Analisis Ekonomi 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Mobil Indonesia
5.4. Analisis Ekonomi 5.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Mobil Indonesia
Estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas pada Tabel 5.1 menghasilkan bentuk persamaan fungsi produksi sebagai berikut:
LNY = -1,2818 + 0,4797LNX
1
+ 0,1260LNX
2
+ 0,6233LNX
3
– 0,3786D
k +
1,0433D
R
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dilihat bahwa faktor produksi bahan baku X
1
memiliki konstanta dengan nilai 0,4797 dan nilai probabilitas 0,0085 Tabel 5.1 sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor produksi bahan baku
mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap output industri mobil. Nilai 0,4797 memiliki makna bahwa jika terjadi kenaikan ketersediaan bahan baku
sebesar satu persen, maka output akan meningkat sebesar 0,4797 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menduga bahwa faktor
produksi bahan baku memiliki pengaruh positif terhadap output industri mobil, dimana kenaikan penggunaan bahan baku akan menyebabkan kenaikan jumlah
output. Bahan baku merupakan faktor produksi yang memiliki kontribusi paling
besar terhadap besarnya jumlah output yang dihasilkan dengan rata-rata nilai per tahun sebesar 18,9 persen dari nilai output BPS, 2005. Selain itu, tingginya nilai
integrasi vertikal antara industri perakitan assembly mobil dengan produsen komponen mobil domestik juga menunjukkan signifikansi penggunaan faktor
produksi bahan baku dalam menghasilkan output industri mobil. Nilai integrasi vertikal pada industri mobil Indonesia memiliki nilai rata-rata 0,74 hingga tahun
2005 Atikah, 2008.
Faktor produksi modal X
2
memiliki konstanta dengan nilai 0,1260 dan nilai probabilitas 0,2987 Tabel 5.1 sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor
produksi modal memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan terhadap output industri mobil Indonesia. Nilai 0,1260 memiliki makna bahwa setiap kenaikan
ketersediaan modal sebesar satu persen akan berakibat pada kenaikan output sebesar 0,1260 persen, ceteris paribus. Penambahan modal pada industri mobil
umumnya berupa pembangunan pabrik perakitan baru serta penambahan mesin produksi.
Saat ini, penanaman modal tersebut terkendala masalah ketersediaan infrastruktur pendukung dan pasokan listrik yang tersedia. Peningkatan kapasitas
produksi dalam bentuk penanaman modal baru oleh pelaku pasar harus diikuti oleh peningkatan infrastruktur dan pasokan listrik
4
. Jika faktor produksi lain dianggap tetap ceteris paribus, maka penambahan nilai modal tetap akan
meningkatkan nilai output industri mobil, namun dalam jumlah yang belum optimal. Hal ini dikarenakan saat ini kondisi ketersediaan faktor-faktor pendukung
permodalan seperti pasokan listrik belum memadai untuk memenuhi kebutuhan jika terjadi peningkatan ketersediaan modal. Hal inilah yang mendasari tidak
signifikannya pengaruh faktor produksi modal terhadap output industri mobil. Faktor produksi energi X
3
dalam penelitian ini memiliki nilai koefisien 0,6233 dengan probabilitas 0,0014 Tabel 5.1 yang memiliki arti bahwa faktor
produksi ini memiliki pengaruh yang positif dan signifikan atau nyata terhadap output industri mobil Indonesia. Nilai 0,6233 berarti apabila terjadi peningkatan
4
http:autos.okezone.com. Produksi Mobil Murah, Pemerintah Lobi Prinsipal.[16 Mei 2009].
penggunaan energi sebesar satu persen, maka nilai output industri mobil Indonesia akan meningkat sebesar 0,6233 persen, ceteris paribus. Sesuai dengan hipotesis
awal, pengaruh positif signifikan dari faktor produksi energi dikarenakan industri mobil Indonesia merupakan industri padat modal dimana dalam proses peraktian
kendaraan maupun proses pembuatan komponen kendaraan seperti pencetakan rangka dan plat badan kendaraan molding, peleburan casting dan pemboran
welling bagian-bagian dari baja contohnya mesin dan komponen-komponen mesin serta proses-proses lain seperti pengecatan hingga perakitan menjadi
kendaraan utuh didominasi oleh penggunaan mesin. Penggunaan mesin yang mendominasi proses produksi mobil tersebut
berbanding lurus dengan nilai penggunaan energi. Selain itu, pentingnya penggunaan energi untuk menggerakkan mesin-mesin produksi juga ditegaskan
pada poin sebelumnya X
2
. Kondisi-kondisi tersebut menjelaskan signifikansi dari pengaruh faktor produksi energi terhadap output industri mobil Indonesia.
Dummy krisis ekonomi 1997 tidak berpengaruh nyata terhadap output industri mobil Indonesia. Krisis ekonomi sempat menyebabkan terjadinya
penurunan nilai output pada tahun 1998, namun tidak sampai menyebabkan terhentinya perkembangan industri mobil di Indonesia. Pada tahun 1998, nilai
output mengalami penurunan sebesar Rp. 2,8 trilyun sedangkan nilai input meningkat sebesar Rp. 266 milyar. Akan tetapi, seiring dengan membaiknya
kondisi perkonomian Indonesia serta semakin baiknya kinerja pelaku industri akibat berbagai penyesuaian internal membuat nilai output kembali meningkat
sebesar Rp. 1,8 trilyun sedangkan biaya input mengalami penurunan sebesar Rp.
380 milyar pada tahun 1999 BPS, 2000. Pada tahun-tahun berikutnya, nilai output industri mobil Indonesia terus mengalami peningkatan hingga kisaran
puluhan trilyun. Membaiknya kondisi industri mobil pasca krisis juga dibantu oleh perilaku
pasar mobil Indonesia. Meskipun sempat terjadi penurunan produksi, pasar mobil Indonesia yang konsumtif mampu menyelamatkan industri mobil di Indonesia.
Meski sempat menurunkan angka penjualan mobil dari 390 ribu unit pada tahun 1997 menjadi 56 ribu unit pada tahun 1998, pada tahun 1999 permintaan
masyarakat akan mobil meningkat sebesar 100 persen menjadi 110 ribu unit, yang kemudian diikuti kenaikan sebesar 200 persen pada tahun 2000
5
. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa baik dari sisi produksi maupun konsumsi,
krisis ekonomi tahun 1997 tidak sampai menyebabkan terhentinya industri mobil di Indonesia. Sebaliknya, industri mobil dapat pulih dengan cepat dimana output
dan penjualan justru meningkat melebihi kondisi sebelum krisis. Dummy deregulasi otomotif tanggal 24 Juni 1999 berpengaruh terhadap
output industri mobil di Indonesia. Deregulasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi kinerja industri mobil Indonesia melalui pencabutan larangan izin impor
kendaraan dalam bentuk utuh oleh pihak-pihak non ATPM atau yang lazim disebut importir umum IU. Kebijakan ini didasari pertimbangan dimana industri
mobil dalam negeri dianggap terlalu dimanjakan dengan kebijakan-kebijakan terdahulu yang terlalu protektif dan anti impor, sehingga produsen lokal melalui
ATPM tidak memiliki saingan. Sesuai dengan tujuan kebijakan ini, nilai efisiensi
5
www.tempo.co.id. Pasar Mobil Nyaris Pulih. [16 Juni 2009].
mengalami peningkatan konstan pasca pemberlakuan deregulasi ini pada tahun 1999 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.1.
Faktor produksi yang memiliki pengaruh paling besar terhadap output industri mobil Indonesia adalah faktor produksi energi dengan nilai koefisien
0,6233. Sebagai industri yang lebih banyak menggunakan mesin dalam proses produksinya, faktor produksi energi sangat diperlukan untuk menggerakan mesin-
mesin produksi. Pengurangan ataupun penambahan jumlah energi yang dipergunakan sangat berpengaruh pada meningkat atau menurunnya kemampuan
produksi. Faktor produksi yang paling signifikan dalam mempengaruhi output industri mobil adalah faktor produksi energi dengan nilai probabilitas 0,0014 pada
tingkat kepercayaan 95 persen. Dengan sistem produksi yang dipergunakan saat ini, penambahan energi sangat mempengaruhi kemampuan opersional mesin,
sehingga persentase kenaikan output akibat naiknya penggunaan energi akan signifikan.
5.4.2. Elastisitas dan Skala Usaha 5.4.2.1. Elastisitas Industri Mobil Indonesia
Berdasarkan kerangka pemikiran pada bab sebelumnya, diketahui bahwa salah satu keunggulan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah nilai koefisien
regresi dari masing-masing variabel independen juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat elastisitas produksi dari variabel tersebut.
Tabel 5.2. Nilai Elastisitas Model Cobb-Douglas Variabel
Elastisitas Produksi X1 bahan baku
0,4797 X2 modal
0,1260 X3 energi
0,6233
Sumber: Lampiran 3
Tabel 5.2. menunjukkan bahwa ketiga faktor produksi dalam model bahan baku, modal, serta energi memiliki nilai elastisitas yang termasuk dalam daerah
II, atau memiliki nilai elastisitas antara 0 sampai 1 yang berarti setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan meningkatkan output antara
nol sampai satu persen. Daerah ini termasuk dalam daerah rasional karena penambahan jumlah suatu faktor produksi akan meningkatkan jumlah output
dalam rasio yang semakin berkurang diminishing returns, ceteris paribus. Faktor produksi bahan baku X
1
memiliki nilai elastisitas produksi 0,4797 yang artinya jika penggunaan faktor produksi bahan baku meningkat sebesar satu
persen, maka nilai output akan meningkat sebesar 0,4797 persen, ceteris paribus. Peningkatan yang relatif besar tersebut, sebagaimana telah dibahas pada subbab
sebelumnya, adalah karena bahan baku merupakan faktor produksi utama dalam menghasilkan output. Besar-kecilnya output yang dihasilkan sangat bergantung
pada jumlah bahan baku yang digunakan, hal ini dikarenakan metode produksi yang telah efisien sehingga dalam proses produksi, seluruh input faktor produksi
bahan baku dapat termanfaatkan secara optimal. Faktor produksi modal X
2
memiliki nilai elastisitas produksi 0,1260 yang artinya jika terjadi peningkatan modal sebesar satu persen maka nilai output akan
meningkat sebesar 0,1260 persen, ceteris paribus. Pengunaan modal tetap dalam
industri modal saat ini telah mencapai tingkat yang cukup optimal dimana penambahan modal tetap akan meningkatkan produksi, tetapi dalam jumlah yang
tidak terlalu besar. Kondisi tersebut dapat dijelaskan oleh kondisi di lapangan dimana peningkatan ketersediaan modal baru akan memberikan peningkatan
output yang signifikan apabila kondisi faktor penggerak permodalan tersebut juga ikut ditingkatkan agar dapat memenuhi peningkatan kebutuhan akibat
bertambahnya jumlah alat-alat modal. Faktor produksi energi X
3
memiliki elastisitas produksi 0,6233 yang artinya jika penggunaan energi meningkat sebesar satu persen, maka output akan
meningkat sebesar 0,6233 persen, ceteris paribus. Sebagai industri yang padat modal, dimana proses produksi lebih banyak dikerjakan oleh mesin, penggunaan
energi sangat besar pengaruhnya terhadap output yang dihasilkan.