BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pelaksanaan Tebang Habis Jati
Kegiatan tebang habis jati di Perum Perhutani dilaksanakan setelah adanya teresan. Teresan merupakan salah satu dari beberapa rangkaian kegiatan sebelum
kegiatan tebang habis. Kegiatan teresan pada dasarnya adalah kegiatan meneres atau mematikan pohon agar diperoleh tegakan yang kering secara alami, sehingga
dapat meminimalkan kerusakan pada saat ditebang. Kegiatan teresan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hasil tebangan secara fisik. Dengan tingkat
kekeringan batang jati tertentu, risiko kerusakan batang dapat dikurangi. Kegiatan pembuatan teresan dilakukan satu tahun sebelum kegiatan penebangan. Pada saat
pelaksanaan teresan, setiap pohon di dalam blok tebangan yang kelilingnya 20 cm ke atas diukur kelilingnya dan diberi nomor urut Perum Perhutani 1999.
Sistem pemanenan yang dilakukan di BKPH Dagangan KPH Madiun adalah sistem semi mekanis. Rangkaian kegiatan pemanenan sebagian dilakukan oleh
tenaga manusia dan bantuan alat mekanis seperti chainsaw dan truk. Secara umum, kegiatan penebangan dipimpin oleh mandor tebang dan dibantu oleh regu tebang
serta juru tulis. Mandor bertugas untuk memastikan bahwa kegiatan penebangan berjalan dengan baik. Terdapat tiga orang mandor dan dua orang juru tulis yang
bertugas saat kegiatan penebangan berlangsung. Satu orang juru tulis bertugas untuk melakukan penomoran fisik pada sortimen kayu bulat dan seorang yang lain
bertugas mencatat administrasi pada buku taksasi. Penebangan dilakukan oleh tiga regu tebang. Satu regu tebang terdiri atas seorang chainsawman dan seorang
helper. Untuk satu hari kerja, biasanya penebangan dilakukan oleh dua regu
tebang.
Penebangan pohon dilaksanakan oleh chainsawman dan helper. Chainsawman akan menentukan arah rebah, membuat takik rebah dan takik balas.
Helper biasanya akan membantu membersihkan ilalang yang tumbuh di sekitar pohon yang akan ditebang. Selain itu, helper juga membantu chainsawman
merebahkan pohon jika pohon yang ditebang sulit direbahkan karena diameternya terlalu besar.
Setelah pohon rebah, mandor tebang akan mengukur dan memberikan penandaan fisik pada batang dengan kapur tulis untuk selanjutnya dipotong oleh
chainsawman. Mandor tebang juga mengidentifikasi cacat pada batang dan menentukan bagian batang yang akan dipotong karena cacat, bengkok, dan mata
kayu. Setelah kegiatan pembagian batang selesai dikerjakan, mandor tebang yang lain akan mengukur diameter dan panjang sortimen kayu bulat. Juru tulis akan
memberikan penomoran fisik pada bontos ujung sortimen kayu bulat dengan cat berwarna hitam. Informasi yang ditulis pada saat melakukan penomoran sortimen
kayu bulat adalah nomor urut tebang, nomor pohon, panjang sortimen, dan diameter sortimen. Juru tulis yang lain akan menuliskan hasil penebangan pada
buku taksasi dan buku daftar penerimaan kayu. Berikutnya, juru tulis akan memberikan penomoran fisik pada tunggak. Penomoran fisik pada tunggak
meliputi kode pohon, nomor urut tebang, nama blandong, tempat tinggal blandong, tanggal penebangan, dan tandatangan.
Sebagai salah satu upaya untuk memperlancar kegiatan penebangan, Perum Perhutani menyediakan jalan sogokan untuk dilalui truk angkutan kayu. Perum
Perhutani bekerjasama dengan pihak lain sebagai mitra yang menyediakan sarana transportasi untuk mengangkut hasil tebangan. Terdapat dua truk angkutan yang
disediakan oleh Perum Perhutani untuk mengangkut hasil tebangan selama hari kerja. Mitra ini sekaligus menyediakan tenaga kerja untuk mengangkut kayu dari
petak tebang ke truk angkutan. Selanjutnya truk angkutan akan mengangkut hasil tebangan dari petak tebang ke Tempat Penimbunan Kayu TPK.
