TINJAUAN PUSTAKA Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Habis Jati di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemanenan Hutan

Menurut Sessions 2007, pemanenan hutan merupakan serangkaian aktivitas penebangan pohon dan pemindahan kayu dari hutan ke tepi jalan untuk dimuat dan diangkut keluar hutan. Pemanenan hutan terdiri atas beberapa kegiatan, antara lain penebangan, penyaradan, pengupasan kulit, muat bongkar, dan pengangkutan. Misalnya, pada hutan rakyat kegiatan muat bongkar atau pengulitan tidak terlalu signifikan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi operasi pemanenan hutan adalah iklim, topografi, tanah, jenis, lokasi, tenaga kerja, serta hama dan penyakit. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam pemanenan hutan antara lain: a. Penebangan, yaitu langkah awal kegiatan pemanenan kayu, meliputi tindakan yang diperlukan untuk memotong kayu dari tunggaknya secara aman dan efisien. Kegiatan penebangan pohon terdiri atas tiga kegiatan, yaitu persiapan dan pembersihan tumbuhan bawah, penentuan arah rebah, serta pembuatan takik rebah dan takik balas. Dalam kegiatan ini, termasuk di dalamnya pembagian batang menjadi sortimen tertentu bucking, pemotongan cabang debranching, serta pemotongan tajuk topping. b. Penyaradan, yaitu kegiatan mengeluarkan kayu dari lokasi tebangan ke tempat pengumpulan kayu TPn. Penyaradan merupakan tahapan awal dari kegiatan pengangkutan. Tujuan kegiatan penyaradan adalah memindahkan kayu dari dalam hutan ke luar hutan dengan cepat dan murah. c. Pengupasan kulit debarking. Besarnya volume produksi yang dihasilkan oleh hutan tergantung dari seberapa besar diameter kayu bulat dan kandungan kulitnya. Diameter kayu bulat dapat berkurang secara tajam dengan adanya pengupasan kulit baik secara manual atau dengan mesin. Pengulitan kayu dapat dilakukan dengan manual tenaga manusia atau dengan mesin drum debarking at mills. d. Muat bongkar, secara modern kegiatan ini dilakukan secara mekanis. Banyak tipe kendaraan atau alat angkut yang dapat digunakan untuk mengangkut kayu berukuran pendek, batang utama, atau bahkan full tree. e. Pengangkutan, yaitu kegiatan memindahkan kayu atau hasil hutan yang lain dari tempat pengumpulan kayu TPn ke tempat penimbunan kayu TPK. Tahapan kegiatan pemanenan, terutama penebangan, merupakan salah satu tahapan kegiatan yang dapat menghasilkan limbah. Oleh karena itu, sebelum melakukan kegiatan penebangan, diperlukan pemahaman dari pengawas dan para pekerja. Selain itu, diperlukan spesifikasi sortimen kayu bulat serta pengawasan mutu dari kayu yang dihasilkan dari kegiatan penebangan agar dapat meminimalisir limbah yang dihasilkan dari kegiatan penebangan. Penebang dan pekerja harus memahami cara penebangan dan pembagian batang agar dapat mengefisiensikan kegiatan penebangan serta penyaradan Sessions 2007. Pemanenan hutan dimaksudkan untuk memanfaatkan hutan dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial. Sementara itu, tujuan dari kegiatan pemanenan hutan adalah memaksimalkan nilai kayu, mengoptimalkan pasokan bahan baku industri, serta meningkatkan kesempatan kerja, dan mengembangkan ekonomi daerah Rahmat 2007.

2.2 Sortimen Kayu Bulat Jati

Berdasarkan besarnya diameter, kayu bundar jati digolongkan menjadi tiga sortimen, yaitu kayu bundar besar KBB atau AIII, kayu bundar sedang KBS atau AII, dan kayu bundar kecil KBK atau AI. Kayu bundar besar atau AIII adalah kayu bundar dengan ukuran diameter lebih dari atau 30 cm. Kayu bundar sedang atau AII adalah kayu bundar dengan ukuran diameter 21 cm sampai dengan kurang dari 30 cm. Kayu bundar kecil atau AI adalah kayu bundar dengan ukuran diameter kurang dari 21 cm. Klasifikasi sortimen bulat kayu jati berdasarkan SNI 7535.3:2011 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi sortimen kayu jati berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 7535.3:2011. Sortimen Kelas diameter cm Batas atas dan bawah kelas diameter cm Titik tengah kelas diameter cm Batas atas dan bawah keliling ujung dalam cm penuh KBK AI 4 7 10 13 16 19 3,00 – 5,99 6,00 – 8,99 9,00 – 11,99 12,00 – 14,99 15,00 – 17,99 18,00 – 20,99 4,5 7,5 10,5 13,5 16,5 19,5 9 – 18 19 – 27 28 - 37 38 – 46 47 – 56 57 – 65 KBS AII 21 22 23 24 25 26 27 28 29 21,00 – 21,99 22,00 – 22,99 23,00 – 23,99 24,00 – 24,99 25,00 – 25,99 26,00 – 26,99 27,00 – 27,99 28,00 – 28,99 29,00 – 29,99 21,5 22,5 23,5 24,5 25,5 26,5 27,5 28,5 29,5 66 – 68 69 – 71 72 – 74 75 – 77 78 – 80 81 – 83 84 – 86 87 – 90 91 – 93 KBB AIII 30 31 32 33 34 35 dst 30,00 – 30,99 31,00 – 31,99 32,00 – 32,99 33,00 – 33,99 34,00 – 34,99 35,00 – 35,99 dst 30,5 31,5 32,5 33,5 34,5 35,5 dst 94 – 96 97 – 99 100 – 103 104 – 106 107 – 109 110 – 112 dst

2.3 Kayu Sisa Penebangan

Menurut Widarmana 1973 dalam Komalasari 2009, kayu sisa adalah sisa-sisa atau bagian-bagian kayu yang dianggap tidak bernilai ekonomis lagi dalam suatu proses tertentu, pada waktu dan tempat tertentu, tetapi masih mungkin untuk dimanfaatkan pada proses, waktu dan tempat yang berbeda. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886Kpts-II2002, istilah limbah tebang atau limbah pembalakan adalah kayu sisa yang tidak dimanfaatkan lagi oleh pemegang izin yang sah pada kegiatan penebangan atau pembalakan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang. Menimbang bahwa dalam peraturan tersebut kayu jati dianggap tidak memiliki limbah, maka untuk kayu jati dikenal dengan istilah kayu sisa. Kayu sisa penebangan terjadi karena eksploitasi hutan. Kayu sisa yang dimaksud adalah bagian pohon yang seharusnya dapat dimanfaatkan, akan tetapi oleh berbagai sebab terpaksa ditinggalkan di hutan. Adanya kayu sisa juga dipengaruhi oleh syarat-syarat pasaran, jenis dan nilai kayunya, tempat serta fasilitas pasaran pada saat itu. Dengan demikian, ukuran dan kualitas kayu yang tidak memenuhi syarat akan menjadi kayu sisa. Menurut Sastrodimejo dan Sampe 1978 dalam Sari 2009, berdasarkan tempat terjadinya, limbah atau kayu sisa dibedakan menjadi: a. Kayu sisa yang terjadi di areal tebangan cutting area, kayu sisa tebangan ini berupa kelebihan tunggak dari yang diizinkan, bagian batang dari pohon yang rusak, cacat, potongan-potongan akibat pembagian batang dan sisa cabang dan ranting. b. Kayu sisa yang terjadi di tempat pengumpulan kayu TPn, batang-batang yang tidak memenuhi syarat, baik kualitas maupun ukurannya. c. Kayu sisa yang terjadi di tempat penimbunan kayu TPK, biasanya terjadi karena penolakan oleh pembeli karena log sudah terlalu lama disimpan sehingga busuk, pecah, dan terserang jamur. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kayu sisa yaitu cara pengerjaan yang kurang memperhatikan efisiensi, desain peralatan yang tidak sesuai, organisasi kerja yang kurang baik dan permintaan jenis produk yang kurang menguntungkan. Selain itu, faktor lain seperti topografi yang berat, musim hujan juga dapat mempengaruhi terjadinya limbah Darusman 1989 dalam Rahmat 2007. Anggoro 2007 melaporkan bahwa volume kayu sisa yang dihasilkan dari produksi kayu bulat pada pengelolaan di Perum Perhutani mencapai 0,12 m 3 per pohon 22,67 yang berupa cabang dan ranting 91,35, tunggak 2,91, kayu tak beraturan 2,08, kayu pecah 1,77, potongan pendek 1,4, dan kayu lapuk 0,48. Presentase kayu sisa terbesar dihasilkan oleh cabang dan ranting. Budiaman dan Komalasari 2012 melaporkan bahwa kayu sisa yang dihasilkan dari produksi kayu bulat pada pengelolaan hutan milik Koperasi Hutan Jaya Lestari KHJL mencapai 0,93 m 3 per pohon. Kayu sisa yang dihasilkan dari penebangan 30 pohon contoh berupa cabang dan ranting, batang atas, potongan pendek, dan tunggak. Jika dirinci menurut asalnya, volume kayu sisa yang berasal dari cabang dan ranting sebesar 3,85 m 3 dari volume total hasil tebangan, batang atas 2,49 m 3 , potongan pendek 1,22 m 3 , dan tunggak 0,72 m 3 . Sementara itu, Irmawati 2012 melaporkan bahwa volume kayu sisa yang dihasilkan dari kegiatan penjarangan pada kelas pengusahaan jati yang dikelola oleh Perum Perhutani adalah 6,86 m³ atau rata-rata 0,16 m³ per pohon. Selama ini pemanfaatan produksi kayu pada pengelolaan Hutan Tanaman Industri HTI belum optimal. Hal ini dapat terlihat bahwa kegiatan pemanenan HTI masih menghasilkan limbah yang relatif besar. Besarnya volume limbah pemanenan pada pengusahaan HTI kayu pulp mencapai 23,3 Kartika 2004.

2.4 Jati dan Pemanfaatannya

Menurut Sumarna 2003, jati Tectona grandis Linn. F. merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke-9 dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan gangguan rayap serta jamur dan awet. Jati dalam sistem klasifikasi, mempunyai penggolongan sebagai berikut: divisi : Spermatophyta kelas : Angiospermae sub-kelas : Dicotyledoneae ordo : Verbenales famili : Verbenaceae genus : Tectona spesies : Tectona grandis Linn. f. Secara morfologis, tanaman jati memiliki tinggi yang dapat mencapai sekitar 30 – 45 m. Diameter batang dapat mencapai 220 cm. Kulit kayu berwarna kecokelatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Secara fenologis, tanaman jati tergolong tanaman yang menggugurkan daun deciduous pada saat musim kemarau, antara bulan November hingga Januari. Setelah gugur, daun akan tumbuh lagi pada bulan Januari atau Maret. Tumbuhnya daun ini juga secara umum ditentukan oleh kondisi musim. Secara umum, pertumbuhan tanaman jati di alam relatif kecil dan rendah, demikian pula dengan riap tumbuhnya. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pada umur 50, 70, 80 tahun memiliki nilai produk masing-masing sekitar 417 m 3 , 510 m 3 , dan 539 m 3 per hektar. Jati akan tumbuh dengan baik ketika suhu bulanan minimum lebih dari 13 ˚C dan suhu bulanan maksimum kurang dari 40 ˚C. Curah hujan optimal untuk pertumbuhan jati adalah 1.250 – 3750 mm per tahun. Waktu yang cocok untuk memproduksi kayu dengan kualitas yang bagus adalah musim kering atau musim kemarau setidaknya empat bulan dengan laju presipitasi kurang dari 60 mm Khrisnapillay 2000.

2.5 Jenis Tebangan Jati

Dalam proses pengelolaan hutan, terdapat kegiatan produksi yang berupa kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No. 143KPTSDJI74 tanggal 10 Oktober 1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati dikelompokkan ke dalam lima jenis tebangan, Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan RPKH Kelas Perusahaan Jati Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun, 2010: a. Tebangan A Tebangan A adalah tebangan habis hutan produktif dari kelas perusahaan tebang habis yang pada umumnya digunakan sebagai dasar dalam perhitungan etat tebangan. Kelas hutan yang termasuk ke dalam tebangan A adalah Kelas Hutan Miskin Riap yang akan dijadikan tanaman lagi. Tebangan A Tebang Habis Biasa dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Tebangan A1 adalah lapangan yang telah ditebang habis dalam jangka perusahaan yang lalu. 2. Tebangan A2 adalah penebangan habis biasa yang dilaksanakan di dalam jangka berjalan. 3. Tebangan A3 adalah penebangan pada lapangan-lapangan yang akan ditebang pada jangka perusahaan yang aka datang. b. Tebangan B Tebangan B adalah tebangan habis dari hutan yang produktif dari lapangan yang baik untuk tebang habis dan dari lapangan yang tidak baik untuk tebang habis. Tebangan B dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Tebangan B1 adalah penebangan habis pada lapangan yang tidak produktif tetapi disediakan untuk penghasilan kayu jati. Tebangan B1 meliputi tanah kosong TK, hutan jati rawang atau bertumbuhan kurang TJBK, HJBK, dan hutan jenis kayu lain HAKL,TKL. 2. Tebangan B2 adalah penebangan habis pada lapangan yang tidak baik untuk tebang habis lapangan TBPTH. 3. Tebangan B3 adalah tebang habis pada lapangan yang tidak baik untuk jati, meliputi tanah kosong, hutan jati kemati-matian, hutan jenis kayu lain. c. Tebangan C Tebangan C adalah penebangan habis pada lapangan-lapangan yang pada permulaan jangka perusahaan telah dihapuskan, juga dari lapangan- lapangan yang telah direncanakan pasti akan dihapuskan. Lapangan tebang ini tidak akan ditanami lagi. d. Tebangan D Tebangan D adalah tebangan yang disebabkan adanya kondisi force majeur. Tebangan D terdiri atas: 1. Tebangan D1 adalah penebangan pohon-pohon yang merana, condong dan rebah yang berada di hutan alam, baik yang terdapat pada lapangan yang tidak baik untuk tebang habis. Termasuk yang di atas adalah tebang penerang atau tebang rawat, yaitu pemotongan pohon – pohon yang masak tebang di hutan masak tebang atau sekunder tua untuk memperbaiki pohon-pohon yang muda. 2. Tebangan D2 adalah penebangan yang berasal dari lapangan-lapangan yang mengalami kerusakan karena bencana alam, angin, petir atau lapangan yang akan dibuat jalan. e. Tebangan E Tebangan E adalah penebangan yang berasal dari lapangan-lapangan yang dijarangkan. Tebangan E biasa disebut tebang penjarangan. Penjarangan bertujuan untuk memperlebar jarak tanam atau mengurangi jumlah pohon agar pertumbuhan dalam suatu area lebih merata sehingga mutu kayu yang dihasilkan meningkat. Pemeliharaan jati dilakukan dengan pelaksanaan kegiatan penjarangan. Penjarangan pertama dilakukan tergantung kepada baik atau kurang baiknya bonita, yaitu pada umur tiga tahun sampai umur lima tahun. Selanjutnya penjarangan dilakukan tiap-tiap tiga tahun sekali sampai jati berumur 15 tahun. Umur 15 tahun sampai 30 tahun penjarangan dilakukan lima tahun sekali, selanjutnya penjarangan dilakukan 10 tahun sekali Panitia Perancang Hutan Industri 1958 dalam Mayasari 2007.

2.6 Pengelolaan Hutan Jati

Dalam proses pertumbuhannya, suatu tegakan hutan semenjak ditanam sampai dengan akhir daur akan melewati beberapa tahap pemeliharaan hutan. Dalam rangkaian pengelolaan hutan, di samping kegiatan pembuatan tanaman dan pemanenan hasil hutan, kegiatan pemeliharaan hutan khususnya penjarangan memiliki peranan yang cukup penting bagi pertumbuhan jati, karena dapat menghasilkan kualitas kayu yang baik pada akhir daur dan memiliki massa kayu yang besar. Pengelolaan hutan termasuk hutan tanaman jati dan hutan tanaman jenis lainnya di seluruh Pulau Jawa kecuali wilayah DKI Jakarta dan DI Yogyakarta serta cagar alam, taman nasional, suaka margasatwa, dipercayakan pegelolaannya oleh pemerintah kepada badan usaha milik negara BUMN, yaitu Perhutani berdasarkan PP No. 36 tahun 1986 Direksi Perum Perhutani dalam Mayasari 2007. Dalam pengelolaan hutan tanaman jati, Perhutani melaksanakan permudaan buatan, walaupun permudaan alam pada tegakan jati mudah terjadi dan dapat membentuk tegakan murni setelah mengalami kebakaran serta mudah tumbuh tunas, tetapi permudaan alami ini jarang dilakukan, karena akan menghasilkan kayu yang memiliki kualitas rendah. Pengembangan tanaman jati terus dilaksanakan, karena nilai kayu yang secara ekonomis bernilai tinggi dan permintaannya dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Hutan jati di Indonesia sebagian besar tumbuh di Pulau Jawa, pengelolaannya telah lama dilakukan oleh Perum Perhutani yang mengelola hutan jati seluas 2,6 juta ha yang terdiri atas 54 kesatuan pemangkuan hutan KPH. Kawasan hutan Perum Perhutani terdiri atas hutan produksi seluas 1,9 juta ha dan hutan lindung seluas 700 ribu ha. Produksi hutan jati yang dikelola Perum Perhutani rata-rata 800 ribu m 3 per tahun. Sebagian besar produksi hutan jati 85 dijual dalam bentuk kayu bulat, sedangkan sisanya untuk kebutuhan bahan baku industri milik Perum Perhutani dan industri mitra kerjasama pengelolaan mitra mitra KSP Perhutani dengan swasta. Tabel 2 menyajikan data produksi kayu jati di Perum Perhutani pada tahun 2000. Perum Perhutani sebagai pemasok utama kayu jati di Indonesia hanya mengeluarkan kayu dalam bentuk kayu bulat untuk kebutuhan industri sebanyak 726.654 m 3 . Masih ada kekurangan pasokan karena kebutuhan bahan baku kayu jati untuk industri meubel untuk sekitar 1500 perusahaan pada tahun 2000 adalah 2 juta m 3 Asosiasi Meubel Indonesia 2001 dalam Siregar 2005. Data distribusi produksi kayu jati Perum Perhutani sampai tahun 2000 disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Distribusi produksi kayu jati Perum Perhutani sampai tahun 2000. No. Tahun produksi Pengguna Log Jati Industri swasta m³ Perhutani Industri Perhutani m 3 Mitra KSP m 3 Total m 3 1 1998 707.569 84.279 36.682 828.530 2 1999 567.716 79.883 46.219 639.818 3 2000 726.654 59.676 38.540 824.870 Sumber: Asosiasi Meubel Indonesia 2001 dalam Siregar 2005 Kerjasama Pengelola

BAB III METODE PENELITIAN