Sistem Hukum Pembuktian dalam Kerangka Hukum Perdata dan Pidana

BAB IV KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN PENGALIHAN SAHAM DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SAHAM MELALUI INTERNET DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

A. Sistem Hukum Pembuktian dalam Kerangka Hukum Perdata dan Pidana

1. Sistem Hukum Pembuktian dalam Kerangka Hukum Perdata Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud. a. Pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang negatief wettelijk stelsel, seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki. 57 Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. 58 57 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007, hal. 9. 58 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, No. 8 Tahun 1981. Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil formeel waarheid. Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila Universitas Sumatera Utara kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil. 59 b. Pengakuan mengakhiri pemeriksaan perkara Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Begitu juga sebaliknya, kalau penggugat membenarkan dan mengakui dalil bantahan yang diajukan tergugat, berarti sudah dapat dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan penggugat sama sekali tidak benar. Apalagi jika didekati dari ajaran pasif, meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan itu bohong atau berlawanan dengan kebenaran, hakim harus menerima pengakuan itu sebagai fakta dan kebenaran. Oleh karena itu, hakim harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan tersebut materi pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas. 60 c. Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain. 61 59 M. Yahya Harahap selanjutnya disebut M. Yahya Harahap I, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal. 498. 60 Ibid., hal. 505. 61 Ibid., hal. 508. Universitas Sumatera Utara d. Bukti lawan Tegenbewijs Salah satu prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberi hak kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan. Pasal 1918 KUHPerdata menyatakan : “Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, di dalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya”. Dengan kata lain, Pasal 1918 KUHPerdata ini memberi hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs. 2. Sistem hukum pembuktian dalam kerangka hukum pidana Di dalam teori dikenal adanya 4 sistem pembuktian, yakni sebagai berikut: 62 a. Sistem pembuktian semata-mata berdasar keyakinan hakim Convictim in Time Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari 62 M. Taufik Makarso dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hal. 103-106. Universitas Sumatera Utara alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 63 Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. Praktek peradilan jury di Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang aneh. 64 Pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. 65 63 M. Yahya Harahap selanjutnya disebut M. Yahya Harahap II, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, Jakarta: Pustaka Kartini, 1993, hal. 797-798. 64 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya, 1996, hal. 260. 65 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, 1974, hal. 75. Universitas Sumatera Utara Keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu kepercayaan yang besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim. Lagi pula terhadap putusan-putusan atas dasar sistem pembuktian ini sukar untuk dilakukan penelitian bagi hakim atasan, karena tidak dapat mengetahui pertimbangan hakim yang menjurus ke arah terbitnya putusan. Oleh karena itu, sistem ini sekarang sudah tidak dapat diterima lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia. 66 b. Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan logis La Conviction Raisonnee Convictim-Raisonee Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 67 c. Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti 66 Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa, 1990, hal 187. 67 M. Yahya Harahap II, Op. cit, hal. 231. Universitas Sumatera Utara yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat- alat bukti yang sah menurut undang-undang. 68 Sistem ini melulu menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber keyakinan, hingga akan menimbulkan bentuk putusan yang dapat menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencernakan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim. Oleh karena itu, sistem ini tidak dapat diterapkan di Indonesia. 69 d. Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian ini menekankan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti 68 Ibid., hal. 799. 69 Ansorie Sabuan…., Op. cit., hal. 187. Universitas Sumatera Utara yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suat tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang minimal dua alat bukti dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. 70 70 Ibid., hal. 188. Undang-undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6, juga mengatur hal ini, yaitu tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang- undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Universitas Sumatera Utara HIR juga mengatur tentang hal ini, yaitu dalam Pasal 294 ayat 1 yang berbunyi, tiada seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu. KUHAP dan undang-undang pokok kekuasaan kehakiman menekankan kepada alat bukti yang sah dahulu, kemudian keyakinan hakim, sedangkan HIR mendahulukan keyakinan hakim baru kemudian alat bukti yang sah. KUHAP lebih tegas menekankan dua alat bukti yang sah, sedangkan UUPK dan HIR hanya menyebutkan alat bukti yang sah dan alat pembuktian yang sah. Antara sistem pembuktian undang-undang secara negatif dengan sistem pembuktian yang berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah keduanya mengakui adanya keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya, sistem pembuktian undang-undang secara negatif didasarkan atas dua alat bukti yang sah, diikuti dengan keyakinan hakim, sedangkan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis harus didasarkan atas keyakinan hakim, dimana keyakinan itu didasarkan kepada suatu kesimpulan yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan sendiri, menurut Universitas Sumatera Utara pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan dipergunakan. D. Simons mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif negatief wettelijke bewijs theorie ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda dubbel en grondslag, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang 71 Wirjono prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan aturan yang mengikat hakim dan menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan. . 72 M. Yahya Harahap berpendapat lain, sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sedangkan mengenai keyakinan hakim, hanya bersifat unsur pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsur formil dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat 71 Andi Hamzah., Op. cit, hal. 234. 72 Wirjono Prodjodikoro., Op. cit, hal. 77. Universitas Sumatera Utara saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalu mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan. 73

B. Kekuatan Pembuktian Elektronik dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

Dokumen yang terkait

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 37 128

Transaksi Jual Beli Saham Dengan Hak Membeli Kembali (REPO) Di Pasar Modal

5 120 179

Analisis Yuridis Atas Perjanjian Jual Beli Rumah Melalui Pengembang Pada PT. Indo Mega Sentosa Di Kota Batam

3 68 121

Perlindungan Hukum Nasabah Bank Dalam Cyber Crime Terhadap Internet Banking Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

4 66 152

Analisis Yuridis Mengenai Perjanjian Jual Beli yang Dibuat Melalui Media Elektronik Berdasarkan kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

0 0 31

PENGALIHAN SAHAM ATAS NAMA DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SAHAM PERSEROAN TERBATAS TERBUKA MELALUI INTERNET DIKAIKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL DAN UNDANG-UNDANG NOMOR.

0 0 1

KEDUDUKAN DROPSHIPPER DALAM JUAL BELI MELALUI MEDIA INTERNET BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG.

0 0 1

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE PRODUK FASHION BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

0 1 15

TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI MEDIA INSTAGRAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

0 1 9

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) STUDI TINDAK PIDANA PENIPUAN JUAL BELI MELALUI INTERNET - Unissula Repository

0 0 12