KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI BAWAH UMUR.
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM
TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI
BAWAH UMUR
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
ERICK MARCELINO PAPILAYA NPM. 0771010082
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
SURABAYA 2010
(2)
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI BAWAH UMUR
Disusun Oleh
:
Erick Marcelino Papilaya 0771010082
Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 27 April 2011
Tim Penguji : Tanda Tangan
1. Sutrisno, S.H.,M.Hum
NIP. 19601212 198803 1 001 (...)
2. Hariyo Sulistiyantoro, SH, MM
NIP. 19620625 199103 1 001 (...)
3. Subani, S.H., M.Si
NIP. 19510504 198303 1 001 (...)
Mengetahui,
DEKAN
Hariyo Sulistiyantoro, SH, MM NIP. 19620625 199103 1 001
(3)
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa serta yang telah melimpahkan berkat, rahmat, dan karuniaNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skiripsi ini. Disini peneliti mengambil judul: ” KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA
PERKOSAAN DI BAWAH UMUR.
Penyusunan skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu dalam mengadakan penelitian dalam mengadakan penelitian guna penyusunan proposal.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan oleh beberapa pihak. Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, S.H., M.M selaku Dekan dan selaku Pembimbing Utama Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan Selaku Dosen Pembimbing Utama.
(4)
3. Bapak Subani, S.H., M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
4. Ibu Wiwin Yulianingsih, S.H., M.kn Selaku Dosen Pembimbing Pendamping, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. AKP. Herlina selaku Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polrestabes Surabaya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penulisan.
6. Bapak Abu Toyib SH selaku manager di Kantor Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penulisan.
7. Bapak Rudy R selaku Staf di LSM Wahana Visi Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penulisan.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
9. Bapak Sariyanto selaku Kepala Bagian Tata Usaha beserta seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. 10. Kedua orang tua tercinta Papa Nino dan Mama Endang dan saudara-saudaraku
Endo, Oteng, Prima, Edo cah gemblumg imoet montok yang telah memberikan dukungan moriil maupun materiil serta doa dan restunya selama ini.
11. Sahabat-sahabat bonek mangga Sandy, Squibson, Kristian Fery, Kohan dan teman-teman seperjuangan Puji, Renni, Rina, Tian, Arif, Dewi, Mbak Ita, Lia,
(5)
Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun penulis harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan sehingga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
Surabaya, April 2011
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI...ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ...iii
HALAMAN REVISI PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ...iv
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI...vii
DAFTAR GAMBAR... x
DAFTAR LAMPIRAN ...xi
ABSTRAKSI...xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah………...…... 1
1.2Rumusan Masalah…...…………...………... 6
1.3Tujuan Penelitian…………...………...………... 7
1.4Manfaat Penelitian……….……...………... 7
1.5Kajian Pustaka…………...…...……… 8
1.6 Metodologi Penelitian………... 21
1.7 Sistematika Penelitan………... 23
BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN
(7)
ix
DI BAWAH UMUR ... 28
2.1 Kekuatan Pembuktian Menurut KUHAP ... 28
2.2 Pembuktian Dalam Tindak Pidana Perkosaan ... 30
2.2.1 Visum et repertum dalam kasus perkosaan ... 32
2.2.2 Kekuatan Pembuktian Visum et Repertum ... 35
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI BAWAH UMUR ... 40
3.1Tindakan Preventif ... 41
3.1.1 Internal ... 42
3.1.2 Eksternal ... 42
3.2 Tindakan Represif ... 48
3.2.1 Internal ... 48
3.2.2 Eksternal ... 49
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 53
4.2 Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 55
LAMPIRAN
(8)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 : Model media gambar untuk tubuh anak
laki-laki 44
Gambar 2 : Model media gambar untuk tubuh anak
Perempuan 45
Gambar 3 : Mengenali pola kekerasan dengan menggunakan
metode bermain boneka 46
Gambar 4 : Mengenali pola kekerasan seksual dengan
bahasanya sendiri 46
Gambar 5 : Mengenali pola kekerasan seksual dengan
bahasanya sendiri melalui bermain peran 47 Gambar 6 : Teknik perlindungan diri jika tangan dipegang
(9)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1: Contoh Visum et Repertum
Lampiran 2: Data Kekerasan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur Tahun 2008
Lampiran 3: Data Kekerasan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur Tahun 2009
Lampiran 4: Data Kekerasan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur Tahun 2010
Lampiran 5: Surat Keterangan Penelitian dari Lembaga Perlindungan Anak Lampiran 6: Surat Keterangan Penelitian dari Wahana Visi
Lampiran 7: Surat Keterangan Penelitian dari Polrestabes Surabaya
(10)
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM
Nama Mahasiswa : Erick Marcelino Papilaya
NPM : 0771010082
Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 07 November 1988 Program Studi : Strata 1 (S1)
Judul Skripsi :
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI BAWAH UMUR ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana kekuatan pembuktian visum et repertum dalam tindak pidana perkosaan di bawah umur dan bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dilakukan oleh keluarga, pihak Kepolisian, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap kobran tindak pidana perkosaan di bawah umur.
Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yang bersifat deskriptif analisis. Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama penelitian ini. Sedangkan data sekunder digunakan sebagai pendukung data primer. Penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundangan. Sumber data diperoleh dari literatur-literatur, perundang-undangan yang berlaku dan data dari Polisi Resort Kota Besar Surabaya dan Lembaga Perlindungan Anak. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan cara metode deskriptif analisis. Hasil penelitian yang dapat disimpulkan adalah mengenai alat-alat bukti yang sah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Piadana pada pasal 184 ayat (1) : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Dalam tindak pidana perkosaan di bawah umur dibutuhkan suatu alat bukti yang utama yaitu visum et repertum. Visum et Repertum merupakan alat bukti yang penting dalam tahap penyidikan, dimana pada tahapan ini untuk menentukan suatu perkara itu dapat atau tidaknya dilanjutkan ke proses selanjutnya yaitu proses peradilan. Perlindungan hukum terhadap korban perkosann dibawah umur tidak hanya dilakukan oleh keluarga saja, tetapi perlu melibatkan seluruh instansi lainnya dan semua unsur masyarakat.
Kata Kunci : Kekuatan Pembuktian Visum et Repertum, Perlindungan Hukum, Korban, Tindak Pidana Perkosaan.
(11)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile
waarheid) yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat waktu dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum.
Proses pencarian kebenaran materiil atas peristiwa pidana melalui tahapan-tahapan tertentu yaitu, dimulai dari tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menentukan lebih lanjut putusan pidana yang akan diambil. Putusan pidana oleh hakim itu sendiri didasarkan pada adanya kebenaran materiil yang tepat dan berlaku menurut ketentuan undang-undang, dalam hal ini hukum acara pidana. Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah pembuktian, yaitu tentang kejadian yang konkret dan senyatanya. Membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengutarakan hal-hal tersebut secara logika. Hal ini karena
(12)
hukum pidana hanya mengenal pembuktian yang dapat diterima oleh akal sehat berdasarkan peristiwa yang konkret.1
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimanaditentukan dalam Undang-undang Nomor.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat (2) yang menyatakan : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”. 2
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas,maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8
1
Y.A. Triana Ohoiwutun, Profesi Dokter dan Visum Et Repertum (Penegakan Hukum dan Permasalahannya) , Dioma, Malang, 2006. Hlm 10
2
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua., Jakarta, 2008. Hlm 72
(13)
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP) pada pasal 184 ayat (1). 3
“Alat bukti yang sah ialah : 1. keterangan saksi ; 2. keterangan ahli ; 3. surat ;
4. petunjuk ;
5. keterangan terdakwa.
Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan
3
DC Marbun , Handout Hukum Pidana. Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur, 10 Februari 2009
(14)
yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 angka ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.4
Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasus-kasus perkosaan. Sebuah Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur (LPA Jatim), dalam datanya mengenai tingkat kejahatan perkosaan yang terjadi pada anak, mengungkapkan bahwa kasus perkosaan anak mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Disebutkan dalam laporan tahunan lembaga tersebut, pada tahun 2008 kekerasan seksual pada anak mencapai 85 kasus. Pada tahun 2009 terdapat mencapai 101 kasus dan pada thun 2010 mencapai 110 kasus.
4
DC Marbun , Handout Hukum Acara Pidana. Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur, 10 Februari 2009
(15)
Jumlah ini meningkat dibandingkan kasus yang terjadi pada tahun sebelumnya. Ditengarai bahwa kasus perkosaan yang terjadi jumlahnya lebih banyak dari data yang diperoleh oleh lembaga tersebut.
Memperhatinkan dan yang lebih buruk salah satu dari pelakunya adalah orang terdekat mereka atau bahkan orang tua mereka sendiri. Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et
repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai
laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
(16)
Dalam kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan yang telah berlangsung lama karena sifat dari kasus perkosaan barang buktinya dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan.
Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka pihak Kepolisian selaku penyidik tentunya akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil visum et
repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan dalam pembuktian
sebagaimana terurai diatas, hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM
TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI BAWAH UMUR”, akan dibatasi pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1) Bagaimana kekuatan pembuktian visum et repertum dalam tindak pidana perkosaan dibawah umur?
(17)
2) Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perkosaan yang dibawah umur?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan hukum visum et repertum terhadap kasus tindak pidana perkosaan dan untuk mengetahui bentuk perlindungan yang dilakukan pemerintah, masyarakat, kepolisian terhadap korban tindak pidana pemerkosaan.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bagi pihak Kepolisian (penyidik) untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu perkara yang ditanganinya merupakan aplikasi dari ketentuan hukum acara pidana, sedangkan pembuatan visum et repertum yang dilakukan oleh dokter merupakan aplikasi dari ilmu kedokteran yang dapat berperan dan membantu penyidik dalam tugasnya menemukan kebenaran materiil tersebut. Disamping itu dapat memberikan informasi yang berguna bagi pengembangan ilmu hukum acara pidana khususnya mengenai penggunaan bantuan tenaga ahli yang dalam hal ini adalah dokter pembuat visum et
(18)
2) Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai kekuatan pembuktian visum et repertum dan penerapanya oleh pihak Kepolisian selaku penyidik, khususnya dalam mengungkap tindak pidana perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi di masyarakat.
1.5 Kajian Pustaka 1.5.1 Pembuktian
Menurut R.Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah proses membuktikan dan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang dikemukan oleh para pihak dalam suatu persengketaan di muka persidangan.5
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa . Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. 6
5
R.Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, Hlm 1 6
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua., Jakarta, 2008. Hlm 273
(19)
Menurut Sudikno Mertokusumo membuktikan dalam arti yuridis adalah memberi dasar-dasar yang cukup pada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan untuk memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro (1981 : 71 dst) mengatakan bahwa dalam hukum acara pidana dikenal 3 teori pembuktian ialah :
a. Sistem keyakinan belaka
Aliran ini sangat sederhana yang sama sekali tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatu kepada kebijaksanaan dan kesan Hakim yang bersifat perseorangan (subyektif). Menurut aliran ini cukuplah bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak melihat suatu peraturan (bloot
gemoerdelijke, conviction in time). Dalam sistem ini Hakim dapat
menurut perasaan belaka dalam menentukan apa suatu keadaan harus dianggap telah terbukti. Maka dari itu sistem ini tidak dianut di Indonesia.
b. Sistem melulu menurut undang-undang (positief wettelijk).
Sistem lain tentang pembuktian yang sangat berbeda dengan sistem keyakinan belaka dengan kata ialah sistem melulu menurut undang-undang, yang dalam bahasa Belanda dinamakan
(20)
“Positief Wettelijk”. Dalam sistem ini undang-undang menetapkan alat-alat bukti yang mana dapat dipakai oleh Hakim, cara bagaimana Hakim dapat mempergunakannya dan kekuatan pembuktian dari alat bukti itu, sedemikian rupa, bahwa kalau alat-alat bukti itu yang ditentukan oleh undang-undang, maka Hakim menetapkan keadaan sudah terbukti, walaupun Hakim berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar adanya.
c. Sistem menurut undang-undang sampai suatu batas (negatif
wettelijk).
Sistem ini merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pem buktian menurut keyakinan (conviction in time). Sistem ini merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian enurut undang-undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang itu terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Intinya adalah salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh
(21)
keyakinan Hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Untuk menetukan salah atau tidaknya terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :
Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
1.5.2 Visum et Repertum
1.5.2.1 Pengertian Visum et Repertum
Visum et repertum ialah : “YANG DILIHAT DAN
DIKETEMUKAN”. Jadi Visum Et Repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan diketemukan di dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang luka atau terhadap mayat. Jadi merupakan kesaksian tertulis.7
Menurut pendapat Dr. Tjan Han Tjong Visum Et
Repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian
karena menggantikan sepenuhnya CORPUS DELICTI (tanda bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang
7
R.Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi Kedua, Tarsito, Bandung, 1983. Hlm 18
(22)
menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan CORPUS DELICTI.
1.5.2.2 Tujuan Visum et Repertum
Tujuan dari Visum Et Repertum adalah merupakan rencana (verslag) yang diberikan oleh seorang dokter forensik mengenai apa yang dilihat dan dikemukakan pada waktu dilakukan pemeriksaan secara obyektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya daripada ditarik suatu kesimpulan.8
1.5.2.3 Bentuk dan Macam Visum et Repertum
Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap, yaitu:
a. Kata Pro Justitia yang diletakkan di bagian atas. Kata ini menjelaskan bahwa visum et repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. Visum et repertum tidak membutuhkan materai untuk dapat dijadikan alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.
b. Bagian Pendahuluan. Kata "Pendahuluan" sendiri tidak ditulis dalam visum et repertum melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan nama dokter pembuat visum et repertum dan institusi kesehatannya, instansi penyidik pemintanya berikut
8
(23)
nomor dan tanggal surat permintaan, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.
c. Bagian Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan" dan hasil pemeriksaan medik tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka korban yang berkaitan dengan perkaranya, tindakan medik yang dilakukan serta keadaannya selesai pengobatan/perawatan.
d. Bagian Kesimpulan. Bagian ini berjudul "Kesimpulan" dan berisi pendapat dokter berdasarkan keilmuannya mengenai jenis perlukaan/cedera yang ditemukan dan jenis kekerasan atau zat penyebabnya serta derajat perlukaan atau sebab kematiannya.9
e. Bagian Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana."
Macam Visum Et Repertum berdasarkan penggunaannya10: a.Visum et Repertum untuk pelaku kelainan jiwa
b.Visum er Perpertum tentang umur c.Visum et Repertum untuk korban hidup d.Visum et Repertum untuk korban mayat
e.Visum et Reprtum korban pemerkosaan atau tindak pidana kesusiaan
f. Visum et Repertum penggalian mayat
9
Broto Suwiryo, Handout Ilmu Kedokteran Kehakiman, Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur, 3 Nopember 2009
10
Y.A. Triana Ohoiwutun, Profesi Dokter dan Visum Et Repertum (Penegakan Hukum dan Permasalahannya) , Penerbit Dioma, Malang, 2006. Hlm 34
(24)
1.5.2.4 Dasar Hukum Visum et Repertum
Dasar Hukum Visum Et Repertum diatur dalam Pasal 133 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan:
(1)Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2)Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
1.5.3 Tindak Pidana Perkosaan
Menurut Moelyatno unsur tindak pidana adalah perbuatan, yang dilarang oleh aturan hukum, ancaman pidana bagi yang melanggar. Perbutan manusia boleh dilarang oleh hukuman berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok-pokok pengertian terletak pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya (pelakunya).11
Soetandyo Wignjosoebroto menjelaskan bahwa perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Dalam pengertian seperti ini, apa yang disebut perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (ialah
11
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 1, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2007, hal 72
(25)
perbuatan seseorang yang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya), dan di lain pihak dapatlah dilihat pula sebagai suatu peristiwa (ialah pelanggaran norma-norma dan dengan demikian juga tertib social).12
Pendapat dari R.Sugandhi, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkosaan adalah seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya, dengan ancaman kekerasan , yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian seorang mengeluarkan air mani.13
1.5.4 Korban Perkosaan
Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita, mereka disini dapat berarti : individu, atau sekelompok baik swasta maupun pemerintah.14
12
Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1995,Hlm 25.
13
R.Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional,1980.Hlm 302
14
Arif Goita, Masalah Perlindungan Anak cetakan kedua , Akademika Pressindo, Jakarta, 1989.Hlm 75
(26)
Menurut Arif Gosita, korban pemerkosaan itu dirumuskan melalui beberapa bentuk perilaku berikut :
1. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek), sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita. 2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini
berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.
3. Persetubuhan di luar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataan ada pula persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan, oleh karena tidak dirumusan telebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan.15
Korban menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 (selanjutnya disingkat UU No.13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
15
Arif Gosita, Relevansi Viktimologidengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan, Jakarta, Ind. Hill, Co, 1987.Hlm13-14
(27)
mental, dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.16
1.5.5 Perlindungan Anak 1.5.5.1 Pengertian Anak
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuahan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Serta jika dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pasal 1 ayat (1) : Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
1.5.5.2 Pengertian Perlindungan Anak
Menurut Arif Gosita perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan berkewajibannya. Adapun perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian maka perlindungan anak harus 16
(28)
diusahakan dalanm berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermsyarakat.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
1.5.5.3 Sejarah Lahirnya Undang-undang Perlindungan Anak
Sebagaimana yang diharapkan dalam Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang telah disahkan PBB pada tanggal 20 November 1998 brtujuan untuk menetapkan standar universal bagi hak-hak dan melindungi anak terhadap penyia-nyiaan supaya anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai potensi dasar untuk membentuk jati diri menjadi manusia yang bermatabat dan produktif. Dimana Indonesia merupakan salah satu negara pertama kali meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) dari 187 negara, melaui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990 dan berkomiten untuk melaksanakan rangkaian hak-hak anak yang tercantum dalam KHA tentunya mengandung makna dan konsekuensi yang
(29)
dalam, maka negara yang turut meratifikasi berarti Negara tersebut telah mengikatan diri secara hukum atatu Legally
Binded untuk menaati dan melaksanakan berbagai ketentuan
yang tercantum pada konvensi itu. Yang prinsipnya adanya informasi mengenai usaha-usaha kegiatan perindungan anak dan untuk menggariahkan perlakuan dan perlindungan dari penyalahgunaan dan melibatkan anak baik secara langsung atau tidak langsung.
1.5.5.4 Asas Dan Tujuan Perlindungan Anak
Asas dan tujuan perlindungan anak terdapat dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang 23 Tahun 2002, merumuskan sebagai berikut:
Pasal 2 :
“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
a.non diskriminasi
b.kepentingan yang terbaik bagi anak
c.hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d.penghargaan terhadap anak”
Pasal 3 :
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, semi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.”
(30)
1.5.5.5. Dasar Perlindungan Anak
Peraturan perundang-undangan yang terkait perlindungan anak :
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34, menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh Negara”. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Konvensi Hak Anak (the Un’s Convention on the Rights of the
child) Tahun 1989 yang telah diratifikasi melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990 Konvensi ILO Nomor 138 yang telah diratifikiasi Indonesia
pada Juni 1999 yang menetapkan batas usia anak bekerja di atas 15 tahun
Konvensi ILO Nomor 182 yang telah diratifikasi dan diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000
(31)
tanggal 8 Maret 2000 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Pengahapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Untuk Anak Deklarasi Hak Asasi Anak-Anak (The Rights of he Child)
Tahun 1959
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahu 1987 yang memperbolehkan anak-anak menjalankan pekerja anak, tetapi dengan syarat-syarat terentu yang melindungi hak anak 17.
1.5.5.6 Organisasi Perlindungan Anak
Organisasi perlindugan anak terdapai di daerah-daerah baik di provinsi maupun di kota atau kabupaten Indonesia misalnya : Perlindungan Perempuan dan Perindungan Anak (P3A) dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Organisasi Inernational yang membidangi ketenagakerjaan adalah International Labour Organization
(ILO), yang sejak awal berdirinya telah mentargetkan
penanggulan pekerja anak. 18
1.5.6 Pelaku Tindak Pidana.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaku Tindak pidana adalah orang yag melakukan perbuatan atau rangkaian
17
Hariyo Sulistiyantoro , Handout Hukum Perlindungan Anak, Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur, 27 Desember 2009
18
(32)
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana, dalam hal ini perbuatan pidana yang dilakukan adalah tindakan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai berikut:
Pasal 55 KUHP.
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :
1e.Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
2e.Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh kekerasan, ancaman atau tipu daya, atau dengan memberi kesempatan, daya-upaya atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja yang dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 KUHP.
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan : 1e.Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu. 2e.Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya-upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
1.5.7 Ancaman Sanksi Pidana bagi Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan.
Menurut kamus hukum sanksi adalah akibat dari suatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas
(33)
suatu perbuatan dari seseorang yang telah merugikan orang atau pihak lain. 19
Berdasarkan ilmu hukum maka pihak korban, dapat menuntut kerugian atau ganti rugi terhadap pihak terpidana. Selain daripada itu, sudah saatnya departemen sosial/dinas sosial memikirkan korban-korban kejahatan. Karena pada hakekatnya anggota masyarakat tersebut mengalami musibah, dan perhatian dari aparat sosial yang membidangi masalah sosial sangat berarti bagi para korban.20
Untuk tindak pidana pemerkosaan anak dibawah umur, berisi ketentuan pidana berupa sanksi pidana maupun sanksi denda. Bila dilihat dan diamati ada beberapa model pemberian sanksi, yakni :
1. Beberapa pasal menggunakan sanksi: pidana minimal sampai dengan maksimal, dan denda minimal sampai dengan maksimal; 2. Ada pasal menggunakan sanksi: pidana saja (minimal dan
maksimal);
3. Beberapa pasal menggunakan model sanksi: pidana maksimal dan denda maksimal.
Dan pelaku tindak pidana pemerkosaan terhadap anak dibawah umur tersebut dapat diancam dengan sanksi yang berat karena telah 19
Kamus Hukum, Bandung, Citra Umbara,2008, Hlm 429 20
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta, Sinar Gragfika,2004,Hlm 48
(34)
melanggar pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis dan Tipe Penelitian.
Jenis penelitian adalah Penelitian hukum Yuridis Normatif, yaitu Tipe Penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 21
1.6.2 Pendekatan Masalah
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan melakukan pengkajian peraturan perundang-perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.22
1.6.3 Sumber Data
Dalam penelitian ilmu hukum normatif, sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.23 Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari :
21
Ibrahim Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : PT. Bayu Media Publishing, 2010, h.295
22
H.Zainuddun Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,2009, hal 30 23
(35)
1) Sumber Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang dimaksud adalah Peraturan perundang-undangan RI.
2) Sumber Bahan Hukum Sekunder
Adalah bahan hukum yang menjelaskan secara umum mengenaibahan hukum primer, hal ini bisa berupa :
Buku-buku ilmu hukum; Jurnal ilmu hukum;
Laporan penelitian ilmu hukum
Internet dan bahan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.
3) Sumber Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan hukum sebagai perangkap dari kedua bahan hukum sebelumnya terdiri dari :
a. Kamus hukum
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
1.6.4 Metode Pengumpulan dan Pengelolahan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara menganalisis Peraturan Perundang-undangan dan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.
(36)
1.6.5 Metode Analisis Data
Pengolahan data menggunakan metode diskriptif analisis artinya data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan stuktur hukum positif yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.24
1.7 Sistematika Penulisan
Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab dibagi beberapa subbab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun tersebut nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain.
Bab I, Pendahuluan didalamnya terdiri dari tujuh sub bab yaitu sub bab pertama menguraikan tentang latar belakang masalah, kemudian sub bab kedua menguraikan tentang perumusan masalah. Selanjutnya di sub bab ketiga disajikan tujuan dan sub bab keempat mengenai manfaat penelitian sebagai harapan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada bagian sub bab kelima mengenai kajian pustaka yang merupakan landasan dari penulisan skripsi. Kemudian diuraikan beberapa konsep definisi yang berkaitan dengan judul penelitian. Selanjutnya sub bab keenam diuraikan tentang metode penelitian
24
Zainuddin Ali , Metode Penelitian Hukum, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal 107.
(37)
27
yang merupakan salah satu syarat dalam setiap penelitian. Intinya mengemukakan tentang tipe peneelitian dan pendekatan maslah, sumber bahan hukum, langkah penelitian, dan sub bab ketujuh merupakan sub bab terakhir ini diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab II, menguraikan tentang Kekuatan Pembuktian Visum et
Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Di Bawah Umur, terdiri
dari dua sub bab yaitu sub bab pertama menguraikan tentang kekuatan pembuktian menurut KUHAP, sub bab ke dua mengraikan tentang pembuktian dalam tindak pidana perkosaan, sub bab ke dua terdiri dari dua sub bab yaitu menguraikan tentang visum et repertum dalam kasus perkosaan, kekuatan pembuktian visum et repertum.
Bab III, menguraikan tentang Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perkosaan Di Bawah Umur dalam bab ini terdapat empat sub bab yang terdiri dari yang pertama mengenai perlindungan dari keluarga, sub bab kedua membahas tentang bentuk perlindungan hukum dari pemerintah, sub bab ketiga mengenai bentuk perlindungan hukum dari kepolisian, sub bab keempat mengenai bentuk perlindungan dari lembaga swadaya masyarakat.
Bab IV, berdasarkan uraian-uraian dalam bab II dan bab III diatas tentang jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan, selanjutnya di Bab IV merupakan Bab penutup yang terdiri dari dua sub bab yaitu sub bab pertama mengenai kesimpulan kedua membahas tentang saran.
(38)
BAB II
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI BAWAH UMUR
2.1 Kekuatan Pembuktian menurut KUHAP
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan atau dengan kata lain pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-udang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa akan dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam pasal 184 KUHAP terdakwa dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat dan matang alam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai di mana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam pasal 184 KUHAP.25
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang, yaitu26:
a. Keterangan saksi
28
25
M.Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua., Jakarta, 2008. Hlm 277
26
(39)
b. Keterangan ahli c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan pasal 184 ayat (1) KUHAP. Yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar di luar jenis alat bukti yang disebut pada pasal 184 ayat (1) KUHAP tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat27.
Dasar-dasar hukum pembukitan terdapat dalam pasal 183 sampai dengan 191 KUHAP 28. Pada pembuktian juga dijelaskan mengenai prinsip batas minimum pembuktian yaitu suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tertidaknya terdakwa29. Beberapa pasal yang mengatur tentang prinsip ini, antara lain :
Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
27
Ibid. Hlm 285 28
Djoko Prakoso, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Prosoes Pidana, Yogyakarta. Hlm 36
29
(40)
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi”.
Dari bunyi pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 kiranya dapat dipahami bahwa pemidanaan baru boleh dijatuhkan oleh hakim apabila terdapat sedikitnya dua alat bukti yang sah, Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim, Dan perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa.
Pasal 184 (1) KUHAP menyatakan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat ,petunjuk dan keterangan terdakwa. Kecuali dalam acara pemeriksaaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Penyimpangan ini dapat dibenarkan sebab pada dasarnya pembuktian dalam perkara acara cepat lebih cenderung pada pendekatan pembuktian secara formal,
Pasal 185 ayat (2), keterangan serang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Asas ini lazim disingkat dengan istilah ; satu saksi saja tidak merupakan saks atau dengan kata lain “unus testis nullus testis”.
Pasal 189 ayat (4), keterangan atau pengakuan terdakwa (confession by
on accused) saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
2.2 Pembuktian Dalam Tindak Pidana Perkosaan
Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang
(41)
dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasus-kasus perkosaan. Sebuah Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur (LPA Jatim) dalam datanya mengenai tingkat kejahatan perkosaan yang terjadi pada anak, mengungkapkan bahwa kasus perkosaan anak mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan.
Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anak-anak.
Alat bukti yang dipakai dalam mengungkap suatu kasus perkosaan adalah visum et repertum. Pada tahap penyidikan akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk
(42)
mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan.
2.2.1 Visum et Repertum Dalam Kasus Perkosaam
Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.
Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda
(43)
pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan.
Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas
permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya30.
Tugas pokok seorang dokter dalam membantu pengusutan tindak pidana terhadap kesehatan dan nyawa manusia ialah pembuatan Visum et
repertum sehingga bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan
kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan pemberitaan dari Visum et repertum itu harus yang sesungguh-sesungguhnya dan seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan ditemukannya pada waktu pemeriksaan31.
Visum et Repertum merupakan kesaksian tertulis, Visum et Repertum sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat
mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat. Selain itu visum et repertum dapat dipakai sebagai dokumen yang dapat ditanyakan pada dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila yang bersangkutan dalam hal ini adalah pihak jaksa dan hakim tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut.
30
Y.A. Triana Ohoiwutun, Profesi Dokter dan Visum Et Repertum (Penegakan Hukum dan Permasalahannya) , Penerbit Dioma, Malang, 2006. Hlm 26
31
(44)
Visum et Repertum merupakan suatu hal yang penting dalam
pembuktian karena menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda Bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh korban merupakan Corpus Delicti. maka oleh karenanya Corpus
Delicti yang demikian tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang
pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et Repertum. Kedudukan seorang dokter di dalam penanganan korban kejahatan dengan menerbitkan visum et repertum harus disadari dan dijamin netralitasnya, karena bantuan profesi dokter akan sangat menentukan adanya kebenaran.
Dokter forensik mempunyai tugas untuk memeriksa dan mengumpulkan berbagai. Bukti yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan oleh undang-undang, dan menyusun laporan visum et repertum. Maka dari itu keterangan ahli berupa visum et
repertum tersebut akan menjadi sangat penting dalam pembuktian,
sehingga visum et repertum akan menjadi alat bukti yang sah karena berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan, sehingga akan membantu para petugas kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana.
(45)
2.2.2 Kekuatan Pembuktian Visum et Repertum
Pada prinsipnya visum et repertum yang diberikan oleh dokter forensik tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Namun tetap mempunyai nilai-nilai yang melekat, yakni32 : a) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrij bewijskracht.
Yang berarti bahwa tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat padanya. Tidak ada keharusan hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan visum et repertum tersebut. Akan tetapi hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian harus benar-benar bertanggungjawab demi tegaknya hukum dan kepastian hukum.
b) Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tentang minimal dua alat bukti yang sah, oleh karena itu agar visum et repertum yang diberikan dokter forensik harus disertai dengan alat bukti lain.
Kesimpulan dari keterangan diatas menyatakan bahwa visum et
repertum merupakan alat bukti yang penting dalam tindak pidana
perkosaan. Selama ini Indonesia menggunakan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk Stelse) yaitu hakim dalam menjatuhkan hukuman berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang sah dan keyakinan hakim didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Alat bukti yang dimaksud adalah visum et repertum, jadi visum et repertum mempunyai sifat yang tidak menentukan dalam keputusan hakim karena juga
32
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua., Jakarta, 2008. Hlm 304
(46)
didasarkan pada keyakinan hakim terhadap pembuktian terdakwa. Hal ini dapat dibuktikan dalam perkara nomor PDM-1699/Ep.2/11/2009 tentang suatu kasus dimana menunjukkan pentingya visum et repertum dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya pada pengungkapan kasus perkosaan oleh pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan, yaitu sebagai berikut :
Dengan kasus posisi : Yuilana selaku korban, Tatik selaku pelapor, Heri Kriswanto dan Kacong (Daftar Pencarian Orang) selaku tersangka.
Pemerkosaan atau Perbuatan Cabul dengan perempuan yang belum dewasa atau melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk bersetubuh atau perbuatan Cabul, terjadi pada hari Minggu tanggal 06 September 2009 sekitar pukul 01.00. Wib, di Pantai Kenjeran Surabaya, dilakukan dengan cara mulut korban disumbat dengan tangan, tangan korban dipegangi dan diancam akan dicekik, akibatnya korban bernama: Yuliana umur 12 Tahun, yang dilakukan oleh tersangka bernama : Heri Kriswanto bersama dengan Kacong belum tertangkap. Atas kejadian tersebut maka Sdr. Heri Kriswanto dan Kacong dapat dipersangkakan telah melakukan tindak pidana Pemerkosaan atau Perbuatan Cabul Pasal 285
(47)
Yo.55.Yo.290 KUHP, Yo.Pasal 81 dan 82 UU.No.23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Mengenai barang bukti dalam perkara perkosaan, terdapat barang bukti berupa tubuh korban pemerkosaan, maka penyidik harus meminta
visum et repertum di rumah sakit setempat yang menjelaskan tanda-tanda
adanya perkosaan. Penyidik Polsek Kenjeran dalam perkara pidana perkosaan dengan terdakwa Heri Kriswanto, Nomor Perkara PDM-1699/Ep.2/11/2009, telah meminta Visum et repertum kepada Kedokteran Forensik. Dalam visum et repertum tersebut dijelaskan pemeriksaan fisik terhadap korban. Dalam pemeriksaan fisik tersebut didapatkan kesimpulan adanya robekan selaput dara sampai dasar yang terletak pada posisi jam lima dan robekan selaput dara tidak sampai dasar yang terletak pada posisi jam tujuh menurut jarum jam dan robekan selaput dara tersebut diakibatkan masuknya benda padat sebesar ibu jari kaki orang dewasa ke dalam liang kemaluan (vagina) korban.
Bukti yang telah dikumpulkan oleh pihak Kepolisian selaku aparat penyidik sudah P21 atau dalam arti sudah lengkap sehingga jaksa bisa membuat surat tuntutan kepada terdakwa Heri untuk segera dilakukan proses persidangan. Pada tanggal 10 Februari 2010 hakim menjatuhkan vonis kepada terdakwa Heri dengan penjara selama 6 (enam) tahun dan denda 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan.
(48)
Putusan hakim terdakwa terdakwa Heri dinggap telah memenuhi persyaratan dalam putusannya, karena telah memenuhi syarat-syarat dalam menjatuhkan hukuman. Untuk dapat menjatuhkan hukuman diisyaratkan terpenuhi dua syarat yaitu33 :
1. Alat bukti yang sah (weittige bewijsmiddelen). 2. Keyakinan hakim (overtuiging des rechters).
Yang disebut pertama dan kedua satu sama lain berhubungan sedemikian rupa, dalam arti bahwa yang disebut terakhir adalah dilahirkan dari yang pertama. Sesuai dengan ini, maka kita juga mengatakan adanya keyakinan yang sah (wettige overtuiging) atau keyakinan hakim yang diperoleh dari bukti-bukti yang sah (wettige bewijsmiddelen).
Seperti diketahui dalam pembuktian tidaklah mungkin dapat tercapai kebenaran mutlak (absolute). Semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan dan pemikiran yang tidak selalu pasti benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka tidak boleh sebagian besar dari pelaku tindak pidana pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapat disyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah meakukan perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, sedangkan ketidak-kesalahannya walaupun selalu ada kemungkinan, merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima sama sekali.34
Menurut Harahap untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan35 :
a. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut tidak saling bertentangan antara satu dengan 33 Ibid.Hlm 304 34 Ibid.Hlm 37 35
(49)
39
yang lain. Dapat diartikan kedua alat bukti tersebut harus saling menguatkan.
b. Bisa juga penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat persesuaian.
Karim Nasution (1975:71 dst) mengatakan bahwa jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa sesuatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna yaitu bukti yang sah dan meyakinkan.36
Dari hal tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa sesuatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak dikenal dalam undang-undang atau atas bukti yang tidak mencukupi, umpamanya dengan keterangan hanya dari seorang saksi saja ataupun karena keyakinan itu sendiri tidak ada.
Jadi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana menurut Pasal 183 KUHAP tentang prinsip batas minimum pembuktian yaitu sekurang kurangnya berdasarkan dua alat bukti sah, yang dapat membentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses persidangan.
36
Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana , Jakarta, 1975. Hlm 71
(50)
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DIBAWAH UMUR
Pada dasarnya setiap orang yang menjadi Warga Negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D (1) dan 28G ayat (1) dan (2), yakni :
Pasal 28D :
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 28G :
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Negara dalam memberikan perlindungan hukum kepada korban perkosaan dibawah umur yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pasal 2 ayat (3) dan (4), sebagai berikut :
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
(4) Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.
(51)
Penjelasan dari pasal diatas jelas menyatakan dan mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mencapai kesejahteraan anak dan perlakuan yang adli terhadap anak. Agar dapat terwujudnya kesejahteraan anak dalam kegiatan perlindungan anak, maka harus dilakukan secara bersama antara masyarakat dengan pemerintah. Adanya kerjasama dan koordinasi antara partisipasan masyarakat dan pemerintah guna melancarkan kegiatan perlindungan anak yang bertanggungjawab dan bermanfaat bagi para partisipan.
Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi korban perkosaan di bawah umur dapat dilakukan dengan dua tindakan yaitu preventif dan represif. Berikut bentuk dari perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perkosaan di umur :
3.1 Tindakan Preventif
Yaitu tindakan pencegahan dilakukan agar tidak terjadi tindak pidana perkosaan terhadap anak-anak. Tindakan ini terdiri dari internal dan eksternal.
3.1.1 Internal
Perlidungan dari Keluarga
Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban yang mempunyai andil besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban. Hal ini dengan dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban, tidak mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa perkosaan yang telah dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya, memberi keyakinan bahwa
(52)
perkosaan yang dialaminya tidak boleh merusak masa depannya, melindungi dia dari cibiran masyarakat yang menilai buruk.37
Hal-hal semacam ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh korban, karena pada dasarnya korban perkosaan adalah merupakan korban ganda yang selain mengalami kekerasan fisik secara seksual, ia juga mengalami kekerasan psikis yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya. Hukuman yang telah diterima pelaku dan ganti rugi yang didapatkan oleh korban tidak lantas membuatkondisi kejiwaannya menjadi kembali seperti semula. Jadi keluarga sangat berperan penting dalam rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban sehingga korban juga merasa dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam kehidupannya.
3.1.2 Eksternal
Perlindungan Hukum dari Pemerintah
Pemerintah Daerah mengeluarkan ketentuan Peraturan Daerah (yang selanjutnya disebut Perda) Propinsi Jawa Timur Nomor : 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggarakan Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan. Perda ini dibuat karena jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur masih tinggi dan agar pelayanan dan perlindungan hukum oleh pemerintah di Jawa Timur dapat dilakukan
37
Wawancara dengan Rudy R bagian Staf di LSM Wahana Visi Indonesia, Rabu, 23 Februari 2011, 11.00 WIB
(53)
secara optimal. Bentuk kewajiban dan tanggung jawab yang dilakukan oleh Pemerintah Jawa Timur diatur dalam Perda Nomor: 9 Tahun 2005 pasal 6 ayat (2) :
Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melaksanakan upaya pencegahan terjadinya kekerasan, dalam bentuk :
a. Mengumpulkan data dan informasi tentang perempuan dan anak korban kekerasan serta peraturan perundangan.
b. Melakukan pendidikan tentang nilai-nilai anti kekerasan terhadap perempuan dan anak.
c. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
d. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
Perlindungan Hukum dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur dalam melakukan tindakan pencegahan kekerasan seksual anak salah satunya adalah bekerjasama dengan Lembaga lainnya yaitu Wahana Visi Indonesia yang beralamat di Jalan Opak 45 Surabaya. Kedua lembaga bekerjasama dengan membuat suatu buku yang berisi tentang informasi-informasi penting bagi anak untuk menghindari kekerasan seksual dan mengajarkan kepada anak tentang teknik-teknik yang bisa digunakan untuk melindungi dirinya dari bahaya kekerasan seksual.
(54)
Materi-materi pencegahan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Lembaga perlindungan Anak berisi tentang:
a. Pembekalan Secara Kognitif
Dengan mengenali bagian tubuh pribadi yang harus dilindungi. Media
yang bisa digunakan: media gambar.
Gambar 1 : Contoh Model Media Gambar Untuk Tubuh Anak Laki-laki
(55)
Gambar 2 : Contoh Model Media Gambar Untuk Tubuh Anak Perempuan
Sumber : Lembaga Perlindungan Anak
Keterangan :
Bagian yang diarsir warna hitam merupakan bagian yang harus dilindungi.
Sebenarnya untuk anak laki-laki, payudara dan punggung juga bisa menjadi area yang sensitif sehingga juga harus dilindungi. Namun, yang diutamakan adalah area yang diarsir dengan warna hitam. Pada intinya melindungi bagian tubuh yang harus dilindungi
adalah bagian tubuh yang membuat anak tidak nyaman. Tata Laksana Pemberian Meteri ini :
Setiap anak mendapatkan 2 gambar yaitu gambar laki dan perempuan.
Tujuan diberikan gambar ini adalah supaya masing-masing anak ,mengerti bagian tubuh mana yang harus dilindungi.
b. Pembekalan Secara Afektif
Mengenali Pola Kekerasan seksual, media yang bisa digunakan : - Panggung Bonek
(56)
- Latar Belakang
- Skenario atau cerita yang menggambarkan situasi yang menjurus ke arah kekerasan seksual.
Gambar 3 : Mengenali pola kekerasan seksual dengan menggunakan metode bermain boneka
Sumber : Lembaga Perlindungan Anak
Gambar 4 : Mengenali pola kekerasan seksual dengan bahasanya sendiri
(57)
Gambar 5 : Mengenali pola kekerasan seksual dengan bahasanya sendiri melalui Bermain Peran (Role Play)
Sumber : Lembaga Perlindungan Anak
c. Secara Psikomotor
Mengajarkan teknik bela diri sederhana dengan tujuan anak mampu menegenali berbagai situasi yang berbahaya yang menjurus ke arah kekerasan seksual dan tindakan yang harus dilakukan oleh anak kerika menghadapi situasi yang berbahaya.
Gambar 6 : Teknik perlindungan diri jika tangan dipegang pelaku
(58)
3.2 Tindakan Represif
Tindakan penanganan terhadap korban perkosaan di bawah umur dilakukan agar si korban dapat pulih dari trauma yang dialaminya. Tindakan ini juga dibagi menjadi internal dan eksternal.
3.2.1 Internal
Perlindungan Hukum dari Pihak Kepolisian
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban tindak pidana perkosaan, pertama kali diberikan oleh polisi pada waktu korban melapor. Saat ini Pihak Kepolisian telah membentuk suatu Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang diawaki oleh Polisi Wanita (Polwan) yang terwadahi dalam satu Unit Khusus yang berdiri sendiri untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pada umumnya masyarakat mencibir korban perkosaan dengan menilai bahwa perkosaan yang terjadi adalah kesalahannya sendiri dan korban dianggap sengaja memancing terjadinya perkosaan, selain itu tidak jarang masyarakat menyebut korban perkosaan dengan sebutan wanita nakal dan dianggap membawa aib dalam masyarakat. Ruang Pelayanan Khusus (RPK) adalah sebuah ruang khusus yang tertutup dan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkan
(59)
kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuh pengertian dan profesional.38
3.2.2 Eksternal
Perlindungan Hukum dari Pemerintah
Pemerintah melalui legislati dan yudikatif memberikan perlindungan hukum dengan suatu kebijakan membentuk perundang-undangan baik dipemerintahan pusat maupun daerah, antara lain:39 Pemerintah pusat mengeluarkan ketentuan Perundang-Undangan Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-undang 23 Tahun 2002 pasal 6 disebutkan beberapa bentuk perlindungan hukum bagi korban kekerasan:
a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.
b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial.
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
38
Wawancara dengan AKP. Herlina Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polrestabes Surabaya, Senin, 21 Maret 2011 , 11.00 WIB
39
Wawancara dengan Abu Thoyib bagian Office Manager di Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur, Senin, 28 Februari 2010, 10.00 WIB
(60)
Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggarakan Perlindungan Perempuan Dan Anak Korbn Kekerasan pasal 6 ayat (2) :
(2) Untuk mengantisipasi terjadinya tindak kekerasan Pemerintah Propinsi berkewajiban menyediakan layanan bagi korban dalam bentuk ;
a. Mendirikan dan menfasilitasi terselenggarakannya lembaga layanan terpadu dengan melibatkan unsur masyarakat
b. Mendorong kepedulian masyrakat akan pentingnya perlindungan terhadap korban
Dalam terwujudnya keterpaduan layanan yang memberikan perlindungan kepada korban kekerasan perempuan dan anak, Pemerintah Propinsi Jawa Timur membentuk suatu lembaga yang bersifat sosial yaitu Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang berlokasi di Rumah Sakit Bhayangkara Jalan Ahmad Yani 116 Surabaya. Bentuk-bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan Terpadu diatur dalam pasal 9 ayat (1) Perda 9 Tahun 2005 :40
Pasal 9
(1) Bentuk-bentuk pelayanan terhadap korban yang diselenggarakan oleh Pelayanan Terpadu meliputi :
a. Pelayanan medis, berupa perawatan dan pemulihan luka-luka fisik yang bertujuan untuk pemulihan kondisi fisik korban yang dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis.
b. pelayanan medicolegal adalah satu bentuk layanan medis untuk kepentingan pembuktian di bidang hukum.
c. Pelayanan psikososial merupakan pelayanan yang diberikan oleh pendamping dalam rangka memulihkan kondisi traumatis korban, termasuk penyediaan rumah aman untuk melindungi korban dari berbagai ancaman dan intimidasi bagi korban dan memberikan dukungan secara sosial sehingga korban 40
(61)
mempunyai rasa percaya diri, kekuatan, dan kemandirian dalam menyelesaikan masalahnya.
d. Pelayanan hukum untuk membantu korban dalam menjalani proses peradilan.
e. Pelayanan kemandirian ekonomi berupa layanan untuk pelatihan ketrampilan dan memberikan akses ekonomi agar korban dapat mandiri.
Selama ini bentuk-bentuk pelayanan yang dilakukan oleh PPT sudah berjalan dengan baik, namun masih ada bentuk pelayanan yang masih kurang dalam pelaksanaannya yaitu bentuk pelayanan yang terakhir (pelayanan kemandirian ekonomi berupa layanan untuk kemandirian ketrampilan dan memberikan akses ekonomi agar korban dapat mandiri). Pelakasanaan tersebut terhambat disebabkan oleh masih minimnya dana dari pemerintah terhadap lembaga-lembaga yang terkait dengan perlidungan anak.
Perlindungan Hukum dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Masyarakat
Bentuk pelaksanaan LSM dalam menanggulangi kekerasan terhadap anak dan perempuan dilakukan dengan :
1.Salin tukar informasi dengan LSM yang lainnya unutk membahas perkembangan kasus kekerasan terhadap anak
2.Bekerjasama dengan instansi pemerintah untuk melakukan sosialisasi Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang HAM dan dan Undang-undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
(62)
52
3.Mendorong atau menyelenggarakan pelatihan, lokalatih, lokakarya khusus bagi Aparat Penegak Hukum dalam menangani korban perkosaan dan pencabulan terhadap anak, dilakukan agar Aparat Penegak Hukum meningkat, sehingga anak tidak menjadi korbak kedua kalinya. 4.Selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk terciptanya Perda
Perlindungan Anak, alokasi anggaran untuk penanganan korban perkosaan.
Selama ini Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur sudah melakukan koordinasi dengan Pihak Kepolisian di Polrestabes Surabaya untuk bekerjasama dalam melakukan sosialisai Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dilakukan agar masyarakat juga mengerti bagaimana proses hukum dalam perlindungan anak. Disamping itu LPA juga sudah berkoordinasi dengan LSM lainnya yaitu Wahana Visi Indonesia untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk saling bertukar informasi dan membuat suatu program materi-materi perlindungan anak yang dalam bentuk buku untuk siswa-siswi.
(63)
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Tindak pidana perkosaan membutuhkan suatu alat bukti yang utama, alat bukti itu adalah visum et repertum. Pada tahap penyidikan dimana pada tahapan ini mempunyai peranan penting untuk menentukan suatu perkara itu dapat atau tidaknya dilanjutkan ke proses selanjutnya yaitu proses peradilan. Maka dari itu pembuktian dari visum et repertum sangat diperlukan dalam tahap penyidikan dan diharuskan adanya alat bukti visum, karena jika tidak dilakukan visum maka perkara tersebut tidak dapat dilakukan ke proses penyidikan dan persidangan. Bila perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan ke proses persidangan maka perkara itu dianggap selesai dan tidak ada.
2. Perlidungan hukum terhadap korban perkosaan dibawah umur tidak hanya dilakukan oleh keluarga, tetapi perlu melibatkan seluruh instansi lainnya dan semua unsur masyrakat.
4.2 Saran
1. Pihak Kepilisian selaku aparat penyidik dan penyelidik harus berusaha mencari mencari alat bukti lain selain visum et repertum dalam tindak pidana perkosaan, dilakukan agar pihak penyidik tidak hanya berpedoman pada alat
(64)
54
butki visum saja dengan alat-alat bukti lainnya sehingga perkara-perkara perkosaan bisa selalu dilanjutkan ke proses persidangan.
2. Perlindungan hukum terhadap korban perkosaan dilakukan dengan selalu memberiksan sosialisasi-sosialisasi secara bertahap dan berkelanjutan melalui pendekatan sacara informal, agar korban tidak menjadi pelaku dan harus bisa menimbulkan rasa yang aman bagi korban tindak pidana perkosaaan dibawah umur.
(65)
DAFTAR PUSATAKA
Buku :
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 1, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Arif Gosita, Relevansi Viktimologidengan Pelayanan Terhadap Para Korban
Perkosaan, Jakarta, Ind. Hill, Co, 1987.
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak cetakan kedua , Akademika Pressindo, Jakarta, 1989.
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2008
Djoko Prakoso, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembutkian di Dalam Proses Pidana, Liberty,Yogyakarta, 1988.
Ibrahim Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : PT. Bayu Media Publishing, 2010.
Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Jakarta, 1975. Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta,
Sinar Gragfika,2004
Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1988
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua., Jakarta, 2008.
R.Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi Kedua, Tarsito, Bandung, 1983.
R.Subekti, Hukum Pembuktian , Pradnya Paramita, Jakarta, 1985
R.Sugandi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional, 1980.
(66)
Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1995
Y.A. Triana Ohoiwutun, Profesi Dokter dan Visum Et Repertum (Penegakan Hukum
dan Permasalahannya) , Penerbit Dioma, Malang, 2006
Zainuddin Ali , Metode Penelitian Hukum, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Peraturan perundang-undangan :
Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, Politeia, Bogor, 1997
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1996
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978 Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Visi Media, Yogyakarta, 2008
Undang-undang No.04 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Media Centre, Surabaya, 2006
Undang-undang No.03 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Media Centre, Surabaya, 2006
Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Media Centre, Surabaya, 2006
Undang-undang No 1 Ttahun 1974 tentang Perkawian, Pradnya Paramita, Jakarta Pusat, 1983
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggarakan Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan
(67)
57
Lain-lain :
DC Marbun , Handout Hukum Pidana. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, 10 Februari 2009
Subroto Suwiryo, Handout Ilmu Kedokteran Kehakiman, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, 3 Nopember 2009
Hariyo Sulistiyantoro , Handout Hukum Perlindungan Anak, Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur, 27 Desember 2009
Kamus Hukum, Bandung, Citra Umbara, 2008
Wawancara dengan Bapak Thoyib bagian Office Manager di Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur, Senin, 28 Februari 2010, 10.00 WIB
Wawancara dengan Bapak Rudy bagian Staf di LSM Wahana Visi Indonesia, Rabu, 23 Februari 2011, 11.00 WIB
Wawancara dengan AKP. Herlina Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polrestabes Surabaya, Senin, 21 Maret 2011 , 11.00 WIB
(1)
52
3.Mendorong atau menyelenggarakan pelatihan, lokalatih, lokakarya
khusus bagi Aparat Penegak Hukum dalam menangani korban perkosaan dan pencabulan terhadap anak, dilakukan agar Aparat Penegak Hukum meningkat, sehingga anak tidak menjadi korbak kedua kalinya. 4.Selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk terciptanya Perda
Perlindungan Anak, alokasi anggaran untuk penanganan korban perkosaan.
Selama ini Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur sudah melakukan koordinasi dengan Pihak Kepolisian di Polrestabes Surabaya untuk bekerjasama dalam melakukan sosialisai Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dilakukan agar masyarakat juga mengerti bagaimana proses hukum dalam perlindungan anak. Disamping itu LPA juga sudah berkoordinasi dengan LSM lainnya yaitu Wahana Visi Indonesia untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk saling bertukar informasi dan membuat suatu program materi-materi perlindungan anak yang dalam bentuk buku untuk siswa-siswi.
(2)
BAB IV
PENUTUP
4.1Kesimpulan
1. Tindak pidana perkosaan membutuhkan suatu alat bukti yang utama, alat bukti itu adalah visum et repertum. Pada tahap penyidikan dimana pada tahapan ini mempunyai peranan penting untuk menentukan suatu perkara itu dapat atau tidaknya dilanjutkan ke proses selanjutnya yaitu proses peradilan. Maka dari itu pembuktian dari visum et repertum sangat diperlukan dalam tahap penyidikan dan diharuskan adanya alat bukti visum, karena jika tidak dilakukan visum maka perkara tersebut tidak dapat dilakukan ke proses penyidikan dan persidangan. Bila perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan ke proses persidangan maka perkara itu dianggap selesai dan tidak ada.
2. Perlidungan hukum terhadap korban perkosaan dibawah umur tidak hanya
dilakukan oleh keluarga, tetapi perlu melibatkan seluruh instansi lainnya dan semua unsur masyrakat.
4.2Saran
1. Pihak Kepilisian selaku aparat penyidik dan penyelidik harus berusaha
mencari mencari alat bukti lain selain visum et repertum dalam tindak pidana perkosaan, dilakukan agar pihak penyidik tidak hanya berpedoman pada alat
(3)
54
butki visum saja dengan alat-alat bukti lainnya sehingga perkara-perkara perkosaan bisa selalu dilanjutkan ke proses persidangan.
2. Perlindungan hukum terhadap korban perkosaan dilakukan dengan selalu
memberiksan sosialisasi-sosialisasi secara bertahap dan berkelanjutan melalui pendekatan sacara informal, agar korban tidak menjadi pelaku dan harus bisa menimbulkan rasa yang aman bagi korban tindak pidana perkosaaan dibawah umur.
(4)
DAFTAR PUSATAKA
Buku :
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 1, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Arif Gosita, Relevansi Viktimologidengan Pelayanan Terhadap Para Korban
Perkosaan, Jakarta, Ind. Hill, Co, 1987.
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak cetakan kedua , Akademika Pressindo, Jakarta, 1989.
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2008
Djoko Prakoso, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembutkian di Dalam Proses Pidana, Liberty,Yogyakarta, 1988.
Ibrahim Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : PT. Bayu Media Publishing, 2010.
Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Jakarta, 1975. Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta,
Sinar Gragfika,2004
Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1988
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua., Jakarta, 2008.
R.Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi Kedua, Tarsito, Bandung, 1983.
R.Subekti, Hukum Pembuktian , Pradnya Paramita, Jakarta, 1985
R.Sugandi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional, 1980.
(5)
Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1995
Y.A. Triana Ohoiwutun, Profesi Dokter dan Visum Et Repertum (Penegakan Hukum
dan Permasalahannya) , Penerbit Dioma, Malang, 2006
Zainuddin Ali , Metode Penelitian Hukum, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Peraturan perundang-undangan :
Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, Politeia, Bogor, 1997
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1996
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978 Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Visi Media, Yogyakarta, 2008
Undang-undang No.04 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Media Centre, Surabaya, 2006
Undang-undang No.03 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Media Centre, Surabaya, 2006
Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Media Centre, Surabaya, 2006
Undang-undang No 1 Ttahun 1974 tentang Perkawian, Pradnya Paramita, Jakarta Pusat, 1983
(6)
57
Lain-lain :
DC Marbun , Handout Hukum Pidana. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, 10 Februari 2009
Subroto Suwiryo, Handout Ilmu Kedokteran Kehakiman, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, 3 Nopember 2009
Hariyo Sulistiyantoro , Handout Hukum Perlindungan Anak, Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur, 27 Desember 2009
Kamus Hukum, Bandung, Citra Umbara, 2008
Wawancara dengan Bapak Thoyib bagian Office Manager di Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur, Senin, 28 Februari 2010, 10.00 WIB
Wawancara dengan Bapak Rudy bagian Staf di LSM Wahana Visi Indonesia, Rabu, 23 Februari 2011, 11.00 WIB
Wawancara dengan AKP. Herlina Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polrestabes Surabaya, Senin, 21 Maret 2011 , 11.00 WIB