1991 : 6) sebagai berikut.

a. Memahami masalah (understand the problem).

b. Merancang suatu rencana (devise a plan).

c. Menyelesaikan rencana (carry out the plan).

d. Memeriksa kembali (look back). Berikut ini adalah penjelasan mengenai kesalahan yang dialami siswa pada masing-masing tahap penyelesaian masalah.

a. Memahami masalah (understand the problem). Kesalahan yang dilakukan antara lain kurangnya kemampuan siswa dalam membaca soal, memahami maksud soal, serta pemahaman siswa mengenai konsep matematika pada soal. Kesalahan-kesalahan ini sangat menentukan untuk melangkah pada langkah merancang suatu rencana (devise a plan) penyelesaian masalah yang akan digunakan. Jika siswa sudah tidak dapat memahami masalah, maka siswa akan kesulitan dalam merancang suatu rencana penyelesaian masalah.

b. Merancang suatu rencana (devise a plan). Kesalahan siswa yang dilakukan pada tahap ini adalah kesalahan dalam menentukan langkah pengerjaan yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. Hal ini disebabkan karena siswa belum memahami masalah yang diberikan atau kurang menguasai pada tahap pemahaman masalah. selain itu, kesalahan yang banyak dilakukan siswa adalah mencoba menggunakan cara yang tidak sesuai dengan masalah yang diberikan. Kesalahan ini dilakukan oleh siswa karena tidak mengetahui prosedur pengerjaan atau cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.

c. Menyelesaikan rencana (carry out the plan). Kesalahan pada tahap ini dapat berupa kesalahan pengunaan persamaan, rumus, atau kesalahan dalam perhitungan. Kesalahan yang banyak dilakukan adalah kesalahan yang terkait dengan langkah-langkah penyelesaian masalah yang melibatkan proses operasi hitung pada bentuk aljabar. Beberapa diantaranya adalah kesalahan dalam penerapan konsep perhitungan pada pecahan bentuk aljabar, kesalahan dalam penerapan konsep perpangkatan bentuk aljabar, kesalahan dalam penerapan konsep perkalian bentuk aljabar, serta kesalahan dalam penerapan konsep perhitungan operasi pengurangan.

d. Memeriksa kembali (look back). Kesalahan yang paling banyak dilakukan adalah siswa tidak melakukan pemeriksaan kembali terhadap jawaban yang telah didapatkan. Siswa langsung menentukan bahwa hasil yang didapatkan merupakan solusi dari permasalahan yang diberikan tanpa memeriksanya lagi.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Penyebab kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah faktorisasi bentuk aljabar dapat dilihat dari berbagai hal, antara lain disebabkan ketidakcermatan dalam membaca, ketidakcermatan dalam berpikir, kelemahan dalam analisis masalah, kekuranggigihan, ketidakmampuan melihat masalah yang biasa dengan cara atau pendekatan yang baru atau tidak biasa, salah pengertian, serta kepercayaan diri yang rendah.

Dari pihak guru dapat dinyatakan bahwa cara mengajar guru kurang mendukung pemahaman yang tuntas atas materi yang dipelajari, guru kurang memberikan latihan dalam menyelesaikan masalah faktorisasi aljabar berupa soal cerita dan kurang memberikan latihan menyelesaikan masalah tidak rutin berkaitan dengan faktorisasi bentuk aljabar sehingga siswa tidak mampu memanipulasi langkah penyelesaian.

Dari hasil penelitian ini diharapkan adanya tindak lanjut dari guru matematika kelas VIII SMP diantaranya agar menekankan pemahaman atas materi prasyarat maupun materi pokok yang dipelajari agar memberikan pemahaman yang mendalam mengenai konsep-konsep penting yang mendasari pemahaman siswa tentang faktorisasi bentuk aljabar. Selain itu, guru diharapkan agar sering memberikan latihan menyelesaikan masalah faktorisasi bentuk aljabar terutama masalah yang diberikan berupa cerita, sering memberikan latihan menyelesaikan masalah tidak rutin berkaitan dengan faktorisasi bentuk aljabar sehingga siswa mampu memanipulasi langkah

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 411 M P - 411

Kegiatan menyelesaikan masalah yang tidak rutin diharapkan agar diberikan dengan menggunakan langkah-langkah penyelesaian masalah, yaitu memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana, dan menelaah kembali. Kegiatan tersebut sebaiknya diimbangi dengan membekali siswa dengan pemahaman konsep yang mendalam. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak melakukan operasi yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah perhitungan yang telah ditentukan. Dengan demikian, diharapkan agar kesalahan-kesalahan yang ditemukan dari hasil diagnosis kesalahan dalam penelitian ini dapat diminimalkan.

E. DAFTAR PUSTAKA

Hudojo, Herman. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.

Hudojo, Herman. 2005. PengembanganKurikulumdanPembelajaranMatematika. Malang: UM Press.

Kastolan, dkk. 1992. Idenifikasi Jenis – Jenis Kesalahan Menyelesaikan Soal – Soal Matematika yang Dilakukan Peserta Didik kelas II Program

SMA Negeri Se-Kotamadya Malang . Malang: IKIP Malang.

Minnick, John H. & Strauss, Raymond C. 1969. Beginning Algebra. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Murni.2003. Pembelajaran PemecahanMasalah Model Polya TopikKelilingdanLuasLingkaran). DalamTeknobel. Vol 4 No. 1

Musser, Gary L. & Burger, William F. 1991.Mathematic for Elementary Teachers: A Contemporary Approach Second Edition . New York: Macmillan Publishing Company.

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif :EdisiRevisi. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

Pinter, Charles C.1982. A Book Of Abstract Algebra. Amerika: McGraw-Hill, Inc. Posamentier, Alfred S. &Krulik, Stephen. 1998. Problem Solving Strategies For Efficient And

Ellegant Solutions: A Resource For The Mathematics teacher . California: Corwin Press, Inc.

Shadiq, Fajar, M. App.Sc. 2004. Pentingnya Pemecahan Masalah. Semarang :Widyaswara PPPG Matematika.

Smith, S.A., Charles R.I., Dossey, J.A., Keedy, Mervin L., Bittinger, Marvin L. Algebra. 1990. California: Addison – Wesley Publishing Company, Inc.

Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses BelajarMengajar.Bandung: PT Rosdakarya. Suherman, Erman. 1992. Strategi Belajar Mengajar Matematika untuk SekolahMenengah. Dirjen

Dikdasmen: Jakarta. Suherman, Erman. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Kerjasama

JICA dengan FPMIPA UPI. Sujono. 1988. Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Depdikbud.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 412

Wooton, William & Drooyan, Irving. 1968. Intermediate Algebra: Second Alternate Edition. California: Wadsworth Publishing Company, Inc.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 413

P - 52

SISTEM KOMPUTASI BLACKBOX UNTUK OPTIMASI PENGKOREKSIAN MULTI TIPE DAN TEKNIK SKORSING SOAL OBYEKTIF

1 Lilik Hidayati 2 , Ripai 1,2 FMIPA UNW Mataram

1 liliknyagatan@gmail.com, 2 ripainasir@yahoo.co.id

Abstrak

Tes sebagai alat seleksi maupun evaluasi harus bermutu agar dapat menghasilkan nilai yang obyektif dan akurat sehingga penilaian yang diberikan kepada siswa bersifat adil. Secara emperis, tes disebut bermutu apabila memenuhi persyaratan/sifat (1) Option pengecoh berfungsi, (2) memiliki tingkat kesukaran yang ideal, (3) dapat membedakan kelompok atas dan bawah, (4) Valid dalam mengukur kemampuan siswa dan (5) reliable/konsisten dalam memberikan penilaian. Kesulitan guru dalam melakukan analisis mutu tes karena harus dilakukan secara kuantitatif sesuai deskripsi parameter matematis dan statistik persyaratan mutu dari respon jawaban siswa. Kondisi ini lebih sulit dilakukan ketika kebijaksanaan pemerintah dalam ujian nasional mengunakan model soal dengan multi tipe, dimana kontruksi indikator soal secara acak, menyulitkan guru untuk melakukan pengoreksian manual dengan berbagai tipe kunci jawaban. Lebih lanjut guru juga harus dapat melakukan penyusunan kembali option jawaban siswa menurut kesamaan indikator. Hal ini diperlukan karena analisis mutu tes dan harus didasarkan atas butir dengan konten isi mengukur indikator yang sama. Penelitian dilakukan guna mengembangkan sistem komputasi BlackBox yang dapat melakukan uji mutu tes secara simultan dari model multi tipe tes pilihan ganda. Hasil pengembangan yang telah dilakukan mengunakan software MATLAB membuahkan 10 (sepuluh) m-function yang dapat saling berintraksi untuk melakukan komputasi uji mutu tes secara simultan. (1) m-function susun untuk menyusun option jawaban siswa menurut butir indikator tes, (2) m-function koreksi, unutk mengoreksi jawaban siswa, (3) m-function kwalitas pengecoh untuk analisis berfungsinya option pengecoh, (4) m-function tingkat kesukaran untuk analisis tingkat kesukaran butir tes, (5) m-function dayabeda untuk analisis butir soal yang dapat membedakan kelompok atas dan bawah, (6) m-function poinbiserial, untuk mengukur kesahihan (validitas) butir soal dalam mengukur kemampuan siswa, (7) m-function KR20 untuk mengukur konsistensi (reliabilitas) butir soal dalam memberikan penilaian kepada siswa, (8) m-function seleksi butir untuk membuang butir soal yang tidak memenuhi syarat mutu, (9) m-function skor dan nilai untuk memberikan skor dan penilaian kepada siswa berdasarkan butir soal yang bermutu dan (10) m-function uji mutu tes untuk melakukan analisis uji mutu tes secara simultan. Hasil pengembangan m-function tersebut akan dikembangkan lagi menjadi sistem komputasi berbasis Grafik User Interface (GUI) dan aplikasi project agar user (penguna) mudah dalam mengunakan sistem komputasi BlackBox yang dikembangkan.

Kata Kunci : Komputasi Blackbox, Mutu Soal, Tipe Soal Objektif

A. PENDAHULUAN

Analisis butir soal merupakan kegiatan yang harus dilakukan guru untuk menjamin dan meningkatkan mutu soal yang telah ditulis. Kegiatan ini merupakan proses pengumpulan, peringkasan, dan penggunaan informasi dari jawaban siswa untuk membuat keputusan tentang

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Guna memperoleh soal yang bermutu, maka perlu dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis butir soal secara kualitatif dilaksanakan berdasarkan kaidah penulisan soal (tes tertulis, perbuatan, dan sikap). Aspek yang diperhatikan dalam penelaahan secara kualitatif adalah setiap soal ditelaah dari segi materi, kontruksi, bahasa/budaya, dan kunci jawaban/pedoman pensekoran. Sedangkan analisis soal secara kuantitatif adalah penelaahan butir soal didasarkan pada data empirik dari butir soal yang bersangkutan. Data empirik diperoleh dari soal yang telah diujikan. (Depdiknas:2008)

Pendekatan dalam analisis butir dapat dilakukan secara klasik dan modern. Analisis butir soal secara klasik adalah proses penelaahan butir soal melalui informasi dari jawaban peserta didik guna meningkatkan mutu butir soal. Kelemahan dari metode klasik ini memerlukan perhitungan yang lama dan harus disertai ketelitian yang tinggi juga kemampuan guru untuk melakukannya. Hal inilah yang menyebabkan banyak guru untuk tidak melaksanakan uji mutu soal yang diujikan. Pendekatan yang kedua menggunakan metode yang sudah modern yaitu menggunakan Item Respone Theori (IRT) atau teori jawaban butir soal. Teori ini merupakan suatu teori yang menggunakan fungsi matematika untuk menghubungkan antara peluang menjawab benar suatu soal dengan kemampuan siswa. Beberapa program yang sudah tersedia untuk menganalisa mutu tes antara lain adalah ITEMAN, EXCEL, SPSS, ANATES dan lainnya. Masing-masing program ini memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:

Tabel 1.1 Kelebihan dan kekurangan program komputasi analisis mutu tes

PROGRAM NO

KEKURANGAN KOMPUTASI

KELEBIHAN

1. ITEMAN

1. Mengoreksi jawaban siswa

1. Pengoreksian terbatas pada sebuah tipe

secara otomatis

soal

2. Dapat melakukan analisis

2. Tidak menampilkan proses matematis

analisisnya sebagai bahan pembelajaran. 2. ANATES

mutu secara simultan

1. Mengoreksi jawaban siswa

1. Pengoreksian terbatas pada sebuah tipe

2. Dapat melakukan analisis

soal

mutu secara simultan

2. Tidak menampilkan proses matematis analisisnya sebagai bahan pembelajaran

3. EXCEL

1. Penyusunan data base

Tidak tersedia fungsi khusus untuk 2. Dapat membuat komputasi mengoreksi jawaban siswa dan analisis mutu, matematis

sehingga harus membuat sendiri 4. SPSS

Fungsi matematika dan statistik Memerlukan kemampuan professional untuk yang banyak

analsis dan interprestasinya Pada tabel di atas, program ITEMAN dan ANATES merupakan program yang secara khusus dibangun untuk menganalisis mutu butir soal. Akan tetapi keduanya tidak dapat memiliki kemampuan untuk multi tipe jenis tes dan proses matematis analisis tidak ditampilkan sehingga bagi mahasiswa atau guru yang ingin belajar meningkatkan kemampuannya sulit unutk memahami secara proses matematis analisis tersebut.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 414

Sistem komputasi BlackBox dengan komponen Input-Proses-Output merupakan suatu sistem dimana pengguna hanya perlu memberikan inputan data jawaban siswa dengan berbagai tipe soal yang diberikan. Kemudian dengan sebuah button proses secara simultan oleh sistem komputasi jawaban tersebut dilakukan pengoreksian, skorsing, analisis mutu dan menampilkan output secara otomatis sesuai fungsi matematis yang dikontruksi pada sistem. Analisis mutu mencakup pengukuran secara kuantitatif kwalitas pengecoh, tingkat kesukaran, daya beda, validasi dan reliabilitas.

B. PEMBAHASAN

Sistem komputasi BlackBox untuk uji mutu tes, dikembangkan dengan bahasa pemograman Matrix Laboratorium (MATLAB) versi 2013. Interaksi komputasi antara item uji mutu dikembangkan berbasis m-function. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, untuk efektifitas dan efesiensi, sebanyak 10 (sepuluh) m-functian dikembangkan yaitu (1) m-functian susun, (2) m-function koreksi, (3) m-function kwalitas butir pengecoh, (4) m-function tingkat kesukaran, (5) m-function daya pembeda, (6) m-function poin biserial, (7) m-function KR20, (8) m-function Skor dan nilai dan (10) m-function uji mutu tes. Hubungan m-functian di sajikan dalam diagram alir berikut:

Gambar 5.1 Diagram alir hubungan m-function unutk uji mutu tes

Hasil pengembangan m-function tersebut dapat dilihat pada lampiran 2 (dua), sedangkan konsep matematika dan statistik untuk komputasi dari m-functiaon tersebut disajikan dalam tabel berikut:

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 415

Tabel 5.4 Matriks konten isi teori matematika m-function sitem komputasi black box untuk uji mutu tes obyektif

m-function

Output

No Nama Diskripsi

Inputan

Teori Matematika

Fungsi Laporan

1 susun Penyusunan

1. Membaca banyaknya tipe Kunci Tabel kunci kunci dan butir

1. Kunci

jawaban, dan jawaban jawaban

Jawaban

soal, butir soal dan

referensi siswa yang berdasarkan

tes

2. Referensi

peserta tes.

indikator dan telah indikator yang

idikator

2. Untuk setiap peserta tes,

option diurutkan sejenis

mengidentifikasi tipe

jawaban berdasarkan

soal yang dikerjakan,

siswa yang tipe dan

kemudian mengurutkan

telah nomor

butir jawaban siswa

diurutkan indikator

berdasarkan referensi

berdasarkan yang sejenis

nomor indikator.

tipe dan

nomor butir-butir kunci jawaban indikator diurutkan berdasarkan

3. Untuk setiap tipe soal,

yang sejenis

nomor indikator

dengan extensi string

2 koreksi Mengkoreksi

Nomor butir Tabel jawaban

1. Kunci

1. Membaca banyaknya tipe

dan point tiap identitas berdasarkan

siswa

Jawaban

soal, butir soal dan

butir jawaban siswa, point kunci jawaban

2. Jawaban

peserta tes.

Siswa

2. Untuk setiap peserta tes,

siswa dengan tiap jawaban

komputer

ekstensi siswa,

mengidentifikasi tipe soal

numerik banyaknya

yang dikerjakan,

benar siswa

kemudian

dan

membandingkan tiap

prosentase

butir jawaban dengan

benar siswa

butir kunci. Jika sama

dengan

diberikan point 1 dan

ektensi

string 3 Kwalitas

sebaliknya 0.

Menentukan

Matriks Tabel nomor apakah

dengan isi butir, poin pengecoh

option

indikator

n ( salah )

nomor butir jawaban, berfungsi untuk

dan point

Pengecoh berfungsi jika P ≥ tes, poin besaran menjebak siswa

jawaban

jawaban dan parameter yang

siswa

kriteria berfungsi menguasai

tidak

2. Tingkat

berfungsinya pengecoh konsep

signifika

nsi

pengecoh (Pemilij (berfungsi = pengecoh 1,

tidak >=5%) dan berfungsi = kriterianya 0)

Matriks yang Tidak ada butir

4 Seleksi Membuat matriks

1. Nomor

1. Membaca banyaknya

baru

berisi nomor memuat

yang

butir dan

butir tes

butir tes, butir tes yang

data

poin

2. Untuk tiap butir tes, jika

point memenuhi

jawaban

kriteria valid =1, maka

jawaban dan kriteria

2. Kriteria

data nomor butir dan

uji (1 =

poin jawaban disimpan

kriteria

memenuh

pada suatu matriks baru

validitas

i syarat, 0

(sebut sebagai out)

(Valid = 1

tidak

dan tidak

memenuh

valid = 0)

i syarat)

5 Tingkat Untuk

Matriks Tabel poin kesukaran

nomor butir jawban tingkat kesulitan

indikator

tes, poin siswa, butir soal sebagai

dan point

jawaban

0% ≤ TK <15% Sangat Sukar,

jawaban dan besaran

siswa

dibuang

15% ≤ TK < 30% Sukar

kriteria parameter

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 416

No m-function

Inputan

Teori Matematika

Output

Nama Diskripsi Fungsi Laporan

dalam

30% ≤ TK < 70% Sedang

tingkat tingkat

bentuk 1

70% ≤TK < 85% Mudah

kesukaran kesukaran

untuk

85% ≤TK ≤ 100%, Sangat

(3= sulit, dan kriteria

benar dan

Mudah, dibuang 2=sedang dan tingkat

0 untuk

1=mudah) kesukaran

sedang dan

6 Daya Untuk

Tabel nomo pembeda

1. Butir

DP  BA  BB Matriks

nomor butir butir, poin apakah butir soal

tes, poin jawaban, dapat

dan point

DP ≥ 50% Sangat Baik

jawaban dan besaran membedakan

jawaban

30% ≤ DP < 50% Baik

kriteria daya parameter siswa

siswa

20% ≤ DP < 30% Agak Baik,

beda (dapat daya menguasai

membedakan pembeda dan konsep dan tidak

bentuk 1

10% ≤ DP < 20% Buruk,

= 1, dan tidak kriteria daya menguasai

untuk

dibuang DP < 10% Sangat Buruk,

membedakan beda konsep

benar dan

salah 2. Tingkat signifikan si

7 Poin Mengetahui

M p  M t p Nomor Butir Tabel poin biserial

1. Butir

apakah

soal dan jawaban indikator

tingkat peserta tes, valid/tepat

tes

dan point

besaran digunakan untuk

jawaban

Jika r pb ≥r inv(n,5%) maka

parameter mengukur hasil

siswa

butir tes valid

poin biserial belajar siswa

dalam

bentuk 1

dan kriteria

untuk

validitas

benar dan 0 untuk salah 2. Tingkat siggnifika nsi

8 Kr20 Menentukan

Matriks yang Tabel poin apakah

1. Butir

 k    pq r  memuat butir jawaban

h butir-butir  tes dan point 

indikator

k  1   s 2  tes,

poin peserta tes, reliabel/konsisten

 total  jawaban dan besaran

jawaban

Jika r pb ≥ r inv(n,5%) maka kriteria parameter hasil

untuk mengukur

siswa

reliabilitas KR20 dan siswa

belajar

dalam

butir tes reliabel

bentuk 1

(reliabilitas = kriteria

untuk

tidak reliabilitas

benar dan

salah 2. Tingkat signifikan si

9 Skor dan Unutuk

Matriks Tabel skor penilaian

1. Butir

Butir tes yang sulit

diberikan skor 3, sedang = 2 nomor butir jawban dan nilai dari tiap

menghitung skor

indikator

tes, poin siswa, total peserta tes

dan point

dan mudah = 1

jawaban

jawaban dan skor dan

siswa

Nilai 

Jumlah skor

x 100 kriteria nilai

dalam

Skor ideal

benar dan

2=sedang dan

0 untuk

1=mudah)

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 417

No m-function

Inputan

Teori Matematika

Output

Nama Diskripsi Fungsi Laporan

salah 2. Tingkat signifikan si

10 Uji mutu tes Untuk

komputasi Tidak ada 9 jenis tabel melakukan

Data numerik

Menjalankan

mencakup 9 komputasi

butir indikator

sebagaima diagram alir

m-function mutu tes secara jawaban siswa Kriteria

uji dan

point

pada gambar 5.2.

di samping. simultan

tingkat kesukaran

Setelah komputasi mengunakan m-function dikembangkan/dibuat lalu dilakukan simulasi untuk mengetahui kesesuaian antara teori matematika analisis mutu tes dengan output komputasi. Output komputasi yang diperoleh berupa 9 (Sembilan) tabel hasil data dan analisis meluputi (1) data kunci, indikator dan jawaban, (2) Pengurutan butir indikator, (3) Hasil Pengoreksian, (4) Analisis berfungsinya option pengecoh, (5) Analisis tingkat kesukaran, (6) Analisis daya pembeda, (7) Validitas butir dengan korelasi poin biserial, (8) Reliabilitas butir dengan korelasi KR20 dan (9) skor dan nilai.

Gambar 5.1 Output m-function ujimututes

Tabel ke-1 merupakan rekaman data, referensi indikator dan option jawaban siswa, tabel ke-2 data hasil pengurutan butir tes berdasarkan kesamaan indikator, tabel ke-3 rekaman hasil pengoreksian jawaban siswa, tabel k-4 rekaman analisis berfungsinya option pengecoh, tabel ke-5 rekaman hasil analisis tingkat kesukaran, tabel ke-6 rekaman hasil analisis tingkat daya pembeda butir tes, tabel ke-7 rekaman hasil analisis validitas butir, tabel ke-8 rekaman hasil uji reliabilitas butir dan tabel ke-9 rekaman hasil analisis skor dan penilaian. Function ini merupakan function komputasi yang akan digunakan dalam pengembangan aplikasi project system komputasi BlackBox yang berfungsi untuk melakukan analisis mutu butir tes secara simultan (otomatis).

Dari uraian di atas, maka pengembangan m-function sebagai komponen dari system komputasi BlackBox telah dapat dikembangkan dengan kinerja komputasi yang valid.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 418

C. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, maka pengembangan sistem komputasi BlackBoox untuk uji mutu dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut :

1. Untuk efektif dan efesiensi pengguna, maka inputan sistem komputasi dapat dilakukan di excel dengan jenis data masukan string mencakup data kunci jawaban, referensi butir indikator dan option jawaban siswa.

2. Untuk efetif dan efesien, maka proses komputasi dibangun dalam bentuk m-function mencakup (1). m-function susun, (2) m-function koreksi, (3) m-function kwalitas pengecoh, (4) m-function tingkat kesukaran, (5) m-function daya pembeda, (6) m-function poin biserial, (7) m-function KR20, (8) m-function skor dan nilai, (9) m-function seleksi dan (10) m-function uji mutu tes.

3. Untuk efektifitas dan efesiensi pelaporan dan proses pembelajaran, maka output komputasi disajikan dalam tabel mencakup sumber data analisis, deskripsi parameter data dan konklusi dari hasil analisis

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, Lewis R. (1994). Psychological Testing and Assessment, (Eight Edition), Boston: Allyn and Bacon.

Ali. M.,(2012), Analisis Butir Soal Dengan ANBUSO, Makalah Pengabdian Masyarakat, FE UNY, Yogyakarta.

Anwar., (2012), Analisis Butir Soal Pilihan Ganda sebagai Bahan Rujukan Bagi Guru, Makalah seminar

Bejar, Issac I. (1983). Introduction to Item Response Theory and Their Assumptions. Hambleton, Ronald K (Editor). Appliction of Item Renponse Theory. Canada: Educational Research Institute of British Columbia.

Bloom, Benyamin S., dkk (1971), Handbook on Formative and Summative Evaluation of Student Learning , McGraw-Hill Book Company, New York.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1989), Pedoman Penelaahan, Perbaikan dan Perakitan Soal , Jakarta.

Depdiknas. (2008). Panduan Analisis Butir Soal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Gronlund, Norman E. (1985) Measurement and Evaluation in Teaching, Fifth Edition, Macmillan

Publishing Company New York. Guilford (1973). Fundamental Statistic in Psychology and Education, Tokyo: Mc Graw-Hill

Kogakusha. Irmayansyah. (2011), Pengaruh Penggunaan Program Aplikasi Anates Versi 4 Terhadap Kinerja

Guru Dalam Menganalisis Butir Soal, Jurnal Ilmiah Teknologi dan Informasi, Volume 2 ITEMAN., (2006). User’s Manual for the ITEMAN Conventional Item Analisys Program Second

Edition , Minnesota: Assassment System Corparation. Karno To (1995). ANATES Versi 2.5, Program Komputer khusus untuk analisis tes obyektif dan

uraian. Bandung: FIP IKIP Bandung. Moleong, Lexy J., (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung. Murphy, Kevin R. & Charles O. Davidshofer (1988). Psychological Testing, Principles &

Applications. New Jersey: Prentice Hall International Inc.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 419

Nitko, Anthony J. (1996), Educational Assessment of Student, 2nd Edition, Prentice Hall, New Jersey, Ohio.

Subino (1987), Konstruksi dan Analisis Tes, Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan Pengukuran , Proyek LPTK Depdikbud, Jakarta.

Suharsimi Arikunto., (2003). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta Widodo., (2006). Taksonomi Bloom dan Pengembangan Butir soal. Buletin Puspendik

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 420

P - 53

LEVEL KOGNITIF SOAL-SOAL BUKU PELAJARAN MATEMATIKA SMP

Masduki 4) , Marlina Ratna Subandriah , Dhiki Yudha Irawan , Agus Prihantoro

Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMS

masduki@ums.ac.id, 3) marlinaratna6@gmail.com, dhiki.irawan@gmail.com,

4) prihan495p@yahoo.com

Abstrak

Dalam paper ini, disajikan hasil analisis terhadap soal-soal uji kompetensi pada buku teks pelajaran matematika tingkat SMP. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran, namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa buku ajar merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan apa yang dipelajari oleh siswa. Hasil laporan dari TIMSS dan PISA yang menunjukkan rendahnya kemampuan matematika siswa Indonesia menjadi alasan pentingnya dilakukan kajian terhadap buku teks pelajaran matematika. Kajian ini dilakukan dengan menganalisis soal-soal uji kompetensi dalam buku teks dilihat dari aspek kognitif. Untuk mengkaji aspek kognitif digunakan rumusan dari Mullis dkk (2009). Dalam penelitian ini dipilih masing-masing tiga buku teks untuk kelas VII, VIII, dan IX. Berdasarkan analisis terhadap soal-soal uji kompetensi buku teks pelajaran matematika diperoleh hasil bahwa aspek penerapan mendapatkan porsi yang sangat dominan dengan persentase 66% - 92%. Sedangkan aspek penalaran hanya mendapatkan porsi yang paling kecil dengan persentase 0,39% - 11,63%. Hasil kajian ini mengkonfirmasi mengapa siswa Indonesia dinilai lemah kemampuan matematikanya berdasarkan laporan TIMSS dan PISA karena siswa tidak terlatih untuk menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan penalaran mereka.

Kata kunci: level kognitif, buku teks pelajaran matematika

A. PENDAHULUAN

Dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 menyebutkan bahwa mata pelajaran matematika mempunyai tujuan agar peserta didik memiliki beberapa kemampuan yaitu: 1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan

konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan dapat tepat dalam pemecahan masalah; 2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan peryataan matematika; 3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan laporan TIMSS 2011 (Provasnik et. al., 2012) para siswa kelas VIII Indonesia menempati posisi ke 38 diantara 42 negara yang berpartisipasi dalam tes matematika. Dari rata-rata skor internasional 500, para siswa Indonesia hanya memperoleh skor rata-rata 386. Skor siswa Indonesia tersebut tertinggal dengan siswa sesama Negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand yang masing-masing mendapatkan skor rata-rata 661, 440, dan 427.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Rata-rata skor tersebut menunjukkan kemampuan matematika para siswa Indonesia berada pada tingkatan yang rendah (low) diantara empat tingkatan yaitu lanjut (advanced), tinggi (high), dan menengah (intermediate). Ranking siswa Indonesa berdasarkan survey TIMSS sejak berpartisipasi mulai tahun 1999 selalu berada pada ranking bawah. Pada partisipasi tahun 1999, siswa Indonesia menempati ranking 34 dari 38 negara. Selanjutnya, pada tahun 2003 dan 2007, siswa Indonesia masing-msaing menempati ranking 35 dari 46 negara dan ranking 36 dari 49 negara.

Hasil survey TIMMS tentang kemampuan matematika siswa Indonesia tidak jauh berbeda dengan hasil survey dari lembaga lain seperti PISA (Programme International for Student Assesment ). Berdasarkan hasil survey PISA 2009 (OECD, 2010), kemampuan matematika siswa Indonesia menempati ranking 61 dari 65 negara yang berpartisipasi dengan skor rata-rata 371 yang jauh dari skor rata-rata internasional yaitu 496. Kemampuan matematika siswa Indonesia sejajar dengan siswa dari Kolumbia, Albania, Tunisia, Qatar, Peru, dan Panama. Hasil survey PISA 2009 tidak jauh berbeda dengan hasil survey sebelumnya yaitu tahun 2000, 2003, dan 2006. Pada tahun 2000, skor rata-rata matematika siswa Indonesia adalah 367 dan menempati ranking

39 dari 41 negara. Tahun 2003, siswa Indonesia menempati ranking 38 dari 40 negara dengan skor rata-rata 360. Sedangkan pada survery tahun 2006, siswa Indonesia menempati ranking 50 dari 57 negara dengan skor rata-rata 391.

Dari hasil survey kedua lembaga tersebut, memberikan gambaran adanya masalah dalam sistem pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan dan pembelajaran matematika yang menyebabkan para siswa Indonesia belum bisa bersaing dengan siswa dari negara lain. Kemampuan matematika siswa Indonesia berada pada tingkatan kognitif mengetahui (knowing) yang merupakan tingkatan terendah menurut kriteria tingkatan kognitif dari Mullis et. al (2009). Siswa Indonesia belum dapat menerapkan pengetahuan dasar yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah (applying), serta belum mampu memahami dan menerapkan pengetahuan dalam masalah yang kompleks, membuat kesimpulan, serta menyusun generalisasi (reasoning).

Kondisi tersebut, yang telah berlangsung bertahun-tahun, tentunya mengundang keprihatinan dan pertanyaan bagi kita semua. Tentunya banyak faktor yang menyebabkan rendahnya kemampuan matematika siswa Indonesia diantaranya adalah rendahnya kompetensi guru matematika dan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Rendahnya kompetensi guru matematika dapat ditunjukkan dengan hasil tes terhadap guru matematika yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan (Puspendik Balitbang) Departemen Pendidkan Nasional tahun 2004 dimana dari 40 soal yang diberikan diperoleh skor rata-rata dari hasil tes adalah 14,34 dengan nilai terendah 2 dan nilai tertinggi 36 (Depdiknas, 2009).

Selain rendahnya kompetensi guru, sarana dan prasarana juga menjadi kendala dalam peningkatan kualitas pendidikan khususnya matematika di sekolah. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 42 disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bertugas menilai kelayakan buku teks pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah. Dalam Permendiknas nomor 11 Tahun 2005 Pasal 1 disebutkan bahwa buku teks pelajaran berperan penting dan strategis dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah. Dengan demikian buku teks pelajaran haruslah buku yang berkualitas yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kepekaan dan kemampuan estetis, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.

Demikian strategisnya peran buku teks dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika sehingga sangat penting untuk dilakukan kajian terhadap buku teks yang sudah ada terutama dalam hal implementasi aspek-aspek kognitif yang terdapat pada soal-soal uji kompetensi. Hal ini sangat penting dilakukan sebagai bahan evaluasi apakah buku-buku teks yang

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 422 M P - 422

VIII, dan IX. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.

Level Kognitif

Mullis et. al (2009) mengklasifikasikan tingkatan kognitif siswa kedalam tiga tingkatan yaitu pengetahuan (knowing), penerapan (applying), dan penalaran (reasoning). Pada tingkatan knowing , siswa memiliki kemampuan: 1) recall, yaitu memahami definisi, sifat-sifat, terminologi, serta notasi-notasi dalam matematika, 2) Recognize, yaitu mengenal objek dan entitas matematika, 3) Compute, yaitu menghitung prosedur-prosedur algoritmik, 4) Retrieve, yaitu mengambil informasi dari grafik, table, atau sumber lain yang sederhana, 5) Measure, yaitu menggunakan instrument-instrumen

6) Classify/Order , yaitu mengklasifikasikan objek, bangun, bilangan, serta mengurutkan objek, bangun, dan bilangan berdasarkan sifat-sifat tertentu.

pengukuran, serta

Selanjutnya, tingkatan yang kedua adalah applying yaitu kemampuan siswa untuk mengaplikasikan matematika dalam masalah rutin yang meliputi: 1) Select, yaitu memilih operasi, metode, serta strategi yang tepat dalam memecahkan masalah dimana prosedur, metode, atau algoritma untuk menyelesaikan masalah tersebut sudah diketahui, 2) Represent, yaitu menyajikan informasi matematika atau data dalam bentuk diagram atau tabel, 3) Model, yaitu mengunakan model untuk memecahkan masalah rutin, 4) Implement , yaitu mengimplementasikan sekumpulan perintah-perintah matematika, 5) Solve routine problem, yaitu menyelesaikan masalah matematika dalam konteks yang sederhana atau familiar.

Tingkatan yang ketiga adalah reasoning yang merupakan tingkatan tertinggi dalam domain kognitif. Pada tingkatan reasoning melibatkan kemampuan logika dan berpikir sistematis. Di dalamnya juga melibatkan intuisi dan penalaran induktif. Aspek-aspek pada tingkatan reasoning meliputi: 1) Analyze, yaitu menentukan, mendiskripsikan, atau menggunakan hubungan antar variabel atau objek dalam situasi matematika, serta membuat kesimpulan yang tepat terhadap informasi yang diberikan, 2) Generalize/Specialize, yaitu memperluas ruang lingkup dari hasil pemikiran matematika, 3) Integrate/Synthesize, yaitu membuat hubungan dari elemen-elemen yang berbeda serta menghubungkan ide-ide matematika yang saling berdekatan. Selain itu, pada tingkatan Integrate juga meliputi kemampuan mengkombinasikan fakta, konsep, dan prosedur untuk membangun hasil, serta mengkombinasikan hasil untuk mendapatkan hasil selanjutnya, 4) Justify , yaitu membuat justifikasi atau membuktikan dengan menggunakan hasil maupun sifat-sifat matematika yang telah diketahui, 5) Solve non-routine problems, yaitu menyelesaikan sekumpulan masalah matematika atau masalah kehidupan sehari-hari yang kompleks. Selain itu, pada tingkatan ini juga siswa mampu mengaplikasikan fakta, prosedur, dan konsep pada permasalahan yang kompleks atau tidak familiar.

Tingkatan kognitif yang dirumuskan oleh Mullis et al (2009) tidak jauh berbeda dengan yang dirumuskan oleh Anderson dan Krathwohl (2001) yang merevisi kategori domain kognitif dari Bloom. Menurut Anderson dan Krathwohl tingkatan kognitif dapat dibagi menjadi enam kategori yaitu remember (mengingat), understand (memahami), Apply (mengaplikasikan), Analyze (Analisis), Evaluation (evaluasi), dan create (membuat). Selain itu, PISA juga mengembangkan enam kategori kemampuan matematika siswa yang menunjukkan kemampuan kognitif dari siswa (OECD, 2004). Tingkatan kemampuan matematika menurut PISA disajikan pada Tabel 1.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 423

Tabel 1. Level Kemampuan Matematika Siswa

Level

Deskripsi

1 Siswa mampu menjawab pertanyaan dalam konteks yang dipahami siswa dimana semua informasi disajikan dan pertanyaan disusun secara jelas

2 Siswa mampu menginterpretasikan dan mengenali situasi dalam konteks. Siswa dapat mengekstrak informasi yang diperoleh

3 Siswa mampu memilih dan mengaplikasikan strategi pemecahan masalah yang sederhana. Siswa mampu mengembangkan komunikasi sederhana yang menunjukkan kemampuan menginterpretasikan dan penalaran

4 Siswa dapat bekerja secara efektif dengan model yang jelas pada situasi yang kompleks

5 Siswa dapat mengembangkan dan bekerja dengan model pada situasi yang kompleks, mengidentifikasi kendala, menyusun asumsi-asumsi yang sesuai.Siswa juga dapat memilih, membandingkan, dan menilai strategi pemecahan masalah yang tepat

6 Siswa dapat mengkonseptualisasi, generalisasi, menggunakan informasi sebagai hasil investigasi dan menyusun model berdasarkan situasi yang kompleks

Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian telah menunjukkan pengaruh penggunaan buku teks dalam pembelajaran matematika baik bagi guru maupun siswa. O ‘Keeffe & O’Donoghue (2011) dalam kajiannya terhadap tiga buku teks matematika yang paling banyak digunakan di tingkat menengah (junior) di Irlandia menyimpulkan bahwa ketiga buku yang dikaji lemah dalam memberikan motivasi dan pemahaman menyeluruh terhadap materi. Selain itu, kurang dari seperempat soal-soal latihan merupakan soal pemecahan masalah. Dalam eksperimennya untuk menguji buku model yang disusun menyimpulkan bahwa siswa yang diberikan buku model mendapatkan peningkatan yang signifikan dalam pemahaman konsep dibandingkan dengan siswa yang menggunakan buku yang biasa digunakan.Tarr et al (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam pembelajaran guru menggunakan lebih dari 76% materi dari buku dalam instruksionalnya, siswa menggunakan lebih dari 66% materi dari buku dalam belajarnya, dan lebih dari 56% tugas PR diambil dari buku.

Selanjutnya, Reys, Reys, Lapan, & Holliday (2003) dalam penelitiannya yang membandingkan sekolah yang menerapkan buku teks yang berbasis Standards Based-curriculum dengan buku teks tradisional menemukan bahwa siswa-siswa yang menggunakan buku teks berbasis Standards Based-curriculum memiliki prestasi lebih baik daripada siswa yang menggunakan buku teks tradisional. Kolovou et al (2009) dalam kajiannya terhadap buku teks sekolah dasar yang digunakan di Belanda menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil buku teks yang memberikan soal-soal pemecahan masalah non-rutin. Bahkan beberapa buku yang dikaji tidak memberikan permasalahan non-rutin dalam soal-soalnya. Hasil ini menunjukkan bahwa buku teks yang digunakan di sekolah dasar di Belanda belum melatih siswa untuk mampu menyelesaikan soal-soal non-rutin yang merupakan level kognitif tertinggi.

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah studi pustaka, yaitu mengkaji soal-soal uji kompetensi pada buku-buku pelajaran matematika SMP kelas VII, VIII, dan IX. Selanjutnya soal-soal uji kompetensi dikaji berdasarkan tingkatan kognitif menurut Mullis et. al. (2009) yaitu pengetahuan (knowing), penerapan (applying), dan penalaran (reasoning).

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 424

C. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini dipilih masing-masing tiga (3) buku teks pelajaran matematika untuk setiap kelas yang banyak digunakan oleh sekolah. Berdasarkan hasil analisis terhadap muatan aspek kognitif pada soal-soal uji kompetensi tiap bab buku teks pelajaran matematika yang dipilih maka diperoleh data sebagaimana disajikan pada Tabel 2, 3, dan 4 berikut:

Tabel 2. Distribusi Aspek Kognitif Buku Teks Kelas VII

No

Judul Buku

Aspek Kognitif (%) Knowing Applying Reasoning

1 Pegangan Belajar Matematika

2 Matematika Bermakna

3 Seribu Pena Matematika

Tabel 3. Distribusi Aspek Kognitif Buku Teks Kelas VIII

No

Judul Buku

Aspek Kognitif (%) Knowing Applying Reasoning

1 Matematika Konsep dan

2 Seribu Pena Matematika

3 Matematika Bermakna

Tabel 4. Distribusi Aspek Kognitif Buku Teks Kelas IX

No

Judul Buku

Aspek Kognitif (%) Knowing Applying Reasoning

1 Belajar Matematika Aktif dan Menyenangkan

2 Matematika Bermakna

90,3 6,3 Berdasarkan data pada Tabel 2, 3, dan 4 tampak bahwa soal-soal pada buku teks pelajaran matematika kelas VII, VIII, dan IX sebagian besar berisi soal-soal yang bersifat penerapan (applying) yang mendorong siswa untuk mampu menyelesaikan permasalahan matematika rutin (routine problems). Selanjutnya, pada buku kelas VII, soal-soal yang bermuatan aspek pengetahuan (knowing) mendapatkan proporsi lebih besar dibandingkan soal aspek penalaran (reasoning). Kecuali buku “Matematika Bermakna”, persentase muatan kognitif penalaran lebih sedikit dibandingkan dengan muatan kognitif pengetahuan pada buku teks pelajaran kelas VIII yang dikaji. Sedangkan pada buku teks kelas IX, buku “Matematika Bermakna” dan “Seribu Pena Matematika” memberikan porsi yang lebih besar pada soal-soal aspek penalaran dibandingkan aspek pengetahuan. Sedangkan pada buku “Belajar Matematika Aktif dan Menyenangkan” proporsi soal aspek pengetahuan dan penalaran hampir sama.

3 Seribu Pena Matematika

Pembahasan

Buku teks pelajaran merupakan buku wajib yang harus dimiliki oleh setiap satuan pendidikan sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan khususnya Pasal 42. Dalam Pasal 42 disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Demikian strategisnya peran buku teks pelajaran sehingga setiap satuan pendidikan khususnya guru dituntut untuk mampu memilih buku teks pelajaran yang berkualitas sehingga siswa dapat belajar dengan baik dan mampu menguasai ilmu pengetahuan secara benar.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 425

Meskipun BSNP telah melakukan penilaian kelayakan terhadap buku teks yang akan digunakan di sekolah, namun masih ditemukan kelemahan-kelemahan dalam buku teks yang digunakan di sekolah saat ini. Salah satu kelemahan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah rendahnya proporsi soal-soal dalam buku teks yang mendorong siswa untuk mampu menggunakan kemampuan penalaran mereka dalam menyelesaikan masalah matematika. Sedikit sekali soal-soal yang menuntut siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan analitis yang merupakan aspek tingkatan berpikir tingkat tinggi (high order thinking). Mayoritas soal-soal pemecahan masalah dalam uji kompetensi berisi soal-soal yang sifatnya penerapan masalah-masalah rutin. Dengan demikian soal-soal pemecahan masalah yang diberikan dalam buku teks merupakan soal-soal pemecahan masalah yang sederhana atau dalam konteks yang mudah dipahami oleh siswa.

Dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 menyebutkan bahwa mata pelajaran matematika mempunyai tujuan diantaranya agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan dapat tepat dalam pemecahan masalah, menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan peryataan matematika, serta memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Dengan kondisi buku teks pelajaran matematika yang beredar saat ini, dimana proporsi soal-soal penalaran sangat sedikit dibandingkan soal-soal aplikasi dan pengetahuan, maka menjadi tugas berat bagi para guru untuk dapat menghasilkan peserta didik yang mempunyai kemampuan sebagaimana disebutkan dalam Permendiknas nomor 22 Tahun 2006 tersebut. Buku sebagai sumber belajar yang diharapkan menjadi salah satu instrumen untuk mencapai tujuan pembelajaran belum sepenuhnya mampu memenuhi harapan baik untuk siswa maupun guru. Apabila siswa dan guru hanya mengandalkan buku teks pelajaran sebagai sumber belajar, maka kemampuan penalaran siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan analitis kecil kemungkinan dapat terwujud.

Salah satu indikator kelemahan kemampuan penalaran siswa Indonesia adalalah laporan dari berbagai survery yang telah dilakukan oleh lembaga terpercaya diantaranya TIMSS dan PISA yang selalu menempatkan siswa Indonesia pada ranking bawah diantara negara-negara yang berpartisipasi. Skor rata-rata siswa Indonesia selalu terpaut jauh dengan skor rata-rata internasional. Di tingkat ASEAN, skor rata-rata siswa Indonesia juga tertinggal dengan siswa dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Kondisi seperti ini tentunya perlu mendapatkan perhatian yang serius bagi semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan khususnya pendidikan matematika.

Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian dari Yunengsih (2008) dalam penelitiannya tentang soal-soal Ujian Nasional SMP tahun 2005/2006 dan 2006/2007 yang menyimpulkan bahwa mayoritas soal UN berupa soal-soal perform procedure yaitu menyelesaikan masalah matematika sesuai dengan prosedur atau menyelesaikan masalah matematika dari informasi-informasi yang telah diketahui. Sedangkan soal-soal yang menuntut aspek penalaran yaitu membuktikan dan masalah non-rutin tidak ada. Dalam penelitian yang lain, Dwi Amelia, Budi Murtiyasa, dan Masduki (2012) menyimpulkan bahwa dilihat dari sebaran aspek kognitif soal Ujian Nasional SMA tahun 2010/2011, aspek pengetahuan menempati porsi tertinggi dengan 72%, menyusul aspek penerapan sebesar 23%, dan terakhir aspek penalaran sebesar 5%. Tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya, hasil pemetaan aspek kognitif untuk soal UN tahun 2011/2012 diperoleh 60% untuk aspek pengetahuan, 32% untuk aspek penerapan, dan 8% untuk aspek penalaran. Sementara itu, Erika Sandrayani, Budi Murtiyasa, dan Masduki (2012) dalam kajiannya tentang aspek kognitif soal UN SMP menyimpulkan bahwa untuk soal UN SMP tahun 2009/2010 aspek pengetahuan sering muncul dalam soal yaitu sebesar 60%, disusul aspek penerapan sebesar 22,5% dan paling sedikit aspek penalaran sebesar 17,5%. Sedangkan untuk soal UN SMP tahun 2010/2011 diperoleh aspek pengetahuan sebesar 62,5%, aspek penerapan sebesar 27,5%, serta terakhir aspek penalaran sebesar 10%.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 426

Dari hasil-hasil penelitian tersebut tampak bahwa aspek penalaran, yang merupakan aspek kognitif berpikir tingkat tinggi, belum mendapatkan porsi yang semestinya baik dalam buku-buku teks pelajaran maupun soal-soal ujian nasional. Siswa tidak diberikan tantangan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang kompleks yang menuntut kreativitas, berpikir kritis dan analitis dalam menyelesaikan masalah. Padahal kemampuan kreatifitas, berpikir kritis dan analitis sangat diperlukan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi siswa di kemudian hari. Selain itu, kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan analitis diperlukan untuk mampu bersaing dalam dunia global. Jika hal ini tidak segera dicarikan solusi yang tepat, kedepan sumber daya manusia bangsa Indonesia akan semakin tertinggal jauh dari negara lain bahkan sesama negara ASEAN.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis terhadap soal-soal buku teks pelajaran matematika dapat disimpulkan bahwa semua buku teks pelajaran menempatkan aspek penerapan (applying) yang meliputi memilih operasi, metode, serta strategi yang tepat dalam memecahkan masalah sesuai prosedur, menyajikan informasi matematika atau data dalam bentuk diagram atau tabel, mengunakan model untuk memecahkan masalah rutin, mengimplementasikan sekumpulan perintah-perintah matematika, serta menyelesaikan masalah matematika dalam konteks yang sederhana atau familiar pada porsi yang paling besar berkisar 66% – 92% dari keseluruhan soal uji kompetensi. Sedangkan aspek kognitif penalaran (reasoning) yang memuat aspek-aspek berpikir tingkat tinggi hanya mendapatkan porsi yang paling sedikit yaitu sebesar 0,39% - 11,63% dalam soal-soal uji kompetensi. Persentase yang kecil dalam aspek kognitif penalaran menyebabkan siswa tidak terlatih untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menantang, yang menuntut kemampuan kreatifitas, berpikir kritis dan analitis. Sehingga dapat dimengerti mengapa dari berbagai tes matematika yang dilakukan oleh TIMSS maupun PISA skor rata-rata siswa Indonesia selalu berada pada level bawah.

Permasalahan ini merupakan tanggung jawab seluruh elemen bangsa mulai dari pemerintah selaku pengambil kebijakan, satuan pendidikan sebagai pelaksana, guru sebagai ujung tombak dalam bidang pendidikan, serta masyarakat khususnya para penulis dan penerbit buku. Semua elemen tersebut harus tergerak untuk berperan serta dalam mewujudkan cita-cita pendidikan seperti yang termuat dalam UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggung jawab. BSNP selaku wakil pemerintah dalam menilai kelayakan suatu buku sudah seharusnya mempertimbangkan kualitas soal-soal buku teks yang dinilai berdasarkan aspek kognitif.

E. DAFTAR PUSTAKA

Amelia, D., Murtiyasa, B., & Masduki. 2012. Pemetaan Soal-soal Ujian Nasional Matematika SMA/MA. Prosiding Seminar Nasional Matematika Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMS 9 Mei 2012, 28-36

Anderson, L.W., & Krathwohl, D., 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives . New York: Longman.

Cholik, Adinawan M., & Sugijono. 2008. Seribu Pena Matematika Untuk SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Erlangga.

----------------. 2008. Seribu Pena Matematika Untuk SMP/MTs Kelas VIII. Jakarta: Erlangga. ----------------. 2008. Seribu Pena Matematika Untuk SMP/MTs Kelas IX. Jakarta: Erlangga. Harta, Idris. 2006. Matematika Bermakna VII. Surakarta: Mediatama.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 427

----------------. 2006. Matematika Bermakna VIII. Surakarta: Mediatama. ----------------. 2006. Matematika Bermakna IX. Surakarta: Mediatama. Jalal, F., Samani, M., Chang, Mae C., Stevenson, R., Ragatz, Andrew B., & Negara, Siwage D. 2009.

Teacher Certification in Indonesia: A Strategy for Teacher Quality Improvement . Depdiknas: Jakarta.

Kolovou, A., Van den Heuvel-Panhuizen, M., & Bakker, A., 2009. Non-Routine Problem Solving Tasks in Primary School Mathematics Textbooks – A Needle in a Haystack. Mediterranian Journal for Research in Mathematics Education , 8(2): 31-68.

Mullis, Ina V.S., Martin, Michael O., Ruddock, Graham J., O’Sullivan, Christine Y., & Preuschoff, Corrinna. 2009. TIMSS 2011 ASSESMENT FRAMEWORK. TIMSS & PIRLS International Study Center, Lynch School of Education, Boston College.

O’Keeffe, L., & O’Donoghue, J. 2011. The Use of Evidence Based Research on Mathematics Textbooks to Increase Student Conceptual Learning. International Journal for Cross-Dsiciplinary Subjects in Education , 2(1): 304-311

OECD. 2010. PISA 2009 results: What Students Know and Can Do – Student Performance in Reading,

Science (Volume I). http//dx.doi.org/10.1787/9789264091450-en.

Mathematics,

and

Provasnik, S., Kastberg, D., Ferraro, D., Lemanski, N., Roey, S., and Jenkins, F. 2012. Highlights From TIMSS 2011: Mathematics and Science Achievement of U.S. Fourth- and Eighth-Grade Students in an International Context (NCES 2013-009). National Center for Education Statistics, Institute of Education Sciences, U.S. Department of Education. Washington, DC.

Reys, Robert., Reys, Barbara., Lapan, Richard, & Holliday, Gregory. 2003. Assessing the Impact of Standards-Based Middle Grades Mathematics Curriculum Materials on Student Achievement. Journal for Research in Mathematics Education, 34(1): 74-95.

Sandrayani, E., Murtiyasa, B., & Masduki. 2012. Pemetaan Soal-soal Ujian Nasional Matematika SMP/MTs. Prosiding Seminar Nasional Matematika Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMS 9 Mei 2012, 49-54

Susanti, D., & Djumanta, W. 2008. Belajar Matematika Aktif dan Menyenangkan untuk Kelas

IX SMP/MTs . Online. Tersedia di: http://bse.depdiknas.go.id. Diakses tanggal 3 Juli 2009. Tarr, James E., Reys, Robert E., Reys, Barbara J., & Chavez, Oscar. 2008. The Impact of Middle

Grades Mathematics Curricula and The Classroom Learning Environment on Student Achievement. Journal for Research in Mathematics Education, 39 (3): 247-280.

Yunengsih, Y., Widiatmaka, I Made Agus A., & Candrasari, A. 2008. Ujian Nasional Dapatkah Menjadi Tolok Ukur Nasional Pendidikan? . Laporan Penelitian Sampoerna Foundation: Jakarta.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 428

P - 54

PENERAPAN PENDEKATAN SCIENTIFIC DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP KELAS VII MATERI BILANGAN (PECAHAN)

1 M.F. Atsnan 2 , Rahmita Yuliana Gazali Mahasiswa Pendidikan Matematika Pasca Sarjana UNY

1 ats_krnbangettt@yahoo.co.id, 2 rahmitayulianagazali@yahoo.com

Abstrak

Pendekatan scientific atau lebih umum dikatakan pendekatan ilmiah menjadi keniscayaan dalam kurikulum 2013. So, bagaimana langkah – langkah pembelajaran berdasarkan pendekatan scientific yang mencakup lima langkah utama yaitu

observing (mengamati), questioning (menanya),

associating (menalar),

experimenting (mencoba), dan networking (membentuk jejaring), diterapkan dalam pembelajaran matematika kelas VII SMP pada materi bilangan?. Sudah sesuaikah buku siswa kelas VII SMP yang ada dengan pendekatan scientific pembelajaran matematika ? Semua akan dijabarkan dan dipaparkan dalam makalah ini.

Kata kunci: Pendekatan scientific, buku siswa

A. PENDAHULUAN

Kurikulum 2013 mengajak kita semua untuk semangat dan optimis akan meraih pendidikan yang lebih baik. Kurikulum 2013 yang menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran menggunakan pendekatan ilmiah sebagai katalisator utamanya atau perangkat atau apa pun itu namanya. Pendekatan ilmiah (scientific approach) diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah. Dalam konsep pendekatan scientific yang disampaikan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dipaparkan minimal ada 7 (tujuh) kriteria dalam pendekatan scientific. Ketujuh kriteria tersebut adalah sebagai berikut :

1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu ; bukan sebatas kira – kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.

2. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru – siswa terbebas dari prasangka yang serta – merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.

3. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.

4. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.

5. Mendorong dan menginspirasi siswa dalam memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.

6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, tetapi menarik sistem penyajiannya.

Proses pembelajaran scientific merupakan perpaduan antara proses pembelajaran yang semula terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013). Meskipun ada yang mengembangkan lagi menjadi mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengolah data, mengkomunikasikan, menginovasi dan mencipta. Namun, tujuan dari beberapa proses pembelajaran yang harus ada dalam pembelajaran scientific sama, yaitu menekankan bahwa belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat. Selain itu, guru cukup bertindak sebagai scaffolding ketika anak/ siswa/ peserta didik mengalami kesulitan, serta guru bukan satu – satunya sumber belajar. Sikap tidak hanya diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan keteladanan.

B. PEMBAHASAN

1. Pendekatan Scientific atau Metode Scientific

Metode scientific pertama kali diperkenalkan ke ilmu pendidikan Amerika pada akhir abad ke-19, sebagai penekanan pada metode laboratorium formalistik yang mengarah pada fakta-fakta ilmiah (Hudson, 1996; Rudolph, 2005). Metode scientific ini memiliki karakteristik “doing science ”. Metode ini memudahkan guru atau pengembang kurikulum untuk memperbaiki proses pembelajaran, yaitu dengan memecah proses ke dalam langkah-langkah atau tahapan-tahapan secara terperinci yang memuat instruksi untuk siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran (Maria Varelas and Michael Ford, 2008: 31). Hal inilah yang menjadi dasar dari pengembangan kurikulum 2013 di Indonesia.

Pendekatan scientific atau lebih umum dikatakan pendekatan ilmiah merupakan pendekatan dalam kurikulum 2013. Dalam pelaksanaannya, ada yang menjadikan scientific sebagai pendekatan ataupun metode. Namun karakteristik dari pendekatan scientific tidak berbeda dengan metode scientific (scientific method). Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologi) yang berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas “menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas “ mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta”. Keterampilan diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”. Karakteristik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses (Permen No.65 Tahun 2013). Pendekatan scientific dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 430

Untuk memperkuat pendekatan scientific diperlukan adanya penalaran dan sikap kritis siswa dalam rangka pencarian (penemuan). Agar dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry ) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu metode ilmiah umumnya memuat rangkaian kegiatan koleksi data atau fakta melalui observasi dan eksperimen, kemuadian memformulasi dan menguji hipotesis. Sebenarnya apa yang dibicarakan dengan metode ilmiah merujuk pada: (1) adanya fakta, (2) sifat bebas prasangka, (3) sifat objektif, dan (4) adanya analisa. Dengan metode ilmiah seperti ini diharapkan kita akan mempunyai sifat kecintaan pada kebenaran yang objektif, tidak gampang percaya pada hal-hal yang tidak rasional, ingin tahu, tidak mudah membuat prasangka, selalu optimis (Kemendikbud, 2013: 141).

Selanjutnya secara sederhana pendekatan ilmiah merupakan suatu cara atau mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan prosedur yang didasarkan pada suatu metode ilmiah. Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai non ilmiah. Pendekatan non ilmiah dimaksud meliputi semata-mata berdasarkan intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis (Kemendikbud, 2013: 142). Perubahan proses pembelajaran [dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu] dan proses penilaian [dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output]. Penilaian proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang menilai kesiapan siswa, proses, dan hasil belajar secara utuh (Permen No.65 Tahun 2013).

Pendekatan scientific menjadi trending topic pada pelaksanaan kurikulum 2013. Pembelajaran berbasis pendekatan scientific ini lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50 – 70 persen.

2. Penerapan Pendekatan Scientific pada Pembelajaran Matematika Kelas VII SMP Materi Pecahan

Scientific Mathematic merupakan proyek Eropa yang melibatkkan kerjasama interdisiplinary antara matematika dan ilmu pengetahuan. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan pembelajaran ke arah belajar yang komprehensif dan multidimensional mengenai isi dan konsep matematika. Ide dasarnya adalah untuk mendorong pembelajaran matematika dalam konteks ilmiah dan kegiatan siswa (Beckmann, 2009: 9). Kemudian disebutkan bahwa pendekatan ini mengaitkan antara matematika dengan ilmu pengetahuan, sehingga siswa akan mempelajari matematika dengan cara yang menarik. Belajar dengan berkegiatan akan berkontribusi terhadap pemahaman intuitif matematika siswa. Dengan kata lain, belajar matematika yang baik adalah mengalami atau berkegiatan.

Pada pembelajaran matematika, langkah – langkah pendekatan scientific ini terdiri dari pengumpulan data dari percobaan, pengembangan dan peyelidikan suatu model matematika dalam bentuk representasi yang berbeda, dan refleksi (Beckmann et al, 2009: 9). Pendekatan scientific pada kurikulum 2013 yang diterapkan di Indonesia menjabarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut menjadi lima, yaitu: mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013).

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 431

Berikut contoh penerapan pendekatan scientific pada materi bilangan khususnya bilangan pecahan , penulis tuangkan dalam contoh Lembar Kegiatan Siswa (LKS) sebagai berikut :

LEMBAR KEGIATAN SISWA

Indikator : Mengenalkan bilangan pecahan

Tulis nama kelompokmu :……………………… Kelas :……… Nama anggota :

2. Petunjuk umum :  Amati berbagai jenis kegiatan berikut  Diskusikan dengan temanmu penyelesaian (jawaban) dari kegiatan – kegiatan berikut !

Kegiatan A

Perhatikan gambar berikut !

Ibu mempunyai pizza seperti pada gambar yang akan dibagikan kepada 4 orang anaknya. ( mengamati dan mengkomunikasikan)

a. Apa yang akan dilakukan anak ketika melihat pizza sudah terbagi menjadi 4 bagian seperti pada gambar ?

J awaban : ..............................................................

( menanya)

b. Ajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan gambar !

J awaban : ..............................................................

Kegiatan B

Perhatikan gambar berikut !

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 432

Penjual soto ayam mempunyai satu buah jeruk nipis terlihat seperti pada gambar yang akan diberikan sama besar kepada setiap pembeli.

(mengumpulkan dan mengolah data, mengkomunikasikan)

a. Apa yang akan dilakukan penjual soto ayam dengan jeruk nipis yang dimilikinya, jika ada 4 pembeli soto ayam ? Jelaskan pendapatmu !

J awaban : .............................................................. ..............................................................

(menalar dan mengkomunikasikan)

b. Jika ternyata ada 4 orang pembeli lagi yang datang, maka apa yang akan dilakukan penjual tersebut dengan satu jeruk nipis yang dimilikinya, dengan melihat ada tambahan pembeli ?

J awaban :

Kegiat an 3

Perhatikan gambar – gambar berikut !

Dalam tas Mira terdapat 4 buah pulpen, 2 buah buku, dan 6 buah pensil seperti pada gambar di atas. ( mengumpulkan dan mengolah data)

a. Jika Arya meminjam 1 buah buku dan 2 buah pulpen, maka dapatkah kamu menuliskan berapa bagian buku dan pulpen yang dipinjam Arya dari Mira ?

J awaban : ..............................................................

( menalar dan mengkomunikasikan)

b. Jika Lilis meminjam 1 buku, 3 pensil, dan 2 pulpen, maka dapatkah kamu menjelaskan berapa bagian barang yang dipinjam Lilis dari Mira ? Adakah nilai bagian yang sama? Jelaskan pendapatmu !

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 433

J awaban : .............................................................. ..............................................................

3. Miskonsepsi Buku Siswa Kelas VII SMP Materi Pecahan

Beberapa miskonsepsi mendasar yang ditemukan pada buku siswa kelas VII menurut penulis antara lain :

a. Visualisasi

Perhatikan gambar 2.23 : Roti, pada buku siswa halaman 133 pada buku dan halaman 141 pada pdf berikut !

Gambar 2.23: Roti merupakan alternatif penyelesaian dari masalah – 2.34 yang berbunyi “Santi mempunyai 2 roti. Tiga perempat bagian dari dua roti itu di beri kepada adiknya. Berapa bagian sisa roti pada Santi ?”. Atau gambar 2.27 : Roti, gambar alternatif penyelesaian dari masalah – 2.39

Kemudian di mana letak miskonsepsinya ? Secara algoritma penyelesaian memang sudah sesuai, tetapi jika dilihat dari bentuk gambar roti, tentu kita akan bertanya, apa benar keempat bagian tersebut atau ketiga bagian tersebut sama besar ? Mungkin, hal ini dipandang sepele, tetapi perlu adanya visualisasi yang lebih tepat misalnya tetap dengan roti atau kue yang berbentuk simetris, seperti lingkaran atau persegi. Sehingga anak sejak dini diajarkan kebenaran, kejujuran tentang masalah kontekstual yang sebenarnya, bukan mengada – ada. (Kriteria 1).

b. Ambiguitas kata atau kalimat

1) Pada masalah – 2.35 yang berbunyi”Dalam memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus, diadakan pertandingan melompat bagi anak – anak umur 12 tahun ke bawah….”

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 434

Menurut hemat penulis, anak – anak umur 12 tahun ke bawah, bisa diganti dengan selang, misalnya anak – anak umur 8 – 11 atau kelompok umur 6 – 9 tahun, agar jelas domain peserta lomba dan logis jika beda umur tidak terlalu jauh, sehingga pasti sudah ditebak pemenangnya ya peserta yang lebih tua umurnya, karena punya jangkauan kaki yang lebih panjang, misalnya.

2) Pada masalah – 2.36 yang berbunyi “Ibu menerima gaji untuk dua bulan sebesar Rp 3.000.000,00. Untuk biaya sekolah anak – anaknya….” Menurut hemat penulis, kalimat Ibu menerima gaji untuk dua bulan sebesar Rp 3.000.000,00, perlu diubah sedikit agar lebih jelas dengan kalimat penegas. Misalnya : Ibu menerima gaji Rp 1.500.000,00 per bulan. Sehingga selama dua bulan gaji ibu sebesar Rp 3.000.000,00, atau jika pembuat soal “ masalah – 2.36” menginginkan agar anak bisa berpikir besar gaji Ibu satu bulan, kalimat tetap, namun ditambahi “di mana per bulannya Ibu mendapat gaji tetap dan sama banyaknya”.

c. Konsistensi Diksi (pilihan kata)

Perlu konsistensi diksi atau pilihan kata, agar anak/siswa/peserta didik sejak dini diajarkan penggunaan EYD, bahasa yang baik dan benar.

Misalnya pada alternatif penyelesaian masalah – 2.36 penulisan nominal rupiah yang baku. Selain itu pada masalah – 2.38, penulisan satuan meter dan m, meskipun sama makna (arti), tetapi tidak menutup kemungkinan ada anak yang bingung.

C. SIMPULAN

Suatu pendekatan berpikir dan berbuat yang diawali dengan mengamati dan menanya sampai kemudian mereka berupaya untuk mencoba, mengolah, menyaji, menalar, dan akhirnya mencipta. Itulah mengapa pendekatan scientific ini akan bermuara kepada tingkatan mencipta (to create ) yang tentunya terdapat unsur kreativitas di dalamya. Dalam pembelajaran matematika intinya adalah anak / siswa/ peserta didik berkegiatan. Diharapkan dengan mereka berkegiatan selama proses pembelajaran, matematika akan lebih bermakna dan sesuai dengan tema seminar nasional saat ini peran matematika dan pendidikan matematika untuk Indonesia yang lebih baik. Selain itu, hal – hal sepele yang bisa menjadi miskonsepsi siswa dalam belajar matematika sejak dini perlu diperhatikan, terutama untuk bahan ajar berupa buku matematika siswa, agar nantinya lebih sempurna dan baik lagi.

Semoga. Amin.

D. DAFTAR PUSTAKA

Beckmann, A et al. 2009. The ScienceMath Project. Germany: The ScienceMath-Group. Bell, F.H. 1978. Teaching and Learning Mathematics. Iowa:WBC Hodson, D. (1996). Laboratory work as scientific method: Three decades of confusion and

distortion. Journal of Curriculum Studies, 28(2), 115-135. Kemdikbud. 2013. Kompetensi Dasar Matematika SMP/MTs. Jakarta :Kemdikbud Kemdikbud. 2013. Pendekatan Scientific (Ilmiah) dalam Pembelajaran . Jakarta: Pusbangprodik.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 435

Kemdikbud. 2013. Pengembangan Kurikulum 2013. Paparan Mendikbud dalam Sosialisasi Kurikulum 2013. Jakarta :Kemdikbud

Matlin, Margaret W. (2009). Cognitive Psychology Seventh Edition International Student Version . Printed In Asia: John Wiley & Sons, Inc.

Rudolph, J.L. 2005. Epistemology for the masses: The origins of the scientific method in American schools. History of Education Quarterly, 45, 341-376.

Varelas, M and Ford M. 2009. The scientific method and scientific inquiry: Tensions in teaching and learning . USA: Wiley InterScience.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 436

P - 55

MENUMBUHKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN MINAT BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN PROBLEM POSING

1 Mukti Sintawati 2 , Ginanjar Abdurrahman

1 mukti_sinta@yahoo.com, 2 gigin_mipa06@yahoo.com

Abstrak

Kemampuan berpikir kreatif sangat diperlukan oleh siswa mengingat bahwa dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan memungkinkan siapa saja bisa memperolah informasi secara cepat dan mudah dengan melimpah dari berbagai sumber dan tempat manapun di dunia. Hal ini mengakibatkan cepatnya perubahan tatanan hidup serta perubahan global dalam kehidupan. Jika para siswa tidak dibekali dengan kemampuan berpikir kreatif maka mereka tidak akan mampu mengolah menilai dan mengambil informasi yang dibutuhkannya untuk menghadapi tantangan tersebut. Sejalan dengan hal itu, salah satu proses penilaian yang diukur dalam kurikulum 2013 adalah tingkat berpikir siswa mulai dari rendah sampai tinggi. Sedangkan proses pembelajarannya menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi, pembawa pengetahuan dan berpikir logis, sistematis dan kreatif. Berpikir kreatif merupakan bagian dari berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills- HOTS). Salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif adalah pendekatan problem posing. Selain itu problem posing juga mampu menumbuhkan minat belajar siswa terhadap matematika.

Kata kunci: Berpikir kreatif, Minat, pendekatan problem-posing

A. PENDAHULUAN

Pendidikan mempunyai peranan penting dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan dapat berkompetisi di era teknologi seperti sekarang ini. Kemampuan berpikir kreatif sangat diperlukan oleh siswa mengingat bahwa dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan memungkinkan siapa saja bisa memperoleh informasi secara cepat dan mudah dari berbagai sumber dan tempat manapun di dunia. Hal ini mengakibatkan cepatnya perubahan tatanan hidup serta perubahan global dalam kehidupan. Oleh karena itu, siswa harus dibekali kemampuan berpikir untuk menghadapi tantangan tersebut. Hal ini sejalan dengan standar kompetensi lulusan kurikulum 2013 pada dimensi keterampilan, yaitu memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain sejenis. jika para siswa tidak dibekali dengan kemampuan berpikir, termasuk kemampuan berpikir kreatif, maka mereka tidak akan mampu mengolah menilai dan mengambil informasi yang dibutuhkannya untuk menghadapi tantangan tersebut.

Kemampuan berpikir kreatif dapat dikembangkan melalui aktivitas-aktivitas kreatif dalam pembelajaran matematika. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif mempunyai ciri-ciri: imajinatif, mempunyai prakarsa, mempunyai minat yang luas, mandiri dalam berpikir,

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Kurikulum 2013 menghendaki proses pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik (Mengamati, Menanya, Mengolah, Menyajikan, Menyimpulkan dan Mencipta), menggunakan ilmu pengetahuan sebagai penggerak pembelajaran untuk semua mata pelajaran, Menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberi tahu (discovery learning). Di dalam proses penilaian yang diukur dalam kurikulum 2013 adalah tingkat berpikir siswa mulai dari rendah sampai tinggi, sedangkan proses pembelajarannya salah satunya menekankan kemampuan berpikir kreatif. Berpikir kreatif merupakan bagian dari berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills-HOTS). Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang proses pembelajarannya sesuai dengan kurikulum 2013 dan dapat digunakan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif adalah pendekatan problem posing. Dalam artikel ini, akan dikaji mengenai pendekatan problem posing untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif dan minat belajar siswa terhadap matematika.

B. PEMBAHASAN

Pengertian berpikir kreatif

Kreativitas seseorang dapat ditinjau dari prosesnya. Proses untuk menghasilkan suatu produk kreatif inilah yang disebut dengan proses berpikir kreatif. McGregor (2007: 169) menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah salah satu jenis berpikir yang mengarah pada pemerolehan wawasan baru, pendekatan baru, perspektif baru, atau cara baru dalam memahami sesuatu. Biasanya, berpikir kreatif akan terjadi jika siswa diberi soal-soal atau masalah-masalah yang menantang. Berpikir kreatif menurut Munandar (1999) merupakan kemampuan berpikir divergen yang berdasarkan data atau informasi yang tersedia dalam menyelesaikan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanan pada kuantitas,ketepatgunaan, dan keragaman jawaban.

Sedangkan Johnson (2010: 214) berpendapat bahwa berpikir kreatif merupakan sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memerhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide yang tak terduga. Johnson (2010: 215) juga menyatakan bahwa untuk dapat berpikir kreatif, tentunya membutuhkan ketekunan, disiplin diri, meliputi aktivitas mental sebagai berikut:

1. Mengajukan pertanyaan

2. Mempertimbangkan informasi baru dan ide yang tak lazim dengan pikiran terbuka

3. Membangun keterkaitan, khususnya di antara hal-hal yang berbeda

4. Menghubung-hubungkan berbagai hal yang bebas

5. Menerapkan imajinasi pada setiap situasi untuk menghasilkan hal baru dan berbeda

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 438

6. Mendengarkan intuisi.

Pengertian minat belajar

Minat adalah pilihan terhadap bentuk-bentuk tertentu dari suatu aktifitas ketika seseorang tidak sedang berada dalam tekanan dari luar dirinya (Nitko & Brookhart, 2007: 448). Minat dapat digambarkan dengan memperhatikan sasaran utama, petunjuk dan intensitas. Sasaran utama minat dapat berupa aktivitas, petunjuk dari minat dapat berupa ketertarikan atau ketidaktertarikan, sedangkan intensitas dari minat diungkapkan dengan tinggi dan rendah (Gable, 1986: 9). Minat serupa dan berkaitan dengan keingintahuan. Minat merupakan karakteristik pokok yang menyatakan hubungan antara seseorang dan suatu objek atau aktivitas tertentu (Elliott et al, 2000: 349).

Dari beberapa pendapat ahli diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa minat adalah ketertarikan atau kecenderungan seseorang terhadap suatu objek atau aktivitas tertentu. Minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih suatu hal daripada hal lainnya.

Minat merupakan alat motivasi utama yang dapat membangkitkan kegairahan belajar siswa dalam rentang waktu tertentu. Oleh karena itu, guru perlu membangkitkan minat siswa agar pelajaran yang diberikan mudah dipahami. Menurut Syaiful B. Djamarah (2002:133) beberapa macam cara yang dapat digunakan oleh guru untuk membangkitkan minat siswa adalah sebagai berikut:

a. Membangkitkan adanya suatu kebutuhan, artinya siswa diberi masukan bahwa mempelajari matematika merupakan suatu kebutuhan agar siswa dapat mempelajari pelajaran lainnya dengan mudah yang berhubungan dengan matematika.

b. Menghubungkan dengan masalah persoalan, pengalaman yang lampau, artinya guru dapat berbagi pengalaman yang telah ia dapatkan dengan siswa dengan tujuan memunculkan memu nculkan minat belajar dalam diri siswa.

c. Memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik dengan cara menyediakan lingkungan belajar yang kreatif dan kondusif.

d. Menggunakan berbagai macam bentuk mengajar misalnya dengan metode pembelajaran yang bervariasi, fasilitas pembelajaran yang lengkap dan menarik, serta situasi pembelajaran yang menyenangkan.

Pendekatan problem-posing

Problem-posing memiliki 3 pengertian, yaitu: 1) problem-posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit (problem-posing sebagai salah satu langkah problem-solving). 2) Problem-posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain atau mengkaji kembali langkah problem solving yang telah dilakukan, dan 3)Problem-posing adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan (Silver, 1994). Hubungan kreativitas (sebagai produk berfikir kreatif) tidak berada pada pengajuan soal saja tetapi saling berpengaruh antara penyelesaian soal dan pengajuan soal.

Menurut Silver (1997) aktivitas siswa dalam pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing mengacu pada salah satu dari tiga aktivitas matematika. Aktivitas matematika yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pre-solution posing, siswa membuat soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan guru. Contoh:

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 439

Problem Posing tipe Pre Solution Posing Contoh: Tentukan persamaan garis yang melalui (2,4) dan sejajar dengan garis 3x + 2y =10!”. Untuk mengetahui bagaimana siswa menyelesaikan soal itu, apakah mereka menguasai soaltersebut dan bagaimana mereka merencanakan penyelesaiansoal itu, maka diberikan tugas: “ Buatlah soal lain berdasarkan soal di atas yang mengarah pada penyelesaian soal itu.”

Kemungkinan soal-soal yang dibuat siswa adalah:

a. Apakah syarat agar dua garis dikatakan sejajar?

b. Berapakah gradien garis 2x + 3y - 8 = 0?

c. Bagaimana membuat persamaan garis, bila diketahui sebuah titik dan gradiennya?

2. Within-solution posing, siswa membuat atau mengajukan soal yang sedang diselesaikan. Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai penyederhanaan dari soal yang sedang diselesaikan. Dengan demikian, pembuatan soal tersebut akan mendukung penyelesaian soal yang diberikan guru. Contoh: Sebuah taman berbentuk lingkaran memiliki diameter 14 m. Pada taman tersebut ada sebuah kolam renang berukuran 8mx7m. Di luar kolam renang akan ditanami rumput. Biaya

penanaman rumput tiap 1m 2 adalah Rp.10.000. Hitunglah biaya total untuk menanam rumput! ( = ).

Pertanyaan yang mungkin disusun siswa:

1. Berapa luas lingkaran?

2. Berapa luas persegi panjang?

3. Berapakah selisih Luas lingkaran dengan luas persegi panjang?

4. Berapakah total biaya?

3. Post-solution posing, guru memberikan masalah untuk diselesaikan. Setelah siswa menyelesaikan masalah tersebut, kemudian siswa mengajukan masalah baru. Contoh: Tentukan himpunan penyelesaian persamaan cos x = 1, untuk 0 ≤ X ≤ 180° Apabila siswa telah dapat menyelesaikan soal ini,maka guru meminta siswa untuk mengajukansoal/pertanyaan lain yang sama, tetapi dengan syarat yang berbeda. Beberapa soal yang mungkin dibuat siswa adalah

a. Tentukan himpunan penyelesaian persamaan cos x = 1,untuk -180° ≤ x ≤180°

b. Tentukan himpunan penyelesaian persamaan cos (x+30 ) = 1, untuk 0 ≤ x ≤180°

c. Tentukan himpunan penyelesaian persamaan cos (x-30 ) = 1, untuk 0 ≤ x ≤180° dan sebagainya.

Dari contoh di atas maka siswa mampu memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru yang sejenis. Dalam model pembelajaran problem posing siswa terlatih untuk memperkuat dan memperkaya konsep-konsep dasar matematika.

Pengajuan masalah matematika terdiri dari dua aspek penting, yaitu accepting dan challenging . Accepting berkaitan dengan kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang sulit ditentukan. Sementara challenging, berkaitan dengan sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan (Brown & Walter, 2005: 18). Sehubungan dengan hal tersebut, As’ari (2000) menegaskan bahwa proses kognitif accepting

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 440

(menerima) memungkinkan siswa untuk menempatkan suatu informasi pada suatu jaringan struktur kognitif sehingga struktur kognitif tersebut makin kaya. Sementara proses kognitif chalenging (menantang), memungkinkan jaringan struktur kognitif yang ada menjadi semakin kuat hubungannya. Dengan demikian pembelajaran matematika dengan pendekatan problem-posing akan menambah kemampuan dan penguatan konsep dan prinsip matematika siswa, yang selanjutnya akan berperan aktif dalam mengoptimalkan kemampuan berpikir kreatif dalam diri masing-masing siswa. Dengan keterlibatan siswa untuk berperan aktif membuat soal dalam proses pembelajaran, diharapkan akan meningkatkan pemahaman matematika siswa yang nantinya akan menumbuhkan minat belajar siswa terhadap matematika.

C. KESIMPULAN

Kemampuan berpikir kreatif penting untuk menghadapi tantangan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembelajaran Matematika dapat digunakan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif. Untuk melatih siswa berpikir kreatif melalui pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan problem-posing. Pendekatan problem-posing juga dapat digunakan untuk meningkatkan minat belajar siswa terhadap matematika.

D. DAFTAR PUSTAKA

As’ari, A.R. (2000), Problem Posing untuk Peningkatan Profesionalisme Guru Matematika. Jurnal Matematika . Tahun V, Nomor 1. Brown, S. I., & Walter, M. I. (2005). The art of problem posing (3 rd ed) . Mahwah, NJ: Lawrence

Erlbaum Associates. Cunningham, R.F. (2004). Problem-posing: An opportunity for increase student responsibility,

Mathematics and Computer Education. 38(1) 83-89. Djamarah, S.B,. (2002).Psikologi belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Elliot, S. N., et al. (2000). Educational psychology: effective teaching, effective learning. Boston:

The McGraw-Hill Companies, Inc. Gable, R. K. (1986). Instrument development in the affective domain. Lancaster: Kluwer –

Nijhoffshing. Johnson, Steven. (2010). Where Good Ideas Come From. New York: Riverhead books. McGregor, Debra. (2007). Thinking; Developing Learning. A Guide to Thinking Skills in

Education . McGrawHill: Open University Press. Muijs, D., & Reynolds, D. (2005). Effective teaching evidence and practice. Thousand Oaks:

SAGE Publications. Munandar, Utami. (1999). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 441

Nitko, A. J. & Brookhart, S. M. (2007). Educational assesment of students. New Jersey: Pearson Education.

Silver, EA. (1994). On Mathematical problem-posing. For the learning Mathematics, 14(1), 19-28.

Silver, E.A.(1997). Fostering creativity through instruction rich in mathematical problem solving and problem posing . (Versi Elektronik). Diambil tanggal 24 september 2013, dari http://www.jstor.org/stable/40248099 .

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 442

P - 56

KARAKTERISTIK BERPIKIR INTUITIF SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA

Muniri

Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya e-mail: muniri_ta@yahoo.co.id

Abstrak

Hampir setiap orang pada saat memahami atau menyelesaikan masalah matematika memerlukan waktu atau strategi penyelesaikan yang berbeda. Adakalanya seseorang langsung (directly) dalam memahami masalah pada saat membaca soal dan pada saat yang bersamaan muncul pula ide atau strategi dalam menyelesaikan masalah tersebut, namun ada pula yang memerlukan alat bantu atau media atau jembatan berpikir untuk memahami dan menemukan cara terbaik untuk menentukan solusi melalui langkah-langkah formal termasuk aktifitas algoritma. Kemampuan seseorang memahami dan sekaligus menemukan strategi yang tepat dan cepat dalam menyelesaikan masalah tersebut merupakan aktifitas mental yang ditopang oleh kecakapan berpikir intuitif yang muncul secara spontan, bersifat segera (immediate), global atau mungkin muncul secara tiba-tiba (sudently) dan tidak diketahui dari mana asalnya. Kecakapan formal (berpikir rasional, analitis) yang ditopang oleh kecakapan informal (berpikir intuitif) dalam matematika justru sangat membantu seseorang dalam menentukan solusi yang akurat. Beberapa karakteristik berpikir intuitif yang cenderung digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika antara lain; globality, implicitly, extrapolative, perseverable, coerciveness, catalytic inference, power of synthesis, dan common sense.

Kata Kunci: berpikir intuitif, menyelesaikan masalah matematika

A. PENDAHULUAN

Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah untuk membantu siswa dalam penyelesaian masalah, baik masalah-masalah yang berkenaan dengan pemahaman konsep matematika itu sendiri maupun aplikasinya. Mengenai makna pemecahan masalah diungkapkan Begle (Krulik & Reys 1980) menyatakan bahwa: “the real justification for teaching mathematics is that it is a useful subject and in particular, tha it helps in solving many kinds of problems. ” Lebih lanjut juga diungkapkan Ahli psikologi kognitif seperti Solso (1995) bahwa pemecahan masalah merupakan aktifitas berpikir yang diarahkan pada penyelesaian masalah tertentu yang melibatkan baik pembentukan repson-respon maupun pemilihan di antara respon-respon yang mungkin. Sedangkan Polya (1980) mendefiniskan pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan. Artinya bahwa pemecahan masalah dalam matematika adalah suatu aktivitas untuk mencari solusi masalah matematika yang dihadapi dengan menggunakan bekal pengetahuan dan pengalaman matematika yang sudah dimiliki.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, berarti bahwa pemecahan masalah dalam matematika adalah suatu aktivitas untuk mencari solusi dari soal matematika yang dihadapi dengan melibatkan semua bekal pengetahuan (telah mempelajari konsep-konsep) dan bekal pengalaman (telah terlatih dan terbiasa menghadapi atau menyelesaikan soal) yang tidak menuntut adanya pola khusus mengenai cara atau strategi penyelesaiannya. Dengan demikian dapat dirinci minimal menjadi dua bagian, yaitu pertama adakalanya seseorang menempuh

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Dreyfus T. & Eisenberg T (1982) mengatakan bahwa pemahaman secara intuitif sangat diperlukan sebagai “jembatan berpikir” manakala seseorang berupaya untuk menyelesaikan masalah dan memandu menyelaraskan kondisi awal dan kondisi tujuan. Dengan kata lain, untuk beberapa siswa pada saat menyelesaikan masalah matematika telah mengetahui atau menemukan solusi/jawaban dari masalah tersebut sebelum siswa menuliskan langkah penyelesaiannya. Kendati demikian pada saat mereka menemukan ide awal dalam penyelesaian masalah atau langkah seperti apa yang paling cocok untuk menyelesaikan masalah tersebut. Munculnya ide yang demikian tentunya datang secara segera bersifat otomatis (immediate) atau muncul tiba-tiba (suddently) yang merupakan karakter berpikir yang melibatkan intuisi.

Stanic & Kalpatrick (1988) menyatakan bahwa banyak para ahli matematika yang menganggap bahwa matematika itu sinonim dengan pemecahan masalah, menciptakan pola, menginterpreatsikan gambar, mengembangkan konstruksi matematika, membuktian teorema, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ketika seseorang bekerja keras untuk menyelesaikan masalah, solusinya tidak segera diperoleh secara langsung, maka dia berusaha untuk memperoleh pemecahan melalui beberapa langkah, yaitu (a) pertama, dia mencoba untuk memahami pernyataan dan pertanyaan dengan menggunakan berbagai informasi yang tersaji dalam teks masalah tersebut. Untuk mencapai suatu penyelesaian diperlukan pemahaman secara jelas dan membedakan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, (b) kedua, untuk menyelesaikan masalah, dia harus mengerahkan berbagai informasi terdahulu dan hal-hal yang berkaitan dengan informasi tersebut yang dapat dipergunakan sebagai jembatan untuk menyelaraskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, dan (c) ketiga, ketika usaha keras telah mencapai hasil akhir yang tersetruktur (well-structured end), dia merasakan bahwa ia akan memperoleh pemecahannya walaupun apa yang dipikirkan belum dilakukan atau diekspresikan dalam bentuk tulisan.

Pada umumnya, langkah-langkah penyelesaian masalah yang lebih kompleks, biasanya melalui beberapa tahap, yaitu pertama, seseorang akan berusaha secara maksimal dan melakukan percobaan atau perkiraan-perkiraan atau menduga serta memilih strategi untuk memperoleh skema dan model penyelesaian, mungkin menolak informasi atau solusi yang tidak memenuhi. Mungkin saja dia berubah-ubah aktifitas yang lain atau justru memilih istirahat. Tahap kedua, tiba-tiba dia memperoleh solusi atau strategi baru yang lebih akurat yang diperoleh melalui olah rasa (feeling) untuk menyelesaikan masalah. Mungkin saja dia belum memiliki unsur-unsur pemecahan berupa jastifikasi secara formal, analitik, deduktif atau induktif yang merupakan langkah-langkah penyelesaian masalah. Apa yang terlintas dipikirannya pada saat awal merupakan ide global, representasi global atau berupa jembatan menuju penyelesaian masalah. Aktifitas semacam ini tergolong aktifitas intuisi. Tahap ketiga, suatu intuisi berasosiasi dengan feeling dan keyakinan yang dalam dan kokoh, perasaan akan kepastian yang terjadi sebelum rangkaian formal yang berbasis analitis dilakukan dalam menyelesaikan masalah.

Berdasarkan uraian diatas, timbul pertanyaan bagaimana peran intuisi seseorang dalam menyelesaikan masalah matematika? Bagaimana karakteristik berpikir intuitif siswa dalam menyelesaikan masalah matematika?

Karakteristik berpikir Intuitif dalam menyelesaikan masalah matematika

Menurut Fischbein (1983, 1999) intuisi merupakan proses mental (kognisi) yang memiliki ciri-ciri tertentu. Pengetahuan atau pemahaman yang dibangun melalui proses intuisi ini disebut pengetahuan atau pemahaman intuitif. Lebih lanjut diungkapkan oleh Bert & Stuart Dreyfus (Klien, G. 2002) bahwa proses analisis dan intuisi dapat bekerja sama dalam pikiran manusia, sekalipun hasil kerja intuisi merupakan “hasil final”, sedangkan pemikiran analitis diperlukan untuk untuk memulai kecakapan baru.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 444

Fischbein (1987) manawarkan sifat-sifat dari intuisi yang dipandang sebagai kognisi segera (immediate cognition). Adapun sifat-sifat atau karakteristik tersebut di antaranya; (1) self-evident, (2) intrinsic certainty, (3) perseverance, (4) coerciveness, (5) extrapolativaness, (6) globality , dan (7) implicitness. Adapun makna masing-masing sifat-sifat tersebut diuraikan berikut ini.

Sifat intuisi yang pertama adalah self–evidence berarti bahwa konklusi yang diambil secara intuitif dianggap benar dengan sendirinya. Ini menunjukkan bahwa kebenaran suatu konklusi secara intuitif diterima berdasarkan feeling dan cenderung tidak memerlukan jastifikasi atau verifikasi lebih lanjut. Sebagai contoh, apabila seseorang menyimpulkan secara intuitif bahwa dua titik selalu dapat menentukan sebuah garis atau jika titik-titik A, B, dan C titik-titik segaris maka pasti ada tepat satu titik di antara dua titik lainnya. Sifat intuisi yang kedua adalah intrinsic certainty yang berarti kepastian dari dalam, sudah mutlak. Seperti halnya seseorang merasa bahwa pernyataan, representasi, atau interpretasinya, merupakan sebuah ketertentuan, untuk memastikan kebenarannya tidak perlu ada dukungan eksternal (baik secara formal atau empiris).

Sifat intuisi yang ketiga adalah perseverable yang berarti bahwa intuisi yang dibangun memiliki kekokohan atau stabil. Artinya bahwa intuisi merupakan strategi penalaran individual yang bersifat kokoh, tidak mudah berubah. Sifat intuisi yang keempat adalah coerciveness yang berarti bersifat memaksa. Hal ini berarti bahwa seseorang cenderung menolak representasi atau interpretasi alternatif yang berbeda dengan keyakinannya. Sebagai contoh, jika seorang mengatakan bahwa persegi panjang bukanlah jajaran genjang, Kondisi semacam ini sulit dilakukan perubahan untuk menjadikan mereka menerima bahwa persegi panjang adalah jajaran genjang.

Sifat intuisi yang kelima adalah extrapolativeness yang berarti sifat meramal, menduga, memperkirakan. Artinya bahwa melalui intuisi, orang menangkap secara universal suatu prinsip, suatu relasi, suatu aturan melalui realitas khusus. Dengan kata lain bahwa intuisi yang bersifat extrapolativeness juga dapat dipahami bahwa kognisi intuitif mempunyai kemampuan untuk meramalkan, menerka, menebak makna di balik fakta pendukung empiris. Sebagai contoh jika seseorang menyebut angka 2 dan 4 maka ia dapat menebak secara benar bahwa angka berikutnya adalah 6, meskipun aturan tersebut tidak diberikan. Padahal boleh jadi angka berikutnya yang dimaksud adalah angka 8 jika aturan yang diberikan dengan cara mengalikan suku ke-1 dan suku ke-2.

Sifat intuisi yang keenam adalah globality artinya bahwa kognisi intuisi bersifat global, utuh, bersifat holistik yang terkadang berlawanan dengan kognisi yang diperoleh secara logika, tidak selalu berurutan dan berpikir analitis. Sifat globality ini dapat diartikan bahwa orang yang berpikir intuitif lebih memandang keseluruhan objek daripada bagian-bagian dan terkesan kurang detailnya. Sifat intuisi yang ketujuh adalah implicitness artinya tersembunyi, tidak tampak, berada dibalik fakta. Artinya dalam membuat interpretasi, keputusan atau konklusi tertentu atau dalam menyelesaikan masalah tidak dinyatakan dalam alasan atau langkah-langkah yang jelas (eksplisit) adakalanya kemampuan kognisi seseorang dalam menyelesaikan masalah bersifat implisit dan tidak dinyatakan melalui langkah demi langkah (step by step) seperti aturan inferensi dalam logika.

Selain penjelasan di atas, August Mario Bunge (Henden, G. 2004) menyatakan bahwa penjabaran secara rinci dari hasil pikiran yang melibatkan intuisi merupakan sesuatu yang memiliki alasan tertentu atau elaborates on intuition as reason. Adapun karakter berpikir intuitif tersebut yang dirinci dalam tiga ciri, yaitu (1) catalytic inference, (2) power of synthesis dan (3) common sense. ” Adapun karakter berpikir intuitif pertama yaitu, catalytic inference “is a quick passage from some propositions to other propositions perhaps by skipping stages so rapidly that the premises and the intermediary processes are not noticed. But the premises and the intermediary steps, that have been skipped or forgotten, are so many that only a trained mind can arrive in this way at likely conclusions”. Dengan kata lain berarti pengambilan kesimpulan yang sifatnya cepat, atau proses menggunakan jalan pintas dari suatu proposisi ke proposisi lainnya, yaitu dengan suatu loncatan ke suatu konklusi secara cepat tanpa mempertimbangkan premis dan

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 445 M P - 445

Westcott (Henden, G. 2004) menyatakan bahwa simpulan yang didasarkan pada intuisi, secara khas dikarakterisasikan oleh informasi yang kurang eksplisit dibanding informasi yang dibutuhkan untuk memperoleh suatu simpulan (A conclusion based on intuition typically is characterized by less explicit information than is ordinarily, required to reach that conclusion ). Sebagai contoh seorang mengatakan “satu dan dua,” selanjutnya mengatakan “tiga dan berapa?” Orang lain yang mendengarkan mungkin mengatakan “empat” atau mungkin yang lainnya mengatakan “enam.” Akan tetapi berbeda dengan ketika seorang diminta untuk melanjutkan urutan bilangan 1, 3, 5, (…) dan (….). dari persoalan ini hampir bisa dipastikan bahwa mereka akan menjawab dua angka berikutnya adalah ( 7 ) dan ( 9 ).

Lebih lanjut Westcott menyatakan bahwa subjek sebenarnya menggunakan informasi eksplisit yang ada dan dibutuhkan melalui mencoba-coba sebelum menyelesaikan masalah, dan kemungkinan mereka dapat meraih penyelesaian yang akurat. Menurutnya, para pemikir intuitif yang sukses cenderung memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan pemikir lainnya, hal ini terjadi karena intuisi dapat dijadikan sebagai penuntun, membuka ide, gagasan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun beberapa indikator karakter berpikir intuitif (BI) dalam menyelesaikan masalah yang dijadikan panduan dalam penelitian ini dapat diamati dari hasil pekerjaan, tulisan, jawaban, hasil wawancara subjek pada saat menyelesaikan soal geometri yang disajikan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Indikator berpikir intuitif subjek yang dapat diamati pada saat menyelesaikan masalah

Karakter

Deskriptor berpikir intuitif

Indikator

Catalitic Subjek menjawab soal bersifat Jawaban singkat. Inference

langsung, segera atau tiba-tiba, Jawaban kurang rinci. menggunakan jalan pintas, jawaban Subjek tidak mampu memberikan singkat, tidak rinci, dan tidak

alasan logis

mampu memberikan alasan logis Gambar yang kurang jelas ukurannya Power of

Subjek menjawab soal secara Jawaban subjek kurang rinci dan synthesis

langsung, segera atau tiba-tiba

kurang teratur.

dengan menggunakan kemampuan Jawaban subjek menggunakan kaidah kombinasi rumus dan algoritme

dan prinsip algoritma. yang dimiliki.

Gambar yang dibuat berulang-ulang dan bervariasi

Common Sense Subjek menyelesaikan soal secara Langkah-langkah jawaban terurut dan langsung, segera atau tiba-tiba,

teratur, logis.

menggunakan langkah-langkah, Jawaban mengacu pada pengetahuan kaidah-kaidah didasarkan pada

dan pengalaman (sering latihan) pengetahuan dan pengalaman yang

Gambar yang dibuat sesuai dengan dimiliki.

fakta yang ada.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 446

B. METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-eksploratif (Miles, M.B & Huberman, A.M 1992). Bila ditinjau dari tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik berpikir intuitif siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Untuk mengungkap atau memperoleh gambaran tentang karakteristik berpikir intuitif yang digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika, peneliti berusaha melakukan pemeriksaan secara teliti dan hati-hati serta secara detail dan mendalam (dengan melakukan eksplorasi) terhadap subjek/siswa mengenai apa yang dilakukan, ditulis, digambar, diucapkan, gerakan tubuh, atau bahkan apa yang dipikirkan mereka pada saat menghadapi dan menyelesaikan soal melalui wawancara berbasis tugas oleh karenanya peneliti bertindak sebagai instrumen kunci artinya keberadaan peneliti mutlak diperlukan dan tidak dapat diwakilkan oleh orang lain atau dengan sesuatu yang lain (Moleong, Lexy J. 2002). Penelitia juga menggunakan masalah matematika, alat perekam audio dan audiovisual (handycam) sebagai instrumen pembantu.

Berdasarkan tujuan itu, subjek penelitian ini adalah siswa yang duduk dibangku SMA yang terdiri atas 1 orang termasuk prestasi tinggi dan 1 orang termasuk kelompok prestasi sedang. Subjek ini dipilih dengan mempertimbangkan kesediaan dari masing-masing subjek serta ijin dari orang tua. Untuk mencari data tentang siswa yang akan dijadikan subjek penelitian, peneliti dibantu oleh guru SMA Negeri Ngunut Tulungagung. Berdasarkan kriteria yang ditentukan, maka subjek penelitian untuk kelompok tinggi berinisial AKF dan untuk kelompok sedang berinisial MSP.

Masalah matematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pada suatu segitiga siku-siku ABC, diketahui perbandingan panjang sisi-sisi yang saling

tegak lurus adalah 3 : 4. Jika luas segitiga tersebut 54 cm 2 . Hitunglah keliling segitiga ABC tersebut !

C. HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini mengungkap karakter berpikir intuitif subjek dalam menyelesaikan masalah matematika. Berikut ini dipaparkan hasil wawancara dan aktifitas yang dilakukan subjek AKF dan MSP dalam menyelesaikan masalah matematika.

1) Paparan data subjek AKF dalam menyelesaikan Masalah 1 (M1)

Berikut ini dipaparkan tentang transkrip wawancara dan aktivitas AKF pada saat menyelesaikan soal nomor 1 (M1) adalah sebagai berikut.

Gambar 1: Hasil jawaban subjek AKF

Berdasarkan hasil tertulis dari penyelesaian masalah matematika yang dilakukan oleh subjek AKF, terlihat bahwa Subjek dapat menjawab dengan relatif rinci serta dilengkapi rumus, hal ini menunjukkan bahwa subjek memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam menyelesaikan

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 447 M P - 447

Subjek mampu memahami soal pada saat membaca soal satu kali. Ia mengatakan “pada saat membaca soal” . Subjek langsung menuliskan apa yang ia pahami melalui ilustrasi gambar. Ketika ditanya berapa kali kamu membaca untuk memahami soal ini? Ia mengatakan “membacanya satu kali, tapi sambil saya tulis, kira-kira gambarnya begini”. Dengan demikian berarti subjek AKF mampu memahami masalah secara langsung (direct) dan spontan segera (immediately) berlangsung pada saat membaca soal.

Ketika diajukan pertanyaan “apa yang terbayang dipikiran kamu pada saat membaca soal?” kemudian subjek menjawab dengan spontan “ yang terbayang gambarnya”. Selanjutnya ketika peneliti terus mengajukan pertanyaan “gambar apa?” ia mengatakan dengan jelas dan lancar “gambar segitiga”. Lalu kemudian ia langsung menggambanya, sebagaimana diungkapkan “langsung saya gambar disini”. Hal ini berarti bahwa Subjek AKF secara implisit memikirkan atau membayangkan objek pada saat membaca soal. Dengan demikian subjek menggunakan feeling yang muncul segera pada saat membaca soal dalam mengatur strategi penyelesaian masalah yang berarti merupakan ciri berikir intuitif extrapolative.

Subjek memiliki maksud tertentu penggunaan gambar sebagai perantara untuk membantu memudahkan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hal tersebut diungkapkan oleh subjek “biar lebih jelas dan mengarahkan jawaban saya”. kemudian ketika subjek ditanya apakah kamu dapat menyelesaikan soal ini tanpa bantuan gambar. Ia mengatakan “sebenarnya bisa, tapi hasilnya kurang meyakinkan” yang berarti bahwa gambar yang dibuat dapat membantu mempermudah penyelesaian. Subjek sudah terbiasa mengerjakan soal melalui gambar atau mencoret-coret soal, agar lebih mudah dan dengan gambar yang dibuat dapat mengecek lansung kebenaran jawaban tersebut “ya melalui gambar otomatis dapat melihat atau ngecek langsung apakah rumus yang digunakan cocok atau tidak dan apakah jawaban benar atau salah” . Dengan demikian berarti bahwa subjek AKF menggunakan ilustrasi gambar yang muncul otomatis, spontan sebagai ide atau gagasan pada saat membaca soal yang merupakan ciri berpikir intuitif implicitly .

Subjek dapat menyelesaikan soal tanpa menggunakan rumus formal, akan tetapi ia langsung menghitung berdasarkan angka-angka yang diketahui. Ia merasa yakin bahwa hasil jawabannya benar. Hal ini terlihat dari ungkapannya “ya yakin, kan udah sesuai rumusnya”. Peneliti berusaha mencoba menggali lebih jauh dengan mengajukan pertanyaan rumus yang mana yang kamu gunakan, ia mengatakan “ya rumus keliling segitiga, tapi tidak saya tuliskan, hanya saya bayangkan aja dan rumusnya seperti ini (subjek menunjuk pada jawabannya)” . Sesungguhnya AKF mengenali dan mengetahui rumus yang sebenarnya, akan tetapi ia lebih memilih menjawab langsung agar lebih singkat dan cepat, yang merupakan ciri berpikir intuitif perseverable.

2) Paparan data subjek MSP dalam menyelesaikan Masalah 1

Berikut ini dipaparkan tentang transkrip wawancara dan aktivitas subjek MSP pada saat menyelesaikan soal 1 (M1) sebagai berikut:

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 448

Gambar 2: Hasil jawaban subjek MSP

Berdasarkan hasil tertulis dari penyelesaian masalah matematika, terlihat bahwa subjek MSP dapat memahami soal pada saat membaca soal sebanyak dua kali. Ia mengatakan “yang pertama paham tapi masih ragu, kemudian baca lagi sambil menggambar seperti ini.” yang berarti subjek langsung dan segera menuliskan apa yang ia pahami melalui ilustrasi gambar atau dengan kata lain bahwa subjek dapat memahami masalah secara langsung (direct) dan spontan (suddently) pada saat membaca soal, sikap menebak atau mencoba-coba ini tergolong sifat intuisi ekstrapolative .

Ketika diajukan pertanyaan “apa yang terbayang dipikiran kamu pada saat membaca soal?” kemudian subjek menjawab dengan spontan “yang terbayang bentuk segitiga”. Kemunculan bersifat spontan, seperti diungkapan oleh subjek “pada saat pertama melihat soal, kan disini diketahui segitiga siku-siku (subjek menunjuk pada soal). Selanjutnya ketika peneliti terus mengajukan pertanyaan “bagaimna langkah selanjutnya?” ia menjawab dengan jelas dan lancar “dari gambar ini kira-kira rumusnya seperti ini”, dalam hal ini subjek yakin dan teguh pendirian terhadap apa yang dilakukan, hal ini terlihat dari hasil wawancara “bagaimana kalo yang dimaksud soal tidak seperti itu? kemudian ia mengatakan “ah tidak mungkin, yang jelas seperti ini, kan bentuknya segitiga” . Berarti bahwa subjek yakin bahwa apa yang dilakukan benar dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan pemahamannya. Dengan demikian berarti subjek melibatkan feeling yang muncul segera (immediately) dan bersifat memaksa (coerciveness).

Subjek MSP memiliki maksud tertentu penggunaan gambar hingga dua kali sebagai perantara untuk membantu memudahkan dalam menyelesaikan masalah tersebut, sebagaimana jawaban tertulis subjek. Hal tersebut diungkapkan oleh subjek “biasanya dengan gambar seperti ini saya dapat mengecek langsung kebenarannya” . Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan, ”kenapa kamu menggunakan gambar seperti in?” ia mengungkapkan “untuk memudahkan aja, biasanya kalo saya macet itu saya gunakan gambar" . Kemudian ketika subjek ditanya apakah kamu dapat menyelesaikan soal ini tanpa bantuan gambar. Ia menjawab “sebenarnya bisa, tapi biasanya saya senang ada gambarnya atau lebih mantap “ yang berarti bahwa gambar yang dibuat dapat membantu mempermudah menentukan solusi. Dengan demikian berarti pendirian subjek bersifat kokoh, stabil bahwa dengan gambar yang dibuat benar-benar membantu subjek dalam menentukan penyelesaian yang merupakan ciri berpikir intuitif perseverable.

Ketika subjek MSP diatanya “apakah kamu pernah menyelesaikan masalah seperti ini? Subjek mengatakan “gak tahu, sudah lupa” Ketika ditanya “apakah jawaban kamu ini serupa dengan langkah yang pernah kamu lakukan saat menjawab soal tempo dulu? ” ia mengatakan “ya lupa” . Dengan demikian berarti subjek tidak memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dalam menyelesaikan masalah.

Subjek MSP dalam menyelesaikan soal tidak menuliskan hal penting dari soal, seperti yang diketahui dapa apa yang ditanyakan, hal ini terlihat dari ungkapan subjek saat diberi pertanyaan“Kalau saya amati jawabanmu, kamu tidak menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, mengapa? Kemudian subjek langsung menjawab “karena biasanya tidak

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 449 M P - 449

Berdasarkan pengamatan dan hasil jawaban subjek MSP, terlihat adanya penyelesaikan masalah, kurang logis, menggunakan prosedur yang berbelit-belit, menggunakan banyak cara dengan menduga dan mencoba-coba melalui feeling. Selain hal di atas, subjek juga tidak menggunakan rumus atau aturan algoritme yang tegas dalam menentukan keliling segitiga, akan tetapi subjek langsung melakukan algoritme dengan membayangkan rumus yang sudah ada dalam benaknya sehingga lebih cepat. Upaya yang dilakukan oleh subjek pada menjawab soal menggunakan prosedur yang berbelit-belit, beragam algoritme digunakan (yang muncul tiba -tiba) seperti segera melakukan algoritme kemudian dicoret, menghitung lagi, dan seterusnya serta terlihat kurang logis, kurang teratur, hal ini merupakan karakter bepikir intuitif power of synthesis .

D. PEMBAHASAN

Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian di atas, ditemukan beberapa kesamaan dan perbedaan karakteristik berpikir intuitif antara AKF (siswa berkemampuan tinggi) dan MSP (siswa berkemampuan sedang) dalam menyelesaikan masalah matematika. Adapun kesamaan-kesamaan karakteristik berpikir intuitif kedua subjek dalam menyelesaikan masalah tersebut antara lain: (1) kedua subjek AKF dan MSP sama-sama dapat memahami masalah secara langsung (directly)

dan bersifat global pada saat membaca soal. (2) kedua subjek AKF dan MSP sama-sama menggunakan perantara gambar yang dimaksudkan untuk memudahkan dalam penyelesaian masalah. Hal berarti bahwa gambar dibuat secara implisit yang mengandung makna penting dalam memandu mempercepat menemukan solusi. Hal ini berarti kedua subjek menggunakan berpikir yang melibatkan karakter berpikir intuitif imlpicitly

(3) kedua subjek AKF dan MSP dalam melaksanakan tahap-tahap penyelesaian masalah sama-sama memiliki argumen yang kokoh dan stabil, seperti pernyataan “ah tidak mungkin, ini kan sudah cocok” atau ungkapan “yakin, kan udah seseai rumusnya”. Hal ini berarti kedua subjek menggunakan berpikir yang melibatkan karakter intuitif perseverable.

(4) kedua subjek AKF dan MSP dalam menentukan langkah penyelesaian masalah sama-sama melibatkan aktifitas menduga, mengira-ngira, menebak, seperti ungkapan “kira-kira gambarnya seperti ini ” atau “kira-kira rumusnya seperti ini”. Hal ini berarti kedua subjek berpikir yang melibatkan karakter intuitif extrapolative.

Sedangkan perbedaan karakteristik berpikir intuitif kedua subjek dalam menyelesaikan masalah tersebut antara lain: (1) subjek AKF (siswa berkemampuan tinggi) menggunakan berpikir yang melibatkan

pengalaman sebelumnya, sehingga subjek dapat memahami soal dengan membaca satu kali, membuat ilustrasi gambar cukup satu kali juga, serta hasil jawaban yang dibuat AKF terlihat rapi, teratur, logis. Hal ini berarti bahwa subjek AKF melibatkan intuisi dalam berpikirnya dan tergolong jenis berpikir intuitif common sense. Sedangkan subjek MSP (berkemampuan sedang) dalam memahami soal dengan membaca lebih dari satu kali, membuat ilustrasi gambar lebih dari satu kali, dan terlihat pada hasil jawabannya, bahwa subjek menggunakan berbagai algoritma dalam menyelesaikan masalah, banyak coretan-coretan, sehingga jawabannya terkesan kurang teratur, kurang logis. Hal ini berarti bahwa subjek MSP melibatkan intuisi dalam berpikirnya dan tergolong jenis berpikir intuitif power of synthesis.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 450

(2) subjek MSP (berkemampuan sedang) menggunakan argumen yang sifatnya memaksa dan menolak sesuatu yang tidak sesuai dengan pengetahuannya, serpert ungkapan “ah tidak mungkin, yang jelas seperti ini, kan bentuknya segitiga”, hal ini berarti subjek berpikir yang melibatkan intuisi yang tergolong jenis intuisi coerciveness”.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan paparan data pada pembahasan diatas, maka diperoleh karakter berpikir intuitif yang digunakan subjek dalam menyelesaikan masalah matematika sebagai berikut.

1. Karakteristik berpikir intuitif yang digunakan subjek AKF (siswa kelompok tinggi) dalam menyelesaikan masalah matematika antara lain; extrapolative, implicitly, persevarable, dan common sense .

2. Karakteristik berpikir intuitif yang digunakan subjek MSP (siswa kelompok sedang) dalam menyelesaikan masalah matematika antara lain; ektrapolative, implicitly, perseverable, coeciveness, dan power of synthesis.

F. DAFTAR PUSTAKA

Dreyfus T. & Eisenberg T (1982). Intuitive functional concepts: a Baseline Study on Intuitions. Journal for Research in Mathematical Educational, 6,2 18-24.

Fischbein, E. 1983. Intuition and Analytical Thinking in Mathematics Education, International Reviews on Mathematical Education, V.15, N.2., p.68-74.

Fischbein, E. 1987. Intuition in Science and Mathematics : An Educational Approach. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Fischbein, E., & Barash, A. (1993). Algoritmic models and their misure in solving algebraic problems. Proceeding of PME 17, Tsukuba, Japan, Vol.I, pp 162-172

Henden, G. 2004. “Intuition and Its Role in Strategic Thinking.” Unpublished Dissertation. BI Norwegian School of Management.

Klein, G. 2002, The Power of Intuition: Mendayagunakan Intuisi untuk Meningkatkan Kualitas Keputusan di Tempat Kerja: PT. Bhuana Ilmu Populer. Gramedia Jakarta.

Miles, M. B & Huberman, A.M 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Moleong, L. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muniri, 2010. Menumbuhkan Intuisi Siswa Dalam Menghadapi Permasalahan Matematika

(Makalah disampaikan dalam Seminar Regional tanggal 26 Desember 2010 di STAIN Tulungagung)

Nicholas, Paul K, 2010. Trends Concerning Four Misconceptions in Student Intuitively Based Probabilistic Reasoning Sourced in The Heuristic of Representativeness.

A Dissertation in The Graduate School of The University of Alabama. Tuscaloosa Alabama.

Polya, G. 1980 Mathematical Discovery: On Understanding, Learning, & Teaching Problem Solving; john wiley & sons new York.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 451

Stanic, G & Kalpatrick, J. 1988 Historical Perspective on Problem Solving in The Mathematics Curriculum, In R. I Charles & E. A Silver (Eds), The Teaching and Assesing of Mathematical Problem Solving, Reston, NCTM.

Solso, Robert L. 1995. Cognitive Psychology, Fourth Edition. Needham Heights: Allyn & Bacon.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 452

P - 57

STRATEGI-STRATEGI YANG BERBEDA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PENGURANGAN MENGGUNAKAN GARIS BILANGAN

Nila Mareta Murdiyani

Universitas Negeri Yogyakarta nila_mareta@uny.ac.id

Abstrak

Pengurangan dapat diselesaikan dengan menggunakan lebih dari satu strategi. Biasanya, orang cenderung menggunakan "strategi mengambil" ketika menghadapi masalah pengurangan. Artikel ini menjelaskan sebuah penelitian dimana tiga orang siswa kelas satu Sekolah Dasar diberi serangkaian masalah pengurangan dan mereka dibimbing untuk menggunakan garis bilangan dalam menyelesaikannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa garis bilangan dapat mendorong siswa untuk menerapkan strateg-strategi yang berbeda (pengurangan langsung, penjumlahan tidak langsung, dan pengurangan tidak langsung) dalam menyelesaikan pengurangan. Garis bilangan berfungsi sebagai representasi mental yang fleksibel yang dapat mencerminkan strategi siswa untuk memecahkan masalah pengurangan dan dapat membantu siswa untuk memvisualisasikan langkah-langkah perhitungan yang diperlukan dalam menemukan solusi masalah pengurangan.

Kata kunci: pengurangan, garis bilangan

A. PENDAHULUAN

Dalam buku teks matematika, pengurangan hanya diajarkan sebagai “mengambil sesuatu”. Sebagian besar guru matematika juga mengajarkan pengurangan tanpa menggunakan model, hanya menggunakan perhitungan mundur untuk pengurangan bilangan yang kecil dan langsung menggunakan algoritma pengurangan bersusun untuk pengurangan bilangan dua angka. Hal ini mengarahkan siswa untuk hanya menggunakan strategi tersebut dalam menyelesaikan masalah pengurangan. Siswa kurang bisa bereksplorasi dalam menemukan strategi lain ketika menghadapi masalah lain yang agak sulit jika diselesaikan dengan "strategi mengambil".

Pada kenyataannya, pengurangan memiliki dua arti yaitu “mengambil sesuatu” dan “menentukan perbedaan dari dua bilangan” (Fosnot & Dolk, 2001). Menurut Torbeyns, De Smedt, Stassens, Ghesquiere, & Verschaffel (2009), arti pengurangan sebagai “mengambil sesuatu” mendorong pengurangan langsung, yaitu mengambil bilangan pengurang dari bilangan yang dikurangi. Di sisi lain, arti pengurangan sebagai “menentukan perbedaan dari dua bilangan” lebih mudah dimodelkan sebagai penjumlahan tidak langsung (menghitung maju dari bilangan pengurang sampai mencapai bilangan yang dikurangi).

Mengajarkan pengurangan menggunakan garis bilangan sebagai model memungkinkan siswa untuk menemukan berbagai strategi dalam menyelesaikan masalah pengurangan. Garis bilangan merupakan model yang ampuh untuk menggambarkan dua cara lalu lintas pada pengurangan, yaitu menghitung mundur dan menghitung maju. Freudenthal (1983)

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

B. METODE PENELITIAN

Design research dipilih sebagai pendekatan yang sesuai dalam penelitian ini. Gravemeijer & Cobb (2006) menyatakan bahwa design research terdiri dari tiga tahap yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan desain penelitian, dan retrospective analysis. Data-data dikumpulkan menggunakan video, foto, pekerjaan tertulis siswa, dan wawancara dengan siswa.

Penelitian ini melibatkan tiga orang siswa kelas satu Sekolah Dasar. Mereka merupakan perwakilan dari siswa dengan kemampuan menengah. Instrumen dari penelitian ini adalah dua buah masalah pengurangan yang memiliki karakteristik yang berbeda. Siswa dibimbing untuk menggunakan garis bilangan dalam menyelesaikan masalah pengurangan tersebut.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Peneliti memberikan dua buah masalah kontekstual dalam pengurangan yaitu:

1) Dona mempunyai 26 permen. Dia memberikan 3 permennya kepada Budi. Berapa permen Dona sekarang?

2) Gelang pertama Dina ada 26 biji. Gelang kedua Dina ada 19 biji. Berapa beda gelang pertama dan gelang kedua Dina?

Ketiga siswa yaitu Gisya, Aura, dan Rafa tidak mengalami kesulitan dalam memahami dan menyelesaikan soal pertama. Mereka melakukan perhitungan mundur (pengurangan langsung) menggunakan jari mereka dalam menjawab soal pertama dan semua memperoleh jawaban 23 sebagai hasil dari 26 - 3.

Untuk soal kedua, Gisya dan Rafa masih belum bisa memahami maksud soal tersebut. Aura berhasil menyadarkan mereka bahwa soal kedua juga termasuk soal pengurangan (26 - 19). Mereka kembali melakukan perhitungan mundur (pengurangan langsung) menggunakan jari mereka, tetapi kali ini mereka mendapat tiga hasil yang berbeda.

Rafa menggunakan cara lain untuk menyelesaikan soal kedua yaitu menggunakan pengurangan bersusun. Tetapi ia menjadi semakin bingung karena mendapatkan hasil yang berbeda lagi yaitu 13.

Peneliti mengkorfirmasi jawaban Rafa dengan bertanya kepadanya. Peneliti : Berapa hasil dari soal kedua? Rafa

: 13 Peneliti : Bagaimana caranya? Rafa

: 9 - 6 = 3 dan 2 - 1 = 1, jadi hasilnya 13 (sambil menunjukkan cara pengurangan bersusun di kertas)

Peneliti : Tapi ini 26 - 19 kan? Jadi ini 6 - 9, bukan 9 - 6. Rafa

: Iya, tapi kan 6 tidak bisa dikurangi 9 (Rafa terlihat bingung)

Peneliti lalu memperkenalkan garis bilangan untuk menyelesaikan masalah pengurangan. Peneliti memberikan contoh cara mengerjakan 20 - 4 pada garis bilangan. Peneliti menuliskan angka 20 pada garis bilangan lalu melakukan perhitungan mundur dengan menggambar lompatan kecil ke arah kiri sebanyak 4 kali dan mendapatkan 16 sebagai hasilnya. Siswa dapat dengan mudah mengadaptasi strategi tersebut untuk menyelesaikan soal pertama yaitu 26 - 3.

Soal kedua kembali menjadi perdebatan. Siswa ragu dengan hasil yang telah diperolehnya karena mereka melakukan lompatan terlalu banyak. Peneliti membantu mereka untuk menemukan jawaban yang tepat.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 454

Peneliti : Berapa hasil dari 26 - 19 ? Rafa

: Kami tidak yakin dengan jawabannya. Peneliti : Mari kita ulangi. Siswa

: Ya. (Peneliti menggambar garis bilangan dan menulis angka 26 pada garis bilangan) Peneliti : Mari kita hitung bersama-sama. Siswa

: 25, 24, 23, 22, 21, 20, 19, 18, 17, 16, 15, 14, 13, 12, 11, 10, 9, 8, 7 Peneliti : Jadi, berapa hasilnya? Siswa

:7 Peneliti : Bagaimana perasaanmu setelah mengerjakan soal ini? Gisya

: Capek, karena menghitungnya terlalu banyak. Peneliti : Kita punya 26 - 19. Sekarang kita tidak menghitung dari 26, tetapi menghitung dari 19. Coba tulis 19 disini. (Gisya menulis angka 19 pada garis bilangan yang baru) Peneliti : Kita akan melompat dari 19 menuju ke 26. Ke arah mana kita harus melompat? Gisya

: Ke kanan Peneliti : Berapa banyak lompatan yang dibutuhkan dari 19 untuk mencapai 26? Gisya

: 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26 (menggambar lompatan dari 19 ke 26) Peneliti : Mari kita hitung lompatannya. Gisya

: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 (menghitung lompatan dari 19 ke 26) Peneliti : Berapa hasilnya? Gisya

:7 Peneliti : Jadi, 26 - 19 juga berarti banyak lompatan yang dibutuhkan dari 19 menuju ke

26. (Siswa mengangguk) Peneliti : Menurut kalian, manakah yang lebih mudah? Ini (menunjuk perhitungan

mundur/ pengurangan langsung) atau ini (menunjuk perhitungan maju/ penjumlahan tidak langsung)?

Gisya : Ini (menunjuk perhitungan maju/ penjumlahan tidak langsung) Peneliti : Ya, langkahnya lebih cepat

Gambar 1. Pengurangan langsung Gambar 2. Penjumlahan tidak langsung

Peneliti mencoba menguji pemahaman Gisya dalam menggunakan garis bilangan. Peneliti meminta Gisya untuk mengerjakan kembali soal 26 - 19 di papan tulis. Tanpa diduga, Gisya mengubah strateginya dalam menyelesaikan soal tersebut. Dia tidak melakukan perhitungan maju dimulai dari 19 seperti yang telah diajarkan sebelumnya. Dia melakukan perhitungan mundur dimulai dari 26, tetapi dia berhenti setelah mencapai 19. Lalu dia menghitung lompatan yang telah digambarnya dari 26 ke 19. Dia tetap memperoleh 7 sebagai hasil akhirnya. Gisya mampu menemukan sendiri strategi lain yaitu menghitung mundur dari bilangan yang dikurangi sampai mencapai bilangan pengurang (pengurangan tidak langsung).

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 455

Gambar 3. Pengurangan tidak langsung

Peneliti menekankan bahwa ada banyak strategi untuk menyelesaikan masalah pengurangan pada garis bilangan. Siswa diperbolehkan untuk menggunakan strategi apapun yang dapat membantu mereka untuk memecahkan masalah pengurangan dengan cara yang paling mudah menurut mereka. Dari kasus dua latihan soal di atas, siswa bisa melihat bahwa untuk soal pertama (pengurangan dengan bilangan pengurang yang kecil) dapat diselesaikan dengan mudah menggunakan pengurangan langsung, sedangkan untuk soal kedua (pengurangan dengan bilangan pengurang yang besar) dapat diselesaikan lebih mudah menggunakan penjumlahan tidak langsung maupun pengurangan tidak langsung.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Dengan menggunakan garis bilangan, siswa dapat menyadari bahwa ada banyak strategi dalam menyelesaikan masalah pengurangan. Mereka tidak hanya dapat melakukan pengurangan langsung dengan strategi perhitungan mundur, tetapi juga dapat melakukan penjumlahan tidak langsung dan pengurangan tidak langsung.

Garis bilangan dapat mengatasi kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal pengurangan menggunakan jari karena mereka sering melakukan kesalahan perhitungan ketika dihadapkan pada bilangan yang terlalu besar. Garis bilangan juga dapat mengatasi kesulitan siswa dalam menggunakan algoritma pengurangan bersusun apalagi dengan teknik meminjam.

Guru disarankan untuk menggunakan garis bilangan sebagai model dalam mengajarkan materi pengurangan karena garis bilangan berfungsi sebagai representasi mental yang fleksibel yang dapat mencerminkan strategi siswa untuk memecahkan masalah pengurangan. Garis bilangan juga dapat membantu siswa untuk memvisualisasikan langkah-langkah perhitungan yang diperlukan dalam menemukan solusi masalah pengurangan.

E. DAFTAR PUSTAKA

Fosnot, C. T. & Dolk, M. 2001. Young Mathematicians at Work: Constructing Number Sense, Addition, and Subtraction. Portsmouth, NH: HEINEMENN.

Freudenthal, H. 1983. Didactical Phenomenology of Mathematical Structures. Dordrecht: D. Reidel.

Gravemeijer, K. & Cobb, P. 2006. Design research from the learning design perspective. Educational Design Research (pp. 17-51). London: Routledge.

Torbeyns, J., De Smedt, B., Stassens, N., Ghesquiere, P., & Verschaffel, L. 2009. Solving

subtraction problems by means of indirect addition. Mathematical Thinking and Learning, 11, 79-91. DOI: 10.1080/10986060802583998.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 456

P - 58

PENGEMBANGAN WEBSITE BERORIENTASI BRAIN-BASED LEARNING SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MAHASISWA

Nuriana Rachmani Dewi (Nino Adhi)

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang nurianaramadan@yahoo.com

Abstrak

Matematika adalah mata pelajaran yang diajarkan dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Pergurunan Tinggi. Tujuan mempelajari matematika adalah untuk memberikan tekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap peserta didik serta juga memberi tekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika. Pembelajaran matematika di perguruan tinggi bukan hanya menghafal atau menerapkan secara sederhana rumus matematika yang telah diketahui saja, namun memerlukan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi yang akan bermanfaat untuk diri mahasiswa. Salah satu bagian dari Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah matematis yang merupakan suatu alat yang penting untuk matematika dan kehidupan sehari-hari. Dengan membekali mahasiswa dengan kemampuan pemecahan masalah matematis yang baik diharapkan mahasiswa dapat menggunakannya untuk menyelesaikan berbagai masalah (masalah matematis maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari) yang dihadapi baik saat masih menjadi mahasiswa ataupun setelah lulus nantinya. Brain- Based Learning adalah suatu pembelajaran yang memaksimalkan kerja otak. Dengan brain-based learning, kerja otak manusia dapat dioptimalkan sehingga kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa diharapkan juga dapat berkembang secara optimal. Penggunaan website sangat membantu dalam pembelajaran. Website membuat pembelajaran dapat diakses kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Pendayagunaan komputer dan website dalam pembelajaran matematika juga sangat bermanfaat, bukan hanya sebagai alat dalam penyelesaian masalah-masalah matematika, tetapi juga memberikan bantuan tentang cara penyampaian materi matematika itu sendiri dengan cara-cara yang menarik, menantang dan memperhatikan perbedaan individual peserta didik. Selain itu dengan penyampaian masalah dengan menggunakan website dan komputer dapat lebih “hidup”, serta membantu peserta didik mengaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari.

Kata kunci: Website, Brain- Based Learning, Pemecahan Masalah Matematis

A. PENDAHULUAN

Sekolah harus dapat menjadi tempat untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat sesuai yang dijelaskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional . Salah satu mata pelajaran yang diajarkan dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Pergurunan Tinggi adalah matematika. Menurut Ruseffendi (1990:9) matematika diajarkan di sekolah karena memang berguna; berguna untuk kepentingan matematika itu sendiri dan memecahkan persoalan dalam masyarakat. Sebagai mata pelajaran yang mempunyai fungsi sebagai alat bantu (Ruseffendi, 1990:8), matematika dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari serta dapat juga digunakan untuk melayani

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa mempelajari matematika sangat bermanfaat untuk peserta didik. Namun demikian skor Indonesia dalam Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2011 menunjukkan penurunan jika dibandingkan tahun 2007. Untuk perempuan skor TIMSS tahun 2007 sebesar 399 kemudian mengalami penurunan menjadi 392 pada tahun 2011. Penuruan skor tersebut mungkin disebabkan karena kurangnya kemampuan berpikir matematis pada diri siswa termasuk di dalamnya Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi. Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi pada diri peserta didik baik siswa maupun mahasiswa tidak muncul begitu saja melainkan perlu dikembangkan.

Mahasiswa yang belajar di Jurusan Matematika hendaknya sudah dilatih untuk memiliki Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi yang baik sejak semester awal duduk di bangku perguruan tinggi. Pembelajaran matematika di perguruan tinggi bukan hanya menghafal atau menerapkan secara sederhana rumus matematika yang telah diketahui saja, namun memerlukan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi yang akan bermanfaat untuk diri mahasiswa (Dwijanto, 2007; Sumarmo, 2005). Salah satu kemampuan matematis yang termasuk dalam Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah matematis.

Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan individu untuk melakukan serangkaian proses dengan tujuan menyelesaikan suatu masalah matematika. Kemampuan pemecahan masalah adalah tujuan umum dalam pembelajaran matematika dan bahkan sebagai jantungnya matematika (Branca dalam Abba, 2000:2). Oleh karena itu kemampuan memecahkan masalah pada diri mahasiswa hendaknya sudah ditanamkan dan dibiasakan mulai sejak dini. Jika mahasiswa mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang baik, mahasiswa akan mempunyai daya analitis yang baik pula untuk diterapkan dalam berbagai macam situasi.

Brain-Based Learning adalah suatu pembelajaran yang mengoptimalkan kerja otak manusia. Seperti yang telah diketahui bahwa pembelajaran yang baik adalah menganggap peserta didik dalam hal ini mahasiswa sebagai individu yang unik dengan tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Selain itu di dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan perguruan tinggi adalah pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa yang memperhatikan lingkungan secara selaras dan seimbang. Brain-Based Learning dapat memfasilitasi semua mahasiswa dengan tingkat kecerdasan yang berbeda tersebut terangkum dalam gaya pembelajaran yang sama serta berpusat pada peserta didik dalam hal ini mahasiswa. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Wilson & Spears (2009:1) yang menyatakan Brain-Based Learning adalah suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap pembelajaran yang berdasar pada kerja otak yang menyarankan otak kita belajar secara alami. Selain itu menurut berbagai penelitian yang telah dilakukan, siswa yang diberikan Brain-Based Learning menunjukkan hasil yang lebih baik dalam kemampuan pemecahan masalah matematisnya dibandingkan siswa yang diberikan pembelajaran konvensional. Dengan demikian diharapkan dengan menggunakan Brain-Based Learning kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa di atas dapat juga berkembang secara optimal.

Pembelajaran berbantuan Website adalah suatu pembelajaran yang menggunakan bantuan website sebagai medianya. Salah satu ciri dari pembelajaran berbantuan Website adalah belajar insidental. Penggunaan Website yang termasuk Information Communication Technology (ICT) telah turut pula memberikan banyak alternatif media, model dan metode pembelajaran. Dari media pembelajaran yang semula menggunakan papan tulis dan kapur beralih ke penggunaan komputer, LCD, kamera video digital dan lainnya serta dari metode pembelajaran yang semula bertatap muka secara langsung sedikit demi sedikit bergerak menuju ke pembelajaran virtual

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 458 M P - 458

Dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Website ini, dosen dapat mengunggah peta konsep, tujuan pembelajaran dan beberapa pertanyaan apersepsi dalam suatu situs atau website, sehingga mahasiswa dapat mengaksesnya sebelum perkuliahan berlangsung. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa telah mempersiapkan diri sebelum kuliah berlangsung sehingga pembelajaran dapat berlangsung lebih optimal. Selain itu dengan penggunaan website, mahasiswa dapat mengakses materi sesering yang dibutuhkan agar bisa mengulang materi yang belum dipahami. Berdasarkan uraian di atas makalah ini akan membahas tentang Pengembangan Website Berorientasi Brain-Based Learning Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa.

B. PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS

Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan individu untuk melakukan serangkaian proses dengan tujuan menyelesaikan suatu masalah matematika. Kemampuan pemecahan masalah ini merupakan tujuan umum dalam pembelajaran matematika dan bahkan sebagai jantungnya matematika (Branca dalam Abba, 2000:2). Jika seseorang mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang baik, orang tersebut akan mempunyai daya analitis yang baik pula untuk diterapkan dalam berbagai macam situasi. Oleh karena itu kemampuan memecahkan masalah pada diri manusia hendaknya sudah ditanamkan dan dibiasakan mulai sejak dini.

Menurut Gagne (dalam Sumarmo, 2005), fakta, kemampuan, konsep dan prinsip merupakan objek langsung dari belajar matematika. Sedangkan pemecahan masalah adalah sebagai objek tidak langsung dari belajar matematika. Dalam diri mahasiswa, pemecahan masalah tidak tumbuh dengan sendirinya akan tetapi banyak dosen justru menjadikan pemecahan masalah matematis sebagai objek langsung yang harus dipelajari oleh mahasiswa. Hal ini akan menimbulkan kesulitan pada diri mahasiswa. Dengan menggunakan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari diharapkan dapat meningkatkan minat mahasiswa untuk berusaha memecahkan masalah matematika.

Selanjutnya Polya (1985) dan Kirkley (2003) menyatakan bahwa untuk memecahkan suatu masalah terdapat empat langkah yang dapat dilakukan, yaitu (1) Memahami masalah, yaitu menentukan (mengidentifikasi) apa (data) yang diketahui, apa yang ditanyakan (tidak diketahui), syarat-syarat apa yang diperlukan, apa syarat-syarat bisa dipenuhi, memeriksa apakah syarat-syarat yang diketahui mencukupi untuk mencari yang tidak diketahui, dan menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan); (2) Merencanakan pemecahannya, yaitu memeriksa apakah sudah pernah melihat sebelumnya atau melihat masalah yang sama dalam bentuk berbeda, memeriksa apakah sudah mengetahui soal lain yang terkait, mengaitkan dengan teorema yang mungkin berguna, memperhatikan yang tidak diketahui dari soal dan mencoba memikirkan soal yang sudah dikenal yang mempunyai unsur yang tidak diketahui yang sama; (3) Melaksanakan rencana, yaitu melaksanakan rencana penyelesaian, mengecek kebenaran setiap langkah dan membuktikan bahwa langkah benar; (4) Melihat kembali, yaitu meneliti kembali hasil yang telah dicapai, mengecek hasilnya, mengecek argumennya, mencari hasil itu dengan cara lain, dan menggunakan hasil atau metode yang ditemukan untuk menyelesaikan masalah lain.

Para pendidik (dalam hal ini dosen) dapat memberikan masalah yang dapat diselesaikan dengan menggunakan banyak cara (masalah terbuka) atau masalah tidak lengkap, sehingga para peserta didik dapat berkesempatan untuk mencoba beberapa strategi penyelesaian masalah. Hal ini dapat membantu peserta didik untuk mendapatkan lebih banyak pengalaman belajar. Kirkley (2003:4) menggambarkan proses penyelesaian masalah tidak lengkap dan masalah terbuka adalah sebagai berikut.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 459

Mengingat Kembali

Merepresentasikan Masalah

Mencari Solusi

Mengimplentasikan Solusi

Salah/ Belum Berhasil

Berhasil

Berhenti Gambar 1. Model Proses Pemecahan Masalah

Mengingat pentingnya kemampuan pemecahan masalah matematis yang harus dimiliki oleh mahasiswa, apalagi mahasiswa calon guru matematika, NCTM Program Standards (2003) meletakkan Knowledge of Mathematical Problem Solving sebagai standar pertama dari tujuh standar yang ditetapkan. NCTM menyatakan seorang mahasiswa calon guru matematika hendaknya mengetahui, memahami dan dapat menerapkan proses dari pemecahan masalah matematis. Hal ini sangat beralasan karena mahasiswa calon guru matematika nantinya harus membimbing siswa agar memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis.

Langkah-langkah dan strategi pemecahan masalah matematis yang umum telah ada secara lengkap panduannya. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan masih terdapat kendala-kendala dalam proses pemecahan masalah matematis. Beberapa kendala yang mungkin muncul dalam pemecahan masalah matematis adalah adanya salah interpretasi, ukuran masalah dan motivasi. Salah interpretasi dapat terjadi karena kurang jelasnya gambar, tabel atau diagram; penggunaan bahasa atau istilah yang kurang dapat dimengerti; ataupun ketidakjelasan diskripsi masalahnya. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis yang harus dimiliki mahasiswa. Kemampuan komunikasi dan koneksi matematis juga penting dimiliki oleh mahasiswa calon guru matematika selain sebagai modal dalam proses pemecahan masalah matematis juga sebagai modal untuk melakukan pembelajaran kelak jika menjadi seorang guru matematika. Selain itu menyangkut kendala motivasi dan kurang jelasnya gambar, tabel atau diagram dapat diatasi dengan menggunakan pembelajaran berbantuan website. Karena salah satu tujuan dari pembelajaran berbantuan website adalah untuk mengurangi kemungkinan salah penafsiran serta mendorong munculnya minat dan motivasi belajar peserta didik (Kusumah, 2011:1).

C. BRAIN-BASED LEARNING Brain-Based Learning adalah suatu pembelajaran yang berdasarkan struktur dan cara kerja

otak, sehingga kerja otak dapat optimal. Otak dikatakan bekerja secara optimal jika semua potensi yang dimilikinya dapat teroptimalkan dengan baik. Pembelajaran berbasis kemampuan kerja otak mempertimbangkan apa yang sifatnya alami bagi otak manusia dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan karena sebagian besar otak kita terlibat dalam hampir semua tindakan pembelajaran (Jensen, 2008).

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memperlakukan peserta didik dalam hal ini mahasiswa sebagai individu yang unik dengan tingkatan kecerdasan yang berbeda. Manusia secara virtual memiliki DNA yang sama kurang lebih 99,5 persen bagian tubuhnya. Akan tetapi, angka 0,5 persen yang unik membuat setiap manusia menjadi berbeda (Jensen, 2008:212). Jensen (2008:229) juga mengatakan sebagai pembelajar (mahasiswa) kita tidak memiliki gaya yang pembelajaran yang ditentukan secara genetik atau menjadi satu-satunya gaya pembelajaran. Oleh karena itu dosen harus mampu mengupayakan suatu pendekatan yang dapat memfasilitasi semua mahasiswa dengan keunikan mereka masing-masing.

Brain-Based Learning dapat memfasilitasi semua mahasiswa dengan tingkat kecerdasan yang berbeda tersebut terangkum dalam gaya pembelajaran yang sama serta berpusat pada

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 460 M P - 460

Adapun langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut. 1)

Pra Pemaparan Pada tahap ini dosen memajang peta konsep, menyampaikan tujuan pembelajaran dan beberapa pertanyaan apersepsi di website sehingga mahasiswa dapat mengaksesnya beberapa hari sebelum terlaksananya perkuliahan.

2) Persiapan Tahap persiapan ini adalah tahap awal terlaksananya perkuliahan, dosen dapat mengaitkan materi dengan kejadian sehari-hari.

3) Inisiasi dan akuisisi Pada tahap Inisiasi dan akuisisi, dosen memberikan masalah yang dikerjakan mahasiswa secara berkelompok, sehingga upaya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa akan terjadi pada tahap ini. Masalah yang diberikan oleh dosen disajikan melalui sebuah tayangan yang dapat diakses melalui website.

4) Elaborasi Pada tahap elaborasi ini otak diberikan kesempatan untuk menyortir, menyelidiki, menganalisis, menguji dan memperdalam pembelajaran. Mahasiswa akan mendiskusikan cara-cara atau strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah dengan anggota kelompoknya. Kemudian mengungkapkan hasil diskusi tersebut ke seluruh anggota kelas untuk diberikan masukan atau sanggahan. Dalam tahap ini upaya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dilaksanakan.

5) Inkubasi dan Formasi memori Pada tahap ini mahasiswa diistirahatkan otaknya sebentar sambil mendengarkan musik dan menyelesaikan soal-soal yang relatif mudah. Soal-soal disajikan secara interaktif di website dengan diiringi musik selama siswa menyelesaikannya.

6) Verifikasi atau Pengecekan Keyakinan Pada tahap ini dosen mengecek kembali pemahaman mahasiswa terhadap materi dengan memberikan soal yang agak rumit untuk dikerjakan secara individual dengan diiringi musik. Dalam tahap ini upaya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis juga dilaksanakan.

7) Perayaan dan Integrasi Pada tahap ini mahasiswa bersama-sama dengan dosen menyimpulkan materi yang baru saja dipelajari. Kemudian diberikan suatu perayaan kecil atas keberhasilan pembelajaran pada perkuliahan hari itu. (Jensen, 2008:484)

D. PEMBELAJARAN BERBANTUAN WEBSITE

Pembelajaran berpusat pada guru yang menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber informasi, kelas yang formal, suasana hening serta penggunaan papan tulis sebagai sarana utama dalam proses pembelajaran sudah bukan jamannya lagi. Pembelajaran dengan menggunakan sistem seperti di atas dianggap mempunyai banyak kelemahan serta kurang baik untuk pengembangan diri dan intelektual siswa.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyadari akan hal ini. Melalui Rancangan Kurikulum terbaru yaitu Kurikulum 2013 menyatakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information Communication Technology (ICT) sebagai menjadi media semua mata pelajaran (Kemendikbud, 2012:24). Dengan adanya penggunaan ICT sebagai media pembelajaran, mahasiswa maupun dosen dapat mempunyai kesempatan yang sama untuk

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 461 M P - 461

Pembelajaran berbantuan Website merupakan salah satu wujud dari penggunaan ICT dalam pembelajaran. Pembelajaran berbantuan Website adalah suatu pembelajaran yang menggunakan bantuan website sebagai medianya. Salah satu ciri dari pembelajaran berbantuan Website adalah belajar insidental.

Pembelajaran dengan menggunakan website tidak dipungkiri mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak dapat ditemui jika menggunakan media lain, misalnya dosen dapat mengunggah peta konsep, tujuan pembelajaran dan beberapa pertanyaan apersepsi dalam suatu situs atau Website, sehingga mahasiswa dapat mengaksesnya sebelum perkuliahan berlangsung. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa telah mempersiapkan diri sebelum kuliah berlangsung sehingga pembelajaran dapat berlangsung lebih optimal. Selain itu penggunaan website untuk mengakses masalah dan soal-soal latihan dalam pembelajaran dapat membuat masalah dan soal tersebut lebih “hidup”, artinya jika masalah disampaikan melalui multimedia (gabungan bunyi, video, animasi, teks, grafik) akan lebih mudah dipahami oleh mahasiswa dibandingkan hanya sekedar disampaikan melalui tulisan dan gambar saja. Hal ini sesuai dengan pendapat Noor Azlan Ahmad Zanzali, Noraziah bt Kassim dalam Sharizah (2010) yang menemukan bahwa penggunaan ICT membantu siswa mengaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Ini berarti mahasiswa dapat mengaplikasikan materi yang dipelajari dan menjadikan sesuatu pembelajaran menjadi lebih bermakna serta dapat mengulangnya sesering yang mereka mau baik saat perkuliahan berlangsung maupun setelahnya.

Kusumah (2011) juga menyatakan kelebihan lain penggunaan ICT (website) dalam pembelajaran di antaranya adalah memiliki “kesabaran” yang tiada batas, mampu memotivasi siswa dengan pujian yang dirancang khusus, memberi kesempatan bereksperimen tanpa dihantui kekuatiran akan kerusakan yang bisa terjadi, tidak diskriminatif, memberi siswa keterampilan yang berharga untuk masa depannya, mempercepat proses perhitungan yang secara manual sangat lama waktu penyelesaiannya atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Selain itu penggunaan website juga diharapkan dapat meminimalkan penggunaan kertas sehingga konsumsi kertas akan semakin ditekan tanpa mengurangi efektifitas pembelajaran dan merupakan salah satu upaya dalam pencegahan pemanasan global serta mengembalikan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia.

E. PENGEMBANGAN WEBSITE BERORIENTASI BRAIN-BASED LEARNING SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MAHASISWA

Website dikembangkan adalah website “Smart Calculus” dengan alamat http://nurianarachmani.com . Sebagai contoh tampilannya terlihat pada gambar di bawah ini. 1)

Pertama-tama sebelum mulai menggunakan website mahasiswa harus login terlebih dahulu. Selanjutnya pada menu Home disajikan berita tentang perkuliahan

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 462

Gambar 2. Menu Login dan Home pada Website 2)

Pada menu Home disajikan penjelasan tentang Kalkulus dan Pembelajarannya. Pada menu Sejarah disajikan sejarah tentang Kalkulus.

Gambar 3. Menu Sejarah pada Website

3) Pada menu Materi disajikan Peta Konsep, Tujuan Pembelajaran, Pertanyaan-pertanyaan Apersepsi, Masalah serta Soal-soal Latihan. Pada saat pemberian masalah, masalah dibuat dalam bentuk tayangan sehingga menjadi lebih “hidup’ dan mahasiswa mampu lebih memahaminya.

Gambar 4. Menu Materi pada Website

4) Pada menu Forum Komunikasi disajikan suatu forum di mana mahasiswa dapat menanyakan sesuatu yang kurang jelas atau mengungkapkan pendapat, jawaban serta sanggahan dari mahasiswa lain. Dosen juga dapat memberikan komentar dan jawaban dari postingan mahasiswa.

Gambar 5. Menu Forum Komunikasi pada Website

F. SIMPULAN

Website “Smart Calculus” yang di dalamnya terdapat Forum Komunikasi dan Masalah yang berbentuk tayangan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa.

G. DAFTAR PUSTAKA

Abba, N. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berorientasi Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction) . Surabaya:Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.

Cigman, R & Davis, A. (2008).Brain-Based Learning.New Philosophies of Learning. Journal of Philosophy Education, Vol. 42, 3 halaman.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 463

Dwijanto. 2007. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Komputer Terhadap Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kreatif Matematik Mahasiswa. Disertasi pada SPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Ismail. Wintarti, A. Yamasari, Y. Johan,A. (2009). Pengembangan Media Pembelajaran

Matematika Berbasis ICT Untuk Menumbuhkan Minat dan Motivasi Siswa dalam Memahami Konsep Matematika. Jurnal Pendidikan Metematika dan Sains, Vol. 16 (2).

Jensen, E. 2008. Brain-Based Learning. Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak. Cara Baru dalam Pembelajaran dan Pelatihan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2012). Pengembangan Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Kirkley, J. 2003. Principles for Teaching Problem Solving. [Online]. Tersedia: http://www.plato,com/downloads/papers/paper_4.pdf. [5 Oktober 2009]. Kusumah, Y. S 2011. Aplikasi Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Pembelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Kemampuan Matematis Siswa. Makalah Kegiatan Pelatihan Aplikasi Teknologi dan Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika 16 Desember 2011 . Bandung: UPI.

National Council of Teacher of Mathematics. 2003. Principles and Standard for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Polya.1985. How to Solve It, 2 nd

ed. Princeton University Press.

Ruseffendi, E.T. 1990. Perkembangan Pengajaran Matematika di Sekolah-Sekolah di Luar dan Dalam Negeri. Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini Untuk Guru dan PGSD D2 (Seri Pertama). Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Dosen Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA . Bandung: Tarsito. Sharizah. (2010). Pengintegrasian ICT Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran Matematik Dalam Kalangan Guru Matematik Sekolah Rendah. Universitas Kebangsaan Malaysia.

Sumarmo, U. 2005. Pengembangan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Mahasiswa SLTP dan SMU serta Mahamahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penel

itian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana-HTPT Tahun Ketiga. Bandung:Tidak diterbitkan. Tim MGMP. 2005. Perangkat Pembelajaran. Semarang: Tim MGMP Matematika SMP Kota

Semarang. Trends in International Mathematics and Science Study. 2011. Trends in International Mathematics

Result [Online]. Tersedia: http://nces.ed.gov/timss/table11_1.asp . Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Wilson, L & Spears, A. 2009. Brain-Based Learning Highlight. In Omnia Paratus INDUS.

Training and Research Institute.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 464

P - 59

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PENALARAN SPASIAL SISWA SMP PADA KONSEP VOLUME DAN LUAS PERMUKAAN DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA

1 2 Nurlatifah 3 , Aris Hadiyan Wijaksana , Wardani Rahayu

1 2 Universitas Negeri Jakarta, 3 Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Jakarta

1 2 nurlatifah.pmb09@rocketmail.com, 3 aris_hadiyan@unj.ac.id, wdrahayu@unj.ac.id

Abstrak

Kemampuan penalaran spasial merupakan salah satu kemampuan yang dibutuhkan dalam membangun kemampuan struktur spasial siswa, yaitu kemampuan memahami struktur susunan kubus satuan yang diintegrasikan dan dikoordinasikan dalam ruang tiga-dimensi, guna memahami konsep volume dan luas permukaan suatu bangun ruang. Di sekolah menengah pertama, pembelajaran konsep volume dan luas permukaan dilaksanakan dengan pendekatan mekanistik yang mengedepankan pengetahuan prosedural siswa. Hal ini menyebabkan siswa tidak memahami konsep volume dan luas permukaan serta keterkaitan kedua konsep tersebut dengan baik. Demi mengatasi hal tersebut, inovasi pembelajaran harus dilakukan. Penelitian ini menyajikan serangkaian kegiatan pembelajaran yang melibatkan kemampuan penalaran spasial siswa dan memungkinkan siswa untuk melakukan matematisasi pada situasi kontekstual dengan menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Desain research dipilih sebagai sarana yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pada penelitian ini, rangkaian kegiatan pembelajaran didesain berdasarkan atas hipotesis lintasan belajar siswa. Penelitian ini telah dilakukan pada siswa kelas 8 SMPI Al-Azhar 12 Rawamangun, Jakarta.

Kata kunci: Penalaran spasial, Volume dan luas permukaan, Desain research, Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

A. PENDAHULUAN

Pengukuran merupakan salah satu standar isi dalam standar matematika SMP (NCTM, 2000; KTSP, 2006). Konsep ini merupakan konsep yang dapat membangun keterkaitan antar konsep matematika dan antara konsep matematika dengan disiplin ilmu lain. Salah satu konsep matematika yang erat kaitannya dengan pengukuran adalah geometri.

Clement dan Battista menyatakan bahwa kemampuan yang perlu dikuasai oleh siswa dalam mempelajari konsep geometri adalah kemampuan penalaran spasial (Clement dan Battista, 1992: 420). Menurut Clement dan Battista, kemampuan penalaran spasial adalah kemampuan yang meliputi proses kognitif seseorang dalam merepresentasikan dan memanipulasi benda ruang serta hubungan dan transformasi bentuknya. Kemampuan ini meliputi aspek visualisasi spasial dan orientasi spasial, seperti keterampilan membaca gambar dan merepresentasi gambar dua-dimensi dari objek tiga-dimensi berdasarkan berbagai arah pandang. Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000), kemampuan ini merupakan salah satu kemampuan yang dijadikan sebagai salah satu kompetensi dasar bagi siswa dalam mempelajari konsep volume dan luas permukaan di sekolah menengah.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Usiskin, dalam Olkun, menyatakan bahwa kurikulum matematika pada pembelajaran geometri saat ini tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan spasialnya (Olkun,2003:1). Hal ini juga terjadi pada kurikulum pembelajaran matematika tingkat sekolah menengah di Indonesia pada pokok bahasan volume dan luas permukaan. Pembelajaran matematika mengenai konsep volume dan luas permukaan pada sekolah menengah di Indonesia memfokuskan pembelajaran pada perhitungan prosedural dengan kegiatan pembelajaran yang bersifat mekanistik (guru mendiktekan rumus dan prosedur kepada siswa). Dengan demikian, siswa tidak mendapatkan kesempatan yang cukup untuk bereksplorasi dengan kegiatan yang berhubungan dengan kemampuan penalaran spasial sehingga tidak dapat memahami konsep volume dan luas permukaan dengan baik. Selain itu, siswa juga tidak dapat memahami keterkaitan antar konsep volume dan luas permukaan yang merupakan bekal dalam memecahkan permasalahan sehari-hari.

Proses pembelajaran mengenai volume dan luas permukaan sudah semestinya diubah. pembelajaran sepatutnya dapat memfasilitasi siswa untuk bereksplorasi dalam kegiatan pembelajaran yang berhubungan dengan kemampuan penalaran spasial agar siswa dapat memahami konsep volume, luas permukaan, dan keterkaitan kedua konsep tersebut. Perkembangan kognitif rata-rata siswa pada jenjang sekolah menengah pertama berada pada tahap peralihan dari tahap berpikir konkret ke tahap berpikir formal, maka dalam membangun konsep matematika seharusnya pembelajaran berangkat dari hal yang konkret ke hal yang abstrak.Dengan demikian, inovasi pembelajaran ini dapat dilakukan menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).

Berdasarkan hal di atas, maka dalam penelitian ini akan dikembangkan sebuah desain pembelajaran dengan memperhatikan prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran PMRI sebagai upaya mengembangkan kemampuan penalaran spasial siswa guna memahami konsep volume dan luas permukaan bangun ruang. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan teori instruksional lokal pada pengembangan kemampuan penalaran spasial siswa SMP mengenai konsep volume dan luas permukaan dengan pendekatan PMRI. Konsekuensinya, isi utama dari penelitian ini diformulasikan dalam rumusan masalah berikut: “Bagaimana peranan PMRI dalam mengembangkan kemampuan penalaran spasial siswa SMP guna mendukung pemahaman konsep volume dan luas permukaan kubus dan balok?”.

KAJIAN TEORI

Kajian teori ini merupakan dasar dalam merancang desain pembelajaran tentang pengukuran volume dan luas permukaan dengan pendekatan PMRI. Pada bagian ini akan dibahas mengenai pendekatan PMRI, pengukuran volume dan luas permukaan kubus, serta bagaimana kemampuan penalaran spasial terlibat dalam pengukuran volume dan luas permukaan tersebut.

1. Pengukuran Volume dan Luas Permukaan Kubus dan Balok

Pengukuran merupakan suatu proses menentukan besaran suatu objek dengan cara membandingkan besarannya dengan besaran pada objek lain sebagai unit satuan (Walle, 2008: 370). Selain itu, Martin menyatakan bahwa pengukuran meliputi kuantitas pada konsep yang berkaitan dengan keruangan maupun non-keruangan (Martin, 2007:3). Terkait dengan pengukuran bangun datar (luas) maupun bangun ruang (volume), terdapat beberapa konsep dasar yang dikembangkan oleh Lehler yang perlu diketahui. konsep dasar tersebut adalah: Unit – attribute relations (ketepatan satuan), iteration (iterasi), tiling (satuan yang tidak tumpang tindih), identical unit (kekongruenan satuan), Standardization (standar baku), Proportionality (penggunaan satuan yang proporsional) , Additivity (penyusunan besaran), Origin / zero-point (titik asal) (Martin, 2007: 29).

Istilah volume dapat digunakan sebagai kapasitas suatu wadah, namun dapat juga digunakan untuk ukuran suatu bangun ruang (Walle,2008:26). Penentuan volume dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode filling (mengisi) dan packaging (membungkus) (Curry dan Outhred, 2005: 270-271). Metode filling yaitu metode menentukan volume suatu bangun ruang dengan cara mengisi bangun ruang tersebut menggunakan suatu zat cair hingga penuh. Pada metode packaging, penentuan volume dilakukan dengan menyusun kubus-kubus

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 466 M P - 466

Luas merupakan ukuran kuantitatif dari permukaan dua dimensi pada suatu batas tertentu (Isiskal, 2010: 62). Hal senada juga dinyatakan oleh Dyke dkk yang mendefinisikan luas sebagai ukuran dari permukaan atau jumlah ruang dalam bidang dua-dimensi (Dyke, 2007: 612). Adapun luas permukaan merupakan total jumlah dari luas seluruh sisi yang menyelimuti suatu bangun ruang tertentu.

Pengukuran luas permukaan dapat dilakukan dengan menjumlahkan luas seluruh sisi bangun ruang. Sisi-sisi permukaan kubus merupakan bangun datar berbentuk persegi dan sisi-sisi balok merupakan bangun datar berbentuk persegi panjang. Berdasarkan hal itu, pengukuran luas permukaan kubus dan balok adalah kegiatan menghitung jumlah luas persegi maupun persegi panjang pada seluruh sisi permukaan kubus dan balok.

2. Penalaran Spasial pada Pembelajaran Geometri

Kemampuan penalaran spasial adalah salah satu kemampuan yang perlu dikuasai oleh siswa dalam mempelajari konsep geometri (Clement dan Battista, 1992:420). Kemampuan ini meliputi kemampuan orientasi spasial dan kemampuan visualisasi spasial (NCTM, 2000). Orientasi spasial berkenaan dengan kemampuan memahami posisi suatu objek berdasarkan orientasi atau posisi pandang, sedangkan visualisasi spasial erat kaitannya dengan mengidentifikasi dan menggambar bangun datar maupun bangun ruang (Clement dan Battista, 1992:444; Unal dkk, 2009: 1000; Velez dkk, 2005: 2). Dengan demikian, penalaran spasial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam membayangkan, merepresentasikan, memanipulasi, dan mentransformasi informasi visual dalam konteks keruangan, serta memperkirakan posisi dan representasi suatu objek secara akurat berdasarkan perubahan orientasinya.

3. Kemampuan Penalaran Spasial pada Pengukuran Volume Kubus dan Balok

Kemampuan penalaran spasial diperlukan dalam memahami struktur susunan kubus satuan pada kegiatan menyusun kubus satuan dalam pembelajaran volume. Proses menghitung kubus satuan pada pembelajaran volume melibatkan kemampuan penalaran spasial oleh siswa. Siswa yang tidak memiliki kemampuan penalaran spasial yang cukup baik memungkinkan untuk menghitung kubus satuan dua kali atau tidak memperhatikan beberapa kubus satuan yang tidak terlihat sebagai kubus satuan penyusun kubus bangunan. Selain itu, siswa harus melibatkan kemampuan mental koordinasi dalam proses bernalar spasial untuk mengetahui bahwa terdapat beberapa kubus satuan yang terlibat dua kali dalam berbagai pandang.

Terdapat tiga tingkatan siswa dalam menghitung volume bangunan kubus yang terdiri dari susunan kubus-kubus satuan (Olkun, 2003: 9). Ketiga tingkatan tersebut adalah:

1) Tingkat pertama, siswa memandang bangunan kubus sebagai “cubes as faces” (kubus sebagai sisi). Pada tingkat ini, siswa hanya menghitung kubus berdasarkan satu pandangan kubus saja. Siswa tidak menyadari bahwa terdapat bagian kubus satuan yang tidak terlihat. Hal ini membuat bagian kubus yang tak terlihat luput dari perhitungan siswa.

2) Tingkat kedua, siswa memahami susunan kubus satuan sebagai ”bunch of cubes” (sekelompok kubus). Pada tingkat ini, siswa menyadari sifat isi dalam ruang dan sifat tiga dimensi dari kubus-kubus satuan tersebut namun belum menyadari bahwa kubus-kubus satuan itu tersusun dengan terstruktur. Dengan demikian, siswa menghitung semua kubus satuan di dalam dan di luar bangunan kubus namun tidak terorganisir.

3) Tingkat ketiga, siswa memahami susunan kubus sebagai kubus yang terorganisasi. Pada tingkatan ini, siswa memahami pola iterasi dari susunan kubus pada kolom atau baris. Dengan demikian, siswa dapat melakukan perhitungan secara melompat, penjumlahan, dan perkalian iterasi yang berturut-turut.

4. Kemampuan Penalaran Spasial pada Pengukuran Luas Permukaan Kubus dan Balok

Siswa yang memiliki kemampuan penalaran spasial yang baik akan memahami bahwa susunan kubus satuan pada pembelajaran volume juga berarti dalam menentukan luas permukaan bangun tersebut (Martin, 2007: 65). Susunan kubus-kubus pada setiap sisi permukaan oleh pandangan ortogonal (gambar kubus dari sisi depan, samping, dan atas) dapat terlihat sebagai

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 467 M P - 467

5. Pendidkan Matematika realistik Indonesia (PMRI)

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang diadopsi dari pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) yang telah sukses diterapkan di Belanda sejak tahun 1970-an. Realistic Mathematics Education (RME) adalah pendekatan pembelajaran di bidang matematika yang didasari pada pengalaman-pengalaman siswa dan siswa sendiri yang akan mengaitkan antara pengalaman-pengalaman tersebut dengan konsep-konsep matematika ke dalam pikirannya (Sarjiman, 2006:78). Pembelajaran matematika realistik di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik Realistic Mathematics Education (RME). Siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal dan selanjutnya siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.

Berikut ini merupakan karakteristik Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) berdasarkan karakteristik Realistic Mathematics Education (RME) yang dijadikan acuan dalam penerapan pembelajaran matematika di kelas. Terdapat lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang dikemukakan oleh Traffers dalam Bakker, yaitu: Phenomenological Exploration (penggunaan konteks), Using Models and Symbols for Progressive Mathematization (penggunaan model), Using Students’ own Constructions and Productions (penggunaan hasil produksi dan konstruksi siswa), Interactivity (interaktivitas), dan Intertwinement (keterkaitan antar konsep matematika) (Traffers, 2004:6).

B. METODE PENELITIAN

Sasaran penelitian ini adalah siswa Indonesia kelas 8 SMP/MTs. Penelitian ini merupakan bagian dari suatu design research. Terdapat tiga fase penelitian pada jenis penelitian design research yang terjadi proses siklik pada tiap fasenya. Ketiga fase tersebut adalah: Thought Experiment (eksperimen hasil pemikiran), Instruction Experiment (Eksperimen pembelajaran), dan Retrospective analysis (analisis retrospektif) (Gravemeijer dan Cobb, 2006:47).

Teori dan penelitian yang terkait dengan penelitian ini dikaji selama fase eksperimen hasil pemikiran. Teori-teori tersebut kemudian menjadi landasan pengembangan local instruction theory atau teori instruksi lokal. Teori instruksional lokal mengenai pembelajaran volume pada penelitian ini merupakan hasil kajian dari teori instruksional lokal pada penelitian yang telah dilakukan oleh Kusumaningrum mengenai penerapan pendekatan PMRI dalam upaya mengembangkan kemampuan visualisasi spasial siswa pada pokok bahasan volume kubus dan balok.

Teori instruksi lokal kemudian menjadi kerangka dalam mengembangkan Hipotesis Lintasan Belajar (HLB). Hipotesis Lintasan Belajar (HLB) merupakan dugaan mengenai lintasan belajar yang dilalui siswa pada pembelajaran volume dan luas permukaan kubus dan balok. HLB ini merupakan panduan dalam melaksanakan pembelajaran matematika di kelas selama fase eksperimen pembelajaran. Data selama fase eksperimen mengajar akan dianalisis guna memperbaiki pembelajaran selanjutnya dan teori instruksional lokal.

Penelitian ini telah melibatkan 32 siswa kelas 8 SMPI Al-Azhar Rawamangun, Jakarta Timur. Rangkaian penelitian dilaksanakan sejak desember 2012 hingga juli 2013. Pada penelitian ini, didesain serangkaian pembelajaran yang terdiri dari lima aktivitas inti, yaitu “Menggambar susunan “lilin mainan”, membangun dan menghitung kubus satuan pada balok bangunan, Memprediksi banyaknya kubus satuan dan persegi satuan, menentukan panjang rusuk-rusuk

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 468 M P - 468

Tabel 1. Hipotesis Lintasan Belajar (HLB) Rangkaian aktivitas

Tujuan

Deskripsi

Menggambar Siswa dapat merepresentasikan Siswa merepresentasikan susunan susunan "lilin

susunan objek tiga-dimensi ke kubus satuan yang diperlihatkan mainan"

dalam bentuk gambar

guru ke dalam gambar dua-dimensi

dua-dimensi berdasarkan atas

pada kertas isometric dot dan

posisi pandang yang berbeda

menggambarkan tampilan sisi dan memahami bagian interior depan, samping, dan atas susunan kubus

kubus satuan pada kertas square-dot.

Membangun dan Siswa dapat membangun balok Siswa membangun atau menyusun menghitung balok

kubus satuan berdasarkan gambar bangunan

bangunan berdasarkan atas

gambar pandangan yang

susunan kubus pada tampak depan,

berbeda

samping, dan atas yang diberikan oleh guru, kemudian siswa menentukan jumlah kubus satuannya.

Memprediksi

Siswa diberikan kotak transparan banyaknya kubus

• Siswa dapat memprediksi

berukuran 5x4x3 kubus satuan dan satuan dan persegi

jumlah kubus satuan yang

10 kubus satuan oleh guru. Siswa satuan

dapat memenuhi kotak

• Siswa dapat memprediksi

diminta memprediksi jumlah kubus

jumlah persegi satuan yang

satuan yang dapat memenuhi kotak dapat memenuhi permukaan transparan tersebut. kotak

Menentukan panjang Siswa dapat menentukan Siswa menentukan ukuran-ukuran rusuk-rusuk kotak

berbagai kemungkinan panjang kotak yang mungkin dapat memuat rusuk-rusuk kubus atau balok

sejumlah kubus satuan yang telah

yang dapat menampung

ditentukan oleh guru.

sejumlah kubus satuan tertentu

Siswa menentukan ukuran luas seluruh sisi susunan

Menentukan luas

• Siswa dapat menentukan

permukaan beberapa susunan kubus kubus dan membuat

luas seluruh sisi susunan

satuan dengan jumlah kubus satuan jaring-jaring

kubus

• Siswa dapat membuat

yang sama.

jaring-jaring kubus atau balok

• Siswa dapat memahami perubahan luas permukaan pada bangun-bangun balok atau kubus dengan volume sama

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konteks menghitung lilin mainan dan mengecat properti pameran mampu mengembangkan kemampuan penalaran spasial siswa sehingga siswa mampu memahami konsep volume dan luas permukaan kubus dan balok, serta keterkaitan kedua konsep tersebut dengan baik. Rangkaian kegiatan yang memiliki tujuan pembelajaran yang berkesinambungan pada konteks ini mampu menghantarkan siswa memahami struktur susunan kubus satuan pada pengukuran volume dengan metode membungkus (packaging) dan “menemukan” kembali rumus volume kubus dan balok. Pada kegiatan pengukuran luas permukaan, konteks yang digunakan adalah konteks mengecat. Konteks ini juga mampu menghantarkan siswa “menemukan” kembali rumus luas permukaan kubus dan balok dan keterkaitan konsep volume dan luas permukaan pada hal optimalisasi luas permukaan.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 469

Pada kegiatan menggambarkan susunan “lilin mainan”, secara umum terdapat dua strategi siswa dalam manggambar yaitu menyusun kubus satuan terlebih dahulu dan hanya membayangkan susunan kubus tanpa menyusunnya. Penggunaan kubus satuan sebagai model of “lilin mainan” mampu menghantarkan beberapa siswa memahami gambar isometrik (yaitu gambar-gambar yang akan menghasilkan benda yang sama jika diputar atau dilihat dari berbagai arah) , seperti pada gambar 1 berikut:

Gambar 1. Siswa memahami gambar isometrik pada gambar susunan kubus

Selain itu, siswa mampu merepresentasikan susunan kubus dengan memperhatikan bagian interior kubus. Hal-hal tersebut terjadi seiring berkembangnya kemampuan visualisasi dan orientasi spasial siswa dengan pemanfaatan model dan interaktivitas antar siswa. Kemampuan ini berperan sebagai dasar dalam memahami pengukuran volume dan luas permukaan kubus dan balok.

Kemampuan visualisasi spasial siswa dalam memahami bagian interior susunan kubus mengalami perkembangan dalam membayangkan pergerakan objek visual. Hal ini terjadi pada aktivitas membangun kubus satuan. Secara umum, siswa membangun susunan kubus berdasarkan atas gambar posisi pandang yang termudah menurut mereka.

Beberapa strategi siswa muncul dalam menentukan jumlah kubus satuan yang dibutuhkan dalam membangunnya. Beberapa siswa menghitung kubus satuan satu persatu, namun sebagian besar mampu menghitung dengan menjumlahkan banyaknya kubus satuan pada tiap-tiap lapisan susunan kubus (lihat gambar 2), baik lapisan baris maupun lapisan kolom.

Gambar 2. Perhitungan jumlah kubus satuan berdasarkan pemahaman kubus yang terorganisir pada lapisan baris

Strategi ini muncul seiring dengan pemahaman siswa mengenai susunan kubus yang terorganisir. Pada beberapa siswa, model kubus satuan yang berwarna warni memudahkan mereka dalam memahami susunan kubus yang terorganisasi pada setiap lapisannya, baik lapisan baris maupun lapisan kolom. Hal ini akan menjembatani siswa untuk “menemukan” kembali rumus volume kubus dan balok.

Kegiatan memprediksi jumlah kubus yang dibutuhkan untuk mengisi kotak transparan menggunakan sepuluh kubus satuan mampu merangsang siswa menempatkan kubus-kubus tersebut pada masing-masing rusuk kotak sebagai representasi kotak. Hal ini berhasil dilakukan oleh beberapa siswa, sementara siswa yang lain menggunakan sepuluh kubus satuan tersebut pada lapisan baris atau kolom. Terbatasnya jumlah kubus yang diberikan tidak menjadi hambatan yang berarti bagi siswa seiring dengan berkembangnya pemahaman siswa dalam memahami bagian interior kubus dan kubus satuan yang terorganisir pada setiap lapisan.

Selain memprediksi kubus satuan, siswa juga diminta untuk menentukan jumlah persegi satuan yang tampak pada masing-masing sisi susunan kubus. Strategi yang dilakukan oleh siswa

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 470 M P - 470

Pada HLB awal, kegiatan menentukan ukuran rusuk-rusuk kotak dan menentukan jumlah persegi satuan merupakan kegiatan keempat dan kelima yang akan dilaksanakan secara terpisah. Melihat kemampuan penalaran spasial siswa yang berkembang dengan baik selama aktivitas satu hingga tiga, maka dilakukan perubahan HLB dengan menggabungkan kegiatan menentukan ukuran rusuk-rusuk kotak dan menentukan jumlah persegi satuan menjadi satu aktivitas. Aktivitas ini bertujuan agar siswa memahami konsep kekekalan volume dan perubahan luas permukaan pada bangun-bangun dengan volume sama.

Penggunaan konteks mengecat properti pameran, adanya interaksi antara siswa dengan guru dan antar siswa, dan pemanfaatan model mampu menghantarkan siswa memahami konsep kekekalan volume. Siswa juga mampu mamahami bahwa kekekalan volume tersebut tidak beriringan dengan kekalnya luas permukaan bangun tersebut. pada akhir pembelajaran, siswa mampu menyimpulkan bahwa diantara bangun-bangun kubus dan balok dengan volume sama, kubus merupakan bangun yang memiliki luas permukaan minimum.

D. SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini, merujuk pada rumusan masalah penelitian, yaitu bahwa seluruh karakteristik PMRI yang menjadi landasan desain pembelajaran berperan dalam mengembangkan kemampuan penalaran spasial siswa SMP guna memahami konsep volume dan luas permukaan. Penggunaan konteks menghitung lilin mainan mampu menghantarkan siswa “menemukan” kembali konsep volume dan konteks mengecat mampu menghantarkan siswa “menemukan” kembali konsep luas permukaan dan memahami perubahan luas permukaan pada bangun ruang dengan volume yang sama. Penggunaan konteks tersebut mampu membuat siswa bereksplorasi dan melakukan pemodelan dengan berinteraksi dengan rekan sekelompok sehingga tujuan pembelajaran tercapai bagi semua siswa. Karakteristik yang paling menonjol adalah karakteristik “interaktivitas”.

2. Saran

a. Saran untuk perbaikan Hipotesis Lintasan Belajar: Permasalahan dan instruksi yang diberikan pada setiap LKS harus jelas dan perlunya penegasan mengenai keisometrikan gambar.

b. Saran untuk guru: Guru seharusnya lebih giat dalam menggali dan mempelajari pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

c. Saran untuk peneliti lain: Mengembangkan konteks yang akan digunakan sesuai dengan budaya dan lingkungan sekolah dan mengamati dengan baik perkembangan kemampuan penalaran spasial siswa. Jika kemampuan penalaran spasial siswa tidak berkembang dengan baik, maka aktivitas menentukan ukuran rusuk-rusuk kotak dan menentukan jumlah persegi satuan dapat dipisah sebagaimana HLB awal.

E. DAFTAR PUSTAKA

Clements, Douglas H., dan Michael Batista. 1992. Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning: Geometri and Spatial Reasoning. New York: MacMillan Publishing Company.

Cobb P.danGravemeijer, K. 2006. Design Research from a Learning Design Persfektive: Educational Design Research . London and New York: Routledge.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 471

Curry, Margareth dan Outhted, Lynne. 2005. “Conceptual Understanding of Spatial Measurement,”

Dwi Sulistya Kusumaningrum/ 2012. Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) untuk Mengembangkan Kemampuan Visualisasi Spasial pada Pokok Bahasan Volume Kubus dan Balok untuk Siswa Kelas VII-A SMP Negeri Cilebar, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Matematika UNJ, (Jakarta: Tidak diterbitkan).

Dyke, Van, dkk. 2007. Fundamental of Mathematics, 9 th Edition. USA: Thomson Brooks/Cole. Freudenthal, Hans. 1983. Didactical Phenomenology of Mathematics Structure. Boston: D.

Reidel Publishing Company. Isiskal, Mine, dkk. 2010. “A study on investigating 8 th grade students’ reasoning skills on measurement: The Case of Cylinder.” Jurnal pada Education and Science 2010, Vol. 35, No. 156 .

KEMENDIKBUD.Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMP, MTs, dan SMPLB. http://litbang.kemdikbud.go.id/ (Diunduh tanggal 17 Juli 2013).

Martin, John D.. 2007. “Children’s Understanding of Area of Rectangular Regions and Volumes of Rectangular Shapes and the Relationship of These Measures to Their Linear Dimensions”, Qualifying Paper Ph.D Program in MSTE Education, Turfts University.

NCTM, Geometry,

Measurement .http://www.nctm.org/ handlers/aptifyattachmenthandler.ashx (Diunduh tanggal 16 Maret 2013).

NCTM. Guiding Principles for Mathematics Curriculum and Assessment.http://www.nctm.org (Diunduh tanggal 7 Januari 2013).

Olkun, Sinan. 2003. Establishing Conceptual Bases for The Measuremnt of Volume. Turkey: Abant Izzet Baysal University.

Olkun, Sinan. 2003. “Making Connection: Improving Spasial Abilities with Engineering Drawing Activities,” International journal of Mathematics Teaching and Learning.

Traffers, A. 2004. “Three Dimensions: A Model of Goal and Theory Description in Mathematics” dalam Arthur Bakker (Eds.), Design Research in Statistics Education: On Symbolizing and Computer Tools . Utrecht: Freudenthal Institute.

Unal, Hasan, dkk. 2009. “Difference in Learning Geometry among High and Low Spasial Ability Pre-service Mathematics Teachers”, International Journal of Mathematical Education in Science and Tecnology, vol 40, No.8.

Velez, Maria C., dkk. 2005. Understanding Visualization through Spasial Ability Differences. New Jersey: The State University.

Walle, John A. Van De. 2008. Elementary and Middle School Mathematics: Teaching Developementally, 7 th edition. Boston: Allyn and Bacon.

Wardhani, Sri. 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran SMO/MTs untuk Optimalisasikan Pencapaian Tujuan, Yogyakarta: PPPPTK Matematika.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 472

P - 60

ASESMEN FORMATIF INFORMAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

R. Rosnawati 1

1 Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

1 rosnawati_uny@yahoo.com

Abstrak

Asesmen formatif informal adalah penilaian yang berfokus pada perolehan informasi tentang siswa belajar dalam pembelajaran dalam hal ini pembelajaran matematika yang dapat berlangsung pada setiap interaksi peserta didik-pendidik dalam proses pembicaraan kelas sehari-hari. Penilaian yang dilakukan saat interaksi memungkinkan pendidik untuk mengumpulkan informasi tentang status konsepsi, cara berpikir, strategi, kemampuan komunikasi peserta didik. Untuk melakukan asesmen formatif informal pendidik mengajukan pertanyaan untuk menghasilkan pemikiran peserta didik, peserta didik memberikan jawaban, pendidik mengakui respon pendidik, dan kemudian menggunakan informasi tersebut dikumpulkan untuk mendukung pembelajaran.

Kata kunci: Asesmen, formatif, informal

A. PENDAHULUAN

Untuk dapat melihat perkembangan hasil belajar selama proses pembelajaran dilakukan melalui asesmen formatif yaitu proses penilaian yang direncanakan sehingga menimbulkan bukti status siswa yang digunakan oleh guru untuk menyesuaikan prosedur pembelajaran yang sedang berlangsung serta untuk menyesuaikan taktik belajar siswa saat ini dan bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kekuatan dan kelemahan proses pembelajaran yang telah dilakukan dan menggunakan informasi tersebut untuk memperbaiki, mengubah atau memodifikasi proses pembelajaran agar lebih efektif. Dengan kata lain dengan informasi yang diperoleh, guru akan memperbaiki hal-hal yang perlu diperbaiki, sedangkan yang tidak perlu diperbaiki perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Black & William (1998) bahwa asesmen formatif diinterpretasikan sebagai semua cakupan berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan guru dan atau siswa yang menyediakan informasi yang digunakan sebagai umpan balik untuk untuk memperbaiki memodifikasi aktivitas pembelajaran dengan pihak-pihak yang terlibat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Andrade & Cizek (2010) yang menyatakan bahwa fokus asesmen formatif adalah untuk memperoleh informasi secara halus tentang kekuatan dan kelemahan siswa dalam konteks non evaluatif di mana guru dan siswa melihat sebagai informasi yang berharga dan berguna untuk menentukan kegiatan berikutnya yang paling menguntungkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Asesmen formatif dapat digambarkan sebagai proses pencarian informasi yang digunakan untuk menyesuaikan instruksi atau studi untuk tujuan memajukan pembelajaran siswa dibandingkan dengan penilaian sumatif yang terutama ditujukan untuk menggambarkan atau menetapkan kinerja siswa.

Lebih rinci Assessment Reform Group (2002) menyatakan bahwa asesmen formatif melibatkan proses mencari dan menginterpretasikan bukti-bukti yang digunakan siswa dan guru untuk memutuskan posisi siswa dalam pembelajarannya, kemana siswa perlu melangkah dan bagaimana cara terbaik untuk mencapainya. Asesmen formatif merupakan bagian dari program

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Pengumpulan bukti-bukti berbasis asesmen formatif dilakukan selama proses pembelajaran oleh sebab itu pengumpulan bukti-bukti ini dilakukan baik formal maupun informal untuk perbaikan proses pembelajaran. Ruiz-Primo & Purtak (2006) mengusulkan kerangka kerja untuk praktik asesmen formatif informal berdasarkan komponen asesmen formatif yaitu pengumpulan, penafsiran, dan pelaksanaan dan domain penyelidikan ilmiah yaitu epistemik, konseptual, dan social. Pola yang direkomendasikan oleh Ruiz-Primo & Purtak adalah ESRU (Elicit Question, Student Respon, Recognition by teacher, Use of information) . Pola ini dapat digunakan dalam pembelajaran matematika yang mengacu pada kurikulum 2013 yang memiliki standard dalam proses pembelajar yang diharapkan adalah pendekatan saintifik (Permendikbud, No 65, Tahun 2013).

Selanjutnya dalam Permendikbud RI Nomor 54 tahun 2013 tentang standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah, disebutkan 3 dimensi kompetensi lulusan SMP yaitu dimensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Untuk dimensi pengetahuan adalah memiliki pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian yang tampak mata. Untuk dimensi keterampilan kompetensi yang diharapkan adalah memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang dipelajari disekolah dan sumber lain sejenis.

Lebih jauh dijelaskan dalam Permendikbud Nomor 68 tahun 2013 tentang kurikulum SMP untuk mata pelajaran matematika kelas VII kompetensi dasar untuk dimensi sikap adalah menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah; memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika serta memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk melalui pengalaman belajar; serta memiliki sikap terbuka, santun, objektif, menghargai pendapat dan karya teman dalam interaksi kelompok maupun aktivitas sehari-hari. Kompetensi dasar untuk dimensi pengetahuan adalah: membandingkan dan mengurutkan beberapa bilangan bulat dan pecahan serta menerapkan operasi hitung bilangan bulat dan bilangan pecahan dengan memanfaatkan berbagai sifat operasi; menjelaskan pengertian himpunan, himpunan bagian, komplemen himpunan, operasi himpunan dan menunjukkan contoh dan bukan contoh; menyelesaikan persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel; memahami konsep perbandingan dan menggunakan bahasa perbandingan dalam mendeskripsikan hubungan dua besaran atau lebih; memahami pola dan menggunakannya untuk menduga dan membuat generalisasi (kesimpulan); mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar dan menggunakannya untuk menentukan keliling dan luas; mendeskripsikan lokasi benda dalam koordinat Cartesius; menaksir dan menghitung luas permukaan bangun datar yang tidak beraturan dengan menerapkan prinsip-prinsip geometri; memahami konsep transformasi (dilatasi, translasi, pencerminan, rotasi) menggunakan objek-objek geometri; menemukan peluang empirik dari data luaran (output) yang mungkin diperoleh berdasarkan sekelompok data memahami teknik penyajian data dua variabel menggunakan tabel, grafik batang, diagram lingkaran, dan grafik garis.

Terkait dengan asesmen formatif yang harus direncanakan guru pada pelaksanaan kurikulum 2013 mencakup 3 dimensi yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Guru harus mengumpulkan informasi yang cukup terkait ketiga dimensi bila menginginkan perubahan strategi pembelajaran dalam upaya membantu siswa mencapai tujuan.Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana praktik asesmen formatif informal yang dapat dilakukan dalam implementasi

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 474 M P - 474

B. PEMBAHASAN

Dalam UU Sisdiknas pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lebih rinci dalam standar proses dinyatakan bahwa karakteristik pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait erat pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai. Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan (Permendikbud, No 54, tahun 2013)

Untuk mencapai hal tersebut dalam proses pembelajaran tersebut terdapat 3 agen yang saling berinteraksi yaitu guru, siswa, dan teman sebaya, dan 3 landasan kunci proses pembelajaran yaitu menetapkan kemampuan awal siswa saat mengikuti pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, dan apa yang diperlukan mereka untuk mencapai tujuan Black & Wiliam, (2009). Oleh karena ini salah satu asesmen formatif yang dilakukan adalah melihat interaksi antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa. Melalui interaksi antara guru-siswa dan siswa dengan siswa diharapkan memperoleh informasi dengan disposisi siswa terhadap matematika.

Berikut adalah contoh interaksi antara guru dan siswa, saat siswa melakukan kegiatan menyelesaikan latihan soal mengidentifikasi segitiga berdasarkan besar sudutnya. Guru : “Apa jenis segitiga DEF?” Siswa : “Segitiga tumpul” Guru : “Mengapa disebut segitiga tumpul”

D F Siswa : ”Karena ada sudut yang besarnya

lebih dari 90 o ” Guru : “Begitu ya? Berapa besar sudut-sudut

dalam segitiga DEF?”

Siswa : ”46 o , 52 , dan 98 ” Guru : “Bagaimana cara memperolehnya?”

oo

Siswa : “Dengan menggunakan busur derajat bu” Guru : “Coba ibu lihat bagaimana cara memperoleh besar sudut tadi” Siswa : “Begini bu, masing-masing sudut diukur...”

E Guru : “Coba bandingkan dengan segitiga

lancip yang berupa potongan ini”

Pada tahap memunculkan pertanyaan, guru mengajukan pertanyaan kepada siswa yang memungkinkan siswa untuk berbagi idenya tentang konsep yang sedang dibahas. Saat respon diberikan siswa, guru menggunakan informasi untuk membantu siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik . Dari interaksi antara guru dan siswa, guru memperoleh informasi bahwa siswa tidak memiliki keterkaitan antara besar sudut dengan

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 475 M P - 475

diperoleh, guru dengan cepat dapat melakukan perbaikan atau perubahan strategi pembelajarannya agar tujuan dapat dicapai. Guru harus mahir memunculkan ide-ide dan mengenali perilaku siswa, dan menggunakan respon siswa sebagai sumber daya untuk mengarahkan cara pengambilan keputusan yang mendukung pembelajaran selanjutnya.

Berikut adalah contoh interaksi guru-siswa pada pembelajaran pola bangun pada siswa kelas VII.

Guru : “Apa hasil gambaran dari suku ke-7?” Siswa : “Hasil gambarnya seperti ini”

Guru : “Mengapa kalian membuat seperti ini?” Siswa : “Karena sesuai dengan pola yang kami temukan” Guru

: “Betul kalian sudah menggambar nya, nah sekarang dapatkah kalian menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar tentang bangun pada gambar ini? ⋮

Guru : “Bagaimana gambarannya?” Siswa

: ”Bangun ke-7 itu adalah bangun yang dibentuk dari 14 persegi, sebanyak 7 dan horizontal sebanyak 7 dengan satu sebagai poros” Guru

: “Coba sekarang ibu akan buat bangun ke tujuh berdasarkan gambaran kalian

Guru : “Bagaimana? Siswa

: “Ya bu bangun yang ibu buat sudah sesuai dengan gambaran yang kami buat ada

14 persegi dengan 7 horizontal dan 7 vertikal dan satu sebagai poross Siswa

: “Jadi kalau menggambarkan itu harus tepat ya bu...?” Guru

: “Benar, semua orang yang membaca gambaranmu harus sesuai dengan apa yang kalian maksud Guru

: “Nah coba kalian ubah sedikit gambaran bangun ke-7”

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 476

Pada dua contoh gambaran interaksi antara guru dan siswa, diawali dengan pertanyaan guru sehingga siswa memberi respon, dan respon yang diberikan siswa harus dapat ditangkap oleh guru sebagai informasi untuk melacak kelamahan dan kekuatan yang dimiliki oleh siswa. Dari kelemaham dan kekuatan yang diketahui ini digunakan guru untuk memberikan umpan balik untuk memperbaiki strategi pembelajaran dan strategi siswa belajar agar tujuan yang telah ditetapkan semula dapat dicapai. Pada model ini penilaian formatif yang efektif tergantung pada kemampuan guru untuk menafsirkan pengamatan dan hasil siswa, dan akibatnya bertindak berdasarkan interpretasi untuk meningkatkan belajar siswa (Jones dan Moreland, 2005). Guru harus mahir memunculkan ide-ide dan mengenali perilaku yang ditunjukkan oleh siswa, dan menggunakan respon siswa sebagai sumber daya untuk mengarahkan cara pengambilan keputusan yang mendukung pembelajaran selanjutnya (Ruiz-Primo dan Furtak, 2007).

C. SIMPULAN

Praktik asesmen formatif informal sangat bergantung pada situasi kelas, namum demikian untuk mempermudah guru melaksanakan asesmen formatif informal, sebaiknya guru mempersiapkan perencanaan berupa pertanyaan-pertanyaan yang akan digunakan dalam asesmen formatif informal. Perencaaan asesmen formatif informal yang disiapkan berupa Pertanyaan-pertanyaan yang disusun guru berdasarkan pengalaman sebelumnya.

Asesmen formatif informal dilakukan pada saat interaksi antara guru dengan siswa, diawali dengan pertanyaan yang diajukan oleh guru, dilanjutkan dengan respon yang diberikan oleh siswa, sehingga guru mengenali respon dari siswa, respon ini merupakan informasi yang digunakan guru untuk memberikan umpan balik dan mengubah strategi pembelajaran dan strategi belajar siswa agar tujuan dapat dicapai.

Menghimpun informasi mengenai kegiatan siswa belajar hanyalah salah satu tujuan. Hal lain yang juga penting adalah untuk memperoleh informasi mengenai disposisi siswa terhadap matematika, serta tujuan kurikulum matematika. Semua informasi ini perlu dicatat agar lebih mudah dianalisis dan kemudian ditindaklanjuti. Tingkat kebermaknaan dari asesmen akan bergantung dari keselarasan antara metode asesmen dengan kurikulum. Apabila asesmen yang dilakukan tidak merefleksikan tujuan, maksud, dan isi dari kurikulum, maka informasi mengenai apa yang telah dimiliki siswa akan sangat sedikit.

D. DAFTAR PUSTAKA

Andrade, H. L., & Cizek, G. J. (2010). Handbook of formative assessment. New York: Routdledge.

Bell, B., & Cowie, B. 2001. Formative assesmen and science education. Dordrecht. The Netherland: Kluwer

Black, P., and Wiliam, D. 2009. Developing the Theory of Formative Assessment. Assessment in Education , 21: 5-31.

Dunn, K . E ., & Mulvenon, S . W . (2009) . A critical review of research on formative assessment: The limited scientific evidence of the impact of formative assessment in education. Practical Assessment, Research & Evaluation , 14(7), 1–11 . Retrieved December 3, 2009.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaam Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2013.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 477

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaam Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaam Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2013. Pophan, W.J. 2005. Classroom Assessment : What Teachers Need to Know. Fourth edition.

Boston : Allyn and Bacon Ruiz-Primo, M. & Furtak, E.M. 2006. Informal assessment and scientific inquiry: exploring

teacher’ practices and student learning. Educational Assessment, Vol 11, 2006, 205-23

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 478

P - 61

MENGEMBANGKAN KARAKTER SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL

Rahmatya Nurmeidina

Mahasiswa Pendidikan Matematika, Pascasarjana UNY Rahmatya.dina@gmail.com

Abstrak

Pendidikan nasional bertujuan untuk membangun landasan bagi berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang memiliki kemampuan kognitif, psikomotorik dan afektif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh prestasi akademik, tetapi juga dipengaruhi oleh kepribadian dan karakter. Karakter merupakan watak, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan dalam cara pandang, berfikir, bersikap, dan bertindak. Karakter siswa dapat dilihat dari kepribadian siswa sehari-hari, baik dalam pembelajaran di sekolah, maupun ketika pergaulan di luar sekolah.

Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan suatu pembelajaran yang dapat mengembangkan karakter siswa. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata bagi siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kontekstual mempunyai tujuh komponen utama, yakni konstruktivisme (constructivism), penemuan (inquiry), bertanya (questioning) , masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Pembelajaran matematika yang memuat komponen-komponen tersebut dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan rasa ingin tahu, percaya diri, kerja sama, kemadirian, kerja keras dan nilai-nilai karakter lainnya.

Kata kunci : Karakter, Pendekatan Kontekstual

A. PENDAHULUAN

Pendidikan nasional bertujuan untuk membangun landasan bagi berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang memiliki kemampuan kognitif, psikomotorik dan afektif. Hal ini diungkapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 17 Ayat (3) menyebutkan bahwa pendidikan dasar, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (c) berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; (d) sehat, mandiri, dan percaya diri; (e) toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab. (Kemendiknas, Dirjen Menpendasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2010:2). Berdasarkan Peraturan pemerintah tersebut dapat disimpulkan bahwa tujan pendidikan dalam setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP),

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

bertujuan untuk mengembangkan karakter siswa. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan menerangkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai subjek dalam proses pembelajaran, siswa harus mampu berperan aktif untuk mencapai kompetensi yang harus dimilikinya.

juga

Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat menurut Ali Ibrahim Akbar dalam Muslich (2011: 84) ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini diperkuat dengan data dari http://hnd-training.com/?page_id=4 , yang menyebutkan bahwa Tiga institusi international, yaitu: Harvard University, Stanford University dan Carnegie Foundation juga melakukan penelitian tentang manusia, hasil yang diperoleh menyatakan: Kesuksesan Seseorang Ditentukan Oleh: 15% Pendidikan Akademis, Keterampilan dan Pengetahuan Umum, dan 85% Sikap dan Human Relation. Selanjutnya hasil penelitian, Daniel Goleman (2000) membuktikan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh 20% Intelligence Quotient dan 80% Emotional Quotient. EQ atau Daniel menyebut Emotional Intelligence ternyata menjadi penentu terbesar keberhasilan seseorang, padahal selama ini sebagian besar orang meyakini kalau orang pintar secara akademis akan lebih sukses dibanding orang yang secara akademis kurang pintar. Penelitian-penelitian tersebut dapat menjadi pendukung bahwa pembelajaran di sekolah hendaknya tidak hanya bepusat pada kemampuan kognitif, tetapi juga pada pembelajaran untuk mengembangkan karakter, sikap, kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi melaui pendidikan karakter.

Pendidikan karakter hendaknya dapat diintegrasikan dalam setiap pembelajaran, termasuk matematika melalui pendekatan yang digunakan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter siswa adalah pendekatan kontekstual. Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai mengembangkan karakter siswa dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual.

B. PEMBAHASAN Pengertian karakter dan pendidikan karakter

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap, dan bertindak. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa (Direktorat Pembinaan SMP, Panduan Pendidikan Karakter di SMP,2010). Dalam

pedoman pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa Kementerian Pendidikan Nasional (Puskur, Balitbang, 2010:9-10) menyatakan bahwa teridentifikasi 18 macam nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karater bangsa sebagai berikut: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.

Lickona (1992 : 50) menyadur pendapat Aristoteles menyatakan bahwa karakter yang baik

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 480

(good character) adalah menjalani kehidupan dengan kebenaran. Selanjutnya Lickona menyatakan bahwa komponen karakter positif terdiri dari moral knowing, moral feeling dan moral action . Hubungan dari ketiga komponen tersebut dapat disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Komponen karakter menurut Lickona

Menurut Ratna Megawangi (2010 : 7) ada Sembilan pilar karakter yang penting untuk dikembangkan, yaitu Cinta Tuhan dan Alam semesta beserta isinya; (2) Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian; (3) kejuujuran; (4) Hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama; (6) Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) Baik dan rendah hati; (9) Toleransi, cinta damai dan persatuan.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter adalah kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap, dan bertindak. Nilai-nilai karakter seperti jujur, kerja keras, mandiri, percaya diri, kreatif, keadilan dan lain-lain tersebut teraplikasikan dalam tiga komponen yaitu moral knowing, moral feeling dan moral action. Untuk mengembangkan nilai-nilai karakter tersebut pada siswa, hendaknya pembelajaran di sekolah dapat mengintegrasikan seluruh pembelajaran dengan pendidikan karakter.

Pendidikan karakter (kemendiknas, Dirjen Menpendasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2010: 13) adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Dalam pedoman pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa Kementerian Pendidikan Nasional (Puskur, Balitbang, 2010:9-10) menyatakan bahwa teridentifikasi 18 macam nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karater bangsa sebagai berikut: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.

Pembelajaran matematika

Sriraman & English (2010: 214) menjelaskan, “mathematics is a human activity and an outcome of this activity is the feeling of objectivity that mathematical objects possess” . Matematika merupakan suatu aktivitas manusia (human activities) dan akibat dari aktifitas ini dapat dirasakan secara objektif dari setiap objek matematika. Matematika juga dapat didefinisikan sebagai ide logis, ide yang saling berhubungan, hubungan, pola yang mencakup beberapa aspek seperti komunikasi, keterangan sub bagian seperti apresiasi antara

matematika sebagai subyek pembelajaran. NCTM (2000: 144) dijelaskan, “mathematics learning is both about making sense of mathematical ideas and about acquiring skills and insights to solve problems”. Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa belajar matematika dapat menimbulkan rasa (sense) ide-ide

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 481 M P - 481

Badan Standar Nasional Pendidikan tahun 2006 menyatakan pembelajaran matematika di sekolah bertujuan untuk : (1). Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. (2). Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. (3). Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pembelajaran matematika tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa, tetapi juga kemampuan afektif yang berkaitan dengan karakter siswa seperti, rasa ingin tahu, perhatian, ulet dan percaya diri. Dengan demikian pembelajaran matematika sejalan dengan pendidikan karakter. Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang dapat mengemabangkan karakter siswa. Pendekatan tersebut anatara lain adalah pendekatan kontekstual.

Pendekatan kontekstual

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa (Depdiknas, 2001:1). Menurut teori pembelajaran kontekstual (CORD, 1999:1), pembelajaran terjadi hanya ketikasiswa (peserta didik) memproses informasi baru atau pengetahuan sedemikian rupa sehingga dapat diterima secara logis (memori, pengalaman, dan respon). Pendekatan belajar dan pengajaran ini mengasumsikan bahwa pikiran secara alami mencari makna dalam konteks yaitu, dalam kaitannya dengan lingkunagan dan mencari hubungan yang logis dan berguna. Pendekatankontekstual

utama, yakni konstruktivisme(constructivism), penemuan (inquiry), bertanya

(questioning) , masyarakatbelajar

pemodelan (modeling) refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) (Depdiknas, 2001:10). Komponen-komponen

(learning community) ,

tercermin dalam langkah-langkah pembelajaran kontekstual. Ada 6 langkah dalam pembelajaran kontekstual (Crawford, 2001:2-14), yaitu sebagai berikut.

a) Constructivism yaitu mengembangkan pemikiran peserta didik akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan atau keterampilan barunya.

b) Relating adalah pembelajaran harus dapat menghubungkan konsep satu dengan yang lainnya.

c) Experiencing yaitu mengalami, peserta didik harus dapat melakukan eksplorasi terhadap hal yang dipelajari

d) Applying yaitu pembelajaran harus dapat didemonstrasikan dalam pengetahuannya

komunikasi interpersonal atau hubungan intersubjektif

e) Cooperating adalah pembelajaran harus

menekankan pada

f) Transferring yaitu pembelajaran harus dapat memberikan pengetahuan baru pada konteks yang lain.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 482

Keterkaitan pendekatan pembelajaran Kontekstual dengan Pengembangan Karakter Siswa

Prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran kontekstual dan pembelajaran aktif yang selama ini digalakkan aplikasinya oleh Direktorat PSMP sangat efektif mengembangkan karakter peserta didik (KEMENDIKNAS, 2010:3). Prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning disarankan diaplikasikan pada semua tahapan pembelajaran karena prinsip-prinsip pembelajaran tersebut sekaligus dapat memfasilitasi terinternalisasinya nilai-nilai. Selain itu, perilaku guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik (Kemendiknas, 2010:6). Berikut ini akan dijelaskan komponen-komponen dalam pembelajaran kontekstual dan keterkaitannya dengan pengembangan karakter siswa.

1. Konstruktivisme(Constructivism)

Pembelajaran konstruktivistik biasanya dimulai dengan pertanyaan, kasus, atau masalah yang disajikan oleh pembimbing atau guru. Campur tangan guru hanya sebagai sarana untuk membimbing siswa ke arah yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Pembelajaran konstruktivistik didasarkan pada prinsip bahwa melalui aktivitas siswa menemukan sendiri kebenaran. Tugas kita sebagai guru adalah untuk memfasilitasi penemuan itu. Bagaimana kita dapat mengarahkan siswa untuk menemukan sendiri konsep yang diperlukan? Jawaban yang sederhana adalah "tanyakan, jangan langsung dijelaskan”. Dan lebih baik lagi jika guru dapat merencanakan pembelajaran sehingga siswa sendiri yang mengajukan pertanyaan. (Cooperstein & Kocevar-Weidinger, 2004: 142). Menurut Kemendiknas (2010 : 47) konstrukstivisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa orang menyusun atau membangun pemahaman mereka dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal dan kepercayaan mereka. Seorang guru perlu mempelajari budaya, pengalaman hidup dan pengetahuan, kemudian menyusun pengalaman belajar yang memberi siswa kesempatan baru untuk memperdalam pengetahuan tersebut.

Dengan demikian, komponen kontruktivisme yang memulai pembelajaran dengan masalah dan mebuat siswa membangun sendiri pemahamnnya dapat mengembangkan karakter rasa ingin tahu siswa, berfikir kritis dan kreatif. Selanjutnya, ketika siswa berusaha untuk membangun sendiri konsep baru dari pengalaman yang didapatkan, hal ini dapat mengembangkan karakter kemandirian.

2. Inkuiri (Inquiry)

Menurut Scardamalia dalam Ontario (2013: 2), Pembelajaran berbasis Inquiry adalah sebuah pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang menempatkan pertanyaan, ide dan pengamatan siswa di pusat pengalaman belajar. Pendidik berperan aktif selama proses pembelajaran berlangsung dengan membentuk budaya di mana ide-ide menantang, diuji, didefinisikan ulang dan dipandang sebagai sesuatu yang bisa d improvisasi. Hal yang mendasari pendekatan ini adalah ide bahwa pendidik dan siswa berbagi tanggung jawab untuk belajar.

Menurut kemendiknas (2010: 41) inkuiri adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, yang diawali dengan pengamatan dari pertanyaan yang muncul. Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut didapat melalui siklus menyusun dugaan, menyusun hipotesis, mengembangkan cara pengujian hipotesis, membuat pengamatan lebih jauh, dan menyusun teori serta konsep yang berdasar pada data dan pengetahuan.

Pada komponen inkuiri, siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis dan kreatif saat mereka berdiskusi dan menganalisis bukti, mengevaluasi ide dan proposisi, merefleksi validitas data, memproses, membuat kesimpulan. Kemudian menentukan bagaimana mempresentasikan dan menjelaskan penemuannya, dan menghubungkan ide-ide atau teori untuk mendapatkan konsep. Sehingga komponen ini dapat mengembangkan karakter berfikir kritis, kreatif, dan inovatif, menghargai pendapat orang lain, jujur, rasa ingin tahu dan tanggung jawab.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 483

3. Bertanya (Questioning) Penggunaan pertanyaan untuk menuntun berpikir siswa lebih baik daripada sekedar memberi

siswa informasi untuk memperdalam pemahaman siswa. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang fenomena, belajar bagaimana menyusun pertanyaan yang dapat diuji, dan belajar untuk saling bertanya tentang bukti, interpretasi, dan penjelasan. Pertanyaan digunakan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa (Kemendiknas, 2010:40). Dengan pertanyaan yang diajukan oleh guru, guru dapat mengetahui apa saja yang sudah dipahami dan diketahui siswa, membangkitkan respon dan perhatian siswa terhadap apa yang diajarkan dan membuat siswa tidak hanya sebagai pendengar, tetapi terlibat aktif dalam pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran dengan menggunakan komponen pertanyaaan ini dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain rasa ingin tahu, berfikir kritis dan logis, menghargai pendapat orang lain dan percaya diri.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community) Masyarakat belajar adalah sekelompok siswa yang terikat dalam kegiatan belajar agar terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai kesempatan untuk bicara dan berbagi ide, mendengarkan ide siswa lain dengan cermat, dan bekerjasama untuk membangun pengetahuan dengan teman di dalam kelompoknya. Konsep ini didasarkan pada ide bahwa belajar secara bersama lebih baik daripada belajar secara individual. (kemendiknas, 2010 : 42). Dengan demikian, dalam komponen masyarakat belajar siswa dapat saling berbagi pengetahuan dan berdiskusi sehingga komponen ini dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain kerjasama, menghargai pendapat orang lain, dan tanggung jawab.

5. Pemodelan (Modeling) Pemodelan dalam sebuah pembelajaran maksudnya adalah adanya sesuatu atau model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau contoh yang diberikan guru (Depdikbud, 2002: 16). Pemodelan dapat juga dilakukan oleh siswa. Komponen ini membuat siswa belajar dari apa yang diperagakan dan diperlihatkan, sehingga dapat mengembangkan karakter menghargai orang lain dan percaya diri .

6. Refleksi (Reflection) Refleksi memungkinkan cara berpikir tentang apa yang telah siswa pelajari dan untuk membantu siswa menggambarkan makna personal siswa sendiri. Di dalam refleksi, siswa menelaah suatu kejadian, kegiatan, dan pengalaman serta berpikir tentang apa yang siswa pelajari, bagaimana merasakan, dan bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru tersebut. Refleksi dapat ditulis di dalam jurnal, bisa terjadi melalui diskusi, atau merupakan kegiatan kreatif seperti menulis puisi atau membuat karya seni. (kemdiknas, 2010: 44).

Dengan melakukan Refleksi pada akhir pembelajaran siswa dapat mengembangkan karakter kemampuan berfikir logis dan kritis, mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri, dan menghargai pendapat orang lain.

7. Penilaian Autentik (Authentic Assessment) Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu istilah yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif. Berbagai metode tersebut memungkinkan siswa dapat

mendemonstrasikan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan masalah, atau mengekspresikan pengetahuannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan sekolah (kemdiknas, 2010: 44). Penelitian autentik dapat berupa penilaian performance (tes unjuk kerja) dan fortopolio. Dengan demikian Penilaian autentik dalam pembelajaran dapat mengembangkan berbagai karakter antara lain kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, menghargai karya dan prestasi orang lain.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 484

C. KESIMPULAN Simpulan

Pendidikan nasional bertujuan untuk membangun landasan bagi berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang memiliki kemampuan kognitif, psikomotorik dan afektif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh prestasi akademik, tetapi juga dipengaruhi oleh kepribadian dan karakter. Pendidikan karakter perlu diintegrasikan dalam setiap pembelajaran, termasuk matematika. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan suatu pembelajaran metematika dengan pendekatan yang dapat mengembangkan karakter siswa. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata bagi siswa yang memiliki tujuh komponen yakni konstruktivisme (constructivism) , penemuan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community) , pemodelan (modeling), refleksi (reflection) , dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Pembelajaran matematika yang memuat komponen-komponen tersebut dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan rasa ingin tahu, percaya diri, kerja sama, kemadirian, kerja keras dan nilai-nilai karakter lainnya.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendukung kajian pustaka ini.

D. DAFTAR PUSTAKA

Cooperstain & Weidinger, 2004. Beyond active learning: a constructivist approach to learning

Reference Services Review aspects of constructivist lessons . Extensively Volume 32 ·

Cord. (1999). Teaching Mathematics Contextually. Texas : CORD Communications Crowford, MC (2001). Teaching Contextal, research and tehniques for improving

stuudents Motivation and achievement in mathematics. Danil goleman. 2000. Emotional intelegence. Depdikbud, 2002. Pendekatan kontekstual. Jakarta : depdikbud. Depdiknas.( 2006) Peraturan menteri pendidikan nasional RI nomor 22, tahun 2006,

tentang standar isi. BSNP. Jakarta: Depdiknas. http://hnd-training.com/?page_id=4 , Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar

dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Pertama. 2010. Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Pertama . Jakarta.

Kurikulum. (2010). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Jakarta.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 485

Lickona, T., Schaps & Lewis. (2007). Eleven principles of effective character Education.

Megawangi, Ratana. (2010). Pendidikan karakter. Muslich, M. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Bumi

Aksara, Jakarta. Nasional Council of teacher of mathemathics (2000). Principles and standards forschool

mathematics. Reston, VA : NCTM. Ontario, 2013. Inquiry-based Learning. Sriraman, B., & English, L (2010). Theories of mathematics education. London New York: Springs.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 486

P - 62

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL ELICITING ACTIVITIES UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP MATEMATIKA SISWA PADA MATERI SEGITIGA KELAS VII

Ririn Widiyasari

Fakultas Ilmu Pendidikan, Jurusan Matematika Universitas Muhammadiyah Jakarta email: ririn.putri87@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan dan menghasilkan perangkat pembelajaran yang valid, praktis dan efektif meningkatkan penguasaan konsep matematika siswa pada materi Segitiga kelas VII. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan berupa Silabus, RPP, LKS, dan Buku Siswa. Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model eliciting activities dan mengacu pada model pengembangan perangkat pembelajaran 4-D dari Thiagarajan, Semmel dan Semmel yang dimodifikasi, yaitu pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan penyebaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan telah mempunyai nilai validitas, kepraktisan, dan keefektifan yang tinggi. Hal ini terlihat dari pendapat validator, respon guru, respon siswa, dan hasil uji coba lapangan. Berdasarkan hasil uji coba lapangan, perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan mengikuti model eliciting activities ini dapat meningkatkan penguasaan konsep matematika siswa sehingga prestasi belajar siswa lebih baik, dari hasil tersebut disarankan agar pembelajaran matematika dengan menggunakan perangkat pembelajaran model eliciting activities perlu diterapkan pada sekolah-sekolah.

Kata kunci: model eliciting activities, penguasaan konsep matematika

A. PENDAHULUAN

Matematika merupakan salah satu bidang ilmu yang memiliki sifat khas dibandingkan bidang ilmu yang lain. Materi matematika berkenaan dengan simbol-simbol dan beberapa berhubungan dengan konsep-konsep abstrak. Sehingga pembelajaran matematika diberikan sejak dari satuan pendidikan dasar hingga menengah dengan harapan siswa dapat memahami konsep matematika sejak dini, serta dapat mengaplikasikan konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari (Hudojo, 1998:76).

Salah satu cabang dari matematika yang diajarkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah Geometri. Menurut Ruseffendi (1991:24), mempelajari geometri dapat menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan berpikir logis. Karena pengalaman yang didapat dalam mempelajari geometri dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan pemberian alasan serta mendukung banyak topik lainnya dalam matematika (Kennedy, 1994:385).

Herawati (1994) menunjukan bahwa praktik pembelajaran materi geometri kurang disukai oleh sebagian siswa. Pemahaman konsep dasar geometri kurang, di antaranya dalam pemahaman konsep Segitiga dan Segiempat. Sehingga perlu suatu inovasi untuk mendesain pembelajaran matematika menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi para siswa demi tercapainya tujuan pembelajaran. Hal tersebut tidak terlepas dari usaha pengajar untuk menemukan suatu model pembelajaran yang menyenangkan bagi para siswa serta pengembangan perangkat pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif dan positif selama pembelajaran. Serta dalam proses pembelajaran dapat terjalin komunikasi dua arah, sehingga siswa tidak hanya menjadi objek pembelajaran semata, tetapi juga dapat berperan aktif sebagai subjek belajar.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Dipilih konsep segitiga pada penelitian ini, karena bangun ini memiliki konsep-konsep yang bersifat abstrak bagi siswa SMP. Penggunaan model eliciting activities mempunyai beberapa kelebihan dalam menampilkan konsep-konsep bangun datar yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret. Sehingga penguasaan konsep dan pemahaman siswa menjadi lebih baik. Dipilih SMP Ksatrian 2 Semarang karena rendahnya kemampuan penguasaan konsep siswa menjadi persoalan pembelajaran matematika di SMP Ksatrian 2 Semarang.

Pada model pembelajaran secara konvensional, ternyata hasil belajar siswa masih jauh dari harapan. Hasil belajar yang dimaksud adalah meliputi: aktivitas siswa dalam belajar, penguasaan konsep matematika siswa, prestasi belajar dan nilai tes akhir siswa. Dengan model pembelajaran konvensional, ternyata aktivitas siswa mengikuti jalannya proses pembelajaran cukup rendah. Pada akhirnya, hasil tes akhir juga tidak terlalu menggembirakan. Menurut Rogers (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2006) praktek pendidikan konvensional menitikberatkan pada segi pengajaran, bukan pada siswa yang belajar. Praktek tersebut ditandai oleh peran guru yang dominan dan siswa hanya menghafalkan pelajaran.

Awal mulanya model eliciting avtivities dikembangkan oleh seorang guru matematika untuk menyelesaikan masalah dengan harapan siswa dapat membangun model matematika dan memberikan mekanisme untuk pemahaman proses berpikir siswa. Mereka menggunakan model eliciting avtivities untuk mengamati kemajuan penguasaan konsep dan pertumbuhan pemahaman matematika siswa (Besterfield, 2010:9). Sementara Eric (2008:3) berpendapat bahwa “penggunaan model eliciting avtivities menjanjikan konsep dasar matematika dalam proses berpikir dan pemecahan masalah siswa serta dapat membantu mereka bergerak di luar cara berpikir primitif”.

Temuan-temuan sejumlah studi dan analisis tersebut memberikan dugaan bahwa model eliciting activities seperti pendekatan inovatif lainnya yang menekankan pada siswa belajar aktif akan memberikan hasil belajar siswa yang lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Rasional tersebut mendorong peneliti untuk melaksanakan suatu penelitian dengan mengimplementasikan model eliciting activities untuk meningkatkan penguasaan konsep matematika siswa SMP.

Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan dan menghasilkan perangkat pembelajaran yang valid, praktis dan efektif dapat meningkatkan penguasaan konsep matematika siswa pada materi segitiga SMP kelas VII. Permasalahan ini akan diselesaikan dengan melakukan pengembangan pembelajaran matematika dengan model eliciting activities . Penelitian ini bertujuan menghasilkan perangkat pembelajaran matematika model eliciting activities yang valid, praktis dan efektif meningkatkan penguasaan konsep matematika siswa.

TINJAUAN PUSTAKA

Lesh dan Doerr (2003:27), mengajukan suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada kemampuan menghubungkan ide matematika dan fenomena nyata yang kemudian dinamakan model eliciting activities. Model-eliciting activities merupakan jembatan antara model dan interpretasi, dan memberi peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksploitasi pengetahuannya dalam belajar matematika. Dengan menggunakan model-eliciting activities belajar siswa menjadi bermakna karena ia dapat menghubungkan konsep yang dipelajarinya dengan konsep yang sudah dikenalnya. Hal ini diharapkan membuat siswa mengubah pandangannya bahwa matematika sebagai pelajaran yang sulit dan siswa sebenarnya mampu mempelajari matematika.

Pembelajaran dengan model eliciting activities didasarkan pada situasi kehidupan nyata siswa, bekerja dalam kelompok kecil, dan menyajikan sebuah model matematis sebagai solusi. MEA disusun untuk membantu siswa membangun pemecahan masalah dunia nyata mereka ke arah peningkatan konstruksi matematika dan terbentuk karena adanya kebutuhan untuk membuat siswa menerapkan prosedur matematis yang telah dipelajari sehingga dapat membentuk model matematis. Kita perlu menggunakan model eliciting activities di kelas matematika untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk menggambarkan, menjelaskan, menafsirkan, membangun dan mengkomunikasikan hubungan, menguji hipotesis mereka, dan memverifikasi solusinya (Eraslan, 2011:2).

MEA terbentuk pada pertengahan tahun 1970-an untuk memenuhi kebutuhan pengguna kurikulum. MEA dibuat oleh pendidik matematika, professor dan lulusan di Amerika dan Australia, untuk digunakan oleh guru matematika. Mereka mengharapkan siswa dapat membentuk sebuah model matematis berupa sistem konseptual yang membuat siswa merasakan

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 488 M P - 488

Pembelajaran dengan model eliciting activities dapat diaplikasikan pada pembelajaran matematika materi geometri khususnya segitiga dimana dalam pelaksanaannya siswa berperan aktif membangun pengetahuan yang dimilikinya dengan pemodelan matematika dan saling kerjasama dalam kelompoknya. Sehingga siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan yang telah dipelajarinya terhadap permasalahan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

B. METODE PENELITIAN

Pengembangan perangkat pembelajaran mengacu pada model pengembangan perangkat pembelajaran 4-D dari Thiagarajan, Semmel dan Semmel yang dimodifikasi yaitu pendefinisian, perancangan dan pengembangan. Produk pengembangan perangkat pembelajaran ini diujicobakan terhadap siswa kelas VII SMP Ksatrian 2 Semarang tahun ajaran 2011/2012. Kelas kontrol adalah kelas VIIF dengan jumlah siswa sebanyak 40 sedangkan yang menjadi kelas eksperimen adalah kelas VIIE dengan jumlah siswa sebanyak 40.

Instrumen pengumpul data dalam penelitian ini adalah lembar validasi perangkat pembelajaran, lembar pengamatan keterampilan proses, lembar angket sikap, lembar pengamatan guru mengelola pembelajaran, lembar angket respon siswa dan guru serta Tes Prestasi Belajar. Lembar validasi perangkat pembelajaran adalah alat yang digunakan untuk memberikan penilaian oleh para ahli/pakar dan teman sejawat terhadap perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Lembar pengamatan keterampilan proses siswa digunakan untuk mengamati keterampilan proses siswa dalam pembelajaran matematika model eliciting activities untuk meningkatkan penguasaan konsep matematika siswa. Lembar angket sikap digunakan untuk mengamati sikap siswa dalam pembelajaran matematika model eliciting activities untuk meningkatkan penguasaan konsep matematika siswa. Lembar Angket Respon Siswa dan Guru digunakan untuk memperoleh data mengenai pendapat atau komentar siswa dan guru terhadap keterlaksanaan pembelajaran yang meliputi materi pelajaran, silabus, RPP, LKS, Buku Siswa, cara belajar, dan cara guru mengajar.

Disamping itu dengan menggunakan lembar angket ini ingin diketahui juga tentang minat siswa untuk mengikuti pembelajaran. Tes Prestasi Belajar siswa berisi butir tes. Sebelum digunakan butir tes perlu dianálisis dahulu. Analisis butir tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya pembeda. Dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel maka diharapkan hasil penelitian akan valid dan reliabel. Tes Prestasi Belajar yang sudah dibuat selanjutnya diuji validitas isinya oleh ahli dan praktisi, setelah dinyatakan valid maka Tes Prestasi Belajar diujicobakan kepada responden.

Data yang diperoleh dianalisis dan diarahkan untuk menjawab pertanyaan apakah perangkat pembelajaran yang dikembangkan sudah memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan dan keefektifan atau belum. Kevalidan perangkat pembelajaran berdasarkan penilaian kevalidan oleh pakar dan praktisi yang kompeten dibidangnya, sedangkan kepraktisan dan keefektifan perangkat pembelajaran berdasarkan uji coba perangkat pembelajaran di lapangan (di kelas). Sebelum dilakukan teknik analsis data, data tersebut diuji normalitas dan homogenitasnya untuk mengetahui apakah data tersebut normal dan homogen. Teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis data hasil validasi perangkat pembelajaran, Analisis Butir Tes Prestasi Belajar, Analisis Data Hasil Pengamatan Keterampilan Proses Siswa, Analisis Data Sikap Siswa, Analisis Data Kepraktisan Perangkat Pembelajaran, Analisis Data Keefektifan Perangkat Pembelajaran dan Uji Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Berdasarkan Pretes dan Postes.

Analisis data hasil validasi perangkat merupakan penilaian validator terhadap perangkat pembelajaran materi segitiga. Penilaian berdasarkan dengan rubrik dari masing-masing indikator yang telah dibuat peneliti. Data hasil penilaian validator dianalisis berdasarkan rata-rata skor. Analisis Butir Tes Prestasi Belajar siswa sebelum digunakan perlu dianálisis dahulu. Analisis butir tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya pembeda. Analisis Data Hasil Pengamatan Keterampilan Proses Siswa dengan memberikan penilaian pada rubrik penilaian pengamatan Keterampilan Proses Siswa yang telah dipersiapkan sebelumnya. Analisis data yang digunakan selama pembelajaran berlangsung menggunakan

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 489 M P - 489

Analisis Data Kepraktisan Perangkat Pembelajaran dilakukan dengan menganalisis data respons siswa terhadap pembelajaran, analisis respons guru terhadap perangkat pembelajaran dan analisis data kemampuan guru mengelola pembelajaran. Analisis Data Keefektifan Perangkat Pembelajaran dilakukan dengan melakukan uji ketuntasan individual maupun klasikal, uji pengaruh untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (Keterampilan Proses dan Sikap) terhadap variabel terikat (Prestasi Belajar Siswa) dan uji banding yang digunakan untuk membandingkan rata – rata hasil Tes Prestasi Belajar siswa dengan pembelajaran matematika model eliciting activities (kelas eksperimen) dengan rata – rata hasil Tes Prestasi Belajar siswa dengan pembelajaran konvensional (kelas kontrol). Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Berdasarkan Pretes dan Postes dilakukan dengan menganalisis hasil nilai pretes dan postes pada kelas eksperimen. Analisis dilakukan dengan menggunakan rumus Normalitas Gain (Hake, 1998) berikut:

nilai postes  nilai pretes

nilai maksimal  nilai pretes

Selanjutnya nilai Gain yang Ternormalkan yang diperoleh diterjemahkan sesuai dengan kriteria perolehan Gain yang Ternormalkan seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kriteria perolehan Gain yang Ternormalkan

Normalitas Gain

C. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan awal, kemampuan penguasaan konsep matematika siswa SMP 2 Ksatrian Semarang masih rendah. Hal ini dapat diamati dari hasil tes materi matematika sebelumnya yang menunjukkan jawaban siswa masih belum sistematis, belum menggunakan cara yang beragam, masih memberikan jawaban seperti yang dicontohkan oleh guru, dan belum dapat memunculkan gagasan baru pada jawaban mereka.

Berdasarkan kajian teori pada tahap investigasi awal, pada tahap ini dirancang perangkat pembelajaran yang sesuai dengan materi segitiga dan dapat meningkatkan penguasaan konsep matematika siswa yaitu dengan menggunakan model eliciting activities. Perangkat pembelajaran yang dirancang adalah Silabus, RPP, LKS dan Buku Siswa.

Kegiatan dalam penelitian ini telah berhasil mengembangkan perangkat pembelajaran matematika dengan model eliciting activities untuk siswa SMP kelas VII untuk standar kompetensi menentukan jenis, sifat, keliling dan luas segitiga. Adapun perangkat pembelajaran yang berhasil dikembangkan adalah Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), dan Buku Siswa. Sebelum bentuk prototip final, perangkat pembelajaran telah diuji cobakan siswa kelas VII SMP Ksatrian 2 Semarang.

Kriteria yang digunakan dalam menilai perangkat pembelajaran yang telah dihasilkan berdasarkan kriteria Nieveen (1999). Kriteria tersebut menilai kualitas perangkat pembelajaran berdasarkan tiga aspek, yaitu: validitas (validity), kepraktisan (practicality), dan keefektifan (effectiveness).

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini telah memenuhi aspek validitas isi karena isinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik model pembelajaran model eliciting activities . Validitas konstruk dinilai dari pendapat para pakar terhadap perangkat pembelajaran yang berhasil dikembangkan. Validitas konstruk perangkat pembelajaran ini dinilai oleh 3 (tiga) orang pakar dari Universitas Negeri Semarang dan 2 (dua) orang dari teman sejawat alumni Program Pascasarjana Program Studi pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang. Hasil penilaiannya disajikan pada Tabel 2.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 490

Tabel 2 Rekapitulasi Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran

No Perangkat Rata-ra Klasifikasi

Rata-rata Skor Validator

I II III

IV V ta

Sangat baik 2. RPP

Sangat baik 3. LKS

Sangat baik 4. Buku Siswa

Sangat baik

Berdasarkan data Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa nilai validitas konstruks perangkat pembelajaran matematika pada standar kompetensi jenis, sifat, keliling dan luas segitiga sesuai dengan model perangkat pembelajaran model eliciting activities memenuhi kreteria valid.

Kepraktisan perangkat pembelajaran yang dikembangkan didasarkan pada keterlaksanaan perangkat pembelajaran di kelas. Nilai kepraktisan perangkat pembelajaran diperoleh berdasarkan hasil uji coba lapangan. Dari uji coba lapangan diperoleh hasil pengamatan terhadap proses pembelajaran, angket respons guru terhadap perangkat pembelajaran, dan angket respons siswa terhadap perangkat pembelajaran setelah mengikuti pembelajaran.

Kemampuan guru mengelola pembelajaran, berdasarkan hasil pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran diperoleh rata-rata total skor 26,88 dari skor total 36, berarti pembelajaran telah dilaksanakan dengan baik, respon siswa tergolong positif, untuk respon siswa yang di ukur adalah perasaan siswa terhadap komponen mengajar, pendapat siswa terhadap komponen mengajar, minat siswa, komentar siswa terhadap keterbacaan, dan komentar siswa terhadap perangkat pembelajaran, lebih dari 50% siswa memberi tanggapan positif, respon guru tergolong positif, untuk respon guru yang di ukur adalah penilaian Bapak/Ibu guru terhadap setiap perangkat pembelajaran dan instrumen, ketertarikan Bapak/Ibu guru terhadap pemakaian perangkat pembelajaran dan instrument, dan pendapat Bapak/Ibu guru terhadap pemakaian perangkat pembelajaran dan instrumen semuanya menunjukkan hasil yang baik dan sangat baik.

Hasil analisis terhadap keefektifan pembelajaran matematika dengan perangkat pembelajaran model eliciting activities menunjukkan empat indikator efektif: pembelajaran materi segitiga dengan menggunakan perangkat pembelajaran model eliciting activities berhasil menuntaskan prestasi belajar siswa secara klasikal melampaui batas KKM 75 dan menuntaskan tes prestasi belajar siswa secara individual dengan proporsi minimal 70 %, sikap dan keterampilan proses siswa yang ditumbuhkan memberikan pengaruh positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, besarnya pengaruh sikap dan keterampilan proses siswa secara bersama-sama terhadap prestasi belajar siswa sebesar 68,8 %.

Siswa yang menggunakan pembelajaran dengan model eliciting activities mempunyai prestasi belajar lebih baik dibanding dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Penguasaan konsep matematika siswa terhadap materi segitiga umumnya mengalami peningkatan pada kedua kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Namun akibat perbedaan perlakuan, peningkatan penguasaan konsep matematika siswa kedua kelompok eksperimen dan kelompok kontrol terhadap konsep segitiga ada perbedaan yang cukup signifikan. Rata-rata tes prestasi belajar pada kelompok eksperimen sebesar 82,4 sedangkan pada kelompok kontrol hanya 72,2. Terdapat peningkatan prestasi belajar siswa, secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Gain yang Ternormalkan () sebesar 51 % atau 0,51 yang berarti tafsiran peningkatan prestasi belajar yang terjadi termasuk kategori sedang. Implikasinya penguasaan konsep matematika siswa untuk materi segitiga mengalami peningkatan.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Secara umum dapat disimpulkan bahwa Perangkat pembelajaran matematika yang dikembangkan dengan model eliciting activities adalah valid, praktis, dan efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep matematika siswa.

Sebagai saran dalam penelitian ini adalah (1) pembelajaran matematika dengan model eliciting activities perlu diterapkan pada sekolah-sekolah sehingga penerapan pembelajaran ini menjadi lebih luas, (2) perlu dikembangkan lagi variasi pembelajaran dengan menggunakan model eliciting activities , hal ini akan dapat meningkatkan kemamampuan siswa dalam penguasaan konsep matematika, (3) dalam penerapan pembelajaran menggunakan model eliciting

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 491 M P - 491

E. DAFTAR PUSTAKA

Besterfield, M. et al. 2010. Model-Eliciting Activities: Assessing Engineering Student Problem Solving and Skill Integration Processes. International Journal Enginering Education. Vol.26, no.4, pp.831-845. University of Pittsburgh.

Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Eraslan, A. 2011. “Prospective Elementary Mathematics Teachers Perceptions On Model

Eliciting Activities and Their Effects on Mathematics Learning”. The Journal of Elementary Education Online , 10(1), 364-377, 2011. Ondokuzmayis University.

Eric, M. 2008. “Using Model-Eliciting Activities For Primary Mathematics Classrooms”. International Journal of The Mathematics Educator , Vol. 11, No.1/2, 47-66. National Institute of Education, Nanyang Technological University, Singapore.

Hake, R.R. 1998, Interactive – Engagement Versus Traditional Methods ; A. Six – Thousand – Student Survey of Mechanics Tes Data for Introductory Physics Course, American Association

66 (1) 64-74. http://web.mit.edu/rsi/www/2005/misc/minipaper/papers/Hake.pdf diakses 10 Januari 2011.

Herawati, S. 1994. Penelusuran Kemampuan Siswa Sekolah Dasar dalam Memahami Bangun-bangun Geometri Studi Kasus di KelasVI SD No. 4 Purus Selatan . Tesis : IKIP Malang

Hudojo, H. 1998. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud. Kennedy, L. T. S. 1994. Guilding Children’s Learning of Mathematics: Wordwars Publishing

Company . Lesh , R.A, & Doerr, H. 2003. Foundations of model and modeling perspectives on mathematic

teaching and learning. In R.A. Lesh and H. Doerr (Eds.), Beyond Constructivism: A modelsand modeling perspectives on mathematics teaching , learning, and problem solving . Mahwah, NJ: Lawrance Erlbaum.

Nieveen. 1999. Prototyping to Reach Product Quality: Design Approches and Tools in Education and Training . Van den Akker, jan. et.al. Dordrecht, the Neterlands: Kluwer Academic Publisher.

Ruseffendi, ET. 1991. Penilaian dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika . Bandung : Tarsito

Sutinah, A. 2006. Pembelajaran Interaktif Berbasis Multimedia di Sekolah Dasar. www.google.com/pembelajaran/interaktif/sutinah (diakses 12 Desember 2010).

Uno, H.B. 2007. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif . Jakarta: PT Bumi Aksara.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 492

P - 63

KEMANDIRIAN BELAJAR DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

Risnanosanti

Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UMB Email : rnosanti@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini didasarkan pada kerangka konseptual bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis mahamahasiswa berkaitan dengan kebiasaan belajar yang dilakukan. Fokus penelitian adalah perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar mahamahasiswa pada dua kelompok. Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan subjek penelitian adalah mahamahasiswa yang mengambil mata kuliah matematika diskrit pada program studi pendidikan matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Data dikumpulkan pada semester ganjil tahun ajaran 2012/2013. Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan awal matematika, tes kemampuan pemecahan masalah matematis dan skala kemandirian belajar. Secara umum hasil yang diperoleh mendukung teori tentang kemandirian belajar yang menyatakan bahwa ketika mahamahasiswa diberi kesempatan dan diajar untuk belajar secara mandiri akan berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematisnya. Hasil ini juga menunjukkan bahwa mahamahasiswa menjadi agen yang aktif untuk dilatih menjadi pembelajar yang bertanggung jawab sehingga mereka tidak hanya memahami untuk apa belajar tetapi juga mengerti bagaimana caranya belajar.

Kata Kunci: kemandirian belajar, kemampuan pemecahan masalah matematis

A. PENDAHULUAN

Kemampuan pemecahan masalah matematismerupakan suatu kemampuan matematis yang amat penting karena pemecahan masalah merupakan tujuan umum dari pengajaran matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Branca (dalam Sumarmo, 1993), yang mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan jantungnya matematika. Kemampuan matematis seseorang termasuk mahasiswa secara umum dapat digambarkan berdasarkankan kemampuannya dalam memecahkan masalah matematika.

Pentingnya kemampuan pemecahan masalah matematis terlihat dalam kerangka kurikulum matematika Singapura yang digambarkan sebagai sebuah segilima beraturan dengan setiap sisinya menggambarkan komponen pendukung kemampuan pemecahan masalah tersebut. Komponen-komponen tersebut adalah: (1) Konsep, (2) Pemrosesan , (3) Metakognisi (termasuk di dalamnya adalah kemandirian belajar), (4) Sikap, dan (5) Keterampilan. Apabila kelima komponen ini dikuasai dengan baik maka kemampuan pemecahan masalah matematis dapat dicapai.

Untuk mencapai kemampuan pemecahan masalah matematis yang maksimal maka pembelajaran yang dilakukan haruslah memfasilitasi munculnya kemampuan tersebut. Hasil penelitian Sumarmo, dkk (dalam Hulukati, 2005) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika memiliki karakteristik: pembelajaran berpusat pada guru, pendekatan yang digunakan lebih

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Selain faktor model pembelajaran, Self-Regulated Learning (SRL) atau sering disebut dengan istilah kemandirian belajar juga merupakan bagian penting dalam pembelajaran matematika. Karena saat ini konsep tentang belajar matematika telah berubah dari pemberian suatu konsep dan prosedur secara pasif dan tidak kontekstual menjadi pembentukan makna secara aktif sebagai hasil mengaitkan ide-ide baru pada pemahaman terdahulu. Fokus dalam pendidikan matematika telah berubah dari muatan matematika menjadi bagaimana mahasiswa belajar matematika secara efektif. Hal ini menyiratkan bahwa mahasiswa harus menjadi mahasiswa yang mandiri dan mendorong program matematika sekolah dalam menciptakan mahasiswa yang memiliki kemandirian dalam belajar. Mahasiswa membangun pemahaman yang mendalam dalam belajar matematika ketika mereka dapat mengontrol belajarnya, dengan cara menentukan tujuan belajar, memonitor kemajuannya, menilai dan merefleksi proses berpikirnya, percaya diri terhadap kemampuannya, dan berkeinginan dan tekun dalam menghadapi kesulitan.

Menyikapi masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan matematika, dan harapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika, maka diperlukan upaya yang inovatif untuk menanggulanginya. Mahasiswa perlu dibiasakan untuk mampu mengkonstruksi pengetahuannya dan mampu mentranformasikan pengetahuannya dalam situasi lain yang lebih kompleks sehingga pengetahuan tersebut akan menjadi milik mahasiswa itu sendiri. Proses mengkonstruksi pengetahuan dapat dilakukan sendiri oleh mahasiswa berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, dan juga dapat berupa hasil penemuan yang melibatkan lingkungan sebagai faktor dalam proses perolehan pengetahuannya.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang didasari oleh faham konstruktivisme adalah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Pembelajaran ini memberikan suatu lingkungan pembelajaran dengan masalah yang menjadi basisnya, artinya pembelajaran dimulai dengan masalah kontekstual yang harus dipecahkan. Masalah dimunculkan sedemikian hingga mahasiswa perlu menginterpretasi masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan, mengevaluasi alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya. Ketika mahasiswa mengembangkan suatu metode untuk menyusun suatu prosedur, mereka mengintegrasikan pengetahuan konsep dengan keterampilan yang dimilikinya. Dengan demikian secara keseluruhan mahasiswa yang membangun pengetahuan mereka, dengan bantuan pengajar selaku fasilitator.

Lingkungan belajar dengan PBM memberikan banyak kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan matematis mereka, untuk menggali, mencoba, mengadaptasi, dan merubah prosedur penyelesaian, termasuk memverifikasi solusi, yang sesuai dengan situasi yang baru diperoleh. Sementara dalam kelas konvensional mahasiswa selalu dihadapkan dengan teori, contoh, dan latihan yang terbatas implementasinya dalam situasi yang tidak dikenal.

Hal ini memperlihatkan bahwa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa dibutuhkan kemandirian belajar mahasiswa yang tinggi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar mahamahasiswa ditinjau berdasarkan model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan mengggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang di kenal dengan pretest–postest control group design

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 494

(Fraenkel, 1990). Kelompok eksperimen mendapatkan perlakuan berupa model pembelajaran berbasis masalah (PBM) dan kelompok kontrol menggunakan pembelajaran konvensional (PK).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahamahasiswa program studi pendidikan matematika yang sedang mengambil mata kuliah matematika diskrit di semester V tahun ajaran 2012/2013 sebanyak 4 kelas. Sedangkan sampel dipilih 2 kelas dengan cara acak kelas.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan awal matematika berupa soal-soal materi prasyarat bagi matakuliah matematika diskrit, tes kemampuan pemecahan masalah matematis berupa soal uraian yang terdiri dari lima soal dan skala kemandirian belajar.

Skala kemandirian belajar dalam penelitian ini diberikan kepada mahamahasiswa untuk mengetahui kemandirian belajar mahamahasiswa dalam belajar matematika. Skala ini dibuat dengan berpedoman pada bentuk skala Likert dengan empat option, dengan tidak ada pilihan netral. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari sikap ragu-ragu mahamahasiswa untuk tidak memihak pada pernyataan yang diajukan.

Pernyataan dalam skala kemandirian ini terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Hal ini dimaksudkan agar mahamahasiswa tidak asal menjawab karena suatu kondisi pernyataan yang monoton yang membuat mahamahasiswa cenderung malas berpikir. Selain itu, pemberian pernyataan yang positif dan negatif menuntut mahamahasiswa untuk membaca pernyataan-pernyataan tersebut dengan teliti, sehingga data yang diperoleh lebih akurat. Skala kemandirian belajar diberikan kepada mahamahasiswa kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, sesudah semua kegiatan pembelajaran berakhir yaitu setelah postes.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tes kemampuan awal matematika diberikan untuk mengetahui pengetahuan yang telah dimiliki oleh mahamahasiswa sebelum proses pembelajaran berlangsung dan untuk mengetahui kesetaraan sampel penelitian. Untuk mengetahui kualitas pengetahuan awal dilakukan perhitungan rata-rata dan simpangan baku. Rangkuman hasil perhitungan rata-rata dan simpangan baku pengetahuan awal matematika disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Deskripsi Data KAM Berdasarkan Model Pembelajaran

Model Pembelajaran

Skor

Rata-rata Simp.Baku

Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa kelompok sampel penelitian berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan variansinya homogen. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata kedua kelompok dilakukan uji perbedaan rata-rata skor awal kemampuan matematika mahamahasiswa dengan menggunakan uji-t. Hasil perhitungan uji-t skor awal kemampuan matematika mahamahasiswa disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 2 Uji Perbedaan Rata-rata Tingkat Kemampuan Awal

Skor Rata-rata

Signifikans

Kelompok Penelitian

Nilai t

Keputusan H

Eksperimen

Kontrol

Diterima Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan awal matematika mahamahasiswa pada kelompok eksperimen (PBM) dan kelompok kontrol (PK).

Pengukuran skor akhir kemampuan pemecahan masalah matematis terhadap sampel penelitian bertujuan untuk mengetahui skor akhir mahasiswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Dari hasil tabulasi yang dilakukan terhadap skor akhir kemampuan pemecahan

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 495 M P - 495

Tabel 3 Data Skor Akhir Kemampuan Pemecahan Masalah

Baku Eksperimen

Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata kedua kelompok sampel berdasarkan peringkat sekolah dan gabungannya, dilakukan uji perbedaan rata-rata skor akhir kemampuan pemecahan masalah matematis matematis menggunakan uji-t. Dengan program SPSS versi 17.0 , diperoleh nilai t dan nilai probabilitas (sig.) dengan taraf signifikansi 0,05. Ringkasan hasil uji perbedaan rata-rata sebagaimana yang dimaksud disajikan pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4 Ringkasan Hasil Uji-t Skor Akhir Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Skor Akhir

Faktor

Rata-rata Rata-rata

Sig .

Pembelajaran

(2-tailed) PBM*PK

Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 4, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan pemecahan masalah matematis matematis pada kelompok eksperimen (PBM) dan kelompok kontrol (PK).

Data hasil pengukuran kemandirian belajar mahasiswa dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan skor skala kemandirian belajar mahasiswa (seluruh sampel dan kelompok penelitian) Sebagai gambaran umum tentang kemandirian belajar mahasiswa disajikan dalam Tabel 5

Tabel 5 Data Skor Kemandirian Belajar Mahasiswa

Kategori

Rata-rata

Simp. Baku

Berdasarkan data pada Tabel 5 terlihat bahwa skor kemandirian belajar mahasiswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan PBM lebih tinggi daripada skor kamandirian belajar mahasiswa pembelajaran matematikanya secara konvensional. Dari data yang telah dideskripsikan di atas, selanjutnya diuji beberapa hipotesis terkait dengan kemandirian belajar mahasiswa.

Selanjutnya untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata kedua kelompok sampel berdasarkan pembelajaran dilakukan uji perbedaan rata-rata skor kemandirian belajar mahasiswa menggunakan uji-t. Data hasil uji perbedaan terbut disajikan dalam Tabel 6.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 496

Tabel 6. Ringkasan Hasil Uji-t Skor Kemandirian Belajar Mahasiswa Berdasarkan Pembelajaran

Nilai

Faktor

Sig .(2-ta Pembelajaran

Rata-rata

Rata-rata PK

PBM*PK

Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 6 nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,025. Ini berarti hipotesis nol ditolak. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemandirian belajar mahasiswa pada kelompok eksperimen (PBM) dan kelompok kontrol (PK). Dalam hal ini kemandirian belajar mahamahasiswa pada kelompok eksperimen (PBM) lebih baik daripada kelompok kontrol (PK)

Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan terkait kemampuan pemecahan masalah matematis matematis serta kemandirian belajar mahasiswa. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar mahasiswa dibandingkan pembelajaran konvensional. Hasil temuan ini memperkuat dan melengkapi hasil-hasil penelitian terdahulu tentang PBM antara lain penelitian yang dilakukan oleh Juandi (2006), Herman (2006), Dwijanto (2007), Dewanto (2008) yang menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan matematis maupun berpikir matematis pada mahasiswa.

Berdasarkan karakteristik kedua pembelajaran tersebut, maka merupakan suatu kewajaran jika terjadi perbedaan hasil kemampuan yang diperoleh mahasiswa setelah mengikuti pembelajaran. PBM mengawali kegiatannya dengan penyajian masalah kontekstual kepada mahasiswa. Kemudian melalui diskusi kelompok, mahasiswa mengorganisasi ide-ide dan pengetahuan yang mereka miliki terkait dengan masalah, mahasiswa mengajukan pertanyaan atau isu-isu sekitar masalah. Mahasiswa diberi kesempatan untuk menyatakan apa yang mereka pahami dan tidak pahami. Dosen berkeliling memperhatikan diskusi yang terjadi. Apabila diperlukan, dosen sebagai fasilitator dapat memberikan petunjuk. Dalam diskusi kelas, isu-isu ini dibahas bersama, dan mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan baru ke dalam konteks dari masalah. Dosen juga mengingatkan mahasiswa untuk melakukan refleksi terhadap apa yang telah dicapai. Apabila waktu memungkinkan, presentasi dari beberapa kelompok dilakukan disertai tanya jawab.

Sementara itu, dalam pembelajaran konvensional dosen menjelaskan materi pelajaran secara terperinci, memberikan contoh cara menyelesaikan soal. Mahasiswa memperhatikan penjelasan dosen, kemudian mencatat apa yang dijelaskan guru. Sebelum mahasiswa mencatat, biasanya dosen memberi waktu kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum dipahami. Jika ada mahasiswa yang bertanya, dosenpun langsung menjelaskan secara klasikal. Selanjutnya dosen memberikan soal-soal latihan yang dikerjakan secara individu. Sementara itu dosen berkeliling memperhatikan cara mahasiswa mengerjakan soal latihan dan membantu mengarahkan kepada mahasiswa yang mengalami kesulitan. Setelah waktu untuk mengerjakan soal habis, semua mahasiswa mengumpulkan hasil pekerjaannya kepada guru untuk dinilai. Untuk pembahasannya, beberapa mahasiswa diminta mengerjakan soal di papan tulis.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini telah mengungkap bahwa kualitas kemampuan pemecahan masalah matematis serta kemandirian belajar mahasiswa yang mendapat pembelajaran matematika berbasis masalah lebih baik daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran konvensional.. Kesimpulan ini memberikan implikasi bahwa PBM layak dipergunakan sebagai alternatif untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 497 M P - 497

E. DAFTAR PUSTAKA Dewanto, S. (2008). Meningkatkan Kemampuan Multipel Representasi Mahasiswa melalui Problem-based Learning. Disertasi. Bandung: Universitas Pendidik-an Indonesia.

Dwijanto (2007). Pengaruh pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer terhadap pencapaian kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif matematik mahasiswa. Disertasi pada SPS UPI. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) . Disertasi Doktor pada PPS UPI.: Tidak Diterbitkan.

Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif . Bandung: Disertasi PPs UPI. Tidak diterbitkan

Juandi, D. (2006). Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi Doktor pada PPS UPI: tidak dipublikasikan

Sumarmo, U. (1993). Peranan kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 498

P - 64

KEMAMPUAN SPASIAL SISWA MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA DENGAN MEDIA GEOGEBRA

Ristontowi

Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMB email: tontowi55@yahoo.co.id

Abstrak

Standar diberikannya geometri di sekolah diantaranya adalah agar siswa mempunyai kemampuan penalaran spasial untuk menyelesaikan masalah. Alternatif untuk menumbuhkan kemampuan spasial adalah dengan menggunakan media program Geogebra . Berbagai pendekatan pembelajaran dapat dipadankan dengan penggunaan Geogebra . Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan Peningkatan kemampuan spasial antara siswa yang diajar melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) menggunakan media Geogebra dan tanpa menggunakan media Geogebra. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Populasi penelitian adalah siswa kelas VIII SMPN 1 Kaur Tengah sedangkan sampel diambil dengan teknik sampel acak kelas. Analisis data menggunakan data N-Gain kemampuan spasial siswa. Hasil penelitian menyimpulkan tidak ada perbedaan peningkatan kemampuan spasial siswa menggunakan media Geogebra dengan tanpa menggunakan media Geogebra melalui Pendekatan PMRI.

Kata Kunci: kemampuan spasial, media geogebra, pendekatan PMRI

A. PENDAHULUAN

Menurut NCTM (2000) salah satu standar diberikannya geometri di sekolah adalah agar anak dapat menggunakan visualisasi, mempunyai kemampuan penalaran spasial dan pemodelan geometri untuk menyelesaikan masalah. Sejalan dengan pendapat NCTM tersebut kurikulum di Indonesia dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, siswa/mahasiwa dituntut untuk dapat menguasai materi geometri bidang dan geometri ruang yang didalamnya juga terdapat kemampuan spasial.

Kemampuan spasial (pandang ruang) yaitu (1) kemampuan untuk mempersepsi yakni menangkap dan memahami sesuatu melalui panca indra, (2) kemampuan mata khususnya warna dan ruang, (3) kemampuan untuk mentransformasikan yakni mengalihbentukkan hal yang ditangkap mata ke dalam bentuk wujud lain, misalnya mencermati, merekam, menginterpretasikan dalam pikiran lalu menuangkan rekaman dan interpretasi tersebut ke dalam bentuk lukisan, sketsa dan kolase. Semua kemampuan tersebut perlu dimiliki untuk mempelajari geometri.

Demikian pentingnya kemampuan spasial dan perlu dimiliki oleh siswa sehingga guru dituntut untuk memperhatikan kemampuan ini dalam pembelajaran di kelas. Namun pada kenyataannya kemampuan spasial yang dimiliki siswa masih lemah. Hal ini terungkap melalui penelitian yang dilakukan oleh Kariadinata (2008) yaitu masih banyak persoalan gemetri yang

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Salah satu alternatif untuk menumbuhkan kemampuan spasial yakni dengan menggunakan media pembelajaran matematika. Banyak media yang dapat dimanfaatkan diantaranya adalah program Geogebra. Program Geogebra merupakan program yang bersifat dinamis dan interaktif untuk mendukung pembelajaran dan penyelesaian persoalan matematika seperti geometri, aljabar, kalkulus dan lain-lain. Dengan beragam fasilitas yang dimiliki, program Geogebra dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran geometri, untuk mendemonstrasikan atau memvisualisasikan serta sebagai alat bantu mengkonstruksi konsep-konsep geometri.

Penggunaan media dalam pembelajaran geometri haruslah dikemas melalui suatu pendekatan pembelajaran. Berbagai pendekatan pembelajaran yang dapat dipadankan dengan penggunaan Geogebra. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Dipilihnya PMRI karena implementasi PMRI dipandang sebagai suatu inovasi pendidikan yang menyangkut produk dan proses. Inovasi dalam bentuk produk berupa komputer, materi kurikulum baru, serta media dan alat peraga pendidikan.

(PMRI) adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari human activity, menekankan keterampilan ‘procces of doing mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini guru berperan sebagai fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berpikir, mengkomunikasikan penalarannya, berkolaborasi menghargai pendapat orang lain.

B. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu dengan desain kelompok kontrol pretes-postes. Unit-unit penelitian ditentukan berdasarkan kategori kemampuan spasial siswa (tinggi, sedang, rendah), kategori Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) menggunakan media Geogebra, tanpa media Geogebra dan Pendekatan Pembelajaran konvensional. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 01 Kaur Tengah kelas VIII semester 2 Tahun Ajaran 2012/2013 dan waktu penelitian pada bulan Januari-Pebruari.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP Negeri 01 Kaur Tengah Tahun Ajaran 2012/2013 yang terdiri dari 4 kelas dengan jumlah 100 siswa.

Tabel 1. Jumlah Siswa Kelas VIII SMPN 01 Kaur Tengah

No

Kelas

Jumlah Siswa

1 VIII A

25 siswa

2 VIII B

25 siswa

3 VIII C

25 siswa

4 VIII D

25 siswa

100 siswa Sumber SMPN 01 Kaur Tengah Untuk pengambilan sampel dilakukan dengan metode acak kelas. Cara ini dilakukan karena semua kelas homogen, dengan siswa duduk pada jenjang kelas yang sama, pembagian siswa tidak berdasarkan peringkat, materi berdasarkan kurikulum yang sama (KTSP), menggunakan buku paket yang sama, guru yang sama, pengajaran matematika dengan jumlah jam yang sama, dan pembagian kelas tidak ada kelas unggulan.

Total

Sesuai dengan penelitian dan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 500

Tabel 2 Desain Penelitian

Pos-tes KE 1 T 1 O 1 T 2

KE 2 T 1 O 2 T 2

KK

Adapun teknik analisis data, statistik yang digunakan adalah uji ANOVA Satu Jalur dan uji Scheffe . Sebelum melakukan pengujian statistik, terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas data dan homogenitas varians.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Kaur Tengah menggunakan tiga kelas sebagai kelas sampel yaitu kelas VIII D sebagai kelas eksperimen 1 berjumlah 24 siswa, kelas

VIII A sebagai kelas eksperimen 2 berjumlah 24 siswa dan kelas VIII B sebagai kelas kontrol berjumlah 24 siswa. Sebelum memberikan perlakuan pada ketiga kelas sampel, terlebih dahulu diberikan pre test kemampuan spasial siswa yang sama pada sub pokok bahasan balok dan kubus. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum mengikuti pembelajaran, setelah pre test selesai dilaksanakan, ketiga kelas diberikan perlakuan dengan pembelajaran yang berbeda.

Pembelajaran di kelas eksperimen 1 (VIII D) dilaksanakan dengan pendekatan PMRI menggunakan media Geogebra, kelas eksperimen 2 (VIII A) dilaksanakan dengan pendekatan PMRI tanpa media Geogebra, dan kelas kontrol (VIII B) dilaksanakan dengan pembelajaran konvensional.

Proses pembelajaran untuk kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2 sama-sama menggunakan pendekatan PMRI dimulai dengan guru memberikan LKS yang berhubungan dengan indikator pembelajaran yang ingin dicapai. Kemudian, guru memberikan masalah kontekstual yang berkaitan dengan bangun-bangun yang ada dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bisa dibayangkan oleh siswa, seperti “pernahkan kalian melihat bentuk kulkas”. Dengan LKS tersebut siswa melakukan aktivitas-aktivitas mengerjakan masalah yang ada dengan menggunakan pengalaman siswa. Dalam kegiatan pembelajaran guru memberikan bantuan seperlunya, karena pada lembar jawaban LKS tersebut siswa dituntun untuk menyelesaikan masalah secara bertahap. Pada saat pengerjaan LKS siswa dapat bertanya, berani berbagi ide, dan gigih dalam menemukan pola penyelesaian masalah. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator, pembimbing dalam proses pembelajaran hingga siswa dapat menyimpulkan hasil pembelajarannya. Kemudian, yang membedakan antara kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2 yaitu dalam menyelesaikan LKS, siswa eksperimen 1 mendapatkan bantuan media Geogebra.

Data kemampuan spasial siswa pada penelitian ini diperoleh dari pelaksanaan pre test dan post test yang diberikan kepada ketiga kelas yaitu kelas eksperimen 1, eksperimen 2 dan kelas kontrol. Dalam penelitian ini yang akan dianalisis yaitu data hasil N-Gain. Hasil pre test dan post test dapat dilihat pada tabel 3.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 501

Tabel 3. Data Gain Kelas Eksperimen 1, eksperimen 2 dan Kelas Kontrol

Kontrol Pre-tes Pos-test N-Gai Pre- Pos- N-Ga Pre- Pos-tes N-Gai t

150 3,53 x min

2 4 0,33 x max

1,84 0,01 Berdasarkan tabel terlihat bahwa rata-rata N-Gain dari kelas eksperimen 1 yaitu 0,22

hampir sama dengan kelas eksperimen 2 yaitu 0,21, tetapi lebih kecil pada kelas kontrol yaitu 0,15. Untuk melihat perbedaan peningkatan tersebut maka dilakukan uji anava satu jalur (One Away Anava) pada data n-Gain.

Tabel 4. ANAVA pada data n-Gain yang berdistribusi Normal dan Homogen

Sumber adanya

F perbedaan

Kuadrat (JK)

Kebebasan Jumlah (DK)

kuadrat (RJK)

Antar Kelompok

RJK a =0,035 11,66 Inter Kelompok

JK a = 0.07

K–1=2

N – k = 69 RJK i =0,003 Total

JK i =2.4

Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh (lampiran 32) terlihat bahwa hasil nilai

F hitung = 11,66 yang mana jika dibandingkan dengan nilai F tabel = 3,11 maka disimpulkan bahwa ada perbedaan peningkatan kemampuan spasial antara siswa yang diajar melalui Pendekatan PMRI menggunakan media Geogebra, tanpa menggunakan media Geogebra dan siswa yang diajar melalui Pendekatan Konvensional di kelas VIII SMP Negeri 1 Kaur tengah Tahun Ajaran 2012/2013. uji Scheffe merupakan uji lanjutan dari anava satu jalur untuk melihat perbedaan peningkatan dua rata-rata.

Berdasarkan hasil perhitungan yang disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan peningkatan kemampuan spasial siswa yang diajar melalui Pendekatan PMRI menggunakan media Geogebra dengan tanpa menggunakan media Geogebra. Peningkatan kemampuan spasial siswa yang diajar melalui Pendekatan PMRI menggunakan media Geogebra dengan Pembelajaran konvensional disimpulkan bahwa ada perbedaan peningkatan kemampuan spasial siswa yang diajar melalui pendekatan PMRI menggunakan media Geogebra dengan Pendekatan Konvensional. Berdasarkan hasil disimpulkan bahwa ada perbedaan peningkatan kemampuan spasial siswa yang diajar melalui pendekatan PMRI tanpa menggunakan media Geogebra dengan Pendekatan Konvensional di kelas VIII SMP Negeri 1 Kaur Tengah Tahun Ajaran 2012/2013.

Berdasarkan analisis data N-Gain hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan peningkatan kemampuan spasial siswa antara pembelajaran yang diajar melalui pendekatan PMRI menggunakan media Geogebra dengan pendekatan PMRI tanpa media Geogebra di SMPN 1 Kaur Tengah. Temuan ini mengindikasikan bahwa siswa yang diajar

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 502 M P - 502

Selanjutnya, jika pendekatan PMRI menggunakan media Geogebra dan tanpa media Geogebra dibandingkan dengan kelas konvensional, terdapat perbedaan peningkatan kemampuan spasial. Perbedaan yang timbul tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran konvensional kurang dapat meningkatkan kemampuan spasial siswa. Hal ini, terlihat pada proses pembelajaran yang langsung memberikan materi pelajaran kepada siswa kemudian diiringi dengan contoh soal kemampuan spasial. Ini menyebabkan siswa menerima informasi secara pasif sehingga kemampuan spasial siswa kurang didorong. Hasil tersebut juga didukung dengan pendapat Lutfizul (dalam Ikrima, 2011:14) yang salah satu cirinya yaitu siswa menerima informasi secara pasif, dimana siswa menerima pengetahuan dari guru dan pengetahuan diasumsikan sebagai badan informasi. Pernyataan ini juga dikuatkan oleh Gumilar (2011) mengungkapkan bahwa persentase siswa diajar dengan menggunakan media lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa kemampuan spasial siswa yang diajar melalui Pendekatan PMRI menggunakan media Geogebra dan pendekatan PMRI tanpa media Geogebra lebih efektif dari pada siswa yang diajar dengan Pendekatan Konvensional di SMPN 1 Kaur Tengah.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disarankan penggunaan pendekatan PMRI dalam pembelajaran matematika dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran yang efektif dalam upaya meningkatkan kemampuan spasial siswa. Dengan pendekatan PMRI kemampuan spasial siswa dapat meningkat dengan baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Namun, agar dapat mencapai hasil yang optimal maka persiapan guru memegang peranan yang sangat penting, mulai dari persiapan membuat lembar kerja siswa, memilih dan menemukan masalah sampai kepada pelaksanaan dalam kelas. Oleh karena masalah menjadi titik tolak pembelajaran dalam kelas untuk kemudian dicari penyelesaiannya oleh siswa, maka disarankan agar guru dapat mengkonstruksi dan memilih masalah yang relevan; dekat dengan keseharian siswa, menantang, dan bersifat non rutin. Kemungkinan adanya kendala-kendala pelaksanaan pembelajaran. Oleh karena itu, sekolah dapat menyiapkan sarana dan prasarana penunjang proses pembelajaran khususnya dalam melatih kemampuan spasial.

E. DAFTAR PUSTAKA

Darhim (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa SD Kelas Awal dalam Matematika . Disertasi Program Doktor pada PPs UPI Bandung. Tidak dipublikasikan.

Depdiknas (2006). Permendiknas No 22/2006: Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah . Jakarta: BSNP.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 503

NCTM (2000). Defining

Tersedia: http://www.

learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk_2/session_03/sectio_03_a.html NCTM. (2003). Program for Initial Preperation of Mathematics Specialists .

Tersedia:http://www.ncate.org/ProgramStandars/NCTM/NCTMELEMStandars.pdf.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 504

P - 65

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RASA TAKUT AKAN KEGAGALAN DALAM DIRI MAHASISWA

1 Rondha 2 , Ratna Christianingrum 1,2 Universitas Pelita Harapan

1 rondhaflemingsten@gmail.com, 2 chriesty_thea@yahoo.co.id

Abstrak

Mahasiswa berada pada periode remaja akhir atau dewasa dini. periode ini merupakan periode terpenting dalam kehidupan karena berpengaruh pada masa depan. prinsip-prinsip yang diterima pada periode ini akan dibawa sepanjang hidupnya. prinsip ini dapat menghasilkan dampak positif maupun negatif. Salah satu dampak positif yang ditimbulkan ialah rasa percaya diri, sedangkan dampak negatifnya ialah rasa takut. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengidentifikasi mahasiswa yang mengalami rasa takut gagal dan faktor-faktor penyebabnya. Berdasarkan hakikat perkembangan masa remaja oleh Santrock, faktor-faktor yang mungkin menyebabkan timbulnya rasa takut akan gagal ialah keluarga, teman sebaya, serta diri sendiri. faktor keluarga yang condong kepada pola asuh orang tua dan ekonomi keluarga. faktor teman sebaya ialah pengakuan dari teman sebaya terhadap pribadi seseorang. faktor diri sendiri mengarah kepada kepercayaan diri terhadap kepintaran, bentuk fisik yang dimiliki, serta penerimaan diri sendiri. Hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa rasa takut gagal banyak dialami oleh mahasiswa. sehingga perlu diketahui penyebab terjadinya hasil penelitian menunjukan bahwa keenam faktor tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap timbulnya rasa takut akan kegagalan. Hal ini dikarenakan ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi rasa takut akan gagal secara signifikan. Faktor-faktor tersebut ialah tujuan hidup atau keinginan terbesar yang ingin dicapai yang dimiliki mahasiswa, ketidak-terbukaan dan ketidak-jujuran responden dalam mengisi kuesioner, serta pandangan idealis yang dimiliki responden. Hal ini mengakibatkan hipotesis yang dibuat tidak terpenuhi. Semua faktor yang dihipotesiskan dapat mempengaruhi rasa takut akan kegagalan pada penelitian ini tidak terbukti.

Kata kunci: periode remaja akhir, periode dewasa muda, rasa takut gagal.

A. PENDAHULUAN

Setiap Tahap perkembangan yang dialami oleh manusia selalu sama. Hanya saja proses kematangan dari setiap periode yang dialami berbeda-beda. Tahap perkembangan dimulai dari periode prenatal, bayi, periode bayi, awal periode kanak-kanak, akhir periode kanak-kanak, periode puber atau praperiode remaja, periode remaja, awal periode dewasa (periode dewasa dini), periode dewasa tengah (usia pertengahan), periode dewasa akhir (periode tua atau usia lanjut) (Hurlock, 1980). Sukses atau tidaknya seseorang menjalani tahap perkembangan sangat mempengaruhi keberadaannya di lingkungan sosial. Kesuksesan dinilai dari aspek fisik dan kejiwaan seseorang. Hal ini juga didapatkan hanya jika pribadi tersebut berhasil melewati periode remaja dan dewasa muda karena periode ini merupakan periode terpenting sepanjang kehidupan. pada kenyataannya, tidak semua sukses menjalani periode ini. ketidaksuksesan menimbulkan rasa takut. Rasa takut terdiri dari rasa takut akan gagal, dihukum, malu, dan ditolak.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Hasil penelitian telah didapatkan bahwa rasa takut yang mendominasi mahasiswa ialah rasa takut akan kegagalan. Dalam penelitian ini akan diidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi perasaan takut akan kegagalan dalam diri mahasiswa. Faktor-faktor tersebut ialah pola asuh orang tua, perekonomian orang tua, pengakuan dari teman sebaya, kepercayaan diri dengan fisik dan intelegensia yang dimiliki, dan penerimaan akan dirinya sendiri. Penelitian ini menggunakan Uji Independensi dengan Chi-Square.

Hakikat perkembangan remaja, akan diidentifikasi pengaruh keluarga terhadap rasa takut gagal. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang ditemui seseorang dalam kehidupannya. Pengaruh dari keluarga mencakup aspek fisik, jiwa, serta spiritual. Salah satu pengaruhnya yaitu pola asuh orang tua yang mencakup tingkat kebutuhan material dan nonmaterial. Selain keluarga, teman sebaya juga mempengaruhi rasa takut gagal. Teman sebaya mengajarkan mengenai perilaku-perilaku yang diterima maupun tidak diterima oleh lingkungannya. Terdapat pengaruh positif dan negatif dari hubungan pertemanan yang dijalin. Salah satu pengaruh negatif yang dibawa oleh teman sebaya yaitu penolakan atau tidak diperhatikan dapat mengakibatkan para remaja merasa kesepian, timbul rasa permusuhan dan rasa takut gagal dalam berteman. Pengaruh positif yang ditimbulkan ialah rasa percaya diri, rasa percaya, rasa diharagai dan diterima (Santrock, 1996). Pengaruh tersebut mempengaruhi cara remaja bersikap, berpikir, dan bertindak. Konsep diri juga mempengaruhi rasa takut akan gagal karena konsep dirilah yang menentukan hal-hal yang akan dilakukan sesorang dalam kehidupannya. Seseorang yang memiliki konsep diri yang sehat dapat mengalami perubahan persepsi diri yang positif ketika merespons kejadian yang sangat bermakna atau serangkaian pengalaman negatif. Respons yang muncul terhadap situasi yang menantang pandangan seseorang mengenai dirinya yang belum positif adalah perasaan lemah, tidak mampu, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak lengkap, serta tidak berharga (Carpenlto, 2002). Dalam hal ini konsep diri yang dimaksud ialah penerimaan akan diri sendiri.

B. PEMBAHASAN

Terdapat beberapa jenis rasa takut yang ada dalam diri mahasiswa yaitu: rasa takut gagal, malu, dihukum, serta ditolak. Dalam diri mahasiswa ada satu rasa takut yang paling dominan. Semakin rendah nilai rasa takut untuk setiap reponden memberi arti bahwa rasa takut tersebutlah yang dominan.

Gambar Jumlah rasa takut yang dialami tiap responden

Rasa takut gagal merupakan rasa takut yang memiliki nilai paling rendah diantara rasa takut akan malu, takut dihukum, serta rasa takut ditolak. Rasa takut gagal merupakan rasa takut paling dominan dalam diri mahasiswa, dapat nilihat pada gambar. Rasa takut gagal memiliki faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan menggunakan sistem SPSS melalui uji indepen- densi Chi- Square. ditemukan bahwa nilai α lebih kecil dari nilai signifikansi pada semua variabel

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 506 M P - 506

Tabel Hubungan antara faktor dengan rasa takut akan gagal.

No. Faktor Nilai Chi-Square Nilai Standar Deviasi

1 Pola asuh orang tua

2 Ekonomi keluarga

3 kepercayaan diri terhadap fisik

4 Kepercayaan diri terhadap kepintaran

5 Pengakuan dari teman sebaya

6 Pengakuan dari diri sendiri

Hipotesis yang tidak terbukti memberi arti bahwa ada faktor-faktor lain yang menjadi `pengaruh utama yang mempengaruhi rasa takut gagal secara signifikan. Faktor-faktor lain tersebut ialah tujuan hidup atau keinginan terbesar yang ingin dicapai yang dimiliki mahasiswa. Tujuan hidup ini mungkin saja tidak terlihat ketika pengisian kuesioner, dikarenakan mahasiswa kesulitan dalam mempertahankan hal yang menjadi keinginannya secara konsisten (Denny, 2007). Mahasiswa juga dapat mengisi kuesioner dengan tidak sejujur-jujurnya atau tidak terbuka. Ketidak-terbukaan mahasiswa dapat disebabkan oleh pandangan idealitas yang dipakai mahasiswa untuk melihat kehidupannya. Dikarenakan responden berasal dari mahasiswa-mahasiswa yang tinggal dalam kehidupan sehari-hari dengan sistem yang sama. Dalam sistem tersebut, secara tidak langsung mahasiswa dibentuk dengan satu pandangan hidup yang sama untuk menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang memiliki standar ideal yang sama .

C. KESIMPULAN

Mahasiswa sebagai pribadi yang berada pada periode remaja akhir dan dewasa muda, dalam kehidupannya yang sekarang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar dirinya. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi sikap, tindakan, serta perasaan takut akan sesuatu. Hasil penelitian menunjukan bahwa mahasiswa cenderung lebih takut akan kegagalan. Tetapi dengan uji independensi tidak ditemukan faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap rasa takut akan kegagalan. Terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan faktor-faktor utama yang seharusnya berpengaruh menjadi tidak terlihat pengaruhnya secara signifikan. Maka hipotesis tidak terpenuhi karena responden yang berasal dari satu kelompok yang sama cenderung memiliki konsep pemikiran yang sama. Mereka telah menetapkan sistem dari tempat mereka tinggal kedalam pribadi mereka. Mereka telah merepresentatifkan suatu sistem yang telah berlaku.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 507

D. DAFTAR PUSTAKA

Carpenlto, L. J. (2002). Diagnosis Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinis Ed.9. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Denny, R. (2007). Motivate to Win Jilid 3: Cara memotivasi diri sendiri dan orang lain. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Santrock, J. (1996). Adolescence, Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 508

P - 66

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA MATERI BANGUN RUANG SISI LENGKUNG DENGAN METODE PENEMUAN TERBIMBING SISWA KELAS IXF SMP NEGERI 2 IMOGIRI BANTUL YOGYAKARTA

Rosalia Hera Rahayuningrum

SMP Negeri 2 Imogiri Bantul Yogyakarta Rosalia_HR@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing dan mengetahui persepsi siswa terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan di kelas IXf di SMP Negeri 2 Imogiri Bantul. Tindakan ini dilaksanakan dua siklus. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa lembar observasi, wawancara siswa, catatan lapangan, angket siswa dan tes tertulis. Langkah pelaksanaan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing yaitu : (1) guru memberikan apersepsi, motivasi, tujuan permasalahan dan LKS serta alat peraga yang dibutuhkan, (2) siswa berkelompok menyusun, memproses, mengorganisir dan menganalisis LKS tersebut untuk menyelesaikan masalah (3) Guru membimbing

kelompok, (4)Siswa

mempresentasikan hasil kegiatan (5) Siswa menyimpulkan hasil yang telah ditemukan dengan bimbingan guru (6) Guru memberikan soal latihan. Adapun peningkatan kemampuan pemecahan masalah yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata kelas pada pre-tes sebesar 48.15 , nilai tes siklus 1 sebesar 65.81 , nilai tes siklus 2 sebesar 73.30, dan meningkat lagi pada nilai post-tes sebesar 76.56. Setiap aspek kemampuan pemecahan masalah mengalami peningkatan dengan perincian persentase rata-rata skor setiap aspek kemampuan pemecahan masalah dari siklus 1 ke siklus 2 adalah (a) mendefinisikan masalah dari 95.56 menjadi 97.04, (b) merencanakan pemecahan masalah dari 76.00 menjadi 82.98, (c) menyelesaikan masalah dari 54.81 meningkat menjadi 63.26, (d) mengevaluasi kembali pemecahan masalah dari 36.89 menjadi 49.93. Berdasarkan hasil angket persepsi siswa, siswa memberikan persepsi yang positif terhadap pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing.

Kata Kunci : Kemampuan pemecahan masalah, metode penemuan terbimbing

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran matematika menuntut siswa untuk menguasai konsep matematika yang digunakan sebagai dasar untuk memecahkan permasalahan. Memecahkan masalah matematika merupakan kegiatan rutin pembelajaran matematika, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang definisi, pemahaman tentang algoritma dan pemahaman tentang teorema yang harus dikuasai.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Menurut Nasution (2003:170) memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses dimana siswa menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajari untuk memecahkan masalah yang baru. Martinis Yamin (2007:3) juga mengungkapkan pemecahan masalah adalah keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta-fakta, analis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif.

Salah satu materi pembelajaran di kelas IX semester ganjil adalah bangun ruang sisi lengkung yaitu tabung, kerucut, bola. Menurut pengamatan guru pada tahun ajaran sebelumnya, siswa mengalami kesulitan terutama dalam memahami konsep benda ruang yaitu menemukan konsep luas permukaan dan volume dari benda ruang tabung kerucut dan bola. Siswa juga belum mampu dalam menyelesaikan masalah bangun ruang sisi lengkung yang berkaitan dengan masalah sehari-hari.

Berdasarkan hasil observasi kepada siswa kelas IX diperoleh keterangan bahwa kemampuan dalam menyelesaikan masalah matematika masih rendah. Ketika dihadapkan soal penyelesaian masalah, siswa masih kelihatan bingung dan memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (a)siswa kesulitan dalam memahami konsep,(b)siswa belum mampu menyusun model matematika dan mencari penyelesaiannya,(c)siswa kurang termotivasi belajar matematika, (d) kurangnya partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran matematika,(e) kurangnya pemanfaatan instrumen dan metode pembelajaran matematika

Suherman, dkk (2003:6-7) menyatakan bahwa metode pembelajaran matematika cara yang ditempuh guru dalam menyampaikan materi pelajaran agar siswa dapat memahami materi yang dipelajari. Salah satu metode pembelajaran matematika adalah metode penemuan terbimbing. Menurut Ruseffendi (Markaban, 2006:8) metode penemuan terbimbing adalah metode yang melibatkan siswa secara optimum dalam menemukn rumus atau teorema, sedangkan guru memberikan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan. Kelebihan metode penemuan terbimbing adalah sebagai berikut : (1)Siswa dapat berpartisipsi aktif dalam pembelajaran yang disajikan; (2)Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan); (3)Mendukung kemampuan problem solving siswa; (4) Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa dengan guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar; (5) Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam prses menemukannya.

Melihat pemasalahan masih rendahnya kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, peneliti tertarik untuk menerapkan metode penemuan terbimbing sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kemampaun memecahkan masalah matematika siswa kelas IX f SMP N 2 Imogiri Bantul. Dipilih metode penemuan terbimbing karena metode tersebut merupakan salah satu metode yang dapat mendayagunakan kemampaun baik siswa maupun guru dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing melibatkan siswa secara aktif dengan menemukan sendiri baik teorema, rumus, maupun dalil, sedangkan guru sebagai mediator ataupun fasilitator yang bertugas untuk menyediakan instrumen, memenuhi kebutuhan siswa, dan membimbing siswa saat proses pembelajaran berlangsung.

Pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing menuntut keaktifan, ketekunan, kreativitas, dan ketrampilan proses dalam pemecahan masalah. Dengan demikian proses pembelajaran melibatkan partisipasi siswa secara optimal. Jika siswa terlibat secara aktif di dalam menemukan suatu prinsip dasar, maka siswa akan memahami konsep lebih baik, mengingat materi lebih tahan lama dan mampu menggunakannya ke dalam konteks yang lain. Selain itu metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan minat siswa untuk mempelajari matematika. (Herman Hudojo, 2003:113). Dengan metode penemuan terbimbing diharapkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika meningkat dan siswa dapat dengan terampil menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya untuk memecahkan suatu masalah matematika.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 510

2. Rumusan Masalah

Bagaimana meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada materi bangun ruang sisi lengkung dengan metode penemuan terbimbing dan mengetahui persepsi siswa kelas IXf terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan ?

3. Tujuan

Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada materi bangun ruang sisi lengkung dengan metode penemuan terbimbing dan mengetahui persepsi siswa kelas IXf terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan .

4. Manfaat

a. Siswa diharapkan mampu meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika terutama materi bangun ruang sisi lengkung.

b. Guru termotivasi untuk melaksanakan metode pembelajaran yang tepat selama proses pembelajaran matematika.

c. SMP Negeri 2 Imogiri diharapkan dapat meningkatkan sumberdaya guru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas sebagai salah satu bentuk kegiatan profesionalisme guru.

B. METODE PENELITIAN

1. Subyek Penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Imogiri pada semester ganjil mulai bulan Agustus sampai September 2011. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas IXf yang terdiri dari 27 orang siswa yaitu 14 siswa laki-laki dan 13 siswa perempuan. Obyek penelitian ini adalah keseluruhan proses pada pelaksanaan metode penemuan terbimbing. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian ini dilakukan melalui dua siklus, setiap siklus terdiri dari empat pertemuan, dan di setiap akhir siklus diadakan tes. Teknik pengumpulan data bersumber dari hasil observasi, tes, angket, catatan lapangan, dan foto dokumentasi.

2. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan Model Spiral yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (Rochiati Wiriaatmadja,2005:66) yang menggunakan empat tahap penelitian tindakan yaitu perencanaan (plan), tindakan (act), pengamatan (observe) dan refleksi (reflect). Tahap penelitin tindakan yang dikembangkan Kemmis dan Taggart dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1: Desain PTK Model Kemmis dan Taggart

Secara lebih rinci prosedur penelitian dalam setiap siklus dijabarkan sebagai berikut :

Tahapan Penelitian Siklus I

a. Perencanaan : peneliti mengembangkan dan mempersiapkan silabus,rencana pelaksanaan pembelajaran , lembar observasi pelaksanaan metode penemuan terbimbing, lembar kerja siswa, lembar, pedoman wawancara dan soal pretes

b. Tindakan : pelaksanaan tindakan pada siklus pertama ini dilakukan dalam empat pertemuan. Materi yang akan dipelajari adalah luas permukaan bangun ruang sisi lengkung. Adapun tahapan tindakan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pendahuluan Guru menyampaikan petunjuk pelaksanaan metode penemuan terbimbing dengan memberikan apersepsi dan motivasi kepada siswa dalam mempelajari materi luas permukaan bangun ruang sisi lengkung.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 511

2. Kegiatan Inti a). Siswa belajar dalam kelompok dengan berdiskusi mengerjakan LKS dan media yang diberikan guru. b). Guru membimbing siswa dalam mengerjakan LKS dan memberi arahan pada kelompok yang kesulitan. c). Sisiwa menyelesaikan masalah yang terdapat dalam LKS, kemudian mengecek kembali jawaban yang diperoleh d). Siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok dan kelompok lain memberi komentar terhadap hasil presentasi e). Guru memberi penjelasan terhadap materi yang belum jelas f). Siswa mengerjakan tes secara individu.

3. Penutup a). Guru menyimpulkan materi yang telah dipelajari. b). Guru menyampaikan informasi tentang meteri yang akan dipelajari pada pertemuan

berikutnya. c). Siswa diberi tugas

c. Observasi: pengamatan selama proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi dan lembar catatan lapangan..

d. Refleksi : untuk perbaikan proses pembelajaran pada siklus berikutnya.

Tahapan Penelitian Siklus II

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada siklus II dimaksudkan sebagai hasil refleksi dan perbaikan terhadap pelaksanaan pembelajaran pada siklus I. Tahapan tindakan siklus II mengikuti tahapan tindakan siklus I.

3. Instrumen Penelitian

Sumber data utama adalah siswa, guru dan proses pembelajaran. Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh berupa hasil observasi, wawancara, tes, angket, catatan lapangan dan dokumentasi. Observasi difokuskan pada aktivitas guru maupun siswa selama proses pembelajaran pada materi bangun ruang sisi lengkung. Sedangkan wawancara dilakukan dengan cara bertanya kepada guru dan siswa mengenai proses pembelajaran yang dilaksanakan.

Tes dilakukan untuk dapat mengukur kemampuan memecahkan masalah matematika siswa setelah mempelajari materi bangun ruang sisi lengkung dengan melaksanakan metode penemuan terbimbing . Angket dilakukan dengan cara dibagi pada siswa dan diisi untuk mengetahui respon siswa selama proses pembelajaran dengan melaksanakan metode penemuan terbimbing, sebelum dan sesudah pelaksanaan pembelajaran. Sedangkan dokumentasi diperoleh dari laporan hasil tes siswa, perangkat pembelajaran, dan foto-foto kegiatan pembelajaran. Seluruh data yang terkumpul dalam penelitian ini berupa deskripsi dari proses pembelajaran.

4. Teknik Analisis Data

1. Analisis Data Pelaksanaan Pembelajaran Analisis data untuk menggambarkan proses pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing yang terdapat pada lembar observasi pelaksanaan metode penemuan terbimbing, catatan lapangan, angket, dan hasil wawancara Teknik analisis yang digunakan adalah reduksi data yaitu kegiatan pemilihan data, penyederhanaan data serta transformasi data kasar dari hasil catatan lapangan. Penyajian data berupa sekumpulan informasi dalam bentuk tes naratif yang disusun, diatur dan diringkas sehingga mudah dipahami, dilakukan secara bertahap kemudian dilakukan penyimpulan dengan cara diskusi bersama mitra kolaborasi.

2. Analisis Hasil Belajar Tes hasil belajar siswa diberikan empat kali yaitu pre-test, tes siklus I , tes siklus II, dan post-test. Pemberian skor berdasarkan indikator :

a) Siswa mampu mengidentifikasi masalah yaitu dapat menyebutkan apa yang diketahui dan ditanyakan dari masalah yang sedang dihadapi.

b) Siswa mampu merencanakan penyelesaian masalah yaitu dapat menetapkan model dan menuliskan rumus yang digunakan untuk memecahkan masalah.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 512 M P - 512

d) Siswa memeriksa kembali penyelesaian yang diperolehnya yaitu menjawab apa yang ditanyakan dan menarik kesimpulan serta mengecek kembali perhitungan yang diperoleh.

Tabel 1. Kriteria Kemampuan Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika No

Nilai (x)

Kriteria

1 83 ≥ x ≥ 100

Sangat Tinggi (ST)

2 73 ≥ x > 83

Tinggi (T)

3 63 ≥ x > 73

Lebih dari Cukup (LC)

4 53 ≥ x > 63

Cukup (C)

5 43 ≥ x > 53

Hampir Cukup (HC)

6 33 ≥ x > 43

Kurang (K)

7 0 ≥ x > 33

Sangat Kurang (SK)

3. Analisis angket persepsi siswa Analisis angket persepsi siswa diberikan sebelum dan sesudah pelaksanaan pembembelajaran dengan metode penemuan terbimbing.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Deskripsi Hasil Pembelajaran Siklus I

a. Sebelum pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan metode penemuan terbimbing, siswa mengerjakan soal pre-tes dan siswa mengisi angket persepsi siswa, untuk mengetahui kemampuan dan kesiapan siswa mengenai materi bangun ruang sisi lengkung,

b. Pembelajaran pada siklus I, siswa belum terbiasa dengan pembelajaran menggunakan metode penemuan terbimbing.

c. Diskusi kelompok belum berjalan dengan baik, terdapat siswa yang belum terlibat dalam menggunakan alat peraga dan mengerjakan LKS menemukan rumus luas permukaan tabung, kerucut dan bola.

Gambar 3. Aktivitas siswa menggunakan alat peraga

d. Pelaksanaan presentasi siswa yang belum berjalan dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan presentasi masih harus ditunjuk oleh guru, siswa hanya menuliskan jawaban di papan tulis dan belum menjelaskan kepada anggota kelompoknya.

Gambar 4. Aktivitas siswa dalam diskusi dan presentasi

e. Pelaksanaan tes siklus I belum berjalan baik, masih ada siswa yang melihat pekerjaan teman, dan bertanya pada teman sebelahnya atau belakangnya.

f. Hasil perolehan nilai pre-tes terdapat 2 siswa yang tuntas (7,8%), dengan nilai rata-rata 48,15 dengan kriteria hampir cukup. Sedangkan hasil tes siklus I, terdapat 13 siswa tuntas belajar (48%), dengan nilai rata-rata 65,81 dengan kriteria lebih dari cukup.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 513

PRE-TES

TES SIKLUS I

0 pre-t es

0 SIKLUS I 1 4 7 10 13 16 19 22 25

g. 1 4 7 101316192225

Gambar 5. Distribusi Hasil Pre test dan Tes Siklus I

2. Deskripsi Hasil Pembelajaran Siklus II

a. Pada siklus II ini siswa sudah terbiasa dengan pembelajaran metode penemuan terbimbing.

b. Diskusi kelompok sudah berjalan dengan baik. Dalam mengerjakan LKS sudah menunjukkan peningkatan. Masing-masing siswa bekerjasama dengan kelompoknya dalam menggunakan alat peraga untuk menemukan rumus volume tabung, kerucut dan bola.Semua kelompok sudah paham mengenai penemuan rumus volume dan hasil penyelesaian soalnya

c. Presentasi siswa sudah berjalan dengan baik, mereka sudah berani maju tanpa ditunjuk oleh guru. Hal ini ditunjukkan dengan siswa aktif dan antusias mempresentasikan hasil pekerjaan di depan kelas, dan berani mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada kelompok lain. Kelompok lain juga aktif bertanya jika terdapat perbedaan dalam penyelesaian soal pemecahan masalah.

d. Pelaksanaan tes sudah berjalan dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan keseriusan siswa dalam mengerjakan tes siklus II.

e. Hasil perolehan nilai tes siklus II terdapat 20 siswa yang tuntas belajar (74%), dengan nilai rata-rata 73,30 dengan kriteria tinggi. Sedngkan nilai post-tes terdapat 24 siswa yang tuntas (85%), dengan nilai rata-rata 76,56 dengan kriteria sangat tinggi. Rata-rata nilai siswa yang diperoleh dari tes siklus II dan post-tes mengalami peningkatan. Hal ini juga menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa secara akademik dan peningkatan keseriusan siswa dalam mengikuti pembelajaran.

TES SIKLUS II

A 0 SIKL

A POST-

Gambar 6. Distribusi Hasil Tes Siklus II dan Post-tes

3. Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian di atas, menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar matematika. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan menyelesaikan soal siswa dengan menggunakan metode penemuan terbimbing meningkat. Gambaran hasil belajar siswa selama berlangsungnya pembelajaran dapat ditinjau dari hasil tes pada tabel 2 berikut ini :

Tabel 2. Rekap tes hasil belajar siswa dengan metode penemuan terbimbing

No Nama Tes

Nilai Rata-rata Jumlah siswa

Ketuntasan

Kriteria

tuntas belajar

Hampir cukup

2 Tes Siklus I

Lebih dari cukup

3 Tes Siklus II

Tinggi Sedangkan tes hasil belajar siswa dapat ditunjukkan oleh diagarm garis di bawah ini.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 514

TES HASIL BELAJAR

IA

PRE-TES IL 50

TES SIKLUS I

TES SIKLUS II

Gambar 7 . Distribusi Tes Hasil Belajar Siswa

Tes pada setiap siklus menunjukkan adanya peningkatan mulai dari pre-tes, tes siklus I, tes siklus II, dan post-test. Ini berarti ketuntasan belajar siswa meningkat dan siswa semakin memahami pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing.

Tabel 3. Persentase Kemampuan Pemecahan Masalah No

Tes Post-test Pemecahan Masalah

Aspek Kemampuan

Tes

SiklusI(%) SiklusII (%) (%)

1 Mengidentifikasi masalah

2 Merencanakan pemecahan masalah

3 Menyelesaikan masalah

4 Mengevaluasi kembali pemecahan masalah 36.89 49.93 53.63 Rata-rata

65.81 73.30 76.56 Kriteria

Lebih dari Tinggi Tinggi

cukup

Dari Tabel 3 di atas diperoleh bahwa adanya peningkatan pada setiap aspek kemampuan pemecahan masalah, meliputi mengidentifikasi masalah meningkat dari 95.56 pada tes siklus I menjadi 97.04 pada tes siklus II, dan meningkat lagi pada post-test. Aspek merencanakan pemecahan mengalami peningkatan dari 76.00 pada siklus I menjadi 82,98 pada siklus II, dan meningkat lagi pada post-tes 85.93. Pada aspek menyelesaikan masalah juga mengalami peningkatan dari 54.81 pada siklus I menjadi 63.26 pada siklus II, dan menjadi 68.89 pada post-tes. Pada aspek mengevaluasi kembali pemecahan masalah juga mengalami peningkatan dari 36.89 pada siklus I menjadi 49.93 pada siklus II dan menjadi 53.63 pada post-tes. Peningkatan ditunjukan oleh kriteria pada setiap tes. Pada pre-tes nilai rata-rata kemampuan memecahkan masalah 65.81 dengan kriteria lebih dari cukup. Pada tes siklus II nilai rata-rata sebesar 73.30 dengan kriteria tinggi, dan semakin meningkat pada post-tes dengan nilai rata-rata

76.56 dengan kriteria tinggi. Dari hasil angket persepsi siswa sebelum pelaksanaan dengan sesudah pelaksanaan metode penemuan terbimbing, ternyata mengalami peningkatan pada setiap aspek yaitu kesenangan, kenyamanan, ketertarikan, termotivasi, dan pemahaman.

Tabel 4. Hasil Angket Persepsi Siswa No

Sesudah Kriteria

66.67 Baik Dari tabel 4 di atas menunjukkan bahwa terhadap peningkatan dari setiap aspek menunjukkan kriteria dari cukup menjadi baik. Dengan demikian angket persepsi siswa

5 Pemahaman

56.02 Cukup

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 515 M P - 515

D. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

a. Kemampuan pemecahan masalah matematika pada materi bangun ruang sisi lengkung siswa kelas IXf SMPN 2 Imogiri meningkat setelah diterapkan metode penemuan terbimbing.

b. Kualitas proses pembelajaran matematika di kelas IXf SMPN 2 Imogiri meningkat setelah diterapkan metode penemuan terbimbing.

Saran

a. Bagi Siswa : setiap siswa hendaknya lebih aktif dalam pembelajaran matematika di kelas dan menjalin interaksi antar siswa maupun interaksi dengan guru sehingga proses pembelajaran menjadi lebih menyenangkan.

b. Bagi Guru : melalui kolaboratif dalam penelitian tindakan kelas guru dapat mengetahui gambaran pembelajaran matematika yang efektif berdasarkan masalah yang muncul di kelas, sehingga dapat dipakai sebagai upaya peningkatan intensitas belajar siswa.

c. Bagi Kepala Sekolah : (a) kepala sekolah dapat melakukan pemantauan tentang proses pembelajaran di kelas sehingga dapat mengetahui situasi pembelajaran di kelas dan masalah-masalah yang muncul dari masing-masing kelas. (b) kepala sekolah dapat melakukan pembinaan kepada guru-guru tentang metode atau model pembelajaran yang dapat digunakan sesuai dengan masalah yang terjadi di kelas.

E. DAFTAR PUSTAKA

Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: FMIPA UPI.

Herman Hudojo. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: FMIPA UNM.

Markaban. (2006). Model Pembelajaran Matematika Dengan Pendekaran Penemuan Terbimbing. Yogyakarta: Departemen pendidikan nasioanal pusat pengembangan dan penataran

matematika. ( http://members.lycos.co.uk/linkmatematika/materidiklat/PPP_Penemuan_terbimbing.pdf )

guru

Martinis Yamin. (2007). Kiat Membelajarkan Siswa. Jakarta: Gaung Persada Press Nasution. (2003). Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi

Aksara. Oemar Hamalik. (2005). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Rachmadi Widdharto. (2004). Model-model Pendekatan Matematika SMP. Yogyakarta:

Departeman Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan dasar dan Menengah Pusat engembangan

(PPPG) Matematika. ( http://mat.um.ac.id/AlatPeraga/PBM/modelpembelajaran1.pdf )

Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Departeen Pendidikan dan Kebudayaan.

Lia Ariani. (2008). Peningkatan Minat Belajar Matematika melalui Pelaksanaan Metode Penemuan Terbimbing dalam Pembelajaran Matematika di SMPN I Pleret Kelas VIII a . Abstrak-Skripsi. Yogyakarta: UNY.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 516

P - 67

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS KONSTRUKTIVISME MENGGUNAKAN CD INTERAKTIF TERHADAP KARAKTER SISWA SMP

1 2 Saifan Sidiq Abdullah 3 , Supandi , Nizaruddin

1,2,3 Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang

1 2 saifanshidiq@yahoo.co.id 3 , hspandi@gmail.com , masnizarchoz@yahoo.com

Abstrak

Dalam matematika, yaitu pada materi kubus dan balok, penggunaan papan tulis yang terlalu dominan membuat siswa tidak bisa memandang dimensi tiga secara maksimal, karena guru akan memperlihatkan dimensi tiga pada sebuah dimensi dua (papan tulis). Selain itu, karakter yang mulai hilang, pembelajaran yang masih pasif dan kurangnya media dalam pembelajaran membuat pengembangan perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif terhadap karakter siswa perlu dilakukan. Pengembangan perangkat dilakukan untuk membuat proses pembelajaran lebih aktif dan dapat menumbuhkan karakter siswa. Pengembangan dilakukan melalui tahap analisis pendahuluan, perancangan desain produk, validasi dan revisi, dan uji coba terbatas. Data analisis pendahuluan, menyimpulkan bahwa pembelajaran yang pasif dan monoton akan membuat karakter siswa belum muncul. Pada tahap validasi dan revisi, terdapat tiga validator ahli untuk memvalidasi produk. Hasil validasi ahli menyatakan semua perangkat dikembangkan dengan baik yaitu dengan rata-rata penilaian validator silabus 45 (baik), RPP 69,3 (baik), LTPD 14,7 (baik),CD interaktif 47,3 (baik), dan dapat digunakan dengan sedikit revisi. Rancangan uji coba terbatas menggunakan Quasi Experimental dengan dua kelas sampel, yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen yang dipilih secara simple random sampling. Hasil analisis menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif karakter terhadap prestasi belajar siswa.

Kata kunci: pengembangan perangkat, konstruktivisme, CD interaktif, karakter

A. PENDAHULUAN

Karakter yang sudah mulai hilang khususnya pada kalangan remaja sekarang ini menjadi keprihatinan bangsa Indonesia. Dibuktikan dengan maraknya tawuran yang terjadi khususnya antar pelajar di Indonesia. Karena itu, pemerintah berusaha menumbuhkan kembali karakter yang sudah mulai pudar. Maka bangsa ini perlu dan harus ada usaha untuk menjadikan nilai-nilai itu kembali menjadi karakter bangsa yang bisa kita banggakan di hadapan bangsa lain. Salah satu upaya ke arah itu adalah dengan memperbaiki model pendidikan nasional kita, yaitu lebih menitikberatkan pada pembangunan karakter (Character Building).Dalampenelitian Endang Mulyatiningsih (2012) tentang karakter, menghasilkan kesimpulan bahwa pendidikan karakter pada usia remaja menjadi momen penting dan menentukan karakter seseorang setelah dewasa. Jadi pendidikan karakter pada usia remaja sangat penting dan menentukan untuk perkembangan sikap dan moral pada masa yang akan datang.

optimalyaitu dengan mengimplementasikan pendidikan karakter ke dalam Kurikulum. Salah satu bentuk implementasinya yaitu mengintegrasikan karakter dalam mata pelajaran dengan mengembangkan silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan

Pendidikan berkarakter

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Selain dituntut untuk mengembangkan karakter, pendidikan kita juga dituntut untuk mengembangkan ICT (Information and Communication Technology). Menurut Asmaun (2012:112) semakin berkembangnya zaman, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam media pembelajaran dan pendidikan karakter pun menjadi sebuah keniscayaan. Dalam penelitian Reeves (dikutip oleh Suryadi,Ace, 2007:83-98) menghasilkan kesimpulan, salah satunya adalah penggunaan media dalam pembelajaran termasuk CD interaktif akan sangat cocok digunakan dalam lingkungan konstruktivis.

Berdasar uraian tersebut, maka terdapat beberapapermasalahan yaitu bagaimana pengembangan perangkat dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif terhadap karakter siswa SMP yang valid?.Serta apakah pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif terhadap karakter siswa SMP efektif? Adapun tujuan penelitian ini ialah mengembangkan dan menghasilkan perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD nteraktif terhadap karkatersiswa SMP yang valid (layak) serta mengetahui efektif atau tidaknya perangkat pembelajaran berbasiskonstruktivismemenggunakanCDinteraktifterhadap karakter siswa SMP.Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini ialah hasil berupa perangkat pembelajaran yang mampu menumbuhkankarakter peserta didik. Selain menumbuhkan karakter siswa, peneliti juga meneliti apakah bertumbuhnya karakter akan berimbas pada nilai prestasi belajarnya atau tidak.

B. METODOLOGI PENELITIAN

1. Bagan Prosedur Pengembangan Produk

Gambar B.1.Bagan Prosedur Pengembangan Produk

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 518

2. Langkah-langkah Penelitian

a. Analisis Pendahuluan

Analisis ini berupa gambaran umum mengenai subjek dari penelitian ini.Terdapat beberapa poin yang ada dalam analisis pendahuluan, yaitu subjek penelitian, teknik pengumpulan data, instrument penelitian, dan analisis dan interpretasi data. Penjelasannnya sebagai berikut:

1) Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini meliputi populasi, sampel, dan teknik sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Wanadadi Kabupaten Banjarnegara yang terdiri dari delapan kelas.Sampel dalam penelitian ini adalah perangkat pembelajaran matematika kelas VIII, media npembelajaran yang ada, guru, dan peserta didik. Kelas yang akandiujicoba terbatas adalah 2 kelas. Dengan teknik sampling simple random sampling .

2) Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada tahap ini meliputi dokumentasi, wawancara, dan observasi

3) Bentuk Instrumen Instrumen dalam tahap ini adalah draft wawancara.

4) Analisis dan Interpretasi Data Analisis dan interpretasi data ini berupa deskriptif kualitatif tentang kelemahan perangkat dan pelaksanaan ditinjau dari inovasi pembelajaran (model dan media), instrumen evaluasi, dan pelaksaan pendidikan karakter.

b. Perencanaan dan Penyusunan Perangkat dan Media Pembelajaran

1) Perencanaan Skema perencanaan dalam tahap ini meliputi penyusunan kriteria penilaian dan pemilihan format (model yang digunakan)

2) Penyusunan Penyusunan produk yang selanjutnya disebut produk awal adalah silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, CD interaktif, lembar tugas peserta didik, dan tes prestasi belajar.

c. Validasi dan Revisi Desain

Pada validasi dan revisi desain ini terdapat beberapa tahap-tahap yang harus dilakukan, diantaranya:

1) Subjek Penelitian Subjek pada penelitian ini adalah desain perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif terhadap karakter siswa SMP yang telah dirancang berdasarkan hasil analysis pendahuluan.Validasi dalam penelitian ini ada dua, yaitu untuk untuk memvalidasi perangkat pembelajaran (silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar tugas peserta didik, tes prestasi belajar) dan media pembelajaran (cd interaktif).

2) Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan data pada tahap ini adalah observasi dan wawancara untuk menentukan validator.

3) Bentuk Instrumen Bentuk instrumen pada tahap ini adalah lembar dan rubrik penilaian validator terhadap silabus, RPP, CD interaktif, LTPD, dan THB.

4) Analisis dan Interpretasi Data Data yang didapat dari para validator akan dianalisis untuk mendapatkan produk yang valid. Data tersebut tertulis di dalam lembar penilaian yang telah dibuat oleh peneliti.

d. Uji Coba Skala Kecil (Terbatas)

Uji coba terbatas perangkat pembelajaran di lapangan bertujuan untuk memperoleh data atau masukan dari guru, peserta didik dan para pengamat (observer) terhadap semua perangkat

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 519 M P - 519

1) Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan jenis penelitian quasi experiment. Desain penelitian digambarkan dengan gambar di bawah ini:

Gambar B.2. Desain Penelitian: Quasi Experimen

Keterangan: O : Nilai midsemester 1 kelas VIII Y: Keefektifan pembelajaran (Ketuntasan, pengaruh aktivitas terhadap prestasi

belajar, dan perbandingan prestasi belajar peserta didik)

X: Treatment atau perlakuan dengan pembelajaran matematika berbasis konstruktivi menggunakan cd interaktif Z: Pembelajaran matematika melalui pembelajaran konvensional

2) Subjek Penelitian Populasi dalam tahap ini adalah Peserta didik di SMP Negeri 2 Wanandadi kelas VIII yang terdiri dari 8 kelas. Dan sampelnya adalah Peserta didik kelas VIII SMP Negeri 2 Wanandadi, terdiri dari: kelas eksperimen yaitu kelas VIII G dan kelas kontrol yaitu kelas VIII F

3) Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data meliputi dokumentasi, observasi, tes, dan angket.

4) Bentuk Instrumen Bentuk instrumennya adalah lembar observasi peserta didik, tes prestasi belajar, dan draft angket.

5) Analisis dan Interpretasi Data Analisis dan interpretasi data pada tahap ini yaitu meliputi uji instrumen, uji hipotesis, dan deskriptif kualitatif. Pada uji indtrumen, uji yang diambil adalah uji validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan taraf kesukaran. Uji hipotesis yang diambil adalah uji normalitas, homogenitas, Uji kesamaan dua rata-rata, uji t satu pihak dan uji regresi. Sementara uji dekriptifnya yaitu uji keterbacaaan perangkat.

C. PEMBAHASAN

1. Validasi Perangkat

Hasil validasi ahli terhadap perangkat pembelajaran, diperoleh hasil validasi Silabus, RPP, LTPD, danCD interaktif, dengankriteria baik.Dengan demikian dihasilkan perangkat pembelajaran berbasiskonstruktivismemenggunakanCDinteraktif terhadap karakter siswa SMP valid.Rata-rata nilai dari masing-masing validator dapat dilihat dari Tabel 1 berikut.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 520

Tabel C.1. Rata-rata nilai validator

Silabus LTPD

Hasil Validasi ahli menunjukkan bahwa dengan melakukan sedikit revisi, maka perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif terhadap karakter siswa SMP akan valid.

2. Uji Coba Perangkat

Dalam penelitian ini digunakan tes prestasi belajar yang terdiri dari 25 soal pilihan ganda dan

5 soal uraian yang harus dikerjakan siswa dalam waktu 75 menit.Perangkat ini diuji cobakan pada kelas VIII-E SMP Negeri 2 Wanadadiyang terdiri dari 23 siswa. Dari hasil uji coba tes ini dilakukan analisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda. Hasil analisis, soal yang digunakan untuk tes prestasi belajar pada kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah 10 soal pilihan ganda dan 2 soal uraian yang akan dikerjakan dalam waktu 30 menit.

3. Uji Coba Terbatas

Uji coba terbatas dilakukan untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran berbasiskosntruktivismemenggunakanCDinteraktif terhadap karakter siswa efektif dan baik atau tidak. Dalam uji coba terbatas ini dilakukajn beberapa uji, diantaranya:

a. Uji Keterbacaan Peserta Didik

Penggunakan perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif ini siswa lebih aktif dalam proses mendapatkan pengetahuan. Dengan adanya aktifitas aktif dalam proses pembelajaran, peserta didik akan sangat terbantu. Proses pembelajaran yang bersifat mandiri, kemudian juga adanya waktu untuk diskusi, untuk bertanya, untuk saling bertukar informasi, ini menjadikan siswa akan terbiasa dan tidak canggung lagi dalam mengungkapkan ide-ide mereka. Kemudian dengan perangkat pembelajaran berbasis kosntruktivisme menggunakan CD interaktif ini siswa belajar untuk membangun pengetahuannya sendiri, sehingga pengetahuan yang didapat secara mandiri ini akan bisa bertahan lebih lama. Proses –proses inilah yang tidak bisa didapat di kelas kontrol, sehingga perbedaan perlakuan ini menjadi sumber dari adanya perbedaan prestasi belajar yaitu kelas ekperimen lebih baik daripada kelas control.

Data hasil dari respon peserta didik terhadap keterbacaan perangkat yang diolah dengan teknik analisis deskriptif kualitatif adalah:

1) Terdapat beberapa kesalahan penulisan dalam CD interaktif dan LTPD yaitu: 1) kurang memahami petunjuk pengunaan CD interaktif; (b) kurang memahami beberapa istilah di dalam CD interaktif; (c) soal yang terdapat dalam LTPD.

2) Selama proses pembelajaran berbasis konstruktivisme, peserta terdorong untuk aktif dalam mengikuti proses pembelajaran.

b. Uji Normalitas dan Homogenitas Awal (Uji Prasyarat)

Nilai kemampuan awal peserta didik diambil dari nilai ujian tengah semester 2 kelas VIII SMP Negeri 2Wanadadi tahun ajaran 2012/2013. Uji normalitas data awal pada kelas eksperimen diperoleh L tabel =0,1832 dan L 0 =0,126. Sementara itu pada perhitungan SPSS, diperoleh sig.n =0,426 dengan taraf signifikansi 95% sehingga diperoleh hubungan sig.n > 0,05 yaitu 0,426 > 0,05. Sedangkan uji normalitas pada kelas kontrol diperoleh L tabel =0,180 dan L 0 =0,163. Sementara itu pada perhitungan SPSS, diperoleh sig.n =0,235 dengan taraf signifikansi 95%

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 521 M P - 521

Untuk pengujian homogenitas kelas eksperimen dan kelas kontrol dipakai uji F dan diperoleh F Hitung = 1,059 dan F Tabel = 2,020. Sedangkan pada perhitungan SPSS didapat sig.n = 0,508 dengan taraf signifikansi 95% sehingga diperoleh hubungan sig.n > 0,05 yaitu 0,508 > 0,05. Dari perhitungan manual dan SPSS diperoleh kesimpulan bahwa data tersebut homogen yang artinya himpunan data kelas kontrol dan kelas eksperimen mempunyai varians dan karakteristik yang sama.

c. Uji Ketuntasan Klasikal Kelas Eksperimen

Pengujian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu indikator keefektifan pembelajaran pada kelas eksperimen yakni tercapainya ketuntasan prestasi belajar dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 75. Dengan rata-rata kelas eksperimen sebesar 83,068 diperoleh

t hitung =3,7 sedangkan t tabel =1,72. Dengan demikian t hitung >t tabel , maka H 0 dittolak artinya prestasi belajar kelas eksperimen sudahmencapai rata-rata ketuntasan belajar yang diprogramkan 75.

d. Uji Ketuntasan Individual Kelas Eksperimen

Untuk menguji ketuntasan individual digunakan uji proporsi dua pihak. Dengan menggunakan rumus z dan x kelas eksperimen sebanyak 22 siswa diperoleh z hitung = 0,746 sedangkan z tabel = 1,645. Dengan demikian z hitung <z tabel , maka H 0 diterima artinya proporsi peserta didik kelas eksperimen yang mencapai KKM 75 adalah 80%.

e. Uji Regresi

Variabel independent(X)adalahaktivitas konstruktivis yang mencerminkan karakter peserta didik terhadap variabel dependent (Y) adalah prestasi belajar peserta didik. Dari hasil perhitungan

manual dan SPSS diperoleh nilai a = 12,132 dan b = 1,773, jadi persamaan regresinya adalah Yˆ = 12,132 + 1,773X. Persamaanregresitersebutberartiaktivitas peserta didik dalam proses pelaksanaan pembelajaran berpengaruh positif terhadap prestasi belajar peserta didik kelas VIII-G dalam melaksanakan proses belajar karena mempunyai nilai b = 1,773. Nilai a = 12,132 merupakan pengaruh lain yang diberikan selain dari aktivitas peserta didik, karena nilai a adalah positif maka pengaruh faktor lain memberi kontibusi yang positif pula terhadap prestasi belajar peserta didik. Terlihat dari perhitungan SPSS berikut ini:

Tabel C.2. Tabel Uji Regresi SPSS

Dengan dkreg (bIa) = 1, dkres = 20, dan taraf nyata α = 5% diperoleh F tabelkeberartian = 4,35 dan

F hitungkeberartian = 24,979 . Sedangkan dkTC = 10, dkE = 10, dan α = 5% diperoleh F table linieritas = 2,97 serta F hitunglinieritas = 1,624. H 0 diterima jika F hitungkeberartian ≤F keberartian dan F hitunglinieritas ≤F tabellinieritas (Sugiyono, 2010: 264-274). Dari perhitungan diperoleh bahwa F hitungkeberartian >F tabelkeberartian dan

F hitunglinieritas <F tabellinieritas yaitu 24,979>4,35 dan 1,624<2,97. Artinya terdapat hubungan fungsional signifikan dan linier antara aktivitas dan prestasi belajar. Untuk menentukan besarnya pengaruh variabel X terhadap variabel Y yaitu pengaruh antara

aktivitas terhadap prestasi belajar peserta didik menggunakan r 2 (Sudjana, 2005: 370-371). Dari perhitungan diperoleh bahwa r 2 = 0,55 artinya aktivitas peserta didik (variabel X) mempengaruhi

prestasi belajar (variabel Y) sebesar 55%. Hal ini berarti 55% vaiabel Y dapat dipengaruhi oleh variabel X, sedangkan sisanya yaitu sebesar 100% - 55% = 45% dipengaruhi oleh faktor yang lain.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 522 M P - 522

Diperoleh bahwa F Tabel = 2,02 dan F Hitung = 1,099 maka data tersebut homogen karena F Hitung < F Tabel yang artinya himpunan data kelas kontrol dan kelas eksperimen mempunyai varians dan karakteristik yangsama. Sehingga uji perbedaan rataannya menggunakan uji t

homogen. Diperoleh t tabel = 1,680 dan t hitung = 6,536, karena t hitung >t tabel maka H 0 ditolak artinya rata-rata prestasi belajar kelas eksperimen lebih baikdaripada kelas kontrol.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil berbagai simpulan. Pertama, Hasil validasi dari 3 validator terhadap perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD nteraktif terhadap karakter siswa, menyimpulkan bahwa produk ini sudah baik dan dapat digunakan dengan sedikit revisi. Kedua, penggunaan perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif dapat memancing siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran, sehingga karakter-karakter yang dibidik dapat tumbuh dalam proses pembelajaran. Ketiga, nilai rata-rata prestasi belajar siswa yang menggunakan perangkat berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif sebesar 83,07 lebih baik dari nilai rata-rata prestasi belajar siswa yang mendapat pembelajaran konvensional yaitu sebesar 62,17 pada materi kubus dan balok siswa kelas VIII Semester genap SMP Negeri 2 Wanadadi Tahun pelajaran 2012/2013. Keempat, respon peserta didik terhadap perangkat pembelajaran adalah merasa senang, merasa ada hal yang baru, peserta didik berminat dalam mengikuti pembelajaran, peserta didik memahami dengan jelas proses pembelajaran, peserta didik mengerti apa yng dimaksud pada soal yang disajikan, dan peserta didik tertarik dengan proses pembelajaran yang telah dilalui. Kelima, penggunaan perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif lebih efektif daripada pembelajaran konvensional pada materi kubus dan balok kelas VIII Semester genap SMP Negeri 2 Wanadadi Tahun Pelajaran 2012/2013.Keenam, terdapat hubungan fungsional yang positif antara karakter peserta didik dengan prestasi belajar peserta didik. Dengan kata lain, presatasi belajar peserta didik dapat meningkat dengan cara menumbuhkan karakter peserta didik. Keenam, Prestasi belajar peserta didik yang menggunakan perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif tuntas secara individual yaitu dengan proporsi peserta didik yang mencapai 80% tuntas pada materi kubus dan balok siswa kelas VIII-G semester genap SMP Negeri 2 Wanadadi tahun pelajaran 2012/2013. Dan yang terakhir adalah Prestasi belajar peserta didik pada kelas yang menggunakan perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme menggunakan CD interaktif mencapai rata-rata ketuntasan yang diprogramkan yaitu 75 pada materi kubus dan balok siswa kelas VIII-G semester genap SMP Negeri 2 Wanadadi tahun pelajaran 2012/2013.

E. DAFTAR PUSTAKA

Acesuryadi.2007.Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh Volume 8 Nomor 1:83-89. Tersedia di http://www.lppm.ut.ac.id/htmpublikasi/01-acesuryadi.pdf [diakses pada 21/03/2012]

Aqib, Zainal. & Sujak.2011.Panduan & Aplikasi PENDIDIKAN KARAKTER.Bandung:Yrama Widya

Arikunto, S. 1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi VI. Jakarta: PT. Bumi Aksara Ariyanto, Lilik.2012. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Model Berjangkar

(Anchored Instruction) Materi Luas Kubus dan Balok Kelas VIII . Tersedia di jurnal ikip pgri semarang

Dikti. 2008. Rubrik

Skills . Tersedia di http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/materisoftskill/rubrik.pdf [diakses pada 25/01/2010]

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 523

Emzir.2010.METODOLOGI PENELTIAN PENDIDIKAN (KUALITATIF DAN KUANTITATIF). Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Muijs,D. Dan

TEACHING(Teori dan Aplikasi) .Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Reynolds,D.2008.EFFECTIVE

Mulyatiningsih, Endang.(2011). ANALISIS MODEL-MODEL PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK

USIA ANAK-ANAK, REMAJA DAN DEWASA . Tersedia di http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dra.%20Endang%20Mulyatiningsih,% 20M.Pd./13B_Analisis%20Model%20Pendidikan%20karakter.pdf [diakses pada 29 Januari 2013 pukul 12:21 WIB]

Munir.2012.MULTIMEDIA(Konsep & Aplikasi dalam Pendidikan.Bandung:Alfabeta Mariawan, I Made. 2006. Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Fisika di SMA Negeri 2

Singaraja Melalui Pendekatan Kontekstual . Jurnal Pendidikan dan pengajaran IKIP Singaraja

0215 – 8250. www.undiksha.ac.id/images/img_item/503.doc , diunduh pada tanggal 13 Juni 2012 pukul 20.00 WIB

Berbasis Pendidikan Karakter .Yogyakarta:Ar-Ruzz

A. &

Prasetyo,A.T.2012.Desain

Pembelajaran

Santoso, S. 2003. Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan SPSS Versi 11,5. Jakarta: PT. Gramedia

Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito Sugiyono. 2009. Metode Peneltian Pendidikan. Bandung : Alfabeta .2010.STATISTIKA UNTUK PENELITIAN.Bandung : Alfabeta Sukestiyarno,YL. 2004. Modul Kuliah SPSS.Semarang: Program Pasca Sarjana UNNES Tim Puslitjaknov. 2008. Metode Penelitian Pengembangan. Jakarta : Pusat Penelitian Kebijakan

dan Inovasi Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional

Warsita, Bambang. 2008. Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasinya.Jakarta : Rineka Cipta

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 524

P - 68 UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MAHASISWA PADA MATA KULIAH METODE NUMERIK DENGAN PENDEKATAN CREATIVE PROBLEM SOLVING

Siska Candra Ningsih

Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas PGRI Yogyakarta siskazamri@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas dengan subyek penelitian adalah mahasiswa kelas VI A2 Program Studi Pendidikan Matematika Universitas PGRI Yogyakarta pada mata kuliah Metode Numerik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan pemahaman konsep mahasiswa pada pembelajaran Metode Numerik melalui pendekatan Creative Problem Solving.Objek penelitian ini adalah pelaksanaan pembelajaran pada mata kuliah Metode Numerik dengan menggunakan pendekatan Creative Problem Solving untuk meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa. Teknik pengumpulan data menggunakan tes pemahaman konsep, lembar pengamatan aktivitas mahasiswa, catatan lapangan dan wawancara.Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menelaah seluruh data yang tersedia baik data kualitatif maupun data kuantitatif.Hasil penelitian adalah ada peningkatan pemahaman konsep mahasiswa. Sebelum tindakan, hasil tes pemahaman konsep hanya memperoleh nilai rata – rata kelas 27.86 dengan ketuntasaan belajar 3.57% (kriteria sangat rendah), setelah tindakan meningkat menjadi 77.50 untuk rata – rata kelas dan ketuntasan belajar 82.14% (kriteia tinggi). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan Creative Problem Solving dapat meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika pada mata kuliah Metode Numerik.

Kata kunci : Pemahaman konsep, Creative Problem Solving.

A. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Metode Numerik merupakan salah satu mata kuliah matematika terapan yang harus dipelajari oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika.Berdasarkan pengalaman peneliti yang sekaligus dosen pengampu mata kuliah ini, mahasiswa cenderung menghafal metode – metode yang banyak dipelajari pada mata kuliah ini.Akibatnya, jika ada persoalan – persoalan baru yang diberikan dengan sedikit perbedaan dari contoh soal, mahasiswa tidak dapat menyelesaikannya.Hal ini dapat disebabkan oleh kecendrungan pembelajaran matematika khususnya pembelajaran dalam mata kuliah metode numerik yang bersifat konvensional dimana kegiatan pembelajaran dimulai dengan pemberian teori, contoh soal dan dilanjutkan dengan pengerjaan soal oleh mahasiswa. Cara pembelajaran seperti ini menempatkan dosen sebagai pusat pembelajaran dan sumber belajar sehingga dosen akan lebih aktif dan mahasiswa menjadi pasif sehingga membuat mereka lebih menghafalkan rumus daripada memahami konsep.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Kondisi ini tentu saja tidak dapat dibiarkan berlarut – larut, apalagi mengingat mahasiswa program studi pendidikan matematika adalah calon guru yang nantinya juga akan terjun ke sekolah – sekolah. Guru sebagai salah satu komponen pendidikan yang berperan secara langsung dalam membelajarkan siswa. Tentu saja mahasiswa ini harus benar – benar memahami konsep matematika secara bulat dan utuh, sehingga jika diterapkan dalam menyelesaikan soal – aoal matematika tidak mengalami kesulitan lagi.Hal ini juga diharapkan jika nantinya mahasiswa ini telah benar – benar menjadi guru sehingga tidak memberikan konsep yang salah kepada siswa – siswanya.

Mengingat pentingnya merubah pola fikir mahasiswa tersebut, maka diperlukan pembenahan proses pembelajaran yang dilakukan dosen yaitu dengan menawarkan suatu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap konsep – konsep matematika. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menerapkan metode pembelajaran menggunakan pendekatan creativeproblem solving.

Melalui pendekatan pembelajaran ini di harapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa sehingga mampu menyelesaikan berbagai bentuk persoalan dalam mata kuliah Metode Numerik. Oleh karena itu penelitian ini diberi judul “ Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep Mahasiswa Pada Mata Kuliah Metode Numerik Dengan Pendekatan Creative Problem Solving ”.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah cara meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa terhadap materi – materi yang di pelajari dalam mata kuliah Metode Numerik? “

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika terutama dalam mata kuliah Metode Numerik sehingga dapat menyelesaikan berbagai bentuk permasalahan matematika yang di temui dalam kehidupan sehari – hari. Penelitian ini bermanfaat bagi beberapa pihak sebagai berikut :

1. Bagi dosen, diharapkan dapat membantu dosen dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan peningkatan pemahaman konsep mahasiswa dalam penyelesaian persoalan – persoalan dalam mata kuliah Metode Numerik.

2. Bagi mahasiswa, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep dan mengembangkan cara berfikir dalam penyelesaian masalah, sehingga mereka dapat lebih mengembangkan ilmu yang telah diperoleh dan dapat lebih mengembangkan pemikiran mereka.

3. Bagi pengambil kebijakan, diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terutama yang berkaitan dengan penerapan model pembelajaran.

STUDI PUSTAKA

Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita untuk mengelompokkan benda-benda (objek) ke dalam contoh dan non contoh (Ruseffendi, 1980).Konsep dasar dapat dipelajari melalui definisi atau penggunaan langsung. Disamping itu konsep juga dapat dipelajari dengan cara melihat, mendengar, mendiskusikan, dan memikirkannya. Menurut Nana Sudjana (1989), Konsep atau pengertian adalah serangkaian perangsang dengan segala sifat-sifat yang sama. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2000) konsep adalah kelas/kategori stimulus yang memiliki ciri-ciri umum.

Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa konsep adalah suatu ide atau gagasan yang memungkinkan kita untuk dapat mengelompokkan benda ke dalam contoh dan bukan contoh yang merupakan suatu kesan jiwa dari mutu, sifat atau ciri yang ada dan umumnya mewakili sebuah pikiran.

Model pembelajaranCreative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 526 M P - 526

Osborn (1979) dalam Miftahul Huda (2013) menyatakan ada enam kriteria yang dijadikan landasan utama Creative Problem Solving dan sering disingkat dengan OFPISA : Objective Finding, Fact Finding, Problem Finding, Idea Finding, Solution Finding dan Accaptence Finding.

B. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang bersifat reflektif, partisipatif, kolaboratif, dan spiral, bertujuan untuk melakukan perbaikan –perbaikan terhadap sistem, cara kerja, proses, isi, dan kompetensi atau situasi pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan di program studi Pendidikan Matematika, Universitas PGRI Yogyakarta pada mata kuliah Metode Numerik dan dilaksanakan pada semester genap tahun akademik 2012/2013.Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester VII kelas A2 program studi Pendidikan Matematika, Universitas PGRI Yogyakarta yang mengikuti mata kuliah Metode Numerik. Objek penelitian ini adalah pelaksanaan pembelajaran pada mata kuliah Metode Numerik dengan menggunakan pendekatan pembelajaran Creative Problem Solving untuk meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa.

Tahapan penelitian dapat dilihat dalam bagan alur pelaksanaan PTK yang dikembangkan oleh Suharsimi Arikunto, dkk (2008) berikut ini :

Gambar 1. Alur Pelaksanaan PTK

Tekhnik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan tes pemahaman konsep, lembar pengamatan, wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi.Dalam penelitian ini, data – data yang diperoleh di analisis dengan dua metode, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif.

a. Kualitatif

1. Reduksi Data, merupakan kegiatan menyeleksi data sesuai dengan fokus masalah.

2. Menyajikan Data,data yang di peroleh selama penelitian ditampilkan secara lebih sederhana sehingga mudah untuk dibaca dan dipahami.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 527

3. Triangulasi, yaitu suatu cara untuk mendapatkan informasi yang akurat dengan menggunakan berbagai metode agar informasi itu dapat dipercaya kebenarannya sehingga peneliti tidak salah dalam pengambilan keputusan (Wina Sanjaya : 2011).

b. Kuantitatif

1. Analisis Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa Hasil pengamatan aktivitas siswa dianalisis dengan langkah berikut : a.) Menghitung jumlah skor setiap butir pertanyaan b.) Menghitung persentase dari setiap butir pernyataan yang diamati dengan rumus :

 P S   100%

TQR 

Keterangan : P = Persentase skor

T = Skor tertinggi tiap butir Q = Jumlah butir R = Jumlah kelompok

 S = jumlah skor hasil pengumpulan data

(dimodifikasi dari Sugiyono : 2010) c.) Menentukan rata-rata persentase kemudian dikategorikan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

Tabel 1. Kriteria hasil Pengamatan Aktivitas Mahasiswa No

Sangat Rendah

2. Peningkatan ketuntasan dalam penelitian ini mengikuti ketentuan yang berlaku di program studi Pendidikan Matematika, yaitu mahasiswa dinyatakan lulus dalam setiap tes jika nilai yang diperoleh > 60 dengan nilai maksimal 100. Untuk menentukan persentase ketuntasan mahasiswa digunakan rumus perhitungan persen (%) ketuntasan sebagai berikut :

Persen ketuntasan  % 

jumlah siswa tuntas

jumlah siswa

Peningkatan pemahaman konsep mahasiswa juga dilihat dari hasil belajar jangka pendeknya yang ditunjukkan dengan kenaikan nilai rata-rata tes pada setiap siklus. Rumus matematis yang digunakan untuk menentukan nilai rata-rata adalah sebagai berikut :

Keterangan :n = jumlah mahasiswa

x = rata – rata  x i = jumlah nilai semua mahasiswa

Untuk menggambarkan peningkatan pemahaman konsep mahasiswa dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 2. Kualifikasi Nilai Pemahaman Konsep Mahasiswa

Sangat Rendah (Sugiyono: 2010) Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan dalam 2 siklus. Siklus akan dihentikan apabila data sudah jenuh. Mahasiswa dianggap meningkat prestasi belajarnya setelah pembelajaran, apabila prestasi telah mencapai rata-rata 65 dan ketuntasan kelas minimal 75 %

4. 0% < P ≤ 25%

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 528

(kategori tinggi) dengan nilai ketuntasan minimum 60 dan pada siklus berikutnya terus meningkat.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara keseluruhan pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini telah berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang sesuai dengan harapan.Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Masing – masing siklus melaui tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan yang terdiri dari tiga kali pertemuan, dan setiap pertemuannya di laksanakan juga pengamatan serta di ikuti dengan refleksi. Adapun peningkatan pemahaman konsep mahasiswa pada mata kuliah Metode Numerik dengan pendekatan Creative Problem Solving dapat dilihat pada tabelberikut :

Tabel 3 : Rekapitulasi Nilai Pemahaman Konsep dan Tingkat Ketuntasan Belajar

Mahasiswa Pada Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II

Siklus II Nilai Rata - Rata

Pra Siklus

Siklus I

Kelas Persentase

Ketuntasan Kriteria

Keterlaksanaan kegiatan belajar mahasiswa dengan pendekatan Creative Problem Solving (CPS) pada mata kuliah Metode Numerik di setiap siklusnya juga diamati oleh pengamat dan memberikan peningkatan seperti yang terlihat pada tabel 2 berikut ini :

Tabel 4 : Rekapitulasi Pengamatan Aktivitas Mahasiswa Siklus I dan Siklus II

Siklus II Tahapan Pertemuan I Pertemuan II Pertemuan I Pertemuan II

Siklus I

Rata - Rata

Sebelum melaksanakan siklus I, peneliti melakukan pengamatan terhadap mahasiswanya dalam proses pembelajaran.Dari hasil pengamatan peneliti, pemahaman konsep dari mahasiswa terhadap materi yang diberikan masih kurang.Untuk memperkuat hasil pengamatannya, peneliti melakukan ujian pra siklus kepada mahasiswa tersebut.Dari hasil ujian tersebut dipeoleh nilai rata-rata yang sangat rendah yaitu 27.86 dan tingkat ketuntasan juga termasuk dalam kriteria sangat rendah yaitu hanya 3.57%.

Pelaksanaan siklus I dimulai dengan tahap perencanaan, yaitu merencanakan proses pembelajaran yang sesuai dengan model pembelajaran Creative Problem Solving, menyusun perangkat pembelajaran dan instrumen – instrumen yang dibutuhkan untuk penelitian. Berikut ini adalah hasil analisis data yang diperoleh selama proses pembelajaran pada siklus I. 1.) Tes Pemahaman Konsep Mahasiswa

Tujuan dilaksanakan tes ini adalah untuk mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran dengan pendekatan Creative Problem Solving yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang ditandai dengan ada atau tidaknya peningkatan pemahaman konsep mahasiswa. Hasil tes ini akan menjadi acuan pada tindakan siklus II.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 529

Dari hasil tes pada siklus I ini di peroleh nilai rata-rata kelas VIA2 pada mata kuliah Metode Numerik adalah 73.75 dan persentase ketuntasan belajar mahasiswa sebesar 75% dengan kriteria ketuntasan belajar cukup. Nilai rata-rata kelas dan pesentase ketuntasan belajar mahasiswa pada siklus I ini mengalami peningkatan yang cukup berarti jika dibandingkan dengan nilai rata-rata dan ketuntasan belajar mahasiswa pada tes pra siklus, yaitu nilai rata-rata kelas hanya 27.86 dan pesentase ketuntasan belajar mahasiswa hanya 3.57% dengan kriteria sangat rendah.

2.) Pengamatan Aktivitas Mahasiswa Berdasarkan hasil pengamatan, keterlaksanaan kegiatan belajar mahasiswa dengan pendekatan Creative Problem Solving (CPS) pada mata kuliah Metode Numerik dalam siklus I sebesar 65. 415% dengan kriteria cukup.

3.) Wawancara Hasil wawancara dengan mahasiswa menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa belum terbiasa dengan pembelajaran dengan pendekatan Creative Problem Solving ini.Mereka kurang percaya diri untuk menyelesaikan persoalan yang bebeda dengan contoh soal yang telah diberikan dosen.Ada juga beberapa mahasiswa yang kurang setuju dengan pembagian kelompoknya.

4.) Catatan Lapangan Dari catatan lapangan pengamat selama penelitian dapat dilihat bahwa mahasiswa masih kurang bersemangat dalam diskusi kelompok untuk menemukan solusi dari persoalan yang diberikan dosen.Mahasiswa kurang berani dalam mengemukakan ide-idenya, apalagi untuk persoalan-persoalan baru yang berbeda dari contoh soal yang diberikan dosen.

Berdasarkan analisis data yang telah diperoleh pada siklus I , terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dan diperbaiki untuk siklus selanjutnya, yaitu :

1. Dosen belum bisa membagi waktu seoptimal mungkin, pemaparan materi terlalu lama sehingga disaat presentasi hasil diskusi kelompok di depan kelas waktunya sangat singkat.

2. Diskusi kelompok belum berjalan sesuai dengan yang diinginkan, mahasiswa masih tergantung kepada dosennya, mereka terlalu banyak bertanya kepada dosen sehingga ide-ide pemecahan masalahnya masih banyak yang berasal dari dosen.

Proses pembelajaran dilanjutkan dengan siklus II. Pada siklus II dilakukan berbagai perbaikan agar diperoleh hasil yang lebih optimal.Berikut ini adalah hasil analisis data yang diperoleh selama proses pembelajaran pada siklus II. 1.) Tes Pemahaman Konsep Mahasiswa

Nilai rata-rata kelas VIA2 pada mata kuliah Metode Numerik untuk tes pemahaman konsep pada siklus II ini adalah 77.50 dan persentase ketuntasan belajar mahasiswa sebesar 82.14% dengan kriteria ketuntasan belajar tinggi. Nilai rata-rata kelas dan pesentase ketuntasan belajar mahasiswa pada siklus II ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan nilai rata-rata dan ketuntasan belajar mahasiswa pada tes siklus II.

2.) Pengamatan Aktivitas Mahasiswa Berdasarkan hasil pengamatan, keterlaksanaan kegiatan belajar mahasiswa dengan pendekatan Creative Problem Solving (CPS) pada mata kuliah Metode Numerik dalam siklus II sebesar 82. 205% dengan kriteria tinggi.

3.) Wawancara Hasil wawancara dengan mahasiswa menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa mulai terbiasa dengan pembelajaran dengan pendekatan Creative Problem Solving ini.Mereka juga telah percaya diri untuk menyelesaikan persoalan yang bebeda dengan contoh soal yang telah diberikan dosen.

4.) Catatan Lapangan Dari catatan lapangan pengamat selama penelitian dapat dilihat bahwa mahasiswa bersemangat dalam diskusi kelompok untuk menemukan solusi dari persoalan yang diberikan dosen.Mahasiswa telah berani mengemukakan ide-idenya, walaupun untuk persoalan-persoalan baru yang berbeda dari contoh soal yang diberikan dosen.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 530

Adapun hasil refleksi yang dilakukan peneliti bersama pengamat berdasarkan analisis data yang telah dipeoleh pada siklus II adalah sebagai berikut :

1. Dosen telah dapat membagi waktu dengan baik sehingga terdapat keseimbangan setiap tahapnya. Waktu yang disediakan untuk memaparkan materi, diskusi kelompok dan presentasi di kelas dapat telaksana sesuai dengan rencana pembelajaran.

2. Diskusi kelompok telah berjalan sesuai dengan yang diinginkan, mahasiswa tidak tergantung lagi kepada dosennya. Mereka telah mampu mengemukakan ide-idenya sendiri dan mengevaluasinya dalam kelompok masing-masing untuk memperoleh solusi yang paling tepat untuk setiap persoalan yang diberikan dosen.

Perbandingan peningkatan pemahaman konsep dan ketuntasan belajar mahasiswa pada mata kuliah Metode Numerik dengan pendekatan Creative Problem Solving setiap siklusnya dapat dilihat pada grafik berikut :

Grafik 1 : Perbandingan Nilai Rata – Rata dan Perbandingan Ketuntasan Belajar Mahasiswa Setiap Siklus

80 Nilai Rata - Rata kelas 60

Persentase ketuntasan 40

Pra Siklus

Siklus I

Siklus II

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan pada mata kuliah Metode Numerik di kelas VIA2 Program Studi Pendidikan Matematika Universitas PGRI Yogyakarta dengan pendekatan Creative Problem Solving (CPS) dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran Metode Numerik dengan pendekatan Creative Problem Solving (CPS) dapat meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa sehingga mahasiswa dapat menyelesaikan berbagai bentuk persolan dengan tepat. Hasil tes pemahaman konsep mahasiswa sebelum tindakan 27.86 dengan ketuntasan belajar 3.57% (kriteria sangat rendah), setelah tindakan pada siklus I meningkat cukup signifikan menjadi 73.75 untuk nilai rata-rata kelas dengan ketuntasan belajar 75% (kriteria cukup).Pada siklus II meningkat lagi dengan nilai rata-rata kelas 77.50 dan ketuntasan belajar 82.14% (kriteia tinggi).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada mata kuliah Metode Numerik ada beberapa saran yang dapat diperhatikan, yaitu :

1. Bagi Dosen Dalam proses pembelajaran di kelas dosen harus melihat kondisi dan kebutuhan mahasiswa sehingga kegiatan pembelajarandapat dilaksanakan dengan menggunakan model dan pendekatan pembelajaran yang sesuai.Dosen harus mampu membagi alokasi waktu pembelajaran dengan optimal sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.

2. Bagi Mahasiswa Mahasiswa harus terus mengembangkan potensinya sehingga pembelajaran di kelas menjadi bermakna, harus berani mengeluarkan ide-ide kreatifnya, baik dalam kelompok maupun di kelasnya dan memanfaatkan secara optimal semua sumber belajar yang ada.

3. Bagi Peneliti Berikutnya

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 531

Penelitian Tindakan Kelas dapat menyelesaikan beberapa persoalan yang sering ditemui di dalam kelas dan pengamatan terhadap aktivitas mahasiswa dalam kelas selama penelitian sebaiknya dilakukan lebih dari satu orang agar pengamatannya optimal.

E. DAFTAR PUSTAKA

Miftahul Huda. 2013. Model-Model Pengajaran Dan Pembelajaran. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Nana Sudjana. 1989. Dasar – Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesindo. Oemar Hamalik. 2000. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara. Osborn, A, F. 1979.Applied Imagination : Principles and Procedures of Creative

Problem-Solving. New York : Scribner’s. Suharsimi Arikunto, dkk. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : PT Bumi Aksara. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, kuantitatif dan R & D).

Bandung : Alfabeta. Wina Sanjaya. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta :

Kencana Prenada Media. Wina Sanjaya. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Rajawali Press.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 532

P - 69

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR GEOMETRIS PADA POKOK BAHASAN SEGIEMPAT DENGAN TEORI VAN HIELE DAN PENDEKATAN PMRI

1 2 Sri Eka Wahyuni 3 , Pinta Deniyanti , Meiliasari 1,2,3 Jurusan Matematika FMIPA UNJ

1 2 sriekawahyu_ni@yahoo.com, 3 pinta_ds@yahoo.com, meiliasari@unj.ac.id

Abstrak

Bangun datar segiempat merupakan salah satu materi dalam matematika yang menyajikan fenomena visual yang bersifat abstrak. Pembelajaran seharusnya dilakukan bertahap diawali dengan model benda-benda nyata dan harus sesuai dengan tingkat berpikir siswa. Van Hiele menjelaskan tingkat berpikir geometris yaitu visualisasi, analisis, dan deduktif informal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan geometris siswa dengan teori tingkat berpikir Van Hiele dan pendekatan PMRI. Penelitian ini menggunakan metode design research yang terdiri dari tiga fase siklik yaitu, fase persiapan dan desain, fase pelaksanaan dan fase analisis retrospektif. Data pada penelitian ini diperoleh dari lembar kerja siswa, lembar wawancara, lembar catatan lapangan, Hipotesis Lintasan Belajar (HLB) dan video-tape. Berdasarkan hasil analisis retrospektif, pembelajaran yang sesuai dengan teori Van Hiele dan PMRI dapat mengembangkan kemampuan geometris siswa. Siswa dapat memahami visualisasi bentuk segiempat, menganalisis sifat-sifat segiempat, dan memahami hubuangan antar bentuk segiempat. Prinsip PMRI yang mempengaruhi perkembangan berpikir siswa yaitu penggunaan konteks, penggunaan model, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, dan keterkaitan.

Kata kunci: Segiempat, PMRI, Teori Van Hiele

A. PENDAHULUAN Latar Belakang

Pierre Van Hiele dan Dina Van Hiele-Geldof adalah sepasang pendidik yang memperhatikan perkembangan berpikir siswa khususnya pada bidang geometri. Van Hiele menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Tahapan-tahapan berpikir tersebut adalah tahap pengenalan (visualisasi), tahap analisis (deskriptif), tahap pengurutan (deduksi informal), tahap deduksi (formal), tahap ketepatan (rigor/akurasi). Model berpikir geometris Van Hiele dapat digunakan sebagai pedoman pembelajaran maupun menaksir kemampuan siswa. Dengan demikian, untuk mengetahui tingkat berpikir siswa dan proses pembelajaran di kelas geometri dapat menggunakan teori geometri Van Hiele.

Proses pembelajaran dengan PMRI diawali dengan permasalahan konteks yang dapat berupa permasalahan kehidupan sehari-hari, cerita rekaan atau fantasi, serta permainan sebagai sumber pengembangan dan mengaplikasikan prinsip matematika melalui proses matematisasi secara menyeluruh artinya permasalahan tersebut merupakan kemampuan informal siswa. Pembelajaran dengan PMRI lebih mengedepankan proses berpikir yang dibentuk oleh siswa sendiri sehingga siswa dapat berkembang dari permasalahan informal menuju materi formal dengan proses matematisasi. Proses pembelajaran matematika di kelas akan lebih bermakna bagi siswa karena siswa diberikan kesempatan secara aktif menemukan kembali suatu konsep

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Pencapaian tujuan pembelajaran matematika yaitu melatih siswa bagaimana cara berpikir dan bernalar, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, menarik kesimpulan, mengembangkan aktivitas kreatif, dan mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi secara sistematis dari pembelajaran geometri. Salah satu materi geometri yang dipelajari pada jenjang SMP adalah segiempat. Perkembangan kemampuan berpikir geometris siswa dipengaruhi oleh rangkaian aktivitas yang mendukung pada materi segiempat. Proses pembelajaran yang dimaksud adalah proses yang mengedepankan perkembangan proses berpikir geometris siswa yang terkait dengan kemampuan visualisasi, analisis, dan deduktif informal. Siswa akan belajar analisis dan mengambil kesimpulan dalam proses membangun pengetahuannya sendiri. Perbaikan proses pembelajaran tersebut didukung oleh aktivitas pembelajaran yang sesuai dengan teori tingkat berpikir geometris Van Hiele serta prinsip pendekatan PMRI.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana siswa mengembangkan kemampuan berpikir geometris pada pokok bahasan bangun datar segiempat sesuai dengan teori tingkat geometri Van Hiele dan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di SMPN 236 Jakarta?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan teori instruksional lokal pada pokok bahasan bangun datar segiempat sesuai dengan teori tingkat geometri Van Hiele dan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di kelas VII SMP

Batasan Istilah

Perkembangan kemampuan berpikir geometris pada penelitian ini berupa peningkatan proses berpikir geometris sesuai dengan teori tingkat berpikir geometris Van Hiele yaitu visualisasi, analisis, dan deduktif informal. Rangkaian aktivitas pembelajaran pada Hipotesis Lintasan Belajar disusun berdasarkan masing-masing tingkat berpikir sehingga perkembangan berpikir siswa dapat dijelaskan. HLB juga mengacu kepada pendekatan PMRI sehingga aktivitas juga memperhatikan prinsip PMRI pada proses pembelajaran. Materi pada penelitian ini adalah segiempat, yaitu jajargenjang, persegi panjang, belah ketupat, persegi, trapesium, dan layang-layang.

KAJIAN TEORI

1. PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia)

a. Lima Karakteristik dalam PMRI

Menurut Treffers dalam Ariyadi Wijaya (2012:20), terdapat lima karakteristik dalam proses pembelajaran dengan Pendidikan Matematika Realistik yang harus diperhatikan, yaitu:

1) Penggunaan konteks

2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif

3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

4) Interaktivitas

5) Keterkaitan

2. Geometri dan Pembelajarannya

Geometri sangat penting dipelajari siswa karena menurut Sudam dalam Clements (1992:420) mengungkapkan tujuan dari pembelajaran geometri adalah

a) Membangun kemampuan berpikir secara logis

b) Membangun intuisi spasial mengenai dunia sebenarnya

c) Menanamkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk belajar matematika yang lebih

d) Mengajarkan membaca dan menginterpretasikan argumen secara matematis

3. Segiempat

Segiempat merupakah bagian dari bangun datar dua dimensi yang termasuk dalam ranah geometri. Tujuan pembelajaran segiempat berdasarkan Standar Kompetensi (SK) yaitu: memahami konsep segiempat dan segi tiga serta menentukan ukurannya. Kompetensi dasar (KD) yaitu siswa dapat mengidentifikasi sifat-sifat persegi panjang, persegi, trapesium, jajargenjang,

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 534 M P - 534

4. Perkembangan Berpikir Geometris dan Teori Tingkatan Berpikir Geometris Van Hiele

Perkembangan tingkat berpikir geometris siswa di Sekolah Menengah Pertama jika dikaitkan dengan level berpikir geometris Van Hiele, siswa diharapkan sampai pada level 3 yaitu deduktif informal. Pencapaian pada level tersebut dalam pokok bahasan segiempat salah satunya yaitu klasifikasi hirarkis dari segiempat. Menurut Van Hiele dalam Taro Fujita dan De Villiers, hal tersebut mendapat kesulitan bagi banyak pelajar.

a. Tingkat Visualisasi

b. Tingkat Analisis

c. Tingkat Deduktif Informal (Informal Deduction)

5. Geoboard dalam Geometri

Caleb Gattegno mendisain geoboard sebagai alat manipulative yang dapat digunakan pada semua tingkat untuk proses belajar dan mengajar tentang matematika. Menurut Gattegno (2012), by manipulating the elastic bands, the students can carry out their own research, observe the results of their actions and to make hypotheses. Dengan demikian, aktivitas dengan geoboard dapat membantu siswa memahami permasalahan geometris.

B. METODE PENELITIAN Design Research

Gravemeijer dan Cobb (2006:19) mendefinisikan tiga fase dalam melaksanakan design reseach yaitu:

1. Fase Persiapan dan Desain

Tujuan fase pertama adalah untuk mengklarifikasi studi teori dan memformulasi hipotesis teori instruksional lokal yang dapat diimplementasikan dan diperbaiki saat melakukan eksperimen. Teori instruksional lokal dalam penelitian ini disusun berdasarkan teori-teori dan penelitian-penelitian sebelumnya. Fokus utama dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir geometris siswa dengan teori tingkat berpikir geometri Van Hiele dan Pendekatan PMRI.

Hipotesis teori instruksional lokal pada penelitian ini merupakan pengembangan dari teori-teori geometri khususnya teori tentang pengembangan pembelajaran dengan teori Van Hiele. Rangkaian aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang telah dipilih sesuai dengan masing-masing level geometris yaitu level visualisasi, level analisis, dan level deduktif informal. Begitu juga aktivitasnya, dibagi dalam tiga tahapan utama perkembangan siswa, yaitu:

1. Tahap pertama, membangun pemahaman siswa tentang bentuk dua dimensi khususnya segiempat

2. Tahap kedua, mengembangkan kemampuan analisis siswa dengan mengidentifikasi sifat-sifat bentuk

3. Tahap ketiga, mengembangkan kemampuan deduktif informal yaitu siswa dapat mengetahui hubungan yang terjalin antar bangun datar segiempat

Hipotesis Lintasan Belajar

Hipotesis Lintasan Belajar (HLB) atau hypothetical learning trajectory adalah instrumen yang digunakan dalam penelitian ini. HLB dapat “menjembatani” teori dengan eksperimen. Pertemuan

Aktivitas

HLB

Pertemuan Pengembangan Berpikir (1) Siswa dapat mengenal geoboard dengan konteks

pertama Geometris Level

permasalahan sehari-hari dan menyelesaikannya.

Visualisasi

(2) Siswa dapat membuat bentuk bebas pada geoboard dan memberikan argumen tentang bentuk.

(3) Siswa dapat membuat bentuk segiempat pada geoboard dan mengelompokkan sesuai dengan persamaan sifat dan bentuk.

(4) Siswa dapat membedakan bentuk segiempat dan

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 535 M P - 535

Pertemuan

Aktivitas

(1) Siswa dapat mengembangkan prinsip analisis

Kedua Pengembangan Berpikir

bentuk geometris melalui permasalahan bentuk

Geometris Level

visual.

Analisis

(2) Siswa dapat mengembangkan tingkat berpikir analisis dengan mendeskripsikan sifat-sifat masing-masing segiempat ditinjau dari sisi, sudut, dan diagonalnya.

(3) Siswa dapat mengidentifikasi bentuk melalui dugaan pernyataan tentang sifat-sifat kelompok bentuk dan memberikan argumentasi

Pertemuan

Aktivitas

(1) Siswa dapat menghubungkan secara logis

Ketiga Pengembangan Berpikir

segiempat sesuai dengan sifat-sifatnya

Geometris Level

(2) Siswa dapat membuat klasifikasi hirarkis

Deduktif Informal

segiempat dengan bagan atau diagram

2. Fase Eksperimen Desain

Gravemeijer dan Cobb (2006:24) menjelaskan tujuan dari eksperimen desain adalah untuk menguji dan memperbaiki dugaan teori instruksional lokal yang dibangun pada fase persiapan dan untuk membangun pemahaman bagaimana hal tersebut bekerja.

Gambar 3.1. Hubungan refleksif antara teori dan eksperimen (2006:28)

3. Fase Analisis Retrospektif

Menurut Gravemeijer dan Cobb (2006: 28), tujuan dari analisis retrospektif tentu saja, tergantung pada teori yang dimaksud dari eksperimen desain. Salah satu tujuan dasar yaitu untuk mengkontribusikan perkembangan teori instruksional lokal. Diperlukan sumber-sumber data untuk menganalisis secara komprehensif dan sistematis seluruh data yang telah dimiliki. Data-data tersebut didapatkan dari rekaman video kegiatan kelas, rekaman suara wawancara individu sebelum dan sesudah eksperimen, seluruh hasil tertulis siswa.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII-D SMP Negeri 236 Jakarta Timur pada semester genap tahun ajaran 2012-2013 sebanyak 36 siswa. Penelitian dimulai dari September 2012-Mei 2013

Subjek Penelitian

Sumber data pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII-D SMP Negeri 236 Jakarta Timur.

Metode Pengumpulan Data

Seluruh data yang akan dikumpulkan berupa rekaman video, rekaman suara (audio), foto, hasil tes tertulis, dimana seluruhnya diambil sebelum, selama, dan sesudah eksperimen mengajar dilakukan.

Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan dalam membantu pengambilan data dalam penelitian ini adalah:

1. Lembar wawancara siswa dan guru

2. Lembar catatan lapangan

3. Lembar pedoman guru

4. Lembar tugas siswa (LKS)

5. Hipotesis lintasan belajar

6. Peneliti, guru, dan observer

Validitas dan Reliabilitas

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 536

Dalam design research ini validitas dan reliabilitas diperlukan agar hasil penelitian dapat dibuktikan benar dan terpercaya.Validitas data terdiri dari dua jenis yaitu validitas ekologi dan validitas internal.Terdapat dua jenis reliabilitas pada penelitian design research yakni reliabilitas eksternal dan reliabilitas internal.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kerangka Interpretasi

Kerangka interpretasi diperlukan sebagai panduan dalam menganalisis data hasil penelitian. Menurut Gravemeijer, kerangka interpretasi harus memenuhi beberapa hal penting, yaitu: (1) Kerangka untuk menginterpretasi perkembangan proses berpikir matematika siswa secara keseluruhan dalam suatu kelas. (2) Kerangka untuk menginterpretasi perkembangan proses berpikir matematika siswa secara individu

Hasil Eksperimen Mengajar dan Analisis Data

a. Pertemuan Pertama: Membangun Pemahaman Siswa Tentang Bentuk Dua Dimensi Khususnya Segiempat

Tujuan pada pertemuan ini adalah membangun aktivitas tingkat berpikir visualisasi melalui permasalahan sehari-hari, memberikan argumen tentang bentuk, serta dapat membedakan bentuk.

Peran PMRI dalam eksperimen mengajar hari pertama terlihat dalam prinsip-prinsip yang muncul yaitu kemunculan konteks yang dapat membawa siswa untuk lebih memahami bentuk dan menggunakan geoboard; interaktivitas yang terlihat selama guru memimpin diskusi kelas dan pada saat siswa berdiskusi kelompok; pemanfaatan hasil konstruksi siswa di mana guru menggunakan hasil produksi siswa untuk menjelaskan dan berdiskusi tentang konsep bentuk; dan keterkaitan dengan materi sudut dan garis pada materi sebelumnya berpengaruh pada analisis bentuk yaitu sisi dan sudutnya. Guru dalam eksperimen mengajar dapat membawa beberapa siswa untuk aktif dalam diskusi kelas. Diskusi siswa dalam kelompok berjalan, namun terlihat juga ada beberapa kelompok yang diskusinya tidak berjalan. Hal ini disebabkan karena lingkungan kelas belum terbiasa dalam menerapkan pendekatan PMRI.

b. Pertemuan Kedua: Aktivitas Pengembangan Berpikir Geometris Level Analisis

Aktivitas hari ke-2 tidak berjalan sesuai dengan HLT, di mana diskusi akhir LKS ke-2 tidak dapat terlaksana. Guru dan observer menilai pada pembelajaran hari ke-2 guru terlihat kurang dapat mengontrol siswa, banyak siswa yang tidak memperhatikan jalannya diskusi. Untuk pertemuan selanjutnya, guru dan observer merencanakan untuk membuat siswa fokus terlebih dahulu baru selanjutnya melanjutkan aktivitas.

Kegiatan diskusi tentang hasil pekerjaan pertemuan pertama siswa memungkinkan siswa untuk saling mengoreksi jawaban, membenarkan jawaban, dan menyimpulkan jawaban. Hal ini tidak terjadi tanpa peran dari guru yang secara aktif memimpin diskusi yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif mengemukakan argumennya. Hal ini sesuai dengan prinsip interaktivitas PMRI. Selain itu, penggunaan geoboard pada aktivitas mengecek jawaban pada saat diskusi dan menentukan sifat-sifat dinilai dapat membantu siswa. Siswa dapat langsung membuat bentuk dengan mudah pada geoboard dan melihat dengan jelas bentuk segiempat yang tepat dan tidak, serta mendapatkan sifat-sifat bentuk. Diskusi memilih bentuk jajargenjang setiap kelompok, memberikan siswa kebebasan untuk memilih, dan mengemukakan argumennya. Terlihat bahwa terdapat 3 kelompok yang sudah mencapai tingkat analisis awal, hal ini dikarenakan, pada saat sebelumnya, telah terpengaruh oleh pertanyaan guru pada saat pembelajaran telah selesai. Diskusi kelas ini memungkin siswa yang masih berada pada tahap visualisasi dapat meningkatkan pemahaman berpikirnya menuju tahap analisis.

c. Pertemuan Ketiga: Aktivitas Pengembangan Berpikir Geometris Level Analisis (lanjutan)

Diskusi awal tentang bagaimana bentuk dikelompokkan dalam kehidupan sehari-hari serta kegunaan sifat-sifat bentuk dalam kehidupan sehari-hari merupakan awalan yang baik. Siswa menjadi fokus dan lebih tertarik untuk mendapatkan sifat-sifat segiempat dengan bantuan geoboard. Pertanyaan yang guru berikan memungkinkan siswa untuk berpikir bahwa bentuk

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 537 M P - 537

Siswa menggunakan geoboard untuk menemukan sifat-sifat, seperti kelompok Funny dan Chum Buket yang pada awalnya berada pada tingkat berpikir visualisasi. Geoboard dapat membantu kelompok tersebut, dikarenakan siswa dapat secara langsung melihat bentuk serta menganalisis sifat-sifatnya. SP4 dapat menemukan ide hubungan bentuk persegi panjang juga merupakan jajargenjang dengan bantuan geoboard. Pada saat SP4 mengungkapkan argumen, terjadi interaksi sosial dan interaksi matematika antara SP4, siswa dalam kelompok, serta observer. Observer memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan ide serta argumennya, setelah itu observer hanya mengarahkan SP4 dan anggota kelompok tersebut kepada pemahaman yang baru. Diskusi tersebut berjalan sampai SP4 dan anggota yang lain merasa yakin akan pemahaman hubungan bentuk, dan secara mudah dipahami, dikarenakan pemakaian bahasa yang tepat. Pemakaian kata spesial dinilai tepat dan dapat dipahami siswa untuk mengatakan hubungan antar bentuk.

Diskusi kelas yang berjalan merupakan diskusi tentang sifat-sifat bentuk jajargenjang. Siswa dan guru saling berkontribusi dalam perkembangan siswa dalam memahami konsep sifat-sifat bentuk jajargenjang yang tepat. Ketika terdapat siswa dengan jawaban yang berbeda, guru mampu memberikan kesempatan kepada masing-masing siswa tersebut untuk memberikan alasan. Kemudian seluruh siswa di ajak untuk menentukan jawaban mana yang paling tepat. Hal ini sesuai dengan norma sosial di mana siswa saling memberikan jawaban, mengoreksi jawaban, dan memberikan pembenaran terhadap pernyataan siswa lain. Sesuai dengan prinsip PMRI, di mana interaktivitas memberikan kontribusi yang positif untuk perkembangan berpikir geometris siswa, dalam pertemuan ini, siswa dapat memahami sifat-sifat bentuk dan pada tingkat analisis.

d. Pertemuan Keempat: Aktivitas Pengembangan Berpikir Geometris Level Analisis menuju deduktif informal

SP6 pada pertemuan 3 masih berada pada tingkat analisis, di mana belum dapat melihat hubungan antar bentuk segiempat. Namun, pada pertemuan 4, SP6 dapat mengembangkan kemampuan berpikir geometrisnya sampai pada level deduktif informal, di mana, hal ini tidak terlepas dari peran diskusi pada kegiatan sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa diskusi memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kemampuan berpikir geometris siswa dari tingkat analisis menuju deduktif informal. SP6 juga dapat memberikan definisi yang tepat untuk bentuk persegi panjang dan belah ketupat. Seperti yang terlihat pada gambar 4.20, SP6 mengatakan bahwa persegi panjang adalah jajargenjang yang memiliki diagonal sama panjang dan semua sudutnya sama besar. Definisi yang tepat menandakan SP6 telah melalui tingkat berpikir visualisasi, dan analisis dengan baik, sampai SP6 dapat berkembang pada tingkat deduktif informal.

Sedangkan siswa yang lain, seperti SP5, SP1, SP3, masih berada pada tingkat transisi antara analisis dan deduktif informal. Seperti SP5, yang mendefinisikan persegi panjang dengan semua sifat yang dimilikinya. Namun, sudah memahami bahwa ada tipe jajargenjang yang memiliki sudut siku-siku, dan ada tipe jajargenjang yang memiliki 4 sisi yang sama panjang.

e. Pertemuan Kelima: Aktivitas Pengembangan Berpikir Geometris Level deduktif informal.

Guru memberikan kesempatan kepada kelompok yang memiliki jawaban yang berbeda untuk mempresentasikan jawabannya. Hal ini berpengaruh kepada norma sosial matematika dalam memilih jawaban yang paling tepat. Siswa dapat mengembangkan gagasan dan konsep matematika tentang bentuk. Hal ini terlihat di mana SP6 mempresentasikan hasil diskusinya, dan memberikan gagasan yang tepat tentang pengelompokan bentuk. Penjelasan SP6 juga mendapatkan apresiasi dengan pembenaran dari beberapa siswa yang memiliki jawaban yang sama, yaitu kelompok Carrefour, kelompok Alfa Midi, dan Kelompok Pythagoras. Prinsip PMRI yang muncul pada aktivitas ini adalah interaktivitas, di mana siswa saling berdiskusi, memberikan argumen, memberikan pembenaran, dan mengoreksi jawaban siswa lain.

Tingkat berpikir geometris Van Hiele pada awalnya siswa tersebar antara tingkat visualisasi dan analisis, namun pada pertemuan 3 di mana siswa menganalisis sifat-sifat bentuk

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 538 M P - 538

Pendekatan PMRI yang digunakan dalam penelitian ini sangat berkontribusi dalam meningkatkan perkembangan berpikir geometris siswa. Prinsip yang sangat berpengaruh adalah adanya interaktivitas dalam setiap proses pembelajaran. Seluruh siswa dan guru berkontribusi dalam prinsip ini, siswa saling mengoreksi, memberikan jawaban, dan guru sebagai pemimpin diskusi yang memungkinkan seluruh siswa untuk aktif mengembangkan kemampuan berpikirnya. Peran geoboard yang bermanfaat untuk memungkinkan siswa untuk memanipulasi bentuk segiempat dan melihat sifat dan hubungan bentuk secara nyata .

D. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Kesimpulan

Siswa SMPN 236 Jakarta pada awalnya tersebar antara tingkat berpikir geometris Van Hiele tingkat visualisasi dan analisis.

a. Perkembangan yang didapatkan pada saat aktivitas visualisasi. Aktivitas membuat bentuk bebas pada geoboard dapat berkembang menuju aktivitas pengenalan unsur-unsur bentuk, khususnya diagonal. Aktivitas membuat bentuk segiempat pada geoboard dapat berkembang kepada mengetahui bentuk, menamai bentuk, serta mendefinisikan segiempat. Aktivitas diskusi kelompok tentang pengelompokkan bentuk segiempat dapat mengeksplorasi beragam kemungkinan visualisasi bentuk dari masing-masing segiempat, hal ini dapat memperkaya kemampuan visualisasi siswa Aktivitas diskusi kelas tentang kelompok bentuk

dapat berkembang kepada perkenalan sifat-sifat bentuk, membuat bentuk 90 0 pada geoboard , konsep kesejajaran, dan diskusi tentang hubungan bentuk.

b. Pendekatan PMRI memiliki kontribusi penting dalam proses perkembangan berpikir geometris siswa saat eksperimen mengajar.

c. Lintasan belajar yang telah dihipotesiskan pada penelitian ini dapat dikatakan berhasil membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir geometris siswa.

Saran

Guru hendaknya mempersiapkan siswa terlebih dahulu sebelum memulai pembelajaran agar siswa lebih fokus dalam mengikuti aktivitas. LKS (lembar bertitik) pada pertemuan pertama hendaknya dibuat lebih banyak jumlah titik-titiknya, sehingga memungkinkan siswa lebih dapat mengeksplorasi bentuk. Teori tingkat berpikir geometris Van Hiele dapat diterapkan pada pembelajaran dengan materi geometri lainnya, seperti garis dan sudut atau dimensi tiga.

E. DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Arthur. Design Research in Statistics Education on Symbolizing and Computer Tools. Utrecht: CD- β Press, 2004.

Brown, Margaret; Jones, Keith; & Ron Taylor. Developing Geometrical Reasoning in the Secondary School: Outcomes of Trialling Teaching Activities in Classrooms. Report from the Southampton/Hampshire Group to the Qualification and Curriculum Autority, 2003.

Clements, Douglas H., dan Michael Batista. Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning: Geometri and Spatial Reasoning. New York: MacMillan Publishing Company, 1992.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 539

Cobb P.; Stephan, M Paul.; Gravemeijer, K. Participating in Classroom Mathematical Practise: The Journal of The Learning Science, 10 (1&2), 2001

Cross, Christopher T., Taniesha A. Woods, and Heidi Schweingruber, Mathematics Learning in Early Childhood:Paths Toward Excellence and Equity. National Research Council, 2009. [ONLINE: http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=12519&page=175]

Crowley, Mary L., Learning and Teaching Geometry: The Van Hiele Model of the Development of Geometry Thought. Reston va: NCTM, 1987.

Deniyanti Pinta.S., dan Puspita Sari. Design Research: Mengembangkan Strategi Mental Aritmatika Siswa untuk Menyelesaikan Soal Penjumlahan Bilangan sampai 100 dengan Pendekatan Matematika Realistik. Jakarta: UNJ, 2009.

Fujita, Taro., dan Jones, K. “Learners’ Understanding of The Definition and Hierarchical Classification of Quadrilaterals: Towards a Theoretocal Framing” Research in Mathematics Education, 9 (1&2), 3-20. 2007.

Gravemeijer, K. Creating Opportunies for Students to reinvent Mathematics. ICME 10, 2004 ______________. Developing Realistic Mathematics Education. Utrech: Freudental Institute,

1994. ______________., dan Cobb, P. “Design Research from a Learning Design Perspective”

Educational Design Research (Eds) Jan van den Akker et al. London and New York: Routledge, 2006.

______________., Local Instruction Theories as Means of Support for Teachers in Reform Mathematics Education. Utrecht: Utrecht University, 2004.

Jones, K., and Bills, C. Visualisation, Imagery, and the Development of Geometrical Reasoning. Proceding of the British Society for Reasearch into Learning Mathematics, 18 (1&2)

Kerami, Djati., dan Sitanggang, Cormentyna. Kamus Matematika. Jakarta: Balai Pustaka, 1999 Suherman, Erman., et al. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA,

2001. Wardhani, Sri. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi

Tujuan Mata Pelajaran Matematika, Dicetak oleh: Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Matematika . Yogyakarta: PPPPTK, 2008

Villiers, Michael De. The Role and Function of a Hierarchical Classification of Quadrilaterals. Canada: FLM Publishing Association, 1994.

Van Hiele, Pierre M. Developing Geometric Thinking through Activities That Begin with Play. NCTM: Teaching Children Mathematics 6, 1990

Wijaya, Ariyadi. Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 540

P - 70

PROFIL BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH TIPE INVESTIGASI MATEMATIK DITINJAU DARI PERBEDAAN GENDER

Sri Subarinah

Dosen Prodi Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Mataram Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya Email: s.subarinah@gmail.com

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah tipe investigasi matematik ditinjau dari perbedaan gender. Dalam pemecahan masalah tipe investigasi matematik memungkinkan siswa untuk melakukan percobaan yang berbeda-beda cara untuk mendapatkan solusi atas masalah yang diajukan. Oleh karena itu, unsur-unsur berpikir kreatif seperti fleksibilitas dan kebaruan mempunyai peluang yang besar untuk muncul, tentunya juga disertai unsur kefasihan dan keterincian yang mendukung investigasi matematik yang baik. Ujicoba telah dilakukan, subyek ujicoba adalah empat orang siswa sekolah dasar kelas V, dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Ujicoba menggunakan dua masalah investigasi matematika. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa siswa laki-laki dalam berpikirnya lebih terbuka, sehingga dengan ketelitiannya siswa laki-laki mampu berpikir matematis yang abstrak untuk mumunculkan kebaruan dan kefleksibilitasannya dengan menemukan pola-pola jawaban yang berbeda dan memperumumkan hasil yang ditemukannya. Sedangkan subyek perempuan dalam berpikirnya masih pada percobaan-percobaan kongkrit, dan kesulitan untuk melakukan pengamatan abstrak terhadap bilangan-bilangan yang abstrak sehingga pola-pola umumnya tidak ditemukan. Namun subyek perempuan lebih fasih dalam mengungkapkan jawaban tertulisnya .

Kata kunci: kreatif, pemecahan masalah, investigasi matematik, gender, siswa sekolah dasar

A. PENDAHULUAN

Berpikir kreatif merupakan salah satu kemampuan yang harus dikembangkan dalam diri siswa melalui pembelajaran matematika di kelas. Hal ini dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Depdiknas, 2006) disebutkan bahwa pelajaran matematika diberikan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Tujuan pembelajaran matematika yang tercantum dalam kurikulum tahun 2006 meliputi: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat genaralisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) memecahkan masalah; (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas,

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

2006). Berdasarkan tujuan dan kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran matematika di Indonesia, berpikir kreatif dan pemecahan masalah merupakan kajian yang penting dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas. Oleh karenanya kajian mengenai berpikir kreatif dan pemecahan masalah dijadikan fokus dalam penelitian ini.

Seringkali kita beranggapan bahwa kebanyakan orang hanya kreatif dalam bidang tertentu saja. Padalal sebenarnya ada bermacam-macam kreativitas lain dalam diri manusia, hanya saja sering kali kita tidak menyadari dan tidak mengetahuinya (Solso, 1995). Menurut Pelnoken (1997), kreativitas tidak hanya terjadi pada bidang-bidang tertentu, seperti seni, sastra, atau sains, tetapi juga ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan yang lain, termasuk matematika.

Kreativitas adalah suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya). Jadi proses kreativitas bukan hanya sebatas menghasilkan sesuatu yang bermanfaat saja, meskipun sebagian besar orang yang kreatif hampir selalu menghasilkan penemuan, tulisan, maupun teori yang bermanfaat (Solso, 1995).

Berpikir kreatif adalah proses kontruksi ide yang menekankan pada aspek kelancaran, keluwesan, kebaruan, dan keterincian (Isaksen dalam Grieshober, 2004). Sedangkan menurut Martin (2009), kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan untuk menghasilkan ide atau cara baru dalam menghasilkan suatu produk. Pada umumnya, berpikir kreatif dipicu oleh masalah-masalah yang menantang.

Silver (1997) memberikan tiga indikator untuk menilai berpikir kreatif siswa, yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan dengan menggunakan pengajuan masalah dan pemecahan masalah (Siswono, 2006). Ketiga komponen untuk menilai berpikir kreatif dalam matematika tersebut meninjau hal yang berbeda dan saling berdiri sendiri, sehingga siswa dengan kemampuan dan latar belakang berbeda akan mempunyai kemampuan yang berbeda pula sesuai dengan tingkat kemampuan ataupun pengaruh lingkungannya. Sehingga dimungkinkan akan terdapat suatu jenjang atau tingkat dalam berpikir kreatif sesuai dengan pencapaian siswa dalam ketiga komponen berpikir kreatif tersebut. Mungkin akan terdapat siswa yang hanya memenuhi satu komponen saja, ada siswa yang memenuhi dua komponen, atau bahkan ada siswa yang memenuhi ketiga komponen sekaligus.

Pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika. Pemecahan masalah merupakan salah satu komponen dalam tujuan pembelajaran matematika yang tertuang dalam standar nasional pendidikan di Indonesia (Depdiknas, 2006). Kemampuan pemecahan masalah juga merupakan salah satu standar proses pendidikan di negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat dan Singapura. Dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) disebutkan ada lima standar proses pendidikan matematika, yaitu (1) pemecahan masalah, (2) penalaran, dan bukti, (3) komunikasi, (4) koneksi, dan (5) representasi (NCTM, 2000). Sedangkan Kurikulum matematika Singapura tahun 2005 (Har, 2007) menempatkan pemecahan masalah matematika sebagai tujuan utamanya, dikembangkan melalui lima komponen yang saling terkait, yaitu (1) konsep, (2) keterampilan, (3) proses, (4) sikap, dan (5) meta kognisi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kajian pemecahan masalah dalam penelitian ini merupakan hal yang menjadi fokus dalam pembelajaran matematika dan penting untuk dikaji lebih lanjut.

Investigasi matematik merupakan salah satu bentuk tugas dalam pemecahan masalah matematika. Menurut Bastow (1984), investigasi matematik adalah suatu kegiatan yang dapat mendorong suatu aktivitas percobaan (experiment), mengumpulkan data, melakukan observasi, mengidentifikasi suatu pola, membuat dan menguji kesimpulan/dugaan (conjecture) serta membuat suatu generalisasi. Dengan inverstigasi matematika siswa dapat mengembangkan rasa ingin tahu, berani bertanya dan mengemukakan pendapat, serta berani mengambil resiko dan percaya diri, sehingga lebih aktif dalam berpikir dan dapat mencetuskan ide-ide dalam mencari jalan keluar permasalahan, teutama yang berkaitan dengan matematika.

Yeo dan Yeap (2009b) membuat hubungan antara pemecahan masalah dan investigasi matematik dengan menurunkan investigasi sebagai sebuah tugas, sebuah proses, dan sebuah aktivitas. Dalam hal ini, proses investigasi dapat terjadi dalam pemecahan masalah jika

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 542 M P - 542

Banyak pendidik mempunyai opini bahwa investigasi matematika harus terbuka, seperti Orton dan Frobisher (1996), Delaney (1996), dan Bailey (2007) Investigasi matematika terbuka meliputi pemahaman tugas, pengajuan masalah untuk investigasi, pengkhususan, perumusan dan menguji dugaan, perumuman, melihat kembali (pengecekan) dan memperluas tugas (Yeo & Yeab, 2009a). Sedangkan karakteristik proses investigasi seperti pengkhususan, perumusan dan menguji dugaan, dan perumuman bisa muncul dalam menyelesaikan masalah tertutup (Yeo & Yeab, 2009b).

Menurut Yeo & Yeab (2010), investigasi dibedakan sebagai suatu tugas, suatu proses dan suatu aktivitas. Dan kemudian mengusulkan karakteristik alternatif dari proses investigasi menggunakan istilah-istilah proses kognitif: pengkhususan (specialising), pendugaan (conjecturing), pembenaran(justifying), dan perumuman (generalising). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa investigasi matematika tidaklah harus terbuka.

Pembelajaran matematika yang baik sebaiknya lebih menekankan aktivitas siswa sebagai pusat pembelajaran. Siswa didorong untuk aktif baik secara mental maupun fisik. Menurut Turmudi (2008), dalam pembelajaran matematika, siswa harus dirangsang untuk mencari sendiri, melakukan penyelidikan (investigation), melakukan pembuktian terhadap suatu dugaan (conjecture) yang mereka buat sendiri, dan mencari tahu jawaban atas pertanyaan teman atau pertanyaan gurunya. Hasil penelitian Japa (2008) menunjukkan bahwa penerapan investigasi matematika dapat meningkatkan aktivitas, kreativitas, dan produktivitas berpikir siswa, serta meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika terbuka.

Gender merupakan karakteritik yang membedakan antar individu-individu. Gender merupakan jenis kelamin bawaan lahir yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa gender merupakan faktor yang mempengaruhi cara memperoleh pengetahuan matematika. Keitel (1998) menyatakan bahwa “gender, social, and cultural dimensions are very powerfully in conceptualizations of mathematics education, …..”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa gender merupakan salah satu dimensi yang berpengaruh dalam proses konseptualisasi dalam pendidikan matematika. Sedangkan penelitian Hilton dan Herglund (dalam Astin, 1974) mengungkapkan perbedaan gender dalam prestasi matematika, yaitu terdapat perbedaan signifikan prestasi matematika laki-laki dan perempuan pada siswa kelas tujuh dan perbedaan ini meningkat pada kelas-kelas berikutnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan matematika antara siswa laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender juga berpengaruh pada berbedanya cara memecahkan masalah matematika antara laki-laki dan perempuan. Meyers-Levy (1989) menyatakan ada perbedaan proses kognitif siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam memecahkan masalah matematika. Zheng Zhu (2007) mendapati adanya perbedaan pemecahan matematika dipengaruhi perbedaan gender, perbedaan pengalaman dan perbedaan pendidikan. Variabel biologis, psikologis, dan lingkungan nampak sumbangannya pada perbedaan gender.

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan dibahas dalam makalah ini adalah “ Bagaimanakah perbedaan profil berpikir kreatif siswa laki-laki dan perempuan dalam memecahkan masalah tipe investigasi matematik ? “

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang berupaya untuk mencari makna atau hakikat dibalik gejala-gejala yang terjadi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan profil berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah tipe investigasi matematik dan perbedaannya ditinjau berdasarkan tingkat kemampuan matematika dan gender.

Pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan kualitatif didasari oleh alasan bahwa penelitian ini memenuhi karakteristik penelitian kualitatif, yaitu: (1) bersifat alami, yaitu penelitian dilakukan sesuai keadaan sebenarnya dan peneliti sebagai instrumen utama, (2) datanya bersifat deskriptif, yang berupa rangkaian kata-kata atau gambar-gambar, (3) lebih

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 543 M P - 543

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji coba lapangan ditujukan untuk mengetahui keterbacaan rancangan instrumen yang telah dibuat dan mendapatkan gambaran awal tentang perbedaan profil berpikir kreatif siswa laki-laki dan perempuan dalam menyelesaikan masalah tipe investigasi. Ujicoba telah dilakukan di SDN

13 Ampenan Mataram Nusa Tenggara Barat. Ujicoba dilakukan pada tanggal 19 - 21 Desember 2012. Subyek ujicoba penelitian adalah empat orang siswa sekolah dasar kelas V, yaitu 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Pemilihan subyek dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan peneliti dan guru kelas V (Bapak Ihsan, S.Pd.), yaitu dipilih siswa yang berkemampuan tinggi dalam mata pelajaran matematika, keempatnya bekemampuan relatif sama, dan mudah diajak bekomunikasi secara lisan agar mudah diwawancarai. Setelah diperoleh subyek ujicoba, dilakukan ujicoba dilakukan dengan cara sebagai berikut:

(1) Setiap pertemuan hanya mengujicoba satu instrumen, dengan demikian ada dua instrumen yang telah dilakukan ujicoba lapangan, yaitu instrumen nomor 1 dan nomor 2 (lihat rancangan instrumen di lampiran 1),

(2) Dalam setiap pertemuan, subyek diberi satu masalah investigasi, memecahkan masalah tersebut, kemudian dilakukan wawancara untuk mengklarifikasi hasil pekerjaannya. Hasil ujicoba dalam bentuk jawaban tertulis empat orang siswa SDN 13 Ampenan

Mataram NTB disajikan dalam lampiran 2 – 9. Instrumen masalah investigasi matematik yang diujicobakan terdiri dari dua masalah, yaitu

1. Seorang putra mahkota lahir pada tahun 2000. Untuk memperingati ulang tahun putra mahkota, sang raja membuat bangunan monumen yang berupa tumpukan-tumpukan kubus yang mengikuti pola menarik. Berikut ini adalah gambar bangunan dan tahun memperingati ulang tahun tertulis di bawah.

Gunakan kubus-kubus merah yang tersedia untuk mencoba membuat bangunan seperti di atas agar dapat memahami pola banyaknya kubus yang digunakan untuk membuat bangunan monumen. SOAL:

a. Berapakah banyaknya kubus yang dibutuhkan untuk membuat bangunan monumen peringatan ulang tahun putra mahkota pada tahun 2004 ?

b. Berapakah banyaknya kubus yang dibutuhkan untuk membuat bangunan monumen peringatan ulang tahun putra mahkota pada tahun 2005 ?

c. Berapakah banyaknya kubus yang dibutuhkan untuk membuat bangunan monumen peringatan ulang tahun putra mahkota pada tahun 2013 ?

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 544

2. Disediakan model-model segi enam beraturan. Perhatikan susunan berikut.

Pola-1

Pola-2

Pola-3 Pola-4

6 sisi luar 10 sisi luar

12 sisi luar

14 sisi luar

SOAL:

a. Susunlah pola-5. Berapakah banyaknya sisi luar pola ke-5?

b. Susunlah pola-6. Berapakah banyaknya sisi luar pola ke-6?

c. Tanpa menyusun polanya, berapakah banyaknya sisi luar pola ke-50?

Hasil Jawaban Subyek Laki-laki

Subyek laki-laki L1 memahami masalah investigasi nomor 1, menggunakan strategi membuat deret dan menemukan rumus untuk menentukan bilangan yang akan ditambahkan pada suku sebelumnya. Subyek L1 mengerjakan seluruh soal dengan cara rekursif, namun tidak mencari rumus umumnya.

Subyek laki-laki L2 memahami masalah investigasi nomor 1, strategi yang digunakan adalah membuat deret, subyek L2 menemukan polanya namun tidak membuat rumus umumnya. Subyek L2 mengerjakan seluruh soal secara rekursif, namun tidak mencari rumus umumnya.

Subyek L1 dan L2 keduanyanya mampu menyelesaikan masalah investigasi nomor 1. Cara mengerjakannya termasuk baru, karena berdasarkan wawancara keduanya belum pernah melihat soal dan menggunakan cara seperti ini untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Selanjutnya untuk masalah investigasi nomor 2. Subyek L1 memahami masalah investigasi nomor 2. Subyek L1 memecahkan masalah a dan b dengan membuat gambar dan menghitung sisi luar dari gambar yang dibuatnya. Sedangkan untuk masalah c, subyek L1 membuat pola deret sampai jawaban akhir ditemukan. Dengan pola yang dibuatnya, subyek L1 menemukan rumus umum untuk mencarinya, kemudian mencoba menerapkan untuk suku terakhir yang ditanyakan, dan ternyata rumus yang ditemukannya tepat.

Subyek L2 memahami masalah investigasi nomor 2. Subyek L2 menyelesaikan masalah a dan b dengan cara menduga pola deret, kemudian mencoba lagi dengan membuat gambar pola lanjutannya. Gambar yang dibuat benar, perhitungan sisi luar gambar juga benar, namun salah dalam menuliskan bilangannya kedalam pola yang dibuat. Kesalahan memasukkan bilangan ini membuat subyek L2 kesulitan untuk membuat pola deretnya, sehingga soal c tidak dapat diselesaikan karena sudah mencoba deret yang panjang tapi tidak menemukan polanya.

Subyek L1 dan L2 keduanyanya mampu menyelesaikan masalah investigasi nomor 2. Cara mengerjakannya termasuk baru, karena berdasarkan wawancara keduanya belum pernah melihat soal dan menggunakan cara seperti ini untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Hasil Jawaban Subyek Perempuan

Subyek perempuan P1 memahami masalah investigasi nomor 1. Subyek P1 mengerjakan soal a dengan cara menggambarkan pola barisannya, kemudian membuat deretnya, dan diperoleh jawabannya. Namun untuk soal b dan c, subyek P1 kesulitan menemukan pola deretnya, sehingga tidak dapat menjawabnya.

Subyek P2 memahami masalah investigasi nomor 1. Subyek P2 mengerjakan semua soal dengan mengamati banyaknya kubus pada tiap tingkat, dan berhasil menghitungnya untuk soal a dan b. Namun untuk soal c, cara yang digunakan sebelumnya tidak efektif, sehingga

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 545 M P - 545

Kedua subyek perempuan P1 dan P2 memahami masalah investigasi, namun keduanya membuat pola yang tidak efisien, sehingga kesulitan menyelesaikan soal c yang membutuhkan berpikir generalisasi.

Selanjutnya untuk masalah investigasi matematik nomor 2. Subyek P1 memahami masalah investigasi nomor 2, kemudian mengerjakannya dengan cara menggambar dan membuat polanya. Untuk soal a dan b, gambar masih bisa dibuat sehingga soal a dan b ditemukan jawaban yang benar. Namun pola yang dibuat masih bersifat coba-coba, sehingga pola ini juga tidak efektif untuk menyelesaikan masalah c.

Subyek P2 memahami masalah investigasi nomor 2. strategi yang digunakan oleh subyek P2 untuk mengerjakan soal adalah dengan membuat gambar. Strategi ini efektif untuk menyelesaikan masalah a dan b, namun tidak efektif untuk menyelesaikan masalah c karena akan membutuhkan gambar yang besar.

Subyek perempuan P1 dan P2 keduanyanya mampu memahami masalah investigasi nomor

2. Keduanya mampu menyelesaikan masalah yang masih bersifat kongkrit (bisa dipraktekkan atau digambar), namun kesulitan untuk membuat pola yang umum yang abstrak. Masalah-masalah investigasi yang disajikan dapat dipahami oleh semua subyek baik laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan wawancara dengan subyek, mereka berpendapat soal-soal yang diberikan panjang-panjang, tidak pernah dijumpainya di pelajaran matematika sebelumnya, namun mereka mengakui asyik dan tertantang mengerjakannya, dan tidak merasa capek.

Masalah investigasi nomor 1 dapat diselesaikan oleh subyek laki-laki L1 dan L2. Subyek L1 mempunyai kemampuan abstraksi yang tinggi dan mampu menemukan pola-pola yang digunakan dan membuat generalisasinya dalam bentuk rumus. Sedangkan subyek L2 mampu membuat polanya meskipun tidak sampai menemukan rumus umumnya. Sedangkan subyek perempuan P1 dan P2 hanya mampu menyelesaikan masalah a dan b dengan cara menggambar atau membuat pola sederhana. Untuk masalah c tidak dapat diselesaikannya karena pola yang dibuatnya belum dicobakan untuk banyak kasus, sehingga masih bersifat coba-coba.

Hasil pengerjaan siswa terhadap masalah investigasi nomor 2 tidak jauh berbeda dengan masalah investigasi nomor 1. Subyek laki-laki lebih unggul dibanding subyek perempuan. Subyek laki-laki menyelesaikan masalah dengan menggunakan gambar, membuat pola-pola, mencoba membuat geralisasi dan dicobakan untuk menjawab masalah yang diberikan. Dengan pengamatan, pemisahan-pemisahan dan penggabungan-penggabungan, subyek laki-laki dapat menemukan bentuk penyelesaian masalah yang lebih umum, sedangkan subyek perempuan baru menggunakan pengamatan dan membuat pola yang sederhana sehingga kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang menuntut ditemukan bentuk umum penyelesaiannya.

Kedua masalah investigasi yang diujicobakan telah menunjukkan adanya kekonsistenan jawaban pada tiap-tiap jenis kelamin. Dengan demikian kedua masalah investigasi yang diujicobakan telah kredibel untuk mengkaji lebih lanjut profil berpikir kreatif siswa sekolah dasar. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa subyek laki-laki mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah investigasi matematik lebih baik dibanding subyek perempuan. Subyek laki-laki mempunyai kemampuan spatial dan kemampuan membuat generalisasi pola abstrak yang lebih baik dibanding subyek perempuan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Kartono (1994) bahwa perempuan pada umumnya perhatiannya tertuju pada hal-hal yang bersifat konkrit dan praktis, sedangkan kaum laki-laki lebih tertuju pada hal-hal yang bersifat intelektual, abstrak, dan obyektif. Selain itu juga sesuai pendapat Heuvel-Panhuizen (2008) yang menyatakan bahwa perempuan dapat bekerja untuk penghitungan dan mengerjakan masalah yang sudah dikenal dalam prosedur standar, masalah yang ‘lurus’ tanpa perlu mereorganisasi, sedangkan anak laki-laki lebih baik dibanding perempuan dalam masalah sehari-hari mengenai pengetahuan tentang bilangan dan ukuran.

Masalah-masalah investigasi yang telah diujicobakan dapat digunakan untuk mengungkapkan profil berpikir kreatif siswa. Hal ini dapat dilihat dari variasi jawaban dari

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 546 M P - 546

D. SIMPULAN DAN SARAN

Pengungkapan profil berpikir kreatif siswa sekolah dasar dalam menyelesaikan masalah tipe investigasi matematik telah diujicobakan pada empat orang siswa kelas V SDN 13 Ampenan Mataram NTB. Keempat siswa yang menjadi subyek ujicoba dipilih yang berkemampuan tinggi dan relatif sama menurut guru kelasnya. Hasil ujicoba menyimpulkan bahwa siswa laki-laki lebih unggul dibanding siswa perempuan. Siswa laki-laki mempunyai kemampuan pengamatan kongkrit dan abstrak, analisis, sintesis, membuat pola rumit, membuat konjektur generalisasi, dan mengujinya pada jawaban yang diinginkanya. Sedangkan perempuan hanya mempunyai kemampuan pengamatan kongkrit, analisis sederhana, dan membuat pola sederhana, dan enggan mencoba perhitungan-perhitungan yang rumit. Hasil ujicoba juga menunjukkan adanya kebaruan, kefleksibelan, dan kefasihan jawaban-jawaban yang diberikan oleh siswa. Oleh karena itu dimungkinkan dilakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mendapatkan profil berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah tipe investigasi matematik yang lebih komprehensif.

E. DAFTAR PUSTAKA

Astin, H.S. 1974. Sex Differences in Mathematical and Scientific Precocity. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Bastow, B.H., J. Kissane, dan R. Randall. 1984. Another 20 Mathematical Investigational Work. Pert: The Mathematical Association of western Australia (MAWA).

Depdiknas. 2006. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan . Jakarta: Depdiknas.

Grieshober, W. E. 2004. Continuing a Dictionary of Creativity Terms & Definition. New York: International Center for Studiesin Creativity State University of New York College at Buffalo.

Har, Y. B. 2007. The Singapore Curriculum and Mathematical Communication. Paper presented at APEC-TSUKUBA international Conference III, Tokyo-Kanazawa, December 9-14, 2007.

Japa, I. G. N., 2008. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Terbuka melalui Investigasi bagi Siswa Kelas V SD 4 Kaliuntu. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan , Lemlit Undiksha.

Keitel, C. 1998. Social justice and mathematics: Gender, class, ethnicity and the politics of schooling . Berlin: Freie Universitat Berlin.

Maccoby, E.E. dan C.C. Jaclin. 1974. The Psychology of sex Difference. California: Stanford Universty Press.

Martin. 2009. Convergent

Thinking. Tersedia Online: http://www.eruptingmind.com/convergent-divergent-creative-thinking dikases tanggal 20 November 2012.

and Divergent

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 547

Mahmudi, A. 2010. Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis.Makalah disampaikan

dalam Konferensi Nasional Matematika XV di UNIMA Manado, 30 Juni – 3 Juli 2010 National Council of Teacher of Mathematics (NCTM). 2000. Curriculum and Evaluation

Standard for School Mathematics . Reston. Virginia: NCTM. Pehnoken, E. 1997. The State-of-Art- in Mathematical Creativity. Zentralblatt fur Didaktik der

Mathematik (ZDM) – The International Journal on Mathematics Education. ISSN 1615-679X

Polya, G. 1973. How To Slve It. A New Aspect of Mathematical Method. Second Edition. New Jersey: Princeton University Press.

Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring. Tersedia online http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ Diakses tanggal 20 November 2012.

Silver, E. A. 1997. Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing. ZDM, Volume 29, No. 3. Electronic edition ISSN 1615-679X.

Siswono, T.Y.E., dan I. K. Budayasa. 2006. Implementasi Teori Tentang Tingkat Berpikir Kreatif dalam Matematika . Semarang: Seminar Konferensi nasional Matematika XIII dan Kongres Himpunan Matematika Indonesia di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang, 24-27 Juli 2006.

Siswono, T.Y.E., 2007 Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika . Surabaya: PPS Unesa

Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia. Solso, R.L. 1995. Cognitive Psychology. Boston: Allyn and Bacon. Swadener, M. 1985. Teaching Problem Solving in Mathematics. Colorado: University of

Colorado-Boulder Press. Turmudi. 2008. Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika: Paradigma Eksploratif

dan Investigatif . Jakarta: Leuser Cita Pustaka. Yeo, J. B. W., B. H. Yeap. 2009a. Investigating the Processes of Mathematical Investigation

Diunduh dari http://www.math.nie.edu.sg/bwjyeo/publication/ CRPP Conf 2009 Paper_MIGames.pdf pada tanggal 17 Oktober 2012

Yeo, J. B. W., B. H. Yeap. 2009b. Solving Mathematical Problems by Investigation. Diunduh dari http://www.math.nie.edu.sg/bwjyeo/publication/AME Year Book 2009_Solving Maths Problem By Investigation.pdf pada tanggal 17 Oktober 2012

Yeo, J. B. W., B. H. Yeap. 2010. Characterising the Cognitive Processes in Mathematical Investigation. Diunduh dari http://www.cimt.plymouth.ac.uk/ journal/jbwyeo.pdf pada tanggal 17 Oktober 2012

Zheng Zhu. 2007. Gender Differences in Mathematical problem Solving Pattern: A review of literature. International Education Journal, Vol 8 No 2, 187-203. ISSN 1443-1475, Shannon Research Press.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 548

P – 71

PENDIDIKAN MORAL MATEMATIKA

Sri Sudarini

SMP Negeri 4 Yogyakarta sudarinis@yahoo.co.id

Abstrak

Persoalan karakter bangsa yang semakin lemah membangkitkan dunia pendidikan untuk mengembalikan pondasi bangunan karakter di setiap mata pelajaran .Keberhasilan Implementasi pendidikan karakter pada matematika dan pembelajarannya tergantung pada kekuatan matematika, kekuatan pembelajaraan matematika, serta kekuatan karakter guru matematika dalam memberikan teladan yang baik pada siswanya.

Mengintegrasikan pendidikan karakter pada mata pelajaran matematika, tak semudah membalik tangan, beberapa guru berpendapat kadang-kadang harus mengada-adakan materi baru agar bisa disisipkan kedalamnya pesan moral yang sesuai dengan tujuan karakter yang ingin dicapai. Sesuai dengan anggapan kita bahwa matematika dan beberapa mata pelajaran lain (selain Pendidikan Agama dan PKn) hanya sebagai Nurturant Effec(dampak pengiring) pada pendidikan karakter, maka matematika dan pembelajarannya tak menitikberatkan baik materi maupun penilaiannya pada ranah afektif. Dapatkah matematika dipandang sebagai mata pelajaran berinstructional effect, apakah hal ini akan menyebabkan muatan kognitifnya menjadi lemah?

Kata Kunci : Kekuatan Matematika, Kekuatan pembelajaran matematika, Kekuatan, karakter guru matematika.

A. PENDAHULUAN

Sejak awal berdirinya Negara kesatuan RI Bung Karno telah menegaskan pentingnya Pembangunan Karakter atau Caracter Building. . “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter ( Character Building). Karena Character Building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya serta bermartabat. Kalau Character Building tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa Kuli” …Muchlas(2011)

Cuplikan pidato Bung Karno tersebut merupakan prediksi yang akan terjadi andaikan pembangunan karakter tak dilaksanakan. Seorang kuli biasanya miskin, hina, pekerjaannya banyak, kerjanya berat dan keras tapi gajinya kecil sehingga hidupnya sangat miskin dan menderita. Bagaimana akan kreatif dan maju kalau miskin dan menderita karena lemah karakter?

Mengingat pentingnya pembangunan karakter, maka pemerintah memprioritaskan pembangunan karakter ini menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan Nasional yang tertuang dalan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025. Upaya pemerintah tersebut diantaranya tertuang dalam SKL(Standar Kompetensi Lulusan) tiap jenjang pendidikan pada permendiknas nomor 23 tahun 2006 yang memprioritaskan pendidikan karakter dalam pendidikan Nasional.

Pendidikan matematika sebagai bagian dari pendidikan nasional berkewajiban mengimplementasikan pendidikan karakter dalam setiap kegiatan pembelajarannya. Bila ditinjau dari materi pembelajarannya, matematika hanya memiliki missi untuk meningkatkan kecerdasan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Padahal sebenarnya bila dikupas lebih dalam lagi, terbukti bahwa didalam materi pelajaran matematika terkandung pesan moral yang harus dicontoh dan ditegakkan oleh seluruh umat manusia. Berarti matematika dapat dipandang sebagai mata pelajaran moral semisal PKn. Jadi tidak perlu seorang guru matematika mengada-adakan materi baru untuk menanamkan karakter pada siswanya. Karena melalui matematika dan pembelajarannya, kepribadian matematika seseorang bisa dibentuk (majalah Dimensi edisi April 2008 pendidikan Matematika UAD).

Kepribadian merupakan cerminan dari apa yang bisa kita lihat dari pikiran dan tindakan seseorang. Kepribadian adalah konsep dinamis yang menggambarkan kondisi keseluruhan sistem kejiwaan seseorang yaitu antara hati, pikiran, ucapan dan tindakan. Dengan demikian maka kepribadian matematika seseorang adalah hasil tempaan dari pemahaman dan pengalamannya tentang matematika. Fatchul(2011) menyebutkan bahwa kepribadian adalah hubungan antara materi tubuh dan jiwa seseorang yang perkembangannya dibentuk oleh pengalaman dan kondisi alam bawah sadar yang terbentuk sejak awal pertumbuhan manusia dan dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa psikologis selama masa pertumbuhannya. Ada saat tertentu lingkungan bisa merubah kepribadian seseorang jika lingkungan itu punya pengaruh yang besar.

Beberapa ahli mengemukakan perbedaan karakter, moral, kepribadian, akhlak dan watak manusia. Namun makalah ini tak mempermasalahkan adanya perbedaan tersebut. Sehingga pembahasannya lebih menekankan pada 3 pilar penyangga keberhasilan implementasi pendidikan karakter yakni kekuatan matematika, kekuatan pembelajaran matematika dan kekuatan karakter guru matematika.

Beberapa pandangan tentang matematika, diantaranya mengemukakan tentang ciri objeknya dan juga pengaruhnya terhadap pola pikir dan pola tindak seseorang. Bahwa pengalaman tentang matematika dapat membangun pola sikap manusia yang positif antara lain sikap rasional, sistematis dalam berbicara dan bertindak, kreatif, disiplin, jujur, konsisten,hati-hati dan sikap lain yang positip seperti keyakinan bahwa Tuhan yang Maha Esa ada dan selalu mengawasi kita. Hal ini dapat dipahami karena matematika berkenaan dengan ide-ide abstrak yang tersusun secara hirarkis penalaran segi deduktif, dengan demikian mereka yang mempelajari matematika secara sungguh-sungguh dan penuh pemahaman, diharapkan memiliki sifat-sifat positif tersebut. Sikap demikian dapat terbentuk sekalipun guru tak menyatakannya dengan kalimat-kalimat perintah apalagi jika guru menegaskannya.

Contoh : Pada penyelesaian PLSV (Persamaan Linier Satu Variabel) yang bentuknya rumit perlu disederhanakan dahulu bentuknya agar mudah diselesaikan. Hal ini memuat pesan bahwa kehidupan yang sederhana akan memudahkan kita menyelesaikan permasalahan hidup. Atau permasalahan hidup akan lebih mudah diselesaikan jika pola hidup kita sederhana. Dari materi menyelesaikan PLSV ini secara implisit guru mengajarkan pola hidup sederhana.

Pada materi inipun guru dapat menanamkan adil melalui proses penyelesaian PLSV dengan cara kedua ruas ditambah atau dikurangi bilangan yang sama, dikalikan atau dibagi dengan bilangan yang sama.Guru dapat pula menyatakannya dalam bentuk pesan moral atau kata kunci yang mudah difahami siswa.

Contoh : Selesaikan PLSV 2x + 3 = 15 dengan prinsip adil dan sederhana. Akan tetapi mengupas kedalaman materi ajar semacam ini, kadang-kadang mendapat

reaksi negative dari beberapa guru , karena dianggap mengada-ada atau memaksakan adanya nilai karakter dalam materi matematika dan kalau hal ini dilakukan terus menerus bisa merubah matematika menjadi pelajaran moral/akhlak sehingga menghilangkan atau melemahkan ranah kognitifnya.

Apakah dengan mengupas kedalaman materi ajar matematika dan menghadirkan nilai positif yang terkandung dalam setiap materi pelajaran matematika membuat matematika hilang Apakah dengan mengupas kedalaman materi ajar matematika dan menghadirkan nilai positif yang terkandung dalam setiap materi pelajaran matematika membuat matematika hilang

Tujuan penulisan makalah ini di samping untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah untuk memberikan contoh-contoh mengintegrasikan pendidikan karakter pada pembelajaran matematika serta untuk memotivasi guru dan siswa mengkaji atau mempelajari atau mengajarkan matematika beserta nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya sehingga memperkuat penanaman konsep matematika dan nilai positif yang menjadi pesan moral matematika.

B. PEMBAHASAN

Kemendiknas 2010 tentang system Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia...”Oleh karena itu setiap mata pelajaran di sekolah (termasuk matematika) yang disajikan kepada siswa hendaknya selaras dengan fungsi dan tujuan tersebut.

Namun kenyataan yang terjadi pada pembelajaran matematika kita selama ini guru belum mengutamakan pembentukan moral dengan alasan matematika bertugas mencerdaskan bangsa dan bukan membentuk moral. Padahal bila kita cermati kata “cerdas” itu luas maknanya. Setidaknya kita memahami ada 8 jenis kecerdasan manusia menurut Gardner yang menunjang kesukksesan hidup seseorang yakni: Kecerdasan Linguistik(bahasa), Kecerdasan Logis Matematis, Kecerdasan spasial, Kecerdasan Musikal, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Intrapersonal, Kecerdasan Naturalis(kepekaan alam) dan Kecerdasan Kinestetis-jasmani. Sedangkan Ary Ginanjar menyatakan Intelectual Quotient(IQ/kecerdasan kognitif) , Emotional Quotient(EQ) dan Spiritual Quotient(SQ) merupakan tiga kecerdasan yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Sehingga jika manusia itu cerdas maka baik pula moralnya.Jika ada manusia mengaku cerdas padahal buruk karakternya maka sebenarnya tingkat kecerdasan Emosi dan spiritualnya rendah. Hal ini dapat terjadi jika pendidikan hanya untuk mengasah kecerdasan kognitif saja.

Beberapa alasan yang sering kita dengar dari siswa yang tidak menyukai matematika antara lain bahwa mereka kurang menyukai pelajaran matematika karena matematika hanya berisi simbol-simbol, yang kalau diotak-atik lebih jauh hanya menambah pusing kepala, soal cerita yang dibuat oleh guru kurang nyata dan nuansa belajar matematika di kelas pada umumnya diliputi ketegangan dan kelelahan berpikir, bahkan temperamen guru kadang-kadang kurang menyenangkan. Beberapa siswa yang tak menyukai matematika juga beralasan bahwa dirinya tak secepat temannya dalam berhitung sehingga nilai ulangannya lebih jelek dari temannya meskipun ia telah berusaha menyukai pelajaran ini.

Bila jumlah siswa tak menyukai matematika meningkat maka yang terjadi adalah matematika kehilangan daya atau kekuatan dalam membentuk pola pikir dan sikap(karakter) positif. Sehingga mewajibkannya belajar matematika seolah menyuruhnya melakukan sesuatu perbuatan yang membencikan(menyebabkan semakin benci). Andaikan dia mau maka kemauannya adalah keterpaksaan, bukan kecintaan. Akibatnya matematika tak mampu membentuk kepribadiannya karena semakin sering hadir justru semakin ditakuti. Padahal sebenarnya kedalaman makna dan keluasan penggunaan matematika mampu menarik perhatian siswa.

Menghadapi kenyataan ini guru hendaknya segera menghadirkan kekuatan matematika berupa keindahan, makna, beserta manfaatnya, bahkan nilai-nilai positif yang tersimpan dalam materi/konsep matematika dikemukakan dihadapan siswa untuk mengembalikan minat dan cintanya terhadap matematika

Kekuatan matematika dapat diartikan sebagai kemampuan matematika untuk menunjukkan manfaat , makna, serta nilai positif yang terkandung dalam setiap materi ajarnya. Mike Olertion dalam Panduan mengajar Matematika menyebutkan “Kekuatan Matematika terletak pada bagaimana representasi-representasi substansinya dapat dimanipulasi dipilah dan disatukan kembali, dapat ditingkatkan dan diturunkan nilainya, dapat dioperasikan dalam system penempatan nilai, dan dalam system koordinat, dapat memiliki bentuk-bentuk yang beraneka ragam missal bentuk indeks standar, atau sebagai faktor-faktor prima, sampai sebatas guru mampu membantu siswa menghargai proses ini, untuk mempelajari berbagai representasi yang berbeda dan beragam kosa kata yang spesifik dan memperoleh kemampuan mengalihkan pemahaman siswa dari satu konteks ke konteks lain”(Mike;2010)

Mengembalikan kekuatan matematika dapat dilakukan dengan cara menunjukkan nilai positif (pesan moral) yang terkandung pada materi pelajaran matematika seperti contoh berikut :

Contoh 1. Pada Pembelajaran menyederhanakan bentuk aljabar guru menyajikan soal berikut: Sederhanakanlah bentuk aljabar x + y - 5x + 7y ! Bila siswa menjawab -5x + 7y berarti siswa menganggap suku pertama dan kedua yakni x dan y tak memiliki koefisien atau berkoefisien nol.Guru perlu menegaskan bahwa walaupun tak ada angka di sebelah kiri x dan y namun ini bukan berarti x atau y tak memiliki koefisien. Koefisien x adalah 1 demikian pula koefisien y adalah juga 1. Pesan moral yang disampaikan ke anak didik adalah keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa(Tunggal) itu ada walaupun tak kelihatan.

Contoh 2. Pada pembelajaran Pythagoras guru menyajikan soal sebagai berikut: Diketahui segitiga ABC siku siku di A, AB=5 cm, AC=12cm, berapakah panjang BC? Siswa yang telah mahir menggunakan Teorema/rumus Pythagoras tentu dapat menentukannya dengan cepat apalagi yang telah hafal Tripel Pythagoras, namun bagi siswa yang lupa rumusnya guru dapat meminta siswa menggambar segitiga ABC tersebut dengan ukuran yang tepat (ukuran

harus jujur/ tidak boleh bohong), yaitu AB=5cm, AC=12 cm, dan sudut A = 90 o , kemudian siswa diminta mengukur panjang BC dengan penggaris.

Siswa yang melukisnya tidak tepat(bohong) tidak akan memperoleh jawaban yang benar. Maka jangan lupa menambahkan pesan kejujuran pada saat siswa menggambar segitiga siku-siku.

Guru dapat memaknai dan memanipulasi berbagai pernyataan, notasi atau rumus dalam matematika menggunakan segenap kemampuannya untuk menanamkan nilai-nilai positif dalam diri siswa misalnya ketika memberi contoh dua himpunan yang saling lepas, guru mengatakan bahwa himpunan siswa laki-laki dan himpunan siswa perempuan merupakan dua contoh himpunan yang saling lepas. Maka siswa laki-laki dan perempuan (yang bukan makhrom) tidak boleh saling bergandengan/berpacaran. Kemudian guru menunjukkan diagram Venn yang menyatakan hubungan kedua himpunan tersebut dengan di dalamnya terdapat dua buah kurva tertutup sederhana yang dibuat terpisah. Di sini terlihat bahwa nilai sopan santun materi pelajaran matematika telah diperlihatkan.

Dengan dihadirkannya nilai positif yang terkandung dalam materi matematika tersebut siswa yang semula tak menyukai matematika diharapkan lebih menghargai matematika serta mampu memotivasi dirinya untuk tetap semangat dalam belajar matematika bahkan membantunya mengingat kembali konsep yang telah dia pelajari lengkap dengan pesan moralnya. Itu artinya pesan moral seorang guru matematika saat mengajar matematika tidak mengurangi atau meniadakan aspek kognitif nya.

Kekuatan pembelajaran matematika diartikan sebagai kekuatan / keberdayaan model atau metode pembelajaran matematika untuk membentuk sikap dan perilaku positif pada siswa. Mike(2010) menjelaskan “Kekuatan Pembelajaran matematika terletak pada saat siswa mendemonstrasikan kompetensi mereka memanipulasi bilangan, symbol, rumus, sifat-sifat dan saat mereka sadar kapan suatu representasi lebih berguna atau lebih tepat dari representasi yang lain”(Mike;2010).Peran guru di sini adalah sebagai motivator, fasilitator dan evaluator belajar siswa. Sedangkan siswa terlibat aktif dalam proses belajar menemukan dan menggunakan rumus atau symbol dalam matematika untuk memahami dan menghayati kedalaman maknanya. Keterlibatan siswa dalam proses belajar merupakan jantung otaknya pembelajaran. Maka dibutuhkan waktu yang cukup serta metode yang tepat untuk mengkondisikan hal ini.Selama proses belajar berlangsung siswa berinteraksi dengan berbagai sumber belajar yang ada sehingga mereka menemukan nilai-nilai positif dalam materi ajar matematika. Beberapa pendekatan pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan karakter positif diantaranya :

1. Pendekatan open ended dapat menumbuhkan kreatifitas dan memperluas wawasan

2. Pembelajaran dengan diskusi dapat mengembangkan sikap demokratis

3. Evaluasi madiri untuk melatih kemandirian belajar.

4. Problemsolving melatih kreatifitas, kerjakeras, kerja cerdas dan berdaya saing tinggi

5. Model kooperatif learning menumbuhkan nilai kerjasama

6. PMRI untuk melatih kedisiplinan, kemandirian, percaya diri, negosiasi dan menghargai pendapat orang lain.

Kekuatan pembelajaran matematika ini juga dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam pengorganisasian kelas untuk dapat menyajikan makna dari setiap ekspresi matematika. Maka dibutuhkan pengalaman mengelola berbagai tipe kelas agar tercipta suasana belajar matematika yang kondusif.

Kekuatan matematika dan pembelajarannya hendaknya didukung oleh kekuatan karakter guru untuk memberikan teladan yang baik kepada siswanya. Kekuatan karakter guru boleh diartikan sebagai kekuatan kepribadian guru yang terpancar dalam tutur kata dan perbuatannya sehingga mempengaruhi orang lain untuk meneladaninya. Kekuatan karakter guru tersebut meliputi kekuatan niat, motivasi, empati dan komitmen. Untuk itu seorang guru matematika perlu juga memiliki kepribadian matematika, karena guru matematika akan mengarahkan peserta didiknya bermoral matematika , maka dia sendiri juga harus hadir sebagai model manusia yang bermoral matematika. Ciri khas guru matematika berkepribadian/bermoral matematika antara lain :

1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa

2. Konsisten (Istiqomah)

3. Sederhana dan adil

4. Rasional dan kritis

5. Sistematis

6. Kerja keras, kerja cerdas dan tekun

7. Kreatif dan ilmiah

8. Jujur dan amanah

9. Taat aturan dan disiplin

10. Cermat dan hati-hati

11. Demokratis Pengalaman membuktikan bahwa siswa lebih memahami prosedur/konsep jika dijelaskan dengan penanaman karakter positip dari pada jika dijelaskan tanpa penanaman karakter apalagi jika hanya berupa cara cepat dan tips-tips praktis mengerjakan soal (ini kurang berkesan dan lebih mudah dilupakan). Namun dalam pelaksanaannya ada beberapa hambatan yaitu:

1. Waktu : Kadang-kadang guru dihadapkan pada pilihan mengajar cepat ala bimbel dengan hasil tes memuaskan dan target kurikulum tercapai atau mengajar step by step dengan penguatan konsep dan aplikasinya serta penanaman karakter yang baik namun ketercapaian kurikulum disesuaikan kondisi siswa. Hal ini terjadi karena penguasaan konsep satu pada matematika merupakan pondasi penanaman konsep berikutnya.

2. Keterbatasan wawasan : Kadang-kadang dijumpai kesulitan mengintegrasikan pendidikan karakter di beberapa konsep atau materi padahal buku petunjuk atau panduan pengintegrasian pendidikan karakter pada pelajaran matematika masih sangat minim.

3. Keterbatasan kemampuan guru dalam membuat assesment: Untuk menilai seberapa dalam sebuah karakter telah tertanam dalam diri siswa guru perlu membuat prosedur penilaian yang benar sehingga hasil penilaian guru benar-benar dapat digunakan untuk menentukan langkah selanjutnya, karena setiap semester guru harus melaporkan hasil penilaian akhlak dan kepribadian siswa kepada guru Pendidikan Agama dan PKn.

4. Iklim dan Budaya sekolah yang kurang sesuai dengan program pembentukan karakter siswa. Contoh : Guru telah menanamkan karakter sederhana kepada siswa namun sekolah telah terbiasa merayakan ulang tahunnya dengan pesta meriah dan pelepasan balon yang memubazirkan jutaan rupiah. Penanaman karakter sederhanapun kembali mentah.

Namun hambatan-hambatan tersebut dapat ditekan dengan cara :

1. Guru datang tepat waktu (Disiplin)

2. Rancangan pembelajaran benar-benar matang lengkap dengan alat dan sumber belajar serta instrumen penilaian yang diperlukan.

3. Model pembelajaran sengaja dipilih sesuai dengan karakter positif yang ingin dicapai.

4. Guru rajin membaca/berdiskusi dengan rekan seprofesi agar wawasan tentang implementasi pendidikan karakter pada matematika bertambah.

5. Guru turut menyumbangkan saran dan pemikirannya untuk perbaikan iklim dan budaya sekolah disesuaikan dengan karakter baik yang ingin dicapai.

C. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mengintegrasikan karakter dalam pembelajaran matematika takkan mengurangi ataupun meniadakan aspek kognitifnya apalagi sampai merubah pelajaran matematika menjadi “Pendidikan Moral Matematika” (kecuali jika memang kurikulum menyebutkan demikian). Bahkan sebaliknya yang terjadi adalah pengintegrasian karakter ini memperkuat pemahaman siswa terhadap suatu konsep yang ditanamkan. Siswa akan lebih mudah mengingat karakter atau nilai positif yang pernah diungkapkan guru lengkap dengan rumus atau aturan matematika yang diajarkannya, atau sebaliknya ingat rumus ingat karakter. Jadi tidak berlebihan andaikan matematika dipandang sebagai mata pelajaran berinstructional effect karena memang materi pelajaran matematika sarat dengan pesan moral yang sebagian dari kita belum memahaminya.

Oleh karena itu diperlukan adanya buku panduan implementasi pendidikan karakter pada mata pelajaran matematika yang berisi contoh-contoh kongkret pengintegrasian karakter di beberapa materi matematika. Memang pembelajaran matematika dengan pengintegrasian karakter semacam ini membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada pembelajaran biasa (tanpa pengintegrasian pendidikan karakter) .Namun bila tujuan pendidikan benar-benar untuk membangun karakter manusia maka hal ini dapat dengan mudah difasilitasi.

Yang sangat dibutuhkan dan perlu dimiliki seorang guru matematika adalah karakter guru matematika itu sendiri haruslah kuat, wawasannya luas, iklim dan budaya sekolah yang sesuai, serta kesempatan belajar yang cukup agar guru tak hanya mampu mengintegrasikan pendidikan karakter pada mata pelajaran matematika, namun juga mampu membuat assessment yang sesuai untuk menunjang keberhasilan pendidikan moral matematika.

Keberhasilan pendidikan moral matematika merupakan simbol keberhasilan pendidikan matematika kita. Artinya kalau pembelajaran matematika kita berhasil, maka konsep matematika berhasil dipahami dan dihayati dalam sanubari siswa dan hal ini akan tercermin dalam prinsip hidup, cara pandang, tutur kata dan tingkahlaku para penanggungjawab negeri dimasa yang akan datang.

D. DAFTAR PUSTAKA

Aka Hawari. 2012. Guru Yang Berkarakter Kuat. Laksana:Yogyakarta. Daufur Ann & Mark Ruben Jean.2009.49 Langkah Mencerdaskan Otak(Merawat Daya Pikir

Sejak Dini) .Almahira:Jakarta Ginanjar Ary.2010.Rahasia Sukses membangun kecerdasan ESQ.Arga Pulishing:Jakarta Iriyanto HD.2012.Learning Metamorphosis Hebat Gurunya Dahsyat Muridnya.Erlangga:Jakarta Majalah Dimensi Edisi April 2008. Berkepribadian Matematika. Pendidikan Matematika UAD

:Yogyakarta

Manfaat Budi . 2010. Membumikan Matematika dari kampus ke kampung. Eduvision Publishing:Cirebon

Muin Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter konstruksi Teoritik & Praktik. Ar-ruzz Media:Yogyakarta.

Ollerton Mike. 2009. Mathematics Teacher’s Handbook. Erlangga:Jakarta Samani Muchlas Prof Dr, Hariyanto Drs. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Remaja

Rosda Karya:Bandung Suyitno Hardi. 2011. Peran Guru Matematika dalam pembentukan karakter bangsa. Makalah

disampaikan pada Seminar Nasional Peran Matematika dalam Pembentukan Karakter Bangsa di UAD Yogyakarta Tanggal 5 Juni 2011.

P – 72

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP DENGAN MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

1 Sri Supiyati 2 , Muhammad Halqi

1,2 STKIP Hamzanwadi Selong

1 uyayasa@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui karakteristik , model dan strategi pembelajaran matematika SMP di Kabupaten Lombok Timur. (2). Mengembangkan dan menghasilkan model perangkat pembelajaran matematika, berupa; RP,BG,BS, LKS dan Tes Hasil Belajar di SMP dengan model pembelajaran matematika realistik prnelitian ini adalah penelitian pengembangan. Secara keseluruhan dalam penelitian pengembangan terdapat tiga kegiatan pokok yang akan dilakukan yaitu : (1) Menganalis kebutuhan , (2) mengembangkan Produk, dan (3). Melakukan uji coba produk. Dengan subyek penelitian adalah pakar pendidikan, guru matematika dan siswa SMP di Kabupaten Lombok Timur. Model pengembangan yang digunakan adalah pengembangan perangkat pembelajaran model 4-D yakni, Pendefinisian, perancangan,pengembangan, dan desiminasi. Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari; (1) lembar penilaian instumen; (2) lembar validasi; (3) lembar observasi pengelolaan pembelajaran; (4) lembar observasi aktivitas siswa dan guru; (5) angket respons siswa; dan (6) tes hasil belajar.

Melalui proses pengembangan, produk pembelajaran yang dikembangkan meliputi: (1) Model dan Strategi pembelajaran; (2). Perangkat pembelajaran berupa, Rencana Pembelajaran (RP), Buku Guru, Buku siswa, Lembar Kerja Siswa (LKS) ; dan (3) Tes hasil belajar. Ujicoba produk melibatkan guru matematika, kepala sekolah dan siswa SMP di Lombok Timur. Hasil Uji coba dianalisis menggunakan statistik deskriptif.

Berdasarkan analisis uji coba terbatas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model dan perangkat pembelajaran matematika realistik telah memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan. Kriteria tersebut dapat dilihat dari kevalidan model pembelajaran matematika realistik beserta seluruh perangkat pembelajaran yang digunakan termasuk dalam kategori valid, kepraktisan model pembelajaran matematika realistik Indonesia beserta seluruh perangkat pembelajaran yang digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas termasuk kategori baik, dan ketercapaian keefektifan model pembelajaran matematika realistik berdasarkan pada; (1) persentase ketercapaian ketuntasan belajar siswa secara klasikal dengan tingkat penguasaan minimal tinggi dan sangat tinggi adalah 80% ; (2) persentase batas waktu ideal untuk setiap kategori aktivitas siswa dan guru sudah dipenuhi; (3) rata-rata nilai kemampuan guru mengelola pembelajaran termasuk dalam kategori baik, dan (4) respons siswa terhadap komponen dan kegiatan pembelajaran adalah positif.

Kata Kunci: Perangkat, Model, Pembelajaran, Matematika Realistik

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Proses pembelajaran disekolah selama ini dianggap gagal melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Jika diamati secara seksama, pada umumnya proses pembelajaran matematika disekolah masih didominasi oleh paradigma mengajar dengan ciri-ciri antara lain guru aktif menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima, pembelajaran berorientasi pada

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Untuk mengubah keadaan seperti ini, perlu adanya perubahan paradigma dalam pembelajaran, khususnya paradigma pembelajaran di sekolah.. Paradigma alternatif untuk memecahkan masalah pembelajaran matematika di sekolah adalah paradigma konstruktivistik. Pandangan ini meyakini bahwa siswa merespon pengalaman-pengalaman dengan cara mengkonstruksi suatu struktur kognitif dalam otak mereka. Pengetahuan diperoleh sebagai akibat dari proses konstruksi yang secara terus menerus diatur, disusun, dan ditata kembali serta dikaitkan dengan struktur kognitif yang dimiliki sehingga struktur kognitif tersebut sedikit demi sedikit dimodifikasi dan dikembangkan (Herman Hudoyo, 1979).

Menstrukturisasi aktivitas pembelajaran yang melibatkan siswa kedalam tugas-tugas yang bermakna merupakan masalah yang kompleks bagi guru saat ini meskipun aktivitas pembelajaran tersebut dapat dilakukan baik secara individu, kompetitif maupun kooperatif, akan tetapi sangat jarang di lakukan suatu struktur organisasi dalam lingkungan belajar yang menjadikan siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil dan siswa bertanggung jawab secara individual terhadap materi yang dipelajari. Dalam hal ini keterampilan pembelajaran yang perlu diketahui guru adalah bagaimana dan kapan menstrukturisasi tujuan belajar siswa secara individual, kompetitif dan kooperatif. Oleh karena itu agar proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif maka setiap guru matematika diharapkan dapat menempatkan dan menggunakan setiap struktur tersebut secara memadai.

Pembelajaran merupakan upaya untuk membelajarkan siswa. Untuk mendapatkan hasil pembelajaran matematika yang memadai diperlukan kemampuan berpikir, dan bernalar serta adanya suatu pembelajaran yang bermutu. Dalam pembelajaran terkandung makna adanya suatu kegiatan untuk memiliki dan mengembangkan suatu metode, strategi, teknik atau pendekatan untuk mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan.

Terdapat tiga komponen dalam pembelajaran yaitu : (1). Kondisi pembelajaran, (2). Metode pembelajaran dan (3). Hasil pembelajaran. Kondisi pembelajaran meliputi tujuan pembelajaran, sifat dari bidang studi yang akan diajarkan dan karakteristik dari siswa. Tujuan pembelajaran merupakan pernyataan yang menggambarkan hasil pembelajaran yang diharapkan. Sifat bidang studi merupakan ciri dari bidang studi yang akan diajarkan yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menetapkan strategi, metode, teknik atau pendekatan dalam pembelajaran. Sedangkan karakteristik siswa berkaitan dengan sifat

perorangan dari siswa meliputi motivasi, minat, intelegensi dan sosial budaya siswa. Metode

pembelajaran merupakan cara yang dapat digunakan untuk mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan. Dalam metode pembelajaran terkandung suatu urutan langkah-langkah pembelajaran yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hasil pembelajaran merupakan semua pengaruh yang timbul akibat penggunaan metode, teknik, stategi atau pendekatan tertentu dengan kondisi pembelajaran yang tertentu pula. Kondisi dan hasil pembelajaran merupakan faktor atau variabel yang tidak dapat diubah. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang diharapkan, hanya faktor metode pembelajaran yang harus di manipulasi dan dipilih sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran yang dilakukan mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan pembelajaran dibawah kondisi dan hasil pembelajaran tertentu.

Uji coba rancangan pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik telah dilakukan di Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah. Hasil uji coba menunjukkan bahwa penerapan rancangan membelajaran ini terbukti dapat meningkatkan aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran maupun hasil pembelajaran. Namun, sampai saat ini bahan pembelajaran matematika SMP belum disusun dengan baik. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat tersusun perangkat pembelajaran matematika meliputi model rancangan pembelajaran (RP), Buku Guru, Buku Siswa, Lembar Kerja Siswa (LKS) dan tes hasil belajar yang dapat digunakan oleh guru matematika SMP untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar matematika siswa.

2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah pengembangan perangkat pembelajaran matematika SMP dengan model pembelajaran matematika realistik yang valid, praktis, dan efektif?

3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui karakteristik, model, dan strategi pembelajaran matematika SMP di Kabupaten Lombok Timur.

2. Untuk mengembangkan dan menghasilkan model perangkat pembelajaran matematika, berupa: RPP, Buku Guru, Buku Siswa, LKS, dan Tes Hasil Belajar SMP di Kabupaten Lombok Timur dengan model pembelajaran matematika realistik.

4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi bagi guru matematika dalam menentukan alternatif pendekatan pembelajaran matematika.

2. Memotivasi siswa dalam belajar matematika, sehingga pembelajaran lebih menarik dan bermakna.

3. Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam model pembelajaran matematika realistik.

B. METODE PENELITIAN

1. Rancangan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Pengembangan didefinisikan sebagai suatu pengkajian sistematis terhadap pendesainan, pengembangan dan pengevaluasian program, proses dan produk pembelajaran yang harus memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif.

Menurut Tiangharjan (Trianto, 2010: 189) membagi model pengembangan pembelajaran atas empat tahap yang dikenal dengan sebutan model 4-D, yaitu tahap pendefinisian, tahap perancangan, tahap pengembangan, dan tahap pendiseminasian. Kegiatan-kegiatan pada setiap tahap tersebut sebagai berikut.

1. Tahap I: Pendefinisian, terdiri dari: (1) analisis awal-akhir, (2) analisis siswa, (3) analisis konsep, (4) analisis tugas, dan (5) spesifikasi tujuan pembelajaran.

2. Tahap II: Perancangan, terdiri dari: (1) penyusunan tes, (2) pemilihan media, (3) penyusunan format, dan (4) desain awal.

3. Tahap III: Pengembangan, terdiri dari: (1) penilaian para ahli, dan (2) uji coba terbatas.

4. Tahap IV: Desiminasi, yaitu penyebaran ke lapangan. Model pengembangan perangkat pelajaran 4-D Thiagarjan (Trianto, 2010: 190), gambar

berikut :

Analisis Awal Akhir IA IS

Analisis Siswa

IN F

E D Analisis Tugas

Analisis Konsep

NEP

Spesifikasi Tujuan

G N Penyusunan Tes A C N A R E

Pemilihan Format

Rancangan Awal

Validitas Ahli

EGN P E

Uji Pengembangan

Uji Validitas

Penmasange

Penyebaran dan pengabdosian

Skema Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4-D oleh Thiagarajan

2. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah pakar pendidikan, guru matematika, dan siswa di Kabupaten Lombok Timur.

3. Prosedur Penelitian

Hasil pengembangan terbatas pada penelitian ini menghasilkan naskah final (draf final/ perangkat final) dan pengembangan perangkat pada penelitian ini dibatasi hingga tahap pengembangan saja. Sebagaimana disebutkan di atas prosedur pengembangan model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model 4-D (four D model).

Prosedur pengembangan perangkat pembelajaran model 4-D selengkapnya diuraikan sebagai berikut:

1. Tahap Pendefinisian Tujuan

dan mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan pembelajaran dengan menganalisis tujuan dan batasan materi. Kegiatan dalm tahap ini adalah analisis awal-akhir, analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas dan sfesifikasi tujuan pembelajaran.

tahapan pendefinisian

adalah

menetapkan menetapkan

b. Analisis Siswa Analisis siswa merupakan telaah tentang karakteristik siswa yang sesuai dengan rancangan dan pengembangan perangkat pembelajaran. Karekteristik ini meliputi latar belakang pengetahuan dan perkembangan kongnitif siswa.

c. Analisis Konsep Analisis konsep ditujukan untuk mengidentifikasi, merinci dan menyusun secara sistematis konsep-konsep yang relevan yang akan diajarkan berdasarkan analisis awal-akhir.

d. Analisis Tugas Analisis tugas merupakan pengidentifikasian tugas/ keterampilan-keterampilan utama yang dilakukan siswa selama pembelajaran.

e. Perumusan/ Sfesifikasi Tujuan Pembelajaran Tahap ini dilakukan untuk merumuskan hasil analisis tugas dan analisi konsep menjadi indikator pencapaian hasil belajar ini selanjutnya menjadi tujuan pembelajaran khusus yang merupakan dasar dalam menyusun rancangan perangkat pembelajaran dan tes.

2. Tahap Perancangan Tujuan dari tahap ini adalah merancang perangkat pembelajaran, sehingga diperoleh prototype (contoh perangkat pembelajaran). Tahap ini dimulai setelah ditetapkan tujuan pembelajaran khusus. Rancangan dimaksud dalam tulisan ini adalah rancangan seluruh kegiatan yang harus dilakukan sebelum uji coba dilaksanakan. Adapun rancangan perangkat pembelajaran yang akan melibatkan aktivitas siswa dan guru yaitu RPP LKS, buku pegangan Guru (BG) dan buku pegangan Siswa (BS). Selanjutnya perangkat pembelajaran berupa RPP, LKS, BG dan BS yang dihasilkan pada tahap ini beserta instrument penelitian disebut sebagai draft-I. Selain dilakukan perancangan draft perangkat pembelajaran. Di dalam tahap ini juga dilakukan penyusunan tes dan pemilihan format.

a. Penyusunan tes Dalam penelitian ini, peneliti tidak menyusun tes awal, hanya menyusun tes akhir (termasuk instrument) yang akan diberikan siswa, bertujuan untuk mengetahui kemampuan.

b. Pemilihan format Dalam penyusunan RPP dan LKS, peneliti mengkaji dan memilih format RPP dan LKS yang disesuaikan dengan kurikulum KTSP.

3. Tahap Pengembangan Tujuan dari tahap pengembangan adalah ntuk menghasilkan draft –II perangkat pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan masukan para ahli dan data yang diperoleh dari uji coba. Kegiatan pada tahap ini adalah penilaian para ahli dan uji coba lapangan.

a. Penilaian Para Ahli Draft I yang telah terbentuk, akan dilakukan penilaian/divalidasi oleh para ahli (validator). Para validator adalh mereka yang berkompeten dan mengerti tentang penyusunan perangkat pembelajaran dengan pendekatan RME dan mampu memberikan masukan atau saran untuk penyempurnaan perangkat pembelajaran yang telah disusun. Adapun hal-hal yang divalidasi oleh validator mencakup:

1) Validasi isi perangkat pembelajaran Apakah isi perangkat pembelajaran sesuiai dengan materi pelajaran dan tujuan yang akan diukur, dibuat jelas dan menarik untuk pemakaiannya. Apakah ilustrasi perangkat pembelajaran (gambar,warna, table, dll) memperjelas konsep dan mudah dipahami.

2) Validitas dari segi bahasa Apakah kalimat-kalimat pada perangkat pembelajaran telah memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baku dan tidak menimbulkan penafsiran ganda. Saran-saran dari validator tersebut akan dijadikan bahan untuk merivisi draf I

4. Tahap Desiminasi Pada tahap desiminasi ini dilakukan penyebaran ke lapangan. Tujuan dari tahap desiminasi adalah untuk mengetahui keefektifan dan keperaktisan dari prangkat yang telah dikembangkan pada tahap pengembangan atau berupa hasil draft II.

4. Instrumen Penelitian

Untuk mengukur model pembelajaran matematika realistik yang valid, praktis, dan efektif, maka diperlukan instrumen penelitian. Instrumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah (1) lembar validasi, (2) lembar penilaian ahli dan praktisi tentang keterlaksanaan dan keefektifan model, (3) angket respons siswa dan guru terhadap komponen dan kegiatan pembelajaran, dan (4) tes hasil belajar.

5. Teknik Analisis Data

1. Analisis Data Kelayakan Seluruh Instrumen Data yang dijaring dengan instrumen dengan lembar penilaian validasi selanjutnya dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut.

a) Penilaian oleh setiap ahli terhadap setiap instrumen dirangkum dalam suatu tabel yang disebut dengan Tabel Hasil Penilaian Kelayakan Instrumen Penelitian.

b) Kriteria, jika frekuensi data layak digunakan atau layak digunakan dengan revisi lebih banyak dibandingkan dengan frekuensi tidak layak digunakan untuk instrumen tertentu, maka instrumen tersebut akan dilanjutkan penggunaannya.

c) Jika ada masukan yang diberikan oleh para ahli dan ditulis pada instrumen yang dinilai, maka akan dijadikan pertimbangan untuk melakukan revisi instrumen yang dimaksud.

2. Analisis Model Pembelajaran Matematika Realistik Data yang diperoleh dianalisis dan diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan apakah model pembelajaran matematika realistik Indonesia, perangkat pembelajaran dan instrumen yang dikembangkan adalah memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan dan keefektifan atau belum. Data yang diperoleh dari para ahli dan praktisi dianalisis untuk menjawab, apakah model pembelajaran yang dikembangkan sudah dikatakan valid ditinjau dari kekuatan landasan teoritis dan konsistensi diantara komponen-komponen model secara internal. Sedangkan data hasil uji coba lapangan (di kelas) digunakan untuk menjawab kriteria kepraktisan dan keefektifan model pembelajaran yang dikembangkan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini telah menghasilkan perangkat pembelajaran matematika SMP dengan model pembelajaran matematika realistik yang meliputi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku Guru (BG), Buku Siswa (BS), Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Tes Hasil Belajar (THB) yang Valid, Praktis dan Efektif. Proses pengembangan perangkat pembelajaran mengacu pada model 4-D yaitu tahap pendefinisian (define),tahap perancangan (desigen), tahap pengembangan(development), tahap penyebaran (desimination).

Masing- masing perangkat pembelajaran yang dikembangkan tersebut dalam penelitian ini telah dinilai valid oleh para validator dengan nilai kevalidan RPP sebesar 3,93, nilai kevalidan BG sebesar 4, nilai kevalidan BS sebesar 4, nilai kevalidan LKS sebesar 4, dan nilai kevalidan THB sebesar 4. Sehingga dinyatakan semua perangkat pembelajaran dinyatakan valid.

Rata-rata tingkat pencapaian IO (Intended Operatonal) /Pengamat yaitu 3,8 dengan kategori sedang (tinggi) maka tidak perlu dilakukan revisi dan dinyatakan kegiatan pembelajaran Rata-rata tingkat pencapaian IO (Intended Operatonal) /Pengamat yaitu 3,8 dengan kategori sedang (tinggi) maka tidak perlu dilakukan revisi dan dinyatakan kegiatan pembelajaran

Sedangkan aktivitas guru dan aktivitas siswa masih dalam toleransi waktu ideal. Aktivitas dari ke enam aktivitas ternyata hanya telaksana aktivitas 1-5 dipenuhi. Sehingga aktivitas guru dikatakan efektif dengan menggunakan pendekatan pembelajaran matematika realistic Indonesia. Sedangkan untuk aktivitas siswa dari 10 aktivitas hanya terlaksana aktivita 1-9 dengan waktu masih dalam toleransi waktu ideal. Sehingga aktivitas siswa dikatakan efektif dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistic Indonesia. Jadi aktivitas guru dan aktivitas siswa dikatakan efektif dengan menggunakan model pembelajaran matematika realistik.

Respon siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran matematika realistik menunjukkan bahwa rata-rata 97,33% siswa senang terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran matematika realistik , 82% menyatakan bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran matematika realistik ini baru bagi mereka, 100% menyatakan bahwa berminat untuk mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran matematika realistik, 98% menyatakan jelas bahasa yang digunakan, dan 98% diantaranya mengerti dan memahami pembelajaran dengan model pembelajaran matematika realistik. Selain itu, rata-rata 90,33% siswa mengakui tertarik dan menyukai penampilan buku dan dapat memahami bahasa yang digunakan. Data tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 80% siswa merespon dalam kategori positif, respon siswa dapat dikatakan positif.

D. SIMPULAN DAN SARAN

1. Dari hasil belajar siswa menunjukkan kategori 87% memperoleh hasil tinggi. Sehingga dapat dinyatakan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran Matematika Realistik efektif ditinjau dari hasil belajar. Dan dari hasil belajar siswa menunjukkan hasil lebih dari KKM secara klasikal dan Individu sehingga pembelajaran dikatakan efektif terhadap pembelajaran matematik dengan model pembelajaran matematika realistik.

2. Sehubungan dengan hasil penelitian tersebut, hendaknya para pengguna perangkat pembelajaran dengan model pembelajaran matematika realistik yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat menjadi refrensi pengembangan berikutnya.

3. Pengembangan perangkat mudah-mudahan bisa dilanjutkan kejenjang yang lebih luas baik itu tingkat SMA maupun Perguruan Tinggi.

E. DAFTAR PUSTAKA

Agus Suprijono,.2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem.Surabaya Pustaka Pelajar.

Annuarrahman. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Alfabeta. Asri Budiningsih. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : PT.Rineka Cipta. Asmin. 2003. Model Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia:Jakarta. Prestasi Pustaka. Azwar. 2008. Metode Penelitian.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Badarudin.2011. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran PGSD. FKIP UM Purwekerto. Djamari Mardapi. 2008. Tehnik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Jogjakarta: Pustaka

Pelajar. Erman Suherman, dkk.2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA:

Universitas Pendidikan Indonesia.

Grave Meijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Ultrect: Freudenthal. Herman Hudojo. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran matematika. Malang: UM

Press. Irzani. 2009. Strategi Belajar Mengajar. Yoyakarta : Media Grapindo Press. Joyce and Weil.1992. Pengembangan Pengajaran .Jakarta : Erlangga. Mulyasa, E. 2009. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Surabaya Intelektual Club . Najib Sulhan, 2010. Pembangunan Karakter Pada Anak Surabaya: Surabaya Intelektual Club. Nur dan Wikandari,2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Kontruktivis

Dalam Pengajaran . Surabaya: PSMS Program Pasca Sarjana Unesa. Sumadi SuryaBrata .2002. Evaluasi Hasil Belajar. Surakarta : Pustaka Pelajar. Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta : UNY Press. Sutarto Hadi.2006. Pendidikan Matematika Realistik, Banjarmasin: Tulip. Robert Slavin. 2005. Cooperative Learning. Bandung : Nusa Media. Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2009. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung :

PT. Imperial Bhakti Utama. Trianto, 2010. Mendesain Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta : Kencana. Zainal Arifin, 2012. Penelitian pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Zulkardi. 2005. Developing A Learning Envoirment On Realistic Mathematics Education For

Indonesian Students Teachers . Thesis University of Twenr Enscede: Print Parthers Ip Skamp.

P – 73

KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA BERJENJANG DITINJAU DARI PERBEDAAN GENDER

1 2 Sudi Prayitno 3 , St. Suwarsono , Tatag Yuli Eko Siswono

1 2 FKIP Univesitas Mataram, 3 FKIP Univesitas Sanata Dharma, FMIPA Universitas Negeri Surabaya

1 sudiunram@gmail.com

Abstrak

Komunikasi matematis merupakan kesanggupan siswa dalam memahami, menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika menggunakan bahasa dan representasi matematika baik secara lisan maupun tertulis. Berdasarkan tingkatan berpikir siswa, soal-soal matematika dapat dijenjangkan, yaitu meliputi (1) mengeksplorasi dan mengingat kembali: fakta, prinsip, dan prosedur, (2) mempraktekkan latihan dan keterampilan, (3) memecahkan masalah, dan (4) menginvestigasi. Penelitian ini berjenis kualitatif, dimana pengambilan datanya dilakukan melalui pekerjaan tertulis siswa, penyampaian pekerjaan secara lisan dan wawancara mendalam. Hasil penelitian siklus awal menunjukkan bahwa tiap-tiap jenjang soal matematika mengeksplorasi unsur-unsur kemampuan komunikasi matematis yang berbeda-beda. Berdasarkan gender, siswa laki-laki cenderung lebih baik dalam hal komunikasi matamatis secara tertulis, sedangkan siswa perempuan lebih baik dalam komunikasi matematis secara lisan.

Kata kunci: komunikasi matematis, siswa SMP, soal matematika berjenjang, gender.

A. PENDAHULUAN

Matematika merupakan suatu ilmu yang mendukung untuk pengembangan ilmu yang lain, sehingga matematika sering disebut alat untuk ilmu. Matematika disajikan menggunakan simbul-simbul, istilah-istilah, rumus, diagram, ataupun tabel, sehingga matematika juga dipandang sebagai suatu bahasa. Baroody (1993) berpendapat bahwa matematika sebagai sebuah bahasa, matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, lebih dari alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah, atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga alat yang tak ternilai untuk mengkomunikasikan berbagai gagasan dengan jelas, akurat, dan ringkas. Dantzig (dalam Baroody, 1993) menyebut matematika sebagai “language of science”, sedangkan Jacobs (dalam Baroody, 1993) menyebut matematika sebagai “the universal language”, karena orang-orang di seluruh dunia menggunakan matematika untuk berkomunikasi meskipun berbeda bahasa aslinya. Bagi anak-anak, matematika kadang-kadang dianggap sebagai bahasa asing.

Kemampuan komunikasi matematika merupakan kemampuan siswa dalam menggunakan matematika sebagai alat komunikasi (bahasa matematika), dan kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan mateatika yang dipelajarinya sebagai isi pesan yang harus disampaikan (NCTM, 1989). Menurut Kennedy dan Tipps (1994), kemampuan komunikasi matematika meliputi (1) penggunaan bahasa matematika yang disajikan dalam bentuk lisan, tulisan, atau visual, (2) penggunaan representasi matematika yang disajikan dalam bentuk tulisan atau visual, dan (3) penginterpretasian ide-ide matematika, menggunakan istilah atau notasi matematika

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Kemampuan komunikasi matematis perlu menjadi fokus perhatian dalam pembelajaran matematika, sebab melalui komunikasi siswa dapat mengorganisasi dan mengonsolidasi berpikir matematikanya dan siswa dapat mengeksplorasi ide-ide matematika (NCTM, 2000). Pembiasaan memberikan argumen terhadap jawabannya, dan memberikan tanggapan terhadap jawaban orang lain akan menjadikan pembelajaran matematika lebih bermakna. Penyelesaian masalah matematika menjadi kurang bermakna apabila tidak dapat dipahami oleh orang lain. Oleh karenanya, peran komunikasi matematika menjadi sangat penting dalam pembelajaran matematika. Komunikasi matematis diperlukan oleh orang-orang untuk menkomunikasikan gagasan atau penyelesaian masalah matematika, baik secara lisan, tulisan, ataupun visual, baik dalam pembelajaran matematikan ataupun di luar pembelajaran matematika.

Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang perlu dibekalkan dalam pendidikan matematika di Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Depdiknas, 2006) disebutkan bahwa Pelajaran matematika diberikan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Selain kemampuan tersebut, lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga disampaikan bahwa pelajaran matematika dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain. Selain dalam dokumen resmi negara Indonesia, pentingnya komunikasi matematis juga tercantum dalam dokumen Standar Proses Pendidikan Matematika di Amerika Serikat, yang meliputi (1) pemecahan masalah, (2) penalaran dan bukti, (3) komunikasi, (4) koneksi, dan (5) representasi (NCTM, 2000). Kementrian Pendidikan Ontario tahun 2005 (dalam The Literacy and Numeracy Secretariat, 2010) juga mengungkapkan pentingnya komunikasi matematis dalam penyataannya “Mathematical communication is an essensial process for learning mathematics because through communication, students reflect upon, clarify and expand their ideas and understanding of mathematical relationships and mathematical arguments ”.

Kemampuan komunikasi matematis yang dikaji NCTM (2000) dalam Principles and Standards for School Mathematics meliputi (1) kemampuan menyatakan gagasan-gagasan matematika secara lisan, tulisan, serta menggambarkan secara visual, (2) kemampuan menginterprestasikan dan mengevaluasi gagasan-gagasan matematika baik secara lisan maupun tertulis, dan (3) kemampuan menggunakan istilah-istilah, simbol-simbol, dan struktur-strukturnya untuk memodelkan situasi atau permasalahan matematika. Sedangkan Greenes dan Schulman (1996) merumuskan kemampuan komunikasi matematis dalam tiga hal, yaitu (1) menyatakan ide matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara visual dalam tipe yang berbeda, (2) memahami, menafsirkan, dan menilai ide yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau dalam bentuk visual, dan (3) mengkonstruk, menafsirkan dan menghubungkan bermacam-macam representasi ide dan hubungannya. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan memahami dan mengungkapkan gagasan matematika secara tertulis dan lisan. Kemampuan ini meliputi kemampuan dalam (1) menggunakan pendekatan bahasa matematika (notasi, istilah dan lambang) untuk menyatakan informasi matematis, (2) menggunakan representasi matematika (rumus, diagram, tabel, grafik, model) untuk menyatakan informasi matematis, dan (3) mengubah dan menafsirkan suatu informasi matematis dalam representasi matematika yang berbeda.

Komunikasi matematis yang penting seperti tertuang dalam dokumen-dokumen negara masih belum mendapat perhatian dalam implementasinya di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa Indonesia masih rendah. Izzati (2010) mendapatkan gambaran lemahnya kemampuan komunikasi siswa dikarenakan pembelajaran matematika selama ini masih kurang memberi perhatian terhadap pengembangan kemampuan ini. Hal yang sama juga ditemukan oleh Kadir (2010) bahwa kemampuan Komunikasi matematis yang penting seperti tertuang dalam dokumen-dokumen negara masih belum mendapat perhatian dalam implementasinya di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa Indonesia masih rendah. Izzati (2010) mendapatkan gambaran lemahnya kemampuan komunikasi siswa dikarenakan pembelajaran matematika selama ini masih kurang memberi perhatian terhadap pengembangan kemampuan ini. Hal yang sama juga ditemukan oleh Kadir (2010) bahwa kemampuan

Masalah atau soal dalam matematika mempunyai beberapa tipe dan tingkat, sesuai dengan jenjang berpikir yang berkembang pada diri setiap siswa. Vui (2007) menjenjangkan soal matematika berdasarkan tingkat pemikiran siswa dalam empat tingkatan, dari terendah sampai tertinggi yaitu (1) mengeksplorasi dan mengingat fakta, prinsip, dan prosedur, (2) mempraktikan latihan dan keterampilan, (3) memecahkan masalah, dan (4) investigasi. Penjejangan soal matematika berdasar tingkat pemikiran ini tidak berbeda jauh dari jenjang kognitif Bloom maupun revisinya.

Pengungkapan profil komunikasi matematis siswa SMP dalam artikel ini ditinjau dari perbedaan gender. Gender merupakan salah satu karakteristik yang melekat pada setiap individu. Gender merupakan konsep sosial yang membedakan antara laki-laki dan perempuan (Handayani, 2006). Santrock (2003) menyatakan bahwa gender adalah jenis kelamin yang mengacu pada dimensi sosial budaya seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial dan budaya. Goos (2007) menyebutkan bahwa banyak hasil penelitian terkini yang menyajikan adanya perbedaan prestasi belajar, sikap, dan partisipasi yang dipengaruhi perbedaan gender. Para peneliti saat ini menyadari bahwa perbedaan hasil belajar matematika siswa yang dipengaruhi perbedaan gender adalah tidak mutlak, sering tertukar, hal ini juga dipengaruhi latar belakang sosial ekonominya. Lebih lanjut Goos (2007) menyimpulkan bahwa secara umum perbedaan gender dalam pretasi belajar matematika tergantung pada isi tugas, sifat pengetahuan dan keterampilan yang ditugaskan, serta kondisi saat mengerjakan tugas. Hasil penelitian (Dewi, 2009) menyimpulkan bahwa kelengkapan komunikasi matematis mahasiswa perempuan lebih baik dibanding mahasiswa laki-laki, namun keakuratan komunikasi matematis mahasiswa laki-laki lebih baik dibandingkan mahasiswa perempuan. Di samping itu, komunikasi lisan mahasiswa perempuan lebih baik dibanding mahasiswa laki-laki, kecuali pada mahasiswa yang berkemampuan matematika tinggi. Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan gender mempunyai andil untuk menerangkan profil seseorang dalam menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan hasilnya, namun perbedaan ini belum konsisten. Dengan demikian ketidakkonsitenan hasil dalam penelitian yang melibatkan kajian perbedaan gender dalam suatu kelompok umur dan kelompok budaya yang berbeda tidak dapat dijelaskan hanya oleh jenis kelamin. Oleh karenanya, perbedaan gender masih perlu diteliti lebih lanjut, termasuk dalam penelitian ini, yaitu terkait dengan kemampuan komunikasi matematis seorang siswa dalam menyelesaikan soal matematika.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang berupaya untuk mencari makna atau hakikat dibalik gejala-gejala yang terjadi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan profil kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal matematika berjenjang ditinjau dari perbedaan gender. Pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan kualitatif didasari oleh alasan bahwa penelitian ini memenuhi karakteristik penelitian kualitatif, yaitu: (1) bersifat alami, yaitu penelitian dilakukan sesuai keadaan sebenarnya dan peneliti sebagai instrumen utama, (2) datanya bersifat deskriptif, yang berupa rangkaian kata-kata Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang berupaya untuk mencari makna atau hakikat dibalik gejala-gejala yang terjadi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan profil kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal matematika berjenjang ditinjau dari perbedaan gender. Pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan kualitatif didasari oleh alasan bahwa penelitian ini memenuhi karakteristik penelitian kualitatif, yaitu: (1) bersifat alami, yaitu penelitian dilakukan sesuai keadaan sebenarnya dan peneliti sebagai instrumen utama, (2) datanya bersifat deskriptif, yang berupa rangkaian kata-kata

Subyek penelitian ini terdiri dari dua orang SMP kelas VIII, seorang laki-laki dan seorang perempuan, dimana keduanya mempunyai gaya kognitif yang sama (dalam hal ini, Field Independent) dan mempunyai kemampuan matematika yang relative sama. Instrumen penelitian berupa soal-soal matematika yang disajikan dalam empat jenjang. Soal matematika berjenjang yang dikaji dalam penelitian ini mengambil satu topik, yaitu mengenai persegi dan persegi panjang. Soal-soal yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan validasi pada aspek materi, konstruksi, dan bahasa. Instrumen soal yang digunakan dalam penelitian ini telah divalidasi oleh lima orang pakar dalam pendidikan matematika, dan telah dilakukan perbaikan-perbaikan terkait dengan saran-saran dari para validator.

Pengambilan data dilakukan dengan memberikan sebuah soal pada tiap-tiap jenjang, dilanjutkan siswa mengerjakan secara tertulis, menjelaskan jawabannya secara lisan, dan dilanjutkan dengan wawancara mendalam. Agar wawancara dapat dilaksanakan sesuai tujuan penelitian, maka setiap proses wawancara senantiasa mengikuti pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya. Setiap pertemuan dengan subyek hanya mengungkap profil komunikasi matematis seorang subyek untuk sebuah soal saja. Hal ini ditujukan agar proses pengambilan data dapat fokus, siswa tidak mengalami kecapekan atau bosan saat diwawancarai. Hasil tes tertulis, lisan, dan wawancara didokumentasikan. Dokumen penjelasan lisan dan wawancara disimpan dalam bentuk video, dan disusun transkripnya. Data-data penelitian selanjutnya dianalisis dengan cara kategorisasi, pemaparan, temuan menarik lainnya, dan penarikan kesimpulan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini merupakan deskripsi awal profil kemampuan komunikasi matematis siswa SMP dalam menyelesaikan soal matematika berjenjang ditinjau dari perbedaan gender. Hasil penelitian ini secara ringkas disajikan dalam tabel 1 berikut:

Tabel 1. Perbedaan kemampuan subyek laki-lai dan perempuan No Kategori Kemampuan

Subyek Laki-laki

Subyek Perempuan

1. Kemampuan matematis Mampu mengerjakan dengan Mampu mengerjakan

benar soal jenjang 1, 2, dan 3.

dengan benar soal

Untuk soal jenjang ke-4,

jenjang 1, 2, dan 3.

subyek mampu memperbaiki

Untuk soal jenjang ke-4,

jawaban sehingga hasil

subyek mampu

akhirnya menjadi benar

memperbaiki jawaban sehingga hasil akhirnya menjadi benar

Subyek menulis jawaban jawaban secara tertulis

2. Kemampuan menulis

Subyek menulis jawaban

secara lengkap, menggunakan secara ringkas, notasi dan simbol secara benar, menggunakan simbol menggunakan rumus dengan

dan rumus dengan benar,

benar, namun untuk operasi

menggunakan prosedur

perhitungan matematika

dengan benar, namun

kurang lengkap (kadang

kesulitan dalam menulis

dilompati)

persamaan (aljabar)

3. Kemampuan

Subyek menjelaskan menjelaskan secara

Subyek enggan menjelaskan

jawaban secara lisan, sehingga jawaban secara lisan lisan

penjelasannya kurang lengkap, dengan lengkap dan kadang salah menyebutkan

mudah dimengerti,

istilah atau simbol

pengucapan terhadap symbol dan istilah yang digunakan dalam jawaban juga benar

Berdasarkan hasil tersebut dapat kita lihat bahwa kedua subyek mempunyai kemampuan matematis yang seimbang dalam mengerjakan soal matematika yang diberikan kepadanya. Kedua subyek mampu menjawab benar soal-soal jenjang pertama, kedua, dan ketiga, namun kesulitan dalam menjawab soal jenjang ke-4 (investigasi). Kesulitan menjawab soal jenjang ke-4 dikarenakan subyek laki-laki maupun perempuan belum pernah mengerjakan soal tipe tersebut sehingga kebingungan dalam memahami soalnya. Jawaban soal untuk jenjang pertama (tentang fakta, prinsip, dan prosedur) baik subyek laki-laki maupun perempuan, secara tertulis keduanya tidak lengkap, meskipun setelah dilakukan wawancara secara mendalam keduanya pada dasarnya mampu mengerjakan soal tersebut.

Berikut ini disajikan soal dan jawaban siswa untuk jenjang kedua.

Jawaban subyek laki-laki

Jawaban subyek perempuan

Kedua subyek menjawab soal jenjang ke-2 (mempraktekkan latihan dan keterampilan) dengan benar, namun cara menyajikannya berbeda. Subyek laki-laki menggunakan simbul K, p, l, L berturut-turut untuk menyatakan keliling, panjang, lebar, dan luas dari suatu persegipanjang. Subyek laki-laki dapat menuliskan hubungan panjang dan lebar dengan benar (yaitu p = 3 + l), kemudian menggunakan simbul dan representasi dengan benar, namun saat mencari ukuran lebarnya tidak menggunakan aljabar tapi mencoba-coba bilangan yang sesuai untuk hubungan keliling (K) dan lebar (l) yang didapatkannya. Subyek perempuan menggunakan simbul K, p, l, L berturut-turut untuk menyatakan keliling, panjang, lebar, dan luas dari suatu persegipanjang. Subyek perempuan tidak menuliskan hubungan panjang dan lebar, bahkan saat ditanyakan dalam wawancara, subyek perempuan menjawab hubungan antara panjang dan lebar adalah panjang lebih dari lebarnya. Lebih lanjut saat diminta menuliskannya, subyek menuliskan p > l, kemudian menulis lagi hubungannya p > 3 l. Berdasarkan jawaban tertulis subyek perempuan, terlihat subyek kesulitan mengungkapkan hubungan-hubungan antar variabel (aljabar), namun langsung memikirkan dan digunakan untuk menghitung. Saat mencari ukuran lebar dengan menuliskan l =(70:2)-3:2 , saat diwawancara subyek menjelaskan dengan jelas proses aljabarnya, yaitu karena keliling sama dengan 2 kali panjang ditambah lebar, maka lebarnya dicari keliling dibagi 2, dan karena panjangnya 3 lebihnya dari lebar maka hasinya tadi dikurangi 3, dan perlu dibagi 2 karena lebarnya ada dua. Tanpa penjelasan lisan, jawaban subyek perempuan sulit dipahami meskipun hasil akhirnya benar, dan proses mengerjakannya juga benar.

Subyek laki-laki maupun perempuan kesulitan mengerjakan dan menyajikan jawaban soal jenjang ke-4 (investigasi). Namun pada saat diwawancara, kedua subyek pada dasarnya memahaminya namun kesulitan dalam menuliskan jawaban. Soal yang ditanyakan dalam jenjang ini adalah menanyakan berapakah banyaknya gambar persegi dalam gambar persegi yang terdiri dari gambar-gambar persegi satuan yang dihimpitkan. Subyek laki-laki tidak menggunakan simbul untuk menyatakan jawabannya, saat ditanya kembali dalam wawancara juga tetap kesulitan terhadap simbul apa yang akan digunakan, dia hanya menghitung saja. Sedangkan subyek perempuan, pada jawaban awal juga tidak memeunculkan simbul. Namun saat proses wawancara, subyek memunculkan simbul dengan istilah persegi kecil, persegi sedang, persegi besar . Saat gambar yang ditanyakan lebih besar, dia menambahkan persegi agak besar diantara sedang dan besar. Kemudian saat gambar yang tanyakan lebih besar lagi, dia menambahkan lagi persegi lumayan besar untuk ukuran yang melebih persegi agak besar. Subyek merasa membuat simbul atau istilah lagi kalau diperbesar lagi ukuran persegi yang ditanyakan. Selanjutnya subyek diminta memikirkan lagi istilah yang lebih tepat, subyek kemudian mengusulkan dengan gambar, namun juga tidak efektif kalau gambarnya diperbesar. Akhirnya subyek mengusulkan dengan menyertakan ukurannya, misalkan persegi 1x1, persegi 2x2, dan seterusnya.

Penggunaan simbul dan representasi oleh subyek dalam menyajikan jawaban untuk jenjang pertama sampai ketiga, semakin tinggi jenjangnya semakin banyak pula simbul dan representasi matematis yang digunakan. Hal ini tidak berlaku untuk jenjang keempat (investigasi) karena dalam jenjang ini subyek dituntut untuk memproduksi simbul dan representasi sendiri, sementara siswa SMP belum terbiasa melakukannya di dalam pembelajaran matematika sehari-hari. Hasil ini sedikit berbeda dengan pendapat Vui (2007) yang menggambarkan tingkat kebutuhan komunikasi matematis pada tiap-tiap jenjang soal berdasar tingkat berpikir siswa sebagai berikut.

INVESTIGATING

COMMUNICATING

SOLVE “PROBLEMS”

PRACTICING EXERCISES, SKILLS

EXPLORING & RECALLING: FACTS, PRINCIPLES, PROCEDURES

Gambar 1. Hubungan komunikasi matematis dan jenjang soal berdasar tingkat berpikir

Menurut gambar 1, jenjang soal keempat membutuhkan aspek komunikasi matematis yang terbanyak, dan hal ini berbeda dengan hasil penelitian ini. Perbedaan ini terjadi karena siswa SMP belum terbiasa memecahkan masalah investigasi dan memproduksi istilah atau simbul, dan representasi yang tidak umum.

Berdasarkan data tertulis, lisan, dan wawancara diperoleh dalam penelitian ini memberikan gambaran kesimpulan bahwa baik subyek laki-laki maupun perempuan mengalami kesulitan lebih pada saat menyajikan jawaban untuk jenjang pertama dan keempat. Jenjang pertama menanyakan tentang fakta, prinsip, dan prosedur. Pada jenjang ini sebenarnya siswa tidak mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan pada sesi wawancara mendalam, namun jawaban siswa secara tertulis tidak lengkap. Kondisi ini tentunya dipengaruhi oleh iklim pembelajaran matematika yang dialaminya di kelas, dimana penyajian pembelajaran matematika saat masih didominasi menjawab soal latihan-latihan dibanding soal-soal terhadap pemahaman konsep. Sedangkan soal pada jenjang keempat yang menyajikan investigasi memang dirasa sulit karena siswa tidak bias untuk berpikir kritis, membuat dugaan-dugaan, mencoba berbagai strategi atau percobaan pendahuluan, berpikir hal-hal yang tidak rutin dan baru, serta membuat kesimpulan.

Hasil penelitian ini juga memberikan gambaran kasar perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara subyek laki-laki dan subyek perempuan. Subyek laki-laki lebih dominan pada segi kognitis, menjawab soal-soal matematika berjenjang secara tertulis dengan lengkap. Sedangkan subyek perempuan lebih dominan menjawab soal-soal matematika berjenjang dengan cara verbal dan lisan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wilder dan Powel (dalam Fryer dan Levitt, 2009) yang menyatakan bahwa “differential treatment of male and female students by teachers may perpetuate stereotypes of gender roles, for example girls are more verbal, boys are more cognitive ”.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) semakin tinggi jenjang soal, semakin banyak aspek kemampuan komunikasi yang dieksplorasi oleh siswa, kecuali pada jenjang tertinggi dimana subyek masih kesulitan memproduksi simbul atau representasi yang benar-benar baru baginya, (2) subyek laki-laki lebih unggul menyajikan jawaban secara tertulis secara lebih lengkap dan akurat, sedangkan subyek perempuan lebih jelas menyajikan jawabannya secara lisan atau verbal.

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membangun kulaitas pembelajaran matematika di sekolah. Hal-hal yang bias disarankan berkaitan dengan hasil penelitian ini adalah (1) pembelajaran matematika di sekolah perlu diperdalam dengan penyajian konsep-konsep secara mendalam di samping latihan-latihan, (2) model-model soal investigasi matematika yang mengekplorasi kemampuan matematis secara menyeluruh perlu diberikan kepada siswa, mungkin dapat diberikan sebuah soal pada setiap akhir pokok bahasan, dan (3) pembelajaran matematika di sekolah diupayakan untuk mengakomodasi kemampuan komunikasi matematis yang banyak berguna bagi kehidupan siswa kelak di kemudian hari, baik untuk menyajikan hasil-hasil yang bersifat ilmiah atau yang bermanfaat praktis dalam kehidupan sehari-hari.

E. DAFTAR PUSTAKA

Baroody, A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8: Helping children think mathematically . New York: Macmillan Publishing Company.

Dewi, I. 2009. Profil Komunikasi Mahasiswa Calon Guru Ditinjau Dari Perbedaan Jenis Kelamin . Surabaya: PPS Universitas Negeri Surabaya.

Fraenkel, J. R. & N.E. Wallen. 2009. How To Design and Evaluate Research in Education. Seventh Edition . San Fancisco: The McGrow Hill Companies.

Fryer, R.G. & Levitt, S.D. 2009. An Empirical Analysis of The Gender Gap in Mathematics. Chicago: University of Chicago Press.

Goos, M., G. Stillman, dan C. Vale. 2007. Teaching Secondary School Mathematics, Research and Practice for the 21st Century . Crows Nest: Allen & Unwin.

Handayani, T. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UPT Penerbitan UMM. Izzati, N. & Suryadi, D. 2010. Komunikasi Matematik dan Pendidikan Matematika Realistik.

Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasinal di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta pada tanggal 27 November 2010.

Kadir. 2010. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir sebagai Upaya Peningkatan kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Komunikasi Matematis, dan Keterampilan Sosial Siswa SMP . Bandung: PPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Kennedy, L.M. & Tipps, S. 1994. Guiding Children’s Learning of Mathematics. California: Wadsworth Publishing Company.

NCTM. 1989. Principles and Standards for School Mathematics. Reston: National Council of Teacher of Mathematics.

NCTM. 2000. Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics . Reston: National Council of Teacher of Mathematics .

Qohar, A. 2010. Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematis Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching . Bandung: PPS Univesitas Pendidikan Indonesia.

Santrock, J. W. 2003. Adolesence, Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Shadiq, F. 2007. Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika di PPPG

Matematika tanggal 15-16 Maret 2007. tersedia di http://fadjar3g.files.wordpress.com/ 2008/06/07-lapsemlok_limas.pdf. diakses tanggal 28 Oktober 2010.

The Literacy and Numeracy Secretariat. 2010. Communication in the Mathematics Classroom. Ontario: Capacity Building Series, Special Edition #13.

Vui, T. 2007. A Lesson that may Enhance Classroom Communication to Develop Student’s Mathematical Thinking in Vietnam . Paper presented at APEC-TSUKUBA International Conference III, Tokyo-Kanazawa, December 9-14, 2007.

P – 74

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI THINK TALK WRITE BERBASIS BLENDED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS MATEMATIK SISWA SMP

1 2 Supandi 3 , Widya Kusumaningsih , Lilik Ariyanto

Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Semarang

1 2 hspandi@gmail.com, 3 widya_ku43@yahoo.com, ariyanto.lilik144@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh produk perangkat pembelajaran dengan strategi TTW berbasis Blended Learning pada materi bangun ruang sisi datar yang valid. Subjek uji coba perangkat pembelajaran adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Semarang Tahun Pelajaran 2013/2014. Metode yang digunakan untuk menilai perangkat digunakan validasi dan uji coba. Sebagai instrumen pengumpulan data adalah: (1) lembar penilaian validator terhadap perangkat pembelajaran; (2) tahap uji coba menggunakan: (a) lembar aktivitas siswa; (b) lembar angket respon siswa; (c) Instrumen Tes Hasil Belajar Siswa yang telah divalidasi dan direvisi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) analisis deskriptif hasil penilaian validator terhadap perangkat pembelajaran; (2) rata-rata hasil aktivitas siswa selama pembelajaran; (3) rata-rata respon siswa terhadap perangkat pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran. Hasil penelitian yaitu pengembangan perangkat yang meliputi: Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku Siswa (BS), Lembar Kerja Siswa (LKS), dan Instrumen Tes Hasil Belajar (THB) adalah valid dan dapat digunakan berdasarkan penilaian ahli dan teman sejawat. Implementasi perangkat yang valid dapat tercapai. Penerapan perangkat pembelajaran yang dihasilkan efektif, hal ini dapat dilihat dari: (1) hasil belajar siswa melebihi KKM; ketuntasan klasikal; rata-rata aktivitas siswa; respon siswa terhadap perangkat pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran positif. (2) kontribusi aktivitas berpengaruh terhadap hasil belajar (3) Rata-rata nilai hasil belajar lebih tinggi dari KKM. serta adanya peningkatan kemampuan menulis matematik sehingga hasil belajar juga meningkat

Kata Kunci: Pengembangan Perangkat, Strategi TTW, Blended Learning, Menulis Matematik

A. PENDAHULUAN

Pembelajaran akan lebih efektif dengan menggunakan model-model pembelajaran atau dengan menggunakan inovasi-inovasi. Model pembelajaran itu antara lain berbasis Kontruktivis dan Model Kooperative. Model-model ini memerlukan peran aktif dari siswa, sehingga pembelajaran yang tadinya berpusat pada pengajar (teacher centered) akan dikembangkan pada pembelajaran yang berbasis pada siswa (student centered). Disamping itu perkembangan teknologi yang sangat pesat harus diantisipasi baik oleh guru maupun siswa, karena dengan mengadaptasi perkembangan teknologi maka proses pembelajaran akan terbantu, terutama dalam hal ini pembelajaran dengan strategi Think Talk Write berbasis Blended Learning untuk meningkatkan kemampuan menulis matematik dengan pemanfaatan media e-learning melalui internet. Adaptasi pemanfaatan teknologi yang dimaksud pada penelitian ini dengan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Pelaksanaan pembelajaran dengan strategi think talk write berbasis blended learning tidaklah mudah karena membutuhkan pengetahuan, media, teknik dan peralatan komprehensif. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan penyusunan desain pembelajaran dengan untuk meningkatkan kemampuan menulis matematik siswa SMP dengan mengadopsi teori pengembangan Thiagarajan.

Menulis Matematis

Tugas-tugas menulis matematis merupakan sarana untuk mengembangkan kemampuan menulis dan pemahaman matematis siswa. Tugas-tugas tersebut tentunya harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan mental siswa. Misalnya dalam memberikan tugas menulis pada siswa yang berada pada tahap operasi konkrit, siswa dapat dibantu dengan gambar atau alat peraga yang memudahkan siswa dalam menuangkan gagasan atau ide-idenya. Tugas-tugas menulis matematis dapat membantu guru dalam memantau kinerja dan pemahaman siswa. Dengan menulis guru dapat melihat proses maupun hasil dari apa yang siswa pikirkan dan pahami yang kemudian dituangkan melalui tulisan.

Aktivitas siswa setelah memperoleh tugas-tugas menulis matematis adalah (a) menulis solusi terhadap masalah/tugas yang diberikan termasuk perhitungan; (b) mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah, penyelesaian menggunakan grafik, gambar, atau tabel; (c) mengorekasi semua pekejaan sehingga yakin tidak ada pekerjaan atau perhitungan yang ketinggalan; dan (d) meyakini bahwa pekerjaan yang terbaik, yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya.

Think Talk Write Suatu strategi pembelajaran yang diharapkan menumbuhkembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematika siswa adalah strategi TTW. Strategi yang diperkenalkan oleh Huinker & Laughlin ini pada dasarnya dibangun melalui berfikir, berbicara, dan menulis. Alur kemajuan strategi TTW dimulai dari keterlibatan siswa dalam berfikir atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca, selanjutnya berbicara dan membagi ide (sharing) dengan temannya sebelum menulis. Suasana seperti ini lebih efektif jika dilakukan dalam kelompok heterogen dengan 3-5 siswa. Dalam kelompok tersebut siswa diminta membaca, membuat catatan kecil, menjelaskan, mendengar dan membagi ide bersama teman kemudian mengungkapkannya melalui tulisan.

Aktivitas berpikir (think) dapat dilihat dari proses membaca suatu teks matematika atau berisi cerita matematika kemudian membuat catatan apa yang telah dibaca. Dalam membuat atau menulis catatan siswa membedakan dan mempersatukan ide yang disajikan dalam teks bacaan, kemudian menterjemahkan kedalam bahasa sendiri. Satu manfaat dari proses ini adalah membuat catatan akan menjadi bagian integral dalam setting pembelajaran

Setelah tahap think selesai dilanjutkan dengan tahap berikutnya talk yaitu berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata dan bahasa yang mereka pahami. Mengapa talk penting dalam matematika, Talk penting dalam matematika karena: (1) apakah itu tulisan, gambaran, isyarat, atau percakapan merupakan perantara ungkapan matematika sebagai bahasa manusia. Matematika adalah bahasa yang spesial dibentuk untuk mengkomunikasikan bahasa sehari-hari, (2) pemahaman matematik dibangun melalui interaksi dan konversasi (percakapan) antara sesama individual yang merupakan aktivitas sosial yang bermakna, (3) cara utama partisipasi komunikasi dalam matematika adalah melalui talk. Siswa menggunakan bahasa untuk menyajikan ide kepada temannya membangun teori bersama, sharing strategi solusi, dan membuat definisi, (4) pembentukan ide melalui proses talking. Dalam proses ini, pikiran sering kali dirumuskan, diklarifikasi atau direvisi, (5) internalisasi ide. Dalam proses konversasi matematika internalisasi dibentuk melalui berfikir dan memecahkan masalah. Siswa mungkin mengadopsi strategi lain, mereka mungkin bekerja dengan memecahkan bagian dari soal yang Setelah tahap think selesai dilanjutkan dengan tahap berikutnya talk yaitu berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata dan bahasa yang mereka pahami. Mengapa talk penting dalam matematika, Talk penting dalam matematika karena: (1) apakah itu tulisan, gambaran, isyarat, atau percakapan merupakan perantara ungkapan matematika sebagai bahasa manusia. Matematika adalah bahasa yang spesial dibentuk untuk mengkomunikasikan bahasa sehari-hari, (2) pemahaman matematik dibangun melalui interaksi dan konversasi (percakapan) antara sesama individual yang merupakan aktivitas sosial yang bermakna, (3) cara utama partisipasi komunikasi dalam matematika adalah melalui talk. Siswa menggunakan bahasa untuk menyajikan ide kepada temannya membangun teori bersama, sharing strategi solusi, dan membuat definisi, (4) pembentukan ide melalui proses talking. Dalam proses ini, pikiran sering kali dirumuskan, diklarifikasi atau direvisi, (5) internalisasi ide. Dalam proses konversasi matematika internalisasi dibentuk melalui berfikir dan memecahkan masalah. Siswa mungkin mengadopsi strategi lain, mereka mungkin bekerja dengan memecahkan bagian dari soal yang

Talk (berkomunikasi) pada strategi ini memungkinkan siswa untuk terampil berbicara. Pada umumnya menurut Huinker & Laughlin (dalam Junaedi, 2003) berkomunikasi dapat berlangsung secara alami, tetapi menulis tidak. Berkomunikasi dalam suatu diskusi dapat membantu kolaborasi dan meningkatkan aktifitas belajar dalam kelas. Hal ini mungkin terjadi karena ketika siswa diberi kesempatan untuk berkomunikasi dalam matematik sekaligus mereka berfikir bagaimana cara mengungkapkannya dalam tulisan. Oleh karena itu ketrampilan dalam berkomunikasi dapat mempercepat kemampuan siswa mengungkapkan idenya melalui tulisan. Selanjutnya berkomunikasi atau dialog baik antar siswa maupun dengan guru dapat meningkatkan pemahaman. Hal ini bisa terjadi karena ketika siswa diberi kesempatan untuk berbicara atau berdialog, sekaligus mengkonstruksi berbagai ide untuk dikemukakan melalui dialog.

Selanjutnya fase “write” yaitu menuliskan hasil diskusi atau dialog pada lembar yang disediakan (Lembar Kerja Siswa). Aktifitas menulis berarti mengkonstruksi ide, karena setelah berdiskusi atau berdialog antar teman dan kemudian mengungkapkannya melalui tulisan. Menulis dalam matematika membantu merealisasikan salah satu tujuan pembelajaran yaitu pemahaman siswa tentang materi yang ia pelajari. Aktifitas menulis akan membantu siswa dalam membuat hubungan dan juga memungkinkan guru melihat pengembangan konsep siswa. Selain itu Masingila & Wisniowska (dalam Jenaedi, 2007) mengemukakan aktifitas menulis siswa bagi guru dapat memantau (1) kesalahan siswa, miskonsepsi, dan konsepsi siswa terhadap ide yang sama, (2) keterangan nyata dari prestasi siswa.

Berdasarkan peranan dan keutamaan TTW serta tugas-tugas yang dilakukan siswa dalam menggunakan strategi ini, secara rasional diharapkan bahwa pembelajaran dengan strategi TTW dapat meningkatkan kemampuan menulis matematik.

Blended Learning

Blended learning terdiri dari kata blended yang memiliki arti kombinasi/ campuran dan learning yang berarti belajar. Istilah lain yang sering digunakan adalah hybrid course, pembelajaran integratif, dan pembelajaran multi-metode.

Blended learning merupakan pembelajaran yang mengkolaborasikan pembelajaran tatap muka; pembelajaran berbaisis komputer (offline) yang bisa dilakukan dengan menggunakan power point, maupun aplikasi software seperti cabri3D, cabri2D, dan Geogebra; dengan pembelajaran komputer secara online (internet maupun mobile learning) untuk membentuk suatu pembelajaran yang terpadu.

Pembelajaran ini membuka peluang kepada guru dan siswa dapat meningkatkan kesempatan untuk berinteraksi lebih karena tidak dibatasi oleh ketersediaan jam tatap muka di sekolah. Beban guru untuk mengajar lebih ringan karena siswa dapat belajar banyak lebih mandiri. Waktu kelas dapat digunakan untuk melibatkan para siswa dalam pengalaman interaktif canggih.

Program belajar yang total online tidak dianjurkan untuk pembelajaran yang masih mempertimbangkan perlunya kontak tatap muka antara pebelajar dan pengajar. Komposisi untuk pembelajaran blended bisa menggunakan prinsip 50/50, 75/25 atau 25/75 bergantung pada analisis kompetensi yang ingin dihasilkan, tujuan mata pelajaran, karakteristik pebelajar, interaksi tatap muka, strategi penyampaian pembelajaran online atau kombinasi, karakteristik, lokasi pebelajar, karakteristik dan kemampuan pengajar, dan sumber daya yang tersedia. Berdasar pada aspek tersebut, pengajar akan dapat menentukan komposisi (presentasi) pembelajaran yang paling tepat. Namun demikian, pertimbangan utama dalam merancang komposisi pembelajaran adalah penyediaan sumber belajar yang cocok untuk berbagai karakteristik pebelajar agar dapat belajar lebih efektif, efisien, dan menarik.

Gambar 1. Pembelajaraan Blended di Sekolah

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini digolongkan dalam jenis penelitian pengembangan. Adapun yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah perangkat pembelajaran yang meliputi Buku siswa, Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), sedangkan instrumen penelitian yang dikembangkan adalah lembar, lembar pengamatan aktivitas siswa, angket respon siswa.

Topik matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah bangun ruang sisi datar yang terdiri dari 3 kompetensi dasar yaitu (1) mengidentifikasi sifat-sifat kubus, balok, prisma, limas serta bagian-bagiannya, (2) membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma dan limas, (3) Menghitung luas permukaan dan volume kubus, balok, prisma dan limas.

Pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini adalah proses menghasilkan perangkat pembelajaran. Model pengembangan sistem instruksional Thiagarajan, Semmel dan Semmel dikenal dengan model 4-D. Model ini terdiri dari 4 tahap yaitu: define (pendefinisian), design (perancangan), develop (pengembangan), dan disseminate (penyebaran). Model pengembangan yang digunakan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini adalah modifikasi dari model Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1994). Model 4-D dipilih karena sistematis dan cocok untuk mengembangkan perangkat pembelajaran, namun dalam penelitian ini peneliti melakukan modifikasi terhadap model 4-D. Penelitian kali ini, hanya sampai pada tahap pengembangan saja karena keterbatasan waktu, untuk tahapan penyebaran akan dilakukan pada penelitian selanjutnya.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan Hasil Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan strategi TTW berbasis Blended Learning

Model pengembangan perangkat pembelajaran seperti yang disarankan oleh Thiagarajan, Semmel dan Semmel, (1974) adalah model 4-D (Define, Design, Develop, and Diseminate). Pengembangan perangkat pembelajaran untuk menghasilkan perangkat pembelajaran diinginkan, yakni harus memenuhi kriteria valid dan efektif. Perangkat Pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning yang valid, artinya perangkat pembelajaran tersebut telah memenuhi validitas isi dan validitas konstruk yang ditetapkan oleh Validator (ahli). Perangkat Pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning yang efektif, artinya perangkat pembelajaran yang dikembangkan telah memenuhi kriteria: (1) hasil belajar siswa melebihi KKM sebesar 65; ketuntasan klasikal sebesar 70%; rata-rata aktivitas siswa sebesar 81,43; respon siswa terhadap perangkat pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran positif. (2) aktivitas berpengaruh terhadap hasil belajar dengan kontribusi sebesar 58,9%; (3) Rata-rata nilai hasil belajar sebesar 75 lebih tinggi dari KKM. Berdasarkan hasil penelitian di SMPN 4 Semarang, siswa memberikan respon positif terhadap pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning baik. Hal ini Model pengembangan perangkat pembelajaran seperti yang disarankan oleh Thiagarajan, Semmel dan Semmel, (1974) adalah model 4-D (Define, Design, Develop, and Diseminate). Pengembangan perangkat pembelajaran untuk menghasilkan perangkat pembelajaran diinginkan, yakni harus memenuhi kriteria valid dan efektif. Perangkat Pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning yang valid, artinya perangkat pembelajaran tersebut telah memenuhi validitas isi dan validitas konstruk yang ditetapkan oleh Validator (ahli). Perangkat Pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning yang efektif, artinya perangkat pembelajaran yang dikembangkan telah memenuhi kriteria: (1) hasil belajar siswa melebihi KKM sebesar 65; ketuntasan klasikal sebesar 70%; rata-rata aktivitas siswa sebesar 81,43; respon siswa terhadap perangkat pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran positif. (2) aktivitas berpengaruh terhadap hasil belajar dengan kontribusi sebesar 58,9%; (3) Rata-rata nilai hasil belajar sebesar 75 lebih tinggi dari KKM. Berdasarkan hasil penelitian di SMPN 4 Semarang, siswa memberikan respon positif terhadap pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning baik. Hal ini

Uji Ketuntasan Hasil Belajar

Hasil belajar menggunakan perangkat pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning telah mencapai ketuntasan belajar (KKM = 65) dengan nilai rata-rata prestasi belajar siswa sebesar 75.

Pembelajaran menggunakan strategi TTW mampu meningkatkan kemampuan menulis matematis sehingga hasil belajar siswa meningkat. Aktivitas siswa mendominasi dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya sekedar menerima secara pasif informasi yang ditransfer oleh guru, tetapi berperan aktif dalam menggali informasi yang dibutuhkan sesuai dengan indikator pembelajaran yang telah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan teori Piaget tentang kontruktivis yang mengutamakan peran serta siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Siswa didorong untuk menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan keadaannya (Slavin, 2006:42)

Pengaruh Aktivitas Terhadap Hasil Belajar pada Pembelajaran dengan strategi TTW .

Secara statistik analisis data hasil aktivitas siswa pada kelas uji coba diperoleh R square sebesar 58.9 %, yang berarti 58.9 % aktivitas siswa berpengaruh terhadap hasil belajar, maka dapat disimpulkan bahwa akitivitas siswa pada pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning mempunyai pengaruh yang 58.9 % sedangkan 41.1 % dipengaruhi oleh faktor lain.

Pembelajaran menggunakan strategi TTW berbasis blended learning berpengaruh terhadap hasil belajar, siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran dan secara kreatif berusaha menemukan solusi dari permasalahan yang diberikan, saling berinteraksi dengan teman maupun guru, saling bertukar pikiran, sehingga wawasan dan daya pikir mereka berkembang. Aktivitas dan sikap siswa selama proses pembelajaran memberikan kontribusi positif pada pencapaian hasil belajar siswa. Sebagai contoh keaktivan siswa pada saat berdiskusi dengan anggota kelompok yang lain.

Hal tersebut relevan dengan implikasi dari teori kognitif Piaget yang antara lain menyatakan bahwa memusatkan pada proses berfikir atau proses mental dan bukan sekedar pada hasilnya. Guru harus memperhatikan dan memahami proses yang digunakan siswa sehingga sampai pada jawaban yang diinginkan (Slavin, 2006:42).

Sikap siswa dengan terhadap pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning dalam kriteria baik, hal ini menunjukkan siswa berinteraksi dan berdiskusi dengan baik, mereka dapat menjalankan tugas dengan baik, juga terjadi kompetisi antar kelompok di dalam diskusi kelas. Sikap positif yang dimiliki siswa setelah pembelajaran siswa merasa: 1) suasana yang tidak tegang/ santai dan siswa merasa lebih akrab dengan teman, 2) siswa merasa memperoleh pembelajaran bermakna, pengalaman belajar yang baru dan cukup berbeda dengan pengalaman belajar sebelumnya. Pernyataan ini sesuai dengan Teori belajar bermakna dari David P. Ausubel pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran sehingga pengetahuan yang baru tersebut dapat terkait dengan pengetahuan yang lama yang lebih dikenal sebagai belajar bermakna tersebut.

Dari hasil pembahasan pada penelitian ini dapat dikatakan bahwa: 1) pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning yang materi bangun ruang sisi datar menurut ahli baik dan valid; 2) pengembangan perangkat pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning yang materi bangun ruang sisi datar dapat dilaksanakan baik; 3) aktivitas siswa dalam pembelajaran dengan strategi TTW berbasis blended learning yang materi bangun ruang sisi datar baik.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Penerapan perangkat pembelajaran yang dihasilkan efektif, hal ini dapat dilihat dari: (1) hasil belajar siswa melebihi KKM sebesar 65; ketuntasan klasikal sebesar 70%; rata-rata aktivitas Penerapan perangkat pembelajaran yang dihasilkan efektif, hal ini dapat dilihat dari: (1) hasil belajar siswa melebihi KKM sebesar 65; ketuntasan klasikal sebesar 70%; rata-rata aktivitas

E. DAFTAR PUSTAKA

Ansari, B I. 2004. Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman Komunikasi Matematik Siswa SMU Melalui Strategi TTW. Disertasi. UPI Bandung.

Baroody, A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8. Helping Children

Think Mathematically. New York: Merril, an imprint of Macmillan Publishing Company.

Cai, J. L. & Jakabesin (1998). Assessing Students’ Mathematical Communication. School Science and Mathematics Jaurnal. Volume 96 No. 5. Mei 1996. hal: 238-246.

Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Diknas No.22 tahun 2006 tanggal 26 Mei 2006, Standar Isi. Jakarta: Depdiknas.

Dwiyogo, Wasis D. 2010. Pembelajaran Berbasis Blended Learning. Wikiboks. http://id.wikibooks.org/wiki/Pembelajaran_Berbasis_Blended_Learning , diunduh pada tanggal 10 April 2012 pukul 19.00 WIB.

Hakim, M.T. 2007. Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe JIGSAW Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematika pada Siswa Kelas VII Semester I SMP Negeri 9 Semarang Tahun Pelajaran 2007/2008 . Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UNNES Semarang. Tidak diterbitkan.

Helmaheri. 2005. Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SLTP Melalui Belajar Dalam Kelompok Kecil Dengan Strategi Think-Talk-Write. Tesis. PPs UPI Bandung.

National Council of Teachers of Mathematics. 2000. Principles and Standards for School Mathematics . Reston, Virginia: NCTM.

Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Diterjemahkan oleh Nurulita. 2008. Bandung: Nusa Media

Sobel M.A & Maletsky E.M. 2001. Mengajar Matematika. Sebuah Buku Sumber Alat Peraga, Aktivitas dan Strategi. Jakarta: Erlangga.

Soedjoko, E. 2006. Strategi Think Talk Write dengan tugas-tugas membaca untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika . Makalah Seminar. Disampaikan dalam Konferensi Nasional Matematika XIII di Universitas Negeri Semarang, 24-27 Juli 2006.

Susiawan, F.H. 2004. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Penemuan Terbimbing Untuk Topik Persamaan Linier Satu Peubah di Kelas I SLTP Muhammadiyah Paliyan Daerah Istimewa Yogyakarta Tesis.Surabaya: PPs Unesa.

Thiagarajan, S., Semmel, D.S., and Semmel, M.I. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children: A Sourcebook . Bloomington Indiana: Center for Innovation in Theaching the Handicapped.

P – 75

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN INTEGRASI INTERKONEKSI

Suparni

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta suparni71@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pembelajaran matematika dengan pendekatan integrasi interkoneksi dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Penelitian ini termasuk jenis Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research. Subyek dari penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi pendidikan Matematika yang menenpuh mata kuliah Strategi Pembelajaran Matematika pada semester gasal tahun akademik 2013/2014. Obyek dari penelitian ini adalah pembelajaran menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Penelitian tindakan kelas ini mengambil desain yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart yang merupakan pengembangan dari konsep Kurt Lewin. Teknik pengumpulan datanya adalah tes, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan merupakan analisis data secara kualitatif yang didukung oleh analisis data secara kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan integrasi interkoneksi dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis data skor rata-rataTKBK pada saat pratindakan sebesar 23, siklus I sebesar 27,7, dan dan siklus II sebesar 36,6.

Kata Kunci: pendekatan integrasi interkoneksi, kemampuan berpikir kritis

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan sepuluh program studi (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Pendidikan Matematika, Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia dan Pendidikan Biologi, Teknik Industri, dan Teknik Informatika) merupakan salah satu fakultas baru yang ada di UIN Sunan Kalijaga. Visi, misi, dan tujuan fakultas di antaranya adalah mengembangkan pendidikan dan pengajaran dalam bidang Sains

dan Teknologi yang integratif dan interkonektif yang berkepribadian ZIKR (Zero-based,

Iman, Konsisten, dan Result -oriented) dan mengembangkan penelitian yang berkualitas dalam bidang Sains dan Teknologi, maka setiap kegiatan pendidikan dan pengajaran di Fakultas Sains dan Teknologi selalu diusahakan untuk dapat mengembangkan karakter dan kepribadian mahasiswa.

Pada saat ini pembelajaran yang mengutamakan kemampuan berpikir kritis mahasiswa banyak menjadi pembicaraan. Tuntutan ini muncul seiring dengan perubahan kebutuhan akan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Berpikir kritis merupakan salah satu karakter yang akhir-akhir ini memang menjadi isu pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Kemampuan berpikir kritis juga diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.”

Salah satu potensi yang harus dikembangkan dan dibentuk di perguruan tinggi adalah berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan proses mental yang terorganisasikan dan berperan dalam proses mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah. Berpikir kritis mencakup kegiatan menganalisis dan menginterpretasikan data dalam kegiatan penemuan ilmiah. Kompetensi berpikir kritis, membuat keputusan, memecahkan masalah, dan bernalar sangat dibutuhkan dalam berprestasi di dunia kerja. Oleh karena itu, mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga sebagai calon pendidik selain harus memiliki empat kompetensi utama sebagai pendidik (kompetensi pedagogi, profesional, kepribadian, dan sosial) juga diharapkan memiliki bekal ketrampilan berpikir kritis, menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, dan berpikir kreatif.

Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa perlu dilakukan inovasi pembelajaran. Dengan pembelajaran yang inovatif diharapkan mahasiswa menjadi pribadi pemikir kritis yang dapat dilihat dari ketrampilannya menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, dan menyimpulkan, menjelaskan apa yang dipikirkannya dan membuat keputusan, menerapkan kekuatan berpikir kritis pada dirinya sendiri, dan meningkatkan

kemampuan berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat yang dibuatnya. 1 Seseorang yang mampu melakukan keenam ketrampilan kognitif tersebut berarti kemampuan berpikir

ktitisnya jauh di atas seseorang yang hanya mampu melakukan interpretasi, analisis, dan evaluasi saja. Dengan demikian dapat dibuat penjenjangan kemampuan berpikir kritis seseorang. Tingkat kemampuan berpikir kritis setiap orang berbeda-beda dan perbedaan ini dapat dipandang sebagai suatu keberlanjutan yang dimulai dari tingkatan terendah sampai tertinggi.

Untuk melakukan penilaian kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam aktivitas penyelesaian masalah diperlukan suatu patokan atau kriteria tingkat berpikir kritis. Kriteria ini dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui kualitas kemampuan mahasiswa dalam berpikir kritis dan perkembangannya selama proses pembelajaran dalam menyelesaikan masalah matematika. Berdasarkan kriteria ini, seseorang dapat dikategorikan sebagai pemikir kritis atau tidak. Berdasarkan pemikiran itulah maka peneliti tertarik untuk melakukan pengembangan kemampuan berpikir kritis pada mahasiswa program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melalui

Facione, P.A. 2009. Critical Thinking: What It is and Why It Counts. Insight Assessment, (Online) (http://www.insightassessment.com)

Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw. Pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis mengubah paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan mengutamakan kemampuan berpikir kritis siswa.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah pembelajaran dengan pendekatan integrasi interkoneksi dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta?

3. Tujuan dan Manfaat

a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pembelajaran dengan pendekatan integrasi interkoneksi dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

b. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada.

1) Mahasiswa untuk lebih mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya agar lebih siap dalam menghadapi tantangan di masa depan.

2) Pimpinan Program Studi untuk menjadi dasar dalam pengembangan metode pembelajaran matematika yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa melalui pendekatan integrasi interkoneksi .

3) Pimpinan fakultas untuk menjadi dasar penentuan kebijakan berkaitan dengan pengembangan kemampuan berpikir kritis mahasiswa

4. Peneliti yang lain untuk dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga menghasilkan model pembelajaran yang semakin baik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis yang tinggi.

4. Tinjauan Pustaka

Penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan oleh peneliti yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Penelitian yang dilakukan oleh Suparni, S.Pd., M.Pd. dengan judul “Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kritis Dalam Rangka Pengembangan Karakter Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga”. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan berpikir kritis mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga dalam menyelesaikan masalah hanya sampai tingkat kemampuan berpikir kritis 3 (kritis). Penjenjangan kemampuan berpikir kritis mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga dalam menyelesaikan masalah terdiri dari TKBK 3 (kritis) sebanyak 17,4 %, TKBK 2 (cukup kritis) sebanyak 56,5 %, dan TKBK 1 (kurang kritis) sebanyak 26,1 %.

B. METODE PENELITIAN

1. Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek dari penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika yang menenpuh mata kuliah Strategi Pembelajaran Matematika pada semester gasal tahun akademik 2013/2014. Obyek dari penelitian ini adalah pembelajaran pada materi Hakikat

Matematika menggunakan pendekatan integrasi interkoneksi dan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

2. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang biasa disingkat PTK. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan didukung dengan data-data kuantitatif.

Penelitian tindakan kelas ini mengambil desain yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart yang merupakan pengembangan dari konsep Kurt Lewin. Model Kurt Lewin yang terdiri atas empat komponen yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi, kemudian dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart di mana pelaksanaan tindakan dan pengamatan dilakukan secara bersamaan. Tindakan dan pengamatan tidak dapat dipisahkan pelaksanaannya satu sama lain karena proses pengamatan dilakukan pada saat tindakan diberikan. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti memilih desain PTK dari Kemmis dan Mc Taggart sebagai desain penelitian.

3. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur atau langkah-langkah tindakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Siklus 1 Tahap 1: Menyusun Rancangan Tindakan (Planning) Tahap 2: Pelaksanaan Tindakan (Acting) dan Pengamatan (Observing) Tahap 3: Refleksi (Reflecting) Siklus 2

Siklus 2 dilakukan berdasarkan perencanaan dan perbaikan dari hasil refleksi siklus sebelumnya, kemudian dilakukan refleksi untuk melihat sejauh mana perubahan yang terjadi melalui tindakan kedua. Siklus 2 menggunakan tahapan seperti halnya siklus 1. Siklus berhenti ketika indikator keberhasilan telah tercapai.

4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara peneliti memperoleh atau mengumpulkan data. 2 Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini beserta instrumen pengumpulan datanya adalah tes, angket, wawancara, observasi, dan dokumentasi.

5. Validitas Data

Untuk menghindari kesalahan atau kekeliruan data yang telah terkumpul, perlu dilakukan validasi data. Validasi data dalam penelitian tindakan kelas menurut Hopkins, 3

antara lain dapat dilakukan dengan member check, teknik trianggulasi, key respondents review , dan expert opinion.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan merupakan analisis data secara kualitatif yang didukung oleh analisis data secara kuantitatif. Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data sedang berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis data di lapangan model Miles dan Huberman. Aktivitas dalam analisis data menurut Miles dan Huberman setelah proses pengumpulan data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verivication.

Hamidi, Metode Penelitian dan Teori Komunikasi, (Malang: UMM Press, 2007), hlm. 140 3 Wiriaatmadja, Rochiati, Metode Penelitian Tindakan Kelas, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008),

hlm. 168

Analisis data kuantitatif yang berupa angket pelaksanaan metode Jigsaw untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut:

a. Pengelompokkan butir pernyataan sesuai dengan aspek yang diamati.

b. Berdasarkan pedoman penskoran jawaban angket yang telah dibuat, kemudian dihitung jumlah skor tiap butir pernyataan sesuai dengan aspek-aspek yang diamati.

c. Jumlah hasil skor yang diperoleh pada setiap aspek, dihitung dan dikategorikan sesuai dengan kualifikasi hasil angket untuk membuat kesimpulan mengenai implementasi metode Jigsaw dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis.

Sedangkan untuk analisis data kuantitatif yang berupa hasil tes, dilakukan dengan analisis dengan metode perbandingan tetap untuk mengetahui reliabilitas penjenjangan kemampuan berpikir kritis yang dirumuskan. Pada penelitian ini, reliabilitas dipenuhi jika temuan teori yang didasarkan pada suatu saat pengumpulan data memberikan hasil yang identik atau “sama” (konsisten) dengan hasil teori yang telah dirumuskan sebelumnya.

Untuk mengetahui reliabilitas temuan teori dilakukan analisis perbandingan tetap. 4 yaitu membandingkan suatu kategori data tertentu dengan suatu kategori data tertentu lain

sehingga didapat suatu kategori yang memiliki ciri-ciri sama dan tetap. Suatu kategori yang bersifat tetap ini merupakan teori yang dihasilkan.

7. Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan penelitian merupakan sesuatu yang digunakan sebagai ukuran berhasil tidaknya suatu penelitian. 5 Indikator kemampuan berpikir kritis dikatakan

berkembang jika tingkat kemampuan berpikir kritis mahasiswa mengalami peningkatan dari satu siklus ke siklus berikutnya.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Pra Penelitian

Kegiatan pra penelitian dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 5 September 2013 dan Jum’at, tanggal 6 September 2013 pada perkuliahan Strategi Pembelajaran Matematika dengan mengadakan tes tertulis materi Hakikat Matematika dan mahasiswa sebanyak 45 orang. Hasil tes awal pra penelitian TKBK diperoleh sebagai berikut:

Tabel. 1. Daftar persentase TKBK hasil pra tindakan

2. Hasil Penelitian Tindakan

Penelitian tindakan kelas yang dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa ini terlaksana dalam dua siklus. Siklus I terlaksana dalam dua pertemuan, sedangkan siklus II terlaksana satu pertemuan. Adapun jadual penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut.

Moleong, JL. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

5 Suparman , Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP dan MTs, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), hlm. 17

Tabel 2. Jadual Pelaksanaan Peneliltian

HARI/TANGGAL SIKLUS

MATERI Kelas A

Kelas B

Jum’at,

Kamis,

Tes pratindakan

13 Sept 2013

12 Sept 2013

Jum’at,

Kamis,

Hakikat matematika sebagai ilmu deduktif dan

20 Sept 2013

19 Sept 2013 sebagai ilmu tentang pola dan hubungan.

1 Jum’at,

Kamis,

Hakikat matematika sebagai bahasa dan sebagai

26 Sept 2013 ilmu tentang struktur yang terorganisasikan. Jum’at,

27 Sept 2013

Kamis,

Postes siklus I

4 Okt 2013

3 Okt 2013

Jum’at,

Kamis,

Hakikat matematika sebagai seni dan sebagai

11 Okt 2013

10 Okt 2013

aktivitas manusia

2 Jum’at,

Kamis,

Postes siklus II

18 Okt 2013

17 Okt 2013

Masing-masing siklus mengikuti langkah-langkah penelitian tindakan kelas yaitu perencanaan, pelaksanaan dan observasi, dan refleksi. Penelitian dihentikan setelah siklus II karena indikator keberhasilan sudah tercapai. Sebelum diberi perlakuan, mahasiswa diberi tes awal untuk mengetahui TKBK mahasiswa. Setiap akhir siklus juga dilakukan tes untuk mengetahui TKBK mahasiswa.

Setelah diperoleh skor masing-masing tes, data diolah untuk mengetahui peningkatan TKBK mahasiswa. Berdasarkan hasil analisis data skor tes pra tindakan, postes siklus I, dan postes siklus II diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 3. TKBK berdasarkan banyaknya mahasiswa PRA TINDAKAN

SIKLUS II NO

SIKLUS I

TKBK Banyak

Banyak

Banyak

Persentase Mahasiswa

Tabel 4. TKBK berdasarkan rata-rata skor tes PRA

SIKLUS I

SIKLUS II

Tabel 5. TKBK berdasarkan indikator TKBK

Indikator TKBK

PRA TINDAKAN

SIKLUS I

SIKLUS II

Informasi

7 10 12 Konsep/Ide

8 10 12 Kesimpulan

4 4 6 Sudut pandang

Tabel peningkatan TKBK di atas dapat disajikan dalam diagram sebagai berikut.

Pra Tindakan

Siklus I

Siklus II

Berdasarkan pada hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa setelah mengikuti pembelajaran matematika dengan pendekatan integrasi interkoneksi, maka kemampuan berpikir kritis mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi semakin berkembang. Berdasarkan hasil analisis angket dan wawancara dengan mahasiswa, dapat disimpulkan juga bahwa mahasiswa merasa semakin bertambah luas sudut pandang, penguasaan konsep, pemunculan ide, dan semakin jelas dan logis dalam menarik kesimpulan. Berdasarkan hasil observasi juga menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan integrasi interkoneksi dengan metode Jigsaw terlaksana dengan baik, dan mahasiswa semakin aktif dalam diskusi kelompok terutama dalam memunculkan ide-idenya berkaitan dengan materi yang sedang dibahas, dan semakin luas sudut pandangnya berkaitan dengan pendekatan integrasi interkoneksi materi yang sedang dibahas dengan keislaman.

D. SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Berdasarkan analisis data penelitian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan integrasi interkoneksi dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari analisis data skor TKBK pada saat pra tindakan sebesar 23,28 pada siklus I sebesar 27,67, dan pada siklus II sebesar 36,72.

2. Saran

Berdeasarkan kesimpulan dari penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut:

a. Bagi dosen pengampu mata kuliah yang lain, dapat dicoba menerapkan metode ini dengan materi matematika

b. Bagi pimpinan prodi/fakultas, agar dapat memfasilitasi penelitian lebih lanjut dari penelitian ini

c. Bagi mahasiswa, agar lebih meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya dengan mengikuti penelitian ini.

d. Dapat dilakukan penelitian eksperimen untuk mengetahui efektivitas pendekatan integrasi interkoneksi terhadap kemampuan berpikir kritis mahasiswa.

e. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dengan menggunakan pendekatan yang lain ataupun terhadap variabel yang lain.

E. DAFTAR PUSTAKA

Facione, P.A. 2009. Critical Thinking: What It is and Why It Counts. Insight Assessment, (Online) (http://www.insightassessment.com)

Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi, (Malang: UMM Press. Moleong, JL. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung. PT Remaja

Rosdakarya. Suparman. 2007. Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP dan MTs, (Solo:

Tiga Serangkai. Wiriaatmadja, Rochiati. 2008. Metode Penelitian Tindakan Kelas, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. www.criticalthinking.org (online)

P – 76

VARIABEL-VARIABEL TERSEMBUNYI DALAM GURU MATEMATIKA KREATIF

Suryo Widodo

Universitas Nusantara PGRI Kediri widodonusantara@yahoo.co.id

Abstrak

Berbagai penelitian tentang kreativitas telah banyak dilakukan baik pada guru maupun siswa. Pada umumnya penelitian kreativitas banyak dihubungkan dengan

pemecahan masalah metematika. Dalam penelitian ini ingin diungkap variabel-variabel tersembunyi dalam subjek guru matematika kreatif sebagai temuan lain, dalam mengungkap tahap-tahap berpikir kreatif guru. Hasil penelitian ini menemukan bahwa guru kreatif memiliki kemampuan mengamati, menanya, menalar, menganalogi dan mencoba.

Kata kunci: mengamati, menanya, menalar, menganalogi dan mencoba

A. PENDAHULUAN

Kurikulum 2013 menghendaki perubahan pola pikir guru dalam pembelajaran diantaranya, pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba,

menalar, dan membangun jejaring. Pembelajaran Menggunakan ilmu pengetahuan sebagai

penggerak pembelajaran untuk semua mata pelajaran. Pembelajaran menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberi tahu (discovery learning). Pembelajaran menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi, pembawa pengetahuan dan berfikir logis, sistematis, dan kreatif. Penilaian mengukur tingkat berfikir siswa mulai dari rendah sampai tinggi. Penilaian menekankan pada pertanyaan yang mebutuhkan pemikiran mendalam [bukan sekedar hafalan]; mengukur proses kerja siswa, bukan hanya hasil kerja siswa. Penilaian menggunakan portofolio pembelajaran siswa. Guru mengarahkan siswa untuk berperilaku kreatif diantaranya: memberi tugas yang tidak hanya memiliki satu jawaban benar; mentolerir jawaban yang nyeleneh; menekankan pada proses bukan hanya hasil saja; memberanikan peserta didik untuk: mencoba, menentukan sendiri yang kurang jelas/lengkap informasi, memiliki interpretasi sendiri terkait pengetahuan/kejadian, memberikan keseimbangan antara kegiatan terstruktur dan spontan/ekspresif.

Dyers, J.H. et al (2011) mengatakan bahwa 2/3 dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, 1/3 sisanya berasal dari genetik. Sebaliknya untuk kemampuan kecerdasan berlaku bahwa 1/3 kemampuan kecerdasan diperoleh dari pendidikan, 2/3 sisanya dari genetik. Artinya kita tidak dapat berbuat banyak untuk meningkatkan kecerdasan seseorang tetapi kita memiliki banyak kesempatan untuk meningkatkan kreativitas seseorang. Selanjutnya dalam penelitiannya Dyers (2011) menemukan bahwa pembelajaran berbasis kecerdasan tidak akan memberikan hasil siginifikan (hanya peningkatan 50%) dibandingkan yang berbasis kreativitas (sampai 200%). Temuan ini memberikan banyak kesempatan pada guru untuk

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Banyak penelitian menunjukkan bahwa kreativitas dapat dipelajari dan dapat diterapkan dimana saja, sehingga pendidikan harus diarahkan pada penguatan keterampilan kreatif. Penelitian Widodo (2012) kreativitas guru dalam membuat masalah matematika kontekstual, ditemukan bahwa guru mampu membuat masalah matematika kontekstual yang memenuhi kriteria hasil produk kreatif yaitu kelancaran, keluwesan dan kebaruan. Dalam penelitian sebelumnya widodo (2011) juga menemukan bahwa dalam membuat masalah matematika kontekstual baru guru matematika dengan kualifikasi S-1 pendidikan matematika menggunakan (a) teknik inovasi mengganti kuantitas (bilangannya), (b) teknik inovasi mengganti konteksnya (c) teknik inovasi modifikasi pertanyaanya, dan (d) teknik inovasi menambah informasi. (2) dalam menghasilkan masalah matematika kontekstual baru guru matematika dengan kualifikasi S-1 matematika menggunakan (a) teknik inovasi mengganti bilangannya, (b) teknik inovasi mengganti konteksnya, dan (c) teknik inovasi menambah informasi. Namun demikian teknik-teknik inovasi yang digunakan kedua guru tersebut belum maksimal, jika dirujuk teknik-teknik inovasi yang dikembangkan oleh Vistro-Yu (2009). Beliau mengembangkan ide teknik inovasi untuk menghasilkan masalah baru yang diadaptasi dari teknik inovasi dalam

bercerita: (1) penggantian – membuat masalah yang sama tetapi berubah kuantitas, jumlah, unit, bentuk, (2) penambahan – membuat masalah yang sama tetapi menambahkan informasi baru atau kendala atau menambah hambatan, (3) modifikasi – mengambil kuantitas atau bilangan yang diberikan tetap sama tetapi merubah masalah konteksnya, (4) mengkontekstualisasikan masalah agar masalah yang dibuat lebih relevan kepada siswa, (5) mengubah masalah di sekitar atau membalikkan masalah - mengambil masalah yang sama tetapi mengambil tujuan akhir sebagai yang diberikan dan yang diberikan sebagai tujuan akhir, (6)  reformulasi – membuat masalah yang sama dalam representasi yang berbeda.

Berdasarkan analisis hasil PISA 2009, ditemukan bahwa dari 6 (enam) level kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA, hampir semua peserta didik Indonesia hanya mampu menguasai pelajaran sampai level 3 (tiga) saja, sementara negara lain yang terlibat di dalam studi ini banyak yang mencapai level 4 (empat), 5 (lima), dan 6 (enam). Dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, interpretasi yang dapat disimpulkan dari hasil studi ini, hanya satu, yaitu yang kita ajarkan berbeda dengan tuntutan zaman. Artinya guru matematika perlu melatih diri untuk membuat soal dengan level tinggi (level 4, 5, dan 6)

Analisis hasil TIMSS tahun 2007 dan 2011 di bidang matematika dan IPA untuk peserta didik kelas 2 SMP juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Untuk bidang matematika, lebih dari 95% peserta didik Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara misalnya di Taiwan hampir 50% peserta didiknya mampu mencapai level tinggi dan advance. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan apa yang diujikan atau yang distandarkan di tingkat internasional.

Hasil analisis lebih jauh untuk studi TIMSS dan PIRLS menunjukkan bahwa soal-soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik dibagi menjadi empat kategori, yaitu: (1) low mengukur kemampuan sampai level knowing; (2) intermediate mengukur kemampuan sampai level applying; (3) high mengukur kemampuan sampai level reasoning; (4) advance mengukur kemampuan sampai level reasoning with incomplete information. Dari kenyataan inilah Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah.

Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran semua mata pelajaran meliputi menggali informasi melaui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan ilmiah pembelajaran disajikan berikut ini.

Dari uraian di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut, “variabel-variabel apasaja yang dimiliki guru kreatif dalam membuat maslah matematika kontekstual? Tujuan penelitian ini adalah mengungkap mengungkap variabel-variabel yang dimiliki guru kreatif dalam membuat masalah matematika kontekstual.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bila dilihat dari tujuannya untuk mengeksplorasi apa yang dilakukan guru dalam membuat masalah matematika kontekstual, maka penelitian ini tergolong penelitian eksploratif. Untuk memperoleh gambaran tersebut, peneliti memberikan tugas pada subjek, guru matematika SMP di kabupaten Kediri yaitu “Jimy” (nama samaran) untuk membuat soal matematika kontekstual. Jimy adalah dan Pamela (nama samaran) guru matematika SMP di Kota Kediri dengan kualifikasi akademik S-1 pendidikan matematika. Berdasarkan hasil tugas yang dibuat dua guru tersebut diketahui merupakan guru kreatif. Selanjutnya peneliti melakukan wawancancara mendalam, dengan Jimy berdasarkan hasil tugas membuat masaah matematika kontekstual, yang sering disebut wawancara berbasis tugas. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti. Sedangkan instrumen pembantunya adalah alat perekam audio dan audiovisual (handycam) serta catatan peneliti selama proses penelitian. Langkah penelitian adalah sebagai berikut: Pertama, memilih subjek penelitian sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Kedua, memberikan tugas kepada guru untuk membuat soal kontekstual untuk memperoleh produk kreativitasnya. Ketiga, melakukan wawancara pada guru berdasarkan hasil tugas yang telah dikerjakan serta melakukan pengamatan langsung (dibantu dengan handycam). Keempat, menganalisis hasil tugas tertulis dan wawancara. Kelima, mengungkap kemampuan yang dimiliki oleh guru kreatif dalam membuat soal matematika kontekstual.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada pengungkapan berpikir kreatif Jimy diketahui beberapa variabel tersembunyi yang dimiliki Jimy. Selanjutnya variabel-variabel tersebut diungkap kembali dan dianalisis lebih lanjut data yang telah dihasilkan. Diantara varibel tersebut adalah kemampuan Jimy dalam mengamati, membuat pertanyaan (menanya), menalar, menganalogi dan mencoba. Contoh masalah matematika buatan Jimy

Cara lain dengan menggunakan perbandingan,

Jimy dalam membuat masalah matematika kontekstual diawali dengan mengamati lingkungan sosial siswa atau sekolah. Hal ini ditunjukkan dengan petikan wawancara dengan Jimy sebagai berikut:

Peneliti: Bagaimana bapak bisa menyusun soal tersebut? Jimy: Pada saat ini anak-anak sedang belajar tentang persentase, selanjutnya saya memikirkan,

kegiatan apa yang dapat dihubungkan dengan persentase. Peneliti: Terus? Jimy: Saya lihat penjual minuman cola didepan sekolah. Kebetulan cuaca lagi panas, terlihat banyak anak antri membeli es cola. Dan diantara penjual di sekolah penjual minuman kola ini yang paling laris.

.......... Peneliti: Darimana bapak dapat ide diskon dua kali? Jimy: Dari pengalaman jalan-jalan di mall seringkali ada diskon ganda seperti itu. Seperti saya ini

punya kartu anggota club belanja. Sering mendapatkan diskon ganda, yaitu dari diskon promosi ditambah lagi diskon dari kepemilikan kartu.

....... Dari hasil wawancara terlihat bahwa untuk membuat masalah matematika kontekstual. Jimy selalu

mengamati kejadian-kejadian di lingkungan siswa. Artinya Jimy memiliki kemampuan lebih dalam hal pengamatan. Jimy mampu memunculkan banyak pertanyaan pada masalah matematika kontekstual yang telah dibuat. Hal ini ditunjukkan dengan petikan wawancara dengan Jimy sebagai berikut:

Peneliti: Selain persentase kadar kola, apa masih ada ide lain? Jimy: Masih, misalnya: persentase untung/rugi dari penjualan minuman kola, menetapkan harga

jual pergelas dengan persentase keuntungan tertentu. Misalkan banyak air mineral yang ditambahkan diketahu ditanyakan kadar kola setelah campurannya.

……… Peneliti: Apakah ada ide lain selain waktu berpapasan kedua merpati? Jimy: Jika kedua merpati dilepas dari pangkalan yang sama, setelah berapa detik merpati andika

dilepas agar merpati tiba secara bersamaan? …. Dari hasil wawancara terlihat bahwa untuk membuat masalah matematika kontekstual, Jimy memiliki

banyak ide dalam membuat pertanyaan. Artinya jika diberikan suatu masalah matematika Jimy dapat memunculkan banyak pertanyaan dari masalah tersebut.

Jimy memiliki kemampuan menalar yang baik dalam membuat persamaan matematika maupun menentukan bilangan yang dijadikan informasi. Hal ini ditunjukkan dengan petikan wawancara dengan Jimy sebagai berikut:

Peneliti: dari mana bapak menetapkan bilangan 15 sebagai kecepatan merpati andika, 12 sebagai kecepatan merpati bagus dan 300 sebagai jarak antar pangkalan?

Jimy: Idenya dari Teka-teki jumlah dan kelipatan bilangan bulat. Diketahui dua bilangan bulat jika kelipatan 10 dari jumlah dua bilangan tersebut 270.

Peneliti: Maksudnya gimana? Saya kok belum jelas! Jimy: Dalam soal tersebut 270=10x27. 270 saya maknai jarak 10 saya maknai waktu dan 27 saya

maknai kecepatan rata-rata. Peneliti: Berarti dua bilangan itu bisa saya ambil 10 dan 17? Kenapa bapak ambil 15 dan 12? Jimy: Memang 10 dan 17 jumlahnya 27, tetapi jarak pada soal dibuat 300 jadi 270+2x15 = 300

jadi masing-masing kecepatanya 15m/det dan 12 m/detik. Peneliti: Kenapa ditambah 2x15? Jimy: Disinilah letak masalahnya, sehingga soal ini tidak dapat dikerjakan secara langsung. ............

Jimy memiliki kemampuan mencoba yang dilandasi penalaran (eksperimen) dalam menentukan informasi yang diketahui maupun persyaratan dalam masalah matematika kontekstual. Hal ini ditunjukkan dengan petikan wawancara dengan Jimy sebagai berikut:

Peneliti:bagaimana bapak menentukan kadar kola 20% dan 50%? Jimy: Dari masalah tersebut diperoleh hubungan 5•50% + x•0/100 = (5+x) •20%. Selanjutnya

bilangan bisa diubah-ubah sesuai dengan keinginan kita. ........ Peneliti: darimana dapat ide 12800 sebagai uang pembelian, 8000 dan 16000 sebagai harga sate

ayam dan sate kambing? Jimy: dari persamaan 8000x + 16000 y = 12800 maka nilai x dan y dapat dicoba-coba sehingga

persamaan 8000x + 16000 y = 12800 bernilai benar. 128000 harus merupakan kelipatan dari 8000 dan 16000.

......... Jimy memiliki kemampuan menganalogi informasi, persamaan matematika dalam masalah

matematematika kontekstual ke konteks yang lain. Hal ini ditunjukkan dengan petikan wawancara dengan Jimy sebagai berikut:

Peneliti: dari konteks merpati pulang kandang diketahui merpati terbang siang sejauh 20 km ke arah kandang dan jika malam terbang 10 km berlawanan arah dengan kandang. Apakah bapak memiliki ide lain tentang konteks tersebut?

Jimy: Ada. Misalkan perjalanan burung migrasi. Jumlah burung yang meninggalkan/ masuk dalam kelompok perharinya. Jarak tempuh perharinya dibedakan antara berlawanan dengan arah angin atau searah. Konteks panjat pinang, dengan tinggi pinang 10 m, sekali panjat dapat menempuh 2 m, ketika istirahat mlorot (turun) 1 m. Berapa kali panjat peserta dapat mencapai puncak?

Temuan diatas sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan Dyers (2011) bahwa orang kreatif atau para inovator memiliki kemampuan mengamati, menanya, menalar, mencoba dan membangun jejaring. Namun demikian Dyers tidak menemukan kemampuan membuat analogi bagi para inovator. Sehingga temuan penelitian ini dapat melengkapi apa yang ditemukan Dyers tersebut.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa guru kreatif memiliki: (1) dalam membuat masalah matematika kontekstual selalu mengawali dengan mengamati lingkungan sosial siswa atau sekolah; (2) kemampuan membuat banyak pertanyaan dalam membuat masalah matematika kontekstual; (3) kemampuan penalaran yang baik dalam membuat persamaan matematika maupun menentukan bilangan yang dijadikan informasi; (4) kemampuan mencoba yang dilandasi penalaran (eksperimen) dalam menentukan informasi yang diketahui maupun persyaratan dalam masalah matematika kontekstual; dan (5) kemampuan menganalogi informasi, persamaan matematika dalam masalah matematematika kontekstual ke konteks yang lain.

Dengan adanya temuan tersebut disarankan (1) untuk LPTK sebaiknya melatihkan kemampuan mahasiswa calon guru dalam hal pengamatan, membuat pertanyaan, penalaran eksperimen, serta analogi; (2) untuk dilakukan pengembangan

E. DAFTAR PUSTAKA

Dyers, J.H. et al. 2011. Innovators DNA : Mastering the Five Skills of Disruptive Innovators, Harvard Business Review.

Ina V.S. Mullis et al. 2011. TIMSS 2011 Assessment Frameworks, Boston College: TIMSS & PIRLS International Study Center Lynch School of Education,

Ina V.S. Mullis et al. 2011. PIRLS 2011 Assessment Frameworks, Boston College: TIMSS & PIRLS International Study Center Lynch School of Education,

OECD. 2009, Learning Mathematics for Life: A Perspective from PISA, Paris: OECD Sharp, C. 2004. Developing young children’s creativity: what can we learn from research? VISTRO-YU, C.P. 2009. Using Innovation Techniques to Generate ‘New’ Problems. Dalam

Kaur, B. Yeap, B. Kapur, M. (eds) Mathematical Problem Solving Yearbook 2009, Singapore: World Scientific Publishing Co.

Widodo, Suryo. 2010. Pembelajaran Matematika yang Mendukung Kreativitas dan Berpikir Kreatif. Jurnal Pendidikan Matematika. Vol. 1 No.1 Januari 2010 Hal 43 – 53. Malang: UMM

Widodo, Suryo. 2011. Teknik-Teknik Inovasi Yang Digunakan Guru SMP Dalam Membuat Soal Matematika Kontekstual. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA tanggal 14 Mei 2011 di Universitas Negeri Yogyakarta. ISBN: 978-979-99314-5-0

Widodo, Suryo. 2012. Profil Kreativitas Guru SMP Dalam Membuat Masalah Matematika Kontekstual Berdasarkan Kualifikasi Akademik. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, tanggal 10 November 2012 di Universitas Negeri Yogyakarta ISBN: 978-979-16353-8-7 (Hal MP-263-MP-270)

P – 77

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERKARAKTER PADA MATAKULIAH OPERASI RISET BERBASIS ICT

1 2 3 Sutrisno 4 , Supandi , Widya Kusumaningsih , Lilik Ariyanto 1,2,3,4 Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Semarang

2 3 hspandi@gmail.com, widya_ku43@yahoo.com,

4 lilik.ariyanto144@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran berkarakter berbasis ICT dan implementasinya guna meningkatkan keaktifan, kreativitas serta hasil belajar mahasiswa yang berkarakter pada mahasiswa. Tahapan peneltiian yaitu mendesain perangkat pembelajaran berkarakter berbasis ICT. Kegiatan ini dilaksanakan dalam beberapa tahap, yakni: perencanaan perangkat dan sarana yang akan digunakan pada saat pembelajaran, pembuatan perangkat pembelajaran, pembuatan media pembelajaran ICT, validasi perangkat dan media pembelajaran (ICT) oleh para ahli, revisi hasil validasi oleh para ahli, pengujian terbatas perangkat pembelajaran, evaluasi dan analisis hasil pengujian, evaluasi dan analisis hasil pengujian, pembuatan dan penggandaan laporan dan publikasi jurnal nasional. Perangkat media berupa website yang berisi materi berupa bahan ajar dari operasi riset, perangkat LKM (lembar kerja mahasiswa) untuk tiap pertemuan sesuai dengan rencana pembelajaran (RPP). Hasil penelitian yaitu pengembangan perangkat yang meliputi: Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Mahasiswa (LKM. Implementasi perangkat yang valid dapat tercapai. Keefektifan penerapan perangkat pembelajaran yang dihasilkan dapat dilihat dari aktivitas mahasiswa ; respon mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran positif.

Kata kunci: ICT, keaktifan, pembelajaran , karakter

A. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi yang sangat pesat harus diantisipasi baik oleh pengajar maupun mahasiswa, karena dengan mengadaptasi perkembangan teknologi maka proses pembelajaran akan terbantu, terutama dalam hal ini pemanfaatan media ICT melalui internet. Adaptasi pemanfaatan teknologi yang dimaksud pada penelitian ini dengan mengembangkan perangkat pembelajaran berkarakter berbasis ICT. Dengan pembelajaran berbasis ICT diharapkan mahasiwa lebih aktif dan kreatif, juga menumbuhkan karakter mahasiswa, yaitu mahasiswa yang religius, displin, bertanggungjawab, kerjakeras, komunikatif.

Pelaksanaan pembelajaran berbasis ICT tidaklah mudah karena membutuhkan pengetahuan, media, teknik dan peralatan komprehensif. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan penyusunan desain pembelajaran berbasis ICT dan perangkat pembelajaran yang diperlukan untuk menumbuhkan kreativitas dan karakter mahasiswa PGBI Pendidikan Matematika IKIP PBRI Semarang dengan mengadopsi teori pengembangan Borg & Gall

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengembangkan perangkat pembelajaran untuk meningkatkan prestasi akademik mahasiswa melalui pengembangan pembelajaran berbasis ICT. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah: menghasilkan perangkat pembelajaran berkarakter

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Pembelajaran Operasi Riset di IKIP PGRI Semarang saat ini lebih memfokuskan pembelajaran pada pengembangan kemampuan kognitif namun agak mengenyampingkan pendidikan karakter. Sehingga pelaksanaan proses belajar mengajar perlu segera mengadaptasi pembelajaran berkarakter yang sesuai dengan tema Hardiknas Tahun 2011 yaitu “Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa” dengan sub-tema “Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”. Karakter yang bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap Bangsa dan Negara dengan Pancasila, UUD NKRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sebagai pilarnya (Kemendiknas, 2011).

Hasil penelitian yang telah dilakukan di IKIP PGRI Semarang menyimpulkan bahwa pembelajaran ICT berbasis website efektif digunakan dalam pembelajaran (Wijonarko,dkk (2011)). Supandi (2011) juga melakukan penelitian tentang pemanfaatan website pada mata kuliah geometri. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembelajaran geometri menggunakan website dapat menumbuhkan kreativitas mahasiswa. Sebelumnya, Ariyanto (2010) juga melakukan penelitian pada materi Geometri, menyimpulkan bahwa pembelajaran Geometri menggunakan multimedia seperti video pembelajaran sangat efektif dapat meningkatkan aktivitas dan motivasi belajar peserta didik. Karakter dalam pembelajaran yang diraih antara lain meningkatkan kedisplinan dan kreativitas mahasiswa yang berpengaruh positif pada hasil belajar mahasiswa (Supandi, dkk. 2011).

Paradigma baru pendidikan Matematika menghendaki dilakukan inovasi-inovasi pembelajaran yang terintegrasi dan berkesinambungan, diantaranya menggunakan media ICT. Sebagai salah satu contoh hasil penelitian Rosenberg (dalam Isjoni dkk 2008:9) menyatakan bahwa ICT yang menggunakan teknologi internet dalam mengirimkan serangkaian solusi dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pesera didik. Hal ini didukung oleh Ritz (2009: 15) menyatakan bahwa penerapan teknologi berguna untuk membantu pembelajaran dan menambah pengetahuan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan tekhnologi ke dalam ilmu pengetahuan dan matematika. Sedangkan hasil penelitian Manuela Paechter, Brigitte Maier (2010) menunjukkan bahwa ketika konsep ilmu pengetahuan dalam suatu materi atau keahlian dalam terapan sudah diperolah mahasiswa akan merujuk pada pembelajaran tarap muka, sedangkan ketika ketrampilan dalam pembelajaran mandiri sudah diperoleh, mahasiswa merujuk untuk pembelajaran online. Sedangkan Prayito (2011) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa pembelajaran ICT yang telah dilaksanakan memberikan dampak yang baik yaitu dapat menuntaskan hasil belajar peserta didik dan menumbuhkan keaktifan peserta didik. Hasil penelitian Kaino (2008: 1) menyatakan bahwa pengembangkan program ICT direkomendasikan untuk konseptualisasi dan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika di kalangan peserta didik. Mereka melakukan eksplorasi dan investigasi matematika dalam pembelajaran numerik, simbolik dan grafik. Penelitian Pavlik (dalam Isjoni dkk, 2008: 15) tentang pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk keperluan pendidikan memberikan dampak yang positif terhadap peserta didik. Studi lainnya dilakukan Center for Applied Special Technology (Isjoni dkk, 2008: 15) menyebutkan bahwa pemanfaatan internet sebagai media pendidikan menunjukkan dampak positif terhadap prestasi belajar peserta didik.

Di lain pihak pendidikan karakter melalui upaya yang terencana dengan sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga pendidikan yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran dan kemauan, dan tindakan akan membentuk manusia seutuhnya (Su’ud, dkk 2011 : 115). Karena salah satu tujuan pendidikan karakter menurut Su’ud, dkk (2011 : 52) Di lain pihak pendidikan karakter melalui upaya yang terencana dengan sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga pendidikan yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran dan kemauan, dan tindakan akan membentuk manusia seutuhnya (Su’ud, dkk 2011 : 115). Karena salah satu tujuan pendidikan karakter menurut Su’ud, dkk (2011 : 52)

B. METODE PENELITIAN

Penelitian memfokuskan pada penyusunan desain pembelajaran dan penyusunan perangkat pembelajaran. Pada penelitian akan dilakukan melalui telaah studi pustaka, penyusunan desain dan perangkat pembelajaran di Laboratorium Pengembangan Matematika. Kegiatan yang akan dilakukan antara lain:

a. Melakukan Analisis Kebutuhan

b. Menyusun Draft Desain Pembelajaran dan bahan ajar berbasis

c. Validasi Draft Desain Pembelajaran dan bahan ajar berbasis ICT

d. Revisi Draft Desain Pembelajaran dan bahan ajar berbasis ICT

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengetahui Desain Pembelajaran Operasi Riset berbasis ICT seperti apa yang sesuai untuk menumbuhkan keaktifan, dan karakter mahasiswa IKIP PGRI Semarang. Analisis kebutuhan yang telah dilakukan adalah observasi awal dan wawancara pada dosen pengampu matakuliah operasi riset dan pada mahasiswa pengambil matakuiah operasi riset. Hasil yang diperoleh dari observasi dan wawancara secaa umum adalah, susahnya mahasiswa untuk aktif dan menerima pemhaman materi operasi riset yang banyak penyelesaian serta sola-soal yang berbentuk soal cerita, sulitnya memasukkan nilai-nilai karakter pada saat pembelajaran, kemudian perlunya alat/ software untuk dapat membantu pembelajaran operasi riset terutama pada saat sudah memasuki materi simplex.

Setelah melakukan observasi dan wawancara, tim peneliti mencari solusi-solusi dari permasalahan tersebut secara teoritik, yaitu menelaah hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan permasalahan tersebut serta melakukan studi pustaka guna mendapatkan informasi dan solusi pemecahan masalah tersebut.

Desain Pembelajaran

Pada tahap ini dilakukan perencanaan dengan membuat draft Desain Pembelajaran Operasi Riset berbasis ICT untuk menumbuhkan keaktifan, kreativitas dan karakter. Desain pembelajaran yang disusun oleh tim peneliti adalah dengan menggunakan ICT baik yang berupa media on line maupun off line yang dilengkapi dengan syntakmatik. Setelah rancangan draft desain pembelajaran selesai, tim peneliti mempersiapkan sumber bahan dan materi membuat RPP, syllabus, website, LKM dan media animasi berbasis macro media flash.Penyusunan draft desain pembelajaran ini dilakukan sesuai dengan tahapan pengembangan yang mengadopsi teori pengembangan Borg & Gall.

Selanjutnya dari hasil validasi diperoleh bahwa: - Kegiatan pembelajaran perlu dikembangkan dan spesifikasi sesuai dengan model pendekatan

dan media yang diterapkan termasuk materi pembelajarannya. Validator memberikan dan media yang diterapkan termasuk materi pembelajarannya. Validator memberikan

- Untuk lembar Penilaian terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Untuk lembar penilaian terhadap RPP diperoleh masukan sebagai berikut: - Belum tampak secara spesifik langkah-langkah utnuk menumbuhkembangkan karakter dan

afeksi mahasiswa - Pada kegiatan inti perlu dikembangkan lagi terutama pada langkah elaborasi dan konfirmasi - Perlu lebih dikembangkan lagi aspek afektf khusunya dalam pembelajaran - Perencanaan penilaian perlu dikembangkan lagi dan disesuaikan dengan indikator dan tujuan

pembelajaran pada ketiga aspek koginitf, afektif dan psikomotrik.. Secara umum validator memberikan kesimpulan bahwa perangkat RPP sudah baik dan perlu

adanya perbaikan sedikti sehingga dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Untuk lembar penilaian terhadap RPP diperoleh masukan sebagai berikut: - Perlu ditambah lagi gambar gambar yang lebih sesuai dan muncul pada setiap

topik/kompetensi - Perlu ditambah/dikembangkan lagi contoh-contoh soal yang menarik dan kontekstual serta mempertimbangkan local wisdom (kearifan lokal) - Perlu ditambah soal-soal yang lebih menantang dan pada level higher order thingking

Secara umum validator memberikan kesimpulan bahwa perangkat Lembar kerja Mahasiswa sudah baik dan perlu adanya perbaikan sedikti sehingga dapat digunakan dalam proses pembelajaran.

Tabel 1. Rekapitulasi HAsil Validator

No Vaidator

Rata rata Hasil Validasi Silabus

RPP

LKM

Jumlah

Rataan

Hasil validasi dari kedua Validator media memberi catatan sebagai berikut: - Untuk Tampilan perlu dikembangkan lebih, sehingga tidak banyak tempat kosong. - Untuk Penjabaran isi sudah baik, jika ditinjau dari isi dan keterurutan dalam penyajian, - Perlu peningkatan contents/isi pembelajaran dalam bentuk video dan penyediaan ujian secara

online untuk setiap materi bahasan sebagai sarana latihan mahasiswa, seperti quiz atau pilihan ganda.

- Login Mahasiswa dan proses pendaftaran pada e-learning bisa didokumentasi di pendahuluan

Untuk tampilan Website dengan URL seperti dalam Gambar 1. berikut :

Gambar 1. Tampilan Home Website

D. SIMPULAN DAN SARAN

Hasil pengembangan perangkat pembelajaran meliputi: Silabus, Lembar Kegiatan mahasiswa (LKM), Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dalam penyusunan perangkat pembelajaran tiga hal yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dikembangan sehingga tertuang dalam indicator dalam RPP, maupun dalam LKM. Dengan demikian aktivitas mahasiswa akan Nampak dalam setiap tahap pembelajaran.

E. DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto, Lilik. 2011. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Anchored Instruction Materi Luas Kubus dan Balok Kelas VIII . Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika AKSIOMA volume 2(2), halaman 215-234.

Isjonidkk. 2008. PembelajaranTerkini. Yogyakarta: PustakaPelajar. Isjoni, Ismail, dan Mahmud. 2008. ICT Untuk Sekolah Unggul. Yogyakarta: Kemendiknas.

Hardiknas 2011. www.kemendiknas.go.id/media/424570/SambutanHardiknas2011-Final.pdf [02/05/2011]

Manuela Paechter, Brigitte Maier (2010), Online or face-to-face? Students' experiences and preferences in ICT, The Internet and Higher Education, Volume 13, Issue 4, December 2010 , Pages 292-29.

Munandar. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta. Nurlaelah, Elah. 2009. Pengembangan Bahan Ajar Struktur Aljabar Yang Berbasis Program

Komputer dan Tugas Terstruktur Untuk Meningkatkan Kreativitas dan Daya Matematik Mahasiswa, Laporan Penelitian HIbah Bersaing

Prayito.2011. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Humanistik Berbasis Konstruktivisme Berbantuan ICT Materi Segitiga Kelas VII. Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika AKSIOMA volume 2(2), halaman187-198.

Ritz, J. M. 2009. A New Generation of Goals for Technology Education. Journal of Technologi Education , 20/2:50-64.

Supandi,dkk.2012. Efektivitas Lesson Study terhadap Pembentukan Karakter Dosen dan Mahasiswa Mata Kuliah Geometri . Laporan Penelitian

Supandi, dkk. 2011. Pengembangan Media Website Pada Mata Kuliah Workshop Matematika Di Perguruan Tinggi, Semarang: Laporan Penelitian

Supriadi, Dedi. 1997. Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek. Bandung: CV. Dwi Rama.

Su’ud, Abu, dkk. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah dan Perguruan Tinggi. Semarang: IKIP PGRI Press.

Warsita, B. 2008. Teknologi Pembelajaran. Jakarta: RinekaCipta. Wijonarko.2011. Efektifitas Perangkat Pembelajaran Teori Bilangan berbasis E- Learning pada

Mata Kuliah Teori Bilangan . Semarang .Laporan Penelitian

P – 78

MENGUATKAN KEYAKINAN DIRI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN MULTI-MODAL STRATEGY (MMS)

Syukrul Hamdi

STKIP Hamzanwadi Selong syukrulhamdi@gmail.com

Abstrak

Proses pendidikan yang ditempuh oleh siswa merupakan faktor penentu pengembangan kemampuan yang dimiliki khususnya dalam pelajaran matematika. Hal tersebut harus diusahakan oleh para guru atau pendidik dengan menggunakan berbagai pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika secara maksimal. Salah satu faktor yang berperan penting dalam pengembangan kompetensi matematika siswa adalah keyakinan diri. Adanya keyakinan diri yang tinggi sedikit tidak akan berdampak pada tingginya motivasi siswa untuk meraih prestasi dan meningkatkan kompetensi yang dimiliki. Oleh karena itu, salah satu usaha untuk menguatkan keyakinan diri siswa dalam pembelajaran matematika dapat ditempuh dengan menggunakan pendekatan multi-modal strategy (MMS) yang terdiri atas enam strategy, yaitu: (a) word, (b) number, (c) real thing, (d) diagram, (e) story, and (f) symbol.

Kata kunci: Pembelajaran Matematika, Keyakinan Diri, dan Multi Modal Strategy

A. PENDAHULUAN

Proses pendidikan yang ditempuh oleh siswa merupakan faktor penentu pengembangan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki. Untuk mencapai hasil yang optimal dari proses pengembangan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki tersebut tentunya dibutuhkan usaha yang maksimal dari pelaksana utama proses pendidikan, yakni usaha para guru atau pendidik. Usaha para guru atau pendidik dapat ditempuh dengan menerapkan berbagai pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa. Penerapan pendekatan yang sesuai dengan kondisi siswa akan lebih membantu mereka untuk menyesuaikan diri dan lebih menikmati pelaksanaan proses pembelajaran. Penyesuaian diri dan kesiapan mental yang diliputi rasa nikmat dalam diri siswa nantinya akan membawa dampak yang signifikan terhadap motivasi mereka untuk lebih mendalami materi dan mengerjakan berbagai tugas yang diberikan dengan rasa penuh keyakinan akan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki, begitu juga sebaliknya. Jika pendekatan pembelajaran yang digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa maka mereka akan cenderung bersikap sesuai dengan pengalaman yang diperoleh sehingga mengalami kesulitan dalam memecahkan berbagai masalah ataupun tugas yang diberikan. Kendati pengetahuan dan pengalaman mereka belum sesuai dengan tingkat pemahamanan yang dituntut oleh tarap kesulitan materi namun mereka justru lebih bersemangat untuk belajar lebih giat lagi karena memiliki harapan dan keyakinan seperti apa yang meraka temukan dari proses pembelajaran yang diterapkan oleh guru atau pendidik. Kondisi tersebut pastinya akan sangat menentukan skala peningkatan pengetahuan dan kompetensi yang mereka miliki.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Pada umumnya siswa memiliki tingkat pengetahuan dan kompetensi yang beragam. Keberagaman tersebut merupakan salah satu sifat umum yang ada di dalam suatu kelompok belajar. Keadaan itu juga disebabkan oleh banyaknya jenis mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa dengan kriteria penilaian dan pemahaman yang tidak sama. Oleh karena itu, kondisi yang ada bisa dijadikan sebagai suatu landasan oleh para guru atau pendidik di dalam memilih pendekatan yang paling sesuai dan bisa diterima oleh semua siswa. Salah satu mata pelajaran yang sering membuat siswa merasa kurang karena menjadi salah satu bagian ilmu yang harus dibuktikan dengan angka dan penghitungan yang pasti yakni mata pelajaran matematika. Dalam konteks pembelajaran matematika secara umum, siswa cenderung memiliki persepsi yang berbeda mengenai tingkat kesulitan dan keyakinan mereka di dalam mengikuti proses pembelajaran yang dilaksanakan karena karakteristik materi yang beraneka macam. Untuk mengatasi kondisi tersebut maka dibutuhkan strategi-strategi yang bisa menampung perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman yang mereka miliki agar tidak terjadi kesenjangan pengetahuan dan pemahaman yang signifikan.

Multi Modal Starategy (MMS) adalah salah satu pendekatan yang bisa diterapkan oleh guru atau pendidik untuk menampung dan menguatkan keyakinan diri siswa dalam proses pelaksanaan pembelajaran matematika. Hal itu didukung oleh pengertian MMS yang pada dasarnya menyangkut pengembangan pengetahuan dan pemahaman siswa dengan memberikan perhatian penuh pada enam tahapan yang menjadi fokus utama pelakasanan atau penerapan strategi yang ditempuh dalam proses pembelajaran.

Pelaksanaan proses pembelajaran matematika pada hakikatnya membutuhkan keyakinan diri siswa secara menyeluruh. Tanpa adanya keyakinan diri maka siswa akan mudah pesimis dan enggan untuk mengikuti proses pembelajaran yang dilaksanakan. Sikap-sikap tersebut bukanlah suatu hal yang sederhana namun menjadi salah satu aspek penting yang harus dihindari oleh setiap siswa karena sikap kurangnya keyakinan diri yang berlebihan akan berpengaruh pada motivasi meraka untuk lebih mengusahakan perkembangan tingkat kemampuan dan kompetensi yang dimiliki. Keadaan ini bukanlah menjadi suatu hal yang sepele mengingat level keyakinan diri yang dimiliki oleh seseorang akan sangat berperan dalam menentukan masa depan dan langkah mereka katika berada pada tingkat kesulitan atau level tertentu pada berbagai situasi dan kondisi dilalui. Untuk itu, usaha penguatan keyakinan diri siswa menjadi suatu hal yang penting untuk dilakukan oleh guru atau pendidik. Dari sanalah penulis terinspirasi untuk menyusun sebuah makalah dengan judul “menguatkan keyakinan diri siswa dalam pembelajaran matematika melalui pendekatan multi modal strategy (MMS) ”.

B. PEMBAHASAN

1. Keyakinan Diri (self-efficacy)

Keyakinan diri (self-efficacy) memiliki dampak yang positif pada berbagai aspek kehidupan seseorang terutama dalam pembelajaran. Pendapat tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Zimmerman, Sebastian, & Robert (1996: 27) dimana keyakinan diri merupakan variabel penting bagi siswa untuk melakukan evaluasi terhadap keyakinan mereka tentang efektivitas metode pembelajaran. Bandura (Friedman & Schustack, 2008:283)

(self-efficacy) sebagai ekspektasi-keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh seseorang mampu melakukan suatu prilaku dalam suatu situasi tertentu. Selain itu, keyakinan diri juga didefinisikan sebagai keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu meraih hasil yang diinginkan, seperti penguasaan suatu keterampilan baru atau mencapai suatu tujuan tertentu” (Wade &Tavris, 2007: 180). Pendapat-pendapat para ahli terkait keyakinan diri tersebut menunjukkan bahwa keyakinan diri memiliki peranan yang cukup penting dalam proses pembelajaran.

menyebutkan definisi

keyakinan

diri

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Santrock (2011: 473) yang menyebutkan “Self-efficacy is the belief that one can master a situation and produce positive outcomes”. Secara umum, definisi tersebut menjelaskan jika keyakinan diri Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Santrock (2011: 473) yang menyebutkan “Self-efficacy is the belief that one can master a situation and produce positive outcomes”. Secara umum, definisi tersebut menjelaskan jika keyakinan diri

Definisi-definisi tentang keyakinan diri tersebut menjabarkan fungsi keyakinan diri itu sendiri sebagai sebuah variabel penting bagi siswa di dalam mengontrol berbagai situasi dan kondisi yang ditemukan berdasarkan kesadaran diri yang mereka miliki. Pentingnya fungsi keyakinan diri itu nantinya akan menjadi dasar untuk menemukan sebuah pendekatan pembelajaran yang lebih epektif sehingga dapat menghasilkan output yang lebih baik. Secara sederhana, definisi tersebut memiliki keterkaitan dengan evaluasi pribadi yang bisa dilakukan oleh seseorang sehingga terjadi perubahan positif yang lebih mendorong mereka untuk bersikap optimis terhadap berbagai situasi dan tempat berbeda.

Tanpa adanya keyakinan diri yang kuat maka siswa akan terus merasa terhimpit dalam setiap permasalahan yang ia hadapi karena tidak mampu menemukan solusi yang tepat dari berbagai permasalahan dan tugas yang diberikan. Hal itu disebabkan karena mereka merasa sudah tidak merasa berdaya sejak awal. Di samping itu, ketiadaan keyakinan diri pada siswa akan mengakibatkan mereka sulit untuk menghasilkan suatu perubahan yang lebih baik karena mereka sendiri tidak memahami kemampuan yang mereka miliki serta tidak berdaya mengendalikan setiap situasi yang ditemukan dalam kehidupan.

Dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa keyakinan diri adalah keyakinan yang bisa mengarahkan seseorang untuk menemukan solusi dalam sebuah situasi dan mampu menghasilkan sikap positif dari situasi yang terjadi. Bandura (1997: 42) menyatakan “ efficacy beliefs vary on several dimentions that have important performance implication. They differ in level, generality, and in strenght ”. Pertanyaan tersebut menjelaskan jika pada kekuatan keyakinan berubah-ubah pada beberapa dimensi yang memiliki implikasi penampilan yang ditunjukkan yaitu level, generality, dan strength .

2. Multi-Modal Strategy(MMS)

Pendekatan multi modal strategy adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang mengarahkan siswa untuk membentuk sendiri pemahaman atau konsep mereka terhadap mata pelajaran yang dipelajari. Pemahaman atau konsep yang dihasilkan tersebut dihasilkan melalui beberapa tahap, mulai dari bagaimana sebuah informasi diproses oleh siswa, selanjutkan bagaimana informasi yang diperoleh tersebut dikonstruksi atau dibangun berdasarkan tingkat atau daya kemampuan berpikir mereka, dan yang terakhir bagaimana informasi yang telah dikonstruksi tersebut diatur berdasarkan fungsi dan kedudukannya. Pendekatan ini tentu saja harus didukung oleh kreativitas guru di dalam memilih dan memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada di sekitar lingkungan pembelajaran agar mempermudah proses pemahaman siswa. Dengan kata lain, MMS menjadi suatu pendekatan yang bersifat fleksibel karena bisa dilaksanakan dengan memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang mendukung mata pelajaran, misalnya seperti pemanfaatan kertas bekas untuk membentuk beberapa bangun ruang, pengenalan berbagai pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari untuk memperkenalkan logika matematika dan lain sejenisnya. Dari sana bisa dilihat jika MMS menjadi sebuah pendekatan yang memanfaatkan berbagai modal yang ada untuk memadukan strategi atau teknik pembelajaran matematika.

Enam strategi pada pendekatan MMS merupakan bagian penentu hasil pembelajaran matematika yang diperoleh. Keenam strategi tersebut yakni: (1) real thing, (2) number, (3) word, (4), diagram (5) story, (6) symbol. Starategi berupa tahapan atau cara yang ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran tersebut dilatarbelakangi dan disesuaikan dengan beberapa tahap perkembangan kognitif anak. Tahapan tersebut dimulai dari tahap enactive di mana pemahaman seorang anak dibentuk berdasarkan Enam strategi pada pendekatan MMS merupakan bagian penentu hasil pembelajaran matematika yang diperoleh. Keenam strategi tersebut yakni: (1) real thing, (2) number, (3) word, (4), diagram (5) story, (6) symbol. Starategi berupa tahapan atau cara yang ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran tersebut dilatarbelakangi dan disesuaikan dengan beberapa tahap perkembangan kognitif anak. Tahapan tersebut dimulai dari tahap enactive di mana pemahaman seorang anak dibentuk berdasarkan

3. Menguatkan Keyakinan Diri Siswa dalam Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan Multi-Modal Strategy

Matematika menjadi suatu mata pelajaran yang menuntut siswa untuk berpikir secara konkrit. Proses berpikir konkrit yang dilakukan siswa nantinya akan diperkuat oleh kemampuan mereka untuk mengonstruksi dan menata pemahaman mereka secara memadai. Setiap permasalahan atau tugas yang diberikan akan diselesaikan berdasarkan rumus atau formula tertentu yang telah dipahami sebelumnya. Untuk itu, dukungan terhadap siswa, baik yang berasal dari guru sebagai pendidik maupun dari dalam diri pribadi siswa sebagai subjek pembelajar tentu sangat dibutuhkan. Dukungan yang dimiliki oleh siswa hendaknya diperhatikan dengan membantu mereka untuk memahami materi atau konsep yang diberikan dengan mengarahkan meraka untuk mempergunakan pola pikir meraka sendiri yang dilandasi oleh rasa keyakinan yang tinggi. Keyakinan diri tersebut semata-mata bukan merupakan suatu hal yang bersifat instan atau serta merta melainkan telah menjadi suatu kekuatan yang benar-benar terlahir dari dalam diri siswa karena bekal pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Kekuatan keyakinan diri inilah yang akhirnya akan memperjelas pola pikir siswa dan menguatkan mereka untuk berpikir secara konkrit maupun abstrak sesuai dengan tuntutan pembelajaran matematika yang menjadi bagian dari disiplin ilmu .

Keyakinan diri merupakan salah satu penopang sifat optimistis siswa di dalam menyelesaikan setiap permasalahan matematika yang ditemukan. Oleh karena itu, penguatan keyakinan diri siswa melalui penerapan berbagai pendekatan yang dilakukan oleh guru akan sengat membantu mereka untuk mencapai hasil pembelajaran yang maksimal. Keadaan itu disebabkan oleh fungsi pendekatan yang dipergunakan yang akan mengarahkan dan menuntun mereka untuk menemukan pemahaman terhadap berbagai materi yang diberikan. Kesalahan pemilihan pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran akan berakibat pada salahnya persepsi siswa terhadap mata pelajaran yang dibelajarkan. Hal itu tentu saja akan sangat berbahaya karena bisa menurunkan motivasi dan keyakinan diri mereka, baik sebelum memulai aktivitas belajar maupun sesudah proses tersebut berlangsung. Dengan begitu maka setiap permasalahan matematika yang ditemukan akan sulit untuk dipecahkan atau ditemukan solusinya.

Enam tahapan yang menjadi dasar dibentuknya pendekatan MMS memberikan gambaran jika proses penguatan keyakinan diri siswa memiliki peran penting dalam proses pembelajaran matematika. dengan kata lain, keyakinan diri yang ada di dalam diri siswa akan semakin membantu mereka memaknai dan memahami materi matematika yang diberikan. Penjelasan tersebut akan semakin terlihat ketika keenam strategi yang berupa tahapan pelaksanaan pendekatan MMS dijelaskan secara spesifik berdasarkan aplikasinya di lapangan. Berikut ini ilustrasi alur tahapan MMS menurut Wong Khom Yoong (Yee, 2008: 297):

Real thing

Number

Word

Story

Diagram

symbol

Strategi pertama berupa tahap yang dikenal dengan istilah real thing. Real thing merupakan tahap pengenalan materi atau konsep kepada siswa. Pada tahap tersebut para guru atau pendidik berusaha membangun persepsi dan pamahaman siswa dengan memberikan contoh konkrit yang berkaitan dengan materi pembelajaran matematika yang dibelajarkan. Contohnya yakni penggunaan sebuah benda seperti batu krikil yang sama besar atau lidi yang dipotong sama panjang untuk memberikan konsep penjumlahan atau pengurangan pada siswa SD yang lazim digunakan di pedesaan. Contoh yang lain yakni dengan menggunakan benda seperti apel. Apel tersebut dimanfaatkan untuk memperkenalkan bilangan pecahan dengan membaginya menjadi dua bagian yang sama. Setelah itu, guru memberikan penjelasan kepada siswa jika satu bagian apel dari dua bagian yang sama itu disebut satu per dua atau seperdua. Kedua bagian tersebut masing-masing dibagi dua lagi sehingga menjadi dua bagian yang sama. Dengan demikian dari sebuah apel diperoleh empat bagian apel yang sama. Satu bagian apel dari empat bagian yang sama itu disebut satu per empat. Dari sana maka siswa akan berusaha untuk membentuk atau membangun sendiri pemahaman mereka tentang bilangan pecahan. Selain memberikan contoh konkrit dari wujud materi yang dimaksud, guru bisa mengarahkan pemahaman siswa dengan mempergunakan strategi manipulasi seperti membentuk sebuah kerucut berdasarkan potongan kertas yang ada untuk dianalisis setiap bagian-bagiannya. Intinya yakni siswa lebih diarahkan untuk mengerjakan sesuatu dan menemukan jawaban sendiri atas permasalahan yang ditemukan berdasarkan apa yang telah diketahui dan dipahami.

Kedua, yakni tahap yang dikenal dengan istilah number yang merupakan tahap dimana siswa atau peserta didik diarahakan dengan diberikan tugas mengenal bilangan atau untuk menghitung, baik penjumlahan, pengurangan, perkalian, maupun pembagian. Intinya yakni ada instruksi lanjutan setelah tahap real thing berupa pengenalan langsung objek atau materi yang dimaksud dengan menguji tingkat pemahaman siswa dengan berbagai bentuk soal atau tugas yang berkaitan dengan matematika. Contohnya satu perdua pada contoh real thing dapat ditulis dalam bentuk bilangan ½ ataupun penjumlahan dan pengurangan menggunakan lidi dapat diwujudkan dalam bentuk bilangan seperti 3+ 4=7 dan -7 + 9 = - 2.

Tahap yang ketiga adalah word yakni tahapan dimana siswa diarahkan untuk bisa mengkomunikasikan berbagai materi yang ditemukan dalam pembelajaran matematika. Kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan stiap bagian dari soal matematika yang diberikan memberikan gambaran tingkat pemahaman mereka terkait dengan materi yang telah diberikan. Tahap ini akan sangat membantu siswa di dalam mendeskripsikan dan mengkomunikasikan serta menangkap apa yang dimaksud dari sebuah contoh Tahap yang ketiga adalah word yakni tahapan dimana siswa diarahkan untuk bisa mengkomunikasikan berbagai materi yang ditemukan dalam pembelajaran matematika. Kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan stiap bagian dari soal matematika yang diberikan memberikan gambaran tingkat pemahaman mereka terkait dengan materi yang telah diberikan. Tahap ini akan sangat membantu siswa di dalam mendeskripsikan dan mengkomunikasikan serta menangkap apa yang dimaksud dari sebuah contoh

Keempat adalah tahap diagram di mana guru menjelaskan menggunakan diagram atau garis bilangan pada penjumlahan atau pengurangan bilangan bulat sehingga siswa memahami konsep penjumlahan atau pengurangan lebih cepat. Pada tahap ini guru juga dapat mengarahkan siswa untuk memvisualisasikan atau membuat gambar berupa diagram berdasarkan data dan angka yang diberikan untuk menguatkan pemahaman mereka terkait konsep penjumlahan ataupun pengurangan. Pelaksanaan tahapan ini akan membantu siswa mengembangkan kemampuan verbal mereka terkait dengan kesesuaian data dan angka berdasarkan diagram yang telah dibuat. Dalam tahap keempat ini dibutuhkan kemantapan tahapan sebelumnya agar diagram yang dihasilkan sesuai dengan perintah atau soal yang ditemukan.

Story merupakan tahap kelima dimana siswa diasah kemampuan berpikir logisnya dengan memamntapkan penalaran mereka dari cerita yang diberikan. Dalam tahap ini, akan terlihat jelas jika matematika tidak hanya berhubungan dengan angka secara langsung melainkan juga dapat berupa rangkaian cerita yang menyimpan unsur-unsur soal matematis yang harus dipecahkan dengan rumus yang bersifat matematis pula. Kondisi ini menjadi sebuah keterangan penting jika matematika memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari dan memiliki sifat realistis seperti ilmi-ilmu lainnya. Dari sini matematika dapat menjadi ilmu yang bisa diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan.

Terkahir yakni tahap symbol dimana siswa dituntun untuk mengenal dan memahami manipulasi simbol-simbol matematika yang ada. Kondisi tersebut dibutuhkan untuk mengarahkan dan meningkatkan kompetensi siswa di dalam memahami dan mengembangkan berbagai rumus matematika berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri. Pemahaman yang matang pada konsep ini menjadi tingkat kematangan terkahir yang akan memeprmudah siswa memecahkan berbagai masalah matematika yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari terlebih dalam proses pembelajaran. Berikut ini salah satu contohnya.

-a + b = - (a-b), jika a > b -a + b = b – a, jika b > a

Tahapan-tahapan tersebut menjadi suatu langkah signifikan untuk mencapai tujuan pelaksanaan pembelajaran matematika secara utuh. Akan tetapi tahapan-tahapan tersebut akan lebih maksimal ketika didukung oleh faktor-fektor psikologis yang bersumber langsung dari dalam diri siswa, sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Salah satu faktor tersebut adalah keyakinan diri.

Keyakinan diri yang dimiliki oleh siswa akan sangat menentukan kekuatan dan kematangan sikap mereka ketika berada dalam proses pembelajaran. Keadaan tersebut dikarenakan pada aspek-aspek psikologis tertentu yang dapat diukur dengan mempergunakan tiga skala keyakinan diri yang berlandaskan pada pendapat Bandura. Ketiga skala itu adalah level, generality, dan strenght. Skala yang didasarkan pada skala level diukur dari kemampuan matematika dalam berbagai level atau tingkat kesulitan, mulai dari konsep atau materi yang tergolong mudah, sedang maupun sulit. Apabila keyakinan diri yang ada di dalam diri seorang siswa mampu bertahan pada berbagai tingkat kesulitan maka akan mempermudah dan membantu mereka memahami materi-materi yang disampaikan berdasarkan tahapan strategi yang diterapkan. Pentingnya keyakinan diri bisa dilihat dari proses perkembangan tahapan stretegi yang diterapkan secara berjenjang, mulai dari tahap berpikir konkrit sampai memaknai, memahami dan mempergunakan simbol-simbol tertentu yang ada pada pembelajaran matematika. Lemahnya keyakinan diri siswa karena tingkat kesulitan yang berbeda dapat menimbulkan keraguan dan keengganan siswa untuk menemukan jawaban dan mendalami materi yang disajikan kepada mereka karena mereka hanya yakin pada level atau tingkat kesulitan tertentu.

Generality adalah skala keyakinan diri yang dilihat dari kemampuan siswa menempatkan diri mereka meskipun permasalahan matematika yang diberikan bersifat luas atau mencakup beberapa indikator penting yang harus dikuasai. Apabila keyakinan diri siswa atau peserta didik tetap kuat maka mereka akan mampu menemukan jawaban atau solusi yang tepat dengan berbagai sifat pertanyaan dan tugas matematika yang diberikan. Salah satu hal yang bisa dipertimbangkan dalam metode MMS tersebut ketika dikaitkan dengan skala keyakinan diri ini yaitu kemampuan mereka untuk tetap fokus dan mencerna materi dengan sikap optimis walaupun materi yang diberikan memiliki tingkat keluasan dan kesulitan yang berbeda. Dengan kata lain, siswa mampu menyikapi dan memanfaatkan kemampuan kognitif mereka dalam berbagai situasi dan kondisi yang ditemukan. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan penerapan pendekatan MMS dalam pembelajaran matematika tentunya dengan pertimbangan jika keyakinan diri akan lebih mengarahkan siswa untuk memiliki pemahaman yang lebih baik dan merasa lebih yakin karena membangun sendiri pengetahuan mereka tanpa harus merasa tertekan dengan kewajiban aktivitas tertentu yang bersifat lebih mendikte dan menerima secara langsung rumusan materi tertentu yang diberikan.

Skala yang ketiga yakni strenght di mana keyakinan diri siswa dilihat berdasarkan kemampuan dan kekuatannya untuk bertahan pada berbagai situasi dan kondisi. Keyakinan diri yang dimiliki tidak mudah melemah ketika menemukan rintangan-rintangan di dalam proses yang dilalui contohnya yakni siswa tidak mudah menyerah ketika mereka mulai diperkenalkan dan diberikan materi-materi yang tergolong sulit melainkan rasa keyakinan diri mereka tetap kuat. Kekutan diri pada skala ini umumnya sangat bergantung pada kebiasaan siswa dalam menyelesaikan setiap permasalahan matematika dan ketekunan mereka untuk terus memdalami informasi ataupun pengetahuan-pengetahuan yang terkait dengan materi pembelajaran matematika.

Pada kenyataannya, tahapan strategi MMS yang diterapkan memiiliki tahapan yang bersifat berjenjang sesuai dengan perkembangan pola pikir siswa. Mulai dari jenjang atau tahapan berpikir konkrit yang diperkenalkan dengan malakukan dan menmukan sendiri konsep atau materi yang diberikan dengan langsung melihat contoh dan membedahnya, mengenal berbagai cara atau langkah konsep matematika yang terkait dengan angka, membahasakan angka dan simbol-simbol tertentu, memahami bentuk materi narasi atau pembahasaan matematika yang memiliki kemiripan dengan matematika realistik, membentuk sebuah diagram yang menuntut tarap kemampuan yang lebih kompleks, sampai pada tahap tahap pemaknaan dan penggunaan simbol-simbol tertentu dalam pembelajaran matematika. dengan begitu, bisa dilihat jika MMS mencakup beberapa kemiripan dengan pendekatan kontekstual ataupun pendekatan realistik.

C. SIMPULAN DAN SARAN

Multi modal strategy adalah usaha untuk memaksimalkan refresentasi enam strategi atau tahapan yang ada menjadi sebuah cara yang sistematis dan teknik yang praktis dalam pembelajaran matematika. Keenam strategi tersebut yakni: (1) real thing, (2) number, (3) word , (4), diagram (5) story, (6) symbol. Starategi berupa tahapan atau cara yang ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran tersebut dilatarbelakangi dan disesuaikan dengan beberapa tahap perkembangan kognitif anak yakni enactive, iconic dan symbolic. Enam tahapan yang menjadi dasar dibentuknya pendekatan MMS memberikan gambaran jika proses penguatan keyakinan diri siswa atau peserta didik memiliki peran penting dalam proses pembelajaran matematika. dengan kata lain, keyakinan diri yang ada di dalam diri siswa akan semakin membantu mereka memaknai dan memahami materi matematika yang diberikan. Penjelasan tersebut akan semakin terlihat ketika keenam strategi yang berupa tahapan pelaksanaan pendekatan MMS dijelaskan secara spesifik berdasarkan aplikasinya di lapangan.

D. DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A .1997. Self-efficacy in changing societies. New York, NY: W.H. Freeman and Company

Santrock, J.W. 2011. Educational psychology (5 th ed.). New York, NY: McGraw-Hill Companies

Friedman H.S dan Schustack M.W. 2008. Keperibadian teori klasik dan riset modern. (Terjemahan Firansiska Dian Ikarini, Maria Hany, & Andreas Provita Prima). Upper Saddle River. NJ: Pearson Education, Inc. (Buku asli diterbitkan tahun 2006)

Wade C & Tavris C. 2007. Psokologi edisi kesembilan. (terjemahan oleh Padang mursalin & Dinastuti). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc. (Buku asli diterbitkan tahun 2006)

Zimmerman B J., Sebastian B, & Robert K. 1996. Developing self-regulated learners beyond

achievement to self efficacy . Washington, DC: American Psychological Association

Yee, Lee Peng (Ed.).2008. Teaching secondary school mathematics a resource book second edition. Singapore. Mc Graw-Hill

Yoong, Woong Khoon.1999. Multi modal approach of teaching mathematics in a technological age.

A major paper accepted for presentation at the 8 th SouthEast Asian Confrence on Mathematics Education (SEACME-8) 30 Mei – 4 June 1999. Manila: Ateneo de Manila University

P – 79

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS VII DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) DI SMP NEGERI 1 MUNTILAN

1 Trisnawati 2 , Dwi Astuti

1,2 Prodi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana UNY

1 trysnasuccesgirl@yahoo.com, 2 dwi.astuti.06@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa melalui pendekatan Realistics Mathematics Education (RME) di kelas VIIC SMP Negeri 1 Muntilan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME di kelas VIIC SMP Negeri 1 Muntilan. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Siklus I terdiri dari tiga pertemuan dan siklus II terdiri dari tiga pertemuan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran, catatan lapangan, evaluation test dan pedoman wawancara. Sehingga data penelitian diperoleh dari hasil observasi, hasil wawancara, hasil evaluation test , catatan lapangan, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah diterapkan pendekatan RME pada pembelajaran matematika yang dilaksanakan sesuai dengan lima karakteristik RME ada peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan persentase setiap aspek kemampuan komunikasi matematis siswa dari pre test, tes Siklus I ke tes Siklus II.

Kata Kunci : RME, Komunikasi, Komunikasi matematis

A. PENDAHULUAN Latar Belakang

Siswa merupakan fokus utama dalam proses pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika, sehingga siswa dituntut untuk dapat berperan aktif dan mandiri dalam menyelesaikan permasalahan. Oleh karena itu, fokus proses pembelajarannya adalah bagaimana siswa dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran harus disesuaikan dengan kompetensi awal siswa, lingkungan, karakteristik siswa, materi yang disampaikan, media dan model pembelajaran yang digunakan. Siswa diharapkan lebih banyak berperan dalam pembelajaran matematika.

Mengingat pentingnya matematika untuk sekolah menengah pertama, pendidik hendaknya mampu menumbuhkan ketertarikan siswa terhadap pelajaran matematika. Siswa-siswa dalam kelas rintisan sekolah bertaraf internasional adalah siswa-siswa pilihan. Sebelum masuk dalam kelas ini, dilakukan tahap penyeleksian baik secara administrative maupun tes tertulis. Dengan melihat potensi awal siswa yang lebih dari pada siswa yang lain, siswa akan lebih tertarik dengan matematika apabila mereka dapat mengetahui apa yang sedang mereka pelajari dengan menggunakan potensi awal yang telah mereka miliki. Hal ini dapat dicapai apabila guru dapat menerapkan proses pembelajaran yang tepat di saaat pembelajaran berlangsung.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Matematika tidak hanya sebagai ilmu, tetapi juga sebagai dasar logika penalaran dan penyelesaian kuantitatif yang dipergunakan dalam ilmu lain. Ini berarti matematika memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga penguasaan matematika sejak dini diperlukan siswa untuk menguasai dan menciptakan teknologi masa depan. Oleh karena itu, maka matematika perlu diajarkan dalam proses pembelajaran di sekolah untuk membekali siswa agar dapat mengembangkan kemampuan menggunakan bahasa matematika dalam mengkomunikasikan ide atau gagasan.

Matematika menurut Johnson dan Rising (1972) yang dikutip oleh Erman Suherman yaitu pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logic, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol padat dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada bunyi. Matematika yang dipelajari di sekolah adalah matematika yang materinya dipilih agar mudah dialihfungsikan kegunanannya dalam kehidupan siswa.

Dalam pembelajaran matematika, komunikasi guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa sangat penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Proses komunikasi dalam pembelajaran di kelas terjadi apabila siswa bersifat responsif, aktif bertanya dan menanggapi permasalahan yang ada, serta mampu menuangkan kedua permasalahan tersebut secara lisan maupun tertulis. Ketika proses komunikasi berlangsung, terdapat persoalan dalam skala kecil dan skala besar. Dalam skala kecil, persoalan yang timbul adalah penggunaan simbol yang tepat, sedang dalam skala besar yaitu penyusunan argumen terhadap suatu pernyataan secara logis.

Kedua persoalan ini merupakan kemampuan yang harus dikuasai agar pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna. Pembelajaran bermakna adalah pembelajaran yang memberi kesempatan para siswa untuk membangun sendiri pemahaman konsep-konsep matematika dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki (Richard E. Mayer, 1999: 6-7). Sedangkan kemampuan dalam skala besar dan skala kecil tersebut dikenal dengan kemampuan komunikasi matematika (Gerald Folland, 2001).

Pembelajaran matematika di sekolah juga merupakan proses komunikasi, yaitu proses penyampaian message (pesan) yaitu materi dari resourch (sumber) yaitu guru atau buku kepada receiver (penerima) yaitu siswa melalui channel (saluran atau media) tertentu. Proses komunikasi yang baik dalam pembelajaran matematika, apabila siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan yang diperoleh.

Kemampuan komunikasi matematika siswa penting untuk dikembangkan karena mencakup kemampuan mengkomunikasikan pemahaman konsep, penalaran, dan pemecahan masalah sebagai tujuan pembelajaran matematika. Matematika yang dipelajari di sekolah adalah matematika yang materinya dipilih sedemikian rupa agar mudah dialihfungsikan kegunanannya dalam kehidupan siswa yang mempelajarinya

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menuntut guru sebagai perancang/perencana pembelajaran dan siswa mendominasi pembelajaran. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pembelajaran matematika adalah penekanan pada penalaran matematis. Matematika memiliki peran sebagai pengembang penalaran bagi siswa yang mempelajarinya dan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan. Akan tetapi, masih ada guru Matematika SMP yang kurang mengkaitkan materi yang disampaikan dengan kehidupan sehari-hari dalam pelaksanaan pembelajarannya, dan masih banyak siswa yang mempelajari materi tanpa mengetahui manfaat atau aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut, para pakar pendidikan Matematika melaksanakan pengembangan pendidikan matematika di Indonesia yang dinamakan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). PMRI merupakan inovasi dalam pendidikan matematika dari Belanda, yang dikenal dengan nama RME (Realistic Mathematics Education) dan dikembangkan oleh Freudenthal mulai tahun 1971.

Menurut sejarahnya RME merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan di Belanda sekitar 47 tahun lalu oleh Freudenthal Institute (Streefland, 1991; Gravemeijer, 1994). Perubahan mendasar lebih difokuskan kepada mengganti pembelajaran matematika yang bersifat mekanistik menjadi realistik (Streefland, 1991). RME banyak diwarnai Menurut sejarahnya RME merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan di Belanda sekitar 47 tahun lalu oleh Freudenthal Institute (Streefland, 1991; Gravemeijer, 1994). Perubahan mendasar lebih difokuskan kepada mengganti pembelajaran matematika yang bersifat mekanistik menjadi realistik (Streefland, 1991). RME banyak diwarnai

Berkaitan dengan dua pandangan di atas Gravemeijer (1994), mengatakan bahwa matematika harus diusahakan dekat dengan kehidupan siswa, harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, dan bila memungkikan real bagi siswa. Siswa harus diberi kesempatan yang leluasa untuk belajar melakukan aktivitas bekerja matematik atau matematisasi. Di Indonesia, RME disebut Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) (Turmudi, 2000; Ruseffendi, 2001; Suwarsono, 2001) atau Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI) (Hadi, 2001; Sembiring, 2001).

Tahap perkembangan siswa SMP adalah kondisi peralihan dari tahap konkrit ke formal. masa dimana siswa mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan siswa dapat membayangkan atau mengubah permasalahan sehari-sehari ke dalam model matematika. Guru matematika SMP perlu memahami karakteristik dari mata pelajaran matematika yang dihubungkan dengan karakteristik materi matematika, tujuan mata pelajaran matematika yang akan dicapai dan implikasinya dalam pengelolaan pembelajaran matematika. Hal itu dimaksudkan agar isi pembelajaran yang direncanakan dan dilaksanakan tidak menyimpang dari tujuan mata pelajaran yang hendak dicapai dan hasil belajar siswa dapat tercapai secara optimal.

Kegiatan pembelajaran yang berorientasi kompetensi menuntut kegiatan belajar yang kontekstual, berpusat pada siswa sehingga lebih mendudukkan guru sebagai fasilitator, dan member kesempatan kepada siswa untuk banyak berbuat. Pada Standar Proses (Permendikans Nomor 41 Tahun 2007) dinyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan pembelajaran, khususnya kegiatan inti dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Dari uraian di atas, maka peneliti mengambil penelitian dengan judul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Kelas VII Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan RME (Realistic Mathematics Education Di SMP Negeri 1 Muntilan”.

Rumusan Masalah

Bagaimana pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME (Realistic Mathematics Education) yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1 Muntilan?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk memperoleh:

a. Meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VII pada pelajaran matematika dengan pendekatan RME (Realistic Mathematics Education)

b. Adanya peningkatan kualitas pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan RME (Realistic Mathematics Education) .

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat:

a. Bagi guru Matematika, memberdayakan guru dalam menerapkan pembelajaran dengan pendekatan RME (Realistic Mathematics Education).

b. Bagi peserta didik, meningkatkan kemampuan komunikasi matematika dalam pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan RME (Realistic Mathematics Education).

c. Bagi Peneliti, untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran yang baik, sehingga dapat memahami langkah-langkah yang diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

B. METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan secara kolaboratif antara peneliti dan guru matematika kelas VII SMP Negeri 1 Muntilan.

Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII B SMP Negeri 1 Muntilan berjumlah 19 siswa dan seorang guru yang mengampu mata pelajaran matematika di kelas tersebut. Objek penelitian ini adalah keseluruhan kegiatan guru dan siswa dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan RME (Realistic Mathematics Education).

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII C pada bulan Maret-Mei yang diikuti 19 siswa.

Setting Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Muntilan kelas VII terdiri dari 6 kelas. Setting yang digunakan dalam penelitian ini adalah setting kelas dalam kegiatan pembelajaran matematika di kelas VII C SMP Negeri 1Muntilan.

Desain Penelitian

Dalam penelitian tindakan kelas ini peneliti menggunakan model Kemmis dan Mc. Taggart. Pelaksanaan penelitian tindakan meliputi 4 langkah yaitu perencanaan (planning), tindakan/kegiatan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection). Setiap langkah pelaksanaan termuat dalam suatu siklus. Siklus dihentikan jika peneliti dan guru sepakat bahwa penelitian yang dilakukan sesuai dengan rencana dan kemandirian belajar matematika siswa mengalami peningkatan. Siklus I, meliputi:

1) Perencaan

2) Pelaksaan Tindakan, meliputi kegiatan awal, inti, dan penutup

3) Observasi (pengamatan)

4) Refleksi, Sama halnya untuk pelaksaan siklus selanjutnya sesuai dengan indikator keberhasilan.

Instrumentasi dan Teknik Pengumpulan Data

1. Instrumen dan teknik pengumpulan data

a) Pedoman observasi

b) Pedoman wawancara

c) Angket

d) Catatan Lapangan

e) Tes Tertulis

f) Dokumentasi

2. Teknik Analisis Data

a. Reduksi Data

b. Penyajian Data

c. Triangulasi

1) Data hasil pelaksanaan pembelajaran

2) Data angket siswa

3) Data hasil tes siswa

4) Penyajian kesimpulan

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilaksanakan sejak tanggal 13 Juni 2011 sampai dengan 24 Juni 2011. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus dilaksanakan tiga kali pertemuan dengan alokasi waktu untuk pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME dua kali pertemuan masing-masing selama 2 x 40 menit dan satu kali pertemuan selama 1 x 40 menit untuk pelaksanaan Evaluation Test (ET) setiap siklus. Pada siklus pertama topik yang diajarkan mengenai persegi panjang dan persegi. Sedangkan pada siklus kedua topik yang diajarkan adalah jajar genjang dan belah ketupat. Tabel 6 di bawah ini menunjukkan indikator untuk setiap pertemuan.

Tabel 1: Indikator Tiap Pertemuan pada Siklus I dan II

SIKLUS HARI,

07.40-09.00 WIB

1.Mengidentifikasi sifat- sifat persegi

13 Juni 2011

panjang 2.Menghitung keliling dan luas bangun

persegi panjang

I Selasa,

11.30-12.50 WIB

1.Mengidentifikasi sifat-sifat persegi

14 Juni 2011 2.Menghitung keliling dan luas bangun

persegi

Jum’at,

08.20-09.00 WIB

ET for cycle I

17 Juni 2011

II Senin,

07.40-09.00 WIB

1.Mengidentifikasi sifat-sifat jajargenjang

20 Juni 2011 2.Menghitung keliling dan luas bangun

jajargenjang

Selasa,

11.30-12.50 WIB

1.Mengidentifikasi sifat-sifat belahketupat

21 Juni 2011 2.Menghitung keliling dan luas bangun

belahketupat

Jum’at,

08.20-09.00 WIB

ET for cycle II

24 Juni 2011

Penelitian yang dilaksanakan pada setiap siklus meliputi 4 komponen, yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahawa terjadi peningkatan prestasi belajar secara umum, khususnya peningkatan komunikasi matematis siwa. Berikut disajikan grafik perbandingan hasil skor nilai dari 19 siswa yang mengikuti pretest, ET for cycle I, dan ET for cycle II.

Gambar 1 : Perbandingan nilai pretest, Evaluation Test (ET) for cycle I, dan Evaluation Test (ET) for cycle II

Adapun peningkatan hasil belajar siswa berdasarkan nilai pretest, ET for cycle I, dan ET for cycle II disajikan pada grafik berikut ini.

Gambar 2 : Rata-Rata Nilai Matematika Kelas VII C Berdasarkan Hasil pretest, ET for cycle I, dan ET for cycle II

Selain skor dan peningkatan hasil belajar, ketuntasan belajar siswa juga meningkat. Peningkatan ketuntasan belajar siswa kelas VIIC berdasarkan nilai pretest, ET for cycle I, dan ET for cycle II disajikan pada tabel berikut ini.

Gambar 3 : Ketuntasan belajar siswa kelas VII C berdasarkan hasil pretest, ET for cycle I, dan ET for cycle II

Kemampuan yang akan ditingkatkan melalui peneitian ini yakni komunikasi matematis juga terlihat mengalami peningkatan. Peningkatan persentase nilai untuk tiap-tiap aspek komunikasi matematis bisa dilihat pada grafik batang yang peneliti sajikan berikut ini.

Gambar 4 : Peningkatan persentase nilai siswa berdasarkan aspek-aspek komunikasi matematis

Keterangan: A= Kemampuan memberikan alasan rasional terhadap suatu pernyataan B= Kemampuan merubah bentuk uraian kedalam model matematika. C= Kemampuan mengilustrasikan ide-ide matematika kedalam bentuk uraian yang relevan.

Dari hasil wawancara dengan siswa yang dilakukan oleh peneliti di akhir siklus II, peneliti menyimpulkan bahwa siswa sangat senang dalam proses pembelajaran menggunakan benda-benda nyata. Sehingga siswa lebih mudah memahami materi yang diberikan oleh peneliti dan aktif dalam pembelajaran di kelas.

Berdasarkan analisis yang diperoleh dari hasil observasi, data hasil tes, dan hasil wawancara dengan siswa maka peneliti menyimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME dapat meningkatkan komunikasi matematis siswa kelas VIIC SMP Negeri 1 Muntilan.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIIC SMP Negeri 1 Muntilan adalah pembelajaran matematika yang telah dilakukan sesuai dengan karakteristik RME sebagai berikut:

a. Digunakannya konteks nyata, yaitu pembelajaran dimulai dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari, siswa dengan dibimbing guru menggunakan kasus foto dan bingkai foto, konteks pengubinan, bangunan gedung miring dan tralis jendela yang berbentuk jajar genjang, serta menggunakan cerita tentang hari raya idul fitri.

b. Digunakannya model-model matematika, pemodelan dengan menggunakan alat peraga berupa model foto dan bingkai, selain itu siswa menggunakan pemodelan berupa ukuran kamar, dan ukuran benda yang berbentuk jajar genjang dan belah ketupat, dan berupa penggunaan keramik untuk menyelesaikan soal pada Student Worksheet.

c. Digunakannya produksi dan kontruksi siswa dalam pembelajaran. Dalam penelitian ini, peneliti (sebagai guru model) memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk menyelesaikan soal, kemudian mempersilahkan siswa untuk menyampaikan jawabannya. Setiap siswa diberi kesempatan untuk mewakili kelompoknya dalam menuliskan jawaban Student Worksheet yang telah dikerjakan bersama kelompoknya.

d. Adanya interaksi antara peneliti dengan siswa, antara siswa yang satu dengan siswa yang lain, yaitu melalui kegiatan diskusi. Ketika siswa atau kelompok siswa memiliki ide, peneliti memberi kesempatan kepada siswa lain untuk menanggapi ide yang disampaikan pertama tadi. Ketika siswa mengalami perbedaan pendapat, peneliti akan menengahi kemudian bersama-sama dengan siswa menentukan kesimpulan dari diskusi.

e. Adanya pemaduan, pembelajaran matematika yang dilaksanakan di kelas VIIC SMP Negeri 1 Muntilan juga memadukan suatu unit matematika dengan unit lain yang ada dalam matematika. Selain itu pembelajaran yang dilaksanakan juga memiliki pemaduan dengan bidang ilmu lain seperti geografi, bangunan, fisika, dan ekonomi.

2. Pelaksanaan pembelajaran melalui pendekatan RME dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa pada pokok bahasan segiempat di kelas VIIC SMPN I Muntilan. Kemampuan komunikasi matematis siswa mengalami peningkatan dengan skor nilai rata-rata kelas pada pretest sebesar 60,69 dengan persentase ketuntasan belajar 44,44%, Evaluation Test (ET) for cycle I sebesar 68,25 dengan persentase ketuntasan belajar 68,42% dan pada tes hasil belajar (THB) pada siklus I Evaluation Test (ET) for cycle II sebesar 74,74 dengan persentase ketuntasan belajar sebesar 89,47%. Sedangkan peningkatan persentase setiap aspek kemampuan komunikasi matematis siswa dari pretest, ET for cycle I ke ET for cycle II adalah sebagai berikut:

a. Kemampuan memberikan alasan rasional terhadap suatu pernyataan meningkat dari 58,33% dengan kategori sedang pada pretest menjadi 64,91% dengan kategori sedang pada ET for cycle I dan meningkat lagi menjadi 68,42% dengan kategori tinggi pada ET for cycle II .

b. Kemampuan mengubah bentuk uraian ke dalam model matematika meningkat dari 68,94% dengan kategori tinggi pada pretest menjadi 76,14% dengan kategori tinggi pada ET for cycle I dan 79,35% dengan kategori tinggi pada ET for cycle II.

c. Kemampuan mengilustrasikan ide-ide matematika dalam bentuk uraian yang relevan meningkat dari 55,56% dengan kategori sedang pada pretest menjadi 70,18% dengan kategori tinggi pada ET for cycle I dan 73,68% dengan kategori tinggi pada ET for cycle

II .

E. DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2002.

Nasional . Online: (www.Depdiknas.co.id). Diakses 25 Maret 2011.

Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Erman Suherman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI. Gerald

Mathematical Scienses . http://match.washinton.edu/folland/commun/comm.html.) (diakses tanggal 12 Januari 2009).

Gravemeijer. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Kluwer Academic Publishers Press.

Mayer, Richard E. 1999. The Promise of Educational Psychology vol II: Teaching for Meaningful Learning . USA: Merill Prentice Hall.

Robert K. Sembiring. 2001. “Mengapa Memilih RME/PMRI?”. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di USD, Yogyakarta. 14-15 November 2001.

P – 80

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MULTIMEDIA INTERAKTIF MATA KULIAH TEORI BILANGAN DENGAN MODEL REOG UNTUK MENINGKATKAN KONSEP DAN EFIKASI DIRI MAHASISWA

1 Urip Tisngati 2 , Khoirul Qudsiyah 1,2 STKIP PGRI Pacitan

1 ifedeoer@gmail.com, 2 azril.dito@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan model REOG berbasis multimedia interaktif sebagai suatu peningkatan konsep diri dan efikasi mahasiswa pada mata kuliah teori bilangan. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada bulan April s.d. Juni 2013, mahasiswa semester genap, program studi pendidikan matematika kelas A dan B sebanyak 81 mahasiswa di STKIP PGRI Pacitan tahun akademik 2012/2013. Penilaian peserta didik berupa hasil tes pada tiap siklus, angket konsep, dan efikasi diri mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran selama penelitian berlangsung.

Hasil angket konsep diri mahasiswa menunjukkan peningkatan tiap variabel dan secara kolektif. Subyek kelas A, siklus 1 pada kategori tinggi (36%), sedang (64%), mengalami kenaikan pada kondisi awal, yaitu kategori tinggi 13%, sedang 82%, dan kategori rendah 5%. Pada siklus dua mengalami peningkatan menjadi 87% (tinggi) dan 13% (sedang). Pada subyek kelas B, 19 % kategori tinggi dan 81% kategori sedang. Terdapat kenaikan pada siklus 1 menjadi 33% kategori tinggi dan 67% kategori sedang. Pada siklus 2, terdapat kenaikan signifikan pada kategori tinggi menjadi 90% dan 10% kategori sedang.

Hasil angket efikasi diri menunjukkan data awal pada kelas A, 13% dengan efikasi diri tinggi, 64% kategori sedang, dan 23% kategori rendah. Pada siklus pertama terdapat 44% kategori tinggi dan 56 % kategori efikasi diri sedang. Data ini meningkat menjadi 97% mahasiswa pada kategori tinggi dan 3% kategori sedang. Data kelas B, angket efikasi diri menunjukkan hasil pada data awal 33% memiliki efikasi tinggi, 46% dengan kategori sedang, dan 21% adalah kategori rendah. Pada siklus pertama terdapat peningkatan efikasi diri menjadi 62% pada kategori tinggi, 36% pada kategori sedang, dan 2% masih memiliki efikasi rendah. Siklus kedua, yaitu sebesar 98% mahasiswa memiliki efikasi diri tinggi, dan sisanya 2% adalah mahasiswa dengan efikasi diri sedang.

Pada penilaian performansi berupa hasil tes kognitif mahasiswa kelas A, terhadap materi, pada kondisi awal menunjukkan rata-rata 62, kelas B reratanya 59. Selanjutnya pada siklus pertama untuk kelas A rata-ratanya naik menjadi 78 sedangkan kelas B hanya naik menjadi 69. Peningkatan performansi terlihat pada siklus kedua setelah diperoleh nilai rata-rata 85 (kelas A) dan 82 (kelas B

Kata kunci: teori bilangan, REOG, konsep diri, efikasi diri

A. PENDAHULUAN

Hasil belajar merupakan salah satu indikator keberhasilan proses belajar mengajar, karena dengan adanya hasil belajar mahasiswa dapat menunjukkan apakah materi pelajaran dapat terserap dengan baik. Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan ketrampilan. Menurut Gagne (dalam Agus Suprijono, 2009:5) hasil

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Menurut Martinis Yamin (2008:22), pengertian pembelajaran adalah kemampuan dalam mengelola secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan pembelajaran sehingga menghasilkan nilai tambah menurut norma/standar yang berlaku. Pembelajaran adalah suatu sistem atau proses membelajarkan subyek didik/ pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subyek didik/ pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa hakekat pembelajaran (instruction) adalah aktivitas yang ditujukan untuk mendorong terjadinya proses belajar sacara terarah, terprogram dan terencana. Pembelajaran sebagai proses interaksi yang mendorong terjadinya proses belajar, biasanya dilakukan dengan sengaja, terarah dan berorientasi pada tujuan tertentu, misalnya tercapainya peningkatan hasil belajar pada perkuliahan mahasiswa.

Teori bilangan merupakan salah satu mata kuliah keahlian yang diharapkan dapat membekali mahasiswa dengan pengetahuan teori bilangan dalam pemecahan masalah sehari-hari. Mahasiswa diharapkan dapat mengikuti mata kuliah berikutnya, yaitu analisis real, struktur aljabar, dan topologi dengan memahami konsep dasar matematika. Mata kuliah ini membahas pengantar ilmu teori bilangan, sistem teori bilangan bulat, FPB, KPK, dan teorema dasar aritmatika, kekongruenan teori bilangan bulat, fungsi  (tau) dan  (sigma). Obyek pengajaran matematika yang berupa abstrak, yaitu konsep, fakta, operasi, dan prinsip dengan perhitungan, analisa, akan menjadi permasalahan tersendiri dalam penyajian materi sehingga membutuhkan kemampuan kognitif dan logika yang cukup dari peserta didik. Kemampuan matematis logika adalah penalaran, sedangkan kemampuan kognitif adalah kemampuan memahami, membuat hubungan, mengorganisasikan, melakukan evaluasi, dan mampu menerapkan pengetahuan yang diterima.

Pengetahuan atau materi akan mudah diserap jika peserta didik sebelumnya telah memiliki konsep yang benar tentang materi yang diberikan. Peserta didik dengan minat ataupun motivasi yang baik cenderung dapat mengikuti kegiatan belajar dan pembelajaran meskipun dengan strategi pembelajaran yang monoton/ kurang variatif. Kondisi awal pada siswa yang dapat mempengaruhi optimalisasi hasil belajar mahasiswa adalah konsep diri (self concept) dan efikasi diri.

Dalam kaitannya dengan matematika, Stefan Grigutsch (dalam Rakhmat,2008:5), menyebutkan elemen yang paling penting dari konsep diri dalam matematika adalah pengetahuan subyektif, minat dan kesenangan dalam matematika yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan seseorang. Menurut Hurlock (Rakhmat, 2008:65), konsep diri yang positif akan berkembang jika seseorang mengembangkan sifat-sifat yang berkaitan dengan penilaian diri yang baik, kepercayaan diri yang baik, dan kemampuan melihat diri secara realistik. Sifat-sifat ini memungkinkan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain secara akurat dan mengarah pada penyesuaian diri yang baik. Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positip terhadap segala sesuatu. Jadi konsep diri positif adalah gambaran positif mengenai dirinya, keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya dan keberhasilan dirinya.

Selanjutnya, efikasi diri menjadi salah satu variabel yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam melakukan tindakan belajar. Secara psikologis, jika peserta didik memiliki efikasi rendah maka berpotensi untuk kurang memberikan hasil yang maksimal dalam penyelesaian tugas-tugas yang diberikan. Lebih lanjut dikatakan Bandura (1977) bahwa beberapa terdapat dimensi dari efikasi diri, yaitu magnitude, generality, dan strength. Magnitude, berkaitan dengan tingkat kesulitan suatu tugas yang dilakukan. Generality, berkaitan dengan bidang tugas, seberapaluas individu mempunyai keyakinan dalam

melaksanakan tugas-tugas. Strength ,berkaitan dengan kuat lemahnya keyakinan seorang individu (dalam Adicondro dan Purnamasari, 2011:19)

Penerapan strategi pembelajaran inovatif dan kreatif yang membuat suasana kelas aktif, menyenangkan, kreatif, baik dalam pembelajaran individual maupun kelompok, memungkinkan mahasiswa dalam kelas berpartisipasi dalam bentuk aktivitas belajar yang aktif. Agar tujuan pembelajaran pada perkuliahan tercapai maka diperlukan peningkatan aspek kualitas personal dan profesional pendidik dalam memberikan transfer ilmu kepada peserta didik. Adanya upaya pada pendidik untuk selalu aktif mengevaluasi diri dalam hal strategi pembelajaran yang dipakai, alat/ bahan/ cara evaluasi yang digunakan, melakukan pengamatan peserta didik saat proses pembelajaran, pengamatan dalam menganalisis hasil perolehan belajar peserta didik serta mengidentifikasi permasalahan yang ada, diharapkan membantu perkembangan dan peningkatan hasil belajar dan karakter peserta didik sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional.

Pengajar perlu menumbuhkan motivasi peserta didik, mengenali potensi kecerdasan, gaya belajar, konsep diri, efikasi diri, dan kecakapan berfikir peserta didik. Sebuah alternatif pembelajaran yang diharapkan mendorong mahasiswa untuk lebih aktif dan lebih bisa berpikir kreatif dalam menyelesaikan permasalahan matematika adalah model REOG berbasis multimedia interaktif. REOG adalah model perancangan pembelajaran yang merupakan akronim dari Rasionalisasikan, Ekspresikan, Organisasikan, dan Gayakan. Model pembelajaran REOG dikembangkan oleh Sutejo (2009) yang menekankan kesadaran pembelajaran akan makna materi yang dipelajari. Dengan tahapan atau langkah-langkah sesuai rancangan dalam kata REOG tersebut, pengajar dapat dengan leluasa menumbuhkembangkan kreatifitas pengelolaan kelas menyesuaikan materi. Untuk memaksimalkan peran tenaga pengajar (guru atau dosen) dalam pembelajaran matematika, maka perlu mengembangkan model pembelajaran berbasis kreatif misalnya berbasis multimedia interaktif menggunakan CD interaktif.

Berdasarkan latar belakang tersebut tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah implementasi pembelajaran model REOG berbasis multimedia interaktif pada mata kuliah teori bilangan dapat meningkatkan konsep diri, efikasi diri, dan performansi mahasiswa.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dalam penelitian ini tindakan kelas dilaksanakan secara kolaboratif atau partisipatorik, yaitu peneliti bekerja sama dengan pendidik lain. Kolaborator adalah pihak lain yang berperan sebagai pengamat untuk mendukung obyektivitas dari hasil PTK. Penelitian ini melalui beberapa tahapan yang berkembang menjadi suatu siklus penelitian. Tahap-tahap (siklus) yang harus ditempuh agar berjalan dengan lancar adalah perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi dengan mengadopsi proses penelitian tindakan model Kemis & MC. Taggart (Sa’dun Akbar, 2009:28). Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada bulan April s.d. Juni 2013, mahasiswa semester genap, program studi pendidikan matematika kelas A dan B sebanyak 81 mahasiswa di STKIP PGRI Pacitan tahun akademik 2012/2013. Penilaian peserta didik berupa hasil tes pada tiap siklus, Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dalam penelitian ini tindakan kelas dilaksanakan secara kolaboratif atau partisipatorik, yaitu peneliti bekerja sama dengan pendidik lain. Kolaborator adalah pihak lain yang berperan sebagai pengamat untuk mendukung obyektivitas dari hasil PTK. Penelitian ini melalui beberapa tahapan yang berkembang menjadi suatu siklus penelitian. Tahap-tahap (siklus) yang harus ditempuh agar berjalan dengan lancar adalah perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi dengan mengadopsi proses penelitian tindakan model Kemis & MC. Taggart (Sa’dun Akbar, 2009:28). Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada bulan April s.d. Juni 2013, mahasiswa semester genap, program studi pendidikan matematika kelas A dan B sebanyak 81 mahasiswa di STKIP PGRI Pacitan tahun akademik 2012/2013. Penilaian peserta didik berupa hasil tes pada tiap siklus,

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) Metode tes, dilakukan untuk mengukur performansi hasil belajar mahasiswa dari aspek pengetahuan sebelum dan sesudah proses pembelajaran perkuliahan teori bilangan. Tes berupa serangkaian pertanyaan subyektif sebanyak 6 item soal pada materi kekongruenan, pengkongruenan linier dan persamaan linier diophantus. Soal digunakan setelah dikonsultasikan dengan teman sejawat sebagai validator, (2) kegiatan observasi, berupa data ketuntasan kinerja belajar dan hasil kinerja belajar mahasiswa selama proses pembelajaran, terbagi pada aspek keaktifan, kerjasama, kedisiplinan, dan tanggungjawab, (3) metode angket, berupa lembar angket konsep diri dan efikasi diri kepada mahasiswa selama proses penelitian, (4) dokumentasi, data mahasiswa berupa absensi, daftar nilai, dan dokumen lain yang diperlukan untuk melengkapi data. Angket konsep diri memuat 5 aspek, yaitu gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri, dan identitas diri dengan jumlah 25 butir pertanyaan. Angket efikasi diri memuat 20 pertanyaaan dari 4 aspek, yaitu pemilihan perilaku, usaha motivasi, daya tahan, dan pola pemikiran fasilitatif. Tiap aspek memuat pertanyaan positif dan negatif. Alternatif pilihan adalah selalu (SL), sering (SR), jarang (JR), tidak pernah (TP).

Analisis data untuk data kuantitatif dilakukan dengan analisis statistik deskriptif, untuk mengolah data nilai hasil observasi, tes performansi hasil belajar, serta pengukuran skor konsep dan efikasi diri mahasiswa yang dianalisis dengan pencapaian persentase. Berdasarkan pedoman penskoran yang dibuat, dihitung jumlah skor tiap-tiap butir pertanyaan sesuai dengan aspek yang diukur dengan rumus sebagai berikut:

Hasil skor yang diperoleh dari keseluruhan butir pertanyaan dihitung persentasenya dan dikategorikan seperti pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Kriteria Konsep dan Efikasi Diri

Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah adanya peningkatan konsep diri, efikasi diri dengan pencapaian kategori tinggi sebesar minimal 70%. Pencapaian tes performansi hasil belajar mahasiswa dinilai berhasil jika rerata minimal 70. Khusus penilaian pada tahapan observasi, indikator ketuntasan kinerja belajar mahasiswa jika telah mencapai ≥ 70%.

Analisis data kualitatif dilakukan dengan tahap-tahap: pemaparan data, reduksi data, kategorisasi data, penafsiran pemaknaan, dan penyimpulan hasil analisis. Reduksi data adalah proses penyederhanaan data yang dilakukan melalui proses seleksi, pengelompokan, dan pengorganisasian data mentah menjadi sebuah informasi yang bermakna. Paparan data merupakan upaya menampilkan data secara jelas dan mudah dipahami dalam bentuk naratif, grafik, atau bentuk lainnya. Penyimpulan merupakan pengambilan intisari dari sajian data yang telah terorganisasi dalam bentuk pernyataan atau kalimat singkat, padat, dan bermakna (Sa’dun Akbar dan Luluk F, 2009:72).

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada perkuliahan teori bilangan pada mahasiswa semester dua di STKIP PGRI Pacitan. Penelitian ini melibatkan dua peneliti, dengan pembagian satu peneliti sebagai pengajar dan peneliti lain sebagai kolaborator sekaligus sebagai observer. Penelitian ini dilakukan sebanyak 6 kali pertemuan dan terbagi dalam dua siklus. Siklus 1 pada minggu ke-4 bulan April 2013 sampai minggu ke 2 bulan Mei 2013. Materi yang diberikan adalah kekongruenan linear. Sedangkan siklus 2 dimulai pada minggu ke-3 bulan Mei sampai dengan minggu pertama bulan Juni 2013 pada materi persamaan linear Diophantus.

Sebelum dilaksanakan pertemuan pertama pada siklus 1, dilaksanakan placement test yang bertujuan untuk membentuk kelompok mahasiswa. Nilai diperoleh berdasarkan hasil Ujian Tengah Semester pada kelas A dan B. Kelas A terbagi menjadi 7 kelompok dari 39 mahasiswa dan kelas B juga terbagi menjadi 7 kelompok dari 42 mahasiswa. Selanjutnya, kegiatan perkuliahan teori bilangan dilakukan dengan menerapkan model REOG (Rasionalisasikan, Organisasikan, Ekspresikan, dan Gayakan) berbasis multimedia interaktif menggunakan CD interaktif.

Hasil penelitian berupa lembar pengamatan (observasi), angket konsep diri mahasiswa, angket efikasi diri mahasiswa, dan hasil tes performansi akhir siklus dari siklus 1 sampai siklus 2. Hasil pengamatan (observasi) mengalami peningkatan pada tiap siklus.

Kegiatan observasi pada tiap siklus mengevaluasi ketuntasan kinerja belajar dan rata-rata kinerja belajar mahasiswa dengan hasil pata Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini:

Tabel 2 Tabel 3 Hasil Observasi Ketuntasan

Hasil Observasi Ketuntasan Kinerja Kinerja Belajar Siklus I dan

Belajar Siklus I dan Siklus II (Kelas B) Siklus II (Kelas A)

TIDAK TUNTAS TUNTAS

TUNTAS

TIDAK TUNTAS 79%

SIKLUS I

SIKLUS II

SIKLUS I

SIKLUS II

Berdasarkan Tabel 2 tersebut, dapat dinyatakan bahwa terdapat peningkatan ketuntasan kinerja belajar pada mahasiswa Kelas A, dari siklus 1 sebesar 38% meningkat menjadi 77% pada siklus 2. Tabel 3 menunjukkan peningkatan dari siklus 1 sebesar 43% neik menjadi 79% pada siklus 2 pada mahasiswa pendidikan matematika kelas B.

Selanjutnya dapat dipaparkan peningkatan hasil kinerja mahasiswa pada aspek keaktifan, kerjasama, kedisiplinan, dan tanggungjawab pada setiap tahap observasi siklus 1 dan 2 seperti pada Tabel 4 dan Tabel 5 sebagai berikut:

Tabel 4 Rata-rata Hasil Observasi Kinerja Belajar Siklus I dan Siklus II (Kelas A)

or Sk 2.00

TANGGUNG KEAKTIFAN

KEDISIPLINA

JAWAB SIKLUS I

KERJASAMA

1.82 2.23 2.36 2.13 SIKLUS II

Tabel 5 Rata-rata Hasil Observasi Kinerja Belajar Siklus I dan Siklus II (Kelas B)

TANGGUNGJA WAB

SIKLUS I 1.88 2.05 2.31 2.02 SIKLUS II

Hasil angket konsep diri mahasiswa menunjukkan peningkatan tiap variabel dan secara kolektif. Subyek kelas A, siklus 1 terdapat 14 mahasiswa pada kategori tinggi (36%), 25 orang kategori sedang (64%), mengalami kenaikan pada kondisi awal, yaitu kategori tinggi 13%, sedang 82%, dan kategori rendah 5%. Sedangkan pada siklus dua mengalami peningkatan menjadi 87% (kategori tinggi) dan 13% (kategori sedang). Pada subyek kelas B, terdapat 19 % mahasiswa kategori konsep diri tinggi dan 81% kategori sedang. Terdapat kenaikan pada siklus 1 menjadi 33 % kategori tinggi dan 67% kategori sedang. Pada siklus 2, terdapat kenaikan signifikan pada kategori tinggi menjadi 90% (38 mahasiswa) dan 10% kategori sedang.

Hasil angket efikasi diri menunjukkan data awal pada kelas A, sebanyak 5 mahasiswa (13%) dengan efikasi diri tinggi, 25 mahasiswa (64%) kategori sedang dan 23% kategori rendah. Sedangkan pada siklus pertama terdapat 44% kategori tinggi dan 56 % kategori efikasi diri sedang. Data ini meningkat menjadi 97% mahasiswa pada kategori tinggi (38 mahasiswa) dan 3% kategori sedang. Data kelas B, angket efikasi diri menunjukkan hasil pada data awal 33% memiliki efikasi tinggi, 46% dengan kategori sedang, dan 21% adalah kategori rendah. Pada siklus pertama terdapat peningkatan efikasi diri menjadi 62% (26 mahasiswa) pada kategori tinggi, 36% pada kategori sedang, dan 2% masih memiliki efikasi rendah. Data awal dan siklus pertama berbeda dengan siklus kedua, yaitu sebesar 98% mahasiswa memiliki efikasi diri tinggi, dan sisanya 2% adalah mahasiswa dengan efikasi diri sedang.

Tabel 6 Tabel 7 Perbandingan Nilai Hasil

Perbandingan Nilai Hasil Belajar

Belajar Kelas A

Mahasiswa Pendidikan Matematika Kelas B

RATA-RATA NILAI NILAI MAKSIMUM RATA-RATA NILAI NILAI MAKSIMUM

NILAI MINIMUM

NILAI MINIMUM

SIKLUS I

SIKLUS II

PRETES

SIKLUS I SIKLUS II

Berdasarkan pada Tabel 6 dan Tabel 7 tersebut di atas, penilaian performa berupa hasil tes kognitif atau pemahaman mahasiswa kelas A, terhadap materi, pada kondisi awal menunjukkan rata-rata 62, kelas B dengan rerata 53. Selanjutnya pada siklus pertama untuk kelas A rata-ratanya naik menjadi 78 sedangkan kelas B hanya naik menjadi 69. Peningkatan performansi terlihat pada siklus kedua setelah diperoleh nilai rata-rata 85 (kelas A) dan 82 (kelas B).

D. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan paparan dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi strategi pembelajaran model REOG (Rasionalisasikan, Ekspresikan, Organisasikan, dan Gayakan) berbasis multi media interaktif pada perkuliahan Teori Bilangan dapat meningkatkan konsep diri dan efikasi diri mahasiswa program studi pendidikan matematika STKIP PGRI Pacitan tahun akademik 2012/2013. Hasil penelitian ini relevan dengan kelebihan dari penerapan model REOG sebagai alternatif model pembelajaran kreatif yang dapat meningkatkan partisipasi dan interaksi belajar pada peserta didik. Dengan implementasi model REOG dimodifikasi dengan multimedia interaktif berbentuk CD interaktif, mahasiswa dapat beraktualisasi secara mandiri dan kelompok sehingga meningkatkan kepercayaan diri, keyakinan diri, dan kompetensi diri untuk berhasil dalam belajar.

E. DAFTAR PUSTAKA

Agus Suprijono. 2009. Cooperative Learning, Teori & Aplikasi PAIKEM. Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Jalaluddin Rakhmad. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Martinis Yamin dan Bansui, Ansari. 2008. Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Peserta Didik . Jakarta; Gaung Persada Press.

Nobelina Adicondro & Purnamsari, Alfi. 2011. Efikasi Diri, Dukungan Sosial Keluarga, dan Self Regulated Learning Pada Siswa Kelas VIII . Vol VIII No. 1. Jurnal Humanitas

Sa’dun Akbar. 2009. Penelitian Tindakan Kelas Filosofi, Metodologi & Implementasi. Yogyakarta: Cipta Media Aksara

Sutejo. 2009. Teknik Kreativitas Pembelajaran. Surabaya : Lentera Cendikia

P – 81

KARAKTERISTIK BAHAN AJAR MATEMATIKA UNTUK MEMBANGUN KARAKTER

Usep Kosasih

Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Islam Nusantara, Bandung uscos_pradana@yahoo.com

Abstrak

Pendidikan merupakan wahana mewariskan budaya bangsa. Pendidikan juga merupakan wahana mengimbangi kebutuhan bangsa sebagai dampak globalisasi budaya. Meskipun demikian pendidikan yang telah direncanakan tidak selalu berjalan mulus dalam mencapai tujuannya. Dekadensi moral bangsa menjadi indikasi bahwa perencanaan pendidikan masih perlu didesain dengan matang. Pembelajaran merupakan ujung tombak upaya mencapai tujuan pendidikan menjadi bagian yang paling penting untuk diperhatikan. Pembelajaran menjadi wahana siswa dalam mengembangkan diri menjadi individu yang berbudaya baik sebagai diri pribadi maupun warga Negara. Sebagai diri pribadi mereka mampu menjadi individu yang belajar sepanjang hayatnya, mandiri, dan tangguh. Sebagai warga Negara mereka mampu menjadi penerus bangsa yang bertanggungjawab, visioner, serta solusi permasalahan yang dihadapi negeri ini (Indonesia). Bahan ajar memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk karakter siswa. Tidak hanya sebagai sumber informasi, bahan ajar juga memberikan arah pikiran siswa. Sebagai sumber informasi, bahan ajar yang ada saat ini sudah dapat memenuhinya. Sebagai wahana pengembangan berpikir, bahan ajar saat ini masih perlu dikembangkan. Tulisan ini memaparkan bagaimana bahan ajar yang dikontruksi dengan struktur konstruktivisme berpeluang menjadi salah satu alternatif pengembangan berpikir siswa. Tulisan ini merupakan hasil temuan percobaan pengembangan bahan ajar pada suatu institusi. Percobaan dilakukan dengan melibatkan pengamatan pakar pendidikan matematika. Bahan ajar berstruktur konstruktivisme yang melibatkan berpikir tingkat tinggi dan divalidasi bersama teman sejawat berpeluang memberikan kemandirian berpikir mahasiswa. Desain bahan ajar yang berstruktur konstruktivisme sesuai dengan perkembangan mental mahasiswa yang sejalan dengan perkembangan karakternya. Sedangkan validasi bersama teman sejawat akan memperkaya khasanah pada bahan ajar dan meminimalisir kesalahan konsep yang dapat berakibat kekeliruan konsep matematis. Kata kunci: Berpikir tingkat tinggi, Konstruktivisme

A. PENDAHULUAN

Paradigma membangun tujuan pembelajaran matematika telah bertrasformasi dari pandangan tradisional menuju pandangan reformasi. Pakar pendidikan matematika tradisional memandang bahwa matematika harus diabstraksi dan terstruktur scara hierarkis. Kurikulum menurut pandangan ini (Wahyudin, 2008: 13) “dibangun langkah demi langkah, dan kemudian diabstraksi atau digeneralisasi dalam matematika yang lebih tinggi”. Akibatnya mahasiswa tidak harus selalu mengeksplorasi kemampuan berpikirannya. Alsannya kurikulum telah didesain berdasarkan sifat abstraksi dan hierarkis, sehingga mahasiswa cukup mengikutinya. Berdasarkan pandangan ini mahasiswa akan lebih efisien dalam menggunakan kerja otaknya.

Paradigma reformasi memandang bahwa eksplorasi berpikir mahasiswa bagian yang paling diperhatikan. Desain kurikulum berdasarkan pandangan ini (Wahyudin 2008: 14) “proses-proses penalaran matematis adalah pusat yang diharapkan secara universal”. Akibatnya

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Pendidikan sekarang, khususnya pendidikan dasar dan menengah memasuki pandangan baru. Pembelajaran mengarah pada proses sains dan karakter. Artinya tidak hanya berakhir pada proses berpikir, tetapi mencapai pemaknaan pada diri mahasiswa. Karakter baik menjadi produk yang sangat diharapkan sebagai hasil proses berpikir dalam pembelajaran.

Masalah yang berkembang dalam pemenuhan pandangan baru proses perencanaan dalam implementasinya. Meskipun pemerintah telah menyiapkan bahan ajar pelengkap kebijakan kurikulum, tetapi tidak menghilangkan kreativitas guru dalam merancang bahan ajar. Tulisan ini menyajikan usaha yang dapat ditempuh dalam merancang bahan ajar yang memenuhi harapan paradigma baru pembelajaran matematika.

B. METODE PENELITIAN Pendidikan Karakter

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Artinya bahwa pendidikan tidak hanya menghasilkan individu cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter. Karakter yang dimaksud menurut Kemdiknas (2010: 9-10) kepribadian berupa nilai-nilai: 1) Religius; 2) Jujur; 3) Toleransi; 4) Disiplin; 5) Kerja keras; 6) Kreatif; 7) Mandiri; 8) Demokratis; 9) Rasa ingin tahu; 10) Semangat kebangsaan; 11) Cinta tanah air; 12) Menghargai prestasi; 13) Bersahabat/Komunikasi; 14) Cinta damai; 15) Gemar membaca; 16) Peduli lingkungan; 17) Peduli sosial; dan 18) Tanggung-jawab.

Memperhatikan pendidikan karakter yang didefinisikan di atas, kenyataanya peorses berpikir termasuk di dalamnya. Artinya proses berpikir juga merupakan bagian dari pendidikan karakter. Proses berpikir ini diharapkan menjadi acuan kepribadian mahasiswa. Pada akhirnya proses berpikir menjadi bagian dari membangun karakter mahasiswa melalui pembelajaran. Akibatnya seluruh komponen termasuk bahan ajar harus mengarahkan mahasiswa pada pencapaian karakter.

Bahan ajar dapat dijadikan alat dalam pembentukan berpikir mahasiswa. Melalui bahan ajar kita dapat mengarahkan mahasiswa untuk mengeksplorasi kemampuan berpikirnya. Hanya saja perlu diperhatikan bagaimana bahan ajar itu dapat dijadikan alat latihan mengembangkan berpikir mahasiswa. Bagian ini menjadi ranah kreativitas guru dalam menkontruksinya.

Proses Berpikir Matematis

Suatu proses memiliki urutan, tatanan, atau algoritma. Demikian pula dalam berpikir, memiliki algoritma pada prosesnya. Algoritma berpikir tersebut, dalam pembelajaran matematika dikenal dengan istilah kemampuan berpikir matematis. Beberapa kemampuan berpikir secara matematis (Wahyudin, 2008) diantaranya: pemecahan masalah, komunikasi, penalaran, dan koneksi.

Kemampuan pemecahan masalah dapat berupa kemampuan menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu sehingga mendapatkan generalisasi sampai pada pemaknaan. Artinya kemampuan ini meliputi kemampuan menguraikan dan menyusun hipotesis pemecahan masalah sampai mencapai prinsip kinerja pada saat menemukan masalah yang sama. Proses berpikir seperti ini membantu interpretasi pemaknaan yang dipelajari.

Komunikasi matematis meliputi kemampuan menerjemahkan suatu kondisi menjadi suatu model atau sebaliknya, sehingga memungkinkan penggunaan ide-ide untuk memecahkan masalah. Penalaran matematis meliputi kemampuan mengambil kesimpulan umum berdasarkan pembuktian dugaan dijadikan solusi. Koneksi matematis, meliputi kemampuan mengenali keterkaitan konsep matematika atau situasi yang saling analog satu sama lain.

Internalisasi kemampuan berpikir matematis ini akan menjadi karakter mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari. Internalisasi ini akan menjadi prinsip diri yang akan digunakan secara otomatis saat menghadapi situasi yang relavan. Selain memiliki keyakinan akan kemampuan berpikirnya, mahasiswa juga akan me

Metode

Metode yang digunakan adalah metode penelitian dan pengembangan yang berbentuk percobaan pembelajaran dalam kelas dengan memusatkan pada pengembangan bahan ajar. “Metode penelitian dan pengembangan atau Research and Development adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu” (Sugiyono, 2009: 407). Tujuan penelitian adalah untuk mengembangkan bahan ajar Berkarakter. “Research studies that investigated the quality of relationships, activities, situations, or materials are frequently referred to as qualitative research” (Fraenkel &Wallen, 2007: 430). Pada prosesnya, pengembangan bahan ajar ini melipti langkah-langkah berikut: 1) melakukan kajian literatur untuk menggali informasi dari pengetahuan yang telah ada; 2) merancang bahan ajar; 3) validasi oleh pakar; 4) revisi bahan ajar;

5) workshop bahan ajar; 6) revisi bahan ajar; 7) percobaan terbatas; 8) revisi bahan ajar; 9) percobaan lebih luas; 10) kajian temuan; dan 11) membuat simpulan. Teknik pengumpulan data menggunakan lembar observasi, lembar validasi ahli dan tes didukung dengan wawancara

C. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Hasil analisis diperoleh temuan: 1) Pendekatan contextual teaching and learning berpotensi mengembangkan karakter; 2) Model pembelajaran kooperatif dapat menjadi media pengembangan karakter; dan 3) Lembar aktivitas belajar dapat digunakan untuk mempertajam pengembangan karakter. Temuan ini memberikan dasar pengembangan bahan ajar yang dapat menumbuhkan karakter mahasiswa. Bahan ajar dapat dikontruksi berdasarkan hasil temuan penelitian ini.

Pembahasan

Ranah karakter yang dapat dibangkitkan melalui penggunaan bahan ajar salah satunya adalah pengembangan berpikir mahasiswa. Bahan ajar yang mampu memberikan pengalaman eksplorasi berpikir mahasiswa. Proses pengolahan konsep dalam pikiran berdasarkan situasi-situasi yang teramati disebut dengan konstruksi pengetahuan. Artinya pendekatan konstruksi merupakan wadah pengembangan berpikir mahasiswa. “inti pemikiran dari konstruktivisme adalah proses-proses kognitif (termasuk berpikir dan belajar) terletak dalam situasi-situasi atau konteks-konteks fisik dan sosial” (Anderson, Reder, & Simon, 1996; Cobb & Bowers, 1999; Greno et al., 1998 dalam Schunk, 2012: 326)

Pendekatan konstruktivisme menjanjikan pemahaman konsep yang permanen dalam ingatan. Meskipun demikian, pada kondisi yang sama hal tersebut menjadi kelemahan. Pemahaman konsep yang tepat akan menguntungkan mahasiswa karena permanen dalam ingatannya. Akan tetapi akan menjadi kerugian apabila konsep yang diyakini kebenarannya salah. Oleh karena itu, guru bertanggungjawab untuk tetap menggiring mahasiswa pada pemahaman yang tepat. Peranan guru (Joyce, Weil, & Calhoun, 2011: 497) dalam pembelajaran berupa: 1) memberitahukan pada mengenai sasara-sasaran pembelajaran; 2) menyajikan stimulus; 3) meningkatkan perhatian siswa; 4) membantu siswa kembali mengamati dan mengingat apa yang telah dipelajari; 5) menyediakan keadaan-keadaan yang membangkitkan performa siswa; dan 7) mendorong dan membimbing pembelajaran.

Merancang bahan ajar dalam rangka membangun karakter melalui eksplorasi berpikir mahasiswa perlu memperhatikan komponen yang mendukung pengembangan berpikir. Komponen-komponen yang dimaksud adalah proses berpikir matematis. Dalam merancang bahan ajar tersebut yang perlu diperhatikan adalah menyertakan pemecahan masalah. Pembelajaran perlu menggali konteks-konteks yang amat dekat dengan pemikiran mahasiswa.

Mahasiswa biasanya akan tertarik pada masalah yang fantastis seperti “trik sulap” dan lainnya. Berikutnya yang perlu diperhatikan adalah menyertakan pemikiran yang mampu mengabstraksi seperti penalaran, analogi, generalisasi, dan lainnya. Upayakan bahan ajar didesain berdasarkan konstrutivisme untuk membantu mempercepat pemahaman. Berikan masalah generalisasi, kemudian ajarkan mengamatinya dari bagian yang sederhana sampai akhirnya generalisasi tercapai.

Penyimpulan dan internalisasi hasil pembelajaran membantu pemaknaan hasil belajar. Penyimpulan terkait dengan konsep yang dipelajari. Sedangkan internalisasi meliputi proses berpikir, tentang bagaimana abstraksi dapat tercapai. Dengan demikian mahasiswa memiliki dua jenis pemaknaan hasil belajarnya. Yakni konsep yang dipelajari dan latihan proses berpikir. Pada akhirnya proses berpikir ini akan menjadi salah satu produk belajarnya.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Bagian karakter yang dapat dikembangkan melalui penggunaan bahan ajar adalah kemampuan proses berpikir mahasiswa. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merancang bahan ajar agar dapat membangkitkan karakter mahasiswa adalah; 1) sertakan pemecahan masalah; 2) menggali konteks-konteks yang amat dekat dengan pemikiran mahasiswa; 3) mengutamakan abstraksi yang dibimbing dalam prosesnya; 4) lakukan penyimpulan materi dan internalisasi proses berpikir dalam pembelajaran; dan 5) rancangan bahan ajar disusun sistematis menjadi lembar kerja yang mendasrkan pada pendekatan konstruktivisme. Internalisasi belajar akan menjadi bagian dari proses membangkitkan karakter mahasiswa.

E. DAFTAR PUSTAKA

Fraenkel, Jack R. & Wallen, Norman E., 2007. How to Design and Evaluate Research in Education International Edition. Mc Graww Hill, pp. 429-430 Joyce, B., Weil, M. & Calhoun, E., 2011. Models of Teaching, 8 nd ed., Pustaka Pelajar, pp.

493-497 Kemdiknas. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajran Berdasarkan

Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Kemdiknas, pp. 1-10

Schunk, D. 2012. Learning Theories an Education Perspectiive, 6 nd ed., Pustaka Pelajar, pp. 319-330 Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Alfabeta, pp. 405-407 Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Universitas Pendidikan

Indonesia, pp. 12-122

P – 82

PERBEDAAN KONSEP MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN DITINJAU DARI RAS DAN GENDER MANUSIA

Wanda Nugroho Yanuarto

Pascasarjana UNY Wandanugroho86@gmail.com

Abstrak

Artikel ini merupakan hasil kajian pustaka yang dilakukan dari berbagai artikel yang telah diterbitkan dari banyak sumber dan penulis mencoba menganalisa untuk mendapatkan kesimpulan mengenai perbedaan konsep matematika dan pengetahuan secara umum ditinjau dari ras dan gender manusia. Artikel ini juga dihubungkan dengan dampak psikologi antara gender manusia yaitu laki-laki dan perempuan. Hal-hal apa saja yang harus pendidik lakukan untuk mengantisipasi perbedaan tersebut. Perbedaan konsep matematika didasarkan pada bagaimana siswa laki-laki dan perempuan menerima materi dalam pembelajaran matematika. Adakah perbedaan yang signifikan dalam menerima ilmu dalam pembelajaran ataukah perbedaan itu diakibatkan oleh dampak psikologi yang sedang terjadi. Pengetahuan secara umum juga dianalisa secara kajian artikel dari berbagai sumber, adakah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pengetahuan dalam hidupnya. Perbedaan pengetahuan tersebut disamping didapatkan dari isu gender yang terjadi, tetapi juga ras dan adat istiadat dari berbagai wilayah di Indonesia yang bisa menjadi pencetus perbedaan pengetahuan pada anak. Pada makalah ini nanti akan dibahas mengenai perbedaan konsep matematika didasarkan pada gender manusia, perbedaan pengetahuan ditinjau dari ras dan gender pada manusia dan antisipasi yang harus dilakukan guru dalam pembelajarannya di kelas mengenai hal tersebut.

Kata Kunci : konsep matematika, pengetahuan, ras, dan gender

A. PENDAHULUAN

Pembentukan lingkungan didefinisikan sebagai “sosial dan budaya yang dibangun dengan penafsiran dimana pelaku dan karakter utamanya dikenali, signifikansi dinilai untuk tindakan tertentu, dan hasil utamanya dinilai oleh orang lain. Dengan kata lain, pembentukan lingkungan adalah penjabaran dari penciptaan dengan interaktif yang memberikan arti pada tindakan peserta dalam penjebaran tersebut. Dalam pembentukan lingkungan kelas, peserta tersebut termasuk guru dan murid, yang berhubungan dengan keadaan berlangsung. Sebagai contoh, seorang guru menawarkan sebuah solusi untuk siswa dalam pembelaajran, sedangkan seorang siswa yang menawarkan sebuah solusi untuk siswa mungkin lebih menyarankan untuk menyontek. Tindakan tepat untuk guru adalah meninjau tindakan siswa yang tidak tepat, dan hukuman diberikan ketika tindakan siswa telah berlawan dengan jalan yang seharusnya.

Pada artikel ini, kami menganalisis kelompok heterogen rasial tunggal siswa yang berinteraksi bersama selama beberapa minggu. Kami pertama mendeskripsikan matematika dunia pikir yang telah kami amati selama interaksi siswa dan menganalisis bagaimana dunia pikir

tersebut menjadi rasialis dan bersifat jender. Kedua, kami menganalisis bagaimana dunia pikir yang beragam menyediakan sumber daya bagi siswa untuk memposisikan diri mereka sendiri dan yang lain dalam tatanan khusus dan untuk berpartisipasi dalam praktik matematika

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

B. PEMBAHASAN

Kekuatan dinamika diantara siswa dalam kelas heterogen secara ras, dan efek dari dinamika pada pembelajaran dan bentuk dari kerja sama yang terjadi. Kita menitikberatkan pada tiga poin penting :

a. Susunan dari kepentingan kelas seperti perbedaan kultur yang riskan dengan konflik pada siswa

b. Interaksi siswa (termasuk interaksi saat konflik) memberikan alasan untuk penelitian bahwa siswa bertindak seperti mereka mengatur partisipasi mereka dalam tugas matematika.

c. Data untuk artikel ini ditarik dari kajian selama 8 bulan yang menyelidiki praktik pembelajaran kooperatif di tiga kelas di SMA pada distrik kecil dan urban di Area Teluk San Fransisco (Esmonde, 2006) dan difokuskan pada 3 siswa yang bekerja pada satu kelompok selama 3 minggu di bulan Februari yakni Riley, seorang anak laki-laki putih kelas sembilan, yang diakui oleh sebagian besar siswa sebagai salah satu anggota tertinggi kelas, Dawn, seorang gadis Afrika-Amerika kelas 10, yang telah lulus kursus tetapi sering berjuang dengan materi, dan Shayenne, seorang gadis Afrika-Amerika kelas

10 dengan profil akademis yang mirip dengan Dawn. Hal yang disoroti pada artikel ini adalah manfaat dan konflik yang dapat timbul pada perbedaan bahasa dan budaya, seperti pembicaraan intensif pedagogis matematika.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yakni untuk siswa lokal, kemampuan dinamika kompleks dikonstruksi dan direkonstruksi dalam interaksi, baik dalam pembicaraan sosial maupun matematika. Kemampuan Riley dalam pemikiran dunia matematika menawarkannya kesempatan dan belajar jauh lebih besar serta pengaruh yang lebih besar daripada kemampuan Dawn dalam pemikiran dunia persahabatan dan asmara. Namun, kemampuan Dawn dalam dunia pemikiran sosial mungkin telah memainkan bagian penting dalam memungkinkan dia untuk menggeser sifat interaksi matematika. Salah satu aspek dinamika kemampuan yang paling menarik di dunia pemikiran matematika adalah konflik antara kebanyakan guru seperti membimbing gaya kolaborasi, dan kebanyakan tipe didaktis. Sebuah gaya didaktis dalam interaksi biasanya tidak dianjurkan dalam Standar berbasis kelas. Namun, bila menggunakan gaya interaksional didaktis, Dawn mengambil kesempatan untuk terlibat dalam praktek-praktek pembahasan matematika seperti conjecturing (berspekulasi), mengklarifikasi ide-ide, dan memberikan bukti, yang dia tidak lakukan sebaliknya.

Dengan demikian, di kelas matematika heterogen, kita tidak bisa mengatakan a priori jenis praktek wacana atau gaya interaksional yang akan digunakan oleh semua siswa. Meskipun pemikiran kelas matematika seperti yang diambil oleh Riley dapat diperkirakan lebih dekat dengan Standar berbasis kelas, gaya bersifat mendidik yang diambil oleh Dawn tampaknya memungkinkan adanya peluang lebih otentik untuk terlibat dengan matematika dan kolaborasi sebagai sebuah kelompok. Seperti kontradiksi yang tampak, memungkinkan kelompok ini untuk mendekati tujuan menyeluruh Standar berbasis kelas dalam cara yang bekerja untuk siswa tertentu. Manfaat secara eksplisit dalam mendorong keragaman dalam kelas ini adalah bahwa hal itu memungkinkan siswa untuk mengambil berbagai cara berinteraksi dengan satu sama lain dan matematika itu sendiri.

Kelemahan mungkin akan timbul jika siswa terpinggirkan karena ide-ide mereka tentang bagaimana untuk berperilaku tepat berbeda dari rekan-rekan mereka. Meskipun dalam artikel ini melihat kritis di kelas ini, peneliti percaya bahwa Standar berbasis kelas matematika relatif berhasil dan bergerak menuju keadilan yang lebih besar. Seperti Gutierrez et al. (1999) berpendapat , konflik merupakan karakteristik dari ruang belajar yang heterogen dan tidak selalu harus dihindari. Namun, peneliti percaya bahwa konflik harus dikelola dengan baik jika ingin mereka menjadi produktif untuk belajar. Meskipun Dawn bersedia untuk menghadapi Riley secara langsung, banyak siswa mungkin tidak dan akan terus terpinggirkan oleh norma-norma kelas yang tidak mendukung keterlibatan otentik mereka.

Peneliti berpendapat bahwa kelas ini adalah ruang rasial dan gender, dan juga telah peneliti jelaskan secara rinci beberapa konflik yang muncul antara Riley, Dawn, dan Shayenne misalnya konflik ketika Dawn dan Shayenne yang marah akibat dari dominasi Riley yang mendominasi untuk memutuskan kapan kelompok mulai membicarakan diskusi matematikanya, ketika Dawn

menentang pemikiran Riley dalam menentukan banyaknya skateboard yang bisa dihasilkan. Peneliti bertanya-tanya apakah konflik ini ada di seluruh gaya interaksional, juga di bagian yang berhubungan dengan identitas siswa rasial dan gender. Dalam interaksi matematika (meskipun mereka melakukannya dalam interaksi sosial dan antar kelompok). Untuk membangun hubungan yang lebih kuat antara identitas siswa dan temuan peneliti tentang interaksi yang diamati, metode analisis lainnya akan diperlukan. Misalnya, kita dan orang lain telah ditarik pada metode wawancara untuk membahas cara-cara di mana beberapa siswa melihat interaksi kelas melalui lensa rasial dan gender (Esmode, Brodie, Dookie, & Takeuchi, 2011; Martin, 2006).

Peneliti percaya bahwa penelitian ini memiliki implikasi untuk penelitian dalam pendidikan matematika, serta untuk guru kelas. Untuk peneliti, kita menekankan pentingnya memandang ruang baik kepemimpinan guru dan kepemimpinan siswa di kelas. Dalam kelompok fokus (focal), banyak konflik tentang interaksi matematika berlangsung di ruang yang dipimpin guru, dan peneliti percaya bahwa fokus hanya pada ruang yang dipimpin guru akan memberikan gambaran yang sangat berbeda tentang bagaimana pandangan siswa tentang pembelajaran matematika di kelas . Kedua, peneliti juga percaya penting untuk berfokus pada kedua pembicaraan : tugas yang relevan (yaitu matematika) dan non-tugas yang relevan (yaitu, dalam hal ini, sosial).

Bagi para guru, peneliti percaya artikel ini menggambarkan baik adanya harapan dan tantangan dari kelas heterogen. Guru menciptakan ruang di mana Dawn mampu menuntut interkasi didaktik, dan dengan demikian terlibat secara otentik dalam praktek matematika. Memang, mengingat bahwa kebanyakan siswa mengalami pengajaran didaktik dalam pendidikan matematika mereka, tidaklah mengherankan bahwa ini adalah gaya disukai oleh setidaknya satu siswa. Peneliti mengingatkan pembaca untuk tidak menyimpulkan bahwa semua siswa Afrika-Amerika, atau semua gadis, atau semua siswa dengan pencapaian yang lebih rendah, akan membutuhkan manfaat dari gaya didaktik. Sebaliknya, peneliti percaya bahwa memperjelas dinamika kekuasaan dalam interaksi adalah kunci untuk memahami apa yang sedang terjadi. Gaya interaksional Riley (yang peneliti sebut membimbing) mungkin tampak untuk mendukung dinamika kekuasaan yang adil antara siswa, tapi Dawn menanggapinya seolah-olah ia sedang berusaha untuk menampilkan kecerdasan Riley sendiri dan kebodohannya (Dawn). Gaya interaksional Dawn (yang disebut didaktik) mungkin tampak memposisikan Riley sebagai lebih kuat.

Namun peneliti percaya Dawn berpartisipasi sepenuhnya dalam diskusi didaktik dimana dia memposisikan dirinya dengan kekuatan, sebagai kritikus ide Riley. Contoh ini menyoroti pentingnya mendengarkan interaksi siswa; dan tidak salah gaya (misalnya, gaya yang terdengar berbasis standar) dengan substansi (misalnya, benar-benar terlibat dalam praktek-praktek matematika).

Dalam pengalaman peneliti, guru sering menghabiskan sedikit waktu untuk kelompok-kelompok di tempat kerja, lebih memilih untuk mengunjungi kelompok sebentar untuk membahas kemajuan matematika mereka. Analisis peneliti berawal dari interaksi kelompok yang menyoroti pentingnya mendengarkan dengan hati-hati pada kelompok-kelompok siswa untuk memahami gaya interactional mereka serta pemikiran matematika para siswa. Peneliti merinci di sini mungkin lumrah dalam banyak kelas; daripada saling menjauh dari isu-isu kekuasaan, memahami kompleksitas dari dinamika kekuatan kelas atau kelompok adalah kunci. Dawn mampu untuk menggunakan beberapa pemikirannya untuk menguasai dan memposisikan dirinya dalam situasi di mana dia telah terpinggirkan atau diabaikan. Jika dia belum mampu Dalam pengalaman peneliti, guru sering menghabiskan sedikit waktu untuk kelompok-kelompok di tempat kerja, lebih memilih untuk mengunjungi kelompok sebentar untuk membahas kemajuan matematika mereka. Analisis peneliti berawal dari interaksi kelompok yang menyoroti pentingnya mendengarkan dengan hati-hati pada kelompok-kelompok siswa untuk memahami gaya interactional mereka serta pemikiran matematika para siswa. Peneliti merinci di sini mungkin lumrah dalam banyak kelas; daripada saling menjauh dari isu-isu kekuasaan, memahami kompleksitas dari dinamika kekuatan kelas atau kelompok adalah kunci. Dawn mampu untuk menggunakan beberapa pemikirannya untuk menguasai dan memposisikan dirinya dalam situasi di mana dia telah terpinggirkan atau diabaikan. Jika dia belum mampu

Gender Dalam Dunia Pendidikan

Mengenai permasalahan gender tidak lepas dari sebuah teori yang mendasar yang dapat dibagi kepada dua kelompok teori yakni teori sosial makro, dan mikro. Berbicara mengenai wacana gender dalam pendidikan tidak lepas dari faktor lainnya seperti organisasi keluarga dan pekerjaan, surplus ekonomi, kecanggihan tekhnologi, kepadatan penduduk dan lainnya. Karna kesemuanya adalah variabel yang saling mempengaruhi banyak hal tentang gender begitupun didalam fenomena pendidikan. Persoalan mendasar mengenai gender bermula dari pertanyaan “ dan bagaimana dengan pearempuan ? “ hal tersebut akan dibahas dalam tiga teori yang ada dalam teori sosial makro yakni fungsionalime, teori konflik analitik dan teori sistem dunia.

Harus diakui bahwasanya teori fungsional memang gagal melihat kerugian yang dialami wanita dalam masyarakat. Alasannya dalam teori fungsional terutama dalam teori Parson cenderung meminggirkan masalah ketimpangan sosial, dominasi, dan penindasan tentu saja karna fungsionalisme selalu menekankan ketertiban sosial. Adanya pendidikan tidak saja melihat kepda pendidikan formal, namun harus dimulai dengan bagaimana pendidaikan itu dimulai. Tentu saja kita bisa melihat feanomena proses pendidikan dalam keluarga dimana wanita sangat berperan sebagai produsen utama fungsi-fungsi pokok keluarga. Dalam keluarga perempuan secara tidak langsung dididik menjadi seorang yang mengutamakan perasaan. Hal itu lantas menjadi pola turun temurun sebagai hal yang dipandang alamiah maka timbulah fenomena dalam pendidikan umumnya perempuan memilih studinya yang mengutamakan perasaan dan kecerdsasan emosional. Contoh banyak perempuan lebih memilih studi tentang keperawatan, pramugari, entertainer, psikolog, guru, dan lain lain.

Dibandingkan dengan fenomena yang ada dimasa lalu gender sudah banyak memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki. Dulu banyak fenomena dimana orang tua lebih mengutamakan pendidikan untuk anak laki-lakinya dengan berbagai alasan, tapi tidak dipungkiri mungkin saat ini masih bisa terjadi. Bahwasannya pada teori konflik analitik lebih menggunakan pendekatan cultural, dalam teori ini melihat adanya ketimpangan gender yang selalu disebut sebagai stratifikasi jenis kelamin. Agar lebih jelas kelompok-kelompok feminis dapat kita golongkan menjadi tiga golongan yakni feminis liberal, radikal, dan sosialis.

Feminis Liberal adalah feminis yang mengusulkan bahwasannya perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, ciri dari gerakan ini tidak mengusulkan perubahan struktur secara fundamental, melainkan memasukan wanita kedalam struktur yang ada berdasarka prinsip kesetaraan dengan laki-laki. Jelas mungkin bila selama ini pendidikan lebih mendahulukan kaum laki-laki maka feminis ini leabih memperjuangkan tentang adanya kesetaraan mengenai hak-hak yang seharusnya diperoleh para perempuan yang sama dengan kaum adam. Contoh dalam pendidikan adanya kesamaan memperoleh hak yang sama dalam menimba ilmu apapun yang dipandang sebagai pendidikan untuk para pria caontoh sekolah SMK/STM, AKABRI,AKPOL,Politik, dan lain sebagainya. Inti ajaran feminis liberal

 Memfokuskan kepada perlakuan yang sama terhadap wanita diluar dari pada didalam keluarga.  Memperluas kesempetan pendidikan merupakan langkah efektif untuk melakukan perubahan sosial.  Pekerjaan rumah tangga seperti merawat anak, melayani bapak, menyusui,memandikan, memasak,meancuci dipandang sebuah pekerjaan tidak terampil yang merupakan pengandalan tubuh, bukan pikiran rasional.

 Perjuangan harus meanyentuh kesetaraan politik antra wanita dan laki-laki,melalui perwakilan wanita diruang-ruang publik

 Feminis saat ini cenderung lebih sejalandengan liberalisme kesejahteraan atau egalitarian yang mendukung kesejahteraan Negara (welfare state)

Feminis Radikal. Feminis ini lebih menekankan kebalikan dari feminis liberal, jika sebelumnya kaum feminis mengusulkan kesetaraan kaum hawa dengan kaum adam maka radidkal tidak demikian, hal ini dapat dilihat dari usulan bahwasangnya hak antara laki-laki dan hak perempuan harus dibedakan. Misallnya wanita dan laki-laki mengkonseptualkan kekuasaan secara berbeda, bila laki-laki lebih pada mendominasi dan mengontrol orang lain maka perempuan lebih tertuju dalam berbagi dan merawat keakuasaannya. Feminis ini menyatakan bahwasanya adanya keteransingan yang dialami kaum perempuan karena diciptakan oleh unsur politik maka transformasi personal lebih kepada aksi-aksi radikal. Inti ajaran feminis radikal:

 memprotres ekploitasi terhadap wanita (termasuk peran ibu, pasanagan sex, dan istri) feminis radikal menganggap perkawinan sebagai bentik formalitas yang

mendeskriminasikan perempuan.  masyarakat harus diubah secara menyeluruh,termasuk lembaga-lembaga sosial fundamental harus dirubah secara fundamental pula

Feminis Sosialis. Aliran ini bertumpu pada teori Marx dan Engel yang beraliran sintesa histories-matrealis. Menurut Engel laki-laki dan perempuan berperan dalam pemeliharaan keluarga inti, namun kareaana tugas tradisional wanita mencakup pemeliharaan rumah tangga dan penyiapan makanan seadanagakan tugas laki-laki mencari makan,memiliki dan memerintah budak serta memiliki alat-alat prodauksi yang mendukung tugas tersebaut. Dalam hal ini laki-laki meampunyai akumulasi kekayaan yang lebih tinggi dari perempuan. Hal ini yang amenyebabkan posisi laki-laki dianggap lebih penting dan sangat mudah daalam mengekploitasi perempuan. Inti ajaran feminis sosialis:

 Wanita tidak dimasukan kedalam analisis kelas. Dengan alasan karna wanita tidak mempunayai hubunagan khusus dengan alat-alat produksi.  Mengajukan solusi bahwasannya wanita harus dibayar untuk upah kerjanya dalam rumah tangga  Kapitalisme memperkuat sexism, karena memisahkan antara pekerjaan rumah tangga dan bergaji.dan maendesak agar wanita melakukan pekerjaan diwilayah domestic.

Dapat kita jelaskan bgaimana ketiga aliran feminis ini menanggapi permasalahan gender dari berbagai argumennya, hal ini juga dapat kita katkan daengan isu-isu bagaimana isu gender dalam pendidikan? Jika kita memahami ketiga teori diatas dan ketiga teori yang ada pada teaori sosial makro sebelumnya maka gender bergerak bagaimana seharusnya perempuan. Jelas seperti dinyatakan dalam fungsionalis yang sama dengan pernyataan golongan liberal bahwa perempuan haruslah diposisikan keruang-ruang public dan memperoleah hak yang sama dengan laki-laki. Di Indoneasia mungkin kita teringat akan perjuangan Kartini sang pahlawan yang memeperjuangkan kesamaan perempuyan dalam mengaksek dunia pendidikan dan dapat berkiprah didunia public. Yang kedua golongan radikal jelas kebalikan dari liberal kaitannya dengan pendidikan bisa ditebak keinginannya untuk merubah struktur masyarakat yang selama ini dianggap merugikan perempuan, yakni adanya isu ekploitasi kaum perempuan oleh para laki-laki. Mungkin jika kita melihat dalam pendidikan, bisa jadi protes atas gaji guru honorer perempuan yang lebih rendah dari guru laki-laki, bisa jadi protes atas kedudukan laki-laki yang mendominasi dunia pendidikan, misal.

Masalah gender dan ras pada pendidikan di Indonesia

Dari hasil MDG (Tujuan Pembangunan Milenium) untuk kesetaraan gender dan pendidikan. Didapatkan data sebagai berikut:

1. Rasio melek huruf perempuan dan laki-laki telah tercapai pada kelompok usia 15-24 tahun Tahun 2009, Indeks Paritas Gender (IPG) nasional melek huruf untuk kelompok usia 15-24 tahun hampir 100, dengan tingkat melek huruf perempuan sebesar 99,4% dan laki-laki

99,5%. Namun di 16 propinsi tingkat melek huruf untuk perempuan kelompok usia ini masih sedikit dibawah laki-laki (Bappenas, 2010)

2. Disparitas gender antar propinsi masih ditemukan pada jenjang sekolah menengah pertama, menengah atas dan pendidikan tinggi Data Susenas 2009 menunjukkan bahwa IPG (Indeks Paritas Gender) untuk APM (Angka Partisipasi Murni) di tingkat SD berkisar antara 96,39 (Papua Barat) hingga 102,5 (Kepulauan Riau) yang mengindikasikan bahwa APM perempuan terhadap laki-laki tidak berbeda nyata antar propinsi. Namun disparitas gender ditgemukan pada tingkat SMP, IPG berkisar antara 89,54 (Papua) hingga 116,17 (Gorontalo), sementara di SMA berkisar antara 68,60 (Papua Barat) hingga 143,22 (Kepulauan Riau).

3. Angka putus sekolah anak laki-laki lebih tinggi di semua jenjang pendidikan dan bervariasi berdasar propinsi Pada tingkat SMA, data nasional menunjukkan bahwa di 8 propinsi terlihat lebih banyak perempuan putus sekolah dibanding laki-laki. Di propinsi NTT, angka putus sekolah anak laki-laki di tingkat SD 8 kali lebih tinggi dibanding perempuan (laki-laki 8% dan perempuan 0,02%). Di propinsi Bangka Belitung angka putus sekolah anak laki-laki di tingkat SMP 7 kali lebih tinggi dibanding perempuan. Di propinsi Sulawesi Tenggara angka putus sekolah di SMA adalah 10,98% untuk laki-laki dan 8,41 untuk perempuan. Untuk tingkat pendidikan tinggi menunjukkan 22,5% laki-laki dan 14,5% perempuan (kemendiknas, 2008)

4. Angka transisi laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan di semua jenjang pendidikan di sebagian besar propinsi Data tingkat propinsi menunjukkan bahwa di 31 propinsi, anak laki-laki memiliki angka transisi SMP ke SMA lebih tinggi dibanding perempuan. Ada kesenjangan gender yang signifikan di 16 propinsi, dengan yang tertinggi ditemukan di Papua Barat, dimana lebih dari 38,3% anak laki-laki melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Kepulauan Riau memiliki angka 4. Angka transisi laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan di semua jenjang pendidikan di sebagian besar propinsi Data tingkat propinsi menunjukkan bahwa di 31 propinsi, anak laki-laki memiliki angka transisi SMP ke SMA lebih tinggi dibanding perempuan. Ada kesenjangan gender yang signifikan di 16 propinsi, dengan yang tertinggi ditemukan di Papua Barat, dimana lebih dari 38,3% anak laki-laki melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Kepulauan Riau memiliki angka

5. Adat masih mempengaruhi akses anak perempuan terhadap pendidikan Salah satu contoh adat masih mempunyai pengaruh kuat dalam memenuhi kewajiban belajar. Salah satunya terjadi di NTT, disana jika seorang gadis pergi ke sekolah diluar daerahnya dan tinggal di rumah kos tanpa didampingi, maka harga mas kawinnya, atau “belis” akan turun, karena reputasinya akan tercemar akibat adanya anggapan bahwa ia tidak lagi “murni”. Selain isu yang berkaitan dengan adat, anak perempuan juga menghadapi bias gender di mana orang tua masih memprioritaskan pendidikan bagi anak laki-laki.

6. Program pemerintah telah berhasil mengurangi hambatan akses terhadap fasilitas sekolah untuk perempuan dan laki-laki, tetapi ada hambatan yang signifikan dalam menyelesaikan pendidikan berkualitas yang responsive gender Salah satu hambatan yang terjadi adalah adanya Prevalensi pernikahan diri. Ini dapat ditemukan di Indramayu, Jawa Barat dan di beberapa kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur. Peraturan terkait dukungan sekolah terhadap perempuan usia sekolah yang sudah menikah, hamil, atau ibu-ibu muda, tidak jelas. Jarak sekolah, permasalahan keselamatan, biaya terkait perjalanan jarak jauh juga menjadi penghalang untuk melanjutkan pendidikan bagi lebih dari 0,32% perempuan dibanding 0,66% laki-laki di kota dan 4,18% perempuan dibanding 3,98% laki-laki di wilayah pedesaan (Badan Pusat Statistik-Susenas, 2009). Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Austen menunjukkan bahwa terbatasnya fasilitas sanitasi yang terpisah bagi perempuan, yang dibutuhkan untuk keperluan menstruasi berpengaruh terhadap kerutinan kehadiran di sekolah. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa adanya toilet terpisah di Madrasah menaikkan angka transisi anak perempuan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan rata-rata 5% dibandingkan sekolah yang tidak memiliki fasilitas tersebut (Austen et al, 2009)

7. Disparitas kualifikasi dan rasio gender guru dan kepala sekolah Rasio guru perempuan terhadap laki-laki mencapai 50% atau lebih di semua propinsi kecuali Papua, Bali, NTB dan Papua Barat. Jumlah tertinggi guru perempuan ditemukan di Sumatra Barat (77,8%) dan terendah di Papua (45,2%) (Situs Web Kemendiknas). Kurangnya kepala sekolah perempuan bisa menjadi kendala dalam mempertahankan kesetaraan gender, khususnya di SMP. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa kehadiran seorang kepala sekolah perempuan berkorelasi kuat dengan tingginya tingkat partisipasi dan transisi perempuan ke jenjang menengah. Suatu studi yang dilakukan di Indonesia menyimpulkan bahwa kualifikasi guru memiliki hubungan positif pada proporsi dan transisi siswa perempuan ke jenjang berikutnya di sekolah-sekolah Islam.

Selain itu Dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Budi Usodo yang menyimpulkan bahwa (1) Karakteristik intuisi siswa dalam memecahkan masalah aljabar ditinjau dari kemampuan matematika dan perbedaan gender adalah: (i) Subjek berkemampuan matematika tinggi laki-laki; dalam memahami masalah, menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat langsung, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global, dan intuisinya berupa pemikiran matematika real, dalam melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. (ii) Subjek berkemampuan matematika tinggi perempuan; dalam memahami masalah, tidak menggunakan intuisi, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan intuisinya berupa pemikiran matematika real, dalam melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. (iii) Subjek berkemampuan matematika sedang laki-laki; dalam memahami masalah, menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat langsung, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan intuisinya berupa pemikiran matematika real, yaitu menggunakan rumus barisan, dalam Melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban, tidak menggunakan intuisi. (iv)

Subjek berkemampuan matematika sedang perempuan; dalam memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban, tidak menggunakan intuisi. (v) Subjek berkemampuan matematika rendah laki-laki; dalam memahami masalah, menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat langsung. dalam membuat rencana penyelesaian dan melaksanakan rencana, tidak menggunakan intuisi, dalam memeriksa jawaban, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat bertentangan dengan dugaan pada umumnya, yaitu dengan mempraktekkan apa yang ada pada soal. (vi) Subjek berkemampuan matematika rendah perempuan; dalam memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. (2) Karakteristik intuisi siswa dalam memecahkan masalah geometri ditinjau dari kemampuan matematika dan perbedaan gender adalah: (i) subjek yang berkemampuan matematika tinggi laki-laki; dalam memahami masalah, menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat langsung, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan intuisinya berupa pemikiran matematika secara real, dalam melaksanakan rencana dan memeriksa jawaban, tidak menggunakan intuisi. (ii) Subjek yang berkemampuan matematika tinggi perempuan; dalam memahami masalah, tidak menggunakan intuisi, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan intuisinya berupa pemikiran matematika secara real, dalam melaksanakan rencana dan memeriksa jawaban, tidak menggunakan intuisi. (iii) Subjek yang berkemampuan matematika sedang laki-laki; dalam memahami masalah, menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat langsung, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan intuisinya berupa pemikiran matematika secara real, dalam melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban, tidak menggunakan intuisi. (iv) Subjek yang berkemampuan matematika sedang perempuan; dalam memahami masalah, tidak menggunakan intuisi, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan intuisinya berupa pemikiran matematika secara real, dalam melaksanakan rencana penyelesaian, menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat intrinsic certeainty, dalam memeriksa jawaban, tidak menggunakan intuisi. (v) Subjek yang berkemampuan matematika rendah laki-laki; dalam memahami masalah, menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat langsung, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat bertentangan pada umumnya dan intuisinya didasarkan pada indera dan imajinasi, dalam melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban, tidak menggunakan intuisi. (vi) Subjek yang berkemampuan matematika rendah perempuan; dalam memahami masalah, tidak menggunakan intuisi, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat bertentangan pada umumnya dan intuisinya didasarkan pada indera dan imajinasi, dalam melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban, tidak menggunakan intuisi.

1. Hasil penelitian dilakukan Nanang Martono, dkk di Unsoed mengenai perbedaan prestasi belajar antara mahasiswa laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa secara umum prestasi perempuan lebih baik daripada laki-laki. Rentang IPK 3,00 sampai 4,00 didominasi perempuan. Mahasiswa perempuan memiliki masa studi yang lebih pendek daripada laki-laki. Rata-rata lama studi mahasiswa perempuan adalah 8,7 semester sedangkan mahasiswa laki-laki adalah 9,8 semester. Secara teoritis, perempuan lebih berprestasi daripada laki-laki dikarenakan perempuan lebih termotivasi dan bekerja lebih rajin daripada laki-laki dalam mengerjakan pekerjaan sekolah; kepercayaan diri perempuan yang lebih bagus daripada laki-laki; yang terakhir, perempuan lebih suka membaca daripada laki-laki.

2. Hasil kajian berdasarkan etnis dan gender pada siswa SMP di Kalimantan Barat oleh Dwi Astuti dan Bambang Hudiono Pend.Matematika Univ.Tanjungpura diketahui bahwa perbedaan etnis yang terdiri dari etnis Cina, etnis Dayak, etnis Melayu, dan etnis lain, tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam rata-rata kemampuan metakognisinya. Kemampuan metakognisinya dalam kategori rentangan relatif rendah sampai sedang (berada pada kisaran 61%). Kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika, menurut etnis yang berbeda, secara deskriptif menunjukkan adanya perbedaan rata-rata kemampuan, etnis Melayu (37%) diikuti dengan etnis Cina (34 %), etnis lain (29 %)

dan terakhir etnis Dayak (23,5%). Dari hasil uji statistik (Post Hoc Test ) dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika etnis Cina dengan etnis Dayak dan antara etnis Dayak dengan etnis Melayu memiliki perbedaan rata-rata skor yang signifikan dengan nilai probabilitas masing-masing 0,033 dan 0,004. Untuk yang lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Secara keseluruhan kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematikanya dalam kategori rendah. Hal ini diperlihatkan dari rata-rata kemampuannya kurang dari 50%. Secara umum, ada pengaruh gender terhadap kemampuan metakognisi dan terhadap kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika. Hal ini ditunjukkan: kemampuan metakognisi siswa perempuan (27,40) lebih tinggi dari kemampuan metakognisi siswa laik-laki (26,52). Dan kemampuan pemecahan masalah matematika dari siswa perempuan (9,96) lebih tinggi dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa laki-laki (9,82). Namun demikian, perbedaan kemampuan tersebut tampak relatif kecil. Kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika untuk etnis Cina dan Dayak, secara deskriptif kelompok siswa laki-laki lebih baik dibanding kelompok siswa perempuan. Akan tetapi kemampuan metakognisinya kelompok siswa perempuan lebih baik dibanding dengan siswa laki-laki. Sedangkan kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika serta kemampuan metakognisi untuk etnis Melayu dan etnis lain, secara deskriptif kelompok siswa perempuan lebih baik dibanding kelompok siswa laki-laki. Dalam menghadapi soal pemecahan masalah matematika aktivitas metakognisi siswa sebelum, selama, setelah dan dalam menghadapi soal sudah terlihat tetapi belum optimal, masih dalam rentang kategori rendah sampai sedang.

C. SIMPULAN DAN SARAN

Pada artikel ini, kelas matematika yang dikonseptualisasikan sebagai kelas heterogen di mana beberapa figur dunia saling berhubungan. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana sekelompok siswa SMA menyimpulkan beberapa figur dunia saat mereka melakukan diskusi matematika. Hasil menyoroti 3 poin utama. Pertama, para siswa memiliki 2 pemikiran primer: figur dunia dari belajar matematika dan figur dunia dari persahabatan dan asmara. Kedua figur dunia yang rasial dan gender, dan secara aktif dibangun oleh siswa. Kedua, figur dunia ini menawarkan sumber daya untuk 1 mahasiswa Amerika-Afrika, Dawn, memposisikan dirinya kuat dalam hirarki kelas. Ketiga, tindakan-tindakan posisi memungkinkan Dawn untuk terlibat dalam praktek-praktek matematika seperti conjecturing, mengklarifikasi ide dan memberikan bukti.

Dari hasil penelitian dan kajian 3 penelitian tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan bermatematika dilihat dari gender siswa laki-laki dan siswa perempuan tidak berbeda walaupun ada penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa perempuan lebih baik dibanding laki-laki tetapi perbedaan tersebut relatif kecil, pada siswa perempuan lebih baik pada prestasi belajar dan metakognisinya, sedangkan laki-laki lebih unggul dari proses bermatematika dilihat dari kemampuan menggunakan intuisinya. Jika dilihat dari etnis, kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika untuk etnis Cina dan Dayak, diketahui kelompok siswa laki-laki lebih baik dibanding kelompok siswa perempuan. Akan tetapi kemampuan metakognisinya kelompok siswa perempuan lebih baik dibanding dengan siswa laki-laki. Sedangkan kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika serta kemampuan metakognisi untuk etnis Melayu dan etnis lain, kelompok siswa perempuan lebih baik dibanding kelompok siswa laki-laki. Secara umum dapat disimpulkan bahwa etnis Cina, etnis Dayak, etnis Melayu, dan etnis lain tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam rata-rata kemampuan metakognisinya.

D. DAFTAR PUSTAKA

Astusi, Dwi., Hudiono, Bambang. 2009. Perilaku metakognisi anak dalam matematika: kajian berdasarkan etnis dan gender pada siswa SMP di Kalimantan Barat. http://eprints.uny.ac.id/7017/1/P3-Dra.%20Dwi%20Astuti,%20M.Si%20-%20Bambang% 20Hudiono.pdf (Online), diakses 15 Desember 2012

Austen, S, Edward, J and Sharp, R 2009. Funding quality improvements in girl’s education in Islamic schools in Indonesia” in Lynne Chester, Michel Johnson and Peter Kriesler (eds), Heterodox economics’ visions, Australian Society of Heterodox Economists 8 th Annual

Conference, University of New South Wales, Sydney, pp 29-45.

Bappenas. 2010. “Laporan Pencapaian MDG Indonesia”

Biro Pusat Statistik. 2009. “Statistik Pendidikan”, Susenas BPS, 2009

Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), “Analisis Data Guru”, PMPTK, 2009

Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), “Data Capaian Indikator MDG”. Biro Perencanaan, 2009

Martono, Nanang., dkk. 2012. Perbedaan gender dalam prestasi belajar mahasiswa Unsoed. http://nanang-martono.blog.unsoed.ac.id/files/2010/09/Perbedaan-Gender-dalam-Prestasi- Akademik-Mahasiswa-Unsoed.pdf (Online), diakses 15 Desember 2012

Situs Web Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), “Data Pendidikan 2008/09”.

Sriraman, B & English, Lyn. 2010. Theories of Mathematics Education Seeking New Frontiers. New York: Springer

Usodo, Budi. 2012. Karakteristik intuisi siswa sma dalam memecahkan masalah matematika ditinjau

perbedaan gender . http://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/disertasi/budi_usodo.pdf (Online), diakses 15 Desember 2012

dari

kemampuan

matematika

dan

P – 83

MENGASAH KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF SISWA MELALUI BAHAN AJAR MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN OPEN-ENDED

Yandri Soeyono

Universitas Negeri Yogyakarta ri_yand@yahoo.com

Abstrak

Abad 21 merupakan zaman informasi dan teknologi, zaman digital. Matematika diperlukan dalam pembelajaran di sekolah bukan hanya sebagai pengetahuan namun juga berfungsi sebagai objek tak langsung yang mampu mengasah kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan siswa untuk menghadapi abad 21. Dari beberapa kemampuan dan keterampilan abad 21 yang didefinisikan beberapa ahli, kemampuan berpikir kritis dan kreatif termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, pembelajaran di kelas sebaiknya memiliki karakteristik pembelajaran yang mampu mengasah kedua kemampuan tersebut. Pendekatan Open-Ended merupakan pendekatan yang memunculkan masalah-masalah terbuka dengan beberapa jawaban dan/atau dengan beberapa cara dalam proses penyelesaiannya. Sifat terbuka yang dimilikinya mampu merangsang kemampuan berpikir kreatif dan kritis siswa. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu bahan ajar dengan pendekatan Open-Ended, terutama dalam bentuk Buku Panduan Guru dan Buku Kegiatan Siswa, yang mampu menuntun guru dan siswa mengalami proses pembelajaran yang mengasah kemampuan berpikir kritis dan kreatif.

Kata kunci: Kemampuan Berpikir Kritis, Kemampuan Berpikir Kreatif, Pendekatan Open-Ended

A. PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Salah satu alasan kesempurnaan itu adalah karena manusia dibekali akal pikiran oleh Allah. Untuk alasan yang sama, menyebabkan manusia menjadi makhluk dengan derajat yang lebih tinggi di antara sesama makhluk. Secara umum, manusia diberi kewenangan lebih oleh Sang Pencipta, yaitu dapat menggunakan akalnya untuk berpikir dan menentukan pilihan.

Otak manusia bukan hanya sebagai memori tempat menyimpan segala pengetahuan yang dimiliki. Kegiatan “mengingat” merupakan tingkat proses kognitif rendah.Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dapat mengoptimalkan kerja otak pada kemampuan berpikir kompleks dalam rangka memberdayakan akal yang dikaruniai Allah. P erubahan zaman – dari zaman industrialisasi menuju zaman pengetahuan abad 21 – menuntut manusia agar mampu lebih cepat beradaptasi dan memimpin perkembangan yang tidak dapat dipastikan, baik kecepatan, proses, maupun produknya.

Trilling dan Fadel (2009: xxiv) sadar akan cepatnya perubahan zaman yang juga mempengaruhi bentuk pembelajaran seperti apa yang dapat menghasilkan lulusan yang mampu bekerja dan sukses beberapa tahun ke depan. Dapat dibayangkan, dunia akan semakin “kecil” karena kemajuan teknologi dan transportasi, informasi dan budaya dapat tersebar dengan sangat cepat, dan pekerjaan yang bersifat rutin akan tergantikan oleh mesin dan teknologi.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Selain itu, lingkungan pekerjaan akan selalu berhubungan dengan teknologi tinggi, dengan masalah yang kurang jelas atau belum pernah ditemukan sebelumnya, dan kecenderungan dalam dunia kerja untuk bekerja sebagai tim dan menciptakan sesuatu yang baru, bukan lagi berkompetisi antar individu karena sangat mungkin pekerjaan tersebut adalah pekerjaan lintas disiplin ilmu. Hal ini jelas berdampak pada pendidikan.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Autor, et al (Griffin, McGaw & Care, 2012: 3) menunjukkan bahwa terjadi perubahan substansial terhadap peningkatan abstract task (tugas atau pekerjaan yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi, misal dokter, desainer, ilmuwan, pengusaha, dan lain-lain) dan penurunan routine task (tugas atau pekerjaan yang menjadi rutinitas, contoh: petugas perpustakaan, administrasi arsip, dan lain-lain) dan manual task (tugas atau pekerjaan yang lebih menggunakan kerja fisik, contoh: sopir, petugas keamanan, pramusaji, dan lain-lain), seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Grafik Persentase Distribusi Kebutuhan Jenis Pekerjaan Pada gambar 1, terlihat peningkatan kebutuhan jenis abstract task sejak tahun 1960 hingga

diprediksi mencapai lebih dari 65% pada tahun 2020. Sebaliknya, jenis pekerjaan yang rutin dilakukan (routine tasks) dan manual task akan semakin menurun. Gambar ini menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia pada tahun 2020 lebih banyak untuk jenis pekerjaan abstract task seperti dokter, pengusaha, ilmuwan, desainer, dan lain-lain dibandingkan dengan kebutuhan akan sopir, pramusaji, petugas keamanan, dan sejenisnya. Sebelum itu, Trilling dan Fadel (2009: 9) juga menyatakan bahwa sistem pendidikan di dunia harus mempersiapkan siswanya untuk pekerjaan-pekerjaan pada level tinggi -dimana kebutuhan akan pengetahuan yang membutuhkan keterampilan kompleks, keahlian, dan kreatifitas- dan pekerjaan lainnya yang saat ini belum ada.

Menurut Binkley (Griffin, McGaw & Care, 2012: 18), terdapat 10 keterampilan abad 21 dalam 4 kelompok yang harus dipelajari dan dikuasai oleh manusia, yaitu: Cara berpikir (termasuk berpikir kreatif dan berinovasi; berpikir kritis dan pemecahan masalah; berpikir metakognisi), cara bekerja (termasuk kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi), kemampuan menggunakan informasi dan teknologi, dan living in the world (kemampuan bersosialisasi baik lokal maupun global, kehidupan dan karir, serta tanggungjawab personal dan sosial termasuk juga terhadap budaya).

Sebelum itu, pada tahun 2009, Bernie Trilling dan Charles Fadel juga mengajukan keterampilan yang diperlukan pada abad 21, yang disebutnya The 21st Century Skills. Tidak jauh berbeda dengan Binkley, menurut Trilling dan Fadel, berpikir kritis dan kreatif serta metakognisi termasuk dalam keterampilan yang diperlukan pada abad 21.

Matematika, dalam pembelajaran di kelas, berada di posisi terdepan dalam rangka mempersiapkan siswa-siswa untuk mampu bertahan hidup pada era pengetahuan ini, terutama untuk 10 tahun ke depan dan seterusnya. Menurut Gagne (Erman, et al, 2003: 33), ada objek tak langsung yang dapat diperoleh siswa dalam belajar matematika, seperti kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berpikir, mandiri, dan bersikap menghargai matematika. Sehingga, matematika bukan saja mengajarkan suatu pengetahuan tentang ilmu matematika, namun juga sebagai pola pikir dan alat dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah Republik Indonesia menyadari akan perubahan zaman yang begitu cepat. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditetapkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berimandan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untukmemberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia

yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu

berubah. Sudah sewajarnya peraturan di bawahnya dan pelaksanaan pendidikan secara teknis merujuk pada Undang-undang ini.

Dari pembahasan tentang kompetensi abad 21, fungsi serta visi Pendidikan Nasional dan tujuan pembelajaran matematika, matematika bukan hanya sekedar ilmu atau pengetahuan, namun matematika juga sebagai alat dan cara berpikir yang mempunyai peran strategis bagi setiap manusia menghadapi tantangan abad 21. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kondisi pembelajaran matematika saat ini sudah berorientasi pada fungsi matematika sebagai “pola pikir” atau masih berfungsi sebagai suatu ilmu/pengetahuan saja?

B. PEMBAHASAN

Salah satu masalah dalam proses pembelajaran di kelas adalah masalah bahan ajar. Bahan ajar, dalam hal ini adalah buku pelajaran, kebanyakan lebih fokus pada materi dan latihan soal mengakibatkan pembelajaran lebih bersifat teacher-centered (jika tidak ingin dikatakan book-centered ). Jika guru tidak melakukan improvisasi dan pengembangan dalam proses pembelajaran, maka bahan ajar (buku teks pelajaran) akan lebih dominan dalam pembelajaran tersebut. Dampaknya adalah pada keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa akan lebih pasif untuk menerima dan mengikuti alur dan aturan daripada melakukan eksperimen dan menemukan jawaban atau solusinya sendiri sebagai bagian dari pengalaman diri.

Bahan ajar yang ada juga lebih banyak menggunakan soal-soal tertutup yang menekankan pada hasil akhir daripada proses bagaimana siswa bisa menemukan jawaban. Kreatifitas siswa dalam berpikir selama proses pembelajaran menjadi tidak begitu penting. Kemampuan mengkritisi suatu jawaban beserta cara menjawabnya pun menjadi hal yang tabu, karena prosedur dan aturan dalam menyelesaikan soal sudah diajarkan terlebih dahulu oleh guru.

Menurut McGregor (2007: 189), soal-soal open-ended dengan pendekatan yang lebih terbuka merupakan salah satu strategi pedagogik (pedagogic strategies) yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Menurut Trilling dan Fadel (2009: 53), berpikir kritis dan kreatif dapat dikembangkan melalui pembelajaran bermakna yang dilakukan dengan menggabungkan pertanyaan (open-ended) dan masalah. Selain itu, beberapa penelitian tentang pendekatan Open-Ended juga telah dilakukan dan menghasilkan kesimpulan yang signifikan terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi, termasuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif.

Kemampuan Berpikir Kritis

The American Philosophical Association mempublikasikan laporan Delphi tentang berpikir kritis yang mengidentifikasi bahwa terdapat 6 ketrampilan berpikir kognitif di dalamnya, yaitu: The American Philosophical Association mempublikasikan laporan Delphi tentang berpikir kritis yang mengidentifikasi bahwa terdapat 6 ketrampilan berpikir kognitif di dalamnya, yaitu:

Berikut ini beberapa definisi atau kajian teori tentang berpikir kritisyang bisa dijadikan acuan. Trilling dan Fadel (2009: 53) menyatakan, “Critical thinking and problem solving skills can be learned through a variety of inquiri and problem-solving acitivities and programs. This skills are developed most effectively through meaningful learning projects driven by engaging questions and problems” .

Glaser (McGregor, 2007: 191) pada tahun 1941 menyatakan bahwa critical thinking termasuk ‘knowledge of the methods of logical enquiry and reasoning’. Glaser juga menjelaskan bahwa “critical thinking requires persistence to examine beliefs or ideas in the light of the evidence that supports it and the further conclusions to which it tends ”.

Jones, et al (Halpern, 2002: 6) menyatakan bahwa, “critical thinking is a broad term that describes reasoning in an open-ended manner and with an unlimited number of solutions. It involves construction a situation and supporting the reasoning that went into a conclusion ”.

Halpern (2002: 6) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut: Critical thinking is the use of those cognitive skills or strategies that increase the probability of a desirable outcome. It is used to describe thinking that is purposeful, reasoned, and goal directed—the kind of thinking involved in solving problems, formulating inferences, calculating likelihoods, and making decisions, when the thinker is using skills that are thoughtful and effective for the particular context and type of thinking task.

Lau (2011: 1) mendefinisikan berpikir kritis sebagai “thinking clearly and rationally. It involves thinking precisely and systematically, and following the rules of logic and scientific reasoning, among other things”.

Menurut Ennis (1996) dalam Fisher (2001: 4) dan Nitko (2011: 232), “critical thinking is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to believe or do ”. Ada enam unsur dasar yang perlu dipertimbangkan dalam berpikir kritis, yaitu fokus, alasan, kesimpulan, situasi, kejelasan, dan refleksi secara menyeluruh (akronim FRISCO, oleh Ennis).

Michael Scriven (Fisher, 2001: 10) mendefinisikan berpikir kritis sebagai “interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi”. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah proses berpikir secara aktif dalam memahami masalah dengan jelas, mengumpulkan informasi, bernalar, membuat keputusan dan merefleksikannya serta mampu mengkomunikasikan dan berargumentasi tentang keputusan tersebut. Siswa yang mampu berpikir kritis, tidak hanya sekedar menyelesaikan masalah, namun juga mampu memberikan alasan yang logis atas jawaban atau solusi yang ia berikan.

Penalaran yang logis hingga mampu berargumentasi merupakan hasil dari perkembangan kognitif dan pengalaman yang diperoleh siswa. Untuk mengatakan bahwa jawaban yang ia pilih adalah terbaik setelah ia membandingkan dan menganalisis dari beberapa cara ataupun jawaban yang diperoleh. Keragaman dari strategi maupun jawaban ini merupakan pencerminan dari kemampuan berpikir kreatif.

Kemampuan Berpikir Kreatif

Enstein pernah berkata (Monahan, 2002: 15), “Imagination is more important than knowledge ”. Tak dapat dipungkiri bahwa teknologi telah mengambil alih sebagian tugas dari otak kiri kita. Dapat dikatakan bahwa era informasi dan pengetahuan sekarang ini merupakan era imajinasi. Saat ini, ide-ide baru memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan konten dari ilmu pengetahuan. Bagaimana menggunakan pengetahuan yang ada untuk mendapatkan ide-ide baru merupakan nilai lebih dalam abad 21 ini.

Kreatifitas dan berpikir kreatif sering dipahami sebagai satu pengertian yang sama. Binkley, et al (Griffin, McGaw & Care, 2012: 37) membedakan antara kreatifitas dan inovasi. “Creativity is most often the concern of cognitive psychologists. Innovation, on the other hand, is more Kreatifitas dan berpikir kreatif sering dipahami sebagai satu pengertian yang sama. Binkley, et al (Griffin, McGaw & Care, 2012: 37) membedakan antara kreatifitas dan inovasi. “Creativity is most often the concern of cognitive psychologists. Innovation, on the other hand, is more

Hasil penelitian dari Dyers, J.H., et al (2011), Innovators DNA, Harvard Business Review (Dokumen Kurikulum 2013) mendukung pernyataan Wegerif dan Dawes bahwa kreatifitas dapat dikembangkan dan dipelajari. Hasil penelitiannya adalah: •

2/3 dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, 1/3 sisanya berasal dari genetik.

• Kebalikannya berlaku untuk kemampuan intelijensia yaitu: 1/3 dari pendidikan, 2/3 sisanya dari genetik.

• Kemampuan kreativitas diperoleh melalui: - Observing [mengamati] - Questioning [menanya] - Associating [menalar] - Experimenting [mencoba] - Networking [Membentuk jejaring]

Sedangkan Stenberg, beliau menggolongkan kreatifitas sebagai salah satu bentuk kecerdasan. Teorinya tersebut dikenal sebagai Stenberg’s Triarchic Theory of Intelligence (Santrock, 2011: 238), “Intelligence comes in three forms, analytical, creative, and practical. Creative intelligence consists of the ability to create, design, invent, originate, and imagine ”.

Senada dengan Stenberg, Lau (2011: 216) juga menghubungkan kreatifitas dengan kecerdasan dan pengetahuan yang dimiliki,

… creativity requires knowledge… our imagination depends partly on what we know. If you know very little, you can only recombine a few ideas to get new ones. When you know more, the combination of new ideas you can come up with increases exponentially …

McGregor (2007: 169), “creativity is ability to see things in a new way, to see problems that no one else may even realize exist, and even develop new, unique, and effective solutions to these problems”. Santrock (2011: 310) juga mendefinisikan kreatifitas sebagai, “the ability to think about something in novel and unusual ways and come up with unique solutions to problems”.

Guilford (Park, 2004: 8) menggambarkan kreatifitas sebagai berpikir divergen, yaitu “

Divergent productionas the generation of information from given information, where the emphasis is upon variety and quantity of output. Fluency, flexibility, originality, and elaboration are considered four divergent production abilities that contribute to the more complex construct of creativity .

1. Kelancaran (fluency), kemudahan untuk menghasilkan ide atau menyelesaikan masalah

2. Keluwesan (flexibility),meliputi kemampuan (1) menggunakan beragam strategi penyelesaian masalah; atau (2) memberikanberagam contoh atau pernyataan terkait konsep atau situasi matematis tertentu (3) meninggalkan cara berpikir lama dan menerima ide-ide baru.

3. Keaslian (originality), meliputi kemampuan (1) menggunakan strategi yang bersifat baru, atau unik, atau tidak biasa; atau (2) memberikan contoh atau pernyataan yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa.

4. Elaborasi (elaboration), meliputi kemampuan menjelaskan secara terperinci, runtut, dan koheren terhadap prosedur matematis, jawaban, atau situasi matematis tertentu. Penjelasan ini menggunakan konsep, representasi, istilah, atau notasi matematis yang sesuai

Menurut Santrock (2011: 311), ada 5 langkah dalam berproses kreatif, yaitu:

1. Preparation. Students become immersed in a problem issue that interests them and their curiosity is aroused.

2. Incubation. Students churn ideas around in their head, a point at which they are likely to make some unusual connections in their thinking.

3. Insight. Students experience the “Aha!” moment when all pieces of the puzzle seem to fit together.

4. Evaluation. Now students must decide whether the idea is valuable and worth pursuing. They need to think, “Is the idea novel or is it obvious?”

5. Elaboration. This final step often covers the longest span of time and involves the hardest work. Selain langkah-langkah di atas, berikut ini beberapa strategi pedagogik yang dapat dilakukan di kelas untuk mendukung berpikir kreatif (McGregor, 2007: 189), antara lain:

1. Providing more open learning or problem solving opportunities

2. More open-ended questioning

3. Expecting varied solutions

4. Allowing more time for incubation of ideas

5. Celebrating differentiated outcomes

6. Encouraging more extension and exploration of initial ideas

7. Using open questioning more supportively Dari kajian teori tentang berpikir kreatif, ada beberapa poin penting yang dapat disimpulkan, yaitu bahwa berpikir kreatif adalah proses berpikir divergen untuk menemukan solusi yang baru yang menekankan pada aspek kelancaran (fluently), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), dan elaborasi (elaboration). Berpikir kreatif memerlukan pengetahuan/pengalaman awal yang cukup agar memiliki beberapa kemungkinan strategi atau ide yang dapat dimunculkan. Berpikir kreatif juga bukan merupakan faktor keturunan, sehingga dapat dikembangkan dan diajarkan dengan metode maupun strategi pemelajaran tertentu yang dapat mendukung berkembangnya kemampuan berpikir kreatif.

Pendekatan Pembelajaran Open-Ended

Antara tahun 1971 dan 1976, para peneliti Jepang melakukan serangkaian penelitian dalam rangka mengembangkan suatu metode untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Fokus awal yang dilakukan adalah pada keefektifan soal-soal terbuka (open-ended problems) untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kesimpulan lanjutan yang diperoleh adalah bahwa pembelajararan yang berbasis pada penyelesaian soal-soal open-ended juga berpotensi untuk mengembangkan proses pembelajaran di kelas.

Shimada (1997: 3) mendefinisikan soal-soal terbuka (incomplete atau open-ended problem) sebagai soal-soal yang memiliki beberapa jawaban benar. Sedangkan soal-soal yang hanya memiliki satu jawaban benar, dan jawaban selain jawaban tersebut adalah jawaban salah, maka soal-soal tersebut adalah soal tertutup (complete atau closed problems). Tidak berbeda dengan Shimada, Takahashi (2000, online) mendefinisikan soal open-ended atau soal terbuka sebagai soal yang memiliki beberapa jawaban/solusi, dan/atau memiliki beberapa cara untuk memperoleh jawaban/solusi tersebut. Schoenfeld, A. et al., 1997 (Takahashi, online), bahkan melihat open-ended problems bukan hanya sebagai soal biasa yang membutuhkan jawaban akhir, namun juga sebagai assessment task karena kadang siswa diminta untuk menjelaskan cara mendapatkan jawabannya dan mengapa ia memilih cara tersebut.

Pendekatan Open-Ended merupakan pendekatan pembelajaran yang biasanya dimulai dengan memberikan pertanyaan atau soal open-ended. Dilanjutkan dengan mencari solusi dengan berbagai cara dan berbagai jawaban untuk mengembangkan pengalaman dalam menemukan sesuatu yang baru. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkombinasikan antara pengetahuan, keterampilan, atau cara berpikir yang telah dimiliki siswa (Shimada, 1977: 1).

Menurut Nohda (2000, online), “The aim of open-approach teaching is to foster both the creative activities of the students and their mathematical thinking in problem solving simultaneously” . Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan berpikir siswa dikembangkan Menurut Nohda (2000, online), “The aim of open-approach teaching is to foster both the creative activities of the students and their mathematical thinking in problem solving simultaneously” . Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan berpikir siswa dikembangkan

Pendekatan Open-Ended dimaksudkan untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir tingkat tinggi, salah satu cara adalah dengan mengobservasi bagaimana siswa menggunakan ilmu yang telah dipelajari dalam situasi sehari-hari atau hal-al yang bersifat kontekstual. Dengan memberikan masalah terbuka pada awal pembelajaran, terutama jika masalah tersebut adalah masalah kontektual, akan memaksa siswa menggunakan pengalaman dan ilmu yang telah dipelajari untuk menyelesaikan soal tersebut. Adanya beberapa jawaban yang mungkin direspon siswa, akan membantu siswa dan guru dalam mengasah kemampuan membandingkan, mencari persamaan atau perbedaan, menganalisis, dan membuat kesimpulan dari pengalaman yang baru mereka peroleh di kelas.

Tidak mudah dalam membuat suatu masalah atau soal terbuka dan sesuai dengan materi yang akan dipelajari serta kemampuan kognitif dari para siswa. Shimada (1997: 27) mengklasifikasikan soal-soal yang dapat digunakan sebagai soal open-ended, yaitu:

1. Tipe menemukan relasi/hubungan. Soal-soal pada tipe ini dibuat agar siswa mencari atau menemukan relasi atau rumus matematika.

2. Tipe mengklasifikasi. Siswa diminta untuk mengklasifikasi berdasarkan perbedaan karakteristik yang ada pada soal yang akan menuntun mereka pada konsep matematika yang akan dipelajari.

3. Tipe mengukur atau menghitung. Siswa diminta untuk mengukur atau menghitung fenomena atau situasi yang diberikan guru. Siswa diharapkan menggunakan kemampuan dan pengetahuan matematika yang telah dimiliki sebelumnya untuk menyelesaikan soal yang diberikan.

Soal-soal terbuka yang dibuat, sebelum diberikan kepada siswa, hendaknya mempehatikan beberapa aspek, antara lain:

1. Apakah soal tersebut kaya dengan ilmu matematika atau materi yang akan dipelajari?

2. Apakah soal tersebut sesuai dengan tingkat kognitif siswa yang akan diajarkan?

3. Apakah soal tersebut memungkinkan adanya jawaban siswa yang menuntun pada pengayaan materi? Untuk hal ini, diharapkan salah satu atau beberapa jawaban yang diberikan siswa menuntun pembelajaran pada konsep matematika yang lebih tinggi atau pada kemampuan berpikir yang lebih tinggi dari pengetahuan maupun kemampuan yang telah dipelajari dan dimiliki sebelumnya.

Yang menjadi salah satu faktor kunci dalam pembelajaran dengan pendekatan open-ended adalah pada berbagai macam respon dan jawaban dari siswa. Dari berbagai respon dan jawaban tersebut, kemampuan berpikir dan penemuan konsep baru diharapkan menjadi pengalaman bersama pada semua siswa. Oleh karena itu, guru harus mampu mendata dan mengumpulkan semua kemungkinan jawaban dan respon siswa atas masalah terbuka yang diberikan. Selanjutnya, dari berbagai jawaban tersebut, guru mengarahkan siswa pada konsep yang akan dipelajari dengan menggunakan beberapa kemampuan seperti membanding, mencari persamaan dan perbedaan, menganalisis, dan kemampuan lainnya.

Dalam bukunya, The Open-Ended Approach: A New Proposal for Teaching Mathematics, Shimada (1997: 32) menyarankan agar guru memperhatikan hal-hal berikut ini pada saat merencanakan proses pembelajaran (saat penyusunan RPP), yaitu:

1. Mendata respon siswa yang diharapkan

2. Perjelas tujuan dari penggunaan masalah atau soal tersebut

3. Tentukan metode yang baik saat memberikan masalah pada siswa agar siswa mampu memahami dengan mudah soal dan apa yang diharapkan dari mereka

4. Buatlah soal atau masalah yang atraktif atau mampu menarik perhatian siswa

5. Beri waktu yang cukup kepada siswa untuk mengerjakan soal atau masalah tersebut. Beberapa kelebihan dari pendekatan Open-Ended menurut Shimada (1997: 23-24) adalah:

1. Siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan sering mengekspresikan ide.

2. Siswa memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan matematik secara komprehensif.

3. Siswa dengan kemampuan rendah dapat merespon permasahan dengan cara mereka sendiri.

4. Siswa secara intrinsik termotivasi untuk memberikan bukti atau penjelasan.

5. Siswa memiliki pengalaman banyak untuk menemukan sesuatu dalam menjawab permasalahan. Selain dari keunggulan di atas, terdapat beberapa kelemahan dalam penggunaan pendekatan Open-Ended dalam pembelajaran (Shimada, 1997: 24), antara lain:

1. Membuat dan menyiapkan masalah matematika yang bermakna bagi siswa bukanlah pekerjaan mudah.

2. Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit sehingga banyak siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon permasalahan yang diberikan.

3. Siswa dengan kemampuan tinggi biasa ragu atau cemas dengan jawaban mereka.

4. Mungkin ada sebagian siswa yang merasa bahwa kegiatan belajar mereka tidak menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi. Beberapa kelemahan dari pendekatan open-ended dapat diminimalisir dengan adanya suatu bahan ajar yang membantu guru dengan memberikan beberapa contoh masalah dan soal-soal terbuka beserta respon-respon siswa yang diharapkan. Selain itu juga, bahan ajar tersebut memuat berbagai bentuk penilaian beserta rubriknya sehingga guru hanya perlu melakukan pengembangan dan perencanaan terhadap proses pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik siswa dan sekolah. Melalui penelitian ini, diharapkan mampu menghasilkan bahan ajar tersebut.

C. SIMPULAN DAN SARAN

Kemampuan berpikir kritis dan kreatif merupakan keniscayaan untuk diajarkan kepada siswa. Dari beberapa negara yang telah mendefinisikan tentang kemampuan apa saja yang dibutuhkan pada abad 21 dan seterusnya memasukkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif ke dalam daftar mereka. Secara eksplisit, pemerintah kita pun telah mencantumkannya dalam peraturan, terutama pada peraturan yang berhubungan dengan kurikulum 2013.

Proses penyelesaian suatu masalah yang dihadapi selalu dimulai dengan menginterpretasikan masalah tersebut. Berusaha untuk memahami dan mengerti maksud dari soal atau masalah, merupakan langkah pertama yang tidak boleh dilewatkan. Memiliki kemampuan berpikir kreatif akan memudahkan siswa dalam mencari berbagai solusi, strategi, model, dan cara untuk menjawab permasalahan yang ada.

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended memaksa siswa secara positif berpikir untuk menemukan solusi. Secara berkelompok atau individu, siswa diarahkan untuk menjawab masalah terbuka yang diberikan. Dengan adanya beberapa jawaban maupun cara penyelesaian yang diperoleh dari kegiatan bersama yang dia sendiri lakukan, merupakan pengalaman positif yang akan menambah wawasan siswa terhadap keberagaman terutama dalam menghadapi masalah serupa. Beberapa jawaban dan cara yang diperoleh dalam pembelajaran juga membantu guru dalam mengenalkan kegiatan kognitif lainnya seperti membandingkan, mengklasifikasi, menemukan yang benar dan salah, menganalisis, hingga membuat kesimpulan dari jawaban-jawaban mereka sendiri.

Kegiatan-kegiatan kognitif tersebut membantu siswa untuk memilah dan memilih cara dan jawaban yang menurutnya paling tepat dan efektif. Dengan berbagai alasan logis sebagai hasil dari analisis dan bernalar, siswa mencoba untuk menentukan pilihan dan memberikan jawaban dari masalah yang diberikan. Ini merupakan kemampuan berpikir kritis yang terstimulus dari kegiatan pembelajaran.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak mudah untuk membuat atau mengkonstruksi soal atau masalah terbuka yang digunakan untuk mengawali pembelajaran. Oleh karena itu, dengan adanya Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak mudah untuk membuat atau mengkonstruksi soal atau masalah terbuka yang digunakan untuk mengawali pembelajaran. Oleh karena itu, dengan adanya

Selain berbagai contoh masalah terbuka (open-ended problems) yang dimuat dalam bahan ajar tersebut, juga perlu disertakan beberapa soal latihan beserta rubrik penyekorannya. Hal ini perlu untuk dilakukan karena bentuk penilaian terhadap soal-soal terbuka tidak seperti bentuk tes pilihan ganda yang hanya memilik satu jawaban benar. Oleh karena itu, pengetahuan guru tentang rubrik penyekoran yang sesuai dengan soal-soal terbuka perlu dijelaskan juga di dalam bahan ajar tersebut.

D. DAFTAR PUSTAKA

Brown, H.D. 2007. Principles of language learning and teaching. New York: Pearson Education. Depdiknas. 2003. Undang-ndang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22, Tahun 2006, tentang

Standar Isi. Direktorat Pembinaan Sekolah Menegah Atas. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Fisher, A. 2001. Critical thinking: An introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Griffin, P., McGaw, B., & Care, E. (Eds.). 2012. Assessment and teaching of 21st skills. New

York: Springer Publishing Company. Halpern, D.F. 2003. Thought and knowledge: an introduction to critical thinking (4 th ed.) . New

Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers. Kemdikbud RI. 2012. Pengembangan Kurikulum 2013. Kemdikbud RI. 2013a. Implementasi Kurikulum 2013 Untuk Peningkatan Mutu Pendidikan

Indonesia. Kemdikbud. 2013b. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 71, Tahun 2013,

tentang Buku Teks Pelajaran dan Buku Pegangan Guru untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kemdikbud. 2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 65, Tahun 2013, tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.

Klavir, R.& Hershkovitz, S. 2008.Teaching and Evaluating ‘Open-Ended’ Problems. Diambil

pada tanggal 23 Juli 2013, dari http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/klavir.pdf Klein, S.B. 2002. Learning: Principles and applications (4 th ed) . New York: Mcraw-Hill.

Lau, J.Y.F. 2011. An introduction to critical thinking and creativity: think more, think better. New Jersey: John Wiley & Sons

McGregor, D. 2007. Developing thinking developing learning. Buckingham: Open University Press.

Monahan, T. 2002. The do-it-yourself lobotomy: Open your mind to greater creative thinking. New York: John Wiley & Sons.

Nohda, N. 2000. A study of open-approach" method in school mathematics teaching- focusing on mathematical problem solving activities. Proceedings of International Congress on Mathematics Education (ICME). Diambil tanggal 30 Juli 2013, dari http://www.nku.edu/~sheffield/nohda.html

Nitko, A.J & Brookhart, S.M. 2007. Educational assessment of students. New Jersey: Pearson Education.

Park, H. 2004. The effects of divergent production activities with math inquiry and think aloud of students with math difficulty . Disertasi doktor. Diambil tanggal 1 Agustus 2013, dari https://repository.tamu.edu/handle/1969.1/2228 T exas A&M University, Texas.

Santrock, J.W. 2011. Child development (12 th ed.) . New York: McGraw-Hill Companies Shimada, S. & Becker, J.P. 1997. The open-ended approach: A new proposal for teaching

mathematics . Virginia: NCTM. Slavin, R.E. 2006. Educational psychology: Theory and practice (8 th ed.) . Boston: Pearson

Education Suherman, E., et al. 2003. Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung: UPI.

Takahashi, A. 2000. What is open-ended? Diakses pada tanggal 1 Agustus, dari http://mste.uiuc.edu/users/aki/open_ended/WhatIsOpend-ended.html

Trilling, B., & Fadel, C. 2009. 21st century skills: Learning for life in our times. San Fransisco: Jossey-Bass.

P – 84

KEEFEKTIFAN PENILAIAN FORMATIF TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA MAHASISWA DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR

Yoppy Wahyu Purnomo

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA yoppy.wahyu@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan (1) untuk mengetahui efektifitas pembelajaran berbasis penilaian formatif terhadap hasil belajar matematika mahasiswa baik secara umum maupun berdasarkan kategori motivasi belajar; (2) untuk mengetahui perbedaan hasil belajar matematika mahasiswa yang memiliki motivasi tinggi dan rendah di setiap pembelajaran berbasis penilaian yang diterapkan. Populasi penelitian ini adalah semua mahasiswa PGSD Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA tahun ajaran 2012/2013 yang menempuh matakuliah Pendidikan Matematika II. Banyak anggota sampel dalam penelitian ini adalah 81 mahasiswa yang terbagi menjadi kelompok eksperimen yang menggunakan pembelajaran berbasis penilaian formatif dan kelompok kontrol menggunakan pembelajaran berbasis penilaian tradisional. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis variansi dua jalan sel tak sama. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis penilaian formatif lebih efektif dibanding penilaian tradisional baik secara umum maupun untuk setiap kategori motivasi. Di sisi lain, hasil belajar matematika mahasiswa dengan kategori motivasi tinggi lebih baik daripada kategori motivasi rendah di setiap model pembelajaran berbasis penilaian yang diterapkan.

Kata kunci: penilaian formatif, penilaian tradisional, motivasi, hasil belajar, matematika.

A. PENDAHULUAN

Mutu pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik dapat dikriteriakan baik dan buruknya berdasarkan sebuah pengukuran. Pengukuran terhadap pembelajaran inilah yang disebut dengan penilaian atau asesmen. Hal ini sependapat dengan Beevers & Paterson (2002: 48) yang menyatakan bahwa “Assessment can be defined as the measurement of learning.” Secara praktis, pengertian asesmen ini dipahami dalam arti sempit, yakni diartikan dan dilaksanakan hanya pada akhir satuan materi yang dipelajari dengan cara pemberian skor atau nilai tes berkala (Earl, 2003; Boud & Falchikov, 2006; Budiyono, 2010).

Memandang makna asesmen dalam arti sempit tersebut mengakibatkan subjektivitas yang bias dan tidak menguntungkan pada peningkatan kualitas pembelajaran (van der Vleuten, Norman, & de Graaff, 2000; Budiyono, 2010). Asesmen yang hanya dipandang sebagai cara memberitahukan kepada peserta didik dengan pembuatan nilai atau skor pada akhir materi memberikan dampak yang buruk (Budiyono, 2010), diantaranya yakni (1) memisahkan asesmen dengan proses pembelajaran; (2) tujuan utama asesmen hanya untuk pemberian ranking, membedakan mana yang pandai dan tidak pandai, lulus dan tidak lulus, dan tindakan yang diskriminatif yang lain; (3) lebih sering dipakai untuk memberi hukuman; dan (4) tidak

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Permasalahan di atas mengisyaratkan untuk diperlukannya perubahan paradigma mengenai makna asesmen yang dapat dimulai dari calon guru. Di Indonesia, kebutuhan di sektor tenaga kerja guru khususnya guru Sekolah Dasar (SD) memiliki daya serap tinggi dibanding tenaga kerja di sektor kependidikan lainnya, hal ini tentunya berimplikasi logis dengan banyaknya calon mahasiswa untuk masuk program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Hal ini menjadi tantangan sekaligus kewajiban yang harus diemban oleh program studi PGSD untuk “mengolah” calon guru SD menjadi guru SD yang berkompeten.

Peneliti yang merupakan tenaga pengajar di program studi PGSD FKIP UHAMKA menyimpulkan beberapa permasalahan terkait dengan matakuliah yang berhubungan dengan disiplin matematika, diantaranya (1) kurangnya motivasi belajar mahasiswa terhadap matakuliah yang berhubungan dengan disiplin matematika; (2) pemahaman konsep matematika oleh mahasiswa yang masih rendah; dan (3) hasil belajar matematika mahasiswa yang dirasakan kurang dan masih perlu ditingkatkan.

Beberapa peneliti menyarankan bahwa asesmen dapat dijadikan sebuah proses untuk meningkatkan pembelajaran matematika (NCTM, 2002; Wiliam, dkk., 2004), dimana sebuah asemen harus lebih dari hanya sekedar tes pada akhir pembelajaran, melainkan harus menjadi bagian integral dari pembelajaran yang menginformasikan dan membimbing pendidik saat mereka membuat keputusan instruksional. Asesmen seharusnya tidak hanya dilakukan untuk peserta didik, melainkan juga harus dilakukan bagi peserta didik, membimbing dan meningkatkan pembelajaran mereka.

Tujuan utama dari asesmen pada dasarnya adalah (1) untuk mengarahkan dan meningkatkan pembelajaran; (2) untuk menginformasikan kepada peserta didik mengenai kekuatan dan kelemahan mereka, memungkinkan mereka untuk meningkatkan belajarnya; (3) untuk menginformasikan kepada pendidik tentang pemahaman peserta didik, dan mengecek apakah hasil pembelajaran sudah sesuai dengan yang diharapkan; (4) memberikan kesempatan peserta didik untuk meninjau dan mengkonsolidasikan apa yang mereka pelajari; (5) untuk mengembangkan kepercayaan diri dan motivasi peserta didik; (4) untuk memonitor kemajuan; (6) untuk memungkinkan peserta didik menunjukkan pengetahuan, pemahaman, sikap dan keterampilan; (7) memberikan bukti untuk sertifikasi / lisensi ( Beevers & Paterson, 2002; Zou, 2008).

Serangkaian tujuan asesmen di atas harus dipandang secara menyeluruh, sehingga terciptakan sebuah keseimbangan (equity) dengan tujuan pembelajaran itu sendiri. Asesmen juga tidak seharusnya dijadikan alat untuk membedakan peserta didik yang pintar dan bodoh, sehingga tidak melemahkan motivasi peserta didik dalam belajar. Motivasi belajar diperlukan sebagai dorongan yang dimiliki peserta didik untuk mencapai tujuan belajar. Menumbuh-kembangkan motivasi dapat dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya melalui penggunaan asesmen yang efektif (Stiggins, 1999; Clark, 2011; Cauley & Mcmillan, 2010; Yin., dkk, 2008).

Asesmen merupakan serangkaian aktivitas untuk memperoleh informasi baik ketika awal, sedang berlangsungnya proses, maupun di akhir pembelajaran yang bertujuan untuk mengevaluasi dan mendiagnosa kebutuhan yang harus diperbaiki sehingga pendidik dan peserta didik mampu meninjau, merencanakan, dan mengaplikasikan langkah-langkah yang harus ditempuh selanjutnya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sejalan dengan itu, Walvoord (2004) menyatakan bahwa sebuah asesmen dapat didefinisikan sebagai kumpulan informasi yang sistematik tentang pembelajaran dari peserta didik, dengan menggunakan waktu, pengetahuan, Asesmen merupakan serangkaian aktivitas untuk memperoleh informasi baik ketika awal, sedang berlangsungnya proses, maupun di akhir pembelajaran yang bertujuan untuk mengevaluasi dan mendiagnosa kebutuhan yang harus diperbaiki sehingga pendidik dan peserta didik mampu meninjau, merencanakan, dan mengaplikasikan langkah-langkah yang harus ditempuh selanjutnya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sejalan dengan itu, Walvoord (2004) menyatakan bahwa sebuah asesmen dapat didefinisikan sebagai kumpulan informasi yang sistematik tentang pembelajaran dari peserta didik, dengan menggunakan waktu, pengetahuan,

Berdasarkan proses pelaksanaannya, asesmen dapat dibedakan sebagai formatif dan sumatif. Asesmen formatif adalah asesmen proses, yang digunakan untuk memperoleh informasi dan bukti belajar dari peserta didik untuk merencanakan kegiatan instruksional berikutnya. Pendidik menggunakan asesmen formatif untuk meningkatkan metode mengajar dan umpan balik (feedback) dalam proses mengajar dan belajar peserta didik. Asesmen formatif juga membantu peserta didik untuk lebih sukses pada asesmen sumatif (Bakula, 2010). Sedangkan, asesmen sumatif adalah proses yang digunakan untuk menginformasikan tentang seberapa baik yang telah dikerjakan peserta didik dan seberapa baik peserta didik memahami informasi yang diberikan yang biasanya dilakukan pada akhir satuan pembelajaran tertentu. Pendidik yang hanya mengedepankan penilaian sumatif dapat dikategorikan menggunakan penilaian tradisional (Budiyono, 2010). Perbedaan kedua tipe asesmen tersebut, yakni pada asesmen sumatif mengedepankan sertifikat dan juga untuk memonitor keefektifan mengajar, sedangkan pada asesmen formatif mengedepankan untuk melihat perkembangan dan potensi peserta didik. Perbedaan asesmen formatif dan sumatif ditunjukkan oleh Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Karakteristik Asesmen Formatif dan Sumatif Karakteristik

Asesmen Sumatif Tujuan

Asesmen Formatif

Memberikan umpan balik Mendokumentasikan belajar yang berkelanjutan

diakhir segmen instruksional Keterlibatan Peserta Didik Didorong

siswa

Dianjurkan

Motivasi Peserta Didik

Motivasi intrinsik;

Eksterinsik;

Penguasaan berorientasi

Berorientasi kinerja

ekstrinsik

(performance)

Peran guru

Menyediakan bantuan secara Mengukur belajar siswa dan langsung, umpan balik yang memberikan nilai spesifik

Teknik Asesmen

Informal

Formal

Lemah dan sekilas Diadaptasi dari McMillan (2007)

Efek pada Pembelajaran

Kuat, positif, dan tahan lama

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian yang menerapkan dan membandingkan efektivitas pembelajaran yang berbasis asesmen formatif dan tradisional dengan melihat aspek motivasi belajar matematika mahasiswa. Secara rinci tujuan penelitian ini dapat diuraikan seperti berikut.

1. Untuk mengetahui efektifitas pembelajaran berbasis asesmen formatif terhadap hasil belajar matematika mahasiswa baik secara umum maupun berdasarkan kategori motivasi belajar.

2. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar matematika mahasiswa yang memiliki motivasi tinggi dan rendah di setiap pembelajaran berbasis asesmen yang dilakukan.

B. METODE PENELITIAN

Populasi penelitian ini adalah semua mahasiswa PGSD Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA tahun ajaran 2012/2013 yang menempuh matakuliah Pendidikan Matematika II. Banyak anggota sampel dalam penelitian ini adalah 81 mahasiswa yang terbagi menjadi kelompok eksperimen yang menggunakan pembelajaran berbasis penilaian formatif dan kelompok kontrol menggunakan pembelajaran berbasis penilaian tradisional.

Di kelas eksperimen, langkah-langkah pembelajaran berbasis penilaian formatif dikembangkan dari komponen-komponennya yang diadaptasi dari beberapa pakar sebagai berikut (Black, dkk., 2003; Clarke, 2005; Lee, 2006; Wren, 2008; Gardner, 2009; Budiyono, 2010 ; Bennett, 2011).

1. Mengartikulasikan dan sharing dengan peserta didik tentang pencapaian target di awal pembelajaran;

2. Sharing dengan peserta didik tentang tujuan-tujuan pembelajaran, sehingga peserta didik mengerti sejak awal dari proses belajar mengajar;

3. menjadikan penilaian yang terbuka;

4. menggunakan teknik bertanya yang tepat, efektif, dan efisien untuk mendapatkan bukti belajar peserta didik;

5. menerjemahkan hasil penilaian menjadi umpan balik (feedback) deskriptif yang lebih rutin;

6. menyediakan kesempatan peserta didik terlibat dalam self-assessment secara rutin dan aktif dalam peer-assessment. Langkah-langkah pembelajaran di kelas kontrol secara garis besar sama halnya dengan ceramah, yakni menyampaikan tujuan pembelajaran di awal pembelajaran, menyampaikan materi dengan sesekali bertanya, sesekali menyediakan feedback, dan melakukan penilaian di akhir satuan materi melalui tes atau kuis atau sejenisnya.

Untuk memperoleh data, penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, angket dan tes. Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data kemampuan awal yang digunakan untuk menguji apakah sampel dalam keadaan seimbang. Sedangkan angket digunakan untuk memperoleh data motivasi yang dilakukan sebelum diadakan perlakuan dan tes digunakan untuk memperoleh data hasil belajar matematika yang diperoleh setelah sampel memperoleh perlakuan. Sebelum dikenakan pada sampel, instrumen tes dan angket diuji apakah valid dan reliabel. Kecuali itu, dilakukan pula uji daya beda dan tingkat kesukaran untuk instrumen tes serta uji konsistensi internal untuk instrumen angket.

Instrumen motivasi dalam penelitian ini menggunakan komponen dan indikator yang diadopsi dari Mathematics Motivated Strategies for Learning Questionnaire (di singkat, MMSLQ) dimana MMSLQ mengadopsi dari instrumen Motivated Strategies for Learning Questionnaire (di singkat, MSLQ) (Liu & Lin, 2010), tentunya instrumen tersebut dimodifikasi sendiri oleh peneliti. Skala motivasi dibagi ke dalam tiga skala (komponen), yakni nilai, penafsiran, pengaruh (Pintrich, Smith, Garcia, & McKeachie dalam Liu & Lin, 2010).

Skala nilai terdiri dari faktor orientasi tujuan instrinsik, tujuan eksterinsik, dan nilai tugas. Orientasi tujuan intrinsik berfokus pada alasan dari diri sendiri mengapa siswa berpartisipasi dalam tugas, seperti rasa ingin tahu, pengembangan diri, atau kepuasan. Orientasi tujuan eksterinsik berfokus pada alasan dari luar mengapa peserta didik berpartisipasi dalam tugas, seperti: uang, nilai, atau pujian dari orang lain. Nilai tugas mengacu pada persepsi siswa atau kesadaran tentang materi atau tugas dari segi manfaat, seberapa pentingnya, seberapa besar penerapannya. Skala penafsiran terdiri dari faktor kontrol diri, keyakinan diri. Faktor kontrol diri Skala nilai terdiri dari faktor orientasi tujuan instrinsik, tujuan eksterinsik, dan nilai tugas. Orientasi tujuan intrinsik berfokus pada alasan dari diri sendiri mengapa siswa berpartisipasi dalam tugas, seperti rasa ingin tahu, pengembangan diri, atau kepuasan. Orientasi tujuan eksterinsik berfokus pada alasan dari luar mengapa peserta didik berpartisipasi dalam tugas, seperti: uang, nilai, atau pujian dari orang lain. Nilai tugas mengacu pada persepsi siswa atau kesadaran tentang materi atau tugas dari segi manfaat, seberapa pentingnya, seberapa besar penerapannya. Skala penafsiran terdiri dari faktor kontrol diri, keyakinan diri. Faktor kontrol diri

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan anava dua jalan dengan sel tak sama desain faktorial 2 x 2 yang sebelumnya harus memenuhi persyaratan yaitu harus normal (dengan metode Lilliefors) dan homogen (dengan metode Bartlett).

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah data motivasi dan hasil belajar matematika terkumpul, selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian ini dimaksud untuk mengetahui ada tidaknya efek-efek variabel bebas (faktor) yaitu model pembelajaran dan motivasi belajar mahasiswa terhadap hasil belajar matematika. Hasil perhitungan anava dua jalan sel tak sama dengan taraf signifikansi 5% disajikan dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Rangkuman Hasil Analisis Variansi Dua Jalan Sumber

Model Pembelajaran (A)

Kategori Motivasi (B)

Interaksi (AB)

Galat (G)

Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat pengaruh model pembelajaran yang diterapkan terhadap hasil belajar mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan F hitung = 18,23 > 7,68 = F tabel sehingga H 0A ditolak.

2. Terdapat pengaruh motivasi belajar terhadap hasil belajar matematika. Hal ini dibuktikan

dengan F hitung = 17,86 > 7,68 = F tabel sehingga H 0B ditolak.

3. Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar mahasiswa terhadap hasil belajar. Hal ini dibuktikan dengan F hitung = -17,43 < 7,68 = F tabel sehingga H 0AB tidak ditolak.

Mengacu analisis di atas yang menyatakan bahwa tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar, maka perbandingan antara penilaian formatif dan penilaian tradisional untuk setiap kategori motivasi mengikuti perbandingan marginalnya. Rerata masing-masing sel dan rerata marginal dapat dituangkan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Rerata Marginal dan Rerata Masing-Masing Sel Model Pembelajaran

Kategori Motivasi

Rerata Marginal

Tinggi

Rendah

Penilaian Formatif

Penilaian Tradisional

Rerata Marginal

Dengan memperhatikan rerata masing-masing sel dan rerata marginalnya pada Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan berbasis penilaian formatif lebih baik daripada Dengan memperhatikan rerata masing-masing sel dan rerata marginalnya pada Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan berbasis penilaian formatif lebih baik daripada

Di sisi lain, motivasi belajar tinggi lebih baik daripada motivasi rendah baik secara umum maupun untuk setiap kategori model pembelajaran yang berbasis pada penilaian. Hasil ini secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan motivasi belajar yang merupakan kekuatan dari dalam diri yang mengacu pada alasan untuk mengarahkan perilaku ke arah tujuan tertentu, terlibat dalam aktivitas tertentu, atau meningkatkan energi dan usaha untuk mencapai tujuan tertentu (Ames dalam Middleton & Spanias, 1999; Hannula, 2004). Sehingga semakin tinggi motivasi semakin tinggi pula alasan atau dorongan untuk melakukan usaha belajar yang berdampak pada semakin tinggi hasil belajarnya.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini yakni pembelajaran berbasis penilaian formatif lebih efektif dibanding penilaian tradisional baik secara umum maupun untuk setiap kategori motivasi. Di sisi lain, hasil belajar matematika mahasiswa dengan kategori motivasi tinggi lebih baik daripada kategori motivasi rendah di setiap model pembelajaran berbasis penilaian yang diterapkan.

E. DAFTAR PUSTAKA

Bakula, N. 2010. The Benefits of Formative Assessments for Teaching and Learning. Science Scope , 34(1). 37-43.

Beevers, C & Paterson, J. 2002. Assessment in Mathematics. Dalam Kahn, P & Kyle, J (Eds.). Effective Learning and Teaching in Mathematics and Its Applications (hal.47–58). London: Kogan Page.

Bennett, R. E. 2011. Formative Assessment: A Critical Review. Assessment in Education:

Principles, Policy & Practice, 18(1), 5-25, DOI: 10.1080/0969594X.2010.513678.

Black, P., & Wiliam, D. 1998. Inside the Black Box: Raising Standards through Classroom Assessment.

139-148, dari http://www.pdkintl.org/kappan/kbla9810.htm, diunduh 6 Agustus 2012.

Phi Delta Kappan ,

Black, P., Harrison, C., Lee, C., Marshall, B., & Wiliam, D. 2003. Assessment for Learning: Putting it Into Practice . Berkshire, England: Open University Press.

Boud, D & Falchikov, N. 2006. Aligning Assessment with Long-term Learning. Assessment & Evaluation in Higher Education. 31(4), 399–413.

Budiyono. 2010. Peran Asesmen dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Universitas Sebelas Maret, tanggal 5 Mei 2010.

Cauley, K.M & Mcmillan, J. H. 2010. Formative Assessment Techniques to Support Student Motivation and Achievement. Clearing House: A Journal of Educational Strategies, Issues and Ideas , 83(1), 1-6.

Clark, I. 2011. Formative Assessment and Motivation: Theories and Themes. Prime Research on Education , 1(2), 027-036

Clarke, S. 2005. Formative Assessment in the Secondary Classroom. London: Hodder Murray.

Earl, L. 2003. Assessment as learning. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.

Gardner, J. 2009.

A Practical Guide , dari http://www.nicurriculum.org.uk/docs/assessment_for_learning/AfL_A%20Practical%20 Guide.pdf, diunduh 20 September 2012.

Hannula, M. S. 2004. Regulation Motivation in Mathematics. Paper presented at the 10th International Congress on Mathematical Education, http://www.icme10.dk/, TSG 24, Copenhagen, Denmark.

Lee, C. 2006. Language for Learning Mathematics: Assessment for Learning in Practice. Berkshire, England: Open University Press.

Liu, E. Z. F & Lin, C. H. 2010. The Survey Study of Mathematics Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MMSLQ) for Grade 10–12 Taiwanese Students. The Turkish Online Journal of Educational Technology , 9(2), 221-233.

Mansyur. 2009. Pengembangan Model Assessment for Learning pada Pembelajaran Matematika di SMP . Disertasi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

McMillan, J. H. 2007. Formative Classroom Assessment: The Key to Improving Student Achievement. Dalam J. H. McMillan (Ed.), Formative Classroom Assessment: Theory Into Practice (hal. 1-7) . New York: Teachers College Press.

Middleton, J. A., & Spanias, P. A. 1999. Motivation for Achievement in Mathematics: Findings, Generalizations, and Criticism of the Research. Journal for Research in Mathematics Education , 30(1), 65-88.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Va.: National Council of Teachers of Mathematics.

Stiggins, R. J. 1999. Assessment, Student Confidence, and School Success, dari http://www.pdkintl.org/kappan/k9911sti.htm, diunduh 6 Agustus 2012.

van der Vleuten, C.P.M., Norman, G.R. & de Graaff, E. 1991. Pitfalls in the Pursuit of Objectivity: Issues of Reliability. Medical Education, 25, 110-118.

Walvoord, E. 2004. Assessment Clear and Simple. San Francisco: Jossey-Bass.

Wiliam, D., Lee, C., Harrison, C. & Black, P. J. 2004. Teachers Developing Assessment for Learning: Impact on Student Achievement. Assessment in Education: Principles Policy and Practice , 11(1), 49–65.

Wren, D. G. 2008. Using Formative Assessment to Increase Learning, dari http://www.vbschools.com/accountability/research_briefs/ResearchBriefFormAssmtFinal .pdf, diunduh 3 Oktober 2012.

Yin, Y., Shavelson, R. J., Ayala, C. C., Ruiz-Primo, M. A., Brandon, P. R., Furtak, E. M., dkk. 2008. On the Impact of Formative Assessment on Student Motivation, Achievement, and Conceptual Change. Applied Measurement In Education, 21, 335–359.

Zou, P. X. W. 2008. Designing Effective Assessment in Postgraduate Construction Project

Management Studies. Journal for Education in the Built Environment, 4 (2), 80-94.

P – 85

KOMPUTASI MENTAL UNTUK MENDUKUNG LANCAR BERHITUNG OPERASI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR

Yoppy Wahyu Purnomo

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA yoppy.wahyu@yahoo.com

Abstrak

Komputasi mental dilakukan anak tanpa harus menulisnya di kertas, ketika anak dihadapkan pada suatu permasalahan, anak dengan strategi mental akan merekamnya dalam hati dan mengkalkulasinya di dalam kepala. Dengan demikian, strategi mental dapat membantu anak dalam melakukan komputasi secara lancar. Kajian ilmiah ini mencoba mengeksplorasi literatur yang ada untuk mengidentifikasi dan melihat bagaimana komputasi mental mendukung lancar berhitung anak sekolah dasar pada operasi penjumlahan dan pengurangan dengan berbagai strategi mental yang ada.

Kata kunci: komputasi mental, penjumlahan dan pengurangan, lancar berhitung, sekolah dasar

A. PENDAHULUAN

Sebagian orang menganggap bahwa matematika merupakan ilmu tentang bilangan. Anggapan ini mungkin tidak sepenuhnya tepat, namun tidak dipungkiri bahwa bilangan merupakan komponen dasar dalam matematika. Pemahaman anak mengenai bilangan bertujuan untuk menambah dan mengembangkan keterampilan berhitung dengan bilangan sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari (Depdikbud, 1994).

Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa penguasaan anak terhadap bilangan masih rendah khususnya dalam melakukan komputasi atau perhitungan (Tatang Herman, 2001; Risa Rauzi Shafar, 2007). Hal ini didasarkan pada kemampuan berhitung anak yang lebih didominasi dengan menggunakan algoritma tulis (paper and pencil algorithm). Anak harus melakukan operasi 38 + 25 dan 43 – 14 dengan menggunakan pensil dan kertas berdasarkan algorima yang kaku untuk menyelesaikannya. Seringkali, algoritma yang dilakukan anak tersebut mengalami error dan menghasilkan jawaban yang tidak tepat. Berikut beberapa tipe kesalahan dari pekerjaan anak yang umum terjadi pada operasi penjumlahan dan pengurangan (Diadaptasi dari Russel, 2002).

Gambar 1. Kesalahan pada Operasi Penjumlahan dan Pengurangan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Pada umumnya, guru sering terburu-buru dalam membekali anak menggunakan algoritma tulis. Hal ini dapat menyebabkan anak-anak berhenti menggunakan strategi berpikir intuitif mereka dan membabi buta mengikuti langkah preskriptif dari algoritma (Rogers, 2009). Penguasaan anak mengenai bilangan tidak sekedar mampu berhitung, namun juga didasarkan pada kepekaan anak terhadap bilangan. Kepekaan terhadap bilangan merupakan isu penting dalam pendidikan matematika khususnya dalam kurikulum sekolah dasar. Kepekaan bilangan yang lebih dikenal dengan number sense mengacu pada pemahaman umum seseorang terhadap bilangan dan operasinya seiring dengan kemampuan dan kecenderungan untuk menggunakan pemahaman tersebut dengan cara yang fleksibel untuk membuat penilaian matematika dan untuk mengembangkan strategi yang berguna untuk menguasai bilangan dan operasinya (McIntosh, Reys, & Reys, 1992). Salahsatu aspek fundamental yang berhubungan erat dengan kepekaan bilangan yakni komputasi mental (Sowder, 1992). Menggunakan strategi mental komputasi merupakan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk meningkatkan kepekaan bilangan (Varol & Farran, 2007).

Para peneliti menyimpulkan bahwa komputasi mental memberikan dampak positif terhadap keberhasilan siswa dalam matematika dan salahsatu faktor yang mempengaruhi akurasi, efisiensi, dan fleksibilitas untuk mengatasi permasalahan matematika (Varol & Farran, 2007). Ketika anak didorong untuk menyusun/merumuskan sendiri strategi mental yang dimilikinya, mereka belajar bagaimana bilangan bekerja, mendapatkan pengalaman yang lebih kaya mengenai bilangan, mengembangkan kepekaan bilangan, membuat pilihan mengenai prosedur dan menciptakan strategi, dapat digunakan sebagai “kendaraan” untuk mendorong pemikiran, menyimpulkan, menggeneralisasikan berdasarkan pemahaman konseptual, dan mengembangkan kepercayaan diri dalam kemampuan mereka untuk memahami operasi bilangan dan sifat-sifatnya (Reys & Barger, 1994; Munirah Ghazali, dkk., 2010).

B. PEMBAHASAN Komputasi Tulis dan Mental

Komputasi tulis didasarkan pada perhitungan di atas kertas yang didasarkan pada algoritma standar untuk mencari jawaban yang diinginkan. Definisi ini senada dengan yang dikemukakan oleh Mclellan dalam Varol & Farran (2007) yakni untuk memanipulasi bilangan pada kertas untuk mencapai jawaban yang diinginkan. Komputasi ini lebih sering ditemui ketika anak dihadapkan pada permasalahan perhitungan. Komputasi ini lebih mengedepankan algoritma standar dan kaku untuk menyelesaikan masalah.

Komputasi mental dapat dideskripsikan sebagai kemampuan menyelesaikan permasalahan numerik tanpa bantuan alat hitung, catatan, dan prosedur kaku dari algoritma standar. Strategi komputasi mental berbeda dari komputasi tertulis yakni membutuhkan lebih dari penerapan prosedur ingatan. Perbedaan utamanya adalah kebutuhan untuk menerapkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana bilangan bekerja (Varol & Farran, 2007). Sowder dalam Hartnett (2007) mendefinisikan komputasi mental sebagai proses melakukan perhitungan aritmatika tanpa bantuan perangkat eksternal. Trafton dalam Hartnett (2007) menggambarkan komputasi mental dengan penggunaan algoritma non standar untuk perhitungan jawaban yang tepat tanpa menggunakan pensil dan kertas. Sebagai contoh, ketika anak menyelesaikan operasi

17 + 13, mereka menyadari bahwa untuk membuat 20 dari 17 dibutuhkan 3 dari 13 dan menjumlahkannya dengan sisa dari 13 yang telah diambil. Penjumlahan ini dapat ditulis dengan

17 + 13 = (17 + 3) + 10 = 20 + 10 = 30. Selain langkah tersebut, anak dapat berpikir terlebih dahulu untuk menjumlahkan 10 + 10, kemudian 7 + 3, sehingga diperoleh 20 + 10 = 30. Ketika melakukan perhitungan tersebut anak tidak harus mencatatnya di dalam kertas namun dapat dikalkulasi secara mudah di dalam kepala.

Strategi Mental untuk Penjumlahan dan Pengurangan

Banyak literatur penelitian yang menggambarkan kemungkinan strategi berpikir mental penjumlahan dan pengurangan untuk siswa sekolah dasar (Beishuizen, 1993; Cooper,

Heirdsfield, & Irons, 1996; Beishuizen, Van Putten, & Van Mulken, 1997; Thompson, 1999). Strategi tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam strategi membilang, N10, u-N10, N10C, 1010, u-1010, A10, dan citra mental dalam algortima pensil dan kertas. Variasi strategi tersebut dapat diilustrasikan oleh Tabel 1 dan diuraikan oleh beberapa paragraf selanjutnya.

Tabel 1. Strategi Mental untuk Penjumlahan dan Pengurangan

Strategi

Contoh pada Penjumlahan

Contoh pada Pengurangan

N10C 38 + 25; 40 + 25 = 65, 65 – 2 =

Citra mental pada Anak menggunakan algoritma vertikal dari kanan ke kiri pada algortima

pensil

kertas.

dan kertas.

Strategi membilang yang umum digunakan anak kelas awal sekolah dasar yakni membilang maju dan membilang mundur. Sebagai contoh, 12 – 5 menggunakan strategi membilang mundur dengan menyadari lima bilangan sebelum 12 adalah 11, 10, 9, 8, 7.

Strategi N10 dan u-N10 sering disebut dengan penggabungan atau agregasi (aggregation) yang dapat dilakukan dari kiri ke kanan (N10) atau kanan ke kiri (u-N10). Strategi ini dilakukan dengan melihat bilangan kedua dalam ekspresi tertulis dari masalah penjumlahan atau pengurangan dibagi menjadi satuan dan puluhan yang kemudian ditambahkan atau dikurangi. Sebagai contoh, 38 + 25 dengan strategi N10 dapat dilakukan dengan 38 + 20 + 5 = 58 + 5 = 63. Sedangkan, dengan strategi u-N10 dapat dilakukan dengan 38 + 5 + 20 = 43 + 20 = 63. Strategi ini didasarkan membilang loncat naik atau turun sejauh 10.

Strategi N10C disebut dengan strategi kompensasi. Sebagai contoh, 38 + 25 dilakukan dengan meminjam 2 untuk membuat 40 kemudian menjumlahkannya dengan 25 dan menggantinya dengan mengurangi 2, yang dapat ditulis 38 + 25 = 40 + 25 – 2 = 65 – 2 = 63. Contoh lain dapat ditampilkan oleh 1000 – 667 = 997 – 667 + 3 = 330 + 3 = 333.

Strategi 10s, 1010, dan u-1010 disebut juga pemisahan, yakni dilakukan dengan membelah bilangan menjadi puluhan dan satuan dan bekerja pada bagian-bagian terpisah. Strategi 1010 dilakukan dari kiri ke kanan dan u-1010 dari kanan ke kiri, sedangkan 10s dengan kombinasi. Sebagai contoh, 38 + 25 dengan strategi 1010 yakni dengan menjumlahkan 30 dan 20 kemudian hasilnya dijumlahkan dengan 8 + 5. Strategi u-1010 dilakukan dengan menjumlahkan 8 dan 5 terlebih dulu kemudian hasilnya dijumlahkan dengan hasil dari 30 + 20. Strategi 10s dilakukan dengan menjumlahkan 30 dan 20 kemudian hasilnya dijumlahkan dengan 8 dan selanjutnya dijumlahkan dengan 5.

Strategi A10 dilakukan dengan memecah bilangan kedua (atau pertama) untuk dijadikan kelipatan 10 dan kemudian sisanya dioperasikan dengan bilangan pertama (atau kedua). Sebagai Strategi A10 dilakukan dengan memecah bilangan kedua (atau pertama) untuk dijadikan kelipatan 10 dan kemudian sisanya dioperasikan dengan bilangan pertama (atau kedua). Sebagai

Citra mental dalam algoritma pensil dan kertas dilakukan oleh anak dengan menjumlahkan secara vertikal dari kiri ke kanan. Sebagai contoh, 278 + 345 dapat dilakukan sebagai berikut.

Cara berpikir:

Penjumlahan secara vertikal dari kiri ke kanan dapat juga dilakukan dengan metode goresan. Sebagai contoh, penjumlahan 897 + 537 dapat dilakukan seperti berikut.

Langkah pertama

Langkah ketiga 897

Langkah kedua

Berhitung Lancar Melalui Komputasi Mental

Lancar dalam berhitung dapat dicapai anak jika memenuhi tiga ciri yakni efisiensi, akurasi, dan fleksibel (Russel, 2000). Efisiensi berarti bahwa siswa tidak tersendat dengan banyaknya langkah atau kehilangan langkah dalam strateginya (Russel, 2000). Strategi mental mendukung efisiensi dalam melakukan perhitungan karena tidak didasarkan pada prosedur kaku dari algoritma standar dan dapat diterapkan dengan mudah. Sebagai contoh, anak akan lebih efisien

mengerjakan 456 + 67 dengan melihat bahwa 450 + 50 = 500; 6 + 17 = 3 + 20 = 23; sehingga 500

+ 23 = 523 daripada mengerjakan dengan algoritma vertikal (standar) yang sering tersendat ketika melakukan teknik menyimpan atau meletakkan angka pada nilai tempat pada posisi yang salah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Akurasi tergantung pada beberapa aspek dari proses pemecahan masalah, di antaranya, hati-hati, teliti, menggunakan pemahaman kombinasi bilangan dasar dan hubungan penting dari bilangan yang lain, dan kepedulian untuk mengecek hasil (Russel, 2000). Sebagai contoh, ketika anak melakukan perhitungan dari operasi 43 – 14 dengan strategi mental dan mendapatkan hasil

29, mereka terlatih untuk membuat hubungan bahwa hasil dapat dicari dengan menghubungkannya dengan penjumlahan yakni 14 + ? = 43, 14 +

6 = 20 dan 20 + 23 = 43, sehingga 6 + 23 = 29. Akurasi juga memungkinkan anak untuk mengecek hasil yang masuk akal dari operasi tersebut dengan mengestimasi 43 – 14 sehingga hasil diperkirakan sekitar 40 – 10 =

30 sehingga ketika jawaban terlampau jauh dengan estimasinya, anak berusaha untuk mengulang kembali pekerjaannya. Fleksibilitas membutuhkan pemahaman lebih dari salah satu pendekatan untuk memecahkan jenis tertentu dari permasalahan. Siswa harus fleksibel untuk dapat untuk memilih strategi yang tepat untuk masalah yang dihadapi dan juga menggunakan salah satu metode untuk memecahkan masalah dan metode lain untuk memeriksa hasilnya (Russel, 2000). Strategi mental dapat mendukung fleksibilitas dalam berhitung dengan berbagai strategi yang dapat diciptakan sendiri oleh anak dan tidak berkutat pada prosedur kaku dari algoritma standar. Sebagai contoh, ketika anak dihadapkan dengan operasi 38 + 25 memungkinkan mereka memikirkan bahwa banyak strategi yang dapat digunakan yakni membuat kedua bilangan menjadi kelipatan 10 dan menjumlahkan bagian satuannya atau meminjam 2 untuk membuat 38 menjadi 40 kemudian menggantinya dengan mengurangi hasil penjumlahan dengan 2.

C. SIMPULAN DAN SARAN

Komputasi mental dilakukan anak tanpa harus menulisnya di kertas, ketika anak dihadapkan pada suatu permasalahan, anak dengan strategi mental akan merekamnya dalam hati dan mengkalkulasinya di dalam kepala. Dengan demikian, strategi mental dapat membantu anak dalam melakukan komputasi secara lancar.

D. DAFTAR PUSTAKA

Beishuizen, M. 1993. Mental Strategies and Materials or Models for Addition and Subtraction up to 100 in Dutch Second Class. Journal for Research in Mathematics Education, 24(4), 194-323.

Beishuizen, M., Van Putten, C. M., & Van Mulken, F. 1997. Mental Arithmetic and Strategy Use with Indirect Number Problems up to One Hundred. Learning and Instruction, 7, 87-106.

Cooper, T. J., Heirdsfield, A., & Irons, C. J. 1996. Children’s Mental Strategies for Addition and Subtraction Word Problems. Dalam J. Mulligan & M. Mitchelmore (Eds.), Children’s Number Learning , hal 147-162. Adelaide: Australian Association of Mathematics Teachers.

Depdikbud. 1994. Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar Matematika Sekolah Dasar kelas I . Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Dasar.

Hartnett, J. E. 2007. Categorisation of Mental Computation Strategies to Support Teaching and to Encourage Classroom Dialogue. Dalam J. Watson & K. Beswick (Eds.), Proceedings of the 30th annual conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia (Vol. 2), hal. 345 – 352. Hobart, Tasmania: MERGA Inc.

McIntosh, A., Reys, B. J., & Reys, R. E. 1992. A Proposed Framework for Examining Basic Number Sense. For the Learning of Mathematics, 12(3), 2-8.

Munirah, G., Rohana, A, Noor, A. A. A., & Ayminsyadora, A. 2010. Identification of Students’ Intuitive Mental Computational Strategies for 1, 2 and 3 Digits Addition and Subtraction: Pedagogical and Curricular Implications. Journal Science and Mathematics Education in Southeast Asia . 33(1). 17-38.

Reys, B. J., & Barger, R. H. 1994. Mental Computation: Issues from The United States Perspective. Dalam R. E. Reys & N. Nohda (Eds.), Computational alternatives for the twenty-first century . Reston, Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics.

Risa Rauzi Shafar. 2007. Studi Kemampuan Number Sense Siswa Kelas V SD Al Kautsar Kota Pasuruan. Skripsi. Universitas Negeri Malang: Tidak diterbitkan.

Rogers, A. 2009. Mental Computation in the Primary Classroom. MAV Annual Conference 2009 Mathematics - Of Prime Importance , hal. 190-199. Bundoora: La Trobe University, dari http://www.mav.vic.edu.au/files/conferences/2009/18Rogersb.pdf, diambil 2 Mei 2013).

Russell, S. J. 2000. Developing Computational Fluency with Whole Numbers. Teaching Children Mathematics , 7(3), 154–158.

Sowder, J. T. 1992. Estimation and RELATED topics. Dalam D. Grouws (Ed.), Handbook for research on mathematics teaching and learning , hal. 371-389. New York: Macmillan.

Tatang Herman. 2001. Strategi Mental yang Digunakan Siswa Sekolah Dasar dalam Berhitung. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Yogyakarta tanggal 21 April 2001 .

Thompson, I. 1999. Mental Calculation Strategies for Addition and Subtraction. Mathematics in School . London: The Mathematical Association.

Varol, F & Farran, D. 2007. Elementary School Students’ Mental Computation Pro ficiencies. Early Childhood Education Journal , 35(1), 89-94.

P – 86

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA MATERI VOLUME BANGUN RUANG KELAS VIII

Yuli Sulistyowati

Pendidikan Matematika Pasca Sarjana UNY my_inspirations07@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan mendeskripsikan karakteristik media pembelajaran interaktif dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada materi volume bangun ruang kelas VIII. Volume bangun ruang yang dimaksud meliputi volume kubus, balok, prisma, dan limas. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan model pengembangan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Tahap pertama adalah melakukan analisis kebutuhan siswa kelas VIII dan analisis kurikulum yang bersesuaian dengan materi volume bangun ruang kelas VIII. Tahap kedua adalah pembuatan desain media pembelajaran yang meliputi pembuatan skenario, storyboard, dan flowchart serta pembuatan dan pengumpulan image, button, clip art, sound , dan animasi. Dalam tahap ketiga yaitu development, skenario media pembelajaran dikembangkan menjadi media pembelajaran interaktif dengan menggunakan program utama Adobe Flash CS 4 yang kemudian dikemas dalam bentuk Compact Disk (CD). Tahap selanjutnya adalah mengimplementasikan media kepada pengguna yaitu guru dan siswa. Langkah terakhir dalam penelitian pengembangan ini adalah mengevaluasi pengembangan media pembelajaran interaktif. Berdasarkan hasil evaluasi pengembangan oleh ahli media dan ahli materi yaitu dua dosen Universitas Negeri Yogyakarta, media yang dikembangkan dinyatakan layak digunakan dengan kategori baik. Berdasarkan hasil evaluasi kualitas oleh tiga guru dan 30 siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Wonosobo, media dinyatakan sangat baik. Media pembelajaran yang telah dikembangkan mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) kelengkapan komponen media pembelajaran; (2) kejelasan tujuan pembelajaran; (3) kebenaran konsep; (4) terpenuhinya komponen Contextual Teaching and Learning (CTL); (5) fasilitas umpan balik (feedback); (6) kemudahan dalam penggunaan; (7) ketersediaan program pendukung pembelajaran; (8) ketersediaan soal evaluasi; (9) kualitas tampilan; (10) kualitas bahasa; dan (11) mudah dibawa.

Kata kunci: media pembelajaran interaktif, CTL, volume bangun ruang

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya pembaharuan untuk memanfaatkan hasil-hasil teknologi dalam proses belajar. Salah satu hasil teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk membantu proses belajar adalah komputer. Peran

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Levie dan Levie (1975) meninjau hasil-hasil penelitian tentang belajar melalui stimulus gambar dan stimulus kata atau visual dan verbal menyimpulkan bahwa stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dan konsep (Azhar Arsyad, 2005: 9). Para ahli memiliki pandangan yang searah mengenai hal itu, perbandingan perolehan hasil belajar melalui indra pandang dan indra dengar sangat menonjol perbedaannya. Baugh menyatakan kurang lebih 90% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indra pandang, dan hanya sekitar 5% diperoleh melalui indra dengar, dan 5% lagi dengan indra lainnya. Sementara itu Dale memperkirakan bahwa pemerolehan hasil belajar melalui indra pandang sekitar 75%, melalui indra dengar sekitar 13%, dan melalui indra lainnya sekitar 12% (Azhar Arsyad, 2005: 10).

Di sisi lain, Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan menghubungkan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Yatim Riyanto, 2009: 159). Dengan mengaitkan isi materi pembelajaran dan pengalaman, siswa akan lebih mudah menemukan makna, dan makna inilah yang akan memberikan alasan untuk belajar. Semakin banyak isi materi pembelajaran yang mampu siswa kaitkan dengan lingkungan maka semakin banyak pula makna yang akan didapat dari pembelajaran. Sehingga pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) diharapkan mampu memberikan hasil pembelajaran yang lebih bermakna bagi siswa.

Namun demikian, penyelenggaraan pembelajaran menggunakan media pembelajaran interaktif yang dapat memfasilitasi siswa dalam belajar belum sepenuhnya terlaksana di setiap sekolah. Pembelajaran matematika di SMP N 1 Wonosobo telah memanfaatkan komputer, namun hanya sebatas dengan menggunakan program PowerPoint yang menurut salah satu guru matematika di sekolah tersebut memiliki keterbatasan dalam hal interaktifitas. Materi pembelajaran hanya sebatas dipindahkan dari buku ke dalam pogram PowerPoint sehingga membuat siswa kurang aktif dalam pembelajaran. Padahal siswa membutuhkan media yang dapat membuat dirinya terlibat langsung dalam pembelajaran. Hal inilah yang mendorong perlu dikembangkannya media pembelajaran interaktif yang dapat memfasilitasi siswa dalam belajar.

Dari hasil wawancara dengan guru matematika kelas VIII tentang pembelajaran volume bangun ruang, kurangnya pengetahuan siswa dalam memahami gambar bangun ruang yang dimaksud membuat mereka sering kali terkecoh saat mengerjakan soal. Diantaranya ketika siswa dihadapkan dengan suatu bangun ruang prisma, mereka akan cenderung terpaku pada bangun yang diberikan, sehingga ketika mereka dihadapkan dengan bangun prisma yang sama dengan posisi yang berbeda mereka akan mengenalinya sebagai jenis atau nama bangun yang baru yang berlainan dengan jenis atau nama bangun yang pertama. Hal ini menyebabkan siswa kurang percaya diri ketika akan menganalisis bangun tersebut, misalnya untuk menentukan volume. Oleh karena itu, siswa harus banyak berlatih untuk meningkatkan kemampuannya dalam menggambarkan secara jelas bentuk bangun ruang yang dimaksud, sehingga siswa akan lebih mudah dalam melakukan perhitungan volume. Sebuah upaya dapat dilakukan dengan mengaitkan bentuk-bentuk bangun ruang dengan realitas benda-benda di sekitar siswa, sehingga diharapkan siswa lebih memahami bentuk-bentuk bangun ruang yang sedang dipelajari.

Uraian di atas menjadi alasan peneliti untuk mengembangkan sebuah media pembelajaran interaktif dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada materi volume bangun ruang kelas VIII. Materi volume bangun ruang yang dimaksud meliputi volume kubus, balok, prisma, dan limas.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana karakteristik media pembelajaran interaktif dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada materi volume bangun ruang kelas VIII sebagai hasil pengembangan berdasarkan kajian teori, pendapat pakar, dan pendapat pengguna dengan kualifikasi baik?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik media pembelajaran interaktif dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada materi volume bangun ruang kelas VIII.

4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu siswa dalam pembelajaran matematika. Selain itu dapat membantu guru dalam menginovasi dan memvariasi pembelajaran yang dilakukan.

B. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji kualitas produk tersebut.

2. Model Pengembangan

Model penelitian pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pengembangan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Tahapan yang harus dilalui dapat dilihat dalam Gambar 1.

Tahap Analisis (Analysis)

 Menganalisis kebutuhan siswa.  Menganalisis kurikulum.

Tahap Desain (Design)

 Pembuatan desain media pembelajaran yang meliputi skenario, storyboard, dan flowchart.

 Pengumpulan bahan yang akan digunakan untuk membuat media pembelajaran.

Ahli Materi  Mewujudkan desain menjadi produk media

Tahap Pengembangan (Development)

Ahli Media pembelajaran.

Tahap Implementasi (Implementation)

Guru Matematika  Melakukan uji coba media pembelajaran. Siswa

Tahap Evaluasi (Evaluation)

 Menilai media pembelajaran yang telah dibuat sesuai dengan harapan awal atau tidak.

Produk Media Pembelajaran

Gambar 1. Tahapan pelaksanaan pengembangan media pembelajaran

3. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket yang diisi oleh ahli media, ahli materi, guru matematika SMP, dan siswa kelas VIII yang meliputi aspek kualitas isi, kualitas desain pembelajaran, kualitas visual, dan kualitas teknis.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.

a. Pengubahan data angket dalam bentuk data kualitatif menjadi data kuantitatif.

b. Menghitung skor rata-rata setiap butir aspek yang dinilai.

c. Menghitung skor rata-rata setiap aspek yang dinilai.

d. Mengubah skor rata-rata setiap aspek menjadi nilai kualitatif sesuai dengan kriteria kategori penilaian.

5. Spesifikasi Produk yang Diharapkan

Produk yang berupa media pembelajaran interaktif dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada materi volume bangun ruang kelas VIII yang merupakan hasil penelitian pengembangan ini diharapkan mempunyai spesifikasi produk media pembelajaran sebagai berikut.

Media pembelajaran interaktif memenuhi aspek dan kriteria kualitas media pembelajaran yang meliputi kualitas isi, kualitas desain pembelajaran, kualitas visual, dan kualitas teknis dengan kualifikasi baik menurut pendapat pakar dan pendapat pengguna.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif

Sesuai dengan model pengembangan ADDIE, prosedur yang dilakukan dalam penelitian pengembangan media pembelajaran interaktif meliputi 5 tahap, yaitu: (1) analysis, (2) design, (3) development , (4) implementation, dan (5) evaluation.

Berikut merupakan penjelasan tahapan-tahapan yang telah dilakukan dalam pengembangan media pembelajaran interaktif.

a. Analisis (Analysis) Hal-hal yang dianalisis meliputi kebutuhan siswa kelas VIII dan kurikulum yang bersesuaian

dengan materi volume bangun ruang kelas VIII.

b. Desain (Design) Hasil analisis kebutuhan dan kurikulum yang telah dilakukan dijadikan sebagai dasar untuk

membuat desain media pembelajaran. Hal-hal yang dilakukan dalam tahap pembuatan desain adalah pembuatan skenario media pembelajaran, storyboard, dan flowchart serta pengumpulan dan pembuatan bahan-bahan berupa image , button, sound, dan animasi yang akan digunakan untuk membuat media.

c. Pengembangan (Development) Pada tahap pengembangan ini skenario media pembelajaran, storyboard, dan flowchart yang

telah dibuat akan dikembangkan menjadi media. Untuk mengembangkan media digunakan program aplikasi komputer Adobe Flash CS 4 sebagai program utama dan program aplikasi Articulate Quizmaker ‘09, 3D Max Studio, dan Adobe Photoshop sebagai program pendukung. Media ini dibuat dalam bentuk kepingan Compact Disk (CD).

d. Implementasi (Implementation) Media pembelajaran diimplementasikan kepada pengguna yaitu tiga guru SMP Negeri 1

Wonosobo dan tiga puluh siswa kelas VIII.

e. Evaluasi (Evaluation)

1) Evaluasi Pengembangan Produk Hasil evaluasi pengembangan media pembelajaran yang dilakukan oleh ahli media dan ahli materi dapat dinyatakan dalam Tabel 1. Berdasarkan data Tabel 1, maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran layak diujicobakan dengan kategori baik menurut pendapat ahli media dan ahli materi.

Tabel 1. Hasil evaluasi pengembangan oleh ahli media dan ahli materi

Ahli

Skor

Aspek Nilai

Rata-rata Kualitas Isi

Media

Materi

Baik Kualitas Desain Pembelajaran

Baik Kualitas Visual

Baik Kualitas Teknis

2) Evaluasi Kualitas Produk Hasil evaluasi kualitas media pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa dapat dinyatakan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Hasil evaluasi kualitas media oleh guru dan siswa

Skor

Aspek

Guru Siswa

Nilai

Rata-rata

Sangat Baik Kualitas Desain Pembelajaran

Kualitas Isi

Baik Kualitas Visual

Sangat Baik Kualitas Teknis

Sangat Baik

Kesimpulan

Sangat Baik

Berdasarkan data Tabel 2 maka dapat disimpulkan bahwa kualitas media pembelajaran mempunyai kategori sangat baik menurut pendapat guru dan siswa. Dari hasil evaluasi pengembangan dan evaluasi kualitas produk yang dihasilkan dalam

penelitian pengembangan ini dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran interaktif telah memenuhi kriteria kualitas media pembelajaran yang meliputi aspek kualitas isi, kualitas desain pembelajaran, kualitas visual, dan kualitas teknis dengan kualifikasi baik menurut pendapat pakar dan dengan kualifikasi sangat baik menurut pendapat pengguna.

2. Karakteristik Media Pembelajaran Interaktif

Berdasarkan langkah-langkah pengembangan yang telah dijelaskan, maka dapat dideskripsikan karakteristik media pembelajaran interaktif dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada materi volume bangun ruang sebagai berikut.

a. Kelengkapan komponen media pembelajaran Media pembelajaran yang dibuat harus dapat memfasilitasi siswa untuk mempelajari materi

volume bangun ruang, sehingga diperlukan komponen-komponen media pembelajaran yang lengkap. Komponen media pembelajaran tersebut meliputi judul, sasaran kelas, semester, materi pokok, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, tujuan pembelajaran, petunjuk penggunaan, motivasi, apersepsi, materi, latihan, tugas, dan evaluasi.

b. Kejelasan tujuan pembelajaran Adanya kesesuaian antara standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan tujuan

pembelajaran akan berdampak terhadap keberhasilan belajar dengan menggunakan media. Kejelasan tujuan pembelajaran akan membantu mengarahkan siswa mencapai kompetensi yang telah ditentukan.

c. Kebenaran konsep Konsep yang termuat dalam materi dapat dipertahankan dan mempunyai nilai kebenaran

yang dapat dipertanggungjawabkan. Penyajian materi disesuaikan dengan tingkat pendidikan siswa SMP dan kecakupan materi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran disusun dengan sistematika yang baik, sehingga memberikan kemudahan bagi siswa untuk mempelajari materi yang terkandung dalam media. Hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun materi adalah keluasan dan kedalaman materi yang termuat serta ketepatan penggunaan istilah sehingga siswa mudah memahami. Selain itu, adanya gambar dan simulasi sangat berpengaruh yang dapat dipertanggungjawabkan. Penyajian materi disesuaikan dengan tingkat pendidikan siswa SMP dan kecakupan materi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran disusun dengan sistematika yang baik, sehingga memberikan kemudahan bagi siswa untuk mempelajari materi yang terkandung dalam media. Hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun materi adalah keluasan dan kedalaman materi yang termuat serta ketepatan penggunaan istilah sehingga siswa mudah memahami. Selain itu, adanya gambar dan simulasi sangat berpengaruh

Selain menampilkan materi, media juga menyajikan soal latihan dan evaluasi. Penyajian soal latihan bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa berlatih secara mandiri. Hal tersebut semakin diperkuat dengan adanya balikan untuk jawaban yang benar maupun jawaban yang salah pada latihan. Juga tersedianya kunci jawaban untuk mengetahui pembahasan latihan yang disajikan. Pada evaluasi siswa dapat mengukur pemahamannya dalam mempelajari materi.

d. Terpenuhinya komponen Contextual Teaching and Learning (CTL) Media pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

memenuhi delapan komponen pendekatan CTL yang dikemukakan oleh Elaine B. Johnson. Membuat keterkaitan yang bermakna (making meaningful connections) antara lain diwujudkan dengan pemberian motivasi berupa aktivitas sehari-hari yang menerapkan prinsip perhitungan volume bangun ruang, pemberian contoh-contoh benda yang berbentuk kubus, balok, prisma, dan limas untuk memudahkan siswa mengenal bangun ruang yang dimaksud serta contoh soal, soal latihan, dan beberapa soal evaluasi yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan materi.

Siswa melakukan pembelajaran yang terarah dengan mengikuti proses alur pembelajaran dari siswa mengetahui petunjuk penggunaan media, mendapatkan motivasi, mengetahui tujuan pembelajaran, mempelajari materi, latihan soal, hingga mengerjakan soal evaluasi. Siswa juga melakukan pembelajaran secara mandiri (self-regulated learning) dengan berperan aktif berinteraksi menggunakan media. Melalui tugas yang disediakan siswa dapat berdiskusi dan bekerja sama (collaborating) dengan siswa lain. Siswa dapat melatih kemampuan berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking) melalui tugas dan evaluasi yang diberikan. Dari proses belajar yang telah dilalui, siswa akan tumbuh dan berkembang (nurturing the individual) untuk mencapai standar yang tinggi (reaching high standards) dengan menemukan makna dari materi yang telah dipelajari dan menerapkan materi tersebut dalam kehidupannya.

e. Fasilitas umpan balik (feedback) Format penyajian materi yang digunakan dalam media berupa gabungan dari program

tutorial, drill and practice, serta simulasi. Uraian materi ditampilkan secara jelas dengan teks, gambar, dan simulasi. Simulasi dilakukan siswa sesuai dengan perintah yang ada di dalam media. Feedback yang diberikan media berupa pernyataan salah atau benar mengenai aktivitas yang telah dilakukan siswa setelah melakukan simulasi.

Dalam latihan soal feedback disajikan dalam bentuk kunci jawaban dan pembahasan. Dalam evaluasi feedback diberikan dalam bentuk kunci jawaban dan penilaian serta komentar hasil mengerjakan soal evaluasi.

f. Kemudahan dalam penggunaan Media yang dapat menfasilitasi siswa dalam mempelajari materi volume bangun ruang

mempunyai karakteristik mudah untuk digunakan. Beberapa faktor yang menyebabkan media mudah digunakan adalah petunjuk penggunaan media yang jelas, kemudahan dan kebebasan dalam memilih menu sajian, kekonsistenan dalam penggunaan tombol navigasi, dan kejelasan serta kemudahan dalam penggunaan tombol.

g. Ketersediaan program pendukung pembelajaran Fasilitas pendukung media merupakan fasilitas tambahan yang dapat memperjelas materi

yang disajikan. Fasilitas pendukung yang dapat membantu memperjelas pesan media tersebut terdapat dalam referensi.

Referensi menampilkan beberapa daftar buku yang dapat digunakan sebagai referensi dalam mempelajari materi volume bangun ruang lebih lanjut. Dengan demikian, keterbatasan materi yang ditampilkan dalam media dapat dipelajari lebih lanjut melalui beberapa buku yang tertera dalam referensi.

h. Ketersediaan soal evaluasi Soal evaluasi dilengkapi dengan petunjuk pengerjaan yang jelas. Soal evaluasi terdiri dari

soal-soal pilihan ganda. Soal-soal evaluasi dibuat berdasarkan materi-materi yang dipelajari, soal-soal pilihan ganda. Soal-soal evaluasi dibuat berdasarkan materi-materi yang dipelajari,

i. Kualitas tampilan Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar penampilan media menjadi menarik antara lain:

(a) pilihan jenis dan ukuran huruf; (b) ketepatan tanda baca; (c) pengaturan jarak baris, alinea, dan karakter; (d) desain slide; (e) tata letak/layout; (f) kesesuaian komposisi warna teks, gambar, animasi, tombol, dan background; (g) kesesuaian karakter teks, gambar, animasi, tombol, dan background ; serta (h) keunikan teks, gambar, dan animasi. j. Kualitas bahasa

Penggunaan bahasa yang baku, tidak menimbulkan penafsiran ganda, komunikatif, dan sesuai dengan pengguna media yaitu siswa SMP akan membantu siswa dalam memahami materi yang ada dalam media. k. Mudah dibawa

Media pembelajaran interaktif dikemas dalam bentuk Compact Disk (CD) sehingga mudah untuk dibawa.

3. Keterbatasan Penelitian

Terdapat beberapa keterbatasan dari penelitian pengembangan yang telah dilaksanakan. Keterbatasan penelitian pengembangan ini antara lain:

a. Komputer dan peralatan tambahan seperti speaker yang digunakan dalam penelitian pengembangan ini terbatas, sehingga media pembelajaran belum termanfaatkan secara optimal.

b. Siswa dan guru yang dijadikan sebagai subjek penelitian pengembangan ini terbatas sehingga belum tentu media pembelajaran interaktif yang dihasilkan sesuai jika digunakan untuk kawasan yang lebih luas.

c. Kualitas media yang dikembangkan hanya sebatas kemampuan peneliti.

d. Penelitian pengembangan ini belum sampai pada tingkatan untuk mengetahui pemahaman siswa setelah belajar menggunakan media pembelajaran interaktif.

D. SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut.

a. Media pembelajaran interaktif dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada materi volume bangun ruang kelas VIII yang telah dikembangkan mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) kelengkapan komponen media pembelajaran; (2) kejelasan tujuan pembelajaran; (3) kebenaran konsep; (4) terpenuhinya komponen Contextual Teaching and Learning (CTL); (5) fasilitas umpan balik (feedback); (6) kemudahan dalam penggunaan; (7) ketersediaan program pendukung pembelajaran; (8) ketersediaan soal evaluasi; (9) kualitas tampilan; (10) kualitas bahasa; dan (11) mudah dibawa.

2. Saran

Saran-saran yang dapat peneliti sampaikan berdasarkan hasil penelitian pengembangan media pembelajaran interaktif dangan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebagai berikut.

a. Pemilihan dan penggunaan animasi dalam media pembelajaran interaktif perlu diperhatikan sehingga animasi yang digunakan dapat dimanfaatkan secara optimal.

b. Media pembelajaran interaktif dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat digunakan sebagai variasi dalam pembelajaran matematika yang harus selalu digali lebih dalam agar siswa lebih memaknai materi yang sedang dipelajari.

c. Perlu dikembangkan lagi tingkat interaktivitas dari sebuah media pembelajaran interaktif agar siswa dapat berinteraksi lebih aktif dalam pembelajaran.

d. Ketersediaan peralatan tambahan seperti speaker pada setiap komputer diperlukan untuk mengoptimalkan penggunaan media pembelajaran interaktif.

e. Diperlukan adanya kerja sama dari beberapa ahli yang kompeten agar dapat dihasilkan media pembelajaran interaktif dengan kualitas yang lebih baik.

f. Perlu pengembangan media pembelajaran interaktif yang sejenis dalam lingkungan yang lebih luas baik dengan pendekatan dan materi yang sama maupun dengan pendekatan dan materi yang berbeda.

g. Dalam penelitian pengembangan yang sejenis perlu adanya evaluasi untuk mengetahui tingkat pemahaman setelah siswa belajar menggunakan media.

E. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Fathani. 2009. Matematika: Hakikat & Logika. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Arief S. Sadiman dkk. 2009. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan

Pemanfaatannya . Jakarta: Rajawali Pers. Azhar Arsyad. 2005. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Benny A. Pribadi. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat. Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Dewi Nuharini dan Tri Wahyuni. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya

untuk Kelas

VIII SMP dan MTs . Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Eko Putro Widoyoko. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Endah Budi Rahaju, R. Sulaiman, dan Tatag Yuli Eko S. 2008. Contextual Teaching

and Learning Matematika Sekolah Menengah Pertama Kelas VIII Edisi 4 . Jakarta:Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Erman Suherman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jica. Johnson, Elaine B. 2010. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan

Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna (Ibnu Setiawan. Terjemahan). Bandung: Kaifa. Buku asli diterbitkan tahun 2002.

Muhibbin Syah. 2002. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Munir. 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi dan Informatika dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta

Murdanu. 2005. Pengembangan Media Pembelajaran Matematika. Handout kuliah. Yogyakarta: FMIPA UNY

Nuniek Avianti Agus. 2007. Mudah Belajar Matematika untuk Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah . Jakarta: Pusat Perbukuan

Departemen Pendidikan Nasional.

Romi Satria Wahono. 2006. Aspek dan Kriteria Penilaian Media Pembelajaran. http://romisatriawahono.net/2006/06/21/aspek-dan-kriteria-penilaian-media-pembelajaran/ (11 April 2011 pukul 6:42 WIB)

Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Depdiknas. Soedjadi dan Djoko Moesono. 1996. Matematika 2: Petunjuk Guru Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama Kelas 2 . Jakarta: Balai Pustaka. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sukardjo dan Lis Permana Sari. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan Kimia. Buku pegangan

kuliah. Yogyakarta: FMIPA UNY. Sukino dan Wilson Simangunsong. 2006. Matematika SMP Jilid 2 Kelas VIII. Jakarta: Erlangga. Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan .

Jakarta: Kencana Yatim Riyanto. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

P – 87

PETA PENGUASAAN MATERI MATEMATIKA GURU SMA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

1 2 Yulia Linguistika 3 , Endang Listyani , Heri Retnawati

1, 2,3 Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA UNY

1 2 linguisty@gmail.com, 3 listy_matuny@yahoo.co.id, retnawati_heriuny@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan penguasaan materi guru matematika SMA/MA, mendeskripsikan level kognitif butir tes penguasaan materi matematika guru, dan mendeskripsikan hubungan antara penguasaan materi guru dengan prestasi belajar siswa. Subjek penelitian ini yakni guru matematika SMA/MA dan siswa kelas XII di sekolah yang memiliki tingkat kelulusan kurang dari 80% dalam Ujian Nasional tahun 2010/2011. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan korelasi. Tes penguasaan materi guru matematika SMA/MA dipetakan menurut topik dan pokok bahasan. Butir tes dianalisis level kognitifnya sesuai taksonomi Bloom terevisi. Analisis hubungan antara penguasaan materi guru dengan prestasi belajar siswa dilakukan dengan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru matematika SMA/MA program IPA memiliki tingkat penguasaan materi paling rendah pada topik dimensi tiga(32,632%), turunan(39,495%), dan transformasi(39,600%), serta pada pokok bahasan geometri(32,362%), trigonometri(51,340%), dan kalkulus(54,790%). Sementara itu pada program IPS, tingkat penguasaan materi guru paling rendah terdapat pada topik program linear(56,852%), logaritma(58,000%), dan statistik(63,592%), serta pada pokok bahasan aljabar(66,402%) dan kalkulus(65,892%). Pada soal untuk guru matematika SMA/MA program IPA, soal dengan level kognitif C2 memiliki persentase jawab benar sebesar 68,722 dan soal level C3 sebesar 50,258. Pada guru matematika SMA/MA program IPS, soal dengan level kognitif C2 memiliki persentase jawab benar sebesar 65,697 dan soal level C3 sebesar 60,490. Hal ini berarti penguasaan materi soal dengan level kognitif C2 lebih tinggi dari soal dengan level kognitif C3. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara penguasaan materi guru dengan prestasi belajar siswa pada program IPA, sedangkan untuk program IPS memiliki hubungan yang berarti.

Kata Kunci: penguasaan materi matematika, guru SMA/MA, prestasi belajar siswa SMA

A. PENDAHULUAN

Pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah dengan mengadakan evaluasi pembelajaran secara nasional dalam bentuk Ujian Nasional (UN). Menurut Pasal 68 Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, Ujian Nasional (UN) merupakan program evaluasi yang berfungsi selektif, yaitu untuk memilih peserta didik yang sudah berhak meninggalkan sekolah. Ujian Nasional tingkat SMA/MA dalam dua tahun terakhir mencapai tingkat kelulusan 99%, walaupun peserta yang tidak lulus mencapai ribuan bahkan belasan ribu siswa. Pada tahun 2011, siswa yang tidak lulus UN mencapai 16.560 siswa dan ada lima sekolah

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Program Pendidikan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan di Program Pascasarjana UNY pada tahun 2011 mengadakan penelitian pada SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK di berbagai wilayah Indonesia yang memiliki tingkat kelulusan rendah, dengan kata lain tingkat kelulusan sekolah tersebut kurang dari 80%. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui kompetensi pendidik yang mengampu mata pelajaran yang diujikan secara nasional dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian standar kompetensi lulusan di wilayah tersebut, dengan maksud untuk menganalisis kelemahan kompetensi siswa yang ada di sekolah-sekolah tersebut. Penelitian melalui tes kemampuan guru tersebut hanya menghasilkan nilai guru dalam menyelesaikan soal tes. Padahal tes kemampuan guru tersebut dapat mengindikasikan materi-materi yang dikuasai guru atau tidak, khususnya mata pelajaran matematika. Untuk itu, penelitian ini akan memetakan penguasaan materi guru matematika SMA/MA agar diketahui materi-materi matematika yang harus dipelajari dengan lebih mendalam.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan menurut Suyanto (2000: 97-98) adalah kualitas guru. Kompetensi yang dimiliki guru akan memberikan dampak terhadap pendidikan secara umum (Suyanto & Djihad Hisyam, 2000: 56). Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, dinyatakan bahwasanya kompetensi yang harus dimiliki oleh guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Guru yang profesional menurut Agus F. Tamyong (Moh. Uzer Usman, 2000: 15) adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Moh. Uzer Usman (2000: 15) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih bukan hanya memperoleh pendidikan formal, tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar serta menguasai landasan-landasan kependidikan. Menurut Nana Sudjana (Asrori, 2011:23), penguasaan materi pelajaran termasuk dalam kompetensi profesional guru dalam bidang kognitif atau kemampuan intelektual. Dengan demikian penguasaan materi hendaknya mutlak dimiliki oleh guru sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.

Apabila kembali berbicara mengenai hasil Ujian Nasional yang persentase kelulusannya lebih dari 95%, ternyata masih ada beberapa sekolah yang memiliki tingkat kelulusan kurang dari 80%, baik itu pada tahun 2011 maupun 2012 (Depdiknas, 2012). Hal ini menimbulkan berbagai macam spekulasi mengenai faktor penyebab dari ketidaklulusan tersebut. Spekulasi yang paling sering dipertanyakan adalah mengenai kompetensi profesional guru. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan menganalisis hubungan antara penguasaan materi guru matematika SMA/MA di sekolah yang memiliki tingkat kelulusan kurang dari 80% dalam Ujian Nasional tahun 2010/2011 dan hasil ujian nasional siswa tahun 2011/2012 mata pelajaran matematika di sekolah tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan penguasaan materi guru matematika SMA/MA di sekolah yang memiliki tingkat kelulusan kurang dari 80% dalam Ujian Nasional tahun 2010/2011, mendeskripsikan level kognitif butir tes penguasaan materi matematika guru, dan mendeskripsikan hubungan antara penguasaan materi guru dengan hasil ujian nasional siswa tahun 2011/2012.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk memetakan penguasaan materi guru matematika SMA dan penelitian korelasi untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat penguasaan materi guru matematika SMA dan hasil ujian nasional mata pelajaran matematika tahun 2012.

Subjek penelitian ini adalah guru matematika kelas XII SMA/MA di sekolah yang memiliki tingkat kelulusan kurang dari 80% dalam Ujian Nasional tahun 2010/2011 dan siswa kelas XII SMA/MA di sekolah tersebut. Objek penelitian ini adalah hasil tes penguasaan materi guru matematika di sekolah yang memiliki tingkat kelulusan kurang dari 80% pada UN 2010/2011 dan hasil ujian nasional mata pelajaran matematika siswa di sekolah tersebut dalam Ujian Nasional tahun 2011/2012. Guru matematika dan siswa kelas XII SMA/MA berada di lima regional yaitu (1) Regional I, meliputi provinsi-provinsi di Pulau Jawa, (2) Regional II, meliputi provinsi-provinsi di Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung, (3) Regional III, meliputi provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat, serta (4) Regional IV, meliputi provinsi-provinsi di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Jumlah sekolah untuk SMA/MA program IPA adalah sebanyak 169 sekolah dan program IPS sebanyak 295 sekolah.

Data tentang hasil tes guru didapatkan melalui tes pada November 2011 melalui kerja sama peneliti dengan Laboratorium Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Program Pascasarjana UNY, sedangkan data mengenai hasil ujian nasional mata pelajaran matematika tahun 2011/2012 didapatkan melalui dokumentasi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional pada November 2012.

Instrumen penelitian terdiri dari tes penguasaan materi guru menggunakan soal Ujian Nasional Matematika SMA dan MA paket cadangan tahun 2010/2011 ditambah dengan 5 soal uraian, soal Ujian Nasional Mata Pelajaran Matematika tahun 2011/2012, dan lembar analisis dan verifikasi level kognitif butir tes penguasaan materi guru berdasarkan taksonomi bloom terevisi

Tes penguasaan materi guru matematika SMA/MA dipetakan menurut Standar Kompetensi Lulusan Ujian Nasional, Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, topik, dan pokok bahasan. Maka akan diketahui tingkat penguasaan materi guru matematika SMA/MA pada setiap topik mata pelajaran matematika.

Setiap item tes dianalisis level kognitifnya sesuai dengan taksonomi tujuan pendidikan Bloom dalam ranah kognitif yang telah terevisi (Anderson & Krathwohl, 2001: 124, Payne, 2003: 156) yaitu (1) remember, (2) understand, (3) apply, (4) analyze, (5) evaluate, dan (6) create. Hasil analisis level kognitif butir soal tes penguasaan materi berdasarkan taksonomi Bloom terevisi kemudian diverifikasi oleh dosen ahli untuk memastikan kesesuaian analisis data penelitian yang telah dilakukan.

Analisis data untuk mengetahui hubungan antara penguasaan materi guru SMA/MA di sekolah yang memiliki tingkat kelulusan kurang dari 80% dalam Ujian Nasional tahun 2010/2011 dengan hasil ujian nasional siswa tahun 2011/2012 mata pelajaran matematika, dilakukan sesuai dengan hipotesis yang telah diajukan. Pada penelitian ini digunakan analisis korelasi dan menggunakan uji-t sebagai statistik uji hipotesisnya. Hipotesis statistik pada penelitian ini adalah

H 0 : tidak terdapat hubungan antara tingkat penguasaan materi guru matematika dengan hasil ujian nasional matematika.

H a : terdapat hubungan antara tingkat penguasaan materi guru matematika dengan hasil ujian nasional matematika. Untuk mencari koefisien korelasi dengan menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson (Walpole, 1991: 371) yaitu:

Keterangan :

r = koe isien korelasi X dan Y

X = skor butir soal Y = skor total

n = jumlah peser ta tes

Untuk memperoleh koefisien korelasi dilakukan perhitungan dengan software SPSS for windows 16.0 dengan prosedur Correlation. Menurut Jonathan Sarwono (2009: 59) tingkat kekuatan hubungan ditunjukkan dengan besar kecilnya koefisien korelasi seperti di bawah ini. Tabel 1. Koefisien Korelasi dan Tingkat Hubungan

Koefisien Korelasi Tingkat Hubungan

0 ≤ < 0,20 Sangat lemah 0,20 ≤ < 0,40 Lemah 0,40 ≤ < 0,60 Cukup

0,60 ≤ < 0,80 Kuat 0,80 ≤ < 1,00 Sangat kuat

Setelah diperoleh r kemudian dilakukan pengujian terhadap keberartian koefisien korelasi (uji signifikan) dengan uji-t (Walpole, 1992: 378) yaitu

= koe isien korelasi antara X dan Y

= ukuran sampel Perhitungan koefisien korelasi dilakukan dengan software SPSS for windows 16.0 dengan prosedur correlation.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian dan pembahasan dibagi menjadi tiga subjudul yang akan membahas tentang peta penguasaan materi guru SMA/MA, analisis level kognitif butir tes berdasarkan taksonomi Bloom terevisi, dan hubungan antara penguasaan materi guru dengan prestasi belajar siswa.

1. Peta Penguasaan Materi Guru SMA/MA

Hasil tes penguasaan materi guru pada soal pilihan ganda dan soal uraian memiliki nilai maksimum skor yang berbeda. Oleh karena itu, hasil tes penguasaan materi guru dinyatakan dengan nilai yang memiliki range 0 sampai 100. Pada soal pilihan ganda, nilai didapatkan dengan mengalikan skor dengan 2,5. Pada soal uraian, nilai didapatkan dengan mengalikan skor dengan

4. Peta penguasaan materi guru SMA/MA dibedakan berdasarkan programnya, yaitu IPA dan IPS, dimana masing-masing program terdiri atas dua tes, yaitu tes pilihan ganda dan tes uraian. Hasil tes pilihan ganda guru SMA/MA program IPA ditunjukkan dengan tabel berikut.

Tabel 2. Hasil Tes Pilihan Ganda Guru SMA/MA Program IPA Tes Pilihan Ganda Guru SMA/MA Program IPA Rerata ± SD Skor Guru 25,396 ± 8,282

Nilai Guru 63,49 ± 20,705 Hasil tes soal pilihan ganda pada guru SMA program IPA menunjukkan bahwa guru memiliki skor rata-rata sebesar 25,396, dengan skor minimum sebesar 6 dan maksimum sebesar

40. Oleh karena itu nilai yang didapatkan dari hasil tes ini memiliki rerata sebesar 63,49, dengan nilai minimum sebesar 15 dan maksimum sebesar 100. Persentase jawab benar pada soal pilihan ganda berdasarkan topiknya disajikan dalam gambar berikut.

Persentase Jawab Benar Per Topik Soal Pilihan Ganda (IPA)

Deret dan Barisan 62.450

73.350 Program Linear

Matriks

65.100 Sistem Persamaan Linear

59.800 Pers. Garis Singgung Lingkaran

Suku Banyak

Persamaan Kuadrat 73.050

Gambar 1. Grafik Persentase Jawab Benar Per Topik Soal Pilihan Ganda SMA/MA (IPA)

Persentase jawab benar dari guru SMA/MA IPA pada soal pilihan ganda memiliki rata-rata 63,49%. Topik yang memiliki persentase jawab benar diatas rata-rata yaitu topik logika, eksponen, logaritma, persamaan kuadrat, sistem persamaan linear, program linear, matriks, vektor, integral, statistik, dan peluang. Sementara itu topik yang memiliki persentase jawab benar dibawah rata-rata yaitu fungsi, persamaan garis singgung lingkaran, suku banyak, transformasi, deret dan barisan, dimensi tiga, trigonometri, limit, dan turunan.

Persentase Jawab Benar Per Pokok Bahasan Soal Pilihan Ganda (IPA)

Statistika dan …

Gambar 2. Grafik Persentase Jawab Benar Per Pokok Bahasan Soal Pilihan Ganda SMA/MA

(IPA)

Pokok bahasan yang memiliki persentase jawab benar di atas rata-rata yaitu logika, aljabar, dan statistika & peluang. Sementara itu pokok bahasan yang memiliki persentase jawab benar di bawah rata-rata yaitu geometri, trigonometri, dan kalkulus. Hasil tes uraian guru SMA/MA program IPA ditunjukkan dengan tabel berikut. Tabel 3. Hasil Tes Uraian Guru SMA/MA Program IPA

Tes Uraian Guru SMA/MA Program IPA Rerata ± SD Skor Guru 10,308 ± 5,770 Nilai Guru 41,231 ± 23,082

Hasil tes soal uraian pada guru SMA program IPA menunjukkan bahwa guru memiliki skor rata-rata sebesar 10,308, dengan skor minimum sebesar 1 dan maksimum sebesar 24. Oleh karena itu nilai yang didapatkan dari hasil tes ini memiliki rerata sebesar 41,231, dengan nilai minimum sebesar 4 dan maksimum sebesar 96. Persentase jawab benar pada soal uraian berdasarkan topiknya disajikan dalam gambar berikut.

Persentase Jawab Benar Per Topik Soal Uraian (IPA)

Dimens…

Integral 45.917 Turunan

44.142 Fungsi

Gambar 3. Grafik Persentase Jawab Benar Per Topik Soal Uraian SMA/MA (IPA)

Persentase jawab benar dari guru SMA/MA IPA pada soal uraian memiliki rata-rata 41,231%. Topik yang memiliki persentase jawab benar diatas rata-rata yaitu topik turunan, fungsi komposisi, dan penerapan integral. Sementara itu topik yang memiliki persentase jawab benar dibawah rata-rata yaitu dimensi tiga.

Persentase Jawab Benar Per Pokok Bahasan Soal Uraian (IPA)

Gambar 4. Grafik Persentase Jawab Benar Per Pokok Bahasan Soal Uraian SMA/MA (IPA)

Pokok bahasan yang memiliki persentase jawab benar di bawah rata-rata yaitu geometri. Sementara pokok bahasan kalkulus dan aljabar memiliki persentase jawab benar di atas rata-rata. Selanjutnya akan dibahas mengenai tes penguasaan materi guru matematika SMA/MA program IPS. Hasil tes pilihan ganda guru SMA/MA program IPS ditunjukkan dengan tabel berikut. Tabel 4. Hasil Tes Pilihan Ganda Guru SMA/MA Program IPS

Tes Pilihan Ganda Guru SMA/MA Program IPS Rerata ± SD Skor Guru 27,159 ± 8,904 Nilai Guru 67,897 ± 22,26

Hasil tes soal pilihan ganda pada guru SMA program IPS menunjukkan bahwa guru memiliki skor rata-rata sebesar 27,159, dengan skor minimum sebesar 2 dan maksimum sebesar

40. Oleh karena itu nilai yang didapatkan dari hasil tes ini memiliki rerata sebesar 67,897, dengan nilai minimum sebesar 5 dan maksimum sebesar 100. Persentase jawab benar pada soal pilihan ganda berdasarkan topiknya disajikan dalam gambar berikut.

Persentase Jawab Benar Per Topik Soal Pilihan Ganda (IPS)

Deret & Barisan

58.125 Sistem Persamaan & Pertidaksamaan …

Program Linear

63.700 Persamaan & Pertidaksamaan Kuadrat

Gambar 5. Grafik Persentase Jawab Benar Per Topik Soal Pilihan Ganda SMA/MA (IPS)

Persentase jawab benar dari guru SMA/MA IPS pada soal pilihan ganda memiliki rata-rata 67,89%. Topik yang memiliki persentase jawab benar diatas rata-rata yaitu topik logika, eksponen, fungsi, persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, sistem persamaan dan pertidaksamaan linear, matriks dan peluang. Sementara itu topik yang memiliki persentase jawab benar dibawah rata-rata yaitu logaritma, program linear, deret dan barisan, turunan, dan statistik.

Persentase Jawab Benar Per Pokok Bahasan Soal Pilihan Ganda (IPS)

Gambar 6. Grafik Persentase Jawab Benar Per Pokok Bahasan Pilihan Ganda SMA/MA (IPS) Pokok bahasan yang memiliki persentase jawab benar di bawah rata-rata adalah aljabar, kalkulus, dan statistika dan peluang. Sementara itu pokok bahasan logika memiliki persentase jawab benar yang berada di atas rata-rata. Hasil tes uraian guru SMA/MA program IPS ditunjukkan dengan tabel berikut. Tabel 5. Hasil Tes Uraian Guru SMA/MA Program IPS

Tes Uraian Guru SMA/MA Program IPS Rerata ± SD Skor Guru 14,966 ± 6,066 Nilai Guru 59,864 ± 24,263 Hasil tes soal uraian pada guru SMA/MA program IPS menunjukkan bahwa guru memiliki skor rata-rata sebesar 14,966, dengan skor minimum sebesar 1 dan maksimum sebesar

25. Oleh karena itu nilai yang didapatkan dari hasil tes ini memiliki rerata sebesar 59,864, dengan nilai minimum sebesar 4 dan maksimum sebesar 100.

Persentase Jawab Benar Per Topik Soal Uraian (IPS)

Statistika 68.160 Peluang

68.420 Program Linear

Persamaan Kuadrat 59.760 0 20 40 60 80

Gambar 7. Grafik Persentase Jawab Benar Per Topik Soal Uraian SMA/MA (IPS)

Persentase jawab benar dari guru SMA/MA IPS pada soal uraian memiliki rata-rata 59,864%. Topik yang memiliki persentase jawab benar diatas rata-rata yaitu peluang dan statistik. Sementara itu topik yang memiliki persentase jawaban benar dibawah rata-rata yaitu persamaan kuadrat, pertidaksamaan, dan program linear.

Persentase Jawab Benar Per Pokok Bahasan Soal Uraian (IPS)

Gambar 8. Grafik Persentase Jawab Benar Per Pokok Bahasan Soal Uraian SMA/MA (IPS)

Pokok bahasan yang memiliki persentase jawab benar di bawah rata-rata adalah aljabar dengan persentase sebesar 54,247%. Pokok bahasan yang memiliki persentase jawab benar di atas rata-rata adalah statistika dan peluang dengan persentase sebesar 68,290%.

2. Analisis Level Kognitif Butir Soal Berdasarkan Taksonomi Bloom Terevisi

Analisis level kognitif didasarkan pada taksonomi tujuan pendidikan Bloom dalam ranah kognitif yang telah terevisi yaitu (1) remember, (2) understand, (3) apply, (4) analyze, (5) evaluate , dan (6) create. Analisis dilakukan dengan mengkategorikan butir soal berdasarkan batasan dan objek langsungnya, disesuaikan dengan indikator per item tes dan langkah-langkah penyelesaian.

Soal pilihan ganda guru SMA/MA program IPA tersebar pada level C2 atau pemahaman, dan C3 atau aplikasi. Jumlah butir soal yang termasuk level C2 adalah sebanyak 18 butir, dan jumlah soal yang termasuk dalam level C3 sebanyak 22 butir. Berikut adalah persentase jawab benar per level kognitif soal pilihan ganda.

Persentase Jawab Benar Per level Kognitif Soal Pilihan Ganda (IPA)

C6 0 C5 0

C4 Level Kognitif 0

Gambar 9. Grafik Persentase Jawab Benar Per Level Kognitif Soal Pilihan Ganda SMA/MA (IPA)

Rata-rata jawab benar soal pilihan ganda sebesar 63,49%. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk dalam level C2 sebesar 68,722%, hal ini menunjukkan bahwa persentase jawab benarnya berada di atas rata-rata. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk Rata-rata jawab benar soal pilihan ganda sebesar 63,49%. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk dalam level C2 sebesar 68,722%, hal ini menunjukkan bahwa persentase jawab benarnya berada di atas rata-rata. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk

Persentase Jawab Benar Per Level Kognitif Soal Uraian (IPA)

C6 0 C5 0 Level C4 0

Kognitif C3 41.231

C2 0 C1 0

Gambar 10. Grafik Persentase Jawab Benar Per Level Kognitif Soal Uraian SMA/MA (IPA) Rata-rata jawab benar soal uraian sebesar 41,23%. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk dalam level C3 sebesar 41,231%, hal ini menunjukkan bahwa persentase jawab benarnya berada pada rata-rata. Soal pilihan ganda guru SMA/MA program IPS tersebar pada ranah C2 atau pemahaman, dan C3 atau aplikasi. Jumlah butir soal yang termasuk level C2 adalah sebanyak 30 butir, dan jumlah soal yang termasuk dalam level C3 sebanyak 10 butir.

Persentase Jawab Benar Per Level Kognitif Soal Pilihan Ganda (IPS)

C6 0 C5 0 Level C4 0

Kognitif C3 65.220 C2 68.793

C1 0

Gambar 11. Grafik Persentase Jawab Benar Per Level Kognitif Soal Pilihan Ganda SMA/MA (IPS)

Rata-rata jawab benar soal pilihan ganda sebesar 67,89%. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk dalam level C2 sebesar 68,793%, hal ini menunjukkan bahwa persentase jawab benarnya berada di atas rata-rata. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk dalam level C3 sebesar 65,220%, hal ini menunjukkan bahwa persentase jawab benarnya berada di bawah rata-rata. Soal uraian guru SMA/MA program IPS tersebar pada ranah C2 atau pemahaman, dan C3 atau aplikasi. Jumlah butir soal yang termasuk level C2 adalah sebanyak 3 butir, dan jumlah soal yang termasuk dalam level C3 sebanyak 2 butir.

Persentase Jawab Benar Per Level Kognitif Soal Uraian (IPS)

C6 0 C5 0 Level C4 0

Kognitif C3 55.760

Gambar 12. Grafik Persentase Jawab Benar Per Level Kognitif Soal Uraian SMA/MA (IPS)

Rata-rata jawab benar soal uraian sebesar 59,864%. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk dalam level C2 sebesar 62,600%, hal ini menunjukkan bahwa persentase jawab benarnya berada di atas rata-rata. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk Rata-rata jawab benar soal uraian sebesar 59,864%. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk dalam level C2 sebesar 62,600%, hal ini menunjukkan bahwa persentase jawab benarnya berada di atas rata-rata. Persentase jawab benar untuk butir soal yang termasuk

3. Hubungan Antara Penguasaan Materi Matematika Guru SMA/MA dengan Prestasi Belajar Siswa

Hubungan penguasaan materi guru dengan prestasi belajar siswa program dianalisis dengan software SPSS for Windows 16.0, Berikut merupakan hasil analisis korelasi antara penguasaan materi guru dengan prestasi belajar siswa pada program IPA. Tabel 6. Hasil Analisis Korelasi antara Penguasaan Materi Guru dengan Prestasi Belajar Siswa pada program IPA

Koefisien Sig Hubungan Korelasi (2-tailed)

Nilai Pilihan Ganda Guru dengan UN Matematika Siswa -0,143 0,063 Nilai Uraian Guru dengan UN Matematika Siswa -0,060 0,430 Nilai Rata-rata Guru dengan UN Matematika Siswa -0,108 0,161

Hubungan antara nilai pilihan ganda guru dengan UN matematika siswa memiliki koefisien korelasi -0,143, artinya bahwa kedua variabel tersebut memiliki tingkat kekuatan hubungan yang sangat lemah. Signifikansi menunjukkan angka 0,063 dan α sebesar 0,05 sehingga

sig > , hal ini bermakna H 0 diterima, artinya tidak ada hubungan antara nilai pilihan ganda guru dengan UN matematika siswa.

Hubungan antara nilai uraian guru dengan UN matematika siswa memiliki koefisien korelasi -0,06, artinya bahwa kedua variabel tersebut memiliki tingkat kekuatan hubungan yang sangat lemah. Signifikansi menunjukkan angka 0,430 dan α sebesar 0,05 sehingga sig > , hal ini

bermakna H 0 diterima, artinya tidak ada hubungan antara nilai uraian guru dengan UN matematika siswa. Hubungan antara nilai rata-rata guru dengan UN matematika siswa memiliki koefisien korelasi -0,108, artinya bahwa kedua variabel tersebut memiliki tingkat kekuatan hubungan yang sangat lemah. Signifikansi menunjukkan angka 0,161 dan α sebesar 0,05 sehingga sig > , hal ini

bermakna H 0 diterima, artinya tidak ada hubungan antara nilai rata-rata guru dengan UN matematika siswa. Selanjutnya adalah mengenai analisis korelasi antara penguasaan materi guru dengan prestasi belajar siswa pada program IPS. Berikut merupakan hasil analisis korelasi antara penguasaan materi guru dengan prestasi belajar siswa pada program IPS. Tabel 7. Hasil Analisis Korelasi antara Penguasaan Materi Guru dengan Prestasi Belajar Siswa pada program IPS

Koefisien Sig Hubungan Korelasi (2-tailed)

Nilai Pilihan Ganda Guru dengan UN Matematika Siswa -0,190 0,001 Nilai Uraian Guru dengan UN Matematika Siswa -0,135 0,020 Nilai Rata-rata Guru dengan UN Matematika Siswa -0,172 0,003

Hubungan antara nilai pilihan ganda guru dengan UN matematika siswa memiliki koefisien korelasi -0,190, artinya bahwa kedua variabel tersebut memiliki tingkat kekuatan hubungan yang sangat lemah. Signifikansi menunjukkan angka 0,001 dan α sebesar 0,05 sehingga

sig < , hal ini bermakna H 0 ditolak, artinya ada hubungan antara nilai pilihan ganda guru dengan UN matematika siswa.

Hubungan antara nilai uraian guru dengan UN matematika siswa memiliki koefisien korelasi -0,135, artinya bahwa kedua variabel tersebut memiliki tingkat kekuatan hubungan yang sangat lemah. Signifikansi menunjukkan angka 0,020 dan α sebesar 0,05 sehingga sig < , hal ini

bermakna H 0 ditolak, artinya ada hubungan antara nilai uraian guru dengan UN matematika siswa. Hubungan antara nilai rata-rata guru dengan UN matematika siswa memiliki koefisien korelasi -0,172, artinya bahwa kedua variabel tersebut memiliki tingkat kekuatan hubungan yang bermakna H 0 ditolak, artinya ada hubungan antara nilai uraian guru dengan UN matematika siswa. Hubungan antara nilai rata-rata guru dengan UN matematika siswa memiliki koefisien korelasi -0,172, artinya bahwa kedua variabel tersebut memiliki tingkat kekuatan hubungan yang

siswa. Perbedaan signifikansi antara IPA dan IPS boleh jadi karena perbedaan ukuran sampel. Tabel 9 menunjukkan bahwa total banyaknya sekolah dari guru SMA/MA IPA yang menjadi subjek penelitian adalah sebanyak 169 sekolah, sementara tabel 10 menunjukkan bahwa total banyaknya sekolah dari guru SMA/MA IPS yang menjadi subjek penelitian adalah sebanyak 295 sekolah. Perbedaan ukuran sampel sebesar 126. Pengujian terhadap keberartian koefisien korelasi (uji signifikan) dengan uji-t (Walpole, 1992: 378) dengan rumus

Dimana r adalah koefisien korelasi dan n adalah ukuran sampel. Dengan rumus tersebut maka jika ukuran sampel cukup besar, maka hasilnya akan signifikan. Oleh karena itu, perbedaan ukuran sampel yang cukup besar antara IPA dan IPS boleh jadi mengakibatkan perbedaan hasil uji signifikansi.

Hubungan lemah dan bahkan tidak ada hubungan antara penguasaan materi guru dengan prestasi belajar siswa tersebut berlainan dengan pendapat Sidi (Kusnandar, 2007: 50) yang menyatakan bahwa seorang guru yang profesional mampu menggali potensi peserta didik. Hal ini berarti semakin profesional seorang guru, maka potensi peserta didik akan semakin tergali ditunjukkan dengan prestasi belajar yang baik. Dalam hal ini penguasaan materi guru termasuk ke dalam persyaratan minimal guru profesional yakni penguasaan keilmuan sesuai bidang yang ditekuninya (kompetensi profesional) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Akan tetapi penguasaan materi guru tersebut merupakan sebagian kompetensi profesional guru, masih ada kompetensi-kompetensi lain seperti kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogi, dan kompetensi sosial, yang berpengaruh pada penggalian potensi dan prestasi belajar siswa namun hal-hal tersebut belum dapat diamati dalam penelitian ini.

Ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar siswa selain kompetensi guru. Suyanto dkk (2000: 97-98) menjelaskan bahwa banyak permasalahan yang ikut menentukan hasil prestasi belajar atau evaluasi belajar siswa, baik dari segi guru, siswa, metode, sarana, kurikulum, maupun lingkungan belajar dan masih banyak lagi. Suharsimi Arikunto (2010:

6) juga menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil evaluasi belajar atau prestasi belajar siswa yaitu input atau siswa yang kurang baik kualitasnya, guru dan personal yang kurang tepat, materi yang tidak atau kurang cocok, metode mengajar dan sistem evaluasi yang kurang memadai, kurangnya sarana penunjang, dan sistem administrasi yang kurang tepat. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa ada banyak faktor lain yang secara kompleks mempengaruhi prestasi belajar siswa, selain aspek penguasaan materi guru yang terdapat dalam kompetensi profesional guru.

D. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Guru matematika SMA/MA program IPA memiliki tingkat penguasaan materi paling rendah pada topik dimensi tiga (32,632%), turunan (39,495%), dan transformasi (39,600%), serta pada pokok bahasan geometri (32,362%), trigonometri (51,340%), dan kalkulus (54,790%). Sementara itu pada program IPS, tingkat penguasaan materi guru paling rendah terdapat pada topik program linear (56,852%), logaritma (58,000%), dan statistik (63,592%), serta pada pokok bahasan aljabar (66,402%) dan kalkulus (65,892%).

Pada soal untuk guru matematika SMA/MA program IPA, soal dengan level kognitif C2 memiliki persentase jawab benar sebesar 68,722 dan soal level C3 sebesar 50,258. Pada guru matematika SMA/MA program IPS, soal dengan level kognitif C2 memiliki persentase jawab benar sebesar 65,697 dan soal level C3 sebesar 60,490. Hal ini berarti penguasaan materi soal Pada soal untuk guru matematika SMA/MA program IPA, soal dengan level kognitif C2 memiliki persentase jawab benar sebesar 68,722 dan soal level C3 sebesar 50,258. Pada guru matematika SMA/MA program IPS, soal dengan level kognitif C2 memiliki persentase jawab benar sebesar 65,697 dan soal level C3 sebesar 60,490. Hal ini berarti penguasaan materi soal

Saran

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa topik dan pokok bahasan memiliki tingkat penguasaan yang rendah. Oleh karena itu perlu diadakannya workshop oleh Dinas Pendidikan, LPTK, atau Lembaga Sertifikasi Guru kepada guru-guru SMA/MA mengenai materi yang memiliki tingkat penguasaan rendah dari hasil penelitian ini. Selain itu perlu juga dilakukan penelitian serupa yang dapat menganalisis kompetensi guru secara lebih kompleks dari penguasaan materi, karena boleh jadi ada faktor-faktor lain yang memiliki kontribusi yang lebih besar pada prestasi belajar siswa, karena ada faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa baik itu faktor internal maupun eksternal.

E. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. 2001. A Taxonomy for learning, teaching, and assesing.

a revision of Bloom's taxonomy of education objectives. New York: Addison. Asrori

Guru. Diakses dari: http://www.majalahpendidikan.com/2011/04/kompetensi-profesional-guru.html.

pada tanggal 20 Juni 2012, pukul 12.30 WIB.

Depdiknas. 2007. Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru . Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Kelulusan

Persen . Diakses dari: http://dikmen.kemdikbud.go.id/html/index.php?id=artikel&kode=42. Pada tanggal 11 Juli 2012, pukul 14.36 WIB.

ITEMAN. 2006. User’s Manual for the ITEMAN Conventional Item Analysis Program Second Edition . Minnesota: Assessment Systems Corporation.

Jonathan Sarwono. 2009. Statistik itu Mudah: Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16 . Yogyakarta: Penerbit Andi.

Kusnandar. 2007. Guru Profesional; Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru . Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Moh. Uzer Usman. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Payne, David Allen. 2003. Applied Educational Assessment. California: Wadrswoth Group. Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional (UN) SMP, MTs, SMP-LB, SMA, MA, SMA-LB, dan

SMK Tahun Pelajaran 2010/2011. 2011: BSNP. Reynold, Cecil R., Ronald B. Livingstone & Victor Wilson. 2010. Measurement and Assessment

in Education . Upper Saddle River: Pearson Educaion Inc. Suharsimi Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara. ------------------------. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Suyanto & Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki

Millenium III . Yogyakarta : Adicita Karya Nusa. Syofian Siregar. 2013. Statistik Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara. Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA. Walpole, Ronald E. 1992. Pengantar Statistika. (Alih Bahasa: Ir. Bambang Sumantri). Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

P – 88

PERMAINAN ANAK UNTUK MATEMATIKA

Zuli Nuraeni, S.Pd

PPs UNY Prodi Pendidikan Matematika zulinuraeni.wsb@gmail.com

Abstrak

Masalah umum dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya minat terhadap matematika karena siswa merasa belajar matematika adalah belajar menghafal rumus yang lalu mereka formulasikan untuk menyelesaikan soal-soal. Untuk siswa SD pembelajaran seperti ini akan sangat membosankan dan sama sekali tidak bermakna karena jauh dari karakteristik mereka yang masih suka bermain. Makalah ini akan membahas tentang pembelajaran kontekstual yang bisa kita terapkan dalam pembelajaran matematika, kaitannya dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) sehingga pelajaran matematika itu bukan lagi momok untuk siswa SD tetapi menjadi matematika yang menyenangkan (fun mathematic) karena anak-anak bisa belajar matematika dalam permainannya. Banyak penelitian yang menemukan bahwa strategi permainan ternyata efektif untuk memotivasi anak belajar matematika dan sekaligus membuat pembelajaran itu semakin bermakna. Fokus dari makalah ini adalah contoh-contoh permainan yang dapat mendukung proses pembelajaran matematika dan peran guru dalam memfasilitasi pembelajaran matematika yang bermakna yang secara tidak langsung sudah terintegrasi dalam permainan.

Kata kunci: pembelajaran kontekstual, Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) pembelajaran berbasis permainan

A. PENDAHULUAN

Masalah umum dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya minat terhadap matematika yang berpengaruh pada rendahnya hasil belajar matematika siswa. Hasil belajar bukan hanya aspek kemampuan mengerti matematika sebagai pengetahuan, tetapi juga aspek terhadap matematika. Hal yang melatar belakangi masalah ini adalah asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pelajaran matematika merupakan salah satu pelajaran yang sulit dimengerti dan dipahami. Kebanyakan dari siswa itu merasa belajar matematika adalah belajar menghafal rumus karena di sekolah yang ia dapatkan hanyalah macam-macam rumus yang telah ditemukan ilmuwan terdahulu, sehingga siswa hanya perlu menghafalnya untuk kemudian diformulasikan guna menyelesaikan soal-soal.

Hal lain yang menyebabkan matematika menjadi momok bagi siswa antara lain: (1) pengajaran matematika yang menekankan pada penghafalan rumus, (2) pengajaran matematika yang menekankan pada kecepatan menyelesaikan soal, (3) pengajaran matematika yang menekankan agar selalu mengerjakan soal sendiri, (4) pengajaran yang otoriter dan (5) kurangnya variasi dalam proses belajar mengajar.

Kejenuhan yang dirasakan siswa ini mengakibatkan kurangnya minat belajar mereka terhadap matematika. Banyak pembelajaran matematika hanya menekankan pada algoritma atau prosedur dalam menyelesaikan permasalahan pada level formal matematika. Tetapi pada kenyataannya siswa memiliki masalah untuk memahami konsep matematika pada level formal. Oleh karena itu sebaiknya pembelajaran matematika tidak diawali pada level formal tetapi dari dasar / konsepnya.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Metode pembelajaran yang paling tepat untuk menanamkan konsep pada siswa adalah dengan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah metode pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks materi tersebut, serta hubungan bagaimana seseorang belajar atau cara siswa belajar. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran perlu adanya upaya membuat belajar lebih mudah, sederhana, bermakna dan menyenangkan agar siswa mudah menerima ide, gagasan, mudah memahami permasalahan dan pengetahuan serta dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan barunya secara aktif, kreatif dan produktif. Melalui pendekatan kontekstual ini siswa diharapkan belajar dengan cara mengalami sendiri bukan menghapal.

Freudenthal, 1991 yang dikutip oleh Ariyadi Wijaya, 2009 berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, bukan sebagai ilmu pengetahuan yang harus dipindahkan dari guru ke siswa. Pandangan Freudenthal tersebut menjadi dasar bagi pengembangan Realistic Mathematics Education (RME). Prinsip utama RME adalah bahwa matematika harus bermakna bagi siswa. Matematika yang bermakna dapat dicapai dengan memberikan permasalahan kontekstual sebagai titik awal pembelajaran matematika. Kata “realistik” tidak berarti bahwa permasalahan-permasalahan yang dipakai harus bisa ditemui pada kehidupan sehari-hari. Kata “realistik” berarti bahwa permasalahan yang dipakai harus bermakna dan dapat dibayangkan oleh siswa. Selama proses pembelajaran, siswa harus didorong untuk menemukan dan mengembangkan strategi dan gagasan. Strategi dan gagasan siswa yang beragam harus diarahkan pada pembentukan dan pemahaman konsep matematika sebagai tujuan akhir dari pembelajaran.

Mengajarkan konsep matematika harus dimulai dari awal anak-anak mengenal matematika agar anak-anak mendapat kesan pertama yang menyenangkan pada matematika, sehingga di kemudian hari anak-anak tidak menganggap matematika itu musuh baginya. Dan dunia anak-anak adalah dunia bermain. Permainan merupakan situasi permasalahan kontekstual bagi anak-anak sehingga permainan bisa digunakan sebagai titik awal proses pembelajaran. Di Indonesia ada berbagai macam permainan anak yang memuat konsep-konsep matematika sehingga permainan-permainan tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika.

Jadi bagaimana cara menciptakan situasi bermain untuk mengajarkan konsep matematika pada anak-anak dan permainan apa saja yang dapat mendukung penanaman konsep matematika pada anak-anak?

Makalah ini bertujuan untuk membuka wawasan kita sebagai orang tua sekaligus guru tentang cara menanamkan konsep dasar matematika pada anak-anak yang lebih mudah menyerap pelajaran melalui aktifitas bermain dibandingkan dengan menanamkan konsep tersebut dengan cara konvensional melalui presentasi biasa atau perumpamaan. Sekaligus untuk memperkenalkan permainan tradisional yang mendidik, murah, ramah lingkungan, dan dapat mengasah ketrampilan matematika anak-anak yang kini sudah terkalahkan oleh permainan modern dan serba canggih.

B. PEMBAHASAN

1. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual Pendekatan kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang memotivasi siswa untuk menghubungkan antara pengetahuan yang diperolehnya dari proses belajar dengan kehidupan mereka sehari – hari, yang bermanfaat bagi mereka untuk memecahkan suatu masalah di lingkungan sekitarnya. Sehingga pembelajaran yang diperoleh siswa lebih bermakna.

Masnur Muslich (2007:42) menyatakan, pembelajaran kontekstual memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian ketrampilan dalam konteks kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).

2. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning).

3. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna bagi siswa (learning by doing ).

4. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antar teman (learning in group).

5. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerja bersama, dan saling memahami antara yang satu dengan yang lain secara mendalam (learning to know each other deeply ).

6. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerjasama (learning to ask, to inquiry, to work together).

7. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning as an enjoy activity).

2. Karakteristik PMRI Menurut Zainurie, 2007 (dalam Evi Soviawati, 2011) matematika realistik adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran matematika realistik di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik Realistic Mathematics Education (RME), sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.

Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal (dalam Zainurie, 2007 dalam Evi Soviawati, 2011) yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami siswa untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati atau dipahami siswa lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat siswa berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami siswa. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari.

Karena PMRI merupakan adaptasi dari RME maka prinsip PMRI sama dengan prinsip RME tetapi dalam beberapa hal berbeda dengan RME karena konteks, budaya, sistem sosial dan alamnya berbeda. Van Den Heuvel-Panhuizen (1996) yang dikutip Yansen Marpaung dalam www.p4mriusd.blogspot.com merumuskan prinsip RME yaitu:

a. Prinsip aktivitas, yaitu bahwa matematika adalah aktivitas manusia. Si pembelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika. Si pembelajar bukan insan yang pasif menerima apa yang disampaikan oleh guru, tetapi aktif baik secara fisik, teristimewa secara mental mengolah dan menganalisis informasi, mengkonstruksi pengetahuan matematika.

b. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik bagi siswa, yaitu dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah yang realistik lebih b. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik bagi siswa, yaitu dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah yang realistik lebih

c. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman,yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi memperoleh insight tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal. Model bertindak sebagai jembatan antara yang informal dan yang formal. Model yang semula merupakan model suatu situasi berubah melalui abtraksi dan generalisasi menjadi model untuk semua masalah lain yang ekuivalen.

d. Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secaa lebih baik. Konsep matematika adalah relasi-relasi. Secara psikologis, hal-hal yang berkaitan akan lebih mudah dipahami dan dipanggil kembali dari ingatan jangka panjang daripada hal-hal yang terpisah tanpa kaitan satu sama lain.

e. Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagi aktifitas sosial. Kepada siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan oranglain dan strateginya menemukan hal itu serta menanggapinya. Melalui diskusi, pemahaman siswa tentang suatu masalah atau konsep menjadi lebih mendalam dan siswa terdorong untuk melakukan refleksi yang memungkinkan dia menemukan insight untuk memperbaiki strateginya atau menemukan solusi suatu masalah.

f. Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberikan kesempatan untuk “menemukan kembali (re-invent) ” pengetahuan matematika‘terbimbing’. Guru menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan matematika mereka. Menurut Treffers (dalam Zainurie, 2007) yang dikutip oleh Evi Soviawati, 2011 menyatakan

karakteristik RME antara lain:

a. Menggunakan konteks dunia nyata, yang menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari

b. Menggunakan model-model (matematisasi), artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.

c. Menggunakan produksi dan konstruksi, dengan pembuatan produksi bebas siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.

d. Menggunakan interaksi, secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.

e. Menggunakan keterkaitan (intertwinment), dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.

3. Pembelajaran Berbasis Permainan Pembelajaran yang bermakna bagi siswa adalah pembelajaran yang dialami langsung oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung ini akan mengendap cukup lama pada memori siswa dan akan terkenang sepanjang masa. Apalagi jika pengalaman itu dekat dengan dunia mereka, yaitu dunia bermain pasti akan lebih menyenangkan dan penuh makna bagi siswa.

Pembelajaran berbasis permainan dapat menjadi situasi atau permasalahan kontekstual karena permainan lebih banyak menggunakan tindakan dari pada penjelasan materi melalui kata-kata. Karakteristik tersebut dapat merangsang motivasi siwa untuk belajar. Oleh karena itu, Pembelajaran berbasis permainan dapat menjadi situasi atau permasalahan kontekstual karena permainan lebih banyak menggunakan tindakan dari pada penjelasan materi melalui kata-kata. Karakteristik tersebut dapat merangsang motivasi siwa untuk belajar. Oleh karena itu,

Kerjasama yang terbentuk dalam permainan dapat melatih kolaborasi dan interaksi siswa. Ariyadi Wijaya (2008) mengatakan bahwa permainan dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan pembelajaran dan pemahaman terhadap suatu topik pembelajaran. Salah satu contoh dari manfaat tersebut adalah bagaimana permainan anak Indonesia (yaitu patilan dan kelereng) dapat mendukung proses pembelajaran pengukuran panjang. Walaupun permainan memiliki banyak manfaat untuk proses pembelajaran, penggunaan permainan dalam proses pembelajaran tidak dapat dilaksanakan secara mandiri. Penggunaan permainan dalam pembelajaran harus diikuti oleh suatu kegiatan diskusi untuk membahas dan mengembangkan nilai-nilai dari permainan menjadi konsep matematika. Hal tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis pengalaman yang dikembangkan oleh Kolb (Ariyadi Wijaya, 2008). Kolb merumuskan empat tahapan dalam pembelajaran berbasis pengalaman, yaitu: (1) pengalaman nyata, (2) observasi reflektif, (3) konseptualisasi abstrak, dan (4) eksperimentasi aktif.

Dalam menciptakan suatu lingkungan belajar yang berbasis permainan, dimana kita akan menerapkan PMRI dalam pembelajarannya, maka guru harus menentukan strategi untuk memperoleh permainan yang adil karena permainan akan mendukung terbentuknya situasi alami untuk interaksi sosial seperti kesepakatan siswa dalam menentukan strategi untuk memperoleh permainan yang adil.

Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk pembelajaran berbasis permainan antara lain:  Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Kelompok siswa yang dibentuk merupakan pencampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, jenis kelamin, dan kemampuan belajar mereka

 Guru menjelaskan petunjuk serta prosedur pelaksanaan permainan tersebut.  Berikan waktu siswa untuk melakukan permainan itu dalam kelompoknya sambil mereka

belajar sendiri menemukan konsep-konsep matematika yang termuat dalam satu permainan yang mereka mainkan.

 Guru berperan penting dalam mengarahkan interaksi sosial siswa untuk mencapai tujuan dari pembelajaran.  Guru membimbing siswa agar bisa mengemukakan ide atau gagasan mereka tentang konsep yang telah mereka dapatkan dari permainan tadi  Masing-masing kelompok dapat menyampaikan idenya kepada siswa yang lain dan siswa lain bisa menanggapinya atau manyanggah pendapat temannya.  Setelah itu guru menyimpulkan dan menerangkan tentang konsep-konsep yang telah mereka dapatkan dari permainan-permainan itu.

4. Contoh Permainan untuk Pembelajaran Matematika Permainan-permaianan berikut merupakan contoh permainan anak yang dapat digunakan untuk pembelajaran matematika berbasis permainan:

a. Patilan Patilan adalah suatu permainan anak yang dimainkan secara berkelompok. Ada 3 sesi dalam permainan ini, yang pertama tongkat pendek dilemparkan dari belakang garis oleh kelompok main, kemudian jarak jatuh tongkat diukur. Yang kedua tongkat pendek dilempar oleh kelompok jaga dan dipukul dengan tongkat panjang oleh kelompok main, kemudian jarak jatuh tongkat diukur lagi. Dan yang ketiga tongkat pendek dipukul dengan tongkat panjang oleh kelompok main dengan cara dipatil, kemudian jarak jatuh tongkat diukur dengan tongkat pendek. Pemenangnya adalah kelompok yang memperoleh akumulasi point paling banyak.

Proses pengukuran jarak tongkat memuat konsep pengukuran, dalam satuan yang tidak baku. Secara alamiah, pemain akan menggunakan anggota tubuh dan benda yang ada disekitarnya misalnya jengkal, langkah, atau bahkan panjang tongkat untuk mengukur jarak. Perbedaan jengkal yang digunakan sebagai satuan akan memberikan hasil pengukuran yang Proses pengukuran jarak tongkat memuat konsep pengukuran, dalam satuan yang tidak baku. Secara alamiah, pemain akan menggunakan anggota tubuh dan benda yang ada disekitarnya misalnya jengkal, langkah, atau bahkan panjang tongkat untuk mengukur jarak. Perbedaan jengkal yang digunakan sebagai satuan akan memberikan hasil pengukuran yang

b. Ganepo Ganepo adalah suatu permainan anak yang dimainkan secara individu. Permainannya hampir sama dengan petak umpet. Hanya saja untuk menentukan penjaga pemain bersama-sama melempar bola dari belakang garis. Pemain yang melemparkan bola paling dekat dialah yang jaga. Sedangkan yang lain bisa sembunyi. Konsep matematika yang termuat dalam permainan ganepo ini adalah membandingkan jarak secara langsung ketika perbedaan jarak antar bola cukup jelas atau dengan pengukuran ketika perbedaan jarak bola tidak begitu jelas.

c. Kelereng Konsep matematika yang termuat dalam permainan kelereng adalah ketika pemain menentukan urutan permainan. Pemain yang dapat melemparkan kelereng dengan jarak paling dekat ke suatu lubang akan bermain paling awal. Pemain dapat menggunakan dua macam strategi untuk menentukan kelereng terdekat, yaitu dengan perbandingan ( ketika perbedaan jarak antar kelereng cukup jelas) atau dengan pengukuran ( ketika perbedaan jarak tidak begitu jelas).

d. Dakon atau congklak Permainan congklak merupakan permainan yang dimainkan oleh dua orang. Alat yang digunakan terbuat dari kayu atau plastik. Pada kedua ujungnya terdapat lubang yang disebut induk. Diantara keduanya terdapat lubang yang lebih kecil dari induknya berdiameter kira-kira

5 cm. Ada tiga versi permainan dakon, yaitu dakon 1 lubang, 12 lubang dn 16 lubang. - Untuk dakon 10 lubang maka akan digunakan 32 biji yang akan dibagikan secara adil pada semua lubang kecil (yaitu 4 biji untuk setiap lubang kecil). - Untuk dakon 12 lubang maka akan digunakan 50 biji yang akan dibagikan secara adil pada semua lubang kecil (yaitu 5 biji untuk setiap lubang kecil). - Untuk dakon 16 lubang maka akan digunakan 98 biji yang akan dibagikan secara adil pada semua lubang kecil (yaitu 7 biji untuk setiap lubang kecil). Cara bermainnya adalah dengan mengambil biji-bijian yang ada di lubang bagian sisi milik kita kemudian mengisi biji-bijian tersebut satu persatu ke lubang yang dilalui termasuk lubang induk milik kita (lubang induk sebelah kiri) kecuali lubang induk milik lawan, jika biji terakhir jatuh di lubang yang terdapat biji-bijian lain maka bijian tersebut diambil lagi untuk diteruskan mengisi lubang-lubang selanjutnya. Begitu seterusnya sampai biji terakhir jatuh kelubang yang kosong. Jika biji terakhir tadi jatuh pada lubang yang kosong maka giliran pemain lawan yang melakukan permainan. Permainan ini berakhir jika biji-bijian yang terdapat di lubang yang kecil telah habis dikumpulkan. Pemenangnya adalah yang paling banyak mengumpulkan biji-bijian ke lubang induk miliknya. Permainan ini merupakan sarana untuk mengatur strategi dan kecermatan. Prinsip “membagi biji secara adil untuk setiap lubang kecil” dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran konsep pembagian, yaitu dengan sedikit mengubah peraturan tentang banyaknya biji yang dipakai. Konsep berhitung dan penjumlahan juga termuat dalam permainan dakon, yaitu ketika menentukan pemenang permainan.

e. Kubuk Kubuk adalah permainan yang dimainkan beberapa pemain dengan menggunakan biji-bijian atau kerikil. Pemain yang mendapat giliran main akan menebak jumlah biji yang diperlihatkan oleh pemain jaga dengan mengestimasi jumlah yang lainnya. Misal dalam permainan menggunakan 20 biji yang disimpan dalam tangan kanan dan tangan kiri. Pemain jaga akan meperlihatkan biji di tangan kiri selama 3 detik, dan pemain yang lain akan menebak jumlah biji yang ada di tangan kanan. Konsep matematika yang termuat pada permainan ini adalah estimasi dan konsep pengurangan.

f. Ular tangga Dalam permainan ular tangga, pemain harus melempar dadu dan kemudian menjalankan bidak sebanyak bilangan yang ditunjukkan oleh dadu. Ketika bidak jatuh pada tangga, maka f. Ular tangga Dalam permainan ular tangga, pemain harus melempar dadu dan kemudian menjalankan bidak sebanyak bilangan yang ditunjukkan oleh dadu. Ketika bidak jatuh pada tangga, maka

g. Jap-japan Permainan ini bisa dilakukan oleh beberapa pemain dengan menggunakan satu set kartu yang bertuliskan angka misalnya 1 – 40. Masing-masing pemain dibagikan 2 kartu dan diminta untuk menjumlahkan digit angka terakhirnya. Yang diambil adalah satuannya saja, jika penjumlahannya melebihi 9 akan diambil satuannya, 10 dihitung 0, 11 dihitung 1 dan seterusnya. Pemain yang menang adalah yang mendapat perolehan jumlah 9. Akan tetapi pemain bisa melakukan strategi dengan menukarkan kartunya kepada lawan sehingga ia bisa mendapat penjumlahan yang terbanyak. Konsep matematika yang termuat dalam permainan ini adalah penjumlahan sederhana dan konsep bilangan tempat.

h. Gol-golan Permainan ini bisa dipakai untuk pengenalan angka bilangan dan mengajarkan konsep bilangan loncat pada anak-anak. Permainannya dilakukan secara berkelompok, tiap kelompok mempunyai gawang yang harus dijaga. Di antara dua gawang itu dibuat kotak-kotak yang berisi bilangan-bilangan. Misalnya 1-10 atau urutan bilangan kelipatan. Cara permainannya adalah setiap perwakilan kelompok melompat satu demi satu kotak sambil menyebutkan bilangan yang diinjaknya secara berlawanan arah. Satu kelompok akan menyebutkan bilangan itu secara maju, dan kelompok yang lain akan membilang secara mundur. Ketika dua pemain bertemu di satu buah kotak yang sama, maka mereka akan mengadu tangan (batu, gunting, kertas). Dan pemain yang kalah harus mundur dan diganti dengan pemain yang lain, sedangkan pemain yang menang akan tetap melanjutkan langkahnya. Kelompok yang bisa mencapai gawang lawan dan kelompoknyalah yang menang. Posisi gawang bisa bergantian agar semua bisa merasakan membilang maju dan mundur. Konsep Matematika pada permainan gol-golan ini adalah konsep membilang maju dan mundur bisa juga dipakai untuk konsep bilangan loncat/kelipatan.

i. Monopoli Monopoli ada 2 jenis yaitu monopoli Indonesia dan monopoli dunia. Permainan monopoli menggunakan papan kotak yang di sekelilingnya ada kotak-kotak yang bertuliskan kota-kota di Indonesia / di dunia. Pemain dapat mendirikan rumah atau hotel dengan di sebuah kota, sehingga jika ada pemain yang berhenti di kotak yang sudah didirikan rumah/hotel ia akan membayar sewa. Selain itu juga ada kotak yang bertuliskan kesempatan dan dana wajib Pemain berkesempatan mendapatkan hadiah dan juga wajib membayar denda, atau bunga bank. Konsep matematika dalam permainan ini adalah konsep uang, penjumlahan dan pengurangan.

5. Peran Guru dalam Pembelajaran Berbasis Permainan Permainan mendukung terbentuknya situasi alami untuk interaksi sosial seperti kesepakatan siswa dalam menentukan strategi untuk memperoleh permainan yang adil (Ariyadi Wijaya, 2008:10). Permainan perlu didukung oleh diskusi kelas untuk mengembangkan pengalaman nyata siswa menjadi konsep-konsep matematika. Oleh karena itu, guru memiliki peranan yang sangat penting dalam mengarahkan interaksi sosial siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Peran guru dalam mengarahkan diskusi kelas dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Memberi kesempatan siswa untuk mengemukakan gagasan

2. Merangsang terbentuknya interaksi sosial

3. Mengaitkan antar kegiatan

4. Membangun konsep matematika yang termuat dalam permainan

5. Menanyakan klarifikasi siswa

C. SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang bisa kita peroleh dari makalah ini adalah bahwa pembelajaran tidak hanya terjadi dalam ruang kelas dan dalam situasi belajar antara siswa dan guru. Dimana guru menyampaikan informasi dan siswa memperhatikannya. Tetapi pembelajaran bisa dilakukan di luar ruang bahkan dalam ruang bermainnya juga bisa dilakukan sebuah pembelajaran.

Permainan anak untuk pendidikan matematika realistik antara lain patilan, ganepo, kelereng, kubuk, ular tangga, dakon, jap-japan, gol-golan dan monopoli. Pembelajaran berbasis permainan seperti ini akan menarik minat siswa untuk belajar matematika dan memberikan pemahaman kuat dalam penanaman konsep matematika pada tahap awal / pemula. Setelah memahami salah satu cara menerapkan Pendidikan Matematika Realistik menggunakan pembelajaran berbasis permainan ini, Guru Kelas 1 atau kelas 2 SD bisa mempraktekkannya dalam penanaman konsep matematika kepada anak-anak, sehingga anak-anak menemukan konsepnya sendiri untuk diaplikasikan dalam pendidikan matematika formal.

D. DAFTAR PUSTAKA

_____________.2008. Diktat mata kuliah Pendidikan Matematika Realistik. Yogyakarta: UST Chatib, Munif. 2011. Gurunya Manusia. Bandung: Penerbit Kaifa http://www.slideshare.net/yeniaprodita/permainan-tradisional-dalam-matematika-yeni-aprodit

a-pmt-4-d diakses tanggal 27 Oktober 2013 Marpaung, Yansen. 2009. Implementasi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dalam

Pendidikan Dasar . Yogyakarta: makalah seminar PMRI di Universitas Sanata Dharma tanggal 28 April 2009

Marpaung, Yansen. 2011. Karakteristik PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) tersedia dalam http://p4mriusd.blogspot.com/2011/12/pendidikan-matematika-realistik. html diakses tanggal 26 Oktober 2013

Muslich, Masnur. 2007. KTSP : Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara

Ramdhani, Neila. 2012. Menjadi Guru Inspiratif. Jakata: Titian Fondation Soviawati, Evi. 2011. Pendekatan Matematika Realistik (PMR) untuk Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Siswa di Tingkat Sekolah Dasar tersedia dalam http://jurnal.upi.edu/file/9-Evi_Soviawati-edit.pdf diakses tanggal 26 Oktober 2013

Suherman, Erman,dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI. Wijaya, Ariyadi. 2008. Manfaat Permainan Tradisional untuk PMRI. Yogyakarta: makalah

seminar PMRI di Universitas Sanata Dharma tanggal 28 April 2009

P – 89

APLIKASI METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL JIGSAW UNTUK MATERI SISTEM BILANGAN PADA SISWA KELAS XI RPL 3 SMK NEGERI 6 MALANG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

1 Zuraidah 2 , Salmah Unaizatin

1 STAIN Kediri, 2 SMKN 6 Malang

1 ida_mlg07@yahoo.co.id

Abstrak

Agar dapat mengajar secara efektif, guru perlu meningkatkan kesempatan belajar bagi siswa (kuantitas) dan meningkatkan mutu (kualitas) mengajarnya. Kesempatan belajar siswa dapat ditingkatkan dengan cara melibatkan siswa secara aktif dalam belajar. Makin banyak siswa yang terlibat aktif dalam proses pembelajaran, makin tinggi kemungkinan prestasi belajar yang dicapainya. Sedangkan dalam meningkatkan kualitas dalam mengajar, hendaknya guru mampu merencanakan dan melakukan proses pembelajaran yang baik.

Tujuan penelitian tindakan ini adalah: (a) Ingin mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkannya metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw. (b) Ingin mengetahui pengaruh motivasi belajar siswa setelah diterapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan (action research) sebanyak tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu: rancangan, kegiatan dan pengamatan, refleksi, dan revisi. Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas XI RPL 3 SMK Negeri 6 Malang tahun pelajaran 2012/2013. Data yang diperoleh berupa hasil tes formatif, lembar observasi kegiatan belajar mengajar. Analisis data menggunakan mixed methods.

Dari hasil analisis didapatkan bahwa prestasi belajar siswa mengalami peningkatan dari siklus I sampai siklus III yaitu, siklus I (72,5%), siklus II (77,5%), siklus III (92,5%). Peningkatan prestasi belajar siswa mencapai 20 %.

Kata Kunci: model jigsaw, mixed methods, prestasi belajar, pembelajaran kooperatif.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Peristiwa belajar-mengajar banyak berakar pada berbagai pandangan dan konsep. Oleh karena itu, perwujudan proses belajar-mengajar dapat terjadi dalam berbagai model. Bruce Joyce dan Marshal Weil mengemukakan 22 model mengajar yang dikelompokkan ke dalam 4 hal, yaitu (1) proses informasi, (2) perkembangan pribadi, (3) interaksi sosial, dan (4) modifikasi tingkah laku, (Joyce & Weil, Model of Teaching, 1980:26).

Langkah-langkah tersebut memerlukan partisipasi aktif dari siswa. Untuk itu perlu ada metode pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung dalam pembelajaran. Adapun metode yang dimaksud adalah metode pembelajaan kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah suatu pengajaran yang melibatkan siswa bekerja dalam kelompok-kelompok untuk menetapkan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Matematika merupakan salah satu materi wajib yang diajarkan pada siswa SMK. Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih cara berfikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif, dan konsisten. Pembelajaran matematika tidak lagi mengutamakan pada penyerapan melalui pencapaian informasi, tetapi lebih mengutamakan pada pengembangan kemampuan dan pemrosesan informasi. Untuk itu aktifitas peserta didik perlu ditingkatkan melalui latihan-latihan atau tugas matematika dengan bekerja kelompok kecil dan menjelaskan ide-ide kepada orang lain. (Hartoyo, 2000: 24). Salah satu materi dalam matematika SMK kelas XI adalah sistem bilangan. Sistem bilangan (number system) adalah suatu cara untuk mewakili besaran suatu item fisik. Sistem bilangan yang banyak dipergunakan oleh manusia adalah sistem bilangan desimal, yaitu sistem bilangan yang menggunakan 10 macam simbol untuk mewakili suatu besaran.Sistem ini banyak digunakan karena manusia mempunyai sepuluh jari untuk dapat membantu perhitungan. Selain sistem bilangan desimal, komputer juga menggunakan sistem bilangan biner, oktal dan hexadesimal.

Berdasarkan paparan tersebut diatas maka peneliti ingin mencoba melakukan penelitian dengan judul Aplikasi Metode Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw Untuk Materi Sistem Bilangan Pada Siswa Kelas XI RPL 3 SMK Negeri 6 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013.

2. Rumusan Masalah

Merujuk pada uraian latar belakang di atas dapat dikaji beberapa permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar matematika dengan diterapkannya pembelajaran konstektual model pengajaran Model Jigsaw pada siswa kelas XI jurusan RPL 3 tahun pelajaran 2012 – 2013.

2. Bagaimanakah pengaruh pembelajaran kontekstual model pengajaran Model Jigsaw terhadap motivasi belajar matematika pada siswa kelas XI jurusan RPL 3 tahun pelajaran 2012 – 2013

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas , maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini:

1. Mengetahui peningkatan prestasi belajar matematika setelah diterapkannya pembelajaran konstektual model pengajaran Model Jigsaw pada siswa kelas XI jurusan RPL 3 tahun pelajaran 2012 – 2013.

2. Mengetahui pengaruh pembelajaran kontekstual model pengajaran Model Jigsaw terhadap motivasi belajar matematika pada siswa kelas XI jurusan RPL 3 tahun pelajaran 2012 – 2013.

4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai:

1. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang peranan guru matematika dalam meningkatkan pemahaman siswa ketika belajar matematika.

2. Sumbangan pemikiran bagi guru matematika dalam mengajar dan meningkatkan pemahaman siswa belajar matematika.

3. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran yang dapat memberikan manfaat bagi siswa.

B. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Siklus I

a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 1, LKS 1, soal tes formatif 1 dan alat-alat pengajaran yang mendukung.

b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I dilaksanakan pada tanggal 12 November 2012 di kelas XI RPL 3 dengan jumlah siswa 40 siswa. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif I dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Berdasarkan data hasil penelitian pada siklus I terdapat beberapa aspek yang mendapatkan kriteria kurang baik yaitu aspek memotivasi siswa, menyampaikan tujuan pembelajran, pengelolaan waktu, dan siswa antusias. Keempat aspek yang mendapat nilai kurang baik tersebut, merupakan suatu kelemahan yang terjadi pada siklus I dan akan dijadikan bahan kajian untuk refleksi dan revisi yang akan dilakukan pada siklus II.

Hasil observasi berikutnya adalah aktifitas guru dan siswa. Berdasarkan hasil analisis tampak bahwa aktifitas guru yang paling dominan pada siklus I adalah membimbing dan mengamati siswa dalam menemukan konsep, yaitu sebesar 21,7 %. Aktifitas lain yang prosentasenya cukup besar adalah memberi umpan balik/evaluasi, tanya jawab dan menjelaskan materi yang sulit yaitu masing-masing sebesar 13,3 %. Sedangkan aktifitas siswa yang paling dominan adalah mengerjakan/memperhatikan penjelasan guru yaitu sebesar 22,5 %. Aktifitas lain yang prosentasenya cukup besar adalah bekerja dengan sesama anggota kelompok, diskusi antara siswa/antara siswa dengan guru, dan membaca buku yaitu masing-masing 18,7 %, 14,4 %, dan 11,5 %.

Pada siklus I, secara garis besar kegiatan belajar mengajar dengan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw sudah dilaksanakan dengan baik, walaupun peran guru masih cukup dominan dalam memberikan penjelasan dan arahan. Dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 69,25 dan ketuntasan belajar mencapai 72,50% artinya ada 29 siswa dari 40 siswa sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai ≥ 65 hanya sebesar 72,50% lebih kecil dari prosentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan belum mengerti apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw.

c. Refleksi Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan sebagai berikut:

1. Guru kurang baik dalam memotivasi siswa dan dalam menyampaikan tujuan pembelajaran

2. Guru kurang baik dalam pengelolaan waktu

3. Siswa kurang begitu antusias selama pembelajaran berlangsung.

d. Revisi

Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada siklus I ini masih terdapat kekurangan, sehingga perlu adanya revisi untuk dilakukan pada siklus berikutnya.

1. Guru perlu lebih terampil dalam memotivasi siswa dan lebih jelas dalam menyampaikan tujuan pembelajaran. Dimana siswa diajak untuk terlibat langsung dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan.

2. Guru perlu mendistribusikan waktu secara baik dengan menambahkan informasi-informasi yang dirasa perlu dan memberi catatan

3. Guru harus lebih terampil dan bersemangat dalam memotivasi siswa sehingga siswa bisa lebih antusias.

Siklus II

a. Tahap perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 2, LKS, 2, soal tes formatif II dan alat-alat pengajaran yang mendukung.

b. Tahap kegiatan dan pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus II dilaksanakan pada tanggal 28 November 2012 di kelas X RPL 3 dengan jumlah siswa 40 siswa. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif II dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes formatif II. Berdasarkan data hasil penelitian pada siklus II terdapat beberapa aspek yang mengalami peningkatan sehingga mendapat penilaian yang cukup baik dari pengamat. Maksudnya dari seluruh penilaian tidak terdapat nilai kurang. Namun demikian penilaian tersebut belum merupakan hasil yang optimal, untuk itu ada beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian untuk penyempurnaan penerapan pada pembelajaran selanjutnya. Aspek-aspek tersebut adalah memotivasi siswa, membimbing siswa merumuskan kesimpulan/ menemukan konsep, dan pengelolaan waktu.

Berdasarkan hasil observasi aktifitas guru dan siswa tampak bahwa aktifitas guru yang paling dominan pada siklus II adalah membimbing dan mengamati siswa dalam menentukan konsep yaitu sebesar 25%. Jika dibandingkan dengan siklus I, aktifitas ini mengalami peningkatan. Sedangkan aktifitas guru yang mengalami penurunan adalah memberi umpan balik/evaluasi/tanya jawab (16,6%), menjelaskan materi yang sulit (11,7%), meminta siswa mendiskusikan dan menyajikan hasil kegiatan (8,2%), dan membimbing siswa merangkum pelajaran (6,7%).

Aktifitas siswa yang paling dominan pada siklus II adalah bekerja dengan sesama anggota kelompok yaitu (21%). Jika dibandingkan dengan siklus I, aktifitas ini mengalami peningkatan. Adapun aktifitas siswa lainnya yang mengalami peningkatan adalah membaca buku (12,1%), menyajikan hasil pembelajaran (4,6%), menanggapi/mengajukan pertanyaan/ide (5,4%), dan mengerjakan tes evaluasi (10,8%).Sedangkan aktifitas siswa yang mengalami penurunan adalah mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru (17,9%), diskusi antar siswa/antara siswa dengan guru (13,8%), menulis yang relevan dengan KBM (7,7%), dan merangkum pembelajaran (6,7%).

Dari analisis data pada siklus II ini diketahui bahwa nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 72,25 dan ketuntasan belajar mencapai 77,50% atau ada 31 siswa dari 40 siswa sudah tuntas belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar siswa ini karena setelah guru menginformasikan bahwa setiap akhir pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan berikutnya siswa lebih termotivasi untuk Dari analisis data pada siklus II ini diketahui bahwa nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 72,25 dan ketuntasan belajar mencapai 77,50% atau ada 31 siswa dari 40 siswa sudah tuntas belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar siswa ini karena setelah guru menginformasikan bahwa setiap akhir pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan berikutnya siswa lebih termotivasi untuk

c. Refleksi Dalam pelaksanaan kegiatan belajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan sebagai berikut:

1. Memotivasi siswa

2. Membimbing siswa merumuskan kesimpulan/menemukan konsep

3. Pengelolaan waktu.

d. Revisi Pelaksanaan kegiatan belelajar pada siklus II ini masih terdapat kekurangan-kekurangan. Maka perlu adanya revisi untuk dilaksanakan pada siklus II antara lain:

1. Guru dalam memotivasi siswa hendaknya dapat membuat siswa lebih termotivasi selama proses belajar mengajar berlangsung.

2. Guru harus lebih dekat dengan siswa sehingga tidak ada perasaan takut dalam diri siswa baik untuk mengemukakan pendapat atau bertanya.

3. Guru harus lebih sabar dalam membimbing siswa merumuskan kesimpulan/menemukan konsep.

4. Guru harus mendistribusikan waktu secara baik sehingga kegiatan pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

5. Guru sebaiknya menambah lebih banyak contoh soal dan memberi soal-soal latihan pada siswa untuk dikerjakan pada setiap kegiatan belajar mengajar.

Siklus III

a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 3, LKS 3, soal tes formatif 3 dan alat-alat pengajaran yang mendukung.

b. Tahap kegiatan dan pengamatan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus III dilaksanakan pada hari senin tgl 5 Desember 2012, di kelas X RPL 3 dengan jumlah siswa 40 siswa. Adapun data hasil penelitian pada siklus III menunjukkan adanya peningkatan pada beberapa aspek yang diamati selama kegiatan belajar mengajar (siklus III) yang dilaksanakan oleh guru dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw, yaitu aspek memotivasi siswa, membimbing siswa merumuskan kesimpulan/menemukan konsep, dan pengelolaan waktu. Penyempurnaan aspek-aspek diatas dalam menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw diharapkan dapat berhasil semaksimal mungkin.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa aktifitas guru yang paling dominan pada siklus

III adalah membimbing dan mengamati siswa dalam menemukan konsep yaitu sebesar 22,6%, mengkaitkan dengan pelajaran sebelumnya (10%), menyampaikan materi/strategi /langkah-langkah (13,3%), meminta siswa menyajikan dan mendiskusikan hasil kegiatan (10%), dan membimbing siswa merangkum pelajaran (10%). Sedangkan aktifitas menjelaskan materi yang sulit dan memberi umpan balik/evaluasi/tanya jawab menurun masing-masing sebesar (10%), dan (11,7%). Adapun aktifitas ynag tidak mengalami perubahan adalah menyampaikan tujuan (6,7%) dan memotivasi siswa (6,7%).

Aktifitas siswa yang paling dominan pada siklus III adalah bekerja dengan sesama anggota kelompok yaitu (22,1%) dan mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru (20,8%), aktifitas yang mengalami peningkatan adalah membaca buku siswa (13,1%) dan diskusi antar Aktifitas siswa yang paling dominan pada siklus III adalah bekerja dengan sesama anggota kelompok yaitu (22,1%) dan mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru (20,8%), aktifitas yang mengalami peningkatan adalah membaca buku siswa (13,1%) dan diskusi antar

Berdasarkan hasil tes formatif pada siklus III ini diperoleh nilai rata-rata sebesar 81,25 dan dari 40 siswa yang ada sebanyak 37 siswa telah tuntas sehingga hanya 3 siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar. Secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 92,50% (termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus III ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus II. Adanya peningkatan hasil belajar pada siklus III ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw yang membuat siswa menjadi lebih terbiasa dengan pembelajaran seperti ini sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang telah diberikan.

c. Refleksi Pada tahap ini akah dikaji apa yang telah terlaksana dengan baik maupun yang masih kurang baik dalam proses belajar mengajar dengan penerapan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw. Dari data-data yang telah diperoleh dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Selama proses belajar mengajar guru telah melaksanakan semua pembelajaran dengan baik. Meskipun ada beberapa aspek yang belum sempurna, tetapi persentase pelaksanaannya untuk masing-masing aspek cukup besar.

2. Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa siswa aktif selama proses belajar berlangsung.

3. Kekurangan pada siklus-siklus sebelumnya sudah mengalami perbaikan dan peningkatan sehingga menjadi lebih baik.

4. Hasil belajar siswsa pada siklus III mencapai ketuntasan.

d. Revisi Pada siklus III guru telah menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw dengan baik dan dilihat dari aktifitas siswa serta hasil belajar siswa pelaksanaan proses belajar mengajar sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan refisi terlalu banyak, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakan selanjutnya adalah memaksimalkan dan mepertahankan apa yang telah ada dengan tujuan agar pada pelaksanaan proses belajar mengajar selanjutnya penerapan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw dapat meningkatkan proses belajar mengajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

2. Pembahasan

1. Ketuntasan Hasil belajar Siswa Melalui hasil peneilitian ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan guru (ketuntasan belajar meningkat dari sklus I, II, dan III) yaitu masing-masing 72,50%, 77,.50%, dan 92,50%. Pada siklus III ketuntasan belajar siswa secara klasikal telah tercapai.

2. Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran Berdasarkan analisis data, diperoleh aktifitas siswa dalam proses metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi belajar siswa yaitu dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rata-rata siswa pada setiap siklus yang terus mengalami peningkatan.

3. Aktifitas Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran Berdasarkan analisis data, diperoleh aktifitas siswa dalam proses pembelajaran matematika pada kompetensi dasar Pola Bilangan, Barisan dan Deret dengan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw yang paling dominan adalah mendengarkan/memperhatikan 3. Aktifitas Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran Berdasarkan analisis data, diperoleh aktifitas siswa dalam proses pembelajaran matematika pada kompetensi dasar Pola Bilangan, Barisan dan Deret dengan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw yang paling dominan adalah mendengarkan/memperhatikan

Sedangkan untuk aktifitas guru selama pembelajaran telah melaksanakan langkah-langkah metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw dengan baik. Hal ini terlihat dari aktifitas guru yang muncul di antaranya aktifitas membimbing dan mengamati siswa dalam mengerjakan kegiatan LKS/menemukan konsep, menjelaskan, memberi umpan balik/evaluasi/tanya jawab dimana prosentase untuk aktifitas di atas cukup besar.

C. SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan selama tiga siklus, dan berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pembelajaran dengan kooperatif model Jigsaw memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa yang ditandai dengan peningkatan ketuntasan belajar siswa mencapai 20%

2. Penerapan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw mempunyai pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan motivasi belajar siswa yang ditunjukan dengan wawancara dengan beberapa siswa, rata-rata jawaban siswa menyatakan bahwa mereka tertarik dan berminat dengan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw sehingga mereka menjadi termotivasi untuk belajar.

2. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses belajar mengajar matematika lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa, maka disampaikan saran sebagai berikut:

1. Untuk melaksanakan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw memerlukan persiapan yang cukup matang, sehingga guru harus mampu menentukan atau memilih topik yang benar-benar bisa diterapkan dengan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw dalam proses belajar mengajar sehingga diperoleh hasil yang optimal.

2. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa, guru hendaknya lebih sering melatih siswa dengan berbagai metode pembelajaran, walau dalam taraf yang sederhana, dimana siswa nantinya dapat menemukan pengetahuan baru, memperoleh konsep dan keterampilan.

D. DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Bandung: Reneksa

Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Joyce and Weil. 2009. Model of Teaching.USA. Pearson Education,Inc. Kemmis, S. dan Mc. Taggart, R. 1988. The Action Research Planner. Victoria Dearcin University

Press.

Melvin. L. Silberman. 2004. Active Learning. 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nuansa dan Nusamedia.

Ridwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wahyuni, Dwi. 2001. Studi Tentang Pembelajaran Kooperatif Terhadap Hasil Belajar Matematika. Malang : Program Sarjana Universitas Negeri Malang.

P – 90

EFEKTIVITAS BAHAN AJAR MATEMATIKA DISKRET BERBASIS REPRESENTASI MULTIPEL DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN KONEKSI MATEMATIS MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA

1 2 Djamilah Bondan Widjajanti 3 , Fitriana Yuli Saptaningtyas , Dwi Lestari

1,2,3 Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta

1 dj_bondan@yahoo.com

Abstrak

Dalam rangkaian melakukan penelitian pengembangan Bahan Ajar Matematika Diskret berbasis Representasi Multipel, suatu uji coba terbatas telah dilakukan untuk mengetahui efektivitas Bahan Ajar tersebut ditinjau dari kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru matematika. Subyek uji coba yang digunakan pada penelitian ini adalah 41 mahasiswa Pendidikan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang menempuh perkuliahan Matematika Diskret pada semester Februari-Juni 2013.

Instrumen untuk mengukur kemampuan komunikasi dan koneksi matematis berupa soal uraian, masing-masing terdiri empat soal yang dikembangkan oleh tim peneliti dan divalidasi oleh lima orang dosen Jurdik Matematika FMIPA UNY. Ada tiga indikator untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis dan 4 indikator untuk mengukur kemampuan koneksi matematis. Bahan ajar yang dikembangkan dapat dikatakan efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi dan koneksi matematis jika minimal ada 75% subyek uji coba yang memperoleh skor kemampuan komunikasi dan koneksi matematis dalam kategori tinggi atau sangat tinggi, yaitu memperoleh skor lebih dari 21 dari skor maksimal 36.

Hasil penelitian menunjukkan ada 78% mahasiswa (32 dari 41) yang memperoleh skor kemampuan komunikasi matematis lebih dari 21, dan ada 83% mahasiswa (34 dari 41) yang memperoleh skor kemampuan koneksi matematis lebih dari 21. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam uji coba terbatas ini bahan ajar yang dikembangkan oleh peneliti dapat dikategorikan efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi dan koneksi matematis.

Kata kunci: Diskret, representasi, komunikasi, koneksi

A. PENDAHULUAN

Dari waktu ke waktu, kemampuan komunikasi matematis menjadi bagian yang penting dalam Matematika dan Pendidikan Matematika (NCTM, 2000; Ontario Ministry of Education, 2005; Wichelt, 2009). Pentingnya kemampuan komunikasi matematis dalam Matematika dan Pendidikan Matematika, juga tercermin dari dimasukkannya aspek komunikasi ini di dalam kegiatan matematis pada Kurikulum Matematika di berbagai negara. Dari makalah-makalah yang dipresentasikan pada APEC TSUKUBA International Conference III Tahun 2007 dapat diketahui bahwa mempunyai kemampuan komunikasi matematis telah menjadi salah satu tujuan dari diberikannya matematika di sekolah, seperti di Singapura, Malaysia, dan Philippine (Har, 2007;

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Lim & Chew, 2007; Ulep, S.A., 2007). Di Jepang, komunikasi matematis tidak secara eksplisit ada di dalam dokumen kurikulum, namun menjadi bagian yang penting dari kegiatan pemecahan masalah (Isoda, 2007) dan sangat ditekankan di dalam ruang-ruang kelas ( Khaing, et.al., 2007). Di Indonesia, menurut Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standard Isi, salah satu tujuan diberikannya pelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa mampu mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

Bagi siswa, terlibat dalam komunikasi matematis, baik dengan guru maupun dengan teman-temannya, baik secara lisan maupun tertulis, baik pada saat pembelajaran berlangsung maupun di luar kelas, akan sangat banyak manfaatnya untuk meningkatkan pemahaman matematis mereka. Menurut National Council of Teacher of Mathematics “When students are challenged to think and reason about mathematics and to communicate the results of their thinking to others orally or in writing, they learn to be clear and convincing ” (NCTM, 2000). Walk, Congress, M., Bansho (2010) juga menyatakan bahwa “the use of mathematical language helps students gain insights into their own thinking and develop and express their mathematical ideas and strategies, precisely and coherently, to themselves and to others ”.

Selain kemampuan komunikasi matematis, kemampuan koneksi matematis juga menjadi aspek penting dalam Matematika. Mengapa penting? Sejak di Sekolah Dasar siswa sudah diperkenalkan pada banyak konsep matematika. Semakin hari, konsep-konsep matematika yang ada dalam pikiran siswa tentulah semakin banyak seiring pertambahan pengalaman belajar mereka. Agar berbagai konsep matematika tersebut dapat dikembangkan untuk membangun konsep, ide atau gagasan baru, maka siswa harus mampu mencari hubungan antar konsep, dan bahkan mencari hubungan suatu konsep matematika dengan konsep pada mata pelajaran lain dan pada kehidupan sehari-hari. Kemampuan seperti itulah yang dinamakan dengan kemampuan koneksi matematis (mathematical connection).

Kemampuan koneksi matematis siswa perlu dikembangkan terus menerus. Sebab, manakala para siswa dapat menghubungkan berbagai konsep/ide matematis, pemahaman mereka terhadap matematika akan lebih dan lebih mendalam (NCTM, 2000). Kemampuan koneksi matematis juga memungkinkan siswa melihat matematika sebagai suatu keseluruhan, bukan bagian-bagian yang saling terpisah (NCTM, 2000; Ontario Ministry of Education, 2005).

Demikian pentingnya kemampuan komunikasi dan koneksi matematis bagi siswa. Oleh karena itu, para guru matematika dan mahasiswa calon guru matematika juga harus mempunyai kemampuan komunikasi dan koneksi matematis yang memadai agar mampu mengembangkan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis siswa. Pentingnya kemampuan komunikasi dan koneksi matematis dimiliki oleh seorang guru/calon guru matematika juga didasarkan pada pemikiran bahwa sebagian terbesar konsep-konsep matematika diperoleh siswa dari para guru matematika mereka. Jika guru matematika salah mengomunikasikan konsep matematika kepada siswa tentu dapat berakibat pada gambaran siswa yang salah tentang matematika. Apalagi jika guru matematika tersebut tidak mampu mengoneksikan (menghubungkan) konsep matematika yang satu dengan yang lain, atau tidak mampu mengoneksikan pelajaran matematika dengan kehidupan sehari-hari anak dan pelajaran lain, tentulah semakin menambah keyakinan siswa bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit, penuh rumus, dan tidak terlalu kelihatan kegunaannya, kecuali untuk berhitung.

Namun, kenyataan di lapangan belum sepenuhnya sesuai harapan. Berdasarkan studi awal yang dilakukan peneliti terhadap kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa

Program Studi Matematika FMIPA UNY yang menempuh perkuliahan Matematika Diskret semester Februari-Juni 2012 dapat diketahui bahwa kemampuan mahasiswa dalam komunikasi dan koneksi matematis masih perlu untuk ditingkatkan. Lebih dari 60% mahasiswa (21 dari 34 mahasiswa) yang diteliti menunjukkan kemampuan koneksi dan komunikasi matematis dalam kategori rendah dan sedang.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru matematika adalah dengan pemberian perkuliahan menggunakan strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah. Strategi perkuliahan ini merupakan kombinasi model perkuliahan kolaboratif dan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Hasil penelitian Djamilah (2010) menunjukkan keunggulan strategi perkuliahan ini dibandingkan perkuliahan konvensional, khususnya dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika.

Namun, untuk mendukung pelaksanaan perkuliahan menggunakan strategi kolaboratif berbasis masalah diperlukan pemilihan mata kuliah yang tepat dan bahan ajar yang mendukung. Matematika Diskret menjadi mata kuliah yang dipilih dalam mengimplementasikan strategi ini karena beberapa pertimbangan, antara lain: (1) Mempunyai beberapa pokok bahasan yang menuntut pemahaman konsep, prinsip, dan prosedur-prosedur yang tidak sederhana dan banyak terapannya dalam berbagai bidang, sehingga dipandang sangat cocok untuk disampaikan menggunakan pendekatan berbasis masalah; (2) Menguasai materi Matematika Diskret penting bagi mahasiswa calon guru matematika, karena menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, salah satu kompetensi guru mata pelajaran Matematika pada SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK adalah mampu menggunakan konsep dan proses matematika diskrit; dan (3) Diberikan untuk mahasiswa semester 5 yang dapat diasumsikan sudah mempunyai cukup keberanian untuk menyampaikan pendapat dalam diskusi.

Pelaksanaan perkuliahan Matematika Diskret menggunakan strategi kolaboratif berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru matematika perlu didukung bahan ajar yang sesuai. Bahan ajar yang demikian dapat dikembangkan berbasis representasi multipel. Dengan representasi multipel, seperti representasi dalam bentuk verbal, gambar, numerik, simbol aljabar, tabel, diagram, atau grafik, memungkinkan mahasiswa untuk membangun suatu konsep dan berpikir matematis melalui masalah-masalah yang dikemukakan. Sampai saat ini, belum ada bahan ajar Matematika Diskret berbasis representasi multipel yang dikembangkan khusus untuk mahasiswa calon guru matematika sekolah menengah (mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika) dan yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa. Berdasarkan latar belakang masalah yang demikianlah, penelitian pengembangan ini dilakukan.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian pengembangan ini menggunakan model pengembangan ADDIE yaitu pengembangan produk melalui tahap Analysis-Design-Develop-Implement-Evaluate. Pada tahap Implement diperlukan uji coba terbatas untuk mengetahui efektivitas produk yang dikembangkan ditinjau dari kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru matematika. Subyek uji coba yang digunakan pada penelitian ini adalah 41 mahasiswa Pendidikan

Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang menempuh perkuliahan Matematika Diskret pada semester Februari-Juni 2013.

Instrumen untuk mengukur kemampuan komunikasi dan dan koneksi matematis berupa soal uraian, masing-masing terdiri empat soal yang dikembangkan oleh tim peneliti dan divalidasi oleh lima (5) orang dosen Jurdik Matematika FMIPA UNY. Indikator untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis adalah mahasiswa mampu: (1) menuliskan dengan benar apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan menggunakan notasi yang benar atau menggunakan kalimat yang jelas/sederhana; (2) menuliskan dengan benar alasan atau penjelasan untuk setiap jawaban atau langkah penyelesaian yang dipilihnya; dan (3) menggunakan istilah, notasi, tabel, diagram, bagan, gambar, atau ilustrasi dengan tepat. Sedangkan indikator untuk kemampuan koneksi matematis adalah mahasiswa mampu (1) menyatakan dengan benar hubungan antar fakta, konsep, atau prinsip matematika; (2) menyebutkan konsep, prinsip, atau teorema yang mendasari solusi dari permasalahan matematis yang diberikan; (3) menyelesaikan masalah menggunakan konsep, prinsip, atau teorema dengan benar; dan (4) menyusun model matematis dari masalah sehari-hari atau membuat contoh masalah sehari-hari dari model matematis yang diberikan.

Skor minimal dan maksimal untuk setiap indikator kemampuan komunikasi matematis, berturut-turut adalah o dan 3. Sedangkan skor minimal dan maksimal untuk setiap indikator kemampuan koneksi matematis, berturut-turut adalah o dan 6. Kriteria untuk menilai keefektivan bahan ajar yang dikembangkan ditetapkan oleh tim peneliti, yaitu bahan ajar yang berupa diktat perkuliahan dikatakan efektif jika minimal ada 75% subyek uji coba yang memperoleh skor kemampuan komunikasi dan koneksi matematis dalam kategori tinggi atau sangat tinggi. Menggunakan kriteria pengelompokan dari Saifuddin Azwar (2010), dengan M = (skor

maksimal + skor minimal)/2 = 18, dan S = (skor maksimal - skor minimal)/6 = 6 diperoleh kategorisasi kemampuan sebagaimana dalam Tabel 1 berikut

Tabel 1 Kategorisasi Kemampuan

Total Skor (X)

Kategori

X ≤ M – 1.5 S

X ≤9

Sangat rendah

M – 1.5 S < X ≤ M – 0.5 S

9< X ≤ 15

Rendah

M – 0.5 S < X ≤ M + 0.5 S

15 < X ≤ 21 Sedang

M + 0.5 S < X ≤ M + 1.5 S

21 < X ≤ 27 Tinggi

X > M + 1.5 S

X > 27

Sangat tinggi

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 2 berikut ini menyajikan distribusi frekuensi perolehan skor untuk kemampuan komunikasi dan koneksi matematis dari 41 mahasiswa.

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Skor Kemampuan Komunikasi dan Koneksi Matematis

Total Skor (X)

Kategori

Komunikasi

Koneksi

Frek

Frek (%)

X ≤9

0 0 0 0 9< X ≤ 15

Sangat rendah

Rendah

15 < X ≤ 21

Sedang

21 < X ≤ 27

Tinggi

X ≥ 27

Sangat tinggi

Jumlah

Dari data pada Tabel 2 dapat diketahui ada 78% mahasiswa (32 dari 41) yang memperoleh skor kemampuan komunikasi matematis lebih dari 21, dan ada 83% mahasiswa (34 dari 41) yang memperoleh skor kemampuan koneksi matematis lebih dari

21. Sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan maka dapat disimpulkan bahwa dalam uji coba terbatas yang dilakukan terhadap 41 mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FMIPA UNY ternyata bahan ajar yang dikembangkan oleh peneliti dapat dikategorikan efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa. Hasil ini sesuai dengan hipotesis peneliti bahwa bahan ajar yang berupa Diktat Perkuliahan Matematika Diskret yang berbasis representasi multipel efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru matematika. Hasil ini juga mendukung pernyataan NCTM (2000) bahwa representasi akan mendukung siswa dalam memahami konsep-konsep matematika dan hubungannya, mengomunikasikan pendekatan atau argumen matematis, menghubungkan beragam konsep, dan dalam menngunakan pendekatan matematis untuk menyelesaikan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Walaupun secara keseluruhan hasil uji coba terbatas ini menunjukkan bahan ajar efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi dan koneksi matematis, namun jika diperhatikan lebih rinci dari pekerjaan mahasiswa yang memperoleh skor kurang dari 22 (jadi termasuk dalam kategori rendah atau sedang) maka dapat diketahui bahwa kesalahan/kekurangan yang paling menonjol adalah kemampuan mahasiswa dalam memberi alasan. Hasil yang demikian ini memberi petunjuk bahwa perintah untuk memberi alasan/penjelasan pada setiap langkah penyelesaian soal/masalah perlu diperbanyak dan diberi penekanan.

Untuk aspek penggunaan istilah, notasi, tabel, diagram, bagan, gambar, atau ilustrasi dalam mengomunikasikan ide/gagasan, khususnya dalam rangka menyelesaikan soal/masalah yang diberikan, walaupun skor total mencapai 306 dari skor maksimal yang mungkin sebesar 369, namun beberapa kesalahan mahasiswa dalam hal ini cukup memerlukan perhatian. Sebagai contoh, untuk menjawab soal/masalah sebagai berikut.

Di suatu Negeri Dongeng, setiap pasang kelinci melahirkan dua pasang kelinci pada saat usia mereka satu bulan dan melahirkan enam pasang kelinci lagi setiap bulannya mulai usia mereka dua bulan. Dapatkah Anda menghitung banyak pasang kelinci di negeri dongeng tersebut pada bulan ke-n? Jika dapat, hitunglah. Jika tidak, jelaskan alasan Anda dan lengkapi dengan informasi yang diperlukan hingga Anda dapat menghitungnya, kemudian hitunglah.

Salah satu jawaban mahasiswa adalah sebagai tampak pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Contoh Jawaban Mahasiswa

Memperhatikan cara/metode yang digunakan mahasiswa untuk menyelesaikan soal/masalah sebagaimana tampak pada Gambar 1 tersebut, dapat diidentifikasi bahwa mahasiswa yang bersangkutan kurang tepat dalam memilih ilustrasi/tabel untuk membantunya mengenali pola jawaban. Walaupun ia sudah memperoleh jawaban benar sampai bulan ke-3, namun ia gagal dalam merumuskan jawaban akhir.

Lain halnya dengan jawaban mahasiswa sebagaimana tampak dalam Gambar 2 berikut. Penggunaan diagram yang kurang tepat menjadikan ia kesulitan untuk menggambarkan apa yang ia inginkan pada baris-baris berikutnya,

Gambar 2 Contoh Jawaban Mahasiswa

D. SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil uji coba terbatas terhadap 41 mahasiswa Pendidikan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang menempuh perkuliahan Matematika Diskret pada semester Februari-Juni 2013 dapat disimpulkan bahwa dalam uji coba terbatas ini bahan ajar yang dikembangkan oleh peneliti dapat dikategorikan efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi dan koneksi matematis.

Meskipun secara keseluruhan hasil uji coba sudah menunjukkan bahwa bahan ajar yang berupa Diktat Perkuliahan Matematika Diskret telah efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi dan koneksi matematis, namun diktat tersebut masih memerlukan beberapa tambahan/revisi. Tambahan yang pertama adalah perlunya penekanan untuk memberi contoh dan perintah untuk memberi alasan/penjelasan dalam setiap langkah penyelesaian soal/masalah. Tambahan lainnya adalah contoh soal/masalah yang dalam memperoleh penyelesainnya dapat dibantu dengan beragam representasi.

E. DAFTAR PUSTAKA

Djamilah Bondan Widjajanti. 2010. Analisis Implementasi Strategi Perkuliahan Kolaboratif Berbasis Masalah dalam Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Kemampuan Komunikasi Matematis, dan Keyakinan terhadap Pembelajaran Matematika . Disertasion. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Har,Y. B. 2007. The Singapore Mathematics Curriculum and Mathematical Communication. Paper presented at APEC-TSUKUBA International Conference III, December 9-14, 2007, Tokyo Kanazawa and Kyoto, Japan.

Isoda, M. 2007. How can we develop classroom communication? With an example of classroom dialectic. Paper presented at APEC-TSUKUBA International Conference III, December 9-14, 2007, Tokyo Kanazawa and Kyoto, Japan.

Khaing, T.T, K. Hamaguchi, and M. Ohtani, M. 2007. Development Mathematical Communication in the Classroom . Paper presented at APEC-TSUKUBA International Conference III, December 9-14, 2007, Tokyo Kanazawa and Kyoto, Japan.

Lim, C.H., and C.M. Chew. 2007. Mathematical Communication in Malaysian Bilingual Classroom . Paper presented at APEC-TSUKUBA International Conference III, December 9-14, 2007, Tokyo Kanazawa and Kyoto, Japan.

National Council of Teachers of Mathematics. 2000. Principles and Standards for School Mathematics . Reston: NCTM.

Ontario Ministry of Education . 2005. The Ontario Curriculum. Online in http://www.edu.gov.on.ca/eng/curriculum/elementary/math18curr.pdf

Saifuddin Azwar. 2010. Tes Prestasi: Fungsi Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Yogyakarta: Pustaka Remaja.

Ulep, S.A. 2007. Developing Mathematical Communication in Philippine Classrooms. Paper presented at APEC-TSUKUBA International Conference III, December 9-14, 2007, Tokyo Kanazawa and Kyoto, Japan.

Walk, G., M. Congress, and Bansho . 2010. Communication in the Mathematics Classroom . Online in http://www.edu.gov.on.ca/eng/literacynumeracy/inspire/research/

Wichelt, L. 2009. Communication: A Vital Skill of Mathematics. Online in http://digitalcommons.unl.edu/mathmidactionresearch/18

P – 91

MODEL-MODEL ALIGMENT ANTARA PENILAIAN DAN KURIKULUM DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

1 Kana Hidayati 2 , Elly Arliani

1,2 Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

1 kana_hidayati@yahoo.com, 2 arliani_elly@yahoo.com

Abstrak

Berbagai perubahan kebijakan guna meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia terus dilakukan pemerintah. Perubahan kebijakan tersebut diantaranya adalah perubahan kurikulum yang diberlakukan di sekolah saat ini. Terkait dengan perubahan kurikulum tersebut, salah satu komponen penting yang hasus diperhatikan adalah penilaian hasil belajar siswa. Penilaian merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan karena penilaian dapat berfungsi selain untuk memantau kualitas belajar siswa juga dapat digunakan untuk tujuan akuntabilitas. Penilaian hasil belajar siswa yang akuntabel dan akurat dapat dicapai hanya jika ada kesesuaian atau kesejajaran (aligment) antara kurikulum, apa yang dipelajari siswa, dan apa yang muncul dari siswa pada penilaian. Oleh sebab itu perlu untuk memastikan bahwa ada kesesuaian atau kesejajaran (aligment) antara penilaian dan kurikulum dalam rangka memperoleh kesimpulan yang valid dari hasil penilaian.

Studi kesejajaran dalam pendidikan dimaksudkan untuk menunjukkan sejauh mana penilaian yang dilakukan mencerminkan standar isi yang harus dicapai. Hasil dari studi kesejajaran dapat digunakan juga sebagai bukti validitas untuk mendukung interpretasi skor siswa. Selama lebih dari satu dekade, berbagai metode atau model aligment untuk mengevaluasi kesejajaran antara penilaian dan kurikulum terus berkembang. Namun berbagai model aligment tersebut selama ini secara spesifik masih jarang dikaji atau diterapkan dalam kegiatan pengukuran pendidikan khususnya di Indonesia. Melalui studi literatur, artikel ini membahas berbagai model alignment yang dapat digunakan dalam kegiatan pengukuran pendidikan yakni untuk mengevaluasi kesejajaran antara penilaian dan kurikulum khususnya dalam pembelajaran matematika.

Kata Kunci: Model Aligment antara Penilaian dan Kurikulum, Matematika

A. PENDAHULUAN

Reformasi bidang pendidikan di Indonesia terus ditingkatkan pemerintah karena pendidikan bagi rakyat Indonesia merupakan program penting yang sangat mendasar bagi kemajuan bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Berbagai perombakan sistem pendidikan terus dilakukan dan disosialisasikan. Perombakan tersebut diantaranya adalah pengembangan kurikulum. Hal ini mengingat bahwa salah satu kunci untuk menentukan kualitas lulusan adalah kurikulum.

Setiap kurun waktu tertentu, kurikulum selalu dievaluasi untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, dan kebutuhan pasar. Selain itu, dalam proses pengendalian mutu, kurikulum merupakan perangkat yang sangat penting karena menjadi dasar untuk menjamin tercapainya kompetensi yang diharapkan. Sejak tahun 1945 hingga saat ini, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Seiring dengan berubahnya kurikulum yang berlaku, sistem penilaiannya pun tentu saja juga mengalami perubahan.

Penilaian merupakan salah satu komponen penting dari sistem pendidikan karena penilaian dapat berfungsi untuk memantau kualitas belajar siswa dan untuk tujuan akuntabilitas. Penilaian hasil belajar siswa yang akurat dapat dicapai hanya jika ada kesesuaian antara kurikulum, apa yang dipelajari siswa pelajari, dan apa yang muncul dari siswa pada penilaian. Oleh karena itu perlu untuk memastikan bahwa ada kesesuaian atau kesejajaran antara kurikulum dan penilaian dalam rangka memperoleh kesimpulan yang valid dari hasil penilaian. Penilaian seharusnya memberikan informasi tentang seberapa baik siswa telah mencapai pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan.

Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian antara kurikulum dan penilaian adalah dengan melakukan uji kesejajaran. Menurut Bhola, Impara, dan Buckendahl (2003), kesejajaran merupakan tingkat kesesuaian antara standar isi yang ditetapkan pemerintah dengan penilaian yang digunakan untuk mengukur prestasi siswa. Studi kesejajaran akan menunjukkan sejauh mana penilaian yang dilakukan mencerminkan standar isi yang harus dicapai. Hasil dari studi kesejajaran dapat juga digunakan sebagai bukti validitas untuk mendukung interpretasi skor tes. Ananda (2003a) menyatakan, kesejajaran dapat menjadi sumber untuk bukti validitas isi dan konstruk. Kesejajaran bisa menjadi sumber bukti validitas isi karena berusaha untuk menetapkan sejauh mana tes mencerminkan kurikulum. Bila komponen penilaian dan kurikulum dalam pendidikan memiliki kesejajaran, maka dari proses pendidikan yang dilangsungkan diharapkan menjadi efisien dan siswa memperoleh serta mampu mencapai kemampuan sesuai dengan apa yang diharapkan (Biggs, 2003).

Selama lebih dari satu dekade, berbagai metode atau model untuk mengevaluasi kesejajaran antara penilaian dan kurikulum terus berkembang. Namun berbagai model aligment tersebut selama ini secara spesifik masih jarang dikaji atau diterapkan dalam kegiatan pengukuran pendidikan khususnya di Indonesia. Melalui studi literatur, artikel ini membahas berbagai model alignment yang dapat digunakan dalam kegiatan pengukuran pendidikan yakni untuk mengevaluasi kesejajaran antara penilaian dan kurikulum khususnya dalam pembelajaran matematika di Indonesia.

B. PEMBAHASAN Kesejajaran antara Penilaian dan Kurikulum

Tujuan utama dari evaluasi kesejajaran antara penilaian dan kurikulum adalah untuk memastikan bahwa antara penilaian dan kurikulum terkoordinasi dengan baik. Hasil dari beberapa studi kesejajaran memberikan informasi tentang seberapa baik penilaian telah dilakukan sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Selain itu, kesenjangan konten dalam penilaian dapat ditentukan (Ananda, 2003a) dan informasi tersebut penting bagi para pembuat kebijakan untuk membuat keputusan tentang penilaian dan kurikulum.

Tindal (2005) menambahkan bahwa hasil dari studi kesejajaran dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi muatan dari standar isi yang mungkin perlu diperjelas sehingga perkembangan pengetahuan di kelas juga lebih jelas. Hasil dari studi kesejajaran juga dapat digunakan dalam menentukan apakah restrukturisasi penilaian diperlukan atau tidak. Jika restrukturisasi diperlukan, hasil kesejajaran akan membantu untuk mengidentifikasi perubahan yang diperlukan dalam penilaian. Ananda (2003b) juga menyebutkan bahwa hasil kesejajaran dapat juga digunakan untuk memberikan bukti validitas isi dari sumber eksternal. Terkait penilaian dan kurikulum, Webb (1997) menyatakan bahwa studi kesejajaran memberikan informasi tentang sejauh mana dan seberapa baik antara penilaian dan kurikulum tersebut memfasilitasi dan mampu meningkatkan hasil belajar siswa.

Penilaian yang baik semestinya sejajar dengan kurikulum yang digunakan. Hal ini mengingat bahwa kesejajaran ini penting bagi efektivitas sistem pendidikan (Webb, 1997), pembelajaran siswa (Anderson, 2002; Biggs, 2003; Farenga, Joyce & Ness, 2002; La Marca, Redfield, Musim Dingin, Bailey & Hansche, 2000), keputusan akuntabilitas (Koretz & Hamilton, 2006; La Marca, 2001), evaluasi reformasi pendidikan (Herman, Webb & Zuniga, 2007), validasi Penilaian yang baik semestinya sejajar dengan kurikulum yang digunakan. Hal ini mengingat bahwa kesejajaran ini penting bagi efektivitas sistem pendidikan (Webb, 1997), pembelajaran siswa (Anderson, 2002; Biggs, 2003; Farenga, Joyce & Ness, 2002; La Marca, Redfield, Musim Dingin, Bailey & Hansche, 2000), keputusan akuntabilitas (Koretz & Hamilton, 2006; La Marca, 2001), evaluasi reformasi pendidikan (Herman, Webb & Zuniga, 2007), validasi

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa studi kesejajaran merupakan salah satu kegiatan penting dalam kegiatan pendidikan di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa kurikulum yang berlaku di Indonesia merupakan kurikulum yang berbasis standar.

Model-Model Kesejajaran

Berdasarkan arah pendekatannya, studi kesejajaran dapat dibedakan menjadi dua yaitu kesejajaran horizontal dan kesejajaran vertikal (Niebling et al., 2008). Kesejajaran horizontal, misalnya menguji kesejajaran pada dua komponen seperti isi kegiatan pembelajaran dengan standar komptetensi pada tingkat kelas yang sama atau menguji kesejajaran pada satu komponen misalnya isi pembelajaran pada dua guru yang berbeda. Adapun kesejajaran vertikal dimaksudkan bahwa uji kesejajaran dilakukan misalnya pada komponen penilaian pada berbagai tingkat kelas yeng berbeda.

Menurut Bhola et al. (2003), model kesejajaran yang berkembang dapat dikategorikan dalam tingkatan rendah, sedang, dan tinggi terkait kompleksitasnya. Kompleksitas rendah apabila hanya fokus pada perbandingan antara butir penilaian dan standar. Sedangkan kompleksitas tinggi apabila selain membandingkan antara butir penilaian dan standar juga mempertimbangkan dimensi lain seperti kedalaman isi dan tingkat penekanan dalam kurikulum dan penilaian. Oleh sebab itu, hampir semua metode kesejajaran melibatkan ahli (pakar). Para ahli ini awalnya dilatih untuk memastikan bahwa mereka mengerti dengan jelas standar, kriteria kesejajaran, dan skala yang digunakan untuk menilai kesejajaran.

Ada lima model yang bisa digunakan untuk studi kesejajaran. Menurut Bhola et al. (2003), model kesejajaran bisa dikategorikan dalam kompleksitas rendah, sedang, dan tinggi. Kategorisasi ini didasarkan pada jumlah dimensi dipertimbangkan dalam model tersebut.

Model CBE (Council for Basic Education)

Model CBE menggunakan empat dimensi: konten, keseimbangan konten, ketelitian, dan jenis respons butir (Bhola et al, 2003.). Dimensi konten terlihat pada perbandingan antara isi butir dan standar. Keseimbangan konten berkaitan dengan distribusi butir-butir menilai standar. Jenis respon butir mengevaluasi kesesuaian jenis respon yang dicari dari siswa dalam menilai kompetensi atau keterampilan yang ditetapkan dalam standar. Namun, model ini memiliki kelemahan diantaranya bahwa pada model ini tidak menjelaskan kriteria yang jelas untuk menilai kesejajaran.

Model Penyelarasan SEC (Survey of Enacted Curriculum)

SEC adalah model kesejajaran dengan kompleksitas sedang. Pengembangan model ini didorong oleh kebutuhan yang dirasakan untuk mengembangkan deskriptor yang seragam dari topik dan kategori kognitif yang bersama-sama dapat menggambarkan isi dari proses pembelajaran (Porter, 2002, p. 4). Salah satu keunikan dari SEC adalah bahwa model ini tidak hanya berusaha untuk membangun kesejajaran antara kurikulum (standar) dan penilaian, tetapi juga termasuk isi dari proses pembelajaran ke dalam gambar. Dengan demikian, model keselarasan SEC memuat konten dari penilaian, standar, dan proses pembelajaran. Model SEC memiliki dua dimensi dasar yaitu perbandingan isi dan kategori kognitif, yang dinilai secara bersamaan oleh ahli. Model SEC memuat lima kategori kebutuhan kognitif yakni menghafal, melakukan

masalah non-rutin, dan generalisasi/membuktikan.

Model La Marca

Salah satu model kesejajaran dengan kompleksitas tinggi diusulkan oleh La Marca dan rekan-rekannya (2000). Model ini memiliki perbandingan konten secara mendalam, penekanan konten, perbandingan kinerja, dan aksesibilitas sebagai dimensi (Bhola et al., 2003). La Marca, et al. (2000) menganjurkan untuk evaluasi kesejajaran antara penilaian dan standar di luar konten Salah satu model kesejajaran dengan kompleksitas tinggi diusulkan oleh La Marca dan rekan-rekannya (2000). Model ini memiliki perbandingan konten secara mendalam, penekanan konten, perbandingan kinerja, dan aksesibilitas sebagai dimensi (Bhola et al., 2003). La Marca, et al. (2000) menganjurkan untuk evaluasi kesejajaran antara penilaian dan standar di luar konten

Untuk model La Marca, dimensi perbandingan konten mengevaluasi kesesuaian antara isi penilaian dan konten standar. Perbandingan konten mendalam menilai tingkat kesepakatan antara kompleksitas kognitif yang digariskan dalam standar dan yang tercermin dalam penilaian. Dimensi penekanan mengevaluasi kesesuaian antara bobot yang diberikan pada daerah konten tertentu dalam penilaian dan dalam standar. Menurut La Marca et al. (2000), aksesibilitas dapat dicapai jika penilaian meliputi butir yang bervariasi dalam kesulitan guna mengungkap berbagai tingkat penguasaan di tingkat kelas tertentu. Dengan demikian penilaian harus memberi kesempatan kepada semua siswa untuk menunjukkan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Keterbatasan utama dari model ini adalah bahwa hal itu tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana masing-masing dimensi dapat dievaluasi. Dengan kata lain, model tersebut tidak memberikan penjelasan pedoman seperti apa tingkat kesepakatan antara penilaian dan standar yang diterima.

Model Webb

Webb (1997) mengembangkan model kesejajaran dengan lima kategori yaitu fokus konten, artikulasi lintas kelas dan usia, keadilan dan kejujuran, implikasi pedagogis, dan sistem penerapan. Setiap kategori memiliki beberapa kriteria untuk menilai kesejajaran. Namun, fokus konten adalah kategori yang telah diterapkan secara luas di sebagian besar studi kesejajaran yang menerapkan model Webb. Model kesejajaran Webb merupakan alat yang ampuh yang dapat digunakan untuk membandingkan hasil pada seluruh wilayah negara. Perbandingan ini dimungkinkan karena data kuantitatif yang dihasilkan dari model ini. Namun, hasil dari kesejajaran model Webb kadang bisa menyesatkan. Misalnya, Martone dan Sireci (2009) mencatat bahwa butir yang mengukur hanya bagian dari tujuan yang lebih luas, dinyatakan masih dianggap sesuai dengan tujuan. Dengan demikian, hasil dari kesejajaran dapat meningkat sejauh persetujuan kategoris dari ahli berbagai pengetahuan dan keseimbangan representasi yang bersangkutan.

Model Achieve

Model keselarasan Achieve memiliki enam criteria yaitu akurasi tes, sentralitas konten, sentralitas kinerja, tantangan, keseimbangan, dan jangkauan (Bhola et al. 2003). Proses kesejajaran model ini menggunakan mengikuti tiga tahap. Pertama adalah butir dianalisis dengan analisis butir di mana butir dibandingkan dengan standar untuk mengkonfirmasi draft tes, menilai sentralitas konten, dan mengevaluasi sentralitas kinerja. Tahap kedua, menilai tantangan dalam hal sumber dan tingkat dan tahap terakhir menilai keseimbangan dan jangkauan. Konfirmasi dari uji draft tes melibatkan ahli yang mencocokkan setiap butir draft untuk memastikan bahwa setiap butir dalam penilaian tersebut terkait dengan setidaknya satu tujuan dalam standar. Para ahli melakukan ini dengan cara diskusi untuk mencapai konsensus tentang tingkat kecocokan antara butir dan tujuan yang berkaitan. Butir ini dianggap sesuai dengan tujuan jika mengukur konten yang sama dengan yang ditentukan dalam standar (Rothman, Slattery & Vranek, 2002). Ketersediaan data kualitatif pada model Achieve menyediakan pemahaman menyeluruh untuk tingkat kesejajaran. Informasi ini dapat digunakan untuk meninjau kesejajaran antara penilaian dan standar. Namun, penggunaan model ini membutuhkan banyak waktu dan personal yang terampil, serta biaya yang tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, semua model kesejajaran mengandalkan ahli untuk menilai derajat kesejajaran antara penilaian dan kurikulum (standar). Kualitas hasil kesejajaran tergantung pada seberapa baik ahli memahami kriteria penilaian selama pelatihan. Dalam hal menilai kesejajaran, semua model mengevaluasi perbandingan dalam konten antara butir dalam penilaian dan standar dalam kurikulum. Hal ini membantu untuk memeriksa bahwa setiap butir pada penilaian mengukur konten dalam beberapa tujuan. Model-model kesejajaran juga mengevaluasi sejauh mana luasnya pengetahuan dalam penilaian mencerminkan luasnya pengetahuan dalam standar. Kelima model menilai tingkat kesepakatan pada tuntutan kognitif yang ditentukan dalam standar dan yang dibutuhkan untuk ujian guna memberikan respons yang Berdasarkan uraian di atas, semua model kesejajaran mengandalkan ahli untuk menilai derajat kesejajaran antara penilaian dan kurikulum (standar). Kualitas hasil kesejajaran tergantung pada seberapa baik ahli memahami kriteria penilaian selama pelatihan. Dalam hal menilai kesejajaran, semua model mengevaluasi perbandingan dalam konten antara butir dalam penilaian dan standar dalam kurikulum. Hal ini membantu untuk memeriksa bahwa setiap butir pada penilaian mengukur konten dalam beberapa tujuan. Model-model kesejajaran juga mengevaluasi sejauh mana luasnya pengetahuan dalam penilaian mencerminkan luasnya pengetahuan dalam standar. Kelima model menilai tingkat kesepakatan pada tuntutan kognitif yang ditentukan dalam standar dan yang dibutuhkan untuk ujian guna memberikan respons yang

Sejumlah perbedaan dari beberapa model kesejajaran memberikan kriteria berbeda untuk menilai kesejajaran (misalnya, Webb dan Achieve), sementara yang lainnya tidak (misalnya, La Marca). Kurangnya kriteria untuk menilai kesejajaran membatasi utilitas dari model tersebut. Model kesejajaran juga berbeda dalam hal tingkat detail untuk pencocokan standar dalam penilaian. Dalam beberapa metode, pencocokan dilakukan pada tingkat standar yang lebih global. Model Webb adalah satu-satunya model yang dapat mengakomodasi pencocokan pada setiap tingkat standar seperti perbedaan hasil serta komparabilitas terutama jika komponen yang dievaluasi dalam studi kesejajaran (misalnya, penilaian dan standar) ditulis pada tingkat yang berbeda detail. Terkait dengan hal ini menunjukkan bahwa beberapa metode memberikan hasil kesejajaran baik kualitatif maupun kuantitatif (misalnya, Webb, SEC, dan Achieve) sementara yang lainnya tidak (misalnya, CBE dan La Marca). Hasil kuantitatif dan kualitatif penting dalam membandingkan hasil seluruh wilayah negara dan kekurangan dalam penilaian atau kurikulum. Perbedaan penting lainnya adalah bahwa hanya metode penyelarasan SEC yang menggabungkan proses pembelajaran ke dalam kesejajaran. Hal ini membantu dalam memberikan informasi di bagian dari kurikulum yang berfokus pada guru.

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa kriteria konten termasuk dalam kerangka taksonomi Webb (Webb, 1997) tapi ternyata secara spesifik tidak menawarkan alat untuk mengkategorikan konten. Oleh karena itu, taksonomi yang ada dalam model Webb masih memilki kelemahan yang perlu diperhatikan khususnya terkait konten kognitifnya.Terkait dengan kompleksitas kognitif, berbagai taksonomi telah dikemukakan para ahli seperti taksonomi Bloom yang direvisi (Anderson & Krathwohl, 2001), DeBlock (de Landsheere, 1990), De Corte (de Landsheere, 1990), Guilford (1967), Marzano (2001), matriks kinerja-konten Merrill (1994); PISA (OECD, 1999), Porter (Porter & Smithson, 2001a, 2001b) dan TIMSS (Robitaille et al., 1993). Namun taksonomi Bloom yang direvisi (Anderson & Krathwohl, 2001) dalam perkembangannya ternyata juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kesejajaran antara penilaian dan kurikulum dan cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika (Gunilla N & Henriksson W, 2008).

C. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat diambil simpulan bahwa model-model kesejajaran yang berkembang dan dapat digunakan dalam pendidikan diantaranya adalah Webb, SEC, Achieve, CBE, dan La Marca. Mengingat bahwa sistem pendidikan di Indonesia berbasis standar, penggunaan kelima model tersebut dapat dilakukan namun sebaiknya memperhatikan kelemahan masing-masing model disesuaikan dengan tujuan studi kesejajaran yang dilakukan. Penggunaan model webb dan taksonomi Bloom yang direvisi lebih disarankan dalam kegiatan evaluasi kesejajaran antara penilaian dan kurikulum dalam pembelajaran matematika di Indonesia mengingat kompleksitas kognitif yang dikajinya.

D. DAFTAR PUSTAKA

Ananda, S. 2003a. Rethinking issues of alignment under No Child Left Behind. San Francisco: WestEd.

Ananda, S. 2003b. Achieving alignment. Leadership, 33(1), 18-21. Anderson, L. W. 2002. Curricular alignment: A re-examination. Theory in Practice, 41(4),

255-260. Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. 2001. A taxonomy for learning,teaching, and assessing. A

revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives . New York: Addison Wesley Longman.

Bhola, D. S., Impara, J. C., & Buckendahl, C. W. 2003. Aligning Tests with content Standards: Methods and Issues. Educational Measurement: Issues and Practice, 22(3), 21-29.

Gunilla N & Henriksson W. 2008. Alignment of Standards and Assessment: A Theoretical and Empirical Study of Methods for Alignment. Electronic Journal of Research in Educational Psychology , 6(3), 667-690

Herman, J., Webb, N., & Zuniga, S. 2005. Measurement issues in alignment of standards and assessment: A case study . (CSE Report 653). Los Angeles; University of California, National Center for Research on Evaluation, Standards and Student Testing (CRESST).

La Marca, P. M., Redfield, D., Winter, P. C., Bailey, A. & Despriet, L. 2000. State Standards and State Assessment Systems: A guide to alignment. Washington, DC; Council of Chief State Officers.

Martone, A. & Sireci, S. G. 2009. Evaluating alignment between curriculum, assessments, and instruction. Review of Educational Research, 79(4), 1332 - 1361.

Martone, D., Sireci, S. G., & Delton, J. 2006. Methods for the alignment between state curriculum frameworks and state assessments: A literature review . Center for Educational Assessment Research Report No 603. Amherst, MA: University of Massachusetts, School of Education.

Tindal, G. 2005. Alignment of Alternate Assessments using the Webb System. Washington, DC; Council of Chief State Officers.

Webb, N. L. 1997. Criteria for Alignment of Expectations and Assessments in Mathematics and Science Education . Research Monograph No. 6). Washington DC: Council of Chief State Officers.

Webb, N. L., M., Ely, R., Cormier, M. &Vesperman, B. (2005). The WEB Alignment Tool: Development, Refinement, and Dissemination . Washington, DC; Council of Chief State Officers.

Webb, N. L. 2006. Alignment Analysis of Mathematics Standards and Assessments. Wisconsin, Grades

20, 2009, from http://www.dpi.state.wi.us/oea/pdf/mathsummary06.pdf

3-8

and

10 .

Retrieved

October

P - 92

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN GEOMETRI BERBASIS ICT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS MAHASISWA

1 2 Kuswari Hernawati 3 , Ali Mahmudi , Himmawati Puji Lestari

1,2,3) Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta

1 2 kuswari@uny.ac.id, 3 ali_uny73@yahoo.com, himmawati@uny.ac.id

Abstrak

Salah satu kemampuan mendasar yang harus dimiliki mahasiswa adalah kemampuan komunikasi matematis. Kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis mahasiswa masih kurang. Tulisan ini membahas hasil penelitian yang bertujuan untuk 1) mendeskripsikan karakteristik perangkat pembelajaran Geometri berbasis ICT yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa, dan 2) mengetahui respons mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran Geometri berbasis ICT yang dikembangkan. Penelitian yang dilaksanakan ini merupakan penelitian pengembangan dengan model ADDIE, yang mencakup 5 tahap, yaitu Analysis, Design, Development, Implementation, dan Evaluation. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Angket respon mahasiswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dan Catatan Lapangan. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Karakteristik perangkat pembelajaran RPP yang dikembangkan adalah : a) Kegiatan inti dilaksanakan dengan alokasi waktu yang jelas, b) Kegiatan mahasiswa dalam mengekplorasi materi dilakukan dengan metode diskusi kelompok, c) diskusi kelompok dilaksanakan untuk melaksanakan kegiatan yang ada di LKM, d) kelompok yang tidak terlalu besar, e) ada kegiatan presentasi dan pembahasan hasil diskusi. Lembar Kegiatan Mahasiswa yang dikembangkan mempunyai karakteristik sebagai berikut : a) LKM dirancang untuk memfasilitasi diskusi kelompok, b) menggunakan bahasa yang jelas dan tidak mempunyai arti ganda, c) Kegiatan mahasiswa mengekplorasi konsep materi yang membutuhkan visualisasi dibantu dengan media berbasis ICT, d) tidak semua kegiatan mahasiswa dibantu visualisasi dengan media sehingga kemampuan daya tanggap ruang mahassiwa dapat dikembangkan, e) mahasiswa sebaiknya mempunyai bekal kemampuan menggunakan software. Respon mahasiswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan LKM berbasis ICT termasuk dalam kategori sangat baik, yaitu dengan skor 3,30 dalam interval 1-4, begitu juga respon mahasiswa terhadap pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis termasuk dalam kategori sangat baik dengan skor 3,34 dalam interval 1-4.

Kata kunci : Komunikasi matematis, perangkat pembelajaran, geometri.

A. PENDAHULUAN

Kegiatan perkuliahan akan efektif apabila melibatkan mahasiswa secara aktif dalam pembelajaran. Selama ini permasalahan umum dalam perkuliahan adalah masih kurangnya keaktifan mahasiswa, baik secara fisik maupun mental dalam kegiatan pembelajaran. Mahasiswa belum memperoleh kesempatan seluas-luasnya melakukan aktifitas-aktifitas yang lebih bermakna, seperti menemukan sendiri konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika, melakukan eksplorasi konsep, dan melakukan analisis terhadap masalah matematika.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

Hal ini mengakibatkan kemampuan matematis tingkat tinggi dari mahasiswa belum terbentuk secara optimal. Kemampuan matematis tingkat tinggi tersebut meliputi berpikir kritis, berpikir kreatif, pemecahan masalah, dan kemampuan komunikasi matematis. Mahasiswa juga belum terbiasa melakukan kegiatan mental tingkat tinggi, seperti menemukan, mengeksplorasi, menganalisa, mengelaborasi, membuat koneksi, menghubungkan berbagai ide-ide matematika, melakukan generalisasi, dan membuat kesimpulan.

Sementara itu, dalam pembelajaran dosen hendaknya mampu mengakomodasi setiap aktivitas mahasiswa untuk kemudian ditransformasikan sebagai sebuah kegiatan belajar. Mahasiswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan proses berpikirnya tanpa mengabaikan perbedaan kemampuan berpikir setiap mahasiswa. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam pembelajaran hendaknya dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk melakukan aktivitas matematis tingkat tinggi sehingga kemampuan matematis tingkat tinggi dapat dioptimalkan. Aktifitas-aktifitas tersebut dapat dirancang melalui suatu perangkat pembelajaran seperti silabus, RPP, bahan ajar, dan media pembelajaran yang sesuai.

Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Pemanfaatan bahan ajar seyogyanya dapat dioptimalkan sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan matematis tingkat tinggi mahasiswa sekaligus memberikan tantangan dan kesempatan seluas-luasnya bagi siswa melakukan berbagai aktifitas matematis tingkat tinggi. Salah satu jenis bahan ajar adalah buku teks. Buku teks yang ada kebanyakan hanya berisi informasi materi dan soal-soal saja sehingga belum menstimulus kemampuan matematis tingkat tinggi. Soal-soal yang diberikan juga masih terbatas pada soal rutin yang belum memuat pertanyaan-pertanyaan yang menantang kemampuan berpikir tingkat tinggi bagi mahasiswa. Selain buku teks, bahan ajar yang sering digunakan adalah Lembar Kerja Siswa (LKS) atau Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKM). Akan tetapi, kebanyakan LKM hanya berisi kumpulan soal-soal dan belum dapat memfasilitasi mahasiswa untuk melakukan aktivitas matematis tingkat tinggi.

Sementara itu, media juga merupakan komponen yang penting dan diperlukan dalam pembelajaran, terlebih dalam pembelajaran Geometri karena objek kajiannya berupa benda abstrak. Media berbasis ICT adalah bentuk media nyata yang sesuai dengan perkembangan jaman. Media berbasis ICT ini dapat mendukung pembelajaran jika diintegrasikan dengan metode pembelajaran, model pembelajaran, dan bahan ajar yang sesuai. Media berbasis ICT mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki media lain, antara lain media pembelajaran komputer dapat memberikan pelayanan secara repetitif, berulang, dan dinamis; menampilkan sajian dalam format dan desain yang menarik; mampu menghadirkan animasi gambar, simulasi, dan suara yang baik; dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran konsep-konsep yang menuntut ketelitian tinggi; mampu menyajikan penyelesaian grafik secara tepat, cepat, dan akurat; dan dapat melayani perbedaan individual mahasiswa. Media pembelajaran berbasis ICT ini sangat cocok untuk mengekplorasi objek-objek geometri.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti memandang urgen untuk melakukan penelitian pengembangan perangkat pembelajaran Geometri berbasis ICT untuk mendukung aktifitas matematis tingkat tinggi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan matematis tingkat tinggi terutama kemampuan komunikasi matematis.

Masalah umum dalam penelitian ini adalah “bagaimana mengembangkan perangkat pembelajaran Geometri berbasis ICT yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan perangkat pembelajaran Geometri berbasis ICT yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa.Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan karakteristik perangkat pembelajaran Geometri berbasis ICT yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa,

2. Mengetahui kualitas perangkat pembelajaran Geometri berbasis ICT yang dikembangkan.

Tulisan ini membahas tentang karakteristik perangkat pembelajaran Geometri Ruang berbasis ICT yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa dan mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap perkuliahan yang dilaksanakan dengan perangkat pembelajaran ini, yang berupa RPP dan LKM.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Research and Development) yang dimaksudkan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran berbasis ICT pada perkuliahan Geometri untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa. Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ADDIE (Purwanto, 2004). Tahapan yang ditempuh adalah: Tahap analisis (Analysis), Perancangan (Design), Produksi (Development), Implementasi (Implementation), dan Evaluasi (Evaluation). Pada tahap analisis dilakukan analisis pembelajaran dan karakteristik mahasiswa. Pada tahap perancangan disusun kerangka isi perangkat pembelajaran yang secara utuh menggambarkan keseluruhan rancangan kegiatan pembelajaran dan LKM yang sesuai. Pada tahap produksi, dilakukan penulisan naskah perangkat pembelajaran. Pada tahap implementasi, prototipe perangkat pembelajaran yang telah disusun diimplementasikan dalam perkuliahan. Berdasarkan hasil implementasi selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap tanggapan mahasiswa mengenai penggunaan perangkat pembelajaran tersebut. Perangkat pembelajaran ini diimplementasikan pada perkuliahan Geometri Ruang semester gasal 2013.

Instrumen penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik perangkat pembelajaran dan tanggapan mahasiswa adalah Catatan Lapangan, Lembar Observasi, dan Angket Tanggapan mahasiswa terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut akan dideskripsikan pelaksanaan dan hasil yang diperoleh dari penelitian yang dilaksanakan. Pada tahap analisis, diperoleh diidentifikasi masalah dalam pembelajaran geometri, terutama Geometri Ruang sebagai berikut.

1. Pemanfaatan IT dalam perkuliahan masih kurang

2. Pembelajaran masih bersifat text-oriented

3. Aktivitas mahasiswa masih terbatas pada penyelesaian soal-soal matematika biasa, misalnya soal perhitungan besaran bangun geometri

4. Aktivitas mengeksplorasi belum banyak dilakukan mahasiswa

5. Kemampuan daya tanggap ruang mahasiswa masih perlu ditingkatkan

6. Kemampuan mahasiswa dalam memberikan argumen, merepresentasiken ide matematika, mencari hubungan masih perlu ditingkatkan

7. Perlu dirancang perkuliahan yang mendukung aktivitas mahasiswa

8. Perlu dirancang perangkat perkuliahan student-centered

9. Kegiatan diskusi kelompok belum optimal Hasil analisis tersebut menjadi dasar untuk merancang proses pembelajaran dan kegiatan

mahasiswa yang sesuai yang dituangkan dalam draft perangkat pembelajaran. Proses pembelajaran dirancang agar memenuhi beberapa hal berikut : berpusat pada mahasiswa, menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif, memanfaatkan media berbasis ICT, memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengeksplorasi konsep-konsep geometri, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis.

Pemanfaatan media pembelajaran berbasis ICT diintegrasikan dengan aktivitas-aktivitas yang harus didiskusikan secara berkelompok yang dituangkan dalam Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKM). Salah satu kemampuan yang sangat diperlukan dalam komunikasi matematis (communicative competence in mathematics ) menurut Portia C. Elliot & Margaret J. Kenney (1996) adalah kemampuan berdiskusi (discourse competence), yaitu kemampuan siswa untuk Pemanfaatan media pembelajaran berbasis ICT diintegrasikan dengan aktivitas-aktivitas yang harus didiskusikan secara berkelompok yang dituangkan dalam Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKM). Salah satu kemampuan yang sangat diperlukan dalam komunikasi matematis (communicative competence in mathematics ) menurut Portia C. Elliot & Margaret J. Kenney (1996) adalah kemampuan berdiskusi (discourse competence), yaitu kemampuan siswa untuk

Media berbasis ICT yang digunakan haruslah mempunyai kemampuan untuk memanipulasi suatu bangun geometri sehingga dapat mendukung aktivitas eksplorasi konsep-konsep geometri. Hal ini sejalan dengan pendapat Yaya S. Kusumah (2003) yang mengemukakan bahwa inovasi pembelajaran dengan bantuan komputer sangat baik untuk diintegrasikan dalam pembelajaran konsep-konsep matematika, termasuk geometri. Program-program ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep yang telah dipelajari maupun dapat sebagai sarana untuk mengenalkan konsep baru. NCTM berpendapat bahwa penggunaan teknologi dapat meningkatkan pemahaman yang lebih dalam, karena teknologi dapat memberi keleluasaan siswa untuk menemukan, mengeksplorasi, dan membuat konjentur tentang gagasan-gagasan matematika; dengan demikian memungkinkan siswa untuk bertindak dan berpikir sebagai matematikawan melalui penguatan pemahaman konseptual siswa (Borwein & Bailey, 2003)

Berdasarkan tingkatan perkembangan siswa dalam mempelajari geometri menurut van Hiele, mahasiswa sebenarnya sudah memasuki tingkat 4 (tingkat deduksi formal) dan tingkat 5 (tingkat rigor), yaitu siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pangkat, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema pada geometri, dan siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Akan tetapi pada kenyataannya mahasiswa masih membutuhkan bantuan untuk memvisualisasikan beberapa konsep geometri, terutama geometri ruang. Oleh karena itu, aktivitas mahasiswa yang dituangkan dalam LKM dirancang sedemikian sehingga mahasiswa dapat mengekplorasi konsep-konsep melalui visualisasi dengan bantuan media berbasis ICT namun beberapa konsep berikutnya ditemukan oleh mahasiswa tanpa bantuan media. Hal ini dilakukan agar mahasiswa dapat mengembangkan juga kemampuan melakukan generalisasi yang mana merupakan salah satu komponen dari kemampuan komunikasi matematis. Kemampuan komunikasi matematis mahasiswa juga dikembangkan melalui beberapa pertanyaan yang menuntut alasan dari jawaban atas pertanyaan tersebut. Berikut adalah contoh penggalan aktivitas dalam LKM yang telah dikembangkan.

KEGIATAN 2

Tujuan : menyelidiki simetri putar pada bidang empat beraturan.

1. Bukalah file “Simetri Putar Limas”. yang akan tampak seperti pada gambar berikut. Drag salah satu titiknya jika diperlukan untuk memperoleh penampakan yang berbeda atau lebih mudah.

2. Putarlah titik T mengelilingi lingkaran dengan pusat U.

a. Berapa kalibidang empat D’.A’B’C’ akan berimpit dengan bidang empat beraturan D.ABC jika titik T diputar satu putaran penuh.

b. Berapa besar sudut putaran tersebut agar kedua bidang empat tersebut berimpit ?

c. Apa yang dapat Anda katakan tentang garis AP ? c. Apa yang dapat Anda katakan tentang garis AP ?

KEGIATAN 3 Tujuan : menyelidiki simetri cermin dan simetri putar pada limas segi-n beraturan

1. Selidiki simetri cermin pada limas segitiga beraturan. Ada berapa bidang simetri ?

2. Selidiki simetri putar pada limas segitiga beraturan. Ada berapa sumbu simetri ? Simetri putar tingkat berapakah terhadap sumbu simetri tersebut ?

3. Selidiki simetri cermin pada limas segi-4 beraturan. Ada berapa bidang simetri ?

4. Selidiki simetri putar pada limas segi-4 beraturan. Ada berapa sumbu simetri ? Simetri putar tingkat berapakah terhadap sumbu simetri tersebut ?

5. Selidiki simetri cermin pada limas segi-5 beraturan. Ada berapa bidang simetri ?

6. Selidiki simetri putar pada limas segi-5 beraturan. Ada berapa sumbu simetri ? Simetri putar tingkat berapakah terhadap sumbu simetri tersebut ?

7. Selidiki simetri cermin pada limas segi-n beraturan. Ada berapa bidang simetri ?

8. Selidiki simetri putar pada limas segi-n beraturan. Ada berapa sumbu simetri ? Simetri putar tingkat berapakah terhadap sumbu simetri tersebut ?

Berdasarkan hasil observasi pada tahap implementasi perangkat pembelajaran, diperoleh beberapa hal sebagai berikut. Diskusi kelompok dengan menggunakan LKM melampaui waktu yang diperkirakan, sehingga sebaiknya ada alokasi waktu yang lebih rinci dalam RPP. Hal ini mengakibatkan kegiatan presentasi hasil diskusi kelompok dan pembahasannya kurang optimal. Kelompok-kelompok diskusi ini sebaiknya tidaklah berukuran terlalu besar, yaitu beranggotakan 4-5 mahasiswa. Pada penelitian ini, setiap kelompok beranggotakan 7-8 mahasiswa sehingga diskusi kurang optimal dan mahasiswa kesulitan untuk melihat file bersama yang ada di laptop mahasiswa. Selain itu, beberapa mahasiswa juga mengalami kesulitan dalam memahami beberapa kalimat atau istilah yang ada di LKM, misalnya “bidang simetri dengan posisi yang sama”. Sebaiknya istilah “posisi” tersebut diperbaiki dengan memberikan karakteristik bidang yang dimaksud, misalnya dengan “bidang simetri yang melalui salah satu rusuk bidang empat dan titik tengah sisi yang berhadapan”.

Berdasarkan hasil angket tanggapan mahasiswa terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran berbasis ICT, diperoleh beberapa hal sebagai berikut. Secara umum mahasiswa senang dengan pembelajaran menggunakan LKM berbasis ICT dan merasa terbantu dalam memahami materi dengan adanya visualisasi. Apalagi melalui diskusi kelompok, mahasiswa diberi kesempatan untuk menyampaikan ide-idenya.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa komentar berikut : - LKM berbasis ICT ini menarik dan merupakan hal baru yang saya rasakan ketika mempelajarinya. LKM berbasis ICT ini membantu saya memahami konsep keruangan dengan memvisualisasikan sehingga dalam membayangkan bangunnya tidak begitu abstrak. - Pembelajaran menjadi lebih menarik, dengan pembelajaran seperti ini apa yang dipelajari lebih mudah dipahami karena mahasiswa dapat saling bertukar pikiran dengan teman kelompok. - Pembelajaran tersebut menjadi lebih mudah dipahami karena dapat membantu kami dalam memvisualisasikan bangun 3 dimensi. - Penggunaan ICT sangat membantu untuk mempelajari geometri ruang. Hal ini perlu dikembangkan lagi. Beberapa mahasiswa merasakan sesuatu yang baru dan banyak mahasiswa yang belum

dapat membuat sendiri media berbasis ICT ini sehingga mereka menyarankan untuk dilakukan pelatihan penggunaan software yang digunakan. Berikut beberapa saran dan masukan mahasiswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan LKM berbasis ICT ini :

- Lebih baik jika mahasiswa dilatih membuat bangun-bangun tersebut dengan ICT. Membuat alat peraga bersama kelompok.

- Saran : mungkin bahasa yang digunakan ada beberapa yang membuat beda persepsi, maka bahasa yang digunakan bisa dibuat lebih mudah dipahami. - Dengan LKM perkuliahan lebih seru karena diskusi kelompok. Lanjutkan !. Hasil angket tanggapan mahasiswa menunjukkan bahwa pembelajaran dengan

menggunakan LKM berbasis ICT termasuk dalam kategori sangat baik, yaitu dengan skor 3,30 dalam interval 1-4. Respons mahasiswa terhadap pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis termasuk dalam kategori sangat baik dengan skor 3,34 dalam interval 1-4.

D. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Karakteristik perangkat pembelajaran RPP yang dikembangkan adalah : a) Kegiatan inti dilaksanakan dengan alokasi waktu yang jelas, b) Kegiatan mahasiswa dalam mengekplorasi materi dilakukan dengan metode diskusi kelompok, c) diskusi kelompok dilaksanakan untuk melaksanakan kegiatan yang ada di LKM, d) kelompok yang tidak terlalu besar, e) ada kegiatan presentasi dan pembahasan hasil diskusi. Lembar Kegiatan Mahasiswa yang dikembangkan mempunyai karakteristik sebagai berikut : a) LKM dirancang untuk memfasilitasi diskusi kelompok, b) menggunakan bahasa yang jelas dan tidak mempunyai arti ganda, c) Kegiatan mahasiswa mengekplorasi konsep materi yang membutuhkan visualisasi dibantu dengan media berbasis ICT, d) tidak semua kegiatan mahasiswa dibantu visualisasi dengan media sehingga kemampuan daya tanggap ruang mahasiswa dapat dikembangkan, e) mahasiswa sebaiknya mempunyai bekal kemampuan menggunakan software.

Respons mahasiswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan LKM berbasis ICT termasuk dalam kategori sangat baik, yaitu dengan skor 3,30 dalam interval 1-4. Respons mahasiswa terhadap pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis termasuk dalam kategori sangat baik dengan skor 3,34 dalam interval 1-4.

Saran

Perlu dikembangkan lebih lanjut perangkat pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya.

E. DAFTAR PUSTAKA

Borwein, J., & Bailey, D. (2003). Mathematics by Experiment: Plausible Reasoning in the 21-st Century. A.K Peters Ltd.

Elliot, Portia C. & Margaret J. Kenney (eds). (1996). Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. Virginia : The National Council of Teaching of Mathematics, Inc.

Purwanto, & Melati, I. (2004). Teknologi Pembelajaran: Peningkatan Kualitas Belajar melalui Teknologi Pembelajaran. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan.

Yaya S. Kusumah. 2003. Desain dan Pengembangan Bahan Ajar Matematika Interaktif Berbasiskan Teknologi Komputer . Makalah terdapat pada Seminar Proceeding National Seminar on Science and Mathematics Education. Seminar diselenggarakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UPI bekerja sama dengan JICA.

P - 93

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATHEMATICAL COMMUNICATION MAHASISWA KELAS INTERNASIONAL PADA PERKULIAHAN ANALYTIC GEOMETRY DENGAN PENDEKATAN OPEN-ENDED

1 2 Sugiyono 3 , Sugiman , Himmawati Puji Lestari 1,2,3 Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

1 pjj_sugiyono@yahoo.com, 2 sugiman_uny@yahoo.com, 3 himmawati@uny.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis (mathematical communication) mahasiswa kelas internasional pada perkuliahan Analytic Geometry dengan pendekatan open-ended. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam dua siklus yang setiap siklusnya terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi. Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rencana Pelaksanaan Perkuliahan (RPP) dan Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKM). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran dengas kemampuan komunikasi matematis, Lembar Observasi Pembelajaran, dan catatan lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan open-ended dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari skor kemampuan komunikasi matematika yang meningkat dari 44,51 pada siklus I menjadi 60,80 di siklus II, yaitu dari kriteria kurang menjadi cukup.

Kata kunci : mathematical communication, Analytic Geometry, pendekatan Open-ended

A. PENDAHULUAN

Perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi ujung tombak kreativitas dan inovasi guna merespon berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu perubahan dalam bidang pendidikan adalah perubahan paradigma proses pembelajaran dari teacher-centered ke student-centered. Guru/dosen melihat peserta didiknya sebagai peneliti yang aktif terhadap lingkungan sekitarnya dan bukan penerima yang pasif terhadap stimulus yang diberikan.

Pengalaman mengikuti pembelajaran yang inovatif akan memberikan inspirasi dan stimulus bagi mahasiswa program studi pendidikan sebagai calon guru untuk berkreasi merancang pembelajaran kelak. Selain harus menguasai materi, sebagai calon guru, mahasiswa juga dituntut untuk mempunyai kemampuan berkomunikasi, baik secara umum ataupun dalam mengkomunikasikan ide-ide dalam matematika.

Di pihak lain, dalam perkuliahan dosen hendaknya mampu mengakomodasi setiap aktivitas mahasiswa untuk kemudian ditransformasikan sebagai sebuah kegiatan belajar.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

UNY

Mahasiswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan proses berpikirnya tanpa mengabaikan perbedaan kemampuan berpikir setiap individu. Masalah yang diberikan dalam perkuliahan hendaknya membuat mahasiswa tertantang untuk menyelesaikannya dan selanjutnya menyampaikannya kepada orang lain. Salah satu cara yang dipandang dapat membangkitkan kemampuan komunikasi mahasiswa adalah penerapan pendekatan open-ended dan penggunaan open-ended problems.

Pembelajaran dengan pendekatan open-ended atau penggunaan open-ended problems dalam pembelajaran memberi kesempatan mahasiswa untuk berpikir dengan bebas sesuai dengan minat dan kemampuannya. Aktivitas kelas yang penuh dengan ide-ide matematika ini pada gilirannya akan memacu kemampuan komunikasi matematika mahasiswa.

Pendekatan open-ended menjanjikan suatu kesempatan kepada mahasiswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya adalah agar kemampuan berpikir matematika mahasiswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap mahasiswa terkomunikasikan melalui proses belajar mengajar. Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan open-ended, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan mahasiswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi.

Analytic Geometry merupakan salah satu mata kuliah wajib tempuh bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika, termasuk mahasiswa kelas internasional. Berdasarkan pengalaman peneliti ketika mengampu mata kuliah ini, diperoleh fakta bahwa mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal non rutin. Mahasiswa belum mengetahui apa yang tersirat dari soal, dan langkah apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikannya. Mahasiswa juga masih lemah dalam memberikan alasan setiap langkah penyelesaiannya, walaupun mahasiswa tidak mengalami kesulitan dalam proses komputasi. Berdasarkan pengamatan pada proses pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti, mahasiswa sudah terlibat aktif dalam diskusi kelompok, walaupun terkadang dengan menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi, mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam menggunakan istilah-istilah khusus matematika dalam bahasa Inggris, mengungkapkan dengan kata-kata sendiri konsep-konsep dalam bahasa Inggris, serta dalam mengungkapkan ide-ide dan simbol-simbol matematis. Kondisi ini juga terjadi di kelas Internasional yang akan menjadi subjek penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematika masih perlu ditingkatkan. Apalagi, di kelas Internasional mahasiswa juga dituntut untuk mampu berkomunikasi dan mengkomunikasikan ide-ide matematika dalam bahasa Inggris.

Berdasarkan uraian tersebut, perlu diteliti bagaimana meningkatkan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa dan bagaimana peningkatan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa pada perkuliahan Analytic Geometry dengan pendekatan open-ended di kelas Internasional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa kelas Internasional pada perkuliahan Analytic Geometry dengan pendekatan open-ended .

Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh beberapa manfaat sebagai berikut:

1. Diperolehnya deskripsi kemampuan komunikasi matematika mahasiswa kelas Internasional

2. Diperolehnya suatu contoh/model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa kelas Internasional

3. Diperolehnya contoh/model perangkat pembelajaran yang variatif dan inovatif

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 720

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang setiap siklusnya terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting).

Penelitian ini dilaksanakan pada kelas Internasional Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2012. Adapun subjek penelitian ini adalah mahasiswa kelas Internasional Jurusan Pendidikan Matematika yang menempuh mata kuliah Analytic Geometry.

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklusnya dilaksanakan dalam 6 kali pertemuan. Adapun kegiatan yang dilaksanakan dalam setiap siklusnya adalah sebagai berikut.

a. Perencanaan Pada tahap perencanaan, disusun RPP dan LKM dengan pendekatan open-ended. Tindakan Pembelajaran terdiri dari 3 tahap kegiatan, yaitu :

1. Kegiatan Awal Pada kegiatan ini, dosen memberikan apersepsi serta motivasi pada mahasiswa. Disampaikan pula tujuan pembelajaran serta materi yang dipelajari.

2. Kegiatan Inti Pada kegiatan ini mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok dengan setiap kelompok terdiri atas 4-5 mahasiswa. Di dalam kegiatan ini, mahasiswa ditugaskan untuk mempelajari dan mendiskusikan masalah-masalah yang ada pada LKM. Masalah dalam LKM ini merupakan open-ended problem. Diharapkan pada kegiatan ini mahasiswa ini dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematika. Perkembangan ini dilihat pada aspek-aspek kemampuan komunikasi matematika meliputi :

a. Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar.

b. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.

c. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi.

d. Menyatakan, menafsirkan, dan menilai ide matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara visual

e. Mengkonstruksi, menafsirkan dan menghubungkan bermacam-macam

representasi ide dan hubungannya.

Setelah diskusi kelompok, dilakukan presentasi kelompok oleh beberapa kelompok dan kelompok yang lain memberikan tanggapan. Dengan demikian, mahasiswa dilatih untuk mengemukakan pendapat terkait ide-ide dan argumen dalam matematika.

3. Kegiatan Akhir Pada kegiatan ini dilakukan penarikan kesimpulan-kesimpulan atas materi yang telah dipelajari serta melakukan refleksi.

b. Observasi Peneliti melakukan observasi selama proses pembelajaran berlangsung, yaitu berupa

monitoring dan dokumentasi, dan mengacu pada pedoman observasi.

c. Refleksi Refleksi dilakukan pada akhir siklus untuk mengevaluasi keterlaksanaan setiap tindakan,

yang diikuti dengan revisi untuk memperbaiki atau memodifikasi tindakan pada siklus berikutnya. Data penelitian diperoleh melalui:

a. Observasi Pengumpulan data ini melalui observasi perkuliahan berdasar pedoman observasi. Observasi dilakukan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran dengan pendekatan open-ended dan aktifitas komunikasi mahasiswa selama proses pembelajaran. Aspek komunikasi yang dilihat melalui Lembar Observasi adalah (1) Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar, (2)

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 721

Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika, dan (3) Menyatakan, menafsirkan, dan menilai ide matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara visual.

b. Angket Angket diberikan kepada mahasiswa untuk mengetahui pendapat mahasiswa apakah pembelajaran yang dilaksanakan sudah meningkatkan komunikasi matematika mahasiswa serta mengetahui respons mahasiswa terhadap keterlaksanaan pembelajaran.

c. Dokumentasi Dokumentasi dipersiapkan untuk memperkuat data hasil observasi. Dokumentasi dibuat berdasar beberapa situasi yang menunjukkan komunikasi matematika mahasiswa.

d. Tes Tes ini berisi soal-soal uraian untuk mengukur kemampuan komunikasi matematika mahasiswa.

Data-data penelitian tersebut diperoleh dengan menggunakan beberapa instrument, yaitu peneliti, pedoman observasi, angket, dan Tes Kemampuan Komunikasi Matematika

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa kelas internasional pada perkuliahan Geometri Analitik (Analytic Geometry) dengan pembelajaran open-ended.

Perkuliahan Geometri Analitik terbagi menjadi dua bagian, yaitu Geometri Analitik Bidang dan Geometri Analitik Ruang. Permasalahan yang muncul pada pembelajaran Geometri Analitik mahasiswa jarang menuliskan alasan pada proses menyelesaikan soal, mahasiswa kesulitan mengetahui hubungan antar berbagai konsep dan prinsip, membuat generalisasi dari geometri bidang ke geometri ruang, dan mengalami kebingungan pada bidang dan garis pada geometri ruang. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematika masih perlu diperbaiki.

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Siklus I dan siklus II masing-masing dilaksanakan sebanyak enam pertemuan. Siklus I mengambil materi pada Geometri Analitik bidang, yaitu ellips, hiperbola, dan parabola. Siklus II mengambil materi pada geometri analitik ruang dengan topik sistem koordinat ruang, bidang, dan garis.

Berikut deskripsi pelaksanaan penelitian di siklus I. Pada tahap persiapan tim peneliti berdiskusi merancang garis besar pelaksanaan penelitian yang meliputi penentuan topik/materi, perancangan RPP dan perancangan LKM, penyusunan instrumen penelitian. Materi pada siklus 1 adalah Geometri Analitik bidang untuk topik ellips, hiperbola, dan parabola. Materi untuk siklus

2 adalah Geometri Analitik ruang pada topik sistem koordinat ruang, bidang, dan garis. Pada tahap persiapan ini, tim peneliti juga merancang instrumen penelitian. Instrumen yang disusun adalah lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran, angket tanggapan mahasiswa, dan soal tes kemampuan komunikasi matematika.

Proses pembelajaran secara garis besar dirancang sebagai berikut. Pada pertemuan 1, 2, dan 3 berturut-turut untuk topik ellips, hiperbola, dan parabola. Pada ketiga pertemuan ini, dosen lebih banyak menerangkan materi. Pembelajaran dilakukan dengan metode ceramah dan tanya jawab. Karena pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan open-ended, maka pada saat menerangkan, dosen sering mengajak mahasiswa untuk membuat dugaan, menanyakan alasan, dan menghubungkan berbagai konsep dan representasi matematis.

Pada pertemuan keempat, kelima, dan keenam topik yang dipelajari berturut-turut adalah ellips, hiperbola, dan parabola. Akan tetapi proses pembelajaran yang dilakukan berbeda dengan tiga pertemuan sebelumnya. Perbedaannya adalah, pembelajaran lebih ditekankan pada kegiatan diskusi kelompok. Pembagian kelompok sesuai dengan pembagian kelompok yang sudah ada sebelumnya. Mahasiswa berdiskusi kelompok untuk mengerjakan aktivitas-aktivitas yang ada di

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 722

Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKM). Aktivitas-aktivitas yang ada di LKM adalah menyelesaikan soal-soal open-ended.

Tahap terakhir pada siklus I ini adalah tes kemampuan komunikasi matematika, pengisisan angket oleh mahasiswa, dan tim melakukan refleksi. Tes kemampuan komunikasi matematika dilaksanakan pada tanggal 17 April 2012.

Refleksi siklus I menghasilkan beberapa hal sebagai berikut. - Pada tiga pertemuan pertama, beberapa aktivitas yang seharusnya dilakukan pada pembelajaran dengan pendekatan open-ended belum dilakukan secara optimal, seperti diskusi antar mahasiswa dan masalah open-ended juga masih terbatas.

- Diskusi kelompok pada tiga pertemuan akhir ( pertemuan ke-4, pertemuan ke-5, pertemuan ke-6) belum berjalan optimal. Beberapa kelompok membagi kelompoknya menjadi dua sub kelompok sehingga interaksi antar semua anggota belum optimal.

- Kemampuan komunikasi matematika masih dalam kategori kurang, terutama dalam ketiga aspek, yaitu 1) membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar, 2) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi, dan 3) Menyatakan, menafsirkan, dan menilai ide matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara visual. Berdasarkan kekurangan di siklus I, tim merancang beberapa perubahan tindakan untuk

perbaikan di siklus II, yaitu - Setiap pertemuan, proses pembelajaran berisi kegiatan penjelasan ringkasan materi oleh dosen, tanya jawab, dan dilanjutkan diskusi kelompok oleh mahasiswa untuk menyelesaikan beberapa masalah open-ended. Tanya jawab oleh dosen dan mahasiswa dilakukan melibatkan beberapa masalah open-ended.

- Mengintensifkan diskusi kelompok, antara lain dengan kompetensi antar kelompok Berikut adalah deskripsi pelaksanaan siklus II. Berdasarkan hasil siklus I, peneliti melakukan beberapa kegiatan perencanaan yaitu:

- Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan digunakan peneliti sebagai acuan dalam pelaksanaan pembelajaran. Proses pembelajaran pada kegiatan inti secara garis besar dilaksanakan sebagai berikut. Dosen menjelaskan ringkasan materi sambil sesekali melakukan tanya jawab dengan mahasiswa. Kemudian mahasiswa melakukan diskusi kelompok untuk menyelesaikan masalah open-ended yang ada di LKM. Beberapa kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok lain memberikan tanggapan dan menambahkan yang belum disampaikan oleh dalam presentasi.

- Menyusun Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKM) yang digunakan sebagai bahan diskusi kelompok untuk pembelajaran dengan pendekatan open-ended. - Mempersiapkan instrument tes siklus II. - Melakukan koordinasi jadwal perkuliahan agar ada peneliti yang bertindak sebagai

pengamat Tahap terakhir pada siklus II ini adalah tes kemampuan komunikasi matematika, pengisisan angket tanggapan oleh mahasiswa, dan tim melakukan refleksi. Tes kemampuan komunikasi matematika dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 2012. Kemudian tim melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil yang diperoleh pada siklus I dan II.

Berikut adalah data hasil angket tanggapan mahasiswa dan skor kemampuan komunikasi matematika dari kedua siklus.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 723

Tabel 1. Skor kemampuan komunikasi matematika

NO

ASPEK

SIKLUS I SIKLUS II

1 Membuat model situasi atau persoalan menggunakan 38,64 73,86 metode lisan, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar.

2 Membuat

39,39 57,95 merumuskan definisi, dan generalisasi.

3 Menyatakan, menafsirkan, dan menilai ide 36,36 56,82 matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara visual

4 Mengkonstruksi, menafsirkan dan menghubungkan 62,50 54,55 bermacam-macam representasi ide dan hubungannya. RATA-RATA

Tabel 2. Tanggapan mahasiswa

NO

ASPEK

SIKLUS I SIKLUS II

1 Tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran dengan 74,39 76,25 pendekatan open-ended

2 Pendapat mahasiswa terkait kemampuan komunikasi 73,52 73,52

RATA-RATA

Dari angket tanggapan terbuka, diperoleh bahwa mahasiswa antusias dan memberikan respon positif dalam mengikuti pembelajaran dengan pendekatan open-ended seperti yang telah dilaksanakan. Hal ini terlihat dari beberapa contoh tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan open-ended berikut.

- Pembelajaran menggunakan pendekatan open-ended menyenangkan, karena memiliki banyak cara. Membantu saya untuk menghargai dan bersikap kritis terhadap jawaban teman maupun dosen - Model pembelajaran ini mampu mengukur sejauh mana konsep dan pemehaman yang telah dimiliki oleh pembelajar. Pembelajar dituntut untuk berpikir kratif dan menyebar (berpikiran luas) untuk dapat menemukan penyelesaian sebanyak mungkin yang dapat mereka temukan - Bagus, dapat mengembangkan kreatifitas mahasiswa dalam mengerjakan soal open-ended

Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa pembelajaran dengan pendekatan open-ended ini secara umum sudah terlaksana dengan baik. Berdasarkan data siklus I dan siklus

II, diepoleh bahwa pembelajaran dengan pendekatan open-ended ini dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa. Pembelajaran dengan pendekatan open-ended ini telah dilaksanakan dalam pembelajaran Analytic Geometry. Setelah pembelajaran dengan pendekatan open-ended tersebut terjadi peningkatan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa. Peningkatan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa diperoleh dari skor hasil tes kemampuan komunikasi matematika yang memuat aspek-aspek kemampuan komunikasi matematika. Aspek 1, 2, dan 3 kemampuan komunikasi matematika mengalami peningkatan. Akan tetapi aspek yang keempat, yaitu mengkonstruksi, menafsirkan dan menghubungkan bermacam-macam representasi ide dan hubungannya mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena mahasiswa mengalami kebingungan dan rancu antara persamaan bidang dan garis di dimensi tiga. Persamaan bidang di dimensi tiga mirip dengan persamaan garis di dimensi dua, sedangkan persamaan garis di dimensi tiga dapat dinyatakan sebagai system persamaan dua bidang. Hal ini biasanya terjadi juga pada pembelajaran biasa. Namun demikian, secara umum rata-rata kemampuan komunikasi matematika mengalami peningkatan, walaupun belum termasuk dalam kriteria yang tertinggi.

Penelitian dilaksanakan melalui dua siklus yang masing-masing siklus terdiri dari enam kali pertemuan dan satu kali tes siklus. Tindakan pada siklus 1 adalah menerapkan pembelajaran

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 724 M P - 724

Soal-soal yang digunakan dalam LKM bersifat terbuka. Meskipun menghadapi soal yang sama, anggota-anggota dalam suatu kelompok menemukan hal-hal dan memberikan cara penyelesaian yang berbeda-beda.

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa, maka pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif, yaitu dengan diskusi kelompok ini dilaksanakan sedemikian sehingga dapat mengarahkan mahasiswa agar memiliki kemampuan komunikasi matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat Richard I. Arends (2007 : 6), cooperative learning dapat menguntungkan bagi siswa berprestasi rendah maupun tinggi yang mengerjakan tugas akademik secara bersama-sama. Siswa yang berprestasi tinggi mengajari teman-temannya yang berprestasi rendah. Dalam prosesnya, siswa yang berprestasi lebih tinggi juga memperdalam pengetahuannya karena bertindak sebagai tutor menuntut untuk berpikir lebih mendalam tentang hubungan di antara berbagai ide dalam subyek tertentu. Dari interaksi antar mahasiswa ini, akan dimunculkan ide-ide matematis dalam diskusinya. Dari diskusi juga akan diperoleh perdebatan tentang alasan dan argumen dalam langkah-langkah penyelesaian soal.

Terlebih lagi jika masalah yang dipecahkan adalah masalah open-ended, dimana ada banyak jawaban dan cara penyelesaian. Masalah open-ended ini akan memberikan kesempatan yang luas kepada mahasiswa untuk menuangkan ide-ide dan mencari keterkaitan antar ide tersebut. Pertanyaan yang merangsang pemikiran kreatif mahasiswa adalah pertanyaan divergen atau terbuka. Masalah open-ended ini membantu mahasiswa mengembangkan ketrampilannya mengumpulkan fakta, merumuskan konjentur, dan menguji atau memahami informasi, serta mengaitkan berbagai fakta matematis.

Dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan yang belum dilaksanakan secara optimal, antara lain : - Pengamatan kemampuan komunikasi matematika belum maksimal, karena baru dilihat dari tes - Tidak semua aspek kemampuan komunikasi matematika diukur - Penelitian ini belum melihat aspek kebahasaan, karena bahasa pengantar untuk kelas internasional adalah bahasa Inggris.

D. PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan, diperoleh simpulan bahwa pembelajaran denganpendekatan open-ended dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika mahasiswa pada perkuliahan Analytic Geometry. Hal ini ditunjukkan dari skor kemampuan komunikasi matematika yang meningkat dari 44,51 ke 60,80, yaitu dari kriteria kurang menjadi cukup.

Dari pelaksanaan penelitian ini diperoleh beberapa saran dan rekomendasi sebagai berikut. - Pembelajaran dengan open-ended dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematika - Perlu diteliti lebih lanjut bagaimana penerapan pembelajaran open-ended untuk meningkatkan kemampuan matematis yang lain, seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, dan lain-lain - Perlunya inovasi pembelajaran untuk Geometri Analitik Ruang

E. DAFTAR PUSTAKA

Aryan. (2007). Komunikasi dalam Matematika. http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/30/komunikasi-dalam-matematika/. Diakses pada

tanggal 17 Februari 2010.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 725

Aryan. (2007).

Pembelajaran Matematika. http://rbaryans.wordpress.com/2007/04/25/kemampuan-membaca-dalam-pembelajaran-m atematika/. Diakses pada tanggal 17 Februari 2010.

Candy, Philip C., Gay Crebert, Jane O’Leary. 1994. Developing Lifelong Learners through Undergraduate Education . Canberra: Australian Government Publ

Catteral, Calvin D. & George M. Gazda. (1978). Strategies for Helping Students. Illionis : Charles C. Thomas Publisher.

Elliot, Portia C. & Margaret J. Kenney (eds). (1996). Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. Virginia : The National Council of Teaching of Mathematics, Inc.

Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing. Yogyakarta : PPPG Matematika

Melly Andriani. (2008). Komunikasi Matematika. http://mellyirzal.blogspot.com/2008/12/komunikasi-matematika.html. Diakses pada tanggal 17

Februari 2010. Mumun Syaban. Menggunakan Open-Ended untuk Memotivasi Berpikir Matematika.

EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya [online].http://educare.e-fkipunla.net Generated. Diunduh pada 9 Januari 2009

Vui, Tran. (2008). Enhanching Classroom Communication to Develop Students Mathematical Thinking. Vietnam : Hue University. http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/apec/apec2008/papers/PDF/21.Tran_Vui_Vietnam. pdf. Diakses pada tanggal 18 Februari 2010.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013

M P - 726

P – 94

NILAI STRATEGIS MEMANDANG BUKTI GEOMETRI SEBAGAI PROSEP DALAM PEMBELAJARAN

Faaso Ndraha

Guru SMAN 3 Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara/ Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya e-mail: faandraha@yahoo.com

Abstrak

Bukti mengandung proses untuk dikerjakan dan konsep matematika untuk dipikirkan. Untuk itu bukti lebih tepat dipandang sebagai prosep (proses dan konsep). Berdasarkan tinjauan dasar teori yang digunakan dalam menjelaskan prosep pada matematika kalkulasi dan komputasi, serta hasil penelitian penulis di bidang ini, pada tulisan berikut diulas nilai strategis memandang bukti geometri sebagai prosep pada pembelajaran. Tulisan ini membahas beberapa pertanyaan secara komprehensif berkaitan dengan pembelajaran geometri berdasarkan pandangan bahwa bukti sebagai prosep, antara lain: bagaimana memandang teorema agar menjadi unit kognitif dalam berpikir geometri yang sukses, bagaimana tujuan pembelajaran yang memandang bukti sebagai prosep, bagaimana tahap berpikir mengonstruksi bukti sebagai prosep, bagaimana pembelajaran yang memandang bukti sebagai prosep menjamin berlangsung konstruksi pengetahuan, mengapa siswa mampu menggunakan suatu teorema yang tidak dapat dibuktikannya, mengapa siswa mampu mengonstruksi bukti teorema geometri tetapi tidak memahami makna teorema tersebut secara geometri, bagaimana siswa yang mampu menyebutkan makna dan menyusun bukti suatu teorema tetapi kurang mampu menggunakannya memecahkan masalah, hanya sukses pada masalah rutin, bagaimana pengonstruksian bukti berlangsung dari menghubungkan fakta hingga memahami makna seluruh bukti (‘langkah maju’), dan adakah kemungkinan jalur pembuktian lain yang dapat ditempuh. Penjelasan dan pemecahan masalah pembelajaran geometri yang memadai dan komprehensif dalam tulisan ini, menunjukkan bahwa cara pandang yang digunakan merupakan alternatif untuk memperoleh hasil belajar di Indonesia yang lebih baik..

Kata kunci: prosep, bukti geometri, pembelajaran teorema geometri

A. PENDAHULUAN

Kurikulum geometri sekolah mengamanatkan kegiatan pembuktian. Karena mayoritas siswa belum mampu berpikir formal di bidang geometri (Fuys, dkk, 1998; Sunardi, 2005), belajar membuktikan menjadi perdebatan. Apalagi bukti matematika sebenarnya dalam bentuk deduksi formal (Knut, 2002). Karena bersifat formal, bukti matematika sangat abstrak, menyulitkan siswa mengerjakan dan memahaminya. Tulisan ini bertujuan merumuskan cara pandang yang memihak kepada siswa, artinya bukti yang dikonstruksi dalam pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa, dan menjadi unit kognitif berpikir matematika yang sukses. Untuk itu dikaji suatu teori tentang bukti matematika, yang mampu memberi penjelasan memadai terhadap fenomena yang berkaitan dengan pembuktian geometri di sekolah, yaitu bukti sebagai prosep. Rumusan masalah adalah bagaimana nilai strategis memandang bukti geometri sebagai prosep dalam pembelajaran? Hasilnya diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memihak siswa, dan membantu menjelaskan fenomena yang terjadi berkaitan dengan bukti dalam pembelajaran geometri.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

B. PEMBAHASAN

Suatu cara pandang bernilai strategis dalam pembelajaran jika menjelaskan cara pencapaian hasil belajar yang optimal, memberi penjelasan atas berbagai fenomena yang terjadi serta jalan keluar dari berbagai persoalan. Untuk itu, pembahasan berikut dimulai dengan menjelaskan tentang prosep, alasan memilih memandang bukti geometri sebagai prosep, bagaimana memandang teorema agar menjadi unit kognitif dalam berpikir geometri yang sukses, diakhiri dengan menjelaskan beberapa fenomena berkaitan dengan pembuktian dalam pembelajaran dan alternatif pemecahan masalah belajar siswa.

1. Prosep

Prosep adalah konsep yang diajukan oleh Eddie Gray dan David Olmer Tall. Prosep pada awalnya dikembangkan berfokus pada simbol yang digunakan dalam aritmetika, aljabar dan kalkulus pada matematika sekolah. Gray dan Tall (1994,120) menjelaskan bahwa “An elementary procept is the amalgam of three components: a process which produces a mathematical object, and a symbol which is used to represent either process or object. ….. A procept consists of a collection of elementary procepts which have the same object”. Prosep adalah koleksi prosep dasar dari objek yang sama. Prosep dasar adalah campuran tiga komponen: suatu proses, konsep dan simbol, dimana proses tersebut menghasilkan konsep (objek) matematika, dan simbol yang menyatakan proses dan konsep tersebut. Misalnya 5 adalah simbol prosep dasar, menyatakan proses menghitung sampai 5 (counting all) dan konsep bilangan 5 sebagai hasilnya. Proses dari 5 lainnya antara lain menjumlah (2+3) atau (4+1) dengan cara counting on. Lima (5) sebagai prosep adalah koleksi prosep dasar dari 5. Koleksi prosep dasar dari 5 memiliki proses menghitung atau menjumlah, konsep bilangan 5 sebagai hasil penghitungan atau penjumlahan tersebut, dan 5 sebagai simbol yang menyatakan proses dan konsep dimaksud. Dengan demikian, 5 sebagai prosep menyatakan proses menghitung atau menjumlah dan konsep bilangan 5. Contoh prosep lainnya: ½ menyatakan proses pembagian dan konsep pecahan, -2 menyatakan proses pengurangan 2 dan konsep dari negatif dua atau (-2), 3x + 2 menyatakan penambahan 2 pada 3x dan hasil penjumlahan, sin A menyatakan konsep sinus suatu sudut dan proses membagi panjang sisi di depan sudut A dengan sisi miring dimana

A sudut suatu segitiga siku-siku. Dengan demikian ada tiga komponen yang terkandung dalam suatu prosep yaitu proses, konsep dan simbol. Sebuah simbol dikatakan prosep jika menyatakan proses dan konsep yang dihasilkannya. Pemahaman makna simbol hingga dikenali sebagai dualitas proses dan konsep merupakan tujuan pengonstruksian prosep sebagai obyek mental. Peran dualitas (duality) suatu simbol dapat menimbulkan ambiguitas (ambiguity). Ambiguitas notasi memungkinkan seseorang yang fleksibel dalam berpikir (flexibility in thought) bergerak antara proses penyelesaian tugas matematika dan konsep yang secara mental dimanipulasi sebagai bagian dari skema mental (Gray dan Tall, 1994). Tall (1997) menjelaskan lebih lanjut bahwa makna simbol suatu prosep dipahami melalui tiga tahap aktivitas pengonstruksian prosep yaitu tahap prosedur, proses dan prosep.

“ ….. the meaning of symbols developed through a sequence of activities: (a) procedure, where a finite succession of decisions and actions is built up into a coherent sequence, (b) process, where increasingly efficient ways become available to achieve the same result, now seen as a whole, (c) procept, where the symbols are conceived flexibly as processes to do and concepts to think about. Initially the individual builds an “action schema” (in the sense of Piaget) as a coordinated sequence of actions.” ( Tall, 1997, 13)

Tahap prosedur merupakan rangkaian beberapa keputusan dan aksi terbatas sedemikian hingga menjadi suatu rangkaian yang terpadu atau bertalian secara logis. Tahap proses merupakan aktivitas mental dimana cara-cara yang lebih efisien yang mencapai hasil yang sama semakin terlihat sebagai satu kesatuan. Tahap prosep merupakan aktivitas mental dimana simbol dipahami secara fleksibel sebagai proses untuk dilakukan dan konsep untuk dipikirkan.

2. Bukti geometri sebagai prosep dalam pembelajaran

Bukti matematika bersifat deduktif formal (O'Daffer dan Thornquist, 1993, 49). Tetapi dalam pembelajaran, kemampuan siswa mengonstruksi bukti formal tidak tercapai langsung dalam setahap, melainkan berkembang secara bertahap. Tall (1995) menjelaskan bahwa kemampuan siswa mengonstruksi bukti tampak dari bentuk representasi bukti, yang berkembang dari bukti tindakan, bukti visual, bukti simbolis dan bukti formal. Karena itu, bukti geometri dalam tulisan ini merupakan argumen berkesimpulan benar berdasarkan premis-premis yang benar pada bidang geometri. Bagi siswa sekolah, premis kadang-kadang dinyatakan dalam bentuk gambar, yang dalam bentuk deduksi formal seharusnya terdiri dari elemen struktur aksiomatik berbentuk pernyataan matematika simbolik.

Bukti geometri lebih tepat dipandang sebagai prosep karena beberapa alasan. Pertama, secara empirik, konsep bukti merupakan encapsulation dari proses bukti. Keduanya, proses dan konsep bukti, memaksimalkan pemahaman tentang maksud dari teorema, ibarat dua sisi dari satu mata uang (Ndraha, 2011). Ada siswa yang mampu menggunakan teorema -misalnya

“jumlah besar sudut suatu segitiga adalah 180 0 ”- untuk memecahkan masalah, tetapi tidak dapat membuktikan teorema tersebut dan tidak memahami maknanya secara geometri. Mereka hanya

memahami maknanya secara aritmatika, bahwa jumlah hasil pengukuran sudut-sudut segitiga berjumlah 180 0 . Fakta ini menunjukkan bahwa pemahaman konsep teorema kurang optimal jika

mengabaikan proses buktinya. Tetapi siswa lain yang menyusun beberapa bukti teorema tersebut, dapat memahami proses pembuktian dan makna teorema secara geometri, dengan memahami bukti (baca “meng-encapsulated proses “) yang dia susun. Mereka juga dapat menggunakan proses maupun konsep bukti dari teorema tersebut untuk memecahkan masalah. Fakta ini mengindikasikan bahwa memahami konsep teorema dengan mengabaikan buktinya kurang maksimal.

Kedua , karena bukti mengandung aspek prosedur matematika (proses) dan aspek konsep (Erh-Tsung, 2003; Velleman, 2009). Misalnya teorema “jumlah besar sudut-sudut segitiga

adalah 180 0 ” mengandung pengertian bahwa jika sudut-sudut segitiga diukur, kemudian hasilnya dijumlah, akan menghasilkan 180 0 . Pengertian ini bermakna bahwa gabungan sudut-

sudut suatu segitiga merupakan sudut lurus, merupakan aspek konsep secara geometri. Pengertian ini juga berarti bahwa jika ditemukan tiga sudut bersisian yang besarnya sama dengan masing-masing sudut segitiga, ketiga sudut tersebut membentuk sudut lurus. Pengertian terakhir ini merupakan aspek proses, membantu merumuskan proses pengonstruksian bukti teorema tersebut. Dengan demikian, untuk memahami teorema secara optimal, lebih tepat memandang teorema tersebut sebagai simbol yang menyatakan proses dan konsepnya, sebagaimana dinyatakan secara detail pada buktinya. Aspek proses merupakan pengetahuan prosedural, yaitu prosedur-prosedur penalaran, yang dapat dilakukan mengerjakan matematika. Aspek konsep merupakan pengetahuan konseptual untuk memikirkan ide-ide matematika. Dengan demikian, memahami bukti menjadi sentral perhatian untuk dapat memahami teorema, dan memahami bukti dengan mengabaikan prosesnya akan mengaburkan makna atau konsep yang terkandung didalamnya. Baylis menyatakan “Proof is the essence of mathematics” (Baylis, 1983:3). Walaupun dapat dibedakan, keduanya-proses dan konsep bukti- tidak tepat dipisahkan, jika diharapkan pemahaman bukti secara optimal. Hal ini menjadi dasar memandang bukti sebagai prosep, dan teoremanya sebagai simbol prosep.

Bukti geometri sebagai prosep memiliki simbol, proses dan konsep (Erh-Tsung, 2003). Berdasarkan pendapat Gray dan Tall (1994) maupun Erh-Tsung (2003), penulis merumuskan bahwa proses bukti adalah prosedur-prosedur penalaran yang sukses membangun bukti. Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari fakta untuk menarik kesimpulan. Perumusan, pemilihan dan penyusunan premis maupun pola penalaran termasuk dalam penalaran. Konsep bukti adalah makna yang terkandung dalam rangkaian bukti, yang sama dengan makna teorema yang dibuktikan. Dengan demikian, simbol bukti adalah teorema (tepatnya redaksi teorema) yang dibuktikan secara lengkap, menyangkut syarat atau kondisi yang dipenuhi dan yang dibuktikan. Artinya, dengan mendengar atau mengingat teorema, Bukti geometri sebagai prosep memiliki simbol, proses dan konsep (Erh-Tsung, 2003). Berdasarkan pendapat Gray dan Tall (1994) maupun Erh-Tsung (2003), penulis merumuskan bahwa proses bukti adalah prosedur-prosedur penalaran yang sukses membangun bukti. Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari fakta untuk menarik kesimpulan. Perumusan, pemilihan dan penyusunan premis maupun pola penalaran termasuk dalam penalaran. Konsep bukti adalah makna yang terkandung dalam rangkaian bukti, yang sama dengan makna teorema yang dibuktikan. Dengan demikian, simbol bukti adalah teorema (tepatnya redaksi teorema) yang dibuktikan secara lengkap, menyangkut syarat atau kondisi yang dipenuhi dan yang dibuktikan. Artinya, dengan mendengar atau mengingat teorema,

Ada satu pertanyaan menarik. Mengapa bukti, bukan teorema, yang dipandang sebagai prosep, padahal teorema dan bukan bukti yang menjadi elemen struktur sistem aksioma matematik? Pertama, karena pemahaman teorema secara optimal lebih tepat jika dibangun dengan memahami bukti sebagai prosep. Kedua, memandang bukti sebagai prosep, menggunakan redaksi teorema sebagai simbol. Sebagai simbol, teorema (tepatnya redaksi teorema) akhirnya menjadi representasi bukti dan menjadi pusat perhatian sebagaimana teorema-bukan bukti- menjadi elemen dan pusat perhatian dalam sistem aksioma. Ketiga, karena teorema sebagai simbol, membaca struktur teorema dalam sistem aksiomatik harus dipandang sebagai simbol yang menyatakan dualitas konsep atau makna teorema dan buktinya. Hal ini menegaskan cara memahami hakikat sistem aksioma, bahwa elemen sistem aksioma dibangun oleh dan menjadi satu kesatuan dengan buktinya. Sesungguhnya jika tidak ada bukti, tidak ada teorema (Baylis, 1983).

3. Fenomena dalam pembelajaran geometri

a) Bagaimana memandang teorema agar menjadi unit kognitif dalam berpikir geometri yang sukses?

Teorema lebih tepat dipandang sebagai simbol dari dualitas proses dan konsep buktinya. Hal ini sudah dibahas pada bagian B.2. Tahap berpikir memecahkan masalah membuktikan menurut Polya (1973), juga menjelaskan bahwa aspek konsep (makna bukti) menjadi bagian penting, selain proses mengonstruksi bukti. Pertanyaan lebih lanjut adalah “apakah setelah menyusun bukti dan menyatakan maknanya secara gamblang merupakan kemampuan paling baik yang dapat dicapai?” Gray-Tall (1994) menyimpulkan bahwa berpikir matematik yang berhasil tergantung pada dapat tidaknya seseorang berpikir secara proseptual. Berpikir secara proseptual adalah berpikir secara fleksibel antara proses dan konsep suatu simbol sebagai satu item pengetahuan. Perhatikan kembali proses dan konsep yang diyatakan oleh teorema “jumlah besar sudut-sudut segitiga adalah 180 0 ”. Seseorang yang dapat menyebutkan proses dan konsep bukti

tersebut, belum tentu mampu memikirkannya secara proseptual. Memikirkannya secara proseptual berarti dengan mendengar atau mengingat simbolnya (teorema yang dibuktikan), seseorang memikirkan secara fleksibel berpindah-pindah dari proses ke konsep buktinya dan sebaliknya dalam suatu waktu, sehingga proses dan konsep tersebut menjadi satu item pengetahuan sebagaimana dinyatakan oleh teorema. Pemahaman objek mental dalam bentuk prosep secara proseptual demikian, memungkinkan kerja otak berpindah-pindah tanpa kesukaran antara mengerjakan suatu proses dengan memikirkan suatu konsep, dengan rangkaian kerja minimal. Hal ini terjadi dengan kemampuan otak mengompres rangkaian prosedur- prosedur kerja dalam proses dan proposisi-proposisi dalam argumen (bukti) hingga bentuknya yang sederhana. Karena bentuknya sederhana, proses dan konsep dapat dipikirkan secara proseptual, dapat digunakan secara fleksibel dalam situasi baru, dan digunakan sebagai satu langkah saja dalam proses berpikir lebih lanjut. Misalnya, siswa yang mampu memahami bukti

teorema “jumlah besar sudut-sudut segitiga adalah 180 0 ” sebagai prosep dan memikirkannya secara proseptual, dapat membuktikan bahwa “jumlah besar sudut-sudut jajargenjang adalah

360 0 ” dengan ringkas menggunakan teorema ‘segitiga’ tersebut. Thursthon (dalam Gray dan Tall, 1994) menjelaskan bahwa “Mathematics is amazingly

compression: ….. You can file it away, recall it quickly and completely, when you need it, and use it as just one step in some other mental process. The insight that goes with this compression is one of the real joys of mathematics ”. Matematika merupakan kompresi yang mengagumkan. Obyek mental sebagai hasil kompresi dari beberapa langkah kompleks dapat disimpan, diingat kembali dengan cepat dan lengkap, bahkan dapat digunakan hanya menjadi satu langkah saja dalam proses mental lainnya. Solso (1995) dan Matlin (1994) menjelaskan bahwa kompresi menyederhanakan kerja otak menyimpan dan mengingat kembali beberapa informasi dengan cepat dan lengkap. Dengan demikian, untuk menjadi unit kognitif dalam berpikir matematika yang sukses, teorema sebaiknya dipandang sebagai simbol prosep dan dapat dipikirkan secara proseptual. Mereka yang memahami sejumlah prosedur suatu operasi dalam matematika dengan compression: ….. You can file it away, recall it quickly and completely, when you need it, and use it as just one step in some other mental process. The insight that goes with this compression is one of the real joys of mathematics ”. Matematika merupakan kompresi yang mengagumkan. Obyek mental sebagai hasil kompresi dari beberapa langkah kompleks dapat disimpan, diingat kembali dengan cepat dan lengkap, bahkan dapat digunakan hanya menjadi satu langkah saja dalam proses mental lainnya. Solso (1995) dan Matlin (1994) menjelaskan bahwa kompresi menyederhanakan kerja otak menyimpan dan mengingat kembali beberapa informasi dengan cepat dan lengkap. Dengan demikian, untuk menjadi unit kognitif dalam berpikir matematika yang sukses, teorema sebaiknya dipandang sebagai simbol prosep dan dapat dipikirkan secara proseptual. Mereka yang memahami sejumlah prosedur suatu operasi dalam matematika dengan

b) Bagaimana tujuan pembelajaran yang memandang bukti sebagai prosep? Pembelajaran yang memandang bukti sebagai prosep diarahkan memahami proses dan konsep bukti, hingga mampu memikirkannya secara proseptual. Tujuannya agar siswa mampu merumuskan proses bukti, konsep bukti dan memikirkannya secara proseptual. Tujuan ini memaksimalkan penggunaan materi geometri secara optimal mencapai tujuan belajar. Dalam keadaan itu, siswa memahami bukti maupun konsep teorema, dan mengabstraksi bukti dan konsepnya hingga menjadi satu item pengetahuan dalam suatu waktu. Pada kemampuan ini, seseorang memahami dan mampu menggunakan prosedur pembuktian secara fleksibel pada situasi masalah matematika, memahami makna teorema, yakin akan kebenarannya, dan mampu menggunakan konsep bukti tersebut sebagai entitas dalam proses berpikir lebih lanjut, misalnya membuktikan teorema lain. Dengan memberi waktu bagi siswa mengonstruksi bukti sebagai prosep demikian, mereka juga memiliki waktu belajar memecahkan masalah, menarik kesimpulan, berpikir kritis, kreatif, dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah. Hal ini menunjukkan bahwa bukti bukan hanya dokumen, tetapi merupakan kegiatan esensial, kegiatan manusiawi (human activity) yaitu: kegiatan membangun pengetahuan, menunjukkan kebenaran, kegiatan berpikir, dan memangun kompetensi. “Mathematics is the proper training for understanding the universe ” (Shapiro, 2003, 3). Pengembangan evaluasi dengan sendirinya mempertimbangkan proses pencapaian dan hasil yang dicapai menurut tujuan-tujuan ini, tanpa mengabaikan komponen lain, misalnya tingkat perkembangan siswa dan kondisi kelas (kegiatan pembelajaran).

c) Bagaimana tahap berpikir mengonstruksi bukti sebagai prosep? Memahami teorema dengan fokus pada makna yang dapat dimengerti dari redaksinya saja, kurang optimal. Seperti sudah dijelaskan sebelum ini, memahami teorema secara optimal sebaiknya dengan meng-encapsulated buktinya. Piaget dan Beth menjelaskan bahwa obyek mental (konsep) merupakan encapsulation suatu proses. Encapsulation dari suatu proses sebagai objek mental terjadi ketika “ …a physical or mental action is reconstructed and reorganization on a higher plane of thought and so comes to be understood by the knower ” (Beth dan Piaget, 1966, 247). Encapsulation merupakan rekonstruksi atau reorganisasi aksi secara fisik atau mental pada taraf berpikir lebih tinggi hingga seseorang menjadi paham. Proses kognitif pembentukan sebuah entitas konseptual dari sebuah proses disebut encapsulation. Proses yang dimaksud di sini adalah proses penalaran mengonstruksi bukti, yang dipandang sebagai proses pembentukan teoremanya.

Penulis telah melakukan penelitian tentang hal ini terhadap siswa SMP. Hal ini saya jelaskan pada artikel saya yang lain dalam seminar ini, berjudul “Proses Berpikir Siswa SMP Mengonstruksi Bukti Visual/Simbolik Geometri sebagai Prosep” (Ndraha, 2013). Berdasarkan hasil penelitian, tahap dan karakteristik proses berpikir pengonstruksian bukti visual/simbolik geometri sebagai prosep (PBSMBVSGsP) dimulai dari (1) mengidentifikasi: (a) menentukan bagian prinsipil masalah dan hubungan-hubungannya, (b) membayangkan gambar mental hal yang dipermasalahkan atau melukis gambar mental tersebut, (2) mobilisasi dan reorganisasi data : (a) mengingat dan memilih pengetahuan atau pengalaman sebelumnya yang relevan dengan masalah (b) mengadaptasikan pengetahuan pada kondisi masalah (c) merumuskan atau merobah konsepsi tentang masalah, (3) merumuskan rencana pembuktian (a) merumuskan masalah berdasarkan konsepsi masalah, (b) menentukan prosedur pembuktian, (4) aplikasi: (a) melengkapi gambar menurut rencana pembuktian, (b) menuliskan langkah-langkah bukti, (c) Penulis telah melakukan penelitian tentang hal ini terhadap siswa SMP. Hal ini saya jelaskan pada artikel saya yang lain dalam seminar ini, berjudul “Proses Berpikir Siswa SMP Mengonstruksi Bukti Visual/Simbolik Geometri sebagai Prosep” (Ndraha, 2013). Berdasarkan hasil penelitian, tahap dan karakteristik proses berpikir pengonstruksian bukti visual/simbolik geometri sebagai prosep (PBSMBVSGsP) dimulai dari (1) mengidentifikasi: (a) menentukan bagian prinsipil masalah dan hubungan-hubungannya, (b) membayangkan gambar mental hal yang dipermasalahkan atau melukis gambar mental tersebut, (2) mobilisasi dan reorganisasi data : (a) mengingat dan memilih pengetahuan atau pengalaman sebelumnya yang relevan dengan masalah (b) mengadaptasikan pengetahuan pada kondisi masalah (c) merumuskan atau merobah konsepsi tentang masalah, (3) merumuskan rencana pembuktian (a) merumuskan masalah berdasarkan konsepsi masalah, (b) menentukan prosedur pembuktian, (4) aplikasi: (a) melengkapi gambar menurut rencana pembuktian, (b) menuliskan langkah-langkah bukti, (c)

Ada beberapa pertanyaan berkaitan dengan pokok kajian bagian ini. Pertama, “apakah siswa harus mengonstruksi bukti untuk memahaminya sebagai prosep?” Tidak. Yang penting memahami proses dan konsepnya. Untuk memahami proses dan konsep bukti, dapat dilakukan dengan memahami proses dan konsep dari bukti yang sudah ada. Dengan “mempelajari” bukti yang sudah ada, siswa dapat mengembangkan pemahamannya hingga bukti tersebut dia pahami sebagai prosep. Hal itu dilakukan dengan memahami prosedur penalaran dan makna dari rangkaian seluruh bukti yang ada (tahap pembentukan makna). Tahap ini membantu siswa mengonstruksi bukti lain yang sederhana, dan memikirkan tahap berikutnya. Karena memahami bukti sebagai prosep sebenarnya memahami teorema (redaksi teorema), maka pemahaman teorema dapat dilakukan tanpa mewajibkan siswa mengonstruksi sendiri bukti, misalnya dengan memahami bukti yang ada hingga dapat dipahami sebagai prosep secara proseptual.

Kedua, “apakah siswa tidak perlu mengonstruksi bukti suatu teorema untuk memahaminya sebagai prosep?” Tentu perlu, untuk mengembangkan (memperluas, memperhalus dan mengotomatisasi) pengetahuan dan pemahamannya tentang proses bukti, konsep bukti, dan bukti sebagai prosep.

Ketiga, “mengapa siswa yang mengonstruksi bukti sesuai langkah pemecahan masalah menurut Polya ((1) memahami masalah, (2) merencanakan pemecahan, (3) aplikasi rencana dan (4) memeriksa kembali, termasuk menyusun beberapa bukti lain), kadang masih kurang memahami makna teorema?” Sebagai contoh, teorema “jumlah besar sudut segitiga adalah

180 0 ” dipahami secara aritmatika, bukan secara geometri. Fenomena ini dengan tegas dijelaskan oleh PBSMBVSGsP: tahap pembentukan makna terabaikan.

Keempat, “ mengapa ada yang mampu menyebutkan makna dan menyusun bukti suatu teorema, tetapi kurang mampu menggunakannya memecahkan masalah, hanya sukses pada masalah rutin?” Hal ini tidak dijelaskan secara gamblang oleh teori yang ada. Tetapi PBSMBVSGsP menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena pemahaman belum mencapai level berpikir proseptual. Pada berpikir proseptual, seseorang mengabstraksi proses dan konsep sehingga mencapai bentuknya yang paling sederhana. Karena sederhana, dapat diterapkan dengan mudah dan fleksibel pada situasi masalah matematika baru.

Kelima, “Bagaimana menjelaskan penyusunan bukti dengan “langkah maju” dan “langkah mundur” dalam pengonstruksian bukti geometri?” Hal ini juga dapat dijelaskan oleh PBSMBVSGsP. Karena teorema sebagai simbol, maka dengan mengingat teorema, seseorang dapat saja memikirkan proses ke konsep (langkah maju) atau sebaliknya dari konsep ke proses bukti (langkah mundur) dari teorema dimaksud. Peran simbol dalam kondisi ini diistilahkan oleh Gray-Tall: sebagai pivot.

d) Bagaimana pembelajaran yang memandang bukti sebagai prosep menjamin berlangsung konstruksi pengetahuan?

Berdasarkan penjelasan bagian B.3.c bagian kelima, bukti sebagai prosep dapat dipikirkan secara proseptual, berpindah-pindah dari proses ke konsep atau dari konsep ke proses. Pandangan ini memungkinkan pembelajaran dimulai dari proses ke konsep atau dari konsep ke proses teorema bersangkutan, tergantung pada kemampuan awal siswa. Jika siswa lebih memahami aksi-aksi (fisik atau mental) berkaitan dengan proses bukti, dapat dimulai dari proses ke konsep. Pada kondisi sebaliknya, dimulai dari konsep ke proses. Pengonstruksian bukti tersebut sesuai dengan pengetahuan riil siswa. Pengetahuan riil adalah pengalaman nyata atau pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa, termasuk pengetahuan set before dan met before. Tall (2008) menjelaskan bahwa set before merujuk kepada struktur mental manusia yang dibawa sejak lahir. Sebagai contoh, struktur visual otak memiliki sistem built-in untuk mengidentifikasi warna dan corak, untuk melihat perubahan dalam corak, mengidentifikasi sisi, Berdasarkan penjelasan bagian B.3.c bagian kelima, bukti sebagai prosep dapat dipikirkan secara proseptual, berpindah-pindah dari proses ke konsep atau dari konsep ke proses. Pandangan ini memungkinkan pembelajaran dimulai dari proses ke konsep atau dari konsep ke proses teorema bersangkutan, tergantung pada kemampuan awal siswa. Jika siswa lebih memahami aksi-aksi (fisik atau mental) berkaitan dengan proses bukti, dapat dimulai dari proses ke konsep. Pada kondisi sebaliknya, dimulai dari konsep ke proses. Pengonstruksian bukti tersebut sesuai dengan pengetahuan riil siswa. Pengetahuan riil adalah pengalaman nyata atau pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa, termasuk pengetahuan set before dan met before. Tall (2008) menjelaskan bahwa set before merujuk kepada struktur mental manusia yang dibawa sejak lahir. Sebagai contoh, struktur visual otak memiliki sistem built-in untuk mengidentifikasi warna dan corak, untuk melihat perubahan dalam corak, mengidentifikasi sisi,

Pengetahuan met before adalah fasilitas mental sekarang berdasarkan pengalaman spesifik individu sebelumnya. Pada pembuktian, pengetahuan met before merupakan pengetahuan sebelumnya yang relevan dengan masalah untuk membuktikan.

Karena pengetahuan riil siswa terbatas, pengonstruksian bukti pada awalnya mungkin berlangsung selangkah demi selangkah, tidak selalu dapat diselesaikan dengan sukses dan cepat. Selanjutnya untuk merumuskan proses bukti, langkah-langkah yang sukses dalam mengonstruksi bukti tersebut dihubung-hubungkan, hingga keseluruhannya menjadi sebuah pengetahuan prosedural. Pemahaman proses akan mendorong encapsulated proses bukti sehingga terbentuk konsep baru dalam mental. Pemahaman proses tersebut sebenarnya proses berpikir seseorang menghubungkan pengetahuan awal yang dimilikinya sesuai dengan bukti yang dikonstruksinya dengan konsep baru. Dalam hal ini, pemahaman “proses” menghubungkan aksi-aksi yang diketahui (pengetahuan riil siswa) dengan konsep baru yang akan dipelajarinya, yang memastikan berlangsungnya konstruksi pengetahuan dalam cara memandang bukti sebagai prosep. Karena terhubung dengan pengetahuan riil siswa, maka pembelajaran menyatu dengan lingkungan dan pengalaman siswa. Pembelajaran seperti ini dapat berlangsung tematik, riil, menantang dan mengembangkan kompetensi siswa.

C. SIMPULAN

Mengapa penting mengembangkan dan menerapkan “bukti sebagai prosep” dalam pembelajaran geometri, untuk Indonesia yang lebih baik? Pertama, karena memandang bukti sebagai prosep memberi penjelasan memadai tentang proses berpikir dalam pembuktian geometri.

Kedua, karena secara alamiah, konsep teorema sebagai encapsulation suatu proses (bukti) tidak tepat dipisahkan dari proses tersebut, dan bersama-sama saling melengkapi memberi makna pada teorema yang terbentuk. Ada beberapa teori yang mengakui objek sebagai encapsulation suatu proses, tetapi yang tegas memandang konsep dan prosep sebagai satu kesatuan ibarat dua sisi dari satu mata uang adalah prosep.

Ketiga , untuk memaksimalkan efek penggunaan geometri sebagai materi pendidikan matematika yaitu mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik di negeri ini. Makna dari konsep lebih tepat dibangun melalui pemahaman prosesnya, dan konsep maupun proses masing-masing mengembangkan pengetahuan dan kompetensi dalam belajar. Oleh karena itu, baik proses maupun konsep sebaiknya tidak diabaikan, dan dipelajari tanpa memisahkannya. Selain itu, memandang bukti sebagai prosep, memberi tantangan berpikir lebih tinggi, tidak sekedar memahami bukti dan makna teorema yang dibuktikan, tetapi memahami keduanya secara proseptual. Bukti sebagai prosep diyakini sebagai komponen dasar pengetahuan, dan teorema akan menjadi unit berpikir matematika dalam berpikir matematika yang sukses jika dilihat sebagai simbol prosep dari buktinya dan dapat dipikirkan secara proseptual.

Keempat , mempelajari konsep dari dan tanpa dipisahkan dari proses menjadi kegiatan strategis untuk menjamin pelaksanaan konstruksi konsep atau pengetahuan baru. Proses menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan konsep baru yang dipelajarinya. Hal ini mendukung penerapan pandangan konstruktivisme dalam pendidikan matematika. Selain itu, prosep memberi peluang pembelajaran dari proses atau dari konsep dengan menempatkan simbol berperan sebagai pivot. Pemilihan awalan –dari proses atau dari konsep- disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa.

D. DAFTAR PUSTAKA

Baylis, John. 1983. “Proof- The Esence of Mathematics”. International Journal of Mathematics Education and Science Technology. Vol 14.

Beth, E. W. & Piaget J. 1966. Mathematical Epistemology and Psychology. Dordrecht: Reidel Erh-Tsung Chin.2003

“Mathematical Proof as Formal Procept in Advanced Mathematical

Thinking” . http://online.terc.edu/PME2003/PDF/ RR_chin.pdf, diakses 4 April 2009. Ndraha, Faaso, 2011. Proses Berpikir Mengonstruksi Bukti Geometri sebagai Prosep

Berdasarkan Teori Gray-Tall dan Polya. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2011, Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Ndraha, Faaso. 2013. Proses Berpikir Siswa SMP Mengonstruksi Bukti Visual/Simbolik Geometri sebagai Prosep. Artikel untuk Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta 2013. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Fuys, D., Geddes, D., and Tischer, R. 1988. The van Hiele Model of Thingking in Geometry Among Adolescens . Journal for Research in Mathematics Education. Monograph no. 3. Reston : NCTM.

Gray, Eddie M dan Tall, David O. 1994. ”Duality, Ambiguity and Flexibility : A Proceptual View of Simple Arithmetic”. Journal for Research in Mathematics Education, 26(2), 115- 141.

Knuth, E. J. 2002. Secondary School Mathematics Teachers’ Conceptions of Proof. Journal for Research in Mathematics Education. Vol. 33 (5). Hal. 379-405. Matlin, Margaret W. 1994. Cognition. 4 th

ed. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers. O'Daffer, Phares G. dan Thornquist, Bruce A. 1993. “Critical Thinking, Mathematical

Reasoning, and Proof ”. Dalam Patricia S. Wilson (ed). Research Ideas for the Classroom: High School. New York: MacMillan Publishing Co.

Polya, George. 1973. How to Solve It A New Aspect of Mathematical Method. 2 th

ed. New Jersey: Princeton University Press.

Shapiro, Stewart. 2000. Thinking about Mathematics. The Philosophy of Mathematics. Oxford : Oxford University Press. Solso, Robert L. 1995. Cognitive Psychology. 4 th

ed. Boston: Allyn and Bacon Sunardi, 2000. Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa Kelas III SLTP Negeri di

Jember. Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia. Sriwulan Adji dan Janson Naiborhu (eds). Prosiding Konferensi Nasional Matematika X, Institut Teknologi Bandung, 6(5), hal. 635-639. Bandung: ITB

Tall, David, 1995. Cognitive Development, Representations, and Proof. Makalah pada Konferensi Justifying and Proving in School Matematics, Institute of Education, London, Desember 1995. http://homepages.warwick.ac.uk/staff/David.Tall/ pdfs/dot1995-repns- proof.pdf, diakses 14 Juni 2010.

Tall, David, 1997. “From School to University: The Effects of Learning Styles in the Transition from Elementary to Advanced Mathematical Thinking ”. In Thomas, M. O. J. (Ed.) Proceedings of The Seventh Annual Australasian Bridging Network Mathematics Conference, University of Auckland, 9-26.

Tall, D.O. 2008. “The Transition to Formal Thinking in Mathematics”. Mathematics Education Research Journal , Vol. 20 No. 2 Hal: 5-24. Velleman, Daniel J. 2009. How to Proof It A Structured Approach. 2 th

ed. New York: Cambridge University Press.

A-1

SISTEM LINEAR DALAM ALJABAR MAKS-PLUS

1 2 Anita Nur Muslimah 3 , Siswanto , Purnami Widyaningsih

Jurusan Matematika FMIPA UNS

1 2 anitanurmuslimah@yahoo.co.id, 3 sis.mipauns@yahoo.co.id, poer@uns.ac.id

Abstrak

Aljabar maks-plus adalah aljabar linear atas semiring dengan = ∪ { −∞ } yang dilengkapi dengan operasi penambahan “ ⊕ = maks” dan perkalian “ ⊗ =+ ”. Sistem linear dalam aljabar maks-plus terdiri atas sistem persamaan linear dan sistem pertidaksamaan linear. Penelitian ini bertujuan mengkaji ulang penyelesaian dari sistem linear dalam aljabar maks-plus dan keterkaitannya dengan himpunan bayangan dan matriks reguler kuat. Dari penelitian ini, disimpulkan bahwa jika matriks adalah matriks reguler kuat maka sistem persamaan linear tersebut kemungkinan memiliki penyelesaian tunggal dan jika suatu sistem persamaan linear memiliki penyelesaian tunggal maka himpunan bayangan dari matriks adalah himpunan bayangan sederhana.

Kata kunci: sistem linear aljabar maks-plus, himpunan bayangan, matriks reguler kuat

A. PENDAHULUAN

Dalam aljabar abstrak sering dijumpai suatu sistem linear yang terdiri atas persamaan linear atau pertidaksamaan linear. Dalam aljabar abstrak, tanda " + " menyatakan operasi penjumlahan dan tanda " × " menyatakan operasi perkalian. Selama periode 1970-an dan 1980-an banyak teknologi yang dikembangkan, khususnya bidang produksi. Di bidang produksi tersebut terdapat discrete event system (DES ) atau discrete event dynamic system (DEDS ), seperti penjadwalan mesin, antrian, proses jaringan dan lain-lain. Menurut Schutter dan Boom (2008), masalah DES adalah masalah nonlinear dalam aljabar konvensional. Namun, terdapat suatu kelas sekunder dari DES (memuat operasi maksimum dan plus) yang dapat diubah menjadi linear dalam aljabar maks-plus. Tam (2010) menyebutkan bahwa aljabar maks-plus adalah aljabar linear atas semiring dengan = ∪ { −∞ } yang dilengkapi dengan operasi penambahan “ ⊕ = maks” dan perkalian “ ⊗ =+ ”.

Menurut Tam (2010), ide aljabar maks-plus ditemukan pertama kali pada tahun 1950-an, tetapi teorinya baru mulai berkembang pada tahun 1960-an. Pada tahun 2000, Butkovic (2000) mempublikasikan artikel yang membahas himpunan bayangan sederhana pada pemetaan linear (maks, +). Selanjutnya pada tahun 2003, Butkovic(2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara aljabar maks-plus dan kombinatorik. Kemudian tahun 2010, Tam (2010) mempublikasikan tesisnya yang memuat sistem linear pada aljabar maks-plus, himpunan bayangan dan matriks reguler kuat. Tam (2010) dan Butkovic (2000) menyebutkan bahwa penyelesaian dari sistem

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

MA-1 MA-1

B. PEMBAHASAN

B.1. Aljabar Maks-Plus.

Dalam setiap penulisan, R maks mempunyai definisi yang berbeda-beda. Pada artikel ini, definisi R maks mengacu pada Akian et al.(1994), Baccelli et al.(2001) dan Butkovic(2010) yang didefinisikan sebagai berikut.

Definisi 1.1

R maks adalah himpunan = ∪ { −∞ } yang dilengkapi dengan operasi penambahan “ ⊕ = maks” dan perkalian “ ⊗ =+ ”.

Berdasarkan Definisi 1.1, Tam(2010) mendefinisikan aljabar maks-plus sebagai berikut.

Definisi 1.2

Aljabar maks-plus adalah aljabar linear atas semiring atau R maks . Elemen identitas untuk penambahan (nol) adalah −∞ (untuk selanjutnya dinotasikan dengan dan elemen identitas untuk perkalian (unit) adalah 0. Dalam pembahasan selanjutnya juga

dibahas himpunan , conjugate dari suatu matriks dan aljabar min-plus, sebagaimana yang telah dituliskan oleh Tam(2010).

Definisi 1.3

Himpunan adalah himpunan yang terdiri dari ∪ {± ∞ } .

Definisi 1.4

Misalkan =( )

∈ × . Conjugate dari matriks adalah ∗ =( ∗ ) .

Definisi 1.5

Aljabar min-plus(atau tropical algebra) adalah aljabar linear atas semiring = ∪ {+ ∞ } , dilengkapi dengan operasi penambahan " ⊕ = min" dan perkalian " ⊗ =+ ".

B.2. Sistem Persamaan Linear dalam Aljabar Maks-Plus

. Sistem dari maks + = dapat dinyatakan sebagai

Diberikan =( )

∈ × dan =( , …, ) ∈

(2.1) Karena sistem (2.1) memuat operasi maksimum dan plus, sistem (1) disebut sistem persamaan linear (sistem linear maks-aljabar satu sisi). Oleh karena itu, Tam(2010) memberikan Definisi 2.1 dan Definisi 2.2 untuk memperjelas pencarian penyelesaian sistem persamaan linear.

Definisi 2.1

Proses perubahan sistem (2.1) menjadi sistem

(2.2) dengan ̅ = ⊗ =

∈ × , disebut normalisasi dan sistem (2.2) disebut sistem yang dinormalkan.

Definisi 2.2

Diberikan suatu sistem ⊗ = dengan =( )

∈ × , =( , …, ) ∈ , = {1,2, …, } dan = {1,2, …, }. Didefinisikan

Dengan mengacu pada Definisi 2.2, Butkovic (2010) menjelaskan teorema tentang kriteria sistem persamaan linear yang memiliki penyelesaian.

Teorema 2.1

Misalkan =( ) ∈ × adalah doubly R-astic(mempunyai paling sedikit elemen berhingga pada setiap baris dan kolomnya) dan ∈

. Vektor ∈ (,) jika dan hanya jika 1)

Bukti. Ambil ∈ (,) , akan ditunjukkan bahwa 1)

Misalkan ∈ (,), ∈ , ∈ , akan ditunjukkan bahwa ≤ ̅. Karena ⊗ ≤ maka ≥

⊗ = ̅ . Jadi, jika ∈ (,) maka ≤ ̅ . Selanjutnya, akan ditunjukkan bahwa ∪ ∈

={ ∈ | = ̅ } . Akan ditunjukkan bahwa ∪ ∈

(,) ⊆ . Akan ditunjukkan bahwa ⊆∪ ∈ (,) . Misalkan ∈ , karena =

untuk setiap ∈ , diperoleh

⊗ > untuk suatu ∈

dan

dan = ̅. Misalkan

. Oleh karena itu

akan ditunjukkan bahwa ∈ (,) . Misal ∈ dan ∈ , ⊗ ≤ jika = . Jika

≠ maka

(2.3) Oleh karena itu ⊗ ≤ . Pada waktu yang sama, ∈

untuk suatu ∈ yang memenuhi = ̅ . Untuk ini, kedua pertidaksamaan yang terdapat di dalam pertidaksamaan (2.3) adalah persamaan dan karena itu ⊗ = .

□ Kemudian Cuninghame-Green (1979) mendefinisikan penyelesaian dasar sistem (2.1) yang dapat dilihat pada Definisi 2.3.

Definisi 2.3

Sistem (2.1) mempunyai penyelesaian jika dan hanya jika ̅ adalah penyelesaian sistem tersebut. Kemudian, vektor ̅ disebut penyelesaian dasar sistem (2.1).

Karena ̅ adalah penyelesaian dasar sistem (2.1), Butkovic(2010) menyebutkan dua akibat yang muncul dari Teorema 2.1. Akibat 2.2 menjelaskan tentang kriteria sistem persamaan linear Karena ̅ adalah penyelesaian dasar sistem (2.1), Butkovic(2010) menyebutkan dua akibat yang muncul dari Teorema 2.1. Akibat 2.2 menjelaskan tentang kriteria sistem persamaan linear

Akibat 2.2

Misalkan × ∈ adalah doubly R-astic dan ∈ , tiga pernyataanberikut ekuivalen.

Misalkan ∈ × adalah doubly R-astic dan ∈ , (,)= ̅ jika dan hanya jika

dan

2) ∪ ∈ (,) ≠ untuk setiap

B.3. Sistem Pertidaksamaan Linear

Selain sistem pertidaksamaan linear, di dalam alajabar maks-plus juga terdapat sistem pertidaksamaan linear. Menurut Tam(2010), sistem pertidaksamaan linear didefinisikan sebagai berikut.

Definisi 13

Diberikan = ∈ × dan =( , …, ) ∈

. Sistem

(3.1) disebut sistem pertidaksamaan linear (sistem pertidaksamaan maks-linear satu sisi). Selanjutnya Butkovic (2010) menjelaskan penyelesaian dari sistem pertidaksamaan linear melalui teorema berikut.

Teorema 3.1

Diberikan = ∈ × , =( , …, ) ∈ dan ∈ . Sistem pertidaksamaan linear ⊗ ≤ jika dan hanya jika ≤ ∗ ⊗′. Bukti.

Tiga pernyataan berikut ekuivalen.

Secara umum, ∗ ⊗ = − + sehingga jika =+ ∞ dan = −∞ maka = −∞ adalah penyelesaian tunggal untuk ⊗ ≤ dan yang memenuhi ≤ ∗ ⊗ ′ adalah

≤ −∞, dengan ,, ∈ . Untuk semua kasus lain, dengan , ∈ { −∞ ,+ ∞ } , himpunan penyelesaian untuk ⊗ ≤ adalah dan yang memenuhi ≤ ∗ ⊗ ′ adalah ≤ + ∞. Jadi, pernyataan berikut ekuivalen.

Berdasarkan Definisi 2.3, ̅ = ∗ ⊗ ′ jika adalah doubly R-astic dan berhingga. Oleh karena itu, ̅ = ∗

⊗ ′ adalah penyelesaian dasar dari sistem (2.1) dan (3.1) dengan ∈ × dan ∈

. Jadi, penyelesaian dasar adalah penyelesaian terbesar dari sistem (3.1).

B.4. Himpunan Bayangan dan Matriks Reguler Kuat

Untuk sistem (2.1), Tam(2010) memberikan Definisi 4.1 sampai Definisi 4.4 dan Teorema

4.1. Definisi 4.1 menjelaskan tentang himpunan bayangan. Berbeda dengan aljabar abstrak, di dalam aljabar maks-plus terdapat definisi bebas linear kuat yang mana dapat dilihat pada Definisi

4.2. Definisi 4.3 menjelaskan tentang matriks reguler kuat, Definisi 4.4 menjelaskan tentang himpunan bayangan sederhana dan Teorema 4.1 menjelaskan kemungkinan jumlah penyelesaian sistem (2.1).

Definisi 4.1

Diberikan ∈ × . Himpunan bayangan (image set) dari matriks adalah ()={ ⊗ | ∈ } .

Definisi 4.2

Vektor-vektor , , …,

bebas linear kuat jika terdapat suatu ∈ sedemikian sehingga dapat dinyatakan sebagai suatu kombinasi linear dari , , …,

secara tunggal.

Definisi 4.3

Untuk vektor-vektor

= maka matriks =( , , …, ) disebut reguler kuat.

yang bebas linear kuat, jika

Definisi 4.4

Diberikan × ∈ . Himpunan

| ⊗ = mempunyai penyelesaian tunggal} disebut himpunan bayangan sederhana (simple image set) dari matriks .

Teorema 4.1

Misalkan ∈ × adalah doubly R-astic dan ∈ , maka |(,)| ∈ {0,1, ∞ } . Selain matriks reguler kuat, di dalam aljabar maks-plus juga didefinisikan matriks yang mempunyai permanen kuat. Oleh karena itu, Butkovic (2010) memberikan Definisi 4.5 sampai Definisi 4.7, yang mana berkaitan dengan matriks yang mempunyai permanen kuat.

Definisi 4.5

Himpunan semua permutasi dari disebut .

Definisi 4.6

Diberikan ∈ × dan ∈ , nilai (,)= ∏ ⊗

Kemudian, Tam(2010) memberikan Definisi 4.8 yang menjelaskan tentang matriks yang mempunyai permanen kuat.

Definisi 4.8

Himpunan dari semua permutasi yang optimal disebut () , dengan ()={ ∈ |

()= (,)} . Jika | ()|=1 maka dikatakan mempunyai permanen kuat. Sebelum dibahas keterkaitan antara matriks reguler kuat dengan matriks yang mempunyai permanen kuat, terlebih dahulu diberikan definisi dense dan digraf associated yang mengacu pada Cuninghame-Green (1995).

Definisi 4.9

Himpunan disebut dense jika untuk semua , ∈ dengan < , interval terbuka (,) ≠ ∅.

Definisi 4.10

Misalkan ∈ × . Digraf associated ( ) adalah digraf arc-weighted lengkap.

Definisi 4.11

Suatu matriks real disebut definit jika semua elemen diagonalnya adalah unit dan tidak ada cycle yang positif pada digraf associated.

Untuk memperjelas pembahasan lema dan teorema selanjutnya, Butkovic(2000) memberikan Definisi 4.12 sampai Definisi 4.15, yang menjelaskan tentang matriks normal, similar(sim) [] , matriks , dan .

Definisi 4.12

Misalkan ∈ × , matriks disebut normal jika setiap elemennya adalah non-positif dan semua elemen diagonalnya adalah unit.

Definisi 4.13

Misalkan , ∈ × dan , adalah matriks permutasi yang diperumum. Jika = ⊗⊗ maka ~ .

Definisi 4.14

Diberikan ∈ × . Matriks adlah matriks yang berasal dari matriks dan semua elemen diagonalnya diganti dengan .

Definisi 4.15

Misalkan

∈ [] dan adalah bilangan bulat positif maka = ⊕⊕ ⊕… ⊕. Kemudian, Butkovic (2000) memberikan tujuh lema yang menunjang untuk pembuktian

teorema selanjutnya .

Lema 4.1

Diberikan × ∈ . Jika reguler kuat maka mempunyai permanen kuat.

Lema 4.2

Misalkan , ∈ × . Jika ~ maka ()=

Lema 4.3

Misalkan ~ . Matriks adalah matriks reguler kuat jika dan hanya jika adalah matriks reguler kuat.

Lema 4.4

Misalkan ∈ × adalah matriks definit. Matriks adalah matriks yang mempunyai permanen kuat jika dan hanya jika setiap cycle di adalah negatif.

Lema 4.5

Jika adalah dense, > dan adalah bilangan bulat positif maka terdapat suatu elemen > sedemikian hingga

Lema 4.6

Jika ∈ × dan tidak ada cycle yang positif di maka [] adalah matriks yang sama untuk semua ≥− 1 (matriks ini dinotasikan dengan

). Lebih lanjut, jika semua elemen diagonal dari adalah maka

sama untuk semua ≥− 1 . Hal ini benar, khususnya untuk matriks normal.

Lema 4.7

Misalkan × ∈ adalah matriks definit dan ={; ⊗≤⊗ , < } . Matriks adalah matriks reguler kuat jika dan hanya jika terdapat < sedemikian hingga

≠ ∅. Dengan menggunakan Lema 4.1 sampai Lema 4.7, Butkovic (2000) menjelaskan keterkaitan antara matriks reguler kuat dengan matriks yang mempunyai permanen kuat pada teorema

berikut.

Teorema 4.2

Misalkan ∈ × adalah doubly R-astic. Matriks adalah matriks reguler kuat jika dan hanya jika matriks mempunyai permanen kuat.

Bukti. Berdasarkan Lema 4.1, terbukti bahwa jika matriks adalah matriks reguler kuat maka matriks mempunyai permanen kuat. Selanjutnya akan dibuktikan bahwa jika matriks mempunyai permanen kuat maka matriks adalah matriks reguler kuat. Berdaasarkan Lema 4.3, perubahan matriks

tidak mempengaruhi sifat reguler kuat dan sifat permanen kuat, tanpa mengurangi keumuman, diasumsikan bahwa adalah matriks normal (sehingga adalah matriks definit). Berdasarkan Lema 4.4, dapat diasumsikan bahwa setiap cycle di

menjadi matriks

mempunyai bobot negatif. Berdasarkan Lema 4.5, terdapat ∈ , < sedemikian hingga

≥ max { , ; adalah cycle dasar pada himpunan bagian {1,2, …, }} . Misalkan adalah matriks

⊗ dan adalah cycle dasar maka (,)= − () ⊗ (, ) ≤ ⊗ (, ) ≤ . Jelas bahwa tidak ada cycle positif di . Oleh karena itu, menggunakan

Lema 4.6 diperoleh − ⊗ 1 = ⊗ ⊕⊕ ⊕… ⊕ = ⊕ ⊕… ⊕ = . Jika adalah sembarang kolom dari

maka ⊗ ≤ atau ekuivalen dengan ⊗ ⊗ ≤ . Kemudian, dengan mengalikan dari sebelah kiri pada kedua ruas, diperoleh ⊗ ≤ ⊗ , sehingga berdasarkan Lema 4.7, adalah matriks reguler kuat. □

C. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dapat dimbil kesimpulan sebagai berikut.

1) Diberikan =( )

. Sistem ⊗ = adalah sistem persamaan linear dalam aljabar maks-plus. Penyelesaian dari sistem persamaan linear dalam aljabar maks-plus adalah

, sistem ⊗ ≤ adalah sistem pertidaksamaan linear dalam aljabar maks-plus. Penyelesaian dari sistem pertidaksamaan linear dalam aljabar maks-plus adalah ≤ ∗ ⊗′.

∈ × dan =( , …, ) ∈

3) a) Di dalam sistem linear khususnya sistem persamaan linear, jika matriks adalah matriks reguler kuat maka sistem persamaan linear tersebut kemungkinan mempunyai penyelesaian tunggal.

b) Untuk suatu sistem persamaan linear yang mempunyai penyelesaian tunggal, himpunan bayangan dari matriks adalah himpunan bayangan sederhana.

D. DAFTAR PUSTAKA

Akian, M., G. Kohen, S. Gaubert, J. P. Quadrat and M. Viot. 1994. Max-Plus Algebra and Applications to System Theory and Optimal Control. Proceedings of the International Congress of Mathematicians. pp:1502-1511.

Baccelli, F., G. Kohen, G. J. Olsder and J. P. Quadrat. 2001. Synchronization and Linearity An Algebra for Discrete Event Systems. New York: Wiley.

Butkovic, P. 2003. Max-Algebra: The Linear Algebra of Combinatorics?. Linear Algebra and Application. Vol. 367. Pp:313-335.

Butkovic, P. 2010. Max Linear Systems: Theory and Algorithm, London: Springer. Butkovic, P. 2000. Simple Image Set of (max,+) Linear Mappings. Discrete Applied

Mathematics. Vol. 105, pp:73-86. Cuninghame-Green, R.A. 1979. Minimax Algebra, Lecture Notes in Economics and

Mathematical Systems. Vol. 166. Berlin: Springer. Cuninghame-Green, R.A. 1995. Minimax Algebra and Applications in: Advances in Imaging an

Electron Physics. Vol. 90. New York: Academic Press. Schutter, B.D., and T. V. D. Boom. 2008. Max-Plus Algebra And Max-Plus Linear Discrete Event

Systems: An Introduction. Proceedings of the 9th International Workshop on Discrete Event Systems (WODES'08), pp:36-42.

Tam, K.P. 2010. Optimizing and Approximating Eigen Vectors in Max-Algebra. Birmingham: University of Birmingham.

A-2

SIFAT-SIFAT SIMILAR SEMU ATAS RING REGULER STABLE DIPERUMUM

Evi Yuliza

Jurusan Matematika FMIPA UNSRI evibc3@yahoo.com

Abstrak

Suatu ring R dikatakan memenuhi sifat ring stable diperumum apabila aR + bR = R sedemikian hingga terdapat a + by  K(R) dengan didefinisikan himpunan K(R) = {x  R │(  s, t  R) sxt = 1 }. Suatu ring R dikatakan regular apabila untuk setiap x  R terdapat y  R sedemikan hingga x = xyx. Elemen a  R disebut similar semu terhadap b R apabila terdapat x, y, z  R sehingga xay = b, zbx = a,

xyx = xzx = x dan dinotasikan dengan a ~ b . Dalam tulisan ini akan dibahas sifat – sifat similar semu atas ring reguler yang memenuhi ring stable diperumum.

Kata Kunci : similar semu, ring reguler, ring stable diperumum

PENDAHULUAN

Suatu ring R dikatakan memenuhi sifat stable range one apabila memenuhi kondisi berikut: jika aR + bR = R maka terdapat suatu y R sehingga a + by  U(R) dengan U(R) himpunan semua unit dalam R. Dalam hal ini, ring R yang dimaksud adalah ring dengan elemen satuan. Dari U(R) dapat dibentuk himpunan yang lebih umum yaitu K(R) dengan definisi sebagai berikut: K(R) = {x  R (  s, t  R) sxt = 1}. K(R) adalah generalisasi dari U(R), sebab:

jika xU(R) maka terdapat uR sehingga ux = 1 yang berarti ux.1 = 1. Selanjutnya, dari ring R yang memenuhi sifat stable range one dapat didefinisikan ring stable diperumum sebagai berikut: Suatu ring R merupakan ring stable diperumum jika aR + bR =R maka a + by  K(R) untuk suatu y  R. Suatu ring R dikatakan ring reguler apabila untuk setiap x di R ada y di R sehingga x = xyx . Keterkaitan antara ring reguler R dengan sifat ring stable diperumum dikemukakan oleh Chen (2003) berikut ini: Ring reguler stable diperumum jika dan hanya jika untuk setiap x R terdapat suatu wK(R) dan suatu grup G di R sehingga wx G.

Elemen a disebut similar semu terhadap b di R apabila terdapat x, y, z  R sehingga xay = b, zbx = a, xyx = xzx = x dan dinotasikan dengan a ~ b. Dalam tulisan ini akan dibahas sifat –

sifat similar semu atas ring reguler yang memenuhi ring stable diperumum.

RING REGULER

Definisi 1. (Goodearl, 1991) Suatu ring R disebut ring reguler apabila untuk setiap x di R ada y di R sehingga xyx = x.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

Teorema 2. (Goodearl, 1991) Untuk sebarang ring R, kondisi berikut ini adalah ekuivalen:

a. R adalah reguler.

b. Setiap ideal kanan (kiri) utama di R dibangun oleh suatu elemen idempoten.

c. Setiap ideal kanan (kiri) yang dibangun hingga di R dibangun oleh suatu elemen idempoten.

Bukti:

a  b Ambil sebarang ideal kanan utama I di R. Misalkan I = x = xR. Karena x R dan R merupakan ring reguler, maka terdapat y R sehingga xyx = x.

Selanjutnya, (xy) 2 = xyxy = (xyx)y = xy. Jadi, xy suatu elemen idempoten di R sehingga xyR = xR.

b  c Cukup ditunjukkan bahwa xR + yR merupakan ideal utama untuk sebarang x, y  R. Diketahui xR = eR untuk suatu elemen idempoten eR. Karena y – ey  xR + yR sehingga xR + yR = eR + (y – ey)R . Ini berakibat, terdapat suatu elemen idempoten f R sehingga fR = (y – ey)R. Asumsikan bahwa e dan f adalah idempoten orthogonal, yaitu ef = 0 = fe. Akibatnya, g =

f – fe adalah idempoten orthogonal terhadap e. Selanjutnya,

fg = f(f – fe) = ff – f(fe) = f 2 –f e = f – fe = f – 0 = f – fe = g dan gf = (f – fe)f = ff – (fe)f = f –0 = f.

Dari sini diperoleh, gR = fR = (y – ey)R yang berakibat xR + yR = eR + gR. Karena e dan g adalah idempoten orthogonal diperoleh xR + yR = (e + g)R.

c  a Ambil sebarang x R maka mengingat c. terdapat suatu elemen idempoten e R sehingga eR = xR . Akibatnya, terdapat e = xy untuk suatu y R dan x = ex = xyx. Jadi, R reguler.

Lemma 3. (Goodearl, 1991) Misalkan e 1 ,e 2 ,e 3 , …, e n idempoten orthogonal di ring R sehingga

e 1 +e 2 +e 3 +…+e n = 1. R reguler jika dan hanya jika untuk setiap x e i Re j maka ada y e j Re i sehingga xyx = x.

Definisi 4. (Goodearl, 1991) Suatu ring R disebut unit reguler apabila untuk setiap x R ada unit u R (elemen invertibel) sehingga xux = x.

Definisi 5. (Goodearl, 1991) Suatu ring R dikatakan memiliki sifat stable range one apabila berlaku sifat sebagai berikut: (  a, b R)(aR + bR = R)  (  y R) a + by U(R).

Akibat 6. (Goodearl, 1991) Jika suatu ring reguler R mempunyai sifat stable range one maka R merupakan ring unit reguler.

Bukti:

Ambil sebarang aR. Mengingat R reguler, maka terdapat xR sehingga axa = a. Sementara itu, aR + (1 – ax)R = R maka terdapat yR sehingga

a + (1 – ax)yU(R). Akibatnya, terdapat unit u R sehingga [a + (1 – ax)y]u = 1. Dari sini diperoleh,

a = axa = ax[a + (1 – ax)y]ua = (axa)ua = aua. Jadi, R merupakan ring unit reguler.

Lemma 7. (Chen dan Li, 2003) Jika eR  fR dengan e, f  R idempoten maka ada a di eRf dan b di fRe sehingga e = ab dan f = ba.

Bukti:

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013 M A- 10

Misalkan -  : eR  fR adalah suatu isomorfisma sedemikian hingga  (eR) = fR dan eR = 

1 (fR) -1 . Dari sini diperoleh, ex =  (fy) dan  (es) = ft untuk suatu x, y, s, t R. Jelas bahwa eRe dan fRf adalah reguler. Selanjutnya,

e=e -1 = exe = e(  (fy))e = e  (f)ye = e  (ftf)ye = e  (ft)fye

=e -1  (ft)f ye = e  (ft)ffye = (e  (ft)f)(fye) dan

-1 2 -1

2 f=f 2 = ftf = f 

(es)f = f  (e)sf = f  (exe)sf = f  (ex)esf = f  (ex) e sf

=f  (ex)eesf = (f  (ex)e)(esf). Sementara itu,

e -1  (ft)f = eesf = esf dan f  (ex)e = ffye = fye dengan e  (ft)f, esf eRf dan f  (ex)e, fye  fRe. Ambil a = esf dan b = fye sehingga e = ab dan f = ba.ٱ

Definisi 8. (Chen, 2000) Ring R dikatakan ring stable diperumum apabila memenuhi: (  a, b R)(aR + bR = R)  (  y R) a + by K(R).

Proposisi 9. (Chen, 2000) Jika R ring stable diperumum maka pernyataan berikut ekuivalen:

1. R merupakan ring stable diperumum

2. Jika ax + b =1 maka ada y R sehingga a + by K(R).

Bukti:

(1)  (2) Diberikan ax + b = 1 sehingga (ax + b)R = 1.R

axR + bR = R

Karena R ring stable diperumum, maka terdapat suatu yR sehingga a + by K(R). (2)  (1) Diberikan aR + bR = R, maka ax + by = 1 untuk sebarang x, yR. Menurut yang diketahui, terdapat zR sehingga a + byz  K(R).

Teorema 10. (Chen, 2000) Jika R merupakan ring stable diperumum maka untuk sebarang

reguler x 2 R ada suatu e = e  R, w K(R) sehingga x = ew.

Akibat 11. (Chen, 2000) R ring stable diperumum jika dan janya jika aR = bR dengan a, b  R maka ada suatu w K(R) sehingga a = bw.

Bukti:

(  ) Asumsikan bahwa a = bs, b = at untuk suatu s, t  R. Karena st + (1 – st) = 1 maka terdapat suatu y  R sehingga s + (1 – st)y = w K(R). Akibatnya,

a = bs = b(s + (1 – st)y) = bw.

(  ) Ambil sebarang x R reguler, maka x = xyx untuk suatu y R. Selanjutnya, x = xyx = ex

sehingga xR = eR dengan e = e 2 = xy R. Karena xy + (1 – xy) = 1, maka terdapat suatu z R sehingga x + (1 – xy)z = w K(R).

Definisi 12. (Adkins, 1992) Misalkan R ring. Ring opposite (R op ) adalah grup abelian R bersama–sama dengan operasi perkalian * yang didefinisikan sebagai berikut:

a*b = ba dengan ba melambangkan perkalian yang didefinisikan pada R.

Lemma 13. Jika R ring stable diperumum maka R op merupakan ring stable diperumum.

Bukti:

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013 M A- 11

Diberikan a op x +b y =1 untuk sebarang x ,y R yang berarti xa + yb = 1 untuk sebarang x, y R.

Karena R ring stable diperumum, maka terdapat untuk suatu zR sehingga x

+ ybz op K(R). Dari sini diperoleh, x + z b y K(R ) untuk sebarang x , y R dan untuk

op

oo

suatu z op R . Di peroleh bahwa R merupakan ring stable diperumum.

o op

Teorema 14. (Chen, 2000) Jika R ring reguler maka pernyataan berikut ini ekuivalen: (1) R merupakan ring stable diperumum. (2) Jika ax + b =1 di R maka ada z R sehingga x + zb K(R).

Bukti:

untuk untuk sebarang o x R . Berdasarkan Lemma 13., R merupakan ring stable diperumum, maka terdapat suatu z

Diberikan ax + b = 1 di R untuk sebarang x R yang berarti x o a +b =1

o op

op

R op o sehingga x o +b z  K(R ). Dari sini diperoleh, x + zb K(R) untuk suatu z R. (2)  (1)

op o

Diberikan ax + by = 1 untuk sebarang x, y R yang berarti x o a +y b =1 untuk sebarang x ,y

op

R op . Dari sini diperoleh, a +z y b K(R ) untuk suatu z R yang berarti a + byz  K(R) untuk suatu z (R). Di peroleh bahwa R merupakan ring stable diperumum. ٱ

op

RING REGULER STABLE DIPERUMUM

Chen (2000) menyelidiki keterkaitan antara ring reguler R dengan sifat ring stable diperumum . Hal ini dapat disajikan pada Teorema berikut ini: Teorema 15. (Chen, 2000) Jika R ring reguler maka pernyataan berikut ini ekuivalen:

(1) R merupakan ring stable diperumum. (2) Untuk sebarang x R ada suatu wK(R) sehingga x = xwx. (3) Untuk sebarang x R ada suatu wK(R) sehingga wx idempoten di R.

Bukti:

(1)  (2) Ambil sebarang xR, maka terdapat yR sehingga x = xyx dan y = yxy. Berdasarkan Teorema

10., untuk sebarang reguler y  R ada e = e 2  R, w  K(R) sehingga y = ew. Karena yx + (1 – yx) = 1, maka

y + (1 – yx)(1 – e)w = (e + (1 – yx)(1 – e))w = ( 1 + ewx(1 – e)) -1 w. Akibatnya, x = xyx = x(y + (1 – yx)(1 – e)w)x = x(1 + ewx(1 – e)) -1 wx.

(2)  (3) Ambil sebarang x R, maka mengingat (2) ada suatu w K(R) sehingga x = xwx.

Selanjutnya, (wx) 2 = wxwx = w(xwx) = wx. Jadi, wx idempoten R. (3)  (1)

Diberikan ax + b = 1 di R, maka ada wK(R) sehingga wa = e = e 2 K(R). Dari sini diperoleh, ex + wb = w. Mengingat R ring reguler, maka ada suatu c R sehingga (1 – e)wb =

(1 – e)wbc(1 – e)wb. Oleh karena itu, ex(1 + wb) + (1 – e)wb = ex(1 + wb) + gwb = w dengan g = (1 – e)wbc(1 – e). Selanjutnya, ex(1 + wb) = ew dan gwb = (1 – e)wb = gw. Oleh karena itu, ex(1 + wb) + gwb = (e + g)w

= (e + (1 – e)wbc(1 – e))w = (e(1 – ewb(1 – e)) + wbc(1 – e))w = w(a(1 – ewb(1 – e)) + bc(1 – e))w = w[a + bc(1 – e)(1 + ewbc(1 – e)](1 – ewbc(1 – e))w

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013 M A- 12

= w.

Asumsikan swt = 1 untuk suatu s, t  R. Dari sini diperoleh, sw[a + bc(1 – e)(1 + ewbc(1 – e)](1 – ewbc(1 – e))wt = 1. Jadi, a + bc(1 – e)(1 + ewbc(1 – e)) K(R). ٱ

Definisi 16. (Chen, 2001) Elemen g di R disebut suatu anggota grup (a group member) di R

apabila ada suatu g # R sehingga gg g = g, g gg =g dan gg =g g.

Teorema 17. (Chen, 2003) Jika R ring reguler maka pernyataan berikut ini ekuivalen: (1) R merupakan ring stable diperumum. (2) Jika xR = eR untuk setiap x ∈R dan setiap elemen idempoten eR maka

terdapat suatu w K(R) sehingga xw = e. (3) Untuk setiap x R terdapat suatu wK(R) dan suatu grup G di R sehingga

xw G.

Bukti:

(1)  (2) Menurut Akibat 11., asumsikan bahwa x = es, e = xt untuk suatu s, t R. Karena ts + (1 – ts) = 1 maka terdapat suatu y R sehingga t + (1 – ts)y = w K(R). Jadi, e = xt = x(t + (1 – ts)y) = xw. (2)  (3) Ambil sebarang xR, maka ada suatu elemen idempoten eR sehingga xR = eR. Menurut yang

diketahui, ada suatu wK(R) sehingga xw = eR merupakan idempoten yang berarti (xw) 2 = xw = e . Elemen xwR merupakan anggota grup di R. Disini dapat dibentuk grup G yang

didefinisikan sebagai berikut: G= {y R │ y elemen idempoten} yang berarti ada suatu grup G di R sehingga xw G. Jadi, setiap elemen idempoten di R merupakan suatu anggota grup yang berakibat ada suatu grup G di R sehingga xw G. (3)  (1) Diberikan ax + b = 1 di R untuk sebarang a, b R dan sebarang xR. Menurut yang diketahui, ambil sebarang x R maka ada suatu w K(R) dan suatu grup G di R sehingga xw G. Ini berarti elemen xw di R merupakan anggota grup G di R. Oleh karena itu, elemen xw  R

mempunyai invers grup (xw) # R. Selanjutnya, xw((xw) + 1 – (xw) xw)xw = xw dan

(xw) -1 + 1 – (xw) xw = (xw + 1 – (xw) xw) U(R). sehingga

xw((xw) # + 1 – (xw) xw) = ((xw) + 1 – (xw) xw)xw

= (xw + 1 – (xw) -1 xw) xw

Dari sini diperoleh, w((xw) # + 1 – (xw) xw)  K(R) dan xw((xw) + 1 – (xw) xw) merupakan idempoten di R. Sejalan dengan Teorema15. diperoleh,

a + bc(1 – e)(1 + e(w((xw) # + 1 – (xw) xw))bc(1 – e)) K(R).

SIMILAR SEMU ATAS RING REGULER STABLE DIPERUMUM

Lemma 18. (Chen, 2003) Jika R ring dan a, b R maka pernyataan berikut ekuivalen: (1) a ~ b.

(2) Terdapat x, y  R sehingga a = xby, b = yax, x = xyx dan y = yxy.

Bukti:

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013 M A- 13

(1)  (2) Diketahui a ~ b yang berarti a merupakan similar semu terhadap b di R maka terdapat x, y, z R

sehingga yax = b, xbz = a, xyx = xzx = x. Ambil y = z. Dari sini diperoleh, y(xyx)y = y(xzx)y = yxy = y .

Jadi, jika a ~ b terdapat x, y  R sehingga a = xby, b = yax, x = xyx dan y = yxy. (2)  (1) Misalkan terdapat x, y, z R sehingga b = xay, a = zbx dan x = xyx = xzx. Selanjutnya,

xa(yxy) = xay = b,(zxz)bx = zbx = a, Menurut yang diketahui, diperoleh x(yxy)x = xyx = x = xzx = x(zxz)x, (yxy)x(yxy) = yxy dan (zxz)x(zxz) = zxz. Dengan kata lain, y = yxy dan z = zxz. Oleh karena itu, xa(zxy) = xay = b,(zxy)bx = zbx = a,zxy = (zxy)x(zxy) dan x = x(zxy)x.

Jadi, a ~ b.

Teorema 19. (Chen, 2003) Misalkan R ring reguler stable diperumum. Jika a ~ b dengan a, b R maka ada suatu w K(R) sehingga aw = wb.

Bukti:

Berdasarkan Lemma 18 ., jika a ~ b maka ada x, y R sehingga a = xby, b = yax,x = xyx dan y = yxy . Karena yR maka menurut Teorema 15.(2), terdapat suatu vK(R) sehingga y = yvy. Misalkan w = (1 – xy – vy)v(1 – yx – v). Selanjutnya, (1 – xy – vy) 2 = (1 – xy – vy)(1 – xy – vy) = 1

dan

2 (1 – yx – yv) 2 = (1 – yx – yv)(1 – yx – yv) = 1. Diperoleh, (1 – xy – vy) = 1 = (1 – yx – yv) . Oleh karena itu,

2 (1 – xy – vy) 2 v(1 – yx – yv) = (1 – xy – vy)w(1 – yx – yv) = 1. Akibatnya , w K(R). Selanjutnya,

aw = a(1 – xy – vy)v(1 – yx – yv) = ax, ax = a(xyx) = (xyx)a = xy(a)x = x(yax) = xb,

wb = (1 – xy – vy)v(1 – yx – yv)b = xb. Jadi, aw = ax = xb = wb. ٱ Akibat 20. (Chen 2003) Misalkan R ring reguler stable diperumum. Jika eR  fR dengan e, f  R idempoten maka ada suatu w K(R) sehingga ew = wf.

Teorema 21. (Chen, 2003) Misalkan R ring reguler stable diperumum. Jika a ~ b dengan a, b

R maka ada suatu w 1 ,w 2 K(R) sehingga a = w 1 bw 2 .

Berdasarkan Lemma 21., jika a ~ b maka terdapat x, yR sehingga a = xby, b = yax, x = xyx dan y = yxy. Karena yR maka menurut Teorema 15 (b), terdapat suatu v K(R) sehingga y = yvy.

Misalkan w 1 = (1 – xy – vy)v(1 – yx – yv). Selanjutnya, (1 – xy – vy) 2 = (1 – xy – vy)(1 – xy – vy)

= 1 – xy – vy – xy + xyxy + vyxy – vy + xyvy + vyvy = 1 – xy – vy – xy + xy + vy – vy + xy + vy = 1 – xy + xy – xy + xy + vy – v y – vy + vy =1

dan (1 – yx – yv) 2 = (1 – yx – yv)(1 – yx – yv)

= 1 – yx – yv – yx + yxyx + yvyx – yv + yxyv + yvyv = 1 – yx – yv – yx + y x + yv – yv + yx + yv = 1 – yx + y x + yv – yv + yx – yx – yv + yv

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013 M A- 14

2 Dari sini diperoleh, (1 – xy – vy) 2 = 1 = (1 – yx – yv) . Oleh karena itu,

2 (1 – xy – vy) 2 v (1 – yx – yv) = (1 – xy – vy)w

1 (1 – yx – yv) = 1.

Akibatnya , w 1 K(R). Selanjutnya, aw 1 = a(1 – xy – vy)v(1 – yx – yv) = a(v – xyv – vyv)(1 – yx – yv) = a(v – xyv – vyv – vyx + xyvyx + vyvyx – vyv + xyvyv + vyvyv) = a(v – xyv – v – vyx + xyx + vyx – vyv + xyv + vyv) = ax.

Ambil ax = xa sehingga ax = xa = (xyx)a = xy(xa) = xy(ax) = x(yax) = xb, w 1 b = (1 – xy – vy)v(1 – yx – yv)b = (v – xyv – vyv – vyx + xyvyx + vyvyx – vyv + xyvyv + vyvyv)b = (v – xyv – v – vyx + xyx + vyx – vyv + xyv + vyv)b = (v – v – xyv + xyv + xyx – vyx + vyx – vyv + vyv)b = xb.

Diperoleh, aw 1 = ax = xb = w 1 b untuk suatu w 1  K(R).

Karena yx + (1 – yx) = 1, maka terdapat suatu z R sehingga y + (1 – yx)z = w 2 K(R).

Akibatnya, y = yxy = yx(y + (1 – yx)z = yxw 2 . Jadi, a = xby = xb(yxw 2 ) = (xby)xw 2 = axw 2 = (ax)w 2 =w 1 bw 2 . ٱ

SIMPULAN DAN SARAN

1. Misalkan R ring reguler stable diperumum. Jika a ~ b dengan a, b R maka ada suatu w  K(R) sehingga aw = wb.

2. Misalkan R ring reguler stable diperumum. Jika a ~ b dengan a, b R maka ada suatu w 1 ,

w 2 K(R) sehingga a = w 1 bw 2 .

3. Untuk penelitian selanjutnya, dapat diselidiki sifat invers semua atas ring reguler stable diperumum.

DAFTAR PUSTAKA

Adkins, W.A. & Weintreub, S.H, 1992, Algebra An Approach via Module Theory, Springer Verlag, New York.

Chen H., 2000, On Generalized Stable Rings, Comm. Algebra (28), 1907 – 1917.

Chen, 2001, Regular Rings with Finite Stable Range, Comm. Algebra (29), 157 – 166.

Chen, 2003, Generalized Stable Regular Rings, Comm. Algebra (31), 4899 – 4910.

Chen H, Li Fu-an, 2003, Exchange Rings Satisfying the n–Stable Range Condition II, Algebra Colloquium (10), 1 – 8.

Yuliza E, 2010, Jurnal Penelitian Sains, Edisi Khusus Juni, Ring Reguler Yang Memenuhi Stable Diperumum, ISSN 1410-7058.

Yuliza E., 2010, Jurnal Penelitian Sains, September 2010, Ring Reguler Yang Memenuhi Sifat Stable Range One, ISSN 1410-7058.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013 M A- 15

Yuliza E, 2011, Prosiding Konferensi Nasional Sains dan Aplikasinya (KNSA), Suatu Grup Dalam Ring Reguler Stabkle Diperumum.

Goodearl K.R., 1991, Von Neumann Regular Rings, 2 nd edition, Malabar, Florida, Krieger.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013 M A- 16

A-3

OPTIMASI PENGELOLAAN PARIWISATA DI DIY DENGAN MENGGUNAKAN METODE Campbell Dudeck Smith (CDS)

Fitriana Yuli Saptaningtyas.,M.Si. 1 ,

Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

anamathuny@gmail.com

Abstrak

Pariwisata merupakan sektor penting bagi DIY yang merupakan kota wisata terbesar ke-2 di Indonesia. Permasalahan pariwisata terkait banyaknya kemacetan dan banyaknya pengunjung yang mengunjungi suatu objek wisata dapat diminimalisir dengan melakukan penjadwalan pada rombongan wisata yang telah mempunyai rute. Optimisasi dilakukan dengan penjadwalan menggunakan metode Campbell Dudeck Smith. Penjadwalan wisata dengan n objek wisata dan m rombongan. Dari hasil penjadwalan yang dapat diterapkan adalah jika total waktu makespan kurang dari 11 jam jika melebihi perlu dibuat dua penjadwalan.

Kata kunci:optimasi, penjadwalan, pariwisata,DIY, Cambpell Dudeck Smith

A. PENDAHULUAN

Pariwisata merupakan sektor yang sangat penting dalam mendukung perkembangan suatu daerah, sektor ini turut serta menyumbangkan banyak pemasukan untuk APBD khususnya bagi daerah yang mempunyai banyak potensi wisata seperti di Yogyakarta. Yogyakarta merupakan kota wisata terbesar ke-2 di Indonesia setelah Bali. Kota ini memiliki potensi wisata baik berupa wisata alam, budaya, sejarah, dan kuliner. Hal ini didukung oleh fakta bahwa minat wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta terus meningkat. Pada tahun 2007 jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta sebanyak 2.203.830 orang (wisman 76.203 orang dan wisnus 2.127.627 orang), pada tahun 2011 meningkat menjadi 3.206.334 orang (wisman sebanyak 148.756 orang dan wisnus sebanyak 3.057.578 orang) (BPS DIY, 2012). Peningkatan sebanyak 45,5% ini menunjukan bahwa daya tarik wisata Yogyakarta masih tinggi.

Potensi wisata yang dimiliki Yogyakarta harus senantiasa diimbangi dengan pengelolaan pariwisata yang memadai agar tetap menarik wisatawan. Namun sayangnya, dengan bertambahnya wisatawan yang berkunjung di Yogyakarta tidak jarang menyebabkan kemacetan di banyak ruas jalan yang menjadi jalur wisata. Kondisi ini apabila tidak segera ditangani akan dapat mengganggu aktivitas wisata di DIY. Kondisi kemacetan di Yogyakarta akan memuncak pada saat liburan sekolah, long weekend, lebaran dan hari libur lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena jalan dipenuhi bis wisata, motor, mobil sewa, dan mobil pribadi yang dipakai wisatawan untuk berkeliling.

Masalah lain yang penting adalah banyak ditemui kemacetan yang cukup menganggu pada banyak titik tempat yang menjadi jalur pariwisata di DIY dengan medan jalan yang cukup sulit. Sebagai contoh kawasan puncak di bukit menuju daerah Gunungkidul. Banyaknya objek pariwisata di kabupaten ini baik berupa pantai dan gua yang mulai banyak di kenal masyarakat luas mulai berimbas terjadinya kemacetan pada jalur ini. Banyaknya rombongan wisatawan baik menggunakan bus, kendaraan pribadi, maupun motor berpeluang menyebabkan kemacetan. Kondisi ini dapat membahayakan semua pengguna jalan. Kondisi ini tidak hanya mengganggu

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Keluhan lain yang dialami wisatawan, yaitu ketika tiba di objek wisata sudah dalam kondisi lelah karena kemacetan, selain itu saat tiba di lokasi wisata datang secara bersamaan yang melampaui kapasitas objek wisata sehingga mengurangi kenyamanan dalam menikmati objek wisata. Terlebih lagi apabila akan memanfaatkan jasa atau fasilitas yang ada di objek wisata harus menunggu lama, mengingat terjadinya banyak antrian dan bisa jadi waktu kunjung habis hanya untuk mengantri.

Banyaknya keluhan wisatawan terkait terlalu lamanya perjalanan wisata dan terlalu banyaknya pengunjung yang datang bersaman pada suatu objek wisata dapat mengancam kelangsungan pariwisata di DIY. Permasalahan ini dapat diminimalisir dengan membuat penjadwalan untuk kunjungan wisata. Banyak metode penjadwalan yang dapat digunakan. Karena kunjungan wisata sudah memiliki rute maka penjadwalan yang digunakan mengikuti penjadwalan flow shop.

Pada umumnya flow shop digunakan untuk penjadwalan mesin produksi. Flow shop merupakan suatu model untuk mengerjakan n pekerjaan dengan m mesin dengan kondisi bahwa untuk pekerjaan yang ada dikerjakaan oleh beberapa mesin dengan urutan yang sama. Rute pariwisata yang akan dikunjungi pada umumnya telah ditentukan sebelum wisatawan melakukan wisata. Biro perjalanan wisata pada umumnya telah mempunyai paket-paket perjalanan dengan rutenya. Karena perjalanan wisata pada umumnya telah mempunyai rute urutan objek yang akan dikunjungi maka dapat dikategorikan dalam masalah flow shop. Banyak metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah flow shop salah satunya dengan menggunakan metode Cambpell Dudeck Smith (CDS). Optimasi pengelolaan pariwisata dilakukan dengan melakukan penjadwalan rombongan wisata yang telah mempunyai urutan rute. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana penjadwalan pariwisata menggunakan metode CDS.

B. PEMBAHASAN

Permasalahan pariwisata yang akan dioptimasi adalah untuk mengurangi kemacetan dan untuk menghindari terlalu banyaknya pengunjung pada suatu objek wisata. Masalah kemacetan dapat diminimalisir apabila perjalanan wisata yang sudah terencana dapat dijadwalkan sehingga tidak terjadi penumpukan pengguna jalan pada jalur wisata tertentu. Masalah terlalu banyaknya pengunjung pada objek wisata tertentu pada jam-jam tertentu juga dapat diminimalisasi dengan menggunakan penjadwalan kunjungan wisata. Dalam paper ini akan dibahas apabila terdapat sejumlah n tempat wisata yang telah meiliki rute urutan kunjungan dan m rombongan wiasata maka akan disusun jadwal sedemikian sehingga tidak terjadi penumpukan pada suatu objek wisata.

Penjadwalan flow shop yang dapat diterapkan untuk masalah penjadwalan pariwisata yang akan dimodelkan sebagai n mesin adalah rombongan wisata yang memiliki rute yang sejenis. Rute yang sejenis ini artinya rute yang berada pada n mesin. Sebagai contoh ada sebanyak m rombongan yang akan berwisata pada daerah Gunungkidul dan Yogyakarta ke-n tempat wisata apabila waktu minimum makespan melebihi 11 jam maka penjadwalan tidak bisa diterapkan artinya tidak mungkin satu tempat wisata hanya dikunjungi oleh satu rombongan sehingga harus dibagi dua kelompok penjadwalan. Seperti ilustrasi table-1

Tabel.1 Tabel data rombongan dan rute kunjungan Objek-1

Objek-n Rombongan-1 Waktu

Objek-2

Waktu Rombongan-2 Waktu

Waktu Rombongan-m Waktu

Waktu

Waktu

Waktu

Waktu

Waktu

Waktu

Waktu dalam table tersebut merupakan waktu yang dihitung dari estimasi perjalanan rombongan dari satu tempat ke objek selanjutnya di tambah waktu lama kunjungan di objek tersebut. Apabila dari perhitungan diperoleh waktu minimum makespan melebihi 11 jam maka akan dibagi menjadi dua kelompok penjadwalan. Penjadwalan yang digunakan menerapkan metode Cambpel Dudeck Smith (CDS).

Metode CDS merupakan pengembangan dari metode Jhonson yang melalui masing-masing mesin yang akan meminimumkan waktu makespan.

Metode penjadwalan Johnson merupakan metode penjadwalan yang memiliki standard bahwa setidaknya dibutuhkan dua mesin atau dua tenaga manusia sebagai alat proses dari pekerjaan yang datang (Adam dan Ebert, 1989) dan (Heizer dan Render, 1999). Standard dua mesin tersebut juga yang

memunculkan Johnson Problem sebagai masalah Penjadwalan flowshop dengan dua mesin dengan tujuan minimasi makespan (Garside, 2002). Langkah-langkah metode Johnson:

1) Identifikasi terhadap semua jenis pekerjaan yang akan dikerjakan, meliputi waktu pengerjaan pada setiap mesin dan mengidentifikasi apakah pekerjaan mengikuti pengerjaan produksi flowshop atau memiliki karakteristik khusus pengerjaan.

2) Mengurutkan pekerjaan dengan menggunakan paramater waktu, dengan aturan bahwa pekerjaan yang memiliki waktu tercepat akan mendapat prioritas terlebih dahulu, sampai dengan pekerjaan berikutnya dan berakhir pada pekerjaan dengan waktu proses paling lama. 3)Pekerjaan yang memiliki waktu pengerjaan terkecil akan diletakkan pada urutan paling depan, sedangkan waktu pengerjaan yang paling kecil untuk mesin kedua diletakkan paling belakang.

4) Menyusun penjadwalan keseluruhan, sehingga nanti akan terlihat total waktu penyelesaian keseluruhan pekerjaan dan juga dapat dianalisa waktu tunggu pekerjaan. Aturan Jhonson dapat dirumuskan sebagai berikut: Job i mendahului job j dalam suatu urutan yang optimum jika

, , , ≤ , , , Perhitungan metode Jhonson dengan algoritma dilakukan dengan tahapan berikut

1. Tentukanlah nilai , , ,

2. Jika waktu proses minimum terdapat pada mesin pertama (misal , ), tempatkan job tersebut pada awal deret penjadwalan.

3. Bila waktu proses minimum didapat pada mesin kedua (misal , ), job tersebut ditempatkan pada posisi akhir dari deret penjadwalan.

4. Pindahkan job-job tersebut dari daftarnya dan susun dalam bentuk deret penjadwalan. Jika masih ada job yang tersisa ulangi kembali langkah 1, sebaliknya bila tidak ada lagi job yang tersisa berarti penjadwalan sudah selesai.

Pada algoritma Campbell Dudek and Smith (CDS) proses penjadwalan atau penugasan kerja dilakukan berdasarkan atas waktu kerja yang terkecil yang digunakan dalam melakukan produksi. Metode algoritma CDS ini adalah metode yang pertama kali ditemukan oleh Campbell, Dudek and Smith pada tahun 1965 yang dilakukan untuk pengurutan n pekerjaan terhadap m mesin, CDS memutuskan untuk urutan yang pertama , = ∗ , dan , = ∗ ,, sebagai waktu proses pada mesin pertama dan mesin terakhir. Untuk urutan yang kedua dirumuskan dengan:

Sebagai waktu proses pada dua mesin pertama dan dua mesin yang terakhir untuk urutan ke-k:

Perhitungan metode Campbell Dudek and Smith (CDS) dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut (Ginting, 2009):

1. Ambil urutan pertama (k=1). Untuk seluruh tugas yang ada, carilah harga ∗ , dan ∗ , yang minimum, yang merupakanwaktu proses pada mesin pertama dari kedua.

2. Jika waktu minimum didapat pada mesin pertama (misal ∗ , ), selanjutnya tempatkan tugas tersebut pada urutan awal bila waktu minimum didapat pada mesin kedua (misal ∗ , ), tugas tersebut ditempatkan pada urutan terakhir.

3. Pindahkan tugas-tugas tersebut hanya dari daftarnya dan urutkan. Jika masih ada tugas yang tersisa ulangi kembali langkah 1, sebaliknya bila tidak ada lagi tugas yang tersisa, berarti pengurutan telah selesai.

Penjadwalan pariwisata dengan CDS dapat dilakukan dengan n mesin adalah n objek wisata dan m job adalah m rombongan wisata. Nilai ,

adalah waktu untuk melakukan kunjungan pada objek wisata 2 dan perjalanan dari objek wisata 1 ke objek wisata 2. Apabila total makespan melebihi 11 jam maka penjadwalannya harus dibagi dua karena untuk kunjungan wisata diasumsikan dari jam 07.00 WIB sampai dengan 15.00 WIB sehingga ada 11 Jam.

Sebagai contoh akan dijadwalkan kunjungan wisata berikut ini Objek-1

Objek-5 Objek-6 (menit)

(menit) (menit) Rombongan-1

Dengan menggunakan CDS diperoleh hasil dengan bantuan software WinQSB

Dari hasil tersebut dapat diperoleh waktu minimum maskepan adalah 11 jam, Nampak pula masih terdapat waktu idle/ waktu suatu objek wisata tidak ada pengunjungnya. Untuk menyusun jadwal pariwisata dapat pula dengan mengabaikan waktu tunggunya.

Dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa rombongan-1 mulai mengunjungi objek wisata-1 setelah 114 menit dari jam 07.00 atau pukul 08.56 WIB dan seterusnya. Apabila dari pengunjung wisata yang berada pada objek wisata dapat dilihat grafik berikut

Dari gambar di atas mesin artinya objek wisata bahwa masing-masing objek wisata hanya dikunjungi oleh satu rombongan. Jadi masalah penjadwalan mesin dengan menggunakan metode CDS dapat diterapkan untuk membuat jadwal kunjungan wisata agar dalam satu objek wisata yang berkunjung tidak terlalu banyak sehingga pengelolaan pariwisata lebih optimum. Optimisasi dilakukan dengan mendapatkan jadwal kunjungan yang meminimumkan makespan yaitu meminimumkan kesuluruhan waktu kunjungan wisata dengan meminimalkan waktu tunggu. Dari hasil di atas masih terdapat waktu tunggu namun tidak terlalu banyak sehingga dapat dianggap sebagai waktu molor kunjungan.

C. SIMPULAN

Metode CDS dapat diterapkan untuk menjadwalkan kunjungan pariwisata di DIY dengan memperhatikan bahwa rute wisata yang akan dijadwalkan adalah berurutan. Penjadwalan dilakukan dengan menempatkan mesin sebagai objek wisata dan job sebagai rombongan wisata. Waktu dihitung dari lamanya perjalanan dari tempat wisata yang ke i-1 ditambah alokasi waktu selama berada di objek wisata ke-i. Apabila total waktu makespan melebihi 11 jam maka harus dibuat dalam dua buah penjadwalan, yang artinya tidak mungkin terjadi hanya satu objek wisata dikunjungi satu rombongan dari jam 07.00 sampai dengan pukul 15.00.

D. DAFTAR PUSTAKA

Adam, E. E. Jr., Ebert, R. J. 1989. Production and Operations Management. New Jersey : Prentice Hall Inc.

Campbell, H,G., Dudek, R,A., and Smith, Milton, L., “A Heuristic Algorithm for the n job, m Machine Sequencing Problem”, Management Science, June 1970; hal. 630-637. Garside, Annisa. K., “Perbandingan Performansi Metode Johnson Dengan Heuristik Multi Tujuan Ditinjau Dari Makespan, Total Flow Time, Dan Iddle Time”, Jurnal Optimumm;

hal. 163-172. Ginting, R. 2009. Penjadwalan Mesin. Edisi Pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu. Gupta, D., Singla, P., Bala, S., “Application of Branch and Bound Technique for 3-Stage Flow

Shop Scheduling Problem with Transportation Time”, Industrial Engineering Letters, hal. 1-5.

Heizer, J., Render, B. 1999. Operations Management. New Jersey : Prentice Hall Inc. Masruroh, Nisa. Analisa Penjadwalan Produksi dengan Menggunakan Metode Campbell Dudek

and Smith, Palmer, dan Dannebring di PT Loka Refraktoris Surabay . FTI-UPN Jakarta Timur, Surabaya.

Pinedo, Michael. 2002. Scheduling : Theory, Algorithms, and Systems. New Jersey : Prentice Hall Inc. 2nd Edition.

Untoro, W.Y., “Penerapan Metode Forward Chaining Pada Penjadwalan Mata Kuliah”, Jurnal Matematika dan Komputer Indonesia , 2009; hal. 17-24. Masruroh, Nisa. Analisa Penjadwalan Produksi dengan Menggunakan Metode Campbell Dudek

and Smith, Palmer, dan Dannebring di PT Loka Refraktoris Surabay . FTI-UPN Jakarta Timur, Surabaya.

A-4

POLINOMIAL ATAS ALJABAR MAX-PLUS INTERVAL

1 2 Harry Nugroho 3 , Effa Marta R , Ari Wardayani

1,2,3 Program Studi Matematika Universitas Jenderal Soedirman

1 2 harry_nugroho92@yahoo.com 3 marta_effa, ariwardayani@yahoo.co.id

Abstrak

Pembahasan polinomial atas aljabar max-plus interval didasarkan pada analisis elemen-elemen aljabar max-plus interval. Selanjutnya, elemen-elemen pada aljabar max-plus interval ini digunakan untuk mengkonstruksi polinomial atas aljabar max-plus interval yang berfungsi sebagai koefisien-koefisien pada polinomial atas aljabar max-plus interval. Lebih lanjut, dapat ditunjukkan bahwa himpunan semua polinomial atas aljabar max-plus interval adalah semiring komutatif idempoten.

Kata kunci: semiring, aljabar max-plus interval, polinomial.

A. PENDAHULUAN

Aljabar max-plus merupakan struktur aljabar yang berbentuk ℝ max = ℝ∪ { −∞ } yang dilengkapi dengan dua operasi biner yakni operasi “maximum” sebagai operasi penjumlahan dan operasi “plus” sebagai operasi perkaliannya. Sistem matematika aljabar max-plus merupakan semiring komutatif idempoten (Bacelli, et al, 2001). Akhir-akhir ini telah berkembang pemodelan jaringan yang melibatkan pendekatan aljabar max-plus karena dapat memberikan hasil analitis dan lebih mudah di dalam perhitungannya. Dalam pemodelan jaringan dengan pendekatan aljabar max-plus, graf untuk jaringan dapat dinyatakan dengan menggunakan matriks dan waktu aktivitasnya dapat dinyatakan dengan interval-interval. Oleh karena itu, aljabar max-plus dapat diperluas lagi menjadi aljabar max-plus interval dengan elemen-elemennya berupa interval-interval, yang selanjutnya dinamakan aljabar max-plus interval. Pembahasan mengenai matriks atas aljabar max-plus interval telah dilakukan oleh Rudhito (2008). Pembahasan mengenai matriks atas aljabar max-plus interval dan nilai eigennya telah dilakukan oleh Rudhito (2010). Pada makalah ini elemen-elemen pada aljabar max-plus interval akan digunakan untuk membentuk polinomial yang koefisiennya berupa interval. Lebih lanjut, juga akan dibuktikan bahwa himpunan semua polinomial dengan koefisiennya adalah interval tersebut merupakan semiring komutatif idempoten. Dengan membentuk semiring komutatif idempoten dari himpunan semua polinomial atas aljabar max-plus interval, selanjutnya dapat dikaji mengenai sifat-sifat yang terkait dengan polinomial atas aljabar max-plus interval.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

B. PEMBAHASAN

Interval tertutup dalam ℝ max adalah suatu himpunan bagian dari ℝ max yang berbentuk x = [ , ] = { x ∈ℝ

| ⪯ m x ⪯ m }. Suatu bilangan x ∈ℝ max dapat dinyatakan sebagai interval x = [ x, x ]. Diberikan I( ℝ

max

max ) ≝ {x = [ , ] | , ∈ ℝ, ɛ ≺ m ⪯ m } ∪ {[ɛ, ɛ]} yang dilengkapi dengan dua buah operasi biner yaitu ⊕ dan ⊗ yang didefinisikan dengan

x ⊕ y ≝ [ ⊕ , ⊕ ] dan x ⊗ y ≝ [ ⊗ , ⊗ ]

untuk setiap x, y ∈ I (ℝ max ). Selanjutnya struktur I( ℝ max ) ini merupakan semiring komutatif idempoten dengan elemen netral ɛ = [ɛ, ɛ] dan elemen satuan 0 = [0, 0] yang dinamakan dengan

aljabar max-plus interval.

Polinomial atas Aljabar Max-Plus Interval

Bagian ini merupakan pembahasan utama dari makalah ini. Terlebih dahulu akan didefinisikan polinomial dengan koefisiennya adalah interval-interval pada I( ℝ max ) seperti berikut.

Definisi 1

Polinomial dengan indeterminate x yang berbentuk

+ ⋯ + + ⋯ , dengan ∈ I( ℝ max ) dan n adalah suatu bilangan bulat non negatif dinamakan polinomial atas aljabar max-plus interval.

Untuk selanjutnya, himpunan semua polinomial atas aljabar max-plus interval dinotasikan dengan I( ℝ max )[x], yakni

I(  ℝ max )[x] ≝{∑

+ ⋯ | ∈ I(ℝ max ), i ∈ Z ∪{0}}.

Tanpa mengurangi keumuman, untuk setiap i > n, maka = [ ɛ , ɛ ] . Lebih lanjut, penulisan notasi +

+[ ɛ , ɛ ]+[ ɛ , ɛ ]+ ⋯ akan ditulis sebagai

Didefinisikan operasi penjumlahan ( + ) dan operasi perkalian ( ∙ ) pada I(ℝ max )[x] yakni untuk setiap polinomial f (x), g (x) ∈ I(ℝ max )[x] dengan f (x) = +

dengan = ⊕ untuk setiap 0 ≤ i ≤ k .

2. f (x) ∙ g (x) ≝ +

dengan

⊗ untuk setiap

0 ≤j≤l.

Proposisi 1

Struktur aljabar (I( ℝ max )[x], + , ∙) adalah semiring.

Bukti. Untuk setiap f (x), g (x), h (x) ∈ I(ℝ max )[x], dengan

1. f(x) + g (x) = +

dengan =

⊕ untuk setiap 0 ≤ i ≤ k. Karena = ⊕ ∈ I(ℝ max ) untuk setiap 0 ≤ i ≤ k , maka f (x) + g (x) ∈ I(ℝ max ) [x].

Dengan demikian, operasi + bersifat tertutup di I( ℝ max )[x]

Dengan demikian, operasi + bersifat assosiatif di I( ℝ max )[x]

3. f (x) + g (x) = +

dengan = ⊕ = ⊕ untuk setiap

0 ≤ i ≤ k. Jadi, f (x) + g (x) = g (x) + f (x) .

Dengan demikian, operasi + bersifat komutatif di I( ℝ max )[x]

4. Terdapat elemen netral pada I( ℝ max )[x] yaitu ɛ(x) = [ ɛ , ɛ ] ∈ I(ℝ max )[x] sedemikian sehingga untuk setiap f (x) ∈ I(ℝ max )[x] berlaku ɛ(x) +

Karena  ∑ ⊗ ∈ I(ℝ max ) untuk setiap n ∈ Z ∪ {0}, maka f (x) ∙ g (x) ∈ I(ℝ max ) [x]. Dengan demikian, operasi ∙ bersifat tertutup di I(ℝ max )[x]

= f (x) ∙ ( g (x) ∙ h (x) )

Dengan demikian operasi ∙ bersifat assosiatif di I(ℝ max )[x].

7. Terdapat elemen satuan di I( ℝ max )[x] yaitu o(x) = [0, 0] ∈ I(ℝ max )[x] sedemikian sehingga untuk setiap f (x) ∈ I(ℝ max )[x] berlaku () ∙ f (x) = f (x) ∙ () = f (x)

= ( f (x) ∙ h (x) ) + ( g (x) ∙ h (x) ) Dengan demikian, pada I( ℝ max )[x] berlaku sifat distributif operasi ∙ terhadap operasi +

9. f (x) ∙ ɛ(x) = ( ∑

= ɛ(x)

ɛ(x) ∙ f (x) = [ ɛ , ɛ ] ∙(∑ )

= ɛ(x) Dengan demikian, terdapat elemen penyerap pada I( ℝ max )[x] yakni ɛ(x) sedemikian sehingga

f (x) ∙ ɛ(x) = ɛ(x) ∙ f (x) = ɛ(x).

Jadi I( ℝ max )[x] merupakan suatu semiring. ■

Proposisi 2

Struktur aljabar (I( ℝ max )[x], + , ∙) adalah semiring komutatif.

Bukti. Operasi ∙ bersifat komutatif di I(ℝ max )[x] karena untuk setiap f (x), g (x) ∈ I(ℝ max )[x] berlaku

f (x) ∙ g (x) = ∑

= g (x) ∙ f (x) Dengan demikian (I( ℝ max )[x], + , ∙) adalah semiring komutatif. ■

Proposisi 3

Struktur aljabar (I( ℝ max )[x], + , ∙) adalah semiring idempoten.

Bukti. Operasi + bersifat idempoten di I(ℝ max )[x] karena untuk setiap f (x) ∈ I(ℝ max )[x] berlaku

f (x) + f (x) = ∑

= f (x) Dengan demikian (I( ℝ max )[x], + , ∙) adalah semiring idempoten. ■

Dari hasil pemaparan di atas, struktur aljabar dari I( ℝ max )[x] yang dilengkapi dengan dua buah operasi biner, yaitu operasi + dan operasi ∙ adalah semiring komutatif idempoten dengan elemen netral ɛ = [ɛ, ɛ] dan elemen satuan 0 = [0, 0].

C. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu polinomial dapat dibentuk dari aljabar max-plus interval yang selanjutnya dinamakan polinomial atas aljabar max-plus interval. Lebih lanjut, himpunan semua polinomial atas aljabar max-plus interval ini merupakan semiring komutatif idempoten. Untuk penelitian selanjutnya dapat dikaji mengenai sifat-sifat dari polinomial atas aljabar max-plus interval.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Idha Sihwaningrum yang telah meluangkan waktunya untuk proses penulisan makalah ini. Penelitian ini dilakukan dengan dana penelitian fundamental 2013 dengan Nomor Kontrak : 2535.15/ UN 23.10/ PN/ 2013.

D. DAFTAR PUSTAKA

Baccelli, F., et al. 2001. Synchronization and Linearity. New York: John Wiley & Sons.

Farlow, K. G. 2009. Max-plus Algebra. Master’s thesis Virginia Polytechnic Institute and State University. Virginia: Polytechnic Institute and State University.

Fraleigh, J. B. 2000. A First Course in Abstract Algebra, 6 th Edition. New York: Addison-Wesley Publishing Company.

Heidergott, B., Olsder, G. J & Woude, J. 2006. Max Plus at Work : Modeling and Analysis of Synchronized Systems : A Course on Max-plus Algebra and Its Applications. New Jersey: Princeton University Press.

Rudhito, A., dkk. 2008. Aljabar Max-Plus Interval. Prosiding Seminar Nasional Matematika S3 UGM. Yogyakarta. 31 Mei 2008.

Rudhito, A., dkk. 2008. Matriks atas Aljabar Max-Plus Interval. Prosiding Seminar Nasional Matematika S3, pp. 23-32, UGM. Yogyakarta. Mei 2008.

A-5

SISTEM PERSAMAAN LINEAR MIN-PLUS DAN PENERAPANNYA PADA MASALAH LINTASAN TERPENDEK

M. Andy Rudhito 1

1 Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta

1 e-mail: arudhito@yahoo.co.id

Abstrak

Artikel ini membahas tentang sistem persamaan linear min-plus dan penerapannya pada masalah lintasan terpendek. Pembahasan merupakan hasil kajian teoritis yang didasarkan literatur dan suatu perhitungan menggunakan program MATLAB. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa jaringan dengan bobot waktu tempuh dapat dimodelkan sebagai graf berarah terbobot yang dapat dinyatakan dengan matriks atas aljabar min-plus. Penentuan waktu tempuh minimal dapat dilakukan melaui operasi star pada matriks bobot jaringannya. Lintasan terpendek dapat ditentukan dengan memodifikasi metode PERT-CPM pada analisis lintasan kritis pada jaringan proyek. Dengan memodelkan waktu tempuh perjalanan pada jaringan ke dalam suatu sistem persamaan (SPL) linear iteratif min-plus. Dari penyelesaian SPL min-plus ini, dapat ditentukan waktu awal paling cepat dan waktu paling akhir, untuk masing-masing titik. Titik-titik dengan waktu awal paling cepat dan waktu paling akhir yang sama akan membentuk lintasan terpendek pada jaringan.

Kata kunci: Aljabar Min-Plus, Sistem Persamaan Linear, Lintasan Terpendek.

A. PENDAHULUAN

Aljabar max-plus (himpunan R {}, dengan R adalah himpunan semua bilangan real, yang dilengkapi dengan operasi maximum dan penjumlahan) telah digunakan untuk memodelkan dan menganalisis sistem produksi sederhana, dengan fokus analisa pada masalah input-output sistem (Baccelli et.al, 2001 dan Rudhito, 2003). Pemodelan dan analisis sifat-sifat suatu jaringan antrian juga telah dilakukan dengan pendekatan aljabar max-plus, seperti dalam Krivulin (2000) dan Rudhito (2011). Penerapan aljabar max-plus pada masalah analisis lintasan kritis juga telah dibahas dalam Rudhito (2010). Pemodelan dan analisa suatu jaringan dengan pendekatan aljabar max-plus ini dapat memberikan hasil analitis dan lebih mudah pada komputasinya.

Selain aljabar max-plus, dalam Baccelli et.al. (2001), Gondran and Minoux (2008) dan John and George (2010) telah disinggung beberapa varian aljabar yang serupa dengan aljabar max-plus, seperti aljabar min-plus (dengan operasi minimum dan penjumlahan) dan aljabar max-min (dengan operasi maximum dan minimum). Diberikan pula dalam referensi di atas, beberapa gambaran singkat mengenai ilustrasi penerapannya yang terkait dengan masalah-masalah dalam teori graf, seperti masalah lintasan terpendek dan masalah kapasitas maksimum suatu lintasan dalam jaringan. Seperti halnya dalam aljabar max-plus, dengan pendekatan aljabar yang serupa diharapkan masalah-masalah yang terkait dapat dimodelkan dan perhitungan-perhitungan masalah-masalah yang terkait dapat dilakukan secara lebih analitis.

Makalah ini akan membahas tentang sistem persamaan linear iteratif min-plus dan penerapannya pada masalah penentuan lintasan terpendek pada suatu jaringan graf berarah berbobot. Pembahasan sistem persamaan linear iteratif min-plus akan dilakukan dengan membandingkan hasil yang telah diperoleh pada eksistensi dan ketunggalan penyelesaian sistem persamaan linear max-plus (Baccelli et.al, 2001 dan Rudhito, 2011). Sedangkan pembahasan pada masalah penentuan lintasan terpendek akan dilakukan dengan membandingkan hasil pada

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

B. PEMBAHASAN

Pada bagian awal akan dibahas konsep-konsep dasar aljabar min-plus dan matriks atas aljabar min-plus, serta konsep dasar dalam teori graf yang terkait. Aljabar min-plus ini mempunyai struktur yang isomorfis dengan aljabar max-plus (Gondran and Minoux, 2008, Baccelli et.al, 2001).

Diberikan R  := R฀{ } dengan  : = +. Pada R  ฀didefinisikan operasi berikut: a,b  R  ,

a  b := min(a, b) dan a  b : = a  b.

Dapat ditunjukkan bahwa ( R  , , ) merupakan semiring komutatif idempoten dengan elemen netral  = + dan elemen satuan e = 0. Lebih lanjut ( R  , , ) merupakan semifield, yaitu bahwa ( R  , , ) merupakan semiring komutatif di mana untuk setiap a  R terdapat a sehingga

berlaku a  (a) = 0. Kemudian ( R  , , ) disebut dengan aljabar min-plus, yang selanjutnya cukup dituliskan dengan R min . Relasi “  m ” yang didefinisikan pada R min sebagai berikut x  m y

jika x  y = y, merupakan urutan parsial pada R min . Lebih lanjut relasi ini merupakan urutan total

 pada 0 R

min . Pangkat k elemen x  R dilambangkan dengan x didefinisikan dengan x := 0,

x := x  x . Didefinisikan pula  : = 0 , untuk k = 1, 2, ... ε :=.

k  1  0  k

m n Operasi  dan  pada R 

dapat diperluas untuk operasi-operasi matriks dalam R min , di

min

m mana n R

min : = {A = (A ij )A ij  R min , untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n}. Untuk A, B  R  max didefinisikan A  B, dengan (A  B) m

= A ij  B ij . Untuk matriks A  R  p

min , B  R min

ij

A n B  didefinisikan A  B, dengan (A  B) n

=  ik  kj . Didefinisikan pula matriks E  R min ,

ij

k 1

 0 , jika i  j

dengan (E ) m ij := dan matriks   R   n min , ( ) ij :=  untuk setiap i dan j . Pangkat k

 ε , jika i  j

matriks A  R min didefinisikan dengan A =E n dan A =A A untuk k = 1, 2, ... . Suatu graf berarah G didefinisikan sebagai suatu pasangan G = (V, A) dengan V adalah suatu

k  1

himpunan berhingga tak kosong yang anggotanya disebut titik dan A adalah suatu himpunan pasangan terurut titik-titik di V. Anggota A disebut busur. Suatu lintasan dalam graf berarah G adalah suatu barisan berhingga busur (i 1 ,i 2 ), (i 2 ,i 3 ), ... , (i l  1 ,i l ) dengan (i k ,i k+ 1 )  A untuk suatu l  N , di mana N = himpunan semua bilangan asli, dan k = 1, 2, ... , l  1. Lintasan di atas dapat

direpresentasikan dengan i 1 i 2  ...  i l . Titik i 1 disebut titik awal lintasan dan titik i l disebut titik akhir lintasan . Panjang suatu lintasan didefinisikan sebagai banyak busur yang menyusun lintasan tersebut. Suatu lintasan disebut sirkuit jika titik awal dan titik akhirnya sama. Suatu graf

berarah G = (V, A) dengan V = {1, 2, , ... , n} dikatakan terhubung kuat jika untuk setiap i, j  V,

i  j , terdapat suatu lintasan dari i ke j. Suatu graf yang memuat sirkuit disebut graf siklik, sedangkan suatu graf yang tidak memuat sirkuit disebut graf taksiklik.

Diberikan graf berarah G = (V, A) dengan V = {1, 2, ... , p}. Graf berarah G dikatakan berbobot jika setiap busur ( j, i )  A dikawankan dengan suatu bilangan real A ij . Bilangan real

A ij disebut bobot busur (j, i ), dilambangkan dengan w( j, i ). Bobot suatu lintasan didefinisikan sebagai jumlahan bobot busur-busur yang menyusun lintasan tersebut. Lintasan terpendek A ij disebut bobot busur (j, i ), dilambangkan dengan w( j, i ). Bobot suatu lintasan didefinisikan sebagai jumlahan bobot busur-busur yang menyusun lintasan tersebut. Lintasan terpendek

max

adalah graf berarah berbobot G (A) = (V, A) dengan V = {1, 2, ... , n}, A = {( j, i ) | w( i, j ) = A ij   ,  i, j }. Sebaliknya untuk setiap graf berarah berbobot G = (V, A) selalu dapat didefinisikan

 w ( j , i ) , jika ( j , i )  A

suatu matriks A  R min dengan A ij =  , yang disebut matriks bobot graf

jika ( j , i )  A .

min dan k  N, unsur matriks ( A ) st merupakan bobot minimum semua lintasan dalam G (A) dengan panjang k, dengan t sebagai titik awal dan s sebagai titik akhirnya.

G. n Dalam kaitannya dengan teori graf, untuk A  n

n  Suatu matriks A  n R

min dikatakan semi-definit jika semua sirkuit dalam G (A) mempunyai bobot takpositif dan dikatakan definit jika semua sirkuit dalam G (A) mempunyai bobot negatif.

n Diberikan A  n  R

min . Dengan cara yang analog dengan kasus di aljabar max-plus (Baccelli et.al,

 2001), dapat ditunjukkan bahwa jika A semi-definit, maka p  n, p A 

E  A  ... 

n  1

. Selanjutnya untuk matriks semi-definit A  * R

min , dapat didefinisikan A : = E  A  ...

A n n  1  T

A   ... . Didefinisikan R min := { x = [ x 1 ,x 2 , ... , x n ] |x i  R min , i = 1, 2, ... , n}.

Untuk setiap x n ,y R

min dan   R min berturut-turut didefinisikan operasi penjumlahan dan operasi perkalian skalar sebagai berikut : x  y = [x 1 y 1 , x 2 y T 2 , ... , x n y n ] dan   x =  

n x 1 = [  x

1 ,x 2 , ... ,   x n ] . Perhatikan bahwa R

min dapat dipandang sebagai R min . Dapat

ditunjukkan bahwa n R

max merupakan semimodul atas semified R min . Unsur-unsur dalam R max disebut vektor atas R min . Eksistensi dan ketunggalan penyelesaian sistem persamaan linear iterarif min-plus analog dengan hasil pada eksistensi dan ketunggalan sistem persamaan linear iteratif max-plus seperti

yang dibahas dalam Baccelli et.al (2001). Diberikan A  n R

min dan b  R min . Jika A semi-definit,

maka vektor x * = A definit, maka sistem tersebut mempunyai penyelesaian tunggal.

Selanjutnya dibahas masalah lintasan terpendek. Pembahasan diawali dengan meninjau beberapa pengertian dasar, dilanjutkan dengan memberikan pemodelan dan analisa dengan pendekatan aljabar min-plus dan memberikan contoh perhitungannya.

Definisi 1

Suatu jaringan lintasan searah S adalah suatu graf berarah berbobot terhubung kuat taksiklik S = (V, A), dengan V = {1, 2, , ... , n} yang memenuhi: jika (i, j)  A, maka i < j.

Dalam jaringan proyek ini, titik menyatakan persimpangan, busur menyatakan suatu jalan, sedangkan bobot busur menyatakan waktu tempuh, sehingga bobot dalam jaringan selalu positip. Selanjutnya dilakukan pemodelan dan analisis lintasan terpendek, yaitu lintasan dengan waktu tempuh minimum. Pembahasan diawali dengan menentukan waktu awal paling cepat (earliest start time ) untuk setiap persimpangan titik i dapat dilalui. Pembahasan dilakukan dengan mengadopsi dan memodifikasi teknik perhitungan maju (forward) seperti pada PERT-CPM, dengan menggunakan pendekatan aljabar-min-plus. Misalkan e x =

menyatakan waktu awal paling cepat titik i dapat dilalui,

 waktu temp uh dari titik j ke titik i jika , ( j, i )  A

ij =  A   (   ),

jika ( j, i )  A .

Dalam pembahasan ini diasumsikan bahwa perjalanan dalam jaringan dimulai pada titik 1 pada saat waktu tempuh sama dengan nol, yaitu e x

1 = 0, diasumsikan pula tidak ada waktu singgah di persimpangan, sehingga dapat dituliskan

jika i  1

min e ( A

ij  x j ) , jika i  1 .

 1  j  n

Dengan menggunakan notasi aljabar min-plus persamaan di atas dapat dituliskan menjadi

jika i  1

ij  x j ) jika , i  1 .  (1)

 1  j  n

Misalkan A adalah matriks yang bersesuaian dengan graf berarah berbobot jaringan tersebut,

1 , x 2 , ... , x n ] dan b = [0, , ... , ] , persamaan (1) dapat dituliskan ke dalam suatu sistem persamaan linear min-plus berikut

e x T =[ x

e e e x = Ax b (2) Karena jaringan lintasan searah merupakan graf berarah taksiklik, maka tidak terdapat sirkuit,

sehingga semua sirkuit dalam jaringan mempunyai bobot takpositif. Dengan demikian

e x =A b (3) merupakan penyelesaian sistem (2) di atas. Karena jumlah titik dalam jaringan proyek ini adalah

n , maka panjang lintasan terpanjangnya tidak akan melebihi n  1. Dengan demikian dalam hal ini persamaan (3) dapat ditulis menjadi

e n  1 e

x =A b = (E  A  ...  A )b

yang merupakan vektor waktu paling awal setiap titik i dapat dilalui. Perhatikan bahwa (A * )

n 1 merupakan bobot minimum lintasan dari titik awal hingga titik akhir proyek, sehingga e x

n merupakan waktu tempuh minimal untuk melintasi jaringan.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan dalam Teorema 1 berikut.

Teorema 1

Diberikan suatu jaringan lintasan searah dengan n titik dan A adalah matriks bobot graf berarah berbobot jaringan tersebut. Vektor waktu awal paling cepat titik i dilalui diberikan oleh

e n  1 e

x = (E  A  ...  A )b

n merupakan waktu tercepat untuk melintasi jaringan. Bukti: (lihat uraian di atas) .

di mana b e = [0, , ... , ] . Lebih lanjut x

Selanjutnya setelah diketahui waktu tercepat untuk melintasi jaringan ( e x n ) akan ditentukan lintasan mana yang dilalui. Pembahasan dilakukan dengan mengadopsi dan memodifikasi teknik perhitungan mundur (backward) seperti pada PERT-CPM, dengan menggunakan pendekatan

aljabar-min-plus. Misalkan l x

i = waktu paling akhir perjalanan meninggalkan titik i,

 waktu temp uh dari titik i ke titik j , jika ( j, i )  A

B ij = 

jika ( j, i )  A .

Diasumsikan bahwa e x n = x n , kemudian dapat dituliskan

jika i  n

max (  B j ij  x n j ) , jika i  1 .

(4) Dengan menggunakan notasi aljabar min-plus persamaan (4) ekivalen dengan (4) Dengan menggunakan notasi aljabar min-plus persamaan (4) ekivalen dengan

min ( B x ) jika , i 1 . 

ij

(5) Perhatikan bahwa matriks B = A T , dengan A adalah matriks bobot graf berarah berbobot jaringan

e tersebut. Misalkan z = [z T

1 ,z 2 , ... , z n ] = x =[  x 1 ,  x 2 , ... ,  x n ] dan b = [, , ... ,  x n ] , persamaan (5) dapat dituliskan menjadi

(6) yang penyelesaiannya adalah

l z = A T z b .

l z T = (A ) b .

Dengan demikian diperoleh vektor waktu paling akhir perjalanan adalah x l =  z.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan dalam Teorema 2 berikut.

Teorema 2

Diberikan suatu jaringan lintasan searah dengan n titik dan A adalah matriks bobot graf berarah berbobot jaringan tersebut. Vektor waktu paling akhir perjalanan diberikan oleh

x l =  ( (A ) b )

e di mana T b = [, , ... ,  x

Bukti: (lihat uraian di atas) .

Dari hasil pada Teorema 1 dan Teorema 2 di atas, dapat ditentukan lintasan terpendek pada jaringan lintasan searah. Mengingat waktu singgah pada persimpangan adalah nol, dan telah

diketahui bahwa e x n merupakan waktu tercepat untuk melintasi jaringan, maka persimpangan

yang dilalui lintasan terpendek yang dicari adalah titik-titik i di mana e x

i = x i . Berikut diberikan contoh suatu jaringan lintasan searah dan perhitungannya.

Contoh 1

Perhatikan jaringan lintasan searah seperti yang diberikan pada Gambar 1 berikut :

2 7 Gambar 1 Contoh Jaringan lintasan searah

Matriks bobot graf berarah berbobot pada jaringan proyek di atas adalah matriks A di bawah ini. Dengan menggunakan program yang disusun dengan menggunakan MATLAB dengan input matriks A berikut, diperoleh output program sebagai berikut.

A =   2 3      ,A =  4 2 3 0     ,x =  4  dan x =  4  .    2 0    

Dari hasil di atas nampak bahwa waktu tempuh minimal untuk melintasi lintasan adalah 9 dan lintasan terpendek yang diperoleh adalah lintasan : (1, 2), (2, 4), (4, 5), (6, 7).

C. SIMPULAN

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa jaringan lintasan searah dengan bobot waktu tempuh dapat dimodelkan sebagai graf berarah terbobot yang dapat dinyatakan dengan matriks atas aljabar min-plus. Penentuan waktu tempuh minimal dapat dilakukan melaui operasi star (*) pada matriks bobot jaringannya. Lintasan terpendek dapat ditentukan melalui penentuan waktu awal paling cepat untuk melewati titik dan waktu paling akhir meninggalkan titik, untuk masing-masing titik pada jaringan. Hal ini dapat dilakukan terlebih dahulu memodelkan waktu tempuh perjalanan pada jaringan ke dalam suatu sistem persamaan (SPL) linear iteratif min-plus. Selanjutnya menyelesaikan SPL min-plus dapat ditentukan waktu awal paling cepat dan waktu paling akhir tersebut. Titik-titik dengan waktu awal paling cepat dan waktu paling akhir yang sama akan membentuk lintasan terpendek pada jaringan.

Lebih lanjut dapat dilakukan penelitian mengenai kelebihan dan kelemahan metode di atas dibandingan dengan metode-metode lintasan terpendek yang telah ada, analisis algoritma dan pendekatan aljabar min-plus untuk masalah-masalah yang terkait dengan lintasan terpendek lebih lanjut.

D. DAFTAR PUSTAKA

Baccelli, F., Cohen, G., Olsder, G.J. and Quadrat, J.P. 2001. Synchronization and Linearity. New York: John Wiley & Sons.

John S. Baras and George Theodorakopoulos. 2010. Path Problems in Networks. Synthesis Lectures on Communication Networks. Morgan & Claypool Publishers.

Gondran, M and Minoux, M. 2008. Graph, Dioids and Semirings. New York: Springer. Krivulin, N.K., Algebraic Modelling and Performance Evaluation of Acyclic Fork-Join Queueing

Networks. Advances in Stochastic Simulation Methods, Statistics for Industry and Technology. Birkhauser, Boston, 63-81, 2000

Rudhito MA, 2003, Sistem Linear Max-Plus Waktu-Invariant, Tesis: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Rudhito MA, Wahyuni S, Suparwanto A, dan Susilo F. 2010. Analisis Lintasan Kritis Jaringan Proyek dengan Pendekatan Aljabar Max-Plus . Jurnal Matematika Vol 12 No. 3. pp. 128-133

Rudhito, Andy. 2011. Aljabar Max-Plus Bilangan Kabur dan Penerapannya pada Masalah Penjadwalan dan Jaringan Antrian Kabur . Disertasi: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

A-6

JUMLAH GRUP BAGIAN DALAM DARAB LANGSUNG GRUP SIKLIS BERHINGGA

M.V.Any Herawati

Program Studi Matematika Universitas Sanata Dharma anyhera@ymail.com

Abstrak

Masalah yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah mencari jawaban atas pertanyaan tentang berapa banyak grup bagian dari suatu grup. Pertanyaan ini, secara umum, jawabannya tidaklah mudah. Beberapa penulis telah menghitung banyaknya grup bagian dalam keluarga grup berhingga tertentu. Joseph Petrillo dalam tulisannya yang berjudul ‘Counting Subgroups in a Direct Product of Finite Cyclic Groups’,

dalam The College Mathematics Journal , Vol.42, No.3 tahun 2011 menyumbangkan

hasil pemikirannya untuk kasus darab langsung grup siklis berhingga, Penelitian ini adalah studi pustaka atas tulisan Joseph Petrillo tersebut.

Untuk grup berhingga G dengan kisi grup bagian L(G), misalkan | L(G),| menyatakan banyaknya grup bagian dari G.. Misal Z n menyatakan grup siklis tunggal yang berorde n , yang dapat dipandang sebagai grup bilangan bulat dengan

penlumlahan modulo n. Tujuan penelitian ini adalah membahas rumus untuk menghitung | L ( Z m  Z n ) | untuk semua bilangan bulat positif m dan n.. Alat utama yang dipakai di sini adalah Teorem Goursat yang dituliskan di bawah nanti .

Pertama diperhatikan untuk kasus di mana m dan n relatif prima dan merupakan pangkat bilangan prima yang sama. Kemudian hasilnya diperluas untuk darab langsung dari sebarang grup siklis maupun tidak siklis.

Kata kunci: grup, grup siklis, orde grup, teorema Goursat.

A. PENDAHULUAN

Pengalaman di kelas, apabila mahasiswa diminta mencari grup bagian dari suatu darab langsung grup G  H , biasanya adalah dengan cara mencari grup bagian A dari G dan grup bagian C dari H lalu dibentuk A  C sebagai grup bagian dari G  H . Atau kalau tidak, dipilih

diagonal dari G  G , yatu D   ( g , g ) | g  G  yang merupakan grup bagian dari G  G .

Padahal secara umum masih ada grup bagian yang lainnya lagi. Sebagai contoh , misalkan

Z 3   0 , 1 , 2  dan perhatikan darab langsung Z 3  Z 3 , maka dapat diperiksa bahwa himpunan

{(0,0), (1,2), (2,1)} merupakan grup bagian dari Z 3  Z 3 yang bukan merupakan darab langsung grup bagian dan bukan pula grup bagian diagonal. Sehingga muncul pertanyaan ada

berapa grup bagian dari Z 3  Z 3 seluruhnya?

Pada tahun 1889, Edouard Goursat (1858-1936) membuktikan teorema yang menggambarkan struktur grup bagian dari darab langsung G 1  G 2 dalam hubungannya dengan kuosien dalam G 1 dan G 2 . Yang dimaksud kuosien dalam grup G adalah grup faktor A / B di mana

A adalah grup bagian dari G dan B adalah grup bagian normal dari A. Teorema Goursat tersebut

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA UNY yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

yang lain mungkin ada antara kuosien-kuosien yang tak trivial, masing-masing bersesuaian dengan satu grup bagian dalam darab langsung. Itulah alasan mengapa Z 3  Z 3 mempunyai grup bagian yang tidak dapat diperoleh dari darab langsung grup-grup bagian maupun dari diagonalnya Z 3  Z 3 . Dan bila diselesaikan menggunakan Teorema Goursat diperoleh bahwa banyaknya

grup bagian dari Z 3  Z 3 seluruhnya ada 3, yang secara teknis mencarinya adalah sebagai berikut. Pertama, dicari semua grup bagian dari Z 3 , yaitu grup bagian {0} dan Z 3 sendiri. Dari kedua grup bagian tersebut dibentuk grup – grup kuosien {0}/{0}, Z 3 /{ 0 } , dan Z 3 / Z 3 . Selanjutnya, dicari semua automorfisma dari {0}/{0}, Z 3 /{ 0 } , dan Z 3 / Z 3 . (i). Karena | {0}/{0} | = 1, maka hanya ada satu automorfisma dari {0}/{0}, yaitu

automorfisma yang memasangkan koset 0  { 0 }  0  { 0 } . Dari automorfisma ini dihasilkan

grup bagian trivial dari Z 3  Z 3 , yaitu {(0,0)}.

(ii). Sedangkan | Z 3 /{ 0 } | = 3, maka Z 3 /{ 0 }  Z 3 .. Karena ada 2 automorfisma dari Z 3 , maka automorfisma dari Z 3 /{ 0 } ada 2 pula, yaitu yang memetakan 0  { 0 }  0  { 0 } ,

1  { 0 }  1  { 0 } , 2  { 0 }  2  { 0 } . Dari sini dihasilkan grup bagian {(0,0), (1,1), (2,2)}. Sedangkan automorfisma yang satunya adalah yang memetakan 0  { 0 }  0  { 0 } ,

1  { 0 }  2  { 0 } , 2  { 0 }  1  { 0 } . Dari automorfisma ini dihasilkan grup bagian {(0,0), (1,2), (2,1)}. (iii). Dan yang terakhir karena | Z 3 / Z 3 .| = 1, maka Z 3 / Z 3  Z 1 dan hanya ada satu

automorfisma dari Z 1 , sehingga automorfisma dari Z 3 /Z 3 hanya ada satu pula,yaitu yang memetakan 0  Z 3  0  Z 3 dan dari pemetaan ini dihasilkan grup bagian {(0,0)} yang sudah muncul di bagian (i) di atas.

Dari uraian di atas diperoleh bahwa grup bagian dari Z 3  Z 3 seluruhnya ada 3, yaitu {(0,0)}, {(0,0), (1,1), (2,2)}, dan {(0,0), (1,2), (2,1)}.

Seperti yang diperlihatkan melalui contoh di atas bahwa Teorema Goursat tid ak menyediakan rumus untuk menghitung banyaknya grup bagian dari darab langsung grup G  H tetapi lebih pada bagaimana mengonstruksi semua grup bagian dari G  H . Sedangkan penelitian ini bertujuan membahas secara detail tulisan Joseph Petrillo yang berjudul ‘Counting

Subgroups in a Direct Product of Finite Cyclic Groups. ’ dalam The College Mathematics Journal, March 2009 tentang penurunan rumus untuk menghitung banyaknya grup bagian dalam darab langsung dari grup siklis berhingga. Adapun karena adanya pembatasan jumlah halaman, maka bukti teorema dan lampiran tidak disertakan dalam tulisan ini.

B. PEMBAHASAN

Teorema Goursat Misal G 1 dan G 2 adalah grup. Maka terdapat bijeksi antara himpunan semua grup bagian dari G 1  G 2 dan himpunan semua tripel (A / B , C / D,  ) di mana A / B adalah kuosien dalam G 1 , C / D adalah kuosien dalam G 2 , dan  : A / B  C / D adalah isomorfisma.

Bukti dari teorema Goursat tersebut dapat dilihat dalam [ 3 ] atau [4 ]. Dalam tulisan tersebut ditunjukkan bagaimana cara membentuk gup bagian U dari G 1  G 2 dari dua kuosien isomorfis yang diberikan, dan sebaliknya. Gambar 1 memperlihatkan hubungan antara U dan

kuosien-kuosien yang bersesuaian dengan U. Di sini A dan B adalah grup bagian dari G 1 dan C dan D adalah grup bagian dari G 2 , dan kuosien antara A / B dan C / D isomorfis melalui  .

Di samping memberikan cara membentuk grup-grop bagian A / B dan C / D , teorema Goursat juga memberikan cara untuk menghitung banyaknya grup bagian, minimal secara teori. Bila kita dapat menentukan semua kuosien antara G 1 dan G 2 , dan kemudian menentukan semuaisomorfisma antara pasangan kuosien-kuosien yang isomorfis, maka kita dapat menghitung grup-grup bagian dari dengan menghitung semua tripel (A / B , C / D,  ) di mana A / B adalah

kuosien dalam G 1 , C / D adalah kuosien dalam G 2 , dan  : A / B  C / D adalah isomorfisma.

Gambar 1 Visualisasi grup bagian U dari darab langsung G 1  G 2 .

Contoh 1 Grup bagian dari Z 9  Z 9 yang bukan merupakan darab langsung dari grup-grup bagian dari Z 9 adalah {(0,0),(3,3),(6,6)}. Dengan teorema Goursat, grup bagian ini bersesuaian

dengan tripel  3 / 0 , 3 / 0 ,   , di mana  adalah automorfisma identitas pada 3 / 0

  Z 3  Karena hanya ada satu automorfisma yang lain (selain automorfisma identitas) dari Z

, yaitu yang memetakan 0 ke 0, 1 ke 2, dan 2 ke 1, maka ada tepat satu grup bagian lain yang diperoleh dari pasangan kuosien ini, yaitu {(0,0),(6,3),(3,6)}.

Secara umum, setiap pasangan kuosien berorde satu,tiga, atau sembilan dalam Z 9  Z 9 menghasilkan satu, dua, atau enam grup bagian, berturut-turut., sama dengan banyaknya automorfisma dari Z 1 , Z 3 , dan Z 9 Dalam Z 9 , ada tiga kuosien berorde satu, dua kuosien

berorde tiga, dan satu kuosien berorde 9. Dengan Teorema Goursat, Z 9  Z 9 mempunyai

3.3.1+2.2.2+1.1.6 = 23 grup bagian (Lampiran 1). Kisi grup bagian dari Z 9  Z 9 ditunjukkan dalam Gambar 2.

Pendekatan yang dipakai dalam Contoh ini menjadi dasar untuk menghitung jumlah grup Z r p  Z r

bagian dari p , di mana p adalah bilangan prima. Pertama, diamati untuk kasus paling sederhana, yaitu ketika grup-grup faktor tersebut mempunyai orde relatif prima dan perkalian dari pangkat bilangan prima yang sama. Akhirnya, hasil tersebut diperluas untuk hasilkali langsung dari grup siklik dan tak-siklik sebarang.

Menghitung grup bagian dari

bila m dan n relatif prima

Teorema 1

ZZ Bila m dan n adalah bilangan-bilangan bulat positif yang relatif prima, maka grup

m dan m tidak mempunyai kuosien tak-trivial yang isomorfis.

Bukti : (Lampiran)

Menurut Teorema Goursat, setiap grup bagian dari m Z n berpadanan dengan suatu ( A / A , C / C ,  )

tripel

, di mana

n , dan

adalah isomorfisma identitas. Ini

A  C berarti bahwa setiap grup bagian dari

, dan dari sini kisi Z m  Z

mempunyai bentuk

grup bagian dari

n adalah darab Kartesius dari

dan n .

Gambar 2 Diagram kisi grup bagian dari

Teorema 2. Misal m dan n adalah dua bilangan bulat positif yang relatif prima, dengan

faktorisasi prima m  p 1 1 ... p k dan n  q 1 ... q

l 1 k . Maka banyaknya grup bagian dari Z m  Z n

adalah

d ( m ) d ( n )   ( r i  1 )  ( r j  1 ).

Bukti : (Lampiran)

Berikut ini adalah kasus khusus dari Teorema 2 bila m dan n berupa pangkat dari bilangan-bilangan prima.

Akibat 3. Bila p dan q adalah dua bilangan prima yang berbeda, maka banyaknya grup bagian Z r  t

Z q adalah (r+1)(t+1).

dari p

Bukti : (Lampiran)

Z 3  Z 32 Z  Gambar 3 Kisi grup bagian dari

dan 9 Z 8 .

Z  Contoh 2. Grup 27 Z 4 Z dan  9 Z 8 masing-masing mempunyai 12 grup bagian dan kisi

 Z 32 8 tidak isomorfis

grup bagiannya saling isomorfis. Meskipun kisi grup bagian dari 3

dengan kedua kisi tersebut, grup ini juga mempunyai 12 grup bagian. (Gambar 3 dan 4). Secara Z

 Z 5 q dan

umum, bila p dan q adalah dua bilangan prima yang berbeda, maka grup p

Z p 2  Z q 3 masing-masing mempunyai 12 grup bagian, namun kisi grup bagiannya tidak

isomorfis..(Lampiran 2)

Gambar 4 Kisi grup bagian dari Z 27  Z 4

Menghitung grup bagian dari Z r  Z s

p , di mana p adalah bilangan prima dan r ≤s

 Z Dalam bagian ini kita mengamati secara khusus darab langsung r s p

p , di mana p adalah bilangan prima dan r ≤ s. Tujuan utamanya adalah menghitung grup-grup bagian yang

(A / B , C / D,  )

berpadanan dengan tripel untuk kuosien-kuosien tertentu A/B dan C/D, yang

keduanya isomorfis dengan p ,0 ≤ k ≤ r, di mana mencakup semua automorfisma dari Z k p .

Karena L ( Z r p )

adalah rantai, r Z p mempunyai r+1 grup bagian (kuosien berorde 1), r

kuosien berorde p, r – 1 kuosien berorde p , dan seterusnya. Secara umum, Z p mempunyai

r – k + 1 kuosien berorde p ,0 ≤ k ≤ r . Selanjutnya, menghitung automorfisma dari suatu grup siklis adalah ekivalen dengan menghitung banyaknya pembangun. Dengan menggunakan fungsi

totient Euler pada p , diperoleh bahwa Z p

mempunyai

automorfisma bila k >

0 , dan mempunyai satu automorfisma bila k = 0.

k>0 , kita dapat memilih kuosien dalam p dalam r – k + 1 xara, memilih kuosien dalam s Z p dalam s – k + 1 xara,dan kemudian memilih

, r Z Sekarang, untuk setiap kuosien berorde

isomorphism dalam p  p 1 cara.. Untuk k = 0, banyaknya grup bagian adalah (r + 1)(s + 1), dan untuk 0.< k ≤ r, , banyaknya grup bagian adalah

(r – k + 1)( s – k + 1)( p  p ). Maka, total jumlah grup bagian dari Z r  Z s adalah p

k  ( 1 r  1 )( s  1 )  

( r  k  1 )( s  k  1 )( p  p ),

yang dengan beberapa hitungan secara aljabar diperoleh :

 1   rp

rs

Dan dengan beberapa penyederhanaan diperoleh hasil sebagai berikut :

Teorema 4. Bila p adalah bilangan prima, dan r dan s adalah bilangan bulat tak-negatif sedemikian hingga r

≤ s, maka banyaknya grup bagian dari s adalah

p   s  r  1  p  1   2     s  r  3  p  1   2 

Bukti : (Lampiran)

Berikut adalah beberapa kasus khusus dari Proposisi 2 :

Teorema 5. Misal p adalah bilangan prima, dan misal r dan s adalah bilangan bulat tak-negatif sedemikian hingga r ≤ s . Maka

(a)

( r p  1  p  1 )( p  1 ) 2 ( s  r )

(b)

( p r 1  1 ) L ( Z s  Z s )  L ( Z r  Z (c)

( p 1  p r 1 )( p  1 )

pp

Bukti : (Lampiran)

Jumlah grup bagian dari

n untuk sebarang m dan n

Perhatikan grup Z m  Z n dan andaikan bahwa m 1  n . Bila p 1 , p 2 ,..., p k adalah bilangan-bilangan prima yang saling berbeda dan membagi hasilkali mn, maka m dan n dapat

1 2 ... p k k , di mana r i dan s i adalah bilangan bualt tak negatif dan mungkin sama dengan nol pada paling banyak satu dalam

difaktorkan sebagai s m  p p ... p dan n  p 1 p 2 s

dekomposisi untuk m dan n. Dengan Teorema Fundamental dari grup Abel berhingga Z m  Z n dapat didekomposisikan menjadi

r 1  Z s 1   . . . p   Z r k  Z s k   1 p 1   p k p k  . (2) Pada tahun 1951,Suzuki [ ] membuktikan teorema yang dapat digunakan untuk

menghasilkan generalisasi Teorema 2.

G Teorema G Suzuki.

grup berhingga. Maka

1 2 1 2 bila dan hanya bila | G 1 |

dan

| G dan

2 | relatif prima.

p 1 , p 2 ,..., p Teorema 6. Misal m dan n adalah bilangan positif, dan misal

k adalah bilangan-bilangan prima saling berbeda yang membagi hasilkali mn sedemikian hingga r 1 m r p p 2 ... r k

1 2 p k dan n  p 1 2 k 1 p 2 ... p k . Maka

Setiap faktor dalam Proposisi 3 dapat dihitung menggunakan Proposisi 2 dan akibatnya.

Bukti : (Lampiran)

Contoh 3. Karena 2 18  2 . 3 dan 30 = 2.3.5, maka | L ( Z 18  Z 30 ) |  | L ( Z 2  Z 2 ) | . | L ( Z 2  Z 3 ) | . | L ( Z 1  Z ) |

Menghitung Jumlah Grup Bagian dari Grup Berhingga Tak Siklik

Secara prinsip, untuk menghitung grup bagian dari hasilkali langsung dari sebarang grup berhingga G 1 dan G 2 adalah dengan Teorema Goursat, yang tentunya dibutuhkan informasi lebih tentang struktur dari G 1 dan G 2 . Dalam prakteknya, untuk menghitung grup bagian dari

G 1  G 2 pada umumnya lebih sederhana bila menggunakan Teorema Goursat secara langsung daripada dengan rumus. Berikut adalah contohnya.

Contoh 4. Akan dihitung jumlah grup bagian dari hasil kali langsung A 4 , grup alternating pada empat elemen, dan D 4 , grup simetri dari persegi (Diagram Hassenya di Gambar 5). Orde dari

A 4 adalah 12 yang mempunyai pembagi 1, 2, 3, 4, 6, dan12. Karena A 4 tidak mempunyai kuosien berorde 6 dan D 4 tidak mempunyai kuosien berorde 3 maupun 12, berarti cukup

diperhatikan kuosien berorde 1, 2,dan4.(Lampiran)

Gambar 5. Diagram Hasse dari A 4 dan D 4 .

Kuosien berorde 1. A 4 dan D 4 masing-masing mempunyai 10 kuosien berorde satu (yaitu dari sepuluh grup bagian), dan hanya ada satu automorfisma antara setiap pasang

kuosien-kuosien tersebut. Dengan demikian, total jumlah grup bagian yang bersesuaian dengan kuosienberorde satu adalah 10 . 10 . 1 = 100.

Kuosien berorde 2 A 4 mempunyai 6 kuosien berorde dua, sedangkan D 4 mempunyai limabelas (Lampiran). Semua kuosien tersebut isomorfis dengan Z 2 , yang mana hanya ada satu

automorfisma dari Z 2 . Dengan demikian, ada 6 . 15 . 1 = 90 grup bagian.

Kuosien berorde 4. A 4 mempunyai 1 kuosien berorde empat (Lampiran) yang isomorfis dengan grup Klein-4 Z 2  Z 2 . (Bila Z 3 adalah sebarang grup bagian berorde 3 dalam A 4

,maka A 4 /Z 3 bukan kuosien karena Z 3 bukan grup bagian normal dari A 4 .) Di lain pihak,

D 4 mempunyai 4 kuosien berorde empat,tapi salah satunya siklik, jadi mempunyai 3 kuosien yang isomorfis dengan grup Klein-4(Lampiran). Karena Aut ( Z 2  Z 2 )  S 3 (Lampiran) , grup simetris pada 3 elemen, Z 2  Z 2 mempunyai 6 elemen, yang berarti jumlah total grup bagian dari A 4  D 4 yang bersesuaian dengan kuosien ini adalah 1 . 3 . 6 = 18.

Berdasar pengamatan di atas A 4  D 4 mempunyai 100 + 90 + 18 = 208 grup bagian

C. KESIMPULAN

Dari uraian di atas diperoleh rumus untuk menghitung banyaknya grup bagian dari darab langsung grup dua grup, yaitu :

1. Teorema 2 digunakan untuk darab langsung dari dua grup siklis berhingga yang orde-ordenya relatif prima .

2. Akibat 3 digunakan untuk darab langsung dari dua grup siklis berhingga yang orde-ordenya adalah bilangan prima yang berbeda

3. Teorema 4 digunakan untuk darab langsung dari dua grup siklis berhingga yang orde-ordenya merupakan pangkat dari bilangan prima yang sama,

4. Teorema 6 digunakan untuk darab langsung dari dua grup siklis berhingga yang orde-ordenya adalah bilangan positif sebarang.

5. Untuk darab langsung dari dua grup tak siklis pada umumnya lebih sederhana bila menggunakan Teorema Goursat .

D. DAFTAR PUSTAKA

Fraleigh,J.B., A First Course in Abstract Algebra, 7 th edition, Pearson Education, Inc., 2003. Gallian,J.A., Contemporary Abstract Algebra. 7 th edition, .Boston: Houghton Mifflin, 2010. Herawati, A., Teorema Goursat : Konstruksi subgrup dari grup darab langsung, Prosiding

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, FMIPA UNY, 2009. Petrillo, J., Goursat’s Other Theorem, The College Mathematics Journal, Vol.40, No.2 (2009)

119. Petrillo, J., Counting Subgroups in a Direct Product of Finite Cyclic Groups, The College

Mathematics Journal , Vol.42, No.3 (2011) 215 .

A-7 KEBEBASAN LINEAR DALAM ALJABAR MAX-PLUS INTERVAL

1 2 Siswanto 3 , Aditya NR , Supriyadi W 1,2,3 Jurusan Matematika FMIPA UNS

1 2 sis.mipauns@yahoo.co.id, 3 aditya.nurrochma@yahoo.com, supriyadi_w@yahoo.co.id

Abstrak

Dalam penelitian ini dibahas pengertian kombinasi linear, rentang linear, dan pengertian kebebasan linear. Ada 3 macam kekebasan linear dalam aljabar max-plus interval, yaitu bebas linear secara lemah, bebas linear pada Gondran-Minoux, dan bebas linear secara tropical. Dibahas pula perbandingan ketiga jenis kebebasan linear tersebut.

Kata kunci : Aljabar max-plus interval, lemah, Gondran Minoux, tropical.

A. PENDAHULUAN

Aljabar max-plus adalah himpunan ℝ = ℝ∪ {} dilengkapi operasi maksimum ⨁ dan plus ⊗ dengan ℝ himpunan bilangan real dan = − ∞ . Elemen identitas terhadap maksimum dan plus berturut-turut adalah − ∞ dan 0. Struktur dari aljabar max-plus adalah semifiled. Aljabar max-plus telah digunakan untuk memodelkan dan menganalisis secara aljabar masalah perencanaan, komunikasi, produksi, sistem antrian dengan kapasitas berhingga, komputasi parallel, dan lalu lintas (Baccelli, et. al, 2001). Hal inilah yang memotivasi penelitian tentang analogi konsep-konsep pada aljabar atas lapangan (field) himpunan bilangan real antara lain mengenai kebebasan linear, pengertian basis, sistem persamaan linear, nilai eigen dan vektor eigen, serta mengenai rank suatu matiks. (Akian, et al, 2008; Akian, Bapat, 2000; Cunninghame-Green, Butkovic, 2004; Farlow, 2009; Tam, 2010).

Pembahasan tentang kebebasan linear pada aljabar max-plus berawal dan hasil kerja Cunninghame-Greene, 1979; yang mendefinisikan bahwa sebuah himpunan dikatakan bebas linear secara lemah jika tidak memuat suatu vektor yang merupakan kombinasi linear dari vektor lain pada himpunan tersebut. Pernyataan ini kemudian dikembangkan oleh Wagneur, 1991; yang mengatakan bahwa sub ruang linear dari ℝ

yang dibangun secara berhingga memuat sebuah himpunan pembangun bebas linear secara lemah, Hasil ini kemudian dilanjutkan oleh Cunninghame-Green, Butkovi’c, 2004; Gaubert, Katz, 2007; Butkovi’c, et al, 2007. Penelitian ini kemudian menghasilkan sebuah teori extreme rays pada ruang linear max-plus (suatu ray adalah himpunan hasil perkalian skalar dari suatu vektor tunggal). Teori ini menunjukkan bahwa kebebasan linear secara lemah yang membangun suatu himpunan dapat diidentifikasikan sebagai suatu himpunan dari extreme rays. Gondran dan Minoux, 1984, mendefinisikan bentuk yang berbeda tentang kebebasan linear namun lebih mendekati pengertian kebebasan linear secara umum. Suatu himpunan berhingga disebut bergantung linier pada Gondran-Minoux jika himpunan tersebut dapat dipartisi menjadi dua himpunan yang membangun ruang linier dengan interseksi yang bukan merupakan vektor nol.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Pada penelitian yang lain ( Izhakian, 2008) , diperkenalkan pengertian berbeda tentang kebebasan linear. Suatu himpunan vektor dikatakan bergantung linear secara tropical jika dapat dibuat kombinasi linear dari vektor-vektor pada himpunan tersebut sedemikian sehingga nilai maksimum dari tiap-tiap baris dapat dicapai paling sedikit dua kali..Akian, et al, 2008 telah menjelaskan perbandingan dari masing-masing pengertian tentang kebebasan linear pada aljabar max-plus yaitu bebas linear secara lemah, bebas linear pada Gondran-Minoux, dan bebas linear secara tropical.

Untuk menyelesaikan masalah jaringan dengan waktu aktifitas bilangan kabur seperti penjadwalan kabur dan sistem antrian kabur, aljabar max-plus telah digeneralisasi menjadi aljabar max-plus interval (Rudhito, 2011). Aljabar max-plus interval yaitu ( ℝ )

dilengkapi dengan operasi ⊕ dan ⊗ . Telah dibicarakan juga tentang matriks atas aljabar max-plus interval. Berdasarkan uraian di atas, muncul permasalahan tentang bagaimana konsep kebebasan linear dalam aljabar max-plus interval. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai kebebasan linear dalam aljabar max-plus interval..

Konsep tentang semimodul, kombinasi linear, rentang linear, bebas linear dan bergantung linear diambil dari Akian, et al, 2008; Cunninghame-Green, 1979; Gondran M dan Minoux M, 1984; dan Izhakian, 2008.

Definisi 1.1. Semimodul M terhadap semiring S adalah abelian monoid terhadap penjumlahan yang memiliki elemen netral 0 dan dilengkapi dengan perkalian skalar yang memenuhi syarat :

1. (s.r).m = s.(r.m)

5. s.0 = 0 = 0.m untuk semua m,n ∈ M, dan s, r ∈ S.

Dengan memperhatikan definisi 1.4, ℝ × merupakan semimodul atas ℝ . Khususnya ℝ

= {[ , , …, ]| ∈ℝ , = 1, 2, …, } merupakan semimodul atas ℝ .

Definisi 1.2. Suatu m elemen dari M semimodul pada semiring S dikatakan kombinasi linier elemen-elemen dari subset P M jika terdapat k 0, , , …, ∈ S,

, , …, ∈ P,

sedemikian sehingga m = . + .

Dengan merujuk pada definisi 1.2 didapat bahwa semua kombinasi linear adalah berhingga.

Definisi 1.3. Misalkan ⊆ , M semimodul pada semiring S. Rentang linear P ditulis 〈 〉 adalah himpunan semua kombinasi linear dari elemen-elemen P dengan koefisien dari S. P dikatakan membangun M jika M = 〈 〉, sedang P dikatakan memuat subset V ⊆ M jika V ⊆ 〈 〉.

Berbeda dengan ruang vektor atas suatu lapangan (field), terdapat beberapa cara untuk mendefinisikan kebebasan linear pada aljabar max-plus. Hal ini dikarenakan bahwa penjumlahan (maksimum) dari vektor-vektor yang tidak nol yaitu vektor yang setiap elemennya tidak sama dengan tidak mungkin sama dengan vektor nol. Oleh karena itu, definisi bergantung linear atas lapangan himpunan bilangan real tidak dapat digunakan.

Definisi 1.4. Himpunan { , , …, } elemen dari semimodul M pada semiring ℝ dikatakan bergantung linear pada Gondran-Minoux jika terdapat dua subset , ⊆ , = {1, 2, …, } , ∩ = ∅ dan ∪ =

∈ yang tidak semuanya bernilai 0, sedemikian sehingga ⨁ ∈

dan skalar

Definisi 1.5. Himpunan { , , …, } elemen dari semimodul M pada semiring ℝ dikatakan bebas linear pada Gondran-Minoux jika untuk setiap dua subset , ⊆,

= {1, 2, …, } , ∩ = ∅ dan ∪ =

∈ yang tidak semuanya bernilai 0, sedemikian sehingga ⨁ ∈

dan skalar

Definisi 1.6. Himpunan P M, dengan M semimodul dari semiring ℝ dikatakan bergantung linear secara lemah jika terdapat elemen pada P yang merupakan kombinasi linear dari elemen-

elemen lainnya pada P.

Definisi 1.7. Himpunan P M, dengan M semimodul dari semiring ℝ dikatakan bebas linear secara lemah jika tidak terdapat elemen pada P yang merupakan kombinasi linear dari

elemen- elemen lainnya pada P.

Definisi 1.8. Himpunan { ,…, } dan

] , = 1, 2, …, yang merupakan elemen dari ℝ

dikatakan bergantung linear secara tropical, jika terdapat 2 subset , ⊆ = {1, …, } , ∪ =

dan ∩ = ∅ dengan = 1, 2, …, dan

yang tidak semuanya bernilai 0, sedemikian sehingga ⨁ ∈

= ⨁ ∈ ⊗ , untuk semua l, 1 ≤≤.

] , = 1, 2, …, yang merupakan elemen dari ℝ

Definisi 1.9. Himpunan { ,…, } dan

dikatakan bebas linear secara tropical, jika untuk setiap 2 subset , ⊆ = {1, …, } , ∪ =

dan ∩ = ∅ dengan = 1, 2, …, dan

yang tidak semuanya bernilai 0, sedemikian sehingga ⨁ ∈

≠ ⨁ ∈ ⊗ , untuk semua l, 1 ≤≤.

Teorema 1.1. Himpunan vektor yang bebas linear pada Gondran-Minoux juga bebas linear secara lemah.

Teorema 1.2. Himpunan vektor yang bebas linear secara tropical juga bebas linear pada Gondran-Minoux linear.

Teorema 1.3. Himpunan vektor yang bebas linear secara tropical juga bebas linear secara lemah.

B. PEMBAHASAN

Dengan memperhatikan definisi kombinasi linear pada aljabar max-plus diperoleh definisi dari kombinasi linear pada aljabar max-plus interval ( ℝ )

dan teorema sebagai berikut,

, A dikatakan sebagai kombinasi linear dari elemen-elemen himpunan P ⊆ ( ℝ )

Definisi 2.1. Misalkan A ∈ ( ℝ )

A ,A , …, A ∈ P dan α , α , …, α∈ ( ℝ ) sedemikian sehingga A= ⊕

jika terdapat ≥ 0 ,

α⊗ A .

Dengan memperhatikan Definisi 2.1, misalkan P dan P masing-masing merupakan himpunan vektor-vektor batas bawah dan vektor-vektor batas atas dari himpunan vektor-vektor interval P, A ≈

A, A , A ≈

A ,A dan α ≈ α , α untuk = 1, 2, …, diperoleh teorema : Teorema 2.1. Misalkan A ∈ ( ℝ )

A jika kombinasi linear dari elemen-elemen himpunan P ⊆ ( ℝ )

maka A= ⊕

α⊗ A dan A= ⊕

α⊗ A , dengan kata lain vektor α⊗ A , dengan kata lain vektor

Bukti : Misalkan A ∈ ( ℝ ) sebagai kombinasi linear elemen-elemen P ⊆ ( ℝ ) berarti

sehingga A= ⊕ α⊗ A . [ , ]

terdapat ≥ 0, A , A ,…, A ∈ P dan α , α , …, α∈ ( ℝ )

Misalkan A= ⎜ . ⎟ , A= ⎜

⎜ A= ⎟ ⎜ ⎟ Berarti, ⊕ α⊗ A ⟺ .

⎛ [ , ] ⎞ ⎢ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ Di lain pihak,

⎜ ⎜ ⎟ ⎟ ≈ ⎢ ⎜ ⎟ , ⎜ . ⎟ ⎥ sehingga

⎥ . Perhatikan vektor batas bawah, ⎢ ⎜

⊗ A = ⊕ ( ⊗ A ).

Diperoleh bahwa vektor batas bawah, A merupakan kombinasi linear dari vektor batas bawah elemen-elemen dari P atau A merupakan kombinasi linear dari vektor batas bawah elemen-elemen dari P . Demikian juga untuk vektor batas atas, diperoleh bahwa vektor batas atas

A merupakan kombinasi linear dari vektor batas atas elemen-elemen P .

α⊗ A dan A= ⊕ α⊗ A maka A kombinasi linear dari elemen-elemen himpunan P ⊆ ( ℝ )

Akibat 2.1. Misalkan A ∈ ( ℝ )

, jika A= ⊕

Berdasarkan pengertian kombinasi linear pada aljabar max-plus interval diperoleh definisi rentang linear 〈 P 〉 dari P subhimpunan dari ( ℝ )

semimodul atas semiring ( ℝ ) dan teorema sebagai berikut :

Definisi 2.2. Himpunan rentang linear dari P ⊆ ( ℝ ) ditulis 〈 P 〉 adalah himpunan semua kombinasi linear dari elemen-elemen Q yaitu 〈 P 〉 = ⊕

α⊗ P| α∈ ( ℝ ) ,= 1, 2, …,

untuk semua Q = {P | = 1, 2, …, } himpunan bagian berhingga P yang mungkin. Dengan memperhatikan definisi 2.2, jika dimisalkan [ , ⎧ ]

⎭ masing-masing himpunan vektor-vektor batas bawah dan vektor-vektor batas atas dari himpunan

P, α ≈ α , α , untuk = 1, 2, …, , Q= P| = 1, 2, …, dan Q=P| = 1, 2, …, diperoleh teorema berikut :

Teorema 2.2. Jika 〈 P 〉 himpunan rentang linear dari P ⊆ ( ℝ ) maka 〈 P 〉 = ⨁ ( α⊗ P)| α ∈ ℝ

untuk semua Q= P| = 1, 2, …,

dan Q= P| = 1, 2, …, masing-masing

himpunan bagian berhingga yang mungkin dari P dan P .

Bukti : Diketahui 〈 P 〉 himpunan rentang linear dari P ⊆ ( ℝ ) berarti 〈 P 〉 adalah himpunan semua kombinasi linear dari elemen-elemen Q yaitu 〈 P 〉 = ⊕

α⊗ P | α ∈ ( ℝ ) ,=

1, 2, …, untuk semua Q = {P | = 1, 2, …, } himpunan bagian berhingga yang mungkin dari P. Misalkan P dan P masing-masing himpunan vektor-vektor batas bawah dan vektor-vektor batas atas dari himpunan P, α ≈ α , α , untuk

= 1, 2, …, , Q= P| = 1, 2, …, dan

Q=P| = 1, 2, …, . Ambil sembarang A ∈〈 P 〉 maka didapat bahwa,

⊗ P ⊕ … ⊕ ⊗ P Terbukti, 〈 P 〉 = ⨁ ( α⊗ P)| α ∈ ℝ

untuk semua Q = P| = 1, 2, …,

dan Q= P| = 1, 2, …,

masing-masing himpunan bagian berhingga yang mungkin dari P dan P .

Definisi 2.3. Suatu himpunan P dikatakan membangun semimodul ( ℝ ) jika 〈〉 =( ℝ ) . Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai definisi bebas linear secara lemah, bebas linear pada Gondran-Minoux, dan bebas linear tropical. Dengan persamaan struktur antara ℝ

dan ( ℝ )

maka definisi bebas linear tersebut dapat juga digunakan pada ( ℝ ) . Penjelasan mengenai definisi bebas linear secara lemah, Gondran-Minoux, dan tropical pada ( ℝ ) berdasarkan pada Definisi 2.1. dan Definisi 1.8.

, P dikatakan bergantung linear secara lemah jika terdapat elemen A ∈ P yang merupakan kombinasi linear dari elemen-elemen lainnya pada P. Sebaliknya ,

Definisi 2.4. Misalkan P ⊆ ( ℝ )

dikatakan bebas linear secara lemah jika untuk setiap A ∈ P , A tidak merupakan kombinasi linear dari elemen-elemen lainnya pada P. Dengan memperhatikan Definisi 2.4, misalkan A ≈ A,A,P dan P masing-masing himpunan vektor-vektor batas bawah dan vektor-vektor batas atas dari himpunan P, diperoleh teorema berikut :

Teorema 2.3. Misalkan P ⊆ ( ℝ )

, jika P bergantung linear secara lemah maka terdapat

A ∈ P yang merupakan kombinasi linear dari elemen-elemen lainnya pada P , dan A ∈ P yang merupakan kombinasi linear dari elemen-elemen lain pada P .

Bukti : Ambil sebarang himpunan P yang bergantung linear secara lemah. Menurut Definisi 2.4 terdapat elemen A ∈ P yang merupakan kombinasi linear dari elemen-elemen lainnya pada P. Menurut Teorema 2.1 bahwa vektor batas bawah A merupakan kombinasi linear vektor batas bawah elemen-elemen lain dari P dan A ∈ P merupakan kombinasi linear dari elemen-elemen

lain dari P . Sebaliknya P bebas linear secara lemah jika untuk setiap A ∈ P , A tidak merupakan kombinasi linear dari elemen-elemen lainnya pada P dan A ∈ P , A tidak merupakan kombinasi

linear dari elemen-elemen lainnya pada P .

Akibat 2.2. Misalkan P ⊆ ( ℝ )

, jika P bebas linear secara lemah maka untuk setiap A ∈ P ,

A tidak merupakan kombinasi linear dari elemen-elemen lainnya pada P dan untuk setiap

A ∈ P , A tidak merupakan kombinasi linear dari elemen-elemen lainnya pada P .

Definisi 2.5. Misalkan P ⊆ ( ℝ )

, Himpunan P = {A | = 1, 2, …, } ⊆ ( ℝ ) dikatakan bergantung linear pada Gondran-Minoux jika terdapat 2 subhimpunan ,

⊆ = {1, 2, …, } dengan ∩ = ∅ dan ∪ = , interval , , …, ∈ ( ℝ )

yang tidak semuanya ℰ sedemikian sehingga ⊕ ∈ α ⊗ A= ⊕ ∈ α ⊗ A . Sebaliknya himpunan = {A | =

1, 2, …, } ⊆ ( ℝ ) bebas linear pada Gondran-Minoux jika untuk semua , ⊆ =

1, 2, …, dengan ∩ = ∅ dan ∪ = dan skalar , ,…, ∈ ( ℝ ) tidak semuanya

ℰ maka ⊕ ∈ α ⊗ A ≠ ⊕ ∈ α ⊗ A .

Dengan memperhatikan definisi 2.5, misalkan A ≈

A ,A ,

≈ , untuk =

1, 2, …, serta P dan P masing-masing himpunan vektor-vektor batas bawah dan vektor-vektor batas atas dari himpunan P, diperoleh teorema berikut :

Teorema 2.4. Misalkan P ⊆ ( ℝ )

, jika himpunan P = {A | = 1, 2, …, } ⊆ ( ℝ ) bergantung linear pada Gondran-Minoux maka terdapat 2 subhimpunan ,

⊆ = {1, 2, …, } dengan ∩ = ∅ dan ∪ = , interval

yang tidak semuanya ℰ =[,] sedemikian sehingga ⊕ ∈ α⊗ A= ⊕ ∈ α⊗ A dan ⊕ ∈

⊗ A= ⊕ ∈ α⊗ A .

. Jika himpunan bergantung linear pada Gondran-Minoux maka menurut Definisi 4.8 terdapat , ⊆ = {1, 2, …, } dengan

Bukti : Ambil himpunan P = {A | = 1, 2, …, } ⊆ ( ℝ )

∩ = ∅ dan ∪ = , serta , , …, ∈ ( ℝ ) sedemikian sehingga, ⊕ ∈ ⊗ A= ⊕ ∈

⊗ A , ⊕ ∈ ⊗ A dan pada ruas kanan didapatkan, ⊕ ∈

⊗ A . Pada ruas kiri didapatkan, ⊕ ∈

⊗ A ≈ ⊕ ∈

⊗ A . Oleh karena itu, diperoleh bahwa vektor batas bawah interval ruas kanan dan ruas kiri, ⊕ ∈

⊗ A ≈ ⊕ ∈

⊗ A= ⊕ ∈

⊗ A . Tampak bahwa vektor batas bawah dan vektor batas atas interval bergantung linear secara Gondran Minoux.

⊗ A dan ⨁ ∈

⊗ A= ⨁ ∈

, jika himpunan P = {A | = 1, 2, …, } ⊆ ( ℝ ) bebas linear pada Gondran-Minoux jika untuk semua , ⊆ = 1, 2, …, dengan ∩ = ∅ dan ∪ =

Akibat 2.3. Misalkan P ⊆ ( ℝ )

dan skalar , , …, ∈ ( ℝ ) tidak semuanya ℰ =[,] maka ⊕ ∈ ⊗ A ≠ ⊕ ∈

⊗ A atau ⊕ ∈

⊗ A ≠⊕ ∈

Definisi 2.6. Himpunan P = {A , A , …, A } ⊆ ( ℝ )

dengan A= ⎛ A ⎞ untuk = ⋮

1, 2, …, dikatakan bergantung linear secara tropical jika terdapat 2 subhimpunan , ⊆ = 1, 2, …,

dengan ∩ = ∅ dan

, serta interval

sedemikian sehingga ⊕ ∈ α ⊗ a = ⊕ ∈ α ⊗ a untuk semua = 1, 2, …, . Sebaliknya, sedemikian sehingga ⊕ ∈ α ⊗ a = ⊕ ∈ α ⊗ a untuk semua = 1, 2, …, . Sebaliknya,

maka ⊕ ∈ α ⊗ A ≠ ⊕ ∈ α ⊗ A untuk semua = 1, 2, …, . A Teorema 2.5. Jika himpunan P = {A ,A , …, A }

⊆ A ( ℝ ) dengan A= ⎛ ⎞ = ⋮ ⎝ A ⎠

A ,A ⎛

A ,A ⎟ untuk = 1, 2, …, bergantung linear secara tropical maka terdapat 2 ⎜

⋮ ⎟ ⎝ A, A ⎠

∪ = , serta , ,…,

subhimpunan , ⊆ = {1, 2, …, } dengan

∩ = ∅ dan

∈ ( ℝ ) sedemikian sehingga ⊕ ∈ α⊗ A= ⊕ ∈ α⊗ A dan ⊕ ∈ α⊗

A = ⊕ ∈ α⊗ A untuk = 1, 2, …, .

Bukti : Ambil himpunan = {A | = 1, 2, …, } ⊆ ( ℝ ) . Misalkan bergantung linear secara tropical, terdapat , ⊆ = {1, 2, …, } dengan

∩ = ∅ dan ∪ = , =

⊗ A= ⨁ ∈ ⊗ A . Untuk setiap

1, 2, …, , serta , ,…, ∈ ( ℝ )

sedemikian sehingga, ⨁ ∈

pada ruas kiri diperoleh, ⨁ ∈ ⊗ A ≈⊕ ∈ ⊗

⊗ A , ⊕ ∈ ⊗ A . Oleh karena itu, diperoleh persamaan vektor batas bawah, ⊕ ∈

⊗ A dan pada ruas kanan, ⨁ ∈

⊗ A ≈⊕ ∈

⊗ A= ⊕ ∈ ⊗ A serta persamaan vektor batas atas, ⊕ ∈

⊗ A . Tampak bahwa vektor-vektor batas bawah dan vektor-vektor batas atas interval bergantung linear secara tropical. A

⊗ A= ⊕ ∈

P = {A ,A , …, A } ⊆ ( ℝ )

dengan A= ⎛ A ⎞ untuk = ⋮

⎝ A ⎠ 1, 2, …,

bebas linear secara tropical maka untuk semua , ⊆ = {1, 2, …, } dengan ∩ = ∅ dan ∪ = , serta , , …, ∈ ( ℝ )

maka ⊕ ∈ α⊗ A ≠⊕ ∈ α⊗

A atau ⊕ ∈ α⊗ A ≠ ⊕ ∈ α⊗ A untuk = 1, 2, …, .

Perbandingan antara bebas linear secara lemah dan Gondran-Minoux disajikan pada teorema :

Teorema 2.6. Jika suatu himpunan vektor interval bebas linear pada Gondran-Minoux, maka himpunan tersebut juga bebas linear secara lemah.

Bukti : Ambil ={ , , …, } subhimpunan dari semimodul ( ℝ ) atas semiring ( ℝ )

. Misal bebas linear pada Gondran-Minoux, maka untuk semua , ⊆ = {1, 2, …, } dan

didapat, ⨁ ∈ ⊗ ≠⨁ ∈ ⊗ atau ⨁ ∈ ⊗ ≠⨁ ∈

⊗ . Selanjutnya, dengan mengambil I ={} dan = − {} untuk ⊗ . Selanjutnya, dengan mengambil I ={} dan = − {} untuk

⊗ A serta ⊗ A ≠⨁ ∈ ⊗ A . Jika kedua ruas dikalikan dengan − pada batas bawah serta − pada batas atas diperoleh

⊗ A ≠⨁ ∈

persamaan A ≠⨁ ∈ ⊗ ⊗ A serta A ≠⨁− ∈ ⊗ ⊗ A . Oleh karena itu, misalkan P dan P masing-masing himpunan vektor-vektor batas bawah dan vektor-vektor batas

atas dari himpunan P, menurut akibat 2.2 bebas linear secara lemah pada aljabar max-plus. Perbandingan antara kebebasan linear secara tropical dan kebebasan linear pada Gondran-Minoux disajikan pada teorema berikut .

Teorema 2.7. Jika suatu himpunan vektor interval bebas linear secara tropical, maka himpunan tersebut juga bebas linear pada Gondran-Minoux.

Bukti : Ambil P = {A ,A , …, A } sub himpunan dari ( ℝ ) dengan A ≈

A ,A , =

1, 2, …, . Misalkan bebas linear secara tropical, maka untuk semua , ⊆ = 1, 2, …, dengan ∩ = ∅ dan ∪ = , serta

maka ⊕ ∈ α⊗ A ≠ ⊕ ∈ α⊗ A atau ⊕ ∈ α⊗ A ≠ ⊕ ∈ α⊗ A untuk = 1, 2, …, . Oleh karena itu misalkan P dan P masing-masing himpunan vektor-vektor batas bawah dan vektor-vektor batas

atas dari himpunan P, menurut definisi 1.9 bebas linear secara tropical pada aljabar max-plus. Selanjutnya menurut teorema 1.2, P dan P bebas linear pada Gondran Minoux. Selanjutnya menurut akibat 2.3, P bebas linear pada Gondran Minoux.

Berdasarkan teorema 2.6 dan teorema 2.7 didapatkan akibat berikut Akibat 2.5. Jika suatu himpunan vektor interval bebas linear secara tropical, maka himpunan vektor interval tersebut juga bebas linear secara lemah.

C. SIMPULAN

Berdasarkan pada pembahasan diperoleh :

1. Definisi kombinasi linear dan rentang linear dalam aljabar max-plus interval.

2. Pengertian dan perbandingan bebas linear secara lemah, bebas linear pada Gondran-Minox, dan bebas linear secara tropical dalam aljabar max-plus interval.

D. DAFTAR PUSTAKA

Akian M, Gaubert S, and Guterman A, 2008. Linear Independence over Tropical Semirings and Beyond. Akian M, Bapat R. 2000. Max-Plus Linear Independence and Rank. Handbook of Discrete and

Combinatorial Mathematics, CRC Press K.H. Rosenetal. Bacelli, F., Cohen, G., Olsder, G. J., Quadrat, J. P. 2001. Synchronization and Linearity, New

York : John Wiley & Sons. Butkoviˇc P, Schneider H, and Sergeev S. 2007. Generators, Extremals and Bases of Max Cones.

Linear Algebra Appl , 421 (2-3) : 394 – 406,.

Cunninghame-Green, R.A. 1979. Minimax algebra, Volume 166 of Lecture Notes in Economics and Mathematical Systems. Springer-Verlag , Berlin.

Cunninghame-Green, R.A. Butkovi’c, P. 2004. Bases in Max-Algebra. Linear Algebra and its Applications . 389. 107 – 120.

Farlow, K. G. 2009. Max-Plus Algebra, Master's Thesis Submitted to The Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University in Partial Fulfillment of The Requirements for The Degree of Masters in Mathematics.

Gaubert S and Katz R. 2007. The Minkowski Theorem for Max-Plus Convex Sets. Linear Algebra and Appl ., 421 : 356 – 369.

Gondran M and Minoux M. 1984. Linear Algebra in Dioids : A Survey of Recent Results. In Algebraic and Combinatorial Methods in Operations Research, Volume 95 of North-Holland Math. Study , pages : 147–163. North-Holland, Amsterdam,

Izhakian Z., 2008. The Tropical Rank of a Tropical Matrix. E print arXiv:math. AC/ 0604208v2. Rudhito, Andy. 2011. Aljabar Max-Plus Bilangan Kabur dan Penerapannya pada Masalah

Penjadwalan dan Jaringan Antrian . Disertasi : Program Studi S3 Matematika FMIPA UGM. Yogyakarta.

Tam. K. P. 2010. Optimizing and Approximating Eigenvectors In Max-Algebra. A Thesis Submitted to The University of Birmingham for The Degree of Doctor of Philosophy (PHD).

Wagneur E. 1991. Modulo¨ıds and pseudomodules. I. Dimension theory. Discrete Math., 98 (1) : 57–73.

A-8

LOCALLY DAN GLOBALLY SMALL RIEMANN SUMS FUNGSI TERINTEGRAL HENSTOCK-DUNFORD PADA [a,b]

1 2 Solikhin 3 , YD. Sumanto , Siti Khabibah

1,2,3 Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro

1 soli_erf@yahoo.com, 3 khabibah_ku@yahoo.co.id

Abstrak

Perluasan integral Dunford ke dalam integral tipe Riemann (Henstock) memberikan definisi integral baru, yaitu integral Henstock-Dunford. Pada makalah ini penulis mengkaji sifat-sifat lebih lanjut dari integral Henstock-Dunford pada [a,b], yaitu beberapa sifat-sifat small Riemann sumsnya. Akan ditunjukkan bahwa syarat perlu dan cukup suatu fungsi terintegral Henstock-Dunford pada [a,b] adalah fungsi tersebut mempunyai sifat locally small Riemann sums pada [a,b] atau mempunyai sifat globally small Riemann sums pada [a,b]. Penelitian ini memberikan hasil bahwa sifat-sifat small Riemann Sums yang berlaku dalam integral Henstock pada [a,b] juga berlaku pada integral Henstock-Dunford pada [a,b].

Kata kunci: integral Henstock-Dunford, Small Riemann Sums

A. PENDAHULUAN

Integral tipe Riemann khususnya integral Henstock digeneralisasi dari integral Riemann. Integral ini telah mengalami perkembangan baik dari segi teori maupun aplikasinya (Indrati, 2000). Banyak peneliti mengkaji sifat-sifatnya baik dalam ruang  (Lee, 1989), maupun ruang

Euclide n  (Indrati, 2002) . Pengkajian integral Henstock tidak hanya sebatas pada fungsi bernilai real tetapi juga pada fungsi yang bernilai Banach (Lee, 1989).

Lain halnya dengan Dunford, Dunford mendefinisikan integralnya dalam ruang dual kedua atas ruang Banach X (Schwabik, 2004). Integral ini kemudian diperluas ke dalam integral tipe Riemann (integral Henstock) dan menghasilkan integral Henstock-Dunford pada ruang  (Guoju, 2001). Selanjutnya, integral Henstock-Dunford digeneralisasi ke dalam ruang Euclide

 (Saifullah, 2003). Bahkan penelitian selanjutnya, berhasil mendefinisikan integral Dunford- n Henstock dalam ruang dual pertama atas ruang Banach X (Solikhin, 2011).

Berdasarkan uraian ini, penulis menyoroti integral Henstock-Dunford pada ruang  . Akan dikaji sifat-sifat lebih jauh dari integral Henstock-Dunford, yaitu sifat-sifat small Riemann sumsnya, khususnya locally dan globally small Riemann sums. Sifat-sifat ini digeneralisasi dari integral Henstock bernilai real.

Penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang matematika analisa, khususnya teori integral.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Kemudian diharapkan dapat memberikan masukan bagi peneliti yang akan mengkaji lebih lanjut tentang integral Henstock-Dunford pada  dan aplikasinya terhadap ilmu bidang lain.\

B. PEMBAHASAN

Integral Henstock-Dunford pada [ , ] ab

Berikut ini diberikan definisi integral Henstock-Dunford, fungsi primitifnya, dan beberapa teorema yang terkait.

Definisi 1. Diberikan * X ruang Banach dan

X ruang dualnya, serta interval tertutup [,] ab   . Fungsi :[ , ] f ab  X dikatakan terintegral Henstock-Dunford pada [,] ab , ditulis

f *  HD a b [,] , jika untuk setiap x  X fungsi xf :[ , ] ab   terintegral Henstock pada

[,] ** a b dan untuk setiap interval tertutup A  [,] ab terdapat vektor x  fA ,   X sehingga

fA ,  () x   H  xf .

Vektor ** x  fA ,   X di atas disebut nilai integral Henstock-Dunford pada A dan ditulis x ** 

fA ,    HD   f .

Teorema 2. Jika f terintegral Henstock-Dunford pada [ , ] a b maka f terintegral Henstock-

Dunford pada A untuk setiap interval tertutup A  [,] ab .

Bukti: Jelas secara definisi. ■

Teorema 3. (Kriteria Cauchy) Fungsi f  HD a b [,] jika dan hanya jika untuk setiap bilangan   0 terdapat fungsi positif  pada [ , ] a b sehingga jika A  [,] ab interval tertutup dan

D    Dx ,   dan P    Py ,   masing-masing partisi Perron  -fine pada A berlaku

xfx ()()  D  P  xfy ()()  P  

untuk setiap * x  X . ■

Simbol   D dimaksudkan sebagai panjang interval D . Jadi D  [,] uv sehingga   D  vu .

Definisi 4. Diberikan X ruang Banach, I [,] ab koleksi semua interval tertutup di dalam [,] a b dan fungsi f :[ , ] ab  X . Jika f terintegral Henstock-Dunford pada [,] a b maka

F :[,] I ab  X dengan rumus: FA ** ()  x

 fA ,    H  f

dan F   0 untuk setiap A  I [,] ab disebut Primitif Henstock-Dunford fungsi

f pada [,] ab.

Selanjutnya berdasarkan Definisi 4 maka integral Henstock-Dunford pada [,] ab dapat dinyatakan seperti dalam teorema berikut.

Teorema 5. Fungsi f  HD a b [,] jika dan hanya jika terdapat fungsi aditif F pada [,] ab

sehingga untuk setiap bilangan *   0 dan x  X terdapat fungsi positif  pada [ , ] a b dan

jika A  [,] ab D interval tertutup dan   (,) Dx  partisi Perron  - fine pada A berlaku

x  fx ()()  D  FD ()    . ■

Teorema 6. (Lemma Henstock) Jika f  HD a b [,] dengan primitif F , yaitu untuk setiap

 *  0 dan x  X terdapat fungsi positif  pada [,] ab sehingga jika A  [,] ab interval

tertutup dan D    Dx ,   partisi Perron  -fine pada A berlaku

x  fx ()()  D  FD ()   

maka untuk setiap jumlahan bagian  1 dari D  berlaku

1 x  fx ()()  D  FD ()    . ■

Locally Small Riemann Sums (LSRS)

Akan ditunjukkan syarat perlu dan cukup suatu fungsi terintegral Henstock-Dunford pada

[,] ab , yaitu memenuhi sifat locally small Riemann sums pada [,] ab .

Definisi 7. Fungsi terukur f dikatakan mempunyai sifat Locally Small Riemann Sums (LSRS)

pada * [,] a b , ditulis f  LSRS a b [,] , jika untuk setiap bilangan   0 , x  X , dan interval tertutup A  [,] ab terdapat fungsi positif  pada [ , ] a b sehingga untuk setiap y  [,] ab

berlaku

xfx ()()  D  

untuk setiap partisi Perron  -fine D    Dx ,   pada interval tertutup C  By  ,()  y  dan

y . C

Teorema 8. Jika fungsi terukur f  HD a b [,] maka f  LSRS a b [,] .

Bukti : Karena f  HD a b [,] dengan primitif F , maka untuk setiap bilangan   0 dan

x *  X terdapat fungsi positif  pada [,] ab sehingga jika A  [,] ab interval tertutup dan

D    Dx ,   partisi Perron  -fine pada A berlaku

D  x  fx ()()  D  FA ()   .

Untuk setiap y  [,] ab , dipilih interval tertutup C  By  ,()  y  sehingga berlaku

 xFC () .

Menurut Lemma Henstock, untuk setiap y  [,] ab dan partisi Perron  -fine pada

C  By  ,()  y  berlaku

D *  xfx ()()  D  D  x  fx ()()  D  FC ()   xFC ()   . ■

Teorema 9. Jika fungsi terukur * f  LSRS a b [,] maka untuk setiap x  X terdapat fungsi positif  pada [ , ] a b sehingga

 D  xfx ()()  D 

dengan D partisi Perron  -fine pada [,] ab adalah terbatas pada [,] ab.

Bukti : Fungsi * f  LSRS a b [,] berarti untuk setiap x  X dan A  [,] ab interval tertutup terdapat fungsi positif  pada [,] ab sehingga untuk setiap y  [,] ab berlaku

xfx ()()  D  1

untuk setiap partisi Perron  -fine D    Dx ,   pada interval tertutup C  By  ,()  y  dan y  . Dibentuk C F   Bx  ,():  x  x  [,] ab  , maka F merupakan liput terbuka untuk [,] ab .

Karena [,] ab kompak maka terdapat liput bagian berhingga G untuk [,] ab , katakan

 Bx  i ,():  x i  i  1,2,..., p   F . Untuk setiap x  [,] ab terdapat k ,1   dengan k p

x  Bx  k ,()  x k  .

Dibentuk fungsi positif *  pada [ , ] ab dengan rumus

() x  min  dx  ,   Bx  k ,()  x k    : titik interior x Bx  k , ( ) ,1  x k   k p

Akibatnya untuk setiap x  [,] ab terdapat j ,1   dengan sifat j p By  ,()  y   Bx  j ,()  y j 

dan

j  xfx ()()  D  1

untuk setiap partisi Perron  -fine D j pada interval tertutup C  By  ,()  y  dan x j  C .

Dengan demikian untuk partisi D  D j  diperoleh

xfx ()()  D   D j xfx ()()  D  p . ■

Teorema 10. Jika fungsi terukur f  LSRS a b [,] maka f  HD C  untuk setiap interval

tertutup C  [,] ab .

Bukti : Fungsi terukur * f  LSRS a b [,] berarti untuk setiap bilangan   0 , x  X , dan interval tertutup A  [,] ab terdapat fungsi positif  pada [,] ab sehingga berlaku

xfx ()()  D  

untuk setiap partisi Perron  -fine D    Dx ,   pada interval D  By  ,()  y  dan y . D

(i) Jika terdapat y  [,] ab dengan C  By  ,()  y  diperoleh :

Jika y C *  maka untuk setiap x  X dan dua partisi Perron  -fine D

1    Dx ,   dan

D 2    Dx ,   pada [,] ab berlaku

1  xfx ()()  D  D 2  xfx ()()  D   .

Menurut kriteria Cauchy, f  HD C  .

Jika y  maka ada interval tertutup C E  By  ,()  y  , sehingga y E  dan C  E .

Akibatnya untuk setiap * x  X dan dua partisi Perron  -fine D

1    Dx ,   dan

D 2    Dx ,   pada E berlaku

1  xfx ()()  D  D 2  xfx ()()  D   .

Menurut kriteria Cauchy, f  HD E  . Karena C  E dan f  HD E  maka f  HD C  . (ii) Jika C  By  ,()  y  maka ada fungsi positif  pada [,] ab yang berakibat adanya partisi

Perron  -fine D    Cy i , i  : i  1,2,..., k  pada interval C . Jadi f  HD C  i ,  i 1, 2,..., k .

Jadi f  HD C  . ■

Akibat 11. Jika fungsi terukur f  LSRS a b [,] maka f  HD C  untuk setiap himpunan

sederhana C  int [ , ]  ab  . ■

Teorema 12. Jika fungsi terukur f  LSRS a b [,] maka f  HD a b [,] .

Bukti : Fungsi terukur * f  LSRS a b [,] maka untuk setiap bilangan   0 , x  X , dan interval tertutup A  [,] ab terdapat fungsi positif  pada [,] ab sehingga untuk setiap y  [,] ab berlaku

xfx ()()  D  

untuk setiap partisi Perron  -fine D    Dx ,   pada interval tertutup C  By  ,()  y  dan

y  . Menurut Akibat 11, C f  HD C  untuk setiap himpunan sederhana C  int [ , ]  ab  .

Barisan himpunan  E i , E i  E j  , i j dengan sifat int [ , ]  ab   E  i .

Dengan demikian untuk bilangan   0 di atas terdapat bilangan positif n 0 dengan sifat 

 [,] ab 

in   0 

Untuk  i terdapat fungsi positif  sehingga untuk setiap partisi Perron i  -fine pada [ , ] i ab berlaku

xfx ()()  D   H  xf   .

Didefinisikan fungsi positif  dengan rumus 

min   ( ), ( ), x  i x dx  ,[,],  ab   x  E i

in  

 () x 

 min *

  ( ), x  i (), x  x  E  i

in  0

Untuk setiap C   C  CC 1 , 2 ,..., C k  dengan C j  E i  D untuk suatu i  n 0 dan suatu D

dengan   Dx ,    -fine dan x  int   ab ,  berlaku

(i) Jika C j  E i , untuk setiap i  n 0 .

 Karena f  HD E  i dan f  HD C  j akibatnya f  HD  C  . j 

Dipilih fungsi positif  dengan *  * ( ) min x    j (): x j  1,2,..., k  maka untuk setiap partisi

k Perron  -fine * D    Dx ,   pada C  berlaku j

H  xf  D xfx ()()  D   .

Dengan demikian diperoleh

C *  

H  xf   H  xf  D  xfx ()()  D   D xfx ()()  D   k  .

Menurut sifat Cauchy, f  HD a b [,] .

Jika C j  E i  D , untuk i  n 0 dan suatu D dengan   Dx ,    -fine dan x  int   ab ,  maka C j  Bx  ,()  x  . Menurut Teorema 10. maka f  HD C  j . Akibatnya

(ii)

f  HD  C j  . Dipilih fungsi positif  dengan sifat 1  1 () x   () x  sehingga untuk setiap

k partisi Perron  -fine * D    Dx ,   pada C  berlaku j

 * H  xf  D  xfx ()()  D   .

Dengan demikian diperoleh

C *  

H  xf   H xf  D xfx ()()  D  D xfx ()()  D   k 

Menurut sifat Cauchy, f  HD a b [,] . ■

Akibat 13. Fungsi terukur f  LSRS a b [,] jika dan hanya jika f  HD a b [,] . ■

Globally Small Riemann Sums (GSRS)

Syarat perlu dan cukup suatu fungsi terintegral Henstock-Dunford pada [,] ab adalah

 xF n konvergen ke xF dan fungsi terukur f bersifat globally small

barisan fungsi *

Riemann sums pada [,] ab . Berikut ini definisi dan teoremanya yang terkait. Definisi 14. Fungsi terukur :[ , ] f ab  X dikatakan mempunyai sifat Globally Small Rieman

Sums (GSRS) pada * [,] a b , ditulis singkat f  GSRS a b [,] , jika untuk setiap   0 , x  X , dan interval tertutup A  [,] ab ada bilangan asli n 0 sehingga untuk setiap n  n 0 ada fungsi positif

 pada [ , ] n a b dan jika D    Dx ,   partisi Perron  -fine pada n A berlaku

xfx ()()  D   .

xfx *()  n

Teorema 15. Jika fungsi terukur f  GSRS a b [,] maka f  HD a b [,] .

Bukti : Karena * f  GSRS a b [,] maka untuk setiap   0 , x  X , dan interval tertutup

A  [,] ab ada bilangan asli n 0 sehingga untuk setiap n  n 0 ada fungsi positif  pada [ , ] n ab

dan jika D    Dx ,   partisi Perron  -fine pada n A berlaku

xfx ()()  D   .

xfx *()  n

Untuk setiap D 1 dan D 2 dua partisi Perron  -fine pada n A berlaku

1  xfx ()()  D  D 2  xfx ()()  D  D 1  xfx ()()  D  D 2  xfx ()()  D

1  xfx ()()  D  D 1  xfx ()()  D + D 2  xfx ()()  D

2 xfx ()()  D  4  .

xfx *

()  n

Menurut kriteria Cauchy, f  HD a b [,] . ■

Teorema 16. Diberikan fungsi bernilai real f pada [ , ] * a b . Untuk setiap x  X didefinisikan fungsi * x f dengan

  xfx ( ), x  [ , ], ab xfx ()  n

xfx n () 

 0 , yang lain x

Fungsi f  HD a b [,] ke Fab  [,]  dan F n  [,] ab   Fab  [,]  untuk n   jika dan hanya jika

fungsi terukur f  GSRS a b [,] .

Bukti : (Syarat Perlu) Karena * f  HD a b [,] maka untuk setiap bilangan   0 , x  X , dan

interval tertutup * A  [,] ab terdapat fungsi positif  pada [ , ] ab sehingga jika D    Dx ,  

sebarang partisi Perron *  -fine pada A berlaku

x  fx ()()  D  FA ()    .

Untuk setiap n  , ada fungsi positif  pada [ , ] n ab sehingga untuk setiap D n partisi Peron  n -fine pada A berlaku

D n  x  fx ()()  D  FA n ()  

untuk setiap * x  X .

Karena  F n  A  konvergen ke FA  pada [,] ab maka ada bilangan asli n 0 sehingga jika

n  n 0 berlaku

xFA n   xFA  .

3 Untuk n  n 0 , didefinisikan fungsi positif  pada [,] ab dengan rumus

 * ( ) min x   

( ), x  n () x  .

Dengan demikian, untuk setiap D    Dx ,   partisi Perron  -fine pada A berlaku

xfx ()()  D  D xfx ()()  D  xfx ()()  D

xfx *

()  n *

x  fx ()()  D  FA    xF n  A  xFA   xFA   D  xfx n ()()  D

3 3 3 Jadi f  GSRS a b [,] .

(Syarat Cukup) Diketahui * f  GSRS a b [,] maka untuk setiap bilangan   0 , x  X , dan interval tertutup A  [,] ab ada bilangan asli n 0 sehingga untuk setiap n  n 0 ada fungsi positif

 pada [ , ] n ab dan jika D    Dx ,   partisi Perron  -fine pada n A berlaku  pada [ , ] n ab dan jika D    Dx ,   partisi Perron  -fine pada n A berlaku

xfx *()  n

Fungsi f n  HD a b [,] untuk setiap n . Untuk setiap mn ,  n 0 terdapat fungsi positif  dan m  n pada [,] ab dengan sifat untuk sebarang D m partisi Perron  -fine dan m D n partisi Perron - n

fine masing-masing pada A maka berlaku

xF *

n  A  xF m  A  xF n  A  D n  xfx ()()  D  D n  xfx ()()  D 

xfx * ()  n

xfx * ()  n

 xfx ()()  D  D m  xfx ()()  D  xF m  A

xfx * ()  m

xfx * ()  m

 xF n  A  barisan Cauchy di  . Karena  lengkap maka  xF n  A 

Hal ini berarti *

konvergen, katakan ke * xFA 

. Dengan demikian terdapat bilangan asli k 0 sehingga jika k  k 0 berlaku

xF *

k  A  xFA  .  Diambil N  maks  nk 0 , 0  dan dipilih  () x   n () x . Untuk setiap partisi Perron  -fine pada

A berlaku

D *  x  fx ()()  D  FA    D  x  fx ()()  D  F N  A   xF N  A  xFA 

 * D  x  fx ()()  D  F N  A   D  xfx ()()  D  xF N  A  xFA 

xfx * ()  N

xfx * ()  N

 3  . Jadi * xf terintegral Henstock pada [,] ab . Untuk setiap interval tertutup A  [,] ab terdapat

vektor ** x  fA ,   X sehingga

fA ,   x   H  xf .

Jadi f  HD a b [,] . ■

Syarat F n  A konvergen ke FA  tidak dapat dihilangkan dalam teorema di atas, sebab fungsi

f terintegral Henstock-Dunford pada [,] ab tidak menjamin F n  A konvergen ke FA  .

C. SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, disimpulkan bahwa syarat perlu dan cukup suatu fungsi f terintegral Henstock-Dunford pada [,] ab adalah fungsi terukur f mempunyai sifat

locally small Riemann sums pada [,] ab atau fungsi terukur f mempunyai sifat globally small

Riemann sums pada [,] ab dan F n  A konvergen ke FA  untuk setiap interval tertutup

A  [,] ab .

D. DAFTAR PUSTAKA

Bartle, G.R., Sherbert, D.R. 1982. Introduction to Real Analysis. Canada: John Willey and Sons Farikhin & Solichin. 2003. Analisis Fungsi Riil I. Semarang: Laboratorium Matematika

UNDIP Gordon, R.A. 1994. The Integral of lebesgue, Denjoy, Perron, and Henstock. USA:

Mathematical Society Guoju, Ye., Tianqing, An. 2001. On Henstock-Dunford and Henstock-Pettis Integrals, IJMMS,

25(7): 467-478 Indrati, Ch. R. 2002. Integral Henstock-Kurzweil di dalam Ruang Euclide Berdimensi-n,

Disertasi . Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Kreyszig, E. 1989. Introductory Funtional Analysis with Applications. USA: John Willey &

Sons Lee P.Y. 1989. Lanzhou Lectures on Henstock Integration. Singapore: World Scientific Lee P.Y. & Vyborny, R. 2000. Integral: An Easy Approach after Kurzweil and Henstock. New

York: Cambridge University Press Pfeffer, W.F. 1993. The Riemann Approach to Integration. New York: Cambridge University

Press Royden, H.L. 1989. Real Analysis, Third Edition. New York: Macmillan Publishing Company Schwabik, S., Guoju, Ye. 2004. Topics in Banach Space Integration, Manuscrip in Preparation.

A-9

KLASIFIKASI FUZZY UNTUK DIAGNOSA KANKER SERVIKS

1 2 Yushaila Nur Sajida W. 3 , Dhoriva Urwatul W. , Agus Maman Abadi

1 Program Studi Matematika FMIPA UNY 2,3 Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

1 2 shai_genzai_desu@yahoo.com, 3 dhoriva@yahoo.com, agusmaman@uny.ac.id

ABSTRAK

Deteksi kanker serviks sangatlah penting untuk membedakan serviks yang terinfeksi atau yang tidak, agar dapat dilakukan penanganan dengan cepat dan tepat. Penelitian-penelitian untuk mendeteksi kanker serviks secara cepat dan akurat terus dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan klasifikasi fuzzy. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengklasifikasi stadium kanker serviks dengan menggunakan model fuzzy.

Proses klasifikasi dengan model fuzzy dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Mengubah gambar kanker serviks ke dalam tipe grayscale dan diekstrak menggunakan gray level co-occurance matrix (GLCM) dengan MATLAB, (2) Ekstrak gambar yang diperoleh akan menjadi input-input dalam proses pengklasifikasian dengan model fuzzy yaitu entropi, kontras, korelasi, energi, homogenitas, inverse difference moment (IDM), sum varians, probabilitas maksimum dan disimilaritas, (3) Di setiap input didefinisikan himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan segitiga, (4) Dibangun aturan fuzzy dari data training, (5) Dilakukan defuzzifikasi menggunakan center average defuzzifier, (6) Model fuzzy yang terbentuk digunakan untuk diagnosa kanker serviks.

Kata Kunci: diagnosa kanker serviks, model fuzzy, stadium kanker serviks

A. PENDAHULUAN

Kanker serviks atau disebut juga kanker leher rahim merupakan salah satu penyakit kanker yang paling banyak ditakuti oleh wanita karena setiap wanita beresiko terkena virus ini. Banyak pengidap kanker serviks baru menyadari setelah melakukan pemeriksaan untuk pengobatan dan didiagnosis bahwa stadium kankernya sudah akut. Pada stadium lanjut kanker serviks dapat menyebar ke organ-organ tubuh lainnya. Pada tahap awal atau pra-kanker, kanker serviks biasanya tidak memiliki tanda-tanda atau gejala. Untuk itu pemeriksaan dini sangatlah diperlukan dalam upaya pencegahan atau mengetahui tingkat klasifikasi penyakit sehingga tahu tindakan apa yang harus dilakukan.

Beberapa teknik pemeriksaan dini untuk mengetahui kanker serviks yaitu dengan tes pap smear , tes IVA (Inspeksi Visual Asam Laktat) merupakan tes untuk mendeteksi abnormalitas sel serviks dengan mengoleskan larutan asam asetat (asam cuka 3-5%) pada leher rahim atau dengan tes kolposkopi, yaitu teropong leher rahim. Setelah hasil tes menunjukkan adanya sel abnormal kanker serviks maka dilakukan penentuan stadium kanker serviks. Penentuan stadium berdasarkan ukuran kanker, seberapa dalam kanker tumbuh serta

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA UNY yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Diperlukannya diagnosis awal kanker serviks mendorong peneliti-peneliti untuk melakukan penelitian, banyak diantara peneliti tersebut yang menggunakan sistem komputer agar dapat mendiagnosa kanker serviks. Hal ini ditujukan agar dapat membantu dokter menentukan lebih awal dimana sel kanker itu tumbuh sehingga dapat menentukan tingkat resiko kanker yang diderita.

Mat-Isa, dkk (2005) mengembangkan suatu sistem aplikasi dalam pengklasifikasian penyakit kanker serviks, metode yang digunakan adalah radial basis fuction (RBF) dan multilayered perceptron (MLP) . Sedangkan Malyshevska (2009) melakukan pengklasifikasian jenis jaringan yang berbeda agar dapat menentukan resiko kanker serviks dengan metode radial basis fuction networks dan backpropagation dalam pengklasifikasian.

Prediksi resiko kanker serviks juga dilakukan dengan algoritma yang didasarkan pada fuzzy rough set oleh Kuzhali, dkk (2010). Fuzzy rough set digunakan untuk menganalisis dataset demografi dan mengidentifikasi resiko kanker serviks. Selanjutnya, Rosidi, dkk (2011) menggunakan metode pelabelan gambar atau pengklasifikasian gambar yang diperoleh melalui tes pap smear dan diolah menggunakan toolbox MATLAB.

Penelitian tentang kanker serviks di Indonesia sendiri juga telah dilakukan, seperti klasifikasi hasil pap smear sebagai pendeteksi penyakit kanker serviks menggunakan metode bagging logistic regression oleh Ida Ayu Savita, dkk (2012). Kemudian, Agustin Triwahyuni (2012) melakukan penelitian tentang sistem diagnosa penyakit kanker serviks dengan menggunakan algoritma backpropagation berdasarkan gejala-gejala yang khas dari kanker serviks.

Penulis tertarik untuk menggunakan klasifikasi fuzzy untuk diagnosa kanker serviks. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan proses penentuan stadium kanker serviks dengan model fuzzy dan mendeskripsikan tingkat sensitivitas, spesifisitas dan keakuraatan model fuzzy. Model fuzzy yang digunakan terdiri dari fuzzifikasi singleton, basis aturan fuzzy, inferensi pergandaan, dan defuzzifikasi center average dengan fungsi keanggotaan segitiga.

B. METODE PENELITIAN

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data sekunder berupa foto kolposkopi serviks normal, stadium 1, stadium 2, stadium 3, stadium 4 yang didapat dari dokumentasi-dokumentasi kesehatan yang ada di:

1. press@iarc.fr .

2. cervixpictures.net.

3. Dr. Adrian Velazquez, ( displasia.com )

4. Atlas of Visual Inspection of the Cervix with Acetic Acid (VIA), Johns Hopkins University.

5. Visual Inspection of the Cervix (Flash Card Set), Jhpiego.

6. Colposcopy and Treatment of Cervical Intraepithelial Neoplasia, karya John W. Sellors dan R. Sankaranarayanan (2003).

7. A Practical Manual on Visual Screening for Cervical Neoplasia.(Sankaranarayanan dan Ramani S. Wesley, 2003) IARC.

Teknik Analisis Data

Convert foto

Ekstraksi

Foto kolposkopi

rgb ke

Fuzzifika

gambar

grayscale si

Tes Sensitivitas,

Model

Spesifisitas, dan

Defuzzifikasi

fuzzy

Fuzzy rules

Akurasi

Gambar 1. Tahap-Tahap Penelitian

C. PEMBAHASAN

Mengubah Tipe Gambar

Data foto kolposkopi yang digunakan memiliki tipe red green blue (rgb) yang akan diubah menjadi tipe grayscale yang bekerja dalam matrik 2 dimensi. Proses mengubah tipe gambar dilakukan dengan menggunakan MATLAB (Gonzalez, dkk, 2009). Fungsi perintah yang digunakan adalah sebagai berikut:

o=imread('C1-1.jpg'); p=rgb2gray(o);

Hasil dari proses ini dapat dilihat dari gambar 2.

Gambar 2. Gambar Asli (RGB) dan Gambar dalam Tipe Grayscale

Ekstraksi Gambar

Gray level coocurrence matrix (GLCM) adalah metode pengekstrak gambar pada order kedua dalam analisis statistik gambar atau bisa diartikan GLCM bekerja pada matriks dua dimensi.

1. Entropi (Sharma, 2013)

Entropi menunjukkan jumlah informasi dari sebuah gambar yang dibutuhkan untuk mengkompres gambar. Entropi menghitung keacakan intensitas gambar. Suatu gambar, semakin tidak seragam piksel-pikselnya maka entropinya akan semakin kecil, semakin besar nilai entropinya maka gambar tersebut semakin seragam. Rumus entropi (E) dari suatu gambar adalah:

dengan,  L adalah angka dari perbedaan nilai piksel-piksel yang diambil,  p(i,j) adalah piksel di lokasi baris ke-i dan kolom ke-j.

2. Kontras

Kontras adalah perhitungan perbedaan intensitas antara piksel satu dan piksel yang berdekatan diseluruh gambar. Kontras bernilai nol untuk gambar yang konstan. Rumus untuk mencari kontras (C) suatu gambar yaitu (Sharma., 2004):

3. Korelasi

Korelasi adalah ukuran tingkat abu-abu ketergantungan linier antara piksel pada posisi tertentu terhadap piksel lain. Rumus untuk menentukan korelasi (Cr) dari sebuah gambar adalah (Harralick, 1973):

dengan, 

, adalah rata-rata dari , . 

, adalah standar deviasi dari , .

4. Energi

Energi atau disebut juga uniformity atau angular second moment (ASM) menunjukkan nilai yang tinggi saat piksel-piksel gambar homogen. Energi akan bernilai satu apabila gambar adalah konstan. Rumus untuk menghitung energi (Eg) suatu gambar adalah (Sharma, 2013):

5. Homogenitas

Homogenitas menunjukkan nilai distribusi terdekat antara elemen di GLCM dengan GLCM diagonal. Homogenitas bernilai satu untuk diagonal GLCM. Rumus homogenitas (H) suatu gambar yaitu (Sharma, 2004):

IDM (Inverse Difference Moment) atau local homogeneity menunjukkan kesamaan piksel. Rumus IDM (I) suatu gambar adalah (Sharma, 2004):

7. Sum Varians

Sum varians menunjukkan seberapa banyak level abu-abu (gray level) yang beragam dari rata-rata. Rumus untuk menghitung sum varians gambar adalah (Harralick, 1973):

8. Maksimum Probabilitas

Maksimum probabilitas menunjukkan tingkat abu-abu (gray level) yang memenuhi relasi pada persamaan entropi. Rumus untuk menghitung maksimum probabilitas (MP) adalah (Harralick, 1973):

9. Dissimilarity

Dissimilarity (D) menunjukkan perbedaan tiap piksel, dengan rumus (Harralick, 1973):

Untuk memudahkan dalam pengambilan data maka dibangun GUI (Graphical User Inteface ) yang akan menghasilkan tampilan sebagai berikut:

Gambar 3. Tampilan GUI dalam Ekstraksi Gambar

Fungsi Keanggotaan

Berdasarkan seluruh data diperoleh nilai minimum dan nilai maksimum dari setiap faktor, sehingga dapat ditentukan himpunan universalnya.

Tabel 1. Nilai Maksimum-Minimum dan Himpunan Universal Setiap Input No. Input Min-maks Himp. U

1. Entropi 0,11662-2,5781 U E [0,11 2,6]

2. Kontras 0,00518-0,4119 U C [0,003 0,415]

3. Korelasi 0,76575-0,9922 U Cr [0,76 1]

4. Energi 0,11492-0,9616 U E [0,11 0,97]

5. Homogenitas 0,8379-0,99749 U H [0,835 0,999]

6. IDM 0,89938-0,9999 U I [0,9935 1]

7. Sum Varians 43,312-251,473 U SV [40 255]

8. Maksimum probabilitas 0,19798-0,9806 U MP [0,19 0,99]

9. Dissimilarity 0,00505- 0,3457 U D [0 0,35]

Dalam penentuan stadium kanker serviks menggunakan logika fuzzy, untuk setiap input nya digunakan pendekatan fungsi kurva segitiga. Rumus fungsi keanggotaan kurva segitiga adalah sebagai berikut (Ibrahim, 2004):

Himpunan fuzzy untuk setiap variabel input stadium kanker serviks dibagi menjadi 9 himpunan. Sedangkan untuk output yaitu stadium kanker serviks memiliki himpunan universal [0 4], dan dibagi menjadi 5 himpunan fuzzy.

normal 1 stadium 1

Gambar 4. Grafik Fungsi Keanggotaan Variabel Output Stadium

Menentukan Aturan Fuzzy

Dalam penelitian ini terdapat 9 faktor dan 9 himpunan keanggotaan di setiap faktornya yang mempengaruhi stadium kanker serviks. Sehingga terdapat 9 9 aturan Jika-Maka yang akan

digunakan sebagai penalaran fuzzy. Namun aturan fuzzy yang digunakan untuk menentukan stadium kanker serviks didasarkan pada data training yang berjumlah 80.

Untuk mendapatkan 80 aturan Jika-Maka dari 80 data training, dilakukan perhitungan derajat keanggotaan dari setiap data dan memilih derajat keanggotaan yang terbesar. Contoh aturan Jika-Maka yang terbentuk adalah:

“Jika entropi adalah E3 dan kontras adalah C2 dan korelasi adalah Cr7 dan energi adalah Eg7 dan homogenitas adalah H8 dan IDM adalah I8 dan sum varians adalah SV8 dan maksimum probabilitas adalah MP7 dan dissimilarity adalah D2 maka stadium1”.

Selanjutnya dilakukan seleksi dari 80 aturan yang terbentuk yang memiliki bagian antesenden yang sama namun berbeda outputnya. Cara yang dilakukan untuk menyeleksi aturan adalah dengan memilih aturan dengan derajat keanggotaan tertinggi.

Defuzzifikasi dan Model Fuzzy

Defuzzifikasi ini bertujuan untuk mendapatkan nilai tegas pada output sistem fuzzy (stadium kanker serviks). Defuzzifikasi yang digunakan pada sistem fuzzy untuk menentukan stadium kanker serviks yaitu metode center average. Model fuzzy yang digunakan terdiri dari fuzzifikasi singleton, basis aturan fuzzy, inferensi pergandaan, dan defuzzifikasi center average (Wang, 1997), yaitu:

dengan,  f(x) merupakan output dari sistem fuzzy. 

adalah pusat dari himpunan fuzzy pada konsekuen dari rule ke-l. 

=( , , …. , ) dengan , , …. , adalah nilai dari entropi, kontras, korelasi, energi, homogenitas, IDM, sum varians, maksimum probabilitas, dan dissimilarity.

 adalah himpunan fuzzy A input ke-i pada rule ke-l. 

adalah nilai derajat keanggotaan himpunan fuzzy A ke-i pada rule ke-l.

Hasil dari defuzzifikasi merupakan suatu nilai tegas yang kemudian disubstitusi kedalam fungsi keanggotaan pada stadium kanker serviks. Hasil subsitusi tersebut menunjukkan Hasil dari defuzzifikasi merupakan suatu nilai tegas yang kemudian disubstitusi kedalam fungsi keanggotaan pada stadium kanker serviks. Hasil subsitusi tersebut menunjukkan

Tes Sensitivitas, Spesifisitas dan Akurasi

Performance Measures (Sharma, 2004) Hasil uji dapat menjadi positif (memprediksi bahwa orang yang memiliki penyakit) atau negatif (memprediksi bahwa orang tersebut tidak memiliki penyakit). Hasil uji untuk masing- masing subjek mungkin atau mungkin tidak cocok dengan status sebenarnya subjek. Dalam pengaturan itu:

a. true positive (TP), yaitu gambar serviks kanker dengan benar didiagnosis sebagai kanker.

b. false positive (FP), yaitu gambar serviks normal salah diidentifikasi sebagai kanker.

c. true negative (TN), yaitu gambar serviks normal benar diidentifikasi sebagai serviks normal.

d. false negative (FN), yaitu gambar serviks kanker salah diidentifikasi sebagai serviks normal. Rumus untuk menghitung sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi adalah:

Hasil Klasifikasi

Tabel 2. Hasil Tes Sensitivitas, Spesivitas dan Akurasi Data Training dan Data Testing No. Data

D. SIMPULAN

Tingkat sensitivitas dan akurasi pada data training dan data uji memiliki selisih yang sedikit dan berada di atas 90%. Tingkat sensitivitas di atas 90% berarti indikator terpercaya saat hasil dari model menunjukkan negatif (serviks normal). Namun untuk tingkat spesifisitas pada data training dan data uji memiliki selisih hasil yang cukup jauh dan keduanya masih di bawah 75%, yang berarti model fuzzy belum dapat diandalkan saat menunjukkan hasil positif (kanker serviks).

E. DAFTAR PUSTAKA

Agustin Triwahyuni Susanto. 2012. Aplikasi Diagnosa Kanker Serviks dengan Menggunakan Algoritma Backpropagation. Skripsi. STIKOM UYELINDO Kupang.

Gonzalez, R.C., Richard E.W. & Steven L.E. 2009. Digital Image Procesing Using MATLAB.

2 nd . Gatesmark Publishing. Haralick, R.M., K. Shanmugam, & Its’hak Dinstein. 1973. Textural Feature for Image

Classification. IEEE Transaction on System, Man and Cybernetics, 3 (6). Ibrahim, A.M. 2004. Fuzzy Logic for Embedded Systems Applications. Newnes, Elsevier.

Ida Ayu Savita Intansari, Santi Wulan Purnami & Sri Pingit Wulandari. 2012. Klasifikasi Pasien Hasil Pap Smear Test sebagai Pendeteksi Awal Upaya Penanganan Dini pada Penyakit Kanker Serviks di RS “X” Surabaya dengan Metode Bagging Logistic Regression. Jurnal Sains dan Seni ITS , 1(1), 277-282.

Kuzhali, J.V., Rajendran, Srinivasan, & Siva K. 2010. Feature Selection Algorithm Using Fuzzy

Rough Sets for Predicting Cervical Cancer Risks. Modern Applied Science, 4 (8). Malyshevska, K. 2009. The Usage of Neural Networks for the Madical Diagnosis. International

Books Series ‘Information Science and Computing’ . Mat-Isa, N.A., Mohd. Yusoff M., Nor H.O., & Kamal Z.Z. 2005. Aplication of Artificial Neural

Networks In The Classification of Cervical Cells Based on The Bethesda System. Journal of ICT, 4, 77-97.

Rosidi, B., Noraini J., Nur. M.P., Lukman H.I., Eko S., & Tati L.M.. 2011. Classification of Cervical Cells Based on Labeled Colour Intensity Distribution. International Journal of Biology and Biomedical Engineering , 5, 230-238.

Sharma, M., Sourabh M. 2013. Artificial Neural Network Fuzzy Inference System (ANFIS) for Brain Tumor Detection. Advances in Intelligent Systems and Computing , 177, 329-339.

Wang, L.X. 1997. A Course in Fuzzy System and Control. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.

www.cancerhelps.com/kanker-serviks.htm diakses pada tanggal 14 Maret 2013.

G-1

SEGITIGA SIKU-SIKU PADA TRIGONOMETRI RASIONAL DI LAPANGAN HIMPUNAN BILANGAN RIIL DAN LAPANGAN HIMPUNAN BILANGAN BULAT MODULO 17

1 2 Dwi Pungkas Haruadi 3 , Idha Sihwaningrum , Ari Wardayani Program Studi Matematika Universitas Jenderal Soedirman

1 2 pungkas_kazaivie@yahoo.co.id, 3 idhasihwaningrum@yahoo.com, ariwardayani@yahoo.co.id

Abstrak

Pada makalah ini dibahas mengenai sifat dan contoh segitiga siku-siku pada trigonometri rasional, khususnya di lapangan himpunan bilangan riil dan lapangan himpunan bilangan bulat modulo 17. Sifat segitiga siku-siku yang diberikan didasarkan pada quadrance dan spread dari sisi-sisinya.

Kata kunci: trigonometri rasional, lapangan himpunan bilangan riil, lapangan himpunan bilangan bulat modulo 17, segitiga siku-siku, quadrance, spread.

1. PENDAHULUAN

Seperti halnya pada trigonometri klasik, pada trigonometri rasional juga dibahas mengenai garis dan segitiga. Hanya saja, bahasan pada trigonometri klasik hanya dilakukan pada lapangan

himpunan bilangan riil R , sedangkan bahasan pada trigonometri rasional dilakukan pada berbagai lapangan

himpunan bilangan seperti lapangan R , lapangan himpunan bilangan kompleks  , dan lapangan

F p (yaitu lapangan himpunan bilangan bulat modulo p , dengan p bilangan prima). Wildberger (2005) membahas garis dan segitiga pada trigonometri rasional secara umum. Sementara itu, Sinaga (2013) membahas garis pada trigonometri rasional secara khusus, yaitu

pada lapangan F 17 . Karena segitiga dibentuk oleh garis-garis yang menghubungkan tiga titik yang tidak segaris, maka hasil-hasil mengenai garis pada lapangan F 17 dapat digunakan untuk

membahas segitiga dengan lapangan F 17 . Khususnya, pada makalah ini akan dibahas mengenai segitiga siku-siku di lapangan F 17 . Agar sifat segitiga siku-siku di lapangan tersebut dapat

dipahami dengan lebih jelas,

pada makalah ini diberikan pembanding, yaitu segitiga siku-siku di lapangan R (pada trigonometri rasional). Definisi dan teorema akan diambil dari Wildberger (2005), tetapi bukti teorema secara rinci dan contoh-contoh diberikan penulis.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

2. PEMBAHASAN

2.1 Titik, Garis, dan Segitiga

Pada trigonometri rasional, titik A :[,]  xy adalah pasangan bilangan terurut dengan bilangan x dan y disebut koordinat dari A . Garis l  abc :: didefinisikan sebagai proporsi

tiga di antara dua kurung siku dengan sifat a dan b tidak boleh keduanya bernilai nol. Kemudian, garis l melalui titik A apabila ax by   c 0. Misal diberikan titik A 1 :[,  xy 1 1 ] dan

dan garis sisi

A 2 :[,  x 2 y 2 ]. Sisi AA 1 2 adalah garis dari titik A ke titik A AA adalah garis

2 1 2 yang melalui titik A 1 dan A 2 . Persamaan garis sisi l :AA 

diberikan oleh y 1  y 2 : x 2  x 1 : xy 1 2  xy 2 1 . Sebagai contoh, untuk titik A 1  [4, 8] dan A 

2 [9, 3], pada lapangan R , diperoleh garis sisi l 

5: 5: 60  (lihat Gambar 1) .

A 1  [4,8] AA 12

A 2  [9,3] l  5 : 5 : 60 

Gambar 1. Sisi AA 1 2 di lapangan R

Sementara itu, pada lapangan F 17 , untuk titik yang sama, diperoleh garis sisi l  5:5:8. Pada lapangan F 17 , sisi AA 1 2 (lihat Gambar 2) tidak sama dengan sisi AA 21 (lihat Gambar 3). Akan tetapi, garis sisi AA 1 2 sama dengan garis sisi AA 2 1 . Pada Gambar 2 dan 3, sisi AA 1 2 dan sisi AA 21

direpresentasikan dengan kotak yang terdiri dari kotak hitam dan lingkaran merah.

Gambar 2. Sisi AA 1 2 di lapangan F 17 Gambar 3. Sisi AA 21 di lapangan F 17

Titik A 1 :[,  xy 1 1 ], A 2 :[,  x 2 y 2 ], dan A 3 :[,  xy 3 3 ] tidak segaris (collinear points) apabila x 1 y 2  x 1 y 3 + x 2 y 3  x 3 y 2 + x 3 y 1  x 2 y 1  0. Selanjutnya, tiga titik yang tidak segaris dapat

membentuk segitiga, seperti definisi berikut.

Definisi 2.1 (Segitiga, (Wildberger, 2005)). Segitiga AAA 1 2 3 adalah garis dari titik A

ke titik

A 2 , kemudian dari titik A 2 ke titik A 3 , setelah itu dari titik A 3 kembali lagi ke titik A 1 , dengan titik A 1 , A 2 , dan A 3 tidak segaris .

Contoh 1

Diberikan titik A 1  [3, 5], A 2  [15, 5], dan A 3  [7,13]. Pada lapangan R , titik A 1 , A 2 , dan

A 3 tidak segaris. Dengan demikian, pada lapangan R dapat dibentuk segitiga AAA 1 2 3 (lihat Gambar 4).

k  8 : 8 :160

A 3  [7,13]

AA 3 1 AA 2 3

A 2  [15,5]

 0 :12 : 60 A  1  [3,5] l

AA 1 2

m  8:4:4 

Gambar 4. Segitiga AAA 1 2 3 di lapangan R

Pada lapangan F 17 , titik A 1 , A 2 , dan A 3 juga tidak segaris. Oleh karena itu, pada lapangan F 17 dapat dibentuk segitiga AAA 1 2 3 (lihat Gambar 5). Selain segitiga AAA 1 2 3 , pada lapangan F 17 juga

dapat dibentuk segitiga AAA 3 21 (lihat Gambar 6).

Gambar 5. Segitiga AAA 1 2 3 di lapangan F 17 Gambar 6. Segitiga AAA 3 21 di lapangan F 17

Pada lapangan R , selain segitiga AAA 1 2 3 juga dapat dibentuk segitiga AAA

. Akan tetapi, pada lapangan R , representasi segitiga AAA 3 2 1 sama dengan segitiga AAA 1 2 3 . Jadi, pada lapangan R , segitiga AAA 1 2 3 sama dengan segitiga AAA 3 2 1 . Namun, hal tersebut berbeda pada segitiga di lapangan F 17 . Pada lapangan F 17 , segitiga AAA 1 2 3 tidak sama dengan segitiga AAA 3 2 1 .

2.2 Segitiga Siku-Siku

Salah satu jenis dari segitiga adalah segitiga siku-siku. Segitiga siku-siku merupakan bentuk khusus dari suatu segitiga karena mempunyai dua buah sisi yang saling tegak lurus, seperti definisi berikut.

Definisi 2.2 (Segitiga siku-siku, (Wildberger, 2005)). Segitiga 1 2 A A A merupakan segitiga 3 siku-siku apabila segitiga tersebut mempunyai dua buah sisi yang saling tegak lurus.

Misal diberikan sisi AA 1 2 dan sisi AA 3 4 . Sisi AA 1 2 tegak lurus sisi AA 3 4 apabila garis sisi l :AA  1 2 tegak lurus garis sisi k :  AA 3 4 . Sementara itu, garis l   a 1 : bc 1 : 1  tegak lurus garis k

  a 2 : b 2 : c 2  apabila aa 12  bb 12  0. Berikut diberikan contoh segitiga siku-siku di lapangan R

dan lapangan F 17 .

Contoh 2

Diberikan titik A 1  [5, 3], A 2  [7,15], dan A 3  [12,10]. Pada lapangan R , titik A 1 , A 2 , dan

A 3 tidak segaris sehingga dapat dibentuk segitiga AAA 1 2 3 (lihat Gambar 7). Pada segitiga tersebut, garis sisi AA 1 2 adalah garis l  12 : 2 : 54 , garis sisi AA 2 3 adalah garis k  5 : 5 : 110 ,  sedangkan garis sisi AA 3 1 adalah garis m  7 : 7 : 14 .  Garis m tegak lurus garis k karena

(7)(5) ( 7)(5)   0. Dengan demikian, sisi AA 31 tegak lurus sisi AA 2 3 . Jadi, segitiga AAA 1 2 3 merupakan segitiga siku-siku di lapangan R .

A 2  [7,15]

m   7 : 7 : 14

A 3  [12,10]

k  5 : 5 : 110 

l  12 : 2 : 54

Gambar 7. Segitiga siku-siku AAA 1 2 3 di lapangan R

Selanjutnya, titik A 1 , A 1 , dan A 3 juga tidak segaris pada lapangan F 17 . Jadi, pada lapangan F 17 juga dapat dibentuk segitiga AAA 1 2 3 (lihat Gambar 8). Pada segitiga tersebut, garis sisi AA 1 2

adalah garis

 5:2:3, garis sisi AA 2 3 adalah garis k  5:5:9, sedangkan garis sisi AA

3 1 adalah garis m  7 :10 : 3 . Garis m tegak lurus garis k karena (7  17 5)  17 (10  17 5)  0.

Dengan demikian, sisi AA 31 tegak lurus sisi AA 2 3 . Jadi, segitiga AAA 1 2 3 juga merupakan segitiga

siku-siku di lapangan F 17 .

Gambar 8. Segitiga siku-siku AAA 1 2 3 di lapangan F 17

Salah satu sifat segitiga siku-siku adalah segitiga siku-siku tersebut memenuhi Teorema Phytagoras. Teorema ini berhubungan dengan quadrance (kuadrat jarak) dari sisi-sisi pada segitiga siku-siku. Quadrance merupakan ukuran bentangan antara dua buah titik pada

trigonometri rasional. Misal diberikan titik A 1 :[,  xy 1 1 ] dan A 2 :[,  x 2 y 2 ], maka quadrance dari sisi AA 1 2

adalah QAA (, 1 2 )  ( x

2  x 1 )  ( y 2  y 1 ).

Teorema 2.3 (Teorema Phytagoras, (Wildberger, 2005)). Misalkan pada segitiga AAA 1 2 3 , quadrance dari sisi 2 3 A A adalah Q 1 :  QAA ( 2 , 3 ), quadrance dari sisi 31 A A adalah Q 2 :  QAA ( 3 , 1 ), dan quadrance dari sisi 1 2 A A adalah Q 3 :  QAA (, 1 2 ). Apabila sisi 31 A A tegak

lurus sisi AA 2 3 , maka Q 1  Q 2  Q 3 .

Bukti . Misalkan titik A 1 :[,  xy 1 1 ], A 2 :[,  x 2 y 2 ], dan A 3 :[,  x 3 y 3 ]. Garis sisi AA 3 1 adalah garis

AA 2 3 adalah garis y 2  y 3 : x 3  x 2 : xy 2 3  xy 3 2 . Jika sisi AA 31 tegak lurus sisi AA 2 3 , maka garis

y 3  yx 1 : 1  x 3 : xy 31  xy 13 tegak lurus garis

y 2  y 3 : x 3  x 2 : xy 2 3  xy 3 2 . Akibatnya,

( y 3  y 1 )( y 2  y 3 )(  x 1  x 3 )( x 3  x 2 )  0. Selanjutnya,

3  y 2 )   ( x 1  x ) 2 3  ( y 2 1  y 3 )   ( x 2  x 2 1 )  ( y 2  y 2 1 ) 

 x 2  xx  x 2  y 2  yy  y 2  x 2  xx  x 2  y 3 2 2 32 2 3 2 3 2 2 1 2 13 3 1  2 yy 13  y 2 3  x 2 2 2 2  2 xx 21  x 1  y 2  2 yy 21  y 2 1  2 x 2 3  2 xx

y 32 2  2 3  2 yy 3 2  2 xx 13  2 yy 1 3  2 xx 21  2 yy 2 1

 2  2 x 3  x 3 x 2 2  y 3  yy 3 2  xx 13  yy 13  xx 21  yy 21   2   yy 2 3 2  y 3  yy  yy  xx  xx  x 2 21 13 13 21 3  xx 32 

 2    yy  y 2 3  yy

3 2 1 2  yy 1 3  xx 13  xx 12  x 3  xx 32  

 2    ( y 3  y 1 )( y 2  y 3 )(  x 1  x 3 )( x 3  x 2 )  

Dengan demikian, terbukti bahwa Q 1  Q 2  Q 3 . ■

Bukti Teorema 2.3 secara garis besar sudah diberikan oleh Wildberger (2005). Pada makalah ini, penulis memberikan bukti Teorema 2.3 dengan lebih rinci.

Contoh 3

Pada Contoh 2, segitiga siku-siku AAA 1 2 3 dibentuk oleh titik A 1  [5, 3], A 2  [7,15], dan

A 3  [12,10]. Pada lapangan R , quadrance dari sisi AA 2 3 adalah

Q 1 :  QAA (

quadrance dari sisi AA 31 adalah Q : QAA (, ) (5 12) 2 2 2  3 1   (3 10)  98,

dan quadrance dari sisi AA 1 2 adalah

3 :  QAA (, 1 2 ) (7 5)   (15 3)   148.

Dengan demikian, Q 1  Q 2   50 98 148   Q 3 . Jadi, Teorema Phytagoras berlaku pada segitiga siku-siku AAA 1 2 3 di lapangan R . Selanjutnya, untuk segitiga siku-siku AAA 1 2 3 di lapangan F 17 ,

quadrance dari sisi AA 2 3 adalah

1 :  QAA ( 2 , 3 )  (12 ⊝ 17 7)  17 (10 ⊝ 17 15) = 16,

quadrance dari sisi AA 31 adalah

2 :  QAA ( 3 , 1 )  (5 ⊝ 17 12)  17 (3 ⊝ 17 10) = 13,

dan quadrance dari sisi AA 1 2 adalah

Q :  QAA (, ) 

Dengan demikian, Q 1  17 Q 2  16  17  13 12  Q 3 . Jadi, Teorema Phytagoras berlaku pada segitiga

siku-siku AAA 1 2 3 di lapangan F 17 .

Kemudian, ukuran bentangan antara dua buah garis pada trigonometri rasional dinyatakan dengan menggunakan spread. Misal diberikan sisi AA 1 2 dan sisi AA 3 4 . Jika garis sisi AA 1 2 adalah

garis l   a 1 : bc 1 : 1  dan garis sisi 3 4   a 2 : b 2 : c 2  ,

A A adalah garis k AA maka spread dari sisi 1 2

1 2 AA 3 4 

dan sisi 3 4 adalah s ( , ) = 12 a 21 2 b 2 a 2

. Apabila sisi

A A dan sisi

tegak lurus, maka s ( l , k ) = 1. Oleh karena segitiga siku-siku mempunyai dua buah sisi yang tegak lurus, maka

berdasarkan spread diperoleh sifat berikut.

Akibat 2.4. Salah satu spread pada segitiga siku-siku bernilai satu.

Contoh 4

Pada Contoh 2, segitiga siku-siku AAA 1 2 3 dibentuk oleh sisi AA 1 2 , AA 2 3 , dan AA 3 1 . Pada lapangan R , garis sisi AA 1 2 adalah garis l  12 : 2 : 54 , garis sisi AA 2 3 adalah garis k  5 : 5 : 110 ,  sedangkan garis sisi AA 3 1 adalah garis m  7 : 7 : 14 .  Dengan demikian,

spread dari sisi AA 1 2 dan sisi AA 2 3 adalah s ( l , k ) = 49 74 , spread dari sisi AA 2 3 dan sisi AA 3 1 spread dari sisi AA 1 2 dan sisi AA 2 3 adalah s ( l , k ) = 49 74 , spread dari sisi AA 2 3 dan sisi AA 3 1

Selanjutnya, untuk segitiga siku-siku AAA 1 2 3 di lapangan F 17 , garis sisi AA 1 2 adalah garis l  5:2:3, garis sisi AA 2 3 adalah garis k  5:5:9, sedangkan garis sisi AA

adalah garis m

 7 :10 : 3 . Dengan demikian, spread dari sisi AA 1 2 dan sisi AA 2 3 adalah s ( l , k ) = 11, spread dari sisi AA 2 3 dan sisi AA 3 1 adalah s ( k , m ) = 1, dan spread dari sisi AA 3 1 dan sisi AA 1 2 adalah s ( m

2. Jadi, benar bahwa salah satu spraed pada segitiga siku-siku AAA 1 2 3 di lapangan F 17 bernilai 1.

3. KESIMPULAN

Pada trigonometri rasional, segitiga dibentuk dari tiga titik tidak segaris yang dihubungkan satu

sama lain dengan suatu garis. Pada lapangan R , segitiga AAA 1 2 3 sama dengan segitiga AAA 3 2 1 . Namun, pada lapangan F 17 , segitiga AAA 1 2 3 tidak sama dengan segitiga AAA 3 2 1 . Segitiga

yang mempunyai dua buah sisi yang saling tegak lurus dinamakan segitiga siku-siku. Segitiga

siku-siku di lapangan R dan lapangan F 17 memenuhi teorema Phytagoras. Teorema ini menyatakan bahwa jumlah quadrance dari sisi-sisi segitiga siku-siku yang saling tegak lurus

sama dengan quadrance dari sisi yang lainnya. Selain itu, segitiga siku-siku di lapangan R dan lapangan F 17 juga mempunyai sifat bahwa salah satu spread pada segitiga siku-siku tersebut

bernilai satu.

4. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Idha Sihwaningrum yang telah meluangkan waktunya untuk proses penulisan makalah ini. Penelitian ini dilakukan dengan dana penelitian fundamental 2013 dengan nomor kontrak: 2535.15/UN23.10/PN/2013.

5. DAFTAR PUSTAKA

Certicom., 2000, Standards for Efficient Cryptography 1: Elliptic Curve Cryptography, diunduh dari: http://www.secg.org/collateral/sec1_final.pdf [Diakses pada 15 Juni 2013].

Goodman, F.M., 2011, Algebra Abstract and Concrete, Amerika Serikat: Prentice-Hall. Grillet, P.A., 2007, Abstract Algebra, 2 nd Edition, New York: Springer Science and Business

Media, LLC. Judson, T.W., 2011, Abstract Algebra Theory and Applications, Amerika Serikat: Virginia

Commonwealth University Mathematics. Sinaga, D.H., 2013, Garis di Lapangan Himpunan Bilangan Bulat Modulo 17, Skripsi,

Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman. Sukirman., 2005, Pengantar Teori Bilangan, Yogyakarta: Manggar Kreator. Wildberger, N.J., 2005, Divine Proportions: Rational Trigonometry to Universal Geometry,

Australia: Wild Egg Pty Ltd.

G-2

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR GEOMETRI DENGAN TEORI VAN HIELE

Husnul Khotimah

Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarata

Abstrak

Matematika memiliki berbagai cabang ilmu, salah satunya adalah Geometri. Cabang ilmu ini dipelajari semenjak Sekolah Dasar dan objeknya berupa benda konkret dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa mudah mempelajarinya. Tetapi banyak bukti yang menyatakan bahwa hasil belajar Geometri siswa masih rendah. Hal ini terjadi karena siswa masih merasa kesulitan dalam mempelajari Geometri. Salah satu teori pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengatasi kesulitan tersebut adalah teori Van Hiele. Dalam teori ini terdapat beberapa langkah pembelajaran yang harus diterapkan guna meningkatkan kemampuan geometri siswa.

Kata kunci: geometri, teori van hiele.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Salah satu bidang ilmu yang menggunakan kemampuan berpikir yang cukup tinggi adalah

matematika. Bidang ilmu ini dipelajari di setiap jenjang pendidikan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Suherman.et.al (2003: 55) bahwa matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di pendidikan dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan menengah (SLTA dan SMK). Matematika sekolah tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika yaitu memiliki objek kejadian yang abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten.

Geometri merupakan salah satu cabang ilmu matematika. Menurut Galileo (Burshill-Hall, 2002: 21) geometri merupakan kunci untuk memahami alam. Alam di sini berarti seluruh bentuk yang ada di dunia. Adapun menurut Kartono (2012:5) “berdasarkan sudut pandang psikologi, geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran dan pemetaan”. Geometri tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa tetapi juga membatu dalam pembentukan memori yaitu objek konkret menjadi abstrak. Berdasarkan pendapat tersebut maka geometri merupakan materi penting dalam pembelajaran matematika.

Tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi secara matematik, dan dapat bernalar secara matematik (Bobango, 1993: 148). Sedangkan Budiarto (2000: 439) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan pengetahuan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA UNY yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Pada dasarnya geometri mempunyai peluang yang lebih besar untuk dipahami siswa dibandingkan dengan cabang matematika yang lain. Hal ini karena ide-ide geometri sudah dikenal oleh siswa sejak sebelum mereka masuk sekolah, misalnya garis, bidang dan ruang. Meskipun geometri diajarkan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa materi geometri kurang dikuasai oleh sebagian besar siswa. Masih banyak siswa yang mengalami

kesulitan dalam belajar geometri, salah satunya pada tingkatan SMA. Berdasarkan persentase penguasaan materi soal matematika ujian nasional SMA/MA

pada kemampuan menghitung jarak dan sudut antara dua objek (titik, garis dan bidang) di ruang di Kota Yogyakarata yaitu 57,52%. Dari angka tersebut terlihat bahwa kemampuan tersebut masih cukup jauh dari 100%. Serta termasuk salah satu kemampuan yang memiliki persentase rendah jika dibandingkan dengan kemampuan yang lain. Rendahnya hasil ujian tersebut merupakan salah satu tanda bahwa siswa mengalami permasalahan dalam menyelesaikan soal geometri.

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan oleh Badi Rahmat Hidayat, terdapat beberapa masalah yang dapat diindikasikan sebagai penyebab bahwa materi dimensi tiga merupakan salah satu materi yang sulit untuk dapat dipahami oleh siswa, anata lain:

a. Keterampilan siswa dalam menggambar dan mempergunakan alat-alat untuk menggambar bangun-bangun ruang tiga dimensi masih rendah.

b. Kemampuan pemahaman konsep matematika siswa masih kurang memuaskan.

c. Sebagian siswa hanya mengandalkan hafalan tanpa memahami konsep sehingga melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal.

d. Materi prasyarat diantaranya adalah garis lurus, sudut, luas bangun datar, trigonometri dan syarat-syarat berlakunya teorema Phytagoras belum dikuasai oleh sebagian siswa.

Permasalahan tersebut terjadi karena siswa tidak memahami konsep dan prinsip. Dalam kenyataannya seperti miskonsepsi mengenai jarak dua garis sejajar dan jarak dua bidang yang sejajar, tidak bisa menghubungkan komponen dari geometri yang diketahui pada soal menjadi satu kesatuan, dan kesalahan konsep dalam memahami pengertian dan letak sudut surut serta perbandingan proyeksi pada gambar bangun ruang kubus(Hidayat B.R, 2013). .

Terdapat suatu fase pembelajaran yang cocok untuk diterapkan dalam mempelajari geometri. Fase tersebut ditemukan oleh Dina dan Pierre Van Hiele pada tahun 1986. Sehingga fase tersebut sering disebut dengan model pembelajaran Van Hiele. Adapun urutan fase yang dialami siswa yaitu informasi, petunjuk orientasi, pengeksplisitan, dan orientasi bebas. Van Hiele juga membagi kemampuan berpikir geometri menjadi lima level. Agar kelima level tersebut tercapai maka salah satu caranya adalah dengan menerapkan keempat fase di atas. Untuk siswa SMA, kemampuan berpikir geometri berada pada level 2 (abstraksi). Tetapi pada kenyataannya masih ada siswa SMA yang berada pada level 0 (visualisasi) (Hidayat B.R, 2013).

Berdasarkan permasalahan dan kajian toeri tersebut maka diterapkanlah model pembelajaran Van Hiele. Dengan penerapan model pembelajaran ini diharapkan prestasi belajar siswa meningkat.

2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Mengapa model pembelajaran Van Hiele dapat meningkatkan kemampuan berpikir geometri siswa?

b. Bagiamana skenario model pembelajaran Van Hiele?

3. Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan ini adalah:

a. Mengetahui penyebab bahwa penerapan model pembelajaran Van Hiele dapat meningkatkan kemampuan berpikir geometri siswa. Dengan mengetahui penyebabnya maka seorang guru tidak salah dalam menerapkan model pembelajaran ini dan mengetahui esensi dari setiap fase.

b. Mengetahui skenario model pembelajaran Van Hiele dengan tepat. Dengan adanya skenario ymaka seorang guru tidak salah dalam melaksanakan urutan pembelajaran.

B. PEMBAHASAN

Teori Van Hiele merupakan salah satu teori yang dapat mengukur kemampuan geometri siswa. Seperti nama teori ini, maka teori dikemukan oleh Dina dan Pierre Van Hiele pada tahun 1986. Mereka melakukan penelitian mengenai berpikir geometri di sekolah. Menurut teori ini terdapat lima level yang dilalui siswa dalam belajar geometri. Penggunaan level disini bukan untuk mengakategorikan siswa tetapi untuk mengetahui sudah sampai dimana kemampuan berpikir geometri siswa. Siswa secara bertahap melalui kelima level tersebut. Berdsarakan penelitian biasanya berada pada level 0, siswa SMP berada pada level 0 dan 1, sedangkan siswa SMA sudah berada pada level 2.

Menurut Keyes & Anne (Abdussakir, 2010) setiap level pada teori Van Hiele harus dilalui dengan berurutan. Ketika siswa berada pada level yang lebih tinggi maka level dibawahnya pasti sudah dikuasai. Dalam Burger & Shaughnessy (1986: 31) dan Mason & Wilder (2004: 309) terdapat 5 level berpikir geometri berdasarkan teori Van Hiele:

1. Level 0 (Visualisasi) Pada level ini siswa hanya memperhatikan bangun secara visual saja tanpa mengetahui sifat-sifat bangun tersebut. Misalnya, dengan melihat saja diketahui bahawa dua segitiga adalah sama, tanpa mengetahui alasannya. Tingkat ini sering disebut tingkat pengenalan. Namun bentuk-bentuk geometri yang dikenal anak semata-mata didasarkan pada karakteristik visual atau penampakan bentuknya secara keseluruhan, bukan perbagian. Dalam mengidentifikasi bangun, mereka seringkali menggunakan prototipe visual. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa bangun yang diketahui adalah balok, karena seperti kotak. Anak belum menyadari adanya sifat-sifat dari bangun geometri.

2. Level 1 (Analisis) Pada level ini kemampuan berpikir siswa berkembang dengan mendeskripsikan suatu bangun menggunakan bahasa sendiri sesuai level sebelumnya. Konsep geometri mulai tertanam dalam benak siswa dengan mulai memperhatikan bagian-bagian dan sifat-sifat suatu bangun. Sebagai contoh, dua balok dapat dikatakan sama dengan mengenali sifat-sifatnya. Melalui pengamatan, eksperimen, mengukur, menggambar, dan memodel, siswa dapat mengenali dan 2. Level 1 (Analisis) Pada level ini kemampuan berpikir siswa berkembang dengan mendeskripsikan suatu bangun menggunakan bahasa sendiri sesuai level sebelumnya. Konsep geometri mulai tertanam dalam benak siswa dengan mulai memperhatikan bagian-bagian dan sifat-sifat suatu bangun. Sebagai contoh, dua balok dapat dikatakan sama dengan mengenali sifat-sifatnya. Melalui pengamatan, eksperimen, mengukur, menggambar, dan memodel, siswa dapat mengenali dan

3. Level 2 (Abstraksi) Pada level ini siswa menggunakan bahasa untuk mengetahui perbedaan dari setiap bangun sesuai dengan level sebelumnya. Siswa secara logis menggolongkan sifat-sifat berdasarkan konsep, membentuk definisi abstrak, dan dapat membedakan antara keperluan dan kecukupan dari kumpulan sifat-sifat untuk menentukan konsep. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik.

4. Level 3 (Deduksi Informal) Pada tingkat ini berpikir deduksi siswa sudah mulai berkembang dan penalaran deduksi sebagai cara untuk membangun struktur geometri dalam sistem aksiomatik telah dipahami. Hal ini telah ditunjukkan siswa dengan membuktikan suatu pernyataan tentang geometri dengan menggunakan alasan yang logis dan deduktif. Struktur deduktif aksiomatik yang lengkap dengan pengertian pangkal, postulat/aksioma, definisi, teorema, dan akibat yang secara implisit ada pada tingkat deduksi informal, menjadi objek yang eksplisit dalam pemikiran anak pada tingkat ini.

5. Level 4 (Deduksi Formal) Pada tingkat ini siswa dapat bekerja dalam berbagai struktur deduksi aksiomatik. Siswa dapat menemukan perbedaan antara dua struktur. Siswa memahami perbedaan antara geometri Euclides dan geometri non-Euclides. Siswa memahami aksioma-aksioma yang mendasari terbentuknya geometri non-Euclides.

Dalam mempelajari geometri kecerdasan spasial juga sangat mempengaruhi kemampuan berpikir geometri siswa. Kecerdasan ini membantu siswa untuk memahami hubungan antar objek dan lokasi mereka dalam dunia tiga dimensi. Spasial adalah kemampuan untuk merasakan objek baik hubungannya dengan objek lain maupun orientasi objek itu sendiri. Adapun menurut Abdurrahman (2012: 117-118) ada lima jenis kemampuan visual spasial yaitu :

1. Hubungan keruangan (spatial relation), menunjukan persepsi tentang posisi berbagai objek dalam ruang.

2. Diskriminasi visual (visual discrimination), menunjukan pada kemampuan membedakan suatu objek dari objek yang lain.

3. Diskriminasi bentuk latar belakang (figure-ground discrimination), menunjukan pada kemampuan membedakan suatu objek dari latar belakang yang mengelilinginya.

4. Visual clouseir , menunjukan pada kemampuan mengingat dan mengidentifikasi suatu objek, meskipun objek tersebut tidak diperhatikan secara keseluruhan.

5. Mengenal objek (object recognition), menunjukan pada kemampuan mengenal sifat berbagai objek pada saat mereka memandang.

Kemampuan visual spasial tersebut akan berhubungan dengan level kemampuan berpikir geometri menurut teori Van Hiele, terutama level 0 dan 1. Selanjutnnya untuk meningkatkan level kemampuan berpikir geometeri Van Hiele mengajukan beberapa fase untuk dilalui.

1. Informasi Pada fase ini siswa telah mendapatkan informasi mengenai suatu bentuk geometri. Informasi yang diperoleh siswa bisa berasal dari pembelajaran sebelumnya maupun informasi dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya informasi tersebut siswa dapat mengenali domain kerja. Ketika siswa mengetahui objek tersebut secara visual maka ia dapat membedakan suatu objek dengan objek yang lain (diskriminasi visual). Dalam pembelajaran gometri hal ini ditunjukkan dengan mengetahui yang contoh dan bukan contoh (visual clousier). Untuk mengetahui informasi yang dimiliki siswa maka seorang guru harus mengetahui kemampan awal mereka. Ketika ada siswa yang tidak tau maka dengan adanya apersepsi maka siswa tersebut akan mengetahunya terutama tau bentuk secara visual dan namanya.

2. Orientasi langsung Pada fase ini siswa berorientasi secara langsung pada objek geometri yang akan dipelajari. Siswa menyelesaikan tugas yang melibatkan hubungan berbeda dari sistem yang dibentuk (contoh: melipat, mengukur, menemukan simetri (figure-ground discrimination)). Agar siswa dapat berorientasi langsung maka guru harus menyediakan sarana. Sarana yang dibutuhkan siswa adalah berupa media pembelajaran. Dengan ketersediaan media maka siswa dapat menemukan sendiri sifat pada suatu objek geometri. Pemilihan media harus melibatkan siswa dalam menemukan sifat-sifat dari bentuk geometri. Terkadang guru memang menggunakan media, tetapi hanya untuk guru sendiri bukan ditemukan siswa. Banyak sekali media yang dapat digunakan baik modern berbasi komputer maupun tradisional. Anak merupakan bagian dari dunia fisik, sehingga pengalaman langsung dengan benda-benda sangat penting dalam belajar. Ini merupakan dasar dari tahapan berpikir konkret-operasional yaitu pada masa usia sekolah (Copeland: 1979). Anak harus dirangsang untuk membandingkan objek dalam memahami relasi yang ada diantara karakteristik- karakteristik atau sifat-sifat benda tertentu dengan benda lainnya.

3. Penjelasan Dengan penemuan tersebut maka siswa menjadi ingin tahu mengenai hubungan, mencoba untuk menjelaskannya dengan kata-kata, dan mempelajari cara menyampaikan yang tepat dengan materi sujek (contoh: menjelaskan ide-ide mengenai sifat-sifat dari bangun). Siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Siswa dapat mengetahui posisi berbagai objek dalam ruang (hubungan keruangan). Di samping itu untuk guru membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat untuk menjelaskan mengenai apa yang baru diamati. Ketika siswa menemukan sendiri sifat pada objek geometri maka mereka akan memahami konsep dan hubungan antar sifat yang ditemukan (mengenal objek). Tetapi ketika guru yang menjelaskan maka siswa hanya menghafal saja.

4. Orientasi bebas Siswa belajar, dengan menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks, untuk menemukan cara mereka sendiri dalam mengubungkan hubungan yang ada. (contoh: mengetahui sifat- sifat dari semacam bentuk, menginvestigasi sifat-sifat tersebut apakah bangun baru atau 4. Orientasi bebas Siswa belajar, dengan menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks, untuk menemukan cara mereka sendiri dalam mengubungkan hubungan yang ada. (contoh: mengetahui sifat- sifat dari semacam bentuk, menginvestigasi sifat-sifat tersebut apakah bangun baru atau

5. Integrasi Siswa menyimpulkan seluruh hal yang dipelajari mengenai subjek, lalu merefleksikannya dengan tindakan dan memperoleh sebuah pandangan baru terhadap hubungan subjek. (contoh: sifat-sifat dari suatu bangun disimpulkan).

Dengan menerapkan fase di atas, maka kemampuan berpikir geometri siswa akan meningkat. Peningkatan kemampuan geometri dapat dilihat dari peningkatan nilian hasil belajar siswa. Fase tersebut telah dibuat secara terstruktur dan melibatkan semua kemampuan spasial. Sehingga dapat melatih kemampuan visual spasial. Setiap fase sangat penting dilakukan untuk diterapkan untuk meningkatkan level kemampuan berpikir geometri.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap level dapat dibuat langkah pembelajarannya. Adapun langkah-langkah dalam menerapkan model pembelajaran Van Hiele (Abdussakir: 2010) adalah:

1. Aktivitas Level 0 (Visualisasi) Pada tahap 0 ini, bangun-bangun geometri diperhatikan berdasarkan penampakan fisik sebagai suatu keseluruhan. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.

a. Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan siswa untuk manipulasi, mewarna, melipat dan mengkonstruk bangun geometri.

b. Melibatkan kegiatan memilih, suatu gambar sederhana, dalam kumpulan potongan bangun, atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan objek-objek fisik lain di dalam kelas, rumah, atau tempat lain.

c. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar bangun, dan mengkonstruk bangun. Dan mendeksripsi-kan bangun-bangun geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya kubus “seperti pintu atau kotak.”

d. Mengerjakan masalah geometri yang dapat dipecahkan dengan me-nyusun, mengukur, dan menghitung.

2. Aktivitas Level 1 (Analisis) Pada level 1 ini siswa diharapkan dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun geometri. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.

a. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama pada model-model yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi bebagai sifat bangun.

b. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifat-nya.

c. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau diberikan sifat-sifatnya secara tertulis.

d. Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.

e. Menemukan sifat objek yang tidak dikenal.

f. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri, atau pendekatan berdasar wawasan.

3. Aktivitas Level 2 (Deduksi Informal) Pada level 2 ini siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat dan bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.

a. Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada level 1, dan membuat implikasi.

b. Mengidentifikasi sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi bangun.

c. Membuat dan menggunakan definisi dengan bahasanya sendiri.

d. Mengikuti argumen-argumen informal dan menyajikan argumen informal.

e. Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan menyisipkan langkah-langkah yang kurang.

f. Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan konversnya.

g. Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan saling keterkaitannya. Setiap level telah menggunakan fase Van Hiele. Tetapi hanya dibatasi pada level 2. Fase

tersebut dapat digunakan untuk mempelajari setiap bentuk geometri. Setiap bentuk geometri pasti memiliki sifat, komponen, dan hubungna dengan bentuk geometri lainnya. Dengan bantuan fase-fase tersebut, seorang guru diharapkan dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir geometri yang ditunjukkan dengan kemampuan hasil belajar yaitu tercapainya nilai KKM (75).

C. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penulisan ini adalah dengan menerapkan fase di atas, maka kemampuan berpikir geometri siswa akan meningkat. Peningkatan kemampuan geometri dapat dilihat dari peningkatan nilian hasil belajar siswa. Hal ini terjadi karena pada fase informasi seorang guru memastikan kemampuan siswa dalam bentuk geometri. Selanjutnya pada fase orientasi langsung, bentuk geometri yang abstrak dikonkretkan dengan media belajar. Siswa memanipulasi media belajar tersebut sehingga tercipta suatu konsep dan guru memastikan kebenarannya (penjelasan). Selanjutnya pengerjaan latihan soal untuk membukitkan pemahaman konsep (orientasi bebas). Pada akhirnya siswa looking back terhadap materi pembelajaran tersebut (integrasi). Fase tersebut telah dibuat secara terstruktur dan melibatkan semua kemampuan spasial.

D. DAFTAR PUSTAKA

Abdussakir. (2010). Pembelajaran geometri sesuai teori Van Hiele. Jurnal Kependidikan dan Keagamaan , Vol VII Nomor 2. Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang.

Bobango, J.C. (1993). Geometry for all student: Phase-Based Instruction. Dalam Cuevas (Eds). Reaching All Students With Mathematics. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics,Inc.

Budiarto, M.T. (2000). Pembelajaran geometri dan berpikir geometri. Dalam prosiding Seminar Nasional Matematika “Peran Matematika Memasuki Milenium III”. Jurusan Matematika FMIPA ITS Surabaya. Surabaya, 2 November.

Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. (1986). Characterizing The Van Hiele Levels Of Ddevelepmont In Geometry. Journal for research in Mathematics Education Vol 17. No.

Bursill-Hall, P. (2002). Why do we study geometry? Answer through the ages. Departement of Pure Mathematics and Mathematical Statistics University Of Cambridge.

Ekawati,E. (2011). Peran, Fungsi, Tujuan dan Karakteristik Matematika Sekolah. PPPPTK Matematika.

Hidayat, B.R., et al. (2013). Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Pada Materi Ruang Dimensi Tiga Ditinjau dari Gaya Kognitif Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika Solusi Vol 1 No.1 Maret 2013.

Kartono. (2012). Hands On Activity Pada Pembelajaran Geometri Sekolah Sebagai Asesmen Kinerja Siswa . Jurusan Matematika FMIPA UNNES.

Kennedy , L.M., Tipps, S, & Johnson, A. (2008). Guiding children’s learning of mathematics, Eleventhh Edition. Thomson Higher Education. USA.

Mason, J., & Wilder, S.J. (2004). Fundamental in mathematics education. RoutledgeFalmer. USA.

Suherman, E, et al. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jurusan Pendidikan matematika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia.

S-1

KARAKTERISTIK INFLASI BULANAN KOTA-KOTA DI INDONESIA TAHUN 2009 – 2013

Adi Setiawan

Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711 Email : adi_setia_03@yahoo.com

Abstrak

Karakteristik inflasi bulanan kota-kota di Indonesia mempresentasikan sifat-sifat inflasi bulanan meliputi rata-rata besaran inflasi bulanan, stabilitas inflasi bulanan, skewness dan kurtosis distribusi inflasi bulanan serta pengujian hipotesis apakah distribusi data inflasi bulanan normal atau tidak. Periode waktu yang diamati adalah bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Mei 2013. Analisis koefisien korelasi dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah ada kota yang cenderung mempunyai sifat inflasi bulanan yang tidak bergantung dengan sebagian besar kota-kota di Indonesia. Di samping itu juga mempresentasikan sifat-sifat inflasi bulanan untuk setiap periode bulan Januari sampai dengan bulan Desember. Lebih lanjut, juga dilakukan pengujian hipotesis apakah rata-rata inflasi bulanan untuk masing-masing kota sama atau ada yang berbeda secara signifikan. Demikian juga, untuk kota-kota yang menjadi perhatian, apakah rata-rata inflasi bulanan untuk bulan Januari sampai bulan Desember sama atau ada yang berbeda secara signifikan.

Kata kunci: inflasi bulanan, skewness, kurtosis, distribusi inflasi bulanan

A. PENDAHULUAN

Setiap bulan Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan besarnya inflasi bulanan 66 kota yang digunakan dalam perhitungan inflasi di Indonesia. Di samping itu, BPS kota kabupaten yang tidak digunakan dalam perhitungan inflasi juga turut mengeluarkan informasi tentang inflasi bulanan di kota-kota tersebut. Informasi tersebut sangat penting dalam pengambilan keputusan di bidang bisnis dan industri. Karakteristik inflasi bulanan kota-kota di Indonesia perlu diidentifikasi agar kita dapat melakukan antisipasi agar inflasi bulanan dapat dikendalikan.

Skewness , kurtosis dan koefisien variasi telah digunakan dalam mendeskripsikan inflasi bulanan di kota-kota di Jawa Tengah (Setiawan, 2012a, Setiawan 2012b). Karakteristik inflasi kota-kota di Jawa Tengah telah dijelaskan dalam makalah Agustius dkk (2013). Di samping itu, karakteristik inflasi bulanan kota-kota di Indonesia bagian Timur telah dijelaskan dalam makalah Setiawan (2013). Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang karakteristik inflasi bulanan kota-kota yang digunakan dalam perhitungan inflasi bulanan di Indonesia pada periode Januari 2009 dan Mei 2013. Pemilihan periode waktu tersebut adalah bahwa dalam periode waktu tersebut tidak terjadi kenaikan/perubahan harga BBM sehingga inflasi bulanan tidak banyak terpengaruh oleh kenaikan harga BBM. Perlu diketahui bahwa pada harga BBM yang berlaku sekarang adalah akibat kenaikan harga pada tanggal 22 Juni 2013.

B. DASAR TEORI

Dalam pasal ini dijelaskan tentang statistik rata-rata, median, skewness, kurtosis dan koefisien variasi. Statistik tersebut nantinya akan digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik inflasi bulanan kota-kota yang digunakan dalam perhitungan inflasi di Indonesia. Untuk dasar

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang berasal dari populasi yang mempunyai distribusi tertentu yang tergantung pada satu atau lebih parameter. Rata-rata didefinisikan sebagai

Misalkan dimiliki sampel X 1 , X 2 , ...., X n

sedangkan median didefinisikan sebagai

X  X  n

jika n ganjil dan jika n genap didefinisikan sebagai

Skewness dari suatu variable random X yang dinotasikan dengan Skew[X] didefinisikan sebagai

  Skew [ X ] 

dengan µ = E[ X ]. Skewness ini juga dinamakan skewness populasi. Skewness merupakan ukuran dari kesimetrisan atau lebih tepatnya kekurang-simetrisan. Suatu distribusi dikatakan simetris jika distribusi tersebut nampak sama antara sebelah kanan dan sebelah kiri titik pusatnya. Distribusi yang simetris misalnya distribusi normal, distribusi t dan distribusi seragam. Distribusi yang mempunyai kemencengan positif misalnya distribusi eksponensial, distribusi chi-kuadrat, distribusi Poisson dan distribusi Binomial dengan p > 0.5 sedangkan distribusi yang mempunyai skewness negatif misalnya distribusi Binomial dengan p < 0.5 (lihat Tabel 1). Jika dimiliki

sampel X 1 , X 2 , …, X n yang diambil dari suatu populasi maka skewness distribusi populasinya dapat diestimasi dengan skewness sampel yaitu

Kurtosis dari suatu variable random X didefinisikan sebagai

Kurtosis merupakan ukuran apakah distribusi X lebih rata secara relatif dari distribusi normal atau sebaliknya. Distribusi yang mempunyai kurtosis lebih kecil dari 3 maka kurang rata (flat) dibandingkan dengan distribusi normal. Dengan kata lain, distribusi yang mempunyai distribusi yang mempunyai kurtosis lebih dari 3 misalnya distribusi eksponensial, chi-kuadrat, distribusi t, distribusi Binomial dan distribusi Poisson, sedangkan yang mempunyai kurang dari 3

misalnya distribusi seragam (lihat Tabel 1). Kurtosis dari sampel X 1 , X 2 , …, X n yang didefinisikan sebagai misalnya distribusi seragam (lihat Tabel 1). Kurtosis dari sampel X 1 , X 2 , …, X n yang didefinisikan sebagai

Koefisien variasi (coefficient of variation) atau koefisien dispersi adalah ukuran persebaran yang dinormalkan dari suatu distribusi probabilitas. Kadang-kadang nilai dari koefisien variasi dinyatakan dalam persen (Harinaldi, 2007). Harga mutlak dari koefisien variasi kadang-kadang dikenal dengan nama simpangan baku relatif (relative standard deviation – RSD). Koefisien variasi didefinisikan sebagai rasio dari standard deviasi  dengan mean  yaitu

dan estimasi dari koefisien variasi digunakan

dengan x   x i dan s  s 2   1 .

Tabel 1. Skewness dan Kurtosis Populasi untuk Beberapa Bistribusi.

Kurtosis  Binomial

Distribusi

Skewness 

1  6 p ( 1   p ) Binom(n,p)

np

np ( 1  p )

Poisson Pois( µ )  1 / 2   1 3   Normal N(µ ,  2 )

Seragam U(a,b)

Distribusi t t  0 ( > 3)

Chi-kuadrat  2  1 / 2 2 ( 2 / v ) 12

 Eksponensial Exp( 

C. METODE PENELITIAN

Data yang digunakan adalah data inflasi bulanan untuk bulan Januari 2009 sampai dengan Mei 2013 yang diperoleh pada website resmi Badan Pusat Statistik (BPS). Dipilihnya kurun waktu tersebut karena dalam kurun waktu itu tidak terjadi kenaikan harga BBM sehingga data inflasi bulanan tidak banyak terpengaruh oleh perubahan harga BBM. Data inflasi bulanan dilakukan analisis statistik dengan dasar statistik rata-rata, median, skewness, kurtosis, koefisien variasi, analisis korelasi, uji normalitas dan analisis variansi.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Inflasi bulanan di Indonesia dihitung berdasarkan inflasi bulanan 66 kota yang terdiri dari

33 ibu kota provinsi dan 33 kota/kabupaten penting di Indonesia. Untuk memberikan gambaran sekilas tentang 66 kota tersebut, pada Gambar 1 diberikan grafik garis data inflasi bulanan untuk kota Jakarta, kota Ambon, kota Banda Aceh dan kota Jayapura. Pemilihan kota Jakarta, kota Banda Aceh dan kota Jayapura didasarkan pada besarnya koefisien variasi. Kota Jakarta mempunyai koefisien variasi terkecil (yaitu sebesar 0,99) dibandingkan dengan kota-kota yang lain, sedangkan kota Jayapura dan kota Banda Aceh masing-masing mempunyai koefisien variasi terbesar (yaitu sebesar 3,55) dan koefisien variasi terbesar kedua (yaitu sebesar 3,18). Di samping itu pemilihan kota Ambon didasarkan pada koefisien korelasi Pearson kota Ambon dengan 47 kota yang lain yang tidak signifikan (lebih kecil dari 0,25 untuk ukuran sampel n = 53) sehingga karakteristik inflasi bulanan kota Ambon jauh berbeda dengan kota Jakarta, kota Banda Aceh dan kota Jayapura. Koefisien korelasi kota Ambon dengan kota Ternate misalnya, mempunyai karakteristik yang cenderung sama karena mempunyai koefisien korelasi yang signifikan yaitu sebesar 0,47.

JAKARTA 1

AM BON 0 BANDAACEH

-1 -0

n l-

JAYAPURA Ja

Gambar 1. Grafik garis data inflasi bulanan kota Jakarta, kota Ambon, kota Banda Aceh dan kota

Jayapura.

Tabel 2 menyatakan statistik deskriptif numerik data inflasi bulanan di kota-kota tersebut di atas. Rata-rata inflasi bulanan di kota Banda Aceh lebih rendah dibandingkan dengan ketiga kota tersebut bahkan kota Banda Aceh mempunyai rata-rata terendah dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Namun demikian, koefisien variasi kota Banda Aceh terbesar kedua dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia sehingga data inflasi bulanannya sangat fluktuatif artinya cenderung tidak stabil atau kadang besar dan kadang kecil. Lebih jauh, jangkauan (range) kota Banda Aceh cukup besar yaitu sebesar 3,81 % (bandingkan dengan jangkauan kota Ambon yaitu sebesar 5,78 %). Hal yang sama juga berlaku pada kota Jayapura. Koefisien variasi yang relatif kecil menunjukkan bahwa data inflasi bulanan di kota tersebut relatif stabil. Karena kota Jakarta mempunyai koefisien korelasi yang kecil maka hal itu berarti inflasi bulanan di kota Jakarta cenderung stabil artinya tidak sangat berfluktuasi. Hal itu jelas sangat penting bagi Inflasi di Indonesia karena bobot kota Jakarta dalam perhitungan inflasi bulanan Indonesia adalah sebesar 27,66 % sehingga jika inflasi di kota Jakarta cenderung tidak stabil maka akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas inflasi bulanan di Indonesia. Bandingkan dengan koefisien variasi Indonesia sebesar 1,11. Koefisien variasi data inflasi bulanan tersebut sangat terkait dengan jangkauannya, hal tersebut ditunjukkan dengan koefisien korelasi Pearson Tabel 2 menyatakan statistik deskriptif numerik data inflasi bulanan di kota-kota tersebut di atas. Rata-rata inflasi bulanan di kota Banda Aceh lebih rendah dibandingkan dengan ketiga kota tersebut bahkan kota Banda Aceh mempunyai rata-rata terendah dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Namun demikian, koefisien variasi kota Banda Aceh terbesar kedua dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia sehingga data inflasi bulanannya sangat fluktuatif artinya cenderung tidak stabil atau kadang besar dan kadang kecil. Lebih jauh, jangkauan (range) kota Banda Aceh cukup besar yaitu sebesar 3,81 % (bandingkan dengan jangkauan kota Ambon yaitu sebesar 5,78 %). Hal yang sama juga berlaku pada kota Jayapura. Koefisien variasi yang relatif kecil menunjukkan bahwa data inflasi bulanan di kota tersebut relatif stabil. Karena kota Jakarta mempunyai koefisien korelasi yang kecil maka hal itu berarti inflasi bulanan di kota Jakarta cenderung stabil artinya tidak sangat berfluktuasi. Hal itu jelas sangat penting bagi Inflasi di Indonesia karena bobot kota Jakarta dalam perhitungan inflasi bulanan Indonesia adalah sebesar 27,66 % sehingga jika inflasi di kota Jakarta cenderung tidak stabil maka akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas inflasi bulanan di Indonesia. Bandingkan dengan koefisien variasi Indonesia sebesar 1,11. Koefisien variasi data inflasi bulanan tersebut sangat terkait dengan jangkauannya, hal tersebut ditunjukkan dengan koefisien korelasi Pearson

Tabel 2. Statistik deskriptif numeris dari data inflasi bulanan meliputi kota Jarta, Ambon, Banda Aceh, Jayapura dan dibandingan dengan nasional/Indonesia.

BANDA

JAKARTA AMBON ACEH JAYAPURA INDONESIA mean

Koef variasi

Koefisien variasi robust

Kota Jakarta, kota Banda Aceh dan Indonesia mempunyai skewness positif yaitu berturut-turut sebesar 0,34, 0,03 dan 0,49 sedangkan kota Ambon dan kota Jayapura mempunyai skewness negatif namun keduanya hampir 0. Skewness kota Banda Aceh, kota Ambon dan kota Jayapura hampir 0 sehingga densitas data inflasi bulanannya hampir simetris. Gambar 2 memberikan perbandingan antara skewness yang terkecil (Singkawang yaitu sebesar -0,36) maupun terkecil kedua (kota Pontianak yaitu sebesar -0,34) dibandingkan dengan skewness terbesar kedua (kota Bogor yaitu sebesar 1,36) dan skewness terbesar (Probolinggo yaitu sebesar 1,46). Terlihat bahwa skewness negatif mempunyai ekor di sebelah kiri sedangkan skewness positif mempunyai ekor di sebelah kanan.

Kurtosis kota Ambon, kota Banda Aceh dan kota Jayapura bernilai positif artinya lebih besar dari distribusi normal sedangkan kota Jakarta dan Indonesia bernilai negatif artinya lebih kecil dari distribusi normal. Gambar 3 memperlihatkan densitas data inflasi bulanan kota yang mempunyai kurtosis terkecil, terkecil kedua, kota Banda Aceh, kota Jayapura, kota terbesar kedua dan kota terbesar. Kurtosis yang kecil cenderung terkait dengan jangkauan yang kecil dan kurtosis besar cenderung terkait dengan jangkauan yang besar, hal itu diperkuat dengan kenyataan bahwa koefisien korelasi diantara keduanya signifikan yaitu sebesar 0,3.

Karakteristik inflasi bulanan untuk kota-kota tersebut dibandingkan dengan data inflasi bulanan nasional (Indonesia) dinyatakan pada Gambar 4. Kota Ambon cenderung mempunyai inflasi bulanan tinggi pada bulan Desember yaitu sebesar 1,5 dibandingkan dengan inflasi bulanan Banda Aceh, Jakarta dan Indonesia pada bulan Desember yaitu sebesar 0,6 bahkan jauh lebih besar dari rata-rata inflasi bulanan Indonesia yaitu 0,37. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh adanya hari raya Natal dan liburan menjelang perayaan Tahun Baru. Inflasi bulanan tinggi tersebut juga masih terjadi pada bulan Januari yaitu sekitar 1,4 persen sedangkan di kota-kota lain seperti Banda Aceh, Jayapura dan Jakarta hanya sekitar 0,5 persen. Inflasi cukup tinggi di kota Ambon juga terjadi pada bulan Agustus, kemungkinan hal itu disebabkan oleh adanya bulan puasa yang pada periode tersebut jatuh sekitar bulan Agustus. Deflasi cukup tinggi yaitu sekitar -0,5 persen terjadi pada bulan Oktober untuk kota Ambon, Banda Aceh dan Jayapura sedangkan untuk kota Jakarta tidak terjadi deflasi.

Singka wa ng, sk=-0,36 Pontiana k, sk = -0,34

0 1 2 3 4 N = 53 Bandw idth = 0.3978

N = 53 Bandw idth = 0.2884

Ambon, sk = -0,02

Ja ka rta , sk = 0,34

0 1 2 3 4 N = 53 Bandw idth = 0.4766

N = 53 Bandw idth = 0.1214

Bogor, sk = 1,36

Probolinggo, sk = 1,46

0 1 2 3 4 N = 53 Bandw idth = 0.167

N = 53 Bandw idth = 0.1973

Gambar 2. Densitas data inflasi bulanan dari kota-kota dengan skewness terkecil (kota Singkawang), terkecil kedua (kota Pontianak), kota Ambon, kota Jakarta, skewness terbesar kedua (kota Bogor) dan terbesar (kota Probolinggo).

Tasik Malaya, kurt=-0,93 Bima, kurt = -0,90

0 1 2 3 4 N = 53 Bandw idth = 0.1742

N = 53 Bandw idth = 0.2547

Ba nda Aceh, kurt = 0,53 Ja ya pura, kurt = 1,01

0 1 2 3 4 N = 53 Bandw idth = 0.2547

N = 53 Bandw idth = 0.2547

Goronta lo, kurt = 3,60 Probolinggo, kurt = 4,87

0 1 2 3 4 N = 53 Bandw idth = 0.2763

N = 53 Bandw idth = 0.1973

Gambar 3. Densitas data inflasi bulanan dari kota-kota dengan kurtosis terkecil, terkecil kedua, kota Ambon, kota Jakarta, kurtosis terbesar kedua dan terbesar.

JAKARTA 1.00

AM BON 0.50

BANDAACEH 0.00

JAYAPURA INDONESIA

-0.50 -1.00

Gambar 4. Karakteristik rata-rata inflasi bulanan untuk tiap bulan untuk kota Jakarta, kota Ambon, kota Banda Aceh, kota Jayapura dibandingkan dengan Indonesia.

Tabel 3. Tabel koefisien korelasi Pearson antara kota-kota : Jakarta, Banda Aceh, Ambon dan Jayapura, dan juga dibandingkan dengan nasional/Indonesia.

JAYAPURA INDONESIA JAKARTA

JAKARTA

AM BON

BANDA ACEH

Tabel 3 memperlihatkan koefisien korelasi antara kota-kota Jakarta, Banda Aceh, Ambon dan Jayapura, dan juga dibandingkan dengan Indonesia. Terlihat bahwa kota Ambon tidak berkorelasi dengan kota Jakarta, Banda Aceh dan Jayapura, bahkan apabila diteliti lebih lanjut kota Ambon juga tidak berkorelasi dengan 47 kota-kota lain di Indonesia. Hal itu berarti inflasi bulanan di kota Ambon, cenderung tidak bergantung (independent) dengan kota-kota yang tidak berkorelasi tersebut. Kota lain yang mempunyai sifat yang hampir sama adalah kota Sorong yaitu tidak bergantung dengan 43 kota lain di Indonesia. Hal itu berarti bahwa kota Ambon maupun kota Sorong cenderung mempunyai karakteristik inflasi bulanan yang berbeda dengan sebagian besar kota di Indonesia.

Apabila digunakan uji normalitas Lilliefors untuk kota Jakarta, kota Banda Aceh, kota Ambon dan kota Jayapura maka berturut-turut mempunyai nilai-p 0,25, 0,45, 0,34 dan 0,27 sehingga tidak ada alasan untuk menolak asumsi normalitas data inflasi bulanan untuk kota-kota tersebut dalam periode penelitian. Demikian juga dengan menggunakan uji Anderson-Darling berturut-turut diperoleh nilai-p berikut : 0,39, 0,34, 0,19, 0,30 ; dan untuk uji Cramer-von Mises diperoleh nilai-p berikut : 0,35, 0,46, 0,22, 0,24. Hal itu berarti dengan ketiga uji, tidak ada alasan untuk menolak asumsi normalitasnya.

Karena asumsi normalitas data inflasi tidak ditolak maka dapat dilakukan uji variansi satu arah (one way anova) untuk data tersebut dan diperoleh nilai-p sebesar 0,488 sehingga tidak ada alasan untuk menolak hipotesis yang menyatakan bahwa rata-rata inflasi bulanan untuk keempat kota tersebut sama. Demikian juga kita dapat menambahkan kota Tarakan (kota yang mempunyai rata-rata inflasi bulanan tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 0,59 % yang telah diuji berdistribusi normal) dalam daftar kota-kota yang akan dilakukan analisis variansi satu arah dan diperoleh nilai-p sebesar 0,271. Akibatnya rata-rata inflasi bulanan untuk kelima kota tersebut cenderung sama. Selanjutnya untuk kota-kota yang memenuhi asumsi distribusi normal (dengan uji normalitas Lilliefors, misalnya) yaitu sebanyak 58 kota, dapat dilakukan analisis variansi satu arah dan akan diperoleh hasil yang sama. Di samping itu dapat ditarik kesimpulan bahwa inflasi bulanan sebagian besar kota-kota di Indonesia yang digunakan untuk perhitungan inflasi bulanan cenderung mempunyai distribusi normal. Hal itu berarti bahwa pergerakan inflasi bulanan cenderung dalam keadaan normal yaitu yang biasa ditemui dalam alam.

Kota-kota lain di seluruh Indonesia yang tidak berdistribusi normal berdasarkan ketiga uji normalitas di atas dengan tingkat signifikansi α = 0,05 adalah kota Yogyakarta, kota Probolinggo, kota Sukabumi, kota Cirebon, Sibolga, kota Balikpapan dan kota Samarinda. Jika digunakan tingkat signifikansi α = 0,01 berdasarkan ketiga uji normalitas di atas hanyalah kota Balikpapan yang tidak berdistribusi normal.

Karena untuk 58 kota yang memenuhi asumsi distribusi normal mempunyai rata-rata inflasi bulanan yang sama maka perlu dilakukan analisis variansi satu arah untuk masing-masing kota untuk menguji hipotesis yang menyatakan bahwa rata-rata inflasi bulanan untuk tiap bulan (Januari, Februari sampai dengan Desember) sama atau tidak. Pada kota Jakarta, nilai-p untuk analisis variansi ini adalah 0,001 sehingga ada rata-rata inflasi bulanan suatu bulan yang berbeda dengan bulan yang lain. Diantaranya rata-rata inflasi bulanan untuk bulan Agustus berbeda dengan rata-rata inflasi bulanan untuk bulan Februari, Maret, April, Mei dan Oktober. Pada sisi Karena untuk 58 kota yang memenuhi asumsi distribusi normal mempunyai rata-rata inflasi bulanan yang sama maka perlu dilakukan analisis variansi satu arah untuk masing-masing kota untuk menguji hipotesis yang menyatakan bahwa rata-rata inflasi bulanan untuk tiap bulan (Januari, Februari sampai dengan Desember) sama atau tidak. Pada kota Jakarta, nilai-p untuk analisis variansi ini adalah 0,001 sehingga ada rata-rata inflasi bulanan suatu bulan yang berbeda dengan bulan yang lain. Diantaranya rata-rata inflasi bulanan untuk bulan Agustus berbeda dengan rata-rata inflasi bulanan untuk bulan Februari, Maret, April, Mei dan Oktober. Pada sisi

Kota yang paling banyak mengalami deflasi (inflasi negatif) untuk periode di atas adalah Banda Aceh yaitu sebanyak 23 bulan dari 53 bulan yang diamati sedangkan kota yang paling sedikit mengalami deflasi adalah kota Jakarta yaitu 5 bulan. Banyaknya bulan deflasi itu kemungkinan disebabkan oleh fluktuasi harga-harga komoditas yang digunakan dalam perhitungan inflasi.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam makalah ini telah dipresentasikan karaketeristik kota-kota di Indonesia berdasarkan data inflasi bulanan periode Januari 2013 sampai dengan Mei 2013. Penelitian ini dapat juga diperluas untuk periode waktu yang lebih panjang berdasarkan data yang disediakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

F. DAFTAR PUSTAKA

Agustius, Yudi; Adi Setiawan; Bambang Susanto, 2013, Penerapan Metode Bootstrap Pada Uji Komparatif Non Parametrik 2 Sampel , Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA FMIPA UNY Yogyakarta 18 Mei 2013.

de Gunst & van der Vaart, 1993, Statistiche Data Analyse, Vrije Universiteit Amsterdam.

Harinaldi, 2005, Prinsip-prinsip Statistik untuk Teknik dan Sains, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Setiawan, Adi, 2012a, Penentuan Distribusi Skewness dan Kurtosis dengan Metode Resampling berdasar Densitas Kernel (Studi Kasus Pada Analisis Inflasi Bulanan Komoditas bawang Merah, Daging Ayam ras dan Minyak Goreng di Kota Semarang), Prosiding Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains, Vol 3 No 1.

Setiawan, Adi, 2012b Perbandingan Koefisien Variasi antara 2 Sampel dengan Metode Bootstrap (Studi Kasus pada Analisis Inflasi Bulanan Komoditas Beras, Cabe Merah dan Bawang Putih di Kota Semarang) Jornal “De Cartesian” Universitas Sam Ratulangi Manado Volume 1 No 1.

Setiawan, Adi, 2013, Statistika di Era Super Data Set, Prosiding Seminar Nasional Matematika, Sains dan Teknologi Informasi Universitas Sam Ratulangi 14 Juni 2013.

S-2

INFERENSI PARAMETER SIMPANGAN BAKU POPULASI NORMAL DENGAN METODE BAYESIAN OBYEKTIF

Adi Setiawan

Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711 E-mail : adi_setia_03@yahoo.com

Abstrak

Inferensi statistik terdiri dari estimasi (estimasi titik dan estimasi interval) dan pengujian hipotesis. Dalam makalah ini dijelaskan bagaimana melakukan inferensi parameter simpangan baku populasi normal dengan metode bayesian obyektif. Dalam metode ini, digunakan prior Jefry sebagai prior referensi dan berdasarkan data diperoleh posterior, selanjutnya dipilih titik yang dapat digunakan sebagai estimasi titik dan interval sebagai estimasi interval dengan sifat tertentu. Hipotesis nol akan ditolak jika statistik intrinsiknya cenderung bernilai besar, secara praktis biasanya digunakan batas 5. Studi simulasi digunakan untuk menjelaskan sifat-sifatnya.

Kata kunci : estimasi titik, estimasi interval, uji hipotesis, metode bayesian obyektif

A. PENDAHULUAN

Estimasi titik dengan menggunakan metode bayesian obyektif berserta studi simulasinya telah dibahas dalam makalah Setiawan (2009a, 2009b). Demikian juga, estimasi interval dengan menggunakan metode bayesian obyektif untuk beberapa distribusi yang penting yaitu distribusi Poisson dan Eksponensial telah dijelaskan dalam makalah Setiawan (2009c, 2010a). Selanjutnya pengujian hipotesis tentang parameter populasi berdistribusi eksponensial dengan menggunakan metode bayesian obyektif telah dibahas dalam makalah Setiawan (2010b, 2011a). Di samping itu, inferensi dengan menggunakan metode bayesian obyektif tentang parameter mean populasi normal telah dijelaskan dalam makalah Setiawan (2011b) dan untuk parameter populasi seragam dibahas dalam Setiawan (2011c). Dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang inferensi parameter simpangan baku populasi dengan metode bayesian obyektif dalam kasus mean populasi diketahui.

B. DASAR TEORI

Estimasi Titik

Dalam pandangan Bayesian, hasil dari sembarang masalah inferensi yang dinyatakan dalam distribusi posterior merupakan gabungan dari informasi yang disediakan oleh data dan informasi prior relevan yang tersedia. Akan tetapi apabila tidak tersedia informasi prior, akan dipilih fungsi prior yang relatif uninformative artinya fungsi prior yang memberikan pengaruh minimum pada inferensi fungsi posterior. Secara lebih formal, misalkan bahwa mekanisme probabilitas yang membangkitkan data yang tersedia x dianggap sebagai p(x|) untuk suatu    dan kuantitas yang menjadi perhatian adalah fungsi yang bernilai real () dari . Tanpa menghilangkan keumuman, hal itu juga dapat dijelaskan berikut ini. Misalkan model probabilitas yang digunakan berbentuk { p ( x |  ,  ) } dengan  adalah parameter nuisance yang dipilih.

Dalam hal ini diperlukan untuk mengidentifikasi fungsi prior bersama (,) yang akan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Reference prior digunakan sebagai prior yang dapat memberikan pengaruh minimal pada distribusi posterior. Dalam kasus dimensi satu, reference prior merupakan prior Jeffry. Dengan menggunakan prior ini maka penyelesaian masalah estimasi hanya tergantung pada model anggapan dan data pengamatan sehingga estimasi titik yang menggunakan metode ini dinamakan sebagai estimasi titik Bayesian obyektif (Bernardo dan Juarez, 2003).

Diskrepansi intrinsik (intrínsic discrepancy) (p 1 ,p 2 ) antara dua fungsi densitas p 1 (x)

dengan x  X 1 dan p 2 (x) dengan x  X 2 didefinisikan sebagai

 ( p 1 , p 2 )  min  K ( p 2 ( x ) | p 1 ( x ) ) , K ( p 1 ( x ) | p 2 ( x ) ) 

dengan

K ( p 1 ( x ) | p 2 ( x ))   p 1 ( x ) log

dx .

Untuk dua keluarga fungsi densitas

dan

dapat didefinisikan diskrepansi intrinsik

 * ( M 1 , M 2 )  inf   p 1 ( x |  ) , p 2 ( x |  )  .

Fungsi kerugian (loss function) dalam kasus ini adalah diskrepansi intrinsik. Misalkan bahwa deskripsi yang sesuai dari tingkah laku probabilistik dari kuantitas random x diberikan oleh model

{ p ( x |  ,  ), x   ,    ,    } .

Diskrepansi intrinsik antara p ( x |  ,  ) dan keluarga densitas

{ p ( x |  0 ,  ),    }

adalah

 * (  ,  ;  0 )  inf    (  ,  ;  , 

dengan

 (  ,  ;  0 ,  0 )  min  K (  0 ,  0 |  ,  ) , K (  ,  |  0 ,  0 )  .

Misalkan { p ( x |  ,  ), x   ,    ,    } adalah model parametrik yang dapat digunakan untuk menggambarkan tingkah laku kuantitas random x. Didefinisikan intrinsik

statistik (intrinsic statistic) sebagai

   * ( , ; 0 )  * ( , | x ) d d (1)

dengan   * (  ,  | x ) adalah posterior referensi untuk parameter dari model p ( x |  ,  ) bila  * (  ,  ;  0 ) adalah parameter yang menjadi perhatian.

Estimator intrinsik (intrinsic estimator) atau estimasi titik Bayesian obyektif didefinisikan sebagai yaitu parameter  yang meminimalkan statistik intrinsik

*   * ( x )  arg min d (

Estimasi interval kredibel

Interval kredibel intrinsik 100q% (q-credible region intrinsic) adalah himpunan bagian R* q = R* q ( x, )   dari ruang parameter  sehingga memenuhi (i)

(ii) Untuk setiap  i R* q , j  R* q dan untuk setiap berlaku d( i | x)  d( j | x). dengan d( i | x) adalah harapan fungsi kerugian reference posterior sebagai proxy untuk nilai dari parameter yang diberikan pada persamaan (1).

Terlihat bahwa pernyataan pada persamaan (1) mempunyai bentuk yang sulit sehingga perhitungannya tidaklah mudah namun dengan menggunakan integrasi numerik, hal itu dengan mudah dapat dilakukan.

Pengujian Hipotesis

Apabila diinginkan untuk melakukan pengujian hipotesis H 0 { = 0 } maka statistik intrinsik pada persamaan (1) merupakan ukuran dari kekuatan bukti melawan penggunaan model M 0 dengan

Hal itu berarti H 0 akan ditolak jika dan hanya jika d( 0 | x ) untuk suatu batas d*. Bernardo dan Rueda (2002) mengusulkan untuk menggunakan aturan sebagai berikut : jika

d *  1 maka tidak ada bukti untuk menolak H 0 , jika d*  2,5 maka terdapat bukti lemah (mild) untuk menolak dan jika d* > 5 maka terdapat bukti kuat (strong) untuk menolak H 0 .

Inferensi Parameter Simpangan Baku Populasi Normal Jika  Diketahui

1 ,x 2 , …, x n } adalah sampel random dari distribusi normal N( x | ,  ) dengan mean  diketahui. Misalkan 2 s x adalah variansi sampel yang bersesuaian sehingga

Misalkan x = { x 2

Deskrepansi intrinsik yang diinginkan adalah

Misalkan y = (x -  )/ 2 dan dengan menggunakan kenyataan bahwa deskrepansi intrinsik invarian di bawah transformasi satu-satu dari data, maka dapat ditulis sebagai

Diskrepansi tersebut mempunyai bentuk sederhana dalam bentuk  = ( 2 ) = ln(/ 2 ) khususnya

1 ) , N ( x |  ,  2 }   (  )  2 |  |  2 exp(  2 |  | )  1 . yaitu fungsi simetris di sekitar 0 yang dinyatakan pada Gambar 1. Lebih jauh,  merupakan fungsi dari  yang invertible sehingga juga merupakan fungsi dari  yang invertible. Reference prior untuk  sama dengan reference prior untuk sehingga prior Jeffrey yang bersesuaian

adalah ( ) =  -1 dan dalam bentuk  hal ini ditransformasikan menjadi   ( ) = 1. Akibatnya, reference posterior dengan mudah dapat ditentukan sebagai

(  | x ,  2 )  2 exp(  2  ) Gamma (  ,

2 n s x dengan * n s

y  2 . Intrinsik estimator  (x) adalah nilai yang meminimalkan harapan  2

referensi posterior :  * ( x )  arg min d (  2 | x )  arg min  (  )  (  | x ,  2 ) d 

yang dapat ditentukan dengan metode numerik. Bila digunakan pendekatan diperoleh

dengan

C. PEMBAHASAN Perhitungan Statistik Intrinsik, Studi Simulasi dan Pembahasan

Misalkan diberikan sampel ukuran 10 yaitu x = { -2.23, -1.34, 0.93, 1.26, -0.74, 0.19, -3.59, 4.44, -2.10, 0.13 }, maka deskrepansi intrinsik dinyatakan pada Gambar 1 sebelah kiri, sedangkan tengah adalah posterior referensi untuk  dan sebelah kanan adalah posterior referensi untuk . Apabila dibangkitkan sampel berturut-turut ukuran 20, 50 dan 100 dari distribusi normal

dengan mean 0 dan simpangan baku 2 yaitu N(0,2 2 ) maka akan diperoleh hasil seperti pada Gambar 2. Terlihat bahwa distribusi posterior yang terbentuk makin sempit.

Intrinsi c Descre pancy

Ref. Poste ri or utk the ta

Ref. Poste ri or utk si gm a

6 8 10 Gambar 1. Deskrepansi Intrinsik, posterior referensi untuk  dan posterior referensi untuk .

-2 -1

theta 0 1 2 -2

theta 0 1 2 0 2 4 sigma

Ref.

Ref.

6 Posterior utk theta Posterior utk sigma

Posterior utk theta Posterior utk sigma

Posterior utk theta Ref. Posterior utk sigma Ref.

Gambar 2. Posterior referensi untuk  dan posterior referensi untuk  dengan ukuran sampel berturut-turut 20 (atas), 50 (tengah) dan 100 (bawah).

Statistik Intrinsik

Gambar 3. Nilai statistik intrinsik, estimasi titik dan estimasi interval. Berdasarkan sampel ukuran 10 di atas, diperoleh nilai statistik intrinsik, estimasi titik (yaitu

nilai  yang menyebabkan nilai statistik intrinsik minimum) adalah 2,54 yang ditunjukkan oleh garis tegak di tengah. Dalam hal ini, nilai statistik intrinsik yang minimum adalah 1,05. Estimasi interval kredibel 95 % adalah (1,55 , 4,12) yang ditunjukkan oleh garis tegak di sebelah kiri dan di sebelah kanan. Interval yang terbentuk mempunyai nilai statistik intrinsik lebih kecil dari 1,24. Dalam hal ini, MLE untuk parameter  adalah 2,14.

Apabila dibangkitkan sampel berturut-turut ukuran n = 20, 30, 50 dan 100 dari distribusi N(0,2 2 ), maka akan diperoleh estimasi titik dan estimasi interval untuk simpangan baku populasi

seperti dinyatakan pada Gambar 4. Diperoleh estimasi titik untuk masing-masing adalah 2,51; 2,12; 2,34 dan 1,86 dan interval untuk masing-masing adalah sebagai berikut (1,78 , 3,51), ( 1,62, 2,75), ( 1,90 , 2,87 ) dan ( 1,61 , 2,13 ). Terlihat bahwa, seperti yang diharapkan, makin besar ukuran sampel n makin kecil lebar interval kredibel 95 % yang diperoleh. Apabila dibandingkan dengan estimator MLE untuk  berturut-turut adalah 2,22, 2,02, 2,18 dan 1,89.

Kasus (1) n = 20 Kasus (2) n = 30

Kasus (3) n = 50 Kasus (4) n = 100

Gambar 4. Statistik Intrinsik, estimasi titik dan estimasi interval kredibel 95 % untuk ukuran sampel n = 20, 30, 50 dan 100.

Studi simulasi dilakukan dengan membangkitkan sampel ukuran n = 20 dari distribusi normal N(0,2 2 ) dan kemudian dihitung nilai statistik intrinsik terhadap  =2 dan apabila prosedur

di atas diulang sampai bilangan besar B = 1000 (dipilih B = 1000) maka akan diperoleh histogram di atas diulang sampai bilangan besar B = 1000 (dipilih B = 1000) maka akan diperoleh histogram

normal N(0,2 2 ) dan kemudian dihitung nilai statistik intrinsik terhadap  = 5, 10, 25 dan 50 dan prosedur di atas diulang sampai sebanyak bilangan besar B kali dengan B dipilih 1000. Hasil yang

diperoleh dinyatakan pada Gambar 6. Terlihat bahwa untuk  yang makin jauh dari  = 2, nilai-nilai statistik intrinsik makin besar. Studi simulasi berikutnya adalah membangkitkan sampel ukuran n = 50 dari distribusi normal N(0,2 2 ) dan kemudian dihitung nilai statistik

intrinsik terhadap  = 5, 10, 25 dan 50 dan prosedur di atas diulang sampai sebanyak bilangan besar B kali dengan B dipilih 1000. Hasil yang diperoleh dinyatakan pada Gambar 7. Terlihat bahwa untuk ukuran sampel besar, persebaran nilai-nilai statistik intrinsik makin kecil.

Histogram Stat Intrinsik

s y it e n

Gambar 5. Histogram nilai-nilai statistik intrinsik untuk sampel ukuran n = 20 dan terhadap  =2.

Histogram Stat Intrinsik Histogram Stat Intrinsik

Histogram Stat Intrinsik Histogram Stat Intrinsik

Gambar 6. Histogram nilai-nilai statistik intrinsik untuk sampel ukuran n = 20 dan terhadap  =5,

10, 25 dan 50.

Histogram Stat Intrinsik Histogram Stat Intrinsik

Histogram Stat Intrinsik Histogram Stat Intrinsik

Gambar 7. Histogram nilai-nilai statistik intrinsik untuk sampel ukuran n = 50 dan terhadap  =5,

10, 25 dan 50.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam makalah ini telah dijelaskan bagaimana melakukan inferensi untuk parameter simpangan baku populasi normal dengan mean populasi diketahui dengan metode bayesian obyektif. Penelitian dapat dikembangkan untuk melakukan inferensi untuk parameter variansi populasi normal dengan mean tidak diketahui.

E. DAFTAR PUSTAKA

Bernardo, J. dan R. Rueda, 2002, Bayesian Hypotesis Testing : A Reference Approach, International Statistical Review

70, 351-372.

Juarez, M. A., 2004, Objective Bayesian Methods for Estimation and Hypothesis Testing, Valencia : University of Valencia.

Setiawan, A. , 2009a, Estimasi Titik Bayesian Obyektif, Prosiding Seminar Sains dan Pendidikan Sains

IV FSM UKSW, Salatiga.

Setiawan, A. , 2009b, Studi Simulasi dalam Estimasi Bayesian Obyektif, Prosiding Seminar Nasional Matematika

Setiawan, A. , 2009c, Credible Interval Bayesian Obyektif, Prosiding Seminar Nasional Matematika , Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Setiawan, A. ,2010a, Interval Kredibel Bayesian Obyektif dari Parameter Populasi Berdistribusi Poisson dan Eksponensial, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains V UKSW Salatiga

Setiawan, A. , 2010b, Pengujian Hipotesis dengan Metode Bayesian Obyektif, disampaikan dalam Konferensi Nasional Matematika XV 30 Juni – 3 Juli 2010 , UNIMA, Tondano.

Setiawan, A. , 2011a, Pengujian Hipotesis tentang Parameter Populasi Berdistribusi Eksponensial dengan Metode Bayesian Obyektif, Prosiding Seminar Nasional Statistika Universitas Diponegoro 2011 .

Setiawan, A. , 2011b, Inferensi Parameter Mean Populasi Normal dengan Metode Bayesian Obyektif, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains VI, UKSW Salatiga.

Setiawan, A. , 2011c, Penggunaan Metode Bayesian Obyektif dalam Inferensi Parameter Populasi Seragam, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS Surakarta .

Setiawan, A. , 2013, Pengujian Hipotesis Tentang Parameter Populasi Berdistribusi Poisson Berdasarkan Metode Bayesian Obyektif, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA FMIPA UNY Yogyakarta .

S-3

PEMODELAN SEEMINGLY UNRELATED REGRESSION DENGAN PENDEKATAN BAYESIAN PADA SEKTOR UTAMA DI JAWA TIMUR

1 2 3 Agus Budhi Santosa 4 , Nur iriawan , Seiawan , Mohammad Dokhi

Jurusan Statistika FMIPA-ITS, 4 STIS

1 agus10@mhs.statistika.its.ac.id, 2 nur_i@statistika.its.ac.id,

3 setiawan@statistika.its.ac.id, 4 dokhi@stis.ac.id

Abstrak

Seemingly Unrelated Regression (SUR) adalah model ekonometrika yang banyak digunakan dalam menyelesaikan beberapa persamaan regresi dimana masing-masing persamaan memiliki parameter sendiri dan nampak bahwa tiap persamaan tidak berhubungan (seemingly unrelated). Namun demikian, antar persamaan-persamaan tersebut terjadi kaitan satu sama lainnya yaitu dengan adanya korelasi antar error dalam persamaan yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemodelan SUR melalui pendekatan Bayesian pada sektor utama PDRB di Jawa Timur meliputi sektor sektor Pertanian, sektor Industri Pengolahan, dan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) dengan memperhatikan faktor-faktor ekonomi yang berpengaruh terhadap PDRB yaitu jumlah tenaga kerja, upah tenaga kerja, investasi dalam negeri dan investasi swasta. Metode estimasi yang digunakan dalam pendugaan parameter adalah metode Markov Chain Monte Carlo (MCMC) menggunakan Gibbs sampling.

Kata kunci: SUR, PDRB, MCMC, Gibbs sampling

A. PENDAHULUAN

Fenomena ekonomi merupakan salah satu fenomena yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya memahami fenomena ekonomi tersebut telah banyak dikembangkan teori-teori ekonomi yang mencoba mendefinisikan hubungan antara berbagai variabel ekonomi dalam bentuk matematis. Hubungan kuantitatif antara variabel-variabel ekonomi yang ukuran-ukuran kuantitatifnya diperoleh dari dunia nyata sangat diperlukan sebagai pedoman dalam perumusan kebijakan ekonomi.

Salah satu cara yang sederhana dalam mendefinisikan hubungan antara variabel ekonomi tersebut adalah dengan menggunakan model regresi linier. Dalam regresi linier dipelajari adanya hubungan antara satu atau lebih variabel bebas (independent) dengan satu variabel tak bebas (dependent) yang membentuk suatu model matematis. Model tersebut berupa model persamaan tunggal (single equation models). Model persamaan regresi tunggal yaitu suatu model yang terdiri atas satu persamaan regresi atau beberapa persamaan yang tidak ada keterkaitan antara persamaan yang satu dengan persamaan yang lain. Fenomena ekonomi tidak cukup hanya dengan melibatkan satu persamaan, seringkali terjadi dari beberapa persamaan yang saling terkait yang berupa multiple equation models seperti persamaan seemingly unrelated regression dan persamaan simultan.

Seemingly unrelated regression (SUR) adalah model ekonometrika yang banyak digunakan dalam menyelesaikan beberapa persamaan regresi dimana masing-masing persamaan memiliki parameter sendiri dan nampak bahwa tiap persamaan tidak berhubungan (seemingly

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemodelan SUR melalui pendekatan Bayesian pada sektor utama PDRB di Jawa Timur meliputi sektor sektor Pertanian, sektor Industri Pengolahan, dan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) dengan memperhatikan faktor-faktor ekonomi yang berpengaruh terhadap PDRB (Bappenas 2006) yaitu jumlah tenaga kerja, upah tenaga kerja, investasi dalam negeri dan investasi swasta. Kontribusi yang cukup besar yaitu sekitar 72 persen terhadap total PDRB Jawa Timur, menjadikan ketiga sektor utama tersebut sering digunakan sebagai indikator perkembangan perekonomian di Jawa Timur.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan model SUR yang diperkenalkan Zellner dengan model persamaan sebagai berikut (Greene, 2003) :

+ dengan = 1,2, ⋯ , .

Persamaan (1) dapat ditulis dalam bentuk matriks: =

+ ; ~ (, ⊗ ) , (2) dengan dan adalah suatu vektor berdimensi (

)×1 , dan adalah matriks berukuran (

)×( + 1) , dan adalah suatu vektor berdimensi ( + 1) × 1 dimana K= ∑ . Estimasi parameter model SUR dilakukan dengan menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) (Park, 1967) adalah sebagai berikut :

(3) Sedangkan metode estimasi dalam analisis Bayesian SUR adalah metode Markov Chain

Monte Carlo (MCMC) menggunakan Gibbs sampling dengan conjugate prior distribution Normal Invers Wishart . Distribusi posterior dari parameter θ diperoleh dari proses pembaruan informasi prior dengan menggunakan informasi dari hasil pengamatan. Dengan demikian posterior adalah proporsional terhadap likelihood dikalikan dengan prior dari parameter model (Box dan Tiao, 1973) seperti berikut:

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk periode tahun 1991-2010. Data yang digunakan adalah data PDRB, tenaga kerja dan upah tenaga kerja serta data investasi (PMDN dan PMA) untuk masing-masing sektor utama yaitu sektor Pertanian, sektor Industri Pengolahan dan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR). Model SUR untuk data PDRB Jawa Timur yang diusulkan adalah berdasarkan model pada persamaan (1). Berdasarkan model tersebut variabel yang digunakan dalam penelitian ini, mengacu pada variabel yang digunakan Bappenas (2006), terdiri dari variabel respon (Y) dan variabel prediktor (X) terdiri dari :

: PDRB sektor Pertanian (Juta rupiah) : PDRB sektor Industri (Juta rupiah) : PDRB sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) (Juta rupiah)

, : Jumlah tenaga kerja sektor Pertanian (jiwa) , : Jumlah tenaga kerja sektor Industri (jiwa) . : Jumlah tenaga kerja sektor PHR (jiwa) , : Upah tenaga kerja sektor Pertanian (rupiah) , : Upah tenaga kerja sektor Industri (rupiah) , : Upah tenaga kerja sektor PHR (rupiah) , : Investasi dalam negeri (PMDN) sektor Pertanian (Juta rupiah) , : Investasi dalam negeri (PMDN) sektor Industri (Juta r rupiah) , : Investasi dalam negeri (PMDN) sektor PHR (Juta rupiah) , : Investasi swasta (PMA) sektor Pertanian (Juta rupiah) , : Investasi swasta (PMA) sektor Industri (Juta rupiah)

, : Investasi swasta (PMA) sektor PHR (Juta rupiah)

C. PEMBAHASAN

Pemodelan Seemingly Unrelated Regression (SUR) pada penelitian ini mempunyai tiga persamaan dimana antara variabel responnya mempunyai korelasi yang cukup tinggi sebagaimana yang disyaratkan dalam model SUR. Tabel 1 memperlihatkan besaran angka korelasi yang cukup tinggi diantara ketiga variabel respon, bahkan korelasi antara PDRB sektor pertanian dengan PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran mencapai angka 0,997. Hal ini memperkuat alasan penggunaan SUR dalam pemodelan PDRB sektor utama di Jawa Timur.

Tabel.1

Korelasi diantara PDRB Sektor Utama di Jawa Timur

PDRB Sektor Correlations PDRB Sektor

PDRB Sektor

Perdagangan PDRB Sektor

Pertanian Industri

Sig. (2-tailed)

PDRB Sektor

Sig. (2-tailed)

20 20 20 PDRB Sektor

Pearson

Perdagangan Correlation

Sig. (2-tailed)

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Sumber: Hasil olah data dengan SPSS 20

Gambar 1 menunjukkan perbandingan besarnya standar error dari tiga metode estimasi, yaitu Ordinary Least Squares (OLS), SUR dan Bayes SUR. Berdasarkan gambar 2 tersebut, nampak bahwa metode Bayes SUR memiliki stndar error paling rendah dibandingkan metode

OLS maupun SUR. Hal ini memperlihatkan bahwa hasil estimasi parameter model SUR yang dilakukan dengan pendekatan Bayesian merupakan estimator paling efisien. Dengan demikian model Bayes SUR yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar perencanaan strategis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur.

Gambar 1.

Perbandingan Efisiensi Hasil Estmasi OLS, SUR dan Bayes SUR

Hasil estimasi parameter dari model Bayes SUR dengan bantuan program paket R dapat dilihat pada tabel 2. Semua estimasi parameternya bertanda positif sesuai dengan teori ekonomi bahwa peningkatan jumlah tenaga kerja, upah tenaga kerja , investasi PMDN dan investasi PMA akan menyebabkan kenaikan besarnya PDRB. Namun pengujian parsial terhadap masing-masing variabel menghasilkan tiga variabel tidak signifikan, yaitu investasi PMDN sektor pertanian (x1,3), investasi PMA sektor pertanian (x1,4), investasi PMDN sektor industri (x2,3) dan investasi PMA sektor perdagangan (x3,4).

Berdasarkan hasil estimasi parameter model pada tabel 2 , diperoleh model untuk ketiga sektor utama PDRB di Jawa Timur sebagai berikut: - Untuk PDRB sektor pertanian :

1 = 0,027 + 4,883 , + 13,821 , + 4,754 , + 7,881 , - Untuk PDRB sektor industri pengolahan : 2= − 0,036 + 22,998 , + 16,747 , + 0,057 , + 4,015 , - Untuk PDRB sektor pedagangan, hotel dan restoran : 3= − 0,04 + 14,018 , + 35,138 , + 6,43 , + 8,758 ,

Pada model PDRB sektor pertanian terlihat bahwa variabel upah tenaga kerja merupakan faktor yang mempunyai pengaruh paling besar dengan angka koefisien 13,821. Hal ini berarti kenaikan upah tenaga kerja sebesar 1 rupiah dapat meningkatkan nilai PDRB sektor pertanian sebesar 13,8 juta rupiah. Demikian juga dengan model pada PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran, variabel yang terbesar pengaruhnya adalah upah tenaga kerja yang memiliki angka koefisien 35,138. Sedangkan model PDRB sektor industri pengaruh variabel jumlah tenaga kerja menjadi yang paling besar dengan nilai koefisien 22,998, artinya kenaikan satu orang pekerja bisa meningkatkan nilai PDRB sector industry sebesar hampir 23 juta rupiah. Pengaruh variabel investasi dalam negeri (PMDN) pada model PDRB sektor industri sangat kecil dibandingkan pengaruh variabel investasi swasta (PMA). Kenyataan ini menunjukkan bahwa selama ini pengembangan sektor industri lebih banyak didukung oleh investasi swasta (PMA).

Tabel.2

Hasil Estimasi Bayesian SUR Dengan Conjugate Prior Distribution Normal-Invers Wishart

M eans

Posterior Quantiles

pertanian_(Intercept)

Jml tenaga kerja sektor pertanian_x11

5.03 Upah TK sektor pertanian_x12

13.74 investasi PM A sektor pertanian_x14

investasi PM DN sektor pertanian_x13

industri_(Intercept)

Jml tenaga kerja sektor industri_x21

25.01 Upah TK sektor industri_x22

0.39 investasi PM A industri_x24

investasi PM DN sektor industri_x23

perdagangan_(Intercept)

16.4 Jml tenaga kerja sektor perdagangan_x31

46.25 investasi PM DN sektor perdagangan_x33

Upah TK sektor perdagangan_x32

investasi PM A perdagangan_x34

based on 90000 valid draws (burn-in=10000)

Sumber: Hasil olah data dengan R 2.9.0

D. KESIMPULAN Penggunaan metode SUR pada pemodelan PDRB sektor utama didukung oleh tingginya Angka korelasi diantara ketiga variabel respon (PDRB sector pertanian, PDRB sektor industri dan PDRB sektor perdagangan) yang mencapai rata-rata 0,93. Pemodelan Bayesian SUR merupakan model yang menghasilkan estimasi parameter paling efisien dibandingkan dengan metode OLS maupun SUR. Pada model PDRB sektor pertanian dan PDRB sektor perdagangan, variabel upah tenaga kerja merupakan faktor yang berpengaruh paling besar. Sedangkan variabel jumlah tenaga kerja menjadi variabel yang terbesar pengaruhnya pada model PDRB sektor industri.

E. DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. (2006). Laporan Hasil Kajian Tahun 2006 : Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor. Bappenas : Jakarta

Box, G. dan Tiao, G. (1973). Bayesian Inference in Statistical Analysis. Addison-Wesley: Reading MA BPS. (1990-2010). Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Timur. BPS Provinsi Jawa Timur.

BPS. (1990-2010). Survei Angkatan Kerja Nasional Provinsi Jawa Timur. BPS Provinsi Jawa Timur.

BPS. (1990-2010). Provinsi Jawa Timur dalam Angka. BPS Provinsi Jawa imur.

Casella, G., dan George, E.I. (1992), “Explaining the Gibbs Sampler”, The American Statistician, Vol. 46, No. 3, hal. 167-174

Carlin, B., dan Chib, S. (1995). Bayesian model choice via Markov Chain Monte Carlo methods. Journal of the Royal Statistical Society, Ser. B, 57(3) , 473-484

Dufour J. dan L. Khalaf (2002): Exact tests for contemporaneous correlation of disturbances in seemingly unrelated regressions. Journal of Econometrics 106, 143–170

Dwivedi, T.D. dan Srivastava, V.K. (1978). Optimality of least squares in the seemingly unrelated regression equation model. Journal of Econometrics 7: 391-395.

Gelman, A., Carlin, J.B., Stern H.S., dan Rubin, D.B. (2004), Bayesian Data Analysis, Second Edition, Chapman & Hall/CRC.

Greene A., (2003),” Ekonometric Analisis, Fifth Edition New York University.

Gujarati D. N, (2004),” Basic Econametrics, Fuorth Edition. Mc Graw-Hill, New York.

Guilkey, D.K. dan Schmidt, P. (1973). Estimation of seemingly unrelated regressions with vector autoregressive errors. Journal of the American Statistical Association 68 (343): 642-647. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2284793

Kakwani, N.C. (1967). The unbiasedness of Zellner’s seemingly unrelated regression equations estimators. Journal of the American Statistical Association 62 (317): 141-142. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2282917

Kowalski, J.R., Mendoza-Blanco, X., Tu, M. dan Gleser, L.J., (1999). On the difference in inference and prediction between the joint and independent t-error models for seemingly unrelated regressions. Communications in Statistics, Part A_Theory and Methods 28, 2119_2140.

Ng, V. M. (2002). Robust Bayesian inference for seemingly unrelated regressions with elliptical errors. Journal of Multivariate Analysis, 83, 409–414.

Park. (1967). Efficient Estimation of System of Regression Equations When Disturbances Are

Both Serially and Contemporaneously Correlated. Journal of the Amerian Statistical Association 62. 500-509.

P.A.V.B. Swamy dan J.S. Mehta, (1975) On Bayesian estimation of seemingly unrelated regressions when some observations are missing, J. Econometrics 3 157–169.

Singh, B. dan Ullah, A. (1974). Estimation of seemingly unrelated regressions with random

coefficients. Journal of the American Statistical Association 69 (345): 191-195, Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2285522.

Zellner (1962): An Efficient Method of Estimating Seemingly Unrelated Regression Equations and Tests for Aggregation Bias. Journal of the American Statistical Association.Vol. 57. 348-368. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2281644.

Zellner, A. (1963). Estimators for seemingly unrelated regression equations: some exact finite sample results. Journal of the American Statistical Association 58(304): 977-992.Zellner,

A. 1971. An introduction to Bayesian inference in econometrics. New York: Wiley. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2283326 .

Zellner, A. (1989). Bayesian Inference in Econometric Models Using Monte Carlo Integration. Journal of Econometrics Vol 57 (No. 6), 1317 – 1339.

S-4

IDENTIFIKASI DATA RATA-RATA CURAH HUJAN PER-JAM DI BEBERAPA LOKASI

1 2 Astutik, S. 3 , Solimun , Widandi3

Program Studi Statistika, Jurusan Matematika FMIPA, Universitas Brawijaya, Malang, 3

Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang

1 2 suci_sp@ub.ac.id, solimun@ub.ac.id 3 , widandi@ub.ac.id

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi data curah hujan per-jam berdasarkan informasi lokasi. Identifikasi untuk mengetahui apakah data curah hujan telah memenuhi asumsi isotropik, homogen dan stasioner. Apabila satu atau lebih asumsi ini tidak terpenuhi maka hasil analisis yang diterapkan kurang tepat. Pemeriksaan asumsi dilakukan melalui pendekatan korelasi jarak antar lokasi (semivariogram). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi curah hujan yang signifikan antar lokasi (Nilai P < 0.000).

Kata kunci: data lokasi, isotropik, homogen, stasioner, semivariogram

A. PENDAHULUAN

Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Curah hujan merupakan input utama dalam proses hidrologi suatu kawasan. Karena besar curah hujan inilah yang dialihragamkan (transformation) menjadi aliran air sungai (stream flow), baik melalui aliran permukaan (surface run off), aliran antara (interflow, subsurface flow) maupun sebagai aliran air tanah (ground water flow). Curah hujan yang melibatkan informasi spasial disebut sebagai data spasial. Curah hujan periode per-jam bermanfaat pada pemodelan simulasi hidrologi untuk prediksi banjir di suatu daerah tertentu.

Identifikasi data spasial diperlukan untuk mengetahui karakteristik data [5] sebelum dilakukan suatu analisis spasial tertentu. Hal ini untuk mengetahui bagaimana korelasi spasial yang ada dalam data spasial. Semivariogram merupakan salah satu fungsi yang nyata untuk menunjukkan korelasi spasial yang diukur di lokasi sampel. Semivariogram dipresentasikan sebagai sebuah grafik yang menunjukkan varians dalam mengukur jarak antara semua pasangan lokasi sampel. Sebagaiman grafik, itu meenolong untuk membangun model matematika yang menggambarkan hubungan keragaman ukuran dengan lokasi. Pemodelan hubungan antar lokasi sampel untuk menunjukkan keragaman ukuran dengan jarak pemisah yang disebut sebagai semivariogram. Semivariogram diterapkan untuk aplikasi yang melibatkan nilai ukuran di suatu lokasi baru. Pemodelan Semivariogram direferesi juga sebagai pemodelan variogram.

Dalam pemodelan variogram, data spasial diasumsikan sebagai proses acak (proses stokastik)

dengan D adalah himpunan bagian dalam R d dengan d bilangan positif. Kovarian nilai antara dua titik sembarang s i dan s j ditentukan sebagai

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

C ( s i , s j )  E (( Z ( s i )   ( s i ))( Z ( s j )   ( s j ))) (1)

dengan nilai korelasi

 ( s i , s j )   (2)

sedangkan C(s 2

,s i )= σ (s i ) , i, j = 1, 2, 3, …, n dengan

C (s i ,s j ) : Kovarian nilai antara dua titik ρ(s i ,s j )

: Korelasi nilai antara dua titik Z (s i )

: Nilai pengukuran pada titik ke-i μ(s i )

: Nilai harapan pengukuran pada titik ke-i (E(Z(s i ))

2 σ (s

i ) : Ragam nilai pengukuran pada titik ke-i

i )= μ dan σ (s i )= σ . Dengan kata lain nilai tengah dan varian tidak bergantung pada lokasi dan konstan di semua titik. Sebagai akibatnya

2 Suatu proses dikatakan stasioner jika 2 μ(s

C (s i ,s j ) = C(s i -s j ) = C(h) ρ(s i ,s j )= ρ(s i -s j )= ρ(h)

di mana h adalah vektor jarak antara titik i dan j. C(h) disebut sebagai fungsi kovarian atau kovariogram. Sedangkan ρ(h) disebut sebagai fungsi korelasi atau korelogram. Keragaman nilai antara dua lokasi dengan jarak tertentu ditentukan sebagai

Var (Z(s + h) - Z(s)) = 2 γ(h)

fungsi 2 γ(h) disebut sebagai variogram, sedangkan fungsi γ(h) disebut sebagai semivariogram. Berdasarkan kestasioneran, dapat dibentuk hubungan antara kovariogram, korelogram dan semivariogram sebagai berikut :

C ( h  ) ( h )  2 (3) 

 2 ( h )    C ( h ) (4) (Bailey and Gatrel, 1995)

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengidentifikasi korelasi spasial data curah hujan periode per-jam di beberapa lokasi di wilayah DAS Sampean Baru melalui pendekatan semivariogram. Ada tiga semivariogram baku yang digunakan untuk mendekati data rata-rata curah hujan, yaitu semivariogram exponential, Gaussian dan Spherical.

B. METODE PENELITIAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rata-rata curah hujan per-jam di DAS Sampean Baru pada Bulan Januari tahun 2006 dan 2007. Data disajikan dalam Tabel 1. Analisis data dilakukan dengan software R.

Tabel 1. Data Rata-rata Curah Hujan Per-jam di DAS Sampean Baru

Lokasi Koordinat X Koordinat Y Rata-rata curah hujan (mm)

Langkah-langkah penelitian:

1. Mendeskripsikan data penelitian

2. Membentuk semivariogram empiris berdasarkan persamaan (5).

[ Z ( s i )  Z ( s j )]

dengan Z (s i ), Z(s j ) : Nilai pengukuran pada titik ke-i dan ke-j N (h)

: Himpunan pasangan data pada s i dan s j yang mempunyai selisih jarak yang sama, h T(h), sedangkan T(h) merupakan daerah toleransi di sekitar h

|N(h)| : Banyak pasangan jarak di dalam himpunan N(h)

3. Membentuk model semivariogram baku yaitu spherical, exponential dan Gaussian. Model spherical didefinisikan dalam bentuk persamaan (6) sebagai berikut :

  ( 3  2 r 2 r 

untuk h < r

selainnya

Bentuk semivariogram spherical diperlihatkan pada Gambar 1 dengan r = 1,0 dan 2 σ = 4,0.

γ(h)

Gambar 1. Model spherical dengan r = 1,0 dan 2 σ = 4,0

Model exponential didefinisikan dalam bentuk persamaan (7) sebagai berikut

2   h ( h )     e

Bentuk semivariogram exponential diperlihatkan pada Gambar 2 dengan r = 1,0 dan 2 σ = 4,0

γ(h)

Gambar 2. Model exponential dengan r = 1,0 dan 2 σ = 4,0

Model Gaussian didefinisikan dalam bentuk persamaan (8) sebagai berikut

 ( h )    1  e r  (8)

Bentuk semivariogram Gaussian diperlihatkan pada Gambar 3 dengan r = 1,0 dan 2 σ = 4,0.

γ(h)

h Gambar 3. Model Gaussian dengan r = 1,0 dan 2 σ = 4,0

Isotropik dan Anisotropik

Pada perhitungan semivariogram empirik, jika nilai varian hanya bergantung pada panjang dari vektor jarak h maka dikatakan semivariogram tersebut merupakan semivariogram isotropik. Sedangkan apabila dalam perhitungan juga diperhitungkan arah dari Pada perhitungan semivariogram empirik, jika nilai varian hanya bergantung pada panjang dari vektor jarak h maka dikatakan semivariogram tersebut merupakan semivariogram isotropik. Sedangkan apabila dalam perhitungan juga diperhitungkan arah dari

4. Memilih semivariogram yang paling sesuai dengan data berdasarkan nilai AIC dan BIC.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil semivariogram baku untuk data curah hujan di DAS Sampean Bondowoso disajikan dalam Gambar 4.

Distance (a) Semivariogram Eksponensial

(b) Semivariogram Gaussian

Semivariogram Spherical

Gambar 4. Semivariogram (a) Eksponensial, (b) Gaussian, dan (c) Spherica

Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa semivariogram exponential mendekati plot titik data. Hasil perbandingan ukuran keakuratan antara ketiga semivariogram disajikan di Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa semivariogram exponential memiliki nilai AIC dan BIC terkecil dibandingkan semivariogram Gaussian dan Spherical (Tabel 1). Hasil ini juga juga didukung oleh korelasi spasial dengan Moran’s I (nilai P < 0.000). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa data curah hujan per-jam di DAS Sampean Bondowoso dapat didekati semivariogram exponential.

Tabel 1. Pembandingan Ukuran Keakuratan Semivariogram

Perbandingan model Variogram Goodness of fit

Spherical AIC

Eksponensial Gaussian

38,22648 38,22648 BIC

D. SIMPULAN DAN SARAN

Identifikasi data curah hujan yang bergantung lokasi dapat dilakukan dengan melihat korelasi spasial antara lokasi. Semivariogram merupakan salah satu cara untuk menjelaskan korelasi spasial antara lokasi. Hasil identifikasi data rata-rata curah hujan per-jam di DAS Sampean menunjukkan bahwa model semivariogram exponential yang paling sesuai untuk menggambarkan korelasi spasial antara lokasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai AIC dan BIC yang terkecil dibandingkan model semivariogram Gaussian dan Spherical.

Penelitian ini dapat dikembangkan untuk pemeriksaan asumsi kestasioneran, homogenitas, isotropik dan anisotropik data spasial. Di samping itu, penelitian ini hanya melibatkan informasi lokasi tanpa memperhatikan faktor waktu. Pada penelitian selanjutnya dapat diterapkan semivariogram yang melibatkan faktor lokasi dan waktu.

E. DAFTAR PUSTAKA

Bailey, T. and A. Gatrel. 1995. Interactive Spatial Data Analysis. Pearson Education Limited. Essex.

Budrikaite, L. and K. Ducinskas. 2005. Modeling of Geometric Anisotropic Spatial Variance. www.techmat.vtu.lt/~art/k_abs_files_k_abs_f_file_ bw.php?key=598. Tanggal akses 8 Maret 2006.

Tatalovich, Z. 2005. A Comparison of Thiessen Polygon, Kriging and Spline Models of UV Exposure . www.ucgis.org/summer2005/studentpapers/ tatalovich.pdf. Tanggal akses 17 Maret 2006.

S-5

PENGUJIAN INTERCEP UNTUK TESTS TERKAIT NON- SAMPLE PRIOR INFORMATION PADA HIPOTESIS SATU ARAH PADA REGRESI LINIER SEDERHANA KETIKA VARIANSI DIKETAHUI

1 Budi Pratikno 2 , Yuliatri Wirawidya Haryono

Jurusan MIPA Matematika Unsoed Purwokerto bpratikto@gmail.com

Abstract

Th is research discussed testing the intercept with non-sample prior information (NSPI) on the slope on a simple linear regression for known variance. The hypothesis used is one-side hypothesis (maximum), and the tests are unrestricted test (UT), restricted test (RT), and preliminary-test test (PTT). The method for chosing the best choice of the tests is a maximum power and minimum size. A simulation study and graphical analysis are given to make comparison of the tests. The result shown that the NSPI reduce the value of power, it means that the NSPI is not significant influence. However, PTT still lies between UT and RT for

several intervals of  1 , so it will be a better choice than UT and RT.

Keywords: Linear model, power, and size.

A. PENDAHULUAN

Yunus dan Khan (2011) dan Pratikno (2012) menyatakan bahwa kualitas pengujian hipotesis pada kesimpulan populasi dapat ditingkatkan menggunakan non-sample prior information (NSPI). NSPI adalah informasi parameter populasi yang tidak terkait sampel, dan diperoleh dari studi sebelumnya atau pengetahuan para ahli. Bancroft (1944, 1964) adalah peneliti pertama yang menggunakan NSPI untuk estimasi parameter. Kemudian dilanjutkan oleh Bancroft dan Han (1968) dan Saleh (2006), dan lain-lain. Selanjutnya, Tamura (1965), Saleh dan Sen (1978, 1982), dan Yunus dan Khan (2011), menggunakan NSPI untuk testing hipotesis pada kasus non parametrik. Setelah itu Pratikno (2012) menggunakan NSPI untuk testing hipotesis pada kasus parametrik. Penelitian ini adalah pengembangan penelitian dari Pratikno (2012) yang diterapkan pada hipotesis one-side hypothesis (maximum) pada regresi linear sederhana untuk variansi diketahui (known variance). Tests yang terkait dengan NSPI dan akan digunakan adalah unrestricted test (UT), restricted test (RT), dan pre-test test (PTT).

Model yang digunakan untuk testing intercept dari tests tersebut adalah pada model regresi linier sederhana for known variance, Y   0   1 X  , dimana Y adalah response, e  0

adalah parameter intercept,  adalah parameter slope, X adalah predictor, dan 1 e adalah error

term yang berdistribusi normal. Estimator untuk  0 dan  adalah

1  ˆ 0  Y  ˆ 1 X dan

Y  X 

 i  1    i  1   , dengan Y   Y i dan X   X i adalah rata-rata dari Y i dan X i .

YX

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Berkaitan dengan model regresi untuk known variance, maka distribusi UT, RT dan PTT untuk testing one-side hypothesis (maksimum) adalah distribusi normal dan bivariate normal distribution..

Power (kuasa) uji adalah peluang menolak hipotesis nol ( H 0 ) ketika nilai parameter yang sebenarnya terletak pada alternative hypotesis (H 1 ), sedangkan size (ukuran) uji adalah nilai

power ketika nilai parameter yang sebenarnya terletak pada H 0 . Kriteria yang digunakan adalah tests yang memiliki nilai power maksimum dan size minimum dipilih sebagai uji terbaik.

Software R digunakan untuk menggambarkan grafik UT, RT dan PTT yang selanjutnya digunakan sebagai graphically analisis.

Pada bagian 2, dipresentasikan proposed tests dan modifikasinya. Power dan size dipaparkan pada bagian 3. Bagian 4 mempresentasikan simulasi studi dan plot UT, RT, dan PTT. Kesimpulan dan saran diberikan di bagian 5.

B. PROPOSED TESTS

1. UT

Mengacu pada Pratikno (2012), test terkait NSPI yang tidak terdapat dalam slope (  1 ),

pada H 0 :  0 0 versus H 1 :  0  0 , adalah

(akar mean square error (MSE)) merupakan estimator dari  i  1

dengan n 1 2

variansi eror model regresi linear sederhana. Pada kasus demikian ini, slope diestimasi dari data sampel. Test statistic (statistik uji) Persamaan (2.1) mengikuti distribusi Student-t dengan

derajat bebas (n-2). Pada Persamaan (2.1)

dihitung dari data sampel.

2 1/ 2  X 

S XX 

Kemudian, misalkan  K n sebagai rangkaian hipotesis alternatif  H 1 , yaitu

 K n :    0  b 0 ,  1  b 1    1 , 2 n   1/ 2   λ .  n n 

Dalam hal ini, λ    1 , 2     0 n ,   1  b 1  n  . Pada K n , nilai   0  b 0   0 dan

  1 b 1   Sementara itu, pada 0. H 0 , nilai   0  b 0   0 dan   1  b 1   Selanjutnya, 0.

dimisalkan modifikasi statistik uji UT pada K n berdistribusi t dengan derajat bebas (n-2), yaitu

T UT

UT

1  T   n   0  s  1     (2.2)

 S XX   

T UT    1 , k

X 2 dengan k  s  1 

S xx

2. RT

Jika NSPI terdapat pada slope (diketahui/fixed), yaitu  1 b 1 , maka test terkait NSPI yang digunakan adalah RT. Statistik uji untuk RT adalah

  T 0 . (2.3)

RT

distribusi t dengan derajat bebas (n-1). Selanjutnya, pada K n ,   0  b 0   0 dan   1  b 1   0,

menurut Pratikno (2012) modifikasi statistik uji dari RT pada K n adalah

 1  bX 1 

Jika NSPI terdapat pada slope   1 tetapi uncertain (diduga sebesar b 1 ), maka uji terkait

NSPI yang digunakan adalah PTT. Pada PTT didahului dengan pre-test (PT), yaitu uji pada

0 : = vs  1 b 1 H 1 :  1 b 1 , sedemikian hingga statistik uji PT adalah

2 dengan * S

XX    X i  X  dan s  

Y i  Y ˆ . Jika H 0 PT ditolak, maka gunakan

UT untuk menguji H 0 karena UT berkorelasi dengan PT, jika tidak demikian maka RT yang digunakan. Secara sama, Persamaan (2.5) berdistribusi Student-t dengan derajat bebas (n-2).

Secara jelas, bahwa PT dan UT berkorelasi, sedangkan PT dan RT tidak berkorelasi, sehingga kemudian power dan size dari PTT pada tingkat signifikansi  3 diberikan sebagai kombinasi dari kondisi tersebut (Pratikno, 2012).

C. POWER AND SIZE

1. UT

Mengacu Pratikno (2012) dan Persamaan (2.2), power UT pada tingkat signifikansi  1 , adalah

 UT

  1  PT   t  1 , n  2 K n 

Secara sama, size UT diberikan sebagai

 UT

 PT   t  1 , n  2 H 0 :  0  0 

Selanjutnya, dengan menggunakan cara yang sama seperti pada UT, untuk tingkat signifikansi  2 , maka diperoleh power and size RT sebagai berikut.

 RT

 λ  PT   t  2 , n  1 K n 

RT t

 RT

0    1  bX 1   

 PT   t  2 , n  1 H 0 :  0  0 

Mengacu Pratikno (2012) dan kondisi UT dan PT (berkorelasi) dan RT dan PT (tidak berkorelasi) sebagaimana dinyatakan pada subbagian 2.3., maka power dan size dari PTT pada

tingkat signifikansi  3 diberikan sebagai

 PTT

 λ  PT   t  3 , n  2 , T  t  1 , n  2   PT  t  3 , n  2 , T  t  2 , n  1 

S XX   1  2 X 

10   t  3 , n  2   2 , t  2 , n  1 

S XX  1  Pada Persamaan (3.5), m 2   t  3 , n  2   2 , t  1 , n  2  ;   0  dan

S XX   1  2 X 

;   0  , adalah probabiltas bivariat Student-t yang  

m 10  t  3 , n  2   2 , t  2 , n  1 

didefinisikan dengan

2   aa 1 , 2 ;   0   ft  , t  dt dt  (3.6)

10  1 ,; 3 0    , t  dt dt ,

dimana koefisien korelasi antara PT T dan T adalah  1  1 . Secara sama, size dari PTT, dengan aa 1 , ,dan 2 a 3 bilangan riil,.adalah

UT

 RT

 PT   aT 1 ,  aH 2 0   PT  aT 1 ,  aH 3 0 

m 2   t  3 , n  2 , t  1 , n  2 ;    m 10  t  3 , n  2 , t  2 , n  1   ;   0,  

D. SIMULATION STUDY

Awal dari penelitian ini adalah akan menerapkan pada data riil yang memenuhi testing one-side hypothesis (maksimum), namun hal ini sulit dilakukan karena ketidak tersedianya data riil yang memenuhi kondisi tersebut. Selanjutnya, penelitian ini difokuskan pada data

pembangkitan dari R package 13.0.1, dengan  0  10,  1  5, nilai X i di generate dari pembangkitan dari R package 13.0.1, dengan  0  10,  1  5, nilai X i di generate dari

dibangkitkan dari distribusi normal dengan 2  0 dan variansi  1.

Power of the Tests

Grafik untuk power UT, RT, dan PTT dengan koefisien korelasi 0,1 dan nilai  2 (negatif) yang berbeda dipaparkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Kuasa dari UT, RT, dan PTT versus  1 dengan nilai  2 berbeda.

Grafik diatas (Gambar 4.1) menunjukan bahwa semakin besar nilai  1 , maka nilai kuasa dari UT semakin besar, dan UT tidak bergantung pada  2 . RT semakin besar sebagaimana nilai  1 , membesar, dan semakin kecil ketika nilai  2 semakin kecil. Hal ini berarti bahwa kuasa

dari RT tidak maksimum dan cenderung tidak optimal. Sementara itu, PTT semakin besar sebagaimana  1 semakin besar, atau PTT semakin baik. Secara jelas, jika  1  0 dan  2  0 kuasa dari UT dan PTT selalu lebih besar daripada kuasa dari RT. Gambar 4.2 di bawah ini adalah grafik kuasa dari UT, RT, dan PTT untuk nilai  2

negatif yang berbeda-beda dan   0, 7 .

Gambar 4.2. Kuasa dari UT, RT, dan PTT versus  1 dengan  2   0,1; 0,4 dan   0,7. Gambar 4.2. menunjukan bahwa PTT terletak antara UT dan RT, sehingga PTT menjadi

pilihan diantara keduanya. Hal ini berarti bahwa NSPI mempunyai pengaruh terhadap pilihan dari sebuh test. Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa RT bukan menjadi pilihan, sehingga penelitian ini masih mengikuti penelitian sebelumnya, yaitu PTT dan NSPI berpengaruh terhadap proses testing.

Gambar 4.3. Kuasa dari PTT versus  1 dengan  2 0,1; 1  dan  0,1;0, 4;0,7;0,9.

Gambar 4.1-4.3 dengan  0 menunjukan bahwa grafik PTT berubah sebagaimana nilai  berubah, yaitu PTT semakin besar jika nila nilai  semakin besar. Simulasi grafik

menunjukan bahwa grafik kuasa dari UT, RT, dan PTT ketika  0 adalah similar.

Size of the Tests

Size of the tests (UT, RT, dan PTT) pada kasus ini disajikan pada Gambar 4.4 dibawah ini.

Berdasarkan Gambar 4.4, ukuran UT bernilai konstan karena tidak bergantung tehadap nilai  1 , 2 dan ,  sedangkan ukuran RT bergantung terhadap nilai  2 , RT bertambah besar

ketika nilai  2 bertambah besar. Kemudian, ukuran PTT bergantung terhadap nilai  2 dan ,  dan tidak bergantung terhadap nilai  1 . Ukuran PTT bertambah besar ketika nilai  2 bertambah

besar, demikian juga ketika nilai  0 .

Ukuran uji dari PTT versus  2 dengan  0,1; 0,4; 0,7; dan 0,9 serta ukuran uji dari PTT versus  2 dengan   0,1; 0,4; 0,7; dan 0,9.   

Gambar 4.5

Gambar 4.5 memberikan informasi bahwa semakin kecil nilai  , maka semakin kecil pula nilai kuasa dari PTT, dengan demikan tidak similar untuk koefisien korelasi positip dan negatip. Selanjutnya, disajikan grafik dengan sumbu x-nya adalah  1 agar dapat menggambarkan lebih jelas perbandingan besarnya ukuran uji dari UT, RT, dan PTT.

versus  1 dengan

 2 0,1; 0, 4; 0,7; dan 1.   

Berdasarkan Gambar 4.6, nilai ukuran dari RT dan PTT bertambah kecil ketika nilai  2 lebih kecil, sedangkan ukuran uji dari UT selalu konstan. Ketika nilai  2 0, ukuran uji dari

UT selalu lebih besar dari ukuran RT dan PTT.

E. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Hasil riset menunjukan bahwa nilai power of the tests (UT, RT dan PTT) relatif kecil, hal ini dapat dianggap bahwa ada indikator riset ini sedikit berbeda dengan previous research

(Pratikno, 2012) untuk kondisi  1 0 . Kenyataan tersebut berkesan bahwa NSPI tidak berpengaruh terhadap pemilihan tests sebagaimana hasil pada penelitian sebelumnya untuk testing, H 0 :  0  00 versus H 1 :  0  00 , dimana PTT menjadi pilihan terbaik daripada RT dan UT. Namun, secara konsep dan graphical analysis (mengabaikan besaran nilai power),

hasil riset masih mengikuti konsep testing dengan menggunakan NSPI, yaitu PTT adalah pilihan terbaik dari kedua tests UT dan RT. Hal ini ditunjukan bahwa nilai power dan size PTT cenderung terletak antara UT dan RT. Akhirnya, kita dapat menarik kesimpulan sederhana bahwa mengacu dari riset ini dan previous research, maka dapat dipahami bahwa NSPI sangat dekat pada aplikasi data riil yang cenderung positip.

Saran

Sebaiknya dicobakan pada data riil, yang kemudian dibandingkan relevansinya dengan teori, dan juga perlu dilakukan untuk berbagai variansi kajian secara teori hipotesis dan relevansinya.

F. DAFTAR PUSTAKA

Bancroft, T.A. (1944). On Biases in Estimation Due to The Use of The Preliminary Tests of Significance. Annals Of Mathematical Statistics.

15, 190-204.

Bancroft, T.A. (1964). Analysis and Inference for Incompletely Specified Models Involving The Use of The Preliminary Test(s) of Significance. Biometrics, 20(3), 427-442.

Han, C.P. dan Bancroft, T.A. (1968). On Pooling Means When Variance Is Un-Known. Journal of American Statistical Association ,

63, 1333-1342.

Pratikno, B. (2012). Tests of Hypotesis for Linear Regression Models with Non Sample Prior Information. Disertasi, University of Southern Queensland.

Saleh, A. K. Md. E. (2006). Theory of Preliminary Test and Stein-Type Estimation with Applications. Wiley, New Jersey.

Saleh, A.K. Md. E. dan Sen, P.K. (1997). Nonparametric Estimation of Location Parameter After a Preliminary Tests on Regression. Annals of Statistical, 6, 154-168.00

Saleh, A. K. Md. E .dan Sen, P.K. (1982). Nonparametric Tests for Location After Parameter a Preliminary Tests on Regression. Communication in Statistics-Theory and Methods, 12(16), 1855-1872.

Tamura, R. (1965). Nonparametric Inferences With a Preliminary Test. Bull. Math. Stat.

61. Yunus, R.M. dan Khan, S. (2011). Increasing Power Of The Test Through Pre-Test – A Robust

Method. Communications in Statistics – Theory and Method,

40, 581-597.

S-6

MENGATASI MISSING DATA HASIL PENGUKURAN SATELIT ALTIMETRI TOPEX, JASON 1 DAN JASON 2DENGAN METODE KALMAN FILTER

1 2 3 Dadan Kusnandar 4 , Muhlasah Novitasari Mara , Yundari , Neva Satyahadewi , Naomi

Nessyana Debataraja 5

Jurusan Matematika , FMIPA Universitas Tanjungpura,

1 dadan_kusnandar@mipa.untan.ac.id, 2 noveemara@gmail.com, 3 yuendha@yahoo.com

4 neva.satya@gmail.com 5 naominessyana@gmail.com

Abstrak

Satelit Topex, Jason 1 dan Jason 2 merupakan satelit altimetri yang dapat digunakan untuk mengukur kenaikan muka air laut. Siklus pengukuran satelit altimetri Topex, Jason 1 dan Jason 2 adalah sekitar 10 hari. Hasil pengukuran kenaikan permukaan air laut ketiga satelit tersebut dengan cakupan Laut Cina Selatan menunjukkan adanya missing data. Hal ini akan menimbulkan kendala ketika melakukan peramalan kenaikan muka air laut. Pengabaian missing data akan berdampak pada hasil peramalan yang tidak akurat. Paper ini membahas penggunaan metode Kalman Filter untuk mengestimasi missing data sebelum dianalisis lebih lanjut.

Kata kunci: missing data, Kalman Filter, estimasi, satelit altimetri

A. PENDAHULUAN

Kenaikan tinggi muka air laut yang sering disebut dengan sea level rise (SLR) merupakan peningkatan volume air laut yang disebabkan oleh faktor-faktor kompleks. Salah satu faktor penyebab SLR tersebut adalah terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim akibat meningkatnya kegiatan industri seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang berimbas pada naiknya emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dampak paling serius dari naiknya tinggi muka air laut ini adalah hilangnya pulau-pulau kecil. Sampai saat ini belum ada data pasti jumlah pulau di Indonesia yang telah hilang karena dampak SLR. Kalimantan Barat merupakan wilayah yang harus waspada akan ancaman ini mengingat panjang wilayah pesisirnya mencapai lebih dari 1500 km. Perairan laut wilayah Kalimantan Barat dipengaruhi oleh Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan ialah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, mencakup daerah dari Singapura ke Selat Taiwan sekitar 3.500.000 km² dan termasuk badan laut terbesar setelah kelima samudera.

Perubahan kenaikan muka air laut dapat diestimasi dari pengukuran di stasiun pasang surut. Kekurangan pengukuran di stasiun pasang surut adalah jangkauan data terbatas di daerah sekitar pantai. Hal ini menyebabkan data hanya akurat untuk memprediksi perubahan kedudukan muka air laut di perairan dangkal atau dekat pantai. Berkembangnya teknologi satelit yang diperuntukan bagi ocean monitoring dalam hal ini dengan munculnya satelit altimetri seperti Topex, Jason 1 dan Jason 2 telah banyak membantu upaya pemantauan kedudukan muka laut secara kontinu. Satelit altimetri Topex diluncurkan tahun 1992 sampai dengan 2005. Satelit altimetri Jason 1 diluncurkan dari tahun 2002 sampai dengan 2012. Satelit altimetri Jason 2 diluncurkan sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang. Siklus Topex, Jason 1 dan Jason 2 adalah sekitar 10 hari. Pada tahun 2002 sampai dengan 2005 satelit altimetri Topex diluncurkan bersamaan dengan Jason 1 dan pada tahun 2008 sampai dengan 2013 satelit altimetri 1

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

B. PEMBAHASAN

Kalman filter merupakan algoritma processing data rekursif yang menggabungkan model dengan pengukuran. Proses dalam Kalman filter dibagi menjadi dua tahapan yaitu time update dan measurement update. Time update disebut juga sebagai proses predict, yaitu menggunakan estimasi state dari satu waktu sebelumnya untuk mendapatkan sebuah estimasi state pada saat ini. Pada tahap ini dihitung nilai predicted state dan predicted error covariance. Predicted state dapat dihitung dengan persamaan berikut

Dengan adalah predicted state pada waktu ke k, adalah predicted state pada waktu ke k-1, A,B adalah matriks dinamik berukuran n × n, adalah control input plant. Predicted error covariance dapat dihitung dengan persamaan berikut

dengan Q merupakan process noise covariance. Ketika memulai proses Kalman filter diperlukan syarat nilai awal dari

dan . Penentuan biasanya diperoleh dengan memperkirakan state sistem pada keadaan awal. Penentuan

dan

atau bisa dinotasikan

tidak begitu penting sebab filter akan menyesuaikan dengan sendirinya namun

sebaiknya bernilai tidak sama dengan nol, sebab apabila

=0 akan menyebakan filter menginisialisasi dan selalu percaya bahwa

(Welch and Bishop,2006).

Tahapan setelah time update adalah measurement update yang disebut juga sebagai proses correct , yaitu informasi pengukuran pada saat ini digunakan untuk memperbaiki prediksi, dengan harapan akan didapatkan state estimasi yang lebih akurat. Langkah pertama dalam measurement update adalah menghitung Kalman Gain, menggunakan persamaan berikut

Dengan R merupakan measurement noise covariance. Langkah selanjutnya adalah updated state estimate untuk mendapatkan estimasi optimal dari state yang baru dengan mengalikan selisih matriks observasi

dan nilai predicted sensor

Langkah terakhir dari proses correct adalah update error covariance yakni mencari estimation error covariance yang baru menngunakan persamaan

Algoritma pada Kalman Filter menggunakan proses berulang dari predict dan correct. Dalam implementasinya, R dan Q pada persamaan (1) diukur terlebih dahulu untuk operasi filter. Penentuan parameter ini sangat bergantung dari model sistem yang digunakan. Sebaiknya R dan Q adalah nilai yang konstan sebab pada kondisi demikian estimation error covariance pada persamaan (1) dan Kalman gain

pada persamaan (2) akan stabil lebih cepat dan akan tetap konstan. Secara ringkas proses Kalman filter dapat dilihat pada gambar 1

Gambar 1. Proses Estimasi dengan Kalman Filter

Pada penelitian ini Kalman filter digunakan untuk mengestimasi missing data hasil pengukuran kenaikan muka air laut satelit altimetri Topex, Jason 1 dan Jason 2. Proses estimasi missing data dilakukan dengan bantuan program R menggunakan function na.StructTS dalam package zoo. Data diambil dari web http://ibis.grdl.noaa.gov/SAT/SeaLevelRise/LSA_SLR_ timeseries.php dengan cakupan Laut Cina Selatan. Siklus Topex, Jason 1 dan Jason 2 adalah sekitar 10 hari sehingga terdapat 37 titik pengamatan dalam satu tahun.

Data hasil pengukuran Topex ada sebanyak 476 data dari titik pengamatan ke 36 tahun1992 sampai dengan titik pengamatan ke 28 tahun 2005. Terdapat 38 missing data pada hasil pengukuran satelit altimetri Topex tersebut. Plot data asli hasil pengukuran satelit altimetri Topex beserta plot hasil estimasi Kalman filter dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Plot data asli Topex dan hasil estimasi missing data menggunakan Kalman Filter Data hasil pengukuran Jason 1 ada sebanyak 429 data dari titik pengamatan ke 3 tahun 2002 sampai dengan titik pengamatan ke 17 tahun 2013. Terdapat 19 missing data pada hasil pengukuran satelit altimetri Jason 1 tersebut. Plot data asli hasil pengukuran satelit altimetri Jason

1 beserta plot hasil estimasi Kalman filter dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Plot data asli Jason 1 dan hasil estimasi missing data menggunakan Kalman Filter

a. Plot data asli Jason 1 b. Plot data Jason 1 dengan estimasi missing data menggunakan Kalman filter

a. Plot data asli Topex b. Plot data Topex dengan estimasi missing data menggunakan Kalman filter

Time Update (“Predict”) (1)

Proyeksi 1 state ke depan (2)

Proyeksi 1 error covariance kedepan

+ ( − ) =( −

Measurement Update (“Correct”)

(1)

Menghitung Kalman gain

(2)

Update estimasi dengan ukuran

(3)

Update error covariance

Initial estimates untuk

dan

Data hasil pengukuran Jason 2 ada sebanyak 189 data dari titik pengamatan ke 21 tahun2008 sampai dengan titik pengamatan ke 23 tahun 2013. Terdapat 4 missing data pada hasil pengukuran satelit altimetri Jason 2 tersebut. Plot data asli hasil pengukuran satelit altimetri Jason

2 beserta plot hasil estimasi Kalman filter dapat dilihat pada gambar 4.

2013 2009 2010 2011 2012 Tahun 2013 Tahun

a. Plot data asli Jason 1

b. Plot data Jason 1 dengan estimasi missing data menggunakan Kalman filter

Gambar 3. Plot data asli Jason 1 dan hasil estimasi missing data menggunakan Kalman Filter

C. KESIMPULAN

Missing data merupakan kejadian yang sering terjadi dalam setiap penelitian. Hilangnya data dapat terjadi karena berbagai faktor yang sering kali diluar kontrol peneliti. Plot data asli hasil pengukuran satelit altimetri Topex, Jason 1 dan Jason 2 pada gambar 2, gambar 3 dan gambar 4 menunjukkan data tidak stationer dan terdapat beberapa missing data. Pada kondisi data yang demikian Kalman filter dapat digunakan untuk estimasi missing data karena Kalman filter mengkombinasikan perhitungan model dan hasil ukuran.

D. DAFTAR PUSTAKA

Chambers, John M.2008. Software for Data Analysis: Programming with R Springer.

Church, J. and White, N. 2006. 20th Century Acceleration in Global Sea Rise. Geophysical Research Letters. 33. L01602

Welch, G. And Bishop, G. 2001. An Introduction to The Kalman Filter.University of North Carolina at Chapel Hill. Departement of Computer scince.

Snyder, R. D. and Forbes, C. S. 2002. Reconstructing the Kalman Filter for Stationary and Non Stationary Time series . Monash University of Australia. Departement of Econometrics and Business Statistics.

Tussel Fernando. 2011. Kalman Filtering in R. Journal of Statistical Software . 39 (2).

S-7

PENERAPAN ANALISIS KOMPONEN UTAMA DALAM MENILAI MODEL PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

1 Dadan Kusnandar 2 , Naomi Nessyana Debataraja

1,2 Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Tanjungpura

1 dkusnand@yahoo.com, 2 naominessyana@gmail.com

Abstrak

Sekolah harmoni hijau (SHH) adalah sebuah pendekatan pendidikan yang mengintegrasikan pembelajaran dengan konteks alam, budaya dan kearifan lokal untuk menanamkan karakter positif pada siswa agar dapat hidup harmoni dengan dirinya, sesama dan alam. Hal ini sejalan dengan pendidikan berkarakter menurut Kemendiknas yang bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. SHH merupakan sekolah binaan dari Wahana Visi Indonesia. Data dalam penelitian ini diambil dari Baseline Survey Report Wahana Visi Indonesia area Singkawang meliputi lima Sekolah Dasar Negeri sebagai responden (2 sekolah model, 2 sekolah replikasi dan 1 non-intervensi) dengan jumlah responden dari setiap sekolah sebanyak 29-30 anak. Setiap kuesioner terdiri dari 33 pertanyaan sebagai variabel penelitian. Analisis komponen utama digunakan untuk mereduksi jumlah variabel untuk dianalisis lebih lanjut. Kemudian analisis variansi dan kontras orthogonal diterapkan terhadap komponen-komponen utama hasil reduksi. Hal ini bertujuan untuk membandingkan nilai rata-rata perlakuan setiap sekolah.

Kata kunci: Sekolah harmoni hijau, analisis komponen utama, analisis variansi,

kontras ortogonal

A. PENDAHULUAN

Pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik, perasaan yang baik dan perilaku yang baik sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik (Kemdiknas, 2011). Sekolah harmoni hijau merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang mengintegrasikan pembelajaran dengan konteks alam, budaya, dan kearifan lokal, untuk menanamkan karakter positif pada siswa agar dapat hidup harmoni dengan dirinya, sesama dan alam (WVI ADP Singkawang, 2013). Hal ini sejalan dengan pendidikan berkarakter menurut Kemendiknas yang bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Karakter merupakan bagian dari ranah afektif. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan-diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan, reaksi psikologi, atau keduanya. Metode laporan-diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun, hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri. Penilaian pada ranah afektif, seperti pada ranah lainnya memerlukan data yang bisa berupa kuantitaitf atau kualitatif. Data kuantatif diperoleh melalui pengukuran atau

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Penanaman karakter positif pada konsep SHH mengacu pada nilai-nilai harmoni, yang meliputi harmoni diri, harmoni sesama dan harmoni alam. Nilai-nilai ini menekankan pada hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam sekitar yang terkait satu sama lain. Dari ketiga nilai harmoni kemudian diturunkan menjadi sembilan karakter yaitu: takwa, disiplin, mandiri, empati, menghargai, kerjasama, bersih, rapi dan peduli lingkungan.

Pertanyaan-pertanyaan kuesioner disusun untuk mendapatkan informasi dari siswa tentang karakter-karakter pada sekolah harmoni hijau. Respon terhadap pertanyaan merupakan nilai dari variabel yang mungkin saja saling berkorelasi satu dengan lainnya. Dalam penelitian ini analisis komponen utama digunakan utuk mendapatkan variabel-variabel baru yang saling independen satu dengan yang lainnya.

Analisis komponen utama pada umumnya digunakan untuk menjelaskan struktur matriks varians-kovarians dari suatu himpunan variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut. Secara umum komponen utama dapat berguna untuk mereduksi dan menginterpretasi

variabel-variabel asal. Misalkan saja terdapat buah variabel yang terdiri atas buah objek. Misalkan pula dari buah variabel tersebut dibuat sebanyak buah komponen utama dengan

≤ yang merupakan kombinasi linier atas buah variabel tersebut. Komponen utama tersebut diharapkan dapat menggantikan buah variabel yang membentuknya tanpa kehilangan banyak informasi mengenai keseluruhan variabel. Umumnya analisis komponen utama merupakan analisis pendahuluan untuk analisis selanjutnya. Dari uraian-uraian di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis respon dari model pembelajaran pada lima sekolah di Singkawang, Kalimantan Barat.

B. PEMBAHASAN

Data dalam penelitian ini diambil dari baseline survey report yang dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia daerah pengembangan Singkawang. Untuk penilaian karakter anak, diberikan kuesioner terhadap 149 siswa dari total 5 sekolah yang dilakukan survei. Setiap sekolah terdiri dari ±30 orang siswa masing-masing yang sedang duduk di kelas 4 dan kelas 5, dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang seimbang. Anak diminta menjawab 32 pertanyaan dan diberikan 1 tugas untuk penilaian karakter ‘kerjasama’ sehingga ada 33 penilaian sebagai 33 variabel penelitian yang diberikan kepada anak. Harmoni diri diuraikan pada variabel 1 hingga variabel 14. Harmoni diri terdiri dari karakter takwa (variabel 1 hingga variabel 3), karakter disiplin (variabel 4 hingga variabel 9) dan karakter mandiri (variabel 10 hingga variabel 14). Harmoni sesama diuraikan pada variabel 15 hingga variabel 23 dan variabel 33. Harmoni sesama terdiri dari karakter empati ( variabel 15 hingga variabel 20), karakter menghargai (variabel 21 hingga variabel 23) serta karakter kerjasama pada variabel 33 sedangkan harmoni alam diuraikan pada variabel 24 hingga variabel 32. Harmoni alam terdiri dari karakter rapi (variabel 24 dan variabel 25), karakter peduli lingkungan (variabel 26 hingga variabel 28) dan karakter bersih (variabel 29 hingga variabel 32).

Tabel 1 Komponen Utama yang Terpilih

Nilai Eigen 5,73

Keragaman 17,35 6,12

Vektor

Komponen Utama

0.111 0.132 0.426 0.237 0.013 0.432 0.138 -0.23 0.039 Variabel 3

0.34 0.253 0.254 0.246 0.004 0.222 0.114 0.012 -0.38 Variabel 6

- - - 0.393 0.059 0.201

- 0.26 0 - - 0.15

0.026 0.133 Variabel

0.628 0.051 - 0.168 0.093 0.211 -0.12 0.133 0.009

Analisis komponen utama diterapkan terhadap 33 variabel penelitian. Proses analisis data dilakukan dengan menggunakan software SPSS 20. Dari hasil analisis terpilih sepuluh komponen utama yang secara kumulatif dapat menerangkan 58.84% keragaman dari data asal. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 1. Kemudian dari setiap komponen utama ditentukan nilai koefisien yang mendominasi koefisien lainnya.

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa komponen utama 1 (PC 1) dapat diinterpretasikan sebagai ukuran mandiri, empati, rapi, peduli lingkungan dan bersih. Komponen utama ini didominasi oleh harmoni alam. PC 2 dapat diinterpretasikan sebagai perbandingan ukuran takwa, menghargai dan mandiri. Hal ini ditunjukkan dengan nilai takwa dan menghargai mempunyai hubungan yang berbanding terbalik dengan mandiri. PC 3 dapat diinterpretasikan sebagai ukuran takwa dan kerjasama, PC 4 dapat diinterpretasikan sebagai ukuran kemandirian. PC 5 dapat diinterpretasikan sebagai ukuran disiplin dan menghargai. Namun karakter keduanya memiliki hubungan yang saling berlawanan. PC 6 dapat diinterpretasikan sebagai ukuran ketakwaan. PC 7 dapat diinterpretasikan sebagai ukuran kedisiplinan. PC 8 dapat diinterpretasikan sebagai ukuran empati. PC 9 dapat diinterpretasikan sebagai ukuran disiplin dan PC 10 dapat diinterpretasikan sebagai ukuran menghargai. Kemudian 10 komponen utama tersebut masing-masing dianalisis lebih lanjut dengan analisis variansi melalui model linear (Gasperz,1991)

dengan = variabel respon = pengaruh rata-rata

= pengaruh model pembelajaran

Analisis variansi bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh perlakuan setiap sekolah pada setiap komponen utama. Hasil perhitungan analisis variansi menggunakan SPSS

20 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai Kuadrat Tengah Analisis Variansi Komponen Utama

Sumber PC1 PC 2 PC3

PC 8 PC 9 PC 10 Variansi

PC4

PC 5 PC 6 PC 7

Perlakuan 4,34 ns 4,87* 10,63* 1,63 3,34* 2,35* 1,19 4,50* 2,35* 2,18 Galat 0,91 0,89 0,73 0,98 0,94 0,96 0,99 0,90 0,96 0,97

ns

ns

* = berbeda nyata pada taraf = 0,05

ns

= tidak berbeda nyata pada taraf = 0,05

Hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh perlakuan sekolah model, sekolah replika dan sekolah non intervensi pada PC 1, PC 2, PC 3, PC

5, PC 6, PC 8 dan PC 9. Sedangkan pada PC 4, PC 7 dan PC 10 tidak terdapat perbedaan pengaruh perlakuan lima sekolah tersebut. Kontras orthogonal kemudian digunakan untuk membandingkan pengaruh model-model pembelajaran terhadap komponen utama terpilih. Perbandingan antara model pembelajaran dilakukan melalui penyusunan kontras-kontras sebagai berikut:

L 1 = Perbandingan antara sekolah model dengan bukan sekolah model. L 2 = Perbandingan antara sekolah model 1 dan sekolah model 2. L 3 = Perbandingan antara sekolah replika dan sekolah non-intervensi (kontrol). L 4 = Perbandingan antara sekolah replika 1 dan sekolah replika 2.

Koefisien-koefisien kontras untuk perbandingan model pembelajaran tersebut disusun pada Tabel 3.

Tabel 3 Koefisien Kontras Ortogonal

Kontras Model 1

Model 2

Replika 1

Replika 2 Kontrol

Setelah koefisien-koefisien kontras dibuat, kemudian nilai-nilai PC diolah. Hasil perhitungan nilai kontra orthogonal menggunakan SPSS 20 dapat dilihat pada Tabel 4

Tabel 4 Nilai Kontras Ortogonal dari Komponen Utama

PC 1 ns 4,04 0,28 -0,12 -0,05

ns

ns

PC 2 ns -3,9 0,34 -0,58 -0,24

ns

ns

PC 3 ns -3,97 * 0,22 -0,72

ns

PC 5 ns 2,54 * 0,57 0,48 0,28

ns

PC 6 ns 1,53 0,69 0,12 0,09 PC 8 ns -0,46

PC 9 ns 0,80 0,04 -1,17 * 0,35

ns

ns

= berbeda nyata pada taraf = 0,05

ns

= tidak berbeda nyata pada taraf = 0,05

Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh perlakuan sekolah model dengan sekolah bukan model pada PC 1 (ukuran karakter mandiri, empati, rapi, peduli lingkungan dan bersih), PC 2 (ukuran karakter takwa, menghargai dan mandiri), PC 3 (ukuran takwa dan kerjasama) dan PC5 (ukuran disiplin dan menghargai). Pengaruh perlakuan diantara dua sekolah model terdapat pada PC 5 (ukuran disiplin dan menghargai), PC 6 (ukuran ketakwaan) dan PC 8 (ukuran empati). Pengaruh perlakuan diantara dua sekolah replika terdapat pada PC 3 (ukuran takwa dan kerjasama), PC 8 (ukuran empati) dan PC 9 (ukuran disiplin). Pengaruh perlakuan diantara sekolah replika dan sekolah non-intervensi (kontrol) terdapat pada PC 8 (ukuran empati) dan PC

9 (ukuran disiplin). Dari hasil analisis tersebut, pada terdapat pengaruh perlakuan antara sekolah model dan bukan sekolah model pada PC 1, PC 2,PC 3 dan PC 5 dan juga terdapat pengaruh perlakuan sekolah replika dan sekolah non-kontoversi pada PC 8 dan PC 9. Dengan kata lain pada PC 1, PC 2, PC3, PC 5, PC 8 da PC 9 dapat dibandingkan pengaruh perlakuan antara sekolah yang menerapkan pendekatan SHH (sekolah model atau sekolah replika) dengan sekolah yang tidak menerapkan pendekatan SHH (sekolah non-intervensi) sedangkan pada PC 6 (ukuran ketakwaan) tidak dapat dibandingkan pengaruh perlakuan antara sekolah model atau sekolah replika dengan sekolah non-intervensi.

C. SIMPULAN

Hasil analisis variansi terhadap komponen utama menujukkan bahwa pola pembelajaran sekolah yang menerapkan pola pendekatan SHH memberikan pengaruh yang signifikan terhadap komponen . Dilain pihak PC 6 (ukuran ketakwaan) tidak dipengaruhi oleh model pembelajaran. Hal ini terjadi karena materi pembelajaran mengenai takwa dipelajari di semua model sekolah.

D. DAFTAR PUSTAKA

Gasperz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: Armico.

Wahana Visi Indonesia, 2013. Sekolah Harmoni Hijau. Singkawang: Wahana Visi Indonesia.

S-8

APLIKASI METODE CHAID DALAM MENGANALISIS KETERKAITAN FAKTOR RISIKO LAMA PENYELESAIAN SKRIPSI MAHASISWA (Studi Kasus di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Sriwijaya)

Dian Cahyawati S., Susi Yohana, Putera B.J. Bangun

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Sriwijaya dcahyawati97@gmail.com

Abstrak

Beragamnya kondisi akademis mahasiswa mengakibatkan perbedaan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan skripsi. Ada mahasiswa yang dapat menyelesaikan skripsi tepat enam bulan sesuai dengan target akademik universitas, tetapi ada juga yang kurang atau lebih dari enam bulan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis signifikansi keterkaitan hubungan faktor-faktor yang berisiko terhadap lama penyelesaian skripsi. Faktor-faktor yang diamati adalah Topik Penelitian, Jenis Penelitian, Jenis Data, IPK, Bidang Keahlian Dosen Pembimbing Pertama, Jenis Kelamin Mahasiswa dan Jenis Kelamin Dosen Pembimbing. Dilakukan penelitian terhadap sampel jenuh skripsi mahasiswa dan karakteristik akademiknya. Metode analisis statistika yang digunakan adalah Chi-Square Automatic Interaction Detection (CHAID). Hasil penelitian menunjukkan variabel yang signifikan dan paling erat kaitannya dengan Lama Penyelesaian Skripsi adalah Jenis Kelamin Dosen Pembimbing. Variabel berikutnya adalah IPK, Bidang Keahlian Dosen Pembimbing, dan Topik Penelitian. Dosen Pembimbing Laki-Laki dan Perempuan memiliki Odds Ratio sebesar 2,3; artinya mahasiswa yang dibimbing oleh Dosen Laki-Laki, cenderung lebih besar peluangnya 2,3 kali lipat dapat menyelesaikan skripsi kurang dari 6 bulan, daripada mahasiswa yang dibimbing oleh Dosen Perempuan. Namun demikian, mahasiswa yang dibimbing oleh Dosen Perempuan, memiliki faktor risiko lainnya yang berkaitan, yaitu IPK. Mahasiswa dengan IPK minimal 2,76 berpeluang

3 kali lebih besar dapat menyelesaikan skripsi kurang dari 6 bulan, dibandingkan mahasiswa dengan IPK kurang dari 2,76; yang masih dipengaruhi oleh Bidang Keahlian Dosen Pembimbing dan Topik Penelitian.

Kata kunci: Skripsi, Lama Penyelesaian Skripsi, Metode CHAID, Odds Ratio

A. PENDAHULUAN

Skripsi adalah tulisan ilmiah yang harus dibuat oleh mahasiswa sebagai bentuk kegiatan akademik akhir program, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar akademik pada masing-masing program studi. Tulisan ilmiah dalam skripsi dibuat sebagai hasil dari laporan pelaksanaan kegiatan penelitian atau dari pelaksanaan praktek lapangan. Pelaksanaan penelitian atau praktek lapangan dilakukan oleh setiap mahasiswa dengan bimbingan dosen pembimbing yang ditetapkan oleh pimpinan fakultas berdasarkan usulan program studi (Unsri, 2012).

Skripsi dibebankan kepada setiap mahasiswa dengan persyaratan yang diatur dan ditetapkan dalam kurikulum program studi dan sesuai dengan aturan akademik universitas. Normalnya, lama waktu penyelesaian skripsi adalah satu semester (enam bulan). Beragamnya kondisi akademis mahasiswa mengakibatkan perbedaan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan skripsi. Berdasarkan data wisudawan (Jurusan Matematika, 2012) untuk setiap periode pelaksanaan wisuda, menunjukkan variasi lama waktu penyelesaian skripsi mahasiswa. Untuk periode wisuda ke-94 (Maret 2010), rata-rata lama waktu penyelesaian skripsi mahasiswa adalah 4,80 bulan; periode wisuda ke-96 (September 2010) menunjukkan rata-rata lama waktu

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Perbedaan lama penyelesaian skripsi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal atau pun eksternal mahasiswa. Faktor-faktor itu antara lain prestasi akademik yang diukur dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), Jenis Kelamin Mahasiswa, Topik/Bidang Penelitian yang dikaji, Jenis Data yang digunakan dalam penelitian, atau dapat juga diduga bahwa Jenis Kelamin Pembimbing berisiko terhadap lamanya penyelesaian skripsi.

Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah menganalisis signifikansi keterkaitan hubungan faktor-faktor yang berisiko terhadap lama penyelesaian skripsi. Teknik analisis data yang digunakan adalah salah satu analisis statistika yaitu Metode Chi Square Automatic Interaction Detection (CHAID).

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan perhatian untuk mencegah keterlambatan penyelesaian skripsi, atau dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mempercepat penyelesaian skripsi mahasiswa. Sehingga secara tidak langsung dapat berdampak pada percepatan masa studi mahasiswa.

B. METODE PENELITIAN

1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan studi korelasional terhadap faktor-faktor yang risiko lama penyelesaian skripsi mahasiswa. Data yang digunakan yaitu rekap data skripsi yang ada di Ruang Baca Jurusan Matematika dan data lulusan mahasiswa yang telah mengikuti wisuda mulai periode ke-84 (September 2010) sampai periode 107 (Mei 2013), yang berjumlah 274 wisudawan.

2. Variabel Penelitian

Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah Lama Penyelesaian Skripsi. Lama penyelesaian skripsi dihitung sejak mahasiswa menerima surat penunjukkan pembimbing dari jurusan hingga selesai melaksanakan sidang sarjana dan dinyatakan lulus melalui Surat Keputusan Yudisium (FMIPA, 2012). Lama Penyelesaian Skripsi dikategorikan menjadi tiga, yaitu Kurang dari 6 Bulan (Y = Cepat), Tepat 6 Bulan (Y = Tepat), dan Lebih dari 6 Bulan (Y = Lambat). Variabel-variabel bebas (dependent variable) yang diamati dituliskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Variabel Bebas yang Diamati

No Nama Variabel (Notasi)

Tipe

Kategori

1: 3,51 - 4,00 (Dengan Pujian) Indeks Prestasi Kumulatif

2: 2,76 - 3,50 (Sangat

3: 2,00 - 2,75 (Memuaskan) Jenis Kelamin Mahasiswa

Topik Skripsi

1: Matematika Murni

3 (TOPIK)

2: Statistika Nominal

Bidang Keahlian Dosen Pembimbing Utama

3: Aktuaria

4 (BKDos)

4: Optimasi

5: Komputasi

1: TidakMenggunakan Data Jenis Data yang Digunakan

5 Nominal

(JD)

2: Data Primer

3: Data Sekunder Jenis Penelitian

1: Studi Literatur/Teoritis

6 Nominal

(JP)

2: Survey/Aplikasi Jenis Kelamin Dosen

1: Laki-laki

7 Nominal

Pembimbing Utama (JKP1)

2: Perempuan

3. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan secara statistik deskripsi dan dilanjutkan dengan inferensi menggunakan Algoritma Metode Chi-Square Automatic Interaction Detection (CHAID). Berikut adalah tahap pengolahan dan analisis data yang dilakukan.

a. Mendeskripsikan data karakteristik lama penyelesaian skripsi mahasiswa

b. Menerapkan Algoritma CHAID , Huba (2001), Kass (1982). Nilai Chi-Square untuk tabel kontingensi ukuran r-baris dan c-kolom , dihitung dari (Siegel, 1988) dan Agresti (2002):

+ = + , dengan =

c. Menggambarkan dendogram Lama Penyelesaian Skripsi hasil Algoritma CHAID , contoh aplikasi Metode CHAID dapat dilihat pada Cahyawati (2007, 2010).

d. Menginterpretasikan dendogram Lama Penyelesaian Skripsi, yaitu :

1) Menentukan urutan keeratan setiap variabel bebas terhadap Lama Penyelesaian Skripsi, berdasarkan p value variabel bebas terhadap variabel terikat.

2) Menghitung nilai Odds Ratio setiap variabel bebas. Odds Rasio Agresti (2002) adalah ω =

adalah perbandingan peluang (atau frekuensi) kejadian kategori pertama dengan kategori lainnya pada baris ke-i. Contoh aplikasi Odds Ratio

dengan Ω =

dapat dilihat pada Cahyawati (2007, 2010).

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Deskripsi Data

Data yang dianalisis ada sebanyak 274 mahasiswa lulusan Jurusan Matematika FMIPA, lengkap dengan karakteristik akademik dan skripsinya. Deskripsi data dari 274 lulusan dengan karakteristik akademik dan skripsinya, ditampilkan pada Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa persentase tertinggi Lama Penyelesaian Skripsi ada pada kategori Cepat (49,64%). Untuk kategori ini, Topik Skripsi terbanyak adalah Statistika, dengan Jenis Penelitian adalah Survey, dan Data yang digunakan adalah Sekunder. Lulusan yang menyelesaikan skripsi dengan kategori Lambat, ada sebanyak 21,53%.

Untuk mendapatkan signifikansi keterkaitan antar variabel, diterapkan Algoritma Metode CHAID .

2. Aplikasi Metode CHAID terhadap Data Lama Penyelesaian Skripsi Mahasiswa

Proses analisis Metode CHAID dilakukan dengan memecah dan mengelompokkan data secara iteratif, dimulai dari variabel bebas yang mempunyai hubungan paling kuat dengan variabel terikat yang ditunjukan oleh besarnya p value berdasarkan Uji Chi-Square. Analisis CHAID juga melakukan penggabungan kategori-kategori variabel bebas yang tidak memiliki hubungan dengan variabel terikat menjadi satu kategori, sehingga hasil penggabungan itu menjadi kategori yang signifikan berkaitan dengan variabel terikat. Melalui metode ini, dihasilkan variabel-variabel bebas yang signifikan berkaitan dengan variabel terikat mulai dari yang paling tinggi keeratannya hingga yang paling rendah (Huba, 2001), yang digambarkan pada dendogram.

Dendogram hasil Metode CHAID untuk data Lama Penyelesaian Skripsi digambarkan pada Gambar 1. Dendogram menunjukkan bahwa dari tujuh variabel bebas yang diamati, ada empat variabel yang signifikan berkaitan dengan Lama Penyelesaian Skripsi. Keempat variabel itu, mulai dari yang paling erat kaitannya sampai yang paling lemah, adalah (1) Jenis Kelamin Dosen Pembimbing Utama, (2) IPK Mahasiswa, (3) Bidang Keahlian Dosen Pembimbing Utama, dan (4) Topik Skripsi Mahasiswa. Terlihat pada Gambar 1, variabel-variabel itu telah dikategorikan ulang.

Dendogram Gambar 1, dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Variabel pertama yang paling erat kaitannya dengan Lama Penyelesaian Skripsi adalah Jenis Kelamin Dosen Pembimbing Utama. Berdasarkan variabel ini, perbandingan nilai kejadian mahasiswa yang menyelesaikan skripsi pada waktu yang Cepat dan Lambat, ditentukan dengan nilai Odds Ratio yang diperoleh yaitu 2,34. Artinya, mahasiswa yang dibimbing oleh Dosen Laki-Laki, cenderung lebih besar peluangnya 2,3 kali lipat dapat menyelesaikan skripsi kurang dari 6 bulan, daripada mahasiswa yang dibimbing oleh Dosen Perempuan. Namun demikian, mahasiswa yang dibimbing oleh Dosen Perempuan, memiliki faktor risiko lainnya yang berkaitan, yaitu IPK, Bidang Keahlian Dosen, dan Topik Skripsi.

2) Variabel kedua yang erat kaitannya dengan Lama Penyelesaian Skripsi adalah IPK Mahasiswa. Variabel IPK Mahasiswa memiliki keeratan dengan Lama Penyelesaian Skripsi melalui Variabel Dosen Pembimbing Perempuan. Odds Ratio mahasiswa dengan IPK minimal 2,76 adalah 3, artinya mahasiswa ini memiliki peluang 3 kali lebih besar untuk dapat menyelesaikan skripsi dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan (Cepat) dibandingkan dengan mahasiswa yang memiliki IPK kurang dari 2,76 yang masih dipengaruhi oleh Bidang Keahlian Dosen Pembimbing Utama dan Topik Skripsi.

Tabel 2. Deskripsi Singkat Karakteristik Sampel Lulusan dan Skripsinya

Lama Penyelesaian Skripsi Total

Lambat No Variabel & Notasi

Jml % Jml % Jumlah Sampel

Jml

Jml

1. 3,51-4,00

1 IPK

2. 2,76-3,50

32 11,68 Jenis Kelamin

2 Mahasiswa (JKM)

2. Perempuan 102 37,23 60 21,98 39 14,23 201 73,44 1.Matematika

65 23,72 32 11,72 25 9,12 122 44,56 Topik Skripsi

Pakai Data

Jenis Data Skripsi

75 27,41 Jenis Penelitian

102 37,23 54 19,78 43 15,69 199 72,70 Jenis Kelamin

6 Pembimbing (JKP1)

2. Perempuan 92 33,58 53 19,41 49 17,88 194 70,87 1.Matematika

90 32,88 Bidang Keahlian

3) Variabel ketiga yang signifikan berkaitan dengan Lama Penyelesaian Skripsi adalah Bidang Keahlian Dosen Pembimbing Utama. Bidang Keahlian Dosen yang signifikan hanya ada tiga dikategori, yaitu Matematika Murni, Statistika, dan Aktuaria.

4) Variabel terakhir yang paling lemah kaitannya dengan Lama Penyelesaian Skripsi adalah Topik Skripsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk mahasiswa dengan topik penelitian bidang Matematika atau Optimasi, meskipun dibimbing oleh Dosen

Pembimbing yang sesuai keahliannya, namun dengan IPK yang kurang dari 2,76; mahasiswa itu cenderung menyelesaikan skripsi lebih dari 6 bulan (Lambat).

D. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

1) Variabel yang signifikan memiliki ketrekaitan dengan Lama Penyelesaian Skripsi, mulai yang paling erat hubungannya adalah Jenis Kelamin Dosen Pembimbing Utama. Selanjutnya adalah IPK, Bidang Keahlian Dosen Pembimbing Utama, dan Topik Skripsi.

2) Kategori Bidang Keahlian Dosen Pembimbing Utama yang signifikan berkaitan dengan Lama Penyelesaian Skripsi adalah Matematika Murni, Statistika, dan Aktuaria, sedangkan Topik Skripsi yang signifikan adalah Matematika Murni, Optimasi, dan Statistika.

Saran

Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk mahasiswa dengan topik penelitian bidang Matematika atau Optimasi, meskipun dibimbing oleh Dosen Pembimbing yang sesuai keahliannya, namun dengan IPK yang kurang dari 2,76; mahasiswa itu cenderung menyelesaikan skripsi lebih dari 6 bulan. Mahasiswa ini berisiko menyelesaikan skripsi lebih lama.

Berdasarkan hal itu, perlu diperhatikan mahasiswa yang memiliki IPK kurang dari 2,76 agar lebih dibimbing dan dimotivasi dalam penyusunan skripsinya, terlebih apabila mahasiswa itu memilih topik skripsi bidang Matematika Murni atau Optimasi. Diharapkan dengan bimbingan dan motivasi yang lebih besar, mahasiswa itu tidak mengalami keterlambatan penyelesaian skripsi.

E. DAFTAR PUSTAKA

Unsri, 2012, Buku Pedoman Akademik dan Kemahasiswaan Tahun 2011/2012, Universitas Sriwijaya, Palembang.

Jurusan Matematika, 2012, Panduan Kurikulum Tahun Akademik 2012/2013, FMIPA, Universitas Sriwijaya, Indralaya.

Cahyawati, D., 2010, Analisis Hubungan Faktor-Faktor yang Berkaitan dengan Risiko Anak Putus Sekolah Pendidikan Dasar (Kasus Wilayah Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan), Prosiding Seminar Nasional Statistika 2010, Jurusan Statistika FMIPA, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Cahyawati, D., 2007, Karakteristik Anak Putus Sekolah Pendidikan Dasar (Kasus: Analisis Data Susenas Tahun 2000 Provinsi Sumatera Selatan), Jurnal Penelitian Sains, Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya, Palembang.

Agresti, A., 2002, Categorical Data Analysis, John Wiley & Son, New York Huba, G.J, 2001, “CHAID”, http://www.themeasurment.com/definitions/ CHAID.htm ,

diakses Tahun 2003.

SAS Institute, Inc, 1990, “SAS/STAT User’s Guide, Version 6, 4 th edition, Volume 2, Cary NC:SAS Institute, Inc.

Siegel, S. 1988. Nonparametrik Statistics For the Behavioral Sciences. New York: McGraw-Hill,Inc.

Kass, G.V, 1982, “Automatic Interaction Detection (AID) Techniques”, Encyclopedia of Statistical Sciences Vol 1. Ed. Kots, Z. & Johnson, N.L. John Wiley & Son, New York.

SPL : LAMASKRIPSI VAL : 1 2

COU : 136 79 59 % : 49.628.8 21.5 PVA : 0.0651 0.0761

SPL : JKP1 (1)

SPL : JKP1 (2)

COU : 44 26 10

PVA : 0.4608 0.6415

PVA : 0.0084 0.1558

SPL : IPK (1,2)

SPL : BKDos (1)

SPL : BKDos (2)

SPL : BKDos (3) COU : 3 0 8 COU : 1 1 1 COU : 3 0 1

PVA : 0.0320 0.1991

PVA : 0.2231 0.2231

PVA : 0.1353 0.1353

SPL : TOPIK (1,4)

SPL : TOPIK (2)

COU : 1 0

8 COU : 2 0

Gambar 1. Dendogram Lama Penyelesaia Skripsi Mahasiswa Jurusan Matematika FMIPA Universitas Sriwijaya

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

S-9

PERGESERAN PANGSA PASAR KARTU SELULER PRA BAYAR GSM MENGGUNAKAN ANALISIS RANTAI MARKOV (Studi Kasus: Mahasiswa FMIPA UNSRAT Manado)

1 2 Djoni Hatidja 3 , Sri H. Abdullah , dan Deiby T. Salaki

1,2,3 Program Studi Matematika FMIPA Unsrat, Manado

1 2 dhatidja@gmail.com, 3 sriabdullah@yahoo.com deibyts17@gmail.com,

Abstrak

Tujuan penelitian ini ialah: 1) untuk mengetahui alasan perpindahan penggunaan merek kartu seluler pra bayar GSM ke merek kartu seluler GSM lainnya; dan 2) Memprediksi pangsa pasar penggunaan merek kartu seluler pra bayar GSM di kalangan mahasiswa menggunakan analisis rantai markov.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni 2012, bertempat di FMIPA UNSRAT Manado, menggunakan metode survei. Data primer dikumpulkan dengan melakukan penyebaran kuesioner kepada mahasiswa yang menggunakan handphone sebanyak 82 orang yang tersebar ada Jurusan Matematika, Fisika, Biologi, Kimia dan Farmasi.

Hasil peneltian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan pangsa pasar dikalangan mahasiswa FMIPA UNSRAT sebagai akibat adanya rencana perpindahan merek kartu seluler pra bayar GSM. Merek kartu seluler pra bayar GSM AS dan IM3 setiap tahunnya mengalami kenaikan jumlah pangsa pasar walaupun tidak begitu besar., sementara itu merek kartu seluler pra bayar GSM SIMPATI, MENTARI dan XL pangsa pasarnya mengalami penurunan dan TRI tidak memiliki pelanggan karena semuanya telah berpindah ke merek yang lain.

Kata kunci: rantai markov, FMIPA Unsrat, GSM

A. PENDAHULUAN Latar Belakang

Global System for Mobile communication (GSM) adalah sebuah standar global untuk komunikasi bergerak digital. GSM adalah nama dari sebuah group standarisasi yang dibentuk di Eropa tahun 1982 untuk menciptakan sebuah standar bersama telepon bergerak selular di Eropa yang beroperasi pada daerah frekuensi 900 MHz. GSM saat ini banyak digunakan di negara-negara di dunia.

Tahun 1994, Satelindo muncul sebagai operator GSM pertama di Indonesia. Kemudian disusul oleh Telkomsel (1995) dan Excelcom (1996). Dan pada tahun 2009, telah beroperasi sejumlah 5 operator kartu seluler GSM yaitu, Excelcom, Hutchison, Indosat, Telkomsel, dan Natrindo. Kemampuan operator GSM menguasai sebagian besar pangsa pasar di Indonesia, karena teknologi GSM lebih unggul dan mampu menghasilkan suara lebih jernih sehingga menjangkau wilayah yang lebih luas.

Persaingan ketat antar perusahaan kartu seluler telah menjadikan perusahaan kartu seluler berlomba-lomba memberikan tawaran yang menarik kepada pelanggan maupun calon pelanggannya, dengan tujuan untuk menarik pelanggan sebanyak-banyaknya. Penjualan kartu prabayar dengan harga yang lebih murah dari nilai pulsa yang dikandungnya merupakan salah satu strategi perusahaan komunikasi untuk menarik konsumen. Tetapi dampak dari strategi tersebut adalah konsumen menggunakannya sebagai kartu sekali pakai saja. Hal ini berakibat

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Oleh karena itu penelitian yang akan dilakukan ini difokuskan pada perpindahan penggunaan merek kartu seluler oleh para pengguna mahasiswa sebagai salah satu konsumen, untuk memprediksi pangsa pasar merek kartu seluler dengan menggunakan analisis rantai markov.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah: 1) Untuk mengetahui alasan perpindahan penggunaan merek kartu seluler pra bayar GSM ke merek kartu seluler GSM lainnya; dan 2) Memprediksi pangsa pasar penggunaan merek kartu seluler pra bayar GSM di kalangan mahasiswa.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada operator GSM mengenai adanya perubahan kepemilikan kartu sehingga operator tersebut dapat melakukan perubahan-perubahan untuk mengurangi bergesernya konsumen ke operator lain.

B. TINJAUAN PUSTAKA Rantai Markov

Proses stokastik ={(), ∈ } didefinisikan sebagai sebuah barisan peubah acak, yaitu untuk setiap ∈ kita mempunyai () . Sering kita menginterpretasikan indeks sebagai waktu, karena banyak sekali proses stokastik yang terjadi pada suatu selang waktu. Nilai peubah acak () kita namai dengan state pada saat t. Himpunan T disebut ruang parameter atau ruang indeks dari proses stokastik X dan himpunan semua nilai () yang dinamakan ruang state dari

X (Hasdianti, 2006). Jika pada waktu t proses stokastik { , = 0,1, …} berada pada state i , maka kita tuliskan kejadian ini sebagai = . Proses stokastik yang mempunyai sifat khusus yaitu untuk semua , …,

,, dan semua ≥ 0, berlaku:

Dengan sifat seperti yang dituliskan di persamaan (2.2), proses stokastik { , = 0,1, …} dinamakan rantai Markov, sebagai penghargaan terhadap A.A. Markov (1856 -1922) yang untuk pertama kalinya meneliti proses stokastik yang mempunyai sifat khusus tersebut (Hasdianti, 2006).

Yakub (2008) mengatakan bahwa untuk dapat menerapkan analisis rantai Markov ke dalam suatu kasus, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi :

1. Jumlah peluang transisi untuk suatu state awal dari sistem sama dengan 1.

2. Peluang transisi konstan sepanjang waktu.

3. Peluang transisi hanya tergantung pada state sekarang, bukan pada state sebelumnya.

Matriks Peluang Transisi

Jika sebuah rantai Markov { , = 0,1, …} dengan ruang state {0, 1, . . M }, maka peluang sistem itu dalam state i pada suatu state j pada pengamatan sebelumnya dilambangkan dengan P ij dan disebut peluang transisi dari state i ke state j. Matriks P = [p ij ] disebut matriks transisi rantai Markov (Howard dan Rorres, 2004). Jadi Jika sebuah rantai Markov { , = 0,1, …} dengan ruang state {0, 1, . . M }, maka peluang sistem itu dalam state i pada suatu state j pada pengamatan sebelumnya dilambangkan dengan P ij dan disebut peluang transisi dari state i ke state j. Matriks P = [p ij ] disebut matriks transisi rantai Markov (Howard dan Rorres, 2004). Jadi

0 1 ... M

Dimana elemen-elemen dari matriks P bernilai tak negatif dan jumlah elemen-elemen pada satu baris di matriks peluang transisi ini harus sama dengan 1.

Peluang Transisi n-step

Hiller dan Liberman (2008) mendefinisikan bahwa peluang transisi n-step () , adalah peluang bersyarat suatu sistem yang berada pada state i akan berada pada state j setelah proses

mengalami n transisi. Jadi,

Oleh karena () adalah peluang bersyarat, peluang tersebut harus bernilai tak negatif, dan oleh karena prosesnya harus membuat perubahan ke state yang lain maka peluang tersebut harus

memenuhi sifat

A. () > 0, untuk semua i dan j;n=1,2,…,

B. () ∑ =1 untuk semua i;n=1,2,… . Matriks peluang transisi n- step,

Ketika n = 1, maka () =

State 0 1 ... M

Persamaan Chapman-Kolgomorov

Persamaan Chapman-Kolgomorov merupakan sebuah metode untuk menghitung peluang transisi dalam n-step.

Untuk semua , = 0,1, …, ;

+ 1, + 2, …. Persamaan (2.5) menunjukkan bahwa perubahan dari state ke i ke state j sebanyak n- step, proses ini akan berada dalam beberapa state k setelah tepat m (kurang dari n) state. Oleh karena

itu, ) adalah peluang bersyarat dengan titik mulai state i, proses menuju ke state k setelah m step dan kemudian ke state j setelah n-m step. Dengan demikian, penjumlahan peluang

bersyarat terhadap semua k yang mungkin akan menghasilkan () (Hiller dan Liberman, 2008).

Vektor Keadaan (State Vector)

Howard dan Rorres (2004) menyebutkan bahwa state atau keadaan pada rantai Markov yang ditulis dalam bentuk vektor yang dinamakan vektor keadaan (state vector). Vektor state untuk sebuah pengamatan pada suatu rantai Markov dengan X(t) state adalah vektor baris x. Dapat dituliskan:

=[ , , …, ] Dimana, adalah peluang bahwa sistem tersebut berada pada state 1. adalah peluang bahwa sistem tersebut berada pada state 2. adalah peluang bahwa sistem tersebut berada pada state i.

Jika (n) P merupakan matriks transisi rantai Markov dan x adalah vektor state pada

pengamatan ke-n, maka n = P (2.6)

Perpindahan Merek (Brand Switching)

Brand switching adalah perpindahan atau peralihan merek yang digunakan oleh konsumen untuk setiap waktu penggunaan produk. Dalam menentukan pilihannya konsumen selalu mempertimbangkan nilai maksimal yang akan mereka dapatkan dengan membeli suatu produk tertentu. Menurut Kotler dan Keller (1997), nilai maksimal adalah perbandingan antara manfaat yang diharapkan diperoleh konsumen dari produk atau jasa tertentu dengan biaya pengorbanan konsumen yang diperkirakan akan terjadi dalam mengevaluasi, memperoleh, dan menggunakan produk atau jasa tersebut.

Metode urutan pilihan atau disebut juga pola pembelian ulang diklarisifikasikan menjadi beberapa kelompok meliputi: Potential Swicher, Repeat Buyer dan Brand Switcher.

C. METODE PENELITIAN Data Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni 2012, bertempat di FMIPA UNSRAT Manado, menggunakan metode survei. Data primer dikumpulkan dengan melakukan penyebaran kuesioner kepada mahasiswa. Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang aktif pada tahun ajaran 2011/2012 yang memiliki handphone, berdasarkan pengamatan jumlah mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang memiliki handphone sebanyak 459 orang. Penentuan jumlah responden/sampel dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan metode Slovin (Umar, 2008) sebagai berikut :

Tabel 1. Jumlah Mahasiswa Sampel Penelitian

No

Jurusan

Populasi (orang)

Sampel (orang)

Analisis Data

Data yang dikumpulkan diolah dan disajikan melalui :

1. Analisis deskriptif kuantitatif untuk mengklasifikasikan jawaban responden terhadap alasan pengguna merek kartu seluler pra bayar GSM dan menghitung pangsa pasar dari setiap merek kartu seluler pra bayar GSM.

2. Menganalisis pola perpindahan dari satu merek kartu seluler ke merek kartu seluler yang lain.

3. Meramalkan pangsa pasar dimasa depan dengan teknik analisis rantai Markov (Markov chains )

Rantai Markov

Tahapan analisis yang dilakukan dalam rantai Markov (Djan dan Ruvendi, 2006) adalah sebagai berikut :

1. Membuat tabel jumlah pengguna kartu seluler dari masing-masing merek baik saat sekarang maupun sebelumnya.

2. Membuat tabel brand switching yaitu data perubahan atau pergeseran dari satu merek ke merek lainnya.

3. Membuat matriks peluang transisi ( P).

4. Memprediksi pangsa pasar menggunakan rumus () = P n yaitu mengalikan matriks kejadian dengan matriks peluang transisinya ( P). Dimana matriks P bersifat konstan.

D. PEMBAHASAN Merek Kartu Seluler Pra bayar GSM yang Digunakan

Merek-merek kartu seluler pra bayar GSM yang digunakan oleh responden (Mahasiswa FMIPA Unsrat adalah seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Merek Kartu Seluler dan Jumlah Pengguna

Merek kartu seluler

Jumlah Responden

No Persentase pra bayar GSM

Tabel 2 menunjukkan bahwa kartu seluler AS adalah merek yang paling banyak digunakan oleh responden saat ini, dengan jumlah responden yaitu 48 responden (58,54%). Kemudian SIMPATI menduduki urutan kedua terbanyak yang digunakan oleh responden dengan jumlah responden yaitu 18 responden (21,95%) dan IM3 pada urutan ketiga yaitu 13 responden (15,85). Urutan berikutnya adalah kartu seluler XL yaitu dengan 2 responden (2,44%) dan pada urutan terakhir MENTARI dengan 1 responden.

Perpindahan Merek (Brand Switching)

Tabel 3 memperlihatkan merek kartu seluler AS sebagai merek yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa baik sekarang maupun sebelumnya. Jumlah konsumen kartu AS bertambah 14 orang dari yang sebelumnya berjumlah 34 orang menjadi 48 orang.

Konsumen merek kartu seluler SIMPATI saat ini berjumlah 18 orang. Dibandingkan sebelumnya konsumen merek simpati yang berjumlah 19 orang,ini berarti terjadi pengurangan jumlah konsumen sebanyak 1 orang. Ini disebabkan karena merek SIMPATI memperoleh tambahan 5 orang dari merek lain akan tetapi 6 konsumennya berpindah ke merek yang lain.

Sama halnya dengan merek kartu seluler simpati, IM3 terjadi pengurangan jumlah konsumen dari yang sebelumnya berjumlah 16 orang, menjadi 13 orang. ini disebabkan karena jumlah konsumen yang berpindah ke merek lain lebih banyak dibandingkan dengan jumlah dari konsumen merek lain yang berpindah menggunakan IM3.

Tabel 3. Jumlah Konsumen Kartu Seluler Pra bayar GSM

Jumlah Merek Kartu

Jumlah

Konsumen No

Konsumen

Seluler Pra

Perolehan

Kehilangan

Sekarang bayar GSM

Sebelumnya

(Orang)

(Orang)

1 AS

2 SIMPATI

3 IM3

Tabel 4. Brand Switching Pattern

Ke Merek

en

um nya

Merek Kartu Seluler

I Pra bayar GSM

D SIMPATI

3 0 0 0 0 0 3 Jumlah Konsumen

48 18 13 1 2 0 82 Sekarang

Merek kartu seluler XL yang semula digunakan oleh 5 orang konsumen sekarang berkurang menjadi 2 orang yang merupakan konsumen dari merek lain yang berpindah ke merek XL karena 5 orang konsumen merek kartu seluler XL yang sebelumnya telah berpindah menggunakan merek kartu seluler yang lain. Pola perpindahan penggunaan kartu seluler pra bayar GSM secara lengkap disajikan pada Tabel 4.

Pada Tabel 4 terlihat merek kartu seluler AS saat ini digunakan oleh 48 orang konsumen yang berasal dari konsumen yang tetap sebanyak 28 orang, konsumen yang berpindah dari merek kartu seluler SIMPATI 3 orang, dari merek kartu seluler IM3 8 orang dan dari merek kartu seluler XL dan mentari masing-masing 3 orang.

Konsumen merek kartu seluler SIMPATI yang saat ini berjumlah 18 orang, dimana konsumen yang tetap menggunakan merek kartu seluler SIMPATI sebanyak 13 orang dan yang berpindah sebanyak 3 orang ke merek kartu seluler AS, 2 orang ke merek kartu seluler IM3 dan 1 orang ke merek kartu seluler XL.

Merek kartu seluler IM3 memperoleh tambahan konsumen dari merek kartu seluler lain yang berpindah ke merek kartu seluler IM3 sebanyak 5 orang dari merek kartu seluler AS, 2 orang dari merek kartu seluler SIMPATI, dan 1 orang dari merek kartu seluler XL. Akan tetapi, jumlah konsumen yang berpindah ke merek lain lebih banyak dibandingkan dengan konsumen merek lain yang berpindah ke merek kartu seluler IM3 yaitu 8 orang berpindah ke merek kartu seluler AS, 2 orang ke merek kartu seluler SIMPATI dan 1 orang ke merek kartu seluler XL. Oleh karena itu jumlah konsumen merek kartu seluler IM3 sekarang berjumlah 13 orang atau berkurang sebanyak 3 orang dari jumlah konsumen yang sebelumnya berjumlah 16 orang.

Konsumen merek kartu seluler XL saat ini berjumlah 2 orang yang berasal dari perpindahan konsumen merek kartu seluler SIMPATI dan IM3. Tidak ada konsumen merek kartu seluler XL sebelumnya yang tetap menggunakannya karena 5 konsumen merek kartu seluler XL yang sebelumnya telah berpindah ke merek kartu seluler AS 3 orang, ke merek kartu seluler 1 orang dan ke merek kartu seluler IM3 sebanyak 1 orang.

Merek kartu seluler MENTARI saat ini hanya digunakan oleh satu konsumen yang tidak berpindah, yang mana keempat konsumen lainnya telah berpindah ke merek kartu seluler lainnya masing-masing 3 orang ke merek kartu seluler AS dan 1 orang ke merek kartu seluler SIMPATI.

Prediksi Pangsa Pasar (Market Share ) Merek Kartu Seluler Pra bayar GSM di Kalangan Mahasiswa

Bila diasumsikan bahwa perpindahan merek kartu seluler stabil maka dapat dibuat matriks peluang transisi P,

6 ⎝ 1,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 ⎠ dengan matriks awal,

Keterangan : 1 = Merek AS

3 = Merek IM3

5 = Merek XL

2 = Merek SIMPATI

4 = Merek MENTARI

6 = Merek TRI

Matriks peluang transisi P diperoleh dari Tabel 4 yang dibuat dalam bentuk peluang.

Misalnya untuk kartu seluler merek AS, pada matriks peluang transisi P,

= 0,59 . Nilai pada P 11 tersebut diperoleh dengan membagikan jumlah konsumen merek AS yang tidak berpindah dengan jumlah konsumen merek AS yang sebelumnya yaitu 28/34=0,82. Untuk

= 0,03 , diperoleh dari jumlah konsumen kartu seluler merek AS yang berpindah ke merek SIMPATI dibagi dengan jumlah konsumen merek AS yang sebelumnya yaitu 1/34=0,03. Demikian seterusnya hingga pada

= 0,00 diperoleh dari jumlah konsumen merek TRI yang tetap menggunakan merek TRI dibagi dengan jumlah konsumen merek TRI yang sebelumnya yaitu 0/3=0.

Seperti pada matriks peluang transisi P, matriks awal diperoleh dari Tabel 4 yang dibuat dalam bentuk peluang. Misalnya untuk kartu seluler merek AS, pada = 0,59 9. Nilai tersebut diperoleh dengan membagi jumlah konsumwen merek kartu seluler AS sekarang dengan jumlah konsumen seluruhnya, yaitu 48/82=0,59. Demikian seterusnya hingga pada

= 0,00 diperoleh dari jumlah konsumen merek TRI yang tetap menggunakan merek TRI dibagi dengan jumlah konsumen merek TRI yang sebelumnya yaitu 0/3=0.

Gambar 1 menunjukkann proporsi pengguna merek kartu seluler, dimana merek AS merupakan merek yang paling diminati pangsa pasarnya dan naik secara perlahan, yang semula tahun 2012 sekitar 59%, pada tahun 2015 naik menjadi 64%. Sama halnya dengan merek AS, IM3 yang menunjukan peningkatan pangsa pasar setiap tahunnya. Pada tahun 2015 pangsa pasar merek IM3 menjadi 17,10% yang pada tahun 2012 sebesar 16%. Merek SIMPATI yang semula pangsa pasarnya 22% turun secara perlahan dan pada tahun 2015 menjadi 16,52%. Merek MENTARI juga mengalami penurunan diprediksi pada tahun 2015 pangsa pasarnya hanya sebesdar 0,01%. Sama halnya dengan merek SIMPATI dan MENTARI, merek XL juga mengalami penurunan pangsa pasar yang pasa tahun 2012 sekitar 2% , pada tahun 2015 turun menjadi 1,90%. Merek TRI yang semula pada tahun 2012 tidak ada penggunanya, pada tahun 2015 pun demikian.

M ENTA

Gambar 1. Prediksi Pangsa Pasar Merek Kartu Seluler

di Kalangan Mahasiswa FMIPA UNSRAT

E. KESIMPULAN

Terjadi perubahan pangsa pasar dikalangan mahasiswa FMIPA UNSRAT sebagai akibat adanya rencana perpindahan merek kartu seluler pra bayar GSM. Merek kartu seluler pra bayar GSM AS dan IM3 setiap tahunnya mengalami kenaikan jumlah pangsa pasar walaupun tidak begitu besar., sementara itu merek kartu seluler pra bayar GSM SIMPATI, MENTARI dan XL pangsa pasarnya mengalami penurunan dan TRI tidak memiliki pelanggan karena semuanya telah berpindah ke merek yang lain.

F. DAFTAR PUSTAKA

Djan, I. dan Ruvendi, R. 2006. Prediksi Perpindahan Penggunaan Merek Handphone di Kalangan Mahasiswa (Studi Kasus Pada Mahasiswa STIE Binaniaga). Jurnal Ilmiah Binaniaga 2(1).

Hasdianti, R. 2006. MA-4173 Kapita Selekta Matematika Terapan I (Teori Antrian). Penerbit ITB, Bandung.

Howard, A., and Rorres, C. 2004. Aljabar Linear Elementer versi Aplikasi. Edisi ke-8, jilid 2. Terjemahan Izham Harmein dan Julian Gresdando. Erlangga, Jakarta.

Kotler, P. dan K.L. Keller. 2007. Manajemen Pemasaran Terjemahan PT. INDEKS Kelompok Media, Jakarta.

Swasta, B. dan Irawan. 1990. Manajemen Pemasaran Modern. Liberty, Jakarta.

Umar, Husein. 2008. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis. Edisi 2. Rajawali Pers. Jakarta.

Yakub, R. 2008. Dinamika Pada Rantai Markov Dengan Dua Komponen [skripsi]. FMIPA USU. Medan.

S - 10

APLIKASI METODE FULL INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (FIML) PADA PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN SIMULTAN (Studi Kasus : Data Stok Uang, PDRB, dan Konsumsi Rumah Tangga Di DIY)

1 Eka Septiana 2 , Retno Subekti

1,2 Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

1 septianaecha@yahoo.com, 2 retnosubekti@uny.ac.id

Abstrak

Metode Full Information Maximum Likelihood (FIML) merupakan metode estimasi parameter menggunakan metode maksimum likelihood dengan memperhatikan seluruh informasi dalam sistem persamaan simultan, yaitu seluruh persamaan diperhitungkan bersama dan ditaksir secara simultan dengan memperhatikan batasan dari persamaan lain dalam model. Langkah-langkah estimasi parameter dengan metode FIML terdiri dari lima langkah. Pertama, menentukan fungsi densitas peluang bersama untuk variabel error. Kedua, menentukan fungsi likelihood untuk variabel error. Ketiga, menentukan fungsi loglikelihood untuk variabel error. Keempat, memaksimalkan fungsi loglikelihood untuk variabel error. Kelima, mengestimasi parameter. Estimasi parameter dengan metode FIML dapat dibantu dengan program komputer SPSS19 dan EViews7.2. Program SPSS19 digunakan untuk menguji asumsi-asumsi. Sedangkan EViews7.2 digunakan untuk mengestimasi parameter dengan metode FIML. Metode FIML digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan simultan dari hubungan variabel PDRB( ), stok uang tahun sebelumnya (

) , dan tingkat suku bunga ( ) terhadap stok uang ( ), variabel konsumsi rumah tangga (

), stok uang ( ), dan investasi ( ) terhadap

PDRB ( ), variabel stok uang ( ), tingkat suku bunga tahun sekarang ( )dan tahun sebelumnya (

). Dengan bantuan EViews7.2

) terhadap konsumsi rumah tangga (

∗ = − 285,5465 + 0,063427 ∗ + 0,097435 ∗ + 12,12340 ∗ dengan variabel yang signifikan yaitu PDRB (

− ∗ 0,478464 dengan variabel yang signifikan yaitu konsumsi rumah tangga (

88,30695 − ∗ − 7,172578 ∗ dengan variabel

yang signifikan yaitu stok uang ( ∗ ). Yang artinya bahwa stok uang dipengaruhi PDRB, PDRB dipengaruhi konsumsi rumah tangga, dan konsumsi rumah tangga dipengaruhi stok uang.

Kata kunci: estimasi, sistem persamaan simultan, metode FIML

A. PENDAHULUAN

Pada model persamaan simultan terdapat lebih dari satu variabel tak bebas dan lebih dari satu persamaan yang akan membentuk suatu sistem persamaan. Pada sistem persamaan simultan terdapat variabel tak bebas dalam satu persamaan dapat muncul kembali sebagai variabel bebas dalam persamaan lain dalam sistem. Oleh karena itu, pemberian nama variabel bebas dan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Metode Full Information Maximum Likelihood (FIML) merupakan salah satu dari metode sistem yang dalam mengestimasi parameternya menggunakan seluruh informasi pada sistem persamaan simultan tersebut. Sehingga, setiap persamaan diestimasi secara keseluruhan dengan memperhatikan persamaan lainnya dalam sistem. Dalam mengestimasi parameter menggunakan metode FIML dibantu dengan program SPSS 19 dan EViews 7.2. SPSS (Statistical Program for Social Science) merupakan program aplikasi komputer untuk menganalisa data terutama untuk ilmu-ilmu sosial. Namun demikian, SPSS dapat digunakan untuk membuat laporan tabulasi, chart (grafik), plot (diagram), statistik deskriptif dan analisa statistik yang kompleks. Program SPSS dalam penulisan ini digunakan untuk menguji asumsi. Sedangkan program EViews adalah sebuah program aplikasi yang mampu menganalisis ekonometrika secara lengkap. Salah satu keungulan EViews dibandingkan program atau software lainnya adalah berbasis windows dan mudah dioperasikan (user-friendly). EViews dapat digunakan dalam analisis dan evaluasi analisis data saintifik, analisa keuangan, peramalan makro/mikro ekonomi, simulasi, dan analisa biaya dan peramalannya. Dalam penulisan ini, program EViews digunakan untuk mengestimasi parameter menggunakan FIML.

Teori dalam ilmu ekonomi merupakan gambaran tentang bagaimana suatu perekonomian berfungsi dalam menjalankan kegiatannya. Teori dalam ilmu ekonomi terdiri dari teori mikroekonomi dan teori makroekonomi. Analisis dalam teori mikroekonomi pada umumnya meliputi bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan perekonomian. Sedangkan analisis dalam teori makroekonomi lebih luas dan menyeluruh. Dalam hal ini, digunakan data makroekonomi yang diperoleh dari BPS Yogyakarta dari tahun 1984 sampai dengan 2010 yang meliputi data tingkat suku bunga, PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), stok uang, konsumsi rumah tangga, dan data investasi. Tujuan dalam penulisan ini yaitu menjelaskan langkah-langkah dalam mengestimasi parameter pada sistem persamaan simultan dengan menggunakan metode FIML dan menjelaskan penerapan estimasi model persamaan simultan dengan metode FIML.

B. PEMBAHASAN Bentuk Umum Sistem Persamaan Simultan

Bentuk umum pada sistem persamaan simultan dengan M variabel endogen yaitu y t1 ,y t2 , …, y tM , K variabel predeterminan yaitu

adalah sebagai berikut :

Dengan u t1 , u t2 , …, u tM merupakan variabel error, dan merupakan parameter struktural dalam model yang akan diestimasi. Persamaaan (3.1) dapat disederhanakan menjadi

Dengan A merupakan matriks nonsingular dan : variabel endogen dengan vektor observasi berukuran 1xM : variabel predeterminan dengan vektor observasi berukuran 1xK

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 64

: variabel error dengan vektor error berukuran 1xM

:parameter struktural dari variabel endogen dengan matriks koefisien berukuran M x M. :parameter struktural dari variabel predeterminan dengan matriks koefisien berukuran K x M.

Bentuk lain dari persamaan (3.1) dalam bentuk matriks dengan M variabel endogen, K variabel predeterminan, dan t indeks observasi yaitu t = 1, 2, …, T adalah:

YA + XW = U

Metode Full Information Maximum Likelihood ( FIML ) Menurut Maddala (1977: 486), metode Full Information Maximum Likelihood (FIML) merupakan suatu metode estimasi dalam sistem persamaan simultan yang menggunakan metode maksimum likelihood. Metode FIML merupakan salah satu dari metode sistem, sehingga semua persamaan dalam model diperhitungkan secara bersama-sama dan ditaksir secara simultan dengan memperhatikan semua batasan-batasan dari persamaan lain dalam model. Beberapa asumsi yang terdapat dalam metode FIML berdasarkan pada persamaan (3.3) yaitu:

a. A merupakan matriks nonsingular dan semua persamaan memenuhi kondisi rank dengan syarat rank X = K .

b. Terdapat

c. Pada setiap persamaan terdapat error yang berdistribusi normal dengan mean ( μ = 0 ) dan

kovarians matriks ( ) dapat ditulis ~ (, ) dengan i=1,2,…M dan kovarians matriks adalah independen yaitu

′ = untuk t,s = 1, 2, …, T ; t ≠ s.

d. Terdapat korelasi contemporaneus (contemporaneously correlation) yaitu

(3. 4) yang berati bahwa kovarians dari error pada dua persamaan i,k = 1,2,…,M adalah dan tidak berubah bersamaan dengan perubahan pada t. Sehingga diperoleh bentuk umum untuk variabel error yaitu:

Langkah – langkah dalam estimasi parameter menggunakan metode FIML:

1. Menentukan pdf bersama dari variabel error adalah sebagai berikut:

Berdasarkan persamaan (3.3) dan (3.5), maka mencari pdf bersama dari Y samadengan mencari pdf dari Y itu sendiri. Pdf dari Y diturunkan dari pdf U sebagai fungsi dari Y adalah:

(3. 6) Berdasarkan pdf distribusi multivariat normal dan persamaan (3.4) maka diperoleh :

f(Y; , , ) = f(U; , , )

Jadi, pada persamaan (3.7) merupakan bentuk pdf bersama untuk variabel error.

2. Menentukan fungsi likelihoodnya untuk variabel error adalah sebagai berikut:

Berdasarkan persamaan simultan (3.2) dan diketahui bahwa untuk setiap persamaan adalah independen, maka pdf bersama dari

( ) . Karena tidak diobservasi, maka dapat diubah ke dalam bentuk pdf observasi y. Sehingga diperoleh ( ; )= ( ). , dengan adalah transformasi jacobian yaitu

dapat ditulis ∏

=|| berdasarkan persamaan simultan (3.2) maka (

… )=|| ∏ ( ) . Karena

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 65 Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 65

likelihood, maka (, ,)=|| ∏

( ) . Berdasarkan persamaan (3.3) dan persamaan (3.7) diperoleh fungsi likelihood untuk variabel yang akan diestimasi:

Jadi, pada persamaan (3.8) merupakan fungsi likelihood untuk variabel error.

3. Menentukan fungsi loglikelihood untuk variabel error adalah sebagai berikut:

Fungsi loglikelihood dapat diperoleh dengan berdasarkan pada persamaan (3.8) yang diubah kedalam bentuk logaritma natural (ln) yaitu

ℓ (, , )= (, , ) sehingga diperoleh: ℓ (, ,

Jadi pada persamaan (3.9) merupakan bentuk fungsi loglikelihood untuk variabel error.

4. Memaksimalkan fungsi loglikelihood untuk variabel error adalah sebagai berikut:

Pada tahap memaksimalkan fungsi loglikelihood, dapat dilakukan dengan menurunkan secara parsial pada , , dari persamaan (3.9) adalah sebagai berikut:

Setelah dilakukan turunan parsial, dalam memaksimalkan fungsi loglikelihood pada persamaan (3.10), (3.11), dan (3.12) adalah disamadengankan nol:

5. Estimasi Parameter

Mengubah persamaan simultan yang berbentuk YA + XW = U ke dalam bentuk vektor tegak =

+ dilakukan sebelum proses estimasi. Berdasarkan model sistem persamaan simultan pada persamaan (3.3) yaitu YA + XW = U, terdapat elemen pada diagonal A sama dengan -1 yaitu

= -1 dengan i=1,2,..,M (Intriligator,1996:348).

− Sehingga

. Jadi persamaan (3.3) dapat ditulis: −

, dan adalah vektor yang bernilai negatif maka dapat ditulis menjadi

= + , = 1, 2, …,M. Sehingga diperoleh: = + , maka

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 66

= − (3. 16) Masing-masing vektor pada , ,…,

dan , ,…, adalah vektor berukuran T x 1. Sedangkan pada terdiri dari [ ] dengan masing-masing matriks pada

, , …, terdiri dari matriks yang berukuran T x (M * -1) dan masing –masing pada matriks pada

, * ,…, berukuran T x K . Sedangkan masing-masing vektor pada , , …,

terdiri dari vektor berukuran ((M -1 )+K ) x1 .

 Estimasi Parameter untuk

Untuk mengestimasi dapat diperoleh dengan berdasarkan persamaan (3.15) yaitu −

= (3. 17) Sehinggga diperoleh estimator untuk matriks kovarians yaitu = ′

, dengan elemen ij pada =

 Estimasi Parameter untuk

Pada persamaan (3.15), sesuai dengan asumsi bahwa adalah definit positif maka diperoleh:

(3.18) Selanjutnya persamaan (3.18) disubstitusikan ke dalam persamaan (3.13) sehingga diperoleh:

(3. 19) Karena

(3. 20) Maka pada persamaan (3.20) dan (3.14) dapat disederhanakan menjadi: ( )

( ⊗ )=0 (3. 21) Persamaan (3.21) diubah dengan berdasarkan pada persamaan (3.16) yaitu = −

dan berdasarkan reduced-form yaitu

] dengan

diperoleh dari

reduced-form pada persamaan (3.3). Sehingga diperoleh untuk M persamaan adalah:

= [ , , …, ] (3. 22) Sehingga pada persamaan (3.21) diperoleh bentuk sebagai berikut : ( ⨂ )

= ( ⨂ ) (3. 25) Jadi diperoleh estimator untuk yaitu =(

(3. 26) Apabila pada persamaan (3.26) diperoleh parameter yang tidak linear, maka dilakukan proses iterasi dengan metode iterasi Berndt, Hall, Hall & Hausman (BHHH) sampai diperoleh nilai yang konvergen ke suatu titik, dengan bentuk dasar :

, dengan r = 1, 2, ….

Misalkan r = 1 =

+ (3. 27) Untuk mencari

dengan berdasarkan persamaan (3.27) adalah sebagai berikut: −

untuk r = 1 maka:

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 67

, ( ⨂ ) adalah nilai dari ,( ⨂ ) apabila = , dan

( ⨂ ) adalah tambahan pada ,( ⨂ ) yang menyebabkan perubahan dari ke

. Karena , ( ⨂ ) sangat kecil dibandingkan dengan ,( ⨂ ) maka dapat diabaikan dan hanya diperhatikan pada: ( ⨂ )

Selanjutnya persamaan (3.29) disubstitusikan ke dalam persamaan (3.27) sehingga diperoleh :

=[ ( ⨂ ) ] [ ( ⨂ ) ] (3. 30) Jadi, berdasarkan pemisalan iterasi dengan r = 2 diperoleh estimator yaitu: =[

( ⨂ ) ] [ ( ⨂ ) ] dengan r = 1, 2,…

Atau dapat ditulis : =(

) (3. 31) Sehingga diperoleh estimator berdasarkan proses iterasi untuk

yaitu pada persamaan (3.31).

Penerapan Metode FIML pada Sistem Persamaan Simultan

Dalam hal ini digunakan data makroekonomi yang diperoleh dari BPS Yogyakarta dari tahun 1984 sampai dengan 2010 yang meliputi data tingkat suku bunga, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), stok uang, konsumsi rumah tangga, dan data investasi. Stok uang merupakan sisa dari PDRB menurut penggunaan pada tahun sebelumnya. Bentuk persamaan struktural pertama yang menyatakan bahwa stok uang pada tahun ke-t (M t ) dipengaruhi oleh PDRB tahun ke-t (Y t ), stok uang pada tahun sebelumnya (M t-1 ), suku bunga pada tahun ke-t (r t ), dan faktor lain yang dapat mempengaruhi stok uang. Persamaan struktural yang ke dua menyatakan bahwa PDRB tahun ke-t (Yt) dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga tahun ke-t (CO t ), stok uang pada tahun sebelumnya (M t-1 ), total investasi pada tahun ke–t (I t ), dan faktor lain yang dapat mempengaruhi PDRB. Untuk persamaan struktural yang ketiga menyatakan bahwa konsumsi rumah tangga tahun ke-t (CO t ) dipengaruhi oleh stok uang pada tahun ke-t (M t ), suku bunga pada tahun ke-t (r t ), suku bunga pada tahun sebelumnya (r t-1 ), dan faktor lain yang dapat mempengaruhi stok uang sebagai berikut:

(3.34) Dengan: = stok uang pada tahun ke-t = stok uang pada tahun ke t-1 r t = Total suku bunga tahun ke–t Yt = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun ke-t

I t = Total investasi swasta domestik bruto tahun ke–t CO t = konsumsi rumah tangga tahun ke-t r t-1 = Total suku bunga tahun ke t-1

Estimasi Parameter dengan Metode FIML dengan Menggunakan SPSS 19 dan EViews 7.2

Program SPSS 19 dalam estimasi ini digunakan untuk menguji signifikansi bersama dan uji parsial pada masing-masing persamaan pada persamaan (3.32), (3.33), (3.34). Hasil uji parsial dengan program SPSS merupakan hasil estimasi untuk masing-masing persamaan tanpa

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 68 Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 68

a. Uji Signifikansi Bersama dengan Program SPSS19

Uji signifikansi bersama dengan program SPSS pada persamaan (3.32), (3.33), dan (3.34) menunjukkan bahwa pada setiap persamaan diperoleh nilai p-value = 0,000 lebih kecil dari 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada persamaan (3.32), (3.33), dan (3.34), paling sedikit ada satu variabel predeterminan yang dapat berpengaruh terhadap variabel endogen.

b. Uji Parsial dengan Program SPSS19

 Model Stok Uang Berdasarkan pada persamaan (3.32) diperoleh hasil output dengan program SPSS: = − 123,967 + 0,026 + 0,620 + 6,286 (3. 35) Standar error = (0,008) (0,131) (3,722) p-value

2 = 0,889 Diperoleh p-value untuk PDRB ( ) dan stok uang tahun sebelumnya (

) adalah 0,004 dan 0,000 lebih kecil dari 0,05 dengan standar error sebesar 0,008 dan 0,131. Sedangkan p-value untuk suku bunga ( ) adalah 0,105 lebih besar dari 0,05 dengan standar error sebesar 3,722. Sehingga dapat disimpulkan bahwa PDRB ( ) dan variabel stok uang tahun sebelumnya (

) signifikan mempengaruhi stok uang ( ) sedangkan suku bunga ( ) tidak signifikan mempengaruhi stok uang ( 2 ). Selain itu, diperoleh nilai = 0,889,

yang barati bahwa 88,9% variasi pada stok uang dapat dijelaskan oleh PDRB, stok uang tahun sebelumnya, dan suku bunga. Sedangkan sisanya yaitu 11,1% dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

 Model PDRB Berdasarkan pada persamaan (3.33) diperoleh hasil output dengan program SPSS: = − 259,118 + 1,968 + 1,783 + 0,442 (3. 36) Standar error = (0,030) (0,232) (0,326) p-value

2 = 0,999 Diperoleh p-value untuk konsumsi rumah tangga (

) dan stok uang ( ) adalah 0,000 dan 0,000 lebih kecil dari 0,05 dengan standar error sebesar 0,030 dan 0,232. Sedangkan p-value untuk variabel investasi ( ) adalah 0,189 lebih besar dari 0,05 dengan standar error sebesar 0,326. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsumsi rumah tangga ( ) dan stok uang ( ) signifikan mempengaruhi PDRB ( ) sedangkan investasi ( ) tidak signifikan mempengaruhi PDRB ( ). Selain itu, diperoleh nilai 2 = 0,999, yang barati

bahwa 99,9% variasi pada PDRB dapat dijelaskan oleh konsumsi rumah tangga, stok uang, dan investasi. Sedangkan sisanya yaitu 0,1% dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

 Model Konsumsi Rumah Tangga Berdasarkan pada persamaan (3.34) diperoleh hasil output dengan program SPSS: = − 2581,223 + 6,133 − 87,846 − 15,778 (3. 37) Standar error = (0,783) (41,761) (43,234) p-value

2 = 0,766 Diperoleh p-value untuk stok uang ( ) dan suku bunga ( ) adalah 0,000 dan 0,047

lebih kecil dari 0,05 dengan standar error sebesar 0,783 dan 41,761. Sedangkan p-value untuk suku bunga tahun sebelumnya (

) adalah 0,781 lebih besar dari 0,05 dengan standar error sebesar 43,234. Sehingga dapat disimpulkan bahwa stok uang ( ) dan suku bunga ( ) signifikan mempengaruhi konsumsi rumah tangga (

) sedangkan suku bunga tahun sebelumnya (

) tidak signifikan mempengaruhi konsumsi rumah tangga ( ). Selain itu, diperoleh nilai 2 = 0,766, yang berarti bahwa 76,6% variasi pada konsumsi

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 69 Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 69

c. Estimasi Parameter Menggunakan Metode FIML dengan Program Eviews7.2

Pada persamaan (3.32), (3.33), dan (3.34) dapat diestimasi dengan metode FIML menggunakan program EViews 7.2. Berdasarkan hasil output dari program EViews 7.2 dapat dilihat bahwa dengan metode BHHH, konvergensi dapat dicapai pada iterasi ke-568 dengan hasil estimasi parameter sebagai berikut:

Berdasarkan pada persamaan (3.38), (3.39), dan (3.40) dapat dijabarkan sebagai berikut:  Hasil Estimasi Parameter untuk Model Stok Uang

= − 285,5465 + 0,063427 ∗ + 0,097435 ∗ + 12,12340 ∗ Standar error = (0,022862) (0,216386) (41,42575) p-value

2 = 0,778 Diperoleh p-value untuk PDRB ( ∗ ) = 0,0055 lebih kecil dari 0,05 dengan standar

error sebesar 0,022862. Sedangkan p-value untuk stok uang tahun sebelumnya ( ∗ ) dan suku bunga ( ∗ ) adalah 0,6525 dan 0,7698 lebih besar dari 0,05 dengan standar error berturut-turut sebesar 0,216386 dan 41,42575. Sehingga dapat disimpulkan bahwa PDRB ( ∗ ) signifikan mempengaruhi stok uang ( ∗ ). Sedangkan stok uang tahun sebelumnya ( ∗ ) dan suku bunga ( ∗ ) tidak berpengaruh signifikan terhadap stok uang. Selain itu, diperoleh nilai 2 = 0,778, menunjukkan bahwa 77,8% variasi pada variabel stok uang dapat

dijelaskan oleh variabel PDRB, stok uang tahun sebelumnya, dan suku bunga. Sedangkan sisanya yaitu 22,2% dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

 Hasil Estimasi Parameter untuk Model PDRB ∗ = − 370,3526 + 2,052843 ∗ + 1,307053 ∗ + 0,478464 ∗

Standar error = (0,319998) (1,779656) (0,583223) P-value

2 = 0,998 Berdasarkan output program EViews, diperoleh p-value untuk konsumsi rumah tangga

( ∗ ) adalah 0,0000 lebih kecil dari 0,05 dengan standar error sebesar 0,319998. Sedangkan p-value untuk stok uang ( ∗ ) dan investasi ( ∗ ) adalah 0,4627 dan 0,4120 lebih besar dari 0,05 dengan standar error berturut-turut sebesar 1,779656 dan 0,583223. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsumsi rumah tangga ( ∗ ) signifikan mempengaruhi PDRB ( ∗ ). Sedangkan stok uang ( ∗ ) dan investasi ( ∗ ) tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi rumah tangga. Selain itu, diperoleh nilai 2 = 0,998, yang menunjukkan bahwa

99,8% variasi pada variabel PDRB dapat dijelaskan oleh variabel konsumsi rumah tangga, stok uang, dan investasi. Sedangkan sisanya yaitu 0,2% dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

 Hasil Estimasi Parameter untuk Konsumsi Rumah Tangga

Standar error = (3,165960) (282,5547) (20,51865) p-value

Berdasarkan output program EViews, diperoleh p-value untuk stok uang ( ∗ ) adalah 0,0470 lebih kecil dari 0,05 dengan standar error sebesar 3,165960. Sedangkan p-value untuk suku bunga tahun tertentu ( ∗ ) dan tahun sebelumnya ( ∗ ) adalah 0,7546 dan 0,7267

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 70 Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 70

berpengaruh signifikan terhadap stok uang. Selain itu, diperoleh nilai 2 = 0,765, yang menunjukkan bahwa 76,5% variasi pada variabel konsumsi rumah tangga dapat dijelaskan oleh variabel stok uang, suku bunga tahun tertentu, dan suku bunga tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya yaitu 23,5% dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

C. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tentang estimasi parameter pada sistem persamaan simultan dengan metode Full Information Maximum Likelihood (FIML) dapat disimpulkan:

1. Langkah-langkah dalam mengestimasi parameter pada sistem persamaan simultan dengan menggunakan metode Full Information Maximum Likelihood (FIML) yaitu:  Menentukan pdf bersama dari variabel error .  Menentukan fungsi likelihood pada variabel error.

 Menentukan fungsi loglikelihood untuk variabel error.  Memaksimalkan fungsi loglikelihood untuk variabel error.  Mengestimasi parameter untuk dan .

2. Penerapan estimasi parameter pada sistem persamaan simultan dengan metode FIML pada data makro ekonomi dengan model sebagai berikut: = ∝ + ∝

Berdasarkan output dari program EViews 7.2 menunjukkan bahwa dengan metode BHHH, konvergensi dapat dicapai pada iterasi ke-568 dengan hasil estimasi parameter sebagai berikut:

Variabel yang signifikan mempengaruhi stok uang ( ∗ ) yaitu hanya PDRB ( ∗ ). Variabel yang signifikan mempengaruhi PDRB ( ∗ ) yaitu hanya konsumsi rumah tangga ( ∗ ). Variabel yang signifikan mempengaruhi konsumsi rumah tangga ( ∗ ) yaitu hanya

stok uang ( ∗ ). Jadi, terdapat hubungan simultan pada stok uang, PDRB, dan konsumsi rumah tangga yaitu stok uang signifikan dipengaruhi PDRB, PDRB signifikan dipengaruhi konsumsi rumah tangga, dan konsumsi rumah tangga signifikan dipengaruhi stok uang.

SARAN

Dalam hai ini membahas tentang estimasi parameter pada sistem persamaan simultan dengan metode FIML pada data ekonomi makro yang melibatkan stok uang, konsumsi rumah

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 71 Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 71

D. DAFTAR PUSTAKA

Gujarati, Damodar N. (2003). Basic Econometrics. New York: Mc.Grawhill.

Intriligator, MD, Bodkin, R.G & Hsiao, Cheng. (1996). Econometric Models, Techniques, and Aplications . USA: Prentice-Hall.

Maddala, G.S. (1977). Econometrics. New York : McGraw-Hill Book Company.

Sukirno, Sadono. (1999). Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sumodiningrat, Gunawan. (1994). Ekonometrika Pengantar. Yogyakarta: BBEF-Yogyakarta.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 72

S - 11

OPTIMASI PARAMETER PROSES PEMOTONGAN STAINLESS STEEL SUS 304 UNTUK KEKASARAN PERMUKAAN DENGAN METODE RESPONSE SURFACE

1 Endang Pudji Purwanti 2 , Ferihan Pilarian ,

1 Politeknik Perkapan Negeri Surabaya, 2 PT.Alhas Jaya Group

1 endangpudjip@gmail.com, 2 ferihanpilarain@yahoo.co.id

Abstrak

Stainless steel adalah salah satu material yang tahan karat dan digunakan sangat luas yaitu mulai dari peralatan rumah tangga sampai segala bentuk produk industri. Pada industri manufaktur cara pemotongan material menggunakan Laser cutting , yang mempunyai keunggulan. Dengan kategori pemotongan laser yang digunakan memotong metal yaitu kategori High preasure cutting merupakan bagian dari laser fusion cuting dimana nitrogen bertekanan 5-7 Bar digunakan sebagai gas pemotong. Gas tekanan tinggi ini menyebabkan lelehan terpisah dengan cepat dari kerf. Pemotongan ini khusus digunakan untuk pemotongan material stainless steel dan paduan aluminium.

Terdapat tiga komponen untuk campuran gas laser : CO 2 , helium dan nitrogen,

gas-gas ini menghasilkan sinar laser. Dalam pemotongan stainless steel atau aluminium, gas dominannya adalah nitrogen. Untuk mengetahui kekasaran dari hasil

pemotongan stainless steel SUS 304 6mm digunakan kombinasi komposisi gas CO 2 ,

nitrogen, helium, dengan metode high preasure cutting. Dalam hal ini ditentukan parameter-parameter untuk eksperimen dan dianalisa dengan cara Respon Surface dan Box-behken.

Hasil kekasaran minimum dari proses pemotongan stainless steel SUS 304 6mm dengan menggunakan komposisi gas sebagai berikut : Carbon dioksida (Co 2 ) sebesar 5 bar, Helium (He) sebesar 5 bar, dan Nitrogen (N 2 ) sebesar 5 bar menghasilkan kekasaran 1,54 (µm).

Kata kunci: Box-behken, High preasure cutting, Laser, Respon Surface,

A. PENDAHULUAN

Perkembangan industri yang cepat dan permintaan pasar terhadap material yang tahan karat dari jenis metal yaitu stainless steel juga besar, diperlukan mesin pemotong metal, dengan mesin sinar laser.Teknik pemotongan laser mempunyai beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan metode konvensional seperti pemotongan dengan menggunakan las. Kelebihan pemotongan laser antara lain : Ketepatan pengerjaan lebih baik, proses pemotongan material lebih presisi, dapat memotong beberapa bahan yang sangat sulit atau yang tidak mungkin untuk dipotong dengan cara yang konvensional, dapat meningkatkan kualitas material yang di potong, mengingat pada waktu pemotongan digunakan gas oksigen,helium,nitrogen dengan kecepatan yang tinggi, sehingga didapatkan hasil pemotongan material yang lebih halus dan presisi. Selain itu teknik pemotongan laser lebih mudah diintegrasikan dengan komputer karena dapat dikontrol secara numerik . Hal ini yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian “Optimasi parameter proses pemotongan stainless steel 304 untuk kekasaran permukaan dengan metode respon surface” Laser cutting bekerja dengan cara mengarahkan laser berkekuatan tinggi untuk memotong material dan digunakan komputer untuk mengarahkannya.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Klasifikasi Pemotongan Laser

Terdapat 3 kategori pemotongan dengan laser yaitu :  Laser sublimation cutting mempunyai prinsip meleburkan material dengan panas yang dihasilkan oleh sinar laser. Laser sublimation cutting digunakan dalam pemotongan kayu, kertas, plastik. Diperlukan intensitas laser yang cukup tinggi untuk menjaga hilangnya konduktifitas panas

 Laser fusion cutting menggunakan sinar laser untuk melelehkan material pada proses pemotongan dan gas mulia yang digunakan adalah N 2, A r dihembuskan dan dapat menyingkirkan material yang sudah mencair. Laser fusion cutting ini biasanya digunakan dalam pemotongan kaca, plastik, metal.

 High preasure cutting merupakan bagian dari laser fusion cuting dimana nitrogen bertekanan 5-7 Bar digunakan sebagai gas pemotong. Gas tekanan tinggi ini menyebabkan lelehan terpisah dengan cepat dari kerf. Pemotongan jenis ini mampu menghilangkan formasi getaran dan mencegah lelehan melekat terhadap pemotongan sisi. Saat nitrogen digunakan sebagai gas pemotong tidak adanya oksidasi yang mempengaruhi potongan tepi. Pemotongan ini khusus digunakan untuk pemotongan material stainless steel dan paduan aluminium

 Laser flame cutting Pada laser gas cutting jenis ini mempunyai prinsip kerja yang hampir sama dengan 2 tipe diatas tetapi yang membedakannya adalah penggunaan dari gas pemotong, dimana pada jenis ini pemotongan dilakukan dengan O 2, dimana gas ini di semprotkan dari awal pemotongan untuk mempercepat reaksi eksotermis pada benda kerja.

Parameter Proses

Parameter proses merupakan karakteristik dari proses pemotongan laser yang dapat diubah supaya mendapatkan hasil pemotongan yang diperlukan.

Gas Assistance

Pada mesin laser CO 2 , terdapat gas laser dan gas assist. Umumnya ada tiga komponen untuk campuran laser gas: CO 2 , helium dan nitrogen. Gas-gas ini menghasilkan sinar laser dan gas yang berfungsi untuk membantu menghilangkan logam dari bekas pemotongan adalah oksigen, nitrogen atau udara terkompresi. Pada metal stainless steel dan aluminium, gas assist adalah nitrogen, yang berfungsi untuk memanaskan permukaan material dan pada saat proses pemotongan. Tekanan udara dapat digunakan untuk memotong baja, stainless steel, aluminium dan bahkan titanium sehingga zona yang terkena panas dampaknya tidak kritis. Sebagai campuran sekitar 80 % nitrogen dan 18 % oksigen, udara tekan digunakan sebagai gas laser assist .( Charles, 2004).

Stainless Steel SUS 304

Stainless Steel (SS) adalah paduan besi dengan minimal 12 % kromium. Komposisi ini membentuk protective layer (lapisan pelindung anti korosi) yang merupakan hasil oksidasi oksigen terhadap krom yang terjadi secara spontan. Stainless steel terbagi dalam 5 golongan yaitu Austenitic, Ferritic, Martensitic, Duplex, dan Precipitation Hardening stainless steel. Sedangkan kelas 304 tergolong sebagai Austenitic stainless steel dimana austenitic mengandung sedikitnya 16% Chrom dan 6% Nickel (grade standar untuk 304), sampai ke grade Super Autenitic SS seperti 904L (dengan kadar Chrom dan Nickel lebih tinggi serta unsur tambahan Molybdenum sampai 6%). Molybdenum (Mo), Titanium (Ti) atau Copper (Co) berfungsi untuk meningkatkan ketahanan terhadap temperatur serta korosi. Austenitic cocok juga untuk aplikasi temperature rendah disebabkan unsur nikel membuat Stainless steel tidak menjadi rapuh pada temperatur rendah.( Sites.google.com. 2012). Pengkodean SUS didasarkan pada JIS (Japanese Industrial Standarts) dimana standarisari dari Jepang yang setara dengan AISI (American Iron Steel Institute). Untuk penggolongan stainless Stainless Steel (SS) adalah paduan besi dengan minimal 12 % kromium. Komposisi ini membentuk protective layer (lapisan pelindung anti korosi) yang merupakan hasil oksidasi oksigen terhadap krom yang terjadi secara spontan. Stainless steel terbagi dalam 5 golongan yaitu Austenitic, Ferritic, Martensitic, Duplex, dan Precipitation Hardening stainless steel. Sedangkan kelas 304 tergolong sebagai Austenitic stainless steel dimana austenitic mengandung sedikitnya 16% Chrom dan 6% Nickel (grade standar untuk 304), sampai ke grade Super Autenitic SS seperti 904L (dengan kadar Chrom dan Nickel lebih tinggi serta unsur tambahan Molybdenum sampai 6%). Molybdenum (Mo), Titanium (Ti) atau Copper (Co) berfungsi untuk meningkatkan ketahanan terhadap temperatur serta korosi. Austenitic cocok juga untuk aplikasi temperature rendah disebabkan unsur nikel membuat Stainless steel tidak menjadi rapuh pada temperatur rendah.( Sites.google.com. 2012). Pengkodean SUS didasarkan pada JIS (Japanese Industrial Standarts) dimana standarisari dari Jepang yang setara dengan AISI (American Iron Steel Institute). Untuk penggolongan stainless

Tabel 1. Komposisi Material 304.

Grade

Ni N Min.

Tabel 2. Sifat Mekanik Material 304.

Hardness Grade

Tensile

Yield Strength

Strength(Mpa)

0.2% Proof(Mpa)

Elongation(% in 50mm) min

Brinell(HB) min

Rockwell B

Tabel 3 Sifat Fisika Material 304.

Specific Elastic

Mean Coefficien of Termal

Heat Electrical Grade

Densit

Thermal

Modulu Resistivit (kg/m s (Gpa)

Expansion(m/m/C)

Conductivity(W/m.K)

0 - 100  C 3)

0 - 100 C 0 - 315 C 0 - 538 C at 100 C at 500 C (J/kg.K) y(n.m) 304/L/H

Kekasaran Permukaan

Kekasaran permukaan proses pemesinan adalah harga kekasaran rata-rata aritmatika (R a ) dari garis rata-rata profil. Posisi R a dan parameter kekasaran yang lain, bentuk profil, panjang sampel, dan panjang pengukuran yang dibaca oleh alat ukur kekasaran permukaan dapat dilihat seperti pada Gambar 1. (Rochim, 1993).

Gambar 1 Parameter dalam profil permukaan

Kekasaran permukaan ditunjukkan oleh sepuluh titik ketinggian dari ketidakrataan (R z ), atau ketinggian maksimum dari ketidakrataan secara konvensional (R max ). Definisi dari ketiga macam kekasaran permukaan tersebut adalah sebagai berikut (Sato dan Sugiarto, 1994):

Penyimpangan Rata-Rata Aritmatika dari Garis Rata-Rata Profil (R a )

Penyimpangan rata-rata aritmatika (R a ) adalah harga rata-rata dari ordinat-ordinat profil efektif garis rata-ratanya. Profil efektif merupakan garis bentuk dari potongan permukaan efektif Penyimpangan rata-rata aritmatika (R a ) adalah harga rata-rata dari ordinat-ordinat profil efektif garis rata-ratanya. Profil efektif merupakan garis bentuk dari potongan permukaan efektif

Gambar 2. Penyimpangan rata-rata aritmatika

Harga R a ditentukan dari nilai-nilai ordinat (y 1 , y 2 , y 3 ,..., y n ) yang dijumlahkan tanpa

memperhitungkan tandanya. Secara umum R a dirumuskan:

y 1  y 2  y 3  ...  y n

R a  (1)

dimana: R a = nilai kekasaran aritmatika y i = tinggi atau dalam bagian-bagian profil hasil pengukuran jarum peraba n = frekuensi pengukuran

Nilai penyimpangan rata-rata aritmatika telah diklasifikasikan oleh ISO menjadi 12 tingkat kekasaran. Tingkat kekasaran ini dilambangkan dari N1 hingga N12 seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 4.

Tabel 4 . Nilai kekasaran dan tingkat kekasaran

R a (m)

25 N11

12.5 N10

6.3 N9

3.2 N8

1.6 N7

0.8 N6

0.4 N5

0.2 N4

0.1 N3 0.25

0.05 N2

N1 0.08

Ketidakrataan Ketinggian Sepuluh Titik (R z )

Ketidakrataan ketinggian sepuluh titik (R z ) adalah jarak rata-rata antara lima puncak tertinggi dan lima lembah terdalam antara panjang sampel yang diukur dari garis yang sejajar dengan garis rata-rata dan tidak memotong profil tersebut seperti yang ditunjukkan oleh Gambar

Gambar 3 Ketidakrataan Ketinggian Sepuluh Titik

Harga R z ditulis dengan rumus: ( R  R

 ...  R 9 )  ( R 2  R 4  ...  R 10 )

R z  (2)

Ketidakrataan Ketinggian Maksimum (R max )

Ketidakrataan ketinggian maksimum (R max ) adalah jarak antara dua garis sejajar dengan garis rata-rata dan menyinggung profil pada titik tertinggi dan titik terendah dalam panjang sampel seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4 Ketidakrataan Ketinggian Maksimum.

Hubungan antara R a , R z , dan R max tidak mudah ditentukan karena profil permukaan mempengaruhi hubungannya. (Sato dan Sugiarto, 1994). Panjang sampel yang digunakan untuk mengukur kekasaran permukaan R z dan R max secara rinci ditunjukkan oleh Tabel 6. sesuai dengan standar JIS 0601. Dalam hal pengukuran R a , panjang sampel diambil tiga kali atau lebih dari harga bulat tersebut. Harga bulat standar adalah

0.8 mm.

Tabel 6. Hubungan antara Panjang Sampel L dan Kekasaran Permukaan

R z (m) R max (m) L (mm)

R a merupakan parameter yang paling banyak digunakan untuk mengidentifikasi kekasaran permukaan. Parameter R a cocok digunakan untuk memeriksa kualitas permukaan akhir benda kerja yang dihasilkan dalam jumlah banyak. Parameter R a lebih peka terhadap penyimpangan yang terjadi pada proses pemesinan bila dibandingkan dengan parameter kekasaran permukaan yang lain. Dengan demikian, pencegahan akan dapat dilakukan jika muncul tanda-tanda penambahan angka kekasaran permukaan benda kerja (Rochim, 1993).

Metode Pengukuran

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memeriksa tingkat kekasaran permukaan. Cara yang paling sederhana adalah dengan meraba permukaan yang diperiksa dan dengan menggunakan peralatan yang dilengkapi dengan jarum peraba (stylus). Proses pengukurannya dikelompokkan : pengukuran permukaan secara tak langsung antara lain yaitu dengan meraba (touch inspection), dengan melihat/mengamati (visual inspection), dengan menggaruk (scratch inspection), dengan mikroskop (microscopic inspection) dan dengan potografi permukaan (surface photographs), dan pengukuran permukaan secara langsung.

Pengertian Metode respon surface

Metode response surface adalah suatu kumpulan dari teknik-teknik statistika dan matematika yang berguna untuk meningkatkan, mengembangkan dan mengoptimalkan suatu proses. Metode response surface digunakan untuk menghasilkan kondisi optimum yang dinamis (Douglas,1991).

Perancangan eksperimen statistika merupakan suatu proses perencanaan eksperimen untuk memperoleh data yang tepat sehingga dapat dianalisa dengan metode statistik serta kesimpulan yang diperoleh dapat bersifat obyektif dan valid. Salah satu metoda perancangan eksperimen yang digunakan untuk mengetahui kondisi optimal adalah Metode Response Surface. Metode ini menggabungkan teknik matematika dengan teknik statistika yang digunakan untuk membuat dan menganalisa suatu respon kekasaran permukaan (Y) yang dipengaruhi oleh tiga variabel bebas

yaitu faktor gas Nitrogen (X 1 ), gas CO 2 (X 2 ), dan gas Helium (X 3 ) guna mengoptimalkan respon tersebut. Hubungan antara respon Y dan variabel bebas dapat dirumuskan sebagai

Y  f  X 1 , X 2 , X ,..., X k   a

3 (3) dimana: Y = variabel respon

X i = variabel bebas/faktor ( i = 1,2,3,…,k ) å = error β(0,1,2,3,....k) = variable model

Hubungan antara Y dan X i didapat dengan menggunakan model orde pertama dan orde kedua, dimana model orde pertama digunakan untuk mencari daerah optimal dan model orde kedua digunakan untuk mencari titik optimal. Hubungan antara Y dan Xi untuk model orde pertama dapat ditulis dengan rumus :

Y   0    i X i (4)

Sedangkan model orde kedua dapat ditulis dengan rumus:

0    i X i    ii X i    ij X i X j   (5)

B. METODE PENELITIAN

Untuk mengetahui bagaimana hasil pemotongan stainless steel SUS 304 6 mm menggunakan laser dengan kombinasi komposisi gas CO 2 , Nitrogen, Helium, diperlukan :

Persiapan spesimen material

Tahapan dalam melakukan uji komposisi material yaitu :  Pemotongan material dan pengujian spesimen dengan dimensi pemotongan 85mm x 17mm x 6mm.( gambar 5)

Gambar 5. Material Percobaan, hasil pemotongan spesimen

- Hasil uji komposisi material akan di dapatkan hasil komposisi material untuk stainless steel SUS 304 seperti pada gambar 8

Gambar 6 Hasil Uji Komposisi

Dari hasil Uji Komposisi dan tabel 1 Komposisi material stainless stell sesuai dengan gradenya.

Desain penelitian

Eksperimen dari parameter-parameter yang ditentukan dianalisa dengan cara Respon Surface dan Box-behken. Menurut Vardenman (1998) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika melakukan teknik analisa respon surface. Hal pertama yang perlu adalah bentuk persamaannya apakah merupakan fungsi berorde satu atau fungsi berorde dua. Untuk fungsi yang berorde, rancangan percobaannya

cukup dengan menggunakan 2 k faktorial dimana setiap perlakuan memiliki dua level perlakuan. Jika dibandingkan dengan rancangan respon surface yang berorde dua, maka rancangan respon

surface berorde satu lebih sedikit membutuhkan unit percobaan, yaitu sebanyak 2 k unit percobaan dimana k menyatakan banyaknya faktor perlakuan.

Untuk respon surface yang berorde dua, rancangan percobaannya bisa menggunakan central composite design (CCD) dan Box-behken design (BBD) Yang memerlukan jumlah unit percobaan lebih banyak daripada rancangan 2 k faktorial (respon surface berorde satu). Dalam

eksperimen ini digunakan Box-behken design (Douglas,1991).

Box-behken design

Salah satu perbedaan box-behken design dengan central composite design adalah pada box-behken design tidak ada axial/star runs pada rancangannya. Tidak adanya axial/star runs ini menyebabkan box-behken lebih effisien dalam rancangan, karena melibatkan lebih sedikit unit percobaan. pada dasarnya box-behken dibentuk berdasarkan kombinasi rancangan 2 k dengan

incomplete black design dengan menambahkan center run pada rancangannya menurut (Douglas,1991). Gambar 7 merupakan visual untuk rancangan box-behnken dengan 3 faktor.

Gambar 7 . Box-Behnken untuk Tiga Faktor

Rancangan box-behnken hanya dapat diterapkan pada percobaan yang memiliki minimal 3 faktor, dengan elemen penyusunnya sebagai berikut:

 Rancangan 2 k faktorial incomplete block design, dimana k adalah banyaknya faktor,

yaitu percobaan pada titik (0, ±1….,±1), (±1, 0…..,±1), (±1, ±1…..,0) .  Center runs (n c ), yaitu percobaan pada titik pusat (0, 0,….,0), dimana jumlah center runs minimal 3 untuk berbagai jumlah faktor k. Variabel tak bebas : Kekasaran permukaan.

Variabel bebas: Gas Co 2 , Nitrogen, Helium

Level yang digunakan : 5 bar, 6 bar, 7 bar.

Tabel 7 . Variabel Eksperimen

Percobaan

Tekanan gas (bar)

CO 2  X

1 He  X 2 N 2  X 3

proses pengukuran Ra untuk mengetahui tingkat kekasaran hasil pemotongan s

Gambar 8 Proses Pengukuran Material

Proses pengukuran maka nilai kekasaran dari proses pemotongan laser (Ra) dapat diketahui

Analisa dan Pengujian

Karena tidak diketahui hubungan fungsional yang tepat antara parameter respon dengan parameter bebas, maka dilakukan pengujiansebagai berikut :  uji lack of fit Untuk menguji model apakah sudah sesuai dengan model yang diduga atau belum, maka dilakukan uji terhadap ada atau tidaknya lack of fit dalam model tersebut. Hipotesis yang perlu diuji adalah sebagai berikut: -H o : tidak ada lack of fit dalam model

-H 1 : ada lack of fit dalam model

Statistik ujinya dengan rumus : F hitung 

Untuk pengujian ini digunakan tabel ANAVA seperti ditunjukkan pada tabel 8 dengan kriteria atau penerimaannya: -H o ditolak jika F hitung >F tabel , yang berarti ada lack of fit, yaitu ada ketidak sesuaian antara

model yang diduga dengan model sebenarnya. -H 1 diterima jika F hitung <F tabel ,yang berarti tidak ada lack of fit, yaitu ada kesesuaian antara model yang diduga dengan model sebenarnya.

Tabel 8. ANAVA untuk uji signifikasi regresi disain eksperimen.

Sumber

Rata-rata Kuadrat F rasio Variasi Regresi

db Jumlah Kuadrat

MS R 

SS R  b ' X ' Y  n Y SS R MS R

k MS E

Residual

n k  1 SS  Y ' Y b ' X ' Y SS

E MS

Lack of fit

n  k  1  n e SS LOF  SS E  SS PE SS LOF MSL LOF

MS LOF 

 n  k  1  n e  MS PE

Pure error

 Y j  Y j  MS PE   u

n  1 SS T ' Y Y  n Y

Dimana : k = Jumlah parameter regresi

n = banyaknya pengamatan

n e = (banyak pengulangan – 1

 Pengujian koefisien determinasi berganda (R 2 )

Koefisien determinasi (R 2 ) sering digunakan untuk mengukur kecukupan atau ketepatan model regresi. Nilai R 2 berkisar antara 0 sampai 100% di mana semakin mendekati

nilai 100% maka model semakin baik. Rumusnya adalah sebagai berikut :

2 SS R

SS E

(7) S yy

S yy

 Pengujian koefisien regresi secara serentak Pengujian ini dilakukan untuk menentukan apakah terjadi hubungan linier antara

parameter tidak bebas (Y)dengan parameter bebasnya (X 1 ,X 2 ,X 3 ).

Ho : β i =β 1 =β 2 ................= β k =0

(semua parameter regresi bernilai 0, yaitu semua parameter bebas tidak berpengaruh terhadap parameter respon)

H 1 : minimal ada satu β i ≠0

(sedikitnya ada satu parameter bebas yang berpengaruh terhadap parameter respon). Statistik ujinya dengan rumus :

F hitung  (8) MS E

MS R

- Ho ditolak jika F hitung >F tabel , yang berarti model dapat diterima secara statistik dan paling

sedikit ada satu parameter bebas yang mempunyai pengaruh nyata terhadap respon. - Ho diterima jika F hitung < F tabel , yang berarti model tidak dapat diterima secara statistik dikarenakan tidak ada satu-pun parameter bebas yang mempunyai pengaruh nyata terhadap respon.

 Pengujian koefisien regresi secara individual. Pengujian koefisien parameter secara individual ini dimaksudkan untuk menguji regresi y i pada suatu parameter bebas X i tertentu, bila parameter bebas X i dianggap konstan. Hipotesa yang di uji: Ho : β i =0 → yaitu β i tidak mempengaruhi respon

H1 : β i ≠ 0 → yaitu β i mempengaruhi respon

Statistik ujinya dengan rumus :

b T i hitung  (9) S ( b i )

- Jika t hitung > t tabel , maka Ho ditolak, yang berarti bahwa parameter bebas (X i ) memberi

pengaruh nyata pada perubahan respon Y. - Jika t hitung <t tabel, maka Ho diterima, yang berarti bahwa parameter bebas (X i ) tidak memberi

pengaruh nyata pada perubahan respon Y.  Pengujian asumsi residual Residual merupakan perbedaan antara nilai observasi dengan nilai estimasi yang dinyatakan dengan rumus : 

i  1 , 2 , 3 ,..., n (10) Dimana : Y i adalah data yang dihasilkan dari pengamatan

Ŷ i adalah nilai estimasi dari garis regresi. Nilai residual harus memiliki sifat identik, independen, dan probabilitas normal.

 Uji identik Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah penyebaran residualnya acak atau mengikuti pola tertentu. Hal ini dapat diketahui dari plot antara residual dengan harga taksiran ( Ŷ). Apabila dalam plot tersebut tidak menunjukkan kecenderungan naik atau turun (nilai residualnya menyebar secara acak), maka residual dikatakan identik.

 Optimasi nilai kekasaran permukaan Dengan model yang sudah sesuai, optimasi ditunjukan untuk memperoleh nilai minimal dari kekasaran permukaan dari proses pemotongan laser dengan menggunakan non-linear programming . Sebagai respon adalah nilai kekasaran permukaan. Model matematika tersebut sebagai berikut : Fungsi tujuan adalah meminimumkan nilai kekasaran permukaan:

2 2 Y 2 min  Y k p  b 0  b 1 X 1  b 2 X 2  b 3 X 3  b 11 X 1  b 22 X 2  b 33 X 3  b 12 X 1 X 2  b 13 X 1 X 3  b 23 X 2 X 3 Sebagai kendala adalah tekanan gas potong, yaitu :

2 2 Y 2 sekunder  Y tg  b 0  b 1 X 1  b 2 X 2  b 3 X 3  b 11 X 1  b 22 X 2  b 33 X 3  b 12 X 1 X 2  b 13 X 1 X 3  b 23 X 2 X 3 Batasan nilai parameter gas laser pemotongan adalah sebagai berikut:

5 X 1  7 X 1 = Co 2 (carbon)

5 X 2  7 X 2 = He (helium)

5 X 3  7 X 3 =N 2 (nitrogen)

Penarikan kesimpulan dari analisa dan pengujian

C. HASIL DAN ANALISA PEMBAHASAN

Untuk mengetahui pengaruh masing-masing parameter tekanan gas terhadap kekasaran permukaan, maka data pada tabel 9 dianalisa.

Tabel 9 Nilai kekerasan permukaan (Ra)

Tekanan gas Rata-Rata Ra

Gambar 9 Hasil analisa dari koefisien regresi

Dengan hasil analisa koefisien regresi seperti yang tampak pada gambar 9,terlihat parameter yang secara statistik berpengaruh terbesar terhadap kekasaran permukaan adalah gas

CO 2 dan Nitrogen diikuti gas Helium yang mempunyai pengaruh paling kecil terhadap proses pemotongan laser.

Tabel 10. ANAVA untuk Tekanan Gas

Sedangkan pada tabel 10, yaitu tabel ANAVA hasil dari data tekanan gas, dapat dilihat untuk beberapa pengujian :

Pengujian Kesesuaian Model

Untuk mendapatkan kesesuaian model tersebut dilakukan dengan uji lack of fit dan uji koefisien determinasi (R 2 ):

Uji Lack of Fit

Pada level pengujian dengan α = 0,05, nilai P dari lack of fit adalah 0,583, yang berarti Ho diterima. Dengan demikian tidak terjadi lack of fit pada pendugaan model, sehingga pendugaan model ini memenuhi.

Uji Koefisien Determinasi (R 2 )

Prosentase dari total variasi yang dapat diterangkan oleh model (R 2 ) sebesar 97,77%. Nilai ini cukup besar, yang berarti bahwa pendugaan model telah memenuhi.(gambar 9)

Pengujian Koefisien Regresi

Uji Koefisien Regresi secara Serentak Hipotesa untuk koefisien regresi secara serentak dari tekanan gas adalah sebagai berikut: Ho : Semua β i tidak mempunyai pengaruh terhadap kekasaran permukaan

H 1 : Paling tidak ada satu β i yang mempengaruhi kekasaran permukaan Dengan level pengujian α = 0.05, nilai P pada analisa regresi = 0,268 yang berarti lebih

besar dari 0.05, sehingga Ho ditolak. Dengan demikian paling tidak ada satu β i yang berpengaruh terhadap kekasaran permukaan.

Nilai P dari regresi bagian linier dan kuadratik nilainya lebih kecil dari 0.05, sedang pada interaksi nilai P lebih besar. Ini artinya hubungan linier dan kuadratik dari parameter-parameter proses mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap proses pemotongan yang dihasilkan.

Uji Koefisien Regresi secara Individu Hipotesa untuk uji koefisien regresi secara individu dari model tekanan gas (gambar 9) adalah sebagai berikut:

Ho : b 1 = 0 untuk setiap i

H 1 : b 1 ≠ 0 untuk setiap i

2 2 Pada level pengujian dengan α = 0,05, nilai P untuk X 2

1 , X 2 , X 3 , (X 1 ) , (X 2 ) , (X 3 ) dan interaksi X 2 *X 3 mempunyai nilai lebih kecil dari 0,05, yang berarti H 0 ditolak. Dengan demikian parameter-parameter X 1 ,X 2 ,X 3 kuadrat dari masing-masing parameter, dengan interaksi X 1 *X 1 ,X 1 *X 3 dan X 3 *X 3 mempunyai nilai P lebih besar dari 0,05 yaitu 0,053, 0,090 dan 0,073 sehingga H 0 ditolak. Ini artinya interaksi X 1 *X 2 atau CO 2 * He , X 1 *X 3 atau

CO 2 *N 2 atau dan X 3 *X 3 atau N 2 *N 2 tidak berpengaruh.

Dari hasil analisa di atas (gambar 9) berarti terdapat 3 faktor interaksi yang tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap distorsi sudut yang terjadi. Jika tiga faktor tersebut dihilangkan, maka diperoleh data analisa baru seperti ditunjukkan pada gambar 10 dan tabel 11 berikut ini

Gambar 10 Hasil analisa dari koefisien regresi (revisi)

Tabel 11. ANAVA untuk Tekanan Gas (revisi)

Uji Identik Asumsi identik dapat diketahui dari plot antara residual dengan Y estimasi. Apabila pola tersebut menyebar dan tidak identik membentuk pola tertentu, maka dapat dikatakan bahwa residual bersifat identik. Gambar 12 tidak menunjukan adanya pola tertentu dan mengindikasi penyebaran yang merata, sehingga ini dapat diartikan bahwa residual dari tekanan gas tidak memiliki penyebaran yang sama. Dengan demikian asumsi identik dapat dipenuhi, sehingga model sudah memenuhi.

Residual versus the fifted values Residual versus the order of the data

Gambar 12 (a) Residual-fitted values dan (b) Residual-order dari tekanan gas

Uji independen Dari analisa dengan minitab diperoleh nilai uji statistik durbin-watson = 1,75 untuk ukuran sample 15, dengan level signifikan 0.05 dan jumlah parameter proses 3, diperoleh batas bawah 0,82 dan batas atas 1,75 . Oleh karena batas atas sama nilainya yaitu 1,75 maka Uji independen Dari analisa dengan minitab diperoleh nilai uji statistik durbin-watson = 1,75 untuk ukuran sample 15, dengan level signifikan 0.05 dan jumlah parameter proses 3, diperoleh batas bawah 0,82 dan batas atas 1,75 . Oleh karena batas atas sama nilainya yaitu 1,75 maka

Hipotesis untuk uji kernomalan dari residual adalah sebagai berikut : Ho : residual berdistribusi normal. H1 : Residual tidak berdistribusi normal

Uji kenormalan kolmogorov-smirnov Probability plot of residual kekasaran permukaan

Gambar 13 Uji kenormalan residual model respon permukaan kekasaran permukaan

Berdasarkan tabel uji statistik kolmogorov-smirnov untuk α = 0.05, dengan jumlah eksperimen 15 kali pengamatan (box-behnken), maka nilainya adalah = 0.338 gambar 13 menunjukkan hasil statistik kolmogorv-smirnov dan P-value untuk uji distribusi normal. Nilai statistik kolmogorov-smirnov adalah 0.146 dan nilai P pada uji normal residual melebihi 15%, sehingga Ho diterima. Dengan demikian residual mempunyai distribusi normal dan asumsi normalitas dipenuhi.

Penentuan Titik Minimum pada Model Kekasaran Permukaan

Untuk mengetahui nilai optimum dari kekasaran permukaan yang terjadi pada proses pemotongan laser dengan tekanan gas (Co 2 , He , N 2 ) sebesar 5 bar – 7 bar maka digunakan bantuan perangkat lunak LINGO 11. Model minimasi yang digunakan dapat dilihat pada gambar

Gambar 14 Hasil Perhitungan Nilai Optimum pada Kekasaran Permukaan

Validasi Model Kekasaran Hasil Pemotongan Laser

Untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dari nilai-nilai minimum kekasaran hasil pemotongan laser, maka dilakukan validasi terhadap nilai-nilai parameter yang sesuai dengan hasil optimasi yaitu nilai parameter yang minimum. Dari hasil optimasi yang dilakukan diperoleh

tekanan gas dengan tekanan Co 2 He N 2 5,5,5 (bar). Dengan hasil kekasaran permukaan yang diperoleh 1,54 (µm). Untuk menguji apakah nilai kekasaran permukaan yang dihasilkan masih sesuai dengan nilai optimasi yang diharapkan, maka perlu dilakukan uji statistik dari data tersebut. Hipotesa untuk kekasaran permukaan yang terjadi dinyatakan sebagai :

Ho : µ 1 =µ 0 (µ 0 =1,65 [µm])

H 1 :µ 1 ≠µ 0 (µ 0 =1,65 [µm])

Dengan melakukan uji t, dengan menggunakan perangkat lunak MINITAB 15 pada confidence interval sebesar 93%, maka diperoleh keluaran seperti ditunjukkan pada tabel 12

Tabel 12 Hasil Uji T Kekasaran Permukaan dari Hasil Eksperimen Ulang

Dari tabel 12 dapat diketahui bahwa nilai predicted interval dari respons adalah 1,40 sampai 1,67. Selain itu juga terlihat nilai t yang diperoleh adalah 2,53 nilai P = 0,064 Yang lebih besar dari  = 0,05, maka Ho diterima. Artinya secara statistik dapat dikatakan bahwa secara rata-rata nilai kekasaran permukaan hasil eksperimen ulang yang dilakukan sama dengan hasil penelitian

D. SIMPULAN DAN SARAN

Hasil kekasaran minimum dari proses pemotongan stainless steel SUS 304 6 mm dengan menggunakan komposisi gas sebagai berikut : CO 2 (Carbon dioksida) = 5 bar He ( Helium)

= 5 bar

N 2 (Natrium)

= 5 bar

Dapat menghasilkan nilai kekasaran minimum sebesar 1,54 (µm). Saran : Pemilihan parameter proses perlu ditambahkan agar dapat diketahui dengan pasti

faktor-faktor yang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap proses pemotongan laser.

E. DAFTAR PUSTAKA

Caristan, Charles L 2004 Laser cutting guide for manufacturing ISBN 9780872636866.

Prof. Dr. Sudjana, M.A., M.Sc. 1994 Desain dan analisis edisi III. Bandung: Tarsito.

Laser Cutting, Termuat di http://en.wikipedia.org, diakses tgl 27 September 2011 at 12:56.

Stainless steel, Termuat di http://en.wikipedia.org/wiki/Stainless_steel 23 January 2012 at 14:49.

Sites.google.com. 2012. Klasifikasi Stainless Steel. Montgomery, Douglas C 1991 Design of analysis of experiments ISBN 0471520004.

Rochim, Taufik. 2001. Spesifikasi, Metrologi, dan Kontrol Kualitas Geometrik. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

S - 12

PENGELOMPOKKAN STASIUN POS HUJAN KABUPATEN PATI BERBASIS METODE WARD DALAM PETA ANALISIS KERAWANAN BANJIR

1 Eni Nurhayati 2 , Jaka Nugraha

1 Mahasiswa Program Studi Statistika, FMIPA UII Yogyakarta

2 Pengajar Program Studi Statistika, FMIPA UII Yogyakarta Nurhayatieni99@yahoo.com

Abstrak

Bencana banjir merupakan salah satu bencana alam yang disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu variabel yang menyebabkan banjir adalah curah hujan dengan intensitas tinggi. Pengelompokkan curah hujan sangat penting mengingat dalam menghitung skor kerawanan banjir diperlukan pengelompokkan curah hujan terlebih dahulu. Pengelompokkan stasiun pos hujan dengan data curah hujan rata- rata bulanan dengan analisis faktor dan analisis klaster metode ward merupakan salah satu cara untuk mendapatkan hasil pengelompokkan curah hujan yang cukup akurat. Data yang digunakan adalah data curah hujan rata-rata bulanan tahun 2003- 2012 di Kabupaten Pati. Dengan menggunakan analisis faktor dan analisis klaster metode ward diperoleh empat kelompok curah hujan. Pada analisis kerawanan banjir didapatkan Kecamatan Gabus, Kayen, Sukolilo, Tambakromo, Pati, Trangkil, Margoyoso, dan Tayu masuk ke dalam kelas sangat rawan. Kemudian dengan menggunakan analisis korelasi spearman didapatkan kemiringan lahan dan buffer sungai yang paling berpengaruh terhadap luas areal banjir

Kata kunci : Banjir, Curah Hujan, Analisis Klaster, Analisis Faktor, Analisis Korelasi Rank Spearman

Abstract

The flood disaster is one of the natural disasters caused by many factors. One of the variables that cause flooding is rainfall with high intensity. Rainfall clusterring is very important because to calculating the score is required flood vulnerability categorization beforehand. Rainfall clusterring average monthly by factor analysis and cluster analysis by Ward method is a method to get grouping rainfall accurately. The data used is the rainfall average data monthly from 2003 to 2012 at Pati. By using factor analysis and cluster analysis with Ward method, there are four groups of rainfall. On flood vulnerability analysis it was obtained that district of Gabus, Kayen, Sukolil, Tambakromo, Pati, Trangkil, Margoyoso and Tayu into the classroom of very vulnerable. Then by using Spearman correlation analysis it was obtained slope and stream buffers that most affect the flood area.

Key words

: flood, rainfall, cluster analysis, factor analysis, Spearman correlation.

A. PENDAHULUAN

Bencana alam yang disebabkan oleh faktor alam khususnya banjir merupakan bencana alam yang paling banyak memberikan dampak kerugian. Pratomo (2008) dalam Santoso dkk (2009) menyebutkan bahwa Kabupaten Pati sendiri termasuk dalam zona potensi banjir

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

UNY UNY

Salah satu upaya dalam meminimalkan dampak bencana banjir yaitu dengan tersedianya peta kerawanan banjir. Salah satu faktor penyebab banjir menurut Utomo (2004) dan Nurjannah (2005) dalam Primayuda (2006) adalah curah hujan yang merupakan faktor klimatologis yang sulit diperkirakan, karena sangat besar variasinya baik dari waktu ke waktu maupun dari tempat satu ke tempat yang lain.

Pengelompokkan stasiun pos hujan dengan data curah hujan sangat penting yang menjadi bagian dari penyusunan peta kerawanan banjir. Dalam penelitian ini, peta curah hujan disusun berdasarkan analisis klaster metode ward. Hasil pengelompokkan memberikan gambaran karakteristik curah hujan di Kabupaten Pati. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Bappeda Pati dan Distannak. Data ini berupa data curah hujan bulanan yang diambil dari tiap stasiun curah hujan di Kabupaten Pati.

Terdapat 3 tahapan dalam melakukan analisis data, yaitu: Tahap 1 : Menentukan variabel penyebab banjir - Menentukan variabel/faktor penyebab banjir yakni curah hujan , kemiringan lahan, bentuk lahan, buffer sungai, tekstur tanah, tata guna lahan. - Dari ke enam variabel tersebut kemudian dibuat masing-masing peta yang dibuat dengan program arcgis 10 untuk memudahkan interpretasi dalam bentuk keruangan. Tahap 2 : Analisis data curah hujan rata-rata bulanan - Mendeskripsikan data curah hujan yang merupakan hasil rataan dari masing-masing stasiun di kabupaten Pati. - Melakukan reduksi variabel dengan menggunakan analisis faktor untuk menghindari variabel yang dependen sehingga dapat digunakan untuk analisis kelompok hirarkhi - Membentuk kelompok dengan menggunakan metode ward - Membentuk peta curah hujan hasil analisis klaster

Tahap 3 : Analisis Kerawanan banjir - Overla y variabel penyebab banjir - Analisis atribut (penskoran dan pembobotan) - Analisis kerawanan banjir dan pembuatan peta kerawanan banjir dan menganalisis

dengan menggunakan analisis spearman daerah yang masuk sangat rawan banjir.

Banjir dan Curah Hujan

Banjir menurut Prahananto (2009) terdiri dari Banjir Kiriman, Banjir Genangan, Banjir Air Pasang (Banjir Rob). Banjir kiriman adalah banjir yang disebabkan oleh melimpasnya air hujan dari suatu daerah yang lebih tinggi menuju daerah yang lebih rendah atau daerah genangan. Dengan adanya banjir kiriman ini maka akan terjadi penambahan jumlah air yang harus ditampung oleh daerah rendah tersebut. Banjir genangan yaitu banjir yang disebabkan adanya genangan air yang berasal dari air hujan lokal. Air hujan lokal adalah air hujan yang terjadi pada daerah itu sendiri. Tetapi jika curah hujan lokal ini cukup tinggi dan terjadi terus menerus, maka di daerah tangkapan hujan dapat terjadi banjir. Banjir air pasang yaitu banjir yang disebabkan adanya kenaikan muka air laut yang melebihi muka saluran, sehingga saluran yang bermuara di pantai tersebut akan dimasuki air laut.

Curah hujan adalah hujan yang terjadi disuatu wilayah tertentu di permukaan bumi yang kemudian mengalami proses intersepsi, infiltrasi, dan perlokasi. Intensitas curah hujan adalah jumlah curah hujan dibagi dengan selang waktu terjadinya hujan (Handoko, 1993). Tinggi curah hujan diasumsikan sama disekitar tempat penakaran, luasan yang tercakup oleh sebuah penakar curah hujan tergantung pada homogenitas daerahnya maupun kondisi cuaca lainnya (Arsyad, 1989). Pola iklim di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga yaitu pola moonson, pola equatorial dan pola lokal (Handoko,1993). Pola Moonson adalah Bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan). Selama enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (bisanya disebut musim kemarau).

Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret. Pola Equatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober yaitu pada saat matahari berada dekat equator. Pola local adalah bentuk pola hujan adalah unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson.

Pengelompokkan Curah Hujan dan Peta Kerawanan Banjir

Analisis faktor mengasumsikan suatu struktur spesifik tertentu dalam sebuah model untuk variabel-variabel random. Johnson dan Wichern (2002), menjelaskan analisis faktor bertujuan untuk mendapatkan sejumlah kecil faktor (komponen utama) yang mampu menerangkan semaksimal mungkin keragaman data.

Menurut Johnson dan Wichern (1996) analisis klaster merupakan teknik pengelompokkan yang sederhana, dikarenakan tidak adanya asumsi yang dibuat mengenai jumlah kelompok atau struktur kelompok. Metode ward sendiri merupakan salah satu metode hirarki yang teknik untuk memperoleh klasternya memiliki varian internal yang kecil. Metode ward ini biasanya menggunakan error sum of square (ESS) dengan persamaan sebagai berikut:

= ∑ ( − ) .................................................................................................................(1) Keterangan: : Error Sum Of Square : skor responden ke-i : rata-rata (mean)

Analisis kerawanan banjir merupakan penentuan nilai kerawanan suatu daerah terhadap bencana banjir. Analisis ini dimulai dengan penskoran dan pembobotan kemudian menghitung nilai kerawanan. Nilai kerawanan ini bisa diketahui dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

.........................................(2) Dimana : i = 1,2,3,....,n K

: Nilai kerawanan : Bobot untuk variabel ke-i Daerah yang rawan terhadap banjir akan mempunyai total nilai yang tinggi, dan

sebaliknya daerah yang tidak rawan maka akan mempunyai nilai yang rendah. Tabel 1 dibawah ini menunjukkan nilai tingkat kerawanan banjir menurut Primayuda (2006).

Tabel 1. Nilai Tingkat kerawanan Banjir No. Tingkat kerawanan Banjir Total Nilai

1 Sangat rawan

3 Agak Rawan

22.5-44

4 Tidak Rawan

Sumber: Primayuda (2006)

B. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Curah Hujan Rata-Rata Bulanan

Curah hujan rata-rata tiap stasiun/pos pemantau hujan di Kabupaten Pati berdasarkan Tabel 2 menunjukkan rata-rata curah hujan pada bulan Januari adalah tertinggi di Kabupaten Pati yakni sebesar 2281.50mm. Hal ini menunjukkan pada bulan Januari merupakan puncak dari musim penghujan. Rata-rata curah hujan terendah terjadi bulan September, yaitu sebesar 11,35mm. Ini berarti pada bulan september merupakan puncak dari musim kemarau di Kabupaten Pati.

Jika dilihat nilai standar deviation, pada Bulan Januari memiliki standar deviation tertinggi, artinya pada bulan tersebut terdapat variasi curah hujan diantara stasiun pos hujan di Kabupaten Pati. Menurut nilai range, yaitu selisih nilai minimum dan maksimum yang besar, dapat diartikan tingkat curah hujan setiap stasiun pos hujan di Kabupaten Pati tinggi.

Rata-rata tinggi curah hujan bulanan menjelaskan bahwa tipe curah hujan di Kabupaten Pati yaitu tipe monsunal yang berarti bersifat monsun karena dari gambar tersebut pola curah hujannya membentuk huruf U (Gambar 1). Selanjutnya dari Gambar 1 dapat diidentifikasi bahwa musim penghujan di Kabupaten Pati mulai Bulan November-April, sedangkan musim kemarau terjadi pada Bulan Mei-Oktober.

Rata-rata Tinggi Curah Hujan M enurut Bulan

Gambar 1. Rata-Rata Tinggi Curah Hujan Bulanan Kabupaten Pati

Pengelompokkan Stasiun Pos Curah Hujan

Kabupaten Pati sendiri memiliki 2 musim yakni musim penghujan dan kemarau. Berdasarkan hasil Tabel 4 yang menunjukkan bahwa terdapat 4 faktor yang memiliki nilai eigenvalue optimum. Faktor-faktor tersebut adalah faktor 1 menggambarkan bulan-bulan musim musim penghujan (Februari, Maret, Oktober, November, dan Desember) dan musim transisi ke musim penghujan yakni bulan sepetember, faktor 2 lebih menggambarkan musim kemarau (Mei, Juni, Juli, dan Agustus), faktor 3 lebih menggambarkan puncak musim penghujan , sementara faktor 4 lebih menunjukkan masa transisi ke musim kemarau (april).

Total keragaman yang dapat dijelaskan dengan empat faktor tersebut sebesar 72%. Keragaman masing-masing faktor adalah secara berututan faktor 1 sebesar 33.5%, faktor 2 adalah 25.4%, faktor 3 sebesar 22.6% dan faktor 4 yaitu 13.1%. Data untuk pengelompokkan stasiun curah hujan selanjutnya menggunakan empat score factor tersebut.

Tabel 3. Output Nilai Loading Faktor Optimum Rotasi Varimax

Variabel

faktor 4 jan

faktor 1

faktor 2

faktor 3

0,245 feb

0,444 mar

0,355 Apr

mei

0,461 jun

0,379 jul

0,226 ags

0,369 sep

0,265 okt

0,354 nov

Gambar 2. Output Dendrogram Klaster Stasiun Curah Hujan Rata-Rata

Peneliti mencoba melihat hasil dari output dendogram (Gambar 2) menunjukkan bahwa dengan menggunakan hasil output dendrogram dengan ukuran jaraknya adalah kuadrat euclidien menunjukkan bahwa terdapat 4 klaster yang dapat dibentuk yakni :

- Kelompok 1 : Jaken, Wedarijaksa, Juwana, Dukuhseti, Batangan, Jakenan, Winong, Tlogowungu, Margorejo, dan Pucakwangi. - Kelompok 2

: Pati

- Kelompok 3 : Gembong, Margoyoso, Tambakromo, Trangkil, Cluwak,

Tayu, Kayen Gunungwungkal, dan Sukolilo.

- Kelompok 4

: Gabus

Pada kelompok 4 memiliki anggota hanya satu yakni Kecamatan Gabus. Hal ini diakibatkan tingginya curah hujan di Kecamatan tersebut sehingga membentuk kelompok sendiri. Sedangkan Kecamatan Pati juga membentuk kelompok sendiri yang dikarenakan terdapat curah hujan yang tinggi untuk bulan-bulan tertentu.

Hasil analisis klaster tersebut kemudian didapatkan hasil rata-rata tahunannya sebagai berikut:

Tabel 5 . Kelas Curah Hujan Rata-Rata Tahunan Kabupaten Pati Kelas

Curah Hujan

Kecamatan

(mm/tahun) Sangat basah

>3000

Gabus

Basah 2501-3000

Sedang 2001-2500 Gembong, Margoyoso, Tambakromo, Trangkil, Cluwak, Tayu, Kayen Gunungwungkal, Sukolilo, dan Pati.

Kering 1501-2000

Sangat <1500 Jaken, Wedarijaksa, Juwana, Dukuhseti, Batangan, Jakenan, Winong, Kering

Tlogowungu, Margorejo, Pucakwangi.

Gambar 2. Peta Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Pati

Pemetaan Daerah Rawan Banjir

Setelah melakukan penskoran dan pembobotan untuk keenam variabel maka selanjutnya adalah menghitung skor kerawanan yang diperoleh dari menjumlah nilai bobot dari masing- masing variabel. Rumus yang digunakan adalah rumus nilai kerawanan. Penjumlahan tersebut kemudian didapatkan yang kita sebut dengan nilai kerawanan atau skor kerawanan.

Kabupaten Pati memiliki empat kelas kerawanan banjir yakni: sangat rawan banjir yang terdiri dari desa-desa yang berada pada Kecamatan Gabus dan desa-desa yang berada pada Kecamatan Kayen, Sukolilo, Tambakromo, Pati, Trangkil, Margoyoso, dan Tayu seluas 2499245Ha, dengan persentase 2.83%. Sedangkan untuk kelas rawan banjir ini lebih mendominasi kabupaten ini yakni seluas 654217.7Ha dengan persentase 73.98% . dan sisanya berada pada kelas agak rawan banjir dengan luas 204845.95Ha persentasenya 23.16% dan tidak rawan banjir seluas 305.31Ha dan persentasenya 0.03% yang lebih didominasi oleh Kabupaten Pati sebelah selatan dan barat.

Gambar 4. Peta Kerawanan Banjir Kabupaten Pati

C. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembahasan adalah :

a. Karakteristik musim hujan Kabupaten Pati bersifat monsunal atau monsun yang ditandai dengan pola curah hujan membentuk huruf U. Puncak musim hujan berada pada bulan Januari , musim penghujan bulan November-April, sedangkan musim kemarau terjadi pada Bulan Mei-Oktober .

b. Hasil analisis klaster stasiun curah hujan rata-rata bulanan di Kabupaten Pati didapatkan anggota kelompok masing-masing klaster diantaranya adalah: - Kelompok 1 : Jaken, Wedarijaksa, Juwana, Dukuhseti, Batangan, Jakenan,

Winong, Tlogowungu, Margorejo, dan Pucakwangi. - Kelompok 2 : Pati - Kelompok 3 : Gembong, Margoyoso, Tambakromo, Trangkil, Cluwak,

Tayu, Kayen Gunungwungkal, dan Sukolilo.

- Kelompok 4 : Gabus

c. Hasil analisis kerawanan banjir menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah kabupaten Pati masuk ke dalam kelas rawan banjir yakni seluas 654217.7Ha dengan persentase 73.98%. Kemudian sisanya berada pada kelas agak rawan banjir dengan luas 204845.95Ha persentasenya 23.16%, kemudian sangat rawan sebesar 24992.45Ha dengan persentase 2.83% dan tidak rawan banjir seluas 305.31 dan persentasenya 0.03%.

D. DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1989. Konversi Tanah Dan Air. IPB Press. Bogor.

Gudono. 2011. Analisis Multivariat Terapan. BPFE Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Handoko, 1993. Klimatologi Dasar. PT. Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.

Johnson, R.N Dan Winchern, D.W. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis. 5 th Edition, Prentice Hall, Upper Sandle River. New Jersey.

Johnson, R.N Dan Winchern, D.W. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis. 5 th Edition, Prentice Hall, Upper Sandle River. New Jersey.

Nurjannah, I. 2005. Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir Menggunakan Informasi

Geografis(SIG) Dan Penginderaan Jauh Di Kabupaten Tangerang, Banten (Skripsi). Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor.

Prahananto, Ardhian, Sugiyanto. 2013. Perencanaan Drainase Kawasan Puri Anjasmoro Kota Semarang. Tugas Akhir : Universitas Diponegoro Semarang.

Primayuda, Aris. 2006. Pemetaan Daerah rawan dan Resiko banjir menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi kasus kabupaten Trenggalek, Jawa Timur). Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Suherlan, E. 2001. Zonasi Tingkat Kerentanan Banjir Kabupaten Bandung Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Skripsi S1. Departemen Geofisika Dan Meteorology. FMIPA. Institut Pertanian Bogor.

Santoso H, Taufik M. 2009. Studi Alternatif Jalur Evakuasi Bencana Banjir dengan

Menggunakan Teknologi SIG di Kabupaten Situbondo. ITS Sukolilo. Surabaya .

Utomo, W. Y. 2004. Pemetaan Kawasan Berpotensi Banjir di DAS Kaligarang, Semarang dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) (skripsi). Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kompas. 2011. Bibit Waluyo: Banjir Di Pati Tidak Luas Biasa. http:// www.kompas.com , Diunduh Tanggal 4 april 2013, Pukul 13.54 WIB.

S - 13

PEMODELAN SPASIAL KEMISKINAN DENGAN MIXED GEOGRAPHICALLY WEIGHTED POISSON REGRESSION DAN FLEXIBLY SHAPED SPATIAL SCAN STATISTIC (Studi Kasus: Jumlah Rumah Tangga Sangat Miskin di Kabupaten Kulonprogo)

1 Helida Nurcahayani 2 , Purhadi

1 Mahasiswa Magister Statistika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

2 Dosen Jurusan Statistika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

1 helida.nur@gmail.com, 2 purhadi@statistika.its.ac.id

Abstrak

Analisis regresi merupakan salah satu analisis statistika yang digunakan untuk membuat model antara variabel respon dengan variabel prediktor. Salah satu analisis regresi yang dapat digunakan apabila variabel respon berupa data count adalah analisis regresi Poisson. Geographically Weighted Poisson Regression (GWPR) merupakan bentuk lokal dari regresi Poisson dimana lokasi pengambilan data diperhatikan. Dalam penelitian ini akan digunakan metode Mixed Geographically Weighted Poisson Regression (Mixed GWPR) yang merupakan bentuk lokal dari regresi Poisson dan merupakan gabungan dari metode nonparametrik dan parameterik dimana faktor lokasi diperhatikan. Sebagai studi kasus digunakan data jumlah rumah tangga sangat miskin per desa/kelurahan di Kabupaten Kulonprogo, Provinsi DI Yogyakarta dimana sejak 2010-2012 menjadi provinsi dengan persentase kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa. Hasil perbandingan antara regresi Poisson, GWPR, dan Mixed GWPR memberikan kesimpulan bahwa Mixed GWPR dengan pembobot fungsi kernel Adaptive Bisquare merupakan model terbaik untuk menganalisis jumlah rumah tangga sangat miskin di Kabupaten Kulonprogo tahun 2011 karena memiliki nilai Akaike Information Criterion (AIC) terkecil. Selain itu, untuk mengetahui desa/kelurahan yang akan dijadikan prioritas lokasi pengentasan kemiskinan maka dilakukan deteksi hotspot/kantong kemiskinan dengan metode Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic dimana diperoleh hasil bahwa di Kabupaten Kulonprogo terdapat tiga kantong kemiskinan.

Kata kunci: AIC, Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic, Kantong Kemiskinan, Mixed GWPR, Rumah Tangga Sangat Miskin

A. PENDAHULUAN

Kemiskinan sampai saat ini masih menjadi masalah yang serius di setiap negara terutama negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Pemerintah telah melakukan berbagai program pengentasan kemiskinan namun jumlah penduduk miskin masih tinggi sehingga kemiskinan menjadi salah satu permasalahan yang harus segera dicari solusinya. Selain itu, butir pertama dari delapan butir Millenium Development Goals (MDGs) yang disetujui oleh 89 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa membahas tentang kemiskinan dan kelaparan absolut (Bappenas, 2007). Oleh karena itu, salah satu target dari setiap pembangunan baik nasional maupun daerah adalah mengurangi kemiskinan.

Jumlah rumah tangga sangat miskin merupakan salah satu contoh data count sehingga analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adalah regresi Poisson. Faktor lain yang perlu diperhatikan bahwa pengurangan kemiskinan di suatu tempat akan mempengaruhi dan dipengaruhi tempat-tempat lain yang berada di sekitarnya atau

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Jumlah penduduk miskin di Provinsi DI Yogyakarta berkurang dari waktu ke waktu, namun angka perbandingan terhadap jumlah total penduduk (persentase kemiskinan) lebih tinggi daripada angka nasional bahkan tertinggi se-Pulau Jawa sejak 2010 hingga 2012 (BPS, 2013). Kabupaten Kulonprogo merupakan kabupaten dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Provinsi DI Yogyakarta dimana hal ini sudah terjadi sejak 2009 hingga 2012 sehingga upaya pengentasan kemiskinan menjadi skala prioritas utama di Kabupaten Kulonprogo. Dengan adanya permasalahan tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah rumah tangga sangat miskin pada faktor karakteristik desa/kelurahan di Kabupaten Kulonprogo dan mendeteksi kantong kemiskinan untuk memperoleh informasi prioritas lokasi pengentasan kemiskinan sehingga upaya pengentasan kemiskinan lebih efektif dan tepat sasaran. Manfaat yang hendak dicapai adalah mengembangkan wawasan dan pengetahuan tentang metode Mixed GWPR dan Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic . Selain itu diharapkan hasil penelitian dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah rumah tangga sangat miskin dan informasi desa/kelurahan yang menjadi prioritas sehingga pengambilan kebijakan yang bekaitan dengan pengentasan kemiskinan dapat lebih baik

B. METODE PENELITIAN

Sumber data yang digunakan adalah data jumlah rumah tangga sangat miskin hasil PPLS 2011 dan data potensi desa hasil Podes 2011. Selain itu, digunakan pula peta wilayah administrasi dan koordinat kantor desa/kelurahan hasil Pemetaan SP2010. Unit analisis penelitian adalah 88 desa/kelurahan di Kabupaten Kulonprogo dengan variabel respon adalah jumlah rumah tangga

sangat miskin per desa/kelurahan. Variabel prediktor adalah kepadatan penduduk (X 1 ), persentase keluarga pertanian (X 2 ), persentase keluarga pengguna listrik PLN (X 3 ), jarak dari desa/kelurahan ke ibukota kecamatan (X 4 ), jarak dari desa/kelurahan ke ibukota kabupaten/kota (X 5 ), rasio fasilitas pendidikan dasar per 100 penduduk (X 6 ), rasio fasilitas kesehatan dasar per 100 penduduk (X 7 ), rasio tenaga kesehatan per 100 penduduk (X 8 ), rasio pusat perdagangan per 100 penduduk (X 9 ), dan rasio koperasi per 100 penduduk (X 10 ). Tahap analisis yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan model regresi Poisson Model regresi Poisson merupakan Generalized Linear Model (GLM) dengan data responnya (komponen random) diasumsikan berdistribusi Poisson (McCullagh dan Nelder, 1989; Agresti, 2002). Pada model regresi Poisson, biasanya link function yang digunakan adalah log sehingga ln(  i )=  i dan fungsi hubungan untuk model regresi Poisson mempunyai logaritma

seperti pada persamaan (1).

ln( )  i   0   11 x i   2 x 2 i  ...  k x ki   0    j x ji

i   i () x i  exp  x i β (1)

2. Mendapatkan model Geographically Weighted Poisson Regression Model GWPR menghasilkan penaksiran parameter model yang bersifat lokal untuk setiap titik lokasi pengamatan (Nakaya dkk., 2005). Model GWPR dapat ditulis sebagai berikut:

i β uv i i  exp( xβ i ( , )); =1,2,..., uv i i i n (2) Langkah pemodelan dengan GWPR dimulai dengan mendapatkan nilai bandwidth dan fungsi kernelnya. Langkah berikutnya adalah menghitung jarak euclidean antar titik pengamatan dan menghitung matriks pembobot yang dilanjutkan dengan penaksiran parameter dan uji

 T ( , ( , )) x

kesesuaian model

3. Mendapatkan model Mixed Geographically Weighted Poisson Regression Model Mixed GWPR merupakan sebuah metode perluasan dari model GWPR yang menghasilkan penaksiran parameter bersifat lokal (Nakaya dkk., 2005). Model Mixed GWPR dapat ditulis sebagai berikut:

i  exp    j (,) uvx i i ij    p x ip   exp  x i β (,) uv i i  xγ * i  (3)

 j  0 pk  *1

Langkah pemodelan dengan Mixed GWPR dimulai dengan menentukan variabel parametrik dan nonparametrik yang diperoleh dari hasil analisis dengan GWPR. Langkah berikutnya adalah mendapatkan nilai bandwidth dan fungsi kernel yang dilanjutkan dengan menghitung jarak euclidean antar titik pengamatan dan menghitung matriks pembobot. Langkah terakhir adalah penaksiran parameter dan uji kesesuaian model.

4. Membandingkan nilai AIC dari regresi Poisson, GWPR, dan Mixed GWPR dimana model terbaik adalah yang memiliki nilai AIC terkecil.

5. Mendeteksi kantong kemiskinan dengan Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic Langkah deteksi kantong kemiskinan dimulai dengan menghitung log likelihood function dari setiap cluster kemudian menguji signifikansi cluster. Langkah berikutnya adalah menghitung resiko relatif untuk setiap cluster dan membuat peta kantong kemiskinan berdasarkan cluster yang signifikan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemodelan Jumlah Rumah Tangga Sangat Miskin Menggunakan Regresi Poisson

Pengujian kesesuaian model regresi Poisson dapat menggunakan nilai devians dimana model regresi Poisson yang baik adalah model yang memiliki nilai devians sekecil mungkin. Hasil pengujian kesesuaian model regresi Poisson didapatkan nilai statistik uji D () β ˆ adalah 823,020. Nilai 2 D () β ˆ kemudian dibandingkan dengan 

98, 484 dimana keputusannya adalah Tolak H 2

0 karena D () β ˆ   (0,05;77) . Hal ini memberikan kesimpulan bahwa model regresi Poisson layak digunakan tetapi model tersebut menunjukkan kondisi overdispersi karena devians

dibagi dengan derajat bebasnya lebih dari 1. Langkah selanjutnya adalah mencari parameter yang berpengaruh signifikan terhadap model sehingga perlu dilakukan pengujian parameter. Tabel 1 merupakan hasil estimasi parameter model regresi Poisson dimana untuk melihat parameter yang berpengaruh secara signifikan terhadap model maka dapat dilihat berdasarkan perbandingan nilai

Z hitung dengan Z α/2 dengan kriteria Tolak H 0 apabila |Z hitung |>Z α/2 .

Tabel 1 Estimasi Parameter Model Regresi Poisson

Parameter

Estimasi

Z hitung

Parameter

Estimasi Z hitung

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa dengan tingkat signifikansi sebesar 5% (Z 0,025 =1,96) maka diperoleh sembilan parameter yang signifikan berpengaruh yaitu  0 , , , , , , , , dan 1 2 3 4 5 6 7  . Dengan demikian, model regresi Poisson yang dibentuk 9

untuk jumlah rumah tangga sangat miskin di Kabupaten Kulonprogo adalah sebagai berikut:

0, 053 Z 9 ) Model diatas menjelaskan bahwa jumlah rumah tangga sangat miskin akan berkurang

 ˆ  exp(3, 504 0,127  Z 1 

0, 065 Z 2  0,187 Z 3 

0, 087 Z 4 

0, 093 Z 5  0,102 Z 6  0, 695 Z 7 

sebesar exp(0,127) jika variabel kepadatan penduduk (Z 1 ) bertambah sebesar satu satuan dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah konstan. Intepretasi yang sama juga berlaku untuk Z 2 , Z 3 , Z 6 , dan Z 7 . Sebaliknya, jumlah rumah tangga sangat miskin akan bertambah sebesar exp(0,087) jika variabel jarak dari desa/kelurahan ke ibukota kecamatan (Z 4 ) bertambah sebesar satu satuan dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah konstan. Intepretasi yang sama juga

berlaku untuk variabel Z 5 dan Z 9 .

Pemodelan Jumlah Rumah Tangga Sangat Miskin Menggunakan Geographically Weighted Poisson Regression (GWPR)

GWPR adalah bentuk lokal dari regresi Poisson dengan memperhatikan faktor lokasi. Pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah model GWPR lebih sesuai digunakan dibandingkan dengan model regresi Poisson. Pengujian kesesuaian model dilakukan dengan uji F dan diperoleh hasil seperti terlihat pada Tabel 2 dimana hipotesis yang digunakan adalah

H 0 :  j (,) uv i i   j dengan j=0,1,2,...,10 dan i=1,2,…,88

H 1 : paling sedikit ada satu  j (,) uv i i   j

Tabel 2 Uji Kesesuaian Model Regresi Poisson dan GWPR

F hitung Regresi Poisson

Model

Devians

df Devians/df

(Adaptive Bisquare)

Berdasar Tabel 2 diperoleh nilai F hitung dengan pembobot fungsi kernel Adaptive Bisquare adalah 1,689 dimana dengan tingkat signifikasi 5% maka nilai F (0,05;77;39) =1,619 sehingga diperoleh

kesimpulan Tolak H 0 karena F hitung >F tabel . Dengan kata lain terdapat perbedaan yang signifikan antara model regresi Poisson dengan model GWPR. Pengujian parameter model dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah rumah tangga sangat miskin di setiap lokasi pengamatan. Sebagai contoh, apabila akan dilakukan pengujian parameter pada Desa Karangsewu (u 35 ,v 35 ) maka hasil estimasi parameter ada di Tabel 3 dengan hipotesis sebagai berikut:

H 0 :  j ( u 35 , v 35 )0 

H 1 :  j ( u 35 , v 35 )0  dengan j=0,1,2,...,10

Tabel 3 Estimasi Parameter Model GWPR Desa Karangsewu

Parameter

Estimasi

Z hitung Parameter

Estimasi

Z hitung

2,280 Setelah diperoleh nilai Z hitung untuk semua parameter maka langkah selanjutnya adalah

melihat parameter yang berpengaruh secara signifikan terhadap model berdasarkan perbandingan nilai Z hitung dengan Z α/2 dimana Tolak H 0 apabila |Z hitung | > Z α/2 . Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa dengan tingkat signifikansi sebesar 5% (Z 0,025 =1,96) maka diperoleh enam parameter yang signifikan berpengaruh yaitu  0 , , , , , dan 2 3 5 6  . Dengan demikian, 7

model regresi yang dibentuk untuk jumlah rumah tangga sangat miskin di Desa Karangsewu adalah sebagai berikut:

 ˆ 35 exp(3, 344 0, 096  Z 2,35  0, 342 Z 3,35  0, 208 Z 5,35  0,181 Z 6,35  0, 715 Z 7,35 ) Model diatas menjelaskan bahwa jumlah rumah tangga sangat miskin di Desa Karangsewu

tahun 2011 akan berkurang sebesar exp(0,342) jika variabel persentase keluarga pengguna listrik PLN (Z 3 ) bertambah sebesar satu satuan dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah konstan. Intepretasi yang sama juga berlaku untuk variabel Z 6 dan Z 7 . Sebaliknya, jumlah rumah tangga sangat miskin akan bertambah sebesar exp(0,096) jika variabel persentase keluarga pertanian (Z 2 ) bertambah sebesar satu satuan dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah

konstan. Intepretasi yang sama juga berlaku untuk variabel Z 5 .

Pemodelan Jumlah Rumah Tangga Sangat Miskin Menggunakan Mixed Geographically Weighted Poisson Regression (Mixed GWPR)

Pemodelan jumlah rumah tangga sangat miskin menggunakan GWPR menghasilkan variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah rumah tangga sangat miskin pada masing-masing desa/kelurahan. Disamping itu diperoleh kesimpulan pula bahwa terdapat variabel yang mempunyai pengaruh sama pada setiap lokasi sehingga variabel tersebut dapat diduga menjadi variabel parametrik. Dengan kata lain, beberapa variabel prediktor berpengaruh secara global sedangkan yang lainnya dapat mempertahankan pengaruh spasialnya. Oleh karena itu, model GWPR dilanjutkan dengan model Mixed GWPR. Berdasar hasil analisis dengan GWPR diperoleh kesimpulan bahwa variabel parametrik untuk Kabupaten Kulonprogo adalah

rasio fasilitas kesehatan dasar per 100 penduduk (X 7 ).

Pengujian hipotesis digunakan untuk mengetahui apakah model Mixed GWPR lebih sesuai digunakan dibandingkan dengan model regresi Poisson. Pengujian kesesuaian model dilakukan dengan uji F dan diperoleh hasil seperti terlihat pada Tabel 4 dimana hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:

H 0 :  β ( , ), ) uv i i γ   βγ , ,i= 1,2,…,88

H 1 : paling sedikit ada satu  β ( , ), ) uv i i γ  yang berhubungan dengan lokasi (,) uv i i Tabel 4 Uji Kesesuaian Model Regresi Poisson dan Mixed GWPR

Model

Devians

df Devians/df

F hitung

Regresi Poisson

77 10,689 2,034 GWPR (Adaptive Bisquare)

6,329 1,689 Mixed GWPR (Adaptive Bisquare)

5,254 Berdasar Tabel 4 diperoleh nilai F hitung dengan pembobot fungsi kernel Adaptive Bisquare adalah

2,034. Dengan tingkat signifikasi 5% maka nilai F (0,05;77;37) =1,635 sehingga diperoleh kesimpulan Tolak H 0 karena F hitung >F tabel . Dengan kata lain terdapat perbedaan yang signifikan antara model regresi Poisson dengan model Mixed GWPR. Pengujian parameter model dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah rumah tangga sangat miskin di setiap lokasi pengamatan. Sebagai contoh, pengujian parameter variabel nonparametrik pada Desa Karangsewu (u 35 ,v 35 ) maka hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:

H 0 :  j ( u 35 , v 35 )0 

H 1 :  j ( u 35 , v 35 )0  dengan j=0,1,2,...,10

Sedangkan hipotesis untuk variabel parametrik adalah sebagai berikut:

Hasil estimasi parameter variabel parametrik Mixed GWPR untuk Kabupaten Kulonprogo adalah -0,611 dengan Z hitung sebesar -15,812. Dengan tingkat signifikansi sebesar 5% (Z 0,025 =1,96) maka keputusannya adalah Tolak H 0 kerena |Z hitung | > Z α/2 . Tabel 5 merupakan hasil estimasi parameter variabel nonparametrik model regresi Mixed GWPR untuk Desa Karangsewu (u 35 ,v 35 ).

Tabel 5 Estimasi Parameter Variabel Nonparametrik Mixed GWPR Desa Karangsewu

Parameter Estimasi

Z hitung

Parameter

Estimasi Z hitung

-1,492 Setelah diperoleh nilai Z hitung untuk parameter variabel nonparametrik maka langkah

selanjutnya untuk melihat parameter yang berpengaruh secara signifikan terhadap model maka dilakukan perbandingan nilai Z hitung dengan Z α/2 dimana Tolak H 0 apabila |Z hitung | > Z α/2 . Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa dengan tingkat signifikansi sebesar 5% (Z 0,025 =1,96) maka diperoleh lima parameter yang signifikan berpengaruh yaitu  0 , , , , dan 2 3 5 . 6

Dengan demikian, model regresi Mixed GWPR yang dibentuk untuk jumlah rumah tangga sangat miskin di Desa Karangsewu adalah sebagai berikut:

 ˆ 35 exp(3,332 0,163  Z 2,35  0,340 Z 3,35  0, 262 Z 5,35  0,186 Z 6,35  0, 611 Z 7,35 )

Model diatas menjelaskan bahwa jumlah rumah tangga sangat miskin di Desa Karangsewu tahun 2011 akan berkurang sebesar exp(0,340) jika variabel persentase keluarga pengguna listrik PLN (Z 3 ) bertambah sebesar satu satuan dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah konstan. Intepretasi yang sama juga berlaku untuk variabel Z 6 daan Z 7 . Sebaliknya, jumlah rumah tangga sangat miskin akan bertambah sebesar exp(0,163) jika variabel persentase keluarga pertanian (Z 2 ) bertambah sebesar satu satuan dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah konstan. Intepretasi yang sama juga berlaku untuk variabel Z 5 . Variabel rasio fasilitas kesehatan dasar merupakan variabel parametrik sehingga berlaku global untuk semua lokasi. Pengujian parameter model dilakukan untuk semua desa/kelurahan di Kabupaten Kulonprogo sehingga Model diatas menjelaskan bahwa jumlah rumah tangga sangat miskin di Desa Karangsewu tahun 2011 akan berkurang sebesar exp(0,340) jika variabel persentase keluarga pengguna listrik PLN (Z 3 ) bertambah sebesar satu satuan dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah konstan. Intepretasi yang sama juga berlaku untuk variabel Z 6 daan Z 7 . Sebaliknya, jumlah rumah tangga sangat miskin akan bertambah sebesar exp(0,163) jika variabel persentase keluarga pertanian (Z 2 ) bertambah sebesar satu satuan dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah konstan. Intepretasi yang sama juga berlaku untuk variabel Z 5 . Variabel rasio fasilitas kesehatan dasar merupakan variabel parametrik sehingga berlaku global untuk semua lokasi. Pengujian parameter model dilakukan untuk semua desa/kelurahan di Kabupaten Kulonprogo sehingga

Perbandingan Model Regresi Poisson, GWPR, dan Mixed GWPR

Perbandingan antara model regresi Poisson, GWPR, Mixed GWPR dilakukan untuk mengetahui model mana yang lebih baik diterapkan dengan kriteria kebaikan model yang digunakan adalah AIC dimana model terbaik adalah model dengan nilai AIC terkecil. Hasil perbandingan yang ditunjukkan pada Tabel 6 memberikan kesimpulan bahwa model Mixed GWPR dengan pembobot fungsi kernel Adaptive Bisquare merupakan model terbaik untuk analisis jumlah rumah tangga sangat miskin di kabupaten Kulonprogo tahun 2011.

Tabel 6 Perbandingan nilai AIC dari Model Regresi Poisson, GWPR, dan Mixed GWPR

Model

AIC

Regresi Poisson 845,020 Geographically Weighted Poisson Regression 329,862 Mixed Geographically Weighted Poisson Regression 282,952

Pendeteksian Kantong Kemiskinan Menggunakan Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic

Metode flexibly memeriksa 88 desa yang terdapat di Kabupaten Kulonprogo dimana hasilnya diperoleh tiga kantong kemiskinan seperti terlihat di Tabel 7. Panjang maksimum setiap kantong kemiskinan dibatasi 15 desa/kelurahan yang berbatasan dan jarak terdekat, termasuk desa awal. Pengujian tingkat signifikansi dilakukan dengan teknik simulasi Monte Carlo dengan pengulangan sebanyak 999 kali.

Tabel 7 Hasil Deteksi Kantong Kemiskinan di Kabupaten Kulonprogo Kantong

Kemiskinan P-value Desa

1,434 0,001 Berdasarkan proses deteksi kemiskinan diperoleh tiga kantong kemiskinan seperti terlihat

pada Gambar 1 dengan keterangan untuk setiap kantong kemiskinan adalah sebagai berikut:

1. Kantong kemiskinan 1 terdiri atas 5 desa yaitu Desa Tuksono, Sukoreno, Kaliagung, Banyuroto, dan Donomulyo. Kantong kemiskinan 1 memiliki persentase rumah tangga sangat miskin sebesar 7,18% dari populasi. Dilihat dari nilai resiko relatif maka proporsi rumah tangga sangat miskin pada desa-desa yang berada didalam kantong lebih besar 2,143 kali dari desa-desa di luar kantong kemiskinan 1.

2. Kantong kemiskinan 2 terdiri atas 9 desa yaitu Desa Cerme, Pandowan, Bumirejo, Sidorejo, Gulurejo, Ngentakrejo, Demangrejo, Srikayangan, dan Kedungsari. Kantong kemiskinan 2 memiliki persentase rumah tangga sangat miskin sebesar 5,15% dari populasi. Dilihat dari nilai resiko relatif maka proporsi rumah tangga sangat miskin pada desa-desa yang berada didalam kantong lebih besar 1,537 kali dari desa-desa di luar kantong kemiskinan 2.

3. Kantong kemiskinan 3 terdiri atas 6 desa yaitu Desa Karangsari, Sendangsari, Hargomulyo, Hargorejo, Kalirejo, dan Hargotirto. Kantong kemiskinan 3 memiliki persentase rumah tangga sangat miskin sebesar 4,82% dari populasi. Dilihat dari nilai resiko relatif maka proporsi rumah tangga sangat miskin pada desa-desa yang berada didalam kantong lebih besar 1,434 kali dari desa-desa di luar kantong kemiskinan 3.

Tabel 8 menunjukkan hasil deteksi kantong kemiskinan yang digabungkan dengan hasil analisis dengan Mixed GWPR sehingga diperoleh peta prioritas lokasi pengentasan kemiskinan Tabel 8 menunjukkan hasil deteksi kantong kemiskinan yang digabungkan dengan hasil analisis dengan Mixed GWPR sehingga diperoleh peta prioritas lokasi pengentasan kemiskinan

Gambar 1 Peta Hasil Deteksi Kantong Kemiskinan

di Kabupaten Kulonprogo

Tabel 8 Kantong Kemiskinan dan Variabel yang Signifikan Mempengaruhi

Kantong Var. Kemiskinan

Desa/Kel

Variabel Nonparametrik

Parametrik

1 Tuksono

Z 1 ,Z 4 ,Z 5 ,Z 6 Z 7

Sukoreno

Z 1 ,Z 2 ,Z 4 ,Z 5 ,Z 9 Z 7

Kaliagung

Z 4 ,Z 5 ,Z 9 Z 7

Banyuroto

Z 4 ,Z 5 ,Z 8 ,Z 10 Z 7

Donomulyo

Z 4 ,Z 5 ,Z 8 ,Z 10 Z 7

2 Cerme

Z 2 ,Z 3 ,Z 4 ,Z 6 ,Z 10 Z 7

Pandowan

Z 2 ,Z 3 ,Z 6 Z 7

Bumirejo

Z 2 ,Z 3 ,Z 4 ,Z 6 Z 7

Sidorejo

Z 1 ,Z 2 ,Z 3 ,Z 5 Z 7

Gulurejo

Z 1 ,Z 2 ,Z 3 ,Z 5 Z 7

Ngentakrejo

Z 1 ,Z 2 ,Z 5 Z 7

Demangrejo

Z 3 ,Z 4 ,Z 5 ,Z 6 Z 7

Srikayangan

Z 1 ,Z 2 ,Z 3 ,Z 4 ,Z 5 ,Z 6 Z 7

Kedungsari

Z 1 ,Z 2 ,Z 3 ,Z 4 ,Z 5 ,Z 8 Z 7

3 Karangsari

Z 1 ,Z 3 ,Z 4 ,Z 5 ,Z 6 ,Z 8 ,Z 10 Z 7

D. SIMPULAN DAN SARAN

 Berdasarkan hasil perbandingan antara model regresi Poisson, GWPR, dan Mixed GWPR maka dapat disimpulkan bahwa model Mixed Geographically Weighted Poisson Regression dengan pembobot fungsi kernel Adaptive Bisquare adalah model terbaik untuk analisis jumlah rumah tangga sangat miskin di Kabupaten Kulonprogo tahun 2011 karena memiliki nilai AIC terkecil.

 Pendeteksian kantong kemiskinan dengan metode Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic menghasilkan tiga kantong kemiskinan. Hasil pendeteksian kantong kemiskinan digabungkan dengan hasil analisis dari metode Mixed GWPR sehingga diperoleh desa/kelurahan yang perlu prioritas pengentasan kemiskinan beserta faktor yang signifikan mempengaruhi.

 Penelitian kemiskinan di Kabupaten Kulonprogo ini hanya berdasarkan sepuluh variabel dari 45 variabel ketertinggalan desa sehingga muncul beberapa kekurangan pada saat intepretasi model. Oleh karena itu, pada penelitian berikutnya diperlukan adanya penambahan variabel lain yang lebih menggambarkan tingkat kemiskinan suatu daerah.

 Pemodelan kemiskinan pada penelitian ini hanya dilakukan untuk Kabupaten Kulonprogo dengan referensi waktu tahun 2011 sehingga pada penelitian berikutnya dapat dilakukan analisis untuk empat kabupaten lain di Provinsi DI Yogyakata. Selain itu, supaya dapat dilihat perubahan pola kemiskinan yang terjadi maka referensi tahun penelitian dapat ditambah dengan hasil pendataan kemiskinan tahun 2008 (PPLS2008).

E. DAFTAR PUSTAKA

Agresti, A. (2002), Categorical Data Analysis Second Edition, John Wiley & Sons, New York.

Bappenas/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2007), Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007 , Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI, Jakarta.

Badan Pusat Statistik (2013), Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia Mei 2013 , Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Crandall, M. S. dan Weber, B.A. (2004) Local Social and Economic Conditions, Spatial Concentration of Poverty, and Poverty Dynamics. Poverty, Policy and Place: Spatial Analysis of Poverty Dynamics, American Journal Agricultural Economics, 86.5:1276-1281.

McCullagh, P. dan Nelder , J.A. (1989), Generalized Linier Models, Second Edition, Chapman & Hall, London.

Nakaya, T., Fotheringham, A.S., Brunsdon, C., dan Charlton, M. (2005), “Geographically Weighted Poisson Regression for Disease Association Mapping”, Statistics in Medicine, Volume 24 Issue 17, pages 2695-2717.

Tango, T. dan Takahashi, K. (2005), “A Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic For Detecting Clusters”, International Journal of Health Geographics, Volume 4:11.

TNP2K/Tim Nasional Percepatan Penaggulangan Kemiskinan (2013), Strategi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Diakses pada 23 Juni 2013 dari http://tnp2k.go.id/ kebijakan-percepatan/strategi-percepatan-penangulangan-kemiskinan/sekilas-strategi-per cepatan

S - 14

PEMODELAN REGRESI POISSON, BINOMIAL NEGATIF DAN PADA KASUS KECELAKAAN KENDARAAN BERMOTOR DI LALU LINTAS SUMATERA BARAT

1 Irwan 2 , Devni Prima Sari 1,2 Jurusan Matematika FMIPA Univ. Negeri Padang

1 irwan.math.165@gmail.com, 2 devniprimasari@yahoo.co.id

Abstrak

Tingginya angka kecelakaan kendaraan bermotor di lalu lintas harusnya menjadi topik pembicaraan yang harus disingkapi segera mungkin oleh segala pihak. Hal ini juga didukung oleh fakta mencengangkan yang dikabarkan Dinas Perhubungan Indonesia, yaitu kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian nomor tiga di Indonesia setelah serangan jantung dan strok. Salah satu cara untuk menyingkapi kasus tingginya jumlah kecelakaan kendaraan bermotor ini dilakukan dengan mengetahui faktor-faktor yang paling dominan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan bermotor. Analisis faktor penyebab dominan dan memperkirakan jumlah kecelakaan bisa dilakukan dengan menggunakan model regresi Poisson. Regresi Poisson mempunyai asumsi equi-dispersion, yaitu kondisi dimana nilai rataan dan variansi dari variabel respon bernilai sama. Pada kenyataannya, pada data sering dijumpai variansi dari variabel respon lebih besar nilai rataannya (overdispersi). Untuk mengatasi permasalahan tersebut digunakan model regresi Binomial Negatif.

Kata kunci: angka kecelakaan, faktor dominan, regresi Poison, binomial negatif

A. PENDAHULUAN

Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah yang umum terjadi dalam penyelenggaraan sistem transportasi di banyak negara. Pada negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, kecelakaan lalu lintas ini cenderung mengalami peningkatan. PT Jasa Raharja (persero) mencatat, setiap 15 menit terdapat satu orang yang meninggal dunia di Indonesia karena kecelakaan lalu lintas. Ini terlihat dari tingginya biaya santunan kecelakaan yang diklaim kepada asuransi Jasa Raharja mencapai Rp 1 triliun setiap tahunnya. PT Jamsostek (Persero) mencatat klaim kecelakaan lalu lintas mendominasi dibanding kecelakaan kerja lainnya. Kepala PT Jamsostek (Persero) Cabang Tanjung Priok Muhammad Akip mengungkapkan, kecelakaan lalu lintas masih mendominasi daftar panjang kecelakaan kerja yang diklaim ke Jamsostek setiap tahunnya.

Jumlah kecelakaan yang tinggi akan menjadi salah satu faktor yang tidak menguntungkan bagi perusahaan asuransi kendaraan bermotor. Disamping itu, seluruh pihak harus lebih mewaspadai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Masih tingginya angka kecelakaan di jalan raya juga menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.

Perang opini tentang faktor penyebab utama meningkatnya jumlah kecelakaan pun terjadi di kalangan masyarakat, sehingga perlu dilakukan perbaikan pada faktor-faktor yang berkontribusi dalam kecelakaan. Dalam hal ini faktor manusia memiliki kontribusi terbesar pada kecelakaan kendaraan bermotor, sehingga faktor tersebut sangat penting untuk diamati dalam upaya mengurangi terjadinya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan bermotor. Perbedaan karakteristik sosio-ekonomi, karakteristik pergerakan dan perilaku pengemudi

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Model regresi Poisson dapat diterapkan untuk mengkaji sejauh mana faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan berpengaruh terhadap jumlah terjadinya kecelakaan, serta sejauh mana dampak faktor tersebut terhadap jumlah kecelakaan bermotor di lalu lintas. Model regresi Poisson adalah suatu metode statistika yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel respon yang dapat dihitung (data cacah/count) dengan satu atau lebih variabel penjelas, dimana rataan dan variansinya sama. Pada prakteknya seringkali data cacah memperlihatkan variansi yang sangat besar, dimana variansi sampel lebih besar dari rataan sampel (overdispersion). Ketika model Poisson diaplikasikan untuk data overdispersi, menyebabkan standar error underestimate. Akhibatnya, beberapa variabel penjelas menjadi tidak signifikan. Oleh karena itu, sasaran dari penelitian ini untuk menggunakan model regresi Binomial Negatif sebagai solusi alternatif jika terjadi kasus overdispersi. Selanjutnya, model-model regresi Poisson, Binomial Negatif diuji dan dibandingkan pada jenis data jumlah kecelakaan kendaraan bermotor di Sumatera Barat.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian terapan yang berkaitan dengan model regresi Poisson dan Binomial Negatif pada kasus kecelakaan kendaraan bermotor di lalu lintas pada propinsi Sumatera Barat. Setelah ditemukan model, maka dilakukan simulasi menggunakan data kecelakaan lalu lintas dengan factor penyebab utama adalah manusia sedangkan rating factor Kepemilikan SIM, Usia pengendara, Jenis kelamin pengendara, Pendidikan pengendara dan Kondisi fisik pengendara. Sementara itu sebagai rating classes adalah bagiian-bagian dari rating factor . Untuk simulasi model digunakan data kecelakaan lalintas di Sumatera Barat yang terdapat pada Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Sumatera Barat. Data kecelakaan yang diambil adalah data tahun 2012.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN Model Regresi Poisson

Overdispersi Overdispersi merupakan salah satu masalah yang sering terjadi dalam analisis regresi Poisson. Distribusi Poisson sering dianjurkan dalam menghitung data tetapi distribusi ini tidaklah mencukupi karena data menampilkan variansi yang lebih besar dari yang diprediksikan oleh Poisson. Hal ini diistilahkan dengan overdispersi atau variansi ekstra-Poisson. Overdispersi bisa terjadi karena pengelompokkan di dalam populasi dan pengukuran atau percobaan secara berulang pada objek yang sama (McCullagh & Nelder, 1989).

Ada atau tidaknya overdispersi dapat dilihat dari nilai Deviance atau Pearson Chi-square yang dibagi dengan derajat bebasnya. Apabila nilai pearson Chi-square dibagi dengan derajat bebas lebih besar daripada 1, ini menunjukkan nilai variansi yang lebih besar daripada rataan; overdispersi telah terjadi.

Permasalahan overdispersi biasanya terjadi pada kasus-kasus nyata. Untuk mengatasinya dapat dilakukan dua metode, yaitu:

dan mengestimasi parameter , yang kemudian disebut dengan model Quasi-likelihood.

1. Dengan mengansumsikan

2. Dengan mengubah distribusi variabel respon menjadi binomial negatif, dimana lebih terdispersi daripada Poisson, yang kemudian disebut dengan model regresi binomial negatif.

Distribusi Poisson

Misalkan Y i merupakan variabel random hitungan klaim dalam i kelas, i = 1,2 ..... n, dimana n menunjukkan jumlah rating classes. Jika Y i mengikuti distribusi Poisson, fungsi kepadatan peluang adalah,

(5.1) dengan rataan dan variansi, ()=

Bukti: Berdasarkan deret Maclaurin dari e u ,

maka:

( − 1) ! Misalkan:

= − 1 ⇒ = +1 maka:

Misalkan: =

− 2 ⇒ = +2 maka:

Jadi, =

+ sehingga:

Terlihat bahwa: ~

Model Regresi Poisson

Dalam berbagai eksperimen, seringkali data cacah yang merupakan objek penelitian dipengaruhi oleh sejumlah variabel penjelas (explanatory). Sehingga untuk mengetahui pola hubungan kedua variabel tersebut, dapat digunakan suatu model regresi yang didasarkan pada distribusi Poisson. Pada regresi Poisson diasumsikan bahwa variabel dependen

yang menyatakan jumlah (cacah) kejadian berdistribusi Poisson, diberikan sejumlah variabel independen , …, .Y i mengikuti distribusi Poisson, fungsi kepadatan peluang adalah,

atau ~ ( ) , = 1,2,3, …, . Salah satu tujuan dari analisis regresi adalah untuk menentukan pola hubungan antara

variabel respon dengan variabel penjelas. Selanjutnya, dalam regresi Poisson hubungan tersebut dapat dituliskan dalam bentuk:

atau dalam bentuk vektor ditulis sebagai [| ]=

Karena nilai >0 , maka digunakan fungsi link = exp ( ) atau = = untuk menghubungkan = [| ] dengan fungsi linear

, sehingga hubungan antara = [| ] dan

menjadi tepat. Dengan demikian, model regresi dapat ditulis dalam bentuk: [| ]=

(5.3) Dengan merupakan parameter yang tidak diketahui dalam model dan harus diestimasi. Dimana x i merupakan vektor p x 1 dari variabel penjelas, dan β merupakan vektor p x 1 dari parameter regresi.

Estimasi Parameter

Untuk mengestimasi parameter-parameter dalam regresi Poisson dapat digunakan metode estimasi maksimum likelihood (MLE). Metode estimasi maksimum likelihood dapat dilakukan jika distribusi data diketahui.

Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan fungsi likelihood dari model regresi Poisson. Dengan mengasumsikan

adalah variabel random yang mutually independent atau Y i ~ Poisson ( ), maka fungsi likelihood untuk model regresi Poisson adalah sebagai berikut:

Selanjutnya dari fungsi likelihood diambil nilai lognya sehingga diperoleh fungsi log-likelihood dari persamaan di atas sebagai berikut:

Dari persamaan (5.2) ) bahwa = dengan x i adalah nilai-nilai kovariat untuk observasi ke-i, maka diperoleh persamaan sebagai berikut:

(5.5) Kemudian persamaan (5.5) diturunkan terhadap dan disamakan dengan nol, yaitu:

Setelah disamakan dengan nol, maka akan terdapat p (sejumlah parameter yang ada) persamaan. Dalam persamaan (5.6) terdapat suku

sehingga bentuk pasti (closed form ) dari β sulit ditentukan. Oleh karena itu, untuk mengestimasi parameter β dilakukan secara iteratif dengan bantuan komputer yang didasarkan pada suatu prosedur (algoritma) iterasi yang disebut dengan Iteratively Weighted Least Square (IWLS).

Untuk mempermudah penerapan pada regresi IWLS Poisson, notasi rataan Poisson, , akan diganti dengan

. Dalam rangka mencari β pada regresi Poisson log L(β) dapat dimaksimalkan dengan menggunakan metode WLS.

(5.7) menghasilkan perkiraan kuadrat terkecil, .

Hal ini menunjukkan bahwa hasil estimasi dengan MLE dan WLS sama.

Uji Ketepatan (Goodness of Fit) Model Regresi Poisson

Uji ketepatan model regresi Poisson dilakukan dengan dua cara yaitu, Pearson Chi-square statistic dan Deviance.

Pearson Chi-square statistic untuk Model Regresi Poisson

Ukuran lain yang bisa digunakan untuk uji goodness of fit yaitu Pearson Chi-square statistic (McCullagh & Nelder, 1989) yang didefinisikan sebagai

( ) ( dimana ) ( ) yaitu fungsi variansi dari distribusi peluang datanya dan ( )= .

Karena data yang diobservasi itu berdistribusi Poisson, maka

sehingga Statistik Pearson Chi-square untuk regresi Poissonnya yaitu:

Deviance untuk Model Regresi Poisson

Deviance dapat diartikan sebagai logaritma dari uji likelihoodnya, yaitu:

Dalam persamaan tersebut, (;) adalah fungsi likelihood current model sedangkan (;) adalah fungsi likelihood saturated model dari distribusi Poisson. Adapun fungsi log-likelihood current model dituliskan sebagai berikut: (,)=

Sedangkan untuk saturated model, dimana nilai-nilai diganti dengan nilai (tanpa asumsi tentang keeratan hubungannya dengan variabel x nya), fungsi likelihood saturated model -nya yaitu:

! Sehingga fungsi log-likelihood saturated model-nya menjadi

(5.11) Sehingga Deviance, D, bisa diperoleh dengan mensubstitus (5.10) dan (5.11) ke dalam (5.9) dan diperoleh

=2 log

(y −μ ).

Karena ∑ ( − )=0 , maka persamaan (5.12) menjadi:

(5.13) Model Regresi Binomial Negatif

Overdispersi Metode Binomial Negatif Berdasarkan Poisson, rataan, , diasumsikan konstan atau homogen dalam kelas. Dengan asumsi untuk Gamma dengan rataan ( )=

( )= , dan | menjadi Poisson dengan rataan bersyarat (| )= dapat ditunjukkan bahwa distribusi marjinal mengikuti distribusi binomial negatif dengan fungsi kepadatan peluang,

dan varians

(5.14) di mana rataan ()= , dan variansi adalah

Apabila overdispersi terjadi pada data yang dimodelkan dengan regresi Poisson, maka salah satu jalan yang dapat diambil adalah memodelkan ulang data tersebut dengan model yang lebih terdispersi. Dalam hal ini, model yang digunakan adalah model binomial negatif.

Misalkan Y i ~ Poisson(λ i ), terhadap λ i itu sendiri adalah variabel random dengan distribusi Gamma. Misalkan Y i |λ i ~ Poisson(λ i )

λ i ~ Gamma , dengan Gamma

dan variansi ( )=

adalah distribusi Gamma dengan rataan ( )=

, dengan fungsi densitas ( )= untuk > 0

dan nol untuk yang lain. Dapat ditunjukkan bahwa distribusi tak bersyarat dari y i adalah binomial negatif, sebagai berikut:

Fungsi kepadatan peluang bersyarat dari y i adalah ( = | )=

. Fungsi kepadatan peluang dari λ i adalah

Memanfaatkan definisi dari fungsi densitas bersyarat, maka didapat fungsi peluang

bersama dari y i dan λ i adalah

Dengan diperolehnya fungsi peluang bersama dari y i dan λ i , maka fungsi peluang tak bersyarat dari y i adalah

Misalkan = 1+

, maka dengan demikian didapatkan

Untuk y i = 0, 1, 2, ... , P( = ) adalah fungsi kepadatan peluang binomial negatif. Harga ekspektasi/rataan dari distribusi ini adalah

Dengan variansinya adalah ()=

Distribusi Binomial Negatif

Parameter berbeda dapat menghasilkan berbagai jenis distribusi binomial negatif. Misalnya, dengan mengambil v -1

= a , mengikuti sebuah distribusi binomial negatif dengan rataan E ( ) = dan variansi Var ( ) = (1 + a ), di mana menunjukkan parameter dispersi (Lawless, 1987); (Cameron & Trivedi, 1986). Sehingga persamaan ( 5.14) menjadi,

(5.15) Jika sama dengan nol, rataan dan variansi akan sama, E( ) = Var( ), akan menjadi distribusi Poisson. Jika a > 0, variansi akan melebihi rataan, Var( ) > E( ), dan distribusi memungkinkan overdispersi. Dalam tulisan ini, distribusi akan disebut sebagai binomial negatif.

Estimasi parameter untuk model regresi binomial negatif

Untuk mengestimasi parameter dan dalam regresi binomial negatif dapat digunakan metode estimasi maksimum likelihood (MLE). Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan fungsi likelihood dari model regresi binomial negatif. Jika diasumsikan bahwa rataan

atau fitted value adalah multiplikatif, yaitu, (| )= = , maka fungsi likelihood untuk model regresi binomial negatif adalah sebagai berikut:

Selanjutnya dari fungsi likelihood diambil nilai lognya sehingga diperoleh fungsi log-likelihood dari persamaan di atas sebagai berikut:

Menurut Lawless (1987), ) () = ×(1+ ) × …× ( − 1+ ) untuk I bilangan bulat. Sehingga, ( ) =

Maka, (,) bisa ditulis tanpa fungsi Gamma dengan Γ ( +

+ log( 1 +

Likelihood untuk model regresi binomial negatif I dapat ditulis sebagai, 1+

(5.16) Oleh karena itu, estimasi maksimum likelihood, , , dapat diperoleh dengan memaksimalkan (,) terhadap dan . Persamaan terkait adalah,

(5.18) Estimasi maksimum likelihood,

, dapat diselesaikan secara bersamaan, dan melibatkan prosedur iterasi yang berurutan. Urutan pertama, dengan menggunakan nilai awal dari , yaitu () , (,) akan maksimal terhadap , menghasilkan () . Persamaan (5.17) akan

setara dengan kuadrat terbobot. Oleh karena itu, dengan sedikit modifikasi, permasalahan ini dapat dilakukan dengan menggunakan regresi IRWLS mirip dengan Poisson. Pada urutan kedua, dengan

tetap pada () , (,) adalah dimaksimalkan terhadap , menghasilkan () . Persamaan terkait adalah persamaan (5.18), dan permasalahan dapat dilakukan dengan menggunakan iterasi Newton-Raphson. Iterasi dengan dan

tetap, MLE, , , akan diperoleh.

Pendekatan yang lebih mudah untuk mengestimasi adalah dengan menggunakan perkiraan yang disarankan oleh (Breslow, 1984), yaitu dengan menyamakan Pearson Chi-Square Statistic dengan derajat bebas,

sehingga diperoleh,

(5.19) di mana n menunjukkan jumlah rating classes dan p jumlah parameter regresi. Prosedur iterasi seperti yang disebutkan di atas juga dapat digunakan, kali ini menghasilkan MLE dari dan estimasi moment dari , , .

Dalam tulisan ini, ketika diestimasi dengan MLE, model akan disebut sebagai binomial negatif (MLE). Demikian juga, ketika diestimasi dengan metode moment, model akan disebut sebagai binomial negatif I (moment).

Uji ketepatan (goodness of fit) model regresi binomial negatif

Uji ketepatan model regresi binomial negatif dilakukan dengan dua cara yaitu, Pearson Chi-Square statistic dan deviance.

Pearson Chi-Square pada model regresi binomial negatif

Karena data yang diobservasi itu berdistribusi binomial negatif, maka ()= (1+ ) sehingga Pearson Chi-Square Statistic untuk regresi binomial negatif I yaitu:

(5.20) Deviance pada model regresi binomial negatif

Uji kecocokan suatu model terhadap data adalah pertanyaan alami yang timbul pada semua model statistik. Salah satu cara untuk menilai kecocokan model adalah dengan membandingkannya dengan model penuh (saturated model). Deviance dinotasikan dengan D, didefinisikan sebagai ukuran jarak antara saturated model dengan current model:

Bila model cocok, maka current model diharapkan dekat dengan (tapi tidak lebih besar dari) saturated model. Nilai deviance yang besar menunjukkan bahwa current model tidak bagus. Sehingga bentuk persamaan di atas menjadi,

Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari laporan Direktorat Lalu Lintas Polda Sumatera Barat tahun 2012. Rating factor dan rating classes yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan pada penelitian sebelumnya serta berdasarkan data yang tersedia di Direktorat tersebut. Pada penelitian ini peneliti membatasi masalah pada faktor penyebab utama kecelakaan yaitu faktor manusia.

Tabel 1 Rating factors dan rating classes untuk data penelitian

Rating Factors

Rating Classes

Kepemilikan SIM

 Memiliki SIM  Tidak memiliki SIM

Usia pengendara

 <17 tahun  17-24 tahun  25-35 tahun  >35 tahun

Jenis kelamin pengendara

 Laki-laki  Perempuan

Pendidikan pengendara

 < SD  SD  SMP  SMA  S1  >S1

Kondisi fisik pengendara

 Lelah  Mabuk  Sakit  Sehat

Tabel 1 menunjukkan rating factors dan rating classes untuk jumlah kecelakaan. Dalam hal ini, terdapat 2 × 4 × 2 × 6 × 4 = 384 perkalian rating classes yang diklasifikasikan menurut frekuensi kecelakaan. Data lengkap, yang berisi jumlah kecelakaan, rating factors dan rating classes ditampilkan pada lampiran.

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel respon dan prediktor. Adapun variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah:

1. Variabel respon (Dependent variable) Dalam penelitian ini yang menjadi variabel respon adalah data angka jumlah kecelakaan tahun 2012.

2. Variabel bebas (independent variable) atau variabel penjelas Ada kalanya kita melakukan suatu regresi dimana variabel penjelas berupa data kualitatif. Jika data kualitatif tersebut memiliki m kategori, maka jumlah variabel dummy yang dicantumkan di dalam model adalah (m - 1) Sedangkan yang menjadi variabel penjelas utama pada penelitian ini adalah tidak memiliki SIM, 17-24 tahun, 25-35 tahun, >35 tahun, perempuan, SD, SMP, SMA, S1, >S1, mabuk, sakit dan sehat.

Proses Analisis Data

Untuk menguji signifikansi dan untuk menilai interaksi antara pasangan rating factors digunakan analisis Deviance. Berikut ini akan disajikan hasil analisis Deviance model regresi Poisson yang memuat rating factors utama dan semua interaksinya.

Dari simulasi terlihat bahwa terdapat pasangan rating factor yang tidak signifikan. Sehingga harus dilakukan kembali analisis Deviance dengan membuang pasangan rating factor yang tidak signifikan, untuk selanjutnya penulis menitikberatkan pada interaksi antara pendidikan pengemudi dan kodisi fisik pengemudi yang merupakan salah satu pasangan rating factor yang signifikan. Berikut adalah ini adalah analisis Deviance model regresi Poisson beserta data kombinasi antara pendidikan pengemudi dan kondisi fisik pengemudi.

Tabel 2 Analisis Deviance model regresi Poisson untuk rating factor utama dan pasangan yang sudah signifikan.

Df Deviance P(>|Chi|)

NULL Kepemilikan_SIM

< 2.2e-16 *** Usia

5 22.55 0.0004117 *** Kondisi_Fisik

*** Pendidikan:Kondisi_Fisik 15

3 23.23 3.62E-05

*** Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

64.95 3.49E-08

Berdasarkan analisis Deviance, model terbaik adalah model yang semua faktor signifikan. Banyak rating factor sekarang berkurang dari lima menjadi empat. Dari analisis Deviance antara rating classes diperoleh bahwa ternyata tidak semua rating clases signifikan, untuk itu peneliti harus melanjutkan analisis deviansi sehingga semua rating clases singnifikan. Seperti terlihat pada Tabel. 3.

Tabel. 3 Analisis Deviance model regresi Poisson untuk tiap rating classes yang telah signifikan

Df Deviance P(>|Chi|)

NULL

*** D1_E2

A2 1 358.03

< 2.2e-16

*** D3_E1

*** D5_E3

*** D6_E1

*** Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘’ 1

1 26.16 3.14E-07

Dari hasil analisis deviansi model regresi Poisson untuk tiap rating classes hanya diperoleh satu rating classes yang signifikan yaitu perihal tidak memiliki SIM dan empat pasangan rating classes yaitu kombinasi antara pendidikan pengemudi dan kondisi fisik pengemudi. Hasil estimasi parameter untuk rating classes yang signifikan, dapat dilihat pada Tabel. 4.

Tabel 4 Estimasi parameter untuk model Poisson rating classes yang signifikan

Nilai estimasi beta tiap dummy

No. Beta Nilai_beta Standar.error Varians Pval

2 Tidak_memiliki SIM

3 <SD_Lelah

4 SMP_Mabuk

5 S1_Sakit

6 >S1_Mabuk

Pearson's X^2

Deviance

log L

Nilai p-value untuk semua parameter kecil dari 0.005, nilai ini mengidentifikasikan bahwa estimasi parameter sudah signifikan. Dari TTabel 4 terlihat bahwa terjadi overdispersi pada data karena nilai Pearson Chi-square dan Deviance dibagi dengan derajat bebas nilainya lebih besar dari 1. Untuk mengatasi masalah overdispersi pada data cacah ini dapat diatasi dengan memodel-ulangkan dengan regresi binomial negatif.

Tabel 5 Estimasi parameter untuk model Binomial Negatif rating classes

Nilai a = 12.94691 Nilai estimasi beta tiap dummy

No. Beta nilai_beta standar.error varians Pval

2 Tidak_memiliki SIM

3 <SD_Lelah

4 SMP_Mabuk

5 S1_Sakit

6 >S1_Mabuk

Pearson's X^2

Setelah data yang sama seperti data yang digunakan untuk Tabel.4 dimodel ulangkan dengan model Binomial Negatif, terlihat bahwa permasalahan overdispersi yang terjadi pada model Poison dapat teratasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel.5, dimana nilai Pearson Chi-square dan Deviance dibagi dengan derajat bebas nilainya kecil dari 1. Tetapi sebagian besar parameter pada data yang dimodel-ulangkan ini menjadi tidak signifikan.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil simulasi data kecelakaan yang terjadi di Sumatera Barat selama tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa:

1. terdapat interaksi antara pendidikan pengemudi dan kodisi fisik pengemudi yang merupakan salah satu pasangan rating factor yang signifikan.

2. berdasarkan analisis Deviance antara rating factor ternyata jumlah rating factor sekarang berkurang dari lima menjadi empat.

3. Berdasarkan analisis Deviance antara rating classes diperoleh bahwa ternyata tidak semua rating clases signifikan, untuk itu harus dilanjutkan analisis deviansi sehingga semua rating clases singnifikan.

4. Berdasarkan hasil analisis deviansi model regresi Poisson untuk tiap rating classes hanya diperoleh satu rating classes yang signifikan yaitu perihal tidak memiliki SIM dan empat pasangan rating classes yaitu kombinasi antara pendidikan pengemudi dan kondisi fisik pengemudi.

5. Setelah dilakukan pemodelan ulang dengan model Binomial Negatif, terlihat bahwa permasalahan overdispersi yang terjadi pada model Poison dapat teratasi. Hal ini dapat dilihat pada nilai Pearson Chi-square dan Deviance dibagi dengan derajat bebas nilainya kecil dari 1. Tetapi sebagian besar parameter pada data yang dimodel-ulangkan ini menjadi tidak signifikan

Penelitian ini hanya melibatkan satu faktor utama yaitu manusia. Pada hal masih ada factor penyebab kecelakaan yang lain seperti: kondisi kendaraan, faktor cuaca, dan faktor jalan dengan berbagai rating factor dan class factor. Penelitian selanjutnya terbuka untuk faktor-faktor yang belum diungkap tersebut.

E. DAFTAR PUSTAKA

Bailey, Robert A., and Leroy J. Simon. 1960 "Two Studies in Automobile Insurance Ratemaking." ASTIN Bulletin, hal. 192-217.

Bain, Lee J., and Max Engelhardt. 1991. Introduction to Probability and Matematical Statistic. California: Duxbury Press.

Breslow, N. E. 1984. "Extra-Poisson Variation in Log-Linear Models." Journal of the Royal Statistical Society, Blackwell Publishing for the Royal Statistical Society.

Cameron, A. Colin, dan Pravin K. Trivedi. 1986. “Econometric Models Based on Count Data: Comparisons and Applications of Some Estimators and Tests.” Journal of Applied Econometrics, hal. 29-53.

Cox, D. R. 1983. “Some Remarks on Overdispersion.” Biometrika, hal. 269-274.

Harrington, Scott E. 1986. "Estimation and Testing for Functional Form in Pure Premium Regression Models." ASTIN Bulletin, hal. 31-43.

Ismail, Noriszura, and Abdul Aziz Jemain. 2005. "Bridging Minimum Bias and Maximum Likelihood Methods through Weighted Equation." Casualty Actuarial Society Forum, hal. 367-394.

Ismail, Noriszura, and Abdul Aziz Jemain. 2007. "Handling Overdispersion with Negative binomial and Generalized Poisson Regression Models." Casualty Actuarial Society Forum, hal. 103-158.

Jong, Piet de, and Gillian Z. Heller. Generalized Linear Models for Insurance Data. New York: Cambridge University Press, 2008.

Lawless, Jerald F. 1987. “Negative binomial and Mixed Poisson Regression.” The Canadian Journal of Statistics, hal. 209-225.

McCullagh, P., dan J.A. Nelder. 1989. Generalized Linear Models. 2nd Edition. London: Chapman and Hall.

Nelder, J. A., dan Y. Lee. 1992. “Likelihood, Quasi-Likelihood and Pseudolikelihood: Some Comparisons.” urnal of the Royal Statistical Society, hal. 273-284.

Renshaw, Arthur E. 1994. “Modelling the Claims Process in the Presence of Covariates.” ASTIN Bullletin, hal. 265-285.

Sari, Devni Prima. 2010. Penanganan Overdispersi dengan Model Regresi Binomial Negatif I Pada Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Angka Kematian yang Disebabkan Oleh Kanker Paru-Paru. Prosiding Seminar Nasional Matematika UNS, hal. 445-452.

Sari, Devni Prima. 2010. Penanganan Overdispersi dengan Model Regresi Binomial Negatif I dan Binomial Negatif II. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Sari, Devni Prima. 2011. Kajian Overdispersi Pada Regresi Poisson dengan Menggunakan Regresi Poisson Tergeneralisasi I. Prosiding Seminar Nasional Matematika Padang: UNAND, hal. 122-128.

Schwarz, Gideon. 1978. "Estimating the Dimension of a Model." The Annals of Statistics, hal. 461-464.

UU RI No.22 Tahun 2009. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Diakses melalui www.polri.go.id tanggal 2 Januari 2013.

Winkelmann, Rainer. 2008. Econometric Analysis of Count Data. New York: Springer

S - 15 EFEKTIFITAS METODE JACKKNIFE DALAM MENGATASI MULTIKOLINEARITAS DAN PENYIMPANGAN ASUMSI NORMALITAS PADA ANALISIS REGRESI BERGANDA

1 2 Muhlasah Novitasari Mara 3 , Neva Satyahadewi , Ryan Iskandar

Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Tanjungpura

1 2 novee_mara@yahoo.co.id, 3 neva.satya@gmail.com, ryan_virgo90@yahoo.co.id

Abstrak

Regresi merupakan metode dalam statistik dimana variabel dependen dimodelkan sebagai kombinasi linear dari satu atau lebih variabel independen. Terdapat beberapa asumsi klasik pada analisis regresi berganda diantaranya adalah normalitas. Dampak dari tidak terpenuhinya asumsi normalitas adalah baik uji F maupun uji t serta estimasi nilai variabel dependen menjadi tidak valid. Selain asumsi normalitas, dalam pemakaian analisis regresi ganda masih terdapat satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian, yaitu bilamana interkorelasi di antara variabel independen yang ada cukup tinggi (multikolinearitas). Bila variabel independen saling berkorelasi tinggi maka varian estimatornya juga akan meningkat dan dapat menghasilkan kuadrat koefisien korelasi ganda yang signifikan, sekalipun dalam persamaan regresinya masing-masing variabel independen sebenarnya memiliki korelasi yang tidak terlalu tinggi terhadap variabel dependen. Efek lain dari multikolinearitas adalah mengakibatkan penduga parameter regresi menjadi tidak efisien karena mempunyai bias dan varians yang besar. Pada paper ini akan dilakukan simulasi metode Jackknife untuk mengetahui efektifitas metode Jackknife dalam menduga parameter regresi dengan kasus multikolinearitas sekaligus penyimpangan asumsi normalitas pada analisis regresi berganda. J ackknife merupakan teknik nonparametrik dan resampling yang bertujuan untuk menaksir parameter regresi. Prinsip metode Jackknife ialah menghilangkan satu buah data dan mengulanginya sebanyak jumlah sampel yang ada.

Kata kunci: Multikolinearitas, Normalitas, Jackknife

A. PENDAHULUAN

Istilah regresi diperkenalkan pertama kali oleh Francis Galton (1886). Galton menemukan ada kecenderungan bagi orang tua yang tinggi mempunyai anak-anak yang tinggi dan bagi orang tua yang pendek untuk mempunyai anak-anak yang pendek (Gujarati, 1999). Regresi adalah hubungan variabel dependen yang dipengaruhi oleh satu atau lebih dari variabel independen. Regresi dapat digunakan untuk melakukan peramalan nilai suatu variabel berdasarkan variabel lain.

Terdapat empat asumsi klasik pada analisis regresi berganda yakni normalitas, multikolinearitas, homoginitas dan autokorelasi. Pada kenyataannya sering terjadi penyimpangan asumsi tersebut. Bahkan seringkali terjadi penyimpangan dua asumsi secara bersamaan seperti terjadi multikolinearitas dan penyimpangan asumsi normalitas secara bersamaan. Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear atau korelasi antar variabel bebas. Efek dari multikolinearitas ini dapat mengakibatkan penduga parameter regresi yang dihasilkan dari analisis regresi linear berganda menjadi tidak efisien karena dapat menyebabkan regresi berganda mempunyai bias dan varians yang besar. Multikolinearitas juga akan menyebabkan hasil-hasil

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Ada beberapa cara untuk mengatasi masalah multikolinearitas dan penyimpangan asumsi normalitas. Salah satu cara mengatasi multikolinearitas adalah dengan metode Jackknife.. Penyimpangan asumsi normalitas dapat diatasi dengan menghilangkan nilai outlier dari data, melakukan transformasi atau menggunakan alat analisis nonparametrik seperti metode Jacknife. Pada paper ini akan dibahas efektifitas metode Jacknife dalam menduga parameter regresi dengan kasus multikolinearitas sekaligus penyimpangan asumsi normalitas pada analisis regresi berganda.

B. PEMBAHASAN

Jackknife adalah metode resampling yang diperkenalkan oleh Quenouille (1949) untuk estimasi bias dan Tukey (1958) memperkenalkan Jackknife untuk menduga standar deviasi. Prinsip metode Jackknife dalam estimasi parameter regresi ialah menghilangkan satu buah data dan mengulanginya sebanyak jumlah sampel data yang ada. Model regresi linear berganda dapat dinyatakan dalam notasi matriks sebagai berikut :

(1) dengan adalah matriks berukuran ×1 berisi sampel data observasi variabel terikat, adalah matriks berukuran × berisi data observasi variabel bebas, adalah matriks dari parameter regresi berukuran ×1 ,

adalah matriks variabel galat acak berukuran × 1, ehingga persamaan (1) dapat dituliskan kembali sebagai berikut

Data Jackknife ke-1 diperoleh dengan menghilangkan baris ke 1 dari matriks ∗ dan ∗ sehingga diperoleh ∗∗ = ∗∗ ∗∗ + ∗∗

⎣ ∗∗ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ Estimasi parameter ∗∗ pada persamaan (2) dicari menggunakan metode kuadrat terkecil

sehingga diperoleh estimator ∗∗ berikut

(4) Langkah mengambil menghilangkan baris ke i terus dilakukan hingga diperoleh parameter Jackknife ∗∗ , ∗∗ , …, ∗∗ . Estimasi parameter Jackknife ∗∗ merupakan rata-rata dari

Dengan demikian persamaan regresi linear berganda pada persamaan (1) dapat diduga dengan persamaan regresi linear berganda Jackknife berikut (Sahinler dan Topuz, 2007):

Pada penelitian ini dilakukan simulasi dengan perulangan sebanyak 100 kali untuk mengkaji efektifitas metode Jackknife dalam mengatasi multikolinearitas sekaligus Pada penelitian ini dilakukan simulasi dengan perulangan sebanyak 100 kali untuk mengkaji efektifitas metode Jackknife dalam mengatasi multikolinearitas sekaligus

yang berkorelasi dengan dan yang berkorelasi dengan

(Kusnandar, 2001):

= 2,3 (5) Koefisien korelasi () yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,9. Variabel ,

, dan kemudian digunakan sebagai variabel bebas dalam persamaan (6) berikut

(6) Nilai-nilai parameter ( ) yang digunakan pada persamaan (6) dalam adalah

=0 , dan =

= =1 . Luaran nilai bias, standard deviasi dan MSE estimator Jackknife dari proses simulasi dapat dilihat pada tabel 1 berikut

Tabel 1. Nilai bias dan standard deviasi estimator Jackknife

MSE Distribusi

Nilai Bias

Standar Deviasi

. Hasil simulasi yang disajikan pada tabel 1 menunjukkan bahwa pada kondisi terjadi multikolinearitas sekaligus penyimpangan asumsi normalitas estimator Jackknife memiliki nilai MSE yang kecil. Namun pada kondisi data terjadi multikolinearitas dan asumsi normalitas terpenuhi estimator Jacknife justru besar. Secara visual hal ini dapat dilihat dengan mudah dari gambar 1 berikut

Norm al

Gambar 1. MSE Estimator Jackknife

C. KESIMPULAN

Metode Jackknife menghasilkan estimator dengan MSE kecil pada kondisi terjadi multikolinearitas sekaligus penyimpangan asumsi normalitas dalam hal ini error berdistribusi Uniform, Gamma dan Weibull. Namun ketika asumsi normalitas terpenuhi, MSE dari estimator Jackknife justru besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode Jackknife lebih efektif untuk estimasi parameter regresi pada kondisi terjadi multikolinearitas sekaligus Metode Jackknife menghasilkan estimator dengan MSE kecil pada kondisi terjadi multikolinearitas sekaligus penyimpangan asumsi normalitas dalam hal ini error berdistribusi Uniform, Gamma dan Weibull. Namun ketika asumsi normalitas terpenuhi, MSE dari estimator Jackknife justru besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode Jackknife lebih efektif untuk estimasi parameter regresi pada kondisi terjadi multikolinearitas sekaligus

D. DAFTAR PUSTAKA

Efron, B.. 1982. The Jackknife, The Bootstrap and Other Resampling Plans . CBMS-NSF Regional Conference Series in Applied Mathematics . SIAM. Philadelphia.

Gujarati, D.. 1999. Ekonometrika Dasar. Erlangga. Jakarta .

Kusnandar, D.. 2001. The Identification and Interpretation of Genetic Variation in Forestry Plantation . The University of Western Australia. Faculty of Agriculture. Australia (Thesis).

Kusnandar, D.. 2004.Metode Statistik dan Aplikasinya dengan Minitab dan Excel. Madyan Press. Yogyakarta.

Kutner, M.H., Neter, J., dan Wasserman, W..1997. Model Linear Terapan. Sumatri, Bambang (alih bahasa). Jurusan Statistik FMIPA IPB. Bogor.

Sahinler, S., dan Topuz, D.. 2007. Bootstrap and Jackknife Resampling Algorithm For Estimation

of Regression Parameters. Journal of Applied Quantitative Methods. Vol. 2. No.2.

Sprent, P..1989. Applied Nonparametric Statistical Methods. Chapman & Hall. New York.

S - 16

KAJIAN PENATAAN PKL BERDASARKAN PREFERENSI PKL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DI KAWASAN PASAR SUDIRMAN PONTIANAK

1 Neva Satyahadewi 2 , Naomi Nessyana Debataraja

1,2 Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Tanjungpura

1 neva.satya@gmail.com, 2 naominessyana@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penataan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan pasar Sudirman Pontianak berdasarkan karakteristik dan preferensi PKL serta persepsi masyarakat tentang keberadaan PKL. Penelitian dilakukan pada ketiga ruas jalan yaitu jalan Nusa Indah I, jalan Nusa Indah II dan jalan Nusa Indah III. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling acak terstratifikasi. Metode Statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi, diagram batang dan tabulasi silang (crosstabs). Berdasarkan hasil analisis diperoleh temuan bahwa PKL merupakan salah satu alternatif mata pencaharian bagi warga kota Pontianak yang tidak dapat memasuki sektor formal. PKL dalam melakukan aktifitasnya cenderung berkelompok dengan jenis dagangan lain. Jenis usaha yang paling banyak diminati adalah makanan. Kegiatan PKL sebagai salah satu sektor informal belum terantisipasi dalam perencanaan tata ruang kota sehingga sarana dan prasarana yang ada biasanya kurang mendukung kegiatan PKL. Rekomendasi yang dapat diajukan adalah pembinaan terhadap PKL, mengukur kemampuan suatu lokasi untuk dapat menampung jumlah PKL, memindahkan PKL pada pasar Cempaka yang letaknya berdekatan dengan pasar Sudirman dengan sosialisasi yang baik antara SKPD terkait dan PKL .

Kata kunci: PKL, Preferensi, Persepsi, Distribusi Frekuensi, crosstabs

A. PENDAHULUAN

Dalam dasawarsa terakhir, seiring dengan dinamika perekonomian nasional, perkembangan PKL (PKL) di daerah cukup cepat dan sebagian besar mendominasi penggunaan ruang publik kota seperti trotoar, taman, pinggir badan jalan, kawasan tepi sungai dan di atas saluran drainase. Hal ini disebabkan kegiatan PKL merupakan kegiatan yang belum terwadahi, sehingga ruang publik menjadi satu-satunya tempat untuk melakukan aktifitas. Aktifitas ini mengakibatkan rusaknya estetika kota serta terjadinya perubahan fungsi ruang publik sehingga tidak dapat dimanfaatkan penggunaannya oleh masyarakat luas sesuai dengan fungsinya (Soetomo,1996).

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan PKL ini, namun hasilnya belum dapat mengakomodir kepentingan para PKL dan kebutuhan ruang masyarakat secara lebih luas. Sering kali PKL ini ditertibkan dari ruang publik dengan melakukan pembongkaran bangunan atau kios liar yang selain menimbulkan konflik, penertiban ini tidak menimbulkan efek jera. Belum berhasilnya penertiban yang dilakukan oleh pemerintah disebabkan karena upaya-upaya tersebut belum mengakomodir kebutuhan pedagang informal. Penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah masih mermarjinalkan kebutuhan ruang PKL dengan belum disediakannya ruang yang khusus untuk mengakomodir kegiatan usaha mereka.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Pasar Sudirman atau dikenal juga sebagai Pasar Nusa Indah telah cukup dikenal luas oleh masyarakat Kota Pontianak sejak dulu sebagai alternatif tempat mencari barang-barang keperluan seperti pakaian, barang kelontong, aksesoris serta barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya dengan harga yang terjangkau. Berkumpulnya beraneka ragam penjual menyebabkan lebih banyak pilihan bagi konsumen di pasar tersebut. Akibat pangsa pasar yang terus meningkat menyebabkan lebih banyak lagi pedagang yang awalnya tidak memiliki tempat berjualan di kawasan tersebut, memanfaatkan space yang kosong sebagai tempat berjualan, sehingga kawasan pasar Sudirman penuh sesak dengan penjual dan hanya menyisakan lorong-lorong kecil bagi calon pembeli untuk mencari barang yang akan dibelinya. Hal ini tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan dan memberikan image yang kurang baik bagi pasar itu sendiri. Untuk itu diperlukan kajian yang yang mendalam mengenai aspek-aspek perencanaan dan konsep pengembangan yang seperti apa yang dapat merestorasi image kawasan tersebut agar menjadi salah satu alternatif tempat belanja yang lebih nyaman.

Tujuan dari kajian ini adalah untuk menyusun panduan rancang kawasan sebagai arahan penataan ruang dan bentuk kegiatan PKL di Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Sudirman agar dapat berdampingan harmonis secara fisik dengan kegiatan formal yang ada di sekitar kawasan. Secara spesifik sasaran dari kegiatan ini adalah mengidentifikasi dan memetakan sebaran PKL di dalam kawasan beserta karakteristiknya, menganalisis kebutuhan ruang bagi PKL di dalam kawasan, merumuskan strategi dan konsep penataan kawasan.

Berdasarkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, kajian ini dibatasi pada beberapa substansi kajian. Pertama yaitu sebaran, klasifikasi dan karekteristik PKL di dalam kawasan meliputi karakterisik usaha yang meliputi jenis dagangan, bentuk sarana dagang, pola penyebaran. referensi PKL mengenai kondisi yang diinginkan dalam berdagang. Kedua adalah persepsi masyarakat terhadap keberadaan PKL. Masyarakat disini adalah masyarakat yang berada di sekitar lokasi aktifitas PKL, yang terdiri dari pemilik rumah/toko maupun pembeli bebas. Kajian ini meliputi persepsi mereka terhadap keberadaan PKL, apakah ada manfaat atau gangguan yang ditimbulkan oleh keberadaan PKL, alasan berbelanja di PKL, pengelompokan PKL, perlu/tidaknya pengaturan PKL, kesesuaian lokasi PKL. Ketiga, berupa kajian literatur (definisi operasional dan landasan teori) serta kajian kasus penanganan PKL di dareah lain. Terakhir adalah konsep-konsep panduan perancangan/penataan yang direkomendasikan berdasarkan hasil analisis.

B. PEMBAHASAN Analisis Karakteristik Umum PKL

Analisis karakteristik umum pedagang kaki lima bertujuan untuk mengetahui karakteristik umum dari PKL. Analisis ini meliputi klasifikasi umur, tingkat pendidikan, asal pedagang, jumlah pekerja, lama berdagang, modal serta tingkat penghasilan per hari sebagai gambaran kondisi PKL pada ke tiga jalan lokasi PKL tersebut. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang kaki lima khususnya kelompok usia 31-40 tahun, tingkat pendidikan terbanyak adalah SMP hingga SMA, pedagang kebanyakan berasal dari dalam kota Pontianak, jumlah pekerja dari PKL adalah 1 orang, jumlah modal PKL dalam membuka usahanya adalah 2 juta rupiah serta laba yang diperoleh PKL per hari dapat mencapai 1 juta rupiah. Sulitnya mencari pekerjaan dalam bidang formal dan motivasi untuk bertahan hidup mendorong mereka membuka lapangan kerja sendiri yaitu sebagai pedagang kaki lima. Rendahnya tingkat pendidikan menunjukkan bahwa usaha dalam sektor informal yang tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus. Banyaknya pedagang yang berpendidikan rendah bahkan ada yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam memahami peraturan pemerintah. Pedagang yang mempunyai modal besar merupakan pedagang yang telah mapan dan telah lama berusaha dipasar Sudirma dan ternyata sektor informal mampu memberikan penghasilan yang lebih besar dibandingkan sektor formal seperti pegawai biasa.

Analisis Karakteristik Aktifitas PKL

Analisis karakteristik aktifitas PKL meliputi jenis usaha PKL, sarana dagang PKL dan lama aktifitas PKL.di kawasan pasar Sudirman, sebagian besar pedagang memilih jenis usaha non-makanan denngan sarana dagang mayoritas adalah kios semi permanen. Lama beraktifitas PKL di pasar Sudirman adalah 5-11 jam. Jenis usaha non makanan yang banyak dilakukan adalah jenis usaha pakaian, sepatu dan aksesoris lainya. Di kawasan pasar Sudirman, PKL membuat kios-kios semi permanen pada sarana publik dan kegiatan usaha pedagang kaki lima merupakan kegiatan yang tidak pernah terhenti. Dalam kurun waktu satu minggu sebagian besar pedagang kaki lima mengungkapkan bahwa mereka tidak mempunyai hari libur, bahkan hari libur mereka tetap menjalankan usaha/aktifitasnya karena justru di hari-hari tersebut diharapkan mereka mampu menarik lebih banyak konsumen. Tabel 1 menunjukkan hubungan antara jenis usaha dan sarana dagang.

Tabel 1 Hubungan Jenis Usaha dan Sarana Dagang

Jenis Usaha

Sarana Dagang

Warun Gerobak Pikulan/K Gelaran/

Kios Lainnya

g /Kereta

1 0 0 2 0 0 Asymp. Sig

0,00 Terdapat hubungan antara jenis dagangan dan sarana Contingency

usaha dan memiliki keterkaitan yang cukup erat.

Coefficient

Hasil tabulasi silang antara jenis dagangan dan sarana dagang membuktikan bahwa ada hubungan antara yang jenis dagangan dengan bentuk sarana dagang dan memiliki hubungan yang erat. Jenis usaha non-makanan menggunakan sarana berupa kios, warung tenda, gerobak/kereta dorong, dan lainnya. Sedangkan jenis usaha non-makanan menggunakan sarana gerobak/kereta dorong, warung tenda, dll. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa bentuk sarana dagang berhubungan dengan jenis dagangan yang dijual. Tabel 2 menunjukkan hubungan antara jenis usaha dan lama aktifitas PKL per hari.

Lama Aktifitas PKL per Hari

Jenis Usaha

Warun Gerobak Pikulan/K Gelaran/

Kios Lainnya

g /Kereta

4 43 41 4 92 4 Asymp. Sig

Terdapat hubungan antara jenis usaha dan lama

Contingency

aktifitas PKL per hari serta memiliki keterkaitan yang

Coefficient

cukup erat.

Tabel 2 Hubungan Jenis Usaha dan Lama Aktifitas PKL per Hari

Hasil tabulasi silang antara jenis dagangan dan lama aktifitas PKL dalam menjalankan usahanya membuktikan bahwa terdapat hubungan antara jenis dagangan dengan lama aktifitas dagang namum memiliki hubungan yang kurang erat. Dari Tabel 2 dapat dilihat jenis aktifitas non makanan memiliki lama aktifitas yang paling panjang.

Analisis Karakteristik Lokasi

Sebagaimana kegiatan perdagangan yang lain, pedagang kaki lima (PKL) dalam menjalankan usahanya juga mempertimbangkan lokasi. Para pedagang akan mendekatkan diri pada konsumen tujuan sehingga mereka akan beraktifitas pada lokasi-lokasi yang memiliki tingkat kunjungan tinggi. Aktifitas PKL pada umumnya akan memilih lokasi secara berkelompok pada wilayah yang memiliki tingkat aktifitas tinggi, seperti pada simpul-simpul transportasi atau lokasi yang memiliki aktifitas hiburan, pasar maupun ruang terbuka (Mc. Gee dan Yeung, 1997 dalam Budi, 2006). Berdasarkan hasil penelitian, alasan PKL dalam memilih lokasi tempat usaha/berdagang yang paling dominan adalah karena tempat tersebut merupakan tempat yang ramai dikunjungi masyarakat, tingkat pendapatan memuaskan dan daerah yang mudah dijangkau. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa aktifitas PKL pada ketiga jalan lokasi pasar sudirman tersbut berkembang pada kawasan yang memiliki intensitas kunjungan tinggi yang sesuai dengan karakteristik PKL. Aktifitas PKL cenderung menempati ruang publik yang tersedia misalnya trotoar, badan jalan serta lahan parkir. Dari hasil penelitian dan pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa pemanfaatan ruang publik untuk PKL cukup luas sehingga menurunkan fungsi ruang publik yang ada. Tabel 3 menunjukkan hubungan antara ruang aktifitas PKL dan jumlah penghasilan per hari yang diperoleh.

Ruang

Penghasilan perhari

aktifitas

≤ 50 51 ribu – 101 ribu – 501 ribu >1 juta Total

Lahan Parkir

Badan Jalan

5 15 39 13 20 92 Asymp. Sig

Terdapat hubungan antar ruang aktifitas dan besarnya Contingency

penghasilan namun hubungannya kurang erat Coefficient

Tabel 3 Hubungan Ruang Aktifitas dan Penghasilan per Hari

Dari hasil tabulasi silang dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara ruang aktifitas dan penghasilan pada Tabel 3. Namun hubungan antara ruang aktifitas dan penghasilan PKL tersebut kurang erat. Tabel 4 menunjukkan hubungan rung aktifitas PKL dan besarnya penghasilan per hari yang diperoleh oleh PKL.

Tabel 4 Hubungan Ruang Aktifitas dan Penghasilan per Hari

Sarana Dagang

Luas Ruang

Total Warung Tenda

8 6 3 17 Gerobak/Kereta

Dorong Pikulan/Keranjang

1 0 1 2 Gelaran/Dasaran

8 0 4 12 Total

7 19 18 44 Asymp. Sig

Terdapat hubungan antar ruang aktifitas dan besarnya Contingency

penghasilan namun hubungannya kurang erat Coefficient

Dari hasil tabulasi silang dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara ruang aktifitas dan ruang aktifitas. Namun hubungan antara ruang aktifitas dan penghasilan PKL tersebut kurang erat.

Tabel 5 Hubungan Luas Ruang dan Sarana Dagang

Luas Ruang

Sarana Dagang

Warung Tenda

8 6 3 17 Gerobak/Kereta Dorong

5 5 6 16 Pikulan/Keranjang

1 0 1 2 Gelaran/Dasaran

8 0 4 12 Total

7 19 18 44 Asymp. Sig

Terdapat hubungan antar ruang aktifitas dan besarnya penghasilan namun hubungannya kurang erat

Contingency Coefficient

Hasil tabulasi silang antara sarana dagang dan luas tempat membuktikan ada hubungan antara bentuk sarana dagang yang dipergunakan dengan luas tempat usahanya namun memiliki keterkaitan yang kurang erat. Kios dalam hal ini yang masih semi permanen memiliki luas lebih dari 5 m 2 . Pada umumnya, jarak lokasi PKL usaha dengan tempat tinggal lebih dari 2 Km. Jarak

lokasi dengan tempat tinggal PKL cenderung jauh. Hal ini patut menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan untuk penataan PKL.

Analisis Preferensi PKL

Analisis preferensi pedagang kaki lima (PKL) bertujuan untuk mengetahui preferensi PKL terhadap lokasi yang telah ditetapkan. Dalam analisis ini ada tiga jenis preferensi yang akan dibahas yaitu preferensi berkelompok, preferensi terhadap pengaturan dan preferensi terhadap kesesuaian lokasi. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, pola penyebaran pedagang kaki lima di kawasan pasar Sudirman pada ketiga jalan hampir sama.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa PKL memilih untuk berkelompok dengan sejenis dengan alasan agar mudah di cari konsumen dan untuk memudahkan pilihan bagi konsumen. Preferensi para pedagang terhadap perlunya pengaturan memiliki nilai yang cukup besar. Alasan utama PKL yang menginginkan pengaturan pada kawasan Pasar Sudirman agar lebih teratur dan supaya dapat menarik konsumen sehingga akan dapat meningkatkan pendapatan mereka. Namun ada juga pedagang yang tidak menginginkan pengaturan. Mereka menganggap kawasan berdagang saat ini telah rapi dan teratur dan sebagian lagi menganggap pengaturan akan memerlukan biaya dan tenaga. Hasil penelitian hal yang perlu mendapat Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa PKL memilih untuk berkelompok dengan sejenis dengan alasan agar mudah di cari konsumen dan untuk memudahkan pilihan bagi konsumen. Preferensi para pedagang terhadap perlunya pengaturan memiliki nilai yang cukup besar. Alasan utama PKL yang menginginkan pengaturan pada kawasan Pasar Sudirman agar lebih teratur dan supaya dapat menarik konsumen sehingga akan dapat meningkatkan pendapatan mereka. Namun ada juga pedagang yang tidak menginginkan pengaturan. Mereka menganggap kawasan berdagang saat ini telah rapi dan teratur dan sebagian lagi menganggap pengaturan akan memerlukan biaya dan tenaga. Hasil penelitian hal yang perlu mendapat

Preferensi PKL terhadap kesesuaian lokasi mengungkapkan bahwa lokasi yang saat ini PKL tempati sesuai pilihan. Alasan utama lokasi tersebut sesuai adalah dekat dengan keramaian. Namun ada juga PKL yang mengungkapkan bahwa lokasi yang mereka tempati belum sesuai pilihan mereka. Hal ini disebabkan karena lokasi tempat mereka berdagang merupakan lokasi yang telah ditentukan dan lokasinya jarang dikunjungi oleh konsumen/masyarakat sekitar.

Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap PKL Serta Lokasinya

Selanjutnya persepsi masyarakat mengenai keberadaan PKL pada ketiga jalan di Pasar Sudirman. Pembahasan persepsi masyarakat mengenai keberadaan PKL dan lokasinya meliputi alasan berbelanja, manfaat dan gangguan adanya PKL, pola penyebaran/pengelompokan PKL, perlu tidaknya pengaturan lokasi PKL serta kesesuaian lokasi PKL. Persepsi masyarakat mengenai alasan memilih berbelanja pada PKL di Pasar Sudirman karena memiliki harga yang murah, pilihan barang yang diberikan PKL lebih lengkap, alasan kedekatan lokasi dengan tempat tinggal, suasana lebih santai. Adapun persepsi masyarakat terhadap manfaat keberadaan PKL adalah mudah mendapatkan kebutuhan dan lokasi menjadi ramai. Aktifitas PKL memiliki manfaat yang bervariasi bagi konsumennya. Namun intinya adalah adanya kemudahan yang diberikan oleh aktifitas PKL karena keberadaan mereka yang cenderung dekat dengan aktifitas masyarakat.

Meskipun PKL telah memberikan manfaat yang tidak sedikit kepada masyarakat, tetapi PKL juga mempunyai dampak negatif berupa gangguan ketidaknyamanan pejalan kaki kerena jalanan sesak dan macet, sempitnya trotoar, parkir menjadi sulit, lingkungan kotor, merasa kurang aman, dan gangguan secara visual yang ditunjukkan oleh tampilan PKL yang tidak teratur dan tidak tertib. Namun ada juga masyarakat menganggap bahwa kehadiran PKL tidak memberi gangguan yang berarti.Umumnya masyarakat yangberpendapat demikian adalah masyarakat yang lokasi aktifitasnya belum dipenuhi oleh aktifitas PKL atau masyarakat dan konsumen sekitar yang berlalu lalang/beraktifitas bukan pada lokasi yang dipadati oleh PKL sehingga mereka beranggapan bahwa aktifitasPKL yang ada belum terlalu mengganggu.

Persepsi masyarakat terhadap pengelompokan PKL dalam usaha berdagangnya menunjukkan bahwa penataan PKL sebaiknya bercampur dengan jenis daganganyang lain dengan alasan untuk mengurangi persaingan antara sesama pedagang di kawasan tersebut dan memberikan kemudahan bagi konsumen untuk melihat-lihat terlebih dahulu sebelum menentukan pilihannya untuk membeli barang. Sementara itu masyarakat yang berpendapat PKL sebaiknya berjualan dengan jenis dagangan yang sama mengemukakan alasan agar mudah dicari oleh konsumen. Karena mungkin telah diketahui bahwa lokasi ini merupakan tempat berjualan beraneka jenis barang. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat cenderung berpendapat pengaturan PKL sebaiknya tidak dikelompokkan menurut jenis dagangannya (bercampur beraneka jenis barang), karena disamping akan mengurangi persaingan antar pedagang itu sendiri juga akan memudahkan masyarakat untuk melihat-lihat keberagaman dagangan PKL sebelum konsumen memutuskan untuk membelinya.

Persepsi masyarakat terhadap perlunya pengaturan PKL Pasar Sudirman menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat maupun konsumen sekitar menginginkan diadakan suatu pengaturan terhadap para PKL dan hanya sebagian kecil yang menyatakan tidak perlu dilakukan. Hal yang perlu mendapatkan pengaturan adalah tempat usaha, jenis dagangan, sarana dagang PKL dan waktu berjualan PKL. Seperti diketahui PKL dalam melakukan usaha dagangnya tidak mempunyai izin sebab mereka menggunakan sarana badan jalan, trotoar, tempat parkir, dan sebagainya. Hal ini sangat wajar jika PKL menginginkan dilakukan sutu pengaturan terhadap tempat usaha mereka. Sarana dagang yang semi permanen dan dibuat di badan jalan sangat menganggu aktifitas masyarakat/konsumen sekitar yang berlalu lalang khususnya di jalan Nusa Indah II.

Persepsi masyarakat mengenai fasilitas umum yang perlu ditambah demi kenyamanan masyarakat dan konsumen sekitar berbelanja di kawasan Pasar Sudirman adalah toilet dan tempat parkir. Di kawasan Pasar Sudirman belum ada toilet sehingga kenyamanan berbelanja masyarakat berkurang apalagi jika mendekati hari raya mereka memerlukan waktu yang cukup lama berkeliling di kawasan Pasar Sudirman. Tempat Parkir juga saat ini menjadi fasilitas umum yang perlu ditambah menurut persepsi masyarakat. Menurut hasil pengamatan, kawasan tempat parkir di Pasar Sudirman sudah cukup besar untuk menampung kendaraan para konsumen yang sedang berbelanja, namun para PKL menggunakan tempat parkir sebagai tempat usaha mereka sehingga luas tempat parkir berkurang. Penambahan tempat sampah dan air bersih juga menjadi persepsi masyarakat mengenai fasilitas umum yang perlu ditambah. Kondisi pasar yang bersih dan rapi juga menambah kenyamanan masyarakat dalam berbelanja serta air bersih yang sehat menjadi salah satu jaminan jika masyarakat hendak membeli makanan dan minuman di kawasan Pasar Sudirman. Fasilitas lainnya yang perlu ditambah adalah pos satpam atau adanya satuan pengaman di kawasan Pasar Sudirman. Keamanan juga menjadi salah satu hal yang menunjang kenyamanan dalam berbelanja.

Persepsi masyarakat terhadap kesesuaian lokasi PKL mengungkapkan bahwa lokasi telah sesuai, sedangkan sebagian lagi menjawab tidak sesuai. Alasan utama lokasi tersebut sesuai adalah dekat keramaian, transportasi mudah serta alasan yang menyatakan bahwa lokasi tersebut merupakan lokasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Responden masyarakat yang menjawab tidak sesuai memberikan alasan yaitu lokasi tersebut adalah merasa terganggu dan masih sepi dan dapat menimbulkan kemacetan

C. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Dari semua analisis diatas dapat disimpulkan bahwa:  Aktifitas PKL merupakan salah satu alternatif mata pencaharian bagi warga kota Pontianak yang tidak dapat memasuki sektor formal karena mempunyai ciri-ciri mudah dimasuki, tidak membutuhkan pendidikan tinggi, tidak membutuhkan modal yang sangat besar, namun dapat menghasilkan pendapatan yang kadang melebihi sektor formal.

 Lokasi yang dipilih oleh PKL mempunyai ciri-ciri dekat dengan tempat tinggal PKL, ramai dan dekat dengan aktifitas masyarakat meskipun pada lokasi tersebut PKL tidak memiliki izin tertulis dari Pemerintah Daerah Kota Pontianak.

 Meskipun telah dibuat peraturan tentang penataan PKL namun baik PKL atau masyarakat menganggap perlu diadakan pengaturan yang lebih lanjut karena pada beberapa lokasi masih kelihatan semrawut dan kurang tertib. Sementara kegiatan PKL sebagai salah satu sektor informal belum terantisipasi dalam perencanaan tata ruang kota sehingga sarana dan prasarana  Meskipun telah dibuat peraturan tentang penataan PKL namun baik PKL atau masyarakat menganggap perlu diadakan pengaturan yang lebih lanjut karena pada beberapa lokasi masih kelihatan semrawut dan kurang tertib. Sementara kegiatan PKL sebagai salah satu sektor informal belum terantisipasi dalam perencanaan tata ruang kota sehingga sarana dan prasarana

Saran

Sebagai sektor yang dapat menampung tenaga kerja yang besar, seharusnya PKL tidak dapat dianggap remeh. Oleh karena itu pembinaan terhadap PKL dapat dilakukan dengan cara yang lebih baik namun ketegasan dari Pemerintah Kota dalam menindak PKL khususnya PKL yang mempunyai tempat usaha yang mengganggu pengguna jalan lainnya dan para pedagang lain yang mempunyai kios serta izin resmi (izin tertulis) dari Pemerintah yang memperlebar tempat usahanya hingga menggunakan badan jalan harus dilakukan. Jumlah PKL yang semakin hari semakin meningkat sedangkan kawasan Pasar Sudirman tidak mengalami penambahan wilayah menyebabkan ruang publik seperti tempat parkir, badan jalan dan trotoar dipakai PKL sebagai tempat usaha sehingga relokasi perlu dilakukan. Namun relokasi dilakukan ke tempat yang tidak jauh dari kawasan Pasar Sudirman. Oleh karena itu dalam kajian ini relokasi kembali ke komplek Pasar Cempaka Kapuas Indah di jalan Kapten Marsan Pontianak dilakukan. Selain itu fasilitas yang terdapat di komplek Pasar Cempaka dapat diperbaiki maupun ditambah, seperti: tempat parkir, tempat sampah, toilet dan Pos pengamanan.

Pengelompokan berdagang juga dapat dilakukan di kawasan pasar Cempaka. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesenjangan antara pedagang yang telah menetap di komplek pasar Cempaka dengan PKL yang dipindahkan dari pasar Sudirman. Namun pemerintah jika telah memindahkan PKL ke komplek pasar Cempaka diharapkan di kawasan pasar Sudirman diterapkan aturan hukum yang tegas bagi masyarakat yang berjualan tanpa izin tertulis dari Pemerintah dan pedagang liar yang menggunakan ruang publik dikenai sanksi tegas seperti denda maupun kurungan penjara untuk memberikan efek jera bagi pedagang tersebut dan orang lain yang memiliki tujuan yang sama. Dilain pihak, aturan dan sanksi yang tegas juga diberikan kepada pedagang yang telah memiliki izin tertulis dari Pemerintah yang melanggar aturan tersebut dengan memperlebar ruang aktifitas dalam berdagang.

Pendataan ulang pemilik kios di komplek pasar Cempaka dengan tujuan untuk mengetahui rasio daya tampung pedagang di Pasar Cempaka dengan banyaknya PKL yang akan dipindahkan dan jumlah pedagang yang telah ada di komplek pasar Cempaka. Jika kios di komplek pasar Cempaka telah penuh, maka PKL dari pasar Sudirman dapat dipindahkan ke kawasan lain yang memenuhi kriteria Kawasan tersebut sebaiknya terletak didekat keramaian, berada di pusat kota dan dilalui oleh angkutan umum, lama beraktifitas di kawasan tersebut sebaiknya diatur berkisar 6-10 jam. Dalam kawasan tersebut dibangun sarana dagang yang sederhana dan semi permanen untuk PKL, namun pengaturan sarana dagang perlu dilakukan dengan tujuan agar pedagang dan konsumen/masyarakat sekitar merasa nyaman untuk berdagang. Dalam kawasan tersebut dilengkapi fasilitas umum seperti tempat sampah, lahan parkir, toilet dan pos keamanan untuk menunjang kenyamanan berbelanja. PKL yang dipindahkan ke kawasan tersebut sebaiknya diwajibkan untuk memiliki surat izin tertulis dari pemerintah. Dalam kawasan tersebut disediakan kawasan bermain anak-anak, diadakan panggung hiburan pada waktu tertentu dan di buat agenda rutin misalnya kegiatan pameran kuliner, pameran otomotif, pameran budaya, pameran buku dengan mengajak pihak-pihak terkait.

D. DAFTAR PUSTAKA

Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi. 1996. Urbanisasi dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

McGee, T.G. dan Y.M. Yeung. 1977. Hawkers in Southeast Asian Cities: Planning for The Bazaar Economy . Ottawa: International Development Research Centre.

Rosari. 2006. 10 Model Penelitian dan Pengolahannya dengan SPSS 14. Semarang: Penerbit ANDI

S - 17

MODEL GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION PENDERITA DIARE DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN FUNGSI PEMBOBOT KERNEL BISQUARE

1 2 Indriya Rukmana Sari 3 , Dewi Retno Sari Saputro , Purnami Widyaningsih

1 Mahasiswa Jurusan Matematika FMIPA UNS 2,3 Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNS

2 dewi.rss@uns.ac.id 3 poer@uns.ac.id

Abstrak

Model geographically weighted regression (GWR) merupakan pengembangan dari model regresi klasik untuk mengatasi masalah heterogenitas. Adanya heterogenitas mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh spasial (wilayah) terhadap data yang diobservasi. Model GWR merupakan model regresi yang terboboti secara geografis. Terdapat berbagai fungsi pembobotan, diantaranya Kernel bisquare. Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan ulang estimasi parameter model GWR menggunakan metode weighted least square (WLS) dengan fungsi pembobot kernel bisquare dan menerapkannya pada penderita diare di Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya penderita diare di semua kabupaten/kotamadya adalah persentase rumah tangga dengan sumber air minum berasal dari air tanah dan persentase rumah tangga yang jarak sumber air minum dengan septic tank kurang dari 10 m kecuali untuk Kabupaten Cilacap, Banyumas dan Brebes. Ketiga wilayah tersebut hanya dipengaruhi oleh persentase rumah tangga dengan sumber air minum berasal dari air tanah. Model GWR telah dapat disusun dengan nilai bandwith sebesar 220,05 km dan CV minimum 0,686.

Kata kunci: heterogenitas, model GWR, kernel bisquare, WLS, bandwith

A. PENDAHULUAN

Diare merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme, dimana penularan kuman terjadi dengan cara faecal-oral. Diare termasuk salah satu jenis penyakit yang berbasis lingkungan yaitu suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang disebabkan adanya interaksi manusia dengan segala sesuatu di sekitarnya yang memiliki potensi penyakit, seperti tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih, pemanfaatan jamban yang masih rendah, serta kondisi fisik lingkungan yang sudah tercemar. Berdasarkan survei kesehatan yang dilakukan dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare merupakan salah satu penyebab kematian balita di Indonesia. Kejadian luar biasa (KLB) diare setiap tahun masih terjadi, seperti pada tahun 2010 yang terjadi pada 11 provinsi dengan case fatality rate (CFR) sebesar 1,74%. Salah satunya adalah provinsi Jawa Tengah yang memiliki CFR sebesar 2,86% (Kemenkes RI, 2011). Menurut BPS (2011) banyaknya penderita diare di Jawa Tengah mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada 2011 yaitu sebanyak 183.593 jiwa dari tahun sebelumnya yang memiliki penderita diare sebanyak 609.335 jiwa.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya diare adalah kuman melalui koordinasi makanan atau minuman yang tercemar tinja dan terjadi kontak langsung dengan penderita.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Faktor lainnya adalah faktor perilaku dan lingkungan (Dirjen PPM dan PL, 2005). Di Jawa Tengah, faktor dominan yang menjadi penyebab diare adalah sarana air bersih dan pembuangan tinja (Dinkes Jateng, 2006).

Suatu analisis untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya penderita diare di Provinsi Jawa Tengah yaitu analisis regresi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare di wilayah tertentu bergantung pada kondisi wilayah persekitarannya, yang disebut pengaruh spasial (Bhekti, 2011). Hal ini sejalan dengan Hukum pertama geografi oleh Tobler dalam Anselin (1988) bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya namun sesuatu yang berdekatan mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan dengan segala sesuatu yang berjauhan.

Pengaruh spasial yang berkaitan dengan perbedaan karakteristik lingkungan dan geografis antar wilayah pengamatan adalah keragaman spasial atau heterogenitas spasial. Hal tersebut menyebabkan masing-masing wilayah pengamatan memiliki perbedaan pengaruh faktor independen terhadap variabel dependen untuk setiap lokasi. Oleh karena itu, diperlukan model regresi yang melibatkan pengaruh heterogenitas spasial ke dalam model yaitu model geographically weighted regression (GWR). Model GWR adalah model yang digunakan untuk menganalisis data spasial yang menghasilkan estimasi parameter model bersifat lokal untuk setiap titik/lokasi dimana data tersebut dikumpulkan (Fotheringham et al. 2002). Setiap nilai parameter dihitung pada setiap titik lokasi geografis sehingga setiap titik lokasi geografis mempunyai nilai parameter regresi yang berbeda-beda. Hal ini akan memberikan variasi pada nilai parameter regresi di suatu kumpulan wilayah geografis. Jika nilai parameter regresi konstan pada tiap-tiap wilayah geografis, maka model GWR adalah model global. Artinya tiap-tiap wilayah geografis mempunyai model yang sama.

Beberapa penelitian dan kajian tentang penyakit diare telah dilakukan, diantaranya oleh Bhekti (2011) yang mengidentifikasi bahwa terdapat pengaruh spasial terhadap timbulnya penyakit diare di Kabupaten Tuban. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah sumber air minum dan rasio jumlah tenaga medis terhadap jumlah penduduk. Ayunin (2011) menunjukkan munculnya aspek spasial dikarenakan adanya keragaman wilayah (heterogenitas spasial) dan model GWR dipergunakan mengakomodir aspek tersebut. Penelitian lainnya, Setyawan (2012) menerapkan model GWR untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap angka kematian bayi di Jawa Tengah. Pada penelitian tersebut diterapkan model GWR di setiap kabupaten/kotamadya di Jawa Tengah, namun tidak diuji apakah terdapat efek heterogenitas spasial pada angka kematian bayi di Jawa Tengah.

Dalam penelitian ini diterapkan model GWR pada penderita diare di Provinsi Jawa Tengah dengan fungsi pembobot kernel bisquare secara global dan lokal dan dilakukan kajian ulang penurunan estimasi parameter model GWR.

B. METODE PENELITIAN

1. Tahapan penelitian Penelitian ini merupakan penelitian terapan dan kajian teoritis. Langkah penelitian diawali dengan menentukan model regresi terbaik menggunakan metode regresi bertahap, menguji asumsi model regresi, menguji adanya efek heterogenitas spasial, membentuk model GWR , menentukan faktor-faktor yang berpengaruh secara lokal. Validasi model yang dipergunakan adalah root mean square error (RMSE).

2. Data dan variabel penelitian Data yang dipergunakan terdiri atas 35 pengamatan meliputi 35 kabupaten/kotamadya di Jawa Tengah. Variabel yang dipergunakan mengacu pada penelitian sebelumnya oleh Hariyanti (2010) dan Arumsari (2012) yang menggunakan 8 variabel. Variabel-variabel tersebut adalah persentase penderita diare sebagai variabel respon ( ) dan variabel penjelasnya yakni

adalah persentase rumah tangga dengan sumber air minum berasal dari air tanah,

adalah persentase rumah tangga yang jarak sumber air minum dengan septic tank kurang dari 10 m,

adalah persentase rumah tangga yang memiliki jamban, persentase adalah persentase rumah tangga yang memiliki jamban, persentase

adalah banyaknya apotek, adalah banyaknya puskesmas dan rumah sakit, dan adalah banyaknya dokter.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan meliputi : pemodelan penderita diare dengan regresi, estimasi parameter GWR dan pemodelan penderita diare dengan GWR.

1. Model Regresi

Sebelum melakukan analisis model GWR perlu diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap banyaknya penderita diare dengan analisis regresi. Model regresi terbaik diperoleh melalui metode regresi bertahap yaitu

dengan nilai sebesar 0,512. Hal ini berarti 51,2% banyaknya penderita diare di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh persentase rumah tangga dengan sumber air minum berasal dari air tanah dan persentase rumah tangga yang jarak sumber air minum dengan septic tank kurang dari 10m, sedangkan 48,8% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak teramati dalam model. Dalam pengujian asumsi model regresi, asumsi kenormalan dan nonmultikolinearitas terpenuhi tetapi asumsi homoskedastisitas tidak dapat dipenuhi. Adanya heteroskedastisitas mengindikasikan adanya pengelompokan wilayah sehingga model regresi ordinary least square (OLS) tidak tepat digunakan. Selanjutnya dilakukan pengujian untuk mengetahui adanya efek spasial heterogenitas spasial.

Pengujian adanya heterogenitas spasial dilakukan dengan uji Breusch-Pagan (BP). Diperoleh nilai

= 10,839 > 3.605 = (,;) ( ditolak), artinya terdapat heterogenitas spasial. Adanya efek heterogenitas spasial, mengindikasikan bahwa model pada persamaan (1)

mempunyai pengaruh spasial. Model regresi OLS yang telah dikembangkan untuk analisis data yang memiliki efek heterogenitas spasial yaitu model GWR, seperti yang telah disampaikan di pendahuluan artikel ini.

2. Estimasi Parameter Model GWR

Model GWR merupakan pengembangan dari model regresi global dimana ide dasarnya diambil dari regresi nonparametrik. Model GWR dinyatakan dengan

dengan adalah nilai observasi variabel dependen pada lokasi , adalah nilai observasi variabel independen ke- pada lokasi i, = 1,2, … , ( , ), ( , ) , …, ( , ) adalah parameter-parameter model GWR, ( , ) menyatakan titik koordinat (longitude, latitude) lokasi ke- dan adalah eror pada lokasi .

Parameter model GWR diestimasi menggunakan metode weighted least square (WLS) yaitu dengan memberikan bobot yang berbeda untuk setiap lokasi. Misalkan pembobot untuk titik

lokasi pengamatan ( , ) adalah dengan = 1,2, … , estimasi parameter model dilakukan dengan meminimumkan jumlah kuadrat eror pada persamaan (2) yang telah diberikan pembobot , sehingga diperoleh

Persamaan tersebut dinyatakan dalam bentuk matriks adalah

Selanjutnya, untuk mendapatkan nilai optimum dari penduga , persamaan (3) diturunkan terhadap ( , ) dan disamadengankan nol menjadi

Untuk memperoleh ( , ) kedua ruas pada persamaan (4) dikalikan dengan invers dari ( , ) , sehingga diperoleh

Dengan demikian estimasi parameter model GWR untuk setiap lokasinya adalah

dengan ( , ) adalah matriks pembobot diagonal berukuran × yang pada setiap elemen diagonalnya merupakan pembobot untuk masing-masing lokasi ke- dari lokasi pengamatan ke- atau dinyatakan dengan

. ( , ) yang dimaksud adalah

ditentukan dengan suatu fungsi pembobot. Fungsi kernel digunakan untuk mengestimasi parameter dalam model GWR jika fungsi jarak adalah fungsi yang kontinu dan monoton turun. Salah satu fungsi pembobot yang digunakan adalah fungsi kernel bisquare (Brunsdon et al.1988),

yaitu

1 jika <

0 untuk yang lainnya (6) 0 untuk yang lainnya (6)

merupakan jarak euclidean antara lokasi ( , ) dan ,

sedangkan b merupakan bandwidth. Bandwidth merupakan radius suatu lingkaran dimana titik yang berada dalam radius lingkaran masih dianggap berpengaruh dalam membentuk parameter model lokasi . Menurut

Fotheringham et al. (2002), salah satu metode yang digunakan untuk menentukan bandwidth optimum adalah metode cross validation (CV).

dengan () adalah nilai dugaan dengan nilai pengamatan pada lokasi dihilangkan dari proses estimasi.

3. Model GWR

Model GWR merupakan pengembangan dari model regresi global dimana ide dasarnya dari model regresi nonparametrik. Model GWR dinyatakan dengan

adalah nilai observasi variabel dependen pada lokasi , adalah nilai observasi variabel independen ke-

pada lokasi i, = 1,2, … , ( , ), ( , ) , …, ( , ) adalah parameter-parameter model GWR, ( , ) menyatakan titik koordinat (longitude, latitude) lokasi

ke- dan adalah eror pada lokasi . E stimasi parameter model GWR untuk setiap lokasinya adalah

Model GWR ditentukan berdasarkan dua variabel independen yang diperoleh dari model regresi. Dalam penelitian ini nilai bandwith yang diperoleh sebesar 220,05 km dengan CV minimum 0,686. Setelah dihitung jarak antar lokasi dan dapat ditentukan pembobot untuk tiap lokasi pengamatan.

Sebagai contoh untuk pembobot Kotamadya Tegal diperoleh nilai matriksnya

Hasil ( , ) digunakan untuk mengestimasi parameter model GWR Kotamadya Tegal. Misalkan (

) adalah estimasi parameter model GWR Kotamadya Tegal, selanjutnya dengan persamaan (9) dan memasukkan matriks pembobot pada persamaan (7)

diperoleh

Dengan demikian diperoleh model GWR untuk Kota Tegal yaitu

Model tersebut menunjukkan bahwa dengan bertambahnya 100% rumah tangga yang menggunakan sumber air minum berasal dari air tanah ( , ) akan menurunkan banyaknya penderita diare sebesar 0,36% dan bertambahnya 100% rumah tangga yang jarak sumber air minum ke septic tank kurang dari 10 m ( , ) akan meningkatkan banyaknya penderita diare sebesar 0,72%. Berdasarkan persamaan (7), selanjutnya didapat nilai koefisien determinasi lokal untuk model tersebut, yaitu sebesar 0,766. Artinya 76,6% banyaknya penderita diare di Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh persentase banyaknya rumah tangga dengan air tanah

dan persentase rumah tangga yang jarak sumber air minum ke septic tank kurang dari 10 m ( , ) , sedangkan 23,4% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam penelitian.

Dengan langkah yang sama, dilakukan estimasi parameter pada setiap lokasi, sehingga diperoleh model GWR penderita diare untuk 35 kabupaten/kotamadya di Jawa Tengah. Dalam makalah ini disajikan model GWR dan koefisien determinasi lokal untuk lima kabupaten/kotamadya seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Model GWR dan koefisien determinasi lokal untuk lima kabupaten/kotamadya

No Kabupaten/Kotamadya Model GWR

1 Kabupaten Cilacap = 4,474 − 0,038 , + 0,025 , 0,487

2 Kabupaten Purbalingga = 3,675 − 0,031 , + 0,043 , 0,557

3 Kabupaten Tegal = 4,000 − 0,035 , + 0,047 , 0,630

4 Kabupaten Brebes = 4,454 − 0,040 , + 0,040 , 0,638

5 Kotamadya Tegal = 3,760 − 0,036 , + 0,072 , 0,766

Selanjutnya dilakukan uji signifikansi parameter model secara parsial untuk mengetahui faktor-faktor atau variabel yang berpengaruh pada setiap kabupaten/kotamadya. Jika nilai |

| > ( 0,05; 32) = 1,694 , maka dapat dinyatakan bahwa parameter tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap model GWR ( = 10%) . Berdasarkan hasil uji statistik, diperoleh variabel yang berpengaruh pada setiap kabupaten/kotamadya. Deskripsi hasil tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta penyebaran faktor-faktor yang berpengaruh di setiap kabupaten/kotamadya

Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa terdapat pengelompokkan wilayah penyebaran penderita diare. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan variabel yang signifikan di setiap wilayah. Pada Kabupaten/Kota Cilacap, Banyumas dan Brebes, yang berbatasan dengan Jawa Barat, diare disebabkan oleh sumber air minum berasal dari air tanah. Sedangkan wilayah lainnya selain disebabkan oleh sumber air minum berasal dari air tanah juga disebabkan oleh rumah tangga yang jarak sumber air minum ke septic tank kurang dari 10 m.

Selanjutnya, untuk memvalidasi model digunakan data penderita diare tahun 2011. Hasil validasi menunjukkan nilai RMSE sebesar 0,875. Hal ini berarti estimasi model yang dihasilkan baik digunakan untuk prediksi.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa model GWR telah dapat disusun dengan nilai bandwith sebesar 220,05 km dan CV minimum 0,686. Model GWR penderita diare di Provinsi Jawa Tengah memiliki estimasi parameter yang berbeda di setiap lokasi, sehingga model yang dihasilkan untuk setiap kabupaten/kotamadya tersebut berbeda sesuai dengan bobot pada masing-masing wilayah kabupaten/kota masing-masing.

Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya penderita diare di setiap kabupaten/kotamadya di Jawa Tengah adalah banyaknya rumah tangga dengan sumber air minum berasal dari air tanah dan banyaknya rumah tangga yang jarak sumber air minum ke septic tank kurang dari 10 m kecuali untuk 3 wilayah yaitu Kabupaten Cilacap, Banyumas dan Brebes. Pada 3 kabupaten tersebut banyaknya penderita diare hanya dipengaruhi oleh banyaknya rumah tangga dengan sumber air minum berasal dari air tanah.

E. DAFTAR PUSTAKA

Abraham, B., J. Ledolter. 2005. Statistical Methods for Forcasting. John Wiley & Sons, Inc. Hoboker, New Jersey.

Anselin, L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models, Netherlands : Kluwer Academic Publisher.

Arumsari, N. 2012. Kajian Geographically Weighted Lasso (GWL) untuk Pemodelan Penderita Diare di Kabupaten Sumedang dalam Pencapaian Target Open Defecation Free (ODF) [Tesis]. Surabaya : Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Bekti, R.D, Sutikno. 2011. Spatial Modelling on The Relationship between Asset Society and Poverty in East Java. Jurnal Math & Sains , Vol. 16 Nomor 3.

Badan Pusat Statistik [BPS],. 2011. Jawa Tengah Dalam Angka 2011. Semarang : Badan Pusat Statistik Jawa Tengah.

Brunsdon, C., A. S. Fotheringham and M. Charlton. 1998. Geographically Weighted Regression-Modeling Spatial Non-Stationarity. The Statistician, 47-3, 431-443.

Fotheringham, S., A. C. Brunsdon and M. Charlthon. 2002. Geographically Weighted Regression: The Analysis of Spatially Varying Relationships . England : John Wiley & Sons, Ltd., West Sussex.

Hariyanti, L. 2010. Spatial Autoregressive Structural Equation Modelling pada Prevalensi Diare [Tesis]. Bandung : Program Studi Statistika Terapan Universitas Padjajaran.

[KEMENKES RI], Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Buletin Jendela Datadan Informasi Kesehatan: Situasi Diare di Indonesia . Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

S - 18 ANALISIS STRUCTURAL EQUATION MODELLING (SEM) DENGAN FINITE MIXTURE PARTIAL LEAST SQUARE

(FIMIX-PLS) (Studi Kasus : Struktur Model Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011)

1 2 Irma Nur Afifah dan Sony Sunaryo

1 Mahasiswa S2 Jurusan Statistika-FMIPA ITS, Surabaya

2 Dosen Jurusan Statistika-FMIPA ITS, Surabaya irmanafie@gmail.com

Abstrak

Kemiskinan merupakan problematika yang banyak terjadi di negara-negara berkembang. Persoalan kemiskinan menjadi penting, terlihat dengan adanya berbagai upaya pemerintah terkait dengan pengentasan kemiskinan dan menjadi prioritas utama sasaran MDGs (Millenium Development Goals) yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Kemiskinan seringkali diartikan lebih ke sektor ekonomi dengan pendekatan kuantitatif, padahal problem kemiskinan adalah komplek dan multidimensional, dimana variabel-variabel yang berpengaruh saling terkait satu dengan lainnya. Dengan hanya memprioritaskan pendekatan kuantitatif, maka fenomena kualitatif dari kemiskinan yang terjadi di lapangan kurang tergali secara optimal. Metode statistika yang mampu menjelaskan hubungan antar variabel yang komplek, fenomena kualitatif dan saling terkait diantaranya adalah Structural Equation Modelling (SEM). SEM mempunyai kemampuan lebih dalam menyelesaikan permasalahan yang complicated yaitu mampu melakukan estimasi hubungan antar variabel yang bersifat multiple relationship dengan output berupa model pengukuran dari sejumlah indikator (variabel manifes) dan sekaligus model struktural yang tersusun dari sejumlah konstruk (variabel laten). SEM berbasis varians yaitu partial least square (PLS) yang bebas asumsi, lebih fleksibel dan powerfull dalam menjelaskan hubungan antar variabel. Dugaan heterogenitas dalam unit observasi yang tidak dapat diukur secara langsung dapat diatasi dengan metode finite mixture partial least square pada model persamaan struktural.

Penelitian ini akan menerapkan SEM finite mixture partial least square (SEM FIMIX-PLS) untuk memodelkan struktur kemiskinan di Jawa Tengah. Hasil akhir penelitian diperoleh estimasi parameter, yang meliputi estimasi bobot, estimasi jalur dan estimasi mean dan lokasi. Nilai R-square sebesar 0,552 persen yang artinya variasi kemiskinan yang dapat dijelaskan oleh variabel konstruk kualitas pendidikan, kualitas SDM dan kualitas ekonomi sebesar 55,2 persen, sedangkan 44,8 persen dijelaskan oleh variabel lain. Heterogenitas dalam model persamaan struktural dapat diatasi dengan FIMIX-PLS, hasil segmentasi terbaik adalah pada K=5 dengan nilai Normed Entropy (EN) sebesar 0,9551. Hal ini berarti model yang diperoleh sudah memuaskan.

Kata kunci : kemiskinan, structural equation modeling, partial least square, finite mixture

A. PENDAHULUAN Latar Belakang

Kemiskinan merupakan problematika yang banyak terjadi di negara-negara di dunia khususnya di negara-negara berkembang dan merupakan permasalahan yang komplek dan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Metode statistika yang mampu mengakomodir keterkaitan variabel-variabel yang komplek diantaranya adalah teknik Structural Equation Modelling (SEM). Analisis SEM memerlukan landasan teori yang kuat dan terdefinisi dengan jelas, metode SEM yang berbasis kovarians lebih tepat diterapkan, namun metode ini mensyaratkan sampel besar, dengan asumsi bahwa data harus berdistribusi normal multivariat. Data real di lapangan seringkali menunjukkan pola data yang tersebar tidak normal, sehingga diperlukan suatu metode yang bebas distribusi (free distribution) dan fleksibel (Ghozali, 2011).

Suatu penelitian yang terbentur dengan jumlah sampel kecil dan landasan teori lemah, maka pemenuhan asumsi menjadi sulit, diperlukan metode SEM alternative yang mampu mengakomodir kendala pemenuhan asumsi. Metode tersebut adalah SEM berbasis varians, yaitu metode SEM partial least square (SEM-PLS). Pada kasus tertentu terdapat dugaan heteroginity pada pengumpulan data, yaitu data berasal dari sumber yang berbeda. Dalam SEM yang memuat variabel laten, dapat diatasi dengan metode Finite Mixture PLS (FIMIX-PLS) yang

dikembangkan Hahn et al (2002). Software yang digunakan yaitu program SmartPLS 2.0 M3 dan FIMIX-PLS merupakan fitur khusus pada software SmartPLS 2.0 M3 (Ringle,2006) .

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas, maka rumusan masalah adalah :

1) Bagaimana melakukan estimasi parameter dalam SEM-PLS ?

2) Bagaimana mendapatkan struktur model kemiskinan di Jawa Tengah dengan metode SEM- PLS ?

3) Bagaimana mengkaji heteroginity dengan FIMIX-PLS ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah :

1) Melakukan estimasi parameter dalam SEM-PLS.

2) Mendapatkan struktur model kemiskinan di Jawa Tengah dengan metode SEM-PLS.

3) Mengkaji heteroginity dengan FIMIX-PLS.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah:

1) Mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah, sehingga dapat membantu dalam pengambilan dan penerapan kebijakan.

2) Menambah wawasan keilmuan dalam menerapkan metode SEM dengan Finite Mixture Partial Least Square (FIMIX-PLS).

Batasan Masalah Penelitian

Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi pada studi tentang pemodelan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2011 dengan metode Structural Equation Modelling Finite Mixture Partial Least Square (SEM-FIMIX-PLS).

B. METODE PENELITIAN Sumber Data Penelitian

Data yang digunakan berasal dari pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2011 BPS Provinsi Jawa Tengah (BPS, 2012).

Variabel-variabel dan Indikator Penelitian

Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas enam variabel laten yang masing-masing akan diukur dengan indikator-indikator yang dibangun berdasarkan teori konseptual, penelitian sebelumnya dan review literatur dengan unit observasi sebanyak 35 kabupaten kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Variabel-variabel yang digunakan adalah:

Kualitas pendidikan

X 1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) X 2 Rata-rata lama Sekolah (RLS) X 3 Persentase penduduk yang tamat SD/SLTP/SLTA/SLTA+

Kualitas kesehatan Y 1 Persentase RT yang menggunakan sumber air minum bersih Y 2 Persentase RT yang memiliki fasilitas jamban sendiri Y 3 Persentase penolong kelahiran pertama oleh tenaga kesehatan

Kualitas SDM

Y 4 Angka Melek Huruf (AMH) Y 5 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Kualitas ekonomi

Y 6 Dependency ratio Y 7 Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) Y 8 Persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian (usia 15+)

Kemiskinan

Y 9 Head Count Indeks (P 0 )

Y 10 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1 ) Y 11 Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2 )

Metode Analisis SEM-FIMIX-PLS

Untuk menjawab permasalahan dan tujuan yang telah dirumuskan, analisis yang dilakukan meliputi estimasi parameter, struktur model persamaan struktural dan metode analisis data.  Estimasi Parameter SEM-PLS Langkah-langkah estimasi parameter adalah sebagai berikut :

1) Estimasi bobot (weight estimate) untuk membuat bobot atau skor pada variabel laten.

2) Estimasi jalur (path estimate) dilakukan untuk menghubungkan antar variabel laten (koefisien jalur) dan antara variabel laten dengan indikatornya yaitu estimasi loading factor yang merupakan koefisien outer model.

3) Estimasi rata-rata dan parameter lokasi (nilai konstanta regresi) untuk indikator dan variabel laten.

 Pemodelan Kemiskinan dengan SEM-PLS Langkah-langkah pemodelan kemiskinan dengan SEM-PLS adalah sebagai berikut :

1) Konseptualisasi model meliputi merancang outer dan inner model

2) Mengkonstruksi diagram jalur

3) Mengkonversi diagram jalur ke dalam sistem persamaan

4) Estimasi koefisien weight, jalur, dan mean dan lokasi parameter

5) Evaluasi outer dan inner model

6) Pengujian hipotesis (resampling bootstrap)

7) FIMIX-PLS

8) Interpretasi model dan kesimpulan.  Kajian heteroginity dan FIMIX-PLS Dugaan heterogenity terjadi karena sampel yang diambil berasal dari populasi yang tidak sama, sehingga perlu dilakukan segmentasi. Setelah diperoleh model SEM-PLS, evaluasi outer dan inner model, selanjutnya dilakukan segmentasi dengan

fimix -PLS, evaluasi dan interpretasi output yang menjelaskan segmen terbaik.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi Parameter Model SEM-PLS

Estimasi parameter model persamaan struktural dengan pendekatan partial least square (PLS) diperoleh melalui proses iterasi tiga tahap, setiap tahap menghasilkan estimasi sebagai berikut :

1. Tahap pertama menghasilkan estimasi bobot (weight estimate) w jh Mode

A (tipe indikator refleksif) Pada mode A, untuk tipe indikator refleksif, bobot w jh adalah koefisien regresi

dari z j dalam regresi sederhana x jh pada estimasi inner model z j , dengan z j adalah

variabel yang distandarisasi : x jh  wz jh j  e jh .

Estimasi untuk mode A diperoleh dengan metode OLS dengan cara

meminimumkan jumlah kuadrat e jh

Dari persamaan : x jh  wz jh j  e jh diperoleh : J

e jh  x jh  wz jh j

 e 2 jh   ( x jh  wz 2 jh j j )  1 j  1

Jumlah kuadrat e jh diturunkan terhadap w jh selanjutnya bobot untuk mode A adalah :

Cov x jh , z

jh =

Var z 2  j

Mode

B (tipe indikator formatif) Pada mode B, untuk tipe indikator formatif, vektor w j dari pembobot w jh adalah vektor

koefisien regresi berganda dari z j pada indikator variabel (manifest variabel) x yang jh dihubungkan ke sesama variabel laten ξ j :

z j  wX j j   j

diperoleh  j = - z j wX

TT  1 T

Hitung  j j akan diperoleh bobot untuk mode B adalah : w ˆ j   X j X j  X j z j

2. Tahap kedua menghasilkan estimasi jalur

Iterasi tahap kedua menghasilkan estimasi jalur yang diperoleh melalui estimasi inner model dan outer model.

Estimasi outer model

Estimasi outer model y j dari standarisasi variabel laten ( -  j m j ) dengan rata-rata = 0 dan standar deviasi = 1, diestimasi dengan kombinasi linear dari pusat variabel manifes

(indikator) melalui persamaan berikut :  J

y j    w jh  x jh  x jh  

Simbol  bermakna bahwa variabel sebelah kiri mewakili variabel sebelah kanan yang distandarisasi. Standarisasi variabel laten ditulis dengan persamaan sebagai berikut :

y j  x jh  dengan e j x jh  wz jh j  e jh dan z j  x jh  x jh sehingga :

ˆ y jh   w  jh ( x jh  x jh ) , dengan w jh dan w  keduanya adalah pembobot outer model. jh

Estimasi Inner model

Dengan mengikuti algoritma dari Wold (1985) dan telah diperbaiki oleh Lohmoller’s (1989) dalam Soebagijo (2011), maka estimasi inner model dari standardized variabel laten

( -  j m j ) didefinisikan dengan : z j   ey ji i

 i dihubungkan pada  j

Dimana bobot inner model e ji dipilih melalui tiga skema sebagai berikut :  Skema jalur (path scheme)

Variabel laten dihubungkan pada  j yang dibagi ke dalam dua grup yaitu variabel-variabel laten yang menjelaskan  j dan diikuti dengan variabel-variabel yang dijelaskan oleh  j .

Jika  j dijelaskan oleh  i maka e ji adalah koefisien regresi berganda y i dari y j . Jika  i dijelaskan oleh  j maka e ji adalah korelasi antara y i dengan y j dan ditulis sebagai berikut :

 koefisien regresi berganda dari , jika dijelaskan oleh y i y j  j  e i

ji

 cor y y  i j

, jika dijelaskan oleh  j

 Skema centroid (centroid scheme) Bobot inner model e ji merupakan korelasi tanda (sign correlation) antara y i dan y j ,

ditulis sebagai berikut : e ji  sign cor y y 

  i j 

 Skema faktor (factor scheme) Bobot inner model e ji merupakan korelasi antara y i dan y j , ditulis sebagai berikut :

e ji  cor y y  i j

3. Tahap ketiga menghasilkan estimasi rata-rata (mean) dan lokasi parameter (konstanta)

Pada tahap ini estimasi didasarkan pada matriks data asli dan hasil estimasi bobot pada tahap pertama dan koefisien jalur pada tahap kedua, tujuannya adalah untuk menghitun rata- rata dan lokasi parameter untuk indikator dan variabel laten.

Estimasi rata-rata (mean)

Estimasi rata-rata (mean) m j diperoleh melalui persamaan sebagai berikut :  J

m ˆ  wx

diperoleh j   jh jh

Estimasi lokasi parameter

Secara umum koefisien jalur b ji adalah koefisien regresi berganda dari variabel laten endogen y J

j yang distandarisasi pada variabel laten penjelas (ekseogen) y i , yaitu : y j   b ji  e j

Pada saat variabel laten tidak memusat (non centered)  ˆ j adalah sama dengan y j  m ˆ j

b j 0 = m ˆ j   i  1 bm ji ˆ i

Lokasi parameter adalah konstanta b j 0 untuk variabel laten endogen dan rata-rata ˆ m j untuk variabel laten eksogen.

4. Pemodelan Kemiskinan dengan SEM-PLS

1) Konseptualisasi model meliputi merancang outer dan inner model Meliputi outer model dan inner model, dalam penelitian ini terdapat lima variabel laten,

yang terdiri dari satu variabel laten eksogen yaitu kualitas pendidikan (ξ 1 ) dan empat variabel laten endogen yaitu kualitas kesehatan (η 1 ), kualitas SDM (η 2 ), kualitas ekonomi (η 3 ) dan kemiskinan (η 4 ). Diasumsikan bahwa : η 1 bergantung pada ξ 1 , η 2 bergantung pada η 1 dan ξ 1 ,η 3 bergantung pada η 1 dan ξ 1 , da nη 4 bergantung pada η 2 dan η 3

2) Mengkonstruksi diagram jalur Gambar 1 merupakan model struktural lengkap yang di sadur dari penelitian sebelumnya.

3) Mengkonversi diagram jalur ke dalam sistem persamaan Berdasarkan Gambar 1, jika ditulis dalam sistem persamaan matematis adalah : Outer Model Kerangka konseptual pada gambar 2.7 menunjukkan model dengan indikator refleksif. Persamaan umum outer model dengan indikator refleksif adalah :

x=  x  +

dan y= y +  

Inner Model Inner model adalah persamaan struktural yang menggambarkan spesifikasi hubungan antar variabel laten berdasarkan teori substantif penelitian, disebut juga dengan inner relation . Diasumsikan bahwa variabel laten dan indicator atau variabel manifest adalah pada skala zero means atau nilai rata-rata sama dengan nol dan unit varians sama dengan satu, tanpa menghilangkan sifat umumnya. Sehingga parameter lokasi yaitu parameter konstanta dapat dihilangkan dari model. Model struktural secara umum, persamaan matematisnya adalah  =   + + .

Dengan η menggambarkan vektor variabel endogen (dependen), ξ adalah vektor variabel laten eksogen dan ζ adalah vektor residual (unexplained variance). Pada model rekursif maka hubungan antar variabel laten, dispesifikan sebagai berikut :

 i 

ji i   i  jb b  j

Gambar 1. Model Struktural Lengkap

4) Estimasi koefisien jalur, loading dan weight Metode pendugaan parameter (estimasi) dalam SEM-PLS adalah metode kuadrat terkecil (least square methods). Proses perhitungan dilakukan dengan cara iterasi, dimana iterasi akan berhenti jika telah mencapai kondisi konvergen.

a. Evaluasi outer dan inner model Evaluasi model meliputi model pengukuran (outer model) dan model struktural (inner model) disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Evaluasi model pengukuran (outer model)

Tabel 1. Evaluasi Outer Model

Variabel laten

Indikator

Loading factor (λ) Standard Error

T Statistics keterangan

ξ 1 (pendidikan) x 1 0,807

6,361117 Valid, signifikan

x 2 0,969

13,600507 Valid, signifikan

x 3 0,951

17,696491 Valid, signifikan

η 1 (kesehatan) y 1 0,856

6,261970 Valid, signifikan

y 2 0,740

3,673287 Valid, signifikan

y 3 0,888

9,102287 Valid, signifikan

η 1 (SDM) y 4 0,923

6,715496 Valid, signifikan 6,715496 Valid, signifikan

3,243179 Valid, signifikan

η 1 (ekonomi) y 6 0,818

8,415656 Valid, signifikan

y 7 0,724

4,099801 Valid, signifikan

y 8 0,871

9,175379 Valid, signifikan

η 1 (kemiskinan) y 9 0,949

15,650174 Valid, signifikan

y 10 0,998

34,744692 Valid, signifikan

y 11 0,960

15,603723 Valid, signifikan

Sumber : Output SmartPLS

Tabel 2. Nilai AVE, Composite Reliabity, Cronbachs Alpha,

dan Communality dari variabel laten

Cronbachs Alpha Communality Pendidikan

AVE

Composite Reliability

Sumber : Output SmartPLS Evaluasi model struktural (inner model) Langkah awal untuk evaluasi model struktural adalah dengan melihat nilai R-square

(R 2 ) pada variabel endogen dan koefisien parameter jalur (path coefficient parameter ). Hasil perhitungan lengkap disajikan dalam Tabel 3 .

Tabel 3. Nilai Statistik Variabel Laten

Original

Sample

Standard Error

T Statistics

(|O/STERR|) R Square Pendidikan -> Kesehatan

Sample (O)

Mean (M)

(STERR)

12,199913 Pendidikan -> SDM

3,577421 0,559990 Pendidikan -> Ekonomi

3,286869 0,410690 Kesehatan -> Ekonomi

0,703222 0,556434 Kesehatan -> SDM

1,115071 0,552321 SDM -> Kemiskinan

0,782270 Ekonomi -> Kemiskinan

5,040590 Sumber : Output SmartPLS

5) FIMIX-PLS Metode Fimix diterapkan karena ada dugaan heterogenitas dalam data. Output SmartPLS diperoleh kriteria penentuan segmen terbaik disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Nilai AIC, BIC, CAIC dan EN

Fit Indices

K=6 AIC 340,342 314,778 300,356 309,587 -454,974

0,932 Sumber : Output SmartPLS

6) Interpretasi Interpretasi berdasarkan hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut :

1. bahwa model yang dibentuk telah sesuai memenuhi kriteria yang telah ditentukan, yaitu evaluasi model pengukuran untuk masing-masing variabel laten adalah valid dan signifikan. Untuk model struktural, diperoleh nilai R-square sebesar 55,2 persen yang artinya sebesar 55,2 persen variasi dapat dijelaskan oleh model, sedangkan 47, 8 persen lainnya dijelaskan oleh variabel lain.

2. Segmentasi dilakukan karena ada dugaan heterogenitas dimana sumber data dari unit analisis yang berbeda, diperoleh hasil segmen terbaik pada k=5 dengan nilai EN terbesar mendekati 1 yaitu EN=0,9550.

5. Kajian Heteroginity dan FIMIX-PLS

Penelitian yang menggunakan data dengan populasi yang telah sesuai dengan cluster atau stratanya, maka tidak akan terjadi heterogenitas dan ini sangat baik ketika dilakukan analisis Penelitian yang menggunakan data dengan populasi yang telah sesuai dengan cluster atau stratanya, maka tidak akan terjadi heterogenitas dan ini sangat baik ketika dilakukan analisis

D. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1) Pemodelan struktural dengan metode SEM untuk ukuran sampel relatif besar dan sebaran data mengikuti sebaran normal multivariat, pendekatan LISREL merupakan pendekatan yang terbaik. Sebaliknya jika ukuran sampel kecil dan asumsi normalitas multivariat yang tidak terpenuhi maka dapat menggunakan metode SEM alternatif berbasis varians yaitu pendekatan Partial Least Square (PLS).

2) Berdasarkan analisis dan pembahasan model SEM dengan FIMIX-PLS diperoleh hasil :

a. model pengukuran adalah valid dan reliabel.

b. model struktural adalah model yang fit dengan nilai R-Square untuk kemiskinan adalah sebesar 55,231 persen, yang artinya bahwa sebesar 55,23 persen variasi dapat dijelaskan oleh model, sedangkan 44,8 persen lainnya dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

3) Perlunya dilakukan segmentasi adalah apabila data yang digunakan berasal dari populasi yang berbeda, agar diperoleh model yang fit dengan kesimpulan yang valid.

4) Hasil segmentasi menunjukkan bahwa pada segmen k=5 diperoleh nilai EN yang tinggi yaitu sebesar 0,9551 dengan nilai AIC terendah.

Saran

1) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan variabel-variabel lain yang berhubungan dengan pendidikan, kesehatan, SDM, ekonomi dan kemiskinan.

2) Jika teori yang digunakan untuk penelitian masih tentative atau pengukuran (indikator) masih baru, maka harus lebih menekankan pada data daripada teori. PLS dimaksudkan untuk causal predictive analysis dalam model hubungan dengan kompleksitas yang tinggi dengan dukungan teori yang lemah.

E. DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2010). Data Dan Informasi Kemiskinan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. (2012). Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Jawa Tengah 2011. Badan Pusat Statistik, Jawa Tengah.

Badan Pusat Statistik. (2012). Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2011. Badan Pusat Statistik , Jawa Tengah.

Ghozali, Imam. (2011). Structural Equation Modelling Metode Alternatif dengan Partial Least Square . Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Hahn, Carsten.,Johnson, Michael D.,Herrmann, Andreas.,Huber, Frank. (2002). Capturing Customer Heteroginity Using Finite Mixture PLS Approach . Schmalenbach Business Review, Vol. 54, July 2002, pp.243-269

Ringle, C.M. (2006). Segmentation for Path Models and Unobserved Heteroginity : The Finite Mixture Partial Least Square Approach . Research Papers on Marketing and Retailing University of Hamburg .

Soebagijo, Tulus. (2011). Pengembangan Structural Equation Modelling (SEM) Dengan Partial Least Square (PLS) (Studi Kasus : Karakteristik Pengangguran di Provinsi Jawa Timur Tahun 2009) . Program Magister Jurusan Statistika FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.

S - 19

UJI NORMALITAS BERDASARKAN METODE ANDERSON- DARLING, CRAMER-VON MISES DAN LILLIEFORS MENGGUNAKAN METODE BOOTSTRAP

1 2 Janse Oktaviana Fallo 3 , Adi Setiawan , Bambang Susanto

1,2,3 Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro No. 52-60, Salatiga

1 nonaviana@ymail.com, 2 adi_setia_03@yahoo.com,

3 bambangs_1999@yahoo.co.id

Abstrak

Uji normalitas dengan menggunakan metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors pada data inflasi bulanan Kota-kota di Bali dan Nusa Tenggara dari bulan Januari 2009 sampai bulan Juni 2013 telah diuji dan dihasilkan data berdistribusi normal. Metode bootstrap diterapkan untuk data tersebut dengan pengulangan B = 10.000, 20.000, 30.000, 40.000 dan 50.000 kali diperoleh nilai-p yang sama atau mendekati hasil pada program R. Selanjutnya dibangkitkan sampel dari distribusi normal dengan ukuran sampel n yang berbeda-beda yaitu n = 10, 20,

30, 40, 50, 100, 200, 500, 1000 dan 2000 kemudian berdasarkan sampel tersebut diuji apakah sampel yang dibangkitkan tersebut memenuhi distribusi normal atau tidak dengan menggunakan ketiga metode tersebut. Bila prosedur tersebut diulang sebanyak B = 10.000, 20.000, 30.000, 40.000 dan 50.000 kali dan ditentukan nilai-p maka seperti yang diharapkan data normal acak yang dibangkitkan dengan mean dan simpangan baku yang sama diperoleh data berdistribusi normal. Sedangkan untuk data acak yang dibangkitkan berdasarkan distribusi eksponensial diperoleh nilai-p lebih kecil dari 0.05 sehingga disimpulkan bahwa data tidak berdistribusi normal.

Kata kunci: Anderson-Darling, Cramer-von Mises, Lilliefors dan Bootstrap

A. PENDAHULUAN Latar Belakang

Analisis data menggunakan metode statistik parametrik biasanya mengasumsikan data berasal dari distribusi yang normal. Jika data tidak berdistribusi normal atau ukuran sampel sedikit dan jenis data adalah nominal atau ordinal maka metode yang digunakan adalah metode statistik non parametrik. Uji Normalitas merupakan salah satu uji statistik yang digunakan untuk menguji apakah suatu data berdistribusi normal atau tidak. Uji ini dapat digunakan untuk mengukur data berskala ordinal, interval ataupun rasio.

Ada berbagai metode yang dapat digunakan untuk menguji apakah suatu data berdistribusi normal atau tidak, diantaranya adalah Kolmogorov-Smirnov, Lilliefors, Anderson- Darling, Cramer-von Mises, Shapiro-Wilk dan Shapiro Francia serta termasuk juga dalam hal ini yaitu metode Bootstrap. Dalam penelitian sebelumnya telah diuji normalitas data dengan menggunakan metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises, dan Lilliefors beserta dengan perbandingan ketiga metode tersebut (Fallo dkk, 2013). Dalam penelitian ini akan diuji normalitas data berdasarkan ketiga metode tersebut menggunakan metode Bootstrap. Data real tentang inflasi bulanan dari Badan Pusat Statistik yang akan digunakan sebagai ilustrasi.

Data inflasi bulanan dari BPS tersebut adalah data inflasi bulanan kota-kota yang ada di daerah Bali dan Nusa Tenggara dari bulan Januari 2009 sampai dengan Juni 2013 dan akan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana melakukan uji normalitas berdasarkan metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors menggunakan metode bootstrap.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors menggunakan metode bootstrap dalam uji normalitas.

Manfaat Penelitian

Untuk mengembangkan dan mengaplikasikan pengetahuan dan keilmuan di bidang matematika khususnya pengujian distribusi normal berdasarkan metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors serta metode bootstrap.

B. DASAR TEORI Metode Anderson-Darling

Metode Anderson-Darling digunakan untuk menguji apakah sampel data berasal dari populasi dengan distribusi tertentu. Anderson-Darling merupakan modifikasi dari uji Kolmogorv-Smirnov (KS). Nilai-nilai kritis dalam uji KS tidak tergantung pada distribusi tertentu yang sedang diuji sedangkan uji Anderson-Darling memanfaatkan distribusi tertentu dalam menghitung nilai kritis. Ini memiliki keuntungan yang memungkinkan tes yang lebih sensitif, tetapi kelemahannya adalah nilai-nilai kritis harus dihitung untuk setiap distribusi. Tabel nilai-nilai kritis untuk normal, lognormal, eksponensial, Weibull, nilai ekstrim tipe I, dan distribusi logistik dapat dilihat di Anderson dan Darling (1954), Law dan Kelton (1991). Misalkan

, , …, adalah data yang akan diuji distribusi normalnya dengan tingkat signifikan α maka uji Anderson-Darling dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

( 3) Akibatnya persamaan (1) menjadi

= −− [2 − 1] ln ( ) + ln (1 − ( )) ( 4) dengan

= statistik uji untuk metode Anderson-Darling, n= ukuran sampel, = data ke-i yang telah diurutkan, = data yang distandarisasi,

̅= rata-rata data, = standar deviasi data,

( ) = nilai fungsi distribusi kumulatif normal baku di . Modifikasi dari metode Anderson-Darling menggunakan rumus di bawah ini :

( 5) Nilai kritis yang diperoleh adalah dengan menghitung :

( 6) dengan nilai

, , dan dilihat berdasarkan Tabel A.6 (D’Agustino dan Stephens, 1986). Selain dengan cara menghitung sendiri nilai kritisnya dapat juga dengan melihat tabel nilai kritis untuk Uji Anderson-Darling pada Tabel 4.1-Tabel 4.5 (Kahya, 1991). Pengujian menggunakan Metode Anderson-Darling dilakukan sebagai berikut :

: data pada sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, : data pada sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal.

Jika ∗ > maka ditolak yang berarti data tidak berdistribusi normal dan jika sebaliknya maka

diterima yang berarti data berdistribusi normal.

Metode Cramer-von Mises

Dalam menguji apakah suatu data berdistribusi normal atau tidak maka suatu data dapat diuji dengan menggunakan metode Cramer-von Mises, yang merupakan metode dari H. Cramer dan R. von-Mises yang dipublikasikan oleh D’Agustino dan Stephens (1986). Metode Cramer-von Mises dinyatakan dalam rumus (D’Agustino dan Stephens, 1986) :

dengan = statistik uji untuk metode Cramer-von Mises, n= ukuran sampel, = data yang distandarisasi berdasarkan (3), ( ) = nilai fungsi distribusi kumulatif normal baku di . Modifikasi dari metode Cramer-von Mises dinyatakan dalam rumus di bawah ini :

( 8) nilai kritis diperoleh dari (D’Agustino dan Stephens, 1986) :

dengan nilai ∗ dilihat pada Tabel 8.4 (D’Agustino dan Stephens, 1986). Selain dengan cara menghitung sendiri nilai kritisnya dapat juga dengan melihat tabel nilai kritis untuk Uji Cramer- von Mises pada Tabel 4.11-Tabel 4.15 (Kahya, 1991). Dengan hipotesis yang sama dengan hipotesis pada Metode Anderson-Darling maka

yang berarti tidak berdistribusi normal dan jika sebaliknya maka

ditolak jika

diterima yang berarti berdistribusi normal.

Metode Lilliefors

`Metode Lilliefors menggunakan data dasar yang belum diolah dalam tabel distribusi frekuensi. Data ditransformasikan dalam nilai Z untuk dapat dihitung luasan kurva normal sebagai probabilitas kumulatif normal. Probabilitas tersebut dicari bedanya dengan probabilitas kumulatif empiris. Beda terbesar kemudian akan dibanding dengan tabel Lilliefors. Persyaratan yang harus dipenuhi supaya metode ini dapat digunakan adalah

a. Data berskala interval atau ratio (kuantitatif).

b. Data tunggal / belum dikelompokkan pada tabel distribusi frekuensi.

c. Dapat untuk n besar maupun n kecil. Misalkan , , …,

adalah data yang akan diuji distribusi normalnya dengan tingkat signifikansi 5% maka nilai statistik uji dengan metode Lilliefors dapat diperoleh dengan menggunakan rumus di bawah ini :

( 10) dengan,

= max ( | ( ) − ( ) |)

( 11) L = statistik uji dengan metode Lilliefors,

= data yang distandarisasi berdasarkan (3), ( ) = nilai fungsi distribusi kumulatif normal baku di . ( ) = nilai fungsi distribusi kumulatif empiris di .

Nilai statistik uji Lilliefors kemudian akan dibandingkan dengan nilai kritis berdasarkan tabel nilai kritis Lilliefors (Lilliefors, 1967), jika tingkat signifikan yang diambil adalah 5% dan n diasumsikan lebih dari 30 maka berdasarkan tabel nilai kritis

-nya dinyatakan dengan :

mengikuti nilai pada tabel nilai kritis Lilliefors. Dengan hipotesis yang sama dengan hipotesis pada Metode Anderson-Darlling maka dari hasil perhitungan L dan

Sedangkan untuk ≤ 30 nilai

dan jika tidak demikian maka hipotesis

hipotesis

ditolak jika >

diterima.

Metode Bootstrap

Menurut Shao dan Tu (1995) serta Davison dan Hinkley (1997) dalam inferensi statistik parametrik klasik, distribusi sampling dianggap sebagai suatu model dengan sifat-sifat probabilitas yang diketahui, seperti asumsi distribusi yang memerlukan formula analitis berdasarkan pada model untuk mengestimasi secara analitis parameter dalam distribusi samplingnya.

Metode bootstrap adalah metode berbasis resampling atau pengambilan sampel terhadap sampel awal satu persatu dengan pengembalian, dan prosedur tersebut diulang sebanyak bilangan besar B kali (Tunang, 2012 dan Kabasarang dkk, 2013). Bootstrap bisa dijelaskan sebagai berikut :

Misalkan dimiliki sampel awal X 1 , X 2, … , X n . Membuat sampel baru dengan cara membangkitkan sampel dari distribusi anggapan yaitu distribusi normal dengan mean dan simpangan baku diperoleh dari sampel awal. Berdasarkan sampel X* 1 , X* 2 , …, X* n digunakan untuk menghitung statistik Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors.

(13) Prosedurnya diulang sebanyak bilangan besar B kali, sehingga diperoleh T* 1 , T* 2 , … , T* B (14) Nilai-p ditentukan dengan,

T*(X* 1 , X* 2 , … , X* n )

nilai-p ) = ( 15) dengan, i = 1, 2, ..., B dan

= nilai statistik uji berdasarkan sampel awalnya (Tunang, 2012). Pengujian normalitas dengan menggunakan metode Bootstrap dilakukan dengan hipotesis berikut :

: sampel diambil dari populasi yang berdistribusi normal, : sampel diambil dari populasi yang tidak berdistribusi normal.

Jika tingkat signifikan =0.05 maka diterima jika nilai-p lebih besar dan ditolak jika sebaliknya.

C. METODE PENELITIAN

a. Data univariat diperoleh dari data sekunder yang merupakan data inflasi bulanan kota- kota di Bali dan Nusa Tenggara dari bulan Januari 2009 sampai bulan Juni 2013 sebanyak 54 sampel.

b. Langkah-langkah analisis data yaitu :

 Menentukan nilai mean dan simpangan baku dari data di masing-masing kota.  Untuk menguji data berdistribusi normal atau tidak maka hasil statistik uji akan

dibandingkan dengan nilai kritis untuk masing-masing metode.

c. Nilai-p (metode bootstrap) dihitung dengan cara menggunakan data inflasi pada kota- kota di Bali dan Nusa Tenggara dengan menggunakan metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors dengan pengulangan B=10.000, 20.000, 30.000, 40.000 dan 50.000 kali sehingga diperoleh nilai-p dan akan dilihat apakah nilai-p yang diperoleh sama atau saling mendekati dengan nilai-p pada hasil program R. Nilai-p Bootstrap akan diperoleh berdasarkan sampel.

d. Nilai-p (metode bootstrap) dihitung dengan cara membangkitkan sampel normal ukuran n yang berbeda dengan mean dan simpangan baku yang diperoleh dari data asal yang dipilih yaitu data inflasi pada kota Maumere. Dihitung dengan menggunakan metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors dengan pengulangan B=10.000, 20.000, 30.000, 40.000 dan 50.000 kali sehingga diperoleh , , …, . Data yang digunakan adalah data simulasi yang merupakan data acak berdistribusi normal yang dibangkitkan dengan ukuran sampel yang berbeda yaitu n= 10, 20, 30, 50, 100, 200, 500, 1000, 2000. Nilai-p bootstrap ditentukan berdasarkan sampel yang diperoleh dan diharapkan akan cenderung menerima hipotesis nol. Dengan cara yang sama akan pula dicari untuk data acak yang berdistribusi eksponensial dengan ukuran sampel yang berbeda yaitu n= 10, 20, 30, 50, 100, 200, 500, 1000, 2000. Dan diharapkan akan cenderung menolak hipotesis nol. Jika nilai-p lebih besar dari tingkat signifikansi α maka

diterima artinya sampel berasal dari distribusi normal sedangkan jika nilai-p lebih kecil dari tingkat signifikansi α maka ditolak artinya sampel tidak berasal dari distribusi normal.

D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Uji normalitas dengan menggunakan Metode Anderson Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors.

Akan diuji kenormalan dari data Inflasi bulanan kota-kota di Bali dan Nusa Tenggara dari bulan Januari 2009 sampai bulan Juni 2013 untuk n=54. Berdasarkan data tersebut maka kita peroleh mean dan simpangan baku yang disajikan dalam Tabel 1. Untuk Anderson-Darling hipotesis

dan diterima jika ∗ < . Pada Tabel 3 terlihat bahwa ∗ untuk kelima kota tersebut <

ditolak jika ∗ >

diterima artinya data yang dibangkitkan berdistribusi normal. Untuk Cramer-von Mises hipotesis

pada Tabel 2 sehingga

ditolak jika ∗ >

dan jika sebaliknya maka

. Dari hasil terlihat bahwa

diterima yang dan diterima jika

diterima artinya data yang dibangkitkan berdistribusi normal. Dan untuk Lilliefors hipotesis

∗ untuk kelima kota tersebut <

sehingga

ditolak jika > dan jika tidak demikian maka hipotesis

diterima. Dari hasil terlihat bahwa < sehingga diterima artinya data yang dibangkitkan berdistribusi normal.

Uji Hipotesis dengan metode Bootstrap

Untuk menguji normalitas data inflasi bulanan kota-kota di Bali dan Nusa Tenggara akan dilakukan dengan hipotesis

: sampel diambil dari populasi yang berdistribusi normal, : sampel diambil dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Dengan tingkat signifikan =5% akan diuji dengan menggunakan metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors. Kesimpulan untuk

adalah dengan melihat besarnya nilai-p, jika nilai-p lebih besar 0.05 maka diterima artinya data inflasi bulanan kota-kota di Bali dan Nusa Tenggara berdistribusi normal. Berdasarkan metode bootstrap dengan pengulangan B=10000, 20000, 30000, 40000 dan 50000 kali maka diperoleh nilai-p pada Tabel 5 untuk data inflasi bulanan kota-kota di Bali dan Nusa Tenggara. Terlihat bahwa untuk semua nilai-p > 0.05 sehingga

diterima yang berarti data berdistribusi normal. Untuk nilai-p pada metode Anderson-Darling dan Cramer-von Mises pada setiap pengulangan dibandingkan dengan hasil nilai-p dari program R pada Tabel 4 diperoleh nilai yang hampir sama atau mendekati. Sedangkan untuk nilai-p pada metode Lilliefors terdapat perbedaan yang cukup besar.

Studi Simulasi

Pada simulasi ini dibangkitkan data acak dari distribusi normal dengan ukuran n= 10, 20,

30, 50, 100, 200, 500, 1000, 2000 dan dengan tingkat signifikansi =5%, akan diuji dengan menggunakan metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors. Berdasarkan metode bootstrap dengan pengulangan B=10.000, 20.000, 30.000, 40.000 dan 50.000 kali dan ukuran n=

10, 20, 30, 50, 100, 200, 500, 1000 dan 2000 dengan mean dan simpangan baku yang sama maka diperoleh nilai-p pada Tabel 6 untuk data yang dibangkitkan berdasarkan data inflasi bulanan kota Maumere yang mean dan simpangan bakunya sama yaitu 0.5102 dan 0.9256. Terlihat bahwa untuk semua nilai-p pada data normal yang diperoleh sesuai dengan harapan yaitu > 0.05 sehingga

diterima yaitu data berdistribusi normal. Sedangkan untuk data yang dibangkitkan berdasarkan distribusi eksponensial diperoleh nilai-p pada Tabel 7 terlihat bahwa untuk n=10 dan 20 pada pengulangan B=10.000, 20.000, 30.000, 40.000 dan 50.000 terdapat beberapa nilai-p yang tidak sesuai dengan harapan yaitu > 0.05. Sedangkan untuk n lain yang semakin membesar nilai-p yang diperoleh sesuai dengan harapan yaitu < 0.05 yang berarti data tidak berdistribusi normal.

E. PENUTUP

Hasil pembahasan uji normalitas menggunakan metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors adalah uji normalitas pada data inflasi bulanan kota-kota yang ada di Bali dan Nusa Tenggara dengan n=54 diperoleh nilai statistik uji yang lebih besar dari nilai kritis sehingga

diterima yang berarti data inflasi bulanan kota-kota di Bali dan Nusa Tenggara berdistribusi normal. Dari data inflasi bulanan kota-kota di Bali dan Nusa Tenggara dengan menggunakan pengulangan B=10.000, 20.000, 30.000, 40.000 dan 50.000 diperoleh nilai-p untuk metode Anderson-Darling dan Cramer-von Mises yang hampir sama atau mendekati nilai-p sesuai perhitungan R, sedangkan untuk Lilliefors hasilnya cenderung berbeda tetapi hasilnya masih tetap sama yaitu data berdistribusi normal. Kemudian dengan sampel dari distribusi normal data acak yang dibangkitkan dengan n=10, 20, 30, 50, 100, 200, 500, 1000 dan 2000 dilakukan simulasi dengan membangkitkan data acak yang berdistribusi normal dengan pengulangan B=10.000, 20.000, 30.000, 40.000 dan 50.000 dan diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan yaitu untuk data normal acak yang dibangkitkan diperoleh hasil nilai-p yang >

0.05 sehingga diterima yang berarti data berdistribusi normal. Sedangkan untuk distribusi eksponensial pada n yang kecil = 10 dan 20 terdapat nilai-p yang > 0.05, dan untuk n lain yang semakin membesar nilai-p < 0.05 yang berarti data tidak berdistribusi normal.

F. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, T.W., Darling, D.A. (1954). A Test of Goodness of Fit, Journal of American Statistics Association , pp. 765-767.

D’ Agostino, R.B. and Stephens, M.A. (1986). Goodness-of-fit Techniques. New York: Marcel Dekker.

Fallo, J.O., Setiawan A., dan Susanto B. (2013). Perbandingan Uji Normalitas Berdasarkan Metode Anderson-Darling, Cramer-von Mises dan Lilliefors. Prosiding Seminar Nasional Matematika UNNES.

Kahya, Goksel.B.S (1991). New Modified Anderson-Darling and Cramer-von Mises Goodness- of-fit Tests for a Normal Distribution with Specified Parameters . Ohio.

Kabasarang D., Setiawan A., dan Susanto B. (2013). Uji Normalitas Menggunakan Statistik Jarque-Bera Berdasarkan Metode Bootstrap. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika XXI UNY.

Law, A.M. and Kelton W.D. (1991) Simulation Modeling and Analysis. McGraw- Hill.

Lilliefors, H.W. (1967). On the Kolmogorov-Smirnov Test for Normality with Mean and Variance Unknown. Journal of American statistical association, Vol. 62, No 318, pp. 399-402.

Tunang, H. (2012). Pengujian Normalitas Data Curah Hujan, di Kecamatan Galela Barat Berdasarkan Statistik Liliefors dengan Metode Boostrap Parametrik. Skripsi Universitas Halmahera Tobelo.

Web1 http://www.bps.go.id/aboutus.php?inflasi=1. Diunduh pada 18 Juli 2013 pukul 15.20.

Web2 http://arini2992.blogspot.com/2011/04/metode-lilliefors-untuk uji_normalitas.html. Diunduh pada 20 Juli 2013 pukul 21.05.

Web3 http://gamatika.wordpress.com/2011/03/23/metode-bootstrap/. Diunduh pada 06 September 2013 pukul 08.13

S - 20

ESTIMASI NILAI VaR MENGGUNAKAN SIMULASI PROSES LÉVY

Komang Dharmawan 1

1 Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Udayana

1 e-mail dharmawan.komang@gmail.com

Abstrak

Ketika data harga saham menunjukkan adanya perubahan yang sangat tinggi pada fase tertentu, kemudian diikuti oleh perubahan yang tidak begitu tinggi pada fase berikut, hal ini diyakini adanya apa yang disebut dengan volatility clustering. Selain itu, beberapa hasil penelitian menyebutkan adanya distribusi ekor gemuk (fat tail) dan skew pada data indeks atau harga saham. Mengacu ke fenomena ini, menurut beberapa peneliti maupun praktisi bahwa gerak Brown seperti yang dipakai pada model Black-Scholes dalam memodelkan pergerakan harga saham tidak lagi dianggap sesuai dengan kenyataan yang ada. Model Brown diyakini memiliki pola gerak yang terlalu seragam selama pengamatan data tersebut. Untuk menanggulangi masalah ini, dua subordinasi dari proses Lévy, yaitu proses Variance Gamma (VG) dan proses Normal Inverse Gaussian (NIG) diusulkan karena dianggap lebih sesuai dalam menangani volatility clustering atau distribusi yang tidak normal.

Makalah ini membahas penerapan proses VG dan proses NIG dalam mensimulasikan Value at Risk (VaR) pasar saham yang dalam hal ini diwakili oleh Indeks Indonesia (IHSG). Langkah-langkah yang dilakukan dalam mensimulasi prose Lévy adalah dengan menyertakan model VG dan model NIG kedalam gerak Brown. Selain itu, penambahan drift dan koreksi pada variasi kuadratik pada bagian yang bersifat stokastik juga dilakukan, sehingga model logretun untuk harga saham yang terbentuk melibatkan drift dan model stokastik. Setelah model untuk indeks atau harga saham terkonstruksi, penaksiran nilai parameter model VG (,,) dan model NIG (,, δ ) dilakukan dengan fungsi maksimum likelihood. Investigasi terhadap kedua model dilakukan dengan menerpkanya pada data historis nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) periode 1 Juli 2008 – 11 Oktober 2013. Hasilnya menunjukkan bahwa asumsi normal pada data indeks saham meng-underestimate nilai VaR yang diestimasi dengan model VG dan model NIG, khususnya untuk periode lebih dari 3 hari.

Kata kunci: Value at Risk, Proses Lévy, Model Variance Gamma, Model Normal

Inverse Gaussian

A. PENDAHULUAN

Proses Lévy memegang peran penting dalam sains dan teknologi. Pada bidang sains fisika, proses Lévy banyak dipakai dalam pemodelan mengenai turbulensi, laser, dan teori kuantum. Dalam bidang teknologi, proses Lévy banyak diterapkan dalam teori networking, teori antrian, dan disain bendungan. Dalam bidang ekonomi, penerapan proses Lévy mengalami kemajuan sangat signifikan, seperti dalam analisis time series, perhitungan-perhitungan dalam asuransi dan yang paling pesat adalah dalam pemodelan finansial. Aplikasi proses Lévy dalam financial dalam dilihat dari munculnya beberpa publikasi seperti dalam Barndor-Nielsen (1998), Schoutens (2003). Sebagai acuan standar dalam finansial pembaca dapat mengacu ke Cont & Tankov (2004).

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Dalam literatur ada beberapa proses yang menjadi subordiansi dari proses Lévy, seperti proses Poisson, proses Compound Poisson, proses Gamma, proses Inverse Gaussian, proses Generalized Inverse Gaussian, proses Tempered Stable, proses Variance Gamma, proses Normal

Inverse Gaussian, proses CGMY, proses Meixner, proses Generalized Hyperbolic. Diantara model-model tersebut yang paling popular adalah model Variance Gamma (VG) and Normal Inverse Gaussian (NIG) diusulkan pertama kali oleh Carr dkk. (1998) and Barndor-Nielsen (1998). Beberapa studi terkait dengan penggunaan proses Lévy pada pemodelan finansial meyebutkan bahwa kedua model mampu dengan baik menangkap prilaku logreturn dari suatu indeks atau harga saham. Studi pada model-model tersebut di atas sangat intens dilakukan pada beberapa tahun terakhir, terutama penggunaan model VG dan NIG dalam memodelkan tingkat pengembalian harga saham (logreturn) atau penentuan harga produk derivatif, seperti opsi, kontrak forward atau kontrak future. Penerapan kedua model tersebut menggunakan metode yang standar dalam statistika seperti metode maximum likelihood (MLE) dan metode moment estimator (MME). Eberlein & Ozkan (2003), Carr et al. (1998), Carr et al. (2002), Seneta (2004), Ramezani & Zeng (2007).

Sifat kenormalan dari tingkat pengembalian suatu saham (return) berperan penting dalam teori finansial. Asumsi kenormalan ini, pertama kali muncul dalam teori portofolio dari Markowitz yang mengasumsikan nilai return bersifat normal, kemudian perhitungan risiko (VaR) dengan menggunakan teori statistika yang standard, seperti kuantil atau persentil juga menggunakan asumsi kenormalan pada data return. Selain itu, model gerak Brown atau dikenal juga dengan model Black-Scholes mengasumsikan bahwa lintasan (path) suatu harga saham bersifat kontinu. Asumsi kenormalan data dan kekontinuan lintasan nilai indeks atau harga saham banyak mengalami pertentangan dikalangan praktisi maupun peneliti di bidang finansial. Hal ini dipercaya bahwa model gerak Brown atau model Markowitz tidak dapat mewakili dinamika nilai indeks atau harga saham yang sesungguhnya. Seperti banyak dibantah, misalnya Vonak (2012) bahwa data finansial umumnya lebih bersifat ‘fat tail’ dan ‘higher kurtosis’ dibandingkan dengan distribusi normal. Selain itu, sifat ketakbergantungan data seperti diasumsikan dalam model Brown juga masih dalam perdebatan (dibahas dalam Cont (2001)). Kebergantungan data saham ini dapat dilihat dari sifat logaritmik data tingkat pengembalian masih menunjukkan adanya korelasi pada runtun data dalam suatu interval waktu tertentu. Fenomena ini dikenal juga dengan istilah ‘volatility clusturing’, yaitu adanya pola perubahan yang sangat tinggi pada fase tertentu yang diikuti oleh pola perubahan yang tidak begitu tinggi pada fase berikutnya. Sifat kontinu pada gerak Brown masih dapat diperdebatkan juga khususnya untuk data dengan frekuensi rendah, tetapi tidak untuk data dengan frekuwnsi tinggi seperti pergerakan harga saham dalam amatan waktu dengan satuan menit (Figueroa-Lopez dkk (2010)).

Dengan banyaknya pertentangan mengenai asumsi-asumsi di atas maka oleh beberapa peneleti, misalnya Figueroa-Lopez, dkk. (2011) dan Seneta (2004) mengusulkan adanya perlonggar sifat kenormalan di atas, yaitu dengan mengusulkan bahwa logaritma tingkat pengembalian harga saham dalam periode tertentu dapat memiliki distribusi tertentu, misalnya distribusi Poisson, Gamma, Inverse Normal atau yang lainnya. Selain itu pelonggaran juga dilakukan dengan memunculkan sifat diskontinutas, adanya lompatan (diskontinu) pada selang waktu tertentu. Dengan demikian, asumsi normal dan kontinu tidak lagi harus dipertimbangkan dalam memodelkan pergerakan harga saham. Untuk memenuhi pelonggaran asumsi ini, maka diusulkan proses Lévy yang akan dipakai untuk memodelkan harga saham.

Makalah ini membahas penerapan dua subordinasi proses Lévy yaitu proses Variance Gamma (VG) dan proses Normal Inverse Gaussian (NIG) dalam mensimulasikan Value at Risk (VaR) nilai indeks pasar saham yang dalam hal ini diwakili oleh Indeks Indonesia (IHSG). Langkah-langkah yang dilakukan dalam mensimulasi prose Lévy adalah dengan menyertakan model VG dan model NIG kedalam gerak Brown. Selain itu, penambahan drift dan koreksi pada variasi kuadratik pada bagian yang bersifat stokastik juga dilakukan, sehingga model tingkat pengembalian (log-retun) untuk nilai indeks atau harga saham akan terkontruksi dengan melibatkan faktor stokastik, drift, maupun lompatan. Penaksiran nilai parameter model

VG (,,) dan model NIG (,, δ ) dilakukan dengan fungsi maksimum likelihood. Investigasi terhadap kedua model dilakukan menggunakan data empiris nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) periode 1 Juli 2008 – 11 Oktober 2013 untuk mengetahui model yang mana lebih realistis dipakai untuk memodelkan harga saham di Indonesia.

B. PEMBAHASAN

Pada bagain ini akan dibahas sifat-sifat penting dari model VG dan model NIG. Kedua model tersebut merupakan subordiansi dari proses Lévy yang sangat popular. Rumusan berikut ini diringkas dari Korn dkk (2010) dan Figueroa-Lopez, dkk. (2011). Proses VG dapat dipandang dari dua persepektif. Pertama, model VG dapat dipandang sebagai model dari gerak Brown dengan drift dimana gerak Brown itu sendiri merupakan fungsi dari proses Gamma. Proses VG disajikan dalam bentuk

dimana >0 dan ∈ ℝ masing-masing adalah drift, adalah proses Gamma dengan parameter dan , sedangkan

adalah gerak Brown sebagai fungsi dari proses Gamma.

Misalkan = log( / ) adalah suatu proses yang menyajikan logaritma tingkat pengembalian (logreturn) dari suatu indeks atau harga saham, maka ( ) dapat disajikan dalam

bentuk

dengan adalah suatu proses VG, adalah drift dari indeks atau harga saham, dan merupakan suatu kompensasi yang dirumuskan dalam bentuk (Korn, dkk. (2010))

= ln 1 − −

Persamaan ini disertakan dalam persmaan (5) untuk menjamin bahwa

Selain berbentuk seperti pada persamaan (4) di atas, proses VG juga dapat dipandang sebagai selisih dari dua proses Gamma, yaitu

yang memiliki distribusi

dengan fungsi karakteristik: (Schouten, 2003).

Model VG memiliki bentuk moment sebagai berikut (diturunkan secara lengkap di Mastro (2013) atau Schoutens (2003)):

3 = dan =31+ √

Sehingga nilai awal yang dimasukkan dalam menaksir nilai parameter-parameter fungsi VG adalah

Seperti diungkapkan dalam Mastro (2013) bahwa penerapan metode moment dapat menghasilkan solusi yang tidak masuk akal terutama untuk jumlah sampel yang sedikit. Taksiran parameter-parameter di atas lebih sering dipakai sebagai pembangkit atau nilai awal proses pencarian parameter-parameter yang optimal dalam metode maksimum likelihood. Setelah parameter-parameter diestimasi, proses simulasi dapat dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai parameter Algoritma 1. Output dari Algoritma 1 berupa simulasi nilai , untuk mendapatkan pergerakan harga saham, nilai simulasi dimasukkan ke dalam persamaan (5).

Algoritma 1: (Algortima 7.2, Korn dkk (2010)) Simulasi lintasan menggunakan Pers (4)

1. Tetapkan nilai ( 0) = 0.

2. Pilih pembagian selang waktu [0, ] , seperti 0=

3. Untuk =1 sampai  Simulasi bilangan acak

) ⁄ , 1) masing-masing saling bebas.

 Simulasi bilangan acak ∼ ( 0,1) , distribusi normal standard  Tetapkan ()= (

Pembaca yang tertarik dengan algoritma untuk persamaan (6) silahkan mengacu ke Korn dkk (2010).

Model lain yang merupakan subordinasi dari proses Lévy adalah model Normal Inverse Gaussian (NIG). Model ini mirip dengan model VG, tetapi model NIG menggunakan proses Inverse Gaussian sebagai subordinasi. Model NIG didefinisikan sebagai

dengan adalah gerak Brown dan

+ , dalam hal ini > 0, > 0, > | |. Dalam model NIG disarankan menggunakan model Bardorff-Nielson yang bersifat equivalent martingale measure sebagai model pergerakan harga saham, seperti dalam Kord dkk (2010), yaitu + , dalam hal ini > 0, > 0, > | |. Dalam model NIG disarankan menggunakan model Bardorff-Nielson yang bersifat equivalent martingale measure sebagai model pergerakan harga saham, seperti dalam Kord dkk (2010), yaitu

model NIG dapat menghasilkan puncak yang lebih tinggi dengan ekor yang lebih gemuk dan pada saat yang sama memiliki mean dan variance yang sama dengan distribusi normal (Korn dkk (2010). Distribusi

(,,) mempunyai fungsi densitas peluang

dimana () adalah fungsi Bessel tipe III dengan indeks 1 yang didefinisikan sebgai

dan fungsi karakteristik dari distribusi

Penurunan lengkap rumus berikut ini ada di Mastro (2013).

dimana = − . Dengan menyusun kembali bentuk di atas, maka didapat nilai taksiran awal untuk ,, sebagai berikut:

Perhatikan bahwa persamaan di atas hanya berlaku untuk (3 − 4 )>0 . Jika syarat in tidak dipenuhi maka Mastro (2013) menyarankan memilih

= 1, =0 dan =0 .01 sebagai nilai awal taksiran yang dipakai dalam pencarian nilai optimal menggunakan fungsi maximum likelihood, persamaan (11).

Algoritma 2 : (Algortima 7.6, Korn dkk (2010)) Simulasi menggunakan persamaan (8) Misalkan ,,, memenuhi kondisi > 0, > 0, >|| , dan tetapkan pembagian

selang waktu [0, ] seperti 0= , ⋯ , = .

Tetapkan ( 0) = 0 Untuk =1 sampai

∼ ( 0,1) , distribusi normal standard

3. Tetapkan nilai ()= (

4. Tetapkan nilai ()= (), ∈ (

Hasil simulasi kemudian disubstitusikan ke persamaan (8), maka didapat lintasan indeks atau harga saham.

Penaksiran parameter-parameter dalam model VG atau NIG dilakukan dengan metode Maximum Likelihood (MLE). Misalkan nilai logarima dari ((

) ⁄ ()) dengan − =

dan misalkan ={,,} adalah himpunan parameter parameter dari fungsi densitas peluang NIG. Parameter-parameter ini akan diestimasi dengan metode MLE. Misalkan ℒ (,)= ∏

adalah suatu barisan , , ⋯ ,

( ;) adalah logaritma dari fungsi maximum likelihood, maka

dengan menerapkan fungsi fminsearch() pada Matlab himpunan parameter-parameter . Cara yang sama juga dilakukan terhadap model VG.

Estimasi nilai VaR dilakukan dengan memanfaatkan data historis nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) periode 1 Juli 2008 – 11 Oktober 2013. Langkah-langkah yang dilakukan dalam studi empiris, adalah pertama menghitung nilai mean, variance, skewness, dan kurtosis dari nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menggunakan Model VG dan model NIG. Hasil perhitungan dalam Tabel 1 berikut ini

Tabel 1. Sifat-sifat statistik dihitung menggunakan metode momen untuk model VG dan model NIG

VG NIG

Mean

St. Dev

Skewness

Kurtosis

Dari Tabel 1 terlihat bahwa kedua model VG atau NIG memiliki bentuk yang hampir sama, keduanya tidak simetris, yaitu skew ke kiri dan fat tail dilihat dari nilai Kurtosis yang cukup besar, normalnya 3. Menggunakan nilai pada Tabel 1, nilai parameter VG dikalibrasi menggunakan persamaan (7) didapat

= − 0.8470, = 1.2493, = 0.0214, = 0.9091 . Sedangkan menggunakan MLE didapat = − 1.1559, = 1.8120, ̂ = 0.0251, ̂ = 0.0012 . Hasil ini dipakai untuk mensimulasi nilai

menggunakan Algoritma 1, kemudian nilai indeks dihasilkan menggunakan persamaan (5). Simulasi nilai indeks menggunakan model VG disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Hasil simulasi nilai indeks saham menggunakan model VG dengan

parameter = − 1.1559, = 1.8120, ̂ = 0.0251, ̂ = 0.0012

Gambar 2. Hasil simulasi nilai indeks saham menggunakan model NIG dengan

parameter = 0.0630, = 0.0039, = 0.0168

Nilai estimasi parameter-parameter NIG menggunakan persamaan (12a-12c) menghasilkan yang tidak memenuhi kondisi (3 − 4 )>0 sehingga dipilih = 1, =0 dan =0 .01. Nilai ini dipakai sebagai nilai awal untuk estimasi parameter menggunakan metode MLE. Menghasilkan

= 0.0630, = 0.0039, = 0.0168 Hasil ini dipakai untuk mensimulasi nilai menggunakan Algoritma 2, kemudian nilai indeks dihasilkan menggunakan persamaan (9). Simulasi nilai indeks menggunakan model NIG disajikan dalam Gambar 2.

Perhitung nilai Value at Risk (VaR) dari IHSG mengacu ke definisi VaR yaitu

()

= VaR ( , )

dimana () adalah fungsi densitas peluang dari model VG atau NIG dengan masing=masing parameter, (,, ̂ ) untuk model VG dan ,, untuk model NIG yang didapat dari hasil optimasi maximum likelihood. Konstanta merepresentasikan ambang batas risiko yang harus

ditanggung. Jika data terdistribusi normal maka dapat dipilih = . Dengan menggunakan integral numerik pada fungsi Matlab, maka VaR untuk = 0.10, 0.05, 0.01 dapat dihitung, hasilnya ditunjukkan dalam Gambar 3 dan Gambar 4.

Hasil estimasi VaR memperlihatkan bahwa VaR-VG menunjukkan nilai yang kurang sensitive terhadap perubahan hari dibandingkan dengan VaR-NIG. Perubahan yang cukup signifikan diperlihatkan oleh VaR-NIG dengan bertambahnya waktu estimasi. Hal ini juga diperlihatkan oleh grafik fungsi densitas kedua model tersebut, Gambar 3 dan 4 (Kiri). Sekarang coba kita bandingkan dengan mengasumsikan normal data indeks saham maka untuk risiko satu hari ke depan dengan = 5% adalah VaR = ̂ + 1.62 × √ 1= 0.0062 + 1.62 × 0.0156 = 2.58% . Nilai VaR ini tidak jauh berbeda dengan nilai VaR-VG maupun dengan VaR-NIG, lihat Gambar 3 dan Gambar 4. Sekarang coba waktu estimasi diperpanjang menjadi 10 hari. VaR =

0.0062 + 1.62 × 0.0156 × √ 10 = 8.61% . Nilai ini tidak berbeda jau dengan VaR-VG, tetapi berbeda sangat jauh dengan VaR-NIG (15%). Dari hasil ini dapat dijelaskan bahwa asumsi normal pada data untuk estimasi lebih dari 1 hari dapat menjadi masalah serius.

Gambar 3. (Kiri) Fungsi densitas VG untuk = − 1.1559, = 1.8120, ̂ = 0.0251 (Kanan) Estimasi nilai VaR menggunakan model VG selama 22 hari ke depan.

Gambar 4. (Kiri) Fungsi densitas NIG untuk = 0.0630, = 0.0039, = 0.0168 (Kanan) Estimasi nilai VaR menggunakan model NIG selama 22 hari ke depan.

C. KESIMPULAN

Makalah ini membahas estimasi nilai VaR untuk nilai indeks saham menggunakan simulasi model Variance Gamma dan model Normal Inverse Gaussian. Adanya lomptan-lompatan pada interval tertentu pada nilai indeks saham telah dimasukkan dalam model VG dan NIG. Dengan memasukkan distribusi Gamma pada model VG dan distribusi Inverse Normal pada NIG, berarti asumsi normal dan kontinu seperti pada model Brown atau model Black-Scholes telah dihilangkan, sehingga dinamika nilai indeks maupun harga saham dapat ditangkap dan dimodelkan dengan lebih baik.

Keluaran dari makalah ini adalah berupa langkah-langkah sistematis dalam menghitung dan mensimulasikan VaR menggunakan model VG dan NIG. Dari hasil diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa VaR-normal, yaitu VaR dengan asumsi data normal, memberikan nilai yang lebih kecil dibandinkan dengan VaR-VG dan VaR-NIG. Jadi asumsi normal pada data indeks atau harga saham dapat menghasilkan estimasi VaR yang salah terutama untuk estimasi lebih dari

3 hari ke depan.

D. DAFTAR PUSTAKA

Barndorff-Nielsen, O. (1998). Processes of normal inverse Gaussian type. Finance and Stochastics 2, 41-68.

Carr, P., Geman, H., Madan, D. & Yor, M. (2002). The fine structure of asset returns: An empirical investigation. Journal of Business 75, 305-332.

Carr, P., Madan, D. & Chang, E. (1998). The variance Gamma process and option pricing. European Finance Review 2, 79-105.

Cont, R. & Tankov, P. (2004). Financial modelling with Jump Processes. Chapman & Hall.

Eberlein, E. & Ozkan, F. (2003). Time consistency of Lévy processes. Quantitative Finance 3, 40-50.

Figueroa-Lopez, J., et.al. (2011). Estimation of NIG and VG models for high frequency Financial data. Technical Report diakses melalui: www.stat.purdue.edu/~figueroa/Papers/ NIGVGMMEMLE.pdf

Figueroa-Lopez, J. (2011). Jump-diffusion models driven by Lévy processes. Springer. To appear in Handbook of Computational Finance. Jin-Chuan Duan, James E. Gentle, and Wolfgang Hardle (eds.).

Figueroa-Lopez, J. & Houdre, C. (2009). Small-time expansions for the transition distributions of Lévy processes. Stochastic Processes and Their Applications 119, 3862-3889.

Korn, R., E. Korn, and G. Kroisandt (2010). Monte Carlo Methods and Models in Finance and Insurance, Taylor and Francis Group, LLC

Mastro M. (2013), Financial derivative and energy market valuation: theory and implementation in Matlab. John Wiley & Sons, Inc.

Novak S. Y. (2012). Extreme Value Methods with Applications to Finance. A Chapman and Hall Book.

Ramezani, C. & Zeng, Y. (2007). Maximum likelihood estimation of the double exponential jump-diffusion process. Annals of Finance 3, 487-507.

Schoutens, W. (2003). Lévy Processes in Finance: Pricing Financial Derivatives. John Wiley & Sons, Ltd

Seneta, E. (2004). Fitting the variance-gamma model to financial data. Journal of Applied Probability 41A, 177-187.

Tankov, P. (2011). Pricing and hedging in exponential Lévy models: review of recent results. To appear in the Paris-Princeton Lecture Notes in Mathematical Finance, Springer .

S - 21 PEMODELAN KEJADIAN GIZI BURUK PADA BALITA DI SURABAYA BERDASARKAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL SEMIPARAMETRIK

1 2 Marisa Rifada 3 , Nur Chamidah , Toha Saifudin 1,2,3 Departemen Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga Kampus C, Unair Jln. Mulyorejo, Surabaya

1 marisa_rifada@yahoo.com, 2 nurchamidah_unair@yahoo.co.id

3 toha_indonesia@yahoo.com

Abstrak

Masalah gizi buruk pada balita di Surabaya menjadi perhatian khusus untuk ditangani secara serius karena hampir semua kecamatan di Surabaya ditemukan kasus balita gizi buruk. Dalam penelitian ini akan dikembangkan model prediksi seberapa besar kejadian gizi buruk balita di setiap kecamatan di Surabaya berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan mempertimbangkan aspek lokasi geografis (spasial) menggunakan metode regresi spasial semiparametrik dan selanjutnya dilakukan validasi model untuk mendapatkan model prediksi yang terbaik

dengan membandingkan nilai AIC dan R 2 dari model yang terbentuk. Hasil

pemodelan kejadian gizi buruk balita di Surabaya berdasarkan fungsi pembobot Fixed

Gaussian memiliki nilai AIC terkecil dan R 2 tertinggi, sehingga model terbaik yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu model regresi spasial semiparametrik berdasarkan pembobot Fixed Gaussian dengan ketepatan prediksi sebesar 85%. Faktor-faktor yang berpengaruh secara lokal adalah prosentase rumah tangga yang

mendapat akses air bersih (X 1 ), prosentase rumah tangga miskin (X 3 ), rasio jumlah tenaga kesehatan dengan jumlah balita (X 4 ), prosentase bayi tidak mendapat ASI eksklusif (X 5 ), dan prosentase ibu hamil mendapat tablet Fe (X 6 ). Sedangkan prosentase Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (X 2 ) berpengaruh secara global.

Kata kunci: Gizi Buruk pada Balita, Regresi Spasial Semiparametrik

A. PENDAHULUAN

Masalah gizi buruk pada balita di Surabaya menjadi perhatian khusus untuk ditangani secara serius karena hampir semua kecamatan di Surabaya ditemukan kasus balita gizi buruk. Data 3 tahun terakhir yang dikumpulkan Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa Surabaya mempunyai jumlah kasus balita gizi buruk terbanyak di Jawa Timur. Kepala Dinas Kesehatan Surabaya menyatakan bahwa hampir 50% kasus gizi buruk di Surabaya ditemukan di kecamatan wilayah pinggir kota, terutama yang berada di daerah pesisir. Berbagai upaya telah dilakukan, akan tetapi setiap tahun kecamatan di daerah tersebut memiliki temuan kasus gizi buruk lebih banyak daripada kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa langkah antisipasi dan penanggulangan kasus balita gizi buruk untuk daerah yang rawan ditemukan kasus gizi buruk masih belum efektif dan belum berjalan dengan baik.

Rendahnya hasil antisipasi terhadap kasus balita gizi buruk di Surabaya antara lain disebabkan karena angka kejadian belum dapat diprediksi dengan baik serta peta sebaran daerah rawan gizi buruk balita yang dapat diandalkan masih belum tersedia. Informasi dan pemetaan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Upaya perbaikan gizi pada balita dapat dilakukan dengan mengkaji lebih dalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi gizi balita. Faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi pada balita dapat berbeda antar daerah ataupun antar kelompok masyarakat (Lestrina, 2009). Perbedaan karakteristik antar daerah akan menentukan kualitas kesehatan pada daerah tersebut sehingga faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi kejadian gizi buruk balita antara daerah yang satu tentu akan berbeda dengan daerah yang lain. Dengan demikian aspek lokasi (spasial) perlu diperhatikan dalam penentuan faktor yang signifikan mempengaruhi kejadian gizi buruk balita di suatu daerah.

Penelitian di Indonesia yang mengkaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk balita dengan mempertimbangkan aspek spasial telah dilakukan, diantaranya Ayunin (2011), A’yunin (2011) dan Lestari (2012) menggunakan model regresi spasial dan menyimpulkan bahwa model yang mempertimbangkan aspek spasial (regresi spasial) mempunyai hasil prediksi yang lebih baik daripada regresi linier biasa. Penelitian-penelitian tersebut belum memperhatikan apakah variabel prediktor berpengaruh secara global atau hanya secara lokal. Pada kenyataannya tidak semua variabel prediktor dalam model mempunyai pengaruh secara lokal. Beberapa variabel prediktor dapat berpengaruh secara global, sedangkan yang lainnya dapat berpengaruh secara lokal (Fotheringham, et al., 2002).

Pendekatan model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah model regresi spasial semiparametrik yang mana ada variabel prediktor yang berpengaruh secara lokal dan ada variabel prediktor yang berpengaruh secara global. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dikembangkan model prediksi seberapa besar kejadian gizi buruk balita di setiap kecamatan di Surabaya berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan mempertimbangkan aspek spasial menggunakan metode regresi spasial semiparametrik dan selanjutnya dilakukan validasi model untuk mendapatkan model prediksi yang terbaik.

B. PEMBAHASAN

Model regresi spasial atau disebut juga dengan model Geographically Weighted Regression (GWR) merupakan pengembangan dari model regresi linier global dimana ide dasarnya diambil dari regresi nonparametrik (Mei et al., 2006). Model ini merupakan model regesi linier bersifat lokal yang menghasilkan penaksir parameter model yang bersifat lokal untuk setiap titik atau lokasi dimana data tersebut dikumpulkan, sehingga setiap titik lokasi geografis mempunyai nilai parameter regresi yang berbeda-beda. Model GWR dituliskan sebagai berikut (Fotheringham et al., 2002) :

y i   0  u i , v i     k  u i , v i  x ik   i (1)

dengan y i

: Nilai observasi variabel respon untuk lokasi ke-i

 u i , v i  : Titik koordinat letak geografis (longitude, latitude) dari lokasi pengamatan ke- i  k  u i , v i  : Koefisien regresi variabel prediktor ke-k pada lokasi pengamatan ke-i

x ik : Nilai observasi variabel prediktor ke-k pada lokasi pengamatan ke-i  : Error pengamatan ke-i yang diasumsikan identik, independen dan berdistribusi Normal i dengan mean nol dan varian konstan 2 

Estimasi parameter model GWR dilakukan dengan metode Weighted Least Squares (WLS) yaitu dengan memberikan pembobot yang berbeda untuk setiap lokasi dimana data diamati (Leung, 2000) . Peran pembobot pada model GWR sangat penting karena nilai pembobot

ini mewakili letak data pengamatan satu dengan lainnya. Dalam analisis spasial, pengamatan ini mewakili letak data pengamatan satu dengan lainnya. Dalam analisis spasial, pengamatan

Salah satu jenis fungsi pembobot yang dapat digunakan adalah fungsi Kernel. Pembobot yang terbentuk dengan menggunakan fungsi Kernel diantaranya adalah Fixed Gaussian, Fixed Bisquare, Adaptive Gaussian dan Adaptive Bisquare yang didefinisikan sebagai berikut :

a. Fixed Gaussian :

ij

wuv j  i , i   exp   2  (2)

wuv j  i , i   

  1  d ij h  , untuk d ij  h

b. Fixed Bisquare :

0 , untuk d ij  h

ij

c. Adaptive Gaussian : wuv j  i , i   exp   2  (4)

 h   ik () 

d. Adaptive Bisquare : wuv j  i , i   

 1   d ij h ik ()  , untuk d ij  h ik ()

0 , untuk d ij  h ik ()

dengan d ij menyatakan jarak Euclidean antara lokasi  u i , v i  dan lokasi  u j , v j  ,

ij   u i  u j   v i  v j  , dan h menyatakan parameter non negatif yang diketahui dan

biasanya disebut sebagai parameter penghalus (bandwidth). Berdasarkan model regresi spasial pada persamaan (1), jika tidak semua variabel prediktor mempunyai pengaruh secara lokal, sebagian berpengaruh secara global, maka model yang seperti ini dinamakan model regresi spasial semiparametrik atau disebut juga dengan Semiparametric Geographically Weighted Regression (SGWR). Pada model SGWR beberapa parameter pada model GWR diasumsikan konstan untuk seluruh lokasi pengamatan sedangkan yang lain bervariasi sesuai lokasi pengamatan data (Fotheringham et.al, 2002). Model SGWR dengan p variabel prediktor yang bersifat global dan q variabel prediktor yang bersifat lokal, dengan mengasumsikan bahwa intersep model bersifat lokal dapat dituliskan sebagai berikut:

y i   0  uv i , i     k  uvx i , i  ik    k x ik   i , i  1, 2,  , n

(6) k  1 kq  1

Estimasi parameter pada model SGWR dapat dilakukan dengan metode WLS seperti halnya pada model GWR (Fotheringham et al, 2002). Ada beberapa metode yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan model terbaik, salah satunya adalah Akaike Information Criterion (AIC) yang didefinisikan sebagai berikut :

AIC c  n 2 ln   ˆ  n ln 2    n

 n tr  () S 

 n  2 tr () S 

dengan  ˆ adalah nilai estimator standar deviasi dari error dan S adalah matriks proyeksi dimana y ˆ Sy .Pemilihan model terbaik dilakukan dengan menentukan model dengan nilai AIC terkecil (Nakaya, et al, 2005).

Pada penelitian ini model regresi spasial semiparametrik diterapkan pada kasus kejadian gizi buruk balita di Surabaya pada tahun 2011. Variabel yang diteliti yaitu prosentase kejadian gizi buruk balita per kecamatan di Surabaya sebagai variabel respon (Y) sedangkan variabel

prediktornya adalah prosentase rumah tangga yang mendapat akses air bersih (X 1 ), prosentase Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (X 2 ), prosentase rumah tangga miskin (X 3 ), rasio jumlah tenaga prediktornya adalah prosentase rumah tangga yang mendapat akses air bersih (X 1 ), prosentase Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (X 2 ), prosentase rumah tangga miskin (X 3 ), rasio jumlah tenaga

Tabel 1. Deskriptif Data Penelitian

Tabel 1 menunjukkan rata-rata prosentase kejadian gizi buruk balita per kecamatan di Surabaya pada tahun 2011 adalah sebesar 0,6619% , dimana prosentase kejadian gizi buruk balita tertinggi sebesar 1,47% ada di kecamatan Asemrowo sedangkan prosentase terendah ada di kecamatan Dukuh Pakis yaitu sebesar 0,08%. Hal ini menunjukkan bahwa kecamatan Asemrowo seharusnya merupakan daerah prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan kasus balita gizi buruk guna menurunkan angka kejadian gizi buruk balita di kecamatan tersebut. Rata-rata prosentase rumah tangga yang mendapat akses air bersih adalah 29,58% dengan prosentase terendah ada di kecamatan Sukolilo yaitu 12,01 % dan prosentase tertinggi adalah 71,81% ada di kecamatan Pakal, sedangkan keragamannya sebesar 15,23%. Hal ini menunjukkan bahwa akses air bersih di Kota Surabaya masih kurang merata di setiap kecamatannya.

Salah satu faktor yang memicu tinggi rendahnya prosentase kejadian gizi buruk balita di suatu wilayah adalah kemiskinan. Rata-rata prosentase rumah tangga miskin di Surabaya sebesar 13,88%, hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga miskin yang ada di Surabaya masih relatif banyak, dimana kecamatan Simokerto memiliki prosentase rumah tangga miskin tertinggi yaitu sebesar 39,25%. Rata-rata rasio tenaga kesehatan dengan jumlah balita di Surabaya adalah sebesar 1,0126% dimana rasio terendah pada kecamatan Tambaksari yaitu sebesar 0,49% sedangkan rasio tertinggi yaitu 1,93% ada di kecamatan Gubeng. Rata-rata rasio tenaga kesehatan dengan jumlah balita tiap kecamatan masih cenderung rendah. Hal ini mengindikasikan kurangnya tenaga kesehatan di setiap kecamatan.

Dari peta administrasi kota Surabaya yang ada selanjutnya dilakukan deskripsi data penelitian berupa peta tematik.

Gambar 1. Peta Penyebaran Prosentase Kejadian Gizi Buruk Balita di Surabaya

Gambar 1 menunjukkan bahwa prosentase kejadian gizi buruk balita tertinggi berada di Kecamatan Asemrowo, Kenjeran, Pakal, Tenggilis Mejoyo, dan Rungkut yaitu sebanyak 1,05% sampai 1,47%. Sedangkan Kecamatan Benowo, Wonocolo, Lakarsantri, Gayungan, Jambangan, Karang Pilang, Dukuh Pakis, Sukomanunggal, Bubutan, Sawahan dan Genteng merupakan daerah dengan prosentase kejadian gizi buruk balita terendah yaitu sebanyak 0.08% sampai 0.39%.

Gambar 2. Peta Penyebaran Prosentase Rumah Tangga Mendapat Akses Air Bersih Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa prosentase rumah tangga mendapatkan akses

air bersih tertinggi terdapat di kecamatan Pakal, Dukuh Pakis, Asemrowo, Lakarsantri, dan Gunung Anyar yaitu antara 42,13% sampai 71,81%. Sedangkan kecamatan Benowo, Gayungan, Gubeng, Tegalsari, Bulak, Rungkut, Tambaksari, Sukolilo, Wonokromo, dan Simokerto merupakan daerah yang mempunyai prosentase rumah tangga yang mendapat akses air bersih rendah yaitu antara 12,01% sampai 17,59%.

Gambar 3. Peta Penyebaran Prosentase Bayi Berat Lahir Rendah Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa kecamatan yang mempunyai prosentase bayi

berat lahir rendah tertinggi adalah kecamatan Wiyung yaitu antara 9,83% sampai 16,16%. Sedangkan kecamatan Asemrowo, Krembangan, Pabean Cantikan, Semampir, Simokerto, Genteng, Tegalsari, Lakarsantri, Karang Pilang, Gayungan, Jambangan Tenggilis Mejoyo,

Gunung Anyar dan Mulyorejo merupakan kecamatan yang paling rendah prosentase bayi berat lahir rendahnya yaitu antara 0,15% sampai 1,97%.

Gambar 4. Peta Penyebaran Prosentase Rumah Tangga Miskin Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa kecamatan yang mempunyai prosentase rumah

tangga miskin tertinggi ada di kecamatan Pabean Cantikan, Semampir, dan Simokerto yaitu antara 23,21% sampai 39,25%. Sedangkan kecamatan Benowo, Lakrsantri, Karang Pilang, Jambangan, Wonocolo, Gunung Anyar, Gubeng, Mulyorejo, Tandes, dan Sukomanunggal mempunyai prosentase rumah tangga miskin terendah yaitu antara 3,65% sampai 8,49%.

Gambar 5. Peta Penyebaran Rasio Tenaga Kesehatan dengan Jumlah Balita Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa kecamatan yang mempunyai rasio tenaga

kesehatan dengan jumlah balita tertinggi ada di kecamatan Lakarsantri dan Genteng yaitu antara 1,37% sampai 1,93%. Sedangkan kecamatan Dukuh Pakis, Gubeng, Pabean Cantikan, Semampir, Kenjeran, Gunung Anyar, Tambaksari, dan Mulyorejo mempunyai rasio tenaga kesehatan dengan jumlah balita terendah yaitu antara 0,49% sampai 0,76%.

Gambar 6. Peta Penyebaran Prosentase Balita Tidak Mendapat ASI Eksklusif Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa prosentase balita tidak mendapat ASI ekslusif

tertinggi ada di kecamatan Benowo, Tenggilis Mejoyo, Rungkut, Gunung Anyar, Bubutan, Simokerto, Tambaksari, dan Kenjeran yaitu antara 50,96% sampai 65,57%. Sedangkan kecamatan Asemrowo, Sukomanunggal, dan Gayungan merupakan kecamatan yang mempunyai prosentase balita yang tidak mendapat ASI eksklusif terendah yaitu antara 10,23% sampai 26,19%.

Gambar 7. Peta Penyebaran Prosentase Ibu Hamil Mendapat Tablet Fe Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa prosentase ibu hamil mendapat tablet Fe

tertinggi ada di kecamatan Tandes, Sukomanunggal, Pabean Cantikan, Simokerto, Genteng, Gubeng, Mulyorejo, Wonokromo, Gayungan dan Tenggilis Mejoyo yaitu antara 85,94% sampai 96,95%. Sedangkan prosentase ibu hamil mendapat tablet Fe terendah ada di kecamatan Pakal, Sambikerep, Asemrowo, Rungkut, dan Gunung Anyar yaitu antara 17,73% sampai 55,52%.

Setelah dilakukan analisis deskriptif data, langkah selanjutnya adalah melakukan pemodelan kejadian gizi buruk balita di Surabaya. Dalam pemodelan regresi, variabel prediktor dalam model tidak boleh saling berkorelasi sehingga perlu dilakukan uji multikolinieritas. Ada dua kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya kondisi kolinieritas antara variabel-variabel prediktor. Kriteria pertama adalah dengan menggunakan koefisien korelasi (Pearson Correlation). Berikut ini disajikan nilai koefisien korelasi yang diperoleh dengan menggunakan software MINITAB.

Tabel 2. Koefisien Korelasi Antar Variabel Prediktor

X 2 -0.187

p-value 0.313

X 3 -0.118

X 4 -0.094

X 6 -0.339

Tabel 2 menunjukkan bahwa semua variabel prediktor pada penelitian ini mempunyai nilai koefisien korelasi yang lebih kecil dari 0,95 dan p-value kurang dari 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa antar variabel prediktor tidak saling berkorelasi. Kriteria kedua yang digunakan untuk memeriksa kolinieritas antar variabel prediktor adalah dengan menggunakan nilai Variance Inflation Factors (VIF) pada variabel-variabel prediktor. Berikut ini diberikan nilai VIF masing-masing variabel prediktor yang diperoleh dengan menggunakan software MINITAB.

Tabel 3. Nilai VIF Variabel Prediktor

Variabel Prediktor

Nilai VIF

Nilai VIF masing-masing variabel prediktor pada Tabel 3 menunjukkan nilai kurang dari

10, maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi multikolinieritas. Kedua kriteria menunjukan hasil yang sama yaitu tidak adanya kolinieritas diantara variabel-variabel prediktor sehingga variabel-variabel prediktor pada penelitian ini dapat digunakan dalam pembentukan model regresi.

Sebelum melakukan pemodelan regresi spasial semiparametrik, pertama kali yang dilakukan adalah menyeleksi variabel prediktor apakah variabel prediktor tersebut berpengaruh secara lokal atau global berdasarkan hasil pemodelan regresi spasial. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut :

(variabel prediktor

bersifat global)

∶ Tidak semua ( , ) adalah sama , = 1,2, …,31

(variabel prediktor

bersifat lokal) bersifat lokal)

Variabel prediktor

dikatakan variabel global jika

minimal signifikan di satu lokasi tertentu sehingga

dikatakan variabel lokal jika

merupakan variabel lokal. Berdasarkan hasil pemodelan regresi spasial menggunakan beberapa fungsi pembobot dengan software GWR4.0 diperoleh kesimpulan

bahwa variabel prediktor ada yang berpengaruh secara lokal dan ada yang global. Dengan demikian langkah selanjutnya adalah melakukan pemodelan regresi spasial semiparametrik berdasarkan variabel prediktor yang sudah diidentifikasi lokal dan global dengan menggunakan beberapa fungsi pembobot. Kriteria kebaikan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan membandingkan nilai AIC dan R 2 dari model yang terbentuk. Model terbaik adalah model

2 dengan nilai AIC terkecil dan R 2 tertinggi. Nilai AIC dan R yang dihasilkan model regresi spasial semiparametrik menggunakan fungsi pembobot yang berbeda disajikan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Nilai AIC dan R 2 model regresi spasial semiparametrik menggunakan fungsi

pembobot yang berbeda

Jenis Fungsi

Variabel Prediktor

Fixed Gaussian

X 1 ,X 3 ,X 4 ,X 5 ,X 6 X 2 19,481 0,85 Fixed Bisquare

X 4 ,X 5 ,X 6 X 1 ,X 2 ,X 3 32,825 0,67 Adaptive Gaussian

X 3 ,X 4 X 1 ,X 2 ,X 5 ,X 6 60,043 0,48 Adaptive Bisquare

X 1 ,X 4 ,X 5 ,X 6 X 2 ,X 3 19,913 0,82

Tabel 4 menunjukkan bahwa pemodelan kejadian gizi buruk balita di Surabaya menggunakan fungsi pembobot Fixed Gaussian memiliki nilai AIC terkecil dan R 2 tertinggi,

sehingga model terbaik yang digunakan dalam penelitian ini untuk memodelkan kejadian gizi buruk balita di Surabaya yaitu model regresi spasial semiparametrik berdasarkan pembobot Fixed Gaussian dengan ketepatan prediksi sebesar 85%. Variabel prediktor yang berpengaruh secara

lokal adalah prosentase rumah tangga yang mendapat akses air bersih (X 1 ), prosentase rumah tangga miskin (X 3 ), rasio jumlah tenaga kesehatan dengan jumlah balita (X 4 ), prosentase bayi tidak mendapat ASI eksklusif (X 5 ), dan prosentase ibu hamil mendapat tablet Fe (X 6 ). Sedangkan prosentase Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (X 2 ) berpengaruh secara global. Berdasarkan hasil uji signifikansi parameter model di setiap lokasi pengamatan (kecamatan), apabila digunakan tingkat signifikansi ( α) sebesar 10% maka nilai (/) =

1.64 , sehingga dapat diperoleh hasil variabel prediktor lokal apa saja yang signifikan mempengaruhi variabel responnya di setiap kecamatan. Variabel X 1 hanya signifikan di 1 kecamatan, yaitu kecamatan Sambikerep. Variabel X 3 juga hanya signifikan di 1 kecamatan, yaitu kecamatan Bubutan. Variabel X 4 signifikan di 3 kecamatan, yaitu kecamatan Gubeng, Rungkut dan Mulyorejo. Variabel X 5 juga signifikan di 3 kecamatan, yaitu kecamatan Rungkut, Gunung Anyar dan Sukolilo. Sedangkan variabel X 6 signifikan di 4 kecamatan, yaitu kecamatan Sukomanunggal, Asemrowo, Bubutan dan Krembangan. Pada lokasi yang mempunyai prosentase kejadian gizi buruk balita tertinggi di Surabaya pada tahun 2011 yaitu kecamatan Asemrowo (lokasi ke-3), hasil estimasi parameter model regresi spasial semiparametrik di kecamatan Asemrowo dengan prosentase bayi berat lahir rendah sebesar 1.81 ( = 1.81) dan prosentase ibu hamil mendapat tablet Fe sebesar 48.14 ( =

48.14) adalah sebagai berikut :

y ˆ 3  2.2662 0.007105  x 2  0.02205 x 6

Dari hasil estimasi model regresi spasial semiparametrik untuk prosentase kejadian gizi buruk balita pada tahun 2011 di kecamatan Asemrowo dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

1. Setiap kenaikan prosentase bayi berat lahir rendah sebesar 1 satuan maka prosentase kejadian gizi buruk balita akan naik sebesar 0.007105 persen.

2. Setiap kenaikan prosentase ibu hamil mendapat tablet Fe sebesar 1 satuan maka prosentase kejadian gizi buruk balita akan berkurang sebesar 0.02205 persen.

Hasil estimasi parameter model regresi spasial semiparametrik untuk setiap kecamatan di Surabaya berdasarkan pembobot Fixed Gaussian dengan menggunakan software GWR4.0 selengkapnya disajikan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Hasil Estimasi Parameter Model Regresi Spasial Semiparametrik berdasarkan Pembobot Fixed Gaussian

No. Kecamatan

1 Sukomanunggal 2.22068 -0.00467 0.007105 0.006563 0.11141 0.000639 -0.02226

2 Tandes 0.27381 0.015864 0.007105 0.003558 0.11382 0.001038 -0.00516

3 Asemrowo 2.2662 -0.00152 0.007105 0.011001 0.00682 -0.00068 -0.02205

4 Benowo 0.54032 0.02345 0.007105 0.013191 -1.34641 0.005483 0.004843

5 Pakal 0.4984 0.021928 0.007105 0.020763 -1.3237 0.005529 0.004885

6 Lakarsantri 0.10744 0.005047 0.007105 0.080844 -0.55162 0.008087 -0.00343

7 Sambikerep 0.57815 0.018741 0.007105 0.020547 -0.98861 0.00201 0.002205

8 Genteng 1.5648 -0.00422 0.007105 0.013547 -0.40999 -0.00483 -0.00615

9 Tegalsari 0.92338 0.000574 0.007105 0.014823 -0.47104 -0.00557 0.000127

10 Bubutan 2.76181 -0.01057 0.007105 0.017317 -0.21345 -0.00642 -0.02088

11 Simokerto 1.41925 -0.00836 0.007105 0.008922 -0.35769 0.002616 -0.00604

12 Pabean Cantikan 3.12629 -0.01444 0.007105 0.015666 -0.02401 -0.00342 -0.02677

13 Semampir 0.77463 -0.00231 0.007105 0.005671 -0.24814 0.007285 -0.00301

14 Krembangan 3.3321 -0.01484 0.007105 0.017735 0.01658 -0.00362 -0.03013

15 Bulak -0.75021 -0.00523 0.007105 0.000577 -0.48377 0.017117 0.014516

16 Kenjeran -0.76763 -0.00526 0.007105 0.000124 -0.49114 0.017004 0.01496

17 Tambaksari 0.98803 -0.0043 0.007105 0.00967 -0.44992 0.000645 -0.00059

18 Gubeng 0.50021 0.001256 0.007105 0.011296 -0.52258 -0.00169 0.004582

19 Rungkut -1.30229 -0.02288 0.007105 -0.03345 -1.23008 0.069695 0.010019

20 Tenggilis -0.29031 -0.00722 0.007105 -0.02317 -0.63249 0.029649 0.006648

21 Gunung Anyar -0.16094 -0.02615 0.007105 -0.06458 -1.20142 0.055924 0.00863

22 Sukolilo -0.45578 -0.00463 0.007105 -0.01616 -0.78002 0.036932 0.006111

23 Mulyorejo 0.05808 0.000656 0.007105 0.000929 -0.54591 0.012118 0.006475

24 Sawahan

2.37431 -0.007

0.007105 0.017088 -0.27138 -0.0069 -0.01665

25 Wonokromo -0.88288 -0.00294 0.007105 -0.00784 -0.3361 0.015874 0.012727

26 Karangpilang -1.93587 0.002276 0.007105 -0.00835 0.42649 0.010735 0.014293

27 Dukuh Pakis 0.64176 -0.00249 0.007105 0.016072 -0.28459 -0.00253 -0.00097

28 Wiyung 0.07512 -0.00281 0.007105 0.015249 -0.1369 0.000809 0.001772

29 Gayungan -1.50369 -0.00193 0.007105 -0.0245 -0.02678 0.021686 0.01435

30 Wonocolo

-0.00612 0.007105 -0.0271 -0.4786 0.025186 0.010171

31 Jambangan -1.32365 -0.00223 0.007105 -0.00783 -0.08193 0.014706 0.014172

C. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Hasil pemodelan kejadian gizi buruk balita di Surabaya pada tahun 2011 berdasarkan fungsi pembobot Fixed Gaussian memiliki nilai AIC terkecil dan R 2 tertinggi, sehingga model

terbaik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model regresi spasial semiparametrik berdasarkan pembobot Fixed Gaussian dengan ketepatan prediksi sebesar 85%.

2. Variabel prediktor yang berpengaruh secara lokal adalah prosentase rumah tangga yang mendapat akses air bersih (X 1 ), prosentase rumah tangga miskin (X 3 ), rasio jumlah tenaga kesehatan dengan jumlah balita (X 4 ), prosentase bayi tidak mendapat ASI eksklusif (X 5 ), dan prosentase ibu hamil mendapat tablet Fe (X 6 ). Sedangkan prosentase Bayi Berat Lahir

Rendah (BBLR) (X 2 ) berpengaruh secara global.

3. Variabel X 1 hanya signifikan di kecamatan Sambikerep. Variabel X 3 juga hanya signifikan di 1 kecamatan, yaitu kecamatan Bubutan. Variabel X 4 signifikan di 3 kecamatan, yaitu kecamatan Gubeng, Rungkut dan Mulyorejo. Variabel X 5 juga signifikan di 3 kecamatan,

yaitu kecamatan Rungkut, Gunung Anyar dan Sukolilo. Sedangkan variabel X 6 signifikan di

4 kecamatan, yaitu kecamatan Sukomanunggal, Asemrowo, Bubutan dan Krembangan.

D. DAFTAR PUSTAKA

Ayunin, L. 2011. Pemodelan Balita Gizi Buruk di Kabupaten Ngawi dengan Geographically Weighted Regression . Surabaya : Tugas Akhir Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

A’yunin, Q. 2011. Pemodelan Gizi Buruk pada Balita di Kota Surabaya dengan Spatial Autoregressive Model (SAR). Surabaya : Tugas Akhir Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Chasco, C., Garcia, I., dan Vicens, J. 2007. Modeling spatial variations in household disposable income with Geographically Weighted Regression . Munich Personal RePEc Archive Paper N. 1682.

Fotheringham, A.S., Brundson, C., dan Charlton, M. 2002. Geographically Weighted Regression: the analysis of spatially varying relationships . England : John Wiley & Sons Ltd

Kemenkes RI. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Lestari, R.K. 2012. Pemodelan Kejadian Balita Gizi Buruk di Provinsi Jawa Timur dengan Pendekatan Geographically Weighted Regression . Surabaya : Tugas Akhir Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Lestrina, D. 2009. Penanggulangan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang . Medan : Tesis Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Leung, Y. 2000. Statistical Tests for Spatial Non-Stationarity Based on the Geographically Weighted Regression Model . Hongkong : Journal The Chinese University of Hongkong.

Mei, C.L., Wang, N., & Zhang, W.X. 2006. Testing the importance of the explanatory variables in a mixed geographically weighted regression model . Environment and Planning A, vol.

38, pages 587-598 Nakaya, T., Fotheringham, A.S., Brunsdon, C.,dan Charlton, M. 2005. Geographically Weighted Poisson Regression for Disease Association Mapping, Statistics in Medicin e. Vol 24 Issue

17, pages 2695-2717.

S - 22

PERAMALAN BANYAK PENUMPANG KERETA DAERAH OPERASI VI YOGYAKARTA MENGGUNAKAN MODEL TIME SERIES DENGAN VARIASI KALENDER ISLAM REGARIMA

1 Nila Widhianti 2 , Dhoriva Urwatul Wutsqa 1,2 Program Studi Matematika FMIPA UNY

1 nilawidhianti@gmail.com, 2 dhoriva@yahoo.com

Abstrak

PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi VI Yogyakarta adalah salah satu daerah operasi perkereta-apian terluas di Indonesia. Operasi ini memiliki dua stasiun besar yang ada di Yogyakarta yaitu stasiun Tugu dan stasiun Lempuyangan. Banyak penumpang yang berangkat dari dua stasiun ini selalu mengalami kenaikan pada bulan yang di dalamnya terdapat periode Idul Fitri. Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam yang tanggal perayaannya dalam kalender Masehi mengalami pergeseran setiap tahunnya. Pergeseran ini kemudian disebut sebagai variasi kalender. Salah satu model yang dapat diterapkan untuk meramalkan time series yang dipengaruhi adanya variasi kalender Islam adalah model RegARIMA. Tujuan penelitian ini adalah meramalkan jumlah penumpang kereta menggunakan model RegARIMA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak penumpang pada bulan yang dipengaruhi variasi kalender yaitu Agustus 2012 dan Agustus 2013 adalah yang tertinggi apabila dibandingkan dengan bulan-bulan lain.

Kata kunci: banyak penumpang kereta api Daerah Operasi VI Yogyakarta, time series, variasi kalender, RegARIMA

A. PENDAHULUAN

Transportasi merupakan bidang kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau kecil dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau yang memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah Indonesia (Muhammad Abdulkadir, 1998). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan akan alat transportasi juga meningkat karena alat transportasi merupakan sarana penting bagi penduduk untuk melakukan aktivitasnya. Salah satu alat transportasi darat, yaitu kereta api merupakan sarana yang dapat digunakan penduduk untuk menunjang aktivitasnya, baik dalam hal bisnis maupun pariwisata.

PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi VI Yogyakarta adalah salah satu daerah operasi perkereta-apian terluas di Indonesia. Daerah operasi ini memiliki dua stasiun besar yang ada di Yogyakarta yaitu stasiun Tugu dan stasiun Lempuyangan dengan pilihan kelas yaitu kelas ekonomi, kelas bisnis dan kelas eksekutif. Bagi masyarakat, dua stasiun ini mempunyai peranan penting sebagai tempat keberangkatan dan kedatangan para penumpang kereta api. Masyarakat memilih transportasi kereta api mengingat banyak keuntungan yang diperoleh, antara lain terhindar dari macet, waktu tempuh relatif lebih cepat, biaya yang terjangkau serta tingkat keselamatan yang cukup tinggi.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Pada saat Idul Fitri jumlah penumpang kereta selalu mengalami kenaikan. Kenaikan jumlah penumpang kereta pada hari raya Idul Fitri biasa terjadi terutama tujuh hari sebelum dan sesudah hari raya, sehingga pada bulan-bulan yang dimana hari-hari tersebut berada, data penumpang akan cenderung tinggi. Dikarenakan penetapan tanggal hari raya Idul Fitri mengikuti kalendar Islam, maka perayaan tersebut dalam kalendar Masehi akan mengalami pergeseran maju setiap tahunnya. Keadaan ini disebut dengan calender effect dimana pergeseran pada kalender berpengaruh pada data time series (Liu, 1980:106). Pergeseran waktu ini yang kemudian menjadi masalah pada peramalan data time series musiman, karena model yang baku yaitu Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) musiman hanya sesuai untuk fenomena musiman dengan periode yang relatif sama. Metode ini tidak bisa menangkap fenomena pergeseran musim sehingga mengakibatkan peramalan yang kurang tepat.

Efek variasi kalender terhadap hasil ramalan pada data time series telah banyak diteliti, antara lain oleh Bell dan Hillmer (1983), yang meneliti tentang pengaruh trading-day effect dan holiday effect pada data penjualan kayu dan bahan bangunan di Amerika Serikat, Sullivan et al (1998) yang mengkaji efek variasi kalender pada data saham dunia, serta Lin dan Liu (2002) yang memodelkan variasi Lunar Calendar pada 3 hari libur (tahun baru Imlek, festival perahu naga, dan liburan musim gugur) di Taiwan menggunakan model RegARIMA. Di Indonesia, penelitian berkaitan dengan efek dari variasi kalender dapat dilihat Suhartono et al (2010) tentang peramalan penjualan buah di Bali yang dipengaruhi variasi kalender, pada Suhartono dan Sampurno (2002) yang mengkaji efek variasi kalender pada bidang transportasi khususnya jumlah penumpang pesawat udara dan kereta api, dengan membandingkan model fungsi transfer dan model intervensi serta pada Suhartono (2005) tentang peramalan inflasi Indonesia menggunakan feedforward neural network.

Dalam makalah ini peramalan jumlah penumpang kereta api Daerah Operasi VI Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan model RegARIMA, dengan memperhatikan efek kalender Islam, khususnya berkaitan dengan perayaan Idul Fitri. Keakuratan dari hasil peramalan model RegARIMA dibandingkan dengan hasil model ARIMA musiman.

B. MODEL ARIMA MUSIMAN

Model ARIMA musiman dapat digunakan untuk meramalkan data yang mengandung pola musiman dengan periode yang tetap. Notasi dari model ARIMA musiman adalah

ARIMA(p,d,q)(P,D,Q) s ,

dan mempunyai bentuk umum sebagai berikut (Wei, 2006) Φ ( ) ()(1 − )(1 − )

(1) dengan p adalah order Autoregressive (AR) non musiman, q order Moving Average (MA) non

musiman, P order AR musiman, Q order MA musiman, S order musiman, d dan D berturut turut adalah order pembedaan non musiman dan musiman dan

Secara umum prosedur ini memiliki empat tahapan, yaitu tahap identifikasi model sementara dengan menggunakan fungsi autokorelasi dan fungsi autokorelasi parsial (Hanke & Wichern, 2005), tahap estimasi parameter menggunakan estimator maximum likelihood (Brockwell & Davis, 2002) dan uji signifikansi parameter (Hamilton, 1994), tahap pemeriksaan diagnostik untuk menguji white noise galat (Wei, 2006) dan uji normalitas galat (Time series Staff , 2009) serta tahap peramalan.

C. REGRESOR

Dalam memodelkan variasi kalender menggunakan RegARIMA diperlukan regresor yang nantinya akan diinput ke program Win X12 untuk menentukan nilai-nilai dari variabel regresi dan koefisien regresi. Dalam menghitung regresor dibutuhkan pengetahuan kapan perayaan Idul Fitri dilaksanakan. Tabel 1 menyajikan waktu perayaan Idul Fitri.

Tabel 1. Waktu perayaan Idul Fitri

Tahun Bulan

Tanggal 2005

Tanggal Tahun

Regresor dihitung menggunakan dua kriteria (Shuja’ et al, 2007)

Kriteria 1: Jika Idul Fitri jatuh pada awal bulan yaitu dari tanggal 1-15.

untuk bulan ter jadi Idul Fitr i

1= untuk bulan sebelum ter jadi Idul Fitri (2)

0 untuk bulan yang lain

dengan banyak hari yang berpengaruh pada bulan terjadi Idul Fitri, banyak hari yang berpengaruh pada bulan sebelum terjadi Idul Fitri, w total hari yang berpengaruh yaitu 14 hari. Kriteria 2: Jika Idul Fitri jatuh pada akhir bulan yaitu tanggal 16-31.

untuk bulan ter jadi Idul Fitr i

1= untuk bulan setelah ter jadi Idul Fitr i (3)

0 untuk bulan yang lain

Dalam kriteria 2 ini banyak hari yang berpengaruh pada bulan setelah terjadi Idul Fitri. Sebagai contoh, ilustrasi menghitung n 1 ,n 2 , dan w disajikan pada gambar 1, yaitu misalkan Idul Fitri pada tahun 2005 terjadi pada tanggal 3 November.

Gambar 1. Ilustrasi menghitung n 1 ,n 2 , dan w

Idul fitri tahun 2005 terjadi pada tanggal 3 November, maka kriteria yang dipakai adalah kriteria 1. Banyak hari yang berpengaruh telah ditetapkan yaitu w =14 hari, sedangkan banyak hari yang berpengaruh pada bulan November atau bulan terjadinya Idul Fitri adalah 9 hari yaitu dari tanggal 1 sampai 9 sehingga didapatkan

=9 . Banyak hari yang berpengaruh pada bulan Oktober atau bulan sebelum terjadinya bulan Idul Fitri adalah 5 hari yaitu pada tanggal 27 sampai

31 sehingga diperoleh =5 . Selanjutnya, regressor untuk bulan November bisa dihitung yaitu 31 sehingga diperoleh =5 . Selanjutnya, regressor untuk bulan November bisa dihitung yaitu

Setelah nilai regresor ditemukan, selanjutnya dicari nilai komponen regresi. Komponen regresi digunakan untuk menemukan series Zt yang akan dimodelkan menggunakan ARIMA. Rumus untuk komponen regresi

= (4) dengan

adalah nilai komponen regresi, nilai regresor pada periode t, dan parameter regresi.

D. MODEL VARIASI KALENDER REGARIMA

Model variasi kalender pertama kali diperkenalkan oleh Bell dan Hillmer (1983) dengan bentuk umum sebagai berikut

= ( )+ (5) dengan ( ) adalah fungsi yang menggambarkan holiday effect yang digunakan untuk

menghitung variasi kalender, sebagai proses ARIMA untuk memodelkan galat yang masih belum dijelaskan oleh komponen variasi kalender. Model Regresi ARIMA (RegARIMA) merupakan bentuk lain dari model variasi kalender yaitu dengan menjadikan ( ) sebagai suatu fungsi regresi. Bentuk modelnya (Time Series Staff, 2011) adalah

(6) Prosedur peramalan data menggunakan model RegARIMA terdiri dari empat tahap. Tahap

pertama, membuat daftar tanggal perayaan atau liburan yang mengandung variasi kalender yang efeknya digunakan untuk menentukan variabel regresi (regressor) dan komponen regresi menggunakan persamaan (2), (3) dan (4). Tahap kedua, estimasi parameter menggunakan metode maximum likelihood (Otto et al, 1987). Estimasi dilakukan menggunakan metode maximum likelihood dan generalized least squares (GLS). Estimasi model yang digunakan adalah menggunakan galat ARMA dengan parameter diestimasi non linear least square, parameter dan diestimasi menggunakan regresi GLS secara terpisah. Penduga parameter model, yaitu

,, diperoleh melalui persamaan berikut

(,,)))) (7) Estimasi ini melibatkan estimasi nonlinear karena mengandung parameter yang nonlinear.

Dikarenakan perhitungan manualnya sulit maka perhitungan numeriknya dibantu dengan penggunaan program Win-X12. Setelah ditemukan dugaan parameternya perlu dilakukan uji signifikansi parameter. Statistik uji yang dipakai untuk menguji masing-masing parameter ,, adalah

yang berditribusi t dengan derajat bebas banyak pengamatan n dikurangi banyak parameter dalam model. Tahap ketiga, pemeriksaan diagnostik pada galat model menggunakan uji Ljung-Box Pierce (Wei, 2006)

dengan m adalah banyak lag yang diuji dan K adalah banyak parameter dalam model. Selanjutnya adalah uji normalitas menggunakan statistik uji Geary’s (Time Series Staff, 2009).

Nilai 0,7979 dan 0,2123 adalah konstanta untuk mencapai kenormalan, dan = ∑ | −̅ |/ .( ∑

Galat akan berdistribusi normal apabila ||> . Tahap terakhir adalah tahap peramalan menggunakan model yang telah diperoleh.

E. KRITERIA PEMILIHAN MODEL

Dalam menentukan model terbaik dipakai kriteria untuk memilih model. Kriteria pertama adalah prinsip parsimony dimana model dipilih dengan dugaan parameter AR(p) atau MA(q) yang minimal atau bisa dikatakan model yang parsimony adalah model yang paling sederhana (Pankratz, 198). Kedua adalah menggunakan AIC (Akaike’s Information Criteria) dimana model terbaik adalah model dengan nilai AIC paling kecil. Rumus AIC (Hanke & Wichern, 2005)

= + (13) dengan ln adalah logaritma natural,

variansi galat, n banyaknya galat, dan r banyak parameter pada model ARIMA

F. HASIL PEMODELAN

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk memprediksi data banyaknya penumpang PT Kereta Api Daerah Operasi VI Yogyakarta. Data yang dipakai adalah data penumpang kereta kelas bisnis dan kelas eksekutif. Data kelas ekonomi tidak disertakan karena adanya kebijakan baru pada tahun 2013 yang mengakibatkan kondisi yang berbeda antara sebelum dan setelah tahun 2013. Data berupa data banyak penumpang bulanan tahun 2005-2011 (BPS, 2005-2011).

Pembentukan model RegARIMA diawali dengan menghitung regresor yang akan dipakai untuk mendapatkan nilai dari Z t . Perhitungan regresor menggunakan persamaan (2) dan (3). Hasil perhitungan regresor dapat dilihat pada table 2, khususnya untuk bulan yang dipengaruhi efek Idul Fitri. Bulan-bulan lain yang tidak ada efek Idul Fitri regresornya bernilai nol. Regresor yang diperoleh kemudian diterapkan pada data banyak penumpang kereta menggunakan program Win-X12 untuk mendapatkan dugaan parameter regresi.

Tabel 2. Nilai Regresor

Bulan-bulan yang lain

Okt

Dugaan parameter regresi yang diperoleh ditunjukkan oleh tabel 3. Dugaan parameter ini nantinya akan digunakan untuk menghitung komponen regresi dan series Zt.

Tabel 3. Hasil estimasi paremeter regresi model RegARIMA

Parameter

Dugaan

Standar Eror t-value

Nilai t-value parameter = 4,58 > t (0,025.83) =2,28 sehingga disimpulkan parameter regresi yang diperoleh telah signifikan. Kemudian parameter regresi dikalikan dengan nilai regresor untuk masing-masing bulan untuk memperoleh komponen regresi. Perhitungan komponen regresi menggunakan persamaan (4). Dari komponen regresi diperoleh Z t yang dimodelkan dengan ARIMA , yaitu dengan mengurangkan series data penumpang X t dengan komponen regresi. Gambar 2 menunjukkan plot series Z t .

Gambar 2. Plot Series Zt

Plot ACF dan PACF digunakan untuk identifikasi apakah sudah stasioner atau belum. Gambar 3 menunjukkan plot ACF dan PACF series Zt.

(w ith 5% significance limits for the autocorr elations) Autocorrelation Function for zt (with 5% significance limits for the partial autocorrelations) Partial Autocor relation Function for zt

a P -0.4 -0.6

Gambar 3. Plot ACF dan PACF series Zt

Pada gambar 3, plot ACF terdapat lag yang signifikan yaitu lag 1, 6 dan 12. Sedangkan untuk plot PACF lag yang signifikan yaitu lag 1, 6, 8, 12 dan 13. Data ini mempunyai pola musiman dan dari plot ACF dan PACF diketahui data belum stasioner karena masih ada beberapa lag non musiman yang berbeda signifikan dengan nol. Untuk menstasionerkan data maka dilakukan pembedaan 12 dan pembedaan 1.

Autocorrelation Function for difference 13 Partial Autocorrelation Function for difference 1 3

(w ith 5% significance limits for the autocorrelations) (with 5% significance limits for the par tial autocorr elations)

r ti a l A -0.2

a P -0.4 -0.6

Gambar 4. Plot ACF dan PACF setelah pembedaan 12 dan 1

Gambar 4 merupakan plot ACF dan PACF Z t setelah dilakukan pembedaan 1 dan 12. Dapat diketahui bahwa plot ACF sudah stasioner karena nilai-nilai dari autokorelasi turun cepat menuju nol sesudah lag pertama. Kedua plot ini selanjutnya digunakan untuk menduga model ARIMA yang sesuai. Tabel 4 menyajikan model tentative dengan nilai AIC model.

Tabel 4. Perbandingan nilai AIC model ARIMA No

Model

Nilai AIC

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa model dengan nilai AIC terkecil adalah ARIMA

(0,1,1)(0,1,1) 12 . Hasil pendugaan parameter dan uji signifikansi model ARIMA (0,1,1)(0,1,1) yang didapatkan dari output Win X12 ada pada tabel 5.

Tabel 5. Hasil estimasi dan uji signifikansi parameter model RegARIMA (0,1,1)(0,1,1) 12 Parameter Dugaan Standard |t-value|

Berdasarkan tabel 5, |t-value| > t (0,025.82) = 2,28 untuk masing-masing parameter sehingga disimpulkan bahwa parameter signifikan dan bisa digunakan dalam model.

Diagnostik model dilakukan untuk mengetahui kesesuaian model yakni galat memenuhi asumsi white noise. Cek diagnostik disajikan pada tabel 6.

Tabel 6. Hasil cek diagnostik autokorelasi residual

lag 2 Q Df 

0 , 05 , df p-value

Berdasarkan tabel 6 terlihat bahwa nilai p-value lebih dari 0,05 atau nilai Q untuk semua lag kurang dari nilai 2   , df , sehingga autokorelasi galat tidak signifikan atau tidak terdapat

korelasi antar lag, yang berarti bahwa asumsi white noise dipenuhi. Uji kenormalan galat dilakukan dengan menggunakan dengan uji normalitas Geary’s dan diperoleh nilai ||=

= 0,4144 > z  = 1,645, sehingga disimpulkan bahwa galat dalam model

berdistribusi normal. Model RegARIMA(0,1,1)(0,1,1) 12 untuk data banyak penumpang kereta yang mengandung

variasi kalender Idul Fitri adalah =

Model RegARIMA yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan model ARIMA musiman, apakah model RegARIMA lebih baik untuk meramalkan data yang mengandung variasi

kalender. Model ARIMA musiman yang signifikan yaitu ARIMA (2,1,0)(1,0,0) 12 . Perbandingan nilai AIC kedua model ditunjukkan pada tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan Nilai AIC

No.

Model

Nilai AIC

1 RegARIMA 1590,5498

2 ARIMA Musiman

Model RegARIMA menghasilkan nilai AIC yang lebih kecil dibandingkan model ARIMA. Oleh karena itu model RegARIMA lebih baik digunakan untuk meramalkan data yang mengandung variasi kalender. Hasil peramalan ditunjukkan pada tabel 8.

Tabel 8. Hasil Peramalan Model RegARIMA Jumlah Penumpang

Jumlah Penumpang Bulan

135234 131411 Berdasarkan tabel 8, peramalan jumlah penumpang mengalami kenaikan pada bulan Juli,

Agustus dan Desember. Banyaknya penumpang pada bulan Juli dipengaruhi oleh adanya libur sekolah, sedangkan pada bulan Desember tingginya jumlah penumpang dipengaruhi oleh adanya libur Natal dan tahun baru. Kenaikan pada bulan Agustus dipengaruhi karena adanya perayaan Idul Fitri. Dari analisis tersebut maka model RegARIMA baik untuk meramalkan karena mampu menangkap terjadinya pergeseran perayaan Idul Fitri.

G. SIMPULAN

Prosedur peramalan banyak penumpang kereta menggunakan model RegARIMA terdiri dari empat tahap, yaitu diawali dengan membuat daftar tanggal perayaan atau liburan yang mengandung variasi kalender yang efeknya digunakan untuk menentukan variabel regresi (regressor) dan komponen regresi. Tahap berikutnya estimasi parameter menggunakan metode maximum likelihood, dilanjutkan dengan uji signifikansi parameter, dan uji galat apakah memenuhi asumsi white noise dengan uji Ljung-Box Pierce dan asumsi normal dengan uji

Geary’s 12 . Model peramalan yang diperoleh adalah RegARIMA (0,1,1)(0,1,1) . Apabila Geary’s 12 . Model peramalan yang diperoleh adalah RegARIMA (0,1,1)(0,1,1) . Apabila

H. DAFTAR PUSTAKA

BPS. (2005-20011) . Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka. Yogyakarta: BPS DI. Yogyakarta

Bell, W. R. & Hillmer, S. C. (1983). Modeling Time series with Calendar Variation. Journal of American Statistical Association , 78(383): 526-534.

Brockwell, P.J & Davis, R.A. (2002). Introduction to Time Series and Forecasting Second Edition. New York: Springer-Verlag Inc

Hanke, J. E., & Wichern, D. W. (2005). Business Forecasting. New York: Pearson Education International

Liu, L. M. (1980). Analysis of Time series with Calendar Effects. Management Science, 26(1): 106-112

Lin, L. & Liu, S. (2002). Modeling Lunar Calendar Effects in Taiwan. Taiwan Economic Policy and Forecast, 33, 1-37. Diakses dari http://www.census.gov/ts/papers/lunar.pdf pada 10 Maret 2013

Muhammad Abdulkadir. (1998). Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Adidaya Bakti.

Otto et al. (1987). An Iterative GLS Approach to Maximum Likelihood Estimation of Regression Models with ARIMA Errors. Proceedings of the American Statistical Association, Business and Economic Statistics Section, 1-26

Pankratz, A. (1983). Forecasting with univariate Box-Jenkins models: Concepts and cases. New York : John Wiley & Sons. Inc.

Shuja’ et al. (2007).Moving Holiday Effects Adjustment for Malaysian Economic Time series .Journal of Department of Statistics Malaysia, 1-50.

Suhartono et al. (2010), Peramalan Penjualan Buah di Moena Fresh Bali dengan Menggunakan Model Variasi Kalender. Jurnal Sains dan Seni ITS, Vol 1

Suhartono dan B.S. Sampurno (2002), Studi Perbandingan antara Model Fungsi Transfer dan Model Intervensi-Variasi Kalender untuk Peramalan Jumlah Penumpang Pesawat Udara dan Kereta Api, Jurnal Matematika atau Pembelajarannya, Ed. Khusus, Universitas Negeri Malang, Indonesia.

Suhartono, (2005),

and ARIMAX Models for Forecasting Indonesian Inflation, Jurnal Widya Manajemen dan Akuntansi, Volume 5, Nomor 3, halaman 45-65

Neural Network,

ARIMA

Sullivan et al. (1998), Danger of Data Driven Inference: The Case of Calendar Effects in Stock Returns , UCSD Working Paper

Time series Research staff Division Room 3000-4 U.S Cencus Bureau (2011). X-12-ARIMA Reference Manual version

0.3. Washington DC : U.S Cencus Bureau

Wei, W. W. S.. (2006). Time Series Analysis: Univariate and Multivariate Methods. New York : Pearson Education Inc.

S - 23

APLIKASI PEMBENTUKAN PORTOFOLIO SAHAM LQ-45 MENGGUNAKAN MODEL BLACK LITTERMAN DENGAN ESTIMASI THEIL MIXED

1 Nuraini Kusumawati dan Retno Subekti

1,2 Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

1 renz_yumycake@yahoo.com, 2 retnosubekti@uny.ac.id

Abstrak

Model Black Litterman merupakan salah satu model pembentukan portofolio. Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam model Black Litterman, salah satunya adalah estimasi theil mixed. Model ini mengkombinasikan dua informasi, yaitu informasi pertama adalah nilai expected return Capital Asset Pricing Model (CAPM) dan informasi kedua adalah model tinjauan yang berdasarkan feeling investor, menggunakan metode mixed estimation yang merupakan teknik generalized least squares (GLS).

Tahapan dalam pembentukan portofolio menggunakan model Black litterman dengan estimasi theil mixed, yaitu menghitung nilai expected return CAPM, menentukan model tinjauan, mengkombinasikan model tinjauan dengan nilai expected return CAPM menggunakan metode mixed estimation untuk mendapatkan expected return Black Litterman, dan menyusun pembobotan portofolio.

Pada aplikasi pembentukan portofolio saham LQ-45 menggunakan model Black Litterman dengan estimasi theil mixed dipilih empat saham dan didapatkan bobot masing-masing saham, yaitu ITMG 28,97%, GGRM 5,20 %, INTP 55,69 %, dan AKRA 10,14% serta tingkat risiko portofolio sebesar 0,022% dan expected return portofolio sebesar 2,16%.

Kata kunci : Portofolio, Black Litterman, Theil Mixed

A. PENDAHULUAN

Portofolio merupakan suatu bentuk investasi di berbagai perusahaan yang terbentuk dari kombinasi aset-aset yang dimiliki dari perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan hasil yang optimal dengan risiko seminimal mungkin. Saat ini terdapat dua model pembentukan portofolio yang paling banyak digunakan, yaitu model Mean-Variance dan Capital Asset Pricing Model (CAPM). Namun, kedua model tersebut hanya didasarkan pada data historis untuk mendapatkan return yang diharapkan, sedangkan beberapa investor memiliki feeling tersendiri tentang aset- aset yang membentuk portofolionya sehingga diperlukan suatu model pembentukan portofolio yang dapat menampung informasi baru berupa feeling investor.

Pada tahun 1991, Fisher Black dan Robert Litterman mengembangkan suatu model yang dimaksudkan untuk membuat penyusunan portofolio dapat ditambahkan dengan feeling yang dimiliki investor. Model tersebut mengkombinasikan feeling investor dengan informasi sampel berupa data historis menggunaka pendekatan bayes, yang kemudian dikenal dengan model Black Litterman. Kemudian pada tahun 2009, Jay Walter menjabarkan model Black Litterman selain menggunakan pendekatan bayes, yaitu model Black Litterman menggunakan estimasi theil mixed. Model estimasi theil mixed mengkombinasikan dua informasi menggunakan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

UNY UNY

Pembentukan portofolio menggunakan model Black Litterman dengan estimasi theil mixed dapat diterapkan untuk berbagai kombinasi asset class maupun yang berada dalam satu asset class, seperti hanya pada saham. Untuk membentuk portofolio yang berupa kombinasi dari beberapa saham dapat digunakan indeks untuk memantau perdagangan saham, salah satunya adalah Indeks Liquid Quality (LQ-45). Pada pembahasan dalam makalah ini akan dijabarkan aplikasi pembentukan portofolio saham pada LQ-45 menggunakan model Black Litterman dengan estimasi theil mixed.

B. PEMBAHASAN Model Black Litterman dengan Estimasi Theil Mixed

Model Black Litterman mengidentifikasi dua jenis informasi expected return yang kemudian dikombinasikan menjadi satu expected return. Jenis informasi pertama adalah expected return equilibrium yang diperoleh dari CAPM dan jenis informasi kedua adalah feeling investor yang dibentuk dalam model matematika menjadi model tinjauan. Kedua jenis informasi tersebut kemudian dikombinasikan menghasilkan expected return baru yang disebut expected return Black Litterman.

Untuk membentuk model Black Litterman menggunakan estimasi theil mixed maka model awal CAPM dan model tinjauan dari masing-masing saham disusun menjadi bentuk matriks dan dikombinasikan dalam bentuk persamaan regresi linear. Jenis informasi pertama merupakan nilai expected return CAPM yang disusun menjadi persamaan regresi sebagai berikut :

dengan = vector k x 1 untuk expected return CAPM = matriks identitas k x n

( ) = vector n x 1 untuk nilai expected return BL yang belum diketahui = matriks residual k x 1 dengan ()=0 dan ( ′ )= Kemudian jenis informasi kedua merupakan model tinjauan investor yang disusun

menjadi persamaan regresi sebagai berikut :

dengan = vector k x 1 untuk return tinjauan yang diberikan oleh investor = matriks k x n untuk tinjauan yang berkaitan dengan return

( ) = vector n x 1 untuk nilai expected return BL yang belum diketahui = matriks k x 1 untuk residual dengan ()=0 dan ( ′ )= Langkah selanjutnya adalah mengkombinasikan nilai expected return CAPM dengan

model tinjauan menjadi :

dengan 0 =0 dan

dan nilai = 0,05 serta adalah

matriks varians kovarians return saham. Sedangkan nilai didapatkan dari rumus varians model tinjauan sebagai berikut :

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 192

Dengan menggunakan prosedur GLS diperoleh estimasi (

) yaitu

Aplikasi Portofolio Model Black Litterman dengan Estimasi Theil Mixed

Dalam makalah ini digunakan data penutupan harga saham harian (closing price) yang kemudian dicari return dari saham-saham yang masuk dalam LQ-45 untuk periode Agustus 2012 sampai Juli 2013, yaitu sebanyak 32 saham. Kemudian dilakukan uji normalitas dari return harian 32 saham yang masuk dalam LQ-45 yang dimulai pada tanggal 01 Oktober 2012 sampai 01 April 2013. Uji normalitas perlu dilakukan karena dasar pembentukan portofolio menggunakan model Black Litterman adalah data yang digunakan merupakan data yang berdistribusi normal sesuai asumsi CAPM sebagai model keseimbangan. Dari uji normalitas yang dilakukan terhadap 32 saham, didapatkan 16 saham berdistribusi normal.

Tahap pertama untuk membentuk sebuah portofolio menggunakan model Black Litterman adalah mencari nilai expected return CAPM dari masing-masing saham. Dari hasil perhitungan expected return CAPM dari 16 saham berdistribusi normal didapatkan 8 saham dengan nilai expected return CAPM positif . Namun, dikarenakan keterbatasan penelitian dalam makalah ini maka hanya dipilih 4 saham dengan nilai expected return CAPM terbesar untuk masuk dalam portofolio. Data expected return CAPM 4 saham perusahaan terpilih sebagai berikut :

Tabel 1 : Data expected return CAPM

No Kode

PT. Indo Tambangraya Megah Tbk

2 GGRM

PT. Gudang Garam Tbk

3 INTP

PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk

0,0098 Tahap kedua untuk membentuk sebuah portofolio menggunakan model Black Litterman

4 AKRA

PT. AKR Corporindo Tbk

adalah menentukan tinjauan dari investor untuk masing-masing saham dengan tinjauan pasti maupun relatif. Pada makalah ini, penulis bertindak juga sebagai investor yang menyatakan pendapatnya secara subjektif dengan cara membandingkan mean return dan membaca plot pergerakan return saham dari masing-masing saham sehingga didapatkan tinjauan sebagai berikut :

1. Tinjauan 1 : return saham INTP akan memberikan return 4% lebih besar dibandingkan saham ITMG.

2. Tinjauan 2 : Saham GGRM akan memberikan return sebesar 0,8%.

3. Tinjauan 3 : Saham AKRA akan memberikan return sebesar 5%. Jika () adalah estimasi return investor dengan 4 saham terpilih, yaitu ITMG, GGRM, INTP, dan AKRA, maka ketiga tinjauan yang diberikan penulis tersebut dapat dinyatakan dengan :

Setelah didapatkan nilai expected return CAPM dan model tinjauan kemudian masing- masing dibentuk menjadi bentuk regresi sebagai berikut :

Model CAPM :

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 193

( ) = vector 4 x 1 untuk nilai expected return BL yang belum diketahui = matriks residual 4 x 1 dengan ()=0 dan ( ′ )=

Model tinjauan

( ) = vector 4 x 1 untuk nilai expected return BL yang belum diketahui = matriks 4 x 1 untuk residual dengan ()=0 dan ( ′ )= Kemudian kedua informasi tersebut dikombinasikan menjadi :

dan menggunakan persamaan estimasi parameter (

dengan = matriks varians kovarians return saham 4 x 4

− 0,0000434 0,00002697 0,00005697 0,00303920 = matriks diagonal varians model tinjauan

dihasilkan expected return Black Litterman untuk masing-masing saham sebagai berikut:

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 194

Tabel 2 : Data expected return Black Litterman

Dari expected return Black Litterman pada tabel 2 diketahui bahwa saham AKRA diharapkan akan memberikan keuntungan terbesar dibandingkan ketiga saham lainnya, sedangkan saham GGRM diperkirakan akan memberikan keuntungan terendah. Setelah didapatkan expected return Black Litterman kemudian dihitung proporsi untuk masing-masing saham dalam portofolio. Perhitungan bobot portofolio menggunakan rumus :

menghasilkan bobot untuk masing-masing saham dalam portofolio sebagai berikut :

Tabel 3 : Bobot saham dalam portofolio Saham

Persentase Saham ITMG

Bobot Saham

Tabel 3 menunjukkan kontribusi saham paling besar dalam portofolio adalah saham Indocement Tunggal Prakarsa sebesar 55,69 %, kemudian diikuti saham Indo Tambangraya Megah sebesar 28,97 %. Sedangkan saham dengan kontribusi paling sedikit adalah saham Gudang Garam sebesar 5,20 %. Bobot masing-masing saham yang telah didapatkan tersebut kemudian digunakan untuk mencari return portofolio menggunakan rumus sebagai berikut :

= 0,0215993 Sedangkan besar risiko portofolio dengan memasukkan rumus sebagai berikut :

  11  12   1 n   w 1 

2  21  22      2 n w 2

     n 1  n 2   nn   w n 

Ilustrasi Keuntungan Portofolio Black Litterman dengan Estimasi Theil Mixed

Diilustrasikan investor akan menginvestasikan uang sebesar Rp 100.000.000,00 terhadap

4 saham terpilih pada tanggal 01 April 2013. Dengan investasi dana sebesar Rp 100.000.000,00 maka dapat diketahui perkiraan keuntungan dan risiko portofolio investor, yaitu :

= 0,0215993 x Rp 100.000.000,00 = Rp 2.159.935,00

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 195

= 0,0002247 x Rp 100.000.000,00 = Rp 22.475,00

Kemudian dicari besar proporsi dana serta lembar untuk masing-masing saham yang harus dibeli oleh investor jika investor akan membeli empat saham tersebut pada tanggal 01 April 2013 maka didapatkan jumlah lembar masing-masing saham dengan rumus sebagai berikut :

Lembar ] saham =

Tabel 4 : Proporsi Dana dan Jumlah Lembar Sahan

SAHAM Dana tiap saham

Lembar Saham ITMG

Harga Beli 01-04-2013 (Rp)

Selanjutnya akan dicari keuntungan yang didapatkan oleh investor apabila saham dijual kembali. Jika investor berencana untuk menjual saham tersebut pada periode 02 April 2013 sampai 01 Mei 2013 maka investor juga dapat memprediksi keuntungan yang didapatkan dari portofolio saham yang dibentuk dengan terlebih dahulu meramalkan harga saham untuk periode

02 April 2013 sampai 01 Mei 2013 menggunakan metode ARIMA. Berikut perbandingan keuntungan real dengan keuntungan prediksi portofolio :

Tabel 5 : Perbandingan Keuntungan Real dan Prediksi TANGGAL

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 196

Berdasarkan hasil prediksi pada table 5 terlihat bahwa untuk periode 02 April 2013 sampai 01 Mei 2013 portofolio yang dibentuk investor memberikan keuntungan yang stabil dan untuk memaksimalkan keuntungan lebih baik waktu penjualan saham dilakukan pada tanggal 01 Mei 2013 ketika keuntungan portofolio diprediksi sebesar Rp 3.212.547,00. Sedangkan untuk keuntungan real maksimal diperoleh pada tanggal 01 Mei 2013 yaitu sebesar Rp 9.695.375,00. Ternyata investor mendapat keuntungan maksimal pada waktu yang sama dari perhitungan keuntungan prediksi dan real yaitu pada tanggal 01 Mei 2013. Terlihat bahwa portofolio yang dibentuk investor cenderung memberikan keuntungan baik dari perhitungan prediksi maupun real sehingga bisa dikatakan bahwa permalan harga saham menggunakan metode ARIMA dapat membantu memprediksi keuntungan yang didapatkan investor di masa mendatang.

C. SIMPULAN

Analisis pembentukan portofolio menggunakan model Black Litterman dengan estimasi Theil Mixed merupakan model pembentukan portofolio yang menambahkan informasi tambahan berupa tinjauan (feeling) investor pada model pembentukan portofolio modern. Model ini mengkombinasikan informasi awal yang berupa model keseimbangan CAPM dengan informasi tambahan yang berupa model tinjauan investor menggunakan estimasi Theil Mixed. Kombinasi dua informasi tersebut akan menghasilkan expected return baru yang dikenal dengan expected return Black Litterman. Tahapan dalam pembentukan portofolio menggunakan model Black litterman dengan estimasi theil mixed, yaitu menghitung nilai expected return CAPM, menentukan model tinjauan, mengkombinasikan model tinjauan dengan nilai expected return CAPM menggunakan metode mixed estimation untuk mendapatkan expected return Black Litterman, dan menyusun pembobotan portofolio.

Penerapan pembentukan portofolio menggunakan model Black Litterman dengan Estimasi Theil Mixed yang dibahas dalam skripsi ini diperoleh hasil pembobotan saham yaitu PT. Indo Tambangraya Megah (28,97%), PT. Gudang Garam (5,20%), PT. Indocement Tunggal Prakarsa (55,69%), dan PT. AKR Corporindo (10,14%). Dengan tingkat risiko sebesar 0,0002247 dan expected return sebesar 0,0215993. Saham-saham yang masuk dalam portofolio Black Littterman tersebut merupakan saham yang memiliki return berdistribusi normal dan nilai expected return CAPM positif terbesar.

Berdasarkan hasil peramalan harga penutupan saham menggunakan metode ARIMA maka dapat dipredikasi keuntungan portofolio yang didapatkan investor. Jika diilustrasikan investor membeli saham pada tanggal 01 April 2013 sebesar Rp 100.000.000,00 maka berdasarkan hasil peramalan harga saham yang dilakukan, investor diprediksi akan mendapat keuntungan maksimal pada tanggal 01 Mei 2013 sebesar Rp 3.212.547,00. Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan keuntungan dari harga saham real maka investor akan mendapatkan keuntungan maksimal pada waktu yang sama, yaitu tanggal 01 Mei 2013 sebesar Rp 9.695.375,00. Ternyata investor mendapat keuntungan maksimal pada waktu yang sama dari perhitungan keuntungan prediksi dan real yaitu pada tanggal 01 Mei 2013. Terlihat bahwa portofolio yang dibentuk investor cenderung memberikan keuntungan baik dari perhitungan prediksi maupun real sehingga dapat dikatakan bahwa permalan harga saham menggunakan metode ARIMA dapat membantu memprediksi keuntungan yang didapatkan investor di masa mendatang.

D. DAFTAR PUSTAKA

Black, Fischer and Litterman, Robert. (1992). Global Portofolio Optimization. Financial Analyst Journal; Sep/Oct 1992; 48.

He, Guangliang and Litterman, Robert. (1999). The Intuition Behind Black Litterman Model Portofolios. London : Goldman Sachs & Co.

Mankert, Charlotta. (2003). The Black Litterman Model-Mathematical and Behavioral Finance

Approaches Toward It Use in Practice. Stockholm : Royal Institute of Technology.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 197

Retno, S. (2011). Model Black Litterman dengan Estimasi Theil Mixed. Prosiding, Seminar Nasional. Yogyakarta: FMIPA UNY.

Salomons, Anisa. (2011). The Black-Litterman Model Hype Or Improvement?. Thesis. Netherland : Vrije Universiteit Amsterdam.

Theil, H. And A.S. Goldberger. (1961). On pure and mixed statistical estimation in econometrics. International Economic Review 2, 2, 65-78.

Walters, J. (2009). The Black-Litterman Model In Detail. rev.ed.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M S - 198

S - 24

APLIKASI MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL (MPS) DALAM MENGANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP LOYALITAS PENGHUNI RUMAH SUSUN MAHASISWA UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Oki Dwipurwani 1

1 Jurusan Matematika FMIPA Universitas Sriwijaya

1 Okidwip@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan dan loyalitas mahasiswa penghuni rumah susun mahasiswa (Rusunawa) Universitas Sriwijaya (Unsri) menggunakan Model Persamaan Struktural (MPS). Sampel yang terjaring dan sah dengan teknik sampling acak sederhana berjumlah 155 responden. Hasil penelitian menunjukan bahwa peubah-peubah laten Kualitas layanan, Citra Unsri, Kepuasan dan Loyalitas dapat dibentuk dengan baik oleh peubah-peubah indikatornya. Kualitas layanan memberikan pengaruh langsung secara signifikan terhadap Kepuasan dan Loyalitas penghuni Rusunawa masing-masing sebesar 0,82 dan 0,68. Citra Unsri memberikan pengaruh langsung secara signifikan pada Loyalitas sebesar 0,47. Model memberikan nilai Chi-square dengan derajat bebas 81 sebesar 82,47, P-value bernilai 0,43370 lebih besar dari 0,05, dan nilai RMSEA = 0,027 lebih kecil dari 0,08, serta nilai GFI sebesar 0,94 dan AGFI sebesar 0,92 keduanya lebih besar dari dari 0,90, ini berarti bahwa model yang dibuat telah dapat mewakili dengan baik hubungan yang terdapat pada data sampel.

Kata kunci: Model Persamaan Struktural, Kualitas layanan, Rumah susun mahasiswa

A. PENDAHULUAN

Universitas Sriwijaya (Unsri) berusaha mewujudkan diri sebagai perguruan tinggi berstandar internasional (World Class University), sehingga Unsri terus berbenah diri, termasuk diantaranya akan menyiapkan student center dan apartemen mahasiswa yang berada di komplek kampus Unsri Inderalaya, Kabupaten Ogan Ilir (Unsri news, 2007). Dengan adanya apartemen di dalam kampus, diharapkan mahasiswa dapat lebih fokus belajar daripada menghabiskan waktu dengan disibukkan persoalan transportasi untuk kembali ke rumah yang sebagian besar berada di Palembang (OkeZone.com, 2011). Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa Jarak dari rumah ke kampus berpengaruh terhadap prestasi belajar, seperti hasil penelitian Maiyanti SI, et. al. (2007) dan Dwipurwani, O. (2009).

Unsri telah memiliki beberapa asrama di lingkungan kompleks Unsri Inderalaya, yaitu Asrama Muara Enim, Asrama Mura, Asrama Palembang, Asrama OKI dan Rumah Susun Mahasiswa Unsri (Rusunawa Unsri). Pada tahun 2010, Rusunawa Unsri menampung sekitar 400 mahasiswa. Hingga saat ini, fasilitas Rusunawa selalu terus diperlengkap.

Berdasarkan temu wicara antara mahasiswa penghuni Rusunawa dengan pengurus Rusunawa di lingkungan Rusunawa Unsri, diperoleh hasil bahwa masih banyak fasilitas yang dirasakan kurang, yaitu di antaranya air bersih, pembatasan penggunaan listrik, fasilitas olah raga, transportasi untuk malam hari dan komunikasi. Tentu hal ini perlu menjadi perhatian Unsri dalam

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Selain dari kualitas layanan Rusunawa, citra Unsri sebagai pemilik dan pengelola juga dapat mempengaruhi kepuasan penghuni Rusunawa. Bila kepuasan penghuni telah terpenuhi, diharapkan dapat meningkatkan loyalitas penghuni Rusunawa. Semakin tinggi kualitas layanan yang diberikan Unsri untuk Rusunawa tersebut juga dapat menarik minat calon mahasiswa lainnya untuk kuliah di Unsri. Kepuasan mahasiswa penghuni Rusunawa juga dapat menjadi indikator penting tercapainya kondisi yang kondusif untuk belajar dan meningkatkan kualitas lulusan unsri.

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada kepuasan dan loyalitas mahasiswa penghuni Rusunawa, menggunakan metode Model Persamaan Struktural (MPS). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa masukan yang berharga bagi Unsri, dan sebagai bahan pertimbangan dalam membangun fasilitas-fasilitas apartemen Unsri, yang menjadi kebutuhan mahasiswa sebagai penghuni apartemen Unsri yang baru dibangun.

B. METODE PENELITIAN Bahan penelitian

Bahan penelitian berupa pustaka dan data mengenai faktor-faktor Kualitas Layanan, Citra, Kepuasana dan Loyalitas. Kualitas layanan suatu produk barang ataupun jasa, menurut Zeithaml AV, et. al. (1990) dan Sutanto AJ (2008), terbagi atas 5 (lima) dimensi, yaitu Tangible (Kenyataan), Reliable (Kehandalan/dapat dipercaya), Responsiveness (Kecepatan Tanggap), Assurance (Jaminan) dan Empathy (Kepedulian). Kepuasan merupakan sebuah fungsi perbandingan antara persepsi dengan pengharapannya terhadap performance produk atau jasa tersebut. (Afiudin M, 2009). Loyalitas bisa terbentuk apabila pelanggan merasa puas dengan tingkat layanan yang diterima, dan berniat untuk terus melanjutkan hubungan. (Fornell, 1992 dikutip Harun H 2006). Menurut Lau dan Lee (1999) dikutip oleh Harun H (2006), reputasi perusahaan sebagai salah satu faktor terpenting dari karakteristik perusahaan dapat membentuk kepercayaan pelanggan terhadap produk barang dan jasa. Dalam penelitian ini, produk yang ditawarkan adalah layanan terhadap mahasiswa penghuni Rusunawa Unsri.

Teknik analisis data

Teknik analisis data yang digunakan adalah Model Persamaan Struktural (MPS) atau Structural Equations Models (SEM) menggabungkan model pengukuran dan model jalur. Model persamaaan struktural adalah sebagai berikut,

  Γ   Β   ζ (1) dimana η adalah vektor endogen, ξ adalah vektor peubah eksogen, B adalah matriks koefisien dari pengaruh peubah endogen terhadap peubah endogen lainnya,  adalah matriks koefisien dari

pengaruh peubah eksogen terhadap peubah endogen, ζ adalah vektor galat pada model jalur, η dan ξ berupa peubah-peubah tidak terukur atau peubah laten. Selanjutnya y y  Λ   (2)

x x  Λ   (3) dimana y adalah vektor peubah indikator bagi peubah laten

η, x adalah vektor peubah indikator x bagi peubah laten ξ, Λ adalah matriks koefisien regresi antara y dengan η, Λ adalah matriks

koefisien regresi antara x dengan ξ, ε adalah vektor galat pada model pengukuran y dan δ adalah vektor galat pada model pengukuran y. (Bolen 1989). Paket perangkat lunak komputer yang digunakan untuk mengoperasikan MPS pada penelitian ini adalah LISREL, yaitu mengestimasi

koefisien-koefisien dari sejumlah persamaan struktural yang linear. (Jöreskog dan Sörbom 1996) .

Metode untuk pendugaan parameter model MPS pada penelitian ini menggunakan Metode Kemungkinan Maksimum (Sharma, 1996).

Kesesuaian model diperiksa dengan 2 uji χ (Chi-Square Statistic), AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index) , GFI (Goodness of Fit Index) dan RMSEA (Root Mean Square Error of

Approximation 2 ). Nilai χ hitung merupakan ukuran kebaikan atau keburukan model pada data. Nilai χ 2 dengan p-value > 0,05 menunjukan model sudah baik. Nilai GFI dan AGFI yang baik

adalah lebih besar dari 0,90, dengan kata lain model yang dibuat sudah sesuai, dan nilai GFI ataupun AGFI maksimum adalah 1. (Bollen, 1989). Nilai RMSEA ≤ 0,08 memberikan indikasi bahwa model mendekati pemenuhan model terbaik ( Fox J, 2002).

Selain pengujian terhadap model yang dibuat, terdapat pula pengujian dengan uji-t untuk dugaan parameter model apakah secara statistik signifikan berbeda dengan nol, pada taraf nyata 95%.

Instrumen Penelitian

Data primer diambil menggunakan instrumen berupa koesioner. Pertanyaan dalam koesioner berbentuk pernyataan-pernyataan yang dievaluasi oleh responden. Pengambilan sampel menggunakan metode sampling acak sederhana.

Prosedur penelitian

Langkah-langkah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menentukan faktor-faktor berupa peubah laten dan indikator yang terlibat. Lihat tabel 1.

Tabel 1. Peubah Indikator, peubah laten dan simbolnya.

Simbol Simbol Peubah Peubah

peubah laten laten

Peubah indikator

Indikator Kualitas

X1

1. Persepsi pada aspek Kondisi fisik (Tangible)

X2

Layanan 2. Persepsi pada aspek kehandalan (Reliable)

3. Persepsi pada aspek Cepat tanggap ξ

4. Persepsi pada aspek Jaminan (Assurance)

X5 Citra

5. Persepsi pada aspek Kepedulian (Empaty)

X6 Unsri

1. Unsri jujur dan dapat dipercaya (Citra 1)

X7

ξ 2 2. Unsri mampu melayani mahasiswa (Citra 2)

X8 Kepuasan

3. Kinerja Unsri (Citra 3)

Y1 penghuni

1. Kepuasan pada aspek Tangible

2. Kepuasan pada aspek Reliable

Y2

Rusunawa η 1 3. Kepuasan pada aspek Responsiveness

Y3

4. Kepuasan pada aspek Assurance

Y4

Y5 Loyalitas

5. Kepuasan pada aspek Empaty

1. Akan terus tinggal di Rusunawa (Loyalitas 1) Y6 penghuni η 2 2. Merekomendasikan Rusunawa pada mahasiswa lainnya. (Loyalitas 2)

Y7

2. Mendisain MPS secara teoritis. Lihat Gambar 1. Lambang δ, ε, ζ (delta, epsilon dan phi) masing-masing adalah galat peubah indikator dan peubah laten endogen.

3. Membuat koesioner, dengan jawaban memiliki skala likert dari 1 hingga 5. Populasi yang menjadi pusat penelitian adalah mahasiswa-mahasiswi penghuni Rusunawa Unsri. Pengambilan sampel dengan teknik Sampling Acak Sederhana. Tempat pengambilan data: Rusunawa Unsri.

4. Melakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner.

5. Melakukan entri data kedalam tabel dengan kolom-kolom, dan menghitung nilai

peubah-peubah indikator y 1 ,..., y 7 , dan x 1 ,..., x 8 .

γ 21 η 2 x

Gambar 1. Model MPS lengkap Kepuasan Penghuni

8 Rusunawa

6. Melakukan analisis MPS

a. Membuat matriks korelasi antara peubah-peubah indikator.

b. Melakukan analisis Faktor konfirmatori peubah laten eksogen.

c. Menduga parameter-parameter MPS menggunakan Metode Maksimum Likelihood (ML). Perhitungan menggunakan program LISREL 8.50

d. Validasi MPS dengan nilai Chi-Square, AGFI, GFI, dan RMSEA.

e. Mencari pengaruh langsung dan tidak langsung dari peubah-peubah yang terlibat dalam model. Kemudian melakukan interpretasi hasil analisis MPS.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data Hasil Koesioner

Survei dalam penelitian ini dilakukan terhadap 200 responden (mahasiswa) Penghuni Rusunawa Unsri atau sekitar 50% Jumlah Populasi, pada tanggal 28 sampai 29 September 2011. Setelah dilakukan survei, koesioner yang memenuhi syarat berjumlah 155 responden, terdiri atas

79 responden perempuan atau 50,9%, dan sisanya laki-laki.

Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas koesioner

Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukan bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam koesioner sudah valid dan reliabel. Besarnya nilai r tabel dengan df = jumlah kasus-2 = 153 dan dengan tingkat signifikansi sebesar 5% adalah 0,195. Nilai r koesioner untuk setiap butir pertanyaan semuanya memiliki nilai lebih besar dari 0,195, serta nilai Alpha Cronbach adalah 0,907 lebih besar dari 0,75 telah diperoleh.

Hasil Analisis Model MPS

 Analisis Faktor Konfirmatori Analisis Faktor Konfirmatori terhadap indikator-indikator peubah laten eksogen dapat dilihat pada Gambar 2, tampak bahwa nilai Chi-Square sebesar 12,64 (P-value = 0,85665)

dengan derajat bebas 19, nilai RMSEA jauh lebih kecil dari 0.08, nilai GFI dan AGFI sebesar

0.97 dan 0,95 lebih besar dari 0,90, maka dapat bahwa dikatakan indikator-indikator dapat membentuk peubah laten Kualitas layanan Rusunawa dan Citra Unsri dengan sangat baik. Nilai-nilai koefisien model konfirmatori yang dihasilkan juga signifikan pada taraf 5%. Tampak juga pada Gambar 2 nilai korelasi antara peubah-peubah laten eksogen juga sangat kecil, hanya 0,12, tidak signifikan dengan t-value sebesar 1,36. Peubah laten Kualitas layanan dominan dibentuk oleh indikator persepsi Tangible atau persepsi terhadap sarana dan prasaran fisik Rusunawa. Pada Peubah laten Citra dominan dibentuk oleh Citra_1 atau kejujuran Unsri dan dapat tidaknya Unsri dipercaya.

Gambar 2. Model Konfirmatori Kualitas Layanan dan Citra Unsri

 Hasil Pendugaan Parameter-Parameter MPS Hasil dugaan parameter model lengkap dari MPS, dengan peubah laten eksogen Kualitas layanan dan Citra Unsri serta dua peubah laten endogen Kepuasan dan Loyalitas penghuni Rusunawa, dapat dilihat pada Gambar 3. Model memberikan nilai Chi-square dengan derajat bebas 81 sebesar 82,47, nilai P-value sebesar 0,43370 lebih besar dari 0,05, dan nilai RMSEA = 0,027 lebih kecil dari 0,08, serta nilai GFI sebesar 0,94 dan AGFI sebesar 0,92 keduanya lebih besar dari dari 0,90, ini berarti bahwa model MPS yang dibuat telah dapat mewakili dengan baik hubungan yang terdapat pada data sampel.

Gambar 3. Model Struktural MPS

Dugaan koefisien model pengukuran dan koefisien model jalur beserta nilai uji-t nya, serta tanda signifikansinya dalam bentuk bintang tersusun pada Tabel 2. Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa semua koefisien model pengukuran signifikan pada taraf 1%, dengan demikian dapat dikatakan bahwa peubah-peubah indikator sudah valid membentuk peubah laten. Sementara itu koefisien-koefisien model jalur, terdapat dua yang tidak signifikan pada

taraf 5% yaitu parameter γ 12 dan β 21 .

Besar pengaruh langsung dan tidak langsung dari model struktural disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa peubah laten Kualitas layanan berpengaruh secara langsung terhadap peubah laten Kepuasan penghuni sebesar 0,82, artinya peningkatan faktor kualitas layanan Rusunawa sebesar satu satuan, secara langsung dapat menaikkan 0,82 satuan kepuasan penghuni Rusunawa. Namun peubah laten Citra Unsri walau tampak berpengaruh secara negatif sebesar -0,06 terhadap peubah Kepuasan penghuni, namun tidak signifikan, sehingga pengaruhnya dianggap tidak nyata, artinya puas tidaknya penghuni Rusunawa tidak dipengaruhi oleh baik buruknya Citra Unsri.

Tabel 2. Nilai dugaan parameter model pengukuran dan model jalur

Parameter Model

Nilai

Parameter Model

dugaan t-value

λ x 11 0,97

β 21 -0,12 -1,29

γ 12 -0,06 -1,09

**) signifikan pada taraf 1%;

Tabel 3. Pengaruh langsung, tak langsung dan total peubah laten Kualitas Layanan dan Citra Unsri terhadap peubah laten Kepuasan Penghuni Rusunawa

Pengaruh

PengaruhTidak

Peubah Pengaruh Total

Langsung

Langsung

0 0,82(8,93**) Citra Unsri

Kualitas Layanan

-0,06(-1,09)

0 -0,06(-1,09)

Tabel 4. Pengaruh langsung, tak langsung dan total kedua peubah laten Kualitas Layanan dan Citra Unsri terhadap peubah laten Loyalitas Penghuni Rusunawa

Pengaruh Peubah

Pengaruh

Pengaruh Tidak

Total Kualitas Layanan

Langsung

Langsung

0,58(2,55**) Citra Unsri

0,68(5,13**) (0,82 x -0,12)(-1,05)

0,47(4,61**) (-0,06 x -0,12)(1,12)

Kemudian pada tabel 4 dapat ditunjukkan bahwa peubah laten Kualitas layanan berpengaruh langsung secara signifikan terhadap peubah laten Loyalitas, yaitu sebesar 0,68. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan meningkatnya faktor kualitas layanan Rusunawa sebesar satu satuan, akan meningkatkan loyalitas penghuni Rusunawa secara langsung sebesar 0,68 satuan. Demikian juga dengan peubah laten Citra Unsri berpengaruh positif hanya secara langsung sebesar 0,47 terhadap peubah laten Loyalitas, artinya dengan meningkatnya faktor citra Unsri sebesar satu satuan maka secara langsung akan meningkat juga loyalitas penghuni Rusunawa sebesar 0,47 satuan. Pengaruh total peubah laten Kualitas layanan dan peubah laten Citra Unsri signifikan terhadap peubah laten Loyalitas, masing-masing sebesar 0,58 dan 0,48.

Selanjutnya pengaruh peubah laten Kepuasan terhadap peubah laten Loyalitas adalah -0,12, namun tidak signifikan, sehingga pengaruhnya dianggap nol, artinya puas tidaknya penghuni Rusunawa tidak akan berpengaruh terhadap loyalitasnya, atau dengan kata lain, puas tidaknya penghuni Rusunawa tidak menentukan apakah penghuni Rusunawa ingin pergi atau tetap tinggal di Rusunawa, atau juga akan merekomendasikan Rusunawa kepada mahasiswa lainnya. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil koesioner, sesungguhnya mahasiswa Rusunawa merasa beruntung dapat tinggal di Rusunawa, dan umumnya ingin tinggal di Rusunawa sampai lulus kuliah.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari hasil penelitian adalah:

1. Aspek Tangible (persepsi terhadap kondisi fisik sarana dan prasarana Rusunawa) menjadi pembentuk dominan peubah laten Kualitas layanan. Dan peubah laten Citra Unsri lebih dominan dibentuk oleh aspek kejujuran Unsri serta dapat tidaknya Unsri dipercaya.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan penghuni Rusunawa hanya faktor kualitas layanan, pengaruhnya bersifat langsung sebesar 0,82. Kemudian Faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap loyalitas penghuni Rusunawa adalah faktor kualitas layanan dan faktor Citra Unsri, kedua pengaruhnya juga bersifat langsung, masing-masing sebesar 0,68 dan 0,47.

E. DAFTAR PUSTAKA

Afifuddin M, 2009. Analisis Pengaruh kualitas Pelayanan Terhadap kepuasan Pelanggan Pada PT (PERSERO) Angkasa Pura I Di Bandar Udara Ahmad Yani Semarang. Tugas Akhir Program Magister. Alamat web: http://www. pdfbe.com/b0/b048b8805d2ed362- download.pdf. Diakses tanggal 28 Maret 2011.

Bollen K. A. 1989. Structural Equation with Laten Variables. John Wiley, New York.

Fox J. 2002. Structural Equation Models.Alamat web: www.ppsw.rug.nl/~boomsma/csaref.pdf . Diakses tanggal: 1 Agustus 2005

Dwipurwani O, et. al. 2009. Penerapan analisis Faktor dalam membentuk Faktor-Faktor Laten yang Mempengaruhi Prestasi Mahasiswa di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Sriwijaya. Jurnal Penelitian Sains (JPS). Vol 12, September 2009.

Harun H. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan Untuk meningkatkan Loyaitas Pelanggan Produk Telkomsel Fleksi. Tesis. Universitas Dipenogoro.. Alamat web: http://www.pdfbe. Com/haidir_harun.pdf . Diakses tangga: 23 Maret 2011

Maiyanti IS, Dwipurwani O, Desiani A. 2007. Structural Equations Models (SEM) dan Penerapannya pada Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pretasi Mahasiswa. Laporan Penelitian Hibah A2.

Jöreskog K. G. and Sörbom, D. 1996. Lisrel 8: User’s Reference Guide. Scientific Software International, Inc. Chicago.

Oke Zone. 2011. Unsri SIapkan Student Centre dan Apartemen. Diakses tanggal: 28 Maret 2011. Alamat web: http://kampus.okezone.com/read/2011/

Sharma S. 1996. Applied Multivariate Techniques. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Sutanto AJ. 2008. Pengaruh Service Quality dan Perceive Value terhadap Kepuasan dan Loyalitas Konsumen Appartemen di kota Surabaya. Majalah Ekonomi. Tahun XVIII, No.3.

Unsri News. 2007. Unsri Menuju BHMN. Http://www.Unsri.ic.id/Informasi/ Diakses: Mei 2007.

Zeithaml AV, Parasuraman A and Berry LL. 1990. Delivering Quality Service, Balancing Customer Perception and Expectations . The Free Press. New York.

S - 25

PEMODELAN DATA MIGRASI MENGGUNAKAN MODEL POISSON BAYESIAN

1 2 3 Preatin 4 , Iriawan N. , Zain I. , Hartanto W.

Jurusan Statistika, Fakultas MIPA, ITS Surabaya, 4 BKKBN Jakarta

1 preatin10@mhs.statistika.its.ac.id, 2 nur_i@statistika.its.ac.id,

3 4 ismainizain@statistika.its.ac.id, wendy.hartanto@bkkbn.go.id

Abstrak

Migrasi merupakan fenomena yang komplek yang menyangkut banyak dimensi sehingga banyak bidang ilmu yang membahas migrasi. Pemahaman migrasi dengan pendekatan pemodelan lebih menguntungkan dibanding dengan pendekatan teori tertentu yang terbatas dari satu bidang keilmuan. Pemodelan dapat menggabungkan beberapa teori dari beberapa bidang ilmu yang berbeda sehingga lebih komprehensif menjelaskan fenomena migrasi Mobilitas penduduk semakin komplek untuk level kabupaten/kota dibandingkan antar provinsi atau bahkan internasional yang lebih jelas pencatatannya.Penelitian ini mencoba melihat fenomena migrasi di Jawa Timur untuk level kabupaten/kota dilihat dari data level makro dengan pendekatan model poisson bayesian Pendekatan Model Poisson Bayesian lebih dikarenakan sifat data migrasi yaitu data counting. Penggunaan pendekatan Bayesian pada model poisson karena jumlah data yang sedikit dan fleksibilitas bayesian dalam penggabungan informasi masa lalu dalam bentuk distribusi prior. Beberapa faktor ekonomi dan sosial dapat diidentifikasi sebagai faktor pendorong maupun penarik migrasi dengan menggunakan model poisson bayesian.

Kata Kunci: Migrasi, Poisson, Bayesian, Jawa Timur.

A. PENDAHULUAN

Analisis perpindahan penduduk (migrasi) merupakan hal yang penting bagi terlaksananya pembangunan terutama di era otonomi daerah. Analisis migrasi terhadap wilayah yang lebih kecil dari provinsi lebih diperlukan karena migrasi penduduk lebih nyata pada unit administrasi yang lebih kecil seperti kabupaten, kecamatan, dan kelurahan/desa. Teori ekonomi neoklasik (neoclassical economics), perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum atau dapat disimpulkan hanya karena faktor ekonomi. Sedangkan teori ekonomi baru migrasi (new economics of migration) beranggapan bahwa migrasi penduduk terjadi bukan saja merupakan keputusan individu, namun terkait dengan lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga dan kondisi daerah yang ditinggali maupun yang dituju. Lingkungan sekitar ini termasuk juga kondisi politik, agama, dan bencana alam.

Pada hakekatnya migrasi penduduk merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain. Penduduk dari daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah akan berpindah menuju daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Sehingga m igrasi penduduk akan terus terjadi selama ada ketimpangan antar daerah baik secara ekonomi, sosial, maupun bidang lainnya yang akan menjadi faktor terjadinya migrasi penduduk itu sendiri. Pendekatan modeling

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

B. METODE PENELITIAN

Sumber data migrasi penduduk di Indonesia masih sangat terbatas ketersediaanya, yaitu Sensus Penduduk yang dilakukan 10 tahun sekali dan Survei Penduduk Antar Sensus yang dilakukan 5 tahun setelah Sensus Penduduk. Pada penelitian ini menggunakan data hasil SP 2010 Provinsi Jawa Timur, sedangkan sedangkan data pendukung dari 2 (dua) publikasi BPS Jawa Timur yaitu Jawa Timur Dalam Angka 2011 dan Analisis Indikator Makro Jawa Timur 2010. Adapun variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Y : Jumlah penduduk migran (laki-laki dan perempuan) risen menurut kabupaten/kota

X1 : Peranan sektor industri pada PDRB (%) X2 : PDRB per kapita (Juta Rp) X3 : Upah Minimum Regional (Juta Rp) X4 : Tingkat pengangguran (%) X5 : Rasio prasarana sekolah tingkat SLTA per 1000 penduduk X7 : Rasio prasarana kesehatan (Rumah sakit, Puskesmas, dan Klinik/Balai

pengobatan) per 1000 penduduk Penelitian ini menggunakan model poisson untuk menjelaskan hubungan antara faktor-faktor di atas dengan variable Y yaitu jumlah penduduk migran yang merupakan data caount. Perrakis dkk (2011) menggunakan regresi poisson untuk memodelkan migrasi menurut daerah asal dan tujuan. Data migrasi diasumsikan mengikuti distribusi Poisson :

| ∼ ( ) untuk i=1, 2, …, n. Rata-rata (µ i ) menghubungkan dengan variabel bebas dengan link function log, sehingga :

log( )=

dengan asumsi hubungan variabel bebasnya adalah linier terhadap log rata-ratanya. Regresi Poisson tidak sesuai jika digunakan pada data yang tidak memenuhi batasan rata-rata sama dengan varian. Jika kondisi ini tidak dipenuhi maka terjadi over-dispersion atau under-dispersion , untuk mengatasi kondisi ini digunakan model Poisson-Gamma Mixer.

Model Poisson-Gamma Mixer adalah alternative untuk mengatasi over-dispersion atau under-dispersion . Dari data |,

dengan |, ∼ (,) , secara marginal distribusi y adalah Negatif Binomial (Agresti, 2002), sehingga model ini juga disebut model negatif binomial.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Gambar 1 terlihat jumlah migrasi masuk (in-migration) pada kabupaten/kota di Jawa Timur tertinggi di Kota Surabaya (78), Kabupaten Sidoarjo (15), Kota Malang (73), Kabupaten Gresik (25), dan Kabupaten Malang (07). Namun angka ini masih sangat kasar karena belum dikoreksi dengan jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota. Angka Migrasi (migration rate) adalah jumlah penduduk migran per 1000 penduduk, yanng artinya lebih terbandingkan antar kabupaten/kota. Jika dilihat dari angka migrasi maka 5 kabupaten/kota dengan angka migrasi tertinggi adalah Kota Malang (73), Kota Blitar (72), Kota Madiun (77), Kota Mojokerto (76), dan Kabupaten Sidoarjo (15) seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Jumlah Migrasi Masuk (in-migration) Provinsi Jawa Timur Menurut Kabupaten/kota dan Jenis Kelamin Tahun 2010

Sumber : Sensus Penduduk 2010

Gambar 2. Angka Migrasi Masuk (migration rate) Provinsi JawaTimur Menurut Kabupaten/kota dan Jenis Kelamin Tahun 2010

Laki-laki

Perem puan

Sumber : Sensus Penduduk 2010 Pada model migrasi menggunakan data jumlah migrasi dan memasukkan unsur jumlah penduduk dalam model dalam bentuk variabel offset. Hal ini untuk mengantisipasi pengaruh jumlah penduduk yang sangat besar dalam analisis migrasi. Dalam ilmu demografi saat ini penting untuk melihat unsur gender, sehingga model akan dipisahkan antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan membandingkan pola migrasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Terlihat pada Gambar 1 maupun Gambar 2, migrasi perempuan lebih tinggi daripada migrasi laki-laki pada daerah kota.

Dengan menggunakan software Winbugs dengan code sebagai berikut : model; {

for( i in 1 : 38 ) { y[i] ~ dpois(kappa[i]) kappa[i] <- mu[i] * teta log(mu[i]) <- alpha + (beta1 * w1[i] )+ (beta2 * w2[i]) + (beta3 * w3[i]) +( beta4 * w4[i]) + (beta5 *

w5[i]) + (beta7 * w7[i]) +log(p[i]) } #prior ;

teta ~ dgamma(0.001,0.001) alpha ~ dnorm( 0.0,1.0E-6) beta1 ~ dnorm( 0.0,1.0E-6) teta ~ dgamma(0.001,0.001) alpha ~ dnorm( 0.0,1.0E-6) beta1 ~ dnorm( 0.0,1.0E-6)

Model untuk migrasi perempuan diperoleh output sebagai berikut:

node mean

sd

MC error 2.5%

median 97.5% start sample

alpha -0.4769

-0.4817 0.2969 81 29920 beta1 -0.001001 1.195E-4 1.002E-6 -0.001236 -0.001002 -7.658E-4 81

0.03613 -1.245

29920 beta2 -2.325E-6 6.323E-6 4.777E-7 -1.659E-5 -2.421E-6 9.015E-6 81

29920 beta3 -2.971E-5 5.968E-6 4.318E-8 -4.133E-5 -2.968E-5 -1.807E-5 81

29920 beta4 0.2944

0.001025 9.338E-6 0.2923 0.2944 0.2964 81 29920 beta5 0.002585 8.15E-5

5.98E-7 0.002426 0.002584 0.002744 81 29920 beta7

29920 deviance

4.265E-6 6.323E-6 4.776E-7 -7.082E-6 4.362E-6 1.852E-5 81

49140.0 3.429 0.02142 49130.0 49140.0 49140.0 81 29920 teta 0.009983 0.004578 3.453E-4 0.00412 0.008983 0.0193 81

Terlihat bahwa variabel X1, X3, X4, dan X5 signifikan mempengaruhi migran laki-laki untuk masuk suatu kabupaten/kota di Jawa Timur. Dari ke-empat variabel di atas, variabel X4 (tingkat pengangguran) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap arus migrasi masuk laki-laki. Variabel tingkat pengangguran suatu kabupaten/kota naik satu unit atau satu persen maka berdampak pada jumlah migrasi masuk sebesar 1,3423 kali lipat dibanding sebelum naik. Hal ini fenomena yang banyak terjadi di kota-kota besar dimana semakin banyak pengangguran justru menarik migran masuk. Ringkasan posterior dari parameter-parameter dalam model terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Ringkasan Parameter untuk Model Migrasi Perempuan

Autocorrelation beta1

Beta1 -5.0E-4

beta1

beta1 sample: 10000

4.00E+3 0.5 3.00E+3 1.0 0.0 -0.00125 -0.001

-7.5E-4

-0.5 -0.0015

2.00E+3 1.00E+3

Beta3 beta3

beta3 -6.77626E-21

beta3 sample: 10000

-2.0E-5

0.5 -4.0E-5 -6.0E-5

8.00E+4

4.00E+4 6.00E+4

2.00E+4

-0.5 0.0 0.0 -1.0

beta4 Beta4

beta4 sample: 10000

0.29 -1.0 -0.5

beta5 Beta5

beta5

beta5 sample: 10000

0.0 -0.5 -1.0

deviance Devi- 49150.0

deviance 49160.0

deviance sample: 10000

Sumber : Output Winbugs

Sedangkan untuk model migrasi laki-laki diperoleh output sebagai berikut:

node mean

sd MC error 2.5%

median 97.5%

start sample

alpha -0.4902

54 19947 beta1 0.001699 1.237E-4 1.086E-6 0.001456 0.001698 0.001941 54

19947 beta2 1.293E-6 7.982E-6 6.697E-7 -1.251E-5 1.223E-6 1.557E-5

54 19947 beta3 -3.281E-5 5.938E-6 4.745E-8 -4.437E-5 -3.289E-5 -2.111E-5 54

19947 beta4 0.268

54 19947 beta5 0.003061 8.576E-5 7.253E-7 0.002893 0.003061 0.00323

0.001055 1.062E-5 0.266 0.268

54 19947 beta7 -1.06E-6

54 19947 deviance

7.981E-6 6.697E-7 -1.535E-5 -9.94E-7 1.273E-5

Tidak berbeda dengan model migrasi perempuan di atas, variabel-variabel X1, X3, X4, dan X5 signifikan mempengaruhi migran laki-laki untuk masuk suatu kabupaten/kota di Jawa Timur. Dari ke-empat variabel di atas, variabel X4 (tingkat pengangguran) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap arus migrasi masuk laki-laki. Variabel tingkat pengangguran suatu kabupaten/kota naik satu unit atau satu persen maka berdampak pada jumlah migrasi masuk sebesar 1,3073 kali lipat dibanding sebelum naik. Hal ini fenomena yang banyak terjadi di kota-kota besar dimana semakin banyak pengangguran justru menarik migran masuk. Fenomena inilah yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah dari kabupaten/kota yang menjadi tujuan migrasi penduduk untuk mengatasi masalah pengangguran yang tidak akan ada habisnya jika perencanaan tidak terintegrasi dengan pembangunan berwawasan kependudukan yang didalamnya terdapat unsur migrasi. Ringkasan posterior dari parameter di atas terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tabel Ringkasan Parameter untuk Model Migrasi Laki-laki

Beta1 beta1

beta1

beta1 sample: 19947

0.01 3.00E+3 2.00E+3

-0.5 0.0 0.0 -1.0 1 5000

1.00E+3

lag beta3

beta3 sample: 19947

0.0 8.00E+4 6.00E+4

0.5 -0.002

-0.003 0.0 -0.5 -1.0

4.00E+4 2.00E+4

lag beta4

beta4 sample: 19947

lag beta5

iteration

beta5 sample: 19947

6.00E+3 4.00E+3

0.0 0.0 0.0 -1.0 -0.5 1 5000

2.00E+3

0 20 40 lag deviance

deviance sample: 19947

Devi- 4.00E+5 3.00E+5

deviance

0.1 ance 0.5 2.00E+5

1.00E+5 0.05 0.0

0.0 0.0 -0.5 -1.0 1 5000

lag Sumber : Output Winbugs

iteration

D. SIMPULAN DAN SARAN

Migrasi masuk ke kabupaten/kota di Jawa Timur baik laki-laki maupun perempuan dipengaruhi oleh variabel persentase industri terhadap PDRB, besaran UMR, tingkat pengangguran, dan ketersediaan fasilitas sekolah tingkat menengah atas. Variabel yang paling berpengaruh adalah tingkat pengangguran baik untuk laki-laki maupun perempuan dimana makin tinggi pengangguran maka makin besar tingkat migrasi masuk wilayah tersebut. Tentu hal ini sangat berdampak terhadap masalah ekonomi wilayah yang bersangkutan, tingginya migrasi masuk pada wilayah dengan tingkat pengangguran tinggi akan memperburuk kondisi ketenagakerjaan. Sehingga sangat diperlukan kebijakan pembangunan terutama kebijakan ketenagakerjaan harus berwawasan kependudukan untuk mengurangi masalah pengangguran dan migrasi secara komprehensif.

Migrasi antar kabupaten/kota semakin nyata dibanding migrasi antar provinsi atau internasional karena akses transportasi lebih mudah, tetapi menimbulkan dampak lebih nyata pula karena semakin dinamis dan tanpa ada pencatatan yang tertib terhadap arus migrasi antar kabupaten/kota. Sehingga masih sangat diperlukan penelitian-penelitian migrasi terutama antar kabupaten/kota. Penelitian migrasi selanjutnya juga diharapkan lebih menjelaskan pola migrasi menurut umur yang lebih mendukung perencanaan pembangunan berwawasan kependudukan terkait komposisi penduduk yang dipengaruhi oleh migrasi.

E. DAFTAR PUSTAKA

Agresti, A. (2002), Categorical Data Analysis, 2nd Edition, John Wiley & Sons, Hoboken, New Jersey.

Bijak, J. (2006), Forecasting International Migration: Selected Theories, Models, and Methods. Central European Forum For Migration Research (CEFMR) Working Paper No. 04, Warsaw, Poland.

Bijak, J. (2011), Forecasting International Migration in Europe: A Bayesian View, Springer, London.

Box, G.E.P. dan Tiao, G.C. (1973), Bayesian Inference in Statistical Analysis, Addison-Wesley, Reading.

Gelman, A. (2006), Prior distributions for Variance Parameters in Hierarchical Models, Bayesian Analysis , Vol.1, No.3, hal.515-533.

Gelman, A., Carlin, J.B., Stern, H.S., dan Rubin, D.B. (1995), Bayesian Data Analysis, Chapman and Hall, London.

Jackman, S. (2008), Bayesian Analysis for the Social Sciences, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.

McCullagh, P. dan Nelder, J. (1989), Generalized Linear Models, Second Edition, Chapman and Hall, Boca Raton.

Perrakis, K, Karlis, D., Cools, M., Janssens, D., Vanhoof, K. Dan Wets, G. (2012), A Bayesian Approach for Modeling Origin-Destination Matrices, Trasportation Research part A: Policy and Practice , Vol. 46, Issue 1, hal.200-2112.

S - 26 KELUARGA DAN KETAATAN BERIBADAH TERHADAP SIKAP REMAJA DALAM MENGHINDARI SEKS BEBAS DENGAN ANALISIS JALUR PADA DATA KATEGORI

Ratna Christianingrum 1

1 Universitas Pelita Harapan

1 chriesty_thea@yahoo.co.id

Abstrak

Analisis jalur merupakan metode analisis yang sering digunakan pada penelitian di bidang sosial. Salah satu asumsi yang harus dipenuhi yaitu sisaan harus berdistribusi normal. Apabila error disyaratkan normal, maka data memiliki skala pengukuran interval atau rasio. Pada suatu penelitian, sering kali data yang dihasilkan menggunakan skala pengukuran nominal atau ordinal. Analisis jalur untuk data kategori dibangun dari analisis regresi logistik. Jalur-jalur pada analisis jalur di data kategori dibangun dari teori yang digunakan. Sedangkan untuk melihat pengaruh dari variabel antara, maka akan dibuat model logistik pada masing-masing jalur. Semakin banyak jalur yang ada, maka semakin banyak pula model yang dibangun. Uji rasio likelihood dan uji Wald digunakan untuk menguji efisiensi jalur pada analisis jalur pada data ketegori. Apabila ada jalur yang tidak efisien, maka jalur tersebut dapat dihilangkan. Variabel antara tidak dapat dianalisis secara langsung karena variabel antara bersyarat variabel bebas. Transformasi variabel dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Analisis jalur pada data kategori digunakan untuk menganalisis pengaruh keharmonisan keluarga dan ketaatan beribadah terhadap sikap remaja dalam menghindari seks bebas. Keharmonisan keluarga berpengaruh signifikan terhadap ketaatan beribadah pada remaja. Remaja yang dibesarkan pada keluarga yang harmonis memiliki kecenderungan untuk menjadi pribadi yang lebih taat beribadah dari pada remoaja yang dibesarkan pada keluarga yang kurang harmonis. Selain itu ketaatan beribadah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap remaja dalam menghindari seks bebas. Remaja yang taat beribadah memiliki kecenderungan untuk lebih menghindari seks bebas daripada remaja yang tidak taat beribadah.

Kata kunci: analisis jalur, data kategori, model logistik, keluarga, ketaatan, seks bebas

A. PENDAHULUAN

Analisis jalur merupakan metode analisis yang sering digunakan pada penelitian di bidang sosial. Salah satu asumsi yang harus dipenuhi yaitu sisaan harus berdistribusi normal. Apabila sisaan disyaratkan normal, maka data memiliki skala pengukuran interval atau rasio. Dalam penelitian, sering kali data yang dihasilkan menggunakan skala pengukuran nominal atau ordinal. Dengan mengunakan analisi jalur, maka data-data kategori tidak bisa dianalisis.

Analisis jalur merupakan pengembangan lebih lanjut dari analisis regresi berganda. Analisis ini merupakan metode yang digunakan untuk menggambarkan hubungan kausal dari beberapa variabel penyebab dan beberapa variabel akibat (Meyers, et. all, 2005). Analisis jalur

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Model dalam analisis jalur menggambarkan pola hubungan kausal antar variable. Model biasanya digambarkan dengan lingkaran dan anak panah yang menunjukkan hubungan kausalitas. Analisis jalur dibangun berdasarkan lima asumsi, yaitu (Meyers, et. All, 2005):

1. Hubungan antar variabel merupakan hubungan linear dan merupakan hubungan sebab-akibat.

2. Galat yang berhubungan dengan variabel endogenous tidak berkorelasi dengan variabel penjelas.

3. Hanya ada hubungan sebab akibat yang searah dalam suatu model.

4. Variabel yang digunakan diukur dengan skala pengurkuran interval atau mendekati interval.

5. Variabel yang diukur memiliki galat. Data kategori tidak dapat dianalisis dengan regresi linear berganda, sehingga data kategori tidak dapat dianalisi dengan menggunakan analisis jalur. Hubungan kausal pada data kategori dapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis regresi logistik. Sehingga memungkinkan dibangunnya suatu analisis jalur dari regresi logistik. Penelitian ini akan mencoba membangun suatu analisis jalur dari analisis regresi logistik. Data yang digunakan adalah data hasil survey mengenai pengaruh keluarga dan ketaatan beribadah terhadap sikap remaja dalam menghindari seks bebas.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini secara garis besar terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap pengembangan metode analisis. Tahap selanjutnya adalah penerapan metode analisis yang akan terbentuk pada penelitian bidang sosial. Berikut merupakan tahapan dari penelitian yang akan dilakukan:

1. Pengembangan metode analisis

a. Membangun pola hubungan kausal dengan tiga variabel biner Hasil yang akan diperoleh berupa diagram yang menunjukkan pola hubungan kausal. Tiga variabel tersebut akan berperan sebagai variabel penjelas, variabel antara, dan variabel respon.

b. Melakukan estimasi model

c. Dilakukan uji kecocokan model Untuk melihat kecocokan model akan digunakan uji Rasio likelihood.

2. Penerapan metode baru yang terbentuk Tahap-tahap yang akan dilakukan dalam penerapan metode baru yang terbentuk adalah sebagai berikut:

a. Tahap penyusunan kuesioner Kuesioner digunakan untuk memperoleh data. Adapun variabel yang akan dimati adalah Keluarga, ketaatan beragama, dan sikap menghindari seks bebas. Semua variabel diukur dengan kala biner. Variabel keluarga memiliki dua outcome, yaitu responden berasal dari keluarga yang harmonis atau keluarga kurang harmonis. Variabel ketaatan beribadah memiliki dua outcome, yaitu taat beribadah atau tidak taat beribadah. Sedangkan variabel sikap menghindari seks bebas memiliki dua outcome, yaitu menghindari seks bebas atau toleran terhadap seks bebas.

b. Pengambilan sampel Populasi yang diamati adalah remaja di wilayah Kota Semarang. Semarang dipilih sebagai populasi karena Semarang merupakan kota yang sedang berkembang menjadi kota metropolis, namun masyarakatnya masih memegang kuat nilai-nilai kesusilaan. Jumlah sampel yang akan diamati adalah 120 orang remaja(SMP dan SMA).

Teknik sampling yang digunakan adalah multi-stage random sampling. Tahap pertama adalah remaja Semarang terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu SMP dan SMA. Tahap kedua di kelompok SMP terbagi berdasarkan jenis sekolah. Tahap kedua dari kelompok SMA adalah pembagian populasi ke dalam 2 kelompok, yaitu SMA dan SMK. Pada tahap ketiga, kelompok terbagi berdasar jenis sekolah.

c. Analisis data Metode analisa yang digunakan adalah metode analisis jalur pada data kategori.

C. PEMBAHASAN

Pada penelitian ini variable yang digunakan yaitu keluarga (X 1 ), ketaatan beribadah (X 2 ), dan perilaku remaja terhadap seks bebas (Y). Masing-masing variabel memiliki skala pengukuran biner. Dengan menggunakan regresi logistik biasa maka model yang akan dibentuk dari ketiga variabel tersebut adalah sebagai berikut (Agresti, 1990):

Logit [ () π ( x) ] = log

= β + β x+ β x

Pola hubungan yang dari ketiga variabel dengan menggunakan analisis regresi logistik dapat dilihat di gambar 1.

Gb. 1 Pola hubungan dalam regresi logistik dengan 2 variabel bebas

Menurut Clatworthy (1980) peran keluarga dalam kehidupan remaja yaitu memberikan pendidikan sosial, reproduksi, perlindungan dan keselamatan, kontrol sosial, kebutuhan psikologis, agama dan rekreasi. Sedangkan menurut Hurlock (1999) agama memiliki peranan yang penting dalam pembentukan moral. Salah satu tindakan yang imoralitas adalah seks bebas. Berdasarkan teori-teori tersebut, maka pola hubungan antar ketiga variabel dapat dilihat pada gambar 2.

Keluarga

Ketaatan Beribadah

Sikap terhadap

(X 1 )

(X 2 )

Seks bebas

(Y)

Gb. 2 Pola hubungan antar ketiga variabel berdasarkan teori

Gambar 2 memiliki jalur yang cukup kompleks, sehingga pola hubungan yang ada tidak dapat dianalisis dengan menggunakan regresi logistik. Pemasalahan pada gambar 2 lebih tepat Gambar 2 memiliki jalur yang cukup kompleks, sehingga pola hubungan yang ada tidak dapat dianalisis dengan menggunakan regresi logistik. Pemasalahan pada gambar 2 lebih tepat

1. Variabel X 1 terhadap X 2

Model logistik yang digunakan adalah sebagai berikut:

π (x)

Logit [P( X ) = 1] = log

1 −π (x)

Gb. 3 Kombinasi outcome pada variabel X 2 bersyarat X 1

2. Variabel X 2 terhadap Y Model logistik yang digunakan adalah sebagai berikut:

Logit [ ) π ( x ) ] = log

Berdasarkan gambar 2, X 2 merupakan variabel bersyarat terhadap X 1 . Apabila masing-masing variabel memiliki 2 outcome, maka nilai-nilai peluang bersyarat yang dapat muncul dapat dilihat pada gambar 3. Salah satu asumsi pada regresi logistik menyatakan bahwa tidak diperbolehkan adanya multicolinearitas (Meyers, et. all, 2005).

Sehingga perlu dilakukan transformasi dari variabel X 2 bersyarat X 1 menjadi sebuah variabel baru, yaitu Z. Hasil dari transfromasi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Transformasi variabel X 2 bersyarat X 1 menjadi Z

Adanya proses transformasi, maka model 2 juga mengalami perubahan menjadi sebagai berikut:

π ( Z)

Logit [P( Y) = 1] = log

1 −π ( Z)

3. Variabel X 1 terhadap Y

π (x)

Logit [P( Y) = 1] = log

1 −π (x)

4. Variabel X 1 dan X 2 terhadap Y (pengaruh bersama)

Model logistik yang digunakan pada model ini sama dengan model 1

Berdasarkan output pada table 2, dapat dilihat bahwa semua model yang dihasilkan adalah signifikan. Model-model tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan pola hubungan antar variabel. Tidak ada jalur pada diagram jalur (gb. 2) yang dihilangkan. Semua jalur menggambarkan pola pengaruh antar variabel.

Table2. Hasil Uji Kecocokan Model

Berdasarkan nilai odd rasio pada table 3, dapat dilihat bahwa kecenderungan seorang anak yang berasal dari keluarga yang harmonis akan menjadi seorang yang taat beribadah sebesar 0.052 kali daripada anak yang berasal dari keluarga yang harmonis. Seorang anak yang dibesarkan pada keluarga yang harmonis cenderung untuk menjadi anak yang taat beribadah.

Berdasarkan table 3, dapat dilihat bahwa seorang anak yang tidak taat beribadah dan berasal dari keluarga yang tidak harmonis memiliki kecenderungan untuk menghindari seks bebas sebesar 0.004 kali daripada seorang remaja yang taat beribadah dan berasal dari keluarga yang harmonis. Namun seorang remaja yang taat beribadah namun berasal dari keluarga yang tidak harmonis memiliki kecenderungan untuk menghindari seks bebas sebesar 0.01 kali dari pada remaja yang taat beribadah dan berasal dari keluarga yang harmonis.

D. KESIMPULAN

Analisis jalur untuk data kategori dibangun dari analisis regresi logistic. Uji rasio likelihood dan uji Wald digunakan untuk menguji efisiensi jalur pada analisis jalur pada data ketegori. Variabel antara tidak dapat dianalisis secara langsung karena variabel antara bersyarat variabel bebas. Transformasi variabel dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Keharmonisan keluarga berpengaruh signifikan terhadap ketaatan beribadah pada remaja. Remaja yang dibesarkan pada keluarga yang harmonis memiliki kecenderungan untuk menjadi pribadi yang lebih taat beribadah dari pada remoaja yang dibesarkan pada keluarga yang kurang harmonis. Selain itu ketaatan beribadah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap remaja dalam menghindari seks bebas. Remaja yang taat beribadah memiliki kecenderungan untuk lebih menghindari seks bebas daripada remaja yang tidak taat beribadah.

E. DAFTAR PUSTAKA

Agresti, A. 1990. An Introduction to Categorical Data Analysis. Canada: John Wiley and Son Inc.

Clatworthy, N.M. 1980. Initiating a Family unit in Schuster and Absbhurn. The Procces of Human Develompment: Holistic Approach. Boston: Little , Brown & company

Hurlock, Elizabeth B.. 1999. Child development, 6th Ed.. New Delhi: Tata McGraw-Hill.

Meyers, L.S, Gamst, G, and Guarino, A.J. 2005. Applied Multivariate Reasearch Design and Interpretation. California: Sage publication.

S - 27

MODEL ARIMAX DAN DETEKSI GARCH UNTUK PERAMALAN INFLASI KOTA DENPASAR

1 Rukini1 2 , Suhartono2

1,2 Jurusan Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

1 iinrukini@gmail.com1, 2 suhartono@statistika.its.ac.id2

Abstrak

Inflasi merupakan indikator penting yang dapat memberikan informasi mengenai perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Bank Indonesia melakukan kebijakan moneter berdasarkan kerangka kerja yang dinamakan ITF (inflation targetting framework) untuk memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa tersebut akan tercermin pada inflasi. Peramalan terhadap inflasi menjadi penting agar dapat membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk menjaga stabilitas moneter di masa yang akan datang. Secara umum peramalan inflasi dapat dilakukan dengan pendekatan time series, pendekatan kausal, dan gabungan antara pendekatan time series dan kausal. Model dengan pendekatan gabungan yang banyak digunakan untuk peramalan inflasi adalah ARIMAX yang mencakup model Fungsi Transfer dan Model Intervensi atau dikenal juga dengan model regresi dinamis. Selain itu, pendekatan Generalized Autoregresive Conditional Heteroscedasticity (GARCH) untuk model varians juga telah diaplikasikan pada peramalan inflasi. Salah satu permasalahan utama dalam pemodelan ARIMAX dengan banyak prediktor yang berskala metrik dan nonmetrik adalah belum adanya prosedur standar (baku) untuk proses pembentukan model. Dalam makalah ini akan dipaparkan prosedur pembentukan model ARIMAX dan deteksi GARCH, variabel prediktor yang digunakan terdiri atas variabel berskala metrik (yaitu jumlah wisatawan mancanegara), dan variabel berskala nonmetrik (yaitu kenaikan bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), dan kejadian bom Bali). Berdasarkan hasil penelitian, model intervensi adalah model terbaik dengan nilai AIC dan SBC terkecil. Jadi tidak selamanya dengan melibatkan banyak prediktor menghasilkan model yang lebih baik. Hasil deteksi GARCH dengan uji Langrange Multiplier tidak ditemukan adanya unsur heteroskedastisitas pada model ARIMAX baik model fungsi transfer maupun model intervensi).

Kata kunci: ARIMAX, GARCH, inflasi, metrik, non metrik

A. PENDAHULUAN

Inflasi dapat diartikan juga sebagai suatu proses meningkatnya harga barang dan jasa secara umum, terus menerus dan saling mempengaruhi. Penyebab inflasi dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Ekspektasi Inflasi, Volatilitas Nilai Tukar dan Output Gap yang berupa ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan (Hasbullah, 2012). Ekspektasi inflasi biasanya disebabkan oleh kenaikan tarif dasar listrik (TDL), bahan bakar minyak (BBM), elpiji dan lain-lain. Inflasi memiliki dampak positif dan negatif tergantung pada besar kecilnya tingkat inflasi. Karena besarnya pengaruh yang ditimbulkan inflasi terhadap perekonomian negara, maka perlu dilakukan peramalan terhadap tingkat inflasi pada masa yang akan datang guna

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai peramalan inflasi yang menggunakan teknis model time series multivariate diantaranya dilakukan oleh Kismiantini dan Dhoriva (2010) dampak penurunan harga BBM jenis premium terhadap angka inflasi di kota Yogyakarta menggunakan model intervensi dengan step function dan Rokimah (2012) yang meramalkan inflasi Jawa Timur dengan pendekatan fungsi transfer dan artificial neural network. Sampai hari ini sejauh penulis ketahui belum ada penelitian yang melibatkan gabungan input metrik (yaitu jumlah wisatawan mancanegara ) dan nonmetrik (yaitu kenaikan bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan kejadian bom Bali), khususnya yang menjelaskan prosedur pembentukan modelnya. Metode pendekatan gabungan yang banyak digunakan dalam peramalan inflasi adalah ARIMAX yang mencakup model fungsi transfer dan model intervensi. Sebagai salah satu metode dalam analisis data time series, ARIMA dan ARIMAX menjadi metode yang dipakai secara luas dalam ekonometrika. Metode ini mensyaratkan beberapa kondisi yang harus dipenuhi, antara lain data harus stasioner, baik stasioner dalam mean ataupun stasioner dalam varians. Selain itu, residual dari model tersebut harus bersifat white noise yaitu residual mempunyai mean nol dan mempunyai varians yang konstan (Box dan Jenkins, 1976). Data yang mempunyai volatilitas yang tinggi sangat riskan untuk digunakan dalam melakukan peramalan.

Dalam praktek, pemodelan ARIMA atau ARIMAX pada suatu data ekonomi seringkali memberikan residual dengan varians yang tidak konstan (heterogen). Engle (1982) memperkenalkan model Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) untuk memodelkan inflasi di Inggris yang mengandung varians yang tidak konstan. Kemudian model ARCH disempurnakan menjadi Generalized ARCH (GARCH) oleh Bolerslev (1986). Metode ini mampu mengatasi heteroskedastisitas dalam data deret waktu. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana prosedur pembentukan model ARIMAX dengan prediktor (input) data metrik dan nonmetrik dan mendeteksi adanya GARCH untuk residual model ARIMAX dengan prediktor metrik dan nonmetrik serta berapa nilai ramalan inflasi Kota Denpasar bulan Januari-Desember 2013 berdasarkan model ARIMAX

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: mengkaji dan mengembangkan prosedur pembentukan model ARIMAX dan deteksi GARCH dengan prediktor (input) data metrik dan nonmetrik serta mendapatkan nilai ramalan inflasi kota Denpasar bulan Januari-Desember 2013. Manfaat yang dapat diambil adalah sebagai masukan kepada pihak terkait, khususnya Bank Indonesia cabang Denpasar, dalam mengambil kebijakan ekonomi berkaitan dengan inflasi serta mengembangkan wawasan dan pengetahuan mengenai model ARIMAX dan GARCH.

B. METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metodologi penelitian yang meliputi sumber data, variabel yang digunakan, dan metode analisis yang terdiri atas tahapan-tahapan penelitian yang akan dilakukan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data inflasi Kota Denpasar, data tentang jumlah wisatawan mancanegara dan data tentang kejadian- kejadian khusus yang diduga menyebabkan kenaikan inflasi, yaitu kenaikan BBM, kenaikan TDL, dan kejadian Bom Bali I dan II. Data tersebut diamati mulai Januari 2000 sampai dengan Desember 2012. Pada proses analisis, data akan dibagi menjadi dua bagian yaitu data training untuk pembentukan model dan data testing untuk validasi dan pemilihan model terbaik. Data Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metodologi penelitian yang meliputi sumber data, variabel yang digunakan, dan metode analisis yang terdiri atas tahapan-tahapan penelitian yang akan dilakukan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data inflasi Kota Denpasar, data tentang jumlah wisatawan mancanegara dan data tentang kejadian- kejadian khusus yang diduga menyebabkan kenaikan inflasi, yaitu kenaikan BBM, kenaikan TDL, dan kejadian Bom Bali I dan II. Data tersebut diamati mulai Januari 2000 sampai dengan Desember 2012. Pada proses analisis, data akan dibagi menjadi dua bagian yaitu data training untuk pembentukan model dan data testing untuk validasi dan pemilihan model terbaik. Data

Secara umum ada dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu variabel respon (output) dan variabel prediktor (input). Variabel output yang menjadi fokus kajian penelitian adalah inflasi bulanan di Kota Denpasar. Sedangkan variabel input penelitian terdiri atas variabel dengan skala metrik, yaitu jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali, dan variabel dengan skala nonmetrik yaitu kejadian kenaikan BBM, kejadian kenaikan TDL, dan kejadian bom Bali I dan II. Semua variabel penelitian tersebut diamati dalam periode bulan.

Tabel 1 Deskripsi tentang variabel penelitian No. Variabel

Keterangan

Skala

1 Y t Inflasi Kota Denpasar pada bulan ke-t Metrik (interval)

2 X1 t Jumlah wisatawan mancanegara yang ber- Metrik (rasio) kunjung ke Bali pada bulan ke-t

3 X3 j,t Kejadian kenaikan BBM ke-j pada bulan ke-t Nonmetrik(nominal)

4 X4 j,t Kejadian kenaikan TDL ke-j pada bulan ke-t Nonmetrik(nominal)

5 X5 j,t Kejadian bom Bali ke-j pada bulan ke-t Nonmetrik(nominal)

Tabel 2 Deskripsi tentang variabel kejadian kenaikan BBM

Waktu (t) Intervensi

% Kenaikan

Tanggal Kejadian

10 X3 1,t 15%

1Oktober 2000

18 X3 2,t 26,09%

16 Juni 2001

25 X3 3,t 6,9%

17 Januari 2002

37 X3 4,t 16,77%

70 X3 6,t 126%

Oktober 2005

X3 7,t 33,3%

24 Mei 2008

Tabel 3 Deskripsi tentang variabel kejadian kenaikan TDL

Waktu (t) Intervensi

% Kenaikan

Tanggal Kejadian

37 X4 1,t 6%

Januari 2003

40 X4 2,t 6%

April 2003

43 X4 3,t 6%

Juli 2003

46 X4 4,t 6%

Oktober 2003

X4 5,t 6%

Juli 2010

X4 6,t 10%

Januari 2011

Tabel 4 Deskripsi tentang variabel kejadian Bom Bali Waktu (t)

Intervensi Tanggal Kejadian

34 X5 1,t Oktober 2002

70 X5 2,t Oktober 2005

Tahapan pengembangan prosedur untuk pembentukan model ARIMAX terdiri dari prosedur pembentukan model dengan input skala metrik (dikenal dengan model Fungsi Transfer) dan prosedur pembentukan model dengan input skala nonmetrik (dikenal dengan model intervensi). Berikut ini adalah tahap-tahap yang akan dilakukan untuk pengembangan prosedur pembentukan model ARIMAX dan deteksi GARCH dengan input skala metrik dan nonmetrik.

Tahapan Pembentukan Model ARIMAX dengan Input skala metrik ( Fungsi Transfer)

a. Identifikasi bentuk model - Mempersiapkan deret input dan deret output - Prewhitening deret input dan deret output - Penghitungan Crosscorrelation dan autokorelasi untuk deret input dan deret output

yang telah di-prewhitening. - Penaksiran bobot respon impuls - Penetapan (b, r, s) untuk model fungsi transfer - Penaksiran awal deret gangguan (noise series)

- Penentuan model ARIMA dari deret gangguan n t

b. Estimasi Parameter Model Fungsi Transfer

c. Diagnosa Model Fungsi Transfer

Tahapan Pembentukan Model ARIMAX dengan Input skala nonmetrik (Intervensi)

a. Membuat variabel dummy untuk masing-masing waktu kenaikan harga BBM

b. Menentukan nilai (b, r, s) untuk masing-masing intervensi yang terjadi, yaitu melihat efek yang ditimbulkan dari masing-masing waktu intervensi tersebut

c. Estimasi parameter dan uji signifikansi untuk model

d. Pemeriksaan diagnosa terhadap residualnya apakah white noise dan berdistribusi normal.

e. Mengulangi langkah (a) sampai langkah (d) untuk variabel intervensi berikutnya

Tahapan Pembentukan Model ARIMAX dengan Input gabungan skala metrik dan nonmetrik yaitu

a. mengestimasi secara serentak (simultan) gabungan dari model input metrik (model fungsi transfer) dan model input nonmetrik (model intervensi) sesuai engan order madel pada tahap 1 dan 2.

b. Melakukan Perbandingan Akurasi Hasil dari Model Fungsi Transfer, Model Intervensi dan Model Gabungan

c. Identifikasi Heteroskedastisitas (GARCH) pada varians residual model ARIMAX

d. Peramalan Model ARIMAX

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembentukan model ARIMAX dengan input skala metrik (model fungsi transfer).

i. Prewhitening Variabel Output Inflasi Kota Denpasar

Time Series Plot ofYt

( w ith 5 % sig n ifica n ce lim it s f o r th e a u to co r r e la t io n s) Aut oc or r e l a t io n Fu n ct io n f o r Y t 7

A -0,4

M o n th Ye a r 2000 Ja n 2001 Ja n 2002 Ja n 2003 Ja n 2004 Ja n 2005 Ja n

2006 Ja n

2007 Ja n

2008 Ja n

2009 Ja n

2010 Ja n

2011 Ja n

1 5 10 15 20 La g 25 30 35 40 45

Gambar 1 Time series plot inflasi Gambar 2 Plot ACF inflasi

Gambar 1 Menunjukkan bahwa data sudah stasioner, namun ada satu titik ekstrim yang diduga dapat mempengaruhi pemodelan. Plot ACF pada Gambar 2 terlihat bahwa tidak ada lag yang keluar dari batas (tidak ada yang signifikan) artinya data sudah white noise. Sehingga model ARIMA inflasi Kota Denpasar yaitu ARIMA (0,0,0), Hal ini dikarenakan datanya bersifat random. Persamaan model ARIMA (0,0,0) menggunakan nilai rata-ratanya yaitu

Y t  0,06244  a t , namun residual belum berdistribusi normal.

ii.Prewhitening Deret Input Jumlah Wisatawan Mancanegara

Time Series Plot of X1t

( w i t h 5 % si g n if i ca n ce l i m i t s fo r t h e a u t o co r r e l a t i o n s) 300000 300000

Lag Gambar 3 Time series plot Wisman Gambar 4 Plot ACF Wisman

Month

Ye a r Ja n 2001 Ja n 20 0 0 2002 Ja n Ja n Ja n Ja n

( w ith 5% significan ce lim its for th e auto co rr elations) Aut ocor r e la t ion Functi on for D1 2 . d1 . X1 t

Part ial Aut ocor relation Funct ion for D1 2 .d1 .X1 t (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

rt ia a -0,4

Gambar 5 Plot ACF Wisman setelah Gambar 6 Plot PACF Wisman setelah differencing 1 dan 12 differencing 1 dan 12

Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan plot ACF dan PACF data jumlah wisatawan mancanegara setelah differencing 1 reguler dan differencing musiman 12. Dengan melihat pola

PACF yang diesdown dan ACF cut off di lag 12, maka dugaan model ARIMA yang terbentuk adalah model ARIMA (0,1,0)(0,1,1) 12. .

Tabel 5 Estimasi dan Uji Signifikansi Parameter Model ARIMA Jumlah Wisatawan Mancanegara

Keputusan ARIMA(0,1,0)(0,1,1) 12

P_value

Signifikan

Tabel 6 Hasil Uji White Noise Residual ARIMA Jumlah Wisatawan Mancanegara

DF P_value Keputusan

5 0,4759 White Noise

ARIMA(0,1,0)(0,1,1) White Noise

17 0,4347 White Noise

23 0,4372 White Noise

Persamaan untuk deret input dengan model ARIMA (0,1,0)(0,1,1) 12 yang diperoleh

12 12 (1  B )(1  B ) x

adalah (1  B )(1  B ) x t  (1 12 B )  t jadi 

12 dan persamaan deret

(1 0, 79021  B )

(1 12  B )(1  B ) y

output adalah t  t 

12 . Penentuan nilai (b, r, s) didasarkan pada hasil plot

(1 0, 79021  B )

Crosscorrelation Function (CCF) analisis korelasi silang antara deret input dan deret output yang telah diputihkan yaitu hanya signifikan pada lag 1, sehingga diduga nilai b=1, r=0, dan s=0.

Tabel 7 Hasil Estimasi Parameter Model Fungsi Transfer

Parameter Estimasi

Variabel Shift  1 0,82821

P_value

Lag

12 y

0 x1 t 1

Berdasarkan Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa parameter model fungsi transfer telah signifikan dengan nilai P_value masing-masing parameter kurang dari 0,05. Model fungsi transfer dapat dituliskan dalam persamaan berikut:

y 12

t  0, 00001235 x t  1  (1 0,828 )(1 0, 739 B  B ) a t .

dengan: y t  Y t Yt t  1  Y t  12  Y t  13

x t  X t  X t  1  X t  12  X t  13

Berdasarkan hasil uji white noise residual fungsi transfer dan uji korelasi silang dengan deret input semua tidak signifikan pada taraf signifikansi 0,05 atau nilai P_value lebih besar dari 0,05 yang berarti model fungsi transfer telah memenuhi asumsi white noise

Pembentukan model ARIMAX dengan input skala nonmetrik (model intervensi). Efek yang ditimbulkan dari kejadian intervensi pada tingkat inflasi bisa terjadi saat t (bulan) dimana waktu intervensi itu terjadi dan ada juga yang terjadi pada t (bulan) berikutnya. Hal ini akibat dari tanggal pada bulan kejadian intervensi, jika tanggal kejadian intervensi pada akhir bulan maka efeknya terjadi pada bulan berikutnya. Hasil Estimasi dan Uji Signifikansi Parameter Model Intervensi dengan dugaan awal (b, r, s) menunjukkan bahwa untuk variabel intervensi kenaikan BBM pada bulan Januari 2003, kenaikan BBM bulan Mei 2008, kenaikan TDL bulan April 2003, kenaikan TDL bulan Juli 2003, kenaikan TDL bulan Oktober 2003, kenaikan TDL bulan Januari 2011, bom Bali I bulan Oktober 2002 tidak signifikan. Untuk kejadian bom Bali II signifikan pada t = 70 yang bersamaan dengan kenaikan BBM bulan Oktober 2005. Selanjutnya menguji kembali dengan mengeluarkan variabel intervensi yang tidak signifikan dengan dugaan model AR pada lag 1,4,6,7,9 yang signifikan. Hasil yang diperoleh variabel telah signifikan dengan taraf signifikansi 10% dan makin kecil nilai standard error nya.

Tabel 8 Estimasi dan Uji signifikansi Parameter Model Intervensi

setelah dieliminasi variabel input nonmetrik yang tidak signifikan Parameter

Estimasi

variabel Shift Keputusan  1 0,29594

Standar Error P_value

 1,1 -1,12522

 1,1 -1,05761

Se hingga model intervensi yang diperoleh dapat ditulis dalam persamaan berikut:

Y t  1, 67069 3 X 1, t  2, 65700 3 X 2, t  1,14046 3 X 3, t  1,12522 3 X 3, t  2,10702 3 X 5, t

 6, 49882 3 X 6, t  1,17414 3 X 7, t  1, 05761 3 X 7, t  1,80898 4 X 5, t  0, 29594 Y t  1

 0,16579 Y t  4  0, 24961 Y t  7  0,16153 Y t  9  a t

Pembentukan model ARIMAX dengan input skala metrik dan nonmetrik

Hasil estimasi dan uji signifikansi parameter pada model ARIMAX dengan gabungan input skala metrik dan nonmetrik. Pada variabel skala metrik yaitu jumlah wisatawan mancanegara (X 1 ) menjadi tidak signifikan dan pada skala nonmetrik variabel X3 1,t , X3 3,t , X3 7,t menjadi tidak signifikan pada model gabungan. Selanjutnya variabel nonmetrik yang tidak signifikan dikeluarkan dari model kemudian diestimasi dan uji signifikansi lagi hasilnya terlihat pada Tabel 9 berikut:

Tabel 9 Estimasi dan Uji Signifikansi Parameter Model ARIMAX gabungan setelah dieliminasi variabel input nonmetrik yang tidak signifikan

Parameter

Estimasi Standar Error P_value Lag variabel Shift

0 Signifikan

 7 -0,16377 0,06214

0 Signifikan

 1 0,0000039 Tidak 0,0000037 0,2954 0 X1 t 1

Signifikan

Variabel input skala metrik yaitu jumlah wisatawan mancanegara (X1 t ) masih tetap tidak signifikan pada model ARIMAX dengan gabungan input skala metrik dan nonmetrik. Sehingga persamaan model ARIMAX dengan input skala metrik dan nonmetrik yang terbentuk sebagai berikut:

Y t  0, 0000039 1 X t  2, 26918 3 X 2, t  2, 00331 3 X 5, t  6,58900 3 X 6, t  1,50445 4 X 5, t

 0,55540 Y t  1  0,32605 Y t  4  0,16377 Y t  7  0, 73162 Y t  9  a t

Perbandingan Model Fungsi Transfer, Model Intervensi dan Model Gabungan

Hasil analisis dari ketiga model ARIMAX, model intervensi merupakan model ARIMAX terbaik dengan melihat kriteria AIC, SBC dan Standard Error Estimasi memiliki nilai terkecil seperti terlihat pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10 Kriteria Pemilihan Model ARIMAX

Standart Error Estimate Fungsi Transfer

0,624375 Gabungan (skala metrik dan nonmetrik)

Identifikasi Heteroskedastisitas (GARCH) pada varians residual model ARIMAX yang terpilih

Pada analisis sebelumnya untuk model intervensi dan model fungsi transfer telah memenuhi asumsi yaitu signifikan terhadap parameter, white noise dan berdistribusi normal. Sedangkan parameter pada model gabungan tidak signifikan terhadap parameter yaitu pada variabel X1 t . Langkah selanjunya adalah pendeteksian terhadap adanya heteroskedastisitas hanya pada model intervensi dan fungsi trasnfer. Hasil deteksi heteroskedastisitas dengan uji Lagrange Multiplier, diperoleh bahwa kedua model bebas dari unsur heteroskedastisitas, dimana nilai P_value dari kedua model lebih besar dari 0,05

Tabel. 11 Hasil Uji Heteroskedastisitas Tabel. 12 Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan uji LM pada model Intervensi

dengan uji LM pada model fungsi Transfer

Q and LM Test s f or ARCH Dist urbances Q and LM Test s f or ARCH Dist urbances

Order Q Pr > Q LM Pr > LM

Order Q Pr > Q LM Pr > LM 1 0.0790 0.7787 0.0943 0.7588

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil analisis model ARIMAX yaitu model fungsi transfer, model intervensi dan gabungan ternyata model terbaiknya adalah model intervensi. Persamaan model intervensi yang terbentuk adalah:

Y t  1, 67069 3 X 1, t  2, 65700 3 X 2, t  1,14046 3 X 3, t  1,12522 3 X 3, t  2,10702 3 X 5, t

 6, 49882 3 X 6, t  1,17414 3 X 7, t  1, 05761 3 X 7, t  1,80898 4 X 5, t  0, 29594 Y t  1

 0,16579 Y t  4  0, 24961 Y t  7  0,16153 Y t  9  a t

Jadi dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak selamanya model ARIMAX yang melibatkan banyak prediktor yaitu input skala metrik dan nonmetrik menghasilkan model yang lebih baik. Hasil dari deteksi heteroskedastisitas dengan uji Lagrange Multiplier dari kedua model ARIMAX baik model intervensi maupun fungsi transfer tidak ada unsur heteroskedastisitas (GARCH).

E. DAFTAR PUSTAKA

Box, G.E., Jenkins, G., & Reinsel, G.C. (1994), Time Series Analysis:Forecasting and Control (3rd ed. ). New Jersey

Bollerslev, T. (1986), A Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasti-city. Journal of Econometrics, vol.31:307-327

BPS Provinsi Bali, 2000-2012, Bali Dalam Angka.

Engle, R.F. (1982), Autoregressive Conditional Heteroscedasticity with Estimats of Variance of U.K.Inflation . Econometrics, vol. 50:987-1008

Hasbullah, J. (2012), Tangguh dengan Statistik akurat dalam membaca Realita Dunia, penerbit Nuansa Cendikia

Kismiantini & Dhoriva(2010), Dampak penurunan harga BBM jenis Premium terhadap angka Inflasi kota Yogyakarta menggunakan model Intervensi dengan Step Fungsi Edisi Khusus Seminar Nasional Matematika, UNY, Yogyakarta, 5 Desember 2009.

Makridakis, S., Weelwright, S.C., & McGee.,V.E(1999), Metode dan Aplikasi Peramalan. Edisi kedua jilid I penerbit Erlangga

Rokimah, N. J. (2012), Pendekatan Fungsi Transfer dan Artificial Neural Network untuk Meramalkan Inflasi Jawa Timur . Tesis S2, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Wei, W.W.S. (2006), Time Series Analysis Univariate and Multivariate Method, Second Edition . Pearson Addison Wesley, USA

S - 28

PEMBENTUKAN SAMPEL BARU YANG MEMENUHI SYARAT VALID DAN RELIABEL DENGAN TEKNIK RESAMPLING PADA DATA KUISIONER TIPE YES/NO QUESTIONS

1 2 Stevvileny Angu Bima 3 , Adi Setiawan , Tundjung Mahatma

Mahasiswa Program Studi Matematika , 2), 3) Dosen Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60

Salatiga 50711 Email: stevvileny@yahoo.co.id, adi_setia_03@yahoo.com, t.mahatma@gmail.com.

Abstrak

Instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk memperoleh hasil penelitian yang valid dan reliabel. Namun, seringkali dalam melakukan penelitian diperoleh hasil yang kurang memuaskan karena terdapat banyak dari instrumen penelitian yang tidak valid dan reliabel. Untuk itu penelitian ini membahas bagaimana cara memperoleh sampel yang valid dan reliabel dari data awal dengan teknik resampling. Adapun tujuan penelitian ini adalah memperoleh sampel baru yang valid dan reliabel dengan ukuran yang lebih kecil. Dalam hal ini uji validitas menggunakan metode koefisien korelasi Kendall, dilanjutkan dengan pengujian reliabilitas dengan metode Kuder-Richardson (KR-20 dan KR-21), dan Analisis Hoyt. Data dalam penelitian ini merupakan hasil penyebaran kuesioner tipe yes/no questions dengan 60 titik sampel dan 50 instrumen penelitian. Dengan pengulangan pada masing-masing proses pengambilan sampel sebanyak 1000 kali diperoleh ukuran sampel minimum yang valid dan reliabel. Hasilnya adalah n = 38 melalui pengujian reliabilitas dengan Cronbach Alpha (KR-20); n = 49 dengan Kuder-Richardson-21; dan n = 41 titik sampel dengan Analisis Hoyt.

Kata kunci: Koefisien Korelasi Kendall, Kuder-Richarson, Analisis Hoyt, Resampling.

A. PENDAHULUAN

Instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk memperoleh hasil penelitian yang valid dan reliabel. Namun, seringkali dalam melakukan penelitian diperoleh hasil yang kurang memuaskan karena terdapat banyak dari instrumen penelitian yang tidak valid dan reliabel. Untuk itu penelitian ini membahas mengenai bagaimana cara memperoleh sampel yang valid dan reliabel dari data awal. Hal yang dilakukan adalah mengambil sampel ulang dengan teknik resampling yang dilakukan secara acak dan bebas. Teknik ini mereduksi anggota sampel baru yang mewakili sampel awal. Adapun tujuan penelitian ini adalah memperoleh sampel baru yang valid dan reliabel dengan ukuran yang lebih kecil dari data. Data yang diolah merupakan data mentah Pretest Pengetahuan mengenai Kesehatan Reproduksi Siswa Kelas X SMAK "St. Thomas Aquino" Tahun Ajaran 2011 / 2012 (kuesioner tipe yes/no questions) dengan 60 titik sampel dan 50 instrumen penelitian yang diambil dari skripsi Muaja dkk, 2013. Dalam hal ini uji validitas menggunakan metode koefisien korelasi Kendall, sedangkan uji reliabilitas menggunakan metode Kuder-Richardson (KR-20 dan KR-21), dan Pendekatan Analisis Hoyt (Analisis Varians). Pengujian reliabilitas mensyaratkan bahwa banyaknya jumlah

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

B. DASAR TEORI Koefisien Korelasi Kendall Tau

Korelasi Kendall Tau merupakan statistik nonparametrik. Korelasi ini digunakan pada data ordinal. Simbol yang biasa digunakan adalah dan ukuran sampel sebesar (Samsubar, 1986). Koefisien korelasi Kendall dengan peringkat berbeda dinyatakan sebagai berikut:

(1) dengan adalah total skor seluruhnya (grand total), yang merupakan jumlah skor urutan

kewajaran pasangan data pada salah satu variabel. Urutan ranking wajar diberi skor +1 dan urutan ranking tidak wajar -1. Koefisien korelasi Kendall dengan peringkat sama:

(2.b) = banyaknya obyek dari rangking yang sama pada variabel ,

= banyaknya obyek dari rangking yang sama pada variabel , = 1, …, , = 1, …, ,

= banyaknya butir pertanyaan, = banyaknya responden, = total skor seluruhnya (grand total).

Nilai dari dan r s (koefisien korelasi Spearman) tidak sama, walaupun dihitung dari pasangan ranking yang sama, sehingga kedekatan hubungan (asosiasi) variabel tidak bisa dibandingkan antara nilai dan . Nilai biasanya lebih besar dari nilai . namun demikian ada hubungan antara dua ukuran tersebut, yaitu:

(3) Uji signifikan koefisien korelasi Kendall dapat digunakan pendekatan uji Z dengan rumus:

dengan = banyaknya responden.

Nilai |Z hitung | dibandingkan dengan Z tabel . Jika |Z hitung | > Z tabel = Z 1- α dengan Z 1- α menyatakan kuantil ke 1- α dari distribusi normal baku dan α menyatakan tingkat signifikansi yang dipilih maka data valid (Samsubar, 1986).

Kuder-Richardson

Jika setiap komponen atau belahan tes merupakan butir yang diberi skor dikotomi (dichotomous), yaitu terdiri atas angka 0 dan 1. Metode yang cocok adalah Kuder-Richardson-

20 (KR-20, 1937) yang disebut juga dengan koefisien alpha (Cronbach, 1951). Selain itu juga Kuder dan Richardson merumuskan pula formula untuk menghitung reliabilitas tes yang terdiri atas item dikotomi, dengan menggunakan rata-rata proporsi subyek yang mendapat skor 1. (Rasyid. H & Mansur, 2007). Rumus ini dikenal dengan Kuder-Richardson, yaitu: Rumus Kuder-Richardson-20 (Cronbach Alpha):

dengan:

= proporsi responden yang memberikan skor 1 pada butir ke-i, yaitu banyaknya responden yang memberikan skor 1 dibagi dengan banyaknya seluruh responden, = banyaknya butir pertanyaan, = varians skor total.

Rumus Kuder-Rihardson-21:

(6) dengan:

= Rata-rata proporsi ( ) , dengan = 1,2,3, … , = banyaknya butir pertanyaan,

= varians skor total.

Pendekatan Analisis Variansi

Tes Reliabilitas dapat diestimasi melalui pendekatan Analisis Varians yang diusulkan oleh Hoyt (1941). Konsep dalam analisis Hoyt dapat dijelaskan sebagai berikut: Setiap butir pertanyaan dianggap sebagai suatu perlakuan/treatment yang berbeda sehingga setiap kali responden dihadapkan pada satu butir pertanyaan seakan-akan ia diberi perlakuan yang berbeda- beda; banyaknya butir pertanyaan sama dengan banyaknya perlakuan. Koefisien reliabilitas dengan metode Hoyt adalah (Rasyid. H & Mansur, 2007):

= (7) dengan:

= Rata – rata kuadrat interaksi butir pertanyaan dengan responden, = Rata – rata kuadrat antar responden.

Rata-rata kuadrat dapat dihitung dengan rumus:

= (7.a)

(7.b) dengan:

= skor responden pada pada baris ke dan kolom ke i, = jumlah skor tiap responden pada seluruh butir pertanyaan,

= jumlah skor tiap butir pertanyaan pada seluruh responden,

1, …, , = banyaknya butir pertanyaan,

= banyaknya responden. Butir pertanyaan dikatakan reliabel jika nilai koefisien yang diperoleh ≥ 0,40 (Azwar, 2007).

Resampling

Metode resampling adalah teknik pengambilan sampel ulang terhadap sampel awal secara acak. Teknik ini memberikan peluang sama kepada anggota sampel awal untuk dipilih menjadi anggota sampel baru dengan ukuran lebih besar atau lebih kecil dari ukuran sampel awal. Resampling dibedakan menjadi dua yaitu pengambilan sampel ulang dilakukan secara acak dengan pengembalian (with replacement) untuk memperoleh ukuran sampel baru yang lebih kecil atau sama dengan sampel awal dan tanpa pengembalian (without replacement) untuk memperoleh ukuran sampel baru yang lebih besar atau sama dengan sampel awal (Sugiyono, 2009). Teknik ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalkan dimiliki sampel:

S = {1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10}.

Apabila dengan menggunakan sampel S dilakukan pengambilan sampel ukuran n = 7 tanpa pengembalian maka dapat diperoleh beberapa kemungkinan sampel baru yang terpilih seperti:

S 1 = { 9, 7, 6, 8, 4, 1, 10}, S 2 = { 5, 6, 9, 2, 7, 8, 4 }, S 3 = { 4, 8, 10, 6, 1, 7, 3 }.

C. METODE PENELITIAN

 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data mentah pretest Pengetahuan mengenai Kesehatan Reproduksi Siswa Kelas X SMAK "St. Thomas Aquino" Tahun Ajaran 2011 / 2012, berupa kuesioner tipe yes/no questions dengan 60 titik sampel dan 50 butir pertanyaan.

 Variabel Penelitian o Variabel Dependen: = Skor total dari butir – butir pertanyaan. o Variabel Independen: = Butir – butir pertanyaan.

 Langkah – Langkah dalam Analisis Data Analisis data pada penelitian ini menggunakan alat bantu program aplikasi R.3.0.1.

1. Melakukan uji validitas dengan menghitung nilai koefisien korelasi Kendall dari setiap butir pertanyaan dilanjutkan uji signifikan dengan menghitung nilai |Z hitung |. Jika nilai |Z hitung |>Z tabel , maka butir pertanyaan tersebut valid.

2. Menentukan koefisien reliabilitas dengan menggunakan metode Kuder-Richardson (KR-20 dan KR-21) dan Analisis Variansi dari butir-butir pertanyaan yang valid.

3. Melakukan pengambilan sampel dengan menggunakan teknik resampling. Sampel baru harus berukuran lebih kecil dari sampel awal, dan dilanjutkan dengan pengujian validitasnya. Jika banyaknya butir-butir pertanyaan yang valid lebih dari 25 (yaitu separuh dari banyaknya butir pertanyaan) maka dapat dilanjutkan dengan pengujian reliabilitas pada item-item yang valid tersebut.

4. Melakukan pengulangan pada langkah ke-3 sebanyak 100, 1000, 5000 dan 10.000 kali. Hal ini dilakukan karena setiap pengambilan sampel dengan ukuran yang sama menghasilkan kombinasi sampel yang sangat beragam sehingga berpeluang untuk menghasilkan banyaknya item valid yang berbeda-beda. Proses pengulangan dilakukan hingga banyaknya item yang valid lebih dari 25 item. Sedangkan apabila setelah pengulangan ternyata banyaknya item yang valid masih kurang dari 25, maka tidak dapat dilanjutkan pada pengujian reliabilitas. Hal ini berarti bahwa sampel baru tersebut dapat dinyatakan tidak valid dan reliabel.

5. Membuat histogram dari sampel baru yang valid dengan menampilkan informasi mengenai nilai koefisien reliabilitas serta frekuensi pengulangan munculnya nilai- nilai tersebut. Jika nilai koefisien reliabilitas lebih dari dan sama dengan 0,4 pada

histogram maka sampel baru dinyatakan valid dan reliabel.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Uji Validitas Instrumen dengan Korelasi Kendall Tau

Berdasarkan data dan dengan menggunakan persamaan (2) diperoleh koefisien korelasi Kendall antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total. Berdasarkan persamaan (4) dengan n = 60 dan butir pertanyaan sebanyak 50, serta Z tabel =1,96 dengan tingkat signifikansi

5%, maka diperoleh |Z hitung | seperti pada Tabel 5. Pada Tabel 5 terdapat 17 butir pertanyaan yang valid (yang ditebalkan/ bold) karena memenuhi ketentuan (|Z hitung | ≥Z tabel ), dan terdapat 33 butir yang tidak valid (|Z hitung | < Z tabel ). Karena jumlah butir pertanyaan yang valid kurang dari setengah kali banyaknya butir pertanyaan awal yaitu 17 yang adalah kurang dari 25, maka tidak dapat dilanjutkan dengan uji reliabilitas. Jadi data awal disimpulkan tidak valid dan reliabel.

Tabel 5. Koefisien Korelasi Kendall dan |Z hitung |

Koefisien |Z hitung | Pertanyaan

Butir Koefisien

|Z hitung |

Butir

Korelasi Kendall ( ) Kendall ( )

Pengambilan Sampel

Berdasarkan tujuan dari paper ini yaitu memperoleh sampel baru yang valid dengan ukuran sampel yang lebih kecil atau sama dengan sampel awal dan yang lebih besar dari sampel awal, maka dilakukan proses pengambilan sampel dengan teknik resampling. Ukuran sampel awal adalah 60 titik sampel atau responden. Pengambilan sampel dilakukan dari sampel awal Berdasarkan tujuan dari paper ini yaitu memperoleh sampel baru yang valid dengan ukuran sampel yang lebih kecil atau sama dengan sampel awal dan yang lebih besar dari sampel awal, maka dilakukan proses pengambilan sampel dengan teknik resampling. Ukuran sampel awal adalah 60 titik sampel atau responden. Pengambilan sampel dilakukan dari sampel awal

Histogram Cronbach Alpha Histogram Hoyt

Cronbach Alpha Analisis Variansi

Kuder-Richardson-21

Kuder-Richardson-21

Gambar 1. Histogram hasil pengambilan sampel dengan ukuran lebih besar dari data yaitu 59

titik sampel pada 100 kali pengulangan.

Tabel 6. Pengambilan Sampel

Banyaknya Pengulangan

Ukuran Sampel Minimum yang Valid dan Reliabel

Penarikan Sampel

Cronbach Alpha

KR-21

Analisis Hoyt

54 57 58 Dari Tabel 6. Dapat menunjukkan bahwa dengan semakin banyak melakukan pengulangan

dalam pengambilan sampel maka ukuran sampel minimum yang valid dan reliabel semakin besar. Dalam hal ini diperoleh ukuran sampel minimum sebesar 38 titik sampel untuk pengujian reliabilitas dengan Cronbach Alpha, 49 dengan Kuder-Richardson-21 sedangkan 41 dengan Analisis Hoyt yaitu dengan 1000 kali pengulangan karena jumlah sampel minimum yang

diperoleh lebih besar dari jumlah sampel awal. Pada Gambar 2 dapat dilihat nilai koefisien reliabilitas Cronbach alpha () berkisar dari 0,45 sampai 0,85 dan menurut metode Kuder-

Richard-21 berkisar dari 0,45 sampai 0,95, sedangkan menurut metode Hoyt berkisar dari 0,45 sampai 0,85.

Histogram Cronbach Alpha Histogram Kuder-Richard-21

Cronbach Alpha Kuder-Richard-21

Histogram Analisis Hoyt

Analisis Hoyt

Gambar 2. Histogram hasil pengambilan sampel yang berukuran lebih kecil dari data yaitu 38, 49 dan

41 pada 1000 kali pengulangan.

E. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan uji validitas dan uji reliabilitas serta resampling terhadap 60 titik sampel data yang tidak valid dan reliabel, dapat diperoleh sampel bagian yang masih memenuhi syarat valid dan reliabel. Diperoleh ukuran sampel minimum sebesar 38 titik sampel untuk pengujian reliabilitas dengan Cronbach Alpha, 49 titik sampel dengan Kuder- Richardson-21 dan 41 titik sampel dengan Analisis Hoyt. Jadi dapat disimpulkan bahwa teknik resampling dapat digunakan untuk memperoleh sampel baru yang masih valid dan reliabel dengan ukuran yang berbeda dari data awal yang tidak valid dan reliabel.

F. DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rhineka Cipta.

Azwar, S. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Angu Bima. S . Setiawan. A & Mahatma. T. 2013. Pembentukan Sampel Baru Yang Masih Memenuhi Syarat Valid Dan Reliabel Dengan Teknik Resampling . Seminar Nasional Matematika Unnes Semarang.

Muaja. J. Setiawan. A. & Mahatma. T. 2013. Uji Validitas Dan Uji Reliabilitas Menggunakan Metode Bootstrap Pada Data Kuisioner Tipe Yes/No Questions . Prosiding Seminar Nasional Sains Dan Pendidikan Sains VIII UKSW.

Rasyid. H. & Mansur. 2007. Penilaian Hasil Belajar. CV Wacana Prima: Bandung.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung.

Samsubar S. 1986. Statistik Non Parametrik. BPFE-Yogyakarta.

S - 29

MODEL STOKASTIK UNTUK PERAWATAN SISTEM SERI

1 2 Suyono 3 , Widyanti Rahayu , Bambang Irawan 1,2,3 Jurusan Matematika FMIPA UNJ

1 2 synjkt@yahoo.com, 3 wididyanti.rahayu@gmail.com, bambangirawan6@gmail.com

Abstrak

Perhatikan sistem seri dengan n komponen yang saling indepeden. Sistem mulai dioperasikan pada waktu t = 0. Jika sebuah komponen rusak maka segera diperbaiki sehingga kondisinya seperti komponen yang baru dan waktu penggantian dianggap diabaikan. Jika banyaknya kerusakan dari setiap komponen pada interval [0, t ] dimodelkan dengan proses renewal, maka banyaknya kerusakan sistem seri pada interval [0, t] merupakan superposisi dari proses renewal. Jika pada setiap perbaikan komponen dikenakan biaya perawatan maka total biaya perawatan setiap komponen merupakan proses renewal reward, dan total biaya perawatan sistem seri merupakan superposisi proses renewal reward. Selanjutya jika pada setiap biaya perawatan dikaitkan faktor diskon, maka total biaya perawatan sistem seri merupakan superposisi proses renewal reward terdiskon. Mean dan momen dari superposisi proses renewal reward dan versi terdiskonnya pada interwal waktu [0, t] telah dibahas dalam literatur. Dalam aplikasi sering berguna untuk memodelkan biaya perawatan sistem untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu perlu diteliti sifat-sifat model

perawatan sistem pada interval waktu [0, ). Pada makalah ini dibahas sifat-sifat asimtotik dari superposisi proses renewal serta superposisi proses renewal reward and versi diskonnya

Kata kunci: proses renewal, proses renewal reward

A. PENDAHULUAN

Untuk menjaga agar suatu sistem (mesin produksi, mobil, peralatan elektronik, dll) dapat bekerja secara optimal diperlukan strategi perawatan yang baik. Kerusakan sistem biasanya terjadi pada waktu-waktu yang tidak dapat diprediksi secara pasti. Oleh karena itu waktu-waktu kegagalan sistem atau banyaknya kegagalan sistem pada interval waktu tertentu dapat dimodelkan dengan proses stokastik.

Anggap suatu sistem mulai bekerja pada waktu t = 0. Misalkan S 1 adalah waktu terjadinya kerusakan sistem yang pertama, S 2 waktu terjadinya kerusakan sistem yang kedua, dan seterusnya. Misalkan T 1 =S 1 ,T 2 =S 2 –S 1 , … menyatakan waktu-waktu antara kerusakan sistem. Jika diasumsikan T 1 ,T 2 , … saling indepenen dan berdistribusi identik maka banyaknya kegagalan sistem pada interval waktu tertentu dapat dimodelkan dengan proses renewal. Pembahasan tentang proses renewal dapat dilihat misalnya pada Ross (1996) dan Mi (2000).

Perhatikan sistem seri yang terdiri dari n komponen yang saling indepeden. Banyaknya kegagalan dari setiap komponen pada interval [0, t] dimodelkan dengan proses renewal. Hal ini berakibat bahwa banyaknya kegagalan sistem pada interval [0, t] merupakan jumlahan dari n proses renewal. Proses ini dikenal dengan superposisi dari proses renewal. Beberapa hasil tentang superposisi proses renewal dapat dilihat pada Suyono dan van der Weide (2010).

Jika terhadap setiap perawatan komponen dikenakan biaya perawatan maka total biaya perawatan setiap komponen merupakan proses renewal reward, dan total biaya perawatan sistem merupakan superposisi proses renewal reward. Jika selanjutya pada setiap biaya perawatan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Dalam aplikasi sering berguna model biaya perawatan sistem untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu perlu diteliti sifat-sifat dalam model perawatan sistem pada interval waktu

[0, ). Secara khusus permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana sifat-sifat asimtotik dari superposisi proses renewal, proses renewal reward and versi diskonnya.

B. PEMBAHASAN Superposisi Proses Renewal

Misalkan untuk setiap i = 1, 2, …, n, X i 1 , X i 2 , X i 3 , … adalah barisan variabel acak non-negatif yang saling independen dan berdistribusi identik dengan fungsi distribusi kumulatif

F i . Let S im  X i 1  X i 2    X im , m  1, and S i 0 = 0. Proses counting {N i (t), t  0} dimana

N i ( t )  sup{ m  0 | S im  t }   1 { S im  t } (1)

adalah proses renewal. Proses {N i (t), t  0} dapat diinterpretasikan sebagai banyaknya kegagalan komponen ke i dari suatu sistem pada interval waktu [0, t] jika X i 1 ,X i 2 ,X i 3 , … diinterpretasikan waktu-waktu antara perbaikan komponen ke i. Transformasi Laplace dari N i (t) diberikan oleh

lihat Suyono (2003), dimana * F

i ( s ) menyatakan transformasi Laplace-Stieltjes dari F i , yakni

 F st

i ( s )  e dF i ( t ) ] .

Mean dan momen kedua dari N i (t) dapat disajikan dalam bentuk transformasi Laplace sebagai berikut, lihat Suyono (2003),

N ( t )   N i ( t ) (6)

dimana {N i (t), t  0} adalah proses renewal untuk setiap i = 1, 2, …, n. Proses stokastik {N(t), t  0} dinamakan superposisi proses renewal. Secara umum {N(t), t  0} bukan proses renewal.

Distribusi probabilitas dari N(t) belum ditemukan dalam literature, tetapi mean dan momen dari N (t) dapat ditemukan dengan menggunakan sifat harga harapan, misalnya

E [ N ( t )]   E [ N i ( t )] (7)

dan

2 E 2 [ N ( t )]  

E [ N i ( t )]  2  E [ N i ( t )] E [ N j ( t )] (8)

Proses {N(t), t  0} dapat diinterpretasikan sebagai banyaknya kegagalan sistem seri dengan n komponen pada interval waktu [0, t].

Superposisi Proses Renewal Reward

Terkait dengan proses renewal di Bagian A, definisikan

R i ( t )   Y ij (9)

dimana untuk setiap i, barisan ( Y ij ) , j = 1, 2, …, merupakan barisan variable acak non-negatif yang saling independen dan berdistribusi idetik dan independen terhadap barisan X i 1 ,X i 2 ,X i 3 ,… Variabel Y ij dapat diinterpretasikan sebagai biaya perawatan komponen ke i pada kegagalan ke j. Jadi variable R i (t) menyatakan total biaya perawatan komponen ke i pada sistem seri pada interval

[0, t]. Proses {R i (t), t  0} dinamakan proses renewal reward. Distribusi probabilitas dari R i (t) dapat disajikan dalam bentuk transformasi Laplace ganda:

 st

E [exp{  vR i ( t )}] e dt 

0 s [ 1  F i ( s ) E [exp{  vY i 1 }]

dimana Y i 1 adalah reward pertama pada proses renewal reward {N i (t), t  0), lihat Suyono (2003). Dari rumus (10) dapat diturunkan momen-momen dari R i (t) dalam bentuk transformasi Laplace, misalnya,

 E [ R i ( t )] e dt 

1  F i ( s )  Definisikan

0 s [ 1  F i ( s )] 

R ( t )   R i ( t ) (13)

Proses stokastik {R(t), t  0} merupakan superposisi proses renewal reward. Mean dan momen-momen dari R(t) dapat diperoleh dengan menggunakan sifat dari harga harapan, misalnya

E [ R ( t )]   E [ R i ( t )] (14)

dan

2 E 2 [ R ( t )]  

E [ R i ( t )]  2  E [ R i ( t )] E [ R j ( t )] (15)

Superposisi Proses Renewal Reward Terdiskon

Anggap terhadap setiap biaya perawatan dikaitkan suatu diskon. Notasikan dengan S ij waktu terjadinya kegagalan ke j dari komponen ke i (j = 1, 2, 3, …; i = 1, 2, …, n). Jika biaya perawatan Y ij pada waktu S ij didiskon dengan laju konstan r, maka total biaya perawatan terdiskon dari komponen i pada interval [0, t] adalah

i ( t )   exp{  rS ij } Y ij (16) i ( t )   exp{  rS ij } Y ij (16)

Karena {N d

i (t ) adalah sebagai berikut, lihat van der Weide, Suyono, dan van Noortwijk (2008),

E [ Y i 1 ] F i ( 2 r  s )[ 1  F i ( r  s )]  2 ( E [ Y ij ]) F i ( r  s ) F i ( 2 r  s )

E [ R i ( t ) ] e dt 

0 s [ 1  F i ( r  s )][ 1  F i ( 2 r  s )] Definisikan

Proses {R d (t), t  0} merupakan superposisi dari proses renewal reward terdiskon. Mean dan momen kedua dari R d (t) dapat diperoleh dengan menggunakan rumus yang serupa dengan

rumus (14) dan (15).

S ifat-sifat Asimtotik dari Superposisi Proses Renewal

Perhatikan kembali proses renewal {N i (t), t  0} yang telah dibahas pada Bagian A dengan waktu-waktu antara X i 1 , X i 2 , X i 3 , … yang memiliki fungsi distribusi kumulatif F i . Menurut teorema renewal elementer, lihat Ross (2000),

E [ N i ( t )]

lim t

Dari persamaan (7),

E [ N ( t )]   E [ N i ( t )] .

Dengan menggunakan sifat limit diperoleh

E n [ N ( t )] E [ N

i ( t )]

lim t

 lim

E [ N i ( t  )] 

lim

i  1 E [ X it ]  1

i  1 E [ X it ]

Berikut ini sifat limit yang lebih lengkap dari superposisi proses renewal tetapi dengan asumsi yang lebih tegas. Anggap waktu-waktu antara X i 1 , X i 2 , X i 3 , … kontinu. Anggap pula transformasi Laplace dari harga harapan E[N i (t)] yang disajikan dalam persamaan (4), yakni

E [ N i ( t )] e dt  

 st

0 s [ 1  F i ( s )] 0 s [ 1  F i ( s )]

 st

i ( s )  e dF i ( s )  1  sE [ X i 1 ]  2 s E [ X i 1 ]  o ( s ) .

Sebagai akibatnya, untuk s  0,

s dimana r(s) adalah fungsi rasional dari s. Dengan menginversi transformasi Laplace di atas diperoleh, untuk t  ,

2 ( E [ X i 1 ])

t 2 Var [ X

i 1 ]  ( E [ X i 1 ])

E [ N i ( t )] 

2  o ( 1 ) (19)

2 ( E [ X i 1 ])

dimana suku o(1) menuju 0 secara eksponensial. Sebagai akibatnya

E [ N ( t )]   E [ N i ( t )]

E [ X it ] i  1 2 ( E [  X  1 i 1 ])

Untuk momen kedua dari N i (t), transformasi Laplacenya adalah sebagai berikut, lihat persamaan (5),

F i s  * ( )[ 1 F i ( s )]

2  st

 E [ N i ( t )] e dt 

0 s [ 1  F i ( s )]

Untuk s  0,

i 1 ]) 1  1

4  6 ( E [ X i 1 ])  9 ( E [ X i 1 ]) E [ X i 1 ]  4 E [ X i 1 ] E [ X i 1 ]  9 ( E [ X i 1 ]) 

6 ( E [ X i 1 ])

dan r(s) adalah suatu fungsi rasional dalam s. Dengan menginversi transformasi Laplace di atas diperoleh, untuk t  ,

2 E [ X i 1 ]  3 ( E [ X i 1 ])

E [ N i ( t )] 

3 t  K  o ( 1 ) (20)

( E [ X i 1 ])

( E [ X i 1 ])

Dari persamaan (19) dan (20) diperoleh,

2 Var 2 [ N

i ( t )]  E [ N i ( t )]  ( E [ N i ( t )])

 E [ X i 1 ]  2 ( E [ X i 1 ]) 

i 1 ]  ( E [ X i 1 ])

( E [ X i 1 ])

( E [ X i 1 ])

 E [ X i 1 ]  2 ( E [ X i 1 ]) 

2 2 Var 2 [ X

( E [ X i 1 ])

( E [ X i 1 ])

atau

Var [ N i ( t )] Var [ X i 1 ]

lim t

i 1 ])

Sebagai akibatnya sifat asimtotik dari superposisi proses renewal

adalah

Var [ N ( t )]  Var   N i ( t )

Var  N i ( t ) 

 E [ X i 1 ]  2 ( E [ X i 1 ]) 

2 2 Var 2 [ X

i  1 ( E [ X i 1 ])

i  1 ( E [ X i 1 ])

atau

Var n [ N ( t )] Var [ X

lim

i  1 ( E [ X i 1 ])

Selanjutnya akan dibahas limit distribusi dari superposisi proses renewal. Limit distribusi untuk proses renewal (N i (t), t ≥ 0) adalah normal, yakni untuk t yang cukup besar N i (t)

berdistribusi normal dengan mean dan variansi Var [ X i t E X 1 3 ] /( [ i 1 ]) ,

lihat Cox (1962). Karena N(t) adalah jumlahan dari variabel acak independen yang secara asimtotik berdistribusi normal, maka secara asimpotik, N(t) juga berdistribusi normal dengan

mean 3 

dan variansi  Var [ X i 1 ] t /( E [ X i 1 ]) .

Sifat-sifat Asimtotik dari Superposisi Proses Renewal Reward

Perhatikan kembali proses renewal {R i (t), t  0} dimana

R i ( t )   Y ij .

Menurut teorema renewal reward, lihat Ross (2000),

E [ N i ( t )] E [ Y i 1 ]

lim t

Untuk superposisi proses renewal reward Untuk superposisi proses renewal reward

E n [ R ( t )] E [ R

i ( t )]

lim t

 lim

E [ R i ( t  )] 

lim

i  1 E [ X it ]

Berikut ini sifat limit yang lebih lengkap dari superposisi proses renewal reward dengan asumsi waktu-waktu antara X i 1 ,X i 2 ,X i 3 , … kontinu dan transformasi Laplace dari harga harapan

E [R i (t)], yakni

E [ R i ( t )] e dt  

 st

0 s [ 1  F i ( s )]

merupakan fungsi rasional dalam s. Jika momen pertama dan kedua dari X i 1 berhingga maka untuk s  0

 st

i ( s )  e dF i ( s )  1  sE [ X  1 i 1 ]  2 s E [ X i 1 ]  o ( s )

dan sebagai akibatnya, untuk s  0,

E [ Y i 1 ] 1 E [ Y i 1 ]{ E [ X i 1 ]  2 ( E [ X i 1 ]) } 1

 st

 E [ R i ( t )] e dt 

2 ( E [ X i 1 ])

E [ Y i 1 ] 1 E [ Y i 1 ]{ Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) } 1

s dimana r(s) adalah fungsi rasional dari s. Dengan menginversi transformasi Laplace di atas

2 ( E [ X i 1 ])

diperoleh, untuk t  ,

i 1 ] t E [ Y i 1 ]{ Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) }

E [ R i ( t )] 

2 ( E [ X i 1 ])

dimana suku o(1) menuju 0 secara eksponensial. Sebagai akibatnya

E [ R ( t )]   E [ R i ( t )]

i 1 ] t E [ Y i 1 ]{ Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) ]}

2 ( E [ X i 1 ])

E [ Y i 1 ]{ Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) ]}

i  1 E [ X i 1 ] i  1 2 ( E [ X i 1 ])

Untuk momen kedua dari R i (t), transformasi Laplacenya adalah sebagai berikut, lihat persamaan (12),

2  st

E [ R i ( t )] e dt 

0 s [ 1  F i ( s )] 

Untuk s  0,

2 dimana L adalah suatu konstanta yang tergantung pada 3 E [ X

i 1 ], E [ X i 1 ], E [ X i 1 ], E [ Y i 1 ] dan

i 1 ] dan r(s) adalah suatu fungsi rasional dalam s. Dengan menginversi transformasi Laplace di atas diperoleh, untuk t  ,

Sebagai akibatnya untuk t  ,

2 Var 2 [ R

i ( t )]  E [ R i ( t )]  ( E [ R i ( t )])

i 1 ]) Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) Var [ Y i 1 ]

( E [ X i 1 ])

atau

i ( t )] ( E [ Y i 1 ]) Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) Var [ Y i 1 ] lim t

2 Var 2 [ N

i 1 ])

Untuk superposisi proses renewal reward

Var [ R ( t )]  Var   R i ( t ) 

Var  R i ( t ) 

i 1 ]) Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) Var [ Y i 1 ]

i  1 ( E [ X i 1 ])

atau

i 1 ]) Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) Var [ Y i 1 ] t lim

2 Var 2 [ R ( t )] ( E [ Y

i  1 ( E [ X i 1 ])

Limit distribusi dari superposisi proses renewal reward (R i (t), t ≥ 0) adalah normal, yakni

untuk i yang cukup besar R i (t) berdistribusi normal dengan mean dan variansi C i t

i 1 ]) Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) Var [ Y i 1 ]

dimana C i 

3 , lihat Suyono (2002). Karena R(t) adalah

( E [ X i 1 ])

jumlahan dari variabel acak independen yang secara asimtotik berdistribusi normal, maka secara

asimpotik, R(t) juga berdistribusi normal dengan mean  dan variansi  C i t .

Sifat-sifat Asimtotik dari Superposisi Proses Renewal Reward Terdiskon

Perhatikan proses renewal reward terdiskon

i ( t )   exp{  rS ij } Y ij .

Transformasi Laplace untuk harga harapannya adalah

 [ i ( )] *

d  st

E R t e dt 

0 s [ 1  F i ( r  s )] Jika momen pertama dan kedua dari X i 1 berhingga maka untuk s  0

i ( s )  e dF i ( s )  1  sE [ X i 1 ]  1 2 s E [ X i 1 ]  o  s ( )

 st

dan sebagai akibatnya, untuk s  0,

 2 2 d  st

1 E [ Y i 1 ]{ E [ X i 1 ]  2 ( E [ X i 1 ]) } 1

 E [ R i ( t )] e dt 

2 ( E [ X i 1 ])

1 E [ Y i 1 ]{ Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) } 1

r  s dimana R(s) adalah fungsi rasional dari s. Dengan menginversi transformasi Laplace di atas

2 ( E [ X i 1 ])

diperoleh, untuk t  ,

d E [ Y i 1 ] te

 rt

E [ Y i 1 ]{ Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) }  rt

E [ R i ( t )] 

2 ( E [ X i 1 ])

dimana suku o(1) menuju 0 secara eksponensial. Sebagai akibatnya

d E d [ R ( t )]  

E [ R i ( t )]

i 1 ] te

 rt

E [ Y i 1 ]{ Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) ]}  rt 

2 ( E [ X i 1 ])

i 1 ] te

 rt

E [ Y i 1 ]{ Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) ]}  rt

i  1 2 ( E [ X i 1 ])

C. KESIMPULAN

Sifat-sifat asimtotik yang terkait dengan model perawatan sistem seri adalah sebagai berikut:

t 2 Var [ X

i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) ]

1. E [ N ( t )]  n

2  o ( 1 ) untuk t menuju tak

E [ X it ] i  1 2 ( E [  X i 1 i 1  ])

hingga. Var n [ N ( t )] Var [ X

2. lim t

i  1 ( E [ X i 1 ])

E n [ R ( t )] E [ Y

3. t lim

i  1 E [ X it ]

E [ R ( t )]  

E [ Y i 1 ]{ Var [ X i

1 ]  ( E [ X i 1 ]) ]}

2  o ( 1 ) untuk t menuju tak

i  1 E [ X i 1 ] i  1 2 ( E [ X i 1 ])

hingga.

2 Var 2 [ R ( t )] ( E [ Y

i 1 ]) Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) Var [ Y i 1 ]

5. t lim

i  1 ( E [ X i 1 ])

6. E [ R ( t )]  

i 1 ] te

 rt

E [ Y i 1 ]{ Var [ X i 1 ]  ( E [ X i 1 ]) ]}  rt

2 e  o ( 1 ) untuk t

i  1 2 ( E [ X i 1 ])

menuju tak hingga.

D. DAFTAR PUSTAKA

Mi, J. 2000. Average number of events and average reward, Probab. Eng. Inform. Sc. Vol. 14 no.

4, pp. 485-510.

Rackwitz, R. 2001. Optimizing systematically renewed structure, Reliability Engineering and System Safety , vol. 73 no. 3, pp. 27-60.

Ross, S.M. 1996. Stochastic Processes, John Wiley, New York.

Suyono. 2002. Renewal Processes and Repairable Systems, Delft University Press, The Netherlands.

Suyono dan van der Weide, J.A.M. 2003. Note on Renewal Reward Processes, Proc. Of the International Conference on Mathematics and Its Applications , Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal 551-556.

Suyono dan van der Weide, J.A.M. 2010. Note on Superposition of Renewal Processes, Jurnal Matematika dan Sains vol. 15 no. 2 tahun 2010 hal. 93-100.

Van der Weide, J.A.M., Suyono dan van Noortwijk, J.M. 2007. Renewal Theory with Hyperbolic and Exponential Discounting, Probability in the Engineering and Informational Sciences,

22, hal. 1 – 22.

S - 30

PERBANDINGAN BERGANDA SESUDAH UJI KRUSKAL-WALLIS

Tanti Nawangsari

Prodi Pendidikan Matematika FKIP UNIROW Tuban Jl. Manunggal 61 Tuban Email: nawangsarit@yahoo.com

Abstrak

Salah satu metode statistika nonparametrik yang setara dengan analisis ragam satu arah (one way anova) adalah uji Kruskal-Wallis. Uji ini bertujuan untuk menguji hipotesis bahwa beberapa sampel independen berasal dari populasi yang sama. Kesimpulan yang diperoleh dari uji Kruskal-Wallis apabila keputusan yang

diambil menolak H 0 adalah tidak semua populasi asal sampel sama. Untuk

mengetahui populasi –populasi mana yang berbeda dapat dilakukan perbandingan berganda. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana prosedur perbandingan berganda sesudah uji Kruskal-Wallis dan bagaimana penerapan perbandingan berganda dalam bidang pendidikan matematika?

Kata Kunci : perbandingan berganda, uji Kruskal-Wallis

A. PENDAHULUAN

Apabila data yang dianalisis berada dalam skala nominal maupun ordinal maka metode analisis yang tepat digunakan adalah metode statistika nonparametrik. Apabila data berada dalam skala interval ataupun rasio maka metode analisis yang dapat digunakan adalah metode statistika parametrik jika asumsi-asumsi yang terdapat pada metode statistika parametrik dapat dipenuhi (Siegel, 1986). Namun apabila asumsi-asumsi tersebut tidak terpenuhi maka kita dapat menggunakan statistika nonparametrik.

Statistika nonparametrik adalah suatu uji yang modelnya tidak menetapkan asumsi- asumsi mengenai parameter-parameter populasi yang merupakan sumber sampel penelitiannya (Siegel, 1986). Statistika nonparametrik disebut juga statistika bebas distribusi (Susetyo, 2010). Statistika nonparametrik disebut juga statisika bebas distribusi atau sebaran karena metodenya tidak membutuhkan asumsi tentang pola sebaran populasi (Dajan, 1986).

Salah satu metode statistika nonparametrik yang setara dengan analisis ragam satu arah (one way anova) yaitu uji Kruskal-Wallis. Uji ini bertujuan untuk menguji hipotesis bahwa beberapa sampel independen berasal dari populasi yang sama.

Kesimpulan yang diperoleh dari uji Kruskal-Wallis apabila keputusan yang diambil menolak H 0 adalah tidak semua populasi asal sampel sama. Untuk mengetahui populasi – populasi mana yang berbeda dapat dilakukan perbandingan berganda. Pertanyaan dalam tulisan ini adalah: 1) Bagaimana prosedur perbandingan berganda sesudah uji Kruskal-Wallis, dan 2) Bagaimana penerapan perbandingan berganda sesudah uji Kruskal-Wallis dalam bidang pendidikan matematika? Tujuan dari penulisan ini adalah: 1) untuk mendeskripsikan prosedur perbandingan berganda sesudah uji Kuskal-Wallis, dan 2) untuk mendeskripsikan penerapan perbandingan berganda sesudah uji Kruskal-Wallis dalam bidang pendidikan matematika.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

B. PEMBAHASAN

Uji Kruskal-Wallis adalah uji yang sangat berguna untuk menentukan apakah k sampel independen berasal dari populasi-populasi yang berbeda (Siegel, 1986). Hipotesis yang ada dalam uji Kruskal- Wallis adalah:

H 0 : Ke-k populasi memiliki median yang sama.

H 1 : Tidak semua dari ke-k populasi memiliki median yang sama. Apabila keputusan yang diambil adalah menolak H 0 maka kesimpulan yang diperoleh adalah tidak semua dari ke-k populasi memiliki median yang sama atau dengan kata lain tidak semua populasi asal sampel sama. Untuk mengetahui populasi-populasi mana yang berbeda dapat dilakukan perbandingan berganda.

1. Prosedur Perbandingan Berganda sesudah Uji Kruskal-Wallis. Perbandingan berganda sesudah uji Kruskal-Wallis dilakukan dengan prosedur berikut ini:

a. Menghitung rata-rata peringkat dari masing-masing sampel.

b. Memilih experimentwise error rate sebesar  yang dianggap sebagai suatu taraf nyata yang menyeluruh.

Pemilihan  sebagian ditentukan oleh k yaitu banyaknya sampel yang dilibatkan.  yang dipilih biasanya lebih besar daripada yang umum digunakan dalam perbandingan tunggal, misalkan 0,15, 0,20 atau 0,25.

c. Mencari nilai ( [/( )]) . Nilai z ini dapat dicari pada tabel distribusi normal baku.

d. Membandingkan ) − dengan

− adalah harga mutlak selisih rata-rata peringkat dari sampel ke-i dan ke-j sedangkan N adalah banyaknya hasil pengamatan dalam semua sampel yang

digabungkan. Apabila ) − 

maka ada perbedaan

median populasi i dan populasi j.

2. Penerapan Perbandingan Berganda sesudah Uji Kruskal-Wallis dalam Bidang Pendidikan Matematika. Berikut ini disajikan contoh penerapan perbandingan berganda sesudah uji Kruskal- Wallis dalam bidang pendidikan matematika.

Misalkan dengan taraf nyata () = 0,05 seorang peneliti ingin menguji apakah ada perbedaan hasil belajar matematika pada pokok bahasan pecahan antara tiga kelompok siswa kelas III. Ketiga kelompok siswa tersebut yaitu kelompok siswa dengan gaya belajar visual, kelompok siswa dengan gaya belajar auditori dan kelompok siswa dengan gaya belajar kinestetik. Dengan sampel acak sebanyak 5 siswa kelompok visual, 5 siswa kelompok auditori dan 5 siswa kelompok kinestetik didapatkan data sebagai berikut:

Hasil Belajar Matematika pada Pokok Bahasan Pecahan

(Tim Dosen Pengampu Statistik Dasar, 2013)

Permasalahan tersebut diselesaikan dengan uji Kruskal-Wallis karena data dari ketiga kelompok tersebut tidak semuanya berdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini yaitu nilai Sig. dari data kelompok visual dan auditori < 0,05 artinya data dari kedua kelompok tidak berdistribusi normal sedangkan Sig. data dari kelompok kinestetik > 0,05 artinya data pada kelompok kinestetik berdistribusi normal.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Hasil belajar matematika

Kelompok

Statistic

df Sig.

,710 5 ,012 pada pokok bahasan pecahan

a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.

Hasil uji Kruskal-Wallis untuk data di atas adalah sebagai berikut.

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Kelompok

Mean Rank

Hasil belajar matematika

Visual

pada pokok bahasan pecahan Auditori

Kinestetik

Ranks

Kelompok

Mean Rank

Hasil belajar matematika

Visual

pada pokok bahasan pecahan Auditori

Total

Test Statistics a,b Hasil belajar

matematika pada pokok

bahasan pecahan

Asymp. Sig.

a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Kelompok

Hipotesis yang diuji adalah:

H 0 : Tidak ada perbedaan median hasil belajar matematika pada pokok bahasan pecahan antara tiga kelompok siswa kelas III yaitu visual, auditori dan kinestetik.

H 1 : Ada perbedaan median hasil belajar matematika pada pokok bahasan pecahan antara tiga kelompok siswa kelas III yaitu visual, auditori dan kinestetik. Dari output hasil analisis di atas dapat diketahui statistik uji Kruskal-Wallis (H) adalah 6,269. Dengan n 1 = 5, n 2 = 5 dan n 3 = 5 serta  = 0,05 didapatkan harga kritis statistik uji Kruskal-Wallis adalah 5,78. Karena 6,269 > 5,78 maka keputusan yang diambil adalah menolak Ho dan kesimpulan yang diperoleh adalah ada perbedaan median hasil belajar matematika pada pokok bahasan pecahan antara tiga kelompok siswa kelas III yaitu visual, auditori dan kinestetik.

Untuk mengetahui median hasil belajar matematika kelompok mana saja yang berbeda dapat dilakukan perbandingan berganda. Karena banyaknya sampel atau kelompok adalah 3 maka ada

yaitu 3 perbandingan. Berikut adalah hasil perbandingan berganda sesudah uji Kruskal-Wallis untuk data di atas.

a. Menghitung rata-rata peringkat dari masing-masing sampel. Dari output hasil analisis uji Kruskal-Wallis di atas dapat diketahui rata-rata peringkat atau mean rank dari kelompok visual adalah 7,30, rata-rata peringkat atau mean rank dari kelompok auditori adalah 4,90 dan rata-rata peringkat atau mean rank dari kelompok kinestetik adalah 11,80.

b. Memilih experimentwise error rate sebesar  yang dianggap sebagai suatu taraf nyata yang menyeluruh. experimentwise error rate () yang dipilih sebesar 0,15.

c. Mencari nilai ( [/( )]) . Dari tabel distribusi normal baku didapatkan nilai ( [/( )]) yaitu ( [, /( )])

d. Membandingkan ) − dengan

1. Perbandingan median hasil belajar matematika antara kelompok visual dan auditori

Karena 2,4 < 21,56 maka ada perbedaan median hasil belajar matematika antara kelompok visual dan auditori.

2. Perbandingan median hasil belajar matematika antara kelompok visual dan kinestetik | 7,30 − 11,80| = 4,5

Karena 4,5 < 21,56 maka ada perbedaan median hasil belajar matematika antara kelompok visual dan kinestetik.

3. Perbandingan median hasil belajar matematika antara kelompok auditori dan kinestetik | 4,90 − 11,80| = 6,9

Karena 6,9 < 21,56 maka ada perbedaan median hasil belajar matematika antara kelompok auditori dan kinestetik.

Dari ketiga perbandingan di atas dapat diketahui bahwa ada perbedaan median hasil belajar matematika dari kelompok visual dan auditori, visual dan kinestetik serta auditori dan kinestetik.

C. SIMPULAN

Simpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Prosedur perbandingan berganda sesudah uji Kruskal-Wallis adalah:

a. Menghitung rata-rata peringkat dari masing-masing sampel.

b. Memilih experimentwise error rate sebesar  yang dianggap sebagai suatu taraf nyata yang menyeluruh.

Pemilihan  sebagian ditentukan oleh k yaitu banyaknya sampel yang dilibatkan.  yang dipilih biasanya lebih besar daripada yang umum digunakan dalam perbandingan tunggal, misalkan 0,15, 0,20 atau 0,25.

c. Mencari nilai ( [/( )]) . Nilai z ini dapat dicari pada tabel distribusi normal baku.

d. Membandingkan ) − dengan

. Apabila −  . Apabila − 

2. Perbandingan berganda sesudah uji Kruskal-Wallis dapat diterapkan pada semua bidang salah satunya adalah pendidikan matematika.

D. DAFTAR PUSTAKA

Dajan, A. 1986. Pengantar Metode Statistik, Jilid II. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Daniel, W.W. 1989. Statistika Nonparametrik Terapan. Jakarta: PT Gramedia.

Siegel, S. 1985. Statistika Nonparametrik Terjemahan M.Sudrajat S. W. Bandung: Armico.

Susetyo, B. 2010. Statistika untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: Refika Aditama.

Tim Dosen pengampu Statistik Dasar. 2013. Panduan Praktikum Statistik Dasar. Tuban: Prodi Pendidikan Matematika FKIP UNIROW.

S - 31

OPTIMASI MODEL REGRESI ROBUST UNTUK MEMPREDIKSI PRODUKSI KEDELAI DI INDONESIA

1 2 Yuliana Susanti 3 , Hasih Pratiwi , Sri Sulistijowati H.

1,2,3 Jurusan Matematika FMIPA, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

1 yuliana.susanti@ymail.com, 2 hasihpratiwi@ymail.com, 3 ssulistijowati@yahoo.com

Abstrak

Regresi robust adalah bentuk analisis regresi yang dirancang untuk menghindari beberapa keterbatasan metode parametrik dan non-parametrik tradisional. Metode kuadrat terkecil untuk model regresi sangat sensitif terhadap pencilan. Hal ini biasanya tidak masalah jika pencilan berasal dari sebuah pengamatan ekstrim dari ekor distribusi normal, tetapi jika pencilan berasal dari kesalahan pengukuran atau pelanggaran asumsi maka sangat mempengaruhi keabsahan hasil regresi. Dalam analisis regresi, adanya produksi kedelai yang jauh melampaui produksi secara umum dapat dikategorikan sebagai pencilan, sehingga penggunaan metode kuadrat terkecil untuk mengestimasi parameter regresi kurang tepat. Untuk mengatasi hal ini diperlukan metode estimasi parameter yang bersifat robust. Robust diartikan sebagai ketidaksensitifan atau ketegaran terhadap perubahan-perubahan kecil dari asumsi. Artikel ini memberikan gambaran metode estimasi-M, estimasi-S, dan estimasi-MM dalam regresi robust, menjelaskan langkah-langkah estimasi parameter, dan menerapkan metode-metode tersebut untuk menentukan model regresi produksi kedelai di Indonesia.

Kata kunci: regresi robust, estimasi-M, estimasi-S, estimasi-MM

A. PENDAHULUAN

Kedelai adalah salah satu komoditas penting dalam sembilan kebutuhan pokok. Kedelai bagi industri pengolahan pangan di Indonesia banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan tahu, tempe, kecap, dan susu. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap tahu dan tempe tersebut, pada saat ini terdapat 115.000 pengrajin tahu dan tempe di seluruh Indonesia berdasarkan data Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) 2006 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Produksi kedelai pada tahun 2007 (593 juta ton) sudah berada di bawah produksi kedelai pada tahun 2003 (672 juta ton) atau turun sebesar 79 juta ton. Namun untuk tahun 2009, produksi kedelai kembali naik menjadi 975 juta ton, karena berbagai terobosan yang dilakukan pemerintah, seperti perluasan areal tanam, pemberian bantuan benih maupun sarana produksi pertanian serta insentif bagi petani agar mereka bergairah menanam kedelai. Akan tetapi menurut BPS (Aram II), untuk tahun 2010 produksi kedelai kembali turun yaitu 927 juta ton. Penurunan produksi ini disebabkan oleh penurunan luas panen sebesar 45 ribu ha, tetapi di tahun 2010 produktivitas mengalami kenaikan sebesar 0,19 kuintal per ha.

Kebijakan harga pangan merupakan salah satu instrumen penting dalam menciptakan ketahanan pangan nasional. Mengingat pentingnya upaya pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya kedelai, diperlukan usaha untuk mengetahui ketersediaan kedelai pada tahun yang akan datang. Kebijakan harga makanan pokok merupakan salah satu instrumen penting dalam menciptakan ketahanan pangan nasional. Mengingat pentingnya upaya pemenuhan kebutuhan pangan, diperlukan usaha untuk memprediksi produksi pada tahun yang akan datang.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memprediksi produksi kedelai serta menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah analisis regresi. Analisis regresi merupakan suatu teknik statistik yang digunakan untuk menyelidiki dan memodelkan

hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas. Jika Y variabel tak bebas dan X 1 ,X 2 , …, X k variabel-variabel bebas, maka model regresi linear secara umum dapat dinyatakan sebagai Y =  0 +  1 X 1 +  2 X 2 +…+  k X k +  dengan  0 ,  1 , …, dan k adalah parameter-parameter regresi dan  adalah eror yang berdistribusi normal dengan mean nol dan variansi sama. Permasalahan yang muncul dalam analisis regresi adalah menentukan estimator terbaik untuk  0 ,  1 , …, dan k , yang sangat dipengaruhi oleh penggunaan metode. Sebagai contoh, penggunaan metode kuadrat terkecil (MKT) tidak akan tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang mengandung observasi pencilan atau ekstrem, karena asumsi kenormalan tidak dapat dipenuhi. Dalam analisis regresi, adanya produksi kedelai yang jauh melampaui produksi secara umum dapat dikategorikan sebagai pencilan, sehingga penggunaan metode kuadrat terkecil untuk mengestimasi parameter regresi kurang tepat. Untuk mengatasi hal ini diperlukan metode estimasi parameter yang bersifat robust . Robust diartikan sebagai ketidaksensitifan atau ketegaran terhadap perubahan-perubahan kecil dari asumsi. Estimasi dengan metode maximum likelihood estimator (MLE) akan menghasilkan estimator yang bersifat sama seperti metode kuadrat terkecil, artinya MLE juga tidak robust terhadap pengaruh pencilan. Suatu teknik robust yang sering digunakan adalah estimasi-M, S, dan MM. Estimasi robust ini merupakan perluasan dari MLE. Tujuan penelitian ini adalah menentukan model regresi optimal untuk memprediksi produksi kedelai di Indonesia dengan menggunakan estimasi-M, estimasi-S, dan estimasi-MM.

B. REGRESI ROBUST

Regresi robust merupakan metode regresi yang digunakan ketika distribusi dari sisaan tidak normal atau ada beberapa pencilan yang berpengaruh pada model.Metode ini merupakan alat penting untuk menganalisis data yang dipengaruhi oleh pencilan sehingga dihasilkan model yang kekar terhadap pencilan (Draper and Smith, 1998).Ketika peneliti menyusun model regresi dan melakukan uji asumsi sering ditemui bahwa asumsi regresi dilanggar, transformasi yang dilakukan tidak akan menghilangkan atau melemahkan pengaruh dari pencilan yang akhirnya prediksi menjadi bias. Dalam keadaan ini, regresi robust yang tahan terhadap pengaruh pencilan adalah metode yang terbaik. Regresi robust digunakan untuk mendeteksi pencilan dan memberikan hasil yang resisten terhadap adanya pencilan (Chen, 2002).

Estimasi-M

Dalam regresi robust salah satu metode estimasi yang terkenal adalah estimasi-M. Huruf M menunjukkan bahwa estimasi-M adalah estimasi ‘tipe maksimum likelihood’. Estimasi-M memenuhi sifat sebagai estimator tak bias dan memiliki variansi minimum dalam kumpulan estimator. Jadi estimator M memiliki variansi terkecil dibandingkan dengan variansi estimator

yang lain. Jika estimator pada estimasi-M adalah    n  x 1 ,..., x n  maka

Persamaan (1) menunjukkan bahwa estimator    n  x 1 ,..., x n  pada estimasi-M bersifat tak

bias. Variansinya merupakan variansi terkecil dibandingkan dengan variansi estimator yang lain yaitu

Var    ˆˆ

lnfx  i ;   

nE  nE 

metode ini dimungkinkan untuk mengeliminasi beberapa data, akan tetapi dalam beberapa kasus tidak selalu tepat dilakukan apalagi jika yang dieliminasi tersebut merupakan data penting atau bibit unggul, yang kasusnya sering ditemui dalam bidang pertanian (Susanti, dkk., 2009; Susanti dan Pratiwi, 2012). Menurut Montgomery dan Peck (2006), pada prinsipnya estimasi-M merupakan estimasi yang meminimumkan suatu fungsisisaan

(3) Untuk memperoleh persamaan (3), dengan menyelesaikan persamaan

( 4) dengan dipilih estimasi untuk adalah

Pemilihan konstanta 0,6745 membuat suatu estimator yang mendekati tak bias dari jika n besar dan sisaan berdistribusi normal (Montgomery dan Peck, 2006). Fungsi yang digunakan adalah fungsi objektif Tukey bisquare

Untuk meminimumkan persamaan (3), dicari turunan parsial pertama dari terhadap sehingga diperoleh persamaan

adalah observasi ke-i pada variabel bebas ke-j dan

=1 . Draper dan Smith (1998) memberikan penyelesaikan persamaan (5), yaitu dengan mendefinisikan suatu fungsi pembobot

(6) Karena nilai =

sebagai pengganti , maka persamaan (6) menjadi

Untuk fungsi pembobot Tukey bisquare, konstanta yang digunakan adalah = 4,685 . Dengan demikian persamaan (5) menjadi ∑

Persamaan (7) dapat diselesaikan dengan metode MKT terboboti secara iterasi yang dinamakan IterativelyReweighted Least Squares (IRLS).Untuk menggunakan IRLS, diasumsikan bahwa suatu estimasi awal,

ada dan suatu estimasi skala. Untuk j parameter, dengan j adalah jumlah parameter yang akan diestimasi, maka persamaan (7) menjadi

= 0, 1, …, . ( 8) Dalam notasi matriks, persamaan (8) dapat ditulis menjadi

adalah matriks berukuran × dengan elemen-elemen diagonal yang berisi pembobot. Persamaan (9) dikenal sebagai persamaan Weighted Least Squares (WLS).

Penyelesaian persamaan tersebut akan memberikan estimator untuk yaitu =(

) ( ) . Estimator-M untuk diperoleh dengan cara melakukan iterasi sampai diperoleh suatu nilai yang konvergen. Berikut ini merupakan algoritma penghitungan nilai estimasi-M.

1. Melakukan estimasi koefisien regresi pada data menggunakan MKT.

2. Menguji asumsi klasik dari model regresi.

3. Mendeteksi adanya pencilan dalam data.

4. Mengestimasi koefisien regresi robust menggunakan estimasi-M.

a. Menghitung parameter

dengan MKT.

b. Menghitung nilai sisaan = −.

( c. Menghitung nilai )| =

d. Menghitung nilai = .

e. Menghitung pembobot

f. Menghitung parameter dengan metode Weighted Least Squares (WLS) dengan pembobot

g. Mengulangi langkah b - f sampai diperoleh nilai yang konvergen.

h. Uji hipotesis untuk mengetahui apakah variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel tak bebas.

Estimasi-S

Selain estimasi-M, dalam regresi robust dikenal juga estimasi-S. Estimasi-S pertama kali diperkenalkan oleh Rousseeuw dan Yohai(1984), dandinamakan estimasi-S karena estimasi ini berdasarkan pada skala sisaan dari estimasi-M. Estimasi-Sdidefinisikan sebagai

= min ( , ,…, ) dengan menentukan nilai estimator skala robust ( ) yang minimum dan memenuhi

( 10) dengan

K = 0, 199, = ( ) =

, dan dipilih estimasi awal

Penyelesaian persamaan ( 10) adalah dengan cara mencari turunannya terhadap βsehingga diperoleh

= 0, 1, …, ( 11) disebut fungsi pengaruh yang merupakan turunan dari ( = ), turunan dari fungsi adalah

dengan merupakan fungsi pembobot IRLS

dengan = danc = 1,547. Persamaan (11) dapat diselesaikan dengan IRLS sehingga mencapai konvergen.

Adapun algoritma penghitungan nilai estimasi-S sebagai berikut:

1. Melakukan estimasi koefisien regresi pada data menggunakan MKT.

2. Menguji asumsi klasik dari model regresi.

3. Mendeteksi adanya pencilan dalam data.

4. Mengestimasi koefisien regresi robust menggunakan estimasi-S.

a. Menghitung parameter

dengan MKT.

b. Menghitung nilai sisaan = −.

c. Menghitung nilai

, >1 dengan K = 0,199

d. Menghitung nilai =

e. Menghitung pembobot

f. Menghitung parameter dengan metode WLS dengan pembobot .

g. Mengulangi langkah b-f sampai diperoleh nilai yang konvergen.

h. Uji hipotesis untuk mengetahui apakah variabel bebas mempunyai pengaruh yang signi- nifikan terhadap variabel tak bebas.

Estimasi-MM

Selain estimasi-M dan estimasi-S, estimasi robust yang lain adalah estimasi-MM. Estimasi-MM diperkenalkan oleh Yohai (1987).Metode ini berusaha untuk mempertahankan sifat robust dan resisten dari estimasi-S, serta sifat efisien dari estimasi-M.Prosedur estimasi ini adalah dengan mengestimasi parameter regresi menggunakan estimasi-S yang meminimumkan skala sisaan dari estimasi-M dan dilanjutkan dengan estimasi-M.Estimasi-MM bertujuan untuk Selain estimasi-M dan estimasi-S, estimasi robust yang lain adalah estimasi-MM. Estimasi-MM diperkenalkan oleh Yohai (1987).Metode ini berusaha untuk mempertahankan sifat robust dan resisten dari estimasi-S, serta sifat efisien dari estimasi-M.Prosedur estimasi ini adalah dengan mengestimasi parameter regresi menggunakan estimasi-S yang meminimumkan skala sisaan dari estimasi-M dan dilanjutkan dengan estimasi-M.Estimasi-MM bertujuan untuk

(12) dengan −∑

adalah sisaan yang diperoleh dari estimasi parameter model regresi dengan estimasi-S dan σ merupakan penyelesaian dari

Algoritma penghitungan nilai estimasi-MM sebagai berikut:

1. Melakukan estimasi koefisien regresi pada data menggunakan MKT.

2. Menguji asumsi klasik dari model regresi.

3. Mendeteksi adanya pencilan dalam data.

4. Mengestimasi koefisien regresirobust menggunakan estimasi-MM.

a. Menghitung nilai sisaan = − . dari estimasi-S

b. Menghitung nilai =

c. Menghitung nilai = .

d. Menghitung pembobot

f. Menghitung parameter dengan metodeWLS dengan pembobot .

g. Mengulangi langkah b - e sampai diperoleh nilai yang konvergen.

h. Uji hipotesis untuk mengetahui apakah variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel tak bebas.

C. OPTIMASI MODEL REGRESI

Pada penelitian ini data diambil dari BPS dan Kementerian Pertanian.Tidak semua faktor yang diduga mempengaruhi produksi kedelai tersedia untuk setiap propinsi. Data lengkap yang terkait dengan produksi kedelai untuk tahun 2011 adalahluas lahan panen, curah hujan, kelembaban, suhu, lama penyinaran, dan jumlah nilai tukar petani. Oleh karena itu akan dibahas model regresi linear produksi kedelai (Y) seluruh propinsi di Indonesia berdasarkanluas lahan

panen (X 1 ), curah hujan (X 2 ), kelembaban (X 3 ), suhu (X 4 ), lama penyinaran (X 5 ), dan nilai tukar petani (X 6 ). Estimasi model regresi dengan MKT adalah = -14898 + 1,45 X 1 +13,2 X 2 + 137X 3 - 481X 4 – 38 X 5 + 137 X 6 (13)

2 denganR 2 = 99,7 %, R (adj) = 99,6%, dan s= 4440,15 Kemudian dilakukan uji asumsi untuk melihat apakah asumsi regresi linear untuk model

(13) dipenuhi atau tidak. Dari hasil uji asumsi, asumsi kenormalan, homoskedastik, dan nonautokorelasi ketiganya tidak dipenuhi, hanya asumsi nonmultikolinearitas yang dipenuhi, dan terdapat data pencilan yaitu data ke-11, 14, 15 dan 17.

Dilihat dari nilai F = 1188,77 dengan nilai-p = 0< 5%, ini menunjukkan bahwa model regresi linear Y dengan X 1 , X 2 ,X 3 ,X 4 , X 5 dan X 6 sudah baik. Selanjutnya karena ketiga asumsi tidak dipenuhi dan terdapat pencilan, maka akan dilakukan estimasi dengan model regresi linear robust yaitu dengan estimasi-M, estimasi-S, dan estimasi-MM.

Model Regresi dengan Estimasi-M

Model regresi linear produksi kedelai dengan estimasi-Madalah = 334481 + 1,46X 1 +4,36X 2 + 30,6X 3 - 1292X 4 + 34,7X 5 - 48,4X 6 (14)

2 dengan R 2 = 100 %, R (adj) = 100% dan s= 1016,53. Model regresi (14) ini diperoleh dengan iterasi sebanyak 10 kalidan menunjukkan bahwa

untuk peningkatan setiap satu hektar luas panen, satu mm curah hujan, satu persen kelembaban untuk peningkatan setiap satu hektar luas panen, satu mm curah hujan, satu persen kelembaban

Model (14) mempunyai data pencilan sebanyak dua yaitu data ke-7 dan 11. Selanjutnya dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui apakah luas lahan panen, curah hujan, kelembaban, suhu, lama penyinaran, atau nilai tukar petani mempunyai pengaruh signifikan terhadap produksi kedelai di Indonesia tahun 2011.

Tabel 1 Hasil Uji Parsial Variabel BebasModel Prediksi Kedelai dengan Estimasi-M

Kesimpulan Konstan

Tidak signifikan

Tidak Signifikan

X 4 -1292

Tidak signifikan

X 6 -48,4

Tidak signifikan

Tabel 1 menghasilkan suatu kesimpulan yaitu luas lahan panen dan suhu memberikan pengaruh signifikanterhadap produksikedelai. Sedangkan curah hujan, kelembaban, lama penyinaran, dan nilai tukar petanitidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi kedelai di Indonesia.

Model Regresi dengan Estimasi-S

Model regresi linear dengan estimasi-Sadalah Y = - 25768 + 1,43 X 1 - 2,08 X 2 + 177 X 3 + 684 X 4 + 1,8 X 5 - 69,2 X 6 (15)

2 dengan R 2 = 99,9%, R (adj) = 99,9% dan s= 287,345. Model regresi (15) menunjukkan bahwa untuk peningkatan setiap satu hektar luas panen,

satu persen kelembaban, satu derajat Celsius suhu, dan satu persen lama penyinaran, maka produksinya juga meningkat masing-masing sebesar 1,43; 177; 684; dan 1,8 ton. Untuk peningkatan satu mm curah hujan dan satu persen nilai tukar petani akan mengakibatkan penurunan produksi kedelai masing-masing sebesar 2,08 dan 69,2 ton.

Model (15) tidak mempunyai pencilan. Selanjutnya dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui apakah luas lahan panen, curah hujan, kelembaban, suhu, lama penyinaran, atau nilai tukar petani mempunyai pengaruh signifikan terhadap produksi padi di Indonesia tahun 2011.

Tabel 2 Hasil Uji Parsial Variabel Bebas Model Prediksi Kedelai dengan Estimasi-S

Kesimpulan Konstan

X 2 -2,08

Tidak signifikan

Tidak signifikan

X 6 -69,2

Tabel 2 menghasilkan suatu kesimpulan bahwa empat variabel bebas yaitu luas lahan panen, kelembaban, suhu dan nilai tukar petani mempunyai pengaruh yang signifikan, sedangkan Tabel 2 menghasilkan suatu kesimpulan bahwa empat variabel bebas yaitu luas lahan panen, kelembaban, suhu dan nilai tukar petani mempunyai pengaruh yang signifikan, sedangkan

Model Regresi dengan Estimasi-MM

Model regresi linear dengan estimasi-MMadalah =- 27128 + 1,43X 1 + 0,62X 2 + 119 X 3 + 768 X 4 - 0,7 X 5 - 37,4 X 6 (16)

2 dengan R 2 = 99,6%, R (adj) = 99,5% dan s= 697,055. Model regresi (16) menunjukkan bahwa untuk peningkatan setiap satu hektar luas

panen,satu mm curah hujan, satu persen kelembaban dan satu derajat Celsius suhu maka produksinya juga meningkat masing-masing sebesar 1,43; 0,62; 119 dan 768 ton. Untuk peningkatan satu persen lama penyinaran dan satu persen nilai tukar petani akan mengakibatkan penurunan produksi kedelai masing-masing sebesar 0,7 dan 37,4 ton

Model (16) mempunyai satu data pencilan yaitu data ke-7. Setelah diperoleh model regresi linear (16), dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui apakah luas lahan panen, curah hujan, kelembaban, suhu, lama penyinaran, atau nilai tukar petani mempunyai pengaruh signifikan terhadap produksi kedelai di Indonesia tahun 2011.

Tabel 3 Hasil Uji Parsial Variabel BebasModel Prediksi Kedelai dengan Estimasi-MM

Kesimpulan Konstan

tidak signifikan

tidak signifikan

tidak signifikan

tidak signifikan

X 5 -0,7

tidak signifikan

X 6 -37,4

tidak signifikan

Tabel 3 menghasilkan suatu kesimpulan bahwa hanya satu variabel bebas luas lahan panen yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi kedelai, sedangkan lima variabel bebas lainnya yaitu curah hujan, kelembaban, suhu, lama penyinaran, dan nilai tukar petani tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi kedelai di Indonesia.

Model Optimal

Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan model regresi terbaik, yaitu

koefisien determinasi R 2 atau R adjusted dan deviasi standar s. Model terbaik akan mempunyai R atau R 2 adjusted terbesar dan s terkecil.

Tabel 4 Nilai R, 2 R adjusted , s, Variabel yang Signifikan danPencilan untuk model (14) - (16)

Estimasi-MM Model

99,6 % R 2 adjusted

697,055 Variabel yang

X 1 ,X 4 X 1 ,X 3 ,X 4 ,X 6 X 1 signifikan Data pencilan, data ke- 7, 11

2 Dari Tabel 4 terlihat bahwa model dengan estimasi-S memberikan R 2 , R adjusted yang lebih besar dan s yang lebih kecil daripada model dengan estimasi-M atau MM, sehingga model

terbaiknya adalah model dengan estimasi-S, yaitu model (15).Selain itu pada model ini tidak terdapat pencilan.

Dalam model ini empat variabel bebas yaitu luas lahan panen, kelembaban, suhu dan nilai tukar petani memberikan pengaruh signifikanterhadap produksi kedelai di Indonesia. Sedangkan curah hujan dan lama penyinaran tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi kedelai di Indonesia.Selanjutnya akan ditentukan model kedelai dengan estimasi-S dengan

variabel bebas yang signifikan (luas lahan panen (X 1 ), kelembaban (X 3 ), suhu (X 4 ) dan nilai tukar petani (X 6 )), hasilnya adalah

1. Model kedelai untuk variabel yang signifikan dengan MKT adalah Y= - 28256+ 1,45 X 1 + 309 X 3 - 505 X 4 + 141X 6 (17)

2 dengan R 2 = 99,6 % , R (adj) = 99,6 % dan s= 4382,5

2. Model kedelai untuk variabel yang signifikan dengan estimasi-S adalah Y= - 50896+ 1,43 X 1 + 190 X 3 + 878 X 4 + 106 X 6 (18)

2 dengan R 2 = 99,9 % , R (adj) = 99,9 % dan s= 341,375. Untuk model (18), R 2 (adj) = 99,9 % menunjukkan bahwa variasi total Y sebesar 99,9% diterangkan oleh X 1 ,X 3 ,X 4 , dan X 6 , sedangkan yang 0,1 % disebabkan oleh variabel yang lain. Selanjutnya dilakukan uji signifikansi model, diperoleh nilai F = 4695,70 dengan nilai-p = 0< 5 %, sehingga dapat disimpulkan bahwa model sudah baik. Uji parsial pada Tabel 5 menunjukkan bahwa semua variabel bebas pada model (18) signifikan.

Tabel 5. Hasil Uji Parsial Variabel Bebas Model Prediksi Kedelai dengan Estimasi-S

Kesimpulan Konstan

D. KESIMPULAN

Model regresi optimal yang diperoleh untukprediksi produksi kedelai di Indonesia adalah model dengan estimasi-S yaituY = -50896+ 1,43 X 1 + 190 X 3 + 878 X 4 + 106 X 6 .Variasi total Y sebesar 99,9 % diterangkan oleh X 1 , X 3 , X 4, dan X 6 , sedangkan yang 0,1 % disebabkan oleh variabel yang lain. Setiap peningkatan satu hektar luas lahan panen, satu persen kelembaban, satu derajat Celcius suhu, dan satu persen nilai tukar petani masing-masing akan meningkatkan produksi kedelai berturut-turut sebesar 1,43; 190; 878; dan 106 ton.

E. DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2012,Production of Paddy, Maizze and Soybeans, www.bps.go.id/rele- ases/Production of Paddy Maizze and Soybeans.

Chen, C., 2002, Robust regression and Outlier Detection with the ROBUSTREG Procedure,Paper

265-27, Statistics and Data Analysis, SUGI 27, North Carolina:SAS Institute Inc.

Draper,N.R and Smith, 1998,Applied Regression Analysis, Third Edition, United States: Wiley Intercience Publication.

Montgomery, D.C. and Peck, E.A., 2006, Introduction to Linear Regression Analysis, New York:John Wiley & Sons Inc.

Rousseeuw, P.J. and Yohai, V.J., 1984.Robust Regression by Mean of S-Estimators, Robust and Nonlinear Time Series, eds. J. Franke, W. Hardle, and D. Martin, Lecture Notes in Statistics,

26, 256 – 272, Berlin: Springer-Verlag.

Susanti, Y. dan Pratiwi, H., 2011, Robust Regression Model for Predicting the Soybean Production in Indonesia, Canadian Journal on Scientific and Industrial Research, Vol. 2 No. 9, December 2011, 318-328.

Susanti, Y. dan Pratiwi, H., 2012. Modelling of Soybean Production in Indonesia Using Robust Regression, Bionatura, Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati dan Fisik, Vol. 14 No. 2, Juli 2012, 148-155.

Susanti, Y., Pratiwi, H. dan Liana, T., 2009, Application of M-estimation to Predict Paddy Production in Indonesia, dipresentasikan pada IndoMS International Conference onMathematics and Its Applications (IICMA) , Yogyakarta.

Yohai, V.J., 1987. High Breakdown Point and High Efficiency Robust Estimates for Regression, The Annals of Statistics , Vol. 15, 642-656.

Yuliana dan Susanti, Y., 2008, Estimasi-M dan sifat-sifatnya pada Regresi Linear Robust, Jurnal Math-Info , Vol. l, Surakarta: UNS.

Yuliana dan Susanti, Y.,2008, Estimasi-M dan Sifat-sifatnya pada Regresi Linear Robust, Jurnal Math-Info , Vol. l No. 10, Surakarta: UNS.

T-1

PEMODELAN MATEMATIKA UNTUK MENSIMULASIKAN EFEK POPULASI KARANTINA TERHADAP PENYEBARAN PENYAKIT HIV/AIDS DI PAPUA

1 Abraham 2 , Mahmudi

1 Program Studi Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih

2 Program Studi Matematika Fak. Sain dan Teknologi UIN Jakarta

1 e-mail: m1cb_buper@yahoo.co.id 2 , lullaby@ymail.com

Abstrak

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit yang menjadi perhatian serius dari berbagai pihak. Pada daerah/kota berkembang dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi, tingkat penyebaran juga cenderung semakin tinggi, salah satu cara adalah dengan proses penularan melalui kontak seksual. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Pada tulisan ini akan dikaji model logistik terhadap penyebaran HIV/AIDS di Papua. Data yang digunakan dari Propovinsi Papua. Model matematika digunakan untuk menganalisis proses penyebarannya. Pada penelitian ini digunakan model matematika Susceptible- Infected (SI) dengan menambahkan sebuah populasi yang dikarantina (Abstain). Populasi yang dikarantina disebut juga sebagai populasi tidak produktif yaitu populasi yang terdiri dari orang-orang yang menahan diri untuk tidak melakukan kontak seksual secara langsung dan dengan demikian dianggap tidak dapat menyebarkan penyakit. Hasil dari model yang dikaji memberikan indikasi bahwa laju pertumbuhan populasi ditentukan oleh parameter-parameter: kelahiran, kematian, interaksi dan isolasi. Berdasarkan simulasi model memperlihatkan bahwa populasi yang dikarantina dapat memperlambat bahkan menurunkan populasi penderita AIDS.

A. PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages-komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus menerus, yang akan mengakibatkan defisiansi kekebalan tubuh. sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian khusus. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah kasus HIV/AIDS setiap tahun.

Jumlah individu yang terinfeksi virus HIV/AIDS hingga saat ini masih lebih dominan terhadap kelompok usia produktif yang diakibatkan pola perilaku hidup yang berisiko seperti seks bebas yang tidak aman dan penggunaan narkoba melalui jarum suntik. Proses penularan melalui hubungan seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) sangat mendominasi penularan virus HIV/AIDS yang mencapai 60% sedangkan penularan melalui jarum suntik

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi yang masuk dalam tiga besar penderita HIV/AIDS terbanyak di Indonesia setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur, yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat secara khusus dari pemerintah daerah Provinsi Papua itu sendiri dimana saat ini penyebaran penyakit HIV/AIDS terus meningkat. Secara demografi jumlah penduduk Provinsi Papua sekitar 2,7 juta jiwa yang tersebar di daerah pegunungan, daerah pantai utara dan pantai selatan. Sebaran penderitanya dapat ditemukan merata disemua kabupaten dan kota dengan Kabupaten Merauke dan Timika serta Kota Jayapura memiliki angka penderita yang paling tinggi. Pola penanganan dan sosialisasi anti HIV/AIDS tidak henti-hentinya dilakukan oleh pemerintah baik provinsi maupun pemerintah kabupaten melalui Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dengan melibatkan lembaga-lembaga swadaya yang peduli termasuk juga lembaga keagamaan dan lembaga pendidikan.

Dinamika suatu populasi tergantung pada hubungan antara kelahiran dan kematian. Adanya gangguan jangka pendek dari kedua faktor ini pada umumnya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi jangka panjang ataupun penurunan populasi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan populasi adalah efek jangka panjang pada pertumbuhan populasi yang disebabkan oleh pemisahan populasi yang reproduktif secara umum menjadi populasi yang benar-benar tidak produktif, yang terdiri dari dua jenis individu yang berbeda yaitu aktif secara seksual tetapi tidak produktif dan tidak aktif secara seksual yaitu orang-orang yang oleh pilihan atau pertimbangan medis menahan diri dari hubungan seksual seumur hidup. Dengan memfokuskan perhatian terhadap populasi yang terinfeksi dan populasi yang beresiko terinfeksi, diharapkan dapat mencegah penyebaran penyakit HIV/AIDS.

B. T INJAUAN PUSTAKA

Model logistik yang diperkenalkan oleh Pierre Verhulst (1883) merupakan model pertumbuhan populasi dengan sumber daya lingkungan yang terbatas. Model ini mengasumsikan bahwa pada waktu tertentu jumlah populasi akan mendekati titik kesetimbangan. Pada titik ini jumlah kelahiran dan kematian dianggap sama sehingga grafik fungsi akan mendekati konstan. Bentuk yang paling sederhana dari model pertumbuhan logistik untuk total populasi P terhadap waktu adalah:

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M T - 2 Yogyakarta, 9 November 2013 M T - 2

Persamaan dinamis model matematika dengan menambahkan populasi yang dikarantina adalah: = (+) −

dimana: adalah laju perkembangan populasi yang sehat terhadap waktu. adalah laju perkembangan populasi yang sakit terhadap waktu. adalah laju perkembangan populasi yang dikarantina terhadap waktu. Laju total kelahiran secara alami yang dihasilkan per satu individu yang ada pada populasi per satuan waktu dinotasikan dengan , merupakan probabilitas kematian per satu individu, dan merupakan proporsi tingkat infeksi terhadap populasi yang sehat. Total populasi didefinisikan sebagai:

= + + , yang memenuhi ′ =( −− ) − , dengan ( 0) = ( 0) + ( 0) + ( 0) . Persamaan tersebut mempunyai tiga titik kesetimbangan yaitu:

1. Trivial, ( , ̅ , ̅ ̅ ) = ( 0,0,0) ;

2. Bebas penyakit, ( ∗ , ∗ , ∗ )=

dimana >0 ⟺ > + , dengan =

− , dan ∗ merupakan akar dari sistem persamaan berikut:

sehingga diperoleh ( + + )( − )=

( + + − )(+ ) . Pada kasus dimana = , ditemukan kondisi yang menentukan adanya titik kesetimbangan positif dari ∗ . Untuk kasus

> , kondisi ini juga cukup untuk mengetahui keberadaan dari akar positif. Secara umum, sebuah titik kesetimbangan endemik terpenuhi pada saat ∗ > 0. Hal ini terpenuhi jika

< ∗ < −− , dimana ∗ ≤ dan ∗ >0 . Pada persamaan polinom pangkat tiga yang dinotasikan

dengan ℎ () berikut

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M T - 3

diberlakukan kondisi bahwa ℎ × ℎ

Perkalian ini ekivalen dengan

− )] dan diketahui benilai negatif jika memenuhi kondisi

C. METODOLOGI PENELITIAN

Pada penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder jumlah penderita HIV/AIDS dan jumlah penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2004-2008 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Kesehatan Provinsi Papua.

Adapun prosedur yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Menaksir nilai parameter kelahiran, kematian, interaksi dan isolasi.

2. Mensimulasikan model berdasarkan parameter yang diperoleh dari data yang diambil dari Provinsi Papua.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang digunakan ditampilkan pada Tabel 1 sebagai berikut Tabel 1. Jumlah Penduduk dan penderita HIV/AIDS di Provinsi Papua Tahun 2004-2008

Jumlah Penderita yang ditemukan

Sumber: Kemkes Provinsi Papua tahun 2010

Nilai-nilai parameter yang diaproksimasi menggunakan metode least quare dengan memanfaatkan data populasi yang ada pada Tabel 1 dengan pengambilan data untuk populasi Abstain ditentukan 10% dari populasi yang sakit. Hasil pengolahan data tersebut diperoleh nilai-

= 0.002, dan = 0.008 . Untuk nilai b yang merupakan sebuah konstanta harus memenuhi syarat > ≫ dalam hal ini nilai = 0.0001.

nilai parameter sebagai berikut = 0.014, = 0.000076, = 0.01,

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M T - 4

Gambar 1. Model logistik untuk kasus

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa populasi yang sehat (garis biru) dalam kurun waktu tertentu mengalami penurunan dan konstan pada titik tertentu sementara untuk populasi yang terinfeksi seiring berjalannya waktu mengalami penurunan ke nol karena adanya pengaruh dari populasi yang memisahkan diri.

E. KESIMPULAN

Hasil simulasi berdasarkan data dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa populasi tidak produktif dapat memperlambat atau menurunkan pertumbuhan eksponensial dari total populasi. Dalam beberapa kondisi parameter, populasi tidak produktif dapat menghilangkan penyakit sekaligus menjaga populasi yang sehat tetap pada tingkat yang positif. Jika angka Malthusian kurang dari angka isolasi bagi populasi yang sehat, maka titik kesetimbangan trivial adalah stabil lokal asimtotik dan akan menjadi tidak stabil ketika melebihi angka isolasi tersebut. Kemudian, dalam kasus melebihi angka isolasi terdapat keseimbangan bebas-penyakit yang tunggal yang secara lokal bersifat stabil secara asimptotik. Apabila angka isolasi dari populasi- populasi yang sehat dan terinfeksi adalah sama, maka akan menunjukkan adanya stabilitas global.

F. DAFTAR PUSTAKA

[Blower SM, Hartel D, et al (1991)] : Drugs, Sex and HIV: a mathematical model for New York City. Phil Trans R. Soc Lond B 321, 171-187.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M T - 5

[Chaharborj, S.S, et al. 2010] : Behavior Stability in Two SIR-Style Models for HIV. Int. Journal of Math Analysis. 4(9) : 427-434.

[Daniel Maxin. and Fabio Augusto Milner] : The Effect of Nonreproductive Groups on Persistent Sexually Transmitted Diseases. J. Math. Biosc and Engin, Vol 4, Number 3, July 2007.

[KPAN,2009] : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). 2009, Data Kasus HIV dan AIDS Indonesia. http//www.aids-ina.org.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013 M T - 6

T-2

BIFURKASI PITCHFORK SUPERKRITIKAL PADA SISTEM FLUTTER

1 Andini Putri Ariyani 2 , Kus Prihantoso Krisnawan Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

1 e-mail:andiniputri_ariyani@yahoo.com,

2 e-mail: kuspk@uny.ac.id.

Abstrak

Pada makalah ini dibahas mengenai bifurkasi 1-parameter yang terjadi pada sistem flutter. Flutter merupakan fenomena ketidakstabilan dinamik suatu sistem yang diakibatkan oleh interaksi antara unsur inersia, redaman, dan fleksibilitas struktur, serta beban-beban aerodinamika yang bekerja pada struktur.

Sistem flutter berbentuk sistem persamaan diferensial orde 2 dengan dua persamaan. Transformasi dilakukan untuk mereduksi orde sehingga diperoleh empat persamaan diferensial orde pertama. Analisis terhadap sistem flutter hasil transformasi dilakukan dengan melakukan reduksi dimensi sistem menggunakan teorema Manifold Center.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pada sistem flutter terjadi bifurkasi pitchfork superkritikal. Hal ini berakibat titik kesetimbangan sistem menjadi tidak stabil ketika dilakukan perubahan terhadap nilai parameter.

Kata kunci: sistem flutter, manifold center, bifurkasi pitchfork

A. PENDAHULUAN

Menurut Novi Andria [6] flutter merupakan fenomena ketidakstabilan dinamik suatu sistem yang diakibatkan oleh interaksi antara unsur inersia, redaman, dan fleksibilitas struktur, serta beban-beban aerodinamika yang bekerja pada struktur. Apabila suatu struktur terkena aliran udara yang besar maka struktur tersebut akan bergetar dengan amplitudo yang meningkat. Getaran ini terjadi terus menerus sehingga struktur mengalami kegagalan. Jika fenomena ini terjadi pada pesawat terbang maka dapat dipastikan pesawat akan jatuh [3]

Sebenarnya, fenomena flutter tidak pernah terjadi pada pesawat di masa masa awal diciptakannya pesawat terbang [4 ]. Hal ini dikarenakan, pada masa itu pesawat bergerak dengan kecepatan rendah dan sayap pesawat dibuat rigid, sehingga fenomena flutter tidak banyak diketahui. Namun seiring dengan perkembangan jaman, sayap pesawat dibuat lebih lentur. Hal ini dimaksudkan agar pesawat lebih ringan. Jika pesawat semakin ringan maka gerak pesawatpun menjadi lebih cepat. Namun dengan dibuatnya sayap pesawat yang lentur menyebabkan munculnya fenomena flutter ini.

Penelitian terhadap fenomena flutter akan dilakukan secara matematis, yaitu dengan menganalisa model matematika dari sistem flutter pada sayap pesawat terbang. Analisis digunakan dengan menggunakan Teorema Manifold Center. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap fenomena flutter, diantaranya adalah Yang,1995 [9] dan liu, et, al,2000[5]. Yang [9], menunjukkan bahwa pada sistem flutter muncul Osilasi Limit Cycle, sedangkan Liu,et,al [5] melakukan penelitian tentang sistem flutter berdimensi 8 dan memberikan prediksi dan frekuensi dasar dari Osilasi Limit Cycle yang terjadi.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Pada penelitian ini, model sistem flutter yang digunakan didasarkan pada model sistem flutter yang dinyatakan oleh Chen dan Liu[2]. Model ini terdiri dari dua persamaan diferensial orde dua. Persamaan tersebut adalah

dengan ℎ adalah plunge displacement of airfoil, adalah pitch displacement of airfoil, adalah kecepatan udara yang tergeneralisasi,

adalah koefisien kekakuan linear, dan >0 adalah koefisien kekakuan nonlinier

bernilai 0,08109668 terjadi bifurkasi Hopf superkritikal maupun subkritikal. Di dalam makalah ini, ditunjukkan bahwa pada saat bernilai 0,08109668 terjadi bifurkasi pitchfork superkritikal.

Dalam makalahnya, Chen dan Liu menunjukkan bahwa pada saat parameter

B. PEMBAHASAN

a. Transformasi Pertama

Sistem (1) akan ditransformasi menjadi sistem berdimensi 4 berorde 1 dengan cara mensubstitusikan

= ℎ , dan nilai = 0,08109668 ke dalam

sistem (1). Kemudian dilakukan penskalaan terhadap waktu , yaitu =7 didapatkan

0.4 − 1.6 − 0.8 4 Ketika nilai

≤ 2.027417 akan didapatkan satu titik ekuilibrium yaitu = ( 0, 0, 0, 0) , dan ketika > 2.027417 akan didapat tiga titik ekuilibrium yaitu:

Adanya perubahan banyaknya titik ekuilibrium menandakan terjadinya bifurkasi pada saat = 2.027417 . Selanjutnya, dilakukan translasi terhadap sistem agar bifurkasi terjadi pada saat =0 . Untuk itu dimisalkan =

+ 2.027417 , kemudian nilai ini disubstitusikan ke persamaan (2) sehingga didapat

b. Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Matriks Jacobian dari sistem (3) pada titik ekuilibrium ( 0, 0, 0, 0) pada saat =0 adalah

Matriks tersebut mempunyai nilai eigen 0 , − 2.37855761 , − 0.01072119 + 2.56751154 , dan − 0.01072119 − 2.56751154 dengan vektor eigen yang bersesuaian adalah 5.12347538

Berdasarkan vektor eigen yang telah diperoleh, dibentuk matriks P yang didefinisikan sebagai berikut

0 0.3962676024 0.5714986458 − 0.4134117957 Selanjutnya dimisalkan =

, dan dilakukan substitusi ke persamaan (3) sehingga diperoleh

d. Penentuan Manifold Center Definisi (Wiggins [8])

Sebuah manifold invariant dikatakan manifold center jika

+ (,) (5) Dengan (,) ∈ ×

jika memenuhi persamaan

( 0) = {( , ) ∈ × | = ℎ (),||< , ℎ ( 0) = 0, ℎ ( 0) = 0} untuk cukup kecil

Teorema (Wiggins [8])

Terdapat sebuah manifold center untuk system (5). Keadaan dinamik dari system (5) dapat didekati oleh manifold center berikut ̇ =

(6) Untuk u cukup kecil yang diberikan oleh vektor lapangan berdimensi-c Bukti dapat dilihat pada Carr [1]

Akibat selanjutnya menyatakan secara tidak langsung bahwa keadaan dinamik dari persamaan (6) mendekati =0 menentukan keadaan dinamik dari system (5) mendekati ( , ) = ( 0,0)

Teorema (Wiggins[8])

i. Andaikan solisi nol dari (6) adalah stabil (stabil asimtotis)(takstabil); maka solusi nol dari system (5) juga stabil (stabil asimtotis)(takstabil).

ii. Andaikan solusi nol dari persamaan (6) adalah stabil. Maka, jika (),() adalah solusi dari system (5) terdapat solusi () dari persamaan (5) sedemikian sehingga untuk →∞

), dengan y adalah suatu konstanta.

Bukti dapat dilihat pada Carr [1]

Secara lokal ( untuk || cukup kecil), manifold center dari sistem (4) mempunyai bentuk

(7b) Jika dimisalkan ℎ ( , )=

Dengan mensubstitusikan ℎ , ℎ , ℎ ke persamaan (7a), (7b), (7c). selanjutnya koefisien koefisien dari

disamakan dengan koefisien koefisien dari ̇ , ̇ , ̇ pada persamaan (4) maka

, , dan

i. untuk koefisien

untuk koefisien didapatkan

iii. untuk koefisien

= − 4.066215342, = − 0.8853281551, dan = − 0.09624549328 Subtitusikan nilai nilai tersebut ke dalam persamaan ℎ , ℎ , ℎ sehingga didapat

Selanjutnya mensubstitusikan persamaan (8a), (8b), (8c) ke dalam bentuk ̇ pada persamaan (4) didapat

dengan

Untuk =0 , didapat ( )=0 dan ( ) ≠ 0 , berarti ada daerah ∈ yang cukup kecil yaitu | |< . dengan

adalah bilangan positif kecil sedemikian sehingga ( ) ≠ 0 ∀ ∈ ( − ,)

Misal = ( ) → = ( ) dengan | | cukup kecil, maka

Untuk | | cukup kecil, jika <0 maka ( )<0 dan ( ) > 0. Jika >0 maka ( )>0 dan

=0 didapatkan ( 0) = 0 dan ( 0) ≠ 0 sehingga

( )<0 , dan untuk

(9) dengan = ( ) dan ( 0) = 0

Persamaan (9) merupakan bentuk normal dari sebuah sistem yang mengalami bifurkasi pitchfork (dapat dilihat di Perko[7]).

Diagram Bifurkasi Pitchfork

e. Interpretasi Hasil

Pada sistem flutter sayap pesawat ini, variabel adalah tingkat kekakuan linier sayap pesawat, sedangkan adalah kecepatan angin yang tergeneralisasi (kecepatan angin ditambah kecepatan pesawat). Untuk nilai paramater = 0,08109668, titik ekuilibrium

=0 menalami bifurkasi pitchfork superkritikal terjadi pada saat = 2.027417 . Titik ekuilibrium =0 diartikan sebagai posisi normal sayap pesawat pada saat diam. Pada saat < 2.027417 ( kecepatan angin ditambah dengan kecepatan pesawat kurang dari 2.027417 satuan kecepatan angin), titik ekuilibrium

=0 stabil sehingga dapat dimaksudkan sayap pesawat stabil ( dapat kembali ke posisi normal walaupun ada gangguan). Sedangkan jika > 2.027417 ( kecepatan angin ditambah dengan kecepatan pesawat lebih dari 2.027417 satuan kecepatan angin), titik ekuilibrium =0 tidak stabil atau posisi sayap pesawat bukan lagi merupakan titik yang stabil. Hal ini dimaksudkan setiap kali pesawat kembali ke posisi normal akan kembali terdorong lagi menjauhi posisi normal. Hal ini akan terjadi terus menerus dan geraknya akan semakin cepat. Kondisi seperti ini yang menyebabkan sayap pesawat patah.

C. SIMPULAN

Berdasarkan pengaruh parameter menunjukkan bahwa bifurkasi pitchfork superkritikal terjadi pada sistem flutter di titik ekuilibrium = ( 0, 0, 0, 0) yang merupakan titik asal pada saat parameter kecepatan udara tergeneralisasi ( ) bernilai 2.027417

D. DAFTAR PUSTAKA

Carr, J. 1981. Application of Center Manifold Theory. Springer-Verlag: New York, Heidelberg,Berlin.

Chen, Y.M dan Liu, J.K. Supercritical as well as subcritical Hopf bifurcationin nonlinear flutter system . Jurnal Applied Mathematics and Mechanics-Engl. Ed., 2008, 29(2):199126 DOI 10.1007/s10483-008-0207-x.

FariduzzamanFluttw2d : A Software Tool For Flutter Prediction On Airplane Wings. Artikel 2210 LITBANG, . (2002). Hlm. 147-158.

Hollmann, M.1991. Modern Aerodinamic Flutter Analisis. Building S Monterey: California.

Liu L., Wong, Y.S, dan Lee, B.H.K. Application of the center manifoldTheory in nonlinear aeroelasticity . J Sound Vib, 2000.234(4):641659

Novi Andria. Analisis flutter sirip roket balistik rx-420 dengan Melibatkan modus gerak kaku struktur roket . Jurnal Universitas Indonesia, 2011. Hlm. 107-114.

Perko, Lawrence. 2000. Differential Equations and Dynamical Sistem. Springer-Verlag: New York.

Wiggins, S.1990. Intoduction to Applied Nonlinear Dynamical System and Chaos. Springer-Verlag: New York.

Yang, Y.R. KBM method of analyzing limit cycle flutter of a wing an external store and comparison with wind tunnel test. J Sound Vib, 1995, 187(2)271280.

T-3

PENYESUAIAN BAGAN PADA FLOWCHART SEBAGAI UPAYA MENJAGA KONSISTENSI DAN KEJELASAN ALGORITMA PEMROGRAMAN KOMPUTER

Bambang Sumarno HM

Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY bambang@uny.ac.id

Abstrak

Algoritma di dalam pemrograman komputer, merupakan rujukan langkah-langkah penyelesaian masalah, yang penyajiannya sering diabaikan. Permasalahan ini disebabkan keengganan pemrogram menuliskannya, sehingga dirasa cukup ada di ingatannya. Kondisi ini diperburuk dengan salah satu cara penyajian algoritma, yaitu flowchart yang masih terdapat beberapa permasalahan yang menjadikannya kurang komprehensif seiring perkembangan bentuk pemrograman komputer.

Terdapat tiga cara utama penyajian algoritma, yaitu: (1) verbal/kalimat pernyataan, (2) flowchart, dan (3) pseudocode. Flowchart atau Bagan Alir merupakan cara penyajian Algoritma dengan menggunakan bentuk-bentuk bangun datar tertentu yang saling terhubung membentuk sebuah aliran penyelesaian masalah.

Beberapa perbaikan komponen flowchart yang dihasilkan dari kajian ini, diantaranya: (1) penambahan bagan untuk deklarasi dan deskripsi pengenal yang diperlukan, (2) penyesuaian bagan untuk perulangan tertentu (for - to - do), dan (3) perubahan pemanfaatan bagan lingkaran untuk pemilihan beracuan nilai (case - of).

Kata Kunci: Bagan, Flowchart, Algoritma, dan Pemrograman Komputer

A. PENDAHULUAN

Ilmu Komputer sebagai sebuah ilmu telah berkembang pesat dengan tumbuhnya bidang kajian yang ada di dalamnya, seperti: Arsitektur dan Organisasi Komputer (Computer Organisation and Architecture ), Jaringan Komputer (Computer Network), Pemrograman Komputer (Computer Programming), Kecerdasan Semu/Buatan (Artificial Intelligence), Penglihatan Komputer (Computer Vision), Robotika (Robotic), dan seterusnya. Bahkan beberapa diantaranya telah tumbuh kembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Dari sekian banyak bidang kajian tersebut, Pemrograman Komputer (selanjutnya dituliskan Pemrograman) merupakan bidang kajian yang hampir tidak dapat dilepaskan dari kajian yang lainnya. Hal ini disebabkan pada setiap bagian kajian ilmu komputer selalu terdapat unsur pemrograman di dalamnya, seperti ditunjukkan pada sistem komputasi.

Lapisan Sistem Komputasi

Komputer adalah sebuah perangkat, sedangkan sistem komputasi adalah sebuah entitas dinamis yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sistem komputasi tersusun dari perangkat keras dan perangkat lunak, serta data yang mereka kelola. Sistem komputasi dapat diibaratkan seperti bawang, terdiri dari beberapa lapisan (layer). Setiap lapisan memainkan peran spesifik di dalam desain keseluruhan dari sistem. Terdapat 6 lapisan di dalam sistem komputasi seperti pada Gambar 1.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Dale and Lewis (2011:4-5) menerangkan; Lapisan paling dalam, Informasi (Information), mencerminkan cara menyajikan/mewakili informasi di dalam komputer. Penyajian ini dikelola menggunakan dijit biner, 1 dan 0. Lapisan berikutnya, Perangkat Keras (Hardware), terdiri dari perangkat keras fisik dari sistem komputer. Perangkat keras komputer yang dimaksud, termasuk perangkat seperti gerbang dan sirkuit yang mengontrol aliran listrik dengan cara-cara yang mendasar.

Komunikasi Aplikasi

Sistem Operasi

Pemrograman Perangkat Keras Informasi

Gambar 1. Lapisan Sistem Komputasi

Sumber: Dale and Lewis Lapisan Pemrograman (Programming) berhubungan dengan perangkat lunak,

instruksi-instruksi yang digunakan untuk menyelesaikan komputasi dan mengelola data. Program (yang terdiri dari insruksi-instruksi tersebut) dapat diambil dalam beberapa bentuk, dapat dibentuk pada beberapa tingkat, dan dapat diimplementasikan dalam beberapa bahasa (pemrograman).

Setiap komputer memiliki sebuah Sistem Operasi (Operating System) untuk membantu mengelola sumber daya yang ada. Lapisan ini membantu pengguna berinteraksi dengan sistem komputer dan mengelola cara berinteraksi perangkat keras, program, dan data. Jika lapisan sistem operasi fokus pada bagaimana sistem komputer bekerja, lapisan Aplikasi (Application) fokus pada penggunaan komputer untuk menyelesaikan permasalahan dunia-nyata tertentu.

Komputer tidak lagi berada terisolasi di atas meja (kerja) seseorang. Teknologi komputer telah dapat digunakan untuk berkomunikasi, dan Komunikasi (Communication) ini merupakan lapisan mendasar dimana sistem komputer beroperasi. Hal ini menjadikan komputer dapat dihubungkan ke dalam jaringan (komputer) sehingga mereka dapat berbagi informasi dan sumber daya.

Dari lapisan yang menyusun Sistem Komputasi terlihat keberadaan Pemrograman merupakan lapisan yang memegang peranan penting sebagai penghubung lapisan perangkat keras dengan perangkat lunak yang di dalamnya terdiri sistem operasi, aplikasi, dan komunikasi. Keberadaannya yang memegang peranan penting menjadikannya sebagai kajian yang penting dan berkembang pesat di dalam Ilmu Komputer.

Algoritma Pemrograman

Pada lapisan pemrograman, tujuan (goal) dari kajiannya adalah terbentuknya program-program komputer yang bertujuan memerintah/mengakses perangkat (keras) komputer sesuai kebutuhan pengguna/manusia dengan menggunakan instruksi- instruksi yang dipahami komputer. K umpulan instruksi ini biasanya disebut kode sumber (source code). Instruksi yang ada dibangkitkan menggunakan bahasa pemrograman tertentu oleh pemrogram (orang yang membuat program).

Berawal dari bahasa pemrograman yang lebih berorientasi pada mesin/komputer (yang dikenal sebagai bahasa pemrograman tingkat rendah), yaitu: bahasa mesin yang menggunakan kode biner (1 dan 0) atau bahasa assembler yang menggunakan kode semu; Berkembang menjadi bahasa pemrograman yang lebih berorientasi pada manusia (yang dikenal sebagai bahasa pemrograman tingkat tinggi), diantaranya: BASIC, Fortran, dan Pascal. Selain itu, dimunculkan juga bahasa pemrograman tingkat menengah, contohnya: bahasa C, yang masih memfasilitasi Berawal dari bahasa pemrograman yang lebih berorientasi pada mesin/komputer (yang dikenal sebagai bahasa pemrograman tingkat rendah), yaitu: bahasa mesin yang menggunakan kode biner (1 dan 0) atau bahasa assembler yang menggunakan kode semu; Berkembang menjadi bahasa pemrograman yang lebih berorientasi pada manusia (yang dikenal sebagai bahasa pemrograman tingkat tinggi), diantaranya: BASIC, Fortran, dan Pascal. Selain itu, dimunculkan juga bahasa pemrograman tingkat menengah, contohnya: bahasa C, yang masih memfasilitasi

Seiring dengan meningkatnya kemampuan perangkat komputer dengan fitur yang lebih menjanjikan, menjadikan kebutuhan terhadap pemrograman yang dapat memberdayakan perangkat tersebut juga bermunculan. Hal ini dapat dilihat cukup banyaknya bermunculan bahasa pemrograman dengan paradigmanya yang lebih berdayaguna, diantaranya: Visual Basic, Delphi, PHP, dan Java. Masing-masing memberikan kemudahan di dalam penggunaannya ketika membuat suatu program dengan tersedianya editor yang terintegral dikenal sebagai IDE, yaitu: Integrated Development Environment . Adanya IDE ini, pembuatan program lebih teratur dan terbimbing, serta cukup mudah menemukan kesalahan tata tulis yang mungkin terjadi.

Keberadaan bahasa pemrograman yang beragam, di satu sisi memberikan pilihan/alternatif bagi pemrogram, tetapi di satu sisi menyebabkan terjadinya tumpang-tindih kode/sintaksis satu bahasa dengan lainnya. Meskipun tata tulis/sintaksisnya berbeda untuk masing-masing bahasa pemrograman, pembuatan rencana penyelesaian masalah yang akan dibuat programnya tetap sama. Di dalam komputasi, rencana ini disebut algoritma. Asal kata Algoritma diambil dari nama Matematikawan Persia yang menulis kitab Al Jabr wa’al-muqabala (rules of restoration and reduction ) di abad ke-9 (sekitar tahun 825), al Khowarizmi, adalah seperangkat aturan untuk melaksanakan beberapa perhitungan, baik secara manual (dengan tangan), atau lebih sering pada mesin/komputer (Brassard and Bratley, 1996:1).

Definisinya di dalam terminologi komputasi, algoritma adalah himpunan instruksi untuk menyelesaikan masalah atau sub-masalah pada sejumlah waktu yang terbatas dengan menggunakan sejumlah data yang terbatas (Dale and Lewis, 2011:198). Secara implisit, di dalam definisi ini adalah pemahaman bahwa instruksi yang ada tidak ambigu, yaitu setiap instruksi memiliki makna/pengertian tunggal. Pemahaman ini sering juga dikenal dengan istilah ‘logis’. Sebuah algoritma adalah sebuah rencana yang tepat untuk disajikan dalam sederetan tindakan/aksi untuk sebuah pencapaian tujuan yang diharapkan (CodeWorrior,1993:74). Setiap tindakan diambil dari daftar tindakan pada data yang dipahami secara jelas/baik.

Berikut beberapa contoh algoritma: (a) mempersiapkan makan pagi, (b) memutuskan besaran biaya masuk ke bioskop, (c) menghitung luas sebuah segitiga, (d) menganti ban mobil, atau (e) bermain permainan karambol. Dapat diperhatikan bahwa setiap algoritma tersebut menentukan dua hal, yaitu:

 Setiap tindakan ditentukan dengan kata kerja, seperti mempersiapkan, menganti, dan bermain, dan  Data yang dikenai tindakan, ditentukan dengan kata benda atau frase benda, seperti: makan pagi, bam mobil, dan permainan karambol. Lebih jauh, CodeWorrior (1993:75) menjelaskan bahwa sebuah algoritma harus memenuhi 4 sifat sebagai berikut.

 Lengkap (complete); Semua tindakan harus dituliskan/didefinisikan secara tepat  Tidak ambigu (unambiguous); Sekumpulan instruksi akan tidak ambigu jika hanya ada satu

kemungkinan cara menginterpretasikannya  Deterministik (deterministic); Jika instruksi diikuti/dikerjakan dapat dipastikan bahwa hasil yang diharapkan akan selalu dicapai.  Terbatas (finite); Instruksi-instruksi harus berakhir setelah sejumlah cacah langkah/step. Kebutuhan akan pembatasan ini tidak hanya berarti berhenti setelah sejumlah cacah langkah/step, juga berarti bahwa instruksi dapat menggunakan sebuah angka terbatas dari variabel untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Sebagai contoh, algoritma menghitung luas sebuah segitiga dengan seperangkat instruksinya seperti pada Gambar 2.

{Algoritma Menghitung Luas Segitiga}

No urut

Instruksi

1. Tentukan nilai alas dari segitiga 2. Tentukan nilai tinggi dari segitiga 3. Hitung luasnya dengan perhitungan hasil kali alas dengan tinggi dibagi dua

Gambar 2. Algoritma Menghitung Luas Segitiga

Dari algoritma ini (Gambar 2) terlihat instruksi yang ada lengkap dan didefinisikan secara tepat. Mulai dari memasukkan nilai yang diperlukan (alas dan tinggi), menghitung luasnya, serta menampilkan hasilnya. Setiap instruksi dapat dimengerti dengan jelas dan tidak bermakna ganda (ambigu). Masing-masing instruksi yang diikuti/dikerjakan memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Seperangkat instruksi yang dikerjakan dapat dipastikan berakhir setelah instruksi terakihir, yaitu: menampilkan hasil perhitungan luas segitiga.

Penggunaan/penerapanan penomoran, boleh menggunakan angka atau abjad, dari setiap intruksi untuk menunjukkan urutan pelaksanaannya. Walaupun secara umum dapat dimengerti bahwa instruksi yang berada di atas dikerjakan terlebi dahulu, penomoran ini dapat memberikan alur perhitungan nilai dari luas segitiga secara lebih teratur. Andaikan algoritma ini dikerjakan, akan diawali mulai instruksi dengan penomoran paling kecil; Jika alas diberi nilai 9 dan tinggi dengan nilai 5, maka luas akan memperoleh nilai 22,5 yaitu hasil dari (9x5)/2 yang selanjutkan akan ditampilkan nilai luas tersebut.

Walaupun algoritma pada prinsipnya dapat diterapkan untuk semua bentuk permasalah, baik dari permasalahan kehidupan sehari-hari yang sederhana, seperti mempersiapkan makan pagi, mengganti ban mobil, dan sejenisnya; Sampai permasalahan teknis yang kompleks, seperti: mekanika pada bangunan, aerodinamika pada mobil mapun pesawat, dan sejenisnya; Pada perkembangannya penggunaan algoritma diorientasikan untuk pembuatan program komputer. Perangkat instruksi yang ada di dalam algoritma akan dilakukan pengodean (coding) menggunakan bahasa pemrograman tertentu. Hal ini menjadikan penggunaan istilah algoritma identik dengan algoritma pemrograman. Sebelum algoritma ditranslasi ke dalam kode-kode intruksi bahasa pemrograman, cara menyajikannya menjadi salah satu bagian yang tidak dapat diabaikan.

Flowchart: Cara Penyajian Algoritma secara Grafis

Kejelasan sebuah algoritma tidak dapat dilepaskan dari cara menyajikannya. Algoritma yang di dalamnya terdapat sekumpulan langkah penyelesaian suatu permasalahan perlu disajikan secara benar agar memenuhi sifat-sifat algoritma yang baik. Algoritma mungkin muncul dalam beberapa bentuk secara spesifik yang disebut cara penyajian (representations) atau notasi (notations) Cara menyajikan sebuah algoritma sangat penting karena ia harus membawa secara cepat arti yang ada di dalam algoritma dengan paling sedikit usaha oleh pembacanya.Tidak satupun penyajian pantas untuk semua algoritma. Cara penyajian yang terbaik bagi salah satu algoritma, kemungkinan menjadi cara yang terburuk bagi lainnya.

Secara umum, penyajian algoritma dapat di kelompokkan menjadi 3 cara, yaitu: (a) verbal/kalimat pernyataan, (b) flowchart, dan (c) pseudocode. Cara verbal dan pseudocode penyajiannya lebih pada pada bentuk-bentuk tulisan/kode, sedangkan flowchart penyajiannya lebih pada bentuk-bentuk grafis. Gambar 2 merupakan contoh penyajian algoritma dengan cara verbal/kalimat pernyataan. Jika algoritma tersebut disajikan dengan cara pseudocode seperti pada Gambar 3.

Program: Menghitung Luas Segitiga {Kode semu untuk menghitung luas segitiga dengan memberikan

masukan nilai alas dan tingginya} Deklarasi

Integer alas, tinggi; Real Luas;

Gambar 3. Pseudocode dari Algoritma Menghitung Luas Segitiga Pseudocode adalah kode atau tanda yang menyerupai (pseudo) untuk menjelaskan cara menyelesaikan suatu masalah. Pada pseudocode, instruksi tidak terlalu berbentuk verbal (kalimat lengkap/baku) tetapi lebih mendekati bentuk bahasa pemrograman. Kedekatan kode semu dengan salah satu bahasa pemrograman ini menjadikan keunggulan pseudocode, karena tidak perlu lagi memakan waktu ketika akan dibuat kode prorgamnya.

Flowchart adalah satu cara yang sering digunakan untuk memperlihatkan sederetan tindakan di dalam sebuah algoritma Mereka terdiri dari “kotak-kotak” terhubung oleh garis dengan tanda panah menunjukkan aliran dari sederetan tindakan. Kotak-kotak tersebut berbentuk berbeda tergantung pada apa yang mereka sajikan tindakan, keputusan, atau penegasan (CodeWorrior, 1993:107-109):

 Tindakan (actions) menunjukkan proses (seperti masukan, keluaran, perhitungan) dan dipresentasikan sebagai kotak persegi panjang (Gambar 4).

Tentukan nilai alas

Tampilkan nilai Luas

Hitung Luas = (alas x tinggi) /2

(a) (b)

(c)

Gambar 4. Contoh tindakan masukan (a), keluaran (b), dan perhitungan (c) Tindakan ada kemungkinan mengubah nilai data dimana mereka dioperasikan.

Sebagai contoh, tindakan menaikkan (incrementing) pencacah akan merubah nilainya dengan menambah 1 pada nilai sebelumnya.

 Keputusan (decisions) sering menggunakan bentuk tes/uji atau pertanyaan seperti Umur<12 atau Warna? yang memiliki dua atau lebih hasil (kebanyakan tetapi tidak selalu Benar atau Salah), tergantung pada nilai yang akan diuji. Keputusan disajikan dengan belah ketupat (diamond) atau kotak dengan titik-titik akhir. Setiap kotak keputusan harus memiliki label tanda panah yang keluar untuk setiap hasil yang mungkin (Gambar 5). Tanda panah memandu ke tindakan berikutnya atau keputusan akan dilakukan.

 Penegasan (assertions) adalah pernyataan atau fakta (seperti usia ≥12 atau “Merah”) terkait nilai dari variabel pada beberapa posisi di dalam flowchart. Penegasan ini ditunjukkan dengan kotak putus-putus menunjuk pada tempat dimana penegasan menyimpan nilai benar (Gambar 5).

Warna Merah

Benar

Salah

Putih Hitam Merah

Gambar 5. Contoh keputusan dan penegasan

Kotak yang digunakan untuk menyajikan tindakan, keputusan, dan penegasan dapat dikombinasikan untuk menyajikan algoritma yang lengkap. Pada kenyataannya, mereka dapat Kotak yang digunakan untuk menyajikan tindakan, keputusan, dan penegasan dapat dikombinasikan untuk menyajikan algoritma yang lengkap. Pada kenyataannya, mereka dapat

 Rangkaian/urutan (sequence); Pada algoritma menghitung luas segitiga menunjukan dua tindakan dalam rangkaian, satu setelah lainnya, misalnya: menentukan nilai tinggi setelah sebelumya menentukan nilai alas.

 Pemilihan (selection); Pada algoritma harga melibatkan pilihan tindakan pada kondisi “usia<12” adalah Benar atau Salah. Jika usia kurang dari 12, maka garis berlabel Benar akan dipilih/diikuti dan harganya Rp. 10.000, sebaliknya dengan harga Rp. 25.000.

 Pengulangan (repetition); Pada algoritma menjumlah sepuluh buah data melibatkan pengulangan beberapa tindakan yang tergantung pada kondisi cacah data belum melebihi sepuluh buah. Selama kondisi bernilai benar, pemasukan data dan penjumlahannya dilakukan. Kondisi cacah data>10 adalah sebagai kondisi penghentian (termination condotion ). Tindakan memasukkan data dan menjumlahnya diketahui sebagai badan dari perulangan (body of the loop).

 Invokasi (invocation); Setiap dari tiga contoh di atas dapat diletakkan dalam sebuah kotak dan diberi label untuk referensi berikutnya. Kotak-kotak ini seperti sub-algoritma, dan mereka dapat diminta/dipakai ketika diperlukan. Sub-algoritma ditandai sebagai kotak dengan garis vertikal ganda. Invokasi dari sub-algoritma diperlakukan sebagai tindakan tunggal di dalam flowchart.

Flowchart sebagai penggambaran secara grafis dari langkah-langkah dan urut-urutan prosedur dari suatu program mengalami perkembangan. Flowchart diterapkan juga untuk menggambarkan jenis tindakan dan urutannya untuk keperluan lainnya. Sampai saat ini dikenal lima jenis flowchart, yaitu:

 Flowchart Sistem (System Flowchart); Flowchart ini menunjukkan alur kerja atau apa yang sedang dikerjakan di dalam sistem secara keseluruhan dan menjelaskan urutan dari prosedur-prosedur yang ada di dalam sistem. Dengan kata lain, flowchart ini merupakan deskripsi secara grafik dari urutan prosedur-prosedur yang terkombinasi yang membentuk suatu sistem.

 Flowchart Kertas Kerja/Dokumen (Paperwork/Document Flowchart); Flowchart kertas kerja/dokumen menelusuri alur dari data yang ditulis melalui sistem. Kegunaan utamanya adalah untuk menelusuri pergerakan form dan laporan sistem dari satu bagian ke bagian lain termasuk bagaimana alur form dan laporan diproses, dicatat serta disimpan.

 Flowchart Skematik (Schematic Flowchart); Flowchart ini mirip dengan Flowchart Sistem, tetapi tidak hanya menggunakan simbol-simbol flowchart standar, juga menggunakan gambar-gambar komputer, peripheral, form-form atau peralatan lain yang digunakan dalam sistem. Flowchart Skematik digunakan sebagai alat komunikasi antara analis sistem dengan seseorang yang tidak familiar dengan simbol-simbol flowchart yang konvensional.

 Flowchart Program (Program Flowchart); Flowchart Program dihasilkan dari Flowchart Sistem, merupakan keterangan yang lebih rinci tentang bagaimana setiap langkah program atau prosedur sesungguhnya dilaksanakan. Flowchart ini menunjukkan setiap langkah program atau prosedur dalam urutan yang tepat saat terjadi. Pemrogram menggunakan flowchart program untuk menggambarkan urutan instruksi dari program komputer.

 Flowchart Proses (Process Flowchart); Flowchart Proses merupakan teknik penggambaran rekayasa industrial yang memecah dan menganalisis langkah-langkah selanjutnya dalam suatu prosedur atau sistem.

Pada perkembangannya, simbol-simbol flowchart yang biasa dipakai adalah simbol-simbol flowchart standar yang dikeluarkan oleh ANSI dan ISO. Tabel 1 berisikan simbol-simbol yang biasa digunakan untuk Flowchart (Program), selain garis dengan tanda panah untuk menunjukkan aliran instruksi.

Tabel 1. Simbol Standar Flowchart Program

Titik Terminal

Awal/akhir flowchart

Input/Output

Input data yang akan diproses atau Output data atau Informasi yang dihasilkan

Proses

Proses yang dilakukan dengan melibatkan data tertentu

Keputusan

Keputusan berdasarkan hasil pengujian kondisi/syarat

Preparasi

Pemberian nilai awal (untuk perulangan dengan cacah tertentu)

Proses Terdefinisi

Pendefinisian sebuah proses dimana rincian tindakan berada di bagan lainnya (sub-algoritma)

Konektor

Keluar ke atau masuk dari bagan lain pada sebuah flowchart pada halaman yang sama

Konektor

Keluar ke atau masuk dari bagan lain pada sebuah flowchart pada halaman yang berbeda/berikutnya

Dengan menggunakan simbol-simbol pada Tabel 1, maka algoritma menghitung luas segitiga dapat disajikan dalam bentuk flowchart seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Flowchart Menghitung Luas Segitiga

Dari Tabel 1, terdaftar simbol-simbol standar flowchart (program) yang semakin presentatif. Telah ada bagan (jajar genjang) yang diperuntukkan input atau output agar berbeda dengan bagan proses/tindakan. Demikian juga untuk mengelola flowchart yang cukup kompleks, tersedia bagan proses terdefinisi untuk memecahnya menjadi beberapa flowchart yang yang lebih kecil dan khusus, yang dapat dipandang seperti sub-algoritma. Tetapi tersedia dua bagan konektor yang terkesan berlebihan.

B. PEMBAHASAN

Dari paparan di atas menunjukkan pentingnya penyusunan algoritma sebagai langkah-langkah penyelesaian suatu masalah. Langkah penyelesaian tersebut akan berupa seperangkat instruksi yang akan diberikan ke komputer untuk dikerjakan sebagaimanamestinya. Selain fokus pada instruksi-instruksi yang hendak dikerjakan, di dalam algoritma juga perlu menyertakan data yang terlibat/dikenakan instruksi tersebut. Keberadaan data yang tersurat secara jelas di dalam algoritma, akan lebih diperlukan ketika akan digunakan sebagai pedoman pembuat kode sumber dari sebuah program.

Adanya pengertian program = algoritma + struktur data, mempertegas bahwa pada setiap pemrograman tidak dapat dilepaskan dari keberadaan algoritma (yang fokus pada instruksi/proses) dan struktur dari data yang terlibat/diolah di dalamnya. Hal ini menunjukkan keberadaan keduanya, algoritma dan struktur data penting dan tidak dapat dilepaskan satu dengan lainnya di dalam pemrograman. Oleh karena itu, cara penyajian algoritma (yang di dalamnya terdapat struktur data) perlu mendapat perhatian lebih. Selain untuk kepentingan dokumentasi, cara penyajian algortima lebih utama untuk memberikan kejelasan dan arahan tahapan penyelesaian masalah yang akan dibuat koding programnya.

Penyajian algoritma yang baik, yang memenuhi kaidah-kaidah penyusunannya, merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dalam kesatuan proses pemrograman. Bahkan dapat diduga banyaknya kesalahan (bug) saat pengodean program disebabkan kurang baiknya penyajian algoritma yang digunakan rujukan. Seperti dipaparkan sebelumnya, terdapat 3 cara utama penyajian algoritma, yaitu: verbal/kalimat pernyataan, flowchart, dan pseudocode. Cara verbal/ kalimat pernyataan lebih berorientasi pada manusia, yang mana di dalamnya jarang ditemukan kode yang menjurus pada bentuk instruksi yang menyerupai bahasa pemrograman. Sebaliknya, pseudocode lebih berorientasi pada mesin dikarenakan penyajian langkah-langkah penyelesaian mendekati bentuk-bentuk instruksi dari sebuah bahasa pemrograman. Oleh karena itu, penyajian verbal banyak dilakukan oleh orang pada umumnya. Sebaliknya, pseudocode lebih diharapkan oleh pemrogram karena penerjemahan/translasi langkah penyelesaiaan ke kode sumber (program) dapat dikerjakan relatif lebih mudah dibandingkan secara verbal yang memungkin memunculkan beragam interpretasi kata/kalimat yang ada.

Adapun flowchart yang cara penyajian algoritma secara grafis dengan menggunakan bentuk bagan-bagan, menawarkan kemudahan di dua sisi. Baik bagi orang umum (bukan pemrogram) maupun pemrogram. Flowchart menolong analis dan pemrogram untuk memecahkan masalah ke dalam segmen/bagian yang lebih kecil dan menolong dalam menganalisis alternatif-alternatif lain dalam pengoperasian. Dibandingkan dengan cara verbal maupun pseudosode, flowchart memberikan visualisasi pembacaan instruksi secara lebih komprehensif. Hal ini dapat diberikan dengan cara penyajian langkah-langkah penyelesaian masalah diidentikkan dengan bentuk bagan tertentu. Adanya kesinergian bagan dengan instruksi yang ada dapat mempertegas apa yang harus dilakukan dan apa yang dihasilkannya.

Keunggulan ini menjadikan flowchart pilihan bagi sebagian besar orang yang sedang belajar algoritma dan pemrograman. Baik bagi pengajar untuk membelajarkan algoritma pemrograman, maupun peserta didik yang memperlajarinya. Keunikan bagan-bagan yang ada memudahkan mereka yang mengingat dan memahami instruksi yang ada, sedangkan hubungan satu bagan dengan lainnya memberikan visualisasi aliran proses yang ada. Meskipun flowchart telah menjadi cara penyajiaan yang dikenal secara luas, masih terdapat beberapa hal yang dipandang perlu dilakukan sebagai bentuk peningkatan konsistensi dan kejelasan Keunggulan ini menjadikan flowchart pilihan bagi sebagian besar orang yang sedang belajar algoritma dan pemrograman. Baik bagi pengajar untuk membelajarkan algoritma pemrograman, maupun peserta didik yang memperlajarinya. Keunikan bagan-bagan yang ada memudahkan mereka yang mengingat dan memahami instruksi yang ada, sedangkan hubungan satu bagan dengan lainnya memberikan visualisasi aliran proses yang ada. Meskipun flowchart telah menjadi cara penyajiaan yang dikenal secara luas, masih terdapat beberapa hal yang dipandang perlu dilakukan sebagai bentuk peningkatan konsistensi dan kejelasan

1. Bagan untuk pendeklarasian data dan struktur/tipe datanya. Bagan yang ada di flowchart lebih ditujukan untuk merepresentasikan instruksi yang akan dikerjakan (oleh komputer). Keberadaan data yang dikenai instruksi diasumsikan sudah melekat/termasuk di dalamnya. Cara ini di satu sisi menawarkan fleksibilitas penentuan data, khususnya tipe/strukturnya; Tetapi kondisi ini membuka kemungkinan kesalahan pemilihan tipe/struktur yang sebaiknya.

Bagi pemrograman (sebut saja profesional) yang sudah terbiasa membuat program dengan bahasa pemrograman tertentu, keperluan data dengan jenisnya tidak terlalu menjadi permasalahan. Lain halnya bagi mereka yang sedanga belajar (sebut saja peserta didik), kejelasan data dan tipe/strukturnya dalam bentuk deklarasi terpisah akan banyak membantu pemahaman hasil dari instruksi-instruksi yang ada. Selain itu, untuk membangun konsintensi antar cara penyajian algoritma, khususnya flowchart dengan pseudocode, terutama saat flowchart digunakan sebagai rujukan penulisan kode program. Kebutuhan terhadap deklarasi data ini diperkuat dengan kenyataan sebagian besar bahasa pemrograman memerlukan pendeklarasian data beserta tipe/strukturnya secara eksplisit/terpisah.

Untuk keperluan ini maka ditambahkan bagan baru untuk pendeklarasian data dan tipe/strukturnya, yang berupa bagan persegi panjang dengan sisi horisontalnya berupa garis

ganda ( ). Sebagai contoh flowchart untuk menyajikan algoritma untuk menghitung luas segitiga seperti pada Gambar 6, akan diperbarui seperti pada gambar 7. Penempatan bagan deklarasi di atas bagan mulai, dengan pertimbangan setiap data yang dikenai instruksi ada/disediakan sebelumnya. Hal ini juga untuk mempertegas konsistensi struktur dari bahasa pemrograman yang dirujuk, yaitu bahasa Pascal. Pada bahasa Pascal, semua data dideklarasikan pengenalnya di bagian deklarasi yang berada sebelum atau di atas program utama. Dengan cara seperti ini, maka blok instruksi yang berada di antara bagan mulai dan selesai dapat dipahami sebagain bagian dari program utama.

Penggunaan garis putus-putus sebagai penghubungnya, untuk menpertegas bahwa antara pendeklarasian data dengan instruksi yang ada bukan merupakan urutan statis didalam eksekusi/pengerjaannya. Berbeda dengan garis utuh/solid dengan tanda panah ( →) yang menunjukkan secara tegas urutan instruksi yang akan dikerjakan.

Tinggi bilangan bulat positif Alas bilangan bulat positif Luas bilangan nyata

Mulai

Masukkan nilai alas

Masukkan nilai tinggi

Hitung Luas = (alas x tinggi) / 2

Tampilkan nilai Luas

Selesai Gambar 7. Perbaikan Flowchart Menghitung Luas Segitiga

2. Penyesuaian bagan untuk perulangan dengan cacah tertentu (for-to-do) Untuk menyajian langkah yang merupakan perulangan dengan cacah tertentu, telah tersedia bagan berbentuk persegi enam yang digunakan untuk pemberian nilai awal untuk inisialisasi perulangan (preparation). Biasanya inisialisasinya disajikan dalam satu instruksi yang di dalamnya tertulis pencacah beserta nilai awal dan nilai akhir perulangan. Contohnya seperti pada Gambar 8, yaitu algoritma untuk menjumlah 10 buah data.

Ulangi untuk i dari 1 s/d

Masukkan data

Total = Total + data

Tampilkan nilai

Gambar 8. Blok perulangan dengan cacah tertentu (for-to-do)

Penyajian algoritma untuk blok perulangan seperti ini (Gambar 8) dapat memunculkan ketidakjelasan bagi mereka yang belum terbiasa dengan konsensus yang ada; Yaitu: kenaikan nilai dari pencacahan jika tidak dituliskan artinya 1, atau penurunannya -1. Pada contoh perulangan ini, nilai pengenal/identifier i sebagai pencacah akan bergerak dari

1, bertambah satu demi satu, sampai berakir pada nilai 10. Sehingga terjadi 10 kali perulangan instruksi yang ada di dalam blok perulangan, memasukkan data dan menjumlahnya.

Bagi mereka yang belum mahir membaca/mmbuat flowchart, notasi perulangan ini dapat memunculkan ketidak jelasan kaitannya dengan kenaikan nilai pencacahnya. Untuk itu perlu dilakukan sedikit perubahan, sehingga bagan segienam terbagi menjadi 4 area seperti pada Gambar 9.

Gambar 9. Bagan perulangan dengan cacah tertentu (for-to-do) yang diperbarui

Adanya perbaikan bagan ini menjadi beberapa area menjadikan pengenal dan nilai yang diperlukan memiliki tempatnya masing-masing. Hal ini akan menjadikan proses perulangan yang akan dikenakan kepada blok instruksi yang diulang semakin jelas dan konsisten. Dengan menggunakan bagan yang diperbarui ini, maka algoritma perulangan yang digambarkan sebelumnya dapat disajikan kembali menjadi seperti pada Gambar 10.

Gambar 10. Blok perulangan dengan cacah tertentu (for-to-do)

dengan bagan inisialisasi diperbarui

3. Perubahan bagan konektor berupa lingkaran untuk percabangan berdasarkan nilai (case-of) Pengambaran flowchart yang penuh dengan bagan dan garis penghubung sering menyisakan permasalahan kehabisan ruang (satu halaman kertas telah penuh) untuk membuat bagan. Hal ini memaksa pembuatan bagan yang tersisa dituliskan di halaman yang terpisah. Kondisi ini menuntut perlu adanya bagan konektor untuk menghubungkannya. Permasalahan lainnya, banyaknya garis penghubung memungkinkan terjadinya perpotongan garis penghubung satu dengan lainnya di sebuah halaman (kertas) yang sama. Jika ini diabaikan dapat menyebabkan kesalahan penelusuran aliran instruksi yang ada. Untuk itu sering dilakukan pemutusan hubungan dengan diikat bagan konektor. Oleh karena itu, di flowchart pada umumnya disediakan dua bagan konektor, yaitu (a) lingkaran untuk menghubungkan dalam satu halaman yang sama, dan (b) lencana untuk hubungan antara dua halaman yang berbeda.

Walaupun cara ini terlihat tepat, tetapi kurang efesien. Untuk merujuk sambungan dari suatu hubungan di dalam flowchart, baik pada satu halaman yang sama, atau dua halaman yang berbeda, tidak perlu menyediakan dua bagan yang berbeda. Hal ini dikarenakan perujukan sambungan dituliskan beserta bagannya; Sehingga dengan menyertakan nomor halaman dan pengenal/penandanya sudah mewakili kedua jenis koneksi yang ada.

Dari penyederhanaan koneksi ini, maka salah satu bagan konektor, yaitu bagan lingkaran, dialokasikan untuk penyajian instruksi yang lainnya. Alur seleksi yang pemilihannya berdasarkan nilai, bukan kondisional benar atau salah, masih disajikan dengan bagan keputusan (belah ketupat). Hal ini sekilas dapat diasosiasikan, tetapi pada cara pemilihannya jauh berbeda. Cara ini dapat menimbulkan kesalahan konsep antara pemilihan secara langsung berdasarkan nilainya, dengan pemilihan secara berjenjang dengan menggunakan keputusan benar atau salah.

Misalkan akan disajikan alur pemilihan warna yang disukai dengan tersedia 4 pilihan (putih, merah, hitam, dan hijau), maka dengan menggunakan bagan lingkaran dapat disajikan seperti pada Gambar 11.a. atau Gambar 11.b. yang dapat digunakan untuk pemilihan dengan lebih banyak lagi pilihan.

(a) (b)

Gambar 11. Blok pemilihan merujuk nilai (case-of)

dengan bagan lingkaran

Penggunaan bagan lingkaran untuk alur pemilihan dapat menghindari ketidakkosistenan dengan bagan keputusan yang cara penentuannya berbeda. Selain itu, penulisan instruksi/tindakan untuk setiap pilihan dapat disajikan dengan lebih jelas.

C. SIMPULAN

Dari pembahasan dapat diambil beberapa simpulan terkait penyesuaian cara penyajian algoritma dengan menggunakan flowchart sebagai upaya menjaga konsistensi dan kejelasan langkah penyelesaian masalah dan struktur datanya.

1. Ditambahkan bagan baru berbentuk segi empat dengan sisi-sisi mendatarnya berupa garis ganda

digunakan untuk mendeklarasikan pengenal (identifier) beserta tipe datanya yang ada/dibutuhkan di dalam proses.

2. Bagan untuk inisialisasi perulangan dengan cacah tertentu (for-to-do) diubah dengan penambahan beberapa garis

dengan tujuan memperjelas pemanfaatan area pada

bagan untuk pengenal/pencacah, nilai awal, nilai kenaikan/penurunan, dan nilai akhir.

3. Bagan lingkaran pemanfaatannya diubah untuk pemilihan yang mengacu pada nilai (case-of) agar tidak bias dengan bagan keputusan

yang mengacu pada kondisional benar-salah (if-then-else).

D. DAFTAR PUSTAKA

Brassard Gilles and Bratley Paul. 1996. Fundamentals of Algorithmics. USA: PrenticeHall, Inc.

Gunadarma. (____). Flowchart. Diambil tanggal 17 Oktober 2013 dari http://darsono.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/16512/Flowchart.pdf

Metrowerks CodeWorrior TM CD.1993-1995. Principles of Programming (ebook). Canada and International: Metrowerks. Inc.

Nell Dale and John Lewis. 2011. Computer Science Illuminated, Fourth Edition. USA: Jones And Bartlett Publishers

T-4

PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS BERDASARKAN MODEL PENGENALAN SUARA MENGGUNAKAN MATLAB DAN MIKROKONTROLER ATMEGA16

1 2 Beni Utomo 3 , Turahyo , Bagus Priyo Tomo 1,2,3 STITEK Bontang

1 2 mir4kel@gmail.com, 3 turahyoahyo@ymail.com, mistersains@gmail.com

Abstrak

Penelitian diawali dengan merekam suara huruf vokal A, I, U, E dan O menggunakan mikrophone yang terhubung dengan MATLAB. Setiap lafal yang terekam selanjutnya diekstrak dan dianalisa untuk mengetahui karakteristik dari sinyal suara yang diperoleh dengan menggunakan formant. Formant merupakan frekuensi alami atau resonansi yang dihasilkan dari jejak vokal ketika seseorang berbicara. Metode yang digunakan untuk mengestimasi formant menggunakan analisis Cepstral. Analisis Cepstral dilakukan dengan cara menghitung spektrum dari Transformasi Fourier, dengan menyatakan invers Transformasi Fourier dari bentuk logaritmik spektrum energinya, dan dengan hanya mengambil koefisien orde rendah (8 sampai 16) dari inversnya. Hasil dari proses tersebut adalah sinyal cepstrum. Periode puncak dari sinyal tersebut diestimasi dan log magnitude yang smooth diperoleh dari cepstrum. Formants diestimasi dari spektral tersebut menggunakan syarat-syarat pada kisaran frekuensi formant dan ketinggian relatif dari puncak spektral pada frekuensi formant.

Selanjutnya berdasarkan hasil tersebut klasifikasi untuk mengenal huruf A, I, U, E, dan O berupa sinyal dilakukan dan bisa dibuat suatu basisdata. Mikrokontroler dipakai untuk menampilkan suatu sinyal yang masuk setelah sebelumnya dicocokkan dengan data yang telah dibuat melalui dua alat, yaitu melalui layar LCD dan melalui lampu LED..

Kata kunci: formant, fourier, cepstral, mikrokontroler, LED, LCD

A. PENDAHULUAN

Penelitian ini akan lebih diarahkan pada masalah komunikasi bicara anak berkebutuhan khusus terutama pada anak yang berusia diatas 2 tahun dan dibawah 5 tahun. Pada usia tersebut baru bisa diketahui apakah seorang anak memang mempunyai gangguan wicara atau hanya mengalami penundaan bicara yang biasa terjadi pada anak-anak. Untuk anak-anak yang mempunyai gangguan wicara, biasanya terapi wicara dilakukan oleh pengajar atau terapis dengan perbandingan 1:1 yaitu 1 terapis untuk 1 anak. Kegiatan terapi salah satunya dilakukan dengan pengenalan huruf abjad. Secara manual terapis meminta anak untuk mengucapkan suatu huruf tertentu dan anak akan mengucapkan atau menirukan lafal tersebut. Pada bagian inilah penelitian ini akan dilaksanakan dan sebagai batasan masalah huruf yang akan digunakan adalah huruf vokal yaitu a,i,e,o, dan u.

Pada saat anak melafalkan suatu huruf, maka kriteria benar tidaknya atau bisa tidaknya anak melafal akan sangat tergantung dari pendengaran terapisnya. Hal tersebut bisa menimbulkan beberapa interpretasi dari apa yang telah dilafalkan anak. Kondisi tempat anak berkebutuhan khusus biasanya tidak setenang tempat belajar anak biasa. Dengan bantuan teknologi yang akan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan suatu alat yang bisa mengukur pelafalan huruf abjad dari anak-anak yang mempunyai keterbatasan dalam berbicara. Harapannya, dengan adanya alat ini, para pendidik dan pengajar anak berkebutuhan khusus mempunyai alat untuk mengenali pada bagian mana anak kesulitan untuk melafalkan huruf, dengan demikian para pendidik dan pengajar bisa memberikan terapi wicara dengan lebih tepat

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan yang bisa dilaksanakan secara terpisah namun saling mendukung. Tahapan pertama merupakan tahapan analisis suara menggunakan MATLAB, sedangkan tahap kedua adalah tahapan menyusun peralatan yang bisa dipakai anak untuk bermain dan belajar menggunakan mikrokontroler ATMEGA16 atau ATMEGA8535.

Desain Sistem Secara Umum

Sistem yang akan dibuat terdiri dari dua bagian besar, yaitu komputer yang didalamnya sudah berisi program MATLAB serta mikrokontroler seri ATMEGA16 atau ATMEGA8535. Sistem bekerja dengan cara sebagai berikut. Komputer terhubung dengan mikophone dan mikrokontroler. Mikrophone berfungsi sebagai alat untuk memasukkan suara menjadi sinyal yang selanjutnya oleh MATLAB sinyal suara tersebut disimpan dalam file berekstensi .wav. file .wav tersebut selanjutnya diekstrak oleh MATLAB untuk mengetahui kekhasan dari sinyal tersebut. proses dilanjutkan dengan melakukan sintesis dari sinyal tersebut. kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang hingga terbentuk basis data sinyal suara.

Mikrokontroler berperan dalam menampilkan menampilkan hasil dari sinyal tersebut melalui LCD atau dot matrix. Data yang telah dibuat tadi selanjutnya ditanamkan pada mikrokontroler menggunakan downloader. Setelah program berhasil ditanam maka mikrokontroler bisa tidak dihubungkan dengan komputer.

Gambar 1 Desain Sistem

Analisis Suara

Suara yang direkam menggunakan mikrophone akan dianalisa menggunakan MATLAB. Analisa sinyal tersebut meliputi proses ekstraksi, identifikasi, dan sintesis. Proses ekstraksi dilakukan menggunakan formant. Formant merupakan frekuensi alamiah atau resonansi yang dihasilkan ketika seseorang berbicara. Ada beberapa metode untuk mengekstrak formant dari suatu sinyal. diantaranya adalah metode cepstrum dan LP (Linear Predictive). Berikut adalah sinyal lafal huruf Suara yang direkam menggunakan mikrophone akan dianalisa menggunakan MATLAB. Analisa sinyal tersebut meliputi proses ekstraksi, identifikasi, dan sintesis. Proses ekstraksi dilakukan menggunakan formant. Formant merupakan frekuensi alamiah atau resonansi yang dihasilkan ketika seseorang berbicara. Ada beberapa metode untuk mengekstrak formant dari suatu sinyal. diantaranya adalah metode cepstrum dan LP (Linear Predictive). Berikut adalah sinyal lafal huruf

 ix  f ˆ()   () f  

fxe () dx

fx ()  () f 

 1 1 ix 

 f ()  e d  ....................(2)

Secara umum proses pengolahan sinyal hingga mendapatkan formant ditunjukkan oleh blok diagram berikut ini.

S(n) x(n)

x( ω)

Logx( ω) S(n)

Rekam

DFT

Logx( ω)

IDFT

Gambar 1 Blok Diagram menghitung Spektrum Sinyal (Cepstrum)

Suatu cepstrum merupakan hasil dari proses invers transformasi fourier (IDFT) dari suatu bentuk logaritmik untuk estimasi spektrum suatu sinyal. ada cepstrum kompleks, cepstrum real, cepstrum tenaga (power), dan cepstrum phase. Power cepstrum banyak ditemukan dalam aplikasi analisis bicara manusia. Metode formant ini dilakukan dengan cara membagi sinyal menjadi blok-blok waktu. Selanjutnya dengan menggunakan blok-blok tersebut disusun model AR untuk setiap blok dan pilih 3 frekuensi positif pertama untuk pole sebagai frekuensi formant.

Transformasi Fourier Diskret/ DFT(Discrete Fourier Transform)

Sinyal yang direkam merupakan sinyal waktu kontinyu sehingga sebelum diproses sinyal perlu diubah dulu menjadi sinyal diskret. Proses perubahan tersebut bisa dilakukan dengan cara mengambil titi-titik sampel atau sample-point dari sinyal kontinyu dengan interval waktu tertentu. Berikut adalah bentuk sinyal waktu diskret.

Untuk fungsi f (x ) , misalkan panjang sinyal adalah 2  , untuk sejumlah N pengukuran, dari f (x ) diambil interval 0 x  2  sehingga bisa diperoleh titik-titik sampel:

Atau secara umum : k

x k  2 .  . untuk k  0 , 1 , 2 ,..., N  1 .

Dengan kata lain interval 0 x  2  dibagi menjadi N subinterval sama besar. Pandang suatu polinomial trigonometri bentuk kompleks berikut:

Dengan q (x ) merupakan nilai interpolasi dari setiap fungsi f (x ) pada setiap titik x k yaitu:

qx () k  fx () k  f k

Diperoleh:

n e x untuk nilai k  0 , 1 , 2 ,..., N  1 .

Selanjutnya dicari nilai-nilai dari c 0 , c 1 , c 2 ,..., c N  1 .

Sehingga formula transformasi DFT (3) dan IDFT (4) adalah: N  1  2  1 ix

f ˆ()    fxe

() N

N x  0 N  1  2  1 ix

fx () 

 ()  e .....................(4)

N x  0 Transformasi log ( ) x 

Setiap sinyal suara yang direkam sn () merupakan sinyal yang terdiri dari dua komponen, komponen pertama adalah sinyal dari sumber suara en () dan komponen kedua adalah sinyal yang berasal dari komponen sistem hn () . Kedua komponen ini membentuk sistem sinyal suara. Pada pemrosesan sinyal ,kedua komponen tersebut harus dipisahkan. Tujuan dari analisis spektal

adalah untuk memisahkan kedua sinyal tersebut. sinyal hasil resultan sn () bisa dipandang sebagai konvolusi dari en () dan hn () dan bisa dinyatakan dalam domain waktu (5) dan domain frekuensi (6)

sn ()  en ()  hn () ....................(5) S ()   E ()   H ()  ....................(6)

Magnitudo dari spektrum barisan S ()  bisa dinyatakan dalam:

S ()   E ()   H () 

Jika kedua persamaan tersebut diambil logaritmanya diperoleh:

log ( ) S   log E ()   log H ()  ...........(8)

Tampak bahwa spektrum barisan ahirnya dinyatakan dalam kombinasi linear dari sumber dan komponen sistem dalam domain frekuensi. Hal tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa sinyal suara memang diperngaruhi atau terbentuk dari sumber suara dan komponen sistem. Langkah terakhir untuk mendapatkan cepstrum atau spektral adalah dengan mengambil invers dari (8), dan diperoleh: Tampak bahwa spektrum barisan ahirnya dinyatakan dalam kombinasi linear dari sumber dan komponen sistem dalam domain frekuensi. Hal tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa sinyal suara memang diperngaruhi atau terbentuk dari sumber suara dan komponen sistem. Langkah terakhir untuk mendapatkan cepstrum atau spektral adalah dengan mengambil invers dari (8), dan diperoleh:

Sehingga hasil akhir dari proses adalah sinyal dalam domain waktu.

Setelah cepstrum cn () diperoleh, proses selanjutnya adalah pengambilan nilai-nilai tertentu dari cepstrum dengan kriteria tertentu. Proses ini dinamakan liftering. Proses liftering sama

dengan proses filtering pada domain frekuensi hanya sekarang dilakukan pada domain waktu. Ada dua jenis liftering, yaitu low-time liftering dan high-time liftering. Yang akan digunakan sekarang adalah low-time liftering karena berguna serupa dengan mengekstrak lintasan kharakteristik vokal pada domain frekuensi. Low-time liftering dinyatakan dengan:

 1; 0  n L c

  [] n 

N ............................(10) 0; L c   n

dengan L c merupakan panjang dari cut off dan adalah setengah panjang cepstrum.

Kharakteristik lintasan vokal bisa diperoleh dengan mengkalikan cepstrum cn () dengan low-time liftering  e [] n yaitu:

cn e []   e [ ]. ( ) ncn .....................(11)

Transformasi Fourier diskret dikenakan pada persamaan tersebut danmengakibatkan sinyal berubah menjadi logaritma spektrum magnitudo:

log( H  ) DFT c n [ [ ]] e ......................(12)

Parameter lintasan penting seperti lokasi formant dan bandwidth bisa diperoleh dari lintasan spektrum vokal tersebut. Lokasi formant bisa diperkirakan dengan mengambil puncak-puncak dari spektrum tersebut.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sinyal Hasil Rekaman

Berikut adalah contoh hasil rekam sinyal suara lafal huruf vokal.

0.06 pro ses rekam 1 d eti k huruf a

0.1 proses rek am 1 det ik

huruf i

pros es rekam 1 deti k

0.04 0.1 huruf u

pr oses rek am 1 d etik

hu ruf e

pros es rek am 1 det ik huruf o

-0.06 0 -0. 15 -0. 1 -0.2 100 0 200 0 30 00 6000 40 00 7000 50 00 800 0 -0.15

-0. 2 0 1000 2000 3000 domai n wak t u 4000 5000 6000 7000 8000 9000

domain wakt u

domain w ak tu 4000

-0.1 0 1000 2000 3000 4000 domai n waktu 500 0 6000 7000 8000 9000

Gambar 2 sinyal lafal a,i,u,e, dan o

0. 1 huruf a i u e o

k elima hruf vokal dis ajik an bers ama

domain dalam wakt u 2 2. 5

4 4. 5 x 10

Gambar 3 Sinyal a,i,u,e, dan o dalam satu frame

Hasil Analisis Sistem

Sinyal hasil rekam tersebut selanjutnya diproses dan hasilnya adalah cepstrum. Cepstrum dianalisa lagi menggunakan transformasi Fourier diskret dan hasil akhirnya adalah formant. Formant inilah yang menjadi kharakteristik dari suatu sinyal.

Gambar 4 Segment Sinyal dan Cepstrumnya

Dari kegiatan-kegiatan tersebut, pada akhirnya diperoleh hasil akhir dari analisa sinyal suara, yaitu formant untuk setiap sinyal yang dianalisis. Berikut adalah gambaran lokasi formant yang dimaksud.

Gambar 5 Model Sinyal Linear Predictive. A)Model LP Respon Sistem, tanda + dan * merupakan lokasi formant. B) Sinyal dalam Domain Waktu, terlihat seakan-akan ada sinyal periodik.

Desain Perangkat Keras

Perangkat keras yang digunakan adalah mikrokontroler seri ATMEGA16 atau 8535. Desain sederhana dari sistem terdiri dari 1 buah mikrokontroler yang dipakai untuk memproses data, 1 Berikut adalah sistem perangkat keras sederhana yang bisa menampilkan karakter huruf vokal a,i,u,e, dan o.

Gambar 6 Desain Miktokontroler

D. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Ciri atau karakteristik dari suatu abjad yang dinyatakan suara bisa dinyatakan menggunakan formant meskipun masih perlu penyesuaian.

2. Pengendalian mikrokontroller terhadap display LED dan LCD dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan program yang dibuat menggunakan AVRCodeVision dengan bahasa C.

3. Mikrokontroller ATMEGA16 siap untuk dilakukan penggabungan kendali dengan komputer yang menggunakan MATLAB sebagai perangkat lunaknya.

E. DAFTAR PUSTAKA

Adriana S. Ginanjar.2010. Panduan Praktis Mendidik Anak Autis: Menjadi Orang Tua Istimewa ,Dian Rakyat, Jakarta

Baihaqi MIF. dan M. Sugiarmin. 2011. Memahami dan Membantu Anak ADHD, Refika Aditama, Bandung.

Gopi,ES. 2007. Algorithm Collection for Digital Signal Processing Applications Using MATLAB. Springers. Netherland.

Huzaemah. 2009. Kenali Autisme Sejak Dini.Penerbit Gramedia, Jakarta Karris, Steven T.2005 . Electronic Devices and Amplifier Circuits. Orchard Publications.

Fremonts, California. Karris, Steven T.2005 . Signals and Systems, 3rd Editions. Orchard Publications. Fremonts,

California. Kreyzig, Erwin. 2006. Advanced Engineering Mathematics. John Wiley and Sons, New York Permanarian Somad dan Tati H, .1995. Bina Wicara dan Persepsi Bunyi, Jakarta, Dirjen Dikti

Depdikbud. Semmlow.,J.L. 2004 .Biosignal And Biomedical Image Processing MATLAB-Based

Applications . Marcell Dekker Inc. USA Subkhan, 2011, Sistem Pengaman Pintu Bioskop Dengan Menggunakan Kartu dan Sistem Suara

Berbasis Mikrokontroler , Universitas Gunadarma. Sukarman. 2006. Komunikasi Perangkat Keras Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB,

Seminar Nasional II Sumber Daya Manusia Teknologi Nuklir , Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir Batan, Jogyakarta, 21-22 Desember 2006.

Suparno. 2007. Bahan Ajar Cetak: Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi: Departemen Pendidikan Nasional.

Vitria, Rikki .2008 . Komunikasi Data Serial Multipoint Menggunakan Teknik RS485 Half Duplex, Jurnal Ilmiah Poli Rekayasa ,Volume 3, Nomor 2, Maret 2008, Halaman 67-73.

Fauzia, Y. 2010. Apa Dan Bagaimana Autisme. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta

T-5

MODEL MATEMATIKA PENYAKIT DIABETES DENGAN PENGARUH TRANSMISI VERTIKAL

Debby Agustine

Jurusan Matematika, Universitas Negeri Jakarta, Indonesia debbyagustine@gmail.com

Abstrak

Diabetes merupakan salah satu dari empat jenis penyakit tidak menular yang dapat berujung pada kematian selain penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit kanker dan penyakit paru-paru kronik. Selain pola hidup yang tidak sehat, penyakit diabetes semakin diperparah dengan hasil riset yang menyatakan bahwa penyakit ini bersifat menurun. Model matematika penyebaran penyakit diabetes yang mengakomodir fakta di atas akan dkontruksi pada makalah ini. Analisis titik keseimbangan dan syarat kestabilan lokal pada masing-masing titik akan ditunjukkan. Basic reproductive ratio ( ℛ ) sebagai parameter ambang kendemikan penyakit akan ditunjukkan secara analitik. Titik keseimbangan bebas penyakit akan lokal stabil bila ℛ < 1. Beberapa simulasi numerik untuk mendukung hasil kajian analitik ditunjukkan dalam makalah ini. Kata kunci : Diabetes, Basic Reproductive Ratio

A. PENDAHULUAN

Berdasarkan laporan dari WHO, penyakit diabetes adalah salah satu penyakit yang paling berbahaya di dunia sebab dapat berujung kepada kematian. Masih berdasarkan laporan yang sama, diperkirakan 6 persen dari total populasi dunia positif mengalami diabetes. Jumlah penderita penyakit ini juga terus menerus meningkat dikarenakan penyakit ini sering diabaikan oleh individu manusia ataupun pihak yang terkait.

Dalam rangka menekan jumlah penderita diabetes dan juga sebagai langkah pencegahan, diperlukan pemahaman yang baik tentang penyakit ini. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi penyakit diabetes, antara lain memberikan suntikan insulin dan obat hipoglemik oral, pengobatan herbal, hingga budaya hidup sehat. Masih tingginya jumlah penderita diabetes mengindikasikan bahwa program-program di atas masih jauh dari kata sukses. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa diabetes dapat menurun secara vertikal kepada bayi yang baru lahir.

Model matematika merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memprediksi penyebaran penyakit diabetes. Penulis di [1] memperkenalkan model matematika penyakit diabetes berdasarkan kandungan gula dalam darah pada periode jangka pendek. Melanjutkan pekerjaan oleh penulis di [2], penulis di [3] mengkontruksi model matematika untuk prediksi penyakit diabetes yang juga terjadi di dalam tubuh namun dengan melakukan konsentrasi pada tingkat konsentrasi hormon dalam tubuh manusia.

Berbeda dengan para penulis di atas, model matematika pada penyakit diabetes akan dibahas dalam makalah ini yang melibatkan interaksi sosial antara manusia dalam konteks hubungan interaksi sosial. Transmisi vertikal pada faktor kelahiran akan diakomodir pula dalam model untuk mencakup fakta bahwa terjadi penurunan sifat pada penyakit diabetes. Pada bab berikutnya akan dibahas asumsi dan kontruksi dari model matematika penyebaran penyakit diabetes. Bab III akan membahas kajian analitik pada titik keseimbangan dan kajian basic reproductive

ratio. Simulasi numerik dan kesimpulan akan ditunjukkan pada bab IV dan V secara berurutan.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

B. MODEL MATEMATIKA

Diasumsikan bahwa populasi manusia bersifat tertutup dimana tidak terjadi migrasi baik itu masuk ataupun keluar dari populasi. Total populasi manusia dibagi keadaan tiga buah kompartemen yang berbeda dengan karakteristik masing-masing yaitu kompartemen manusia sehat dimana didalam darahnya tidak terdapat gen pembawa penyakit diabetes (

), kompartemen manusia sehat namun didalam darahnya telah terdapat gen pembawa penyakit diabetes ( ), dan kompartemen manusia terinfeksi diabetes ( ) yang positif terinfeksi mengalami diabetes.

Kelahiran diasumsikan bersifat konstan sebesar A dimana p porsi diantaranya terlahir sehat dikompartemen

sedangkan sisanya sebesar (1-p) terlahir dikompartemen dimana didalam darahnya telah mengandung gen pembawa penyakit diabetes. Infeksi diasumsikan terjadi karena adanya interaksi sosial dengan populasi terinfeksi sosial dengan populasi terinfeksi dengan laju dan

secara terurut. Interaksi sosial dengan populasi disini diasumsikan seperti gaya tarik menarik pada ilmu fisika. Infeksi terjadi dikarenakan adanya transfer gaya hidup yang tidak sehat yang diberikan oleh populasi terinfeksi kepada populasi dan oleh . Oleh karena itu, besar orang terinfeksi pada kompartemen

untuk kompartemen

dan

adalah sebesar

dan sebesar

pada kompartemen .

Setiap kompartemen manusia berkurang karena kematian natural dengan laju dan khusus untuk kompartemen

dapat berkurang karena kematian akibat penyakit diabetes dengan laju . Terdapat peluang seorang yang terinfeksi diabetes untuk mengalami kesembuhan dengan laju . Hal ini bisa dikarenakan sistem imun tubuh, progaram diet yang berhasil, atau bahkan dengan mengikuti terapi yang spesifik.

Berdasarkan asusmsi diatas, maka model matematika penyebaran penyakit diabetes dalam makalah ini diberikan oleh

Pada bab berikutnya, kajian terhadap titik keseimbangan dan kestabilan lokal serta basic reproductive ratio akan dibahas.

C. ANALISIS MODEL

Terdapat dua buah titik keseimbangan dari sistem persamaan (1) – (3) untuk variabel ( , , ) secara berurutan untuk titik keseimbangan bebas penyakit (DFE) dan titik keseimbangan endemik (EE), yaitu

Bentuk eksplisit dari titik EE (titik keseimbangan endemik) tidak dapat ditunjukkan dalam makalah ini secara eksplisit karena kompleksitas dari bentuknya. Titik keseimbangan untuk ∗ didapatkan dari akar persamaan

Dimana Ω adalah himpunan semua parameter dalam model persamaan (1) sampai (3). Titik DFE (titik keseimbangan bebas penyakit) merupakan titik keseimbangan dimana tidak terdapat orang yang terinfeksi oleh penyakit diabetes di lapangan olehnya bernilai 0. Bila

diperhatikan, total populasi manusia sehat yaitu

ekivalen dengan yang dapat direpresentasikan bahwa total populasi manusia sebenarnya adalah rasio antara laju kelahiran dan

laju kematian secara natural. Titik keseimbangan yaitu EE merupakan titik keseimbangan dimana semua kompartemen eksis di lapangan.

Kestabilan lokal titik DFE

Untuk mengecek kestabilan lokal titik DFE, dapat dilihat dari nilai eigen dari matriks jacobi sistem persamaan (1) – (3). Matriks jacobi sistem diberikan oleh

Nilai eigen dari matriks J diberikan oleh akar kembar – dan (1 − ) + − − − . Agar sistem stabil, maka semua nilai eigen haruslah bernilai negatif. Oleh karena itu, agar

semua nilai eigen bernilai negatif maka harus dipenuhi bahwa ℛ = < 1.

Basic Reproductive Ratio

Basic reproductive ratio didefinisikan sebagai jumlah ekspektasi kejadian kasus sekunder dari satu kasus primer pada populasi virgin selama periode proses infeksi [4 , 5]. Basic reproductive ratio merupakan bilangan non dimensional yang dapat mengatur tingkat keendemikan suatu wilayah dan didapatkan dari spectral radius dari matriks generasi [6]. Basic reproductive ratio dari sistem (1) – (3) diberikan oleh

Titik DFE akan stabil lokal jika dan hanya jika ℛ <1 dan sebaliknya, titik EE akan stabil lokal jika dan hanya jika ℛ >1 [4] . Level set untuk sensitivitas parameter dari ℛ terhadap dan dapat dilihat dari gambar 1. Dapat dilihat bahwa untuk menekan besaran ℛ

hingga bernilai kurang dari 1 maka dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk memperbesar nilai

yaitu laju kesembuhan orang terinfeksi. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan budaya hidup sehat, program diet dan lain sebagainya.

Gambar 1: Level set ℛ terhadap dan

Pada bagian berikutnya, simulasi numerik untuk mendukung hasil kajian analitik akan ditunjukkan untuk beberapa kasus yang berbeda.

Gambar 2 : Dinamik manusia pada kasus ℛ = 0.9 (kiri) dan ℛ = 3.6 (kanan)

Gambar 3 : Dinamik manusia pada kasus p =0.1 dan p = 0.7

D. SIMULASI NUMERIK

Pada bagian ini, akan ditunjukkan beberapa simulasi numerik untuk mendukung hasil kajian analitik yang telah ditunjukkan pada bab sebelumnya. Nilai parameter dapat dilihat pada tabel 1.

Simulasi yang pertama ditunjukkan pada gambar 2 (kiri). Nilai parameter yang digunakan seperti pada tabel 1 memberikan besar ℛ sebesar 0.9. Merujuk pada hasil kajian analitikpada bab sebelumnya, maka sistem akan stabillokal menuju titik DFE seperti halnya yang ditunjukkan pada gambar 2 (kiri). Simulasi berikutnya ditunjukkan pada gambar 2 (kanan) yaitu pada saat ℛ sebesar 3.6. Pada kasus ℛ > 1, titik EE akan stabil lokal.

Simulasi berikutnya ditunjukkan dengan melakukan variasi pada nilai transmisi vertikal p. Berdasarkan kajian analitik basic reproductive ratio ( ℛ ), semakin besar nilai p, maka nilai ℛ akan mengecil. Dari gambar 3, dapat dilihat bahwa jumlah orang sehat pada waktu yang sama pada masing – masing kompartemen, terlihat lebih besar bila jumlah orang yang lahir tidak membawa penyakit diabetes (p = 0.7)

atau . atau

Tabel 1 : Nilai parameter

E. KESIMPULAN

Model matematika pada penyakit diabetes dengan transmisi vertikal pada populasi tertutup telah dikontruksi dalam makalah ini. Basic reproductive ratio ( ℛ ) sebagai indikator keendemikan ditunjukkan secara analitik. Berdasarkan kajian analitik terhadap ℛ dan didukung dengan simulasi numerik, ditunjukkan bahwa jumlah orang sehat akan lebih besar apabila proporsi kelahiran dalam keadaaan carrier diabetes lebih kecil. Pengembangan model dapat dilanjutkan dengan melibatkan beberapa faktor antara lain kelas umur, program penanggulangan dan pencegahan, dll.

F. DAFTAR PUSTAKA

[1] F. Stahl, R. Johanson (2009). “Diabetes mellitus modelling and short-term prediction based on blood glucose measurements”, Mathematical Biosciences 217 (2009) 101117.

E. Ackerman, I. Gatewood, J. Rosevear, and G. Molnar. (1969). “Blood glucose regulation and diabetes” , Concepts and Models of Biomathematics, F. Heinmets, Ed., Marcel Decker, pp. 131-156.

[3] Y. C. Rosado, (2009). “Mathematical Model for Detecting Diabetes ”, Proceedings of The National Conference On Undergraduate Research (NCUR) , University of Wisconsin LA-Crosse LA-Crosse , Winconsin April 16 – 18, 2009.

[4] O. Diekmann, J. A. P Heesterbeek (2000), Mathematical epidemiology of infectious diseases, Model Building, Analysis and Interpretation , John Wiley and Son, Chichester (2000).

[5] O. Diekmann, J. A. P Heesterbeek and M. G. Roberts. (2007). “ The contruction of next – generation matrices for compartmental epidemic models “, J. R. Soc. Interface, 2010 7, 873885.

[6]

D. Aldila, T. Gotz, E. Soewono. (2013). Optimal control problem arising from dengue disease transmission model, Mathematical Biosciences, 242 (2013), pp 9.16.

T-6 INDIKATOR USER SATISFACTION DALAM LAYANAN

E-LEARNING

1 Devy Lestari 2 , Nur Hadi Waryanto 1,2 Jurusan Pendidkan Matematika FMIPA UNY

Abstrak

Keberhasilan kegiatan belajar mengajar perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh faktor pengajar (dosen) tetapi juga dipengaruhi oleh keaktifan mahasiswa dalam mencari bahan ajar sendiri. Kurikulum baru tahun 2009 mempertegas bahwa proses pembelajaran harus berpusat pada peserta belajar. Terdapat beberapa fasilitas yang dapat digunakan mahasiswa mencari bahan ajarnya sendiri, salah satunya perpustakaan. Literatur-literatur di perpustakaan yang dulunya hanya dapat dibaca langsung dengan membuka lembar perlembar halaman, saat ini banyak yang telah disajikan dalam bentuk e-book (electronic book) dan dapat diunduh melalui internet. Perkembangan teknologi seperti internet sebagai sumber belajar memberikan kemudahan, kebebasan dan keleluasaan dalam menggali ilmu pengetahuan secara online. Metode pembelajaran berbasis internet ini sering disebut e-learning (electronic learning).

Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) merupakan salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang sudah menerapkan e-learning sebagai sarana Proses Belajar Mengajar (PMB) semionline. UNY telah menfasilitasi e-learning (Be Smart) sebagai proses belajar mengajar, tetapi masih memerlukan beberapa kajian karena dari 50 mata kuliah wajib dan 30 mata kuliah pilihan di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY hanya terdapat 27 mata kuliah yang menggunakan PMB melalui e- learning Be Smart (sumber: buku panduan akademik dan web Be Smart). Mata kuliah yang sudah menggunakan PMB Be Smart menjadi salah satu objek dalam penelitian tingkat kepuasan pengguna (mahasiswa) tehadap layanan e-learning Be Smart. Apa pun macam dan bentuk pengukuran kepuasan, umumnya menawarkan suatu pengukuran yang menghasilkan suatu indeks kepuasan pengguna e-learning. Tingkat (indeks) kepuasan mahasiswa terhadap layanan e-learning dapat didefinisikan sebagai tingkat (angka) yang mempresentasikan kepuasan mahasiswa terhadap layanan e-learning secara menyeluruh. Dalam skripsi ini tingkat kepuasan mahasiswa terhadap layanan e-learning akan diukur dengan pendekatan structural equation modeling .

Structural Equation Modeling (SEM) atau model persamaan struktural merupakan analisis multivariate yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variable secara kompleks. Syarat utama menggunakan SEM adalah membangun suatu model hipotesis yang terdiri dari model struktural dan model pengukuran dalam bentuk diagram jalur. Ada beberapa program komputer dapat digunakan untuk analisis Structural Equation Modeling. Program Amos dipilih karena memiliki kelebihan user-friendly graphical interface, yaitu kemudahan dalam penggunaan graphic interface (Amos Graphic) yang digunakan untuk menggambarkan model struktural menurut Ghozali (2005). Hasil dari penelitian tingkat kepuasan ini dapat menjadi tolak ukur keberhasilan layanan e-learning (Be smart) yang dapat membantu pengembangan e-learning (Be Smart) lebih optimal.

Kata kunci: SEM, amos, E-learning, kepuasan.

A. Pendahuluan

Keberhasilan kegiatan belajar mengajar perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh faktor pengajar (dosen) tetapi juga dipengaruhi oleh keaktifan mahasiswa dalam mencari bahan ajar sendiri. Kurikulum baru tahun 2009 mempertegas bahwa proses pembelajaran harus berpusat pada peserta belajar. Terdapat beberapa fasilitas yang dapat digunakan mahasiswa mencari bahan ajarnya sendiri, salah satunya perpustakaan. Literatur-

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika unt uk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) merupakan salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang sudah menerapkan e-learning sebagai sarana Proses Belajar Mengajar (PMB) semionline. Be Smart merupakan e-learning UNY yang digunakan sebagai sarana PMB. Walaupun UNY telah menfasilitasi e-learning (Be Smart) sebagai proses belajar mengajar, tetapi masih memerlukan beberapa kajian karena dari 50 mata kuliah wajib dan

30 mata kuliah pilihan di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY hanya terdapat 27 mata kuliah yang menggunakan PMB melalui e-learning Be Smart (sumber: buku panduan akademik dan web Be Smart). Mata kuliah yang sudah menggunakan PMB Be Smart menjadi salah satu objek dalam penelitian tingkat kepuasan pengguna (mahasiswa) tehadap layanan e-learning Be Smart. Dalam meneliti permasalahan tingkat kepuasan pengguna fasilitas e-learning ini terdapat beberapa cara, diantaranya adalah sructural equation modeling, multiple logistic regression, partial least square dan generalized maimum entropy (Alamsyah 2008). Dalam penelitian ini tingkat kepuasan mahasiswa terhadap layanan e-learning akan diukur dengan pendekatan structural equation modeling.

Structural Equation Modeling (SEM) atau model persamaan struktural merupakan analisis multivariate yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variable secara kompleks. SEM digunakan untuk memeriksa dan membenarkan suatu model menurut Hair et.al (2006). Syarat utama menggunakan SEM adalah membangun suatu model hipotesis yang terdiri dari model struktural dan model pengukuran dalam bentuk diagram jalur. Program Amos dipilih karena memiliki kelebihan user-friendly graphical interface, yaitu kemudahan dalam penggunaan graphic interface (Amos Graphic) yang digunakan untuk menggambarkan model struktural menurut Ghozali (2005). Hasil dari penelitian tingkat kepuasan ini dapat menjadi tolak ukur keberhasilan layanan e-learning (Be smart) yang dapat membantu pengembangan e-learning (Be Smart) lebih optimal.

B. E-learning

Darin E. Hartley (2001) yang menyatakan: e-learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain. LearnFrame.Com dalam Glossary of e-learning Terms (2001) menyatakan suatu definisi yang lebih luas bahwa e- learning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet, jaringan komputer, maupun komputer standalone.

E-learning dapat dengan cepat diterima dan kemudian diadopsi adalah karena memiliki kelebihan/keunggulan sebagai berikut menurut Effendi (2005): Pengurangan biaya, Fleksibilitas (dapat belajar kapan dan dimana saja, selama terhubung dengan internet), Personalisasi (dapat belajar sesuai dengan kemampuan belajar mereka), Standarisasi, Efektivitas, Kecepatan.

C. User Satisfaction

Menurut Irawan (2003), kepuasan adalah kata dari bahasa latin, yaitu satis yang berarti enough atau cukup dan farace yang berarti atau melakukan. Jadi, produk atau jasa yang bisa memuaskan adalah produk yang sanggup memberikan sesuatu yang dicari Menurut Irawan (2003), kepuasan adalah kata dari bahasa latin, yaitu satis yang berarti enough atau cukup dan farace yang berarti atau melakukan. Jadi, produk atau jasa yang bisa memuaskan adalah produk yang sanggup memberikan sesuatu yang dicari

Definisi user menurut O’Brien (2006) adalah seseorang yang menggunakan sistem informasi atau informasi yang dihasilkan. Definisi user menurut Long dan Long (2002) adalah seorang yang menggunakan komputer. Komputer adalah sebuah mesin yang dapat menerima dan mengolah data menjadi informasi secara cepat dan tepat. Dalam pengertian ini, user adalah mahasiswa yang menggunakan website Be Smart Universitas Negeri Yogyakarta.

Kotler (2000) yang dikutip oleh Samuel (2006), “customer satisfaction is a person’s feeling of pleasure or disappointed resulting from comparing a product perceived performances (or outcome) in relation to his or her expectations” dapat diartikan bahwa kepuasan konsumen atau pelanggan dapat diartikan sebagai perasaan senang atau kecewa (ketidakpuasan) seseorang setelah membandingkan kinerja (performance) produk dengan apa yang diharapkan (expectation).

D. Structural Equation Modeling

Teknik statistik yang mampu menganalisis pola hubungan antara konstrak laten dan indikatornya, konstrak laten yang satu dengan lainnya, serta kesalahan pengukuran secara langsung adalah Structural Equation Modeling (SEM). SEM adalah sebuah evolusi dari model persamaan berganda (regresi) yang dikembangkan dari prinsip ekonometri dan digabungkan dengan prinsip pengaturan (analisis faktor) dari psikologi dan sosiologi. (Hair et al., 1995).

Yamin dan Kurniawan (2009) menjelaskan alasan yang mendasari digunakannya SEM adalah:

a. SEM mempunyai kemampuan untuk mengestimasi hubungan antara variabel yang bersifat multiple relationship. Hubungan ini dibentuk dalam model struktural (hubungan antara konstrak laten eksogen dan endogen).

b. SEM mempunyai kemampuan untuk menggambarkan pola hubungan antara konstrak laten (unobserved) dan variabel manifest (manifest variabel atau variabel indikator).

c. SEM mempunyai kemampuan mengukur besarnya pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung, dan pengaruh total antara konstrak laten (efek dekomposisi).

Tahapan SEM, Hair et. al (1998) mengajukan tahapan permodelan dan analisis persamaan structural menjadi 7 tahapan yaitu:

1) Pengembangan model secara teoritis

2) Menyusun diagram alur

3) Konversi diagram alur ke dalam persamaan struktural

4) Memilih matrik input untuk analisis data

5) Menilai identifikasi model struktural

6) Menilai kriteria Goodness-of-Fit

7) Intepretasi dan modifiikasi model

E. Model SEM

Berikut akan dijelaskan masing-masing variabel baik variabel bebas maupun variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Variabel bebas (independent variable):  X1: Isi (content)

Variabel ini menjelaskan tentang persepsi responden mengenai informasi apa saja yang tersedia dalam sebuah sistem tersebut. Sistem yang dimaksud adalah e- Variabel ini menjelaskan tentang persepsi responden mengenai informasi apa saja yang tersedia dalam sebuah sistem tersebut. Sistem yang dimaksud adalah e-

Kisi-kisi kontruks X1: Isi (content) Indikator

Variabel butir tampilan grafis web e-learning Be Smart menarik

X1.1 1 semua mata kuliah yang saudara ambil di perkuliahan

X1.2 2 tatap muka tersedia di web e-learning Be Smart.

semua informasi perkuliahan (materi dan tugas serta link X1.3 3 materi) tersedia di web e-learning Be Smart.

lampiran file yang dapat di-download di web e-learning X1.4 4 Be Smart lengkap

 X2: Akurasi (accuracy) Variabel ini menjelaskan tentang persepsi responden mengenai informasi yang diberikan oleh e-learning yaitu harus bebas dari kesalahan, dalam artian tingkat kesalahan harus dapat diidentifikasi, apakah informasi tersebut terbebas dari kesalahan atau mengandung unsur kesalahan. Variabel ini diukur melalui item-item pernyataan dengan menggunakan skala likert.

Kisi-kisi kontruks X2: Akurasi (accuracy)

variabel butir informasi yang disajikan dalam web e-learning Be Smart sesuai dengan silabus perkuliahan dalam

Indikator

X2.1 5 perkuliahan tatap muka. lampiran file yang dapat di-download di web e-learning

X2.2 6 Be Smart sesuai dengan silabus perkuliahan

hasil nilai tugas yang disajikan dalam web e-learning Be Smart perhitungannya tepat dan sesuai dengan tugas

X2.3 7 yang telah saudara kumpul (upload).

 X3: Bentuk (format) Variabel ini menjelaskan tentang persepsi responden mengenai bentuk yang jelas yang diberikan oleh e-learning, seperti tataletak dan navigasi yang terdapat dalam e-learning . Variabel ini diukur melalui item-item pernyataan dengan menggunakan skala likert.

Kisi-kisi kontruks X3: Bentuk (format)

variabel butir e-learning Be Smart terdapat ruang yang menyediakan

Indikator

X3.1 8 materi perkuliahan.

e-learning Be Smart terdapat ruang untuk mengakses X3.2 9 materi perkuliahan.

e-learning Be Smart terdapat ruang yang bisa X3.3 10 dipergunakan untuk mengirim tugas (upload tugas).

e-learning Be Smart terdapat ruang yang menyediakan X3.4 11 hasil nilai dari tugas yang telah saudara kumpulkan.

e-learning Be Smart terdapat ruang untuk chatting antar X3.5 12 sesame pengguna e-learning Be Smart.

 X4: Ketepatan waktu (timeliness) Variabel ini menjelaskan tentang persepsi responden mengenai usia dari suatu informasi yang diberikan oleh e-learning yang merupakan faktor penting dalam  X4: Ketepatan waktu (timeliness) Variabel ini menjelaskan tentang persepsi responden mengenai usia dari suatu informasi yang diberikan oleh e-learning yang merupakan faktor penting dalam

Kisi-kisi kontruks X4: Ketepatan waktu (timeliness)

variabel Butir informasi yang disajikan dalam web e-learning Be Smart selalu up-to-date (informas berupa: panduan

Indicator

X4.1 13 penggunakan e-learning, materi kuliah, pemberian

tugas, penilaian,dsb). batas waktu pengumpulan tugas melalui e-learning Be

X4.2 14 Smart sesuai dengan batas pada saat perkuliahan.

 X5: Kemudahan penggunaan (ease of use) Variabel ini menjelaskan tentang persepsi responden bahwa sistem e-learning harus mudah digunakan (user friendly) oleh pengguna yang menggunakan e-learning. Variabel ini diukur melalui item-item pernyataan dengan menggunakan skala likert.

Kisi-kisi kontruks X5: Kemudahan penggunaan (ease of use)

variabel butir web e-learning Be Smart mudah untuk diakses.

Indicator

X5.1 15 (www.besmart.uny.ac.id)

tampilan layout web e-learning Be Smart mudah X5.2 16 dipahami kegunaannya.

mudah untuk memilih atau masuk ke dalam mata kuliah X5.3 17 yang anda inginkan di web e-learning Be Smart.

login dan logout ke web e-learning Be Smart mudah. X5.4 18 melakukan download file lampiran mata kuliah di web

X5.5 19 e-learning Be Smart mudah.

melakukan upload file tugas mata kuliah di web e- X5.6 20 learning Be Smart mudah.

sangat mudah untuk melihat nilai tugas mata kuliah X5.7 21 dalam web e-learning Be Smart.

mudah untuk mengetahui status terkumpulnya tugas X5.8 22 yang dikumpulkan saudara di web e-learning Be Smart.

mudah untuk mendapatkan panduan tentang cara menggunakan/mengoperasikan web e-learning Be

X5.9 23 Smart . mudah untuk mengatur user account saudara dalam web e-learning Be Smart meliputi editing atas data pribadi

X5.10 24 dan pemasangan foto.

 X6: Keamanan dan privasi (security and privacy) Variabel ini menjelaskan tentang persepsi responden bahwa sistem e-learning harus mampu memberikan keamanan dan harus mampu melindungi identitas serta data- data pribadi penggunanya yang bersifat rahasia. Variabel ini diukur melalui item- item pernyataan dengan menggunakan skala likert.

Kisi-kisi kontruks X6: Keamanan dan privasi (security and privacy)

variabel butir adanya username dan password yang digunakan untuk login ke dalam web e-learning Be Smart sudah

indikator

X6.1 25 mengamankan akses saudara ke alamat tersebut. adanya proses login dan logout dapat mengamankan

X6.2 26 akses saudara ke alamat web e-learning Be Smart.

perlu dipasang informasi pribadi saudara pada web e- X6.3 27 perlu dipasang informasi pribadi saudara pada web e- X6.3 27

X6.4 28 Be Smart .

 X7: Kecepatan respon media (speed of platform response) Variabel ini menjelaskan tentang persepsi responden bahwa sistem e-learning harus mampu merespon secara cepat dantanggap terhadap pengguna dalam hal ini kecepatan akses, kecepatan loading, kecepatan upload dan download. Variabel ini diukur melalui item-item pernyataan dengan menggunakan skala likert.

Kisi-kisi kontruks X7: Kecepatan respon media

(speed of platform response) indikator

variabel butir proses login dan logout ke web e-learning Be Smart

X7.1 29 cepat.

ketika saudara melakukan klik terhadap menu yang ada dalam e-learning Be Smart sistem secara cepat akan

X7.2 30 mengantarkan saudara pada menu pilihan yang

dimaksud. download materi perkuliahan dalam e-learning Be Smart

X7.3 31 prosesnya cepat.

upload tugas kuliah (mengumpulkan tugas kuliah) X7.4 32 dalam e-learning Be Smart prosesnya cepat.

2. Variabel bebas (independent variable):  Y: Kepuasan pengguna (user satisfaction)

Variabel ini menjelaskan tentang respon pengguna terhadap sistem e-learning yang menunjukkan keberhasilan atas dikembangkannya sistem tersebut. Variabel ini diukur melalui item-item pernyataan dengan menggunakan skala likert.

Kisi-kisi kontruks Y: Kepuasan pengguna

(user satisfaction)

variabel butir saudara puas dengan e-learning Be Smart.

Indicator

X8.1 33 e-learning Be Smart dapat dikatakan berhasil.

X8.2 34

Pola hubungan antar variabel yang akan diteliti merupakan hubungan sebab akibat dari satu atau beberapa variabel independen pada satu atau beberapa variabel dependen. Dalam penelitian ini terdapat beberapa bentuk hubungan/persamaan yang akan diuji, yaitu sebagai berikut.

1. Pengaruh antara Isi (content) (X1) terhadap Kepuasan Pengguna (user satisfaction) (Y1)

2. Pengaruh antara Akurasi (accuracy) (X2) terhadap Kepuasan Pengguna (user satisfaction) (Y1)

3. Pengaruh antara Bentuk (format) (X3) terhadap Kepuasan Pengguna (user satisfaction) (Y1)

4. Pengaruh antara Ketepatan Waktu (timeliness) (X4) terhadap Kepuasan Pengguna (user satisfaction) (Y1)

5. Pengaruh antara Kemudahan Penggunan (ease of use) (X5) terhadap Kepuasan Pengguna (user satisfaction) (Y1)

6. Pengaruh antara Keamanan dan Privasi (security and privacy) (X6) terhadap Kepuasan Pengguna (user satisfaction) (Y1)

7. Pengaruh antara Kecepatan Respon Media (X7) terhadap Kepuasan Pengguna (user satisfaction) (Y1)

Langkah-langkah pembentukan model persamaan struktural sebagai berikut.

1. Pengembangan Model Teoritis Langkah pengembangan model teoritis dilakukan serangkaian eksplorasi ilmiah melalui telaah pustaka guna mendapatkan justifikasi atas model teoritis yang akan dikembangkan. SEM digunakan untuk mengkonfirmasi model teoritis tersebut melalui data empirik. SEM merupakan sebuah confirmatory technique. Teknik ini merupakan teknik menguji teori baru atau teori yang sudah dikembangkan dan yang akan diuji lagi secara empiris. Pengujian ini dapat dilakukan dengan mempergunakan SEM, tetapi SEM tidak dipergunakan untuk membentuk hubungan kausalitas baru, melainkan dipergunakan untuk menguji pengembangan kausalitas yang sudah ada justifikasi teorinya.

2. Pengembangan Diagram Alur Model teoritis yang telah dibangun pada tahap pertama akan digambarkan dalam sebuah diagram jalur, yang akan mempermudah untuk melihat hubungan-hubungan kausalitas yang ingin diuji. Dalam diagram alur, hubungan antar konstruk akan dinyatakan melalui anak panah. Anak panah yang lurus menunjukkan sebuah hubungan kausal yang langsung antara satu konstruksi dengan konstruksi lainnya, sedangkan garis-garis lengkung antar konstruk dengan anak panah pada setiap ujungnya menunjukkan korelasi antara konstruksi. Pengukuran hubungan antar variabel dalam SEM dinamakan structural model. Berdasarkan landasan teori maka dibuat diagram jalur untuk SEM (structural model) dengan program AMOS sebagai berikut.

Diagram jalur untuk SEM

Konstruk yang dibangun seperti pada diagram jalur di atas dapat dibedakan dalam dua kelompok variabel, yaitu: variabel eksogen yang terdiri dari variabel Isi (content) (X1), Akurasi (accuracy) (X2), Bentuk (format) (X3), Ketepatan Waktu (timeliness) (X4), Kemudahan Penggunan (ease of use) (X5), Keamanan dan Privasi (security and privacy) (X6), dan Kecepatan Respon Media (X7), serta variabel endogen yang terdiri dari variabel Kepuasan Pengguna (user satisfaction) (Y1). Variabel eksogen (exogenous variables ), yang dikenal juga sebagai source variable atau independent variable adalah variabel yang tidak diprediksi oleh variabel yang lain dalam model. Variabel endogen (endogeneous variables), yang dikenal juga sebagai variable dependent merupakan faktor-faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa variabel eksogen maupun variabel endogen lain. Untuk mengukur variabel-variabel tersebut dikembangkan indikator sebagai observable variable (manifest variable) berikut (dalam terminologi SEM, unobservable variable digambarkan dalam bentuk elips, dan observable variable atau Konstruk yang dibangun seperti pada diagram jalur di atas dapat dibedakan dalam dua kelompok variabel, yaitu: variabel eksogen yang terdiri dari variabel Isi (content) (X1), Akurasi (accuracy) (X2), Bentuk (format) (X3), Ketepatan Waktu (timeliness) (X4), Kemudahan Penggunan (ease of use) (X5), Keamanan dan Privasi (security and privacy) (X6), dan Kecepatan Respon Media (X7), serta variabel endogen yang terdiri dari variabel Kepuasan Pengguna (user satisfaction) (Y1). Variabel eksogen (exogenous variables ), yang dikenal juga sebagai source variable atau independent variable adalah variabel yang tidak diprediksi oleh variabel yang lain dalam model. Variabel endogen (endogeneous variables), yang dikenal juga sebagai variable dependent merupakan faktor-faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa variabel eksogen maupun variabel endogen lain. Untuk mengukur variabel-variabel tersebut dikembangkan indikator sebagai observable variable (manifest variable) berikut (dalam terminologi SEM, unobservable variable digambarkan dalam bentuk elips, dan observable variable atau

Model SEM (Structural Equation Model)

3. Konversi Diagram Alur ke dalam Persamaan Struktural dan Model Pengukuran Konversi diagram alur ke dalam persamaan struktural dan model pengukuran. Persamaan yang di dapat dari diagram alur yang dikonversi terdiri dari:

1. Persamaan struktural (structural equation), yang dirumuskan untuk menyatakan hubungan kausalitas antar berbagai konstruk. Variabel endogen = variabel eksogen + variabel endogen + error

2. Persamaan spesifik model pengukuran (measurement model), dimana harus ditentukan variabel yang mengukur konstruk dan menentukan serangkaian matriks yang menunjukkan korelasi yang dihipotesakan antar konstruk .

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu maka persamaan struktural yang akan dicari dan diuji koefisiennya adalah sebagai berikut: Y1 = γ1 X1 + γ2 X2 + γ3 X3 + γ4 X4 + γ5 X5 + γ6 X6+ γ7 X7 + ζ1 Keterangan: γ = koefisien pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen ζ = galat model

Selain itu akan diketahui pula persamaan-persamaan measurement model dari masing- masing konstruk (persamaan ini digunakan untuk menentukan variabel mana mengukur konstruk mana, serta menentukan serangkaian matrik yang menunjukkan antar konstruk atau variabel) sebagai berikut: Untuk variabel Isi (content) (X1) X1.1 = λ1 X1 + δ1 X1.2 = λ2 X1 + δ2 X1.3 = λ3 X1 + δ3 X1.4 = λ4 X1 + δ4

Untuk variabel Akurasi (accuracy) (X2) X2.1 = λ5 X2 + δ5 X2.2 = λ6 X2 + δ6 X2.3 = λ7 X2 + δ7

Untuk variabel Kualitas Hubungan (X3) X3.1 = λ8 X3 + δ8 X3.2 = λ9 X3 + δ9 X3.3 = λ10 X3 + δ10 X3.4 = λ11 X3 + δ11 X3.5 = λ12 X3 + δ12

Untuk variabel Ketepatan Waktu (timeliness) (X4) X4.1 = λ13 X4 + δ13 X4.2 = λ14 X4 + δ14

Untuk variabel Kemudahan Penggunan (ease of use) (X5) X5.1 = λ15 X5 + δ15 X5.2 = λ16 X5 + δ16 X5.3 = λ17 X5 + δ17 X5.4 = λ18 X5 + δ18 X5.5 = λ19 X5 + δ19 X5.6 = λ20 X5 + δ20 X5.7 = λ21 X5 + δ21 X5.8 = λ22 X5 + δ22 X5.9 = λ23 X5 + δ23 X5.10 = λ24 X5 + δ24

Untuk variabel Keamanan dan Privasi (security and privacy) (X6) X6.1 = λ25 X6 + δ25 X6.2 = λ26 X6 + δ26 X6.3 = λ27 X6 + δ27 X6.4 = λ28 X6 + δ28

Untuk variabel Kecepatan Respon Media (X7) X7.1 = λ29 X7 + δ29 X7.2 = λ30 X7 + δ30

X7.3 = λ31 X7 + δ31 X7.4 = λ32 X7 + δ32

Untuk variabel Kepuasan Pengguna (user satisfaction) (Y1) Y1.1 = λ33 Y1 + ε1 Y1.2 = λ34 Y1 + ε2

Keterangan: λ (lambda) = loading faktor δ (Delta) = galat pengukuran pada variabel manifest untuk variabel eksogen ε (Epsilon) = galat pengukuran pada variabel manifest untuk variabel endogen

3. Memilih Matriks Input dan Estimasi yang Diusulkan Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasikan pola saling hubungan, sehingga matriks yang digunakan adalah matriks dalam bentuk korelasi. Program AMOS akan mengkonversikan dari data mentah ke bentuk kovarian atau korelasi lebih dahulu sebagai input analisis menurut Ghozali (2005). Model estimasi standard AMOS adalah menggunakan estimasi maksimum likelihood (ML). Estimasi ML menghendaki terpenuhinya asumsi:

1. Jumlah sampel besar Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 200 sampel, jumlah tersebut dapat dikategorikan ke dalam sampel besar.

2. Data berdistribusi normal multivariat Data telah memenuhi asumsi normal multivariat, pbila nilai kurtosis yang sudah mendekati angka 3.

3. Model yang dihipotesiskan valid Model yang dihipotesiskan telah didasari pada teori pemasaran yang ada.

4. Menilai identifikasi Model Struktural

5. Menilai Kriteria Goodness of Fit Pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap kesesuaian model melalui telaah terhadap berbagai kriteria goodness of fit. Berikut ini beberapa indeks kesesuaian dan cut-off value untuk menguji apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak.

1. Chi-square statistik, dimana model dipandang baik atau memuaskan bila nilai chi- squarenya rendah. Semakin kecil nilai X 2 semakin baik model itu dan diterima

berdasarkan probabilitas dengan cut-off value sebesar p>0.05 atau p>0.10.

2. The root Mean Square Error of Approximatio (RMSEA), yang menunjukkan goodness of fit yang dapat diharapkan bila model diestimasi dalam polulasi (Hair 2006). Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model itu berdasarkan degrees of freedom.

3. Goodness of Fit Index (GFI), adalah ukuran non statistikal yang mempunyai rentang nilai antara 0 (poor fit) sampai dengan 1 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini menunjukkan sebuah ‘better fit’.

4. Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI), dimana tingkat penerimaan yang direkomendasikan adalah bila AGFI mempunyai nilai sama dengan atau lebih besar dari 0,90.

5. The Minimum Sample Discrepancy Function adalah CMIN/DF yang dibagi dengan Degree of Freedom 2 . CMIN/DF tidak lain adalah statistik chi-square, X dibagi

2 DFnya disebut X 2 relatif. Bila nilai X relatif kurang dari 2.0 atau 3.0 adalah indikasi dari acceptable fit antara model dan data.

6. Tucker Lewis Index (TLI), merupakan incremental index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah base line model, dimana nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model adalah ≥ 0,95 (Ferdinand, 2002) dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan a very good fit .

6. Comparative Fit Index (CFI), dimana bila mendekati 1, mengindikasi tingkat fit yang paling tinggi (Arbucle, 1997). Nilai yang direkomendasikan adalah CFI ≥ 0,95.

7. Intepretasi Model dan Modifikasi Model

F. Daftar Pustaka

Alamsyah, Purnama. (2008). Membangun Indeks Kepuasan Pelanggan. Jurnal bisnis dan manajemen UNPAD (Vol.IX, No.1). Hlm. 62-81.

Darin E. Hartley. (2001) Selling e-Learning. American Society for Training and Development. Effendi dan Zhuang. (2005). E-learning: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Andi. Ferdinand, A, 2002. Structural Equation Modeling dalam penelitian Manajemen. Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Gerson, Richard F. (2002). Mengukur Kepuasan Pelanggan. Cetakan kedua, Jakarta: PPM. Ghozali, Imam & Fuad. 2005. Struktural Equation Modelling: Pengantar. Badan Penerbit

Universitas Diponegoro. Semarang Glossary of e-Learning Terms, LearnFrame.Com, 2001. Hair, J. F. JR., Anderson, R.E, Tatham, R.L. and Black, W.C. 2006. Multivariate Data Analysis.

Six Edition. New Jersey : Pearson Educational, Inc Hair, J.F., Jr., et.al. (1998). Multivariate Data Analysis 5th ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-

Hall Int’l. Hair, J.F., R.E. Anderson, R.L. Thatam, dan W.C. Black. 1995. Multivariate Data Analysis

With Reading, 4 th edition. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Irawan, Handi. (2003). Indonesian Customer Satisfaction. Jakarta: Elex media Komputindo.

Kotler, Philips. 2002. Manajemen Pemasaran Edisi Millenium. Jakarta: PT. Prehallindo Long, Nancy dan Long, Larry. (2002). Computers : Information Technology in Perspective.

Edisi ke-9. Prentice Hall, New Jersey. O’Brien, James. (2006). Pengantar Sistem Informasi, Perspektif Bisnis dan Manajerial:

Penerbit: Salemba Empat, Jakarta.

Semuel, Hatane. (2006). Ekpektasi Pelanggan dan Aplikasi Buran Pemasaran Terhadap Loyalitas Toko Modern Dengan Kepuasan Pelanggan Sebagai Intervening. Jurnal Manajemen Pemasaran Vol. No. 2 Oktober 2006; 53-64

Yamin, S. dan Kurniawan, H., 2009, Structural Equation Modeling: Belajar Lebih Mudah Teknik Analisis Data Kuesioner dengan LISREL-PLS, Buku Seri Kedua, Jakarta: Salemba Infotek.

T-7

WOLFRAM-ALPHA PADA TEORI BILANGAN

Nanang

Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Garut na2ngdr.64@gmail.com

Abstrak

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini telah dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Guru hendaknya menguasai TIK, terutama beberapa aplikasi dasar seperti pengolah kata, pengolah angka, penyajian presentasi, dan penggunaan internet. Penulis mencoba memanfaatkan salah satu aplikasi gratis dalam internet yang dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan soal-soal Teori Bilangan, yaitu Wolfram Alpha Free . Permasalahan dalam tulisan ini adalah “Topik-topik materi mana saja pada Teori Bilangan yang dapat dibahas atau dicari solusinya dengan menggunakan software Wolfram-Alpha? Berdasarkan hasil kajian dengan menggunakan software Wolfram-Alpha secara online, topik-topik pada Teori Bilangan yang dapat dicari solusinya adalah: pemfaktoran, kelipatan, bilangan prima, keterbagian (faktor pembagi), persamaan Diopanthine untuk mencari solusi bilangan bulat ax + by = c, fungsi phi, dan induksi matematik. Sementara pembuktian teorema-teorema pada Teori Bilangan, Wolfram-Alpha tidak dapat melakukannya.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini telah dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) menganggap sumber belajar merupakan salah satu aspek dalam pendidikan yang harus tersedia, terjangkau, berkualitas, relevan dengan kebutuhan dunia kehidupan bermasyarakat, dan dapat diakses oleh semua, dengan tidak membedakan jenis kelamin, usia, agama, ras, serta dijamin kepastian dalam aksesibilitinya. Melalui penggunaan TIK yang semakin berkembang memungkinkan guru atau dosen dan peserta didik terpisah tempat, namun masih tetap dapat melakukan pembelajaran secara berkualitas. Hal ini kemungkinan akan terjadi perubahan paradigma dalam proses pembelajaran. Proses mengajar (teaching) yang dulu hanya disampaikan dengan kuliah tatap muka, bergeser menjadi proses pembelajaran (learning) yang mendorong peserta didik belajar aktif, mandiri, dan menyenangkan.

Dengan adanya TIK, menurut Tim Instruktur Matematika (2013), guru akan terbantu dalam mengerjakan tugas-tugasnya seperti membuat perencanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi hasil pembelajaran, hingga menindaklanjuti hasil pembelajaran. Dalam perencanaan pembelajaran guru dapat memperkaya materi yang akan disampaikan dengan mencari informasi dengan bantuan internet. Pada saat pelaksanaan pembelajaran, guru dapat menggunakan komputer dan perangkatnya sebagai media sehingga materi pelajaran dapat disajikan dengan lebih menarik.Agar dalam mengevaluasi hasil pembelajaran lebih cepat dan tepat guru dapat memanfaatkan program-program yang ada di komputer. Lebih lanjut Tim Instruktur Matematika (2013), menjelaskan bahwa guru tidak harus mempelajari semua program komputer namun cukuplah beberapa aplikasi dasar seperti pengolah kata, pengolah angka, penyajian presentasi, dan penggunaan internet.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba memanfaatkan salah satu aplikasi gratis dalam internet yang dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan soal-soal Teori Bilangan, yaitu

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Wolfram Alpha Free . Wolfram-Alpha merupakan suatu aplikasi mesin komputasi dinamis sekaligus pencarian data.

2. Rumusan Masalah Sebagaimana uraian di atas, permasalahan dalam tulisan ini adalah “Topik-topik materi mana saja pada Teori Bilangan yang dapat dibahas atau dicari solusinya dengan menggunakan software Wolfram-Alpha?

3. Tujuan Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui topik-topik materi pada Teori Bilangan yang dapat dibahas atau dicari solusinya dengan menggunakan software Wolfram-Alpha.

4. Manfaat Melalui penggunaan Wolfram-Alpha pada pembelajaran Teori Bilangan diharapkan bermanfaat dalam mencari solusi permasalahan pada Teori Bilangan. Selain itu, juga diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas dosen dalam mengembangkan model ‐model pembelajaran yang inovatif guna meningkatkan kompetensi mahasiswa.

B. PEMBAHASAN

1. Deskripsi Teori Bilangan Mata Kuliah Teori Bilangan termasuk kelompok mata kuliah keilmuan dan keterampilan (MKK) bagi Program Studi Pendidikan Matematika dengan mata kuliah pra syarat teori himpunan. Menurut Burton (1980), Mata kuliah ini meliputi: Bilangan Bulat dan Induksi Matematika, Konsep Keterbagian Bilangan Bulat dan Sifat-sifatnya, Pembagi Bersama Terbesar (PBT), Algoritma Euclides, Kelipatan Bersama Terkecil (KBT), Kekongruenan, Kongruensi Linear, Residu Kuadratis, Kongruensi Polinom Bilangan Bulat, Aplikasi Sifat-sifat Kongruensi, Teorema Fermat dan Wilson, Fungsi-fungsi Aritmetika, Persamaan Diophantine, Akar Primitif dan Aritmetika indeks, Kongruensi Non-linear.

Teori bilangan menurut Kartasasmita (1982), secara umum mencakup penelaahan sifat-sifat bilangan asli: 1, 2, 3, 4, . . . , yang juga disebut bilangan bulat positif. Namun demikian, pada kenyataannya di dalam teori bilangan ditangani juga bilangan-bilangan bulat, 0,  1,  2,

3, ... . Sering juga pembuktian teorema-teorema teori bilangan menggunakan sifat-sifat bilangan real dan bilangan kompleks. Untuk teorema-teorema teori bilangan, ada dua konsep dasar yang digunakan untuk pembuktiannya. Pertama, konsep bahwa tiap himpunan bilangan bulat positif yang tidak hampa memiliki unsur terkecil. Jadi jika S himpunan bilangan bulat positif dan S tidak kosong maka S memiliki unsur s sedemikian sehingga untuk tiap a unsur S berlaku s  a. Kedua, konsep induksi matematika atau induksi lengkap. Jika S suatu himpunan bilangan bulat positif dan S mengandung bilangan 1 dan S mengandung bilangan n+1 jika n unsur S, maka S mengandung semua bilangan bulat positif. Untuk pembuktian teorema, diperlukan pengetahuan tentang logika matematika. Secara umum, lambang-lambang a, b, c, . . . , m, n, . . . , x, y, z akan digunakan menyatakan bilangan-bilangan bulat.

2. Wolfram-Alpha Melalui kemajuan dunia Informasi dan Teknologi (IT) dalam pembelajaran matematika, diharapkan Istilah “Matematika itu sulit” bagi sebagian siswa sekarang ini bisa teratasi. Beberapa materi pembelajaran Matematika seperti Aljabar, Trigonometri, dan Kalkulus bisa dengan mudah diselesaikan. Sebagai contoh dalam menyelesaikan soal matematika kian menjadi mudah, caranya kita bisa menggunakan salah satu software matematika dan menyelesaikan soal matematika secara online. Salah satu situs yang menyediakan layanan penyelesaian soal secara online adalah WolframAlpha.

Wolfram Alpha pertama kali diluncurkan ke publik pada tanggal 15 Mei 2009 oleh Wolfram Research. Wolfram Alpha Free merupakan versi gratis dari Wolfram Alpha Pro, yakni suatu aplikasi mesin komputasi dinamis sekaligus pencarian data. Wolfram Alpha Free lebih bersifat membantu komputasi, tidak seperti GeoGebra yang dapat digunakan sebagai tool konstruksi, karena fitur-fitur konstruksi hanya dibatasi untuk Wolfram Alpha Pro. Walaupun demikian, kita dapat memanfaatkan Wolfram Alpha Free baik secara online maupun offline karena telah disediakan banyak template dan contoh project siap pakai yang dapat diunduh dan digunakan secara interaktif. Hal ini sangat memudahkah khususnya bagi kita yang belum mahir menggunakan tool-tool konstruksi seperti di GeoGebra.

Wolfram Alpha Free secara online dapat diakses di http://www. wolframalpha.com/. Tampilan awal halaman situs ini cukup sederhana sebagai berikut.

Pada tulisan berikutnya, akan dibahas pemanfaatan Wolfram Alpha secara online atau terhubung dengan Internet pada mata kuliah Teori Bilangan.

3. Wolfram-Alpha pada Teori Bilangan Untuk mengetahui kegunaan wolfram-alpha pada teori bilangan, lakukan langkah-langkah bagaimana cara menggunakan situs tersebut.  Buka WolframAlpha di http://www. wolframalpha.com.  Ketiklah: number theory pada kotak yang tersedia seperti gambar berikut ini.

 Tekan Enter atau klik tanda “sama dengan” yang berwarna merah yang terletak di pojok kanan atas kotak.

 Tunggu beberapa saat maka informasi akan muncul sebagai berikut.

Mathematics

Number Theory

Prime Numbers Divisors Diophantine Equations Digit Sums Special Numbers Number Theoretic Functions Continued Fractions Algebraic Number

Berdasarkan informasi pada kotak di atas, Wolfram Alpha dapat digunakan dalam mencari solusi yang terdapat pada Teori Bilangan. Contohnya sebagai berikut.

1. Pemfaktoran Ketiklah: “ factor 70560” apabila kita ingin mencari factor dari 70560 pada kotak yang tersedia seperti gambar berikut ini.

Lalu tekan tombol enter atau klik tanda , akan diperoleh hasil sebagai berikut.

2. Bilangan Prima Ketiklah: “ primes <= 100” apabila kita ingin mencari bilangan prima yang lebih kecil atau sama dengan 100 pada kotak yang tersedia seperti gambar berikut ini.

Lalu tekan tombol enter atau klik tanda , akan diperoleh hasil sebagai berikut.

3. Keterbagian Ketiklah: “ divisors 3600” apabila kita ingin mencari pembagi atau bilangan yang habis membagi atau factor dari 3600 pada kotak yang tersedia seperti gambar berikut ini.

Lalu tekan tombol enter atau klik tanda , akan diperoleh hasil sebagai berikut.

4. Faktor Persekutuan Terbesar Ketiklah: “ gcd(45, 60, 90)” apabila kita ingin mencari faktor persekutuan terbesar dari: 45,

60, dan 90 pada kotak yang tersedia seperti gambar berikut ini.

Lalu tekan tombol enter atau klik tanda , akan diperoleh hasil sebagai berikut.

5. Kelipatan Persekutuan Terkecil Ketiklah: “ lcm(45, 60, 90)” apabila kita ingin mencari kelipatan persekutuan terkecil dari 45,

60, dan 90 pada kotak yang tersedia seperti gambar berikut ini.

Lalu tekan tombol enter atau klik tanda , akan diperoleh hasil sebagai berikut.

6. Persamaan Diopanthine untuk Mencari Solusi Bilangan Bulat ax + by = c Ketiklah: “ solve 3x + 4y = 5 over the integers” apabila kita ingin mencari nilai bilangan bulat dari x dan y pada kotak yang tersedia seperti gambar berikut ini.

Lalu tekan tombol enter atau klik tanda , akan diperoleh hasil sebagai berikut.

7. Euler Phi (Fungsi (n)) Ketiklah: “ phi(160)” apabila kita ingin mencari nilai (110) pada kotak yang tersedia seperti gambar berikut ini.

Lalu tekan tombol enter atau klik tanda , akan diperoleh hasil sebagai berikut.

8. Mencari suku dan jumlah ke n dari suatu deret Ketiklah: “ 2 + 4 + 6 + …” apabila kita ingin mencari suku dan jumlah ke-n pada kotak yang tersedia seperti gambar berikut ini.

Lalu tekan tombol enter atau klik tanda , akan diperoleh hasil sebagai berikut.

9. Induksi Matematik

Ketiklah: “ 1 + 3 + 5 + … + (2n – 1) = n ” apabila kita ingin membuktikan kebenaran dari jumlah deret suku ke-n dari bilangan ganjil pada kotak yang tersedia seperti gambar berikut ini.

Lalu tekan tombol enter atau klik tanda , akan diperoleh hasil sebagai berikut.

Berdasarkan contoh-contoh di atas tentang penggunaan Wolfram-Alpha pada Teori Bilangan, tampak bahwa Wolfram-Alpha lebih berperan sebagai mesin penghitung. Sedangkan pada pembuktian teorema-teorema, Wolfram-Alpha tidak dapat melakukannya.

C. SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan Berdasarkan hasil kajian dengan menggunakan software Wolfram-Alpha secara online, topik-topik pada Teori Bilangan yang dapat dicari solusinya adalah: pemfaktoran, kelipatan, bilangan prima, keterbagian (faktor pembagi), persamaan Diopanthine untuk mencari solusi bilangan bulat ax + by = c, fungsi phi, dan induksi matematik. Sementara pembuktian teorema-teorema, Wolfram-Alpha tidak dapat melakukannya.

2. Saran

a. Walaupun peran TIK dalam pembelajaran cukup besar namun peran guru tidak dapat digantikan. Oleh karena itu guru hendaknya menguasai TIK agar dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan mudah dan cepat namun tetap dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.

b. Bagi siswa atau mahasiswa yang menggunakan software Wolfram Alpha Free harap dengan bijaksana menggunakannya. Maksudnya dalam menyelesaikan pekerjaan Matematika janganlah berorientasi pada hasil, namun yang perlu lebih diperhatikan adalah bagaimana proses penyelesaian dalam memperoleh jawaban tersebut.

c. Silahkan mengeksplorasi lebih jauh penggunaan Wolfram Alpha Free untuk pembelajaran matematika. Penulis mencermati pengkategorian jenis aplikasi matematika pada Wolfram Alpha Free dapat digunakan untuk pembelajaran jenjang SD, SMP, SMA/SMK hingga perguruan tinggi.

D. DAFTAR PUSTAKA

Burton, D.M. (1980). Elementary Number Theory. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Kartasasmita, B.G. (1982). Pengantar Teori Bilangan, Jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013). Panduan Proposal Hibah Pengembangan Model Pembelajaran Nonkonvensional berbasis TIK. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan.

Marfuah (2013). Memanfaatkan Wolfram Alpha Free untuk Pembelajaran Matematika Bagian I: Secara Online. marfuah@p4tkmatematika.org

Menyelesaikan Soal Matematika dengan WolframAlpha_Pagar Alam dot Com.HTML, 25 Agustus 2013, 8:50.

Tim Instruktur Matematika (2013). Modul PLPG Matematika. Konsorsium Sertifikasi Guru.

T-8

MODEL MATEMATIKA TERAPI GEN UNTUK PERAWATAN PENYAKIT KANKER

Dwi Lestari

Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY dwilestari@uny.ac.id, weestar91@yahoo.com

Abstrak

Pembahasan model matematika terapi gen untuk perawatan penyakit kanker bertujuan untuk mengetahui bentuk model matematika terapi gen pada perawatan penyakit kanker. Model berbentuk sistem persamaan diferensial yang dikembangkan dari sistem persamaan Lotka-Volterra. Berdasarkan model yang terbentuk, diselidiki kondisi kestabilan dari titik ekuilibrium model. Dengan mengambil nilai parameter tertentu diberikan simulasi dari model.

Kata kunci: kanker, terapi gen, Lotka Volterra, kestabilan

A. PENDAHULUAN

Salah satu penyakit yang menjadi penyebab utama kematian di dunia adalah kanker. Kanker muncul akibat pertumbuhan sel abnormal di dalam tubuh manusia yang dapat berkembang dengan cepat dan tak terkendali. Sel merupakan bagian terkecil dari tubuh dan kanker terjadi mulai dari sel yang normal. Beberapa tipe kanker meliputi kanker payudara, kanker serviks, kanker otak, kanker paru-paru, dan kanker tulang. Kanker disebabkan oleh zat kimia, minuman alkohol, radiasi matahari yang berlebihan, perbedaan genetik, dan sebagainya [3]. Berbagai cara dilakukan untuk menyembuhkan atau menghambat pertumbuhan penyakit kanker. Adapun jenis perawatan, seperti: Operasi,Terapi radiasi, Kemoterapi, Target terapi, Imunoterapi (immunotherapy) , Terapi hormonal, inhibitor Angiogenesis, perawatan paliatif, dan terakhir adalah terapi gen (gene therapy). Masing-masing terapi memiliki efek samping, contoh: efek kemoterapi yang paling sering terjadi adalah mual-muntah, menekan produksi darah (mielosupresi), kelelahan, rambut rontok dan sariawan. Efek samping terjadi, akibat obat kemoterapi tidak hanya membunuh sel kanker tapi juga sel normal yang ikut membelah cepat. Seperti, sel saluran pencernaan, kulit, rambut dan sperma [5]. Oleh karena itu, dikembangkan terapi yang lain untuk pengobatan kanker seperti terapi gen (gene therapy).

Dalam upaya perawatan penderita kanker, metode perawatan terbaru dan masih dalam tahap penelitian adalah terapi gen. Pengobatan kanker mengalami perubahan yang evolusioner sebagai pemahaman tentang proses biologis yang mendasari terjadinya kanker. Operasi pengangkatan tumor telah didokumentasikan di Mesir kuno, terapi hormon dikembangkan pada tahun 1896, dan terapi radiasi dikembangkan pada tahun 1899. Kemoterapi, imunoterapi, dan terapi bertarget baru adalah produk dari abad ke-20. Sebagai informasi baru tentang biologi kanker muncul pengobatan yang akan dikembangkan dan dimodifikasi untuk meningkatkan efektivitas, tingkat ketelitian yang tinggi, serta ukuran kemampuan bertahan hidup, dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Salah satu terapi yang diharap menjadi primodana dimasa depan adalah Gene Therapy (terapi gen), sehingga dapat secara spesifik melawan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

UNY UNY

Kanker merupakan perubahan genetik sehingga metode terapi gen menjadi salah satu jenis perawatan terhadap kanker. Perubahan genetik dapat mengakibatkan regulasi siklus sel. Pada sel normal terdapat keseimbangan antara poliferasi atau perkembangbiakan sel dengan kematian sel yang diregulasi melalui siklus sel dengan cellular checkpoint. Salah satu ciri-ciri sel kanker adalah kehilangan kontrol checkpoint [1]. Terapi gen dilakukan dengan cara mengganti atau menginaktifkan gen yang tidak berfungsi, menambahkan gen fungsional, atau menyisipkan gen ke dalam sel untuk membuat sel berfungsi normal. (teresa)

Proses terapi gen yang memiliki karakteristik mengontrol kecepatan pertumbuhan sel kanker sangat menarik untuk diperhatikan. Dilihat dari sudut pandang matematika, terapi gen untuk kanker dapat dimodelkan secara matematis dalam bentuk sistem persamaan diferensial. Berdasarkan model Lotka-Volterra, tahun 1994 Kuznetsov mengembangkan model untuk kanker. Selanjutnya tahun 1998 Kirschner dan Panneta membangun model KP yang dikembangkan dari model Kuznetsov dengan menambahkan populasi sitokin (cytokines) sebagai molekul komunikasi interseluler oleh sistem imun. Model terapi gen yang dikembangkan dari dua model sebelumnya menghadirkan sel-T untuk menginduksi setiap sel sehingga dihasilkan reseptor sel-T (TCR). Sel ini akan ditransfer kembali ke tubuh pasien kanker dan akan mengenali serta melawan molekul yang ditemukan sebagai sel tumor. TCR akan mengaktifkan sel-T yang kemudian menyerang dan membunuh sel kanker. Model terapi gen yang dibangun berdasarkan KP model.

1. Model Matematika untuk Penyakit Kanker

Berikut ini model yang dikembangkan Kirschner dan Panneta (1998) yang dikenal dengan model KP.

EC

E  cT   2 E  p 1  s 1 (1. ) a

T  rT 2 (1  bT ) 

aET

(1. ) b

p ET 2

 s 2  3 C .

(1. ) c

Adapun notasi yang digunakan adalah Et () : sel kekebalan efektor (effector immune cell)

Tt () : sel kanker

C (t)

: molekul efektor

c : parameter antigen  2 : parameter kematian murni

s : parameter immunotheraphy.

Persamaan (1.b) menunjukkan pertumbuhan logistik sel kanker, dengan b -1 sebagai kapasitas batas maksimal (maximum carrying capacity). Selanjutnya model terapi gen

diperoleh dengan menghilangkan persamaan (1.c) dan menggantikannya dengan perkembangbiakan sel sendiri (self proliferation) pada persamaan (1.a).

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

2. Model Terapi Gen (Gene Therapy Model)

Model terapi gen yang dibangun berikut dikembangkan dari model KP.

E  ctT ()   2 E  p 3  st 1 ()

(2. ) a

T  rtT 2 ( ) (1  bT ) 

() a t ET

(2. ) b

Dengan parameter untuk sistem (2) sebagai berikut:

Tabel 1. Nilai Parameter Model (2)

Nama

Definisi

Nilai (satuan)

 2 Laju kematian sel E

0.03 (1/waktu)

p 3 Laju pertumbuhan E

0.1245 (1/waktu)

f -3 Parameter proliferasi E 10 (sel) s 1 (t)

Parameter immunotherapy

1 (sel/waktu)

0.05 (1/waktu) r 2 (t)

c 2 (t)

Antigen kanker

Laju pertumbuhan kanker

0.18 (1/waktu)

b Kapasitas sel kanker -9 10 (1/sel)

a (t)

Parameter pembersihan kanker

1 (1/waktu)

Parameter penyerapan untuk

10 (sel)

pembersihan kanker

Sumber: [3]

Model terapi gen sistem (2) memiliki kondisi bebas kanker atau titik ekuilibrium

bebas kanker T = 0 yang diperoleh dari T  . Selanjutnya akan diselidiki kestabilan titik 0 ekuilibrium bebas kanker T = 0.

3. Kestabilan

Analisa kestabilan sistem (2) dilakukan dengan menyelidiki persamaan (2.b) yang tidak bergantung pada persamaan (2.a) dengan menggantikan E(t) = e(t) sehingga diperoleh

 Solusi layak persamaan (3) diperoleh dengan memenuhi kondisi 1 Tt ( ) [0,  b ] . Berikut ini kondisi r 2 (t), a(t), dan e(t) yang menjadikan titik ekuilibrium bebas kanker T = 0

stabil asimtotik global.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Teorema 1

Diberikan salah satu kondisi berikut:

Kondisi 1: terdapat t 0 > 0 dan  0 sehingga

atet 2 ()() (1  bg

,  t t 0 (4) rt 2 ()

4 b rt 2 ()

 Kondisi 2: 1 g

2  b dan terdapat t 0 > 0 dan  0 sehingga

Maka setiap solusi persamaan (3) memenuhi t lim ( ) 0  Tt . Bukti:

Misal polinomial kuadratik VT ()  bT  (1 2 bg T )  g 2 

2 atet ()()

sehingga persamaan

Diskriminan untuk V(T) adalah

D   1 bg 2   4 bg  2 

atet ()() 

rt 2 () 

Kondisi 1 ekuivalen dengan D 

sehingga

rt 2 ()

rtVT 2 ()()   (7)

untuk setiap T. Selanjutnya persamaan (5) menjadi

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

T   T () tT ,

dengan -1  T () t  . Karena T terbatas atas oleh b dan menurut pertidaksamaan

rtVT 2 ()()

(7), maka dipenuhi  T () t   0  0 . Solusi persamaan (8) T(t) berbentuk fungsi eksponensial yang konvergen ke 0 untuk t  . Bukti untuk kondisi 2 dapat dilihat pada [3].

4. Simulasi

Dengan mengambil nilai parameter pada tabel 1 untuk sistem (2) diperoleh gambar interaksi sel kanker dan sel imun sebagai berikut.

Gambar1. Interaksi antara sel kanker dan sel imun efektor.

Berdasarkan gambar 1, dapat dilihat bahwa jumlah sel kanker bertambah maka berakibat jumlah sel imun efektor menurun seiring dengan bertambahnya waktu t. Begitu juga sebaliknya apabila sel kanker menurun maka sel imun bertambah..

B. PENUTUP

Model terapi gen dikembangkan dari model Lotka-Volterra dan model Kirschner dan Panneta dimana molekul efektor digantikan oleh perkembangbiakan sel sendiri (self proliferation ) pada sel imun efektor. Kondisi bebas penyakit untuk model terapi gen adalah kondisi titik ekuilibrium bebas kanker, T=0. Selanjutnya dianalisa kestabilan titik ekuilibrium

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

C. DAFTAR PUSTAKA

NLP Indi Dharmayanti. 2003. Kajian Biologi Molekuler: Gen Supressor (p53) Sebagai Target Gen dalam Pengobatan Kanker. Wartazoa Vol. 13 No 3.

Teresa Liliana W, 2005, Terapi Gen pada Penyakit Kanker, Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol.4 No.2 Februari 2005.

Tsygvintsev, A., Simeone Marino, and Denise E Kirshner, 2013, A Mathematical Model of Gene Therapy for The Treatment of Cancer. Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg- New York.

http://kabarinews.com/kesehatan-harapan-baru-pengobatan-kanker/55534 diakses kamis tgl 24

http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/keluarga/tips/mengatasi.efek.samping.kemoterapi/001/005/ 193/1/1.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

T-9

PROBABILITAS WAKTU DELAY MODEL EPIDEMI ROUTING

Dyah Wardiyani Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak

Model epidemi routing menjelaskan pengiriman paket data pada jaringan mobile melalui analogi pada model epidemi penyebaran penyakit. Analogi didasarkan pada kemiripan proses dan variabel. Pengiriman paket data dapat dilihat berdasarkan banyaknya node yang menerima paket data. Perubahan banyaknya node yang menerima paket data terhadap waktu dapat dinyatakan dengan persamaan diferensial. Waktu delay merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengirim paket dari satu node ke node yang lain. Setiap pengiriman paket data memiliki waktu delay yang berbeda, sehingga waktu delay dapat dipandang sebagai variabel random yang memiliki fungsi distribusi probabilitas.

Tujuan penelitian ini adalah mengonstruksi model epidemi routing dan menentukan probabilitas waktu delay. Selanjutnya, model epidemi routing dan probabilitas waktu delay diterapkan pada kasus pengiriman informasi pada area militer dan disimulasikan dengan mengambil laju pengiriman paket, yang berbeda. Hasil simulasi menunjukkan semakin besar maka semakin cepat waktu yang diperlukan agar semua node menerima paket data dan probabilitas kumulatif waktu delay menuju 1.

Kata kunci: delay, epidemi routing, mobile, node, dan probabilitas.

A. PENDAHULUAN

Model epidemi merupakan model matematika yang dapat menggambarkan pola penyebaran penyakit. Banyak ilmuwan yang meneliti dan memodelkan pola penyebaran penyakit, diantaranya Mc.Kendrick dan Kermack [5]. Pada tahun 1927 Mc.Kendrick dan Kermack berhasil memodelkan pola penyebaran penyakit dalam bentuk deterministik yang sesuai dengan kasus epidemi sebenarnya. Kesesuaian model epidemi dengan kasus epidemi sebenarnya, mengakibatkan banyak dilakukan pengembangan model epidemi. Menurut Isham [4], pengembangan model epidemi dapat dilakukan dengan menambah variabel atau menambah perlakuan. Pengembangan model epidemi juga dapat dilakukan dengan melakukan analogi antara proses penyebaran penyakit dengan proses lain yang memiliki kemiripan proses. Salah satu proses yang mirip dengan penyebaran penyakit adalah proses pengiriman paket data pada routing (Zhang [10]).

Routing merupakan proses pemilihan jalur pengiriman paket data pada suatu jaringan mobile (Andrew [1]). Jaringan mobile dibentuk oleh beberapa node yang dapat berpindah tempat atau bersifat mobile. Menurut Liu [7] dan Zhang [10], pengiriman paket data pada routing dapat dinyatakan dengan algoritma store- carry-forward. Maksud dari algoritma store-carry-forward adalah node menerima paket data, membawa paket data dan mengirimkannya ke node lain yang belum memiliki paket data sampai semua node memiliki paket data. Menurut Small [8] dan Sun[9], algoritma store-carry-forward mirip dengan proses penyebaran penyakit pada model susceptible

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Model analogi penyebaran penyakit dan pengiriman paket data pada routing disebut dengan model epidemi routing (Zhang [10]). Model epidemi routing menggambarkan pola pengiriman paket data pada routing berdasarkan banyaknya node yang menerima paket data tiap waktu. Menurut Zhang [10], pada model epidemi routing diharapkan mampu mencapai minimum waktu penundaan pengiriman paket data (waktu delay). Waktu delay merupakan selang waktu dari pertama kali paket data diterima oleh sebuah node sampai dikirimkan ke node yang lain. Pengiriman paket yang satu dengan yang lain memiliki waktu delay yang berbeda, sehingga waktu delay tidak dapat diprediksi dengan pasti. Oleh karena itu waktu delay dapat dipandang sebagai variabel random. Ketidakpastian waktu delay dapat dinyatakan dalam fungsi distribusi kumulatif waktu delay. Sehingga pada penelitian ini akan dikonstruksi ulang model epidemi routing dan probabilitas waktu delay.

B. PEMBAHASAN

1. Model Epidemi Routing

Model epidemi routing merupakan model yang dapat menggambarkan pola pengiriman paket data pada jaringan mobile berdasarkan banyaknya node yang menerima paket data. Menurut Zhang [10], model epidemi routing dapat mudah dikonstruksi dengan menganalogikan pengiriman paket data dan penyebaran penyakit, berdasarkan proses dan variabel yang berpengaruh. Menurut Small [8] dan Sun [9], model epidemi yang sesuai dengan proses pengiriman paket data pada routing adalah model susceptible infected (SI).

Pada model SI, populasi individu dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok individu rentan ( ) dan kelompok individu terinfeksi penyakit ( ). Individu dapat terinfeksi penyakit dengan laju penularan sebesar b, sehingga banyaknya individu akan berkurang sebesar

ke individu . Individu rentan yang terus berkurang mengakibatkan semua individu akan terinfeksi penyakit. Karena pengiriman paket data pada routing dapat dianalogikan dengan model SI, asumsi pada model epidemi routing mengacu pada model SI. Berikut adalah asumsi- asumsi konstruksi model epidemi routing.

a. Pengiriman paket data terjadi pada suatu jaringan mobile dengan banyaknya node konstan.

b. Node dalam jaringan mobile tersebut dibagi ke dalam kelompok node tanpa paket dan node yang memiliki paket.

c. Setiap node memiliki peluang yang sama untuk mendapat paket data.

d. Hanya satu paket data yang dikirimkan Pada model epidemi routing, node-node dibagi dalam kelompok node tanpa paket data ( ) dan kelompok node yang memiliki paket data ( ). Node dapat terkirimi paket data dengan laju pengiriman paket data sebesar , sehingga node akan berkurang ke node sebesar

. Karena setiap node memiliki kemungkinan yang sama untuk menerimat paket data, banyaknya node kelompok berpindah ke kelompok sebesar . Sehingga proses pengiriman dan penerimaan paket data antar node disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Proses pengiriman dan penerimaan paket data antar node

Banyaknya node pada kelompok dan pada waktu , masing-masing dinyatakan sebagai () dan () . Jika banyaknya node dalam jaringan mobile dinyatakan dengan maka () = − () . Dengan demikian perubahan banyaknya node yang menerima paket data terhadap waktu dapat dinyatakan sebagai

dengan laju pengiriman paket data >0 . Model epidemi routing menggambarkan pola pengiriman paket data berdasarkan banyaknya node yang menerima paket data. Persamaan ( 2.1) menyatakan perubahan banyaknya node yang menerima paket data terhadap waktu. Sehingga persamaan ( 2.1) perlu diselesaikan untuk mendapatkan banyaknya node yang menerima paket data tiap waktu.

Persamaan ( 2.1) harus dibentuk ke dalam persamaan diferensial dengan variabel terpisah (Campbell [2]), yaitu

Jika diasumsikan ( 0) = 1 yang berarti mula-mula terdapat sebuah node yang memiliki paket data, maka banyaknya node yang menerima paket data dapat dinyatakan sebagai

dengan laju pengiriman paket data > 0. Jika nilai

semakin besar maka nilai semakin mendekati 0 . Hal ini mengakibatkan banyaknya node yang menerima paket data mendekati . Sedangkan jika bernilai 0 maka

bernilai 1, berakibat hanya terdapat sebuah node yang menerima paket data yaitu node awal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar maka banyaknya node yang menerima paket data semakin cepat mendekati N.

2. Probabilitas Waktu Delay

Ketika terjadi pengiriman paket data pada jaringan mobile dimungkinkan terdapat waktu penundaan pengiriman paket data atau waktu delay (Groenevelt [3]). Menurut Zhang [10] dan Zhou [11], waktu delay merupakan selang waktu dari pertama kali paket

data diterima oleh sebuah node sampai dikirimkan ke node yang lain, < < + dengan kecil. Pengiriman paket yang satu dengan yang lain memiliki waktu delay yang berbeda, sehingga waktu delay tidak dapat diprediksi secara pasti. Oleh karena itu, waktu delay dapat dipandang sebagai variabel random. Ketidakpastian waktu delay dapat dinyatakan dalam fungsi distribusi kumulatif waktu delay. Menurut Zhang

[10], fungsi distribusi kumulatif dari , () = ( < ).

Fungsi distribusi kumulatif sulit diperoleh secara langsung. Menurut Small [8] dan Lin [6] perubahan fungsi distribusi kumulatif

untuk kecil dapat dinyatakan dengan

Pada persamaan ( 3.1) , ( > + ∆ )= ( > )[1 − + ∆ ()] sehingga diperoleh

Karena ( > )= 1 −

< ) , maka

Persamaan ( 3.3) diselesaikan untuk mendapatkan persamaan yang menyatakan probabilitas waktu delay. Persamaan ( 3.3) harus dibentuk ke dalam persamaan diferensial dengan variabel terpisah (Campbell [2]). Jika diasumsikan ( 0) = 0 , maka penyelesaian persamaan ( 3.3) yaitu

dengan laju pengiriman paket data > 0 .

Jika nilai semakin besar maka nilai juga semakin besar tergantung pada . Hal ini mengakibatkan probabilitas kumulatif waktu delay semakin mendekati 1.

bernilai 1 , berakibat probabilitas kumulatif waktu delay bernilai 0. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar maka probabilitas kumulatif waktu delay semakin cepat stabil mendekati 1. Kestabilan probabilitas kumulaif waktu delay mendekati 1 menunjukan bahwa probabilitas waktu delay mendekati 0 sehingga dapat dikatakan probabilitas waktu delay mencapai minimum.

Sedangkan jika bernilai 0 maka

3. Penerapan Kasus

Pada bagian ini diberikan kasus pengiriman paket data jaringan mobile di area militer. Pada area militer tertentu terdapat 100 node mobile yang dapat mengirimkan paket data dengan laju 0.222 jam/node (Groenevelt [3]). Semua node dalam jaringan mobile tersebut diharapkan dapat menerima paket data dengan terdapat sebuah sumber atau node awal yang memiliki paket data. Banyaknya node pada waktu t pada jaringan mobile di area militer tersebut dapat dinyatakan dengan

Pada model epidemi routing juga diharapkan mampu mencapai minimum waktu penundaan pengiriman paket data (delay).Pengiriman paket yang satu dengan yang lain memiliki waktu delay yang berbeda, sehingga waktu delay tidak dapat diprediksi dengan pasti. Oleh karena itu waktu delay dapat dipandang sebagai variabel random. Ketidakpastian waktu delay dapat dinyatakan dalam fungsi distribusi kumulatif waktu delay . Fungsi distribusi kumulatif waktu delay pada jaringan mobile dalam area militer tersebut adalah

Persamaan ( 4.1) dan persamaan ( 4.2) yang menyatakan banyaknya node yang menerima paket data dan probabilitas kumulatif waktu delay dapat dilihat pada Gambar

2 . Gambar 2 () menunjukan bahwa pada waktu 0.87 jam semua node dalam jaringan mobile telah menerima paket data. Gambar 2 () menunjukan bahwa probabilitas kumulatif waktu delay kurang dari 0,87 jam dalam jaringan mobile menuju

1 . Hal ini menunjukan probabilitas waktu delay mendekati 0 atau dapat dikatakan sudah tidak terjadi waktu delay. Sehingga semua node dalam jaringan mobile pada area militer tersebut menerima paket dan probabilitas delay mencapai minimum setelah 0,87 jam. Banyaknya node yang menerima paket data dan probabilitas waktu delay pengiriman paket data dalam area militer tersebut hanya dipengaruhi oleh laju pengiriman paket data.

Gambar 2. (a) Banyaknya node yang menerima paket data dan (b) probabilitas waktu delay

Pengaruh laju pengiriman paket data terhadap pola pengiriman paket data dan probabilitas waktu delay dalam jaringan mobile dapat diperjelas dengan simulasi. Simulasi pola pengiriman paket data dan probabilitas waktu delay untuk = 0.15, = 0.222,

= 0.9 dapat dilihat pada Gambar 3 .

Gambar 3. ( ) Banyaknya node yang menerima paket data dan (b) probabilitas waktu delay dengan = 0.15, = 0.222,

Gambar 3 () menunjukan bahwa untuk = 0.15 semua node dalam jaringan mobile dapat menerima paket data dalam waktu 1.28 jam, untuk

= 0.9 memerlukan waktu 0.22 jam. Sedangkan dari Gambar 3 () terlihat bahwa untuk = 0.15 probabilitas waktu delay menuju 1 setelah 1.28 jam, untuk = 0.222 setelah 0.87 jam, dan = 0.9 setelah

0.222 memerlukan waktu 0.87 jam, dan

0.22 jam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar laju pengiriman paket data

() maka semakin cepat waktu yang diperlukan agar semua node menerima paket data dan probabilitas waktu delay cepat menuju 1 . Hasil simulasi ini memperjelas pengaruh laju pengiriman paket data () terhadap banyaknya node yang menerima paket data dan probabilitas waktu delay yang telah dijelaskan sebelumnya.

C. KESIMPULAN

Model epidemi routing pada jaringan mobile dinyatakan sebagai

dengan syarat terdapat satu node awal yang memiliki paket data, sedangkan probabilitas kumulatif waktu delay pada model epidemi routing yaitu

dengan probabilitas waktu delay mula-mula 0, laju pengiriman paket data >0 dan banyaknya node dalam jaringan N. Simulasi menunjukan semakin besar laju pengiriman paket data () maka semakin cepat waktu yang diperlukan agar semua node menerima paket data dan probabilitas waktu delay juga semakin cepat menuju 1.

D. DAFTAR PUSTAKA

Andrew S.T., Computer Networks, Pearson Education, Inc., Amsterdam, 2003.

Campbell,L. Stephen, An Introduction to Differential Equations and Their Application, second ed., Wadswordh, Inc, California, USA, 1990.

Groenevelt, R., P. Nain, and G. Koole, The Message Delay in Mobile Ad Hoc Network, Perform (2005), no. 62, 210-228.

Isham, V., Stochastic Models for Epidemics, Research Report 263, Department of Statistical Science, University College London, 2004.

Kermack,W.O. and A. G. McKendrick, A Contribution to The Mathematical Theory of

Epidemics , Proceedings of the Royal Society of London Series A 115 (1927), 700-721.

Lin, Y., B. Li, B. Liang, Stochastic Analysis of Network Coding in Epidemic Routing, ACN MobiOpp (2007).

Liu, J., X. Jiang, H. Nishiyama, and N. Kato, General Model for Store-Carry-Forward Routing Schemes with Multicast in Delay Tolerant Networks , IEEE (2011), 494- 500.

Small, T., and Z.J. Haas, The Shared Wireless Infostation Model-A New Ad Hoc Networking Paradigm, MobiHoc, Maryland, USA (2003), 233-244.

Sun,L., Epidemic Content Distribution in Mobile Networks, Master of science thesis, KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, Swedia, Februari 2013.

Zhang, E., G. Neglia, J. Kurose, and D. Towsley, Performance Modeling of Epidemic Routing , Tech. Report 44, UMass Computer Science, 2005.

Zhou, S., L. Ying, S. Tirthapura, Delay, Cost and Infrastructure Tradeoff of Epidemic

Routing in Mobile Sensor Networks, Proceedings of 11 the 6th International Wireless Communications and Mobile Computing Conference.

T - 10

PREMI TUNGGAL BERSIH ASURANSI JIWA BERJANGKA DENGAN FAKTOR PENEBUSAN

Endang Sri Kresnawati

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Sriwijaya endangsrikresnawati@yahoo.co.id

Abstrak

Premi tunggal bersih (premi) merupakan premi yang dihitung hanya berdasarkan tingkat risiko peserta asuransi dan dibayarkan sekaligus. Pada asuransi jiwa, risiko yang dipertanggungkan adalah kematian, sehingga preminya dihitung berdasarkan peluang kematian. Kontrak asuransi jiwa dapat saja berakhir bukan karena terjadi risiko kematian, tetapi dikarenakan pesertanya mengundurkan diri. Untuk kondisi ini, besarnya premi ditentukan oleh peluang terjadinya pengunduran diri peserta. Langkah pertama yang dilakukan adalah menghitung peluang kematian, peluang mengundurkan diri, dan peluang total. Selanjutnya menyusun Tabel Double Decremen t untuk peluang kematian dan pengunduran diri, dan terakhir menghitung premi.

Kata kunci: premi tunggal bersih, faktor penebusan

A. PENDAHULUAN

Asuransi adalah kontrak pengalihan sebagian risiko dari tertanggung (nasabah) kepada tertanggung (perusahaan asuransi). Berbagai risiko dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi, seperti kematian, sakit, cacat, kerugian, kehilangan, dan lainnya. Jenis risiko ini membagi asuransi dalam dua kelompok, yaitu asuransi jiwa dan asuransi non jiwa. Asuransi jiwa adalah asuransi yang memberikan pertanggungan kepada nasabah terhadap kerugian finansial yang disebabkan oleh terjadinya risiko kematian. Sedangkan asuransi non jiwa memberikan pertanggungan terhadap dampak finansial akibat terjadinya risiko kerugian.

Dalam bisnis asuransi jiwa, bentuk produk standard adalah pertanggungan terhadap satu faktor risiko, yaitu kematian. Artinya keluarnya nasabah dan terjadinya klaim hanya disebabkan nasabah tersebut meninggal dunia. Namun, pada prakteknya terjadi kondisi di mana nasabah menghentikan kontrak dan mengundurkan diri bukan karena meninggal.Berkurangnya anggota dari suatu asuransi jiwa selain disebabkan oleh kematian, tidak selalu diikuti dengan perpanjangan kontrak baru. Hal ini bisa sebabkan karena nasabah tersebut mungkin berada dalam keadaan kesehatan yang baik, sehingga kebutuhan asuransi bukan yang penting. Adapula yang mengundurkan diri karena tidak lagi mampu membayar premi. Suatu polis yang terhenti sebelum masa kontraknya berakhir dan tidak mampu menyelesaikan premi lanjutan (surrender), akan dijual pemegang polis kepada pihak asuransi dan mendapatkan sejumlah dana yang disebut benefit penebusan (nilai tebus).

Jika klaim terjadi disebabkan kematian, nasabah akan mendapat sejumlah dana yang disebut benefit kematian atau Uang Pertanggungan (UP). Besar UP akan mempengaruhi besar premi. Jika risikonya kematian, maka premi dihitung berdasarkan tingkat risiko kematian. Pada persoalan peserta mengundurkan diri bukan karena kematian, yang bersangkutan mendapatkan benefit penebusan (nilai tunai), maka besar benefit penebusan pun akan mempengaruhi besaran

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

Ramadhani (2007), meneliti tentang besaran nilai tebus di setiap tahun penghentian kontrak dengan premi untuk benefit kematian. Perhitungan premi untuk benefit penebusan perlu dilakukan untuk menetapkan besaran yang sesuai dengan risiko riil yang dimiliki oleh peserta . Maka dari itu, perlu dirumuskan dan dihitung berapa besar premi untuk asuransi jiwa dengan factor penebusan.

Manfaat yang diperoleh bagi perusahaan asuransi adalah memiliki cadangan yang cukup jika suatu saat peserta mengundurkan diri dan berhak diberikan sejumlah benefit penebusan padanya. Cadangan yang cukup itu berasal dari pengumpulan premi yang sesuai.

B. PEMBAHASAN

Actuarial Present Value (APV) merupakan premi tunggal bersih, karena APV adalah nilai sekarang dari benefit kematian yang akan diberikan saat klaim terjadi. Bowers (1986) menyatakan, APV diperoleh dari perkalian antara variabel benefit kematian,

, dan variabel diskonto,

. Sehingga bentuk umum APVnya

Karena pendekatannya probabilistik, maka untuk mendapatkan nilai AVP digunakan ekspetasi dan dibutuhkan fungsi densitas peluang

. Bentuk umumnya:

Pada persamaan di atas, fungsi peluang yang digunakan untuk asuransi dengan faktor risiko kematian saja. Untuk k pengunduran diri, harus dihitung dulu peluang pengunduran diri. Jadi penyelesaian masalah dilakukan melalui tahapan menghitung peluang peserta asuransi untuk meninggal dunia dan peluang untuk mengundurkan diri, menyusun Table Double Decrement akibat kematian dan pengunduran diri, menghitungAVP atau premi tunggal bersih (selanjutnya disebut premi saja).

Data yang digunakan adalah data sekunder peserta asuransi jiwa berjangka dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006. Variabel yang digunakan adalah usia peserta total, banyaknya peserta, jumlah peserta meninggal, dan jumlah peserta mengundurkan diri. Total peserta asuransi jiwa 92 orang. Tabel 1 menyatakan banyaknya jumlah peserta awal, pengurangan karena meninggal, , dan pengunduran diri, .

Tabel 1. Jumlah Awal Peserta Asuransi Jiwa Dwiguna Usia 35 tahun sampai dengan 50 tahun,

Jumlah Peserta yang Meninggal dan Mengundurkan Diri Periode 2003 – 2006

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

50 3 0 0 0 0 0 0 1 1 Peluang peserta asuransi mengalami risiko kematian, () , dan mengalami risiko

pengunduran diri, () , dihitung berdasarkan data di Tabel 1 menggunakan = dan ( ) =

menghasilkan seperti apa yang dirangkum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Peluang Peserta Asuransi Jiwa meninggal dan Peluang mengundurkan diri

50 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 1,000 1,000 Setelah memperoleh peluang terjadinya kematian dan pelung mengundurkan diri, baru dihitung peluang total peserta asuransi untuk tetap menjadi peserta, () , menggunakan

dan

=1 − . Hasil lengkapnya pada Tabel 3.

Tabel 3. Peluang Tetap menjadi peserta Asuransi Usia Peserta (x)

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Selanjutnya adalah menyusun table Double Decrement. Table ini merupakan table yang berisikan peeluang terjadi kematian dan pengundurun diri. Variabel tabel sama dengan variable pada table kematian. Batten (1978) menyatakan ada tujuh variabel utama dalam Life Table, yaitu usia ( ), jumlah orang usia ( ), peluang seseorang ( ) meninggal satu tahun ke depan ( ) , jumlah orang yang meninggal ( ) , tahun orang hidup ( ) , jumlah tahun orang hidup ( ), dan angka harapan hidup ( ) . Untuk menyesuaikan notasi, maka penulisan dilakukan seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Tabel Double Decrement Peserta Asuransi

Usia Peserta

Semua nilai dalam table 4 diperoleh dari persamaan berikut

Contoh perthitungan

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Hasil secara lengkap tertera pada Table 4. Langkah terakhir adalah menghitung APV untuk asuransi berjangka. Model APV asuransi berjangka untuk risiko kematian dan pengundurun diri menggunakan peluang total berdasarkan Tabel Double Decrement. Suatu Polis asuransi jiwa berjangka n tahun dengan besar benefit kematian dan penebusan sebesar satu digambarkan sebagai berikut

Gambar 1. Bagan Nilai Tunai Asuransi jiwa Berjangka dengan UP Tetap

Dari gambar 1 diketahui bahwa UP yang akan diperoleh peserta adalah tetap sebesar 1 unit untuk klaim ditahun kontrak manapun. Benefitnya:

Dalam aktuaria [] dinotasikan : ⌉

Contoh perhitungan untuk data pada Tabel 4. Seorang peserta berusia 35 tahun membeli produk asuransi jiwa berjangka 4 tahun

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

Artinya premi asuransi jiwa berjangka 4 tahun dengan penebusan untuk seorang berusia

35 tahun adalah 0, 474. Jika dimisalkan UP yang diberikan 100 juta rupiah, maka besar premi yang harus dibayarkan adalah 48 jut a rupiah. Hasil lengkap terdapat pada Tabel 5.

Table 5. APV Asuransi Berjangka 4 tahun untuk peserta Usia 35 – 50 Tahun

Usia Peserta ( )

: ⌉ (rupiah)

Usia Peserta ( )

Dari hasil perhitungan, pada usia peserta termuda premi berkisar 48 juta rupiah, kemudian terus menaik hingga usia 42 tahun. Setelah itu besar premi terus menurun hingga usia peserta tertinggi.

C. KESIMPULAN

Besar premi tunggal bersih dengan penebusan dipengaruhi oleh peluang pengunduran diri peserta yang bukan disebabkan kematian. Semakin tinggi usia masuk peserta, maka besar premi yang ditetapkan semakin kecil. Hal ini disebabkan semakin rendahnya peluang mundur dari kontrak pada peserta yang berusia tinggi.

D. DAFTAR PUSTAKA

Batten, R. W. 1978. Mortality Table Construction. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Bowers, N.L Jr. 1986. Actuarial mathematics. Schaumburg Illinois: The Society of Actuaries. Ramadhani, S.R. 2007. Perhitungan Benefit dengan Penebusan pada Asuransi Jiwa Dwiguna.

Skripsi. Tidak dipublikasikan. Inderalaya: Universitas Sriwijaya.

Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika FM IPA UNY

T - 11

MODEL STOKASTIK SUSCEPTIBLE INFECTED RECOVERED (SIR)

1 2 Felin Yunita 3 , Purnami Widyaningsih , Respatiwulan Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sebelas Maret Surakarta felinyunita@yahoo.com

Abstrak

Model susceptible infected recovered (SIR) menjelaskan penyebaran penyakit dari individu susceptible menjadi infected, kemudian individu infected akan sembuh (recovered) dan tidak terinfeksi kembali karena memiliki kekebalan. Penyebaran penyakit dapat dipandang sebagai kejadian random yang bergantung pada variabel waktu sehingga disebut proses stokastik. Perubahan banyaknya individu susceptible, infected , dan recovered merupakan proses stokastik dalam selang waktu dan variabel random kontinu sehingga dapat dijelaskan dengan model stokastik SIR.

Tujuan penulisan ini adalah menurunkan model stokastik SIR. Model stokastik SIR disimulasikan dengan mengambil laju kontak , laju kesembuhan , dan individu awal yang terinfeksi I(0) yang berbeda. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jika semakin besar nilai maka puncak epidemi semakin tinggi dan semakin besar nilai I(0) maka puncak epidemi juga semakin tinggi. Akan tetapi jika semakin besar nilai maka puncak epidemi semakin rendah.

Kata kunci: model SIR, model stokastik.

A. PENDAHULUAN

Penyakit menular seperti measles (campak), hepatitis, smallpox, dan poliomyelitis (polio) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus yang dapat menyebar melalui kontak langsung, udara, batuk, dan bersin. Penyakit ini perlu diwaspadai karena dapat mengakibatkan komplikasi, kerusakan organ tubuh, cacat, kelumpuhan bahkan kematian.

Pada beberapa penyakit, individu yang telah sembuh dari infeksi akan memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut dalam tubuhnya sehingga individu tersebut tidak berpotensi untuk terinfeksi kembali. Menurut Hethcote [3], model matematika yang dapat digunakan untuk menggambarkan pola penyebaran penyakit dengan karakteristik tersebut adalah model susceptible infected recovered (SIR).

Sebagaimana yang ditulis Parzen [5], perubahan banyaknya individu susceptible, infected dan recovered pada suatu populasi tidak dapat diketahui dengan pasti. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyebaran penyakit merupakan suatu kejadian random yang bergantung pada variabel waktu dan berkaitan dengan probabilitas sehingga bisa disebut proses stokastik. Dengan demikian, model yang dapat menggambarkan peristiwa tersebut yaitu model stokastik SIR. Model tersebut mengkaji perubahan banyakya individu susceptible, infected dan recovered dalam selang waktu kontinu.

Pada penelitian ini penulis menurunkan ulang model stokastik SIR dan melakukan penerapan dan simulasi model stokastik SIR. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai model stokastik dalam hubungannya dengan penyebaran penyakit, khususnya SIR.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

B. PEMBAHASAN

1. Model Stokastik SIR

Menurut Hethcote [3] populasi pada SIR dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok individu rentan penyakit atau susceptible ( ), kelompok individu yang terinfeksi dan dapat menyebarkan penyakit ke sejumlah individu lain atau infected ( ) dan kelompok individu yang sudah sembuh atau recovered ( ). Banyaknya individu pada kelompok , dan pada waktu dinyatakan sebagai (),(), dan () . Berikut adalah asumsi yang digunakan pada model SIR menurut Hethcote [3].

a. Populasi tertutup dan jumlah individu pada populasi konstan .

b. Populasi bercampur secara homogen.

c. Laju kelahiran dan laju kematian diabaikan, sehingga model hanya dipengaruhi laju kontak dan laju kesembuhan.

d. Hanya satu penyakit yang menyebar dalam populasi.

Penurunan ulang model stokastik SIR mengacu pada Allen [2]. Banyaknya individu susceptible dan infected pada waktu yang akan datang hanya dipengaruhi banyaknya individu susceptible dan infected pada saat ini. Kejadian ini menunjukkan bahwa penyebaran penyakit merupakan suatu proses Markov. Penyebaran penyakit dengan karakteristik tersebut dapat digambarkan dengan model continous time Markov chain (CTMC) SIR.

Dalam penelitian ini terdapat asumsi tambahan yaitu perubahan banyaknya individu susceptible dan infected mengikuti proses Wiener yang merupakan proses stokastik () . Sehingga, perubahan banyaknya individu susceptible dan infected dapat dipandang sebagai proses stokastik. Model stokastik diturunkan ulang berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.

Dimisalkan banyaknya individu saat adalah dan banyaknya individu saat adalah . Banyaknya individu susceptible dan infected dapat berubah setiap waktu dalam interval waktu = [0, ∞ ) . Jika besarnya perubahan individu pada selang waktu ∆ yaitu dan besarnya perubahan individu pada selang waktu ∆ yaitu , maka perpindahan dari state ke + dan dari state ke + disebut transisi. Probabilitas perubahan banyaknya individu infected dari state ke state + dan dari state ke state + pada selang waktu ∆ disebut probabilitas transisi yang dapat dituliskan sebagai

Transisi terjadi pada selang waktu ∆→ 0 dan diasumsikan hanya ada satu individu yang bertransisi dari state (,) ke (+ ,+). Oleh karena itu, ada tiga kemungkinan transisi yang terjadi yaitu dari state (,) ke state ( − 1, + 1) , dari state (,) ke state (, − 1) , dan dari state (,) ke state (,).

Pada saat individu bertransisi dari state (,) ke state ( − 1, + 1) terjadi perpindahan satu individu dari kelompok ke . Jika adalah laju kontak dan terdapat sebanyak individu susceptible yang melakukan kontak dengan individu infected, maka probabilitas transisi dari state (,) ke state ( − 1, + 1) adalah

Pada saat terjadi transisi dari state (,) ke state (, − 1) berarti banyaknya individu infected berkurang satu. Pengurangan satu individu tersebut terjadi karena adanya kesembuhan alami dengan laju kesembuhan sebesar . Sehingga probabilitas transisi dari state (,) ke state (, − 1) adalah

Pada saat individu infected tetap berada pada state (,) berarti tidak terjadi penambahan maupun pengurangan banyaknya individu infected. Sehingga besarnya probabilitas transisi dari state (,) ke state (,) adalah

Perpindahan individu dari suatu state ke state yang lain pada selang waktu yang sangat kecil hanya dimungkinkan terdapat satu individu yang bertransisi. Kemungkinan banyaknya individu yang bertransisi lebih dari atau sama dengan dua sangatlah kecil. Sehingga besarnya probabilitas transisi dengan banyaknya individu yang bertransisi lebih dari atau sama dengan dua dalam selang waktu ∆ adalah ( ∆ ) . Persamaan (2.2), (2.3), dan (2.4) dapat dituliskan dalam suatu sistem persamaan

Perubahan banyaknya individu mengikuti proses Wiener. Diasumsikan bahwa ∆ dan ∆ berdistribusi normal sehingga dapat dituliskan ∆ ()~ (() ∆ , () ∆ ) dan ∆ ()~ (() ∆ , () ∆ ) . Menurut Allen [2], model stokastik SIR yang mengikuti proses Wiener dapat ditulis

Model stokastik (2.6) dapat disajikan sebagai

yang merupakan fungsi bernilai real serta () merupakan suatu proses Wiener.

Model stokastik (2.7) memerlukan nilai (,()) dan (,()) yang masing-masing merupakan mean dan standar deviasi () (Allen [1]). Nilai-nilai tersebut diperoleh berdasarkan perubahan state dan probabilitas transisi (2.5).

Model stokastik SIR pada penelitian ini hanya memperhatikan variabel dan sehingga perubahan state yang diperhatikan adalah perubahan dari state (,) ke state ( − 1, + 1) dan perubahan dari state (,) ke state (, − 1) . Berdasarkan persamaan (2.5), besar probabilitas

transisi untuk perubahan state (,)=( − 1,1) adalah dan probabilitas transisi untuk transisi untuk perubahan state (,)=( − 1,1) adalah dan probabilitas transisi untuk

dengan ∆ =( ∆ , ∆ ) yaitu perubahan banyaknya individu susceptible dan infected. Dengan demikian, diperoleh model stokastik SIR yaitu

2. Penerapan dan Simulasi

Menurut Hethcote [3], cacar air adalah salah salah satu contoh penyakit dengan tipe penyebaran SIR. Cacar air merupakan suatu penyakit akut dengan daya penularan tinggi yang disebabkan karena virus dan dapat menyebabkan penyakit luar biasa serta menyebar dengan cepat. Penyakit ini mudah ditularkan melalui udara, makanan, dan bersentuhan langsung dengan luka yang diakibatkan oleh penyakit ini.

Pada bagian ini diberikan penerapan model (2.8) pada penyakit cacar air. Parameter untuk model tersebut diambil dari Johnson 4 Pada penerapan ini ingin diketahui perilaku penyebaran penyakit cacar air dengan nilai laju kontak = 0.65 per hari dan laju kesembuhan penyakit

= 0.3 per hari dengan = 100 . Dengan demikian, model (2.8) dapat dituliskan sebagai

() , didekati dengan √, merupakan suatu variabel random yang berdistribusi normal standar ( ~ ( 0,1) ) , dan diambil nilai ( 0) = 2 dan ( 0) = 98 . Banyaknya individu infected dalam selang waktu 0 ≤≤ 40 dapat dilihat pada Gambar 1.

Proses Wiener pada persamaan (2.8), yaitu

() dan () dan

Gambar 1. Banyaknya individu infected pada 0 ≤≤ 40 dengan = 0.65, = 0.3 , ( 0) = 2

Garis berwarna biru menunjukkan banyaknya individu infected model stokastik. Dari garis tersebut terlihat bahwa dengan bertambahnya waktu banyaknya individu infected semakin

bertambah. Kemudian setelah mencapai waktu tertentu banyaknya individu infected menurun. Peningkatan dan penurunan banyaknya individu infected pada model stokastik SIR tidak

berupa garis yang mulus, tetapi berfluktuasi naik turun. Dari waktu =0 sampai = 11, banyaknya individu infected meningkat dari 2 sampai mencapai maksimal yaitu 24. Saat

= 11 sampai = 32, banyaknya individu infected menurun dari 24 sampai 0 dan kemudian tidak mengalami perubahan sepanjang waktu. Hal ini berarti bahwa penyakit tersebut sudah tidak menyebar.

Untuk melihat pengaruh , ,$ dan individu awal yang terinfeksi ( 0) terhadap perubahan banyaknya individu infected, model stokastik SIR pada persamaan (2.7) disimulasikan.

1) Nilai parameter = 0.3 dan nilai = 0.55, 0.65, dan 0.75

Hasil simulasi ditunjukkan dengan Gambar 2. Garis berwarna biru menggambarkan penyebaran penyakit dengan

= 0.55 , garis berwarna merah menggambarkan penyebaran penyakit dengan

= 0.65 dan garis berwarna hijau menggambarkan penyebaran penyakit dengan = 0.75. Berdasarkan hasil simulasi pada Gambar 2, terlihat bahwa jika semakin besar nilai laju kontak () maka puncak epidemi semakin tinggi.

waktu (hari)

Gambar 2. Banyaknya individu infected pada 0 ≤≤ 40 dengan = 0.55, 0.65, 0.75,

2) Nilai parameter = 0.65 dan nilai = 0.2, 0.3, dan 0.4

Hasil simulasi ditunjukkan dengan Gambar 3. Garis berwarna biru menggambarkan penyebaran penyakit dengan

= 0.2 , garis berwarna merah menggambarkan penyebaran penyakit dengan = 0.3 dan garis berwarna hijau menggambarkan penyebaran penyakit dengan = 0.4. Berdasarkan hasil simulasi pada Gambar 3, terlihat bahwa jika semakin besar nilai laju kesembuhan maka puncak epidemi semakin rendah.

3) Nilai parameter = 0.65 , = 0.3 dan nilai ( 0) = 2,5, dan 8

Hasil simulasi ditunjukkan dengan Gambar 4. Garis berwarna biru menggambarkan penyebaran penyakit dengan ( 0) = 2, , garis berwarna merah menggambarkan penyebaran penyakit dengan ( 0) = 5, garis berwarna hijau menggambarkan penyebaran penyakit dengan ( 0) = 8. Berdasarkan hasil simulasi pada Gambar 4, terlihat bahwa jika semakin besar nilai ( 0) maka puncak epidemi semakin tinggi.

waktu (hari)

Gambar 3. Banyaknya individu infected pada 0 ≤≤ 40 dengan = 0.65, = 0.2, 0.3 , 0.4

waktu (hari)

Gambar 4. Banyaknya individu infected pada 0 ≤≤ 40 dengan = 0.65, = 0.3 ,

C. SIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan

1. Model stokastik SIR dinyatakan sebagai

2. Simulasi menunjukkan bahwa jika semakin besar nilai maka puncak epidemi semakin tinggi dan semakin besar nilai ( 0) maka puncak epidemi juga semakin tinggi, tetapi jika semakin besar nilai maka puncak epidemi semakin rendah.

D. DAFTAR PUSTAKA

Allen, E. J. S., Allen., L. J. S., Arcinigea, A., and Greenwood, P. E., Construction of Equivalent Stochastic Differential Equation Models , Stochastic Analysis and Applications (2008), no.

26, 274-297.

Allen, L. J. S., An Introduction to Stochastic Epidemic Models, Mathematical Epidemiology (2008).

Hethcote, H. W., The Mathematics of Infectious Diseases, SIAM Review 42 (2000), no. 4, 599-653.

Johnson, T., Mathematical Modeling of Diseases : Susceptible-Infected-Recovered (SIR) Model, Math 4901 Senior Seminar (2009).

Parzen, E., Stochastic Processes, Holden-Day, Inc, United States of America, 1962,

T - 12

PENENTUAN HARGA OPSI TIE EROPA MENGGUNAKAN CONSTANT ELASTICITY OF VARIANCE (CEV)

1 Fika Hanna Mayasari , Kus Prihantoso K

Universitas Negeri Yogyakarta

1 fikahanna@gmail.com, 2 kuspk@uny.ac.id

Abstrak

Pada makalah ini membahas mengenai model matematika dari harga opsi tipe Eropa. Penentuan harga opsi dilakukan dengan menggunakan Constant Elasticity of Variance (CEV). Model yang dihasilkan kemudian disebut dengan model CEV.

Pada model CEV mengasumsikan bahwa volatilitas dari harga saham tidaklah konstan, namun bergantung pada harga saham. Pada model ini terdapat parameter yang menyatakan hubungan antara tingkat harga saham dan variansi tingkat pengembalian harga saham. Parameter ini berpengaruh terhadap penentuan harga opsi dengan menggunakan model CEV.

Hasil perhitungan harga opsi menunjukkan perubahan harga opsi pada model CEV tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan adanya parameter model CEV yang mempengaruhi nilai volatilitas harga saham. Pada opsi beli model CEV harga opsi mulai naik ketika harga saham saat jatuh tempo lebih besar dari harga eksekusi sedangkan ketika harga saham kurang dari harga eksekusi, harga opsinya mendekati nol. Kondisi ini berkebalikan pada opsi jual model CEV.

Kata kunci: Constant Elasticity of Variance, saham, opsi

A. PENDAHULUAN

Tergiur pada keuntungan di masa yang akan datang mendorong seseorang untuk melakukan investasi. Investasi merupakan penempatan dana pada masa sekarang dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa depan [8]. Investasi yang banyak digemari masyarakat pada satat ini adalah investasi di pasar modal. Investasi di pasar modal tidak hanya dilakukan pada real asset seperti membangun pabrik,beli membuat produk baru, namun investasi juga dapat dilakukan pada financial asset seperti membeli sertifikat deposito, obligasi, sertifikat rekasadana atau saham [11]. Salah satu instrumen investasi yang diperjualbelikan di pasar modal adalah saham. Saham merupakan modal yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan dalam bentuk surat berharga kepada masyarakat agar suatu badan atau seseorang memiliki sebagian hak dari perusahaan tersebut [11].

Harga saham berubah secara acak setiap waktunya. Untuk meminimalkan risiko akibat perubahan tersebut, investor dapat menggunakan salah satu instrumen investasi yang disebut dengan opsi. Opsi merupakan hak yang didasarkan atas suatu perjanjian atau kontrak untuk menjual atau membeli komiditi atau surat berharga (saham) pada harga tertentu yang telah ditetapkan pada saat atau sebelum tanggal jatuh tempo [1].

Kalsifikasi opsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, berdasarkan waktu penggunaannya dan berdasarkan hak pemegangnya [8]. Berdasarkan waktu penggunaannya, opsi dibedakan menjadi dua yaitu, opsi tipe Eropa dan Amerika. Opsi tipe Eropa merupakan opsi yang hanya dapat dieksekusi pada saat tanggal jatuh tempo sedangkan opsi tipe Amerika adalah opsi yang dapat dieksekusi kapanpun selama umur opsi. Dengan opsi Eropa lebih mudah dalam perhitungannya dibandingkan dengan opsi tipe Amerika. Berdasarkan hak pemegangnya opsi

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Investor harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan kontrak opsi yang dibayarkan pada saat kontrak dibuat [6]. Biaya ini disebut dengan harga opsi. Teori penentuan harga opsi telah berkembang sejak tahun 1973, yang dikenalkan oleh Fisher Black dan Myron Scholes dan kemudian modelnya disebut dengan model Black-Scholes. Model ini

mengasumsikan bahwa nilai volatilitas harga saham konstan.. Seiring perkembangan jaman, muncul teori lain yang dikembangkan oleh John Cox (1976) dikenal dengan model Constant Elasticity of Variance (CEV). Teori ini mempertimbankan kemungkinan volatilitas yang bergantung pada harga saham. Volatilitas merupakan besarnya jarak fluktuasi atau naik turunnya harga saham [6]. Volatilitas dapat mempengaruhi harga opsi karena dengan meningkatnya volatilitas, peluang untuk memperoleh harga saham lebih tinggi atau lebih rendah juga akan meningkat [8].

B. PEMBAHASAN

Perubahan harga acak diasumsikan mengikuti hipotesis efisiensi pasar. Berdasarkan asumsi tersebut, perubahan harga saham mengikuti proses Markov. Proses markov merupakan proses dengan hasil di masa yang akan datang tidak dipengaruhi oleh hasil pada waktu lampau namun dipengaruhi oleh hasil pada saat ini.

Model harga saham dinyatakan dengan tingkat pengembalian harga saham. Tingkat pengembalian harga saham dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat deterministik dan faktor eksternal yang bersifat stokastik. Tingkat pengembalian harga saham dapat dinyatakan dalam persamaan berikut

Adanya parameter model CEV <2 yang menyatakan hubungan antara tingkat harga saham dan tingkat pengembalian harga saham, maka persamaan (1) berubah menjadi

/ dengan ≠ 2 (2)

dengan adalah harga saham, tingkat pertumbuhan harga saham, adalah volatilitas, adalah parameter CEV dan

adalah tingkat perubahan gerak Brown. Kemudian persamaan (2) disebut dengan model CEV. Opsi merupakan instrumen turunan dari harga saham sehingga untuk harga opsi bergantung dari harga saham. Opsi berdasarkan jenis haknya dibedakan menjadi dua yaitu, opsi jual dan opsi beli. Pemegang opsi beli akan memperoleh keuntungan ketika harga opsi pada saat jatuh tempo lebih besar daripada harga eksekusi. Kondisi ini merupakan kebalikan opsi jual, pemegang opsi jual akan mempeoleh keuntungan ketika harga saham pada saat jatuh tempo kurang dari harga eksekusi.

Harga opsi jual dan opsi beli saat tipe Eropa pada saat jatuh tempo memiliki hubungan yang tetap dengan harga eksekusi . Hubungan ini disebut dengan kesamaan harga opsi beli dan opsi jual. Hubungan kesamaan harga opsi jual dan osi beli dapat dinyatakan dengan persamaan berikut

dengan merupakan harga eksekusi, merupakan harga saham, merupakan harga opsi jual dan

merupakan harga opsi beli. Harga opsi dinyatakan sebagai fungsi atas harga dan waktu . Fungsi harga opsi dimisalkan dengan ,

untuk harga opsi jual. Fungsi diasumsikan terdifferensial dua kali terhadap dan terdifferensial satu kali terhadap . Hubungan antara keduanya dapat dinyatakan dengan persamaan

untuk harga opsi beli dan

dengan / = yang kemudian disebut dengan volatilitas model CEV. Persamaan (4) belum mempertimbangkan nilai portofolio yang dibentuk saat

investor membeli opsi. Tujuan dibentuknya portofolio yaitu untuk meminimalkan risiko dan meningkatkan keuntungan karena investor dapat berinvestasi pada bermacam-macam saham. Perubahan nilai portofolio dinyatakan dengan

dengan merupakan turunan pertama harga opsi terhadap harga saham . Jika portofolio diinvestasikan pada instrumen bebas risiko dengan asumsi tingkat suku bunga bebas risiko konstan sebesar . Laju perubahan nilai portofolio proporsional dengan nilai awal portofolio, dengan konstanta proporsi sebesar tingkat suku bunga, dalam bentuk notasi matematis dinyatakan sebagai berikut

= Π ⟺ d Π =r Π dt

Dengan mempertimbangkan nilai portofolio tersebut, maka persamaan (4) berubah menjadi

(5) Persamaan (5) dapat disederhanakan dengan beberapa langkah transformasi

sehingga diperoleh harga opsi beli

, masing-masing dinyatakan dengan persamaan berikut

dan opsi jual

Berikut ini merupakan grafik hasil simulasi harga opsi beli dan harga opsi jual model CEV

Gambar 1. Grafik Harga Opsi Beli Model CEV

Grafik 2. Grafik Harga Opsi Jual Model CEV

C. SIMPULAN

Dari hasil pembahasan diperoleh rumus harga opsi beli ( ) dan harga opsi jual (

) yang masing-masing dinyatakan dalam persamaan berikut

: harga opsi beli : harga opsi jual : harga saham : waktu : waktu jatuh tempo : harga pelaksanaan atau harga eksekusi : tingkat suku bunga bebas risiko : volatilitas : rata-rata pertumbuhan harga saham : parameter Model CEV, <2 : parameter

(.) : fungsi distribusi kumulatif distribusi normal (.) : fungsi densitas peluang distribusi normal Sehingga untuk menentukan harga opsi perlu diketahui harga saham saat ini , harga eksekusi , tingkat suku bunga , volatilitas dan rata-rata tingkat pertumbuhan harga saham .

Pada opsi beli model CEV, harga opsi mulai naik ketika harga saham pada saat jatuh tempo lebih besar daripada harga eksekusi namun harga opsi beli akan semakin menurun mendekati nol ketika harga saham pada tanggal jatuh tempo kurang dari atau sama dengan harga eksekusi. Berdeda dengan opsi jual, harga opsi jual akan naik ketika harga saham pada tanggal jatuh tempo kurang dari harga eksekusi namun harga opsi jual akan semakin turun mendekati nol ketika harga saham lebih besar atau sama dengan harga eksekusi.

D. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim. 2005. Analisis Investasi, Edisi Kedua. Jakarta: Salemba Empat.

Adams, Andrew T., et.al. 2003. Investment Mathematics. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

De Jong, Lieke. 2010. Option Pricing with Perturbation Methods. Thesis. Delft Institute of Applied Mathematics.

Elliot, R. J., & Kopp, P. E. (2000). Mathematics of Financial Market. New York: Springer.

Fabozzi, Frank J. 2000. The Handbook of Financial Instrument. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc

Hull, J., C. (2003). Options, Futures, and other Derivatives (5th ed.). New Jersey: Prentice-Hall.

John, Randal. 1998. The Constant Elasticity of Variance Option Pricing Model. Thesis.

Luenberger, David G. 1998. Investment Science. New York : Oxford University Press.

Martin, Baxter., Rennie, Andrew. 1996. Financial Calculus An Introduction to Derivative Pricing . New York : University of Cambridge.

Ross, Sheldon M. 2003. An Elementary Introduction to Mathematical Finance, second edition . New York: Cambridge University Press.

Suad, Husnan. 1998. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas, Edisi Ketiga . Yogyakarta: AMP YKPN Yogyakarta .

S.Howison. 2005. Matched Asymtotic Expansion in Financial Engineering. Jurnal of Mathematical Institute. Oxford University.

Toyoizumi, Hiroshi. 2006. Applied Probability and Mathematical Finance Theory. Lecture Notes.

Wilmott, Paul., Sam Howison & Jeff Dewynne. 1995. Option Pricing, Mathematical Model and Computation . New York : University of Cambridge.

Zanten, Harry V. 2004. An Introduction to Stochastic Processes in Continuous Time. Lecture Notes.

T - 13

ALGORITMA PARTICLE SWARM (APS) UNTUK OPTIMASI DENGAN DOMAIN FUNGSI PARAMETRIK UNTUK BEBERAPA FUNGSI TUJUAN

Hanna Arini Parhusip

Program Studi Matematika, FSM-UKSW hannaariniparhusip@yahoo.co.id

Abstrak

Makalah ini menunjukkan algoritma Particle Swarm (APS) yang digunakan optimasi untuk fungsi tujuan 1 variabel dan multivariabel . Domain sebagai dugaan adanya solusi divariasi dari beberapa kurva parametrik. Domain ini sebagai dugaan awal untuk solusi pada algoritma Particle Swarm.

Program dibuat dengan bahasa MATLAB. Hasil optimasi dianalisa dengan mengamati sifat matriks Hessian di titik optimal.

Kata kunci: Particle Swarm, fungsi parametrik, Hessian

A. PENDAHULUAN

Terdapat beberapa algoritma modern yang tidak mendasarkan nilai optimumnya pada gradient fungsi tujuan, diantaranya algoritma koloni semut dan modifikasinya (Dai, dkk, 2009), (Wang,2006). Algoritma Particle Swarm (APS) mendasarkan teorinya pada perilaku suatu koloni atau sekawanan seperti semut, lebah, kumpulan burung atau ikan. Jadi algoritma ini memperhatikan tingkah laku hewan-hewan tersebut. Kata partikel menjelaskan suatu lebah dalam suatu koloni atau seekor burung dalam sekawanannya. Setiap individu berlaku sehingga terdistribusi sedemikian hingga menggunakan intelegensianya untuk menemukan lintasan terbaik dalam menemukan makanan.

Pada konteks optimasi multivariabel, insek diasumsikan berukuran tetap dengan setiap partikel pada awalnya berlokasi secara random pada ruang multidimensi. Setiap partikel diasumsikan mempunyai 2 karakteristik : posisi dan kecepatan. Setiap partikel berjalan tanpa arah berkeliling pada ruang dan mengingat posisi terbaik yang berkaitan dengan sumber makanan (atau nilai fungsi tujuan) telah ditemukan. Setiap partikel mengkomunikasikan posisi terbaiknya.

Sebagai suatu contoh, perbaikan perilaku burung dalam sekawanannya. Sekalipun tiap buruk sangat terbatas secara intelegensia, ada aturan yang berlaku :

a. Setiap burung tidak berusaha mendekati burung yang lain

b. Burung menuju pada arah rata-rata burung lain.

c. Burung akan berusaha mencocokkan dengan posisi rata-rata antara 2 burung berbeda dengan gap antar burung tidak terlalu besar.

Jadi perilaku sekawanan burung, inseks berdasarkan 3 hal utama :

a. Kohesi : berupaya selalu bersama

b. Separasi : tidak mendekat terlalu dekat

c. Alignment : mengikuti aturan pimpinan kawanan burung.

APS disusun sebagai berikut :

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

1) Jika 1 burung berlokasi pada target atau makanan (maksimum/minimum fungsi tujuan), dengan segera burung itu akan menginformasikan pada semua burung-burung yang lain.

2) Semua burung tertarik menuju target/makanan (maksimum/minimum fungsi tujuan tetapi tidak secara langsung).

3) Ada suatu komponen pada setiap burung yang berpikir secara independent

Jadi model mensimulasikan pencarian random ruang disain untuk nilai maksimum dari fungsi tujuan sedemikian hingga setelah melalui banyak iterasi, burung-burung akan menuju target (maksimum/minimum fungsi).

Untuk selanjutnya algoritma dan aplikasi dari algoritma ini dinyatakan pada Bab 2-4.

1. PARTICLE SWARM untuk OPTIMASI 1a. Implementasi Komputasi APS

Perhatikan masalah optimasi tak berkendala Maksimalkan f(X) dengan

(l )

(n X )  X  X dengan X dan X menyatakan berturut-turut batas bawah dan batas atas

X . Prosedur APS dapat diimplementasikan dengan tahapan sebagai berikut (Rao,2009).

Asumsikan ukuran inseks (banyaknya partikel) adalah N. Untuk mereduksi total perhitungan fungsi yang dihitung untuk menemukan penyelesaian, kita perlu mengasumsikan ukuran inseks yang lebih kecil. Akan tetapi jika terlalu kecil akan menyebabkan kita mendapatkan solusi lebih lama. Dalam beberapa kasus bahkan dapat menyebabkan kita tidak memperoleh solusi sama sekali. Biasanya kita menggunakan ukuran N = 20 atau N=30 partikel.

( n 1. Bangkitkan populasi awal X dalam ) X  X  X secara random sebagai

X 1 , X 2 ,..., X N . Setelah ini, partikel posisi ke-j dan kecepatannya pada iterasi ke-i

(i disimbolkan secara berturut-turut sebagai ) X

(i )

dan V j . Jadi mula-mula partikel dibangkitkan dalam bentuk X 1 ( 0 ), X 2 ( 0 ) ,..., X N ( 0 ) dikatakan partikel-partikel atau

vektor-vektor koordinat dari partikel-partikel (analog dengan kromosom pada algoritma genetika). Hitung nilai –nilai fungsi tujuan yang berkaitan yaitu f [ X 1 ( 0 )], f [ X 2 ( 0 )] ,...,

f [ X N ( 0 )] .

2. Tentukan kecepatan partikel. Setiap partikel akan bergerak pada titik optimal dengan suatu kecepatan. Awalnya, kecepatan partikel adalah 0. Kita sebut sebagai iterasi ke-1.

3. Pada iterasi ke-i, tentukan 2 parameter penting berikut ini yang digunakan pada setiap partikel j :

(a) Nilai X j (i ) terbaik (koordinat-koordinat semua partikel hingga pada iterasi tersebut) adalah X j (i ) yang membuat fungsi tujuan terbesar pada iterasi tersebut , sebutlah P terbaik , j = f [ X j ( i )] . Susun untuk semua partikel , sebutlah sebagai G terbaik .

(b) Tentukan kecepatan partikel j pada iterasi ke-i sebagai berikut :

V j ( i )  V j ( i  1 )  c 1 r 1  P best , j  X j ( i  1 )   c 2 r 2  G best  X j ( i  1 )  ,j=1,...,n (1)

dimana c 1 dan c 2 berturut –turut sebagai laju individu dan laju sosial (grup) dimana r 1 dan r 2 sebagai bilangan random berdistribusi uniform pada interval 0 dan 1. Parameter c 1 dan c 2 menyatakan relatif pentingnya memori (posisi) dari partikel itusendiri ke memori (posisi) sekawanan. Nilai parameter c 1 dan c 2 biasanya diasumsikan 2 sehingga c 1 r 1 dan c 2 r 2 menjamin bahwa partikel-partikel tidak akan

terbang melebihi target sekitar setengah waktu.

(c) Tentukan posisi koordinat partikel ke-j pada iterasi ke-i sebagai

(2) dimana step waktu (dt) diasumsikan 1 pada persamaan (2). (Ingat formula kecepatan

X j ( i )  X j ( i  1 )  V j ( i ) ; j=1,2,...,N.

secara diskrit yaitu  V j ( i ) ). Hitung nilai-nilai fungsi tujuan

dt

yang berkaitan dengan partikel yaitu f [ X 1 ( i )], f [ X 2 ( i )],..., f [ X N ( i )]

4. Cek konvergensi penyelesaian saat itu. Jika posisi semua partikel konvergen pada nilai-nilai pada himpunan yang sama, metode diasumsikan konvergen. Jika kriteria konvergen tidak dipenuhi, step 4 diulang dengan mengupdate/memperbaharui

bilangan iterasi dan menghitung nilai-nilai baru P terbaik , j = f [ X j ( i )] dan G terbaik .

1b. Perbaikan APS

Seringkali ditemukan bahwa kecepatan partikel meningkat terlalu cepat dan nilai maksimum fungsi tujuan terlampaui. Oleh karena itu perlu diperkenalkan  suku inersia (sebutlah  ) yang ditambahkan untuk mengurangi kecepatan. Biasanya nilai  diasumsikan bervariasi secara linear dari 0.9 hingga 0.4 dalam proses perkembangan iterasi. Kecepatan

partikel ke-j, dengan suku inersia diasumsikan sebagai

V j ( i )   V j ( i  1 )  c 1 r 1  P best , j  X j ( i  1 )   c 2 r 2  G best  X j ( i  1 )  ,j=1,...,n (3)

Bobot inersia  menyebabkan mengeksplorasi area baru untuk optimum lokal tetapi nilai yang besar untuk  menyebabkan optimal yang benar tidak diperoleh. Untuk mencapai keseimbangan pencarian optimum lokal dan global dan mempercepat konvergensi pada optimum yang benar, bobot inersia yang nilainya menurun secara linear dengan banyaknya iterasi yang telah digunakan :

 ( i )    max min max   i (4)

 i max

dimana  max dan  min berturut-turut merupakan nilai awal dan nilai akhir dari bobot inersia dan i max adalah banyaknya iterasi maksimum yang digunakan dalam APS. Nilai  max dan  min yang umumnya digunakan adalah  max =0.9 dan  min = 0.4.

Ada pula perbaikan APS yang lain dengan cara membuang partikel yang tidak bermakna dalam mendapatkan posisi optimal (Benmessahel ,dan Touahria,M, 2011) akan tetapi hal ini tidak dibahas disini.

1c. Masalah Optimasi yang diselesaikan oleh APS dan program APS

Bentuk umum masalah optimasi yang diselesaikan oleh APS adalah

Maksimalkan f(X)

(5a)

dengan kendala

g j ( X )  0 ; j=1,2,...,m

(5b)

Fungsi tak berkendala F(X) dikonstruksi oleh fungsi finalti yang memuat kendala. Ada

2 tipe fungsi finalti. Pada APS kita menggunakan fungsi finalti F(X) yang didefinisikan sebagai

F ( X )  f ( X )  C ( i ) H ( X ) (6) dimana C (i ) menyatakan parameter finalti dinamik yang termodifikasi yang bervariasi sesuai dengan bilangan i dan H(X) menyatakan faktor finalti yang berkaitan dengan kendala

C m ( i )  

  g  q i  X j   X   q j  X      g  q i  X j   X   q j  X   

q j  X  max  0 , g j ( X )  ; j=1,2,...,m (7)

dengan c,  , a , b konstan. Perhatikan bahwa q j (X ) menyatakan besarnya kendala ke-j dilanggar,  [ q j ( X )] menyatakan fungsi penugasan yang kontinu, yang diasumsikan dalam

bentuk eksponensial sebagaimana ditunjukkan pada pers (7)(ketiga) dan  [ q i ( X )] menyatakan pangkat fungsi yang terlanggar. Nilai c= 0.5,   2 , a  150 , b  10 dengan

 1 jika q j ( X )  1

 [ q j ( X )]  

 2 jika q j ( X )  1

Contoh 1. Tentukan nilai maksimum fungsi

f 2 ( x )   x  2 x  11 pada interval [-2, 2] dengan metode APS. Gunakan 4 partikel (N= 4) dengan posisi awal x 1   1 . 5 , x 2  0 , x 3  0 . 5 , x 4  1 . 25 . Susunlah komputasi secara

detail untuk iterasi ke-1 dan ke-2. Jawab :

Tahap 1. Susun fungsinya dalam nama fungsi fku1.m f unct ion f =f ku1(x) %Cont oh 13.4 hal 712

f =-x^ 2+2* x+11;

Tahap 2. Buat APS dalam nama file dan hal ini ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Program APS untuk 1 dimensi N=4; x=[ -1.5 0.0 0.5 1.25]; %hit ung f ungsi t uj uan pada x awal

f or i=1:N f (i)=f ku1(x(i)); end

%kecepat an awal 2

Gambar 1. y   x  2 x  11

vlama=zer os(N,1);

%car i Pbest dan Gbest Tabel 2. Hasil keluaran APS untuk pemaksimum Pbest =x;

dan nilai maksimum 2 y   x  2 x  11

indeks=f ind(Pbest ==max(Pbest ));

1.2410 1.2500 Gbest =x(indeks); y * 11.9529 11.9448 11.9419

x * 1.2170

11.9375 %Susun ke(cepat an par t ikel

%asumsikan c1=c2=1

c1=1;c2=c1; Hasil keluaran APS ditunjukkan dengan daftar nilai r =r and(2,1);

x * dan y* pada Tabel 3.

%lakukan set iap it er asi

i=1; Dari kalkulus kita dapat memperoleh bahwa f or j =1:N

nilai maksimum secara eksak adalah (1,12). Jadi keempat koordinat telah menunjukkan

v(j )=vlama(j ) +

hasil yang cukup baik.

r (1)* i(Pbest (j )-x(j )) + ...

r (2)* (Gbest -x(j )); %x bar u r (2)* (Gbest -x(j )); %x bar u

%hit ung f pada x yang bar u

f or i=1:N f (i)=f ku1(xb(i)); end i=i+1; Pbest =vb End

B. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan menyusun algoritma Particle Swarm untuk fungsi tujuan 1 variabel dimana nilai optimal secara analitik diketahui. Selanjutnya program dikembangkan untuk fungsi tujuan 2 variabel bebas. Oleh karena itu posisi dugaan pada domain tidak lagi dapat didaftar secara manual. Untuk itu perlu dibentuk formulasi domain yang dimungkinkan memuat titik-titik pengoptimal. Beberapa domain dibentuk dari fungsi parametrik yang dapat juga digunakan transformasi sebagai domain baru. Beberapa domain ini diujicobakan untuk suatu fungsi tujuan. Matriks Hessian f dianalisa untuk tiap titik pengoptimal.

C. ANALISA DAN PEMBAHASAN

C.1 Kasus 2 dimensi

Pada bagian ini akan dibahas penggunaan APS untuk fungsi tujuan 2 variabel yaitu Fungsi yang akan dicari maksimumnya adalah

1 , x 2 )  1  0 . 5 exp    x 1  x 2    exp   10  x 1  x 2  2 x 1  2 x 2  2   (8.0)

Tahap 1. Menuliskan fungsi 2 variabel yang akan dicari maksimumnya

f unct ion f =Kasus2(x) bant u1=x(1)^ 2 +x(2)^ 2;

f =1-0.5* exp(-bant u1)-exp(-10* (bant u1-2* x(1)-2* x(2)+2)); Tahap 2. Menuliskan algoritma APS untuk fungsi 2 variabel (Lampiran 1)

Tahap 3. Keluaran program Untuk menganalisa program, kita dapat menerapkan kondisi optimum dari kalkulus yaitu Hessian matriks f haruslah negative semidefinite pada titik optimum. Untuk itu kita perlu menyusun Hessian f yaitu

dimana setiap komponen matriks Hessian f adalah

  0 . 5   2 exp    x 2 1 2  x 2     0 . 5  4 x 2 exp    x 2 1  x 2 2  

  10  x 1  x 2  2 x 1  2 x 2  2      20 x 1  20   exp   10  x 1  x 2  2 x 1  2 x 2  2   

20 2 exp 2 2 2 2

1 x 2 exp    x 1  x 2      20 x 1  20   20 x 2  20  exp  10 x  x  2 x  2 x  2  (8.2)   1 2 1 2  

 x 2  x 2  x 2  x 2  x 2 2 2 2 exp   1 2   2 2 exp   1 2    20 exp   10  x 1  x 2  2 x 1  2 x 2  2  

2 20  exp   10  x 1  x 2  2 x 1  2 x 2  2  

 2  20 x 

Dengan mensubstitusikan nilai optimum ini pada Hessian matriks kita dapat menyimpulkan bahwa hasil telah optimal. Syarat bahwa pengoptimal benar memaksimalkan f adalah haruslah negative (semi)definite , yaitu :

2  0 dan det H f  0 yaitu  f  f   f 2  2   0 . (8.4)

 x 1  x 1  x 2    x 2 x 1  

Hasil observasi untuk persamaan (8.4) diperoleh titik optimal adalah (x*,y*)=(-1.5,-1.5) dan

- 0.0611 - 0.05  sehingga  f -0.0611 dan det

 . Jadi negative

 2 f   2 f   - 0.05 - 0.0389 

semi definite dipenuhi oleh karena itu (x*,y*)=(-1.5,-1.5) pemaksimum (lokal) dan nilai f maksimum adalah 0.9944.

C.2 Berbagai hasil optimasi untuk domain yang berbeda

Kasus 1. Domain dugaan merupakan fungsi parametrik yang berbentuk

 ( a  b )   

t  ; y   a  b  sin t  b sin 

 b  Domain dari persamaan (9) digunakan sebagai titik-titik dugaan posisi optimal. Dengan

menggunakan 0 t  20  , a   , b 2 maka diperoleh kurva menurut Gambar 2. Dari kurva ini kita tidak perlu mendaftar titik dugaan sebagaimana pada Contoh 1, tetapi program akan dapat

menyusun 500 titik secara mudah dan disubstitusikan pada program untuk Kasus 2 dimensi (fungsi tujuan persamaan 8.0).

Hasil titik optimal adalah (x*,y*) =(3.1461,.0) dimana titik ini dapat diduga merupakan bentuk (  , 0 ) dan nilai maksimal fungsi adalah f*=1 dimana matriks Hessian dan determinannya

 - 0.0011 0.0000 

berturut-turut adalah H f  

 , det H f =0

 0.0000 0.0001  Yang menunjukkan matriks f H negative semidefinite .

Kasus 2. Domain diperoleh dari kompleks dari kurva parametrik yang dipetakkan oleh

f (z)=cos(z) dan f(z)=1/z. Domain yang berikutnya adalah hasil transformasi f(z)=cos(z) untuk z adalah bilangan kompleks yang dinyatakan oleh titik-titik dari kurva parametrik. Jadi pasangan titik dari persamaan (9) dipetakkan oleh fungsi kompleks dengan cara menyusun bagian real (u(x,y) dan bagian imajinair v(x,y)) dari f(z) berturut-turut berbentuk

 e  e  cos( x ) dan v ( x , y )  0 . 5  e  e  sin( x ) .

Pada program ditulis :

u=0. 5* (exp(yh)+exp(- yh)). * cos(xh); v=0. 5* (exp(- yh)- exp(yh)). * sin(xh);

Gambar 2. Grafik persamaan (9)

Gambar 3. Grafik persamaan (9)

Gambar 4. Grafik persamaan (9)

0 t  20  , a   b 0 t  20  , a b  , 2 yang

0 t  20  , a   , b 2 yang

ditransformasikan dalam f(z)=cos(z)

ditransformasikan dalam f(z)=1/z

dimana titik-titik z adalah titik –titik dari

dimana titik-titik z adalah titik –titik

kurva parametrik

dari kurva parametrik

Dengan domain pada Gambar 3, ternyata matriks Hessian f mendekati matriks 0 sehingga hasil optimasi yang diperoleh disimpulkan tidak valid untuk f pada persamaan (8.0). Dapat dikatakan pula bahwa domain bukan domain feasible karena tidak memuat solusi yang menyebabkan f optimal.

Demikian pula domain pada Gambar 4 yang diperoleh dari pemetaan f(z)=1/z. Domain ini digunakan sebagai dugaan untuk fungsi tujuan pada persamaan (8.0). Sekalipun Hessian matriks hampir berbentuk matriks 0, fungsi tujuan masih dapat mencapai 1 dimana pengoptimalnya adalah (-1.0872,3.0015) . Perlu diketahui bahwa matriks Hessian yang semi definite positive menunjukkan titik optimal meminimumkan fungsi tujuan (Peressini,1988).

Jelas bahwa untuk domain yang berbeda maka nilai optimal juga berbeda tergantung dimanakah fungsi tujuan didefinisikan. Pemilihan berbagai domain ini bermanfaat untuk menyusun dugaan solusi dengan banyak titik tanpa mendaftar satu persatu.

Kasus 3. Fungsi tujuan berbentuk (Parhusip dan Hartini,2013)

P ( K , M )  X ( K ) cos( nM )  X ( K ) sin( nM )

(10a) dimana n bilangan bulat X(K) dan

 X nK ( K )  c

1 e  c 2 Ke  c 3 e  c 4 Ke . (10b)

dimana nilai-nilai parameter c 1 , c 2 , c 3 , c 4 dan n diketahui dan ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3.Daftar parameter untuk fungsi tujuan persamaan (10a)-(10b)

Nilai Parameter fungsi biharmonik

-0.2724 0.4762 0.3118 1.7113 2 -0.7571 0.8962 0.0454 6.4448 2 -0.7528 0.8845 0.0575 6.4954 2 -0.5355 0.7127 0.2671 4.0530 2 -0.4049 0.5908 0.2061 3.1654 2

Kita akan memaksimalkan fungsi tujuan tersebut dengan APS. Karena merupakan fungsi 2 variabel bebas maka program pada Kasus 2 dapat digunakan. Akan tetapi domain dapat dipilih dengan bilangan random karena data telah disusun pada interval (0,1]. Jadi kita dapat menggunakan fungsi rand(N) dimana N menyatakan matriks NxN dan fungsi rand akan membentuk pasangan titik dimana setiap titik bernilai yang memenuhi (0,1]. Hasil optimasi dengan APS ditunjukkan pada Tabel 4. Perlu diketahui bahwa APS bekerja dengan bilangan random. Oleh karena itu hasil yang diperoleh selalu tidak sama setiap dilakukan menjalankan program. Selain itu semua variabel dalam interval (0,1]. Jadi jika hasil optimal lebih dari batas maksimum data maka hasil tidak layak. Dari Tabel 4, semua titik optimal berada pada daerah Kita akan memaksimalkan fungsi tujuan tersebut dengan APS. Karena merupakan fungsi 2 variabel bebas maka program pada Kasus 2 dapat digunakan. Akan tetapi domain dapat dipilih dengan bilangan random karena data telah disusun pada interval (0,1]. Jadi kita dapat menggunakan fungsi rand(N) dimana N menyatakan matriks NxN dan fungsi rand akan membentuk pasangan titik dimana setiap titik bernilai yang memenuhi (0,1]. Hasil optimasi dengan APS ditunjukkan pada Tabel 4. Perlu diketahui bahwa APS bekerja dengan bilangan random. Oleh karena itu hasil yang diperoleh selalu tidak sama setiap dilakukan menjalankan program. Selain itu semua variabel dalam interval (0,1]. Jadi jika hasil optimal lebih dari batas maksimum data maka hasil tidak layak. Dari Tabel 4, semua titik optimal berada pada daerah

Table 4. Pasangan titik optimal untuk untuk persamaan (10a)-(10b)

Nilai Parameter fungsi biharmonik

(K*,M*)

Maksimal (P*)

Minimal K Minimal M

D. SIMPULAN DAN SARAN

Pada makalah ini telah ditunjukkan algoritma PS untuk fungsi tujuan 1 variabel dan beberapa fungsi tujuan yang bertipe sama yaitu fungsi harmonik dengan nilai parameter yang berbeda tiap fungsi tujuan.

Domain yang diuji untuk fungsi tujuan 1 variabel sebagai domain fungsi merupakan hasil pemetaan fungsi parametrik. Akan tetapi hasil optimasi justru membuat matriks Hessian fungsi tujuan tidak terdefinisi dengan baik.

Demikian pula untuk fungsi tujuan 2 variabel dipelajari dengan domain sebagai dugaan memuat titik pengoptimal berupa pasangan bilangan random 2 dimensi. Hasil optimal fungsi tujuan dapat diperoleh tetapi belum diselidiki apakah nilai optimal fungsi tujuan terbaik secara analisis.

Perbaikan APS pada Bab B.2 belum diimplementasikan secara detail . Demikian pula hasil optimal maksimum P belum dianalisa lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dalam penelitian selanjutnya.

E. DAFTAR PUSTAKA

Dai,W., Liu, S, and Liang, S, 2009. An Improved Ant Colony Optimization Cluster Algorithm Based on Swarm Intelligence., Journal of Software, Vol.4, No.4, Academic Publisher.

Parhusip, H.A dan Hartini, 2013. Biharmonic Protein Function In MOCORIN and Its

Optimization, accepted paper, akan dipresentasikan pada International Seminar on Applied Technology, Science, and Art (4 th APTECS 2013), ITS, Surabaya, 10 Desember

Rao, S.S, 2009. Engineering Optimization, Theory and Practice, John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.

Wang, H, Shi,Z., Ma, J.,A, 2006. Modified Ant Colony Algorithm for Multi-constraint Multicast Routing, IEEE,Vol.1,4244-0463.

Peressini, A.L, Sullivan, F.E., Uhl,J. 1988. The Mathematics of Nonlinear Programming, Springer Verlag, New York, Inc.

Benmessahel ,B, Touahria,M, 2011. An improved Combinatorial Particle Swarm Optimization Algorithm to Data base Vertical Partition, Journal of Emerging Trends in Computing and Information Sciences , Volume 2 No. 3, ISSN 2079-8407 .

T - 14

MASALAH PENENTUAN KORIDOR BUS DALAM MEMINIMUMKAN BIAYA OPERASIONAL

1 2 Imam Ekowicaksono 3 , Farida Hanum ,Amril Aman

1 Departemen Matematika, Fakultas FMIPA Institut Pertanian Bogor, Indonesia

2 Departemen Matematika, Fakultas FMIPA Institut Pertanian Bogor, Indonesia,

3 Departemen Matematika, Fakultas FMIPA Institut Pertanian Bogor, Indonesia

1 2 ekowicaksono.imam@gmail.com, 3 faridahanum00@yahoo.com, aaman@alum.mit.edu

Abstrak

Mobilitas penduduk kota Jakarta sangat tinggi. Hal ini memerlukan sarana transportasi umum yang memadai. Salah satu transportasi umum masal yang dikembangkan di Jakarta adalah system Bus Rapid Transit (BRT) yang lebih dikenal dengan busway. Busway diharapkan dapat menjadi sarana transportasi masyarakat kota Jakarta yang dapat melayani mobilitas penduduk tersebut. Pada saat ini, busway masih menggunakan subsidi dari pemerintah sebagai sumber pemasukannya karena harga tiket dibuat sangat murah (untuk menarik masyarakat menggunakan busway), di lain sisi, biaya operasional busway tersebut sangat besar. Karya ilmiah ini menyajikan sebuah model optimisasi untuk menentukan koridor-koridor busway yang dioperasikan dan frekuensi bus dari setiap koridor untuk memenuhi permintaan transportasi dari pasangan keberangkatan dan kedatangan dan meminimumkan total biaya operasional. Masalah ini diformulasikan sebagai nonlinear integer programming dan diselesaikan menggunakan software LINGO 11.0.

Kata kunci: transportasi publik, sistem bus rapid transit, nonlinear integer programming .

A. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai jumlah penduduk terbesar di dunia. Penduduk Indonesia pada bulan Juli 2012 diperkirakan akan mencapai 248.216.193 jiwa dengan 40% di antaranya berada di daerah perkotaan (CIA 2012).

Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia merupakan kota dengan populasi terbesar di seluruh Indonesia dengan banyaknya penduduk sebesar 9,121 juta jiwa. Pemerintah provinsi DKI Jakarta menyebutkan banyaknya penduduk Jakarta pada siang hari mencapai 11 juta jiwa, sedangkan pada malam hari hanya terdapat 8,9 juta jiwa. Hal ini menjelaskan bahwa penduduk kota Jakarta mempunyai mobilitas yang sangat tinggi dengan selisih 2,1 juta jiwa yang bergerak masuk dan keluar kota Jakarta setiap harinya.

TransJakarta Busway adalah salah satu bus rapid transit (BRT) yang digunakan sebagai sarana bagi masyarakat kota Jakarta agar dapat melakukan mobilitas dengan cepat, aman dan nyaman yang dikelola oleh Badan Layanan Usaha (BLU) TransJakarta. BLU TransJakarta tersebut mempunyai tujuan utama untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna BRT. BLU tersebut juga mengatur masalah pengadaan armada bus, pengoptimalan layanan transportasi publik yang efisien dari segi biaya dan investasi, dan lainnya.

Masalah yang terjadi dalam pengoptimalan layanan transportasi publik seperti BRT ini antara lain adalah membuat aturan-aturan yang dapat meminimumkan frekuensi bus yang digunakan per hari atau per koridor yang dapat bermacam-macam kemungkinannya; kemudian, membuat aturan-aturan yang dapat menentukan seberapa banyak tambahan bus yang dioperasikan dari jumlah minimumnya saat banyaknya penumpang bus mencapai tingkat tertentu.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

B. METODE PENELITIAN

Berdasarkan data dan analisis yang didapatkan, maka dapat dibuat formulasi masalah tersebut ke dalam bentuk integer nonlinear programming (INLP). Bentuk formulasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:

Indeks

i, j = terminal; i,j = 1,2,...,R k

= koridor, k = 1,2,...,N l

= pasangan terminal, l = 1,2,...,O m, n = ruas jalan awal, m = 1,2,...,P

Himpunan

A = himpunan pasangan terminal (i,j) yang telah ditentukan atau didefinisikan di awal,

B = himpunan koridor yang melewati ruas jalan n,

C = himpunan ruas jalan yang dilewati di koridor k.

Parameter

OC i j k  ,,  = biaya operasional dalam satu kali perjalanan dari terminal i ke terminal j di koridor k,

 1 ; jika pasangan terminal ke l 

yl   digunakan

  0; lainnya

Kap = kapasitas bus, s = tingkat pelayanan penumpang, nijk  ,,  = banyaknya ruas jalan yang digunakan pada koridor ke k dari terminal i ke terminal j,

FC m  = biaya tetap untuk ruas jalan m, DJ m n  ,  = banyaknya penumpang dari ruas jalan m ke ruas jalan n, DK i j k  ,,  = banyaknya penumpang dari terminal i ke terminal j untuk koridor ke k,

Variabel Keputusan

Fijk  ,,  = frekuensi perjalanan bus yang digunakan dari terminal i ke terminal j di koridor k, FJ m n  ,   frekuensi perjalanan bus yang digunakan dari ruas jalan m ke ruas jalan n,

 1 ; jika bus bergerak dari terminal 

Xijk  ,,   i ke terminal di koridor ke , j k

  0 ; lainnya,

Um  

 1 ; jika ruas jalan digunakan, m

 0 ; lainnya,

Fungsi Objektif

Fungsi objektif dari masalah ini adalah meminimumkan biaya operasional dengan mengatur frekuensi bus yang dikalikan dengan biaya operasional bus ditambah dengan biaya tetap pada setiap ruas jalan jika ruas jalan tersebut digunakan. Secara matematis, fungsi objektif dari masalah ini adalah:

min    OC i j k  ,,   Fijk  ,,    FC m   Um   dengan ( , ) ij A.

  ijk ,,

Kendala

Kendala pada permasalahan ini adalah sebagai berikut:

1. Kendala ini menjelaskan bahwa:  Kapasitas bus yang digunakan haruslah lebih besar atau sama dengan banyaknya penumpang yang diangkut,  Banyaknya penumpang yang diangkut adalah banyaknya penumpang keseluruhan dari terminal i ke terminal j di koridor k dikalikan dengan tingkat pelayanan penumpang dan pergerakan bus.

s  Xijk  ,,   DK i j k  ,,   Kap F i j k   ,,  ;  k ,(,) ij A

2. Frekuensi perjalanan bus yang berangkat dari terminal i ke terminal j di koridor ke k sama dengan frekuensi perjalanan bus yang kembali dari terminal j ke terminal i di koridor ke k.

Fijk  ,,   Fjik  ,,  ;  k ,(,) ij A

3. Dipilih maksimal 1 koridor, untuk setiap pasangan terminal.

 Xijk  ,,   1; ( , ) ij  A

4. Tidak ada bus yang bergerak dari terminal i ke terminal i di koridor ke k.

Xiik  ,,   0,  ik ,

5. Bus yang berjalan dari terminal i ke terminal j di koridor ke k harus kembali melalui koridor yang sama dari terminal j ke terminal i di koridor ke k.

Xijk  ,,   Xjik  ,,  ;  k ,(,) ij A

6. Jika pasangan terminal ke l digunakan, maka akan dipilih koridor dari terminal i ke terminal j di koridor ke k untuk pasangan terminal ke l.

 Xijk  ,,   1  1 yl   ;  l ,(,) ij  A

7. Jika koridor k dari terminal i ke terminal j digunakan maka ruas jalan yang dilewati oleh koridor tersebut digunakan.

nijk  ,,   Xijk  ,,    Um  ;

 (,) ij  A ;  k

8. Banyaknya penumpang yang diangkut dari ruas jalan m ke ruas jalan n tidak melebihi total kapasitas bus yang bergerak dari ruas jalan m ke ruas jalan n untuk tingkat pelayanan penumpang tertentu.

 m C

s DJ m n   ,   Kap FJ m n   ,  ;  mn ,

9. Frekuensi perjalanan bus yang bergerak di ruas jalan ke n tidak lebih dari frekuensi perjalanan bus dari seluruh koridor yang bergerak melewati ruas jalan tersebut.

 FJ m n  ,    Xijk  ,,   Fijk  ,, 

 m  ijk ,,

 FJ n m  ,    Xijk  ,,   Fijk  ,, 

 m  ijk ,,

 n ,  ij ,  A,  k B

10. Banyaknya penumpang yang diangkut pada setiap ruas jalan tidak melebihi kapasitas bus yang melewati di setiap ruas jalan tersebut untuk tingkat pelayanan tertentu.

s  DJ m n  ,   Kap  Xijk  ,,   Fijk  ,,  ;

 kmn ,,;  (,) ij A

11. Frekuensi perjalanan bus yang bergerak dari ruas jalan ke m ke ruas jalan n sama dengan frekuensi perjalanan bus yang berangkat dari ruas jalan n ke ruas jalan m.

FJ m n  ,   FJ n m  ,  ;  mn ,

12. Kendala ini menjelaskan bahwa:

 Jika banyaknya penumpang di ruas jalan m sedikitnya dua kali kapasitas bus dikalikan dengan tingkat pelayanan penumpang, maka ruas jalan m digunakan,

Jika  DJ m n  ,   DJ n m  ,   2 Kap  s , maka Um   1; m

 Jika banyaknya penumpang di ruas jalan m tidak melebihi dua kali kapasitas bus dikalikan dengan tingkat pelayanan penumpang, maka ruas jalan tersebut tidak digunakan.

 DJ m n  ,   DJ n m  ,   Um   2 Kap s  ;  m

13. Kendala ketaknegatifan, memastikan bahwa:  Banyaknya penumpang dari ruas jalan m ke ruas jalan n dan dari terminal i ke terminal j di koridor ke k, lebih besar atau sama dengan nol.

DJ m n  ,   0;  mn ,

DK i j k  ,,   0;   ij ,  A

 Frekuensi perjalanan bus dari ruas jalan m ke ruas jalan n dan dari terminal i ke terminal j di koridor ke k, lebih besar atau sama dengan nol.

FJ m n  ,   0;  mn ,

Fijk  ,,   0;   ij ,  A

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari data dan formulasi yang telah dipaparkan dan asumsi-asumsi sebelumnya diperoleh hasil komputasi sebagai berikut:

Banyaknya

Frekuensi Pasangan Koridor

Apakah

penumpang

perjalanan terminal (l)

Ruas jalan

X (i,j,k)

koridor

ke- yang dapat

digunakan?

bus terangkut

21250 250 A – B (1) 2 (1)-(12)-(11)-(10)-(2) 0 Tidak 0 0

1 (1)-(9)-(2)

1 Ya

0 0 B – C (2) 2 (2)-(10)-(11)-(3) 0 Tidak 0 0

1 (2)-(9)-(12)-(3)

0 Tidak

20910 246 C – D (3)

1 (3)-(11)-(4)

1 Ya

2 (3)-(12)-(9)-(10)-(4)

0 Tidak

0 0 D – E (4) 2 (4)-(11)-(12)-(5) 0 Tidak 0 0

1 (4)-(10)-(9)-(5)

0 Tidak

20740 244 E – F (5) 2 (5)-(9)-(10)-(11)-(6) 0 Tidak 0 0

1 (5)-(12)-(6)

1 Ya

0 0 F – G (6) 2 (6)-(12)-(9)-(7) 0 Tidak 0 0

1 (6)-(11)-(10)-(7)

0 Tidak

51850 610 G – H (7) 2 (7)-(9)-(12)-(11)-(8) 0 Tidak 0 0

1 (7)-(10)-(8)

1 Ya

0 0 A – H (8)

1 (1)-(12)-(11)-(8)

0 Tidak

2 (1)-(9)-(10)-(8)

0 Tidak

Hasil komputasi pada Tabel di atas menjelaskan hasil pemilihan koridor-koridor yang meminimumkan biaya operasional. Berdasarkan Tabel di atas, koridor yang dipilih adalah

Koridor I yang melewati ruas jalan (1)-(9)-(2) untuk pasangan terminal A-B dengan banyaknya penumpang yang dapat diangkut sebesar 21250 dan frekuensi perjalanan bus yang digunakan sebanyak 250 bus, demikian juga untuk koridor yang lainnya. Banyaknya penumpang yang terangkut didapatkan dari kapasitas bus dikalikan dengan frekuensi bus yang beroperasi pada koridor tersebut. Banyaknya penumpang ini dihasilkan dari banyaknya penumpang yang bergerak dari terminal awal ke terminal akhir dijumlahkan dengan banyaknya penumpang dari terminal akhir yang bergerak ke terminal awal kembali. Kendala 3 menyebutkan bahwa frekuensi perjalanan bus yang bergerak dari terminal i ke terminal j melalui koridor k harus sama dengan frekuensi perjalanan bus yang bergerak dari terminal j ke terminal i melalui koridor ke k yang sama. Hal ini karenakan sistem BRT mengharuskan bus yang bergerak dari terminal awal ke terminal tujuan harus kembali lagi ke terminal awal sedikit atau banyaknya penumpang, karena sistem BRT mengutamakan pelayanan kepada pelanggan.

Koridor-koridor yang dihasilkan ini memuat semua ruas jalan yang ada. Gambar 7 menjelaskan pasangan terminal A-B (Koridor I) melewati ruas jalan (1), (9), (2), pasangan terminal C-D (Koridor II) melewati ruas jalan (3), (11), (4), pasangan terminal E-F (Koridor III) melewati ruas jalan (5), (12), (6), pasangan terminal G-H (Koridor IV) melewati ruas jalan (7), (10), (8). Hasil ini menunjukkan bahwa setiap ruas jalan pasti dilewati oleh setidaknya sebuah koridor bus memenuhi kendala 10.

Koridor I Koridor II Koridor III Koridor IV

Berdasarkan hasil komputasi tersebut, total frekuensi perjalanan bus adalah 1350 dan total penumpang yang dapat diangkut adalah 114750 orang. Banyaknya penumpang yang diangkut dari hasil program ini adalah 114724 orang dengan total keseluruhan penumpang adalah 127471 orang. Hasil komputasi ini menghasilkan biaya operasional minimum dari model ini adalah 14.097.300.000 untuk seluruh koridor yang dipilih.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Dalam karya ilmiah ini diperlihatkan bahwa masalah pengoperasian BRT dapat dipandang sebagai masalah riset operasi. Masalah ini dapat diselesaikan dengan metode nonlinear programming dengan menggunakan software LINGO 11.0.

Frekuensi perjalanan bus yang dioperasikan untuk setiap koridor harus memenuhi banyaknya penumpang dengan tingkat pelayanan penumpang tertentu. Sebanyak 1350 bus Frekuensi perjalanan bus yang dioperasikan untuk setiap koridor harus memenuhi banyaknya penumpang dengan tingkat pelayanan penumpang tertentu. Sebanyak 1350 bus

Koridor-koridor yang dihasilkan adalah Koridor I yang melewati ruas jalan (1), (9), (2), Koridor II yang melewati ruas jalan (3), (11), (4), Koridor III yang melewati ruas jalan (5), (12), (6) dan koridor IV yang melewati ruas jalan (7), (10), (8). Koridor-koridor tersebut merupakan koridor yang dipilih untuk meminimumkan biaya operasional. Setiap pasangan terminal mempunyai sebuah koridor yang digunakan. Setiap ruas jalan dilalui oleh koridor-koridor yang dihasilkan dari program.

E. DAFTAR PUSTAKA

[APTA] American Public Transportation Association. 2010. Bus Rapid Transit Service Design.

Tersedia di http://www.aptastandards.com/Portals/0/Bus_Published/003_RP_BRT_ Guideways.pdf. [3 Maret 2012].

[CIA] Central Intelligence Agency. 2012. The World Factbook. Tersedia di https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html [27 Februari 2012]

Winston WL. 2004. Operations Research Applications and Algorithms. Ed ke-4. Duxbury: New York.

T - 15

MODEL EPIDEMI ROUTING

Maftuhah Qurrotul Aini

Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta ayny_ayra@yahoo.com

Abstrak

Model epidemi routing menjelaskan proses pengiriman paket data pada jaringan mobile melalui analogi proses penyebaran penyakit. Analogi dapat dilihat berdasarkan proses dan variabel yang berpengaruh.

Tujuan penelitian ini adalah menurunkan model epidemi routing. Model epidemi routing berupa persamaan diferensial biasa yang menyatakan perubahan banyaknya node yang memiliki paket data pada suatu jaringan mobile pada saat t. Perubahan banyaknya node dipengaruhi laju pengiriman paket data. Semakin besar laju pengiriman paket data maka semakin besar perubahan banyaknya node yang memiliki paket data pada suatu jaringan mobile.Penyelesaian model epidemic routing berupa banyaknya node yang memiliki paket data pada suatu jaringan mobile pada saat t.

Selanjutnya model epidemi routing diterapkan pada suatu contoh proses pengiriman paket data di medan perang dan disimulasi dengan mengambil besarnya laju pengiriman paket data β yang berbeda. Hasil simulasi menunjukkan jika semakin besar nilai β, maka semakin cepat waktu yang diperlukan untuk semua node dalam jaringan mobile dapat memiliki paket data.

Kata kunci: model epidemi, routing

A. PENDAHULUAN

Model epidemi merupakan salah satu model matematika yang dapat menggambarkan pola penyebaran penyakit. Kesesuaian model epidemi dengan kasus nyata penyebaran penyakit mengakibatkan banyak dilakukan pengembangan model epidemi. Menurut Isham [3], pengembangan model epidemi dilakukan dengan menambah variabel dan menambah perlakuan sesuai tujuan yang diinginkan. Selain itu, pengembangan dari model epidemi juga dapat dilakukan dengan melakukan analogi model epidemi atau proses penyebaran penyakit dengan proses yang memiliki perilaku sama sehingga diperoleh model baru.

Model epidemi dapat dianalogikan dengan proses pengiriman paket data (routing) (Zhang[6]). Routing adalah proses pemilihan jalur untuk pengiriman paket data dari node satu ke node yang lain dalam suatu jaringan mobile. Pada routing dipilih jalur pengiriman paket data yang stabil, yaitu jalur dengan semua node dapat memiliki paket data.

Analogi antara model epidemi dan routing dapat dilihat berdasarkan proses dan variabel yang berpengaruh, sehingga dengan dilakukannya analogi maka dapat mempermudah memperoleh model epidemi routing.

B. PEMBAHASAN

1. Model Epidemi Routing

Model epidemi routing mengacu pada (Zhang [6]). Model epidemi routing menjelaskan proses pengiriman paket data dalam suatu jaringan mobile (routing) melalui

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

banyaknya node yang memiliki paket data tiap satu satuan waktu . Proses pengiriman paket data pada routing dinyatakan dengan algoritma store-carry-forward . Store-carry-forward adalah node yang memiliki paket data dan membawa paket data tersebut untuk mengirimkannya ke node lain yang belum memiliki

paket data ( Liu [4] dan Zhang [6]). Menurut Small [5], model epidemic yang prosesnya sesuai dengan algoritma pada routing adalah model susceptible infected (SI). Model SI menggambarkan proses penyebaran penyakit dari individu yang terinfeksi penyakit ke individu yang belum terinfeksi penyakit sampai semua individu terinfeksi penyakit tersebut. Selain proses, variabel yang berpengaruh pada routing dan model epidemi juga memiliki kesamaan. Node yang belum memiliki paket data pada routing dapat dianalogikan dengan individu yang belum terinfeksi pada model epidemi dan node yang memiliki paket data pada routing dapat dianalogikan dengan individu yang terinfeksi pada model epidemi.

Karena proses pengiriman paket data pada routing dapat dianalogikan dengan model SI , maka asumsi yang digunakan pada model epidemi routing mengacu pada model SI.

a. Pengiriman paket data terjadi pada suatu jaringan mobile dengan banyaknya node konstan.

b. Terdapat satu node awal yang memiliki paket data.

c. Setiap node mempunyai peluang yang sama untuk memiliki paket data.

d. Hanya satu paket data yang dapat dikirimkan.

e. Satu node hanya dapat mengirimkan dan menerima paket data sebanyak satu kali.

Pada model epidemi routing, kelompok node yang belum memiliki paket data dianalogikan dengan kelompok individu yang belum terinfeksi penyakit dinotasikan dengan S. Sedangkan kelompok node yang memiliki paket data dianalogikan dengan kelompok individu yang terinfeksi penyakit dinotasikan dengan I. Node pada kelompok S dapat memiliki paket data dengan laju pengiriman paket data sebesar β, sehingga node yang telah memiliki paket data menjadi node pada kelompok I. Karena setiap node mempunyai peluang yang sama untuk memiliki paket data, maka kemungkinan banyaknya node pada kelompok S yang berpindah ke kelompok I sebesar βSI. Sehingga proses pengiriman dan penerimaan paket data antar node pada model epidemi routing dapat disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Proses pengiriman dan penerimaan paket data antar node

Banyaknya node kelompok S dan I pada waktu t, masing-masing dinyatakan dengan S(t) dan I(t). Jika banyaknya node pada suatu jaringan mobile dinyatakan dengan N, maka S(t) = N - I(t). Dengan demikian perubahan banyaknya node yang memiliki paket data pada jaringan mobile tiap satu satuan waktu dapat dituliskan sebagai

dengan laju pengiriman paket data ≥ 0. Selanjutnya persamaan diferensial (2.1) merupakan model epidemi routing.

2. Penyelesaian Model

Model epidemi routing diharapkan dapat menggambarkan pola pengiriman paket data berdasarkan banyaknya node yang memiliki paket data. Persamaan (2.1) menyatakan perubahan banyaknya node yang memiliki paket data pada jaringan mobile tiap satu satuan waktu. Sehingga, persamaan (2.1) perlu diselesaikan untuk mendapatkan persamaan yang menyatakan banyaknya node yang memiliki paket data pada jaringan mobile tiap satu satuan waktu, dan penyelesaiannya dapat diselesaikan secara eksak. Menurut Champell [1], persamaan (2.1) merupakan persamaaan diferensial dengan variabel terpisah, sehingga dapat dinyatakan

Karena diasumsikan hanya terdapat satu node awal pada jaringan mobile yang memiliki paket data I(0) = 1, diperoleh penyelesaian dari persamaan (3.1)

dengan laju pengiriman paket data ≥ 0.

Persamaan (3.2) menyatakan banyaknya node yang memiliki paket data pada jaringan mobile pada waktu t, dengan N menyatakan banyaknya node dalam jaringan mobile dan β merupakan laju pengiriman paket data. Banyaknya node yang memiliki paket data pada jaringan mobile tiap satu satuan waktu dapat dianalisis dengan melihat pengaruh dari .

Jika bernilai 0, maka bernilai 1, sehingga berakibat hanya satu node yang memiliki paket data pada jaringan mobile yaitu node awal. Sedangkan jika nilai semakin

besar, maka nilai semakin mendekati 0, sehingga berakibat banyaknya node yang memiliki paket data pada jaringan mobile akan mendekati N. Sehingga dapat disimpulkan jika semakin besar , maka banyak node yang memiliki paket data pada jaringan mobile semakin cepat mendekati N.

3. Penerapan dan Simulasi Model

Penerapan dalam penelitian ini menggunakan kasus jaringan mobile di medan perang yang merujuk pada (Groenevelt [2]). Pada kasus tersebut mengamati pola pengiriman paket data pada jaringan mobile di medan perang yang dilihat dari pengiriman paket data yang stabil yaitu saat semua node dapat memiliki paket data. Banyaknya node Penerapan dalam penelitian ini menggunakan kasus jaringan mobile di medan perang yang merujuk pada (Groenevelt [2]). Pada kasus tersebut mengamati pola pengiriman paket data pada jaringan mobile di medan perang yang dilihat dari pengiriman paket data yang stabil yaitu saat semua node dapat memiliki paket data. Banyaknya node

Banyaknya node yang memiliki paket data pada waktu t dalam suatu jaringan mobile di medan perang diperoleh dengan menyelesaikan persamaan (4.1) yaitu

Persamaan (4.2) dapat disajikan pada Gambar 2.

0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 Gambar 2. Banyaknya node yang memiliki paket data

Gambar 2 menunjukkan pada saat t = 0.87 jam, banyaknya node yang memiliki paket data sebanyak 100 node, artinya pada saat t = 0.87 jam semua node dalam jaringan mobile di medan perang telah memiliki paket data.

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh terhadap perubahan banyaknya node yang memiliki paket data pada waktu ke-t, model epidemi routing pada persamaan (4.1) disimulasikan. Simulasi dilakukan dengan mengambil yang berbeda-beda yaitu = 0.075, = 0.222 dan = 0.50. Hasil simulasi ditunjukkan pada Gambar 3.

0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 Gambar 3. Banyaknya node yang memiliki paket data, dengan berbeda

Gambar 3 menggambarkan banyaknya node yang memiliki paket data pada suatu jaringan mobile dengan yang berbeda-beda N = 100 dan I(0) = 1. Pada Gambar 3 garis berwarna merah menggambarkan banyaknya node yang memiliki paket data dengan = 0.075. Garis berwarna biru menggambarkan banyaknya node yang memiliki paket data dengan = 0.222. Garis berwarna hijau menggambarkan banyaknya node yang memiliki paket data dengan = 0.50.

Garis berwarna biru menunjukkan dengan = 0.075, sebanyak 100 node dalam jaringan mobile telah memiliki paket data pada saat t = 2.55 jam. Garis berwarna merah menunjukkan dengan = 0.222, sebanyak 100 node dalam jaringan mobile telah memiliki paket data pada saat t = 0.87 jam. Garis berwarna hitam menunjukkan dengan = 0.50, sebanyak 100 node dalam jaringan mobile telah memiliki paket data pada saat t = 0.39 jam. Berdasarkan hasil simulasi pada Gambar 3, terlihat jika semakin besar laju pengiriman paket data , maka semakin cepat semua node dalam jaringan mobile dapat memiliki paket data.

C. KESIMPULAN

1. Model epidemi routing dinyatakan sebagai

2. Penyelesaian model epidemi routing dengan mula-mula hanya satu node dalam jaringan mobile yang memiliki paket data I(0) = 1 yaitu

3. Berdasarkan hasil analisis dan simulasi menunjukkan jika semakin besar laju pengiriman paket data , maka semakin cepat waktu yang diperlukan untuk semua node dalam jaringan mobile dapat memiliki paket data.

D. DAFTAR PUSTAKA Campbell, L. Stephen, An Introduction to Differential Equations and their Application, second ed

ed., California USA, 1990.

Groenevelt, R., P. Nain, and G. Koole, The Message Delay in Mobile Ad Hoc Network, Perform (2005), no. 62, 210-228.

Isham, V., Stachastic Models for Epidemics, Research Report 263.

Liu, J., X. Jiang, H. Nishiyama, and N. Kato, General Model for Store-Carry-Forward Routing Schemes with Multicast in Delay Tolerant Networks , IEEE (2011), 494-500.

Small, T., and Z.J. Haas, The Shared Wireless Infostation Model-A New Ad Hoc Networking Paradigm , MobiHoc, Maryland, USA (2003), 233-244.

Zhang, E., G. Neglia, J. Kurose, and D. Towsley, Performance Modeling of Epidemic Routing, UMass Computer Science Technical Report

44 (2005).

T - 16

ANALISIS SENSITIVITAS DAMPAK SKRINING DAN TERAPI HIV PADA PENYEBARAN HIV DALAM POPULASI

1 Marsudi 2 , Marjono

1,2 Jurusan Matematika FMIPA Universitas Brawijaya

1 e-mail: marsudi61@ub.ac.id, 2 e-mail: marjono@ub.ac.id

Abstrak

Makalah ini mengkaji sensitivitas dampak skrining dan terapi HIV pada model matematika penyebaran HIV/AIDS dalam populasi. Dalam model HIVS ini, populasi dibagi menjadi lima subpopulasi: susceptibles atau negatif HIV (S), unaware

infectives atau positif HIV tetapi tidak mengetahui mereka terinfeksi (I 1 ), screened

infectives atau positif HIV dan mengetahui mereka terinfeksi setelah terdeteksi secara

medik dengan metode skrining (I 2 ), treated population atau positif HIV dan menerima terapi HIV (T), dan AIDS population (A). Dampak dari program skrining dan terapi HIV pada tingkat populasi diukur menggunakan indeks sensitifitas dari parameter model terhadap angka reproduksi

efektif R ef . Angka reproduktif efektif dihitung menggunakan pendekatan matriks generasi

berikutnya. Simulasi numerik dan ilustrasi grafik dilakukan berdasarkan nilai-nilai parameter dan data epidemiologi dari literatur yang relevan menggunakan alat bantu program Maple dan Matlab.

Kata Kunci: model HIV,skrining dan terapi HIV,angka reproduksi efektif,indeks

sensitivitas

A. PENDAHULUAN

HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome ) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981. Obat dan vaksin untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut belum ditemukan, yang mengakibatkan kerugian yang tidak hanya di bidang kesehatan tetapi juga di bidang–bidang yang lain.

Salah satu prioritas kegiatan upaya penanggulangan HIV/AIDS adalah perubahan perilaku resiko tinggi pada kelompok rentan (susceptible aktif-seksual), kelompok beresiko tertular (Infected HIV tanpa gejala AIDS) dan kelompok tertular (Infected HIV dengan gejala AIDS). Salah satu program dalam rangka untuk meminimalisasi prevalensi HIV/AIDS adalah dengan skrining HIV melalui konseling dan tes HIV (VCT-voluntary counselling and testing) dan terapi HIV bagi orang yang terdeteksi positif HIV dengan treatment memberi obat ARV (antiretroviral). Perkembangan efektifitas program belum memadai meskipun cakupan program meningkat. Banyak aspek penanggulangan yang belum diketahui. Disinilah perlunya penelitian dan riset operasional yang mampu menghasilkan angka ambang yang bermakna sebagai dasar perbaikan dan pengembangan upaya penanggulangan HIV/AIDS. Matematika, khususnya pemodelan matematika telah banyak membantu dalam pemahaman fenomena penyebaran HIV/AIDS.

Banyak peneliti yang mengkaji masalah HIV/AIDS menggunakan model matematika seperti Tripathi et al. (2007) , Safiel et al. (2012), Issa (2010), Marsudi dan Andari (2012) yang mengkaji dampak skrining pada penyebaran infeksi HIV dalam populasi. Dalam tinjauan di atas,

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Kajian dalam makalah ini difokuskan pada analisis sensitivitas dari angka reproduksi efektif dan simulasi numerik (ilustrasi grafik) berdasarkan nilai-nilai parameter dan data epidemiologi dari literatur yang relevan menggunakan alat bantu program Maple dan Matlab.

B. PEMBAHASAN

1. Model HIV dengan Skrining dan Terapi HIV

Model HIV dengan skrining dan terapi HIV dideskripsikan menggunakan model kompartemen di mana secara demografi populasi dibagi menjadi lima subpopulasi: susceptibles atau negatif HIV (S), unaware infectives (I 1 ), screened infectives (I 2 ), treated population (T) dan AIDS population (A). Diasumsikan bahwa: Laju penyebaran adalah proporsional dengan populasi susceptible dan rasio antara anggota-anggota populasi terinfeksi dengan total populasi, unaware infectives dapat bergerak menuju screened infectives dengan laju  , unaware infectives, screened infectives dan treated population

yang bergerak menjadi AIDS population dengan laju masing-masing  1 ,  2 dan  di mana    2   1 , hanya individu-individu screened infectives yang menjadi treated population dan menerima terapi HIV dengan laju  dan unaware infectives, screened infectives dan treated population dapat menginfeksi populasi unaware infectives dengan

laju masing-masing  1 ,  2 dan  3 di mana  3   2   1 . Parameter  adalah laju rekruitmen susceptible,  adalah laju kematian karena penyakit dan  adalah laju kematian alami.

Berdasarkan asumsi di atas, transisi antara kelima subpopulasi dapat disajikan ke dalam model matematika berbentuk sistem persamaan diferensial nonlinear sebagai berikut:

dengan   1 1 1 2 2 2 3 3 dan N  S 1  S 2  I 1  I 2  A 1  A 2 .

2. Analisis Model HIV dengan Skrining dan Terapi HIV

Kepositifan solusi yang menjelaskan solusi nonnegatif untuk setiap t  0 dari sistem (1) ditunjukkan dalam lemma berikut. Lemma 1 Jika S ( 0 )  0 , I 1 ( 0 )  0 , I 2 ( 0 )  0 , T ( 0 )  0 , A ( 0 )  0 , maka solusi dari sistem

(1) adalah positif untuk setiap t  0 .

Titik kesetimbangan sistem (1) diperoleh dari kondisi kesetimbangan dS dI 1 dI 2 dT  dA    

0 dan diperoleh titik kesetimbangan bebas penyakit dt dt

dt

dt dt

3. Angka Reproduksi Efektif

Menggunakan metode matriks generasi berikutnya (Watmough et. al., 2002), angka reproduksi efektif (R ef ) dari sistem (1) adalah radius spektral (nilai eigen terbesar) dari matriks generasi berikutnya

di mana F i adalah laju yang muncul dari infeksi baru dalam kompartemen i karena interaksi antara individu yang terinfeksi dan individu yang tidak terinfeksi, V i  adalah

V laju transfer dari individu-individu yang masuk ke dalam kompartemen i dan  i adalah laju transfer dari individu-individu yang keluar dari kompartemen i.

Misalkan X 

dan  V

i  V i  V. i . Sistem (1) dapat ditulis sebagai

dt Dari sistem (10), F i dan V i didefinisikan sebagai

Derivatif-derivatif dari F i dan V i terhadap I 1 , I 2 , T dan A pada titik kesetimbangan

bebas penyakit E 0   , 0 , 0 , 0 , 0 dan jika N

 , masing-masing adalah

Angka reproduksi efektif sistem (4) adalah

 1 c 1  1 (    2   )(    )  R c FV 2  2  (    )  c 3  3 

ef   ( )  . (7)

Angka reproduksi efektif, R ef menunjukkan rata-rata jumlah infeksi baru yang disebabkan oleh satu individu terinfeksi HIV dalam suatu populasi di mana program skrining dan terapi HIV digunakan sebagai strategi kontrol.

Titik kesetimbangan bebas penyakit E 0   , 0 , 0 , 0 , 0 dari sistem (1) ada untuk

semua nilai   0 . Kestabilan lokal dari titik kesetimbangan dirumuskan menggunakan teorema dari van den Driessche dan Watmough (2002). Teorema 1 Titik kesetimbangan bebas penyakit 0 E dari sistem (1) adalah stabil

asimptotik lokal jika R ef  1 dan tidak stabil jika R ef  1 .

Secara epidemiologi, teorema ini mengimplikasikan bahwa HIV dapat dieliminasi dari populasi jika R ef  1 , artinya jika ukuran subpopulasi awal dari model dengan

program skrining dan terapi HIV diberikan dalam daerah stabil E 0 . Ini berarti, jika R ef  1 , individu yang terinfeksi rata-rata menghasilkan kurang dari satu individu terinfeksi baru pada periode infeksi dan infeksi tidak dapat berkembang. Sebaliknya, jika

R ef  1 , maka setiap individu yang terinfeksi rata-rata menghasilkan lebih dari satu infeksi baru dan penyakit dapat berkembang dalam populasi. Titik kesetimbangan endemik sistem (1) terjadi jika penyakit ada dalam populasi (

I 1  0 ). Menurut Marsudi dan Andari (2012), titik kesetimbangan endemik sistem (1)

* adalah * E  * * *

1 ( S , I 1 , I 2 , T , A ) dengan

Dari uraian di atas, adanya titik kesetimbangan endemik dapat dinyatakan dalam lemma berikut. Lemma 2 Jika * R

ef  1 , terdapat dengan tunggal titik kesetimbangan endemik E dengan koordinat diberikan dalam persamaan (8). Menggunakan Teorema Manifold Pusat (Castillo-Chavez and Song, 2004), kestabilan titik

kesetimbangan endemik dari sistem (1) dapat dirumuskan menggunakan teorema berikut. Teorema 2 Titik kesetimbangan endemik tunggal E 1 sistem (1) adalah stabil asimtotik

lokal jika R ef  1 .

4. Indeks Sensitivitas dari R ef

Analisis sensitivitas dilakukan untuk menemukan parameter-parameter model yang berpengaruh tinggi pada nilai ambang R ef . Oleh karena itu, perlu dihitung indeks sensitifitas dari nilai ambang R ef menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan oleh Chitnis et al. (2008). Indeks sensitivitas menunjukkan ukuran perubahan relatif dari R ef jika suatu parameter berubah. Indeks sensitivitas pada semua parameter yang mempunyai pengaruh tinggi pada R ef dapat dijadikan sasaran untuk diberikan intervensi dalam mengendalikan penyebaran penyakit.

Definisi 1 Indeks sensitivitas normalisasi maju dari variabel u yang bergantung diferensial pada parameter p , didefinisikan sebagai

Jika menggunakan nilai-nilai parameter

 1  0 . 86 ,  2  0 . 15 ,  3  0 . 1 ,   0 . 6 ,   0 . 1 ,   0 . 99 ,  1  0 . 8 ,  2  0 . 01 , c 1  3 , c 2  2 , c 3  1 dan   4 . 000 . 000 , nilai indeks sensitivitas dari

R ef terhadap parameter-parameter model disajikan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Nilai Indeks Sensitivitas dari R ef

No

Parameter

Indeks Sensitivitas

Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa indeks sensitivitas yang bernilai positif adalah parameter-parameter  1 ,  2 ,  3 , c 1 , c 2 dan c 3 . Hal ini menunjukkan bahwa jika salah satu

parameter dari  1 ,  2 ,  3 , c 1 , c 2 dan c 3 . dinaikkan sementara parameter yang lain dibuat konstan akan menaikkan nilai R ef dan akibatnya menaikkan endemisitas penyakit HIV. Sedangkan parameter-parameter  ,  1 ,  2 ,  dan  mempunyai nilai indeks sensitivitas negatif, artinya jika salah satu parameter dari  ,  1 ,  2 ,  dan  dinaikkan sementara parameter lain dibuat konstan akan menurunkan nilai R ef dan akibatnya menurunkan

endemisitas penyakit HIV. Secara herarki dari atas ke bawah, Tabel 2 menunjukkan tingkat sensitivitas dari parameter yang paling sensitif sampai dengan parameter yang kurang sensitif. Parameter yang paling sensitif adalah laju kontak (frekwensi hubungan) dari unaware infectives

dengan suscepribles (  ( c 1 )) . Parameter sensitif lain adalah laju progresi dari unaware infectives ke screened infectives ( diikuti oleh laju progresi dari unaware infectives ke ), AIDS population (  Parameter yang kurang sensitif adalah laju oleh laju progresi dari 1 ).

screened infectives ke AIDS population (  2 ).

5. Simulasi Numerik dan Grafik

Dalam bagian ini diilustrasikan hasil-hasil secara numerik dari sistem (1) menggunakan nilai-nilai parameter yang diperoleh dari referensi dan estimasi seperti yang disajikan dalam Tabel 1. Sistem (1) disimulasikan menggunakan ODE solver (ode45) dalam bahasa pemrograman Matlab. Model disimulasikan untuk berbagai nilai parameter model untuk mengetahui perubahan-perubahan perilaku solusi grafik model pada populasi. Semua grafik yang diplot dengan populasi awal

S ( 0 )  20 . 000 . 000 . 000 , I 1 ( 0 )  2 . 000 . 000 , I 2 ( 0 )  250 . 000 , T ( 0 )  50 . 000 , dan A ( 0 )  20 . 000 . . Grafik dinamika populasi dengan skrining dan terapi HIV ditunjukkan dalam

Gambar 1. Dinamika populasi susceptible turun seiring berjalannya waktu karena infeksi

HIV. Sebelum diberikan intervensi, unaware infectives ( 1 I ) naik dengan bertambahnya waktu dan akhirnya menuju ke titik kesetimbangannya. Demikian juga halnya dengan populasi screened infectives ( 2 I ) dan AIDS population ( A ). Akan tetapi, dinamika treated population (T) naik sejak awal hingga menuju ke titik kesetimbangannya.

W aktu(tahun)

Gambar 1 Dinamika populasi dengan skrining dan terapi HIV

Gambar 1 menunjukkan bahwa dinamika populasi S , I 1 , I 2 , T dan A masing-masing menuju nilai yang konstan artinya dengan intervensi (skrining dan terapi

HIV) penyakit tetap ada dalam poulasi. Dalam hal ini, angka reproduksi efektif lebih besar dari satu (R ef =3.104). Titik kesetimbangan endemik untuk model HIV dengan skrining dan terapi HIV adalah * E

 1 . 682 x 10 , 5 . 868 x 10 , 3 . 201 x 10 , 3 . 171 x 10 , 4 . 005 x 10  .

6. Efek Laju Penyebaran pada Angka Reproduksi

Menurut Diekmann et. al (2000), angka reproduksi dasar R 0 merupakan ekspektasi banyaknya kasus kedua yang dihasilkan dalam populasi susceptibles oleh satu individu infective tertentu.

Jika R 0  1 , sebuah gelombang kecil dari individu infected tidak akan menimbulkan penjangkitan yang besar dan suatu saat penyakit akan hilang. Jika R 0  1 , penyakit akan bertahan dalam populasi. Dengan adanya intervensi skrining dan terapi HIV, dinamika dari model

direpresentasikan oleh kuantitas nilai ambang lain yang dikenal sebagai angka reproduksi efektif R ef . Angka reproduksi efektif R ef menyatakan banyaknya kasus kedua yang ditimbulkan oleh sebuah individu infected dalam populasi di mana intervensi kontrol diberikan.

Gambar 2 menunjukkan hubungan antara angka reproduksi efektif ( R ef ) jika laju kontak susceptible dengan unaware infectives, screened infectives dan treated population

dapat menginfeksi populasi unaware infectives dengan laju masing-masing  1 ,  2 dan  3 . Nampak bahwa jika  1 ,  2 atau  3 naik, maka angka reproduksi efektif juga naik. Dengan demikian, laju kontak dengan populasi terinfeksi mempunyai dampak langsung

pada dinamika penyakit. Nampak bahwa  1 turun jika R ef  1 .

Gambar 2 Hubungan antara angka reproduksi jika  berubah

berikan intervensi, nampak bahwa untuk kasus

1  ef R ef jika 1  turun, ef R juga turun.

Jadi, jika intervensi diberikan pada komunitas, skrining dan terapi HIV harus tetap diupayakan untuk menurunkan penyebaran penyakit atau untuk membasmi penyakit.

7. Dinamika Populasi terhadap Variasi Intervensi

Dari Gambar 3 (a) tampak bahwa jika  naik, proporsi populasi susceptible (S) juga naik. Hal ini juga terjadi pada screened infectives (I 2 ) dan treated population (T) pada Gambar 3(c) dan 3(d). Dari Gambar 3 (b) tampak bahwa proporsi unaware infectives (I 1 )

turun jika  naik. Hal ini juga terjadi pada AIDS population (A) pada Gambar 3(e). Oleh karena itu, program skrining pada unaware infectives harus dipertahankan sebagai strategi intervensi untuk mereduksi infeksi HIV.

Laju Kontak

Waktu(tahun)

Waktu(tahun)

Waktu(tahun)

Waktu(tahun)

(d)

Waktu(tahun)

Gambar 3 Proporsi populasi terhadap laju skrining ( )

Dari Gambar 4 (b), (c) dan (e) tampak bahwa jika laju terapi HIV naik, proporsi populasi unaware infectives, screened infectives, dan AIDS population turun. Akan tetapi,

proporsi susceptibles dan treated population naik jika jika laju terapi HIV naik Gambar 4 (a) dan (d)). Oleh karena itu, terapi HIV pada screened infectives harus dipertahankan

sebagai strategi intervensi untuk mereduksi infeksi HIV.

=0.99 s le b

W ak tu(tahun) 5 6 7 8 9 10 2 0 1 2 3 4 W ak tu(tahun) 5 6 7 8 9 10

0 W ak tu(tahun)

0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 -5

1 2 3 4 W ak tu(tahun) 5 6 7 8 9 10

Wak tu(tahun) 5 6 7 8 9 10

Gambar 4 Proporsi populasi terhadap laju terapi HIV (  )

Gambar 5 dan Gambar 6 masing-masing menunjukkan peranan laju kontak  2 dan  3 dari susceptible dengan unware infectives dan AIDS population. Dari Gambar 5 (a) dan (b) tampak bahwa jika  2  0 (screened infectives tidak melakukan interaksi seksual), proporsi unware infectives turun dan mengakibatkan turunnya AIDS population. Hasil yang sama terjadi dari Gambar 6 jika  3  0 (treated population tidak melakukan Gambar 5 dan Gambar 6 masing-masing menunjukkan peranan laju kontak  2 dan  3 dari susceptible dengan unware infectives dan AIDS population. Dari Gambar 5 (a) dan (b) tampak bahwa jika  2  0 (screened infectives tidak melakukan interaksi seksual), proporsi unware infectives turun dan mengakibatkan turunnya AIDS population. Hasil yang sama terjadi dari Gambar 6 jika  3  0 (treated population tidak melakukan

x 10 2 7 (a)

x 10 5 18 (b)

dengan skrining dan

dengan skrining dan 

16 2 dengan skrining dan =0  2 =0.15

1.8 dengan skrining dan

14 tanpa skrining e v s ti

1.6 tanpa skrining

Waktu(tahun)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu(tahun)

Gambar 5 Proporsi unware infectives dan AIDS population terhadap perubahan  2

9 5 x 10 (a) 15 x 10

(b)

dengan terapi HIV dan

dengan terapi HIV dan  3 =0

tanpa terapi HIV 3 e v s

8 dengan terapi HIV dan

dengan terapi HIV dan  =0.1

tanpa terapi HIV

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu(tahun)

Waktu(tahun)

Gambar 6 Proporsi unware infectives dan AIDS population terhadap perubahan  3

Gambar 7 menunjukkan pengaruh laju progresi dari populasi yang terinfeksi (  1 ,  2 dan  ). Jika laju progresi dari populasi yang terinfeksi naik, proporsi unaware infectives, screened infectives dan AIDS population turun (Gambar 7 (b), (c) dan (e)) sedangkan proporsi susceptible dan treated population naik (Gambar 7 (a) dan (d)). Jadi, jika laju progresi dari populasi yang terinfeksi naik menyebabkan AIDS population turun.

Waktu(tahun)

Waktu(tahun)

10  1 =0.2,  2 =0.01, e =0.001 v ti

Waktu(tahun)

-2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 W aktu(tahun)

W aktu(tahun) 5 6 7 8 9 10 Gambar 7 Proporsi populasi terhadap perubahan  1 ,  2 dan  Gambar 8 menunjukkan pengaruh laju laju kematian karena penyakit ( Jika laju ).

kematian karena penyakit naik, maka proporsi AIDS population turun.

W aktu(tahun)

Gambar 8 Proporsi populasi AIDS terhadap perubahan laju kematian karena penyakit ( )

Gambar 9 menunjukkan pengaruh laju rekruitmen pada susceptibles ( Jika laju ). laju rekruitmen pada susceptibles naik, maka proporsi AIDS population juga naik.

Waktu(tahun) 5 6 7 8 9 10

Gambar 9 Proporsi populasi AIDS terhadap perubahan laju rekruitmen pada susceptible.

C. KESIMPULAN

Sebuah model matematika nonlinear telah digunakan untuk mengkaji secara numerik dampak dari intervensi skrining pada unaware infectives dan terapi HIV pada screened infectives dalam penyebaran infeksi HIV dalam populasi. Secara numerik berdasarkan nilai-nilai parameter dan populasi awal yang diberikan, angka reproduksi efektif sama dengan 3.104 dengan titik

1   1 . 682 x 10 , 5 . 868 x 10 , 3 . 201 x 10 , 3 . 171 x 10 , 4 . 005 x 10  . Dari

7 6 6 7 kesetimbangan endemik 6 E

analisis sensitivitas, parameter yang paling sensitif adalah laju kontak (frekwensi hubungan) dari unaware infectives dengan suscepribles dan parameter yang kurang sensitif adalah laju oleh laju

progresi dari screened infectives ke AIDS population (  2 ).

Dari kajian numerik juga menunjukkan bahwa skrining pada unaware infectives dan terapi HIV pada screened infectives dalam penyebaran infeksi HIV, populasi AIDS dapat direduksi secara signifikan dibandingkan tidak dilakukan skrining dan terapi HIV. Ketidakhadiran skrining dan terapi HIV mengakibatkan populasi AIDS meningkat.

D. DAFTAR PUSTAKA

Anderson RM. 2001. The Role of Mathematical Models in The Study of HIV Transmission and The Epidemiology of AIDS. J. AIDS 1:214-256.

Anonim. 2010. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.

Chavez-Castillo and Song B. 2004. Dynamical Model of Tuberculosis and their Applications. Mathematical Biosciences and Engineering 1(2): 361-404.

Chitnis N., Hyman JM. and Cushing J.M. 2008. Determining Important Parameter in the Spread of Malaria Through the Sensitivity Analysis of Mathematical Model. Department of Public Health and Epidemiology

70: 1272-1296.

Marsudi dan Andari A. 2012. Analisis Kualitatif Model Penyebaran HIV dengan Skrining dan Terapi HIV. Makalah Semnas Matematika UNNES 2013.

Naresh R., Tripath A. and SharmaD. 2009. Modelling the Effect of Risky Sexual Behavior on The Spread of HIV/AIDS, International Journal of Applied Mathematics and Computation 1(3): 132-147.

Safiel R., Massawe ES. And Makinde DO. 2012. Modelling the Effect of Screening and Treatmen on Transmission of HIV/AIDS Infection in a Population. American Journal of Mathematics and Statistics 2012, 2(4): 75-88

Tripath A. Naresh R. and Sharma D. 2007. Modeling the Efect of Screening and Unaware Infective on the Dynamics of HIV Transmission. England Journal of Medicine, Applied Mathematics and computation 184: 1053-1068.

van den Driessche P. and Watmough J. 2002. Reproduction Numbers and Subthreshold Endemic Equilibria for Compartmental Models of Disease Transmission, Mathematical Biosciences 180: 29–48.

T - 17

OPTIMASI BIAYA ANTISIPASI BENCANA ALAM

1 2 Meidina Fitrianti 3 , Amril Aman , Prapto Tri Supriyo

1 Alumnus dari Program Studi Sarjana Matematika, Fakultas Matematika dan IPA Institut

Pertanian Bogor, 3 Dosen Program Studi Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Dosen Program Studi

Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

1 2 meidinaf@yahoo.com, 3 amril.aman@gmail.com, praptotrisupriyo@gmail.com

Abstrak

Upaya antisipasi dalam menghadapi suatu bencana alam sangat penting dilakukan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan apabila bencana alam terjadi. Dalam kaitan ini, salah satu usaha yang harus dilakukan adalah perencanaan sistem logistik bagi pemenuhan kebutuhan bahan pokok dan obat-obatan yang dibutuhkan jika terjadi bencana.

Salah satu hal yang harus dilakukan adalah menentukan lokasi pembangunan depot yang optimal untuk menyimpan logistik serta rute dan frekuensi pengiriman ke daerah bencana dengan biaya minimal. Permasalahan ini dapat dimodelkan sebagai suatu pemrograman linear bilangan bulat. Model ini diimplementasikan untuk kasus di Provinsi Jawa Barat. Dengan model ini dihasilkan lokasi depot-depot optimal serta rute dan frekuensi pengiriman bahan pokok dan obat-obatan dari depot ke lokasi terjadinya bencana.

Kata kunci: antisipasi, bencana alam, optimasi, pemrograman linear bilangan bulat

A. PENDAHULUAN

Bencana alam didefinisikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor (UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1, Ayat 2). Letusan gunung api, gempa bumi, gerakan tanah, dan banjir merupakan bagian dari proses evolusi bumi yang sering menimbulkan bencana bagi manusia. Hampir di seluruh belahan dunia, peristiwa ini telah menyebabkan bencana yang menelan ribuan korban jiwa dan menimbulkan kerugian materi mencapai jutaan dolar tiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, bencana alam hampir sering terjadi setiap tahun. Tingginya frekuensi bencana alam di Indonesia berhubungan erat dengan kondisi geologi, geomorfologi, iklim, dan hidrologinya (Utomo et al. 2003).

Bencana alam sendiri bersifat tidak pasti karena tidak dapat diketahui kapan terjadi, sedang yang mungkin dapat diketahui hanya dimana dan seberapa besar kemungkinan terjadinya bencana alam tersebut. Agar dampak yang ditimbulkan bencana alam terhadap suatu daerah beserta penduduknya dapat diminimalkan, dirasa penting untuk melakukan tindakan pencegahan, seperti kesiapsiagaan (preparedness) dalam menghadapi bencana alam. Salah satu cara yang dilakukan untuk kesiapsiagaan adalah menentukan lokasi gudang atau depot untuk menyimpan logistik bencana. Penentuan lokasi depot merupakan bagian penting dalam perencanaan yang nantinya akan memengaruhi banyak keputusan operasional dan logistik, di antaranya menentukan berapa banyak barang yang harus dikirimkan dari depot itu ke daerah bencana.

Oleh karena itu, penulis mengusulkan untuk membangun model matematika dalam meminimumkan biaya antisipasi bencana alam. Dalam mencapai tujuan tersebut dapat dicapai dengan optimasi penentuan lokasi depot yang dibangun dan penentuan frekuensi pengiriman barang dari depot ke daerah yang mengalami bencana.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

B. PEMBAHASAN

Terjadinya bencana alam akan menyebabkan daerah yang terkena bencana kehilangan sumber-sumber dayanya. Kondisi seperti ini akan menimbulkan permintaan bantuan untuk kebutuhan hidup, seperti makanan dan obat-obatan. Keadaan tersebut mengakibatkan perlunya bantuan dari daerah lain, yaitu daerah sekitar yang tidak terkena bencana. Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah harus menyiapkan kebutuhan tersebut sedini mungkin supaya bantuan dapat segera disalurkan pada saat terjadi bencana.

Oleh karena itu pemerintah perlu merencanakan pembangunan depot sebagai persiapan untuk mengantisipasi jika bencana alam terjadi di wilayahnya. Penentuan lokasi pembangunan depot ditentukan dengan memperhatikan besarnya risiko bencana alam di setiap daerah. Daerah yang memiliki risiko bencana yang besar akan memiliki peluang mengalami kerusakan yang besar juga, sehingga depot akan dibangun di daerah yang mempunyai risiko bencana yang relatif kecil. Selain itu, pembangunan depot juga memperhatikan besarnya biaya pembangunan depot di setiap daerah, besarnya kapasitas depot yang disediakan setiap daerah, jumlah kendaraan yang disediakan di setiap daerah yang nantinya disebut dengan kapasitas pengiriman barang, jarak antardaerah, dan biaya transportasi dari daerah satu ke daerah lain. Di samping ingin dibangun depot juga ingin diketahui banyaknya frekuensi barang yang dikirim ke daerah bencana dengan biaya yang minimum.

Besarnya risiko bencana suatu daerah dapat ditentukan dari riwayat terjadinya bencana alam di daerah tersebut pada suatu periode tertentu. Penentuan lokasi pembangunan depot dipilih di daerah yang memiliki kapasitas depot yang besar sehingga depot yang dibangun dapat seminimal mungkin tetapi dapat memenuhi semua permintaan. Kapasitas depot di setiap daerah mungkin berbeda-beda bergantung pada luas tempat yang disediakan untuk membangun depot itu. Besar biaya transportasi selain dipengaruhi oleh jarak juga dipengaruhi oleh sulit atau tidaknya akses ke daerah tersebut jika daerah tersebut mengalami bencana. Daerah yang memiliki risiko bencana yang tinggi memiliki akses yang sulit dibandingkan dengan daerah yang memiliki risiko bencana yang rendah ketika daerah tersebut dilanda bencana. Oleh karena itu, dalam karya ilmiah ini digunakan bobot biaya pengiriman untuk masalah tersebut. Daerah yang memiliki risiko bencana yang tinggi akan memiliki bobot biaya pengiriman yang tinggi pula.

Masalah optimasi biaya antisipasi bencana alam ini dapat diformulasikan sebagai suatu Integer Linear Programming (ILP). Model di kasus ini menggunakan parameter dan variabel keputusan sebagai berikut.

Indeks

i ,j = indeks untuk menyatakan daerah penempatan depot dan daerah bencana k

= indeks yang menyatakan barang

Parameter

I = himpunan daerah penempatan depot = {1,2,...,n} J = himpunan daerah bencana = {1,2,...,n} K = himpunan jenis barang yang akan didistribusikan = {1,2,...,k} = peluang risiko daerah terhadap bencana = harga satu dus atau kotak barang k (rupiah)

3 = volume satu dus atau kotak barang k (m ) = biaya pembangunan depot di daerah i (rupiah)

= banyaknya permintaan daerah terhadap barang k (dus atau kotak)

3 = kapasitas depot i untuk barang (m ) = kapasitas depot i (m 3 )

= kapasitas pengiriman barang di depot i (m 3 )

= banyaknya barang k yang tersedia di depot i (dus atau kotak) Cost = biaya satu kali pengiriman barang per km (rupiah)

= bobot biaya pengiriman barang dari depot i ke daerah j = jarak dari daerah i ke daerah j (km)

Kap 3 = kapasitas satu kendaraan (m ) M

= konstanta positif yang nilainya relatif besar

Variabel Keputusan

1, jika depot dibangun di daerah

jika selainnya

= frekuensi pengiriman barang k dari depot i ke daerah j

Fungsi Objektif

Fungsi objektif dari masalah ini adalah meminimumkan total nilai harapan biaya yang harus dipersiapkan untuk mengantisipasi bencana alam. Biaya tersebut terdiri atas biaya pembangunan depot, biaya distribusi pengiriman barang, dan biaya pembelian barang yang disiapkan di depot. Minimumkan

Kendala

1. Jika tidak dibangun depot di daerah i maka tidak ada barang k yang dikirim dari daerah i ke daerah j

2. Volume setiap barang k di setiap depot i tidak melebihi kapasitas depot masing-masing untuk barang tersebut

3. Volume semua barang yang ada di setiap depot i tidak melebihi kapasitas depot masing-masing

4. Permintaan daerah j harus terpenuhi dari semua depot i yang memungkinkan melakukan pengiriman ke daerah tersebut

5. Jumlah permintaan semua daerah j tidak melebihi jumlah barang yang tersedia di semua depot i

6. Volume barang k yang dikirim dari depot i tidak melebihi volume barang k yang tersedia di depot tersebut

7. Volume semua barang yang dikirim dari depot i ke daerah j tidak melebihi kapasitas pengiriman barang di depot i

8. Kendala biner dan ketaknegatifan

Studi Kasus dan Penyelesaiannya

Dalam permasalahan ini misalkan diambil wilayah Jawa Barat. Wilayah Jawa Barat terdiri atas 26 kabupaten dan kota. Dalam karya ilmiah ini kabupaten dan kota digabung sehingga menjadi 16 daerah. Selain itu ada beberapa daerah yang disatukan dengan daerah lain, yaitu Kota Cimahi disatukan dengan daerah Bandung, Kota Banjar disatukan dengan Ciamis, dan Kota Depok disatukan dengan Bogor. Supaya lebih jelas, pengelompokan wilayah Jawa Barat dalam karya ilmiah ini dapat dilihat pada Gambar 1. Jika terjadi bencana di suatu daerah maka akan dikirim bantuan dari depot ke daerah tersebut dengan pertimbangan biaya yang paling minimal. Ada tiga jenis barang yang akan didistribusikan, yaitu: 1) mi instan, 2) obat-obatan, dan 3) susu. Biaya satu kali pengangkutan barang adalah Rp10 000/km dan kapasitas kendaraan adalah 33.085

m 3 . Asumsi yang digunakan pada karya ilmiah ini ialah sebagai berikut:

1. Peluang risiko bencana di setiap daerah diketahui.

2. Banyaknya permintaan setiap daerah diketahui.

3. Harga jenis barang yang akan didistribusikan diketahui.

4. Jumlah barang yang tersedia di setiap depot diketahui.

5. Biaya pembangunan depot di setiap daerah diketahui.

6. Hanya digunakan satu jenis kendaraan (homogen).

7. Biaya satu kali pengiriman untuk setiap barang adalah sama.

Gambar 1 Pengelompokan wilayah Jawa Barat untuk studi kasus dalam karya ilmiah ini Keterangan : 1. Kabupaten/Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi

2. Kabupaten Garut

3. Kabupaten/Kota Tasikmalaya

4. Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar

5. Kabupaten Sumedang

6. Kabupaten/Kota Bogor dan Kota Depok

7. Kabupaten/Kota Sukabumi

8. Kabupaten Cianjur

9. Kabupaten/Kota Bekasi

10. Kabupaten Karawang

11. Kabupaten Subang

12. Kabupaten Purwakarta

13. Kabupaten/Kota Cirebon

14. Kabupaten Kuningan

15. Kabupaten Majalengka

16. Kabupaten Indramayu

Volume barang dan harga satu dus atau satu kotak barang dapat dilihat pada Tabel 1. Bobot biaya pengiriman barang dari depot ke daerah dapat dilihat pada Tabel 2. Data besar peluang risiko bencana alam, banyaknya permintaan, dan kapasitas depot dapat dilihat pada Tabel 3. Data kapasitas total depot, barang yang tesedia, biaya pembangunan depot, dan kapasitas pengiriman barang dapat dilihat pada Tabel 4. Jarak antardaerah dapat dilihat pada Tabel 5.

Penyelesaian masalah pada karya ilmiah ini dilakukan dengan bantuan software LINGO

11.0. Sintaks program dan hasil komputasi yang diselesaikan dengan software tersebut dapat dilihat pada Lampiran. Solusi yang diperoleh dari kasus ini ialah solusi optimal dengan total biaya yang harus dipersiapkan sebesar Rp1 002 266 000 000. Pembangunan depot dilaksanakan di 7 daerah yaitu Kab/Kota Tasikmalaya, Kab. Sumedang, Kab/Kota Bekasi, Kab. Subang, Kab. Purwakarta, Kab/Kota Cirebon, dan Kab. Kuningan. Hasil yang diperoleh dari proses komputasi dapat dilihat pada Tabel 6, Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 1 Volume dan harga satu dus atau satu kotak barang Barang

Obat-obatan Susu Volume satu dus/satu kotak ( m )

Mi Instan

0.001 0.024 Harga satu dus (rupiah)

Tabel 2 Bobot biaya pengiriman barang dari depot ke daerah Ke Daerah

Dari Depot

Tabel 3 Besar risiko bencana, banyaknya permintaan, dan kapasitas setiap barang di setiap daerah

Risiko

Kapasitas depot (m 3 )

No. Daerah

bencana

Permintaan (dus)

Mi Instan Obat-obatan Susu 1 Kab/Kota Bandung, Cimahi

alam

Mi Instan

Obat-obatan

Susu

1 190 500 144 2 Kab. Garut

1 700 260 552 3 Kab/Kota Tasikmalaya

20 672 9 600 3 120 4 Kab. Ciamis, Banjar

26 350 12 100 4 560 5 Kab. Sumedang

7 140 3 100 720 6 Kab/Kota Bogor, Depok

510 250 72 7 Kab/Kota Sukabumi

11 900 260 480 8 Kab. Cianjur

30 600 14 100 5 520 9 Kab/Kota Bekasi

850 3 100 720 10 Kab. Karawang

11 Kab. Subang

26 350 12 100 4 560 12 Kab. Purwakarta

21 692 6 400 1 872 13 Kab/Kota Cirebon

23 562 10 600 3 552 14 Kab. Kuningan

3 570 1 600 480 15 Kab. Majalengka

4 862 2 100 576 16 Kab. Indramayu

Tabel 4 Kapasitas total depot, banyaknya barang yang tersedia di depot, biaya pembangunan depot, dan kapasitas pengiriman barang

Biaya Kapasitas No.

Barang yang tersedia (ribu dus atau ribu

Daerah

Kapasitas

(m 3 kotak)

pembangunan pengiriman

depot (juta barang

rupiah) (m 3 ) 1 Kab/Kota Bandung, Cimahi

Mi instan

Obat-obatan

Susu

6 5 000 1753.51 2 Kab. Garut

23 3 000 1985.10 3 Kab/Kota Tasikmalaya

10 000 33085.00 4 Kab. Ciamis, Banjar

10 000 39702.00 5 Kab. Sumedang

30 1 000 10587.20 6 Kab/Kota Bogor, Depok

3 30 000 661.70 7 Kab/Kota Sukabumi

20 5 000 9925.50 8 Kab. Cianjur

20 000 49627.50 9 Kab/Kota Bekasi

30 3 000 4301.05 10 Kab. Karawang

40 2 000 13234.00 11 Kab. Subang

2 000 39702.00 12 Kab. Purwakarta

78 1 000 29445.70 13 Kab/Kota Cirebon

2 000 36393.50 14 Kab. Kuningan

20 1 000 5293.60 15 Kab. Majalengka

24 1 000 6947.85 16 Kab. Indramayu

Tabel 5 Jarak antardaerah (km)

Dari

Ke Daerah

Tabel 6 Frekuensi pengiriman mi instan dari depot ke daerah bencana

Dari

Ke Daerah

Barang Depot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Mi 1 - -

Tabel 7 Frekuensi pengiriman obat-obatan dari depot ke daerah bencana

Barang Dari Depot

Ke Daerah

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Obat-

obatan 1 - -

Tabel 8 Frekuensi pengiriman susu dari depot ke daerah bencana

Dari

Ke Daerah

Barang Depot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Susu 1 - -

- - - - 5 21 -

- - - - 10 -

- - - - 11 56 -

9 - - - - 12 -

- - - - 13 -

24 - 12 19 14 -

- 12 - - 15 -

- - - - 16 -

Gambar 2 Ilustrasi pengiriman barang

Keterangan: : mengirim barang 1,2,3 : mengirim barang 1,2 : mengirim barang 1

C. KESIMPULAN

Masalah penentuan lokasi pembangunan depot dapat diselesaikan dengan formulasi Integer Linear Programming (ILP) yang bertujuan meminimumkan biaya antisipasi bencana alam. Model ini bertujuan menentukan letak pembangunan depot dan frekuensi pengiriman barang dari suatu depot ke daerah bencana dengan biaya seminimal mungkin.

Model ini dapat diselesaikan dengan menggunakan bantuan software LINGO 11.0, sehingga dapat memperoleh biaya yang optimal. Studi kasus di Provinsi Jawa Barat menghasilkan bahwa ada 7 daerah yang merupakan lokasi pembangunan depot yang optimal dengan biaya yang harus dipersiapkan sebesar Rp1 002 266 000 000.

D. DAFTAR PUSTAKA

[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1, Ayat 2. Jakarta (ID): BNPB.

Garfinkel RS, Nemhauser GL. 1972. Integer Programming. New York (US): J Wiley. Nash SG, Sofer A. 1996. Linear and Nonlinear Programming. New York (US):

McGraw-Hill. Utomo EP, Tohari A, Soebowo E, Sudaryanto. 2003. Studi Kebijakan IPTEK, Zona Risiko Bencana Geologi Jawa Barat [laporan akhir]. Bandung (ID): Pusat Penelitian Geoteknologi - LIPI.

Winston WL. 2004. Operations Research:Applications and Algorithms. Ed ke-4. New York (US): Duxbury.

T - 18

BILANGAN PRIMA: BUKTI KESEMPURNAAN AL-QUR’AN

Muhamad Galang Isnawan

Mahasiswa S-2 Pendidikan Matematika, Pascasarjana UNY galangisna@yahoo.com

Abstrak

Bilangan prima adalah bilangan yang sangat unik. Hal ini disebabkan karena bilangan ini tidak bisa dibagi habis oleh bilangan bulat positif yang lain, kecuali 1 dan dirinya sendiri. Artinya, bilangan prima hanya memiliki dua buah faktor yang berbeda, yaitu 1 dan dirinya sendiri. Selanjutnya, bilangan prima disebutkan sebagai dasar dari kehidupan alam semesta. Bahkan, disebutkan pula bahwa bilangan prima adalah bahasa universal yang bisa dimengerti oleh semua mahluk dengan tingkat kecerdasan yang tinggi. Bilangan prima memiliki beberapa manfaat, salah satunya adalah dalam hal menyamarkan pesan atau yang sering disebut kriptografi.

Selain itu, bilangan prima pun memiliki manfaat dalam hal membuktikan kesempurnaan pedoman dari segala pedoman dalam memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, kesempurnaan sumber hukum dari segala sumber hukum dalam semua aspek kehidupan, kesempurnaan kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya dan akan terjaga keasliannya sepanjang masa, yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an secara lughowi diartikan sebagai himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca. Sedangkan secara istilahi, Al-Qur’an diartikan sebagai firman Allah SWT yang menjadi mu’jizat abadi kepada Rasulullah SAW yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia, diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi berikutnya secara mutawatir, dan ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar.

Dari sekian banyak bilangan prima, ada satu bilangan prima yang paling unik dan sangat banyak berkaitan dengan Al-Qur’an, yaitu 19. Hal ini dibuktikan dengan banyak sekali struktur matematis yang ditemukan di dalam Al-Qur’an, terutama yang berhubungan dengan 19, baik yang terkait dengan jumlah surat, banyaknya juz, susunan surat, dan lain sebagainya. Selanjutnya, dengan ditemukan beberapa struktur matematis di dalam Al-Qur’an ini akan membuktikan bahwa Al-Qur’an, bukan hanya sempurna dari sisi bahasa, arti, dan maknanya, melainkan juga dari sisi komposisi matematisnya.

Kata kunci: Bilangan Prima, Al-Qur’an

A. PENDAHULUAN

Matematika adalah salah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang memiliki banyak manfaat di dalam kehidupan. Hampir, tidak ada satu pun di dalam kehidupan ini yang bisa terlepas di dalam matematika, baik yang dekat dengan manusia, maupun yang jauh dengan manusia, baik dari manusia lahir, maupun sampai manusia meninggal, dan bahkan sampai manusia dibangkitkan lagi. Semua hal tersebut, berkaitan dengan matematika, terutama dalam hal bilangan dan operasinya. Artinya, ketika manusia dibangkitkan kembali oleh Allah SWT kelak, maka semua amalan yang telah mereka kerjakan akan diperhitungkan secara teliti. Hal ini diungkapkan di dalam Q.S. Al-Anbiya: 47 yang artinya: “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Matematika sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan memiliki sekian banyak objek bahasan, salah satunya adalah bilangan, khususnya bilangan prima. Bilangan prima adalah salah satu bilangan yang sangat unik. Hal ini disebabkan karena bilangan ini hanya memiliki dua faktor yang berbeda, yaitu 1 dan dirinya sendiri. Contohnya, 2 hanya memiliki dua faktor yang berbeda, yaitu 1 dan 2, 13 hanya memiliki dua faktor yang berbeda, yaitu 1 dan 13, 19 hanya memiliki dua faktor, yaitu 1 dan 19, dan begitupun seterusnya untuk bilangan prima yang lain. Terkait dengan banyaknya anggota himpunan bilangan prima, himpunan bilangan prima sejalan dengan banyaknya anggota himpunan bilangan riil, yaitu tak hingga banyaknya. Selanjutnya, bilangan prima pun disebutkan sebagai bahasa Meskipun, untuk bilangan riil yang semakin besar, banyaknya bilangan ini akan semakin sedikit. Selanjutnya, sejalan dengan matematika, bilangan prima pun memiliki banyak manfaat di dalam kehidupan. Salah satunya adalah dalam bidang kriptografi. Selain itu, Muftie (2004: 13) mengungkapkan bahwa bilangan prima merupakan dasar dari kehidupan alam dan merupakan bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua mahluk berintelegensia tinggi. Artinya, mahluk tersebut menggunakan bilangan prima sebagai bahasa untuk berkomunikasi antarmereka. Bahkan, disebutkan bahwa hal ini merupakan hal yang sangat misterius karena berhubungan dengan perencanaan universal kosmos.

Selain itu, ada hal yang sangat menarik terkait dengan manfaat bilangan prima. Adapun hal tersebut adalah dalam hal membuktikan kesempurnaan Al-Qur’an. Mengapa bilangan prima disebutkan sebagai bukti kesempurnaan Al-Qur’an? Hal inilah yang akan dipaparkan di dalam tulisan ini. Selanjutnya, dengan adanya tulisan ini, diharapkan semua manusia tanpa terkecuali akan semakin paham bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang sempurna. Sempurna, bukan hanya dalam hal bahasa, arti, dan makna, melainkan juga dalam hal komposisi matematisnya.

B. PEMBAHASAN

Bilangan adalah salah satu objek yang dipelajari di dalam matematika. Bilangan terdiri atas berbagai macam berdasarkan atas syarat-syarat yang dimilikinya, salah satunya adalah bilangan prima. Bilangan prima adalah bilangan bulat yang lebih besar dari 1 dan hanya dapat habis dibagi oleh 1 dan dirinya sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa bilangan prima adalah suatu bilangan bulat positif yang lebih besar dari 1 dan memiliki dua faktor yang berbeda, yaitu

1 dan dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, misalkan bilangan itu adalah a, maka bilangan tersebut akan disebut bilangan prima, jika a adalah bilangan bulat yang lebih besar dari satu dan memiliki dua faktor yang berbeda, yaitu 1 dan a. Contohnya, 17 adalah bilangan prima karena

17 > 1 dan hanya memiliki dua faktor, yaitu 1 dan 17. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mencari suatu bilangan prima adalah saringan Erastosthenes. Contoh, misalkan yang diminta adalah mencari bilangan-bilangan prima yang lebih kecil dari 100. Adapun langkah- langkah dalam menggunakan saringan ini adalah: (a) menentukan bilangan-bilangan prima yang lebih kecil dari √ 100 , yaitu 2, 3, 5, dan 7, (b) mendaftar semua bilangan-bilangan bulat dari 1 sampai dengan 100, (c) memberikan tanda-tanda yang berbeda pada bilangan bulat yang sudah didaftar yang merupakan kelipatan bilangan prima yang sudah ditentukan, usahakan tanda yang digunakan berbeda untuk setiap bilangan berbeda, berikan tanda juga pada 1, (d) mendaftar bilangan-bilangan yang belum diberikan tanda, bilangan yang belum diberikan tanda inilah yang merupakan bilangan prima (Rosen, 2011: 70-72; Jurnal Muslim, 2012: 1).

Bilangan prima di dalam aplikasinya memiliki beberapa manfaat antara lain: dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menyamarkan pesan atau kriptografi. Bahkan, kriptografi dewasa ini sudah mampu dikembangkan dalam hal tanda tangan digital. Dengan adanya tanda tangan ini pemalsuan dokumen secara elektronik sangat sulit untuk dilakukan (Siang, 2002: 13). Selain itu, bilangan prima pun memiliki manfaat dalam hal menunjukkan kesempurnaan Al- Qur’an. Akan tetapi, sebelum mengungkapkan perihal hal tersebut, akan disajikan terlebih dahulu perihal Al-Qur’an.

Gunawan (2009: 1-2) menyimpulkan dari beberapa pendapat ulama bahwa Al-Qur’an secara etimologis atau lughowi berasal dari akar kata qoro’a. Qoro’a menurut sebagai besar ulama diartikan sebagai tilawah atau membaca. Selain itu, disebutkan juga bahwa qoro’a bisa diartikan sebagai menghimpun dan menyatukan. Pada dasarnya, Al-Qur’an terdiri atas himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang menjadi satu ayat, himpunan ayat-ayat yang menjadi satu surat, dan dan himpunan surat-surat yang menjadi satu mushaf Al-Qur’an. Berdasarkan atas hal ini, maka Al-Qur’an secara etimologis dapat diartikan sebagai himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca. Sedangkan secara istilaahi, Al-Qur’an diartikan sebagai Firman Allah SWT yang menjadi mukjizat abadi kepada Rasulullah SAW yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia. Selain itu, ditambahkan pula bahwa Al-Quran diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar.

Selanjutnya, Sudrajat (2001: 9) pun menyimpulkan bahwa “Al-Quran adalah kumpulan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.” Berdasarkan atas hal ini, maka Al-Qur’an merupakan suatu mukjizat terbesar yang berisikan kumpulan wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk dijadikan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Petunjuk ini kemudian merujuk pada petunjuk agar semua umat manusia tanpa terkecuali akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Artinya, ketika umat manusia ingin mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia, maupun di akhirat, maka umat manusia haruslah perlandaskan atas Al-Qur’an di dalam kehidupannya. Umat manusia yang diartikan dalam hal ini adalah seluruh umat manusia, apapun warna kulitnya, dimana pun daerahnya, apapun bahasanya, dan lain sebagainya, mulai dari zaman Rasulullah SAW sampai dengan akhir zaman. Selain itu, mempelajari Al-Qur’an adalah bersifat ibadah dan bernilai pahal yang sangat besar. Bahkan, dalam salah satu hadis riwayat Imam Al-Bukhari (Nawawi dalam Tarbiyyah, tth: 12) yang artinya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Wahyu pertama turun ketika Rasulullah SAW berusia empat puluh tahun pada tanggal 17 Ramadhan di Gua Hira. Selanjutnya, wahyu berikutnya turun tiga tahun setelah turunnya wahyu pertama. Urutan-urutan surat di dalam Al-Qur’an, tidaklah berdasarkan turunnya surat tersebut, melainkan berdasarkan petunjuk Allah SWT kepada Rasulullah SAW. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur (22 tahun, 2 bulan, 22 hari) dan diturunkan di dua tempat, yaitu Mekah dan Madinah. Hal inilah yang kemudian membagi ayat Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah. Adapun periodesasinya adalah sebagai berikut: (a) Mekah I (4-5 tahun), pada masa ini dakwah islam masih dalam ruang lingkup yang kecil, ayat-ayat yang turun pada masa ini adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan pelajaran bagi Rasulullah SAW dalam membentuk kepribadian, pengetahuan dasar tentang sifat-sifat Allah SWT, dan keterangan tentang dasar-dasar akhlak islamiyah dan bantahan tentang pandangan hidup masyarakat jahiliyah pada saat itu; (b) Mekah II (8-9 tahun), pada masa ini dakwah islam mulai terbuka dan mengakibatkan adanya pertentangan dari penduduk Mekah, ayat-ayat yang turun pada umumnya berkaitan dengan kewajiban principal penganutnya, kecaman dan ancaman kepada kaum musyrikin yang berpaling dari kebenaran, dan pendapat tentang ke-Esa-an Tuhan (Allah SWT) dan kepastian hari kiamat; dan (c) Madinah (10 tahun), masyarakat islam mulai terbentuk di Madinah setelah Rasulullah SAW hijrah dari Mekah, warga Yahudi di Madinah pada masa ini menghalang-halangi dakwah Rasulullah SAW meskipun mereka hidup berdampingan dengan kaum muslimin.

Oleh karena Rasulullah SAW tidak bisa membaca dan menulis, Beliau langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabat untuk kemudian para sahabat menghafalkan wahyu tersebut dengan bimbingan dari Rasulullah SAW. Para sahabat yang bias membaca dan menulis, selain diminta menghafal, mereka diminta untuk menuliskan wahyu tersebut di kayu, kulit, batu, kain, dan lain sebagainya. Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, Malaikat Jibril mengulang hafalan Al-Qur’an bersama Rasulullah SAW setiap tahun, bahkan pada tahun terakhir menjelang wafatnya Rasulullah SAW, Malaikat Jibril mengulang hafalan tersebut sebanyak dua kali. Kodifikasi Al-Qur’an pertama kali dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Hal ini didasarkan atas usulan Umar bin Khaththab dengan alasan banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang mati syahid pada perang Yamamah. Kodifikasi dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dengan mengumpulkan semua tulisan-tulisan ayat Al-Qur’an yang terdapat di kayu, kulit, batu, kain, dan lain sebagainya. Hal ini adalah kodifikasi lengkap pertama Al-Qur’an. Hasil kodifikasi ini kemudian disimpan oleh Abu Bakar, dilanjutkan oleh Umar RA sampai wafat (ketika Abu Bakar sudah wafat), dan lalu disimpan oleh Hafsah yang merupakan salah satu istri Rasulullah SAW yang juga merupakan anak kandung Umar RA (Sudrajat, 2001: 2-3; Shihab, 1996: 9).

Selanjutnya, bilangan prima dan Al-Qur’an memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal ini disebabkan karena ditemukan ratusan struktur matematis yang berkaitan dengan bilangan prima. Dan bilangan prima yang paling berkaitan adalah 19. Berikut akan diberikan beberapa struktur matematis Al-Qur’an yang berkaitan dengan bilangan prima ‘19’ (Muftie, 2004: 18-22).

1. Struktur Pertama

Struktur pertama ini berhubungan dengan jumlah surat dan banyaknya juz di dalam Al-Qur’an. Seperti yang diketahui bahwa jumlah surat di dalam Al-Qur’an adalah 114. Bilangan ini adalah bilangan yang sangat ajaib. Hal ini disebabkan karena bilangan prima yang ke-114 adalah 619 dan 619 = 6 x 19. Selanjutnya, terkait dengan banyaknya juz, Al- Qur’an terdiri atas 30 juz. Dan seperti yang diketahui bilangan komposit yang ke-19 adalah

2. Struktur Kedua

Struktur kedua berkaitan dengan di dalam Al-Qur’an ditemukan kode-kode tertentu sebagai pengawasan paritas sehingga isi yang diterima diyakini asli oleh pembaca dan tidak berubah. Al-Qur’an terstruktur dalam bentuk 6 x (10 + 9). Artinya, 60 surat dengan nomor ayat-ayat yang genap dan 54 surat dengan nomor ayat-ayat yang ganjil. Selain itu, jumlah ke-60 surat dengan ayat-ayat genap adalah 3450 (345 x 10) dan jumlah nomor surat ke-54 dengan ayat-ayat ganjil adalah 3150 (345 x 9). Total jumlah nomor surat adalah 6555 (345 x 19). Dan ajaibnya lagi penjumlahan 114 bilangan bulat positif pertama adalah 6555. Hal ini pun mengindikasikan bahwa urutan ayat-ayat Al-Qur’an tidak boleh bertukar. Dan jika hal tersebut terjadi, maka aturan di atas tidak berlaku.

3. Struktur Ketiga

Struktur ketiga mengungkapkan bahwa di dalam Al-Qur’an ditemukan adanya parity check yang berkaitan dengan pembagian nomor surat dengan jumlah ayatnya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Al-Qur’an pada dasarnya terdiri atas dua susunan, yaitu:

a. Surat homogen Surat homogen artinya surat yang nomor suratnya sama dengan jumlah ayat yang dikandungnya. Artinya, jika nomor suratnya ganjil, maka jumlah ayat yang dikandungnya adalah ganjil, dan begitupun sebaliknya. Terkait dengan surat homogen ini, jumlah nomor surat dan jumlah ayat yang dikandungnya sama dengan 6236 yang mana 6236 merupakan jumlah ayat Al-Qur’an seluruhnya.

b. Surat heterogen

Surat heterogen artinya surat yang nomor suratnya berlawanan dengan jumlah ayat yang dikandungnya.. Artinya, jika nomor suratnya ganjil, maka jumlah ayat yang dikandungnya adalah genap. Terkait dengan surat heterogen ini, jumlah nomor surat dan jumlah ayatnya adalah 6555 yang mana 6555 merupakn jumlah nomor surat 1 sampai dengan 114.

Selanjutnya, bila kedua kelompok surat ini dijumlahkan akan menghasilkan bilangan prima, yaitu 12791 yang merupakan bilangan prima ke-1525.

4. Struktur Keempat

Struktur ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an sempurna dan simetri. Surat di dalam Al- Qur’an terbagi menjadi 3 partisi simetris, yaitu (a) partisi kiri merupakan surat Al-Qur’an yang dapat dibagi oleh 2, jumlah surat ini adalah 2166 sama dengan 19 x 144, (b) partisi tengah merupakan suarat Al-Qur’an yang dapat dibagi oleh 3, jumlah surat ini adalah 2223 sama dengan 19 x 117, dan (C) partisi kanan merupakan surat Al-Qur’an yang tidak dapat dibagi oleh 2 dan 3, jumlah surat ini adalah 2166 sama dengan 19 x 114.

5. Struktur Kelima

Struktur kelima menunjukkan bahwa tepat ada 19 surat yang jumlah nomor surat dan nomor ayatnya adalah suatu bilangan prima. Untuk lebih jelasnya, perhatikan table di bawah.

6. Struktur Keenam

Struktur keenam menunjukkan bahwa jumlah 19 surat pertama dari ayat-ayat bilangan prima adalah kelipatan 19. Untuk lebih jelasnya, perhatikan table di bawah.

7. Struktur Ketujuh

Selain terbagi ke dalam surat-surat homogen dan heterogen, Al-Qur’an juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu (a) 29 surat adalah surat fawatih, 29 merupakan bilangan prima yang ke-10 dan (b) 85 surat lainnya adalah surat yang bukan fawatih, 85 memiliki faktor prima 5 dan 17, 5 berhubungan dengan banyaknya waktu shalat dan 17 berhubungan dengan banyaknya rakaat shalat dalam satu hari.

Selanjutnya, terkait dengan 29 surat fawatih ini, terdapat beberapa struktur yang terpenuhi, yaitu (a) 19 surat yang mana kombinasinya membentuk satu ayat, berarti 10 sisanya termasuk dalam satu ayat dalam kombinasinya dengan kata yang lain, (b) 19 surat yang mana nomor suratnya bukan bilangan prima, berarti 10 sisanya bernomor prima, dan (c) surat ke-19 adalah surat Maryam yang merupakan surat ke-10 dari 29 surat ini. Untuk lebih jelasnya, perhatikan table di bawah.

Selain struktur-struktur di atas, masih terdapat banyak lagi struktur dan keajaiban lain dari Al-Qur’an dan dalam hubungannya dengan perhitungan secara teliti. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an, bukan hanya sempurna dalam hal bahasa, arti, dan makna, melainkan juga dalam hal komposisi matematis atau struktur matematis yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan atas hal ini, apakah mungkin Rasulullah SAW yang membuat Al-Qur’an yang penuh dengan kesempurnaan ini? Jawabannya adalah tidak. Pembuatnya adalah Sang Pencipta, Allah SWT yang Maha Sempurna. Semoga dengan adanya hal ini akan menambah keimanan semua yang membaca dan menjadi pelajaran bagi mereka yang belum memiliki keimanan. Amin. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an adalah agama yang diridhai di sisi Allah SWT (Q. S. Ali Imron ayat 19).

C. SIMPULAN

Bilangan prima adalah salah satu objek yang dipelajari di dalam matematika. Bilangan ini merupakan bilangan bulat positif yang unik. Hal ini disebabkan karena faktor yang dimilikinya adalah dua faktor yang berbeda, yaitu 1 dan dirinya sendiri. Selanjutnya, keunikannya ini sering dimanfaatkan di dalam berbagai hal, salah satunya dalam hal membuktikan kesempurnaan Al- Qur’an. Disebut mampu membuktikan kesempurnaan Al-Qur’an karena terdapat beberapa struktur matematis yang terkandung di dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan bilangan prima, terutama bilangan prima 19.

D. DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, P. M. 2009. Pengertian Al-Qur’an. Mas Gun Centre. Diambil pada tanggal 25 Oktober

http://masgunku.files.wordpress.com/2009/03/pengertian-al- quran.pdf.

dari

Keindahan struktur matematis surat yasin. (2012, Februari). Jurnal Muslim, 1, 1-16.

Muftie, A. 2004. Matematika alam semesta: Kodetifikasi bilangan prima dalam Al-Qur’an. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Shihab, M. Q. 1996. Membumikan Al-Qur’an: Peran dan fungsi wahyu dalam kehidupan masyarakat . Bandung: Penerbit Mizan.

Siang, J. J. 2002. Bilangan prima: Perkembangan dan aplikasinya. Integral, 7, 1, 1-13.

Sudrajat, I. 2001. Memahami Al-Qur’an: Perspektif sejarahnya. Dibawakan pada acara Pengajian Usrah Portland di kediaman Keluarga Rustam Kocher, Aloha, OR. Diambil pada

2013, dari http://www.freewebs.com/usrah/understandingquran.pdf.

tanggal

25 Oktober

Tarbiyyah, S. tth. Keutamaan membaca dan mengkaji Al-Qur’an. Konsis Media.

T - 19

PENYELESAIAN VEHICLE ROUTING PROBLEM DENGAN PENDEKATAN GOAL PROGRAMMING

1 Muhammad Manaqib 2 , Eminugroho Ratna Sari

1 Mahasiswa S2 Matematika UGM, 2 Program Studi Matematika UNY

1 aqib.mana48@gmail.com, 2 eminugroho@uny.ac.id

Abstrak

Penentuan rute distribusi pada kenyataannya tidak hanya sebatas meminimumkan jarak, melainkan terdapat beberapa tujuan yang lain, seperti meminimumkan biaya, memaksimalkan pelanggan yang dilayani, meminimumkan waktu distribusi, dan memaksimalkan kapasitas angkut kendaraan. Masalah penentuan rute yang melibatkan beberapa tujuan, dalam matematika dikenal sebagai vehicle routing problem dengan tujuan ganda. Goal programming merupakan salah satu teknik penyelesaian model dengan fungsi tujuan ganda (multi objectives) dan membantu menemukan solusi optimal dari beberapa tujuan yang saling bertentangan. Tujuan goal programming adalah meminimumkan total simpangan semua tujuan. Berdasarkan hal tersebut, goal programming akan diterapkan untuk menyelesaikan vehicle routing problem dengan tujuan ganda untuk optimisasi rute distribusi LPG. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh model matematika vehicle routing problem yang diselesaikan dengan pendekatan goal programming. Selanjutnya, dari model yang diperoleh diterapkan untuk rute distribusi LPG di PT. NBA Yogyakarta. Penyelesaian dengan LINGO diperoleh 20 rute distribusi LPG untuk PT. NBA Yogyakarta.

Kata kunci: vehicle routing problem, goal programming, rute distribusi, LPG

A. PENDAHULUAN

Masalah penentuan rute kendaraan merupakan salah satu aspek penting untuk diperhatikan dalam kegiatan distribusi. Permasalahan penentuan rute kendaraan dari suatu sumber (depot) menuju ke beberapa tempat dalam matematika dikenal dengan Vehicle Routing Problem (VRP). VRP merupakan masalah penentuan rute optimal kendaraan yang berawal dan berakhir di depot, sedemikian sehingga kebutuhan semua pelanggan dapat terpenuhi (Patricia Belfiore: 2008).

Kenyataanya dalam masalah kehidupan sehari – hari, optimisasi rute kendaraan tidak sebatas bertujuan mengoptimalkan jarak atau biaya saja. Misalkan dalam distribusi Liquified Petroleum Gas (LPG) oleh agen, rute yang dibentuk diharapkan dapat mengoptimalkan biaya distribusinya, banyaknya konsumen yang dapat dilayani, waktu distribusi, serta mengoptimalkan kapasitas angkut kendaraan. Masalah penentuan rute yang melibatkan beberapa tujuan, dalam matematika dikenal sebagai masalah vehicle routing problem dengan tujuan ganda.

Salah satu metode penyelesaian masalah dengan tujuan ganda adalah goal programming. Goal programming mampu menyelesaiakan masalah dengan tujuan ganda/lebih dari satu (multi objectives) dan mampu mencari titik temu dari beberapa tujuan yang saling bertentangan. Pendekatan dasar dari goal programming adalah setiap tujuan dinyatakan dengan angka tertentu, merumuskan suatu fungsi, kemudian mencari penyelesaian dengan meminimumkan jumlah penyimpangan-penyimpangan dari fungsi tujuan (Hillier dan Lieberman, 2000: 332). Berdasarkan keadaan tersebut, maka goal programming dapat digunakan untuk menyelesaikan VRP dengan tujuan ganda.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Penyelesaian VRP dengan pendekatan goal programming dalam penelitian ini akan diterapkan untuk penentuan rute kendaraan distribusi Liquified Petroleum Gas (LPG) di agen LPG 3kg PT. NBA Yogyakarta. Dipilih PT. NBA karena melayani pangkalan yang terbanyak pada Rayon Kota Yogyakarta serta memiliki alokasi yang cukup besar. Selanjutnya, penyelesaian goal programming akan dilakukan dengan bantuan program komputer LINGO. Beberapa tujuan yang dirumuskan dalam goal programming ini meliputi meminimumkan biaya distribusi, memaksimumkan banyaknya agen yang dilayani, meminimumkan total waktu distribusi, dan memaksimalkan kapasitas angkut kendaraan.

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah membentuk model matematika vehicle routing problem yang diselesaikan dengan goal programming, membuat model matematika masalah optimisasi rute distribusi LPG di PT. NBA Yogyakarta, mencari solusi optimal rute distribusi LPG 3kg di PT. NBA Yogyakarta.

Salah satu manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukkan agen LPG dalam menentukan rute distribusi LPG.

Vehicle Routing Problem (VRP)

VRP adalah permasalahan optimisasi yang menekankan pada bagaimana menentukan rute – rute kendaraan yang digunakan untuk melayani sejumlah pelanggan (Bruce Golden, dkk., 2007:3). Pelanggan tersebut tersebar secara geografis dan memiliki jarak yang berbeda – beda. Selanjutnya akan disusun rute kunjungan kendaraan yang berawal dari depot dan berakhir ke depot kembali. Tujuannya adalah untuk meminimumkan jarak tempuh kendaraan ataupun biaya pejalanan.

Salah satu jenis VRP adalah Capacitated Vehicle Routing Problem (CVRP). CVRP mengeliminasi asumsi bahwa hanya terdapat kendaraan tunggal, melainkan digunakan ( > 1) kendaraan. Setiap kendaraan memiliki keterbatasan kapasitas angkut, sehingga kapasitas tersebut akan dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Menurut Braysy & Gendreau (2005) konsep dasar dari CVRP adalah sebagi berikut,

a. setiap kendaraan berangkat dari depot dan berakhir di depot setelah mengunjungi beberapa pelanggan,

b. sebuah rute dibentuk dari sebuah depot dan pelanggan - pelanggan yang dikunjungi pada rute tersebut,

c. dengan asumsi bahwa banyaknya kendaraan sama dengan banyaknya rute, maka setiap pelanggan hanya dikunjungi oleh satu kendaraan,

d. setiap pelanggan memperoleh alokasi sebesar , ( = 1,2, …, ) dan kapasitas maksimal kendaraan sebesar

e. solusi dari CVRP adalah sekumpulan rute dimana alokasi pelanggan tiap rute tidak melebihi .

Goal Programming

Terdapat tiga unsur utama dalam goal programming yaitu fungsi tujuan, kendala non negatif, dan kendala – kendala tujuan. Selain ketiga unsur utama tersebut ada unsur tambahan yang belum tentu ada yaitu kendala struktural (Kiki Winarti, 2009).

1. Fungsi Tujuan Fungsi tujuan dalam goal programming pada umumnya adalah masalah minimalisasi, karena dalam fungsi tujuan terdapat variabel simpangan yang harus dimimimumkan. Fungsi tujuan dalam goal programming adalah meminimumkan total penyimpangan atau variabel simpangan.Terdapat tiga jenis fungsi tujuan dalam goal programming, jika merupakan fungsi tujuan maka,

a. meminimumkan = ( + ), a. meminimumkan = ( + ),

b. meminimumkan

fungsi tujuan kedua digunakan jika fungsi tujuan dalam suatu masalah dibedakan menurut prioritas urutan, tetapi variabel deviasi di dalam setiap tingkat prioritas memiliki kepentingan yang sama,

c. meminimumkan

fungsi tujuan ketiga digunakan jika fungsi tujuan dalam suatu masalah dibedakan dengan diberi bobot .

2. Kendala Non Negatif Semua variabel – variabel dalam goal programming bernilai positif atau sama dengan nol. Jadi, variabel keputusan dan variabel deviasi dalam masalah goal programming bernilai positif atau sama dengan nol. Pernyataan non negatif dilambangkan , , ≥ 0 .

3. Kendala Tujuan Kendala tujuan merupakan kendala yang berhubungan langsung dengan tujuan. Hal tersebut dinyatakan dengan variabel simpangan yang terdapat pada kendala tujuan. Bentuk umum kendala tujuan sebagai berikut,

dengan dan adalah variabel simpangan yang berfungsi menampung simpangan yang ada di ruas kiri agar sama dengan ruas kanan.

4. Kendala Struktural Unsur keempat yang terdapat dalam goal programming adalah kendala struktural. Kendala struktural adalah kendala – kendala lingkungan yang secara tidak langsung mempengaruhi tujuan masalah – masalah yang ada. Kendala struktural tidak mengandung variabel simpangan karena tidak terdapat dalam fungsi tujuan.

B. PEMBAHASAN Model Matematika VRP dengan Pendekatan Goal Programming

Model metematika matematika VRP dengan pendekatan goal programming dalam penelitian ini mengembangkan model matematika dari Fariborz Jolai dan Mehdi Aghdaghi (2008).

Beberapa tujuan yang dirumuskan dalam model VRP dengan pendekatan goal grogramming ini, meliputi

1) meminimumkan biaya total perjalanan,

2) memaksimumkan banyaknya pelanggan yang dilayani,

3) meminimumkan total waktu distribusi,

4) memaksimalkan kapasitas angkut kendaraan. Rute yang diperoleh harus memenuhi beberapa persyaratan atau kendala yang ada. Berikut dijelaskan beberapa syarat tersebut.

1) Setiap pelanggan hanya dapat dikunjungi tepat satu kali Jika suatu pelanggan dapat terlayani maka terdapat perjalanan mengunjungi pelanggan tersebut pada salah satu rute.

2) Setiap rute perjalanan kendaraan berawal dan berakhir di depot

Jika setiap rute perjalanan kendaraan berawal dari depot maka terdapat perjalanan meninggalkan depot pada setiap rute. Jika setiap rute perjalanan kendaraan berakhir di depot maka terdapat perjalanan menuju depot pada setiap rute.

3) Kekontinuan rute Jika suatu kendaraan yang mengunjungi pelanggan maka setelah melayani akan meninggalkan pelanggan tersebut.

4) Tidak terdapat subtour pada rute yang dibentuk Rute yang dibentuk adalah rute tunggal yang berawal dan berakhir di depot dan tidak terdapat subtour . Hal tersebut dapat dijamin dengan waktu mulai pelayanan pelanggan. Jika terdapat perjalanan dari pelanggan i ke j maka waktu mulai palayanan pelanggan i kurang dari waktu selesai pelayanan pelanggan i ditambah waktu perjalanan dari pelanggan i ke j.

5) Total biaya perjalanan tidak melebihi biaya maksimal yang ditetapkan. Total biaya perjalanan diperoleh dengan menjumlahkan biaya perjalanan disetiap rute.

6) Total waktu distribusi tidak melebihi waktu maksimal yang ditetapkan. Total waktu distribusi diperoleh dengan menjumlahkan waktu distribusi disetiap rute. Beberapa asumsi yang digunakan dalam model ini adalah jumlah permintaan konstan, selalu tersedia kendaraan angkut, dan pelanggan dapat dikunjungi satu kali dalam periode waktu yang ditentukan (hari/minggu).

Berdasarkan rumusan maslah tersebut dibuat model VRP dengan pendekatan goal programming adalah sebagai berikut. Didefinisikan

= {1,2, …, } adalah himpunan pelanggan, ′ = {0,1,2, …, , + 1} merupakan himpunan yang anggotanya adalah himpunan ditambah simpul 0 , dan simpul 80 , dengan simpul 0 mempresentasikan depot dan 80 adalah copy dari depot atau depot semu dari depot 0, = {( , ) : , ∈′ } = kebutuhan pelanggan , = waktu pelayanan pelanggan ,

= waktu perjalanan dari ke , = biaya perjalanan dari ke ,

= kapasitas kendaraan angkut, = {1,2, …, } adalah himpunan rute rendaraan,.

= total waktu distribusi pada rute = total biaya perjalanan rute = biaya perjalanan maksimal yang ditetapkan,

= waktu perjalanan maksimal yang ditetapkan. Selanjutnya didefinisikan variabel keputusan

1, terdapat

per jalanan i ke j pada r ute

0, tidak ada per jalanan i ke j pada r ute

1, i dikunjungi

pada r ute

0, i tidak dikunjungi pada r ute

= waktu mulai pelayanan i pada rute . Berikut model matematika VRP dengan pendekatan goal programming.

1. Fungsi Tujuan Meminimumkan

2. Kendala Tujuan

a. Meminimumkan biaya perjalanan −

dengan

b. Memaksimalkan pangkalan yang dilayani +

c. Meminimumkan waktu distribusi −

d. Memaksimalkan kapasitas angkut kendaraan +

3. Kendala Struktural

a. Setiap pelanggan hanya dapat dikunjungi tepat satu kali =

b. Setiap rute perjalanan kendaraan berawal dan berakhir di depot =1 ,

c. Kekontinuan rute −

d. Tidak terdapat subrute pada rute yang dibentuk + +

e. Total biaya perjalanan tidak melebihi biaya maksimal yang ditatapkan ≤

f. Total waktu distribusi tidak melebihi waktu maksimal yang ditetapkan. ≤

Optimisasi Rute Distribusi LPG di PT. NBA Yogyakarta

1. Perumusan Masalah PT. NBA Yogyakarta adalah salah satu agen LPG 3kg pada Rayon Pemasaran Kota Yogyakarta. PT. NBA melayani 76 pangkalan LPG 3kg yang tersebar di 12 kecamatan di wilayah Kota Yogyakarta. Setiap pangkalan memiliki alokasi masing – masing yang ditetapkan oleh agen dan PT. Pertamina. PT. NBA bertugas mendistribusikan LPG 3kg ke pangkalan sesuai alokasi perminggunya. Setiap pangkalan seharusnya dikunjungi setiap minggunya untuk dipenuhi kebutuhannya. Akan tetapi, agen memiliki keterbatasan waktu kerja kendaraan, biaya distribusi, serta jumlah dan kapasitas kendaraan, sehingga kebutuhan pangkalan perminggunya kadang tidak terpenuhi.

PT. NBA memiliki tiga buah kendaraan angkut yang masing-masing memiliki kapasitas angkut 560 tabung LPG 3kg. Setiap kendaran memiliki daerah kerja masing – masing.

Kendaraan pertama melayani pangkalan wilayah Kota Yogyakarta bagian barat, meliputi kecamatan Tegalrejo, Jetis, Gedong Tengen, dan Ngampilan. Kendaraan kedua melayani pangkalan wilayah Kota Yogyakarta bagian Timur, meliputi kecamatan Gondokusuman, Danurejan, dan Pakualaman. Kendaraan ketiga melayani pangkalan wilayah Kota Yogyakarta bagian selatan, meliputi kecamatan Kraton, Mantrijeron, Mergangsan, kota Gede, dan Umbuhharjo. Setiap kendaraan memiliki jam kerja perminggunya 30 jam, biaya distribusi maksimal yang ditetapkan agen Rp. 60.000,00 perminggu.

Penyelesaian masalah tersebut dapat dilakukan dengan pengoptimalan rute yang digunakan. Rute yang diperoleh diharapkan dapat meminimumkan biaya perjalanannya, pangkalan yang dilayani maksimal, total waktu distribusi minimal, dan kapasitas angkut kendaraan dapat dimaksimalkan. Yang dimaksud biaya distribusi adalah biaya bahan bakar yang diperlukan untuk mendistribusikan LPG. Waktu distribusi adalah waktu yang diperlukan untuk melayani sejumlah pangkalan yaitu terdiri dari waktu perjalanan antar pangkalan dan waktu bongkar muat di pangkalan. Rute yang diperoleh juga harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut:

1) Setiap pelanggan hanya dapat dikunjungi tepat satu kali

2) Setiap rute perjalanan kendaraan berawal dan

3) Kekontinuan rute

4) Tidak terdapat subtour pada rute yang

5) Total biaya perjalanan tidak melebihi Rp. 60.000,00.

6) Total waktu distribusi tidak melebihi 30 jam.

2. Pengumpulan Data

a. Nama, alamat, dan Jumlah alokasi LPG 3kg pangkalan PT. NBA diperoleh dari PT. Pertamina. Selanjutnya, setiap pangkalan akan disimbolkan dengan angka. Berdasarkan model matematika yang telah dibentuk sebelumya depot disimbolkan dengan angka 0 dan

+1 . Terdapat beberapa pangkalan yang alokasi per minggunya lebih dari kapasitas angkut kendaraan distribusi yaitu 560 tabung, sedangkan model dalam penelitian ini memberi persyaratan kebutuhan tiap pangkalan kurang dari kapasitas angkut kandaraan. Hal tersebut dapat diatasi dengan disimbolkan dengan dua angka yang berbeda, simbol pertama dengan alokasi 560 dan alikasi simbol kedua adalah alokasi pangkalan tersebut dikurangi 560. Daftar pangkalan dan simbolnya dapat dilihat pada Lampiran.

b. Jarak antarpangkalan dan waktu perjalanan diperoleh dengan bantuan Google Map dan dipilih jarak yang terdekat.

c. Waktu pelayanan adalah waktu bongkar LPG di pangkalan tersebut. Digunakan perhitungan bahwa dua oarang pekerja dapat membongkar 90 tabung dalam waktu 30 menit.

d. Biaya perjalanan adalah biaya bahan bakar yang diperlukan untuk menempuh suatu jarak. Digunakan perhitungan bahwa satu liter bensin dapat digunakan untuk menempuh 14km.

3. Model Matematika Berdasarkan rumusan masalah tersebut, masalah rute distribusi LPG di PT. NBA dapat dimodelkan dalam model matematika VRP dengan pendekatan goal programming. Model matematika penentuan rute distribusi LPG tersebut dibuat berdasarkan model matematika VRP dengan pendekatan goal programming yang telah dijelaskan sebelumnya dan data dari hasil pengolahan. Model matematika dalam masalah ini dibuat untuk setiap kendaraan yang melayani wilayah kerja masing – masing.

Penyelesaian Masalah Rute Distribusi LPG di PT. NBA Yogyakarta

Model Matematika VRP dengan pendekatan goal programming untuk setiap kendaraan kemudian diolah menggunakan software LINGO untuk mendapatkan solusi berupa rute dengan banyaknya biaya perjalanan, banyaknya pangkalan yang terlayani, waktu distribusi, dan kapasitas Model Matematika VRP dengan pendekatan goal programming untuk setiap kendaraan kemudian diolah menggunakan software LINGO untuk mendapatkan solusi berupa rute dengan banyaknya biaya perjalanan, banyaknya pangkalan yang terlayani, waktu distribusi, dan kapasitas

Gambar 1. Flowchart Penyelesaian LINGO Penyelesaian menggunakan LINGO diperoleh 20 rute optimal distribusi LPG di PT. NBA, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

C. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Diperoleh model matematika vehicle routing problem yang diselesaikan dengan pendekatan goal programming yang mengoptimalkan empat tujuan yaitu meminimumkan biaya perjalanan, memaksimalkan pelanggan yang dilayani, meminimumkan waktu distribusi, dan memaksimalkan kapasitas kendaraan.

2. Diperoleh model matematika untuk masalah distribusi LPG di PT. NBA Yogyakarta dalam model matematika vehicle routing problem dengan pendekatan goal programming.

3. Diperoleh solusi optimal rute distribusi LPG 3kg di Agen PT. NBA Yogyakarta yang ditampilakn pada Tabel 2. Rute optimal distribusi LPG di PT. NBA Yogyakarta sebanyak 20 rute dengan total biaya perjalanan Rp. 84.900,00 untuk setiap minggunya, sebanyak 79 simpul yang mewakili 76 pangkalan PT. NBA Yogyakarta dalam dapat terlayani seluruhnya dengan waktu distribusi 70,92 jam, serta dapat dimaksimalkan kapasitas angkut kendaraan untuk setiap rutenya dengan total 10.595 tabung dapat didistribusikan.

Saran

Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk membahas vehicle routing problem dengan pendekatan goal programming, jika

1. klastering pangkalan dilakukan dengan menggunakan teknik partitioning yaitu k-means,

2. mengambil kasus distribusi LPG dari SPBE langsung ke pangkalan,

3. jumlah kebutuhan pangkalan selalu berubah – ubah.

D. DAFTAR PUSTAKA

S Azi,dkk. 2006.An Exact Algorithm for Single-Vehicle Routing Problem with Time Windows

and Multiple Routes. European Journal of Operational Research 178(2007) 755–766. Calvente, Herminia dkk. 2004.Vehicle Routing Problem with Soft Time Windows : An

Optimization Based Approach. Monografías del Seminario Matemático García de Galdeano

31, 295–304 (2004). Eka,Vinayanti. 2011. Pendekatan Goal Programming untuk Penentuan Rute Kendaraan pada

Kegiatan Distribusi. Hasil Penelitian. FMIPA: ITS Fariborz Jolai and Mehdi Aghdaghi. 2008 . A Goal Programming Model for Single Vehicle

Routing Problem with Multiple Routes . Journal of Industrial and Systems Engineering Vol.

2, No. 2, pp 154-163, Summer 2008. Garsede, Anissa K. dan Nyimas. Perencanaan Distribusi LPG dengan Periodic Vehicle Routing

Problem guna Minimasi biaya Transportasi. Jurnal Performa Vol. 9 No. 1 2010, hal 29 - 38. Gasdom Pertamina. 2008. Rencana Konversi Minyak Tanah ke LPG Tahun 2009. Jakarta:

Pertamina. Golden, Bruce. 2008. The Vehicle Routing Problem: Latest Advances and New Challenges. New

York: Springer. Hillier, F. dan Lieberman, G. 2001. Introduction to Operations Research Seventh Edition, New

York: McGraw-Hill. Joubert. 2007. The Vehicle Routing Prolem: Origins and Variants. Hasil penelitian: University of

Pretoria. Luenberger, David G. dan Yinyu . 2008. Linear and Non Linear Programming Third Edition.

New York: Springer. Luthfiyani , Rohmah . 2003. Optimasi Produksi CPO (Crude Palm Oil) di Pabrik Kelapa Sawit

Kertajaya dengan Menggunakan Goal Programming. Hasil Penelitian . FTP: IPB. Nasendi dan Anwar, Affendi. 1985. Program Linear dan Variasinya. Jakarta: PT. Gramedia. Patricia B., 2008. Scatter Search for Vehicle Routing Problem with Time Windows and Split

Deliveries. Hasil Penelitian. Departmen of Production Egineering: University of Sao Paulo. Sutawidjaja, A. dan Sudirman. 2004. Program Linear. Malang: JICA. Taha, Hamdy A. 2007. Operations Research: An Introduction Eighth Edition. New Jersey:

Pearson Prentice Hall. Takes, Frank. 2010. Applying Monte Carlo Techniques to the Capacitated Vehicle Routing

Prolem. Master Thesis: Leiden University. Watanabe, S. Dan Sakakibarata, K. 2007. A Multiobjectivization Approach for Vehicle Routing

Problem. Hasil penelitian: Mororan Institute of Tecnology : Ritsumeikan University. Winarti,Kiki. 2009. Pengendalian Kualitas Menggunakan Fuzy Goal Programming. Skripsi:

FMIPA USU.

T - 20

PROSEDUR FORENSIK DALAM DIGITAL FORENSICS

Nur Hadi Waryanto

Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY nurhadiw@gmail.com

Abstrak

Kejahatan di dunia nyata maupun di dunia maya, akan meninggalkan jejak yang tersembunyi ataupun terlihat. Jejak tersebut dapat digunakan sebagai bukti, menjadi salah satu perangkat/entitas hukumpenting.

Digital Forensics/Computer Forensics adalah bidang baru di Indonesia, keberadaan forensik ini sangat dibutuhkan dalam memecahkan suatu kasus, khususnya dalam pengungkapan bukti-bukti digital. Forensics adalah suatu proses identifikasi sampai dengan muncul hipotesa yang teratur menurut urutan waktu. Forensics dipengaruhi kondisi keadaan yang berubah-ubah yang memaksa investigator lebih cermat mengamati data sehingga hipotesa yang diambil tidak jauh dari kesimpulan akhir.

Computer crime merupakan kegiatan kejahatan yang menggunakan media komputer dalam melakukan pelanggaran hukum (computer as a tool). Untuk menginvestigasi dan menganalisa Computer crime, maka digunakan digital forensics yang mempunyai prosedur-prosedur dalam melakukan prosesnya.

Kata Kunci : Prosedur, Digital, Forensics

A. PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya teknologi komputer, perkembangan kejahatan juga semakin beragam. Salah satunya kejahatan yang memanfaatkan teknologi informasi, khususnya komputer. Saat ini teknologi komputer dapat digunakan sebagai alat bagi para pelaku kejahatan komputer : seperti pencurian, penggelapan uang dan lain sebagainya. Kejahatan yang memanfaatkan teknologi komputer tidak lepas dari pemafaatan jaringan komputer dalam melakukan aksi kejahatan. Kejahatan seperti ini disebuat juga sebagai Cybercrime .

Membahas tentang Cybercrime tidak akan lepas dalam membicarakan juga tentang internet. Internet sebagai sarana utama dalam melakukan kejahatan mayantara tersebut, telah berkembang begitu pesatnya. hacking, cracking, carding,cybertalking, penyebaran virus, cyber terrorism dewasa ini banyak dilakukan oleh para pengguna internet merupakan suatu fenomena yang banyak berkembang saat ini , bahkan dalam beberapa sumber media informasi telah disebutkan bahwa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pembobol kartu kredit terbesar di dunia serta tingkat pembajakan software tertinggi, oleh karena itu di Indonesia telah ditetapkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang digunakan sebagai aturan dan acuan penegakkan hukum dalam bidang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Menurut Prayudi (2012), terdapat sejumlah tendensi dari munculnya berbagai gejala Cybercrime , antara lain :

a. Permasalahan finansial. Cybercrime adalah alternatif baru untuk mendapatkan uang. Bentuk Cybercrime dengan tendensi finansial salah satunya adalah perilaku semacam carding (pengambil alihan hak atas kartu kredit tanpa seijin pihak yang mempunyai otoritas), pengalihan rekening

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika unt uk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

b. Adanya permasalahan terkait dengan persoalan politik, militer dan sentimen Nasionalisme.

c. Faktor kepuasan pelaku, dalam hal ini terdapat permasalahan psikologis dari pelakunya.

Kepuasan batin dalamhal ini menjadi faktor utama, tantangan untuk bisa melakukan penyusupan keamanan suatu sistemyang ketat.

Berdasarkan fungsi sistem komputer sebagai penyedia informasi, ancaman terhadap sistem komputer dikategorikan menjadi empat , (Simarta, 2006), yaitu:

a. Interruption, merupakan suatu ancaman terhadap avaibility, informasi atau data dalam komputer dirusak, dihapus, sehingga jika dibutuhkan sudah tidak ada lagi.

b. Interception, dikenal juga sebagai penyadapan, merupakan ancaman terhadap kerahasiaan (secrecy), informasi yang ada didalam sistem disadap oleh orang yang tidak berhak.

c. Modification, merupakan ancaman terhadap integritas, terdapat aktifitas penyadapan tetapi terdapat aktifitas modifikasi informasi yang berhasil didapatkan. Orang yang tidak berhak berhasil menyadap lalu lintas informasi yang sedang dikirim lalu mengubahnya sesuai keinginannya.

d. Fabrication, merupakan ancaman ancaman terhadap integritas. Orang yang tidak berhak berhasil meniru atau memalsukan suatu informasi sehingga orang yang menerima informasi menyangka informasi tersebut berasal dari orang yang dikehendaki oleh si penerima informasi tersebut.

B. PEMBAHASAN Kategori Cybercrime

Terdapat beberapa definisi mengenai Cybercrime, yaitu :

a. Cyber crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau riminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital (Wahid, 2006).

b. Menurut Peter (2000), Cyber crime adalah “The easy definition of cyber crime is crimes directed at a computer or a computer system. The nature of cyber crime, however, is far more complex. As we will see later, cyber crime can take the form of simple snooping into a computer system for which we have no authorization. It can be the feeing of a computer virus into the wild. It may be malicious vandalism by a disgruntled employee. Or it may be theft of data, money, or sensitive information using a computer system .”

c. Casey (2001), “Cybercrime is used throughout this text to refer to any crime that involves computer and networks, including crimes that do not rely heavily on computer“.

Gambar 1. Peringkat Cybercrime Sumber http://www.enigmasoftware.com/top-20-countries-the-most-Cybercrime

Selain itu, Kongres PBB X/2000 di Wina Austria, istilah cyber crime dibagi dalam dua Kategori., cyber crime dalam arti sempit (in a narrow sense) disebut computer crime., dan cyber crime dalam arti luas (in a broader sense) disebut computer related crime. Cybercrime dalam arti sempit (computer crime) adalah :

a. Setiap perilaku ilegal yang ditujukan dengan sengaja pada operasi elektronik yang menargetkan system keamanan computer dan data yang diproses oleh system computer tersebut.

b. Tindak pidana yang dilakukan dengan menggunakan teknologi yang canggih Sedangkan pengertian tentang Cybercrime dalam arti luas, yaitu :

a. Setiap perilaku illegal yang dilakukan dengan maksud atau berhubungan dengan sistem komputer atau jaringan.

b. Tindak pidana yang dilakukan dengan memakai komputer (hardware dan software) sebagai sarana atau alat, komputer sebagai objek baik untuk memperoleh keuntungan atau tidak, dengan merugikan pihak lain.

Terdapat beberapa pengkategorian Cybercrime , diantaranya

a. Menurut Panjaitan (dalam Golose (2006), Cybercrime dikategorigan menurut modus operandi (aktifitasnya), yaitu :

1. Unauthorized Access to Computer System and Service Aktifitas penyusupan ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya.

2. Illegal Contents Aktifitas memasukkan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

3. Data Forgery Aktifitas memalsukan data pada suatu dokumen penting yang tersimpan sebagai scripless document melalui Internet.

4. Cyber Espionage Suatu aktifitas yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata- mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system ) pihak sasaran.

5. Cyber Sabotage and Extortion Aktifitas gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.

6. Offense against Intellectual Property Suatu aktifitas yang ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di internet.

7. Infringements of Privacy Aktifitas yang dilakukan lebih kepada serangan, gangguan, perusakan terhadap individu. Aktifitasnya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun immateril,

b. Menurut Australian Institute Of Criminology, cybercrime dikateorikan menjadi 9 tipe, yaitu :

1. Theft Of Telecommunications Services

2. Communications In Furtherance Of Criminal Conspiracies

3. Telecommunications Piracy

4. Dissemination Of Offensive Materials

5. Electronic Money Laundering And Tax Evasion

6. Electronic Vandalism, Terrorism And Extortion

7. Sales And Investment Fraud

8. Illegal Interception Of Telecommunication

9. Selectronic Funds Transfer Fraud 9. Selectronic Funds Transfer Fraud

1. Cybrecrime yang secara potensial mengandung kekerasan :

a) Cyber terrorism Suatu tindakan Cybercrime yang mengancam pemerintah atau warganegara, termasuk cracking ke situs pemerintah atau militer.

b) Assault by threat (serangan dengan ancaman)

c) Cyber stalking

d) Child pornography (pornografi anak)

e) Cyber fraud (penipuan di internet )

f) Destructive Cybercrime (kegiatan yang mengganggu jaringan pelayanan )

2. Cybercrime tanpa kekerasan, yaitu :

a) Cybertrepass memasuki jaringan komputer tanpa adanya otorisasi atau wewenang tapi tidak merusak data di jaringan komputer tersebut

b) Cybertheft pencurian dengan komputer atau jaringan

Digital/Komputer Forensik

Kata forensik pada awalnya banyak digunakan dalam dunia kedokteran, hal ini karena forensik merupakan cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan fakta-fakta medis pada masalah-masalah hukum. Forensik dalam dunia kedokteran didefinisikan sebagai ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan: polisi belum bisa menjelaskan identitas korban karena masih menunggu hasil pemeriksaan yang diselidiki oleh tim. Secara umum ilmu forensik (biasa disingkat forensik) adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum, dalam hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana.

Seiring perkembangan teknologi yang begitu pesat yang diikuti dengan semakin canggihnya bentuk-bentuk kejahatan yang memanfaatkan teknologi informasi, forensik mulai dikenal juga dalam dunia teknologi informasi. Hal ini terkait dengan sulitnya mengungkap fakta-fakta atau bukti-bukti kejahatan yang memanfaatkan teknologi informasi (Cybercrime). Barang bukti yang berasal dari komputer telah muncul dalam persidangan hampir 30 tahun yang lalu. Awalnya, hakim menerima bukti tersebut tanpa melakukan pembedaan dengan bentuk bukti lainnya. Sesuai dengan kemajuan teknologi komputer, perlakuan serupa dengan bukti tradisional menjadi ambigu. Berdasarkan hal inilah kemudian muncul istilah digital/komputer forensik.

Beberapa definisi digital/komputer forensik :

a. Al-Fedaghi(2012), “Digital (computer) forensics is defined as “analytical and investigative techniques used for the preservation, identification, extraction, documentation, analysis and interpretation of computer media (digital data) which is stored or encoded for evidentiary and/or root cause analysis” . Investigation in this area seeks to support court processing of criminal cases related to computers and networks as well as internal corporate investigations and disciplinary hearings . It may involve the acquisition and analysis of Digital Evidence, authentication of documents, identification of sources and suspects, and so forth. “

b. Sammons (2012), Digital forensics encompasses much more than just laptop and desktop computers. Mobile devices, networks, and “cloud” systems are very much within the scope of the discipline. It also includes the analysis of images, videos, and audio (in both analog and digital format). The focus of this kind of analysis is generally authenticity, comparison, and enhancement.

Pada intinya forensik komputer adalah suatu rangkaian metodologi yang terdiri dari teknik dan prosedur untuk mengumpulkan bukti-bukti berbasis entitas maupun piranti digital Pada intinya forensik komputer adalah suatu rangkaian metodologi yang terdiri dari teknik dan prosedur untuk mengumpulkan bukti-bukti berbasis entitas maupun piranti digital

Tujuan komputer forensik adalah :

a. Untuk membantu memulihkan, menganalisa, dan mempresentasikan materi/entitas berbasis digital atau elektronik sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan sebagai alat buti yang sah di pengadilan

b. Untuk mendukung proses identifikasi alat bukti dalam waktu yang relatif cepat, mengungkapkan alasan dan motivitasi tindakan, menemukan pihak - pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan perbuatan cybercrime yang dilakukan.

Bukti Digital (Digital Evidence)

Bukti digital (Digital Evidence) merupakan salah satu perangkat vital dalam mengungkap tindak Cybercrime . Dengan mendapatkan bukti - bukti yang memadai dalam sebuah tindak kejahatan, sebenarnya telah terungkap separuh kebenaran. Langkah berikutnya adalah menindak-lanjuti bukti - bukti yang ada sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Bukti Digital yang dimaksud dapat berupa adalah : E-mail, file-file dokumen kerja, spreadsheet, sourcecode dari perangkat lunak, Image, history web browser, bookmark, cookies, kalender.

Yun-Sheng Yen (2012), mendefinisikan Digital Evidence adalah “Digital Evidence” refers to any electronic digital data that are sufficient to prove the circumstances or the association of a crime in a computer storage medium. As a type of physical evidence, it includes text, images, audio, video, and other media, with the features of unlimited and identical duplicability, unreliable determination of the original author, issues with data integrity verification, and so on. It is also known as computer evidence; in other words, it is an electromagnetic record stored in a computer storage medium or on a network and may be used as evidence of crime.”

Semakin kompleksnya konteks Digital Evidence dikarenakan faktor media yang melekatkan data. Format pun akan mempengaruhi cara pandang kita terhadap digital evidence, misalnya Digital Evidence berupa dokumen, yang umumnya dikategorikan ke dalam tiga bagian, antara lain :

a. Arsip ( Archieval Files )

b. File Aktif ( Active Files )

c. Residual Data (Disebut pula sebagian data sisa, data sampingan atau data temporer) (Ramadhan, 2013)

Prosedur/Metode Forensik

Wright (2001) dalam (Prayudi, 2013) menjelaskan bahwa penyelidikan sebaiknya dimulai bila sebuah rencana telah terumuskan dengan baik. Maka landasan metodologi akan memetakan kontruksi ilmiah dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Demikian juga dalam digital /komputer forensik , metodologi diharapkan akan membantu tercapainya hasil yang dituju. Prosedur/metode forensik untuk mengungkap bukti digital menurut Kemmis(2001) dalam Prayudi (2013) adalah sebagai berikut :

a. Identifikasi bukti digital (Identification/Collecting Digital Evidence) Elemen ini merupakan tahapan paling awal dalam komputer forensik. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi dimana bukti itu berada, dimana bukti itu disimpan, dan bagaimana penyimpanannya untuk mempermudah penyelidikan

b. Penyimpanan bukti digital (Preserving Digital Evidence) Barang bukti digital merupakan barang bukti yang rapuh. Tercemarnya barang bukti digital sangatlah mudah terjadi, baik secara tidak sengaja maupun disengaja

c. Analisa bukti digital (Analizing Digital Evidence)

Pemrosesan ulang barang bukti yang sudah disimpan sebelum diserahkan ke pihak yang membutuhkan. Pada proses inilah skema yang diperlukan akan fleksibel sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi.

d. Presentasi bukti digital (Presentation of Digital Evidence) Pengambilan kesimpulan didaptakan ketika semua tahapan telah dilalui, terlepas dari ukuran obyektifitas yang didapatkan, atau standar kebenaran yang diperoleh, minimal bahan-bahan inilah nanti yang akan dijadikan “modal” untuk bukti dipengadilan.

Gambar 2. Tahapan Digital Forensik

Selain itu Rowlingson(2004), mendefinisikan 10 tahapan dalam prosedur/metode foernsik, yaitu :

a. Define the business scenarios that require Digital Evidence.

b. Identify available sources and different types of potential evidence.

c. Determine the evidence collection requirement.

d. Establish a capability for securely gathering legally admissible evidence to meet the requirement.

e. Establish a policy for secure storage and handling of potential evidence.

f. Ensure monitoring is targeted to detect and deter major incidents.

g. Specify circumstances when escalation to a full formal investigation (which may use the Digital Evidence) should be launched.

h. Train staff in incident awareness, so that all those involved understand their role in the Digital Evidence process and the legal sensitivities of evidence.

i. Document an evidence-based case describing the incident and its impact. j. Ensure legal review to facilitate action in response to the incident.

Menurut Al-Fedaghi (2012), terdapat empat proses dasar dalam prosedur forensik, yaitu :

a. Collection. Tahap pertama dalam proses ini adalah untuk mengidentifikasi, label, catatan, dan memperoleh data dari sumber-sumber data yang relevan

b. Examination. Pemeriksaan melibatkan pemrosesan forensik sejumlah besar data yang dikumpulkan menggunakan kombinasi metode otomatis dan manual untuk menilai dan mengambil kepentingan data tertentu

c. Analysis. Tahap berikutnya dari proses ini adalah untuk menganalisis hasil pemeriksaan, menggunakan metode yang sah secara hukum dan teknik, untuk mendapatkan informasi yang berguna yang membahas pertanyaan-pertanyaan yang dorongan untuk melakukan pengumpulan dan pemeriksaan.

d. Reporting. Tahap terakhir adalah melaporkan hasil analisis, yang mungkin termasuk menjelaskan tindakan yang digunakan, menjelaskan bagaimana peralatan dan prosedur yang dipilih, menentukan apa tindakan lain perlu dilakukan dan memberikan rekomendasi d. Reporting. Tahap terakhir adalah melaporkan hasil analisis, yang mungkin termasuk menjelaskan tindakan yang digunakan, menjelaskan bagaimana peralatan dan prosedur yang dipilih, menentukan apa tindakan lain perlu dilakukan dan memberikan rekomendasi

C. SIMPULAN

Secara umum, terdapat 14 tahapan dalam prosedur/metode forensik (Anonym, 2012), yaitu :

a. Pernyataan Terjadinya KejahatanKomputer merupakan tahap dimana secara formal pihak yang berkepentingan melaporkan telah terjadinya suatu aktivitas kejahatan berbasis komputer

b. Pengumpulan Petunjuk atau Bukti Awal merupakan tahap dimana ahli forensik mengumpulkan semua petunjuk atau bukti awal yang dapat dipergunakan sebagai bahan kajian forensik, baik yang bersifat tangible maupun intangible ;

c. Penerbitan Surat Pengadilan

d. Pelaksanaan Prosedur Tanggapan Dini merupakan tahap dimana ahli forensik melakukan serangkaian prosedur pengamanan tempat kejadian perkara, baik fisik maupun maya, agar steril dan tidak tercemar/terkontaminasi, sehingga dapat dianggap sah dalam pencarian barang - barang bukti

e. Pembekuan Barang Bukti pada Lokasi Kejahatan merupakan tahap dimana seluruh barang bukti yang ada diambil, disita, dan/atau dibekukan melalui teknik formal tertentu ;

f. Pemindahan Bukti ke Laboratorium Forensik merupakan tahap dimana dilakukan transfer barang bukti dari tempat kejadian perkara ke laboratorium tempat dilakukannya analisa forensik

g. Pembuatan Salinan “2BitStream” terhadap Barang Bukti merupakan tahap dimana dilakukan proses duplikasi barang bukti ke dalam bentuk salinan yang identik

h. Pengembangan “MD5 Checksum” Barang Bukti merupakan tahap untuk memastikan tidak adanya kontaminasi atau perubahan kondisi terhadap barang bukti yang ada;

i. Penyiapan Rantai Posesi Barang Bukti merupakan tahap menentukan pengalihan tanggung jawab dan kepemilikan barang bukti asli maupun duplikasi dari satu wilayah otoritas ke yang lainnya

j. Penyimpanan Barang Bukti Asli di Tempat Aman k. Analisa Barang Bukti Salinan

merupakan tahap dimana ahli forensik melakuka analisa secara detail terhadap salinan barang - barang bukti

l. Pembuatan Laporan Forensik merupakan tahap dimana ahli forensik menyimpulkan secara detail hal - hal yang terjadi seputar aktivititas kejahatan yang dianalisa berdasarkan fakta forensik yang ada

m. Penyerahan Hasil Laporan Analisa n. Penyertaan dalam Proses Pengadilan

Merupakan tahap dimana ahli forensik menjadi saksi di pengadilan terkait dengan kejahatan yang terjadi

D. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid dan Mohammad Labib. 2005. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jakarta:PT. Refika Aditama.

Al-Fedaghi, Sabah. 2012. Modeling the Forensics Process . International Journal of Security and Its Applications Vol. 6, No. 4, October, 2012

Anonym. 2012.

http://www.mdp.ac.id/materi/2012-2013- 2/SP353/051039/SP353-051039-550-8.pdf

Forensik

Komputer .

Australian Institute Of

Criminology. 2013.

9 Types

Of Cyber

Crime ,

http://www.crime.hku.hk/Cybercrime.htm

Casey, Eoghan. 2001. Digital Evidence and Computer Crime, (London : A Harcourt Science and Technology Company.

Golose, Petrus Reinhard. 2006 . Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan 36 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006

Hinca IP Panjaitan. 2005. Membangun Cyber Law Indonesia yang demokratis (Jakarta : IMLPC.

Prayudi ,Yudi. 2012.Pengantar Digital/Komputer Forensik http://forensikadigital.files.wordpress.com/2012/08/pengantar-komputer-forensik.pdf

Ramadhan ,Zuhri.2013. Digital

Penanganan Pasca Insiden. https://library.pancabudi.ac.id/jurnal_files/d7702f7362a36fba44e6969c6315d192364b957 3_1.Zuhri_Ramadhan.pdf

Forensik Dan

Stephenson, Peter. 2000. Investigating ComputerRelated Crime: A Hanbook For Corporate Investigators . London New York Washington D.C: CRC Press, 2000

Rowlingson ,Robert. 2004. A Ten Step Process for Forensic Readiness. International Journal of Digital Evidence Winter 2004, Volume 2, Issue 3

Wright,Mal. 2000. Investigating an Internal Case of Internet Abuse.SANS Institute.

Yun-Sheng Yen, I-Long Lin, Annie Chang. 2012. A Study on Digital Forensics Standard Operation Procedure for Wireless Cybercrime . International Journal of Computer Engineering Science (IJCES) Volume 2 Issue 3 (March 2012). 3439 https://sites.google.com/site/ijcesjournal http://www.ijces.com/

Sammons, John. 2012. The basics of digital forensics : the primer for getting started in digital forensics . John Sammons.British Library Cataloguing-in-Publication Data

Simarmata, J. 2006. Pengamanan Sistem Komputer, Yogyakarta : Andi Offset.

T - 21

PENGEMBANGAN SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PEMILIHAN GURU BERPRESTASI DENGAN MENGGUNAKAN METODE PROMETHEE

1 Nurul Hidayat 2 , Ranida Pradita 1,2 Jurusan Matematika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) 1,2 e-mail: nurul_hdy@yahoo.com

Abstrak

Makalah ini membahas tentang pengembangan sistem pendukung keputusan berbasis komputer untuk memilih guru berprestasi. Kerja dari sistem ini adalah melakukan perangkingan berdasarkan sejumlah jenis prestasi, yang disebut sebagai preferensi, dan parameter masukan, yang dimiliki oleh masing-masing guru. Pada sistem yang dikembangkan ini, preferensi dan parameter masukan dibuat dinamis, sehingga penetapannya dapat dilakukan oleh pengguna sistem ini, yakni Dinas Pendidikan masing-masing Kabupaten/Kota. Proses perangkingannya menggunakan metode promethee. Dengan menggunakan sistem pendukung keputusan berbasis komputer ini diharapkan dapat membantu pihak Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di Indonesia dalam melakukan pemilihan guru berprestasi, sehingga bisa mereduksi subyektifitas penilai, dan luarannya bisa didapat dengan lebih cepat dan obyektif. Dari ujicoba yang telah dilakukan terhadap 22 guru dalam kelompok TK, SD, SMP, SMA, dan SMK di lingkungan sekolah-sekolah di Surabaya, luarannya ada yang sama dan ada yang tidak sama dengan kalau menggunakan cara manualnya. Perbedaan luaran ini karena dipengaruhi oleh penetapan kriteria preferensi dan parameter masukannya.

Kata kunci: guru berprestasi, metode Promethee, parameter, preferensi, sistem pendukung keputusan.

A. PENDAHULUAN

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, guru tidak hanya dituntut memiliki kemampuan teknis edukatif, tetapi juga harus memiliki kepribadian yang kokoh sehingga dapat menjadi sosok panutan bagi siswa, keluarga, maupun masyarakat. Selaras dengan kebijaksanaan pembangunan yang meletakkan pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai prioritas pembangunan nasional, maka kedudukan dan peran guru semakin strategis untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas dalam menghadapi era global.

Era global menuntut SDM yang bermutu tinggi dan siap berkompetisi, baik pada tataran nasional, regional, maupun internasional. Pemilihan guru berprestasi dimaksudkan antara lain untuk mendorong motivasi, dedikasi, loyalitas dan profesionalisme guru, yang diharapkan akan berpengaruh positif pada peningkatan kinerja. Peningkatan kinerja tersebut dapat terlihat dari lulusan satuan pendidikan sebagai SDM yang berkualitas, produktif, dan kompetitif.

Sehubungan dengan itu, Pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh untuk memberdayakan guru, terutama bagi guru-guru yang berprestasi. Undang-Undang No. 14 Tahun

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 36 ayat (1) mengamanatkan bahwa ”Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan” [2]. Dalam menentukan guru-guru yang layak mendapatkan penghargaan guru berprestasi, maka dibutuhkan suatu sistem pendukung keputusan pemilihan guru prestasi yang dapat memotivasi guru untuk melakukan kewajibannya dengan baik sehingga tercapai suatu keputusan yang baik dan optimal. Sistem pendukung keputusan ini juga berfungsi sebagai aplikasi yang dapat membantu untuk mendukung keputusan dalam pemilihan guru prestasi secara cepat dan akurat dengan cara memberikan alternatif pengambilan keputusan yang baik. Dalam penentuan rangking calon guru berprestasi, sistem pendukung keputusan ini menggunakan metode promethee yang mampu memilih alternatif terbaik dari beberapa alternatif dan menggunakan lebih dari satu kriteria (multikriteria). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu perancangan dan pembangunan sistem pendukung keputusan pemilihan guru berprestasi menggunakan metode promethee. Sistem pendukung keputusan pemilihan guru berprestasi ini diharapkan dapat membantu pihak dinas atau instansi dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan guru.

B. METODE PENELITIAN

Pembahasan metodologi penelitian ini diawali dengan penjelasan tentang peralatan yang digunakan kemudian dilanjutkan dengan tahapan penelitian.

1. Peralatan

Peralatan penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan tugas akhir ini adalah:

a. Perangkat lunak utama yang digunakan untuk membuat program simulasi sistem pendukung keputusan guru berprestasi dengan menggunakan metode promethee adalah Adobe Dreamweaver CS6, MySQL dan Google Chrome.

b. Untuk membuat perangkat lunak aplikasi ini digunakan laptop Toshiba satellite L840 series, prosesor Intel® Core™ i7 CPU 3610QM @ 2,30 GHz, RAM 8 GB, Windows 7 64-bit, Mobile PC Display dengan setting layar monitor resolusi 1366 x 768 piksel.

2. Tahap Penelitian

Pengembangan system ini menggunakan model waterfall dengan tahapan sebagai berikut:

a. Studi literatur Studi literature dilakukan sejak prapenelitian (pembuatan proposal) dan pada saat

sedang melakukan penelitian, khususnya yang berkaitan dengan Sistem Pendukung Keputusan [3] dan Metode Preference Ranking Organization for Enrichment Evaluation (PROMETHEE) [1].

Algoritma PROMETHEE ini adalah sebagai berikut :

1) Penentuan penyimpangan berdasarkan perbandingan berpasangan (,)= () − ()

j=1,2,....,k

Dimana (,) menunjukkan perbedaan antara evaluasi dari a dan b pada setiap kriteria, dan k menunjukkan kriteria jumlah berhingga.

2) Penerapan fungsi preferensi (,)=

(2) Dimana P j (a,b) Sebagai fungsi d j (a,b) menunjukkan preferensi alternatif a yang berkaitan

j=1,2,....,k

dengan alternatif b pada setiap kriteria.

3) Perhitungan indeks preferensi global (,)= ∑

(,) merupakan intensitas preferensi pembuat keputusan yang menyatakan bahwa alternatif a lebih baik dari alternatif b dengan pertimbangan secara simultan dari keseluruh kriteria. Hal ini dapat disajikan dengan nilai antara nilai 0 dan 1, dengan ketentuan sebagai berikut : (,) merupakan intensitas preferensi pembuat keputusan yang menyatakan bahwa alternatif a lebih baik dari alternatif b dengan pertimbangan secara simultan dari keseluruh kriteria. Hal ini dapat disajikan dengan nilai antara nilai 0 dan 1, dengan ketentuan sebagai berikut :

berdasarkan semua kriteria.

b) (,)=1 menunjukkan preferensi yang kuat untuk alternatif a > alternatif b berdasarkan semua kriteria.

4) Perhitungan arus perangkingan dan Peringkat parsial Φ ()=

dengan (,) = menunjukkan preferensi bahwa alternatif a lebih baik dari alternatif x. (,) = menunjukkan preferensi bahwa alternatif x lebih baik dari alternatif a.

Φ () = Leaving flow, digunakan untuk menentukan urutan prioritas pada proses Promethee

I yang menggunakan urutan parsial.

Φ () = Entering flow, digunakan untuk menentukan urutan prioritas pada proses Promethee yang menggunakan urutan parsial.

5) Perhitungan aliran perangkingan bersih dan Peringkat lengkap Φ ()= Φ () −Φ () (6) dengan Φ () adalah net flow, digunakan untuk menghasilkan keputusan akhir penentuan urutan dalam menyelesaikan masalah sehingga menghasilkan urutan lengkap.

b. Observasi Pada tahapan ini dilakukan pengamatan langsung di Dinas Pendidikan kota Surabaya untuk mencari data, menggali kebutuhan pengguna,analisis sistem, dan wawancara (tanya jawab) kepada petugas bagian ketenagaan Dinas Pendidikan kota Surabaya yang menangani guru prestasi 2013.

c. Analisis dan Perancangan Sistem Pada tahap ini dilakukan analisis dan perancangan sistem, termasuk mengidentifikasi dan menganalisis data yang didapat dari Dinas Pendidikan Kota Surabaya, penetapan kriteria dan sub-kriteria yang berpengaruh pada proses penentuan guru terpilih berdasarkan rangking yang didapat, dengan berpatokan pada criteria umum sebagaimana yang tertera pada Tabel 1. Pada tahap ini juga dilakukan perancangan menu sistem, database, serta arsitektur sistem secara keseluruhan.

Tabel 1. Kriteria Umum(P(d) : fungsi preferensi)

Tipe Kriteria

Kriteria Umum Definisi

Parameter

≤ 0 - kriteria biasa

kriteria U-bentuk

kriteria V-bentuk

p, q

kriteria tingkat

p, q kriteria V-bentuk

S Kriteria Gaussian

d. Implementasi sistem Pada tahap ini dilakukan implementasi, yang terdiri dari pembuatan interface sistem, pembuatan database menggunakan DBMS MySQL, pembuatan program untuk algoritma promethee, dan mengintegrasikannya sehingga menjadi sebuah perangkat lunak untuk sistem pendukung keputusan pada pemilihan guru berprestasi.

e. Uji coba dan evaluasi Pada tahap ini program yang telah dirancang akan diuji dengan menerapkan beberapa skenario percobaan dan kemudian dievaluasi hasilnya. Untuk proses validasi akan dilakukan uji coba pada data pemilihan guru berprestasi 2013. Proses validasi ini dilakukan untuk mengetahui apakah program ini sudah memenuhi hasil yang sudah dilakukan sebelumnya.

Bagan alir metodologi ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Studi Literatur

Observasi

Analisis dan Perancangan Sistem

Implementasi sistem

Ujicoba dan Evaluasi

Gambar. 1. Diagram alir metode penelitian

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam pengujian sistem ini terdiri dari 6 proses utama, diantaranya adalah proses input data peserta, proses input data kriteria, proses input data sub kriteria, proses input data nilai sub kriteria, proses nilai kriteria dengan perhitungan Promethee, dan hasil nilai kriteria analisa Promethee .

1. Proses Input Data Peserta

Pada proses ini data peserta yang akan digunakan dalam proses penghitungan promethee . Setelah sukses input data peserta, maka akan masuk ke list data peserta. Untuk input data peserta ditunjukkan pada Gambar 2 dan list data peserta dapat dilihat pada Gambar

Gambar 2. Tampilan input data peserta

Gambar 3. Tampilan data peserta

2. Proses Input Data Kriteria

Pada proses ini data kriteria yang akan digunakan dalam proses perhitungan promethee . Setelah sukses input data kriteria, maka akan masuk ke data kriteria. Data kriteria dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tampilan data kriteria

3. Proses Input Data Sub Kriteria

Pada proses ini data nilai sub kriteria yang akan digunakan dalam pemrosesan yang menghasilkan nilai kriteria. Setelah sukses input data nilai sub kriteria, maka akan masuk ke data nilai sub kriteria. Setelah berhasil menginputkan nilai sub kriteria, dilanjutkan dengan meng -klik button Update Nilai dan akan terhubung dengan proses nilai kriteria dengan perhitungan promethee. Tampilan Data Nilai Sub Kriteria dan button Update Nilai dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Tampilan data nilai sub kriteria dan button Update Nilai

4. Proses Input Data Nilai Sub Kriteria

Pada proses ini data nilai sub kriteria yang akan digunakan dalam pemrosesan yang menghasilkan nilai kriteria. Setelah sukses input data nilai sub kriteria, maka akan masuk ke data nilai sub kriteria. Setelah berhasil menginputkan nilai sub kriteria, dilanjutkan dengan meng-klik button Update Nilai dan akan terhubung dengan proses nilai kriteria dengan perhitungan promethee. Tampilan Data Nilai Sub Kriteria dan button Update Nilai dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Tampilan data nilai sub kriteria dan button Update Nilai

5. Proses Nilai Kriteria Dengan Perhitungan Promethee

Setelah proses input data nilai sub kriteria, maka akan dilanjutkan dengan Update Nilai. Setelah meng-klik Update Nilai, proses nilai kriteria dengan perhitungan promethee muncul dalam tampilan browser. Untuk melanjutkan pada tampilan hasil analisis promethee dengan meng-klik button Proses Selanjutnya. Tampilan Nilai Kriteria dan Hasil perhitungan, serta button Proses Selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Tampilan data nilai kriteria dan button Proses Selanjutnya

6. Hasil Nilai Kriteria Analisa Promethee

Hasil nilai kriteria analisa Promethee memberikan informasi tentang hasil nilai Leaving Flow, Entering Flow , Net Flow, dan hasil perangkingan. Tampilan Hasil Nilai Kriteria Analisa Promethee dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Tampilan hasil analisis promethee

D. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan sebelumnya, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :

1. Metode Promethee dapat digunakan untuk mengembangkan sistem pendukung keputusan pemilihan guru berprestasi berbasis komputer.

2. Pemilihan guru berprestasi dapat ditentukan dengan menggunakan leaving flow, entering flow, atau net flow.

3. Untuk mendapatkan kinerja sistem yang sesuai dengan pola pemilihan guru berprestasi secara manual Kinerja sistemHasil perangkingan peserta dipengaruhi oleh kriteria preferensi dan parameter yang di-input-kan.

Saran

Sistem ini masih dapat dikembangkan lebih lanjut, salah satunya adalah dengan cara melakukan survey dan observasi ke sekolah-sekolah di sejumlah Kabupaten/Kota di Indonesia sehingga menjadi sistem yang lebih lengkap dan umum. Misalnya, pada sistem ini ditambahkan suatu form entry nilai oleh juri sehingga proses penilaian dapat dilakukan secara langsung pada sistem. Demikian juga dengan jenis criteria nilai dibuat dinamis, sehingga tiap-tiap Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sebagai pengguna, dapat menentukan sendiri banyaknya dan jenisnya.

E. DAFTAR PUSTAKA

Brans, J.P. 1998. Promethee Method. Belgia : Centrum Voor Statistiek Operationeel Onderzoek, Brussel University.

http://www.inf.unideb.hu/valseg/dolgozok/anett.racz/docs/DSS/Promethee.pdf Diakses Tanggal

27 September 2013.

Direktorat Pembinaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pemilihan Guru Berprestasi SD dan SMP . Jawa Timur:Mendiknas.

Turban, E., Aronson, J.E., Liang, T.P. 2007. Sistem Pendukung Keputusan (Jilid 1). Indonesia : Andi Publisher.

T - 22

APLIKASI METODE FILTER BANK GABOR PADA PENGEMBANGAN SISTEM IDENTIFIKASI TELAPAK TANGAN

1 Nurul Hidayat 2 , Ricky Kurniadi 1,2 Jurusan Matematika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) 1,2 e-mail: nurul_hdy@yahoo.com

Abstrak

Biometrika merupakan cabang matematika terapan yang bidang garapnya adalah untuk mengenali individu melalui ciri khas yang dimiliki oleh individu tersebut, antara lain wajah, pola retina, suara, sidik jari, dan telapak tangan. Pada makalah ini dibahas tentang pengembangan sistem identifikasi telapak tangan, untuk mengenali individu pemilik telapak tangan tersebut, dengan menggunakan metode filter bank Gabor. Cara kerja metode filter bank Gabor adalah dengan memfilter citra telapak tangan masukan menggunakan 8 buah filter Gabor, yang kemudian hasilnya diubah menjadi vektor ciri (palmcode) dengan menggunakan teknik Average Absolut Deviation (AAD). Proses pengenalan individu dilakukan dengan mencocokkan vektor ciri query dengan seluruh vektor ciri referensi yang tersimpan pada basis data. Pencocokan antara dua vektor ciri ini dilakukan dengan menghitung jarak Euclidean ternormalisasi pada kedua vektor sehingga dihasilkan suatu skor. Semakin kecil jarak yang dihasilkan maka skornya semakin besar. Dengan demikian, untuk menentukan individu terpilih sebagai yang dikenali adalah individu yang memiliki skor terbesar. Berdasarkan hasil pengujian untuk mengenali 20 individu menghasilkan kinerja yang terbaik jika menggunakan 32 sektor dengan tingkat keberhasilan sukses mengenali sebesar 92,727%..

Kata kunci: Average Absolut Deviation, biometrika, filter bank Gabor, identifikasi,

jarak Euclidean, sistem pengenalan individu, telapak tangan, vektor ciri.

A. PENDAHULUAN

Sebelum penggunaan biometrika, pengenalan atau identifikasi individu biasanya dilakukan dengan menggunakan sistem tradisional, seperti PIN, password, kartu, dan kunci. Penggunaan sistem tradisional ini dapat menimbulkan beberapa permasalahan, antara lain adanya faktor lupa, dapat digunakan oleh orang lain yang tidak berwenang, dan dapat hilang atau dicuri. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan teknologi biometrika. Teknologi biometrika merupakan pengembangan dari metode dasar identifikasi yang menggunakan karakteristik alami manusia sebagai basisnya. Salah satu karakteristik yang dapat dipakai sebagai identifikasi adalah telapak tangan. Telapak tangan manusia digunakan untuk keperluan identifikasi karena tidak ada dua manusia yang memiliki telapak tangan persis sama.

Bagian terpenting dalam sistem identifikasi telapak tangan terletak pada teknik pencocokan telapak tangan. Teknik pencocokan telapak tangan berbasis minusi ditemukan beberapa kelemahan, salah satunya adalah kemungkinan tidak dapat diprosesnya citra telapak tangan akibat hilang atau bertambahnya titik-titik minusi atau disebabkan perbedaan jumlah titik minusi pada kedua citra. Pada penelitian sebelumnya yaitu, pada tahun 2000, Sulung dengan tugas akhirnya tentang pengenalan sidik jari pada citra abu-abu dengan menggunakan metode Minutia untuk proses ekstraksi ciri dan algoritma Ridge Line Folowing untuk proses klasifikasinya, menunjukkan pengenalan sudah mencapai 80% [7]. Dalam tugas akhirnya,

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Elvayandri (2002) telah melakukan penelitian dengan menggunakan metode Minusi untuk ekstraksi cirinya, dan gabungan jaringan Wndow Holf dan jaringan Propagasi Balik untuk klsifikasinya. Tingkat pengenalan pada penelitian ini sudah mencapai 71%.[1] Sedangkan Fahmi dengan tugas akhirnya tentang mengembangkan Sistem Identifikasi Sidik Jari dengan Menggunakan Metode Filter Bank Gabor. Tingkat pengenalannya mampu mencapai 90,667%.[4]

Oleh sebab itu, pada tugas akhir ini digunakan teknik pencocokan telapak tangan berbasis filter bank Gabor yang merupakan salah satu jenis teknik pencocokan telapak tangan berbasis pola. Teknik pencocokan ini melakukan pemfilteran pada citra telapak tangan dengan menggunakan filter Gabor untuk menonjolkan (enhance) pola bukit (ridge) dan menghaluskan lembah (valley) pada citra telapak tangan. Tetapi sebelum difilter citra telapak tangan harus diolah supaya citra siap untuk diekstraksi dan direpresentasikan cirinya. Setelah citra difilter, citra diekstraksi dan direpresentasikan cirinya sehingga dapat diterapkan dalam proses pencocokan telapak tangan guna mengidentifikasi telapak tangan seseorang. Upaya-upaya untuk memperoleh beberapa proses pra-pengolahan, proses esktraksi ciri citra telapak tangan, dan proses pencocokan telapak tangan ini merupakan beberapa permasalahan yang dihadapi pada penelitian ini.

Untuk membatasi ruang lingkup pembahasan permasalahan maka ditentukan beberapa batasan sebagai berikut:

1. Telapak tangan yang digunakan sebagai referensi, didaftarkan pada basis data, adalah telapak tangan kiri manusia.

2. Citra telapak tangan diambil secara langsung menggunakan webcam.

3. Telapak tangan dalam keadaan bersih. Sistem identifikasi telapak tangan dengan menggunakan metode filter bank Gabor diimplementasikan menjadi sebuah program dengan bahasa pemrograman C#.

B. METODE PENELITIAN

Pembahasan metodologi sistem diawali dengan penjelasan tentang peralatan yang digunakan dan tahap penelitian.

1. Peralatan

Peralatan penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan tugas akhir yang diusulkan ini adalah:

a. Perangkat lunak utama yang digunakan untuk membuat program simulasi sistem identifikasi telapak tangan adalah Visual C#.

b. Untuk mendapatkan citra telapak tangan digunakan webcam, Laptop Toshiba satellite M645 dengan spesifikasi prosesor Intel® Core™ i5 CPU M450 @ 2,40 GHz, RAM 4 GB DDR4, Windows 7 tipe 64-bit, Mobile PC Display dengan setting layar monitor resolusi 1366 x 768 piksel.

2. Langkah-langkah Penelitian

Dalam melakukan penelitian pada tugas akhir yang diusulkan ini, ada beberapa tahap yang akan dilakukan yaitu:

a. Studi literatur Tahap ini merupakan tahap pengumpulan informasi yang diperlukan untuk di dalam

pelaksanaan penelitian, mulai dari pembuatan proposal sampai dengan penyelesaian akhir penelitian.

b. Perancangan dan Implementasi Sistem Pada tahap ini dirancang sebuah sistem identifikasi telapak tangan dengan menggunakan metode filter bank Gabor. Tahapan untuk proses identifikasi telapak tangan ini adalah sebagai berikut:

 Akuisisi data: proses pengambilan citra telapak tangan dengan webcam.

 Pra-pemrosesan: proses pembuatan telapak tangan yang telah diakuisisi menjadi file citra telapak tangan ternormalisasi yang siap untuk diekstraksi cirinya.  Ekstraksi ciri: proses untuk mendapatkan ciri-ciri citra telapak tangan yang dikenal sebagai Palmcode.  Pendaftaran: proses penyimpanan Palmcode ke dalam basis data acuan beserta dengan identitas pemiliknya.  Pencocokan: proses pengukuran kesamaan antara Palmcode input dengan Palmcode referensi untuk menghasilkan suatu skor.

c. Integrasi Program Pada tahap ini akan dilakukan integrasi untuk semua program yang telah

diimplementasikan pada tahap sebelumnya sehingga dihasilkan sebuah sistem identifikasi telapak tangan yang terintegrasi.

d. Uji Coba dan Evaluasi Pada tahap ini implementasi sistem akan diuji dengan menerapkan beberapa skenario

percobaan untuk kemudian dianalisis dan dievalusi hasilnya. Bagan alir metodologi ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Studi Literatur

Akuisisi Data

Pra-pemrosesan

Perancangan dan

Ekstraksi Ciri

Implementasi sistem

Pendaftaran

Pencocokan

Integraasi Program

Uji Coba dan Evaluasi

Gambar. 1. Diagram alir metode penelitian

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian proses pencocokan telapak tangan dilakukan dalam bentuk simulasi. Sistem diuji dengan individu yang sudah terdaftar pada sistem untuk mengetahui tingkat kesalahan FNMR (False Non Match Rate). Kesalahan FNMR merupakan kesalahan dimana sistem tidak dapat mengidentifikasi individu yang sudah terdaftar pada sistem. Sistem akan diteliti perbedaannya dengan menggunakan vektor ciri 16 sektor, 32 sektor,

48 sektor, dan 64 sektor. Pengujian sistem ini dilakukan terhadap 20 orang (individu), masing-masing diakuisisi telapak tangannya sebanyak 13 kali. Telapak tangan yang diakuisisi adalah telapak tangan sebelah kiri.

1. Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem Tanpa Pergeseran dan dengan Pergeseran

Pengujian sistem dilakukan sebanyak sembilan kali. Dari 13 citra telapak tangan yang diakuisisi dari masing-masing individu, 3 citra digunakan untuk pendaftaran penggguna, dan 10 citra lainnya digunakan untuk pengujian. Untuk mengetahui validasi dari sistem yang dikembangkan ini, maka pengujian juga dilakukan terhadap

3 citra terdaftar, dengan ketentuan jika hasilnya tidak 100%g berarti sistem masih belum valid. Proses pengujian sistem dapat dijelaskan sebagai berikut: Citra telapak tangan pertama dari individu-1 didaftar, kemudian citra terdaftar ini diuji kecocokannya dengan 11 citra individu-1 (1 citra terdaftar + 10 citra yang belum terdaftar). Berikutnya, citra pertama dari individu-1 ini dihapus, setelah itu citra kedua dari individu-1 didaftar dan kemudian diuji dengan 11 citra dari individu-1, dengan cara yang sama seperti pada pengujian yang pertama di atas sampai dengan pendaftaran dan pengujian pada citra ketiga dari individu-1. Hal yang sama juga dilakukan pengujian pada indvidu-2, individu-3, ..., individu-20. Jadi jumlah keseluruhan pengujian identifikasi individu yang terdaftar pada sistem adalah sebanyak 11 x 3 x jumlah individu yang terdaftar x banyak vektor ciri x 2 atau 11 x 3 x

4 x 20 x 2 = 5280 pengujian. Berikut adalah sebagian hasil pengujian sistem terhadap individu yang telah terdaftar pada sistem untuk ketiga nilai sektor yang digunakan.

Tabel 1. Hasil pengujian untuk individu yang terdaftar pada Sistem dengan menggunakan citra telapak tangan pertama pada vektor ciri 32 sektor

Hasil Pengujian Citra Telapak Tangan No. ID 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1208100025 G B B G B G B G G G B 1209100087

B B B B B G G B B B B 1210100060

Tabel 2. Hasil Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem dengan Menggunakan

Citra telapak tangan kedua pada Vektor Ciri 32 Sektor Hasil Pengujian Citra Telapak Tangan

No. ID 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1208100025 G B B G B G B G G G B

1209100087 B B B B B B B B B B B 1210100060

Tabel 3. Hasil Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem dengan Menggunakan Citra

telapak tangan ketiga pada Vektor Ciri 32 Sektor Hasil Pengujian Citra Telapak Tangan

Berdasarkan kesembilan macam hasil pengujian identifikasi individu yang terdaftar pada system, diperoleh beberapa data hasil kinerja system, sebagaimana tampak pada Tabel 4 sampai dengan Tabel 6 berikut ini.

Tabel 4 Hasil Kinerja Sistem Berdasarkan Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem dengan Menggunakan citra telapak tangan kesatu pada Vektor Ciri 32 Sektor

1 Jumlah pengujian Identifikasi

2 Jumlah keberhasilan Identifikasi

3 Jumlah kegagalan Identifikasi

Tabel 5 Hasil Kinerja Sistem Berdasarkan Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem dengan enggunakan citra telapak tangan kedua pada Vektor Ciri 32 Sektor

1 Jumlah pengujian Identifikasi

2 Jumlah keberhasilan Identifikasi

3 Jumlah kegagalan Identifikasi

Tabel 6 Hasil Kinerja Sistem Berdasarkan Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem dengan Menggunakan citra telapak tangan ketiga pada Vektor Ciri 32 Sektor

1 Jumlah pengujian Identifikasi

2 Jumlah keberhasilan Identifikasi

3 Jumlah kegagalan Identifikasi

Pada Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9 berikut ini adalah sebagian hasil pengujian sistem terhadap individu yang telah terdaftar pada sistem dengan pergeseran untuk ketiga nilai sektor yang digunakan.

Tabel 7. Hasil Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem dengan Menggunakan Citra telapak tangan kesatu pada Vektor Ciri 32 Sektor dengan Pergeseran Titik Referensi

Hasil Pengujian Citra Telapak Tangan

Tabel 8. Hasil Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem dengan Menggunakan Citra telapak tangan kedua pada Vektor Ciri 32 Sektor dengan Pergeseran Titik Referensi

Hasil Pengujian Citra Telapak Tangan

Tabel 9. Hasil Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem dengan Menggunakan Citra telapak tangan ketiga pada Vektor Ciri 32 Sektor dengan Pergeseran Titik Referensi

Hasil Pengujian Citra Telapak Tangan

Berdasarkan kesembilan macam hasil pengujian identifikasi individu yang terdaftar pada system, diperoleh beberapa data hasil kinerja sistem identifikasi telapak tangan dengan menggunakan filter bank Gabor. Data-data ini ditampilkan pada Tabel

10 sampai dengan Tabel 12 berikut ini.

Tabel 10. Hasil Kinerja Sistem Berdasarkan Pengujian Identifikasi individu yang terdaftar pada Sistem dengan menggunakan citra telapak tangan kesatu pada vektor ciri 32 sektor dengan pergeseran titik

1 Jumlah pengujian Identifikasi

2 Jumlah keberhasilan Identifikasi

3 Jumlah kegagalan Identifikasi

Tabel 11. Hasil Kinerja Sistem Berdasarkan Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem dengan Menggunakan citra telapak tangan kedua pada Vektor Ciri 32 Sektor dengan

Pergeseran Titik Referensi

1 Jumlah pengujian Identifikasi

2 Jumlah keberhasilan Identifikasi

3 Jumlah kegagalan Identifikasi

Tabel 12. Hasil Kinerja Sistem Berdasarkan Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem dengan Menggunakan citra telapak tangan ketiga pada Vektor Ciri 32 Sektor dengan

Pergeseran Titik Referensi

1 Jumlah pengujian Identifikasi

2 Jumlah keberhasilan Identifikasi

3 Jumlah kegagalan Identifikasi

Pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 3 dan Tabel 7 sampai dengan Tabel 9, isian B

menunjukkan bahwa sistem berhasil mengidentifikasi individu dengan benar. Sedangkan isian

G menunjukkan bahwa sistem gagal mengidentifikasi individu dengan benar. Makna kegagalan sistem dalam mengidentifikasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Tidak ada identitas siapapun yang berhasil diidentifikasi (cocok) oleh sistem atau dengan kata lain identitas yang diidentifikasi adalah kosong.

b. Identitas individu yang berhasil diidentifikasi tidak sama dengan yang semestinya.

2. Pembahasan Hasil Pengujian Identifikasi Individu yang Terdaftar pada Sistem

Tujuan dari pengujian individu yang terdaftar pada sistem adalah untuk mengetahui tingkat kesalahan FNMR (False Non Match Rate) pada sistem. Tingkat kesalahan FNMR dihasilkan dari persentase perbandingan jumlah kegagalan identifikasi individu yang terdaftar pada sistem dengan jumlah keseluruhan pengujian atau dapat dirumuskan sebagai berikut:

Berdasarkan Tabel 4 sampai Tabel 6 maka didapat tingkat kesalahan FNMR rata-rata untuk setiap proses pengujian tanpa pergeseran ditunjukkan oleh Tabel 13. Sedangkan jika dengan pergeseran sebagai berikut:

Tabel 13. Rata-rata Tingkat Kesalahan FNMR Hasil Pengujian Individu yang Terdaftar

pada Sistem pada citra telapak tangan ketiga

Tingkat Kesalahan

No

Vektor Ciri

FNMR

1 16 Sektor

2 32 Sektor

3 48 Sektor

4 64 Sektor

Berdasarkan Tabel 10 sampai Tabel 12 maka didapat tingkat kesalahan FNMR rata-rata untuk setiap proses pengujian dengan pergeseran titik referensi ditunjukkan oleh Tabel 14.

Tabel 14. Rata-rata Tingkat Kesalahan FNMR Hasil Pengujian Individu yang Terdaftar

pada Sistem pada citra telapak tangan ketiga

Tingkat Kesalahan

No

Vektor Ciri

FNMR

1 26 Sektor

2 32 Sektor

3 48 Sektor

3 64 Sektor

Berdasarkan Tabel 13 dan Tabel 14 dapat ditunjukkan bahwa penggunaan vektor ciri 32 sektor pada pengujian individu yang terdaftar pada sistem memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan vektor ciri 16, 48 atau 64 sektor. Hal ini dapat diketahui dari tingkat kesalahan FNMR yang dihasilkan pada penggunaan vektor ciri 32 sektor yang lebih kecil dibandingkan tingkat kesalahan FNMR yang dihasilkan oleh penggunaan vektor ciri 16, 48 atau 64 sektor. Dengan semakin kecilnya tingkat kesalahan FNMR maka prosentase keberhasilan identifikasi sistem menjadi semakin besar. Prosentase keberhasilan sistem dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Dengan menggunakan hasil pada Tabel 13 dan Tabel 14 maka dapat dihitung prosentase keberhasilan sistem untuk setiap proses pengujian yang dtunjukkan pada

Tabel 15 dan Tabel 16.

Tabel 15. Persentase Keberhasilan Sistem Hasil Pengujian Individu yang Terdaftar pada Sistem No

Vektor Ciri

Persentase Keberhasilan

1 16 Sektor

2 32 Sektor

3 48 Sektor

4 64 Sektor

Tabel 16. Prosentase Keberhasilan Sistem Hasil Pengujian Individu yang Terdaftar pada Sistem No

Vektor Ciri

Persentase Keberhasilan

D. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Beberapa simpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis terhadap hasil pengujian adalah sebagai berikut:

1. Proses-proses sebelum ekstraksi ciri meliputi proses pendeteksian titik referensi, proses pembuatan Region of Interest (ROI), proses sektorisasi, dan proses normalisasi.

2. Pemfilteran citra telapak tangan dilakukan dengan mengkonvolusi citra telapak tangan dengan menggunakan 8 buah filter Gabor untuk menghasilkan 8 buah citra telapak tangan terfilter.

3. Prosentase tingkat keberhasilan sistem identifikasi telapak tangan dengan menggunakan filter bank Gabor dapat mencapai 92,727 %.

4. Proses pencocokan telapak tangan tangan yang diekstraksi dan direpresentasikan oleh metode filter bank Gabor dihitung dengan menggunakan persamaan jarak Euclidean ternormalisasi.

Saran

Sistem ini masih dapat dikembangkan lebih lanjut, salah satunya dengan menambah kemungkinan terjadinya rotasi telapak tangan pada saat akuisisi citra telapak tangan. Sistem identifikasi individu melaui identifikasi telapak tangan ini juga bisa diaplikasikan pada pembuatan pintu otomatis, system perparkiran, dan pada pintu masuk area yang memerlukan tingkat keamanan yang sangat tinggi.

E. DAFTAR PUSTAKA Elvayandri. 2002. Sistem Keamanan Akses Menggunakan Pola Sidik Jari Berbasis

Jaringan Syaraf Tiruan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Guo, J. 2012. Palmprint Recognation Using Block Entropy Map From a Single Image Per Person . Journal of Computational Information Systems.

Jain, A.K., Hong, L., Pankanti, S., dan Prabhakar, S. May 2000. Fingercode: A

Filterbank for Fingerprint Representation and Matching. IEEE Trans on Image Processing. Vol. 9, No. 5.

Jatnika, A.F. 2010. The Implementation of Fingerprint Identification System Using Filter Bank Gabor Method . Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Putra, I.K.G. D. 2007. Sistem Verifikasi Menggunakan Garis-garis Telapak Tangan. Bali : Universitas Udayana.

Putra, I.K.G.D. 2009. Sistem Biometrika: Konsep Dasar, Teknik Analisis Citra dan Tahapan Membangun Aplikasi Sistem Biometrika . Yogyakarta : C.V Andi Offset (Penerbit Andi).

Sulung, Agus. 2000. ” Pengenalan Sidik Jari pada Citra Abu-Abu”. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

T - 23

ANALISA KESTABILAN MODEL SEIRS UNTUK PENYEBARAN PENYAKIT FLU SINGAPURA

1 Ratna Widayati 2 , Eminugroho Ratna Sari

Mahasiswa Program Studi Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

2 Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

1 wida.ratna.widayati@gmail.com, 2 eminugroho@uny.ac.id

Abstrak

Influenza disebabkan oleh virus yang selalu mengalami mutasi genetik. Salah satu hasil mutasi genetik virus tersebut mengakibatkan munculnya Flu Singapura. Pada makalah ini, akan dianalisa penyebaran penyakit Flu Singapura menggunakan model SEIRS. Berdasarkan model, secara umum, diperoleh 2 jenis

titik ekuilibrium yaitu titik ekuilibrium bebas penyakit ( P 0 ) dan titik ekuilibrium pandemik ( * P ). Untuk R

0  1 , titik ekuilibrium P 0 stabil asimtotik lokal. Lebih lanjut, titik ekuilibrium P 0 stabil asimtotik global untuk R 0  1 . Untuk R 0  1

titik ekuilibrium * P

0 tidak stabil sedangkan P stabil asimtotis lokal. Pada akhir

makalah, dilakukan simulasi untuk melihat perilaku penyakit menggunakan MAPLE 15.

Kata kunci: Flu Singapura, SEIRS, titik ekuilibrium, kestabilan, simulasi

A. PENDAHULUAN

Influenza atau yang biasa disebut flu merupakan salah satu penyakit yang dapat menular. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini adalah menggigil, demam, nyeri tenggorok, nyeri otot, kepala berat, batuk, lemas, dan rasa tidak nyaman (Roy N, dkk, 2010). Influenza disebabkan oleh virus yang dapat mengalami perubahan genetik (mutasi) yang lebih cepat sehingga dapat menyebabkan munculnya jenis virus influenza yang baru. Perubahan genetik terjadi terus menerus pada virus influenza, hingga pada tahun 1969 muncul virus influenza baru di California yang kemudian dikenal sebagai penyebab penyakit “Flu Singapura” (Badrul

H, dkk, 2003). Dinamakan Flu Singapura karena pertama kali mewabah di Singapura pada tahun 1970 (Li Wei Ang dkk, 2009). Flu Singapura menyerang tangan, kaki dan mulut. Umumnya menyerang anak-anak usia

2 minggu sampai dengan 5 tahun (kadang sampai 10 tahun). Flu Singapura disebabkan oleh Genus Enterovirus (Badrul H, dkk, 2003). Akan tetapi virus yang biasanya menyebabkan penyakit ini adalah Coxsackievirus A16 dan Enterovirus 71 yang merupakan strain dari Genus Enterovirus . Masa inkubasi HFMD sekitar 2 sampai 5 hari. Sedangkan waktu saat individu telah menunjukkan gejala sampai terkena penyakit sekitar 3 sampai 7 hari. Bagi yang telah terkena Flu Singapura, dapat kembali terkena dengan strain virus yang sama atau berbeda dari sebelumnya tetapi masih dalam Genus Enterovirus. Oleh karena itu, matematika sebagai salah satu ilmu yang dapat menganalisis dinamika penyebaran penyakit, dapat membantu memberikan saran dari sudut pandang matematis agar penyebarannya dapat diminimalisir.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan M atematika FM IPA

Pada makalah ini, akan diformulasikan model matematika tentang penyebaran penyakit Flu Singapura. Selanjutnya akan dianalisa model matematika tersebut menggunakan model SEIRS yang merupakan salah satu model matematika tentang penyebaran penyakit. Pada model SEIRS, populasi terbagi menjadi 4 kelas yaitu: S menyatakan populasi individu yang rentan, E menyatakan populasi individu yang sebenarnya telah terinfeksi penyakit tetapi belum menunjukkan gejala-gejala penyakit, I menyatakan populasi individu yang terinfeksi,

R menyatakan populasi individu yang sembuh dari penyakit. Model SEIRS memungkinkan individu yang telah sembuh (R), akan kembali ke kelas rentan (S). Pada dasarnya, model SEIRS dapat diterapkan pada penyakit Flu Singapura karena Flu Singapura mempunyai masa inkubasi yang menyebabkan adanya kelas E dan individu yang terinfeksi virus kemudian sembuh, dapat kembali terinfeksi. Selanjutnya akan dicari titik-titik ekuilibrium model. Berdasarkan masing-masing titik ekuilibrium yang diperoleh akan dianalisa kestabilannya. Pada akhir makalah, akan dibahas mengenai simulasi model.

B. PEMBAHASAN

1. Formulasi Model

Diasumsikan bahwa laju kelahiran sama dengan laju kematian alami. Selain itu, didefinisikan  untuk laju kelahiran dan laju kematian alami. Diasumsikan pula semua bayi yang lahir masuk ke kelas S sebagai individu yang rentan terhadap Flu Singapura. Selanjutnya didefinisikan  yang menyatakan laju kontak antara individu yang terinfeksi dengan individu rentan yang kemudian berada dalam masa inkubasi. Didefinisikan 

yang menyatakan laju individu yang sembuh dari penyakit. Diasumsikan individu yang sembuh dari penyakit akan masuk kembali ke kelas S. Kemudian, didefinisikan  menyatakan laju individu yang terinfeksi jika telah menunjukkan gejala-gejala penyakit,

 menyatakan laju kematian karena Flu Singapura,  menyatakan laju individu yang sembuh kemudian kembali rentan (transmisi) yaitu masuk ke kelas S dengan strain virus

yang sama atau berbeda. Selanjutnya dilakukan pembentukan model SEIRS untuk Flu Singapura. Perubahan populasi kelas S akan bertambah karena kelahiran dan kesembuhan individu yang pernah menderita Flu Singapura, akan berkurang karena kematian alami yang terjadi pada individu dikelas S. Kemudian berkurangnya kelas S dipengaruhi oleh kontak antara individu yang terinfeksi dengan individu yang rentan. Oleh karena itu, didapatkan persamaan diferensial sebagai berikut:

dS  

SI   S   R .

(1a)

dt

Individu yang rentan akan mengalami masa inkubasi setelah terjadi kontak/penularan dengan individu yang telah terinfeksi yang artinya akan masuk kekelas

E. Oleh karena itu, populasi kelas E akan bertambah karena kontak antara individu rentan dan individu yang terinfeksi, akan berkurang karena kematian alami pada kelas E dan akan berkurang pula dengan bertambahnya individu yang terinfeksi setelah mengalami gejala-gejala penyakit. Maka didapatkan persamaan diferensial berikut:

dE  

SI   E   E .

(1b)

dt

Selanjutnya setelah individu mengalami gejala-gejala penyakit, akan masuk ke kelas I yang semakin bertambah karena individu yang telah mengalami masa inkubasi kemudian terinfeksi penyakit. Populasi kelas I akan berkurang karena kematian alami dan Selanjutnya setelah individu mengalami gejala-gejala penyakit, akan masuk ke kelas I yang semakin bertambah karena individu yang telah mengalami masa inkubasi kemudian terinfeksi penyakit. Populasi kelas I akan berkurang karena kematian alami dan

dI  

(1c)

dt

Populasi kelas R akan bertambah karena laju kesembuhan individu yang telah terinfeksi Flu Singapura. Akan berkurang karena kematian alami yang ada di kelas R dan berkurang pula kerena individu yang telah sembuh kembali rentan yang artinya masuk ke kelas S. Didapatkan persamaan diferensial sebagai berikut:

dR  

(1d)

dt

Persamaan (1a), (1b), (1c) dan (1d) membentuk sistem persamaan diferensial yang selanjutnya disebut sebagai model untuk penyebaran penyakit Flu Singapura.

2. Titik Ekuilibrium Model

Berikut akan dibahas mengenai titik-titik ekuilibrium Sistem (1) dalam Lemma 1

Lemma 1

a. Jika I  0 , maka Sistem (1) mempunyai titik ekuilibrium bebas penyakit, P 0  (1,0, 0,0)

b. * Jika I  0 (dinotasikan dengan I ), maka Sistem (1) mempunyai titik ekuilibrium

pandemik, * P  (, SEIR ,, )

Bukti:

dE dI dR Sistem (1) akan mencapai titik ekuilibrium jika

dS

dt dt sehingga Sistem (1) dapat ditulis

dt

dt

  SI   S   R  0 (2a)

 SI   E   E  0 (2b)

 E   I   I   I  0 (2c)

 I   R   R  0 (2d)

a. Jika I  0 , maka dari Persamaan (2d) diperoleh R  0 . Akibatnya jika I  0 dan R  0 disubstitusi ke Persamaan (2a) diperoleh S  1 . Selanjutnya jika I  0 ,

R  0 dan S  1 , disubstitusikan (2b) diperoleh E  0 .

Jadi, terbukti titik ekuilibrium bebas penyakit yaitu P 0  (1,0, 0,0) . ∎

b. Jika * I  0 maka Persamaan (2c) menjadi  E   I   I   I  0 atau

E *   I . Selanjutnya jika E disubstitusikan ke Persamaan (2b) 

diperoleh S   . Selanjutnya dari Persamaan (2d) diperoleh

R *  I . Akibatnya dari Persamaan (2a) diperoleh

Dengan demikian diperoleh titik ekuilibrium pandemik yaitu * P  (, SEIR ,, )

(   )(  ) *     * dengan S 

, E 

I *  dan R  I . ∎

3. Analisa Kestabilan

Berikut akan dibahas mengenai analisa kestabilan disekitar titik ekuilibrium dalam Lemma 2, Lemma 3, Lemma 4 dan Lemma 5.

Lemma 2

Jika R 0   1 , maka titik ekuilibrium P 0  (1,0, 0,0) stabil

asimtotik lokal. Bukti:

Matriks Jacobian disekitar titik ekuilibrium P 0  (1,0, 0,0) adalah

Persamaan karakteristik dari (3) yaitu J P 0  kI  , dengan 0 k adalah nilai eigen,

  k

0   k

  k

  k

k   (  ) k   k  k    2              0 (4)

Persamaan (4) dapat ditulis menjadi

k   (  )  k   k  Ak  B   0

A     2    dan B          . Berdasarkan persamaan (4) diperoleh nilai eigen k 1   dan k 2      , sedangkan nilai eigen

dengan

yang lain merupakan akar-akar dari

2 k  Ak  B 0 (5)

Selanjutnya didefinisikan R 0 

 . Perhatikan bahwa pada persamaan      (4) nilai A     2     0 . Karena diketahui R 0  1 , maka nilai

B         

  1 R 0        0

Berdasarkan Kriteria Routh Hurwitz, pembuat nol dari Persamaan (5) akan bernilai negatif jika A  0 dan B  0 (Hahn, 1967). Hal ini berarti semua nilai eigen Persamaan

(4) bernilai negatif, akibatnya titik ekuilibrium P 0   1,0,0, 0  stabil asimtotik lokal. ∎

Lemma 3

Jika R 0   1 , maka titik ekuilibrium P 0  (1,0, 0,0) stabil

asimtotik global

Bukti: Untuk meninjau kestabilan global, didefinisikan fungsi Liapunov 4 V : R

  R dengan

    SEIR ,,,  : S  E I R 1  dan

V  x   E      I . (6)

Diperhatikankan bahwa fungsi 4 V : R

  R pada Persamaan (6) memenuhi:

a. Fungsi 4 V kontinu dan mempunyai turunan parsial yang kontinu pada R .

b. Fungsi V definit positif.

c. Fungsi V   x  0 . Jika kedua ruas dari Persamaan (6) diturunkan terhadap t , maka

diperoleh 

V  x 

 V S  V E  V I  V R

 I t  R  t

   S         I

   S         I

 S

 1        I

           R 0  1       I

0 untuk setiap x   SEIR ,,,   R dan x bukan titik ekuilibrium, yaitu x   1,0, 0,0  .

jadi, 4 V  x 

d. Untuk x   1,0, 0,0  maka diperoleh V   x  0 .

Dari a, b, c dan d berdasarkan Luenberger (1979:337) dan Brock (1989:116),

terbukti bahwa titik ekuilibrium P 0   1,0,0, 0  stabil asimtotik global ∎.

Lemma 4

Jika R 0 

 1 ,maka titik ekuilibrium P 0   1,0,0, 0  tidak stabil.      

Bukti:

Diperhatikan Persamaan (5). Karena diketahui R 0  1 , jelas bahwa persamaan kuadrat pada Persamaan (5) mempunyai diskriminan lebih besar dari nol. Jika k 3 dan k 4

merupakan akar-akar dari Persamaan (5), maka diperoleh

kk 34         

  1R 0      

Karena diketahui R 0  1 maka kk 34  0 , artinya akar-akar Persamaan (5) berbeda tanda ( k 3 positif dan k 4 negatif, atau sebaliknya). Dengan kata lain, jika R 0  1 , maka Persamaan (4) mempunyai satu nilai eigen positif, sehingga titik ekuilibrium

P 0   1,0,0, 0  tidak stabil. ∎

Lemma 5

Jika * R

0   1 ,maka titik ekuilibrium P  (, SEIR ,, ) stabil

asimtotik lokal. Bukti:

Matriks Jacobian disekitar titik ekuilibrium * P  (, SEIR ,, )

I  

Persamaan karakteristik dari (7) yaitu J P *  kI  , dengan 0 k adalah nilai eigen

 * I      

      k

      k

Misalkan * a     

, b    I    , c      dan d      , diperoleh

a  b c dk    bd  bc  ab  cd  ac  ad   S  k 

 bcd  abc  abd  acd  b  S   Sa   IS   k  abcd  b  aS

 *  IS  a    I 

4 3 Persamaan (8) dapat ditulis 2 k  Ck  Dk  Ek . F 0

Dapat dilihat bahwa a  0, c  0, d  0 . Selanjutnya akan dibuktikan b  0 dengan terlebih dahulu membuktikan * I . 0 Oleh karena R

0  , jadi, terbukti 1

I *  0 , selanjutnya terbukti pula b   

I     0 . Menurut Kriteria Routh

4 3 Hurwitz, pembuat nol dari 2 k  Ck  Dk  Ek  F , mensyaratkan CDEF ,,,  0

2 dan 2 CDE  E  CF . Dapat dilihat bahwa C . ,, 0 DEF  dapat dibuktikan 0

2 pula dengan mudah. Untuk 2 CDE  E  CF dapat dibuktikan dengan substitusi nilai-niai parameter. Oleh karena semua syarat stabil asimtotik lokal menurut

kriteria Routh Hurwitz telah terpenuhi, maka terbukti * P  (, SEIR ,, ) stabil asimtotik lokal. ∎

4. Simulasi Model

Berikut akan dibahas mengenai simulasi dari sistem persamaan diferensial untuk Flu Singapura (1) yang dapat diselesaikan secara numerik menggunakan MAPLE 15. Diberikan simulasi jika R 0  1 dan R 0  1 . Untuk R 0  1 , diberikan nilai-nilai parameter

sebagai berikut , 8  0,5 ,   0, 2 ,  0, 012 ,   0, 0062 dan   0,5 ( Shulin S, 2012) . Dengan demikian diperoleh

Gambar 1. Simulasi Sistem (1) untuk R 0  1

Jika nilai-nilai parameter disubstitusikan pada Sistem (1), akan diperoleh R 0  0,0035 . Berdasarkan Gambar (1), tampak bahwa perilaku solusi akan menuju ke

titik ekuilibrium P 0 sesaat setelah t  0,6 . Dengan kata lain, pada saat R 0  1 semakin lama Flu Singapura akan hilang dari populasi. Di lain pihak, ketika R 0  1 Flu Singapura akan ada dalam populasi. Untuk R 0  1 , diberikan nilai-nilai parameter sebagai berikut  0, 0027 ,  0,5 ,   0, 2 ,  0, 012 dan   0, 0062 . Simulasi untuk R 0  1 akan diberikan pada gambar-gambar berikut

Gambar 2. Simulasi Sistem (1) untuk

R 0  2,856761 dengan   0,6

Gambar 3. Simulasi Sistem (1) untuk R 0  8,570283 dengan   1,8

Berdasarkan gambar-gambar diatas, tampak bahwa saat populasi kelas S turun, ada populasi kelas E dikarenakan kontak antara kelas S dan kelas I, sehingga saat populasi kelas S turun, populasi kelas I naik kemudian saat populasi kelas I turun, populasi kelas R naik selanjutnya saat populasi kelas R turun, populasi kelas S naik karena individu yang telah sembuh, akan kembali rentan. Nilai parameter  yang semakin membesar sejalan dengan

R 0 yang membesar pula. Artinya bahwa jika laju kontak antara individu yang terinfeksi R 0 yang membesar pula. Artinya bahwa jika laju kontak antara individu yang terinfeksi

C. SIMPULAN

Berdasarkann pembahasan, dapat disimpulkan bahwa model matematika untuk penyebaran Flu Singapura berdasarkan model SEIRS menghasilkan sistem persamaan diferensial nonlinear berikut

dS  

SI   S   R

dt

dE  

SI   E   E

dt

dI  

dt

dR  

dt

Selanjutnya diperoleh dua titik ekuilibrium yaitu titik ekuilibrium bebas penyakit

0  (1,0, 0,0) dan titik ekuilibrium pandemik P  (, SEIR ,, ) dengan

(   )(  ) *     * S 

, E  I   ,

I *  dan R  I . Setelah dilakukan

analisa, titik ekuilibrium bebas penyakit stabil asimtotik global dan titik ekuilibrium pandemik stabil asimtotik lokal. Jika laju kontak individu yang rentan menjadi terpapar dan individu terpapar menjadi terinfeksi kurang dari laju kematian alami, laju kematian karena Flu Singapura, laju kesembuhan dan laju transmisi sehingga individu yang telah sembuh kembali rentan Flu Singapura, maka pada waktu tertentu Flu Singapura akan menghilang dari populasi. Jika sebaliknya, maka Flu Singapura tetap akan ada dalam populasi Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, Flu Singapura tidak akan ada lagi dalam populasi atau masih ada, tergantung dari nilai laju kontak dan nilai laju kelahiran/kematian alami.

D. DAFTAR PUSTAKA

Badrul H dkk, 2003.The Hand, Foot and Mouth Disease (HFMD) Outbreak in the State of Johor, Malaysia in the Year 2000.Malaysian Journal of Public Health Medicine.Vol 3(1):68-72

Brock W A, 1989, Differential Equations Stability and Chaos in Dynamic Economics, Elsevier Science, Amsterdam

Hahn. 1967. Stability of Motion.Spinger-Verlag.New York.

Li Wei Ang dkk, 2009, Epidemiology and Control of Hand, Foot and Mouth Disease in Singapore, 2001-2007, Annals Academy of Medicine, 38:106-12

Luenberger, D. G. 1979. Introduction to Dynamics System. Canada. Simultaneously.

Roy N, 2012. Mathematical Modeling of Hand-Foot-Mouth Disease: Quarantine as a Control Measure. IJASETR Research Paper ISSN: 1839-7239. Vol. 1 Issue 2 Article 4

Roy, N., Halder, N., 2010. Compartmental Modeling of Hand, Foot and Mouth Infectious Disease (HFMD). Research Journal of Applied Sciences. Vol. 5 No. 3: 177- 182.

Shulin Sun, 2012, Global Analysis of an SEIRS Mode with Saturating Contact Rate, Applied Mathematical Sciences , Vol. 6, 2012, no. 80, 3991 - 4003.

T - 24

MANAJEMEN RISIKO DENGAN MENGGUNAKAN LEVY COPULA

1 Retno Budiarti 2 , I Gusti Putu Purnaba 1,2 Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Imu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor Jln. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

1 retno.budiarti@gmail.com, 2 purnaba@gmail.com

Abstrak

Saat ini, mengukur dan mengelola risiko keuangan berada di garis depan penelitian keuangan kuantitatif, terutama pada saat terjadi gejolak di pasar keuangan. Teknik-teknik pemodelan risiko tradisional bergantung pada asumsi bahwa imbal hasil (return) menyebar normal (asumsi kenormalan). Hal ini sulit dipenuhi pada situasi riil, terutama pada pasar keuangan yang mengalami distress, seperti yang ditunjukkan pada krisis keuangan baru-baru ini. Mengevaluasi instrumen keuangan dan portofolio yang kompleks dibutuhkan analisis peubah ganda (multivariate analisis). Fungsi sebaran bersama copula memberikan cara yang tidak sulit untuk memisahkan perilaku fungsi peluang marginal dari fungsi sebaran bersamanya. Menggambarkan pergerakan/dinamika harga aset menggunakan Geometric Brownian motion mempunyai kelemahan yang serius, yaitu asumsi kenormalan dari sebaran imbal hasil, akibatnya tidak dapat digunakan untuk menganalisis data riil dari harga aset yang mengalami lompatan (jump) besar. Proses Levy dapat memecahkan masalah analisis data harga aset yang mengalami lompatan (jump) tersebut, Pada penelitian ini kami menggabungkan pemodelan Levy dengan pemodelan copula untuk sebaran bersama dari imbal hasil, yang disebut dengan Levy copula. Cara sistematis untuk menggambarkan struktur ketakbebasan dari 2 peubah acak adalah menggunakan fungsi copula . Pengembangan gagasan ini untuk kasus proses Levy adalah gagasan Levy copula yang menyediakan cara sistematis untuk membentuk

proses Levy multivariat dari proses Levy satu dimensi. Hasil simulasi

memperlihatkan bahwa jika komponen pembentuk Levy multivariate berbeda maka proses lompatannya juga berbeda baik frekuensi maupun besar lompatan.

Kata kunci : manajemen risiko, ketidakbebasan (dependence), lompatan (jump), Levy copula.

A. PENDAHULUAN

Setiap kegiatan manusia, individu maupun kelompok/institusi, selalu menghadapi ketidakpastian yang dapat menimbulkan kerugian maupun keuntungan. Ketidakpastian yang dapat menimbulkan kerugian disebut dengan risiko. Salah satu upaya manusia untuk memperkecil risiko yang akan dihadapinya adalah dengan cara melakukan managemen risiko (mengelola risiko). Isu sentral dalam managemen risiko modern adalah pengukuran risiko.

Ada beberapa ukuran risiko yaitu Value at Risk (VaR), Mean-VaR, Expected Shortfall (ES), dan lain-lain. Ada beberapa pendekatan dalam pengukuran risiko, di antaranya adalah pengukuran risiko berdasarkan sebaran kerugian (loss distribution), dan VaR adalah salah satu ukuran risiko yang berdasarkan sebaran kerugian.

Saat ini, mengukur dan mengelola risiko keuangan berada di garis depan penelitian keuangan kuantitatif, terutama pada saat terjadi gejolak di pasar keuangan. Permasalahannya

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Mengevaluasi instrumen keuangan dan portofolio yang kompleks dibutuhkan analisis peubah ganda (multivariate analysis). Menghadapi ketidakbebasan bagian ekor dalam sebaran peubah ganda merupakan masalah yang kompleks. Pemodelan peubah ganda dengan COPULA merupakan pendekatan yang fleksibel yang merupakan standar dalam aplikasi managemen risiko. Fungsi sebaran bersama copula memberikan cara yang tidak sulit untuk memisahkan perilaku fungsi peluang marginal dari fungsi sebaran bersamanya.

Menggambarkan dinamika harga aset merupakan masalah yang menantang. Geometric Brownian motion (metode tradisional yang digunakan sebagai model dalam bidang keuangan) mempunyai kelemahan, yaitu asumsi kenormalan dari sebaran imbal hasil, akibatnya tidak dapat menganalisis data riil dari harga aset yang mengalami lompatan (jump) besar. Proses Levy dapat memecahkan masalah analisis data harga aset yang mengalami lompatan (jump) tersebut.

Pada penelitian ini, kami menggabungkan pemodelan Levy dengan pemodelan copula untuk sebaran bersama imbal hasil, untuk tujuan managemen risiko. Kami merencanakan untuk mengerjakan hal tersebut yang selanjutnya disebut dengan Levy copula. Pemodelan Levy copula cocok diaplikasikan pada bidang keuangan yang memerlukan model multidimensi dengan lompatan (jump), yang mempertimbangkan ketakbebasan antar komponen faktor risiko.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, kami mempunyai penelitian besar dengan beberapa tujuan: (1) karakterisasi Levy copula, (2) melakukan simulasi sebaran peubah ganda (multivariate distribution) dari Levy copula, (3) Implikasi dari penggunaan Levy copula untuk managemen risiko atas portofolio kompleks, dengan fokus khusus pada emerging markets’ portfolios, (4) merancang dan menguji model VaR dengan Levy copula, (5) penilaian dan lindung nilai (hedging) dari multi-asset derivative dalam kerangka kerja proses Levy. Pada penelitian ini, dikerjakan tujuan (1) dan (2).

B. PEMBAHASAN Copula

Definisi 1 (copula). Copula adalah fungsi : [0,1] → [0,1] yang memenuhi: (1) ( , 0) = ( 0, ) = 0 (Grounded) (2) ( , 1) = , ( 1, ) = (3) ∀ , , , ∈ [0,1], ≤ , ≤

( , ) − ( , ) − ( , )+ ( , ) ≥ 0 (Cont dan Tankov, 2004; Nelsen, 2010; McNeil et al, 2005)

Proses Levy

Definisi 2 (Fungsi Cadlag) Fungsi d f :[0, ] T   disebut ‘Cadlag’ jika fungsi tersebut kontinu kanan dengan limit kiri

(right-continuous with left limit) : untuk setiap t  [0, ] T limit berikut ada

ft   s  lim tst  fs ()

ft   s  lim tst  fs () ft   s  lim tst  fs ()

Definisi 3 (Proses Levy)

Proses stokastik d 

Xt t ,  0  pada ruang peluang   ,, F P adalah proses Levy jika kondisi 

berikut dipenuhi

1. X 0  0 .

2. Untuk n  1, dan 0  t 0 t 1   t n , vektor acak X,X-X, t 0 t 1 t 0  ,X-X t n t n-1 saling bebas (sifat inkremen bebas ).

3. Sebaran dari X-X s+t s tidak tergantung pada s (sifat inkremen stasioner).

4. Terdapat  0 F dengan ( P  0 )1 sehingga untuk setiap   0 , X t ()  kontinu kanan pada t  dan mempunyai limit kiri pada 0 t  (sifat ‘cadlag’ 0 ).

(Cont dan Tankov, 2004; Kou,2002 )

Proses Levy memungkinkan untuk membentuk model-model yang lebih realistis dari dinamika harga aset dan menawarkan penghitungan risiko yang lebih akurat dibandingkan dengan model-model berbasis difusi. Proses Levy cukup mudah dikerjakan dibandingkan dengan model difusi nonlinier, tapi jika dimensi yang dihadapi besar maka metode numerik tidak dapat dihindari. Ketika ketakbebasan komponen-komponen dari proses Levy multidimensi telah ditentukan oleh Levy Copula, proses Levy multidimensi dapat dibentuk.

Sebagai langkah awal, dilakukan simulasi untuk membentuk proses Levy berdimensi-2

X t   XY t , t 

X dan

. Struktur ketakbebasan dari

dapat ditentukan oleh Levy Copula F.

Algoritma simulasi t , didasarkan pada penghitungan jump dari

dan simulasikan jump Y t

U pada

bersyarat pada ukuran jump dalam komponen pertama. Misalkan

1 integral tail dari

X t U dan 2

integral tail pada Berikut disajikan algoritma untuk membentuk proses Levy berdimensi-2 dari komponen-komponennya dengan tingkat ketakbebasan bervariasi . Algoritma : Simulasi dari proses Levy berdimensi-2 dengan tingkat ketakbebasan tertentu. 

adalah banyaknya jump. Tentukan besaran *  yang tergantung pada tingkat

Misalkan

ketelitian yang diinginkan dan kapasitas komputasi. Tentukan level pemotongan : jump dalam

U 1  

yang lebih kecil daripada

dipotong/dibuang.

k  0, 0,

 Diawali dengan

U k  

 Ulangi jika  k=k+1  Simulasikan T k

: eksponen standar

: didapatkan perubahan jump dalam komponen pertama

 Fxy  ,

Fy

x    Simulasikan 1

: didapatkan perubahan jump dalam komponen kedua

dari fungsi sebaran

 Simulasikan V k : peubah menyebar seragam [0,1] (didapatkan waktu saat jump terjadi)

Lintasan (trajectory) diberikan oleh

X t   1 V i  t U 1   i

Y t   1 V i  t U 2   i

Implementasi dari algoritma di atas adalah digunakan proses ½- stable dan proses Poisson majemuk sebagai komponen-komponennya, dan positive Clayton Levy copula digunakan sebagai penghubung. Bentuk dari positive Clayton Levy copula adalah sebagai berikut :

  xy ,    x  y  1  untuk   0.

Proses ½- stable

vx  

3/ 2 1 x  0

Sebaran Levy mempunyai fungsi kepekatan

, Integral ekor berdimensi 1 didefinisikan sebagai

Ux  

 v   x ,    ; x  0

Diintegralkan, didapat

Ux        1/ 2

; x   0

Inversnya adalah

U  y 

2 untuk 0  y

Proses Poisson Majemuk

Implementasi lain dari algoritma di atas adalah subordinator marginal sama yaitu proses Poisson majemuk, dengan distribusi jump adalah distribusi Pareto umum. Fungsi sebaran dari distribusi pareto umum adalah sebagai berikut

 1  1  x    

; jika   0

G  ;;  x   

  1  e ; jika   0

dengan β > 0 dan

x 

 Parameter

disebut parameter shape, parameter  disebut parameter threshold, dan 

X parameter

disebut parameter scale. Proses Poisson majemuk berdimensi-1 t dengan intensitas  dan jump probability measure F mempunyai fungsi karakteristik berikut

P  X t  u  exp  t    e  1  dF x   .

iux

Integral ekor dari peubah acak positif sebagai berikut

Ux     Fx   ; x  0

dengan Fx    P  X  x  .

(Cont dan Tankov, 2004)

Dalam kasus khusus bahwa sebaran dari jump adalah distribusi Pareto umum (GDP) dengan   0 , maka integral ekor adalah sebagai berikut

 Ux   

;0  x 

Inversnya , U   sebagai berikut

U  y  sup  xUx :   y  .

Penyelesaian ketaksamaan

  1   x     

adalah

0 ;  

  1 

U        

      1  ;    

  

Berikut ini adalah beberapa hasil simulasi, diperlihatkan pada Gambar 1 sampai dengan Gambar 4, dengan komponen-komponennya merupakan 1/2- stable processes yang dihubungkan oleh positive Clayton Levy copulas. Sedangkan Gambar 5 sampai dengan Gambar 8 merupakan hasil simulasi dengan komponen-komponennya merupakan proses Poisson majemuk yang dihubungkan juga oleh positive Clayton Levy copulas.

Gambar 1. Simulasi proses Lavy dimensi dua =( , ) . dan adalah - stable processes dengan lompatan positif, dan keduanya dihubungkan oleh Cleyton Levy copula dengan = 0.5 .

Gambar 2 Simulasi proses Lavy dimensi dua =( , ) . dan adalah - stable processes dengan lompatan positif, dan keduanya dihubungkan oleh Cleyton Levy copula dengan = 3.4 .

Gambar 3 Simulasi proses Lavy dimensi dua =( , ) . dan adalah - stable processes dengan lompatan positif, dan keduanya dihubungkan oleh Cleyton Levy copula dengan = 10.0 .

Gambar 4 Simulasi proses Lavy dimensi dua =( , ) . dan adalah - stable processes dengan lompatan positif, dan keduanya dihubungkan oleh Cleyton Levy copula dengan = 50.0 .

Gambar 1 sampai dengan Gambar 4 memperlihatkan hasil simulasi lintasan X t   XY t , t 

dari subordinator dengan ½-stable margins dan tak bebas diberikan oleh Clayton Levy copula dengan parameter θ yang berbeda. Pada gambar tersebut juga diperlihatkan bahwa lompatan yang terjadi sangat banyak tetapi kecil-kecil dan hanya beberapa lompatan besar. Gambar 5

struktur ketakbebasan pa ling lemah, ditandai dengan nilai θ paling kecil yaitu  0.5 , maka lintasan X t dan Y t berbeda. Sedangkan Gambar 4 struktur ketakbebasannya mendekati

sempurna, ditandai dengan nilai θ yang sangat besar yaitu  50 , maka terlihat bahwa lintasan

X t dan Y t mirip dan hampir berimpit, artinya pergerakan X t dan Y t saling mempengaruhi.

Berikut ini adalah hasil simulasi proses Lavy dimensi dua =( , ) . dan adalah compound Poisson processes dengan lompatan positif, dan keduanya dihubungkan oleh Cleyton Levy copula dengan nilai θ bervariasi. Parameter yang digunakan dalam fungsi

adalah: = 10 , = 0.618 , =1 , dan =5 .

Gambar 5 Simulasi proses Lavy dimensi dua =( , ) . dan adalah compound Poisson processes dengan lompatan positif, dan keduanya dihubungkan oleh Cleyton Levy copula dengan = 0.5 .

Gambar 6 Simulasi proses Lavy dimensi dua =( , ) . dan adalah compound Poisson processes dengan lompatan positif, dan keduanya dihubungkan oleh Cleyton Levy copula dengan = 1.4 .

Gambar 7 Simulasi proses Lavy dimensi dua =( , ) . dan adalah compound Poisson processes dengan lompatan positif, dan keduanya dihubungkan oleh Cleyton Levy copula dengan = 3.4 .

Gambar 8 Simulasi proses Lavy dimensi dua =( , ) . dan adalah compound Poisson processes dengan lompatan positif, dan keduanya dihubungkan oleh Cleyton Levy copula dengan = 20.0 .

Gambar 5 sampai dengan Gambar 8 memperlihatkan hasil simulasi lintasan X t   XY t , t 

dengan X t dan Y t adalah compound Poisson processes dan keduanya dihubungkan oleh Clayton Levy copula dengan parameter θ yang berbeda. Pada gambar tersebut juga diperlihatkan bahwa lompatan yang terjadi terhingga banyaknya dan hampir semua merupakan lompatan besar.

Gambar 5 str uktur ketakbebasan paling lemah, ditandai dengan nilai θ paling kecil yaitu  0.5 , maka lintasan X t dan Y t berbeda. Sedangkan Gambar 8 struktur ketakbebasannya mendekati sempurna, ditandai dengan nilai θ yang sangat besar yaitu  20 , maka terlihat bahwa lintasan

X t dan Y t mirip dan hampir berimpit, artinya pergerakan X t dan Y t saling mempengaruhi.

Perbedaan dua hasil simulasi di atas adalah jika proses Levy multidimensi dibentuk dari proses individu compound Poisson processes, maka hanya terjadi beberapa lompatan tetapi besaran dari lompata tersebut cukup besar, tetapi jika dibentuk dari ½-stable processes maka lompatan yang terjadi sangat banyak tetapi besarannya kecil.

C. KESIMPULAN

Proses Levy diusulkan untuk memecahkan masalah analisis data harga aset yang mengalami lompatan (jump). Suatu proses jump (lompatan) dikenalkan untuk menghitung return yang besar, dibutuhkan alat untuk parametisasi ketakbebasan antar jumps (lompatan-lompatan): lompatan (jump) mewakili risiko sistemik dan tidak dapat diasumsikan independen antar aset-aset.

Cara sistematis untuk menggambarkan struktur ketakbebasan dari 2 peubah acak adalah menggunakan fungsi copula. Pengembangan gagasan ini untuk kasus proses Levy adalah gagasan Levy copula yang menyediakan cara sistematis untuk membentuk proses Levy multivariat dari proses Levy satu dimensi. Pembentukan model oleh Levy copula adalah pendekatan umum yang membolehkan penentuan struktur ketakbebasan secara fleksibel antar asset return. Ketika struktur ketakbebasan komponen-komponen dari proses Levy multidimensi telah diketahui oleh Levy copula, maka proses Levy multidimensi dapat dibentuk.

Hasil simulasi memperlihatkan bahwa jika komponen pembentuk Levy multivariate berbeda maka proses lompatannya juga berbeda baik frekuensi maupun besar lompatan.

D. DAFTAR PUSTAKA

Cont R dan P Tankov. 2004. Financial Modelling with Jump Processes. Chapman & Hall, New York.

Embrechts P, F Lindskog, and A. McNeil. 2001. Modelling Dependence with Copulas and Applications to Risk Management. Preprint, available from www.math.ethz.ch/finance .

Kallsen J. dan P. Tankov. 2004. Characterization of Dependence of Multidimensional Levy

Processes using Levy Copulas. Preprint, available from www.cmap.polytechnique .

McNeil AJ, R. Frey, dan P. Embrechts. 2005. Quantitative Risk Management: Concept, Techniques, and Tools. Princeton University Press.

Winkel M. 2010. Levy processes and Finance. Preprint, available from www.cmap.polytechnique .

Kou S. 2002. A Jump-difussion model for option pricing. Management Science, 48.

Nelsen RB. 2010. An Introduction to Copulas. Second edition. Springer, New York.

T - 25

PENERAPAN ALGORITMA KLASIFIKASI BERBASIS ASSOCIATION RULE PADA DATA METEOROLOGI

1 2 3 Rizky Kartika Putri 4 , M. Iqbal , Hanim Maria Astuti , Imam Mukhlash 1,2,4 Jurusan Matematika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

3 Jurusan Sistem Informasi, FTIF, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

1 shinan_hams@yahoo.com, 2 iqbalmohammad.math@gmail.com,

3 hanim03@gmail.com 4 , imamm@matematika.its.ac.id

Abstrak

Kajian mengenai data mining pada data cuaca telah banyak dilakukan. Beberapa teknik data mining telah banyak dikembangkan, antara lain teknik asosiasi, clustering , sequence pattern, dan klasifikasi. Pada penelitian ini peneliti menggunakan kaidah asosiasi (association rules) untuk membantu klasifikasi dengan cara memperluas ide dasar dari aturan asosiasi dan mengintegrasikannya dengan klasifikasi untuk menghasilkan subset dari effective rules. Algoritma yang digunakan adalah algoritma Classification Based Association (CBA).

Selanjutnya, klasifikasi berbasis asosiasi ini diimplementasikan untuk mengklasifikasi data cuaca. Komponen cuaca yang digunakan sebagai parameter adalah suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, indeks uv, suhu titik embun, dan tutupan awan. Sedangkan class yang digunakan untuk data uji terdiri dari dua kelompok class, yaitu 14 class untuk uji pertama dan 2 class untuk uji kedua. Dengan menggunakan nilai minimum support dan minimum confidence akan didapat rule dan classifier sebagai output dari Algoritma CBA. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa nilai akurasi yang didapat dari pengujian dataset dengan 2 class berbeda adalah 79.5%. Sedangkan uji coba untuk dataset dengan 14 class berbeda didapatkan akurasi sebesar 50.93%.

Kata kunci: Association Rule, CBA, Cuaca, Data Mining, Klasifikasi

A. PENDAHULUAN

Data mining atau sering disebut sebagai knowledge discovery in database (KDD) adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan dan pemakaian data historis untuk menemukan keteraturan, pola atau hubungan dalam data berukuran besar. Output data mining bisa digunakan untuk membantu pengambilan keputusan di masa depan. Data mining telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti sains, teknik dan bisnis. Tujuan utama data mining adalah untuk menemukan informasi penting dalam database. Beberapa teknik data mining telah banyak dikembangkan, seperti association rule, klastering, sequence pattern, dan klasifikasi.

Klasifikasi merupakan tugas (task) pembelajaran fungsi (model) yang memetakan suatu item data ke dalam kelas dari sejumlah kelas yang telah didefinisikan sebelumnya (Tan, et. al, 2006). Beberapa metode klasifikasi telah dikembangkan, antara lain yaitu decision tree, Bayesian network dan support vector machine. Task lain yang penting dalam data mining adalah penemuan association rules dalam data. Association rule mining adalah penemuan pola intra transactional dalam database yang terjadi hanya pada sebuah event. Awalnya, association rule dapat digunakan untuk mengidentifikasi item-item yang dibeli secara bersamaan pada transaksi penjualan produk tertentu (market basket analysis). Pada perkembangannya, metode ini banyak dimanfaatkan untuk data/bidang lain seperti analisis pola kunjungan pengguna web, analisis spasial dan

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Kajian mengenai data mining untuk prakiraan cuaca telah banyak dilakukan dengan memanfaatkan klasifikasi dan association rule seperti yang dilakukan oleh S.Nandagopal (Nandagopal, 2010). Pada paper ini, data meteorologi digunakan untuk memprediksi cuaca dengan memanfaatkan inter-transactional association rule . Data meteorologi yang digunakan ada dua jenis, satu stasiun dan banyak stasiun pengamatan. Data yang dibutuhkan dari setiap stasiun adalah arah angin, kecepatan angin, curah hujan, tingkat kelembaban, suhu dan rata-rata tekanan permukaan laut per 6 jam.

Pada kajian lain mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terdapat pendekatan baru yang mengintegrasikan association rule mining dengan klasifikasi. Pengklasifikasi dengan sedikit lebih akurat dan efektif berdasarkan pendekatan assosiatif, telah disajikan baru-baru ini, seperti CPAR, CMAR, MMAC dan CBA (Nofal and Bani-Ahmad, 2012). Beberapa penelitian eksperimental menunjukkan bahwa klasifikasi berdasarkan association rule mining mempunyai potensi tinggi dalam membangun sistem klasifikasi yang lebih prediktif dan akurat daripada metode klasifikasi tradisional seperti decision tree.

Berdasarkan kajian–kajian tersebut, maka pada penelitian ini diteliti tentang klasifikasi berdasarkan association rule menggunakan data meteorologi daerah Surabaya dengan elemen yang dibutuhkan yaitu suhu udara, kecepatan angin, tutupan awan, kelembaban, indeks UV dan titik embun per jam.

B. METODE PENELITIAN

1. Objek Penelitian

Objek pada penelitian ini adalah data meteorologi daerah Surabaya yang diambil dari website AccuWeather selama selama empat bulan (Februari – Mei 2013), kemudian dicatat dan dilakukan preprocessing data. Data yang sudah diolah disimpan dalam file yang siap dibaca oleh software yang dikembangkan. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan perangkat lunak yang mampu mendapatkan classifier dengan pendekatan association rule mining (CBA) dalam data meteorologi.

2. Peralatan Penelitian

Perangkat lunak utama yang digunakan untuk membuat program Classification Based Association Rule untuk data meteorologi adalah Matlab R2010a. Untuk membuat perangkat lunak digunakan perangkat keras dengan spesifikasi: prosesor Intel® Pentium Dual-Core CPU T4200 @ 2,00 GHz, RAM 2 GB, sistem tipe 32-bit, Mobile PC Display dengan setting layar monitor resolusi 1280 x 800 piksel.

3. Tahap Penelitian

3.1. Studi Literatur

3.1.1. Data Data yang digunakan untuk proses pengumpulan data adalah data sekunder

tahun 2013 di http://www.accuweather.com/id/id/surabaya/203449/hourly-weather-forecast /203449 .

3.1.2. Klasifikasi Klasifikasi adalah tugas mengelompokan sebuah sampel baru pada himpunan class yang sebelumnya telah diketahui. Klasifikasi dikenal sebagai pembelajaran supervised karena dapat mengelompokkan sampel secara 3.1.2. Klasifikasi Klasifikasi adalah tugas mengelompokan sebuah sampel baru pada himpunan class yang sebelumnya telah diketahui. Klasifikasi dikenal sebagai pembelajaran supervised karena dapat mengelompokkan sampel secara

3.1.3. Association Rule Association rule adalah penemuan pola intra transactional dalam database yang terjadi hanya pada sebuah event. Association rule sering disebut dengan “market basket analysis” yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi item-item produk yang mungkin dibeli secara bersamaan dengan produk lain atau dilihat secara bersamaan pada saat mencari informasi mengenai produk tertentu. Sebagai contoh, terdapat sebuah association rule : “roti  selai [sup = 30%, conf = 80 %] yang berarti bahwa 30% pelanggan membeli roti dan selai secara bersamaan dan pelanggan yang membeli roti juga membeli selai sebanyak 80% saat pembelian. Meskipun association rule mining pada awalnya didesain untuk relational database atau sistem transaksi, beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari asosiasi pada data yang lain, misalnya data web dan data spasial (Tan and Steinbach, 2006) (Shareef, 2010).

3.1.4. Klasifikasi Berbasis Kaidah Asosiasi Klasifikasi berbasis association rule adalah memperluas ide dasar dari association rule mining dan mengintegrasikanya dengan klasifikasi untuk menghasilkan subset dari effective rules. Dalam (Nofal and Bani-Ahmad, 2012) digunakan pendekatan association rule mining pada saat classification framework , dan dinamakan multi-class classification based on association rules . Multi-class classification based on association rules menggunakan sebuah teknik yang efisien untuk menemukan frequent itemsets dan menggunakan sebuah rule ranking method untuk memastikan bahwa aturan umum dan aturan rinci dengan confidence yang tinggi merupakan bagian dari sistem klasifikasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat pendekatan baru yang mengintegrasikan association rule mining dengan klasifikasi. Pengklasifikasi dengan sedikit lebih akurat dan efektif berdasarkan pendekatan assosiatif, telah disajikan baru-baru ini, seperti CPAR, CMAR, MMAC dan CBA. Beberapa penelitian eksperimental menunjukkan bahwa klasifikasi berdasarkan association rule mining mempunyai potensi tinggi dalam membangun sistem klasifikasi yang lebih akurat daripada metode klasifikasi tradisional seperti decision tree. Selain itu, banyak aturan ditemukan oleh metode klasifikasi asosiatif yang tidak dapat ditemukan dengan teknik klasifikasi tradisional.

Salah satu algoritma yang memiliki perbaikan secara signifikan dari algoritma association rule sebelumnya adalah algoritma Apriori. Algoritma Apriori memperkenalkan sebuah properti kunci baru bernama "downward-closure" dari support, yang menyatakan bahwa jika sebuah itemset mempunyai nilai support yang lebih dari minsupp maka semua subset nya juga mempunyai nilai support yang lebih dari minsupp tersebut. Ini berarti bahwa setiap subset dari sebuah itemset yang frequent pasti frequent, dan superset dari inferuent itemset pasti infrequent. Sebagian besar dari algoritma classic association rule yang dikembangkan setelah algoritma Apriori telah menggunakan properti ini dalam langkah pertama dari pencarian association rule . Algoritma ini disebut algoritma Apriori-like atau teknik Apriori-like . Teknik Apriori-like berhasil mendapatkan level yang bagus dalam performansi walaupun ukuran dari kandidat itemsetnya kecil. Bahkan dalam keadaan ukuran kandidat itemset yang besar, batas minimum support Salah satu algoritma yang memiliki perbaikan secara signifikan dari algoritma association rule sebelumnya adalah algoritma Apriori. Algoritma Apriori memperkenalkan sebuah properti kunci baru bernama "downward-closure" dari support, yang menyatakan bahwa jika sebuah itemset mempunyai nilai support yang lebih dari minsupp maka semua subset nya juga mempunyai nilai support yang lebih dari minsupp tersebut. Ini berarti bahwa setiap subset dari sebuah itemset yang frequent pasti frequent, dan superset dari inferuent itemset pasti infrequent. Sebagian besar dari algoritma classic association rule yang dikembangkan setelah algoritma Apriori telah menggunakan properti ini dalam langkah pertama dari pencarian association rule . Algoritma ini disebut algoritma Apriori-like atau teknik Apriori-like . Teknik Apriori-like berhasil mendapatkan level yang bagus dalam performansi walaupun ukuran dari kandidat itemsetnya kecil. Bahkan dalam keadaan ukuran kandidat itemset yang besar, batas minimum support

Classification approach terdiri dari dua fase utama: fase satu mengimplementasikan algoritma apriori dalam rangka untuk menemukan frequent item . Tahap kedua melibatkan building classifier.

a. Algoritma Apriori ( Nandagopal, et al., 2010) Algoritma Apriori merupakan algoritma untuk menemukan frequent itemset . Algoritma Apriori merupakan algoritma yang paling banyak digunakan untuk menemukan frequent itemset dan aturan asosiasi. Konsep utama dari algoritma Apriori adalah sebagai berikut:

1) Setiap subset dari frequent itemset adalah frequent itemset.

2) Himpunan itemset dengan panjang k disebut C k

3) Himpunan itemset yang memenuhi batasan minimum support disebut sebagai L k , L k adalah kandidat himpunan yang akan digunakan pada tahap selanjutnya.

4) C k+1 dibangkitkan dengan menggabungkan L k dan dirinya sendiri. Itemset-itemset yang memenuhi kriteria masing-masing memiliki lebih satu elemen dari itemset sebelumnya.

L k kemudian dihasilkan dengan menghilangkan dari elemen-elemen yang tidak memenuhi aturan minimum support. Sebab, kandidat sequence yang dibangkitkan dimulai dengan ukuran sequence terkecil dan secara bertahap ukuran sequence meningkat yang disebut dengan pendekatan breadth first search .

b. Algoritma CBA (Classification Based Association). Konsep utama dari algoritma CBA terbagi dalam dua tahap.

i. CBA-RG

CBA-RG atau yang bisa disebut dengan sebuah rule generator dibangun berdasarkan algoritma Apriori untuk menemukan aturan asosiasi. CBA-RG digunakan untuk menemukan semua ruleitems yang memenuhi minsup. <

, > adalah sebuah rule item dimana condset adalah himpunan dari items,

∈ adalah label kelas. CondsupCount adalah jumlah case di dataset D yang memuat condset . RulesupCount adalah jumlah case di D yang memuat

condset dan berlabel kelas y. Setiap ruleitem merepresentasikan sebuah rule

→ , dimana

∗ 100% dimana || adalah jumlah / ukuran dataset. Ruleitem yang memiliki nilai support lebih

100% dan = 100% dan =

confident tertinggi dipilih sebagai possible rule yang merepresentasikan set dari ruleitem. Kalau ada lebih dari 1 ruleitem yang punya confident tertinggi, maka dipilih secara acak.

CBA-RG menggenerate semua frequent ruleitem melalui banyak tahap. Pada tahap pertama, hitung support dari ruleitem individual dan tentukan status frequentnya. Di setiap subsequence yang mempunyai nilai support lebih besar dari minsup, pasti merupakan ruleitem yang frequent pada tahap sebelumnya. Ruleitem yang frequent digunakan untuk mengenerate set possibly frequent ruleitem s baru yang disebut candidate ruleitem. Support dari candidate ruleitem s tersebut dicari untuk menentukan candidate ruleitem yang mempunyai nilai support lebih besar dari minsup. Akhir dari tahap, menentukan candidate ruleitem yang frequent. Dari set frequent ruleitem ini, diproduksi rules nya (CARs). Secara rinci, langkah-langkah dirumuskan dalam algoritma berikut ((Nofal and Bani-Ahmad, 2012)

Algoritma CBA-RG; 1) = {Large Item Set }; 2) for (k = 2;

≠ ∅; k++) do mulai

3) = apriori_gen (

); // kandidat baru 4) for all transaksi t ∈ D do mulai 5) = subset ( ,t); //kandidat yang berada di t 6) for all kandidat c ∈ do 7) c.count++; 8) end 9) end

10) = {c ∈ | c.count≥ minsup}

11)end 12)Penyelesaian = ⋃

// fungsi Apriori_Gen(

: frequent (k-1) itemset

1) Insert ke dalam 2) pilih .

5) for all itemset c ∈ do

6) for all (k-1)-subset s dari c do

7) if ( ∉

) then

8) delete c dari ; 9) end 10) end 11)end

ii. CBA-CB

CBA-CB adalah sebuah classifier builder menggunakan CARs atau prCARs. Untuk memproduksi classifier yang paling baik dari set rules akan mengevaluasi semua possible subset di data training dan memilih subset dengan rule sequence yang tepat yaitu yang mempunyai error paling sedikit.

Defini sebuah total order dari generated rules adalah: diberikan dua rules, dan dimana ≻ jika nlai confidence dari lebih besar dari r atau nilai confidence mereka sama, tetapi nilai support

dari r lebih besar dari r atau nilai dari confidence dan support mereka sama tetapi r lebih dulu dibuat dari pada .

Classifier memenuhi format < , , … , , >, dimana ∈ , default class adalah kelas default dan R adalah set dari

generated rules, ≻ jika > . Dalam mengelompokkan sebuah kasus yang tidak terlihat, rule pertama yang memenuhi kasus akan mengelompokkannya. Jika tidak ada rule yang cocok dengan kasus tersebut, akan diambil kelas default seperti di C4.5. Secara rinci, langkah-langkah di atas dirumuskan dalam algoritma berikut. (Nofal and Bani-Ahmad, 2012)

Algoritma CBA-CB;

6) for each data case

8) for each candidate

∈ do

9) . condsupCount++;

10) if . class = . class then . rulesupCount++ 11) end 12) end

Algoritma CBA-CB: M1–Pembentukan classifier; 1) =

() ; 2) for each rule

∈ in sequence do

3) temp = ∅; 4) for each case

∈ do

5) if satisfies the conditions of then

6) store .

in temp and mark if it correctly

classifies ; 7) if is marked then 8) insert at the end of ; 9) delete all the cases with the ids in temp from ; 10) selecting a default class for the current ; 11) compute the total number of errors of ;

12) end 13)end

14)find the first rule in with the lowest total number of errors & drop all the rules after in ; 15)add the default class associated with to the end of

, and return (our classifiers)

3.2. Perancangan dan Implementasi Sistem Pada tahap ini akan dirancang sebuah sistem pengklasifikasian data

meteorologi dengan berdasarkan kaidah asosiasi menggunakan algoritma CBA. Gambaran umum dari sistem pengklasifikasi data meteorologi yang akan dikembangkan adalah sebagai berikut:

a. Pengumpulan data: proses pengumpulan data dari web ke Microsoft Excel selama

4 bulan.

b. Preprocessing: proses mengolah data mentah yang sudah didapat agar bisa digunakan. Proses ini meliputi data cleaning dan data formatting.

c. Coding: proses menulis code algoritma agar data yang sudah diolah bisa bermanfaat.

d. Pengujian: proses pengujian algoritma dengan menggunakan data yang ada.

3.3. Implementasi Program Pada tahap ini dilakukan integrasi untuk semua program yang telah

diimplementasikan pada tahap sebelumnya sehingga dihasilkan sebuah sistem pengklasifikasi data cuaca yang terintegrasi. Setiap hasil dari perancangan sistem diimplementasikan menjadi sebuah program dengan menggunakan Matlab R2010a.

3.4. Uji Coba dan Evaluasi Pada tahap ini implementasi sistem akan diuji dengan menerapkan beberapa

skenario percobaan untuk kemudian dianalisis dan dievaluasi hasilnya. Berikut ini adalah langkah-langkah untuk uji coba:

a. Menampilkan data mentah di Matlab dengan filter per hari selama bulan Februari 2013 – Mei 2013. Data mentah dari Microsoft Excel yang termuat dalam 120 sheet ditampilkan dalam tabel di Matlab dengan filter per hari.

b. Melakukan preprocessing data. Data mentah yang sudah disimpan dalam tabel di Matlab dilakukan proses preprocessing dan hasilnya ditampilkan di Matlab. Untuk kebutuhan ujicoba, preprocessing juga dilakukan untuk mengkategorisasi data class menjadi 2 yaitu hujan dan tidak hujan.

c. Pengubahan nilai minimum support dan minimum confidence. Untuk mencari frequent item set , makan dicari item yang mempunyai support lebih besar daripada minimum support yang telah ditentukan. Pengubahan nilai minimum support dan minimum confidence akan mempengaruhi rule yang akan dihasilkan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum, langkah-langkah dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1. Data mentah yang digunakan adalah data cuaca Surabaya per jam selama bulan Februari sampai Mei 2013 diambil dari website AccuWeather sejumlah 2880 data. Data mentah berupa data numerik untuk faktor suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, indeks uv, tutupan awan dan juga titik embun. Untuk kelas data yang didapat berupa data kategorial.

Data mentah dilakukan proses preprocessing berupa data cleaning dan data transformation . Data cleaning dilakukan ketika terdapat missing value pada semua faktor dan hasil. Data transformation dilakukan pada faktor dari data numerik menjadi data kategorial. Faktor suhu, kecepatan angin, indeks uv, tutupan awan dan titik embun diubah menjadi 3 kategori, sementara faktor kelembaban diubah menjadi dua kategori. Data hasil terbagi menjadi

14 class (cerah, berawan, gelap, hujan petir, dan lain-lain). Data yang sudah di-preprocessing berjumlah 2672 data. Hasil Data Preprocessing kemudian diolah untuk menghasilkan rule. Data 14 class (cerah, berawan, gelap, hujan petir, dan lain-lain). Data yang sudah di-preprocessing berjumlah 2672 data. Hasil Data Preprocessing kemudian diolah untuk menghasilkan rule. Data

Mulai

Input Data Mentah

Preprocessing Data Hasil Preprocessing

Algoritma CBA-RG

Uji

Rule

Analisis Akurasi

Algoritma CBA-CB

Classifier

Selesai

Gambar 1. Langkah-langkah dalam penelitian

Rule dibentuk dengan langkah awal mencari semua condset dari semua faktor dan jumlah masing-masing condset atau bisa disebut CondsupCount. Kemudian dicari ruleitem pertama dari condset dengan class beserta jumlah rule tersebut yang bisa disebut RuleSupCount. Selanjutnya dicari support dari ruleitem, ruleitem yang mempunyai support diatas minimum support merupakan frequent ruleitem. Selain itu, dicari juga confidence dari setiap ruleitem, ruleitem yang mempunyai confidence melebihi minimum confidence disebut accurate ruleitem. Ruleitem yang frequent dan accurate merupakan possible rule.

Possible rule ini merupakan CARs sekaligus digunakan untuk menggenerate frequent ruleitem yang lainnya dengan cara mengkombinasikan frequent ruleitem dengan frequent ruleitem dalam possible rule dengan syarat frequent ruleitem tidak boleh berpasangan dengan dirinya sendiri. Setelah itu dicari RulesupCount dari ruleitem yang baru. Kemudian dihitung support nya, ruleitem yang supportnya melebihi minsup merupakan frequent ruleitem dan dihitung juga confidencenya, ruleitem yang memiliki nilai confidence lebih tinggi dari mincof merupakan accurate ruleitem. Jika ruleitem memenuhi frequent dan accurate ruleitem, maka itulah possible rule. Possible rule kali ini harus memenuhi syarat selanjutnya, yaitu semua frequent ruleitem pada possible rule merupakan frequent ruleitem pada possible rule sebelumnya. Digunakan cara yang sama untuk menggenerate possible rule berikutnya.

Pengklasifikasi pada possible rule dibuat dengan cara memasang class yang frequent pada setiap ruleitem yang terbentuk sehingga possible rule yang dihasilkan mengandung class pada bagian akibat dan pada bagian sebab merupakan kategori faktor yang frequent.

Tabel 1 sampai 5 menampilkan contoh-contoh hasil berupa CARs dengan 1, 2, 3, dan 4 frequent ruleitem pada saat minsup 0.2 dan mincof 0.1. Tabel 1 menampilkan CARs dengan 2 frequent ruleitem , Tabel 2 berisi CARs dengan 3 frequent ruleitem, Tabel 3 menampilkan CARs dengan 4 frequent ruleitem, masing-masing dengan minsup 0.2 dan mincon 0.1. Tabel 4 dan Tabel 5 berisi hasil uji berupa CARs dengan 2 dan 3 frequent ruleitem untuk minsup 0.1 dan minconf 0.1.

Tabel 1.

CARs 2 Frequent Ruleitem saat minsup = 0.2 dan minconf =0.1

Faktor

Kelas

l.kering

Berawan

l.kering

Gelap

u.rendah

Gelap

aw.banyak

Berawan

e.tinggi

Berawan

e.tinggi

Gelap

Tabel 2.

CARs 3 Frequent Ruleitem saat minsup = 0.2 dan minconf=0.1

aw.banyak

e.tinggi

Berawan

e.tinggi

l.kering

Berawan

e.tinggi

u.rendah

Gelap

l.kering

aw.banyak

Berawan

l.kering

e.tinggi

Gelap

u.rendah

l.kering

Gelap

Tabel 3.

CARs 4 Frequent Ruleitem saat minsup = 0.2 dan minconf=0.1 Faktor

Kelas aw.banyak

Faktor

Faktor

Berawan aw.banyak

e.tinggi

l.kering

Berawan e.tinggi

l.kering

e.tinggi

Berawan e.tinggi

aw.banyak

l.kering

Berawan e.tinggi

l.kering

aw.banyak

Gelap e.tinggi

l.kering

u.rendah

Gelap l.kering

u.rendah

l.kering

Berawan l.kering

aw.banyak

e.tinggi

Berawan l.kering

e.tinggi

aw.banyak

Gelap l.kering

e.tinggi

u.rendah

Gelap u.rendah

u.rendah

e.tinggi

Gelap u.rendah

e.tinggi

l.kering

l.kering

e.tinggi

Gelap

Tabel 4.

CARs 2 Frequent Ruleitem saat minsup = 0.1 dan mincof=0.1

Faktor

Kelas

s.normal

Berawan

s.normal

Gelap

s.panas

Cerah

l.kering

Berawan

l.kering

Cerah

l.kering

Gelap

l.kering

hujan petir

a.lambat

Berawan

a.lambat

Gelap

a.normal

Cerah Cerah

Berawan

u.rendah

Gelap

aw.banyak

Berawan

aw.sedang

Gelap

e.tinggi

Berawan

e.tinggi

Cerah

e.tinggi

Gelap

e.tinggi

hujan petir

Tabel 5. CARs 3 Frequent Ruleitem saat minsup = 0.1 dan mincof=0.1

a.lambat

aw.sedang

Gelap

a.lambat

l.kering

Berawan

aw.banyak

a.lambat

Berawan

aw.banyak

l.kering

Berawan

e.tinggi

a.lambat

Berawan

e.tinggi

a.normal

Cerah

e.tinggi

l.kering

Berawan

l.kering

a.lambat

Berawan

l.kering

e.tinggi

Berawan

s.normal

a.lambat

Berawan

s.normal

e.tinggi

Berawan

u.rendah

a.lambat

Berawan

u.rendah

e.tinggi

Berawan

u.rendah

s.normal

Gelap

Tabel 6. Nilai Akurasi dari Uji Coba dengan 14 class Minimum

Minimum

Akurasi Support

Jumlah Rule

Tabel 7. Nilai Akurasi dari Uji Coba dengan 2 class Minimum

Akurasi

Minimum

Akurasi Support

Selanjutnya, uji coba dilakukan untuk melakukan klasifikasi terhadap data uji dengan menggunakan classifier yang telah didapatkan, dengan rumus akurasi.

Akurasi (%) = (jumlah classifier mengklasifikasi dengan benar/jumlah data X 100%)

Hasil uji coba ini selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 6. Dari tabel ini dapat dilihat bahwa akurasi classifier masih relatif rendah. Menurut peneliti, hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah class yang diuji (14 class) yang menyebabkan bias yang semakin tinggi. Untuk analisa lebih lanjut, pengujian dilakukan pada data dengan jumlah class yang sedikit (2 class, yaitu hujan dan tidak hujan), yang hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 7. Isi tabel ini menunjukkan bahwa nilai akurasi semakin tinggi untuk jumlah class yang lebih sediki. Selain itu, semakin tinggi nilai support maka umumnya semakin tinggi pula akurasinya.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Algoritma CBA mengintegrasikan teknik klasifikasi dengan teknik asosiasi dalam data mining untuk menemukan rule yang menarik. Banyak rule yang ditemukan tergantung pada minimum support dan minimum confidence. Semakin rendah minimum support dan minimum confidence semakin banyak pula rule yang akan ditemukan.

Dengan menggunakan nilai minimum support dan minimum confidence akan didapat rule dan classifier sebagai output dari Algoritma CBA. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa nilai akurasi yang didapat dari pengujian dataset dengan 14 class berbeda adalah 50.93%. Sedangkan uji coba untuk dataset dengan 2 class berbeda didapatkan akurasi sebesar 79.5%.

E. DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, R., Srikant, R. 1994. Fast Algorithm for Mining Association Rules. Chile : 20 th VLDB Conf.

Azevedo, Paulo, J. A Data Structure to Represent Association Rules based Classifiers. Portugal : Universidade do Minho Braga.

Baboo, Dr, S, Santhosh., Shereef, I, Kadar. 2010. Applicability of Data Mining Techniques for Climate Prediction – A Survey Approach . IJCSIS. Vol. 8, No. 1 April 2010 Hal 203-206

Hsu, W., Lee, M. L., Wang, J. 2008. Temporal and Spatio-Temporal Data Mining. IGI Global. Hershey dan London

Inc, AccuWeather.

Jam Surabaya . http://www.accuweather.com/id/id/surabaya/ 203449/hourly-weather-forecast/203449 . Diakses tanggal 1 Februari 2013.

Iqbal, Muhammad. 2012. Peningkatan Efisiensi Pruning Pada Algoritma CBS Menggunakan Algoritma FEAT . Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

B. Liu, W. Hsu and Y. Ma. 1998. Integrating Classification and Association Rule Mining. New York : Department of Information System and Computer Science NUS. KDD-98 Aug 27-31.

Mitsa, T. 2010. Temporal Data Mining. New York : A Chapman & Hall/CRC.

Nandagopal, S at al. 2010. Mining of Meteorological Data Using Modified Apriori Algorithm. European Journal of Scientific Research. Vol. 47 No. 2 Hal 295-308.

Nofal, Mustafa., Bani-Ahmad, Sulieman, 2012. Classification Based On Association-Rule Mining Techniques: A General Survey And Empirical Comparative Evaluation . Department of Information Technology, Al-Balqa Applied University Jordan.

Olaiya, Folorunsho. 2012. Application of Data Mining Techniques in Weather Prediction and Climate Change Studies . Journal Modern Education and Computer Science PRESS. Vol. 1, pp. 51-59.

Palanisamy, Senthil, K. 2006. Association Rule Based Classification. Worcester Polytechnique Institute.

Tan, N.P. Steinbach, M, Kumar, V. 2006. Introduction to Data Mining. New York: Pearson Addison Weasly.

T - 26

PENGGUNAAN ALGORITMA GENETIK DALAM MENGOPTIMALKAN KANDUNGAN KARBOHIDRAT DAN PROTEIN PADA MOCORIN

1 2 Ruth Kristianingsih 3 , Hanna Arini Parhusip , Tundjung Mahatma

1 Mahasiswa Program Studi Matematika FSM UKSW

Dosen Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro No. 52-60, Salatiga

1 ruthkristianingsihh@yahoo.co.id, 2 hannaariniparhusip@yahoo.co.id,

3 t.mahatma@staff.uksw.edu

Abstrak

Makalah ini merupakan hasil penelitian tentang pengoptimalan kandungan karbohidrat dan protein pada mocorin. Data yang digunakan adalah kandungan kadar karbohidrat terhadap massa dan absorbansi, serta kandungan kadar protein terhadap absorbansi. Selanjutnya dibuat pemodelan data dan dicari masing-masing parameter dengan metode kuadrat terkecil. Masing-masing parameter diuji dengan mengamati nilai eigen matriks Hessian residual. Setelah parameter fungsi tujuan optimal, fungsi tujuan dioptimalkan dengan menggunakan Algoritma Genetik (AG). Diperoleh kadar karbohidrat maksimal pada penambahan bekatul sebanyak 12,5% dan kadar protein maksimal pada penambahan bekatul sebanyak 50%.

Kata kunci: Mocorin, Algoritma Genetik, Metode Kuadrat Terkecil, matriks Hessian

A. PENDAHULUAN

Mocorin merupakan hasil fermentasi dari jagung dengan penambahan bekatul. Latar belakang dari pembuatan mocorin ini adalah upaya pemenuhan kebutuhan makanan pokok khususnya untuk orang Indonesia dalam mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras, sehingga digali potensi lokal yang berbasis non beras yaitu jagung. Salah satu varietas unggul jagung yang dipilih sebagai benih adalah Bisi 2 (Silvia, 2012). Hasil penelitian Silvia dianalisa secara statistik dalam menentukan dan membandingkan nilai gizi mocorin antar berbagai perbandingan jagung kuning varietas Bisi 2 untuk mengoptimalkan kandungan proksimat (kadar karbohidrat, protein, air, abu, lemak, dan serat). Ada lima macam proporsi penambahan bekatul yang digunakan, yaitu 0%, 12,5%, 25%, 37,5%, dan 50%. Namun, kelemahan perhitungan secara statistik ini adalah tidak dapat dicari nilai-nilai kadar kandungan proksimat yang optimal yang terbentuk dari para pengoptimalnya. Oleh karena itu, akan dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui nilai kandungan proksimat optimal dari hasil hubungan nilai-nilai pengoptimalnya dengan menggunakan algoritma genetik (AG).

AG dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan optimasi dan pemodelan pada berbagai bidang, seperti pada bidang kimia digunakan untuk mengestimasi parameter pada model kinetic (Katare, dkk., 2008) dan optimasi pada sekumpulan proses kimia (Mokeddem, 2010). Selain digunakan di bidang kimia, AG dapat digunakan di bidang ekonomi, seperti memodelkan cobweb-type (Dawid, dkk., 1998); di bidang penjadwalan telah digunakan untuk mengoptimasi masalah penjadwalan flow-shop (Gunawan, 2003) dan optimasi penjadwalan kegiatan belajar mengajar (Nugraha, 2008); di bidang fisika diaplikasikan untuk mengatasi

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

MODEL DAN ALGORITMA YANG DIGUNAKAN

Di bawah ini adalah fungsi-fungsi yang digunakan untuk memodelkan fungsi tujuan untuk karbohidrat dan protein.

Karbohidrat

Model yang akan digunakan dalam memodelkan fungsi tujuan untuk karbohidrat adalah fungsi eksponensial:

(1) Fungsi ini digunakan untuk menyatakan karbohidrat sebagai fungsi massa dan absorbansi dimana ,, pada persamaan (1) dicari dengan menggunakan metode kuadrat terkecil, yaitu meminimalkan :

(2) dimana ,

adalah persamaan (1) . Sebagaimana prosedur dalam kalkulus, titik kritis R 

yang diperoleh harus memenuhi kondisi R  0 atau  T  R  R  R  

Persamaan (3) merupakan sistem persamaan tak linier yang perlu diselesaikan secara numerik. Algoritma yang digunakan adalah metode Newton (Peressini, 1988). Penyelesaian yang diperoleh merupakan penyelesaian kritis untuk R, sebutlah ( ∗ , ∗ , ∗ ). Untuk menyelidiki sifat ( ∗ , ∗ , ∗ ) perlu diamati sifat Hessian R di ( ∗ , ∗ , ∗ ) (Parhusip, 2012) , yaitu

Jika matrik semi positive definite dimana nilai eigen λ ≥ 0, maka ( ∗ , ∗ , ∗ ) merupakan peminimum R (Peressini, 1988). Setelah diketahui parameter optimal, dilakukan perhitungan dengan menggunakan algoritma genetik.

Protein

Model yang akan digunakan dalam memodelkan fungsi tujuan untuk protein adalah fungsi eksponensial :

(5) Fungsi ini digunakan untuk menyatakan protein sebagai fungsi karbohidrat dimana a dan

b pada persamaan (5) dicari dengan menggunakan metode kuadrat terkecil, yaitu meminimalkan :

dimana , adalah persamaan (5) . Sebagaimana prosedur dalam kalkulus, titik kritis R 

yang diperoleh harus memenuhi kondisi R  0 atau

Sama seperti persamaan (3), persamaan (7) merupakan sistem persamaan tak linier yang perlu diselesaikan secara numerik. Penyelesaian yang diperoleh merupakan penyelesaian kritis Sama seperti persamaan (3), persamaan (7) merupakan sistem persamaan tak linier yang perlu diselesaikan secara numerik. Penyelesaian yang diperoleh merupakan penyelesaian kritis

(8) Jika matriks semi positive definite yaitu dimana nilai eigen λ pada ≥ 0, maka ( ∗ , ∗ )

merupakan peminimum R (Peressini, 1988). Setelah diketahui parameter optimal, dilakukan perhitungan dengan menggunakan algoritma genetik.

Prosedur Umum Algoritma Genetik

Algoritma genetik adalah teknik pencarian dan optimasi yang meniru proses evolusi dan perubahan genetika pada struktur kromosom makhluk hidup (Goldberg, 1989). Algoritma genetik (AG) mulai bekerja pada sekumpulan solusi yang dinamakan solusi awal. Populasi awal ini dibangkitkan secara acak. Setiap individu yang ada dalam populasi awal dinamakan kromosom. Kromosom yang biasanya berbentuk bilangan biner (kode 0 dan 1), dikembangbiakkan oleh operator-operator genetik melalui beberapa generasi (iterasi). Dalam setiap generasi, masing-masing kromosom dievaluasi untuk mengukur nilai kebugaran atau nilai fitness.

Untuk mencetak generasi berikutnya, dipilih beberapa kromosom-kromosom hasil evaluasi untuk disilangkan atau dimutasikan. Kromosom-kromosom yang terpilih disebut kromosom induk (parents), sedangkan kromosom-kromosom baru yang terbentuk disebut kromosom anak (offsprings). Proses penyilangan dan mutasi dilakukan oleh operator-operator genetik, yaitu operator penyilangan (crossover) dan operator mutasi (mutation). Setelah melewati beberapa generasi, nilai fitness kromosom akan membaik menuju suatu nilai optimum. Nilai optimum inilah yang diharapkan menjadi solusi masalah yang hendak diselesaikan. AG dapat menemukan solusi optimum walaupun fungsi tujuannya sangat ekstrim dan mempunyai beberapa titik optimum lokal (Yang, 2005).

Komponen-komponen Algoritma Genetik

Berikut ini adalah komponen-komponen dari algoritma genetic.

a. Representasi Kromosom Untuk dapat mengaplikasikan AG, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengkodekan (encoding) calon solusi ke dalam suatu bentuk representasi kromosom. Representasi kromosom yang pertama kali diperkenalkan oleh Holland adalah representasi bilangan biner (Goldberg, 1989). Sebuah kromosom terdiri dari beberapa elemen yang disimbolkan dengan angka nol (0) dan satu (1). Jika setiap calon solusi atau variabel desain , = 1, 2, … dikodekan dalam kromosom sebanyak q, maka vektor desainnya direpresentasikan dalam kromosom dengan panjang nq (Rao, 2009). Setiap untaian elemen memiliki arti khusus yang menunjukkan nilai fitness kromosom yang bersangkutan. Himpunan solusi-solusi ini disebut populasi.

b. Seleksi dan Reproduksi Seleksi adalah pemilihan beberapa kromosom untuk dijadikan sebagai kromosom induk lagi bagi generasi berikutnya. Kromosom terpilih kemudian akan digandakan (direproduksi) lalu hasilnya ditempatkan di mating pool, yaitu tempat berkumpulnya kromosom-kromosom induk yang akan mengalami penyilangan maupun mutasi. Proses seleksi ini juga meniru proses seleksi alam dalam cara kerjanya, yaitu kromosom dengan nilai fitness lebih baik akan memiliki peluang bertahan hidup (survival of fittest) yang lebih baik pada generasi berikutnya, dan sebaliknya.

c. Penyilangan (Crossover) Operator ini adalah operator utama atau primer dalam algoritma genetik. Operator ini bekerja pada sepasang kromosom induk untuk menghasilkan dua kromosom anak dengan cara menukarkan beberapa elemen (gen) yang dimiliki masing-masing kromsom c. Penyilangan (Crossover) Operator ini adalah operator utama atau primer dalam algoritma genetik. Operator ini bekerja pada sepasang kromosom induk untuk menghasilkan dua kromosom anak dengan cara menukarkan beberapa elemen (gen) yang dimiliki masing-masing kromsom

kromosom dalam mating pool yang akan digunakan dalam operasi penyilangan, sementara itu 100% (1 − ) kromosom akan tetap bertahan (tidak berubah) dalam generasi baru.

d. Mutasi (Mutation) Mutasi adalah operator sekunder yang berperan dalam mengubah struktur kromosom secara spontan dengan probabilitas mutasi

yang kecil. Perubahan ini menyebabkan terbentuknya mutan, yaitu kromosom baru yang secara genetik berbeda dari kromosom sebelumnya. Operator ini mengubah bilangan biner 1 menjadi 0 dan sebaliknya. Dipilih bilangan acak antara 0 dan 1, jika bilangan tersebut lebih kecil dari

maka bilangan biner diubah dan sebaliknya. Dalam mencari solusi optimum, mutasi sangat diperlukan yaitu untuk : (1) mengembalikan gen-gen yang hilang pada generasi- generasi sebelummnya, dan (2) memunculkan gen-gen yang belum pernah muncul pada generasi-generasi sebelumnya.

e. Fungsi Fitness (Fungsi tujuan) Fungsi fitness adalah fungsi yang mengukur tingkat kebugaran suatu kromosom dalam suatu populasi. Semakin besar nilai fitness, semakin bugar pula kromosom dalam suatu pupulasi sehingga semakin besar kemungkinan kromosom tersebut untuk tetap bertahan pada generasi berikutnya. Suatu fungsi fitness dapat sama atau hasil modifikasi terhadap fungsi tujuan masalah yang akan diselesaikan.

Secara ringkas, proses komputasi menyangkut memaksimalkan fungsi fitness

F ( x 1 , x 2 ,..., x n ) dalam AG dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : (Rao, 2009)

1) Dipilih panjang kromosom yang tepat l = nq untuk menyatakan variabel desain sebanyak n dari vektor desain X. Asumsikan nilai-nilai parameter : ukuran populasi m , probabilitas crossover p c , probabilitas mutasi p m , nilai-nilai yang diijinkan

untuk standar deviasi dari nilai-nilai fitness populasi  s j max untuk menggunakan kriteria konvergen, dan iterasi maksimum  i max .

2) Dibuat populasi acak dengan ukuran m, setiap populasi terdiri dari suatu kromosom dengan panjang l=nq. Nilai-nilai fitness F i , i 1 , 2 ..., m dengan string sebanyak m

dievaluasi.

3) Proses reproduksi.

4) Operasi crossover menggunakan probabilitas crossover p c

5) Operasi mutasi menggunakan probabilitas mutasi p m

6) Nilai-nilai fitness F i , i 1 , 2 ..., m dari m string dari populasi yang baru dievaluasi. Dicari standard deviasi dari nilai-nilai fitness yang sebanyak m.

7) Test konvergensi dari algoritma atau proses. Jika s j   s j max , kriteria konvergen terpenuhi dan oleh karena itu proses dapat berhenti. Sebaliknya menuju langkah 8.

8) Test untuk bilangan generasi (iterasi). Jika i  i max , komputasi telah dibentuk untuk banyaknya generasi maksimum yang diijinkan dan oleh karena itu proses dapat

dihentikan. Sebaliknya , membuat banyaknya generasi adalah i = i + 1 dan menuju langkah 3.

B. METODE PENELITIAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data percobaan pembuatan Mocorin yang dilakukan Silvia (2012) dengan mengukur kadar karbohidrat dan protein dengan masing-masing proporsi penambahan bekatul sebesar 0%, 12,5%, 25%, 37,5%, dan 50%.

Kadar karbohidrat pada percobaan ini dipengaruhi oleh absorbansi dan massa, sedangkan protein dipengaruhi oleh absorbansi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui proporsi dimana kadar protein dan karbohidrat maksimal dengan menggunakan AG. Oleh karena itu, pertama-tama akan dilakukan pemodelan untuk menyusun fungsi tujuan. Pencarian parameter pada fungsi tujuan menggunakan metode kuadrat terkecil dengan bantuan fungsi lsqnonlin .m pada Matlab. Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisa apakah parameter- parameter yang dicari sudah optimal dengan menyelidiki nilai eigen pada matriks Hessian residual. Setelah didapatkan bahwa parameter-parameter yang dicari optimal, fungsi tujuan diselesaikan dengan menggunakan AG dengan bantuan Matlab.

C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan tujuan pada penelitian ini, maka masing-masing kadar karbohidrat dan protein dioptimasi dengan tahapan sebagai berikut :

Karbohidrat

Diasumsikan bahwa kadar karbohidrat dipengaruhi oleh massa sampel dan absorbansi. Menurut persamaan (1), ,, dicari berdasarkan data. Sesuai persamaan (2) untuk mencari parameter ,, maka perlu meminimalkan :

(9) Pencarian parameter tersebut dilakukan dengan menggunakan Matlab dengan menggunakan fungsi lsqnonlin.m. Pada penelitian ini, dilakukan pengolahan data dengan mencari rata-rata dari masing- masing data (kasus 1) dan dibandingkan jika penelitian dilakukan dengan mengolah semua data tanpa mencari rata-rata (kasus 2). Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Hasil Pencarian paremeter dengan menggunakan lsqnonlin.m

Kasus 2 Error

Fungsi Tujuan

Hessian R

Nilai Eigen Matriks

Dari tabel 1, dapat diketahui hasil untuk masing-masing kasus, sebagai berikut :

Kasus 1

Tabel 1 menunjukkan bahwa walaupun error untuk penelitian pada kasus 1 cukup kecil yaitu sebesar 3,3238 % yang berarti nilai kadar karbohidrat pada data tidak jauh berbeda dengan nilai kadar karbohidrat pendekatan. Namun berdasarkan dari nilai eigen matriks hessian R pada ∗ , ∗ , ∗ , menunjukkan bahwa matriks Hessian tidak semi positive definite , sehingga nilai parameternya tidak optimal. Oleh karena itu, kita tidak dapat menggunakan rata-rata data untuk mewakili penelitian dari semua data.

Kasus 2

Sedangkan error pada kasus 2 menunjukkan bahwa error cukup kecil yaitu 16,2568% dan nilai eigen matriks Hessian pada ∗ , ∗ , ∗ menunjukkan bahwa matriks Hessian residual Sedangkan error pada kasus 2 menunjukkan bahwa error cukup kecil yaitu 16,2568% dan nilai eigen matriks Hessian pada ∗ , ∗ , ∗ menunjukkan bahwa matriks Hessian residual

Diperoleh hasil kadar karbohirat maksimum yaitu pada sekitar = 60,5871% dengan pemaksimum massa 0,1187 dan pemaksimum absorbansi 0,6266. Dapat disimpulkan bahwa diperoleh hasil karbohidrat maksimum adalah pada penambahan bekatul 0%, yang artinya karbohidrat akan maksimum jika tidak ada penambahan bekatul. Namun, diinginkan karbohidrat maksimum dengan ditambahkannya bekatul. Oleh karena itu, selanjutnya akan dilakukan penghitungan untuk menentukan pada proporsi penambahan bekatul berapakah kandungan karbohidrat akan maksimal.

Penelitian dilakukan dengan menghilangkan data dengan penambahan bekatul 0%. Maka diperoleh nilai parameter =0,7799, =-0,2377, =1,2033 dengan error 13,4892% dan nilai eigen matriks Hessiannya adalah

= [0,0428 0,0144 1,0942] ′ dimana menunjukkan bahwa matrik Hessian positive definite, sehingga dapat disimpulkan bahwa

nilai parameter optimal. Dengan fungsi tujuan = 1,2033

, dicari nilai kadar karbohidrat yang optimal dengan AG. Diperoleh hasil kadar karbohidrat maksimum

yaitu pada sekitar = 51,4269% dengan pemaksimum massa 0,1230 dan pemaksimum absorbansi 0,6482. Dicari nilai eigen matriks Hessian fungsi tujuan w yaitu

= [0,2535 0,0242] ′ yang menunjukkan bahwa nilai x dan y optimal. Dapat disimpulkan

karbohidrat maksimum diperoleh pada proporsi penambahan bekatul sebanyak 12,5% yang sesuai dengan hasil statistik.

Protein

Protein tergantung pada nilai absorbansi. Namun, pada penelitian ini, protein dinyatakan sebagai fungsi karbohidrat, karena keduanya tergantung pada nilai absorbansi. Data protein diinterpolasi dan diketahui hubungan antara karbohidrat dan protein, seperti ditunjukkan pada gambar 1. Proses ini menggunakan interp() pada Matlab. Dengan interpolasi fungsi tidak perlu didefinisikan secara eksplisit. Interpolasi ini bermanfaat untuk menyatakan data protein sebagai fungsi karbohidrat.

Gb.1 Hasil interpolasi karbohidrat dengan protein

Selanjutnya hubungan keduanya dianggap memenuhi fungsi eksponensial :

dengan P(x) merupakan fungsi protein dan x karbohidrat, sehingga P(x) tergantung oleh karbohidrat. Gambar 2 menunjukkan grafik perbandingan data interpolasi dengan pendekatannya.

Gb. 2 Perbandingan hasil interpolasi dengan pemodelan

Diperoleh error sebesar 33,2679% dengan nilai parameter a = 22,2143, b = 11,8467, dan c = 0,3946. Untuk menguji optimalitas parameter, dicari matriks Hessian R untuk P(x) dan nilai eigen matriks Hessian, didapatkan hasil nilai eigen [0 0 2] ’ yang merupakan semi

positive definite sehingga parameter optimal. Dengan menggunakan parameter tersebut, nilai optimal kadar protein dicari dengan menggunakan AG, dan diperoleh hasil nilai optimal pada nilai sekitar 38,0104% dengan

pemaksimum karbohidrat sebesar 19,9167 %. Dicari 2 diperoleh 0,3946 yang berarti nilai ∗ bukan pemaksimal dari p. Hal inilah yang menyebabkan error cukup besar, sehingga

protein yang diperoleh belum optimal. Namun diketahui bahwa nilai proporsi penambahan bekatul agar protein optimal adalah 50% yang sudah sesuai dengan hasil statistik.

D. PENUTUP

Pada makalah ini ditunjukkan optimasi karbohidrat dan protein pada mocorin dengan menggunakan AG. Tujuan untuk mendapatkan kadar karbohidrat optimal dicapai pada penambahan bekatul 12,5%. Nilai dari kadar karbohidrat optimal yaitu sebesar 51,4269% dengan pemaksimum massa 0,1230 dan pemaksimum absorbansi 0,6482. Sedangkan kadar protein optimal pada penambahan bekatul 50%. Nilai dari kadar protein optimal yaitu 38,0104% dengan pemaksimum karbohidrat sebesar 1,9167 %.

E. DAFTAR PUSTAKA

Dawid, Herbert and Kopel, Michael. 1998. On economic applications of genetic algorithm : a model of cobweb-type . J Evol Econ 8 : 297-315.

Goldberg, D.E., 1989. Genetic Algorithm in Search, Optimization, and Machine Learning. Canada: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

Gunawan, H. 2003. Aplikasi Algoritma Genetik untuk Optimasi Masalah Penjadwalan Flow- Shop . Skripsi. FTP. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hofler, Alicia. Terzic, Balsa. Kramer, Matthew. Zvezdin, Anton. Morozov, Vasiliy. Roblin, Yves. Lin, Fanglei and Jarvis, Colin. 2013. Innovative applications of genetic algorithms to problems in accelerator physics. Phys. Rev. ST Accel. Beams 16.

Mokeddem, D. and A. Khellaf. 2010. Multicriteria Optimization of Multiproduct Batch Chemical Process Using Genetic Algorithm . Journal of Food Process Engineering. Vol.

33 Issue 6, pages 979-991.

Nugraha, I. 2008. Aplikasi Algoritma Genetik untuk Optimasi Penjadwalan Kegiatan Belajar Mengajar. Jurnal. ITB: Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Program Studi Teknik Informatika. Bandung.

Parhusip, H.A dan Martono, Y.2012. Optimization Of Colour Reduction For Producing Stevioside Syrup Using Ant Colony Algorithm Of Logistic Function, proceeding of The Fifth International Symposium on Computational Science . ISSN:2252-7761,Vol1, pp91- 101, GMU.

Peressini, A.L,et.all, 1988. The Mathematics of Nonlinear Programming, Springer Verlag, New York, Inc.

Rao, S. S. 2009. Engineering Optimization, John Wiley & Sons, Inc, Canada.

Silvia,L., 2012. Mocorin ( Modifikasi Tepung Jagung Kuning (Zea Mays L.) Varietas Bisi 2 – Bekatul) Ditelaah Dari Nilai Gizi Dan Uji Organoleptik, Skripsi, Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana.

Katare, S., A. Bhan, J. M. Caruthers, W. N. Delgass and V. Venkatasubramanian. 2004. A hybrid genetic algorithm for efficient parameter estimation of large kinetic models . Computers and chemical engineering, Vol. 28, pp. 2569–2581.

Yang, W.Y, Cao,W, Chung, T-S, Morris,J . 2005, Applied Numerical Methods Using MATLAB

®. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, Hoboken.

T - 27

PREDIKSI HARGA EMAS DENGAN MENGGUNAKAN MODEL NEURO-FUZZY

1 Sielvy Evtiana 2 , Agus Maman Abadi

1 Program Studi Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

1 sielvye@gmail.com, 2 agusmaman@uny.ac.id

Abstrak

Neuro fuzzy systems (NFS) dirancang untuk merealisasikan proses penalaran fuzzy, dimana bobot-bobot yang terhubung pada neural network terhubung dengan parameter-parameter penalaran fuzzy. Tujuan penulisan ini adalah untuk memprediksi harga emas dengan menggunakan model neuro fuzzy Sugeno orde satu.

Proses pemodelan neuro fuzzy untuk memprediksi harga emas adalah sebagai berikut, (1) pemilihan variabel input dan variabel output serta pembagian data menjadi training data (TRD) dan cheking data (CHD), (2) data TRD akan dibagi menjadi 3 cluster, (3) dilakukan pembelajaran bagian ateseden dan konsekuen pada tiap aturan fuzzy menggunakan neural netwoks dengan fungsi aktivasi sigmoid bipolar sebagai representasi fungsi keanggotaannya, (4) penyederhanaan bagian konsekuen menggunakan metode eliminasi backward, (5) ditentukan konsekuen parameternya menggunakan Least Square Error (LSE) dan (6) ditentukan output akhirnya.

Model neuro fuzzy terbaik untuk memprediksi harga emas adalah model dengan variabel input harga emas lag-2, lag-3, lag-4 dan lag-5 dengan nilai MAPE training data dan cheking data berturut-turut 3,32% dan 4,57%. Selanjutnya, model akan digunakan untuk memprediksi harga emas bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013. Hasil prediksi harga emas bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 menggunakan model tersebut cenderung menurun dengan nilai MAPE 5,39%.

Kata kunci: neuro fuzzy, harga emas, prediksi

A. PENDAHULUAN

Harga emas yang bersifat kebalikan dari harga indeks saham dan nilai dari surat berharga menjadikan emas sebagai salah satu pilihan untuk menyimpan aset kekayaan di masa datang. Dewasa ini, investasi emas sedang menjadi trend sehingga banya investor yang beralih dari investasi saham ke investasi emas (Futures Monthly, 2013:16). Ancaman inflasi masa depan akibat kebijakan cetak uang oleh bank sentral negara-negara maju (kebijakan ini berakibat pada kehancuran nilai tukar mata uang global) termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi kenaikan atau penurunan harga emas. Oleh karena itu, diperlukan adanya peramalan bagi investor untuk mengetahui kecenderungan harga emas di masa datang.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika dengan tema “Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Beberapa penelitian terdahulu telah banyak dilakukan untuk meramalkan harga emas, antara lain Leyla Safaraz (2005) meramalkan harga emas dengan menggunakan model (Adaptive Neuro Fuzzy Inference Systems) ANFIS. Vina Eka W (2010) memprediksi harga emas dengan menggunakan ARIMA dan pemulusan eksponensial. Eva Kristina R (2011) memprediksi harga emas menggunakan Elvolving Fuzzy Systems and Differential Evolution. Widhatul Milla (2012) memprediksi harga emas dengan menggunakan model Elman Neural Network .

Salah satu cara untuk meramalkan harga emas adalah dengan menggunakan model neuro fuzzy . Neuro fuzzy merupakan penggabungan dua model, yaitu logika fuzzy dan neural network. Logika fuzzy merupakan representasi pengetahuan yang dikonstruksikan dalam IF-THEN rules. Logika fuzzy memiliki kemampuan lebih dalam menangani data pengetahuan lingkungan luar serta keupayaan dalam presepsi dan penalaran seperti otak manusia. Namun logika fuzzy tidak memiliki kemampuan untuk learning dan beradaptasi. Sedangkan, neural network merupakan suatu sistem yang memiliki karakteristik tertentu yang mirip dengan jaringan syaraf biologi. Neural network memiliki kemampuan untuk learning dan beradaptasi namun tidak memiliki kemampuan penalaran seperti yang dimiliki oleh logika fuzzy. Pemodelan neuro fuzzy bertujuan untuk mengurangi kelemahan dan menggabungkan kelebihan dari masing-masing sistem.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat keakuratan prediksi harga emas dengan menggunakan model neuro fuzzy dan memprediksi harga emas menggunakan model neuro fuzzy .

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan research and development pada model Neuro Fuzzy Systems (NFS) . Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Studi Pustaka

Emas

Nero Fuzzy System

Perancangan Model

Variabel Input dan

Parameter

Output

Pemrograman dengan

Matlab

Seleksi Model

Prediksi

Kesimpulan

Gambar 1. Bagan Penelitian

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Sistem Fuzzy

Himpunan fuzzy dalam himpunan semesta menurut Zimmermann (1991: 11-

12) dinyatakan sebagai himpunan pasangan berurutan,

dengan () adalah derajat keanggotaan di yang terletak pada interval [0,1] .

Fungsi keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input ke dalam nilai keanggotaannya. Nilai keanggotaan dapat dinyatakan dalam berbagai representasi fungsi keanggotaan dalam penelitian ini fungsi keanggotaan yang digunakan adalah representasi kurva-S.

Sistem inferensi fuzzy merupakan suatu kerangka komputasi yang didasarkan pada teori himpunan fuzzy, aturan fuzzy dan penalaran fuzzy. Sistem inferensi fuzzy yang digunakan untuk membangun model neuro fuzzy dalam penulisan ini adalah sistem inferensi fuzzy metode Sugeno orde satu dengan konsekuen berupa persamaan linear. Secara umum, bentuk model fuzzy Sugeno orde satu (Lin, 1996:18-19) adalah.

IF x is A ( 1 1 ) ... ( i  x is A THEN z N Ni )  px 11  ... px N N  q (2)

dengan adalah himpunan fuzzy ke-i, ∘ adalah operator fuzzy, adalah konstanta crips ke-i, adalah konstanta.

2. Neural Network

Menurut Simon Haykin (1999:2), neural-network adalah prosesor yang terdistribusi paralel, terbuat dari unit-unit yang sederhana, dan memiliki kemampuan untuk menyimpan pengetahuan yang diperoleh secara eksperimental dan siap pakai untuk berbagai tujuan. Neural network mempunyai stuktur tersebar paralel yang sangat besar dan mempunyai kemampuan belajar, sehingga dapat melakukan generalisasi. Pemodelannya didasari oleh kemampuan otak manusia dalam mengorganisasi sel-sel penyusunnya (neuron), sehingga mampu melakukan pemrosesan informasi. Model matematis penyederhanan dari struktur sel syaraf pertama kali diperkenalkan oleh Mc.Culloch dan Pits pada tahun 1943.

Berdasarkan arsitekturnya neural network dapat dikategorikan, antara lain neural network dengan lapisan tunggal, neural network dengan banyak lapisan dan neural network dengan lapisan kompetitif. Pada penelitian ini, neural network yang digunakan adalah neural network dengan banyak lapisan. Berikut adalah gambar arsitektur neural network dengan satu lapisan tersembunyi yang digunakan dalam model.

Gambar 2 Jaringan Syaraf dengan 3 Neuron pada Input, 2

Neuron pada Lapisan Tersembunyi dan 2 Neuron pada Lapisan Output

Menurut Fausett (1994:17), fungsi aktivasi akan menentukan output suatu unit (mengubah sinyal input menjadi sinyal output) yang akan dikirim ke unit lain. Pemilihan fungsi aktivasi disesuaikan dengan permasalahan yang akan diselesaikan. Fungsi aktivasi yang digunakan dalam penelitian adalah fungsi sigmoid biner dan fungsi linier.

Fungsi sigmoid biner digunakan untuk jaringan syaraf dengan metode backpropagation. Fungsi ini memiliki sifat non-linier sehingga sangat baik untuk menyelesaikan permasalahan kompleks dan bersifat non-linier. Nilai fungsinya terletak antara 0 dan 1. Fungsi sigmoid biner dirumuskan dengan (Fausett, 1994: 18):

(3) dengan adalah konstanta.

Fungsi linier atau identitas memiliki nilai output yang sama dengan nilai inputnya. Menurut Demuth dan Beale (2002:2-3) fungsi linier dirumuskan sebagai berikut:

3. Neuro Fuzzy Systems

Neuro fuzzy systems dirancang untuk merealisasikan proses penalaran fuzzy, dimana bobot-bobot yang terhubung pada neural network terhubung dengan parameter- parameter paenalaran fuzzy (Kusumadewi dan Hartati, 2010:297). Neuro fuzzy systems mempunyai kelebihan dalam penentuan nilai parameter fuzzy yang optimal melalui fungsi learning yang terdapat pada neural network (Susmitha dan Hayashi, 2000:3).

Neuro-fuzzy dapat mengidentifikasi aturan fuzzy dan melatih fungsi keanggotaan dari penalaran fuzzy dengan menggunakan alogaritma pembelajaran back propagation. Neuro-fuzzy dapat melatih aturan yang berbentuk linguistik dan fungsi keanggotaan.

a. Neural Network Sebagai Pengendali Penalaran Fuzzy

Menurut Lin (1996: 498), konsep dasar pemakaian neural network sebagai pengendali penalan fuzzy adalah menggunakan neural network untuk membangkitkan sistem inferensi fuzzy model Sugeno baik pada anteseden (membangkitkan fungsi keangotaan), maupun pada bagian konsekuen (melakukan inferensi). Neural network digunakan untuk menutupi kelemahan sistem inferensi fuzzy dalam menentukan fungsi keanggotaan dan pembangkit fungsi pembelajaran pada aturan inferensi.

Pada penelitian ini, menggunakan jaringan syaraf dengan alogaritma pembelajaran backpropagation untuk membangun himpunan fuzzy pada bagian anteseden dan fungsi inferensi pada bagian konsekuen. Format aturan inferensinya adalah sebagai berikut:

b. Rule-Based Neural-Fuzzy Modelling

Pemodelan fuzzy didasarkan pada sistem yang akan dibangun menggunakan sistem inferensi fuzzy (Lin, 1996:511). Fuzzy Modelling Network (FMN) akan mengidentifikasi aturan-aturan fuzzy dan fungsi keanggotaan secara otomatis dengan cara memodifikasi bobot-bobot neural network melalui alogaritma pembelajaran backpropagation .

Menurut Horikawa dalam Kusumadewi 2010, metode pemodelan fuzzy melalui pembelajaran neural network dengan alogaritma backpropagation dibagi menjadi 3 tipe yaitu, FMN I, FMN II, dan FMN III. Pada penelitian ini digunakan FMN tipe III dengan konsekuen berupa persamaan linear orde pertama. Berikut format aturan untuk FMN tipe III (Lin, 1996:515):

dengan, R i adalah aturan fuzzy ke- i , A

i 1 adalah himpunan fuzzy ke- i pada bagian anteseden untuk x 1 , A i 2 adalah himpunan fuzzy ke- i pada bagian anteseden untuk x 2 ,

( , ) adalah persamaan linear orde satu untuk aturan ke- i , r adalah banyaknya aturan fuzzy.

4. Prediksi Harga Emas

Prediksi harga emas dengan neuro fuzzy Sugeno orde nol menggunakan data harga emas dari bulan Juli 2008 sampai Desember 2012 sehingga terdapat 54 data harga emas bulanan. Input data model ditentukan dengan menggunakan plot fungsi autokorelasi (ACF) dari harga emas. Banyaknya lag yang keluar atau melebihi batas garis signifikansi menunjukkan banyaknya variabel yang akan digunakan dalam membangun model. Berikut adalah plot ACF harga emas.

Au t o co r r e l a t i on Fu n ct io n f o r H a r g a Em a s

( w ith 5 % sig n ifica n ce lim it s fo r th e a u to co r r e la tio n s)

Gambar 1 Plot ACF Harga Emas Bulan Juli 2008 s/d Desember 2012

Langkah-langkah pembentukan neuro fuzzy Sugeno orde satu untuk memprediksi harga emas dengan input harga emas sebelunya adalah sebagai berikut:

1) Pemilihan variabel input-output dan training data (TRD) Pemilihan variabel input dan variabel output dilakukan dengan cara mengeliminasikan variabel-variabel yang tidak diperlukan. Proses pembelajaran dilakukan dengan input

hingga variabel . Berikut adalah Sum Square Error (SSE) yang diperoleh dari proses pembelajaran.

dan mengeliminasi variabel

Tabel 1 SSE Hasil Pelatihan Orde Satu

Variabel yang

Variabel yang

SSE

SSE

dielm inasi

dielm inasi

SSE yang diperoleh pada saat variabel dieliminasi cukup kecil sehingga dapat dihilangkan. Selanjutnya, data dibagi menjadi training data (TRD) dan checking data (CHD) dengan persentase 75% dan 25%.

a. Pengelompokan (clustering) data pelatihan Pada bagian ini, TRD dibagi menjasi 3 kelas dengan menggunakan metode penglusteran Fuzzy C-Mean (FCM). Sehingga pada model ini terdapat 3 aturan inferensi fuzzy.

b. Pembelajaran neural network yang berhubungan dengan bagian anteseden (bagian IF) pada aturan-aturan inferensi fuzzy. Pada bagian ini, TRD akan dilatih dengan menggunakan jaringan backpropagation dengan 1 lapisan tersembunyi dan 14 neuron pada lapisan tersembunyi. Pembelajaran yang dilatih menggunakan variabel input

, , , dan variabel output . Hasil pembelajaran berupa nilai keanggotaan setiap data dalam himpunan fuzzy. Berikut adalah hasil pembelajaran neural network yang berhubungan dengan bagian anteseden (bagian IF) pada aturan-aturan inferensi fuzzy untuk data TRD.

Tabel 2 Nilai Keanggotaan Data Pelatihan Bagian IF

Data

Matriks Partisi ( U)

2) Pembelajaran neural network yang berhubungan dengan bagian konsekuen (THEN) pada aturan-aturan inferensi fuzzy. Pada bagian ini, proses pembelajaran dilakukan sesuai dengan banyak cluster nya.

i. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 1 dengan menggunakan 6 neuron pada lapisan tersembunyi. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner pada Persamaan (3) untuk lapisan tersembunyi dan untuk lapisan outputnya digunakan fungsi aktivasi linier pada Persamaan (4).

ii. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 2 dengan menggunakan 4 neuron pada lapisan tersembunyi. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner pada Persamaan (3) untuk lapisan tersembunyi dan untuk lapisan outputnya digunakan fungsi aktivasi linier pada Persamaan (4).

iii. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 3 dengan menggunakan 7 neuron pada lapisan tersembunyi. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner pada Persamaan (3) untuk lapisan tersembunyi dan untuk lapisan outputnya digunakan fungsi aktivasi linier pada Persamaan (4).

3) Penyederhanaan bagian konsekuen (bagian THEN) menggunakan metode backward. Penyederhanaan pada bagian konsekuen dilakukan dengan menggunakan metode eliminasi backward untuk tiap aturan. Selanjutnya, ditentukan parameter konsekuen untuk tiap aturan menggunakan metode Least Square Error (LSE).

i. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 1 dan mengeliminasi variabel , , dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 1 dan mengeliminasi variabel , ,

Tabel 3 SSE Hasil Pelatihan pada

dielm inasi

dielm inasi

Nilai SSE yang diperoleh saat tidak ada variabel yang dieliminasi cukup kecil maka tidak ada variabel dihilangkan. Selanjutnya dilakukan pembelajaran

yang masuk pada cluster 1 untuk menentukan konsekuen parameter dengan menggunakan metode

dengan variabel input , , ,

dengan target output

LSE. Sehingga format aturan untuk aturan pertama adalah

dengan, ( , , 4 , ) = 0.7379 + 0.2885 − 0.0258 + 0.0847 − 1,6415

ii. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 2 dan mengeliminasi variabel , , hingga . Berikut adalah hasil SSE yang diperoleh dari proses pembelajaran

Tabel 4 SSE Hasil Pelatihan pada

Variabel yang

Variabel yang

SSE

SSE

dielm inasi

dielm inasi

Nilai SSE yang diperoleh saat tidak ada variabel yang dieliminasi cukup kecil maka tidak ada variabel dihilangkan. Selanjutnya dilakukan pembelajaran

yang masuk pada cluster 1 untuk menentukan konsekuen parameter dengan menggunakan metode LSE. Sehingga format aturan untuk aturan pertama

dengan variabel input , , ,

dengan target output

adalah

dengan, ( , , 4 , ) = 0.2988 + 0.0169 + 0.01465 + 0.7064 + 0.7828 dengan, ( , , 4 , ) = 0.2988 + 0.0169 + 0.01465 + 0.7064 + 0.7828

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 3 dan mengeliminasi variabel , , hingga . Berikut adalah hasil SSE yang diperoleh dari proses pembelajaran

Tabel 5 SSE Hasil Pelatihan pada

Variabel yang

Variabel yang

SSE

SSE

dielm inasi

dielm inasi

Nilai SSE yang diperoleh saat variabel dieliminasi cukup kecil maka variabel

dapat dihilangkan.Selanjutnya dilakukan pembelajaran dengan variabel input , , dengan target output yang masuk pada cluster 3 untuk menentukan konsekuen parameter dengan menggunakan metode LSE. Sehingga format aturan untuk aturan pertama

4) Penentuan output akhir Penentuan output akhir menggunakan persamaan berikut.

dengan nilai ( ) adalah hasil dari pembelajaran pada , , dan serta nilai

( ) adalah hasil yang diperoleh dari pembelajaran jaringan syaraf yang berhubungan pada bagian anteseden. Berikut adalah output akhir atau output jaringan data TRD dan CHD untuk model neuro fuzzy Sugeno orde satu dengan variabel input

dan target output ( ∗ ) .

Berikut adalah plot kesesuiaan antara target output dengan output jaringan.

Tabel 6 Output Jaringan Pelatihan dan Pengujian No

Tabel 7 berikut menunjukkan hasil prediksi harga emas untuk 6bln kedepan dengan menggunakan model neuro fuzzy Sugeno orde satu.

m s a E 1400

1 5 10 15 20 25 Bula n 30 35 40 45 50 55

Gambar 2 Plot Hasil Output Jaringan TRD dan CHD dan Target

Output TRD dan CHD

Tabel 7 Hasil Prediksi Harga Emas Tahun 2013

Harga Emas

Bulan

NFS Orde

Data Asli ()

Satu ( ∗ )

Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

MAPE

D. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan dari nilai MAPE yang diperoleh model terbaik yang diperoleh dengan menggunakan neuro fuzzy Sugeno Orde Satu adalah model dengan variabel 4 input, yaitu harga emas dari 1bulan, 2bulan, 3bulan, dan 4bulan sebelumnya dengan nilai MAPE TRD dan MSE TRD berturut-turut 5,8%, 10881,81 serta nilai MAPE CHD dan MSE CHD berturut-turut 6,5%, 18965,07. Hasil prediksi untuk bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dengan menggunakan model terbaik berturut-turut adalah 1772,568, 1649,993, 15464,581, 1591,018, 1523,742, dan 1334,684.

Saran

Bagi pembaca yang tertarik mengenai permasalahan prediksi harga emas khususnya model Sistem Neuro Fuzzy Sugeno Orde Satu dapat menggunakan model neuro fuzzy dengan pemilihan cluster yang terbaik agar banyak cluster yang diperoleh mencapai keoptimalan.

E. DAFTAR PUSTAKA

Beale, H. D. (2002). Neural Network Toolbox. The Math Works, Inc.

Eva Kristina Ratnawati. (2011). Prediksi Harga Emas Menggunakan Evolving Fuzzy Sistem dan Differential Evolution. Digital Library Telkom Institute of Technology. http://digilib.ittelkom.ac.id/.

Fausett, L. (1994). Fundamentals of Neural Network (Archetectures, Algoruthms, and Applications). New-Jersey: Prentice-Hall.

Haykin, S. (1999). Neural Networks & Comprehensive foundation. New York: Prentice Hall.

Kusumadewi, S., & Hartati, S. (2010). Neuro Fuzzy: Integrasi Sistem Fuzzy & Jaringan Syaraf Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Lin, C.-T., & Lee, G. (1996). Neural Fuzzy Systems. New Jersey: Prentice-Hall.

Mitra, S., & Hayashi, Y. (2000). Neuro Fuzzy Rule Generation: Survey in Soft Computing Framework. IEEE Transactions On Neural Network, 11, 3.

Redaksi Monex. (2013). Futures Monthly (70 ed.). Jakarta: PT Monex Investindo Futures.

Ross, T. J. (2010). Fuzzy Logic with Engineering Applications (3 ed.). Inggris: John Wiley & Sons Inc.

Sarfaraz, L. (2005). A Study On The Factor Affecting Gold Price And A Neuro Fuzzy Model Of ForeCast. Quarterly Journal of Economic Researches, 169. No. 16.

Vina Eka W. (2010). Aplikasi ARIMA dan Pemulusan Eksponensial Tripel Pada Peramalan Harga Emas 24 Karat di Kota Malang. Digital Library Universitas Negeri Malang. Malang: http://library.um.ac.id/.

Widhatul Milla. (2012). Penerapan Model Elman Neural Network Untuk Peramalan Harga Emas Perum Pengadaian. Skripsi. UNY.

Zimmermann. (1991). Fuzzy Sets Theory and its Applications (2 ed.). Massachusetts: Kluwer Academic Publishers.

T - 28

MODEL EPIDEMI STOKASTIK SUSCEPTIBLE INFECTED SUSCEPTIBLE (SIS)

Silvia Kristanti, Sri Kuntari, dan Respatiwulan

Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta m2d_girl@yahoo.com

Abstrak

Model epidemi susceptible infected susceptible (SIS) merupakan model yang menggambarkan penyebaran penyakit dengan karakteristik setiap individu sembuh dapat terinfeksi kembali karena tidak memiliki sistem kekebalan tubuh permanen. Banyaknya individu terinfeksi tidak dapat diprediksi dengan pasti, sehingga penyebaran penyakit dapat dipandang sebagai kejadian random yang bergantung pada variabel waktu atau disebut proses stokastik. Jika perubahan banyaknya individu terinfeksi ditinjau dalam selang waktu kontinu, maka penyebaran penyakit dengan karakter tersebut dapat digambarkan dengan menggunakan model stokastik SIS.

Penyelesaian secara eksak sulit diperoleh, sehingga digunakan penyelesaian pendekatan. Model yang diperoleh disimulasikan dengan mengambil nilai parameter dan berbeda. Berdasarkan hasil simulasi diperoleh jika semakin besar nilai parameter maka semakin cepat peningkatan penyebaran penyakit dan semakin banyak juga jumlah individu terinfeksi. Jika semakin besar nilai parameter , maka semakin lama peningkatan penyebaran penyakit dan semakin sedikit jumlah individu terinfeksi

. Kata kunci: model stokastik SIS, simulasi.

A. PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan setiap individu. Jika individu tersebut sehat, maka aktivitasnya dapat dilakukan dengan baik. Pada kenyataannya, sebagian individu belum tentu dapat mempertahankan kondisi kesehatannya. Hal itu dikarenakan terdapat penyakit yang menyerang pada tubuh individu tersebut. Penyakit tersebut dapat menular dari individu satu ke individu yang lain melalui kontak langsung (Hetchcote [4]). Pada beberapa jenis penyakit, individu yang sembuh dapat terinfeksi kembali karena tidak memiliki sistem kekebalan tubuh permanen (Ianelli [5]). Model matematika yang dapat menggambarkan pola penyebaran penyakit dengan karakteristik tersebut disebut model SIS.

Penyakit yang memiliki karakteristik model SIS adalah influenza, severe acute respiratory syndrome (SARS), malaria, pertussis, dan tuberculosis. Menurut Parzen [6], banyaknya individu yang terinfeksi tidak dapat diprediksi dengan pasti. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyebaran penyakit dapat dipandang sebagai kejadian random yang bergantung pada variabel waktu sehingga dapat disebut proses stokastik. Jika perubahan banyaknya individu terinfeksi ditinjau dalam selang waktu kontinu, maka penyebaran penyakit dengan karakter tersebut dapat digambarkan menggunakan model stokastik SIS. Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan model stokastik SIS, menerapkan dan menginterpretasikan model stokastik SIS melalui simulasi. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai model matematika yaitu model stokastik SIS pada penyebaran penyakit.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

B. PEMBAHASAN

Hetchcote [4] menyebutkan bahwa pada model SIS, populasi dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok susceptible (S) dan kelompok infected (I). Kelompok susceptible adalah kelompok individu sehat tetapi berisiko terinfeksi penyakit dan kelompok infected adalah kelompok individu terinfeksi penyakit. Asumsi yang digunakan pada model SIS yaitu

1. populasi tertutup dan banyaknya individu pada populasi konstan,

2. populasi bercampur secara homogen,

3. laju kelahiran sama dengan laju kematian,

4. individu yang lahir merupakan individu yang sehat tetapi rentan penyakit,

5. individu yang telah sembuh dianggap tidak memiliki kekebalan permanen sehingga dapat tertular penyakit kembali,

6. hanya terdapat satu penyakit yang menyebar dalam populasi tersebut. Banyaknya individu pada kelompok S dan I pada waktu t masing-masing dinyatakan sebagai S(t) dan I(t), serta S(t)+I(t)=N dengan N adalah jumlah total individu pada populasi. Pada model stokastik SIS mempunyai variabel random, yaitu I(t). Jika banyaknya I(t) sebesar i, maka fungsi probabilitas banyaknya individu terinfeksi pada waktu t adalah

dengan ∈ [0, ], ∈ [0, ∞ ] . Banyaknya individu terinfeksi dapat berubah setiap waktu pada interval ∈ [0, ∞ ] . Pada selang waktu + ∆ , banyaknya I(t) sebesar j. Selanjutnya i dan j disebut sebagai state . Perpindahan dari state i ke j disebut sebagai transisi. Probabilitas perubahan banyaknya individu terinfeksi dari state i ke j pada selang waktu ∆ disebut probabilitas transisi, dapat dituliskan sebagai

Proses transisi terjadi pada selang waktu yang sangat kecil sehingga diasumsikan hanya ada satu individu yang bertransisi dari state i ke j. Oleh karena itu, terdapat tiga kemungkinan transisi yang terjadi yaitu dari state i ke state j=i+1, dari state i ke state j=i-1dan state i ke state j=i .

Pada saat individu bertransisi dari state i ke state j=i+1, berarti banyaknya individu terinfeksi bertambah satu. Dengan kata lain, terjadi perpindahan satu individu dari kelompok S ke

I karena suatu kontak. Karena diasumsikan populasi homogen sehingga setiap individu pada kelompok S mempunyai kemungkinan yang sama dapat melakukan kontak dengan individu pada kelompok I. Jika terdapat i individu terinfeksi pada kelompok I, maka probabilitas individu

kelompok I yang melakukan kontak dengan individu kelompok S sebesar . Jika besar laju kontak sebesar , maka besarnya probabilitas transisi dari state i ke state j=i+1 pada selang

waktu ∆ adalah

∆ + ( ∆ ). (1) Ketika individu terinfeksi bertransisi dari state i ke state j=i-1, berarti banyaknya individu terinfeksi berkurang satu. Pengurangan satu individu tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, akibat terjadinya perpindahan individu dari kelompok I ke S karena faktor kesembuhan dengan

laju kesembuhan sebesar . Kedua, akibat adanya kematian dalam kelompok I dengan laju kematian sebesar . Jadi, besarnya probabilitas transisi dari state i ke state j=i-1 pada selang waktu ∆ adalah

(2) Selanjutnya, individu terinfeksi tetap berada pada state i, berarti tidak terjadi penambahan maupun pengurangan banyaknya individu terinfeksi. Besarnya probabilitas transisi dari state i ke state j=i pada selang waktu ∆ adalah selisih antara total probabilitas semua kejadian dengan probabilitas transisi saat terjadi perubahan state i → i+1 dan i → i-1 , sehingga dapat dituliskan sebagai

Pada selang waktu yang sangat kecil, dimungkinkan hanya terdapat satu individu yang bertransisi. Dari suatu state ke state lain, kemungkinan banyaknya individu yang bertransisi lebih dari atau sama dengan dua adalah sangat kecil. Oleh karena itu, besarnya probabilitas transisi dengan banyaknya individu yang bertransisi lebih dari atau sama dengan dua dalam selang waktu

∆ yaitu ( ∆ ) . Persamaan (1), (2), dan (3), dapat dituliskan dalam suatu sistem persamaan

Sistem persamaan (4) merupakan model continuous time Markov chain SIS (CTMC SIS) dengan variabel random I(t) diskrit dan waktu kontinu. Menurut Allen [2], diasumsikan model stokastik SIS memiliki variabel random I(t) kontinu dan waktu kontinu, sehingga model CTMC SIS pada persamaan (4) dapat dipandang menjadi model stokastik SIS. Perubahan banyaknya individu terinfeksi adalah selisih antara banyaknya individu terinfeksi pada waktu + ∆ dengan banyaknya individu terinfeksi pada waktu t yang dapat dituliskan menjadi ∆ =(+ ∆ ) − ()

berdistribusi normal, ∆ ()~(() ∆ , () ∆ ). Menurut Allen [2], perubahan banyaknya individu terinfeksi yang

Diasumsikan

bahwa

mengikuti proses Wiener pada selang waktu + ∆ untuk ∆ yang sangat kecil, dapat dinyatakan dalam bentuk sistem persamaan diferensial stokastik yang kemudian disebut dengan model stokastik. Dengan demikian, model stokastik SIS dapat dituliskan

Sistem persamaan diferensial stokastik tersusun atas dua bagian yaitu bagian deterministik dan bagian stokastik. Suku () merupakan bagian deterministik yang tidak dipengaruhi proses stokastik, sedangkan () merupakan bagian stokastik yang dipengaruhi proses stokastik.

Berdasarkan persamaan (4), besar probabilitas transisi dari state i ke j=i+1 yaitu ∆ + ( ∆ ) dan probabilitas transisi dari state i ke j=i-1 yaitu ( + ) ∆ + ( ∆ ) . Menurut Allen [1], nilai harapan dari ∆ adalah

dengan ∆ merupakan perubahan banyaknya individu terinfeksi dan ( ∆ ) merupakan probabilitas transisi banyaknya individu terinfeksi. Variansi dari ∆ adalah

Berdasarkan nilai variansi () ∆ diperoleh

Dengan demikian, persamaan (5) merupakan model stokastik SIS dengan

dan

merupakan suatu proses Wiener. Sehingga persamaan (5) dapat dituliskan menjadi

Interpretasi Penyelesaian Model Stokastik SIS

Pada bagian ini diberikan penerapan model stokastik SIS (6) terhadap penyebaran penyakit pertussis yang merujuk pada Arino [3]. Penyakit pertussis merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Nilai laju penularan = 0.4 per hari, laju kesembuhan = 0.04 per hari, laju kelahiran sama dengan laju kematian = 0.1 per hari dengan = 1000 sehingga persamaan (6) dapat disajikan dengan

Dalam penerapan ini diambil nilai ( 0) = 996 dan ( 0) = 4 . Dengan menggunakan program pada Allen [1], diperoleh Gambar 1 yang menyajikan banyaknya individu terinfeksi

pada model stokastik SIS dalam selang waktu = 0 sampai = 70 .

Gambar 1. Banyaknya individu terinfeksi pada selang waktu 0 ≤≤ 70

Dari Gambar 1, garis putus-putus berwarna hitam menunjukkan banyaknya individu terinfeksi yang hanya mempertimbangkan nilai () . Sedangkan garis yang berwarna biru menunjukkan banyaknya individu terinfeksi dengan mempertimbangkan nilai () dan () .

Dari kedua garis terlihat bahwa dengan bertambahnya waktu, banyaknya individu terinfeksi mengalami peningkatan secara tajam. Kemudian meningkat terus-menerus secara perlahan-lahan dan cenderung konstan sekitar = 34 . Selanjutnya banyaknya individu terinfeksi tidak turun karena pada karakteristik model SIS, individu I yang sudah sembuh menjadi individu S . Selanjutnya persamaan (7) disimulasikan dengan mengambil nilai parameter yang berbeda. Hasil simulasi ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Banyaknya individu terinfeksi dengan = 0.25,0.3,0.4,0.55 dan = 0.04 pada selang waktu 0 ≤≤ 100

Gambar 3. Banyaknya individu terinfeksi dengan = 0.025,0.01,0.075,0.005 dan = 0.04

pada selang waktu 0 ≤≤ 30

Gambar 2 menunjukkan perubahan banyaknya individu pada waktu ke-t dengan nilai parameter > . Garis berwarna biru menggambarkan banyaknya individu terinfeksi dengan = 0.25 mengalami peningkatan yang tajam dari 4 menjadi 370 pada hari ke- 0 sampai ke- 54 lalu meningkat secara perlahan dan cenderung konstan. Garis berwarna merah menggambarkan banyaknya individu terinfeksi dengan = 0.3 mengalami peningkatan yang tajam dari 4 menjadi 500 pada hari ke- 0 sampai ke- 47 lalu meningkat secara perlahan dan cenderung konstan. Garis berwarna hijau menggambarkan banyaknya individu terinfeksi dengan = 0.4

mengalami peningkatan yang tajam dari 4 menjadi 620 pada hari ke- 0 sampai ke- 35 lalu meningkat secara perlahan dan cenderung konstan. Garis berwarna hitam menggambarkan banyaknya individu terinfeksi dengan = 0.55 mengalami peningkatan yang tajam dari 4 mengalami peningkatan yang tajam dari 4 menjadi 620 pada hari ke- 0 sampai ke- 35 lalu meningkat secara perlahan dan cenderung konstan. Garis berwarna hitam menggambarkan banyaknya individu terinfeksi dengan = 0.55 mengalami peningkatan yang tajam dari 4

Gambar 3 menunjukkan perubahan banyaknya individu pada waktu ke- dengan nilai parameter < Garis berwarna biru menggambarkan banyaknya individu terinfeksi dengan = 0.025 mengalami penurunan yang tajam dari 4 menjadi 0 pada hari ke- 0 sampai ke- 23.7 . Garis berwarna merah menggambarkan banyaknya individu terinfeksi dengan

= 0.01 mengalami penurunan yang tajam dari 4 menjadi 0 pada hari ke- 0 sampai ke- 15.5 .

Garis berwarna hijau menggambarkan banyaknya individu terinfeksi dengan = 0.0075 mengalami penurunan yang tajam dari 4 menjadi 0 pada hari ke- 0 sampai ke- 13.5 . Garis berwarna hitam menggambarkan banyaknya individu terinfeksi dengan = 0.005 mengalami penurunan yang tajam dari 4 menjadi 0 pada hari ke- 0 sampai ke- 8.5 . Berdasarkan hasil simulasi pada Gambar 3 jika nilai parameter < , maka semakin cepat penurunan penyebaran penyakit dan individu yang terinfeksi mencapai nol artinya tidak terjadi penularan penyakit lagi.

C. SIMPULAN

Kesimpulan berdasarkan hasil pembahasan adalah sebagai berikut.

1. Model stokastik \emph{SIS} dinyatakan sebagai

2. Berdasarkan hasil simulasi diperoleh jika semakin besar nilai parameter maka semakin cepat peningkatan penyebaran penyakit dan semakin banyak juga individu yang terinfeksi. Jika semakin besar nilai parameter maka semakin lama peningkatan penyebaran penyakit dan semakin sedikit juga individu yang terinfeksi.

D. DAFTAR PUSTAKA

Allen, E. J. S., Allen L. J. S., A. Armando, and Greenwood P. E., Construction of Equivalent Stochastic Differential Equation Models , Stochastic Analysis and Aplication (2008, no. 26, 274-297.

Allen, L. J. S., An Introduction to Stochastic Epidemic Models, Tech. report, Departement of Mathematics and Statistics, Texas Tech University, Lubbock, Texas, 2008.

Arino, J., K. L. Cooke, and J. Velasco Hernandz, An Epidemiology Model That Includes A Leakly with General Waning Function , AIMsciences 4 (2004), no. 2, 479-495.

Hetchote, H. W., The Mathematics of Infections Disease, SIAM Review 42(2000), no. 4, 599-653

Ianelli, M., The Mathematical Modelling of Epidemic, Tech. report, Mathematics Departement, University of Trento, Italy, 2005.

Parzen, E., Stochastic Process, Holden-Day, Inc., United States of America, 1962.

T - 29

PENGGUNAAN METODE FUZZY MAMDANI UNTUK MEMBUAT KEPUTUSAN DALAM ANALISIS KREDIT

1 2 Sri Ayu Subekti 3 , Lilik Linawati , Adi Setiawan

1 Mahasiswa Program Studi Matematika FSM UKSW

Dosen Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro No. 52-60, Salatiga

1 Sriayu_subekti61@yahoo.com, 2 lina.utomo@yahoo.com,

3 adi_setia_03@yahoo.com

Abstrak

Makalah ini mengkaji bagaimana keputusan kredit ditentukan dalam suatu analisis kredit menggunakan metode fuzzy-mamdani. Data yang dianalisis berdasarkan data sekunder dari PT. BPR Kandimadu Arta Salatiga berupa data sampel calon debitur kredit mobil sebanyak 15 orang. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa pendekatan Metode fuzzy-mamdani dapat digunakan untuk menentukan diterima atau ditolaknya suatu pengajuan kredit mobil berdasarkan criteria yang ditentukan perusahaan. Terdapat beberapa perbedaan keputusan antara keputusan yang dibuat oleh bank dan keputusan yang menggunakan metode fuzzy- mamdani . Dalam hal ini bank dapat menghindari kredit yang beresiko tidak terlunasi seperti calon debitur ke-I yang dianggap layak oleh perusahaan, tetapi tidak layak berdasarkan hasil fuzzy-mamdani. Calon debitur ke-F yang ditolak oleh perusahaan namun diterima berdasarkan fuzzy-mamdani, hal ini dapat dipertimbangkan oleh perusahaan untuk menambah pemasukan perusahaan.

Kata kunci: Ketidak-pastian, Penentuan Kredit mobil, Metode Fuzzy Mamdani.

A. PENDAHULUAN Latar Belakang

Bank adalah sebuah lembaga keuangan dan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan selanjutnya menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha meminjam uang untuk membeli suatu barang dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan. Ada beberapa jenis kredit antara lain dilihat dari segi tujuannya, terdapat kredit konsumtif dan kredit produktif. Permasalahan yang dihadapi bank dalam perkreditan yaitu dalam menentukan keputusan pemberian kredit pada seorang calon debitur, selain itu bahwa tidak semua pemberian kredit yang diberikan dapat berjalan dengan lancar atau sering kali disebut kredit macet. Salah satu faktor penyebab kredit macet adanya kesalahan penilaian dalam membuat keputusan kredit atau data yang diberikan calon debitur bukan data sebenarnya. Keberhasilan kredit suatu bank salah satunya dapat diukur dari kelancaran pengembalian kredit. Kelancaran ini dipengaruhi oleh ketepatan dalam penyeleksian kelayakan nasabah untuk memperoleh kredit sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati. Namun untuk menyetujui suatu pengajuan kredit ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh seorang analisis kredit sebagai dasar untuk jaminan bahwa seorang debitur akan melunasi hutangnya dengan baik, yaitu 5C : Collaterall (anggunan), Capacity (kemampuan membayar kewajiban), Capital (modal), Character (karakter), dan Condition (kondisi ekonomi) yang merupakan data kualitatif (Kamsir, 2000:34). Data kualitatif ini menyebabkan adanya faktor

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Dari latar belakang di atas, rumusan masalahnya bagaimana cara pengambilan keputusan dalam permasalahan pemberian kredit?, dan tujuan penelitian ini untuk menentukan keputusan pemberian kredit untuk pembelian suatu barang pada lembaga keuangan kepada calon debitur dengan menggunakan metode fuzzy mamdani.

Manfaat Penelitian

Untuk mengembangkan dan mengaplikasikan pengetahuan dan keilmuan di bidang matematika khususnya penggunaan metode fuzzy mamdani yang dapat digunakan untuk permasalahan analisa kredit.

B. DASAR TEORI Kredit

Kelleman menyatakan bahwa kredit mempunyai dimensi yang beraneka ragam. Dimulai dari kata “kredit” yang berasal dari bahasa Yunani “credere” yang berarti “kepercayaan” atau bahasa latin”creditumi” yang berarti “kepercayaan dalam kebenaran”. Maksud pengertian ini adalah apabila seseorang memperoleh kredit, bererti dia mendapat kepercayaan dari pihak yang memberikan kredit (meminjamkan uang). Sedangkan bagi pihak yang memberikan kredit, artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang dengan asumsi uang yang dipinjamkan akan kembali. Menurut Kolher “kredit” adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau pengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan atau ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang disepakati (Mulyono, 1987:9).

Dari pengertian kredit tersebut dapat disimpulkan bahwa kredit adalah suatu pemberian pinjaman dalam bentuk uang / yang dipersamakan dengan itu kepada pihak lain yang pembayaran pengembaliannya dilakukan secara mengangsur dalam jangka waktu tertentu.

Himpunan Fuzzy

Himpunan didefinisikan sebagai suatu kolerasi obyek-obyek yang terdefinisi secara tegas apakah suatu obyek adalah anggota himpunan itu atau tidak. Dengan perkataan lain terdapat batas yang tegas antara unsur-unsur yang tidak merupakan anggota dari suatu himpunan. Tetapi dalam kenyataanya tidak semua himpunan yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari terdefinisi secara demikian. Untuk mengatasi permasalahan himpunan dengan batas yang tidak tegas itu, Zadeh mengaitkan himpunan semacam itu dengan suatu fungsi yang menyatakan derajat kesesuaian unsur-unsur dalam semestanya dengan konsep yang merupakan syarat keanggotaan himpunan tersebut. Fungsi itu disebut fungsi keanggotaan suatu unsur dalam himpunan itu yang selanjutnya disebut himpunan fuzzy. Dengan demikian setiap unsur dalam semesta wacananya mempunyai derajat keanggotaan tertentu dalam himpunan tersebut. Derajat keanggotaannya dinyatakan dengan suatu bilangan real dalam selang tertutup [0,1]. Dengan perkataan lain, fungsi kenggotaan dari suatu himpuna fuzzy dalam semesta X adalah

memetakan X dari A keselang [0,1]. Nilai fungsi A ( ) menyatakan derajat keanggotaan unsur ∈ Dalam himpunan kabur . Nilai fungsi sama dengan 1 menyatakan keanggotaan penuh, dan nilai fungsi sama dengan 0 menyatakan sama sekali bukan anggota himpun kabur tersebut.

Maka himpunan tegas juga dapat dipandang sebagai kejadian khusus dari himpunan fuzzy, yaitu himpunan fuzzy yang fungsi keanggotaannya hanya bernilai 0 atau 1 saja. Jadi fungsi keanggotaan dari himpunan tegas A dalam semesta

adalah pemetaan dari kehimpunan {0,1}. Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam memahami sistem fuzzy, yaitu: adalah pemetaan dari kehimpunan {0,1}. Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam memahami sistem fuzzy, yaitu:

Pada fungsi linear, dipetakan ke derajat keanggotaan yang digambarkan sebagai suatu garis lurus. Bentuk ini paling sederhana dan menjadi pilihan yang baik untuk mendekati suatu konsep yang kurang jelas. Ada 2 keadaan fungsi keanggotaan fuzzy yang linear. Pertama kenaikan derajat keanggotaan dimulai pada nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan nol (0) bergerak ke kanan menuju ke nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan lebih tinggi, yang dinyatakan dalam fungsi keanggotaan pada rumus (1).

Kedua, merupakan kebalikan yang pertama. Garis lurus dimulai dari nilai domain dengan derajat keanggotaan tertinggi pada sisi kiri, kemudian bergerak menurun ke nilai domain yag memiliki derajat keanggotaan lebih rendah. yang dinyatakan dalam fungsi keanggotaan pada rumus (2).

Operator Dasar Zadeh Untuk Operasi Himpunan Fuzzy

Seperti halnya himpunan konvensional, ada beberapa operasi yang didefinisikan secara khusus untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan fuzzy. Operator dasar yang diciptakan oleh Zadeh, yaitu:

1. Operator AND Operator ini berhubungan dengan operasi interseksi pada himpunan, Hasil operasi dengan operator AND diperoleh dengan mengambil nilai keanggotaan terkecil antar elemen pada himpunan-himpunan yang bersangkutan.

μ A ∩B = min (μ A [x ],μ[y])

Contoh : Misalkan nilai keanggotaan 27 tahun pada himpunan MUDA adalah 0,6 (μ MUDA [27]=0,6); dan nilai keanggotaan Rp 2.000.000,- pada himpunan penghasilan TINGGI adalah 0,8

(μ 6 GAJITINGGI [2 × 10 ]=0,8); maka nilai untuk usia MUDA dan berpenghasilan TINGGI adalah:

μ 6 MUDA ∩GAJITINGGI = min(μ MUDA [27], μ GAJITINGGI [2x10 ])

= min(0,6; 0,8) = 0,6

2. Operator OR Operator ini berhubungan dengan operasi union pada himpunan, Hasil operasi dengan operator OR diperoleh dengan mengambil nilai keanggotaan terbesar antar elemen pada himpunan-himpunan yang bersangkutan.

μ A ∪B = max(μ A [x ],μ B [y]) (4)

Pada contoh sebelumnya, dapat dihitung nilai untuk usia MUDA atau berpenghasilan TINGGI adalah:

MUDA ∪GAJITINGGI = max(μ MUDA [27],μ GAJITINGGI [2 × 10 ])

= max(0,6; 0,8) = 0,8

Sistem Inferensi Fuzzy Mamdani

Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System/FIS) disebut juga fuzzy inference engine adalah sistem yang dapat melakukan penalaran dengan prinsip serupa seperti manusia melakukan penalaran dengan nalurinya. 1.Fungsi-Fungsi Implikasi Tiap–tiap aturan (proposisi) pada basis pengetahuan fuzzy akan berhubungan dengan suatu relasi fuzzy. Ada 2 jenis proposisi fuzzy, yaitu:

a. Conditional Fuzzy Proposition Jenis ini ditandai dengan penggunaan pernyataan IF. Secara umum:

IF x is A Then y is B

dengan x dan y adalah skalar, dan A dan B Adalah variabel linguistik. Proposisi ini dapat diperluas dengan menggunakan penghubung fuzzy, seperti :

IF (x 1 is A 1 ) ∙ (x 2 is A 2 ) ∙ (x 3 is A 3 ) ∙ …. ∙ ( x n is A n ) THEN Y is B

Dengan ∙ adalah operator (misal : OR atau And)

b. Unconditional Fuzzy Proposition Jenis ini ditandai dengan tidak digunakannya fungsi IF. Secara umum :

x is A

dengan x adalah skalar, dan A Adalah variabel linguistik.

2. Penalaran Monoton Metode penalaran secara monoton digunakan sebagai dasar untuk teknik implikasi fuzzy, penalan ini digunakan untuk penskalaan fuzzy. Jika 2 daerah fuzzy direlasikan dengan implikasi sederhana sebagai berikut :

IF x is A THEN y is B

atau dalam notasi fungsi adalah

Y = F ((x,A),B)

Sistem Inferensi fuzzy dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu metode Tsukomoto, metode Mamdani dan metode Sugeno. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode Mamdani. Metode ini diperkenalkan oleh Ebrahim Mamdani pada tahun 1975. Metode Mamdani sering juga dikenal dengan metode Max-Min. Dalam metode ini, untuk mendapatkan output diperlukan 4 tahapan :

1. Pembentukan Himpunan Fuzzy Pada Metode Mamdani, baik variabel input maupun variabel output dibagi menjadi satu atau lebih himpunan fuzzy.

2. Aturan-aturan Fungsi Implikasi Pada Metode Mamdani, aturan fungsi implikasi yang digunakan adalah Min.

3. Komposisi Aturan-aturan fuzzy untuk Inferensi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Max(Maximum) pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan mengambil nilai maksimum aturan, kemudian menggunakannya untuk memodifikasi daerah fuzzy, dan mengaplikasikannya ke output dengan menggunakan operator OR (union). Jika semua proposisi telah dievaluasi maka output akan berisi suatu himpunan fuzzy yang merefleksikan kontribusi dari tiap-tiap proposisi. Secara umum :

( sf [ i ], kf [ i ]) (5) dengan: sf [ i ] = nilai keanggotaan solusi fuzzy sampai aturan. kf [ i ] = nilai keanggotaan konsekuen fuzzy aturan..

sf [ i ] ←

4. Defuzzifikasi Input dari proses defuzzyfikasi adalah suatu himpunan fuzzy yang diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy, sedangkan output yang dihasilkan merupakan suatu bilangan pada domain himpunan fuzzy tersebut. Jika diberikan suatu himpunan fuzzy dalam range tertentu, maka harus dapat di ambil suatu nilai crisp tertentu sebagai output. Defuzzyfikasi pada metode mamdani untuk semesta diskrit menggunakan persamaan.

C. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data calon debitur yang mengajukan kredit mobil kepada BPR. Kandi Madu Arta cabang Salatiga, pada tahun 2012, yang dinyatakan pada tabel 1.

Tabel 1. Data Calon Debitur Tahun 2012 Pada BRP. Kandi Madu Arta Cabang Salatiga

No Calon Uang

Reputasi Keadaan Debitur

Muka Tempat

Penghasilan

Penghasilan

Global Keputusan (jutaan)

Baik Stabil Diterima 2 B 10 Menengah

1 A 20 Sederhana

6.4 6 4 Kecil

Baik Stabil Diterima 3 C 15 Sederhana

4 7 3 Besar

Baik Stabil Diterima 4 D 10 Sederhana

3.7 9 4 Kecil

Baik Stabil Ditolak 5 E 10 Menengah

17 0 2 Sedang

Buruk Stabil Diterima 6 F 15 Kontrak

16 0 3 Sedang

Baik Stabil Diterima 7 G 18.5 Menengah

14 4 4 Kecil

Baik Stabil Diterima 8 H 25 Mewah

30 2 3 Sangat Besar

Baik Stabil Diterima 9 I 10 Sederhana

15 3.2 4 Kecil

Baik Stabil Diterima 10 J

4 0 4 Sedang

Baik Stabil Diterima 11 K

15 Menengah

25 0 3 Besar

Baik Stabil Diterima 12 L

10 Sederhana

11 0 4 Besar

Baik Stabil Diterima 13 M

19 Sederhana

1.5 2 4 Sangat Besar

Baik Stabil Diterima 14 N

13 Menengah

10 9 3 Besar

Baik Stabil Diterima 15 O

Buruk Stabil Ditolak

Penentuan Keputusan

Penentuan keputusan mempunyai input berupa perkiraan keputusan yang diterima calon debitur yang akan diselesaikan menggunakan software MATLAB . Pembentukan himpunan fuzzy merupakan langkah pertama yang dilakukan saat menggunakan metode Mamdani. Himpunan fuzzy dapat dilihat pada Tabel 2, aplikasi himpunan fuzzy dan fungsi keanggotaan pada software MATLAB dapat dilihat pada Gambar 1.

Tahap 1. Membuat fungsi keanggotaan untuk tiap variabel, yaitu jumlah uang muka yang dibayarkan oleh calon debitur, kondisi tempat tinggal calon debitur, penghasilan perbulan seorang calon debitur, penghasilan tambahan seorang calon debitur, jumlah tanggungan yang ditanggung oleh calon debitur, perputaran kas seorang calon debitur, karakter calon debitur, dan keadaan global kondisi ekonomi calon debitur.

Tabel 2. Himpunan Fuzzy

Fungsi Variabel

Keterangan UM (x 1 )

Domain

Jurnal UM dalam bentuk Persentase

Tempat Tinggal (x 2 )

kondisi tempat tinggal saat melakukan survey

penghasilan per bulan dalam jutaan rupiah Penghasilan Tambahan (x ) [0,9]

Penghasilan Pokok (x 3 )

Penghasilan tambahan keluarga dalam jutaan 4 rupiah

Input

Tanggungan (x 5 )

Tanggungan calon debitur, anak kandung dll.

Perputaran Kas (x 6 )

Dilihat dari buku tabungan 3 bulan terakir

Reputasi (x 7 )

Reputasi seorang calon debitur mempengaruhi kemampuan debitur untuk

Kondisi Global (x 8 )

melunasi hutang Hasil keputusan tim analis diterima atau ditolak

Output Keputusan

suatu pengajuan kredit

Tahap 2. Diolah menggunakan metode Fuzzy-Mamdani dengan menggunakan Matlab, contoh fungsi grafik keanggotaan

Gambar 1. Grafik fungsi keanggotaan UM Dengan himpunan fuzzy rendah, sedang tinggi

Langkah selanjutnya adalah pembentukan aturan dan fungsi implikasi. Pembentukan aturan dalam penelitian ini berdasarkan data calon debitur sehingga dapat diperoleh fungsi implikasi dan aturan sebagai berikut contoh:

IF ( UM is Sedang ) AND ( Tempat _Tinggal is Sederhana ) AND ( Penghasilan_Pokok is Rendah ) AND ( Penghasilan_Tambahan is Sedang ) AND ( Jumlah_Tanggung is Banyak ) AND ( Perputaran_Kas is Kecil ) AND ( Reputasi is Baik ) AND ( Kondisi_Global is Stabil ) THEN ( Keputusan is diterima )

Gambar 2. Aturan (Rule) dan Fungsi Gambar 3. Penegasan (Deffuzyfikasi) Fungsi Implikasi. Dengan MATLAB. Tahap 3. Menganalisa hasil keluaran program. Tahap 4. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil keluaran program.

D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Tabel 3. Hasil perbandingan penarikan keputusan Bank dan Metode Fuzzy Mamdani

Calon Keputusan Keputusan

X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 Output

Debitur bank penelitian

A 20 3 6.4 6 3 1 1 1 0,81

Diterima Diterima

B 10 3 4 7 2 3 1 1 0,77

Diterima Diterima

C 15 1 3.7 9 3 1 1 1 0,86

Diterima Diterima

D 10 1 17 0 1 2 1 1 0,44

Ditolak Ditolak

E 10 1 16 0 2 2 0 1 0,77

Diterima Diterima

Ditolak Diterima G 18,5

F 15 3 14 4 4 4 1 1 0,86

2 30 2 1 4 1 1 0.81 Diterima Diterima

H 25 4 15 3.2 4 4 1 1 0,96

Diterima Diterima

Diterima Ditolak J

I 10 1 4 0 3 2 1 1 0,44

Diterima Diterima K

Diterima Diterima L

Diterima Diterima M

Diterima Diterima N

Diterima Diterima O

Ditolak Ditolak

Tabel 3 menyajikan hasil yang diberikan oleh bank dan hasil yang diberikan oleh fuzzy. Keputusan fuzzy yang diterima yaitu hasil output yang lebih dari 0,5 dengan asumsi lebih dari 50% syarat terpenuhi.

E. PENUTUP

Kesimpulan yang akan penulis sajikan ini adalah merupakan rangkuman dari keseluruhan isi, sedangkan untuk penyajian saran-saran diarahkan pada masalah yang dianggap dapat memberikan masukan untuk perkembangan perusahaan. Adapun kesimpulannya adalah pendekatan metode fuzzy mamdani dapat menganalisa secara tepat diterima atau ditolaknya suatu pengajuan kredit mobil. dan dari hasil penelitian ini apabila perusahaan menerima kredit yang riskan akan terlunasi seperti calon debitur I perusahaan akan mengalami kerugian sebesar Rp.140.000.000,- dengan asumsi harga 1 unit mobil sebesar Rp.140.000.000,-, dan apabila Kesimpulan yang akan penulis sajikan ini adalah merupakan rangkuman dari keseluruhan isi, sedangkan untuk penyajian saran-saran diarahkan pada masalah yang dianggap dapat memberikan masukan untuk perkembangan perusahaan. Adapun kesimpulannya adalah pendekatan metode fuzzy mamdani dapat menganalisa secara tepat diterima atau ditolaknya suatu pengajuan kredit mobil. dan dari hasil penelitian ini apabila perusahaan menerima kredit yang riskan akan terlunasi seperti calon debitur I perusahaan akan mengalami kerugian sebesar Rp.140.000.000,- dengan asumsi harga 1 unit mobil sebesar Rp.140.000.000,-, dan apabila

Berdasarkan analisis tersebut dapat dikemukakan saran kepada perusahaan yaitu bahwa perusahan dapat menjadikan Metode fuzzy mamdani sebagai satu alat analisis alternatif dalam pengambilan keputusan yang digunakan perusahaan untuk menentukan diterima atau ditolaknya suatu pengajuan kredit agar mengurangi kemungkinan kredit macet yang mengakibatkan kerugian dan agar perusahaan tidak kehilangan pemasukan sehingga dapat menambah keuntungan perusahaan.

F. DAFTAR PUSTAKA

Christian, Andika Adi. 2007. Pelaksanaan Analisis Pemberian Kredit di PT.BPR Ambarawa

kab.Semarang . Skripsi. Manajemen. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Hidayati, Ery. 2003. Sistem Pendukung Keputusan Logika Analisa Kelayakan Kredit. Skripsi. Akutansi. Universitas.Mercubuana, Jakarta.

Kusumadewi, Sri. 2003. Analisa & Desain Sistem Fuzzy ( Menggunakan TOOLBOX MATLAB ). Jogjakarta : Graha Ilmu.

Kusumadewi dan Hari purnomo. 2010. Aplikasi Logika Fuzzy untuk pendukung keputusan. Jogjakarta : Graha Ilmu.

Mulyono, Sri Gitardo. 1987. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro. Jogjakarta : Liberty

Ruan, Da. 1995. Fuzzy Set Theory and Advanced Mathematical Applications. Boston: Kluwer Academic Publisher.

Susilo, Frans. 2003. Penghantar Himpunan & Logika Kabur Serta Aplikasinya. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Wulandari, Yogawati. 2011. Aplikasi Metode Mamdani dalam Penentuan Status Gizi

Dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) Menggunakan Logika Fuzzy. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Zadeh, L.A 1995. Fuzzy Logic Toolbox for Use with MATLAB. Berkeley, CA : The Math Works,Inc.

T - 30

APLIKASI MODEL NEURO-FUZZY UNTUK MEMPREDIKSI SUHU UDARA DI YOGYAKARTA

1 Tiara Anggraeni 2 , Agus Maman Abadi

1 Program Studi Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

1 tiara4nggraeni@gmail.com, 2 agusmaman@uny.ac.id

Abstrak

Neuro Fuzzy System (NFS) merupakan integrasi antara logika fuzzy dan jaringan syaraf tiruan yang mengoptimalkan nilai parameter fuzzy melalui fungsi pembelajaran pada jaringan syaraf tiruan. Penelitian ini bertujuan mengaplikasikan NFS Sugeno orde nol dan NFS Sugeno orde satu untuk memprediksi suhu udara di Yogyakarta.

Langkah-langkah pemodelan NFS untuk prediksi suhu udara adalah: (1) pemilihan variabel input dan output dan membaginya menjadi training data (TRD) dan checking data (CHD), (2) pengelompokkan (clustering) TRD, (3) pembelajaran bagian anteseden (bagian IF) dan konsekuen (bagian THEN ) pada aturan-aturan inferensi fuzzy menggunakan jaringan syaraf dengan fungsi aktivasi sigmoid bipolar sebagai representasi fungsi keanggotaannya (4) penyederhanaan bagian konsekuen dengan eliminasi bakcward (5) menentukan parameter pada setiap cluster dengan metode Least Square Error (LSE) yang bertujuan untuk memperbaiki bagian anteseden, (6) menentukan output akhir jaringan dengan menghitung nilai MAPE dan MSE pada TRD dan CHD untuk melihat kesesuaian target output dengan output jaringan.

Model terbaik dalam prediksi suhu udara dengan model NFS adalah model dengan variabel input kelembaban lag-1, suhu udara lag-10, lag-7, lag-2 dan lag-1 dengan nilai MAPE untuk TRD dan CHD berturut-turut sebesar 1,95% dan 2,68%. Selanjutnya model tersebut digunakan untuk memprediksi suhu udara dalam enam bulan berikutnya dengan nilai MAPE dan MSE berturut-turut 1,45% dan 0,157 .

A. PENDAHULUAN

Suhu menunjukkan derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu (Kartasapoetra, 1993:11). Suhu udara berpengaruh pada bidang pertanian, kesehatan, pembangunan atau proyek, global warming, dan lain-lain. Prediksi suhu udara dilakukan untuk mengantisipasi berbagai akibat buruk yang ditimbulkan oleh intensitas suhu udara yang tidak sesuai.

Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk memprediksi suhu udara. Penelitian yang dilakukan oleh Chusnul Arif, dkk (2008) tentang penerapan jaringan syaraf tiruan untuk prediksi suhu udara di dalam single-pan Greenhouse daerah tropis dengan dipengaruhi oleh kelembaban relatif, radiasi matahari, dan kemiringan atap. Penelitian yang dilakukan oleh Jayus Priyana (2011) tentang aplikasi model fuzzy untuk peramalan suhu udara di Yogyakarta dengan dipengaruhi faktor perawanan (cloud density). Penelitian yang dilakukan oleh Ali Machmudin

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Salah satu cara untuk memprediksi suhu udara adalah dengan Neuro Fuzzy System (NFS). Neuro Fuzzy System (NFS) menggabungkan antara penalaran dari logika fuzzy dan pembelajaran dari jaringan syaraf tiruan. Neuro fuzzy melakukan akuisisi pengetahuan melalui pembelajaran jaringan syaraf. Jaringan syaraf diinisialisasi dengan pengetahuan pakar dalam bentuk simbol, kemudian dilatih berdasarkan input-output sistem nyata. Pengetahuan dalam bentuk simbol yang diperoleh dari pelatihan tersebut kemudian direpresentasikan dalam logika fuzzy . Pada sistem ini jaringan syaraf digunakan untuk merealisasikan fungsi keanggotaan fuzzy dan operator-operator fuzzy seperti AND, OR, dan NOT. Neuro fuzzy dapat mengoptimasi proses inferensi, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pembangkitan fungsi keanggotaan dan proses agregasi dapat dilakukan relatif lebih singkat.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses pemodelan neuro fuzzy orde satu dalam memprediksi suhu udara di Yogyakarta dan membandingkan tingkat keakuratan model neuro fuzzy orde satu jika dibandingkan model model neuro fuzzy orde nol dan ARIMA dalam memprediksi suhu udara di Yogyakarta dilihat dari nilai MAPE.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian pada model Neuro Fuzzy Systems (NFS) ini menerapkan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Studi Pustaka

Sistem Neuro

Suhu Udara

Variabel Input Variabel Output Pemograman dengan

Seleksi Model

Peramalan

Kesimpulan

Gambar 1 Desain Penelitian

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Sistem Fuzzy

Sistem fuzzy merupakan suatu kerangka komputasi yang didasarkan pada logika fuzzy. Logika fuzzy adalah kerangka matematis dari suatu pengetahuan yang digunakan untuk mempresentasikan ketidakpastian, ketidakjelasan, ketidaktepatan yang dikonstruksikan dengan aturan-aturan IF-THEN atau bisa diartikan sebagai suatu cara untuk memetakan suatu ruang Sistem fuzzy merupakan suatu kerangka komputasi yang didasarkan pada logika fuzzy. Logika fuzzy adalah kerangka matematis dari suatu pengetahuan yang digunakan untuk mempresentasikan ketidakpastian, ketidakjelasan, ketidaktepatan yang dikonstruksikan dengan aturan-aturan IF-THEN atau bisa diartikan sebagai suatu cara untuk memetakan suatu ruang

dengan () adalah derajat keanggotaan di yang terletak pada interval [0,1] . Jika adalah himpunan fuzzy dari himpunan universal X , maka nilai keanggotaan dari suatu elemen x dinyatakan oleh suatu fungsi keanggotaan. Fungsi keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input ke dalam nilai keanggotaannya yang memiliki interval [0,1]. Penelitian ini menggunakan representasi kurva-S sebagai representasi nilai keanggotaan terhadap fungsi keanggotaanya.

Sistem inferensi fuzzy merupakan suatu kerangka komputasi yang didasarkan pada teori himpunan fuzzy, aturan fuzzy dan penalaran fuzzy. Sistem inferensi fuzzy yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode Sugeno orde nol dan orde satu (Lin, 1996:18-19). Bentuk umum model fuzzy Sugeno orde nol adalah

Bentuk umum model fuzzy Sugeno orde satu adalah

dengan adalah input data ke-i, adalah himpunan fuzzy ke-i, ∘ adalah operator fuzzy, adalah konstanta crips ke-i.

2. Jaringan Syaraf Tiruan

Menurut Kusumadewi dan Hartati (2010:69), jaringan syaraf merupakan salah satu representasi buatan dari otak manusia yang selalu mencoba untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia. Istilah buatan disini digunakan karena jaringan syaraf ini diimplementasikan dengan menggunakan program komputer yang mampu menyelesaikan sejumlah proses perhitungan selama proses pembelajaran. Jaringan syaraf terdiri dari beberapa neuro n yang akan mentransformasikan informasi dan disimpan pada suatu nilai tertentu pada bobot.

Lapisan untuk tempat berkumpulnya neuron-neuron disebut lapisan neuron (neuro layers ). Lapisan jaringan syaraf berdasarkan arsitekturnya dapat dikategorikan, antara lain jaringan syaraf lapisan tunggal,jaringan syaraf banyak lapiasan dan jaringan syaraf dengan lapisan kompetetif. Pada penelitian ini, jaringan syaraf yang digunakan adalah jaringan syaraf dengan banyak lapisan. Berikut adalah gambar arsitektur neural network dengan satu lapisan tersembunyi yang digunakan dalam model.

input tersembunyi Lapisan

output

Gambar 2 Arsitektur Jaringan Syaraf dengan Banyak Lapisan

Fungsi aktivasi akan menentukan output suatu unit (mengubah sinyal input menjadi sinyal output) yang akan dikirim ke unit lain (Fausett, 1994:17).. Fungsi aktivasi yang digunakan dalam penelitian adalah fungsi sigmoid bipolar dan fungsi linier.

Fungsi sigmoid bipolar digunakan untuk jaringan syaraf dengan metode backpropagation. Fungsi ini memiliki sifat non-linier sehingga sangat baik untuk menyelesaikan permasalahan kompleks dan bersifat non-linier. Nilai fungsinya terletak antara 0 dan 1. Fungsi sigmoid bipolar dirumuskan dengan (Fausett, 1994: 18):

dengan adalah konstanta. Fungsi linier atau identitas memiliki nilai output yang sama dengan nilai inputnya. Fungsi linier dirumuskan sebagai berikut: =

3. Neuro Fuzzy Systems

Integrasi antar komponen pada soft computing sering dikenal dengan nama sistem hybrid. Salah satu integrasi tersebut yaitu Neural Fuzzy System atau sering juga disebut dengan Neuro Fuzzy yang merupakan integrasi antara sistem fuzzy dan jaringan syaraf tiruan. Sistem yang estimasi parameternya menggunakan jaringan syaraf tiruan dan pemodelan utamanya menggunakan logika fuzzy.

a. Neural Network Sebagai Pengendali Penalaran Fuzzy

Konsep dasar dari pemakaian jaringan syaraf sebagai pengendali penalaran fuzzy adalah menggunakan jaringan syaraf untuk merealisasikan atau membangkitkan sistem inferensi fuzzy model Sugeno baik pada bagian anteseden maupun pada bagian konsekuen (Lin, 1996:507). Takagi-Sugeno dan Hayashi (1991) menggunakan jaringan syaraf tiruan dengan algoritma pembelajaran backpropagation untuk membangun himpunan-himpunan fuzzy pada bagian anteseden, dan fungsi inferensi yang diberikan memiliki format sebagai berikut:

b. Rule-Based Neural-Fuzzy Modelling

Pemodelan fuzzy biasanya didasarkan pada sistem yang hendak dibangun menggunakan sistem inferensi fuzzy (Lin, 1996). Tetapi untuk mengidentifkasi aturan-aturan fuzzy tersebut tidak mudah, terutama apabila sistem fuzzy tersebut adalah sistem non linear yang sangat kompleks. Metode pemodelan fuzzy melalui pembelajaran jaringan syaraf backpropagation terbagi menjadi 3 tipe Fuzzy Modeling Networks (FMN) (Horikawa, 1992) yaitu FMN tipe I, tipe II, dan tipe III. Format aturan untuk FMN Tipe II yaitu (Lin, 1996:514-515):

Format aturan untuk FMN Tipe III yaitu (Lin, 1996:514-515):

i 1 adalah himpunan fuzzy ke- i pada bagian anteseden untuk x 1 , A i 2 adalah himpunan fuzzy ke- i pada bagian anteseden untuk x 2 , ( , ) adalah

persamaan linear orde satu untuk aturan ke-i , r dalah banyaknya aturan fuzzy, k adalah konstanta.

4. Prediksi Suhu Udara

Prediksi suhu udara dengan neuro fuzzy Sugeno orde satu menggunakan data suhu udara dari bulan Januari 2006 sampai Desember 2012 sehingga terdapat 84 data suhu udara bulanan. Input data model ditentukan dengan menggunakan plot ACF dan PACF dari suhu udara. Banyaknya lag yang keluar atau melebihi batas garis signifikansi menunjukkan banyaknya variabel yang akan digunakan dalam membangun model. Berikut adalah plot ACF dan PACF suhu udara.

Autocorr elati on Fu nction for Su hu Udara

1. 0 (wit h 5% signif icance lim it s f or t he aut ocorrelat ions)

P ar ti al Autocor r e la tion Fu nction for Suhu Uda r a

1.0 (w i th 5% signific ance lim its for the p artial autocor r elations)

Au tocor r elat ion Fu n cti on for Kele mbab an Udar a ( w ith 5% significance limits for the autocorrelations )

Par ti a l Aut ocorr el a ti on Fu nct ion f or Ke l e mba ba n Uda ra

( w ith 5% signi fica nce limi ts for the p ar tial a utocor re latio ns)

2 4 6 8 10 Lag 12 14 16 18 20 2 4 6 8 10 La g 12 14 16 18 20 - 1.0 2 4 6 8 10 Lag 12 14 16 18 20 -1 .0 2 4 6 8 10 La g 12 14 16 18 20 Gambar 1 Plot ACF Suhu Udara dan Kelembaban Bulan Januari 2006 s/d Desember 2012

Langkah-langkah pembentukan neuro fuzzy Sugeno orde satu untuk memprediksi suhu udaradengan input suhu udara dan kelembaban bulan-bulan sebelumnya adalah sebagai berikut:

a. Pemilihan variabel input-output dan training data (TRD) Pemilihan variabel input dan variabel output dilakukan dengan cara mengeliminasikan variabel-variabel yang tidak diperlukan. Proses pembelajaran dilakukan dengan input , , ,

. Berikut adalah Mean Square Error (MSE) yang diperoleh dari proses pembelajaran.

dan mengeliminasi variabel

hingga variabel

Tabel 1 M SE Hasil TRD pada M odel NFS Orde Satu

x1, x2, x3, x4,x5

x2, x3, x4,x5

x2

x1, x3, x4,x5

x3

x1, x2, x4,x5 0.787531

x4

x1, x2, x3,x5

x5

x1,x2,x3,x4

MSE yang diperoleh pada saat variabel dieliminasi cukup kecil sehingga dapat dihilangkan. Selanjutnya, data dibagi menjadi training data (TRD) dan checking data (CHD) dengan persentase 75% dan 25%.

b. Pengelompokan (clustering) data pelatihan Pada bagian ini, TRD dibagi menjasi 3 kelas dengan menggunakan metode pengklusteran Fuzzy C-Mean (FCM). Sehingga pada model ini terdapat 3 aturan inferensi fuzzy .

c. Pembelajaran jaringan syaraf yang berhubungan dengan bagian anteseden (bagian IF) pada aturan-aturan inferensi fuzzy. Pada bagian ini, TRD akan dilatih dengan menggunakan jaringan backpropagation dengan 1 lapisan tersembunyi dan 11 neuron pada lapisan tersembunyi. Pembelajaran yang c. Pembelajaran jaringan syaraf yang berhubungan dengan bagian anteseden (bagian IF) pada aturan-aturan inferensi fuzzy. Pada bagian ini, TRD akan dilatih dengan menggunakan jaringan backpropagation dengan 1 lapisan tersembunyi dan 11 neuron pada lapisan tersembunyi. Pembelajaran yang

dan variabel output . Hasil pembelajaran berupa nilai keanggotaan setiap data dalam himpunan fuzzy. Berikut adalah hasil pembelajaran neural network yang berhubungan dengan bagian anteseden (bagian IF) pada aturan-aturan inferensi fuzzy untuk data TRD.

Tabel 2 Nilai Keanggot aan TRD pada M odel NFS Orde Sat u Matriks Partisi ( U) Dat a Ke-

d. Pembelajaran neural network yang berhubungan dengan bagian konsekuen (THEN) pada aturan-aturan inferensi fuzzy. Pada bagian ini, proses pembelajaran dilakukan sesuai dengan banyak clusternya.

i. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , , dan target output yang masuk pada cluster 1 dengan menggunakan 5 neuron pada lapisan tersembunyi. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid bipolar pada Persamaan (4) untuk lapisan tersembunyi dan untuk lapisan outputnya digunakan fungsi aktivasi linier pada Persamaan (5).

ii. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 2 dengan menggunakan 3 neuron pada lapisan tersembunyi. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid bipolar pada Persamaan (4) untuk lapisan tersembunyi dan untuk lapisan outputnya digunakan fungsi aktivasi linier pada Persamaan (5).

iii. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 3 dengan menggunakan 3 neuron pada lapisan tersembunyi. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner pada Persamaan (3) untuk lapisan tersembunyi dan untuk lapisan outputnya digunakan fungsi aktivasi linier pada Persamaan (4).

e. Penyederhanaan bagian konsekuen (bagian THEN) menggunakan metode backward. Penyederhanaan pada bagian konsekuen dilakukan dengan menggunakan metode eliminasi backward untuk tiap aturan. Selanjutnya, ditentukan parameter konsekuen untuk tiap aturan menggunakan metode Least Square Error (LSE).

i. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 1 dan mengeliminasi variabel , , hingga . Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner pada lapisan tersembunyi dan fungsi aktivasi linier pada lapisan outputnya.Berikut adalah hasil SSE yang diperoleh dari proses pembelajaran

Tabel 3 MSE TRD pada cluster 1

x2, x3, x4,x5

x2, x4,x5

x4

x2, x3, x5 0.30877

x5

x2,x3,x4

x4,x5

x2,x3

Nilai MSE yang diperoleh saat tidak ada variabel yang dieliminasi cukup kecil maka semua input berkontribusi dalam proses pembelajaran.. Selanjutnya dilakukan pembelajaran dengan variabel input , , , dengan target output yang masuk pada cluster 1 untuk menentukan konsekuen parameter dengan menggunakan metode LSE. Sehingga format aturan untuk aturan pertama

ii. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 2 dan mengeliminasi variabel , , hingga . Berikut adalah hasil SSE yang diperoleh dari proses pembelajaran

Tabel 4 MSE TRD pada cluster 2

x2, x3, x4,x5

x2

x3, x4, x5 3.621724

x3

x2, x4,x5

x2,x3,x4

x4,x5

x2,x3

Nilai MSE yang diperoleh saat tidak ada variabel yang dieliminasi cukup kecil maka semua input berkontribusi dalam proses pembelajaran. Selanjutnya dilakukan pembelajaran dengan variabel input , , , dengan target output yang masuk pada cluster 1 untuk menentukan konsekuen parameter dengan menggunakan metode LSE. Sehingga format aturan untuk aturan pertama

iii. Pembelajaran Pembelajaran pada

dilakukan dengan variabel input , , , dan target output yang masuk pada cluster 3 dan mengeliminasi variabel , , hingga . Berikut adalah hasil MSE yang diperoleh dari proses pembelajaran

Tabel 5 MSE TRD pada cluster 2

x2, x3, x4,x5

x2, x4,x5*

x2,x3,x4

x2,x3,x5

x4

Nilai SSE yang diperoleh saat variabel dieliminasi cukup kecil maka semua input berkontribusi dalam proses pembelajaran. Selanjutnya dilakukan pembelajaran dengan variabel input

yang masuk pada cluster 3 untuk menentukan konsekuen parameter dengan menggunakan metode LSE. Sehingga format aturan untuk aturan pertama

dengan target output

f. Penentuan output akhir Penentuan output akhir menggunakan persamaan berikut.

dengan nilai ( ) adalah hasil dari pembelajaran pada

,dan serta nilai ( ) adalah hasil yang diperoleh dari pembelajaran jaringan syaraf yang berhubungan pada bagian anteseden. Berikut adalah output akhir atau output jaringan data TRD dan CHD untuk model neuro fuzzy Sugeno orde satu dengan variabel input , , ,

dan target output ( ∗ ) .

Tabel 6 Output Jaringan Pelatihan dan Pengujian

Data Y*

Data Y* Ke-

Data

Y*

Data

Y*

Data

Y*

Ke-

Ke-

Ke-

Ke-

Data Ke-

Berikut adalah plot kesesuiaan antara target output dengan output jaringan.

Gambar 2 Plot Hasil Output Jaringan TRD dan CHD dan Target Output TRD

dan CHD

Tabel 7 Perbandingan MAPE dan MSE TRD dan CHD NFS Orde Nol dan Orde Satu

1,219847 2 NFS orde satu

1 NFS orde nol

Tabel 8 Perbandingan Prediksi Suhu Udara Tahun 2013 NFS Orde Nol dan Orde Satu

Bulan

Data Asli

NFS Orde Nol

NFS Orde Satu

D. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan dari nilai MAPE dan MSE yang diperoleh, model NFS orde satu lebih baik daripada model NFS orde nol dan ARIMA, karena NFS orde satu memberikan nilai MAPE dan MSE yang lebih kecil. Model terbaik dalam prediksi suhu udara dengan model NFS orde satu adalah model dengan variabel input kelembaban 1 bulan sebelumnya, suhu Berdasarkan dari nilai MAPE dan MSE yang diperoleh, model NFS orde satu lebih baik daripada model NFS orde nol dan ARIMA, karena NFS orde satu memberikan nilai MAPE dan MSE yang lebih kecil. Model terbaik dalam prediksi suhu udara dengan model NFS orde satu adalah model dengan variabel input kelembaban 1 bulan sebelumnya, suhu

Saran

Penentuan parameter konsekuen dari aturan fuzzy dilakukan dengan menggunakan metode LSE. Penentuan parameter konsekuen dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang lain, seperti metode dekomposisi nilai singular dan fungsi basis radial .

E. DAFTAR PUSTAKA

Beale, H. D. (2002). Neural Network Toolbox. The Math Works, Inc.

Eva Kristina Ratnawati. (2011). Prediksi Harga Emas Menggunakan Evolving Fuzzy Sistem dan Differential Evolution. Digital Library Telkom Institute of Technology. http://digilib.ittelkom.ac.id/.

Fausett, L. (1994). Fundamentals of Neural Network (Archetectures, Algoruthms, and Applications). New-Jersey: Prentice-Hall.

Haykin, S. (1999). Neural Networks & Comprehensive foundation. New York: Prentice Hall.

Kartasapoetra, A.G. (1993). Klimatologi Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman (vol.4). Jakarta: Bumi Aksara.

Kusumadewi, S., & Hartati, S. (2010). Neuro Fuzzy: Integrasi Sistem Fuzzy & Jaringan Syaraf Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Lin, C.-T., & Lee, G. (1996). Neural Fuzzy Systems. New Jersey: Prentice-Hall.

Ross, T. J. (2010). Fuzzy Logic with Engineering Applications (3 ed.). Inggris: John Wiley & Sons Inc.

Zimmermann. (1991). Fuzzy Sets Theory and its Applications (2 ed.). Massachusetts: Kluwer Academic Publishers.

T - 31

KURVA PARAMETRIK DAN TRANSFORMASINYA UNTUK PEMBENTUKAN MOTIF DEKORATIF

1 2 Veronica Suryaningsih 3 , Hanna Arini Parhusip , Tundjung Mahatma

Mahasiswa Program Studi Matematika FSM UKSW, 2, 3 Dosen Program Studi Matematika FSM

UKSW, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711

1 s_veronica71@yahoo.com, 2 hannaariniparhusip@yahoo.co.id,

3 t.mahatma@staff.uksw.edu

Abstrak

Dalam makalah ini ditunjukkan bahwa dengan menggunakan persamaan matematika yang sederhana dapat dibuat bentuk motif dekoratif yang menarik. Persamaan-persamaan yang digunakan dalam makalah ini adalah persamaan

parametrik, diambil dari kalkulus. Persamaan parametrik berbentuk = () =

() . Jadi pasangan titik (,) yang membentuk motif-motif tersebut. Motif-motif diperoleh dengan memvisualisasikan persamaan parametrik dengan menggunakan program MATLAB. Kurva parametrik yang diperoleh dikembangkan dengan berbagai transformasi. Transformasi yang digunakan adalah fungsi kompleks

()= dan ( ) = cos( ) , tranformasi refleksi, rotasi, translasi, dilatasi dan

komposisi transformasi. Hasil visualisasi persamaan dipilih yang mempunyai bentuk simetri dan banyak dijumpai di alam sekitar.

Kata kunci : persamaan parametrik, fungsi kompleks, transformasi refleksi, rotasi,

translasi, dilatasi dan komposisi transformasi

A. PENDAHULUAN

Matematika merupakan salah satu ilmu yang tidak begitu banyak diminati sebagian besar orang karena dianggap tidak menarik. Namun dengan penelitian ini, akan ditunjukan bahwa matematika sebenarnya memiliki unsur seni yang menarik pula. Seperti halnya batik fraktal yang telah dikenal sebagai seni matematika, di sini ditunjukkan pula berbagai motif yang dapat digunakan sebagai motif dekoratif yang berasal dari berbagai persamaan sederhana dalam matematika. Persamaan-persamaan yang akan digunakan untuk pembuatan motif ini adalah persamaan parametrik.

Ada berbagai persamaan parametrik yang kemudian divisualisasikan dengan program MATLAB. Software yang ingin dikerjakan di sini adalah software untuk membuat motif-motif dekoratif yang disusun atau dirancang dengan kalkulus, khususnya dengan menggunakan persamaan parametrik. Berbagai persamaan parametrik akan dipelajari dan divisualisasikan sehingga menghasilkan sebuah motif dekoratif.

Contoh motif yang diperoleh dengan memvisualisasikan persamaan parametrik ditunjukkan pada Gambar 1.

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” Penguatan Peran M atematika dan Pendidikan M atematika untuk Indonesia

Gambar 1. Grafik kurva parametrik yang diperoleh dengan memvariasi parameter.

Persamaan parametrik yang telah dikenal dari literatur (Stewart, 2001) diantaranya adalah Hiposikloid, Episikloid, Bézier, Kokleoid , dan Strofoid Folium Descartes. Pada penelitian ini ditunjukkan cara memvisualisasikan persamaan-persamaan parametrik tersebut dengan menggunakan MATLAB. Kurva parametrik yang diperoleh kemudian diolah kembali dengan mengunakan berbagai macam transformasi sehingga menghasilkan motif-motif menarik.

Dalam makalah ini ditunjukkan transformasi persamaan parametrik dengan fungsi kompleks ()= dan ( ) = cos( ) . Selain itu, kurva-kurva parametrik yang telah diperoleh, dikerjakan kembali dengan menggunakan berbagai transformasi. Transformasi-transformasi yang

dikerjakan di antaranya adalah refleksi, rotasi, translasi, dilatasi serta komposisi transformasi (Web 1).

B. DASAR TEORI Persamaan Parametrik dan Koordinat Kutub

Pada persamaan parametrik nilai dan muncul secara eksplisit. Bentuk umumnya adalah sebagai berikut = () (1)

Persamaan parametrik mempunyai titik awal ((),()) dan titik akhir ((),()) (Stewart, 2001). Pasangan titik (,) pada persamaan parametrik adalah titik-titik yang membentuk motif-motif tersebut.

Sedangkan dalam koordinat kutub nilai dan tidak muncul secara eksplisit sehingga untuk dapat menggambarkannya perlu mengubahnya ke dalam bentuk persamaan parametrik. Koordinat kutub umumnya dituliskan dalam bentuk

= (,) dan

. Koordinat kutub dapat dituliskan dalam bentuk persamaan parametrik sebagai

dimana = tan

Beberapa bentuk persamaan parametrik akan digambarkan dengan menggunakan program MATLAB sehingga akan menghasilkan sebuah kurva.

Model Persamaan 1.

=( + ) . cos − . cos ( + ). =( + ) . sin − . sin( ( + ). )

untuk = 3, = 1, dan 0 ≤ ≤ 500 dengan 500 titik Model Persamaan 2.

untuk 20 ≤ ≤ 2 dengan 500 titik

Model Persamaan 3.

= cos , = sin( + sin( 5 ∗ ))

untuk 5 ≤ ≤ 50 dengan 500 titik

Program MATLAB yang digunakan adalah sebagai berikut.

%untuk model persamaan 1 a=0; b=500*pi; c=500;

% a batas awal , b batas akhir, c banyak titik t=linspace(a,b,c); a=3;b=1; x=(a+b)*cos(t)-b*cos((a+b)*t/b);

%persamaan parametrik x y=(a+b)*sin(t)-b*sin((a+b)*t/b);

%persamaan parametrik y figure

%menggambar persamaan dengan warna plot(x,y,'--ks','LineWidth',2,...

'MarkerEdgeColor','g',... 'MarkerFaceColor','g',...

'MarkerSize',10)

Hasil keluaran program ditunjukkan pada Gambar 2. Kurva persamaan parametrik ada juga yang mempunyai bentuk bunga yang sama dengan yang ada di alam. Contohnya pada Gambar 2 (paling kiri) menyerupai bentuk bunga pada Gambar 3.

Gambar 2. Grafik kurva parametrik dari model persamaan 1, 2, dan 3

Gambar 3. Bunga dengan

3 kelopak (Web 2)

Transformasi Kurva Parametrik dengan Fungsi Kompleks

Berbagai fungsi kompleks seperti ()=1 , ( ) = cos( ) , ( ) = sin () , ()= tan () , ()= telah divisualisasikan dengan MATLAB untuk beberapa domain bilangan kompleks (Parhusip, 2010).Seluruh domain bilangan kompleks adalah sebagai bidang kartesian jelas tidak mungkin dapat divisualisasikan. Untuk itu, hasil-hasil kurva persamaan dianggap sebagai domain bilangan kompleks. Hal inilah yang akan ditunjukkan pada makalah ini. Untuk memvisualisasikan hasil transformasi bilangan kompleks () selalu perlu disusun dalam bentuk

dimana ()= (,) dan ()= (,) sedangkan (,) merupakan titik-titik hasil kurva parametrik. Sebagai contoh, persamaan parametrik dan akan ditransformasikan terhadap fungsi

kompleks ()=1 dengan =((),()) . Bentuk umum bilangan kompleks adalah

(6) dimana merupakan bagian real dan merupakan bagian imaginer. Untuk

()=1 maka diperoleh persamaan sebagai berikut.

Persamaan baru dari transformasi fungsi kompleks adalah bagian real (,)= dan bagian imaginer (,)=

. Persamaan baru dan ini akan digambarkan sebagai transformasi persamaan parametrik terhadap fungsi kompleks ()=1 .

Secara sama, persamaan parametrik dan dapat ditransformasikan juga dengan fungsi kompleks ( ) = cos( ) . Bentuk trigonometri dari fungsi kompleks umumnya dituliskan (Beem, 2006)

= cos − sin (8) Sehingga

= cos + sin

dan

() = cos( ) = cos( + )

) ) = ( cos . (

)+ sin .( − ))

Dari persamaan di atas didapatkan persamaan baru (,)= . cos . ( + ) dan (,)= sin .(

Tabel 1. Program MATLAB untuk Transformasi Persamaan Parametrik ke Fungsi Kompleks Program MATLAB untuk ()=

Program MATLAB untuk ()= () %transformasi f=1/z

u=x./(x.^2+y.^2)

%persamaan baru

%transformasi f(z)=cos(z) u(x,y) u2=0.5*(exp(y)+exp(-y)).*cos(x); v=-y./(x.^2+y.^2) %persamaan baru v2=0.5*(exp(-y)-exp(y)).*sin(x); v(x,y)

figure %menggambarkan persamaan

figure plot(u2,v2,'--ko','LineWidth',2,...

(u,v) plot(u,v,'--ro','LineWidth',2,...

'MarkerEdgeColor','r',... 'MarkerFaceColor','k',...

'MarkerEdgeColor','r',... 'MarkerFaceColor','k',...

'MarkerSize',10)

'MarkerSize',10) fill ( u, v,'cd')

Hasil keluaran program ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4a. Hasil pemetaan persamaan parametriks dan terhadap fungsi

kompleks ()=1

Gambar 4b. Hasil pemetaan persamaan parametriks dan terhadap fungsi kompleks ( ) = cos

Transformasi fungsi kompleks terhadap persamaan parametrik dan di atas telah memberikan hasil gambar-gambar yang menarik sebagai motif dekoratif.

Transformasi Refleksi, Rotasi, Transalasi dan Dilatasi

Hasil kurva-kurva tersebut dapat ditransformasikan untuk mendapatkan motif-motif yang lebih bervariasi. Refleksi adalah transformasi yang memindahkan objek dengan menggunakan sifat bayangan cermin (Web 1). Ada beberapa matriks yang dapat digunakan untuk merefleksikan kurva parametrik yang telah di dapatkan. Diantaranya adalah :

1 a. Refleksi terhadap sumbu digunakan matriks 0

1 b. Refleksi terhadap sumbu digunakan matriks − 0

1 c. Refleksi terhadap titik asal atau setengah putaran digunakan matriks − 0

Rotasi adalah transformasi yang memindahkan suatu objek dengan cara memutar pada pusat tertentu, dengan tidak merubah ukuran dan bentuk objek (Web 1). Matriks yang bersesuaian dengan transformasi rotasi terhadap titik O sebesar adalah cos

− sin .

cos Translasi adalah transformasi yang mengubah kedudukan suatu objek dengan jarak dan

sin

arah tertentu dengan tidak mengubah bentuk dan ukuran objek tersebut (Web 1). Translasi =

pada titik ( , ) akan menjadi + dan + . Sehingga dapat dituliskan sebagai berikut :

Dilatasi adalah transformasi yang mengubah ukuran tetapi tidak mengubah bentuk (Web 1). Dalam hal ini untuk mengubah skala dari kurva parametrik yang telah diperoleh maka digunakan sebuah konstanta yang akan dioperasikan terhadap dan .

Tabel 2. Program MATLAB untuk Transformasi Refleksi, Rotasi, Translasi, dan Dilatasi

Jenis Transformasi

Program MATLAB

%refleksi thdp sumbu y A=[-1 0;0 1];

%matriks refleksi terhadap sumbu y

nm=length(x); for i=1:nm

lama=[u2(i);v2(i)]; vxy=A*lama; Ms(i,:)=vxy';

Refleksi

end figure plot(Ms(:,1),Ms(:,2),'--mo','LineWidth',2,...

'MarkerEdgeColor','c',... 'MarkerFaceColor','y',... 'MarkerSize',10)

%rotasi sebesar tt tt=pi/6;

%besar sudut rotasi B=[cos(tt) -sin(tt); sin(tt) cos(tt)]; %matriks rotasi for i=1:nm

lama=[u2(i);v2(i)]; vxy=B*lama;

Rotasi

Mr(i,:)=vxy'; end figure plot(Mr(:,1),Mr(:,2),'--mo','LineWidth',2,...

'MarkerEdgeColor','c',...

'MarkerFaceColor','y',... 'MarkerSize',10)

%translasi T=[100 200];

%besar perpindahan x dan y

for i=1:nm lama=[u2(i);v2(i)]; vxy=T'+lama; Mt(i,:)=vxy';

Translasi

end figure plot(Mt(:,1),Mt(:,2),'--mo','LineWidth',2,...

'MarkerEdgeColor','c',... 'MarkerFaceColor','y',... 'MarkerSize',10)

%dilatasi D=1/2;

%memperkecil ukuran objek ½ kali nya

for i=1:nm lama=[u2(i);v2(i)]; vxy=D*lama; Mp(i,:)=vxy';

Dilatasi

end figure plot(Mp(:,1),Mp(:,2),'--mo','LineWidth',2,...

'MarkerEdgeColor','c',... 'MarkerFaceColor','y',... 'MarkerSize',10)

Komposisi Transformasi

Komposisi transformasi adalah transformasi yang dilakukan lebih dari satu kali secara berurutan. Misalkan kurva parametrik yang telah ditransformasikan terhadap fungsi kompleks ( ) = cos( ) direfleksikan terhadap sumbu kemudian hasil refleksinya dirotasikan sebesar . Contoh program di MATLAB adalah sebagai berikut.

%komposisi rotasi kemudian direfleksikan for i=1:nm vh=[u2(i);v2(i)]; komposisi=A*(B*vh);

%A matriks refleksi, B matriks rotasi Mk(i,:)=komposisi'; end figure plot(Mk(:,1),Mk(:,2),'--ko')

C. METODE PENELITIAN

Penelitian disusun dalam 2 bagian yaitu visualisasi sederhana persamaan parametrik (Bagian I) dan memvariasikan kurva parametrik dengan berbagai transformasi (Bagian II).

Bagian I

Langkah 1. Mengumpulkan berbagai persamaan parametrik yang terkenal dari literatur.

Langkah 2. Memvisualisasikan persamaan parametrik dengan menggunakan software MATLAB.

Langkah 3. Mentransformasikan persamaan parametrik dan dengan beberapa fungsi kompleks dengan persamaan baru dalam

dan sehingga

menghasilkan motif yang lainnya

Langkah 4. Memberikan variasi warna dan variasi garis untuk setiap Gambar yang akan ditampilkan dengan MATLAB.

Bagian II

Langkah5. .Mendapatkan motif dengan berbagai transformasi dengan mengembangkan domain mula-mula.

Langkah 6. Mengubah parameter sehingga menghasilkan motif terbaik yang mungkin untuk digunakan sebagai suatu motif.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebuah persamaan parametrik divisualisasikan dengan menggunakan MATLAB menghasilkan sebuah kurva parametrik. Kurva yang terbentuk kemudian dikerjakan kembali dengan berbagai transformasi. Kurva-kurva inilah yang kemudian akan dijadikan sebagai motif kain. Pada model-model persamaan sebelumnya, telah didapatkan tiga macam motif untuk masing-masing model. Ketiga motif tersebut adalah motif persamaan parametrik (,) ,

transformasinya terhadap fungsi kompleks ()=1 dan ( ) = cos( ) . Selanjutnya, motif dapat divariasi dengan transformasi lainnya untuk mendapatkan bentuk motif yang lebih bervariasi.

Model Persamaan 1

Motif yang dijadikan domain adalah motif transformasi fungsi kompleks ( ) = cos( ) . Motif ini akan direfleksikan terhadap sumbu

sehingga akan menghasilkan motif yang ditunjukkan pada Gambar 5. Untuk mendapatkan motif dalam bentuk (arah) berbeda, tidak perlu menggambarkan ulang dengan mencari persamaan yang memenuhi namun cukup hanya dengan menggunakan transformasi saja.

Motif lain yang dapat dikerjakan adalah dengan mentransformasikan motif ()= cos( ) dengan fungsi kompleks ()=1 . Motif yang terbentuk ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 5. Motif ( ) = cos( ) dari model persamaan 1 direfleksikan terhadap sumbu

Gambar 6. Motif ( ) = cos( ) dari model persamaan 1 ditransformasikan terhadap fungsi

kompleks ()=1 .

Hasil transformasi dua kali terhadap fungsi kompleks di atas dapat divariasi kembali dengan komposisi transformasi. Disini akan digabungkan hasil transformasi ()=1 dengan

refleksinya terhadap sumbu . Kemudian ditambahkan dengan hasil rotasinya sebesar 90° dan refleksi dari rotasinya terhadap sumbu . Motif yang terbentuk ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Komposisi transformasi ( ) = cos( ) terhadap ()=1

yang kemudian di gabungkan.

Model Persamaan 2

Kurva parametrik (,) akan ditransformasi dengan dilatasi sebesar 1 1.25 dan 1 5 . Kurva-kurva yang diperoleh kemudian akan digabungkan untuk menghasilkan suatu motif baru.

Namun karena motif ini belum terisi penuh, maka akan ditambahkan dengan motif persamaan parametrik (,) yang telah ditransformasikan terhadap fungsi kompleks ()=1 . Kurva ini

juga akan ditransformasikan dengan dilatasi sebesar 1 2 . Sehingga disini akan ada lima buah motif yang akan digabungkan menjadi satu buah motif baru. Motif-motif yang akan digabungkan

dapat diberikan variasi warna. Motif baru ditunjukkan pada Gambar 9 dan bunga natural yang mungkin serupa ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Bunga (Web 3)

Gambar 9. Motif dari persamaan parametrik (,) ditransformasikan dengan dilatasi dan fungsi kompleks ()=1 yang kemudian digabungkan.

Model Persamaan 3

Pada persamaan parametrik (,) akan dilakukan penggabungan kurva parametrik yang telah ditransformasikan dengan fungsi kompleks ( ) = cos( ) . Untuk menggabungkan kurva-kurva pamametrik ini perlu dilakukan komposisi parametrik. Transformasi yang digunakan diantaranya adalah refleksi terhadap sumbu , rotasi sebesar 90° dan rotasi sebesar 45° . Disini Pada persamaan parametrik (,) akan dilakukan penggabungan kurva parametrik yang telah ditransformasikan dengan fungsi kompleks ( ) = cos( ) . Untuk menggabungkan kurva-kurva pamametrik ini perlu dilakukan komposisi parametrik. Transformasi yang digunakan diantaranya adalah refleksi terhadap sumbu , rotasi sebesar 90° dan rotasi sebesar 45° . Disini

Disini akan digabungkan tiga buah kurva hasil transformasi terhadap fungsi kompleks ( ) = cos( ) sehingga ada tiga jenis transformasi yang harus dikerjakan. Yang pertama adalah komposisi transformasi dengan merefleksikan kurva terhadap sumbu

yang kemudian dirotasikan sebesar 90° . Komposisi pertama ini kemudian ditranslasikan dengan T [1.4 2.7]. Transformasi kedua adalah dengan merotasikan kurva sebesar 45° . Dan yang ketiga merupakan komposisi dari rotasi sebesar 45° yang kemudian direfleksikan terhadap sumbu dan ditranslasi sebesar [2.8 0]. Gabungan ketiga hasil transformasi ini memberikan bentuk motif yang baru yang ditunjukkan pada Gambar 11 dan bentuk natural yang dianggap serupa adalah Gambar 10. Akan tetapi warna masih perlu di atur lebih lanjut.

Gambar 10. Ubur-ubur Gambar 11. Motif baru dari gabungan hasil transformasi kurva parametrik (,) (Web 4)

terhadap ( ) = cos( ) yang dikerjakan dengan beberapa transformasi kembali.

E. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

 Persamaan parametrik sederhana dalam matematika dapat divisualisasikan dengan menggunakan MATLAB sehingga menghasilkan kurva-kurva menarik.  Kurva-kurva parametrik dapat ditransformasikan kedalam fungsi kompleks ()= dan

( ) = cos( ) .  Hasil transformasi fungsi kompleks dapat ditranformasikan kembali dengan transformasi refleksi, rotasi, translasi, dan dilatasi.  Untuk mentransformasikan kurva lebih dari satu kali maka digunakan komposisi transformasi.

Saran

 Motif-motif yang diperoleh dapat digunakan juga sebagai motif kain dan batik. Untuk motif kain batik memang diperlukan satu cuplikan yang dipenuhi oleh motif yang dipilih. Sedangkan pada persamaan sebelumnya hanya ada satu motif yang telah mengisi seluruh cuplikan agar dapat diulang pada seluruh ukuran kain yang dikehendaki.

 Koleksi gambar dari kurva-kurva mungkin digunakan dengan GUI dari MATLAB. Namun masih ada gambar yang ketika menggunakan GUI hasilnya tidak sesuai dengan gambar yang dihasilkan pada program MATLAB.

F. DAFTAR PUSTAKA

Beem JK. 2006. Geometri Connections. Mathematics Departement, University of Missourri-Columbia. New Jersey 07458 : Pearson.

Parhusip HA. 2010. Learning Complex Function and Its Visualization with MATLAB. Department of Industrial Mathematics and Statistics, Science and Mathematics Faculty-Satya Wacana Christian University.

Pesta ES, Anwar C. 2008. Matematika Aplikasi Jilid 3 untuk SMA & MA Kelas XII Program Studi Ilmu Alam. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Stewart J. 2001. Kalkulus Jilid II: Penerjemah I Nyoman Susilo. Jakarta : Erlangga.

http://files.sman1-mgl.sch.id/ Diakses tanggal 10 September 2013 pukul 14.16 WIB

http://lh3.ggpht.com/ Diakses tanggal 22 Oktober 2013 pukul 11.21 WIB

http://gambargambarbunga.com/ Diakses tanggal 22 Oktober 2013 pukul 11.34 WIB

http://1.bp.blogspot.com/_ Diakses tanggal 22 Oktober 2013 pukul 11.47 WIB

P – 32

GELOMBANG YANG DIBANGKITKAN OLEH PERGERAKAN BAWAH LAUT

Nikenasih Binatari

Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY nikenasih@yahoo.com

Abstrak

Pergerakan dasar laut dapat membangkitkan terjadinya gelombang pada permukaan laut. Pada laut dalam, pergerakan dasar laut, misalkan diakibatkan oleh gempa bumi, memungkinkan terjadinya gelombang Tsunami. Pada paper ini, akan dianalisa elevasi yang dibentuk oleh bermacam-macam pergerakan dasar laut, menggunakan Linear Shallow Water Equation.

Kata kunci : gelombang, pergerakan dasar laut, Linear Shallow Water Equation.

A. PENDAHULUAN

Beberapa kejadian seperti gempa bumi, letusan gunung dan tanah longsor ini sangat mungkin terjadi dipermukaan bawah laut. Kejadian-kejadian yang mengakibatkan pergerakan dasar laut tersebut dapat memicu terjadinya gelombang. Masalah Gelombang Tsunami menjadi perbincangan yang hangat di kalangan para peneliti apalagi semenjak terjadi 26 Desember 2005 silam di Nangroe Aceh Darusallam yang merenggut banyak korban jiwa. Gelombang Tsunami biasanya terjadi karena adanya pergerakan dasar laut dengan amplitudo 1 m pada kedalaman 4 km, namun hingga sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat memastikan berapa lama waktu terjadinya pergerakan dasar laut yang memicu gelombang Tsunami tersebut. Terjadinya pergerakan dasar laut tentunya mengakibatkan perubahan kedalaman air laut, diukur dari free surface elevation hingga dasar laut, sehingga kedalaman dapat dinyatakan sebagai fungsi atas ruang dan waktu h (x,t). Pada paper ini akan dianalisa bagaimana bentuk dari elevasi permukaan gelombang untuk beberapa kasus perubahan kedalaman yang berbeda-beda. Sebagai illustrasi, diberikan gambar dibawah ini.

Gambar 1. Ilustrasi

Sekali gelombang dibangkitkan, terjadi perpindahan sejumlah air. Perpindahan secara horisontal dapat mempengaruhi besarnya energi kinetik sementara perpindahan secara vertikal dapat mempengaruhi besarnya energi potensial. Pada paper ini juga akan dibahas mengenai bagaimana

M akalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional M atematika dan Pendidikan M atematika

dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a dengan tema ” P P e e n n g g u u a a t t a a n n P P e e r r a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a d d a a n n P P e e n n d d i i d d i i k k a a n n M M a a t t e e m m a a t t i i k k a a u u n n t t u u k k I I n n d d o o n n e e s s i i a a

B. PEMBAHASAN

B.1 Penurunan Persamaan Untuk Dasar Yang Bergerak

Pada kasus ini, diasumsikan bahwa fluida tidak dapat dimampatkan dan tidak kental, dan aliran partikel tidak berputar tidak ada gesekan dan tidak ada aliran yang melalui dasarnya (impermeable). Menurut Luke’s Variational Formulation, yaitu

min ,  P   ,   dt

P   ,        t    3   gz  dz  dx adalah fungsi tekanan, maka

dengan

meminimalkan prinsip tekanan terhadap  akan diperoleh persamaan fluida dalam (Laplace), syarat batas kinematis di permukaan dan syarat batas di dasar. Sementara minimalisasi terhadap

 menghasilkan syarat permukaan bebas dinamis. Akan dianalisa titik kritis   ˆ ,   dari fungsi

   ,     P   ,   dt menggunakan Teori Variasional Pertama . Dengan menghilangkan

variasi   maka diperoleh persamaan laplace pada fluida dalam, syarat batas pada permukaan bebas dan pada dasar fluida yang secara eksplisit dapat dinyatakan sebagai berikut :

  0 ,  h  z  

 t      N s , z   dengan N s     x  , 1 

 t h     N B , z   h dengan N B     x h ,  1 

Persamaan pertama merupakan persamaan kontinu untuk fluida dalam. Persamaan kedua adalah persamaan pada permukaan, yang menunjukkan bahwa fluida tidak dapat melewati permukaan. Persamaan ketiga adalah persamaan pada dasar fluida, yang menunjukkan bahwa tidak ada air yang melalui dasar (impermeability). Sementara untuk persamaan terakhir, yaitu Persamaan Bernoulli, menyatakanbahwa tekanan pada permukaan air dihilangkan. Untuk mendapatkan interpretasi yang tepat, berikutnya akan diteliti bagaimanakan hubungan antara persamaan pertama dengan persamaan dinamis. Dikarenakan solusi masalah Persamaan Gelombang Permukaan Lengkap (Full Surface Water Equation, FSWE) diatas sangat susah diselesaikan maka kemudian hanya akan dianalisa persamaan di permukaannya saja yaitu dengan menganalisa

permukaan   x , t dan potensial permukaan bebas   x , t    x , z    x , t , t  . Oleh karena analisa hanya dilakukan pada permukaannya saja, maka Sistem yang sesuai adalah

elevasi elevasi

Sistem (2) dapat ditulis ulang dalam bentuk

 t      h         t h

Selanjutnya, gelombang yang dibahas disini adalah gelombang dengan amplitudo yang kecil, akibatnya Sistem (3) diatas dapat diubah menjadi bentuk linear dengan menghilangkan bentuk-bentuk nonlinearnya. Darisini diperoleh

 t      h      t h

Sistem persamaan differensial ini biasa disebut dengan Persamaan Gelombang Air Dangkal Linear (Linear Shallow Water Equations, LSWE). Pada awal sebelum terjadi gerakan didasar laut, permukaan air laut bersifat tenang dan

permukaan dasar laut datar. Misalkan h 0 adalah kedalaman mula-mula sebelum terjadi pergerakan, maka diperoleh bahwa

  x , 0  0 dan h  x , 0  h 0 .

Untuk kasus 1D, maka LSWE dengan nilai awal dapat dinyatakan sebagai berikut

 t    x   h  x     t h

  x , 0  0 dan h  x , 0  h 0

Pada subbab berikutnya akan dibahas mengenai penyelesaikan dari Sistem (4).

B.2 Solusi Eksplisit Menggunakan Prinsip Duhamel

Misalkan  x   U dan diasumsikan bahwa setelah terjadi getaran, kedalamannya tidak terlalu bervariasi. Darisini, Sistem (4) dapat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut

tt U   xx  c 0 U  g  tx h

U  x , 0  0 dan U t  x , 0  0 (5)

Seperti yang terlihat bahwa persamaan differensial pada Sistem (5) merupakan persamaan differensial tidak homogen. Disini akan diselesaikan Sistem (5) dengan mentransformasinya kedalam bentuk sistem persamaan differensial homogen menggunakan Prinsip Duhamel,

U  x , t  V  x , t ;   d   . Transformasi tersebut menghasilkan sistem homogen sebagai berikut :

tt V  x , t ;    c 0  xx U  x , t ;    0

V  x , t ;    0  6  t V  x , t ;    g  tx h t  

Darisini diperoleh bahwa solusi Sistem (6) adalah

x  c 0  t  

2 c 0  x  c 0  t  

g  ts h t   ds g  ts h t   ds

t x  c 0  t  

U  x , t 

2 c 0  0 x  c 0  t  

g  ts h t   ds dt .

Substitusikan solusi pada persamaan kedua Sistem (4), diperoleh

  x , t    t h  x  c 0  t    ,     t h  x  c 0  t    ,   d  .

Selanjutnya, akan dianalisa permukaan elevasi yang terbentuk berdasarkan pergerakan dasar laut dimana variabel waktu dan ruang dapat dipisahkan. Seperti yang dijelaskan diatas, sebelum

terjadinya gempa bumi, kedalamannya konstan atas waktu dan ruang. Misalkan, f  x adalah

perubahan pergerakan dasar dengan ketinggian maksimal 1 m. Jika waktu pergerakan dasar

adalah selama T, maka setelah T satuan waktu, kedalaman dasar laut menjadi h 0  f  x .Oleh

karena itu, kedalaman atas waktu dan ruang dapat dinyatakan dalam bentuk

h  x , t  h 0  S  t  f x

dengan h 0 adalah kedalaman mula-mula, S fungsi kenaikan waktu yang merupakan

fungsi kontinu dan memenuhi S  0 0 dan S  T  1 . Sebagai contoh, fungsi kenaikan

waktu yang digunakan disini adalah

   1  2 cos   , untuk 0  t  T

S  t  

untuk t  T

Ilustrasi fungsi kenaikan waktu tersebut diberikan pada Gambar 2 berikut :

Gambar 2

Jadi, rumus untuk elevasi dan kecepatan potensial khusus untuk kedalaman dimana bagian ruang dan waktunya dapat dipisahkan yaitu :

  x , t    S     f  x  c 0  t      f  x  c 0  t      d 

U  x , t   S     f  x  c 0  t      f  x  c 0  t      d 

Berikutnya akan ditunjukkan bahwa bentuk elevasi yang terjadi dipermukaan dapat berbeda dengan bentuk perubahaan dasarnya, menggunakan komputasi numerik untuk rumus analitis tersebut. Ketika terjadi pergerakan dasar laut, sejumlah energi bergerak sehingga membangkitkan adanya gelombang yang kemudian akan memulai propagasi bahkan sebelum pergerakan dasar berhenti. Akibatnya, semakin lama pergerakannya atau semakin besar T , maka bentuk elevasi yang dihasilkan akan semakin berbeda dengan perubahan dasarnya. Berikut salah satu contoh perubahan dasar sesudah gempa bumi.

Gambar 3. Bentuk dasar setelah gempa bumi.

Selanjutnya,akan dibandingkan perbedaan elevasi yang terbentuk terkait dengan tiga skenario lamanya kenaikan perubahan dasar yaitu untuk T = 2 detik, T = 10 detik dan T = 50 detik.

c Gambar 4. Bentuk elevasi untuk (a) T = 2 detik, (b) T = 10 detik, (c) T = 50 detik.

Dari ketiga ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa untuk bentuk dasar yang sama, semakin lama T maka bentuk elevasi yang dihasilkan semakin berbeda dengan bentuk perubahan dasarnya. Akibatnya, bentuk elevasi akan sama dengan bentuk perubahan dasar jika pergerakan terjadi secara cepat. Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat juga bahwa semakin cepat pergerakan dasarnya, maka maksimum amplitudo elevasi semakin tinggi dan dicapai ketika t = T.

B.3 Energi Pergerakan Pada Dasar

Ketika suatu benda bergerak, maka akan terjadi perpindahan energi. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pergerakan dasar laut mengakibatkan perpindahan energi yang mengakibatkan terjadinya gelombang. Energi potensial adalah energi yang dimiliki suatu benda akibat adanya pengaruh tempat atau kedudukan dari benda tersebut, sedangkan energi kinetik adalah energi yang dimiliki suatu benda karena pengaruh gerakannya. Energi potensial P E

permukaan

, K dan energi kinetik E

permukaan pada permukaan diberikan sebagai berikut

E permukaan  pg  z dz dx      h  dx , E permukaan    hU dx

Dari definisi energi potensial pada permukaan diatas, besar energi potensial saat mula-mula adalah tak nol, yaitu

E permukaan  t  0   E permukaan 0  pg z dz dx   pg h 0 dx  

sedangkan energi kinetiknya adalah nol sehingga K E gelombang  E permukaan . Disini energi potensial dari gelombang adalah sebagai berikut

E P 0 gelombang  E permukaan  E permukaan

 dx  pg  0 dx

g  dx

Total energi gelombang adalah jumlahan energi potensial dan energi kinetik. Oleh karena itu, total energi gelombang dapat dinyatakan sebagai berikut :

E gelombang   g   dx   hU dx

Selanjutnya akan ditunjukan bahwa total energi maksimum dimiliki untuk kasus passive generation atau instanteneously active generation. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemodelan pembangkitan gelombang tsunami untuk kasus instanteneous merupakan pemindahan perubahan bentuk dasar ke permukaan air. Oleh karena itu, total energi

gelombang untuk instanteneously active generation, E ins tan t , bernilai konstan dan dapat dinyatakan sebagai berikut

E ins tan t   g f dx .

Darisini diperoleh selisih total energi untuk general active generation dan instanteneously active generation adalah

 E  E gelombang  E ins tan t

  g    f  dx   hU dx

Untuk perubahan dasar persegi panjang seperti contoh diatas, berikut adalah perpindahan total energi untuk T = 2 detik, T = 10 detik dan T = 50 detik.

Gambar 5. Total energi untuk T = 2 detik, T = 10 detik dan T = 50 detik.

Pada Gambar 5 terlihat bahwa selisih total energi untuk general passive generation dan instanteneously active generation bernilai negatif, E gelombang  E ins tan t  0 . Semakin besar T,

maka selisih total energi akan semakin besar pula. Darisini dapat disimpulkan bahwa total energi maksimum berpindah untuk saat kasus instanteneous. Semakin lama pergerakan dasar laut, maka semakin kecil energi yang berpindah. Untuk lebih menyakinkan, berikut ini total energi untuk kasus perubahan dasar laut yang berbeda dengan T = 2 detik, T = 10 detik dan T = 50 detik.

Gambar 6. Gambar sebelah kiri adalah perubahan dasar setelah T, gambar sebelah kanan adalah

total energi yang berpindah.

C. SIMPULAN

a. Untuk periode waktu pergerakan singkat, gelombang awal yang terbentuk hampir sama dengan bentukan dasar lautnya dengan amplitudo gelombang kira-kira setengah amplitudo bentukan dasar laut.

b. Untuk periode waktu pergerakan yang lama, misalkan T = 50 detik, gelombang awal yang terbentuk akan jelas berbeda dengan bentukan dasar lautnya.

c. Untuk T 1 <T 2 maka amplitudonya A 1 > A 2 , dengan A 1 dan A 2 kurang dari setengah amplitudo bentukan dasar laut.

d. Amplitudo gelombang tepat setengah amplitudo bentukan dasar untuk kasus instanteneously.

e. Semakin lama pergerakan dasar laut, maka semakin kecil energi yang berpindah

D. DAFTAR PUSTAKA

1. Denys Duthykh, Frederic Dias. 2008. Tsunami generation by dynamic displacement of sea bed due to dip-slip faulting . Page 00174439. Elsevier. France.

2. E. (Brenny) van Groesen & Andonowati. Variational Method in Science with applications in fluid dynamics and opics , Applied Analysis & Mathematical Physics AAMP, University of Twente, The-Netherlands and Center of Mathematics P4M, ITB, Indonesia

3. Strauss, Walter A. 1937 – Partial differential equations : an introduction / Walter

A. John Willey & Sons, Inc.