Analisis Data Pengolahan dan Analisis Data .1 Pengolahan Data

Tabel 5 Standar densitas asupan zat gizi Zat Gizi FAO Protein , g - rendah 20 - cukup 20-40 - tinggi 40 Kalsium, mg 500-800 Zat besi, mg 7-40 Vitamin A, µg RE 700-1 000 Vitamin B1, mg 1.0-1.6 Vitamin C, mg 50-60 Sumber: Drewnowski 2005; Keterangan: Diadaptasi berdasarkan WHO 1998 dan Drewnowski 2005

4.4.2 Analisis Data

Status gizi diolah menggunakan WHO AnthroPlus 2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis hubungan antara peubah anak stunting dan anak tidak stunting menggunakan Uji Chi-square. Adapun analisis pola konsumsi pangan, asupan energi dan gizi gizi antara anak stunting dan anak tidak tidak stunting menerapkan Uji Man-Whitney U. Analisis faktor-faktor risiko stunting anak menerapkan Regresi Logistik. Peubah terikat yaitu z-skor PBU anak, sedangkan peubah bebas disaring dari 39 peubah yang terkait dengan pertumbuhan linier anak 0-23 bulan pada data Riskesdas 2010 menggunakan Korelasi Spearman dengan cut off koefisien korelasi 0.3 Lampiran 3. Peubah-peubah yang berkorelasi tidak lemah koefisien korelasi 0.3 dikeluarkan dari analisis Regresi Logistik. Berikut ini adalah persamaan Regresi Logistik Fahmida et al. 2008: Keterangan: a = konstanta b 1 , b 2 , …, b k y = tinggi badan anak menurut umur TBU 1=pendek; 0=tidak pendek = koefisien regresi x 1 x = jenis kelamin anak 0=laki-laki; 1=perempuan 2 x = umur anak 0=0 sd 5 bulan; 2=6 sd 11 bulan; 1=12-23 bulan 3 x = berat badan lahir anak 1=BB kurang; 0=BB tidak kurang 4 x = berat badan anak menurut umur BBU 1=BB kurang; 0=BB tidak kurang 5 x = status ekonomi 0=kuintil 3, 4 5; 1=kuintil 1 2 6 x = densitas asupan protein anak 2= rendah; 1=cukup; 0=tinggi 7 x = anak pernah diberi ASI 0=ya; 1=tidak 8 x = anak mendapat kapsul vitamin A dalam 6 bulan terakhir 0=ya; 1=tidak 9 x = anak diimunisasi Hepatitis B-0 0=ya; 1=tidak 10 = kualitas fisik air minum 0=memenuhi syarat kesehatan; 1=tidak memenuhi syarat kesehatan. 1 p y=1|x = -------------------------------- 1+e -a + b1x1 + b2x2 + …..+ bkxk BAB 5 KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN ASUPAN ZAT GIZI ANAK 0-23 BULAN Aslis Wirda Hayati 1 , Hardinsyah 2 , Fasli Jalal 3 , Siti Madanijah 2 , Dodik Briawan 2 1 Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Pontianak 2 Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sosial ekonomi dan asupan gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan. Penelitian menggunakan data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files tersebut, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan, sehingga anak yang menjadi sampel sebanyak 3 095 anak. Disain penelitian yaitu cross-sectional. Data yang gunakan dalam penelitian ini meliputi karakteristik anak, tingkat kecukupan dan mutu gizi konsumsi pangan, kesehatan anak dan sanitasi lingkungan, karakteristik orang tua, dan karakteristik rumah tangga. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel dan SPSS. Uji Chi-square digunakan untuk menganalisis hubungan antar peubah. Ada hubungan stunting anak dengan umur anak, berat bayi lahir anak, berat badan menurut umur anak, pendidikan orang tua, tinggi ibu dan status gizi ibu, dan status ekonomi, asupan kalsium, asupan fosfor, asupan vitamin A, asupan vitamin B1 dan asupan vitamin C. Perlu diteliti pangan-pangan yang kaya zat gizi dan yang terjangkau oleh kelompok berpendatan rendah untuk sebagai salah satu upaya mencegah stunting. Kata kunci : asupan gizi, konsumsi pangan, sosial-ekonomi, stunting Abstract The objective of this study was to analyze socio-economics and nutrients intake in young children of 0-23 months old YC using the Data from Riskesdas 2010. A cross-sectional study design was applied in this study. From 6,634 YC, 3,539 were screened out, so 3,095 of YC were recruited. Data of characteristics of YC, the nutrients adequacy and food nutritional quality of YC, health of YC, environmental sanitation, parental characteristics of YC, family characteristics were collected using interview method. Nutritional status data were processed using the WHO AnthroPlus 2007, while the other datastatistics were processed using the Excel 2007 and SPSS 16.0 for windows. Chi-square test was applied to analyze the relationship. There were association between calcium intake, phosphor intake, vitamin A intake, vitamin B1 intake, vitamin C intake, age of YC, birth’s weight of YC, weight of YC, parent’s education, mother’s height, mother’s nutrition status, family economic status and stunting of YC. It is necessary to study the food that rich of nutrients and affordable to poor families. Kata kunci : food consumption, nutrition intake, socio-economic, stunting Pendahuluan Stunting pada anak 0-23 bulan sudah menjadi masalah terutama di negara- negara berkembang termasuk Indonesia. WHO 2006 melaporkan bahwa prevalensi stunting di atas 20 dianggap tinggi dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Kemenkes 2010 melaporkan bahwa prevalensi stunting anak 1 dan 2 tahun masing-masing sebanyak 32.1 dan 41.5. Adapun Bhutta et al. 2008 menyimpulkan bahwa rata-rata prevalensi stunting anak 1 dan 2 tahun di 36 negera berkembang yang mereka teliti berturut-turut sebanyak 40 dan 54. Faktor yang terkait dengan stunting pada anak 0-23 bulan antara lain adalah karakteristik anak. Penelitian yang terkait dengan karakteristik anak stunting antara lain oleh Specker et al. 1986 yang menyimpulkan bahwa jenis kelamin tidak memberi efek yang signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan pada anak baru lahir sampai umur 18 bulan. Di sisi lain, WHO 2001 melaporkan pula bahwa semakin awal anak-anak menjadi stunting, semakin parah hambatan pertumbuhan mereka. Alive and Thrive 2010 melaporkan bahwa rata- rata z-skor PBU menurun secara nyata selama 23 bulan pertama setelah lahir. Waterlow dan Schürch 1994 menyimpulkan bahwa meskipun anak-anak umumnya tidak mencapai tahap yang diklasifikasikan sebagai stunting PBU -2 SD sampai usia 2 atau 3 tahun, namun proses perlambatan pertumbuhan linier sebenarnya dimulai jauh lebih awal yaitu usia 2 atau 3 bulan. Selain itu, Schmidt et al. 2002 menyimpulkan bahwa pertumbuhan mulai tersendat-sendat pada usia 6-7 bulan Temuan terkini yang berhubungan dengan asupan energi dan zat gizi anak stunting yaitu oleh WHO 2001 melaporkan bahwa sulit menafsirkan hubungan antara asupan energi dan pertumbuhan. Attwood 2003 yang menjelaskan bahwa pada jumlah tertentu konsumsi protein yang diikuti dengan konsumsi kalsium yang baik terbukti memberi pengaruh nyata terhadap terbentuknya kepadatan tulang yang baik. Selain itu, Kosnayani 2007 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara jumlah asupan kalsium yang dikonsumsi dengan kepadatan tulang. Kalsium dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang dan penting untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia. Kalsium diperlukan . untuk memaksimalkan puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal Shroff Pai 2000. Khomsan 2002 menyimpulkan bahwa rasio kalsium dan fosfor untuk pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1. Di samping itu, Frongillo 1999 menyimpulkan bahwa faktor gizi yang dapat menyebabkan pertambahan tulang pada anak meliputi kalsium dan fosfor susu formula. Sebelumnya, WHO 1998 menjelaskan bahwa anak di bawah dua tahun membutuhkan suatu diet yang berbeda dengan diet orang dewasa. Di sisi lain, Specker et al. 1986 menyimpulkan bahwa diet memberi efek yang signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan pada masa anak-anak. WHO 2001 melaporkan bahwa makanan pendamping air susu ibu MPASI yang digunakan di negara berkembang meskipun sebagian besar dari mereka dapat menyediakan energi dan protein yang cukup, namun tidak ada yang menyediakan mineral dan vitamin yang cukup. Hal lain yang terkait dengan stunting yaitu sanitasi lingkungan dan karakteristik rumah tangga anak stunting. WHO 2001 melaporkan bahwa efek positif suplementasi mikronutrien pada pertumbuhan linier tidak disebabkan oleh asupan makanan yang meningkat, tetapi tampaknya dipengaruhi oleh penurunan morbiditas. Adapun Victoria et al. 2008 menyimpulkan bahwa ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat meninjak dewasa; dan apabila hamil ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR. Selain itu, Linver et al. 2002 menyimpulkan bahwa pendapatan keluarga berkaitan dengan outcomes anak-anak. Di sisi lain, Hansen et al. 1979 menjelaskan bahwa variasi diet bisa menjadi fungsi dari status ekonomi. Indonesia memerlukan informasi profil anak, asupan gizi dan karakteristik rumah tangga anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan dari kajian epidemiologi di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah stunting. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik anak, tingkat kecukupan dan mutu gizi konsumsi pangan, kesehatan anak dan sanitasi lingkungan, karakteristik orang tua, dan karakteristik rumah tangga anak 0-23 bulan stunting dan tidak stunting. Penelitian ini merupakan bagian penelitian payung ”Faktor-faktor risiko stunting dan pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting 0-23 bulan”. Metode Sampel Penelitian ini menggunakan data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Populasi target penelitian adalah anak yang berdomisili di Indonesia dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2010. Sample adalah bagian dari populasi target yang memenuhi kriterian inklusi: berusia 0-23 bulan dan kriteria eksklusi: data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap; nilai nilai asupan energi dan z-skor BBU, PBU dan IMTU termasuk pencilan; dan pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa yaitu perhelatanhari besarsakit. Pemilihan sampel dilakukan secara acak dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pemilihan Blok Sensus BS dan tahap kedua pemilihan rumah tangga, yaitu sejumlah 25 rumah tangga setiap BS. Besar sampel yang direncanakan sebanyak 2 800 BS. Sampel BS tersebut tersebar di 33 Provinsi dan 441 KabupatenKota. Data yang berhasil dikumpulkan sebanyak sejumlah 2 798 BS sampel 99.9 dari 2 800 BS sampel yang direncanakan. Pengumpulan dan entri data dilakukan tenaga kesehatan terlatih minimal tamat D3 kesehatan. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data dilakukan oleh Penanggung Jawab Teknis KabupatenKota, kemudian data dikirim secara elektronik kepada tim manajemen data di Balitbangkes. Disain dan sampel penelitian Desain Riskesdas 2010 adalah cross-sectional. Penelitian ini menganalisis sebagian data Riskesdas tahun 2010. Kemudian sampel dikelompokkan menjadi dua yaitu stunting dan tidak stunting. Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files tersebut, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out karena: 1 data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap 644 orang, 2 nilai z-skor BBU, PBU dan IMTU termasuk pencilan berdasarkan Blössner et al. 2009 yaitu -6BBU5; -6PBU6; -5IMTU5 447 orang, 3 pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa yaitu perhelatanhari besarsakit 46 orang, dan 4 nilai asupan energi termasuk pencilan berdasarkan Amilia 2011 yaitu asupan energi 0.3 BMR atau 3.0 BMR 2 402 orang. Sehingga total sampel dalam penelitian ini adalah 3 095 anak. Pengumpulan dan analisis data Data Riskesdas 2010 meliputi keterangan rumah tangga dan keterangan anggota rumah tangga. Keterangan rumah tangga meliputi identitas, fasilitas pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran. Keterangan individu antara lain meliputi identitas individu, kesehatan anak, dan konsumsi makanan dalam 24 jam terakhir. Pengukuran tinggi badanpanjang badan dan berat badan dilakukan pada setiap responden. Data yang gunakan dalam penelitian ini meliputi tinggi badan z-skor PBU, identitas anak jenis kelamin, umur, berat lahir, berat badan anak -z-skor BBU, tingkat kecukupan dan mutu gizi konsumsi pangan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium, tingkat kecukupan fosfor, tingkat kecukupan zat besi, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan vitamin B1, tingkat kecukupan vitamin C, mutu gizi asupan pangan, densitas asupan protein, densitas asupan kalsium, densitas asupan zat besi, densitas asupan vitamin A, densitas asupan vitamin B1, densitas asupan vitamin C, kesehatan anak dan sanitasi lingkungan status pemberian ASI, status pemberian kapsul vitamin A, status kepemilikan KMS, status imunisasi Hepatitis B-0, kualitas air minum, tempat air limbah rumah tangga, karakteristik orang tua umur, pendidikan, pekerjaan, tinggi badan, indeks massa tubuh, dan karakteristik rumah tangga jumlah anak balita, besar keluarga, kotadesa, status ekonomi. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data tersebut merupakan yang terkait dengan pertumbuhan linier anak 0-23 bulan pada data Riskesdas 2010. Anak disebut stunting apabila z-skor PBU-2 SD dan tidak stunting apabila z-skor PBU ≥-2 SD Jahari 2009. Anak berat lahir bayi rendah BBLR apabila BBL2 500 g dan tidak BBLR apabila BBL ≥2 500 g. Anak underweight apabila z-skor BBU - 2 SD dan tidak underweight apabila z-skor BBU ≥-2 SD Jahari 2009. Umur orang tua dikelompokkan menjadi: 25 tahun, 25-35 tahun, dan 35 tahun. Pendidikan orang tua dikelompokkan: SD, SLTP, SLTA, dan PT. Pekerjaan orang tua dikelompkkan menjadi: tidak bekerjasekolah, buruhpetaninelayan, dan TNIPNSwiraswasta. Tinggi badan TB ibu dikategorikan pendek apabila TB ibu145 cm dan tidak pendek apabila TB ibu ≥145 cm. TB ayah pendek apabila TB ibu150 cm dan tidak pendek apabila TB ibu ≥150 cm. Indeks massa tubuh orang tua dikelompokkan menjadi: 18.5, 18.5-25, dan 25. Berdasarkan data asupan zat gizi anak, diperoleh data tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan energi, protein, serta vitamin dan mineral masing- masing dikategorikan kurang apabila berturut-turut 70, 80, dan 50 dan cukup apabila ≥ 70, 80, dan 50. Mutu gizi konsumsi pangan dihitung berdasarkan formula Hardinsyah 2001. Mutu gizi konsumsi pangan dikategorikan kurang apabila mutu gizi konsumsi pangan 70 dan cukup apabila mutu gizi konsumsi pangan ≥70. Densitas asupan zat gizi DG dihitung berdasarkan Drewnowski 2005. DG dikategorikan kurang apabila DG standar FAO dan cukup apabila DG ≥ standar FAO kecuali protein Tabel 1. Tabel 1 Standar densitas asupan zat gizi Zat Gizi FAO Protein , g - rendah 20 - cukup 20-40 - tinggi 40 Kalsium, mg 500-800 Zat besi, mg 7-40 Vitamin A, µg RE 700-1 000 Vitamin B1, mg 1.0-1.6 Vitamin C, mg 50-60 Sumber: Drewnowski 2005; Keterangan: Jumlah balita banyak jika jumlahnya lebih dari 1 orang dalam rumah tangga, dan sedikit jika hanya 1 orang. Keluarga besar jika anggota dalam rumah tangga lebih dari 4 orang, dan kecil jika kurang atau sama dengan 4 orang. Status ekonomi keluarga bawah apabila termasuk kuintil 1 dan 2, dan menengah atas apabila termasuk kuintil 3, 4 dan 5. Diadaptasi berdasarkan WHO 1998 dan Drewnowski 2005 Status pemberian ASI pada anak anak pernah diberi ASI, status pemberian kapsul vitamin A pada anak, status immunisasi Hepatitis B-0, dan kualitas air minum keluarga memenuhi syarat masing-masing dikategorikan menjadi dua, yaitu tidak dan ya. Status gizi diolah menggunakan WHO AnthroPlus 2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis hubungan menggunakan Chi-square. Hasil Karakteristik anak Sebanyak 37.4 anak 0-23 bulan mengalami stunting. Tidak ada hubungan antara stunting dengan jenis kelamin p0.05, namun ada hubungan dengan umur p0.01, berat bayi lahir p0.01, dan berat badan menurut umur p0.01 anak 0-23 bulan. Tidak adanya hubungan antara stunting dengan jenis kelamin anak 0-23 bulan menunjukkan bahwa stunting tidak ditentukan oleh jenis kelamin anak. Baik anak perempuan maupun anak laki-laki, keduanya berisiko untuk menjadi stunting. Prevalensi stunting anak perempuan tidak berbeda dengan anak laki- laki, masing-masing sebanyak 35.9 dan 38.7 Tabel 2. Tabel 2 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan karakteristik anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Nilai p Jenis kelamin 0.103 Perempuan 532 35.9 951 64.1 1 483 100.0 Laki-laki 624 38.7 988 61.3 1 612 100.0 Total 1 156 37.4 1 939 62.6 3 095 100.0 Umur 0.000 0–5 bulan 56 24.5 173 75.5 229 100.0 6–11 bulan 228 32.8 467 67.2 695 100.0 12–23 bulan 872 40.2 1 299 59.8 2 171 100.0 Berat lahir 0.000 2 500 g 73 53.3 64 46.7 137 100.0 ≥2 500 g 1 083 36.6 1 875 63.4 2 958 100.0 Z-skor BBU 0.000 -2 SD 306 62.3 185 37.7 491 100.0 ≥-2 SD 850 32.6 1 754 67.4 2 604 100.0 Keterangan: p0.01, p0.05; n, Prevalensi stunting meningkat seiring dengan bertambahnya umur anak. Prevalensi stunting anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 24.5, 32.8, dan 40.2. Prevalensi stunting pada anak dengan berat lahir rendah BBLR lebih banyak dibanding anak yang tidak BBLR, masing-masing yaitu 53.3 dan 36.6. Prevalensi stunting pada anak yang underweight lebih banyak dibanding anak yang tidak underweight, masing-masing yaitu 62.3 dan 32.6. Tingkat Kecukupan dan Mutu Gizi Konsumsi Pangan Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan mutu gizi konsumsi pangan anak 0-23 bulan; demikian pula dengan densitas asupan zat besi, vitamin B1, dan vitamin C p0.05. Ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan kalsium p0.01, fosfor p0.01, dan vitamin B1 p0.05; begitu juga dengan densitas asupan protein p0.05, kalsium p0.01 dan vitamin A p0.01 Tabel 3. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan energi kurang tidak berbeda dengan anak yang kecukupan energinya cukup, masing-masing sebanyak 37.5 dan 37.2. Begitu juga dengan prevalensi stunting anak yang tingkat kecukupan proteinnya kurang tidak berbeda dengan anak yang cukup, masing-masing sebanyak 38.4 dan 36.9. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan vitamin C- nya kurang tidak berbeda dengan anak yang tingkat kecukupan vitamin C-nya cukup, masing-masing sebanyak 37.9 dan 35.2; demikian juga densitas asupan vitamin C, masing-masing sebanyak 37.5 dan 34.4. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan zat besinya kurang tidak berbeda dengan anak yang tingkat kecukupan zat besinya cukup, masing-masing sebanyak 37.6 dan 36.8; demikian juga densitas asupan zat besi, masing-masing sebanyak 36.9 dan 40.5. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan lebih tinggi pada anak yang kecukupan kalsium, fosfor dan vitamin B1–nya rendah, yaitu masing-masing 39.6, 41.7, dan 41.6 pada tingkat kecukupan yang rendah; sedangkan pada tingkat kecukupan yang tinggi masing-masing 35.1, 35.0 dan 36.3. Pola yang sama juga dijumpai untuk densitas proetin, kalsium dan vitamin A, yaitu prevalensi stunting lebih tinggi pada anak yang densitas protein, kalsium dan vitamin A-nya rendah, yaitu masing-masing 39.1, 39.5 dan 39.2 pada densitas yang rendah, sedangkan pada densitas yang tinggi masing-masing 35.8, 33.7 dan 34.1. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang mutu gizi konsumsi pangannya kurang dan anak yang mutu gizi konsumsi pangannya cukup, masing-masing sebanyak 38.6 dan 35.4. Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan tingkat konsumsi, mutu, dan densitas gizi anak 0-23 bulan Keterangan: Tk = tingkat kecukupan; p0.01, Peubah p0.05; n Stunting Tidak Stunting Total Nilai p Tk. energi 0.847 70 521 37.5 867 62.5 1 388 100.0 ≥ 70 635 37.2 1 072 62.8 1 707 100.0 Total 1 156 37.4 1 939 62.6 3 095 100.0 Tk. protein 0.732 80 382 38.4 614 61.6 996 100.0 ≥ 80 774 36.9 1 325 63.1 2 099 100.0 Tk. kalsium 0.010 50 621 39.6 949 60.4 1 570 100.0 ≥ 50 535 35.1 990 64.9 1 525 100.0 Tk. fosfor 0.000 50 454 41.7 634 58.3 1 088 100.0 ≥ 50 702 35.0 1 305 65.0 2 007 100.0 Tk. zat besi 0.688 50 840 37.6 1 396 62.4 2 236 100.0 ≥ 50 316 36.8 543 63.2 859 100.0 Tk. vitamin A 0.209 50 421 38.8 663 61.2 1 084 100.0 ≥ 50 735 36.5 1 276 63.5 2 011 100.0 Tk. vitamin B1 0.016 50 254 41.6 357 58.4 611 100.0 ≥ 50 902 36.3 1582 63.7 2484 100.0 Tk. vitamin C 0.214 50 940 37.9 1 541 62.1 2 481 100.0 ≥ 50 216 35.2 398 64.8 614 100.0 Mutu gizi konsumsi pangan 0.073 70 718 38.6 1 141 61.9 1 859 100.0 ≥ 70 438 35.4 798 64.6 1 236 100.0 Densitas asupan protein 0.029 25 g per 1 000 kkal 572 39.1 89060.9 1462 100.0 ≥ 25 g per 1 000 kkal 584 35.8 1049 64.2 1633 100.0 Densitas asupan kalsium 0.001 500 mg per 1 000 kkal 774 39.5 1 186 60.5 1 960 100.0 ≥ 500 mg per 1 000 kkal 382 33.7 753 66.3 1 135 100.0 Densitas asupan zat besi 0.165 7 mg per 1 000 kkal 996 36.9 1 704 63.1 2 700 100.0 ≥ 7 mg per 1 000 kkal 160 40.5 235 59.5 395 100.0 Densitas asupan vitamin A 0.005 700 µg RE per 1 000 kkal 773 39.2 1 199 60.8 1 972 100.0 ≥ 700 µg RE per 1 000 kkal 383 34.1 740 65.9 1 123 100.0 Densitas asupan vitamin B1 0.520 1.0 mg per 1 000 kkal 539 38.0 881 62.0 1 420 100.0 ≥ 1.0 mg per 1 000 kkal 617 36.8 1 058 63.2 1 675 100.0 Densitas asupan vitamin C 0.404 50 mg per 1 000 kkal 1 103 37.5 1 837 62.5 2 940 100.0 ≥ 50 mg per 1 000 kkal 53 34.2 102 65.8 155 100.0 Kesehatan Anak dan Sanitasi Lingkungan Tidak ada hubungan antara stunting dengan status pernah disusui diberi ASI, mendapatkan kapsul vitamin A, kepemilikan KMS, imunisasi Hepatitis B-0, kualitas air minum, dan tempat pembuangan air limbah di rumah tangga anak 0-23 bulan p0.05. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tidak pernah disusui diberi ASI tidak berbeda dengan anak yang pernah diberi ASI, masing-masing sebanyak 37.1 dan 37.4. Begitu pula dengan status mendapatkan kapsul vitamin A dalam 6 bulan terakhir, masing-masing yaitu 36.9 dan 37.6 Tabel 4. Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan status stunting, kesehatan anak dan sanitasi lingkungan anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Nilai p Pemberian ASI 0.920 Tidak 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Ya 1 044 37.4 1 749 62.6 2 793 100.0 Total 1 156 37.4 1 939 62.6 3 095 100.0 Mendapatkan kapsul vit. A 0.716 Tidak 433 36.9 739 58.6 1 172 100.0 Ya 723 37.6 1 200 62.4 1 923 100.0 Kepemilikan KMS 0.624 Tidak 43 35.2 79 64.8 122 100.0 Ya 1 113 37.4 1 860 62.6 2 973 100.0 Imunisasi Hepatitis B-0 0.184 Tidak 132 34.3 253 65.7 385 100.0 Ya 1 024 37.8 1 686 62.2 2 710 100.0 Kualitas air minum 0.652 Tidak memenuhi syarat 12 41.4 17 58.6 29 100.0 Memenuhi syarat 1 144 37.3 1 922 62.7 3 066 100.0 Tempat air limbah 0.447 Terbuka 931 37.0 1 583 63.0 2 514 100.0 Tertutup 225 38.7 356 61.3 581 100.0 Keterangan: p0.01, Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tidak memiliki atau tidak dapat menunjukkan disimpan di tempat lain catatan kesehatan berupa KMSBuku KIAcatatan kesehatan lain seperti Buku Catatan Kesehatan Anak selain KMS dan KIA tidak berbeda dengan anak yang memiliki dan dapat menunjukkan catatan kesehatan, masing-masing sebanyak 35.2 dan 37.4. Demikian pula dengan status mendapat imunisasi Hepatitis B-0 biasanya diberikan sesaat setelah bayi lahir atau kurang dari 7 hari setelah bayi lahir yang disuntikkan di paha bayi, masing-masing sebanyak 34.3 dan 37.8. Berikutnya, prevalensi stunting anak yang kualitas fisik air minum di keluarganya tidak memenuhi syarat keruh, p0.05; n berwarna, berasa, berbusa, berbau dan prevalensi anak yang kualitas fisik air minum yang memenuhi syarat, masing-masing yaitu 41.4 dan 37.3. Prevalensi stunting anak yang tempat penampungan air limbah dari kamar manditempat cucidapur terbuka penampungan terbuka di pekarangan, penampungan di luar pekarangan, tanpa penampungan –di tanah-, langsung ke gotsungai dan prevalensi stunting anak yang tempat penampungan air limbahnya tertutup sarana pembuangan air limbah –SPAL- dan penampungan tertutup di pekarangan, berturut-turut yaitu 37.0 dan 38.7. Karakteristik Orang Tua Tidak ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan umur orang tua, pekerjaan orang tua, tinggi badan ayah, dan status gizi indeks massa tubuh – IMT- ayah p0.05. Namun, ada hubungan antara stunting dengan pendidikan ibu p0.05, pendidikan ayah p0.01, tinggi ibu p0.01 dan status gizi ibu p0.05. Prevalensi anak stunting dengan umur ibu kurang dari 25 tahun, prevalensi stunting anak dengan umur ibu 25-35 tahun, dan prevalensi stunting umur ibu yang lebih dari 35 tahun, masing-masing berturut-turut 40.8, 36.3, dan 37.0. Demikian pula dengan umur ayah, masing-masing berturut-turut 40.9, 37.1, dan 37.5 Tabel 5. Separuh orang tua anak berusia 25-35 tahun. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan menurun seiring dengan meningkatnya pendidikan ibu. Prevalensi stunting anak dengan ibu berpendidikan SD, SLTP, SLTA, dan PT berturut-turut sebanyak 40.2, 37.5, 34.7 dan 33.7. Demikian juga dengan pendidikan ayah, yaitu 41.9, 36.9, 34.1 dan 30.5. Sekitar 40 orang tua berpendidikan SD. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan tidak berbeda pada setiap kelompok pekerjaan orang tua. Prevalensi anak stunting dengan ibu tidak bekerjasekolah, buruhpetaninelayan, TNIPNSwiraswasta berturut-turut yaitu 37.6, 37.6 dan 37.3; demikian juga dengan pekerjaan ayah, yaitu 45.7, 39.1 dan 35.5. Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan karakteristik orang tua anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Nilai p Umur ibu 0.062 25 tahun 270 40.8 391 59.2 661 100.0 25-35 tahun 650 36.3 1 143 63.7 1 793 100.0 35 tahun 219 37.9 359 62.1 578 100.0 Tidak ada data 17 27.0 46 73.0 63 100.0 Total 1 156 37.4 1 939 62.6 3 095 100.0 Umur ayah 0.779 25 tahun 61 40.9 88 59.1 149 100.0 25-35 tahun 569 37.1 964 62.9 1 533 100.0 35 tahun 430 37.5 716 62.5 1 146 100.0 Tidak ada data 96 36.0 171 64.0 267 100.0 Pendidikan ibu 0.030 SD 506 40.2 754 59.8 1 260 100.0 SLTP 268 37.5 446 62.5 714 100.0 SLTA 277 34.7 521 65.3 798 100.0 PT 87 33.7 171 66.3 258 100.0 Tidak ada data 18 27.7 47 72.3 65 100.0 Pendidikan ayah 0.001 SD 479 41.9 663 58.1 1 142 100.0 SLTP 208 36.9 356 63.1 564 100.0 SLTA 295 34.1 571 65.9 866 100.0 PT 78 30.5 178 69.5 256 100.0 Tidak ada data 96 36.0 171 64.0 267 100.0 Pekerjaan ibu 0.445 Tidak bekerjasekolah 696 37.6 1 154 62.4 1 850 100.0 Buruhpetaninelayan 240 37.6 398 62.4 638 100.0 TNIPNSwiraswasta 202 37.3 340 62.7 542 100.0 Tidak ada data 18 27.7 47 72.3 65 100.0 Pekerjaan ayah 0.089 Tidak bekerjasekolah 37 45.7 44 54.3 81 100.0 Buruhpetaninelayan 527 39.1 821 60.9 1 348 100.0 TNIPNSwiraswasta 496 35.5 903 64.5 1 399 100.0 Tidak ada data 96 36.0 171 64.0 267 100.0 Tinggi ibu 0.000 145 cm 156 50.0 156 50.0 312 100.0 ≥ 145 cm 1 000 35.9 1 783 64.1 2 783 100.0 Tinggi ayah 0.107 150 cm 25 48.1 27 51.9 52 100.0 ≥ 150 cm 1 131 37.2 1 912 62.8 3 043 100.0 IMT ibu 0.029 18.5 133 42.9 177 57.1 310 100.0 18.5 sd 25 738 37.5 1 228 62.5 1 966 100.0 25 270 35.6 489 64.4 759 100.0 Tidak ada data 15 25.0 45 75.0 60 100.0 IMT ayah 0.254 18.5 108 39.0 169 61.0 277 100.0 18.5 sd 25 781 38.2 1 264 61.8 2 045 100.0 25 167 33.6 330 66.4 497 100.0 Tidak ada data 100 36.2 176 63.8 276 100.0 Keterangan: p0.01, p0.05; n Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang ibunya pendek tinggi badan ibu145 cm lebih banyak dibanding yang ibunya tidak pendek tinggi badan ibu ≥145 cm, berturut-turut yaitu 50.0 dan 35.9. Namun demikian, prevalensi stunting anak yang ayahnya pendek tinggi badan ayah150 cm tidak berbeda dengan yang ayahnya tidak pendek tinggi badan ayah ≥ 150 cm, berturut-turut yaitu 48.1 dan 37.2. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan menurun seiring dengan meningkatnya status gizi ibu indek massa tubuh. Prevalensi stunting anak pada ibu yang berstatus gizi kurus, normal, dan gemuk berturut-turut 42.9, 37.5, dan 35.6. Namun, prevalensi stanting tidak berbeda dengan meningkatnya status gizi ayah, berturut-turut sebanyak 39.0, 38.2, dan 33.6. Karakteristik Keluarga Tidak ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan jumlah anak balita, besar keluarga, dan tempat tinggal mereka di kotadi desa p0.05. Namun, ada hubungan antara stunting dengan status ekonomi p0.01. Lebih dari seperlima keluarga anak 0-23 bulan memiliki banyak anak balita. Disamping itu, sekitar separuh keluarga anak 0-23 termasuk keluarga besar, bertempat tinggal di desa, dan berstatus ekonomi bawah. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang jumlah anak balita dalam keluarga tersebut banyak lebih dari 1 orang tidak berbeda dengan yang sedikit yang jumlah anak balita dalam keluarga tersebut hanya 1 orang, berturut-turut sebanyak 38.8 dan 36.9. Demikian pula dengan besar keluarga, pada ukuran keluarga kecil ≤ 4 orang sebesar 38.1 dan keluarga besar 4 orang sebesar 36.3. Selanjutnya, tempat tinggal di desa atau kota, berturut-turut sebanyak 39.5 dan 35.3. Adapun, prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang berstatus ekonomi bawah kuintil 1 2 lebih banyak dibanding menengah atas kuintil 3, 4 5, berturut-turut sebanyak 41.3 dan 33.6 Tabel 6. Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan karakteristik keluarga anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Nilai ρ Jumlah balita 0.368 1 orang 881 36.9 1 505 63.1 2 386 100.0 1 orang 275 38.8 434 61.2 709 100.0 Total 1 156 37.4 1 939 62.6 3 095 100.0 Besar keluarga 0.297 ≤ 4 orang 691 38.1 1 122 61.9 1 813 100.0 4 orang 465 36.3 817 63.7 1 282 100.0 Kotadesa 0.016 Kota 606 39.5 930 60.5 1 536 100.0 Desa 550 35.3 1009 64.7 1 559 100.0 Status ekonomi 0.000 Bawah 622 41.3 883 58.7 1 505 100.0 Menengah atas 534 33.6 1056 66.4 1 590 100.0 Keterangan: p0.01; p0.05; n Pembahasan Karakteristik anak Tidak ada hubungan antara stunting dengan jenis kelamin anak 0-23 bulan. Hal ini mendukung kesimpulan Specker et al. 1986 yaitu jenis kelamin tidak memberi efek yang signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan pada anak baru lahir sampai umur 18 bulan. Jenis kelamin juga tidak dibedakan dalam menentukan kebutuhan energi Mahan Escott-Stump 2008 dan zat gizi WNPG 2004 anak 0-23 bulan. Tetapi, jenis kelamin dibedakan dalam menentukan status gizi z-skor tinggi badan menurut umur anak 0-23 bulan WHO 2006. Perbedaan hasil penelitian ini dengan laporan WHO 2006 diduga terkait dengan jumlah sampel, yaitu jumlah sampel yang relatif lebih kecil pada penelitian ini -mencakup satu negara- dibanding dengan yang dilaporkan WHO 2006 -mencakup berbagai negara. Namun demikian, sambil menunggu hasil penelitian hubungan stunting dengan jenis kelamin dari berbagai negara, penelitian ini telah menyimpulkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya stunting pada anak 0-23 bulan tidak perlu dibedakan antara anak perempuan dan laki-laki. Sebanyak 47.9 anak 0-23 bulan berjenis kelamin perempuan dan sisanya 52.1 berjenis kelamin laki-laki Tabel 7. Tabel 7 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan karakteristik anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Jenis kelamin Perempuan 532 46.0 951 49.0 1 483 47.9 Laki-laki 624 54.0 988 51.0 1 612 52.1 Total 1 156 100.0 1 939 100.0 3 095 100.0 Umur 0 – 5 bulan 56 4.8 173 8.9 229 7.4 6 – 11 bulan 228 19.7 467 24.1 695 22.5 12 – 23 bulan 872 75.4 1 299 67.0 2 171 70.1 Berat lahir 2 500 g 73 6.3 64 3.3 137 4.4 ≥ 2 500 g 1 083 93.7 1 875 96.7 2 958 95.6 Z-skor BBU -2 SD 306 26.5 185 9.5 491 15.9 ≥ -2 SD 850 73.5 1 754 90.5 2 604 84.1 Keterangan: n Belum diketahui jumlah anak 0-23 bulan di Indonesia, untuk itu didekati dari jumlah anak balita 0-59 bulan. Kemenkes 2010 melaporkan bahwa jumlah anak balita Indonesia sebanyak Kelompok Umur tahun 23 juta anak. Bappenas 2012 melaporkan lebih rinci bahwa jumlah anak balita Indonesia sebanyak 23 788 495 anak Tabel 8. Thaha 2012 mengungkapkan bahwa jumlah anak balita Indonesia sebanyak 26.7 juta anak. Adapun jumlah anak balita stunting di Indonesia berdasarkan laporan Bappenas 2012 sebanyak 8 468 665 anak, sedangkan menurut Kemenkes 2010 melaporkan 7.6 juta anak. Tabel 8 Jumlah penduduk dan jumlah stunting menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2012 Penduduk Stunting Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan 0-4 12 232 970 11 555 525 4 562 898 3 905 767 5-9 12 560 280 11 831 646 4 584 502 4 081 918 10-14 12 233 447 11 560 746 4 599 776 3 757 242 15-19 11 132 591 10 766 245 4 041 130 2 788 458 Jumlah 48 159 288 45 714 162 17 788 306 14 533 385 Sumber: Bappenas 2012 Sebanyak 37.4 anak 0-23 bulan dalam penelitian ini mengalami stunting. Riskesdas 2010 melaporkan bahwa prevalensi anak balita stunting di Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan berturut-turut sebanyak 58.4, 49.2, 48.2, 42.3, dan 40.4. Prevalensi stunting meningkat seiring dengan bertambahnya umur anak. Temuan ini memperkuat laporan Alive dan Thrive 2010, yaitu rata-rata z-skor PBU menurun secara nyata selama 23 bulan pertama setelah lahir. Begitu pula kesimpulan Waterlow and Schürch 1994 yaitu meskipun anak-anak umumnya tidak mencapai tahap yang diklasifikasikan sebagai stunting PBU -2 SD sampai usia 2 atau 3 tahun, namun proses perlambatan pertumbuhan linier sebenarnya dimulai jauh lebih awal yaitu usia 2 atau 3 bulan. Selain itu, Schmidt et al. 2002 menyimpulkan bahwa pertumbuhan mulai tersendat-sendat pada usia 6-7 bulan. WHO 2001 melaporkan pula bahwa semakin awal anak-anak menjadi stunting, semakin parah hambatan pertumbuhan mereka. Prevalensi stunting pada anak 0-23 bulan dengan berat lahir rendah BBLR lebih banyak dibanding anak yang tidak BBLR, masing-masing yaitu 53.3 dan 36.6. Jumlah anak 0-23 bulan dengan berat lahir rendah sebanyak 4.4, namun Bappenas 2012 melaporkan bahwa proporsi BBLR di Indonesia tahun 2010 sebesar 8.8; BBLR terendah 5,8 di Bali, tertinggi 27 di Papua; adapun proporsi BBLR tahun 2007 sebanyak 10.9. Angka-angka tersebut adalah angka rata-rata nasional dengan disparitas yang lebar antar daerah yang menunjukkan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi. Lebih dari 20 juta bayi di dunia 15.5 dari seluruh kelahiran mengalami BBLR dan 95 di antaranya terjadi di negara-negara berkembang. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan underweight lebih banyak dibanding anak tidak underweight. Sebanyak 15.9 anak 0-23 bulan mengalami underweight. Bappenas 2012 melaporkan bahwa prevalensi anak balita underweight 13.3. Groff dan Gropper 2000 menjelaskan bahwa semakin kurus seseorang maka semakin berisiko mengalami keropos tulang. Hayati et al. 2012 menyimpulkan bahwa underweight z-skor BBU merupakan salah satu faktor risiko stunting pada anak 0-23 bulan. Tingkat Kecukupan dan Mutu Gizi Konsumsi Pangan Mutu gizi konsumsi pangan sebagian besar anak 0-23 bulan termasuk kurang. Anak dengan tingkat kecukupan vitamin B1 yang kurang hampir sebanyak 20. Anak dengan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, fosfor, dan vitamin A yang kurang berjumlah sekitar 40. Anak dengan tingkat asupan zat besi dan vitamin C yang kurang mencapai 80. Bahkan anak dengan densitas asupan gizi kurang mencapai 95 densitas asupan vitamin C. Secara keseluruhan, anak dengan mutu gizi konsumsi pangan kurang sebanyak 60.1 Tabel 9. Di sisi lain, Specker et al. 1986 menyimpulkan bahwa diet memberi efek yang signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan WHO 2001 melaporkan bahwa sulit menafsirkan hubungan antara asupan energi dan pertumbuhan. Ketika asupan energi dari makanan rendah, asupan beberapa zat gizi lain juga akan tidak memadai. Eksperimen menggunakan susu formula bayi dengan kandungan energi bervariasi, sedangkan kandungan protein konstan, hasilnya menunjukkan bahwa kekurangan energi mempengaruhi pertumbuhan berat badan tapi tidak mempengaruhi tinggi badan, setidaknya dalam jangka pendek. Studi intervensi dengan menyediakan energi berupa lemak tambahan atau makanan energi tinggi, belum menemukan efek yang konsisten pada pertumbuhan. Di Papua Nugini, suplemen energi meningkatkan berat badan dan kegemukan anak-anak sekolah, tetapi tidak pertumbuhan linier mereka Becroft Bailey 1965. Sebaliknya, makanan energi tinggi 310 kkalhari diberikan kepada anak-anak India yang kekurangan gizi dapat meningkatkan tambahan tinggi dan berat badan mereka Bhandari et al. 2004. Dari uraian di atas, diduga makanan tinggi energi dapat meningkatkan tambahan pada masa anak-anak. Diet yang kurang bermutu pada sebagian besar anak tersebut di atas akan berpeluang menimbulkan banyak anak menjadi stunting. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan energi kurang tidak berbeda dengan anak yang cukup, masing-masing sebanyak 37.5 dan 37.2 Namun demikian, sebanyak 44.8 anak 0-23 bulan mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal 70 angka kecukupan gizi -AKG. Kemenkes 2010 melaporkan bahwa anak 24-59 bulan kelompok umur lebih besar yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal sebanyak 24.7. tinggi dan berat badan anak yang kekurangan gizi, namun hanya meningkatkan berat badan pada anak dengan zat gizi cukup. Tabel 9 Jumlah anak berdasarkan tingkat kecukupan, mutu, dan densitas gizi anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting Keterangan: Tk = tingkat kecukupan; n Peubah Stunting Tidak Stunting Total Tk. energi 70 521 45.1 867 44.7 1388 44.8 ≥ 70 635 54.9 1072 55.3 1707 55.2 Total 1156 100.0 1939 100.0 3095 100.0 Tk. protein 80 321 27.8 497 25.6 818 26.4 ≥ 80 835 72.2 1442 74.4 2277 73.6 Tk. kalsium 50 621 53.7 949 48.9 1570 50.7 ≥ 50 535 46.3 990 51.1 1525 49.3 Tk. fosfor 50 454 39.3 634 32.7 1088 35.2 ≥ 50 702 60.7 1305 67.3 2007 64.8 Tk. zat besi 50 840 72.7 1396 72.0 2236 72.2 ≥ 50 316 27.3 543 28.0 859 27.8 Tk. vitamin A 50 421 36.4 663 34.2 1084 35.0 ≥ 50 735 63.6 1276 65.8 2011 65.0 Tk. vitamin B1 50 254 22.0 357 18.4 611 19.7 ≥ 50 902 78.0 1582 81.6 2484 80.3 Tk. vitamin C 50 940 81.3 1541 79.5 2481 80.2 ≥ 50 216 18.7 398 20.5 614 19.8 Mutu gizi konsumsi pangan 70 718 62.1 1141 58.8 1859 60.1 ≥ 70 438 37.9 798 41.2 1236 39.9 Densitas asupan protein 20 g per 1 000 kkal 402 34.8 647 33.4 1049 33.9 20 – 40 g per 1 000 kkal 548 47.4 896 46.2 1444 46.7 40 g per 1 000 kkal 206 17.8 396 20.4 602 19.5 Densitas asupan kalsium 500 mg per 1 000 kkal 774 67.0 1186 61.2 1960 63.3 ≥ 500 mg per 1 000 kkal 382 33.0 753 38.8 1135 36.7 Densitas asupan zat besi 7 mg per 1 000 kkal 996 86.2 1704 87.9 2700 87.2 ≥ 7 mg per 1 000 kkal 160 13.8 235 12.1 395 12.8 Densitas asupan vitamin A 700 µg RE per 1 000 kkal 773 61.8 1199 66.9 1972 63.7 ≥ 700 µg RE per 1 000 kkal 383 38.2 740 33.1 1123 36.3 Densitas asupan vitamin B1 1.0 mg per 1 000 kkal 539 46.6 881 45.4 1420 45.9 ≥ 1.0 mg per 1 000 kkal 617 53.4 1058 54.6 1675 54.1 Densitas asupan vitamin C 50 mg per 1 000 kkal 1103 95.4 1837 94.7 2940 95.0 ≥ 50 mg per 1 000 kkal 53 4.6 102 5.3 155 5.0 Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan protein anak 0-23 bulan. Asupan protein anak stunting rata-rata 18.9±12.7 g per hari. Hasil tersebut mendukung kesimpulan Arnelia et al. 2010 yakni asupan protein anak underweight 6-23 bulan sebanyak 11.03±2.77 sd 18.31±4.16 g per hari. Adapun tingkat konsumsi protein anak 0-23 bulan secara keseluruhan baik yang stunting maupun yang tidak stunting sebesar 135.1±86.5. Hal tersebut tidak berbeda dengan yang dilaporkan Kemenkes 2010 untuk kelompok anak 24–59 bulan yaitu 100.4-173.6. Namun demikian, sebanyak 26.4 anak 0-23 bulan mengonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal 80 AKG; dan Kemenkes 2010 melaporkan sebanyak 18.4 anak 24–59 bulan mengonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal. Diketahui pula bahwa Rekomendasi Amerika untuk membatasi asupan total protein dua kali RDA WHO 1998. Ada hubungan antara stunting dengan densitas asupan protein anak 0-23 bulan. Namun demikian, sebanyak 47.2 anak 0-23 bulan densitas asupan proteinnya kurang. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan lebih tinggi pada anak yang tingkat kecukupan kalsiumnya kurang. Frongillo 1999 menyimpulkan bahwa faktor gizi yang dapat menyebabkan pertambahan tulang pada anak meliputi kalsium dan fosfor susu formula. Sementara itu, Specker 2004 menyimpulkan bahwa ada interaksi asupan kalsium dengan gen dan asupan kalsium dengan aktifitas anak. IOM 1997 menyatakan bahwa densitas mineral tulang ditentukan oleh konsumsi kalsium, ketersediaan vitamin D dan faktor genetik. Attwood 2003 menjelaskan bahwa pada jumlah tertentu konsumsi protein yang diikuti dengan konsumsi kalsium yang baik terbukti memberi pengaruh nyata terhadap terbentuknya kepadatan tulang yang baik, namun konsumsi protein yang tidak diikuti dengan konsumsi kalsium yang cukup dapat memberikan pengaruh pada menurunnya kepadatan tulang. Hal ini dikarenakan konsumsi protein dapat meningkatkan hilangnya kalsium melalui urin. Remaja yang defisiensi kalsium mempunyai densitas tulang yang rendah Hardinsyah, Damayanthi Zulianti 2008. Kosnayani 2007 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat r = 0,873 antara jumlah asupan kalsium yang dikonsumsi dengan kepadatan tulang p = 0,000. Kalsium dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang dan penting untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia. Kalsium diperlukan untuk memaksimalkan puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal Shroff Pai 2000. Suryono 2007 menyimpulkan bahwa pada kelompok pemberian susu berkalsium tinggi, densitas mineral tulang lengan juga dipengaruhi oleh tingkat konsumsi kalsium total p0,05 dengan kontribusi 1,26. Konsumsi kalsium total merupakan jumlah asupan kalsium yang diperoleh dari susu berkalsium tinggi yang diberikan serta yang berasal dari bahan pangan lain yang dikonsumsi remaja. Sumber kalsium yang bukan berasal dari susu dapat diperoleh dari bahan pangan khususnya dari sayuran hijau, kacang- kacangan, dan ikan laut. Ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan fosfor anak 0-23 bulan. Sebanyak 35.2 anak 0-23 bulan mengkonsumsi fosfor kurang dari yang dianjurkan. Khomsan 2002 menyimpulkan bahwa rasio kalsium dan fosfor untuk pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1. Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan zat besi anak 0-23 bulan. Sebanyak 72.2 anak 0-23 bulan mengkonsumsi zat besi kurang dari yang dianjurkan Tabel 9. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan zat besinya kurang hampir sama dengan anak yang cukup, masing-masing sebanyak 37.6 dan 36.8; demikian pula densitas asupan zat besinya, masing-masing sebanyak 36.9 dan 40.5 Tabel 3. Ada hubungan antara stunting dengan densitas vitamin A anak 0-23 bulan. Prevalensi stunting anak yang densitas asupan vitamin A-nya kurang dan prevalensi stunting anak yang densitas asupan vitamin A-nya cukup berturut-turut yaitu 39.2 dan 34.1 Tabel 3. Ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan vitamin B1 anak 0-23 bulan. Sebanyak 19.7 anak 0-23 bulan mengkonsumsi vitamin B1 kurang dari yang dianjurkan Tabel 9. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan vitamin B1-nya kurang lebih tinggi dibanding anak tingkat kecukupan vitamin B1 yang cukup, masing-masing sebanyak 41.6 dan 36.3 Tabel 3. Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan vitamin C anak 0-23 bulan. Sebanyak 80.2 anak 0-23 bulan mengkonsumsi vitamin C kurang dari yang dianjurkan Tabel 9. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan vitamin C-nya tidak berbeda dengan anak yang cukup, masing- masing sebanyak 37.9 dan 35.2; demikian pula densitas asupan vitamin C-nya, masing-masing sebanyak 37.5 dan 34.2 Tabel 3. Tidak ada hubungan antara stunting dengan mutu gizi konsumsi pangan anak 0-23 bulan. Sebanyak 60.1 anak 0-23 bulan, mutu gizi asupan pangannya kurang Tabel 9. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang mutu gizi asupan pangannya kurang tidak berbeda dengan anak yang cukup, masing-masing sebanyak 38.6 dan 35.4 Tabel 3. Kesehatan Anak dan Sanitasi Lingkungan Sebanyak 3.9 anak 0-23 bulan tidak memiliki catatan kesehatan. Selain itu, sekitar 10 dari mereka tidak pernah disusui diberi ASI; dan sekitar 10 pula dari mereka tidak mendapat imunisasi Hepatitis B-0. Namun, hampir 40 dari mereka dalam 6 bulan terakhir tidak mendapatkan kapsul vitamin A Tabel 10. Tabel 10 Jumlah anak berdasarkan status stunting, kesehatan anak, sanitasi lingkungan anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Pemberian ASI Tidak 112 9.7 190 9.8 302 9.8 Ya 1044 90.3 1749 90.2 2793 90.2 Total 1156 100.0 1939 100.0 3095 100.0 Mendapatkan Vitamin A Tidak 433 37.5 739 38.1 1172 37.9 Ya 723 62.5 1200 61.9 1923 62.1 Kepemilikan KMS Tidak 43 3.7 79 4.1 122 3.9 Ya 1113 96.3 1860 95.9 2973 96.1 Imunisasi Hepatitis-0 Tidak 132 11.4 253 13.0 385 12.4 Ya 1024 88.6 1686 87.0 2710 87.6 Kualitas air minum Tidak memenuhi syarat 12 1.0 17 0.9 29 0.9 Memenuhi syarat 1144 99.0 1922 99.1 3066 99.1 Tempat air limbah Terbuka 931 80.5 1583 81.6 2514 81.2 Tertutup 225 19.5 356 18.4 581 18.8 Keterangan: n Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang mendapat imunisasi Hepatitis B-0 tidak berbeda dengan anak yang mendapatkan imunisasi tersebut. Bappenas 2012 menjelaskan bahwa di dalam kandungan, janin akan tumbuh dan berkembang melalui pertambahan berat dan panjang badan, perkembangan otak serta organ-organ lainnya seperti jantung, hati, dan ginjal. Pada saat dilahirkan, sebagian besar perubahan tersebut menetap atau selesai, kecuali beberapa fungsi, yaitu perkembangan otak dan imunitas, yang berlanjut sampai beberapa tahun pertama kehidupan bayi. Selain itu, WHO 2001 melaporkan bahwa efek positif suplementasi mikronutrien pada pertumbuhan linier tidak disebabkan oleh asupan makanan meningkat, tetapi tampaknya dipengaruhi oleh penurunan morbiditas. Namun, dalam Riskesdas 2010 Kemenkes 2010 hanya tersedia data penyakit Malaria dan Tuberkulosis TB Paru. Prevalensi stunting anak yang kualitas fisik air minum di keluarganya tidak memenuhi syarat tidak berbeda dengan prevalensi anak yang kualitas fisik air minum yang memenuhi syarat. Adapun persentase keluarga yang kualitas air minumnya tidak memenuhi syarat sebanyak 0.9; namun Bappenas 2012 melaporkan berdasarkan data Susenas 2010 bahwa masalah akses keluarga terhadap air minum layak adalah sebesar 44.2; angka tersebut masih di bawah target MDGs 2015 sebesar 68.87. Bappenas 2012 lebih jauh mengungkapkan bahwa tiap tahun 20 kematian anak balita disebabkan karena diare yang disebabkan oleh air minum yang tercemar bakteri. Karakteristik orang tua Separuh ibu dan ayah anak 0-23 bulan berusia 25-35 tahun. Selain itu, sekitar 40 ibu dan ayah dari anak 0-23 bulan berpendidikan SD Tabel 11. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang ibunya pendek tinggi badan ibu 145 cm lebih banyak dibanding yang ibunya tidak pendek tinggi badan ibu ≥ 145 cm. Victoria et al. 2008 menyimpulkan bahwa ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat menginjak dewasa; dan apabila hamil ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR. Tabel 11 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan karakteristik orang tua anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Umur ibu 25 tahun 270 23.4 391 20.2 661 21.4 25-35 tahun 650 56.2 1143 58.9 1793 57.9 35 tahun 219 18.9 359 18.5 578 18.7 Tidak ada data 17 1.5 46 2.4 63 2.0 Total 1156 100.0 1939 100.0 3095 100.0 Umur ayah 25 tahun 61 5.3 88 4.5 149 4.8 25-35 tahun 569 49.2 964 49.7 1533 49.5 35 tahun 430 37.2 716 36.9 1146 37.0 Tidak ada data 96 8.3 171 8.8 267 8.6 Pendidikan ibu SD 506 43.8 754 38.9 1260 40.7 SLTP 268 23.2 446 23.0 714 23.1 SLTA 277 24.0 521 26.9 798 25.8 PT 87 7.5 171 8.8 258 8.3 Tidak ada data 18 1.6 47 2.4 65 2.1 Pendidikan ayah SD 479 41.4 663 34.2 1142 36.9 SLTP 208 18.0 356 18.4 564 18.2 SLTA 295 25.5 571 29.4 866 28.0 PT 78 6.7 178 9.2 256 8.3 Tidak ada data 96 8.3 171 8.8 267 8.6 Pekerjaan ibu Tidak bekerjasekolah 696 60.2 1154 59.5 1850 59.8 Buruhpetaninelayan 240 20.8 398 20.5 638 20.6 TNIPNSwiraswasta 202 17.5 340 17.5 542 17.5 Tidak ada data 18 1.6 47 2.4 65 2.1 Pekerjaan ayah Tidak bekerjasekolah 37 3.2 44 2.3 81 2.6 Buruhpetaninelayan 527 45.6 821 42.3 1348 43.6 TNIPNSwiraswasta 496 42.9 903 46.6 1399 45.2 Tidak ada data 96 8.3 171 8.8 267 8.6 Tinggi ibu 145 cm 156 13.5 156 8.0 312 10.1 ≥ 145 cm 1000 86.5 1783 92.0 2783 89.9 Tinggi ayah 150 cm 25 2.2 27 1.4 52 1.7 ≥ 150 cm 1131 97.8 1912 98.6 3043 98.3 IMT ibu 18.5 133 11.5 177 9.1 310 10.0 18.5 sd 25 738 63.8 1228 63.3 1966 63.5 25 270 23.4 489 25.2 759 24.5 Tidak ada data 15 1.3 45 2.3 60 1.9 IMT ayah 18.5 108 9.3 169 8.7 277 8.9 18.5 sd 25 781 67.6 1264 65.2 2045 66.1 25 167 14.4 330 17.0 497 16.1 Tidak ada data 100 8.7 176 9.1 276 8.9 Keterangan: n Prevalensi stunting anak 0-23 bulan menurun seiring dengan meningkatnya status gizi ibu indek massa tubuh. Prevalensi stunting anak pada ibu yang berstatus gizi kurus, normal, dan gemuk berturut-turut 42.9, 37.5, dan 35.6. Bappenas 2012 menjelaskan bahwa terdapat 23 ibu yang kurus; sedangkan dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 10.0. Karakteristik Keluarga Sebanyak 22.9 keluarga anak 0-23 bulan memiliki banyak anak balita 0-59 bulan. Disamping itu, sekitar separuh keluarga anak 0-23 termasuk keluarga besar, bertempat tinggal di desa, dan berstatus ekonomi keluarga bawah Tabel 12. Tabel 12 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan karakteristik keluarga anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Jumlah balita 1 orang 881 76.2 1505 77.6 2386 77.1 1 orang 275 23.8 434 22.4 709 22.9 Total 1156 100.0 1939 100.0 3095 100.0 Besar keluarga ≤ 4 orang 691 59.8 1122 57.9 1813 58.6 4 orang 465 40.2 817 42.1 1282 41.4 Kotadesa Kota 606 52.4 930 48.0 1536 49.6 Desa 550 47.6 1009 52.0 1559 50.4 Status ekonomi Bawah 622 53.8 883 45.5 1505 48.6 Menengah atas 534 46.2 1056 54.5 1590 51.4 Keterangan: n Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang jumlah anak balita dalam keluarga tersebut banyak lebih dari 1 orang tidak berbeda dengan yang sedikit yang jumlah anak balita dalam keluarga tersebut hanya 1 orang. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN menganjurkan dalam satu keluarga sebaiknya hanya ada 1 anak balita, sedangkan total anak dalam satu keluarga 2 orang. Ada hubungan antara stunting dengan status ekonomi rumah tangga anak 0-23 bulan. Separuh 48.6 rumah tangga anak termasuk berstatus ekonomi bawah kuintil 1 2. Adapun jumlah penduduk miskin yang dilaporkan Bappenas 2012 yaitu sebanyak 12.36 total populasi 29.89 juta orang. Thaha 2012 menjelaskan bahwa Bappenas berharap tingkat kemiskinan menurun dalam lima tahun menjadi 10.5-11.5 pada tahun 2012 dan 8-10 pada tahun 2014. Jika diamati jumlah penduduk miskin tahun 2012 Bappenas 2012 dan harapan penurunan tingkat kemiskinan tahun 2012 Thaha 2012, maka terlihat ada selisih yaitu 0.86 sampai dengan 1.86 12.36-11.5 dan 12.36-10.5; begitu juga harapan penurunan jumlah penduduk miskin tahun 2012 ke tahun 2014 Thaha 2012 yaitu 1.5 sampai dengan 2.5 11.5-10 dan 10.5-8. Namun, Bappenas 2012 melaporkan bahwa tingkat kemiskinan menurun 5.26 pada periode 2005- 2011. Di sisi lain diketahui bahwa prevalensi stunting anak balita 0-59 bulan menurun dari tahun 2007 36.8 ke 2010 35.6 sebesar 1.2 Kemenkes 2007; Kemenkes 2010. Terlihat bahwa presentase penurunan prevalensi stunting seiring dengan penurunan tingkat kemiskinan. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan menurun seiring dengan meningkatkan status ekonomi rumah tangga. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang berstatus ekonomi bawah kuintil 1 2 dan menengah atas kuintil 3, 4 5 masing-masing sebanyak 41.3 dan 33.6 Tabel 6. Prevalensi tersebut relatif sama dengan yang dilaporkan Bappenas 2012 yakni prevalensi anak balita 0-59 bulan stunting menurut tingkat pengeluaran orang tua kuintil 1 sd 5 berturut- turut sebanyak 47.6, 43.4, 38.7, 35.2, dan 28.5; adapun rata-rata pengeluaran per kapita per bulan kuintil 1 sd 5 berturut-turut yaitu Rp 188 473, 321 409, 406 838, 686 693, dan 1 540 975. Rendahnya pendapatan antara lain disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan produktifitas. Hal tersebut dapat menyebabkan buruknya akses terhadap makanan dan perumahan yang sehat, akses terhadap pelayanan kesehatan, dan akses terhadap pendidikan dan informasi. Gagalnya aksesibilitas keluarga terhadap faktor sosial-ekonomi menjadikan rumah tangga rentan terhadap gangguan kesehatan termasuk terjadinya stunting. Namun demikian, arah hubungan yang terjadi tidak hanya kemiskinan yang berperan dalam terjadinya gangguan kehatan dan berkembangnya stunting, tetapi di sisi lain sebaliknya stunting dapat menimbulkan kemiskinan akibat menurunnya status gizi dan kapasitas fisik dan produktifitas kerja, sehingga perolehan pendapatan menjadi menurun. Linver et al. 2002 menyimpulkan bahwa pendapatan keluarga berkaitan dengan outcomes anak-anak. Simpulan 1. Sebanyak 37.4 anak 0-23 bulan mengalami stunting. 2. Tidak ada hubungan antara stunting dengan jenis kelamin, namun ada hubungan dengan umur, berat bayi lahir, dan berat badan menurut umur anak. 3. Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan mutu gizi konsumsi pangan anak 0-23 bulan; demikian pula dengan densitas asupan zat besi, vitamin B1, dan vitamin C. Ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan kalsium, fosfor, dan vitamin B1; begitu juga dengan densitas asupan protein, kalsium dan vitamin A. 4. Tidak ada hubungan antara stunting dengan status pernah disusui diberi ASI, mendapatkan kapsul vitamin A, kepemilikan KMS, imunisasi Hepatitis B-0, kualitas air minum, dan tempat penampungan air limbah di rumah tangga anak 0-23 bulan. 5. Tidak ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan umur orang tua, pekerjaan orang tua, tinggi badan ayah, dan status gizi ayah. Namun, ada hubungan antara stunting dengan pendidikan orang tua, tinggi ibu dan status gizi ibu. 6. Tidak ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan jumlah anak balita, besar keluarga, dan tempat tinggal mereka di kotadi desa. Namun, ada hubungan antara stunting dengan status ekonomi. Saran 1. Kelompok berpendapatan rendah perlu disediakan pangan-pangan yang kaya zat-zat gizi kunci untuk mencegah stunting dengan biaya terjangkau oleh Pemerintah dan bersama-sama kelompok menengah atas. 2. Perlu diteliti pangan yang kaya zat gizi dan yang terjangkau oleh kelompok berpendatan rendah. Ucapan Terimakasih Terimakasih disampaikan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI atas data yang diberikan; Yayasan Supersemar atas dukungan dana penelitian. Daftar Pustaka Alive and Thrive. 2010. Why stunting matters. Insight Issue 2 nd : September. USA: Aliveandthrive. http:www.aliveandthrive.org [28 Agustus 2011]. Arnelia, Lamid A, Rosmalina Y, Raswanti I, Sari YD. 2010. Besaran defisit zat gizi makro dan mikro pada anak baduta dengan masalah kurus di pedesaan dan perkotaan di Indonesia. Bogor: Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes. Attwood CR. 2003. Milk, calcium and bone density. http:www.msu. edu~mikevhmvhhomemilk.htm [17 Oktober 2011]. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan 1000 HPK. Jakarta: Bappenas. Becroft T, Bailey KV. 1965. Supplementary feeding trial in New Guinea highland infants. Journal of Tropical Pediatrics and African Child Health 11:28-34. Bhandari N, Bahl R, Nayyar B, Khokhar P, Rohde JE, Bhan MK. 2001. Food supplementation with encouragement to feed it to infants from 4 to 12 months of age has a small impact on weight gain. Am. J. Nut 1:1946- 1961. Bhutta ZA, Ahmed TA, Black RE, Cousens S, Dewey K, Giugliani E, Haider BA, Kirkwood B, Morris SS, Sachdev HPS, Shekar M. 2008. What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival. Lancet. Vol 371: 371: 417–40. Drewnowski A. 2003. Fat and sugar: an economic analysis. J Nutr 133:838S- 40S. Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density score. Am J Clin Nutr 79:6-16. Frongillo EA. 1999. Symposium: causes and etiology of stunting. Nutr 129: 529S–530S. Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. United State: Wadsworth Thomson Learning: 526 - 53 1. Hansen RG, Wyse BW. 1980. Expression of nutrient allowances per 1000 kilocalories. J Am Diet Assoc 76:223-7. Hardinsyah, Damayanthi E, Zulianti W. 2008. Hubungan konsumsi susu dan kalsium dengan densitas tulang dan tinggi badan remaja. Jurnal gizi dan pangan 31:43–48. [IOM] Institute of Medicine. 1997. Dieatary Reference Intakes for Calcium, Phosphorus, Magnesium, Vitamin D, Fluoride. National Academy Press. Washington. Jahari AB. 2009. Growth Curve of Healthy Children from Wealthy Families: How Close to WHO Child Growth Standard 2005? Bogor: Center for Research and Development in Food and Nutrition National Institute for Health Research and Development, Ministry of Health of RI. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2010. Survey Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes. Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kosnayani AS. 2007. Hubungan asupan kalsium, aktivitas fisik, paritas, indeks massa tubuh dan kepadatan tulang pada wanita pascamenopause [tesis]. Semarang: Program Studi Gizi Masyarakat, Program Pascasarjana, Universitas Dponegoro. Linver, Miriam R, Brooks-Gunn, Jeanne, Kohen, Dafna E. 2002. Family processes as pathways from income to young childrens development. Developmental Psychology 385:719-734. Mahan K, Escott-Stump. 2008. Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B. Saunders Company. Schmidt MK, Muslimatun S, West CE, Schultink W, Gross R, Hautvast JGAJ. 2002. Nutritional status and linear growth of Indonesian infants in West Java are determined more by prenatal environment than by postnatal factors. J Nut 132:2202-2207. Shroff M, Pai B. 2000. Osteoporosis, the Battle againts Brittel Bones. Jewings Magazine India: 78 – 82. Specker BL, Lichtenstein P, Mimouni F, Gormley C. 1986. Calcium regulating hormones and minerals from birth to 18 months of age: A cross-sectional study. II. Effects of sex, race, age, season, and diet on serum minerals, parathyroid hormone, and calcitonin. Pediatrics 776: 891-896. Specker BL. 2004. Nutrition influences bone development from infancy through toddler years. Am Nutr 134:691S-695S. Suryono. 2007. Pengaruh Pemberian Susu Berkalsium Tinggi terhadap Kadar Kalsium Darah dan Kepadatan Tulang Remaja Pria [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Thaha R. 14 Januari 2012. RI to face ’lost generation’. The Jakarta Post: 1 colomn 1-2. Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter RL, Sachdev HS, The Maternal and Child Undernutrition Study Group. 2008. Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. http:www.thelancet.com [26 Januari 2012]. Waterlow JC and Schürch B. 1994. Causes and mechanisms of linear growth retardation. European journal of clinical nutrition 48:S1-S216. [WHO] World Health Organization. 1998. Preparation and Use of Food Based Dietary Guidelines. Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 2001. Improving Child Growth. Geneva: WHO page 23-41. [WHO] World Health Organization. 2006. Table of standard anthropometry WHO-2005. Geneva: WHO. [WNPG] Widyakarya Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi. Jakarta, 17-19 Mei 2004. BAB 6 FAKTOR-FAKTOR RISIKO STUNTING ANAK 0-23 BULAN Aslis Wirda Hayati 1 , Hardinsyah 2 , Fasli Jalal 3 , Siti Madanijah 2 , Dodik Briawan 2 1 Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Pontianak 2 Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas Jurnal Forum Pascasarjana 2013, 362 Abstrak ASLIS WIRDA HAYATI. Faktor-faktor Risiko Stunting Anak 0-23 Bulan. Dibimbing oleh HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, dan DODIK BRIAWAN Tujuan penelitian ini menganalisis faktor-faktor risiko stunting anak baduta Indonesia menggunakan data Riskesdas 2010. Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files Riskesdas 2010, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out . Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel dan SPSS. Analisis faktor-faktor risiko menerapkan regresi logistik. Risiko stunting pada anak 6-11 bulan dan anak 12-23 bulan masing-masing 1.59 kali dan 2.18 kali dibanding anak anak 0-5 bulan. Risiko stunting anak yang dilahirkan dengan berat bayi lahir rendah BBLR 1.81 kali dibanding anak lahir dengan BB normal. Anak yang underweight berpeluang stunting 3.07 kali. Densitas asupan protein rendah meningkatkan risiko stunting. Ibu yang pendek 145 cm dan ekonomi keluarga rendah kuintil 1 2 juga meningkatkan risiko stunting. Kajian ini memperkuat hasil kajian sebelumnya di mancanegara bahwa pencegahan stunting perlu dilakukan secara komprehensif melalui perbaikan gizi, kesehatan dan ekonomi. Implikasinya bagi Indonesia adalah mencegah stunting perlu meningkatkan gizi dan kesehatan ibu hamil, meningkatkan kualitas makanan anak baduta dan peningkatan pendapatan ekonomi keluarga tidak mampu. Kata kunci: berat anak, berat lahir anak, densitas asupan protein, ekonomi keluarga, stunting Abstract ASLIS WIRDA HAYATI. Stunting Risk Factors of Young Children 0-23 Months. Under direction of HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, and DODIK BRIAWAN The objective of this study was to analyze the risks factors of stunting in young children of 0-23 months old YC using the data from Riskesdas 2010. From 6,634 YC in the data, 3,539 were screened out. Nutritional status data were processed using the WHO AnthroPlus 2007, while the other datastatistics were processed using the Excel 2007 and SPSS 16.0 for windows. Logistic regression was applied to analyze the risk factors. The risk of stunting in children 6-11 months and 12-23 was 1.59 and 2.18 times respectively compared to children 0-5 months. The risk of stunting in children with low birth-weight LBW was 1.81 times higher compared to children born with normal weight. Underweight YC had 3.07 times of stunting risk. Low density of protein intake of YC, stunted mothers 145 cm and low income family status 1 st quintile 2 nd quintile also increased the risk of YC stunting. The prevention of stunting of the YC should be done by increasing the food quality for YC. Key words: birth-weight, children’s weight, family economic, protein density, stunting Pendahuluan Akhir-akhir ini masalah stunting semakin menjadi perhatian terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Hasil studi review di 36 negara oleh Bhutta et al. 2008 menemukan prevalensi stunting anak 1 tahun dan 2 tahun di negara-negaran berkembang berturut-turut sebanyak 40 dan 54, sedangkan Riskesdas di Indonesia oleh Kemenkes 2010 menemukan berturut- turut sebanyak 32.1 dan 41.5. WHO 2006 menjelaskaan bahwa prevalensi stunting yang lebih besar dari 20 dianggap tinggi dan merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat. Stunting cermin dari masalah gangguan pertumbuhan pada usia dini karena faktor gizi dan faktor non-gizi, yang berisiko meningkatkan kegemukan dan penyakit tidak menular degeneratif pada saat dewasa. Adapun temuan mutakhir yang berhubungan dengan stunting Soekirman 2011 mengungkapkan bahwa dengan jumlah tersebut Indonesia menurut WHO tercatat menduduki peringkat ke-5 terbanyak stunting di dunia keadaan ini hanya lebih baik dari India, Tiongkok, Nigeria dan Pakistan. antara lain oleh Bhutta et al. 2008 yang menyimpulkan bahwa penyediaan MP-ASI yang difortifikasi dapat meningkatkan panjang badan anak, namun peningkatan tersebut sangat kecil. Selain itu, Remans et al. 2011 menyimpulkan bahwa gabungan intervensi sektor kesehatan dengan upaya untuk meningkatkan keamanan pangan dan mata pencaharian di 9 negara Sub-Sahara Afrika selama 3 tahun untuk mengurangi stunting belum berhasil. Penelitian Kusharisupeni 2006 di 2 kecamatan di Kabupaten Indramayu menyimpulkan bahwa semua kelompok status kelahiran berkontribusi terhadap terjadinya stunting pada umur 12 bulan. Rahayu 2012 menyimpulkan bahwa kejadian stunting pada usia 6-12 bulan di Kota dan Kabupaten Tangerang memiliki hubungan yang signifikan dengan tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, BBLR, panjang badan lahir, prematur, pendidikan ayah dan pendidikan ibu. Wahdah 2012 menyimpulkan bahwa faktor risiko stunting anak 6-36 bulan di Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat adalah pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, tinggi badan ayah, tinggi ibu dan pemberian ASI eksklusif. Ulfani et al. 2011 menganalisis data Riskesdas 2007 dan menyimpulkan bahwa faktor ekologi yang berpengaruh terhadap stunting anak balita adalah PDRBkapita, tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku higiene, dan pemanfaatan posyandu. Upaya mengatasi masalah stunting di Indonesia memerlukan informasi tentang faktor-faktor risiko stunting dari kajian epidemiologi di Indonesia. Sehubungan hal tersebut, tujuan penelitian ini menganalisis faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan di Indonesia. Metode Penelitian ini menggunakan data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Desain Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan merupakan penelitian non-intervensi. Populasi sampel mewakili seluruh rumah tangga di Indonesia. Pemilihan sampel dilakukan secara acak dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pemilihan Blok Sensus BS dan tahap kedua pemilihan rumah tangga, yaitu sejumlah 25 rumah tangga setiap BS. Besar sampel yang direncanakan sebanyak 2 800 BS. Sampel BS tersebut tersebar di 33 provinsi dan 441 kabupatenkota. Data yang dikumpulkan meliputi keterangan rumah tangga dan keterangan anggota rumah tangga. Keterangan rumah tangga meliputi identitas, fasilitas pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran. Keterangan individu antara lain meliputi identitas individu, kesehatan anak, dan konsumsi makanan dalam 24 jam terakhir. Pengukuran tinggi badanpanjang badan dan berat badan dilakukan pada setiap responden. Pengumpulan data dan entri data dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih dengan kualifikasi minimal tamat D3 kesehatan. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data dilakukan oleh Penanggung Jawab Teknis kabupatenkota, kemudian data dikirim secara elektronik kepada tim manajemen data di Balitbangkes. Pengumpulan data di beberapa daerah telah mulai dilakukan sejak bulan Mei 2010 berakhir pada pertengahan Agustus 2010 untuk dilakukan pengolahan dan analisis. Data berhasil dikumpulkan dari sejumlah 2 798 BS sampel 99.9 dari 2 800 BS sampel yang direncanakan. Pengolahan dan analisis data penelitian oleh peneliti dilakukan pada bulan Maret–September 2012. Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files tersebut, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out karena: 1 data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap 644 orang, 2 nilai z-skor BBU, PBU dan IMTU termasuk pencilan berdasarkan Blössner et al. 2009 yaitu -6BBU5; -6PBU6; -5BMIU5 447 orang, 3 pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa yaitu perhelatanhari besarsakit 46 orang, dan 4 nilai asupan energi termasuk pencilan berdasarkan Amilia 2011 yaitu asupan energi 0.3 BMR atau 3.0 BMR 2 402 orang. Peubah tergantung yaitu z-skor PBU, dan peubah bebas meliputi umur anak, jenis kelamin anak, berat lahir anak, z-skor BBU anak, densitas asupan protein anak, status pemberian ASI anak, status pemberian kapsul vitamin A anak, status imunisasi Hepatitis B-0 anak, tinggi badan ibu, status ekonomi keluarga dan kualitas air minum keluarga. Peubah independen disaring dari 39 peubah Tabel 6, 7, 10, 11, 12 menggunakan Korelasi Spearman dengan cut off koefisien korelasi ≥0.3 Fahmida et al. 2008. Hasil Korelasi Spearman dapat dilihat pada Lampiran 3. Peubah-peubah tersebut adalah peubah-peubah yang terkait dengan pertumbuhan linier anak 0-23 bulan pada data Riskesdas 2007 dan 2010; namun data Riskesdas 2007 tidak diolah lebih lanjut karena setelah data di-cleaning tidak ada sampel yang mewakili untuk kelompok umur 12-23 bulan, dan data food recall tidak meliputi konsumsi ASI. Penghitungan nilai z-skor PBU anak memperhatikan posisi pengukuran, apabila diukur dalam posisi anak berdiri, maka PB=TB+0.7 cm Blössner et al. 2009. Anak disebut stunting apabila z-skor PBU-2 SD dan tidak stunting apabila z-skor PBU ≥-2 SD Jahari 2009. Anak berat lahir bayi rendah BBLR apabila BBL2 500 g dan tidak BBLR apabila BBL ≥2 500 g. Anak underweight apabila z-skor BBU-2 SD dan tidak underweight apabila z-skor BBU ≥ -2 SD Jahari 2009. TB ibu pendek apabila TB ibu 145 cm dan tidak pendek apabila TB ibu ≥145 cm. Status ekonomi keluarga bawah apabila termasuk kuintil 1 dan 2, dan menengah atas apabila termasuk kuintil 3, 4 dan 5. Status pemberian ASI pada anak anak pernah diberi ASI, status pemberian kapsul vitamin A pada anak, status immunisasi Hepatitis B-0, dan kualitas air minum keluarga memenuhi syarat masing-masing dikategorikan menjadi dua, yaitu tidak dan ya. Data konsumsi makanan dan minuman pangan individu dikumpulkan dengan metode kuantitatif recall 24-hour. Zat gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi dihitung sebagai berikut Hardinsyah Briawan 1994: Kebutuhan energi anak usia 0-23 bulan dihitung berdasarkan rumus perhitungan kebutuhan energi oleh Mahan and Escott-Stump 2008. Kebutuhan energi anak dihitung menurut kelompok umur Tabel 1. Tabel 1 Perhitungan estimasi kebutuhan energi EER menurut umur Umur bulan Formula EER 0-3 89 x BB – 100 + 175 kkal 4-6 89 x BB – 100 + 56 kkal 7-12 89 x BB – 100 + 22 kkal 13-23 89 x BB – 100 + 20 kkal Kebutuhan energi anak dihitung sesuai dengan usia dan berat badan aktual berdasarkan Total Energy Expenditure TEE yang dikoreksi dengan Thermic Effect of Food TEF. TEF adalah peningkatan pengeluaran energi yang berhubungan dengan asupan pangan. Besarnya nilai TEF dihitung dari total pengeluaran energi yaitu sebesar 10 dari TEE. Perhitungan kebutuhan energi pada anak juga termasuk kebutuhan Energy Deposition yang merupakan kalori tambahan untuk mendukung deposit jaringan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi dan anak. Energi metabolisme basal EMB anak usia 0-23 bulan dihitung berdasarkan formula berikut Almatsier 2005: Keterangan: BB = berat badan kg, PB = panjang badan cm, U = umur tahun Keterangan: Kgij = Energi dan zat gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi Bj = Berat pangan yang dikonsumsi Gij = Energi dan zat gizi per 100 g bagian pangan yang dapat dimakan BDD = Bagian pangan yang dapat dimakan BDD Keterangan: EER = estimasi kebutuhan energi TEE = total pengeluaran energi EER = TEE + Energy deposition TEE = 89 x BB – 100 Energy deposition BB = Berat badan kg EMB Perempuan = 655 + 9.6 x BB + 1.7 x PB – 4.7 x U EMB Laki-laki = 66 + 13.7 x BB + 5 x PB – 6.8 x U K gij = B j 100 X G ij X BDD100 Kebutuhan energi kkal = EER + 10 TEE Sebelum menghitung EMB, status gizi anak perlu diketahui melalui IMTU Blössner et al. 2009. Klasifikasi status berdasarkan z-skor IMTU dapat dilihat di Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi status gizi berdasarkan z-skor IMTU Z-skor IMTU Status Gizi IMTU-3SD Sangat kurus -3SD ≥IMTU-2SD Kurus -2SD ≥IMTU≤2SD Normal 2SDIMTU ≤ 3SD Gemuk IMTU3SD Obese Sumber: Jahari 2009 BB normal anak yang status gizinya tidak normal digunakan median BB menurut umur dan jenis kelamin Standar Antropometri WHO-2005. Perhitungan data kebutuhan protein didasarkan pada formula Angka Kecukupan Protein AKP dalam WNPG 2004 sesuai dengan kelompok usia. Perhitungan kebutuhan protein disesuaikan dengan berat badan aktual sampel 1 Keterangan: AKP = Angka kecukupan protein gkgBBhari, Faktor koreksi mutu protein = 1.2 Tabel 3 Perhitungan kecukupan protein berdasarkan kelompok umur , serta dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein sebesar 1.2. Faktor koreksi mutu tersebut didasarkan pada rendahnya mutu protein makanan penduduk Indonesia. Kecukupan protein dihitung berdasarkan kelompok umur Tabel 3. Umur bulan Formula kecukupan protein 0-6 10 g AKP dikoreksi mutu 7-11 1.5 gkg BBhr x 1.2 12-23 1.2 gkg BBhr x 1.2 Sumber: WNPG 2004 Perhitungan kebutuhan Ca, P, Fe, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C berdasarkan Angka Kecukupan Gizi AKG sesuai umur WNPG 2004. Berdasarkan data asupan zat gizi anak, diperoleh data tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan energi, protein, serta vitamin dan mineral masing- masing dikategorikan kurang apabila berturut-turut kurang dari 70, 80, dan 50 dan cukup apabila sama dengan atau lebih dari 70, 80, dan 50 Tabel 4. 1 Penggunaan berat badan dalam menaksir angka kecukupan protein yaitu berat badan yang dianggap sehat. Oleh karena itu perlu dicek sebelumnya apakah berat badan seseorang yang akan ditentukan kecukupan protein atau dinilai konsumsi pangannya berada dalam selang berat badan orang yang sehat Hardinsyah Martianto 1989. AKP = kebutuhan protein x faktor koreksi mutu protein Tabel 4 Kategori tingkat kecukupan zat gizi Gizi Kurang Cukup Energi 70 ≥ 70 Protein 80 ≥ 80 Mineral vitamin 50 ≥ 50 Sumber: Kemenkes 2010 Mutu gizi konsumsi pangan dihitung berdasarkan formula Hardinsyah 2001. Mutu gizi konsumsi pangan dikategorikan kurang apabila mutu gizi konsumsi pangan 70 dan cukup apabila mutu gizi konsumsi pangan ≥ 70. Densitas asupan zat gizi DG dihitung berdasarkan Drewnowski 2005. DG dikategorikan kurang apabila DG standar FAO dan cukup apabila DG ≥ standar FAO kecuali protein Tabel 5. Tabel 5 Standar densitas asupan zat gizi Zat Gizi FAO Protein , g - rendah 20 - cukup 20-40 - tinggi 40 Kalsium, mg 500-800 Zat besi, mg 7-40 Vitamin A, µg RE 700-1 000 Vitamin B1, mg 1.0-1.6 Vitamin C, mg 50-60 Sumber: Drewnowski 2005; Keterangan: Keterangan : Diadaptasi berdasarkan WHO 1998 dan Drewnowski 2005 TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi ke-i truncated at 100 n = Jumlah zat gizi yang dipertimbangan dalam penilaian MGP energi, protein, Ca, P, Fe, vit A, vit B1, vit C ∑TKGi Mutu gizi konsumsi pangan = ------------ n Asupan zat gizi DG = ---------------------------- x 1 000 kkal Asupan energi kkal Asupan zat gizi Tingkat kecukupan zat gizi = ------------------------------------------------------- x 100 Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan Status gizi diolah menggunakan WHO AnthroPlus 2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis faktor-faktor risiko menerapkan Regresi Logistik. Hasil dan Pembahasan Sebanyak 37.4 anak 0-23 bulan mengalami stunting. Prevalensi stunting anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 24.5, 32.8, dan 40.2. Adapun prevalensi stunting anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan yang dilaporkan Kemenkes 2010 berturut-turut sebanyak 28.1, 32.1, dan 41.5. Terlihat prevalensi stunting pada anak 0-5 bulan pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan yang dilaporkan Kemenkes 2010. Hal tersebut diduga antara lain disebabkan oleh jumlah sampel pada penelitian ini relatif lebih kecil dibanding yang digunakan pada laporan Kemenkes 2010 yakni sebanyak 36.4 dalam penelitian ini sampel anak 0-23 bulan sebanyak 3 095 anak, namun pada penelitian Kemenkes -2010- sebanyak 8 495 anak. Tabel 6 Sebaran anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting dan karakteristik anak Peubah Stunting Tidak Stunting Total Jenis kelamin Perempuan 532 35.9 951 64.1 1483 100.0 Laki-laki 624 38.7 988 61.3 1612 100.0 Total 1156 37.4 1939 62.6 3095 100.0 Umur 0 – 5 bulan 56 24.5 173 75.5 229 100.0 6 – 11 bulan 228 32.8 467 67.2 695 100.0 12 – 23 bulan 872 40.2 1299 59.8 2171 100.0 Berat lahir 2 500 g 73 53.3 64 46.7 137 100.0 ≥ 2 500 g 1083 36.6 1875 63.4 2958 100.0 Z-skor BBU -2 SD 306 62.3 185 37.7 491 100.0 ≥ -2 SD 850 32.6 1754 67.4 2604 100.0 Keterangan: n Analisis Regresi Logistik menunjukkan faktor umur anak, berat lahir anak, berat anak z-skor BBU, densitas asupan protein anak, tinggi ibu, dan status ekonomi keluarga berhubungan erat dengan status stunting anak 0-23 bulan z- skor PBU. Model ini secara keseluruhan memprediksi dengan benar 66.6 pertumbuhan linier anak 0-23 bulan Tabel 7. 79 Tabel 7 Faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan Peubah 0-5 bulan n=229 6-11 bulan n=695 12-23 bulan n=2 171 0-23 bulan n=3 095 OR CI 95 P OR CI 95 p OR CI 95 p OR CI 95 p Jenis kelamin anak: laki-laki = 0 perempuan 0.540.27-1.07 0.079 1.080.77-1.50 0.668 0.900.75-1.07 0.226 0.910.78-1.05 0.202 Umur anak: 0-5 bulan 0 0.000 6-11 bulan 1.591.11-2.30 0.012 12-23 bulan 2.181.53-3.11 0.000 Berat lahir anak: ≥ 2 500 g = 0 2 500 g 1.440.30-6.86 0.647 2.551.27-5.09 0.008 1.631.05-2.55 0.030 1.811.26-2.60 0.001 Z-skor BBU: ≥ -2 SD = 0 -2 SD 1.360.48-3.88 0.561 3.342.08-5.36 0.000 3.152.49-3.99 0.000 3.072.50-3.76 0.000 Tinggi badan ibu: ≥ 145 cm = 0 145 cm 1.080.38-3.06 0.887 1.410.85-2.35 0.187 1.681.25-2.26 0.001 1.571.23-2.01 0.000 Status ekonomi rumah tangga: atas kuintil 3, 4 5 bawah kuintil 1 2 1.180.62-2.22 0.618 1.110.79-1.55 0.561 1.321.10-1.58 0.003 1.261.08-1.47 0.003 Densitas asupan protein anak: 40 g per 1 000 kkal 0.606 0.026 0.283 0.056 20-40 g per 1000 kkal 1.660.30-9.22 0.565 1.831.10-3.03 0.019 1.050.83-1.32 0.687 1.170.95-1.44 0.146 20 g per 1000 kkal 0.960.23-3.97 0.950 1.961.19-3.24 0.008 1.220.93-1.60 0.149 1.321.05-1.67 0.017 Status pemberian ASI: ya = 0 tidak 0.800.08-7.63 0.849 1.140.55-2.36 0.731 1.010.83-1.23 0.931 1.020.78-1.31 0.909 Status pemberian kapsul vitamin A: ya = 0 tidak 1.680.54-5.24 0.372 1.080.77-1.51 0.656 1.080.77-1.51 0.656 1.040.88-1.23 0.649 Status immunisasi Hepatitis B-0: ya = 0 tidak 0.600.19-1.90 0.383 0.700.44-1.44 0.127 0.930.69-1.23 0.598 0.840.66-1.06 0.150 Kualitas air minum keluarga memenuhi syarat: ya = 0 tidak 6E+009 0.0 1.000 1.090.31-3.82 0.889 0.830.29-2.37 0.724 1.060.48-2.33 0.881 Keterangan: Hasil Regresi Logistik ρ0.01; 0-5 bulan : 100.0 corectly predict non stunting 1.8 corectly predict stunting 76.0 corectly predict overall ρ0.05; 0=kategori referensi 6-11 bulan : 92.7 corectly predict non stunting 24.1 corectly predict stunting 70.2 corectly predict overall 12-23 bulan: 87.6 corectly predict non stunting 32.2 corectly predict stunting 63.3 corectly predict overall 0-23 bulan: 90.0 corectly predict non stunting 27.3 corectly predict stunting 66.6 corectly predict overall Umur, Berat Lahir, dan Z-skor BBU Anak Risiko stunting anak 6-11 bulan 1.59 kali anak 0-5 bulan ρ0.05; CI 95: 1.11-2.30, dan peluang stunting anak 12-23 bulan 2.18 kali anak 0-5 bulan ρ0.01; CI 95: 1.53-3.11. Rata-rata z-skor PBU menurun seiring dengan bertambahnya umur anak 0-23 bulan. Rata-rata z-skor PBU anak 0-5 bulan, 6-11 bulan, dan 12-23 bulan berturut-turut adalah -0.56±2.33, -0.93±2.53 dan -1.24±2.46. Temuan ini memperkuat laporan Alive and Thrive 2010, yaitu rata- rata z-skor PBU menurun dan berada di bawah saat lahir di bawah 0, skor standar atau rata-rata populasi dan menurun secara nyata selama 23 bulan pertama setelah lahir. Begitu pula kesimpulan Waterlow and Schürch 1994 yaitu meskipun anak-anak umumnya tidak mencapai tahap yang diklasifikasikan sebagai stunting PBU -2 SD sampai usia 2 atau 3 tahun, namun proses perlambatan pertumbuhan linier sebenarnya dimulai jauh lebih awal yaitu usia 2 atau 3 bulan. Hal ini berbeda dengan yang disimpulkan Schmidt et al. 2002 yakni pertumbuhan mulai tersendat-sendat pada usia 6-7 bulan. Lebih jauh WHO 2001 melaporkan bahwa semakin awal anak-anak menjadi stunting, semakin parah hambatan pertumbuhan mereka Risiko . stunting Risiko stunting anak yang underweight adalah 3.07 kali dibanding anak tidak underweight ρ0.01; CI 95: 2.50-3.76. Sebanyak 62.3 anak 0-23 bulan yang underweight mengalami stunting Tabel 6. Adapun nilai z-skor BBU anak underweight adalah -2.8±0.7, sedangkan nilai z-skor BBU anak tidak anak yang dilahirkan BBLR adalah 1.81 kali lebih tinggi dibanding anak lahir dengan berat badan tidak BBLR ρ0.01; CI 95: 1.26- 2.60. Sebanyak 53.3 anak 0-23 bulan yang lahir dengan berat badan lahir rendah BBLR mengalami stunting Tabel 6. Berat lahir anak BBLR adalah 2 118.9±297.1 g. Berat lahir anak tersebut lebih ringan dibanding berat lahir anak dengan BB lahir tidak BBLR yaitu 3 218.2±439.5 g. Kusharisupeni 2006 menyimpulkan bahwa semua kelompok status kelahiran -normal, prematur, intra uterine growth retardation - low Ponderal index IUGR LPI, dan intra uterine growth retardation -adequate Ponderal index IUGR API- berkontribusi terhadap terjadinya stunting pada umur 12 bulan; kontribusi terbesar dari kelompok IUGR API dan terkecil kelompok normal. underweight yaitu -0.2±1.3. Beker 2006 menjelaskan bahwa pertumbuhan merefleksikan perubahan pada massa jaringan tubuh otot, lemak, dan tulang. Kosnayani 2007 menyimpulkan bahwa ada hubungan massa tubuh dengan kepadatan tulang. Groff and Gropper 2000 menyimpulkan bahwa semakin kurus seseorang maka semakin beresiko mengalami keropos tulang. Densitas Asupan Protein Anak Risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas asupan proteinnya kurang dari 20 g per 1 000 kkal 1.32 kali dibanding anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal ρ0.05; CI 95: 1.05-1.67. Sebanyak 38.3 anak 6-23 bulan yang mengkonsumsi pangan dengan densitas asupan protein rendah 20 g per 1 000 kkal mengalami stunting Tabel 8. Adapun rata-rata densitas asupan protein anak 0-23 bulan yang stunting dan yang tidak stunting berturut-turut yaitu 29.6 g dan 30.2 per 1 000 kkal Tabel 9. Standar densitas asupan protein 20-40 g berdasarkan modifikasi perbandingan densitas zat gizi penting bagi kesehatan masyarakat menurut FAO Drewnowski 2005 dan angka kecukupan zat gizi AKG Indonesia WNPG 2004. Standar densitas asupan protein menurut FAO yaitu 40-50 g, adapun angka kecukupan gizi anak untuk kelompok umur 0-6, 7-12, dan 13-23 bulan berturut-turut sebanyak 10, 16, dan 25 g. Standar dasar densitas asupan protein dalam penelitian ini adalah per 1 000 kkal, namun menurut standar FAO tersebut di atas adalah per 2 000 kkal. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Drewnowski 2005 bahwa perbandingan resmi antara komposisi gizi makanan dan nilai referensi harian bermakna hanya jika dibuat pada standar dasar per kalori –biasanya per 1 000 atau 2 000 kkal; dan mengingat angka kecukupan gizi berdasarkan WNPG 2004 untuk kelompok umur 0-6, 7-12, dan 13-23 bulan berturut-turut sebanyak 550, 650, dan 1 000 kkal. Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan tingkat kecukupan zat gizi, mutu gizi konsumsi pangan, dan densitas asupan zat gizi anak Keterangan: Tk = tingkat kecukupan; n Peubah Stunting Tidak Stunting Total Tk. energi 70 521 37.5 867 62.5 1388 100.0 ≥ 70 635 37.2 1072 62.8 1707 100.0 Tk. protein 80 382 38.4 614 61.6 996 100.0 ≥ 80 774 36.9 1325 63.1 2099 100.0 Tk. kalsium 50 621 39.6 949 60.4 1570 100.0 ≥ 50 535 35.1 990 64.9 1525 100.0 Tk. fosfor 50 454 41.7 634 58.3 1088 100.0 ≥ 50 702 35.0 1305 65.0 2007 100.0 Tk. zat besi 50 840 37.6 1396 62.4 2236 100.0 ≥ 50 316 36.8 543 63.2 859 100.0 Tk. vitamin A 50 421 38.8 663 61.2 1084 100.0 ≥ 50 735 36.5 1276 63.5 2011 100.0 Tk. vitamin B1 50 254 41.6 357 58.4 611 100.0 ≥ 50 902 36.3 1582 63.7 2484 100.0 Tk. vitamin C 50 940 37.9 1541 62.1 2481 100.0 ≥ 50 216 35.2 398 64.8 614 100.0 Mutu gizi konsumsi pangan 70 718 38.6 1141 61.9 1859 100.0 ≥ 70 438 35.4 798 64.6 1236 100.0 Densitas asupan protein 20 g per 1 000 kkal 402 38.3 647 61.7 1049 100.0 20 – 40 g per 1 000 kkal 548 38.0 896 62.0 1444 100.0 40 g per 1 000 kkal 206 34.2 396 65.8 602 100.0 Densitas asupan kalsium 500 mg per 1 000 kkal 774 39.5 1186 60.5 1960 100.0 ≥ 500 mg per 1 000 kkal 382 33.7 753 66.3 1135 100.0 Densitas asupan zat besi 7 mg per 1 000 kkal 996 36.9 1704 63.1 2700 100.0 ≥ 7 mg per 1 000 kkal 160 40.5 235 59.5 395 100.0 Densitas asupan vitamin A 700 µg RE per 1 000 kkal 773 39.2 1199 60.8 1972 100.0 ≥ 700 µg RE per 1 000 kkal 383 34.1 740 65.9 1123 100.0 Densitas asupan vitamin B1 1.0 mg per 1 000 kkal 539 38.0 881 62.0 1420 100.0 ≥ 1.0 mg per 1 000 kkal 617 36.8 1058 63.2 1675 100.0 Densitas asupan vitamin C 50 mg per 1 000 kkal 1103 37.5 1837 62.5 2940 100.0 ≥ 50 mg per 1 000 kkal 53 34.2 102 65.8 155 100.0 Tabel 9 Rata-rata asupan, tingkat kecukupan, dan densitas asupan gizi anak 0-23 bulan Gizi Stunting Tidak Stunting Total Asupan Energi, kkal 662.0±327.3 670.3±337.3 667.2±333.6 Protein, g 18.9±12.7 19.7±13.1 19.4±12.9 Kalsium, mg 273.3±271.4 296.7±286.3 287.9±281.0 Fosfor, mg 285.3±237.2 298.2±242.0 293.4±240.3 Zat besi, mg 2.8±2.4 2.7±2.4 2.7±2.4 Vitamin A, µg RE 317.6±259.4 339.2±266.6 331.1±264.1 Vitamin B1, mg 0.8±0.7 0.8±0.7 0.8±0.7 Vitamin C, mg 10.3±10.4 11.0±10.7 10.8±10.6 Tingkat kecukupan AKG Energi 79.6±37.6 81.3±37.4 80.7±37.5 Protein 132.6±86.1 136.7±86.7 135.1±86.5 Kalsium 61.2±58.3 69.3±62.5 66.3±61.1 Fosfor 85.0±66.2 94.2±68.1 90.7±67.5 Zat besi 37.1±30.6 36.8±30.4 36.9±30.5 Vitamin A 79.8±65.1 85.5±67.0 83.3±66.3 Vitamin B1 184.3±157.1 197.6±162.6 192.7±160.7 Vitamin C 25.8±26.0 27.6±26.9 27.0±26.6 Mutu gizi konsumsi pangan 58.9±20.9 61.3±20.0 60.4±20.4 Densitas asupan g per 1 000 kkal Protein, g per 1 000 kkal 29.6±19.3 30.2±19.3 30.0±19.3 Kalsium, mg per 1 000 kkal 435.4±419.1 471.9±433.9 458.3±428.7 Zat besi, mg per 1 000 kkal 4.1±3.2 3.9±3.1 4.0±3.1 Vitamin A, µg RE per 1 000 kkal 522.3±431.0 556.0±421.3 543.4±425.2 Vitamin B1, mg per 1 000 kkal 1.5±1.3 1.5±1.3 1.5±1.3 Vitamin C, mg per 1 000 kkal 18.0±20.7 18.8±19.0 18.5±19.7 Keterangan: AKG = Angka kecukupan gizi WHO 1998 menerangkan bahwa nilai acuan densitas protein yang relevan untuk mengembangkan dan mengevaluasi pedoman diet adalah 20-25 gram per 1 000 kkal dengan asumsi 8-10 dari total energi dengan kualitas protein tinggi, dan 25-30 g dengan asumsi 10-12 dari total energi dengan asupan protein hewani rendah. Dalam keadaaan campuran diet tidak mengandung legum danatau protein hewani yang cukup, koreksi untuk skor asam amino perlu dilakukan. Koreksi untuk skor asam amino ditekankan dimasa lalu karena sumber protein nabati tunggal dapat membatasi satu atau lebih asam amino lysin untuk sebagian besar serealbiji-bijian, metionin untuk sebagian besar legumkacang- kacangan. Apabila sanitasi lingkungan tidak memadai dan diare sering terjadi, direkomendasikan meningkatan asupan protein 10. Anak-anak yang pulih dari infeksi akut atau malnutrisi, asupan protein harus ditingkatkan untuk memenuhi permintaan yang disebabkan sintesis jaringan yang cepat. Tergantung pada tingkat defisit, kebutuhan protein mungkin 2-3 jumlah normal. Bahkan untuk anak-anak, protein yang dibutuhkan selama masa pemulihan meningkat 20-40. Densitas asupan protein anak 0-23 bulan di Indonesia hampir sama dengan anak-anak di Amerika, Peru, dan Meksiko Tabel 10. Namun, Indonesia belum mempunyai patokan densitas asupan protein. Dalam penelitian ini digunakan gabungan Standar WHO 1998 yaitu 20 – 25 g per 1 000 kkal, Drewnowski 2005 yaitu 0 - 50 g per 1 000 kkal, dan AKG Indonesia WNPG 2004 dengan kategori cukup apabila densitas asupan protein sebanyak 20 - 40 g per 1 000 kkal. Tabel 10 Densitas asupan protein dari diet anak baduta di Amerika, Peru, Meksiko dan Indonesia Negara Kelompok Umur bulan Rata-rata yang diinginkan Rata- rata Median Minimal Maksimal Amerika 6-8 § 0.7 2.6 2.3 0.9 6.4 Peru 6-8 § 0.7 3.2 2.7 0.0 14.6 Amerika 9-11 § 0.7 3.3 3.1 0.4 6.8 Peru 9-11 § 0.7 3.0 2.7 0.0 7.7 Meksiko 18-24 § 0.7 3.0 2.9 2.3 4.0 Indonesia 0-23 0.4 3.0 2.6 0.1 9.6 Keterangan: umur bulan; densitas asupan protein g per 100 kkal; nilai minimal Drewnowski 2005; § WHO 1998 Persen protein hewani terhadap total protein anak 0-23 bulan berkorelasi kuat dengan densitas asupan protein r = 0.685; p 0.01 Tabel 11. Hal ini memperkuat laporan WHO 1998 yaitu asupan protein, terutama protein hewani telah dikaitkan dengan prevalensi stunting yang lebih rendah di negara-negara maju. Tabel 11 Asupan, protein, dan energi pangan hewani anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Persen gram pangan hewani terhadap total pangan anak 37.4 ± 32.1 39.3 ± 32.8 38.6 ± 32.6 Persen protein hewani terhadap total protein anak 58.2 ± 34.1 61.5 ± 33.3 60.3 ± 33.6 Persen energi dari pangan hewani terhadap total energi anak 42.6 ± 33.0 45.9 ± 32.2 44.6 ± 32.7 Jenis pangan hewani yang dikonsumsi anak usia 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut ada sebanyak 3, 36, dan 57 jenis Lampiran 4, 5, 6. Hampir seluruh anak 0-5 bulan hanya mengkonsumsi ASI danatau tepung susu; sedangkan anak 6-23 bulan, selain dua jenis tersebut mereka paling banyak mengkonsumsi telur ayam dadar dan ceplok, ikan asin gabus goreng, susu kental manis dan bakso. Status pemberian ASI pernah diberi ASIdisusui tidak termasuk faktor risiko stunting anak 0-23 bulan. Prevalensi anak stunting yang tidak pernah diberi ASI tidak berbeda dengan anak yang pernah diberi ASI, masing-masing sebanyak 37.1 dan 37.4 Tabel 12. Namun demikian, terlihat kecenderungan jumlah ASI dan tepung susu yang dikonsumsi anak 0-23 bulan meningkat seiring dengan bertambahnya umur, namun frekuensi konsumsinya berkurang Lampiran 2, 3 4. Rata-rata jumlah ASI yang dikonsumsi anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 144.3, 142.4, dan 150.4 g per hari, sedangkan rata-rata frekeuensi minum ASI anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 4.1, 3.5, dan 3.1 kali per hari. Adapun rata-rata jumlah tepung susu yang dikonsumsi anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 17.5, 19.3, dan 23.5 g per hari, sedangkan rata-rata frekeuensi mengonsumsi tepung susu oleh anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 1.6, 2.6, dan 2.5 kali per hari. Tabel 12 Sebaran anak berdasarkan status stunting, kesehatan anak, dan sanitasi lingkungan anak 0-23 Peubah Stunting Tidak Stunting Total Pemberian ASI Tidak 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Ya 1044 37.4 1749 62.6 2793 100.0 Mendapatkan Vitamin A Tidak 433 36.9 739 58.6 1172 100.0 Ya 723 37.6 1200 62.4 1923 100.0 Kepemilikan KMS Tidak 43 35.2 79 64.8 122 100.0 Ya 1113 37.4 1860 62.6 2973 100.0 Imunisasi Hepatitis B-0 Tidak 132 34.3 253 65.7 385 100.0 Ya 1024 37.8 1686 62.2 2710 100.0 Kualitas air minum Tidak memenuhi syarat 12 41.4 17 58.6 29 100.0 Memenuhi syarat 1144 37.3 1922 62.7 3066 100.0 Tempat air limbah Terbuka 931 37.0 1583 63.0 2514 100.0 Tertutup 225 38.7 356 61.3 581 100.0 Keterangan: n Anak 6-11 bulan banyak yang mengkonsumsi ikan asin gabus goreng, sedangkan anak 12-23 bulan banyak yang mengkonsumsi ikan asin kering, ikan segar, ikan bandeng, teri goreng, dan lele goreng n20 anak. Berdasarkan data tersebut maka ikan merupakan salah satu jenis pangan yang berpotensi dikembangkan menjadi campuran MP ASI anak 6-23 bulan sebagai salah satu upaya mengatasi danatau mencegah stunting di Indonesia. Di sisi lain, Nurlinda 2010 menyimpulkan bahwa anak 7-11 bulan yang berasal dari rumah tangga miskin yang berdomisili di Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Bogor mengkonsumsi 12 jenis pangan; yang berasal dari pangan hewani hanya susu dan tidak ditemukan adanya sumber pangan yang berasal dari ikan dan telur. Santika et al. 2008 menyimpulkan bahwa alasan ibu tidak memberikan ikan pada bayi karena dapat menyebabkan cacingan. Makanan Pendamping ASI yang terdiri dari campuran susu dan sereal Guldan et al. 2000 dan campuran tepung ikan, sereal, dan legum Lartey et al. 1999 dapat meningkatkan pertumbuhan linier anak. Protein susu dapat menghasilkan peptida aktif secara biologi WHO 1998. Peptida aktif secara biologi mempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi usus. Tinggi Ibu Peluang stunting anak yang lahir dari ibu yang pendek sebesar 1.57 kali dibanding anak dengan ibu yang tidak pendek ρ0.01; CI 95: 1.23-2.01. Sebanyak 50.0 anak 0-23 bulan yang lahir dari ibu yang pendek 145 cm mengalami stunting Tabel 13. Rata-rata tinggi ibu yang pendek yaitu 141.7±3.9 cm, sedangkan tinggi ibu yang tidak pendek yaitu 152.7±6.5 cm. Ibu yang tinggi badannnya kurang dari 145 cm berisiko mengalami kesulitan ketika melahirkan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rahayu 2012 yang menyimpulkan bahwa kejadian stunting pada usia 6-12 bulan memiliki hubungan yang signifikan dengan tinggi ibu p0.05. Wahdah 2012 juga menyimpulkan bahwa faktor risiko determinan terhadap kejadian stunting anak 6-36 bulan adalah tinggi ibu. Anderson 2004 menjelaskan bahwa faktor genetik menentukan sekitar 60 perkembangan massa tulang, selebihnya 40 ditentukan faktor lingkungan. Tabel 13 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan karakteristik orang tua anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Umur ibu 25 tahun 270 40.8 391 59.2 661 100.0 25-35 tahun 650 36.3 1143 63.7 1793 100.0 35 tahun 219 37.9 359 62.1 578 100.0 Tidak ada data 17 27.0 46 73.0 63 100.0 Umur ayah 25 tahun 61 40.9 88 59.1 149 100.0 25-35 tahun 569 37.1 964 62.9 1533 100.0 35 tahun 430 37.5 716 62.5 1146 100.0 Tidak ada data 96 36.0 171 64.0 267 100.0 Pendidikan ibu SD 506 40.2 754 59.8 1260 100.0 SLTP 268 37.5 446 62.5 714 100.0 SLTA 277 34.7 521 65.3 798 100.0 PT 87 33.7 171 66.3 258 100.0 Tidak ada data 18 27.7 47 72.3 65 100.0 Pendidikan ayah SD 479 41.9 663 58.1 1142 100.0 SLTP 208 36.9 356 63.1 564 100.0 SLTA 295 34.1 571 65.9 866 100.0 PT 78 30.5 178 69.5 256 100.0 Tidak ada data 96 36.0 171 64.0 267 100.0 Pekerjaan ibu Tidak bekerjasekolah 696 37.6 1154 62.4 1850 100.0 Buruhpetaninelayan 240 37.6 398 62.4 638 100.0 TNIPNSwiraswasta 202 37.3 340 62.7 542 100.0 Tidak ada data 18 27.7 47 72.3 65 100.0 Pekerjaan ayah Tidak bekerjasekolah 37 45.7 44 54.3 81 100.0 Buruhpetaninelayan 527 39.1 821 60.9 1348 100.0 TNIPNSwiraswasta 496 35.5 903 64.5 1399 100.0 Tidak ada data 96 36.0 171 64.0 267 100.0 Tinggi ibu 145 cm 156 50.0 156 50.0 312 100.0 ≥ 145 cm 1000 35.9 1783 64.1 2783 100.0 Tinggi ayah 150 cm 25 48.1 27 51.9 52 100.0 ≥ 150 cm 1131 37.2 1912 62.8 3043 100.0 IMT ibu 18.5 133 42.9 177 57.1 310 100.0 18.5 sd 25 738 37.5 1228 62.5 1966 100.0 25 270 35.6 489 64.4 759 100.0 Tidak ada data 15 25.0 45 75.0 60 100.0 IMT ayah 18.5 108 39.0 169 61.0 277 100.0 18.5 sd 25 781 38.2 1264 61.8 2045 100.0 25 167 33.6 330 66.4 497 100.0 Tidak ada data 100 36.2 176 63.8 276 100.0 Keterangan: n Status Sosial dan Ekonomi Keluarga Risiko stunting anak 0-23 bulan dengan status ekonomi keluarga bawah kuintil 1 2 sebesar 1.26 kali dibanding dengan status ekonomi menengah atas ρ0.01; CI 95: 1.08-1.47. Sebanyak 41.3 anak 0-23 bulan yang status ekonomi bawah mengalami stunting Tabel 14. Hal ini memperkuat laporan WHO 2010 yaitu tingginya kejadian stunting berhubungan dengan kondisi sosial-ekonomi yang buruk yang meningkatkan risiko terpapar kondisi buruk seperti sakit danatau praktik makan yang tidak tepat. Lebih jauh dijelaskan Waterlow 1994 bahwa infeksi berkontribusi melalui luka pada mukosa gastro- intestinal, menyebabkan malabsorpsi, terutama mikronutrien, dan peningkatan permeabilitas terhadap antigen dan bakteri. Efek sistemik infeksi, dimediasi oleh sitokin, mengakibatkan kehilangan zat gizi yang berlebihan Tabel 14 Sebaran anak berdasarkan status stunting . dan karakteristik keluarga anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Jumlah anak balita n, 1 orang 881 36.9 1505 63.1 2386 100.0 1 orang 275 38.8 434 61.2 709 100.0 Total 1156 37.4 1939 62.6 3095 100.0 Besar keluarga n, ≤ 4 orang 691 38.1 1122 61.9 1813 100.0 4 orang 465 36.3 817 63.7 1282 100.0 Kotadesa n, Kota 606 39.5 930 60.5 1536 100.0 Desa 550 35.3 1009 64.7 1559 100.0 Status ekonomi n, Bawah kuintil 1 2 622 41.3 883 58.7 1505 100.0 Menengah atas 3, 4, 5 534 33.6 1056 66.4 1590 100.0 Keterangan: n Hansen et al. 1979 menjelaskan bahwa variasi diet bisa menjadi fungsi dari status ekonomi. Keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas lebih banyak mengkonsumsi daging, unggas, ikan, susu, dan produk-produk susu, serta buah dan sayur, adapun keluarga dengan status ekonomi bawah lebih banyak mengkonsumsi roti dan sereal. Drewnowski 2003 menyimpulkan bahwa perbaikan paket pangan oleh WIC Women, Infants, and Children tahun 1970-an dan 1980-an untuk menolong kelompok berpendapatan rendah yaitu dengan memberikan pangan-pangan yang kaya zat-zat gizi kunci protein, kalsium, zat besi, serta vitamin A dan C. Drewnowski and Specter 2004 juga menyimpulkan bahwa tantangan yang sedang berlangsung adalah untuk menyediakan makanan yang memaksimalkan rasio zat-zat gizi terhadap energi dan melakukannya dengan biaya terjangkau. Simpulan Status stunting berhubungan dengan umur, berat lahir, berat, densitas protein, tinggi badan ibu, dan status ekonomi keluarga anak 0-23 bulan. Risiko stunting anak 6-11 bulan dan anak 12-23 bulan masing-masing 1.59 kali dan 2.18 kali dibanding anak 0-5 bulan. Risiko stunting anak yang dilahirkan dengan berat bayi lahir rendah BBLR adalah 1.81 kali lebih tinggi dibanding anak lahir dengan berat badan normal. Anak yang underweight berpeluang stunting 3.07 kali. Risiko stunting anak yang lahir dari ibu yang pendek 145 cm 1.57 kali dibanding anak yang lahir dari ibu yang tidak pendek. Risiko stunting anak yang status ekonomi rumah tangganya rendah kuintil 1 dan 2 1.26 kali dibanding anak yang status ekonomi rumah tangganya menengah ke atas kuintil 3, 4 dan 5. Risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas asupan proteinnya kurang dari 20 g per 1 000 kkal 1.32 kali dibanding anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal. Pencegahan stunting anak 0-23 bulan perlu dilakukan dengan meningkatkan kesehatan dan gizi ibu hamil, kualitas makanan untuk anak 0-23 bulan, dan pendapatan keluarga berpenghasilan rendah. Perlu dilakukan penelitian efikasi intervensi gizi untuk pencegahan dan meminimalkan risiko stunting baik sejak masa kehamilan maupun pada masa masa bayi dan anak. Ucapan Terimakasih Terimakasih disampaikan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI atas data yang diberikan; Yayasan Supersemar atas dukungan dana penelitian. Daftar Pustaka Alive and Thrive. 2010. Why stunting matters. Insight Issue 2 nd : September. USA: Aliveandthrive. http:www.aliveandthrive.org Almatsier S. 2005. Penun [28 Agustus 2011]. tun Diet. Gramedia Pustaka Amilia L. 2011. Analisis asupan air dan mutu gizi asupan pangan pada anak di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Utama. Jakarta. Anderson JJB. 2004. Mineral. In Mahan K and Stump SE Eds., Food, Nutrition and Diet Therapy 11 th Beker L. 2006. Principle of growth assessment. Pediatricts in Review 27:196- 198. eds. Pennsilvania: Saunders. Bhutta ZA et al. 2008. What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival. Lancet 371:417–40. Blössner M, Siyam A, Borghi E, Onyango A, Onis M. 2009. WHO AnthroPlus for Personal Computers Manual . Geneva: WHO. Drewnowski A. 2003. Fat and sugar: an economic analysis. J Nutr 133:838S- 40S. Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density score. Am J Clin Nutr 79:6-16. Drewnowski A, Specter SE. 2004. Poverty and obesity: the role of energy density and energy costs. Am J Clin Nutr 82:721-32. Fahmida U, Wibowo Y, Ariawan I. 2008. Biostatistics 2: Intermediate Biostatistics for Nutrition and Health Research . Jakarta: South East Asian Ministers of Education Organization, Tropical Medicine and Public Health Regional Center for Community Nutrition SEAMEO-TROPMED RCCN University of Indonesia. Groff JL and Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. United State: Wadsworth Thomson Learning. Guldan GS, Fan HC, Ma X, Ni ZZ and Tang MZ. 2000. Culturally appropriate nutrition education improves infant feeding and growth in rural Sichuan, China. J. Nutr 130:1204-1211. Hansen RG, Wyse BW, Sorenson AW. 1979. Nutrition quality index of food. Westport: AVI. Hardinsyah and Briawan D. 1994. Assesment and Planning of Food Consumption. Bogor: Community Nutrition and Family Resources Department. Bogor Agricultural University. Hardinsyah. 2001. Mutu gizi dan konsumsi pangan. Di dalam: Hardinsyah, Atmojo SM, editor. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta: Pergizi Pangan. Jahari AB. 2009. Growth Curve of Healthy Children from Wealthy Families: How Close to WHO Child Growth Standard 2005? Bogor: Center for Research and Development in Food and Nutrition National Institute for Health Research and Development, Ministry of Health of RI. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2010. Survey Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes. Kusharisupeni. 2006. Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah studi prospektif. J Kedokter Trisakti 233:73-80. Kosnayani AS. 2007. Hubungan asupan kalsium, aktivitas fisik, paritas, indeks massa tubuh dan kepadatan tulang pada wanita pascamenopause [tesis]. Semarang: Program Studi Gizi Masyarakat, Program Pascasarjana, Universitas Dponegoro. Lartey A, Manu A, Brown KH, Peerson JM, and Dewey KG. 1999. A randomized community based trial of the effect of improved centrally processed complementary food on growth and micronutrient status of Ghananian infants from 6 to 12 month of age. Am J Clin Nutr 70:391-404. Mahan K, Escott-Stump. 2008. Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B. Saunders Company. Nurlinda A. 2010. Optimalisasi konsumsi pangan bagi rumahtangga miskin berdasarkan kecukupan gizi, kebiasaan pangan dan pendapatan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahayu. 2012. Hubungan tinggi badan orang tua dengan perubahan status stunting dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4 tahun [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Remans R et al. 2011. Multisector intervention to accelerate reductions in child stunting: an observational study from 9 Sub-Saharan African countries. Am J Clin Nutr 10:1-11. Santika O, Fahmida U, Ferguson EL. 2008. Development of food-based complementary feeding recommendation for 9-11 month-old peri-urban Indonesian infants using linear programming. J Nutr:139:135-141. Schmidt MK et al. 2002. Nutritional status and linear growth of Indonesian infants in West Java are determined more by prenatal environment than by postnatal factors. J Nutr 132:2202-2207. Soekirman. 27 Juni 2012. Kurang gizi, anak bertubuh pendek. Suara Pembaharuan : 1 kolom 1-3. Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Surabaya: Universitas Erlangga. Ulfani DH, Martianto1 D, Baliwati YF. 2011. Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia: Pendektan ekologi gizi. Jurnal gizi dan pangan 61:59–65. Wahdah S. 2012. Faktor risiko kejadian stunting pada anak umur 6-36 bulan di wilayah pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimmantan Barat [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Waterlow JC. 1994. Summary of causes and mechanisms of linear growth retardation. European journal of clinical nutrition 48:S210. Waterlow JC and Schürch B. 1994. Causes and mechanisms of linear growth retardation. European journal of clinical nutrition 48:S1-S216. [WHO] World Health Organization. 1998. Preparation and Use of Food Based Dietary Guidelines . Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 2001. Improving Child Growth. Geneva: WHO page 23-41. [WHO] World Health Organization. 2006. Table of standard anthropometry WHO-2005 . [WHO] World Health Organization. 2010. Child Growth Indicators and Their Interpretation . Geneva: WHO. Geneva: WHO. [WNPG] Widyakarya Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi. Jakarta, 17-19 Mei 2004. BAB 7 POLA KONSUMSI PANGAN, ASUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI ANAK STUNTING DAN ANAK TIDAK STUNTING 0-23 BULAN Aslis Wirda Hayati 1 , Hardinsyah 2 , Fasli Jalal 3 , Siti Madanijah 2 , Dodik Briawan 2 1 Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Pontianak 2 Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas Jurnal Gizi dan Pangan 2013, 72 Abstrak ASLIS WIRDA HAYATI. Pola Konsumsi Pangan, Asupan Energi dan Zat Gizi Anak 0-23 Bulan. Dibimbing oleh HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, dan DODIK BRIAWAN Tujuan penelitian yaitu menganalisis pola konsumsi pangan dan asupan energi dan gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan menggunakan data Riskesdas 2010. Dari 6 634 data anak baduta, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out. Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus 2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel dan SPSS for windows . Uji beda pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi menerapkan Man-Whitney U. Pada anak 0-5 bulan tidak ada perbedaan pola konsumsi pangan, asupan energi dan gizi anak stunting dan tidak stunting. Pada anak 6-11 bulan, rata-rata tingkat kecukupan protein anak stunting dan tidak stunting berbeda, demikian pula densitas asupan protein. Pada anak 12-23 bulan, selain protein, rata-rata tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan kalsium dan densitas asupan kalsium, tingkat kecukupan fosfor, tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, mutu gizi makanan, dan bahkan jenis konsumsi pangan juga berbeda. Perlu dilakukan penelitian efikasi intervensi zat gizi tersebut untuk pertumbuhan linier optimal anak. Kata kunci: asupan zat gizi, densitas asupan protein, pola konsumsi pangan, stunting Abstract ASLIS WIRDA HAYATI. Food consumption pattern in young children 0-23 months. Under direction of HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, and DODIK BRIAWAN The objective of this study was to analyze food consumption patterns of stunting and non-stunting young children of 0-23 months old YC, using the data from Riskesdas 2010. From 6,634 YC, 3,539 were screened out. Nutritional status data were processed using the WHO AnthroPlus, while the other data were processed using the Excel and SPSS for windows. The different on food consumption pattern was performed with Man-Whitney U test. There was no difference in food consumption patterns between stunting and non-stunting children 0-5 months. The average of protein adequacy and protein density was difference in children 6-11 months. In children 12-23 months, the differences not only in the average of protein adequacy and protein density but also in average of energy adequacy, average of calcium adequacy and calcium density, phosphor, vitamin A, and C adequacy, mean adequacy ratio MAR of nutrient, and type number of food. It is necessary to study the efficacy of nutrients interventions. Key words: food consumption pattern, nutrients intake, protein density, stunting Pendahuluan Masalah stunting akhir-akhir ini semakin menjadi perhatian terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Hasil studi Riskesdas di Indonesia oleh Kemenkes 2010 menemukan prevalensi stunting anak 1 dan 2 tahun berturut-turut sebanyak 32.1 dan 41.5, dan studi review di 36 negara oleh Bhutta et al. 2008 menemukan sebanyak 40 dan 54. WHO 2006 menjelaskaan bahwa prevalensi stunting yang lebih besar dari 20 dianggap tinggi dan merupakan suatu masalah Temuan mutakhir yang berhubungan dengan stunting kesehatan masyarakat. antara lain oleh Bhutta et al. 2008 menyimpulkan bahwa MP-ASI yang difortifikasi dapat meningkatkan panjang badan anak, namun peningkatan tersebut sangat kecil. Beberapa penelitian anak stunting di Indonesia yaitu oleh Indonesia memerlukan informasi pola konsumsi pangan dan asupan energi dan zat gizi anak stunting dan tidak stunting dari kajian faktor gizi di Indonesia sebagai salah satu upaya mengatasi masalah stunting. Sehubungan hal tersebut, tujuan penelitian ini menganalisis pola konsumsi pangan dan asupan energi dan zat gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan di Indonesia. Kusharisupeni 2006 di Kabupaten Indramayu, Rahayu 2012 di Kota dan Kabupaten Tangerang, Wahdah 2012 Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, Ulfani et al. 2011 di Indonesia menyimpulkan keterkaitan stunting dengan faktor non-gizi. Sementara itu, Kemenkes 2010 melaporkan bahwa data konsumsi pangan anak 0-23 bulan Riset Kesehatan Dasar Riskesdas Nasional 2010 tidak dianalisis karena pada umur tersebut bayi atau anak masih mengonsumsi air susu ibu ASI sedangkan konsumsi energi dan zat gizi makro dari ASI sulit diperhitungkan. Metode Desain, waktu dan tempat Data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes digunakan dalam penelitian ini. Desain Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan merupakan penelitian non-intervensi. Pengumpulan data dilakukan bulan Mei- Agustus 2010. Pengolahan dan analisis data penelitian oleh peneliti dilakukan pada bulan Maret–Nopember 2012. Jumlah dan cara pengambilan sampel Sampel Riskesdas 2010 mewakili seluruh rumah tangga di Indonesia. Pemilihan sampel dilakukan secara acak dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pemilihan Blok Sensus BS dan tahap kedua pemilihan rumah tangga, yaitu sejumlah 25 rumah tangga setiap BS. Besar sampel yang direncanakan sebanyak 2 800 BS. Sampel BS tersebut tersebar di 33 Provinsi dan 441 KabupatenKota. Data yang berhasil dikumpulkan sebanyak sejumlah 2 798 BS sampel 99.9 dari 2 800 BS sampel yang direncanakan. Pengumpulan dan entri data dilakukan tenaga kesehatan terlatih minimal tamat D3 kesehatan. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data dilakukan oleh Penanggung Jawab Teknis KabupatenKota, kemudian data dikirim secara elektronik kepada tim manajemen data di Balitbangkes. Peneliti memperoleh sub-set data Riskesdas 2010 dalam bentuk e-files. Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files tersebut, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out karena: 1 data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap 644 orang, 2 nilai z-skor BBU, PBU dan IMTU termasuk pencilan berdasarkan Blössner et al. 2009 yaitu -6BBU5; -6PBU6; -5BMIU5 447 orang, 3 pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa yaitu perhelatanhari besarsakit 46 orang, dan 4 nilai asupan energi termasuk pencilan berdasarkan Amilia 2011 yaitu asupan energi 0.3 BMR atau 3.0 BMR 2 402 orang. Jenis dan cara pengumpulan data Data Riskesdas 2010 meliputi keterangan rumah tangga dan keterangan anggota rumah tangga. Keterangan rumah tangga meliputi identitas, fasilitas pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran. Keterangan individu antara lain meliputi identitas individu, kesehatan anak, dan konsumsi makanan dalam 24 jam terakhir. Pengukuran tinggi badanpanjang badan dan berat badan dilakukan pada setiap responden. Pola konsumsi pangan dan asupan energi dan zat gizi yang diukur berupa: 1 jumlah jenis konsumsi pangan, 2 jumlah kelompok konsumsi pangan, 3 frekuensi makan, 4 tingkat kecukupan energi, 5 tingkat kecukupan protein, 6 tingkat kecukupan kalsium, 7 tingkat kecukupan fosfor, 8 tingkat kecukupan zat besi, 9 tingkat kecukupan vitamin A, 10 tingkat kecukupan vitamin B1, 11 tingkat kecukupan vitamin C, 12 mutu gizi asupan pangan, 13 densitas asupan protein, 14 densitas asupan kalsium, 15 densitas asupan zat besi, 16 densitas asupan vitamin A, 17 densitas asupan vitamin B1, dan 18 densitas asupan vitamin C. Pengolahan dan analisis data Nilai z-skor PBU anak memperhatikan posisi pengukuran, apabila diukur dalam posisi anak berdiri, maka PB = TB + 0.7 cm Blössner et al. 2009. Anak disebut stunting apabila z-skor PBU -2 SD dan tidak stunting apabila z-skor PBU ≥-2 SD Jahari 2009. Data konsumsi pangan individu dikumpulkan dengan metode kuantitatif recall 24-hour. Berat ASI yang dikonsumsi anak menggunakan faktor konversi dari hasil studi pendahuluan weighing method dan analisis mendalam data konsumsi ASI Riskesdas 2010 sebagai berikut: Zat gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi dihitung sebagai berikut Hardinsyah Briawan 1994: Energi yang dibutuhkan anak usia 0-23 bulan dihitung berdasarkan rumus perhitungan kebutuhan energi oleh Mahan and Escott-Stump 2008. Kebutuhan energi anak dihitung menurut kelompok umur Tabel 1. Keterangan: Kgij = Energi dan zat gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi Bj = Berat pangan yang dikonsumsi Gij = Energi dan zat gizi per 100 g bagian pangan yang dapat dimakan BDD = Bagian pangan yang dapat dimakan BDD 1 kali minum 1 kali masa mengisap ASI = 50 g = 5 menit = 0.5 botol susu dot sedang = 0.5 gelas kecil Botol susu dot Gelas 1 botol susu kecil = 50 g 1 gelas kecil = 100 g 1 botol susu sedang = 100 g 1 gelas sedang = 200 g 1 botol susu besar = 150 g 1 gelas besar = 300 g K gij = B j 100 X G ij X BDD100 Kebutuhan energi kkal = EER + 10 TEE Tabel 1 Perhitungan estimasi kebutuhan energi EER menurut umur Umur bulan Formula EER 0-3 89 x BB – 100 + 175 kkal 4-6 89 x BB – 100 + 56 kkal 7-12 89 x BB – 100 + 22 kkal 13-23 89 x BB – 100 + 20 kkal Energi anak yang dibutuhkan anak dihitung sesuai dengan usia dan berat badan aktual berdasarkan Total Energy Expenditure TEE yang dikoreksi dengan Thermic Effect of Food TEF. TEF merupakan peningkatan pengeluaran energi yang berhubungan dengan asupan pangan. Besarnya nilai TEF dihitung dari total pengeluaran energi yaitu sebesar 10 dari TEE. Perhitungan kebutuhan energi pada anak juga termasuk kebutuhan Energy Deposition yang merupakan kalori tambahan untuk mendukung deposisi jaringan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi dan anak. Status gizi anak perlu diketahui melalui IMTU Blössner et al. 2009. Klasifikasi status gizi berdasarkan z-skor IMTU yaitu: sangat kurus jika IMTU-3SD, kurus jika -3SD ≥IMTU-2SD, normal jika -2SD≥IMTU-2SD, gemuk jika 2SD ≥IMTU3SD, dan obes jika IMTU3SD. Kebutuhan protein anak dihitung berdasarkan pada formula Angka Kecukupan Protein AKP dalam WNPG 2004 sesuai dengan kelompok umur yaitu: 0-6, 7-11, dan 12-23 bulan masing-masing berturut-turut 10 g AKP dikoreksi mutu, 1.5 gkg BBhari x 1.2, dan 1.2 gkg BBhari x 1.2. Perhitungan kebutuhan protein disesuaikan dengan berat badan sampel BB normal anak yang status gizinya tidak normal digunakan median BB menurut umur dan jenis kelamin berdasarkan Standar Antropometri WHO-2005. 1 Keterangan: AKP = Angka kecukupan protein gkgBBhari, Faktor koreksi mutu protein = 1.2 , serta dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein sebesar 1.2. Faktor koreksi mutu tersebut didasarkan pada rendahnya mutu protein makanan penduduk Indonesia. 1 Penggunaan berat badan dalam menaksir angka kecukupan protein yaitu berat badan yang dianggap sehat. Oleh karena itu perlu dicek sebelumnya apakah berat badan seseorang yang akan ditentukan kecukupan protein atau dinilai konsumsi pangannya berada dalam selang berat badan orang yang sehat Hardinsyah Martianto 1989. Keterangan: EER = estimasi kebutuhan energi TEE = total pengeluaran energi EER = TEE + Energy deposition TEE = 89 x BB – 100 Energy deposition BB = Berat badan kg AKP = Kebutuhan protein x faktor koreksi mutu protein Kebutuhan Ca, P, Fe, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C dihitung berdasarkan Angka Kecukupan Gizi AKG sesuai umur WNPG 2004. Berdasarkan data asupan zat gizi anak, diperoleh data tingkat kecukupan zat gizi yaitu asupan zat gizi dibagi angka kecukupan gizi yang dianjurkan kemudian hasilnya dikali 100. Mutu gizi konsumsi pangan dihitung dengan menjumlahkan tingkat kecukupan masing-masing zat gizi truncated at 100 kemudian dibagi dengan jumlah zat gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian mutu gizi konsumsi pangan Hardinsyah 2001. Adapun densitas asupan zat gizi DG dihitung berdasarkan asupan zat gizi dibagi asupan energi kkal kemudian dikali 1 000 kkal Drewnowski 2005. WHO AnthroPlus 2007 digunakan untuk mengolah status gizi, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis pola konsumsi pangan dan asupan energi dan gizi gizi menerapkan Uji Man-Whitney U. Hasil dan Pembahasan Prevalensi stunting pada anak 0-23 bulan 37.4. Prevalensi stunting anak-anak tersebut berbeda menurut kelompok umur. Prevalensi stunting anak 0- 5, 6-11, dan 12-24 bulan berturut-turut sebanyak 24.5, 32.8, dan 40.2. Adapun prevalensi stunting anak 0-5, 6-11, dan 12-24 bulan yang dilaporkan Kemenkes 2010 berturut-turut sebanyak 28.1, 32.1, dan 41.5. Prevalensi stunting anak perempuan hampir sama dengan anak laki-laki 0-23 bulan, berturut-turut yaitu 35.9 dan 38.7. Jenis konsumsi pangan Tidak ada perbedaan rata-rata jumlah jenis konsumsi pangan anak stunting dan anak tidak stunting 0-5; demikian pula dengan anak 6-11 bulan; namun ada perbedaan rata-rata jumlah jenis konsumsi pangan anak stunting dan anak tidak stunting 12-23 bulan p0.05. Rata-rata jumlah jenis pangan yang dikonsumi anak stunting dan anak tidak stunting 12-23 bulan berturut turut 4.4±1.9 dan 4.6±2.0 jenis pangan per hari Tabel 2. 105 Tabel 2 Pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi harian anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting Peubah 0-5 bulan n=229 6-11 bulan n=695 Stunting Non-stunting Total Stunting Non-stunting Total Jumlah jenis konsumsi pangan, jenis 1.3±0.6 1.3±0.6 1.3±0.6 3.1±1.6 3.2±1.5 3.2±1.5 Jumlah kelompok konsumsi pangan, kelompok 1.2±0.4 1.2±0.5 1.2±0.5 2.2±0.8 2.2±0.8 2.2±0.8 Frekuensi makan, kali 2.8±1.4 2.6±1.5 2.6±1.5 3.3±0.8 3.3±0.8 3.3±0.8 Tingkat kecukupan energi, 77.5±43.5 72.1±30.5 73.4±34.1 69.8±34.2 71.9±34.2 71.2±34.2 Tingkat kecukupan protein, 70.8±28.3 70.4±25.5 70.5±26.1 80.2±48.9 93.2±58.2 88.9±55.8 Tingkat kecukupan kalsium, 109.4±45.3 109.3±45.3 109.3±45.2 62.3±56.4 63.9±60.4 63.4±59.1 Tingkat kecukupan fosfor, 90.5±53.0 90.6±54.7 90.6±54.2 92.8±77.2 100.6±76.7 98.0±76.9 Tingkat kecukupan zat besi, 15.4±31.6 16.4±30.3 16.1±30.5 24.0±27.1 25.0±24.7 24.6±25.5 Tingkat kecukupan vitamin A, 105.8±45.9 105.8±44.7 105.8±44.9 74.1±58.9 75.1±63.1 74.8±61.7 Tingkat kecukupan vitamin B1, 382.9±167.6 388.9±165.8 387.4±165.9 247.7±167.0 244.8±169.0 245.8±168.2 Tingkat kecukupan vitamin C, 37.4±17.6 37.3±17.3 37.3±17.3 26.2±25.5 25.2±26.9 25.5±26.4 Mutu gizi konsumsi pangan 68.1±15.1 68.4±15.0 68.3±15.0 56.1±21.7 57.3±20.4 56.9±20.8 Densitas protein, g1000 kkal 19.6±8.0 18.9±6.6 19.0±6.9 25.2±11.4 28.1±13.8 27.2±13.1 Densitas kalsium, mg1000 kkal 598.3±293.1 583.4±271.2 587.0±276.2 508.9±473.8 518.5±504.2 515.3±494.1 Densitas zat besi, mg1000 kkal 0.3±0.8 0.3±0.6 0.3±0.7 3.1±3.0 3.1±2.6 3.1±2.8 Densitas vitamin A, mg1000 kkal 1018.7±198.1 1002.2±193.1 1006.3±194.0 629.3±440.3 604.1±448.4 612.3±445.6 Densitas vitamin. B1, mg1000 kkal 3.0±0.7 3.0±0.7 3.0±0.7 2.3±1.5 2.1±1.4 2.2±1.4 Densitas vitamin C, mg1000 kkal 37.6±9.2 37.0±10.0 37.1±9.8 23.3±24.8 20.7±21.7 21.6±22.8 Keterangan: Hasil Uji U ρ0.01, ρ0.05 106 Tabel 2 Pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi harian anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting lanjutan Peubah 12-23 bulan n=2 171 0-23 bulan n=3 095 Stunting Non-stunting Total Stunting Non-stunting Total Jumlah jenis konsumsi pangan, jenis 4.4±1.9 4.6±2.0 4.6±2.0 4.0±2.0 4.0±2.1 4.0±2.1 Jumlah kelompok konsumsi pangan, kelompok 2.8±0.9 2.8±0.9 2.8±0.9 2.6±1.0 2.5±1.0 2.6±1.0 Frekuensi makan, kali 3.4±0.7 3.5±0.6 3.5±0.7 3.4±0.8 3.4±0.8 3.4±0.8 Tingkat kecukupan energi, 82.3±37.7 85.9±38.6 84.4±38.3 79.6±37.6 81.3±37.4 80.7±37.5 Tingkat kecukupan protein, 150.2±88.8 161.1±89.8 156.7±89.5 132.6±86.1 136.7±86.7 135.1±86.5 Tingkat kecukupan kalsium, 57.9±58.2 65.9±63.4 62.7±61.5 61.2±58.3 69.3±62.5 66.3±61.1 Tingkat kecukupan fosfor, 82.6±63.6 92.3±66.3 88.4±65.4 85.0±66.2 94.2±68.1 90.7±67.5 Tingkat kecukupan zat besi, 42.0±29.8 43.8±29.8 43.0±29.8 37.1±30.6 36.8±30.4 36.9±30.5 Tingkat kecukupan vitamin A, 79.6±67.3 86.5±70.1 83.7±69.0 79.8±65.1 85.5±67.0 83.3±66.3 Tingkat kecukupan vitamin B1, 155.0±138.8 155.2±134.5 155.1±136.2 184.3±157.1 197.6±162.6 192.7±160.7 Tingkat kecukupan vitamin C, 25.0±26.5 27.2±27.6 26.3±27.2 25.8±26.0 27.6±26.9 27.0±26.6 Mutu gizi konsumsi pangan 59.0±20.9 61.9±20.2 60.7±20.5 58.9±20.9 61.3±20.0 60.4±20.4 Densitas protein, g1000 kkal 29.4±13.2 30.8±13.5 30.3±13.4 29.6±19.3 30.2±19.3 30.0±19.3 Densitas kalsium, mg1000 kkal 405.7±406.2 440.3±420.3 426.4±414.9 435.4±419.1 471.9±433.9 458.3±428.7 Densitas zat besi, mg1000 kkal 4.7±3.2 4.6±3.0 4.6±3.1 4.1±3.2 3.9±3.1 4.0±3.1 Densitas vitamin A, mg1000 kkal 462.4±413.3 479.3±393.2 472.5±401.4 522.3±431.0 556.0±421.3 543.4±425.2 Densitas vitamin. B1, mg1000 kkal 1.2±1.1 1.1±1.0 1.1±1.1 1.5±1.3 1.5±1.3 1.5±1.3 Densitas vitamin C, mg1000 kkal 15.4±19.0 15.7±17.4 15.6±18.1 18.0±20.7 18.8±19.0 18.5±19.7 Keterangan: Hasil Uji U ρ0.01, ρ0.05 Secara keseluruhan tanpa membedakan anak stunting dan anak tidak stunting diketahui bahwa rata-rata jumlah jenis konsumsi pangan anak 0-23 bulan berbeda menurut kelompok umur, semakin bertambah umur terlihat semakin banyak jenis pangan yang mereka konsumsi. Rata-rata jumlah jenis pangan yang dikonsumi anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut 1.3±0.6, 3.2±1.5, dan 4.6±2.0 jenis per hari Tabel 2. Total jenis pangan yang dikonsumsi anak 0-23 bulan yaitu 1 sampai dengan 13 jenis pangan per hari Tabel 3. Sebanyak 78.5 anak 0-23 bulan mengkonsumsi dua sampai dengan enam jenis pangan per hari. Sisanya, mereka mengkonsumsi satu atau lebih dari enam jenis pangan per hari Tabel 4. Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan jumlah jenis pangan harian yang dikonsumsi anak 0-23 bulan Jumlah jenis pangan Stunting Tidak stunting Total Satu jenis 100 32.2 211 67.8 311 100.0 Dua jenis 182 39.3 281 60.7 463 100.0 Tiga jenis 232 36.1 411 63.9 643 100.0 Empat jenis 207 38.8 326 61.2 533 100.0 Lima jenis 187 40.3 277 59.7 464 100.0 Enam jenis 115 35.3 211 64.7 326 100.0 Tujuh jenis 77 43.3 101 56.7 178 100.0 Delapan jenis 29 31.5 63 68.5 92 100.0 Sembilan jenis 18 39.1 28 60.9 46 100.0 Sepuluh jenis 4 20.0 16 80.0 20 100.0 Sebelas jenis 1 9.1 10 90.9 11 100.0 Dua belas jenis 2 33.3 4 66.7 6 100.0 Tiga belas jenis 2 100.0 2 100.0 Total 1156 37.4 1939 62.6 3095100.0 Keterangan: n Tabel 4 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan jumlah jenis pangan harian yang dikonsumsi anak 0-23 bulan Jumlah jenis pangan Stunting Tidak stunting Total Satu jenis 100 8.7 211 10.9 311 10.0 Dua sd enam jenis 923 79.8 1506 77.7 2429 78.5 Tujuh sd tiga belas jenis 133 11.5 222 11.4 355 11.5 Total 1156 100.0 1939 100.0 3095 100.0 Keterangan: n Anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan mengonsumsi sekitar sepertiga dari total jenis pangan yang tercantum di Daftar Komposisi Makanan DKBM Indonesia. Jumlah jenis pangan yang ada di dalam DKBM Indonesia sebanyak 654 jenis Hardinsyah Briawan 1994. Dengan demikian, anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan telah mengkonsumsi berturut-turut 24.6 dan 28.9 total jenis pangan yang ada di DKBM tersebut. Kelompok konsumsi pangan Rata-rata jumlah kelompok pangan yang dikonsumi anak stunting 0-5, 6- 11, dan 12-23 bulan sama dengan anak tidak stunting p ≥0.05. Adapaun rata-rata jumlah kelompok pangan yang dikonsumi anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 1.2±0.5, 2.2±0.8, 2.8±0.9 kelompok per hari Tabel 2. Kelompok pangan dalam penelitian ini mengacu kepada kelompok pangan menurut Pola Pangan Harapan PPH yaitu padi-padian, umbi-umbian, hewani, minyaklemak, kacang-kacangan, buahbiji berminyak, gula, dan sayurbuah. Berbeda dengan kelompok pangan PPH, UNICEF 2011 menjelaskan bahwa keragaman diet minimum anak 6-23 bulan yaitu apabila mengkonsumsi pangan empat atau lebih dari tujuh kelompok pangan. Tujuh kelompok pangan tersebut meliputi: 1 padi-padianbutir-butiran, 2 kacang-kacangan, 3 produk susu susu, yogurt, keju, 4 daging makanan daging, ikan, daging unggas, dan hatidaging organ, 5 telur, 6 buah-buahan dan sayur-sayuran yang kaya vitamin A, dan 7 buah-buahan dan sayur-sayuran lain. Kelompok pangan hewani dan kelompok sayurbuah lebih banyak dikonsumsi anak 0-23 bulan dibanding kelompok pangan yang lain. Total jenis pangan yang termasuk kelompok pangan hewani dan kelompok sayurbuah yang mereka konsumsi masing-masing sebanyak 57 dan 74 jenis, sedangkan total jenis pangan yang termasuk kelompok pangan yang lain kurang dari 40 jenis Tabel 5. Tabel 5 Total jenis pangan menurut kelompok konsumsi pangan yang dikonsumsi anak 0-23 bulan Kelompok pangan Stunting Tidak stunting Total Padi-padian, jenis 31 35 37 Umbi-umbian, jenis 9 11 13 Hewani, jenis 49 52 57 Minyaklemak , jenis Kacang-kacangan, jenis 12 12 14 Buahbiji berminyak ‡ 2 , jenis 2 2 Gula, jenis 4 6 6 Sayurbuah, jenis 54 71 74 Total 161 189 203 Keterangan: mentega, margarine; ‡ kelapa, santan Total jenis pangan yang termasuk kelompok pangan hewani dan kelompok sayurbuah cenderung lebih sedikit dikonsumsi anak stunting dibanding anak tidak stunting 0-23 bulan Tabel 5. Cosaaranda 2012 menjelaskan bahwa kelompok pangan hewani dan sayurbuah merupakan sumber zat gizi mikro mineral vitamin untuk pertumbuhan bayi. Frazao et al. 2003 menyimpulkan bahwa kurang dari 15 orang Amerika yang memenuhi kriteria diet yang sehat. Terjadi peningkatan intake energi sebanyak 300 kkal per hari selama periode 1985-2000, sebagian besar oleh biji-bijian dan penambahan gula serta lemak, dibanding susu dan produk susu, sayur, atau buah Drewnowski 2004; Haines et al. 2003. Ahli-ahli gizi kesehatan masyarakat prihatin bahwa Amerika menjadi bangsa kurang gizi yang kekenyangan Munoz et al. 1997. Frekuensi makan Rata-rata frekuensi makan harian anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan stunting sama dengan anak tidak stunting p0.05. Rata-rata frekuensi makan anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut 2.6±1.5, 3.3±0.8, dan 3.5±0.7 kali per hari Tabel 2. Hal ini memperkuat laporan WHO 2001 bahwa perlu meningkatkan frekuensi makan seiring dengan bertambahnya usia anak. Rata-rata frekuensi makan anak 0-23 bulan yaitu 3.4 kali per hari. Sebanyak 42 anak 0-23 bulan makan tiga kali sehari dan sebanyak 50 anak 0- 23 bulan makan empat kali per hari. Sisanya, makan satu atau dua kali per hari -masing-masing yaitu 3.8 dan 3.6- Tabel 6. Hal ini sama dengan kesimpulan Hoppe et al. 2004 yakni selama periode pemberian makanan tambahan, asupan harian anak sebanyak 3–4 kali memberikan pengaruh paling baik terhadap pertumbuhan. Tabel 6 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan frekuensi makan harian anak 0-23 bulan Frekuensi makan Stunting Tidak stunting Total Satu kali 37 3.2 81 4.2 118 3.8 Dua kali 45 3.9 66 3.4 111 3.6 Tiga kali 489 42.3 811 41.8 1300 42.0 Empat kali 585 50.6 981 50.6 1566 50.0 Total 1156 100.0 1939 100.0 3095 100.0 Keterangan: n Tidak terlihat kecenderungan bahwa semakin sering anak makan maka semakin sedikit prevalensi stunting anak 0-23 bulan. Prevalensi stunting anak 0- 23 bulan yang makan tiga atau empat kali sehari tidak berbeda, masing-masing yaitu 37.6 dan 37.4, namun prevalensi stunting pada anak yang makan dua kali sehari adalah yang paling besar, yaitu 40.5 Tabel 7. Hal ini diduga disebabkan kerena anak yang makan dua kali sehari merupakan anak yang sedang belajar makan makanan pendamping ASI, yaitu anak yang termasuk kelompok umur 6-11 bulan. Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan frekuensi makan harian anak 0-23 bulan Frekuensi makan Stunting Tidak stunting Total Satu kali 37 31.4 81 68.6 118 100.0 Dua kali 45 40.5 66 59.5 111 100.0 Tiga kali 489 37.6 811 62.4 1300 100.0 Empat kali 585 37.4 981 62.6 1566 100.0 Total 1156 37.4 1939 62.6 3095 100.0 Keterangan: n Asupan energi dan zat gizi Tingkat kecukupan danatau densitas asupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan dibedakan menurut kelompok umur. Pada anak 0-23 bulan, rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan energi dan protein anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan tidak berbeda, namun rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan zat gizi mikro mereka berbeda kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin C. Pada anak 0-5 bulan, rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting tidak berbeda; namun pada anak 6-11 bulan berbeda protein, demikian pula pada anak 12-23 bulan energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C. Pada anak 0-23 bulan, rata-rata tingkat kecukupan kalsium anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 61.2±58.3 dan 69.3±62.5 p0.01; dan densitas asupan kalsium anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 435.4±419.1 dan 471.9±433.9 mg per 1 000 kkal per hari p0.05 -densitas asupan kalsium cukup jika ≥ 500 mg per 1 000 kkal per hari. Rata-rata tingkat kecukupan fosor anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 85.0±66.2 dan 94.2±68.1 p0.01. Densitas asupan zat besi anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 4.1±3.2 dan 3.9±3.1 mg per 1 000 kkal per hari p0.01 -densitas asupan zat besi cukup jika ≥ 1.1 mg per 1 000 kkal per hari. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 79.8±65.1 dan 85.5±67.0 p0.05; dan densitas asupan vitamin A anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 522.3±431.0 dan 556.0±421.3 µg RE per 1 000 kkal per hari p0.01 -densitas asupan vitamin A cukup jika ≥700 µg RE per 1 000 kkal per hari. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin B1 anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 184.3±157.1 dan 197.6±162.6 p0.05. Densitas asupan vitamin C anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 18.0±19.0 dan 18.8.0±19.0 mg per 1 000 kkal per hari p0.05 -densitas asupan vitamin C cukup jika ≥ 50 mg per 1 000 kkal per hari. Rata-rata mutu gizi konsumsi pangan anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 58.9±20.9 dan 61.3±20.0 p0.01. Adapun rata-rata tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, dan densitas asupan protein anak berturut-turut 80.7±37.5, 135.1±86.5, dan 30.0±19.3 g1 000 kkal. Uji Man-Whitney U menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata densitas asupan zat besi anak 0-23 bulan stunting dan anak tidak stunting p0.05, namun tingkat kecukupan zat besi anak 0-23 bulan stunting dan anak tidak stunting tidak berbeda p ≥0.05; begitu juga dengan vitamin C 0-23 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa densitas zat besi maupun vitamin C lebih sensitif untuk dapat membedakan asupan anak stunting dan anak tidak stunting dibandingkan dengan tingkat kecukupan zat besi maupun vitamin C. Sebaliknya dengan asupan vitamin B1, yaitu tingkat kecukupan vitamin B1 lebih sensitif untuk dapat membedakan asupan anak stunting dan anak tidak stunting p0.05 dibandingkan dengan densitas asupan vitamin B1 p ≥0.05. Hal tersebut menjadi dasar untuk membedakan asupan gizi anak stunting dan anak tidak stunting dalam penelitian ini, yakni menggunakan tingkat kecukupan gizi danatau densitas asupan gizi, dengan ketentuan minimal salah satu dari kedua peubah asupan gizi tersebut tingkat kecukupan danatau densitas asupan gizi hasil uji statistiknya menunjukkan perbedaan antara anak stunting dan anak tidak stunting. Pada anak 0-5 bulan, rata-rata tingkat kecukupan zat gizi, densitas asupan zat gizi, maupun mutu gizi asupan pangan anak stunting sama dengan anak tidak stunting . Hal ini antara lain karena pada usia tersebut ASI saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka. WHO 2001 menganjurkan bahwa anak usia 0-5 bulan agar hanya diberikan air susu ibu ASI saja. Winarno 1990 menjelaskan pula bahwa selama 4-6 bulan pertama, ASI mampu memenuhi kebutuhan gizi bayi. Pada anak 6-11 bulan, rata-rata tingkat kecukupan protein anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 80.2±48.9 dan 93.2±58.2 p0.01; dan densitas asupan protein anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 25.2±11.4 dan 28.1±13.8 g per 1 000 kkal per hari p0.01. Hal ini mendukung penjelasan Winarno 1990 yaitu setelah 6 bulan, volume pengeluaran ASI menjadi menurun dan sejak saat itu kebutuhan zat gizi bayi tidak lagi dapat dipenuhi oleh ASI saja dan harus mendapat makanan tambahan. WHO 2001 juga menganjurkan bahwa anak usia 6-11 bulan, disamping ASI juga diberikan makanan pendamping ASI MP-ASI sehingga anak mulai mengkonsumsi makanan danatau minuman selain ASI. Pada anak 12-23 bulan, rata-rata tingkat kecukupan energi anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 82.3±37.7 dan 85.9±38.6 p0.05. Rata- rata tingkat kecukupan protein anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 150.2±88.8 dan 161.1±89.8 p0.01; dan densitas asupan protein anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 24.9±13.2 dan 30.8±13.5 g per 1 000 kkal per hari p0.01. Rata-rata tingkat kecukupan kalsium anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 57.9±58.2 dan 65.9±63.4 p0.01; dan densitas asupan kalsium anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 405.7±406.2 dan 440.3±420.3 mg per 1 000 kkal per hari p0.05. Rata-rata tingkat kecukupan fosor anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 82.6±63.6 dan 92.3±66.3 p0.01. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 79.6±67.3 dan 85.5±70.1 p0.05. Rata- rata tingkat kecukupan vitamin C anak stunting dan anak tidak stunting berturut- turut 25.0±26.5 dan 27.2.1±27.6 p0.05. Pada anak 12-23 bulan, yang tidak berbeda antara anak stunting dan anak tidak stunting yaitu rata-rata tingkat asupan dan densitas asupan zat besi serta rata- rata tingkat asupan dan densitas asupan vitamin B1. Walaupun rata-rata tingkat asupan zat besi tidak berbeda antara anak stunting dan anak tidak stunting 12-23 bulan, namun tingkat konsumsinya rendah yaitu 43.0±29.8. Kemenkes 2010 melaporkan bahwa kebutuhan minimal zat besi yaitu 50. Adapun rata-rata tingkat asupan vitamin B1 tidak berbeda antara anak stunting dan anak stunting 12-23 bulan diduga disebabkan antara lain oleh sumber energi utama berasal dari padi-padian yang kaya kandungan vitamin B1. Selain itu, secara nasional vitamin B1 tidak termasuk masalah gizi. Rata-rata tingkat asupan vitamin B1 anak 12-23 bulan yaitu 155.1±136.2 Tabel 2. Rata-rata tingkat kecukupan protein anak 12-23 bulan tergolong tinggi. Rata-rata tingkat kecukupan protein anak 0-5, 6-11 dan 12-23 bulan berturut-turut yaitu 70.5±26.1, 88.9±55.8 dan 156.7±89.5. Rata-rata asupan protein anak 0-5, 6-11 dan 12-23 bulan berturut-turut yaitu 7.0±2.6, 13.1±8.5 dan 22.7±13.2 g; adapun rata-rata kebutuhan protein anak 0-5, 6-11 dan 12-23 bulan berturut-turut yaitu 10±0.0, 14.7±2.0 dan 14.5±1.9 g. Angka kecukupan protein AKG protein anak 0-6 bulan, 7-12 bulan dan 1-3 tahun berturut-turut yaitu 10, 16 dan 25 g WNPG 2004. Seandainya nilai asupan protein dibagi dengan AKG tersebut maka nilainya berturut-turut yaitu 70.5, 82.0 dan 90.9. Namun demikian, penelitian ini tidak menggunakan AKG protein namun menggunakan nilai kebutuhan protein. WHO 2007 melaporkan bahwa kebutuhan protein per kilogram berat badan menurun kira–kira 1.1 gram pada masa anak–anak awal sampai 0.9 g pada masa anak-anak akhir; adapun perhitungan kebutuhan protein anak 0-9 tahun menurut WNPG 2004 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Perhitungan kebutuhan protein anak 0-9 tahun Umur Formula kebutuhan protein 0-6 bulan 10 g AKP dikoreksi mutu 7-11 bulan 1.5 gkg BBhr x 1.2 1-3 tahun 1.2 gkg BBhr x 1.2 4-6 tahun 1.0 gkg BBhr x 1.2 7-9 tahun 0.95 gkg BBhr x 1.2 Sumber: WNPG 2004 Pada anak 12-23 bulan, rata-rata mutu gizi konsumi pangan anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 59.0±20.9 dan 61.9.1±20.2 p0.01. Hardinsyah 2001 menjelaskan bahwa mutu gizi asupan pangan tergolong cukup apabila ≥ 70. WHO 2001 melaporkan salah satu penyebab stunting adalah ASI, serta kualitas dan kuantitas makanan pendamping ASI yang tidak adequate. WHO juga menganjurkan mulai usia 12 bulan, anak diperkenalkan makanan orang dewasa dengan memperhatikan tekstur dan rasa yang sesuai, dan dibutuhkan perubahan secara bertahap dari makanan lembut ke makanan keluarga. Di sisi lain, Drewnowski 2003 menyimpulkan bahwa protein, kalsium, zat besi, serta vitamin A dan C merupakan zat kunci yang perlu diberikan untuk menolong kelompok berpendapatan rendah. Hayati et al. 2012 menyimpulkan bahwa risiko stunting Frongillo 1999 menyimpulkan bahwa salah satu penyebab penurunan pertumbuhan linier adalah kekurangan zat gizi mikro multivitaminmineral. Cosaaranda 2012 menjelaskan bahwa sumber mineral dan vitamin terbaik untuk bayi berasal dari pangan hewani, meliputi daging sapi, jeroan, daging unggas, ikan, kerang, telur, serta susu dan hasil olahannya. WHO 1998 menjelaskan bahwa makanan yang kaya protein mengandung mineral dan vitamin yang tinggi, misalnya kasium, zat besi, vitamin A, dan vitamin B12. Hoppe et al. 2004 menyimpulkan bahwa asupan protein pada anak 9 bulan dihubungkan dengan ukuran tubuh. Hayati et al. 2012 menyimpulkan bahwa densitas asupan protein merupakan salah satu faktor determinan anak stunting 0-23 bulan di Indonesia; risiko anak dengan status ekonomi keluarga bawah kuintil 1 2 sebesar 1.28 kali dibanding dengan status ekonomi menengah atas ρ0.01. stunting Jumlah konsumsi air susu ibu ASI anak 6-23 bulan belum mencukupi kebutuhan. Jumlah anak 0-23 bulan yang pernah diberi ASI sebanyak 90.2, sebanyak 3.00 diantaranya merupakan ASI eksklusif tidak berbeda antara anak stunting dan tidak stunting. Jumlah konsumsi ASI anak 0-5 bulan sebanyak anak 0-23 bulan dengan densitas asupan protein rendah 40 g per 1 000 kkal sebesar 1.22 kali dibanding dengan anak yang densitas asupan proteinnya tidak rendah ρ0.05; CI 95: 1.00-1.49. Adapun densitas asupan protein anak 0-23 bulan yang stunting dan yang tidak stunting berturut-turut 29.6 g dan 30.2 per 1 000 kkal. 591.6 ghari Tabel 9. Hal ini hampir sama dengan yang disimpulkan Simondon et al. 1996 yaitu rata-rata asupan ASI anak 4-5 bulan di Brazzaville sebanyak 460 ghari pada bayi yang tidak mengkonsumsi susu formula. Adapun jumlah konsumsi ASI anak 6-11 bulan sebanyak 498.4 ghari. Jumlah ini hampir sama dengan yang dilaporkan WHO 1998 yaitu konsumsi ASI anak 6-8 bulan di negara berkembang sebanyak 328.8 ghari. Bhadam and Sweet 2010 menyimpulkan bahwa walaupun menyusu dengan optimal, anak akan menjadi stunting jika tidak menerima makanan pendamping ASI MP-ASI dalam jumlah dan kualitas yang cukup setelah berusia enam bulan. Dietitians of Canada 2012 menjelaskan bahwa orang-orang yang mengkonsumsi susu kurang dari 500 ml 2 gelas per hari membutuhkan suplemen mineral dan vitamin. Tabel 9 Jumlah konsumsi ASI harian anak 0-23 bulan Umur bulan Jumlah gkali konsumsi Frekuensi kali Total g 0-5 144.3 4.1 591.6 6-11 142.4 3.5 498.4 12-23 150.4 3.1 466.2 Suplemen zat gizi mikro mineral dan vitamin mengurangi hambatan pertumbuhan linier anak 0-23 bulan, namun belum optimal. WHO 1998 menjelaskan penelitian longitudinal Institute of Nutrition of Central America and Panama INCAP di Panama, tentang ibu dan bayi umumnya dari usia empat bulan yang diberikan suplemen zat gizi mikro. Suplemen tersebut mengurangi hambatan pertumbuhan, efeknya terbatas pada 2-3 tahun pertama kehidupan, namun bayi dan anak masih tetap stunting berat. WHO 2001 melaporkan bahwa berdasarkan review dari 23 kombinasi makanan pendamping air susu ibu MPASI yang digunakan di negara berkembang, meliputi beberapa produk hewani, mengungkapkan bahwa meskipun sebagian besar dari mereka dapat menyediakan energi dan protein yang cukup, namun tidak ada yang menyediakan mineral dan vitamin yang cukup. Ramakrishnan et al. 2009 menyimpulkan dari studi meta-analisis intervensi zat gizi mikro mengandung setidaknya tiga atau lebih zat gizi mikro bahwa mereka dapat meningkatkan pertumbuhan linear, tapi manfaatnya kecil. Dengan demikian, diperlukan penelitian suplemen yang mengandung beberapa zat gizi mikro yang memiliki dampak lebih besar terhadap pencapaian pertumbuhan linier optimal anak 0-23 bulan. Simpulan Pola konsumsi pangan, asupan energi dan gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan berbeda menurut kelompok umur. Pada anak 0-5 bulan tidak ada perbedaan pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting dan tidak stunting; sebaliknya pada anak 6-11 dan 12-23 bulan. Pada anak 6-11 bulan, ada perbedaan rata-rata tingkat kecukupan protein anak stunting dan tidak stunting , demikian pula densitas asupan protein. Pada anak 12-23 bulan, tidak hanya rata-rata tingkat kecukupan protein dan densitas asupan protein, tetapi rata- rata tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan kalsium dan densitas asupan kalsium, tingkat kecukupan fosfor, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan vitamin C, mutu gizi makanan, dan jenis konsumsi pangan juga berbeda. Pencegahan stunting anak 0-23 bulan perlu dilakukan dengan meningkatkan kualitas MP-ASI. Perlu dilakukan penelitian efikasi intervensi zat gizi tersebut di atas untuk pencapaian pertumbuhan linier optimal anak. Ucapan Terimakasih Terimakasih disampaikan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI atas data yang diberikan; Yayasan Supersemar atas dukungan dana penelitian. Daftar Pustaka Amilia L. 2011. Analisis asupan air dan mutu gizi konsumsi pangan pada anak di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Bhadam J and Sweet L. 2010. Stunting: An Overview. Sight and Life Magazine 3:40-47. Bhutta ZA et al. 2008. What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival. Lancet 371:417–40. Blössner M, Siyam A, Borghi E, Onyango A, Onis M. 2009. WHO AnthroPlus for Personal Computers Manual . Geneva: WHO. Cosaaranda. 2012. Bahan makanan sumber vitamin dan mineral untuk bayi sehat . http:makananbayisehat.combahan-makanan-sumber-vitamin-dan- mineral-untuk-bayi-sehat [9 Nopember 2012]. Dietitians of Canada. 2012. Do I need a vitamin or mineral supplement?. http:www.dietitians.caNutrition-Resources-A-ZFactsheetsMiscellane- ous Do-I-Need-a-Supplement-.aspx [9 Nopember 2012]. Drewnowski A. 2004. Obesity and the food environment: dietary energy density and diet costs. Am J Pev Med 94:1555-9. Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density score. Am J Clin Nutr 79:6-16. Frazao E, Allshouse J. 2003. Strategies for intervention: commentary and debate. J Nutr 133:844S-7S. Frongillo EA. 1999. Symposium: causes and etiology of stunting. Nutr 129: 529S–530S. Hansen RG, Wyse BW. 1980. Expression of nutrient allowances per 1000 kilocalories. J Am Diet Assoc 76:223-7. Haines PS, Hama MY, Guilkey DK, Popkin BM. 2003. Weekend eating in the United States is linked with greater energy, fat, and alcohol intake. Obes Res 11:945-9. Hayati AW, Hardinsyah, Jalal F, Madanijah S, Briawan D in press. Determinan Stunting Anak Baduta: Analisis Data Riskesdas 2010. Di dalam: Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi Pemantapan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X. 2012. Jakarta, 20-21 Nopember 2012. Jakarta: LIPI, Bappenas, Kementan, Kemenkes, Badan POM, Ristek. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Assesment and Planning of Food Consumption. Bogor: Community Nutrition and Family Resources Department. Bogor Agricultural University. Hardinsyah. 2001. Mutu gizi dan konsumsi pangan. Di dalam: Hardinsyah, Atmojo SM, editor. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta: Pergizi Pangan. Hoppe C, Molgaard C, Thomsen L, Juul A, Michalsen KF. 2004. Protein intake at 9 mo of age is associated with body size but not with body fat in 10-y- od Danish children. Am J Clin 79:494–501. Jahari AB. 2009. Growth Curve of Healthy Children from Wealthy Families: How Close to WHO Child Growth Standard 2005? Bogor: Center for Research and Development in Food and Nutrition National Institute for Health Research and Development, Ministry of Health of RI. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2010. Survey Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes. Kusharisupeni. 2006. Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah studi prospektif. J Kedokter Trisakti 233:73-80. Mahan K, Escott-Stump. 2008. Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B Saunders Company. Munoz KA, Krebs-Smith SM, Ballard-Barbash R, Cleveland LE. 1977. Food intakes of US children and adolescents compared with recommendations. Pediatrics 100:323-9. Rahayu. 2012. Hubungan tinggi badan orang tua dengan perubahan status stunting dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4 tahun [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Ramakrishnan U, Nguyen P, Martorel R. 2009. Effects of micronutrients on growth of children under 5 years of age: meta-analyses of single and multiple interventions. Am J Clin Nutr 89:191-203. Simondon KB, Gartner A, Berger J, Cornii A, Massamba J, Miguel JS, Ly C, Missotte I, Sisimondon F, Traissac P, Delpeuch F, Maire B. 1996. Effect of early, short-term supplementation on weight and linear growth of 4-7- mo-old infants in developing countries: a four-country randomized trial. Am J Clin Nutr 64:537-45. Soekirman. 27 Juni 2012. Kurang gizi, anak bertubuh pendek. Suara Pembaharuan : 1 kolom 1-3. Ulfani DH, Martianto1 D, Baliwati YF. 2011. Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia: Pendektan ekologi gizi. Jurnal gizi dan pangan 61:59–65. [UNICEF] United Nations Children’s Fund. 2011. Infant and Young Child Feeding New York: UNICEF. Wahdah S. 2012. Faktor risiko kejadian stunting pada anak umur 6-36 bulan di wilayah pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimmantan Barat [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Winarno FG. 1990. Gizi dan Makanan bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta: Sinar Harapan. [WHO] World Health Organization. 1998. Preparation and Use of Food Based Dietary Guidelines . Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 2001. Improving Child Growth. Geneva: WHO page 23-41. [WHO] World Health Organization. 2006. Table of standard anthropometry WHO-2005 . [WHO] World Health Organization. 2007. Protein and Amino Acid Requirements in Human Nutrition. Geneva: WHO. Geneva: WHO. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi . Jakarta, 17-19 Mei 2004. BAB 8 PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI PENELITIAN Pada bagian sebelumnya telah diketahui bahwa umur anak, berat lahir anak, berat anak, densitas asupan protein anak, tinggi ibu, dan status ekonomi rumah tangga merupakan faktor risiko stunting anak 0-23 bulan. Selain itu diketahui pula bahwa ada perbedaan jumlah jenis konsumsi pangan anak stunting dan tidak stunting 12-23 bulan. Terkait dengan asupan energi dan zat gizi pada anak 0-23 bulan, tidak ada perbedaan asupan energi dan protein anak stunting dan tidak stunting, namun ada perbedaan asupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin C. Pada anak 0-5 bulan, tidak ada perbedaan asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting. Namun pada anak 6-11 bulan, ada perbedaan densitas asupan protein anak stunting dan anak tidak stunting. Pada anak 12-23 bulan, tidak hanya densitas asupan protein yang berbeda antara anak stunting dan anak tidak stunting, tetapi asupan energi, kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C juga berbeda. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa densitas asupan protein merupakan faktor risiko anak 0-23 bulan stunting di bidang gizi. Selain itu diketahui pula bahwa densitas asupan protein merupakan pembeda awal asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan. Densitas asupan protein Rata-rata densitas asupan protein anak 0-23 bulan yaitu 30.0 g per 1 000 kkal. Adapun densitas asupan protein anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut- turut yaitu 18.4, 24.4, 28.6 g per 1 000 kkal. Rata-rata densitas asupan protein anak 0-5 bulan tergolong rendah 20 g per 1 000 kkal, sedangkan rata-rata densitas asupan protein anak 6-11 dan 12-23 bulan tergolong cukup Tabel 2. Tabel 1 Densitas asupan protein anak 0-23 bulan Umur bulan Asupan protein g Asupan energi kkal Densitas protein g per 1 000 kkal 0-5 7.1 386.6 18.4 6-11 11.8 483.1 24.4 12-23 21.6 755.8 28.6 Total 19.4 667.2 30.0 Standar densitas asupan protein dalam penelitian ini diadaptasi dari tiga standar yaitu berdasarkan WHO 1998, FAO Drewnowski 2005, dan angka kecukupan gizi -AKG- WNPG 2004. Hal tersebut karena Indonesia belum memiliki standar densitas asupan protein. Standar densitas asupan protein menurut WHO 1988 yaitu 20-25 g per 1 000 kkal. Adapun standar densitas asupan protein menurut FAO yaitu 40-50 g per 2 000 kkal Drewnowski 2005. Karena Indonesia belum memiliki standar densitas asupan protein, maka didekati berdasarkan AKG WNPG 2004. Densitas asupan protein anak berdasarkan AKG dihitung menurut kelompok umur, yakni 0-6 bulan, 7-12 bulan, dan 1-3 tahun dengan nilai berturut-turut 18.2, 24.6, dan 25.0 g per 1 000 kkal Tabel 1. Berdasarkan uraian tesebut, pengkategorian densitas asupan protein anak 0-23 bulan dalam penelitian ini yakni dikategorikan cukup apabila bernilai 20-40 g per 1 000 kkal, dikategorikan rendah apabila kurang dari 20 g per 1 000 kkal, dan dikategorikan tinggi apabila lebih dari 40 g per 1 000 kkal. Tabel 2 Densitas protein anak 0-23 bulan berdasarkan AKG 2004 Umur Asupan protein g Asupan energi kkal Densitas protein g per 1 000 kkal 0-6 bulan 10 550 18.2 7-12 bulan 16 650 24.6 1-3 tahun 25 1 000 25.0 Sebanyak 33.9 anak 0-23 bulan densitas asupan proteinnya tergolong rendah. Di sisi lain, sebanyak 19.5 dari mereka densitas proteinnya tergolong tinggi Tabel 3. Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan densitas asupan protein anak 0-23 bulan Sebanyak 38.3 anak 0-23 bulan yang densitas asupan protein tegolong rendah mengalami stunting, dan sebanyak 38.0 anak 0-23 bulan yang densitas asupan protein tegolong cukup juga mengalami stunting Tabel 4. Seiring dengan hal tersebut diketahui bahwa risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas asupan proteinnya kurang dari 20 g per 1 000 kkal 1.32 kali lebih besar dibanding dengan anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal. Dengan demikian, nilai batas cut off densitas asupan protein sebagai faktor risiko stunting anak 0-23 bulan yaitu 40 g per 1 000 kkal. Peubah Stunting Tidak Stunting Total Densitas asupan protein n, 20 g per 1 000 kkal 402 34.8 647 33.4 1049 33.9 20 – 40 g per 1 000 kkal 548 47.4 896 46.2 1444 46.7 40 g per 1 000 kkal 206 17.8 396 20.4 602 19.5 Total 1 156 100.0 1 939 100.0 3 095 100.0 Tabel 4 Sebaran anak berdasarkan densitas asupan protein dan status stunting anak 0-23 bulan Standar densitas asupan protein 40 g berdasarkan modifikasi perbandingan densitas zat-zat gizi penting bagi kesehatan masyarakat menurut Food and Agriculture Organization FAO of United Nations Drewnowski 2005. Standar dasar densitas asupan protein dalam penelitian ini adalah per 1 000 kkal, namun menurut standar FAO tersebut di atas adalah per 2 000 kkal. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Drewnowski 2005 bahwa perbandingan resmi antara komposisi gizi makanan dan nilai referensi harian bermakna hanya jika dibuat pada standar dasar per kalori –biasanya per 1 000 atau 2 000 kkal; dan mengingat angka kecukupan gizi berdasarkan WNPG WHO 1998 menerangkan bahwa nilai acuan densitas protein yang relevan untuk mengembangkan dan mengevaluasi pedoman diet adalah 20-25 g per 1 000 kkal dengan asumsi 8-10 dari total energi dengan kualitas protein tinggi, dan 25-30 g dengan asumsi 10-12 dari total energi dengan asupan protein hewani rendah. Dalam keadaaan campuran diet tidak mengandung kacang- kacangan danatau protein hewani yang cukup, koreksi untuk skor asam amino perlu dilakukan. Koreksi untuk skor asam amino ditekankan karena sumber protein nabati tunggal dapat membatasi satu atau lebih asam amino lysin untuk sebagian besar biji-bijian, metionin untuk sebagian besar kacang-kacangan. Apabila sanitasi lingkungan tidak memadai dan diare sering terjadi, direkomendasikan meningkatan asupan protein 10. Anak-anak yang pulih dari infeksi akut atau malnutrisi, asupan protein harus ditingkatkan untuk memenuhi permintaan yang disebabkan sintesis jaringan yang cepat. Tergantung pada tingkat defisit, kebutuhan protein mungkin 2-3 jumlah normal. Bahkan untuk anak-anak, protein yang dibutuhkan selama masa pemulihan meningkat 20-40. Rekomendasi Amerika terbaru untuk membatasi asupan total protein yaitu dua kali angka kecukupan gizi AKG. Sebaliknya, densitas asupan protein yang 2004 untuk kelompok umur 0-6, 7-12, dan 13-23 bulan burturut-turut adalah 550, 650, dan 1 000 kkal. Peubah Stunting Tidak Stunting Total Densitas asupan protein n, 20 g per 1 000 kkal 402 38.3 647 61.7 1 049 100.0 20 – 40 g per 1 000 kkal 548 38.0 896 62.0 1 444 100.0 40 g per 1 000 kkal 206 34.2 396 65.8 602 100.0 Total 1 156 37.4 1 939 62.6 3 095 100.0 dianjurkan telah diturunkan sebagai rasio protein-energi untuk menyajikan kualitas protein dari diet campuran. Untuk protein berkualitas tinggi, kebutuhan dapat dipenuhi dengan memberikan 8-10 dari total energi sebagai protein. Untuk diet yang sebagian besar campuran sayuran di negara berkembang, disarankan 10-12, karena kebutuhan protein harus diperbaiki untuk daya cerna yang lebih rendah dan peningkatan insiden penyakit diare. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata asupan protein anak 0-23 bulan memenuhi standar WHO 1998 yaitu sebanyak 30.0 g per hari. Nilai rata- rata densitas asupan protein terkecil yaitu 1.3 g per 1 000 kkal dan yang terbesar yaitu 95.9 g per 1 000 kkal Tabel 5. Tabel 5 Densitas asupan protein berdasarkan status stunting anak 0-23 bulan Densitas asupan protein Stunting Tidak Stunting Total Rata-rata 29.6 30.2 30.0 Standar deviasi 19.3 19.3 19.3 Maksimum 88.6 95.9 95.9 Minimum 2.0 1.3 1.3 Keterangan; Peubah g per 1 000 kkal Persen energi dari pangan hewani terhadap total energi anak yaitu 44.6, dan persen protein hewani terhadap total protein anak 0-23 bulan yaitu sebanyak 60.3 Tabel 6. Persen protein hewani terhadap total protein anak 0-23 bulan berkorelasi kuat dengan densitas protein r=0.685; p0.01. Hal ini memperkuat laporan WHO 1998 yaitu asupan protein, terutama protein hewani telah dikaitkan dengan prevalensi stunting yang lebih rendah di negara-negara maju. Tabel 6 Asupan protein dan energi pangan hewani anak 0-23 bulan Stunting Tidak Stunting Total Persen gram pangan hewani terhadap total pangan anak, 37.4 ± 32.1 39.3 ± 32.8 38.6 ± 32.6 Persen protein hewani terhadap total protein anak, 58.2 ± 34.1 61.5 ± 33.3 60.3 ± 33.6 Persen energi dari pangan hewani terhadap total energi anak, 42.6 ± 33.0 45.9 ± 32.2 44.6 ± 32.7 Densitas asupan protein anak 0-23 bulan di Indonesia tidak berbeda dengan anak-anak di Amerika, Peru, dan Meksiko Tabel 7. Namun demikian, rata-rata densitas asupan protein yang diinginkan berbeda yaitu rata-rata yang diinginkan Amerika, Peru, dan Meksiko lebih tinggi dibanding di Indonesia masing-masing yaitu 70 dan 40 g per 1 000 kkal. Tabel 7 Densitas asupan protein dari diet anak baduta di Amerika, Peru, Meksiko dan Indonesia Negara Kelompok umur Rata-rata yang diinginkan Rata- rata Median Minimal Maksimal Amerika 6-8 § 0.7 2.6 2.3 0.9 6.4 Peru 6-8 § 0.7 3.2 2.7 0.0 14.6 Amerika 9-11 § 0.7 3.3 3.1 0.4 6.8 Peru 9-11 § 0.7 3.0 2.7 0.0 7.7 Meksiko 18-24 § 0.7 3.0 2.9 2.3 4.0 Indonesia 0-23 0.4 3.0 2.6 0.1 9.6 Keterangan: umur bulan; densitas asupan protein g per 100 kkal; nilai minimal Drewnowski 2005; § WHO 1998 Prevalensi stunting di Indonesia maupun di Amerika Tengah masih termasuk ke dalam masalah kesehatan masyarakat. Prevalensi stunting anak balita di Indonesia dan Amerika Tengah berturut-turut 35.6 Kemenkes 2010 dan 24.0 WHO 2001. WHO 2006 melaporkan bahwa prevalensi anak balita stunting lebih dari 20 dianggap tinggi dan merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat. Memperhatikan densitas asupan protein anak 0-23 bulan dan prevalensi anak balita stunting di Indonesia terlihat bahwa rata-rata densitas asupan protein anak 0-23 bulan di Indonesia perlu ditingkatkan menjadi rata-rata yang diinginkan negara-negara maju yaitu dari 40 g mejadi 70 g per 1 000 kkal. Selain densitas asupan protein, tingginya prevalensi stunting anak 0-23 bulan di Indonesia diduga disebabkan oleh faktor-faktor determinan stunting yang lain yaitu infeksipenyakit. Oleh karena itu, diharapkan pada Riskesdas 2013, kejadian infeksisakit perlu dikumpulkan datanya. Sebanyak 83.7 densitas asupan protein anak 0-5 bulan dapat depenuhi dari ASI. Rata-rata konsumsi ASI anak 0-5 bulan yaitu 591.6 g per hari. Diketahui bahwa kandungan protein dalam 100 g ASI yaitu 1.02 g WHO 1998. Dengan demikian, rata-rata asupan protein anak 0-5 bulan per hari yaitu 603.43 g atau sebanyak 6.03 g per hari Tabel 8. Tabel 8 Jumlah asupan protein ASI harian anak 0-23 bulan Umur bulan Jumlah konsumsi ASI g Kandungan protein per per 100 g ASI Jumlah asupan protein ASI per hari g100 g ASI 0-5 591.6 1.02 603.43 6-11 498.4 1.02 508.37 12-23 466.2 1.02 475.52 Pada anak 6-11 bulan, densitas asupan protein merupakan faktor risiko di bidang gizi terhadap kejadian stunting, sedangkan pada anak 0-5 dan 12-23 bulan densitas asupan protein tidak menjadi faktor risiko terhadap kejadian stunting. Namun pada anak 0-23 bulan, densitas asupan protein merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting dan besarnya risiko tersebut pada anak 0-23 bulan lebih kecil dibanding anak 6-11 bulan. Risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas asupan protein kurang dari 20 g per 1 000 kkal yaitu 1.32 kali lebih tinggi dibanding anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal. Adapun risiko stunting anak 6-11 bulan yang densitas asupan protein kurang dari 20 g per 1 000 kkal dan 20-40 g per 1 000 kkal berturut-turut yaitu 1.96 dan 1.83 kali lebih tinggi dibanding anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal Tabel 9. Tabel 9 Risiko stunting berdasarkan densitas asupan protein anak 0-23 bulan Umur bulan Densitas asupan protein OR § CI 95 ρ 0-5 20 g per 1 000 kkal 1.66 0.30-9.22 0.565 6-11 20 g per 1 000 kkal 1.96 1.19-3.24 0.008 6-11 20-40 g per 1 000 kkal 1.83 1.10-3.03 0.019 12-23 20 g per 1 000 kkal 1.10 0.88-1.37 0.417 0-23 20 g per 1 000 kkal 1.22 1.00-1.49 0.048 Keterangan: § Berdasarkan uraian di atas, anak 6-11 bulan merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian karena pada kelompok umur tersebut anak baru mulai belajar mengkonsumsi makan pendamping ASI MP-ASI. Diharapkan dengan terhadap 40 g per 1 000 kkal Densitas asupan protein pada anak 12-23 bulan tidak merupakan faktor risiko stunting. Hal ini diduga antara lain disebabkan oleh anak pada kelompok umur tersebut sudah mengkonsumsi makanan keluarga, sedangkan pada kelompok umur 6-11 bulan mereka mengkonsumsi makanan yang berbeda dengan makanan keluarga. Pada anak 6-11 bulan, densitas asupan protein merupakan pembeda asupan energi dan zat gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan yang paling awal dapat diketahui. Pada anak 0-5 bulan, tidak ada perberbedaan asupan energi dan zat gizi; sedangkan pada anak 12-23 bulan, tidak hanya asupan protein yang berbeda, namun asupan energi, kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin C juga berbeda. memperhatikan kualitas MP-ASI agar memenuhi gizi seimbang dari awal pengenalan MP-ASI tersebut anak akan menjadi terhindar stunting. Konsumsi pangan anak dan status ekonomi rumah tangga Stunting anak 0-23 bulan terkait dengan konsumsi pangan anak dan status ekonomi rumah tangga. Risiko stunting Stunting sudah dimulai sejak bayi baru lahir. Prevalensi stunting pada anak 0-5 bulan sebanyak 24.5. Hal tersebut bermakna bahwa pencegahan stunting perlu dilakukan sejak ibu hamil. anak 0-23 bulan yang densitas asupan protein dan status ekonomi keluarga rendah kuintil 1 2 meningkatkan risiko stunting . Pada usia 6 bulan, anak sudah mulai diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI. Pada umur 6 bulan ini, anak mengalami masa transisi yaitu mulai diperkenalkan pada berbagai jenis pangan. Sedangkan pada anak 12 bulan sudah mulai diperkenalkan dengan makan orang dewasa. Risiko terjadinya stunting pada anak 6-11 bulan yang densitas asupan proteinnya rendah 20 g per 1 000 kkal sampai 3.24 kali lebih tinggi dibanding anak yang densitas asupan proteinnya tinggi 40 g per 1 000 kkal. Pada anak 12-23 bulan selain protein, energi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, mutu gizi makanan, dan bahkan jenis konsumsi pangan juga berbeda antara anak stunting dan tidak stunting. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa protein merupakan zat gizi yang perlu diperhatikan pada menu MP-ASI anak 6-11 bulan; semakin bertambah umur anak maka tidak hanya protein yang menjadi perhatian tapi juga memperhatikan zat gizi lainnya sehingga MP-ASI yang dikonsumsi anak merupakan makanan yang memenuhi kaidah gizi seimbang. Namun, jika energi dan zat gizi tidak terpenuhi dari MP-ASI, fortifikasi atau suplementasi perlu dilakukan. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan meningkat seiring dengan menurunnya status ekonomi rumah tangga. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang berstatus ekonomi menengah atas kuintil 3, 4 5 sebanyak 33.6, sedangkan prevalensi stunting anak yang berstatus ekonomi bawah kuintil 1 2 sebanyak 41.3. Prevalensi tersebut relatif sama dengan yang dilaporkan Bappenas 2012 yakni prevalensi anak balita 0-59 bulan stunting menurut tingkat pengeluaran orang tua kuintil 5 sd 1 berturut-turut sebanyak 28.5, 35.2, 38.7; 43.4, dan 47.6. Hal tersebut dapat bermakna bahwa upaya-upaya untuk menurunkan prevalensi stunting antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan status ekonomi rumah tangga. Prevalensi stunting anak yang berstatus ekonomi bawah kuintil 1 2 sebanyak 41.3. Di sisi lain, Bappenas 2012 melaporkan bahwa rata-rata tingkat pengeluaran per kapita per bulan kuintil 1 sd 5 berturut-turut yaitu Rp 188 473, 321 409, 406 838, 686 693, dan 1 540 975. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa anak 0-23 bulan yang tinggal di rumah tangga dengan pengeluaran per kapita per bulan kurang dari Rp 321 409 kuintil 2 berisiko mengalami stunting OR: 1.26; CI 95: 1.08- 1.47; ρ=0.003. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan sebesar 30 US ± Rp 300 000 per kapita per bulan. Adapun batas garis kemiskinan kota dan desa di Jawa Barat yaitu pendapatan perkapita per bulan sebesar Rp 201 138 BPS 2010 dan garis kemiskinan untuk Kabupaten Bogor Rp 183 067 BPS 2006. Diketaui pula bahwa rata-rata pendapatan per kapita per bulan di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Rp 370 102; namun kebutuhan hidup minimum untuk individu di Jawa Barat sebesar Rp 383 370 Nurlinda 2010. Terlihat bahwa, batas garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia lebih mendekati batas minimal pengeluaran rumah tangga dalam hubungannya dengan menentukan rumah tangga anak 0-23 bulan yang berisiko mengalami stunting. Nurlinda 2010 menjelaskan bahwa kebutuhan pangan layak minimum terkecil untuk golongan umur 7-11 bulan yakni Rp 78 235 per bulan; adapaun untuk golongan pria umur 30-49 tahun memiliki kebutuhan pangan layak minimum yaitu Rp 340 102 per bulan. Memperhatikan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian menu makanan dengan mempertimbangkan kebutuhan pangan layak minimum terkecil untuk anak 6-23 bulan yang memenuhi syarat gizi seimbang dalam upaya mencegah stunting. Selain itu perlu dilakukan penelitian efikasi intervensi gizi untuk pencegahan dan meminimalkan risiko stunting baik sejak masa kehamilan maupun pada masa masa bayi dan anak. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan pada semua status ekonomi rumah tangga tergolong cukup, kecuali zat besi dan vitamin C. Namun, rata-rata mutu gizi konsumsi pangan dan densitas asupan zat gizi anak 0-23 bulan pada semua kelompok status ekonomi rumah tangga semuanya tergolong rendah, kecuali densitas asupan vitamin B1 Tabel 10 Tabel 11. Oleh karena itu, perlu dilakukan fortifikasi zat gizi pada anak 0-23 bulan untuk semua kelompok status ekonomi rumah tangga. Tabel 10 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi menurut status ekonomi rumah tangga anak 0-23 bulan Status ekonomi Anak stunting Tidak stunting Total Tingkat kecukupan energi, cukup jika ≥ 70 angka kecukupan gizi -AKG Kuintil 1 74.6±39.0 77.3±37.4 76.1±38.1 Kuintil 2 80.5±37.0 80.3±38.4 80.4±37.8 Kuintil 3 80.2±35.3 80.1±35.9 80.2±35.7 Kuintil 4 83.3±37.8 83.9±36.8 83.7±37.1 Kuintil 5 84.3±37.9 87.8±38.4 86.7±38.2 Tingkat kecukupan protein, cukup jika ≥ 80 AKG Kuintil 1 106.5±73.4 111.1±76.0 109.1±74.8 Kuintil 2 127.4±83.3 127.0±84.1 127.1±83.7 Kuintil 3 143.2±86.0 142.5±87.4 142.7±86.9 Kuintil 4 155.3±94.7 149.6±89.6 151.5±91.3 Kuintil 5 161.9±90.1 167.9±89.0 166.0±89.3 Tingkat kecukupan kalsium, cukup jika ≥ 50 AKG Kuintil 1 43.3±46.7 46.8±50.6 45.3±48.9 Kuintil 2 50.9±49.6 62.7±58.4 58.1±55.4 Kuintil 3 68.7±61.2 70.8±61.8 70.1±61.6 Kuintil 4 78.4±64.8 82.0±65.2 80.8±65.0 Kuintil 5 93.4±66.1 97.4±68.8 96.1±67.9 Tingkat kecukupan fosfor, cukup jika ≥ 50 AKG Kuintil 1 63.2±57.3 65.1±52.2 64.2±54.4 Kuintil 2 74.2±55.2 87.5±65.9 82.4±62.3 Kuintil 3 93.3±66.0 96.4±69.2 95.3±68.1 Kuintil 4 103.2±71.1 109.0±69.2 107.0±69.9 Kuintil 5 125.4±74.4 129.1±69.8 127.9±71.3 Tingkat kecukupan zat besi, cukup jika ≥ 50 AKG Kuintil 1 35.5±31.6 36.0±30.2 35.8±30.8 Kuintil 2 39.1±31.2 38.4±32.1 38.7±31.7 Kuintil 3 37.5±30.0 37.5±32.3 37.5±31.5 Kuintil 4 36.9±29.5 35.5±28.8 36.0±29.0 Kuintil 5 37.1±29.2 36.0±27.0 36.3±27.7 Tingkat kecukupan vitamin A, cukup jika ≥ 50 AKG Kuintil 1 64.6±63.7 74.0±68.0 69.9±66.3 Kuintil 2 75.4±60.7 78.9±66.2 77.5±64.1 Kuintil 3 88.3±69.7 88.8±66.9 88.6±67.8 Kuintil 4 93.4±66.9 91.1±64.8 91.9±65.4 Kuintil 5 95.7±57.4 102.1±65.5 100.0±63.0 Tingkat kecukupan vitamin B1, cukup jika ≥ 50 AKG Kuintil 1 172.2±157.0 180.8±167.5 177.1±162.9 Kuintil 2 188.0±161.5 212.1±170.8 202.8±167.6 Kuintil 3 186.1±160.4 196.2±159.2 192.8±159.5 Kuintil 4 192.2±159.2 194.2±157.0 193.5±157.6 Kuintil 5 194.3±139.1 208.5±151.2 203.9±147.3 Tingkat kecukupan vitamin C, cukup jika ≥ 50 AKG Kuintil 1 23.9±26.4 28.9±29.2 26.7±28.1 Kuintil 2 26.3±26.3 25.8±26.0 26.0±26.1 Kuintil 3 27.5±26.8 28.6±27.2 28.2±27.0 Kuintil 4 26.1±24.9 27.2±25.9 26.8±25.6 Kuintil 5 26.8±25.1 27.6±24.9 27.4±24.9 Mutu gizi konsumsi pangan, cukup jika ≥ 70 AKG Kuintil 1 51.6±21.3 54.5±20.5 53.2±20.9 Kuintil 2 57.9±20.1 59.5±20.6 58.9±20.4 Kuintil 3 61.7±19.8 62.5±19.4 62.2±19.5 Kuintil 4 64.3±20.4 65.0±18.9 64.7±19.4 Kuintil 5 68.1±17.3 68.9±16.7 68.7±16.8 Tabel 11 Rata-rata densitas asupan zat gizi menurut status ekonomi rumah tangga anak 0-23 bulan Status ekonomi Anak stunting Tidak stunting Total Densitas asupan protein, g per 1 000 kkal standar FAO 40-50 g per 1 000 kkal Kuintil 1 25.0±13.5 25.4±13.5 25.2±13.5 Kuintil 2 27.0±13.3 27.7±13.7 27.4±13.5 Kuintil 3 29.3±11.6 30.3±13.6 30.0±13.0 Kuintil 4 31.1±12.1 30.7±12.6 30.8±12.4 Kuintil 5 32.7±10.5 33.4±12.8 33.2±12.1 Densitas asupan kalsium, mg per 1 000 kkal standar FAO 500-800 mg per 1 000 kkal Kuintil 1 341.7±384.0 338.3±371.4 339.8±376.8 Kuintil 2 363.3±358.2 431.8±405.9 405.4±389.4 Kuintil 3 471.2±429.3 486.1±428.5 481.1±428.5 Kuintil 4 516.6±433.8 547.7±463.5 537.1±453.4 Kuintil 5 660.1±476.6 631.7±466.6 640.9±469.5 Densitas asupan zat besi, mg per 1 000 kkal standar FAO 7-40 mg per 1 000 kkal Kuintil 1 4.4±3.9 4.2±3.4 4.3±3.6 Kuintil 2 4.3±2.9 4.0±3.2 4.1±3.1 Kuintil 3 4.0±2.8 3.9±3.0 3.9±3.0 Kuintil 4 4.0±3.1 3.6±2.8 3.7±2.9 Kuintil 5 3.7±2.7 3.6±2.6 3.6±2.6 Densitas asupan vitamin A, µg RE per 1 000 kkal standar FAO 700-1 000 µg RE per 1 000 kkal Kuintil 1 469.3±477.4 518.1±465.7 496.7±471.2 Kuintil 2 497.9±388.8 530.8±412.0 518.1±403.3 Kuintil 3 553.0±462.7 574.6±406.1 567.3±425.8 Kuintil 4 569.2±402.0 571.7±404.6 570.8±403.3 Kuintil 5 595.6±349.3 609.3±399.0 604.8±383.1 Densitas asupan vitamin B1, mg per 1 000 kkal standar FAO 1.0-1.6 mg per 1 000 kkal Kuintil 1 1.5±1.4 1.5±1.4 1.5±1.4 Kuintil 2 1.5±1.3 1.7±1.3 1.6±1.3 Kuintil 3 1.4±1.2 1.5±1.2 1.5±1.2 Kuintil 4 1.5±1.4 1.4±1.1 1.4±1.2 Kuintil 5 1.4±1.1 1.5±1.1 1.5±1.1 Densitas asupan vitamin C, mg per 1 000 kkal standar FAO 50-60 mg per 1 000 kkal Kuintil 1 18.1±22.2 20.8±21.0 19.6±21.5 Kuintil 2 18.3±19.2 18.2±17.7 18.3±18.3 Kuintil 3 18.1±19.1 19.3±20.3 18.9±19.9 Kuintil 4 18.4±24.5 17.5±16.8 17.8±19.8 Kuintil 5 16.6±15.6 17.4±18.2 17.1±17.4 Menu makanan anak 0-23 bulan Departemen Kesehatan 2009 menjelaskan jumlah anjuran MP-ASI pada anak usia 6-23 bulan. Pada anak 6-9 bulan, ASI diteruskan pemberiannya, selain itu anak mulai diberikan makanan pendamping ASI MP-ASI yang diberikan secara bertahap sesuai umur. Contoh MP-ASI anak 6 bulan yaitu bubur susu 3 sendok makan masing-masing diberikan pada anak pada waktu pagi dan sore hari. Adapun contoh MP-ASI anak 7 bulan yaitu bubur susu 3.5 sendok makan masing-masing diberikan pada anak pada waktu pagi dan sore hari. Contoh MP- ASI anak 8 bulan yaitu bubur tim lumat 2 sendok makan masing-masing diberikan pada anak pada waktu pagi hari, dan bubur tim lumat 3 sendok makan masing-masing diberikan pada anak pada waktu siang dan malam hari. Contoh makanan yang dianjurkan untuk anak 6-9 bulan yaitu telur, ayak, ikan, tempe, tahu, daging sapi, wortel, bayam, santan, kacang hijau, minyak, jeruk, pisang, dan pepaya; adapun contoh makanan selingan yaitu bubur kacang hijau, pisang, biskuit, dan nagasari. Pada anak 9-12 bulan, ASI diteruskan pemberiannya, selain itu anak mulai diberikan MP-ASI yang lebih padat misalnya bubur nasi, nasi tim, nasi lembek. Pada anak 9 bulan, anak diberikan bubur nasi masing-masing 3 sendok makan pada pagi, siang dan malam. Pada anak usia 10 bulan, anak diberikan nasi tim 3 sendok makan pada pagi dan siang, sedangkan pada malam hari diberikan nasi tim 4 sendok makan. Pada anak usia 11 bulan, anak diberikan nasi lembek 3 sendok makan pada pagi hari, sedangkan pada siang dan malam hari anak diberikan nasi lembek 4 sendok makan. Pada anak 1-2 tahun, ASI terus diberikan. Mulai usia 1 tahun, anak diberikan makan orang dewasa berupa nasi, lauk, sayur, dan buah. Anak diberikan makan sebanyak 3 kali sehari, masing- masing sepertiga piring orang dewasa. Pada anak usia 11 bulan, Departemen Kesehatan RI menganjurkan anak diberikan nasi lembek 3 sendok makan pada pagi hari, sedangkan pada siang dan malam hari anak diberikan nasi lembek masing-masing 4 sendok makan. Hayati 2009 mendeskripsikan menu seimbang anak 11 bulan pada Gambar 1 dan kandungan zat gizi menu tersebut pada Tabel 12. 08.00 wib Nasi Tim 08.00 wib Semur Daging Cincang 08.00 wib Cah Tahu 10.00 wib Setup Pisang 12.00 wib Nasi Tim 12.00 wib Sop sayuran 12.00 wib Ikan Saos Tomat 12.00 wib Gadon Tahu 16.00 wib Buah Pepaya 18.00 wib Nasi Tim 18.00 wib Tumis Kangkung 18.00 wib Telur dadar 18.00 wib Bakso Tahu Bb Kuning Sumber: Hayati 2009 Gambar 1 Menu seimbang anak 11 bulan Wiryo 2000 menjelaskan bahwa menu anak umur di atas 1 tahun sama dengan orang dewasa, namun perlu disesuaikan rasa tidak pedas dan konsistensi agak lunak dan memperhatikan menu seimbang. Nestle Indonesia 2002 menjelaskan jadwal pemberian makanan anak usia lebih dari 12 bulan yaitu pukul 06.00 bangun tidur, 08.00 makan pagi, 12.00 makan siang, 14.00 sebelum tidur siang, 16.00, dan 18.00 makan malam Tabel 13. 133 Tabel 12 Kandungan gizi menu sehari anak 11 bulan Waktu Jenis Maanan Bahan Berat Energi Protein Lemak Karbo Kalsium Besi Vit A Vit B1 08.00 Nasi tim Nasi tim 100 120.00 2.40 0.40 26.00 3.00 0.40 0.00 0.00 Semur daging cincang Daging sapi 25 36.45 3.56 2.88 1.26 15.00 0.75 85.83 0.03 Kecap manis 5 2.30 0.26 0.07 0.45 6.15 2.85 0.00 0.00 Cah tahu Tahu 25 17.00 1.95 1.15 1.09 31.00 0.00 0.00 0.03 10.00 Setup pisang Pisang 50 50.00 0.60 0.10 12.90 4.00 11.00 0.04 1.50 Gula pasir 10 36.40 0.00 0.00 342.00 0.50 0.01 0.00 0.00 12.00 Nasi tim Nasi tim 100 120.00 2.40 0.40 26.00 3.00 0.40 0.00 0.00 Sop sayuran Wortel 20 7.20 0.28 0.06 8.88 8.86 0.18 409.00 0.02 Buncis 10 4.00 0.24 0.02 0.77 0.70 0.11 10.00 0.01 Bawang merah 5 1.76 0.08 0.02 0.09 2.00 0.04 0.00 0.00 Bawang putih 5 4.18 0.26 0.01 24.94 2.39 0.06 0.00 0.01 Ikan saos tomat Ikan kembung 25 20.60 6.88 0.25 0.00 6.25 0.31 2.81 0.03 Bawang merah 5 1.76 0.08 0.02 0.09 2.00 0.04 0.00 0.00 Bawang putih 5 4.18 0.26 0.01 24.94 2.39 0.06 0.00 0.01 Saos tomat 10 10.00 0.20 0.04 2.45 1.20 0.08 0.00 0.01 Margarin 5 18.00 0.03 2.03 1.44 0.50 0.00 6.68 0.00 Gadon tahu Tahu 25 17.00 1.95 1.15 1.09 31.00 0.00 0.00 0.03 Wortel 10 3.70 0.14 0.03 4.44 4.43 0.09 204.50 0.01 16.00 Buah Pepaya 75 25.89 0.51 0.00 22.44 23.01 1.01 56.01 0.07 18.00 Nasi tim Nasi tim 100 120.00 2.40 0.40 26.00 3.00 0.40 0.00 0.00 Tumis kangkung Kangkung 25 5.08 1.07 0.08 2.24 26.07 0.89 337.50 0.04 Tomat 10 2.00 0.10 0.03 0.42 0.50 0.05 23.00 0.01 Bawang merah 5 1.76 0.08 0.02 0.09 2.00 0.04 0.00 0.00 Bawang putih 5 4.18 0.26 0.01 24.94 2.39 0.06 0.00 0.01 Margarin 5 36.00 0.03 4.05 2.88 1.00 0.00 13.35 0.00 Telur dadar Telur ayam 25 36.45 3.56 2.88 1.26 15.00 0.75 85.83 0.03 Margarin 5 18.00 0.03 2.03 1.44 0.50 0.00 6.68 0.00 Bakso tahu bumbu kuning Tahu 25 17.00 1.95 1.15 1.09 31.00 0.00 0.00 0.03 Tepung kanji 5 18.00 0.06 0.03 4.41 4.20 0.05 0.00 0.00 Bawang merah 5 1.76 0.08 0.02 0.09 2.00 0.04 0.00 0.00 Bawang putih 5 4.18 0.26 0.01 24.94 2.39 0.06 0.00 0.01 Jumlah 764.83 31.96 19.35 591.07 237.43 19.73 1241.23 1.88 Angka kecukupan gizi AKG 760.00 15.00 400.00 5.00 350.00 0.40 AKG 100.64 213.07 59.36 394.60 354.64 470.75 Sumber: Hayati 2009 Tabel 13 Jadwal pemberian makanan anak 1-2 tahun Makanan yang Diberikan Waktu ASIPengganti Air Susu Ibu PASI 06.00 bangun tidur Makanan keluarga 08.00 makan pagi Snack 10.00 Makanan keluarga 12.00 makan siang Snack 14.00 sebelum tidur siang Makanan keluarga 16.00 ASIPASI 18.00 makan malam Sumber: Nestle Indonesia 2002 Rata-rata jumlah ASI yang dikonsumsi anak stunting dan tidak stunting 0-5 bulan per kali menyusu berturut-turut 127.9±157.2 dan 150.5±180.1 g Lampiran 4. Jumlah ASI yang dikonsumsi anak tidak stunting dalam penelitian ini sama dengan yang dikemukan oleh Jahari dan Santi 2009 bahwa jumlah susu formula per satu kali pemberian yaitu 150 ml Tabel 14. Tabel 14 Jumlah susu formula untuk bayi 0-6 bulan yang tidak diberikan ASI Umur bulan Pemberian makan per hari Jumlah susu formula per satu kali pemberian ml 0-1 8 60 1-2 7 90 2-4 6 120 4-6 6 150 Jahari dan Santi 2009 Rata-rata frekuensi menyusu ASI anak stunting dan tidak stunting 0-5 bulan berturut-turut 4.6±3.5 dan 3.9±3.5 kali per hari Lampiran 4. Hal tersebut berbeda dengan yang dijelaskan Departemen Kesehatan 2009, Jahari dan Santi 2009 yaitu bayi 0-6 bulan minimal disusui sebanyak 8 kali dalam 24 jam. Departemen Kesehatan 2009 juga menjelaskan bahwa jika bayi tidur lebih dari 3 jam, maka sebaiknya dibangunkan untuk disusui. Rata-rata jumlah ASI yang dikonsumsi anak stunting dan anak tidak stunting 6-11 bulan per kali menyusu berturut-turut 143.7±148.0 dan 141.7±155.1 g Lampiran 5. Adapun rata-rata jumlah ASI yang dikonsumsi anak stunting dan anak tidak stunting 12-23 bulan per kali menyusu berturut-turut 142.0±138.1 dan 158.1±152.6 g Lampiran 6. Jumlah ASI yang dikonsumsi anak stunting maupun tidak stunting 6-23 bulan dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan laporan WHO 2005 bahwa jumlah susu yang dibutuhkan anak 6-11 bulan yang jumlah konsumsi pangan hewani lain tidak cukup dikonsumsi dan tidak secara rutin yaitu 300-500 mL; sama halnya dengan yang dijelaskan oleh Jahari dan Santi 2009. Formula multivitamin mineral untuk mencegah stunting Jumlah energi yang diperlukan anak 0-23 bulan yang berasal dari makanan pendamping air susu ibu MP-ASI dipengaruhi oleh umur anak. Faktor lain yang ikut menentukan jumlah energi yang diperlukan anak tersebut yaitu jumlah energi yang berasal dari ASI Tabel 15. Semakin bertambah umur, semakin besar energi yang diperlukan dari MP-ASI. Diketahi bahwa mutu gizi konsumsi pangan anak 0-23 bulan masih rendah. Rata-rata mutu gizi makanan anak stunting dan tidak stunting berturut-turut 59.0±20.9 dan 61.9±20.2. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan tersebut dengan melakukan fortifikasi atau suplementasi. Tabel 15 Konsumsi energi dan energi yang diperlukan dari MP-ASI berdasarkan tingkat konsumsi ASI Umur bulan Negara Berkembang Konsumsi Energi dari ASI kkal Energi yang Diperlukan dari MP-ASI Tingkat konsumsi ASI Tingkat konsumsi ASI Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 6 - 8 217 413 609 465 269 73 9 - 11 157 379 601 673 451 229 12 - 23 90 346 602 1002 746 490 Umur bulan Negara Maju Konsumsi Energi dari ASI kkal Energi yang Diperlukan dari MP-ASI Tingkat konsumsi ASI Tingkat konsumsi ASI Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 6 - 8 274 486 698 408 196 9 - 11 41 375 709 789 455 121 12 - 23 313 669 1092 770 423 Sumber: WHO 2005 Ada beberapa mikronutrien dan pangan yang telah terbukti dapat mengatasi stunting anak 0-23 bulan. Mukronutrien yang dapat mengatasi stunting antara lain adalah zat besi, seng, dan vitamin C. Adapun pangan yang yang dapat mengatasi stunting yaitu: 1 campuran biji-bijian dan kacang-kacangan; 2 campuran biji-bijian, kacang-kacangan, dan tepung ikan; 3 campuran biji-bijian dan susu; 4 susu skim; 5 campuran susu murni dan sayuran-sayuran; dan 6 campuran susu skim dan gula Tabel 16. Namun, peningkatan panjang badan yang dihasilkannya masih kecil. Tabel 16 Mikronutrien dan pangan yang mengatasi stunting Mikronutrien dan Pangan Peneliti Vitamin C dan Fe Angles et al. 1993 Vitamin C, Fe dan Zn Thu et al. 1999 Weanimix campuran sereal-kacang, vitamin mineral Lartey et al. 1999 Tepung susu skim Vaughan et al. 1981 Campuran tepung susu murni dan sayuran Lutter et al. 1990 Susu Walker et al. 1991 Tepung susu skim dan gula Martorel et al. 1995 Weanimix Lattey et al. 1999 Weanimix dan tepung ikan Lattey et al. 1999 Campuran sereal dan susu Guldan et al. 2000 Keterangan: anak stunting; anak underweinght Pada tahun 2010, di Indonesia sudah dilakukan uji coba fortifikasi pada anak 6-59 bulan yaitu dengan memberikan bubuk tabur multimikronutrient sebagaimana yang telah dilakukan di negara-negara berkembang lainnya Tabel 17. Fortifikan tersebut dinamakan Taburia. Namun, Taburia tidak dapat meningkatkan tinggi badan anak 6-59 bulan; Taburia hanya dapat menurunkan prevalensi anemia pada anak 6-59 bulan Jahari et al. 2008. Oleh karena itu, Taburia perlu disempurnakan agar dapat meningkatkan panjang badan anak 0-23 bulan menjadi optimal. Komposisi zat gizi Taburia dan MP-ASI komersial kurang untuk mengatasi stunting. Taburia tidak mengandung kalsium, fosfor, copper, mangan, magnesium, dan potasium; adapun jumlah kandungan zat gizi MP-ASI komersial yang ada saat ini belum memadai untuk mengatasi stunting terutama folat dan seng. Telah dirancang formula bubuk tabur baru untuk menyempurnakan Taburia Tabel 18. Formula bubuk tabur baru dirancang berdasarkan studi literatur mutakhir dari berbagai negara. Formula bubuk tabur tersebut perlu diuji coba melalui penelitian efikasi. Diharapkan bubuk tabur baru dapat meningkatkan panjang badan anak 0-23 bulan melebihi hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. 137 Tabel 17 Kandungan gizi makanan pendamping air susu ibu MP-ASI, fortifikasi dan suplementasi anak 6-59 bulan No. Zat Gizi AKG Perkiraan Konsumsi Zat Gizi ASI Sereal, kedelai, susu, minyak Weanimix ditambah vitamin mineral Tepung susu, vitamin dan mineral Fitarasa, bubur susu bergizi Susu SGM, formula Taburia Telur dan Tabuira Perkiraan Konsumsi Per Zat Gizi yang Dibutuhkan dari ASI Sereal, kedelai, susu, minyak Weanimix ditambah vitamin mineral Tepung susu, vitamin dan mineral Fitarasa, nutritious milk porridge SGM, infant formula Taburia Telur dan Tabuira 7 - 12 bulan 6 - 8 bulan 4 - 7 bulan 4 - 12 bulan 6 - 11 bulan 6 - 8 bulan 6 - 59 bulan 6 - 11 bulan 6 - 8 bulan 4 - 7 bulan 4 - 12 bulan 6 - 11 bulan 6 - 8 bulan 6 - 59 bulan 6 - 11 bulan Kemenkes 2004 WHO 1998 Simondon et al. 1996 Bhandari et al. 2001 PT. Cipta Rasa Blended Food 2009 PT Sarihusada 2010 Kemenkes 2010 WHO 1998 Simondon et al. 1996 Bhandari et al. 2001 PT. Cipta Rasa Blended Food 2009 PT Sarihusada 2010 Kemenkes 2010 1 Energi, kkal 650 465 311 900 438.87 510 154 72 48 138 68 78 24 2 Protein, g 16 5.2 11 32 19.62 15 12.4 33 69 200 123 94 78 3 Vitamin A, RE 400 164 669 444 335 420 417 478 41 167 111 84 105 104 120 4 Vitamin B-1 Thiamin, mg 0.4 0.1 1 0.4 0.33 0.66 0.5 0.62 25 250 100 83 165 125 155 5 Vitamin B-2 Riboflavin, mg 0.4 0.3 0.7 1.2 0.42 1.725 0.5 0.88 75 175 300 105 431 125 220 6 Vitamin B-3 Niacin, mg 4 3 11 1.68 3.5 2.85 5 5 75 275 42 88 71 125 125 7 Pantothenic Acid Vitamin B5, mg 1 0.4 1.75 3 3 8 Vitamin B-6 Pyridoxine, mg 0.3 1.2 0.08 0.5 0.9 0.5 0.5 400 27 167 300 167 167 9 Vitamin B-7 Biotin, μg 1.96 10 Vitamin B-12, μg 0.5 3 1.72 0.09 0.33 1 3 600 344 18 66 200 600 11 Vitamin D, μg 5 6.8 5 8.5 18 5 5 136 100 170 360 100 100 12 Vitamin E, mg 5 4 3.6 3.6 6 6 80 72 72 120 120 13 Vitamin K, μg 10 9.2 25.6 8.36 33 20 20 92 256 84 330 200 200 14 Vitamin C, mg 40 10 28 32 31 52.5 30 30 25 70 80 78 131 75 75 15 Folate, μg 80 219 34 28.27 14.4 150 164.67 274 43 35 18 188 206 16 Iodine, μg 90 19 49.48 62 63 50 50 21 55 69 70 56 56 17 Iron Fe, mg 7 20.9 8 10.8 10.55 5.25 10 13 299 114 154 151 75 143 186 18 Zinc Zn, mg 7.5 4.6 6 5.4 5.2 3 5 5 61 80 72 69 40 67 67 19 Selenium Se, μg 10 3 2.8 13.8 20 20 30 28 138 200 200 20 Calcium, mg 400 421 639 560 392 480 86 105 160 140 98 120 22 21 Phosphorous, mg 225 348 671 392 234 375 258 155 298 174 104 167 115 22 Copper, μg 1 540 23 Manganese, μg 0.6 14 78.8 9 2,333 13,133 1,500 24 Magnesium, mg 55 62 100 89.2 120 113 182 162 218 25 Potassium, mg 879 444 150 26 Sodium, mg 253 2 0.4 245 405 Persentase Angka Kecukupan Gizi AKG Indonesia 2004 Tabel 18 Rancangan formula bubuk tabur baru untuk mencegah stunting anak 0-23 bulan No. Zat Gizi Taburia Formula Bubuk Tabur Baru 1 Vitamin A, RE 417 417 2 Vitamin B-1 Thiamin, mg 1.0 0.5 3 Vitamin B-2 Riboflavin, mg 1.0 0.5 4 Vitamin B-3 Niacin, mg 5 5 5 Pantothenic Acid Vitamin B5, mg 3 0.4 6 Vitamin B-6 Pyridoxine, mg 1.0 0.5 7 Vitamin B-7 Biotin, μg 1.96 8 Vitamin B-12, μg 1.0 1.0 9 Vitamin D, μg 5 5 10 Vitamin E, mg 6 6 11 Vitamin K, μg 20 20 12 Vitamin C, mg 30 30 13 Folate, μg 150 150 14 Iodine, μg 50 50 15 Iron Fe, mg 10 10.8 16 Zinc Zn, mg 5.0 5.4 17 Selenium Se, μg 20 2.8 18 Calcium, mg 560 19 Phosphorous, mg 392 20 Copper, μg 540 21 Manganese, μg 78.8 22 Magnesium, mg 89.2 23 Potassium, mg 444 Waktu yang diperlukan untuk mengatasi stunting Nilai z-skor panjang badan menurut umur z-skor PBU anak 0-23 bulan lebih kecil pada kelompok umur anak yang lebih tua dibanding kelompok umur anak yang lebih muda. Nilai z-skor PBU anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak -0.6±2.3, -0.9±2.5, dan -1.2±2.5 Tabel 19. Perbedaan rata-rata panjang badan anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan sebanyak 8.5 cm Tabel 20. Dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan rata-rata panjang badan anak menurut kelompok umur, perbedaan tersebut bertambah besar pada kelompok umur yang lebih tua dibanding pada kelompok umur yang lebih muda. Tabel 19 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan karakteristik anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Umur 0 – 5 bulan 2.8±1.4 2.7±1.6 2.7±1.5 6 – 11 bulan 8.8±1.5 8.9±1.5 8.8±1.5 12 – 23 bulan 17.8±3.5 17.5±3.5 17.6±3.5 Berat lahir 0 – 5 bulan 3 139.6±504.4 3 188.3±433.4 3 176.4±450.9 6 – 11 bulan 3 051.9±533.2 3 222.7±500.8 3 168.2±517.0 12 – 23 bulan 3 106.7±532.9 3 186.9±470.5 3 155.3±497.4 Z-skor BBU 0 – 5 bulan -0.8±1.3 0.0±1.5 -0.2±1.5 6 – 11 bulan -0.7±1.6 -0.3±1.3 -0.5±1.5 12 – 23 bulan -1.2±1.5 -0.4±1.4 -0.7±1.5 Z-skor PBU 0 – 5 bulan -3.6±1.1 0.4±1.7 -0.6±2.3 6 – 11 bulan -3.7±1.1 0.4±1.8 -0.9±2.5 12 – 23 bulan -3.4±1.1 0.2±2.0 -1.2±2.5 Berat badan, kg 0 – 5 bulan 5.4±1.3 5.7±1.4 5.6±1.4 6 – 11 bulan 7.9±1.6 8.3±1.4 8.2±1.5 12 – 23 bulan 9.4±1.9 10.2±2.0 9.8±2.0 Panjang badan, cm 0 – 5 bulan 52.4±3.9 59.9±5.5 58.1±6.1 6 – 11 bulan 62.0±3.2 71.7±4.4 68.5±6.1 12 – 23 bulan 71.2±4.4 81.1±6.5 77.1±7.5 Tabel 20 Perbedaan rata-rata panjang badan anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan Umur Panjang Badan Anak cm Stunting Tidak Stunting Perbedaan 0 – 5 bulan 52.4 59.9 7.5 6 – 11 bulan 62.0 71.7 9.7 12 – 23 bulan 71.2 81.1 9.9 Rata-rata 68.5 76.9 8.5 Simondon et al. 1996 dan Bhandari et al. 2001 melakukan penelitian intervensi gizi terhadap peningkatan panjang badan anak umur 4 bulan. Simondon et al. 1996 menyimpulkan bahwa peningkatan panjang badan anak 4 bulan yang diberikan intervensi campuran sereal, kedelai, susu, minyak, vitamin dan mineral selama 3 bulan yaitu 0.48 cm. Adapun Bhandari et al. 2001 menyimpulkan bahwa pemberian susu, vitamin dan mineral pada anak 4 bulan selama 8 bulan yaitu 0.4 cm Tabel 21. Tabel 21 Peningkatan rata-rata panjang badan anak 4 bulan setelah intervensi Negara dan Peneliti Jenis intervensi Lama Intervensi bulan Peningkatan PB Anak cm Waktu untuk peningkatan PB 8.5 cm Sinegal Simondon et al. 1996 Fortifikasi vitamin dan mineral pada campuran sereal, kacang kedelai, susu, dan minyak 3 0.48 4 tahun 5 bulan India Bhandari et al. 2001 Fortifikasi vitamin dan mineral pada tepung susu 8 0.4 14 tahun 2 bulan Keterangan: PB = panjang badan Waktu yang diperlukan untuk mengatasi stunting anak 0-23 bulan di Indonesia melalui fortifikasi vitamin dan mineral pada MP-ASI sekitar 4 sampai dengan 14 tahun. Berdasarkan penelitian Simondon et al. 1996 maka upaya peningkatan panjang badan anak sebanyak 8.5 cm melalui fortifikasi vitamin dan mineral pada campuran sereal, kacang kedelai, susu, dan minyak memerlukan waktu 4 tahun 5 bulan, sedangkan berdasarkan penelitian Bhandari et al. 2001 dapat diketahui bahwa upaya peningkatan panjang badan sebanyak 8.5 cm melalui pemberian tepung susu yang difortifikasi vitamin dan mineral memerlukan waktu 14 tahun 2 bulan. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa densitas asupan protein merupakan faktor risiko stunting anak 0-23 bulan di bidang gizi. Selain itu diketahui pula bahwa densitas asupan protein merupakan pembeda awal asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan. Nilai batas cut off densitas asupan protein sebagai faktor risiko stunting anak 0-23 bulan yaitu 40 g per 1 000 kkal. Adapun rata-rata densitas asupan zat gizi anak 0-23 bulan pada semua kelompok status ekonomi rumah tangga kuintil 1 sd 5 semuanya tergolong rendah, kecuali densitas asupan vitamin B1. Oleh karena itu perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitas menu makanan anak 0-23 antara lain dengan meningkatkan konsumsi pangan hewani, buah, sayur dan disertai dengan pendidikan gizi. Alternatif lain yaitu melalui fortifikasi vitamin dan mineral MP- ASI. Perkiraan waktu yang diperlukan untuk mengatasi stunting anak 0-23 bulan di Indonesia melalui fortifikasi vitamin dan mineral MP-ASI sekitar 4 sampai dengan 14 tahun. Karakteristik anak, orang tua, dan rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI Jumlah anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dalam penelitian ini sebanyak 3.0. Di sisi lain, Kemenkes 2010 melaporkan bahwa bayi yang berumur 5 bulan yang menyusui eksklusif yaitu 15.3. Rata-rata z-skor panjang badan menurut umur PBU anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif tidak berbeda dengan rata-rata z-skor PBU anak yang tidak pernah diberi ASI ρ0.05. Rata-rata PBU anak yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI berturut-turut yaitu -0.8±2.5 dan -0.7±2.8 Tabel 22. Peran ASI tidak hanya untuk pertumbuhan seperti immunitas, stimulasi, bonding ikatan kasih sayang. Adalah kelemahan penelitian ini tidak bisa meliput semua peubah termasuk peubah ASI eksklusif dan tidak berarti ASI eksklusif tidak penting. Hasil penelitian ini mendukung kesimpulan Frongillo 1999 bahwa bayi yang diberikan air susu ibu ASI memiliki pertumbuhan tulang yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula; semakin besar kandungan mineral formula, semakin besar pertambahan tulang Peubah . Namun demikian, hasil penelitian ini berbeda dengan kesimpulan Wahdah 2012 bahwa faktor risiko stunting anak 6-36 bulan di Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat meliputi pemberian ASI eksklusif. Tabel 22 Rata-rata z-skor PBU anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI berdasarkan status stunting Stunting Tidak Stunting Total Nilai ρ Anak yang diberi ASI eksklusif -3.2±0.9 0.5±2.0 -0.8±2.5 0.254 § Anak yang tidak pernah diberi ASI -3.4±1.1 0.8±2.3 -0.7±2.8 Keterangan: § Hasil Independent t test Tidak ada perbedaan karakteristik anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI. Karakteristik tersebut meliputi jenis kelamin, umur, berat lahir, dan z-skor berat badan menurut umur Tabel 23. Tabel 23 Karakteristik anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI berdasarkan status stunting Peubah Stunting Tidak Stunting Total TB cm Anak yang diberi ASI eksklusif 69.0±7.1 77.4±9.6 74.3±9.6 Anak yang tidak pernah diberi ASI 70.4±5.4 81.5±8.0 77.4±9.0 Berat lahir g Anak yang diberi ASI eksklusif 3 143.5±443.2 3 257.1±595.5 3 213.1±541.4 Anak yang tidak pernah diberi ASI 3 101.6±540.6 3 175.4±453.5 3 148.1±487.8 Z-skor BBU Anak yang diberi ASI eksklusif -1.3±1.7 -0.2±1.7 -0.6±1.8 Anak yang tidak pernah diberi ASI -1.1±1.7 -0.1±1.6 -0.5±1.7 Tingkat partisipasi jenis kelamin Anak yang diberi ASI eksklusif Perempuan 17 50.0 33 55.9 50 53.8 Laki-laki 17 50.0 26 44.1 43 46.2 Total 34 100.0 59 100.0 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI Perempuan 49 43.8 85 44.7 134 44.4 Laki-laki 63 56.3 105 55.3 168 55.6 Total 112 100.0 190 100.0 302 100.0 Prevalensi stunting menurut jenis kelamin Anak yang diberi ASI eksklusif Perempuan 17 34.0 33 66.0 50 100.0 Laki-laki 17 39.5 26 60.5 43 100.0 Total 34 36.6 59 63.4 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI Perempuan 49 36.6 85 63.4 134 100.0 Laki-laki 63 37.5 105 62.5 168 100.0 Total 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Tingkat partisipasi umur Anak yang diberi ASI eksklusif 0-5 bulan 3 8.8 5 8.5 8 8.6 6-11 bulan 5 14.7 13 22.0 18 19.4 12-23 bulan 26 76.5 41 69.5 67 72.0 Total 34 100.0 59 100.0 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI 0-5 bulan 1 0.9 4 2.1 5 1.7 6-11 bulan 13 11.6 29 15.3 42 13.9 12-23 bulan 98 87.5 157 82.6 255 84.4 Total 112 100.0 190 100.0 302 100.0 Prevalensi stunting menurut umur Anak yang diberi ASI eksklusif 0-5 bulan 3 37.5 5 62.5 8 100.0 6-11 bulan 5 27.8 13 72.2 18 100.0 12-23 bulan 26 38.8 41 61.2 67 100.0 Total 34 36.6 59 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI 0-5 bulan 1 20.0 4 80.0 5 100.0 6-11 bulan 13 31.0 29 69.0 42 100.0 12-23 bulan 98 38.4 157 61.6 255 100.0 Total 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Keterangan: rata-rata ± SD; n Karakteristik orang tua anak yang diberi ASI eksklusif tidak berbeda dengan karakteristik orang tua anak yang tidak pernah diberi ASI. Karakteristik tersebut meliputi umur ibu, umur ayah, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu dan pekerjaan ayah. Rata-rata umur ibu anak yang diberi ASI eksklusif tidak berbeda dengan anak yang tidak pernah diberi ASI, berturut-turut yaitu 30.7 dan 30.4 tahun; demikian pula dengan umur ayah, berturut-turut yaitu 35.5 dan 35.4 tahun Tabel 24. Tabel 24 Rata-rata umur orang tua yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Umur ibu, tahun Anak ASI eksklusif 32.3±6.5 29.8±6.0 30.7±6.3 Anak yang tidak pernah diberi ASI 30.1±8.1 30.50±6.3 30.4±7.0 Umur ayah, tahun Anak ASI eksklusif 37.5±7.0 34.3±6.9 35.5±7.1 Anak yang tidak pernah diberi ASI 35.2±8.9 35.5±7.1 35.4±7.8 Semakin rendah pendidikan ibu semakin banyak yang memberikan ASI eksklusif kepada anak 0-23 bulan; begitu juga dengan anak 0-23 bulan yang tidak pernah diberi ASI. Persentasi ibu yang berpendidikan SD, SLTP, SLTA dan PT yang memberikan ASI eksklusif berturut-turut yaitu 36.6, 23.7, 24.7, dan 11.8; begitu juga dengan anak yang tidak pernah diberi ASI berturut-turut yaitu 33.4, 21.9, 29.1 dan 10.9 Tabel 25. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan dengan ibu yang berpendidikan SLTA merupakan yang paling rendah baik pada anak yang diberi ASI eksklusif maupun pada anak yang tidak pernah diberi ASI berturut-turut yaitu 26.1 dan 28.4. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang orang tuanya berpendidikan SD lebih tinggi pada anak yang diberi ASI eksklusif dibanding anak yang tidak pernah diberi ASI, berturut-turut yaitu 47.1 dan 40.6. Prevalensi stunting anak yang orang tuanya berpendidikan SLTP lebih rendah pada anak yang diberi ASI eksklusif dibanding anak yang tidak pernah diberi ASI, berturut-turut yaitu 40.9 dan 43.9. Prevalensi stunting anak yang orang tuanya berpendidikan SLTA lebih rendah pada anak yang diberi ASI eksklusif dibanding anak yang tidak pernah diberi ASI, berturut-turut yaitu 26.1 dan 28.4. Prevalensi stunting anak yang orang tuanya berpendidikan PT lebih rendah pada anak yang diberi ASI eksklusif dibanding anak yang tidak pernah diberi ASI, berturut-turut yaitu 27.3 dan 42.4. Tabel 25 Pendidikan ibu yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Tingkat partisipasi pendidikan ibu Anak ASI eksklusif SD 16 47.1 18 30.5 34 36.6 SLTP 9 26.5 13 22.0 22 23.7 SLTA 6 17.6 17 28.8 23 24.7 PT 3 8.8 8 13.6 11 11.8 Tidal ada data 0.0 3 5.1 3 3.2 Total 34 100.0 59 100.0 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI SD 41 36.6 60 31.6 101 33.4 SLTP 29 25.9 37 19.5 66 21.9 SLTA 25 22.3 63 33.2 88 29.1 PT 14 12.5 19 10.0 33 10.9 Tidal ada data 3 2.7 11 5.8 14 4.6 Total 112 100.0 190 100.0 302 100.0 Pendidikan ibu Anak ASI eksklusif SD 16 47.1 18 52.9 34 100.0 SLTP 9 40.9 13 59.1 22 100.0 SLTA 6 26.1 17 73.9 23 100.0 PT 3 27.3 8 72.7 11 100.0 Tidal ada data 0 0.0 3 100.0 3 100.0 Total 34 36.6 59 63.4 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI SD 41 40.6 60 59.4 101 100.0 SLTP 29 43.9 37 56.1 66 100.0 SLTA 25 28.4 63 71.6 88 100.0 PT 14 42.4 19 57.6 33 100.0 Tidal ada data 3 21.4 11 78.6 14 100.0 Total 112 37.1 190 62.9 302 100.0 ASI eksklusif paling banyak diberikan pada anak 0-23 bulan yang ayahnya berpendidikan SD yaitu sebanyak 33.3. Adapun anak yang ayahnya berpendidikan SLTA merupakan yang paling banyak tidak pernah diberikan ASI yaitu sebanyak 33.1 Tabel 26. Prevalensi stunting paling tinggi pada anak yang diberi ASI eksklusif yang ayahnya berpendidikan SD yaitu 48.4. Begitu pula dengan prevalensi stunting paling tinggi pada anak yang tidak pernah diberi ASI yang ayahnya berpendidikan SD yaitu 45.8 Tabel 26. Tabel 26 Pendidikan ayah yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Tingkat partisipasi pendidikan ayah Anak ASI eksklusif SD 15 44.1 16 27.1 31 33.3 SLTP 5 14.7 10 16.9 15 16.1 SLTA 7 20.6 19 32.2 26 28.0 PT 5 14.7 10 16.9 15 16.1 Tidal ada data 2 5.9 4 6.8 6 6.5 Total 34 100.0 59 100.0 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI SD 38 33.9 45 23.7 83 27.5 SLTP 19 17.0 41 21.6 60 19.9 SLTA 28 25.0 72 37.9 100 33.1 PT 13 11.6 17 8.9 30 9.9 Tidal ada data 14 12.5 15 7.9 29 9.6 Total 112 100.0 190 100.0 302 100.0 Pendidikan ayah Anak ASI eksklusif SD 15 48.4 16 51.6 31 100.0 SLTP 5 33.3 10 66.7 15 100.0 SLTA 7 26.9 19 73.1 26 100.0 PT 5 33.3 10 66.7 15 100.0 Tidal ada data 2 33.3 4 66.7 6 100.0 Total 34 36.6 59 63.4 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI SD 38 45.8 45 54.2 83 100.0 SLTP 19 31.7 41 68.3 60 100.0 SLTA 28 28.0 72 72.0 100 100.0 PT 13 43.3 17 56.7 30 100.0 Tidal ada data 14 48.3 15 51.7 29 100.0 Total 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Sebanyak 59.1 anak 0-23 bulan yang diberikan ASI eksklusif memiliki ibu yang tidak bekerjasekolah. Adapun anak yang tidak pernah diberi ASI, sebanyak 52.0 ibunya juga tidak bekerjasekolah Tabel 27. Tabel 27 Pekerjaan ibu yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Tingkat partisipasi pekerjaan ibu Anak ASI eksklusif Tidak bekerjasekolah 20 58.8 35 59.3 55 59.1 Buruhpetaninelayan 6 17.6 12 20.3 18 19.4 TNIPNSwiraswasta 8 23.5 9 15.3 17 18.3 Tidak ada data 0 0.0 3 5.1 3 3.2 Total 34 100.0 59 100.0 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI Tidak bekerjasekolah 58 51.8 99 52.1 157 52.0 Buruhpetaninelayan 22 19.6 37 19.5 59 19.5 TNIPNSwiraswasta 29 25.9 43 22.6 72 23.8 Tidak ada data 3 2.7 11 5.8 14 4.6 Total 112 100.0 190 100.0 302 100.0 Pekerjaan ibu Anak ASI eksklusif Tidak bekerjasekolah 20 36.4 35 63.6 55 100.0 Buruhpetaninelayan 6 33.3 12 66.7 18 100.0 TNIPNSwiraswasta 8 47.1 9 52.9 17 100.0 Tidak ada data 0 0.0 3 100.0 3 100.0 Total 34 36.6 59 63.4 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI Tidak bekerjasekolah 58 36.9 99 63.1 157 100.0 Buruhpetaninelayan 22 37.3 37 62.7 59 100.0 TNIPNSwiraswasta 29 40.3 43 59.7 72 100.0 Tidak ada data 3 21.4 11 78.6 14 100.0 Total 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Anak yang diberi ASI eksklusif yang mengalami stunting sebanyak 36.9, dan anak yang tidak pernah diberi ASI mengalami stunting sebanyak 37.1. Prevalensi stunting terbanyak terdapat pada anak yang tidak pernah diberi ASI yang ibunya bekerja sebagai TNIPNSwiraswasta yaitu 41.0 Tabel 28. Sebanyak 45.2 anak yang diberi ASI eksklusif dan 50.7 anak yang tidak pernah diberi ASI ayahnya TNIPNSwiraswasta. Namun, anak yang ayahnya buruhpetaninelayan baik yang diberi ASI eksklusif maupun yang tidak pernah diberi ASI adalah yang terbesar mengalami stunting berturut-turut yaitu 48.8 dan 41.0 Tabel 28. Tabel 28 Pekerjaan ayah yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Tingkat partisipasi pekerjaan ayah Anak ASI eksklusif Tidak bekerjasekolah 4 5.9 2 3.4 6 4.3 Buruhpetaninelayan 32 58.8 10 35.6 42 44.1 TNIPNSwiraswasta 21 29.4 20 54.2 41 45.2 Tidak ada data 2 5.9 2 6.8 4 6.5 Total 59 100.0 34 100.0 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI Tidak bekerjasekolah 1 0.9 2 1.1 3 1.0 Buruhpetaninelayan 48 42.9 69 36.3 117 38.7 TNIPNSwiraswasta 49 43.8 104 54.7 153 50.7 Tidak ada data 14 12.5 15 7.9 29 9.6 Total 112 100.0 190 100.0 302 100.0 Pekerjaan ayah Anak ASI eksklusif Tidak bekerjasekolah 4 50.0 2 50.0 6 100.0 Buruhpetaninelayan 32 48.8 10 51.2 42 100.0 TNIPNSwiraswasta 21 23.8 20 76.2 41 100.0 Tidak ada data 2 33.3 2 66.7 4 100.0 Total 59 36.6 34 63.4 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI Tidak bekerjasekolah 1 33.3 2 66.7 3 100.0 Buruhpetaninelayan 48 41.0 69 59.0 117 100.0 TNIPNSwiraswasta 49 32.0 104 68.0 153 100.0 Tidak ada data 14 48.3 15 51.7 29 100.0 Total 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Karakteristik rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif tidak berbeda dengan karakteristik anak yang tidak pernah diberi ASI. Karakteristik tersebut meliputi jumlah anak balita di rumah tangga, besar rumah tangga, wilayah tempat tinggal kotadesa, dan status ekonomi rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki sedikit anak balita lebih banyak yang memberikan ASI eksklusif, begitu juga dengan rumah tangga yang tidak pernah memberikan ASI berturut-turut sebanyak 71.0 dan 75.9. Adapun prevalensi stunting anak yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI yang berasal dari rumah tangga yang memiliki sedikit anak balita berturut-turut yaitu 40.9 dan 36.5 Tabel 29. Tabel 29 Jumlah anak balita di rumah tangga yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan Peubah Stunting Tidak Stunting Total Tingkat partisipasi jumlah anak balita di rumah tangga Anak ASI eksklusif 1 orang 27 79.4 39 66.1 66 71.0 1 orang 7 20.6 20 33.9 27 29.0 Total 34 100.0 59 100.0 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI 1 orang 85 75.9 148 77.9 233 77.2 1 orang 27 24.1 42 22.1 69 22.8 Total 112 100.0 190 100.0 302 100.0 Jumlah anak balita di rumah tangga Anak ASI eksklusif 1 orang 27 40.9 39 59.1 66 100.0 1 orang 7 25.9 20 74.1 27 100.0 Total 34 36.6 59 63.4 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI 1 orang 85 36.5 148 63.5 233 100.0 1 orang 27 39.1 42 60.9 69 100.0 Total 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Anak yang diberikan ASI eksklusif sebagian besar tinggal di rumah tangga yang kecil, demikian pula dengan anak yang tidak pernah diberikan ASI berturut- turut yaitu 50.5 dan 57.6. Adapun prevalensi stunting anak yang diberikan ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI yang bersal dari rumah tangga yang kecil berturut-turut yaitu 34.1 dan 39.1 Tabel 30. Tabel 30 Besar rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah diberikan ASI Peubah Stunting Tidak Stunting Total Tingkat partisipasi besar rumah tangga Anak ASI eksklusif ≤ 4 orang 16 47.1 31 52.5 47 50.5 4 orang 18 52.9 28 47.5 46 49.5 Total 34 100.0 59 100.0 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI ≤ 4 orang 68 60.7 106 55.8 174 57.6 4 orang 44 39.3 84 44.2 128 42.4 Total 112 100.0 190 100.0 302 100.0 Besar rumah tangga Anak ASI eksklusif ≤ 4 orang 16 34.0 31 66.0 47 100.0 4 orang 18 39.1 28 60.9 46 100.0 Total 34 36.6 59 63.4 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI ≤ 4 orang 68 39.1 106 60.9 174 100.0 4 orang 44 34.4 84 65.6 128 100.0 Total 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Anak yang diberikan ASI eksklusif maupun anak yang tidak pernah diberikan ASI lebih banyak yang tinggal di kota masing-masing yaitu sebanyak 57.0. Adapun prevalensi stunting anak yang diberi ASI ekslusif maupun yang tidak pernah diberi ASI lebih tinggi pada anak yang bertempat tinggal di desa berturut-turut yaitu 47.5 dan 43.8 Tabel 31. Tabel 31 Wilayah tempat tinggal anak 0-23 bulan yang diberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah diberikan ASI Peubah Stunting Tidak Stunting Total Tingkat partisipasi desakota Anak ASI eksklusif Kota 15 44.1 38 64.4 53 57.0 Desa 19 55.9 21 35.6 40 43.0 Total 34 100.0 59 100.0 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI Kota 55 49.1 117 61.6 172 57.0 Desa 57 50.9 73 38.4 130 43.0 Total 112 100.0 190 100.0 302 100.0 Desakota Anak ASI eksklusif Kota 15 28.3 38 71.7 53 100.0 Desa 19 47.5 21 52.5 40 100.0 Total 34 36.6 59 63.4 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI Kota 55 32.0 117 68.0 172 100.0 Desa 57 43.8 73 56.2 130 100.0 Total 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Lebih dari setengah anak yang diberi ASI eksklusif maupun anak yang tidak pernah diberi ASI berasal dari rumah tangga yang berstatus ekonomi menengah atas masing-masing yaitu 58.1 dan 63.2. Adapun prevalensi stunting anak yang diberi ASI ekslusif maupun anak yang tidak pernah diberi ASI lebih tinggi pada anak yang berasal dari rumah tangga yang berstatus ekonomi bawah berturut-turut yaitu 41.0 dan 45.0 Tabel 32. Tabel 32 Status ekonomi rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah diberikan ASI Peubah Stunting Tidak Stunting Total Tingkat partisipasi status ekonomi Anak ASI eksklusif Bawah 16 47.1 23 39.0 39 41.9 Menengah atas 18 52.9 36 61.0 54 58.1 Total 34 100.0 59 100.0 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI Bawah 50 44.6 61 32.1 111 36.8 Menengah atas 62 55.4 129 67.9 191 63.2 Total 112 100.0 190 100.0 302 100.0 Status ekonomi Anak ASI eksklusif Bawah 16 41.0 23 59.0 39 100.0 Menengah atas 18 33.3 36 66.7 54 100.0 Total 34 36.6 59 63.4 93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI Bawah 50 45.0 61 55.0 111 100.0 Menengah atas 62 32.5 129 67.5 191 100.0 Total 112 37.1 190 62.9 302 100.0 Sanitasi lingkungan rumah tangga anak 0-23 bulan Ada hubungan antara stunting dengan penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga anak 0-23 bulan ρ0.05. Anak yang penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangganya milik bersamaumumtidak ada berisiko 1.28 kali lebih tinggi mengalami stunting dibanding anak yang penggunaan fasilitas buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga milik sendiri. Adapun prevalensi stunting anak yang penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangganya milik bersamaumumtidak ada dan anak yang penggunaan fasilitas buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga milik sendiri berturut-turut yaitu 33.4 dan 28.1 Tabel 33. Sebanyak 74.0 rumah tangga anak 0-23 bulan penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangganya merupakan milik sendiri, sedangkan Kemenkes 2010 melaporkan bahwa sebanyak 69.7 rumah tangga di Indonesia menggunakan fasilitas tempat buang air besar milik sendiri. 151 Tabel 33 Sanitasi lingkungan rumah tangga anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting Peubah Stunting Tidak Stunting Total OR CI 95 Nilai ρ Sumber air untuk keperluan rumah tangga: Air ledengPDAMair ledeng eceranmembeli sumur borpompasumur gali terlindung 0 124 33.2 249 66.8 373 100.0 Sumur gali tak terlindungmata air tak terlindungpenampungan air hujan 317 28.3 805 71.7 1122 100.0 1.26 0.98-1.63 0.067 Total 441 29.5 1054 70.5 1495 100.0 Jarak sumber air ke penampungan tinja terdekat: ≥ 10 meter 0 130 33.2 262 66.8 392 100.0 10 meter 96 30.2 222 69.8 318 100.0 0.870.63-1.20 0.397 Total 226 31.8 484 68.2 710 100.0 Kepemilikan fasilitas buang air besar: Milik sendiri 0 311 28.1 795 71.9 1106 100.0 Milik bersamaumumtidak ada 130 33.4 259 66.6 389 100.0 1.281.00-1.64 0.049 Total 441 29.5 1054 70.5 1495 100.0 Jenis kloset yang digunakan: Leher angsa 0 314 28.6 785 71.4 1099 100.0 Cemplungcubluk 79 33.8 155 66.2 234 100.0 1.270.94-1.72 0.114 Total 393 29.5 940 70.5 1333 100.0 Tempat pembuangan akhir tinja: Tangki septikSPAL 301 29.0 738 71.0 1039 100.0 Kolamsawahsungaidanaulubang tanahpantaitanahkebunlainnya 140 30.7 316 69.3 456 100.0 1.090.85=1.38 0.499 Total 441 29.5 1054 70.5 1495 100.0 Keterangan: Hasil Uji Chi Square ρ0.01, ρ0.05 Kehamilan, persalinan dan pemeriksaan sesudah melahirkan ibu anak 0-23 bulan Ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan umur kandungan ibu ketika pertama kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan ρ0.01, umur kandungan ibu ketika terakhir kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan ρ0.05, dan status ibu mendapat atau membeli pil zat besi selama mengandung ρ0.05. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang umur kandungan ibu ketika pertama kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan lebih atau sama dengan 3 bulan lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang umur kandungan ibu ketika pertama kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan kurang dari 3 bulan berturut-turut yaitu 36.8 dan 27.9. Adapun risiko stunting anak yang umur kandungan ibu ketika pertama kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan lebih atau sama dengan 3 bulan 1.51 lebih tinggi dibanding anak yang umur kandungan ibu ketika pertama kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan kurang dari 3 bulan Tabel 34. Terdapat 82.2 ibu anak 0-23 bulan yang memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan pada trimeser pertama kehamilannya. Hal ini sama dengan yang dilaporkan oleh Kemenkes 2010 yaitu sebanyak 81.2 ibu melakukan pemeriksaan kehamilan pertama kali pada trimester pertama kehamilannya. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang umur kandungan ibu ketika terakhir kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan kurang dari 9 bulan lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang umur kandungan ibu ketika terakhir kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan lebih atau sama dengan 9 bulan berturut-turut yaitu 36.5 dan 28.4. Adapun risiko stunting anak yang umur kandungan ibu ketika terakhir kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan kurang dari 9 bulan lebih tinggi 1.44 lebih tinggi dibanding anak yang umur kandungan ibu ketika terakhir kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan lebih atau sama dengan 9 bulan. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang ibunya tidak mendapat atau membeli pil zat besi selama mengandung lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang ibunya mendapat atau membeli pil zat besi selama mengandung berturut- turut yaitu 38.4 dan 28.7. Adapun risiko stunting anak yang ibunya tidak mendapat atau membeli pil zat besi selama mengandung 1.55 kali lebih tinggi dibanding anak yang ibunya mendapat atau membeli pil zat besi selama mengandung. Sebanyak 8.6 ibu anak 0-23 bulan tidak mendapat atau membeli pil zat besi selama mengandung. Persentasi tersebut lebih kecil dibanding yang dilaporkan Kemenkes 2010 yaitu sebanyak 19.3 ibu hamil tidak minum tablet zat besi. 154 Tabel 34 Kehamilan, persalinan dan pemeriksaan sesudah melahirkan ibu anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting Peubah Stunting Tidak Stunting Total OR CI 95 Nilai ρ Frekuensi ibu memeriksakan kehamilan: ≥ 4 kali 0 381 29.3 921 70.7 1302 100.0 4 kali 54 32.0 115 68.0 169 100.0 1.140.80-1.60 0.262 Total 435 29.6 1036 70.4 1471 100.0 Umur kehamilan pertama kali diperiksa: ≤ 3 bulan 0 343 27.9 886 72.1 1229 100.0 3 bulan 98 36.8 168 63.2 266 100.0 1.511.14-1.99 0.003 Total 441 29.5 1054 70.5 1495 100.0 Umur kehamilan ketika terakhir kali diperiksa: ≥ 9 bulan 0 359 28.4 903 71.6 1262 100.0 9 bulan 74 36.5 129 63.5 203 100.0 1.441.06-1.97 0.014 Total 433 29.6 1032 70.4 1465 100.0 Status immunisasi tetanus ibu: Ya 0 340 29.4 815 70.6 1155 100.0 Tidak 86 30.3 198 69.7 284 100.0 1.040.78-1.38 0.416 Total 426 29.6 1013 70.4 1439 100.0 Ibu hamil mendapat atau membeli pil zat besi: Ya 0 383 28.7 952 71.3 1335 100.0 Tidak 48 38.4 77 61.6 125 100.0 1.551.06-2.26 0.016 Total 431 29.5 1029 70.5 1460 100.0 Keterangan: Hasil Uji Chi Square ρ0.01, ρ0.05 Karakteristik anak yang dikeluarkan dari sampel dan anak yang terpilih menjadi sampel Rata-rata z-skor panjang badan menurut umur PBU anak 0-23 bulan yang menjadi sampel berbeda dengan anak yang dikeluarkan dari sampel. ρ0.00. Rata-rata z-skor PBU anak yang mejadi sampel lebih besar dibandingn anak yang dikeluarkan dari sampel Tabel 35. Tabel 35 Rata-rata z-skor PBU anak 0-23 bulan yang menjadi sampel dan anak yang dikeluarkan dari sampel berdasarkan status stunting Peubah Stunting Tidak Stunting Total Nilai ρ Anak yang menjadi sampel -3.50±1.10 0.30±1.91 -1.12±2.47 0.00 § Anak yang dikeluarkan dari sampel -4.76±2.02 0.98±2.63 -1.36±3.70 Keterangan: § Hasil Independent t test Karakteristik anak 0-23 bulan yang dikeluarkan dari sampel kurang baik dibanding karakteristik anak yang terpilih menjadi sampel, kecuali berat bayi lahir. Z-skor PBU anak yang dikeluarkan dari sampel lebih rendah dibanding z-skor PBU anak yang terpilih menjadi sampel berturut yaitu -1.36±3.70 dan -1.12±2.47. Prevalensi stunting anak laki-laki pada sampel yang dikeluarkan lebih besar dibanding anak perempuan maupun anak laki-laki yang menjadi sampel; prevalensi stunting pada perempuan dan laki-laki pada sampel yang dikeluarkan berturut-turut yaitu 36.9 dan 44.9, adapun prevalensi stunting pada anak perempuan dan laki-laki pada sampel yang terpilih yaitu 35.9 dan 38.7. Prevalensi stunting anak menurut kelompok umur pada sampel yang dikeluarkan lebih tinggi dibanding anak yang terpilih menjadi sampel; prevalensi stunting masing-masing anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan yang dikeluarkan dari sampel berturut-turut yaitu 31.4, 36.7, dan 49.1 adapun pada anak yang terpilih menjadi sampel berturut-turut yaitu 24.5, 32.8 dan 40.2. Z-skor BBU anak yang dikeluarkan dari sampel lebih rendah dibanding z-skor BBU anak yang terpilih menjadi sampel berturut yaitu -0.99±1.76 dan -0.62±1.51. Adapun rata-rata berat lahir anak 0-23 bulan pada sampel yang dikeluarkan lebih berat dibanding rata- rata berat lahir anak yang terpilih menjadi sampel berturut-turut yaitu 3 139.4 dan 3 097.6 g Tabel 36. Dengan demikian, hasil penelitian ini kemungkinan underestimate . Tabel 36 Karakteristik anak 0-23 bulan yang dikeluarkan dari sampel dan anak yang terpilih menjadi sampel berdasarkan status stunting Peubah Stunting Tidak Stunting Total Jenis kelamin Anak yang menjadi sampel Perempuan 532 35.9 951 64.1 1483 100.0 Laki-laki 624 38.7 988 61.3 1612 100.0 Total 1156 37.4 1939 62.6 3095 100.0 Anak yang dikeluarkan dari sampel Perempuan 571 36.9 978 63.1 1549 100.0 Laki-laki 650 44.9 798 55.1 1448 100.0 Total 1221 40.7 1776 59.3 2997 100.0 Umur Anak yang menjadi sampel 0-5 bulan 56 24.5 173 75.5 229 100.0 6-11 bulan 228 32.8 467 67.2 695 100.0 12-23 bulan 872 40.2 1299 59.8 2171 100.0 0-23 bulan 1156 37.4 1939 62.6 3095 100.0 Anak yang dikeluarkan dari sampel 0-5 bulan 236 31.4 516 68.6 752 100.0 6-11 bulan 346 36.7 597 63.3 943 100.0 12-23 bulan 639 49.1 663 50.9 1302 100.0 0-23 bulan 1221 40.7 1776 59.3 2997 100.0 Berat lahir Anak yang menjadi sampel 3 097.6±531.6 3 195.7±474.7 3 159.8±498.4 Anak yang dikeluarkan dari sampel 3 139.4±523.6 3 204.7±498.8 3 178.5±509.8 Z-skor BBU Anak yang menjadi sampel -1.07±1.56 -0.35±1.42 -0.62±1.51 Anak yang dikeluarkan dari sampel -0.99±1.73 0.01±1.67 -0.99±1.76 Sebanyak 53.3 anak 0-23 bulan yang menjadi sampel dalam Riskesdas 2010 dikeluarkan dalam penelitian ini. Sampel yang dikeluarkan paling banyak berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Banten, dan DKI Jakarta berturut-turut yaitu sebanyak 9.0, 5.3, 4.0, 3.9, 2.4, dan 2.1 Tabel 37. Tabel 37 Persentase sampel yang dikeluarkan dan sampel yang terpilih menurut propinsi Propinsi Sampel yang dikeluarkan Sampel terpilih Jumlah Nanggroe Aceh Darussalam 82 1.2 82 1.2 164 2.5 Sumatera Utara 268 4.0 131 2.0 399 6.0 Sumatera Barat 100 1.5 76 1.1 176 2.7 Riau 105 1.6 116 1.7 221 3.3 Jambi 77 1.2 56 0.8 133 2.0 Sumatera Selatan 105 1.6 103 1.6 208 3.1 Bengkulu 39 0.6 39 0.6 78 1.2 Lampung 94 1.4 90 1.4 184 2.8 Bangka Belitung 35 0.5 39 0.6 74 1.1 Kepulauan Riau 42 0.6 49 0.7 91 1.4 DKI Jakarta 138 2.1 85 1.3 223 3.4 Jawa Barat 596 9.0 562 8.5 1 158 17.5 Jawa Tengah 257 3.9 291 4.4 548 8.3 DI Yogyakarta 38 0.6 35 0.5 73 1.1 Jawa Timur 349 5.3 247 3.7 596 9.0 Banten 160 2.4 150 2.3 310 4.7 Bali 60 0.9 40 0.6 100 1.5 Nusa Tenggara Timur 107 1.6 90 1.4 197 3.0 Nusa Tenggara Timur 100 1.5 78 1.2 178 2.7 Kalimantan Barat 64 1.0 73 1.1 137 2.1 Kalimantan Tengah 58 0.9 43 0.6 101 1.5 Kalimantan Selatan 71 1.1 84 1.3 155 2.3 Kalimantan Timur 65 1.0 72 1.1 137 2.1 Sulawesi Utara 34 0.5 22 0.3 56 0.8 Sulawesi Tengah 49 0.7 57 0.9 106 1.6 Sulawesi Selatan 111 1.7 112 1.7 223 3.4 Sulawesi Tenggara 59 0.9 50 0.8 109 1.6 Gorontalo 46 0.7 29 0.4 75 1.1 Sulawesi Barat 37 0.6 37 0.6 74 1.1 Maluku 36 0.5 26 0.4 62 0.9 Maluku Utara 37 0.6 31 0.5 68 1.0 Papua Barat 62 0.9 43 0.6 105 1.6 Papua 58 0.9 57 0.9 115 1.7 Total 3 539 53.3 3 095 46.7 6 634 100.0 Sebanyak 40.7 anak 0-23 bulan yang menjadi sampel dalam Riskesdas 2010 yang dikeluarkan dalam penelitian ini merupakan anak stunting. Sampel stunting yang dikeluarkan paling banyak berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Banten berturut-turut yaitu sebanyak 5.8, 4.0, 3.6, 2.9, 1.8, dan 1.6 Tabel 38. Tabel 38 Persentase sampel yang dikeluarkan menurut status stunting Propinsi Stunting Tidak stunting Jumlah Nanggroe Aceh Darussalam 24 0.8 32 1.1 56 1.9 Sumatera Utara 109 3.6 114 3.8 223 7.4 Sumatera Barat 26 0.9 61 2.0 87 2.9 Riau 34 1.1 66 2.2 100 3.3 Jambi 32 1.1 35 1.2 67 2.2 Sumatera Selatan 44 1.5 53 1.8 97 3.2 Bengkulu 12 0.4 18 0.6 30 1.0 Lampung 32 1.1 55 1.8 87 2.9 Bangka Belitung 10 0.3 21 0.7 31 1.0 Kepulauan Riau 12 0.4 26 0.9 38 1.3 DKI Jakarta 45 1.5 53 1.8 98 3.3 Jawa Barat 175 5.8 301 10.0 476 15.9 Jawa Tengah 88 2.9 138 4.6 226 7.5 DI Yogyakarta 12 0.4 24 0.8 36 1.2 Jawa Timur 121 4.0 170 5.7 291 9.7 Banten 49 1.6 86 2.9 135 4.5 Bali 27 0.9 31 1.0 58 1.9 Nusa Tenggara Timur 53 1.8 42 1.4 95 3.2 Nusa Tenggara Timur 44 1.5 52 1.7 96 3.2 Kalimantan Barat 19 0.6 28 0.9 47 1.6 Kalimantan Tengah 22 0.7 30 1.0 52 1.7 Kalimantan Selatan 22 0.7 44 1.5 66 2.2 Kalimantan Timur 17 0.6 34 1.1 51 1.7 Sulawesi Utara 11 0.4 18 0.6 29 1.0 Sulawesi Tengah 19 0.6 26 0.9 45 1.5 Sulawesi Selatan 25 0.8 64 2.1 89 3.0 Sulawesi Tenggara 22 0.7 33 1.1 55 1.8 Gorontalo 23 0.8 20 0.7 43 1.4 Sulawesi Barat 17 0.6 8 0.3 25 0.8 Maluku 13 0.4 15 0.5 28 0.9 Maluku Utara 17 0.6 19 0.6 36 1.2 Papua Barat 28 0.9 27 0.9 55 1.8 Papua 17 0.6 32 1.1 49 1.6 Total 1 221 40.7 1 776 59.3 2 997 100.0 Keterangan: sampel yang dikeluarkan = 3 539, sampel yang dikeluarkan yang ada data TBU = 2 997, sampel yang dikeluarkan yang tidak ada data TBU = 542 Keterbatasan penelitian Penelitian ini melengkapi laporan Riset Kesehatan Dasar Riskesdas Nasional 2010 oleh Kemenkes 2010 bagian konsumsi pangan anak 0-23 bulan. Riskesdas 2010 tidak mengolah data konsumsi pangan anak 0-23 bulan dengan alasan pada umur tersebut bayi atau anak masih mengonsumsi air susu ibu ASI sedangkan konsumsi energi dan zat gizi makro dari ASI sulit diperhitungkan. Penelitian ini mengolah dan menganalisi data konsumsi pangan untuk kelompok umur tersebut sehingga diperoleh pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting dan tidak stunting serta menjadikan asupan energi dan zat gizi sebagai salah satu faktor dalam faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan. Peubah-peubah dalam penelitian ini merupakan peubah-peubah yang terkait dengan pertumbuhan linier anak 0-23 bulan pada data Riskesdas 2007 dan 2010; namun data Riskesdas 2007 tidak diolah lebih lanjut karena setelah data di- cleaning tidak ada sampel yang mewakili untuk kelompok umur 12-23 bulan, dan data food recall tidak meliputi konsumsi ASI. Jumlah sampel Riskesdas 2010 dirancang untuk dapat mewakili Indonesia dan untuk beberapa peubah dirancang untuk dapat mewakili propinsi. Namun dalam penelitian ini, hanya separuh dari sampel penelitian Riskesdas tersebut yang dapat digunakan dalam analisis. Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan, sehingga anak yang menjadi sampel sebanyak 3 095 anak. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini tidak bisa menggambarkan pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting dan tidak stunting per propinsi karena jumlah sampel yang relatif kecil kurang dari 150 anak per propinsi sehingga tidak representatif untuk level propinsi. Pola konsumsi pangan anak meliputi tiga aspek yaitu jeniskelompok konsumsi pangan, frekuensi konsumsi pangan, dan jumlah konsumsi pangan. Data frekuensi konsumsi pangan tidak dikumpulkan dalam data Riskesdas 2010. Oleh karena itu dalam penelitian ini didekati dari frekuensi konsumsi makan anak dalam satu hari. Ada keterbatasan jenis pangan atau makanan yang ada dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan DKBM Indonesia DKBM Indonesia berisi sebagian dari jenis pangan yang ada di Indonesia sehingga dalam penelitian ini masih menggunakan pendekatan dengan jenis pangan yang terdekat yang ada di dalam DKBM tersebut. Oleh karena itu disarankan untuk melengkapi DKBM dengan jenis pangan yang belum ada di dalamnya antara lain yaitu unti-unti. Selain itu, jumlah jenis zat gizi yang ada di alam DKBM Indonesia masih terbatas misalnya data kandungan seng dalam makanan masih terbatas pada beberapa jenis pangan. Infeksipenyakit anak 0-23 bulan yang diduga terkait dengan stunting yaitu infeksi saluran pernafasan akut, diare, disentri dan demam. Adapun data penyakit dalam Riskedas 2010 terbatas pada penyakit TBC dan malaria. Sehingga, faktor penyebab langsung determinan stunting selain konsumsi pangan tidak dapat dijelaskan dalam penelitian ini. Disain penelitian ini yaitu cross-sectional. Kelemahan disain tersebut yaitu terkait dengan time restriction untuk generralisasi terbatas. BAB 9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan yaitu umur anak, berat lahir anak, berat anak, densitas asupan protein anak, tinggi badan ibu, dan status ekonomi rumah tangga. Risiko stunting anak 6-11 bulan dan anak 12-23 bulan masing-masing 1.59 kali dan 2.18 kali lebih tinggi dibanding anak 0-5 bulan. Risiko stunting anak yang dilahirkan dengan berat bayi lahir rendah BBLR adalah 1.81 kali lebih tinggi dibanding anak lahir dengan berat badan normal. Anak yang underweight berpeluang stunting 3.07 kali. Risiko stunting anak yang lahir dari ibu yang pendek 145 cm 1.57 kali dibanding anak yang lahir dari ibu yang tidak pendek. Risiko stunting anak yang status ekonomi rumah tangganya rendah kuintil 1 dan 2 1.26 kali dibanding anak yang status ekonomi rumah tangganya menengah ke atas kuintil 3, 4 dan 5. Risiko stunting Tidak ada perbedaan pola konsumsi pangan anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan. Namun demikian, pada anak 12-23 bulan ada perbedaan rata-rata jumlah jenis pangan yang dikonsumsi anak stunting dan anak tidak stunting ; tetapi tidak ada perbedaan rata-rata jumlah kelompok pangan yang dikonsumsi dan frekuensi makan anak stunting dan anak tidak stunting pada kelompok umur tersebut. Rata-rata jumlah jenis pangan yang dikonsumi anak stunting dan anak tidak stunting 12-23 bulan berturut turut 4.4±1.9 dan 4.6±2.0 jenis pangan per hari. anak yang densitas asupan proteinnya kurang dari 20 g per 1 000 kkal 1.32 kali anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal. Tidak ditemukan faktor risiko stunting anak 0-5 bulan dalam penelitian ini. Adapun faktor risiko stunting anak 6-11 bulan yaitu berat lahir anak, berat badan anak, dan densitas asupan protein anak; dan faktor risiko stunting anak 12-23 bulan yaitu berat lahir anak, berat badan anak, tinggi badan ibu, dan status ekonomi rumah tangga. Ada perbedaan rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1 vitamin C anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan; namun demikian tidak ada perbedaan rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan zat gizi makro energi protein anak stunting dan anak tidak stunting pada kelompok umur tersebut. Pada anak 0-5 bulan, tidak ada perbedaan tingkat kecukupan maupun densitas asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting. Pada anak 6-11 bulan, ada perbedaan rata-rata tingkat kecukupan protein anak stunting dan anak tidak stunting, demikian pula densitas asupan protein mereka. Pada anak 12-23 bulan, ada perbedaan rata-rata tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan dan densitas asupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan densitas asupan kalsium, tingkat kecukupan fosfor, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan vitamin C, mutu gizi konsumsi pangan anak stunting dan tidak stunting. Saran Mempertimbangkan faktor-faktor risiko stunting berdasarkan hasil penelitian ini, pencegahan stunting anak 0-23 bulan perlu dilakukan dengan meningkatkan kesehatan dan gizi ibu hamil, kualitas makanan anak, dan pendapatan rumah tangga berpenghasilan rendah. Memperhatikan rendahnya densitas asupan protein dan asupan zat gizi mikro pada anak 0-23 bulan, maka upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas makanan anak dapat dilakukan melalui peningkatan konsumsi pangan hewani, sayur dan buah disertai dengan pendidikan gizi. Pada anak 0-5 bulan, pemberian ASI eksklusif perlu dilakukan dan tetap memeberikan ASI sampai anak berusia 2 tahun. Pada anak 6-11 bulan, kualitas MP-ASI perlu ditingkatkan terutama dengan meningkatkan pemberian pangan sumber protein. Pada anak 12-23 bulan, tidak hanya dengan meningkatkan pemberian pangan sumber protein, namun kualitas MP-ASI juga perlu ditingkatktan dengan meningkatkan pemberian pangan sumber energi, vitamin dan mineral. Mengingat data konsumsi pangan anak 0-23 bulan dalam Riskesdas 2010 banyak yang tidak dapat dipakai dalam analisis 2 448 dari 6 634 data anak dikeluarkan yang dikumpulkan dan dientri oleh minimal lulusan D3 Kesehatan, maka pada Riskesdas tahun yang akan datang disarankan agar data dikumpulkan dan dientri oleh minimal lulusan D3 Gizi. Karena biaya pengumpulan dan entri Alternatif lain untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas makanan anak 0-23 bulan yaitu melalui fortifikasi multivitaminmineral. Terkait dengan fortifikasi, saat ini sudah ada MP-ASI yang difortifikasi dan bubuk tabur gizi Taburia, namun belum ditujukan untuk mengatasi stunting. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian formulasi dan uji klinis fortifikan untuk mencegah dan mengurangi prevalensi stunting. data menggunakan tenaga ahli tersebut relatif mahal, maka disarankan pengambilan data dilakukan secara sub sampel. Selain itu, pengawasan terhadap tenaga pengumpul dan pengentri data perlu ditingkatkan agar data yang dikumpulkan dan dientri lengkap. DAFTAR PUSTAKA Academy for Educational Development of Africa. 2004. Guidelines for Appropriate Complementary Feeding of Breastfed Children 6–24 Months of Age. Washington DC: Bureau for Global Health of the United States Agency for International Development USAID. Alive and Thrive. 2010. Why stunting matters. Insight Issue 2 nd : September. USA: Aliveandthrive. http:www.aliveandthrive.org Almatsier S. 2005. Penun [28 Agustus 2011]. tun Diet. Gramedia Pustaka Amilia L. 2011. Analisis asupan air dan mutu gizi asupan pangan pada anak di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Utama. Jakarta. Anderson JJB. 2004. Mineral. In Mahan K and Stump SE Eds., Food, Nutrition and Diet Therapy 11 th Angeles IT, WJ Schultink, P Matulessi, R Gross, and S Sastroamidjojo. 1993. Decreased rate of stunting among anemic Indonesian preschool children through iron supplementation. Am J Clin Nutr 2:58:339-42. eds. Pennsilvania: Saunders. Anton H, Castro T and Paramastri I. 2005. The Relationship between Complementary Breastfeeding Pattern and the Growth and Development of Gross Motoric Movement of Infants Aging 6-12 Months at Bermani Ulu Sub-district, Rejang Lebong District. Health Sains 4:18:467-77. Anwar F. 2002. Model pengasuhan anak bawah dua tahun dalam meningkatkan status gizi dan perkembangan psikososial [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Attwood CR. 2003. Milk, calcium and bone density. http:www.msu. edu~mikevhmvhhomemilk.htm [17 Oktober 2011]. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Kerangkan Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan 1000 HPK . Jakarta: Bappenas. Bhadam J, Sweet L. 2010. Stunting: An overview. Sight and Life Magazine: 3:40-47 Bhandari N, Bahl R, Nayyar B, Khokhar P, Rohde JE, Bhan MK. 2001. Food supplementation with encouragement to feed it to infants from 4 to 12 months of age has a small impact on weight gain. Am. J. Nut 1:1946- 1961. Bhutta ZA, Ahmed TA, Black RE, Cousens S, Dewey K, Giugliani E, Haider BA, Kirkwood B, Morris SS, Sachdev HPS, Shekar M. 2008. What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival. Lancet. Vol 371: 371: 417–40. Blössner M, Siyam A, Borghi E, Onyango A, Onis M. 2009. WHO AnthroPlus for Personal Computers Manual . Geneva: WHO. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2006. Poverty Level in Indonesia in 2005-2006. www.ypr.or.id. [2 September 2008] [BPS] Biro Pusat Statistik. 2010. Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2009. Jakarta: BPS. Broto R. 2004. Clinical Manifestations and Management of Osteoporosis. Dexa Media 217:47-57. Cowin SC, Raton B. 2001. Bone Mechanics Handbook 2 nd edition . Boca Raton Departemen Kesehatan RI. 2001. Buku Panduan Manajemen Laktasi. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat. : CRC Press. Departemen Kesehatan. 2009. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Japan International Cooperation Agency JICA. Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density score. Am J Clin Nutr 79:6-16. Eastwood M. 2003. Principles of Human Nutrition. 2 nd edition Ehrlich SD . Malden UK: Blackwell Publishing. Fahmida U, Wibowo Y, Ariawan I. 2008. Biostatistics 2: Intermediate Biostatistics for Nutrition and Health Research . Jakarta: South East Asian Ministers of Education Organization, Tropical Medicine and Public Health Regional Center for Community Nutrition SEAMEO-TROPMED RCCN University of Indonesia. . 2010. Vitamin D. Baltimore: University of Maryland Medical Center UMMC. Fatmah. 2008. Model Prediksi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa berdasarkan Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan Tinggi Duduk [disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Frongillo EA. 1999. Symposium: causes and etiology of stunting. Nutr 129: 529S–530S. Groff J.L. and Gropper S.S. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. United State: Wadsworth Thomson Leaming: 526 - 53 1. Guldan GS, HC Fan, X Ma, ZZ Ni and MZ Tang. 2000. Culturally Appropriate Nutrition Education Improves Infant Feeding and Growth in Rural Sichuan, China. J. Nutr. 130: 1204-1211. Guyton AC, Hall JE. 1997. Medical Physiology. Setiawan I, Tengadi, dan Santoso A translator Hansen RG, Wyse BW. 1980. Expression of nutrient allowances per 1000 kilocalories. J Am Diet Assoc 76:223-7. . Jakarta:.EGC. Hardinsyah dan Martianto D. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Makanan. Jakarta: Wirasari. Hardinsyah dan Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pagan dan Gizi. IPB. Hardinsyah dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah. 2001. Mutu gizi dan konsumsi pangan. Di dalam: Hardinsyah, Atmojo SM, editor. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta: Pergizi Pangan. Hardinsyah, Damayanti E dan Zulianti W. 2008. Hubungan Konsumsi Susu dan Kalsium dengan Densitas Tulang dan Tinggi Badan Remaja. Jurnal Gizi dan Pangan: 31:43-48. Hayati AW, Hardinsyah, Jalal F, Madanijah S, Briawan D in press. Determinan Stunting Anak Baduta: Analisis Data Riskesdas 2010. Di dalam: Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi Pemantapan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X. 2012. Jakarta, 20-21 Nopember 2012. Jakarta: LIPI, Bappenas, Kementan, Kemenkes, Badan POM, Ristek. Hayati, AW. 2009. Buku Saku Gizi Bayi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hoppe C, Mølgaard C, and Michaelsen KF. 2006. Cows Milk and Linear Growth in Industrialized and Developing Countries. Annual Review of Nutrition 26: 131-173. [IOM] Institute of Medicine. 1997. Dieatary Reference Intakes for Calcium, Phosphorus, Magnesium, Vitamin D, Fluoride . National Academy Press. Washington. Jahari AB, I Sumarmo, A Irawati and TS Hidayat. 2008. The effectiveness of multiple micronutrients fortificant MMF on growth and haemoglobin concentration among underfives of poor families in North Jakarta. Center for Research and Development in Food and Nutrition National Institute for Health Research and Development Ministry of Health. Ministry of Health. Bogor. Jahari AB. 2009. Growth Curve of Healthy Children from Wealthy Families: How Close to WHO Child Growth Standard 2005? Bogor: Center for Research and Development in Food and Nutrition National Institute for Health Research and Development, Ministry of Health of RI. Jahari AB, Santi D. 2009. Penggunaan Standar Antropometri WHO-2005 untuk Pemantauan Pertumbuhan dan Konseling . Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jalil F, J Kalberg, LA Hanson, SR Kahn, M Yaqoob. 1993. Early child health in Lahore, Pakistan. I Study design Acta Paediatr Scand 390 Supl: 44-45. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2008. Survey Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2010. Survey Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes. Kosnayani AS. 2007. Hubungan Asupan Kalsium, Aktivitas Fisik, Paritas, Indeks Massa Tubuh dan Kepadatan Tulang pada Wanita Pascamenopause [Tesis]. Program Studi Gizi Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Kusharisupeni. 2006. Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah studi prospektif. J Kedokter Trisakti 233:73-80. Lartey A, A Manu, KH Brown, JM Peerson, KG Dewey. 1999. A randomized community based trial of the effect of improved centrally processed complementary food on growth and micronutrient status of Ghananian infants from 6 to 12 month of age. Am J Clin Nutr 70: 391-404. Lutter CK, Dewey KG. Proposed nutrient composition for complementary foods. Nutrient composition for fortified complementary foods. American Society for Nutritional Sciences. 2003: 3011S-3020S. Mahan K, Escott-Stump. 2008. Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B. Saunders Company. Mahmud MK, Hermana, Zulfianto NA, Apriyantotono RR, Ngadiarti I, Hartati B, Bernadus, Tinexcelly. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia TKPI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Martini, FH. 2006. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 7 th Medes. 2005. ed. San Francisco: Pearson Education Inc. http:www.medes.frhome_frapplications_santeosteoporoseeri- stoosteoporo-sisBoneRemodeling.html [6 th Nasution A. 2003. Influence of multinutrient supplementation on pregnant moman on breast milk quality with special interest on zinc Zn [dissertation]. Bogor: Postgraduate Program, Bogor Agriculture University. October 2010]. Neilson J. 1995. Cara Menyusui yang Baik. Jakarta: Arcan. Nestle Indonesia. 2005. Biskuit Bayi. Arnott”s Indonesia. Jakarta Nielsen SP. 2000. The Fallacy of BMD: ACritical Review of the Diagnostic Use of Dal X-Ray Absorptiometry. Clin Rheumatol: 19;174-183. Nurlinda A. 2010. Optimalisasi konsumsi pangan bagi rumahtangga miskin berdasarkan kecukupan gizi, kebiasaan pangan dan pendapatan. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rack B, Lochmüller E-M, Janni W, Lipowsky G, Engelsberger I, Friese K and Küster H. 2011. Ultrasound for the assessment of bone quality in preterm and term infants. Journal of Perinatology. Rahayu. 2012. Hubungan tinggi badan orang tua dengan perubahan status stunting dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4 tahun [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Remans R, Pronyk PM, Fanzo JC, Chen J, Palm CA, Nemser B, Muniz M, Radunsky A, Abay AH, Coulibaly M, Mensah-Homiah J, Wagah M, An X, Mwaura C, Quintana E, Somers MA, Sanchez PA, Sachs SE, McArthur JW, and Sach JD. 2011. Multisector intervention to accelerate reductions in child stunting: an observational study from 9 sub-Saharan African countries. Am J Clin Nutr doi: 10.3945ajcn.111.020099: 1-11. Robins SP. 1994. Biochemical markers for assessing skeletal growth. European Journal of Clinical Nutrition. 48:S199-S209. Ruel MT. 2008. Addressing the underlying determinants of undernutrition: Examples of successful integration of nutrition in poverty-reduction and agriculture strategies. SCN News 36:21-29. Satoto. 1990. Infant growth and development [dissertation]. Semarang: Posgraduate Porgram, Diponegoro University. Schmidt MK, Muslimatun S, West CE, Schultink W, Gross R, Hautvast JGAJ. 2002. Nutritional status and linear growth of Indonesian infants in West Java are determined more by prenatal environment than by postnatal factors. J Nut 132:2202-2207. Shekar M. 2011. Repositioning Nutrition as Central to Development: A Strategy for Large-Scale Action . Washington D.C: World Bank. Shroff M and Pai B. 2000. Osteoporosis, the Battle againts Brittel Bones. Jewings Magazine India: 78 – 82. Simondon KB, Gartner A, Berger J, Cornii A, Massamba J, Miguel JS, Ly C, Missotte I, Sisimondon F, Traissac P, Delpeuch F, Maire B. 1996. Effect of early, short-term supplementation on weight and linear growth of 4-7- mo-old infants in developing countries: a four-country randomized trial. Am J Clin Nutr 64:537-45. Specker BL, Lichtenstein P, Mimouni F, Gormley C. 1986. Calcium regulating hormones and minerals from birth to 18 months of age: A cross-sectional study. II. effects of sex, race, age, season, and diet on serum minerals, parathyroid hormone, and calcitonin. Pediatrics 776: 891-896. Specker BL. 2004. Nutrition influences bone development from infancy through toddler years. Am Nutr 134:691S-695S. Soekirman. 27 Juni 2012. Kurang gizi, anak bertubuh pendek. Suara Pembaharuan : 1 kolom 1-3. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suryono. 2007. Pengaruh Pemberian Susu Berkalsium Tinggi terhadap Kadar Kalsium Darah dan Kepadatan Tulang Remaja Pria [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Thaha R. 14 Januari 2012. RI to face ’lost generation’. The Jakarta Post: 1 colomn 1-2. The National Academy Science. 2002. Dietary Reference Intakes. Institute of Medicine of The National Academies. Washington, D.C. Thu BD, Schulthink W, Dillon D, Gross R, Leswara ND, and Khoi HH. 1999. Effect of daily and weekly micronutrient supplementation on micronutrient deficiencies and growth in young Vietnamese children. American Journal of Clinical Nutrition 69: 80-86. Trumbo P, Yates A, Schlicker S, Poos M, 2001. Dietary reference intakes: vitamin A, vitamin K, arsenic, boron, chromium, cooper, iodine, iron, manganese, molybdenum, nickel, silicon, vanadium, and zinc. J Am Diet Assoc 101:294-301. Trumbo P, Schlicker S, Yates A. 2002. Dietary reference intakes for energy, carbohydrate, fiber, fat, fatty acids, cholesterol, protein, and amino acids. J Am Diet Assoc 102:1621-30. [UN] United Nation. 2010. The UKs Position Paper on Undernutrition. London: UN. [UNICEF] United Nations Children‘s Fund. 1990. Strategy for Improved Nutrition of Children and Women in Developing Countries. New York: UNICEF. [UNICEF] United Nations Children‘s Fund, [WFP] World Food Programme, [WHO] World Health Organization. Asia-Pacific Regional Workshop on The Reduction of Stunting through Improvement of Complementary Feeding and Maternal Nutrition. Bangkok, 25-27 March 2010. Ulfani DH, Martianto D, Baliwati YF. 2011. Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia: Pendekatan ekologi gizi. Jurnal gizi dan pangan 61:59–65. Vaughan, Zumrawi, Waterlow and Kirkwood. 1981. An evaluation of dried skimmed milk on children’s growth in Khartoum Province, Sudan. Nutrition Research 33: 243-252. Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter RL, Sachdev HS, The Maternal and Child Undernutrition Study Group. 2008. Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital . http:www.thelancet.com [26 Januari 2012]. Volek JS. 2003. Increasing fluid milk favorably affect bone mineral density responses to resistance training in adolescent boys. J Am Diet Assoc 103:1353-1356. Wahdah S. 2012. Faktor risiko kejadian stunting pada anak umur 6-36 bulan di wilayah pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimmantan Barat [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Walker SP, CA Powell, SM Grantham-McGregor, JH Himes and SM Chang. 1991. Nutritional supplementation, psychosocial stimulation, and growth of stunted children: the Jamaican study. American Journal of Waterlow JC and Schürch B. 1994. Causes and mechanisms of linear growth retardation. European journal of clinical nutrition 48:S1-S216. Winarno FG. 1990. Gizi dan Makanan bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta: Sinar Harapan. [WHO] World Health Organization. 1991. Energy and protein requirements. Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 1998. Preparation and Use of Food Based Dietary Guidelines . Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 2001. Improving Child Growth. Geneva: WHO page 23-41. [WHO] World Health Organization. 2005. Guiding Principles for Feeding Non- breastfed Children 6-24 Month of Age. Geneva, Switzerland: Department of Child and Adolescent Health and Development CAH World Health Organization. [WHO] World Health Organization. 2006. Clinical Nutrition 54, 642-648. Waterlow JC. 1994. Summary of causes and mechanisms of linear growth retardation. European journal of clinical nutrition 48:S210. Table of standard anthropometry WHO-2005 . Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 2010. Child Growth Indicators and Their Interpretation . Geneva: WHO. WHO [WHOSIS] , Food and Agriculture Organization of the United Nation. 2004. Vitamin and Mineral Requirements and Human Nutrition . Rome, Italy: United Nation. WHO Statistical Information System. 2006. Includes data from World Health Statistics 2006’ and ‘The World Health Report 2006 Edition’. World Health Organization. http:www.who.inten. Accessed 11206. [WNPG] Widyakarya Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Wiryo, H. 2000. Peningkatan Gizi Bayi, Anak, Ibu Hamil dan Menyusui dengan Bahan Makanan Lokal. Sagung Seto. Jakarta. Yuliana. 2002. Pengaruh Penyuluhan Gizi dan Stimulasi Psikososial terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 170 Lampiran 1 Rencana intervensi spesifik Gerakan 1 000 HPK No. Kegiatan No. Kegiatan 1 Meningkatkan konsumsi pangan sehari-hari melalui perbaikan pendapatan keluarga dan pendidikan gizi seimbang 7 Peningkatan Pemberantasan malaria di daerah endemik harus menjadi prioritas 2 Melanjutkan suplemen tablet besi- folat dengan perencanaan dan pengawasan yang lebih baik 8 Sosialisasi yang luas kepada masyarakat tentang PP 33, 2012 sehingga masyarakat dapat ikut berperan dalam pelaksanaannya 3 Bagi ibu hamil yang kurus diukur dengan lingkar lengan diberikan bantuan suplemen pangan sumber energi, dan protein, yang diusahakan menggunakan bahan pangan yang sudah difortifikasi seperti garam yodium, tepung terigu zat besi, seng, asam folat dan vitamin B1 dan B2, dan minyak goreng vitamin A 9 Melakukan evaluasi efektivitas atas berbagai MP-ASI yang beredar di masyarakat baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, LSM, maupun oleh industri pangan 4 Intensifkan pendidikan atau KIE gizi sehingga setiap ibu hamil memahami pentingnya tablet besi-folat dan merasa membutuhkan untuk kesehatannya 10 Memberi prioritas pada pengembangan MP-ASI lokal untuk anak-anak masyarakat miskin 5 Menerbitkan Peraturan Daerah tentang peredaran garam beryodium agar sasaran cakupan rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium yang memenuhi syarat dapat meningkat 11 Pendidikan gizi tentang ASI Eksklusif perlu disertai pendidikan tentang MP-ASI 6 Pemberian pil besi pada ibu hamil di daerah endemik malaria harus dilakukan secara berhati-hati 12 Melakukan penelitian pengetahuan, sikap dan perilaku KAP tentang MP-ASI di berbagai kelompok sosial masyarakat Sumber: Bappenas 2012 182 Lampiran 4 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 0-5 bulan Jenis Pangan Jumlah anak yang mengkonsumsi n, Jumlah yang dikonsumsi g per kali makan Frekeunsi konsumsi kali per hari Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Susu ibu ASI 51 24.4 158 75.6 209 100.0 127.9±157.2 150.5±180.1 144.3±174.3 4.6±3.5 3.9±3.5 4.1±3.5 Tepung susu 7 35.0 13 65.0 20 100.0 17.5±7.5 17.5±9.4 17.5±29.3 1.4±0.5 1.6±0.9 1.6±0.8 Susu kental manis 2 100.0 2 100.0 45.0±0.0 45.0±0.0 2.0±1.4 2.0±1.4 Keterangan: Jenis Pangan rata-rata ± standar deviasi SD Lampiran 5 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 6-11 bulan Jumlah anak yang mengkonsumsi n, Jumlah yang dikonsumsi g per kali makan Frekeunsi konsumsi kali per hari Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Susu ibu ASI 87 34.8 163 65.2 250 100.0 143.7±148.0 141.7±155.1 142.4±152.6 3.4±2.2 3.5±2.2 3.5±2.2 Tepung susu 70 31.4 153 68.6 223 100.0 18.5±7.6 19.7±8.4 19.3±8.2 2.6±1.0 2.6±1.1 2.6±1.1 Telur ayam 9 31.0 20 69.0 29 100.0 37.3±18.4 50.4±18.6 46.0±19.4 1.6±0.7 1.4±0.6 1.4±0.6 Telur ayam, ceplok 8 28.6 20 71.4 28 100.0 43.9±13.2 44.2±16.9 44.1±25.0 1.1±0.4 1.3±0.6 1.2±0.5 Ikan asin, gabus goreng 4 16.0 21 84.0 25 100.0 29.2±13.1 35.5±16.3 34.6±29.6 1.3±0.5 1.5±0.7 1.4±0.9 Ayam 5 22.7 17 77.3 22 100.0 57.8±15.3 51.5±24.6 52.9±22.8 1.6±0.5 1.6±0.7 1.6±0.7 Bakso 8 44.4 10 55.6 18 100.0 37.8±19.2 40.0±14.1 39.0±16.1 1.1±0.4 1.2±0.4 1.2±0.4 Susu kental manis 7 41.2 10 58.8 17 100.0 45.0±0.0 36.9±12.4 40.9±9.7 2.4±1.3 1.8±1.3 2.1±1.3 Telur ayam, dadar 2 16.7 10 83.3 12 100.0 50.0±0.0 40.5±13.3 42.5±12.4 1.5±0.7 1.1±0.3 1.2±0.4 Ikan segar 1 12.5 7 87.5 8 100.0 25.0±0.0 35.8±18.7 34.0±17.4 3.0±0.0 2.1±0.9 2.3±0.9 Abon 3 60.0 2 40.0 5 100.0 15.0±5.8 20.0±14.1 16.7±8.2 1.3±0.6 1.0±0.0 1.2±0.4 Kembung 2 40.0 3 60.0 5 100.0 31.3±12.5 62.5±22.4 50.0±35.8 2.0±1.4 2.0±0.0 2.0±0.7 Mujair, segar 1 20.0 4 80.0 5 100.0 25.0±0.0 46.5±15.3 44.4±16.0 1.0±0.0 2.3±1.0 2.0±1.0 Susu sapi 2 40.0 3 60.0 5 100.0 150±127.3 52.5±36.9 85±81.2 1.0±0.0 1.3±0.6 1.2±0.4 Ikan asin, kering 3 100.0 3 100.0 22.0±6.2 22.0±6.2 2.0±1.0 2.0±1.0 Udang, segar 1 933.3 2 66.7 3 100.0 14.7±0.0 23.9±3.7 20.0±5.6 3.0±0.0 2.0±1.4 2.3±1.2 Keterangan: rata-rata ± standar deviasi SD 183 Lampiran 5 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 6-11 bulan lanjutan Jenis Pangan Jumlah anak yang mengkonsumsi n, Jumlah yang dikonsumsi g per kali makan Frekeunsi konsumsi kali per hari Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Bandeng 2 100.0 2 100.0 37.5±0.0 37.5±0.0 1.5±0.7 1.5±0.7 Daging sapi 2 100.0 2 100.0 27.5±5.0 27.5±5.8 2.0±1.4 2.0±1.4 Layang 2 100.0 2 100.0 37.5±0.0 37.5±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0 Soto dengan daging 1 50.0 1 50.0 2 100.0 25.0±0.0 150.0±0.0 108.3±72.2 1.0±0.0 2.0±0.0 1.5±0.7 Telur ayam, bagian kuning 1 50.0 1 50.0 2 100.0 25.0±0.0 25.0±0.0 25±0.0 1.0±0.0 2.0±0.0 1.5±0.7 Bawal 1 100.0 1 100.0 25.0±0.0 25.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Cue selar kuning 1 100.0 1 100.0 33.3±0.0 33.3±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Daging babi gemuk 1 100.0 1 100.0 20.0±0.0 20.0±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0 Daging kerbau 1 100.0 1 100.0 25.0±0.0 25.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Es cream coconut milk 1 100.0 1 100.0 30.0±0.0 30.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Es mambo 1 100.0 1 100.0 30.0±0.0 30.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Ikan asin teri goreng 1 100.0 1 100.0 10.0±0.0 10.0±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0 Ikan mas 1 100.0 1 100.0 37.5±0.0 37.5±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Ikan mas, goring 1 100.0 1 100.0 25.0±0.0 25.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Kakap 1 100.0 1 100.0 75.0±0.0 75.0±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0 Mujair, goring 1 100.0 1 100.0 83.3±0.0 83.3±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Pindang selar kecil 1 100.0 1 100.0 33.3±0.0 33.3±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Selar, segar 1 100.0 1 100.0 62.5±0.0 62.5±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Telur bebek itik 1 100.0 1 100.0 27.8±0.0 27.8±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0 Telur bebek, bagian kuning 1 100.0 1 100.0 50.0±0.0 50.0±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0 Keterangan: rata-rata ± standar deviasi SD 184 Lampiran 6 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani anak 12-23 bulan Jenis Pangan Persentase anak yang mengkonsumsi n, Jumlah yang dikonsumsi g per kali makan Frekeunsi konsumsi kali per hari Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Tepung susu 280 36.6 484 63.4 764 100.0 23.5±10.8 23.5±10.5 23.5±10.6 2.5±1.2 2.6±1.2 2.5±1.2 Susu ibu ASI 178 44.3 224 55.7 402 100.0 142.0±138.1 158.1±152.6 150.4±146.0 3.4±2.1 3.0±1.9 3.1±2.0 Ikan asin, gabus goreng 83 36.6 144 63.4 227 100.0 32.3±15.0 33.2±14.8 32.8±14.9 1.7±0.8 1.7±0.7 1.7±0.8 Ayam 78 35.8 140 64.2 218 100.0 58.5±24.8 54.9±25.2 56.2±25.1 1.6±0.7 1.6±0.8 1.6±0.8 Telur ayam, dadar 88 39.6 134 60.4 222 100.0 42.1±13.1 43.2±12.9 42.7±13.0 1.5±0.7 1.4±0.7 1.5±0.7 Telur ayam, ceplok 90 40.4 133 59.6 223 100.0 45.7±13.0 46.6±14.6 46.2±14.0 1.3±0.6 1.4±0.6 1.4±0.6 Susu kental manis 55 39.9 83 60.1 138 100.0 41.4±11.1 41.9±16.7 41.8±15.1 1.5±1.7 2.1±1.0 1.9±0.9 Bakso 63 39.4 97 60.6 160 100.0 43.1±21.2 40.4±20.2 41.5±20.6 1.1±0.4 1.1±0.2 1.1±0.3 Telur ayam 45 42.5 61 57.5 106 100.0 49.7±15.7 50.7±18.4 50.3±17.2 1.4±0.7 1.4±0.6 1.4±0.6 Kembung 36 43.4 47 56.6 83 100.0 38.3±15.5 46.9±24.8 42.9±21.4 1.9±0.9 1.8±0.8 1.8±0.8 Susu sapi 31 37.8 51 62.2 82 100.0 42.9±55.6 43.5±65.6 43.3±61.8 1.5±0.7 1.5±0.7 1.5±0.7 Ikan asin, kering 20 35.1 37 64.9 57 100.0 27.9±17.0 27.1±15.3 27.3±15.8 1.8±0.9 1.8±0.8 1.8±0.8 Ikan segar 16 36.4 28 63.6 44 100.0 43.8±16.6 39.1±18.2 40.8±17.6 1.9±0.8 1.8±0.7 1.8±0.7 Bandeng 15 40.5 22 59.5 37 100.0 40.3±17.4 42.0±16.5 41.2±16.8 1.8±0.7 1.6±0.7 1.7±0.7 Daging sapi 7 21.9 25 78.1 32 100.0 40.8±14.8 36.5±15.8 37.6±15.8 1.9±0.9 1.6±0.7 1.6±1.0 Teri, kering 9 37.5 15 62.5 24 100.0 12.1±4.7 16.3±9.8 14.7±8.3 1.9±0.9 1.7±0.9 1.8±0.9 Lele, goring 9 50.0 9 50.0 18 100.0 47.9±16.0 44.8±22.0 46.4±19.0 2.0±0.9 2.0±0.9 2.0±0.8 Es cream coconut milk 3 18.8 13 81.3 16 100.0 75.0±43.3 64.6±61.9 66.6±57.7 1.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Layang 5 33.3 10 66.7 15 100.0 28.1±15.7 42.3±19.0 38.3±19.0 1.6±0.9 2.0±0.8 1.9±1.2 Peda banjar 6 42.9 8 57.1 14 100.0 61.1±23.4 27.4±17.5 42.1±26.1 1.7±0.8 1.6±0.7 1.6±0.7 Ikan mas, goreng 4 30.8 9 69.2 13 100.0 39.6±20.0 40.6±20.3 40.3±19.7 1.5±0.6 1.6±0.7 1.5±0.7 Es mambo 5 41.7 7 58.3 12 100.0 33.3±13.7 32.2±23.7 32.7±19.7 1.2±0.4 1.3±0.5 1.3±0.5 Worst sosis daging 3 25.0 9 75.0 12 100.0 24.7±17.5 21.3±21.8 21.9±20.4 1.0±0.0 1.3±0.5 1.3±0.5 Ikan asin teri goreng 5 45.5 6 54.5 11 100.0 25.5±10.4 11.8±5.4 18.0±10.5 2.0±1.0 2.0±0.9 2.0±0.9 Soto dengan daging 4 36.4 7 63.6 11 100.0 74.2±55.7 73.3±31.9 73.7±41.1 1.5±0.6 1.3±0.5 1.4±0.5 Mujair, segar 2 20.0 8 80.0 10 100.0 59.4±6.3 59.4±18.3 59.4±16.2 2.0±0.0 1.8±0.7 1.8±0.6 Daging babi gemuk 4 44.4 5 55.6 9 100.0 41.4±11.8 28.8±10.9 34.7±19.8 1.8±1.0 1.6±0.5 1.7±0.8 Keterangan: rata-rata ± standar deviasi SD 185 Lampiran 6 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 12-23 bulan lanjutan Jenis Pangan Jumlah anak yang mengkonsumsi n, Jumlah yang dikonsumsi g per kali makan Frekeunsi konsumsi kali per hari Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Kakap 3 37.5 5 62.5 8 100.0 45.5±16.0 50.9±16.3 48.2±15.8 2.3±1.2 1.4±0.5 1.8±0.9 Abon 2 18.2 9 81.8 11 100.0 15.0±5.0 17.5±11.6 16.9±10.3 1.5±0.7 1.1±0.3 1.2±0.4 Gabus, segar 0.00 7 100.0 7 100.0 0.00 57.7±20.3 57.7±34.2 0.00 1.9±0.7 1.9±1.2 Telur bebek, telur asin 4 40.0 6 60.0 10 100.0 72.3±23.1 55.0±24.3 64.3±24.3 1.8±1.0 1.0±0.0 1.3±0.7 Pindang layang 1 14.3 6 85.7 7 100.0 22.2±0.0 31.8±13.4 31.0±21.2 1.0±0.0 1.8±0.8 1.7±1.1 Ikan mas 5 71.4 2 28.6 7 100.0 43.0±16.8 58.3±7.2 47.2±16.1 1.6±0.5 1.5±0.7 1.6±0.5 Telur ayam, bagian kuning 2 25.0 6 75.0 8 100.0 50.0±35.4 18.9±7.0 24.5±18.0 1.0±0.0 1.5±0.8 1.4±0.7 Es cream 1 16.7 5 83.3 6 100.0 50.0±0.0 31.0±26.3 34.2±25.6 1.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Kerupuk udang, berpati 1 20.0 4 80.0 5 100.0 5.0±0.0 8.5±2.4 7.8±2.6 1.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 Selar, segar 2 50.0 2 50.0 4 100.0 45.8±4.8 53.1±6.3 49.5±9.2 2.0±0.0 2.0±1.4 2.0±1.4 Ikan asin, japuh goreng 0.00 4 100.0 4 100.0 0.00 13.1±9.3 13.1±9.3 0.00 1.8±1.0 1.8±1.0 Udang, segar 1 25.0 3 75.0 4 100.0 44.1±0.0 29.4±17.2 31.9±28.1 1.0±0.0 1.7±1.2 1.5±1.2 Daging kambing 3 100.0 0.00 3 100.0 45.0±11.2 0.00 45.0±11.2 1.7±1.2 0.00 1.7±1.2 Tembang 2 66.7 1 33.3 3 100.0 40.6±30.9 62.5±0.0 53.8±19.6 1.0±0.0 3.0±0.0 1.7±1.2 Ikan hiu 1 50.0 1 50.1 2 100.0 40.8±0.0 50.0±0.0 44.5±5.0 3.0±0.0 2.0±0.0 2.5±0.7 Cue selar kuning 1 50.0 1 50.0 2 100.0 44.4±15.7 55.6±0.0 50.0±11.1 2.0±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0 Cumi-cumi, goreng 2 100.0 0.00 2 100.0 28.3±2.9 0.00 28.3±2.9 1.5±0.7 0.00 1.5±1.0 Kepiting 0.00 2 100.0 2 100.0 0.00 81.5±51.3 81.5±51.3 0.00 1.5±0.7 1.5±0.7 Telur bebek, dadar 1 50.0 1 50.0 2 100.0 37.5±17.7 60.0±0.0 45.0±18.0 2.0±0.0 1.0±0.0 1.5±0.7 Bebek itik 1 50.0 1 50.0 2 100.0 50.0±0.0 83.3±0.0 66.7±24.3 1.0±0.0 1.0±0.0 1.0±1.4 Bawal 1 100.0 0.00 1 100.0 62.5±0.0 0.00 62.5±0.0 2.0±0.0 0.00 2.0±0.0 Cumi-cumi, segar 0.00 1 100.0 1 100.0 0.00 20.0±0.0 20.0±0.0 0.00 2.0±0.0 2.0±0.0 Udang, kering 0.00 1 100.0 1 100.0 0.00 11.1±0.0 11.1±0.0 0.00 2.0±0.0 2.0±0.0 Daging kerbau 0.00 1 100.0 1 100.0 0.00 80.0±0.0 80.0±0.0 0.00 1.0±0.0 1.0±0.0 Dendeng daging sapi 1 100.0 0.00 1 100.0 40.0±0.0 0.00 40.0±0.0 1.0±0.0 0.00 1.0±0.0 Gabus kering 1 100.0 0.00 1 100.0 31.3±0.0 0.00 31.3±0.0 1.0±0.0 0.00 1.0±0.0 Petis udang 0.00 1 100.0 1 100.0 0.00 15.0±0.0 15.0±0.0 0.00 1.0±0.0 1.0±0.0 Pindang selar kecil 1 100.0 0.00 1 100.0 55.6±0.0 0.00 55.6±0.0 1.0±0.0 0.00 1.0±0.0 Telur bebek itik 0.00 1 100.0 1 100.0 0.00 83.3±0.0 83.3±0.0 0.00 1.0±0.0 1.0±0.0 Telur bebek, bagian kuning 1 100.0 0.00 1 100.0 25.0±0.0 0.00 25.0±0.0 1.0±0.0 0.00 1.0±0.0 Keterangan: rata-rata ± standar deviasi SD ABSTRACT ASLIS WIRDA HAYATI. Stunting Risk Factors, Food and Nutrition Consumption Pattern of Young Children 0-23 Months. Under direction of HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, and DODIK BRIAWAN The objective of this study was to analyze the risks factors of stunting, food and nutrition consumption pattern in young children of 0-23 months old YC using the data from Riskesdas 2010. From 6,634 YC in the data, 3,539 were screened out. Nutritional status data were processed using the WHO AnthroPlus 2007, while the other data were processed using the Excel 2007 and SPSS 16.0 for windows. Logistic regression was applied to analyze the risk factors; Man- Whitney U test the different of food consumption, energy and nutrients intake patterns. Between the results of this study showed that the risk of stunting in children 6-11 months and 12-23 are 1.59 and 2.18 times respectively compared to children 0-5 months. The risk of stunting in children with low birth-weight LBW is 1.81 times higher compared to children born with normal weight. Underweight YC, YC with low density of protein intake, YC with stunted mother, and YC with low income family status have 3.07, 1.32, 1.57, and 1.26 times respectively of stunting risk. Furthermore, the food consumption, and energy and nutrients intake patterns were different between stunting and non-stunting YC according to their age group. There was no difference in food consumption, and energy and nutrients intake patterns between stunting and non-stunting children 0- 5 months, but there was difference in children 6-11 and 12-23 months. The implication for Indonesia is the prevention of stunting of the YC should be done by improving the health and nutrition of pregnant mothers, increasing the food quality for YC, and increasing the income of low income families. It is necessary to study the efficacy of nutritional interventions to achieving optimal linear growth in YC. Key words: birth-weight, family economic, food consumption, protein density, stunting RINGKASAN ASLIS WIRDA HAYATI. Faktor-faktor Risiko Stunting, Pola Konsumsi Pangan, Asupan Energi dan Zat Gizi Anak 0-23 Bulan. Dibimbing oleh HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, dan DODIK BRIAWAN Akhir-akhir ini masalah stunting semakin menjadi perhatian terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Stunting cermin dari masalah gangguan pertumbuhan pada usia dini karena faktor gizi dan faktor non- gizi, yang berisiko meningkatkan kegemukan dan penyakit tidak menular degeneratif pada saat dewasa. Beberapa penelitian anak stunting di Indonesia Penelitian ini menggunakan data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Desain Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan merupakan penelitian non-intervensi. Populasi sampel mewakili seluruh rumah tangga di Indonesia. Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6 634 data anak baduta, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out karena: 1 data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap, 2 nilai z-skor BBU, TBU dan IMTU termasuk pencilan, 3 pengumpulan data konsumsi pangan saat kondisi tidak biasa perhelatanhari besarsakit, dan 4 nilai asupan energi termasuk pencilan sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 3 095 anak. Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus 2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis faktor-faktor risiko menerapkan regresi logistik, dan uji beda pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi menerapkan Uji Man-Whitney U. menyimpulkan keterkaitan stunting dengan faktor-faktor non-gizi. Upaya mengatasi masalah stunting di Indonesia memerlukan informasi tentang faktor- faktor risiko stunting, pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting dari kajian epidemiologi di Indonesia. Oleh karen itu tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor risiko stunting, pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan anak baduta. Hasil kajian menunjukkan prevalensi stunting anak 0-23 bulan sebanyak 37.4. Analisis regresi logistik menunjukkan faktor umur anak, berat lahir anak, berat anak, densitas asupan protein anak, tinggi ibu, dan status ekonomi keluarga berhubungan erat dengan stunting anak baduta z-skor TBU. Model ini secara keseluruhan memprediksi dengan benar 66.6 pertumbuhan linier anak 0-23 bulan. Risiko stunting pada anak 6-11 bulan dan anak 12-23 bulan masing- masing adalah 1.59 kali dan 2.18 kali dibanding anak 0-5 bulan. Risiko stunting anak yang dilahirkan dengan berat bayi lahir rendah BBLR adalah 1.81 kali dibanding anak lahir dengan BB normal. Sejumlah 62.3 anak baduta underweight mengalami stunting. Anak yang underweight berpeluang stunting 3.07 kali. Risiko stunting anak yang lahir dari ibu yang pendek 145 cm 1.68 kali dibanding anak yang lahir dari ibu yang tidak pendek. Risiko stunting anak yang status ekonomi rumah tangganya rendah kuintil 1 dan 2 1.26 kali dibanding anak yang status ekonomi rumah tangganya menengah ke atas kuintil 3, 4 dan 5. Risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas asupan proteinnya kurang dari 20 g per 1 000 kkal 1.32 kali anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal CI 95: 1.05-1.67. v Rata-rata asupan protein anak 0-23 bulan yaitu 19.4±12.9 g. Adapun rata- rata tingkat kecukupan proteinnya yaitu 135.1±86.5; dan rata-rata densitas asupan protein sebanyak 30.0±19.3 per 1 000 kkal densitas protein standar yakni 20-40 g per 1 000 kkal. Persen asupan protein hewani terhadap total asupan protein anak 0-23 bulan berkorelasi kuat dengan densitas asupan protein r=0.685; p0.01. Persen asupan protein hewani terhadap total asupan protein anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan masing-masing 58.2±34.1 dan 61.5±33.3. Jenis pangan hewani yang dikonsumsi anak usia 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 3, 36, dan 57 jenis. Hampir seluruh anak 0-5 bulan hanya mengkonsumsi ASI danatau tepung susu. Anak 6-11 bulan banyak yang mengkonsumsi ikan asin gabus goreng. Anak 12-23 bulan banyak yang mengkonsumsi ikan asin kering, ikan segar, ikan bandeng, teri goreng, dan lele goreng n 20 anak. Jumlah anak 0-23 bulan yang pernah diberi ASI sebanyak 90.2, sebanyak 3.05 diantaranya merupakan ASI eksklusif tidak berbeda antara anak stunting dan tidak stunting. Rata-rata konsumsi ASI anak 0-5 bulan sebanyak 591.6 ghari, hal tersebut sudah memenuhi standar konsumsi susu yaitu 500 ml per hari. Namun, rata-rata asupan ASI anak 6-11 bulan sebanyak 498.4 g per hari dan rata-rata asupan ASI anak 12-23 bulan sebanyak 466.2 g per hari, rata-rata konsumsi ASI anak 6-23 bulan tersebut kurang dari standar diet. Oleh karena itu, konsumsi pangan hewani, sayur dan buah perlu ditingkatkan dan disertai dengan pendidikan gizi anak 6-23 bulan. Alternatif lain untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas makanan anak 6-23 bulan yaitu melalui fortifikasi. Pola konsumsi pangan mencakup jumlah jenis pangan, jumlah kelompok pangan yang dikonsumsi dan frekuensi makan per hari. Rata-rata jumlah jenis konsumsi pangan anak stunting dan tidak stunting 12-23 bulan berbeda masing- masing 4.4±1.9 dan 4.6±2.0 jenis per hari p0.05. Adapun jumlah jenis pangan yang dikonsumsi dan frekuensi makan anak stunting dan tidak stunting tidak berbeda. Pada anak 0-23 bulan, rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan energi dan protein anak stunting dan tidak stunting tidak berbeda, namun rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan zat gizi mikro mereka kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin C berbeda. Pada anak 0-5 bulan, rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting tidak berbeda; namun pada anak 6-11 bulan berbeda protein, demikan pula pada anak 12-23 bulan energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C. Pada anak 0-23 bulan, rata-rata densitas asupan kalsium anak stunting dan tidak stunting berturut-turut 435.4±419.1 dan 471.9±433.9 mg per 1 000 kkal p0.05; zat besi 4.1±3.2 dan 3.9±3.1 mg per 1 000 kkal per hari p0.01; vitamin A 522.3±431.0 dan 556.0±421.3 µg RE per 1 000 kkal per hari p0.01; vitamin C 18.0±19.0 dan 18.8.0±19.0 mg per 1 000 kkal per hari p0.05; tingkat kecukupan fosor 85.0±66.2 dan 94.2±68.1 p0.01; vitamin B1 184.3±157.1 dan 197.6±162.6 p0.05; dan mutu gizi konsumsi pangan 58.9±20.9 dan 61.3±20.0 p0.01. vi Hasil-hasil analisis tersebut memberikan implikasi bagi Indonesia adalah mencegah stunting perlu meningkatkan gizi dan kesehatan ibu hamil, pemberian ASI eksklusif, meningkatkan kualitas makanan anak 0-23 bulan dan peningkatan pendapatan keluarga berpenghasilan rendah. Alternatif lain untuk meningkatkan kualitas makanan anak yaitu melalui fortifikasi. Terkait dengan fortifikasi, saat ini sudah ada MP-ASI yang difortifikasi dan bubuk tabur gizi Taburia, namun belum ditujukan untuk mengatasi stunting. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian formulasi dan uji klinis untuk mencegah dan mengurangi prevalensi stunting . Mengingat data konsumsi pangan banyak yang tidak dapat dipakai dalam analisis, maka disarankan agar data konsumsi pangan dikumpulkan dan dientri oleh ahli gizi dan pengambilan data dilakukan secara sub sampel. Kata kunci : berat lahir, densitas asupan protein, ekonomi keluarga, konsumsi pangan, stunting BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting merupakan salah satu masalah gizi global, terutama di negara- negara berkembang termasuk di Indonesia. Namun, penelitian tentang stunting masih sedikit. Paling banyak adalah penelitian tentang underweight. WHO 2001 melaporkan bahwa prevalensi stunting global anak balita sekitar 33 di negara-negara berkembang, namun sangat bervariasi diantara mereka. Berdasarkan data tahun 2000, prevalensi anak balita stunting di Afrika Timur 48 1 adalah yang tertinggi di dunia, urutan berikutnya adalah Asia Tengah bagian Selatan 44, Afrika Barat 35, Asia Tenggara 33, dan Amerika Tengah 24, Afrika Utara 20, Karibia 19, dan Amerika Utara 13. Lima tahun kemudian, WHO Statistical Information System 2006 melaporkan bahwa berdasarkan data tahun 2002, prevalensi stunting anak balita di Indonesia sebanyak 42.2. Kemenkes 2008 dan Kemenkes 2010 melaporkan berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional Riskesdas, prevalensinya berturut-turut 36.8 dan 35.6 2 Prevalensi stunting anak baduta 0-2 tahun lebih besar dibanding anak balita 0-5 tahun. . Kemudian, Soekirman 2011 mengungkapkan bahwa dengan jumlah tersebut Indonesia menurut WHO tercatat menduduki peringkat ke-5 terbanyak stunting di dunia keadaan ini hanya lebih baik dari India, Tiongkok, Nigeria dan Pakistan. Usia 6-11 bulan adalah waktu yang sangat rentan karena bayi baru belajar makan Academy for Educational Development of Africa 2004. Prevalensi stunting paling banyak terjadi pada kelompok usia 12-23 bulan Kemenkes 2010. Bhutta et al. 2008 melaporkan bahwa dari studi review di 36 negara diketahui bahwa prevalensi stunting anak di bawah satu tahun sebanyak 40 dan prevalensi stunting anak di bawah dua tahun mencapai 54. Kemenkes 2010 melaporkan bahwa prevalensi stunting anak di bawah satu dan dua tahun masing-masing sebanyak 32.1 dan 41.5. Jalil et al. 1993 menyimpulkan bahwa stunting biasanya mulai terjadi ketika anak berumur 4-6 bulan. Schmidt et al. 2002 menyimpulkan bahwa pertumbuhan linier mulai tersendat-sendat pada 1 Prevalensi stunting 20 dianggap tinggi dan merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat WHO 2006 2 Total anak balita Indonesia sebanyak 23 juta, 7.6 juta 35.6 diantaranya stunting Kemenkes 2010 anak berumur 6-7 bulan. Waterlow dan Schürch 1994 menyimpulkan bahwa anak umumnya menjadi stunting ketika berumur 2 atau 3 tahun, namun proses perlambatan pertumbuhan linier sebenarnya dimulai jauh lebih awal yaitu usia 2 atau 3 bulan. Lebih jauh WHO 2001 melaporkan bahwa semakin awal anak- anak menjadi stunting, semakin parah hambatan pertumbuhan mereka Stunting pada anak dapat berdampak negatif terhadap perkembangan kognitif, emosi, perilaku, pendidikan, bahkan produktifitas dan penyakit ketika mereka dewasa. . Stunting pada anak sering dikaitkan dengan buruknya perkembangan kognitif dan motorik Stunting cermin dari masalah gangguan pertumbuhan pada usia dini karena faktor gizi dan faktor non-gizi. Stunting terkait dengan gangguan pada proses pertumbuhan linier Frongillo 1999. WHO 2010 WHO 2001. Stunting pada anak sebelum berusia 2 tahun dapat menimbulkan emosi dan perilaku yang kurang baik Walker 1991. Stunting berkaitan dengan IQ yang lebih rendah pada anak-anak pra- sekolah dan anak-anak usia sekolah Alive and Thrive 2010. Selain itu Walker 1991 menyimpulkan pula bahwa stunting pada usia 3 tahun dapat memperpanjang masa studi di sekolah dasar 1.6 tahun pada laki-laki 1.3 tahun pada perempuan dibanding anak tidak stunting. Andersen et al. 1993 menyimpulkan bahwa ibu yang stunting cenderung melahirkan anak dengan berat bayi lahir rendah BBLR dan stunting. Bhutta et al. 2008 menyimpulkan bahwa anak yang stunting dapat menjadi orang dewasa stunting termasuk menjadi ibu-ibu yang stunting. Alive and Thrive 2010 menyimpulkan bahwa produktivitas tenaga kerja yang diukur berdasarkan upah berbeda berdasarkan status stunting. WHO 2010 menyimpulkan bahwa anak yang stunting dapat menimbulkan berat badan lebih ketika dewasa. Panjang badan menurut umur pada usia anak dua tahun adalah prediktor terbaik kualitas sumberdaya manusia human capital Alive and Thrive 2010. melaporkan bahwa pertumbuhan terhambat mencerminkan proses kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan linier sebagai hasil kesehatan tidak optimal danatau kondisi gizi. Alive and Thrive 2010 melaporkan bahwa selama tahun pertama setelah lahir, kebutuhan zat gizi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang cepat sangat tinggi. WHO 2001 melaporkan bahwa penyebab stunting di negara