Jika diperhatikan hingga saat ini banyak perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam yang telah menerapkan TJSLCSR sebagai bagian dari kegiatan
bisnisnya. Penerapan TJSLCSR memang membutuhkan biaya, waktu, sistem, skill, dan tidak bebas resiko. Namun biaya dan resiko tersebut juga diimbangi dengan hikmah dan
manfaat yang sepadan. TJSLCSR akan melindungi korporasi dari suprises yang tidak menyenangkan dan dapat menjadi wahana membangun saling kepercayaan antara
masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Maka dari itu, Pasal 74 ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang pada frase ”kepatutan dan kewajaran” adalah untuk menuju kepada fleksibilitas dari peraturan itu sendiri. Dengan kata lain, TJSLCSR dinilai oleh
masyarakat sekitar tempat perusahaan beroperasi apakah patut dan wajar untuk melakukan suatu program pelaksanaan TJSLCSR.
5. Sanksi
Konsekuensi kewajiban melaksanakan TJSLCSR menimbulkan sanksi bagi pelanggarnya. Pengenaan sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan TJSLCSR
tetap perlu memperhatikan kepada hukum positif yang sudah ada dan berkaitan dengan sumber daya alam seperti Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam artian bahwa pengaturan maupun sanksi yang akan diterapkan agar tidak
menjadi overlapping dengan aturan-aturan yang sudah ada. Sanksi yang diterapkan
Universitas Sumatera Utara
secara umum berupa sanksi adminstratif, pidana maupun perdata. Meskipun demikian, TJSLCSR sebagai konsep kewajiban tidak dapat menetapkan eksekusi atau hukuman
hingga diterbitkannya peraturan pelaksanaan yang dibuat oleh Pemerintah PP yang mengatur TJSLCSR lebih lanjut.
102
102
Yu Un Ompusunggu, “Mandatory Corporate Social and Environmental Responsibilities in the New Indonesia Limited Liability Law”, disampaikan pada 5th Asian Law Institute Conference,
tanggal 22-23 Mei 2008 di Singapura, hal. 6. Lihat juga : Ibid., “Ini Dia Jeroannya : RPP CSR”, bahwa “Perusahaan yang mbalelo tak mau melaksanakan CSR, bakal dikenai sanksi. Namun RPP tidak
merinci jenis dan besaran sanksinya. Tindakan itu terpulang pada sejumlah Undang-Undang, sesuai dengan jenisnya. Sederet Undang-Undang itu antara lain : Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok Pertambangan; Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang No. 19 tahun 2004 tentang Kehutanan; Undang-
Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia; Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara”. Lihat juga : Ibid., “Klausul
CSR Hanya Untuk Bidang Sumber Daya Alam : RUU Perseroan Terbatas”, bahwa : “Pengusaha tidak perlu risau soal sanksi. Sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal malah mengandung sanksi yang lebih berat. Coba lihat Pasal 15 dan 34, izin usaha investor bisa dicabut kalau tidak melakukan CSR. Jadi, Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas tidak perlu menimbulkan reaksi keras”.
Universitas Sumatera Utara
BAB III CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY CSR BERDASARKAN PASAL 74
UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DILIHAT DARI ASPEK PRINSIP EFISIEN DAN KEADILAN
Dunia bisnis kerap menganggap bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial adalah terhadap pemegang saham shareholders. Namun demikian, meningkatnya
dampak negatif sepak terjang perusahaan lokal maupun global terhadap kehidupan sosial dan lingkungan menjadi pemicu terhadap munculnya tuntutan akan
akuntabilitas dan transparansi kegiatan perusahaan. Penerapan CSRTJSL merupakan bagian dari etika bisnis yang dilakukan dengan tujuan saling memberi manfaat
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. CSRTJSL mencakup dua konsep utama, yaitu : transparansi dan akuntabilitas. Dalam transparansi, perusahaan dituntut untuk
memaparkan dan mengkomunikasikan kebijakan dan praktik-praktik yang dijalankannya, terutama yang berdampak pada karyawan, masyarakat, dan
lingkungan. Sedangkan akuntabilitas, stakeholder juga mengharapkan perusahaan memiliki kinerja yang baik dalam bidang non-finansial yang melibatkan hak azasi
manusia, etika bisnis, kebijakan lingkungan, sumbangan perusahaan, pengembangan masyarakat, corporate governance, keragaman dan isu di tempat kerja.
103
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan
untuk CSRTJSL serta sanksi bagi yang melanggar. Pada Pasal 74 ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSRTJSL “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
103
Ahmad Ansori Mattjik, “Upaya Mewujudkan Tanggung Jawab Sosial”, Harian Radar Bogor, diterbitkan Senin, 19 Maret 2007.
Universitas Sumatera Utara
biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatuhan dan kewajaran”. Perusahaan yang tidak melakukan CSRTJSL dikenakan sanksi
sesuai dengan peraturan perundangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSRTJSL ini baru akan diatur oleh Peraturan Pemerintah, yang hingga kini belum dikeluarkan.
104
A. Alasan Pelaku Usaha Mengajukan Pengujian Materil dan Formil
Tentang Pengaturan
Corporate Social Responsibility CSR
Ketidakpastian dalam pengaturan CSRTJSL dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, antara lain : belum ada peraturan
pelaksanaan mengenai sanksi yang tegas; dan TJSLCSR dilakukan sesuai dengan kepatutan dan kewajaran. Salah satu bukti konkrit ketidakpastian itu, pada
kenyataannya ketentuan Pasal 74 telah disalahtafsirkan yaitu
105
1. ”Dengan mendasarkan pada CSR, Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas, para pelaku usaha dapat dibebani untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang tidak terkait sama sekali dengan
kebutuhan wilayahdaerah dimana kegiatan usahanya berada; :
2. Penerapan Pasal 74 dalam konteks Otonomi Daerah, dapat melahirkan
peraturan-peraturan daerah atau peraturan-peraturan kepala daerah yang substansi isinya pembebanan biaya pada pelaku usaha, yang penggunaannya
belum tentu sesuai dengan tujuan TJSL”.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 53PUU-VI2008
mengemukakan mengenai diskriminasi dalam pengaturan CSRTJSL, yaitu : “Diskriminasi dalam pengaturan CSRTJSL dalam Pasal 74 Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah mengkhususkan pembebanan kewajiban hanya pada pelaku usaha yang tunduk pada Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta kegiatannya di
104
Edi Suharto, Op.cit., hal. 8.
105
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53PUU-VI2008”, hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
bidangberkaitan dengan sumber daya alam saja, telah cukup menggambarkan bahwa ketentuan ini sangat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I
ayat 2 UUD 1945. Demikian halnya dengan pemberian nama dan prinsip CSRTJSL. Dengan sifat wajib di dalam Pasal 74 ayat 1 dan Penjelasannya
juga telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di mata hukum dan juga mempunyai tendensi sebagai tindakan yang dapat dikualifikasi bersifat
diskriminatif, karena perusahaan yang berbadan hukum yang tunduk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas saja yang
diwajibkan, sedangkan perusahaan-perusahaan lain yang tidak tunduk pada Undang-Undang tersebut seperti Koperasi, CV, Firma, Usaha Dagang, dan
sebagainya tidak diwajibkan. Demikian juga perusahaan-perusahaan yang tidak ada berkaitan dengan sumber daya alam”.
106
Meskipun CSR telah diatur oleh Undang-Undang, debat mengenai ”kewajiban” CSR masih bergaung. Bagi kelompok yang tidak setuju, ketentuan CSR
dipandang dapat mengganggu iklim investasi. Program CSR adalah biaya perusahaan. Di tengah situasi negara yang masih diselimuti budaya KKN, CSR akan menjadi
beban perusahaan tambahan disamping transaction cost yang selama ini sudah memberatkan operasi bisnis. Adapula yang menyoalkan definisi dan singkatan CSR,
terutama terkait huruf “R” responsibility. Dalam bahasa Inggris, “responsibility” berasal dari kata “response” tindakan untuk merespon suatu masalah atau isu dan
“ability” kemampuan. Maknanya, responsibility merupakan tindakan yang bersifat sukarela, karena respon yang dilakukan sesuai dengan ability yang bersangkutan.
Menurut pandangan ini, kalau CSR bersifat wajib, maka singkatannya harus diubah menjadi CSO Corporate Social Obligation.
107
Selain itu, kalangan yang kontra CSR berpendapat bahwa core business perusahaan adalah mencari keuntungan. Oleh karena itu, ketika perusahaan
106
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53PUU-VI2008”, hal. 33- 34.
107
Edi Suharto, Op.cit., hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
diwajibkan memperhatikan urusan lingkungan dan sosial, ini sama artinya dengan mendesak Greenpeace dan Save The Children untuk berubah menjadi korporasi yang
mencari keuntungan ekonomi. Kelompok yang setuju dengan ketentuan CSRTJSL umumnya berargumen bahwa CSRTJSL memberi manfaat positif terhadap
perusahaan, terutama dalam jangka panjang. Selain menegaskan brand differentiation perusahaan, CSRTJSL juga berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh license to
operate , baik dari pemerintah maupun masyarakat. CSRTJSL juga bisa berfungsi
sebagai strategi risk management perusahaan.
108
Meskipun telah membayar pajak kepada pemerintah, perusahaan tidak boleh lepas tangan terhadap permasalahan lingkungan dan sosial di sekitar perusahaan. Di
Indonesia yang masih menerapkan residual welfare state, manfaat pajak seringkali tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat kelas bawah, orang miskin dan
komunitas adat terpencil. Oleh karena itu, bagi kalangan yang setuju konsep CSRTJSL, CSRTJSL merupakan instrumen cash transfer dan sumplemen sistem
“negara kesejahteraan residual” yang cenderung gagal mensejahterakan masyarakat karena kebijakan dan program sosial negara bersifat fragmented dan tidak
melembaga.
109
B. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Corporate Social Responsibility – CSR Telah Diatur dalam Berbagai Perundang-Undangan
CSRTJSL terdapat dalam berbagai peraturan perundangan, antara lain : Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang
108
Ibid.
109
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara eksplisit CSRTJSL perusahaan memang diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan juga disebut secara tegas dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Namun, apabila