Hubungan Drainase dengan Emisi

tanaman Bond-Lamberty et al. 2004. Respirasi rizhosphere meliputi aktivitas autotrofik akar tanaman serta aktivitas heterotrofik, termasuk dekomposisi eksudat akar serta akar tanaman yang baru mati Couwenberg et al. 2010. Gambar 1 Proses keluar masuk karbon pada tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Verwer et al. 2008 Emisi CO 2 dari tanah timbul dari respirasi oleh akar tanaman, organisme hidup, serta mineralisasi bahan organik pada tanah tersebut, mikroorganisme yang mati, dan tumbuhan yang mati. Tingkat emisi karbon dioksida ke atmosfer bergantung pula pada banyak faktor, antara lain kondisi iklim, jenis gambut, tingkat dekomposisi, kedalaman muka air dan suhu tanah selain dari jenis dan intensitas pemanfaatan lahan Oleszczuk et al. 2008. Beberapa studi melakukan estimasi CO 2 netto yang dihasilkan dari oksidasi lahan gambut itu sendiri tanpa menghitung respirasi akar Hooijer et al. 2012. Baru- baru ini usaha yang dilakukan dalam menghitung perubahan netto karbon yang tersimpan di gambut dari semua perbedaan yang ada diantara estimasi yang masuk serta yang keluar pada lahan gambut termasuk perubahan pada biomassa tanaman Herghoualc’h dan Verchot 2011. Kandungan karbon total tanah gambut seluruh Sumatera pada tahun 1990 adalah 22.283 juta ton. Kandungan tertinggi terdapat di Propinsi Riau 16.851 juta ton C atau 75,62 dari total Sumatera, Propinsi Jambi 1851 juta ton, Sumsel 1.799 juta ton, Aceh 562 juta ton, Sumatera Utara 561 juta ton, dan Sumatera Barat 508 juta ton, serta terendah adalah Bengkulu 92 juta ton dan Lampung 60 juta ton karbon. Sedangkan kondisi pada tahun 2002, kandungan karbon seluruh Sumatera mengalami perubahan yakni berkurang sebesar 3.470 juta ton atau kandungan karbon totalnya hanya berkisar 18.813 juta ton Wahyunto et al. 2003. Pengurangan ketebalan gambut merupakan salah satu penyebab utama kehilangan karbon dari lahan gambut akibat perubahan penggunaan lahan. Pembukaan hutan gambut menjadi lahan perkebunan kelapa sawit terjadi sejak awal tahun 1990. Pengembangan lahan tersebut pada tahun 1990 mencapai 17.985 ha hingga tahun 2000 menjadi 512.341 ha ICCT 2012.

2.4 Hubungan Drainase dengan Emisi

Karbon Dioksida Subsiden gambut adalah hasil dari beberapa proses. Pada tingkat awal setelah drainase terjadi subsiden karena kehilangan dukungan dari tekanan pada rongga air. Subsiden awal bergantung pada tipe dan kedalaman gambut serta tingkat drainase yang dilakukan. Hal tersebut bisa mengakibatkan penurunan permukaan secara drastis pada tahun pertama drainase Couwenberg et al. 2010. Studi yang dilakukan Wosten et al. 1997, rata-rata subsiden yang terjadi setinggi 2 cm per tahun yang merupakan hasil dari pengurangan volume 200 m 3 ha -1 th -1 . Bulk density 0,1 g cm -3 dan 60 subsiden mengarah pada dekomposisi gambut sebesar 12 t ha -1 th -1 . Asumsi konsentrasi karbon pada gambut yaitu 60 dari total dekomposisi gambut menghasilkan produksi karbon sebesar 7,2 t ha -1 th -1 atau 26,5 t CO 2 ha -1 th -1 . Ketika bulk density bernilai 0,05 atau 0,15 g cm -3 , emisi CO 2 menjadi 13.3 dan 39,7 t CO 2 ha -1 th -1 . Pengolahan kelapa sawit pada lahan gambut membutuhkan drainase yang luas dengan kontrol air menggunakan sistemasi parit, bendungan, dan pompa. Drainase dapat meningkatkan bulk density pada gambut Rothwell et al. 1996; Minkkinen dan Laine 1998. Selanjutnya drainase menyebabkan penyusutan dan oksidasi dari gambut pada bagian atas. Selain itu, angin, erosi, pencemaran bahan organik terlarut, dan api memberikan kontribusi pada hilangnya materi dan ketinggian gambut. Selama fase subsiden kedua, penyusutan dan oksidasi merupakan proses yang dominan dan ditunjukkan dengan linear dependensi pada kedalaman drainase. Ketika Parit tidak dipelihara dan diperdalam secara berkala untuk mempertahankan tingkat air yang diinginkan, hal tersebut dapat menyebabkan lapisan aerobik hilang sehingga tingkat penurunan berkurang Couwenberg et al. 2010. Proses oksidasi dengan mudah menghilangkan material yang dapat terdekomposisi. Oleh karena itu kehilangan oksidasi menurun seiring dengan waktu. Pengolahan tanah, pemupukan, eksudat akar, dan hal-hal yang mengakibatkan kehilangan oksidasi yang tinggi, tetap berlanjut pada pengaturan pertanian di lahan gambut Couwenberg et al. 2010. Hubungan drainase dengan emisi dapat dilihat berdasarkan hasil dua jenis studi emisi yang dilakukan Hooijer et al. 2009. Jenis studi emisi tersebut antara lain pemantauan emisi yang berkaitan dengan kedalaman air dan studi jangka panjang pemantauan subsidensi di lahan gambut yang dikeringkan serta dikombinasikan dengan kandungan karbon gambut dan analisis bulk density. Untuk faktor luar, kontribusi dari tingkat total subsiden dan sisanya adalah sifat emisi CO 2 Hooijer et al. 2009. Hasil analisis menunjukkan hubungan : CO 2 = 91 G [R 2 = 0,71, n = 8] Keterangan : CO 2 = CO 2 emission t ha −1 th −1 G = Groudwater Depth m Kedalaman air tanah Groudwater Depth adalah kedalaman rata-rata di bawah permukaan gambut. Hubungan linier antara CO 2 emission dan Groudwater Depth menunjukkan bahwa setiap 10 cm kedalaman drainase akan mengemisikan CO 2 sekitar 9,1 ton CO 2 ha -1 th -1 Hooijer et al. 2009. Berdasarkan hasil penelitian Furukawa et al. 2005 setiap 10 cm penurunan muka air tanah akan menghasilkan peningkatan sebesar 50 emisi CO 2. Pada pengembangan lahan kelapa sawit tersebut dilakukan drainase pada tingkat kedalaman 50-80 cm. Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut yang telah dilakukan pada wilayah Sumatera sejak tahun 1990 hingga tahun 2010 seluas 1.026.922 ha ICCT 2012 sehingga seluruh luas tersebut telah mengalami drainase pada proses pengelolaan lahan kelapa sawit.

III. BAHAN DAN METODE