25 Menurut Rapoport 1969 dalam bukunya House Form and Culture
mengatakan bahwa : ”The house, the village, and town express the fact societies share
certain generally accepted goals and life values. The environment sought reflects many socio-cultural forces, including religious
beliefs, family and clan structure, social organization, way of
gaining livelihood, and social relation between individuals”
Jadi perubahan rumah dan permukiman dipengaruhi oleh kekuatan sosial budaya, termasuk agama, pola hubungan kekeluargaan, organisasi kelompok
social, cara hidup dan beradaptasi sehari-hari dan hubungan sosial antar individu Goenmiandar, dkk, 2010.
Turner 1972 dalam Sanggalang dan Adji 2014 menyatakan bahwa yang terpenting dari hunian bukan wujudnya, melainkan dampak terhadap kehidupan
penghuninya. Hunian tidak dapat dilihat sebagai bentuk fisik bangunan menurut standar tertentu dweling unit, tetapi merupakan proses interaksi hunian dengan
penghuni dalam siklus waktu. Konsep interaksi antara hunian dan penghuninya adalah apa yang diberikan hunian kepada penghuni, serta dilakukan penghuni
terhadap huniannya.
2.3 Permukiman Bantaran Sungai
Permukiman baik di dunia belahan barat maupun di timur kebanyakan bermula dari daerah sekitar air, entah itu sumber air, sungai, danau maupun laut
Mahatmanto, 2008 dalam Sanggalang dan Adji, 2014. Sungai merupakan awal terbentuknya permukiman kolektif dan akhirnya berkembang menjadi sebuah
kota. Dalam studi standar spesifikasi teknis yang disusun Ditjen Cipta Karya Departemen PU 1998 : II-2 dalam Usop 2003 definisi permukiman di tepian
Universitas Sumatera Utara
26 sungai, ditinjau dari karakteristik permukiman beserta aspek-aspek yang
mempengaruhi dan membentuknya adalah bangunan terapung atau panggung yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga, yang berada di atas badan perairan berupa sungai, danau, rawa ataupun pantailaut dengan sifat seluruhnya ataupun sebagian selalu atau sewaktu-waktu
berada di atas air apabila terjadi luapan air baik dari sungai, danau, dsb.
2.3.1 Peraturan Tentang Bantaran Sungai
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai dikatakan bahwa sungai adalah alur atau wadah air alami danatau
buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Daerah aliran
sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan atu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai sampai dengan
daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggu sebelah dalam yang terletak di
kiri danatau kanan palung sungai. Sedangkan garis sempedan adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang di tetapkan sebagai batas pelindungan
sungai.
Garis sempadan pada sungai bertanggul di kawasana perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 2011 Tentang Sungai ditentukan paling sedikit berjatak 3 m tiga meter
Universitas Sumatera Utara
27 dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Sedangkan sungai tidak
bertanggul di dalam kawasan perkotaan paling sedikit berjarak 30 m tiga puluh meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih
dari 20 m dua puluh meter. Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai dalam Pasal 8 ayat 2 huruf d ditentukan paling sedikit berjarak 5
m lima meter daritepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Sedangkan garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan
paling sedikit berjarak 100 m seratus meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai dan garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di
luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud ditentukan paling sedikit 50 m lima puluh meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
2.3.2 Karakteristik Permukiman Bantaran Sungai
Rapoport 1969, dalam bukunya House Form and Culture, menjelaskan pengaruh dari topografi sebagai faktor yang menentukan pembangunan
permukiman. Rapoport menyatakan bahwa ada dua pertimbangan bagi masyarakat untuk memilih tempat permukimannya, yaitu fisik lingkungan alam setempat dan
pilihan sosial-budaya. Kebudayaan merupakan unsur non fisik yang mempengaruhi wajah suatu kota. Kebudayaan merupakan hasil pemahaman
manusia terhadap dirinya dengan unsur-unsur lain di luar dirinya. Rapoport 1969 kembali menegaskan bahwa, perubahan bentuk rumah
bukan merupakan hasil kekuatan faktor fisik atau faktor tunggal lainnya, tetapi
Universitas Sumatera Utara
28 merupakan konsekuensi dari cakupan faktor-faktor budaya yang terlihat dalam
pengertian yang luas. Pembentukan lingkungan permukiman, Rapoport membaginya menjadi dua kelompok elemen dasar, yakni elemen fisik, seperti,
kondisi iklim, metode konstruksi, material yang tersedia dan teknologi, dan elemen socio-cultural. Menurut Rapoport 1969 elemen socio-cultural
merupakan elemen utama atau prima, sedangkan yang lain adalah elemen sekunder.
Menurut Silas 1985 dalam Widyastomo 2011 suatu permukiman hendaknya mengikuti kriteria bagi permukiman yang baik, dengan memenuhi
aspek fisik dan aspek nonfisik. Proses bermukim menjadi faktor pengikat antara masa dulu, kini dan masa akan datang dengan tujuan peningkatan kualitas hidup.
Aspek fisik dan nonfisik saling mempengaruhi satu dengan yang lain sebagai wujud dari aspek-aspek yang tidak saling terpisahkan antara satu dengan lainnya.
Oleh karena itu, kriteria atau karakteristik permukiman yang ideal adalah adanya pemenuhan aspek fisik dan non fisik di dalamnya berupa aspek sosial,
budaya, ekologis dan fungisonal yang saling mempengaruhi, dengan tujuan peningkatan kualitas hidup.
2.3.3 Pola Permukiman Bantaran Sungai
Pola permukiman bantaran sungai umumnya adalah pola linier, karena berderet-deret sepanjang pinggiran sungai mengikuti bentuk sungainya. Di kota
Banjarmasin pola permukiman pinggir sungainya juga berbentuk linear. Rumah- rumah dibangun menghadap ke sungai dan pada tepian sungai terdapat dermaga
yang dihubungkan dengan titian. Dermaga digunakan untuk menambatkan perahu
Universitas Sumatera Utara
29 sebagai satu-satunya alat transportasi pada saat itu serta digunakan sebagai sarana
dalam memanfaatkan air sungai sebagai sumber air minum dan sanitasi Daud, 1997 dalam Goenmiandari,dkk,2010.
Menurut Iwan Suprijanto dalam Usop 2003 dalam makalah karakteristik spesifik, permasalahan dan potensi pengembangan kawasan permukiman perairan
kota di Indonesia, proses pembentukan sebuah kawasan permukiman di awali dari :
a. Sejarah awal keberadaan lingkungan perumahanpermukiman dapat dibedakan
atas 2 dua kronologis, yaitu :
Perkembangan yang dimulai oleh kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi, yang kemudian menetap dan berkembang secara turun-
temurun membentuk suatu klankomunitas tertentu serta cenderung bersifat sangat homogen, tertutup dan mengembangkan tradisi dan nilai-
nilai tertentu, yang pada akhirnya merupakan karakter dan ciri khas permukiman tersebut.
Perkembangan sebagai daerah alternatif permukiman, karena peningkatan
arus urbanisasi, yang berakibat menjadi kawasan liar dan kumuh perkotaan.
b. Tahapan perkembangan kawasan perumahanpermukiman di perairan adalah :
Tahap awal ditandai oleh dominasi pelayanan kawasan perairan sebagai
sumber air untuk keperluan hidup masyarakat. Kota masih berupa suatu kelompok permukiman di atas air.
Universitas Sumatera Utara
30
Ketika kota membutuhkan komunikasi dengan lokasi lainnya kepentingan per- dagangan maka kawasan perairan merupakan prasarana transportasi,
dan dapat diduga perkembangan fisik kota yang cenderung memanjang di pantai, di sungai, di danau linier.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan semakin kompleksnya
kegiatan fungsional, sehingga intensitas kegiatan di sekitar perairan makin tinggi. Jaringan jalan raya menawarkan lebih banyak kesempatan
mengembangkan kegiatan. Walaupun begitu, jenis fungsi perairan tidak berarti mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan makin
beragam. c.
Kawasan permukiman di atas air cenderung rapat kepadatan bangunan tinggi dan jarak antar bangunan rapat dan kumuh tidak teratur, kotor, dll.
Dominasi kawasan perumahanpermukiman nelayan, yang umumnya kumuh dan belum tertata.
d. Pola perumahan dipengaruhi oleh keadaan topografi, dibedakan atas 3 tiga,
yaitu :
Daerah perbukitan cenderung mengikuti kontur tanah;
Daerah relatif datar cenderung memiliki pola relatif teratur, yaitu pola grid atau linear dengan tata letak bangunan berada di kiri-kanan jalan atau
linear sejajar dengan mengikuti garis tepi pantai;
Daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster, yang tidak teratur dan organik. Pada daerah-daerah yang telah ditata umumnya
menggunakan pola grid atau linear sejajar garis badan perairan.
Universitas Sumatera Utara
31 e.
Orientasi bangunan semula umumnya menghadap perairan sesuai orientasi kegiatan berbasis perairan. Perkembangan selanjutnya orientasi kegiatan ke
darat semakin meningkat bahkan lebih dominan, maka orientasi bangunan cenderung menghadap ke arah darat dan lebih mempertimbangkan aspek
fungsional dan aksesibilitas. f.
Secara arsitektural, bangunan pada permukiman di kota pantai dibedakan atas: - Bangunan di atas tanah;
- Bangunan panggung di darat; - Bangunan panggung di atas air;
- Bangunan rakit di atas air pernah ada dan saat ini sudah jarang dijumpai; Arsitektural bangunan dibuat dengan kaidah tradisional maupun modern,
sesuai dengan latar belakang budaya dan sukuetnis masing-masing. g.
Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi sederhana, tradisional dan konvensional, yang kurang memperhitungkan pengaruh angin,
tsunami, gempa, dll.
Universitas Sumatera Utara
32
2.4 Diagram Kepustakaan