melewati kertas cakram tempat dimana bakteri kitinolitik ditumbuhkan pada media agar MGMK + yeast 2. Hal ini disebabkan oleh spesifikasi yang berbeda dari
seluruh 6 isolat yang diuji, konsentrasi suspensi bakteri yang digunakan serta media pembuatan suspensi. Dalam penelitian ini, media yang digunakan dalam pembuatan
suspensi ialah akuades steril. Oleh karena itu, beberapa sel bakteri tidak mendapat nutrisi kemudian mati jika dibiarkan terlalu lama dalam suspensi. Menurut Nasikhah
2008, kekurangan nutrisi ini disebabkan karena penyimpanan bakteri dilakukan dalam air steril yang tidak bernutrisi.
4.3 Pengamatan Struktur Hifa Abnormal
Pengamatan mikroskopis untuk melihat hifa abnormal S. rolfsii dilakukan pada hari ketujuh. Pertumbuhan hifa jamur tersebut yang dihambat oleh bakteri kitinolitik mulai
terlihat pada hari kedua. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya zona hambat oleh bakteri kitinolitik. Penghambatan yang dilakukan oleh isolat bakteri kitinolitik
mengakibatkan terbentuknya pertumbuhan abnormal pada hifa. Aktivitas antagonis bakteri kitinolitik menyebabkan hifa S. rolfsii menjadi abnormal seperti yang terlihat
pada Gambar 4.3.1.
Hifa S. rolfsii mengalami berbagai perubahan bentuk hifa. Hal ini dipengaruhi oleh adanya aktivitas bakteri kitinolitik yang dikultur di kedua sisi dengan jarak 3.5
cm dari tempat jamur di media MGMK + yeast 2. Abnormalitas hifa jamur patogen terlihat menggulung, lisis, putus, hifa menggembung, kerdil dan bengkok. Bakteri
tersebut memiliki mekanisme dalam menekan pertumbuhan jamur. Mekanisme aktivitas antagonis yang diberikan oleh bakteri kitinolitik terhadap jamur patogen
ialah secara hiperparasitik dan enzimatik sehingga mampu digunakan sebagai pengendalian hayati terhadap jamur patogen tanaman dengan cara mendegradasi
dinding selnya. Menurut Nurhayati 2011, mekanisme penghambatan patogen oleh agen pengendali hayati dengan cara mengeluarkan metabolit seperti enzim. Kitinase
yang dihasilkan bakteri kitinolitik mengakibatkan terjadinya endolisis atau autolisis yaitu pecahnya sitoplasma suatu sel sehingga terjadi kerusakan dinding sel. Hal ini
diduga yang menyebabkan abnormalitas bentuk hifa yang terdapat pada Gambar 4.3.1.
Gambar 4.3.1 Bentuk hifa Sclerotium rolfsii setelah uji antagonis dengan
bakteri kitinolitik: a hifa normal, b hifa membengkak dan memendek oleh BK13, c hifa menggulung oleh BK15, d hifa
putus oleh BK15, e hifa kerdil oleh BK15, f hifa lisis oleh BK15, g hifa bengkok oleh BK 15, dan h hifa mengecil oleh BK15 h
perbesaran 40 x 10
4.4 Hasil Uji Patogenitas Sclerotium rolfsii terhadap Kecambah Kedelai
Hasil uji patogenitas menunjukkan bahwa jamur tersebut bersifat patogen terhadap benih kedelai yang ditanam pada media campuran tanah-kompos nisbah 3:1 dan
suspensi S. rolfsii. Hal ini terbukti dengan adanya gejala penyakit rebah kecambah pada kedelai. Gejala penyakit rebah kecambah diawali dengan adanya miselium putih
seperti kapas halus pada permukaan pangkal batang tanaman seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.4.1. Miselium tersebut menyebabkan busuknya pangkal batang yang
ditandai dengan perubahan warna menjadi coklat pucat pada bagian yang terserang sehingga menyebabkan kecambah menjadi rebah.
Menurut Sumartini 2012, pada permukaan tanah di sekitar tanaman yang terserang terdapat miselium putih dan sklerotia. Serangan Sclerotium sp. diawali
dengan infeksi pada bagian akar atau batang yang berbatasan dengan permukaan tanah. Infeksi pada tanaman tersebut menyebabkan pengangkutan unsur hara dan air
tersumbat sehingga tanaman menjadi layu lalu rebah. Patogen selanjutnya menyebar ke seluruh bagian tanaman dan menyebabkan pembusukan.
Sclerotium rolfsii menyerang sebagian benih yang belum berkecambah dan sebagian kecambah berumur 5 hari setelah tanam. Hifa jamur tersebut menginfeksi
bagian tanaman dari akar dan pangkal batang. Mekanisme penyerangan ialah hifa S. rolfsii mensekresikan senyawa enzim ke bagian tanaman yang terinfeksi. Hal ini
mengakibatkan dinding sel terdegradasi. Menurut Papuanga 2009, hifa jamur tersebut mensekresikan enzim selulolitik dan asam oksalat yang membuat jaringan
menjadi lunak kemudian mati. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya jaringan xilem dalam mengangkut air dan unsur hara. Menurut Abadi 2003, jamur patogen
penyebab layu umumnya berkolonisasi dalam jaringan vaskuler, khususnya pada xilem.
Gambar 4.4.1 Uji Patogenitas S. rolfsii terhadap benih kedelai: a biakan S.
rolfsii umur 7 hari 1. hifa, 2. sklerotia coklat, b patogenitas S. rolfsii 3. kecambah kedelai yang terinfeksi, 4. S. rolfsii, c
reisolasi 5. kecambah, 6. hifa jamur patogen dan d biakan murni
S. rolfsii hasil reisolasi umur 5 hari 7. hifa, 8. sklerotia putih
Reisolasi S. rolfsii dilakukan dengan mengisolasi kembali sampel kecambah kedelai yang terinfeksi miselium dari uji patogenitas pada media PDA seperti yang
terlihat pada Gambar 4.4.1. Hasil reisolasi mendapatkan adanya miselium putih di sekitar bagian dari kecambah. Miselium jamur tersebut diinokulasi pada media PDA
yang baru untuk mendapatkan biakan murninya dan dibandingkan dengan S. rolfsii hasil isolasi awal.
4.5 Penghambatan Serangan Sclerotium rolfsii pada Benih Kedelai
Hasil uji antagonis menunjukkan bahwa 2 isolat yang berpotensial menghambat Sclerotium rolfsii ialah Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15 sehingga
dilakukan pengujian secara in vivo. Pengamatan persentase rebah kecambah, tinggi tanaman, dan jumlah daun dilakukan mulai minggu pertama sampai minggu keempat.
Benih kedelai yang ditanam pada media campuran tanah dan kompos yang berisi S. rolfsii rentan terserang rebah kecambah. Hal ini ditunjukkan oleh kontrol +. Gambar
4.5.1 berikut ialah persentase rebah pada tiap perlakuan :
Gambar 4.5.1 Persentase rebah kecambah pada kedelai yang diinokulasikan
Sclerotium rolfsii dengan perlakuan bakteri kitinolitik
Gambar 4.5.1 menunjukkan bahwa serangan S. rolfsii mulai terjadi pada hari kedua setelah tanam pada benih kedelai yang ditanam dalam nampan berisi campuran
tanah dan suspensi jamur patogen. Penyakit rebah kecambah pada kedelai mengalami peningkatan dari minggu pertama sampai minggu keempat. Persentase rebah tertinggi
pada kontrol + yaitu sebesar 62,07 dari seluruh benih yang tumbuh. Sebaliknya, kontrol - tidak ditemukan adanya penyakit rebah kecambah.
Menurut Nurhayati 2011, penyakit tanaman dapat terjadi bila adanya interaksi antara lingkungan, patogen dan tanaman itu sendiri. Patogenitas tinggi terjadi
apabila tanaman yang rentan terinfeksi patogen karena didukung oleh keadaan lingkungan yang sesuai untuk tumbuhnya patogen. Menurut Sumartini 2012,
Sclerotium sp. banyak ditemukan pada musim hujan, terutama pada tanah yang
lembap. Jenis jamur ini dapat membentuk struktur dorman, yaitu sklerotia pada permukaan tanah atau pangkal batang. Sklerotia mempunyai kulit tebal dan keras
sehingga tahan terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan, terutama kekeringan dan suhu tinggi. Masa dorman akan berakhir jika kondisi lingkungan
cocok untuk perkembangannya. Senyawa kimia yang bersifat menguap yang dihasilkan oleh akar tanaman akan menstimulasi sklerotia untuk segera berkecambah
menjadi hifa yang siap menginfeksi bagian tanaman pada daerah rizosfer zona perakaran.
Perendaman benih kedelai dalam suspensi bakteri penghasil kitinase yaitu Bacillus sp. BK13 dan Enterobakter sp. BK15 kemudian ditanam pada media tanah
yang tidak berisi jamur digunakan untuk mengetahui pengaruh kedua bakteri tersebut pada benih. Hasil pengamatan menunjukkan, Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp.
BK15 tidak menyebabkan penyakit rebah kecambah. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya nilai persentase rebah selama hari pengamatan.
Perlakuan S. rolfsii + BK13 dan S. rolfsii + BK15 menunjukkan penurunan persentase rebah secara berturut-turut mencapai 35,72 dan 31,04. Berdasarkan hal
tersebut, ada beberapa faktor yang menyebabkan persentase rebah kecambah menurun yaitu pertahanan yang dilakukan oleh tanaman itu sendiri dan pertahanan yang
dilakukan oleh bakteri kitinolitik Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15. Menurut Pudjihartati et al., 2008 pemberian infeksi Sclerotium rolfsii dapat memicu
tanaman inang mengeluarkan enzim kitinase dan senyawa pertanahan lainnya sebagai sistem ketahanan terhadap jamur patogen. Faktor selanjutnya ialah kedua bakteri
kitinolitik yang diberikan yaitu Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15 mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen S. rolfsii di lapangan. Hal ini terlihat dengan
adanya pengurangan persentase rebah kecambah dibandingkan dengan kontrol +, seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5.2.
Gambar 4.5.2 Perbedaan tanaman kedelai umur 4 minggu a kontrol -, b kontrol +, c BK13, d BK15, e
S. rolfsii + BK13, dan f S. rolfsii + BK15
Pengurangan persentase rebah tertinggi yaitu Enterobacter sp. BK15 yang mencapai 50 . Sedangkan pengurangan persentase rebah terendah yaitu Bacillus sp.
BK13 mencapai 44,5 . Hal ini sedikit berbeda dengan data yang diperoleh ketika uji in vitro, dimana Bacillus sp. BK13 menunjukkan daya penghambatan lebih besar
daripada Enterobacter sp. BK15. Perbedaan kecenderungan daya penghambatan terhadap jamur patogen secara in vitro dan in vivo bisa terjadi karena pengaruh
lingkungan. Pada uji in vitro, kemampuan kedua bakteri tersebut sebagian besar bisa dipengaruhi oleh ketersedian nutrisi media. Pada uji in vivo, kemampuan kedua
bakteri tersebut dipengaruhi oleh beberapa keadaan lingkungan sekitar seperti suhu, cahaya matahari, kelembapan, dan media tanam serta patogenitas jamur yang bisa
didukung oleh keadaan lingkungan tersebut.
Menurut Abadi 2003, penyakit tanaman dapat terjadi karena adanya interaksi antara patogen, tanaman inang dan faktor lingkungan. Namun, dari ketiga faktor
tersebut yang lebih sering berubah adalah faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan dapat mendukung kerentanan tanaman inang saja atau hanya
mendukung kehidupan patogen saja, sehingga dapat mempengaruhi kemampuan agen pengendali hayati yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur patogen di
lapangan.
Namun demikian, kedua bakteri kitinolitik yaitu Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15 telah mampu melindungi sebagian benih kedelai dari serangan
Sclerotium rolfsii selama masa perkecambahan. Berdasarkan sifat dan strain bakteri kitinolitik yang diuji tersebut mengakibatkan sifat patogenitas jamur terhambat dan
menurun. Menurut Purwantisari et al., 2005, ada bebarapa cara penghambatan serangan jamur patogen oleh bakteri kitinolitik. Pertama, bakteri menghasilkan
senyawa bioaktif yang dapat mendegradasi komponen struktural jamur. Senyawa tersebut mendegradasi dinding sel jamur. Kedua, senyawa bioaktif juga
mempengaruhi permeabilitas membran sel jamur sehingga mengganggu transportasi zat-zat yang diperlukan untuk metabolisme. Hal ini mengakibatkan metabolisme
jamur terganggu. Ketiga, senyawa yang dihasilkan bakteri dapat berfungsi sebagai inhibitor terhadap suatu enzim yang dihasilkan oleh jamur. Apabila enzim jamur
tersebut berperang penting dalam metabolisme jamur, maka aktivitas enzimatik sel akan terganggu. Akibatnya akan menekan pertumbuhan jamur. Mekanisme keempat,
yaitu senyawa yang dihasilkan oleh bakteri mampu menekan sintesis protein pada jamur. Apabila sintesis protein terganggu menyebabkan jamur kekurangan protein
tertentu sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur terganggu.
Menurut Gohel et al., 2005, enzim mikolitik kitinase, protease, dan glukanase yang dihasilkan oleh mikroorganisme mampu melisiskan dinding sel jamur
dan berpotensial mengolah limbah kitin dengan menghasilkan kitinase. Oleh karena itu, beberapa mikroorganisme kitinolitik berpotensial sebagai pengendali patogen
tanaman. Menurut Nalisha et al., 2006, Bacillus sp. menghasilkan senyawa bioaktif antijamur yang dapat menghambat serangan Sclerotium rolfsii. Salah satu senyawa
yang efektif dihasilkan oleh Bacillus sp. dalam mengendalikan S. rolfsii ialah enzim kitinase. Menurut Giyanto 2009, Bacillus sp. dapat dikembangkan menjadi pestisida
hayati karena memiliki beberapa sifat yang salah satunya ialah bersifat kitinolitik.
Pertumbuhan tanaman kedelai yang terganggu dapat diamati melalui parameter seperti tinggi tanaman dan jumlah daun. Menurut Alcivar et al., 2007, tinggi dan
hasil tanaman berkurang bisa terjadi karena penyakit, defesiensi unsur hara, dan kekurangan air. Gambar 4.5.2 menunjukkan perbedaan tinggi tanaman kedelai yang
diinokulasikan S. rolfsii dengan perlakuan lainnya.
Gambar 4.5.3 Perbedaan tanaman kedelai antara a kontrol - dan kontrol +,
b BK13, c BK15, d S. rolfsii + BK13, dan e S. rolfsii + BK15
Pengamatan tinggi tanaman kedelai dilakukan setiap minggu. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan mengukur tanaman mulai dari pangkal batang yaitu
bagian tanaman yang berbatasan dengan tanah sampai dengan ujung batang atau ujung tunas apikal. Gambar 4.5.3 menunjukkan angka tinggi tanaman kedelai.
Gambar 4.5.4 Perbedaan tinggi tanaman kedelai yang diinokulasi Sclerotium
rolfsii dengan perlakuan bakteri kitinolitik
Pertambahan tinggi tanaman kedelai meningkat setiap minggunya. Pada pengamatan minggu pertama kecambah tertinggi ialah pada kontrol - yaitu sebesar
16,12 cm dan terendah pada kontrol + yaitu 5,8 cm. Pengamatan minggu keempat
diperoleh data tanaman tertinggi ialah pada perlakuan pemberian bakteri kitinoitik BK15 yaitu sebesar 71,05 cm. Tanaman terendah ialah kontrol + yaitu sebesar 35,65
cm. Hal ini disebabkan karena pengaruh besarnya serangan S. rolfsii. Serangan ini menyebabkan pertumbuhan kecambah kedelai menurun. Hifa jamur patogen tersebut
mengkolonisasi dibagian pangkal batang yang kemudian mengganggu jaringan pengangkut dalam menyalurkan air dan unsur hara ke bagian-bagian tanaman.
Pada perlakuan benih yang direndam dalam suspensi Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15 saja, tinggi tanaman kedelai berturut-turut ialah 58,93 cm dan
71,05 cm. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bakteri tersebut tidak mengganggu pertumbuhan dan tidak bersifat patogen terhadap benih kedelai yang ditanam selama
hari pengamatan. Menurut Siregar 2011, formulasi pupuk hayati yang berbahan aktif rizobakteria seperti Bacillus sp. dapat memicu pertumbuhan tinggi kedelai.
Perlakuan benih yang direndam suspensi BK13 dan BK15 lalu diberi serangan S. rolfsii menunjukkan tanaman kedelai lebih tinggi dari kontrol + dengan tinggi
berturut-turut yaitu 52,72 cm dan 54,08 cm. Hal ini bisa terjadi karena adanya mekanisme pertahanan yang diberikan oleh Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp.
BK15 dalam melindungi benih dari serangan jamur patogen.
Tanaman kedelai berumur 1-2 minggu yang terserang rebah kecambah akan menunjukkan beberapa gejala yang salah satunya yaitu membuat daun menjadi kuning
dan mengering. Hal ini disebabkan karena jaringan pengangkut tidak mampu menyalurkan air dan unsur hara dari akar hingga ke bagian tanaman yang
membutuhkan seperti daun. Jaringan yang berperan dalam melakukan asimilasi berada di daun. Oleh karena jaringan tersebut tidak mendapat cukup air untuk melakukan
fotosintesis maka pertumbuhan tanaman terhambat. Jika hal ini berlanjut dalam waktu yang lama mengakibatkan tanaman mengalami kematian. Menurut Ohorella 2011,
daun memegang peranan yang sangat penting bagi poduktivitas suatu tanaman. Jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotipe dan faktor lingkungan. Faktor
lingkungan yang berpengaruh adalah faktor tanah, air, cahaya dan unsur hara.
Jumlah daun setiap perlakuan tidak berbeda saat pengamatan minggu pertama, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.5.4. Hal ini bisa disebabkan oleh kemampuan
benih untuk tumbuh dengan baik.
Gambar 4.5.5 Perbedaan jumlah daun tanaman kedelai yang diinokulasikan
Sclerotium rolfsii dengan perlakuan bakteri kitinolitik
Gambar 4.5.5 juga menunjukkan perbedaan jumlah daun baru terlihat pada minggu ketiga hingga minggu keempat. Pada minggu keempat, jumlah daun terendah
ialah pada kontrol + yaitu sebanyak 4 helai daun trifoliat. Jumlah daun pada kontrol -, Bacillus sp.cBK13, dan Enterobacter sp. BK15 adalah sama yaitu sebanyak 5
helai daun trifoliat. Jumlah daun meningkat pada perlakuan BK13 dan BK15 yang diinokulasikan Sclerotium rolfsii yaitu berturut-turut sebanyak 6 dan 7 helaian.
Kontrol + memiliki jumlah daun paling sedikit karena tanaman terserang rebah kecambah sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman menurun. Hal ini
dapat dilihat dari penambahan jumlah daun terhambat yang disebabkan karena air dan unsur hara tidak tersalurkan secara sempurna.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1.
Isolat bakteri kitinolitik yang menunjukkan efektivitas tertinggi dalam menghambat pertumbuhan Sclerotium rolfsii secara in vitro ialah Bacillus sp.
BK13 sebesar 3,75 cm dan Enterobacter sp. BK15 sebesar 3,70 cm. 2.
Isolat bakteri kitinolitik yang mampu mengurangi persentase rebah semai yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii secara in vivo ialah Enterobacter sp. BK15
sebesar 50 dan Bacillus sp. BK13 sebesar 44,5. 3.
Isolat bakteri yang paling berpotensial sebagai agen pengendalian hayati ialah Enterobacter sp. BK15 dan Bacillus sp. BK13.
5.2 Saran