Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Habis Jati di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

(1)

RINGKASAN

DEVI MUHTARIANA. E14080072. Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Habis Jati di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II JawaTimur. Dibimbing oleh Ahmad Budiaman.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan kayu pun semakin meningkat, baik untuk kebutuhan pembuatan bangunan, furnitur, maupun diekspor. Hal ini menuntut pemanfaatan kayu yang lebih efisien dan efektif, mengingat luas hutan produksi di Indonesia semakin berkurang, yang selanjutnya mengakibatkan ketersediaan bahan baku berupa kayu semakin sedikit, termasuk ketersediaan kayu jati.

Penelitian tentang jati sudah cukup banyak dilakukan dan lebih difokuskan pada perbaikan pohon, teknik kultur jaringan jati, perbaikan genetik, perbaikan kualitas pohon, dan metode penjarangan. Sementara itu, penelitian tingkat pemanfaatan kayu sisa pada kegiatan tebang habis hutan tanaman jati untuk keseluruhan sortimen kayu bulat masih belum banyak dilakukan.

Penelitian ini dilakukan di anak petak 70c tegakan jati di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun. Jumlah pohon contoh yang diambil berdasarkan persamaan Cochran (1977) adalah 48 pohon. Pohon contoh yang ditebang mengikuti kegiatan penebangan yang sedang berlangsung di lapangan. Kuantifikasi kayu hasil tebang habis dilakukan pada hasil produksi kayu bulat dari 48 pohon contoh yang ditebang, baik bagian pohon yang dimanfaatkan maupun bagian pohon yang tidak dimanfaatkan oleh Perum Perhutani.

Volume total 48 pohon contoh yang ditebang habis adalah 116,43 m³ dengan volume rata-rata per pohon sebesar 2,43 m³. Secara rinci, sortimen kayu bulat paling banyak berasal dari batang utama (67,85%), batang atas (16,44%), sortimen paling sedikit berasal dari cabang dan ranting (2,10%), potongan pendek (4,67%), sortimen kecil (5,94%), dan tunggak sebesar (3,00%).

Total volume kayu yang dimanfaatkan dari 48 pohon contoh yang ditebang adalah 100,59 m³ dengan rata-rata volume sebesar 2,09 m³ per pohon. Sortimen kayu jati yang dimanfaatkan berasal dari bagian batang utama sebesar 79 m³ (67,85%), batang atas sebesar 19,15 m³ (16,44%), dan cabang sebesar 2,44 m³ (2,10%). Rata-rata setiap pohon akan menghasilkan 11 sortimen KBK, 6 sortimen KBS, dan 7 sortimen KBB. Volume total kayu sisa dari 48 pohon contoh adalah 15,84 m³ atau rata-rata per pohonnya adalah 0,33 m³. Berdasarkan asalnya, volume kayu sisa dari bagian tunggak sebesar 3,49 m³ (22,05%) dari total volume kayu sisa, volume potongan pendek dari batang utama adalah 0,47 m³ (2,42%), batang atas sebesar 0,49 m³ (2,57%), cabang sebesar 4,48 m³ (23,28%), dan sortimen kecil sebesar 6,91 m³ (35,96%). Nilai faktor pemanfaatan kayu pada kegiatan tebang habis KU VII adalah 86,39% dan nilai faktor residu adalah 13,61%.


(2)

ABSTRACT

DEVI MUHTARIANA. E14080072. Quantification of Clear Cutting Waste of Teak in RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II East Java. Supervised by AHMAD BUDIAMAN.

Along with increasing population and the needs of any wood, both for the needs of buildings manufacture, furniture, or exported also increase. This requires the utilization of wood more efficiently and effectively, due to declining of forest production in Indonesia, which subsequently resulted in less availability of raw materials, including the teak.

Recently research on the teak is focused on the improvement of tissue culture technique, genetic improvement, improvement of tree quality, and thinning. Meanwhile, research on utilization rate of the wood waste of clear cutting of teak is rarely done.

The research was conducted at 70C sub-compartment in RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun. The number of tree samples is 48 trees. Tree sample was felled during logging operation in the field. All of clear cutting 48 trees sample result was quantified, both commercial and non-commercial logs.

The total volume of 48 trees sample felled was 116,43 m³ with average volume per tree is 2,43 m³. The round wood comes mostly from the main stem (67,85%), upper stem (16,44%), branches and twigs (2,10%), a short cut (4,67% ), small assortment (5,94%), and stump (3,00%).

Total volume of commercial was 100,59 m³ with an average volume of 2,09 m³ per tree. Commercial woods were from the main stem 67,85%, upper stem of 16,44%, and branches of 2,10%. On average, each tree produced 11 logs KBK, 6 logs KBS, and 7 logs KBB. The total volume of waste wood from 48 trees sample was 15,84 m³, or an average per tree was 0,33 m3. Based on its origin, waste wood volumes of stump is 3,49 m³ (22,05%), the volume of short cut from the main stem is 0,47 m3 (2,42%), upper stem at 0,49 m³ (2,57%), branches of 4.48 m³ (23.28%), and small assortment of 6,91 m³ (35,96%). Wood recovery factor of clear cutting age class VII is 86,39% and the residue factor is 13,61%.


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan kayu pun semakin meningkat, baik untuk kebutuhan pembuatan bangunan, meubel, maupun diekspor. Hal ini menuntut pemanfaatan kayu yang lebih efisien dan efektif, mengingat luas hutan produksi di Indonesia semakin berkurang, yang selanjutnya mengakibatkan ketersediaan bahan baku berupa kayu semakin sedikit, termasuk ketersediaan kayu jati.

Kayu jati merupakan jenis kayu yang banyak dikonsumsi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini terbukti dengan adanya konsumsi kayu jati dalam bentuk log di Indonesia pada tahun 2000 adalah 726.654 m3 (Komalasari 2009). Berdasarkan Asosiasi Meubel Indonesia (2001) dalam Siregar (2005), Perum Perhutani menjadi pemasok utama kayu jati sebagai bahan baku industri meubel yang berorientasi ekspor. Kebutuhan akan bahan baku kayu jati untuk 1500 perusahaan industri meubel pada tahun 2000 adalah 2 juta m3. Kondisi ini menunjukkan kurangnya pasokan kayu jati sebagai bahan baku industri meubel. Selain itu, adanya peningkatan ekspor kayu jati pada tahun 1998 – 2000 mengakibatkan semakin besarnya permintaan kayu jati sebagai bahan baku.

Tingkat pemanfaatan kayu jati hasil penebangan adalah masih rendah. Anggoro (2007) melaporkan bahwa tingkat pemanfaatan kayu jati di KPH Banyuwangi Utara adalah 80% dan limbah sebesar 20% dari volume pohon yang ditebang. Limbah penebangan tersebut berasal dari kayu pecah, kayu lapuk, potongan pendek, cabang dan ranting, tunggak, dan kayu tak beraturan. Penelitian ini tidak memberikan informasi jenis kegiatan penebangan yang dilakukan, apakah tebang penjarangan atau tebang habis. Selain itu, metode kuantifikasi kayu bulat yang digunakan tidak sepenuhnya menggunakan metode pohon penuh (whole tree method).

Penelitian tentang jati sudah cukup banyak dilakukan dan lebih difokuskan pada perbaikan kualitas pohon, teknik kultur jaringan, perbaikan genetik, dan metode penjarangan. Sementara itu, penelitian tingkat pemanfaatan kayu sisa pada


(4)

hutan tanaman jati untuk keseluruhan sortimen kayu bulat masih belum banyak dilakukan. Untuk itu, penelitian tentang tingkat pemanfaatan kayu sisa jati pada tebang habis perlu dilakukan.

1. 2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi jenis kayu sisa yang dihasilkan dari penebangan habis jati di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Panggung, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Dagangan, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun.

2. Menghitung volume kayu sisa dan tingkat pemanfaatan kayu jati pada kegiatan tebang habis jati di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun.

1. 3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan data tingkat pemanfaatan kayu hasil tebangan sebagai masukan perbaikan pengelolaan tebang habis di hutan produksi RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur agar pengelolaan hutannya lebih efisien.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemanenan Hutan

Menurut Sessions (2007), pemanenan hutan merupakan serangkaian aktivitas penebangan pohon dan pemindahan kayu dari hutan ke tepi jalan untuk dimuat dan diangkut keluar hutan. Pemanenan hutan terdiri atas beberapa kegiatan, antara lain penebangan, penyaradan, pengupasan kulit, muat bongkar, dan pengangkutan. Misalnya, pada hutan rakyat kegiatan muat bongkar atau pengulitan tidak terlalu signifikan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi operasi pemanenan hutan adalah iklim, topografi, tanah, jenis, lokasi, tenaga kerja, serta hama dan penyakit. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam pemanenan hutan antara lain:

a. Penebangan, yaitu langkah awal kegiatan pemanenan kayu, meliputi tindakan yang diperlukan untuk memotong kayu dari tunggaknya secara aman dan efisien. Kegiatan penebangan pohon terdiri atas tiga kegiatan, yaitu persiapan dan pembersihan tumbuhan bawah, penentuan arah rebah, serta pembuatan takik rebah dan takik balas. Dalam kegiatan ini, termasuk di dalamnya pembagian batang menjadi sortimen tertentu (bucking), pemotongan cabang (debranching), serta pemotongan tajuk (topping). b. Penyaradan, yaitu kegiatan mengeluarkan kayu dari lokasi tebangan ke

tempat pengumpulan kayu (TPn). Penyaradan merupakan tahapan awal dari kegiatan pengangkutan. Tujuan kegiatan penyaradan adalah memindahkan kayu dari dalam hutan ke luar hutan dengan cepat dan murah.

c. Pengupasan kulit (debarking). Besarnya volume produksi yang dihasilkan oleh hutan tergantung dari seberapa besar diameter kayu bulat dan kandungan kulitnya. Diameter kayu bulat dapat berkurang secara tajam dengan adanya pengupasan kulit baik secara manual atau dengan mesin. Pengulitan kayu dapat dilakukan dengan manual (tenaga manusia) atau dengan mesin (drum debarking at mills).


(6)

d. Muat bongkar, secara modern kegiatan ini dilakukan secara mekanis. Banyak tipe kendaraan atau alat angkut yang dapat digunakan untuk mengangkut kayu berukuran pendek, batang utama, atau bahkan full tree. e. Pengangkutan, yaitu kegiatan memindahkan kayu atau hasil hutan yang lain

dari tempat pengumpulan kayu (TPn) ke tempat penimbunan kayu (TPK). Tahapan kegiatan pemanenan, terutama penebangan, merupakan salah satu tahapan kegiatan yang dapat menghasilkan limbah. Oleh karena itu, sebelum melakukan kegiatan penebangan, diperlukan pemahaman dari pengawas dan para pekerja. Selain itu, diperlukan spesifikasi sortimen kayu bulat serta pengawasan mutu dari kayu yang dihasilkan dari kegiatan penebangan agar dapat meminimalisir limbah yang dihasilkan dari kegiatan penebangan. Penebang dan pekerja harus memahami cara penebangan dan pembagian batang agar dapat mengefisiensikan kegiatan penebangan serta penyaradan (Sessions 2007).

Pemanenan hutan dimaksudkan untuk memanfaatkan hutan dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial. Sementara itu, tujuan dari kegiatan pemanenan hutan adalah memaksimalkan nilai kayu, mengoptimalkan pasokan bahan baku industri, serta meningkatkan kesempatan kerja, dan mengembangkan ekonomi daerah (Rahmat 2007).

2.2 Sortimen Kayu Bulat Jati

Berdasarkan besarnya diameter, kayu bundar jati digolongkan menjadi tiga sortimen, yaitu kayu bundar besar (KBB) atau AIII, kayu bundar sedang (KBS) atau AII, dan kayu bundar kecil (KBK) atau AI. Kayu bundar besar atau AIII adalah kayu bundar dengan ukuran diameter lebih dari atau 30 cm. Kayu bundar sedang atau AII adalah kayu bundar dengan ukuran diameter 21 cm sampai dengan kurang dari 30 cm. Kayu bundar kecil atau AI adalah kayu bundar dengan ukuran diameter kurang dari 21 cm. Klasifikasi sortimen bulat kayu jati berdasarkan SNI 7535.3:2011 disajikan pada Tabel 1.


(7)

5

Tabel 1 Klasifikasi sortimen kayu jati berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7535.3:2011.

Sortimen Kelas diameter (cm)

Batas atas dan bawah kelas diameter (cm)

Titik tengah kelas diameter

(cm)

Batas atas dan bawah keliling ujung

dalam cm penuh

KBK (AI) 4

7 10 13 16 19

3,00 – 5,99 6,00 – 8,99 9,00 – 11,99 12,00 – 14,99 15,00 – 17,99 18,00 – 20,99

4,5 7,5 10,5 13,5 16,5 19,5

9 – 18 19 – 27

28 - 37 38 – 46 47 – 56 57 – 65

KBS (AII) 21

22 23 24 25 26 27 28 29

21,00 – 21,99 22,00 – 22,99 23,00 – 23,99 24,00 – 24,99 25,00 – 25,99 26,00 – 26,99 27,00 – 27,99 28,00 – 28,99 29,00 – 29,99

21,5 22,5 23,5 24,5 25,5 26,5 27,5 28,5 29,5

66 – 68 69 – 71 72 – 74 75 – 77 78 – 80 81 – 83 84 – 86 87 – 90 91 – 93 KBB (AIII) 30

31 32 33 34 35 dst

30,00 – 30,99 31,00 – 31,99 32,00 – 32,99 33,00 – 33,99 34,00 – 34,99 35,00 – 35,99

dst 30,5 31,5 32,5 33,5 34,5 35,5 dst

94 – 96 97 – 99 100 – 103 104 – 106 107 – 109 110 – 112

dst

2.3 Kayu Sisa Penebangan

Menurut Widarmana (1973) dalam Komalasari (2009), kayu sisa adalah sisa-sisa atau bagian-bagian kayu yang dianggap tidak bernilai ekonomis lagi dalam suatu proses tertentu, pada waktu dan tempat tertentu, tetapi masih mungkin untuk dimanfaatkan pada proses, waktu dan tempat yang berbeda. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002, istilah limbah tebang atau limbah pembalakan adalah kayu sisa yang tidak dimanfaatkan lagi oleh pemegang izin yang sah pada kegiatan penebangan atau pembalakan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang. Menimbang bahwa dalam peraturan tersebut kayu jati dianggap tidak memiliki limbah, maka untuk kayu jati dikenal dengan istilah kayu sisa.


(8)

Kayu sisa penebangan terjadi karena eksploitasi hutan. Kayu sisa yang dimaksud adalah bagian pohon yang seharusnya dapat dimanfaatkan, akan tetapi oleh berbagai sebab terpaksa ditinggalkan di hutan. Adanya kayu sisa juga dipengaruhi oleh syarat-syarat pasaran, jenis dan nilai kayunya, tempat serta fasilitas pasaran pada saat itu. Dengan demikian, ukuran dan kualitas kayu yang tidak memenuhi syarat akan menjadi kayu sisa. Menurut Sastrodimejo dan Sampe (1978) dalam Sari (2009), berdasarkan tempat terjadinya, limbah atau kayu sisa dibedakan menjadi:

a. Kayu sisa yang terjadi di areal tebangan (cutting area), kayu sisa tebangan ini berupa kelebihan tunggak dari yang diizinkan, bagian batang dari pohon yang rusak, cacat, potongan-potongan akibat pembagian batang dan sisa cabang dan ranting.

b. Kayu sisa yang terjadi di tempat pengumpulan kayu (TPn), batang-batang yang tidak memenuhi syarat, baik kualitas maupun ukurannya.

c. Kayu sisa yang terjadi di tempat penimbunan kayu (TPK), biasanya terjadi karena penolakan oleh pembeli karena log sudah terlalu lama disimpan sehingga busuk, pecah, dan terserang jamur.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kayu sisa yaitu cara pengerjaan yang kurang memperhatikan efisiensi, desain peralatan yang tidak sesuai, organisasi kerja yang kurang baik dan permintaan jenis produk yang kurang menguntungkan. Selain itu, faktor lain seperti topografi yang berat, musim hujan juga dapat mempengaruhi terjadinya limbah (Darusman 1989 dalam Rahmat 2007).

Anggoro (2007) melaporkan bahwa volume kayu sisa yang dihasilkan dari produksi kayu bulat pada pengelolaan di Perum Perhutani mencapai 0,12 m3 per pohon (22,67%) yang berupa cabang dan ranting (91,35%), tunggak (2,91%), kayu tak beraturan (2,08), kayu pecah (1,77%), potongan pendek (1,4%), dan kayu lapuk (0,48%). Presentase kayu sisa terbesar dihasilkan oleh cabang dan ranting.

Budiaman dan Komalasari (2012) melaporkan bahwa kayu sisa yang dihasilkan dari produksi kayu bulat pada pengelolaan hutan milik Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) mencapai 0,93 m3 per pohon. Kayu sisa yang dihasilkan dari


(9)

7

penebangan 30 pohon contoh berupa cabang dan ranting, batang atas, potongan pendek, dan tunggak. Jika dirinci menurut asalnya, volume kayu sisa yang berasal dari cabang dan ranting sebesar 3,85 m3 dari volume total hasil tebangan, batang atas 2,49 m3, potongan pendek 1,22 m3, dan tunggak 0,72 m3. Sementara itu, Irmawati (2012) melaporkan bahwa volume kayu sisa yang dihasilkan dari kegiatan penjarangan pada kelas pengusahaan jati yang dikelola oleh Perum Perhutani adalah 6,86 m³ atau rata-rata 0,16 m³ per pohon.

Selama ini pemanfaatan produksi kayu pada pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HTI) belum optimal. Hal ini dapat terlihat bahwa kegiatan pemanenan HTI masih menghasilkan limbah yang relatif besar. Besarnya volume limbah pemanenan pada pengusahaan HTI kayu pulp mencapai 23,3% (Kartika 2004).

2.4 Jati dan Pemanfaatannya

Menurut Sumarna (2003), jati (Tectona grandis Linn. F.) merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke-9 dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan gangguan rayap serta jamur dan awet. Jati dalam sistem klasifikasi, mempunyai penggolongan sebagai berikut:

divisi : Spermatophyta kelas : Angiospermae sub-kelas : Dicotyledoneae ordo : Verbenales famili : Verbenaceae genus : Tectona

spesies : Tectona grandis Linn. f.

Secara morfologis, tanaman jati memiliki tinggi yang dapat mencapai sekitar 30 – 45 m. Diameter batang dapat mencapai 220 cm. Kulit kayu berwarna kecokelatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Secara fenologis, tanaman jati tergolong tanaman yang menggugurkan daun (deciduous) pada saat musim kemarau, antara bulan November hingga Januari. Setelah gugur, daun akan tumbuh lagi pada bulan Januari atau Maret. Tumbuhnya daun ini juga secara


(10)

umum ditentukan oleh kondisi musim. Secara umum, pertumbuhan tanaman jati di alam relatif kecil dan rendah, demikian pula dengan riap tumbuhnya. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pada umur 50, 70, 80 tahun memiliki nilai produk masing-masing sekitar 417 m3, 510 m3, dan 539 m3 per hektar.

Jati akan tumbuh dengan baik ketika suhu bulanan minimum lebih dari 13 ˚C dan suhu bulanan maksimum kurang dari 40 ˚C. Curah hujan optimal untuk pertumbuhan jati adalah 1.250 – 3750 mm per tahun. Waktu yang cocok untuk memproduksi kayu dengan kualitas yang bagus adalah musim kering atau musim kemarau setidaknya empat bulan dengan laju presipitasi kurang dari 60 mm (Khrisnapillay 2000).

2.5 Jenis Tebangan Jati

Dalam proses pengelolaan hutan, terdapat kegiatan produksi yang berupa kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No. 143/KPTS/DJ/I/74 tanggal 10 Oktober 1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati dikelompokkan ke dalam lima jenis tebangan, Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Kelas Perusahaan Jati Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun, 2010):

a. Tebangan A

Tebangan A adalah tebangan habis hutan produktif dari kelas perusahaan tebang habis yang pada umumnya digunakan sebagai dasar dalam perhitungan etat tebangan. Kelas hutan yang termasuk ke dalam tebangan A adalah Kelas Hutan Miskin Riap yang akan dijadikan tanaman lagi. Tebangan A (Tebang Habis Biasa) dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Tebangan A1 adalah lapangan yang telah ditebang habis dalam jangka

perusahaan yang lalu.

2. Tebangan A2 adalah penebangan habis biasa yang dilaksanakan di dalam jangka berjalan.

3. Tebangan A3 adalah penebangan pada lapangan-lapangan yang akan ditebang pada jangka perusahaan yang aka datang.


(11)

9

b. Tebangan B

Tebangan B adalah tebangan habis dari hutan yang produktif dari lapangan yang baik untuk tebang habis dan dari lapangan yang tidak baik untuk tebang habis. Tebangan B dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. Tebangan B1 adalah penebangan habis pada lapangan yang tidak produktif tetapi disediakan untuk penghasilan kayu jati. Tebangan B1 meliputi tanah kosong (TK), hutan jati rawang atau bertumbuhan kurang (TJBK, HJBK), dan hutan jenis kayu lain (HAKL,TKL). 2. Tebangan B2 adalah penebangan habis pada lapangan yang tidak baik

untuk tebang habis (lapangan TBPTH).

3. Tebangan B3 adalah tebang habis pada lapangan yang tidak baik untuk jati, meliputi tanah kosong, hutan jati kemati-matian, hutan jenis kayu lain.

c. Tebangan C

Tebangan C adalah penebangan habis pada lapangan-lapangan yang pada permulaan jangka perusahaan telah dihapuskan, juga dari lapangan-lapangan yang telah direncanakan pasti akan dihapuskan. Lapangan tebang ini tidak akan ditanami lagi.

d. Tebangan D

Tebangan D adalah tebangan yang disebabkan adanya kondisi force majeur. Tebangan D terdiri atas:

1. Tebangan D1 adalah penebangan pohon-pohon yang merana, condong dan rebah yang berada di hutan alam, baik yang terdapat pada lapangan yang tidak baik untuk tebang habis. Termasuk yang di atas adalah tebang penerang atau tebang rawat, yaitu pemotongan pohon– pohon yang masak tebang di hutan masak tebang atau sekunder tua untuk memperbaiki pohon-pohon yang muda.

2. Tebangan D2 adalah penebangan yang berasal dari lapangan-lapangan yang mengalami kerusakan karena bencana alam, angin, petir atau lapangan yang akan dibuat jalan.


(12)

e. Tebangan E

Tebangan E adalah penebangan yang berasal dari lapangan-lapangan yang dijarangkan. Tebangan E biasa disebut tebang penjarangan. Penjarangan bertujuan untuk memperlebar jarak tanam atau mengurangi jumlah pohon agar pertumbuhan dalam suatu area lebih merata sehingga mutu kayu yang dihasilkan meningkat. Pemeliharaan jati dilakukan dengan pelaksanaan kegiatan penjarangan. Penjarangan pertama dilakukan tergantung kepada baik atau kurang baiknya bonita, yaitu pada umur tiga tahun sampai umur lima tahun. Selanjutnya penjarangan dilakukan tiap-tiap tiga tahun sekali sampai jati berumur 15 tahun. Umur 15 tahun sampai 30 tahun penjarangan dilakukan lima tahun sekali, selanjutnya penjarangan dilakukan 10 tahun sekali (Panitia Perancang Hutan Industri 1958 dalam Mayasari 2007).

2.6 Pengelolaan Hutan Jati

Dalam proses pertumbuhannya, suatu tegakan hutan semenjak ditanam sampai dengan akhir daur akan melewati beberapa tahap pemeliharaan hutan. Dalam rangkaian pengelolaan hutan, di samping kegiatan pembuatan tanaman dan pemanenan hasil hutan, kegiatan pemeliharaan hutan khususnya penjarangan memiliki peranan yang cukup penting bagi pertumbuhan jati, karena dapat menghasilkan kualitas kayu yang baik pada akhir daur dan memiliki massa kayu yang besar.

Pengelolaan hutan termasuk hutan tanaman jati dan hutan tanaman jenis lainnya di seluruh Pulau Jawa (kecuali wilayah DKI Jakarta dan DI Yogyakarta serta cagar alam, taman nasional, suaka margasatwa), dipercayakan pegelolaannya oleh pemerintah kepada badan usaha milik negara (BUMN), yaitu Perhutani berdasarkan PP No. 36 tahun 1986 (Direksi Perum Perhutani dalam Mayasari 2007).

Dalam pengelolaan hutan tanaman jati, Perhutani melaksanakan permudaan buatan, walaupun permudaan alam pada tegakan jati mudah terjadi dan dapat membentuk tegakan murni setelah mengalami kebakaran serta mudah tumbuh tunas, tetapi permudaan alami ini jarang dilakukan, karena akan menghasilkan


(13)

11

kayu yang memiliki kualitas rendah. Pengembangan tanaman jati terus dilaksanakan, karena nilai kayu yang secara ekonomis bernilai tinggi dan permintaannya dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

Hutan jati di Indonesia sebagian besar tumbuh di Pulau Jawa, pengelolaannya telah lama dilakukan oleh Perum Perhutani yang mengelola hutan jati seluas 2,6 juta ha yang terdiri atas 54 kesatuan pemangkuan hutan (KPH). Kawasan hutan Perum Perhutani terdiri atas hutan produksi seluas 1,9 juta ha dan hutan lindung seluas 700 ribu ha.

Produksi hutan jati yang dikelola Perum Perhutani rata-rata 800 ribu m3 per tahun. Sebagian besar produksi hutan jati (85%) dijual dalam bentuk kayu bulat, sedangkan sisanya untuk kebutuhan bahan baku industri milik Perum Perhutani dan industri mitra kerjasama pengelolaan mitra (mitra KSP) Perhutani dengan swasta. Tabel 2 menyajikan data produksi kayu jati di Perum Perhutani pada tahun 2000. Perum Perhutani sebagai pemasok utama kayu jati di Indonesia hanya mengeluarkan kayu dalam bentuk kayu bulat untuk kebutuhan industri sebanyak 726.654 m3. Masih ada kekurangan pasokan karena kebutuhan bahan baku kayu jati untuk industri meubel untuk sekitar 1500 perusahaan pada tahun 2000 adalah 2 juta m3 (Asosiasi Meubel Indonesia 2001 dalam Siregar 2005). Data distribusi produksi kayu jati Perum Perhutani sampai tahun 2000 disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Distribusi produksi kayu jati Perum Perhutani sampai tahun 2000.

No. Tahun produksi

Pengguna Log Jati Industri swasta

(m³)

Perhutani Industri

Perhutani (m3)

Mitra

KSP* (m3) Total (m 3

)

1 1998 707.569 84.279 36.682 828.530

2 1999 567.716 79.883 46.219 639.818

3 2000 726.654 59.676 38.540 824.870

Sumber: Asosiasi Meubel Indonesia (2001) dalam Siregar (2005) (*Kerjasama Pengelola)


(14)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di anak petak 70c, RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan, yaitu mulai tanggal 1 sampai dengan 31 Mei 2012.

3.2 Alat dan Objek Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran, pita ukur, haga hypsometer, tally sheet, timbangan gantung, gunting, oven, chainsaw, karung, tali, komputer, dan kamera. Objek penelitian adalah tegakan jati dan hasil tebang habis kayu jati kelas umur VII pada anak petak 70c.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui wawancara dengan pihak BKPH Dagangan, penyalinan dokumen, dan browsing internet.

Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah keliling pohon berdiri, tinggi pohon bebas cabang, tinggi pohon total, keliling tunggak, tinggi tunggak dari permukaan tanah, keliling pangkal dan keliling ujung sortimen kayu bulat, panjang sortimen kayu bulat, dan berat basah sortimen kecil. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah letak dan luas areal KPH Madiun, tanah, iklim, kondisi sosial ekonomi masyarakat, hasil wawancara dengan pihak BKPH Dagangan dan penyalinan dokumen Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan Jati KPH Madiun.

Metode kuantifikasi kayu bulat yang digunakan pada penelitian ini adalah whole tree method (metode pohon penuh), dimana seluruh sortimen kayu bulat yang dihasilkan akan diukur dimensinya. Sortimen kayu bulat yang diukur


(15)

13

meliputi tunggak, batang utama, batang atas, potongan pendek, cabang, ranting, dan sortimen kecil. Semua sortimen ini selanjutnya dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kelompok sortimen yang dimanfaatkan dan kelompok kayu sisa. Kelompok sortimen yang dimanfaatkan adalah jenis sortimen kayu bulat AIII (KBB), AII (KBS), dan AI (KBK). Kelompok kayu sisa adalah kayu yang tidak dimanfaatkan oleh Perum Perhutani berupa kayu pecah, kayu lapuk, potongan pendek, cabang dan ranting yang memiliki ukuran diameter kurang dari 10 cm, tunggak, sortimen kecil, serta kayu tak beraturan.

3.4 Batasan Sortimen Kayu Bulat

Dalam penelitian ini sortimen kayu bulat yang akan diukur dibedakan atas batang utama, batang atas, cabang dan ranting, potongan pendek, sortimen kecil, dan tunggak. Menurut Budiaman (2000), batasan masing-masing jenis kayu bulat adalah sebagai berikut:

a. Batang utama adalah batang dari atas takik rebah dan takik balas sampai cabang pertama.

b. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai batang yang memiliki diameter terkecil yang masih dimanfaatkan oleh Perum Perhutani. c. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang

berada di atas cabang pertama.

d. Potongan pendek adalah bagian dari batang utama, batang atas, cabang, dan ranting yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan pendek ini meliputi juga banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk, dan jenis cacat fisik lain yang mengurangi nilai ekonomis kayu.

e. Tunggak adalah bagian bawah pohon, yaitu bagian yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Tinggi dari tunggak sangat bervariasi tergantung ketinggian takik balas.

f. Sortimen kecil yaitu sortimen yang memiliki diameter di bawah limit diameter yang dimanfaatkan oleh Perum Perhutani.


(16)

Gambar 1 Distribusi sortimen kayu pada pohon yang ditebang

3.5 Penentuan Pohon Contoh

Pohon contoh yang diamati untuk penelitian ini adalah pohon yang ditebang di anak petak contoh di RPH Panggung BKPH Dagangan pada bulan Mei 2012. Jumlah pohon contoh ditentukan berdasarkan sebaran diameter pohon yang ditebang. Besarnya Sampling Error ditetapkan sebesar 5%. Berdasarkan klem tebang habis anak petak 70c diperoleh bahwa pohon yang akan ditebang berjumlah 1.626 pohon dengan diameter rata-rata sebesar 52 cm, dan simpangan baku sebesar 9 cm, sehingga jumlah pohon contoh yang diambil berdasarkan persamaan Cochran (1977) adalah 48 pohon. Persamaan Cochran yang digunakan untuk menghitung jumlah sampel adalah sebagai berikut:

n0 =

t

2,dbf .s y .100

SE .y

2 ,

n = n0

1+ n0N

Keterangan:

t(

2,2)

= nilai tabel t-student Sy = simpangan baku contoh SE = sampling error maksimum

y = rata-rata contoh

n0 = ukuran contoh tanpa memperhitungkan fpc (faktor koreksi populasi)

N = ukuran populasi

n = ukuran contoh dengan memperhitungkan fpc (faktor koreksi populasi)


(17)

15

3.6 Tahapan Pengumpulan Data

Pengumpulan data pohon sampel dilakukan dengan melakukan pengukuran pohon berdiri, hasil tebangan serta kayu sisa yang dihasilkan dari tebangan. tahapan yang dilakukan untuk mengumpulkan data adalah:

1. Persiapan sebelum melakukan penebangan, yaitu persiapan alat dan bahan yang akan digunakan untuk penelitian. Persiapan alat-alat yang akan digunakan untuk penebangan batang utama, pemangkasan cabang dan ranting serta penggalian tunggak.

2. Melakukan pengukuran pohon berdiri, yang meliputi keliling pada ketinggian 1,3 m di atas permukaan tanah atau di atas banir, tinggi bebas cabang dan tinggi total.

3. Penebangan pohon dilakukan oleh pihak Perhutani dengan membuat takik rebah dan takik balas dan membersihkan cabang serta ranting.

4. Melakukan pemisahan bagian-bagian pohon menjadi beberapa kelompok, yaitu:

a. Tunggak b. Batang utama c. Batang atas d. Potongan pendek e. Cabang

f. Ranting g. Sortimen kecil

5. Melakukan pembagian batang.

6. Mengukur keliling sortimen kayu bulat untuk selanjutnya dikonversi menjadi diameter. Pengukuran keliling dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada bagian pangkal dan ujung sortimen lalu menghitung rata-ratanya. Untuk tunggak, keliling yang digunakan adalah keliling pangkal. Cara pengukuran panjang dan diameter disajikan pada Gambar 2.

7. Melakukan pengukuran panjang sortimen kayu bulat. Panjang adalah jarak terpendek antara kedua bontos sejajar dengan sumbu kayu. Pengukuran panjang sortimen kayu bulat dilakukan pada batang utama, batang atas, cabang, ranting, dan potongan pendek.


(18)

8. Melakukan penimbangan dengan karung untuk sortimen kayu bulat yang memiliki diameter di bawah ukuran diameter yang dimanfaatkan oleh Perum Perhutani yaitu 10 cm. Penimbangan dilakukan pada 300 gram sampel untuk setiap pohon terpilih (SNI 7724:2011).

9. Mencatat hasil pengukuran sortimen kayu bulat pada tally sheet.

Gambar 2 Pengukuran dimensi sortimen kayu bulat dan tunggak

3.7 Kelompok Sortimen yang Dimanfaatkan dan Kayu Sisa

Pohon-pohon yang telah ditebang dan mengalami pembagian batang selanjutnya dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kelompok sortimen yang dimanfaatkan dan kayu sisa. Kelompok kayu yang dimanfaatkan adalah kelompok kayu AIII, AII, dan AI. Kelompok kayu yang tidak dimanfaatkan adalah kelompok kayu yang mengalami pecah kayu, kayu lapuk, cabang dan ranting memiliki ukuran diameter kurang dari 10 cm, tunggak, serta kayu tak beraturan.

3.8 Pengukuran Kadar Air

Untuk sortimen kayu bulat yang memiliki diameter di bawah limit diameter yang dimanfaatkan oleh pihak Perum Perhutani, setelah ditimbang dan diketahui berat basahnya, sampel di oven dengan suhu 103 ± 2 ˚C selama 24 jam (Bowyer et al. 2007). Setelah diketahui berat kering tanur, selanjutnya dilakukan penghitungan presentase kadar airnya. Setelah presentase kadar air dan berat basahnya diketahui, maka berat kering sampel dapat dihitung. Pengukuran kadar air ini diperlukan untuk menentukan volume sortimen kayu bulat.


(19)

17

3.9 Pengolahan Data 3.9.1 Perhitungan Diameter

Perhitungan diameter sortimen kayu bulat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

d = K π

Keterangan:

K = keliling (cm) d = diameter (cm) π = konstanta = 3.14

3.9.2 Perhitungan Volume

Perhitungan volume sortimen kayu bulat menggunakan rumus Smallian (SNI 7535.3:2011) :

V = LBp−LBu

2 x p

Keterangan:

V : volume sortimen (m3) LBp : luas bontos pangkal (m²) LBu : luas bontos ujung (m²) p : panjang sortimen (m)

Perhitungan volume sortimen yang memiliki ukuran di bawah limit diameter yang dimanfaatkan oleh Perum Perhutani sampai diameter 5 cm menggunakan rumus sebagai berikut (Bowyer et al. 2007) :

1. Volume sortimen kecil

Volume sortimen kecil ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

V = BKt

BJ

Keterangan:

BJ = berat jenis (kg/m3) BKt = berat kering tanur (kg)

V = volume pada kadar air tertentu (m3) 2. Persen Kadar Air


(20)

% KA= BBc−BKt

BKt x 100%

Keterangan :

BBc = Berat Basah Contoh (kg) BKt = Berat Kering Tanur (kg) % KA = Persen Kadar Air 3. Berat Kering

Berat kering ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

BKt = BB 1 + [%KA100]

Keterangan :

BKt = Berat Kering (kg) BB = Berat Basah (kg) % KA = Persen Kadar Air

3.9.3 Penyusunan Interval Kelas Sebaran Diameter dan Tinggi Pohon

Penyusunan interval kelas sebaran diameter dan tinggi pohon menggunakan beberapa persamaaan sebagai berikut:

1. Range data (R)

Range data ditentukan dengan rumus sebagai berikut: Range data = data terbesar – data terkecil

2. Jumlah kelas (k)

Jumlah kelas ditentukan dengan rumus Sturgess: k = 1 + 3,3 log n; dimana:

k = banyaknya kelas n = banyaknya data 3. Panjang kelas interval (i)

Panjang kelas interval ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

Panjang kelas interval (i) = range data (R)

banyaknya kelas (k)

3. 10 Faktor Pemanfaatan (recovery rate) dan Faktor Residu

Faktor pemanfaatan dan faktor residu dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Budiaman 2008):


(21)

19

fm = Vm

Vt x 100%

Keterangan:

fm = faktor pemanfaatan (%)

Vm = volume kayu yang dimanfaatkan (m3) Vt = volume total pohon (m3)

Volume total pohon diperoleh dengan menjumlahkan volume kayu yang dimanfaatkan dengan volume kayu sisa dari masing-masing pohon. Volume total pohon dihitung dengan rumus sebagai berikut:

fr = Vr

Vt

x 100%

Keterangan:

fr = faktor residu (%) Vr = volume kayu sisa (m3)

Volume kayu sisa diperoleh dengan menjumlahkan volume semua bentuk kayu sisa yang dihasilkan dari masing-masing pohon.


(22)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4. 1 Letak dan Luas

Kawasan hutan KPH Madiun terletak di tiga wilayah administratif pemerintahan daerah, yaitu Kabupaten Madiun, Kabupaten Ponorogo, dan Kebupaten Magetan. KPH Madiun memiliki kawasan hutan seluas 31.219,7 ha, yang terdiri atas dua kelas perusahaan, yaitu kelas perusahaan jati seluas 27.483,6 ha dan kelas perusahaan kayu putih seluas 3.736,10 ha. Letak areal KPH Madiun secara geografis, administratif, bagian hutan, dan pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Letak areal kerja dan batas wilayah KPH Madiun.

Uraian Keterangan

Geografis 7˚58'12'' – 7˚34'36'' LS 111˚42'43'' – 111˚17'51'' LS Administrasi pemerintahan 1. Kabupaten Madiun

2. Kabupaten Ponorogo 3. Kabupaten Magetan Daerah Aliran Sungai (DAS) DAS Bengawan Solo

Pembagian wilayah 1. SKPH Madiun Utara: BKPH Brumbun, BKPH Caruban, BKPH Dagangan, BKPH Dungus, BKPH Mojorayung, BKPH Ngadirejo

2. SKPH Madiun Selatan: BKPH Bondrang, BKPH Pulung, BKPH Sampung, BKPH Sukun, BKPH Somoroto

Batas Wilayah: 1. Sebelah Utara 2. Sebelah Timur 3. Sebelah Selatan 4. Sebelah Barat

1. KPH Saradan

2. KPH Saradan dan KPH Lawu ds 3. KPH Lawu ds

4. KPH Lawu ds dan KPH Ngawi Sumber: Rencana pengaturan kelestarian hutan kelas perusahaan jati KPH Madiun (2011)


(23)

21

4. 2 Tanah

Sebagian besar jenis tanah di kawasan hutan KPH Madiun untuk SKPH Madiun Utara terdiri atas mediteran coklat kemerahan dan litosol coklat kemerahan, sedangkan di wilayah SKPH Madiun Selatan terdiri atas jenis aluvial kelabu tua, glel humus, dan mediterania coklat kemerahan. Tanah di KPH Madiun bertektur halus yang didominasi oleh kandungan liat dan debu (Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan Jati KPH Madiun 2011).

4. 3 Iklim

Berdasarkan pembagian iklim Schmidt Ferguson, maka kawasan KPH Madiun termasuk tipe iklim C yang dicirikan dengan nilai Q = 59% untuk SKPH Madiun Utara dan Q = 51% untuk SKPH Madiun Selatan, dengan curah hujan sebesar 563 – 3.303 mm/tahun dan rata-rata sebesar 1.681 mm/tahun. KPH Madiun memiliki suhu minimum rata-rata 21,75 ˚C dan suhu maksimum rata-rata 31,68 ˚C dengan kelembaban udara berkisar antara 64 – 92% (Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan Jati KPH Madiun 2011).

4. 4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Perum Perhutani memandang perlu adanya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan untuk berperan serta dalam membantu pengelolaan hutan. Hal ini dikarenakan dengan adanya interaksi yang semakin intensif antara masyarakat dengan hutan yang ada di sekitarnya akan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan hutan. KPH Madiun yang masuk dalam tiga wilayah pemerintahan administratif merupakan salah satu unit kerja dalam Perum Perhutani yang dikelilingi oleh desa hutan. Terdapat 87 desa hutan di KPH Madiun dengan rincian yaitu 38 desa hutan berada di Kabupaten Madiun, 7 desa hutan berada di Kabupaten Magetan, dan 42 desa hutan berada di Kabupaten Ponorogo.

Penduduk yang berada di KPH Madiun didominasi oleh perempuan dengan presentase 50,3% (461.072 orang) sedangkan laki-laki sebesar 49,7% (455.737 orang). Berdasarkan data statistik BPS tahun 2006, mata pencaharian penduduk yang berada di wilayah kerja KPH Madiun didominasi oleh pertanian (tani dan


(24)

buruh tani). Hal ini didukung dengan kondisi lapangan penduduk yang berada di wilayah KPH Madiun yang sebagian berupa lahan pertanian dan hutan (Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan Jati KPH Madiun 2011).


(25)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pelaksanaan Tebang Habis Jati

Kegiatan tebang habis jati di Perum Perhutani dilaksanakan setelah adanya teresan. Teresan merupakan salah satu dari beberapa rangkaian kegiatan sebelum kegiatan tebang habis. Kegiatan teresan pada dasarnya adalah kegiatan meneres atau mematikan pohon agar diperoleh tegakan yang kering secara alami, sehingga dapat meminimalkan kerusakan pada saat ditebang. Kegiatan teresan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hasil tebangan secara fisik. Dengan tingkat kekeringan batang jati tertentu, risiko kerusakan batang dapat dikurangi. Kegiatan pembuatan teresan dilakukan satu tahun sebelum kegiatan penebangan. Pada saat pelaksanaan teresan, setiap pohon di dalam blok tebangan yang kelilingnya 20 cm ke atas diukur kelilingnya dan diberi nomor urut (Perum Perhutani 1999).

Sistem pemanenan yang dilakukan di BKPH Dagangan KPH Madiun adalah sistem semi mekanis. Rangkaian kegiatan pemanenan sebagian dilakukan oleh tenaga manusia dan bantuan alat mekanis seperti chainsaw dan truk. Secara umum, kegiatan penebangan dipimpin oleh mandor tebang dan dibantu oleh regu tebang serta juru tulis. Mandor bertugas untuk memastikan bahwa kegiatan penebangan berjalan dengan baik. Terdapat tiga orang mandor dan dua orang juru tulis yang bertugas saat kegiatan penebangan berlangsung. Satu orang juru tulis bertugas untuk melakukan penomoran fisik pada sortimen kayu bulat dan seorang yang lain bertugas mencatat administrasi pada buku taksasi. Penebangan dilakukan oleh tiga regu tebang. Satu regu tebang terdiri atas seorang chainsawman dan seorang helper. Untuk satu hari kerja, biasanya penebangan dilakukan oleh dua regu tebang.

Penebangan pohon dilaksanakan oleh chainsawman dan helper. Chainsawman akan menentukan arah rebah, membuat takik rebah dan takik balas. Helper biasanya akan membantu membersihkan ilalang yang tumbuh di sekitar pohon yang akan ditebang. Selain itu, helper juga membantu chainsawman merebahkan pohon jika pohon yang ditebang sulit direbahkan karena diameternya terlalu besar.


(26)

Setelah pohon rebah, mandor tebang akan mengukur dan memberikan penandaan fisik pada batang dengan kapur tulis untuk selanjutnya dipotong oleh chainsawman. Mandor tebang juga mengidentifikasi cacat pada batang dan menentukan bagian batang yang akan dipotong karena cacat, bengkok, dan mata kayu. Setelah kegiatan pembagian batang selesai dikerjakan, mandor tebang yang lain akan mengukur diameter dan panjang sortimen kayu bulat. Juru tulis akan memberikan penomoran fisik pada bontos ujung sortimen kayu bulat dengan cat berwarna hitam. Informasi yang ditulis pada saat melakukan penomoran sortimen kayu bulat adalah nomor urut tebang, nomor pohon, panjang sortimen, dan diameter sortimen. Juru tulis yang lain akan menuliskan hasil penebangan pada buku taksasi dan buku daftar penerimaan kayu. Berikutnya, juru tulis akan memberikan penomoran fisik pada tunggak. Penomoran fisik pada tunggak meliputi kode pohon, nomor urut tebang, nama blandong, tempat tinggal blandong, tanggal penebangan, dan tandatangan.

Sebagai salah satu upaya untuk memperlancar kegiatan penebangan, Perum Perhutani menyediakan jalan sogokan untuk dilalui truk angkutan kayu. Perum Perhutani bekerjasama dengan pihak lain sebagai mitra yang menyediakan sarana transportasi untuk mengangkut hasil tebangan. Terdapat dua truk angkutan yang disediakan oleh Perum Perhutani untuk mengangkut hasil tebangan selama hari kerja. Mitra ini sekaligus menyediakan tenaga kerja untuk mengangkut kayu dari petak tebang ke truk angkutan. Selanjutnya truk angkutan akan mengangkut hasil tebangan dari petak tebang ke Tempat Penimbunan Kayu (TPK).

Kegiatan tebang habis yang dilaksanakan di BKPH Dagangan tidak menggunakan metode pohon per pohon. Chainsawman akan menebang beberapa pohon kemudian kembali ke pohon pertama untuk melakukan pembagian batang. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan penebangan atau menghemat waktu kerja, karena jumlah pohon yang harus ditebang cukup banyak, sehingga chainsawman tidak lagi menunggu mandor tebang selesai melakukan penandaan fisik pada batang. Metode menebang beberapa pohon terlebih dahulu kemudian kembali ke pohon pertama untuk melakukan pembagian batang juga memberikan kesempatan kepada mandor tebang supaya lebih leluasa untuk melakukan pengukuran dan penandaan pada batang yang akan dipotong.


(27)

25

Kelemahan dari metode ini adalah meningkatkan risiko kerusakan kayu, karena pohon yang ditebang akan saling menimpa satu sama lain dan dapat mengakibatkan tertukarnya sortimen kayu bulat yang telah dibagi dan penomoran sortimen kayu bulat yang tidak sesuai.

5.2 Sebaran Diameter dan Tinggi Pohon Contoh 5.2.1 Sebaran Diameter Pohon Contoh

Pohon yang ditebang pada anak petak 70C termasuk kelas umur VII dengan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 1626 pohon dengan rata-rata diameter 51,61 cm. Rata-rata diameter pohon contoh yang ditebang adalah 49,88 cm dengan diameter terbesar adalah 66 cm dan diameter terkecil adalah 33 cm. Pada Gambar 3 terlihat bahwa diameter pohon contoh paling banyak didominasi oleh diameter 43 – 47 cm dan 53 – 57 cm. Pohon yang memiliki diameter 43 – 47 cm merupakan pohon yang paling banyak (22,92%). Selain itu, pohon yang berdiameter 53 – 57 cm menempati posisi kedua terbanyak yaitu sebesar 20,83%, sedangkan pohon yang berdiameter 33 – 37 cm memiliki jumlah paling sedikit (2,08%). Pada Gambar 3 terlihat pula bahwa sebaran diameter pohon contoh cenderung menyebar normal. Sebaran kelas diameter dan presentase jumlah pohon contoh disajikan pada Gambar 3.

Khrisnapillay (2000) melaporkan bahwa Myanmar dan India memiliki tempat tumbuh yang baik untuk jati, diameter jati berumur 50 tahun dapat mencapai 60 cm. Selain Myanmar dan India, Malaysia menjadi tempat yang potensial untuk pertumbuhan jati. Tingkat pertumbuhan diameter jati adalah 1,5 – 2 cm per tahun, sehingga diameter jati berumur 15 tahun mampu mencapai 25 – 35 cm. Berbeda halnya dengan di Indonesia, terutama di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun, diameter jati berumur 70 tahun berkisar antara 43 – 47 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan jati di Indonesia lebih rendah dari ketiga negara tersebut di atas. Terlihat pada Gambar 3 bahwa jati berumur 70 tahun di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun hanya memiliki diameter kurang dari 60 cm.


(28)

Gambar 3 Sebaran diameter pohon contoh

5.2.2 Sebaran Tinggi Pohon Contoh

Rata-rata tinggi total pohon contoh yang ditebang adalah 23,73 meter, tinggi total (TT) terbesar adalah 30,85 meter dan terkecil adalah 21,15 meter. Pada Gambar 4 terlihat bahwa tinggi total pohon contoh paling banyak berada pada kelas 21 – 22 meter. Jumlah pohon paling sedikit berada pada kelas 27 – 28 meter, 29 – 30 meter, dan 31 – 32 meter, yaitu masing-masing sebesar 2,08%. Selain itu, pada Gambar 4 terlihat pula bahwa jumlah pohon semakin sedikit seiring dengan meningkatnya tinggi total pohon. Hal ini diperkirakan karena pertumbuhan jati yang tidak optimal dan manajemen pemeliharaan yang kurang baik, terutama pada kegiatan penjarangan. Sebaran tinggi pohon contoh disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Sebaran tinggi pohon contoh 2,08 18,75 22,92 16,67 20,83 14,58 4,17 0 5 10 15 20 25

33 - 37 38 - 42 43 - 47 48 - 52 53 - 57 58 - 62 63 - 67

P re se ntase jum lah pohon contoh (% ) Diameter (cm) 41,67 39,58 12,50

2,08 2,08 2,08

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

21 - 22 23 - 24 25 - 26 27 - 28 29 - 30 31 - 32

P re se ntase jum lah pohon contoh (% )


(29)

27

Khrisnapillay (2000) melaporkan bahwa jati berumur 50 tahun di Myanmar dan India memiliki tinggi total sekitar 30 meter, sedangkan di Malaysia jati berumur 15 tahun tinggi totalnya mampu mencapai 22 – 25 meter. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan jati di ketiga negara tersebut baik. Sementara itu, tinggi total jati berumur 70 tahun di Indonesia berkisar 21 – 24 meter. Pada Gambar 4 terlihat bahwa jati berumur 70 tahun di Indonesia, terutama di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun memiliki tinggi total berkisar 21 – 24 meter. Tinggi total jati berumur 70 tahun di Indonesia lebih rendah dari tinggi total jati berusia 15 tahun di Malaysia dan jati berusia 50 tahun di India dan Myanmar. Hal ini dapat disebabkan karena kualitas tempat tumbuh di Myanmar, India, dan Malaysia lebih sesuai untuk jati daripada di Indonesia. Selain itu, manajemen pemeliharaan dapat mempengaruhi proses pertumbuhan jati. Pemeliharaan tegakan jati yang kurang baik akan menyebabkan pertumbuhan jati yang tidak optimal.

5.3 Kuantifikasi Kayu Hasil Tebang Habis

Kuantifikasi kayu hasil tebang habis dilakukan pada hasil produksi kayu bulat 48 pohon contoh yang ditebang, baik bagian pohon yang dimanfaatkan maupun bagian pohon yang tidak dimanfaatkan oleh Perum Perhutani. Berdasarkan kebijakan Perum Perhutani, diameter terkecil sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan adalah 10 cm dengan panjang minimal 0,7 meter dan sortimen kayu bulat yang memiliki ukuran diameter 16 cm dengan panjang minimal 0,4 meter.

Volume total 48 pohon contoh yang ditebang habis adalah 116,43 m³ dengan volume rata-rata per pohon sebesar 2,43 m³. Secara rinci, sortimen kayu bulat paling banyak berasal dari batang utama (67,85%), kemudian disusul batang atas (16,44%), sortimen kecil (5,94%), potongan pendek (4,67%), tunggak sebesar (3,00%), dan sortimen paling sedikit berasal dari cabang dan ranting (2,10%). Kuantifikasi kayu hasil tebang habis 48 pohon contoh disajikan pada Gambar 5.


(30)

Gambar 5 Kuantifikasi sortimen kayu bulat hasil tebang habis pohon contoh Budiaman dan Komalasari (2012) melaporkan bahwa volume total 30 pohon contoh di hutan kemasyarakatan Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara sebesar 27,28 m³. Volume kayu yang dimanfaatkan sebesar 71,7% dan volume kayu yang tidak dimanfaatkan sebesar 28,3%. Sementara itu, Irmawati (2012) melaporkan bahwa volume total 42 pohon contoh dari kegiatan penjarangan KU VI di BKPH Pulung sebesar 47,198 m³ dengan nilai rata-rata per pohon adalah 1,12 m³. Jika diperinci menurut asalnya, volume batang utama 69,02%, batang atas 13,23%, sortimen kecil 9,53%, potongan pendek 3,79%, cabang 3,21%, dan tunggak sebesar 1,22%. Pada penelitian ini, volume total yang dihasilkan dari kegiatan penebangan habis di RPH Panggung, BKPH Dagangan lebih besar dari volume total yang dihasilkan dari penebangan jati pada hutan kemasyarakatan di KHJL dan kegiatan penjarangan di BKPH Pulung. Pada penebangan penjarangan di BKPH Pulung, volume sortimen kayu bulat yang dihasilkan paling banyak berasal dari batang utama. Tidak jauh berbeda dengan BKPH Pulung, sortimen kayu bulat paling banyak yang dihasilkan dari kegiatan tebang habis di RPH Panggung, BKPH Dagangan berasal dari batang utama.

Volume yang dihasilkan dari tebang habis di RPH Panggung, BKPH Dagangan lebih besar dari kegiatan penebangan di KHJL dan penjarangan jati BKPH Pulung. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan ukuran diameter yang ditebang. Namun, volume terbesar dari kegiatan tebang habis dan penjarangan sama-sama berasal dari batang utama. Hal ini dapat disebabkan oleh

67,85

16,44

2,10 4,67 3,00 5,94

0 10 20 30 40 50 60 70 80 Batang utama Batang atas Cabang dan ranting Potongan pendek Tunggak Sortimen kecil P re se ntase volum e sortim en (% ) Jenis sortimen


(31)

29

teknik pembagian batang yang digunakan oleh RPH Panggung BKPH Dagangan dan BKPH Pulung adalah sama karena masih dalam satu wilayah KPH Madiun.

5.3.1 Kayu yang Dimanfaatkan

Kayu yang dimanfaatkan adalah semua kayu yang dimanfaatkan oleh Perum Perhutani untuk tujuan komersial. Kayu yang dimanfaatkan diambil dari batang utama, batang atas, cabang dan ranting yang memenuhi syarat panjang dan diameter yang ditentukan. Kelompok kayu yang dimanfaatkan yaitu kelompok kayu KBB (d ≥ 30 cm), KBS (21 cm ≤ d ≤ 30 cm), dan KBK (d < 21 cm).

Bagian kayu yang dimanfaatkan oleh Perhutani meliputi batang utama, batang atas, dan cabang. Panjang sortimen bagian batang utama berkisar antara 0,60 – 5,80 meter dengan diameter rata-rata sebesar 36,93 cm. Panjang sortimen bagian batang atas berkisar antara 0,40 – 3,70 meter dengan diameter rata-rata sebesar 19,33 cm. Panjang sortimen bagian cabang berkisar antara 0,50 – 2,80 meter dengan diameter rata-rata sebesar 13,71 cm. Total volume kayu yang dimanfaatkan dari 48 pohon contoh yang ditebang adalah 100,59 m³ dengan rata-rata volume sebesar 2,09 m³ per pohon. Sortimen kayu jati yang dimanfaatkan berasal dari bagian batang utama sebesar 79 m³ (67,85%), batang atas sebesar 19,15 m³ (16,44%), dan cabang sebesar 2,44 m³ (2,10%). Jumlah sortimen kayu bulat yang dapat dimanfaatkan oleh Perum Perhutani berdasarkan asal sortimen dan jenis sortimen disajikan pada Gambar 6.


(32)

Gambar 6 Pemanfaatan sortimen kayu jati berdasarkan asal sortimen

(Keterangan: Kayu Bulat Kecil, Kayu Bulat Sedang, Kayu Bulat Besar)

Pada Gambar 6 terlihat bahwa jumlah total batang yang dapat dimanfaatkan oleh Perum Perhutani adalah 1045 batang yang berasal dari 48 pohon contoh yang ditebang habis. Sortimen KBK paling banyak berasal dari batang atas, yaitu sebesar 318 batang. Sortimen KBS paling banyak berasal dari batang atas sebesar 215 batang, dan sortimen KBB paling banyak berasal dari batang utama sebesar 57 batang. Apabila diklasifikasikan menurut jenis sortimennya, maka rata-rata setiap pohon akan menghasilkan 11 sortimen KBK, 6 sortimen KBS, dan 7 sortimen KBB. Sortimen KBS dan KBB tidak ditemukan di bagian cabang dan ranting. Selain itu, sortimen KBK tidak ditemukan di bagian batang utama.

Irmawati (2012) melaporkan bahwa pada kegiatan penjarangan jati diperoleh volume total kayu yang dimanfaatkan adalah 40,33 m³ dengan rata-rata volume per pohon sebesar 0,96 m³. Jika diperinci berdasarkan asalnya, volume sortimen kayu bulat yang dihasilkan berasal dari batang utama sebesar 69,20%, batang atas 13,23%, dan cabang 3,21%. Volume sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan di BKPH Pulung tersebut tidak berbeda jauh dengan volume sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan di RPH Panggung BKPH Dagangan. Hal ini dikarenakan kebijakan pembagian batang, teknik pembagian batang dan tujuan pemanfaatan yang sama. Sementara itu, Budiaman dan Komalasari (2012) melaporkan bahwa volume total yang dihasilkan dari penebangan hutan

Batang utama Batang atas Cabang dan ranting

KBK 0 318 152

KBS 57 215 0

KBB 284 19 0

0 100 200 300 400 500 600

Juml

ah

sortim

en

(ba

tang


(33)

31

kemasyarakatan di KHJL adalah 27,28 m³ dan sejumlah 28,3% berupa kayu sisa. Hal ini menunjukkan bahwa volume sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan di RPH Panggung BKPH Dagangan lebih besar dari volume yang dimanfaatkan di KHJL. Presentase kayu yang dimanfaatkan dan kayu sisa yang dihasilkan dari beberapa penebangan disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kuantifikasi pemanfaatan kayu dari beberapa penebangan (Keterangan: kayu yang dimanfaatkan, kayu sisa)

Pada Gambar 7 terlihat bahwa tingkat pemanfaatan kayu di BKPH Dagangan KPH Madiun lebih tinggi (86,39%) dari KHJL di Konawe Selatan Sulawesi Tenggara (71,7%) dan lebih tinggi dari kegiatan penjarangan di BKPH Pulung KPH Madiun (85,46%). Perbedaan tingkat pemanfaatan antara RPH Panggung BKPH Dagangan dengan KHJL ini karena perbedaan pemanfaatan dan teknik pembagian batang. Dengan semakin kecilnya nilai kayu sisa yang dihasilkan, dapat diartikan bahwa kegiatan pemanenan yang dilakukan sudah cukup efisien, sehingga dapat memaksimalkan nilai kayu yang ada.

Menurut Dulsalam (1995) dalam Sari (2009), semakin besar limbah eksploitasi yang dihasilkan maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang diperoleh dan semakin kecil limbah eksploitasi yang dihasilkan, sehingga akan meningkatkan faktor eksploitasi di hutan. Selain itu, semakin tinggi tingkat efisiensi pemanenan yang dilakukan, maka limbah yang dihasilkan pun akan semakin berkurang, sehingga akan meningkatkan nilai ekonomis kayu.

Tebang butuh (KHJL) Penjarangan (BKPH Pulung) Tebang habis (BKPH Dagangan)

Presentase kayu sisa 28,3 14,54 13,61

Presentase kayu yang

dimanfaatkan 71,7 85,46 86,39

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P re se ntase volum e ka y u (%) Kegiatan penebangan


(34)

5.3.2 Kayu yang Tidak Dimanfaatkan

Kayu yang tidak dimanfaatkan atau kayu sisa adalah kayu yang tidak dipungut oleh Perum Perhutani untuk tujuan komersil. Kayu sisa ini berupa cabang dan ranting yang tidak memenuhi standar panjang dan diameter, tunggak, potongan pendek, dan sortimen kecil. Kayu sisa juga dapat berasal dari batang utama dan batang atas yang mengalami cacat dan perlu dipotong. Bagian kayu tersebut tidak dimanfaatkan karena tidak memenuhi standar panjang dan diameter yang ditetapkan oleh Perum Perhutani. Selain itu, bagian kayu tersebut tidak dimanfaatkan karena pecah pada bagian ujung sortimen, cacat, bengkok, dan gerowong.

Volume total kayu sisa dari 48 pohon contoh yang ditebang adalah 15,84 m³ dengan volume rata-rata sebesar 0,33 m³ per pohon. Berdasarkan asalnya, volume kayu sisa dari sortimen kecil sebesar 6,91 m³ (35,96%) dari total volume kayu sisa, volume potongan pendek dari cabang sebesar 4,48 m³ (23,28%), bagian tunggak sebesar 3,49 m³ (22,05%), volume potongan pendek dari batang atas sebesar 0,49 m³ (2,57%), potongan pendek dari batang utama adalah 0,47 m³ (2,42%). Volume kayu sisa terbesar berasal sortimen kecil sebesar 6,91 m³ (35,96%). Secara umum, sortimen kecil menjadi penyumbang paling besar kayu sisa yang dihasilkan dari kegiatan tebang habis. Sortimen kecil ini umumnya berasal dari cabang dan ranting yang berdiameter di bawah limit diameter yang dimanfaatkan oleh Perum Perhutani. Kuantifikasi kayu sisa hasil tebang habis jati disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Kuantifikasi kayu sisa dari 48 pohon contoh 22,05 2,42 2,57 23,28 35,96 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Tunggak Batang utama

Batang atas Cabang dan ranting Sortimen kecil P re se ntase volum e ka y u sis a ( % ) Jenis sortimen


(35)

33

Kayu sisa yang dihasilkan dari kegiatan tebang habis di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun (13,61%) lebih rendah dari KHJL (28,3%). Tingkat pemanfaatan kayu di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun (86,39%) tidak berbeda jauh dengan BKPH Pulung KPH Madiun (85,46%). Hal ini bisa disebabkan karena tujuan pemanfaatan dan sistem pembagian batang yang sama.

Volume total kayu yang dimanfaatkan dan volume rata-rata per pohon yang dihasilkan Perum Perhutani lebih besar dari hutan kemasyarakatan. Hal ini dapat terjadi karena sistem pemanenan pada hutan kemasyarakatan cenderung pada tebang butuh (tebang pilih), sehingga volume yang dihasilkan tergantung pada kebutuhan masyarakat. Sistem penebangan pada Perum Perhutani cenderung pada tebang habis dengan luas areal yang cukup besar dan jumlah pohon yang banyak. Faktor pemanfaatan pada Perum Perhutani (86,39%) lebih tinggi dari hutan kemasyarakatan (71,7%), dengan demikian faktor residu Perum Perhutani lebih rendah dari hutan kemasyarakatan. Perbedaan nilai faktor pemanfaatan dan faktor residu disebabkan oleh perbedaan tujuan pemanfaatan dan teknik pembagian batang. Hasil kuantifikasi kayu sisa berdasarkan sortimen yang dihasilkan dan jenis pengusahaan kayu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kuantifikasi kayu sisa berdasarkan sortimen yang dihasilkan

Keterangan KHJL* BKPH

Dagangan

BKPH Pulung**

Diameter rataan (cm) 34 49,88 35

Volume total (m³) 27,281 116,43 47,198

Volume rataan (m³/pohon) 0,93 2,43 1,12

Volume kayu sisa (m³) 7,88 15,84 6,69

Faktor pemanfaatan (%) 71,7 86,39 85,46

Faktor residu (%) 28,3 13,61 14,54

*Sumber: Budiaman dan Komalasari (2012) **Sumber: Irmawati (2012)

5.3.2.1 Kayu Sisa Potongan Pendek

Volume total potongan pendek yang dihasilkan dari kegiatan tebang habis 48 pohon contoh adalah 5,43 m³. Volume rata-rata kayu sisa potongan pendek yang dihasilkan adalah 0,11 m³ per pohon. Kayu sisa potongan pendek ini dapat berasal dari batang utama dan atau batang atas yang mengalami cacat dan perlu


(36)

dipotong, percabangan pohon serta cabang dan ranting yang tidak memenuhi standar pengukuran yang ditetapkan oleh Perum Perhutani.

Pada Gambar 8 terlihat bahwa volume potongan pendek yang berasal dari batang utama sebesar 0,47 m³ (2,42%). Diameter rata-rata potongan pendek yang berasal dari batang utama adalah 23 cm dan panjang rata-rata adalah 71,8 cm. Potongan pendek pada batang utama terjadi karena adanya pecah batang, pecah pada bagian ujung batang, dan gerowong. Volume potongan pendek yang berasal dari bagian batang atas sebesar 0,49 m³ (2,57%). Diameter rata-rata potongan pendek yang berasal dari batang atas adalah 30 cm dan panjang rata-ratanya adalah 59,7 cm. Potongan pendek pada bagian batang atas terjadi karena pecah batang, dan pecah pada bagian ujung batang. Volume potongan pendek yang berasal dari cabang dan ranting sebesar 4,47 m³ (23,28%). Potongan pendek pada bagian cabang dan ranting biasanya terjadi karena cabang dan ranting tidak memenuhi standar panjang dan diameter, cabang tidak lurus atau bengkok serta bagian percabangan.

5.3.2.2 Kayu Sisa Sortimen Kecil

Total volume sortimen kecil yang dihasilkan dari penebangan 48 pohon contoh adalah 6,91 m³ dengan rata-rata 0,14 m³ per pohon atau 35,96% dari total volume kayu sisa. Sortimen kecil merupakan bagian kayu yang memiliki ukuran diameter di bawah diameter terkecil yang dimanfaatkan oleh Perum Perhutani. Sortimen kecil ini adalah kayu rencek yang berasal dari cabang dan ranting yang memiliki ukuran diameter kurang dari 10 cm. Sortimen kecil paling banyak dihasilkan dari tajuk pohon. Sortimen kecil ini dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tebangan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar.

Menurut Panshin dan de Zeeuw (1974) dalam Anggoro (2007) jati pada kadar air 15% memiliki jumlah kalor 9,73 x 105 kcal/stapel meter. Sedangkan nilai kalor mnyak tanah adalah 8.500 kcal/liter. Dengan demikian 1 stapel meter kayu bakar setara dengan 114,47 liter minyak tanah, sehingga masyarakat dapat menghemat biaya pengeluaran untuk membeli minyak tanah dengan memanfaatkan kayu bakar.


(37)

35

Irmawati (2012) melaporkan bahwa volume kayu sisa paling besar dihasilkan dari sortimen kecil yang berasal dari cabang dan ranting. Volume sortimen kecil yang dihasilkan dari kegiatan penjarangan adalah 4,49 m³ dari volume total pohon. Selain itu, sortimen kecil memiliki potensi kayu sisa paling tinggi, yaitu 65,54% dari total volume kayu sisa.

5.3.2.3 Kayu Sisa Tunggak

Volume kayu sisa bagian tunggak yang dihasilkan dari penebangan 48 pohon contoh adalah 3,49 m³ dari total volume kayu atau 22,05% dari total volume kayu sisa, dengan volume rata-rata 0,07 m³ per pohon. Tinggi rata-rata tunggak dari permukaan tanah adalah 23,71 cm dan diameter rata-rata adalah 0,6 m. Sejauh ini, belum ada pemanfaatan kayu sisa tunggak oleh RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun. Hal ini dikarenakan, kayu sisa berupa tunggak berfungsi untuk proses lacak balak dan mencegah erosi. Irmawati (2012) melaporkan bahwa tinggi rata-rata tunggak yang dihasilkan dari tebang penjarangan sebesar 7 cm dengan volume rata sebesar 0,014 m³. Tinggi rata-rata tunggak yang dihasilkan dari tebang habis di BKPH Dagangan lebih besar dari BKPH Pulung.

Teknik penebangan dan sikap tubuh penebang yang benar dapat meningkatkan pemanfaatan kayu. Suhartana et al (2005) melaporkan bahwa sikap penebang dapat mempengaruhi tinggi tunggak yang ditinggalkan pada penebangan kayu rasamala di KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Penebangan dengan sikap tubuh membungkuk akan menghasilkan tunggak yang lebih tinggi dibandingkan dengan sikap tubuh jongkok.

Teknik penebangan serendah mungkin adalah teknik penebangan yang meninggalkan tinggi tunggak serendah mungkin serta batang atau cabang yang dimanfaatkan sampai berukuran 5 cm (Suhartana 2004). Teknik penebangan serendah mungkin yang diterapkan di areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT Wirakarya Sakti pada penebangan pohon jenis mangium diperoleh hasil rata-rata tinggi tunggak adalah 21,14 cm.


(38)

5.4 Faktor Pemanfaatan dan Faktor Residu

Faktor pemanfaatan merupakan perbandingan antara volume kayu yang dimanfaatkan dengan volume total pohon yang dinyatakan dalam persen. Faktor pemanfaatan dapat menggambarkan efektifitas kegiatan pemanenan. Kegiatan pemanenan relatif lebih efektif pada petak dengan faktor pemanfaatan lebih besar. Faktor residu merupakan perbandingan antara volume kayu yang tidak dimanfaatkan dengan volume total pohon yang dinyatakan dalam persen (Budiaman 2008). Dalam penelitian ini, volume total merupakan gabungan dari volume tunggak, batang utama, batang atas, potongan pendek, cabang dan ranting, dan sortimen kecil.

Volume total pohon yang diukur dari batang utama, batang atas, serta cabang dan ranting yang memenuhi standar pengukuran adalah 100,59 m³ dengan volume rata-rata 2,1 m³ per pohon. Dari data tersebut, diperoleh nilai faktor pemanfaatan total adalah 86,39%. Hal ini berarti dari 1 m³ volume yang tersedia, sekitar 0,86 m³ saja yang dimanfaatkan, sisanya menjadi kayu sisa.

Volume total kayu sisa yang berupa tunggak, potongan pendek dari batang utama, batang atas, cabang dan ranting serta sortimen kecil adalah 15,84 m³ dengan volume rata-rata 0,33 m³ per pohon. Dari data tersebut, diperoleh nilai faktor residu adalah 13,61%. Hal ini berarti dari 1 m³ volume yang tersedia, sebesar 0,14 m³ yang menjadi kayu sisa. Perbandingan tingkat pemanfaatan hasil pemanenan jati pada kegiatan tebang habis dan tebang penjarangan disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 menyajikan nilai faktor pemanfaatan dari kegiatan tebang habis dan tebang penjarangan. Nilai faktor pemanfaatan KU VI dan KU VII turut adalah 85,44% dan 86,39%. Nilai faktor residu KU VI dan KU VII berturut- berturut-turut adalah 14,56% dan 13,61%. Nilai faktor pemanfaatan dan faktor residu dari KU VI dan KU VII tidak berbeda jauh, hal ini dapat dikarenakan teknik pembagian batang dan tujuan pemanfaatan yang hampir sama. Selain itu, nilai faktor pemanfaatan yang besar dapat dipengaruhi oleh topografi lokasi penebangan. Topografi yang datar akan memudahkan proses penebangan, sedangkan topografi yang curam atau bergelombang dapat mengurangi efektifitas penebangan.


(39)

37

Gambar 9 Tingkat pemanfaatan jati dari dua KU VI dan KU VII

5.5 Prospek Pemanfaatan Kayu Sisa Jati

Sejauh ini, kayu sisa yang dihasilkan dari penebangan dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi penebangan. Kayu sisa yang dihasilkan dari penebangan biasanya dimanfaatkan untuk kayu bakar. Kayu sisa ini berupa cabang dan ranting yang tidak memenuhi standar pengukuran panjang dan diameter, cabang dan ranting yang cacat, potongan pendek, dan sortimen kecil. Kayu sisa berupa sortimen kecil yang berdiameter ≤ 4 cm atau kayu rencek akan dipungut oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi penebangan sebagai kayu bakar. Kayu rencek ini dikumpulkan menjadi beberapa ikatan. Biasanya setelah pohon direbahkan, masyarakat akan berbondong-bondong untuk membersihkan tajuknya guna mengambil sortimen-sortimen kecil ini. Kayu sisa berupa cabang dan ranting yang berdiameter kurang dari 10 cm akan diangkut oleh mitra yang sudah bekerjasama dengan BKPH Dagangan KPH Madiun. Pengangkutan kayu sisa ini menggunakan mobil bak terbuka. Biasanya kayu sisa ini akan dijual kembali oleh mitra tersebut. Setidaknya terdapat tiga mitra yang biasanya mengangkut kayu sisa hasil penebangan. Mitra ini secara bergantian akan mengangkut kayu sisa hasil penebangan. Terdapat dua mitra yang mengangkut kayu sisa setiap harinya.

VI VII

Kayu sisa 14,56 13,61

Kayu yang

dimanfaatkan 85,44 86,39

75 80 85 90 95 100

P

re

se

ntase

volum

e

ka

y

u

(%

)

KU (Kelas Umur)


(40)

Kayu sisa tebangan jati dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kerajinan, flooring, papan partikel, inti papan blok, briket arang, bahkan dapat digunakan sebagai bahan campuran anti nyamuk bakar berbahan alami (Zulney dan Martono 2003 dalam Komalasari 2009). Sejauh ini kayu sisa berupa tunggak di BKPH Dagangan KPH Madiun ditinggalkan di lokasi tebang, sehingga belum ada pemanfaatan lebih lanjut. Pramithasari (2011) melaporkan bahwa kayu sisa berupa tunggak dapat diolah menjadi kerajinan berupa meja akar, meja ukir, lemari display, dan patung ukir sehingga nilai tambah dari limbah tersebut akan meningkat.


(41)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

1. Jenis kayu sisa yang dihasilkan dari kegiatan tebang habis 48 pohon contoh di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun, yaitu tunggak, potongan pendek yang berasal dari batang utama, batang atas, cabang dan ranting, serta sortimen kecil.

2. Volume kayu sisa hasil kegiatan tebang habis jati KU VII di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun adalah 0,4 m³ per pohon, yang terdiri atas tunggak 0,07 m³, potongan pendek yang berasal dari batang utama 0,01 m³, batang atas 0,01 m³, cabang dan ranting 0,16 m³, dan sortimen kecil 0,14 m³. Nilai faktor pemanfaatan kayu pada kegiatan tebang habis KU VII adalah 83,9% dan nilai faktor residu adalah 16,1%.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan perbaikan teknik penebangan supaya kegiatan penebangan yang sedang dilakukan dapat menghasilkan kayu sisa serendah mungkin. 2. Meningkatkan pemanfaatan kayu sisa hasil tebangan jati yang masih

mungkin untuk bahan baku kerajinan. Misalnya, pemanfaatan tunggak yang masih ditinggalkan di hutan untuk dijadikan sebagai bahan baku kerajinan ukir.


(42)

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN HABIS JATI DI

RPH PANGGUNG BKPH DAGANGAN KPH MADIUN

PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

DEVI MUHTARIANA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro R. 2007. Identifikasi potensi limbah pemanenan jati di KPH banyuwangi Utara Perum Perhutani unit II Jawa Timur. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2007. Forest Products & Wood Science. USA: Blackwell Publishing.

Budiaman A. 2000. Kuantifikasi Kayu Bulat Kecil Limbah Pemanenan pada Pengusahaan Hutan Alam (Quantification of Logging Residue on Natural Forest (Case Study in Indonesia)). Jurnal Teknologi Hasil Hutan XIII (2). Budiaman A. 2008. Simulasi Pembagian Batang Sistem Kayu Pendek pada

Pembagian Batang Kayu Serat Jenis Mangium. Jurnal Hasil Hutan 14 (2):61 – 65.

Budiaman A, Komalasari P. 2012. Limbah Penebangan dan Pembuatan Kayu Persegian Jati di Tempat Tebangan di Hutan Kemasyarakatan. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, in press.

Cochran WG. 1977. Teknik Penarikan Sampel. John Wiley & Sons, Inc, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Sampling Techniques.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 6886/Kpts-II/2002 Tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) pada Hutan Produksi. Jakarta: Depdiknas.

Irmawati NY. 2012. Kuantifikasi kayu sisa penjarangan jati kelas umur VI di BKPH Pulung, KPH Madiun, Perum Perhutani unit II Jawa Timur [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Kartika EC. 2004. Kuantifikasi limbah pemanenan hutan pada pengusahaan hutan tanaman industri kayu pulp dengan metode kayu penuh (whole tree method): Studi kasus di HPHTI PT. INHUTANI II, Pulau Laut – Kalimantan Selatan [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Khrisnapillay B. 2000. Silviculture and management of teak plantation. Unasylva 201.

Komalasari P. 2009. Kuantifikasi kayu sisa penebangan jati pada areal pengelolaan hutan berbasis masyarakat tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara [skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.


(44)

Maulana A. 2009. Pengujian kualitas kayu bundar jati (Tectona grandis Linn. F) pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat tersertifikasi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara [skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Mayasari N. 2007. Kajian kelestarian hasil hutan kayu kelas perusahaan jati (Tectona grandis L.f.) KPH Saradan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Perum Perhutani. 1999. Pedoman Penyelenggaraan Tebang Habis Hutan Jati. Jakarta: Perum Pehutani.

Perum Perhutani. 2011. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan Jati Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun. Madiun: Biro Perencanaan dan Pengembangan Usaha. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

Pramithasari C. 2011. Analisis manfaat ekonomi pengolahan limbah pohon jati (studi kasus Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.

Rahmat A. 2007. Kajian teknis pengeluaran limbah pemanenan hutan tanaman industri dengan metode pengikatan manual. [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Sari RM. 2009. Identifikasi dan pengukuran potensi limbah pemanenan kayu (Studi kasus di PT. Austral Byna, Provinsi Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Sessions J. 2007. Harvesting Operations in the Tropics. Heidelberg: Springer-Verlag.

Simarmata SR dan Dulsalam. 1985. Volume dan Klasifikasi Limbah Penebangan pada Beberapa Pengusahaan Hutan di Aceh dan Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2(2):17 – 19.

Siregar EBM. 2005. Potensi Budidaya Jati. Program Studi Kehutanan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2011. SNI 7535.3:2011. Kayu bundar jenis jati – Bagian 3: Pengukuran dan Tabel Isi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2011. SNI 7724:2011. Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon – Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.


(45)

42

Suhartana S, Yuniawati, Tinambunan D. 2005. Peningkatan Pemanfaatan Kayu Rasamala dengan Perbaikan Teknik Penebangan dan Sikap Tubuh Penebang: Studi Kasus di KPH Cianjur, Perhutani Unit III Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan (5):339 – 348.


(46)

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN HABIS JATI DI

RPH PANGGUNG BKPH DAGANGAN KPH MADIUN

PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

DEVI MUHTARIANA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(47)

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN HABIS JATI DI

RPH PANGGUNG BKPH DAGANGAN KPH MADIUN

PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

DEVI MUHTARIANA

E14080072

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(48)

RINGKASAN

DEVI MUHTARIANA. E14080072. Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Habis Jati di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II JawaTimur. Dibimbing oleh Ahmad Budiaman.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan kayu pun semakin meningkat, baik untuk kebutuhan pembuatan bangunan, furnitur, maupun diekspor. Hal ini menuntut pemanfaatan kayu yang lebih efisien dan efektif, mengingat luas hutan produksi di Indonesia semakin berkurang, yang selanjutnya mengakibatkan ketersediaan bahan baku berupa kayu semakin sedikit, termasuk ketersediaan kayu jati.

Penelitian tentang jati sudah cukup banyak dilakukan dan lebih difokuskan pada perbaikan pohon, teknik kultur jaringan jati, perbaikan genetik, perbaikan kualitas pohon, dan metode penjarangan. Sementara itu, penelitian tingkat pemanfaatan kayu sisa pada kegiatan tebang habis hutan tanaman jati untuk keseluruhan sortimen kayu bulat masih belum banyak dilakukan.

Penelitian ini dilakukan di anak petak 70c tegakan jati di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun. Jumlah pohon contoh yang diambil berdasarkan persamaan Cochran (1977) adalah 48 pohon. Pohon contoh yang ditebang mengikuti kegiatan penebangan yang sedang berlangsung di lapangan. Kuantifikasi kayu hasil tebang habis dilakukan pada hasil produksi kayu bulat dari 48 pohon contoh yang ditebang, baik bagian pohon yang dimanfaatkan maupun bagian pohon yang tidak dimanfaatkan oleh Perum Perhutani.

Volume total 48 pohon contoh yang ditebang habis adalah 116,43 m³ dengan volume rata-rata per pohon sebesar 2,43 m³. Secara rinci, sortimen kayu bulat paling banyak berasal dari batang utama (67,85%), batang atas (16,44%), sortimen paling sedikit berasal dari cabang dan ranting (2,10%), potongan pendek (4,67%), sortimen kecil (5,94%), dan tunggak sebesar (3,00%).

Total volume kayu yang dimanfaatkan dari 48 pohon contoh yang ditebang adalah 100,59 m³ dengan rata-rata volume sebesar 2,09 m³ per pohon. Sortimen kayu jati yang dimanfaatkan berasal dari bagian batang utama sebesar 79 m³ (67,85%), batang atas sebesar 19,15 m³ (16,44%), dan cabang sebesar 2,44 m³ (2,10%). Rata-rata setiap pohon akan menghasilkan 11 sortimen KBK, 6 sortimen KBS, dan 7 sortimen KBB. Volume total kayu sisa dari 48 pohon contoh adalah 15,84 m³ atau rata-rata per pohonnya adalah 0,33 m³. Berdasarkan asalnya, volume kayu sisa dari bagian tunggak sebesar 3,49 m³ (22,05%) dari total volume kayu sisa, volume potongan pendek dari batang utama adalah 0,47 m³ (2,42%), batang atas sebesar 0,49 m³ (2,57%), cabang sebesar 4,48 m³ (23,28%), dan sortimen kecil sebesar 6,91 m³ (35,96%). Nilai faktor pemanfaatan kayu pada kegiatan tebang habis KU VII adalah 86,39% dan nilai faktor residu adalah 13,61%.


(49)

ABSTRACT

DEVI MUHTARIANA. E14080072. Quantification of Clear Cutting Waste of Teak in RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II East Java. Supervised by AHMAD BUDIAMAN.

Along with increasing population and the needs of any wood, both for the needs of buildings manufacture, furniture, or exported also increase. This requires the utilization of wood more efficiently and effectively, due to declining of forest production in Indonesia, which subsequently resulted in less availability of raw materials, including the teak.

Recently research on the teak is focused on the improvement of tissue culture technique, genetic improvement, improvement of tree quality, and thinning. Meanwhile, research on utilization rate of the wood waste of clear cutting of teak is rarely done.

The research was conducted at 70C sub-compartment in RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun. The number of tree samples is 48 trees. Tree sample was felled during logging operation in the field. All of clear cutting 48 trees sample result was quantified, both commercial and non-commercial logs.

The total volume of 48 trees sample felled was 116,43 m³ with average volume per tree is 2,43 m³. The round wood comes mostly from the main stem (67,85%), upper stem (16,44%), branches and twigs (2,10%), a short cut (4,67% ), small assortment (5,94%), and stump (3,00%).

Total volume of commercial was 100,59 m³ with an average volume of 2,09 m³ per tree. Commercial woods were from the main stem 67,85%, upper stem of 16,44%, and branches of 2,10%. On average, each tree produced 11 logs KBK, 6 logs KBS, and 7 logs KBB. The total volume of waste wood from 48 trees sample was 15,84 m³, or an average per tree was 0,33 m3. Based on its origin, waste wood volumes of stump is 3,49 m³ (22,05%), the volume of short cut from the main stem is 0,47 m3 (2,42%), upper stem at 0,49 m³ (2,57%), branches of 4.48 m³ (23.28%), and small assortment of 6,91 m³ (35,96%). Wood recovery factor of clear cutting age class VII is 86,39% and the residue factor is 13,61%.


(50)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Habis Jati di RPH Panggung BKPH Dagangan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

Nama : Devi Muhtariana NIM : E14080072

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.Forst.Trop. NIP. 19651010 199002 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. NIP. 19630401 199403 1 001


(51)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Habis Jati di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Devi Muhtariana NIM. E14080072


(52)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi berjudul Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Habis Jati di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur di bawah bimbingan Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.Forst.Trop.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak (Muhtar Wahid), Ibu (Ruminten), atas doa, dukungan dan kasih sayang serta materiil yang tak pernah putus.

2. Bapak Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.Forst.Trop. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bantuan, saran dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

3. Ir. Ahmad Hadjib selaku ketua sidang dalam ujian komprehensif dan Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R., MS selaku dosen penguji perwakilan dari Departemen Silvikultur yang telah memberikan saran terkait penulisan karya ilmiah ini. 4. Bapak Edi Mukaris sebagai Kepala RPH Panggung, Pak Saini, Pak Doni,

rekan-rekan PKL Politani Kupang NTT (Edi dan Doni), Pak Jito, Tegar, Bagus, mandor tebang, tim penebang, serta masyarakat PSDH atas segala bantuan, persahabatan, serta keramahannya.

5. Bapak Dr. Irmansyah, M.Si serta keluarga besar Asrama TPB IPB.

6. Rekan-rekan satu pembimbing skripsi Nensi Yunita, Adita Agung, Yanuarinda, atas motivasinya selama proses penulisan skripsi.

7. Rekan-rekan Manajemen Hutan 45 untuk kebersamaanya.

8. Rekan-rekan Senior Resident Asrama TPB IPB 45 – 48 untuk kebersamaan yang tak akan pernah terlupakan.

9. Beasiswa penelitian Armada serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan dalam kesempatan ini.

Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.


(1)

(2)

46

Lampiran 3 Peta lokasi penelitian anak petak 70C di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun.


(3)

(4)

44

Lampiran 1 Bentuk-bentuk kayu sisa hasil tebang habis 48 pohon contoh KU VII di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun.

Kayu sisa tunggak Kayu sisa sortimen kecil


(5)

(6)

46

Lampiran 3 Peta lokasi penelitian anak petak 70C di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun.