Kelayakan Finansial Pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

(1)

ABSTRACT

RAMA ADITYA KUSUMA.Financial Feasibility of Jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java. Supervised

by DODIK RIDHO NURROCHMAT

Sustainable of teak forest management will help to solve the problem of teak wood supply shortages to the domestic and foreign market in the future. At this time local teak wood supply is estimated to only be able to meet less than 30% the number of requests. This situation causes the price of teak increasing from year to year. On the other hand, export demand for timber products and furniture increased sharply, which eventually enlarge the gap between total production and demand for teak wood. Another advantages of the sustainable teak management is a very high level of profit from the nature of the investment object that tree growth can be projected and also resistant to economic fluctuations and disturbances.

Nowadays with the development of technology, especially in the genetic engineering side (Tree Improvement) has presented teak varieties to improve the sustainable teak management. One developed excellent teak by Perhutani is Jati Plus Perhutani (JPP). Advantages of Jati Plus Perhutani is growing faster (harvest rotation is every 20 years), volume per hectare is relatively larger and better quality of stem. Therefore, it is important to analyze the feasibility business of the Jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java for getting maximum benefits.

This research aims to analyze the feasibility business especially the financial aspects of the Jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java. It is hoped this research can provide feasibility information, especially in the financial aspects of jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java.

Data processing method used is a financial analysis of the three criteria that assessed the Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) and Internal Rate of Returns (IRR) which use the feasibility analysis period is calculated within a period of 20 years.

The Jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java seen from the financial aspects was feasible because of the Net Present Value (NPV) is Rp 91,484,610,335 greater than zero (> 0) and Benefit Cost Ratio (BCR) is 3.86 greater than one (> 1) while the value of Internal Rate of Return (IRR ) is 21.72% greater than the interest rate, that is 10%. Based on the sensitivity analysis with scenario, that is a total cost increase of 10% and a decrease in the price of teak logs by 10% can be seen that from financial aspect the Jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java was feasible although the value of NPV, BCR and IRR has decreased compared to normal conditions but still be positive.


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan hutan jati secara berkelanjutan akan membantu mengatasi masalah kekurangan pasokan kayu jati ke pasaran dalam maupun luar negeri pada masa datang. Pada saat ini pasokan kayu jati lokal diperkirakan hanya mampu memenuhi kurang dari 30% dari jumlah permintaan yang ada. Situasi ini menyebabkan harga kayu jati terus meningkat dari tahun ke tahun. Di lain pihak permintaan ekspor atas produk hasil olahan kayu dan mebel meningkat tajam, sehingga memperbesar perbedaan antara jumlah pasokan dan permintaan kayu jati (ASMINDO 2001).

Keuntungan lain dari pengelolaan jati secara berkelanjutan adalah tingkat keuntungan yang sangat tinggi disertai sifat alamiah objek investasi pohon itu sendiri yang pertumbuhannya dapat diproyeksi dan juga relatif tahan terhadap fluktuasi dan kondisi ekonomi. Saat ini dengan berkembangnya teknologi khususnya dalam bidang rekayasa genetik (Pemuliaan Pohon / Tree Improvement) telah menghadirkan jati varietas unggul. Jati yang dihasilkan diharapkan memiliki keunggulan komparatif berdaur pendek (± 15 tahun), sedikit cabang, batang lurus dan silindris. Salah satu jati varitas unggul yang telah beredar di pasaran adalah Jati Plus Perhutani (JPP) (Perhutani 2010b).

Keuntungan dari Jati Plus Perhutani adalah tumbuh cepat (daur 20 tahun), volume per hektar relatif besar dan kualitas batang lebih baik. Oleh karena itu perlu studi kelayakan usaha untuk pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di KPH Bojonegoro unit II Jawa Timur agar diperoleh keuntunga yang maksimal.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menganalisis kelayakan usaha terutama aspek finansial dari pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di KPH Bojonegoro Unit II Jawa Timur.


(3)

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapakan memberikan informasi kelayakan usaha terutama aspek finansial pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di KPH Bojonegoro Unit II Jawa Timur.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jati

Menurut Sumarna (2002), klasifikasi tanaman jati digolongkan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Famili : Verbenaceae Genus : Tectona

Species : Tectona grandis Linn.f

Sejak abad ke-9 tanaman jati yang merupakan tanaman tropika dan sub tropika dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas kayu tinggi dan bernilai jual tinggi. Jati digolongkan sebagai kayu mewah dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap seperti jamur dan mampu bertahan sampai 500 tahun (Suryana 2001).

Jati Plus Perhutani (JPP) adalah jati unggul produk Perum Perhutani yang diperoleh melalui program pemulian pohon. Jati Plus Perhutani dikembangkan melalui dua cara yaitu pembiakan vegetatif (kultur jaringan, stek pucuk dan lain-lain dan generatif (benih KBK dan KBS) (Perhutani 2010a).

Jati Plus Perhutani tumbuh baik pada lahan yang memiliki ketinggian sampai dengan 600 meter dpl, curah hujan 1500-2500 mm per tahun, tipe iklim C-D, pH netral sampai basa (7-8), tanah berdrainase baik dan ketebalan tanah minimal 50 cm (Perhutani 2010b).

2.2 Kelayakan Usaha Berdasarkan Analisis Finansial

Menurut Kadariah et al. (1999), analisis finansial adalah analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek. Dalam


(5)

analisis finansial yang diperhatikan, yaitu: hasil untuk modal saham (equality capital) yang ditanam dalam proyek, hasil yang harus diterima oleh para petani, pengusaha, perusahaan swasta, suatu badan pemerintah, atau siapa saja yang berkepentingan dalam pembangunan proyek. Hasil finansial sering juga disebut

private returns”.

Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam aspek keuangan, yaitu: (1) aktiva tetap, (2) modal kerja dan (3) sumber dana untuk modal kerja dan investasi aktiva tetap. Aktiva tetap dibagi ke dalam dua bagian yaitu: aktiva tetap berwujud dan aktiva tetap tidak berwujud. Aktiva tetap berwujud terdiri dari tanah dan pembangunan lokasi, bangunan dan perlengkapan, pabrik dan mesin serta aktiva lainnya. Sedangkan aktiva tetap tidak berwujud terdiri dari biaya pendahuluan dan biaya sebelum operasi.

Istilah modal kerja bisa diartikan sebagai modal kerja bruto atau modal kerja netto. Modal kerja bruto menunjukkan semua investasi yang diperlukan untuk aktiva lancar yang terdiri dari kas, surat-surat berharga (kalau ada), piutang, persediaan dan lainnya. Modal kerja neto merupakan selisih antara aktiva lancar dan utang jangka pendek. Aktiva lancar adalah aktiva yang hanya memerlukan waktu pendek untuk berubah menjadi kas, yaitu: kurang dari satu tahun atau satu siklus produksi (Husnan dan Suwarsono 2000).

Sumber dana yang dibutuhkan untuk membiayai aktiva tetap dan modal kerja dapat berasal dari milik sendiri, saham, obligasi, kredit bank, leasing dan project finance. Pihak perusahaan harus mencari kombinasi sumber dana yang mempunyai biaya terendah dan tidak menimbulkan kesulitan likuiditas bagi proyek atau perusahaan yang mensponsori proyek tersebut selama jangka waktu pengembalian dan penggunaan dana (Husnan dan Suwarsono 2000).

Cara menilai suatu proyek yang paling banyak diterima untuk penilaian proyek jangka panjang adalah dengan menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau analisis aliran kas yang didiskonto (Darusman 1981). Tujuan menganalisis aspek keuangan dari suatu studi kelayakan proyek bisnis adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan, seperti


(6)

ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus (Umar 2002).

Dalam analisis finansial terdapat kriteria kelayakan investasi. Menurut Gittinger (1986) menyebutkan bahwa dana yang diinvestasikan itu layak atau tidak akan diukur melalui kriteria investasi itu Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR).

NPV merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value dari biaya (Kadariah et al. 1999). Kriteria yang digunakan dalam menilai suatu proyek adalah bila NPV positif berarti menguntungkan dan NPV negatif menunjukkan kerugian (Soekartawi 1996). Dengan kata lain, NPV > 0 maka proyek tersebut dapat diterima. Jika NPV = 0 maka proyek tersebut mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of capital. Jika NPV < 0, proyek ditolak artinya ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan proyek (Kadariah et al. 1999).

IRR adalah tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Besarnya tingkat bunga yang menjadikan NPV = 0 itulah yang disebut IRR dari suatu proyek. Kriteria untuk menetapkan kelayakan suatu proyek ialah bila IRR lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku (IRR > i) (Soekartawi 1996). Jika nilai IRR dari suatu proyek sama dengan nilai i yang berlaku sebagai social discount rate, maka NPV dari proyek itu adalah sebesar 0 artinya proyek dapat dilaksanakan. jika IRR < social discount rate, berarti NPV < 0 maka proyek sebaiknya tidak dilaksanakan (Kadariah et al. 1999)

BCR adalah rasio manfaat terhadap biaya. Rasio ini diperoleh bila nilai sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. Suatu proyek dapat dikatakan bermanfaat apabila nilai manfaat (B) lebih besar dari biaya (C) yang dikeluarkan. Kriteria yang dipakai untuk menyatakan suatu usaha tani memberikan manfaat kalau memiliki nilai BCR > 1 (Soekartawi 2002). Menurut Kadariah et al. (1999), jika nilai BCR > 1 berarti NPV > 0 suatu proyek layak untuk dijalankan. Sedangkan jika BCR ≤ 1 maka suatu proyek tidak layak untuk dijalankan.


(7)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Agustus 2011.

3.2Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, sebagai berikut:

1. Buku Rencana Kerja Tahunan KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

2. Buku Rencana Jangka Panjang KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

3. Buku Rencana Operasional KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

3.3Analisis Data

Studi kelayakan usaha yang dilakukan berdasarkan analisis finansial, dengan menggunakan analisis aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto atau Discounted Cash Flow (DCF) yang menggunakan tiga kriteria yaitu NPV, BCR dan IRR berdasarkan kegiatan pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Agustus

Adapun penjelasan mengenai tiga kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Net Present Value (NPV)

Metode ini menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih. Formulanya adalah sebagai berikut:


(8)

Dimana:

NPV = Net Present Value

Bt = Pendapatan kotor pada tahun ke-t Ct = Biaya pada tahun ke-t

n = Umur ekonomis dari suatu proyek i = Suku bunga yang berlaku

Apabila NPV > 0, maka proyek dinilai menguntungkan untuk dijalankan. Namun bila NPV ≤ 0, maka proyek dinilai tidak menguntungkan untuk dijalankan (kadariah et al 1999).

2. Benefit Cost Ratio (BCR)

Metode ini menghitung rasio antara nilai sekarang pendapatan kotor dengan nilai sekarang biaya. Formulanya adalah sebagai berikut:

Dimana:

BCR = Benefit Cost Ratio

Bt = Pendapatan kotor pada tahun ke-t Ct = Biaya pada tahun ke-t

n = Umur ekonomis dari suatu proyek i = Suku bunga yang berlaku

Suatu proyek dapat dilaksanakan apabila memiliki nilai BCR > 1. Namun bila

BCR ≤ 1, maka proyek dinilai tidak menguntungkan untuk dijalankan (Kadariah et al 1999).

3. Internal Rate of Return (IRR)

Metode ini menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai investasi sekarang investasi dengan nilai penerimaan-penerimaan kas bersih di masa-masa mendatang. Menurut Kadariah et al (1999), IRR adalah nilai faktor diskonto (i) yang membuat NPV sama dengan nol. Pendekatan untuk menghitung IRR yaitu:


(9)

Dimana:

IRR = Internal Rate of Return NPV(+) = NPV bernilai positif NPV(-) = NPV bernilai negatif

i(+ = suku bunga yang membuat NPV positif i(-) = suku bunga yang membuat NPV negatif

Jika IRR dari suatu proyek sama dengan tingkat suku bunga, maka NPV dari

proyek tersebut sama dengan nol. Jika IRR ≥ tingkat suku bunga, maka proyek

layak untuk dijalankan, begitu pula sebaliknya.

3.4Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan.

Skenario yang digunakan pada analisis sensitivitas pada pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di KPH Bojonegoro Unit II Jawa Timur, sebagai berikut: 1. Apabila terjadi kenaikan biaya total pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP)

sebesar 10%

2. Apabila terjadi penurunan harga pasar log Jati sebesar 10%

3.5Asumsi dan dasar perhitungan yang digunakan

1. Harga jual log jati berasal dari Harga jual dasar kayu bundar jati tahun 2011 Perum Perhutani 2011 dengan hasil log penjarangan I diasumsikan sortimen AI pertama, hasil log penjarangan II diasumsikan sortimen AII utama dan hasil penebangan diasumsikan AII utama

2. Analisis finansial dihitung dalam jangka waktu pengelolaan 20 tahun mulai tahun 2007 sampai 2027.

3. Data biaya pengelolaan tanaman JPP untuk kegiatan yang telah dilaksanalan di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur bersumber dari Rencana Operasional di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II pada tahun 2007

4. Data biaya pengelolaan kawasan tanaman JPP di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur bersumber dari laporan sub sistem keuangan KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II pada tahun 2007


(10)

5. Biaya angkutan hasil penjarangan I, penjarangan II dan hasil penebangan berdasarkan perjanjian angkutan produksi kayu tahun 2011

6. Suku bunga yang digunakan dalam analisis kelayakan investasi adalah 10% (suku bunga kredit bank BNI bulan Juni 2011).


(11)

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI

4.1 Letak Geografis dan Luas

Kesatuan Pemangkuan Hutan Bojonegoro memiliki luas wilayah 50.145,4 hektar. Secara administratif wilayah KPH Bojonegoro seluruhnya berada di Kabupaten Bojonegoro. Berdasarkan penggunaannya KPH Bojonegoro terdiri dari areal produksi dan non produksi dengan pembagian sebagai berikut:

1. Areal efektif untuk produksi luasnya 47.479,3 Hektar (94,68 % dari areal kerja) terdiri dari:

a. Areal produksi jati 45.447,8 hektar.

b. Bukan untuk produksi kayu jati 2.031,5 hektar.

2. Areal yang bukan untuk produksi luasnya 2.666,1 Hektar yang terdiri dari alur, jalan, perumahan dinas dan bangunan lainnya, serta di dalamnya termasuk areal Hutan Lindung seluas 1.050,4 Hektar (2,09 % dari areal kerja) (Perhutani 2009).

Tabel 1 Posisi KPH Bojonegoro berdasarkan geografis, administrasi, pemerintahan, wilayah pemangkuan hutan, daerah aliran sungai, dan batas wilayah.

Uraian Keterangan

Geografis

4°54’0” – 5°16’42” BT

7°10’38” –7°27’58” LS

Administrasi Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur

Wilayah Pemangkuan Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Bojonegoro Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo Batas Wilayah :

- Sebelah Utara Kota Kabupaten Bojonegoro - Sebelah Timur KPH Jombang

- Sebelah Selatan KPH Saradan dan KPH Nganjuk - Sebelah Barat KPH Padangan


(12)

4.2 Tanah dan Geologi

Formasi Geologi yang terdapat di wilayah KPH Bojonegoro, yaitu: formasi alluvium, undifferentiated volcanic product, young quaternary volcanic product, pleistocene sedimentary facies, pleistocene limestone facies, pliocene limestone facies, dan miocene sedimentary facies (Perhutani 2009). Batuan penyusun dan luas masing-masing formasi geologi di wilayah tersebut tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Formasi geologi di wilayah KPH Bojonegoro serta batuan penyusun dan sebaran luasnya

No. Formasi Luas

Ha %

1 Alluvium

1.093,01 2,18 2 Undifferentiated volcanic product 703,92 1,40 3 Young quaternary volcanic product 2.145,18 4,28 4 Pleistocene sedimentary facies

15.779,29 31,47 5 Pleistocene limestone facies 1.431,74 2,86 6 Pliocene limestone facies

17.284,84 34,47 7 Miocene sedimentary facies 11.707,42 23,35

Jumlah 50.145,4 100,00

Sumber : Public Summary KPH Bojonegoro Tahun 2009

Di beberapa lokasi teridentifikasi keberadaan deposit bahan tambang phospat dan minyak bumi, yaitu di areal BKPH Gondang untuk phospat dan di BKPH Clangap untuk minyak bumi.

Jenis tanah yang terdapat di wilayah KPH Bojonegoro, yaitu: komplek litosol mediteran kuning dan rensina, grumusol kelabu tua, komplek mediteran coklat kemerahan dan litosol, komplek mediteran coklat, komplek mediteran merah, dan latosol coklat kemerahan. Satuan lahan dan jenis tanah tanah yang ada disajikan pada Tabel 3.


(13)

Tabel 3 Satuan Lahan, Jenis Tanah serta Sebaran Luas di Wilayah KPH Bojonegoro

No. Simbol Jenis Tanah Luas

Ha %

1 Li/My/Rz Komplek litosol mediteran kuning dan rensina

16.547,22 33,00

2 G.dg Grumusol kelabu tua 1.068,20 2,13 3 G.dg Grumusol kelabu tua 14.047,44 28,01

4 M.rb/Li

Komplek mediteran coklat

kemerahan dan litosol 2.104,58 4,20 5 M.b/L Komplek mediteran coklat 3.541,72 7,06 6 M.r/Li Komplek mediteran merah 12.278,60 24,49 7 L.rb Latosol coklat kemerahan 557,64 1,11 Sumber : Public Summary KPH Bojonegoro Tahun 2009

4.3 Iklim

Wilayah hutan KPH Bojonegoro terletak pada daerah dengan musim hujan dan musim kemarau yang jelas. Pada beberapa tempat di sekitar wilayah hutan terdapat beberapa stasiun hujan, sehingga dari data stasiun hujan tersebut dapat diketahui adanya bulan basah, bulan lembab dan bulan kering. Berdasarkan kriteria iklim dari Scmidht dan Ferguson, KPH Bojonegoro termasuk dalam iklim D.


(14)

4.4 Keadaan Hutan

Wilayah KPH Bojonegoro dibagi dalam areal-areal kerja sesuai pada tabel berikut.

Tabel 4 Pembagian wilayah kerja KPH Bojonegoro

BKPH / Luas RPH

A.Sub KPH Bojonegoro Barat

A.1 Bagian Hutan Clangap

a. BKPH Clangap: 2. 625,8 ha Prajegan, Gledegan, Sawitrejo dan Sendanggerong b. BKPH Nglambangan :796,8 ha Ringinanom (khusus 1 RPH, lainnya masuk BH

Deling) A.2 Bagian Hutan Deling

a. BKPH Bubulan : 2.904,4 ha Tlotok, Sambirejo, Pragelan Utara b. BKPH Deling : 2.800,4 ha Deling, Klino, Pragelan Selatan c. BKPH Nglambangan: 3.049,7

ha Semek, Kalimas, Ringinanom

Jumlah Sub KPH Bojonegoro

Barat 12.177,1 ha

B.Sub KPH Bojonegoro Tengah

B.1 Bagian Hutan Dander

a. BKPH Tengger: 3.183,5 ha Wadang, Putuk, Kebonagung, Soko b. BKPH Pradok: 2.891,5 ha Grogolan, Suruhan, Pradok

B.2 Bagian Hutan Ngorogunung

a. BKPH Dander : 3.819,9 ha Ngunut, Dander, Sumber arum, Sampang b. BKPH Clebung : 3.502,7 ha Cancung, Jeblokan, Clebung, Ngorogunung Jumlah Sub KPH Bojonegoro

Tengah 23.958,1 ha

C.Sub KPH Bojonegoro Timur

C.1 Bagian Hutan Cerme

a. BKPH Bareng: 4.260,2 ha Alasgung, Sekidang, Bareng, Babat b. BKPH Tondomulo :4.119,9 ha Banaran, Malangbong, Bunten, Mundu C.2 Bagian Hutan Temayang

a. BKPH Tretes : 4.770,2 ha Maor, Bakulan, Tretes, Sugihan

b. BKPH Temayang : 5.439,3 ha Sekonang,Kalimati,Temayang,Madungan,Brabuhan c. BKPH Gondang : 5.368,5 ha Gondang, Sukun, Dodol, Soko

Jumlah Sub KPH Bojonegoro

Timur 13.397,6 ha

Alur 612,6 ha

Jumlah Seluruh KPH Bojonegoro 50.145,4 ha Sumber : Public Summary KPH Bojonegoro Tahun 2009

Dari luasan tersebut hutan yang produktif untuk areal produksi jati seluas 45.447,8 ha dan yang bukan untuk produksi kayu jati sekitar 2.031,5 ha


(15)

4.5 Ketenagakerjaan

Untuk merealisasikan tujuan perusahaan diperlukan sumber daya manusia yang handal dan sistem manajemen yang menunjang. KPH Bojonegoro dipimpin oleh seorang kepala KPH yang biasa disebut Administratur. Administratur dibantu oleh 3 orang Wakil Kepala KPH yang biasa disebut Ajun, ditugaskan berdasarkan 3 wilayah sub pengelolaan KPH Bojonegoro, yaitu Bojonegoro Barat, Bojonegoro Tengah, Bojonegoro Timur. KPH Bojonegoro didukung oleh 664 orang karyawan yang terdiri dari pegawai negeri sipil yang diperbantukan, pegawai perusahaan, calon pegawai, pegawai harian, tenaga kontrak dan tenaga borong.

Berdasarkan struktur organisasi di KPH Bojonegoro, karyawan perusahaan terdiri dari :

1. Administratur : 1 orang 2. Waka Adm. : 3 orang 3. Ajun Adm. Sederajat : 1 orang 4. Asper/KBKPH : 10 orang 5. Asper Sederajat : 7 orang 6. Mantri/KRPH : 53 orang 7. KRPH Sederajat : 7 orang 8. SP. Tekhnik : 517 orang 9. SP. TU : 65 orang

Sebagaimana disebutkan dalam strategi pencapaian Pengelolaan Hutan Lestari KPH Bojonegoro dalam rangka menuju sertifikasi SFM tingkat global, peningkatan kualitas hak-hak tenaga kerja telah mendapatkan perhatian dari perusahaan sesuai peraturan Hukum Internasional maupun Nasional. Hak-hak tenaga kerja tersebut secara umum adalah sebagai berikut :

1. Upah diatas UMR 2. Cuti tahunan

3. Jaminan sosial tenaga kerja

4. Alat perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja


(16)

4.6 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Di wilayah KPH Bojonegoro terdapat 62 desa hutan yang tersebar dalam 11 kecamatan. Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah desa sekitar hutan KPH Bojonegoro adalah penduduk suku Jawa yang mayoritas memeluk agama Islam. Masyarakat Bojonegoro rata-rata menggantungkan kehidupan mereka pada sektor pertanian dan pemanfaatan hasil hutan. Ada yang berprofesi sebagai petani, pegawai, karyawan, pedagang, tukang, pengrajin, dan lain-lain. Pendapatan rata-rata masyarakat desa sekitar hutan di wilayah kerja KPH Bojonegoro sebesar Rp 836.950 berarti berada di atas UMR Kabupaten Bojonegoro senilai Rp 690.000.

Dalam bidang pendidikan, tingkat pendidikan yang diperoleh masyarakat di KPH Bojonegoro bervariasi mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Menurut survei yang dilakukan untuk kajian sosial KPH Bojonegoro, sebagian besar penduduk menamatkan SD, walau ada juga yang tidak. Sementara yang menamatkan pendidikan di tingkat SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi jarang yang menggeluti bidang pertanian sebagai mata pencaharian. Mereka lebih memilih untuk bekerja di kota, sebagai karyawan, buruh pabrik dan tidak sedikit perempuan yang bekerja sebagai tenaga kerja di luar negeri.


(17)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Hutan di KPH Bojonegoro

KPH Bojonegoro adalah bagian dari Perum Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang kehutanan yang diberi kewenangan dalam pengelolaan hutan negara seluas 50.145,45 hektar yang terdiri dari hutan produksi seluas 45.087,3 hektar (90%) dan hutan non produksi seluas 5.058,1 hektar (10%). Sebagaian besar wilayah KPH Bojonegoro berada di Wilayah Administratif Kabupaten Bojonegoro.

Sebagai bagian dari unit manajemen di Perum Perhutani Unit II Jawa Timur nilai strategis dari KPH Bojonegoro diantaranya adalah sebagai berikut:

1. KPH Bojonegoro sebagai kelas perusahaan jati, yang merupakan produsen kayu jati yang sampai saat ini masih menjadi penyokong penghasil utama Perum Perhutani

2. Kabupaten Bojonegoro di masa yang akan datang diprediksi menjadi kota yang mempunyai masa depan cukup baik dan strategis berkaitan dengan banyaknya potensi minyak.

3. Secara umum masyarakat pedesaan yang berdekatan dengan hutan banyak menggantungkan hidupnya dari hutan dan kehutanan

4. Wilayah hutan KPH Bojonegoro mempunyai banyak sungai yang berperan sangat penting dalam menopang kualitas hidup masyarakat di Kabupaten Bojonegoro yakni sungai Bengawan Solo beserta anak sungainya. Perilaku sungai sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan kualitas hutan di dalam DAS setempat.

5. KPH Bojonegoro juga mempunyai keragaman flora, fauna dan ekosistem endemik yang perlu mendapatkan perlindungan agar tidak terjadi kerusakan dan kepunahan di waktu yang akan datang.

Karakteristik yang sangat kompleks dan kritis tersebut membutuhkan dukungan kualitas lingkungan yang baik, khususnya kualitas sumberdaya hutan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja infrastruktur, industri, penyedian air yang cukup dan berkualitas, pengendalian


(18)

banjir, kekeringan dan tanah longsor, mikroklimat, penyedian produk-produk hasil hutan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan memberikan peluang lapangan kerja, serta lapangan usaha bagi masyarakat sekitar.

Berdasarkan karakteristik permasalahan yang dihadapi serta mengacu pada pengalaman panjang dalam pengelolaan hutan maka ditetapkan beberapa prinsip- prinsip dasar pengelolaan sumberdaya hutan sebagai berikut:

1. Collaborative Forest Management (CFM) dimana pengelolaan dan pengusahaan hutan, tidak semata-mata ditujukan untuk kepentingan perusahaan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat banyak. Dalam pengelolaanya, Perum Perhutani KPH Bojonegoro melibatkan masyarakat sekitar hutan dalam wadah LMDH untuk berpartispasi aktif mulai dari perencanaan, pengelolaan hingga pengawasan.

2. Resources Based Forest Management (RFBM). Prinsip ini menegaskan bahwa usaha Perum Perhutani KPH Bojonegoro tidak semata-mata memproduksi kayu dan hasil hutan lainnya, tetapi juga meliputi pengelolaan ekosistem, termaksuk seluruh sumberdaya yang terkandung di dalam maupun yang ada di permukaan lahan hutan sepertinya: air, galian C, agribisnis, wisata alam, dan lain sebagainya. Prinsip ini ditujukan untuk mengoptimalkan manfaat hutan bagi kesejahteraan masyarakat

3. Penerapan Good Corporate Governonce (GCG) dalam seluruh aspek pengelolaan perusahaan, artinya bahwa seluruh aktivitas pengelolaan perusahaan harus memenuhi azas trasparansi, akuntabilitas fairness, kemandirian, kewajaran serta bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) prinsip ini juga ditujukan untuk perbaikan manajeman guna menjamin kelestarian hutan dan kelestarian perusahaan (Perhutani 2010d).

Prinsip-prinsip dasar tersebut di jadikan acuan dan kriteria keberhasilan pada semua aktivitas perusahaan. Format Rencana Jangka Panjang (RJP) Perum Perhutani KPH Bojonegoro dimulai dengan evaluasi atas kinerja perusahaan selama 5 tahun yang lalu, serta analisa lingkungan internal dan lingkungan eksternal perusahaan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan. Berdasarkan kajian lingkungan usaha tersebut maka dapat ditetapkan sasaran-sasaran perusahaan yang terukur,


(19)

achievable dan reliable, serta strategi dan kebijakan usaha yang menjadi acuan manajeman dalam pencapaian sasaran perusahaan dengan efektif dan efisien.

Berdasarkan analisa lingkungan usaha, dapat diketahui bahwa Perum Perhutani KPH Bojonegoro dalam beberapa tahun terakhir manghadapi perubahan lingkungan internal yang sangat drastis, diantaranya penurunan potensi sumberdaya hutan akibat penjarahan hutan yang terjadi tahun-tahun sebelumnya dan adanya perencekan yang terus menerus. Sementara itu, lingkungan eksternal perusahaan seperti kondisi sosial, ekonomi, dan budaya belum sepenuhnya kondusif bagi perusahaan.

Menyikapi kondisi tersebut maka KPH bojonegoro harus melakukan penyesuaian organisasi, sistem dan budaya perusahaan yang baik komprehensif dan terpadu untuk mewujudkan perusahaan yang tumbuh sehat secara finansial dan operasional yang didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, iklim kerja yang kondusif serta budaya kerja profesional. Secara umum upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan utama yang ingin dicapai sebagai berikut:

1. Efisiensi sumber daya baik pada struktur bisnis, struktur organisasi, aktivitas usaha maupun pembiayaan dengan menerapkan activity based budgeting 2. Memperbaiki infrastuktur organisasi seperti manajemen kinerja, pola karir,

diklat dan budaya perusahaan berazaskan good corporate governance 3. Meningkatkan potensi dan kualitas sumberdaya hutan melalui

pengembangan Jati Plus Perhutani (JPP) dan fast growing species (FGS) seperti mindi

4. Pengembangan usaha untuk meningkatkan value creation (penciptaan nilai perusahaan) dan cash flow perusahaan melalui panggalian potensi dan pengembangan usaha dalam format Unit Kelola Mandiri (UKM) di KPH Bojonegoro

5. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan secara berkelanjutan dengan melakukan perbaikan terus menerus baik oraganisasi, sumberdaya manusia, sumberdaya hutan, usaha dan manajemen secara umum

6. Meningkatkan kerjasama yang baik dengan instansi dan steakholder yang terkait untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan di Wilayah KPH Bojonegoro


(20)

Strategi utama tersebut ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan serta meningkatkan produktivitas dan daya saing usaha. Untuk meningkatan potensi dan kualitas sumberdaya hutan KPH Bojonegoro menggunakan Jati Plus Perhutani sebagai tanaman utama dalam setiap penanaman mulai tahun 2002 hingga saat ini. Ini dapat meningkatkan pendapatan Perhutani karena daurnya yang singkat yaitu 20 tahun serta JPP merupakan varietas unggul diantara varietas jati lainya. Berikut adalah grafik rekapitulasi penanaman JPP:

Gambar 1 Grafik penanaman jati plus Perhutani.

Pada penelitian ini dilakukan analisis finansial terhadap pengelolaan Jati Plus Perhutani di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II pada tahun tanam 2007 dengan luas lahan yang ditanam adalah 691,2 hektar. Sistem pengelolaan tanaman Jati Plus Perhutani (JPP) dibagi menjadi dua yaitu sistem pengelolaan kawasan dan sistem pengelolaan tanaman JPP. Sistem pengelolaan kawasan adalah sebagai berikut:

1. Manajemen kawasan meliputi penilaian tanaman dan pengecekan luas kawasan

2. Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ditetapkan oleh pemerintah dan dibayarkan setiap tahun

3. Perencanaan dilakukan sebelum dilakukan penanaman berupa pembuatan buku rencana operasional, analisis peta dan penentuan areal


(21)

4. Pengelolaan keamanan kawasan dilakukan oleh KRPH dan Polhut yang berpatroli dalam mengamankan areal tanaman JPP

5. Pengelolaan finansial dan penyuluhan adalah pengelolaan keuangan yang berkenaan dengan tanaman JPP dan penyuluhan terhadap LMDH bersama mengelola tanaman JPP

6. Pemeliharaan sarana dan prasarana meliputi perawatan rumah pegawai, perawatan kantor, dan lainya

7. Pembayaran gaji mandor dan pembantu mandor

Sedangkan untuk pengelolaan tanaman Jati Plus Perhutani (JPP) adalah sebagai berikut:

5.1.1 Persemaian

Seiring dengan perkembangan program pemuliaan pohon yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan dengan ditemukanya klon-klon unggulan, serta dengan terbatasnya luas maupun produksi kebun benih klonal (KBK) jati untuk pemenuhan kebutuhan benih bagi Perum Perhutani dan pihak ketiga, perlu dikembangkan pembuatan bibit asal stek pucuk secara luas dalam persemaian.

Pengembangan/pembuatan bibit asal stek pucuk secara luas atau skala besar memerlukan pembangunan atau penyediaan kebun pangkas JPP berikut persemaianya. Menurut Peraturan Mentri kehutanan (Permenhut) nomor: P.72/Menhut-II/2009 tanggal 20 desember 2009 tentang perubahan atas Peraturan Mentri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2009 tentang penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan, kebun pangkas merupakan sumber pangkas yang mempunyai klasifikasi paling tinggi. Menurut Permenhut tersebut pengertian kebun pangkas adalah sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari klon unggul berdasarkan hasil uji klon untuk memproduksi materi vegetatif. Kebun pangkas dikelola intensif dengan pemangkasan, pemupukan dan perlakuan lain untuk meningkatkan produksi bahkan stek.

Pembangunan kebun pangkas dilakukan dengan persiapan kebun pangkas seperti pembuatan dan pemasangan pal batas, pembersihan lapangan dan pengelolaan tanah, pembuatan jalan pemeriksa angkutan,


(22)

pembuatan tandon air, pembuatan dan pemasangan papan pengenal kebun pangkas pembuatan dan pemasangan acir, pembuatan lubang tanam, pemasukan pupuk kandang ke dalam lubang. Penanaman indukan kebun pangkas yaitu sebelum ditanam, bibit yang telah sampai di lapangan diterima dari persemaian harus ditempatkan/ ditata dengan baik, ditempatkan pada tempat yang aman dan terjamin keamanan dan keselamatan, bila diperlukan dilakukan penyiraman, polybag atau polytube dilepas dengan hati-hati agar media bibit menjadi kompak/ tidak lepas dan bibit yang ditanam dengan posisi tegak dimana leher akar akan sejajar dengan permukaan tanah. Setelah ditanam, sekeliling batang bibit dibuat gundukan setinggi 10 cm dengan diameter piringan 50 cm. Kantong polybag bekas wadah media bibit diselipkan atau diikat pada ujung utas acir, sebagai tanda bahwa kantong atau media bibit tidak ikut tertanam, selanjutnya dikumpulkan pada tempat tertentu. Acir ditancapkan kembali dengan posisi tegak lurus di sebelah Utara/ Selatan bibit dengan jarak 10 cm. Penanaman tanaman klon mengikuti skema yang didamping oleh Puslitbang. Setelah itu pemeliharaan kebun pangkas dilakukan dengan cara: pendangiran awal, pemupukan anorganik pertama, pembersihan gulma, pemangkasan batang, cabang dan daun, pendangiran, pemupukan pemulsaan, pembaharuan saluran air, penyiraman, pemberantasan hama penyakit dan penyulaman.

Dalam pelaksanaan persemaian stek pucuk dilakukan persiapan media seperti media pembuatan stek pucuk yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Tersedia cukup unsur hara

2. Tidak mengandung hama dan penyakit 3. Mudah didapat dan murah

4. Sesuai dengan kebutuhan /metode yang dipakai

media yang dipakai adalah kompos,pasir dan topsoil dengan perbandingan adalah 3:2:1, sebelum di campur media yang digunakan harus sudah diayak dan disterilkan. Pada saat pencampuran media tersebut diberi pestisida dan pupuk anorganik diaduk secara merata dengan media, selanjutnya dimasukan ke polybag dan ditata di bedeng induksi.


(23)

Dalam penanaman pucuk, tidak semua pucuk yang dipanen dapat dipergunakan sebagai bahan stek pucuk yang baik. Pucuk yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: tunas ortrotop, memeliki 3 atau 4 interdonia, panjang batang 5 cm, minimal sudah berumur 2 minggu dari pehcahnya mata tunas, batang silindris, berbulu hijau cerah, dan kuncup masih kaku berwarna coklat. Penanaman pucuk di bedeng induksi yang harus disiapkan adalah sebagai berikut:

1. Larutan hormon perangsang akar atau IBA (indole-3 butyric acid) yaitu sebanyak 0.02 gram.

2. Memotong daun dengan menggunakan gunting disisakan 1/3 bagian yang bertujuan untuk menghindari penguapan dan persaingan cahaya di dalam bedeng induksi akar.

3. Merapikan potongan melintang stek batang dengan menggunakan cutter yang tajam agar penyarapan hormon ke pangkal batang bisa merata, setelah itu pangkal batang yang sudah dirapikan direndam dalam larutan hormon perangsang akar selama 5 menit.

4. Sambil menunggu masa perendaman, media yang sudah ditata bedeng induksi akar disiram sampai jenuh sehingga waktu penanaman pucuk bahan stek tidak luka.

5. Penanaman pucuk, dalam hal ini pucuk bahan stek langsung ditanam ke polybag yang sudah disiapkan.

6. Penanaman sedalam 2 cm dan pucuk tegak lurus, setelah itu dilakukan penyiraman menggunakan sprayer, sehingga butiran air mengkabut. 7. Penyiraman tidak boleh langsung disemprotkan tetapi cukup

pengkabutan untuk menghindari bibit roboh atau bahkan lepas dari polybag.

8. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari atau sesuai kondisi kelembaban di bedeng induksi akar.

9. Setelah berumur 3 minggu bibit sudah mulai ada yang berakar, sehingga mulai 1-2 bulan harus dilakukan seleksi bibit yang berakar secara periodik.


(24)

Hal-hal yang perlu diperhatikan pemeliharaan tanaman di dalam bedeng induksi akar adalah sebagai berikut:

1. Kelembaban harus dipertahankan 79-83% dan suhu dalam bedeng induksi akar 40-50˚C

2. Kecepatan berakarnya bibit tergantung kualitas pucuk dan kondisi lingkungan kondisi kelembaban media

3. Pemeliharaan yang harus dilakukan saat bibit di bedeng induksi akar adalah penyiangan gulma dan pembersihan daun layu serta bibit yang mati

4. Media bibit yang mati tidak boleh langsung ditanami pucuk yang baru 5. Setelah penyiraman plastik sungkup harus segera ditutup lagi

6. Sungkup harus selalu bersih dari lumut

7. Plastik sungkup yang sobek harus segera ditutup dengan lakban putih, sungkup yang tidak bisa diperbaiki agar segera diganti

8. Bibit yang sudah berakar harus dipindahkan ke bedeng aklimatisasi Pemeliharaan bibit yang berada di bedeng aklimatisasi (bibit yang memiliki akar dan 3 minggu berada dibedeng induksi) adalah sebagai berikut: bibit diseleksi setiap hari selama 1-2 bulan, bibit yang masih stres (daun layu) dikembalikan ke bedeng induksi, plastik sungkup dibuka secara bertahap selama 2 minggu dengan tujuan agar bibit dapat beradaptasi dengan kondisi luar, penyiraman dilakukan 2 kali sehari atau sesuai bibit dengan menggunakan percikan air yang halus, bibit dipupuk daun dengan dosis setara kristalon 2 gram/liter air, dilakukan penyiangan rumput atau gulma yang tumbuh di polybag, media bekas bibit yang mati tidak boleh digunakan pucuk yang baru, bibit dipelihara selama 2 minggu selanjutnya bibit yang daunnya hijau dan segar dipindahkan ke shading area.

Pemeliharaan di shading area (dibawah naungan) adalah sebagai berikut: penyiraman dilakukan pagi dan sore hari, bibit dipupuk daun dengan dosis setara kristalon 2 gram/ liter air, pembersihan daun layu dan busuk, bibit mati segera dipisahkan, media bekas bibit mati tidak boleh digunakan, pemberian insektisida bila terserang hama, seleksi bibit, penambahan media, bibit dipelihara selama 2 minggu, bibit yang sudah


(25)

hijau dan segar dipindahkan ke open area dan sebelum dipindahkan dikurangi daunya terlebih dahulu untuk mengurangi penguapan.

Proses terakhir adalah pemeliharaan di open area (area terbuka) sebagai berikut: bibit yang masih stress agar dikembalikan ke shading area, bibit langsung menerima pancaran sinar matahari minimal 2 bulan sebelum ditanam, bibit yang mati segera dipisahkan dan media bekas bibit yang mati tidak boleh digunakan pucuk baru, dilakukan penyiraman 2 kali sehari, penegakan batang pada bibit yang miring atau bengkok, pemupukan dilakukan akar dan daun, pengurangan daun dan seleksi bibit, penyiangan, penambahan media, pemangkasan akar, pemangkasan daun, pemberantasan hama dan penyakit.

Bibit yang bisa diangkut dari persemaian harus memiliki pertumbuhan normal, tinggi bibit 20-30 cm, batang lurus, berkayu, kokoh, daun tidak lebar, tidak terserang hama dan penyakit.

Setelah bibit memiliki persyaratan untuk diangkut dari persemaian ke lahan penanaman bibit harus dikemas ke dalam kotak dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm dan tinggi 50 cm lalu bibit disusun dalam kotak dengan posisi tidur, Sebelum diangkut bibit harus disiram dulu sampai jenuh, kotak bibit disusun didalam truk dan ditutup shading net

5.1.2 Penanaman

Sebelum dilakukan penanaman, persiapan lahan (pemeliharaan hutan T-0) sangat penting dilakukan seperti pembutan tanda batas blok, PCP ulang, tunjuk tolet, tebang tanpa hasil, dan pruning. Lubang tanam dibuat dengan ukuran panjang x lebar x dalam = 40 cm x 40 cm x 40 cm dengan penampang lubang bagian bawah 30 cm x 30 cm, biasanya dilakukan pada bulan Oktober dan pupuk dasar yang menggunakan pupuk kandang.

Dalam pelaksanaan pemupukan, pupuk kandang dicampur dengan top soil bekas galian yang telah diremahkan dan setiap lubang tanam diberi 3 kg pupuk kandang. Pupuk dikemas setiap 3 kg dalam kantong plastik untuk memudahkan pengawasan dan pengangkutan ke lubang tanam.

Penanaman dilakukan pada bulan November-Desember, sebelum ditanam bibit terlebih dahulu diletakkan di lubang tanam, kantong plastik


(26)

disobek, baru dilepas dengan hati-hati agar media tetap kompak dan akar tidak terpisah. Kantong plastik bekas diikat pada acir untuk selanjutnya dikumpulkan ditempat tertentu sesuai dengan ketentuan. Penanaman dilakukan sesuai kemampuan tenaga kerja dan sekaligus selesai (jangan meninggalkan bibit di acir yang tidak tertanam) setelah ditanam segera lakukan pendangiran.

5.1.3 Pemeliharaan tanaman

Tanaman jati mampu tumbuh dengan baik apabila pada awal pertumbuhannya terpelihara dengan baik. Tanaman jati umur 0 s/d 5 tahun merupakan masa pertumbuhan yang harus mendapatkan perhatian serius, berbagai persyaratan tumbuh harus dipenuhi seperti nutrisi dan bebas dari berbagai gangguan. Pemeliharaan tanaman jati merupakan salah satu kegiatan silvikultur intensif untuk manipulasi lingkungan. Pemeliharaan tanaman bertujuan mendapatkan tegakan sesuai dengan tujuan pengelolaan yang akan dicapai. Kegiatan pemeliharaan tanaman jati sebagai berikut: 1. Babat jalur

Sebelum pendangiran dilakukan pembabatan tumbuhan bawah selebar 1-1,5 m, bekas tumbuhan bawah dapat digunakan sebagai mulsa setelah didangir. Waktu pelaksanaan babat jalur pada banjar harian tabel 5.

Tabel 5 Waktu pelaksanaan babat jalur pada banjar harian Babat jalur (tahun) Waktu pelaksanaan (triwulan)

Kedua I,III,IV

Ketiga I dan IV

Keempat I dan IV

Kelima I dan IV

2. Pendangiran

Tanaman jati memerlukan tanah yang mempunyai aerasi baik dan tidak tergenang air. Pendangiran sedalam 10-20 cm dengan menggemburkan tanah sekitar tanaman membentuk piringan berdiameter 1 meter dan tanah yang dibuat membumbung (gundukan) setinggi minimal 10 cm agar tanaman pokok tidak tergenang jika hujan, bila pada musim kemarau dapat mengurangi penguapan air tanah, serta menahan laju api bila terjadi kebakaran. Pendangiran tahun kedua sampai dengan tahun kelima dilakukan 2 kali dalam setahun yaitu Februari-Maret dan Oktober-November.


(27)

Pada tanaman jati muda bila ada kelainan yaitu jarak intermodal (jarak antar ruas daun) menjadi pendek (kesan daun berduduk melingkar atau rosset). Hal ini disebabkan oleh Solum tanah yang tipis dan miskin hara. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan pendangiran dan pemupukan berdosis tinggi (urea 100 gr/pohon) dan Bila solum tanah tebal biasanya drainase jelek, terjadi pemadatan tanah sehingga diperlukan adanya pendangiran dan pemupukan

3. Penyulaman

Penyulaman dilakukan pada tanaman pokok, tanaman pengisi, tanaman sela, tanaman tepi dan tanaman pagar. Sebelum dilakukan penyulaman tanah digemburkan terlebih dahulu. Penyulaman tanaman pokok dilakukan maksimal sebanyak 20 % pada tahun kedua setelah tanam dan hanya dilakukan sekali. Pada tanaman yang bengkok atau tumbuh miring dengan sudut kemiringan kurang dari 45⁰ dilakukan pemotongan 1 cm diatas mata tunas paling bawah, sehingga diharapkan tumbuh tunas baru yang lurus dan kelak menjadi batang pohon yang lurus.

4. Pemupukan

Pemupukan pertama dilakukan setelah penanaman selesai yaitu menggunakan urea 50 gram/ tanaman selama satu bulan setelah tanam untuk mempercepat pertumbuhan awal. Sebelum dilakukan pemupukan dilakukan dangir piringan. Dangir piringan dimaksudkan untuk memperbaiki aerasi dan drainase tanah. Pemberian pupuk berjarak 20-25 cm dari tanaman pokok dengan dua lubang sedalam 10 cm di Sebelah Timur dan Barat dan dilakukan pada saat curah hujan relatif banyak.

Pemupukan kedua sampai tahun kelima dilakukan dua kali dalam setahun yaitu bulan Februari-Maret dan November-Desember, dengan urea dosis 100 gram atau NPK (15:15:15) 150 gram sekali pemupukan dan sebelum pemupukan dilakukan pendangiran berdiameter 1 meter. Pemberian pupuk berjarak 20-25 cm dari tanaman pokok dengan cara membuat lubang sedalam 10 cm di sebelah Timur dan Barat serta dilakukan saat hujan masih banyak.


(28)

5. Perwiwilan

Tunas air (bakal cabang) yang tumbuh pada batang pokok tumbuh waktu tanaman masih muda perlu dilakukan perwiwilan, sedangkan wiwil daun (perempesan daun) tidak boleh dilakukan karena dapat menghambat pertumbuhan tinggi dan diameter. Perwiwilan daun sering terjadi pada tanaman tumpang sari, dalam hal ini ada dua kepentingan. Di satu pihak (Perhutani) menginginkan pertumbuhan-pertumbuhan tanaman pokok tumbuh baik dengan tidak dilakukan perwiwilan, di pihak lain (pesanggem) menginginkan tanaman pertaniannya tumbuh maksimal dengan cara mewiwil daun jati supaya tidak menaungi tanaman pertanian. Untuk mengatasi hal ini harus ada ketegasan serta kerjasama yang baik antara petugas perhutani dengan LMDH setempat. Tunas air tumbuh apabila tanaman jati mengalami stress akibat kekurangan air setelah bibit ditanam di lapangan kemudian setelah tanaman jati kena air hujan akan tumbuh tunas-tunas air. Tunas air akan segera dihilangkan dengan dilakukan perwiwilan sehingga pertumbuhan menjadi lebih optimal.

5.1.4 Penjarangan

Rencana penjarangan disusun dalam buku RKPH berdasarkan frekuensi penjarangan. Untuk menentukan penjarangan dibuat PCP (petak coba penjarangan). Persiapan sebelum penjarangan (persiapan pemeliharaan hutan (T-II)) kegiatannya adalah tanda batas blok babat trowong, pembutan PCP, tunjuk tolet dan babat tumbuhan bawah.

Penjarangan dilaksanakan berdasarkan Rencana Tebang Tahunan (RTT) penjarangan dengan diterbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) oleh administrator. Khusus tegakan yang terlambat dijarangi, SPH melakukan pengecekan lokasi sebelum pelaksanaan penjarangan dengan membuat BAP bersama KPH sebelum diterbitkan suplisi. Batas lokasi penjarangan ditetapkan berdasarkan peta kerja skala 1:10.000 setelah itu pada peta yang sama dibuat jaringan PCP dengan titik awal rintis diletakkan pada titik yang mudah dikenal di lapangan seperti pal hm, pal batas, persilangan alur dan lain-lain. Titik awal PCP dinyatakan oleh pohon atau patok permanen dengan dituliskan petunjuk arah ke letak PCP sesuai dengan jaringan pada


(29)

peta. Titik pusat PCP dinyatakan pada patok yang menunjukan titik pusat PCP sebagai sumber identitas data PCP. Pohon tengah diberi tanda lingkaran cat warna merah selebar 20 cm dengan ketinggian 160 cm diatas permukaan tanah. Pada pohon tengah saat pembuatan PCP agar dituliskan tanda arah ke letak PCP berikutnya dengan ketinggian 100 cm di atas permukaan tanah dengan cat warna merah. Pohon yang masuk ke dalam lingkaran PCP adalah pohon-pohon yang setengah atau lebih dari diameternya terkena oleh ujung tali pengukur radius (17.8 m) untuk pohon-pohon yang terikat batas tepi keliling lingkaran diberi tanda cat warna merah selebar 10 cm setinggi 160 cm.

Setelah dibuat petak coba penjarangan (PCP), pohon-pohon yang masuk dalam lingkaran dilakukan perhitungan dan diberi nomor urut untuk memudahkan pemberian nomor dimulai dari pohon tengah kemudian bergeser ke arah Barat Laut selanjutnya menuju ke titik pusat dan demikian seterusnya. Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah pohon, rata-rata diameter, rata-rata tinggi, peninggi, presentase tumbuh dan volume taksasi tegakan dan penjarangan. Pengukuran peninggi pada setiap PCP diukur rata-rata 5- 10 pohon. Perhatian utama dalam penjarangan ditujukan pada pohon-pohon yang hendak menjadi pohon-pohon tinggi atau akhir yaitu pohon-pohon yang normal, sehat dan tersebar merata di lapangan. Semua pohon penjarangan dalam tiap PCP diberi tanda silang (X) dan nomor urut, kelilingnya diukur dan ditulis pada pohon dengan ketinggian 1,30 meter di atas tanah.

5.1.5 Penebangan

Sebelum dilakukan penebangan, pohon-pohon jati tersebut diteres terlebih dahulu untuk memudahkan kegiatan penebangan. Peneresan dilakukan dua tahun sebelum penebangan yang sebelumnya didahului oleh kegiatan penentuan batas teresan dan pembagian blok. Terkadang dalam prosesnya masih ada beberapa pohon yang tidak mati setelah diteres, hal ini disebabkan adanya tanaman rambat yang menempel di pohon induk sehingga menyebabkan pohon mengalami cacat growong yaitu terdapat rongga di dalam batangnya dan menyebabkan menurunnya kualitas batang tersebut. Ketika peneresan dilakukan, pada saat itu pula dilaksanakan


(30)

kegiatan klemstat, yaitu pengukuran keliling masing-masing pohon pada ketinggian 1,3 meter, dicatat dalam buku khusus dan ditaksir volumenya dengan menggunakan tarif volume lokal untuk menentukan target tebangan.

Sebelum pohon ditebang, para mandor tebang sudah memberi tanda mana pohon yang berpotensi menjadi kelas hara nantinya dan di pohon

tersebut diberi tanda “H”. Hal ini dilakukan untuk menandai agar para buruh

tebang berhati-hati saat menebang pohon yang telah diberi tanda “H”, sehingga pohon tersebut tidak mengalami kesalahan dan cacat apapun dalam proses penebangannya dan target dapat terpenuhi.

Dalam pelaksanaannya, tebangan harus dilakukan pohon per pohon, artinya setiap pohon harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menebang pohon berikutnya. Demikian juga dengan setiap blok harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum pindah ke blok berikutnya. Penentuan arah rebah penebangan dilakukan oleh mandor tebang sesuai dengan arah tajuk/ condong tajuk. Kegiatan penebangan termasuk pembagian batang dilakukan oleh blandong sesuai dengan petunjuk mandor tebang kemudian mandor tebang memberikan mutu V/H atau lokal atau ukuran sesuai dengan pasaran. Setelah pohon di tebang, pada tunggak pohon diberi tanda untuk memudahkan dalam pelaksanaan program CoC (Chain of Custody) atau lacak balak nantinya. Ada beberapa tugas bagi mandor tebang terkait dengan kegiatan CoC tersebut adalah sebagai berikut:

1. Melakukan penandaan pada fisik setiap batang kayu dan tunggak dengan tulisan yang mudah dibaca oleh orang lain dan menggunakan bahan (cat atau ter) yang berkualitas bagus dan tahan lama sesuai dengan petunjuk dan aturan yang berlaku.

2. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan pada dokumen yang telah ditentukan sesuai point.

3. Menjaga keberadaan tunggak (dari kegiatan pembongkaran/ perencekan oleh masyarakat) hingga 1 tahun setelah penebangan untuk keperluan lacak balak.

4. Melaporkan pelaksanaan pekerjaan lacak balak kepada Asper/KBKPH melalui KRPH.


(31)

2 10-05-10 23

X ds Gondang P

Gambar 2 Contoh penandaan pada tunggak.

Keterangan:

2 = Nomor urut penebangan pohon 23 = Nomor pohon

10-05-10 = Tanggal-Bulan-Tahun menebang X ds Gondang = Nama dan alamat penebang

P = Paraf

Sedangkan penandaan pada kayu adalah sebagai berikut:

23 3.00 23 2.00 23 3.5 1 2 3

Gambar 3 Contoh penandaan pada kayu.

Keterangan:

23 = Nomor pohon

1,2,3,dst = Nomor urut potongan kayu 3.00 ,2.00 , 3.5 ,dll = panjang kayu (m)

Penandaan pada bontos kayu dilakukan pada pangkal batang (bawah) dan bujung batang (atas). Penandaan pada pangkal batang (bawah) dilakukan sebagai berikut:

23 2

Gambar 4 Penandaan pada pangkal batang.

Keterangan : 23 = Nomor pohon


(32)

Pada ujung batang (atas),oleh mandor dibagi menjadi dua bagian dengan dipisahkan oleh garis tegak lurus, menjadi bagian kiri (A) dan nagian kanan (B). Bagian A diperuntukkan bagi pemberian tanda di hutan dan bagian B di TPK. Tanda-tanda yang diberikan adalah sebagai berikut :

37A-GDG 740 3.50 0 40 0.46 P.G

A B

Gambar 5 Contoh gambar pada pangkal log. Keterangan:

37A = Anak petak tebangan GDG = Kode BKPH

740 = Nomor kayu 3.50 = panjang kayu 40 = diameter ujung (cm) 0.46 = volume kayu (m2) P.G = mutu kayu

Setelah pohon roboh maka langkah selanjutnya adalah pembagian batang. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam proses pembagian batang adalah sebagai berikut:

1. Kepras cabang,tonjolan dan banir

2. Sortimen A.III, A.II, dan A.I dan batas kelas harga ditandai 3. Status Vi, H dan IN ditentukan

4. Prioritas pembagian batang

5. Pembagian batang dari pangkal ke ujung 6. Penandaan dengan teer

7. Administrasi

Hal yang paling penting dalam pembagian batang adalah dalam hal prioritas pembagian batang karena hal ini berkaitan dengan permintaan pasar dan


(33)

harga jual. Prioritas pembagian batang kayu bundar jati adalah sebagai berikut (Perhutani 2010c) :

1. Sortimen AI

a. Diameter 4 cm, panjang batang ≥ 2,00 m b. Diameter 7 cm, panjang batang ≥ 1,50 m

c. Diameter 10 cm dan 13 cm, panjang batang ≥ 0,70 m d. Diameter 16 cm dan 19 cm, panjang batang ≥ 0,40 m 2. Sortimen A II

a. Diameter 22 cm, 25 cm, dan 28 cm, panjang batang ≥ 0,40 m 3. Sortimen A III

a. Diameter 30 cm ke atas, panjang batang ≥ 0,40 m

Untuk urutan prioritas pembagian batang kayu bundar jati adalah sebagai berikut (Perhutani 2010c) :

1. Kayu Bundar Vinir (Vi)

Panjang 2,40 – 2,90 m, diameter 30 cm ke atas. 2. Kayu Bundar Hara (H)

a. A III : Panjang 0,70 – 2,90 m, diameter 30 cm ke atas b. A II : Panjang 0,70 – 2,90 m, diameter 25 - 28 cm 3. Kayu Bundar Lokal Industri (IN)

a. A III : Panjang 0,70 – 2,90 m, diameter 30 cm ke atas b. A II : Panjang 0,70 – 2,90 m, diameter 22 - 28 cm 4. Kayu Bundar Besar (A III) Lokal

Panjang 0,40 – 4, 10 m ke atas, diameter 30 cm ke atas, dengan catatan kayu doreng > 5 % diameter atau buncak-buncak > 0,5 keliling.

5. Kayu Bundar Sedang (A II) Lokal

Panjang 0,40 – 4,00 m ke atas, diameter 22 – 28 cm, dengan catatan tidak mengandung dua sortimen.

6. Kayu Bundar Kecil (A I)

a. Diameter 0,70 - 4,00 m ke atas, diameter 16 – 19 cm b. Diameter 0,40 – 4,00 m ke atas, diameter 10 – 13 cm c. Diameter 1,50 – 4,00 m ke atas, diameter 4 – 7 cm


(34)

7. Kayu Bahan Parket (KBP)

a. Diameter 0,40 – 1,90 m, diameter 16 – 19 cm b. Diameter 0,40 – 1,90 m, diameter 22 – 28 cm c. Diameter 0,40 – 1,90 m, diameter 30 cm ke atas 8. Kayu Bundar Limbah/ KBL (Kayu Bakar)

a. Diameter 0,50 m, diameter 9 – 15 m b. Diameter 0,50 m, diameter 5 – 8 cm c. Diameter 1,00 m, diameter 2 – 4 cm 9. Brongkol

a. Panjang 0,40 - < 1,00, diameter 16 cm ke atas

Setelah kayu dibagi menjadi bermacam-macam ukuran,lalu kayu dimuat untuk kemudian diangkut ke TPK. Kegiatan pengangkutan dilakukan atas kerjasama pihak Perhutani dengan pihak swasta.


(35)

5.2 Biaya dan Penerimaan Pengelolaan Tanaman JPP 5.2.1 Biaya Pengelolaan Tanaman JPP

Biaya tanaman JPP dibagi menjadi dua yaitu biaya pengelolaan kawasan tanaman JPP dan biaya pengelolaan tanaman JPP. Biaya pengelolaan kawasan JPP anatara lain biaya manajemen kawasan, biaya PBB, biaya perencanaan, biaya keamanan, biaya finansial dan penyuluhan, biaya pemeliharaan sarana dan prasarana, gaji mandor dan gaji pembantu mandor. Sedangkan biaya pengelolaan tanaman JPP antara lain biaya persemaian, biaya pemeliharaan hutan (T-0), biaya pengangkutan bibit, biaya pengadaan sarana penanaman, biaya penanaman, biaya pemupukan, biaya silvikultur intensif 2009, biaya silvikultur intensif 2010, biaya silvikultur intensif 2011, biaya pemeliharaan lanjutan, biaya pemeliharaan (T-2), biaya angkutan penjarangan I, biaya pengangkutan penjarangan II, biaya tebangan dan biaya angkutan tebangan. Untuk mengetahui rincian biaya pengeloaan JPP dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6 Biaya pengelolaan JPP

No Uraian Kegiatan Biaya (/Ha) Total Biaya

1 Biaya Manajemen kawasan 62.250 903.571.200

2 Biaya PBB 43.477 631.077.350

3 Perencanaan 136.240 94.169.088

4 Biaya Keamanan 187.027 2.714.734.310

5 Biaya Finansial dan Penyuluhan 11.300 164.021.760

6

Pemeliharan sarana dan

prasarana 18.846 273.553.459

7 Gaji mandor 2.500.000 35.280.000.000

8 Gaji pembantu mandor 150.000 10.584.000.000

9 Persemaian 193 117.393.408

10 Pemeliharaan Hutan (T-0) 1.260 870.912 11 Pengangkutan Bibit 2.577 1.568.008.870 12 pegadaan sarana penanaman 2.427.550 1.677.922.560


(36)

No Uraian Kegiatan Biaya (/Ha) Total biaya 14 Biaya pemupukan 2.853.620 1.972.422.144 15 Biaya Silvikultur Intensif 2009 1.609.733 1.112.647.550 16 Biaya Silvikultur Intensif 2010 - 101.518.400 17 Biaya Silvikultur Intensif 2011 - 75.822.200 18 Pemeliharaan Lanjutan 120.422 83.235.686

19 Pemeliharaan (T-2) 16.728 2.315.490

20 Biaya Angkutan Penjarangan - 917.515.738

21 Pemeliharaan (T-2) 16.728 1.849.983

22 Biaya Angkutan Penjarangan II - 1.788,361.165 23 Biaya Tebangan 8.527.800 3.536.649.216 24 Biaya Angkutan Tebangan - 7.818.640.322

TOTAL BIAYA 19.059.777 71.678.827.848

5.2.2 Penerimaan Pengelolaan Tanaman JPP

Penerimaan diterima dari hasil penjarangan pada tahun 2017, hasil penjarangan pada tahun 2022 dan hasil penebangan pada tahun 2027. Dalam penentuan harga log berdasarkan harga jual dasar kayu bundar jati dan rimba tahun 2011. Di bawah ini adalah tabel penerimaan dari hasil pengelolaan JPP.

Tabel 7 Penerimaan dari hasil pengelolaan JPP

No Uraian Kegiatan Pendapatan (/Ha) Total

Pendaptan

1 Hasil Penjarangan I 2.724.000 21.742.932.588 2 Hasil Penjarangan II 5.135.500 79.897.800.870 3 Hasil Penebangan 7.759.000 645.547.868.920 Total Pendapatan 15.618.500 747.188.602.378

5.3 Analisis Kelayakan Finanasial

Kelayakan usaha yang di lakukan berdasarkan analisis finansial, dengan menggunakan analisis aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto


(37)

atau Discounted Cash Flow (DCF) yang menggunakan tiga kriteria yaitu NPV, BCR dan IRR berdasarkan kegiatan pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Agustus. Tabel dibawah ini adalah analisis kelayakan finansial berdasarkan tiga kriteria yaitu NPV,BCR dan IRR

Tabel 8 Analisis Kelayakan Finansial

No Analisis Nilai

1 NPV (Net Present Value) Rp 91.484.610.335 2 BCR (Benefit Cost Ratio) 3,86 3 IRR (Internal Rate of return) 21,72%

Dilihat dari tabel nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp 91.484.610.335 lebih besar dari nol (> 0) dan Benefit Cost Ratio (BCR) sebesar 3,86 lebih besar dari satu (> 1) sedangkan nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 21,72% lebih besar dari suku bunga sebesar 10 % sehingga usaha layak untuk dijalankan.

5.4 Analisis sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Dalam analisis sensitivitas pengelolaan JPP, dibuat skenario kenaikan biaya total sebesar 10% dan penurunan harga log sebesar 10%. Tabel dibawah ini adalah tabel analisis sensitivitas pengelolaan tanaman JPP.

Tabel 9 Analisis sensitivitas pengelolaan tanaman JPP

Kriteria

Kondisi Normal

Biaya Total Naik 10% Harga Log Naik 10%

Nilai ∆ % Nilai ∆ %

NPV (Rp) 91.484.610.335 88.286.439.635 -3,50% 79.137.978.601 -13,49%

BCR 3,86 3,5 -9,32% 3,47 -10,10%


(38)

Nilai NPV mengalami penurunan sebesar 3,5% menjadi Rp 88.286.439.635. Nilai BCR mengalami penurunan sebesar 9,32% menjadi 3,5 Sedangkan untuk nilai IRR mengalami penurunan sebesar 3,45% menjadi 20,97%. Biasanya biaya total mengalami kenaikan dikarenakan kenaikan gaji karyawan, kenaikan harga bahan baku seperti polybag, pupuk, pasir dan lain-lain, terjadi serangan hama dan penyakit sehingga perlu adanya penanaman ulang dan illegal logging sehingga perlu lebih intensif dalam keamanan.

Nilai NPV mengalami penurunan sebesar 13,49% menjadi Rp 79.137.978.601. Nilai BCR mengalami penurunan sebesar 10,1% menjadi 3,47. Sedangkan untuk nilai IRR mengalami penurunan sebesar 4,18% menjadi 20,81%. Biasanya harga log mengalami penurunan karena berkurangnya permintaan pasar, banyak jenis log kayu lain yang lebih murah seperti sengon, jabon dan lain-lain, dan subtitusi bahan baku log kayu jati menjadi barang lain seperti rangka atap yang biasanya memakai bahan baku jati diganti dengan rangka atap baja yang lebih murah dan kokoh dan kusen jendela sudah banyak yang memakai alumunium dibanding log jati sebagai bahan baku.

Dari kondisi pada analisis sensitivitas dengan dua skenario yaitu kenaikan biaya total sebesar 10% dan penurunan harga log jati sebesar 10% terlihat bahwa secara finansial pengelolaan tanaman JPP di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur layak dilaksanakan walaupun nilai NPV, BCR dan IRR mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi normal tetapi masih bernilai positif. Dilihat dari persentase penurunan yang terjadi pada kriteria kelayakan finansial, kondisi penurunan harga log kayu jati sebesar 10% memberi dampak negatif terhadap aspek finansial lebih besar dibandingkan dengan kenaikan biaya total sebesar 10%. Untuk mengatasi penurunan harga log kayu jati dapat dilakukan dengan cara menyimpan log kayu jati dan menjualnya pada saat harga normal atau lebih tinggi, menjadikan log kayu menjadi barang jadi seperti furniture, meuble dan lain-lain. Mengurangi biaya produksi dengan cara efisiensi gaji karyawan, menggunakan bahan baku yang lebih ekonomis dan menggunakan teknologi yang lebih efisien dan ekonomis.


(39)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1Kesimpulan

1. Pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di KPH Bojonegoro Unit II Jawa Timur dilihat dari aspek finansial dinyatakan layak karena nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp 91.484.610.335 lebih besar dari nol (>0) dan Benefit Cost Ratio (BCR) sebesar 3,86 lebih besar dari satu (> 1) sedangkan nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 21,72% lebih besar dari suku bunga yaitu 10 % sehingga usaha layak untuk dijalankan.

2. Berdasarkan analisis sensitivitas dengan skenario kenaikan biaya total sebesar 10% dan penurunan harga log kayu jati sebesar 10% dapat dilihat bahwa secara finansial pengelolaan tanaman JPP di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur layak dilaksanakan walaupun nilai NPV, BCR dan IRR mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi normal tetapi masih bernilai positif. Dilihat dari persentase penurunan yang terjadi pada kriteria kelayakan finansial, kondisi penurunan harga log kayu jati sebesar 10% memberi dampak negatif terhadap aspek finansial lebih besar dibandingkan dengan kenaikan biaya total sebesar 10%.

6.1Saran

Pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di KPH Bojonegoro Unit II Jawa Timur sudah layak sehingga pengelolaan harus ditingkatkan terutama dibidang-bidang lain seperti dibidang-bidang sosial kemasyarakatan, keamanan, dan pemeliharaan Jati Plus Perhutani (JPP).

1. Bidang sosial kemasyarakatan perlu ditingkatkan peranan LMDH dalam pengelolaan tanaman JPP. Peran LMDH yang anggota sebagai petani hutan (pesanggem) harus menjaga pengelolaan JPP agar tidak merusak tanaman JPP seperti pembakaran lahan untuk pembersihan lahan dan pencurian kayu (illegal logging)

2. Bidang keamanan pihak Perhutani harus meningkatkan personil keamanannya yang dilengkapi dengan alat keamanan (senjata api). Alat


(40)

keamanan sangat penting dalam menjaga areal hutan karena para pencuri kayu biasanya berkelompok, memiliki senjata tajam dan senjata api.

3. Bidang pemeliharaan tanaman JPP harus sesuai dengan petunjuk pelaksana yang telah dibuat dan Satuan Pengawas Intern (SPI) harus berperan dalam pengawasan pemeliharaan tanaman JPP sesuai dengan petunjuk pelaksana. Jika terjadi kecurangan harus segera dilaporkan ke pihak yang berwenang.


(41)

KELAYAKAN FINANSIAL PENGELOLAAN JATI PLUS

PERHUTANI (JPP) DI KPH BOJONEGORO PERUM

PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

RAMA ADITYA KUSUMA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(42)

DAFTAR PUSTAKA

[ASMINDO] Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia. 2001. Pemasaran Kayu jati pada Industri Meubel dan kerajinan. Tidak diterbitkan.

Husnan S, Suwarsono M. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Kadariah, Karlina L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: LPFEUI. Perhutani. 2008. Pedoman Penyelenggaraan Tebang Habis Hutan Jati. Jakarta. Perhutani. 2009. Public Summary KPH Bojonegoro. Bojonegoro.

Perhutani. 2010a. Pedoman Pengelolaan Kebun Pangkas dan Persemaian Stek Pucuk Jati Plus Perhutani. Jakarta.

Perhutani. 2010b. Pedoman Pembuatan dan Pemeliharaan Tanaman Jati Plus Perhutani. Jakarta.

Perhutani. 2010c. Petunjuk Kerja Penjarangan Jati Plus Perhutani. Surabaya. Perhutani. 2010d. Rencana Jangka Panjang. Surabaya.

Simon, H. 2000. Hutan Jati dan Kemakmuran Problematika dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Soekartawi. 1996. Panduan Membuat Usulan Proyek Pertanian dan Pedesaan. Yogyakarta: Andi.

Sumarna Y. 2002. Budidaya Jati. Jakarta. Penebar Swadaya. Suryana,Y. 2000. Budidaya Jati. Bogor: Swadaya.

Umar H. 2002. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


(43)

KELAYAKAN FINANSIAL PENGELOLAAN JATI PLUS

PERHUTANI (JPP) DI KPH BOJONEGORO PERUM

PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

RAMA ADITYA KUSUMA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(44)

KELAYAKAN FINANSIAL PENGELOLAAN JATI PLUS

PERHUTANI (JPP) DI KPH BOJONEGORO PERUM

PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

RAMA ADITYA KUSUMA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(45)

Judul Skripsi : Kelayakan Finansial Pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur Nama : Rama Aditya Kusuma

NIM : E14070076

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop NIP. 1970 0329 199608 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 1963 0401 199403 1 001


(46)

ABSTRACT

RAMA ADITYA KUSUMA.Financial Feasibility of Jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java. Supervised

by DODIK RIDHO NURROCHMAT

Sustainable of teak forest management will help to solve the problem of teak wood supply shortages to the domestic and foreign market in the future. At this time local teak wood supply is estimated to only be able to meet less than 30% the number of requests. This situation causes the price of teak increasing from year to year. On the other hand, export demand for timber products and furniture increased sharply, which eventually enlarge the gap between total production and demand for teak wood. Another advantages of the sustainable teak management is a very high level of profit from the nature of the investment object that tree growth can be projected and also resistant to economic fluctuations and disturbances.

Nowadays with the development of technology, especially in the genetic engineering side (Tree Improvement) has presented teak varieties to improve the sustainable teak management. One developed excellent teak by Perhutani is Jati Plus Perhutani (JPP). Advantages of Jati Plus Perhutani is growing faster (harvest rotation is every 20 years), volume per hectare is relatively larger and better quality of stem. Therefore, it is important to analyze the feasibility business of the Jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java for getting maximum benefits.

This research aims to analyze the feasibility business especially the financial aspects of the Jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java. It is hoped this research can provide feasibility information, especially in the financial aspects of jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java.

Data processing method used is a financial analysis of the three criteria that assessed the Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) and Internal Rate of Returns (IRR) which use the feasibility analysis period is calculated within a period of 20 years.

The Jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java seen from the financial aspects was feasible because of the Net Present Value (NPV) is Rp 91,484,610,335 greater than zero (> 0) and Benefit Cost Ratio (BCR) is 3.86 greater than one (> 1) while the value of Internal Rate of Return (IRR ) is 21.72% greater than the interest rate, that is 10%. Based on the sensitivity analysis with scenario, that is a total cost increase of 10% and a decrease in the price of teak logs by 10% can be seen that from financial aspect the Jati Plus Perhutani (JPP) management in KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java was feasible although the value of NPV, BCR and IRR has decreased compared to normal conditions but still be positive.


(1)

no Uraian Kegiatan Biaya (/Ha) Tahun

2016 2017 2018 2019 2020

1 Biaya Manajemen 62.250 43.027.200 43.027.200 43.027.200 43.027.200 43.027.200

2 Biaya PBB 43.477 30.051.302 30.051.302 30.051.302 30.051.302 30.051.302

3 Perencanaan 136.240 0 0 0 0 0

4 Biaya Keamanan 187.027 129.273.062 129.273.062 129.273.062 129.273.062 129.273.062 5 Biaya Finansial dan Penyuluhan 11.300 7.810.560 7.810.560 7.810.560 7.810.560 7.810.560

6

Pemeliharan sarana dan

prasarana 18.846 13.026.355 13.026.355 13.026.355 13.026.355 13.026.355

7 Gaji mandor 2.500.000 1.680.000.000 1.680.000.000 1.680.000.000 1.680.000.000 1.680.000.000 8 Gaji pembantu mandor 150.000 504.000.000 504.000.000 504.000.000 504.000.000 504.000.000

9 Persemaian 193 0 0 0 0 0

10 Pemeliharaan Hutan (T-0) 1.260 0 0 0 0 0

11 Pengangkutan Bibit 2.577 0 0 0 0 0

12 pegadaan sarana penanaman 2.427.550 0 0 0 0 0

13 Penanaman 374.026 0 0 0 0 0

14 Biaya pemupukan 2.853.620 0 0 0 0 0

15 Biaya Silvikultur Intensif 2009 1.609.733 0 0 0 0 0

16 Biaya Silvikultur Intensif 2010 - 0 0 0 0 0

17 Biaya Silvikultur Intensif 2011 - 0 0 0 0 0

18 Pemeliharaan Lanjutan 120.422 0 0 0 0 0

19 Pemeliharaan (T-2) 16.728 0 0 0 0 0

20 Biaya Angkutan Penjarangan - 0 917.515.738 0 0 0

21 Pemeliharaan (T-2) 16.728 0 0 0 0 1.849.983

22 Biaya Angkutan Penjarangan II - 0 0 0 0 0

23 Biaya Tebangan 8.527.800 0 0 0 0 0

24 Biaya Angkutan Tebangan - 0 0 0 0 0

TOTAL BIAYA 19.059.777 2.407.188.480 3.324.704.218 2.407.188.480 2.407.188.480 2.409.038.463

Biaya Terdiskonto - 1.020.882.901 1.281.817.401 843.704.877 767.004.434 697.812.632


(2)

no Uraian Kegiatan Biaya (/Ha) Tahun

2021 2022 2023 2024 2025

1 Biaya Manajemen 62.250 43.027.200 43.027.200 43.027.200 43.027.200 43.027.200

2 Biaya PBB 43.477 30.051.302 30.051.302 30.051.302 30.051.302 30.051.302

3 Perencanaan 136.240 0 0 0 0 0

4 Biaya Keamanan 187.027 129.273.062 129.273.062 129.273.062 129.273.062 129.273.062 5 Biaya Finansial dan Penyuluhan 11.300 7.810.560 7.810.560 7.810.560 7.810.560 7.810.560

6

Pemeliharan sarana dan

prasarana 18.846 13.026.355 13.026.355 13.026.355 13.026.355 13.026.355

7 Gaji mandor 2.500.000 1.680.000.000 1.680.000.000 1.680.000.000 1.680.000.000 1.680.000.000 8 Gaji pembantu mandor 150.000 504.000.000 504.000.000 504.000.000 504.000.000 504.000.000

9 Persemaian 193 0 0 0 0 0

10 Pemeliharaan Hutan (T-0) 1.260 0 0 0 0 0

11 Pengangkutan Bibit 2.577 0 0 0 0 0

12 pegadaan sarana penanaman 2.427.550 0 0 0 0 0

13 Penanaman 374.026 0 0 0 0 0

14 Biaya pemupukan 2.853.620 0 0 0 0 0

15 Biaya Silvikultur Intensif 2009 1.609.733 0 0 0 0 0

16 Biaya Silvikultur Intensif 2010 - 0 0 0 0 0

17 Biaya Silvikultur Intensif 2011 - 0 0 0 0 0

18 Pemeliharaan Lanjutan 120.422 0 0 0 0 0

19 Pemeliharaan (T-2) 16.728 0 0 0 0 0

20 Biaya Angkutan Penjarangan - 0 0 0 0 0

21 Pemeliharaan (T-2) 16.728 0 0 0 0 0

22 Biaya Angkutan Penjarangan II - 0 1.788.361.165 0 0 0

23 Biaya Tebangan 8.527.800 0 0 0 0 0

24 Biaya Angkutan Tebangan - 0 0 0 0 0

TOTAL BIAYA 19.059.777 2.407.188.480 4.195.549.645 2.407.188.480 2.407.188.480 2.407.188.480

Biaya Terdiskonto - 633.887.962 1.004.381.228 523.874.349 476.249.408 432.954.007


(3)

no Uraian Kegiatan Biaya (/Ha) Tahun Total

2026 2027 Biaya

1 Biaya Manajemen 62.250 43.027.200 43.027.200 903.820.204

2 Biaya PBB 43.477 30.051.302 30.051.302 631.251.266

3 Perencanaan 136.240 0 0 94.714.060

4 Biaya Keamanan 187.027 129.273.062 129.273.062 2.715.482.434

5 Biaya Finansial dan Penyuluhan 11.300 7.810.560 7.810.560 164.066.980 6 Pemeliharan sarana dan prasarana 18.846 13.026.355 13.026.355 273.628.867

7 Gaji mandor 2.500.000 1.680.000.000 1.680.000.000 35.290.000.028

8 Gaji pembantu mandor 150.000 504.000.000 504.000.000 10.584.600.032

9 Persemaian 193 0 0 117.394.216

10 Pemeliharaan Hutan (T-0) 1.260 0 0 875.992

11 Pengangkutan Bibit 2.577 0 0 1.568.019.222

12 pegadaan sarana penanaman 2.427.550 0 0 1.687.632.808

13 Penanaman 374.026 0 0 260.023.192

14 Biaya pemupukan 2.853.620 0 0 1.983.836.680

15 Biaya Silvikultur Intensif 2009 1.609.733 0 0 1.119.086.542

16 Biaya Silvikultur Intensif 2010 - 0 0 101.518.464

17 Biaya Silvikultur Intensif 2011 - 0 0 75.822.268

18 Pemeliharaan Lanjutan 120.422 0 0 83.717.446

19 Pemeliharaan (T-2) 16.728 0 0 2.382.478

20 Biaya Angkutan Penjarangan - 0 0 917.515.818

21 Pemeliharaan (T-2) 16.728 0 0 1.916.979

22 Biaya Angkutan Penjarangan II - 0 0 1.788.361.253

23 Biaya Tebangan 8.527.800 0 3.536.649.216 3.570.760.508

24 Biaya Angkutan Tebangan - 0 7.818.640.322 7.818.640.418

TOTAL BIAYA 19.059.777 2.407.188.480 13.762.478.018 71.755.066.956 Total biaya terdiskonto

Biaya Terdiskonto - 393.594552 2.045.704.663 31.981.707.006


(4)

Cash Flow Pendapatan Pengelolaan JPP

no Uraian Kegiatan Pendapatan (/ha) Tahun

2007 2008 2009 2010

1 Hasil Penjarangan I 2.724.000 0 0 0 0

2 Hasil Penjarangan II 5.135.500 0 0 0 0

3 Hasil Penebangan 7.759.000 0 0 0 0

Total Pendapatan 15.618.500 0 0 0 0

Pendaptan Terdiskonto - 0 0 0 0

no Uraian Kegiatan Pendapatan

(/ha)

Tahun

2011 2012 2013 2014 2015

1 Hasil Penjarangan I 2.724.000 0 0 0 0 0

2 Hasil Penjarangan II 5.135.500 0 0 0 0 0

3 Hasil Penebangan 7.759.000 0 0 0 0 0

Total Pendapatan 15.618.500 0 0 0 0 0

Pendaptan Terdiskonto - 0 0 0 0 0

no Uraian Kegiatan Pendapatan

(/ha)

Tahun

2016 2017 2018 2019 2020

1 Hasil Penjarangan I 2.724.000 0 21.742.932.588 0 0 0

2 Hasil Penjarangan II 5.135.500 0 0 0 0 0

3 Hasil Penebangan 7.759.000 0 0 0 0 0

Total Pendapatan 15.618.500 0 21.742.932.588 0 0 0

Pendaptan Terdiskonto - 0 8.382.841.752 0 0 0


(5)

no Uraian Kegiatan Pendapatan (/ha)

Tahun

2021 2022 2023 2024 2025

1 Hasil Penjarangan I 2.724.000 0 0 0 0 0

2 Hasil Penjarangan II 5.135.500 0 79.897.800.870 0 0 0

3 Hasil Penebangan 7.759.000 0 0 0 0 0

Total Pendapatan 15.618.500 0 79.897.800.870 0 0 0

Pendaptan Terdiskonto 0 19.126.898.290 0 0 0

no Uraian Kegiatan Pendapatan

(/ha)

Tahun Total

2026 2027 Biaya

1 Hasil Penjarangan I 2.724.000 0 0 21.748.380.590

2 Hasil Penjarangan II 5.135.500 0 0 79.902.936.372

3 Hasil Penebangan 7.759.000 0 645.547.868.920 645.547.868.920

Total Pendapatan 15.618.500 0 645.547.868.920 747.199.185.882

Total Pendapatan Terdiskonto

Pendaptan Terdiskonto 0 0 95.956.577.300 123.466.317.342

No Analisis Nilai

1 NPV (Net Present Value) 91.484.610.335 2 BCR (Benefit Cost Ratio) 3,86 3 IRR (Internal Rate of return) 21,72


(6)

RINGKASAN

RAMA ADITYA KUSUMA.Kelayakan Finansial Jati Plus Perhutani (JPP) di

KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Di bawah bimbingan

DODIK RIDHO NURROCHMAT

Pengelolaan hutan jati secara berkelanjutan akan membantu mengatasi

masalah kekurangan pasokan kayu jati ke pasaran dalam maupun luar negeri pada

masa datang. Pada saat ini pasokan kayu jati lokal diperkirakan hanya mampu

memenuhi kurang dari 30% dari jumlah permintaan. Situasi ini menyebabkan

harga kayu jati terus meningkat dari tahun ke tahun. Di lain pihak permintaan

ekspor atas produk hasil olahan kayu dan mebel meningkat tajam, yang

akhirnya memperbesar perbedaan antara jumlah produksi dan permintaan kayu

jati. Keuntungan lain dari pengelolaan jati secara berkelanjutan adalah tingkat

keuntungan yang sangat tinggi disertai sifat alamiah objek investasi pohon

itu sendiri yang pertumbuhannya dapat diproyeksi dan juga resisten terhadap

fluktuasi dan gangguan ekonomi.

Saat ini dengan berkembangnya teknologi khususnya dalam bidang

rekayasa genetik (Pemuliaan Pohon /

Tree Improvement

) telah menghadirkan jati

varietas unggul untuk meningkatkan pengelolaan jati secara berkelanjutan. Salah

satu yang dikembangkan oleh Perum Perhutani adalah Jati Plus Perhutani (JPP).

Keuntungan dari Jati Plus Perhutani adalah tumbuh cepat (daur 20 tahun), volume

per hektar relatif besar dan kualitas batang lebih baik. Oleh karena itu, perlu studi

kelayakan usaha untuk pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di KPH Bojonegoro

Perum Perhutani Unit II Jawa Timur agar keuntunganya maksimal.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha terutama aspek

finansial dari pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di KPH Bojonegoro Perum

Perhutani Unit II Jawa Timur. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan

informasi kelayakan usaha terutama aspek finansial Jati Plus Perhutani (JPP) di

KPH Bojonegoro Unit II Jawa Timur.

Metode pengolahan data yang digunakan adalah analisis finansial dengan

tiga kriteria yang dinilai yaitu

Net Present Value

(NPV),

Benefit Cost Ratio

(BCR) dan

Internal Rate of Returns

(IRR) dimana periode analisis kelayakan

dihitung dalam jangka waktu 20 tahun. Pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) di

KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dilihat dari aspek finansial

dinyatakan layak karena nilai

Net Present Value

(NPV) sebesar Rp

91.484.610.335 lebih besar dari nol (> 0) dan

Benefit Cost Ratio

(BCR) sebesar

3,86 lebih besar dari satu (> 1) sedangkan nilai

Internal Rate of Return

(IRR)

sebesar 21,72% lebih besar dari suku bunga sebesar 10 %. Berdasarkan analisis

sensitivitas dengan skenario kenaikan biaya total sebesar 10% dan penurunan

harga log kayu jati sebesar 10% dapat dilihat bahwa secara finansial pengelolaan

tanaman JPP di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur layak

dilaksanakan walaupun nilai NPV, BCR dan IRR mengalami penurunan

dibandingkan dengan kondisi normal tetapi masih bernilai positif.