rolfsii + BK13, dan f rolfsii + BK15
Gambar 4.5.2 Perbedaan tanaman kedelai umur 4 minggu a kontrol -, b kontrol +, c BK13, d BK15, e
S. rolfsii + BK13, dan f S. rolfsii + BK15
Pengurangan persentase rebah tertinggi yaitu Enterobacter sp. BK15 yang mencapai 50 . Sedangkan pengurangan persentase rebah terendah yaitu Bacillus sp.
BK13 mencapai 44,5 . Hal ini sedikit berbeda dengan data yang diperoleh ketika uji in vitro, dimana Bacillus sp. BK13 menunjukkan daya penghambatan lebih besar
daripada Enterobacter sp. BK15. Perbedaan kecenderungan daya penghambatan terhadap jamur patogen secara in vitro dan in vivo bisa terjadi karena pengaruh
lingkungan. Pada uji in vitro, kemampuan kedua bakteri tersebut sebagian besar bisa dipengaruhi oleh ketersedian nutrisi media. Pada uji in vivo, kemampuan kedua
bakteri tersebut dipengaruhi oleh beberapa keadaan lingkungan sekitar seperti suhu, cahaya matahari, kelembapan, dan media tanam serta patogenitas jamur yang bisa
didukung oleh keadaan lingkungan tersebut.
Menurut Abadi 2003, penyakit tanaman dapat terjadi karena adanya interaksi antara patogen, tanaman inang dan faktor lingkungan. Namun, dari ketiga faktor
tersebut yang lebih sering berubah adalah faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan dapat mendukung kerentanan tanaman inang saja atau hanya
mendukung kehidupan patogen saja, sehingga dapat mempengaruhi kemampuan agen pengendali hayati yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur patogen di
lapangan.
Namun demikian, kedua bakteri kitinolitik yaitu Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15 telah mampu melindungi sebagian benih kedelai dari serangan
Sclerotium rolfsii selama masa perkecambahan. Berdasarkan sifat dan strain bakteri kitinolitik yang diuji tersebut mengakibatkan sifat patogenitas jamur terhambat dan
menurun. Menurut Purwantisari et al., 2005, ada bebarapa cara penghambatan serangan jamur patogen oleh bakteri kitinolitik. Pertama, bakteri menghasilkan
senyawa bioaktif yang dapat mendegradasi komponen struktural jamur. Senyawa tersebut mendegradasi dinding sel jamur. Kedua, senyawa bioaktif juga
mempengaruhi permeabilitas membran sel jamur sehingga mengganggu transportasi zat-zat yang diperlukan untuk metabolisme. Hal ini mengakibatkan metabolisme
jamur terganggu. Ketiga, senyawa yang dihasilkan bakteri dapat berfungsi sebagai inhibitor terhadap suatu enzim yang dihasilkan oleh jamur. Apabila enzim jamur
tersebut berperang penting dalam metabolisme jamur, maka aktivitas enzimatik sel akan terganggu. Akibatnya akan menekan pertumbuhan jamur. Mekanisme keempat,
yaitu senyawa yang dihasilkan oleh bakteri mampu menekan sintesis protein pada jamur. Apabila sintesis protein terganggu menyebabkan jamur kekurangan protein
tertentu sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur terganggu.
Menurut Gohel et al., 2005, enzim mikolitik kitinase, protease, dan glukanase yang dihasilkan oleh mikroorganisme mampu melisiskan dinding sel jamur
dan berpotensial mengolah limbah kitin dengan menghasilkan kitinase. Oleh karena itu, beberapa mikroorganisme kitinolitik berpotensial sebagai pengendali patogen
tanaman. Menurut Nalisha et al., 2006, Bacillus sp. menghasilkan senyawa bioaktif antijamur yang dapat menghambat serangan Sclerotium rolfsii. Salah satu senyawa
yang efektif dihasilkan oleh Bacillus sp. dalam mengendalikan S. rolfsii ialah enzim kitinase. Menurut Giyanto 2009, Bacillus sp. dapat dikembangkan menjadi pestisida
hayati karena memiliki beberapa sifat yang salah satunya ialah bersifat kitinolitik.
Pertumbuhan tanaman kedelai yang terganggu dapat diamati melalui parameter seperti tinggi tanaman dan jumlah daun. Menurut Alcivar et al., 2007, tinggi dan
hasil tanaman berkurang bisa terjadi karena penyakit, defesiensi unsur hara, dan kekurangan air. Gambar 4.5.2 menunjukkan perbedaan tinggi tanaman kedelai yang
diinokulasikan S. rolfsii dengan perlakuan lainnya.
Gambar 4.5.3 Perbedaan tanaman kedelai antara a kontrol - dan kontrol +,
b BK13, c BK15, d S. rolfsii + BK13, dan e S. rolfsii + BK15
Pengamatan tinggi tanaman kedelai dilakukan setiap minggu. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan mengukur tanaman mulai dari pangkal batang yaitu
bagian tanaman yang berbatasan dengan tanah sampai dengan ujung batang atau ujung tunas apikal. Gambar 4.5.3 menunjukkan angka tinggi tanaman kedelai.
Gambar 4.5.4 Perbedaan tinggi tanaman kedelai yang diinokulasi Sclerotium
rolfsii dengan perlakuan bakteri kitinolitik
Pertambahan tinggi tanaman kedelai meningkat setiap minggunya. Pada pengamatan minggu pertama kecambah tertinggi ialah pada kontrol - yaitu sebesar
16,12 cm dan terendah pada kontrol + yaitu 5,8 cm. Pengamatan minggu keempat
diperoleh data tanaman tertinggi ialah pada perlakuan pemberian bakteri kitinoitik BK15 yaitu sebesar 71,05 cm. Tanaman terendah ialah kontrol + yaitu sebesar 35,65
cm. Hal ini disebabkan karena pengaruh besarnya serangan S. rolfsii. Serangan ini menyebabkan pertumbuhan kecambah kedelai menurun. Hifa jamur patogen tersebut
mengkolonisasi dibagian pangkal batang yang kemudian mengganggu jaringan pengangkut dalam menyalurkan air dan unsur hara ke bagian-bagian tanaman.
Pada perlakuan benih yang direndam dalam suspensi Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15 saja, tinggi tanaman kedelai berturut-turut ialah 58,93 cm dan
71,05 cm. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bakteri tersebut tidak mengganggu pertumbuhan dan tidak bersifat patogen terhadap benih kedelai yang ditanam selama
hari pengamatan. Menurut Siregar 2011, formulasi pupuk hayati yang berbahan aktif rizobakteria seperti Bacillus sp. dapat memicu pertumbuhan tinggi kedelai.
Perlakuan benih yang direndam suspensi BK13 dan BK15 lalu diberi serangan S. rolfsii menunjukkan tanaman kedelai lebih tinggi dari kontrol + dengan tinggi
berturut-turut yaitu 52,72 cm dan 54,08 cm. Hal ini bisa terjadi karena adanya mekanisme pertahanan yang diberikan oleh Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp.
BK15 dalam melindungi benih dari serangan jamur patogen.
Tanaman kedelai berumur 1-2 minggu yang terserang rebah kecambah akan menunjukkan beberapa gejala yang salah satunya yaitu membuat daun menjadi kuning
dan mengering. Hal ini disebabkan karena jaringan pengangkut tidak mampu menyalurkan air dan unsur hara dari akar hingga ke bagian tanaman yang
membutuhkan seperti daun. Jaringan yang berperan dalam melakukan asimilasi berada di daun. Oleh karena jaringan tersebut tidak mendapat cukup air untuk melakukan
fotosintesis maka pertumbuhan tanaman terhambat. Jika hal ini berlanjut dalam waktu yang lama mengakibatkan tanaman mengalami kematian. Menurut Ohorella 2011,
daun memegang peranan yang sangat penting bagi poduktivitas suatu tanaman. Jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotipe dan faktor lingkungan. Faktor
lingkungan yang berpengaruh adalah faktor tanah, air, cahaya dan unsur hara.
Jumlah daun setiap perlakuan tidak berbeda saat pengamatan minggu pertama, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.5.4. Hal ini bisa disebabkan oleh kemampuan
benih untuk tumbuh dengan baik.
Gambar 4.5.5 Perbedaan jumlah daun tanaman kedelai yang diinokulasikan
Sclerotium rolfsii dengan perlakuan bakteri kitinolitik
Gambar 4.5.5 juga menunjukkan perbedaan jumlah daun baru terlihat pada minggu ketiga hingga minggu keempat. Pada minggu keempat, jumlah daun terendah
ialah pada kontrol + yaitu sebanyak 4 helai daun trifoliat. Jumlah daun pada kontrol -, Bacillus sp.cBK13, dan Enterobacter sp. BK15 adalah sama yaitu sebanyak 5
helai daun trifoliat. Jumlah daun meningkat pada perlakuan BK13 dan BK15 yang diinokulasikan Sclerotium rolfsii yaitu berturut-turut sebanyak 6 dan 7 helaian.
Kontrol + memiliki jumlah daun paling sedikit karena tanaman terserang rebah kecambah sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman menurun. Hal ini
dapat dilihat dari penambahan jumlah daun terhambat yang disebabkan karena air dan unsur hara tidak tersalurkan secara sempurna.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN