Kedudukan Syariat Islam Di Provinsi Aceh dalam Sistem Hukum Nasional

BAB II KETERKAITAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM

DI PROVINSI ACEH DENGAN HUKUM PIDANA NASIONAL

A. Kedudukan Syariat Islam Di Provinsi Aceh dalam Sistem Hukum Nasional

Dalam perspektif teori sistem hukum menyangkut tiga elemen, yaitu substansi hukum, struktur dan budaya hukum sistem hukumlegal system, Friedman menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen struktur structure, substansi substance, dan budaya hukum legal culture. Aspek struktur structure oleh Friedman dirumuskan sebagai berikut : “The structure of a legal system consists of elements of this kind: the number and size of courts; their yurisdiction that is, what kind of cases they hear, and how and why, and modes of appeal from one court to another. Structure also means how the legislature is organized, how many members sit on the Federal Trade Commission, what a president can legally do or not do, what procedures the police department follows, and so on.” 47 Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum substance. Penjelasan Friedman terhadap substansi hukum adalah sebagai berikut : “By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system.This is, first of all, “the law” in the popular sense of the term – the fact that 47 Lawrence M. Friedman, American Law, New York, London : WW Norton Company, 1984, hal. 5. Universitas Sumatera Utara the speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can be sent to prison, that ‘by law’ a pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar.” 48 Friedman mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang ada, norma-norma dan aturan tentang perilaku manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai “hukum” itulah substansi hukum. Selanjutnya, Friedman mengartikan budaya hukum sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, gagasan, serta harapan masyarakat tentang hukum. Dalam tulisannya, Friedman merumuskannya sebagai berikut : “By this we mean people’s attitudes toward law and the legal system their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that part of the general culture which concerns the legal system.” Untuk menjelaskan hubungan antara ketiga elemen sistem hukum tersebut, Friedman dengan jelas sekali membuat sebuah ilustrasi yang menggambarkan sistem hukum sebagai suatu “proses produksi” dengan menempatkan mesin sebagai “struktur”, kemudian produk yang dihasilkan sebagai “substansi hukum”, sedangkan bagaimana mesin ini digunakan merupakan representasi dari elemen “budaya hukum”. Dalam bahasanya, Friedman merumuskan ilustrasi tersebut sebagai berikut : 48 Ibid, hal. 5. Universitas Sumatera Utara “Another way to visualize the three elements of law is to imagine legal “structure” as a kind of machine. “Substance” is what the machine manufactures or does. The “legal culture” is whatever or whoever decides to turn the machine on and off, and determines how it will be used.” 49 Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, terdapat satu kesatuan sistem hukum yang jenis dan hierarkinya dituangkan dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hirarkhi yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Selanjutnya, Pasal 7 ayat 2 menyatakan bahwa peraturan daerah meliputi peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupatenkota, dan peraturan desaperaturan setingkat. Ketentuan lain yang berkaitan dengan hirarki peraturan perundang-undangan adalah ketentuan Pasal 7 ayat 4 yang menyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat 1, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan. Hal ini mengandung makna susunan norma yang ada mengikuti 49 Ibid, hal. 5. Universitas Sumatera Utara teori Hans Kelsen yang dikenal dengan Stufenbau theorie. Stufenbau theorie mengatakan bahwa norma dalam suatu negara sesungguhnya berjenjang, norma yang di bawah bersumber kepada norma yang di atas dan norma yang di atas bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada norma yang tidak bersumber lagi. 50 Susunan norma yang tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2004 juga menggambarkan adanya peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Peraturan tingkat pusat seperti undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden. Peraturan perundang-undangan tingkat pusat pada dasarnya mengatur kehidupan rakyat dalam konteks nasional, yang berlaku untuk seluruh warga negara Republik Indonesia. Sedangkan peraturan perundang- undangan tingkat daerah, seperti peraturan daerah, substansinya mengatur kehidupan rakyat pada daerah yang bersangkutan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip adanya kesatuan sistem hukum. Walaupun sudah ada norma hukum dan mempunyai sifat memaksa, namun belum ada jaminan bahwa norma hukum tersebut ditaati oleh masyarakat. Agar norma-norma tersebut ditaati diadakan ancaman hukuman, yaitu hukuman perdata, hukuman administrasi, danatau hukuman pidana untuk norma-norma hukum yang bersangkutan. 50 Hans Kelsen dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Suatu Pengantar, Yogyakarta : Kanisius, 1997, hal. 25. Universitas Sumatera Utara Pelaku subyek dan tingkah laku yang dirumuskan norma serta ancaman hukuman sanksi disebut sebagai hukum materiil. Sedangkan untuk dapat melaksanakan ancaman hukuman, diadakan ketentuan yang mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan ketentuan tentang acara penyelesaian pelanggaran hukum materiil yang disebut sebagai hukum formil. 51 Norma hukum formil bukan mengatur tingkah laku yang terlarangdiharuskan, melainkan mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan acaranya. Sejak awal pembentukan Negara Republik Indonesia ini, para pendiri bangsa founding fathers telah sepakat memancangkan dasar dan falsafah negara adalah Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Mahaesa, dan salah satu pasal dari UUD 1945 itu menjamin kemerdekaan seluruh penganut agama untuk dapat menjalankan ajaran agamanya. Indonesia dalam bentuk ini dinyatakan sebagai negara dalam dimensi duniawi, namun tetap memberikan tempat bagi setiap warganya untuk melaksanakan ajaran agama. 52 Dengan demikian pluralitas warga dari berbagai aspeknya harus tunduk dan patuh terhadap Hukum 51 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Alumni Ahaem – Petehaem, 1989, hal. 10-11. 52 Bagi pengamat semisal Boland 1982, ia mencermati bahwa Indonesia adalah sebagai negara yang unik, Indonesia ditempatkan sebagai suatu negara yang bukan sekuler, dan bukan pula negara teokrasi, tetapi menciptakan konfergensi, di mana Indonesia dinyatakan sebagai Negara Demokrasi Pancasila., Bagi Fachry Ali dan Bahtiar Efendi memandang bahwa ini adalah bentuk kekalahan kelompok Islamis yang mereka nilai sebagai kurang mampu meyakinkan pihak Nasionalis., Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik ORBA, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hal. 156-157. Universitas Sumatera Utara Nasional yang berlaku secara universal bagi seluruh komponen bangsa dimana pun mereka berada dengan tanpa kecuali. Berdasarkan UUD 1945, negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sesuai ketentuan pasal 4 ayat 1 UUD 1945, dalam penyelenggaraan pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan kebijakan desentralisasi dilaksanakan bersamaan dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Sementara itu dalam pengaturan hubungan antara Pemerintah dengan daerah diatur dalam pasal 18 A ayat 1 dan 2 sebagai berikut : 1. Hubungan wewenang antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Universitas Sumatera Utara 2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Konsekuensi dari kandungan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut : 1. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Presiden selaku kepala pemerintahan dapat melaksanakan dengan : a. melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat pusat melalui asas dekonsentrasi; b. menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah otonom melalui asas desentralisasi; c. menugaskan sebagian kewenangan kepada pemerintahan daerah danatau pemerintahan desa meialui asas tugas pembantuan; dan d. melaksanakan sendiri. 2. Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, dibentuk pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD serta dibantu oleh perangkat daerah. Anggota DPRD dipilih melalui proses pemilihan umum, dan kepala daerah dipilih melalui proses pemilihan kepala daerah Pilkada. Kedua lembaga tersebut diberi mandat untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Universitas Sumatera Utara 3. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah memiliki hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dengan pemerintah pusat. 4. Dalam melaksanakan hubungan tersebut Pemerintah melaksanakan fungsi pembinaan yang salah satu wujudnya dengan menetapkan norma, standar, kriteria dan prosedur; fasilitasi; supervisi; serta monitoring dan evaluasi agar otonomi daerah senantiasa dilaksanakan oleh pemerintahan daerah sesuai dengan tujuannya. Sebaliknya pemerintah daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah serta melaksanakan otonomi daerah berdasarkan standar, norma, kriteria, dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berdasarkan hal ini maka pemerintahan daerah provinsi dan kabupatenkota merupakan sub-ordinasi Pemerintah. 5. Kesimpulannya, walaupun Pemerintah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah, pemerintahan daerah tetap merupakan sub-ordinasi Pemerintah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai amanat konstitusi Republik Indonesia. Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, atau bersifat istimewa. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa Universitas Sumatera Utara terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiiiki ketahanan yang tinggi. Berlakunya syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara kaffah merupakan dambaan masyarakat Aceh sejak lama dan telah diperjuangkan selama puluhan tahun ke Pemerintah Pusat di Jakarta, namun hal ini secara formil baru terlaksana dan diakui oleh Negara sejak disahkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 4 Oktober 1999. 53 Selanjutnya Disahkan pula UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini mengamanatkan pelaksanaan syariat islam di bumi Aceh secara kaffah. Oleh karena itu keberadaan kedua undang- undang ini juga merupakan momen penting dalam rangka menjadikan hukum islam sebagai hukum positif yang hidup dalam masyarakat Aceh secara menyeluruh. 54 Penataan otonomi khusus di Aceh merupakan salah satu upaya meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi daerah dalam kerangka NKRI, yaitu mencapai kesejahteraan secara demokratis di Nanggroe Aceh Darussalam. Pelaksanaan syariat Islam merupakan keistimewaan bagi Aceh yang telah diatur melalui UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, dalam Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Daerah mengembangkan dan mengatur 53 Ibrahim, Armia, Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Banda Aceh : Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, 2009 hal.45. Universitas Sumatera Utara penyelenggaraan kehidupan beragama sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, yang melahirkan Qanun sebagai produk hukum daerah yang sama dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia yang dapat melahirkan Peraturan Daerah. Ini merupakan bagian dari Keistimewaan Aceh dan juga sebagai pengakuan bangsa Indonesia yang diberikan kepada daerah Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Keistimewaan yang dimiliki Aceh meliputi Penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Penyelenggaraan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam dilakukan secara menyeluruh secara kaffah. Artinya seluruh dimensi kehidupan masyarakat mendapat pengaturan dari hukum syariat Islam. Maka hukum yang di berlakukan di Aceh adalah hukum yang bersumber pada ajaran agama Islam yaitu ajaran syariat Islam yang selanjutnya di implementasikan dalam Qanun. Penyelenggaraan pelaksanaan syariat Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum dapat terlaksana dengan baik. Terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh berkelanjutan dan 54 Syahrizal Abbas, Kontekstualitas Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh : Arraniry Press, 2003, hal. X. Universitas Sumatera Utara bermartabat dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 55 Berdasarkan kesepakatai damai antar pihak GAM dengan Pemerintahan Republik Indonesia maka lahirlah UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Kerukunan antar umat beragama bagi non muslim yang tinggal Aceh tetap dihormati dan dilindungi sesuai Pasal 29 ayat 2 UUD 19945 bahwa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata menjamin jelas bermakna imperative. Artinya Negara berkewajiban melakukan upaya-upaya agar tiap penduduk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Keaktifan Negara disini adalah memberikan jaminan bagaimana penduduk dapat memeluk dan menjalankan agamanya. 56 Negara dan pemerintahan daerah sangat berperan untuk terlaksananya syariat Islam di Aceh. Berdasarkan konstitusi UUD 1945 yang mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Salah satu keistimewaan Aceh adalah pelaksanaan syariat Islam yang merupakan pandangan hidup masyarakat Aceh dikenal sebagai komunitas yang taat dan fanatis terhadap 55 Konsideran Menimbang Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 56 Hartono Mardjono,”Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks Keindonesiaan”, Bandung : Mizan. 1997, hal. 29. Universitas Sumatera Utara syariat Islam dan telah menjadikan norma agama sebagai standar untuk mengukur apakah suatu perbuatan sesuai atau tidak sesuai dengan syariat.

B. Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh .