Aplikasi Pendugaan Curah Hujan

khususnya kondisi hujan bulanan yang merupakan penggabungan dari kondisi hujan dari level 2 Feidas 2010. Gambar 5 Ilustrasi cara kerja satelit TRMM sumber: http:trmm.gsfc.nasa.gov Data-data hujan yang diperoleh dari satelit TRMM telah diaplikasikan untuk berbagai kepentingan seperti pengamatan iklimcuaca, analisis iklim, analisis anomali hujan, verifikasi model iklim, dan studi hidrologi. Berbagai produk data dari satelit TRMM dapat diunduh secara gratis melalui website http:mirador.gsfc.nasa.gov.

2.2.3 Aplikasi Pendugaan Curah Hujan

dengan Data Satelit Beberapa peneliti telah melakukan pendugaan curah hujan dengan metode kombinasi, diantaranya adalah Jobard dan Desbois pada tahun 1992 dalam Laing et al. 1999 yang mengkombinasikan citra satelit Meteosat dengan Special Sensor Microwave Imager SSMI data di Nigeria. Pada tahun 2006 Maathuis mengkombinasikan citra satelit Meteosat dan TRMM Microwave Imager TMI untuk wilayah kajian Afrika Tengah Suseno 2009. Keduanya menggunakan teknik pengklasifikasian awan potensi hujan dan menurunkannya menjadi curah hujan. Klasifikasi ini digolongkan dalam bentuk awan berpotensi hujan dan awan yang tidak berpotensi hujan. Aplikasi ini sangat menarik dikembangkan karena memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah dapat menjangkau nilai curah hujan di daerah terpencil dan lautan serta mampu menyediakan data secara homogen secara spasial maupun temporal. Hasil akhir dari metode ini berupa data curah hujan dengan resolusi spasial 4 km atau sesuai dengan resolusi spasial satelit geostationary. Metode ini merupakan metode yang didasarkan untuk mengisi kekurangan-kekurangan dalam beberapa metode pendugaan sebelumnya. Levizzani et al. 2002 dalam penelitiannya mengatakan bahwa salah satu metode yang sering digunakan adalah metode kombinasi blended techniques. Metode ini merupakan pendugaan curah hujan dengan kombinasi dua kanal,yaitu antara kanal inframerah IR dengan kanal gelombang mikro. Data yang didapat dari kanal inframerah berupa informasi suhu puncak awan top cloud temperature, sedangkan informasi yang didapat dari kanal gelombang mikro adalah data curah hujan setiap jam. Kidder et al. 2005 menyatakan bahwa pengklasifikasian awan hujan didasarkan pada perbedaan suhu antara kanal pendeteksi suhu uap air pada 6.2 µm dengan kanal pendeteksi suhu puncak awan infrared pada 10.8 µm. Kedua kanal ini dapat mendeteksi awan dengan klasifikasi tinggi dan tebal sehingga berpotensi menjadi hujan. Ketika terjadi penyerapan uap air maka kondisi awan menjadi gelap dan dapat dideteksi dengan panjang gelombang 6.2 µm. Gambar 6 Suhu kecerahan awan pada 10,8 μm kiri, tengah suhu uap air pada 6,2 μm, kanan awan potensi hujan sumber: Kidder et al. 2005 Gelombang 6,2 μm mendeskripsikan keadaan atmosfer yang gelap karena ketebalan butir-butir air dan uap air yang terdapat pada awan. Awan yang terdeteksi oleh panjang gelombang tersebut merupakan awan tebal dan sulit ditembus oleh cahaya. Nilai suhu kecerahan uap air cenderung lebih kecil dibanding nilai suhu kecerahan awan pada nilai piksel yang sama. Semakin kecil selisih antara suhu kecerahan awan dan suhu kecerahan uap air menunjukkan proses kondensasi yang selanjutnya akan turun menjadi hujan. Ilustrasi pembentukan awan potensi hujan ditunjukkan dalam Gambar 6. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kidder et al. 2005 maka awan potensi hujan dapat dipenuhi ke dalam persamaan matematis berikut. T 10,8 μm – T 6,2 μm 11K dimana:  T 10,8 μm : suhu kecerahan awan kanal 10,8 μmIR1  T 6,2 μm : suhu kecerahan uap air kanal 6,2 μmIR3 Mekanisme terbentuknya awan presipitasi ditentukan oleh perbedaan proses dinamika dan termodinamika, yang bergantung pada variasi waktu dan tempat. Gambar 7 menunjukkan bahwa hubungan antara suhu kecerahan awan dan curah hujan bervariasi secara signifikan tergantung pada bentuk dan ketebalan awan. Riset sebelumnya Adler dan Negri 1988 menyimpulkan bahwa klasifikasi awan akan menunjukkan perbedaan besar terhadap nilai curah hujan dan sistem secara umum. Gambar 7 Hubungan antara suhu kecerahan awan kiri dan hujan rata-rata berdasar bentuk awan kanan sumber: Hong, Yang et al. 2010 Gambar 8 Siklus awan dan hubungannya dengan suhu kecerahan awan sumber: Hong, Yang et al. 2010 Yang Hong et al. 2010 menjelaskan tentang evolusi dari awan konvektif dari awal kecil dan hangat, sebelum jatuh sedang dan dingin, dan siap jatuh besar dan dingin, sebelum akhirnya jatuh dan hilang ditunjukkan pada Gambar 8. Pada setiap tahapnya terlihat perubahan fungsi suhu kecerahan awan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, proses temporal antara awan dan hujan sangat behubungan dalam setiap tahap pembentukan awan hingga jatuhnya hujan, meskipun dalam hal ini proses spasialnya tidak tertangkap secara jelas diabaikan. III METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian