47
4.2 Sejarah Kota Siak 4.2.1 Sejarah Sungai Siak
Sungai Siak adalah sungai terdalam di Indonesia, yaitu rata-rata 29 meter, di beberapa tempat bahkan mencapai 35 meter. Sumber lain menyatakan
dalamnya rata-rata 30 meter dengan kisaran antara 16 hingga-60 meter. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa sungai ini termasuk sungai yang paling
banyak dilayari hingga mencapai jauh ke hulu. Sebagai suatu habitat, sungai ini memberikan hidup kepada berbagai jenis ikan, lebih banyak daripada sungai-
sungai lainnya. Ini membuatnya menjadi sumber kehidupan bagi pertumbuhan masyarakat di sepanjangnya Kusumawijaya dkk, 2004.
Lebih dari 1,5 juta manusia bergantung bergantung pada Sungai Siak untuk kegiatan sehari-harinya seperti mandi dan cuci dan terutama untuk
transportasinya. Sungai Siak mengalami degradasi dalam semua aspek mulai dari hulu hingga hilir. Sebelum tahun 1980-an air Sungai Siak masih berwarna
kehijauan namun sekarang sudah menjadi coklat kehitam-hitaman. Keadaan ini mengakibatkan menyusutnya jumlah jenis ikan dan vegetasi Kusumawijaya dkk,
2004.
Universitas Sumatera Utara
48 Gambar 4.3
Perahu penghubung antar desa yang dipisahkan Sungai Siak, sebuah pemandangan keseharian di atas Sungai Siak
Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004
4.2.2 Arsitektur dan Kota
Alam memang menentukan semua aspek kehidupan suatu masyarakat. Sungai Siak sangat besar pengaruhnya terhadap arsitektur daerah ini. Hal ini
dikarenakan sejak dahulu sungai menjadi urat nadi ekonomi dan budaya, sungai berpengaruh terhadap penataan lingkungan pada kawasan ini dimana tiap rumah
yang ada di pinggiran Sungai Siak berpelantar menjulur ke atas sungai. Sesuai dengan keperluannya ada beberapa jenis pelantar yakni pelentar kecil selebar
sekitar 30 cm atau selebar papan, disusun memanjang. Pelantar yang besar lebarnya sekitar dua meter disusun melintang. Hutan Siak menyediakan berbagai
jenis kayu seperti meranti dan kempas, dari kedua jenis kayu itulah pelantar itu umunya dibuat. Kayu-kayu itu berasal dari hutan-hutan di dataran rendah yang
merupakan hutan khas Riau Kusumawijaya dkk, 2004.
Universitas Sumatera Utara
49 Pelantar itu merupakan bagian bangunan yang di manfaatkan untuk
berbagai maksud seperti mencuci, mandi, memancing, bermain, dan menambatkan perahu. Budaya sungai seperti inilah segala jenis bangunan sengaja
ditempelkan di sungai : masjid, pasar, balai kerapatan tinggi, istana, rumah rakyat, kedai, dan segala jenis bangunan lain. Masing-masing bangunan tersebut
dilengkapi dengan pelantar yang merupakan ungkapan hak atas penggunaan sungai sebaik-baiknya dan sepenuh-penuhnya. Dengan menghitung jumlah
pelantar yang ada di tepi sungai, kita akan mendapat gambaran mengenai kepadatan suatu daerah, perkiraan jumlah penduduk sebuah kampung atau kota,
semakin rapat pelantar, semakin padat penduduk di daerah itu. Di Kota Siak Sri Indrapura ditemui kerapatan yang sangat mencolok dibandingkan daerah-daerah
lain, kecuali sampai di Pekanbaru Kusumawijaya dkk, 2004.
Gambar 4.4 Keramaian di Jalan Pasar, pusat perdagangan Kota Siak yang merupakan jantung
kehidupan masyarakat Siak Sri Indrapura Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004
Universitas Sumatera Utara
50 Gambar 4.5
Kehidupan masyarakat di Pelantar rumahnya di tepi Sungai Siak Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004
Gambar 4.6. Sehabis Sunatan di Kota Siak anak-anak dan orang tuanya berjalan pulang menuju
Desa Mempura yang berada di seberang Sungai Siak menggunakan perahu penghubung
Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004
Kota
Jalan Pasar dan beberapa jalan yang bermuara padanya adalah pusat kehidupan sehari-hari Siak Sri Indrapura. Disepanjang jalan ini rapat berderet
berbagai jenis bangunan, ada yang terbuat dar kayu seluruhnya, ada juga yang separuh bawah berupa batu berplester dan bagian atasnya kayu. Rumah-rumah
yang dibangun disebelah barat kelenteng dibangun antara tahun 1920-1950. Lantai rumah-rumah ini berhubungan langsung dengan jalan yang lebarnya 5,5 m.
Universitas Sumatera Utara
51 pada lantai atasnya terdapat pintu „bohong‟, yakni jendela berpagar jerajak
setinggi pintu. Jendela-jendela itu umumnya terbuak lewat siang sampai tengah malam, tentu dengan maksud agar udara bias masuk kedalam rumah dengan
leluasa. Dikawasan niaga ini banyak ditemukan kedai kopi yang juga menyediakan berbagai makanan misalnya nasi goring, mie goring dan bubur
ayam. Di kedai-kedai ini setiap hari kerja tampak banyak pegawai, termasuk pegawai negeri sipil berseragam coklat muda dating untuk sarapan dan makan
siang. Kehdupan di kota kecil ini memang jauh dari hiruk-pikuk kota besar yang serba tergesa-gesa.
Gambar 4.7. Salah satu peninggalan sejarah perdagangan berupa daun pintu kayu dengan corak
ukiran Cina di Toko Bintang Jaya, deng an tulisan berarti “Bunga Mekar
Kekayaan Agung” dan “Bambu Menghaturkan Ucapan Selamat” pintu tersebut masih terpelihara dengan baik dan konon katanya bangunan berpintu Cina ini
milik saudagar Cina Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004
Universitas Sumatera Utara
52 Gambar 4.8
Kawasan Pecinan di Jalan Pasar yang didirikan pada abad ke-20. Deretan bangunan terbuat dari kayu seluruhnya ini merupakan ciri arsitektur pusat
perdagangan kota-kota kecil di sepanjang Sumatera. Pada arsitektur asli bangunan lama, bagian atas yang memiliki jendela-jendela besar yang disebut sebagai pintu
bohong masih dipertahankan sebagai rumah tinggal sedangkan bagian bawah yang sudah bertembok tetap digunakan untuk berdagang.
Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004
Gambar 4.9 Kesibukan pagi hari di pasar bermuara di jalan raya, yaitu Jalan Pasar atau Jalan
Sultan Ismail yang membujur searah Sungai Siak. Dulu, pasar ini merupakan jalur keluar masuk para pedagang, saudagar, atau pendatang dari luar Siak.
Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004
Universitas Sumatera Utara
53 Gambar 4.10
Dibangun pada tahun 1898, Kelenteng merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Siak. Kelenteng dengan warna-warna terang merupakan jeda yang sedap
bagi deretan rumah toko yang berwarna redup disekelilingnya. Seluruh atap dan tiangnya dicat merah dan ujung-ujung atapnya melengkung.
Sumber : Kusumawijaya dkk, 2004 Kearah darat, Jalan Pasar terdapat kawasan kesultanan, yang ditandai
batasnya dari kawasan ramai niaga dengan sebuah kali kecil berjembatan putih. Jembatan yang bertanda tahun 1899 ini masih asli seperti pertama kali dibangun.
Istana dan kota, kebangsawanan dan kenigaan, terpisah secara tatanan dan perlambangan. Tatanan kota rapat, sedang tatanan kebangsawanan lapang, dengan
bangunan-bangunan besar dikelilingi hamparan luas lapangan terbuka. Di depan istana dan halaman luas dengan polataman bergaya Eropa,
terdapat sebuah lapangan bagi masayarakat berbentuk persegi empat yang membuka ketepi Sungai Siak. Dua jalan sejajar sungai, satu di utara, diantara
lapangan ini terdapat halaman istana dan disebelah selatan, diantara lapangan ini dan tepian sungai siak, menghubungkan lapangan ini ke pasar di sebelah timur. Di
hadapan lapangan ini, dekat dengan bibir sungai terpajang sebuah „Perahu Koto‟
Universitas Sumatera Utara
54 yang saat ini sudah berpindah posisi berada di kawasan halaman belakang istana,
yaitu perahu motor yang pernah digunakan oleh Sultan terakhir dalam tahun-tahun sebelum Perang Dunia ke-2. Di sebelahnya terdapat Gedung Serba Guna Tengku
Maharatu. Di antara perahu dan gedung serba guna di tepi jalan, ada pan yang isinya kutipan satu bait dari Hikayat Hang Tuah: Tuan Sakti bamboo negeri; Esa
bilang dua terbilang Patah tumbuh hilang berganti; takkan Melayu hilang di bumi. Menyusur sungai ke barat setelah istana, ada Masjid Raya Syahbuddin dan
Balai Kerapatan Tinggi. Di Siak, bukan hanya masjid yang berkubah, tetapi dahulu juga balai dan istana. Masjid dan istana tegak dengan ciri arsitektur Islam.
Interior masjid dan istana dipenuhi dengan garis-garis, sedangkan tampilan luarnya bersahaja.
4.3 Kondisi Eksisting Lingkungan Permukiman di Kelurahan Kampung Dalam