Model Program Penentuan Fase Analisis Jangka Panjang

4.3 Model Program Penentuan Fase

Pergerakan MJO Pada pembahasan sebelumnya telah diperoleh model statistik untuk memprediksi nilai RMM1 dan RMM2, yaitu ARIMA 2,1,2. Pergerakan MJO dari Samudera Hindia ke arah timur dibagi menjadi 8 fase. Untuk mendukung model prediksi MJO, maka perlu juga dibuat suatu program untuk mengetahui fase pergerakan dan kekuatan MJO yang diprediksi. Model ini dibuat dengan memanfaatkan software Microsoft Visual Basic. Tampilan dari model program penentuan fase pergerakan MJO adalah sebagai berikut: Gambar 20 Interface program penentuan fase pergerakan MJO Input dari program ini yaitu data RMM1 dan RMM2 dengan format .csv, sedangkan outputnya berupa fase pergerakan dan power MJO lemah dan kuat . Model ini berguna sekali mengingat cukup sulitnya menentukan fase pergerakan dan kekuatan MJO secara langsung, apalagi jika datanya banyak. Model ini sangat sederhana dan dapat digunakan oleh siapa saja yang ingin mengetahui fase MJO. Ada beberapa syarat dari pembagian 8 fase tersebut dimana diagram fase pergerakan MJO dapat dilihat pada Bab II. Coding program ini terdapat di Lamp iran 3.

4.4 Analisis Jangka Panjang

Gambar 21 Grafik curah hujan bulanan Jakarta p eriode Januari 1995 – Desember 2008 Tipe curah hujan di wilayah Sumatera bagian selatan dan Jawa merupakan tipe curah hujan jenis Monsun. Periode musim hujan dan musim kemarau memiliki perbedaan yang jelas. Musim hujan terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Gambar 21 memperlihatkan distribusi curah hujan bulanan di wilayah Jakarta yang diwakili oleh Stasiun Tanjung Priok, Stasiun Halim Perdanakusuma, Stasiun Kemayoran, dan Stasiun Cengkareng dari tahun 1995 sampai tahun 2008. Pada gambar tersebut terlihat bahwa curah hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Jakarta terjadi pada bulan Januari-Februari-Maret. Pada bulan Februari dan Maret hujan lebat terjadi hampir setiap hari. Sebagian berpendapat, ini adalah gejala alam biasa yang hampir terjadi setiap musim hujan. Bahkan ada yang menyatakan ini terkait erat dengan siklus lima tahunan yang menyebabkan Jakarta dan sekitarnya ”tenggelam” akibat curah hujan dengan intensitas cukup tinggi. Hingga saat ini belum ada penjelasan ilmiah yang secara utuh, runut, terpadu, serta mudah dimengerti masyarakat awam mengapa terjadi hujan lebat dengan intensitas tinggi. Prof. Manabu D. Yamanaka dari Universitas Kobe, Jepang pada acara ”Workshop on Toward the Establishment of Hydrological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Automonitoring HARIMAU and Its Application pada tanggal 6 Februari 2007 di BPPT, Jakarta mengatakan bahwa akibat tertahannya massa udara dingin oleh gunung Salak yang ada di Bogor, menyebabkan massa udara dengan kandungan uap air tadi kembali jatuh di Jakarta dan sekitarnya. Kalaulah skenario ini benar, mestinya hanya Kota Jakarta dan sekitarnya yang akan menerima hujan lebat secara terus - menerus. Namun, kenyataannya tidaklah demikian, justru curah hujan dengan intensitas tinggi lambat laun bergerak ke arah timur yang ditandai dengan banjir hampir di sepanjang Pantai Utara P. Jawa seperti Bekasi, Cikampek, Karawang hampir seluruh Pantai Utara Jawa Barat hingga Jawa Tengah. Jika menggunakan teori cold surge, fenomena ini menjadi sulit dijelaskan. Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan intensitas curah hujan tinggi di daerah Jakarta. Secara geografis di utara Jakarta terbentang laut sebagai sumber uap air, sementara di bagian selatan Jakarta ada pegunungan di Bogor. Pengaruh lokal itulah yang kemudian memberikan andil besar semakin besarnya intensitas curah hujan di Jakarta pada Januari dan Februari. Menurut Dr. Fadli Syamsudin, koodinator program Hydrometeorological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Auto Monitoring Harimau Indonesia, salah satu faktor yang menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi adalah kiriman uap air jenuh dari Samudera Hindia akibat Madden Julian Oscillation MJO. Menurut Beliau MJO dalam fase aktif memiliki korelasi terjadinya intensitas curah hujan yang tinggi terhadap wilayah yang dilaluinya. MJO merupakan osilasi dominan yang terjadi di hampir seluruh kawasan ekuator dengan nilai Power Spectral Density PSD berkisar antara 30 hingga 60 harian. Sejak peristiwa El-Nino pada tahun 1982-1983, variasi frekuensi rendah di wilayah tropis, baik itu waktu intraannual kurang dari setahun dan inter-annual lebih dari setahun, mendapatkan banyak perhatian dan hubungannya dengan MJO berkembang dengan cepat. Dalam penelitian ini, analisis jangka panjang dilakukan dengan melihat bagaimana pengaruh MJO terhadap curah hujan di Indonesia, yaitu berdasarkan analisis data Real Time Multivariate MJO RMM1 dan RMM2. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab II bahwa MJO dikatakan dalam fase aktif jika . Analisis jangka panjang ini hanya difokuskan pada wilayah Indonesia bagian barat studi kasus:Jakarta, sehingga fase pergerakan MJO juga hanya difokuskan pada fase 4 dan 5 dapat dilihat pada diagram fase pergerakan MJO di Bab II. Data RMM yang dianalisis yaitu periode Januari 1995 - Desember 2008. Plot data RMM1 dan RMM2 data asli dengan nilai prediksi ARIMA 2,1,2 pada periode tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Berikut ini plot RMM yang ditampilkan yaitu pada tahun 1996, 2002, dan 2007. a b c Gambar 22 Plot data RMM12 dengan nilai prediksi periode 1 Januari - 31 Desember 1996 a, 2002 b, dan 2007 c Gambar 22a terlihat bahwa pada awal bulan Februari dan Juni 1996 MJO berada dalam fase aktif. MJO aktif yang terjadi pada bulan Februari tersebut menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi, namun tidak sama halnya dengan MJO aktif pada bulan Juni. Pada bulan Juni 1996, curah hujan di wilayah Jakarta khususnya sangat rendah. Begitu juga pada bulan kering lainnya Juli-Agustus, MJO yang aktif tidak menyebabkan curah hujan tinggi pada saat itu. MJO aktif yang terjadi pada bulan basah Desember-Januari-Februari berpeluang meningkatkan curah hujan. Hal itu dikarenakan posisi matahari pada ketiga bulan tersebut yaitu berada di sebelah selatan yang meny ebabkan penguapan tinggi. Sedangkan MJO aktif pada bulan kering Juni-Juli- Agustus tidak menyebabkan curah hujan tinggi. Sehingga salah jika dikatakan bahwa MJO selalu menyebabkan intensitas curah hujan tinggi, karena hal itu tidak selalu, kecuali ketika matahari berada di sebelah selatan khatulistiwa. 4.5 Analisis J angka Pendek Analisis jangka pendek difokuskan pada curah hujan bulan basah Desember -Januari- Februari-Maret tahun 1996, 2002, dan 2007. Curah hujan yang tinggi pada saat itu akan dianalisis apakah ada pegaruh dari fenomena Madden Julian Oscillation MJO. Setiap Januari hingga Februari, intensitas curah hujan di wilayah Jakarta m encapai puncaknya. Hujan dengan intensitas sangat tinggi di Jakarta pada tahun 1996 terjadi pada awal Februari, mencapai 200 mmhari. Pada tahun 2002 curah hujan tinggi terjadi pada akhir Januari 15-30 Januari, mencapai 200 mmhari sedangkan pada tahun 2007 curah hujan tinggi mencapai 250 mmhari terjadi pada 1-5 Februari Lampiran 6. Tahun 1996, 2002, dan 2007 terjadi banjir besar di Jakarta. Definisi banjir dalam tulisan ini adalah banjir besar yang hampir melumpuhkan kota Jakarta. Di luar tahun tersebut, Jakarta tentu saja mengalami banjir tetapi dengan skala, dampak, dan peningkatan kerugian yang jauh lebih kecil. Penyebab banjir di Jakarta menurut Dr. Armi Susandi, MT Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung yaitu curah hujan tinggi, topografi Jakarta, dan Gelombang Pasang ROB. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas penyebab banjir dari pengaruh curah hujan tinggi. Banjir akibat hujan lebat di daerah Jakarta berpotensi terjadi pada bulan Januari dan Februari. Perlu dianalisis apa penyebab dari hujan sangat lebat pada tiga tahun itu. Diduga ada pengaruh dari fenomena MJO yang menyebabkan curah hujan lebat tersebut. Berikut ini adalah plot dari RMM1 dan RMM2 untuk mengetahui fase aktif dan lemah MJO. M JO aktif M JO aktif a b Gambar 23 Plot data RMM12 a dan diagram fase MJO sumber: Bureau of Meteorology Research Centre , 1996 b periode 1 Desember 1995 – 31 Maret 1996 a b Gambar 24 Plot data RMM12 a dan diagram fase MJO sumber: Bureau of Meteorology Research Centre , 2002 b periode 1 Desember 2001 – 31 Maret 2002 a b Gambar 25 Plot data RMM12 a dan diagram fase MJO sumber: Bureau of Meteorology Research Centre , 2007 b periode 1 Desember 2006 – 31 Maret 2007 awal Februari MJO aktif awal Februari MJO lemah akhir Januari MJO aktif M JO aktif M JO aktif M JO lemah Diagram pergerakan MJO pada Gambar 23, 24, dan 25 b memperlihatkan bagaimana fase MJO ketika curah hujan tinggi pada tahun 1996, 2002, dan 2007 yang menyebabkan banjir di Jakarta. Pada awal Februari 1996 tepatnya tanggal 3, 9, 10, 11 Februari MJO berada pada fase aktif, begitu pula pada akhir Januari 2002 Gambar 24. MJO aktif tersebut berpengaruh pada meningkatnya curah hujan. Salah satu wilayah yang terkena dampaknya yaitu Jakarta. Menurut Dr. Fadli Syamsudin, ada empat faktor pemicu curah hujan tinggi yang berdampak banjir di Jakarta dari sisi klimatologi, yaitu cold surge, fenomena MJO, El NinoLa Nina Southern Oscillation ENSO dan Indian Ocean Dipole IOD dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dan faktor lokal seperti Jakarta yang memiliki pola harian curah hujan yang dipengaruhi lingkungan maritim di sekitarnya juga memicu tingginya curah hujan. Pada awal Februari 2007 terjadi banjir besar akibat sangat lebatnya curah hujan harian, terutama pada tanggal 1-5 Februari. Dugaan awal yatu bahwa ada pengaruh dari fenomena MJO pada saat itu, seperti yang terjadi pada tahun 1996 dan 2002. Namun dugaan awal itu salah karena berdasarkan data RMM dan melihat diagram fase pergerakan MJO, ternyata pada awal Februari 2007 MJO berada dalam fase lemah. Nilai RMM1 dan RMM2 juga berhubungan dengan angin, sehingga pada penelitian ini dianalisis pula vektor angin saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2007. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rahmat Genorwo tahun 2009, pola pergerakan angin menunjukkan adanya pergerakan vortex di Selatan Pulaw Jawa saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2002 dan 2007. Fenomena vortex dimulai tanggal 23 Januari 2002 hingga berakhir 26 Januari 2002 dan tanggal 1 Februari untuk periode tahun 2007. Gerak turbulensi vektor angin akan menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi. Namun fenomena vortex bukan merupakan efek dominan penyebab curah hujan ekstrim. MJO terlihat jelas dari aktivitas awan- awan Cb yang dapat dilihat berdasarkan data radiasi gelombang panjang OLR. Untuk itu perlu dilihat bagaimana anomali OLR pada awal Februari 2007. Warna biru pada Gambar 26 menunjukkan anomali OLR negatif MJO aktif, sedangkan warna orange menunjukkan anomali OLR positif MJO tidak aktif. Gambar 26 Time-longitude section anomali OLR pada 3°LU–8°LS dan 105°BT-108°BT Januari–Maret 2007 sumber: NOAA, 2007 Pada Gambar 26 terlihat bahwa awal Februari 2007 anomali OLR positif, sehingga tidak menunjukkan adanya kumpulan awan- awan tinggi Super Cloud Cluster. Analisis data RMM dan OLR semakin menguatkan argumen penulis bahwa curah hujan tinggi di Jakarta awal Februari 2007 bukanlah disebabkan oleh fenomena MJO. Fakta ini sekaligus membantah apa yang pernah diungkapkan oleh Erwin Mulyana 2008, bahwa kejadian banjir pada Februari 2007 disebabkan oleh adanya MJO aktif. Diduga ada fenomena lain yang menyebabkan curah hujan sangat lebat pada awal Februari 2007. Hasil penelitian Peiming Wu et al. 2007, curah hujan sangat lebat yang menyebabkan banjir pada aw al Februari 2007 disebabkan oleh pengaruh massa udara dingin yang bergerak dari Siberia ke kawasan ekuator melalui pesisir Jawa cold surge , dan adanya pengaruh dari pergerakan Monsun yang melewati ekuator. anomali OLR + M JO lemah Di daerah tropis aktivitas konveksi di atas lautan lebih aktif dibanding di daratan dengan variasi yang besar. Sebagai akibat pertumbuhan awan konvektif yang besar, maka curah hujan variasinya sangat besar, namun untuk tahun 2007, konveksi pada tanggal 1 Februari 2007 sedikit melemah. Hal yang perlu diperhatikan adalah terdapat delay waktu kejadian hujan sebelum terjadi curah hujan ekstrim tersebut, secara fisis dianalisis sebagai pengumpulan energi di atmosfer sebagai penyebab curah hujan ekstrim. Analisis jangka pendek untuk melihat peluang hujan lebat pada saat MJO difokuskan hanya di empat kota kawasan barat Indonesia, yaitu Jakarta, Palembang, Lampung, dan Kerinci pada tahun 2006, 2007, dan 2008. Tabel 11 Peluang kejadian curah hujan 50 mmhari saat MJO aktif dan tidak aktif di wilayah Jakarta, Lampung, Palembang, dan Kerinci Stasiun Tahun A B Halim P. 2006

1.33 2.16

Dokumen yang terkait

Pengaruh Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap propagasi Madden Julian Oscillation (MJO)

3 27 31

Pengembangan Model Prediksi Madden-Julian Oscillation (MJO) Berbasis Hasil Analisis Data Wind Profiler Radar (WPR)

2 19 98

The Influence of the Madden-Julian Oscillation on Diurnal Cycle of Rainfall over Sumatera

0 7 54

Respon Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Klorofil-a terhadap Madden-Julian Oscillation (MJO) di Laut Indonesia

2 12 35

PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI MADDEN-JULIAN OSCILLATION (MJO) BERBASIS HASILANALISIS DATA WIND PROFILER RADAR (WPR)

0 4 11

IDENTIFIKASI MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) UNTUK PREDIKSI PELUANG BANJIR TAHUNAN DI SUB DAS SOLO HULU Identifikasi Madden Julian Oscillation (MJO) Untuk Prediksi Peluang Banjir Tahunan Di Sub Das Solo Hulu Bagian Tengah (2007 – 2012).

0 1 15

PENDAHULUAN Identifikasi Madden Julian Oscillation (MJO) Untuk Prediksi Peluang Banjir Tahunan Di Sub Das Solo Hulu Bagian Tengah (2007 – 2012).

0 2 19

DAFTAR PUSTAKA Identifikasi Madden Julian Oscillation (MJO) Untuk Prediksi Peluang Banjir Tahunan Di Sub Das Solo Hulu Bagian Tengah (2007 – 2012).

0 2 4

IDENTIFIKASI MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) UNTUK PREDIKSI PELUANG BANJIR TAHUNAN DI SUB DAS SOLO HULU Identifikasi Madden Julian Oscillation (MJO) Untuk Prediksi Peluang Banjir Tahunan Di Sub Das Solo Hulu Bagian Tengah (2007 – 2012).

0 1 13

Karakteristik Madden-Julian Oscillation (MJO) Ketika El-Nino Southern Oscillation (ENSO) | Muhammad | Wahana Fisika 9376 19201 1 PB

1 2 24