Alat Pengumpulan Data Analisis Data

33 g Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN No.3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. h Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN No.9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. i Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Uraian Tugas Sub Bagian Dan Seksi Pada Kantor Wilayah Badan pertanahan Nasional di Propinsi Dan Uraian Tugas Sub Bagian, Seksi Dan Urusan Serta Sub Seksi Pada Kantor Pertanahan. j Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26PermentanOT.14022007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. 2 Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini. 3 Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus Indonesia dan artikel-artikel lainnya yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.

3. Alat Pengumpulan Data

Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran hasilnya, maka dalam hal ini digunakan alat penggumpulan data, yaitu: Universitas Sumatera Utara 34 1. Studi Dokumentasi, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi dokumen dari literatur yang berasal dari kepustakaan ataupun yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan penyelesaian konflik di areal tanah garapan. 2. Studi Lapangan, yang dilakukan dengan pedoman wawancara terhadap informan, yaitu : Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan informan hingga dapat menjawab permasalahan dari penulisan tesis ini. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. Universitas Sumatera Utara 35

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA KONFLIK

PERTANAHAN PADA MASYARAKAT DI KABUPATEN LANGKAT

A. Konflik Pertanahan Sebagai Gejala Sosial

Penyebab utama dari adanya konflik dapat ditelusuri dari akar-akar ekonomi, politik konflik di bidang pertanahan dilihat sebagai suatu masalah ekonomi politik dan oleh karena itu upaya-upaya penyelesaiannya haruslah mempertimbangkan pada faktor-faktor ekonomi politik 63 . Konflik hak atas tanah timbul karena adanya pengaduankeberatan dari orangBadan Hukum yang berisi keberatan dan tuntutan terhadap suatu keputusan tata usaha negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional dimana keputusan pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu. 64 Meningkatnya berbagai masalah pertanahan di berbagai daerah saat ini, dapat diamati dari berbagai isi pemberitaan media massa baik surat kabar maupun elektronik yang hampir setiap hari memuat berita tentang konflik di bidang pertanahan. Dari berbagai permasalahan yang terjadi seputar masalah konflik pertanahan di masyarakat tersebut, hanya sebahagian kecil saja yang memperoleh penyelesaian secara tuntas selebihnya penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat politis bahkan 63 Hadi Mulyo, Mempertimbangkan ADR,Kajian Alternatif Penyelesaian Konflik di Luar Pengadilan, Elsam, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 1997. 64 Ali Achmad Chomzah, Penyelesaian Konflik Hak Atas Tanah, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2003, hal. 29. 35 Universitas Sumatera Utara 36 dengan penyelesaian sifatnya sementara saja, sehingga tetap menjadi atau menyimpan masalah 65 . Pada saat masalah konflik pertanahan muncul ke permukaan, hukum dituding tidak dapat melindungi hak-hak atas tanah rakyat, dimana seharusnya hukum berpihak kepada golongan ekonomi lemah, sebagaimana dijanjikan dalam Pasal 11 UUPA. Oleh karena itu janji hukum agraria untuk melindungi hak atas tanah rakyat dirasakan jauh dari kenyataan, hanya dapat terwujud dalam impian sebagai penyelesaian masalah konflik pertanahan di masyarakat yang hanya dalam cita-cita semata. Akhirnya rakyat yang terus mengharapkan penyelesaian yang adil dalam kenyataan yang didambakannya menjadi putus asa untuk memperoleh penyelesaian hukum. Masyarakat menilai penyelesaian konflik pertanahan selalu berpihak kepada kelompok tertentu yang tidak pantas untuk dilindungi. Sedangkan pihak yang tidak pantas memperoleh perlindungan hukum tersebut tidak pernah iba melihat nasib rakyat yang tertindas hak atas tanahnya dan pada akhirnya rakyat kehilangan kesabaran, dan melakukan tindakan yang berada di luar jalur hukum. Kenyataan ini membuat masyarakat pesimis terhadap penyelesaian konflik pertanahan yang mereka hadapi secara hukum sehingga akhirnya melahirkan tindakan yang berada di luar jalur hukum yang menimbulkan konflik berkepanjangan di masyarakat. Dampak sosial konflik adalah terjadinya kerenggangan sosial diantara warga masyarakat, termasuk hambatan bagi terciptanya kerjasama diantara warga masyarakat. 65 Muhammad Yamin, Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal. 192. Universitas Sumatera Utara 37

B. Jenis-jenis Konflik Pertanahan di Kabupaten Langkat

Jenis-jenis konflik pertanahan yang terjadi di Kabupaten Langkat dapat dikelompokkan menjadi tujuh bagian besar yaitu. 66 1. Tanah warisan 2. Pelepasan hak dan ganti rugi 3. Jual beli 4. Penguasaan penyerobotan tanah 5. Batas-batas tanah 6. Ganti kerugian 7. Pengosongan tanah 1. Tanah warisan Konflik tanah warisan yang terjadi di Kabupaten Langkat pokok permasalahan yang dikonflikkan adalah tentang pemegang hak, tentang pemindahan hak yang dikuasai oleh pihak ketiga, terhadap jual beli tanah warisan yang belum dibagi kepada ahli waris. Pada konflik ini yang dipersoalkan adalah tentang Penerbitan sertifikat ke atas nama seluruh ahli waris dimana tanah tersebut belum dibagi kepada masing-masing ahli waris masih dalam boedel waris namun telah diterbitkan sertifikat hak milik atas nama salah seorang ahli waris. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku karena harus diterbitkan juga ke atas nama ahli waris yang lain, terkecuali ahli waris tersebut telah melepaskan hak 66 Wawancara dengan Muhammad Irsan, Staff Bidang Konflik Perkara, Kantor Pertanahan Kababupaten Langkat pada tanggal 25 Juni 2010. Universitas Sumatera Utara 38 kewarisannya atau menyetujui tanah tersebut diatas namakan kepada salah satu ahli waris saja. Pada konflik ini, ahli waris berkonflik dengan pihak ketiga mengenai hak kepemilikan atas tanah warisan tersebut. 2. Pelepasan hak dan ganti rugi Pada konflik tanah dengan jenis pelepasan hak dengan ganti rugi dan konflik jual beli, jenis konflik yang dipermasalahkan adalah tentang pengalihan haknya yang dialihkan kepada pihak pembeli sebelum dilakukan pembagian kepada ahli waris. Pelepasan hak dan ganti rugi lainnya mempersoalkan terhindarnya surat pelepasan hak dan ganti rugi tersebut cacat hukum dan tidak terpenuhinya uang pembayaran ganti rugi pada peralihan hak tersebut atau harga pelepasan hak dan ganti rugi tidak sesuai dengan harga pasaran tanah di daerah tersebut. Pada konflik mengenai tidak adanya kesesuaian atas harga ganti rugi atas tanah tersebut, biasanya melibatkan kelompok masyarakat dengan badan hukum baik swasta maupun pemerintah. Pada konflik pelepasan hak dan ganti rugi dengan pokok permasalahan kesesuaian harga ganti rugi para pihak tidak mengindahkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 mengenai pelepasan hak dan ganti rugi atas tanah untuk kepentingan umum. Pada konflik jenis pelepasan hak dan ganti rugi ini, masyarakat pemilik tanah sering dirugikan dalam hal harga ganti rugi sehingga terjadi perlawanan oleh masyarakat tersebut terhadap badan hukum baik swasta maupun pemerintah. 3. Jual beli Untuk jenis konflik jual beli yang dipermasalahkan adalah tentang pengalihan haknya kepada pihak ketiga, kemudian mempersoalkan tentang ganti rugi tentang Universitas Sumatera Utara 39 batas-batas tanah yang diperjualbelikan. Pengertian batas-batas tanah yang diperjual belikan disini adalah bahwa pada saat terjadinya jual beli, batas-batas tanah yang diperjualbelikan tersebut kurang jelas, sehingga pada saat telah terjadi jual beli pihak ketiga merasa keberatan karena menganggap tanah yang telah diperjual belikan tersebut melampaui batas-batas hak kepemilikannya. Konflik jual beli ini juga ada yang mempermasalahkan tentang penguasaan penyerobotan hak dengan cara mendirikan tonggak-tonggak di atas tanah yang telah dijual kepada pembeli. Jenis konflik jual beli yang paling unik adalah mempersoalkan tentang penerbitan sertifikat mempermasalahkan tentang tumpang tindih hak dan mempersoalkan tentang perjanjian dalam pengikatan jual beli. 4. Penguasaan penyerobotan tanah Jenis konflik lainnya yang terjadi di Kabupaten Langkat adalah konflik penyerobotan tanah. Jenis konflik ini memperkirakan tentang pengalihan haknya, penyerobotan haknya dengan cara mendirikan bangunan di atas tanah milik orang lain. Selain itu memperkarakan tentang penerbitan sertifikat juga memperkarakan tentang perjanjiannya. 5. Batas-batas tanah Jenis konflik tanah lainnya yang juga cukup banyak terjadi di Kabupaten Langkat yaitu konflik mengenai batas-batas tanah. Konflik jenis ini mempermasalahkan tentang penyerobotan batas-batas tanah ini ada yang mendirikan bangunan di atas batas-batas tanah yang menjadi hak milik orang lain. Konflik batas tanah juga mempersoalkan tentang penerbitan sertifikat dari batas-batas tanah. Selain Universitas Sumatera Utara 40 itu juga mempersoalkan tentang ganti rugi terhadap batas-batas tanah yang disebabkan dari jual beli. 67 6. Ganti kerugian Konflik tanah lainnya yang terjadi di Kabupaten Langkat adalah konflik mengenai ganti rugi atas tanah. Pada jenis konflik ini yang menjadi masalah adalah mengenai ganti kerugian yang tidak sesuai dengan perjanjian, ganti kerugian terhadap batas-batas tanah yang kabur, terhadap batas-batas tanah yang cacat hukum pada pelaksanaannya karena tidak terpenuhinya uang pembayaran. 7. Pengosongan Tanah Jenis konflik pengosongan tanah ini merupakan suatu keputusan dari pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap yang akan dieksekusi oleh aparat yang berwenang dalam pengosongan tanah tersebut. Konflik yang terjadi pada umumnya adalah pemilik tanah yang akan dikosongkan tetap bertahan menduduki tanah tersebut meskipun ia telah kalah dalam putusan pengadilan dalam hal kepemilikan atas tanah tersebut. Aparat yang berwenang dalam melakukan pengosongan tanah pada umumnya terpaksa melakukan upaya paksa untuk mengeluarkan pihak yang tidak berwenang menduduki tanah tersebut. Konflik atas pengosongan tanah tersebut sering terjadi diakibatkan oleh kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat dalam menerima keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 67 Wawancara dengan Muhammad Ridwan Nasution, Staff Bidang Konflik Pertanahan Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat Pada Tanggal 23 April 2010. Universitas Sumatera Utara 41

C. Faktor-Faktor Timbulnya Konflik Pertanahan di Kabupaten Langkat

Faktor-faktor penyebab timbulnya konflik pertanahan di areal tanah garapan di Kabupaten Langkat adalah sebagai berikut : 1. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat yang antara lain meliputi : a. Ingin menguasai tanah orang lain atau penyerobotan yang merupakan penyimpangan perilaku hukum dari masyarakat di Kabupaten Langkat. b. Melakukan wanprestasi atau ingkar janji. c. Melakukan penipuan terhadap jual beli atas tanah baik dari segi administratif kelengkapan maupun dari segi batas-batas tanah. 2. Kurangnya pengetahuan hukum masyarakat antara lain meliputi : a. Tidak teliti ceroboh dalam melakukan pembelian atas tanah b. Tidak mengindahkan adanya dokumentasi atas tanah secara umum dan juga dokumentasi bebas silang konflik pada saat pembelian atas tanah. c. Menelantarkan atau meninggalkan tanah yang dimilikinya sehingga mengakibatkan terjadinya penyerobotan atas tanah tersebut. Terbatasnya pengetahuan teknis serta terjadinya kekeliruan dalam menerapkan peraturan dan kebijaksanaan yang ada dapat ditinjau dari beberapa aspek antara lain yaitu : 1 Pihak Instansi Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat tidak menjalankan peraturan perundang-undangan dengan ketentuan yang ada dalam hal : a. Penerbitan Surat Sertifikat Hak Milik yang tidak sesuai dengan Surat Pelepasan Hak atas Tanah dengan ganti rugi. b. Terlambat menerbitkan Surat Sertifikat Hak Milik Universitas Sumatera Utara 42 2 Pihak yang berkonflik mengalami kelemahan dalam pengetahuan teknis dan pemahaman hukum dalam bidang pertanahan. Terbatasnya pengetahuan teknis dalam hukum pertanahan serta terjadinya kekeliruan dalam menerapkan kebijaksanaan yang ada adalah merupakan salah satu faktor penyebab yang paling dominan dalam kajian jenis konflik pertanahan yang ditemukan di Kabupaten Langkat. Dari tiap-tiap jenis konflik yang diteliti untuk dianalisis yang mewakili faktor ini, rata-rata ditemukan dalam setiap jenis konflik juga ditemukan beragam faktor penyebab yang menimbulkan konflik tersebut. Disamping itu peraturan dan kebijaksanaan yang ada di bidang pertanahan sering salah ditafsirkan oleh para pihak yang berkonflik dalam penerapannya di lapangan, sehingga konflik tidak dapat dihindari. Penyelesaian dengan jalan musyawarah telah dicoba dan dilakukan, namun pihak yang berkonflik tidak berhasil diajak untuk berdamai karena tidak merasa puas dengan hasil yang dimufakatkan dalam perdamaian tersebut, sehingga konflik tersebut menjadi berlarut-larut dan harus diselesaikan melalui jalur pengadilan litigasi. Mengenai terjadinya konflik di bidang pertanahan yang disebabkan oleh faktor penyimpangan prilaku hukum dari pihak yang berkonflik dapat diuraikan penjelasannya yaitu bahwa perilaku yang menyimpang adalah suatu tingkah laku yang tunduk kepada kontrol sosial. Kontrol sosial yang dimaksudkan disini adalah kontrol sosial yang mendefinisikan apa yang dimaksud dengan yang menyimpang. Semakin banyak kontrol sosial kemana tingkah laku itu harus tunduk, semakin Universitas Sumatera Utara 43 banyak menyimpang tingkah laku itu 68 . Dalam pengertian penyimpangan prilaku hukum tersebut di atas keseriusan dari prilaku yang menyimpang itu dibatasi oleh kuantitas kontrol sosial yang juga mendefinisikan kadar dari prilaku yang menyimpang itu. Gaya kontrol sosial bahkan mendefinisikan gaya dari prilaku yang menyimpang apakah itu suatu kejahatan yang harus dihukum, suatu hutang yang harus dibayar, suatu keadaan yang membutuhkan perlakuan atau suatu perebutan kekuasaan kepemilikan yang membutuhkan penyelesaian. Dengan singkat, prilaku yang menyimpang adalah suatu segi dari kontrol sosial. Sedangkan hukum adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang tiap-tiap orang atau masyarakat wajib mentaatinya, dan bagi pihak yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi. Penyimpangan prilaku hukum dalam kasus ini ada dua jenis penyebabnya yaitu : 69 a. Faktor adanya pihak yang tidak mematuhi kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum yang sedang berjalan. b. Faktor meningkatnya jumlah penduduk yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ekonomi. 68 Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan di Sumatera Utara, 2001, Disertasi, hal. 182. 69 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial, Citra Aditya Bakti Bandung, 1989, hal. 55. Universitas Sumatera Utara 44 D. Konflik Penguasaaan Tanah Masyarakat Desa Gunung Tinggi Kecamatan Sirapit Dengan PTPN II Tanjung Keliling Tanah mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kegiatan pembangunan yang ditujukan bagi kesejahteraan umum. Berkenaan dengan konsep tersebut, pembangunan harus dicapai dengan menitikberatkan pelaksanaan penguasaan tanah yang mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat. Untuk itu masalah penguasaan tanah membutuhkan penanganan yang amat serius, yang harus dikendalikan dan diawasi secara efektif demi tercapai tujuan tersebut, karena sampai pada masa sekarang konflik penguasaan tanah masih terus berlangsung, seperti halnya konflik kepemilikan di areal tanah garapan masyarakat yang berada di Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit, Kabupaten Langkat. Konflik penguasaan tanah di areal tanah garapan yang terjadi antara Masyarakat Desa Gunung Tinggi Kecamatan Sirapit Dengan PTPN II Tanjung Keliling ini berawal pada tahun 1942, dimana masyarakat telah menguasai lahan seluas kurang lebih 98 hektar, kemudian pada tahun 1951 lahan yang seluas 8 hektar yang merupakan pemukiman penduduk dan lahan pertanian di rampas oleh Pihak perkebunan, lahan tersebut adalah lahan masyarakat yang bernama Ngadinan dan kawan-kawan dengan alas hak karo Belasting yang pada saat itu dirampas atau Universitas Sumatera Utara 45 diserobot oleh seorang Centeng Kebun yang bernama Kriting atas suruhan dari SAMPE TUAH BANGUN selaku Kepala Distrik. Kemudian pada tahun 1991 lahan kurang lebih 91,2 hektar, yang merupakan lahan pertanian dan persawahan penduduk juga dirampas oleh pihak PTPN-II, lahan tersebut adalah merupakan lahan dari beberapa warga masyarakat yang antara lain bernama Djuaken Sembiring, Mohamad Sembiring, Bena Sinuraya dan Raja Mentu Meliala serta beberapa warga masyarakat lain, lahan tersebut kemudian ditanami kelapa sawit dan sebagian tanah karet oleh pihak PTPN-II Tanjung Keliling dan dikuasainya hingga sekarang ini. Berdasarkan kesaksian dari beberapa warga masyarakat yang merupakan warga yang telah berumur lanjut dan mengetahui histori atau sejarah dari kepemilikan lahan di areal tanah garapan Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit, yang nama – namanya adalah Djumadi, Tabri dan Yadi ini bahwa sebahagian Kebun Tanjung Keliling di bagian barat dusun Gunung Tinggi – Paya rengo Kecamatan Selapian Kabupaten Langkat adalah tanah garapan milik dari kurang lebih 40 Kepala Keluarga sejak tahun 1942 hingga tahun 1951. Kemudian pada tahun 1951 identitas tanah garapan berupa kartu belasting diambil oleh Rukimin alias Kriting yang merupakan centeng perkebunan atas suruhan Sampetuah Bangun kepala distrik dan tidak dikembalikan lagi. Disebutkan pula bahwa pihak perkebunan Tanjung Keliling pada tahun 1951 melalui tuan Singerleden alias tuan botak telah merampas serta mentraktor dengan cara paksa atas tanah garapan Dusun Gunung Tinggi – Paya Rengo Desa Serapit, Universitas Sumatera Utara 46 bahkan oknum tersebut bertindak arogan dan kasar terhadap para warga penggarap yang menentang kesaksian Bapak Ngadiman. Serta bukti-bukti fisik dilapangan seperti rumpun tambu disamping perkebunan dan tunggal kayu raja yang dulu telah ditebang penggarap serta parit besar yang dibuat Belanda sebelum tahun 1942 dan jalan lama afdeling II pondok 45 masih ada sampai sekarang. Universitas Sumatera Utara 47

BAB III PELAKSANAAN PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI AREAL

TANAH GARAPAN KABUPATEN LANGKAT A. Asas Musyawarah dan Mufakat Sebagai Budaya Bangsa Indonesia Dalam rumusan Pasal 5 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dinyatakan bahwa hukum adat yang berlaku atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah : 70 1. Pro kepada kepentingan nasional, atau adanya prinsip nasionalitas artinya hukum adat itu menyatakan dengan tegas bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang mempunyai hak sepenuhnya atas bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan dalam semua lembaga hak-hak atas agraria tersebut setiap hari akan menonjol, seperti siapa yang boleh mempunyai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha. Pasal 9 UUPA, jelas-jelas memantapkan statemen tersebut dengan kalimat “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960. 2. Pro kepada kepentingan negara, dalam pengertian keluar, negara tidak akan mengadakan suatu kompromi atau toleransi yang akan meniadakan hak-hak bangsa Indonesia, terutama prinsip nasionalitas tersebut ke dalam kepentingan 70 AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 57. 47 Universitas Sumatera Utara 48 negara di atas segala-galanya sehingga kepentingan perorangan harus mengalah, jika kepentingan negara menghendakinya. 3. Pro kepada persatuan bangsa, artinya hukum adat menurut versi UUPA itu menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia dimanapun dia berada di wilayah tanah air, memiliki hak yang sama untuk memiliki hak-hak agraria. 4. Pro kepada sosialisme Indonesia, artinya disini bahwa pengertian sosialisme Indonesia tersebut sebagai Pancasila TAP MPRS XXXVIII1968. 5. Bahwa seterusnya hak-hak adat itu tunduk kepada ketentuan umum yang diatur oleh UUPA maupun oleh peraturan sejenis yang lebih tinggi berarti UUPA atau peraturan lain yang diterbitkan akan merupakan hukum yang umum, sedangkan hak-hak adat itu akan tunduk kepada perubahan atau penetapan dari hak-hak agraria yang akan dituangkan dalam Undang-Undang atau Peraturan pemerintah lainnya, sehingga akan menyesuaikan kepada hukum umum yang diatur oleh pemerintah dan tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan hukum umum yang disengaja diadakan untuk itu. 6. Bahwa sebagai ciri khusus dari UUPA, lembaga hukum agama Islam sudah merupakan bagian dari hukum adat menurut versi UUPA tersebut, artinya sudah diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf. Universitas Sumatera Utara 49 Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua yaitu : 71 1. Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi Pasal 4 ayat 2 UUPA. 2. Wewenang yang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan, yaitu menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan dibidang pertanian, perikanan, peternakan atau perkebunan. Pancasila dijadikan dasar peninjauan dalam politik hukum agraria karena ia merupakan asas kerohanian negara Indonesia. Asas kerohanian itu meliputi seluruh tertib negara, artinya seluruh tertib hukum sebagai kesatuan dan masyarakat bersangkutan serta harus hidup di dalam masyarakatnya. 71 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 87 Universitas Sumatera Utara 50 Asas kerohanian itu ditentukan pada waktu negara dibentuk, dan ia akan lenyap pada waktu dibentuk negara baru, sehingga jika keberadaansejarah negara itu tidak terputus oleh keadaan yang bagaimanapun juga, tidak ada pergantian negara baru, maka tidak mungkin asas kerohanian itu diubah. 72 Pancasila basisnya Ketuhanan Yang Maha Esa, sesudah itu perikemanusiaan, sesudah itu lagi keadilan sosial, dan ini merupakan satu kesatuan. Ini berarti Ketuhanan itu juga Ketuhanan yang mengandung perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. 73 Dengan demikian, Hukum AgrariaHukum Tanah Nasional pada hakekatnya berdasarkan Pancasila, sehingga : 1. Berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bagi masyarakat Indonesia, hubungan antara manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat kodrat, artinya tidak dapat dihilangkan oleh siapapun juga termasuk oleh negara. 2. Sila kemanusiaan, memungkinkan didapatkannya pedoman, bahwa hubungan antara manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat perorangan dan kolektif sebagai dwitunggal. 3. Sila Kebangsaan dapat dirumuskan pedoman bahwa : a. Hanya orang Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah di daerah Indonesia. 72 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002, hal. 33. 73 Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 73. Universitas Sumatera Utara 51 b. Dengan menggabungkan sila kebangsaan dengan sila perikemanusiaan yang mempunyai unsur mahkluk sosial dan juga mengandung unsur hidup bersama internasional, maka orang asing dapat diberi kekuasaan terhadap tanah di Indonesia, seberapa dibutuhkan oleh orang Indonesia terhadap orang asing itu. Jadi tidak sebaliknya, tidak diberikan hubungan dengan tanah karena berdasarkan kepentingan mereka. 4. Menurut sila kerakyatan, tiap-tiap orang Indonesia dalam hubungannya dengan tanah, mempunyai hak dan kesempatan yang sama, sehingga pedoman ini mengenai hubungan hak dan kekuasaan. 5. Berdasarkan sila keadilan sosial, tiap-tiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama menerima bagian dari manfaat tanah, menurut kepentingan hak hidupnya, bagi diri sendiri dan bagi keluarganya. Perhubungan hak hidup manusia itu ada dua macam yaitu : a. Untuk mempertahankan jenis, agar manusia itu dapat berlanjut adanya; b. Untuk mempertahankan individu, jadi dirinya sendiri. Pedoman yang didasarkan keadilan ini, tidak menurut kekuatan atau kekuasaan haknya, tetapi mengenai hak, tetapi mengenai hasil tanah. 74 Menyimak uraian terdahulu yang mengharuskan Pancasila sebagai pedoman- pedoman yang menjadi pegangan dalam menyusun hukum agraria, maka : 1. Hubungan manusia Indonesia dengan tanah di wilayah Indonesia bersifat kodrat. 2. Hubungan dengan tanah itu mempunyai sifat privat dan kolektif. 74 Ibid, hal. 78-80. Universitas Sumatera Utara 52 3. Hanya orang Indonesialah yang mempunyai hubungan yang terkuat dengan tanah di Indonesia, dengan tetap memberi kesempatan pada orang asing untuk mempunyai hubungan dengan tanah di Indonesia asal hubungan itu tidak merugikan bangsa Indonesia. 4. Setiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mempunyai hubungan dengan tanah. 5. Setiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati hasil bumi Indonesia. 75 Konflik dibidang pertanahan yang disampaikan ke Kantor Pertanahan Langkat untuk dimohonkan penyelesaian permasalahannya, apabila bisa dipertemukan pihak- pihak yang berkonflik, maka pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat lebih memprioritaskan penyelesaian konflik pertanahan melalui cara musyawarah dan mufakat. Kantor Pertanahan Langkat bertindak sebagai mediator di dalam menyelesaikan konflik pertanahan tersebut dengan lebih mengutamakan prinsip win- win solution dan dilakukan dengan cara yang damai dan saling menghormati pihak- pihak yang berkonflik apakah terjadi penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, maka para pihak yang berkonflik dan pihak kantor pertanahan Kabupaten Langkat membuat suatu bukti tertulis yang berisikan telah terjadi perdamaian atas permasalahan konflik pertanahan tersebut dan para pihak yang berkonflik telah menerima kesepakatan perdamaian yang ditawarkan dalam pelaksanaan musyawarah dan mufakat tersebut. Bukti tertulis telah terjadi kesepakatan para pihak yang 75 Iman Soetiknjo, Op.cit, hal. 35. Universitas Sumatera Utara 53 berkonflik untuk berdamai tersebut dituangkan dalam akta perdamaian yang pada umumnya dibuat oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat dan ditandatangani oleh para pihak yang berkonflik dan juga pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat yang mematuhi pelaksanaan musyawarah dan mufakat tersebut. Apabila akta perdamaian tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang berkonflik dan disaksikan oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat, maka sejak saat penandatanganan tersebut maka para pihak yang berkonflik wajib mematuhi dan mentaati butir-butir kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam akta perdamaian tersebut. Pelaksanaan akta perdamaian yang telah dicapai melalui jalan musyawarah dan mufakat tersebut, diawasi oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat dalam pelaksanaan perdamaiannya di lapangan. Hal ini bertujuan agar para pihak yang berkonflik dapat melakukan kesepakatan perdamaian tersebut dengan sebaik-baiknya tanpa melanggar hak-hak dan kewajibannya masing-masing. Apabila pelaksanaan perdamaian tersebut dilanggar oleh salah satu pihak maka pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat akan memanggil pihak yang melanggar kesepakatan perdamaian tersebut mengingatkannya bahwa perbuatan tersebut telah melanggar kesepakatan perdamaian tersebut. Apabila penyelesaian melalui musyawarah dan mufakat diantara para pihak yang berkonflik tidak tercapai, maka penyelesaiannya pada umumnya akan ditempuh oleh para pihak melalui jalur litigasi pengadilan. Dengan demikian maka pihak Kantor Pertanahan Langkat yang menangani konflik pertanahan melalui jalur mediasi tidak bertentangan dengan PMNA Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 126, karena di dalam Pasal 126 tersebut yang Universitas Sumatera Utara 54 dimaksud dengan penghapusan atas hak yang telah dicatat dalam buku tanah adalah dalam konteks terjadi konflik di Pengadilan bukan dalam konteks penyelesaian konflik mediasi sebagaimana yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Langkat.

B. Penyelesaian Konflik Pertanahan Melalui Jalur Mediasi

Mediasi adalah salah satu proses alternatif penyelesaian masalah dengan bantuan pihak ketiga mediator dan prosedurnya disepakati oleh para pihak dimana mediator memfasilitasikan untuk dapat terjadi suatu solusi perdamaian, yang saling menguntungkan para pihak. 76 Pilihan penyelesaian konflik melalui cara perundinganmediasi ini mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menguntungkan dilihat dari segi waktu, biaya, dan pikirantenaga, disamping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian konflik, mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian solusi yang dihasilkan mengarahkan kepada win-win solution. Upaya untuk mencapai win-win solution itu ditentukan oleh beberapa faktor yaitu : 77 1. Proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber konflik dapat diterima oleh pihak-pihak dan memberikan hasil yang sangat menguntungkan, dengan catatan 76 Petunjuk Teknis Badan Pertanahan Nasional Nomor 05JuknisD.V2007 Tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi Angka Romawi II Butir 1. 77 Maria SW, Sumardjono, Mediasi Konflik Tanah, Kompas, Jakarta, 2008, hal. 4. Universitas Sumatera Utara 55 bahwa pendekatan itu harus memiliki berat dan kepada kepentingan yang menyadari sumber konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak. Apabila kepentingan yang menjadi fokusnya, pihak-pihak akan lebih terbuka untuk berbagi kepentingan, sebaliknya jika tekanannya pada kedudukan, para pihak akan lebih menutup diri karena hal itu menyangkut harga diri mereka. 2. Kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau untuk musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar-menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap pihak lainnya. Bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Kabupaten Langkat pada khususnya penyelesaian konflik pertanahan dengan cara mediasi dengan memperoleh dukungan akan budaya yang hidup dan dihormati dalam lalu lintas pergaulan sosial. Hanya saja pertimbangan penyelesaian konflik dilingkungan masyarakat tradisional terdapat keanekaragaman yaitu melalui mediasi dan arbitrase, dalam kasus tertentu terutama terhadap kasus-kasus penggarapan rakyat atas tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain, ternyata lebih efektif dengan penyelesaian melalui cara musyawarah mufakat, mediasi atau arbitrase. Di bidang konflik pertanahan belum ada suatu peraturan perundang- undangan yang secara resmi dan eksplisit memberikan dasar hukum penerapan penyelesaian konflik melalui mediasi. Universitas Sumatera Utara 56 Namun demikian, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menumbuh kembangkan penyelesaian konflik dibidang pertanahan melalui mediasi tersebut berdasarkan dua alasan yaitu : 78 1. Di dalam setiap konflik perdata bidang pertahanan yang diajukan ke pengadilan, hakim selalu mengusulkan untuk penyelesaian secara damai oleh para pihak Pasal 130 HIR, Pasal 154 Rbg. 2. Secara eksklusif cara penyelesaian masalah berkenaan dengan bentuk dan besarnya ganti rugi dalam pengadaan tanah mengupayakan melalui musyawarah mufakat. Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dan peraturan kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 yang merupakan peraturan pelaksanaannya mengatur tentang tata cara melakukan musyawarah secara cukup terinci. Penyelesaian konflik bidang pertahanan melalui cara mediasi dianggap paling sesuai sebagai solusi untuk permasalahan konflik bidang pertanahan yang terjadi pada seluruh wilayah Indonesia termasuk di Kabupaten Langkat. Dengan berjalannya waktu dan semakin pentingnya cara mediasi dalam penyelesaian masalah konflik dibidang pertanahan tersebut maka BPN menentukan petunjuk tertulis juknis penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan melalui keputusan kepala BPN RI Nomor 342007, dalam menjalankan tugasnya menangani konflik pertanahan, BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi. 78 Adrian Sutedi, Tinjauan Hukum Pertanahan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, hal. 38. Universitas Sumatera Utara 57 Di dalam Bab II tentang penggolongan pada Pasal 1 Keputusan Kepala BPN RI No. 342007 tentang penanganan dan penyelesaian konflik dibidang pertanahan dikatakan bahwa masalah pertanahan meliputi permasalahan teknis, konflik, konflik dan perkara pertanahan yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian Pasal 2 Keputusan Kepala BPN RI No. 342007 menyatakan bahwa permasalahan teknis adalah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan atau BPN RI di pusat maupun didaerah berkaitan dengan sistem perundang-undangan administrasi pertanahan yang belum sempurna. Pasal 3 menyatakan bahwa konflik adalah perbedaaan nilai, kepentingan pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan danatau badan hukum privat atau publik mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu atau status keputusan tata usaha negara yang menyangkut penguasaan, kepemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu. Pasal 4 menyatakan bahwa konflik adalah perbedaaan mulai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum privat atau publik, masyarakat dengan masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status keputusan tata usaha negara menyangkut penguasaan kepemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, serta mengandung aspek ekonomi dan sosial budaya. Pasal 5 keputusan kepala BPN RI No 34 tahun 2007 menyatakan bahwa Universitas Sumatera Utara 58 perkara adalah konflik dan atau konflik pertanahan dan penyelesaiannya melalui Badan Peradilan. Karena dipandang semakin pentingnya peran mediasi dalam penyelesaian konflik pertanahan di Indonesia, maka Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan petunjuk teknis juknis Nomor 05JuknisD.V2007 tentang mekanisme pelaksanaan mediasi dimana dalam pertimbangan umumnya pada butir a dikatakan, “bahwa selain penyelesaian konflik melalui pengadilanlitigasi, di dalam sistem hukum nasional dikenal penyelesaian konflik melalui lembaga di luar pengadilannon litigasi, penyelesaian konflik diselesaikan melalui proses mediasi yang merupakan proses penyelesaian berdasarkan prinsip win-win solution yang diharapkan penyelesaiannya secara memuaskan dan diterima semua pihak. Dari pertimbangan di atas dapat diketahui bahwa mediasi adalah salah satu solusi penyelesaian konflik pertanahan di luar lembaga pengadilan yang diharapkan mampu menjawab permasalahan konflik pertanahan di Kabupaten Langkat yang kian hari kian meningkat jumlahnya. Petunjuk teknis mekanisme pelaksanaan mediasi tersebut dimaksudkan sebagai pedoman bagi mediator yang ditunjuk oleh kantor pertanahan, kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam menangani proses mediasi. Tujuan dari penunjuk teknis tersebut adalah agar terdapat keseragaman, kesatuan pemahaman dan ataupun standarisasi bagi mediator yang dihunjuk dalam proses mediasi. Petunjuk teknis ini meliputi mekanisme pelaksanaan mediasi dan formalisasi penyelesaian permasalahannya berupa berita acara bagi mediator dalam melakukan mediasi. Universitas Sumatera Utara 59 Mediator adalah orang atau pejabat yang ditunjuk dari jajaran Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang disepakati oleh para pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan permasalahannya. Mediator mempunyai beberapa tipe diantaranya adalah : 79 1. Mediator jaringan sosial social network mediator seperti tokoh-tokoh masyarakatinformal misalnya ulama, tokoh adat, tokoh pemuda yang biasanya mempunyai pengaruh besar di masyarakat. Penyelesaian konflik didasari nilai- nilai sosial yang berlaku, nilai keagamaanreligi, adat kebiasaan, sopan santun, moral dan sebagainya. 2. Mediator sebagai pejabat yang berwenang authoritative mediator seperti misalnya tokoh formal, pejabat-pejabat yang mempunyai kewenangan di bidang konflik yang ditangani. Disyaratkan orang yang mempunyai pengetahuan dengan konflik yang ditangani. 3. Mediator independen independent mediator yaitu mediator profesional, orang yang berprofesi sebagai mediator, mempunyai legitimasi untuk melakukan negosiasi-negosiasi dalam proses mediasi seperti contohnya konsultan hukum, pengacara, arbiter. Dari beberapa masalah konflik tanah yang telah diuraikan di atas, Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat bila ada konflik dan pengaduan masyarakat, akan memanggil para pihak yang berkonflik dan memfasilitasi para pihak yang berkonflik 79 Indonesia Legal Center Publishing, Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Tanah, Karya Gemilang, Jakarta, 2009, hal. 65 Universitas Sumatera Utara 60 melalui jalur mediasi. Apabila hasil mediasi belum disepakati oleh para pihak yang berkonflik, maka disarankan kepada para pihak untuk menempuh jalur hukum melalui lembaga peradilan. Apabila ada konflik melalui lembaga peradilan berarti sudah masuk ke dalam permasalahan perkara tanah bukan konflik tanah. 80

C. Perbedaan Penyelesaian Konflik Pertanahan Melalui Jalur Mediasi Dengan Litigasi

Di samping mediasi, terdapat lembaga penyelesaian sengketa lain yang bahkan lebih populer di Indonesia, yaitu lembaga penyelesaian sengketa secara litigasi melalui lembaga peradilan. Masing-masing lembaga tersebut tentu mengandung kelebihan dan kelemahan. Hal ini dilihat dari efektivitas pelaksanaan putusan penyelesaian sengketanya. Pada umumnya kelebihan mediasi dalam penyelesaian sengketa terletak pada prosedurnya yang tidak rumit, dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, biaya yang diperlukan lebih ringan serta Para Pihak dapat merumuskan sendiri putusan sengketa yang diinginkan. Sementara itu kelemahannya terletak pada efektivitas pelaksanaan putusan mediasi, baik secara fisik maupun tindak lanjutnya khususnya di bidang pertanahan. Di samping itu lembaga mediasi belum memasyarakat sehingga masih belum berkembang dengan baik. Perbedaan yang mencolok dari iembaga penyelesaian sengketa secara litigasi dengan mediasi terletak pada aspek pendekatan atau orientasi tujuannya. Penyelesaian sengketa melalui mediasi menggunakan pendekatan kepentingan Para 80 Wawancara dengan Muhammad Ridwan Nasution, Staff Administrasi Bagian Konflik pada Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat pada tanggal 10 Mei 2010 di Ruang Kerjanya. Universitas Sumatera Utara 61 Pihak interest, sedangkan lembaga litigasi lebih mengutama-kan pendekatan hak atau hukum rihgt. Dalam bentuk yang lain, ada penyelesaian sengketa yang menggunakan pendekatan power atau kekuasaan. Prinsip-prinsip mediasi merupakan dasar pelaksanaan yang bersifat umum, di mana tujuan utamanya untuk mempermudah pelaksanaan putusan mediasi tersebut, yang meliputi antara lain: 1 prinsip sukarela, 2 prinsip terpeliharanya hubungan personal relationships, 3 prinsip penyelesaian yang terbaik the best altematif to negotiation agreementBATNA, dan 4 prinsip yang menggunakan pendekatan kepentingan Para Pihak interest based. Prinsip ini merupakan pokok-pokok dan dapat ditambahkan atau dikembangkan sesuai dengan keperiuannya bagi penyelesaian sengketa tertentu. Akhirnya Anda periu dikenalkan pada jenis mediasi dan tipe mediatornya agar dapat memahami sepenuhnya apabila pelaksanaannya di dalam praktik tidak sama dengan di dalam teorinya. Masing-masing jenis dan tipe tersebut dapat bervariasi. Jenis mediasi pada garis besamya dapat dibedakan antara kompetetif negosiasi competetive mediation dengan kooperatif negosiasi cooperative mediation. Sesuai dengan jenisnya tersebut, mediasi kompetetif lebih mengarah pada justifikasi berdasarkan Ketentuan hukum dan salah satu plhak berupaya untuk memenangkan penawaran atas opsi-opsi pihak lainya. Sementara itu di dalam mediasi kooperatif, kerjasama, relationships, penghormatan, dan kepuasan optimal yang dapat dicapai merupakan tujuan yang utama. Dalam praktiknya perbedaan ini menjadi sangat kabur karena interest yang ada dibalik sengketanya bersifat sangat kompleks. Universitas Sumatera Utara 62 Hampir setiap orang pemah melakukan mediasi dalam kehidupannya sehari- hariNamun, mereka tidak menyadarinya karena hal tersebut telah dianggap sebagai bagian aktivitas kehidupan. Padahal aktivitas ini dapat dilembagakan agar memberikan manfaat yang lebih besar bagi kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Tentu saja apa -yang dikenal dan berkembang di dalam masyarakat dapat berbeda dengan pemanfaatannya di dalam penyelesaian sengketa. Hal ini disebabkan antara lain oleh mediatornya. Berdasarkan kedudukan dan fungsinya, mediator dapat dibedakan menurut sifatnya, yaitu sodaf network, authoritative maupun yang independent Mediator dalam pengertian yang murni merupakan mediator yang independen. Sementara- itu social network mediator maupun authontative mediator meskipun harus netral atau independent, dalam menjalankan tugasnya dapat mempengaruhi putusan mediasi. D. Mekanisme Mediasi Dalam Konflik Penguasaaan Tanah Masyarakat Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit Dengan PTPN II Tanjung Keliling Mekanisme mediasi dalam konflik penguasaaan tanah masyarakat desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit dengan PTPN II Tanjung Keliling adalah dengan Mediasi yangdilakukakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat, serta beberapa tokoh masyarakat dan perangkat desa seperti, Camat Sirapi, Kapolres Langkat, kemudian Kepala Desa Gunung Tinggi dengan beberapa warga masyarakat yang mewakili para masyarakat desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit yang merasa dirampas atau diserobot lahan tanahnya oleh pihak PTPN II. Mekanismenya adalah mediasi dilaksanakan secara bertahap dan terkoordinir. Pertama-tama bila Kantor Universitas Sumatera Utara 63 Pertanahan Kabupaten Langkat menerima laporan pengaduan penyelesaian masalah konflik tanah dengan menggunakan cara mediasi maka Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat melaksanakan persiapan untuk mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik. Di dalam persiapan untuk mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik tersebut, Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat harus terlebih dahulu menguasai pokok-pokok permasalahan yang akan di musyawarahkan antara lain : 81 1. Mengetahui pokok masalah dan duduk masalah yang sebenarnya 2. Apakah masalah tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi atau tidak 3. Kantor pertanahan Kabupaten Langkat membentuk tim penanganan konflik tentatif, tidak keharusan, ada halangan pejabat struktural yang berwenang dapat langsung menyelenggarakan mediasi. 4. Penyiapan bahan selain persiapan prosedur disiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk melakukan mediasi terhadap pokok konflik, resume telaahan. Agar mediator sudah menguasai substansi masalah, meluruskan persoalan, saran bahkan peringatan jika kesepakatan yang diupayakan akan cenderung melanggar peraturan di bidang pertanahan misalnya melanggar kepentingan pemegang hak tanggungan, kepentingan ahli waris lain, melanggar hakekat pemberian haknya berkaitan dengan tanah redistribusi. 5. Menentukan waktu dan tempat mediasi 81 Wawancara dengan Muhammad Ridwan Nasution, Staff Administrasi Bagian Konflik pada Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat pada tanggal 11 Mei 2010 di Ruang Kerjanya. Universitas Sumatera Utara 64 Setelah melakukan tahap persiapan dalam mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik tersebut sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka pada tahap kedua Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat akan memberikan undangan kepada para pihak yang berkonflik, instansi yang terkait apabila dipandang perlu untuk mengadakan musyawarah penyelesaian konflik yang dimaksud dan diminta untuk membawa serta datainformasi yang diperlukan. Penataan struktur pertemuan dengan posisi tempat duduk huruf “U” atau lingkaran. Tahap ketiga yang dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat adalah melaksanakan kegiatan mediasi yang dilaksanakan diantaranya mencakup hal-hal : 1. Mengatasi hambatan hubungan antara pihak hubungan personal antar pihak. 2. Mencarikan suasana diantara kedua belah pihak yang berkonflik suasana yang kondusif, akrab dan tidak kaku. 3. Memberikan penjelasan yang konkrit dan tegas tentang peran mediator sebagai pihak ketiga yang tidak memihak kemudian penjelasan tentang kehendak para pihak yang akan disampaikan dalam kegiatan mediasi dan kunci dari kegiatan pelaksanaan mediasi ini adalah penegasan mengenai kesediaan para pihak untuk menyelesaikan konflik melalui mediasi dan oleh mediator Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat. Dalam hal-hal tertentu berdasarkan kewenangannya authoritas mediator autoritatif mediator dapat melakukan intervensicampur tangan dalam proses mencari kesepakatan dari persoalan yang dikonflikkan bukan memihak untuk menempatkan kesepakatan yang hendak dicapai sesuai dengan hukum pertanahan. Universitas Sumatera Utara 65 Kegiatan lainnya dalam pelaksanaan mediasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat sebagai mediator adalah melakukan klarifikasi terhadap para pihak yang terlibat konflik. Di dalam klarifikasi para pihak tersebut mencakup antara lain : 1. Kedudukan dari para pihak yang berkonflik 2. Dikondisikan tidak ada rasa apriori pada salah satu pihakkedua belah pihak dengan objektivitas penyelesaian konflik kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam pelaksanaan mediasi. 3. Masing-masing berhak memberikan dan memperoleh informasidata yang disampaikan lawan. 4. Para pihak yang membantah atau meminta klarifikasi dari lawan dan wajib menghormati pihak lainnya. 5. Pengaturan pelaksanaan mediasi 6. Dari permulaan mediasi telah disampaikan aturan-aturan mediasi yang harus dipenuhi dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam mediasi. 7. Aturan-aturan tersebut inisiatif dari mediator atau disusun baru kesepakatan para pihak, penyimpangan tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan para pihak. 8. Aturan-aturan tersebut antara lain bertujuan untuk menentukan : a. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan mediator b. Aturan tata tertib diskusi dan negosiasi Universitas Sumatera Utara 66 c. Pemanfaatan dari kaukus hak yang dimiliki oleh mediator untuk melaksanakan sesi pribadi terhadap masing-masing pihak secara terpisah apabila terjadi jalan buntu d. Pemberian waktu untuk berfikir Perumusan aturan tersebut mungkin akan mengundang perdebatan yang panjang, namun bagi mediator yang sudah berpengalaman melakukan tugasnya tidak sulit mengatasinya. 9. Menyamakan pemahaman dan menetapkan agenda musyawarah yang meliputi : a. Para pihak diminta untuk menyampaikan permasalahannya serta opsi-opsi alternatif penyelesaian yang ditawarkan, sehingga dititik benang merah permasalahannya agar proses negosiasi selalu terfokus pada persoalan isu tersebut. Disini dapat terjadi kesalahpahaman baik mengenai permasalahannya, pengertian yang terkait dengan konflik atau hal yang terkait dengan pengertian status konfliknya atau hal yang terkait dengan pengertian status tanah negara dan individualisasi. Perlu upaya kesepakatan untuk menyamakan pemahaman mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan upaya penyelesaian masalah konflik tanah tersebut. MediatorKantor Pertanahan Kabupaten Langkat harus memberi koreksi jika pengertian- pengertian persoalan yang disepakati tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi kesalahan. b. Menetapkan agenda musyawarah setting agenda, setelah persoalan yang dapat menimbulkan kesalahan pemahaman diatasi, kemudian ditentukan Universitas Sumatera Utara 67 agenda yang perlu dibahas setelah diketahui persoalan yang melingkupi konflik. Agenda musyawarah dimaksudkan agar proses musyawarah, diskusi, negosiasi dapat terarah dan tidak melebarkeluar dan fokus persoalan, mediator harus menjaga momen pembicaraan sehingga tidak terpancing atau terbawa larut oleh pembicaraan para pihak. Mediator menyusun acaraagenda diskusi yang mencakup substansi permasalahan, alokasi waktu, jadwal pertemuan berikutnya yang perlu memperoleh persetujuan para pihak. c. Identifikasi kepentingan untuk menentukan pokok masalah sebenarnya, serta relevansi sebagai bahan untuk negosiasi. Pokok masalah harus selalu menjadi fokus proses mediasi selanjutnya. Jika terdapat penyimpangan, mediator harus mengingatkan agar pembicaraan harus kembali pada fokus permasalahan. Kepentingan yang menjadi fokus mediasi dapat menentukan kesepakatan penyelesaiannya, kepentingan disini tidak harus dilihat dari aspek hukum saja, tapi dapat juga dilihat dari aspek lain sepanjang memungkinkan dilakukan negosiasi dan hasilnya tidak melanggar hukum. Pengumpulan opsi-opsi sebagai alternatif yang diminta, kemudian dilakukan generalisasi alternatif tersebut sehingga terdapat hubungan antar alternatif dengan permasalahannya. Dengan generalisasi terdapat kelompok opsi yang tidak dibedakan dari siapa, tetapi bagaimana cara menyelesaikan opsi tersebut melalui negosiasi lebih mudah. Opsi adalah sejumlah tuntutan dan alternatif penyelesaian terhadap konflik dalam suatu proses mediasi. Kedua belah pihak dapat mengajukan opsi-opsi penyelesaian yang diinginkan. Dalam mediasi autoritatif mediator Universitas Sumatera Utara 68 juga dapat menyampaikan opsi atau alternatif yang lain. Contoh : generalisasi apa yang dipilih misalnya, batas tanah tetap dibiarkan namun tanah tetap dikuasai secara nyata oleh pihak yang seharusnya berhak meminta ganti rugi. Tawar menawar opsi dapat bertanggungjawab dan tertutup dan kemungkinan dapat mengalami jalan buntu dead lock. Pada saat negosiasi mengalami jalan buntu, mediator harus menggunakan sesi pribadi periode session atau cancus. Negosiasi adalah tahap paling penting dalam pelaksanaan mediasi. Cara tawar menawar terhadap opsi-opsi yang telah ditetapkan dapat menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan. Mediator harus mengingatkan maksud dan tujuan serta fokus permasalahan yang dihadapi sesi pribadi sesi berbicara secara pribadi dengan salah satu pihak yang harus sepengetahuan dan persetujuan pihak lawan. Pihak lawan harus diberikan kesempatan menggunakan sesi pribadi yang sama. Proses negosiasi seringkali harus dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang berbeda. Hasil dari tahap negosiasi ini adalah serangkaian daftar opsi yang dapat dijadikan alternatif penyelesaian konflik yang bersangkutan. Penentuan opsi yang dipilih mencakup antara lain : 82 1. Ada daftar opsi yang dipilih 2. Pengkajian opsi-opsi tersebut oleh masing-masing pihak, 3. Menentukan menerima atau menolak opsi tersebut, 82 Indonesia Legal Center Publishing, Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, CV. Karya Gemilang, Jakarta, 2009, hal. 69. Universitas Sumatera Utara 69 4. Menentukan keputusan menghitung untung rugi bagi masing-masing pihak, 5. Para pihak dapat konsultasi pada pihak ketiga, misalnya pengacara, para ahli mengenai opsi-opsi tersebut, 6. Mediator harus mampu mempengaruhi para pihak untuk tidak menggunakan kesempatan guna menekan pihak lawan. Disini dibutuhkan perhitungan dengan pertimbangan logis, rasional dan obyektif untuk merealisasikan kesepakatan terhadap opsi yang dipilih tersebut, 7. Kemampuan mediator akan diuji dalam sesi ini, 8. Hasil dari kegiatan ini berupa putusan mengenai opsi yang diterima kedua belah pihak, namun belum final harus dibicarakan lebih lanjut.

E. Negosiasi Akhir dari Para Pihak

Ketegasan mengenai opsi-opsi yang telah disepakati bagi penyelesaian konflik yang dimaksud. Hasil dari tahap negosiasi akhir ini adalah putusan penyelesaian konflik yang merupakan kesepakatan para pihak yang berkonflik, kesepakatan tersebut pada pokoknya berisi opsi yang diterima berupa hak dan kewajiban para pihak yang berkonflik. Kemudian dilakukan klarifikasi kesepakatan kepada para pihak yang berkonflik. Klarifikasi ini diperlukan agar para pihak tidak ragu-ragu lagi akan pilihannya untuk menyelesaikan konflik tersebut dan sukarela dalam melaksanakan hasil dari kesepakatan tersebut. Dirumuskan dalam bentuk kesepakatan atau agreement perjanjian. Dengan kesepakatan tersebut secara substansi mediasi telah selesai, sementara tindak lanjut Universitas Sumatera Utara 70 pelaksanaannya menjadi kewenangan pejabat Tata Usaha Negara setiap kegiatan mediasi hendaknya dituangkan dalam berita acara mediasi. Hasil mediasi dilaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindak lanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku. Formalisasi kesepakatan secara tertulis dengan menggunakan format perjanjian. Dalam setiap mediasi perlu dibuat laporan hasil mediasi yang berlangsung. Agar mempunyai kekuatan mengikat berita acara tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Seperti contohnya hasil rapat mediasi dalam konflik penguasaaan tanah masyarakat desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit dengan PTPN II Tanjung Keliling ini yang isinya menyatakan Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanian berpendapat bahwa berdasarkan kesimpulan Panitia B Plus bahwa tuntutan masyarakat, seluas 91,2 Ha ditegaskan berada di luar Hak Guna Usaha PT. Perkebunan Nusantara II okupasi tetapi dikuasai oleh kebun, dengan demikian bukan areal yang di keluarkan dari Hak Guna Usaha dan bahwa masyarakat mempunyai Surat Pernyataan dan Pengakuan masing-masing tanggal 5 April 1999 disaksikan dua orang saksi yaitu Saudari Beren boru Sitepu dan Saudari Ngangka boru Sitepu yang menyatakan bahwa areal yang berada di luar Hak Guna Usaha dalam penyelesaiannya ada prosedur melalui keputusan Pemerintah, maka perlu menghimpun data-data seperti peninjauan lapangan untuk memastikan lokasinya. Kepala kantor pertanahan Kabupaten Langkat juga menyatakan bahwa pengertian di luar Hak Guna Usaha semestinya tidak ikut diusulkan berarti tidak Universitas Sumatera Utara 71 masuk di dalam asset, tetapi harus ada keputusan dari pemerintah bahwa tanah seluas 91,2 Ha berada di luar Hak Guna Usaha, panitia B plus pasti ada memiliki data-data atau bukti, maka Panitia B Plus menyatakan tanah tersebut di luar Hak Guna Usaha PT. Perkebunan Nusantara II kebun Tanjung Keliling Serta Kepala Bidang Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Diwakili Kasi Pengukuran Bidang menyatakan bahwa Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 43HGUBPN2000 tanggal 29 November 2002 di dalam lampiran matrik Panitia B Plus yang menyebutkan bahwa di Peta Kebun Tanjung Keliling ada seluas 91,2 berada di luar Hak Guna Usaha tetapi dikuasai oleh PT. Perkebunan Nusantara II Okupasi. Mengenai tanah yang berada di luar Hak Guna Usaha PT. Perkebunan Nusantara II kebun Tanjung Keliling ini, belum ada tahu apakah tanah seluas 91,2 Ha itu termasuk dalam luasan 5.873,06 Ha.Perlu dilakukan peninjauan kelapangan untuk mengetahui lokasi yang pasti yang dituntut masyarakat; Kepala Bidang Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah Diwakili Kasi Penetapan Hak Tanah Badan Hukum menyatakan bahwa mengenai areal yang dikeluarkan belum tahu persisnya dan menyarankan perlu ditinjau lokasinya. Kepala Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan diwakili Kasi Landreform juga menyatakan kalau kita lihat peta sekarang mungkin pada tahun 1981 sudah dikeluarkan dengan inventarisasi tetapi masih dikuasai oleh pihak perkebunan PTPN-II.Terhadap tanah seluas 91,2 Ha di luar Hak Guna Usaha Universitas Sumatera Utara 72 kalau luasannya masuk di dalam 5,873,06 Ha maka penyelesaiannya mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 43HGUBPN2000 Tanggal 29 November 2002; Dari pihak PTPN II sendiri menyatakan bahwa PT. Perkebunan Nusantara II kebun Tanjung Keliling memiliki 2 sertifikat yaitu sertifikat HGU No. 1 Tanjung Keliling dengan luas 2,314,71 Ha dan sertifikat HGU No. 2 Tanjung Keliling dengan luas 200 Ha dan tuntutan masyarakat seluas 98 Ha menyarankan agar diadakan peninjauan kelapangan untuk memastikan dimana lokasinya. Dari Kesimpulan dalam kasus ini bahwa hingga saat ini permintaan masyarakat atas tanah yang seluas 98 Ha tidak terselesaikan karena Pemerintah atau Pemda setempat tidak mendukung padahal sudah jelas dari hasil pemeriksaan dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara No.570 – 1205 Tanggal 21 Juli 2008 dan Surat Penyidikan dari Kantor Polisi Resor Langkat No.B289IX2009Reskrim Tanggal 7 September 2009 bahwa tanah seluas 98 Ha diluar Hak Guna Usaha sementara PTPN II mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas tanah seluas 91,20 Ha yang terletak di Gunung Tinggi Kecamatan Serapit, Kabupaten Langkat berdasarkan Surat Permohonan PTPN II No.0X95IV2011 tertanggal 13 April 2011 tapi tidak dapat di tindak lanjuti karena berdasarkan Peraturan Mentri Agraria No.9 Tahun 1999 dan ketentuan Peraturan pemerintah No.40 Tahun 1996 tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukannya permohonan Hak Guna Usaha yaitu : a. Surat izin Lokasi dari Bupati Langkat b. Surat izin Perkebunan dari Bupati Langkat Universitas Sumatera Utara 73 c. Rekomendasi Kelayakan Teknis dari Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara d. Peta bidang tanah yang merupakan hasil pengukuran secara kadasteral e. Bukti perolehan atas bidang tanah yang dimohonkan Hak Guna Usaha f. Bukti Penyelesaian kasus Pertanahan apabila tanah yang dimohon dipermasalahkan oleh pihak lain Universitas Sumatera Utara 74

BAB IV HAMBATAN – HAMBATAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK

PERTANAHAN DI AREAL TANAH GARAPAN KABUPATEN LANGKAT A. Terbatasnya Pengetahuan dan Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Bidang Hukum Pertanahan Terbatasnya pengetahuan dan tidak adanya kesadaran hukum pada masyarakat di Kabupaten Langkat khususnya dalam bidang hukum pertanahan merupakan salah satu faktor yang paling dominan dalam menghambat penyelesaian konflik pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat. Di dalam hukum Pertanahan ada beberapa peraturan yang dapat dijadikan sarana dalam mencegah dan mengantisipasi terjadinya konflik di bidang pertanahan. Namun banyak masyarakat di Kabupaten Langkat yang tidak mengetahui dan memahami peraturan – peraturan tersebut sehingga hal ini turut memicu terjadinya konflik di bidang pertanahan di daerah Kabupaten Langkat. Disamping itu pada saat dilaksanakannya mediasi sebagai jalur penyelesaian konflik pertanahan di luar Pengadilan, masyarakat menganggap bahwa mediasi tidak memiliki kekuatan dan kepastian hukum dalam mematuhi mediasi yang telah dicapai. Oleh karena itu sebagian masyarakat yang berkonflik lebih cendrung memilih jalur litigasi Pengadilan dalam menyelesaikan konflik di bidang pertanahan yang mereka hadapi. Peraturan dan kebijaksanaan yang ada dalam hukum pertanahan sering salah ditafsirkan oleh para pihak yang berkonflik dalam penerapannya, sehingga konflik semakin sulit untuk dapat diselesaikan. Penyelesaian dengan menggunakan jalur 74 Universitas Sumatera Utara 75 mediasi yang telah dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat sering gagal menghasilkan perdamaian karena para pihak yang berkonflik tersebut merasa tidak puas dengan hasil yang telah dicapai dalam mediasi tersebut sehingga konflik tersebut harus diselesaikan melalui jalur litigasi Pengadilan. 83 Soerjono Soekanto mengatakan bahwa : “faham kesadaran hukum berkisar pada diri warga masyarakat yang merupakan suatu faktor yang menentukan bagi sahnya hukum. Kesadaran hukum timbul dimulai dari proses penerapan hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses tersebut timbul masalah dengan adanya ketidaksesuaian antara dasar sahnya hukum pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya atau telah ditaatinya hukum positif tertulis tersebut yang merupakan suatu keadaan yang dicita-citakan atau yang dikehendaki, bahwa ada keserasian proporsional antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis tersebut. 84 Kesadaran hukum berkaitan dengan disiplin dalam segala bidang ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum pertanahan. Setiap warga masyarakat seharusnya mempunyai kesadaran hukum agar kehidupan masyarakat dapat sentosa dan damai. Cara yang paling sederhana untuk dapat mewujudkannya adalah dengan mematuhi hukum, karena kepatuhan dan kesadaran hukum terkait erat dan identik. Tanpa 83 Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 53. 84 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 145. Universitas Sumatera Utara 76 adanya kesadaran dan kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, tidak mungkin hukum dapat dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sebenarnya. Pada pelaksanaan mediasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat antara para pihak yang berkonflik di bidang pertanahan seringkali terjadi bahwa kedua belah pihak yang berkonflik tersebut tetap berpegang pada prinsipnya masing- masing, meskipun mediator sebagai penegas dalam pelaksanaan mediasi tersebut telah berupaya semaksimal mungkin untuk mengupayakan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik prinsip win-win solution situasi yang tetap berpegang pada prinsip masing-masing dalam pelaksanaan mediasi tersebut akan menghambat penyelesaian konflik, dan akan memperbesar perbedaan pendapat diantara para pihak yang berkonflik tersebut. Dengan semakin membesarnya perbedaan pendapat dan kehendak diantara para pihak yang berkonflik tersebut maka akan semakin besar pula kemungkinan proses pelaksanaan mediasi mengalami jalan buntu dead lock kegagalan proses penyelesaian konflik melalui jalur mediasi tersebut akan membuat konflik akan semakin berlarut panjang, dan pilihan hukum terakhir dalam penyelesaian konflik tersebut hanya melalui jalur litigasi Pengadilan. Apabila konflik di bidang pertanahan telah sampai ke jalur litigasi, maka konflik tersebut telah berubah nama menjadi perkara, dalam hal ini adalah memasukkanmendaftarkan gugatan masalah pertanahan ke Pengadilan. Sedangkan tujuan dilaksanakannya mediasi dalam penyelesaian masalah konflik pertanahan tersebut adalah pencegahan dan menghindari terjadinya perkara di depan pengadilan atau dengan kata lain perkara Universitas Sumatera Utara 77 merupakan jalan penyelesaian terakhir yang harus ditempuh apabila jalur mediasi mengalami kegagalan.

B. Ketentuan-ketentuan Bidang Pertanahan yang Dapat Mencegah dan Mengantisipasi Konflik Pertanahan

Peraturan untuk mencegah dan mengantisipasi konflik pertanahan yaitu :

1. Ketentuan Tata Cara Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah