PHK masal JAS Vol 4 No 2 Situasi Krisis Titik Balik Kekuatan Buruh
5
Selatan, dan Amerika Latin
3
. Bagi Indonesia, buntut dari
krisis ekonomi
adalah ambruknya
banyak perusahaan,
apalagi modal sebagian besar perusahaan
tersebut sangat bergantung kepada pinjaman bank, baik
nasional maupun internasional. Akibatnya,
jutaan buruh
menjadi korban PHK masal. Selain karena krisis ekonomi,
PHK masal ini menjadi tak terelakkan
karena ada
ketentuan dari IMF yang harus ditaati pemerintah Indonesia,
seperti restrukturi-sasi
perusahaan dan
reformasi perban-kan. Kedua keputusan
inilah yang
menyebabkan pemerintah Indonesia harus
melakukan likuidasi terhadap sejumlah
bank, yang
3
Newsweek, August 3, 1998.
selanjutnya menyebabkan PHK terhadap sekitar 17 ribu buruh
perbankan pada Februari ± Maret 1999. Perjanjian dengan
IMF inilah
yang dapat
menjelaskan sebab-sebab
pemerintah Indonesia
tidak dapat berbuat banyak untuk
mengatasi masalah ini.
4
Menurut laporan resmi kantor perwakilan ILO di Jakarta, 5,4
juta tenaga kerja Indonesia kehilangan
pekerjaan.
5
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja Disnaker Jawa Barat,
Iyus Atmadja, S.H., sejak krisis
4
Berdasarkan laporan dari APEC Labour Rights Monitor ALARM,
issue no.31April 1999, PHK masal terhadap ribuan buruh akibat
penutupan perusahaan,
terjadi juga pada perusahan-perusahan
TNC Jepang di Selandia Baru, seperti
perusahan-perusaha-an asembling
Mitsubishi, Honda,
Toyota dan Nissan. Demikian juga perusahaan-perusahaan
onderdilnya seperti
Kensons, Yasaki dan Alkatel.
5
Suara Pembaruan, 1 September 1998.
6
ekonomi 1.000 4,3 dari 23.090
perusahaan skala
besar, kecil, dan menengah yang ada di Jawa Barat sudah
melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja PHK dan sebagai
akibatnya, 99.000
buruh menjadi korban.
6
Di Kodya Bandung hingga bulan
September 1998, buruh yang mengalami
PHK berjumlah
6.780 orang
dari 81
perusahaan.
7
Jumlah ini akan menjadi lebih besar lagi jika
ditambah dengan PHK yang terjadi di sektor informal. Dari
jumlah tersebut,
Depnaker Jawa Barat hingga saat ini
tidak pernah
memberikan laporan atau data yang lengkap
mengenai bagaimana proses PHK
dilakukan, alasan
terjadinya PHK,
dan
6
Pikiran Rakyat, 6 Mei 1999.
7
Pikiran Rakyat, 2 September 1998.
bagaimana perlindungan hak- hak buruh akibat PHK tersebut.
Berdasarkan pengamatan LBH Bandung
terhadap kasus-
kasus yang
masuk dan
wawancara dengan para buruh di Bandung, jumlah korban
PHK di Jawa Barat belum semuanya
didata oleh
Depnaker Jawa Barat.
8
Karena itu,
jumlah korban
PHK diperkirakan jauh lebih besar
dari yang sudah diungkapkan. Sebagai contoh, dalam dua
8
Berdasarkan keterangan kawan- kawan buruh di wilayah industri
tekstil Majalaya dan Palasari, banyak
perusahaan yang
melakukan PHK masal dalam rentang
waktu yang
cukup panjang, sehingga tidak terdeteksi
sebagai PHK masal. Sebagai contoh yang terjadi di perusahaan
garmen subkontraktor PT H di Palasari, sebelum krisis jumlah
buruhnya sekitar 1.000 orang, sekarang
tinggal 600
orang. Perusahaan
tidak pernah
melakukan PHK, akan tetapi menciptakan
kondisi yang
membuat buruhnya mengundurkan
7
bulan ini IPTN telah melakukan pensiun dini terhadap sekitar
1.000 buruhnya.
Proses pensiun ini tidak dilaporkan
kepada Depnaker,
dengan alasan
bukan PHK.
Berdasarkan keterangan dari buruh yang masih bekerja,
IPTN akan melakukan lagi PHK terhadap ribuan buruh yang
lain. Proses pensiun dini tidak menimbulkan
protes yang
cukup berarti dari buruh, selain karena mereka merasa kesal
akibat kehilangan pekerjaan, juga
karena IPTN
berani membayar jumlah uang pesiun
dini yang cukup besar, yaitu antara 30 sampai 40 juta
rupiah per orang.
9
Jumlah ini
diri.
9
Sebelum pensiun dini terjadi, Divisi Perburuhan LBH Bandung pernah
memberikan materi tentang PHK bagi buruh-buruh IPTN, dalam
diskusi tersebut
jelas terlihat
bahwa banyak
yang kecewa
seandainya mereka di PHK atau
sangat jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah
uang pesangon yang akan mereka
terima, seandainya
IPTN memberlakukan
PHK terhadap para buruh.
10
Selama musim PHK masal, tidak ada satu pun kekuatan
massa buruh
yang terorganisasi
pernah menentang atau menghentikan
terjadinya PHK
masal. Sebelum Indonesia meratifikasi
Konvensi ILO No. 87 pada tanggal 5 Juni 1998, SPSI
merupakan satu-satunya
serikat buruh yang diakui
terkena pensiun dini meskipun uang pensiunnya besar.
10
Sebagai perbandingan
dapat dilihat pada jumlah pesangon yang
diterima oleh 1.320 buruh PT Pindad yang terkena PHK. Dalam
pembayaran pesangon PT Pindad hanya
membayar pesangon
berdasarkan Permenaker No.3 tahun 1996, yaitu sebanyak 2 kali
PMTK, ditambah uang jasa bagi yang berhak menerimanya.
8
pemerintah. Dalam
kapasitasnya sebagai serikat buruh tingkat nasional, SPSI
tidak pernah melakukan usaha apapun untuk menentang PHK
masal. Serikat-serikat buruh tingkat nasional lainnyapun,
yang berdiri setelah ratifikasi
11
, tidak pernah melakukan usaha-
usaha untuk menentang laju PHK masal, bahkan beberapa
di antaranya
lebih mementingkan
organisasi daripada
mengurusi nasib
buruh. Sebenarnya,
ada beberapa serikat buruh tingkat
tempat kerja yang aktif dalam menentang PHK masal dan
ada yang berhasil menekan laju terjadinya PHK masal.
Akan tetapi, banyak juga di antara mereka yang gagal
bahkan pengurusnya
11
Hingga saat ini di tingkat nasional sudah ada 18 serikat buruh.
dirumahkan dan di intimidasi oleh perusahaan, seperti yang
dialami oleh pengurus Serikat Buruh PT NT Majalaya.
12
Sikap dan respon dari partai politik lebih menyedihkan lagi.
Sebelum terjadinya
krisis, Golkar, PPP dan PDI sama
sekali tidak
pernah menunjukkan
usaha yang
berarti untuk
menentang terjadinya
PHK masal.
Demikian juga dengan 45 partai politik lainnya yang
berdiri setelah
Soeharto mundur, termasuk empat partai
politik yang mengklaim dirinya sebagai partai buruh.
13
Semua
12
Wawancara dengan
pengurus Serikat Buruh PT NT Majalaya,
Februari 1999.
13
Dalam penghitungan suara yang sudah berjumlah 70, semua
partai buruh, belum menunjukkan adanya harapan akan memperoleh
kursi di DPR, DPRD I maupun di DPRD II. Hal ini sangat ironis
sekali jika melihat hampir 13
9
partai politik
sibuk memfokuskan dirinya kepada
kampanye pemilu
tanpa menyinggung masalah buruh.
Padahal, salah satu materi kampanye yang paling baik
adalah memperjuangkan nasib buruh yang sudah di ujung
tanduk. Sebagai
contoh, sewaktu terjadi aksi ribuan
buruh bank yang menuntut jumlah uang pesangon kepada
BPPN, tidak ada satu pun materi kampanye dari partai-
partai politik yang mengambil tema atau mendukung aksi
yang dilakukan buruh bank, padahal aksi itu dilakukan
bertepatan dengan
massa kampanye.
Demikian juga
dengan PHK masal terhadap 1.132 buruh PT Maspion, baik
yang berlokasi
di Gresik
pemilih adalah buruh.
maupun yang di Sidoarjo,
14
serta PHK masal terhadap 1.450 buruh PT Mayora,
15
tidak ada
partai politik
yang menunjukkan
keperdulian terhadapnya. Sebagai reaksi
terhadap sikap parpol, para buruh PT Mayora yang sedang
melakukan aksi massa di depan kantor Menaker pada
saat pemilu tanggal 7 Juni 1999, menyatakan menolak
memberikan suaranya dalam pemilu tersebut.
16
Terhadap terjadinya
PHK masal yang terjadi selama
krisis, tidak ada satu pun lembaga
yang mampu
menghentikannya.
14
Kompas, 24 Februari 1999.
15
Wawancara dengan
anggota Serikat Buruh Jakarta, Juni 1999
dan dari penuturan buruh PT Mayora kepada beberapa media
televisi tanggal 7 Juni 1999, Pikiran Rakyat, 2 Juni 1999.
16
SCTV, 7 Juni 1999.
10
Berdasarkan kesaksian para buruh di beberapa wilayah
industri di Kabupaten Bandung, SPSI
sama sekali
tidak mempersoalkan
terjadinya PHK masal. Mereka hanya
mengurusi uang pesangon, yang dalam banyak kasus,
para buruhnya
ternyata menerima pesangon lebih kecil
dari yang ditentukan dalam peraturan
yang berlaku
17
. Bahkan, SPSI kadang-kadang
menganjurkan terjadinya PHK dengan iming-iming mereka
akan memperjuangkan uang pesangon.
Sikap ini
sebenarnya merupakan
kebiasaan SPSI yang sudah berlangsung
sejak lama.
18
17
Pengaduan ke LBH Bandung, kasus
PHK masal
terhadap seluruh buruh 457 buruh PT IM
Majalaya, Februari 1999.
18
Klien LBH Bandung terhadap 53 buruh PT IT Cimahi, November
1998. Perlakuan
ini sudah
dilakukan sebelum
reformasi,
Sikap Depnaker, mulai dari Disnaker,
Depnaker, P4D,
Kanwil, P4P, dan Menteri Tenaga Kerja pun hampir sama
dengan sikap SPSI. Dalam kasus-kasus
PHK perseorangan dan PHK masal,
sebagian besar
anjuran DisnakerDepnaker, P4D dan
Keputusan P4P
adalah menyetujui atau mengabulkan
terjadinya PHK,
meskipun tanpa dasar hukum ataupun
bukan karena alasan krisis ekonomi.
19
Demikian juga
dengan Menteri Tenaga Kerja, meskipun
mempunyai hak
untuk melakukan veto, jarang sekali ia menggunakan haknya
untuk melakukan veto terhadap putusan
P4P. Pemerintah,
DPR, aparat
keamanan,
seperti yang dilakukan terhadap PHK masal 273 buruh CV W
Cimahi, 1996.
19
Berdasarkan kasus-kasus yang
11
penegak hukum serta lembaga pengadilan,
sekalipun tidak jauh berbeda, tidak dapat
berbuat banyak menghadapi PHK masal. Mereka cenderung
tidak mempersoalkan terjadi- nya PHK, asal perusahaan
membayar uang pesangon. Tidak
semua PHK
terjadi karena alasan kriris ekonomi.
Banyak PHK,
baik masal
maupun perorangan
yang terjadi selama krisis ekonomi,
dilakukan secara sewenang- wenang
oleh pengusaha
semata-mata hanya
untuk mematahkan perjuangan kaum
buruh dalam menuntut hak- haknya. Sebagai contoh, PHK
masal terhadap 53 orang buruh perempuan PT IT, Cimahi
November 1998 dilakukan buruh-buruh
itu karena
ditangani oleh LBH Bandung.
melakukan mogok, menuntut diberikannya cuti haid, dan
pengurangan beban dan jam kerja.
20
Demikian juga dengan PHK masal yang menimpa 40
orang buruh PT GA, Ujung Berung
Maret, 1999,
21
terhadap kurang lebih 1.727 buruh
Tyfountex, Solo,
22
terhadap 1.232 buruh PT Maspion meskipun akhirnya
dikerjakan kembali
setelah Menteri Tenaga Kerja Fahmi
Idris menjatuhkan
veto terhadap keputusan P4P,
23
dan terhadap buruh hotel PW Bandung
24
hanyalah mengulang perilaku represif
lama yang sudah berlangsung di masa Orde Baru, yaitu
semata-mata untuk
20
Klien LBH Bandung.
21
Wawancara dengan buruh PT GA.
22
Kompas, 8 September 1998.
23
Kompas, 24 Februari 1999.
24
Wawancara dengan buruh Hotel PW.
12
mematahkan perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak-
haknya. Di massa Orde Baru tindakan PHK masal selalu
ditentang pemerintah beserta aparat
keamanannya. Seringkali
Orde Baru
menyatakan aksi buruh seperti ini memiliki tuntutan yang tidak
masuk akal dan tanpa dasar hukum,
melanggar hukum,
meng-ganggu stabilitas
nasional, dan di-tunggangi oleh pihak ketiga.
Sebelum terjadi krisis ekonomi, PHK terhadap buruh sudah
sangat mudah
dilakukan, apalagi
dengan terjadinya
krisis. Hukum
perburuhan memberi peluang yang begitu
besar dan
mudah bagi
pengusaha untuk melakukan PHK
terhadap buruh.
Berdasarkan Permenaker No. 3 tahun 1996, pasal 25 :
ayat 1: Dalam
hal pemutusan
hubungan kerja perorangan bukan karena kesalahan
pekerja, maka
uang pesangon
ditetapkan sebesar
2 dua
kali ketentuan pasal 21 kecuali
atas persetujuan
kedua belah pihak ditetapkan lain,
uang jasa ganti kerugian sesuai dengan ketentuan
pasal 22 dan 23.
ayat 2 Dalam
hal pemutusan
hubungan kerja
masal karena perusahaan tutup,
besarnya uang pesangon, uang
jasa dan
ganti kerugian
ditetapkan berdasarkan
ketentuan pasal 21, pasal 22 dan pasal
23.
Ayat 3 Dalam
hal pemutusan
hubungan kerja masal yang disebabkan oleh efisiensi
perusahaan, uang pesangon ditetapkan 2dua dua kali
ketentuan pasal 21, uang jasa dan ganti kerugian
sesuai dengan ketentuan pasal 22 dan pasal 23
kecuali
atas persetujuan
kedua belah
pihak ditetapkan lain.
13
Berdasarkan peraturan pasal di atas, pengusaha mempunyai
hak yang dilindungi hukum untuk
melakukan PHK
terhadap buruh, baik karena kesalahan yang dilakukan oleh
buruh maupun
tanpa kesalahan. Selain itu, hal lain
yang memudahkan pengusaha melakukan
PHK terhadap
buruh adalah jumlah pesangon yang diberikan sangat kecil.
25
Meskipun ada ketentuan pada pasal 2 1, 3, dan 4 yang
melarang pengusaha
melakukan PHK,
dengan adanya ketentuan dalam pasal
25 maka
larangan PHK
25
Kecilnya uang pesangon telah menjadi
pemicu aksi
besar- besaran buruh-buruh perbankan
dari bulan Februari - Maret 199, yang terkena PHK masal akibat
dilikuidasinya 38 bank swasta oleh BPPN pada bulan Februari 1999.
Mereka melakukan aksi
untuk menuntut pesangon yang lebih
besar dari ketentuan Permenaker
tersebut menjadi
tidak mempunyai
arti apa-apa.
Berdasarkan alasan ini juga, maka
dalam masa
krisis, perusahaan tidak mempunyai
hambatan yang cukup berarti dalam
melakukan PHK
terhadap para buruhnya. Selain dari perangkat hukum
perburuhan yang
tidak membela kepentingan kaum
buruh, lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan dan
pengadilan juga memudahkan pengusaha melakukan PHK
terhadap buruh, baik masal maupun perorangan. Dalam
anjuran-anjuran dan
keputusan-keputusan yang
dikeluarkan DisnakerDepnaker, P4D, P4P,
dan pengadilan,
seringkali buruh yang tidak memiliki
No.3 tahun 1996.
14
kesalahan apapun di PHK tanpa dasar hukum. Alasan
yang digunakan lembaga itu sederhana saja, yaitu antara
buruh dan
majikan tidak
harmonis lagi
sehingga hubungan kerja tidak dapat
dilanjutkan, karena itu PHK diizinkan. Longgarnya alasan-
alasan untuk melakukan PHK sangat
memudahkan pengusaha melakukan kolusi
dengan aparat
untuk melakukan
PHK terhadap
buruh. Kondisi warisan Orde Baru ini masih berlangsung
hingga sekarang.