Minyak Atsiri Surian (Toona sinensis Roemor) Sebagai Biolarvasida Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti Linn)

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang banyak terjangkit oleh penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Satu di antara penyakit yang ditularkan oleh nyamuk adalah penyakit demam berdarah. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk

Aedes aegypti. Pada tahun 2008, tercatat sebanyak 137.469 kasus demam berdarah, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 158.912 kasus demam berdarah (Depkes 2010).

Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Depkes 2010) .

Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan penyakit demam berdarah ini (Lei 2007). Hingga saat ini belum ditemukan obat yang secara efektif dapat mengobati penyakit demam berdarah tersebut. Dewasa ini, upaya yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah dengan cara kimiawi untuk mengendalikan vektor nyamuk atau sering disebut dengan istilah insektisida kimia. Pemakaian insektisida kimia cukup mudah, tetapi insektisida kimia ini menimbulkan efek negatif. Laba (2010) menyatakan bahwa efek negatif yang umum disebabkan oleh insektisida adalah timbulnya hama baru, resistensi, resurjensi, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan, dan keracunan terhadap manusia. UNEP (2004) menyatakan bahwa 3 dari 100 orang yang menggunakan insektisida kimia berpotensi keracunan insektisida. Oleh karena itu, penggunaan insektisida kimia perlu dihindari. Pemanfaatan bahan alami dapat menjadi alternatif bagi pengendalian vektor penyakit demam berdarah, salah satunya adalah pemanfaatan minyak atsiri dari tumbuhan sebagai biolarvasida pencegah berkembangbiaknya nyamuk A. aegypti. Menurut Noegroho et al. (1997), minyak atsiri mempunyai aktivitas hayati sebagai


(2)

2

larvasida terhadap larva A. aegypti dengan LC50 jauh lebih besar dibandingkan

Abate(R).

Hasil penelitian Darmawan (2011) menunjukkan bahwa minyak atsiri dari pohon Surian (Toona sinensis) yang diuji bioaktivitasnya dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), memiliki nilai LC50 dari bagian daun sebesar

11,203 µg/mL, pada bagian kulit 6,851 µg/mL, bagian kayu teras 3,968 µg/mL, dan bagian kayu gubal sebesar 1,293 µg/mL. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa minyak atsiri Surian memiliki efek toksisitas tinggi. Menurut Meyer et al. (1982) suatu zat dikatakan toksik apabila LC50 < 1000 µg/mL dan

sangat toksik bila LC50< 30 µg/mL. Penelusuran pustaka menunjukkan belum

dilakukan penelitian pengujian aktivitas biolarvasida minyak atsiri dari pohon Surian terhadap larva A. aegypti, padahal hasil penelitian Darmawan (2011) mengindikasikan bahwa minyak atsiri Surian tersebut berpotensi memiliki aktivitas sebagai biolarvasida terhadap larva A. aegypti. Selain itu minyak atsiri Surian memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan bahan kimia yang selama ini digunakan sebagai pencegah demam berdarah, misalnya saja adalah minyak atsiri Surian yang berasal dari bahan alami dan lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, penelitian untuk menguji potensi minyak atsiri dari berbagai bagian pohon Surian menarik untuk dilakukan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan membandingkan aktivitas minyak atsiri yang berasal dari berbagai bagian pohon Surian (daun, kayu teras, kayu gubal) sebagai biolarvasida nyamuk A. aegypti .

1.3 Manfaat

Memberikan informasi tentang pemanfaatan hasil hutan sebagai salah satu alternatif bahan alami untuk pengendalian penyebaran penyakit demam berdarah.


(3)

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pohon Surian (Toona sinensis Roemor)

Surian memiliki banyak sinonim nama di Indonesia di antaranya adalah ingu, surian amba (Kerinci), kibereum, laut, redani, kuru (Halmahera Utara) (Zanzibar 2010, Pandit & Wibowo 2011). Surian merupakan pohon dari famili Meliaceae. Pohon ini cocok untuk lingkungan yang hangat dan lembab. Surian merupakan pohon yang menyukai sinar matahari dan tidak toleran terhadap dingin dan basah. Dengan kondisi air yang tidak telalu banyak, pohon ini dapat tumbuh dengan kondisi tahunan curah hujan rata-rata 500 mm-2000 mm. Surian merupakan pohon yang cepat tumbuh, secara Internasional banyak dikenal dengan nama “Mahoni China” (Zhou et al. 2010).

Penyebaran pohon Surian secara alami di Nepal, India, Bhutan, Myanmar, Indo-China, Cina Selatan, Thailand dan sepanjang Malaysia hingga barat Papua Nugini. Di Indonesia jenis ini terdapat di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi (Zanzibar 2010).

Pohon Surian ini merupakan pohon berukuran sedang sampai besar, tingginya dapat mencapai 25 m, diameter batangnya dapat mencapai 70 cm. Kulit batangnya kelihatan coklat dan kelihatan licin pada pohon yang muda, menjadi pecah dan kasar pada pohon yang sudah tua (Dharmawati 2002).


(4)

4

Daunnya lebar, kadang-kadang mengelompok diujung cabang, panjangnya 50-70 cm, dengan 80-20 pasak anak daun (Gambar 1). Permukaan dan bagian atas umumnya berbulu. Bunga dihasilkan pada musim panas, dijumpai di ujung cabang, dan berukuran kecil dengan diameter 4-5 mm, berwarna putih atau merah muda pucat. Buah berupa kapsul dengan panjang 2-3,5 cm buah terdiri beberapa ruang di dalamnya terdapat benih (Dharmawati 2002).

Pohon Surian memiliki banyak manfaat di antaranya adalah pemanfaatan kayunya sebagai konstruksi, dekorasi interior, furnitur, alat musik, pembuatan kapal dan lainnya. Kulitnya dapat digunakan untuk membuat kertas. Buahnya bisa menjadi obat dan bijinya dapat diekstraksiuntuk minyak (Zhou et al. 2010).

2.2 Minyak Atsiri

Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils, etherial oils, atau volatile oils adalah komoditi ekstrak alami dari jenis tumbuhan yang berasal dari daun,bunga, kayu, biji-bijian bahkan putik bunga. Setidaknya ada 150 jenis minyak atsiri yang selama ini diperdagangkan di pasar internasional dan 40 jenis diantaranya dapat diproduksi di Indonesia. Meskipun banyak jenis minyak atsiri yang bisa diproduksi di Indonesia, baru sebagian kecil jenis minyak atsiri yang telah berkembang dan sedang dikembangkan di Indonesia (Gunawan 2009). Menurut Guenther (1988) minyak atsiri ini merupakan minyak yang mudah menguap, dengan komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Setiap substansi yang dapat menguap memiliki titik didih dan tekanan uap tertentu dan hal ini dipengaruhi oleh suhu.

Minyak atsiri ini dapat dihasilkan dari penyulingan daun, batang, kulit, kayu dan lain sebagainya. Contoh minyak atsiri yang telah sukses di Indonesia adalah minyak atsiri yang berasal dari kayu putih (Melaleuca leucadendron) yang telah dikomersialkan dan banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Guenther (1988) menyatakan bahwa penyulingan dapat didefinisikan sebagai pemisahan komponen-komponen suatu campuran dari dua jenis cairan atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut. Teori penyulingan ada tiga macam yaitu penyulingan dengan air (water


(5)

5

distillation), penyulingan dengan air dan uap (water and steam destillation) dan penyulingan dengan uap langsung (steam destilation).

Proses penyulingan dengan air, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Kelebihan proses ini yaitu biaya operasional yang murah dan proses yang sederhana. Sedangkan, kekurangan proses ini adalah rendemen yang dihasilkan sedikit serta minyak atsiri tidak semua menguap tapi ada yg terlarut dalam air. Penyulingan dengan air dan uap, pada metode ini bahan diletakkan diatas rak-rak atau saringan berlubang. Ciri khas metode ini adalah uap selalu dalam keadaan basah dan bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap. Kelebihan proses ini yaitu bahan hanya kontak dengan uap jenuh dan basah, sehingga minyak atsiri langsung ikut menguap dengan uap air. Kekurangan dari proses ini yaitu tekanan yang dihasilkan hanya dari tekanan uap air saja, sehingga proses penyulingan relatif lama.Untuk metode penyulingan dengan uap atau uap langsung adalah metode yang menggunakan uap jenuh dengan tekanan lebih dari 1 atmosfer. Kelebihan proses ini yaitu rendemen yang dihasilkan besar, waktu penyulingan relatif cepat dan bahan baku hanya kontak langsung dengan uap air. Kekurangan dari teknik ini adalah biaya operasional yang tinggi serta prosesnya yang rumit.

Minyak atsiri memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah sebagai pewangi dan juga produk farmasi seperti minyak angin dan obat. Ajizah (2004) menyatakan minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan kuman dengan mengganggu proses terbentuknya membran dan/atau dinding sel, membran atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna.

2.3 Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk A. aegypti merupakan nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit demam berdarah. Menurut Hadi & Koesharto (2006), nyamuk A. aegypti

ini berwarna belang hitam putih, tersebar di daerah tropis, tetapi berasal dari Afrika. Nyamuk jenis ini dapat dibedakan dari nyamuk lainnya dengan melihat ujung abdomen (perut) meruncing, dan mempunyai sersi yang menonjol, lalu dibagian dadanya terdapat rambut post-spiracular dan tidak mempunyai rambut spiracular. Selain itu, tubuhnya bercorak belang hitam putih pada toraks (dada),


(6)

6

abdomen (perut) dan tungkai (kaki). Corak putih pada punggung A. aegypti

berbentuk seperti siku yang berhadapan.

Telur A. aegypti berwarna hitam, oval dan di letakkan di dinding wadah air, biasanya dibagian atas permukaan air. Jentik nyamuknya tidak berlengan, dadanya lebih lebar dari kepalanya. Jentik dalam kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6-8 hari dan mengalami empat kali pergantian kulit (instar), kemudian berubah menjadi pupa (kepompong). Dalam waktu kurang lebih dua hari, dari pupa muncullah nyamuk dewasa. Jadi total hidup bisa diselesaikan 9-12 hari. Kemudian nyamuk tersebut mencari pasangan dan mengadakan perkawinan. Setelah kawin nyamuk siap mencari darah untuk perkembangan telur. Nyamuk jantan tidak menghisap darah tetapi cairan tumbuhan, sedangkan nyamuk betina menggigit dan menghisap darah orang (Hadi & Koesharto 2006).

Chin (2000) menyatakan, A. aegypti adalah spesies nyamuk yang menggigit pada siang hari, dengan peningkatan aktivitas menggigit sekitar 2 jam sesudah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari tenggelam.

2.4 Penggunaan Insektisida

Insektisida merupakan suatu cara pengendalian nyamuk secara kimiawi. Menurut Hadi & Koesharto (2006), insektisida merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan populasi serangga yang merugikan manusia, ternak, tanaman, dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk mensejahterakan hidupnya agar kerugian dan gangguan dapat ditekan sekecil mungkin. Insektisida yang banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk di Indonesia adalah larvasida, berbagai jenis repelan dan insektisida semprot.

Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida. Menurut Kardinan (2011), pestisida sintetis atau kimiawi memiliki dampak negatif dalam penggunaannya. Di antaranya adalah polusi lingkungan (kontaminasi tanah, air dan udara), serangga hama menjadi resisten, toleran terhadap pestisida dan dampak negatif lainnya.

Taufik dan Yosmaniar (2010) menyatakan bahwa residu pestisida yang terdapat pada salah satu kolam budidaya perikanan di daerah Karawang termasuk


(7)

7

golongan organoklorin, organoposfat, piretroid, dan karbamat. Organoklorin merupakan senyawa yang sangat persisten artinya bahan aktifnya dapat bertahan dalam waktu yang lama baik dalam tanah, air, jaringan tanaman maupun hewan. Senyawa tersebut tidak mudah terurai oleh mikroorganisme, enzim, panas, ataupun cahaya ultraviolet. Hadi & Koesharto (2006) menyatakan bahwa insektisida golongan organoposfat dan karbamat merupakan racun sinaptik. Sinaps adalah suatu persimpangan antara dua saraf atau suatu titik penghubung saraf. Secara spesifik organoposfat dan karbamat terikat pada suatu enzim pada sinaps yang dikenal dengan asetilkholinesterase. Enzim ini dibentuk untuk menghambat suatu impuls saraf setelah melewati sinaps. Organoposfat dan karbamat terikat pada enzim ini dan menghambatnya untuk tidak bekerja. Piretroid adalah racun axonik yaitu beracun terhadap serabut saraf. Racun ini terikat pada suatu protein dalam saraf yang dikenal sebagai voltage-gated sodium channel. Pada keadaan normal protein ini membuka untuk memberikan rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan sinyal saraf. Piretroid terikat pada gerbang ini dan mencegah penutupan secara normal yang menghasilkan rangsangan sarf yang berkelanjutan.

Basuki (2009) melakukan penelitian terhadap keefektifan insektisida dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua. Dari penelitian tersebut Basuki (2009) menyatakan bahwa petani di Cirebon menggunakan 8 jenis insektisida kimia. Dari 8 jenis insektisida yang digunakan, 5 jenis insektisida tersebut tidak efektif (63%), hal ini di duga hama Spodoptera exigua telah resisten terhadap 5 jenis insektisida tersebut.

Banyaknya fakta yang menunjukkan bahaya penggunaan insektisida atau pestisida kimia menyebabkan timbulnya penelitian mengenai pestisida alami atau nabati yang cenderung lebih aman. Pestisida nabati ini dapat berupa ekstrak bagian tanaman dan minyak atsiri dari tanaman. Pestisida nabati tidak hanya mengandung satu jenis bahan aktif (single active ingredient), tetapi beberapa jenis bahan aktif (multiple active ingredient). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis pestisida nabati cukup efektif terhadap beberapa jenis hama, baik hama di lapangan, rumah tangga (nyamuk dan lalat), maupun di gudang. Contoh pestisida nabati yang cukup efektif seperti pestisida dari biji bengkuang, akar tuba,


(8)

8

abu serai dapur, kayu manis, dan brotowali (Kardinan & Iskandar 1999, diacu dalam Kardinan 2011).

2.4 Senyawa Bioaktif

Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang bersifat racun dalam dosis yang tinggi. Tingkat konsentrasi yang dapat menyebabkan keracunan ditentukan dengan letal konsentrasi 50% (LC50). LC50 adalah konsentrasi dari suatu bahan

yang menyebabkan 50% populasi mengalami kematian. LC50 dapat digunakan

untuk menentukan toksisitas dari suatu zat. Suatu senyawa memiliki potensi bioaktif apabila nilai LC50-nya kurang dari 1000 µg/mL (Meyer et al. 1982).

Alkaloid merupakan senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, yang biasanya merupakan bagian dari sistem siklik. Alkaloid dapat berperan sebagai pengatur pertumbuhan, penolak, atau pemikat serangga (Suradikusumah 1989). Utami dan Robara (2008) menyatakan bahwa eksrak heksan dari daun Ageratum conyzoides dianalisis dan mengandung senyawa alkaloid.

Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid merupakan senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia sehingga mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan (Harborne 1987). Dalam dunia pengobatan, beberapa senyawa flavonoid berfungsi sebagai antibodi, misalnya antivirus dan jamur, peradangan pembuluh darah dan dapat digunakan sebagai racun ikan. Sirait (2007) menyatakan, flavonoid ini dapat ditemukan pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah, tepung sari dan pada akar. Zuhra et al. (2008) menganalisis kandungan kimia daun katuk (Sauropus androgunus) dan menemukan adanya senyawa flavonoid yang berpotensi sebagai antioksidan.

Tanin terdapat di hampir seluruh bagian tumbuhan yang sedang tumbuh seperti tunas, akar muda, buah muda, kulit bagian dalam, kulit bagian luar, dan daun muda. Tanin berfungsi sebagai pelindung jaringan dari serangan jamur, bakteri, dan organisme penggangu lainnya, bahkan terhadap virus (Andriani 2008). Jayanegara dan Sofyan (2008) melakukan penelitian terhadap daun dari


(9)

9

tanaman Salix alba, Rhus typhina dan Peltiphyllum peltatum dan menemukan adanya senyawa tanin yang terkandung di dalam dedaunan tersebut.

Terpenoid tersebar secara luas dan banyak ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi. Terpenoid didefinisikan sebagai produk alami yang strukturnya dibagi menjadi beberapa unit isoprene, karena itu senyawa ini disebut juga isoprenoid (C5H8). Terpenoid yang tersusun atas 2 isopren membentuk senyawa

golongan monoterpenoid, sesquiterpen tersusun atas 3 unit isoprene, diterpenoid tersusun atas 4 unit isoprene, sesterpen tersusun atas 5 isopren, triterpenoid tersusun atas 6 unit isopren, dan tetraterpen tersusun atas 8 isopren. Terpenoid memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah fisiologis, metabolik, struktural, dan pertahanan (Goto et al. 2010). Nassar et al. (2010) mempelajari sifat farmasi kandungan terpenoid yang berasal dari Sandoricum koetjape.


(10)

10

BAB 3

METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Entomologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, selama tiga bulan di bulan Desember 2011 dan Januari-Februari 2012.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah daun, kayu gubal dan kayu teras pohon Surian (Toona sinensis) dengan tinggi ± 8 m dan diameter 21 cm. Bahan lain yang digunakan adalah telurA. aegypti, DMSO (dimetil sulfoksida), dan air destilata.

Peralatan yang digunakan adalah alat destilasi minyak atsiri, alat serut kayu, golok, alat timbang, peralatan gelas (labu erlenmeyer, funnel separator, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, pipet, cawan petri, botol kecil, dan lainnya), baskom plastik dan kompor gas.

3. 3 Metode Penelitian 3.3.1 Penyiapan Bahan Baku

a. Daun

Daun dipisahkan dari tangkainya dan dirajang kasar, kemudian ditimbang sebanyak 4,5 kg untuk satu kali pemasakan/penyulingan. Proses ini dilakukan dengan cepat, agar minyak atsiri yang terkandung dalam daun tidak banyak yang menguap.

b. Kayu teras dan kayu gubal

Teras dan gubal dipisahkan menggunakan mesin serut, sehingga dapat diperoleh hasil berupa kayu sisa serutan dengan panjang 1-4 cm, lebar 1-2 cm dengan tebal 1-5 mm. Masing-masing bagian (pangkal, tengah, dan ujung), selanjutnya ditimbang sebanyak 1,5 kg untuk satu kali pemasakan.


(11)

11

Gambar 2 Daun (A) dan kayu Surian (B).

Gambar 2 merupakan gambar daun dan kayu Surian yang belum diolah menjadi minyak atsiri.

3.3.2 Penyulingan

Bahan baku yang sudah siap selanjutnya dimasukkan dalam alat penyulingan. Proses penyulingan menggunakan metode air dan uap, yaitu menggunakan air kemudian dipanaskan sehingga menghasilkan uap air yang panas. Uap ini dapat menguapkan minyak atsiri pada bahan baku, yang selanjutnya diembunkan pada kondensor. Hasil pengembunan ini berupa air yang bercampur dengan minyak atsiri kemudian ditampung pada labu kondensat.

Minyak dan air pada kondensat kemudian dipisahkan, sisa minyak yang menempel di labu kondensat dilarutkan menggunakan pelarut n-heksan kemudian di simpan di wadah yang menggunakan tutup aluminum foil yang telah dibuat lubang. Pembuatan lubang ini dengan maksud agar h-heksan menguap dan meninggalkan minyak murni. Minyak yang telah di dapatkan kemudian disimpan di wadah, ditutup dengan rapat agar minyak yang ada tidak menguap.

3.3.3 Penentuan Rendemen

Rendemen minyak atsiri yang dihasilkan dari tiap-tiap proses penyulingan dihitung terhadap berat kering tanur, dengan menggunakan rumus:

Rendemen = (Output/Input) x 100%

Keterangan: Output = berat minyak atsiri (g)

Input = berat kering tanur bahan baku (g)


(12)

12

3.3.4 Uji Bioassay Larva Nyamuk

a. Persiapan Hewan Uji

Gelas piala 250 ml diisi dengan air sekitar setengah bagian gelas dan dimasukkan juga kertas saring ke dalam gelas piala tersebut. Kemudian gelas piala tersebut dimasukkan ke dalam kandang nyamuk. Kertas saring tersebut berfungsi untuk menempelnya telur telur dari nyamuk A. aegypti. Telur tersebut akan dihasilkan sampai hari keempat setelah nyamuk makan darah.

Untuk penetasan telur, kertas saring tersebut dicelupkan ke dalam nampan plastik berukuran 30x20x5 cm yang berisi air, dan setelah 24 jam telur tersebut akan menetas dan tumbuh menjadi larva instar I. Telur-telur yang telah menjadi larva instar I kemudian akan mengalami tahap perkembangan menjadi larva instar II, III (4 hari) dan instar IV (2 hari). Larva tersebut diberi makan berupa pelet ikan dan rebusan hati ayam.

b. Uji Aktivitas Larvasida

Pengujian efektifitas biolarvasida minyak atsiri pohon Surian merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh Cheng et al. (2004) yang dimodifikasi untuk jumlah hewan uji dan lama waktu pengujiannya. Dua puluh jentik nyamuk instar-IV ditempatkan dalam 24,5 ml air destilata, diikuti penambahan 500 µg/mL larutan DMSO yang mengandung sampel uji dalam wadah berkapasitas 30 ml. Larutan dikocok pelan-pelan sehingga tercampur secara homogen dan dibiarkan pada suhu ruang. Konsentrasi minyak yang digunakan adalah 2000, 1000, 500, dan 250 µg/mL. Sebagai kontrol disiapkan berupa 24,5 ml air destilata dan 500µL DMSO. Sebagai pembanding, digunakan insektisida komersial Abate(R) dengan bahan aktif Temephos setara konsentrasi yang sama yaitu 2000, 1000, 500, dan 250 µg/mL.

Aktivitas larvasida minyak atsiri diamati selama 10 menit, 20 menit, 30, menit, 40 menit, 50 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 24 jam dan 48 jam. Kemudian dihitung nilai mortalitasnya yang dikoreksi dengan kontrol.

Persentase mortalitas dikoreksi dengan kontrol. Nilai toksik dan efektifitas diukur dengan nilai LC50 yang menunjukkan konsentrasi dalam µg/mL yang


(13)

13

3.3.5 Analisis Data

Untuk menentukan nilai Lethality Concentration 50% (LC50), hasil uji

larvasida diuji menggunakan program Minitab 16 dengan probit analysis dan asumsi distribusi weibull pada selang kepercayaan 95%.

Data yang digunakan adalah konsentrasi dan persentase kematian (mortalitas) yang sudah dikoreksi dengan kontrol. Data yang yang dianalisis statistik adalah perbandingan kadar konsentrasi dengan persentase mortalitas terkoreksi. Hasil analisis yang diambil memiliki persentase kematian 50%.


(14)

14

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Minyak Atsiri Surian (Toona Sinensis Roemor)

Minyak atsiri Surian ini didapatkan dengan cara penyulingan menggunakan metode air dan uap atau biasanya disebut metode kukus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen minyak atsiri pohon Surian yang dapat menghasilkan rendemen rata-rata sekitar 0,107-0,628 %. Berikut adalah tabel hasil penelitian rendeman dan wujud fisik minyak atsiri pohon Surian.

Tabel 1 Rendemen dan wujud fisik minyak atsiri pohon Surian

Bagian Rendemen Rata-rata (%) Wujud fisik minyak

Daun 0,107 hijau kehitaman, beraroma menyengat Teras 0,628 coklat kehijauan, beraroma menyengat Gubal 0,243 coklat kehijauan, beraroma menyengat

Tabel 1 menunjukkan nilai rendemen dan wujud fisik minyak atsiri pohon Surian yang didapatkan menggunakan proses penyulingan. Nilai rendemen minyak atsiri yang paling tinggi adalah minyak atsiri Surian bagian teras sebesar 0,628%, kemudian gubal sebesar 0,243% dan rendemen yang paling rendah yang berasal dari bagian daun yaitu sebesar 0,107%. Nilai rendemen minyak atsiri bagian daun yang didapatkan merupakan nilai rendemen yang terendah dikarenakan posisi minyak atsiri di dalam daun. Sirait (2007) menyatakan, minyak atsiri terdapat pada sel kelenjar khusus pada permukaan daun yang berasosiasi dengan kloroplas. Selain itu, bagian daun berukuran tipis sehingga minyak atsiri yang bersifat volatil mudah menguap sebelum disuling. Hal ini sesuai dengan pendapat Guenther (1988) yang menyatakan dinding sel dari tanaman yang berukuran sangat tipis bersifat permeabel sehingga eksraksi minyak terjadi secara cepat.

Hasil penyulingan pohon Surian bagian daun, kayu teras dan kayu gubal menunjukkan wujud fisik yang berbeda. Minyak atsiri bagian daun berwarna hijau kehitaman, pada bagian teras berwarna coklat dan untuk minyak atsiri bagian gubal berwarna coklat kehijauan (Tabel 1 dan Gambar 3). Ketiga minyak atsiri memiliki aroma menyengat, hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh


(15)

15

Satoni et al. (2009) dan Darmawan (2011) yang menyatakan bahwa minyak atsiri Surian memiliki bau yang menyengat.

Gambar 3 Minyak atsiri bagian daun (A), bagian teras (B), dan bagian gubal (C).

4.2 Uji Aktivitas Larvasida

Pengujian minyak atsiri Surian (T. sinensis) terhadap larva instar IV nyamuk A. aegypti diujikan menggunakan konsentrasi 250, 500, 1000 dan 2000 µg/mL dengan tiga kali ulangan tiap bagiannya dengan pengamatan selama 48 jam. Pengujian menggunakan Abate(R) dengan bahan aktif temephos sebagai pembanding pengujian minyak atsiri.

Hewan uji yang digunakan adalah larva instar IV nyamuk A. aegypti

dikarenakan larva instar IV merupakan fase larva yang paling dewasa sebelum menjadi pupa dan memiliki daya tahan yang paling kuat, hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Nugraha (2011) yang menyatakan bahwa pemilihan larva instar IV sebagai hewan uji merupakan fase dengan daya tahan yang paling tinggi dan mempunyai ukuran yang lebih besar sehingga mudah dalam melakukan perhitungan dalam pengujian.

Gambar 4 Hubungan konsentrasi minyak Surian (T.sinensis) dan Abate(R) terhadap mortalitas larva A. aegypti.

0 20 40 60 80 100 120

250 500 1000 2000

Mor

tal

it

as

(

%

)

Konsentrasi µg/mL

Daun Teras Gubal Abate


(16)

16

Gambar 4 menunjukkan hubungan konsentrasi minyak Surian dan Abate(R) terhadap mortalitas larva A. aegypti. Pengujian menggunakan konsentrasi yang berbeda bertujuan untuk mengetahui respon larva terhadap larutan uji yang dibuat. Minyak Surian pada bagian daun dengan konsentrasi 250, 500 dan 1000 µg/mL dengan pengujian selama 48 jam dapat menyebabkan kematian tetapi belum 100%, kematian 100% dengan lama pengujian selama 48 jam terjadi pada minyak Surian bagian daun dengan konsentrasi 2000 µg/mL. Begitu juga untuk minyak Surian bagian teras, pengujian menggunakan konsentrasi 250, 500, dan 1000 µg/mL dengan pengujian selama 48 jam menyebabkan kematian tetapi belum 100%, dan minyak atsiri Surian bagian teras pada konsentrasi 2000 µg/mL pengujian selama 48 jam telah mengakibatkan kematian sebesar 100%. Minyak Surian bagian gubal, pengujian dengan konsentrasi 250 µg/mL dan 500 µg/mL telah menyebabkan kematian tetapi belum 100 %, sedangkan untuk konsentrasi 1000 µg/mL dan 2000 µg/mL menyebabkan kematian sebesar 100% selama 48 jam.

Pengujian juga dilakukan menggunakan insektisida komersial Abate(R) dengan membuat larutan Abate(R) pada konsentrasi yang sama dengan minyak Surian yaitu 250, 500, 1000, dan 2000 µg/mL selama 48 jam menyebabkan kematian larva A. aegypti sebesar 100% (Gambar 4).

Gambar 5 Grafik hubungan waktu pengamatan terhadap mortalitas larva. 0

20 40 60 80 100 120

10 20 30 40 50 60 120 240 480 600 720 14402880

M

or

tal

it

as

(

%

)

Waktu Pengamatan (menit)

Daun Teras Gubal Abate


(17)

17

Gambar 5 menunjukkan grafik hubungan waktu pengamatan terhadap mortalitas larva. Uji aktivitas larvasida terhadap larva instar IV A. aegypti

menggunakan minyak atsiri Surian bereaksi cukup cepat. Dapat dilihat bahwa pada menit ke 20 dengan konsentrasi 2000 µg/mL minyak atsiri Surian dari ketiga bagian telah menyebabkan kematian beberapa larva A. aegypti. Sementara itu, untuk larutan insektisida Abate(R) dapat menyebabkan kematian pada menit ke 120 atau 2 jam setelah larva direaksikan dengan larutan Abate(R). Hal ini dikarenakan minyak atsiri merupakan minyak dengan ekstrak kasar yang dapat langsung beraksi dengan larva nyamuk. Sedangkan Abate(R) merupakan insektisida berupa formulasi sehingga perlu waktu yang cukup lama agar formulasi tersebut terlarut dan bereaksi terhadap larva A. aegypti.

Berikut adalah tabel uji larvasida A. aegypti yang diuji menggunakan minyak atsisi pohon Surian yang dianalisis menggunakan model statistika analisis probit.

Tabel 2 Uji larvasida A. aegypti menggunakan minyak atsiri pohon Surian

Bagian

Mortalitas (%) / µg/mL

LC50

250 500 1000 2000

Daun 83,887 88,89 97,777 100 50,059

Teras 36,11 88,89 99,443 100 296,495

Gubal 72,223 96,663 100 100 154,804

Berdasarkan analisis probit dengan menggunakan software Minitab 16 for Windows (Lampiran 6, 7 dan 8) diperoleh nilai LC50 untuk masing-masing minyak

atsiri Surian seperti yang terdapat pada Tabel 2. Berdasarkan analisis probit tersebut diperoleh nilai LC50 sebesar 50,059 µg/mL untuk minyak atsiri bagian

daun. Minyak atsiri Surian bagian gubal diperoleh nilai LC50 sebesar 154,804

µg/mL sedangkan untuk minyak atsiri bagian teras diperoleh nilai LC50 sebesar

296,495 µg/mL. Berdasarkan nilai LC50 dan yang didapatkan, minyak atsiri Surian

dari beberapa bagian bersifat toksik terhadap larva instar IV nyamuk A. aegypti

karena menyebabkan kematian sebesar 50% dari total populasi yang diujikan. Nilai LC50 yang diperoleh masih sangat tinggi meskipun nilai tersebut

masih dibawah 1000 µg/mL dan berpotensi sebagai bioaktif. Menurut Geris et al.

(2008) dalam Andriani (2008) menyatakan bahwa standar nilai larvasida nabati (senyawa murni) yaitu berkisar 0,1-49 µg/mL. Nilai LC50 yang didapatkan masih


(18)

18

sangat jauh dari standar larvasida nabati tersebut, hal ini dapat dikarenakan minyak astiri Surian masih merupakan minyak dengan ekstrak yang sangat kasar dan belum ada pemurnian senyawa.

Uji aktivitas larvasida menggunakan minyak atsiri ini menunjukan kesebandingan antara konsentrasi dan persentasi kematian, yaitu semakin besar konsentrasi yang digunakan maka semakin besar presentasi kematian larvasida yang diakibatkan ini berarti aktivitas membunuh makin tinggi sehingga terjadi korelasi positif antar keduanya. Nilai LC50 minyak atsiri Surian bagian daun lebih

rendah dari pada minyak atsiri bagian teras dan gubal, hal ini berarti minyak atsiri Surian bagian daun memiliki daya bunuh yang lebih tinggi dibandingkan 2 minyak yang lainnya. Hal ini terjadi karena setiap individu memiliki respon yang berbeda pada zat yang berada dilingkungannya (Loomis 1978 dalam Fadli 2006).

Tingginya daya racun yang disebabkan oleh minyak atsiri yang berasal dari daun tidak terlepas dari kandungan kimia yang terdapat pada minyak atsiri tersebut. Berdasarkan penelitian Mu et al. (2007) yang mengidentifikasi senyawa kimia yang terkandung pada minyak atsiri Surian yang berasal dari daun dan ditemukan adanya senyawa kimia trans-kariofilena dengan konsentrasi relatif 21,422% senyawa ini diduga yang menyebabkan tingginya aktivitas larvasida. Sutthanont et al. (2010), melakukan pengujian minyak atsiri dari Syzygium aromaticum yang mengandung trans-karofilena ternyata berpotensi sebagai larvasida A.aegypti.

Sari et al. (2012) melakukan pengujian senyawa kimia yang berasal dari minyak atsiri kayu Surian menggunakan metode gas chromatography-mass spectrometry (GCMS) menemukan adanya senyawa kimia yang sama seperti pada minyak atsiri yang berasal dari daun yaitu trans-kariofilena.

Pada minyak atsiri Surian yang berasal dari kayu gubal, konsentrasi relatif dari senyawa ini sebesar 11,42% sedangkan pada minyak atsiri yang berasal dari kayu teras sebesar 1,96%. Nilai konsentrasi relatif senyawa trans-kariofilena yang berasal dari minyak atsiri Surian bagian daun jauh lebih tinggi dibandingkan bagian gubal dan teras. Hal ini dapat diduga menjadi penyebab tingginya aktifitas larvasida minyak atsiri Surian bagian daun dibandingkan bagian gubal dan teras.


(19)

19

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Rendemen minyak atsiri yang paling tinggi adalah bagian teras (0,628 %), kemudian gubal (0,243 %) dan yang paling rendah adalah daun (0,107 %). 2. Berdasarkan pengujian, minyak atsiri Surian dari beberapa bagian berpotensi

sebagai biolarvasida instar IV A. aegypti. Dilihat dari nilai LC50, minyak atsiri

yang paling berpotensi sebagai biolarvasida adalah minyak atsiri Surian bagian daun yang memiliki nilai LC50 sebesar 50,059 μg/mL.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian disarankan melakukan isolasi dan identifikasi lebih lanjut terhadap senyawa aktif yang terkandung pada minyak atsiri Surian dari beberapa bagian serta pengujian larvasida dari isolasi senyawa tersebut.


(20)

MINYAK ATSIRI SURIAN (

Toona sinensis

Roemor) SEBAGAI

BIOLARVASIDA NYAMUK DEMAM BERDARAH

(

Aedes aegypti

Linn)

RAHMAWATI PUJI ASTARI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(21)

20

DAFTAR PUSTAKA

Andriani A. 2008. Uji potensi larvasida fraksi ekstrak daun Clinacanthus nutans

L. terhadap larva instar III nyamuk A. aegypti [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Ajizah A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhimurium terhadap ekstrak daun

Psidium guajava L. Jurnal Ilmu-ilmu Biologi 1 (1): 31-38.

Basuki RS. 2009. Pengetahuan petani dan keefektifan penggunaan insektisida oleh petani dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua Hubn. pada tanaman bawang merah di Brebes dan Cirebon. Journal of Horticultural Science and Biotechnology 19(4):459-474.

Cheng SS, Liu JY, Tsai KH, Chen WJ, Chang ST. 2004. Chemical composition and mosquito larvicidal activity of essential oils from leaves of different

Cinnamomum osmophloeum provenances. Journal of Agricultural and Food Chemistry 52(14):4395-4400.

Chin J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.[terhubung berkala] http://nyomankandun.tripod.com/sitebuildercontent/sitebuilderfiles/manual _p2m.pdf (27 September 2011).

Darmawan I. 2011. Bioaktifitas minyak atsiri Pohon Surian (Toona sinensis Roemor) berdasarkan uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Depkes [Departemen Kesehatan]. 2010. Demam berdarah dengue di Indonesia tahun 1968-2009. Jendela Epidemologi 2:1-14

Dharmawati. FD. 2002. Informasi Singkat Benih. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan

Fadli M. 2006. Uji bioaktivitas zat ekstraktif Kayu Beunying (Ficus fistulosa

Reinw) dan Hamerang (Ficus fulva Reinw) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Goto T, Takahashi N, Hirai S, Kawada T. 2010. Various terpenoids derived from Herbal and dietary plants function as PPAR modulators and regulate carbohydrate and lipid metabolism. Peroxisome Proliferator-Activated Receptors Research 10: 1-9.

Guenther E. 1988. Minyak Atsiri. Volume 1. Ketaren S, penerjemah. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi. Terjemahan dari Essential Oil.

Gunawan W. 2009. Kualitas Dan Nilai Minyak Atsiri, Implikasi Pada


(22)

21

http://d.yimg.com/kq/groups/16675956/938931444/name/artikel+ttg+atsiri +di+indonesia+2009.pdf (27 September 2011).

Hadi UK dan Koesharto. 2006. Nyamuk. In Sigit S. (eds). Hama Permukiman Indonesia. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. pp 23-51.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Padmawinata K, Soedira I, penerjemah. Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical methods.

Hua X, Biao D, Yu-xian P, Li-wen Q, Ya-di W, Wei H, Li Juan H, Kwok-yung Y, and Xiao-yan C. 2006. Serotype 1-specific monoclonal antibody-based antigen capture immunoassay for detection of circulating nonstructural protein ,implications for early diagnosis and serotyping of dengue virus infections. Journal of Clinical Microbiology 2872-2878.

Jayanegara A, Sofyan A. 2008. Penentuan Aktivitas Biologis Tanin Beberapa Hijauan secara in Vitro Menggunakan ’Hohenheim Gas Test’ dengan Polietilen Glikol Sebagai Determinan. Media Peternakan 31(1):44-52. Kardinan A. 2011. Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal dalam

pengendalian hama tanaman menuju sistem pertanian organik.

Pengembangan Inovasi Pertanian 4(4):262-278

Lima MAA, Oliveira FFM, Gomes GA, Lavor PL, Santiago GMP, Nagao-Dias AT, Arriaga AMC, Lemos TLG, Carrvalho MG. 2011. Evaluation of larvicidal activity of the essential oils of plants species from Brazil against

A. aegypti (Diptera: Culicidae). Africal Journal of Biotechnology 10 (55):11716-11720.

Lei HY. 2007. Immunopathogenesis of the Dengue virus caused disease.

Dipresentasikan pada International Collaboration on Research Development on the Efficacy and Potential Application of Melaleuca Alternifolia Concentrate (MAC) for the Treatment of Dengue Fever and a Range of Population Health issues. Queensland: Griffith University. Laba IW. 2010. Analisi Empiris Penggunaan Insektisida Menuju Pertanian

Berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2):120-137

Meyer BN, Ferigni NR, Putnam JE, Jacobsen LB, Nicholas DE, Mc Laughlin JL. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. West Lafayette: Journal of Medicinal Plat Research 45:31-41.

Mu R, Wang X, Liu S, Yuan X, Wang S, Fan Z. 2007.Rapid determination of volatile compoundsin Toona sinensis (A. Juss.) Roem.by MAE-HS-SPME


(23)

22

followed by GC–MS. Journal for Rapid Communication in Chromatography 65:463-467

Nassar Z, Aisha A, Abdul MA. 2010. The Pharmalogical Properties of Terpenoids from Sandoricum koetjape. Webmedcentral Complementary Medicine

1(12):1-11.

Noegroho, Srimulyani, Mulyaningsih .1997. Aktifitas larvasida minyak atsiri daun jukut (hyptis) suaveolens (l) poit, terhadap larva nyamuk A. aegypti, instar IV dan analisis kromatografi gas-spektroskopi masa. Majalah Farmasi Indonesia 8(4): 160-170.

Nugraha DR. 2011. Ekstrak kayu jati (Tectona grandis l.f) sebagai biolarvasida jentik nyamuk demam berdarah (A. aegypti) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pandit IKN, Wibowo C.2011. Jenis Kayu Primadona Untuk Hutan Tanaman Rakyat. Bogor: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Bekerja Sama Dengan: LPPM IPB.

Santoni A, Nurdin H, Manjang Y, Achmad SA. 2009. Minyak Atsiri dari Toona sinensis dan Uji Aktivitas Insektisida. Jurnal Riset Kimia 2:101-105. Sari RK, Syafii W, Achmadi SS, Hanafi M. 2012. Komposisi kimia dan potensi

anti kanker minyak atsiri kayu teras Surian (Toona sinensis). Accepted Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Institut Teknologi

Bandung.

Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan. Bogor: Depdikbud Dirjen PendidikanTinggi PAU Ilmu Hayati IPB.

Sutthanont N, Choochote W, Tuetun B, Junkum A, Jitpakdi A, Chaithong U, Riyon D, Pitasawat B. 2010. Chemical composition and larvacidal activity of edible plant –derived essential oil against the pyrethroid –susceptible and resistant strains of A. aegypti (diptera:Culicidae). Journal of Vector Ecology 35(1):106-116.

Taufik I, Yosmaniar. 2010. Pencemaran pestisida pada lahan perikanan di daerah Karawang – Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010. Bogor. hlm 961-703.

UNEP [United Nations Environment Programme]. 2004. Childhood Pesticide Poisoning. Invormation for Advocacy and Action. UNEP 2-3

Utami N, Robara M. 2008. Identifikasi senyawa alkaloid dari ekstrak heksana daun Ageratum conyzoides. Linn. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat tahun 2008. Lampung. Hlm 153-142.


(24)

23

Zanzibar M. 2010. Peningkatan Mutu Fisiologis Benih Surian Dengan Cara Priming. Jurnal Standardisasi 12 (1): 1 – 6.

Zhou G, Zhang B, Lin L, Zhu Q, Guo L, Pu Y, Cao X. 2010. Study on the relationship between Toona sinensis Roem stand productivity and site conditions in Sichuan Basin. Journal of Ecological Economy 6:387-394. Zhu L, Tian YJ, Yang Li, Jiang JG. 2011. Chemical composition and

antimicrobial activities of essential oil of Blumea megacephala.

Experimental and Clinical Sciences Journal 10:62-68

Zuhra CF, Br. Tarigan J, Sihotang H. 2008. Aktifitas antioksidan senyawa flavonoid dari daun katuk (Sauropus androgunus (L) Merr.). Jurnal Biologi Sumatra 3(1):7-10.


(25)

MINYAK ATSIRI SURIAN (

Toona sinensis

Roemor) SEBAGAI

BIOLARVASIDA NYAMUK DEMAM BERDARAH

(

Aedes aegypti

Linn)

RAHMAWATI PUJI ASTARI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(26)

RINGKASAN

RAHMAWATI PUJI ASTARI. E24080003. Minyak Atsiri Surian (Toona sinensis Roemor) Sebagai Biolarvasida Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti

Linn). Dibimbing oleh RITA KARTIKA SARI dan UPIK KESUMAWATI HADI.

Tingginya jumlah masyarakat yang terjangkit demam berdarah di Indonesia menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan kasus demam berdarah tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit demam berdarah ini ditularkan oleh nyamuk

Aedes aegypti. Dewasa ini, pencegahan penyakit demam berdarah dilakukan dengan mengendalikan vektor nyamuk secara kimia seperti penggunaan bubuk Abate(R) dan fogging. Penggunaan bahan alami sebagai alternatif pencegahan bahan kimia dapat dicoba. Minyak atsiri Surian (Toona sinensis) merupakan satu alternatif bahan alami yang berpotensi dan bersifat toksik bagi larva udang yang diuji menggunakan metode brine shrimp lethality test (BSLT). Oleh karena itu,

pengujian minyak atsiri sebagai biolarvasida nyamuk A. aegypti menarik bila

dilakukan.

Minyak atsiri Surian berasal dari beberapa bagian yaitu bagian daun, kayu teras, dan kayu gubal. Bahan baku disuling dengan metode uap dan air selama 12 jam hingga menghasilkan minyak atsiri. Kemudian rendemen yang dihasilkan minyak atsiri tersebut dihitung. Pengujian minyak atsiri sebagai biolarvasida dilakukan

terhadap larva instar IV nyamuk A.aegypti berjumlah 20 ekor dengan konsentrasi

minyak 250 µg/mL, 500 µg/mL, 1000 µg/mL, dan 2000 µg/mL. Pengamatan dilakukan selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 24 jam dan 48 jam. Nilai mortalitas larvasida dihitung

sebagai dasar penentuan nilai lethal concentration 50% (LC50).

Rendemen terbesar minyak atsiri Surian yang diperoleh berasal dari minyak

atsiri Surian bagian teras (0,628 %), kemudian minyak atsiri Surian bagian gubal

(0,243 %) dan yang paling rendah adalah minyak atsiri surian bagian daun (0,107 %). Uji biolarvasida menghasilkan nilai LC50 untuk minyak atsiri Surian bagian

daun 50,059 μg/mL, bagian teras 296,495 μg/mL dan bagian gubal 154,804 μg/mL.

Ketiga nilai LC50 dari minyak atsiri Surian pada berbagai bagian ini berpotensi

sebagai bioaktif dengan minyak atsiri Surian bagian daun yang paling efektif. Hasil pengujian biolarvasida tersebut menunjukkan bahwa minyak atsiri surian berpotensi sebagai biolarvasida nyamuk A. aegypti.


(27)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Minyak Atsiri Surian (Toona sinensis Roemor) Sebagai Biolarvasida Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti Linn)

Nama Mahasiswa : Rahmawati Puji Astari

NRP : E24080003

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ir. Rita Kartika Sari, M.Si Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS NIP. 19681124 199512 2 001 NIP. 19581023 198403 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Hasil Hutan

Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP. 19660212 199103 1 002


(28)

MINYAK ATSIRI SURIAN (

Toona sinensis

Roemor) SEBAGAI

BIOLARVASIDA NYAMUK DEMAM BERDARAH

(

Aedes aegypti

Linn)

RAHMAWATI PUJI ASTARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kahutanan

Pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(29)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(30)

vii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Minyak Atsiri Surian (Toona sinensis Roemor) Sebagai Biolarvasida Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti Linn) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dibawah bimbingan dosen Ir. Rita Kartika Sari, M.Si dan Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS serta belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi.

Bogor, Juli 2012

Rahmawati Puji Astari NRP. E24080003


(31)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Minyak Atsiri Surian (Toona sinensis Roemor) Sebagai Biolarvasida Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti Linn). Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak, Ibu, kakak-kakak serta keponakan-keponakan atas doa, kasih sayang dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

2. Ibu Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku dosen pembimbing pertama atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan ilmu, nasehat, dan motivasi.

3. Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS selaku dosen pembimbing kedua atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan ilmu, nasehat, dan motivasi.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku dosen penguji dan Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr selaku ketua sidang atas nasehat dan motivasi yang diberikan.

5. Bagian Kimia Hasil Hutan dan seluruh staf Departemen Hasil Hutan atas segala bantuannya.

6. Teman-teman seperjuangan Arip, Vebri, Desi, Linda, Mae, Din, Puji, Sari, Mumun, Ste, Putri, Rico, serta seluruh teman-teman THH 45 atas persahabatan dan kekeluargaan indah yang diberikan.

7. Sambang Parinda atas semangat yang selalu diberikan tanpa kenal lelah.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran studi penulis.

Bogor, Juli 2012 Rahmawati Puji Astari


(32)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nabire, Papua pada tanggal 24 Maret 1990 sebagai putri bungsu dari tiga bersaudara pasangan Bapak Moelyadi dan Ibu Sri Lestari. Penulis bersekolah di SD Negeri 1 Nabire dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama hingga tahun 2005 di SMP Negeri 1 Nabire, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Nabire dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mayor Teknologi Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.

Pada tahun 2010 penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Papandayan – Sancang Timur Garut. Pada tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) yang memiliki basecamp di Gunung Walat Sukabumi. Tahun 2012 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PGT Cimanggu KBM INK Unit 1 Jawa Tengah. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dendrologi pada tahun 2011.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dikegiatan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (Himasiltan) selama dua tahun kepemimpinan yaitu 2009/2010 dan 2010/2011. Selain itu penulis aktif dalam kegiatan Koperasi Mahasiswa IPB (Kopma IPB) dari tahun 2008 hingga sekarang dan pernah menjabat sebagai pengurus Kopma IPB pada tahun kepemimpinan 2009/2010 dan 2010/2011 serta penulis aktif dalam kegiatan Organisasi Mahasiswa Daerah Forum Komunikasi Mahasiswa Boyolali (OMDA FKMB).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul Minyak Atsiri Surian (Toona sinensis Roemor) Sebagai BiolarvasidaNyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti Linn) dibawah bimbingan Ir. Rita Kartika Sari, M,Si dan Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS.


(33)

x

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... x DAFTAR TABEL ... xi DAFTAR GAMBAR ... xii DAFTAR LAMPIRAN ... xiii BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Manfaat ... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Pohon Surian (Toona sinensis Roemor) ... 3 2.2 Minyak Atsiri ... 4 2.3 Nyamuk Aedes aegypti ... 5 2.4 Senyawa Bioaktif ... 8 BAB 3 METODOLOGI ... 10 3.1 Lokasi dan Waktu ... 10 3.2 Bahan dan Alat ... 10 3. 3 Metode Penelitian... 10 3.3.1 Penyiapan Bahan Baku ... 10 3.3.2 Penyulingan ... 11 3.3.3 Penentuan Rendemen... 11 3.3.4 Uji Bioassay Larva Nyamuk ... 12 3.3.5 Analisis Data ... 13 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 14 4.1 Minyak Atsiri Surian (Toona Sinensis Roemor) ... 14 4.2 Uji Aktivitas Larvasida ... 15 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 19 5.1 Kesimpulan ... 19 5.2 Saran ... 19 DAFTAR PUSTAKA ... 20 LAMPIRAN ... 24


(34)

xi

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Rendemen dan wujud fisik minyak atsiri pohon Surian ... 14 2 Uji larvasida A. aegypti menggunakan minyak atsiri pohon Surian ... 17


(35)

xii

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1 Pohon Surian ... 3 2 Daun Surian dan kayu Surian ... 11 3 Minyak atsiri bagian daun, bagian teras, dan bagian gubal ... 15 4 Hubungan konsentrasi minyak Surian (T. sinensis) dan Abate(R) terhadap

mortalitas larva A. aegypti ... 15 5 Hubungan waktu pengamatan terhadap mortalitas larva A.aegypti ... 16


(36)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Data kadar air bagian Surian (T. sinensis) ... 25 2 Data rendemen minyak atsiri Surian (T. sinensis) ... 25 3 Mortalitas larva A. aegypti terhadap minyak Surian bagian daun ... 26 4 Mortalitas larva A. aegypti terhadap minyak Surian bagian kayu teras ... 27 5 Mortalitas larva A. aegypti terhadap minyak Surian bagian kayu gubal ... 28 6 Probit Analysis:mortalitas versus konsenterasi Minyak atsiri

Surian (T. sinensis) bagian daun ... 29 7 Probit Analysis:mortalitas versus konsenterasi Minyak atsiri

Surian (T. sinensis) bagian kayu teras ... 30 8 Probit Analysis:mortalitas versus konsenterasi Minyak atsiri

Surian (T. sinensis) bagian kayu gubal ... 31 9 Hasil LC50 minyak atsiri Surian (T. sinensis) ... 32


(37)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang banyak terjangkit oleh penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Satu di antara penyakit yang ditularkan oleh nyamuk adalah penyakit demam berdarah. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk

Aedes aegypti. Pada tahun 2008, tercatat sebanyak 137.469 kasus demam berdarah, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 158.912 kasus demam berdarah (Depkes 2010).

Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Depkes 2010) .

Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan penyakit demam berdarah ini (Lei 2007). Hingga saat ini belum ditemukan obat yang secara efektif dapat mengobati penyakit demam berdarah tersebut. Dewasa ini, upaya yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah dengan cara kimiawi untuk mengendalikan vektor nyamuk atau sering disebut dengan istilah insektisida kimia. Pemakaian insektisida kimia cukup mudah, tetapi insektisida kimia ini menimbulkan efek negatif. Laba (2010) menyatakan bahwa efek negatif yang umum disebabkan oleh insektisida adalah timbulnya hama baru, resistensi, resurjensi, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan, dan keracunan terhadap manusia. UNEP (2004) menyatakan bahwa 3 dari 100 orang yang menggunakan insektisida kimia berpotensi keracunan insektisida. Oleh karena itu, penggunaan insektisida kimia perlu dihindari. Pemanfaatan bahan alami dapat menjadi alternatif bagi pengendalian vektor penyakit demam berdarah, salah satunya adalah pemanfaatan minyak atsiri dari tumbuhan sebagai biolarvasida pencegah berkembangbiaknya nyamuk A. aegypti. Menurut Noegroho et al. (1997), minyak atsiri mempunyai aktivitas hayati sebagai


(38)

2

larvasida terhadap larva A. aegypti dengan LC50 jauh lebih besar dibandingkan

Abate(R).

Hasil penelitian Darmawan (2011) menunjukkan bahwa minyak atsiri dari pohon Surian (Toona sinensis) yang diuji bioaktivitasnya dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), memiliki nilai LC50 dari bagian daun sebesar

11,203 µg/mL, pada bagian kulit 6,851 µg/mL, bagian kayu teras 3,968 µg/mL, dan bagian kayu gubal sebesar 1,293 µg/mL. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa minyak atsiri Surian memiliki efek toksisitas tinggi. Menurut Meyer et al. (1982) suatu zat dikatakan toksik apabila LC50 < 1000 µg/mL dan

sangat toksik bila LC50< 30 µg/mL. Penelusuran pustaka menunjukkan belum

dilakukan penelitian pengujian aktivitas biolarvasida minyak atsiri dari pohon Surian terhadap larva A. aegypti, padahal hasil penelitian Darmawan (2011) mengindikasikan bahwa minyak atsiri Surian tersebut berpotensi memiliki aktivitas sebagai biolarvasida terhadap larva A. aegypti. Selain itu minyak atsiri Surian memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan bahan kimia yang selama ini digunakan sebagai pencegah demam berdarah, misalnya saja adalah minyak atsiri Surian yang berasal dari bahan alami dan lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, penelitian untuk menguji potensi minyak atsiri dari berbagai bagian pohon Surian menarik untuk dilakukan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan membandingkan aktivitas minyak atsiri yang berasal dari berbagai bagian pohon Surian (daun, kayu teras, kayu gubal) sebagai biolarvasida nyamuk A. aegypti .

1.3 Manfaat

Memberikan informasi tentang pemanfaatan hasil hutan sebagai salah satu alternatif bahan alami untuk pengendalian penyebaran penyakit demam berdarah.


(39)

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pohon Surian (Toona sinensis Roemor)

Surian memiliki banyak sinonim nama di Indonesia di antaranya adalah ingu, surian amba (Kerinci), kibereum, laut, redani, kuru (Halmahera Utara) (Zanzibar 2010, Pandit & Wibowo 2011). Surian merupakan pohon dari famili Meliaceae. Pohon ini cocok untuk lingkungan yang hangat dan lembab. Surian merupakan pohon yang menyukai sinar matahari dan tidak toleran terhadap dingin dan basah. Dengan kondisi air yang tidak telalu banyak, pohon ini dapat tumbuh dengan kondisi tahunan curah hujan rata-rata 500 mm-2000 mm. Surian merupakan pohon yang cepat tumbuh, secara Internasional banyak dikenal dengan nama “Mahoni China” (Zhou et al. 2010).

Penyebaran pohon Surian secara alami di Nepal, India, Bhutan, Myanmar, Indo-China, Cina Selatan, Thailand dan sepanjang Malaysia hingga barat Papua Nugini. Di Indonesia jenis ini terdapat di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi (Zanzibar 2010).

Pohon Surian ini merupakan pohon berukuran sedang sampai besar, tingginya dapat mencapai 25 m, diameter batangnya dapat mencapai 70 cm. Kulit batangnya kelihatan coklat dan kelihatan licin pada pohon yang muda, menjadi pecah dan kasar pada pohon yang sudah tua (Dharmawati 2002).


(40)

4

Daunnya lebar, kadang-kadang mengelompok diujung cabang, panjangnya 50-70 cm, dengan 80-20 pasak anak daun (Gambar 1). Permukaan dan bagian atas umumnya berbulu. Bunga dihasilkan pada musim panas, dijumpai di ujung cabang, dan berukuran kecil dengan diameter 4-5 mm, berwarna putih atau merah muda pucat. Buah berupa kapsul dengan panjang 2-3,5 cm buah terdiri beberapa ruang di dalamnya terdapat benih (Dharmawati 2002).

Pohon Surian memiliki banyak manfaat di antaranya adalah pemanfaatan kayunya sebagai konstruksi, dekorasi interior, furnitur, alat musik, pembuatan kapal dan lainnya. Kulitnya dapat digunakan untuk membuat kertas. Buahnya bisa menjadi obat dan bijinya dapat diekstraksiuntuk minyak (Zhou et al. 2010).

2.2 Minyak Atsiri

Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils, etherial oils, atau volatile oils adalah komoditi ekstrak alami dari jenis tumbuhan yang berasal dari daun,bunga, kayu, biji-bijian bahkan putik bunga. Setidaknya ada 150 jenis minyak atsiri yang selama ini diperdagangkan di pasar internasional dan 40 jenis diantaranya dapat diproduksi di Indonesia. Meskipun banyak jenis minyak atsiri yang bisa diproduksi di Indonesia, baru sebagian kecil jenis minyak atsiri yang telah berkembang dan sedang dikembangkan di Indonesia (Gunawan 2009). Menurut Guenther (1988) minyak atsiri ini merupakan minyak yang mudah menguap, dengan komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Setiap substansi yang dapat menguap memiliki titik didih dan tekanan uap tertentu dan hal ini dipengaruhi oleh suhu.

Minyak atsiri ini dapat dihasilkan dari penyulingan daun, batang, kulit, kayu dan lain sebagainya. Contoh minyak atsiri yang telah sukses di Indonesia adalah minyak atsiri yang berasal dari kayu putih (Melaleuca leucadendron) yang telah dikomersialkan dan banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Guenther (1988) menyatakan bahwa penyulingan dapat didefinisikan sebagai pemisahan komponen-komponen suatu campuran dari dua jenis cairan atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut. Teori penyulingan ada tiga macam yaitu penyulingan dengan air (water


(41)

5

distillation), penyulingan dengan air dan uap (water and steam destillation) dan penyulingan dengan uap langsung (steam destilation).

Proses penyulingan dengan air, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Kelebihan proses ini yaitu biaya operasional yang murah dan proses yang sederhana. Sedangkan, kekurangan proses ini adalah rendemen yang dihasilkan sedikit serta minyak atsiri tidak semua menguap tapi ada yg terlarut dalam air. Penyulingan dengan air dan uap, pada metode ini bahan diletakkan diatas rak-rak atau saringan berlubang. Ciri khas metode ini adalah uap selalu dalam keadaan basah dan bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap. Kelebihan proses ini yaitu bahan hanya kontak dengan uap jenuh dan basah, sehingga minyak atsiri langsung ikut menguap dengan uap air. Kekurangan dari proses ini yaitu tekanan yang dihasilkan hanya dari tekanan uap air saja, sehingga proses penyulingan relatif lama.Untuk metode penyulingan dengan uap atau uap langsung adalah metode yang menggunakan uap jenuh dengan tekanan lebih dari 1 atmosfer. Kelebihan proses ini yaitu rendemen yang dihasilkan besar, waktu penyulingan relatif cepat dan bahan baku hanya kontak langsung dengan uap air. Kekurangan dari teknik ini adalah biaya operasional yang tinggi serta prosesnya yang rumit.

Minyak atsiri memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah sebagai pewangi dan juga produk farmasi seperti minyak angin dan obat. Ajizah (2004) menyatakan minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan kuman dengan mengganggu proses terbentuknya membran dan/atau dinding sel, membran atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna.

2.3 Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk A. aegypti merupakan nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit demam berdarah. Menurut Hadi & Koesharto (2006), nyamuk A. aegypti

ini berwarna belang hitam putih, tersebar di daerah tropis, tetapi berasal dari Afrika. Nyamuk jenis ini dapat dibedakan dari nyamuk lainnya dengan melihat ujung abdomen (perut) meruncing, dan mempunyai sersi yang menonjol, lalu dibagian dadanya terdapat rambut post-spiracular dan tidak mempunyai rambut spiracular. Selain itu, tubuhnya bercorak belang hitam putih pada toraks (dada),


(42)

6

abdomen (perut) dan tungkai (kaki). Corak putih pada punggung A. aegypti

berbentuk seperti siku yang berhadapan.

Telur A. aegypti berwarna hitam, oval dan di letakkan di dinding wadah air, biasanya dibagian atas permukaan air. Jentik nyamuknya tidak berlengan, dadanya lebih lebar dari kepalanya. Jentik dalam kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6-8 hari dan mengalami empat kali pergantian kulit (instar), kemudian berubah menjadi pupa (kepompong). Dalam waktu kurang lebih dua hari, dari pupa muncullah nyamuk dewasa. Jadi total hidup bisa diselesaikan 9-12 hari. Kemudian nyamuk tersebut mencari pasangan dan mengadakan perkawinan. Setelah kawin nyamuk siap mencari darah untuk perkembangan telur. Nyamuk jantan tidak menghisap darah tetapi cairan tumbuhan, sedangkan nyamuk betina menggigit dan menghisap darah orang (Hadi & Koesharto 2006).

Chin (2000) menyatakan, A. aegypti adalah spesies nyamuk yang menggigit pada siang hari, dengan peningkatan aktivitas menggigit sekitar 2 jam sesudah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari tenggelam.

2.4 Penggunaan Insektisida

Insektisida merupakan suatu cara pengendalian nyamuk secara kimiawi. Menurut Hadi & Koesharto (2006), insektisida merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan populasi serangga yang merugikan manusia, ternak, tanaman, dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk mensejahterakan hidupnya agar kerugian dan gangguan dapat ditekan sekecil mungkin. Insektisida yang banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk di Indonesia adalah larvasida, berbagai jenis repelan dan insektisida semprot.

Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida. Menurut Kardinan (2011), pestisida sintetis atau kimiawi memiliki dampak negatif dalam penggunaannya. Di antaranya adalah polusi lingkungan (kontaminasi tanah, air dan udara), serangga hama menjadi resisten, toleran terhadap pestisida dan dampak negatif lainnya.

Taufik dan Yosmaniar (2010) menyatakan bahwa residu pestisida yang terdapat pada salah satu kolam budidaya perikanan di daerah Karawang termasuk


(43)

7

golongan organoklorin, organoposfat, piretroid, dan karbamat. Organoklorin merupakan senyawa yang sangat persisten artinya bahan aktifnya dapat bertahan dalam waktu yang lama baik dalam tanah, air, jaringan tanaman maupun hewan. Senyawa tersebut tidak mudah terurai oleh mikroorganisme, enzim, panas, ataupun cahaya ultraviolet. Hadi & Koesharto (2006) menyatakan bahwa insektisida golongan organoposfat dan karbamat merupakan racun sinaptik. Sinaps adalah suatu persimpangan antara dua saraf atau suatu titik penghubung saraf. Secara spesifik organoposfat dan karbamat terikat pada suatu enzim pada sinaps yang dikenal dengan asetilkholinesterase. Enzim ini dibentuk untuk menghambat suatu impuls saraf setelah melewati sinaps. Organoposfat dan karbamat terikat pada enzim ini dan menghambatnya untuk tidak bekerja. Piretroid adalah racun axonik yaitu beracun terhadap serabut saraf. Racun ini terikat pada suatu protein dalam saraf yang dikenal sebagai voltage-gated sodium channel. Pada keadaan normal protein ini membuka untuk memberikan rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan sinyal saraf. Piretroid terikat pada gerbang ini dan mencegah penutupan secara normal yang menghasilkan rangsangan sarf yang berkelanjutan.

Basuki (2009) melakukan penelitian terhadap keefektifan insektisida dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua. Dari penelitian tersebut Basuki (2009) menyatakan bahwa petani di Cirebon menggunakan 8 jenis insektisida kimia. Dari 8 jenis insektisida yang digunakan, 5 jenis insektisida tersebut tidak efektif (63%), hal ini di duga hama Spodoptera exigua telah resisten terhadap 5 jenis insektisida tersebut.

Banyaknya fakta yang menunjukkan bahaya penggunaan insektisida atau pestisida kimia menyebabkan timbulnya penelitian mengenai pestisida alami atau nabati yang cenderung lebih aman. Pestisida nabati ini dapat berupa ekstrak bagian tanaman dan minyak atsiri dari tanaman. Pestisida nabati tidak hanya mengandung satu jenis bahan aktif (single active ingredient), tetapi beberapa jenis bahan aktif (multiple active ingredient). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis pestisida nabati cukup efektif terhadap beberapa jenis hama, baik hama di lapangan, rumah tangga (nyamuk dan lalat), maupun di gudang. Contoh pestisida nabati yang cukup efektif seperti pestisida dari biji bengkuang, akar tuba,


(44)

8

abu serai dapur, kayu manis, dan brotowali (Kardinan & Iskandar 1999, diacu dalam Kardinan 2011).

2.4 Senyawa Bioaktif

Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang bersifat racun dalam dosis yang tinggi. Tingkat konsentrasi yang dapat menyebabkan keracunan ditentukan dengan letal konsentrasi 50% (LC50). LC50 adalah konsentrasi dari suatu bahan

yang menyebabkan 50% populasi mengalami kematian. LC50 dapat digunakan

untuk menentukan toksisitas dari suatu zat. Suatu senyawa memiliki potensi bioaktif apabila nilai LC50-nya kurang dari 1000 µg/mL (Meyer et al. 1982).

Alkaloid merupakan senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, yang biasanya merupakan bagian dari sistem siklik. Alkaloid dapat berperan sebagai pengatur pertumbuhan, penolak, atau pemikat serangga (Suradikusumah 1989). Utami dan Robara (2008) menyatakan bahwa eksrak heksan dari daun Ageratum conyzoides dianalisis dan mengandung senyawa alkaloid.

Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid merupakan senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia sehingga mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan (Harborne 1987). Dalam dunia pengobatan, beberapa senyawa flavonoid berfungsi sebagai antibodi, misalnya antivirus dan jamur, peradangan pembuluh darah dan dapat digunakan sebagai racun ikan. Sirait (2007) menyatakan, flavonoid ini dapat ditemukan pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah, tepung sari dan pada akar. Zuhra et al. (2008) menganalisis kandungan kimia daun katuk (Sauropus androgunus) dan menemukan adanya senyawa flavonoid yang berpotensi sebagai antioksidan.

Tanin terdapat di hampir seluruh bagian tumbuhan yang sedang tumbuh seperti tunas, akar muda, buah muda, kulit bagian dalam, kulit bagian luar, dan daun muda. Tanin berfungsi sebagai pelindung jaringan dari serangan jamur, bakteri, dan organisme penggangu lainnya, bahkan terhadap virus (Andriani 2008). Jayanegara dan Sofyan (2008) melakukan penelitian terhadap daun dari


(45)

9

tanaman Salix alba, Rhus typhina dan Peltiphyllum peltatum dan menemukan adanya senyawa tanin yang terkandung di dalam dedaunan tersebut.

Terpenoid tersebar secara luas dan banyak ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi. Terpenoid didefinisikan sebagai produk alami yang strukturnya dibagi menjadi beberapa unit isoprene, karena itu senyawa ini disebut juga isoprenoid (C5H8). Terpenoid yang tersusun atas 2 isopren membentuk senyawa

golongan monoterpenoid, sesquiterpen tersusun atas 3 unit isoprene, diterpenoid tersusun atas 4 unit isoprene, sesterpen tersusun atas 5 isopren, triterpenoid tersusun atas 6 unit isopren, dan tetraterpen tersusun atas 8 isopren. Terpenoid memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah fisiologis, metabolik, struktural, dan pertahanan (Goto et al. 2010). Nassar et al. (2010) mempelajari sifat farmasi kandungan terpenoid yang berasal dari Sandoricum koetjape.


(46)

10

BAB 3

METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Entomologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, selama tiga bulan di bulan Desember 2011 dan Januari-Februari 2012.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah daun, kayu gubal dan kayu teras pohon Surian (Toona sinensis) dengan tinggi ± 8 m dan diameter 21 cm. Bahan lain yang digunakan adalah telurA. aegypti, DMSO (dimetil sulfoksida), dan air destilata.

Peralatan yang digunakan adalah alat destilasi minyak atsiri, alat serut kayu, golok, alat timbang, peralatan gelas (labu erlenmeyer, funnel separator, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, pipet, cawan petri, botol kecil, dan lainnya), baskom plastik dan kompor gas.

3. 3 Metode Penelitian 3.3.1 Penyiapan Bahan Baku

a. Daun

Daun dipisahkan dari tangkainya dan dirajang kasar, kemudian ditimbang sebanyak 4,5 kg untuk satu kali pemasakan/penyulingan. Proses ini dilakukan dengan cepat, agar minyak atsiri yang terkandung dalam daun tidak banyak yang menguap.

b. Kayu teras dan kayu gubal

Teras dan gubal dipisahkan menggunakan mesin serut, sehingga dapat diperoleh hasil berupa kayu sisa serutan dengan panjang 1-4 cm, lebar 1-2 cm dengan tebal 1-5 mm. Masing-masing bagian (pangkal, tengah, dan ujung), selanjutnya ditimbang sebanyak 1,5 kg untuk satu kali pemasakan.


(1)

kayu gubal

Mortalitas (%)

Konsentrasi

Ulangan

N

100

2000

u1

100

100

1000

u1

100

95

500

u1

100

85

250

u1

100

100

2000

u2

100

100

1000

u2

100

100

500

u2

100

80

250

u2

100

100

2000

u3

100

100

1000

u3

100

100

500

u3

100

65

250

u3

100

100

2000

u4

100

100

1000

u4

100

100

500

u4

100

80

250

u4

100

100

2000

u5

100

100

1000

u5

100

100

500

u5

100

55

250

u5

100

100

2000

u6

100

100

1000

u6

100

95

500

u6

100

80

250

u6

100

100

2000

u7

100

100

1000

u7

100

85

500

u7

100

35

250

u7

100

100

2000

u8

100

100

1000

u8

100

85

500

u8

100

85

250

u8

100

100

2000

u9

100

100

1000

u9

100

95

500

u9

100


(2)

Lampiran 6. Probit Analysis:mortalitas (ekor); n (ekor) versuskonsenterasi

(ppm) Minyak atsiri Surian (T. sinensis) bagian daun

Probit Analysis: Mortalitas (%); n versus Konsentrasi

Distribution: Weibull

Response Information

Variable Value Count Mortalitas (%) Event 3360 Non-event 240 n Total 3600 Estimation Method: Maximum Likelihood Regression Table

Standard

Variable Coef Error Z P Constant -2,63126 0,264609 -9,94 0,000 Konsentrasi 0,578746 0,0428012 13,52 0,000 Natural

Response 0 Log-Likelihood = -755,302 Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P Pearson 5,25940 2 0,072 Deviance 7,76625 2 0,021 Tolerance Distribution

Parameter Estimates

Standard 95,0% Normal CI Parameter Estimate Error Lower Upper Shape 0,578746 0,0428012 0,500653 0,669019 Scale 94,3007 11,9915 73,4977 120,992 Table of Percentiles

Standard 95,0% Fiducial CI Percent Percentile Error Lower Upper 1 0,0333069 0,0235811 0,0065756 0,111955 2 0,111295 0,0688900 0,0269475 0,321245 3 0,226241 0,128206 0,0617604 0,597118 4 0,375245 0,198650 0,111582 0,929170 5 0,556752 0,278556 0,176966 1,31174 6 0,769857 0,366807 0,258470 1,74127 7 1,01404 0,462589 0,356658 2,21537 8 1,28902 0,565278 0,472111 2,73237 9 1,59472 0,674380 0,605428 3,29109 10 1,93119 0,789491 0,757223 3,89069 20 7,06237 2,21546 3,44465 12,0928 30 15,8817 4,04275 8,87330 24,5804 40 29,5425 6,19086 18,3045 42,3432 50 50,0589 8,59523 33,8408 67,2666 60 81,0799 11,1605 59,2931 102,823 70 129,960 13,6935 102,426 156,054 80 214,596 15,8174 182,179 244,431 90 398,454 18,8140 361,578 436,014 91 430,480 19,8378 392,187 470,760 92 467,508 21,3360 427,061 511,698 93 511,032 23,5423 467,306 560,894 94 563,292 26,8063 514,587 621,454 95 627,845 31,6769 571,577 698,317 96 710,828 39,0944 642,925 800,027 97 824,140 50,9101 737,644 943,299 98 995,658 71,6301 876,663 1167,90 99 1319,84 117,523 1129,66 1611,99


(3)

(ppm) Minyak atsiri Surian (T. sinensis) bagian kayu teras

Probit Analysis: Mortalitas (%); n versus Konsentrasi

Distribution: Weibull

Response Information

Variable Value Count Mortalitas (%) Event 2920 Non-event 680 n Total 3600 Estimation Method: Maximum Likelihood Regression Table

Standard

Variable Coef Error Z P Constant -11,5405 0,482587 -23,91 0,000 Konsentrasi 1,96308 0,0802594 24,46 0,000 Natural

Response 0 Log-Likelihood = -946,859 Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P Pearson 54,2588 2 0,000 Deviance 26,6192 2 0,000 Tolerance Distribution

Parameter Estimates

Standard 95,0% Normal CI Parameter Estimate Error Lower Upper Shape 1,96308 0,0802594 1,81192 2,12686 Scale 357,356 6,20199 345,405 369,721 Table of Percentiles

95,0% Fiducial Standard CI

Percent Percentile Error Lower Upper 1 34,3089 3,50260 27,6083 41,2996 2 48,9636 4,29779 40,6226 57,4308 3 60,3537 4,79185 50,9760 69,7243 4 70,0628 5,14569 59,9332 80,0730 5 78,7052 5,41654 67,9941 89,2004 6 86,5960 5,63196 75,4182 97,4737 7 93,9227 5,80752 82,3611 105,110 8 100,807 5,95295 88,9252 112,248 9 107,335 6,07474 95,1818 118,987 10 113,567 6,17747 101,184 125,396 20 166,444 6,62516 153,005 179,006 30 211,363 6,59443 197,930 223,831 40 253,802 6,39330 240,795 265,918 50 296,495 6,18077 284,010 308,303 60 341,791 6,13731 329,578 353,703 70 392,797 6,55061 380,062 405,823 80 455,388 7,91292 440,435 471,592 90 546,531 11,3600 525,653 570,480 91 559,131 11,9413 537,243 584,376 92 572,899 12,6002 549,867 599,615 93 588,133 13,3563 563,786 616,536 94 605,260 14,2381 579,379 635,629 95 624,933 15,2893 597,222 657,647 96 648,227 16,5833 618,264 683,829 97 677,119 18,2561 644,246 716,458 98 715,933 20,6107 678,966 760,539 99 777,966 24,6006 734,074 831,520 99,9 956,449 37,3546 890,528 1038,79


(4)

Lampiran 8. Probit Analysis:mortalitas (ekor); n (ekor) versuskonsenterasi

(ppm) Minyak atsiri Surian (T. sinensis) bagian kayu gubal

Probit Analysis: Mortalitas (%); n versus Konsentrasi

Distribution: Weibull

Response Information

Variable Value Count Mortalitas (%) Event 3305 Non-event 295 n Total 3600 Estimation Method: Maximum Likelihood Regression Table

Standard

Variable Coef Error Z P Constant -6,74768 0,482633 -13,98 0,000 Konsentrasi 1,26556 0,0823674 15,36 0,000 Natural

Response 0 Log-Likelihood = -711,103 Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P Pearson 0,78631 2 0,675 Deviance 1,36216 2 0,506 Tolerance Distribution

Parameter Estimates

Standard 95,0% Normal CI Parameter Estimate Error Lower Upper Shape 1,26556 0,0823674 1,11400 1,43775 Scale 206,803 8,62763 190,566 224,423 Table of Percentiles

95,0% Fiducial Standard CI

Percent Percentile Error Lower Upper 1 5,45701 1,48020 2,96792 8,74642 2 9,47448 2,23137 5,58390 14,2716 3 13,1053 2,81147 8,09694 19,0342 4 16,5173 3,29648 10,5538 23,3749 5 19,7831 3,71788 12,9761 27,4362 6 22,9435 4,09255 15,3760 31,2956 7 26,0240 4,43082 17,7617 35,0008 8 29,0420 4,73958 20,1390 38,5841 9 32,0106 5,02373 22,5123 42,0686 10 34,9393 5,28688 24,8849 45,4716 20 63,2168 7,17027 49,0356 77,0409 30 91,5756 8,24570 74,8793 107,174 40 121,631 8,81390 103,488 138,093 50 154,804 8,97344 136,119 171,429 60 193,000 8,76455 174,647 209,198 70 239,473 8,26534 222,264 254,887 80 301,206 7,95648 285,214 316,632 90 399,730 10,5987 380,207 422,257 91 414,114 11,3513 393,411 438,496 92 430,039 12,2740 407,869 456,677 93 447,906 13,4103 423,912 477,307 94 468,300 14,8232 442,020 501,124 95 492,121 16,6108 462,935 529,268 96 520,866 18,9387 487,885 563,640 97 557,316 22,1210 519,141 607,794 98 607,646 26,8728 561,724 669,668 99 691,240 35,5193 631,274 774,415


(5)

Bagian

LC

50 (µg/mL)

Daun

50,059

Kayu Gubal

154,804


(6)

RINGKASAN

RAHMAWATI PUJI ASTARI. E24080003. Minyak Atsiri Surian (

Toona

sinensis

Roemor) Sebagai Biolarvasida Nyamuk Demam Berdarah (

Aedes aegypti

Linn). Dibimbing oleh

RITA KARTIKA SARI dan

UPIK KESUMAWATI

HADI.

Tingginya jumlah masyarakat yang terjangkit demam berdarah di

Indonesia menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan kasus demam berdarah

tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit demam berdarah ini ditularkan oleh nyamuk

Aedes aegypti

. Dewasa ini, pencegahan penyakit demam berdarah dilakukan

dengan mengendalikan vektor nyamuk secara kimia seperti penggunaan bubuk

Abate

(R)

dan

fogging

. Penggunaan bahan alami sebagai alternatif pencegahan

bahan kimia dapat dicoba. Minyak atsiri Surian (

Toona sinensis

) merupakan satu

alternatif bahan alami yang berpotensi dan bersifat toksik bagi larva udang yang

diuji menggunakan metode

brine shrimp lethality test

(BSLT). Oleh karena itu,

pengujian minyak atsiri sebagai biolarvasida nyamuk

A. aegypti

menarik bila

dilakukan.

Minyak atsiri Surian berasal dari beberapa bagian yaitu bagian daun, kayu

teras, dan kayu gubal. Bahan baku disuling dengan metode uap dan air selama 12

jam hingga menghasilkan minyak atsiri. Kemudian rendemen yang dihasilkan minyak

atsiri tersebut dihitung. Pengujian minyak atsiri sebagai biolarvasida dilakukan

terhadap larva instar IV nyamuk

A.aegypti

berjumlah 20 ekor dengan konsentrasi

minyak 250 µg/mL, 500 µg/mL, 1000 µg/mL, dan 2000 µg/mL. Pengamatan

dilakukan selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 1 jam, 2 jam, 3

jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 24 jam dan 48 jam. Nilai mortalitas larvasida dihitung

sebagai dasar penentuan nilai

lethal concentration

50% (LC

50

).

Rendemen terbesar minyak atsiri Surian yang diperoleh berasal dari minyak

atsiri Surian bagian teras

(0,628 %), kemudian minyak atsiri Surian bagian gubal

(0,243 %) dan yang paling rendah adalah minyak atsiri surian bagian daun (0,107

%). Uji biolarvasida menghasilkan nilai LC

50

untuk minyak atsiri Surian bagian

daun 50,059

μg/mL

, bagian teras 296,495

μg/mL

dan bagian gubal 154,804

μg/mL

.

Ketiga nilai

LC

50

dari minyak atsiri Surian pada berbagai bagian ini berpotensi

sebagai bioaktif dengan minyak atsiri Surian bagian daun yang paling efektif.

Hasil pengujian biolarvasida tersebut menunjukkan bahwa minyak atsiri surian

berpotensi sebagai biolarvasida nyamuk

A. aegypti

.