Tabel 5 Standar densitas asupan zat gizi
Zat Gizi FAO
Protein , g
- rendah 20
- cukup 20-40
- tinggi 40
Kalsium, mg 500-800
Zat besi, mg 7-40
Vitamin A, µg RE 700-1 000
Vitamin B1, mg 1.0-1.6
Vitamin C, mg 50-60
Sumber: Drewnowski 2005; Keterangan: Diadaptasi berdasarkan WHO 1998 dan Drewnowski 2005
4.4.2 Analisis Data
Status gizi diolah menggunakan WHO AnthroPlus 2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis
hubungan antara peubah anak stunting dan anak tidak stunting menggunakan Uji Chi-square. Adapun analisis pola konsumsi pangan, asupan energi dan gizi gizi
antara anak stunting dan anak tidak tidak stunting menerapkan Uji Man-Whitney U. Analisis faktor-faktor risiko stunting anak menerapkan Regresi Logistik.
Peubah terikat yaitu z-skor PBU anak, sedangkan peubah bebas disaring dari 39 peubah yang terkait dengan pertumbuhan linier anak 0-23 bulan pada data
Riskesdas 2010 menggunakan Korelasi Spearman dengan cut off koefisien korelasi 0.3 Lampiran 3. Peubah-peubah yang berkorelasi tidak lemah
koefisien korelasi 0.3 dikeluarkan dari analisis Regresi Logistik. Berikut ini adalah persamaan Regresi Logistik Fahmida et al. 2008:
Keterangan: a
= konstanta b
1
, b
2
, …, b
k
y = tinggi badan anak menurut umur TBU 1=pendek; 0=tidak pendek
= koefisien regresi x
1
x = jenis kelamin anak 0=laki-laki; 1=perempuan
2
x = umur anak 0=0 sd 5 bulan; 2=6 sd 11 bulan; 1=12-23 bulan
3
x = berat badan lahir anak 1=BB kurang; 0=BB tidak kurang
4
x = berat badan anak menurut umur BBU 1=BB kurang; 0=BB tidak kurang
5
x = status ekonomi 0=kuintil 3, 4 5; 1=kuintil 1 2
6
x = densitas asupan protein anak 2= rendah; 1=cukup; 0=tinggi
7
x = anak pernah diberi ASI 0=ya; 1=tidak
8
x = anak mendapat kapsul vitamin A dalam 6 bulan terakhir 0=ya; 1=tidak
9
x = anak diimunisasi Hepatitis B-0 0=ya; 1=tidak
10
= kualitas fisik air minum 0=memenuhi syarat kesehatan; 1=tidak memenuhi syarat kesehatan.
1 p y=1|x = --------------------------------
1+e
-a + b1x1 + b2x2 + …..+ bkxk
BAB 5
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN ASUPAN ZAT GIZI ANAK 0-23 BULAN
Aslis Wirda Hayati
1
, Hardinsyah
2
, Fasli Jalal
3
, Siti Madanijah
2
, Dodik Briawan
2
1
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Pontianak
2
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
3
Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sosial ekonomi dan asupan gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan. Penelitian menggunakan data
Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6 634 data anak baduta
dalam e-files tersebut, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan, sehingga anak yang menjadi sampel sebanyak 3 095 anak. Disain penelitian yaitu cross-sectional.
Data yang gunakan dalam penelitian ini meliputi karakteristik anak, tingkat kecukupan dan mutu gizi konsumsi pangan, kesehatan anak dan sanitasi
lingkungan, karakteristik orang tua, dan karakteristik rumah tangga. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Status
gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel dan SPSS. Uji Chi-square digunakan untuk
menganalisis hubungan antar peubah.
Ada hubungan stunting anak dengan umur anak, berat bayi lahir anak, berat badan menurut umur anak, pendidikan orang tua,
tinggi ibu dan status gizi ibu, dan status ekonomi, asupan kalsium, asupan fosfor, asupan vitamin A, asupan vitamin B1 dan asupan vitamin C. Perlu diteliti
pangan-pangan yang kaya zat gizi dan yang terjangkau oleh kelompok berpendatan rendah untuk sebagai salah satu upaya mencegah stunting.
Kata kunci
: asupan gizi, konsumsi pangan, sosial-ekonomi, stunting
Abstract
The objective of this study was to analyze socio-economics and nutrients intake in young children of 0-23 months old YC using the Data from Riskesdas
2010. A cross-sectional study design was applied in this study. From 6,634 YC, 3,539 were screened out, so 3,095 of YC were recruited. Data of characteristics
of YC, the nutrients adequacy and food nutritional quality of YC, health of YC, environmental sanitation, parental characteristics of YC, family characteristics
were collected using interview method. Nutritional status data were processed using the WHO AnthroPlus 2007, while the other datastatistics were processed
using the Excel 2007 and SPSS 16.0 for windows. Chi-square test was applied to analyze the relationship. There were association between calcium intake,
phosphor intake, vitamin A intake, vitamin B1 intake, vitamin C intake, age of YC, birth’s weight of YC, weight of YC, parent’s education, mother’s height,
mother’s nutrition status, family economic status and stunting of YC. It is necessary to study the food that rich of nutrients and affordable to poor families.
Kata kunci
: food consumption, nutrition intake, socio-economic, stunting
Pendahuluan
Stunting pada anak 0-23 bulan sudah menjadi masalah terutama di negara- negara berkembang termasuk Indonesia. WHO 2006 melaporkan bahwa
prevalensi stunting di atas 20 dianggap tinggi dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Kemenkes 2010 melaporkan bahwa prevalensi stunting
anak 1 dan 2 tahun masing-masing sebanyak 32.1 dan 41.5. Adapun Bhutta et al. 2008 menyimpulkan bahwa rata-rata prevalensi stunting anak 1 dan 2 tahun
di 36 negera berkembang yang mereka teliti berturut-turut sebanyak 40 dan 54.
Faktor yang terkait dengan stunting pada anak 0-23 bulan antara lain adalah karakteristik anak. Penelitian yang terkait dengan karakteristik anak
stunting antara lain oleh Specker et al. 1986 yang menyimpulkan bahwa jenis kelamin tidak memberi efek yang signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan
pada anak baru lahir sampai umur 18 bulan. Di sisi lain, WHO 2001 melaporkan pula bahwa semakin awal anak-anak menjadi stunting, semakin parah
hambatan pertumbuhan mereka. Alive and Thrive 2010 melaporkan bahwa rata- rata z-skor PBU menurun secara nyata selama 23 bulan pertama setelah lahir.
Waterlow dan Schürch 1994 menyimpulkan bahwa meskipun anak-anak umumnya tidak mencapai tahap yang diklasifikasikan sebagai stunting PBU -2
SD sampai usia 2 atau 3 tahun, namun proses perlambatan pertumbuhan linier sebenarnya dimulai jauh lebih awal yaitu usia 2 atau 3 bulan. Selain itu, Schmidt
et al. 2002 menyimpulkan bahwa pertumbuhan mulai tersendat-sendat pada usia 6-7 bulan
Temuan terkini yang berhubungan dengan asupan energi dan zat gizi anak stunting yaitu oleh WHO 2001 melaporkan bahwa sulit menafsirkan hubungan
antara asupan energi dan pertumbuhan. Attwood 2003 yang menjelaskan bahwa pada jumlah tertentu konsumsi protein yang diikuti dengan konsumsi kalsium
yang baik terbukti memberi pengaruh nyata terhadap terbentuknya kepadatan tulang yang baik. Selain itu, Kosnayani 2007 menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan positif yang kuat antara jumlah asupan kalsium yang dikonsumsi dengan kepadatan tulang. Kalsium dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang
dan penting untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia. Kalsium diperlukan .
untuk memaksimalkan puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal Shroff Pai 2000. Khomsan 2002 menyimpulkan bahwa rasio
kalsium dan fosfor untuk pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1. Di samping itu, Frongillo 1999 menyimpulkan bahwa faktor gizi yang dapat
menyebabkan pertambahan tulang pada anak meliputi kalsium dan fosfor susu formula. Sebelumnya, WHO 1998 menjelaskan bahwa anak di bawah dua tahun
membutuhkan suatu diet yang berbeda dengan diet orang dewasa. Di sisi lain, Specker et al. 1986 menyimpulkan bahwa diet memberi efek yang signifikan
pada hormon pengatur pertumbuhan pada masa anak-anak. WHO 2001 melaporkan bahwa makanan pendamping air susu ibu MPASI yang digunakan
di negara berkembang meskipun sebagian besar dari mereka dapat menyediakan energi dan protein yang cukup, namun tidak ada yang menyediakan mineral dan
vitamin yang cukup. Hal lain yang terkait dengan stunting yaitu sanitasi lingkungan dan
karakteristik rumah tangga anak stunting. WHO 2001 melaporkan bahwa efek positif suplementasi mikronutrien pada pertumbuhan linier tidak disebabkan oleh
asupan makanan yang meningkat, tetapi tampaknya dipengaruhi oleh penurunan morbiditas. Adapun Victoria et al. 2008 menyimpulkan bahwa ibu yang pendek
waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat meninjak dewasa; dan apabila hamil ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR. Selain
itu, Linver et al. 2002 menyimpulkan bahwa pendapatan keluarga berkaitan dengan outcomes anak-anak. Di sisi lain, Hansen et al. 1979 menjelaskan
bahwa variasi diet bisa menjadi fungsi dari status ekonomi. Indonesia memerlukan informasi profil anak, asupan gizi dan karakteristik
rumah tangga anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan dari kajian epidemiologi di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah
stunting. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik anak, tingkat kecukupan dan mutu gizi konsumsi pangan, kesehatan anak dan
sanitasi lingkungan, karakteristik orang tua, dan karakteristik rumah tangga anak 0-23 bulan stunting dan tidak stunting. Penelitian ini merupakan bagian penelitian
payung ”Faktor-faktor risiko stunting dan pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting 0-23 bulan”.
Metode Sampel
Penelitian ini menggunakan data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Populasi target penelitian adalah anak yang berdomisili
di Indonesia dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2010. Sample adalah bagian dari populasi target yang memenuhi kriterian inklusi: berusia 0-23 bulan dan
kriteria eksklusi: data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap; nilai nilai asupan energi dan z-skor BBU, PBU dan IMTU termasuk pencilan; dan
pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa yaitu perhelatanhari besarsakit.
Pemilihan sampel dilakukan secara acak dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pemilihan Blok Sensus BS dan tahap kedua pemilihan rumah tangga,
yaitu sejumlah 25 rumah tangga setiap BS. Besar sampel yang direncanakan sebanyak 2 800 BS. Sampel BS tersebut tersebar di 33 Provinsi dan 441
KabupatenKota. Data yang berhasil dikumpulkan sebanyak sejumlah 2 798 BS sampel 99.9 dari 2 800 BS sampel yang direncanakan. Pengumpulan dan entri
data dilakukan tenaga kesehatan terlatih minimal tamat D3 kesehatan. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data dilakukan oleh Penanggung Jawab
Teknis KabupatenKota, kemudian data dikirim secara elektronik kepada tim manajemen data di Balitbangkes.
Disain dan sampel penelitian Desain Riskesdas 2010 adalah cross-sectional. Penelitian ini menganalisis
sebagian data Riskesdas tahun 2010. Kemudian sampel dikelompokkan menjadi dua yaitu stunting dan tidak stunting.
Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files tersebut, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan
screened out karena: 1 data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap 644 orang, 2 nilai z-skor BBU, PBU dan IMTU termasuk pencilan
berdasarkan Blössner et al. 2009 yaitu -6BBU5; -6PBU6; -5IMTU5 447 orang, 3 pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa yaitu
perhelatanhari besarsakit 46 orang, dan 4 nilai asupan energi termasuk pencilan berdasarkan Amilia 2011 yaitu asupan energi 0.3 BMR atau
3.0 BMR 2 402 orang. Sehingga total sampel dalam penelitian ini adalah 3 095 anak.
Pengumpulan dan analisis data Data Riskesdas 2010 meliputi keterangan rumah tangga dan keterangan
anggota rumah tangga. Keterangan rumah tangga meliputi identitas, fasilitas pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran. Keterangan individu
antara lain meliputi identitas individu, kesehatan anak, dan konsumsi makanan dalam 24 jam terakhir. Pengukuran tinggi badanpanjang badan dan berat badan
dilakukan pada setiap responden. Data yang gunakan dalam penelitian ini meliputi tinggi badan z-skor
PBU, identitas anak jenis kelamin, umur, berat lahir, berat badan anak -z-skor BBU, tingkat kecukupan dan mutu gizi konsumsi pangan tingkat kecukupan
energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium, tingkat kecukupan fosfor, tingkat kecukupan zat besi, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat
kecukupan vitamin B1, tingkat kecukupan vitamin C, mutu gizi asupan pangan, densitas asupan protein, densitas asupan kalsium, densitas asupan zat besi,
densitas asupan vitamin A, densitas asupan vitamin B1, densitas asupan vitamin C, kesehatan anak dan sanitasi lingkungan status pemberian ASI, status
pemberian kapsul vitamin A, status kepemilikan KMS, status imunisasi Hepatitis B-0, kualitas air minum, tempat air limbah rumah tangga, karakteristik orang tua
umur, pendidikan, pekerjaan, tinggi badan, indeks massa tubuh, dan karakteristik rumah tangga jumlah anak balita, besar keluarga, kotadesa, status
ekonomi. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data tersebut merupakan yang terkait dengan pertumbuhan linier anak
0-23 bulan pada data Riskesdas 2010. Anak disebut stunting apabila z-skor PBU-2 SD dan tidak stunting
apabila z-skor PBU ≥-2 SD Jahari 2009. Anak berat lahir bayi rendah BBLR
apabila BBL2 500 g dan tidak BBLR apabila BBL ≥2 500 g. Anak underweight
apabila z-skor BBU - 2 SD dan tidak underweight apabila z-skor BBU ≥-2 SD
Jahari 2009. Umur orang tua dikelompokkan menjadi: 25 tahun, 25-35 tahun, dan 35
tahun. Pendidikan orang tua dikelompokkan: SD, SLTP, SLTA, dan PT.
Pekerjaan orang tua dikelompkkan menjadi: tidak bekerjasekolah, buruhpetaninelayan, dan TNIPNSwiraswasta. Tinggi badan TB ibu
dikategorikan pendek apabila TB ibu145 cm dan tidak pendek apabila TB ibu
≥145 cm. TB ayah pendek apabila TB ibu150 cm dan tidak pendek apabila TB ibu
≥150 cm. Indeks massa tubuh orang tua dikelompokkan menjadi: 18.5, 18.5-25, dan 25.
Berdasarkan data asupan zat gizi anak, diperoleh data tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan energi, protein, serta vitamin dan mineral masing-
masing dikategorikan kurang apabila berturut-turut 70, 80, dan 50 dan cukup apabila
≥ 70, 80, dan 50. Mutu gizi konsumsi pangan dihitung berdasarkan formula Hardinsyah 2001. Mutu gizi konsumsi pangan dikategorikan kurang
apabila mutu gizi konsumsi pangan 70 dan cukup apabila mutu gizi konsumsi pangan
≥70. Densitas asupan zat gizi DG dihitung berdasarkan Drewnowski 2005.
DG dikategorikan kurang apabila DG standar FAO dan cukup apabila DG ≥
standar FAO kecuali protein Tabel 1. Tabel 1 Standar densitas asupan zat gizi
Zat Gizi FAO
Protein , g
- rendah 20
- cukup 20-40
- tinggi 40
Kalsium, mg 500-800
Zat besi, mg 7-40
Vitamin A, µg RE 700-1 000
Vitamin B1, mg 1.0-1.6
Vitamin C, mg 50-60
Sumber: Drewnowski 2005; Keterangan:
Jumlah balita banyak jika jumlahnya lebih dari 1 orang dalam rumah tangga, dan sedikit jika hanya 1 orang. Keluarga besar jika anggota dalam rumah
tangga lebih dari 4 orang, dan kecil jika kurang atau sama dengan 4 orang. Status ekonomi keluarga bawah apabila termasuk kuintil 1 dan 2, dan menengah atas
apabila termasuk kuintil 3, 4 dan 5.
Diadaptasi berdasarkan WHO 1998 dan Drewnowski 2005
Status pemberian ASI pada anak anak pernah diberi ASI, status pemberian kapsul vitamin A pada anak, status immunisasi Hepatitis B-0, dan
kualitas air minum keluarga memenuhi syarat masing-masing dikategorikan menjadi dua, yaitu tidak dan ya.
Status gizi diolah menggunakan WHO AnthroPlus 2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis
hubungan menggunakan Chi-square. Hasil
Karakteristik anak
Sebanyak 37.4 anak 0-23 bulan mengalami stunting. Tidak ada hubungan antara stunting dengan jenis kelamin p0.05, namun ada hubungan
dengan umur p0.01, berat bayi lahir p0.01, dan berat badan menurut umur p0.01 anak 0-23 bulan.
Tidak adanya hubungan antara stunting dengan jenis kelamin anak 0-23 bulan menunjukkan bahwa stunting tidak ditentukan oleh jenis kelamin anak.
Baik anak perempuan maupun anak laki-laki, keduanya berisiko untuk menjadi stunting. Prevalensi stunting anak perempuan tidak berbeda dengan anak laki-
laki, masing-masing sebanyak 35.9 dan 38.7 Tabel 2. Tabel 2 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan
karakteristik anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Nilai
p Jenis kelamin
0.103 Perempuan
532 35.9 951 64.1
1 483 100.0 Laki-laki
624 38.7 988 61.3
1 612 100.0 Total
1 156 37.4 1 939 62.6
3 095 100.0
Umur 0.000
0–5 bulan 56 24.5
173 75.5 229 100.0
6–11 bulan 228 32.8
467 67.2 695 100.0
12–23 bulan 872 40.2
1 299 59.8 2 171 100.0
Berat lahir 0.000
2 500 g 73 53.3
64 46.7 137 100.0
≥2 500 g 1 083 36.6
1 875 63.4 2 958 100.0
Z-skor BBU
0.000 -2 SD
306 62.3 185 37.7
491 100.0 ≥-2 SD
850 32.6 1 754 67.4
2 604 100.0
Keterangan: p0.01,
p0.05;
n,
Prevalensi stunting meningkat seiring dengan bertambahnya umur anak. Prevalensi stunting anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 24.5,
32.8, dan 40.2. Prevalensi stunting pada anak dengan berat lahir rendah BBLR lebih banyak dibanding anak yang tidak BBLR, masing-masing yaitu
53.3 dan 36.6. Prevalensi stunting pada anak yang underweight lebih banyak dibanding anak yang tidak underweight, masing-masing yaitu 62.3 dan 32.6.
Tingkat Kecukupan dan Mutu Gizi Konsumsi Pangan
Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan mutu gizi konsumsi pangan anak 0-23
bulan; demikian pula dengan densitas asupan zat besi, vitamin B1, dan vitamin C p0.05. Ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan kalsium
p0.01, fosfor p0.01, dan vitamin B1 p0.05; begitu juga dengan densitas asupan protein p0.05, kalsium p0.01 dan vitamin A p0.01 Tabel 3.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan energi kurang tidak berbeda dengan anak yang kecukupan energinya cukup, masing-masing
sebanyak 37.5 dan 37.2. Begitu juga dengan prevalensi stunting anak yang tingkat kecukupan proteinnya kurang tidak berbeda
dengan anak yang cukup, masing-masing sebanyak 38.4 dan 36.9.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan vitamin C- nya kurang tidak berbeda dengan anak yang tingkat kecukupan vitamin C-nya
cukup, masing-masing sebanyak 37.9 dan 35.2; demikian juga densitas asupan vitamin C, masing-masing sebanyak 37.5 dan 34.4.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan zat besinya kurang tidak berbeda dengan anak yang tingkat kecukupan zat besinya cukup,
masing-masing sebanyak 37.6 dan 36.8; demikian juga densitas asupan zat besi, masing-masing sebanyak 36.9 dan 40.5.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan lebih tinggi pada anak yang kecukupan kalsium, fosfor dan vitamin B1–nya rendah, yaitu masing-masing
39.6, 41.7, dan 41.6 pada tingkat kecukupan yang rendah; sedangkan pada tingkat kecukupan yang tinggi masing-masing 35.1, 35.0 dan 36.3. Pola yang
sama juga dijumpai untuk densitas proetin, kalsium dan vitamin A, yaitu prevalensi stunting lebih tinggi pada anak yang densitas protein, kalsium dan
vitamin A-nya rendah, yaitu masing-masing 39.1, 39.5 dan 39.2 pada densitas yang rendah, sedangkan pada densitas yang tinggi masing-masing 35.8, 33.7
dan 34.1. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang mutu gizi konsumsi pangannya
kurang dan anak yang mutu gizi konsumsi pangannya cukup, masing-masing sebanyak 38.6 dan 35.4.
Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan tingkat konsumsi, mutu, dan densitas gizi anak 0-23 bulan
Keterangan: Tk = tingkat kecukupan; p0.01,
Peubah
p0.05; n
Stunting Tidak
Stunting Total
Nilai p
Tk. energi 0.847
70 521 37.5
867 62.5 1 388 100.0
≥ 70 635 37.2
1 072 62.8 1 707 100.0
Total 1 156 37.4
1 939 62.6 3 095 100.0
Tk. protein 0.732
80 382 38.4
614 61.6 996 100.0
≥ 80 774 36.9
1 325 63.1 2 099 100.0
Tk. kalsium 0.010
50 621 39.6
949 60.4 1 570 100.0
≥ 50 535 35.1
990 64.9 1 525 100.0
Tk. fosfor 0.000
50 454 41.7
634 58.3 1 088 100.0
≥ 50 702 35.0
1 305 65.0 2 007 100.0
Tk. zat besi 0.688
50 840 37.6
1 396 62.4 2 236 100.0
≥ 50 316 36.8
543 63.2 859 100.0
Tk. vitamin A 0.209
50 421 38.8
663 61.2 1 084 100.0
≥ 50 735 36.5
1 276 63.5 2 011 100.0
Tk. vitamin B1 0.016
50 254 41.6
357 58.4 611 100.0
≥ 50 902 36.3
1582 63.7 2484 100.0
Tk. vitamin C 0.214
50 940 37.9
1 541 62.1 2 481 100.0
≥ 50 216 35.2
398 64.8 614 100.0
Mutu gizi konsumsi pangan 0.073
70 718 38.6
1 141 61.9 1 859 100.0
≥ 70 438 35.4
798 64.6 1 236 100.0
Densitas asupan protein 0.029
25 g per 1 000 kkal 572 39.1
89060.9 1462 100.0
≥ 25 g per 1 000 kkal 584 35.8
1049 64.2 1633 100.0
Densitas asupan kalsium 0.001
500 mg per 1 000 kkal 774 39.5
1 186 60.5 1 960 100.0
≥ 500 mg per 1 000 kkal 382 33.7
753 66.3 1 135 100.0
Densitas asupan zat besi 0.165
7 mg per 1 000 kkal 996 36.9
1 704 63.1 2 700 100.0
≥ 7 mg per 1 000 kkal 160 40.5
235 59.5 395 100.0
Densitas asupan vitamin A 0.005
700 µg RE per 1 000 kkal 773 39.2
1 199 60.8 1 972 100.0
≥ 700 µg RE per 1 000 kkal 383 34.1
740 65.9 1 123 100.0
Densitas asupan vitamin B1 0.520
1.0 mg per 1 000 kkal 539 38.0
881 62.0 1 420 100.0
≥ 1.0 mg per 1 000 kkal 617 36.8
1 058 63.2 1 675 100.0
Densitas asupan vitamin C 0.404
50 mg per 1 000 kkal 1 103 37.5
1 837 62.5 2 940 100.0
≥ 50 mg per 1 000 kkal 53 34.2
102 65.8 155 100.0
Kesehatan Anak dan Sanitasi Lingkungan
Tidak ada hubungan antara stunting dengan status pernah disusui diberi ASI, mendapatkan kapsul vitamin A, kepemilikan KMS, imunisasi Hepatitis B-0,
kualitas air minum, dan tempat pembuangan air limbah di rumah tangga anak 0-23 bulan p0.05.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tidak pernah disusui diberi ASI tidak berbeda dengan anak yang pernah diberi ASI, masing-masing sebanyak 37.1
dan 37.4. Begitu pula dengan status mendapatkan kapsul vitamin A dalam 6 bulan terakhir, masing-masing yaitu 36.9 dan 37.6 Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan status stunting, kesehatan anak dan sanitasi lingkungan anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Nilai
p Pemberian ASI
0.920 Tidak
112 37.1 190 62.9
302 100.0 Ya
1 044 37.4 1 749 62.6
2 793 100.0 Total
1 156 37.4 1 939 62.6
3 095 100.0
Mendapatkan kapsul vit. A
0.716 Tidak
433 36.9 739 58.6
1 172 100.0 Ya
723 37.6 1 200 62.4
1 923 100.0
Kepemilikan KMS 0.624
Tidak 43 35.2
79 64.8 122 100.0
Ya 1 113 37.4
1 860 62.6 2 973 100.0
Imunisasi Hepatitis B-0
0.184 Tidak
132 34.3 253 65.7
385 100.0 Ya
1 024 37.8 1 686 62.2
2 710 100.0
Kualitas air minum 0.652
Tidak memenuhi syarat 12 41.4
17 58.6 29 100.0
Memenuhi syarat 1 144 37.3
1 922 62.7 3 066 100.0
Tempat air limbah
0.447 Terbuka
931 37.0 1 583 63.0
2 514 100.0 Tertutup
225 38.7 356 61.3
581 100.0
Keterangan: p0.01,
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tidak memiliki atau tidak dapat menunjukkan disimpan di tempat lain catatan kesehatan berupa KMSBuku
KIAcatatan kesehatan lain seperti Buku Catatan Kesehatan Anak selain KMS dan KIA tidak berbeda dengan anak yang memiliki dan dapat menunjukkan
catatan kesehatan, masing-masing sebanyak 35.2 dan 37.4. Demikian pula dengan status mendapat imunisasi Hepatitis B-0 biasanya diberikan sesaat setelah
bayi lahir atau kurang dari 7 hari setelah bayi lahir yang disuntikkan di paha bayi, masing-masing sebanyak 34.3 dan 37.8. Berikutnya, prevalensi stunting anak
yang kualitas fisik air minum di keluarganya tidak memenuhi syarat keruh,
p0.05; n
berwarna, berasa, berbusa, berbau dan prevalensi anak yang kualitas fisik air minum yang memenuhi syarat, masing-masing yaitu 41.4 dan 37.3.
Prevalensi stunting anak yang tempat penampungan air limbah dari kamar manditempat cucidapur terbuka penampungan terbuka di pekarangan,
penampungan di luar pekarangan, tanpa penampungan –di tanah-, langsung ke gotsungai dan prevalensi stunting anak yang tempat penampungan air limbahnya
tertutup sarana pembuangan air limbah –SPAL- dan penampungan tertutup di pekarangan, berturut-turut yaitu 37.0 dan 38.7.
Karakteristik Orang Tua
Tidak ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan umur orang tua, pekerjaan orang tua, tinggi badan ayah, dan status gizi indeks massa tubuh –
IMT- ayah p0.05. Namun, ada hubungan antara stunting dengan pendidikan ibu p0.05, pendidikan ayah p0.01, tinggi ibu p0.01 dan status gizi ibu
p0.05. Prevalensi anak stunting dengan umur ibu kurang dari 25 tahun,
prevalensi stunting anak dengan umur ibu 25-35 tahun, dan prevalensi stunting umur ibu yang lebih dari 35 tahun, masing-masing berturut-turut 40.8, 36.3, dan
37.0. Demikian pula dengan umur ayah, masing-masing berturut-turut 40.9, 37.1, dan 37.5 Tabel 5. Separuh orang tua anak berusia 25-35 tahun.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan menurun seiring dengan meningkatnya pendidikan ibu. Prevalensi stunting anak dengan ibu berpendidikan
SD, SLTP, SLTA, dan PT berturut-turut sebanyak 40.2, 37.5, 34.7 dan 33.7. Demikian juga dengan pendidikan ayah, yaitu 41.9, 36.9, 34.1 dan 30.5.
Sekitar 40 orang tua berpendidikan SD. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan tidak berbeda pada setiap kelompok
pekerjaan orang tua. Prevalensi anak stunting dengan ibu tidak bekerjasekolah, buruhpetaninelayan, TNIPNSwiraswasta berturut-turut yaitu 37.6, 37.6 dan
37.3; demikian juga dengan pekerjaan ayah, yaitu 45.7, 39.1 dan 35.5.
Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan karakteristik orang tua anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Nilai
p Umur ibu
0.062 25 tahun
270 40.8 391 59.2
661 100.0 25-35 tahun
650 36.3 1 143 63.7
1 793 100.0 35 tahun
219 37.9 359 62.1
578 100.0 Tidak ada data
17 27.0 46 73.0
63 100.0 Total
1 156 37.4 1 939 62.6
3 095 100.0
Umur ayah 0.779
25 tahun 61 40.9
88 59.1 149 100.0
25-35 tahun 569 37.1
964 62.9 1 533 100.0
35 tahun 430 37.5
716 62.5 1 146 100.0
Tidak ada data 96 36.0
171 64.0 267 100.0
Pendidikan ibu 0.030
SD 506 40.2
754 59.8 1 260 100.0
SLTP 268 37.5
446 62.5 714 100.0
SLTA 277 34.7
521 65.3 798 100.0
PT 87 33.7
171 66.3 258 100.0
Tidak ada data 18 27.7
47 72.3 65 100.0
Pendidikan ayah 0.001
SD 479 41.9
663 58.1 1 142 100.0
SLTP 208 36.9
356 63.1 564 100.0
SLTA 295 34.1
571 65.9 866 100.0
PT 78 30.5
178 69.5 256 100.0
Tidak ada data 96 36.0
171 64.0 267 100.0
Pekerjaan ibu 0.445
Tidak bekerjasekolah 696 37.6
1 154 62.4 1 850 100.0
Buruhpetaninelayan 240 37.6
398 62.4 638 100.0
TNIPNSwiraswasta 202 37.3
340 62.7 542 100.0
Tidak ada data 18 27.7
47 72.3 65 100.0
Pekerjaan ayah 0.089
Tidak bekerjasekolah 37 45.7
44 54.3 81 100.0
Buruhpetaninelayan 527 39.1
821 60.9 1 348 100.0
TNIPNSwiraswasta 496 35.5
903 64.5 1 399 100.0
Tidak ada data 96 36.0
171 64.0 267 100.0
Tinggi ibu 0.000
145 cm 156 50.0
156 50.0 312 100.0
≥ 145 cm 1 000 35.9
1 783 64.1 2 783 100.0
Tinggi ayah 0.107
150 cm 25 48.1
27 51.9 52 100.0
≥ 150 cm 1 131 37.2
1 912 62.8 3 043 100.0
IMT ibu 0.029
18.5
133 42.9 177 57.1
310 100.0
18.5 sd 25
738 37.5 1 228 62.5
1 966 100.0
25
270 35.6 489 64.4
759 100.0 Tidak ada data
15 25.0 45 75.0
60 100.0
IMT ayah
0.254
18.5
108 39.0 169 61.0
277 100.0
18.5 sd 25
781 38.2 1 264 61.8
2 045 100.0
25
167 33.6 330 66.4
497 100.0 Tidak ada data
100 36.2 176 63.8
276 100.0
Keterangan: p0.01,
p0.05; n
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang ibunya pendek tinggi badan ibu145 cm lebih banyak dibanding yang ibunya tidak pendek tinggi badan
ibu ≥145 cm, berturut-turut yaitu 50.0 dan 35.9. Namun demikian, prevalensi
stunting anak yang ayahnya pendek tinggi badan ayah150 cm tidak berbeda dengan yang ayahnya tidak pendek tinggi badan ayah
≥ 150 cm, berturut-turut yaitu 48.1 dan 37.2.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan menurun seiring dengan meningkatnya status gizi ibu indek massa tubuh. Prevalensi stunting anak pada
ibu yang berstatus gizi kurus, normal, dan gemuk berturut-turut 42.9, 37.5, dan 35.6. Namun, prevalensi stanting tidak berbeda dengan meningkatnya status
gizi ayah, berturut-turut sebanyak 39.0, 38.2, dan 33.6. Karakteristik Keluarga
Tidak ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan jumlah anak balita, besar keluarga, dan tempat tinggal mereka di kotadi desa p0.05.
Namun, ada hubungan antara stunting dengan status ekonomi p0.01. Lebih dari seperlima keluarga anak 0-23 bulan memiliki banyak anak balita. Disamping
itu, sekitar separuh keluarga anak 0-23 termasuk keluarga besar, bertempat tinggal di desa, dan berstatus ekonomi bawah.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang jumlah anak balita dalam keluarga tersebut banyak lebih dari 1 orang tidak berbeda dengan yang sedikit
yang jumlah anak balita dalam keluarga tersebut hanya 1 orang, berturut-turut sebanyak 38.8 dan 36.9. Demikian pula dengan besar keluarga, pada ukuran
keluarga kecil ≤ 4 orang sebesar 38.1 dan keluarga besar 4 orang sebesar
36.3. Selanjutnya, tempat tinggal di desa atau kota, berturut-turut sebanyak 39.5 dan 35.3. Adapun, prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang berstatus
ekonomi bawah kuintil 1 2 lebih banyak dibanding menengah atas kuintil 3, 4 5, berturut-turut sebanyak 41.3 dan 33.6 Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan karakteristik keluarga anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Nilai
ρ Jumlah balita
0.368 1 orang
881 36.9 1 505 63.1
2 386 100.0 1 orang
275 38.8 434 61.2
709 100.0 Total
1 156 37.4 1 939 62.6
3 095 100.0
Besar keluarga 0.297
≤ 4 orang 691 38.1
1 122 61.9 1 813 100.0
4 orang 465 36.3
817 63.7 1 282 100.0
Kotadesa 0.016
Kota 606 39.5
930 60.5 1 536 100.0
Desa 550 35.3
1009 64.7 1 559 100.0
Status ekonomi 0.000
Bawah 622 41.3
883 58.7 1 505 100.0
Menengah atas 534 33.6
1056 66.4 1 590 100.0
Keterangan: p0.01;
p0.05; n
Pembahasan
Karakteristik anak
Tidak ada hubungan antara stunting dengan jenis kelamin anak 0-23 bulan. Hal ini mendukung kesimpulan Specker et al. 1986 yaitu jenis kelamin tidak
memberi efek yang signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan pada anak baru lahir sampai umur 18 bulan. Jenis kelamin juga tidak dibedakan dalam
menentukan kebutuhan energi Mahan Escott-Stump 2008 dan zat gizi WNPG 2004 anak 0-23 bulan. Tetapi, jenis kelamin dibedakan dalam
menentukan status gizi z-skor tinggi badan menurut umur anak 0-23 bulan WHO 2006. Perbedaan hasil penelitian ini dengan laporan WHO 2006 diduga
terkait dengan jumlah sampel, yaitu jumlah sampel yang relatif lebih kecil pada penelitian ini -mencakup satu negara- dibanding dengan yang dilaporkan WHO
2006 -mencakup berbagai negara. Namun demikian, sambil menunggu hasil penelitian hubungan stunting dengan jenis kelamin dari berbagai negara,
penelitian ini telah menyimpulkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya stunting pada anak 0-23 bulan tidak perlu dibedakan antara
anak perempuan dan laki-laki. Sebanyak 47.9 anak 0-23 bulan berjenis kelamin perempuan dan sisanya 52.1 berjenis kelamin laki-laki Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan karakteristik anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Jenis kelamin
Perempuan 532 46.0
951 49.0 1 483 47.9
Laki-laki 624 54.0
988 51.0 1 612 52.1
Total 1 156 100.0
1 939 100.0 3 095 100.0
Umur
0 – 5 bulan 56 4.8
173 8.9 229 7.4
6 – 11 bulan 228 19.7
467 24.1 695 22.5
12 – 23 bulan 872 75.4
1 299 67.0 2 171 70.1
Berat lahir
2 500 g 73 6.3
64 3.3 137 4.4
≥ 2 500 g 1 083 93.7
1 875 96.7 2 958 95.6
Z-skor BBU
-2 SD 306 26.5
185 9.5 491 15.9
≥ -2 SD 850 73.5
1 754 90.5 2 604 84.1
Keterangan: n
Belum diketahui jumlah anak 0-23 bulan di Indonesia, untuk itu didekati dari jumlah anak balita 0-59 bulan. Kemenkes 2010 melaporkan bahwa
jumlah anak balita Indonesia sebanyak
Kelompok Umur tahun
23 juta anak. Bappenas 2012 melaporkan lebih rinci bahwa jumlah anak balita Indonesia sebanyak 23 788 495
anak Tabel 8. Thaha 2012 mengungkapkan bahwa jumlah anak balita Indonesia sebanyak 26.7 juta anak. Adapun jumlah anak balita stunting di
Indonesia berdasarkan laporan Bappenas 2012 sebanyak 8 468 665 anak, sedangkan menurut Kemenkes 2010 melaporkan 7.6 juta anak.
Tabel 8 Jumlah penduduk dan jumlah stunting menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2012
Penduduk Stunting
Laki-laki Perempuan
Laki-laki Perempuan
0-4 12 232 970
11 555 525 4 562 898
3 905 767 5-9
12 560 280 11 831 646
4 584 502 4 081 918
10-14 12 233 447
11 560 746 4 599 776
3 757 242 15-19
11 132 591 10 766 245
4 041 130 2 788 458
Jumlah 48 159 288
45 714 162 17 788 306
14 533 385
Sumber: Bappenas 2012
Sebanyak 37.4 anak 0-23 bulan dalam penelitian ini mengalami stunting. Riskesdas 2010 melaporkan bahwa prevalensi anak balita stunting di Nusa
Tenggara Timur, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan berturut-turut sebanyak 58.4, 49.2, 48.2, 42.3, dan 40.4.
Prevalensi stunting meningkat seiring dengan bertambahnya umur anak. Temuan ini memperkuat laporan Alive dan Thrive 2010, yaitu rata-rata z-skor
PBU menurun secara nyata selama 23 bulan pertama setelah lahir. Begitu pula
kesimpulan Waterlow and Schürch 1994 yaitu meskipun anak-anak umumnya tidak mencapai tahap yang diklasifikasikan sebagai stunting PBU -2 SD
sampai usia 2 atau 3 tahun, namun proses perlambatan pertumbuhan linier sebenarnya dimulai jauh lebih awal yaitu usia 2 atau 3 bulan. Selain itu, Schmidt
et al. 2002 menyimpulkan bahwa pertumbuhan mulai tersendat-sendat pada usia 6-7 bulan. WHO 2001 melaporkan pula bahwa semakin awal anak-anak
menjadi stunting, semakin parah hambatan pertumbuhan mereka. Prevalensi stunting pada anak 0-23 bulan dengan berat lahir rendah
BBLR lebih banyak dibanding anak yang tidak BBLR, masing-masing yaitu 53.3 dan 36.6. Jumlah anak 0-23 bulan dengan berat lahir rendah sebanyak
4.4, namun Bappenas 2012 melaporkan bahwa proporsi BBLR di Indonesia tahun 2010 sebesar 8.8; BBLR terendah 5,8 di Bali, tertinggi 27 di
Papua; adapun proporsi BBLR tahun 2007 sebanyak 10.9. Angka-angka tersebut adalah angka rata-rata nasional dengan disparitas yang lebar antar daerah
yang menunjukkan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi. Lebih dari 20 juta bayi di dunia 15.5 dari seluruh kelahiran mengalami BBLR dan 95 di
antaranya terjadi di negara-negara berkembang. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan underweight lebih banyak dibanding
anak tidak underweight. Sebanyak 15.9 anak 0-23 bulan mengalami underweight. Bappenas 2012 melaporkan bahwa prevalensi anak balita
underweight 13.3. Groff dan Gropper 2000 menjelaskan bahwa semakin kurus seseorang maka semakin berisiko mengalami keropos tulang. Hayati et al.
2012 menyimpulkan bahwa underweight z-skor BBU merupakan salah satu faktor risiko stunting pada anak 0-23 bulan.
Tingkat Kecukupan dan Mutu Gizi Konsumsi Pangan
Mutu gizi konsumsi pangan sebagian besar anak 0-23 bulan termasuk kurang. Anak dengan tingkat kecukupan vitamin B1 yang kurang hampir
sebanyak 20. Anak dengan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, fosfor, dan vitamin A yang kurang berjumlah sekitar 40. Anak dengan tingkat asupan
zat besi dan vitamin C yang kurang mencapai 80. Bahkan anak dengan densitas asupan gizi kurang mencapai 95 densitas asupan vitamin C. Secara
keseluruhan, anak dengan mutu gizi konsumsi pangan kurang sebanyak 60.1 Tabel 9. Di sisi lain, Specker et al. 1986 menyimpulkan bahwa diet memberi
efek yang signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan
WHO 2001 melaporkan bahwa sulit menafsirkan hubungan antara asupan energi dan pertumbuhan. Ketika asupan energi dari makanan rendah,
asupan beberapa zat gizi lain juga akan tidak memadai. Eksperimen menggunakan susu formula bayi dengan kandungan energi bervariasi, sedangkan
kandungan protein konstan, hasilnya menunjukkan bahwa kekurangan energi mempengaruhi pertumbuhan berat badan tapi tidak mempengaruhi tinggi badan,
setidaknya dalam jangka pendek. Studi intervensi dengan menyediakan energi berupa lemak tambahan atau makanan energi tinggi, belum menemukan efek yang
konsisten pada pertumbuhan. Di Papua Nugini, suplemen energi meningkatkan berat badan dan kegemukan anak-anak sekolah, tetapi tidak pertumbuhan linier
mereka Becroft Bailey 1965. Sebaliknya, makanan energi tinggi 310 kkalhari diberikan kepada anak-anak India yang kekurangan gizi dapat
meningkatkan tambahan tinggi dan berat badan mereka Bhandari et al. 2004. Dari uraian di atas, diduga makanan tinggi energi dapat meningkatkan tambahan
pada masa anak-anak. Diet yang kurang bermutu pada sebagian besar anak tersebut di atas akan
berpeluang menimbulkan banyak anak menjadi stunting. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan energi kurang
tidak berbeda dengan anak yang cukup, masing-masing sebanyak 37.5 dan 37.2 Namun demikian, sebanyak 44.8 anak 0-23 bulan mengkonsumsi energi di
bawah kebutuhan minimal 70 angka kecukupan gizi -AKG. Kemenkes 2010 melaporkan bahwa anak 24-59 bulan kelompok umur lebih besar yang
mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal sebanyak 24.7.
tinggi dan berat badan anak yang kekurangan gizi, namun hanya meningkatkan berat badan pada anak dengan zat gizi cukup.
Tabel 9 Jumlah anak berdasarkan tingkat kecukupan, mutu, dan densitas gizi anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting
Keterangan: Tk = tingkat kecukupan; n
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Tk. energi
70 521 45.1
867 44.7 1388 44.8
≥ 70 635 54.9
1072 55.3 1707 55.2
Total 1156 100.0
1939 100.0 3095 100.0
Tk. protein
80 321 27.8
497 25.6 818 26.4
≥ 80 835 72.2
1442 74.4 2277 73.6
Tk. kalsium
50 621 53.7
949 48.9 1570 50.7
≥ 50 535 46.3
990 51.1 1525 49.3
Tk. fosfor
50 454 39.3
634 32.7 1088 35.2
≥ 50 702 60.7
1305 67.3 2007 64.8
Tk. zat besi
50 840 72.7
1396 72.0 2236 72.2
≥ 50 316 27.3
543 28.0 859 27.8
Tk. vitamin A
50 421 36.4
663 34.2 1084 35.0
≥ 50 735 63.6
1276 65.8 2011 65.0
Tk. vitamin B1
50 254 22.0
357 18.4 611 19.7
≥ 50 902 78.0
1582 81.6 2484 80.3
Tk. vitamin C
50 940 81.3
1541 79.5 2481 80.2
≥ 50 216 18.7
398 20.5 614 19.8
Mutu gizi konsumsi pangan
70 718 62.1
1141 58.8 1859 60.1
≥ 70 438 37.9
798 41.2 1236 39.9
Densitas asupan protein
20 g per 1 000 kkal 402 34.8
647 33.4 1049 33.9
20 – 40 g per 1 000 kkal 548 47.4
896 46.2 1444 46.7
40 g per 1 000 kkal 206 17.8
396 20.4 602 19.5
Densitas asupan kalsium
500 mg per 1 000 kkal 774 67.0
1186 61.2 1960 63.3
≥ 500 mg per 1 000 kkal 382 33.0
753 38.8 1135 36.7
Densitas asupan zat besi
7 mg per 1 000 kkal 996 86.2
1704 87.9 2700 87.2
≥ 7 mg per 1 000 kkal 160 13.8
235 12.1 395 12.8
Densitas asupan vitamin A
700 µg RE per 1 000 kkal 773 61.8
1199 66.9 1972 63.7
≥ 700 µg RE per 1 000 kkal 383 38.2
740 33.1 1123 36.3
Densitas asupan vitamin B1
1.0 mg per 1 000 kkal 539 46.6
881 45.4 1420 45.9
≥ 1.0 mg per 1 000 kkal 617 53.4
1058 54.6 1675 54.1
Densitas asupan vitamin C
50 mg per 1 000 kkal 1103 95.4
1837 94.7 2940 95.0
≥ 50 mg per 1 000 kkal 53 4.6
102 5.3 155 5.0
Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan protein anak 0-23 bulan. Asupan protein anak stunting rata-rata 18.9±12.7 g per hari.
Hasil tersebut mendukung kesimpulan Arnelia et al. 2010 yakni asupan protein anak underweight 6-23 bulan sebanyak 11.03±2.77 sd 18.31±4.16 g per hari.
Adapun tingkat konsumsi protein anak 0-23 bulan secara keseluruhan baik yang stunting maupun yang tidak stunting sebesar 135.1±86.5. Hal tersebut tidak
berbeda dengan yang dilaporkan Kemenkes 2010 untuk kelompok anak 24–59 bulan yaitu 100.4-173.6. Namun demikian, sebanyak 26.4 anak 0-23 bulan
mengonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal 80 AKG; dan Kemenkes 2010 melaporkan sebanyak 18.4 anak 24–59 bulan mengonsumsi protein di
bawah kebutuhan minimal. Diketahui pula bahwa Rekomendasi Amerika untuk membatasi asupan total protein dua kali RDA WHO 1998.
Ada hubungan antara stunting dengan densitas asupan protein anak 0-23 bulan. Namun demikian, sebanyak 47.2 anak 0-23 bulan densitas asupan
proteinnya kurang. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan lebih tinggi pada anak yang tingkat
kecukupan kalsiumnya kurang. Frongillo 1999 menyimpulkan bahwa faktor gizi yang dapat menyebabkan pertambahan tulang pada anak meliputi kalsium dan
fosfor susu formula. Sementara itu, Specker 2004 menyimpulkan bahwa ada interaksi asupan kalsium dengan gen dan asupan kalsium dengan aktifitas anak.
IOM 1997 menyatakan bahwa densitas mineral tulang ditentukan oleh konsumsi kalsium, ketersediaan vitamin D dan faktor genetik. Attwood 2003 menjelaskan
bahwa pada jumlah tertentu konsumsi protein yang diikuti dengan konsumsi kalsium yang baik terbukti memberi pengaruh nyata terhadap terbentuknya
kepadatan tulang yang baik, namun konsumsi protein yang tidak diikuti dengan konsumsi kalsium yang cukup dapat memberikan pengaruh pada menurunnya
kepadatan tulang. Hal ini dikarenakan konsumsi protein dapat meningkatkan hilangnya kalsium melalui urin. Remaja yang defisiensi kalsium mempunyai
densitas tulang yang rendah Hardinsyah, Damayanthi Zulianti 2008. Kosnayani 2007 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat r =
0,873 antara jumlah asupan kalsium yang dikonsumsi dengan kepadatan tulang p = 0,000. Kalsium dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang dan penting
untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia. Kalsium diperlukan untuk memaksimalkan puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang
normal Shroff Pai 2000. Suryono 2007 menyimpulkan bahwa pada kelompok pemberian susu berkalsium tinggi, densitas mineral tulang lengan juga
dipengaruhi oleh tingkat konsumsi kalsium total p0,05 dengan kontribusi 1,26. Konsumsi kalsium total merupakan jumlah asupan kalsium yang
diperoleh dari susu berkalsium tinggi yang diberikan serta yang berasal dari bahan pangan lain yang dikonsumsi remaja. Sumber kalsium yang bukan berasal dari
susu dapat diperoleh dari bahan pangan khususnya dari sayuran hijau, kacang- kacangan, dan ikan laut.
Ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan fosfor anak 0-23 bulan. Sebanyak 35.2 anak 0-23 bulan mengkonsumsi fosfor kurang dari yang
dianjurkan. Khomsan 2002 menyimpulkan bahwa rasio kalsium dan fosfor untuk pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1.
Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan zat besi anak 0-23 bulan. Sebanyak 72.2 anak 0-23 bulan mengkonsumsi zat besi
kurang dari yang dianjurkan Tabel 9. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan zat besinya kurang hampir sama dengan anak yang cukup,
masing-masing sebanyak 37.6 dan 36.8; demikian pula densitas asupan zat besinya, masing-masing sebanyak 36.9 dan 40.5 Tabel 3.
Ada hubungan antara stunting dengan densitas vitamin A anak 0-23 bulan. Prevalensi stunting anak yang densitas asupan vitamin A-nya kurang dan
prevalensi stunting anak yang densitas asupan vitamin A-nya cukup berturut-turut yaitu 39.2 dan 34.1 Tabel 3.
Ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan vitamin B1 anak 0-23 bulan. Sebanyak 19.7 anak 0-23 bulan mengkonsumsi vitamin B1 kurang
dari yang dianjurkan Tabel 9. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan vitamin B1-nya kurang lebih tinggi dibanding anak tingkat kecukupan
vitamin B1 yang cukup, masing-masing sebanyak 41.6 dan 36.3 Tabel 3. Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan vitamin C
anak 0-23 bulan. Sebanyak 80.2 anak 0-23 bulan mengkonsumsi vitamin C kurang dari yang dianjurkan Tabel 9. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang
tingkat kecukupan vitamin C-nya tidak berbeda dengan anak yang cukup, masing- masing sebanyak 37.9 dan 35.2; demikian pula densitas asupan vitamin C-nya,
masing-masing sebanyak 37.5 dan 34.2 Tabel 3. Tidak ada hubungan antara stunting dengan mutu gizi konsumsi pangan
anak 0-23 bulan. Sebanyak 60.1 anak 0-23 bulan, mutu gizi asupan pangannya kurang Tabel 9. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang mutu gizi asupan
pangannya kurang tidak berbeda dengan anak yang cukup, masing-masing sebanyak 38.6 dan 35.4 Tabel 3.
Kesehatan Anak dan Sanitasi Lingkungan Sebanyak 3.9 anak 0-23 bulan tidak memiliki catatan kesehatan. Selain
itu, sekitar 10 dari mereka tidak pernah disusui diberi ASI; dan sekitar 10 pula dari mereka tidak mendapat imunisasi Hepatitis B-0. Namun, hampir 40
dari mereka dalam 6 bulan terakhir tidak mendapatkan kapsul vitamin A Tabel 10.
Tabel 10 Jumlah anak berdasarkan status stunting, kesehatan anak, sanitasi lingkungan anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Pemberian ASI
Tidak 112 9.7
190 9.8 302 9.8
Ya 1044 90.3
1749 90.2 2793 90.2
Total 1156 100.0
1939 100.0 3095 100.0
Mendapatkan Vitamin A
Tidak 433 37.5
739 38.1 1172 37.9
Ya 723 62.5
1200 61.9 1923 62.1
Kepemilikan KMS
Tidak 43 3.7
79 4.1 122 3.9
Ya 1113 96.3
1860 95.9 2973 96.1
Imunisasi Hepatitis-0
Tidak 132 11.4
253 13.0 385 12.4
Ya 1024 88.6
1686 87.0 2710 87.6
Kualitas air minum
Tidak memenuhi syarat 12 1.0
17 0.9 29 0.9
Memenuhi syarat 1144 99.0
1922 99.1 3066 99.1
Tempat air limbah
Terbuka 931 80.5
1583 81.6 2514 81.2
Tertutup 225 19.5
356 18.4 581 18.8
Keterangan: n
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang mendapat imunisasi Hepatitis B-0 tidak berbeda dengan anak yang mendapatkan imunisasi tersebut. Bappenas
2012 menjelaskan bahwa di dalam kandungan, janin akan tumbuh dan berkembang melalui pertambahan berat dan panjang badan, perkembangan otak
serta organ-organ lainnya seperti jantung, hati, dan ginjal. Pada saat dilahirkan, sebagian besar perubahan tersebut menetap atau selesai, kecuali beberapa fungsi,
yaitu perkembangan otak dan imunitas, yang berlanjut sampai beberapa tahun pertama kehidupan bayi. Selain itu, WHO 2001 melaporkan bahwa efek positif
suplementasi mikronutrien pada pertumbuhan linier tidak disebabkan oleh asupan makanan meningkat, tetapi tampaknya dipengaruhi oleh penurunan morbiditas.
Namun, dalam Riskesdas 2010 Kemenkes 2010 hanya tersedia data penyakit Malaria dan Tuberkulosis TB Paru.
Prevalensi stunting anak yang kualitas fisik air minum di keluarganya tidak memenuhi syarat tidak berbeda dengan prevalensi anak yang kualitas fisik
air minum yang memenuhi syarat. Adapun persentase keluarga yang kualitas air minumnya tidak memenuhi syarat sebanyak 0.9; namun Bappenas 2012
melaporkan berdasarkan data Susenas 2010 bahwa masalah akses keluarga terhadap air minum layak adalah sebesar 44.2; angka tersebut masih di bawah
target MDGs 2015 sebesar 68.87. Bappenas 2012 lebih jauh mengungkapkan bahwa tiap tahun 20 kematian anak balita disebabkan karena diare yang
disebabkan oleh air minum yang tercemar bakteri. Karakteristik orang tua
Separuh ibu dan ayah anak 0-23 bulan berusia 25-35 tahun. Selain itu, sekitar 40 ibu dan ayah dari anak 0-23 bulan berpendidikan SD Tabel 11.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang ibunya pendek tinggi badan ibu 145 cm lebih banyak dibanding yang ibunya tidak pendek tinggi badan ibu
≥ 145 cm. Victoria et al. 2008 menyimpulkan bahwa ibu yang pendek waktu usia
2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat menginjak dewasa; dan apabila hamil ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR.
Tabel 11 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan karakteristik orang tua anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Umur ibu
25 tahun 270 23.4
391 20.2 661 21.4
25-35 tahun 650 56.2
1143 58.9 1793 57.9
35 tahun 219 18.9
359 18.5 578 18.7
Tidak ada data 17 1.5
46 2.4 63 2.0
Total 1156 100.0
1939 100.0 3095 100.0
Umur ayah
25 tahun 61 5.3
88 4.5 149 4.8
25-35 tahun 569 49.2
964 49.7 1533 49.5
35 tahun 430 37.2
716 36.9 1146 37.0
Tidak ada data 96 8.3
171 8.8 267 8.6
Pendidikan ibu
SD 506 43.8
754 38.9 1260 40.7
SLTP 268 23.2
446 23.0 714 23.1
SLTA 277 24.0
521 26.9 798 25.8
PT 87 7.5
171 8.8 258 8.3
Tidak ada data 18 1.6
47 2.4 65 2.1
Pendidikan ayah
SD 479 41.4
663 34.2 1142 36.9
SLTP 208 18.0
356 18.4 564 18.2
SLTA 295 25.5
571 29.4 866 28.0
PT 78 6.7
178 9.2 256 8.3
Tidak ada data 96 8.3
171 8.8 267 8.6
Pekerjaan ibu
Tidak bekerjasekolah 696 60.2
1154 59.5 1850 59.8
Buruhpetaninelayan 240 20.8
398 20.5 638 20.6
TNIPNSwiraswasta 202 17.5
340 17.5 542 17.5
Tidak ada data 18 1.6
47 2.4 65 2.1
Pekerjaan ayah
Tidak bekerjasekolah 37 3.2
44 2.3 81 2.6
Buruhpetaninelayan 527 45.6
821 42.3 1348 43.6
TNIPNSwiraswasta 496 42.9
903 46.6 1399 45.2
Tidak ada data 96 8.3
171 8.8 267 8.6
Tinggi ibu
145 cm 156 13.5
156 8.0 312 10.1
≥ 145 cm 1000 86.5
1783 92.0 2783 89.9
Tinggi ayah
150 cm 25 2.2
27 1.4 52 1.7
≥ 150 cm 1131 97.8
1912 98.6 3043 98.3
IMT ibu
18.5
133 11.5 177 9.1
310 10.0
18.5 sd 25
738 63.8 1228 63.3
1966 63.5
25
270 23.4 489 25.2
759 24.5 Tidak ada data
15 1.3 45 2.3
60 1.9
IMT ayah
18.5
108 9.3 169 8.7
277 8.9
18.5 sd 25
781 67.6 1264 65.2
2045 66.1
25
167 14.4 330 17.0
497 16.1
Tidak ada data 100 8.7
176 9.1 276 8.9
Keterangan: n
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan menurun seiring dengan meningkatnya status gizi ibu indek massa tubuh. Prevalensi stunting anak pada
ibu yang berstatus gizi kurus, normal, dan gemuk berturut-turut 42.9, 37.5, dan 35.6. Bappenas 2012 menjelaskan bahwa terdapat 23 ibu yang kurus;
sedangkan dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 10.0. Karakteristik Keluarga
Sebanyak 22.9 keluarga anak 0-23 bulan memiliki banyak anak balita 0-59 bulan. Disamping itu, sekitar separuh keluarga anak 0-23 termasuk
keluarga besar, bertempat tinggal di desa, dan berstatus ekonomi keluarga bawah Tabel 12.
Tabel 12 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan karakteristik keluarga anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Jumlah balita
1 orang 881 76.2
1505 77.6 2386 77.1
1 orang 275 23.8
434 22.4 709 22.9
Total 1156 100.0
1939 100.0 3095 100.0
Besar keluarga
≤ 4 orang 691 59.8
1122 57.9 1813 58.6
4 orang 465 40.2
817 42.1 1282 41.4
Kotadesa
Kota 606 52.4
930 48.0 1536 49.6
Desa 550 47.6
1009 52.0 1559 50.4
Status ekonomi
Bawah 622 53.8
883 45.5 1505 48.6
Menengah atas 534 46.2
1056 54.5 1590 51.4
Keterangan: n
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang jumlah anak balita dalam keluarga tersebut banyak lebih dari 1 orang tidak berbeda dengan yang sedikit
yang jumlah anak balita dalam keluarga tersebut hanya 1 orang. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN menganjurkan dalam satu
keluarga sebaiknya hanya ada 1 anak balita, sedangkan total anak dalam satu keluarga 2 orang.
Ada hubungan antara stunting dengan status ekonomi rumah tangga anak 0-23 bulan. Separuh 48.6 rumah tangga anak termasuk berstatus ekonomi
bawah kuintil 1 2. Adapun jumlah penduduk miskin yang dilaporkan Bappenas 2012 yaitu sebanyak 12.36 total populasi 29.89 juta orang. Thaha
2012 menjelaskan bahwa Bappenas berharap tingkat kemiskinan menurun dalam
lima tahun menjadi 10.5-11.5 pada tahun 2012 dan 8-10 pada tahun 2014. Jika diamati jumlah penduduk miskin tahun 2012 Bappenas 2012 dan harapan
penurunan tingkat kemiskinan tahun 2012 Thaha 2012, maka terlihat ada selisih yaitu 0.86 sampai dengan 1.86 12.36-11.5 dan 12.36-10.5; begitu juga
harapan penurunan jumlah penduduk miskin tahun 2012 ke tahun 2014 Thaha 2012 yaitu 1.5 sampai dengan 2.5 11.5-10 dan 10.5-8. Namun, Bappenas
2012 melaporkan bahwa tingkat kemiskinan menurun 5.26 pada periode 2005- 2011. Di sisi lain diketahui bahwa prevalensi stunting anak balita 0-59 bulan
menurun dari tahun 2007 36.8 ke 2010 35.6 sebesar 1.2 Kemenkes 2007; Kemenkes 2010. Terlihat bahwa presentase penurunan prevalensi stunting
seiring dengan penurunan tingkat kemiskinan. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan menurun seiring dengan
meningkatkan status ekonomi rumah tangga. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang berstatus ekonomi bawah kuintil 1 2 dan menengah atas kuintil 3, 4
5 masing-masing sebanyak 41.3 dan 33.6 Tabel 6. Prevalensi tersebut relatif sama dengan yang dilaporkan Bappenas 2012 yakni prevalensi anak balita 0-59
bulan stunting menurut tingkat pengeluaran orang tua kuintil 1 sd 5 berturut- turut sebanyak 47.6, 43.4, 38.7, 35.2, dan 28.5; adapun rata-rata pengeluaran per
kapita per bulan kuintil 1 sd 5 berturut-turut yaitu Rp 188 473, 321 409, 406 838, 686 693, dan 1 540 975.
Rendahnya pendapatan antara lain disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan produktifitas. Hal tersebut dapat menyebabkan buruknya akses
terhadap makanan dan perumahan yang sehat, akses terhadap pelayanan kesehatan, dan akses terhadap pendidikan dan informasi. Gagalnya aksesibilitas
keluarga terhadap faktor sosial-ekonomi menjadikan rumah tangga rentan terhadap gangguan kesehatan termasuk terjadinya stunting. Namun demikian,
arah hubungan yang terjadi tidak hanya kemiskinan yang berperan dalam terjadinya gangguan kehatan dan berkembangnya stunting, tetapi di sisi lain
sebaliknya stunting dapat menimbulkan kemiskinan akibat menurunnya status gizi dan kapasitas fisik dan produktifitas kerja, sehingga perolehan pendapatan
menjadi menurun. Linver et al. 2002 menyimpulkan bahwa pendapatan keluarga berkaitan dengan outcomes anak-anak.
Simpulan
1. Sebanyak 37.4 anak 0-23 bulan mengalami stunting.
2. Tidak ada hubungan antara stunting dengan jenis kelamin, namun ada
hubungan dengan umur, berat bayi lahir, dan berat badan menurut umur anak.
3. Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan energi,
protein, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan mutu gizi konsumsi pangan anak 0-23 bulan; demikian pula dengan densitas asupan zat besi, vitamin
B1, dan vitamin C. Ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan kalsium, fosfor, dan vitamin B1; begitu juga dengan densitas
asupan protein, kalsium dan vitamin A. 4.
Tidak ada hubungan antara stunting dengan status pernah disusui diberi ASI, mendapatkan kapsul vitamin A, kepemilikan KMS, imunisasi
Hepatitis B-0, kualitas air minum, dan tempat penampungan air limbah di rumah tangga anak 0-23 bulan.
5. Tidak ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan umur orang
tua, pekerjaan orang tua, tinggi badan ayah, dan status gizi ayah. Namun, ada hubungan antara stunting dengan pendidikan orang tua, tinggi ibu dan
status gizi ibu. 6.
Tidak ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan jumlah anak balita, besar keluarga, dan tempat tinggal mereka di kotadi desa. Namun,
ada hubungan antara stunting dengan status ekonomi. Saran
1. Kelompok berpendapatan rendah perlu disediakan pangan-pangan yang
kaya zat-zat gizi kunci untuk mencegah stunting dengan biaya terjangkau oleh Pemerintah dan bersama-sama kelompok menengah atas.
2. Perlu diteliti pangan yang kaya zat gizi dan yang terjangkau oleh
kelompok berpendatan rendah.
Ucapan Terimakasih
Terimakasih disampaikan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI atas data yang diberikan; Yayasan
Supersemar atas dukungan dana penelitian. Daftar Pustaka
Alive and Thrive. 2010. Why stunting matters. Insight Issue 2
nd
: September. USA: Aliveandthrive. http:www.aliveandthrive.org [28 Agustus 2011].
Arnelia, Lamid A, Rosmalina Y, Raswanti I, Sari YD. 2010. Besaran defisit zat gizi makro dan mikro pada anak baduta dengan masalah kurus di pedesaan
dan perkotaan di Indonesia. Bogor: Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes.
Attwood CR. 2003. Milk, calcium and bone density. http:www.msu. edu~mikevhmvhhomemilk.htm [17 Oktober 2011].
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan 1000 HPK. Jakarta: Bappenas. Becroft T, Bailey KV. 1965. Supplementary feeding trial in New Guinea
highland infants. Journal of Tropical Pediatrics and African Child Health 11:28-34.
Bhandari N, Bahl R, Nayyar B, Khokhar P, Rohde JE, Bhan MK. 2001. Food supplementation with encouragement to feed it to infants from 4 to 12
months of age has a small impact on weight gain. Am. J. Nut 1:1946- 1961.
Bhutta ZA, Ahmed TA, Black RE, Cousens S, Dewey K, Giugliani E, Haider BA, Kirkwood B, Morris SS, Sachdev HPS, Shekar M. 2008. What works?
Interventions for maternal and child undernutrition and survival. Lancet. Vol 371: 371: 417–40.
Drewnowski A. 2003. Fat and sugar: an economic analysis. J Nutr 133:838S- 40S.
Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density score. Am J Clin Nutr 79:6-16.
Frongillo EA. 1999. Symposium: causes and etiology of stunting. Nutr 129: 529S–530S.
Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. United State: Wadsworth Thomson Learning: 526 - 53 1.
Hansen RG, Wyse BW. 1980. Expression of nutrient allowances per 1000 kilocalories. J Am Diet Assoc 76:223-7.
Hardinsyah, Damayanthi E, Zulianti W. 2008. Hubungan konsumsi susu dan kalsium dengan densitas tulang dan tinggi badan remaja. Jurnal gizi dan
pangan 31:43–48. [IOM] Institute of Medicine. 1997. Dieatary Reference Intakes for Calcium,
Phosphorus, Magnesium, Vitamin D, Fluoride. National Academy Press. Washington.
Jahari AB. 2009. Growth Curve of Healthy Children from Wealthy Families: How Close to WHO Child Growth Standard 2005? Bogor: Center for
Research and Development in Food and Nutrition National Institute for Health Research and Development, Ministry of Health of RI.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2010. Survey Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes.
Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Kosnayani AS. 2007. Hubungan asupan kalsium, aktivitas fisik, paritas, indeks
massa tubuh dan kepadatan tulang pada wanita pascamenopause [tesis]. Semarang: Program Studi Gizi Masyarakat, Program Pascasarjana,
Universitas Dponegoro.
Linver, Miriam R, Brooks-Gunn, Jeanne, Kohen, Dafna E. 2002. Family processes as pathways from income to young childrens development.
Developmental Psychology 385:719-734. Mahan K, Escott-Stump. 2008. Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B.
Saunders Company. Schmidt MK, Muslimatun S, West CE, Schultink W, Gross R, Hautvast JGAJ.
2002. Nutritional status and linear growth of Indonesian infants in West Java are determined more by prenatal environment than by postnatal
factors. J Nut 132:2202-2207.
Shroff M, Pai B. 2000. Osteoporosis, the Battle againts Brittel Bones. Jewings Magazine India: 78 – 82.
Specker BL, Lichtenstein P, Mimouni F, Gormley C. 1986. Calcium regulating hormones and minerals from birth to 18 months of age: A cross-sectional
study. II. Effects of sex, race, age, season, and diet on serum minerals, parathyroid hormone, and calcitonin. Pediatrics 776: 891-896.
Specker BL. 2004. Nutrition influences bone development from infancy through toddler years. Am Nutr 134:691S-695S.
Suryono. 2007. Pengaruh Pemberian Susu Berkalsium Tinggi terhadap Kadar Kalsium Darah dan Kepadatan Tulang Remaja Pria [disertasi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor. Thaha R. 14 Januari 2012. RI to face ’lost generation’. The Jakarta Post: 1
colomn 1-2.
Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter RL, Sachdev HS, The Maternal and Child Undernutrition Study Group. 2008. Maternal
and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. http:www.thelancet.com [26 Januari 2012].
Waterlow JC and Schürch B. 1994. Causes and mechanisms of linear growth retardation. European journal of clinical nutrition 48:S1-S216.
[WHO] World Health Organization. 1998. Preparation and Use of Food Based Dietary Guidelines. Geneva: WHO.
[WHO] World Health Organization. 2001. Improving Child Growth. Geneva: WHO page 23-41.
[WHO] World Health Organization. 2006. Table of standard anthropometry WHO-2005. Geneva: WHO.
[WNPG] Widyakarya Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi. Jakarta, 17-19 Mei 2004.
BAB 6
FAKTOR-FAKTOR RISIKO STUNTING
ANAK 0-23 BULAN
Aslis Wirda Hayati
1
, Hardinsyah
2
, Fasli Jalal
3
, Siti Madanijah
2
, Dodik Briawan
2
1
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Pontianak
2
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
3
Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas
Jurnal Forum Pascasarjana 2013, 362
Abstrak
ASLIS WIRDA HAYATI. Faktor-faktor Risiko Stunting Anak 0-23 Bulan. Dibimbing oleh HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, dan
DODIK BRIAWAN
Tujuan penelitian ini menganalisis faktor-faktor risiko stunting anak baduta Indonesia menggunakan data Riskesdas 2010. Dari 6 634 data anak baduta
dalam e-files Riskesdas 2010, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out
. Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel dan SPSS. Analisis faktor-faktor risiko menerapkan
regresi logistik. Risiko stunting pada anak 6-11 bulan dan anak 12-23 bulan masing-masing 1.59 kali dan 2.18 kali dibanding anak anak 0-5 bulan. Risiko
stunting
anak yang dilahirkan dengan berat bayi lahir rendah BBLR 1.81 kali dibanding anak lahir dengan BB normal. Anak yang underweight berpeluang
stunting 3.07 kali. Densitas asupan protein rendah meningkatkan risiko stunting.
Ibu yang pendek 145 cm dan ekonomi keluarga rendah kuintil 1 2 juga meningkatkan risiko stunting. Kajian ini memperkuat hasil kajian sebelumnya di
mancanegara bahwa pencegahan stunting perlu dilakukan secara komprehensif melalui perbaikan gizi, kesehatan dan ekonomi. Implikasinya bagi Indonesia
adalah mencegah stunting perlu meningkatkan gizi dan kesehatan ibu hamil, meningkatkan kualitas makanan anak baduta dan peningkatan pendapatan
ekonomi keluarga tidak mampu.
Kata kunci: berat anak, berat lahir anak, densitas asupan protein, ekonomi keluarga, stunting
Abstract
ASLIS WIRDA HAYATI. Stunting Risk Factors of Young Children 0-23 Months. Under direction of HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI
MADANIJAH, and DODIK BRIAWAN
The objective of this study was to analyze the risks factors of stunting in young children of 0-23 months old YC using the data from Riskesdas 2010.
From 6,634 YC in the data, 3,539 were screened out. Nutritional status data were processed using the WHO AnthroPlus 2007, while the other datastatistics were
processed using the Excel 2007 and SPSS 16.0 for windows. Logistic regression was applied to analyze the risk factors. The risk of stunting in children 6-11
months and 12-23 was 1.59 and 2.18 times respectively compared to children 0-5 months. The risk of stunting in children with low birth-weight LBW was 1.81
times higher compared to children born with normal weight. Underweight YC had 3.07 times of stunting risk. Low density of protein intake of YC, stunted
mothers 145 cm and low income family status 1
st
quintile 2
nd
quintile also increased the risk of YC stunting. The prevention of stunting of the YC should be
done by increasing the food quality for YC.
Key words: birth-weight, children’s weight, family economic, protein density, stunting
Pendahuluan
Akhir-akhir ini masalah stunting semakin menjadi perhatian terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Hasil studi review di 36
negara oleh
Bhutta et al. 2008 menemukan prevalensi stunting anak 1 tahun dan 2 tahun di negara-negaran berkembang berturut-turut sebanyak 40 dan 54,
sedangkan Riskesdas di Indonesia oleh Kemenkes 2010 menemukan berturut- turut sebanyak 32.1 dan 41.5. WHO 2006 menjelaskaan bahwa prevalensi
stunting yang lebih besar dari 20 dianggap tinggi dan merupakan suatu masalah
kesehatan masyarakat.
Stunting cermin dari masalah gangguan pertumbuhan pada usia dini karena
faktor gizi dan faktor non-gizi, yang berisiko meningkatkan kegemukan dan penyakit tidak menular degeneratif pada saat dewasa. Adapun temuan mutakhir
yang berhubungan dengan stunting Soekirman 2011 mengungkapkan bahwa dengan jumlah
tersebut Indonesia menurut WHO tercatat menduduki peringkat ke-5 terbanyak stunting
di dunia keadaan ini hanya lebih baik dari India, Tiongkok, Nigeria dan Pakistan.
antara lain oleh Bhutta et al. 2008 yang menyimpulkan bahwa penyediaan MP-ASI yang difortifikasi dapat meningkatkan
panjang badan anak, namun peningkatan tersebut sangat kecil. Selain itu, Remans et al.
2011 menyimpulkan bahwa gabungan intervensi sektor kesehatan dengan upaya untuk meningkatkan keamanan pangan dan mata pencaharian di 9 negara
Sub-Sahara Afrika selama 3 tahun untuk mengurangi stunting belum berhasil. Penelitian Kusharisupeni 2006 di 2 kecamatan di Kabupaten Indramayu
menyimpulkan bahwa semua kelompok status kelahiran berkontribusi terhadap terjadinya stunting pada umur 12 bulan. Rahayu 2012 menyimpulkan bahwa
kejadian stunting pada usia 6-12 bulan di Kota dan Kabupaten Tangerang memiliki hubungan yang signifikan dengan tinggi badan ayah, tinggi badan ibu,
BBLR, panjang badan lahir, prematur, pendidikan ayah dan pendidikan ibu. Wahdah 2012 menyimpulkan bahwa faktor risiko stunting anak 6-36 bulan di
Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat adalah pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, tinggi badan ayah, tinggi ibu dan
pemberian ASI eksklusif. Ulfani et al. 2011 menganalisis data Riskesdas 2007 dan menyimpulkan bahwa faktor ekologi yang berpengaruh terhadap stunting
anak balita adalah PDRBkapita, tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku higiene, dan pemanfaatan posyandu.
Upaya mengatasi masalah stunting di Indonesia memerlukan informasi tentang faktor-faktor risiko stunting dari kajian epidemiologi di Indonesia.
Sehubungan hal tersebut, tujuan penelitian ini menganalisis faktor-faktor risiko stunting
anak 0-23 bulan di Indonesia. Metode
Penelitian ini menggunakan data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Desain Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan
merupakan penelitian non-intervensi. Populasi sampel mewakili seluruh rumah tangga di Indonesia. Pemilihan sampel dilakukan secara acak dalam dua tahap.
Tahap pertama dilakukan pemilihan Blok Sensus BS dan tahap kedua pemilihan rumah tangga, yaitu sejumlah 25 rumah tangga setiap BS. Besar sampel yang
direncanakan sebanyak 2 800 BS. Sampel BS tersebut tersebar di 33 provinsi dan 441 kabupatenkota. Data yang dikumpulkan meliputi keterangan rumah tangga
dan keterangan anggota rumah tangga. Keterangan rumah tangga meliputi identitas, fasilitas pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran.
Keterangan individu antara lain meliputi identitas individu, kesehatan anak, dan konsumsi makanan dalam 24 jam terakhir. Pengukuran tinggi badanpanjang
badan dan berat badan dilakukan pada setiap responden. Pengumpulan data dan entri data dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih dengan kualifikasi minimal
tamat D3 kesehatan. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data dilakukan oleh Penanggung Jawab Teknis kabupatenkota, kemudian data dikirim secara
elektronik kepada tim manajemen data di Balitbangkes. Pengumpulan data di beberapa daerah telah mulai dilakukan sejak bulan Mei 2010 berakhir pada
pertengahan Agustus 2010 untuk dilakukan pengolahan dan analisis. Data berhasil dikumpulkan dari sejumlah 2 798 BS sampel 99.9 dari 2 800 BS
sampel yang direncanakan. Pengolahan dan analisis data penelitian oleh peneliti dilakukan pada bulan Maret–September 2012.
Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6 634
data anak baduta dalam e-files tersebut, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out karena: 1 data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap
644 orang, 2 nilai z-skor BBU, PBU dan IMTU termasuk pencilan berdasarkan Blössner et al. 2009 yaitu -6BBU5; -6PBU6; -5BMIU5
447 orang, 3 pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa yaitu perhelatanhari besarsakit 46 orang, dan 4 nilai asupan energi termasuk
pencilan berdasarkan Amilia 2011 yaitu asupan energi 0.3 BMR atau 3.0 BMR 2 402 orang.
Peubah tergantung yaitu z-skor PBU, dan peubah bebas meliputi umur anak, jenis kelamin anak, berat lahir anak, z-skor BBU anak, densitas asupan
protein anak, status pemberian ASI anak, status pemberian kapsul vitamin A anak, status imunisasi Hepatitis B-0 anak, tinggi badan ibu, status ekonomi keluarga dan
kualitas air minum keluarga. Peubah independen disaring dari 39 peubah Tabel 6, 7, 10, 11, 12 menggunakan Korelasi Spearman dengan cut off koefisien
korelasi ≥0.3 Fahmida et al. 2008. Hasil Korelasi Spearman dapat dilihat pada
Lampiran 3. Peubah-peubah tersebut adalah peubah-peubah yang terkait dengan pertumbuhan linier anak 0-23 bulan pada data Riskesdas 2007 dan 2010; namun
data Riskesdas 2007 tidak diolah lebih lanjut karena setelah data di-cleaning tidak ada sampel yang mewakili untuk kelompok umur 12-23 bulan, dan data food
recall tidak meliputi konsumsi ASI.
Penghitungan nilai z-skor PBU anak memperhatikan posisi pengukuran, apabila diukur dalam posisi anak berdiri, maka PB=TB+0.7 cm Blössner et al.
2009. Anak disebut stunting apabila z-skor PBU-2 SD dan tidak stunting apabila z-skor PBU
≥-2 SD Jahari 2009. Anak berat lahir bayi rendah BBLR apabila BBL2 500 g dan tidak BBLR apabila BBL
≥2 500 g. Anak underweight apabila z-skor BBU-2 SD dan tidak underweight apabila z-skor BBU
≥ -2 SD Jahari 2009. TB ibu pendek apabila TB ibu 145 cm dan tidak pendek apabila
TB ibu ≥145 cm. Status ekonomi keluarga bawah apabila termasuk kuintil 1 dan
2, dan menengah atas apabila termasuk kuintil 3, 4 dan 5. Status pemberian ASI pada anak anak pernah diberi ASI, status pemberian kapsul vitamin A pada
anak, status immunisasi Hepatitis B-0, dan kualitas air minum keluarga memenuhi syarat masing-masing dikategorikan menjadi dua, yaitu tidak dan ya.
Data konsumsi makanan dan minuman pangan individu dikumpulkan dengan metode kuantitatif recall 24-hour. Zat gizi yang terkandung dalam
pangan yang dikonsumsi dihitung sebagai berikut Hardinsyah Briawan 1994:
Kebutuhan energi anak usia 0-23 bulan dihitung berdasarkan rumus perhitungan kebutuhan energi oleh Mahan and Escott-Stump 2008. Kebutuhan
energi anak dihitung menurut kelompok umur Tabel 1.
Tabel 1 Perhitungan estimasi kebutuhan energi EER menurut umur
Umur bulan Formula EER
0-3 89 x BB – 100 + 175 kkal
4-6 89 x BB – 100 + 56 kkal
7-12 89 x BB – 100 + 22 kkal
13-23 89 x BB – 100 + 20 kkal
Kebutuhan energi anak dihitung sesuai dengan usia dan berat badan aktual berdasarkan Total Energy Expenditure TEE yang dikoreksi dengan Thermic
Effect of Food TEF. TEF adalah peningkatan pengeluaran energi yang
berhubungan dengan asupan pangan. Besarnya nilai TEF dihitung dari total pengeluaran energi yaitu sebesar 10 dari TEE. Perhitungan kebutuhan energi
pada anak juga termasuk kebutuhan Energy Deposition yang merupakan kalori tambahan untuk mendukung deposit jaringan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
bayi dan anak.
Energi metabolisme basal EMB anak usia 0-23 bulan dihitung
berdasarkan formula berikut Almatsier 2005:
Keterangan: BB = berat badan kg, PB = panjang badan cm, U = umur tahun Keterangan:
Kgij = Energi dan zat gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi Bj
= Berat pangan yang dikonsumsi Gij = Energi dan zat gizi per 100 g bagian pangan yang dapat dimakan
BDD = Bagian pangan yang dapat dimakan BDD
Keterangan: EER = estimasi kebutuhan energi
TEE = total pengeluaran energi EER = TEE + Energy deposition
TEE = 89 x BB – 100 Energy deposition
BB = Berat badan kg
EMB Perempuan = 655 + 9.6 x BB + 1.7 x PB – 4.7 x U EMB Laki-laki = 66 + 13.7 x BB + 5 x PB – 6.8 x U
K
gij
= B
j
100 X G
ij
X BDD100
Kebutuhan energi kkal = EER + 10 TEE
Sebelum menghitung EMB, status gizi anak perlu diketahui melalui IMTU Blössner et al. 2009. Klasifikasi status berdasarkan z-skor IMTU dapat dilihat
di Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi status gizi berdasarkan z-skor IMTU
Z-skor IMTU Status Gizi
IMTU-3SD Sangat kurus
-3SD ≥IMTU-2SD
Kurus -2SD
≥IMTU≤2SD Normal
2SDIMTU ≤ 3SD
Gemuk IMTU3SD
Obese
Sumber: Jahari 2009
BB normal anak yang status gizinya tidak normal digunakan median BB menurut umur dan jenis kelamin Standar Antropometri WHO-2005.
Perhitungan data kebutuhan protein didasarkan pada formula Angka Kecukupan Protein AKP dalam WNPG 2004 sesuai dengan kelompok usia.
Perhitungan kebutuhan protein disesuaikan dengan berat badan aktual sampel
1
Keterangan: AKP = Angka kecukupan protein gkgBBhari, Faktor koreksi mutu protein = 1.2
Tabel 3 Perhitungan kecukupan protein berdasarkan kelompok umur ,
serta dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein sebesar 1.2. Faktor koreksi mutu tersebut didasarkan pada rendahnya mutu protein makanan penduduk
Indonesia. Kecukupan protein dihitung berdasarkan kelompok umur Tabel 3.
Umur bulan Formula kecukupan protein
0-6 10 g AKP dikoreksi mutu
7-11 1.5 gkg BBhr x 1.2
12-23 1.2 gkg BBhr x 1.2
Sumber: WNPG 2004
Perhitungan kebutuhan Ca, P, Fe, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C berdasarkan Angka Kecukupan Gizi AKG sesuai umur WNPG 2004.
Berdasarkan data asupan zat gizi anak, diperoleh data tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan energi, protein, serta vitamin dan mineral masing-
masing dikategorikan kurang apabila berturut-turut kurang dari 70, 80, dan 50 dan cukup apabila sama dengan atau lebih dari 70, 80, dan 50 Tabel 4.
1
Penggunaan berat badan dalam menaksir angka kecukupan protein yaitu berat badan yang dianggap sehat. Oleh karena itu perlu dicek sebelumnya apakah berat badan seseorang yang akan
ditentukan kecukupan protein atau dinilai konsumsi pangannya berada dalam selang berat badan orang yang sehat Hardinsyah Martianto 1989.
AKP = kebutuhan protein x faktor koreksi mutu protein
Tabel 4 Kategori tingkat kecukupan zat gizi
Gizi Kurang
Cukup
Energi 70
≥ 70 Protein
80 ≥ 80
Mineral vitamin 50
≥ 50
Sumber: Kemenkes 2010
Mutu gizi konsumsi pangan dihitung berdasarkan formula Hardinsyah 2001. Mutu gizi konsumsi pangan dikategorikan kurang apabila mutu gizi
konsumsi pangan 70 dan cukup apabila mutu gizi konsumsi pangan ≥ 70.
Densitas asupan zat gizi DG dihitung berdasarkan Drewnowski 2005. DG dikategorikan kurang apabila DG standar FAO dan cukup apabila DG
≥ standar FAO kecuali protein Tabel 5.
Tabel 5 Standar densitas asupan zat gizi
Zat Gizi FAO
Protein , g
- rendah 20
- cukup 20-40
- tinggi 40
Kalsium, mg 500-800
Zat besi, mg 7-40
Vitamin A, µg RE 700-1 000
Vitamin B1, mg 1.0-1.6
Vitamin C, mg 50-60
Sumber: Drewnowski 2005; Keterangan: Keterangan :
Diadaptasi berdasarkan WHO 1998 dan Drewnowski 2005 TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi ke-i truncated at 100
n = Jumlah zat gizi yang dipertimbangan dalam penilaian MGP energi, protein, Ca, P, Fe, vit A, vit B1, vit C
∑TKGi Mutu gizi konsumsi pangan = ------------
n
Asupan zat gizi DG = ---------------------------- x 1 000 kkal
Asupan energi kkal
Asupan zat gizi Tingkat kecukupan zat gizi = ------------------------------------------------------- x 100
Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan
Status gizi diolah menggunakan WHO AnthroPlus 2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis
faktor-faktor risiko menerapkan Regresi Logistik.
Hasil dan Pembahasan
Sebanyak 37.4 anak 0-23 bulan mengalami stunting. Prevalensi stunting anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 24.5, 32.8, dan 40.2.
Adapun prevalensi stunting anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan yang dilaporkan Kemenkes 2010 berturut-turut sebanyak 28.1, 32.1, dan 41.5. Terlihat
prevalensi stunting pada anak 0-5 bulan pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan yang dilaporkan Kemenkes 2010. Hal tersebut diduga
antara lain disebabkan oleh jumlah sampel pada penelitian ini relatif lebih kecil dibanding yang digunakan pada laporan Kemenkes 2010 yakni sebanyak 36.4
dalam penelitian ini sampel anak 0-23 bulan sebanyak 3 095 anak, namun pada penelitian Kemenkes -2010- sebanyak 8 495 anak.
Tabel 6 Sebaran anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting dan karakteristik anak
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Jenis kelamin
Perempuan 532 35.9
951 64.1 1483 100.0
Laki-laki 624 38.7
988 61.3 1612 100.0
Total 1156 37.4
1939 62.6 3095 100.0
Umur
0 – 5 bulan 56 24.5
173 75.5 229 100.0
6 – 11 bulan 228 32.8
467 67.2 695 100.0
12 – 23 bulan 872 40.2
1299 59.8 2171 100.0
Berat lahir
2 500 g 73 53.3
64 46.7 137 100.0
≥ 2 500 g 1083 36.6
1875 63.4 2958 100.0
Z-skor BBU
-2 SD 306 62.3
185 37.7 491 100.0
≥ -2 SD 850 32.6
1754 67.4 2604 100.0
Keterangan: n
Analisis Regresi Logistik menunjukkan faktor umur anak, berat lahir anak, berat anak z-skor BBU, densitas asupan protein anak, tinggi ibu, dan status
ekonomi keluarga berhubungan erat dengan status stunting anak 0-23 bulan z- skor PBU. Model ini secara keseluruhan memprediksi dengan benar 66.6
pertumbuhan linier anak 0-23 bulan Tabel 7.
79
Tabel 7 Faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan
Peubah 0-5 bulan n=229
6-11 bulan n=695 12-23 bulan n=2 171
0-23 bulan n=3 095 OR CI 95
P OR CI 95
p OR CI 95
p OR CI 95
p
Jenis kelamin anak: laki-laki = 0 perempuan
0.540.27-1.07 0.079
1.080.77-1.50 0.668
0.900.75-1.07 0.226
0.910.78-1.05 0.202
Umur anak: 0-5 bulan 0 0.000
6-11 bulan 1.591.11-2.30
0.012 12-23 bulan
2.181.53-3.11 0.000
Berat lahir anak: ≥ 2 500 g = 0
2 500 g 1.440.30-6.86
0.647 2.551.27-5.09
0.008 1.631.05-2.55
0.030 1.811.26-2.60
0.001 Z-skor BBU:
≥ -2 SD = 0 -2 SD
1.360.48-3.88 0.561
3.342.08-5.36 0.000
3.152.49-3.99 0.000
3.072.50-3.76 0.000
Tinggi badan ibu: ≥ 145 cm = 0
145 cm 1.080.38-3.06
0.887 1.410.85-2.35
0.187 1.681.25-2.26
0.001 1.571.23-2.01
0.000 Status ekonomi rumah tangga: atas kuintil 3, 4
5 bawah kuintil 1 2
1.180.62-2.22 0.618
1.110.79-1.55 0.561
1.321.10-1.58 0.003
1.261.08-1.47 0.003
Densitas asupan protein anak: 40 g per 1 000 kkal
0.606 0.026
0.283 0.056
20-40 g per 1000 kkal 1.660.30-9.22
0.565 1.831.10-3.03
0.019 1.050.83-1.32
0.687 1.170.95-1.44
0.146 20 g per 1000 kkal
0.960.23-3.97 0.950
1.961.19-3.24 0.008
1.220.93-1.60 0.149
1.321.05-1.67 0.017
Status pemberian ASI: ya = 0 tidak
0.800.08-7.63 0.849
1.140.55-2.36 0.731
1.010.83-1.23 0.931
1.020.78-1.31 0.909
Status pemberian kapsul vitamin A: ya = 0 tidak
1.680.54-5.24 0.372
1.080.77-1.51 0.656
1.080.77-1.51 0.656
1.040.88-1.23 0.649
Status immunisasi Hepatitis B-0: ya = 0 tidak
0.600.19-1.90 0.383
0.700.44-1.44 0.127
0.930.69-1.23 0.598
0.840.66-1.06 0.150
Kualitas air minum keluarga memenuhi syarat: ya = 0
tidak 6E+009 0.0
1.000 1.090.31-3.82
0.889 0.830.29-2.37
0.724 1.060.48-2.33
0.881 Keterangan: Hasil Regresi Logistik
ρ0.01; 0-5 bulan :
100.0 corectly predict non stunting 1.8 corectly predict stunting
76.0 corectly predict overall ρ0.05; 0=kategori referensi
6-11 bulan : 92.7 corectly predict non stunting
24.1 corectly predict stunting 70.2 corectly predict overall
12-23 bulan: 87.6 corectly predict non stunting
32.2 corectly predict stunting 63.3 corectly predict overall
0-23 bulan: 90.0 corectly predict non stunting
27.3 corectly predict stunting 66.6 corectly predict overall
Umur, Berat Lahir, dan Z-skor BBU Anak
Risiko stunting anak 6-11 bulan 1.59 kali anak 0-5 bulan ρ0.05; CI 95:
1.11-2.30, dan peluang stunting anak 12-23 bulan 2.18 kali anak 0-5 bulan ρ0.01; CI 95: 1.53-3.11. Rata-rata z-skor PBU menurun seiring dengan
bertambahnya umur anak 0-23 bulan. Rata-rata z-skor PBU anak 0-5 bulan, 6-11 bulan, dan 12-23 bulan berturut-turut adalah -0.56±2.33, -0.93±2.53 dan
-1.24±2.46. Temuan ini memperkuat laporan Alive and Thrive 2010, yaitu rata- rata z-skor PBU menurun dan berada di bawah saat lahir di bawah 0, skor
standar atau rata-rata populasi dan menurun secara nyata selama 23 bulan pertama setelah lahir. Begitu pula kesimpulan Waterlow and Schürch 1994
yaitu meskipun anak-anak umumnya tidak mencapai tahap yang diklasifikasikan sebagai stunting PBU -2 SD sampai usia 2 atau 3 tahun, namun proses
perlambatan pertumbuhan linier sebenarnya dimulai jauh lebih awal yaitu usia 2 atau 3 bulan. Hal ini berbeda dengan yang disimpulkan Schmidt et al. 2002
yakni pertumbuhan mulai tersendat-sendat pada usia 6-7 bulan. Lebih jauh WHO 2001 melaporkan bahwa semakin awal anak-anak menjadi stunting, semakin
parah hambatan pertumbuhan mereka Risiko
. stunting
Risiko stunting anak yang underweight adalah 3.07 kali dibanding anak tidak underweight
ρ0.01; CI 95: 2.50-3.76. Sebanyak 62.3 anak 0-23 bulan yang underweight mengalami stunting Tabel 6. Adapun nilai z-skor BBU
anak underweight adalah -2.8±0.7, sedangkan nilai z-skor BBU anak tidak anak yang dilahirkan BBLR adalah 1.81 kali lebih tinggi
dibanding anak lahir dengan berat badan tidak BBLR ρ0.01; CI 95: 1.26-
2.60. Sebanyak 53.3 anak 0-23 bulan yang lahir dengan berat badan lahir rendah BBLR mengalami stunting Tabel 6. Berat lahir anak BBLR adalah
2 118.9±297.1 g. Berat lahir anak tersebut lebih ringan dibanding berat lahir anak dengan BB lahir tidak BBLR yaitu 3 218.2±439.5 g. Kusharisupeni 2006
menyimpulkan bahwa semua kelompok status kelahiran -normal, prematur, intra uterine growth retardation - low Ponderal index
IUGR LPI, dan intra uterine growth retardation -adequate Ponderal index
IUGR API- berkontribusi terhadap terjadinya stunting pada umur 12 bulan; kontribusi terbesar dari
kelompok IUGR API dan terkecil kelompok normal.
underweight yaitu -0.2±1.3. Beker 2006 menjelaskan bahwa pertumbuhan
merefleksikan perubahan pada massa jaringan tubuh otot, lemak, dan tulang. Kosnayani 2007 menyimpulkan bahwa ada hubungan massa tubuh dengan
kepadatan tulang. Groff and Gropper 2000 menyimpulkan bahwa semakin kurus seseorang maka semakin beresiko mengalami keropos tulang.
Densitas Asupan Protein Anak Risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas asupan proteinnya kurang
dari 20 g per 1 000 kkal 1.32 kali dibanding anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal
ρ0.05; CI 95: 1.05-1.67. Sebanyak 38.3
anak 6-23 bulan yang mengkonsumsi pangan dengan densitas asupan protein rendah 20 g per 1 000 kkal mengalami stunting Tabel 8. Adapun rata-rata
densitas asupan protein anak 0-23 bulan yang stunting dan yang tidak stunting berturut-turut yaitu 29.6 g dan 30.2 per 1 000 kkal Tabel 9.
Standar densitas asupan protein 20-40 g berdasarkan modifikasi perbandingan densitas zat gizi penting bagi kesehatan masyarakat menurut FAO
Drewnowski 2005 dan angka kecukupan zat gizi AKG Indonesia WNPG 2004. Standar densitas asupan protein menurut FAO yaitu 40-50 g, adapun
angka kecukupan gizi anak untuk kelompok umur 0-6, 7-12, dan 13-23 bulan berturut-turut sebanyak 10, 16, dan 25 g.
Standar dasar densitas asupan protein dalam penelitian ini adalah per 1 000 kkal, namun menurut standar FAO tersebut di atas adalah per 2 000 kkal. Hal ini
sejalan dengan yang diungkapkan Drewnowski 2005 bahwa perbandingan resmi antara komposisi gizi makanan dan nilai referensi harian bermakna hanya jika
dibuat pada standar dasar per kalori –biasanya per 1 000 atau 2 000 kkal; dan mengingat angka kecukupan gizi berdasarkan
WNPG
2004 untuk kelompok umur 0-6, 7-12, dan 13-23 bulan berturut-turut sebanyak 550, 650, dan 1 000 kkal.
Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan tingkat kecukupan zat gizi, mutu gizi konsumsi pangan, dan densitas asupan zat gizi anak
Keterangan: Tk = tingkat kecukupan; n
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Tk. energi
70 521 37.5
867 62.5 1388 100.0
≥ 70 635 37.2
1072 62.8 1707 100.0
Tk. protein
80 382 38.4
614 61.6 996 100.0
≥ 80 774 36.9
1325 63.1 2099 100.0
Tk. kalsium
50 621 39.6
949 60.4 1570 100.0
≥ 50 535 35.1
990 64.9 1525 100.0
Tk. fosfor
50 454 41.7
634 58.3 1088 100.0
≥ 50 702 35.0
1305 65.0 2007 100.0
Tk. zat besi
50 840 37.6
1396 62.4 2236 100.0
≥ 50 316 36.8
543 63.2 859 100.0
Tk. vitamin A
50 421 38.8
663 61.2 1084 100.0
≥ 50 735 36.5
1276 63.5 2011 100.0
Tk. vitamin B1
50 254 41.6
357 58.4 611 100.0
≥ 50 902 36.3
1582 63.7 2484 100.0
Tk. vitamin C
50 940 37.9
1541 62.1 2481 100.0
≥ 50 216 35.2
398 64.8 614 100.0
Mutu gizi konsumsi pangan
70 718 38.6
1141 61.9 1859 100.0
≥ 70 438 35.4
798 64.6 1236 100.0
Densitas asupan protein
20 g per 1 000 kkal 402 38.3
647 61.7 1049 100.0
20 – 40 g per 1 000 kkal 548 38.0
896 62.0 1444 100.0
40 g per 1 000 kkal 206 34.2
396 65.8 602 100.0
Densitas asupan kalsium
500 mg per 1 000 kkal 774 39.5
1186 60.5 1960 100.0
≥ 500 mg per 1 000 kkal 382 33.7
753 66.3 1135 100.0
Densitas asupan zat besi
7 mg per 1 000 kkal 996 36.9
1704 63.1 2700 100.0
≥ 7 mg per 1 000 kkal 160 40.5
235 59.5 395 100.0
Densitas asupan vitamin A
700 µg RE per 1 000 kkal 773 39.2
1199 60.8 1972 100.0
≥ 700 µg RE per 1 000 kkal 383 34.1
740 65.9 1123 100.0
Densitas asupan vitamin B1
1.0 mg per 1 000 kkal 539 38.0
881 62.0 1420 100.0
≥ 1.0 mg per 1 000 kkal 617 36.8
1058 63.2 1675 100.0
Densitas asupan vitamin C
50 mg per 1 000 kkal 1103 37.5
1837 62.5 2940 100.0
≥ 50 mg per 1 000 kkal 53 34.2
102 65.8 155 100.0
Tabel 9 Rata-rata asupan, tingkat kecukupan, dan densitas asupan gizi anak 0-23 bulan
Gizi Stunting
Tidak Stunting
Total Asupan
Energi, kkal 662.0±327.3
670.3±337.3 667.2±333.6
Protein, g 18.9±12.7
19.7±13.1 19.4±12.9
Kalsium, mg 273.3±271.4
296.7±286.3 287.9±281.0
Fosfor, mg 285.3±237.2
298.2±242.0 293.4±240.3
Zat besi, mg 2.8±2.4
2.7±2.4 2.7±2.4
Vitamin A, µg RE 317.6±259.4
339.2±266.6 331.1±264.1
Vitamin B1, mg 0.8±0.7
0.8±0.7 0.8±0.7
Vitamin C, mg 10.3±10.4
11.0±10.7 10.8±10.6
Tingkat kecukupan AKG
Energi 79.6±37.6
81.3±37.4 80.7±37.5
Protein 132.6±86.1
136.7±86.7 135.1±86.5
Kalsium 61.2±58.3
69.3±62.5 66.3±61.1
Fosfor 85.0±66.2
94.2±68.1 90.7±67.5
Zat besi 37.1±30.6
36.8±30.4 36.9±30.5
Vitamin A 79.8±65.1
85.5±67.0 83.3±66.3
Vitamin B1 184.3±157.1
197.6±162.6 192.7±160.7
Vitamin C 25.8±26.0
27.6±26.9 27.0±26.6
Mutu gizi konsumsi pangan 58.9±20.9
61.3±20.0 60.4±20.4
Densitas asupan g per 1 000 kkal
Protein, g per 1 000 kkal 29.6±19.3
30.2±19.3 30.0±19.3
Kalsium, mg per 1 000 kkal 435.4±419.1
471.9±433.9 458.3±428.7
Zat besi, mg per 1 000 kkal 4.1±3.2
3.9±3.1 4.0±3.1
Vitamin A, µg RE per 1 000 kkal 522.3±431.0
556.0±421.3 543.4±425.2
Vitamin B1, mg per 1 000 kkal 1.5±1.3
1.5±1.3 1.5±1.3
Vitamin C, mg per 1 000 kkal 18.0±20.7
18.8±19.0 18.5±19.7
Keterangan: AKG = Angka kecukupan gizi
WHO 1998 menerangkan bahwa nilai acuan densitas protein yang relevan untuk mengembangkan dan mengevaluasi pedoman diet adalah 20-25
gram per 1 000 kkal dengan asumsi 8-10 dari total energi dengan kualitas protein tinggi, dan 25-30 g dengan asumsi 10-12 dari total energi dengan asupan
protein hewani rendah. Dalam keadaaan campuran diet tidak mengandung legum danatau protein hewani yang cukup, koreksi untuk skor asam amino perlu
dilakukan. Koreksi untuk skor asam amino ditekankan dimasa lalu karena sumber protein nabati tunggal dapat membatasi satu atau lebih asam amino lysin untuk
sebagian besar serealbiji-bijian, metionin untuk sebagian besar legumkacang- kacangan. Apabila sanitasi lingkungan tidak memadai dan diare sering terjadi,
direkomendasikan meningkatan asupan protein 10. Anak-anak yang pulih dari infeksi akut atau malnutrisi, asupan protein harus ditingkatkan untuk memenuhi
permintaan yang disebabkan sintesis jaringan yang cepat. Tergantung pada
tingkat defisit, kebutuhan protein mungkin 2-3 jumlah normal. Bahkan untuk anak-anak, protein yang dibutuhkan selama masa pemulihan meningkat 20-40.
Densitas asupan protein anak 0-23 bulan di Indonesia hampir sama dengan anak-anak di Amerika, Peru, dan Meksiko Tabel 10. Namun, Indonesia belum
mempunyai patokan densitas asupan protein. Dalam penelitian ini digunakan gabungan Standar WHO 1998 yaitu 20 – 25 g per 1 000 kkal, Drewnowski
2005 yaitu 0 - 50 g per 1 000 kkal, dan AKG Indonesia WNPG 2004 dengan kategori cukup apabila densitas asupan protein sebanyak 20 - 40 g per 1 000 kkal.
Tabel 10 Densitas asupan protein dari diet anak baduta di Amerika, Peru, Meksiko dan Indonesia
Negara Kelompok
Umur bulan
Rata-rata yang diinginkan
Rata- rata
Median Minimal
Maksimal
Amerika 6-8
§
0.7 2.6
2.3 0.9
6.4 Peru
6-8
§
0.7 3.2
2.7 0.0
14.6 Amerika
9-11
§
0.7 3.3
3.1 0.4
6.8 Peru
9-11
§
0.7 3.0
2.7 0.0
7.7 Meksiko
18-24
§
0.7 3.0
2.9 2.3
4.0 Indonesia
0-23 0.4
3.0 2.6
0.1 9.6
Keterangan: umur bulan; densitas asupan protein g per 100 kkal; nilai minimal Drewnowski 2005;
§
WHO 1998
Persen protein hewani terhadap total protein anak 0-23 bulan berkorelasi kuat dengan densitas asupan protein r = 0.685; p 0.01 Tabel 11. Hal ini
memperkuat laporan WHO 1998 yaitu asupan protein, terutama protein hewani telah dikaitkan dengan prevalensi stunting yang lebih rendah di negara-negara
maju. Tabel 11 Asupan, protein, dan energi pangan hewani anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total
Persen gram pangan hewani terhadap total pangan anak
37.4 ± 32.1 39.3 ± 32.8
38.6 ± 32.6 Persen protein hewani terhadap total
protein anak 58.2 ± 34.1
61.5 ± 33.3 60.3 ± 33.6
Persen energi dari pangan hewani terhadap total energi anak
42.6 ± 33.0 45.9 ± 32.2
44.6 ± 32.7
Jenis pangan hewani yang dikonsumsi anak usia 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut ada sebanyak 3, 36, dan 57 jenis Lampiran 4, 5, 6.
Hampir seluruh anak 0-5 bulan hanya mengkonsumsi ASI danatau tepung susu; sedangkan anak 6-23 bulan, selain dua jenis tersebut mereka paling banyak
mengkonsumsi telur ayam dadar dan ceplok, ikan asin gabus goreng, susu kental manis dan bakso.
Status pemberian ASI pernah diberi ASIdisusui tidak termasuk faktor risiko stunting anak 0-23 bulan. Prevalensi anak stunting yang tidak pernah diberi
ASI tidak berbeda dengan anak yang pernah diberi ASI, masing-masing sebanyak 37.1 dan 37.4 Tabel 12. Namun demikian, terlihat kecenderungan jumlah ASI
dan tepung susu yang dikonsumsi anak 0-23 bulan meningkat seiring dengan bertambahnya umur, namun frekuensi konsumsinya berkurang Lampiran 2, 3
4. Rata-rata jumlah ASI yang dikonsumsi anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 144.3, 142.4, dan 150.4 g per hari, sedangkan rata-rata
frekeuensi minum ASI anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 4.1, 3.5, dan 3.1 kali per hari. Adapun rata-rata jumlah tepung susu yang
dikonsumsi anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 17.5, 19.3, dan 23.5 g per hari, sedangkan rata-rata frekeuensi mengonsumsi tepung susu oleh
anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 1.6, 2.6, dan 2.5 kali per hari.
Tabel 12 Sebaran anak berdasarkan status stunting, kesehatan anak, dan sanitasi lingkungan anak 0-23
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Pemberian ASI
Tidak 112 37.1
190 62.9 302 100.0
Ya 1044 37.4
1749 62.6 2793 100.0
Mendapatkan Vitamin A
Tidak 433 36.9
739 58.6 1172 100.0
Ya 723 37.6
1200 62.4 1923 100.0
Kepemilikan KMS
Tidak 43 35.2
79 64.8 122 100.0
Ya 1113 37.4
1860 62.6 2973 100.0
Imunisasi Hepatitis B-0
Tidak 132 34.3
253 65.7 385 100.0
Ya 1024 37.8
1686 62.2 2710 100.0
Kualitas air minum
Tidak memenuhi syarat 12 41.4
17 58.6 29 100.0
Memenuhi syarat 1144 37.3
1922 62.7 3066 100.0
Tempat air limbah
Terbuka 931 37.0
1583 63.0 2514 100.0
Tertutup 225 38.7
356 61.3 581 100.0
Keterangan: n
Anak 6-11 bulan banyak yang mengkonsumsi ikan asin gabus goreng, sedangkan anak 12-23 bulan banyak yang mengkonsumsi ikan asin kering, ikan
segar, ikan bandeng, teri goreng, dan lele goreng n20 anak. Berdasarkan data tersebut maka ikan merupakan salah satu jenis pangan yang berpotensi
dikembangkan menjadi campuran MP ASI anak 6-23 bulan sebagai salah satu upaya mengatasi danatau mencegah stunting di Indonesia. Di sisi lain, Nurlinda
2010 menyimpulkan bahwa anak 7-11 bulan yang berasal dari rumah tangga miskin yang berdomisili di Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Bogor
mengkonsumsi 12 jenis pangan; yang berasal dari pangan hewani hanya susu dan tidak ditemukan adanya sumber pangan yang berasal dari ikan dan telur. Santika
et al. 2008 menyimpulkan bahwa alasan ibu tidak memberikan ikan pada bayi
karena dapat menyebabkan cacingan. Makanan Pendamping ASI yang terdiri dari campuran susu dan sereal
Guldan et al. 2000 dan campuran tepung ikan, sereal, dan legum Lartey et al. 1999 dapat meningkatkan pertumbuhan linier anak. Protein susu dapat
menghasilkan peptida aktif secara biologi WHO 1998. Peptida aktif secara biologi mempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi usus.
Tinggi Ibu
Peluang stunting anak yang lahir dari ibu yang pendek sebesar 1.57 kali
dibanding anak dengan ibu yang tidak pendek ρ0.01; CI 95: 1.23-2.01.
Sebanyak 50.0 anak 0-23 bulan yang lahir dari ibu yang pendek 145 cm mengalami stunting Tabel 13. Rata-rata tinggi ibu yang pendek yaitu 141.7±3.9
cm, sedangkan tinggi ibu yang tidak pendek yaitu 152.7±6.5 cm. Ibu yang tinggi badannnya kurang dari 145 cm berisiko mengalami kesulitan ketika melahirkan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rahayu 2012 yang menyimpulkan bahwa kejadian stunting pada usia 6-12 bulan memiliki hubungan yang signifikan dengan
tinggi ibu p0.05. Wahdah 2012 juga menyimpulkan bahwa faktor risiko determinan terhadap kejadian stunting anak 6-36 bulan adalah tinggi ibu.
Anderson 2004 menjelaskan bahwa faktor genetik menentukan sekitar 60 perkembangan massa tulang, selebihnya 40 ditentukan faktor lingkungan.
Tabel 13 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan karakteristik orang tua anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Umur ibu
25 tahun 270 40.8
391 59.2 661 100.0
25-35 tahun 650 36.3
1143 63.7 1793 100.0
35 tahun 219 37.9
359 62.1 578 100.0
Tidak ada data 17 27.0
46 73.0 63 100.0
Umur ayah
25 tahun 61 40.9
88 59.1 149 100.0
25-35 tahun 569 37.1
964 62.9 1533 100.0
35 tahun 430 37.5
716 62.5 1146 100.0
Tidak ada data 96 36.0
171 64.0 267 100.0
Pendidikan ibu
SD 506 40.2
754 59.8 1260 100.0
SLTP 268 37.5
446 62.5 714 100.0
SLTA 277 34.7
521 65.3 798 100.0
PT 87 33.7
171 66.3 258 100.0
Tidak ada data 18 27.7
47 72.3 65 100.0
Pendidikan ayah
SD 479 41.9
663 58.1 1142 100.0
SLTP 208 36.9
356 63.1 564 100.0
SLTA 295 34.1
571 65.9 866 100.0
PT 78 30.5
178 69.5 256 100.0
Tidak ada data 96 36.0
171 64.0 267 100.0
Pekerjaan ibu
Tidak bekerjasekolah 696 37.6
1154 62.4 1850 100.0
Buruhpetaninelayan 240 37.6
398 62.4 638 100.0
TNIPNSwiraswasta 202 37.3
340 62.7 542 100.0
Tidak ada data 18 27.7
47 72.3 65 100.0
Pekerjaan ayah
Tidak bekerjasekolah 37 45.7
44 54.3 81 100.0
Buruhpetaninelayan 527 39.1
821 60.9 1348 100.0
TNIPNSwiraswasta 496 35.5
903 64.5 1399 100.0
Tidak ada data 96 36.0
171 64.0 267 100.0
Tinggi ibu
145 cm 156 50.0
156 50.0 312 100.0
≥ 145 cm 1000 35.9
1783 64.1 2783 100.0
Tinggi ayah
150 cm 25 48.1
27 51.9 52 100.0
≥ 150 cm 1131 37.2
1912 62.8 3043 100.0
IMT ibu
18.5
133 42.9 177 57.1
310 100.0
18.5 sd 25
738 37.5 1228 62.5
1966 100.0
25
270 35.6 489 64.4
759 100.0 Tidak ada data
15 25.0 45 75.0
60 100.0
IMT ayah
18.5
108 39.0 169 61.0
277 100.0
18.5 sd 25
781 38.2 1264 61.8
2045 100.0
25
167 33.6 330 66.4
497 100.0 Tidak ada data
100 36.2 176 63.8
276 100.0
Keterangan: n
Status Sosial dan Ekonomi Keluarga
Risiko stunting anak 0-23 bulan dengan status ekonomi keluarga bawah kuintil 1 2 sebesar 1.26 kali dibanding dengan status ekonomi menengah atas
ρ0.01; CI 95: 1.08-1.47. Sebanyak 41.3 anak 0-23 bulan yang status ekonomi bawah mengalami stunting Tabel 14. Hal ini memperkuat laporan
WHO 2010 yaitu tingginya kejadian stunting berhubungan dengan kondisi sosial-ekonomi yang buruk yang meningkatkan risiko terpapar kondisi buruk
seperti sakit danatau praktik makan yang tidak tepat. Lebih jauh dijelaskan Waterlow 1994 bahwa infeksi berkontribusi melalui luka pada mukosa gastro-
intestinal, menyebabkan malabsorpsi, terutama mikronutrien, dan peningkatan permeabilitas terhadap antigen dan bakteri. Efek sistemik infeksi, dimediasi oleh
sitokin, mengakibatkan kehilangan zat gizi yang berlebihan Tabel 14 Sebaran anak berdasarkan status stunting
. dan karakteristik keluarga anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Jumlah anak balita n,
1 orang 881 36.9
1505 63.1 2386 100.0
1 orang 275 38.8
434 61.2 709 100.0
Total 1156 37.4
1939 62.6 3095 100.0
Besar keluarga n,
≤ 4 orang 691 38.1
1122 61.9 1813 100.0
4 orang 465 36.3
817 63.7 1282 100.0
Kotadesa n,
Kota 606 39.5
930 60.5 1536 100.0
Desa 550 35.3
1009 64.7 1559 100.0
Status ekonomi n,
Bawah kuintil 1 2 622 41.3
883 58.7 1505 100.0
Menengah atas 3, 4, 5 534 33.6
1056 66.4 1590 100.0
Keterangan: n
Hansen et al. 1979 menjelaskan bahwa variasi diet bisa menjadi fungsi dari status ekonomi. Keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas lebih
banyak mengkonsumsi daging, unggas, ikan, susu, dan produk-produk susu, serta buah dan sayur, adapun keluarga dengan status ekonomi bawah lebih banyak
mengkonsumsi roti dan sereal. Drewnowski 2003 menyimpulkan bahwa perbaikan paket pangan oleh WIC Women, Infants, and Children tahun 1970-an
dan 1980-an untuk menolong kelompok berpendapatan rendah yaitu dengan memberikan pangan-pangan yang kaya zat-zat gizi kunci protein, kalsium, zat
besi, serta vitamin A dan C. Drewnowski and Specter 2004 juga
menyimpulkan bahwa tantangan yang sedang berlangsung adalah untuk menyediakan makanan yang memaksimalkan rasio zat-zat gizi terhadap energi
dan melakukannya dengan biaya terjangkau. Simpulan
Status stunting berhubungan dengan umur, berat lahir, berat, densitas protein, tinggi badan ibu, dan status ekonomi keluarga anak 0-23 bulan. Risiko
stunting anak 6-11 bulan dan anak 12-23 bulan masing-masing 1.59 kali dan 2.18
kali dibanding anak 0-5 bulan. Risiko stunting anak yang dilahirkan dengan berat bayi lahir rendah BBLR adalah 1.81 kali lebih tinggi dibanding anak lahir
dengan berat badan normal. Anak yang underweight berpeluang stunting 3.07 kali. Risiko stunting anak yang lahir dari ibu yang pendek 145 cm 1.57 kali
dibanding anak yang lahir dari ibu yang tidak pendek. Risiko stunting anak yang status ekonomi rumah tangganya rendah kuintil 1 dan 2 1.26 kali dibanding anak
yang status ekonomi rumah tangganya menengah ke atas kuintil 3, 4 dan 5. Risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas asupan proteinnya kurang dari 20 g
per 1 000 kkal 1.32 kali dibanding anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal.
Pencegahan stunting anak 0-23 bulan perlu dilakukan dengan meningkatkan kesehatan dan gizi ibu hamil, kualitas makanan untuk anak 0-23
bulan, dan pendapatan keluarga berpenghasilan rendah. Perlu dilakukan penelitian efikasi intervensi gizi untuk pencegahan dan meminimalkan risiko
stunting baik sejak masa kehamilan maupun pada masa masa bayi dan anak.
Ucapan Terimakasih Terimakasih disampaikan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI atas data yang diberikan; Yayasan Supersemar atas dukungan dana penelitian.
Daftar Pustaka
Alive and Thrive. 2010. Why stunting matters. Insight Issue 2
nd
: September. USA: Aliveandthrive. http:www.aliveandthrive.org
Almatsier S. 2005. Penun [28 Agustus 2011].
tun Diet. Gramedia Pustaka Amilia L. 2011. Analisis asupan air dan mutu gizi asupan pangan pada anak di
Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Utama. Jakarta.
Anderson JJB. 2004. Mineral. In Mahan K and Stump SE Eds., Food, Nutrition and Diet Therapy 11
th
Beker L. 2006. Principle of growth assessment. Pediatricts in Review 27:196- 198.
eds. Pennsilvania: Saunders.
Bhutta ZA et al. 2008. What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival. Lancet 371:417–40.
Blössner M, Siyam A, Borghi E, Onyango A, Onis M. 2009. WHO AnthroPlus for Personal Computers Manual
. Geneva: WHO. Drewnowski A. 2003. Fat and sugar: an economic analysis. J Nutr 133:838S-
40S. Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density
score. Am J Clin Nutr 79:6-16. Drewnowski A, Specter SE. 2004. Poverty and obesity: the role of energy
density and energy costs. Am J Clin Nutr 82:721-32. Fahmida U, Wibowo Y, Ariawan I. 2008. Biostatistics 2: Intermediate
Biostatistics for Nutrition and Health Research . Jakarta: South East Asian
Ministers of Education Organization, Tropical Medicine and Public Health Regional Center for Community Nutrition SEAMEO-TROPMED RCCN
University of Indonesia.
Groff JL and Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. United State: Wadsworth Thomson Learning.
Guldan GS, Fan HC, Ma X, Ni ZZ and Tang MZ. 2000. Culturally appropriate nutrition education improves infant feeding and growth in rural Sichuan,
China. J. Nutr 130:1204-1211. Hansen RG, Wyse BW, Sorenson AW. 1979. Nutrition quality index of food.
Westport: AVI. Hardinsyah and Briawan D. 1994. Assesment and Planning of Food
Consumption. Bogor: Community Nutrition and Family Resources
Department. Bogor Agricultural University. Hardinsyah. 2001. Mutu gizi dan konsumsi pangan. Di dalam: Hardinsyah,
Atmojo SM, editor. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta: Pergizi Pangan.
Jahari AB. 2009. Growth Curve of Healthy Children from Wealthy Families: How Close to WHO Child Growth Standard 2005?
Bogor: Center for Research and Development in Food and Nutrition National Institute for
Health Research and Development, Ministry of Health of RI. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2010. Survey Kesehatan Nasional. Jakarta:
Kemenkes. Kusharisupeni. 2006. Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah
studi prospektif. J Kedokter Trisakti 233:73-80. Kosnayani AS. 2007. Hubungan asupan kalsium, aktivitas fisik, paritas, indeks
massa tubuh dan kepadatan tulang pada wanita pascamenopause [tesis]. Semarang: Program Studi Gizi Masyarakat, Program Pascasarjana,
Universitas Dponegoro.
Lartey A, Manu A, Brown KH, Peerson JM, and Dewey KG. 1999. A randomized community based trial of the effect of improved centrally
processed complementary food on growth and micronutrient status of Ghananian infants from 6 to 12 month of age. Am J Clin Nutr 70:391-404.
Mahan K, Escott-Stump. 2008. Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B. Saunders Company.
Nurlinda A. 2010. Optimalisasi konsumsi pangan bagi rumahtangga miskin berdasarkan kecukupan gizi, kebiasaan pangan dan pendapatan [disertasi].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahayu. 2012. Hubungan tinggi badan orang tua dengan perubahan status
stunting dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4 tahun [tesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. Remans R et al. 2011.
Multisector intervention to accelerate reductions in child stunting: an observational study from 9 Sub-Saharan African countries.
Am J Clin Nutr 10:1-11.
Santika O, Fahmida U, Ferguson EL. 2008. Development of food-based complementary feeding recommendation for 9-11 month-old peri-urban
Indonesian infants using linear programming. J Nutr:139:135-141. Schmidt MK et al. 2002. Nutritional status and linear growth of Indonesian
infants in West Java are determined more by prenatal environment than by postnatal factors. J Nutr 132:2202-2207.
Soekirman. 27 Juni 2012. Kurang gizi, anak bertubuh pendek. Suara Pembaharuan
: 1 kolom 1-3. Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Surabaya: Universitas Erlangga.
Ulfani DH, Martianto1 D, Baliwati YF. 2011. Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight,
stunted, dan wasted di Indonesia: Pendektan ekologi gizi. Jurnal gizi dan pangan
61:59–65.
Wahdah S. 2012. Faktor risiko kejadian stunting pada anak umur 6-36 bulan di wilayah pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu,
Kalimmantan Barat [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Waterlow JC. 1994. Summary of causes and mechanisms of linear growth
retardation. European journal of clinical nutrition 48:S210. Waterlow JC and Schürch B. 1994. Causes and mechanisms of linear growth
retardation. European journal of clinical nutrition 48:S1-S216. [WHO] World Health Organization. 1998. Preparation and Use of Food Based
Dietary Guidelines . Geneva: WHO.
[WHO] World Health Organization. 2001. Improving Child Growth. Geneva: WHO page 23-41.
[WHO] World Health Organization. 2006. Table of standard anthropometry WHO-2005
. [WHO] World Health Organization. 2010. Child Growth Indicators and Their
Interpretation . Geneva: WHO.
Geneva: WHO.
[WNPG] Widyakarya Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi. Jakarta, 17-19 Mei 2004.
BAB 7
POLA KONSUMSI PANGAN, ASUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI ANAK
STUNTING DAN ANAK TIDAK
STUNTING 0-23 BULAN
Aslis Wirda Hayati
1
, Hardinsyah
2
, Fasli Jalal
3
, Siti Madanijah
2
, Dodik Briawan
2
1
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Pontianak
2
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
3
Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas
Jurnal Gizi dan Pangan 2013, 72
Abstrak
ASLIS WIRDA HAYATI. Pola Konsumsi Pangan, Asupan Energi dan Zat Gizi Anak 0-23 Bulan. Dibimbing oleh HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI
MADANIJAH, dan DODIK BRIAWAN
Tujuan penelitian yaitu menganalisis pola konsumsi pangan dan asupan energi dan gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan menggunakan data
Riskesdas 2010. Dari 6 634 data anak baduta, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out. Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus
2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel dan SPSS for windows
. Uji beda pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi menerapkan Man-Whitney U. Pada anak 0-5 bulan tidak ada perbedaan pola konsumsi
pangan, asupan energi dan gizi anak stunting dan tidak stunting. Pada anak 6-11 bulan, rata-rata tingkat kecukupan protein anak stunting dan tidak stunting
berbeda, demikian pula densitas asupan protein. Pada anak 12-23 bulan, selain protein, rata-rata tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan kalsium dan
densitas asupan kalsium, tingkat kecukupan fosfor, tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, mutu gizi makanan, dan bahkan jenis konsumsi pangan juga berbeda.
Perlu dilakukan penelitian efikasi intervensi zat gizi tersebut untuk pertumbuhan linier optimal anak.
Kata kunci:
asupan zat gizi, densitas asupan protein, pola konsumsi pangan, stunting
Abstract
ASLIS WIRDA HAYATI. Food consumption pattern in young children 0-23 months. Under direction of HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH,
and DODIK BRIAWAN
The objective of this study was to analyze food consumption patterns of stunting and non-stunting young children of 0-23 months old YC, using the data
from Riskesdas 2010. From 6,634 YC, 3,539 were screened out. Nutritional status data were processed using the WHO AnthroPlus, while the other data were
processed using the Excel and SPSS for windows. The different on food consumption pattern was performed with Man-Whitney U test. There was no
difference in food consumption patterns between stunting and non-stunting children 0-5 months. The average of protein adequacy and protein density was
difference in children 6-11 months. In children 12-23 months, the differences not only in the average of protein adequacy and protein density but also in average of
energy adequacy, average of calcium adequacy and calcium density, phosphor, vitamin A, and C adequacy, mean adequacy ratio MAR of nutrient, and type
number of food. It is necessary to study the efficacy of nutrients
interventions. Key words: food consumption pattern, nutrients intake, protein density, stunting
Pendahuluan
Masalah stunting akhir-akhir ini semakin menjadi perhatian terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Hasil studi Riskesdas di
Indonesia oleh Kemenkes 2010 menemukan prevalensi stunting anak 1 dan 2 tahun berturut-turut sebanyak 32.1 dan 41.5, dan studi review di 36 negara oleh
Bhutta et al. 2008 menemukan sebanyak 40 dan 54. WHO 2006 menjelaskaan bahwa prevalensi stunting yang lebih besar dari 20 dianggap
tinggi dan merupakan suatu masalah Temuan mutakhir yang berhubungan dengan stunting
kesehatan masyarakat. antara lain oleh
Bhutta et al. 2008 menyimpulkan bahwa MP-ASI yang difortifikasi dapat meningkatkan panjang badan anak, namun peningkatan tersebut sangat kecil.
Beberapa penelitian anak stunting di Indonesia yaitu oleh
Indonesia memerlukan informasi pola konsumsi pangan dan asupan energi dan zat gizi anak stunting dan tidak stunting dari kajian faktor gizi di Indonesia
sebagai salah satu upaya mengatasi masalah stunting. Sehubungan hal tersebut, tujuan penelitian ini menganalisis pola konsumsi pangan dan asupan energi dan
zat gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan di Indonesia. Kusharisupeni 2006 di
Kabupaten Indramayu, Rahayu 2012 di Kota dan Kabupaten Tangerang, Wahdah 2012 Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi
Kalimantan Barat, Ulfani et al. 2011 di Indonesia menyimpulkan keterkaitan stunting
dengan faktor non-gizi. Sementara itu, Kemenkes 2010 melaporkan bahwa data konsumsi pangan anak 0-23 bulan Riset Kesehatan Dasar Riskesdas
Nasional 2010 tidak dianalisis karena pada umur tersebut bayi atau anak masih mengonsumsi air susu ibu ASI sedangkan konsumsi energi dan zat gizi makro
dari ASI sulit diperhitungkan.
Metode
Desain, waktu dan tempat
Data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes digunakan dalam penelitian ini. Desain Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan
merupakan penelitian non-intervensi. Pengumpulan data dilakukan bulan Mei- Agustus 2010. Pengolahan dan analisis data penelitian oleh peneliti dilakukan
pada bulan Maret–Nopember 2012.
Jumlah dan cara pengambilan sampel
Sampel Riskesdas 2010 mewakili seluruh rumah tangga di Indonesia. Pemilihan sampel dilakukan secara acak dalam dua tahap. Tahap pertama
dilakukan pemilihan Blok Sensus BS dan tahap kedua pemilihan rumah tangga, yaitu sejumlah 25 rumah tangga setiap BS. Besar sampel yang direncanakan
sebanyak 2 800 BS. Sampel BS tersebut tersebar di 33 Provinsi dan 441 KabupatenKota. Data yang berhasil dikumpulkan sebanyak sejumlah 2 798 BS
sampel 99.9 dari 2 800 BS sampel yang direncanakan. Pengumpulan dan entri data dilakukan tenaga kesehatan terlatih minimal tamat D3 kesehatan.
Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data dilakukan oleh Penanggung Jawab Teknis KabupatenKota, kemudian data dikirim secara elektronik kepada tim
manajemen data di Balitbangkes. Peneliti memperoleh sub-set data Riskesdas 2010 dalam bentuk e-files.
Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files tersebut, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out karena: 1 data berat badan dan panjang badan anak
tidak lengkap 644 orang, 2 nilai z-skor BBU, PBU dan IMTU termasuk pencilan berdasarkan Blössner et al. 2009 yaitu -6BBU5; -6PBU6;
-5BMIU5 447 orang, 3 pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa yaitu perhelatanhari besarsakit 46 orang, dan 4 nilai asupan energi
termasuk pencilan berdasarkan Amilia 2011 yaitu asupan energi 0.3 BMR atau 3.0 BMR 2 402 orang.
Jenis dan cara pengumpulan data
Data Riskesdas 2010 meliputi keterangan rumah tangga dan keterangan anggota rumah tangga. Keterangan rumah tangga meliputi identitas, fasilitas
pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran. Keterangan individu antara lain meliputi identitas individu, kesehatan anak, dan konsumsi makanan
dalam 24 jam terakhir. Pengukuran tinggi badanpanjang badan dan berat badan dilakukan pada setiap responden.
Pola konsumsi pangan dan asupan energi dan zat gizi yang diukur berupa: 1 jumlah jenis konsumsi pangan, 2 jumlah kelompok konsumsi pangan, 3
frekuensi makan, 4 tingkat kecukupan energi, 5 tingkat kecukupan protein, 6 tingkat kecukupan kalsium, 7 tingkat kecukupan fosfor, 8 tingkat kecukupan zat
besi, 9 tingkat kecukupan vitamin A, 10 tingkat kecukupan vitamin B1, 11 tingkat kecukupan vitamin C, 12 mutu gizi asupan pangan, 13 densitas asupan
protein, 14 densitas asupan kalsium, 15 densitas asupan zat besi, 16 densitas asupan vitamin A, 17 densitas asupan vitamin B1, dan 18 densitas asupan
vitamin C.
Pengolahan dan analisis data
Nilai z-skor PBU anak memperhatikan posisi pengukuran, apabila diukur dalam posisi anak berdiri, maka PB = TB + 0.7 cm Blössner et al. 2009. Anak
disebut stunting apabila z-skor PBU -2 SD dan tidak stunting apabila z-skor PBU
≥-2 SD Jahari 2009. Data konsumsi pangan individu dikumpulkan dengan metode kuantitatif
recall 24-hour. Berat ASI yang dikonsumsi anak menggunakan faktor konversi
dari hasil studi pendahuluan weighing method dan analisis mendalam data konsumsi ASI Riskesdas 2010 sebagai berikut:
Zat gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi dihitung sebagai berikut Hardinsyah Briawan 1994:
Energi yang dibutuhkan anak usia 0-23 bulan dihitung berdasarkan rumus perhitungan kebutuhan energi oleh Mahan and Escott-Stump 2008. Kebutuhan
energi anak dihitung menurut kelompok umur Tabel 1.
Keterangan: Kgij = Energi dan zat gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi
Bj = Berat pangan yang dikonsumsi
Gij = Energi dan zat gizi per 100 g bagian pangan yang dapat dimakan BDD = Bagian pangan yang dapat dimakan BDD
1 kali minum 1 kali masa mengisap ASI = 50 g = 5 menit = 0.5 botol susu dot sedang = 0.5 gelas kecil
Botol susu dot Gelas
1 botol susu kecil = 50 g 1 gelas kecil = 100 g
1 botol susu sedang = 100 g 1 gelas sedang = 200 g
1 botol susu besar = 150 g 1 gelas besar = 300 g
K
gij
= B
j
100 X G
ij
X BDD100
Kebutuhan energi kkal = EER + 10 TEE
Tabel 1 Perhitungan estimasi kebutuhan energi EER menurut umur
Umur bulan Formula EER
0-3 89 x BB – 100 + 175 kkal
4-6 89 x BB – 100 + 56 kkal
7-12 89 x BB – 100 + 22 kkal
13-23 89 x BB – 100 + 20 kkal
Energi anak yang dibutuhkan anak dihitung sesuai dengan usia dan berat badan aktual berdasarkan Total Energy Expenditure TEE yang dikoreksi dengan
Thermic Effect of Food TEF. TEF merupakan peningkatan pengeluaran energi
yang berhubungan dengan asupan pangan. Besarnya nilai TEF dihitung dari total pengeluaran energi yaitu sebesar 10 dari TEE. Perhitungan kebutuhan energi
pada anak juga termasuk kebutuhan Energy Deposition yang merupakan kalori tambahan untuk mendukung deposisi jaringan yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan bayi dan anak. Status gizi anak perlu diketahui melalui IMTU Blössner et al. 2009.
Klasifikasi status gizi berdasarkan z-skor IMTU yaitu: sangat kurus jika IMTU-3SD, kurus jika -3SD
≥IMTU-2SD, normal jika -2SD≥IMTU-2SD, gemuk jika 2SD
≥IMTU3SD, dan obes jika IMTU3SD.
Kebutuhan protein anak dihitung berdasarkan pada formula Angka Kecukupan Protein AKP dalam WNPG 2004 sesuai dengan kelompok umur
yaitu: 0-6, 7-11, dan 12-23 bulan masing-masing berturut-turut 10 g AKP dikoreksi mutu, 1.5 gkg BBhari x 1.2, dan 1.2 gkg BBhari x 1.2. Perhitungan
kebutuhan protein disesuaikan dengan berat badan sampel BB normal anak yang
status gizinya tidak normal digunakan median BB menurut umur dan jenis kelamin berdasarkan Standar Antropometri WHO-2005.
1
Keterangan: AKP = Angka kecukupan protein gkgBBhari, Faktor koreksi mutu protein = 1.2
, serta dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein sebesar 1.2. Faktor koreksi mutu tersebut
didasarkan pada rendahnya mutu protein makanan penduduk Indonesia.
1
Penggunaan berat badan dalam menaksir angka kecukupan protein yaitu berat badan yang dianggap sehat. Oleh karena itu perlu dicek sebelumnya apakah berat badan seseorang yang akan
ditentukan kecukupan protein atau dinilai konsumsi pangannya berada dalam selang berat badan orang yang sehat Hardinsyah Martianto 1989.
Keterangan: EER = estimasi kebutuhan energi
TEE = total pengeluaran energi EER = TEE + Energy deposition
TEE = 89 x BB – 100 Energy deposition
BB = Berat badan kg
AKP = Kebutuhan protein x faktor koreksi mutu protein
Kebutuhan Ca, P, Fe, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C dihitung berdasarkan Angka Kecukupan Gizi AKG sesuai umur WNPG 2004.
Berdasarkan data asupan zat gizi anak, diperoleh data tingkat kecukupan zat gizi yaitu asupan zat gizi dibagi angka kecukupan gizi yang dianjurkan kemudian
hasilnya dikali 100. Mutu gizi konsumsi pangan dihitung dengan menjumlahkan tingkat
kecukupan masing-masing zat gizi truncated at 100 kemudian dibagi dengan jumlah zat gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian mutu gizi konsumsi pangan
Hardinsyah 2001. Adapun densitas asupan zat gizi DG dihitung berdasarkan asupan zat gizi dibagi asupan energi kkal kemudian dikali 1 000 kkal
Drewnowski 2005. WHO AnthroPlus 2007 digunakan untuk mengolah status gizi, pengolahan
data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis pola konsumsi pangan dan asupan energi dan gizi gizi menerapkan Uji
Man-Whitney U.
Hasil dan Pembahasan
Prevalensi stunting pada anak 0-23 bulan 37.4. Prevalensi stunting anak-anak tersebut berbeda menurut kelompok umur. Prevalensi stunting anak 0-
5, 6-11, dan 12-24 bulan berturut-turut sebanyak 24.5, 32.8, dan 40.2. Adapun prevalensi stunting anak 0-5, 6-11, dan 12-24 bulan yang dilaporkan Kemenkes
2010 berturut-turut sebanyak 28.1, 32.1, dan 41.5. Prevalensi stunting anak perempuan hampir sama dengan anak laki-laki 0-23 bulan, berturut-turut yaitu
35.9 dan 38.7. Jenis konsumsi pangan
Tidak ada perbedaan rata-rata jumlah jenis konsumsi pangan anak stunting dan anak tidak stunting 0-5; demikian pula dengan anak 6-11 bulan; namun ada
perbedaan rata-rata jumlah jenis konsumsi pangan anak stunting dan anak tidak stunting
12-23 bulan p0.05. Rata-rata jumlah jenis pangan yang dikonsumi anak stunting dan anak tidak stunting 12-23 bulan berturut turut 4.4±1.9 dan
4.6±2.0 jenis pangan per hari Tabel 2.
105
Tabel 2 Pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi harian anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting
Peubah 0-5 bulan n=229
6-11 bulan n=695 Stunting
Non-stunting Total
Stunting Non-stunting
Total
Jumlah jenis konsumsi pangan, jenis 1.3±0.6
1.3±0.6 1.3±0.6
3.1±1.6 3.2±1.5
3.2±1.5 Jumlah kelompok konsumsi pangan, kelompok
1.2±0.4 1.2±0.5
1.2±0.5 2.2±0.8
2.2±0.8 2.2±0.8
Frekuensi makan, kali 2.8±1.4
2.6±1.5 2.6±1.5
3.3±0.8 3.3±0.8
3.3±0.8
Tingkat kecukupan energi, 77.5±43.5
72.1±30.5 73.4±34.1
69.8±34.2 71.9±34.2
71.2±34.2 Tingkat kecukupan protein,
70.8±28.3 70.4±25.5
70.5±26.1 80.2±48.9
93.2±58.2 88.9±55.8
Tingkat kecukupan kalsium, 109.4±45.3
109.3±45.3 109.3±45.2
62.3±56.4 63.9±60.4
63.4±59.1 Tingkat kecukupan fosfor,
90.5±53.0 90.6±54.7
90.6±54.2 92.8±77.2
100.6±76.7 98.0±76.9
Tingkat kecukupan zat besi, 15.4±31.6
16.4±30.3 16.1±30.5
24.0±27.1 25.0±24.7
24.6±25.5 Tingkat kecukupan vitamin A,
105.8±45.9 105.8±44.7
105.8±44.9 74.1±58.9
75.1±63.1 74.8±61.7
Tingkat kecukupan vitamin B1, 382.9±167.6
388.9±165.8 387.4±165.9
247.7±167.0 244.8±169.0
245.8±168.2 Tingkat kecukupan vitamin C,
37.4±17.6 37.3±17.3
37.3±17.3 26.2±25.5
25.2±26.9 25.5±26.4
Mutu gizi konsumsi pangan 68.1±15.1
68.4±15.0 68.3±15.0
56.1±21.7 57.3±20.4
56.9±20.8 Densitas protein, g1000 kkal
19.6±8.0 18.9±6.6
19.0±6.9 25.2±11.4
28.1±13.8 27.2±13.1
Densitas kalsium, mg1000 kkal 598.3±293.1
583.4±271.2 587.0±276.2
508.9±473.8 518.5±504.2
515.3±494.1 Densitas zat besi, mg1000 kkal
0.3±0.8 0.3±0.6
0.3±0.7 3.1±3.0
3.1±2.6 3.1±2.8
Densitas vitamin A, mg1000 kkal 1018.7±198.1
1002.2±193.1 1006.3±194.0
629.3±440.3 604.1±448.4
612.3±445.6 Densitas vitamin. B1, mg1000 kkal
3.0±0.7 3.0±0.7
3.0±0.7 2.3±1.5
2.1±1.4 2.2±1.4
Densitas vitamin C, mg1000 kkal 37.6±9.2
37.0±10.0 37.1±9.8
23.3±24.8 20.7±21.7
21.6±22.8
Keterangan: Hasil Uji U ρ0.01,
ρ0.05
106
Tabel 2 Pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi harian anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting lanjutan
Peubah 12-23 bulan n=2 171
0-23 bulan n=3 095 Stunting
Non-stunting Total
Stunting Non-stunting
Total
Jumlah jenis konsumsi pangan, jenis 4.4±1.9
4.6±2.0 4.6±2.0
4.0±2.0 4.0±2.1
4.0±2.1 Jumlah kelompok konsumsi pangan, kelompok
2.8±0.9 2.8±0.9
2.8±0.9 2.6±1.0
2.5±1.0 2.6±1.0
Frekuensi makan, kali 3.4±0.7
3.5±0.6 3.5±0.7
3.4±0.8 3.4±0.8
3.4±0.8
Tingkat kecukupan energi,
82.3±37.7 85.9±38.6
84.4±38.3 79.6±37.6
81.3±37.4 80.7±37.5
Tingkat kecukupan protein, 150.2±88.8
161.1±89.8 156.7±89.5
132.6±86.1 136.7±86.7
135.1±86.5 Tingkat kecukupan kalsium,
57.9±58.2 65.9±63.4
62.7±61.5 61.2±58.3
69.3±62.5 66.3±61.1
Tingkat kecukupan fosfor, 82.6±63.6
92.3±66.3 88.4±65.4
85.0±66.2 94.2±68.1
90.7±67.5 Tingkat kecukupan zat besi,
42.0±29.8 43.8±29.8
43.0±29.8 37.1±30.6
36.8±30.4 36.9±30.5
Tingkat kecukupan vitamin A, 79.6±67.3
86.5±70.1 83.7±69.0
79.8±65.1 85.5±67.0
83.3±66.3 Tingkat kecukupan vitamin B1,
155.0±138.8 155.2±134.5
155.1±136.2 184.3±157.1
197.6±162.6 192.7±160.7
Tingkat kecukupan vitamin C, 25.0±26.5
27.2±27.6 26.3±27.2
25.8±26.0 27.6±26.9
27.0±26.6 Mutu gizi konsumsi pangan
59.0±20.9 61.9±20.2
60.7±20.5 58.9±20.9
61.3±20.0 60.4±20.4
Densitas protein, g1000 kkal 29.4±13.2
30.8±13.5 30.3±13.4
29.6±19.3 30.2±19.3
30.0±19.3 Densitas kalsium, mg1000 kkal
405.7±406.2 440.3±420.3
426.4±414.9 435.4±419.1
471.9±433.9 458.3±428.7
Densitas zat besi, mg1000 kkal 4.7±3.2
4.6±3.0 4.6±3.1
4.1±3.2 3.9±3.1
4.0±3.1 Densitas vitamin A, mg1000 kkal
462.4±413.3 479.3±393.2
472.5±401.4 522.3±431.0
556.0±421.3 543.4±425.2
Densitas vitamin. B1, mg1000 kkal 1.2±1.1
1.1±1.0 1.1±1.1
1.5±1.3 1.5±1.3
1.5±1.3 Densitas vitamin C, mg1000 kkal
15.4±19.0 15.7±17.4
15.6±18.1 18.0±20.7
18.8±19.0 18.5±19.7
Keterangan: Hasil Uji U ρ0.01,
ρ0.05
Secara keseluruhan tanpa membedakan anak stunting dan anak tidak stunting
diketahui bahwa rata-rata jumlah jenis konsumsi pangan anak 0-23 bulan berbeda menurut kelompok umur, semakin bertambah umur terlihat semakin
banyak jenis pangan yang mereka konsumsi. Rata-rata jumlah jenis pangan yang dikonsumi anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut 1.3±0.6, 3.2±1.5, dan
4.6±2.0 jenis per hari Tabel 2. Total jenis pangan yang dikonsumsi anak 0-23 bulan yaitu 1 sampai
dengan 13 jenis pangan per hari Tabel 3. Sebanyak 78.5 anak 0-23 bulan mengkonsumsi dua sampai dengan enam jenis pangan per hari. Sisanya, mereka
mengkonsumsi satu atau lebih dari enam jenis pangan per hari Tabel 4. Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan jumlah jenis pangan
harian yang dikonsumsi anak 0-23 bulan
Jumlah jenis pangan Stunting
Tidak stunting
Total
Satu jenis 100 32.2
211 67.8 311 100.0
Dua jenis 182 39.3
281 60.7 463 100.0
Tiga jenis 232 36.1
411 63.9 643 100.0
Empat jenis 207 38.8
326 61.2 533 100.0
Lima jenis 187 40.3
277 59.7 464 100.0
Enam jenis 115 35.3
211 64.7 326 100.0
Tujuh jenis 77 43.3
101 56.7 178 100.0
Delapan jenis 29 31.5
63 68.5 92 100.0
Sembilan jenis 18 39.1
28 60.9 46 100.0
Sepuluh jenis 4 20.0
16 80.0 20 100.0
Sebelas jenis 1 9.1
10 90.9 11 100.0
Dua belas jenis 2 33.3
4 66.7 6 100.0
Tiga belas jenis 2 100.0
2 100.0 Total
1156 37.4 1939 62.6
3095100.0
Keterangan: n
Tabel 4 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan jumlah jenis pangan harian yang dikonsumsi anak 0-23 bulan
Jumlah jenis pangan Stunting
Tidak stunting
Total
Satu jenis 100 8.7
211 10.9 311 10.0
Dua sd enam jenis 923 79.8
1506 77.7 2429 78.5
Tujuh sd tiga belas jenis 133 11.5
222 11.4 355 11.5
Total 1156 100.0
1939 100.0 3095 100.0
Keterangan: n
Anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan mengonsumsi sekitar sepertiga dari total jenis pangan yang tercantum di Daftar Komposisi Makanan
DKBM Indonesia. Jumlah jenis pangan yang ada di dalam DKBM Indonesia sebanyak 654 jenis Hardinsyah Briawan 1994. Dengan demikian, anak
stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan telah mengkonsumsi berturut-turut
24.6 dan 28.9 total jenis pangan yang ada di DKBM tersebut.
Kelompok konsumsi pangan
Rata-rata jumlah kelompok pangan yang dikonsumi anak stunting 0-5, 6- 11, dan 12-23 bulan sama dengan anak tidak stunting p
≥0.05. Adapaun rata-rata jumlah kelompok pangan yang dikonsumi anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan
berturut-turut sebanyak 1.2±0.5, 2.2±0.8, 2.8±0.9 kelompok per hari Tabel 2. Kelompok pangan dalam penelitian ini mengacu kepada kelompok pangan
menurut Pola Pangan Harapan PPH yaitu padi-padian, umbi-umbian, hewani, minyaklemak, kacang-kacangan, buahbiji berminyak, gula, dan sayurbuah.
Berbeda dengan kelompok pangan PPH, UNICEF 2011 menjelaskan bahwa keragaman diet minimum anak 6-23 bulan yaitu apabila mengkonsumsi pangan
empat atau lebih dari tujuh kelompok pangan. Tujuh kelompok pangan tersebut meliputi: 1 padi-padianbutir-butiran, 2 kacang-kacangan, 3 produk susu susu,
yogurt, keju, 4 daging makanan daging, ikan, daging unggas, dan hatidaging organ, 5 telur, 6 buah-buahan dan sayur-sayuran yang kaya vitamin A, dan 7
buah-buahan dan sayur-sayuran lain. Kelompok pangan hewani dan kelompok sayurbuah lebih banyak
dikonsumsi anak 0-23 bulan dibanding kelompok pangan yang lain. Total jenis pangan yang termasuk kelompok pangan hewani dan kelompok sayurbuah yang
mereka konsumsi masing-masing sebanyak 57 dan 74 jenis, sedangkan total jenis pangan yang termasuk kelompok pangan yang lain kurang dari 40 jenis Tabel 5.
Tabel 5 Total jenis pangan menurut kelompok konsumsi pangan yang dikonsumsi anak 0-23 bulan
Kelompok pangan Stunting
Tidak stunting
Total
Padi-padian, jenis 31
35 37
Umbi-umbian, jenis 9
11 13
Hewani, jenis 49
52 57
Minyaklemak , jenis
Kacang-kacangan, jenis 12
12 14
Buahbiji berminyak
‡
2 , jenis
2 2
Gula, jenis 4
6 6
Sayurbuah, jenis 54
71 74
Total 161
189 203
Keterangan: mentega, margarine;
‡
kelapa, santan
Total jenis pangan yang termasuk kelompok pangan hewani dan kelompok sayurbuah cenderung lebih sedikit dikonsumsi anak stunting dibanding anak
tidak stunting 0-23 bulan Tabel 5. Cosaaranda 2012 menjelaskan bahwa kelompok pangan hewani dan sayurbuah merupakan sumber zat gizi mikro
mineral vitamin untuk pertumbuhan bayi. Frazao et al. 2003 menyimpulkan bahwa kurang dari 15 orang Amerika yang memenuhi kriteria diet yang sehat.
Terjadi peningkatan intake energi sebanyak 300 kkal per hari selama periode 1985-2000, sebagian besar oleh biji-bijian dan penambahan gula serta lemak,
dibanding susu dan produk susu, sayur, atau buah Drewnowski 2004; Haines et al.
2003. Ahli-ahli gizi kesehatan masyarakat prihatin bahwa Amerika menjadi bangsa kurang gizi yang kekenyangan Munoz et al. 1997.
Frekuensi makan Rata-rata frekuensi makan harian anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan stunting
sama dengan anak tidak stunting p0.05. Rata-rata frekuensi makan anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut 2.6±1.5, 3.3±0.8, dan 3.5±0.7 kali per hari
Tabel 2. Hal ini memperkuat laporan WHO 2001 bahwa perlu meningkatkan frekuensi makan seiring dengan bertambahnya usia anak.
Rata-rata frekuensi makan anak 0-23 bulan yaitu 3.4 kali per hari. Sebanyak 42 anak 0-23 bulan makan tiga kali sehari dan sebanyak 50 anak 0-
23 bulan makan empat kali per hari. Sisanya, makan satu atau dua kali per hari -masing-masing yaitu 3.8 dan 3.6- Tabel 6. Hal ini sama dengan kesimpulan
Hoppe et al. 2004 yakni selama periode pemberian makanan tambahan, asupan harian anak sebanyak 3–4 kali memberikan pengaruh paling baik terhadap
pertumbuhan. Tabel 6 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan frekuensi makan
harian anak 0-23 bulan
Frekuensi makan Stunting
Tidak stunting
Total
Satu kali 37 3.2
81 4.2 118 3.8
Dua kali 45 3.9
66 3.4 111 3.6
Tiga kali 489 42.3
811 41.8 1300 42.0
Empat kali 585 50.6
981 50.6 1566 50.0
Total 1156 100.0
1939 100.0 3095 100.0
Keterangan: n
Tidak terlihat kecenderungan bahwa semakin sering anak makan maka semakin sedikit prevalensi stunting anak 0-23 bulan. Prevalensi stunting anak 0-
23 bulan yang makan tiga atau empat kali sehari tidak berbeda, masing-masing yaitu 37.6 dan 37.4, namun prevalensi stunting pada anak yang makan dua kali
sehari adalah yang paling besar, yaitu 40.5 Tabel 7. Hal ini diduga disebabkan kerena anak yang makan dua kali sehari merupakan anak yang sedang
belajar makan makanan pendamping ASI, yaitu anak yang termasuk kelompok umur 6-11 bulan.
Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan frekuensi makan harian anak 0-23 bulan
Frekuensi makan Stunting
Tidak stunting
Total
Satu kali 37 31.4
81 68.6 118 100.0
Dua kali 45 40.5
66 59.5 111 100.0
Tiga kali 489 37.6
811 62.4 1300 100.0
Empat kali 585 37.4
981 62.6 1566 100.0
Total 1156 37.4
1939 62.6 3095 100.0
Keterangan: n
Asupan energi dan zat gizi Tingkat kecukupan danatau densitas asupan energi dan zat gizi anak 0-23
bulan dibedakan menurut kelompok umur. Pada anak 0-23 bulan, rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan energi dan protein anak stunting dan tidak
stunting 0-23 bulan tidak berbeda, namun rata-rata tingkat kecukupan danatau
densitas asupan zat gizi mikro mereka berbeda kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin C. Pada anak 0-5 bulan, rata-rata tingkat kecukupan
danatau densitas asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting tidak berbeda; namun pada anak 6-11 bulan berbeda protein, demikian pula pada
anak 12-23 bulan energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C. Pada anak 0-23 bulan, rata-rata tingkat kecukupan kalsium anak stunting
dan anak tidak stunting berturut-turut 61.2±58.3 dan 69.3±62.5 p0.01; dan densitas asupan kalsium anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut
435.4±419.1 dan 471.9±433.9 mg per 1 000 kkal per hari p0.05 -densitas asupan kalsium cukup jika
≥ 500 mg per 1 000 kkal per hari. Rata-rata tingkat kecukupan fosor anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 85.0±66.2
dan 94.2±68.1 p0.01. Densitas asupan zat besi anak stunting dan anak tidak
stunting berturut-turut 4.1±3.2 dan 3.9±3.1 mg per 1 000 kkal per hari p0.01
-densitas asupan zat besi cukup jika ≥ 1.1 mg per 1 000 kkal per hari. Rata-rata
tingkat kecukupan vitamin A anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 79.8±65.1 dan 85.5±67.0 p0.05; dan densitas asupan vitamin A anak stunting
dan anak tidak stunting berturut-turut 522.3±431.0 dan 556.0±421.3 µg RE per 1 000 kkal per hari p0.01 -densitas asupan vitamin A cukup jika
≥700 µg RE per 1 000 kkal per hari. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin B1 anak stunting dan
anak tidak stunting berturut-turut 184.3±157.1 dan 197.6±162.6 p0.05. Densitas asupan vitamin C anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut
18.0±19.0 dan 18.8.0±19.0 mg per 1 000 kkal per hari p0.05 -densitas asupan vitamin C cukup jika
≥ 50 mg per 1 000 kkal per hari. Rata-rata mutu gizi konsumsi pangan anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 58.9±20.9
dan 61.3±20.0 p0.01. Adapun rata-rata tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, dan densitas asupan protein anak berturut-turut 80.7±37.5,
135.1±86.5, dan 30.0±19.3 g1 000 kkal. Uji Man-Whitney U menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata densitas
asupan zat besi anak 0-23 bulan stunting dan anak tidak stunting p0.05, namun tingkat kecukupan zat besi anak 0-23 bulan stunting dan anak tidak stunting tidak
berbeda p ≥0.05; begitu juga dengan vitamin C 0-23 bulan. Hal ini menunjukkan
bahwa densitas zat besi maupun vitamin C lebih sensitif untuk dapat membedakan asupan anak stunting dan anak tidak stunting dibandingkan dengan tingkat
kecukupan zat besi maupun vitamin C. Sebaliknya dengan asupan vitamin B1, yaitu tingkat kecukupan vitamin B1 lebih sensitif untuk dapat membedakan
asupan anak stunting dan anak tidak stunting p0.05 dibandingkan dengan densitas asupan vitamin B1 p
≥0.05. Hal tersebut menjadi dasar untuk membedakan asupan gizi anak stunting dan anak tidak stunting dalam penelitian
ini, yakni menggunakan tingkat kecukupan gizi danatau densitas asupan gizi, dengan ketentuan minimal salah satu dari kedua peubah asupan gizi tersebut
tingkat kecukupan danatau densitas asupan gizi hasil uji statistiknya menunjukkan perbedaan antara anak stunting dan anak tidak stunting.
Pada anak 0-5 bulan, rata-rata tingkat kecukupan zat gizi, densitas asupan zat gizi, maupun mutu gizi asupan pangan anak stunting sama dengan anak tidak
stunting . Hal ini antara lain karena pada usia tersebut ASI saja sudah cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi mereka. WHO 2001 menganjurkan bahwa anak usia 0-5 bulan agar hanya diberikan air susu ibu ASI saja. Winarno 1990
menjelaskan pula bahwa selama 4-6 bulan pertama, ASI mampu memenuhi kebutuhan gizi bayi.
Pada anak 6-11 bulan, rata-rata tingkat kecukupan protein anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 80.2±48.9 dan 93.2±58.2 p0.01; dan
densitas asupan protein anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 25.2±11.4 dan 28.1±13.8 g per 1 000 kkal per hari p0.01. Hal ini mendukung
penjelasan Winarno 1990 yaitu setelah 6 bulan, volume pengeluaran ASI menjadi menurun dan sejak saat itu kebutuhan zat gizi bayi tidak lagi dapat
dipenuhi oleh ASI saja dan harus mendapat makanan tambahan. WHO 2001 juga menganjurkan bahwa anak usia 6-11 bulan, disamping ASI juga diberikan
makanan pendamping ASI MP-ASI sehingga anak mulai mengkonsumsi makanan danatau minuman selain ASI.
Pada anak 12-23 bulan, rata-rata tingkat kecukupan energi anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 82.3±37.7 dan 85.9±38.6 p0.05. Rata-
rata tingkat kecukupan protein anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 150.2±88.8 dan 161.1±89.8 p0.01; dan densitas asupan protein anak stunting
dan anak tidak stunting berturut-turut 24.9±13.2 dan 30.8±13.5 g per 1 000 kkal per hari p0.01. Rata-rata tingkat kecukupan kalsium anak stunting dan anak
tidak stunting berturut-turut 57.9±58.2 dan 65.9±63.4 p0.01; dan densitas asupan kalsium anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 405.7±406.2
dan 440.3±420.3 mg per 1 000 kkal per hari p0.05. Rata-rata tingkat kecukupan fosor anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 82.6±63.6
dan 92.3±66.3 p0.01. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A anak stunting dan anak tidak stunting berturut-turut 79.6±67.3 dan 85.5±70.1 p0.05. Rata-
rata tingkat kecukupan vitamin C anak stunting dan anak tidak stunting berturut- turut 25.0±26.5 dan 27.2.1±27.6 p0.05.
Pada anak 12-23 bulan, yang tidak berbeda antara anak stunting dan anak tidak stunting yaitu rata-rata tingkat asupan dan densitas asupan zat besi serta rata-
rata tingkat asupan dan densitas asupan vitamin B1. Walaupun rata-rata tingkat asupan zat besi tidak berbeda antara anak stunting dan anak tidak stunting 12-23
bulan, namun tingkat konsumsinya rendah yaitu 43.0±29.8. Kemenkes 2010 melaporkan bahwa kebutuhan minimal zat besi yaitu 50. Adapun rata-rata
tingkat asupan vitamin B1 tidak berbeda antara anak stunting dan anak stunting 12-23 bulan diduga disebabkan antara lain oleh sumber energi utama berasal dari
padi-padian yang kaya kandungan vitamin B1. Selain itu, secara nasional vitamin B1 tidak termasuk masalah gizi. Rata-rata tingkat asupan vitamin B1 anak 12-23
bulan yaitu 155.1±136.2 Tabel 2. Rata-rata tingkat kecukupan protein anak 12-23 bulan tergolong tinggi.
Rata-rata tingkat kecukupan protein anak 0-5, 6-11 dan 12-23 bulan berturut-turut yaitu 70.5±26.1, 88.9±55.8 dan 156.7±89.5. Rata-rata asupan protein anak 0-5,
6-11 dan 12-23 bulan berturut-turut yaitu 7.0±2.6, 13.1±8.5 dan 22.7±13.2 g; adapun rata-rata kebutuhan protein anak 0-5, 6-11 dan 12-23 bulan berturut-turut
yaitu 10±0.0, 14.7±2.0 dan 14.5±1.9 g. Angka kecukupan protein AKG protein anak 0-6 bulan, 7-12 bulan dan
1-3 tahun berturut-turut yaitu 10, 16 dan 25 g WNPG 2004. Seandainya nilai asupan protein dibagi dengan AKG tersebut maka nilainya berturut-turut yaitu
70.5, 82.0 dan 90.9. Namun demikian, penelitian ini tidak menggunakan AKG protein namun menggunakan nilai kebutuhan protein. WHO 2007 melaporkan
bahwa kebutuhan protein per kilogram berat badan menurun kira–kira 1.1 gram pada masa anak–anak awal sampai 0.9 g pada masa anak-anak akhir; adapun
perhitungan kebutuhan protein anak 0-9 tahun menurut WNPG 2004 disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Perhitungan kebutuhan protein anak 0-9 tahun
Umur Formula kebutuhan protein
0-6 bulan 10 g AKP dikoreksi mutu
7-11 bulan 1.5 gkg BBhr x 1.2
1-3 tahun 1.2 gkg BBhr x 1.2
4-6 tahun 1.0 gkg BBhr x 1.2
7-9 tahun 0.95 gkg BBhr x 1.2
Sumber: WNPG 2004
Pada anak 12-23 bulan, rata-rata mutu gizi konsumi pangan anak stunting
dan anak tidak stunting berturut-turut 59.0±20.9 dan 61.9.1±20.2 p0.01. Hardinsyah 2001 menjelaskan bahwa mutu gizi asupan pangan tergolong cukup
apabila ≥ 70. WHO 2001 melaporkan salah satu penyebab stunting adalah
ASI, serta kualitas dan kuantitas makanan pendamping ASI yang tidak adequate. WHO juga menganjurkan mulai usia 12 bulan, anak diperkenalkan makanan
orang dewasa dengan memperhatikan tekstur dan rasa yang sesuai, dan dibutuhkan perubahan secara bertahap dari makanan lembut ke makanan keluarga.
Di sisi lain, Drewnowski 2003 menyimpulkan bahwa protein, kalsium, zat besi, serta vitamin A dan C merupakan zat kunci yang perlu diberikan untuk menolong
kelompok berpendapatan rendah. Hayati et al. 2012 menyimpulkan bahwa risiko stunting
Frongillo 1999 menyimpulkan bahwa salah satu penyebab penurunan pertumbuhan linier adalah kekurangan zat gizi mikro multivitaminmineral.
Cosaaranda 2012 menjelaskan bahwa sumber mineral dan vitamin terbaik untuk bayi berasal dari pangan hewani, meliputi daging sapi, jeroan, daging unggas,
ikan, kerang, telur, serta susu dan hasil olahannya. WHO 1998 menjelaskan bahwa makanan yang kaya protein mengandung mineral dan vitamin yang tinggi,
misalnya kasium, zat besi, vitamin A, dan vitamin B12. Hoppe et al. 2004
menyimpulkan bahwa asupan protein pada anak 9 bulan dihubungkan dengan
ukuran tubuh. Hayati et al. 2012 menyimpulkan bahwa densitas asupan protein merupakan salah satu faktor determinan anak stunting 0-23 bulan di Indonesia;
risiko anak dengan status ekonomi keluarga bawah kuintil 1 2
sebesar 1.28 kali dibanding dengan status ekonomi menengah atas ρ0.01.
stunting
Jumlah konsumsi air susu ibu ASI anak 6-23 bulan belum mencukupi kebutuhan. Jumlah anak 0-23 bulan yang pernah diberi ASI sebanyak 90.2,
sebanyak 3.00 diantaranya merupakan ASI eksklusif tidak berbeda antara anak stunting
dan tidak stunting. Jumlah konsumsi ASI anak 0-5 bulan sebanyak anak 0-23 bulan dengan densitas asupan protein rendah 40 g per
1 000 kkal sebesar 1.22 kali dibanding dengan anak yang densitas asupan proteinnya tidak rendah
ρ0.05; CI 95: 1.00-1.49. Adapun densitas asupan protein anak 0-23 bulan yang stunting dan yang tidak stunting berturut-turut 29.6
g dan 30.2 per 1 000 kkal.
591.6 ghari Tabel 9. Hal ini hampir sama dengan yang disimpulkan Simondon et al.
1996 yaitu rata-rata asupan ASI anak 4-5 bulan di Brazzaville sebanyak 460 ghari pada bayi yang tidak mengkonsumsi susu formula. Adapun jumlah
konsumsi ASI anak 6-11 bulan sebanyak 498.4 ghari. Jumlah ini hampir sama dengan yang dilaporkan WHO 1998 yaitu konsumsi ASI anak 6-8 bulan di
negara berkembang sebanyak 328.8 ghari. Bhadam and Sweet 2010 menyimpulkan bahwa walaupun menyusu dengan optimal, anak akan menjadi
stunting jika tidak menerima makanan pendamping ASI MP-ASI dalam jumlah
dan kualitas yang cukup setelah berusia enam bulan. Dietitians of Canada 2012
menjelaskan bahwa orang-orang yang mengkonsumsi susu kurang dari 500 ml 2 gelas per hari membutuhkan suplemen mineral dan vitamin.
Tabel 9 Jumlah konsumsi ASI harian anak 0-23 bulan
Umur bulan Jumlah gkali konsumsi
Frekuensi kali Total g
0-5 144.3
4.1 591.6
6-11 142.4
3.5 498.4
12-23 150.4
3.1 466.2
Suplemen zat gizi mikro mineral dan vitamin mengurangi hambatan pertumbuhan linier anak 0-23 bulan, namun belum optimal. WHO 1998
menjelaskan penelitian longitudinal Institute of Nutrition of Central America and Panama
INCAP di Panama, tentang ibu dan bayi umumnya dari usia empat bulan yang diberikan suplemen zat gizi mikro. Suplemen tersebut mengurangi
hambatan pertumbuhan, efeknya terbatas pada 2-3 tahun pertama kehidupan, namun bayi dan anak masih tetap stunting berat. WHO 2001 melaporkan bahwa
berdasarkan review dari 23 kombinasi makanan pendamping air susu ibu MPASI yang digunakan di negara berkembang, meliputi beberapa produk
hewani, mengungkapkan bahwa meskipun sebagian besar dari mereka dapat menyediakan energi dan protein yang cukup, namun tidak ada yang menyediakan
mineral dan vitamin yang cukup. Ramakrishnan et al. 2009 menyimpulkan dari studi meta-analisis intervensi zat gizi mikro mengandung setidaknya tiga atau
lebih zat gizi mikro bahwa mereka dapat meningkatkan pertumbuhan linear, tapi manfaatnya kecil. Dengan demikian, diperlukan penelitian suplemen yang
mengandung beberapa zat gizi mikro yang memiliki dampak lebih besar terhadap pencapaian pertumbuhan linier optimal anak 0-23 bulan.
Simpulan
Pola konsumsi pangan, asupan energi dan gizi anak stunting dan tidak stunting
0-23 bulan berbeda menurut kelompok umur. Pada anak 0-5 bulan tidak ada perbedaan pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting
dan tidak stunting; sebaliknya pada anak 6-11 dan 12-23 bulan. Pada anak 6-11 bulan, ada perbedaan rata-rata tingkat kecukupan protein anak stunting dan tidak
stunting , demikian pula densitas asupan protein. Pada anak 12-23 bulan, tidak
hanya rata-rata tingkat kecukupan protein dan densitas asupan protein, tetapi rata- rata tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan kalsium dan densitas asupan
kalsium, tingkat kecukupan fosfor, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan vitamin C, mutu gizi makanan, dan jenis konsumsi pangan juga
berbeda. Pencegahan stunting anak 0-23 bulan perlu dilakukan dengan
meningkatkan kualitas MP-ASI. Perlu dilakukan penelitian efikasi intervensi zat gizi tersebut di atas untuk pencapaian pertumbuhan linier optimal anak.
Ucapan Terimakasih Terimakasih disampaikan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI atas data yang diberikan; Yayasan Supersemar atas dukungan dana penelitian.
Daftar Pustaka
Amilia L. 2011. Analisis asupan air dan mutu gizi konsumsi pangan pada anak di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor. Bhadam J and Sweet L. 2010. Stunting: An Overview. Sight and Life Magazine
3:40-47. Bhutta ZA et al. 2008. What works? Interventions for maternal and child
undernutrition and survival. Lancet 371:417–40. Blössner M, Siyam A, Borghi E, Onyango A, Onis M. 2009. WHO AnthroPlus
for Personal Computers Manual . Geneva: WHO.
Cosaaranda. 2012. Bahan makanan sumber vitamin dan mineral untuk bayi sehat
. http:makananbayisehat.combahan-makanan-sumber-vitamin-dan- mineral-untuk-bayi-sehat [9 Nopember 2012].
Dietitians of Canada. 2012. Do I need a vitamin or mineral supplement?. http:www.dietitians.caNutrition-Resources-A-ZFactsheetsMiscellane-
ous Do-I-Need-a-Supplement-.aspx [9 Nopember 2012]. Drewnowski A. 2004. Obesity and the food environment: dietary energy density
and diet costs. Am J Pev Med 94:1555-9. Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density
score. Am J Clin Nutr 79:6-16. Frazao E, Allshouse J. 2003. Strategies for intervention: commentary and debate.
J Nutr 133:844S-7S.
Frongillo EA. 1999. Symposium: causes and etiology of stunting. Nutr 129: 529S–530S.
Hansen RG, Wyse BW. 1980. Expression of nutrient allowances per 1000 kilocalories. J Am Diet Assoc 76:223-7.
Haines PS, Hama MY, Guilkey DK, Popkin BM. 2003. Weekend eating in the United States is linked with greater energy, fat, and alcohol intake. Obes
Res 11:945-9. Hayati AW, Hardinsyah, Jalal F, Madanijah S, Briawan D in press. Determinan
Stunting Anak Baduta: Analisis Data Riskesdas 2010. Di dalam: Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi
Pemantapan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal.
Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X. 2012. Jakarta, 20-21 Nopember 2012. Jakarta: LIPI,
Bappenas, Kementan, Kemenkes, Badan POM, Ristek. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Assesment and Planning of Food Consumption.
Bogor: Community Nutrition and Family Resources Department. Bogor Agricultural University.
Hardinsyah. 2001. Mutu gizi dan konsumsi pangan. Di dalam: Hardinsyah, Atmojo SM, editor. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta:
Pergizi Pangan. Hoppe C, Molgaard C, Thomsen L, Juul A, Michalsen KF. 2004. Protein intake
at 9 mo of age is associated with body size but not with body fat in 10-y- od Danish children. Am J Clin 79:494–501.
Jahari AB. 2009. Growth Curve of Healthy Children from Wealthy Families: How Close to WHO Child Growth Standard 2005?
Bogor: Center for Research and Development in Food and Nutrition National Institute for
Health Research and Development, Ministry of Health of RI. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2010. Survey Kesehatan Nasional. Jakarta:
Kemenkes. Kusharisupeni. 2006. Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah
studi prospektif. J Kedokter Trisakti 233:73-80. Mahan K, Escott-Stump. 2008. Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B
Saunders Company.
Munoz KA, Krebs-Smith SM, Ballard-Barbash R, Cleveland LE. 1977. Food intakes of US children and adolescents compared with recommendations.
Pediatrics 100:323-9.
Rahayu. 2012. Hubungan tinggi badan orang tua dengan perubahan status stunting
dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4 tahun [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ramakrishnan U, Nguyen P, Martorel R. 2009. Effects of micronutrients on growth of children under 5 years of age: meta-analyses of single and
multiple interventions. Am J Clin Nutr 89:191-203. Simondon KB, Gartner A, Berger J, Cornii A, Massamba J, Miguel JS, Ly C,
Missotte I, Sisimondon F, Traissac P, Delpeuch F, Maire B. 1996. Effect of early, short-term supplementation on weight and linear growth of 4-7-
mo-old infants in developing countries: a four-country randomized trial. Am J Clin Nutr
64:537-45. Soekirman. 27 Juni 2012. Kurang gizi, anak bertubuh pendek. Suara
Pembaharuan : 1 kolom 1-3.
Ulfani DH, Martianto1 D, Baliwati YF. 2011. Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight,
stunted, dan wasted di Indonesia: Pendektan ekologi gizi. Jurnal gizi dan pangan
61:59–65. [UNICEF] United Nations Children’s Fund. 2011. Infant and Young Child
Feeding New York: UNICEF.
Wahdah S. 2012. Faktor risiko kejadian stunting pada anak umur 6-36 bulan di wilayah pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu,
Kalimmantan Barat [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Winarno FG. 1990. Gizi dan Makanan bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta:
Sinar Harapan. [WHO] World Health Organization. 1998. Preparation and Use of Food Based
Dietary Guidelines . Geneva: WHO.
[WHO] World Health Organization. 2001. Improving Child Growth. Geneva: WHO page 23-41.
[WHO] World Health Organization. 2006. Table of standard anthropometry WHO-2005
. [WHO] World Health Organization. 2007. Protein and Amino Acid
Requirements in Human Nutrition. Geneva: WHO. Geneva: WHO.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi
. Jakarta, 17-19 Mei 2004.
BAB 8
PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI PENELITIAN
Pada bagian sebelumnya telah diketahui bahwa umur anak, berat lahir anak, berat anak, densitas asupan protein anak, tinggi ibu, dan status ekonomi
rumah tangga merupakan faktor risiko stunting anak 0-23 bulan. Selain itu diketahui pula bahwa ada perbedaan jumlah jenis konsumsi pangan anak stunting
dan tidak stunting 12-23 bulan. Terkait dengan asupan energi dan zat gizi pada anak 0-23 bulan, tidak ada perbedaan asupan energi dan protein anak stunting dan
tidak stunting, namun ada perbedaan asupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin C. Pada anak 0-5 bulan, tidak ada
perbedaan asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting. Namun pada anak 6-11 bulan, ada perbedaan densitas asupan protein anak
stunting dan anak tidak stunting. Pada anak 12-23 bulan, tidak hanya densitas
asupan protein yang berbeda antara anak stunting dan anak tidak stunting, tetapi asupan energi, kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C juga berbeda.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa densitas asupan protein merupakan faktor risiko anak 0-23 bulan stunting di bidang gizi. Selain itu
diketahui pula bahwa densitas asupan protein merupakan pembeda awal asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan.
Densitas asupan protein
Rata-rata densitas asupan protein anak 0-23 bulan yaitu 30.0 g per 1 000 kkal. Adapun densitas asupan protein anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-
turut yaitu 18.4, 24.4, 28.6 g per 1 000 kkal. Rata-rata densitas asupan protein anak 0-5 bulan tergolong rendah 20 g per 1 000 kkal, sedangkan rata-rata
densitas asupan protein anak 6-11 dan 12-23 bulan tergolong cukup Tabel 2. Tabel 1 Densitas asupan protein anak 0-23 bulan
Umur bulan Asupan protein g
Asupan energi kkal Densitas protein g
per 1 000 kkal 0-5
7.1 386.6
18.4 6-11
11.8 483.1
24.4 12-23
21.6 755.8
28.6 Total
19.4 667.2
30.0
Standar densitas asupan protein dalam penelitian ini diadaptasi dari tiga standar yaitu berdasarkan WHO 1998, FAO Drewnowski 2005, dan angka
kecukupan gizi -AKG- WNPG 2004. Hal tersebut karena Indonesia belum memiliki standar densitas asupan protein.
Standar densitas asupan protein menurut WHO 1988 yaitu 20-25 g per 1 000 kkal. Adapun standar densitas asupan protein menurut FAO yaitu 40-50 g
per 2 000 kkal Drewnowski 2005. Karena Indonesia belum memiliki standar densitas asupan protein, maka didekati berdasarkan AKG WNPG 2004.
Densitas asupan protein anak berdasarkan AKG dihitung menurut kelompok umur, yakni 0-6 bulan, 7-12 bulan, dan 1-3 tahun dengan nilai berturut-turut 18.2,
24.6, dan 25.0 g per 1 000 kkal Tabel 1. Berdasarkan uraian tesebut, pengkategorian densitas asupan protein anak 0-23 bulan dalam penelitian ini
yakni dikategorikan cukup apabila bernilai 20-40 g per 1 000 kkal, dikategorikan rendah apabila kurang dari 20 g per 1 000 kkal, dan dikategorikan tinggi apabila
lebih dari 40 g per 1 000 kkal. Tabel 2 Densitas protein anak 0-23 bulan berdasarkan AKG 2004
Umur Asupan protein g
Asupan energi kkal Densitas protein g
per 1 000 kkal 0-6 bulan
10 550
18.2 7-12 bulan
16 650
24.6 1-3 tahun
25 1 000
25.0
Sebanyak 33.9 anak 0-23 bulan densitas asupan proteinnya tergolong rendah. Di sisi lain, sebanyak 19.5 dari mereka densitas proteinnya tergolong
tinggi Tabel 3. Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan densitas asupan protein anak 0-23 bulan
Sebanyak 38.3 anak 0-23 bulan yang densitas asupan protein tegolong rendah mengalami stunting, dan sebanyak 38.0 anak 0-23 bulan yang densitas
asupan protein tegolong cukup juga mengalami stunting Tabel 4. Seiring dengan hal tersebut diketahui bahwa risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas
asupan proteinnya kurang dari 20 g per 1 000 kkal 1.32 kali lebih besar dibanding dengan anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal.
Dengan demikian, nilai batas cut off densitas asupan protein sebagai faktor risiko stunting anak 0-23 bulan yaitu 40 g per 1 000 kkal.
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Densitas asupan protein n,
20 g per 1 000 kkal 402 34.8
647 33.4 1049 33.9
20 – 40 g per 1 000 kkal 548 47.4
896 46.2 1444 46.7
40 g per 1 000 kkal 206 17.8
396 20.4 602 19.5
Total 1 156 100.0
1 939 100.0 3 095 100.0
Tabel 4 Sebaran anak berdasarkan densitas asupan protein dan status stunting anak 0-23 bulan
Standar densitas asupan protein 40 g berdasarkan modifikasi perbandingan densitas zat-zat gizi penting bagi kesehatan masyarakat menurut Food and
Agriculture Organization FAO of United Nations Drewnowski 2005. Standar
dasar densitas asupan protein dalam penelitian ini adalah per 1 000 kkal, namun menurut standar FAO tersebut di atas adalah per 2 000 kkal. Hal ini sejalan
dengan yang diungkapkan Drewnowski 2005 bahwa perbandingan resmi antara komposisi gizi makanan dan nilai referensi harian bermakna hanya jika dibuat
pada standar dasar per kalori –biasanya per 1 000 atau 2 000 kkal; dan mengingat angka kecukupan gizi berdasarkan WNPG
WHO 1998 menerangkan bahwa nilai acuan densitas protein yang relevan untuk mengembangkan dan mengevaluasi pedoman diet adalah 20-25 g
per 1 000 kkal dengan asumsi 8-10 dari total energi dengan kualitas protein tinggi, dan 25-30 g dengan asumsi 10-12 dari total energi dengan asupan protein
hewani rendah. Dalam keadaaan campuran diet tidak mengandung kacang- kacangan danatau protein hewani yang cukup, koreksi untuk skor asam amino
perlu dilakukan. Koreksi untuk skor asam amino ditekankan karena sumber protein nabati tunggal dapat membatasi satu atau lebih asam amino lysin untuk
sebagian besar biji-bijian, metionin untuk sebagian besar kacang-kacangan. Apabila sanitasi lingkungan tidak memadai dan diare sering terjadi,
direkomendasikan meningkatan asupan protein 10. Anak-anak yang pulih dari infeksi akut atau malnutrisi, asupan protein harus ditingkatkan untuk memenuhi
permintaan yang disebabkan sintesis jaringan yang cepat. Tergantung pada tingkat defisit, kebutuhan protein mungkin 2-3 jumlah normal. Bahkan untuk
anak-anak, protein yang dibutuhkan selama masa pemulihan meningkat 20-40. Rekomendasi Amerika terbaru untuk membatasi asupan total protein yaitu dua
kali angka kecukupan gizi AKG. Sebaliknya, densitas asupan protein yang 2004 untuk kelompok umur 0-6,
7-12, dan 13-23 bulan burturut-turut adalah 550, 650, dan 1 000 kkal.
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Densitas asupan protein n,
20 g per 1 000 kkal 402 38.3
647 61.7 1 049 100.0
20 – 40 g per 1 000 kkal 548 38.0
896 62.0 1 444 100.0
40 g per 1 000 kkal 206 34.2
396 65.8 602 100.0
Total 1 156 37.4
1 939 62.6 3 095 100.0
dianjurkan telah diturunkan sebagai rasio protein-energi untuk menyajikan kualitas protein dari diet campuran. Untuk protein berkualitas tinggi, kebutuhan
dapat dipenuhi dengan memberikan 8-10 dari total energi sebagai protein. Untuk diet yang sebagian besar campuran sayuran di negara berkembang,
disarankan 10-12, karena kebutuhan protein harus diperbaiki untuk daya cerna yang lebih rendah dan peningkatan insiden penyakit diare.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata asupan protein anak 0-23 bulan memenuhi standar WHO 1998 yaitu sebanyak 30.0 g per hari. Nilai rata-
rata densitas asupan protein terkecil yaitu 1.3 g per 1 000 kkal dan yang terbesar yaitu 95.9 g per 1 000 kkal Tabel 5.
Tabel 5 Densitas asupan protein berdasarkan status stunting anak 0-23 bulan
Densitas asupan protein Stunting
Tidak Stunting Total
Rata-rata 29.6
30.2 30.0
Standar deviasi 19.3
19.3 19.3
Maksimum 88.6
95.9 95.9
Minimum 2.0
1.3 1.3
Keterangan;
Peubah
g per 1 000 kkal
Persen energi dari pangan hewani terhadap total energi anak yaitu 44.6, dan persen protein hewani terhadap total protein anak 0-23 bulan yaitu sebanyak
60.3 Tabel 6. Persen protein hewani terhadap total protein anak 0-23 bulan berkorelasi kuat dengan densitas protein r=0.685; p0.01. Hal ini memperkuat
laporan WHO 1998 yaitu asupan protein, terutama protein hewani telah dikaitkan dengan prevalensi stunting yang lebih rendah di negara-negara maju.
Tabel 6 Asupan protein dan energi pangan hewani anak 0-23 bulan
Stunting Tidak
Stunting Total
Persen gram pangan hewani terhadap total pangan anak,
37.4 ± 32.1 39.3 ± 32.8
38.6 ± 32.6 Persen protein hewani terhadap total
protein anak, 58.2 ± 34.1
61.5 ± 33.3 60.3 ± 33.6
Persen energi dari pangan hewani terhadap total energi anak,
42.6 ± 33.0 45.9 ± 32.2
44.6 ± 32.7
Densitas asupan protein anak 0-23 bulan di Indonesia tidak berbeda dengan anak-anak di Amerika, Peru, dan Meksiko Tabel 7. Namun demikian,
rata-rata densitas asupan protein yang diinginkan berbeda yaitu rata-rata yang diinginkan Amerika, Peru, dan Meksiko lebih tinggi dibanding di Indonesia
masing-masing yaitu 70 dan 40 g per 1 000 kkal.
Tabel 7 Densitas asupan protein dari diet anak baduta di Amerika, Peru, Meksiko dan Indonesia
Negara Kelompok
umur Rata-rata yang
diinginkan Rata-
rata Median
Minimal Maksimal
Amerika 6-8
§
0.7 2.6
2.3 0.9
6.4 Peru
6-8
§
0.7 3.2
2.7 0.0
14.6 Amerika
9-11
§
0.7 3.3
3.1 0.4
6.8 Peru
9-11
§
0.7 3.0
2.7 0.0
7.7 Meksiko
18-24
§
0.7 3.0
2.9 2.3
4.0 Indonesia
0-23 0.4
3.0 2.6
0.1 9.6
Keterangan: umur bulan; densitas asupan protein g per 100 kkal; nilai minimal Drewnowski 2005;
§
WHO 1998
Prevalensi stunting di Indonesia maupun di Amerika Tengah masih termasuk ke dalam masalah kesehatan masyarakat. Prevalensi stunting anak balita
di Indonesia dan Amerika Tengah berturut-turut 35.6 Kemenkes 2010 dan 24.0 WHO 2001. WHO 2006 melaporkan bahwa prevalensi anak balita
stunting lebih dari 20 dianggap tinggi dan merupakan suatu masalah kesehatan
masyarakat. Memperhatikan densitas asupan protein anak 0-23 bulan dan prevalensi
anak balita stunting di Indonesia terlihat bahwa rata-rata densitas asupan protein anak 0-23 bulan di Indonesia perlu ditingkatkan menjadi rata-rata yang diinginkan
negara-negara maju yaitu dari 40 g mejadi 70 g per 1 000 kkal. Selain densitas asupan protein, tingginya prevalensi stunting anak 0-23
bulan di Indonesia diduga disebabkan oleh faktor-faktor determinan stunting yang lain yaitu infeksipenyakit. Oleh karena itu, diharapkan pada Riskesdas 2013,
kejadian infeksisakit perlu dikumpulkan datanya. Sebanyak 83.7 densitas asupan protein anak 0-5 bulan dapat depenuhi
dari ASI. Rata-rata konsumsi ASI anak 0-5 bulan yaitu 591.6 g per hari. Diketahui bahwa kandungan protein dalam 100 g ASI yaitu 1.02 g WHO 1998.
Dengan demikian, rata-rata asupan protein anak 0-5 bulan per hari yaitu 603.43 g atau sebanyak 6.03 g per hari Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah asupan protein ASI harian anak 0-23 bulan
Umur bulan Jumlah konsumsi ASI
g Kandungan protein per
per 100 g ASI Jumlah asupan
protein ASI per hari g100 g ASI
0-5 591.6
1.02 603.43
6-11 498.4
1.02 508.37
12-23 466.2
1.02 475.52
Pada anak 6-11 bulan, densitas asupan protein merupakan faktor risiko di bidang gizi terhadap kejadian stunting, sedangkan pada anak 0-5 dan 12-23 bulan
densitas asupan protein tidak menjadi faktor risiko terhadap kejadian stunting. Namun pada anak 0-23 bulan, densitas asupan protein merupakan faktor risiko
terhadap kejadian stunting dan besarnya risiko tersebut pada anak 0-23 bulan lebih kecil dibanding anak 6-11 bulan. Risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas
asupan protein kurang dari 20 g per 1 000 kkal yaitu 1.32 kali lebih tinggi dibanding anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal.
Adapun risiko stunting anak 6-11 bulan yang densitas asupan protein kurang dari 20 g per 1 000 kkal dan 20-40 g per 1 000 kkal berturut-turut yaitu 1.96 dan 1.83
kali lebih tinggi dibanding anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal Tabel 9.
Tabel 9 Risiko stunting berdasarkan densitas asupan protein anak 0-23 bulan
Umur bulan Densitas asupan protein
OR
§
CI 95 ρ
0-5 20 g per 1 000 kkal
1.66 0.30-9.22
0.565 6-11
20 g per 1 000 kkal 1.96
1.19-3.24 0.008
6-11 20-40 g per 1 000 kkal
1.83 1.10-3.03
0.019 12-23
20 g per 1 000 kkal 1.10
0.88-1.37 0.417
0-23 20 g per 1 000 kkal
1.22 1.00-1.49
0.048
Keterangan:
§
Berdasarkan uraian di atas, anak 6-11 bulan merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian karena pada kelompok umur tersebut anak baru mulai
belajar mengkonsumsi makan pendamping ASI MP-ASI. Diharapkan dengan
terhadap 40 g per 1 000 kkal
Densitas asupan protein pada anak 12-23 bulan tidak merupakan faktor risiko stunting. Hal ini diduga antara lain disebabkan oleh anak pada kelompok
umur tersebut sudah mengkonsumsi makanan keluarga, sedangkan pada kelompok umur 6-11 bulan mereka mengkonsumsi makanan yang berbeda dengan makanan
keluarga. Pada anak 6-11 bulan, densitas asupan protein merupakan pembeda asupan
energi dan zat gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan yang paling awal dapat diketahui. Pada anak 0-5 bulan, tidak ada perberbedaan asupan energi dan
zat gizi; sedangkan pada anak 12-23 bulan, tidak hanya asupan protein yang berbeda, namun asupan energi, kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin C juga
berbeda.
memperhatikan kualitas MP-ASI agar memenuhi gizi seimbang dari awal pengenalan MP-ASI tersebut anak akan menjadi terhindar stunting.
Konsumsi pangan anak dan status ekonomi rumah tangga
Stunting anak 0-23 bulan terkait dengan konsumsi pangan anak dan status
ekonomi rumah tangga. Risiko stunting
Stunting sudah dimulai sejak bayi baru lahir. Prevalensi stunting pada
anak 0-5 bulan sebanyak 24.5. Hal tersebut bermakna bahwa pencegahan stunting
perlu dilakukan sejak ibu hamil. anak 0-23 bulan yang densitas asupan
protein dan status ekonomi keluarga rendah kuintil 1 2 meningkatkan risiko stunting
.
Pada usia 6 bulan, anak sudah mulai diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI. Pada umur 6 bulan ini, anak mengalami masa transisi yaitu
mulai diperkenalkan pada berbagai jenis pangan. Sedangkan pada anak 12 bulan sudah mulai diperkenalkan dengan makan orang dewasa. Risiko terjadinya
stunting pada anak 6-11 bulan yang densitas asupan proteinnya rendah 20 g per
1 000 kkal sampai 3.24 kali lebih tinggi dibanding anak yang densitas asupan proteinnya tinggi 40 g per 1 000 kkal. Pada anak 12-23 bulan selain protein,
energi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, mutu gizi makanan, dan bahkan jenis konsumsi pangan juga berbeda antara anak stunting dan tidak stunting. Hal
tersebut dapat dimaknai bahwa protein merupakan zat gizi yang perlu diperhatikan pada menu MP-ASI anak 6-11 bulan; semakin bertambah umur anak
maka tidak hanya protein yang menjadi perhatian tapi juga memperhatikan zat gizi lainnya sehingga MP-ASI yang dikonsumsi anak merupakan makanan yang
memenuhi kaidah gizi seimbang. Namun, jika energi dan zat gizi tidak terpenuhi dari MP-ASI, fortifikasi atau suplementasi perlu dilakukan.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan meningkat seiring dengan menurunnya status ekonomi rumah tangga. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan
yang berstatus ekonomi menengah atas kuintil 3, 4 5 sebanyak 33.6, sedangkan prevalensi stunting anak yang berstatus ekonomi bawah kuintil 1 2
sebanyak 41.3. Prevalensi tersebut relatif sama dengan yang dilaporkan Bappenas 2012 yakni prevalensi anak balita 0-59 bulan stunting menurut
tingkat pengeluaran orang tua kuintil 5 sd 1 berturut-turut sebanyak 28.5, 35.2, 38.7; 43.4, dan 47.6. Hal tersebut dapat bermakna bahwa upaya-upaya untuk
menurunkan prevalensi stunting antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan status ekonomi rumah tangga.
Prevalensi stunting anak yang berstatus ekonomi bawah kuintil 1 2 sebanyak 41.3. Di sisi lain, Bappenas 2012 melaporkan bahwa rata-rata
tingkat pengeluaran per kapita per bulan kuintil 1 sd 5 berturut-turut yaitu Rp 188 473, 321 409, 406 838, 686 693, dan 1 540 975. Berdasarkan hal tersebut,
dapat diketahui bahwa anak 0-23 bulan yang tinggal di rumah tangga dengan pengeluaran per kapita per bulan kurang dari Rp 321 409 kuintil 2 berisiko
mengalami stunting OR: 1.26; CI 95: 1.08- 1.47; ρ=0.003.
Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan sebesar 30 US ± Rp 300 000 per kapita per bulan. Adapun batas garis kemiskinan kota dan desa di Jawa Barat
yaitu pendapatan perkapita per bulan sebesar Rp 201 138 BPS 2010 dan garis kemiskinan untuk Kabupaten Bogor Rp 183 067 BPS 2006. Diketaui pula
bahwa rata-rata pendapatan per kapita per bulan di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Rp 370 102; namun kebutuhan hidup minimum untuk
individu di Jawa Barat sebesar Rp 383 370 Nurlinda 2010. Terlihat bahwa, batas garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia lebih mendekati batas
minimal pengeluaran rumah tangga dalam hubungannya dengan menentukan rumah tangga anak 0-23 bulan yang berisiko mengalami stunting.
Nurlinda 2010 menjelaskan bahwa kebutuhan pangan layak minimum terkecil untuk golongan umur 7-11 bulan yakni Rp 78 235 per bulan; adapaun
untuk golongan pria umur 30-49 tahun memiliki kebutuhan pangan layak minimum yaitu Rp 340 102 per bulan. Memperhatikan hal tersebut, perlu
dilakukan penelitian menu makanan dengan mempertimbangkan kebutuhan pangan layak minimum terkecil untuk anak 6-23 bulan yang memenuhi syarat gizi
seimbang dalam upaya mencegah stunting. Selain itu perlu dilakukan penelitian efikasi intervensi gizi untuk pencegahan dan meminimalkan risiko stunting baik
sejak masa kehamilan maupun pada masa masa bayi dan anak. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan pada
semua status ekonomi rumah tangga tergolong cukup, kecuali zat besi dan vitamin
C. Namun, rata-rata mutu gizi konsumsi pangan dan densitas asupan zat gizi anak 0-23 bulan pada semua kelompok status ekonomi rumah tangga semuanya
tergolong rendah, kecuali densitas asupan vitamin B1 Tabel 10 Tabel 11. Oleh karena itu, perlu dilakukan fortifikasi zat gizi pada anak 0-23 bulan untuk
semua kelompok status ekonomi rumah tangga.
Tabel 10 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi menurut status ekonomi rumah tangga anak 0-23 bulan
Status ekonomi Anak
stunting Tidak
stunting Total
Tingkat kecukupan energi, cukup jika
≥ 70 angka kecukupan gizi -AKG
Kuintil 1 74.6±39.0
77.3±37.4 76.1±38.1
Kuintil 2 80.5±37.0
80.3±38.4 80.4±37.8
Kuintil 3 80.2±35.3
80.1±35.9 80.2±35.7
Kuintil 4 83.3±37.8
83.9±36.8 83.7±37.1
Kuintil 5 84.3±37.9
87.8±38.4 86.7±38.2
Tingkat kecukupan protein, cukup jika
≥ 80 AKG
Kuintil 1 106.5±73.4
111.1±76.0 109.1±74.8
Kuintil 2 127.4±83.3
127.0±84.1 127.1±83.7
Kuintil 3 143.2±86.0
142.5±87.4 142.7±86.9
Kuintil 4 155.3±94.7
149.6±89.6 151.5±91.3
Kuintil 5 161.9±90.1
167.9±89.0 166.0±89.3
Tingkat kecukupan kalsium, cukup jika
≥ 50 AKG
Kuintil 1 43.3±46.7
46.8±50.6 45.3±48.9
Kuintil 2 50.9±49.6
62.7±58.4 58.1±55.4
Kuintil 3 68.7±61.2
70.8±61.8 70.1±61.6
Kuintil 4 78.4±64.8
82.0±65.2 80.8±65.0
Kuintil 5 93.4±66.1
97.4±68.8 96.1±67.9
Tingkat kecukupan fosfor, cukup jika
≥ 50 AKG
Kuintil 1 63.2±57.3
65.1±52.2 64.2±54.4
Kuintil 2 74.2±55.2
87.5±65.9 82.4±62.3
Kuintil 3 93.3±66.0
96.4±69.2 95.3±68.1
Kuintil 4 103.2±71.1
109.0±69.2 107.0±69.9
Kuintil 5 125.4±74.4
129.1±69.8 127.9±71.3
Tingkat kecukupan zat besi, cukup jika
≥ 50 AKG
Kuintil 1 35.5±31.6
36.0±30.2 35.8±30.8
Kuintil 2 39.1±31.2
38.4±32.1 38.7±31.7
Kuintil 3 37.5±30.0
37.5±32.3 37.5±31.5
Kuintil 4 36.9±29.5
35.5±28.8 36.0±29.0
Kuintil 5 37.1±29.2
36.0±27.0 36.3±27.7
Tingkat kecukupan vitamin A, cukup jika
≥ 50 AKG
Kuintil 1 64.6±63.7
74.0±68.0 69.9±66.3
Kuintil 2 75.4±60.7
78.9±66.2 77.5±64.1
Kuintil 3 88.3±69.7
88.8±66.9 88.6±67.8
Kuintil 4 93.4±66.9
91.1±64.8 91.9±65.4
Kuintil 5 95.7±57.4
102.1±65.5 100.0±63.0
Tingkat kecukupan vitamin B1, cukup jika
≥ 50 AKG
Kuintil 1 172.2±157.0
180.8±167.5 177.1±162.9
Kuintil 2 188.0±161.5
212.1±170.8 202.8±167.6
Kuintil 3 186.1±160.4
196.2±159.2 192.8±159.5
Kuintil 4 192.2±159.2
194.2±157.0 193.5±157.6
Kuintil 5 194.3±139.1
208.5±151.2 203.9±147.3
Tingkat kecukupan vitamin C, cukup jika
≥ 50 AKG
Kuintil 1 23.9±26.4
28.9±29.2 26.7±28.1
Kuintil 2 26.3±26.3
25.8±26.0 26.0±26.1
Kuintil 3 27.5±26.8
28.6±27.2 28.2±27.0
Kuintil 4 26.1±24.9
27.2±25.9 26.8±25.6
Kuintil 5 26.8±25.1
27.6±24.9 27.4±24.9
Mutu gizi konsumsi pangan, cukup jika
≥ 70 AKG
Kuintil 1 51.6±21.3
54.5±20.5 53.2±20.9
Kuintil 2 57.9±20.1
59.5±20.6 58.9±20.4
Kuintil 3 61.7±19.8
62.5±19.4 62.2±19.5
Kuintil 4 64.3±20.4
65.0±18.9 64.7±19.4
Kuintil 5 68.1±17.3
68.9±16.7 68.7±16.8
Tabel 11 Rata-rata densitas asupan zat gizi menurut status ekonomi rumah tangga anak 0-23 bulan
Status ekonomi Anak
stunting Tidak
stunting Total
Densitas asupan protein, g per 1 000 kkal standar FAO 40-50 g per 1 000 kkal
Kuintil 1 25.0±13.5
25.4±13.5 25.2±13.5
Kuintil 2 27.0±13.3
27.7±13.7 27.4±13.5
Kuintil 3 29.3±11.6
30.3±13.6 30.0±13.0
Kuintil 4 31.1±12.1
30.7±12.6 30.8±12.4
Kuintil 5 32.7±10.5
33.4±12.8 33.2±12.1
Densitas asupan kalsium, mg per 1 000 kkal standar FAO 500-800 mg per 1 000 kkal
Kuintil 1 341.7±384.0
338.3±371.4 339.8±376.8
Kuintil 2 363.3±358.2
431.8±405.9 405.4±389.4
Kuintil 3 471.2±429.3
486.1±428.5 481.1±428.5
Kuintil 4 516.6±433.8
547.7±463.5 537.1±453.4
Kuintil 5 660.1±476.6
631.7±466.6 640.9±469.5
Densitas asupan zat besi, mg per 1 000 kkal standar FAO 7-40 mg per 1 000 kkal
Kuintil 1 4.4±3.9
4.2±3.4 4.3±3.6
Kuintil 2 4.3±2.9
4.0±3.2 4.1±3.1
Kuintil 3 4.0±2.8
3.9±3.0 3.9±3.0
Kuintil 4 4.0±3.1
3.6±2.8 3.7±2.9
Kuintil 5 3.7±2.7
3.6±2.6 3.6±2.6
Densitas asupan vitamin A, µg RE per 1 000 kkal standar FAO 700-1 000 µg RE per
1 000 kkal
Kuintil 1 469.3±477.4
518.1±465.7 496.7±471.2
Kuintil 2 497.9±388.8
530.8±412.0 518.1±403.3
Kuintil 3 553.0±462.7
574.6±406.1 567.3±425.8
Kuintil 4 569.2±402.0
571.7±404.6 570.8±403.3
Kuintil 5 595.6±349.3
609.3±399.0 604.8±383.1
Densitas asupan vitamin B1, mg per 1 000 kkal standar FAO 1.0-1.6 mg per 1 000 kkal
Kuintil 1 1.5±1.4
1.5±1.4 1.5±1.4
Kuintil 2 1.5±1.3
1.7±1.3 1.6±1.3
Kuintil 3 1.4±1.2
1.5±1.2 1.5±1.2
Kuintil 4 1.5±1.4
1.4±1.1 1.4±1.2
Kuintil 5 1.4±1.1
1.5±1.1 1.5±1.1
Densitas asupan vitamin C, mg per 1 000 kkal standar FAO 50-60 mg per 1 000 kkal
Kuintil 1 18.1±22.2
20.8±21.0 19.6±21.5
Kuintil 2 18.3±19.2
18.2±17.7 18.3±18.3
Kuintil 3 18.1±19.1
19.3±20.3 18.9±19.9
Kuintil 4 18.4±24.5
17.5±16.8 17.8±19.8
Kuintil 5 16.6±15.6
17.4±18.2 17.1±17.4
Menu makanan anak 0-23 bulan
Departemen Kesehatan 2009 menjelaskan jumlah anjuran MP-ASI pada anak usia 6-23 bulan. Pada anak 6-9 bulan, ASI diteruskan pemberiannya, selain
itu anak mulai diberikan makanan pendamping ASI MP-ASI yang diberikan secara bertahap sesuai umur. Contoh MP-ASI anak 6 bulan yaitu bubur susu 3
sendok makan masing-masing diberikan pada anak pada waktu pagi dan sore hari. Adapun contoh MP-ASI anak 7 bulan yaitu bubur susu 3.5 sendok makan
masing-masing diberikan pada anak pada waktu pagi dan sore hari. Contoh MP- ASI anak 8 bulan yaitu bubur tim lumat 2 sendok makan masing-masing
diberikan pada anak pada waktu pagi hari, dan bubur tim lumat 3 sendok makan masing-masing diberikan pada anak pada waktu siang dan malam hari. Contoh
makanan yang dianjurkan untuk anak 6-9 bulan yaitu telur, ayak, ikan, tempe, tahu, daging sapi, wortel, bayam, santan, kacang hijau, minyak, jeruk, pisang, dan
pepaya; adapun contoh makanan selingan yaitu bubur kacang hijau, pisang, biskuit, dan nagasari. Pada anak 9-12 bulan, ASI diteruskan pemberiannya, selain
itu anak mulai diberikan MP-ASI yang lebih padat misalnya bubur nasi, nasi tim, nasi lembek. Pada anak 9 bulan, anak diberikan bubur nasi masing-masing 3
sendok makan pada pagi, siang dan malam. Pada anak usia 10 bulan, anak diberikan nasi tim 3 sendok makan pada pagi dan siang, sedangkan pada malam
hari diberikan nasi tim 4 sendok makan. Pada anak usia 11 bulan, anak diberikan nasi lembek 3 sendok makan pada pagi hari, sedangkan pada siang dan malam
hari anak diberikan nasi lembek 4 sendok makan. Pada anak 1-2 tahun, ASI terus diberikan. Mulai usia 1 tahun, anak diberikan makan orang dewasa berupa nasi,
lauk, sayur, dan buah. Anak diberikan makan sebanyak 3 kali sehari, masing- masing sepertiga piring orang dewasa.
Pada anak usia 11 bulan, Departemen Kesehatan RI menganjurkan anak diberikan nasi lembek 3 sendok makan pada pagi hari, sedangkan pada siang dan
malam hari anak diberikan nasi lembek masing-masing 4 sendok makan. Hayati 2009 mendeskripsikan menu seimbang anak 11 bulan pada Gambar 1 dan
kandungan zat gizi menu tersebut pada Tabel 12.
08.00 wib
Nasi Tim 08.00 wib
Semur Daging Cincang 08.00 wib
Cah Tahu 10.00 wib
Setup Pisang 12.00 wib
Nasi Tim 12.00 wib
Sop sayuran 12.00 wib
Ikan Saos Tomat 12.00 wib
Gadon Tahu 16.00 wib
Buah Pepaya 18.00 wib
Nasi Tim 18.00 wib
Tumis Kangkung 18.00 wib
Telur dadar 18.00 wib
Bakso Tahu Bb Kuning
Sumber: Hayati 2009
Gambar 1 Menu seimbang anak 11 bulan Wiryo 2000 menjelaskan bahwa menu anak umur di atas 1 tahun sama
dengan orang dewasa, namun perlu disesuaikan rasa tidak pedas dan konsistensi agak lunak dan memperhatikan menu seimbang. Nestle Indonesia 2002
menjelaskan jadwal pemberian makanan anak usia lebih dari 12 bulan yaitu pukul 06.00 bangun tidur, 08.00 makan pagi, 12.00 makan siang, 14.00 sebelum
tidur siang, 16.00, dan 18.00 makan malam Tabel 13.
133 Tabel 12 Kandungan gizi menu sehari anak 11 bulan
Waktu Jenis Maanan
Bahan Berat
Energi Protein Lemak
Karbo Kalsium
Besi Vit A
Vit B1 08.00
Nasi tim Nasi tim
100 120.00
2.40 0.40
26.00 3.00
0.40 0.00
0.00 Semur daging cincang
Daging sapi 25
36.45 3.56
2.88 1.26
15.00 0.75
85.83 0.03
Kecap manis 5
2.30 0.26
0.07 0.45
6.15 2.85
0.00 0.00
Cah tahu Tahu
25 17.00
1.95 1.15
1.09 31.00
0.00 0.00
0.03 10.00
Setup pisang Pisang
50 50.00
0.60 0.10
12.90 4.00
11.00 0.04
1.50 Gula pasir
10 36.40
0.00 0.00 342.00
0.50 0.01
0.00 0.00
12.00 Nasi tim
Nasi tim 100
120.00 2.40
0.40 26.00
3.00 0.40
0.00 0.00
Sop sayuran Wortel
20 7.20
0.28 0.06
8.88 8.86
0.18 409.00
0.02 Buncis
10 4.00
0.24 0.02
0.77 0.70
0.11 10.00
0.01 Bawang merah
5 1.76
0.08 0.02
0.09 2.00
0.04 0.00
0.00 Bawang putih
5 4.18
0.26 0.01
24.94 2.39
0.06 0.00
0.01 Ikan saos tomat
Ikan kembung 25
20.60 6.88
0.25 0.00
6.25 0.31
2.81 0.03
Bawang merah 5
1.76 0.08
0.02 0.09
2.00 0.04
0.00 0.00
Bawang putih 5
4.18 0.26
0.01 24.94
2.39 0.06
0.00 0.01
Saos tomat 10
10.00 0.20
0.04 2.45
1.20 0.08
0.00 0.01
Margarin 5
18.00 0.03
2.03 1.44
0.50 0.00
6.68 0.00
Gadon tahu Tahu
25 17.00
1.95 1.15
1.09 31.00
0.00 0.00
0.03 Wortel
10 3.70
0.14 0.03
4.44 4.43
0.09 204.50
0.01 16.00
Buah Pepaya
75 25.89
0.51 0.00
22.44 23.01
1.01 56.01
0.07 18.00
Nasi tim Nasi tim
100 120.00
2.40 0.40
26.00 3.00
0.40 0.00
0.00 Tumis kangkung
Kangkung 25
5.08 1.07
0.08 2.24
26.07 0.89
337.50 0.04
Tomat 10
2.00 0.10
0.03 0.42
0.50 0.05
23.00 0.01
Bawang merah 5
1.76 0.08
0.02 0.09
2.00 0.04
0.00 0.00
Bawang putih 5
4.18 0.26
0.01 24.94
2.39 0.06
0.00 0.01
Margarin 5
36.00 0.03
4.05 2.88
1.00 0.00
13.35 0.00
Telur dadar Telur ayam
25 36.45
3.56 2.88
1.26 15.00
0.75 85.83
0.03 Margarin
5 18.00
0.03 2.03
1.44 0.50
0.00 6.68
0.00 Bakso tahu bumbu kuning
Tahu 25
17.00 1.95
1.15 1.09
31.00 0.00
0.00 0.03
Tepung kanji 5
18.00 0.06
0.03 4.41
4.20 0.05
0.00 0.00
Bawang merah 5
1.76 0.08
0.02 0.09
2.00 0.04
0.00 0.00
Bawang putih 5
4.18 0.26
0.01 24.94
2.39 0.06
0.00 0.01
Jumlah 764.83
31.96 19.35 591.07
237.43 19.73
1241.23 1.88
Angka kecukupan gizi AKG 760.00
15.00 400.00
5.00 350.00
0.40 AKG
100.64 213.07
59.36 394.60
354.64 470.75
Sumber: Hayati 2009
Tabel 13 Jadwal pemberian makanan anak 1-2 tahun
Makanan yang Diberikan Waktu
ASIPengganti Air Susu Ibu PASI 06.00 bangun tidur
Makanan keluarga 08.00 makan pagi
Snack 10.00
Makanan keluarga 12.00 makan siang
Snack 14.00 sebelum tidur siang
Makanan keluarga 16.00
ASIPASI 18.00 makan malam
Sumber: Nestle Indonesia 2002
Rata-rata jumlah ASI yang dikonsumsi anak stunting dan tidak stunting 0-5 bulan per kali menyusu berturut-turut 127.9±157.2 dan 150.5±180.1 g
Lampiran 4. Jumlah ASI yang dikonsumsi anak tidak stunting dalam penelitian ini sama dengan yang dikemukan oleh Jahari dan Santi 2009 bahwa jumlah susu
formula per satu kali pemberian yaitu 150 ml Tabel 14. Tabel 14 Jumlah susu formula untuk bayi 0-6 bulan yang tidak diberikan ASI
Umur bulan Pemberian makan per hari
Jumlah susu formula per satu kali pemberian ml
0-1 8
60 1-2
7 90
2-4 6
120 4-6
6 150
Jahari dan Santi 2009
Rata-rata frekuensi menyusu ASI anak stunting dan tidak stunting 0-5 bulan berturut-turut 4.6±3.5 dan 3.9±3.5 kali per hari Lampiran 4. Hal tersebut
berbeda dengan yang dijelaskan Departemen Kesehatan 2009, Jahari dan Santi 2009 yaitu bayi 0-6 bulan minimal disusui sebanyak 8 kali dalam 24 jam.
Departemen Kesehatan 2009 juga menjelaskan bahwa jika bayi tidur lebih dari 3 jam, maka sebaiknya dibangunkan untuk disusui.
Rata-rata jumlah ASI yang dikonsumsi anak stunting dan anak tidak stunting
6-11 bulan per kali menyusu berturut-turut 143.7±148.0 dan 141.7±155.1 g Lampiran 5. Adapun rata-rata jumlah ASI yang dikonsumsi anak stunting dan
anak tidak stunting 12-23 bulan per kali menyusu berturut-turut 142.0±138.1 dan 158.1±152.6 g Lampiran 6. Jumlah ASI yang dikonsumsi anak stunting maupun
tidak stunting 6-23 bulan dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan laporan WHO 2005 bahwa jumlah susu yang dibutuhkan anak 6-11 bulan yang
jumlah konsumsi pangan hewani lain tidak cukup dikonsumsi dan tidak secara
rutin yaitu 300-500 mL; sama halnya dengan yang dijelaskan oleh Jahari dan Santi 2009.
Formula multivitamin mineral untuk mencegah stunting
Jumlah energi yang diperlukan anak 0-23 bulan yang berasal dari makanan pendamping air susu ibu MP-ASI dipengaruhi oleh umur anak. Faktor lain yang
ikut menentukan jumlah energi yang diperlukan anak tersebut yaitu jumlah energi yang berasal dari ASI Tabel 15. Semakin bertambah umur, semakin besar
energi yang diperlukan dari MP-ASI. Diketahi bahwa mutu gizi konsumsi pangan anak 0-23 bulan masih rendah. Rata-rata mutu gizi makanan anak stunting dan
tidak stunting berturut-turut 59.0±20.9 dan 61.9±20.2. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan tersebut dengan melakukan fortifikasi
atau suplementasi. Tabel 15 Konsumsi energi dan energi yang diperlukan dari MP-ASI
berdasarkan tingkat konsumsi ASI
Umur bulan Negara Berkembang
Konsumsi Energi dari ASI kkal Energi yang Diperlukan dari MP-ASI
Tingkat konsumsi ASI Tingkat konsumsi ASI
Rendah Sedang
Tinggi Rendah
Sedang Tinggi
6 - 8 217
413 609
465 269
73 9 - 11
157 379
601 673
451 229
12 - 23 90
346 602
1002 746
490 Umur bulan
Negara Maju Konsumsi Energi dari ASI kkal
Energi yang Diperlukan dari MP-ASI Tingkat konsumsi ASI
Tingkat konsumsi ASI Rendah
Sedang Tinggi
Rendah Sedang
Tinggi 6 - 8
274 486
698 408
196 9 - 11
41 375
709 789
455 121
12 - 23 313
669 1092
770 423
Sumber: WHO 2005
Ada beberapa mikronutrien dan pangan yang telah terbukti dapat mengatasi stunting anak 0-23 bulan. Mukronutrien yang dapat mengatasi stunting
antara lain adalah zat besi, seng, dan vitamin C. Adapun pangan yang yang dapat mengatasi stunting yaitu: 1 campuran biji-bijian dan kacang-kacangan; 2
campuran biji-bijian, kacang-kacangan, dan tepung ikan; 3 campuran biji-bijian dan susu; 4 susu skim; 5 campuran susu murni dan sayuran-sayuran; dan 6
campuran susu skim dan gula Tabel 16. Namun, peningkatan panjang badan yang dihasilkannya masih kecil.
Tabel 16 Mikronutrien dan pangan yang mengatasi stunting
Mikronutrien dan Pangan Peneliti
Vitamin C dan Fe Angles et al. 1993
Vitamin C, Fe dan Zn Thu et al. 1999
Weanimix campuran sereal-kacang, vitamin mineral Lartey et al. 1999
Tepung susu skim Vaughan et al. 1981
Campuran tepung susu murni dan sayuran Lutter et al. 1990
Susu Walker et al. 1991
Tepung susu skim dan gula Martorel et al. 1995
Weanimix Lattey et al. 1999
Weanimix dan tepung ikan Lattey et al. 1999
Campuran sereal dan susu Guldan et al. 2000
Keterangan: anak stunting;
anak underweinght
Pada tahun 2010, di Indonesia sudah dilakukan uji coba fortifikasi pada anak 6-59 bulan yaitu dengan memberikan bubuk tabur multimikronutrient
sebagaimana yang telah dilakukan di negara-negara berkembang lainnya Tabel 17. Fortifikan tersebut dinamakan Taburia. Namun, Taburia tidak dapat
meningkatkan tinggi badan anak 6-59 bulan; Taburia hanya dapat menurunkan prevalensi anemia pada anak 6-59 bulan Jahari et al. 2008. Oleh karena itu,
Taburia perlu disempurnakan agar dapat meningkatkan panjang badan anak 0-23 bulan menjadi optimal.
Komposisi zat gizi Taburia dan MP-ASI komersial kurang untuk mengatasi stunting. Taburia tidak mengandung kalsium, fosfor, copper, mangan,
magnesium, dan potasium; adapun jumlah kandungan zat gizi MP-ASI komersial yang ada saat ini belum memadai untuk mengatasi stunting terutama folat dan
seng. Telah dirancang formula bubuk tabur baru untuk menyempurnakan
Taburia Tabel 18. Formula bubuk tabur baru dirancang berdasarkan studi literatur mutakhir dari berbagai negara. Formula bubuk tabur tersebut perlu diuji
coba melalui penelitian efikasi. Diharapkan bubuk tabur baru dapat meningkatkan panjang badan anak 0-23 bulan melebihi hasil penelitian yang sudah dilakukan
oleh peneliti-peneliti terdahulu.
137 Tabel 17 Kandungan gizi makanan pendamping air susu ibu MP-ASI, fortifikasi dan suplementasi anak 6-59 bulan
No. Zat Gizi
AKG Perkiraan
Konsumsi Zat Gizi ASI
Sereal, kedelai,
susu, minyak
Weanimix ditambah
vitamin mineral
Tepung susu, vitamin
dan mineral Fitarasa,
bubur susu bergizi
Susu SGM, formula
Taburia Telur dan
Tabuira Perkiraan
Konsumsi Per Zat Gizi yang
Dibutuhkan dari ASI
Sereal, kedelai,
susu, minyak
Weanimix ditambah
vitamin mineral
Tepung susu, vitamin
dan mineral Fitarasa,
nutritious milk
porridge SGM, infant
formula Taburia
Telur dan Tabuira
7 - 12 bulan 6 - 8 bulan
4 - 7 bulan 4 - 12 bulan 6 - 11 bulan 6 - 8 bulan 6 - 59 bulan 6 - 11 bulan 6 - 8 bulan
4 - 7 bulan 4 - 12 bulan 6 - 11 bulan 6 - 8 bulan 6 - 59 bulan 6 - 11 bulan Kemenkes
2004 WHO 1998 Simondon
et al. 1996
Bhandari et al.
2001 PT. Cipta
Rasa Blended
Food 2009 PT
Sarihusada 2010
Kemenkes 2010
WHO 1998 Simondon et al.
1996 Bhandari et
al. 2001
PT. Cipta Rasa
Blended Food 2009
PT Sarihusada
2010 Kemenkes
2010 1 Energi, kkal
650 465
311 900
438.87 510
154 72
48 138
68 78
24 2 Protein, g
16 5.2
11 32
19.62 15
12.4 33
69 200
123 94
78 3 Vitamin A, RE
400 164
669 444
335 420
417 478
41 167
111 84
105 104
120 4 Vitamin B-1 Thiamin, mg
0.4 0.1
1 0.4
0.33 0.66
0.5 0.62
25 250
100 83
165 125
155 5 Vitamin B-2 Riboflavin, mg
0.4 0.3
0.7 1.2
0.42 1.725
0.5 0.88
75 175
300 105
431 125
220 6 Vitamin B-3 Niacin, mg
4 3
11 1.68
3.5 2.85
5 5
75 275
42 88
71 125
125 7 Pantothenic Acid Vitamin B5, mg
1 0.4
1.75 3
3 8 Vitamin B-6 Pyridoxine, mg
0.3 1.2
0.08 0.5
0.9 0.5
0.5 400
27 167
300 167
167 9 Vitamin B-7 Biotin,
μg 1.96
10 Vitamin B-12, μg
0.5 3
1.72 0.09
0.33 1
3 600
344 18
66 200
600 11 Vitamin D,
μg 5
6.8 5
8.5 18
5 5
136 100
170 360
100 100
12 Vitamin E, mg 5
4 3.6
3.6 6
6 80
72 72
120 120
13 Vitamin K, μg
10 9.2
25.6 8.36
33 20
20 92
256 84
330 200
200 14 Vitamin C, mg
40 10
28 32
31 52.5
30 30
25 70
80 78
131 75
75 15 Folate,
μg 80
219 34
28.27 14.4
150 164.67
274 43
35 18
188 206
16 Iodine, μg
90 19
49.48 62
63 50
50 21
55 69
70 56
56 17 Iron Fe, mg
7 20.9
8 10.8
10.55 5.25
10 13
299 114
154 151
75 143
186 18 Zinc Zn, mg
7.5 4.6
6 5.4
5.2 3
5 5
61 80
72 69
40 67
67 19 Selenium Se,
μg 10
3 2.8
13.8 20
20 30
28 138
200 200
20 Calcium, mg 400
421 639
560 392
480 86
105 160
140 98
120 22
21 Phosphorous, mg 225
348 671
392 234
375 258
155 298
174 104
167 115
22 Copper, μg
1 540
23 Manganese, μg
0.6 14
78.8 9
2,333 13,133
1,500 24 Magnesium, mg
55 62
100 89.2
120 113
182 162
218 25 Potassium, mg
879 444
150 26 Sodium, mg
253 2
0.4 245
405 Persentase Angka Kecukupan Gizi AKG Indonesia 2004
Tabel 18 Rancangan formula bubuk tabur baru untuk mencegah stunting anak 0-23 bulan
No. Zat Gizi
Taburia Formula Bubuk Tabur Baru
1 Vitamin A, RE
417 417
2 Vitamin B-1 Thiamin, mg
1.0 0.5
3 Vitamin B-2 Riboflavin, mg
1.0 0.5
4 Vitamin B-3 Niacin, mg
5 5
5 Pantothenic Acid Vitamin B5, mg
3 0.4
6 Vitamin B-6 Pyridoxine, mg
1.0 0.5
7 Vitamin B-7 Biotin,
μg 1.96
8 Vitamin B-12,
μg 1.0
1.0 9
Vitamin D, μg
5 5
10 Vitamin E, mg
6 6
11 Vitamin K,
μg 20
20 12
Vitamin C, mg 30
30 13
Folate, μg
150 150
14 Iodine,
μg 50
50 15
Iron Fe, mg 10
10.8 16
Zinc Zn, mg 5.0
5.4 17
Selenium Se, μg
20 2.8
18 Calcium, mg
560 19
Phosphorous, mg 392
20 Copper,
μg 540
21 Manganese,
μg 78.8
22 Magnesium, mg
89.2 23
Potassium, mg 444
Waktu yang diperlukan untuk mengatasi
stunting
Nilai z-skor panjang badan menurut umur z-skor PBU anak 0-23 bulan lebih kecil pada kelompok umur anak yang lebih tua dibanding kelompok umur
anak yang lebih muda. Nilai z-skor PBU anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak -0.6±2.3, -0.9±2.5, dan -1.2±2.5 Tabel 19.
Perbedaan rata-rata panjang badan anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan sebanyak 8.5 cm Tabel 20. Dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan
rata-rata panjang badan anak menurut kelompok umur, perbedaan tersebut bertambah besar pada kelompok umur yang lebih tua dibanding pada kelompok
umur yang lebih muda.
Tabel 19 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan karakteristik anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Umur
0 – 5 bulan 2.8±1.4
2.7±1.6 2.7±1.5
6 – 11 bulan 8.8±1.5
8.9±1.5 8.8±1.5
12 – 23 bulan 17.8±3.5
17.5±3.5 17.6±3.5
Berat lahir
0 – 5 bulan 3 139.6±504.4
3 188.3±433.4 3 176.4±450.9
6 – 11 bulan 3 051.9±533.2
3 222.7±500.8 3 168.2±517.0
12 – 23 bulan 3 106.7±532.9
3 186.9±470.5 3 155.3±497.4
Z-skor BBU
0 – 5 bulan -0.8±1.3
0.0±1.5 -0.2±1.5
6 – 11 bulan -0.7±1.6
-0.3±1.3 -0.5±1.5
12 – 23 bulan -1.2±1.5
-0.4±1.4 -0.7±1.5
Z-skor PBU
0 – 5 bulan -3.6±1.1
0.4±1.7 -0.6±2.3
6 – 11 bulan -3.7±1.1
0.4±1.8 -0.9±2.5
12 – 23 bulan -3.4±1.1
0.2±2.0 -1.2±2.5
Berat badan, kg
0 – 5 bulan 5.4±1.3
5.7±1.4 5.6±1.4
6 – 11 bulan 7.9±1.6
8.3±1.4 8.2±1.5
12 – 23 bulan 9.4±1.9
10.2±2.0 9.8±2.0
Panjang badan, cm
0 – 5 bulan 52.4±3.9
59.9±5.5 58.1±6.1
6 – 11 bulan 62.0±3.2
71.7±4.4 68.5±6.1
12 – 23 bulan 71.2±4.4
81.1±6.5 77.1±7.5
Tabel 20 Perbedaan rata-rata panjang badan anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan
Umur Panjang Badan Anak cm
Stunting Tidak
Stunting Perbedaan
0 – 5 bulan 52.4
59.9 7.5
6 – 11 bulan 62.0
71.7 9.7
12 – 23 bulan 71.2
81.1 9.9
Rata-rata 68.5
76.9 8.5
Simondon et al. 1996 dan Bhandari et al. 2001 melakukan penelitian intervensi gizi terhadap peningkatan panjang badan anak umur 4 bulan.
Simondon et al. 1996 menyimpulkan bahwa peningkatan panjang badan anak 4 bulan yang diberikan intervensi campuran sereal, kedelai, susu, minyak, vitamin
dan mineral selama 3 bulan yaitu 0.48 cm. Adapun Bhandari et al. 2001 menyimpulkan bahwa pemberian susu, vitamin dan mineral pada anak 4 bulan
selama 8 bulan yaitu 0.4 cm Tabel 21.
Tabel 21 Peningkatan rata-rata panjang badan anak 4 bulan setelah intervensi
Negara dan Peneliti
Jenis intervensi Lama
Intervensi bulan
Peningkatan PB Anak
cm Waktu untuk
peningkatan PB 8.5 cm
Sinegal Simondon et al.
1996 Fortifikasi vitamin
dan mineral pada campuran sereal,
kacang kedelai, susu, dan minyak
3 0.48
4 tahun 5 bulan
India Bhandari et al.
2001 Fortifikasi vitamin dan
mineral pada tepung susu
8 0.4
14 tahun 2 bulan
Keterangan: PB = panjang badan
Waktu yang diperlukan untuk mengatasi stunting anak 0-23 bulan di Indonesia melalui fortifikasi vitamin dan mineral pada MP-ASI sekitar 4 sampai
dengan 14 tahun. Berdasarkan penelitian Simondon et al. 1996 maka upaya peningkatan panjang badan anak sebanyak 8.5 cm melalui fortifikasi vitamin dan
mineral pada campuran sereal, kacang kedelai, susu, dan minyak memerlukan waktu 4 tahun 5 bulan, sedangkan berdasarkan penelitian Bhandari et al. 2001
dapat diketahui bahwa upaya peningkatan panjang badan sebanyak 8.5 cm melalui pemberian tepung susu yang difortifikasi vitamin dan mineral memerlukan waktu
14 tahun 2 bulan. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa densitas asupan protein
merupakan faktor risiko stunting anak 0-23 bulan di bidang gizi. Selain itu diketahui pula bahwa densitas asupan protein merupakan pembeda awal asupan
energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan. Nilai batas cut off densitas asupan protein sebagai faktor risiko stunting anak 0-23 bulan
yaitu 40 g per 1 000 kkal. Adapun rata-rata densitas asupan zat gizi anak 0-23 bulan pada semua kelompok status ekonomi rumah tangga kuintil 1 sd 5
semuanya tergolong rendah, kecuali densitas asupan vitamin B1. Oleh karena itu perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitas menu makanan anak 0-23 antara lain
dengan meningkatkan konsumsi pangan hewani, buah, sayur dan disertai dengan pendidikan gizi. Alternatif lain yaitu melalui fortifikasi vitamin dan mineral MP-
ASI. Perkiraan waktu yang diperlukan untuk mengatasi stunting anak 0-23 bulan di Indonesia melalui fortifikasi vitamin dan mineral MP-ASI sekitar 4 sampai
dengan 14 tahun.
Karakteristik anak, orang tua, dan rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI
Jumlah anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dalam penelitian ini sebanyak 3.0. Di sisi lain, Kemenkes 2010 melaporkan bahwa bayi yang
berumur 5 bulan yang menyusui eksklusif yaitu 15.3. Rata-rata z-skor panjang badan menurut umur PBU anak 0-23 bulan
yang diberi ASI eksklusif tidak berbeda dengan rata-rata z-skor PBU anak yang tidak pernah diberi ASI ρ0.05. Rata-rata PBU anak yang diberi ASI eksklusif
dan anak yang tidak pernah diberi ASI berturut-turut yaitu -0.8±2.5 dan -0.7±2.8 Tabel 22. Peran ASI tidak hanya untuk pertumbuhan seperti immunitas,
stimulasi, bonding ikatan kasih sayang. Adalah kelemahan penelitian ini tidak bisa meliput semua peubah termasuk peubah ASI eksklusif dan tidak berarti ASI
eksklusif tidak penting. Hasil penelitian ini mendukung kesimpulan Frongillo 1999 bahwa bayi yang diberikan air susu ibu ASI memiliki pertumbuhan
tulang yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula; semakin besar kandungan mineral formula, semakin besar pertambahan tulang
Peubah
. Namun demikian, hasil penelitian ini berbeda dengan kesimpulan Wahdah 2012
bahwa faktor risiko stunting anak 6-36 bulan di Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat meliputi pemberian ASI eksklusif.
Tabel 22 Rata-rata z-skor PBU anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI berdasarkan status stunting
Stunting Tidak
Stunting Total
Nilai ρ
Anak yang diberi ASI eksklusif -3.2±0.9
0.5±2.0 -0.8±2.5 0.254
§
Anak yang tidak pernah diberi ASI -3.4±1.1
0.8±2.3 -0.7±2.8
Keterangan:
§
Hasil Independent t test
Tidak ada perbedaan karakteristik anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI. Karakteristik tersebut meliputi
jenis kelamin, umur, berat lahir, dan z-skor berat badan menurut umur Tabel 23.
Tabel 23 Karakteristik anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI
berdasarkan status stunting
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total TB cm
Anak yang diberi ASI eksklusif 69.0±7.1
77.4±9.6 74.3±9.6
Anak yang tidak pernah diberi ASI 70.4±5.4
81.5±8.0 77.4±9.0
Berat lahir g Anak yang diberi ASI eksklusif
3 143.5±443.2 3 257.1±595.5
3 213.1±541.4
Anak yang tidak pernah diberi ASI 3 101.6±540.6
3 175.4±453.5 3 148.1±487.8
Z-skor BBU
Anak yang diberi ASI eksklusif -1.3±1.7
-0.2±1.7 -0.6±1.8
Anak yang tidak pernah diberi ASI -1.1±1.7
-0.1±1.6 -0.5±1.7
Tingkat partisipasi jenis kelamin
Anak yang diberi ASI eksklusif Perempuan
17 50.0 33 55.9
50 53.8 Laki-laki
17 50.0 26 44.1
43 46.2 Total
34 100.0 59 100.0
93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI
Perempuan 49 43.8
85 44.7 134 44.4
Laki-laki 63 56.3
105 55.3 168 55.6
Total 112 100.0
190 100.0 302 100.0
Prevalensi stunting menurut jenis
kelamin
Anak yang diberi ASI eksklusif Perempuan
17 34.0 33 66.0
50 100.0 Laki-laki
17 39.5 26 60.5
43 100.0 Total
34 36.6 59 63.4
93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI
Perempuan 49 36.6
85 63.4 134 100.0
Laki-laki 63 37.5
105 62.5 168 100.0
Total 112 37.1
190 62.9 302 100.0
Tingkat partisipasi umur
Anak yang diberi ASI eksklusif 0-5 bulan
3 8.8 5 8.5
8 8.6 6-11 bulan
5 14.7 13 22.0
18 19.4 12-23 bulan
26 76.5 41 69.5
67 72.0 Total
34 100.0 59 100.0
93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI
0-5 bulan 1 0.9
4 2.1 5 1.7
6-11 bulan 13 11.6
29 15.3 42 13.9
12-23 bulan 98 87.5
157 82.6 255 84.4
Total 112 100.0
190 100.0 302 100.0
Prevalensi stunting menurut umur
Anak yang diberi ASI eksklusif 0-5 bulan
3 37.5 5 62.5
8 100.0 6-11 bulan
5 27.8 13 72.2
18 100.0 12-23 bulan
26 38.8 41 61.2
67 100.0 Total
34 36.6 59
93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI
0-5 bulan 1 20.0
4 80.0 5 100.0
6-11 bulan 13 31.0
29 69.0 42 100.0
12-23 bulan 98 38.4
157 61.6 255 100.0
Total 112 37.1
190 62.9 302 100.0
Keterangan: rata-rata ± SD; n
Karakteristik orang tua anak yang diberi ASI eksklusif tidak berbeda dengan karakteristik orang tua anak yang tidak pernah diberi ASI. Karakteristik
tersebut meliputi umur ibu, umur ayah, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu dan pekerjaan ayah.
Rata-rata umur ibu anak yang diberi ASI eksklusif tidak berbeda dengan anak yang tidak pernah diberi ASI, berturut-turut yaitu 30.7 dan 30.4 tahun;
demikian pula dengan umur ayah, berturut-turut yaitu 35.5 dan 35.4 tahun Tabel 24.
Tabel 24 Rata-rata umur orang tua yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Umur ibu,
tahun
Anak ASI eksklusif 32.3±6.5
29.8±6.0 30.7±6.3
Anak yang tidak pernah diberi ASI 30.1±8.1
30.50±6.3 30.4±7.0
Umur ayah, tahun
Anak ASI eksklusif 37.5±7.0
34.3±6.9 35.5±7.1
Anak yang tidak pernah diberi ASI 35.2±8.9
35.5±7.1 35.4±7.8
Semakin rendah pendidikan ibu semakin banyak yang memberikan ASI eksklusif kepada anak 0-23 bulan; begitu juga dengan anak 0-23 bulan yang tidak
pernah diberi ASI. Persentasi ibu yang berpendidikan SD, SLTP, SLTA dan PT yang memberikan ASI eksklusif berturut-turut yaitu 36.6, 23.7, 24.7, dan 11.8;
begitu juga dengan anak yang tidak pernah diberi ASI berturut-turut yaitu 33.4, 21.9, 29.1 dan 10.9 Tabel 25.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan dengan ibu yang berpendidikan SLTA merupakan yang paling rendah baik pada anak yang diberi ASI eksklusif maupun
pada anak yang tidak pernah diberi ASI berturut-turut yaitu 26.1 dan 28.4. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang orang tuanya berpendidikan SD lebih
tinggi pada anak yang diberi ASI eksklusif dibanding anak yang tidak pernah diberi ASI, berturut-turut yaitu 47.1 dan 40.6. Prevalensi stunting anak yang
orang tuanya berpendidikan SLTP lebih rendah pada anak yang diberi ASI eksklusif dibanding anak yang tidak pernah diberi ASI, berturut-turut yaitu 40.9
dan 43.9. Prevalensi stunting anak yang orang tuanya berpendidikan SLTA lebih rendah pada anak yang diberi ASI eksklusif dibanding anak yang tidak
pernah diberi ASI, berturut-turut yaitu 26.1 dan 28.4. Prevalensi stunting anak yang orang tuanya berpendidikan PT lebih rendah pada anak yang diberi ASI
eksklusif dibanding anak yang tidak pernah diberi ASI, berturut-turut yaitu 27.3 dan 42.4.
Tabel 25 Pendidikan ibu yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Tingkat partisipasi pendidikan ibu
Anak ASI eksklusif SD
16 47.1 18 30.5
34 36.6 SLTP
9 26.5 13 22.0
22 23.7 SLTA
6 17.6 17 28.8
23 24.7 PT
3 8.8 8 13.6
11 11.8 Tidal ada data
0.0 3 5.1
3 3.2 Total
34 100.0 59 100.0
93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI
SD 41 36.6
60 31.6 101 33.4
SLTP 29 25.9
37 19.5 66 21.9
SLTA 25 22.3
63 33.2 88 29.1
PT 14 12.5
19 10.0 33 10.9
Tidal ada data 3 2.7
11 5.8 14 4.6
Total 112 100.0
190 100.0 302 100.0
Pendidikan ibu
Anak ASI eksklusif SD
16 47.1 18 52.9
34 100.0 SLTP
9 40.9 13 59.1
22 100.0 SLTA
6 26.1 17 73.9
23 100.0 PT
3 27.3 8 72.7
11 100.0 Tidal ada data
0 0.0 3 100.0
3 100.0 Total
34 36.6 59 63.4
93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI
SD 41 40.6
60 59.4 101 100.0
SLTP 29 43.9
37 56.1 66 100.0
SLTA 25 28.4
63 71.6 88 100.0
PT 14 42.4
19 57.6 33 100.0
Tidal ada data 3 21.4
11 78.6 14 100.0
Total 112 37.1
190 62.9 302 100.0
ASI eksklusif paling banyak diberikan pada anak 0-23 bulan yang ayahnya berpendidikan SD yaitu sebanyak 33.3. Adapun anak yang ayahnya
berpendidikan SLTA merupakan yang paling banyak tidak pernah diberikan ASI yaitu sebanyak 33.1 Tabel 26.
Prevalensi stunting paling tinggi pada anak yang diberi ASI eksklusif yang ayahnya berpendidikan SD yaitu 48.4. Begitu pula dengan prevalensi stunting
paling tinggi pada anak yang tidak pernah diberi ASI yang ayahnya berpendidikan SD yaitu 45.8 Tabel 26.
Tabel 26 Pendidikan ayah yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Tingkat partisipasi pendidikan ayah
Anak ASI eksklusif SD
15 44.1 16 27.1
31 33.3 SLTP
5 14.7 10 16.9
15 16.1 SLTA
7 20.6 19 32.2
26 28.0 PT
5 14.7 10 16.9
15 16.1 Tidal ada data
2 5.9 4 6.8
6 6.5 Total
34 100.0 59 100.0
93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI
SD 38 33.9
45 23.7 83 27.5
SLTP 19 17.0
41 21.6 60 19.9
SLTA 28 25.0
72 37.9 100 33.1
PT 13 11.6
17 8.9 30 9.9
Tidal ada data 14 12.5
15 7.9 29 9.6
Total 112 100.0
190 100.0 302 100.0
Pendidikan ayah
Anak ASI eksklusif SD
15 48.4 16 51.6
31 100.0 SLTP
5 33.3 10 66.7
15 100.0 SLTA
7 26.9 19 73.1
26 100.0 PT
5 33.3 10 66.7
15 100.0 Tidal ada data
2 33.3 4 66.7
6 100.0 Total
34 36.6 59 63.4
93 100.0 Anak yang tidak pernah diberi ASI
SD 38 45.8
45 54.2 83 100.0
SLTP 19 31.7
41 68.3 60 100.0
SLTA 28 28.0
72 72.0 100 100.0
PT 13 43.3
17 56.7 30 100.0
Tidal ada data 14 48.3
15 51.7 29 100.0
Total 112 37.1
190 62.9 302 100.0
Sebanyak 59.1 anak 0-23 bulan yang diberikan ASI eksklusif memiliki ibu yang tidak bekerjasekolah. Adapun anak yang tidak pernah diberi ASI,
sebanyak 52.0 ibunya juga tidak bekerjasekolah Tabel 27.
Tabel 27 Pekerjaan ibu yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Tingkat partisipasi pekerjaan ibu
Anak ASI eksklusif
Tidak bekerjasekolah 20 58.8
35 59.3 55 59.1
Buruhpetaninelayan 6 17.6
12 20.3 18 19.4
TNIPNSwiraswasta 8 23.5
9 15.3 17 18.3
Tidak ada data 0 0.0
3 5.1 3 3.2
Total 34 100.0
59 100.0 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI
Tidak bekerjasekolah 58 51.8
99 52.1 157 52.0
Buruhpetaninelayan 22 19.6
37 19.5 59 19.5
TNIPNSwiraswasta 29 25.9
43 22.6 72 23.8
Tidak ada data 3 2.7
11 5.8 14 4.6
Total 112 100.0
190 100.0 302 100.0
Pekerjaan ibu Anak ASI eksklusif
Tidak bekerjasekolah 20 36.4
35 63.6 55 100.0
Buruhpetaninelayan 6 33.3
12 66.7 18 100.0
TNIPNSwiraswasta 8 47.1
9 52.9 17 100.0
Tidak ada data 0 0.0
3 100.0 3 100.0
Total 34 36.6
59 63.4 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI
Tidak bekerjasekolah 58 36.9
99 63.1 157 100.0
Buruhpetaninelayan 22 37.3
37 62.7 59 100.0
TNIPNSwiraswasta 29 40.3
43 59.7 72 100.0
Tidak ada data 3 21.4
11 78.6 14 100.0
Total 112 37.1
190 62.9 302 100.0
Anak yang diberi ASI eksklusif yang mengalami stunting sebanyak 36.9, dan anak yang tidak pernah diberi ASI mengalami stunting sebanyak
37.1. Prevalensi stunting terbanyak terdapat pada anak yang tidak pernah diberi ASI yang ibunya bekerja sebagai TNIPNSwiraswasta yaitu 41.0 Tabel 28.
Sebanyak 45.2 anak yang diberi ASI eksklusif dan 50.7 anak yang tidak pernah diberi ASI ayahnya TNIPNSwiraswasta. Namun, anak yang
ayahnya buruhpetaninelayan baik yang diberi ASI eksklusif maupun yang tidak pernah diberi ASI adalah yang terbesar mengalami stunting berturut-turut yaitu
48.8 dan 41.0 Tabel 28.
Tabel 28 Pekerjaan ayah yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Tingkat partisipasi pekerjaan ayah
Anak ASI eksklusif
Tidak bekerjasekolah 4 5.9
2 3.4 6 4.3
Buruhpetaninelayan 32 58.8
10 35.6 42 44.1
TNIPNSwiraswasta 21 29.4
20 54.2 41 45.2
Tidak ada data 2 5.9
2 6.8 4 6.5
Total 59 100.0
34 100.0 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI
Tidak bekerjasekolah 1 0.9
2 1.1 3 1.0
Buruhpetaninelayan 48 42.9
69 36.3 117 38.7
TNIPNSwiraswasta 49 43.8
104 54.7 153 50.7
Tidak ada data 14 12.5
15 7.9 29 9.6
Total 112 100.0
190 100.0 302 100.0
Pekerjaan ayah Anak ASI eksklusif
Tidak bekerjasekolah 4 50.0
2 50.0 6 100.0
Buruhpetaninelayan 32 48.8
10 51.2 42 100.0
TNIPNSwiraswasta 21 23.8
20 76.2 41 100.0
Tidak ada data 2 33.3
2 66.7 4 100.0
Total 59 36.6
34 63.4 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI
Tidak bekerjasekolah 1 33.3
2 66.7 3 100.0
Buruhpetaninelayan 48 41.0
69 59.0 117 100.0
TNIPNSwiraswasta 49 32.0
104 68.0 153 100.0
Tidak ada data 14 48.3
15 51.7 29 100.0
Total 112 37.1
190 62.9 302 100.0
Karakteristik rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif tidak berbeda dengan karakteristik anak yang tidak pernah diberi ASI.
Karakteristik tersebut meliputi jumlah anak balita di rumah tangga, besar rumah tangga, wilayah tempat tinggal kotadesa, dan status ekonomi rumah tangga.
Rumah tangga yang memiliki sedikit anak balita lebih banyak yang memberikan ASI eksklusif, begitu juga dengan rumah tangga yang tidak pernah
memberikan ASI berturut-turut sebanyak 71.0 dan 75.9. Adapun prevalensi stunting
anak yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI yang berasal dari rumah tangga yang memiliki sedikit anak balita berturut-turut
yaitu 40.9 dan 36.5 Tabel 29.
Tabel 29 Jumlah anak balita di rumah tangga yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Tingkat partisipasi jumlah anak
balita di rumah tangga
Anak ASI eksklusif
1 orang 27 79.4
39 66.1 66 71.0
1 orang 7 20.6
20 33.9 27 29.0
Total 34 100.0
59 100.0 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI 1 orang
85 75.9 148 77.9
233 77.2 1 orang
27 24.1 42 22.1
69 22.8 Total
112 100.0 190 100.0
302 100.0
Jumlah anak balita di rumah tangga Anak ASI eksklusif
1 orang 27 40.9
39 59.1 66 100.0
1 orang 7 25.9
20 74.1 27 100.0
Total 34 36.6
59 63.4 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI 1 orang
85 36.5 148 63.5
233 100.0 1 orang
27 39.1 42 60.9
69 100.0 Total
112 37.1 190 62.9
302 100.0
Anak yang diberikan ASI eksklusif sebagian besar tinggal di rumah tangga yang kecil, demikian pula dengan anak yang tidak pernah diberikan ASI berturut-
turut yaitu 50.5 dan 57.6. Adapun prevalensi stunting anak yang diberikan ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI yang bersal dari rumah tangga
yang kecil berturut-turut yaitu 34.1 dan 39.1 Tabel 30. Tabel 30 Besar rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberikan ASI eksklusif
dan yang tidak pernah diberikan ASI
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Tingkat partisipasi besar rumah
tangga
Anak ASI eksklusif
≤ 4 orang 16 47.1
31 52.5 47 50.5
4 orang 18 52.9
28 47.5 46 49.5
Total 34 100.0
59 100.0 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI ≤ 4 orang
68 60.7 106 55.8
174 57.6 4 orang
44 39.3 84 44.2
128 42.4 Total
112 100.0 190 100.0
302 100.0
Besar rumah tangga Anak ASI eksklusif
≤ 4 orang 16 34.0
31 66.0 47 100.0
4 orang 18 39.1
28 60.9 46 100.0
Total 34 36.6
59 63.4 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI ≤ 4 orang
68 39.1 106 60.9
174 100.0 4 orang
44 34.4 84 65.6
128 100.0 Total
112 37.1 190 62.9
302 100.0
Anak yang diberikan ASI eksklusif maupun anak yang tidak pernah diberikan ASI lebih banyak yang tinggal di kota masing-masing yaitu sebanyak
57.0. Adapun prevalensi stunting anak yang diberi ASI ekslusif maupun yang tidak pernah diberi ASI lebih tinggi pada anak yang bertempat tinggal di desa
berturut-turut yaitu 47.5 dan 43.8 Tabel 31. Tabel 31 Wilayah tempat tinggal anak 0-23 bulan yang diberikan ASI eksklusif
dan yang tidak pernah diberikan ASI
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Tingkat partisipasi desakota
Anak ASI eksklusif
Kota 15 44.1
38 64.4 53 57.0
Desa 19 55.9
21 35.6 40 43.0
Total 34 100.0
59 100.0 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI Kota
55 49.1 117 61.6
172 57.0 Desa
57 50.9 73 38.4
130 43.0 Total
112 100.0 190 100.0
302 100.0
Desakota Anak ASI eksklusif
Kota 15 28.3
38 71.7 53 100.0
Desa 19 47.5
21 52.5 40 100.0
Total 34 36.6
59 63.4 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI Kota
55 32.0 117 68.0
172 100.0 Desa
57 43.8 73 56.2
130 100.0 Total
112 37.1 190 62.9
302 100.0
Lebih dari setengah anak yang diberi ASI eksklusif maupun anak yang tidak pernah diberi ASI berasal dari rumah tangga yang berstatus ekonomi
menengah atas masing-masing yaitu 58.1 dan 63.2. Adapun prevalensi stunting anak yang diberi ASI ekslusif maupun anak yang tidak pernah diberi ASI lebih
tinggi pada anak yang berasal dari rumah tangga yang berstatus ekonomi bawah berturut-turut yaitu 41.0 dan 45.0 Tabel 32.
Tabel 32 Status ekonomi rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberikan ASI eksklusif dan yang tidak pernah diberikan ASI
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Tingkat partisipasi status ekonomi
Anak ASI eksklusif
Bawah 16 47.1
23 39.0 39 41.9
Menengah atas 18 52.9
36 61.0 54 58.1
Total 34 100.0
59 100.0 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI Bawah
50 44.6 61 32.1
111 36.8 Menengah atas
62 55.4 129 67.9
191 63.2 Total
112 100.0 190 100.0
302 100.0
Status ekonomi Anak ASI eksklusif
Bawah 16 41.0
23 59.0 39 100.0
Menengah atas 18 33.3
36 66.7 54 100.0
Total 34 36.6
59 63.4 93 100.0
Anak yang tidak pernah diberi ASI Bawah
50 45.0 61 55.0
111 100.0 Menengah atas
62 32.5 129 67.5
191 100.0 Total
112 37.1 190 62.9
302 100.0
Sanitasi lingkungan rumah tangga anak 0-23 bulan
Ada hubungan antara stunting dengan penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga anak 0-23 bulan
ρ0.05. Anak yang penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah
tangganya milik bersamaumumtidak ada berisiko 1.28 kali lebih tinggi mengalami stunting dibanding anak yang penggunaan fasilitas buang air besar
sebagian besar anggota rumah tangga milik sendiri. Adapun prevalensi stunting anak yang penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota
rumah tangganya milik bersamaumumtidak ada dan anak yang penggunaan fasilitas buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga milik sendiri
berturut-turut yaitu 33.4 dan 28.1 Tabel 33. Sebanyak 74.0 rumah tangga anak 0-23 bulan penggunaan fasilitas
tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangganya merupakan milik sendiri, sedangkan Kemenkes 2010 melaporkan bahwa sebanyak 69.7 rumah
tangga di Indonesia menggunakan fasilitas tempat buang air besar milik sendiri.
151 Tabel 33 Sanitasi lingkungan rumah tangga anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total OR CI 95
Nilai ρ
Sumber air untuk keperluan rumah tangga:
Air ledengPDAMair ledeng eceranmembeli sumur borpompasumur gali terlindung 0
124 33.2 249 66.8
373 100.0 Sumur gali tak terlindungmata air tak terlindungpenampungan air
hujan 317 28.3
805 71.7 1122 100.0
1.26 0.98-1.63 0.067
Total 441 29.5
1054 70.5 1495 100.0
Jarak sumber air ke penampungan tinja terdekat: ≥ 10 meter 0
130 33.2 262 66.8
392 100.0 10 meter
96 30.2 222 69.8
318 100.0 0.870.63-1.20
0.397 Total
226 31.8 484 68.2
710 100.0
Kepemilikan fasilitas buang air besar: Milik sendiri 0
311 28.1 795 71.9
1106 100.0 Milik bersamaumumtidak ada
130 33.4 259 66.6
389 100.0 1.281.00-1.64
0.049 Total
441 29.5 1054 70.5
1495 100.0
Jenis kloset yang digunakan: Leher angsa 0
314 28.6 785 71.4
1099 100.0 Cemplungcubluk
79 33.8 155 66.2
234 100.0 1.270.94-1.72
0.114 Total
393 29.5 940 70.5
1333 100.0
Tempat pembuangan akhir tinja: Tangki septikSPAL
301 29.0 738 71.0
1039 100.0 Kolamsawahsungaidanaulubang tanahpantaitanahkebunlainnya
140 30.7 316 69.3
456 100.0 1.090.85=1.38
0.499 Total
441 29.5 1054 70.5
1495 100.0
Keterangan: Hasil Uji Chi Square ρ0.01,
ρ0.05
Kehamilan, persalinan dan pemeriksaan sesudah melahirkan ibu anak 0-23 bulan
Ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan umur kandungan ibu ketika pertama kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan
ρ0.01, umur kandungan ibu ketika terakhir kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga
kesehatan ρ0.05, dan status ibu mendapat atau membeli pil zat besi selama
mengandung ρ0.05.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang umur kandungan ibu ketika pertama kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan lebih atau sama
dengan 3 bulan lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang umur kandungan ibu ketika pertama kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan kurang dari 3
bulan berturut-turut yaitu 36.8 dan 27.9. Adapun risiko stunting anak yang umur kandungan ibu ketika pertama kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga
kesehatan lebih atau sama dengan 3 bulan 1.51 lebih tinggi dibanding anak yang umur kandungan ibu ketika pertama kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga
kesehatan kurang dari 3 bulan Tabel 34. Terdapat 82.2 ibu anak 0-23 bulan yang memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan pada trimeser pertama
kehamilannya. Hal ini sama dengan yang dilaporkan oleh Kemenkes 2010 yaitu sebanyak 81.2 ibu melakukan pemeriksaan kehamilan pertama kali pada
trimester pertama kehamilannya. Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang umur kandungan ibu ketika
terakhir kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan kurang dari 9 bulan lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang umur kandungan ibu ketika terakhir
kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan lebih atau sama dengan 9 bulan berturut-turut yaitu 36.5 dan 28.4. Adapun risiko stunting anak yang
umur kandungan ibu ketika terakhir kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan kurang dari 9 bulan lebih tinggi 1.44 lebih tinggi dibanding anak yang
umur kandungan ibu ketika terakhir kali memeriksakan kehamilan oleh tenaga kesehatan lebih atau sama dengan 9 bulan.
Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang ibunya tidak mendapat atau membeli pil zat besi selama mengandung lebih tinggi dibandingkan dengan anak
yang ibunya mendapat atau membeli pil zat besi selama mengandung berturut- turut yaitu 38.4 dan 28.7. Adapun risiko stunting anak yang ibunya tidak
mendapat atau membeli pil zat besi selama mengandung 1.55 kali lebih tinggi dibanding anak yang ibunya mendapat atau membeli pil zat besi selama
mengandung. Sebanyak 8.6 ibu anak 0-23 bulan tidak mendapat atau membeli pil zat besi selama mengandung. Persentasi tersebut lebih kecil dibanding yang
dilaporkan Kemenkes 2010 yaitu sebanyak 19.3 ibu hamil tidak minum tablet zat besi.
154 Tabel 34 Kehamilan, persalinan dan pemeriksaan sesudah melahirkan ibu anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total OR CI 95
Nilai ρ
Frekuensi ibu memeriksakan kehamilan: ≥ 4 kali 0
381 29.3 921 70.7
1302 100.0 4 kali
54 32.0 115 68.0
169 100.0 1.140.80-1.60
0.262 Total
435 29.6 1036 70.4
1471 100.0
Umur kehamilan pertama kali diperiksa: ≤ 3 bulan 0
343 27.9 886 72.1
1229 100.0 3 bulan
98 36.8 168 63.2
266 100.0 1.511.14-1.99
0.003 Total
441 29.5 1054 70.5
1495 100.0
Umur kehamilan ketika terakhir kali diperiksa: ≥ 9 bulan 0
359 28.4 903 71.6
1262 100.0 9 bulan
74 36.5 129 63.5
203 100.0 1.441.06-1.97
0.014 Total
433 29.6 1032 70.4
1465 100.0
Status immunisasi tetanus ibu: Ya 0
340 29.4 815 70.6
1155 100.0 Tidak
86 30.3 198 69.7
284 100.0 1.040.78-1.38
0.416 Total
426 29.6 1013 70.4
1439 100.0
Ibu hamil mendapat atau membeli pil zat besi: Ya 0
383 28.7 952 71.3
1335 100.0 Tidak
48 38.4 77 61.6
125 100.0 1.551.06-2.26
0.016 Total
431 29.5 1029 70.5
1460 100.0
Keterangan: Hasil Uji Chi Square ρ0.01,
ρ0.05
Karakteristik anak yang dikeluarkan dari sampel dan anak yang terpilih menjadi sampel
Rata-rata z-skor panjang badan menurut umur PBU anak 0-23 bulan yang menjadi sampel berbeda dengan anak yang dikeluarkan dari sampel.
ρ0.00. Rata-rata z-skor PBU anak yang mejadi sampel lebih besar dibandingn anak yang dikeluarkan dari sampel Tabel 35.
Tabel 35 Rata-rata z-skor PBU anak 0-23 bulan yang menjadi sampel dan anak yang dikeluarkan dari sampel berdasarkan status stunting
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Nilai
ρ
Anak yang menjadi sampel -3.50±1.10
0.30±1.91 -1.12±2.47
0.00
§
Anak yang dikeluarkan dari sampel -4.76±2.02
0.98±2.63 -1.36±3.70
Keterangan:
§
Hasil Independent t test
Karakteristik anak 0-23 bulan yang dikeluarkan dari sampel kurang baik dibanding karakteristik anak yang terpilih menjadi sampel, kecuali berat bayi
lahir. Z-skor PBU anak yang dikeluarkan dari sampel lebih rendah dibanding z-skor PBU anak yang terpilih menjadi sampel berturut yaitu -1.36±3.70 dan
-1.12±2.47. Prevalensi stunting anak laki-laki pada sampel yang dikeluarkan lebih besar dibanding anak perempuan maupun anak laki-laki yang menjadi
sampel; prevalensi stunting pada perempuan dan laki-laki pada sampel yang dikeluarkan berturut-turut yaitu 36.9 dan 44.9, adapun prevalensi stunting pada
anak perempuan dan laki-laki pada sampel yang terpilih yaitu 35.9 dan 38.7. Prevalensi stunting anak menurut kelompok umur pada sampel yang dikeluarkan
lebih tinggi dibanding anak yang terpilih menjadi sampel; prevalensi stunting masing-masing anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan yang dikeluarkan dari sampel
berturut-turut yaitu 31.4, 36.7, dan 49.1 adapun pada anak yang terpilih menjadi sampel berturut-turut yaitu 24.5, 32.8 dan 40.2. Z-skor BBU anak yang
dikeluarkan dari sampel lebih rendah dibanding z-skor BBU anak yang terpilih menjadi sampel berturut yaitu -0.99±1.76 dan -0.62±1.51. Adapun rata-rata berat
lahir anak 0-23 bulan pada sampel yang dikeluarkan lebih berat dibanding rata- rata berat lahir anak yang terpilih menjadi sampel berturut-turut yaitu 3 139.4 dan
3 097.6 g Tabel 36. Dengan demikian, hasil penelitian ini kemungkinan underestimate
.
Tabel 36 Karakteristik anak 0-23 bulan yang dikeluarkan dari sampel dan anak yang terpilih menjadi sampel berdasarkan status stunting
Peubah Stunting
Tidak Stunting
Total Jenis kelamin
Anak yang menjadi sampel Perempuan
532 35.9 951 64.1
1483 100.0 Laki-laki
624 38.7 988 61.3
1612 100.0 Total
1156 37.4 1939 62.6
3095 100.0 Anak yang dikeluarkan dari sampel
Perempuan 571 36.9
978 63.1 1549 100.0
Laki-laki 650 44.9
798 55.1 1448 100.0
Total 1221 40.7
1776 59.3 2997 100.0
Umur
Anak yang menjadi sampel 0-5 bulan
56 24.5 173 75.5
229 100.0 6-11 bulan
228 32.8 467 67.2
695 100.0 12-23 bulan
872 40.2 1299 59.8
2171 100.0 0-23 bulan
1156 37.4 1939 62.6
3095 100.0 Anak yang dikeluarkan dari sampel
0-5 bulan 236 31.4
516 68.6 752 100.0
6-11 bulan 346 36.7
597 63.3 943 100.0
12-23 bulan 639 49.1
663 50.9 1302 100.0
0-23 bulan 1221 40.7
1776 59.3 2997 100.0
Berat lahir Anak yang menjadi sampel
3 097.6±531.6 3 195.7±474.7
3 159.8±498.4
Anak yang dikeluarkan dari sampel 3 139.4±523.6
3 204.7±498.8 3 178.5±509.8
Z-skor BBU
Anak yang menjadi sampel -1.07±1.56
-0.35±1.42 -0.62±1.51
Anak yang dikeluarkan dari sampel -0.99±1.73
0.01±1.67 -0.99±1.76
Sebanyak 53.3 anak 0-23 bulan yang menjadi sampel dalam Riskesdas 2010 dikeluarkan dalam penelitian ini. Sampel yang dikeluarkan paling banyak
berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Banten, dan DKI Jakarta berturut-turut yaitu sebanyak 9.0, 5.3, 4.0, 3.9, 2.4, dan 2.1 Tabel
37. Tabel 37 Persentase sampel yang dikeluarkan dan sampel yang terpilih
menurut propinsi
Propinsi Sampel yang
dikeluarkan Sampel terpilih
Jumlah Nanggroe Aceh Darussalam
82 1.2 82 1.2
164 2.5 Sumatera Utara
268 4.0 131 2.0
399 6.0 Sumatera Barat
100 1.5 76 1.1
176 2.7 Riau
105 1.6 116 1.7
221 3.3 Jambi
77 1.2 56 0.8
133 2.0 Sumatera Selatan
105 1.6 103 1.6
208 3.1 Bengkulu
39 0.6 39 0.6
78 1.2 Lampung
94 1.4 90 1.4
184 2.8 Bangka Belitung
35 0.5 39 0.6
74 1.1 Kepulauan Riau
42 0.6 49 0.7
91 1.4 DKI Jakarta
138 2.1 85 1.3
223 3.4 Jawa Barat
596 9.0 562 8.5
1 158 17.5 Jawa Tengah
257 3.9 291 4.4
548 8.3 DI Yogyakarta
38 0.6 35 0.5
73 1.1 Jawa Timur
349 5.3 247 3.7
596 9.0 Banten
160 2.4 150 2.3
310 4.7 Bali
60 0.9 40 0.6
100 1.5 Nusa Tenggara Timur
107 1.6 90 1.4
197 3.0 Nusa Tenggara Timur
100 1.5 78 1.2
178 2.7 Kalimantan Barat
64 1.0 73 1.1
137 2.1 Kalimantan Tengah
58 0.9 43 0.6
101 1.5 Kalimantan Selatan
71 1.1 84 1.3
155 2.3 Kalimantan Timur
65 1.0 72 1.1
137 2.1 Sulawesi Utara
34 0.5 22 0.3
56 0.8 Sulawesi Tengah
49 0.7 57 0.9
106 1.6 Sulawesi Selatan
111 1.7 112 1.7
223 3.4 Sulawesi Tenggara
59 0.9 50 0.8
109 1.6 Gorontalo
46 0.7 29 0.4
75 1.1 Sulawesi Barat
37 0.6 37 0.6
74 1.1 Maluku
36 0.5 26 0.4
62 0.9 Maluku Utara
37 0.6 31 0.5
68 1.0 Papua Barat
62 0.9 43 0.6
105 1.6 Papua
58 0.9 57 0.9
115 1.7 Total
3 539 53.3 3 095 46.7
6 634 100.0
Sebanyak 40.7 anak 0-23 bulan yang menjadi sampel dalam Riskesdas 2010 yang dikeluarkan dalam penelitian ini merupakan anak stunting. Sampel
stunting yang dikeluarkan paling banyak berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur,
Sumatera Utara, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Banten berturut-turut yaitu sebanyak 5.8, 4.0, 3.6, 2.9, 1.8, dan 1.6 Tabel 38.
Tabel 38 Persentase sampel yang dikeluarkan menurut status stunting
Propinsi Stunting
Tidak stunting Jumlah
Nanggroe Aceh Darussalam 24 0.8
32 1.1 56 1.9
Sumatera Utara 109 3.6
114 3.8 223 7.4
Sumatera Barat 26 0.9
61 2.0 87 2.9
Riau 34 1.1
66 2.2 100 3.3
Jambi 32 1.1
35 1.2 67 2.2
Sumatera Selatan 44 1.5
53 1.8 97 3.2
Bengkulu 12 0.4
18 0.6 30 1.0
Lampung 32 1.1
55 1.8 87 2.9
Bangka Belitung 10 0.3
21 0.7 31 1.0
Kepulauan Riau 12 0.4
26 0.9 38 1.3
DKI Jakarta 45 1.5
53 1.8 98 3.3
Jawa Barat 175 5.8
301 10.0 476 15.9
Jawa Tengah 88 2.9
138 4.6 226 7.5
DI Yogyakarta 12 0.4
24 0.8 36 1.2
Jawa Timur 121 4.0
170 5.7 291 9.7
Banten 49 1.6
86 2.9 135 4.5
Bali 27 0.9
31 1.0 58 1.9
Nusa Tenggara Timur 53 1.8
42 1.4 95 3.2
Nusa Tenggara Timur 44 1.5
52 1.7 96 3.2
Kalimantan Barat 19 0.6
28 0.9 47 1.6
Kalimantan Tengah 22 0.7
30 1.0 52 1.7
Kalimantan Selatan 22 0.7
44 1.5 66 2.2
Kalimantan Timur 17 0.6
34 1.1 51 1.7
Sulawesi Utara 11 0.4
18 0.6 29 1.0
Sulawesi Tengah 19 0.6
26 0.9 45 1.5
Sulawesi Selatan 25 0.8
64 2.1 89 3.0
Sulawesi Tenggara 22 0.7
33 1.1 55 1.8
Gorontalo 23 0.8
20 0.7 43 1.4
Sulawesi Barat 17 0.6
8 0.3 25 0.8
Maluku 13 0.4
15 0.5 28 0.9
Maluku Utara 17 0.6
19 0.6 36 1.2
Papua Barat 28 0.9
27 0.9 55 1.8
Papua 17 0.6
32 1.1 49 1.6
Total 1 221 40.7
1 776 59.3 2 997 100.0
Keterangan: sampel yang dikeluarkan = 3 539, sampel yang dikeluarkan yang ada data TBU = 2 997, sampel yang dikeluarkan yang tidak ada data TBU = 542
Keterbatasan penelitian
Penelitian ini melengkapi laporan Riset Kesehatan Dasar Riskesdas Nasional 2010 oleh Kemenkes 2010 bagian konsumsi pangan anak 0-23 bulan.
Riskesdas 2010 tidak mengolah data konsumsi pangan anak 0-23 bulan dengan alasan pada umur tersebut bayi atau anak masih mengonsumsi air susu ibu ASI
sedangkan konsumsi energi dan zat gizi makro dari ASI sulit diperhitungkan. Penelitian ini mengolah dan menganalisi data konsumsi pangan untuk kelompok
umur tersebut sehingga diperoleh pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting dan tidak stunting serta menjadikan asupan energi dan zat gizi
sebagai salah satu faktor dalam faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan. Peubah-peubah dalam penelitian ini merupakan peubah-peubah yang
terkait dengan pertumbuhan linier anak 0-23 bulan pada data Riskesdas 2007 dan 2010; namun data Riskesdas 2007 tidak diolah lebih lanjut karena setelah data di-
cleaning tidak ada sampel yang mewakili untuk kelompok umur 12-23 bulan, dan
data food recall tidak meliputi konsumsi ASI. Jumlah sampel Riskesdas 2010 dirancang untuk dapat mewakili Indonesia
dan untuk beberapa peubah dirancang untuk dapat mewakili propinsi. Namun dalam penelitian ini, hanya separuh dari sampel penelitian Riskesdas tersebut
yang dapat digunakan dalam analisis. Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan, sehingga anak yang menjadi sampel
sebanyak 3 095 anak. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini tidak bisa menggambarkan pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting
dan tidak stunting per propinsi karena jumlah sampel yang relatif kecil kurang dari 150 anak per propinsi sehingga tidak representatif untuk level propinsi.
Pola konsumsi pangan anak meliputi tiga aspek yaitu jeniskelompok konsumsi pangan, frekuensi konsumsi pangan, dan jumlah konsumsi pangan.
Data frekuensi konsumsi pangan tidak dikumpulkan dalam data Riskesdas 2010. Oleh karena itu dalam penelitian ini didekati dari frekuensi konsumsi makan anak
dalam satu hari. Ada keterbatasan jenis pangan atau makanan yang ada dalam Daftar
Komposisi Bahan Makanan DKBM Indonesia DKBM Indonesia berisi sebagian dari jenis pangan yang ada di Indonesia sehingga dalam penelitian ini
masih menggunakan pendekatan dengan jenis pangan yang terdekat yang ada di dalam DKBM tersebut. Oleh karena itu disarankan untuk melengkapi DKBM
dengan jenis pangan yang belum ada di dalamnya antara lain yaitu unti-unti. Selain itu, jumlah jenis zat gizi yang ada di alam DKBM Indonesia masih terbatas
misalnya data kandungan seng dalam makanan masih terbatas pada beberapa jenis pangan.
Infeksipenyakit anak 0-23 bulan yang diduga terkait dengan stunting yaitu infeksi saluran pernafasan akut, diare, disentri dan demam. Adapun data penyakit
dalam Riskedas 2010 terbatas pada penyakit TBC dan malaria. Sehingga, faktor penyebab langsung determinan stunting selain konsumsi pangan tidak dapat
dijelaskan dalam penelitian ini. Disain penelitian ini yaitu cross-sectional. Kelemahan disain tersebut
yaitu terkait dengan time restriction untuk generralisasi terbatas.
BAB 9
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan yaitu umur anak, berat lahir anak, berat anak, densitas asupan protein anak, tinggi badan ibu, dan status
ekonomi rumah tangga. Risiko stunting anak 6-11 bulan dan anak 12-23 bulan masing-masing 1.59 kali dan 2.18 kali lebih tinggi dibanding anak 0-5 bulan.
Risiko stunting anak yang dilahirkan dengan berat bayi lahir rendah BBLR adalah 1.81 kali lebih tinggi dibanding anak lahir dengan berat badan normal.
Anak yang underweight berpeluang stunting 3.07 kali. Risiko stunting anak yang lahir dari ibu yang pendek 145 cm 1.57 kali dibanding anak yang lahir dari ibu
yang tidak pendek. Risiko stunting anak yang status ekonomi rumah tangganya rendah kuintil 1 dan 2 1.26 kali dibanding anak yang status ekonomi rumah
tangganya menengah ke atas kuintil 3, 4 dan 5. Risiko stunting
Tidak ada perbedaan pola konsumsi pangan anak stunting dan anak tidak stunting
0-23 bulan. Namun demikian, pada anak 12-23 bulan ada perbedaan rata-rata jumlah jenis pangan yang dikonsumsi anak stunting dan anak tidak
stunting ; tetapi tidak ada perbedaan rata-rata jumlah kelompok pangan yang
dikonsumsi dan frekuensi makan anak stunting dan anak tidak stunting pada kelompok umur tersebut. Rata-rata jumlah jenis pangan yang dikonsumi anak
stunting dan anak tidak stunting 12-23 bulan berturut turut 4.4±1.9 dan 4.6±2.0
jenis pangan per hari. anak yang
densitas asupan proteinnya kurang dari 20 g per 1 000 kkal 1.32 kali anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal. Tidak ditemukan faktor
risiko stunting anak 0-5 bulan dalam penelitian ini. Adapun faktor risiko stunting anak 6-11 bulan yaitu berat lahir anak, berat badan anak, dan densitas asupan
protein anak; dan faktor risiko stunting anak 12-23 bulan yaitu berat lahir anak, berat badan anak, tinggi badan ibu, dan status ekonomi rumah tangga.
Ada perbedaan rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1 vitamin C anak
stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan; namun demikian tidak ada perbedaan
rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan zat gizi makro energi protein anak stunting dan anak tidak stunting pada kelompok umur tersebut.
Pada anak 0-5 bulan, tidak ada perbedaan tingkat kecukupan maupun densitas
asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting. Pada anak 6-11 bulan, ada perbedaan rata-rata tingkat kecukupan protein anak stunting dan anak
tidak stunting, demikian pula densitas asupan protein mereka. Pada anak 12-23 bulan, ada perbedaan rata-rata tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan dan
densitas asupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan densitas asupan kalsium, tingkat kecukupan fosfor, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan
vitamin C, mutu gizi konsumsi pangan anak stunting dan tidak stunting.
Saran
Mempertimbangkan faktor-faktor risiko stunting berdasarkan hasil penelitian ini, pencegahan stunting anak 0-23 bulan perlu dilakukan dengan
meningkatkan kesehatan dan gizi ibu hamil, kualitas makanan anak, dan pendapatan rumah tangga berpenghasilan rendah. Memperhatikan rendahnya
densitas asupan protein dan asupan zat gizi mikro pada anak 0-23 bulan, maka upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas makanan anak dapat dilakukan melalui
peningkatan konsumsi pangan hewani, sayur dan buah disertai dengan pendidikan gizi. Pada anak 0-5 bulan, pemberian ASI eksklusif perlu dilakukan dan tetap
memeberikan ASI sampai anak berusia 2 tahun. Pada anak 6-11 bulan, kualitas MP-ASI perlu ditingkatkan terutama dengan meningkatkan pemberian pangan
sumber protein. Pada anak 12-23 bulan, tidak hanya dengan meningkatkan pemberian pangan sumber protein, namun kualitas MP-ASI juga perlu
ditingkatktan dengan meningkatkan pemberian pangan sumber energi, vitamin dan mineral.
Mengingat data konsumsi pangan anak 0-23 bulan dalam Riskesdas 2010 banyak yang tidak dapat dipakai dalam analisis 2 448 dari 6 634 data anak
dikeluarkan yang dikumpulkan dan dientri oleh minimal lulusan D3 Kesehatan, maka pada Riskesdas tahun yang akan datang disarankan agar data dikumpulkan
dan dientri oleh minimal lulusan D3 Gizi. Karena biaya pengumpulan dan entri Alternatif lain untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas makanan
anak 0-23 bulan yaitu melalui fortifikasi multivitaminmineral. Terkait dengan fortifikasi, saat ini sudah ada MP-ASI yang difortifikasi dan bubuk tabur gizi
Taburia, namun belum ditujukan untuk mengatasi stunting. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian formulasi dan uji klinis fortifikan untuk mencegah dan
mengurangi prevalensi stunting.
data menggunakan tenaga ahli tersebut relatif mahal, maka disarankan pengambilan data dilakukan secara sub sampel. Selain itu, pengawasan terhadap
tenaga pengumpul dan pengentri data perlu ditingkatkan agar data yang dikumpulkan dan dientri lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Academy for Educational Development of Africa. 2004. Guidelines for Appropriate Complementary Feeding of Breastfed Children 6–24 Months
of Age. Washington DC: Bureau for Global Health of the United States
Agency for International Development USAID. Alive and Thrive. 2010. Why stunting matters. Insight Issue 2
nd
: September. USA: Aliveandthrive. http:www.aliveandthrive.org
Almatsier S. 2005. Penun [28 Agustus 2011].
tun Diet. Gramedia Pustaka Amilia L. 2011. Analisis asupan air dan mutu gizi asupan pangan pada anak di
Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Utama. Jakarta.
Anderson JJB. 2004. Mineral. In Mahan K and Stump SE Eds., Food, Nutrition and Diet Therapy 11
th
Angeles IT, WJ Schultink, P Matulessi, R Gross, and S Sastroamidjojo. 1993. Decreased rate of stunting among anemic Indonesian preschool children
through iron supplementation. Am J Clin Nutr 2:58:339-42. eds. Pennsilvania: Saunders.
Anton H, Castro T and Paramastri I. 2005. The Relationship between Complementary Breastfeeding Pattern and the Growth and Development
of Gross Motoric Movement of Infants Aging 6-12 Months at Bermani Ulu Sub-district, Rejang Lebong District. Health Sains 4:18:467-77.
Anwar F. 2002. Model pengasuhan anak bawah dua tahun dalam meningkatkan status gizi dan perkembangan psikososial [disertasi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor. Attwood CR. 2003. Milk, calcium and bone density. http:www.msu.
edu~mikevhmvhhomemilk.htm [17 Oktober 2011]. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Kerangkan
Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan 1000 HPK
. Jakarta: Bappenas. Bhadam J, Sweet L. 2010. Stunting: An overview. Sight and Life Magazine:
3:40-47 Bhandari N, Bahl R, Nayyar B, Khokhar P, Rohde JE, Bhan MK. 2001. Food
supplementation with encouragement to feed it to infants from 4 to 12 months of age has a small impact on weight gain. Am. J. Nut 1:1946-
1961.
Bhutta ZA, Ahmed TA, Black RE, Cousens S, Dewey K, Giugliani E, Haider BA, Kirkwood B, Morris SS, Sachdev HPS, Shekar M. 2008. What works?
Interventions for maternal and child undernutrition and survival. Lancet. Vol 371: 371: 417–40.
Blössner M, Siyam A, Borghi E, Onyango A, Onis M. 2009. WHO AnthroPlus for Personal Computers Manual
. Geneva: WHO.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2006. Poverty Level in Indonesia in 2005-2006. www.ypr.or.id. [2 September 2008]
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2010. Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2009.
Jakarta: BPS. Broto R. 2004. Clinical Manifestations and Management of Osteoporosis. Dexa
Media 217:47-57.
Cowin SC, Raton B. 2001. Bone Mechanics Handbook 2
nd
edition . Boca
Raton Departemen Kesehatan RI. 2001. Buku Panduan Manajemen Laktasi. Jakarta:
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. : CRC Press.
Departemen Kesehatan. 2009. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Japan International Cooperation Agency
JICA. Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density
score. Am J Clin Nutr 79:6-16.
Eastwood M. 2003. Principles of Human Nutrition. 2
nd
edition Ehrlich SD
. Malden UK: Blackwell Publishing.
Fahmida U, Wibowo Y, Ariawan I. 2008. Biostatistics 2: Intermediate Biostatistics for Nutrition and Health Research
. Jakarta: South East Asian Ministers of Education Organization, Tropical Medicine and Public Health
Regional Center for Community Nutrition SEAMEO-TROPMED RCCN University of Indonesia.
. 2010. Vitamin D. Baltimore: University of Maryland Medical Center UMMC.
Fatmah. 2008. Model Prediksi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa berdasarkan Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan Tinggi Duduk [disertasi]. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Frongillo EA. 1999. Symposium: causes and etiology of stunting. Nutr 129:
529S–530S. Groff J.L. and Gropper S.S. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism.
United State: Wadsworth Thomson Leaming: 526 - 53 1. Guldan GS, HC Fan, X Ma, ZZ Ni and MZ Tang. 2000. Culturally Appropriate
Nutrition Education Improves Infant Feeding and Growth in Rural Sichuan, China. J. Nutr. 130: 1204-1211.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Medical Physiology. Setiawan I, Tengadi, dan Santoso A translator
Hansen RG, Wyse BW. 1980. Expression of nutrient allowances per 1000 kilocalories. J Am Diet Assoc 76:223-7.
. Jakarta:.EGC.
Hardinsyah dan Martianto D. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Makanan. Jakarta: Wirasari.
Hardinsyah dan Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pagan dan Gizi. IPB.
Hardinsyah dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah. 2001. Mutu gizi dan konsumsi pangan. Di dalam: Hardinsyah,
Atmojo SM, editor. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta: Pergizi Pangan.
Hardinsyah, Damayanti E dan Zulianti W. 2008. Hubungan Konsumsi Susu dan Kalsium dengan Densitas Tulang dan Tinggi Badan Remaja. Jurnal Gizi
dan Pangan: 31:43-48. Hayati AW, Hardinsyah, Jalal F, Madanijah S, Briawan D in press. Determinan
Stunting Anak Baduta: Analisis Data Riskesdas 2010. Di dalam: Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi
Pemantapan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal.
Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X. 2012. Jakarta, 20-21 Nopember 2012. Jakarta: LIPI,
Bappenas, Kementan, Kemenkes, Badan POM, Ristek. Hayati, AW. 2009. Buku Saku Gizi Bayi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hoppe C, Mølgaard C, and Michaelsen KF. 2006. Cows Milk and Linear Growth
in Industrialized and Developing Countries. Annual Review of Nutrition 26: 131-173.
[IOM] Institute of Medicine. 1997. Dieatary Reference Intakes for Calcium, Phosphorus, Magnesium, Vitamin D, Fluoride
. National Academy Press. Washington.
Jahari AB, I Sumarmo, A Irawati and TS Hidayat. 2008. The effectiveness of multiple micronutrients fortificant MMF on growth and haemoglobin
concentration among underfives of poor families in North Jakarta. Center for Research and Development in Food and Nutrition National Institute
for Health Research and Development Ministry of Health. Ministry of Health. Bogor.
Jahari AB. 2009. Growth Curve of Healthy Children from Wealthy Families: How Close to WHO Child Growth Standard 2005?
Bogor: Center for Research and Development in Food and Nutrition National Institute for
Health Research and Development, Ministry of Health of RI. Jahari AB, Santi D. 2009. Penggunaan Standar Antropometri WHO-2005 untuk
Pemantauan Pertumbuhan dan Konseling . Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gizi dan Makanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Jalil F, J Kalberg, LA Hanson, SR Kahn, M Yaqoob. 1993. Early child health in Lahore, Pakistan. I Study design Acta Paediatr Scand 390 Supl: 44-45.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2008. Survey Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2010. Survey Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes.
Kosnayani AS. 2007. Hubungan Asupan Kalsium, Aktivitas Fisik, Paritas, Indeks Massa Tubuh dan Kepadatan Tulang pada Wanita Pascamenopause
[Tesis]. Program Studi Gizi Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Kusharisupeni. 2006. Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah studi prospektif. J Kedokter Trisakti 233:73-80.
Lartey A, A Manu, KH Brown, JM Peerson, KG Dewey. 1999. A randomized community based trial of the effect of improved centrally processed
complementary food on growth and micronutrient status of Ghananian infants from 6 to 12 month of age. Am J Clin Nutr 70: 391-404.
Lutter CK, Dewey KG. Proposed nutrient composition for complementary foods. Nutrient composition for fortified complementary foods. American
Society for Nutritional Sciences. 2003: 3011S-3020S. Mahan K, Escott-Stump. 2008. Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B.
Saunders Company. Mahmud MK, Hermana, Zulfianto NA, Apriyantotono RR, Ngadiarti I, Hartati B,
Bernadus, Tinexcelly. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia TKPI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Martini, FH. 2006. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 7
th
Medes. 2005. ed. San
Francisco: Pearson Education Inc. http:www.medes.frhome_frapplications_santeosteoporoseeri-
stoosteoporo-sisBoneRemodeling.html [6
th
Nasution A. 2003. Influence of multinutrient supplementation on pregnant moman on breast milk quality with special interest on zinc Zn
[dissertation]. Bogor: Postgraduate Program, Bogor Agriculture University.
October 2010].
Neilson J. 1995. Cara Menyusui yang Baik. Jakarta: Arcan.
Nestle Indonesia. 2005. Biskuit Bayi. Arnott”s Indonesia. Jakarta Nielsen SP. 2000. The Fallacy of BMD: ACritical Review of the Diagnostic Use
of Dal X-Ray Absorptiometry. Clin Rheumatol: 19;174-183. Nurlinda A. 2010. Optimalisasi konsumsi pangan bagi rumahtangga miskin
berdasarkan kecukupan gizi, kebiasaan pangan dan pendapatan. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rack B, Lochmüller E-M, Janni W, Lipowsky G, Engelsberger I, Friese K and Küster H. 2011. Ultrasound for the assessment of bone quality in preterm
and term infants. Journal of Perinatology.
Rahayu. 2012. Hubungan tinggi badan orang tua dengan perubahan status stunting
dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4 tahun [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Remans R, Pronyk PM, Fanzo JC, Chen J, Palm CA, Nemser B, Muniz M, Radunsky A, Abay AH, Coulibaly M, Mensah-Homiah J, Wagah M, An
X, Mwaura C, Quintana E, Somers MA, Sanchez PA, Sachs SE, McArthur JW, and Sach JD. 2011. Multisector intervention to accelerate
reductions in child stunting: an observational study from 9 sub-Saharan African countries. Am J Clin Nutr doi: 10.3945ajcn.111.020099: 1-11.
Robins SP. 1994. Biochemical markers for assessing skeletal growth. European Journal of Clinical Nutrition. 48:S199-S209.
Ruel MT. 2008. Addressing the underlying determinants of undernutrition: Examples of successful integration of nutrition in poverty-reduction and
agriculture strategies. SCN News 36:21-29. Satoto. 1990. Infant growth and development [dissertation]. Semarang:
Posgraduate Porgram, Diponegoro University. Schmidt MK, Muslimatun S, West CE, Schultink W, Gross R, Hautvast JGAJ.
2002. Nutritional status and linear growth of Indonesian infants in West Java are determined more by prenatal environment than by postnatal
factors. J Nut 132:2202-2207.
Shekar M. 2011. Repositioning Nutrition as Central to Development: A Strategy for Large-Scale Action
. Washington D.C: World Bank. Shroff M and Pai B. 2000. Osteoporosis, the Battle againts Brittel Bones.
Jewings Magazine India: 78 – 82.
Simondon KB, Gartner A, Berger J, Cornii A, Massamba J, Miguel JS, Ly C, Missotte I, Sisimondon F, Traissac P, Delpeuch F, Maire B. 1996. Effect
of early, short-term supplementation on weight and linear growth of 4-7- mo-old infants in developing countries: a four-country randomized trial.
Am J Clin Nutr
64:537-45. Specker BL, Lichtenstein P, Mimouni F, Gormley C. 1986. Calcium regulating
hormones and minerals from birth to 18 months of age: A cross-sectional study. II. effects of sex, race, age, season, and diet on serum minerals,
parathyroid hormone, and calcitonin. Pediatrics 776: 891-896.
Specker BL. 2004. Nutrition influences bone development from infancy through toddler years. Am Nutr 134:691S-695S.
Soekirman. 27 Juni 2012. Kurang gizi, anak bertubuh pendek. Suara Pembaharuan
: 1 kolom 1-3. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Suryono. 2007. Pengaruh Pemberian Susu Berkalsium Tinggi terhadap Kadar
Kalsium Darah dan Kepadatan Tulang Remaja Pria [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Thaha R. 14 Januari 2012. RI to face ’lost generation’. The Jakarta Post: 1 colomn 1-2.
The National Academy Science. 2002. Dietary Reference Intakes. Institute of Medicine of The National Academies. Washington, D.C.
Thu BD, Schulthink W, Dillon D, Gross R, Leswara ND, and Khoi HH. 1999. Effect of daily and weekly micronutrient supplementation on
micronutrient deficiencies and growth in young Vietnamese children. American Journal of Clinical Nutrition 69: 80-86.
Trumbo P, Yates A, Schlicker S, Poos M, 2001. Dietary reference intakes: vitamin A, vitamin K, arsenic, boron, chromium, cooper, iodine, iron,
manganese, molybdenum, nickel, silicon, vanadium, and zinc. J Am Diet Assoc
101:294-301. Trumbo P, Schlicker S, Yates A. 2002. Dietary reference intakes for energy,
carbohydrate, fiber, fat, fatty acids, cholesterol, protein, and amino acids. J Am Diet Assoc
102:1621-30. [UN] United Nation. 2010. The UKs Position Paper on Undernutrition. London:
UN. [UNICEF] United Nations Children‘s Fund. 1990. Strategy for Improved
Nutrition of Children and Women in Developing Countries. New York:
UNICEF. [UNICEF] United Nations Children‘s Fund, [WFP] World Food Programme,
[WHO] World Health Organization. Asia-Pacific Regional Workshop on The Reduction of Stunting through Improvement of Complementary
Feeding and Maternal Nutrition. Bangkok, 25-27 March 2010.
Ulfani DH, Martianto D, Baliwati YF. 2011. Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight,
stunted, dan wasted di Indonesia: Pendekatan ekologi gizi. Jurnal gizi dan pangan
61:59–65. Vaughan, Zumrawi, Waterlow and Kirkwood. 1981. An evaluation of dried
skimmed milk on children’s growth in Khartoum Province, Sudan. Nutrition Research 33: 243-252.
Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter RL, Sachdev HS, The Maternal and Child Undernutrition Study Group. 2008. Maternal
and child undernutrition: consequences for adult health and human capital
. http:www.thelancet.com [26 Januari 2012]. Volek JS. 2003. Increasing fluid milk favorably affect bone mineral density
responses to resistance training in adolescent boys. J Am Diet Assoc 103:1353-1356.
Wahdah S. 2012. Faktor risiko kejadian stunting pada anak umur 6-36 bulan di wilayah pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu,
Kalimmantan Barat [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Walker SP, CA Powell, SM Grantham-McGregor, JH Himes and SM Chang. 1991. Nutritional supplementation, psychosocial stimulation, and
growth of stunted children: the Jamaican study. American Journal of
Waterlow JC and Schürch B. 1994. Causes and mechanisms of linear growth retardation. European journal of clinical nutrition 48:S1-S216.
Winarno FG. 1990. Gizi dan Makanan bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta: Sinar Harapan.
[WHO] World Health Organization. 1991. Energy and protein requirements. Geneva: WHO.
[WHO] World Health Organization. 1998. Preparation and Use of Food Based Dietary Guidelines
. Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 2001. Improving Child Growth. Geneva:
WHO page 23-41. [WHO] World Health Organization. 2005. Guiding Principles for Feeding Non-
breastfed Children 6-24 Month of Age. Geneva, Switzerland: Department of Child and Adolescent Health and Development CAH World Health
Organization.
[WHO] World Health Organization. 2006. Clinical Nutrition 54, 642-648.
Waterlow JC. 1994. Summary of causes and mechanisms of linear growth retardation. European journal of clinical nutrition 48:S210.
Table of standard anthropometry WHO-2005
. Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 2010. Child Growth Indicators and Their
Interpretation . Geneva: WHO.
WHO
[WHOSIS] , Food and Agriculture Organization of the United Nation. 2004. Vitamin
and Mineral Requirements and Human Nutrition . Rome, Italy: United
Nation. WHO Statistical Information System. 2006. Includes data from World
Health Statistics 2006’ and ‘The World Health Report 2006 Edition’. World Health Organization. http:www.who.inten. Accessed 11206.
[WNPG] Widyakarya Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi. Jakarta, 17-19 Mei 2004.
Wiryo, H. 2000. Peningkatan Gizi Bayi, Anak, Ibu Hamil dan Menyusui dengan Bahan Makanan Lokal. Sagung Seto. Jakarta.
Yuliana. 2002. Pengaruh Penyuluhan Gizi dan Stimulasi Psikososial terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah [disertasi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
170 Lampiran 1 Rencana intervensi spesifik Gerakan 1 000 HPK
No. Kegiatan
No. Kegiatan
1 Meningkatkan konsumsi pangan
sehari-hari melalui perbaikan pendapatan keluarga dan pendidikan
gizi seimbang 7
Peningkatan Pemberantasan malaria di daerah endemik harus menjadi
prioritas
2 Melanjutkan suplemen tablet besi-
folat dengan perencanaan dan pengawasan yang lebih baik
8 Sosialisasi yang luas kepada
masyarakat tentang PP 33, 2012 sehingga masyarakat dapat ikut
berperan dalam pelaksanaannya
3 Bagi ibu hamil yang kurus diukur
dengan lingkar lengan diberikan bantuan suplemen pangan sumber
energi, dan protein, yang diusahakan menggunakan bahan pangan yang
sudah difortifikasi seperti garam yodium, tepung terigu zat besi,
seng, asam folat dan vitamin B1 dan B2, dan minyak goreng vitamin A
9 Melakukan evaluasi efektivitas atas
berbagai MP-ASI yang beredar di masyarakat baik yang dilaksanakan
oleh pemerintah, LSM, maupun oleh industri pangan
4 Intensifkan pendidikan atau KIE gizi
sehingga setiap ibu hamil memahami pentingnya tablet besi-folat dan
merasa membutuhkan untuk kesehatannya
10 Memberi prioritas pada
pengembangan MP-ASI lokal untuk anak-anak masyarakat miskin
5 Menerbitkan Peraturan Daerah
tentang peredaran garam beryodium agar sasaran cakupan rumah tangga
yang mengonsumsi garam beryodium yang memenuhi syarat dapat
meningkat 11
Pendidikan gizi tentang ASI Eksklusif perlu disertai pendidikan
tentang MP-ASI
6 Pemberian pil besi pada ibu hamil di
daerah endemik malaria harus dilakukan secara berhati-hati
12 Melakukan penelitian pengetahuan,
sikap dan perilaku KAP tentang MP-ASI di berbagai kelompok sosial
masyarakat
Sumber: Bappenas 2012
182 Lampiran 4 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 0-5 bulan
Jenis Pangan Jumlah anak yang mengkonsumsi n,
Jumlah yang dikonsumsi g per kali makan Frekeunsi konsumsi kali per hari
Stunting Tidak stunting
Total Stunting
Tidak stunting Total
Stunting Tidak stunting
Total Susu ibu ASI
51 24.4 158 75.6
209 100.0 127.9±157.2
150.5±180.1 144.3±174.3
4.6±3.5 3.9±3.5
4.1±3.5 Tepung susu
7 35.0 13 65.0
20 100.0 17.5±7.5
17.5±9.4 17.5±29.3
1.4±0.5 1.6±0.9
1.6±0.8 Susu kental manis
2 100.0 2 100.0
45.0±0.0 45.0±0.0
2.0±1.4 2.0±1.4
Keterangan:
Jenis Pangan
rata-rata ± standar deviasi SD
Lampiran 5 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 6-11 bulan
Jumlah anak yang mengkonsumsi n, Jumlah yang dikonsumsi g per kali makan
Frekeunsi konsumsi kali per hari Stunting
Tidak stunting Total
Stunting Tidak stunting
Total Stunting
Tidak stunting Total
Susu ibu ASI 87 34.8
163 65.2 250 100.0
143.7±148.0 141.7±155.1 142.4±152.6
3.4±2.2 3.5±2.2
3.5±2.2 Tepung susu
70 31.4 153 68.6
223 100.0 18.5±7.6
19.7±8.4 19.3±8.2
2.6±1.0 2.6±1.1
2.6±1.1 Telur ayam
9 31.0 20 69.0
29 100.0 37.3±18.4
50.4±18.6 46.0±19.4
1.6±0.7 1.4±0.6
1.4±0.6 Telur ayam, ceplok
8 28.6 20 71.4
28 100.0 43.9±13.2
44.2±16.9 44.1±25.0
1.1±0.4 1.3±0.6
1.2±0.5 Ikan asin, gabus goreng
4 16.0 21 84.0
25 100.0 29.2±13.1
35.5±16.3 34.6±29.6
1.3±0.5 1.5±0.7
1.4±0.9 Ayam
5 22.7 17 77.3
22 100.0 57.8±15.3
51.5±24.6 52.9±22.8
1.6±0.5 1.6±0.7
1.6±0.7 Bakso
8 44.4 10 55.6
18 100.0 37.8±19.2
40.0±14.1 39.0±16.1
1.1±0.4 1.2±0.4
1.2±0.4 Susu kental manis
7 41.2 10 58.8
17 100.0 45.0±0.0
36.9±12.4 40.9±9.7
2.4±1.3 1.8±1.3
2.1±1.3 Telur ayam, dadar
2 16.7 10 83.3
12 100.0 50.0±0.0
40.5±13.3 42.5±12.4
1.5±0.7 1.1±0.3
1.2±0.4 Ikan segar
1 12.5 7 87.5
8 100.0 25.0±0.0
35.8±18.7 34.0±17.4
3.0±0.0 2.1±0.9
2.3±0.9 Abon
3 60.0 2 40.0
5 100.0 15.0±5.8
20.0±14.1 16.7±8.2
1.3±0.6 1.0±0.0
1.2±0.4 Kembung
2 40.0 3 60.0
5 100.0 31.3±12.5
62.5±22.4 50.0±35.8
2.0±1.4 2.0±0.0
2.0±0.7 Mujair, segar
1 20.0 4 80.0
5 100.0 25.0±0.0
46.5±15.3 44.4±16.0
1.0±0.0 2.3±1.0
2.0±1.0 Susu sapi
2 40.0 3 60.0
5 100.0 150±127.3
52.5±36.9 85±81.2
1.0±0.0 1.3±0.6
1.2±0.4 Ikan asin, kering
3 100.0 3 100.0
22.0±6.2 22.0±6.2
2.0±1.0 2.0±1.0
Udang, segar 1 933.3
2 66.7 3 100.0
14.7±0.0 23.9±3.7
20.0±5.6 3.0±0.0
2.0±1.4 2.3±1.2
Keterangan: rata-rata ± standar deviasi SD
183 Lampiran 5 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 6-11 bulan lanjutan
Jenis Pangan Jumlah anak yang mengkonsumsi n,
Jumlah yang dikonsumsi g per kali makan Frekeunsi konsumsi kali per hari
Stunting Tidak stunting
Total Stunting
Tidak stunting Total
Stunting Tidak stunting Total
Bandeng 2 100.0
2 100.0 37.5±0.0
37.5±0.0 1.5±0.7
1.5±0.7 Daging sapi
2 100.0 2 100.0
27.5±5.0 27.5±5.8
2.0±1.4 2.0±1.4
Layang 2 100.0
2 100.0 37.5±0.0
37.5±0.0 2.0±0.0
2.0±0.0 Soto dengan daging
1 50.0 1 50.0
2 100.0 25.0±0.0
150.0±0.0 108.3±72.2
1.0±0.0 2.0±0.0
1.5±0.7 Telur ayam, bagian kuning
1 50.0 1 50.0
2 100.0 25.0±0.0
25.0±0.0 25±0.0
1.0±0.0 2.0±0.0
1.5±0.7 Bawal
1 100.0 1 100.0
25.0±0.0 25.0±0.0
1.0±0.0 1.0±0.0
Cue selar kuning 1 100.0
1 100.0 33.3±0.0
33.3±0.0 1.0±0.0
1.0±0.0 Daging babi gemuk
1 100.0 1 100.0
20.0±0.0 20.0±0.0
2.0±0.0 2.0±0.0
Daging kerbau 1 100.0
1 100.0 25.0±0.0
25.0±0.0 1.0±0.0
1.0±0.0 Es cream coconut milk
1 100.0 1 100.0
30.0±0.0 30.0±0.0
1.0±0.0 1.0±0.0
Es mambo 1 100.0
1 100.0 30.0±0.0
30.0±0.0 1.0±0.0
1.0±0.0 Ikan asin teri goreng
1 100.0 1 100.0
10.0±0.0 10.0±0.0
2.0±0.0 2.0±0.0
Ikan mas 1 100.0
1 100.0 37.5±0.0
37.5±0.0 1.0±0.0
1.0±0.0 Ikan mas, goring
1 100.0 1 100.0
25.0±0.0 25.0±0.0
1.0±0.0 1.0±0.0
Kakap 1 100.0
1 100.0 75.0±0.0
75.0±0.0 2.0±0.0
2.0±0.0 Mujair, goring
1 100.0 1 100.0
83.3±0.0 83.3±0.0
1.0±0.0 1.0±0.0
Pindang selar kecil 1 100.0
1 100.0 33.3±0.0
33.3±0.0 1.0±0.0
1.0±0.0 Selar, segar
1 100.0 1 100.0
62.5±0.0 62.5±0.0
1.0±0.0 1.0±0.0
Telur bebek itik 1 100.0
1 100.0 27.8±0.0
27.8±0.0 2.0±0.0
2.0±0.0 Telur bebek, bagian
kuning 1 100.0
1 100.0 50.0±0.0
50.0±0.0 2.0±0.0
2.0±0.0
Keterangan: rata-rata ± standar deviasi SD
184 Lampiran 6 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani anak 12-23 bulan
Jenis Pangan Persentase anak yang mengkonsumsi n,
Jumlah yang dikonsumsi g per kali makan Frekeunsi konsumsi kali per hari
Stunting Tidak stunting
Total Stunting
Tidak stunting Total
Stunting Tidak stunting
Total Tepung susu
280 36.6 484 63.4
764 100.0 23.5±10.8
23.5±10.5 23.5±10.6
2.5±1.2 2.6±1.2
2.5±1.2 Susu ibu ASI
178 44.3 224 55.7
402 100.0 142.0±138.1
158.1±152.6 150.4±146.0 3.4±2.1
3.0±1.9 3.1±2.0
Ikan asin, gabus goreng 83 36.6
144 63.4 227 100.0
32.3±15.0 33.2±14.8
32.8±14.9 1.7±0.8
1.7±0.7 1.7±0.8
Ayam 78 35.8
140 64.2 218 100.0
58.5±24.8 54.9±25.2
56.2±25.1 1.6±0.7
1.6±0.8 1.6±0.8
Telur ayam, dadar 88 39.6
134 60.4 222 100.0
42.1±13.1 43.2±12.9
42.7±13.0 1.5±0.7
1.4±0.7 1.5±0.7
Telur ayam, ceplok 90 40.4
133 59.6 223 100.0
45.7±13.0 46.6±14.6
46.2±14.0 1.3±0.6
1.4±0.6 1.4±0.6
Susu kental manis 55 39.9
83 60.1 138 100.0
41.4±11.1 41.9±16.7
41.8±15.1 1.5±1.7
2.1±1.0 1.9±0.9
Bakso 63 39.4
97 60.6 160 100.0
43.1±21.2 40.4±20.2
41.5±20.6 1.1±0.4
1.1±0.2 1.1±0.3
Telur ayam 45 42.5
61 57.5 106 100.0
49.7±15.7 50.7±18.4
50.3±17.2 1.4±0.7
1.4±0.6 1.4±0.6
Kembung 36 43.4
47 56.6 83 100.0
38.3±15.5 46.9±24.8
42.9±21.4 1.9±0.9
1.8±0.8 1.8±0.8
Susu sapi 31 37.8
51 62.2 82 100.0
42.9±55.6 43.5±65.6
43.3±61.8 1.5±0.7
1.5±0.7 1.5±0.7
Ikan asin, kering 20 35.1
37 64.9 57 100.0
27.9±17.0 27.1±15.3
27.3±15.8 1.8±0.9
1.8±0.8 1.8±0.8
Ikan segar 16 36.4
28 63.6 44 100.0
43.8±16.6 39.1±18.2
40.8±17.6 1.9±0.8
1.8±0.7 1.8±0.7
Bandeng 15 40.5
22 59.5 37 100.0
40.3±17.4 42.0±16.5
41.2±16.8 1.8±0.7
1.6±0.7 1.7±0.7
Daging sapi 7 21.9
25 78.1 32 100.0
40.8±14.8 36.5±15.8
37.6±15.8 1.9±0.9
1.6±0.7 1.6±1.0
Teri, kering 9 37.5
15 62.5 24 100.0
12.1±4.7 16.3±9.8
14.7±8.3 1.9±0.9
1.7±0.9 1.8±0.9
Lele, goring 9 50.0
9 50.0 18 100.0
47.9±16.0 44.8±22.0
46.4±19.0 2.0±0.9
2.0±0.9 2.0±0.8
Es cream coconut milk 3 18.8
13 81.3 16 100.0
75.0±43.3 64.6±61.9
66.6±57.7 1.0±0.0
1.0±0.0 1.0±0.0
Layang 5 33.3
10 66.7 15 100.0
28.1±15.7 42.3±19.0
38.3±19.0 1.6±0.9
2.0±0.8 1.9±1.2
Peda banjar 6 42.9
8 57.1 14 100.0
61.1±23.4 27.4±17.5
42.1±26.1 1.7±0.8
1.6±0.7 1.6±0.7
Ikan mas, goreng 4 30.8
9 69.2 13 100.0
39.6±20.0 40.6±20.3
40.3±19.7 1.5±0.6
1.6±0.7 1.5±0.7
Es mambo 5 41.7
7 58.3 12 100.0
33.3±13.7 32.2±23.7
32.7±19.7 1.2±0.4
1.3±0.5 1.3±0.5
Worst sosis daging 3 25.0
9 75.0 12 100.0
24.7±17.5 21.3±21.8
21.9±20.4 1.0±0.0
1.3±0.5 1.3±0.5
Ikan asin teri goreng 5 45.5
6 54.5 11 100.0
25.5±10.4 11.8±5.4
18.0±10.5 2.0±1.0
2.0±0.9 2.0±0.9
Soto dengan daging 4 36.4
7 63.6 11 100.0
74.2±55.7 73.3±31.9
73.7±41.1 1.5±0.6
1.3±0.5 1.4±0.5
Mujair, segar 2 20.0
8 80.0 10 100.0
59.4±6.3 59.4±18.3
59.4±16.2 2.0±0.0
1.8±0.7 1.8±0.6
Daging babi gemuk 4 44.4
5 55.6 9 100.0
41.4±11.8 28.8±10.9
34.7±19.8 1.8±1.0
1.6±0.5 1.7±0.8
Keterangan: rata-rata ± standar deviasi SD
185 Lampiran 6 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 12-23 bulan lanjutan
Jenis Pangan Jumlah anak yang mengkonsumsi n,
Jumlah yang dikonsumsi g per kali makan Frekeunsi konsumsi kali per hari
Stunting Tidak stunting
Total Stunting
Tidak stunting Total
Stunting Tidak stunting
Total Kakap
3 37.5 5 62.5
8 100.0 45.5±16.0
50.9±16.3 48.2±15.8
2.3±1.2 1.4±0.5
1.8±0.9 Abon
2 18.2 9 81.8
11 100.0 15.0±5.0
17.5±11.6 16.9±10.3
1.5±0.7 1.1±0.3
1.2±0.4 Gabus, segar
0.00 7 100.0
7 100.0 0.00
57.7±20.3 57.7±34.2
0.00 1.9±0.7
1.9±1.2 Telur bebek, telur asin
4 40.0 6 60.0
10 100.0 72.3±23.1
55.0±24.3 64.3±24.3
1.8±1.0 1.0±0.0
1.3±0.7 Pindang layang
1 14.3 6 85.7
7 100.0 22.2±0.0
31.8±13.4 31.0±21.2
1.0±0.0 1.8±0.8
1.7±1.1 Ikan mas
5 71.4 2 28.6
7 100.0 43.0±16.8
58.3±7.2 47.2±16.1
1.6±0.5 1.5±0.7
1.6±0.5 Telur ayam, bagian kuning
2 25.0 6 75.0
8 100.0 50.0±35.4
18.9±7.0 24.5±18.0
1.0±0.0 1.5±0.8
1.4±0.7 Es cream
1 16.7 5 83.3
6 100.0 50.0±0.0
31.0±26.3 34.2±25.6
1.0±0.0 1.0±0.0
1.0±0.0 Kerupuk udang, berpati
1 20.0 4 80.0
5 100.0 5.0±0.0
8.5±2.4 7.8±2.6
1.0±0.0 1.0±0.0
1.0±0.0 Selar, segar
2 50.0 2 50.0
4 100.0 45.8±4.8
53.1±6.3 49.5±9.2
2.0±0.0 2.0±1.4
2.0±1.4 Ikan asin, japuh goreng
0.00 4 100.0
4 100.0 0.00
13.1±9.3 13.1±9.3
0.00 1.8±1.0
1.8±1.0 Udang, segar
1 25.0 3 75.0
4 100.0 44.1±0.0
29.4±17.2 31.9±28.1
1.0±0.0 1.7±1.2
1.5±1.2 Daging kambing
3 100.0 0.00
3 100.0 45.0±11.2
0.00 45.0±11.2
1.7±1.2 0.00
1.7±1.2 Tembang
2 66.7 1 33.3
3 100.0 40.6±30.9
62.5±0.0 53.8±19.6
1.0±0.0 3.0±0.0
1.7±1.2 Ikan hiu
1 50.0 1 50.1
2 100.0 40.8±0.0
50.0±0.0 44.5±5.0
3.0±0.0 2.0±0.0
2.5±0.7 Cue selar kuning
1 50.0 1 50.0
2 100.0 44.4±15.7
55.6±0.0 50.0±11.1
2.0±0.0 2.0±0.0
2.0±0.0 Cumi-cumi, goreng
2 100.0 0.00
2 100.0 28.3±2.9
0.00 28.3±2.9
1.5±0.7 0.00
1.5±1.0 Kepiting
0.00 2 100.0
2 100.0 0.00
81.5±51.3 81.5±51.3
0.00 1.5±0.7
1.5±0.7 Telur bebek, dadar
1 50.0 1 50.0
2 100.0 37.5±17.7
60.0±0.0 45.0±18.0
2.0±0.0 1.0±0.0
1.5±0.7 Bebek itik
1 50.0 1 50.0
2 100.0 50.0±0.0
83.3±0.0 66.7±24.3
1.0±0.0 1.0±0.0
1.0±1.4 Bawal
1 100.0 0.00
1 100.0 62.5±0.0
0.00 62.5±0.0
2.0±0.0 0.00
2.0±0.0 Cumi-cumi, segar
0.00 1 100.0
1 100.0 0.00
20.0±0.0 20.0±0.0
0.00 2.0±0.0
2.0±0.0 Udang, kering
0.00 1 100.0
1 100.0 0.00
11.1±0.0 11.1±0.0
0.00 2.0±0.0
2.0±0.0 Daging kerbau
0.00 1 100.0
1 100.0 0.00
80.0±0.0 80.0±0.0
0.00 1.0±0.0
1.0±0.0 Dendeng daging sapi
1 100.0 0.00
1 100.0 40.0±0.0
0.00 40.0±0.0
1.0±0.0 0.00
1.0±0.0 Gabus kering
1 100.0 0.00
1 100.0 31.3±0.0
0.00 31.3±0.0
1.0±0.0 0.00
1.0±0.0 Petis udang
0.00 1 100.0
1 100.0 0.00
15.0±0.0 15.0±0.0
0.00 1.0±0.0
1.0±0.0 Pindang selar kecil
1 100.0 0.00
1 100.0 55.6±0.0
0.00 55.6±0.0
1.0±0.0 0.00
1.0±0.0 Telur bebek itik
0.00 1 100.0
1 100.0 0.00
83.3±0.0 83.3±0.0
0.00 1.0±0.0
1.0±0.0 Telur bebek, bagian kuning
1 100.0 0.00
1 100.0 25.0±0.0
0.00 25.0±0.0
1.0±0.0 0.00
1.0±0.0 Keterangan:
rata-rata ± standar deviasi SD
ABSTRACT
ASLIS WIRDA HAYATI. Stunting Risk Factors, Food and Nutrition Consumption Pattern of Young Children 0-23 Months. Under direction of
HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, and DODIK BRIAWAN
The objective of this study was to analyze the risks factors of stunting, food and nutrition consumption pattern in young children of 0-23 months old
YC using the data from Riskesdas 2010. From 6,634 YC in the data, 3,539 were screened out. Nutritional status data were processed using the WHO AnthroPlus
2007, while the other data were processed using the Excel 2007 and SPSS 16.0 for windows. Logistic regression was applied to analyze the risk factors; Man-
Whitney U test the different of food consumption, energy and nutrients intake patterns. Between the results of this study showed that the risk of stunting in
children 6-11 months and 12-23 are 1.59 and 2.18 times respectively compared to children 0-5 months. The risk of stunting in children with low birth-weight
LBW is 1.81 times higher compared to children born with normal weight. Underweight YC, YC with low density of protein intake, YC with stunted mother,
and YC with low income family status have 3.07, 1.32, 1.57, and 1.26 times respectively of stunting risk. Furthermore, the food consumption, and energy and
nutrients intake patterns were different between stunting and non-stunting YC according to their age group. There was no difference in food consumption, and
energy and nutrients intake patterns between stunting and non-stunting children 0- 5 months, but there was difference in children 6-11 and 12-23 months. The
implication for Indonesia is the prevention of stunting of the YC should be done by improving the health and nutrition of pregnant mothers, increasing the food
quality for YC, and increasing the income of low income families. It is necessary to study the efficacy of nutritional interventions to achieving optimal linear
growth in
YC.
Key words: birth-weight, family economic, food consumption, protein density,
stunting
RINGKASAN
ASLIS WIRDA HAYATI. Faktor-faktor Risiko Stunting, Pola Konsumsi Pangan, Asupan Energi dan Zat Gizi Anak 0-23 Bulan. Dibimbing oleh HARDINSYAH,
FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, dan DODIK BRIAWAN
Akhir-akhir ini masalah stunting semakin menjadi perhatian terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Stunting cermin dari
masalah gangguan pertumbuhan pada usia dini karena faktor gizi dan faktor non- gizi, yang berisiko meningkatkan kegemukan dan penyakit tidak menular
degeneratif pada saat dewasa. Beberapa penelitian anak stunting di Indonesia
Penelitian ini menggunakan data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Desain Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan
merupakan penelitian non-intervensi. Populasi sampel mewakili seluruh rumah tangga di Indonesia. Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files.
Dari 6 634 data anak baduta, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan screened out karena: 1 data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap, 2 nilai z-skor
BBU, TBU dan IMTU termasuk pencilan, 3 pengumpulan data konsumsi pangan saat kondisi tidak biasa perhelatanhari besarsakit, dan 4 nilai asupan
energi termasuk pencilan sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 3 095 anak. Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus 2007, pengolahan
data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis faktor-faktor risiko menerapkan regresi logistik, dan uji beda pola
konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi menerapkan Uji Man-Whitney U. menyimpulkan keterkaitan stunting dengan faktor-faktor non-gizi. Upaya
mengatasi masalah stunting di Indonesia memerlukan informasi tentang faktor- faktor risiko stunting, pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak
stunting
dari kajian epidemiologi di Indonesia. Oleh karen itu tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor risiko stunting, pola konsumsi pangan,
asupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan anak baduta.
Hasil kajian menunjukkan prevalensi stunting anak 0-23 bulan sebanyak 37.4. Analisis regresi logistik menunjukkan faktor umur anak, berat lahir anak,
berat anak, densitas asupan protein anak, tinggi ibu, dan status ekonomi keluarga berhubungan erat dengan stunting anak baduta z-skor TBU. Model ini secara
keseluruhan memprediksi dengan benar 66.6 pertumbuhan linier anak 0-23 bulan. Risiko stunting pada anak 6-11 bulan dan anak 12-23 bulan masing-
masing adalah 1.59 kali dan 2.18 kali dibanding anak 0-5 bulan. Risiko stunting anak yang dilahirkan dengan berat bayi lahir rendah BBLR adalah 1.81 kali
dibanding anak lahir dengan BB normal. Sejumlah 62.3 anak baduta underweight
mengalami stunting. Anak yang underweight berpeluang stunting 3.07 kali. Risiko stunting anak yang lahir dari ibu yang pendek 145 cm 1.68
kali dibanding anak yang lahir dari ibu yang tidak pendek. Risiko stunting anak yang status ekonomi rumah tangganya rendah kuintil 1 dan 2 1.26 kali
dibanding anak yang status ekonomi rumah tangganya menengah ke atas kuintil 3, 4 dan 5. Risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas asupan proteinnya
kurang dari 20 g per 1 000 kkal 1.32 kali anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal CI 95: 1.05-1.67.
v Rata-rata asupan protein anak 0-23 bulan yaitu 19.4±12.9 g. Adapun rata-
rata tingkat kecukupan proteinnya yaitu 135.1±86.5; dan rata-rata densitas asupan protein sebanyak 30.0±19.3 per 1 000 kkal densitas protein standar yakni
20-40 g per 1 000 kkal.
Persen asupan protein hewani terhadap total asupan protein anak 0-23 bulan berkorelasi kuat dengan densitas asupan protein r=0.685; p0.01. Persen
asupan protein hewani terhadap total asupan protein anak stunting dan anak tidak stunting
0-23 bulan masing-masing 58.2±34.1 dan 61.5±33.3. Jenis pangan hewani yang dikonsumsi anak usia 0-5, 6-11, dan 12-23
bulan berturut-turut sebanyak 3, 36, dan 57 jenis. Hampir seluruh anak 0-5 bulan hanya mengkonsumsi ASI danatau tepung susu. Anak 6-11 bulan banyak yang
mengkonsumsi ikan asin gabus goreng. Anak 12-23 bulan banyak yang mengkonsumsi ikan asin kering, ikan segar, ikan bandeng, teri goreng, dan lele
goreng n 20 anak.
Jumlah anak 0-23 bulan yang pernah diberi ASI sebanyak 90.2, sebanyak 3.05 diantaranya merupakan ASI eksklusif tidak berbeda antara anak
stunting dan tidak stunting. Rata-rata konsumsi ASI anak 0-5 bulan sebanyak
591.6 ghari, hal tersebut sudah memenuhi standar konsumsi susu yaitu 500 ml per hari. Namun, rata-rata asupan ASI anak 6-11 bulan sebanyak 498.4 g per hari
dan rata-rata asupan ASI anak 12-23 bulan sebanyak 466.2 g per hari, rata-rata konsumsi ASI anak 6-23 bulan tersebut kurang dari standar diet. Oleh karena itu,
konsumsi pangan hewani, sayur dan buah perlu ditingkatkan dan disertai dengan pendidikan gizi anak 6-23 bulan. Alternatif lain untuk meningkatkan kuantitas
dan kualitas makanan anak 6-23 bulan yaitu melalui fortifikasi.
Pola konsumsi pangan mencakup jumlah jenis pangan, jumlah kelompok pangan yang dikonsumsi dan frekuensi makan per hari. Rata-rata jumlah jenis
konsumsi pangan anak stunting dan tidak stunting 12-23 bulan berbeda masing- masing 4.4±1.9 dan 4.6±2.0 jenis per hari p0.05. Adapun jumlah jenis pangan
yang dikonsumsi dan frekuensi makan anak stunting dan tidak stunting tidak berbeda.
Pada anak 0-23 bulan, rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan energi dan protein anak stunting dan tidak stunting tidak berbeda, namun
rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan zat gizi mikro mereka kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin C berbeda. Pada anak
0-5 bulan, rata-rata tingkat kecukupan danatau densitas asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting tidak berbeda; namun pada anak 6-11 bulan
berbeda protein, demikan pula pada anak 12-23 bulan energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C.
Pada anak 0-23 bulan, rata-rata densitas asupan kalsium anak stunting dan tidak stunting berturut-turut 435.4±419.1 dan 471.9±433.9 mg per 1 000 kkal
p0.05; zat besi 4.1±3.2 dan 3.9±3.1 mg per 1 000 kkal per hari p0.01; vitamin A 522.3±431.0 dan 556.0±421.3 µg RE per 1 000 kkal per hari p0.01;
vitamin C 18.0±19.0 dan 18.8.0±19.0 mg per 1 000 kkal per hari p0.05; tingkat kecukupan fosor 85.0±66.2 dan 94.2±68.1 p0.01; vitamin B1 184.3±157.1
dan 197.6±162.6 p0.05; dan mutu gizi konsumsi pangan 58.9±20.9 dan 61.3±20.0 p0.01.
vi Hasil-hasil analisis tersebut memberikan implikasi bagi Indonesia adalah
mencegah stunting perlu meningkatkan gizi dan kesehatan ibu hamil, pemberian ASI eksklusif, meningkatkan kualitas makanan anak 0-23 bulan dan peningkatan
pendapatan keluarga berpenghasilan rendah. Alternatif lain untuk meningkatkan kualitas makanan anak yaitu melalui fortifikasi. Terkait dengan fortifikasi, saat
ini sudah ada MP-ASI yang difortifikasi dan bubuk tabur gizi Taburia, namun belum ditujukan untuk mengatasi stunting. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian formulasi dan uji klinis untuk mencegah dan mengurangi prevalensi stunting
. Mengingat data konsumsi pangan banyak yang tidak dapat dipakai dalam analisis, maka disarankan agar data konsumsi pangan dikumpulkan dan
dientri oleh ahli gizi dan pengambilan data dilakukan secara sub sampel.
Kata kunci : berat lahir, densitas asupan protein, ekonomi keluarga, konsumsi
pangan, stunting
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stunting merupakan salah satu masalah gizi global, terutama di negara-
negara berkembang termasuk di Indonesia. Namun, penelitian tentang stunting masih sedikit. Paling banyak adalah penelitian tentang underweight. WHO
2001 melaporkan bahwa prevalensi stunting global anak balita sekitar 33 di negara-negara berkembang, namun sangat bervariasi diantara mereka.
Berdasarkan data tahun 2000, prevalensi anak balita stunting di Afrika Timur 48
1
adalah yang tertinggi di dunia, urutan berikutnya adalah Asia Tengah bagian Selatan 44, Afrika Barat 35, Asia Tenggara 33, dan Amerika
Tengah 24, Afrika Utara 20, Karibia 19, dan Amerika Utara 13. Lima tahun kemudian, WHO Statistical Information System
2006 melaporkan bahwa berdasarkan data tahun 2002, prevalensi stunting anak balita di Indonesia
sebanyak 42.2. Kemenkes 2008 dan Kemenkes 2010 melaporkan berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional Riskesdas, prevalensinya
berturut-turut 36.8 dan 35.6
2
Prevalensi stunting anak baduta 0-2 tahun lebih besar dibanding anak balita 0-5 tahun.
. Kemudian, Soekirman 2011 mengungkapkan bahwa dengan jumlah tersebut Indonesia menurut WHO tercatat menduduki
peringkat ke-5 terbanyak stunting di dunia keadaan ini hanya lebih baik dari India, Tiongkok, Nigeria dan Pakistan.
Usia 6-11 bulan adalah waktu yang sangat rentan karena bayi baru belajar makan
Academy for Educational Development of Africa 2004.
Prevalensi stunting paling banyak terjadi pada kelompok usia 12-23 bulan Kemenkes 2010. Bhutta et al. 2008 melaporkan bahwa dari studi review di 36
negara diketahui bahwa prevalensi stunting anak di bawah satu tahun sebanyak 40 dan prevalensi stunting anak di bawah dua tahun mencapai 54. Kemenkes
2010 melaporkan bahwa prevalensi stunting anak di bawah satu dan dua tahun masing-masing sebanyak 32.1 dan 41.5. Jalil et al. 1993 menyimpulkan
bahwa stunting biasanya mulai terjadi ketika anak berumur 4-6 bulan. Schmidt et al.
2002 menyimpulkan bahwa pertumbuhan linier mulai tersendat-sendat pada
1
Prevalensi stunting 20 dianggap tinggi dan merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat WHO 2006
2
Total anak balita Indonesia sebanyak 23 juta, 7.6 juta 35.6 diantaranya stunting Kemenkes 2010
anak berumur 6-7 bulan. Waterlow dan Schürch 1994 menyimpulkan bahwa anak umumnya menjadi stunting ketika berumur 2 atau 3 tahun, namun proses
perlambatan pertumbuhan linier sebenarnya dimulai jauh lebih awal yaitu usia 2 atau 3 bulan. Lebih jauh WHO 2001 melaporkan bahwa semakin awal anak-
anak menjadi stunting, semakin parah hambatan pertumbuhan mereka Stunting
pada anak dapat berdampak negatif terhadap perkembangan kognitif, emosi, perilaku, pendidikan, bahkan produktifitas dan penyakit ketika
mereka dewasa. .
Stunting pada anak sering dikaitkan dengan buruknya
perkembangan kognitif dan motorik
Stunting cermin dari masalah gangguan pertumbuhan pada usia dini karena
faktor gizi dan faktor non-gizi. Stunting terkait dengan gangguan pada proses pertumbuhan linier Frongillo 1999. WHO 2010
WHO 2001. Stunting pada anak sebelum berusia 2 tahun dapat menimbulkan emosi dan perilaku yang kurang baik Walker
1991. Stunting berkaitan dengan IQ yang lebih rendah pada anak-anak pra- sekolah dan anak-anak usia sekolah Alive and Thrive 2010. Selain itu Walker
1991 menyimpulkan pula bahwa stunting pada usia 3 tahun dapat memperpanjang masa studi di sekolah dasar 1.6 tahun pada laki-laki 1.3 tahun
pada perempuan dibanding anak tidak stunting. Andersen et al. 1993 menyimpulkan bahwa ibu yang stunting cenderung melahirkan anak dengan berat
bayi lahir rendah BBLR dan stunting. Bhutta et al. 2008 menyimpulkan bahwa anak yang stunting dapat menjadi orang dewasa stunting termasuk
menjadi ibu-ibu yang stunting. Alive and Thrive 2010 menyimpulkan bahwa produktivitas tenaga kerja yang diukur berdasarkan upah berbeda berdasarkan
status stunting. WHO 2010 menyimpulkan bahwa anak yang stunting dapat menimbulkan berat badan lebih ketika dewasa. Panjang badan menurut umur
pada usia anak dua tahun adalah prediktor terbaik kualitas sumberdaya manusia
human capital Alive and Thrive 2010.
melaporkan bahwa pertumbuhan terhambat mencerminkan proses kegagalan untuk mencapai potensi
pertumbuhan linier sebagai hasil kesehatan tidak optimal danatau kondisi gizi. Alive and Thrive 2010 melaporkan bahwa selama tahun pertama setelah lahir,
kebutuhan zat gizi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang cepat sangat tinggi. WHO 2001 melaporkan bahwa penyebab stunting di negara