Tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida beberapa

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Pegagan Pegagan Centella asiatica L. Urban sin. Hydrocotyle asiatica L. termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, kelas monocotiledoneae, ordo Umbillales, dan famili Umbelliferae atau Apiaceae. Tanaman ini berasal dari daerah Asia Tropik, tersebar luas di Asia Tenggara Indonesia, India, Tiongkok, Jepang, dan Australia. Nama daerah atau lokalnya adalah pegagan, daun kaki kuda, daun penggaga, rumput kaki kuda, pegagan, kaki kuda, pegago, pugago Sumatera; cowet gompeng, antanan, antanan bener, antanan gede Sunda; gagan-gagan, ganggagan; kerok batok, panegowang, panigowang, rendeng, calingan rambat, pacul gowang, gan gagan Jawa; bebele, paiduh, penggaga, kelai lere Nusa Tenggara; sarowati, kolotidi manora Maluku; pagaga, wisu- wisu, cipubalawo, hisu-hisu, Sulawesi; dogauke, gogauke, sandanan Papua Departemen Kesehatan RI 1977; Winarto Surbakti 2003. Tanaman pegagan merupakan herba menahun yang tidak berbatang dengan akar rimpang pendek dan akar merayap atau menjalar, dengan panjang stolon yang bisa mencapai 2,5 m De Padua et al. 1999. Akar terdapat pada buku yang menyentuh tanah, akarnya tunggang bercabang-cabang, sedangkan akar serabut tumbuh dari buku-buku stolon geragih. Daun tunggal, letak basalis atau rosette dengan 2-10 daun. Bentuk daun seperti ginjal reniformis, ukuran 2-5 cm x 3-7 cm, tangkai daun tegak dan sangat panjang ukurannya 9-17 cm, bagian dalam tangkai daun berlubang. Tepi daun bergerigi dengan penampang 1-7 cm dan kadang berambut Wijayakusuma et al. 1994. Pangkal dari tangkai daun melekuk ke dalam dan melebar seperti pelepah. Tulang daun menjari palmitus. Helaian daun biasanya berwarna hijau dan hijau muda. Bunga putih atau merah muda berbentuk payung, tunggal atau 3-5 bunga secara bersama keluar dari ketiak daun Santa Prayogo 1992; Wijayakusuma et al. 1994, dengan tangkai bunga pedunculus lebih pendek daripada tangkai daun. Buahnya kecil bergantung lonjong atau pipih 2-2,5 mm Wijayakusuma et al. 1994 termasuk buah tipe schizocarpium. Warna buah kuning coklat atau merah muda kuning dan buahnya berbelah berlekuk dua Santa Prayogo 1992; De Padua et al. 1999. Studi sitologi pegagan yang berasal dari beberapa lokasi yang berbeda diketahui bahwa jumlah kromosom pegagan adalah 2n=18, 22, 22+1B, 22+2B, dan 33 Mitsukuri Kurahori 1959; Bell 1960; Das Mallick 1991. Pegagan dapat diperbanyak secara vegetatif dengan tunas akar serta dapat pula diperbanyak dengan biji atau secara generatif. Hingga saat ini perbanyakan menggunakan stek tunas akar lebih banyak dilakukan dibandingkan perbanyakan dengan biji. Perbanyakan dengan biji atau benih jarang dan bahkan belum pernah dilakukan, karena selain ukuran bijinya yang terlalu kecil juga sangat sulit untuk mendapatkan biji tersebut Januwati Muhammad 1992. Pegagan merupakan tumbuhan kosmopolit atau memiliki daerah penyebaran sangat luas, terutama di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini tumbuh dengan baik di tempat-tempat terbuka atau cukup sinar matahari atau agak terlindung yang tanahnya subur dan agak lembab. Pegagan menyebar liar dan dapat tumbuh dari dataran rendah sampai dataran tinggi sampai dengan ketinggian 1-2500 m dpl, namun tanaman ini tumbuh baik di dataran menengah pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Kelembaban udara yang diinginkan antara 70-90 dengan rata-rata temperatur udara antara 20-25 C dan tingkat kemasaman tanah netral pH antara 6-7 LBN 1980; Dalimartha 2000; Winarto Surbakti 2002. Manfaat dan Kandungan Kimia Di Jawa Barat, kadang-kadang pegagan dipakai sebagai tanaman penutup tanah perkebunan teh. Di Indonesia, sejak dulu rebusan daunnya digunakan untuk bermacam-macam penyakit antara lain untuk mengobati keracunan jengkol, peluruh air seni, dan diaforetika, penyakit saluran empedu, wasir, batuk kering pada anak-anak, pendarahan hidung, tukak lambung, sakit ginjal dan sebagai obat kumur pada sariawan LBN 1980. Selain itu, pegagan digunakan untuk obat diare, radang usus, bronchitis dan keputihan. Penggunaan lokal, yaitu untuk mengobati pembengkakan buah zakar, kaki gajah, luka baru atau borok Heyne 1987. Di India pegagan digunakan untuk mengobati sipilis dan lepra Martindale 1967. Kandungan utama pegagan adalah triterpen asam asiatat dan asam madekasat, serta turunan dari triterpen ester glikosida tidak kurang dari 2, asiatikosida, madekasosida, tankunisida, brahmosida, brahminosida, sentellosida, oksi-asiatikosida, asam madesiatat, asam brahmat, asam sentelat, asam sentoat, asam indosentoat, asam thankunat, asam isobrahmat, asam sentat, madekassol, sentellosa, dan alkaloid Anonim 1993, 1999. Asiatikosida C 48 H 78 O 19 termasuk ke dalam golongan glikosida triterpenoid turunan dari -amyrin dengan molekul gula, terdiri atas 2 glukosa dan 1 rhamnosa. Aglikon triterpennya disebut asam asiatikat yang mempunyai gugus alkohol primer, glikol, dan sebuah karboksilat teresterifikasi dengan gugus gula Vickery Vickery 1981; Talalaj Czechowics 1989; Maeda et al. 1994. Stuktur kimia asiatikosida dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Struktur kimia dari asiatikosida James Dubery, 2011 Triterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik. Seluruh senyawa terpenoid yang ada di alam dibangun dari kondensasi unit isoprena aktif yang disebut isopentenil pirofosfat IPP dan dimetilalil pirofosfat DMAPP. Dua lintasan biosintesis yaitu lintasan mevalonat dan non-mevalonat deoksisilulosa difosfat: DXP adalah lintasan yang penting dalam biosintesis isoprena. Tumbuhan ini memiliki kedua jalur biosintesis isoprena tersebut secara bersamaan, perbedaannya hanya pada organ sel tempat berlangsungnya proses reaksi biosintesis. Beberapa data baru memperlihatkan bahwa proses biosintesis isoprena melalui mevalonat lebih aktif terjadi pada sitosol dan retikulum endoplasmid ER untuk menghasilkan seskiterpena dan diterpena. Jalur biosintesis isoprena melalui non mevalonat terjadi di plastida Agusta 2006. Goldstein dan Brown 1990, Dewick 1997, serta Burke et al. 1999 menuliskan bahwa pada lintasan mevalonat, proses pertama meliputi reaksi kondensasi dua molekul asetil-coenzim A asetil-CoA menjadi asetoasetil-CoA yang dikatalisasi oleh enzim asetil-CoA asetiltransferase. Selanjutnya asetoasetil- CoA berkondensasi lagi dengan satu unit asetil-CoA untuk membentuk molekul -hidroksi--metilgutaril-CoA HMG-CoA yang dikatalisasi oleh enzim HMG- CoA sintase. Menurut Choi et al. 1992, Newmann dan Chappel 1999, serta Schnee et al. 2002 bahwa enzim HMG-CoA tersebut pada tumbuhan terdapat pada retikulum endoplasma yang regulasinya dapat dipicu oleh adanya luka pada organ tumbuhan atau terjadinya infeksi oleh patogen. Proses kedua adalah reduksi HMG-CoA oleh NADPH dengan katalisasi oleh enzim HMG-CoA reduktase menjadi asam mevalonat MVA. Proses berikutnya, dengan bantuan enzim mevalonat kinase dan enzim fosfomevalonat kinase, asam mevalonat dikonversi menjadi 5-fosfomevalonat dan 5-difosfomevalonat. Selanjutnya enzim difosfomevalonat dekarboksilase akan mengubah 5-difosfomevalonat menjadi isopentenil pirofosfat IPP. Proses selanjutnya IPP dengan bantuan enzim IPP isomerase akan membentuk reaksi kesetimbangan menjadi dimetilalil pirofosfat DMAPP. Kondensasi IPP dan DMAPP akan membentuk geranil pirofosfat GPP, C-10 yang merupakan senyawa antara untuk semua monoterpen. Penggabungan satu unit IPP dengan GPP menghasilkan Farnesil pirofosfat FPP, C-15 yang merupakan senyawa antara bagi sesquiterpenoid, masing-masing dikatalisasi oleh geranil pirofosfat sintase dan farnesil pirofosfat sintase. Senyawa triterpenoid terbentuk jika dua molekul sesquiterpenoid bergabung. Senyawa- senyawa triterpenoid berasal dari MVA melalui skualene dan biasanya melalui 2,3 epoksiskualen, kemudian terbentuklah senyawa dammarenediol. Lupeol dan - amyrin dibiosintesis dari dammarene, dari -amyrin selanjutnya akan diperoleh derifat dari -amyrin, yaitu asiatikosida Manitto 1981; Vickery Vickery 1981; Croteau et al. 2000. Skema biosintesis triterpenoid pada pegagan dapat dilihat pada Gambar 3. IPP FPS SQS SQE OSC + FPP Squalen 2,3-Oxidosqualen [Dammarenyl kation] DMAP Betulinic acid lupeol [lupenyl kation] Asiatic acid -Amyrin -AS [oleanyl kation] Centellasapogenol A -Amyrin Keterangan: FPS : Farnesyl diphosphate synthase SQS : Squalen synthase SQE : Squalen epoksidase OSC : Oxidosqualen cyclase -AS: -amyrin synthase Gambar 3 Skema biosintesis triterpenoid pada pegagan atau Centella asiatica L. Urban Haralampidis et al. 2002; Phillips et al. 2006; James Dubery 2009 Parameter Genetik, Analisis Lintas, dan Seleksi Parameter genetik Pendugaan parameter genetik penting dalam proses pemuliaan tanaman karena terkait dengan proses seleksi dalam tahapan selanjutnya. Beberapa parameter genetik yang umum diduga dalam penelitian pemuliaan adalah keragaman dan heritabilitas. Seleksi merupakan dasar dari seluruh perbaikan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul baru. Dalam perakitan varietas unggul, keragaman genetik memegang peranan yang sangat penting karena semakin tinggi keragaman genetik semakin tinggi pula peluang untuk mendapatkan sumber gen bagi karakter yang akan diperbaiki. Disamping itu, keragaman genetik yang tinggi juga dapat meningkatkan respons seleksi, karena respons seleksi berbanding lurus dengan keragaman genetik Kuswantoro et al. 2006. Ragam yang diukur dari suatu populasi untuk karakter tertentu merupakan ragam fenotipe. Ragam fenotipe terdiri dari ragam genetik, ragam lingkungan, serta ragam interaksi antara genetik dan lingkungan, sedangkan ragam genetik sendiri terdiri dari ragam genetik aditif σ 2 A , ragam genetik dominan σ 2 D , dan ragam genetik epistasis σ 2 E atau σ 2 G = σ 2 A + σ 2 D + σ 2 E . Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genetik dengan ragam fenotipenya, hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genotipe. Berdasarkan komponen ragamnya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas broad sense heritability dan heritabilitas dalam arti sempit narrow sense heritability. Heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe h 2 BS = σ 2 G σ 2 P , sedangkan heritabilitas arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe h 2 NS = σ 2 A σ 2 P Mangoendidjojo 2003. Secara teori nilai heritabilitas berkisar antara nol sampai dengan satu. Kategori mengenai besar kecilnya nilai heritabilitas, dikemukakan oleh Whirter 1979 yaitu: 0.50  2 h  1.00 tinggi; 0.20  2 h  0.50 sedang dan 0.00  2 h  0.20 rendah, heritabilitas biasanya dinyatakan dalam persen . Heritabilitas dapat menduga peningkatan kemajuan genetik yang mungkin diperoleh bila dilakukan seleksi terhadap sifat tertentu. Jika heritabilitas suatu sifat memiliki nilai tinggi berarti penampilan indivitu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik dibanding dengan faktor lingkungan dan seleksi berdasarkan individu efektif. Heritabilitas tinggi juga menandakan aksi gen aditif penting untuk sifat tersebut dan sebaliknya jika heritabilitas rendah, maka mungkin aksi gen seperti lewat dominan over dominance, dominan, dan epistasis lebih penting Lasley, 1978. Analisis Lintas Analisis lintas merupakan pengembangan metode analisis korelasi. Analisis lintas dapat menjelaskan keeratan hubungan antar karakter dengan cara menguraikan koefisien korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung. Jika dibandingkan dengan analisis korelasi, maka analisis lintas tidak hanya memberikan informasi tentang keeratan hubungan antar karakter, tetapi juga menjelaskan mekanisme hubungan kausal antar karakter. Mekanisme hubungan kausal tersebut diperoleh dari penguraian koefisien korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung masing-masing karakter melalui karakter lain Gaspersz 1992. Menurut Totowarsa 1982, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menarik kesimpulan pada analisis lintas, yaitu: 1 Jika koefisien korelasi r xij hampir sama besar dengan pengaruh langsungnya C maka koefisien korelasi tersebut seutuhnya mengukur derajat keeratan hubungan X i dan Y, artinya seleksi berdasarkan variabel X i sangat efektif, 2 Jika koefisien korelasi r xij bernilai positif tapi pengaruh langsungnya negatif atau dapat diabaikan, maka pengaruh tidak langsungnya C i r ij menjadi penyebab korelasi. Semua variabel bebas X harus diperhatikan dan diperhitungkan secara serempak, dan 3 Jika koefisien korelasi r xij bernilai negatif, tapi pengaruh langsungnya C bernilai positif dan besar, maka pengaruh tidak langsung yang tidak dikehendaki dibatasi, sehingga dalam penafsirannya pengaruh langsung benar-benar dapat dimanfaatkan. Analisis lintas sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemuliaan tanaman yang efektif dan efisien. Penggunaan analisis lintas untuk mengembangkan kriteria seleksi telah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman, seperti pada kedelai, gandum, sorgum, cabe, peartmillet Asadi et al. 2004; Budiarti et al. 2004; Bizeti et al. 2004; Ezeaku 2006; Ganefianti et al. 2006; Wirnas et al. 2006; Vetriventhan Nirmalakumari 2007. Bizeti et al. 2004 telah berhasil mengembangkan kriteria seleksi yang efektif untuk meningkatkan daya hasil pada kedelai. Kriteria seleksi yang digunakan adalah jumlah buku per tanaman karena pada setiap buku akan terdapat polong. Seleksi Seleksi merupakan satu tahapan untuk mendapatkan genotipe yang sesuai dengan target lingkungan produksi. Pada dasarnya seleksi terbagi atas seleksi langsung dan seleksi tidak langsung. Seleksi langsung diartikan sebagai pemilihan genotipe-genotipe terbaik berdasarkan karakter-karakter yang memenuhi kriteria seleksi, sedangkan seleksi tidak langsung diartikan sebagai pemilihan secara tidak langsung genotipe-genotipe terbaik berdasarkan karakter-karakter yang memiliki hubungan dengan tujuan akhir dari program pemuliaan. Seleksi langsung dikategorikan ke dalam seleksi langsung berdasarkan satu sifat dan seleksi langsung terhadap beberapa sifat. Seleksi beberapa sifat secara simultan yang biasa digunakan dalam pemuliaan adalah seleksi berurutan seleksi tandem, seleksi simultan independent culling level, dan seleksi indeks Bari et al. 1981. Seleksi indeks adalah yang terbaik karena dalam penyusunan indeks mempertimbangkan koefisien korelasi fenotipik, koefisien korelasi genotipik, dan nilai heritabilitas. Selain itu, diperhitungkan pula ragam fenotipik dan peragam genotipik serta nilai ekonomi setiap sifat. Bobot ekonomis dalam seleksi indeks diharapkan dapat memberikan keseimbangan pada perolehan nilai genetik yang proporsional Smith 1936, diacu dalam Sutresna 2008. Namun demikian terdapat beberapa kelemahan dalam seleksi indeks yaitu permasalahan dalam perolehan ragam dan peragam, kemungkinan perubahan parameter dengan seleksi dan kesulitan penetapan kepentingan relatif suatu sifat Lin, 1978. Sutresna 2008 menyatakan bahwa kriteria seleksi dengan menggunakan indeks seleksi menunjukkan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan terhadap satu sifat. Keunggulan indeks seleksi akan meningkat dengan peningkatan jumlah sifat yang diseleksi diantara sifat tersebut, dan menurun dengan peningkatan perbedaan-perbedaan kepentingan masing-masing sifat secara nisbi. Menurut Moeljoprawiro 2002, bahwa indeks seleksi padi yang dihasilkan terhadap beberapa sifat secara simultan lebih efisien dibandingkan dengan seleksi yang didasarkan atas satu atau kombinasi dari dua sifat. Indeks seleksi yang melibatkan sifat panjang malai, panjang gabah, dan lebar gabah lebih berpeluang untuk perbaikan hasil tanaman. Penanda Genetik dalam Identifikasi Keanekaragaman Pegagan Pengungkapan informasi sifat genetik tanaman dapat dilakukan dengan melakukan identifikasi dari setiap aksesi plasma nutfah. Identifikasi untuk pembedaan identitas antar varietas dapat dideteksi melalui beberapa penanda genetik genetic marker. Penanda genetik merupakan karakter yang dapat diturunkan yang berhubungan dengan genotipe tertentu dan dapat digunakan untuk mengkarakterisasi genotipe tersebut Asiedu et al. 1989 Penanda genetik dapat digolongkan atas penanda morfologi Livneh Vardi 1998, penanda agronomi Melchinger 1990, penanda isoenzim dan penanda molekuler Melchinger 1990; Livneh Vardi 1998. Secara umum penanda agronomi dimasukkan pada kategori penanda fenotipik, sedangkan penanda isoenzim dimasukkan sebagai penanda protein atau biokimia. Penanda morfologi Penanda morfologi digunakan dalam deskripsi taksonomi karena lebih mudah, lebih cepat, sederhana dan lebih murah Cross 1990. Disamping itu, dalam proses koleksinya tidak membutuhkan teknologi yang mahal Maxted et al. 1997. Sifat-sifat morfologi yang diamati haruslah sifat-sifat yang memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan stabil pada beberapa lokasi percobaan karena umumnya penampakan sifat pada morfologi tanaman sangat dipengaruhi lingkungan. Penanda morfologi yang selama ini hanya dipergunakan sebagai cara cepat untuk mengidentifikasi varietas diharapkan dapat digunakan untuk menilai kekerabatan antar aksesi sehingga lebih bermanfaat dalam program pemuliaan tanaman, sedangkan penanda agronomi lebih dipertimbangkan dalam usaha pemilihan tetua persilangan berdasarkan sifat hasil dan komponen hasil. Setiap spesies tanaman mempunyai deskripsi morfologi yang spesifik. Deskripsi khusus tanaman tersebut telah diterbitkan oleh International Plant Genetic Resources Institute IPGRI untuk memudahkan dalam identifikasi karakter morfologi dan agronomi tanaman. Penanda morfologi ini telah lama dan banyak digunakan terutama untuk mengatasi masalah duplikasi plasma nutfah di lapang Simmond Sheperd 1955. Disamping itu juga digunakan untuk identifikasi kekerabatan dan keragaman genetik antar klonkultivar dan masih terus digunakan sampai saat ini. Penanda molekuler Keunggulan penanda molekuler adalah kemampuan membedakan setiap spesies tanaman atau genotipe tanaman tanpa dipengaruhi lingkungan. Umumnya sifat kuantitatif pada tanaman dikendalikan oleh banyak gen poligen dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan sehingga perbedaan antara klon atau spesies berkerabat dekat sulit untuk diamati. Dengan kemajuan dalam bidang biologi molekuler permasalahan di atas telah terbukti mampu diatasi. Penggunaan penanda molekuler sangat bermanfaat untuk membandingkan berbagai klasifikasi baik berdasarkan analisis RAPD Random Amplified Polymorphic DNA maupun dengan analisis berdasarkan penanda lainnya, seperti SSR Simple Sequence Repeat, RFLP Restriction Fragment Length Polymorphism dan AFLP Amplified Fragment Length Polymorphism sehingga hasil klasifikasi lebih akurat Crouch et al. 1998. Pemanfaatan penanda molekuler DNA akhir-akhir ini lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan penanda morfologi dan isoenzim Wattimena 1999, yaitu: 1 sangat akurat dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan yang mempengaruhi ekspresi dari gen tersebut, 2 dapat diuji pada semua tingkat perkembangan tanaman, 3 pada pengujian ketahanan hama dan penyakit tidak bergantung pada organisme penganggu, dan 4 seleksi pada tingkat genotipe dapat mempercepat proses seleksi dan hemat pada pengujian selanjutnya di lapang. Penanda RAPD RAPD merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk analisis profil DNA genom. Teknik RAPD ini merupakan suatu metode analisis DNA genom dengan cara melihat pola pita DNA yang dihasilkan setelah DNA genom diamplifikasi menggunakan primer acak. Metode ini didasarkan pada teknik polimerisasi berantai PCR. Secara umum RAPD lebih mudah, lebih murah dan tekniknya lebih cepat dibandingkan RFLP, SSR dan AFLP Darmono 1996. Hal ini karena adanya beberapa alasan: 1 tidak memerlukan pengetahuan latar belakang genom yang akan diteliti, 2 primer secara universal dapat digunakan untuk organisme prokariot maupun eukariot, 3 mampu menghasilkan karakter yang relatif tidak terbatas jumlahnya, 4 bahan-bahan yang digunakan relatif murah, 5 mudah dalam hal preparasi, dan 6 memberikan hasil lebih cepat dibandingkan dengan analisis keragaman molekuler lainnya. Disamping kelebihan, teknik RAPD juga memiliki kelemahan, yaitu: 1 pemunculan pita DNA kadang-kadang tidak konsisten, hal ini lebih sering terjadi jika suhu annealing penempelan primer yang digunakan terlalu tinggi. Dalam analisis kekerabatan hal ini dapat diatasi dengan menggunakan primer yang lebih banyak, 2 ruas DNA berulang sering berlipat ganda Talbert et al. 1994, 3 penanda RAPD bersifat dominan Ronning et al. 1995. Jumlah primer yang diperlukan dalam analisis sangat bergantung pada tujuan atau jenis informasi yang diinginkan. Jika tujuannya untuk mengungkapkan hubungan kekerabatan, maka analisisnya tidak dapat bertumpu pada satu atau beberapa karakter saja. Hallden et al. 1994 menyatakan bahwa semakin banyak jumlah primer yang digunakan semakin rendah nilai koefisien keragaman hasil analisis yang diperoleh. Sepuluh sampai 20 primer dianggap sudah mencukupi untuk keperluan analisis kekerabatan karena dengan 10 primer pengaruh kesalahan percobaan telah dapat diperkecil hingga mendekati nol. Pengaruh Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Salisbury dan Ross 1992 menyatakan bahwa cahaya matahari mempunyai peranan dalam proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, menutup dan membukanya stomata, dan perkecambahan tanaman. Cahaya matahari berperan penting dalam metabolisme tanaman hijau, sehingga ketersediaan cahaya matahari menentukan tingkat produksi tanaman. Tanaman hijau memanfaatkan cahaya matahari melalui proses fotosintesis. Naungan merupakan salah satu faktor yang membatasi proses fotosintesis. Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman serta terganggunya berbagai proses metabolisme tanaman. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh naungan telah banyak dilaporkan. Rachmawaty 2005 melaporkan bahwa tanaman pegagan dapat tumbuh baik pada tingkat naungan 25, sedangkan pada naungan 75 terjadi penurunan produksi pegagan. Penelitian Tarore 1992 pada kencur menunjukkan bahwa naungan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kencur. Naungan 40 menghasilkan luas daun, bobot kering daun, kadar klorofil total yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan naungan 60 dan tanpa naungan. Tingkat naungan 60 memberikan hasil tanaman terendah. Asadi et al. 1997 melaporkan bahwa penurunan hasil biji kedelai dari 28 galur yang diuji di bawah naungan 33 berkisar 2-45 dibandingkan dengan tanpa naungan, sedangkan Sunarlim 1997 melaporkan bahwa dengan pemberian naungan 50 hasil kedelai menurun sebesar 42. Pada beberapa penelitian sebelumnya juga telah diketahui bahwa, pemberian naungan dapat mempengaruhi kandungan bioaktif tanaman. Pada tanaman daun jinten, kadar kumarat dan fanilat tertinggi terdapat pada naungan 75 Urnemi et al. 2002. Pigmentasi antosianin pada kedelai meningkat pada persentase naungan yang semakin tinggi Muhuria et al. 2006. Pada penelitian periode pencahayaan, Nirwan 2007 melaporkan bahwa naungan 50 selama 1 dan 3 bulan pada cahaya 100 dapat menghasilkan kandungan total flavonoid dan antosianin daun dewa tertinggi. Periode pencahayaan yang menghasilkan produksi total flavonoid dan kuersetin per tanaman tertinggi adalah naungan 50 selama 3 dan 1 bulan cahaya 100, sedangkan produksi antosianin tertinggi diperoleh pada naungan 25 selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100. Bermawie et al. 2006b melaporkan bahwa pada tingkat naungan 45 dan tanpa naungan, kadar asiatikosida dari tiga aksesi pegagan yang dipanen seluruh bagian tanaman bervariasi antara 1.01-1.89, sedangkan pegagan yang dipanen daun dan tangkainya bervariasi antara 0.16-1.16. Pada tanaman pule pandak Raufolia serpentina, Sulandjari et al. 2005 melaporkan bahwa pada naungan 50 sampai dengan 80, kadar reserpina lebih tinggi daripada naungan 20, tetapi bobot akar pertanaman tertinggi diperoleh pada tingkat naungan 20. Tanaman akan memberikan tanggap terhadap naungan, tanggap pertumbuhan tanaman yang ternaungi dapat dilihat pada Tabel 1 Anderson Osmond 1987. Tabel 1 Karakter morfologi dan fisiologi tanaman ternaungi No. Karakter morfologi No. Karakter fisiologi 1. Batang lebih kecil karena xilem kurang 1. Kandungan klorofil lebih berkembang tinggi 2. Luas daun per tanaman lebih besar 2. Laju fotosintesis lebih rendah 3. Jarak antara buku menjadi lebih panjang 3. Laju respirasi lebih rendah 4. Jumlah cabang lebih sedikit 4. Kandungan air lebih tinggi 5. Sel-sel pada daun berukuran lebih besar 5. Transpirasi lebih lambat sehingga helai daun menjadi lebih besar dan tipis 6. Endodermis lebih berkembang 6. CN rendah 7. Kutikula dan dinding lebih berkembang 7. Kemampuan berbunga dan 8. Kloroplas lebih banyak dan berukuran lebih berbuah kurang bagus besar 9. Jaringan palisade kurang berkembang 8. Bunga muncul lebih lambat 10. Jaringan mesofil lebih berkembang 9. Kurang tahan terhadap 11. Jarak antar sel lebih besar stress suhu, kekeringan, 12. Akar lebih pendek dan ratio akartajuk dan penyakit lebih rendah 13. Pada tanaman legume, bintil akar lebih sedikit dan lebih kecil Sumber: Anderson Osmond 1987 Mekanisme Adaptasi Tanaman Terhadap Intensitas Cahaya Rendah Setiap tanaman mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi kondisi kekurangan cahaya. Tanaman dalam menghadapi cekaman terhadap kekurangan cahaya memiliki dua cara penyesuaian, yaitu melalui mekanisme penghindaran avoidance dan mekanisme toleransi Levitt 1980. Mekanisme penghindaran berkaitan dengan perubahan anatomi dan morfologi daun agar lebih efisien dalam melakukan fotosintesis. Pada umumnya kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan tergantung pada kemampuannya melakukan fotosintesis secara normal pada kondisi kekurangan cahaya. Dengan penurunan titik kompensasi cahaya yang lebih rendah, tanaman dapat mengakumulasi produk fotosintesis pada level cahaya yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dicapai oleh tanaman di tempat terbuka. Ketiadaan kutikula, lilin Ketiadaan pigmen dan bulu pada permukaan daun non kloroplas Peningkatan Peningkatan kandungan kandungan kloroplas pigmen per kloroplas Peningkatan kandungan Kloroplas dalam sel kloroplas per sel mesofil epidermis Gambar 4 Mekanisme penghindaran terhadap kekurangan cahaya Levitt 1980 Penghindaran kekurangan radiasi dapat dicapai dengan meningkatkan efisiensi dari radiasi yang ditangkap tanaman, yaitu dengan cara: 1 meningkatkan intersepsi cahaya total melalui luas penangkapan cahaya luas daun, dengan demikian maka daun-daun yang ternaungi menjadi tipis dengan permukaan fotosintetik maksimum, dan 2 meningkatkan persentase cahaya yang diintersepsi yang digunakan untuk fotosintesis, sehingga perlu mengurangi proporsi cahaya yang direfleksi dan ditransmisikan Hale Orcutt 1987. Beberapa faktor yang berperanan pada penghindaran kekurangan cahaya disajikan pada Gambar 4. Toleransi terhadap kekurangan cahaya pada tanaman yang ternaungi dapat dicapai dengan cara menurunkan titik kompensasi cahaya dan menurunkan laju respirasi. Mekanisme toleransi kekurangan cahaya pada tanaman naungan disajikan pada Gambar 5. Meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya Meningkatkan area penangkapan cahaya Meningkatkan penangkapan cahaya per satuan area fotosintesik Meningkatkan proporsi area fotosíntesis daun Menghindari cahaya yang direfleksikan Menghindari cahaya yang ditransmisikan Menghindari absorbsi cahaya yang tak berguna Toleransi terhadap kekurangan cahaya Penurunan titik kompensasi cahaya Penurunan laju respirasi Penghindaran kerusakan Penurunan laju respirasi sistem fotosintesis sekitar titik kompensasi cahaya Penghindaran Penghindaran Berkurangnya Berkurangnya pengurangan kerusakan pigmen bahan untuk sistem respirasi aktifitas enzim respirasi mitokondria, enzim Gambar 5 Mekanisme toleransi tanaman terhadap kekurangan cahaya Levitt 1980 Perubahan Anatomi dan Morfologi. Cahaya dapat mempengaruhi anatomi dan morfologi tanaman. Perubahan rasio luas daun terhadap bobot daun menunjukkan adanya perubahan anatomi di dalam lapisan mesofil dan palisade. Pada kondisi kurang cahaya atau ternaungi rasio luas daun terhadap bobot daun menjadi tinggi, atau lapisan daun menjadi tipis. Pada umumnya lapisan palisade akan berkurang dari 2-3 sel menjadi satu sel pada daun-daun yang ternaungi atau daun yang resisten terhadap naungan Fitter Hay 1998. Taiz Zeiger 1991 menyatakan bahwa lapisan palisade dapat berubah sesuai kondisi cahaya agar tanaman menjadi efisien dalam menyimpan energi cahaya yang dibutuhkan untuk perkembangannya. Peran yang kontras antara sel palisade dan sel bunga karang, yaitu sel palisade dapat menyebabkan cahaya lewat dan sel bunga karang menangkap cahaya sebanyak mungkin, menyebabkan absorbsi cahaya yang lebih seragam di dalam daun. Perubahan Kandungan Klorofil. Kandungan kloroplas tanaman dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, jumlahnya akan berbeda antara tanaman yang mendapat sinar matahari penuh dengan tanaman yang dinaungi. Tanaman ternaungi mempunyai grana yang lebih besar, sekitar 100 tilakoid per granum yang terletak tidak teratur dalam kloroplas. Proporsi lamella pembentuk grana dan rasio membrane tilakoidstroma lebih besar sehingga kandungan klorofil per luas daun lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang mendapat sinar matahari penuh. Dalam keadaan normal, peralatan fotosintetik seperti klorofil akan mengalami proses kerusakan, degradasi dan perbaikan. Kemampuan melawan degradasi klorofil sangat penting dan akan menentukan daya adaptasi terhadap naungan. Tanaman yang mampu beradaptasi pada kondisi kurang cahaya atau ternaungi memiliki kemampuan meningkatkan jumlah kloroplas per satuan luas daun Hale Orchut 1987 dan juga meningkatkan jumlah klorofil dalam kloroplas Okada et al. 1992. Hal ini ditunjukkan oleh genotipe padi gogo toleran yakni memiliki kandungan klorofil a dan b lebih tinggi dibanding yang peka Chowdury et al. 1994; Sulistyono 1998. Sejalan dengan itu, Hidema et al. 1992 melaporkan bahwa terjadinya penurunan rasio klorofil ab karena meningkatnya klorofil b pada tanaman yang dinaungi, yang berkaitan dengan peningkatan klorofil ab pada LHC II Light-Harvesting Complex II. Penyesuaian tanaman terhadap radiasi yang rendah juga dicirikan dengan membesarnya antena untuk fotosistem II LHCIIb. Membesarnya antenna untuk fotosistem II akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya. LHCIIb merupakan kompleks trimerik yang mengikat sekitar 60 klorofil PSII Photosystem II. Sebagian besar klorofil b merupakan komponen pemanenan cahaya dari PSII, maka perubahan pada jumlah kompleks pemanen cahaya LHC pada PSII dan PSI. Khumaida 2002 menyatakan bahwa genotipe kedelai toleran naungan memiliki kapasitas penangkapan cahaya yang lebih besar dari pada genotipe peka karena memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mengkonversi klorofil a menjadi klorofil b. Park et al. 1996 menyatakan bahwa PSII merupakan kompleks apparatus fotosintetik yang paling peka vulnerable terhadap stress cahaya. Perilaku PSII sangat ditentukan oleh dosis foton atau intensitas cahaya yang diterima. Taiz dan Zeiger 1991 menyatakan bahwa klorofil b berfungsi sebagai antena yang mengumpulkan cahaya untuk kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan untuk proses reduksi dalam fotosintesis. Penambahan klorofil b akan sangat bermanfaat bagi tanaman yang ternaungi untuk memperoleh energi cahaya yang lebih banyak. Perubahan Fisiologi dan Biokimia. Pada umumnya, kemampuan tanaman dalam mengatasi intensitas cahaya rendah tergantung pada kemampuan tanaman dalam melakukan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya. Faktor lain yang membatasi fotosintesis adalah resistensi stomata terhadap CO 2 dan rendahnya aktivitas enzim rubisco pada kondisi ternaungi. Pertumbuhan dan hasil tanaman pada kondisi intensitas cahaya rendah juga dipengaruhi oleh kemampuan tanaman untuk memfiksasi CO 2 yang ada di atmosfir. Jika konsentrasi CO 2 yang ada di udara rendah maka fotosintesis bersih net photosynthesis antara yang ternaungi dengan yang kontrol hampir sama. Pada konsentrasi CO 2 di udara yang sama maka tanaman yang dinaungi akan memfiksasi CO 2 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak ternaungi karena resistensi stomata yang tinggi terhadap CO 2 sehingga fotosintesis bersihnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang mendapat intensitas cahaya penuh Salisbury Ross 1985; Mohr Schoper 1995. Intensitas cahaya rendah mengakibatkan perubahan fisiologi dan biokimia pada tanaman. Rubisco merupakan enzim yang berperan dalam fiksasi CO 2 . Intensitas cahaya rendah mengakibatkan penurunan kandungan dan aktivitas enzim rubisco dan berbagai enzim lainnya Bruggeman Danborn 1993. Genotipe kedelai yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah memiliki aktivitas rubisco yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang peka pada kondisi ternaungi. Lebih jauh intensitas cahaya rendah mengakibatkan penurunan karbohidrat dalam tanaman, terutama fruktosa dan sukrosa dan selanjutnya akan terjadi berbagai perubahan dalam proses metabolisme pada tanaman Kephart et al. 1992. Hal ini disebabkan oleh tingginya resistensi stomata dan sel-sel mesofil terhadap pertukaran gas CO 2 serta penurunan kandungan dan aktivitas enzim- enzim yang mengkatalisis berbagai reaksi dalam fotosintesis. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Pertumbuhan dan produksi suatu tanaman tergantung pada interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan seperti jenis tanah, topografi, pengelolaan, pola iklim, dan teknologi. Pada tanaman pegagan, dilaporkan bahwa tanaman dapat tumbuh dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian 1- 2500 m dpl, tumbuh di tempat dengan sinar matahari yang cukup atau naungan rendah yang subur, lokasi berkabut, disepanjang sungai dan juga di sela-sela bebatuan Heyne, 1987; Anonim 1993, 1995. Dilaporkan oleh Pujiasmanto et al. 2007 bahwa tumbuhan sambiloto yang tumbuh di dataran menengah mempunyai morfologi relatif lebih tinggi 60-125 cm daripada dataran rendah 40-90 cm dan tinggi 20-60 cm. Daunnya juga lebih luas: panjang  8 cm dan lebar  1.80 cm dibandingkan di dataran rendah panjang  3 cm dan lebar  3.50 cm, dan dataran tinggi panjang  5 cm dan lebar  1.50 cm Ketinggian tempat dari permukaan laut menentukan suhu udara dan intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Semakin tinggi suatu tempat semakin rendah suhunya, demikian pula intensitas cahayanya semakin berkurang. Ketinggian tempat juga dapat berpengaruh terhadap kandungan bahan aktif dari tanaman obat. Pada tanaman pegagan, Bermawie et al. 2006b melaporkan bahwa kadar asiatikosida dari tanaman pegagan yang ditanam di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dataran rendah, baik itu pegagan yang dipanen dari seluruh bagian tanaman maupun yang dipanen dari bagian daun dan tangkainya saja. Pada dataran tinggi, perlakuan tanpa naungan kadar asiatikosidanya 0.86- 1.90 Barkah 2008, sedangkan pada dataran rendah 0.35-1.97 lebih tinggi dibandingkan dengan naungan 50 0.15-0.62 Rita 2006. Pada dataran menengah 550 m dpl, dilaporkan oleh Bermawie et al. 2008 bahwa kadar asiatikosida pada kondisi tanpa naungan berkisar antara 0.15-1.49. Kadar asiatikosida tersebut sangat dipengaruhi oleh varietas, kondisi lingkungan, dan cara analisa. Pada tanaman temu kunci, Arniputri et al. 2007 melaporkan bahwa komponen utama minyak atsiri dari temu kunci di dua ketinggian tempat 350 dan 450 m dpl adalah sama, tetapi kadarnya berbeda-beda. Hasil penelitian Pujiasmanto et al. 2007 menunjukkan bahwa pada tanaman sambiloto, kandungan andrograpolid di dataran menengah 2.27 lebih tinggi daripada di dataran rendah 1.37 dan tinggi 0.89. Khan et al. 2010 melaporkan bahwa biosintesis phyllanthin dipengaruhi oleh ketinggian tempat, kandungan phyllanthin dari tanaman Phyllanthus amarus Schum. yang dikoleksi dari dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan populasi tanaman yang dikoleksi dari dataran rendah. Selain ketinggian tempat, kandungan phyllanthin juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Biji dari tanaman kelabet Trigonella spp yang berfungsi sebagai antidiabetik, kandungan alkaloid trigonelina-nya lebih tinggi apabila ditanam di dataran tinggi daripada di dataran rendah Hendrison 2007. Hal yang sama juga ditemukan pada tanaman kecubung, kandungan alkaloid paling banyak jika ditanam pada ketinggian 2166 m dpl Suganda 2002. Sebaliknya pada tanaman pule pandak, kandungan reserpinanya lebih tinggi apabila ditanam di dataran rendah daripada di dataran tinggi Sulandjari 2009. PENDUGAAN PARAMETER GENETIK, ANALISIS LINTAS, DAN SELEKSI PLASMA NUTFAH PEGAGAN Centella asiatica L. Urban ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk: 1 menduga keragaman genetik dan heritabilitas beberapa karakter kuantitatif pegagan, 2 mendapatkan informasi tentang karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang tinggi, dan 3 mendapatkan aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan bobot terna kering yang tinggi serta membandingkan antara hasil seleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Cimanggu Balittro dari bulan Juli-Desember 2007. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 17 aksesi pegagan sebagai perlakuan dan diulang dua kali, tingkat naungan yang digunakan 25. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter jumlah, panjang, lebar, dan luas daun serta jumlah tulang daun, dan panjang ruas pada sulur terpanjang memiliki keragaman genetik luas dan heritabilitas tinggi, sedangkan tebal daun, jumlah sulur, kadar dan produksi asiatikosida menunjukkan keragaman genetik sempit dengan heritabilitas rendah. Dari 10 karakter yang diamati tidak satupun karakter yang berkorelasi nyata dengan kadar asiatikosida. Karakter panjang dan diameter tangkai daun; panjang, lebar, luas, dan tebal daun, jumlah tulang daun, dan panjang ruas pada sulur terpanjang mempunyai korelasi positif sangat nyata dengan produksi terna kering, sedangkan jumlah daun induk dan jumlah sulur berkorelasi negatif nyata. Seleksi produksi terna kering yang tinggi melalui luas daun akan memberikan respon yang lebih cepat karena memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Hasil seleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat terpilih 4 aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan bobot terna kering yang tinggi, yaitu Casi 016, Casi 003, Casi 008, dan Casi 002. Aksesi terseleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat tidak selalu terseleksi pada seleksi tunggal dan indeks seleksi terboboti maupun tidak terboboti. Kata kunci: pegagan, keragaman genetik, heritabilitas, analisis lintas, seleksi ABSTRACT The objectives of this research were: 1 to estimate of genetic variability and heritability of several quantitative characters, 2 to obtain information about characters which can be used to select asiaticoside content and dry shoot production criterion, and 3 to obtain asiatic pennywort accessions which have high content of asiaticoside and dry shoot production and comparison between independent culling level, single selection, weighted and unweighted standardized selection index. The research was conducted at Cimanggu Experimental Station of Indonesian Medicinal and Aromatic Crops Research Institute ISMECRI Bogor, from July 2007 to February 2008. The research was arranged using randomized complete block design RCBD with two replications. Seventeen asiatic pennywort accessions as the treatment and 25 shade were used. Results of the research showed that number of leaf; length, width, and leaf area; number of vein leaf, and segment length on the longest stolon have wide genetic variability and high heritability, while leaf thickness, number of stolon, content and production of asiaticoside showed narrow genetic variability and low heritability. Results of correlation analysis and path analysis showed that ten characters observed none that correlated significantly with content of asiaticoside. Characters of leaf petiole length and diameter; length, width, area, and thickness of leaf, number of vein leaf, and segment length on the longest stolon had highly significant positive correlation with dry shoot production, while characters of mother plants leaf number and number of stolon had significant negative correlation. Selection of dry shoot production through character of leaf area would provide more rapid respond due to its high heritability value. Selection using of independent culling level, had resulted in 4 accessions of asiatic pennywort with high content of asiaticoside and dry shoot weight, namely Casi 016, Casi 003, Casi 008, and Casi 002. Accessions selected for independent culling level were not always selected at single selection, weighted and unweighted standardized selection index. Key words: Centella asiatica L. Urban., genetic variability, heritability, path analysis, selection PENDAHULUAN Pegagan atau Centella asiatica L. Urban merupakan tumbuhan liar yang termasuk keluarga Umbeliferae Apiaceae. Tumbuhan ini telah lama digunakan sebagai lalab oleh sebagian masyarakat di Jawa Barat. Dalam bidang pengobatan, tanaman ini telah banyak dimanfaatkan sebagai diuretik, penambah nafsu makan, obat sariawan, obat luka, obat luka terbuka, dan luka bakar Tang Eisandbrand 1992. Pegagan mengandung bioaktif kelompok senyawa terpenoid, flavonoid, senyawa polifenol, dan senyawa poliasetelina. Senyawa yang terpenting dan telah diteliti mempunyai efek menyembuhkan luka terbuka atau luka bakar adalah senyawa golongan triterpen, saponin, dan sapogenin yaitu asam asiatat, asam madekasat, dan asiatikosid Chandel Rastogi 1979; Tang Eisandbrand 1992. Keberhasilan program penyediaan bahan tanaman unggul pegagan sangat bergantung pada ketersediaan bahan genetik dan besar kecilnya ragam genetik dalam koleksi plasma nutfah, keragaman tersebut dapat diperoleh antara lain melalui introduksi dan eksplorasi ke berbagai daerah endemik. Hasil introduksi dan eksplorasi dari berbagai daerah di Jawa, Sumatra, Bali, dan Papua menghasilkan 17 aksesi pegagan. Berdasarkan hasil penelitian Bermawie et al. 2008, diketahui bahwa terdapat keragaman fenotipik pada beberapa karakter morfologi baik kuantitatif maupun kualitatif, potensi hasil, dan mutu antar aksesi pegagan. Informasi tersebut menunjukkan, terdapat peluang untuk menghasilkan aksesi dengan mutu yang lebih tinggi. Sebelum menggunakan karakter-karakter tersebut sebagai karakter seleksi, perlu diketahui perilaku pewarisan berbagai karakter kuantitatif dan kualitatif di atas. Informasi ini diperlukan untuk menentukan apakah karakter yang diamati tersebut dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi dalam memilih genotipe-genotipe baru yang diinginkan. Keragaman genetik, heritabilitas, korelasi, dan pengaruh dari karakter-karakter yang erat hubungannya dengan kadar asiatikosida dan produksi terna kering merupakan parameter genetik yang diperlukan untuk memudahkan pelaksanaan seleksi sehingga seleksi dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Keragaman genetik sangat mempengaruhi keberhasilan suatu proses seleksi dalam program pemuliaan tanaman. Selain itu, keberhasilan program pemuliaan juga bergantung pada pengetahuan tentang pola pewarisan karakter yang akan diperbaiki, apakah karakter tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan. Untuk meningkatkan kadar asiatikosida dan produksi terna kering perlu diketahui komponen pertumbuhan yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi dengan cara memilih karakter yang memberikan kontribusi besar terhadap kadar asiatikosida dan produksi terna kering. Pengetahuan tentang korelasi antar komponen pertumbuhan dengan kadar asiatikosida dan produksi terna kering sangat diperlukan untuk menentukan kriteria seleksi tidak langsung terhadap kadar asiatikosida dan produksi terna kering tersebut. Namun demikian, hubungan yang dinyatakan dengan korelasi sederhana seringkali mengakibatkan diperolehnya informasi yang semu. Hal ini disebabkan pada total korelasi antara kadar asiatikosida dan produksi terna kering dengan komponen pertumbuhan sering terdapat interaksi yang akan menutup pola hubungan yang sebenarnya. Untuk mengatasi hal itu, maka diperlukan adanya analisis lintas path analysis. Dengan analisis lintas, masing-masing sifat yang dikorelasikan dengan kadar asiatikosida dan produksi terna kering dapat diuraikan menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung Singh Chaudary 1979; Totowarsa 1982. Penggunaan analisis korelasi dan analisis lintas untuk mempelajari keeratan hubungan antar komponen pertumbuhan, komponen hasil, dan hasil serta untuk mengembangkan kriteria seleksi telah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman lain seperti pada kelapa Miftahorrachman et al. 2000, mentha Mirzaie- Nodoushan et al. 2001, jagung Mohammadi et al. 2003, padi Surek Beser 2003, gandum Budiarti et al. 2004, kedelai Asadi et al. 2004; Wirnas et al. 2006, sorgum Ezeaku 2006, cabe Ganefianti et al. 2006, peartmillet Vetriventhan Nirmalakumari 2007, padi sawah Limbongan 2008, nenas Nasution 2008, dan manggis Sinaga 2008. Dari beberapa penelitian tersebut diketahui bahwa analisis lintas sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemuliaan tanaman yang efektif dan efisien. Selain berdasarkan nilai korelasi dan analisis lintas, karakter yang akan digunakan sebagai kriteria seleksi harus dipilih berdasarkan nilai heritabilitas. Seleksi untuk suatu karakter yang diinginkan akan lebih berarti jika karakter tersebut mudah diwariskan. Mudah tidaknya pewarisan karakter dapat diketahui dari besarnya nilai heritabilitas yang dapat diduga dengan membandingkan besarnya ragam genetik terhadap ragam fenotipik Borojevic 1990. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa, sebelum melangkah pada pembentukan varietas, perlu dipelajari keragaman karakter, heritabilitas, analisis lintas, dan seleksi aksesi pegagan yang memiliki kadar asiatikosida dan produksi terna kering tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk: 1 menduga keragaman genetik dan heritabilitas beberapa karakter kuantitatif pegagan, 2 mendapatkan informasi tentang karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang tinggi, dan 3 mendapatkan aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan produksi terna kering tinggi serta membandingkan antara hasil seleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Cimanggu dengan jenis tanah Latosol. Tinggi tempat 240 m di atas permukaan laut dpl. Analisis asiatikosida dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik BALITTRO. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2007. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini terdiri dari: 17 aksesi plasma nutfah pegagan hasil eksplorasi dari berbagai daerah dan introduksi dari Malaysia Casi 001 sd Casi 019 Lampiran 1, polibag, pupuk kandang, pupuk buatan N, P dan K, bambu, paranet 25 dan 55, dan bahan-bahan untuk analisis kandungan fitokimia dan asiatikosida. Peralatan yang digunakan terdiri dari: termometer elcometer, light meter LX-101A, leaf area meter, peralatan tanam, timbangan digital, jangka sorong, meteran, dan HPLC. Metodologi Penelitian Perlakuan percobaan diatur dalam rancangan acak kelompok RAK, terdiri dari 17 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga terdapat 34 satuan percobaan. Intensitas cahaya yang digunakan 75, yaitu dengan menggunakan naungan paranet 25. Denah percobaan disajikan pada Lampiran 2. Teknik budidaya pegagan mengacu pada Januwati dan Yusron 2005. Persiapan Bahan Tanam Bibit dari setiap aksesi berasal dari tanaman yang sehat, tidak terserang hama dan penyakit. Bagian pegagan yang diambil untuk pembibitan adalah stolon yang telah berakar di setiap ruasnya dengan jumlah ruas 1. Pembibitan dilakukan di polibag yang berisi campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1. Pembibitan dilakukan di tempat yang cukup ternaungi, yaitu dengan menggunakan naungan paranet 55 selama 3 minggu. Persiapan Tanam dan Penanaman Pengolahan tanah dilakukan secara intensif sedalam  30 cm, sehingga didapatkan struktur tanah yang merata dan gembur. Setelah pengolahan tanah, dibuat petakan dengan ukuran 2 m x 4 m. Jarak antara petak dalam satu ulangan 0.50 m, sedangkan jarak antara petak dengan ulangan lain 1 m. Penggunaan pupuk kandang sapi dilakukan dengan dosis 0.42 kglubang tanam setara dengan 20 ton ha -1 yang diberikan satu minggu sebelum tanam. Tiap aksesi ditanam dalam petak yang terdiri atas enam baris menggunakan jarak tanam 30 cm x 40 cm. Naungan sebagai salah satu perlakuan dalam percobaan ini diperoleh dengan menggunakan paranet, tingkat naungan yang digunakan adalah 25. Paranet dipasang pada tiang bambu yang telah didirikan di setiap sudut petakan sebelum penanaman dilakukan. Paranet dipasang di atas pertanaman dengan ketinggian 1.8 m dari atas permukaan tanah. Pupuk SP36 dan KCl masing-masing diberikan dengan takaran 200 kgha seminggu sebelum tanam. Pada umur 1, 2, dan 3 bulan setelah tanam dipupuk sepertiga bagian pupuk Urea dengan dosis 200 kgha. Penyulaman dilakukan sampai tanaman berumur 3 Minggu Setelah Tanam MST dengan menggunakan bibit yang umurnya sama dengan bibit yang sudah ditanam. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan, penyiraman serta pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan dan pengendalian hama-penyakit disesuaikan dengan kondisi di lapangan, sedangkan penyiraman dilakukan setiap 2 hari sekali apabila tidak turun hujan yang berkepanjangan. Panen terna dilakukan saat tanaman berumur 4 bulan setelah tanam. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap sepuluh tanaman sampel tanaman induk kecuali bobot terna kering, kadar dan produksi asiatikosida dilakukan sebanyak 1 kali tiap ulangan. Pengamatan karakter agronomi mengacu pada panduan deskriptor yang dikembangkan khusus untuk pegagan dengan beberapa modifikasi Bermawie et al. 2006a, meliputi: a Panjang tangkai daun diukur dari permukaan tanah hingga ujung tangkai daun, b Diameter tangkai daun diukur dari atas permukaan tanah  0.25 cm, c Jumlah tulang daun dihitung jumlah tulang daun, d Jumlah daun dihitung jumlah daun pada tanaman induk, e Panjang daun diukur dari pangkal daun sampai ujung daun, f Lebar daun diukur lebar daun terlebar, g Tebal daun diukur di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10 dengan menggunakan mikron meter, preparasi untuk pengamatan tebal daun mengikuti metode Sass 1951, h Luas daun induk diukur dengan menggunakan leaf area meter, i Jumlah sulur dihitung jumlah sulur pada tanaman induk, j Panjang ruas pada sulur terpanjang diukur panjang ruas pertama pada sulur terpanjang, k Bobot terna kering ditimbang bobot terna kering dari hasil panen dengan luas 1 m 2 , l Kadar asiatikosida dilakukan analisis dengan menggunakan HPLC, dan m Produksi asiatikosida dihitung dengan mengalikan antara kadar asiatikosida dengan bobot terna kering. Prosedur pengujian kadar asiatikosida meliputi:

1. Persiapan contoh

Terna pegagan disortir dan dicuci sampai bersih, dikeringkan dengan blower suhu 40 C selama 7 jam, terna pegagan kering digiling dan diayak dengan menggunakan ayakan ukuran 40 mesh. Sebanyak 0,36 gram serbuk pegagan ukuran 40 mesh ditambahkan 25 ml methanol p.a, dikocok di atas alat stirrer plate selama 60 menit, cairan ekstrak tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 50 dan ampasnya diambil untuk diekstrak kembali sampai 3x masing- masing dengan methanol p.a sebanyak 25 ml. Ekstrak-ekstrak dari ampas tersebut disatukan dengan ekstrak pertama untuk dimasukkan ke dalam labu ukur yang sama kemudian diencerkan dengan methanol p.a dan diimpitkan sampai tanda batas.

2. Penetapan contoh

Disaring dengan menggunakan kertas saring Whattman no. 42 kemudian disaring kembali untuk kedua kalinya dengan kertas saring millipore ukuran 0.2 m. Disuntikkan ke dalam KCKTHPLC sebanyak 20 l dengan menggunakan fase gerak asetonitril CH 3 CN: asam asetat CH 3 COOH 0.6 57: 43 dan kecepatan alir 1 mlmenit pada panjang gelombang 258 nm.

3. Penetapan kadar asiatikosida

Standar asiatikosida sebanyak 0.0186 g, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, dan disuntikkan sebanyak 20 l 1520 ppm ke dalam KCKTHPLC dengan menggunakan fase gerak asetonitril CH 3 CN: asam asetat CH 3 OOH 0.6 57:43 dan kecepatan alir 1 mlmenit pada panjang gelombang 258 nm. Kondisi larutan standar tersebut menghasilkan luas area 314713 dengan kisaran waktu retensi 4.01-4.15. Pengukuran dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik BALITTRO. Nilai luas area dan waktu retensi standar asiatikosida dianggap tetap sepanjang penelitian, adapun perhitungan kadar asiatikosida adalah sebagai berikut: Kadar asiatikosida       100 10 . 6 x bobotspx xfp std lar x std sp  Keterangan: [sp] : konsentrasi contoh [std] : konsentrasi standar [lar std] : konsentrasi larutan standar fp : faktor pengenceran Bobot sp : bobot contoh g Contoh perhitungan kadar asiatikosida Lampiran 4. Pengamatan juga dilakukan terhadap faktor lingkungan suhu, kelembaban, curah hujan, dan jenis tanah. Analisis Data Pendugaan parameter genetik: Komponen ragam: genetik, lingkungan, dan fenotipik, serta heritabilitas dihitung menurut Singh dan Chaudary 1979. Model linier aditif yang digunakan untuk menganalisis data hasil pengamatan dari setiap karakter kuantitatif menurut Singh dan Chaudary 1979: Y ij =  +τ i +  j + є ij dimana: Y ij = Nilai pengamatan suatu karakter pada genotipe ke-i dan ulangan ke-j  = Nilai tengah umum  i = Pengaruh aditif dari genotipe ke-i  j = Pengaruh aditif ulangan ke-j  ij = Pengaruh galat percobaan dari genotipe ke-i pada ulangan ke-j. Berdasarkan model linier tersebut maka dapat disusun daftar analisis ragam Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat diduga komponen ragam genetik dan ragam fenotipik adalah sebagai berikut: Ragam genetik σ 2 g = KT genotipe – KT galat ulangan r Ragam fenotipik σ 2 p = σ 2 g + σ 2 e