Keragaman dan tanggap pertumbuhan serta produksi asiatikosida pegagan pada ketinggian tempat dan naungan yang berbeda

(1)

Urban) PADA KETINGGIAN TEMPAT DAN NAUNGAN

YANG BERBEDA

BUDI MARTONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keragaman dan Tanggap Pertumbuhan serta Produksi Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) pada Ketinggian Tempat dan Naungan yang Berbeda adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Budi Martono NRP A161060151


(3)

Production of Asiatic Pennywort (Centella asiatica (L.) Urban) at Different Site Elevations and Shades. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI, LATIFAH K. DARUSMAN, SANDRA ARIFIN AZIZ, and NURLIANI BERMAWIE

In developing products derived from asiatic pennywort there is a lack of guarantee in terms of raw material supply and quality. To support such needs, standardized plant material will ensure production level and quality. The objectives of this research were: 1) to obtain information of the genetic parameters, i.e. of asiatic pennywort morphological characters and criterion of selection to produce high content of asiaticoside and dry shoot production, obtaining asiatic pennywort accessions which have high content of asiaticoside and dry shoot production, and information about the result of asiatic pennywort selection based on independent culling level, a single selection, weighted and unweighted standardized selection indexes, 2) to analyse and evaluate genetic distances of 17 accessions asiatic pennywort based on morphological, RAPD, and the data of markers combination, and 3) to obtain response of the growth and asiaticoside production of six asiatic pennywort plant accessions in different shades on low and high elevation areas. Results of the research showed that number of leaf; length, width, and leaf area: number of vein leaf, and segment length on the longest stolon have wide genetic variability and high heritability. The length and diameter of leaf petiole: leaf thickness, number of runner, content and production of asiaticoside that showed narrow genetic variability and heritability from low to moderate. Narrow genetic variability and high heritability were shown by characters of dry shoot weight. Direct selection toward dry shoot production could be conducted through selection of leaf area. The selection indicated that 4 accessions of asiatic pennywort showed high content of asiaticoside and dry shoot weight, namely Casi 016, Casi 003, Casi 008, and Casi 002. Grouping of asiatic pennywort accessions based on morphological, RAPD, and the basis of markers combination divided the 17 accessions of asiatic pennywort into 4, 5, and 4 groups at similarity level of 0.33, 0.73, and 0.72, respectively. In high elevation, highest production of asiaticoside (2.34 g m-2) and content of asiaticoside above MMI standard (1.33%) occured in Casi 002 planted without shade.

Keywords:Centella asiaticaL. (Urban), genetic variability, shade, low elevation, high elevation.


(4)

Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) pada Ketinggian Tempat dan Naungan yang Berbeda. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI, LATIFAH K. DARUSMAN, SANDRA ARIFIN AZIZ, dan NURLIANI BERMAWIE.

Permasalahan dalam pengembangan produk yang berasal dari pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) adalah tidak terjaminnya pasokan bahan baku dan mutu, karena selama ini pegagan diambil langsung dari alam tanpa usaha pembudidayaan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan usaha-usaha budidaya dengan menggunakan bahan tanaman unggul dan cara budidaya yang tepat untuk mendapatkan produktivitas yang optimal. Untuk melaksanakan program ini, maka diperlukan informasi tentang pendugaan parameter genetik, analisis lintas, seleksi plasma nutfah pegagan berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti; keragaman plasma nutfah pegagan berdasarkan penanda morfologi, molekuler, dan gabungan, serta pengujian beberapa aksesi pegagan di dataran rendah dan dataran tinggi pada naungan yang berbeda (tanpa naungan, naungan 25 dan 55%). Tujuan penelitian ini adalah: 1) menduga keragaman genetik dan heritabilitas beberapa karakter kuantitatif pegagan, mendapatkan informasi tentang karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang tinggi, dan mendapatkan aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan bobot terna kering yang tinggi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat serta membandingkan hasil seleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti, (2) menganalisis dan mengevaluasi jarak kedekatan genetik pada 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi, penanda RAPD, dan data gabungan, dan (3) memperoleh informasi tentang tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida 6 aksesi pegagan terhadap perlakuan naungan di dataran rendah dan tinggi.

Penelitian ini terdiri atas dua aspek, yaitu (1) keragaman plasma nutfah pegagan dan (2) tanggap perubahan karakter pegagan. Kedua aspek tersebut dikelompokkan menjadi tiga subjudul penelitian: (1) pendugaan parameter genetik, analisis lintas, dan seleksi plasma nutfah pegagan, (2) keragaman plasma nutfah pegagan berdasarkan penanda morfologi, molekuler, dan gabungan, dan (3) tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida beberapa aksesi pegagan pada naungan yang berbeda di dataran rendah dan tinggi. Kajian pada subjudul 1 dan 2 dilakukan terhadap 17 aksesi pegagan dengan perlakuan naungan paranet 25%, sedangkan kajian pada subjudul 3 dilakukan terhadap 4 aksesi terpilih hasil seleksi dan 2 aksesi sebagai pembanding pada tiga tingkat naungan (tanpa naungan, naungan 25 dan 55%) dan ketinggian tempat yang berbeda (250 m dan 1500 m dpl).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter jumlah, panjang, lebar, dan luas daun serta jumlah tulang daun, dan panjang ruas pada sulur terpanjang memiliki keragaman genetik luas dan heritabilitas tinggi, sedangkan tebal daun, jumlah sulur, kadar dan produksi asiatikosida menunjukkan keragaman genetik


(5)

terna kering secara langsung dapat dilakukan melalui seleksi luas daun. Hasil seleksi dengan mempertimbangkan karakter kadar asiatikosida dan bobot terna kering menghasilkan 4 aksesi pegagan terpilih, yaitu Casi 016 (Boyolali), Casi 003 (Introduksi), Casi 008 (Ciwidey), dan Casi 002 (Bengkulu). Aksesi terseleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat tidak selalu terseleksi pada seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti. Aksesi yang terseleksi sama berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat dan seleksi tunggal adalah aksesi lokal Boyolali (Casi 016). Aksesi lokal Ciwidey (Casi 008) dan lokal Bengkulu (Casi 002) merupakan aksesi yang terseleksi sama berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat dan seleksi indeks terboboti, sedangkan aksesi lokal Boyolali (Casi 016) dan lokal Bengkulu (Casi 002) merupakan aksesi yang terseleksi sama berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat dan seleksi indeks tidak terboboti. Tidak ada satupun aksesi yang terseleksi sama berdasarkan ketiga metode seleksi.

Karakterisasi secara morfologi dilakukan terhadap 17 aksesi pegagan yang berasal dari koleksi plasma nutfah pegagan wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sumatera, dan Papua serta introduksi. Analisis keragaman secara molekuler menggunakan teknik RAPD dengan tujuh jenis primer acak: OPE-15, OPE-19, OPE-20, OPH-05, OPH-19, OPM-12, dan OPM-24. Hasil klasifikasi menunjukkan perbedaan pengelompokan berdasarkan penanda morfologi, RAPD, dan gabungan. Pengelompokan aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi membagi 17 aksesi pegagan ke dalam 4 kelompok pada tingkat kemiripan 33%, yaitu kelompok: 1) Casi 005, Casi 011, Casi 009, Casi 018, Casi 012, Casi 015, Casi 001, Casi 002, Casi 008, Casi 010, Casi 013, Casi 016, Casi 017, dan Casi 006; 2) Casi 007; 3) Casi 019; dan 4) Casi 003. Pengelompokan aksesi pegagan berdasarkan RAPD membagi 17 aksesi pegagan ke dalam 5 kelompok utama pada tingkat kemiripan 73%, yaitu kelompok: 1) Casi 001, Casi 012, Casi 005, Casi 009, Casi 011, Casi 017, dan Casi 019; 2) Casi 003; 3) Casi 016, Casi 010, dan Casi 018; 4) Casi 002, Casi 006, Casi 013, Casi 015, dan Casi 008; serta 5) Casi 007. Untuk pengelompokan berdasarkan data gabungan membagi 17 aksesi pegagan ke dalam 4 kelompok utama pada tingkat kemiripan 72%, yaitu kelompok: 1). Casi 001, Casi 005, Casi 011, Casi 009, Casi 017, Casi 012, dan Casi 019; 2) Casi 002, Casi 006, Casi 013, Casi 015, Casi 007, dan Casi 008; 3) Casi 010, Casi 016, dan Casi 018; dan 4) Casi 003. Berdasarkan penanda morfologi, RAPD, dan gabungan, nilai kemiripan dari masing-masing penanda berkisar antara 0.02-0.64, 0.48-0.97, dan 0.49-0.95 atau terdapat keragaman sebesar 36-98%, 3-52%, dan 5-51%. Hasil Analisis Komponen Utama (AKU) menunjukkan bahwa akumulasi keragaman minimum 70% pada data morfologi diperoleh pada dua komponen pertama, sedangkan pada data RAPD dan gabungan tidak memenuhi batas minimum 70% untuk tiga komponen utama. Selanjutnya hasil analisis komparasi antara matriks koefisien kemiripan penanda morfologi dan RAPD diperoleh nilai korelasi (r = -0.003) yang dikategorikan sebagai korelasi yang sangat tidak sesuai. Hal ini berarti bahwa pola keragaman yang dihasilkan sangat sedikit yang selaras antara pengamatan fenotipik dan pola pita hasil amplifikasi.


(6)

pendek; bobot terna kering dan produksi asiatikosidanya berkurang. Selain itu, kandungan klorofil a, b, dan total meningkat di dataran rendah dan berkurang di dataran tinggi. Pegagan yang tumbuh di dataran rendah pada naungan 0, 25, dan 55%, memiliki panjang tangkai daun lebih panjang (4.85–25.75 cm) daripada yang di dataran tinggi (4.85–19.25 cm). Namun demikian, daunnya lebih sempit (24.72–29.87 cm2) dibandingkan di dataran tinggi (33.23– 46.31 cm2) kecuali untuk Casi 003 lebih luas (59.46 cm2). Kandungan asiatikosida di dataran rendah (0.36–0.64%) lebih rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi (0.80–1.38%). Produksi asiatikosida di dataran tinggi (0.42–2.34 g m-2) lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah (0.17-1.62 g m-2). Produksi asiatikosida tertinggi di dataran rendah dan dataran tinggi ditemukan pada perlakuan tanpa naungan kecuali Casi 003 pada naungan 25% (1.59 g m-2 di dataran rendah dan 1.10 g m-2di dataran tinggi). Penanaman tanpa naungan di dataran tinggi dengan menggunakan Casi 002 menghasilkan kadar asiatikosida di atas standar MMI (1.33%) dan produksi asiatikosida tertinggi (2.34 g m-2). Di dataran rendah, penanaman tanpa naungan dengan menggunakan Casi 016 menghasilkan produksi asiatikosida yang tinggi (1.62 g m-2) dengan kadar asiatikosida di atas standar MMI (1.03%). Penanaman Casi 016 di dataran tinggi dapat dilakukan pada naungan 25% dan tanpa naungan dengan kadar asiatikosida di atas standar MMI (1.85 dan 1.58%) dan produksi asiatikosidanya 1.84 g m-2. Aksesi hasil eksplorasi di dataran menengah dan tinggi menghasilkan kadar asiatikosida yang lebih rendah jika ditanam di dataran rendah dibandingkan dataran tinggi.


(7)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Yul H. Bahar


(9)

Urban) PADA KETINGGIAN TEMPAT

DAN NAUNGAN YANG BERBEDA

BUDI MARTONO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(10)

Nama : Budi Martono

NIM : A161060151

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S.

Ketua Anggota

Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S. Dr. Ir. Nurliani Bermawie

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Agronomi

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Disertasi ini memberikan informasi mengenai keragaman dan tanggap pertumbuhan serta produksi asiatikosida pegagan pada ketinggian tempat dan naungan yang berbeda.

Dengan selesainya disertasi ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S., selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S., Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S., dan Dr. Ir. Nurliani Bermawie sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dengan cermat, terarah, dan sistematis serta motivasi yang diberikan kepada penulis mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai penyelesaian penulisan penelitian disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, Kepala Puslitbangbun, dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Tanaman Industri Lain (Balittri) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan doktor di Institut Pertanian Bogor serta fasilitas lainnya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Made Sumertajaya, M.Si., atas kesediannya menjadi pendamping dalam pelatihan analisis statistik. Ucapan yang serupa disampaikan kepada semua teknisi Kebun Percobaan Cimanggu, Kebun Percobaan Gunung Putri, Laboratorium Pascapanen Balittro, Laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI), Laboratorium Ekofisiologi Departemen AGH Fakultas pertanian, dan Laboratorium Histologi Biotrop yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian. Penghargaan tak terhingga juga penulis tujukan kepada orang tua, mertua, istri (Dr. Sri Cahyorini, M.Si.), kakak, adik, Dr. Subandi, M.Sc., Drs. Sarodjo, dan semua teman-teman yang dengan tulus ikhlas memberikan doa dan dukungannya kepada penulis.

Akhirnya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2011 Budi Martono


(12)

Penulis dilahirkan di Temanggung pada tanggal 7 Juni 1965, merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dari ayah Soetjipto (Alm.) dan ibu Rusmi Hadinah (Almh.). Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Biologi Lingkungan Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1998 penulis memperoleh beasiswa dari PAATP untuk mengikuti program Magister Sains (S2) di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Agronomi, sub program Pemuliaan Tanaman. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Agronomi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Sejak Desember 1990 sampai 2006, penulis bekerja sebagai staf peneliti pemuliaan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor. Pada tahun 2006, penulis pindah tugas di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri) Pakuwon, Parungkuda Sukabumi.

Selama mengikuti S3, artikel dengan judul kriteria penanda seleksi produktivitas terna dan asiatikosida pada pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) telah diterbitkan pada jurnal Penelitian Tanaman Industri pada tahun 2010. Artikel lain berjudul pendugaan parameter genetik pegagan (Centella asiatica (L.) Urban), seleksi plasma nutfah pegagan (Centella asiatica(L.) Urban) berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, dan indeks seleksi, serta keragaman genetik pegagan berdasarkan penanda morfologi dan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) akan diterbitkan pada jurnal Pemuliaan Indonesia (Zuriat) dan jurnal Penelitian Tanaman Industri, sedangkan pertumbuhan dan produksi asiatikosida beberapa genotipe pegagan pada berbagai tingkat naungan di dataran tinggi dan dataran rendah akan diterbitkan pada jurnal Agronomi Indonesia. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.


(13)

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xviii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

Ruang Lingkup Penelitian... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Pegagan ... 7

Manfaat dan Kandungan Kimia ... 8

Parameter Genetik, Analisis Lintas, dan Seleksi ... 11

Parameter Genetik ... 11

Analisis Lintas ... 12

Seleksi ... 13

Penanda Genetik dalam Identifikasi Keanekaragaman Pegagan ... 14

Penanda morfologi ... 15

Penanda molekuler ... 15

Penanda RAPD ... 16

Pengaruh Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman .... 17

Mekanisme Adaptasi Tanaman Terhadap Intensitas Cahaya Rendah... 19

Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman ... 24

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK, ANALISIS LINTAS, DAN SELEKSI PLASMA NUTFAH PEGAGAN (Centella asiatica (L.) Urban) . 26

Pendahuluan ... 27

Bahan dan metode ... 30

Hasil dan Pembahasan ... 38

Simpulan ...………...…………... 61

KERAGAMAN PLASMA NUTFAH PEGAGAN (Centella asiatica(L.) Urban) BERDASARKAN PENANDA MORFOLOGI, MOLEKULER, DAN GABUNGAN ... 63

Pendahuluan ... 64

Bahan dan Metode ... 66

Hasil dan Pembahasan ... 70


(14)

Pendahuluan ... 84

Bahan dan Metode ... 87

Hasil dan Pembahasan ... 91

Simpulan ….………...……….………. 122

PEMBAHASAN UMUM ... 125

SIMPULAN DAN SARAN ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 141


(15)

Halaman

1 Karakter morfologi dan fisiologi tanaman ternaungi ... 19

2 Analisis ragam dan harapan kuadrat tengah dari RAK untuk suatu karakter ... 35

3 Nilai rata-rata, koefisien keragaman genetik (KKG), ragam genetik (σ2g), dan standar deviasi ragam genetik (σσ2g)beberapa karakter kuantitatif plasma nutfah pegagan ... 39

4 Ragam genetik (σσ2g), ragam lingkungan (σ 2 e), ragam fenotip (σ 2 p), dan heritabilitas (h2)beberapa karakter kuantitatif plasma nutfah pegagan... 41

5 Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dan kadar asiatiko sida pada tanaman pegagan ... 42

6 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung sepuluh komponen pertumbuhan terhadap kadar asiatikosida ... 44

7 Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dan produksi terna kering pada tanaman pegagan ... 46

8 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung sepuluh komponen pertumbuhan terhadap poduksi terna kering ... 48

9 Nilai heritabilitas dalam arti luas komponen pertumbuhan pada pegagan .... 52

10 Penampilan karakter agronomi 4 aksesi pegagan hasil seleksi penyisihan bebas bertingkat (Independent culling level) ... 54

11 Penampilan karakter agronomi 17 aksesi pegagan hasil seleksi tunggal (berdasarkan kadar asiatikosida) ... 56

12 Hasil seleksi 17 aksesi pegagan berdasarkan indeks seleksi terboboti (weighted standardized selection index)... 59

13 Hasil seleksi 17 aksesi pegagan berdasarkan indeks seleksi tidak terboboti (unweighted standardized selection index) ... 60

14Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan dendogram morfologi …... 72

15 Nilai ciri 2 komponen utama 9 karakter morfologi ... 73


(16)

aksesi pegagan ... 75

18 Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan dendogram RAPD ... 77

19 Nilai ciri 3 komponen utama pada penanda molekuler (RAPD) ... 77

20 Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan data gabungan

(morfologi dan penanda molekuler)... 80

21 Nilai ciri 3 komponen utama data gabungan (morfologi dan RAPD) ... 80

22 Rangkuman hasil analisis ragam gabungan pengaruh ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap peubah yang diamati ... 92

23 Pengaruh kombinasi naungan dan genotipe terhadap luas daun ... 93

24 Pengaruh kombinasi naungan dan genotipe terhadap ketebalan daun dan panjang lapisan palisade ... 95

25 Pengaruh kombinasi naungan dengan genotipe terhadap kandungan

klorofil total (mg g-1bobot basah daun) ...……... 98 26 Pengaruh kombinasi naungan dan genotipe terhadap ratio klorofil a/b… 100

27 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan naungan terhadap luas daun pegagan (cm2) ... 101 28 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan naungan terhadap ketebalan

daun (m) ... 102

29 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan naungan terhadap panjang lapisan palisade (m) ... 103

30 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan naungan terhadap klorofil a (mg g-2bobot basah daun) ... 104 31 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan naungan terhadap klorofil

total (mg g-2bobot basah daun) ... 105 32 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dengan genotipe terhadap luas

daun (cm2) ... 106 33 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan genotipe terhadap panjang


(17)

total (mg g bobot basah daun) ... 108

35 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan genotipe terhadap intensitas kehijauan daun... 109

36 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap luas daun spesifik (cm2) ... 110 37 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap

kerapatan stomata pada pegagan (cm2) ... 112 38 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap

klorofil b (mg g-1bobot basah daun) ... 114 39 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap

panjang tangkai daun pegagan (cm) ... 115

40 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap bobot terna kering pegagan (g m-2) ... 116 41 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap

produksi asiatikosida (g m-2) ... 119 42 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap


(18)

1 Diagram alir penelitian ... 6

2 Struktur kimia dari asiatikosida (James & Dubery 2011) ... 9

3 Skema biosintesis triterpenoid pada pegagan atauCentella asiatica(L.) Urban. (Haralampidiset al. 2002; Phillipset al. 2006; James & Dubery 2009) ... 11

4Mekanisme penghindaran terhadap kekurangan cahaya (Levitt 1980)…... 20

5 Mekanisme toleransi tanaman terhadap kekurangan cahaya

(Levitt 1980) ... 21

6 Morfologi pegagan dan keragaan beberapa aksesi pegagan: Casi 005 (A), Casi 011 (B), Casi 006 (C), Casi 002 (F), Casi 003 (H), dan Casi 016 (0) ... 39

7 Diagram analisis lintas antara komponen pertumbuhan terhadap kadar

asiatikosida... 43

8 Diagram analisis lintas antara komponen pertumbuhan terhadap produksi terna kering... 50

9 Dendogram 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi ... 72

10 Dendogram 17 aksesi pegagan berdasarkan profil pola pita DNA dengan teknik RAPD ... 76

11 Dendogram 17 aksesi pegagan berdasarkan kombinasi penanda morfologi dan penanda RAPD ... 79

12 Penampang melintang daun pegagan terhadap naungan di dataran rendah pada perlakuan: (a) tanpa naungan, (b) naungan 25%, dan

(c) naungan 55% (perbesaran 40x) ...…... 97

13 Pola interaksi antara ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap bobot terna kering Casi 002, Casi 003, Casi 008, Casi 012,

Casi 013, dan Casi 016 (a=dataran rendah; b=dataran tinggi)………….. 117

14 Pola interaksi antara ketinggian tempat, naungan, dan genotipe

terhadap produksi asiatikosida Casi 002, Casi 003, Casi 008, Casi 012,

Casi 013, dan Casi 016 (a=dataran rendah; b=dataran tinggi)………….. 119

15 Pola interaksi antara ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap kadar asiatikosida Casi 002, Casi 003, Casi 008, Casi 012, Casi 013, dan Casi 016(a=dataran rendah; b=dataran tinggi) ……… 121


(19)

(20)

1 Data koleksi plasma nutfah pegagan hasil eksplorasi dari berbagai daerah

dan introduksi ... 157

2 Denah percobaan studi keragaman plasma nutfah pegagan (Centella asiatica(L.) Urban)... 158

3 Metode preparasi dan pengamatan struktur dan tebal daun (Sass 1951)... 159

4 Contoh perhitungan kadar asiatikosida ... 162

5 Primer yang digunakan dalamscreeningprimer RAPD... 163

6 Matriks kemiripan 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi ... 164

7 Matriks kemiripan 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda RAPD ... 165

8 Matriks kemiripan 17 aksesi pegagan berdasarkan kombinasi penanda morfologi dan RAPD ... 166

9 Denah percobaan tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida beberapa aksesi pegagan (Centella asiatica(L.) Urban) pada naungan yang berbeda di dataran rendah dan tinggi (Lokasi: KP. Cimanggu dan KP. Gunung Putri) ... 167

10 Metode analisis kandungan klorofil (mg/g bobot basah daun)... 168

11 Metode pengamatan jumlah stomata... 169

12 Data iklim kebun percobaan Cimanggu Juli-Nopember 2008 ... 170


(21)

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara mega diversity dengan keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 setelah Brazilia dan mempunyai lebih kurang dari 7000 spesies tumbuhan (90% dari spesies tumbuhan Asia) diketahui berkhasiat sebagai obat (Badan POM 2001). Menurut Ditjen POM (1991) ada 283 spesies tumbuhan obat yang sudah terdaftar digunakan oleh industri obat tradisional di Indonesia. Salah satu tumbuhan yang telah dikenal luas di dunia sebagai obat adalah pegagan atauCentella asiatica(L.) Urban.

Terpenoid khususnya triterpenoid merupakan golongan senyawa kimia utama pegagan, terdiri atas beberapa komponen kimia yang memiliki aktivitas biologis. Salah satu diantaranya adalah asiatikosida, yang mempunyai khasiat antara lain untuk antilepra dan antisifilis (Winarto & Surbakti 2003), memacu sintesis kolagen dan mucopolisakarida untuk memperbaiki jaringan yang luka sedangkan oksiasiatikosida dapat membunuh basilus tuberkolosis (Barnes et al. 2002; Fahmi 2002).

Pegagan banyak terdapat di Indonesia dan telah banyak dimanfaatkan dalam ramuan tanaman obat atau jamu. Kebutuhan industri untuk bahan baku pegagan mencapai 100 ton/th, namun pada tahun 2005 baru dapat dipasok 4 ton (IPB 2005). Permasalahan dalam pengembangan produk yang berasal dari pegagan adalah tidak terjaminnya pasokan bahan baku dan mutu. Untuk memasok kebutuhan industri, selama ini pegagan diambil langsung dari alam tanpa usaha pembudidayaan sehingga jaminan pasokan bahan baku dan mutunya tidak terjamin. Dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap obat bahan alam, diperlukan pasokan bahan baku yang konsisten dengan mutu yang sesuai kebutuhan industri melalui usaha budidaya.

Salah satu upaya untuk mendapatkan produk pegagan yang bermutu yaitu diperlukannya bahan tanaman yang terjamin tingkat produksi dan mutunya. Sampai saat ini baru ada 2 varietas unggul pegagan yang dilepas (Castina 1 dan Castina 2), sehingga keadaan ini mendorong para pemulia untuk terus mendapatkan varietas unggul tersebut. Balai Penelitian Tanaman Obat dan


(23)

Aromatik (BALITTRO) telah memiliki 17 nomor aksesi pegagan yang berasal dari introduksi dan eksplorasi dari berbagai daerah dengan kondisi agroekologi berbeda. Dari 17 aksesi tersebut belum diketahui karakter morfologi dan agronomi secara menyeluruh sehingga perlu dilakukan identifikasi untuk melengkapi informasi data deskripsi masing-masing aksesi. Selain karakterisasi dan identifikasi, untuk program perbaikan genetik pegagan diperlukan informasi mengenai parameter genetik.

Sebagai bahan genetik untuk pembentukan varietas unggul terutama melalui persilangan, selain deskripsi koleksi plasma nutfah, perlu diketahui juga hubungan kekerabatan antara aksesi pegagan. Hubungan kekerabatan atau jarak genetik tersebut akan menentukan keberhasilan persilangan. Namun sampai saat ini jarak genetik antar aksesi ini belum banyak diketahui sehingga perlu dilakukan analisis keanekaragaman genetik.

Untuk mempelajari keanekaragaman genetik dapat menggunakan penanda morfologi. Penanda morfologi telah lama digunakan sebagai penanda genetik untuk mengatasi masalah duplikasi plasma nutfah di lapang (Simmond & Sheperd 1955). Namun karakterisasi yang didasarkan pada penanda morfologi biasanya dipengaruhi lingkungan makro dan mikro, serta umur tanaman. Agar dapat memperkuat informasi data penanda morfologi maka diperlukan dukungan penanda molekuler karena memperjelas perbedaan dan hubungan kekerabatan antar aksesi berdasarkan karakteristik molekuler (Jarret & Gawel 1995).

Salah satu penanda molekuler berbasis DNA yang telah banyak diaplikasikan sebagai penanda genetik tanaman adalah RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Penanda ini menjadi salah satu alternatif penanda genetik berbasis DNA untuk tanaman karena tekniknya lebih cepat, lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan RFLP, SSR, dan AFLP (Darmono 1996). Dengan dasar ini maka dilakukan analisis keanekaragaman genetik berdasarkan penanda morfologi bersama dengan penanda RAPD. Diharapkan dengan menggunakan dua penanda tersebut akan memberikan informasi yang saling mendukung sehingga diperoleh informasi yang lebih akurat.

Pegagan dapat ditemukan di dataran rendah sampai dengan ketinggian 2500 m di atas permukaan laut (dpl) (Heyne 1987). Tanaman ini dapat tumbuh


(24)

pada tempat yang terbuka dan ternaungi, namun sampai sejauh mana kemampuannya tumbuh dalam kondisi ternaungi perlu dipelajari. Rachmawaty (2005) melaporkan bahwa tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada tingkat naungan 25%, bahkan pada naungan 75% masih menunjukkan pertumbuhan yang baik meskipun terjadi penurunan produksi pegagan. Oleh karena itu, pegagan dapat dikembangkan sebagai tanaman sela musiman maupun tahunan, misalnya di antara tanaman jagung, kelapa, kelapa sawit, dan buah-buahan yang tidak terlalu rindang. Sejauh ini, informasi tentang respon pertumbuhan dan produksi asiatikosida terhadap perlakuan naungan di dataran rendah dan tinggi pada pegagan masih belum banyak dilaporkan. Pengaruh naungan tersebut sangat penting untuk dipelajari karena kondisi yang ideal untuk tanaman obat adalah kombinasi biomassa dan bahan aktif yang tinggi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, pada penelitian ini akan dilakukan studi keragaman dan tanggap pertumbuhan serta produksi asiatikosida beberapa aksesi pegagan pada naungan dan ketinggian tempat yang berbeda. Informasi tersebut sangat penting bagi pengembangan bahan tanaman pegagan yang memiliki kadar dan produksi asiatikosida yang tinggi.

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai keragaman plasma nutfah pegagan dan mendapatkan aksesi serta naungan terbaik di dataran rendah dan tinggi dalam rangka menghasilkan produksi asiatikosida yang tinggi. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan percobaan yang bertujuan untuk: (1) mendapatkan informasi parameter genetik plasma nutfah pegagan, mendapatkan informasi tentang karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang tinggi, mendapatkan aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang tinggi, serta membandingkan hasil seleksi plasma nutfah pegagan berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti, (2) menganalisis dan mengevaluasi jarak kedekatan genetik pada 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi, penanda RAPD, dan data gabungan, (3) memperoleh informasi tentang tanggap


(25)

pertumbuhan dan produksi asiatikosida 6 aksesi pegagan terhadap perlakuan naungan di dataran rendah dan tinggi.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah diperoleh: (1) informasi tentang keragaman genotipik, diketahui karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk perbaikan kadar asiatikosida dan produksi terna kering serta didapatkan aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang tinggi dan informasi tentang hasil seleksi plasma nutfah pegagan berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti, (2) informasi jarak kedekatan genetik 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi, penanda RAPD, dan data gabungan, dan (3) ilmu pengetahuan untuk meningkatkan produksi asiatikosida yang tinggi melalui perlakuan naungan dan ketinggian tempat.

Hipotesis Penelitian

Terdapat keragaman dan perbedaan tanggap pertumbuhan serta produksi asiatikosida pegagan pada naungan dan ketinggian tempat yang berbeda. Setiap tahapan percobaan dapat ditarik beberapa hipotesis sebagai berikut:

1. Terdapat keragaman genotipik dari plasma nutfah pegagan, diperoleh karakter agronomi yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk perbaikan kadar asiatikosida dan produksi terna kering serta didapatkan aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang tinggi, dan diketahui urutan peringkat aksesi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti.

2. Diperoleh jarak kedekatan genetik 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi, penanda RAPD, dan data gabungan.

3. Terdapat perbedaan tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida 6 aksesi pegagan pada naungan dan ketinggian tempat yang berbeda.


(26)

Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, maka strategi penelitian yang dilakukan harus mempunyai keterkaitan antara penelitian yang satu dengan penelitian lainnya. Penelitian ini terdiri atas dua aspek: (1) keragaman plasma nutfah pegagan dan (2) tanggap perubahan karakter pegagan. Kedua aspek tersebut dikelompokkan menjadi tiga subjudul penelitian: (1) pendugaan parameter genetik, analisis lintas, dan seleksi plasma nutfah pegagan (Centella asiatica(L.) Urban), (2) keragaman plasma nutfah pegagan (Centella asiatica(L.) Urban) berdasarkan penanda morfologi, molekuler, dan gabungan, dan (3) tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida beberapa aksesi pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) pada naungan yang berbeda di dataran rendah dan tinggi.

Keragaman genetik dan heritabilitas beberapa karakter kuantitatif pegagan dan karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan kadar asiatikosida dan produksi terna kering berdasarkan nilai korelasi, pengaruh langsung dan tidak langsung serta nilai heritabilitas dipelajari dalam subjudul penelitian pertama. Selain itu, pada penelitian pertama juga dilakukan seleksi plasma nutfah pegagan untuk mendapatkan aksesi pegagan yang mempunyai kadar asiatikosida dan produksi terna kering tinggi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat dan membandingkannya dengan seleksi berdasarkan kadar asiatikosida, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti. Analisis kedekatan genetik untuk mengetahui tingkat kedekatan atau keragaman genetik dari koleksi plasma nutfah pegagan berdasarkan penanda morfologi, molekuler dan gabungan dilakukan pada subjudul penelitian kedua. Aksesi terpilih dari hasil seleksi berdasarkan kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang dilakukan pada subjudul pertama dan telah diketahui tingkat kedekatannya dari penelitian pada subjudul penelitian kedua dipelajari pertumbuhan dan produksi asiatikosidanya pada taraf naungan yang berbeda di dataran rendah dan tinggi dalam penelitian ketiga.

Kajian pada subjudul penelitian 1 dan 2 dilakukan terhadap 17 aksesi pegagan dengan perlakuan naungan paranet 25%. Subjudul penelitian 3, kajian dilakukan terhadap 6 aksesi pegagan (4 aksesi terpilih hasil seleksi dan 2 aksesi


(27)

sebagai pembanding) yang dilakukan pada tiga tingkat naungan (tanpa naungan, naungan paranet 25 dan 55%) dan ketinggian tempat yang berbeda (dataran rendah dan tinggi). Garis besar seluruh kegiatan penelitian disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir penelitian

Keragaman plasma nutfah

1. Pendugaan parameter genetik, analisis lintas, dan seleksi

3. 1. Dataran rendah (0, 25, dan 55%)

Koleksi Plasma Nutfah Pegagan

Tanggap perubahan karakter

2. Keragaman berdasarkan penanda morfologi, molekuler, dan gabungan

3. 2. Dataran tinggi (0, 25, dan 55%) 4 aksesi terpilih dan 2

aksesi sebagai pembanding

Analisis kemiripan dan keragaman serta analisis komponen utama berdasarkan penanda morfologi, RAPD, dan gabungan

Aksesi dan naungan(0, 25

dan 55%)terpilih di dataran rendah dan tinggi

Analisis ragam Analisis lintas Seleksi penyisihan bebas

bertingkat, seleksi tunggal, dan indeks seleksi

3. Tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida beberapa aksesi pegagan


(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Pegagan

Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) sin. Hydrocotyle asiatica (L.) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, kelas monocotiledoneae, ordo Umbillales, dan famili Umbelliferae atau Apiaceae. Tanaman ini berasal dari daerah Asia Tropik, tersebar luas di Asia Tenggara (Indonesia), India, Tiongkok, Jepang, dan Australia. Nama daerah atau lokalnya adalah pegagan, daun kaki kuda, daun penggaga, rumput kaki kuda, pegagan, kaki kuda, pegago, pugago (Sumatera); cowet gompeng, antanan, antanan bener, antanan gede (Sunda); gagan-gagan, ganggagan; kerok batok, panegowang, panigowang, rendeng, calingan rambat, pacul gowang, gan gagan (Jawa); bebele, paiduh, penggaga, kelai lere (Nusa Tenggara); sarowati, kolotidi manora (Maluku); pagaga, wisu-wisu, cipubalawo, hisu-hisu, (Sulawesi); dogauke, gogauke, sandanan (Papua) (Departemen Kesehatan RI 1977; Winarto & Surbakti 2003).

Tanaman pegagan merupakan herba menahun yang tidak berbatang dengan akar rimpang pendek dan akar merayap atau menjalar, dengan panjang stolon yang bisa mencapai 2,5 m (De Paduaet al. 1999). Akar terdapat pada buku yang menyentuh tanah, akarnya tunggang bercabang-cabang, sedangkan akar serabut tumbuh dari buku-buku stolon (geragih). Daun tunggal, letak basalis atau rosette dengan 2-10 daun. Bentuk daun seperti ginjal (reniformis), ukuran 2-5 cm x 3-7 cm, tangkai daun tegak dan sangat panjang ukurannya 9-17 cm, bagian dalam tangkai daun berlubang. Tepi daun bergerigi dengan penampang 1-7 cm dan kadang berambut (Wijayakusuma et al. 1994). Pangkal dari tangkai daun melekuk ke dalam dan melebar seperti pelepah. Tulang daun menjari (palmitus). Helaian daun biasanya berwarna hijau dan hijau muda. Bunga putih atau merah muda berbentuk payung, tunggal atau 3-5 bunga secara bersama keluar dari ketiak daun (Santa & Prayogo 1992; Wijayakusuma et al. 1994), dengan tangkai bunga (pedunculus) lebih pendek daripada tangkai daun. Buahnya kecil bergantung lonjong atau pipih 2-2,5 mm (Wijayakusuma et al. 1994) termasuk buah tipe schizocarpium. Warna buah kuning coklat atau merah muda kuning dan buahnya berbelah berlekuk dua (Santa & Prayogo 1992; De Padua et al. 1999). Studi sitologi pegagan yang berasal dari beberapa lokasi yang berbeda diketahui bahwa


(29)

jumlah kromosom pegagan adalah 2n=18, 22, 22+1B, 22+2B, dan 33 (Mitsukuri & Kurahori 1959; Bell 1960; Das & Mallick 1991).

Pegagan dapat diperbanyak secara vegetatif dengan tunas akar serta dapat pula diperbanyak dengan biji atau secara generatif. Hingga saat ini perbanyakan menggunakan stek tunas akar lebih banyak dilakukan dibandingkan perbanyakan dengan biji. Perbanyakan dengan biji atau benih jarang dan bahkan belum pernah dilakukan, karena selain ukuran bijinya yang terlalu kecil juga sangat sulit untuk mendapatkan biji tersebut (Januwati & Muhammad 1992).

Pegagan merupakan tumbuhan kosmopolit atau memiliki daerah penyebaran sangat luas, terutama di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini tumbuh dengan baik di tempat-tempat terbuka atau cukup sinar matahari atau agak terlindung yang tanahnya subur dan agak lembab. Pegagan menyebar liar dan dapat tumbuh dari dataran rendah sampai dataran tinggi sampai dengan ketinggian 1-2500 m dpl, namun tanaman ini tumbuh baik di dataran menengah pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Kelembaban udara yang diinginkan antara 70-90% dengan rata-rata temperatur udara antara 20-250C dan tingkat kemasaman tanah netral (pH) antara 6-7 (LBN 1980; Dalimartha 2000; Winarto & Surbakti 2002).

Manfaat dan Kandungan Kimia

Di Jawa Barat, kadang-kadang pegagan dipakai sebagai tanaman penutup tanah perkebunan teh. Di Indonesia, sejak dulu rebusan daunnya digunakan untuk bermacam-macam penyakit antara lain untuk mengobati keracunan jengkol, peluruh air seni, dan diaforetika, penyakit saluran empedu, wasir, batuk kering pada anak-anak, pendarahan hidung, tukak lambung, sakit ginjal dan sebagai obat kumur pada sariawan (LBN 1980). Selain itu, pegagan digunakan untuk obat diare, radang usus, bronchitis dan keputihan. Penggunaan lokal, yaitu untuk mengobati pembengkakan buah zakar, kaki gajah, luka baru atau borok (Heyne 1987). Di India pegagan digunakan untuk mengobati sipilis dan lepra (Martindale 1967).

Kandungan utama pegagan adalah triterpen asam asiatat dan asam madekasat, serta turunan dari triterpen ester glikosida (tidak kurang dari 2%), asiatikosida, madekasosida, tankunisida, brahmosida, brahminosida, sentellosida,


(30)

oksi-asiatikosida, asam madesiatat, asam brahmat, asam sentelat, asam sentoat, asam indosentoat, asam thankunat, asam isobrahmat, asam sentat, madekassol, sentellosa, dan alkaloid (Anonim 1993, 1999).

Asiatikosida (C48H78O19) termasuk ke dalam golongan glikosida triterpenoid turunan dari-amyrin dengan molekul gula, terdiri atas 2 glukosa dan 1 rhamnosa. Aglikon triterpennya disebut asam asiatikat yang mempunyai gugus alkohol primer, glikol, dan sebuah karboksilat teresterifikasi dengan gugus gula (Vickery & Vickery 1981; Talalaj & Czechowics 1989; Maeda et al. 1994). Stuktur kimia asiatikosida dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia dari asiatikosida (James & Dubery, 2011)

Triterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik. Seluruh senyawa terpenoid yang ada di alam dibangun dari kondensasi unit isoprena aktif yang disebut isopentenil pirofosfat (IPP) dan dimetilalil pirofosfat (DMAPP). Dua lintasan biosintesis yaitu lintasan mevalonat dan non-mevalonat (deoksisilulosa difosfat: DXP) adalah lintasan yang penting dalam biosintesis isoprena. Tumbuhan ini memiliki kedua jalur biosintesis isoprena tersebut secara bersamaan, perbedaannya hanya pada organ sel tempat berlangsungnya proses reaksi biosintesis. Beberapa data baru memperlihatkan bahwa proses biosintesis isoprena melalui mevalonat lebih aktif terjadi pada sitosol dan retikulum endoplasmid (ER) untuk menghasilkan seskiterpena dan


(31)

diterpena. Jalur biosintesis isoprena melalui non mevalonat terjadi di plastida (Agusta 2006).

Goldstein dan Brown (1990), Dewick (1997), serta Burke et al. (1999) menuliskan bahwa pada lintasan mevalonat, proses pertama meliputi reaksi kondensasi dua molekul asetil-coenzim A (asetil-CoA) menjadi asetoasetil-CoA yang dikatalisasi oleh enzim asetil-CoA asetiltransferase. Selanjutnya asetoasetil-CoA berkondensasi lagi dengan satu unit asetil-asetoasetil-CoA untuk membentuk molekul

-hidroksi--metilgutaril-CoA (CoA) yang dikatalisasi oleh enzim HMG-CoA sintase. Menurut Choi et al. (1992), Newmann dan Chappel (1999), serta Schnee et al. (2002) bahwa enzim HMG-CoA tersebut pada tumbuhan terdapat pada retikulum endoplasma yang regulasinya dapat dipicu oleh adanya luka pada organ tumbuhan atau terjadinya infeksi oleh patogen. Proses kedua adalah reduksi HMG-CoA oleh NADPH dengan katalisasi oleh enzim HMG-CoA reduktase menjadi asam mevalonat (MVA). Proses berikutnya, dengan bantuan enzim mevalonat kinase dan enzim fosfomevalonat kinase, asam mevalonat dikonversi menjadi 5-fosfomevalonat dan 5-difosfomevalonat. Selanjutnya enzim difosfomevalonat dekarboksilase akan mengubah 5-difosfomevalonat menjadi isopentenil pirofosfat (IPP). Proses selanjutnya IPP dengan bantuan enzim IPP isomerase akan membentuk reaksi kesetimbangan menjadi dimetilalil pirofosfat (DMAPP). Kondensasi IPP dan DMAPP akan membentuk geranil pirofosfat (GPP, C-10) yang merupakan senyawa antara untuk semua monoterpen. Penggabungan satu unit IPP dengan GPP menghasilkan Farnesil pirofosfat (FPP, C-15) yang merupakan senyawa antara bagi sesquiterpenoid, masing-masing dikatalisasi oleh geranil pirofosfat sintase dan farnesil pirofosfat sintase. Senyawa triterpenoid terbentuk jika dua molekul sesquiterpenoid bergabung. Senyawa-senyawa triterpenoid berasal dari MVA melalui skualene dan biasanya melalui 2,3 epoksiskualen, kemudian terbentuklah senyawa dammarenediol. Lupeol dan  -amyrin dibiosintesis dari dammarene, dari -amyrin selanjutnya akan diperoleh derifat dari-amyrin, yaitu asiatikosida (Manitto 1981; Vickery & Vickery 1981; Croteau et al. 2000). Skema biosintesis triterpenoid pada pegagan dapat dilihat pada Gambar 3.


(32)

IPP FPS SQS SQE OSC

+ FPP Squalen 2,3-Oxidosqualen [Dammarenyl kation] DMAP

Betulinic acid lupeol [lupenyl kation] Asiatic acid -Amyrin

/-AS [oleanyl kation] Centellasapogenol A -Amyrin

Keterangan:

FPS : Farnesyl diphosphate synthase SQS : Squalen synthase

SQE : Squalen epoksidase OSC : Oxidosqualen cyclase

/-AS:/-amyrin synthase

Gambar 3 Skema biosintesis triterpenoid pada pegagan atauCentella asiatica(L.) Urban (Haralampidiset al. 2002; Phillipset al. 2006; James & Dubery 2009)

Parameter Genetik, Analisis Lintas, dan Seleksi Parameter genetik

Pendugaan parameter genetik penting dalam proses pemuliaan tanaman karena terkait dengan proses seleksi dalam tahapan selanjutnya. Beberapa parameter genetik yang umum diduga dalam penelitian pemuliaan adalah keragaman dan heritabilitas.

Seleksi merupakan dasar dari seluruh perbaikan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul baru. Dalam perakitan varietas unggul, keragaman genetik memegang peranan yang sangat penting karena semakin tinggi keragaman genetik semakin tinggi pula peluang untuk mendapatkan sumber gen bagi karakter yang akan diperbaiki. Disamping itu, keragaman genetik yang tinggi juga dapat meningkatkan respons seleksi, karena respons seleksi berbanding lurus dengan keragaman genetik (Kuswantoro et al. 2006). Ragam yang diukur dari suatu populasi untuk karakter tertentu merupakan ragam fenotipe. Ragam fenotipe terdiri dari ragam genetik, ragam lingkungan, serta ragam interaksi antara genetik dan lingkungan, sedangkan ragam genetik sendiri terdiri dari ragam genetik aditif


(33)

(σ2A), ragam genetik dominan (σ2D), dan ragam genetik epistasis (σ2E) atau σ2G=

σ2A+σ2D+σ2E.

Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genetik dengan ragam fenotipenya, hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genotipe. Berdasarkan komponen ragamnya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability). Heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe (h2(BS)=σ2G / σ2P), sedangkan heritabilitas arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h2(NS)=σ2A/ σ2P)(Mangoendidjojo 2003). Secara teori nilai heritabilitas berkisar antara nol sampai dengan satu. Kategori mengenai besar kecilnya nilai heritabilitas, dikemukakan oleh Whirter (1979) yaitu: 0.50 h21.00 (tinggi); 0.20 h2 0.50 (sedang) dan 0.00 h2 0.20 (rendah), heritabilitas biasanya dinyatakan dalam persen (%). Heritabilitas dapat menduga peningkatan kemajuan genetik yang mungkin diperoleh bila dilakukan seleksi terhadap sifat tertentu. Jika heritabilitas suatu sifat memiliki nilai tinggi berarti penampilan indivitu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik dibanding dengan faktor lingkungan dan seleksi berdasarkan individu efektif. Heritabilitas tinggi juga menandakan aksi gen aditif penting untuk sifat tersebut dan sebaliknya jika heritabilitas rendah, maka mungkin aksi gen seperti lewat dominan (over dominance), dominan, dan epistasis lebih penting (Lasley, 1978).

Analisis Lintas

Analisis lintas merupakan pengembangan metode analisis korelasi. Analisis lintas dapat menjelaskan keeratan hubungan antar karakter dengan cara menguraikan koefisien korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung. Jika dibandingkan dengan analisis korelasi, maka analisis lintas tidak hanya memberikan informasi tentang keeratan hubungan antar karakter, tetapi juga menjelaskan mekanisme hubungan kausal antar karakter. Mekanisme hubungan kausal tersebut diperoleh dari penguraian koefisien korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung masing-masing karakter melalui karakter lain (Gaspersz 1992). Menurut Totowarsa (1982), ada tiga hal yang perlu diperhatikan


(34)

dalam menarik kesimpulan pada analisis lintas, yaitu: 1) Jika koefisien korelasi (rxij) hampir sama besar dengan pengaruh langsungnya (C) maka koefisien korelasi tersebut seutuhnya mengukur derajat keeratan hubungan Xi dan Y, artinya seleksi berdasarkan variabel Xi sangat efektif, 2) Jika koefisien korelasi (rxij) bernilai positif tapi pengaruh langsungnya negatif atau dapat diabaikan, maka pengaruh tidak langsungnya (Cirij) menjadi penyebab korelasi. Semua variabel bebas X harus diperhatikan dan diperhitungkan secara serempak, dan 3) Jika koefisien korelasi (rxij) bernilai negatif, tapi pengaruh langsungnya (C) bernilai positif dan besar, maka pengaruh tidak langsung yang tidak dikehendaki dibatasi, sehingga dalam penafsirannya pengaruh langsung benar-benar dapat dimanfaatkan.

Analisis lintas sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemuliaan tanaman yang efektif dan efisien. Penggunaan analisis lintas untuk mengembangkan kriteria seleksi telah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman, seperti pada kedelai, gandum, sorgum, cabe, peartmillet (Asadi et al. 2004; Budiartiet al. 2004; Bizetiet al. 2004; Ezeaku 2006; Ganefiantiet al. 2006; Wirnas et al. 2006; Vetriventhan & Nirmalakumari 2007). Bizeti et al. (2004) telah berhasil mengembangkan kriteria seleksi yang efektif untuk meningkatkan daya hasil pada kedelai. Kriteria seleksi yang digunakan adalah jumlah buku per tanaman karena pada setiap buku akan terdapat polong.

Seleksi

Seleksi merupakan satu tahapan untuk mendapatkan genotipe yang sesuai dengan target lingkungan produksi. Pada dasarnya seleksi terbagi atas seleksi langsung dan seleksi tidak langsung. Seleksi langsung diartikan sebagai pemilihan genotipe-genotipe terbaik berdasarkan karakter-karakter yang memenuhi kriteria seleksi, sedangkan seleksi tidak langsung diartikan sebagai pemilihan secara tidak langsung genotipe-genotipe terbaik berdasarkan karakter-karakter yang memiliki hubungan dengan tujuan akhir dari program pemuliaan. Seleksi langsung dikategorikan ke dalam seleksi langsung berdasarkan satu sifat dan seleksi langsung terhadap beberapa sifat. Seleksi beberapa sifat secara simultan yang biasa digunakan dalam pemuliaan adalah seleksi berurutan (seleksi tandem),


(35)

seleksi simultan (independent culling level), dan seleksi indeks (Bariet al. 1981). Seleksi indeks adalah yang terbaik karena dalam penyusunan indeks mempertimbangkan koefisien korelasi fenotipik, koefisien korelasi genotipik, dan nilai heritabilitas. Selain itu, diperhitungkan pula ragam fenotipik dan peragam genotipik serta nilai ekonomi setiap sifat. Bobot ekonomis dalam seleksi indeks diharapkan dapat memberikan keseimbangan pada perolehan nilai genetik yang proporsional (Smith 1936, diacu dalam Sutresna 2008). Namun demikian terdapat beberapa kelemahan dalam seleksi indeks yaitu permasalahan dalam perolehan ragam dan peragam, kemungkinan perubahan parameter dengan seleksi dan kesulitan penetapan kepentingan relatif suatu sifat (Lin, 1978). Sutresna (2008) menyatakan bahwa kriteria seleksi dengan menggunakan indeks seleksi menunjukkan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan terhadap satu sifat. Keunggulan indeks seleksi akan meningkat dengan peningkatan jumlah sifat yang diseleksi diantara sifat tersebut, dan menurun dengan peningkatan perbedaan-perbedaan kepentingan masing-masing sifat secara nisbi. Menurut Moeljoprawiro (2002), bahwa indeks seleksi padi yang dihasilkan terhadap beberapa sifat secara simultan lebih efisien dibandingkan dengan seleksi yang didasarkan atas satu atau kombinasi dari dua sifat. Indeks seleksi yang melibatkan sifat panjang malai, panjang gabah, dan lebar gabah lebih berpeluang untuk perbaikan hasil tanaman.

Penanda Genetik dalam Identifikasi Keanekaragaman Pegagan

Pengungkapan informasi sifat genetik tanaman dapat dilakukan dengan melakukan identifikasi dari setiap aksesi plasma nutfah. Identifikasi untuk pembedaan identitas antar varietas dapat dideteksi melalui beberapa penanda genetik (genetic marker). Penanda genetik merupakan karakter yang dapat diturunkan yang berhubungan dengan genotipe tertentu dan dapat digunakan untuk mengkarakterisasi genotipe tersebut (Asieduet al. 1989)

Penanda genetik dapat digolongkan atas penanda morfologi (Livneh & Vardi 1998), penanda agronomi (Melchinger 1990), penanda isoenzim dan penanda molekuler (Melchinger 1990; Livneh & Vardi 1998). Secara umum


(36)

penanda agronomi dimasukkan pada kategori penanda fenotipik, sedangkan penanda isoenzim dimasukkan sebagai penanda protein atau biokimia.

Penanda morfologi

Penanda morfologi digunakan dalam deskripsi taksonomi karena lebih mudah, lebih cepat, sederhana dan lebih murah (Cross 1990). Disamping itu, dalam proses koleksinya tidak membutuhkan teknologi yang mahal (Maxtedet al. 1997). Sifat-sifat morfologi yang diamati haruslah sifat-sifat yang memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan stabil pada beberapa lokasi percobaan karena umumnya penampakan sifat pada morfologi tanaman sangat dipengaruhi lingkungan. Penanda morfologi yang selama ini hanya dipergunakan sebagai cara cepat untuk mengidentifikasi varietas diharapkan dapat digunakan untuk menilai kekerabatan antar aksesi sehingga lebih bermanfaat dalam program pemuliaan tanaman, sedangkan penanda agronomi lebih dipertimbangkan dalam usaha pemilihan tetua persilangan berdasarkan sifat hasil dan komponen hasil.

Setiap spesies tanaman mempunyai deskripsi morfologi yang spesifik. Deskripsi khusus tanaman tersebut telah diterbitkan oleh International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) untuk memudahkan dalam identifikasi karakter morfologi dan agronomi tanaman.

Penanda morfologi ini telah lama dan banyak digunakan terutama untuk mengatasi masalah duplikasi plasma nutfah di lapang (Simmond & Sheperd 1955). Disamping itu juga digunakan untuk identifikasi kekerabatan dan keragaman genetik antar klon/kultivar dan masih terus digunakan sampai saat ini.

Penanda molekuler

Keunggulan penanda molekuler adalah kemampuan membedakan setiap spesies tanaman atau genotipe tanaman tanpa dipengaruhi lingkungan. Umumnya sifat kuantitatif pada tanaman dikendalikan oleh banyak gen (poligen) dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan sehingga perbedaan antara klon atau spesies berkerabat dekat sulit untuk diamati. Dengan kemajuan dalam bidang biologi molekuler permasalahan di atas telah terbukti mampu diatasi. Penggunaan penanda molekuler sangat bermanfaat untuk membandingkan berbagai klasifikasi baik berdasarkan analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) maupun


(37)

dengan analisis berdasarkan penanda lainnya, seperti SSR (Simple Sequence Repeat), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dan AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) sehingga hasil klasifikasi lebih akurat (Crouchet al. 1998).

Pemanfaatan penanda molekuler DNA akhir-akhir ini lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan penanda morfologi dan isoenzim (Wattimena 1999), yaitu: (1) sangat akurat dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan yang mempengaruhi ekspresi dari gen tersebut, (2) dapat diuji pada semua tingkat perkembangan tanaman, (3) pada pengujian ketahanan hama dan penyakit tidak bergantung pada organisme penganggu, dan (4) seleksi pada tingkat genotipe dapat mempercepat proses seleksi dan hemat pada pengujian selanjutnya di lapang.

Penanda RAPD

RAPD merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk analisis profil DNA genom. Teknik RAPD ini merupakan suatu metode analisis DNA genom dengan cara melihat pola pita DNA yang dihasilkan setelah DNA genom diamplifikasi menggunakan primer acak. Metode ini didasarkan pada teknik polimerisasi berantai (PCR).

Secara umum RAPD lebih mudah, lebih murah dan tekniknya lebih cepat dibandingkan RFLP, SSR dan AFLP (Darmono 1996). Hal ini karena adanya beberapa alasan: (1) tidak memerlukan pengetahuan latar belakang genom yang akan diteliti, (2) primer secara universal dapat digunakan untuk organisme prokariot maupun eukariot, (3) mampu menghasilkan karakter yang relatif tidak terbatas jumlahnya, (4) bahan-bahan yang digunakan relatif murah, (5) mudah dalam hal preparasi, dan (6) memberikan hasil lebih cepat dibandingkan dengan analisis keragaman molekuler lainnya.

Disamping kelebihan, teknik RAPD juga memiliki kelemahan, yaitu: (1) pemunculan pita DNA kadang-kadang tidak konsisten, hal ini lebih sering terjadi jika suhu annealing (penempelan primer) yang digunakan terlalu tinggi. Dalam analisis kekerabatan hal ini dapat diatasi dengan menggunakan primer yang lebih banyak, (2) ruas DNA berulang sering berlipat ganda (Talbert et al. 1994), (3) penanda RAPD bersifat dominan (Ronning et al. 1995). Jumlah primer yang


(38)

diperlukan dalam analisis sangat bergantung pada tujuan atau jenis informasi yang diinginkan. Jika tujuannya untuk mengungkapkan hubungan kekerabatan, maka analisisnya tidak dapat bertumpu pada satu atau beberapa karakter saja. Halldenet al. (1994) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah primer yang digunakan semakin rendah nilai koefisien keragaman hasil analisis yang diperoleh. Sepuluh sampai 20 primer dianggap sudah mencukupi untuk keperluan analisis kekerabatan karena dengan 10 primer pengaruh kesalahan percobaan telah dapat diperkecil hingga mendekati nol.

Pengaruh Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Salisbury dan Ross (1992) menyatakan bahwa cahaya matahari mempunyai peranan dalam proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, menutup dan membukanya stomata, dan perkecambahan tanaman. Cahaya matahari berperan penting dalam metabolisme tanaman hijau, sehingga ketersediaan cahaya matahari menentukan tingkat produksi tanaman. Tanaman hijau memanfaatkan cahaya matahari melalui proses fotosintesis. Naungan merupakan salah satu faktor yang membatasi proses fotosintesis.

Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman serta terganggunya berbagai proses metabolisme tanaman. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh naungan telah banyak dilaporkan. Rachmawaty (2005) melaporkan bahwa tanaman pegagan dapat tumbuh baik pada tingkat naungan 25%, sedangkan pada naungan 75% terjadi penurunan produksi pegagan. Penelitian Tarore (1992) pada kencur menunjukkan bahwa naungan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kencur. Naungan 40% menghasilkan luas daun, bobot kering daun, kadar klorofil total yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan naungan 60% dan tanpa naungan. Tingkat naungan 60% memberikan hasil tanaman terendah.

Asadiet al. (1997) melaporkan bahwa penurunan hasil biji kedelai dari 28 galur yang diuji di bawah naungan 33% berkisar 2-45% dibandingkan dengan tanpa naungan, sedangkan Sunarlim (1997) melaporkan bahwa dengan pemberian naungan 50% hasil kedelai menurun sebesar 42%. Pada beberapa penelitian


(39)

sebelumnya juga telah diketahui bahwa, pemberian naungan dapat mempengaruhi kandungan bioaktif tanaman.

Pada tanaman daun jinten, kadar kumarat dan fanilat tertinggi terdapat pada naungan 75% (Urnemi et al. 2002). Pigmentasi antosianin pada kedelai meningkat pada persentase naungan yang semakin tinggi (Muhuria et al. 2006). Pada penelitian periode pencahayaan, Nirwan (2007) melaporkan bahwa naungan 50% selama 1 dan 3 bulan pada cahaya 100% dapat menghasilkan kandungan total flavonoid dan antosianin daun dewa tertinggi. Periode pencahayaan yang menghasilkan produksi total flavonoid dan kuersetin per tanaman tertinggi adalah naungan 50% selama 3 dan 1 bulan cahaya 100%, sedangkan produksi antosianin tertinggi diperoleh pada naungan 25% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100%. Bermawieet al. (2006b) melaporkan bahwa pada tingkat naungan 45% dan tanpa naungan, kadar asiatikosida dari tiga aksesi pegagan yang dipanen seluruh bagian tanaman bervariasi antara 1.01-1.89%, sedangkan pegagan yang dipanen daun dan tangkainya bervariasi antara 0.16-1.16%. Pada tanaman pule pandak (Raufolia serpentina), Sulandjari et al. (2005) melaporkan bahwa pada naungan 50% sampai dengan 80%, kadar reserpina lebih tinggi daripada naungan 20%, tetapi bobot akar pertanaman tertinggi diperoleh pada tingkat naungan 20%.

Tanaman akan memberikan tanggap terhadap naungan, tanggap pertumbuhan tanaman yang ternaungi dapat dilihat pada Tabel 1 (Anderson & Osmond 1987).


(40)

Tabel 1 Karakter morfologi dan fisiologi tanaman ternaungi

No. Karakter morfologi No. Karakter fisiologi 1. Batang lebih kecil karena xilem kurang 1. Kandungan klorofil lebih

berkembang tinggi

2. Luas daun per tanaman lebih besar 2. Laju fotosintesis lebih rendah 3. Jarak antara buku menjadi lebih panjang 3. Laju respirasi lebih rendah 4. Jumlah cabang lebih sedikit 4. Kandungan air lebih tinggi 5. Sel-sel pada daun berukuran lebih besar 5. Transpirasi lebih lambat

sehingga helai daun menjadi lebih besar dan tipis

6. Endodermis lebih berkembang 6. C/N rendah

7. Kutikula dan dinding lebih berkembang 7. Kemampuan berbunga dan 8. Kloroplas lebih banyak dan berukuran lebih berbuah kurang bagus

besar

9. Jaringan palisade kurang berkembang 8. Bunga muncul lebih lambat 10. Jaringan mesofil lebih berkembang 9. Kurang tahan terhadap 11. Jarak antar sel lebih besar stress suhu, kekeringan, 12. Akar lebih pendek dan ratio akar/tajuk dan penyakit

lebih rendah

13. Pada tanaman legume, bintil akar lebih sedikit dan lebih kecil

Sumber: Anderson & Osmond (1987)

Mekanisme Adaptasi Tanaman Terhadap Intensitas Cahaya Rendah Setiap tanaman mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi kondisi kekurangan cahaya. Tanaman dalam menghadapi cekaman terhadap kekurangan cahaya memiliki dua cara penyesuaian, yaitu melalui mekanisme penghindaran (avoidance) dan mekanisme toleransi (Levitt 1980). Mekanisme penghindaran berkaitan dengan perubahan anatomi dan morfologi daun agar lebih efisien dalam melakukan fotosintesis. Pada umumnya kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan tergantung pada kemampuannya melakukan fotosintesis secara normal pada kondisi kekurangan cahaya. Dengan penurunan titik kompensasi cahaya yang lebih rendah, tanaman dapat mengakumulasi produk fotosintesis pada level cahaya yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dicapai oleh tanaman di tempat terbuka.


(41)

Ketiadaan kutikula, lilin Ketiadaan pigmen dan bulu pada permukaan daun non kloroplas

Peningkatan Peningkatan kandungan kandungan kloroplas pigmen per kloroplas

Peningkatan kandungan Kloroplas dalam sel kloroplas per sel mesofil epidermis

Gambar 4 Mekanisme penghindaran terhadap kekurangan cahaya (Levitt 1980)

Penghindaran kekurangan radiasi dapat dicapai dengan meningkatkan efisiensi dari radiasi yang ditangkap tanaman, yaitu dengan cara: 1) meningkatkan intersepsi cahaya total melalui luas penangkapan cahaya (luas daun), dengan demikian maka daun-daun yang ternaungi menjadi tipis dengan permukaan fotosintetik maksimum, dan 2) meningkatkan persentase cahaya yang diintersepsi yang digunakan untuk fotosintesis, sehingga perlu mengurangi proporsi cahaya yang direfleksi dan ditransmisikan (Hale & Orcutt 1987). Beberapa faktor yang berperanan pada penghindaran kekurangan cahaya disajikan pada Gambar 4.

Toleransi terhadap kekurangan cahaya pada tanaman yang ternaungi dapat dicapai dengan cara menurunkan titik kompensasi cahaya dan menurunkan laju respirasi. Mekanisme toleransi kekurangan cahaya pada tanaman naungan disajikan pada Gambar 5.

Meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya

Meningkatkan area penangkapan

cahaya

Meningkatkan penangkapan cahaya per satuan area fotosintesik

Meningkatkan proporsi area fotosíntesis (daun)

Menghindari cahaya yang direfleksikan

Menghindari cahaya yang ditransmisikan

Menghindari absorbsi cahaya yang


(42)

Toleransi terhadap kekurangan cahaya

Penurunan titik kompensasi cahaya Penurunan laju respirasi

Penghindaran kerusakan Penurunan laju respirasi sistem fotosintesis sekitar titik kompensasi cahaya

Penghindaran Penghindaran Berkurangnya Berkurangnya pengurangan kerusakan pigmen bahan untuk sistem respirasi

aktifitas enzim respirasi (mitokondria, enzim)

Gambar 5 Mekanisme toleransi tanaman terhadap kekurangan cahaya (Levitt 1980)

Perubahan Anatomi dan Morfologi.Cahaya dapat mempengaruhi anatomi dan morfologi tanaman. Perubahan rasio luas daun terhadap bobot daun menunjukkan adanya perubahan anatomi di dalam lapisan mesofil dan palisade. Pada kondisi kurang cahaya atau ternaungi rasio luas daun terhadap bobot daun menjadi tinggi, atau lapisan daun menjadi tipis. Pada umumnya lapisan palisade akan berkurang dari 2-3 sel menjadi satu sel pada daun-daun yang ternaungi atau daun yang resisten terhadap naungan (Fitter & Hay 1998). Taiz & Zeiger (1991) menyatakan bahwa lapisan palisade dapat berubah sesuai kondisi cahaya agar tanaman menjadi efisien dalam menyimpan energi cahaya yang dibutuhkan untuk perkembangannya. Peran yang kontras antara sel palisade dan sel bunga karang, yaitu sel palisade dapat menyebabkan cahaya lewat dan sel bunga karang menangkap cahaya sebanyak mungkin, menyebabkan absorbsi cahaya yang lebih seragam di dalam daun.

Perubahan Kandungan Klorofil. Kandungan kloroplas tanaman dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, jumlahnya akan berbeda antara tanaman yang mendapat sinar matahari penuh dengan tanaman yang dinaungi. Tanaman ternaungi mempunyai grana yang lebih besar, sekitar 100 tilakoid per granum yang terletak tidak teratur dalam kloroplas. Proporsi lamella pembentuk grana dan


(43)

rasio membrane tilakoid/stroma lebih besar sehingga kandungan klorofil per luas daun lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang mendapat sinar matahari penuh.

Dalam keadaan normal, peralatan fotosintetik seperti klorofil akan mengalami proses kerusakan, degradasi dan perbaikan. Kemampuan melawan degradasi klorofil sangat penting dan akan menentukan daya adaptasi terhadap naungan. Tanaman yang mampu beradaptasi pada kondisi kurang cahaya atau ternaungi memiliki kemampuan meningkatkan jumlah kloroplas per satuan luas daun (Hale & Orchut 1987) dan juga meningkatkan jumlah klorofil dalam kloroplas (Okadaet al. 1992). Hal ini ditunjukkan oleh genotipe padi gogo toleran yakni memiliki kandungan klorofil a dan b lebih tinggi dibanding yang peka (Chowdury et al. 1994; Sulistyono 1998). Sejalan dengan itu, Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa terjadinya penurunan rasio klorofil a/b karena meningkatnya klorofil b pada tanaman yang dinaungi, yang berkaitan dengan peningkatan klorofil a/b pada LHC II (Light-Harvesting ComplexII). Penyesuaian tanaman terhadap radiasi yang rendah juga dicirikan dengan membesarnya antena untuk fotosistem II (LHCIIb). Membesarnya antenna untuk fotosistem II akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya. LHCIIb merupakan kompleks trimerik yang mengikat sekitar 60% klorofil PSII (PhotosystemII). Sebagian besar klorofil b merupakan komponen pemanenan cahaya dari PSII, maka perubahan pada jumlah kompleks pemanen cahaya (LHC) pada PSII dan PSI. Khumaida (2002) menyatakan bahwa genotipe kedelai toleran naungan memiliki kapasitas penangkapan cahaya yang lebih besar dari pada genotipe peka karena memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mengkonversi klorofil a menjadi klorofil b. Park et al. (1996) menyatakan bahwa PSII merupakan kompleks apparatus fotosintetik yang paling peka (vulnerable) terhadap stress cahaya. Perilaku PSII sangat ditentukan oleh dosis foton atau intensitas cahaya yang diterima. Taiz dan Zeiger (1991) menyatakan bahwa klorofil b berfungsi sebagai antena yang mengumpulkan cahaya untuk kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan untuk proses reduksi dalam fotosintesis.


(44)

Penambahan klorofil b akan sangat bermanfaat bagi tanaman yang ternaungi untuk memperoleh energi cahaya yang lebih banyak.

Perubahan Fisiologi dan Biokimia.Pada umumnya, kemampuan tanaman dalam mengatasi intensitas cahaya rendah tergantung pada kemampuan tanaman dalam melakukan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya.

Faktor lain yang membatasi fotosintesis adalah resistensi stomata terhadap CO2dan rendahnya aktivitas enzim rubisco pada kondisi ternaungi. Pertumbuhan dan hasil tanaman pada kondisi intensitas cahaya rendah juga dipengaruhi oleh kemampuan tanaman untuk memfiksasi CO2 yang ada di atmosfir. Jika konsentrasi CO2 yang ada di udara rendah maka fotosintesis bersih (net photosynthesis) antara yang ternaungi dengan yang kontrol hampir sama. Pada konsentrasi CO2 di udara yang sama maka tanaman yang dinaungi akan memfiksasi CO2 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak ternaungi karena resistensi stomata yang tinggi terhadap CO2 sehingga fotosintesis bersihnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang mendapat intensitas cahaya penuh (Salisbury & Ross 1985; Mohr & Schoper 1995). Intensitas cahaya rendah mengakibatkan perubahan fisiologi dan biokimia pada tanaman. Rubisco merupakan enzim yang berperan dalam fiksasi CO2. Intensitas cahaya rendah mengakibatkan penurunan kandungan dan aktivitas enzim rubisco dan berbagai enzim lainnya (Bruggeman & Danborn 1993). Genotipe kedelai yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah memiliki aktivitas rubisco yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang peka pada kondisi ternaungi.

Lebih jauh intensitas cahaya rendah mengakibatkan penurunan karbohidrat dalam tanaman, terutama fruktosa dan sukrosa dan selanjutnya akan terjadi berbagai perubahan dalam proses metabolisme pada tanaman (Kephart et al. 1992). Hal ini disebabkan oleh tingginya resistensi stomata dan sel-sel mesofil terhadap pertukaran gas CO2 serta penurunan kandungan dan aktivitas enzim-enzim yang mengkatalisis berbagai reaksi dalam fotosintesis.


(45)

Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman

Pertumbuhan dan produksi suatu tanaman tergantung pada interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan seperti jenis tanah, topografi, pengelolaan, pola iklim, dan teknologi. Pada tanaman pegagan, dilaporkan bahwa tanaman dapat tumbuh dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian 1-2500 m dpl, tumbuh di tempat dengan sinar matahari yang cukup atau naungan rendah yang subur, lokasi berkabut, disepanjang sungai dan juga di sela-sela bebatuan (Heyne, 1987; Anonim 1993, 1995). Dilaporkan oleh Pujiasmantoet al. (2007) bahwa tumbuhan sambiloto yang tumbuh di dataran menengah mempunyai morfologi relatif lebih tinggi (60-125 cm) daripada dataran rendah (40-90 cm) dan tinggi (20-60 cm). Daunnya juga lebih luas: panjang ( 8 cm) dan lebar ( 1.80 cm) dibandingkan di dataran rendah (panjang  3 cm dan lebar  3.50 cm), dan dataran tinggi (panjang5 cm dan lebar1.50 cm)

Ketinggian tempat dari permukaan laut menentukan suhu udara dan intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Semakin tinggi suatu tempat semakin rendah suhunya, demikian pula intensitas cahayanya semakin berkurang. Ketinggian tempat juga dapat berpengaruh terhadap kandungan bahan aktif dari tanaman obat. Pada tanaman pegagan, Bermawie et al. (2006b) melaporkan bahwa kadar asiatikosida dari tanaman pegagan yang ditanam di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dataran rendah, baik itu pegagan yang dipanen dari seluruh bagian tanaman maupun yang dipanen dari bagian daun dan tangkainya saja. Pada dataran tinggi, perlakuan tanpa naungan kadar asiatikosidanya 0.86-1.90% (Barkah 2008), sedangkan pada dataran rendah (0.35-1.97%) lebih tinggi dibandingkan dengan naungan 50% (0.15-0.62%) (Rita 2006). Pada dataran menengah (550 m dpl), dilaporkan oleh Bermawie et al. (2008) bahwa kadar asiatikosida pada kondisi tanpa naungan berkisar antara 0.15-1.49%. Kadar asiatikosida tersebut sangat dipengaruhi oleh varietas, kondisi lingkungan, dan cara analisa. Pada tanaman temu kunci, Arniputriet al. (2007) melaporkan bahwa komponen utama minyak atsiri dari temu kunci di dua ketinggian tempat (350 dan 450 m dpl) adalah sama, tetapi kadarnya berbeda-beda. Hasil penelitian


(46)

Pujiasmanto et al. (2007) menunjukkan bahwa pada tanaman sambiloto, kandungan andrograpolid di dataran menengah (2.27%) lebih tinggi daripada di dataran rendah (1.37%) dan tinggi (0.89%). Khanet al.(2010) melaporkan bahwa biosintesis phyllanthin dipengaruhi oleh ketinggian tempat, kandungan phyllanthin dari tanamanPhyllanthus amarusSchum. yang dikoleksi dari dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan populasi tanaman yang dikoleksi dari dataran rendah. Selain ketinggian tempat, kandungan phyllanthin juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Biji dari tanaman kelabet (Trigonella spp) yang berfungsi sebagai antidiabetik, kandungan alkaloid trigonelina-nya lebih tinggi apabila ditanam di dataran tinggi daripada di dataran rendah (Hendrison 2007). Hal yang sama juga ditemukan pada tanaman kecubung, kandungan alkaloid paling banyak jika ditanam pada ketinggian 2166 m dpl (Suganda 2002). Sebaliknya pada tanaman pule pandak, kandungan reserpinanya lebih tinggi apabila ditanam di dataran rendah daripada di dataran tinggi (Sulandjari 2009).


(47)

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK, ANALISIS LINTAS, DAN

SELEKSI PLASMA NUTFAH PEGAGAN (Centella asiatica(L.) Urban)

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk: 1) menduga keragaman genetik dan heritabilitas beberapa karakter kuantitatif pegagan, 2) mendapatkan informasi tentang karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang tinggi, dan 3) mendapatkan aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan bobot terna kering yang tinggi serta membandingkan antara hasil seleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Cimanggu Balittro dari bulan Juli-Desember 2007. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 17 aksesi pegagan sebagai perlakuan dan diulang dua kali, tingkat naungan yang digunakan 25%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter jumlah, panjang, lebar, dan luas daun serta jumlah tulang daun, dan panjang ruas pada sulur terpanjang memiliki keragaman genetik luas dan heritabilitas tinggi, sedangkan tebal daun, jumlah sulur, kadar dan produksi asiatikosida menunjukkan keragaman genetik sempit dengan heritabilitas rendah. Dari 10 karakter yang diamati tidak satupun karakter yang berkorelasi nyata dengan kadar asiatikosida. Karakter panjang dan diameter tangkai daun; panjang, lebar, luas, dan tebal daun, jumlah tulang daun, dan panjang ruas pada sulur terpanjang mempunyai korelasi positif sangat nyata dengan produksi terna kering, sedangkan jumlah daun induk dan jumlah sulur berkorelasi negatif nyata. Seleksi produksi terna kering yang tinggi melalui luas daun akan memberikan respon yang lebih cepat karena memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Hasil seleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat terpilih 4 aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan bobot terna kering yang tinggi, yaitu Casi 016, Casi 003, Casi 008, dan Casi 002. Aksesi terseleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat tidak selalu terseleksi pada seleksi tunggal dan indeks seleksi terboboti maupun tidak terboboti.

Kata kunci: pegagan, keragaman genetik, heritabilitas, analisis lintas, seleksi

ABSTRACT

The objectives of this research were: 1) to estimate of genetic variability and heritability of several quantitative characters, 2) to obtain information about characters which can be used to select asiaticoside content and dry shoot production criterion, and 3) to obtain asiatic pennywort accessions which have high content of asiaticoside and dry shoot production and comparison between independent culling level, single selection, weighted and unweighted standardized selection index. The research was conducted at Cimanggu Experimental Station of Indonesian Medicinal and Aromatic Crops Research Institute (ISMECRI) Bogor, from July 2007 to February 2008. The research was arranged using randomized complete block design (RCBD) with two replications. Seventeen asiatic


(1)

mendistribusikan bahan makanan atau senyawa organik secara aktif di dalam tubuh tanaman.

Fotorespirasi = Respirasi pada tanaman yang hanya terjadi dalam keadaan terang/ada cahaya, berbeda dengan respirasi yang normal lintasannya menggunakan glikolat sebagai substrat enzim oksidase.

Fotosintat = Hasil dari proses fotosintesis atau hasil dari proses pembentukan energi di dalam tumbuhan berklorofil dengan bantuan sinar matahari, berupa karbohidrat (tepung, gula).

Gen = Satu bagian atau segmen dari khromosom yang dapat menentukan satu atau lebih sifat.

Genotipe = 1) Individu yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang berada di bawah pengaruh gen yang terdapat pada khromosom yang dimiliki individu tersebut, 2) Individu yang mempunyai konstitusi genetic tertentu. Herba = Terna = Tumbuhan yang batangnya tidak berlignin

dan tidak mempunyai penebalan sekunder dan biasanya mati setelah setahun.

Heritabilitas = Porsi genetik dari fenotip yang diturunkan dari tetua kepada keturunannya.

In vitro = Translasi tanaman atau organisme hidup secara langsung di dalam gelas dan dilakukan di laboratorium.

Karakter = Ekspresi suatu gen yang diungkapkan di dalam fenotip.

Karbohidrat = Senyawa organik yang berperan sebagai cadangan makanan, bahan atau penghasil energi untuk proses biokimia di dalam tubuh tanaman.


(2)

Kekerabatan = Suatu sub divisi dari populasi geografi yang terdiri dari individu-individu yang (1) mampu kawin secara random atau (2) mempunyai hubungan dengan lainnya. Khlorofil = Zat warna hijau daun pada kebanyakan

tumbuh-tumbuhan.

Kromosom = Bagian dari genom yang memuat beberapa gen, berisi protein (histon) dan molekul DNA yang sangat panjang.

Metabolisme = Suatu reaksi kimia yang terjadi di dalam sel. Molekul yang terlibat dalam peristiwa ini disebut metabolit. Banyak metabolit disintesis di dalam organisme ketika yang lainnya digunakan sebagai bahan makanan. Reaksi metabolisme meliputi peristiwa anabolisme dan katabolisme.

Metabolit sekunder = Senyawa metabolit yang tidak esensial bagi pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-beda antara spesies

yang satu dan lainnya.

Mutasi = Perubahan genetik pada sekuen nukleotida atau molekul DNA yang diakibatkan oleh fenomena alami atau oleh penggunaan mutagen.

Nukleotida = Subunit DNA atau RNA yang terdiri dari basa nitrogen (adenin, guanin, timin, dan sitosin pada DNA; adenin, guanin, urasil, dan sitosin pada RNA), molekul fosfat dan molekul gula (deoxyribose pada DNA dan ribose pada RNA).

Paranet = Naungan buatan dengan intensitas tertentu, biasanya berwarna hitam dan terbuat dari bahan plastik khusus yang tahan terhadap sinar matahari. Nama lain: sarion, netting.


(3)

Pemuliaan tanaman = Rangkaian kegiatan untuk mempertahankan kemurnian jenis dan/atau varietas yang sudah ada atau menghasilkan jenis dan/atau varietas baru yang lebih baik.

Penanda = Sifat yang dapat diturunkan yang

berasosiasi dengan genotipe tertentu digunakan untuk mengkarakterisasi genotipe.

Plasma nutfah = Sumber genetik dalam satu spesies tanaman yang memiliki keragaman genetik yang luas yang dihasilkan oleh perbedaan varietas, strain, galur, subspesies atau populasi.

Polymerase = Enzim yang mengkatalisis penyusunan nukleotida kedalam RNA (RNA polymerase) dan deoksinukleotida kedalam DNA (DNA polymerase).

Polymerase chain reaction (PCR)

= Teknik in vitro untuk mengamplifikasi dalam jumlah besar (membuat jutaan kopi) sekuen DNA.

Primer = Suatu sekuen oligonukleotida pendek (10-25 basa nukleotida) yang berfungsi sebagai titik pemula terjadinya reaksi sintesis rantai DNA.

Ragam = Rata-rata kuadrat simpangan baku dari nilai tengah

Ragam fenotipik = Ragam total, yang merupakan jumlah dari ragam genotip dan ragam lingkungan Ragam genetik = Ragam individu dalam suatu populasi yang

disebabkan karena faktor genetik dari setiap karakter yang diamati

Ragam lingkungan = Ragam yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan


(4)

Respirasi = Proses pernafasan dari tumbuhan, yaitu proses penggunaan oksigen dan pelepasan karbondioksida. Pada proses ini terjadi pelepasan energi dari molekul-molekul organik dalam organisme hidup yang menyediakan energi bagi keperluan sel. Reaksi komplek yang terjadi pada respirasi adalah glikolisis (tahap pertama) dan siklus krebs serta oksidasi terminal.

RNA (Ribonucleic Acid) = Molekul polimerik yang disusun dari unit ribonukleotida yang tergabung dalam sekuen spesifik melalui pembentukan ikatan 3’5’ fosfodiester.

Sekuen = Asam nukleat spesifik yang merupakan segmen dari molekul DNA.

Sel = Unit dasar dari organisme hidup yang

melakukan proses biokimia dari kehidupan. Seleksi = Usaha untuk mendapatkan tanaman yang mempunyai sifat genetik yang baik, yaitu dengan cara memilihnya di antara tanaman lain dengan mengenali ciri-cirinya.

Spesies = Kumpulan tumbuh-tumbuhan yang

mempunyai persamaan morfologi dari bagian-bagian tumbuhan yang fundamental, mempunyai persamaan dalam proses reproduksi dan dari generasi ke generasi memberikan keturunan yang mempunyai sifat-sifat dasar yang tidak berbeda dengan induknya.

Stek = Bagian tanaman, dapat berupa potongan

atau pucuk terpilih yang digunakan untuk perbanyakan tanaman

Stolon (runner) = Cabang yang tumbuh mendatar sepanjang atau di bawah permukaan tanah, dan menghasilkan akar tambahan pada setiap bukunya, dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan baru pada setiap ujung cabangnya


(5)

bakteri Thermophilis aquaticus dan sangat stabil pada suhu tinggi, biasanya digunakan dalam teknik PCR dan sekuensing pada suhu tinggi.

Tumbuh = 1) Suatu peristiwa bertambahnya ukuran tanaman dan bersifat tidak dapat balik, 2) Pertumbuhan meliputi pembelahan dan pembesaran sel, 3) Suatu keadaan yang spesifik dari pertumbuhan adalah bentuk kurva yang berupa huruf s atau dikenal dengan sebutan sigmoid, 4) Sifat pertumbuhan suatu tumbuhan terbagi atas dua macam pertumbuhan: determinat dan indeterminat.

Transpirasi = Hilangnya uap air dari seluruh permukaan tanaman yang kontak dengan udara bebas, terjadi apabila tekanan uap air di atmosfir lebih rendah dibandingkan dengan tekanan yang ada pada ruang antara. Sebagian besar uap air hilang melalui stomata yang terbuka, sekitar 5% hilang melalui kutikula dan sedikit melalui lentisel.

Umbel (umbella) = Bunga majemuk yang tangkai anak bunganya muncul dari tempat kedudukan yang kurang lebih sama.

Varietas = Sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan.

Varietas unggul = Varietas yang telah dilepas oleh pemerintah yang mempunyai kelebihan dalam potensi hasil dan/atau sifat-sifat lainnya.


(6)

Waktu retensi = Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detektor.

Xylem = Jaringan vascular yang berfungsi untuk mendistribusikan air di dalam tubuh tanaman.