82
3. Ketentuan Ganti Kerugian
Menurut Mariam Darus Ganti Rugi schadevergoeding adalah kerugian nyata Feitelijknadee yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan itu
diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji. Jumlahnya ditentukan dengan suatu perbandingan diantara keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji dan
keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi ingkar janji.
89
Ediwarman berpendapat : Pada hakekatnya mengenai ganti rugi di dalam hukum perdata selalu dikaitkan
karena adanya ingkar janji di dalam suatu persetujuan yang dilakukan oleh salah satu pihak dan kerugian itu biasanya selalu berhubungan langsung dengan ingkar
janji. Dalam perkataan lain ingkar janji dengan kerugian harus ada hubungan sebab akibat kausal, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1248 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.
Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria ganti rugi tanah diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi :
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dan rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi
ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur di dalam undang-undang”. Ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria ini “ ganti rugi tersebut
hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat demikian juga kepentingan pembangunan”.
Berdasarkan pendapat pakar hukum dan ketentuan pasal 18 UUPA dapat dirumuskan bahwa ganti rugi adalah penggantian atas nilai berikut bangunan,
89
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata, Buku III, Hukum Perikatan, Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
83
tanaman dan benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dengan tujuan agar kepentingan bersama yang
berwujud kepentingan rakyat, bangsa dan pembangunan dapat terlaksana dengan semestinya.
Ediwarman lebih lanjut menyatakan bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi ditentukan sebagai
berikut :
90
a. Besarnya jumlah ganti rugi itu ditentukan sendiri oleh Udang-Undang, hal ini dapat dilihat dari pasal 1250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yo LN
1948 No. 22 yang menetapkan besarnya jumlah bunga 6 pertahun, karena bunga adalah merupakan apa yang harus dibayar siberhutang karena
kelalaiannya.
b. Pihak-pihak sendiri menentukan bentuknya jumlah ganti rugi c. Jika tidak ada ketentuan di dalam undang-undang dan para pihak sendiri juga
tidak menentukan apa-apa, maka besarnya ganti rugi ini harus ditentukan berdasarkan kerugian yang benar-benar telah terjadi, atau dapat diduga
sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan dari isi si berpiutang harus sama seperti seandainya si berhutang memenuhi kewajibannya.
Dasar penetapan ganti kerugian menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan juga Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Indonesia Nomor 65 Tahun 2006, yakni sama-sama “ berdasarkan musyawarah”.
90
Ibid, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
84
Penetapan ganti kerugian dalam keputusan presiden yang dimaksud di atas dapat dilihat pada pasal 16 yang menyatakan sebagai berikut : “bentuk dan besarnya
ganti kerugian ditetapkan dalam musyawarah”. Oloan Sitorus mengartikan musyawarah yang dimaksud di atas adalah
“musyawarah antara pihak pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti –
kerugian”.
91
Oleh karena itu kehadiran atau ketertiban oleh orang-orang yang diluar kepanitiaan yang resmi tidak dibutuhkan, karena menurut Maria S.W Sumardjono,
hal itu akan semakin mengaburkan arti musyawarah secara substansi.
92
Untuk mencapai musyawarah dan mufakat yang dimaksudkan diatas perlu adanya suatu persetujuan antara kedua belah pihak yang bermufakat tersebut. Syarat-
syarat sahnya suatu persetujuan menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu : a Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, b Cakap untuk
membuat suatu perikatan, c Suatu hal tertentu dan d Suatu sebab yang halal. Bentuk ganti rugi yang diatur di dalam pelepasan hak atas tanah, mengatur Pasal 13
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yakni : a berupa uang; b tanah
pengganti; c pemukiman pengganti; d gabungan tanah dan uang; e gabungan
91
Oloan Sitorus, Pelepasan atau Penyerahan Hak Sebagai Cara Pengadaan Tanah, Dasamedia Utama, Jakarta, 1995, hal. 33.
92
Maria SW. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001, hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
85
antara dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam hurut a, huruf b, dan huruf c, dan bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
93
Di dalam Pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dijelaskan
bahwa ganti kerugian yang termaksud di atas diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Untuk tanah-tanah yang bersifat hak ulayat ganti kerugian diberikan dalam bentuk lain seperti dengan mendirikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain
bagi masyarakat setempat, dengan dasar ganti kerugian dengan nilai jual yang ditaksir oleh pemerintahinstansi setempat yaitu instansi pemerintah daerah yang bertanggung
jawab dibidang tersebut. Sedangkan untuk tanah harganya disesuaikan dengan nilai nyata dari tanah tersebut dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak NJOP
Bumi dan Bangunan yang terakhir. Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006.
94
Maria S.W. Soemardjono lebih lanjut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nilai nyata adalah “market value atau harga yang wajar”, yaitu harga yang
disepakati oleh penjual dan pembeli untuk sebidang tanah dalam keadaan yang wajar, tanpa adanya unsur paksaan untuk penjual atau pembeli.
95
93
Boedi Harsono, Op.cit, hal. 640-641.
94
Ibid
95
Maria SW Soemardjono, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
86
4. Ketentuan Jual Beli