Model prediksi curah hujan berdasarkan Analisis Jaringan Syaraf

dari informasi sebelumnya apabila tersedia, 4 mengijinkan sasaran dinamik secara langsung untuk optimasi parameter filter, dan 5 Tambahan dari variabel kecepatan random dimana Filter Kalman selalu stabil Brookmer 1998 dalam Fitrian 2005 dalam Eksawati 2008. Peramalan hujan menggunakan metode Filter Kalman pernah dilakukan oleh Estiningtyas dan Amien pada tahun 2006. Peramalan curah hujan diaplikasikan lebih lanjut untuk menyusun skenario massa tanam dengan menggunakan input data suhu permukaan laut.

2.4 Model prediksi curah hujan berdasarkan Analisis Jaringan Syaraf

Berbagai teknik analisis dan pemilihan model dapat digunakan dalam penyusunan model prediksi curah hujan, tergantung pada keberadaan autokorelasi dan kolinieritas data pada peubah tak bebas yang akan diduga. Apabila tidak ada kolinieritas dan autokorelasi pada set data maka disarankan untuk menggunakan analisis regresi dari yang sederhana hingga yang berganda sedangkan bila tidak terdapat kolinieritas tapi terdapat autokorelasi pada set data maka digunakan analisis deret waktu atau fungsi transfer berganda, sedangkan apabila terdapat kolinieritas namun tidak terdapat autokorelasi disarankan untuk menggunakan kombinasi antara analisis komponen utama dengan analisis regresi berganda. Set data yang memiliki kolinieritas dan autoregresi disarankan menggunakan kombinasi antara analisis komponen utama dengan analisis deret waktu atau fungsi transfer berganda. Analisis jaringan syaraf NNA dapat diterapkan pada semua model diatas Wigena 2006 dalam Boer 2006. Jaringan syaraf neural network, NN sebagai suatu paradigma pengetahuan baru telah dirintis sejak limapuluh tahun yang lalu, ketika para ilmuwan menciptakan model perangkat elektronik pertama dari sel-sel syaraf. Jaringan syaraf tiruan menggunakan sejumlah unit komputasi sederhana yang disebut neuron, yang berusaha meniru perilaku sel tunggal otak manusia. Unit komputasi sederhana itu sendiri sebenarnya terdiri dari neuron yang terhubungkan secara bersama membentuk jaringan node yang disebut jaringan syaraf Gambar 2. a b c Gambar 2. Konsep jaringan syaraf manusia dan model jaringan syaraf tiruan. a komponen-komponen syaraf neuron, b gambaran mengenai synapses , dan c model jaringan syaraf Koesmaryono et al. 2007. Terdapat paling tidak tiga lapisan pada suatu jaringan langkah maju, lapisan input input layer, lapisan tersembunyi hidden layer, dan suatu lapisan output output layer. Lapisan input memberi umpan kepada lapisan tersembunyi, kemudian lapisan tersembunyi memberikan umpan kepada lapisan output. Pengolahan aktual dalam suatu jaringan terjadi dalam node pada lapisan tersembunyi dan lapisan output Gambar 3. Gambar 3. Skema neural network Habra 2005 Setiap koneksi antara syaraf memiliki bobot numerik. Apabila jaringan ini bekerja, suatu nilai akan diberikan pada setiap node – nilai tersebut akan diberikan oleh operator manusia, dari sensor lingkungan, ataupun dari beberapa program eksternal. Setiap node kemudian memberikan nilai tertentu pada suatu koneksi yang membawanya keluar, kemudian setiap koneksi mengalikannya dengan suatu pembobot. Setiap node pada lapisan berikutnya kemudian menerima nilai yang merupakan penjumlahan dari nilai yang dihasilkan dari setiap koneksi, dan dalam setiap node dilakukan perhitungan sederhana terhadap nilai tersebut. Secara khas fungsi ini merupakan fungsi sigmoid. Proses ini kemudian berulang, dengan hasil yang dilewatkan pada lapisan sub-sekuen dari node-node hingga mencapai node pada lapisan output. Jaringan syaraf tiruan merupakan sistem pemroresan informasi yang memiliki karakteristik serupa dengan jaringan syaraf biologis dengan ciri-ciri: • Pola hubungan antara elemen-elemen sederhana yakni neuron • Metode penentuan bobot koneksi • Fungsi aktivasinya Jaringan syaraf mempunyai sifat dan kemampuan: • Akuisisi pengetahuan di bawah derau noise dan ketidakpastian uncertainty • Representasi pengetahuan yang fleksibel • Pemroresan pengetahuan yang effisien Analisis jaringan syaraf atau NNA sudah banyak diterapkan untuk melakukan prediksi dalam bidang klimatologi dan hidrologi. Lee et al. 1998 melakukan interpolasi spasial untuk menduga curah hujan harian di 367 titik berdasarkan data curah hujan dari 100 stasiun yang terdekat di Swiss. Model non- linier menggunakan analisis jaringan syaraf menghasilkan prediksi yang sangat baik, sedangkan model linear di daerah yang kecil memberikan hasil prediksi yang buruk. Halide dan Ridd 2000 menyusun model dan melakukan prediksi dengan menggunakan tiga set data, yaitu data curah hujan Stasiun Makassar Indonesia, data curah hujan dari seluruh wilayah India, dan data anomali SST di lokasi Nino-3,4. Teknik pemodelan yang digunakan adalah pemodelan dengan logika fuzzy. Hasil pemodelan kemudian diterapkan untuk menentukan awal masa tanam padi Koesmaryono et al. 2007 telah memanfaatkan model ini untuk melakukan analisis dan prediksi curah hujan dan memanfaatkannya untuk pendugaan produksi padi dalam rangka antisipasi kerawanan pangan di sentra produksi pulau Jawa. Model prediksi curah hujan yang disusun tersebut memiliki sensitivitas yang beragam, berkisar dari 0.380 di Ngale Ngawi hingga 0.848 di Baros Serang, Model secara umum mampu menjelaskan 80-91 keragaman data dengan rata-rata kesalahan pendugaan 3,1-9,8 mm. Model tersebut juga memprediksikan bahwa pada Oktober 2007 hingga Februari-Maret 2008 terjadi peningkatan curah hujan hingga mencapai puncaknya pada Februari atau Maret 2008. Di Subang dan Karawang, diperkirakan akhir musim hujan 2007-2008 berada pada kondisi Normal–Atas Normal, musim kemarau 2008 dan musim hujan akhir tahun 2008 berada pada kondisi di Atas Normal.

2.5 Hubungan curah hujan dengan produksi padi