Kegiatan tebang habis yang dilaksanakan di BKPH Dagangan tidak menggunakan metode pohon per pohon. Chainsawman akan menebang beberapa
pohon kemudian kembali ke pohon pertama untuk melakukan pembagian batang. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan penebangan atau
menghemat waktu kerja, karena jumlah pohon yang harus ditebang cukup banyak, sehingga chainsawman tidak lagi menunggu mandor tebang selesai melakukan
penandaan fisik pada batang. Metode menebang beberapa pohon terlebih dahulu kemudian kembali ke pohon pertama untuk melakukan pembagian batang juga
memberikan kesempatan kepada mandor tebang supaya lebih leluasa untuk melakukan pengukuran dan penandaan pada batang yang akan dipotong.
Kelemahan dari metode ini adalah meningkatkan risiko kerusakan kayu, karena pohon yang ditebang akan saling menimpa satu sama lain dan dapat
mengakibatkan tertukarnya sortimen kayu bulat yang telah dibagi dan penomoran sortimen kayu bulat yang tidak sesuai.
5.2 Sebaran Diameter dan Tinggi Pohon Contoh 5.2.1 Sebaran Diameter Pohon Contoh
Pohon yang ditebang pada anak petak 70C termasuk kelas umur VII dengan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 1626 pohon dengan rata-rata diameter
51,61 cm. Rata-rata diameter pohon contoh yang ditebang adalah 49,88 cm dengan diameter terbesar adalah 66 cm dan diameter terkecil adalah 33 cm. Pada
Gambar 3 terlihat bahwa diameter pohon contoh paling banyak didominasi oleh diameter 43
– 47 cm dan 53 – 57 cm. Pohon yang memiliki diameter 43 – 47 cm merupakan pohon yang paling banyak 22,92. Selain itu, pohon yang
berdiameter 53 – 57 cm menempati posisi kedua terbanyak yaitu sebesar 20,83,
sedangkan pohon yang berdiameter 33 – 37 cm memiliki jumlah paling sedikit
2,08. Pada Gambar 3 terlihat pula bahwa sebaran diameter pohon contoh cenderung menyebar normal. Sebaran kelas diameter dan presentase jumlah
pohon contoh disajikan pada Gambar 3. Khrisnapillay 2000 melaporkan bahwa Myanmar dan India memiliki
tempat tumbuh yang baik untuk jati, diameter jati berumur 50 tahun dapat mencapai 60 cm. Selain Myanmar dan India, Malaysia menjadi tempat yang
potensial untuk pertumbuhan jati. Tingkat pertumbuhan diameter jati adalah 1,5 –
2 cm per tahun, sehingga diameter jati berumur 15 tahun mampu mencapai 25 –
35 cm. Berbeda halnya dengan di Indonesia, terutama di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun, diameter jati berumur 70 tahun berkisar antara 43
– 47 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan jati di Indonesia lebih
rendah dari ketiga negara tersebut di atas. Terlihat pada Gambar 3 bahwa jati berumur 70 tahun di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun hanya
memiliki diameter kurang dari 60 cm.
Gambar 3 Sebaran diameter pohon contoh
5.2.2 Sebaran Tinggi Pohon Contoh
Rata-rata tinggi total pohon contoh yang ditebang adalah 23,73 meter, tinggi total TT terbesar adalah 30,85 meter dan terkecil adalah 21,15 meter. Pada
Gambar 4 terlihat bahwa tinggi total pohon contoh paling banyak berada pada kelas 21
– 22 meter. Jumlah pohon paling sedikit berada pada kelas 27 – 28 meter, 29
– 30 meter, dan 31 – 32 meter, yaitu masing-masing sebesar 2,08. Selain itu, pada Gambar 4 terlihat pula bahwa jumlah pohon semakin sedikit seiring dengan
meningkatnya tinggi total pohon. Hal ini diperkirakan karena pertumbuhan jati yang tidak optimal dan manajemen pemeliharaan yang kurang baik, terutama pada
kegiatan penjarangan. Sebaran tinggi pohon contoh disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Sebaran tinggi pohon contoh 2,08
18,75 22,92
16,67 20,83
14,58
4,17 5
10 15
20 25
33 - 37 38 - 42
43 - 47 48 - 52
53 - 57 58 - 62
63 - 67 P
re se
ntase jum
lah pohon contoh
Diameter cm
41,67 39,58
12,50 2,08
2,08 2,08
5 10
15 20
25 30
35 40
45
21 - 22 23 - 24
25 - 26 27 - 28
29 - 30 31 - 32
P re
se ntase
jum lah pohon
contoh
Tinggi pohon m
Khrisnapillay 2000 melaporkan bahwa jati berumur 50 tahun di Myanmar dan India memiliki tinggi total sekitar 30 meter, sedangkan di Malaysia jati
berumur 15 tahun tinggi totalnya mampu mencapai 22 – 25 meter. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan jati di ketiga negara tersebut baik. Sementara itu, tinggi total jati berumur 70 tahun di Indonesia berkisar 21
– 24 meter. Pada Gambar 4 terlihat bahwa jati berumur 70 tahun di Indonesia,
terutama di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun memiliki tinggi total berkisar 21
– 24 meter. Tinggi total jati berumur 70 tahun di Indonesia lebih rendah dari tinggi total jati berusia 15 tahun di Malaysia dan jati berusia 50 tahun
di India dan Myanmar. Hal ini dapat disebabkan karena kualitas tempat tumbuh di Myanmar, India, dan Malaysia lebih sesuai untuk jati daripada di Indonesia.
Selain itu, manajemen pemeliharaan dapat mempengaruhi proses pertumbuhan jati. Pemeliharaan tegakan jati yang kurang baik akan menyebabkan pertumbuhan
jati yang tidak optimal.
5.3 Kuantifikasi Kayu Hasil Tebang Habis
Kuantifikasi kayu hasil tebang habis dilakukan pada hasil produksi kayu bulat 48 pohon contoh yang ditebang, baik bagian pohon yang dimanfaatkan
maupun bagian pohon yang tidak dimanfaatkan oleh Perum Perhutani. Berdasarkan kebijakan Perum Perhutani, diameter terkecil sortimen kayu bulat
yang dimanfaatkan adalah 10 cm dengan panjang minimal 0,7 meter dan sortimen kayu bulat yang memiliki ukuran diameter 16 cm dengan panjang minimal 0,4
meter. Volume total 48 pohon contoh yang ditebang habis adalah 116,43 m³
dengan volume rata-rata per pohon sebesar 2,43 m³. Secara rinci, sortimen kayu bulat paling banyak berasal dari batang utama 67,85, kemudian disusul batang
atas 16,44, sortimen kecil 5,94, potongan pendek 4,67, tunggak sebesar 3,00, dan sortimen paling sedikit berasal dari cabang dan ranting 2,10.
Kuantifikasi kayu hasil tebang habis 48 pohon contoh disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Kuantifikasi sortimen kayu bulat hasil tebang habis pohon contoh Budiaman dan Komalasari 2012 melaporkan bahwa volume total 30 pohon
contoh di hutan kemasyarakatan Koperasi Hutan Jaya Lestari KHJL Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara sebesar 27,28 m³. Volume kayu yang dimanfaatkan
sebesar 71,7 dan volume kayu yang tidak dimanfaatkan sebesar 28,3. Sementara itu, Irmawati 2012 melaporkan bahwa volume total 42 pohon contoh
dari kegiatan penjarangan KU VI di BKPH Pulung sebesar 47,198 m³ dengan nilai rata-rata per pohon adalah 1,12 m³. Jika diperinci menurut asalnya, volume batang
utama 69,02, batang atas 13,23, sortimen kecil 9,53, potongan pendek 3,79, cabang 3,21, dan tunggak sebesar 1,22. Pada penelitian ini, volume
total yang dihasilkan dari kegiatan penebangan habis di RPH Panggung, BKPH Dagangan lebih besar dari volume total yang dihasilkan dari penebangan jati pada
hutan kemasyarakatan di KHJL dan kegiatan penjarangan di BKPH Pulung. Pada penebangan penjarangan di BKPH Pulung, volume sortimen kayu bulat yang
dihasilkan paling banyak berasal dari batang utama. Tidak jauh berbeda dengan BKPH Pulung, sortimen kayu bulat paling banyak yang dihasilkan dari kegiatan
tebang habis di RPH Panggung, BKPH Dagangan berasal dari batang utama. Volume yang dihasilkan dari tebang habis di RPH Panggung, BKPH
Dagangan lebih besar dari kegiatan penebangan di KHJL dan penjarangan jati BKPH Pulung. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan ukuran diameter
yang ditebang. Namun, volume terbesar dari kegiatan tebang habis dan penjarangan sama-sama berasal dari batang utama. Hal ini dapat disebabkan oleh
67,85
16,44 2,10
4,67 3,00
5,94 10
20 30
40 50
60 70
80
Batang utama
Batang atas
Cabang dan ranting
Potongan pendek
Tunggak Sortimen
kecil P
re se
ntase volum
e
sortim en
Jenis sortimen
teknik pembagian batang yang digunakan oleh RPH Panggung BKPH Dagangan dan BKPH Pulung adalah sama karena masih dalam satu wilayah KPH Madiun.
5.3.1 Kayu yang Dimanfaatkan
Kayu yang dimanfaatkan adalah semua kayu yang dimanfaatkan oleh Perum Perhutani untuk tujuan komersial. Kayu yang dimanfaatkan diambil dari batang
utama, batang atas, cabang dan ranting yang memenuhi syarat panjang dan diameter yang ditentukan. Kelompok kayu yang dimanfaatkan yaitu kelompok
kayu KBB d ≥ 30 cm, KBS 21 cm ≤ d ≤ 30 cm, dan KBK d 21 cm.
Bagian kayu yang dimanfaatkan oleh Perhutani meliputi batang utama, batang atas, dan cabang. Panjang sortimen bagian batang utama berkisar antara
0,60 – 5,80 meter dengan diameter rata-rata sebesar 36,93 cm. Panjang sortimen
bagian batang atas berkisar antara 0,40 – 3,70 meter dengan diameter rata-rata
sebesar 19,33 cm. Panjang sortimen bagian cabang berkisar antara 0,50 – 2,80
meter dengan diameter rata-rata sebesar 13,71 cm. Total volume kayu yang dimanfaatkan dari 48 pohon contoh yang ditebang adalah 100,59 m³ dengan rata-
rata volume sebesar 2,09 m³ per pohon. Sortimen kayu jati yang dimanfaatkan berasal dari bagian batang utama sebesar 79 m³ 67,85, batang atas sebesar
19,15 m³ 16,44, dan cabang sebesar 2,44 m³ 2,10. Jumlah sortimen kayu bulat yang dapat dimanfaatkan oleh Perum Perhutani berdasarkan asal sortimen
dan jenis sortimen disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Pemanfaatan sortimen kayu jati berdasarkan asal sortimen Keterangan: Kayu Bulat Kecil, Kayu Bulat Sedang,
Kayu Bulat Besar Pada Gambar 6 terlihat bahwa jumlah total batang yang dapat dimanfaatkan
oleh Perum Perhutani adalah 1045 batang yang berasal dari 48 pohon contoh yang ditebang habis. Sortimen KBK paling banyak berasal dari batang atas, yaitu
sebesar 318 batang. Sortimen KBS paling banyak berasal dari batang atas sebesar 215 batang, dan sortimen KBB paling banyak berasal dari batang utama sebesar
57 batang. Apabila diklasifikasikan menurut jenis sortimennya, maka rata-rata setiap pohon akan menghasilkan 11 sortimen KBK, 6 sortimen KBS, dan 7
sortimen KBB. Sortimen KBS dan KBB tidak ditemukan di bagian cabang dan ranting. Selain itu, sortimen KBK tidak ditemukan di bagian batang utama.
Irmawati 2012 melaporkan bahwa pada kegiatan penjarangan jati diperoleh volume total kayu yang dimanfaatkan adalah 40,33 m³ dengan rata-rata
volume per pohon sebesar 0,96 m³. Jika diperinci berdasarkan asalnya, volume sortimen kayu bulat yang dihasilkan berasal dari batang utama sebesar 69,20,
batang atas 13,23, dan cabang 3,21. Volume sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan di BKPH Pulung tersebut tidak berbeda jauh dengan volume
sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan di RPH Panggung BKPH Dagangan. Hal ini dikarenakan kebijakan pembagian batang, teknik pembagian batang dan tujuan
pemanfaatan yang sama. Sementara itu, Budiaman dan Komalasari 2012 melaporkan bahwa volume total yang dihasilkan dari penebangan hutan
Batang utama Batang atas
Cabang dan ranting
KBK 318
152 KBS
57 215
KBB 284
19 100
200 300
400 500
600
Juml ah
sortim en
ba tang
kemasyarakatan di KHJL adalah 27,28 m³ dan sejumlah 28,3 berupa kayu sisa. Hal ini menunjukkan bahwa volume sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan di
RPH Panggung BKPH Dagangan lebih besar dari volume yang dimanfaatkan di KHJL. Presentase kayu yang dimanfaatkan dan kayu sisa yang dihasilkan dari
beberapa penebangan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Kuantifikasi pemanfaatan kayu dari beberapa penebangan Keterangan: kayu yang dimanfaatkan, kayu sisa
Pada Gambar 7 terlihat bahwa tingkat pemanfaatan kayu di BKPH Dagangan KPH Madiun lebih tinggi 86,39 dari KHJL di Konawe Selatan
Sulawesi Tenggara 71,7 dan lebih tinggi dari kegiatan penjarangan di BKPH Pulung KPH Madiun 85,46. Perbedaan tingkat pemanfaatan antara RPH
Panggung BKPH Dagangan dengan KHJL ini karena perbedaan pemanfaatan dan teknik pembagian batang. Dengan semakin kecilnya nilai kayu sisa yang
dihasilkan, dapat diartikan bahwa kegiatan pemanenan yang dilakukan sudah cukup efisien, sehingga dapat memaksimalkan nilai kayu yang ada.
Menurut Dulsalam 1995 dalam Sari 2009, semakin besar limbah eksploitasi yang dihasilkan maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang
diperoleh dan semakin kecil limbah eksploitasi yang dihasilkan, sehingga akan meningkatkan faktor eksploitasi di hutan. Selain itu, semakin tinggi tingkat
efisiensi pemanenan yang dilakukan, maka limbah yang dihasilkan pun akan semakin berkurang, sehingga akan meningkatkan nilai ekonomis kayu.
Tebang butuh
KHJL Penjarangan
BKPH Pulung
Tebang habis
BKPH Dagangan
Presentase kayu sisa 28,3
14,54 13,61
Presentase kayu yang dimanfaatkan
71,7 85,46
86,39 10
20 30
40 50
60 70
80 90
100
P re
se ntase
volum e ka
y u
Kegiatan penebangan
5.3.2 Kayu yang Tidak Dimanfaatkan
Kayu yang tidak dimanfaatkan atau kayu sisa adalah kayu yang tidak dipungut oleh Perum Perhutani untuk tujuan komersil. Kayu sisa ini berupa
cabang dan ranting yang tidak memenuhi standar panjang dan diameter, tunggak, potongan pendek, dan sortimen kecil. Kayu sisa juga dapat berasal dari batang
utama dan batang atas yang mengalami cacat dan perlu dipotong. Bagian kayu tersebut tidak dimanfaatkan karena tidak memenuhi standar panjang dan diameter
yang ditetapkan oleh Perum Perhutani. Selain itu, bagian kayu tersebut tidak dimanfaatkan karena pecah pada bagian ujung sortimen, cacat, bengkok, dan
gerowong. Volume total kayu sisa dari 48 pohon contoh yang ditebang adalah 15,84 m³
dengan volume rata-rata sebesar 0,33 m³ per pohon. Berdasarkan asalnya, volume kayu sisa dari sortimen kecil sebesar 6,91 m³ 35,96 dari total volume kayu sisa,
volume potongan pendek dari cabang sebesar 4,48 m³ 23,28, bagian tunggak sebesar 3,49 m³ 22,05, volume potongan pendek dari batang atas sebesar 0,49
m³ 2,57, potongan pendek dari batang utama adalah 0,47 m³ 2,42. Volume kayu sisa terbesar berasal sortimen kecil sebesar 6,91 m³ 35,96. Secara umum,
sortimen kecil menjadi penyumbang paling besar kayu sisa yang dihasilkan dari kegiatan tebang habis. Sortimen kecil ini umumnya berasal dari cabang dan
ranting yang berdiameter di bawah limit diameter yang dimanfaatkan oleh Perum Perhutani. Kuantifikasi kayu sisa hasil tebang habis jati disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Kuantifikasi kayu sisa dari 48 pohon contoh 22,05
2,42 2,57
23,28 35,96
5 10
15 20
25 30
35 40
Tunggak Batang
utama Batang atas Cabang dan
ranting Sortimen
kecil P
re se
ntase volum
e ka y
u
sis a
Jenis sortimen
Kayu sisa yang dihasilkan dari kegiatan tebang habis di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun 13,61 lebih rendah dari KHJL 28,3.
Tingkat pemanfaatan kayu di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun 86,39 tidak berbeda jauh dengan BKPH Pulung KPH Madiun 85,46. Hal
ini bisa disebabkan karena tujuan pemanfaatan dan sistem pembagian batang yang sama.
Volume total kayu yang dimanfaatkan dan volume rata-rata per pohon yang dihasilkan Perum Perhutani lebih besar dari hutan kemasyarakatan. Hal ini dapat
terjadi karena sistem pemanenan pada hutan kemasyarakatan cenderung pada tebang butuh tebang pilih, sehingga volume yang dihasilkan tergantung pada
kebutuhan masyarakat. Sistem penebangan pada Perum Perhutani cenderung pada tebang habis dengan luas areal yang cukup besar dan jumlah pohon yang banyak.
Faktor pemanfaatan pada Perum Perhutani 86,39 lebih tinggi dari hutan kemasyarakatan 71,7, dengan demikian faktor residu Perum Perhutani lebih
rendah dari hutan kemasyarakatan. Perbedaan nilai faktor pemanfaatan dan faktor residu disebabkan oleh perbedaan tujuan pemanfaatan dan teknik pembagian
batang. Hasil kuantifikasi kayu sisa berdasarkan sortimen yang dihasilkan dan jenis pengusahaan kayu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kuantifikasi kayu sisa berdasarkan sortimen yang dihasilkan Keterangan
KHJL BKPH
Dagangan BKPH
Pulung Diameter rataan cm
34 49,88
35 Volume total m³
27,281 116,43
47,198 Volume rataan m³pohon
0,93 2,43
1,12 Volume kayu sisa m³
7,88 15,84
6,69 Faktor pemanfaatan
71,7 86,39
85,46 Faktor residu
28,3 13,61
14,54
Sumber: Budiaman dan Komalasari 2012 Sumber: Irmawati 2012
5.3.2.1 Kayu Sisa Potongan Pendek
Volume total potongan pendek yang dihasilkan dari kegiatan tebang habis 48 pohon contoh adalah 5,43 m³. Volume rata-rata kayu sisa potongan pendek
yang dihasilkan adalah 0,11 m³ per pohon. Kayu sisa potongan pendek ini dapat berasal dari batang utama dan atau batang atas yang mengalami cacat dan perlu
dipotong, percabangan pohon serta cabang dan ranting yang tidak memenuhi standar pengukuran yang ditetapkan oleh Perum Perhutani.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa volume potongan pendek yang berasal dari batang utama sebesar 0,47 m³ 2,42. Diameter rata-rata potongan pendek yang
berasal dari batang utama adalah 23 cm dan panjang rata-rata adalah 71,8 cm. Potongan pendek pada batang utama terjadi karena adanya pecah batang, pecah
pada bagian ujung batang, dan gerowong. Volume potongan pendek yang berasal dari bagian batang atas sebesar 0,49 m³ 2,57. Diameter rata-rata potongan
pendek yang berasal dari batang atas adalah 30 cm dan panjang rata-ratanya adalah 59,7 cm. Potongan pendek pada bagian batang atas terjadi karena pecah
batang, dan pecah pada bagian ujung batang. Volume potongan pendek yang berasal dari cabang dan ranting sebesar 4,47 m³ 23,28. Potongan pendek pada
bagian cabang dan ranting biasanya terjadi karena cabang dan ranting tidak memenuhi standar panjang dan diameter, cabang tidak lurus atau bengkok serta
bagian percabangan.
5.3.2.2 Kayu Sisa Sortimen Kecil
Total volume sortimen kecil yang dihasilkan dari penebangan 48 pohon contoh adalah 6,91 m³ dengan rata-rata 0,14 m³ per pohon atau 35,96 dari total
volume kayu sisa. Sortimen kecil merupakan bagian kayu yang memiliki ukuran diameter di bawah diameter terkecil yang dimanfaatkan oleh Perum Perhutani.
Sortimen kecil ini adalah kayu rencek yang berasal dari cabang dan ranting yang memiliki ukuran diameter kurang dari 10 cm. Sortimen kecil paling banyak
dihasilkan dari tajuk pohon. Sortimen kecil ini dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tebangan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar.
Menurut Panshin dan de Zeeuw 1974 dalam Anggoro 2007 jati pada kadar air 15 memiliki jumlah kalor 9,73 x 10
5
kcalstapel meter. Sedangkan nilai kalor mnyak tanah adalah 8.500 kcalliter. Dengan demikian 1 stapel meter
kayu bakar setara dengan 114,47 liter minyak tanah, sehingga masyarakat dapat menghemat biaya pengeluaran untuk membeli minyak tanah dengan
memanfaatkan kayu bakar.
Irmawati 2012 melaporkan bahwa volume kayu sisa paling besar dihasilkan dari sortimen kecil yang berasal dari cabang dan ranting. Volume
sortimen kecil yang dihasilkan dari kegiatan penjarangan adalah 4,49 m³ dari volume total pohon. Selain itu, sortimen kecil memiliki potensi kayu sisa paling
tinggi, yaitu 65,54 dari total volume kayu sisa.
5.3.2.3 Kayu Sisa Tunggak
Volume kayu sisa bagian tunggak yang dihasilkan dari penebangan 48 pohon contoh adalah 3,49 m³ dari total volume kayu atau 22,05 dari total
volume kayu sisa, dengan volume rata-rata 0,07 m³ per pohon. Tinggi rata-rata tunggak dari permukaan tanah adalah 23,71 cm dan diameter rata-rata adalah 0,6
m. Sejauh ini, belum ada pemanfaatan kayu sisa tunggak oleh RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun. Hal ini dikarenakan, kayu sisa berupa tunggak
berfungsi untuk proses lacak balak dan mencegah erosi. Irmawati 2012 melaporkan bahwa tinggi rata-rata tunggak yang dihasilkan dari tebang
penjarangan sebesar 7 cm dengan volume rata-rata sebesar 0,014 m³. Tinggi rata- rata tunggak yang dihasilkan dari tebang habis di BKPH Dagangan lebih besar
dari BKPH Pulung. Teknik penebangan dan sikap tubuh penebang yang benar dapat
meningkatkan pemanfaatan kayu. Suhartana et al 2005 melaporkan bahwa sikap penebang dapat mempengaruhi tinggi tunggak yang ditinggalkan pada
penebangan kayu rasamala di KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Penebangan dengan sikap tubuh membungkuk akan menghasilkan tunggak yang
lebih tinggi dibandingkan dengan sikap tubuh jongkok. Teknik penebangan serendah mungkin adalah teknik penebangan yang
meninggalkan tinggi tunggak serendah mungkin serta batang atau cabang yang dimanfaatkan sampai berukuran 5 cm Suhartana 2004. Teknik penebangan
serendah mungkin yang diterapkan di areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri HPHTI PT Wirakarya Sakti pada penebangan pohon jenis
mangium diperoleh hasil rata-rata tinggi tunggak adalah 21,14 cm.
5.4 Faktor Pemanfaatan dan Faktor Residu
Faktor pemanfaatan merupakan perbandingan antara volume kayu yang dimanfaatkan dengan volume total pohon yang dinyatakan dalam persen. Faktor
pemanfaatan dapat menggambarkan efektifitas kegiatan pemanenan. Kegiatan pemanenan relatif lebih efektif pada petak dengan faktor pemanfaatan lebih besar.
Faktor residu merupakan perbandingan antara volume kayu yang tidak dimanfaatkan dengan volume total pohon yang dinyatakan dalam persen
Budiaman 2008. Dalam penelitian ini, volume total merupakan gabungan dari volume tunggak, batang utama, batang atas, potongan pendek, cabang dan ranting,
dan sortimen kecil. Volume total pohon yang diukur dari batang utama, batang atas, serta
cabang dan ranting yang memenuhi standar pengukuran adalah 100,59 m³ dengan volume rata-rata 2,1 m³ per pohon. Dari data tersebut, diperoleh nilai faktor
pemanfaatan total adalah 86,39. Hal ini berarti dari 1 m³ volume yang tersedia, sekitar 0,86 m³ saja yang dimanfaatkan, sisanya menjadi kayu sisa.
Volume total kayu sisa yang berupa tunggak, potongan pendek dari batang utama, batang atas, cabang dan ranting serta sortimen kecil adalah 15,84 m³
dengan volume rata-rata 0,33 m³ per pohon. Dari data tersebut, diperoleh nilai faktor residu adalah 13,61. Hal ini berarti dari 1 m³ volume yang tersedia,
sebesar 0,14 m³ yang menjadi kayu sisa. Perbandingan tingkat pemanfaatan hasil pemanenan jati pada kegiatan tebang habis dan tebang penjarangan disajikan pada
Gambar 9. Gambar 9 menyajikan nilai faktor pemanfaatan dari kegiatan tebang habis
dan tebang penjarangan. Nilai faktor pemanfaatan KU VI dan KU VII berturut- turut adalah 85,44 dan 86,39. Nilai faktor residu KU VI dan KU VII berturut-
turut adalah 14,56 dan 13,61. Nilai faktor pemanfaatan dan faktor residu dari KU VI dan KU VII tidak berbeda jauh, hal ini dapat dikarenakan teknik
pembagian batang dan tujuan pemanfaatan yang hampir sama. Selain itu, nilai faktor pemanfaatan yang besar dapat dipengaruhi oleh topografi lokasi
penebangan. Topografi yang datar akan memudahkan proses penebangan, sedangkan topografi yang curam atau bergelombang dapat mengurangi efektifitas
penebangan.
Gambar 9 Tingkat pemanfaatan jati dari dua KU VI dan KU VII
5.5 Prospek Pemanfaatan Kayu Sisa Jati
Sejauh ini, kayu sisa yang dihasilkan dari penebangan dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi penebangan. Kayu sisa yang dihasilkan
dari penebangan biasanya dimanfaatkan untuk kayu bakar. Kayu sisa ini berupa cabang dan ranting yang tidak memenuhi standar pengukuran panjang dan
diameter, cabang dan ranting yang cacat, potongan pendek, dan sortimen kecil. Kayu sisa berupa sortimen kecil yang berdiameter
≤ 4 cm atau kayu rencek akan dipungut oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi penebangan sebagai
kayu bakar. Kayu rencek ini dikumpulkan menjadi beberapa ikatan. Biasanya setelah pohon direbahkan, masyarakat akan berbondong-bondong untuk
membersihkan tajuknya guna mengambil sortimen-sortimen kecil ini. Kayu sisa berupa cabang dan ranting yang berdiameter kurang dari 10 cm akan diangkut
oleh mitra yang sudah bekerjasama dengan BKPH Dagangan KPH Madiun. Pengangkutan kayu sisa ini menggunakan mobil bak terbuka. Biasanya kayu sisa
ini akan dijual kembali oleh mitra tersebut. Setidaknya terdapat tiga mitra yang biasanya mengangkut kayu sisa hasil penebangan. Mitra ini secara bergantian
akan mengangkut kayu sisa hasil penebangan. Terdapat dua mitra yang mengangkut kayu sisa setiap harinya.
VI VII
Kayu sisa 14,56
13,61 Kayu yang
dimanfaatkan 85,44
86,39 75
80 85
90 95
100
P re
se ntase
volum e
ka y
u
KU Kelas Umur
Kayu sisa tebangan jati dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kerajinan, flooring, papan partikel, inti papan blok, briket arang, bahkan dapat
digunakan sebagai bahan campuran anti nyamuk bakar berbahan alami Zulney dan Martono 2003 dalam Komalasari 2009. Sejauh ini kayu sisa berupa tunggak
di BKPH Dagangan KPH Madiun ditinggalkan di lokasi tebang, sehingga belum ada pemanfaatan lebih lanjut. Pramithasari 2011 melaporkan bahwa kayu sisa
berupa tunggak dapat diolah menjadi kerajinan berupa meja akar, meja ukir, lemari display, dan patung ukir sehingga nilai tambah dari limbah tersebut akan
meningkat.
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN