Analisis Rainfall estimation based on geostationary (MTSAT-1R) and microwave imager (TRMM) satellite: Case study DAS Citarum

4.2 Analisis

Regresi antara Suhu Kecerahan Awan dan Laju Hujan Rain Rate Analisis regresi dilakukan pada pasangan data suhu kecerahan awan dan laju hujan tanggal 2 02.00 UTC, 13 10.00 UTC, 14 09.00 UTC, 27 14.00 UTC, 30 12.00 UTC, dan 31 11.00 UTC Januari 2008 untuk DAS Citarum. Sebelum memasuki analisis regresi, keseluruhan data diseleksi berdasarkan beberapa asumsi karena beberapa data memiliki nilai eror. Pemilihan data dilakukan analisis regresi yang didasarkan oleh dua asumsi Parwati 2009, pertama setiap piksel dengan nilai suhu kecerahan awan kurang dari 225 K dan curah hujannya di bawah 5 mmjam tidak diikutkan dalam analisis, hal ini merupakan kondisi awan cirrus yang tidak berpotensi hujan, dan kedua adalah tidak menyertakan nilai piksel dengan suhu kecerawan awan lebih tinggi dari 260 K dan laju lebih dari 50 mmjam, kondisi ini diasumsikan tidak mengikuti kondisi alam ketika semakin tinggi suhu awan maka proses pembentukan butir hujan akan sulit terjadi. Menurut Hong et. al. 2010 hubungan antara suhu kecerahan awan dan laju hujan berbanding terbalik tetapi keduanya tidak mengikuti pola linier. Pernyataan ini didukung bahwa besarnya curah hujan yang jatuh di suatu titik permukaan tidak hanya dipengaruhi oleh suhu awan saja, melainkan masih banyak faktor lain, seperti arah dan kecepatan angin, stabilitas atmosfer, dan topografi. Analisis regresi yang dianggap mewakili hubungan keduanya adalah modifikasi eksponensial Suseno 2009. Analisis regresi modifikasi eksponensial pada Gambar 13 menghasilkan koefisien determinasi R 2 =0.71. Artinya sebesar 71 model mampu menjelaskan hubungan antara suhu kecerahan awan dan laju hujan. Regresi modifikasi eksponensial tersebut menghasilkan persamaan berikut: y = a . exp bx dimana: y = Laju hujan dugaan mmjam x = Suhu kecerahan awan K a = 1.11 x 10 -6 b = 3.24 x 10 3 Selanjutnya persamaan tersebut digunakan untuk menduga curah hujan dengan menggunakan data suhu kecerahan awan satelit MTSAT IR1 sebagai nilai masukan. 4.3 Analisis Awan Potensi Hujan Awan memiliki bermacam-macam jenis berdasarkan perbedaan ketinggiannya, yaitu awan rendah, sedang , dan tinggi. Tidak semua jenis awan memiliki potensi menurunkan hujan ke permukaan bumi. Awan yang memiliki potensi hujan termasuk pada golongan awan rendah Handoko et. al. 1994. Awan rendah secara umum memiliki ketinggian sekitar 2.000 meter. Awan berpotensi menjadi hujan ketika memiliki butir air yang lebih besar dan banyak sehingga gaya dorong ke atas lebih kecil dari gaya gravitasi serta memiliki suhu puncak awan yang lebih rendah dibanding awan yang tidak berpotensi hujan. Teknologi satelit geostasioner cenderung mendeskripsikan obyek dalam nilai suhu dan belum mampu mendeteksi volume dan bentuk awan. Pengklasifikasian awan potensi hujan didasarkan pada perbedaan suhu kecerahan awan MTSAT IR1 10.8 µm dan suhu kecerahan uap air MTSAT IR3 6.8 µm. Gambar 13 Regresi modifikasi eksponensial antara suhu kecerahan awan MTSAT IR1 X dengan laju hujan TRMM 2A12 Y i ii iii Gambar 14 Proses klasifikasi awan potensi hujan: i suhu kecerahan awan dari MTSAT IR1; ii suhu kecerahan uap air dari MTSAT IR3; iii awan potensi hujan Suhu kecerahan awan yang terdeteksi pada kanal IR1 dengan panjang gelombang 10.8 µm direpresentasikan sebagai suhu puncak awan. Sedangkan pada gelombang 6.8 µm pada kanal IR3 mampu mendeteksi suhu kecerahan uap air yang selanjutnya merepresentasikan jumlah butiran hujan. Pada kanal IR1 dapat diklasifikasikan bahwa awan yang berpotensi menjadi hujan adalah awan yang bersuhu rendah. Suhu puncak awan rendah menunjukkan bahwa awan memiliki tingkat kondensasi tinggi dan siap turun menjadi hujan. Semakin cerah atau semakin tinggi suhu uap airnya maka uap air yang terkandung dalam sebuah piksel citra adalah semakin sedikit dan sebaliknya. Penentuan awan yang berpotensi hujan didasarkan pada persamaan Kidder 2005 yang menggunakan perbedaan nilai suhu kecerahan awan dan uap air. Persamaan tersebut diturunkan berdasarkan hasil observasi secara history. Proses klasifikasi awan potensi hujan ditunjukkan pada Gambar 14.

4.4 Hasil Curah Hujan Dugaan