Penentuan Daur Finansial Kelas Perusahaan Jati di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan Surat Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perhutani, Perum Perhutani Jawa Tengah Nomor 023/045.1/Lit/ PLB tentang Penelitian dengan melibatkan mahasiswa tanggal 11 Januari 2011 untuk tujuan Penelitian Manajemen Hutan dengan Tema/Judul Penelitian Kajian daur finansial yang optimal tegakan jati.

Hutan jati adalah sejenis hutan yang didominasi oleh pohon jati. Di Indonesia, hutan jati banyak ditemukan di Jawa. Hutan jati merupakan hutan yang tertua pengelolaannya di Jawa dan juga di Indonesia, dan salah satu jenis hutan yang terbaik pengelolaannya. Kayu jati (Tectona grandis L. f.) merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan keindahannya. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap. Selain relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Kemewahan kayu jati ditunjukkan dengan garis lingkar tumbuh yang indah dan bernilai artistik tinggi. Nilai kayu yang tinggi didapatkan dari daur yang panjang yaitu antara 40-80 tahun, sehingga daya jual kayu jati di pasaran tergolong cukup tinggi dibanding dengan jenis kayu lainnya.

Manfaat jati yang besar seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, diduga memicu terjadinya perusakan hutan. Penjarahan hutan jati yang terjadi hampir merata di Pulau Jawa pada akhir-akhir ini sudah barang tentu akan menyebabkan turunnya potensi hutan jati. Oleh karena itu, pengusahaan jati memiliki peranan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan jati di masa akan datang dan mengelola hutan secara lestari sehingga dapat mencapai tingkat kemampuan menghasilkan keuntungan dari modal yang ditanam.

Salah satu perusahaan pengelola hutan di Jawa adalah Perum Perhutani. Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia yang memiliki tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan perencanaan, pengurusan, pengusahaan dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya. Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun merupakan salah satu unit usaha pada Perum


(2)

Perhutani unit II Jawa Timur dengan potensi sumberdaya hutan yang baik dan kelas umur yang lengkap. Sebagai unit kelestarian hasil dari Perum Perhutani, pengelolaannya dibedakan dalam bentuk kelas-kelas perusahaan hutan.

Pengelolaan hutan yang baik diperlukan perencanaan yang baik pula. Kegiatan perencanaan pengusahaan hutan tidak terlepas dari kegiatan penentuan panjangnya daur yang akan dipakai. Keuntungan tertinggi merupakan sasaran yang ingin dicapai oleh setiap pengelola hutan. Oleh karena itu, perlu ditetapkan daur finansial, yaitu pada umur berapa pengusahaan hutan jati dapat menghasilkan keuntungan terbesar.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menetapkan daur finansial yang optimal pada kelas perusahaan jati di KPH Madiun, Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi dan bahan masukan kepada pihak KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dalam pengambilan keputusan dan usaha pengelolaan hutan sesuai dengan daur finansial yang optimal.


(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Jati

2.1.1 Klasifikasi, penyebaran dan syarat tumbuh

Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. f. Secara historis, nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi . Menurut Sumarna (2001), dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenaceae Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis Linn. f.

Tectona grandis L. f. tersebar di seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Maluku dan Lampung. Pohon yang dapat mencapai tinggi 45 m dengan panjang batang bebas cabang 15 – 20 m, diameter dapat mencapai 220 cm, umumnya 50 cm, bentuk batang tidak teratur dan beralur. Kayu teras berwarna coklat muda, kelabu, sampai coklat-merah tua atau coklat-merah-coklat. Kayu gubal berwarna putih atau kelabu kekuning-kuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak merata. Arah serat lurus atau kadang-kadang agak terpadu. Permukaan kayu licin, kadang-kadang seperti berminyak. Lingkaran tumbuh nampak jelas, baik pada bidang transversal maupun radial, seringkali menimbulkan gambar yang indah. Kayu jati berbau bahan penyamak yang mudah hilang (Martawijaya et al. 1981)

Pohon jati menggugurkan daunnya pada saat musim kemarau. Semakin tinggi kadar kelembaban di atmosfir, maka semakin lama pohon jati dapat mempertahankan dedaunannya agar tidak berguguran. Di Jawa umumnya pengguguran daun jati terjadi di bulan Juni, selain karena cuaca juga tergantung pada keadaan setempat dan umur pohon jati itu sendiri (Cordes 1992)


(4)

Jati tumbuh baik pada tanah sarang, terutama pada tanah yang mengandung kapur. Jenis ini tumbuh di daerah dengan musim kering yang nyata, tipe curah hujan C-F, jumlah hujan rata-rata 1202000 mm per tahun, pada ketinggian 0-700 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 1981). Tempat tumbuh yang paling bagus bagi pohon jati adalah di dataran rendah, bersuhu tinggi, di bawah 2000 kaki dml; di daerah-daerah yang tanahnya bekas endapan di bawah muka laut, yang mengandung kapur; di daerah-daerah dengan perbedaan musim (hujan dan kering) yang jelas (Pramoedibyo 1999). Pohon jati yang tumbuh dengan baik dapat dilihat dari jumlah lingkaran tahunnya, yaitu sebanyak 30 sampai 40 lingkaran tahunan dengan ketebalan satu desimeter (Cordes 1992)

2.1.2 Sifat Fisik dan Kegunaan

Ditinjau dari sifat fisiknya, kayu jari mempunyai berat jenis antara 0,62-0,75 dan memiliki kelas kuat II dengan penyusutan hingga kering tanur 2,85%-5,2% (Sumarna 2001). Sifat fisis kayu jati ditentukan oleh bentuk anatominya maupun susunan kimia dari kayunya. Misalnya: mengenai berat jenisnya atau kepadatannya, kekerasannya, daya lenting/pir, kelenturan dan kestabilannya (Cordes 1992)

Karena sifatnya yang baik, kayu jati merupakan jenis kayu yang paling banyak dipakai untuk berbagai keperluan, terutama di Pulau Jawa. Kayu jati praktis sangat cocok untuk segala jenis kontruksi seperti tiang, balok dan gelagar pada bangunan rumah dan jembatan, rangka atap, kosen pintu dan jendela, tiang dan papan bendungan dalam air tawar, bantalan dan kayu perkakas kereta api, mebel, alat-alat yang memerlukan perubahan bentuk yang kecil, kulit dan dek kapal, lantai (papan dan parket) dan sirap. Jati merupakan kayu yang paling baik untuk pembuatan kapal dan biasa untuk papan kapal, terutama untuk kapal yang berlayar di daerah tropis. Kayu jati dapat juga dipakai untuk tong, pipa dan lain-lain dalam industri kimia dan mempunyai daya tahan terhadap berbagai bahan kimia. Selain itu, kayu jati dapat dipakai sebagai obat kolera dan kejang usus (Martawijaya et al. 1981)


(5)

2.2 Penaksiran Produksi Kayu

Inventarisasi hutan biasanya dianggap sinonim dengan taksiran kayu. Di dalam artian ini inventarisasi hutan adalah suatu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan serta berbagai karakteristik areal tanah tempat tumbuhnya (Husch 1987)

Kegiatan inventarisasi bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang potensi dan keadaan hutan. Untuk keperluan tersebut di Perum Perhutani kegiatan inventarisasi hutan dilaksanakan dengan cara pengambilan contoh sistematik dengan mempergunakan petak ukur lingkaran sebagai satuan contoh. Kesalahan yang disyaratkan adalah maksimal 15%, yaitu penyimpangan dua kali simpangan baku, tidak lebih dari 15% dari volume rata-rata. Berdasarkan ketentuan ini maka intensitas sampling sekurang-kurangnya 2,5% dan tergantung dari biaya, tenaga dan fasilitas yang tersedia (Direktorat Jenderal Kehutanan 1974)

Penaksiran volume suatu tegakan lebih dapat dilakukan dari pengukuran-pengukuran yang dipandang mewakili seluruh tegakan daripada peninjauan volume individu pohon-pohon. Tujuannya adalah untuk membuat suatu penaksiran tegakan secara cepat tanpa mengukur semua pohon atau menentukan volume-volumenya. Volume-volume yang diperoleh dalam cara ini bermanfaat jika diperlukan penaksiran volume seluruhnya, tanpa dibagi data spesies, ukuran, atau kelas-kelas kualitas (Husch 1987)

Departemen Kehutanan (1992) menjelaskan bahwa inventarisasi hutan dengan sampling, khususnya untuk mengetahui potensi tegakan, dua informasi penting yang diperlukan adalah luas rata-rata dan volume kayu per hektar. Masalah yang muncul adalah apa atau bagaimana bentuk sampel yang akan diukur serta beberapa jumlah pohon yang akan diambil sebagai sampel tersebut, dan bagaimana memilihnya di lapangan. Dari sini lalu muncul apa yang disebut “petak ukur” dan cara menempatkannya. Untuk hutan alam klimaks atau hutan tanaman yang sudah tua, biasanya diambil luas petak ukur lingkaran 0,1 ha, yaitu dengan jari-jari 17,8 m. Untuk menghindari kesulitan penepatan sampel secara acak (random), di kehutanan biasanya dipakai penepatan sampel sistematik, yaitu penepatan sampel yang dilakukan menurut aturan dengan keajegan tertentu, yang


(6)

ditetapkan sebelumnya. Dari segi statistik, penepatan sampel secara sistematik ini tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, rumus-rumus yang dipakai dalam sampling sistematik ini diambil dari rumus penepatan sampel secara acak. Untuk inventarisasi hutan, penepatan sampel secara sistematik mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan penepatan secara random, sebagai berikut:

1. Pelaksanaannya lebih cepat dan lebih mudah

2. Letak sampel dijamin lebih tersebar merata diseluruh bagian populasi

3. Dapat memberi manfaat lain, misalnya untuk pemetaan atau stratifikasi potensi tegakan.

2.3 Daur

Daur adalah periode waktu yang diperlukan untuk pembentukan dan pertumbuhan tegakan hutan sampai masak tebang dalam kondisi tertentu (Davis 1966). Menurut Simon (1993), daur atau rotasi adalah suatu periode dalam tahun yang diperlukan untuk menanam dan memelihara suatu jenis pohon sampai mencapai umur yang dianggap masak untuk keperluan tertentu.

Istilah daur mempunyai makna suatu jangka waktu antara waktu penanaman hutan sampai hutan tersebut dianggap masuk untuk dipanen. Konsep daur dipakai untuk pengelolaan hutan seumur. Untuk hutan tak seumur, istilah yang mempunyai arti sama adalah siklus tebang (cutting cycle).

Lahirnya istilah daur berkaitan erat dengan adanya konsep hutan normal. Secara ideal, hutan normal akan terdiri atas kelompok tegakan dari semua umur yang mempunyai potensi sama, mulai dari umur 1 tahun sampai akhir daur. Oleh karena itu, menentukan panjang daur merupakan salah satu faktor kunci dalam pengelolaan hutan seumur. Sesuai dengan definisinya, masalah penentuan panjang daur sangat berkaitan erat dengan cara menentukan waktu yang diperlukan oleh suatu jenis tegakan untuk mencapai kondisi masak tebang, atau siap dipanen. Lamanya waktu tersebut bergantung pada sifat pertumbuhan jenis yang diusahakan, tujuan pengelolaan, dan pertimbangan ekonomi. Dari sinilah lahir beberapa macam atau cara dalam menentukan panjang daur (Departemen Kehutanan 1992)


(7)

Menurut Osmaston (1968), faktor-faktor yang mempengaruhi lamanya daur adalah sebagai berikut:

1. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan, yang tergantung pada jenis pohon, lokasi tempat tumbuh serta intensitas penjarangan.

2. Karakteristik jenis, dimana harus diperhatikan umur maksimal secara alami, umur menghasilkan benih, umur kecepatan tumbuh terbaik dan umur kualitas kayu terbaik.

3. Pertimbangan ekonomi, dimana harus memperhatikan ukuran yang dapat diperoleh.

4. Respon tanah terhadap penggunaan pembukaan lahan yang berulang-ulang, hal ini erat hubungannya dengan batuan induk dan pelapukan tanah.

Departemen Kehutanan (1992) menyatakan bahwa ada lima macam daur, sebagai berikut:

1. Daur fisik

Yaitu jangka waktu yang berhimpitan dengan periode hidup suatu jenis untuk kondisi tempat tumbuh tertentu, sampai jenis tersebut mati secara alami. Kadang-kadang juga didefinisikan sama dengan umur, sampai pohon tersebut masih mampu menghasilkan biji yang baik untuk melakukan permudaan. Jadi, daur ini tidak mempunyai hubungan yang erat dengan nilai ekonomi suatu hutan.

2. Daur silvikultur

Yaitu jangka waktu selama hutan masih menunjukkan pertumbuhan yang baik, dan dapat menjamin permudaan sesuatu, dengan kondisi yang sesuai dengan tempat tumbuhnya. Daur silvikultur sangat dekat atau hampir mirip dengan daur fisik. Daur silvikultur pada umumnya sangat panjang dan mempunyai batas yang amat lebar.

3. Daur tehnik

Yaitu jangka waktu perkembangan sampai suatu jenis dapat menghasilkan kayu atau hasil hutan lainnya, untuk keperluan tertentu. Untuk suatu jenis, daur fisik atau panjang bergantung pada tujuan pengelolaannya. Misalnya, daur untuk kayu bakar dan pulp pada umumnya pendek, tetapi daur untuk kayu pertukangan, sering kali amat panjang.


(8)

4. Daur volume maksimum

Yaitu jangka waktu perkembangan suatu tegakan yang memberikan hasil kayu tahunan terbesar, baik dari hasil penjarangan maupun tebangan akhir. Daur ini merupakan perkembangan yang terpenting dan paling banyak dipakai di lapangan, baik secara langsung atau tidak langsung. Panjang daur volume maksimum ini berhimpitan dengan umur tegakan pada waktu riap rata-rata tahunan (MAI, mean annual increment) mencapai maksimum.

5. Daur pendapatan maksimum

Daur ini juga dikenal sabagai daur “bunga hutan” maksimum (the highest forest rental), yaitu daur yang menghasilkan rata-rata pendapatan bersih maksimum. Disini, pendapatan bersih dihitung dari hasil penjarangan dan hasil akhir, setelah dikurangi dengan seluruh biaya. Daur ini pada umumnya hampir sama panjang dengan daur volume maksimum. Rata-rata pendapatan tahunan bersih diperoleh dari total pendapatan bersih dibagi dengan panjang daur. 6. Daur finansial

Yaitu daur yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan maksimum dalam nilai uang. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari nilai harapan lahan (land expectation value) dan dari hasil finansial.

2.4 Nilai Harapan Lahan

Nilai harapan lahan adalah nilai yang didasarkan pada pendapatan bersih yang dapat diperoleh dari suatu lahan, dihitung pada tingkat bunga tertentu. Di kehutanan, pendapatan tidak diperoleh pada setiap tahun, melainkan secara periodik pada tahun-tahun tertentu. Oleh karena itu, pendapatan untuk waktu yang akan datang perlu didiskonto pada tahun perhitungan.

Penentuan daur finansial optimal dalam kajian ini didekati dengan nilai finansial berdasarkan pendekatan Nilai Harapan Lahan. Pendekatan ini dikemukakan oleh Davis (1966). Rumus yang digunakan, sebagai berikut:


(9)

Keterangan : Se = Nilai Harapan Lahan (Rupiah/hektar)

a = Hasil bersih panen/penebangan akhir daur (Rupiah) w = Daur (Tahun)

i = Biaya atas modal (Persen)

Menurut Davis (1966), nilai harapan lahan baru sebatas nilai lahan kosong. Oleh karena itu, nilai lahan dengan tegakan yang tumbuh di atasnya dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan: PNW = Present Net Worth/Nilai keuntungan bersih saat ini NR = Nilai pendapatan bersih tegakan (yang dipanen nanti) SEV = Nilai harapan lahan/Nilai lahan kosong

Menurut Chapman dan Meyer (1947), faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tegakan, sebagai berikut:

1. Jenis pohon, kualitas, ukuran dan kerapatan tegakan. 2. Kemudahan untuk dicapai (aksesibilitas).

3. Persaingan permintaan akan kayu dengan jumlah penjualan kayu dan jumlah jenis kayu lain yang tersedia.

4. Permintaan pasar.

5. Bentuk dari penjualan kayu. 6. Jangka waktu penjualan.

Menurut Haeruman (1977), masalah yang timbul sewaktu mengadakan penilaian stumpage, sebagai berikut:

1. Pengaruh ketidaktelitian dalam penentuan harga jual dan ongkos produksi. 2. Pengaruh perhitungan volume terhadap biaya per unit yang diturunkan dari

biaya-biaya tetap.

3. Penerapan keadaan pasar atau tawar-menawar, karena keadaan keyataan pasar adalah validitas terakhir.

Menurut Davis (1966), terdapat tiga dasar untuk melakukan penilaian tegakan, sebagai berikut:

1. Nilai biaya, yang didasarkan kepada biaya historis, pemindahan tempat dan pemulihan.


(10)

2. Nilai pendapatan, yang diestimasi sebagai nilai sekarang dari keseluruhan pendapatan di masa yang akan datang atau penghasilan lain yang diharapkan dari suatu pemulihan.

3. Nilai pasar, harga pasar adalah sebagai pedoman untuk penilaian hutan yang merupakan perbandingan yang sangat penting.

2.5 Biaya

Menurut Lembaga Penelitian Ekonomi Kehutanan (1964), biaya didefinisikan sebagai semua pengorbanan tenaga dan material selama satu periode dalam suatu perusahaan. Biaya dibagi dalam dua bagian yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap tidak tergantung pada tingkat kegiatan perusahaan, artinya biaya tersebut tidak dipengaruhi oleh naik atau turunnya kegiatan perusahaan sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah sesuai dengan naik turunnya kegiatan perusahaan (Slot dan Minnaar 1995)

Beberapa faktor yang mempengaruhi atau menentukan biaya menurut Elias (1987), adalah sebagai berikut:

1. Besarnya kapasitas produksi dari bermacam-macam alat produksi yang digunakan untuk memproduksi barang.

2. Nilai produksi barang

3. Lamanya pemakaian kekayaan yang diperlukan untuk memproduksi barang tersebut.

4. Harga dari kekayaan tersebut.

2.6 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk meneliti kembali suatu analisis kelayakan proyek, agar dapat melihat pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah atau ada suatu kesalahan dalam dasar perhitungan biaya-manfaat. Analisis kepekaan (sensitivitas) adalah suatu teknik analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Hal ini dibutuhkan dalam analisis proyek, biasanya didasarkan pada proyek yang mengandung banyak ketidakpastian dan perubahan yang akan terjadi di masa


(11)

yang akan datang, proyek dapat berubah-ubah sebagai akibat empat permasalahan utama, sebagai berikut:

1. Perubahan harga jual produk 2. Keterlambatan pelaksanaan proyek 3. Kenaikan biaya

4. Perubahan volume produksi

Jadi, analisis kepekaan dilakukan untuk melihat sampai seberapa persen penurunan akan peningkatan faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak layak dilaksanakan (Gittinger 1986).


(12)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 dan bertempat di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: Peta hutan Jati KPH Madiun, Buku RPKH Kelas Perusahaan Jati KPH Madiun, Laporan Keuangan Tahunan KPH Madiun tahun 2010, Buku Tarif Upah KPH Madiun tahun 2010, Laporan Definitif KPH Madiun tahun 2010, Tabel Tarif Lokal Kayu Hasil Tebangan Akhir KPH Madiun, Tabel Tegakan Wolff Von Wulfing, dan Daftar Harga Jual Dasar Kayu Jati Perum Perhutani.

Sedangkan alat yang digunakan antara lain : pita ukur untuk mengukur keliling pohon, kompas untuk menentukan arah, tali tambang untuk pembuatan petak ukur, parang untuk membersihkan tumbuhan bawah, cat, kuas dan tinta bak untuk penendaan pohon, alat - alat bantu lainnya seperti perangkat keras PC (Personal Computer), alat tulis, tally sheet, kamera digital, dan alat hitung berupa kalkulator.

3.3 Cara Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh ini dimaksudkan untuk keperluan penaksiran volume kayu yang dihasilkan oleh tegakan. Prosedur pengambilan contoh adalah sebagai berikut :

1. Menentukan petak-petak contoh pada kelas hutan produktif yang ditentukan dari KU yang memiliki bonita yang telah ditetapkan yaitu bonita 3 atau 3,5. Berdasarkan pertimbangan bonita rata-rata tersebut, didapatkan unit contoh sebanyak 20 petak dengan 74 petak ukur yang tersebar di Bagian Hutan Caruban dan Ponorogo Timur masing-masing sebanyak 10 petak.

2. Metode yang digunakan untuk pengambilan contoh adalah menggunakan metode Sistematik Sampling with Random Start dengan Intensitas Sampling


(13)

(IS), luas petak ukur dan jarak antar petak ukur sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi Hutan Tanaman Jati yang dikeluarkan oleh Dirjen Kehutanan Tahun 1974 seperti pada tabel berikut :

Tabel 1 Hubungan kelas hutan dan intensitas sampling inventarisasi hutan jati

Kelas Hutan Intensitas Sampling (%) Luas PU (ha) Jarak antar PU

KU I – KU II 0,5 0,02 200 m

KU III – KU IV 1 0,04 200 m

KU V up 2,5 0,10 200 m

MR dan MT 2,5 0,10 200 m

Sumber: Direktorat Jenderal Kehutanan

Systematic sampling with random start merupakan kegiatan inventarisasi yang sering diasumsikan bahwa populasi yang diduga merupakan populasi acak. Unit contoh yang digunakan dalam kajian ini adalah pohon berdiri jati yang dipilih secara acak dan tersebar menurut bonita dan kelas umurnya.

3. Melakukan pengukuran variabel tegakan dalam petak ukur. Variabel yang diukur adalah keliling pohon dan jumlah (N) pohon. Pohon yang dipilih merupakan pohon berdiri dengan keliling lebih dari 20 cm. Keliling pohon diukur setinggi dada manusia normal sekitar 1,3 m, dilakukan menggunakan pita ukur. Sedangkan untuk pohon berbanir diukur 20 cm diatas banir. Jumlah (N) pohon ditentukan dari pohon yang mempunyai diameter >20 cm.

4. Data pohon contoh yang digunakan sebanyak 983 pohon sesuai dengan Kelas Umur masing-masing dari dua Bagian Hutan yang masih termasuk ke dalam wilayah KPH Madiun, yaitu: Bagian Hutan Caruban dan Ponorogo Timur. Bagian Hutan Caruban diambil contoh sebanyak 45 petak ukur yang tersebar di BKPH Ngadirejo dan BKPH Dungus. Sedangkan 29 petak ukur lainnya tersebar di Bagian Hutan Ponorogo Timur, yaitu: di BKPH Pulung dan BKPH Bondrang. Semua petak ukur yang dijadikan contoh di lapangan dianggap dapat mewakili keseluruhan bagian hutan jati yang terdapat di KPH Madiun. Dari 74 petak ukur tersebut, hanya 71 petak ukur yang datanya dapat diambil untuk penaksiran produksi kayu. Hal ini dikarenakan ada tiga petak ukur yang tidak dapat diambil datanya karena ketiga petak ukur tersebut merupakan trubusan. Sedangkan untuk menentukan penaksiran produksi kayu dibutuhkan


(14)

data keliling pohon dari hutan yang mempunyai status sebagai kelas umur dan bukan trubusan. Dua petak ukur yang merupakan trubusan berada di RPH Ngadirejo dan satu berada di RPH Centong.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Penaksiran Produksi Kayu

Kayu yang dihasilkan dari setiap daur adalah kayu hasil dari penjarangan dan kayu hasil penebangan akhir. Besarnya volume kayu ditentukan dengan menggunakan tabel volume lokal kayu hasil tebangan akhir. Sedangkan volume untuk seluruh tegakan dalam umur dihitung, sebagai berikut:

� =��� �

Keterangan: Vj = Volume tegakan kelas umur ke-j (m3) Lj = Luas tegakan kelas umur ke-j (ha)

Vj = Volume per ha tegakan kelas umur ke-j (m3/ha)

3.4.2 Identifikasi Biaya

Identifikasi biaya ditujukan untuk menentukan biaya total perusahaan. Pembiayaan pengusahaan hutan terdiri dari biaya pembangunan dan biaya administrasi. Biaya tersebut perlu disetarakan, yaitu dengan cara mendiskon biaya tersebut ke tahun nol.

3.4.3 Perhitungan Nilai Pendapatan Pengusahaan Hutan

Pendapatan pengusahaan hutan dihitung dengan cara mengalikan pendapatan fisik (kayu) dengan nilai tegakan pada akhir daur ditambah dengan pendapatan yang diperoleh dari hasil penjarangan. Seperti halnya biaya, pendapatan ini juga diperhitungkan pada tahun ke-0. Penaksiran output fisik (kayu tebangan) pada akhir daur digunakan alat bantu yaitu Tarif Volume Lokal Kayu Hasil Tebangan Akhir KPH Madiun. Sedangkan penaksiran harga kayu didapatkan dari Daftar Harga Jual Dasar Kayu Jati Perum Perhutani.


(15)

Data potensi Data pendapatan Data biaya

Menaksir Volume Jati

Hasil penjualan kayu (volume x harga kayu)

Biaya Pembangunan, Biaya Administrasi

Nilai Harapan Lahan

Present Net Worth

Nilai terbesar

Daur finansial

3.4.4 Penentuan Daur Finansial

Penentuan daur finansial optimal dalam kajian ini didekati dengan nilai finansial berdasarkan pendekatan Nilai Harapan Lahan. Pendekatan ini dikemukakan oleh Davis (1966). Rumus yang digunakan, sebagai berikut:

�� = a

(1 +�)� + 1

Keterangan : Se = Nilai Harapan Lahan (Rupiah/hektar)

a = Hasil bersih panen/penebangan akhir daur (Rupiah) w = Daur (Tahun)

i = Biaya atas modal (Persen)

Menurut Davis (1966), nilai harapan lahan baru sebatas nilai lahan kosong. Oleh karena itu, nilai lahan dengan tegakan yang tumbuh di atasnya dapat dihitung dengan rumus:

�� = NR + SEV

(1 +�)�−�

Keterangan: PNW = Present Net Worth/Nilai keuntungan bersih saat ini NR = Nilai pendapatan bersih tegakan (yang dipanen nanti) SEV = Nilai harapan lahan/Nilai lahan kosong


(16)

3.5 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Simulasi yang digunakan pada analisis sensitivitas ini, sebagai berikut:

1. Apabila terjadi peningkatan biaya sebesar 5%, 10% dan 15% 2. Apabila terjadi penurunan pendapatan sebesar 5%, 10% dan 15%

3.6 Asumsi-Asumsi

Dalam suatu analisis finansial diperlukan beberapa asumsi dasar, dengan melihat kondisi yang ada sekarang dan kecenderungan yang mungkin terjadi di masa mendatang. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi berbagai kendala dan kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang. Asumsi-asumsi dasar tersebut, sebagai berikut:

1. Semua kayu yang dihitung berasal dari hutan produktif.

2. Pendugaan potensi menggunakan bonita rata-rata yaitu 3 atau 3,5.

3. Kayu hasil penjarangan dan produksi daur dapat diserap pasar dan terjual habis.

4. Daur alternatif yang dikaji adalah 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55 dan 60 tahun.

5. Suku bunga yang digunakan dalam kajian ini didasarkan pada suku bunga rata-rata Bank Indonesia tahun 2011 (6,5%) serta suku bunga pembanding yaitu: 5%, 10% dan 12%.

6. Analisis hasil perhitungan didasarkan pada penerimaan sebelum pajak. 7. Pembiayaan dan penerimaan didasarkan pada tarif upah yang berlaku.

8. Semua komponen biaya selama periode perhitungan adalah konstan dan didasarkan pada biaya pada tahun 2010.

9. Harga jual kayu yang dipakai adalah harga jual rata-rata tiap sortimen AI, AII dan AIII.


(17)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Letak Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun secara administratif berada di daerah tingkat II dalam tiga wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Madiun (16.075,4 ha), Kabupaten Ponorogo (12.511,2 ha) dan Kabupaten Magetan (1.642,6 ha). Dari ketiga kabupaten tersebut, wilayah hutan KPH Madiun terbagi ke dalam beberapa distrik yaitu Madiun, Caruban dan Kanigoro yang berada dalam wilayah Kabupaten Madiun; Ponorogo, Arjowinangum dan Sumoroto dalam wilayah Ponorogo; serta Gorang-gareng dan Magetan berada dalam wilayah Kabupaten Magetan.

Secara geografis KPH Madiun terletak diantara garis lintang selatan 70 30” - 7050” dan 40 30” - 40 50” BT dengan baris batas sebelah Utara adalah KPH Saradan, sebelah Timur adalah KPH Saradan dan Lawu Ds, sebelah selatan adalah KPH Lawu Ds, sebelah Barat KPH Lawu Ds dan Ngawi.

Luas Kawasan Hutan KPH Madiun adalah 31.221,62 ha dengan Kelas Perusahaan Jati 29.063 ha dan Kelas Perusahaan Kayu Putih 3.137,7 ha yang dibagi menjadi empat bagian hutan, termasuk didalamnya alur dan sungai. Empat bagian hutan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagian Hutan Caruban yang terletak di Kabupaten Madiun dengan luas 11.955,72 ha

2. Bagian Hutan Pagotan di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ponorogo dengan luas 4.076 ha

3. Bagian Hutan Ponorogo Timur terletak di Kabupaten Ponorogo dengan luas 5.193,7 ha untuk kelas perusahaan jati dan Bagian Hutan Ponorogo Timur/Sukun untuk kelas perusahaan kayu putih terletak di Kabupaten Ponorogo dengan luas 3.736,1 ha.

4. Bagian Hutan Ponorogo Barat yang terletak di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Magetan dengan luas 6.260,3 ha

Keempat bagian hutan kelas perusahaan jati tersebut terbagi lagi menjadi 11 BKPH dan 34 RPH.


(18)

Secara struktural, KPH Madiun terbagi menjadi dua SKPH, yaitu SKPH Madiun Utara dan SKPH Madiun Selatan, masing-masing dibagi menjadi beberapa BKPH dengan pembagian sebagai berikut:

1. SKPH Madiun Utara, membawahi enam BKPH: a. BKPH Brumbun : 1.756,2 ha

b. BKPH Caruban : 3.316,8 ha c. BKPH Dagangan : 2.240,4 ha d. BKPH Dungus : 3.456,9 ha e. BKPH Mojorayung : 2.833,5 ha f. BKPH Ngadirejo : 2.238,5 ha

2. SKPH Madiun Selatan, membawahi lima BKPH: a. BPKH Bondrang : 2.925,5 ha

b. BKPH Pulung : 2.207,4 ha c. BKPH Sampung : 3.613,5 ha d. BKPH Sukun : 3.701,1 ha e. BKPH Somoroto : 2.538,6 ha

4.2 Topografi, Daerah Aliran Sungai, Tanah, dan Iklim

Wilayah kawasan hutan KPH Madiun mempunyai kemiringan lereng, landai, bergelombang, sampai dengan bergunung-gunung. Sungai yang ada yaitu anak sungai madiun yang membentang dari arah selatan ke utara. Wilayah kawasan hutan KPH Madiun termasuk DAS Solo Hulu dan merupakan salah satu penyangga kestabilan serta keseimbangan ekosistem pada Sub DAS Solo Hulu. gambaran secara lebih terinci kondisi setiap bagian hutan adalah sebagai berikut : 1. Bagian Hutan Caruban

Keadaan lapangan rata-rata bergelombang sebelah tenggara curam, secara keseluruhan miring kearah barat laut (daerah Kecamatan Balerejo).

2. Bagian Hutan Pagotan

Keadaan lapangan rata, bergelombang, lapangan pada umumnya miring ke barat.


(19)

3. Bagian Hutan Ponorogo Barat

Sebelah utara Kali Galah lapangan bergelombang miring ke tenggara, sungai di areal mi ke arah tenggara mengalir ke kali Galali menuju ke Madiun, sedangkan sebelah selatan Kali Galah bergunung-gunung sampai dengan curam dengan aliran sungai ke arah timur merupakan hulu Kali Madiun.

4. Bagian Hutan Ponorogo Timur

Keadaan lapangan bergunung sampai dengan curam. dengan gunung-gunung antara lain; Gunung Rayang Kaki dan Gunung Tumpak Pring. Pada lereng sebelah utara dan barat laut miring ke utara//barat sehingga aliran sungai di daerah ini menuju ke arah barat, di bagian barat aliran sungai menuju ke arah barat, sedangkan di bagian barat laut bertemu dengan Kali Madiun.

Wilayah kawasan KPH Madiun termasuk DAS Solo Hulu dan merupakan salah satu penyangga kestabilan serta keseimbangan ekosistem pada sub DAS Solo Hulu. Sungai yang ada di Wilayah KPH Madiun yaitu sungai Catur yang melintasi Bagian Hutan Caruban dan Bagian Hutan Pagotan yang bermuara di Kali Madiun terus ke Bengawan Solo.

Sebagian besar jenis tanah di kawasan hutan KPH Madiun untuk SKPH Madiun Utara terdiri dari Mediteran Cokelat Kemerahan dan Litosol Coklat Kemerahan, sedangkan di wilayah KPH Madiun Selatan terdiri dari jenis Aluvial Kelabu Tua, Glei humus dan Mediteran Coklat Kemerahan.

Wilayah hutan KPH Madiun terletak pada suatu daerah dengan musim hujan dan musim kemarau yang jelas. Berdasarkan perbandingan bulan basah dan bulan kering selama empat tahun yaitu tahun 1996-1999 maka menurut klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson (1951), KPH Madiun termasuk ke dalam tipe curah hujan C dimana mempunyai nilai Q = 57% (33,3% - 60%) dengan rata-rata bulan basah adalah 7 bulan dan rata-rata bulan kering 4 bulan selama setahun. Tipe iklim C di KPH Madiun cocok untuk tempat tumbuh jati.

Berdasarkan peta hutan RPKH KPH Madiun jangka 2001-2010, tipe ilkim C untuk sebagian wilayah Bagian Hutan Ponorogo Timur dan Pagotan dan tipe iklim D untuk Bagian Hutan Caruban, sebagian besar Pagotan, Ponorogo Barat dan sebagian Ponorogo Timur.


(20)

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi

1. Pengembangan Desa Hutan

Tingkat kemampuan suatu desa dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan sosial ekonomi, dinyatakan pengembangan desanya dengan status swakarya, swadaya dan swasembada. Desa-desa dilingkungan kawasan hutan KPH Madiun pada urnumnya mempunyai kategori Desa Swasembada. 2. Kependudukan

Jumlah penduduk dalarn kecamatan yang masuk dalam wilayah kerja KPH Madiun adalah 804.789 org, terdiri dari 393.121 laki-laki dan 411.667 perempuan.

3. Mata Pencaharian

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa mata pencaharian masyarakat sekitar bervariasi yaitu petani, pedagang, buruh, pegawai negeri/ABRI, dan lain-lain, seperti yang terlihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2 Mata pencaharian penduduk di kecamatan sekitar hutan tahun 1998 di wilayah KPH Madiun

Mata pencaharian

Kabupaten

Jumlah (orang) Madiun

(orang)

Magetan (orang)

Ponorogo (orang)

Petani 324.041 219.333 108.463 651.463

Pedagang 47.809 93.491 5.912 1.928

Pensiunan 534 45 1.349 1.928

Buruh 37.185 81.779 85.147 204.111

Peg/TNI 58.443 63.772 8.884 131.099

Lain-lain 10.624 52.009 49.043 111.676

Jumlah 478.636 510.429 258.424 1.247.489


(21)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penaksiran Produksi Kayu

Penaksiran produksi kayu jati dilakukan pada Kelas Umur II sampai VI tegakan jati yang terdapat di Bagian Hutan Caruban dan Ponorogo Timur. Teknik inventarisasi hutan yang digunakan dalam pengambilan data keliling pohon di lapang adalah systematic random sampling, dimana unit contoh dilakukan klasifikasi berdasarkan Kelas Umur, selanjutnya dipilih secara acak (random) dari populasinya.

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi Hutan Tanaman Jati oleh Direktorat Jenderal Kehutanan (1974), maka diperoleh unit contoh sebanyak 20 petak dengan 74 petak ukur yang tersebar di Bagian Hutan Caruban dan Ponorogo Timur. Data pohon contoh yang digunakan sebanyak 983 pohon sesuai dengan Kelas Umur masing-masing. Dari 74 petak ukur, maka data diambil 71 petak ukur karena 3 petak ukur lagi berupa trubusan. Data hasil pemilihan petak contoh di KPH Madiun menurut umur perlakuannya dapat dilihat di Tabel 3.

Pada Tabel 3 terlihat bahwa ada 3 petak ukur berupa trubusan, yaitu petak 118c ada 2 petak ukur trubusan di Bagian Hutan Caruban dan petak 107a ada 1 petak ukur trubusan di Bagian Hutan Ponorogo Timur. Berdasarkan pengamatan di lapangan, di beberapa lokasi ada Tanaman Jati Bertumbuhan Kurang (TJBK) yang tercatat dalam registrasi tahun 2009 merupakan petak Kelas Umur. Tanaman Jati Bertumbuhan Kurang (TJBK) tersebut dikarenakan adanya pencurian kayu dan bencana alam yang banyak terjadi di KPH Madiun. Banyak pohon yang rusak karena angin.


(22)

Tabel 3 Rekapitulasi pemilihan petak contoh KPH Madiun Umur

Perlakuan Petak

Luas (ha) KU

Tahun Tanam PU

Realisasi

PU Keterangan

15 118C 5,6 II 1995 4 2 2 PU Trubusan

15 108B 6,9 II 1995 2 2

20 242B 8,5 II 1990 3 3

20 60K 7,1 II 1991 2 2

25 124A 11,7 III 1986 2 2

25 60D 15,7 III 1986 4 4

30 236C 27,3 III 1980 9 9

30 90A 11,4 III 1980 3 3

35 226A 24,2 IV 1975 8 8

35 79B 3,2 IV 1976 1 1

40 230A 2,9 IV 1974 1 1

40 73B 19,8 IV 1970 5 5

45 221B 2,4 V 1964 1 1

45 94D 3 V 1968 1 1

50 160A 27,8 V 1960 7 7

50 107A 19 V 1959 5 4 1 PU Trubusan

55 126C 17,3 Vup 1956 5 5

55 114D 8,9 Vup 1955 3 3

60 239A 19,7 Vup 1951 5 5

60 71C 9,3 Vup 1951 3 3

Sumber: KPH Madiun

Hutan produktif kelas perusahaan jati yang ada di KPH Madiun didominasi oleh Kelas Umur (KU) muda. Dari luas total hutan produktif untuk jati seluas 15.502,4 ha, lebih dari setengahnya yakni 56,7% didominasi oleh KU I dengan luas 6.584,2 ha. Komposisi tegakan jati yang tidak normal ini didominasi oleh tegakan muda. Jika KU besar dipanen terus-menerus, maka lama kelamaan akan habis jika tidak dilakukan penanaman. Luas produktif kayu jati (Tectona grandis L. f.) di KPH Madiun yang dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan Struktur kelas hutan jati (Tectona grandis L. f.) KPH Madiun tahun 2011 disajikan pada Lampiran 1.


(23)

Tabel 4 Luas produktif kayu jati di KPH Madiun

No Kelas Hutan

BH. Caruban

BH. Pagotan

BH. Po. Timur

BH. Po. Barat

KPH. Madiun (ha)

1 KUI 2.351,5 897,5 1.212,9 2.122,3 6.584,2

2 KUII 1.489,3 424,2 601,8 623,4 3.138,7

3 KUIII 512,9 667,6 300,1 195,9 1.676,5

4 KUIV 679,6 344,7 177,5 657,8 1.859,6

5 KUV 77,3 82,6 44,0 - 203,9

6 KUVI 363,3 198,1 332,0 66,2 959,6

7 KUVII 350,3 175,9 - 89,5 615,7

8 KUVIII 95,1 45,3 27,2 - 167,6

9 KU IX - - - 2,5 2,5

10 KU X - - - - -

11 MR 168,1 34,5 82,7 8,9 294,2

Jumlah 6.087,4 2.870,4 2.778,1 3.766,5 15.502,4

Sumber: KPH Madiun

Penaksiran volume dilakukan pada KU II sampai KU VI dengan umur perlakuan adalah 15 tahun sampai 60 tahun yang mewakili seluruh kawasan hutan jati (Tectona grandis L. f.) KPH Madiun. Pada pengambilan contoh di lapangan, dilakukan pengukuran data keliling dan data jumlah pohon. Data keliling akan digunakan untuk menaksir volume rata-rata tiap pohon. Volume rata-rata tiap pohon tersebut ditaksir dari tabel volume lokal tebang habis untuk kelas perusahaan jati KPH Madiun tahun 2000.

Data jumlah pohon tiap kelas umur digunakan untuk menghitung jumlah pohon per hektar dengan cara membagi data rata-rata jumlah pohon tiap kelas umur dengan luas petak ukur. Dari hasil perkalian antara volume rata-rata tiap pohon yang diperoleh dari tabel volume lokal dengan jumlah pohon per hektar maka diperoleh volume pohon per hektar. Volume pohon per hektar ini digunakan untuk menghitung volume total tiap kelas umur dengan cara mengalikan volume pohon per hektar dengan luas produksi masing-masing kelas umur. Hasil data jumlah pohon, keliling pohon, tabel volume lokal untuk masing-masing keliling


(24)

pohon, jumlah pohon per hektar, volume pohon per hektar, volume total untuk tiap kelas umur sebagaimana tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Taksiran volume kayu jati di KPH Madiun Umur

perlakuan N

K rata-rata (cm)/pohon

V rata-rata tabel

(m3)/pohon N/ha V/ha

Volume Total

15 62 44,85 0,09 775 70 109.158,10

20 70 50,56 0,12 700 84 132.100,04

25 135 50,19 0,12 563 68 57.124,12

30 166 72,69 0,28 346 98 81.880,78

35 76 94,11 0,51 211 108 100.599,19

40 43 119,73 0,80 179 143 132.638,29

45 45 81,39 0,36 225 81 8.216,66

50 188 126,37 0,54 171 92 9.366,37

55 105 114,97 0,79 131 103 49.509,96

60 87 130,18 1,07 109 117 55.932,48

Berdasarkan Tabel 5, umur tegakan jati 40 tahun mempunyai volume total paling besar. Volume total yang besar tegakan jati umur 40 tahun ini dipengaruhi oleh keliling pohon yang besar dan luas areal produksi yang luas. Sedangkan volume total paling kecil pada tegakan jati umur 45 tahun karena keliling pohonnya kecil dan luas areal produksinya juga kecil. Volume total pada KU IV lebih besar dari KU V karena luas areal produksi tanaman jati pada KU IV sembilan kali lebih besar dari KU V.

5.2 Kondisi Tegakan KPH Madiun

Kondisi tegakan KPH Madiun dipengaruhi oleh jenis pohon, keliling atau diameter, dan volume. Kondisi jumlah pohon, diameter, dan volume rata-rata tegakan jati (Tectona grandis L. f.) di KPH Madiun menunjukkan kondisi tidak normal, dimana KU lebih rendah mempunyai volume per hektar lebih besar dari volume per hektar pada KU yang lebih tinggi. Hal ini terlihat dari volume per hektar KU IV umur 40 tahun lebih besar dari KU VI umur 60 tahun. Untuk melihat kenormalan kondisi tegakan hutan jati di KPH Madiun, maka kondisi


(25)

tegakan aktual saat ini KPH Madiun dibandingkan dengan kondisi tegakan normal berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing.

1. Perbandingan jumlah pohon

Perbandingan jumlah pohon per hektar antara tegakan jati normal berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing dengan tegakan jati aktual KPH Madiun tertera pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah pohon per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual

Umur (tahun)

Jumlah Pohon Per Hektar (pohon/hektar) Selisih

Kondisi Normal Kondisi Aktual Jumlah

(pohon/hektar) Persen (%)

15 1005 775 230 22,89

20 766 700 66 8,62

25 617 563 55 8,83

30 515 346 169 32,85

35 442 211 231 52,24

40 386 179 207 53,58

45 344 225 119 34,59

50 310 171 139 44,87

55 283 131 152 53,62

60 261 109 152 58,33

Sumber: Tabel tegakan Wolff Von Wulfing dan hasil pengolahan data lapang

Tabel 6 menunjukkan perbedaan jumlah pohon per hektar antara kondisi tegakan normal dengan kondisi hutan jati di KPH Madiun saat ini. Kondisi tegakan normal mengalami penurunan jumlah pohon seiring dengan bertambahnya umur tegakan. Sedangkan kondisi hutan di KPH Madiun saat ini menunjukan ketidakteraturan jumlah pohon per hektar sejalan dengan bertambahnya umur tegakan. Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah pohon per hektar pada kondisi aktual lebih sedikit dan tidak teratur jika dibandingkan dengan jumlah pohon per hektar pada kondisi normal. Selisih jumlah pohon per hektar antara kondisi normal dan kondisi aktual relatif besar. Persen selisih yang paling besar ditunjukkan pada tegakan umur 60 tahun sebesar 58,33%. Grafik


(26)

perbandingan jumlah pohon per hektar untuk kondisi normal dan aktual di KPH Madiun disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Jumlah pohon per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual.

Kondisi tegakan normal menggambarkan kurva J terbalik untuk jumlah pohon per hektar. Kondisi normal tersebut merupakan kondisi ideal tegakan jati dari hasil perlakuan penjarangan dan keamanan tegakan selama jangka pengusahaan hutan jati. Berbeda dengan kondisi hutan normal, kondisi hutan aktual di KPH Madiun saat ini menunjukkan ketidaknormalan, terutama pada tegakan umur 45 tahun yang jumlah pohon per hektarnya jauh lebih banyak dari tegakan umur 40 tahun. Jumlah pohon per hektar dari umur 40 tahun yang cenderung menurun, selanjutnya pada umur 45 tahun dan 50 tahun up jumlahnya lebih banyak per hektarnya.

2. Perbandingan Diameter

Perbandingan diameter antara tegakan jati normal berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing dengan tegakan jati aktual di KPH Madiun tertera pada Tabel 7.

0 200 400 600 800 1000 1200

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Ju

m

lah

P

oh

on

(

N

/h

a)

Daur (Tahun)

Kondisi Normal Kondisi Aktual


(27)

Tabel 7 Diameter pada kondisi tegakan normal dan aktual Umur

(tahun)

Diameter (cm) Selisih

Kondisi Normal Kondisi Aktual Jumlah (cm) Persen (%)

15 11,9 14,28 -2,38 -20,03

20 14,3 16,10 -1,80 -12,60

25 16,6 15,98 0,62 3,71

30 18,7 23,15 -4,45 -23,80

35 20,7 29,97 -9,27 -44,79

40 22,7 38,13 -15,43 -67,97

45 24,6 25,92 -1,32 -5,36

50 26,4 31,05 -4,65 -17,61

55 28,1 36,62 -8,52 -30,31

60 29,8 41,46 -11,66 -39,12

Sumber: Tabel tegakan Wolff Von Wulfing dan hasil pengolahan data lapang

Tabel 7 menunjukan bahwa perbedaan diameter pada kondisi tegakan normal dan kondisi aktual hutan jati KPH Madiun. Dengan bertambahnya umur tegakan, maka diameter pada tegakan hutan normal semakin besar. Hal ini karena pada kondisi hutan jati di KPH Madiun saat ini ada ketidakteraturan diameter dengan bertambahnya umur tegakan. Berdasarkan diameter pohon, maka kondisi aktual di KPH Madiun adalah baik karena diameter yang besar akan menghasilkan volume yang besar. Volume yang besar akan meningkatkan pendapatan bagi Perhutani KPH Madiun.

Diameter pada kondisi aktual lebih besar dan cenderung naik jika dibandingkan dengan diameter pada kondisi normal. Diameter pada kondisi aktual yang lebih besar dari diameter pada kondisi normal dipengaruhi oleh jumlah pohon per hektar yang relatif sedikit. Jumlah pohon lebih sedikit dengan luasan yang sama, menyebabkan diameter semakin besar karena ruang tumbuhnya lebih besar. Grafik perbandingan diameter tegakan normal dan aktual disajikan pada Gambar 3.


(28)

Gambar 3 Diameter pada kondisi tegakan normal dan aktual.

Gambar 3 untuk kondisi normal menunjukan keteraturan diameter yang semakin besar dengan semakin bertambahnya umur tegakan. Hal ini ditunjukkan oleh grafik linier ke atas. Sedangkan untuk kondisi aktual menunjukkan grafik patah-patah dan tidak teratur. Diameter pada umur 25 meningkat sampai umur 40 tahun dan tiba-tiba menurun drastis menuju umur 45 tahun. Perbedaan diameter untuk umur 40 tahun dan 45 tahun sangat besar. Jika kondisi tegakan normal, seharusnya keliling/diameter umur 45 tahun lebih besar dari umur 40 tahun. Diameter tegakan jati umur 40 tahun lebih besar dari umur 45 tahun, umur 50 tahun, dan umur 55 tahun, bahkan hampir menyamai diameter pada umur 60 tahun.

3. Perbandingan Volume

Perbandingan volume antara tegakan jati normal berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing dengan tegakan jati aktual KPH Madiun tertera pada Tabel 8.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

D

ia

m

et

er

(

cm

)

Daur (Tahun)

Kondisi Normal Kondisi Aktual


(29)

Tabel 8 Volume per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual Umur

(tahun)

Volume Pohon Per Hektar (m3/ha) Selisih

Kondisi Normal Kondisi Aktual Jumlah (m3/ha) Persen (%)

15 98,2 69,6 28,64 29,17

20 116,6 84,2 32,43 27,81

25 132,4 68,1 64,25 48,53

30 147,3 97,7 49,62 33,69

35 161,6 108,2 53,41 33,05

40 175,4 142,7 32,75 18,67

45 188,8 80,6 108,21 57,31

50 201,5 91,9 109,63 54,41

55 213,9 103,2 110,71 51,76

60 225,9 116,6 109,33 48,40

Sumber: Tabel tegakan Wolff Von Wulfing dan hasil pengolahan data lapang

Tabel 8 menunjukkan perbedaan yang besar antara volume per hektar kondisi tegakan normal dengan kondisi hutan jati KPH Madiun saat ini. Volume per hektar kondisi normal, semakin bertambahnya umur tegakan, semakin besar pula volume pohon per hektarnya. Hal ini menunjukkan keteraturan dari kondisi volume per hektar tegakan jati yang ideal. Sementara untuk kondisi tegakan aktual di KPH Madiun saat ini relatif tidak normal. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya volume per hektar yang tidak teratur dan berfluktuasi sejalan dengan bertambahnya umur tegakan.

Pada Tabel 8, volume per hektar tegakan aktual di KPH Madiun saat ini lebih kecil dan tidak teratur atau berfluktuasi dibandingkan dengan volume per hektar pada kondisi tegakan normal. Persentase selisihnya menunjukkan nilai yang tidak teratur dan berfluktuasi dengan semakin bertambahnya umur tegakan. Berikut ini merupakan grafik perbandingan volume per hektar untuk tegakan normal dan aktual yang disajikan pada Gambar 4.


(30)

Gambar 4 Volume per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual.

Gambar 4 menunjukkan garis linier ke atas dan cenderung teratur untuk tegakan normal. Volume per hektar semakin besar dengan semakin bertambahnya umur tegakan. Sedangkan untuk grafik volume per hektar pada kondisi tegakan aktual menunjukkan garis fluktuatif. Terlihat jelas volume per hektar umur 40 tahun sangat tinggi dan cenderung menurun drastis pada umur 45 tahun, selanjutnya naik lagi. Hal ini menunjukan bahwa kondisi tegakan jati di KPH Madiun relatif tidak teratur.

Salah satu faktor penyebab yang mengakibatkan terjadi peningkatan kerusakan hutan dari waktu ke waktu adalah gangguan hutan. Menurut Departemen Kehutanan (1987), berbagai gangguan terhadap kawasan hutan dan isinya berupa perambahan kawasan, pencurian kayu, penebangan liar, kebakaran hutan, perladangan liar, bencana alam serta hama dan penyakit.

Penyebab dari berubahnya kondisi hutan normal ke kondisi hutan tidak normal (kondisi saat ini) di KPH Madiun, antara lain: 1) Penjarahan/pencurian kayu, 2) kebakaran hutan dan 3) bencana alam menjadi penyebab utama dari ketidakteraturan kondisi tegakan yang ada saat ini. Permintaan/kebutuhan masyarakat terhadap kayu semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, memaksa masyarakat untuk mengambil sumber daya dari hutan untuk memenuhi

0 50 100 150 200 250

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

V

ol

u

m

e (

m

3/

h

a)

Daur (Tahun)

Kondisi Normal Kondisi Aktual


(31)

kebutuhannya. Kayu jati khususnya, termasuk jenis kayu banyak diminati karena memiliki nilai jual tinggi karena tekstur unik dan keawetannya.

Gangguan terhadap hutan sering dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan yang umumnya taraf hidup dan pendidikannya masih rendah, sehingga masyarakat masih belum sadar akan bahaya yang dilakukannya terhadap hutan. Macam gangguan berupa kayu (hasil hutan), penebangan liar dan penyerobotan lahan hutan (Departemen Kehutanan 1987). Pencurian kayu akan berakibat pada berkurangnya hasil tebangan yang akan mempengaruhi degradasi produktivitas suatu lahan untuk suatu unit pengelolaan, karena luasan tegakan KU akan semakin berkurang akibat pencurian tersebut dan akan menyebabkan adanya anak petak yang baru. Dengan maraknya pencurian tersebut, akan menyebabkan luas KU muda akan semakin bertambah banyak. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4, bahwa luas produktif kayu jati didominasi oleh KU I dengan presentase 56,7% dari total luas produktif kayu jati di KPH Madiun.

Simon (2001) menyebutkan bahwa sejak dekade tahun 1960-an hutan jati di Jawa terus mengalami proses penurunan kualitas tegakan. Adanya keterlambatan penyesuaian sistem pengelolaan hutan dengan perubahan sosial yang sudah terjadi sejak awal 1950-an merupakan salah satu penyebab kemerosotan kualitas tegakan. Pada saat krisis ekonomi dan moneter di Indonesia pertengahan tahun 1998 terjadi penjarahan besar-besaran terhadap tegakan jati Perum Perhutani termasuk KPH Madiun. Penjarahan ini terus berlangsung sampai sekitar tahun 2001. Penjarahan ini telah mengakibatkan kerusakan tegakan jati di Perum Perhutani. Nilai kerugian batang, yaitu: pada tahun 1999 sebanyak 3.179.973 pohon dengan kerugian sebesar Rp.55.851.084.000; tahun 2000 sebanyak 2.574.948 pohon dengan kerugian sebesar Rp.569.757.232.000; dan tahun 2001 sebanyak 2.675.161 pohon dengan kerugian sebesar Rp.613.924.367.000 (Perum Perhutani 2004).

Istichomah (2006) menyebutkan bahwa di KPH Madiun proporsi kehilangan tegakan jati semakin besar sejalan dengan makin tuanya tegakan atau makin besarnya diameter tegakan. Proporsi kehilangan tegakan jati paling besar pada umur 74 tahun sebesar 0,63 %. Hanggumantoro (2007) juga menyebutkan bahwa tingkat pencurian pada KPH Madiun tahun 2002 sangat tinggi sebanyak


(32)

13.603 pohon yang hilang karena pencurian. Hal ini disebabkan selain oleh adanya situasi politik yang kurang stabil karena adanya peralihan kekuasaan, juga disebabkan oleh penegakan hukum pada saat itu sangat lemah, sehingga akan mendorong tindakan pencurian yang sangat tinggi. Penurunan tindakan pencurian hutan mulai tahun 2004 ke tahun berikutnya, karena pada saat itu pengamanan hutan melibatkan TNI (Tentara Nasional Indonesia), sehingga penegakan hukum dicoba untuk diberdayakan dan tegkan yang tersisa sudah sulit untuk dijarah masyarakat karena yang tersisa adalah tegakan yag KU relatif besar (diameter besar) dan atau kondisinya yang sulit dijangkau oleh masyarakat.

Selain itu, kebakaran hampir sering terjadi di kawasan hutan jati KPH Madiun. Tiga faktor timbulnya kebakaran hutan menurut Departemen Kehutanan (1992) adalah kesengajaan, kelalaian, dan pengaruh manusia. Manusia sengaja membakar hutan untuk berbagai tujuan, antara lain: memperoleh lahan hutan bagi perladangan, memanfaatkan abu serasahnya untuk memupuk tanah garapan, memperoleh tunas atau rumput muda untuk memperoleh pakan ternak, dan mengalihkan perhatian terhadap keamanan hutan. Bentuk kelalaian manusia antara lain: membuang atau meninggalkan obor secara sembarang, puntung rokok, atau api unggun. Sambaran petir terhadap pohon terkadang menyebabkan kebakaran. Kebakaran hutan akan berakibat pada pengurangan produktivitas suatu lahan dari suatu unit pengelolaan. Penurunan produktifitas tersebut adalah akibat terganggunya pertumbuhan tegakan hutan dan pada akhirnya akan mempengaruhi kenormalan tegakan hutan.

Pada saat pengambilan data di lapang, ditemukan bekas areal hutan terbakar yang sengaja dibakar oleh warga untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya ada di petak 118 c. Masyarakat yang tidak bertanggung jawab terkadang sengaja membakar hutan untuk diambil kayu-kayu kecilnya dan digunakan sebagai kayu bakar. Pelaku pembakaran tidak memikirkan akibat jika hutan yang sengaja mereka bakar dapat merambat membakar hutan di sekelilingnya. Hanggumatoro (2007) menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang paling luas di KPH Madiun terjadi pada tahun 1999, hampir mencapai 1.146 ha. Hal ini disebabkan oleh musim kemarau yang berkepanjangan yang menyebabkan adanya bahan bakar yang mencukupi untuk terbakar dan adanya oknum dari masyarakat yang sengaja


(33)

membakar hutan untuk mengalihkan perhatian petugas keamanan agar kegiatan pencurian tidak diketahui.

Penyebab berubahnya kondisi hutan tidak normal selanjutnya adalah gangguan hutan berupa bencana alam yang merupakan akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, misalnya adanya kegiatan pencurian hutan yang akan menyebabkan bencana banjir maupun tanah longsor. Hanggumantoro (2007) menyebutkan bahwa bencana alam yang terjadi di KPH Madiun paling luas terjadi pada tahun 1994, sebanyak 2150 pohon. Bentuk kerusakan yang terjadi, antara lain: angin kencang dan sambaran petir yang dapat menyebabkan pohon tumbang sehingga produksi yang seharusnya diperoleh pada akhirnya akan berkurang.

Di KPH Madiun, hampir ratusan pohon hancur tiap tahunnya karena angin/badai. Informasi tersebut didapatkan dari mandor yang bekerja di salah satu wilayah KPH Madiun. Jika hal tersebut tidak ditindaklanjuti, akan berpengaruh terhadap kondisi tegakan jati di KPH Madiun di masa yang akan datang. Gangguan hutan yang menjadi penyebab perubahan hutan normal ke kondisi saat ini sangat berpengaruh terhadap luasan struktur kelas hutan di KPH Madiun. Luasan KU rendah lebih besar dari luasan KU tinggi. Pada saat pengambilan data di lapang, banyak melewati kawasan hutan yang TJBK (Tanaman Jati Bertumbuhan Kurang). Kelas umur yang berubah statusnya menjadi TJBK tersebut disebabkan karena maraknya pencurian yang terjadi.

5.3 Biaya

Biaya dikelompokkan menjadi dua, yaitu biaya pembangunan dan biaya administrasi. Hal ini sesuai rumus yang digunakan untuk memperoleh nilai harapan lahan berdasarkan pendekatan yang dikemukakan oleh Davis (1966), bahwa pengeluaran pengelolaan hutan dalam penentuan nilai harapan lahan adalah biaya pembangunan dan biaya administrasi. Semua biaya tersebut didiskonto dengan tingkat suku bunga.

Biaya adalah sejumlah uang yang harus dikeluarkan selama kegiatan pengusahaan hutan. Biaya yang diperlukan dalam pengusahaan hutan jati di KPH Madiun, meliputi: biaya perencanaan, biaya persemaian, biaya penanaman, biaya penjarangan, biaya eksploitasi kayu, biaya perlindungan hutan, biaya investasi,


(34)

biaya umum administrasi dan biaya PMDH. Rincian biaya pengelolaan dalam pengusahaan hutan jati di KPH Madiun dapat dilihat di Lampiran 2.

Rincian biaya yang terdapat di Lampiran 2 tersebut diambil dari Buku Pengamatan Anggaran KPH Madiun tahun 2010, Buku Laporan Keuangan KPH Madiun tahun 2010, Buku Tarif Upah KPH Madiun tahun 2010 dan Buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Kelas Perusahaan Jati KPH Madiun Revisi tahun 2008-2010.

Rekapitulasi biaya dari masing-masing kegiatan pengelolaan hutan KPH Madiun dapat dilihat pada Tabel 9. Besarnya biaya dalam Tabel 9 tersebut merupakan akumulasi seluruh biaya yang dikeluarkan pada setiap pembiayaan berdasarkan biaya dan luasnya. Sedangkan rincian dari keseluruhan biaya tersebut disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 9 Rekapitulasi biaya pengelolaan jati di KPH Madiun

No. Uraian Satuan Biaya

1 Biaya perencanaan Rp/ha 71.281

2 Biaya umum dan administrasi Rp/ha/tahun 183.867

3 Biaya investasi Rp/ha/tahun 20.061

4 Biaya persemaian Rp/ha 352.680

5 Biaya penanaman Rp/ha 3.337.727

6 Biaya penjarangan Rp/ha 105.152

7 Biaya eksploitasi Rp/ha 4.471.544

8 Biaya PMDH Rp/ha/tahun 73.277

9 Biaya perlindungan hutan Rp/ha 6.493

5.3.1 Biaya pembangunan

Biaya pembangunan adalah biaya yang digunakan untuk pembangunan jati. Biaya pembangunan, antara lain: biaya perencanaan, biaya persemaian, biaya penanaman, biaya penjarangan, biaya eksploitasi kayu jati dan biaya perlindungan hutan. Rincian biaya-biaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.


(35)

Tabel 10 Rekapitulasi biaya pembangunan jati di KPH Madiun

No. Uraian Satuan Biaya

1 Biaya perencanaan Rp/ha 71.281

2 Biaya persemaian Rp/ha 352.680

3 Biaya penanaman Rp/ha 3.337.727

4 Biaya penjarangan Rp/ha 105.152

5 Biaya eksploitasi Rp/ha 4.471.544

6 Biaya perlindungan hutan Rp/ha 6.493

Pada Tabel 10, satuan biaya perencanaan adalah rupiah per hektar yang didapatkan dari biaya perencanaan dibagi dengan luas kawasan tanaman jati rata-rata. Biaya persemaian yang digunakan dalam kajian ini merupakan biaya persemaian jati tahun berjalan, meliputi biaya persiapan lapangan persemaian, biaya pengadaan dan angkutan benih, biaya pengadaan sarana dan prasarana, biaya pembuatan media dan pemeliharan. Total dari seluruh biaya persemaian tersebut dibagi dengan luas areal penanaman jati tahun berjalan sehingga didapatkan biaya persemaian per hektar.

Biaya penanaman mencakup biaya tanaman rutin jati dan biaya tanaman pembangunan jati. Biaya tanaman rutin jati terdiri dari biaya tanaman rutin jati tumpang sari, biaya tanaman rutin jati banjar harian dan biaya tanaman rutin jati lainnya. Sama halnya dengan biaya tanaman rutin jati, biaya pembangunan jati juga mencakup biaya tanaman pembangunan jati tumpang sari, banjar harian dan lainnya. Biaya tanaman rutin jati dan biaya tanaman pembangunan jati tersebut dimulai pada tahun pertama, kedua, ketiga atau pemeliharaan. Total biaya penanaman rutin dan pembangunan jati tersebut dibagi dengan luas areal penanamannya masing-masing sehingga didapatkan biaya penanaman per hektar.

Biaya penjarangan, meliputi: biaya wiwil/babat rayud/oyod-oyodan serta biaya petak ukur dan tunjuk tolet. Biaya penjarangan per hektar didapatkan dari hasil bagi antara biaya penjarangan dan luas areal penjarangan. Biaya eksploitasi kayu jati, meliputi: biaya persiapan, penerimaan dan pengangkutan kayu jati. Total biaya eksploitasi kayu jati dibagi dengan volume produksi jati per m3 menghasilkan rata-rata biaya eksploitasi kayu jati per m3. Sedangkan biaya


(36)

eksploitasi jati per hektar didapatkan dari hasil bagi antara biaya eksploitasi jati per m3 dengan luas produksi kayu jati.

Biaya perlindungan hutan, meliputi: biaya perlindungan hutan terhadap pencurian dan biaya penyelesaian perkara. Biaya perlindungan hutan per hektar didapatkan dari hasil bagi antara total biaya perlindungan hutan dan luas areal KPH Madiun. Biaya tersebut tidak secara tetap dikeluarkan, melainkan hanya saat terjadi pencurian atau perkara saja.

5.3.2 Biaya administrasi

Biaya administrasi yaitu biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusahaan hutan setiap tahun demi kelancaran kegiatan pengelolaan hutan. Biaya administrasi meliputi biaya umum administrasi, biaya investasi dan biaya PMDH (Pengembangan Masyarakat Desa Hutan). Dalam kajian ini, satuan untuk biaya-biaya tersebut adalah rupiah per hektar per tahun. Rincian dari biaya-biaya administrasi dapat dilihat di Tabel 11.

Tabel 11 Rekapitulasi biaya administrasi jati di KPH Madiun

No. Uraian Satuan Biaya

1 Biaya umum dan administrasi Rp/ha/tahun 183.867

2 Biaya investasi Rp/ha/tahun 20.061

3 Biaya PMDH Rp/ha/tahun 73.277

Biaya umum dan administrasi, meliputi: biaya umum, biaya pembinaan hutan, biaya pemeliharaan sarana dan prasarana serta biaya penyusutan. Biaya pemeliharaan sarana dan prasarana tersebut, meliputi: bangunan dan tanah, jalan dan jembatan, bengkel dan instalasi, kendaraan bermotor dan alat berat, serta perlengkapan kantor dan kendaraan tak bermotor. Biaya Total dari biaya umum dan administrasi dibagi dengan luas areal produktif kawasan hutan KPH Madiun sehingga didapatkan biaya umum administrasi per hektar per tahun.

Biaya investasi meliputi bangunan dan tanah serta biaya pelengkapan kantor dan kendaraan tak bermotor. Sama halnya dengan biaya umum dan administrasi, untuk mendapatkan biaya investasi per hektar per tahun, total dari biaya invertasi tersebut dibagi dengan luas areal produktif kawasan hutan KPH Madiun.


(37)

Biaya PMDH, meliputi: biaya PMDH diluar kawasan dan biaya penyuluhan. Biaya PMDH per hektar per tahun didapatkan dari hasil bagi antara biaya PMDH dengan luas areal PMDH. Mengingat sebagian masyarakat sekitar hutan bermata pencaharian sebagai petani, maka perlu diadakan penyuluhan rutin untuk menggugah dan menyadarkan masyarakat agar tidak berpindah ladang sesukanya demi kelestarian hutan.

5.4 Pendapatan

Pendapatan dalam pengusahaan hutan jati di KPH Madiun diperoleh dari penjualan kayu jati. Berdasarkan asumsi seluruh produksi dapat dijual, maka pendapatan dari penjualan kayu jati dapat diketahui dengan cara megalikan taksiran volume tiap umur perlakuan dengan harganya. Pada kajian ini, pendapatan terdiri dari pendapatan tebang akhir dan pendapatan penjarangan. Nilai pendapatan yang diperoleh dari setiap kegiatan produksi (penebangan akhir dan penjarangan) pada masing-masing daur alternatif.

5.4.1 Volume Tebang Akhir dan Penjarangan

Pada kajian ini, mengingat pendapatan yang digunakan adalah pendapatan tebang akhir dan pendapatan penjarangan, maka volume yang digunakan sebagai pengali untuk memperoleh pendapatan adalah volume tebang habis dan volume penjarangan. Volume tersebut masing-masing didapatkan dari volume total pada setiap umur perlakuan yang dapat dilihat di Tabel 5. Sedangkan volume untuk setiap daur dapat dilihat pada Tabel 12.


(38)

Tabel 12 Volume per hektar tebang akhir dan volume penjarangan jati KPH Madiun pada setiap daur alternatif

No Daur (tahun) Volume per hektar (m

3

/ha)

Tebang Akhir Penjarangan

1 15 69,56 4,10

2 20 84,18 6,62

3 25 68,15 12,72

4 30 97,68 16,33

5 35 108,19 20,35

6 40 142,65 24,75

7 45 80,60 29,60

8 50 91,87 34,90

9 55 103,19 40,65

10 60 116,57 46,85

Berdasarkan Tabel 12 dapat diperoleh informasi bahwa rata-rata volume penjarangan lebih kecil dari volume tebang habis. Volume tebang habis sama besarnya dengan volume total yang terdapat pada Tabel 5. Sedangkan volume penjarangan didapatkan dari Tabel Volume Lokal Penjarangan KPH Madiun dikalikan dengan jumlah pohon yang dijarangi untuk masing-masing tahun penjarangan. Volume penjarangan lebih kecil dari volume tebang habis. Hal ini karena penjarangan dilakukan setiap lima tahun sekali dan berhenti pada sepuluh tahun terakhir sebelum tebang akhir.

5.4.1 Harga Tebang Akhir dan Penjarangan

Harga kayu jati dalam kajian ini didekati dengan harga tertimbang penjualan kayu yang berlaku di KPH Madiun berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani nomor: 837/kpts/Dir/2010 tentang Harga Jual Dasar (HJD). Harga jual dasar tersebut memuat penyusunan tarif harga kayu bundar per jenis pohon dengan memakai ukuran diameter untuk memilah-milah ukuran kayu. Pada pengambilan contoh di lapang, hanya diambil data keliling dan jumlah pohon saja. Oleh karena itu, data diameter dihitung dari keliling pohon dibagi dengan phi (π) atau sebesar3,14.

Perum Perhutani menggunakan harga jual dasar (HJD) yang memuat harga kayu jati. Data diameter digunakan sebagai penentu untuk mendapatkan harga yang terdapat dalam harga jual dasar. Harga tersebut dijadikan untuk menentukan


(39)

pendapatan. Pendapatan didapatkan dari hasil perkalian antara volume taksiran, harga, dan luas produktif masing-masing umur perlakuan. Daftar harga kayu jati sesuai kelas diameter pada setiap daur alternatif dapat dilihat di Tabel 13.

Tabel 13 Perhitungan harga kayu jati sesuai kelas diameter pada setiap daur akternatif di KPH Madiun

No Umur perlakuan (tahun)

D rata-rata (cm)/pohon

Harga (Rp/m3)

Pendapatan (Rp)

1 15 14,28 1.750.000 121.723.438

2 20 16,10 2.640.000 222.222.000

3 25 15,98 2.640.000 179.907.750

4 30 23,15 3.410.000 333.090.931

5 35 29,97 4.670.000 505.268.056

6 40 38,13 7.220.000 1.029.951.050

7 45 25,92 4.100.000 330.439.500

8 50 31,05 6.420.000 589.819.407

9 55 36,62 7.220.000 745.022.775

10 60 41,46 8.020.000 934.927.991

Berdasarkan Tabel 13, harga tertinggi terdapat pada umur perlakuan 60, hal ini karena kayu jati umur 60 mempuyai diameter paling besar. Sedangkan harga terkecil terdapat pada umur 15 tahun yang mempunyai diameter paling kecil. Jika dilihat dari luas produksinya, umur 40 mempunyai pendapatan paling tinggi. Harga jual kayu jati dipengaruhi oleh diameter. Harga yang tinggi dan luasan areal produksi yang besar akan mempengaruhi besarnya pendapatan.

Diameter pohon sangat berpengaruh terhadap harga sesuai dengan HJD yang dipakai oleh Perum Perhutani, dimana harga disesuaikan dengan ukuran diameter. Total pendapatan pada kajian ini merupakan hasil penjumlahan antara pendapatan tebang akhir dan pendapatan penjarangan. Pendapatan yang terdapat pada Tabel 13 merupakan pendapatan tebang akhir, sedangkan untuk pendapatan penjarangan diperoleh dari pendapatan umur perlakuan sebelum akhir daur yang telah didiskontokan.


(40)

5.5 Nilai Harapan Lahan

Lahan merupakan kekayaan atau aset permanen dalam pengusahaan hutan. Nilai harapan lahan (SEV) adalah nilai yang mencerminkan sejumlah uang, yaitu pembeli bersedia membayar seluas lahan kosong untuk investasi hutan. Dalam kajian ini, perhitungan nilai lahan kosong menggunakan daur 60 tahun sesuai daur yang dipakai di KPH Madiun. Berdasarkan rumus Davis (1966) , nilai lahan kosong didapatkan dari pendapatan bersih pada setiap daur, dibagi dengan diskonto suku bunga. Perhitungan nilai harapan lahan menggunakan empat diskonto tingkat suku bunga, sebagai berikut:

1. Diskonto 6,5%

Asumsi tingkat suku bunga 6,5% digunakan dalam penentuan nilai harapan lahan karena suku bunga tersebut merupakan suku bunga rata-rata Bank Indonesia tahun 2011 berdasarkan rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta.

2. Diskonto 5%

Tingkat suku bunga 5% diasumsikan sebagai pembanding dengan suku bunga 6,5%.Pembanding tersebut digunakan agar dapat mengetahui nilai harapan lahan jika suku bunganya lebih rendah dari yang digunakan sebelumnya.

3. Diskonto 10%

Pembanding tingkat suku bunga 6,5% yang diasumsikan selanjutnya adalah 10%. Suku bunga tersebut digunakan karena dianggap lebih besar dibandingkan dengan suku bunga pertama.

4. Diskonto 12%

Setelah digunakan tiga macam tingkat suku bunga yang berbeda-beda, perlu diasumsikan tingkat suku bunga 12% sebagai pembanding terakhir sekaligus pembanding tertinggi untuk membuktikan bahwa nilai harapan lahan yang didapatkan akan semakin kecil jika suku bunga yang digunakan semakin besar.

Menurut teori Davis, nilai harapan lahan akan semakin meningkat dengan semakin kecilnya tingkat suku bunga. Berikut ini merupakan hasil rekapitulasi perhitungan nilai harapan lahan untuk setiap suku bunga (Tabel 14).


(41)

Tabel 14 Rekapitulasi perhitungan nilai harapan lahan (SEV) pada setiap daur alternatif

Uraian Suku Bunga

5% 6,5% 10% 12%

Daur 15 Tahun

SEV (Rp/ha) 99.172.516 66.101.049 26.793.742 19.224.146 Daur 20 Tahun

SEV (Rp/ha) 125.086.974 80.027.130 32.119.821 19.370.723 Daur 25 Tahun

SEV (Rp/ha) 71.601.787 43.080.221 12.483.039 14.021.449 Daur 30 Tahun

SEV (Rp/ha) 98.357.198 56.762.877 16.639.428 7.470.087

Daur 35 Tahun

SEV (Rp/ha) 111.400.319 61.093.494 15.489.997 6.022.468 Daur 40 Tahun

SEV (Rp/ha) 171.848.219 89.799.334 20.566.722 3.918.403 Daur 45 Tahun

SEV (Rp/ha) 44.172.699 21.107.265 2.192.684 (1.272.936) Daur 50 Tahun

SEV (Rp/ha) 60.337.051 27.599.079 2.865.046 (1.151.429) Daur 55 Tahun

SEV (Rp/ha) 59.254.006 25.452.413 1.660.111 (1.857.233) Daur 60 Tahun

SEV (Rp/ha) 58.678.217 23.979.423 1.102.425 (2.057.239)

Nilai harapan lahan terkecil diperoleh pada daur 60 tahun dan nilai harapan lahan terbesar secara umum dihasilkan pada daur 40 tahun untuk masing-masing tingkat suku bunga yang digunakan. Nilai harapan lahan setelah umur 40 tahun cenderung semakin rendah. Hal ini dikarenakan volume tabel tegakan jati di KPH Madiun diatas umur 40 tahun menurun drastis sejalan dengan penurunan luas areal produksi. Jika Perhutani mendapatkan skema suku bunga yang rendah sebesar 5% maka pendapatan naik sebesar 47,74% untuk daur 40 tahun. Berikut ini merupakan persentase kenaikan nilai harapan lahan dari tingkat suku bunga 6,5% ke tingkat suku bunga (Tabel 15).


(42)

Tabel 15 Persentase kenaikan nilai harapan lahan (SEV) dari tingkat suku bunga 6,5% ke tingkat suku bunga 5%

Daur (Tahun)

SEV pada 6,5% (Rp/ha)

SEV pada 5% (Rp/ha)

Persentase Kenaikan (%)

15 66.101.049 99.172.516 33,35

20 80.027.130 125.086.974 36,02

25 43.080.221 71.601.787 39,83

30 56.762.877 98.357.198 42,29

35 61.093.494 111.400.319 45,16

40 89.799.334 171.848.219 47,74

45 21.107.265 44.172.699 52,22

50 27.599.079 60.337.051 54,26

55 25.452.413 59.254.006 57,05

60 23.979.423 58.678.217 59,13

Nilai harapan lahan cenderung terus meningkat dengan penurunan suku bunga bank yang digunakan. Jika Perum Perhutani menggunakan suku bunga bank sebesar 5%, yang lebih rendah dari suku bunga Bank Indonesia rate 6,5%, maka persentase kenaikan nilai harapan lahan cenderung terus meningkat sejalan dengan peningkatan umur tanaman jati.

Gambar 5 Nilai harapan lahan (SEV) dari setiap daur alternatif. (20.000.000) 20.000.000 40.000.000 60.000.000 80.000.000 100.000.000 120.000.000 140.000.000 160.000.000 180.000.000 200.000.000

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

N il ai H ar ap an L ah an ( R p /h a) Daur (Tahun) 5% 6,5% 10% 12%


(43)

Gambar 5 menunjukan pergerakan nilai harapan lahan terhadap daur masing-masing tingkat suku bunga pada kondisi saat ini (aktual). Kondisi nilai harapan lahan berfluktuasi saat ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain: pencurian, kebakaran, dan banyaknya pohon yang rusak setiap tahunnya karena angin. Jika kondisi tersebut tetap dibiarkan dalam jangka panjang, maka akan mengakibatkan kerugian pada pengusahaan hutan jati. Gambar 5 tersebut menunjukkan garis fluktuatif yang terus meningkat sampai daur 40 tahun dan selanjutnya menurun drastis pada daur 45 tahun sampai 60 tahun.

Berdasarkan Tabel 15 dan Gambar 5, maka dapat diperoleh hasil perhitungan nilai harapan lahan tertinggi adalah daur 40 tahun. Jika dilihat dari kondisi harga dan suku bunga yang berlaku saat ini, maka pemanfaatan hutan paling optimal adalah daur 40 tahun karena memiliki nilai harapan lahan paling tinggi. Namun hal tersebut belum bisa dijadikan patokan sebagai daur optimal kelas perusahaan jati di KPH Madiun. Dalam kajian ini untuk menentukan daur finansial, yang menjadi patokan tidak hanya dilihat dari nilai lahan kosongnya saja (nilai harapan lahan), tetapi juga dilihat dari nilai tegakan yang ada di atasnya.

5.6 Present Net Worth (PNW)

Penentuan daur optimal diperlukan nilai lahan dengan tegakan masak tebang. Present Net Worth (PNW) merupakan nilai keuntungan bersih saat ini. PNW digunakan untuk mengetahui nilai lahan kosong sekaligus tegakan yang ada di atasnya sesuai dengan daur tegakan. Nilai keuntungan bersih saat ini (PNW) mempunyai dua unsur nilai, yaitu: nilai pendapatan bersih tegakan yang dipanen di masa yang akan datang (NR/Net Revenue) dan nilai lahan kosong (SEV). Nilai lahan kosong sama dengan nilai harapan lahan yang telah diketahui dan dijabarkan sebelumnya. Sedangkan pendapatan bersih tegakan yang dipanen dihitung dengan cara menjumlahkan pendapatan tebang akhir dengan pendapatan penjarangan, dikurangi biaya administrasi yang dikurangi satu dan dibagi tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga yang digunakan sama seperti tingkat suku bunga yang digunakan untuk menentukan nilai harapan lahan, yaitu: 5%, 6,5%, 10% dan 12%.


(44)

Sesuai dengan asumsi yang digunakan, daur alternatif yang dikaji adalah daur 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55 dan 60 tahun. Sama halnya dengan nilai harapan lahan (SEV), nilai PNW juga semakin naik dengan semakin kecilnya tingkat suku bunga yang digunakan. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 4 dan tabel 16 hasil rekapitulasi perhitungan PNW pada setiap daur alternatif.

Tabel 16 Rekapitulasi hasil perhitungan present net worth (PNW) pada setiap daur alternatif

Uraian Suku Bunga

5% 6,5% 10% 12%

Daur 15 Thn

PNW (Rp/ha) 107.120.018 73.936.615 36.488.438 26.674.940 Daur 20 Thn

PNW (Rp/ha) 133.034.477 87.862.696 39.706.073 26.821.506 Daur 25 Thn

PNW (Rp/ha) 79.549.289 50.915.787 21.424.169 14.592.569 Daur 30 Thn

PNW (Rp/ha) 106.304.700 64.598.443 24.225.680 14.153.068 Daur 35 Thn

PNW (Rp/ha) 119.347.822 68.929.059 23.076.250 13.473.252 Daur 40 Thn

PNW (Rp/ha) 179.795.722 97.634.899 28.152.975 15.134.114 Daur 45 Thn

PNW (Rp/ha) 52.120.202 28.942.830 9.778.936 6.177.848

Daur 50 Thn

PNW (Rp/ha) 68.284.554 35.434.645 10.451.298 6.299.355 Daur 55 Thn

PNW (Rp/ha) 16.520.074 10.058.903 5.322.962 4.137.189

Daur 60 Thn

PNW (Rp/ha) 66.625.719 31.814.989 8.688.678 5.393.544

Selain menggunakan pendekatan nilai harapan lahan (SEV), penetapan daur alternatif terbaik pengusahaan hutan jati di KPH Madiun juga didekati dengan PNW. Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa nilai PNW terlihat semakin kecil dengan semakin tingginya tingkat suku bunga. Berdasarkan tabel tersebut, maka hasil perhitungan PNW tertinggi untuk setiap tingkat suku bunga secara umum terdapat pada daur 40 tahun. Gambar 6 menunjukan grafik pergerakan nilai present net worth (PNW) setiap daur alternatif dengan semua tingkat suku bunga yang digunakan.


(45)

Gambar 6 Present net worth (PNW) dari setiap daur alternatif.

Gambar 6 menunjukan pergerakan nilai PNW yang tinggi pada daur 40 tahun. Garis yang ditunjukan pada grafik tersebut terlihat fluktuatif dan titik tertinggi pada daur 40 tahun. Selanjutnya nilai PNW menurun drastis menuju daur 45 tahun yang nilainya semakin kecil.

Kayu jati pada umur 40 tahun ditanam pada tahun 1970, dimana pengembangan budidaya jati masih bersifat konvensional atau masih mengandalkan teknik perbanyakan secara generatif, yaitu perbanyakan tanaman berasal dari bibit/benih pohon induk yang terpilih. Kualitas bibit/benih yang bagus dapat menghasilkan tanaman yang tahan terhadap penyakit sehingga kemungkinan terseleksi oleh alam sangat kecil. Selain itu, kondisi hutan yang tidak normal tersebut merupakan akibat dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab pada kayu jati terutama umur 45 tahun yang volume per hektarnya sangat kecil, serta akibat dari bencana yang melanda hutan jati KPH Madiun. Berikut ini merupakan persentase kenaikan nilai PNW dari tingkat suku bunga 6,5% ke tingkat suku bunga 5% yang dapat dilihat di Tabel 17.

20.000.000 40.000.000 60.000.000 80.000.000 100.000.000 120.000.000 140.000.000 160.000.000 180.000.000 200.000.000

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

P res en t N et W o rt h ( R p /h a ) Daur (Tahun) 5% 6,5% 10% 12%


(46)

Tabel 17 Persentase kenaikan present net worth (PNW) dari tingkat suku bunga 6,5% ke tingkat suku bunga 5%

Daur (Tahun)

PNW 6,5% (Rp/ha)

PNW5% (Rp/ha)

Persentase Kenaikan (%)

15 73.936.615 107.120.018 30,98

20 87.862.696 133.034.477 33,95

25 50.915.787 79.549.289 35,99

30 64.598.443 106.304.700 39,23

35 68.929.059 119.347.822 42,25

40 97.634.899 179.795.722 45,70

45 28.942.830 52.120.202 44,47

50 35.434.645 68.284.554 48,11

55 10.058.903 16.520.074 39,11

60 31.814.989 66.625.719 52,25

Sama halnya dengan nilai harapan lahan, PNW cenderung terus meningkat dengan penurunan suku bunga bank yang digunakan. Jika Perum Perhutani menggunakan suku bunga bank sebesar 5%, yang lebih rendah dari suku bunga Bank Indonesia rate 6,5%, maka persentase kenaikan PNW cenderung terus meningkat sejalan dengan peningkatan umur tanaman jati. Berdasarkan Tabel 17 dan Gambar 9, maka dapat diperoleh informasi bahwa nilai PNW paling besar pada daur 40 tahun. Dilihat dari besarnya nilai PNW, daur finansial tegakan jati di KPH Madiun yang terbaik adalah daur 40 tahun.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Istichomah (2006) yang menyatakan bahwa daur optimal jati di KPH Madiun adalah daur 60 tahun. Penelitian penentuan daur finansial tersebut dilakukan pada tahun 2006 dengan mempertimbangkan resiko kehilangan tegakan akibat pencurian di KPH Madiun. Daur optimal yang terpilih ternyata lebih pendek daripada daur yang digunakan di KPH Madiun pada saat itu, yaitu 70 tahun.

Sedangkan penelitian lain tentang penentuan daur finansial kelas perusahaan jati yang dilakukan Pratiwi (2010) di KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah, menyatakan bahwa daur finansial jati dicapai pada daur 30 tahun karena mampu menghasilkan keuntungan finansial yang maksimal. Daur finansial yang


(1)

Lampiran 2 Rincian biaya-biaya pengusahaan hutan jati (Tectona grandis L. f.) KPH Madiun

A. Biaya Perencanaan

No Uraian Total (Rp)

1. Biaya Perencanaan 70.500.000

Jumlah 70.500.000

Luas kawasan tanaman jati rata-rata KPH Madiun (ha) 989,5

Rata-rata biaya perencanaan (Rp/ha) 71.281

B. Biaya Umum dan Administrasi

No Uraian Total (Rp)

1. Biaya Umum

a. Biaya kesejahteraan umum 756.280.000

b. Biaya perjalanan dinas 706.359.000

c. Biaya Kantor 373.670.000

2. Biaya pembinaan hutan

a. Biaya pembinaan hutan jati 287.895.000

b. Biaya penyuluhan 10.000.000

3. Biaya pemeliharaan sarana dan prasarana

a. Biaya pemeliharaan bangunan dan tanah 203.880.000 b. Biaya pemeliharaan jalan-jalan dan jembatan 49.000.000 c. Biaya pemeliharaan bengkel dan instalansi 12.000.000 d. Biaya pemelihaaan kendaraan bermotor dan alat berat 197.200.000 e. Biaya pemeliharaan perlengkapa kantor dan kendaraan tak

bermotor 8.500.000

4. Biaya penyusutan

a. Biaya penyusutan bangunan dan tanah 92.092.000 b. Biaya penyusutan jalan-jalan dan jembatan 150.500.000 c. Biaya penyusutan perlegkapan kantor dan kendaraan tak

bermotor 3.000.000

Jumlah 2.850.376.000

Luas areal produktif kawasan hutan KPH Madiun (ha) 15.502,4 Rata-rata biaya umum dan administrasi (Rp/ha/tahun) 183.867

C. Biaya Investasi

No Uraian Total (Rp)

1. Bangunan dan tanah 294.000.000

2. Perlengkapan kantor dan kendaraan tak bermotor 17.000.000

Jumlah 311.000.000

Luas areal produktif kawasan hutan KPH Madiun (ha) 15.502,4


(2)

55

Lampiran 4 (Lanjutan) D. Biaya Persemaian

No. Uraian Total (Rp)

1. Biaya persemaian jati tahun berjalan

a. Biaya persiapan lapangan persemaian 53.208.000 b. Biaya pengadaan dan angkutan benih 9.000.000 c. Biaya pengadaan sarana dan prasarana 84.000.000 d. Biaya pembuatan media dan pemeliharaan 193.000.000

Jumlah 339.208.000

Luas areal penanaman jati tahun berjalan (ha) 961,8 Rata-rata biaya persemaian per hektar (Rp/ha) 352.680

E. Penanaman

No. Uraian Total (Rp)

1. Biaya tanaman rutin jati

a. Biaya tanaman rutin jati tumpang sari tahun I 128.514.000 b. Biaya tanaman rutin jati tumpang sari tahun II/Pemeliharaan 49.000.000 c. Biaya tanaman rutin jati tumpang sari tahun III/Pemeliharaan 24.000.000 d. Biaya tanaman rutin jati banjar harian tahun I 71.000.000 e. Biaya tanaman rutin jati banjar harian tahun II/Pemeliharaan 31.500.000 f. Biaya tanaman rutin jati banjar harian tahun III/Pemeliharaan 42.000.000

g. Biaya tanaman rutin jati lainnya 4.500.000

Total biaya tanaman rutin jati 350.514.000

2. Biaya tanaman pembangunan jati

a. Biaya tanaman pembangunan jati tumpang sari tahun I 420.047.000 b. Biaya tanaman pembangunan jati tumpang sari tahun

II/Pemeliharaan 111.000.000

c. Biaya tanaman pembangunan jati tumpang sari tahun

III/Pemeliharaan 22.000.000

d. Biaya tanaman pembangunan jati banjar harian tahun I 471.000.000 e. Biaya tanaman pembangunan jati banjar harian tahun

II/Pemeliharaan 170.000.000

f. Biaya tanaman pembangunan jati banjar harian tahun

III/Pemeliharaan 61.000.000

g. Biaya penanaman lainnya 1.137.035.000

Total biaya tanaman pembangunan jati 2.392.082.000

Luas areal tanaman rutin jati (ha) 290,5

Rata-rata biaya tanaman rutin jati (per ha) 1.206.588,6

Luas areal tanaman pembangunan jati (ha) 437

Rata-rata biaya tanaman pembangunan jati (per ha) 5.468.866

Total biaya penanaman 2.742.596.000


(3)

Lampiran 4 (Lanjutan) F. Biaya Penjarangan

No. Uraian Total (Rp)

1. Biaya wiwit/babat rayud/oyod-oyadan

a. Biaya upah tenaga kerja wiwil/babad rayud/oyod-oyodan 2.895.000 2. Biaya petak ukur dan tunjuk tolet

a. Biaya pembuatan tanda/babat trowong 24.000.000 b. Biaya petak ukur dalam penyusunan RTT 24.000.000 c. Biaya petak coba penjarangan (tahun berjalan) 8.000.000

d. Biaya tunjuk tolet penjarangan 28.000.000

e. Biaya alat-alat/sarana 9.000.000

f. Biaya upah tenaga kerja petak ukur dan tunjuk tolet 13.000.000

Total biaya penjarangan jati 108.895.000

Luas areal penjarangan jati (ha) 1.035,6 Rata-rata biaya penjarangan jati (Rp/ha) 105.152

G. Biaya Eksploitasi Kayu Jati

No. Uraian Total (Rp)

1. Biaya persiapan eksploitasi kayu jati

a. Biaya teresan 26.621.000

b. Biaya pembagian blok 2.000.000

c. Biaya klem 2.000.000

d. Biaya prasarana tebangan 157.816.000

e. Biaya sarana tebangan 8.000.000

f. Biaya persiapan eksploitasi lainnya 45.000.000 2. Biaya penerimaan kayu jati

a. Biaya penerimaan kayu pertukangan jati 941.225.904 3. Biaya pengangkutan kayu jati

a. Biaya penghelaan kayu jati 27.253.000

b. Biaya pengangkutan biasa kayu pertukangan jati 840.000.000

Total biaya eksploitasi kayu jati 2.049.915.904

Volume produksi kayu jati (m3) 9.724 Rata-rata biaya eksploitasi kayu jati (Rp/m3) 154.232

Luas produksi kayu jati (ha) 335


(4)

57

Lampiran 4 (Lanjutan) H. Biaya PMDH

No. Uraian Total (Rp)

1 Biaya PMDH diluar kawasan

a. Biaya pemenuhan kewajiban finansial negara 2.021.013.000

2. Biaya penyuluhan 10.000.000

Total biaya PMDH 2.031.013.000

Luas areal PMDH (ha) 27.717

Rata-rata biaya PMDH (Rp/ha) 73.277

Lampiran 4 (Lanjutan) I. Biaya Perlindungan Hutan

No. Uraian Total (Rp)

1. Biaya perlindungan terhadap pencurian

a. Biaya perondaan 14.560.000

b. Biaya peggeledahan 9.000.000

c. Biaya pos pemeriksaan 23.500.000

d. Biaya polisi hutan 7.500.000

e. Biaya angkut kayu bukti 14.500.000

f. Biaya spion 2.000.000

g. Biaya lain-lain perlindungan 2.000.000

2. Biaya penyelesian perkara

a. Biaya tahanan 3.101.000

b. Biaya penyidikan 24.500.000

Total 100.661.000

Luas produktif KPH Madiun (ha) 15.502,4


(5)

KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Dibimbing oleh YULIUS

HERO dan CORRYANTI.

Jati (Tectona grandis L.f.) merupakan kayu dengan nilai jual tinggi, sehingga banyak diminati oleh masyarakat. Peran pengusahaan hutan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan untuk menghasilkan keuntungan maksimal. Oleh karena itu, perlu ditetapkan daur finansial kelas perusahaan jati. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan daur finansial yang optimal pada kelas perusahaan jati di KPH Madiun, Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan di KPH Madiun pada kelas hutan produktif. Penaksiran produksi volume terbesar dihasilkan pada tegakan jati dengan umur 40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa hutan jati di KPH Madiun saat ini menunjukkan kondisi yang tidak normal. Kondisi tidak normal tersebut disebabkan oleh faktor penjarahan/pencurian, kebakaran hutan, dan bencana alam. Penentuan daur finansial didekati dengan nilai harapan lahan – Soil Expectation Value (SEV) dan nilai kini bersih - Present Net Worth (PNW). Daur alternatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55, dan 60 tahun. Sedangkan tingkat suku bunga yang digunakan yaitu 5%, 6,5%, 10%, dan 12%. Hasil perhitungan SEV menunjukkan bahwa daur yang menghasilkan nilai SEV tertinggi adalah 40 tahun. Sama halnya dengan hasil perhitungan pendapatan bersih saat ini (PNW) yang menunjukkan bahwa daur yang menghasilkan nilai PNW tertinggi adalah daur 40 tahun. Oleh karena itu, daur finansial terbaik untuk kelas perusahaan jati KPH Madiun adalah 40 tahun. Berdasarkan analisis sensitivitas, pengusahaan hutan jati KPH Madiun lebih sensitif terhadap perubahan penurunan pendapatan dibandingkan terhadap kenaikan biaya.

Kata Kunci: Daur finansial, Jati (Tectona grandis L.f.), PNW (Present Net Worth).


(6)

SUMMARY

MELATI NUSWANTARI. Finance Rotation Determination of Teak in KPH

Madiun Perum Perhutani Unit II East Java. Supervised by YULIUS HERO and

CORRYANTI.

Teak (Tectona grandis L.f.) is wood with high value offers many interests by the community. The role of forest enterpreneur is very important to fulfill the needs by generating maximum benefits. Therefore, it is necessary to determine the financial rotation of teak. This research aims to establish optimal financial rotation of teak, in KPH Madiun Perum Perhutani Unit II East Java. This research was conducted in KPH Madiun on the forest class productive. The largest volume production assessment generated at the stands of teak with a lifespan of 40 years. This shows that the teak forest in KPH Madiun is currently showing condition which is not normal. Abnormal condition is caused by a factor of looting/theft, forest fires, and natural disasters. Financial rotation is determinated by the approach of Soil Expectation Value (SEV) and the Present Net Worth (PNW). Alternative rotation use in this research are 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55, and 60 years. Meanwhile, the interest rate use are 5%, 6,5%, 10%, and 12%. Calculation of the results shows that rotation of SEV produces the highest value of the SEV is 40 years old. It is similar with calculation of the result present net income (PNW) show that recycling generating the highest recycling value PNW is 40 years. Therefore, the best financial rotation of teak KPH Madiun is 40 years. Based of the sensitivity analysis, teak forest enterprise of KPH Madiun is more sensitive to changes reduced income than increased cost.

Keywords: Financial rotation, Teak (Tectona grandis L.f.), PNW (Present Net Worth)