Berdasarkan beberapa permasalahan yang timbul terkait dengan keberadaan industri mobil di Indonesia maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini
adalah: a. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi output industri mobil di Indonesia?
b. Bagaimana elastisitas, skala hasil usaha, efisiensi, serta nilai tambah industri mobil Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan pada subbab sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi output industri mobil di Indonesia,
b. Menganalisis elastisitas, skala hasil usaha, efisiensi, serta nilai tambah industri mobil di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan disusunnya penelitian ini, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai:
a. Bagi penulis, merupakan sebuah sarana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama berada di perguruan tinggi
b. Sebagai bahan kepustakaan bagi mahasiswa-mahasiswa yang akan datang baik untuk memperkaya wawasan maupun untuk dipergunakan sebagai referensi
dalam penulisan karya tulis
c. Sebagai masukkan dan bahan pertimbangan bagi pelaku industri maupun pengambil keputusan yang bergerak dalam bidang industri mobil.
1.5. Ruang Lingkup
Guna lebih menspesifikasi pembahasan dalam penelitian ini, serta sebagai sebuah pembeda dengan penelitian-penelitian lainnya, maka ruang lingkup
penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Industri mobil yang dimaksud yakni kendaraan bermotor motor vehicle
dengan jumlah roda 4 atau lebih ISIC 34100 yang dikhususkan bagi kendaraan penumpang passanger car, dan tidak termasuk kendaraan jenis
trailer dan semi-trailer. b. Tidak adanya merek produksi 100 persen lokal, maka merek-merek
internasional yang diproduksi dan dijual di Indonesia dapat dikatakan sebagai industri mobil Indonesia.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam menganalisis output suatu industri beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, terlebih dahulu perlu didefinisikan secara lebih mendalam
pengertian dari industri dan output itu sendiri serta bagaimana faktor-faktor tersebut berkaitan dengan industri tersebut sehingga pada akhirnya mampu
mempengaruhi output industri tersebut.
2.1. Pengertian Industri
Industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen, atau mempunyai sifat saling mengganti yang erat
Hasibuan, 1993. Sedangkan menurut Dumairy 1995 industri mempunyai dua arti. Pertama, sebagai himpunan perusahaan sejenis, dan kedua, sebagai suatu
sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
2.2. Fungsi Produksi
Dalam menjalankan operasionalnya, kegiatan utama sebuah perusahaan bertujuan untuk mengubah masukan input menjadi keluaran output. Dalam
mencapai tujuannya ini, perusahaan memiliki pilihan-pilihan masukan yang dapat dipergunakan dalam proses produksinya itu, seperti berapa komposisi sebuah
masukan tertentu yang ideal guna mencapai output yang semaksimal mungkin namun dengan biaya dan kinerja yang seefisien dan seefektif mungkin. Namun,
mencapai tujuan ini juga disertai dengan kerumitan yang timbul dalam
pelaksanaannya. Guna
lebih menyederhanakan
permasalahan tersebut,
dikembangkanlah suatu model produksi abstrak yang disebut fungsi produksi. Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai suatu daftar schedule yang
memperlihatkan besarnya jumlah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh sejumlah masukan input tertentu pada suatu tingkat teknologi tertentu
Syahruddin, 1989 sedangkan menurut Nicholson 1995, fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan
menggunakan kombinasi alternatif sejumlah input tertentu. Secara matematis, hubungan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
Y = f X
1
,X
2
,X
3
,….,X
n
2.1 Dimana:
Y = Output yang dihasilkan dalam suatu periode tertentu
X
n
= Input yang digunakan dalam memproduksi Y f
= Bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input kedalam output Dalam fungsi produksi, input yang digunakan dalam proses produksi disebut
faktor produksi. Menurut Soekartawi 1993, faktor produksi adalah segala sesuatu yang digunakan dalam menghasilkan suatu produk atau output. Faktor
produksi umumnya digolongkan menjadi tanah, tenaga kerja, dan modal. Fungsi produksi dapat dinyatakan dalam bentuk grafik yang menggambarkan kenaikan
dan penurunan tingkat output yang dikenal dengan hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang The Law of Diminishing Return. Hukum ini menyatakan
bahwa jika input produksi ditambah secara terus menerus, dengan asumsi bahwa hanya terdapat satu faktor produksi yang berubah, sedangkan faktor produksi lain
dianggap tetap ceteris paribus, maka tambahan jumlah output produksi akan semakin berkurang Nicholson, 1995.
Y 45°
PT III
II
I PR
X
1
X
2
X
3
PM X
Sumber: Soekartawi, 1993
Gambar 2.1 Grafik Fungsi Produksi Jangka Pendek
Produk marjinal PM dari suatu input adalah bertambah atau berkurangnya suatu output sebesar satu satuan unit yang diakibatkan oleh penambahan suatu
input sebesar satu satuan unit Soekartawi, 1993 dimana input-input lain dianggap konstan. Secara matematis, produk marjinal ditulis sebagai berikut:
Produk Marjinal =
= = f’X
2.2
Nicholson 1995 menyatakan bahwa ketika jumlah input yang digunakan masih sedikit, maka produk marjinal akan memiliki nilai yang sangat tinggi
dengan asumsi bahwa input lain dinggap konstan, sehingga produk marjinal dari setiap unit terakhir memiliki nilai yang tidak selalu sama. Selain itu secara
sederhana, kurva produk marjinal merupakan kemiringan slope dari produk total PT.
Produk total PT menggambarkan hubungan antara input dan output total. Jumlah output akan meningkat hingga batas maksimum ketika terjadi peningkatan
salah satu faktor produksi dengan asumsi bahwa faktor produksi lainnya dianggap konstan. Jika jumlah output telah mencapai batas maksimum, maka akan terjadi
penurunan jumlah output yang dihasilkan. Kurva produk total berguna untuk mengetahui kurva PM dan produk rata-rata PR. Kedua kurva ini bisa diketahui
dengan cara menurunkan kurva PT. PR adalah rata-rata output yang dihasilkan dengan menggunakan keseluruhan jumlah input dalam proses produksi. Secara
matematis, PR merupakan hasil pembagian antara jumlah output total dengan jumlah input total yang dirumuskan sebagai berikut:
PR = =
2.3 Secara matematis, PM dan PR memiliki hubungan yang berbanding
terbalik. Dengan demikian, dalam Soekartawi 1993, hubungan antara PM dan PR adalah sebagai berikut:
1. Bila PM lebih besar daripada PR, maka slope kurva PR masih dalam keadaan menanjak slope positif.
2. Bila PM lebih kecil daripada PR, maka slope kurva PR dalam keadaan menurun slope negatif.
3. Bila PM sama dengan PR, maka PR dalam posisi titik maksimum. Adapun hubungan antara PM dengan PT dalam suatu fungsi produksi
adalah sebagai berikut: 1. Bila slope PT dalam keadaan menanjak slope positif, maka PM memiliki
nilai positif. 2. Bila PT mencapai titik maksimum, maka PM bernilai nol.
3. Bila PT dalam keadaan menurun slope negatif, maka PM memiliki nilai negatif.
4. Bila PT bergerak naik pada tahapan increasing rate, maka PM bertambah pada decreasing rate.
Dalam suatu proses produksi, jumlah output yang dihasilkan tidak selalu tetap, namun berubah-ubah. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh faktor
produksi yang dipergunakan yang dinyatakan dengan elastisitas produksi
ε
p
. Elastisitas produksi adalah presentase perubahan jumlah output sebagai akibat
dari presentase perubahan jumlah input Soekartawi, 1993 yang dirumuskan sebagai berikut:
ε
p
= · =
2.5 Dalam Soekartawi 1993, dinyatakan bahwa besarnya nilai
ε
p
bergantung pada besar kecilnya PM dari suatu input. Berdasarkan tingkat elastisitasnya, suatu
fungsi produksi dapat dibagi ke dalam tiga daerah.
1. Daerah I
ε
p
1 dimana produsen masih mampu memperoleh jumlah produksi yang lebih menguntungkan manakala jumlah input ditambahkan. Daerah ini
ditandai dengan PT yang terus naik pada tahapan increasing rate, PR yang terus naik, serta nilai PM yang naik sampai mencapai titik maksimumnya.
Daerah ini disebut juga daerah irasional irrational region karena keuntungan masih bisa ditingkatkan dengan cara menambahkan faktor
produksi, sehingga pada daerah ini keuntungan maksimum belum tercapai. 2.
Daerah II
ε
p
1 dimana tambahan sejumlah input tidak diimbangi tambahan sejumlah output secara proporsional. Pada daerah ini, PM dan PR
mengalami penurunan sedangkan PT tetap mengalami peningkatan pada tahapan decreasing rate karena setiap tambahan faktor produksi akan diikuti
oleh peningkatan jumlah output yang semakin lama semakin berkurang. Hal ini menandakan bahwa penggunaan faktor produksi telah optimal sehingga
disebut juga daerah rasional rational region. 3.
Daerah III
ε
p
0 dimana baik PT, PR, dan PM menurun, bahkan bernilai negatif untuk PM sehingga tambahan faktor produksi pada daerah ini akan menyebabkan
penurunan jumlah output yang dihasilkan. Daerah ini termasuk daerah irasional irrational region.
4. Titik perbatasan
Terdapat dua titik perbatasan yaitu titik yang membatasi daerah I dengan daerah II titik X
2
dan titik yang membatasi daerah II dengan daerah III titik X
3
. Pada titik X
2,
PM memiliki nilai yang sama dengan PR dimana nilai
ε
p
= 1 sedangkan pada titik X
3
PM bernilai 0 dimana
ε
p
= 0.
2.2.1. Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Guna menganalisis hubungan kausalitas antara faktor-faktor input dengan outputnya, salah satu alternatif model yang dapat dipergunakan adalah model
Cobb-Douglas. Secara umum, menurut Soekartawi 1993, terdapat tiga alasan pokok mengapa fungsi produksi Cobb-Douglas lazim digunakan untuk
menganalisis suatu proses produksi. Ketiga alasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Cobb-Douglas memiliki penyelesaian yang lebih mudah ketimbang fungsi produksi lainnya misalnya fungsi kuadratik. Hal ini dikarenakan fungsi
produksi Cobb-Douglas mudah untuk diubah kedalam bentuk linear. 2. Hasil pendugaan garis melalui fungsi produksi Cobb-Douglas menghasilkan
koefisien regresi yang juga menunjukkan besaran elastisitas dari variabel faktor produksi yang bersangkutan.
3. Besaran koefisien regresi tersebut juga menunjukkan tingkat hasil berbanding skala returns to scale dimana penjumlahan dari seluruh koefisen regresi
variabel faktor produksi pada fungsi produksi tersebut memperlihatkan bagaimana jenis returns to scale dari fungsi produksi tersebut.
Selain ketiga alasan tersebut, fungsi produksi Cobb-Douglas juga mampu mengurangi terjadinya heteroskedastisitas dan memudahkan pembandingan
penelitian yang satu dengan yang lainnya yang menggunakan alat analisis yang sama Wahyuni, 2007 dalam Kurniawan, 2008.
Fungsi Cobb-Douglas, yang dinamakan sesuai C.W. Cobb dan P.H. Douglas, merupakan suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih
variabel yang terdiri dari variabel dependen, yakni variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain atau yang dijelaskan Y, dan variabel independen yaitu variabel
yang mempengaruhi vaiabel lain atau variabel yang menjelaskan X Soekartawi, 1993. Fungsi tersebut, secara matematis, dapat ditulis sebagai berikut:
Y = aX
1 b1
X
2 b2
X
n bn
℮
u
2.6 Untuk memudahkan pendugaan, fungsi produksi Cobb-Douglas dapat
diubah kedalam bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan fungsi tersebut sebagai berikut:
Ln Y = a + b
1
LnX
1
+ b
2
LnX
2
+ b
n
LnX
n
+ u 2.7
dimana: Y
= Variabel dependen X
1,..,n
= Variabel independen a
= Intersep b
1,..,n
= Koefisien regresi penduga u
= Residual e
= 2,1782.. logaritma natural
Dengan bentuk persamaan di atas, proses pendugaan dapat dilakukan dengan lebih mudah dengan menggunakan regresi linear berganda serta nilai
koefisien regresi penduga b
i
dapat digunakan untuk menunjukkan nilai elastisitas X terhadap Y. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
sebelum menggunakan fungsi Cobb-Douglas, yaitu Soekartawi,1993: 1.
Tidak adanya pengamatan bernilai nol. Hal ini disebabkan karena logaritma dari bilangan nol adalah suatu bilangan infinite tidak diketahui
nilainya. 2.
Perlunya asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi dalam setiap pengamatan. Hal ini berarti bahwa bila diperlukan analisis yang
menggunakan lebih dari satu model, maka perbedaan model–model tersebut terletak pada intersep dan bukan pada kemiringan garis slope.
3. Perbedaan lokasi pada fungsi produksi seperti iklim sudah tercakup pada
faktor kesalahan galat u. 4.
Tiap variabel X berada dalam kondisi perfect competition. Fungsi produksi Cobb-Douglas juga memiliki beberapa kelemahan.
Kelemahan-kelemahan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Sanimah 2006 adalah:
1. Elastisitas produksi yang diasumsikan umumnya selalu konstan.
2. Sering timbul multikolinearitas.
3. Nilai dugaan elastisitas produksi yang dihasilkan berbias jika variabel-
variabel faktor produksi yang digunakan kurang lengkap.
4. Tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf
penggunaan faktor produksi sama dengan nol.
2.2.2. Konsep Elastisitas
Konsep elastisitas merupakan suatu konsep untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh perubahan suatu variabel terhadap variabel lainnya dengan
kondisi dimana kedua variabel tersebut tidak dapat diukur dalam ukuran yang sama. Jika dimisalkan terdapat dua variabel yakni:
Y = fK… 2.8
maka, elastisitas variabel Y terhadap K dapat diketahui dengan rumus:
ε
Y.K
= =
·
2.9
Secara teori, elastisitas adalah ukuran persentase perubahan suatu variabel yang diakibatkan oleh perubahan variabel lainnya sebesar satu persen sedangkan
dalam prakteknya elastisitas pada dasarnya adalah ukuran seberapa jauh reaksi yang dilakukan oleh pembeli dan penjual dalam suatu pasar terhadap perubahan
kondisi-kondisi di pasar. Pada fungsi produksi Cobb-Douglas, nilai koefisien regresi penduga dari
model tersebut dapat digunakan untuk mengetahui nilai elastisitasnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan menurunkan rumus dari persamaan fungsi produksi
Cobb-Douglas terhadap salah satu faktor produksinya, sebagai contoh X
1
. Y = aX
1 b1
X
2 b2
X
3 b3
e
u
2.10 Maka :
ε
X1
=
·
= ab
1
X
1 b1-1
X
2 b2
X
3 b3
×
= = b
1
2.11 Dimana:
ε
X1
= Elastisitas bahan baku = Perubahan output Y terhadap bahan baku X
1
Y = Nilai output yang dihasilkan oleh industri
X
1
= Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi X
2
,X
3
= Faktor produksi lainnya yang dipergunakan dalam proses produksi misalnya energi dan permodalan.
2.2.3. Skala Hasil Usaha Returns to Scale
Skala hasil usaha returns to scale menunjukkan kondisi yang terjadi pada output jika terjadi peningkatan seluruh faktor produksi dalam skala yang sama.
Konsep skala hasil usaha merupakan konsep yang terjadi dalam jangka panjang long run dimana semua faktor produksi dianggap variabel. Terdapat tiga kriteria
pengembalian hasil yakni constant returns to scale CRTS, increasing returns to scale IRTS, dan decreasing returns to scale DRTS.
Suatu fungsi produksi dikatakan sebagai Constant Returns to Scale apabila jika faktor produksi ditingkatkan sebesar m kali lipat, maka hasil output juga akan
meningkat dalam proporsi yang sama yakni sebesar m kali lipat juga. Suatu fungsi
produksi dikatakan Increasing Returns to Scale adalah apabila rasio peningkatan output suatu produksi melebihi penambahan input yang diberikan. Sebagai
ilustrasi, jika faktor produksi ditingkatkan sebesar m kali lipat, maka pada fungsi produksi IRTS, output akan meningkat sebanyak 2m, atau dua kali jumlah
penambahan input. Yang terakhir, yaitu fungsi produksi Decreasing Returns to Scale DRTS yakni jika hasil output meningkat dalam skala yang lebih kecil
dibandingkan skala penambahan jumlah inputnya. Sebagai ilustrasi, peningkatan faktor produksi sebesar m kali lipat menyebabkan output meningkat sebesar 0,5m
kali lipat. Skala usaha cenderung berbanding lurus dengan nilai efisiensi. Sebagai
contoh, skala hasil usaha yang meningkat cenderung terjadi pada industri berskala ekonomi besar dengan efisiensi tinggi dan spesialisasi yang kompleks pada proses
produksinya Frank, 1997. Pada fungsi produksi Cobb-Douglas, nilai skala hasil usaha suatu industri
dapat diketahui dari penjumlahan koefisien regresi dari seluruh variabel bebasnya. Nilai dari penjumlahan variabel bebas tersebut kemudian dapat diartikan sebagai
berikut: a. Jika b
1
+ b
2
+ … + b
n
= 1, maka fungsi Cobb-Douglas memperlihatkan hasil berbanding skala yang konstan.
b. Jika b
1
+ b
2
+ … + b
n
1, maka fungsi Cobb-Douglas memperlihatkan hasil berbanding skala yang meningkat.
c. Jika b
1
+ b
2
+ … + b
n
1, maka fungsi Cobb-Douglas memperlihatkan hasil berbanding skala yang menurun.
2.2.4. Efisiensi dan Nilai Tambah
Nilai efisiensi adalah perbandingan antara biaya input terhadap nilai output yang dihasilkan BPS, 2000. Secara matematis, nilai efisiensi diperoleh dengan
rumus sebagai berikut: Efisensi η =
2.12
Pentingnya nilai efisiensi ini adalah agar suatu perusahaan dapat mengetahui seberapa efisien penggunaan faktor produksi dalam menghasilkan sejumlah output
tertentu. Suatu
metode produksi
dikatakan efisien
apabila telah
mengkombinasikan tingkat penggunaan input dan biaya secara optimal Nicholson, 1995 serta mampu menghasilkan output dalam jumlah yang sama
dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan metode lain Lipsey, 1975. Suatu industri dikatakan efisien apabila memiliki nilai rasio inputoutput yang rendah.
Nilai tambah, dalam hal ini nilai tambah bruto NTB adalah nilai tambah atas dasar harga yang berlaku sebelum dikurangi pajak yang dapat dilihat dari
selisih antara nilai output dengan biaya input Kurniawan, 2008. NTB = Nilai Output
− Biaya Input 2.13
Nilai output merupakan hasil penjumlahan dari nilai barang yang dihasilkan, jasa yang diberikan pada pihak lain, keuntungan dari barang yang dijual kembali,
selisih nilai stock barang setengah jadi, serta penerimaan dari jasa non industri sedangkan biaya input merupakan hasil penjumlahan dari nilai bahan baku yang
dipergunakan oleh industri besar dan sedang baik impor maupun produksi sendiri,
nilai energi yang dipergunakan, serta nilai modal dalam bentuk sewa gedung dan alat-alat yang dipergunakan dalam proses produksi BPS, 2000.
2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu