Kesimpulan Cacing Tanah Formulasi Salep Ekstrak Etanol Cacing Tanah (Peryonix sp.) dan Uji Aktivitasnya Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus

45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Ekstrak etanol cacing tanah dapat dibuat ke dalam bentuk sediaan salep dan selama penyimpanan dua bulan memiliki kestabilan yang baik terlihat dari bentuk fisik berupa parameter warna, bentuk, dan bau sediaan yang tidak berubah, jadi salep ini dapat digunakan untuk penggunaan topikal. Sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah dengan konsentrasi ekstrak 40 sudah efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan diameter zona hambat sebesar 14,27 mm dan untuk konsentrasi 50 memiliki zona hambat sebesar 16,47 mm. Sedangkan salep dengan konsentrasi 30 tidak memenuhi persyaratan zona hambat minimum yang baik karena hanya sebesar 12,13 mm. Sehingga hanya F II konsentrasi ekstrak 40 dan F III Konsentrasi ekstrak 50 yang memenuhi persyaratan. Salep ekstrak etanol cacing tanah masih memiliki zona hambat yang masih memenuhi persyaratan sehingga tidak memiliki perbedaan dengan zona hambat ekstrak etanol cacing tanah.

5.2 Saran

Karena konsentrasi ekstrak yang digunakan dalam salep terlalu tinggi, maka akan kurang efektif untuk dibuat dalam sediaan salep. Untuk itu pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pengujian dengan menggunakan jenis bakteri yang lebih beragam untuk mengetahui pada bakteri apa saja sediaan salep ini akan lebih efektif. Universitas Sumatera Utara 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cacing Tanah

Disebut cacing tanah earthworm karena hewan ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di tanah. Cacing tanah merupakan hewan tingkat rendah yang tidak memiliki tulang belakang avertebrata dan bertubuh lunak. Cacing tanah digolongkan ke dalam filum Annelida karena seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen ruas yang berbentuk seperti cincin Khairuman dan Khairul, 2010. Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi, karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin annulus, setiap segmen memiliki beberapa pasang seta, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior, pada bagian anteriornya terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium Arlen dan Erni, 2000. Suin 1982, menyatakan bahwa keanekaragaman jenis cacing tanah yang terdapat di Indonesia cukup tinggi, yaitu tercatat dan telah diketahui sebanyak 55 jenis cacing tanah. Jenis cacing tanah yang telah ditemukan di Pulau Sumatera adalah Friedericia bulbosa Rosa, Pontoscolex corethrurus Fr. Mull., Pheretima darliensis Sims dan Easton, Planapheretima moultoni Michaelsen, Megascolex sp.. Sedangkan dari hasil penelitian Arlen 1994, di tempat pembuangan akhir TPA sampah dan timbunan sampah rumah tangga pada beberapa Kecamatan Kotamadya Medan-Sumatra Utara didapatkan 6 jenis cacing yaitu Megascolex sp., Peryonix sp., Drawida sp., Pontoscolex corethrurus dan Pheretima sp. Universitas Sumatera Utara 7 Cacing tanah telah diakui oleh ahli biologi maupun pertanian sebagai indikator tingkat kesuburan tanah. Sebagai makroorganisme, cacing tanah berperan sangat besar dalam proses pelapukan bahan organik di dalam tanah dan sangat menentukan kesuburan tanah Ciptanto dan Ulfah, 2011.

2.1.1 Taksonomi cacing tanah

Dunia hewan berdasarkan tingkatnya terbagi dalam 15 phyla. Cacing tanah termasuk dalam Phylum Annelida yang berarti seluruh tubuhnya terdiri dari beberapa segmen atau ruas Ciptanto dan Ulfah, 2011. Ciri-ciri phylum Annelida adalah tubuhnya simetri bilateral, silindris, dan bersegmen-segmen. Pada permukaan tubuh terdapat sederetan dinding tipis atau sekat-sekat, bernapas dengan kulit atau insang, mempunyai peredaran darah tertutup dan darahnya mengandung hemoglobin Ciptanto dan Ulfah, 2011 . Phylum Annelida terbagi dalam tiga kelas yaitu Polychaeta, Oligochaeta, dan Hirudinea. Cacing tanah memiliki banyak famili atau suku. Famili cacing tanah yang banyak dibudidayakan sebagai komoditas adalah famili Acanthrodrilidae, Lumbricidae, Megascolicidae, dan Octochatidae Ciptanto dan Ulfah, 2011.

2.1.2 Taksonomi cacing tanah Peryonix sp.

Dalam taksonomi cacing tanah Peryonix sp. memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Annelida Kelas : Chaetopoda Ordo : Oligochaeta Universitas Sumatera Utara 8 Famili : Megascolecidae Genus : Peryonix Spesies : Peryonix sp.

2.1.3 Morfologi dan anatomi cacing tanah Peryonix sp.

Ciri-ciri eksternal: Panjang tubuh cacing tanah dewasa adalah 14-20 cm, ukuran tubuh lebih besar dibandingkan cacing tanah lainnya, bentuk tubuh bulat, berwarna coklat keunguan atau sedikit kelabu, jumlah segmen 75-165, klitelium terletak pada segmen 13 dan 17 Ciptanto dan Ulfah, 2011. Cacing tanah ini termasuk jenis cacing lokal. Cacing ini sangat aktif, jika disentuh tubuhnya akan menggeliat dan segera melarikan diri. Tubuh cacing tanah selalu ditutupi lapisan lendir yang menyebabkan tubuhnya menjadi licin. Selama hidupnya cacing tanah hidup di dalam tanah, tubuhnya selalu tertutup lapisan lendir pelindung yang agar selalu basah karena cacing tanah bernapas melalui kulit yang basah. Fungsi lendir adalah untuk membantu pernapasan, mempermudah dalam menerobos tanah dan melindungi agar zat-zat kimia penting tetap berada di dalam tubuhnya Ciptanto dan Ulfah, 2011. Cacing tanah mempunyai saluran pencernaan makanan yang lengkap dan sistem peredaran darah yang sudah menggunakan pembuluh-pembuluh darah dan disebut sebagai sistem peredaran darah tertutup. Darah cacing terdiri dari plasma yang berisi sel darah putih leukosit dan darah merah. Sistem pencernaan makanan terdiri dari mulut pada segmen pertama, pharynx, kerongkongan, crop yang merupakan pelebaran dari kerongkongan, perut otot, usus dan anus pada segmen terakhir Ciptanto dan Ulfah, 2011. Universitas Sumatera Utara 9 Sistem saraf yang mengatur gerakan cacing tanah terdiri dari simpul saraf bagian depan, simpul saraf bagian perut, serta saraf-saraf serabut. Simpul saraf di bagian depan dapat disamakan dengan otak pada hewan umumnya yang diketahui. Cacing bertindak tidak normal bila ada cahaya dan tidak dapat bertahan apabila terkena cahaya ultraviolet, apabila cacing terkena cahaya ultra violet lebih dari 1 menit, cacing akan mati Ciptanto dan Ulfah, 2011. Pada cacing tanah yang telah dewasa memiliki klittelium yang merupakan alat untuk perkembangbiakan dalam memproduksi kokon. Cacing tanah memiliki dua kelamin dalam satu tubuh, jantan dan betina atau disebut juga hermaphrodite biparenteral. Akan tetapi tidak dapat membuahi sendiri melainkan dengan bantuan cacing lain Ciptanto dan Ulfah, 2011. Siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon hingga menetas menjadi cacing muda, cacing produktif dan menjadi cacing tua. Setelah kokon menetas cacing tanah muda akan hidup dan mencapai dewasa dalam waktu 2,5 - 3 bulan. Masa produktif cacing tanah akan berlangsung selama 4 - 10 bulan dan akan menurun hingga cacing mengalami kematian. Cacing yang sudah tidak produktif lagi biasanya bagian ekornya agak pipih dan warna kuning pada ekornya sudah mencapai punggung, sedangkan masa produktif warna kuning tersebut masih berada di ujung ekor. Lama siklus hidup cacing tanah tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan dan jenis cacing itu sendiri Ciptanto dan Ulfah, 2011. Universitas Sumatera Utara 10

2.1.4 Habitat cacing tanah Peryonix sp.

Cacing tanah Peryonix sp. biasanya dapat ditemukan hidup di tempat pembuangan akhir TPA sampah dan timbunan sampah, tempat yang disukai cacing tanah untuk tumbuh dan berkembang biak adalah tempat yang lembab dan tidak terkena sinar matahari langsung, umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya yang telah mati, kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran Arlen dan Erni, 2000.

2.1.5 Kandungan kimia cacing tanah

Kandungan kimia cacing tanah dalam bentuk bahan kering untuk jenis cacing tanah Lumbricus rubellus adalah protein 58-78, lemak 3-10, kalsium 0,55, fosfor 1, serat 1,08, dan abu 8-10. Kandungan asam- asam amino esensial dan non esensial cacing tanah adalah arginine 4,13, fenilalanin 2,25, histidin 1,56, isoleusin 2,58, leusin 4,84, lisin 4,33, metionin 2,18, treonin 2,95, valin 3,01, glisin 2,92, sistin 2,29, serin 2,88, dan tirosin 1,36 Khairuman dan Khairul, 2010.

2.1.6 Manfaat cacing tanah

Pemanfaatan cacing tanah mulai dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan Ciptanto dan Ulfah, 2011: 1. Sebagai bahan sediaan farmasi Secara tradisional, cacing tanah sering digunakan dalam pengobatan penyakit antara lain: a. Menurunkan demam Berdasarkan hasil penelitian FMIPA IPB menyebutkan cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai penurun demam dan menggantikan parasetamol. Universitas Sumatera Utara 11 b. Menurunkan tekanan darah tinggi Ba Hoang, seorang dokter di Vietnam, yang berpraktik pengobatan tradisional China, telah membuktikan efektivitas cacing tanah untuk mengobati pasien-pasiennya yang mengidap stroke, hipertensi, penyumbatan pembuluh darah, epilepsi, dan berbagai penyakit infeksi. Resep-resepnya telah banyak dijadikan obat paten untuk pengobatan alergi, radang usus, dan stroke. Di Jepang, seorang peneliti bernama Mihara Hisasi berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing tanah yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Karena berasal dari cacing tanah Lumbricus, maka enzim tersebut dinamakan lumbrokinase. Penelitian tersebut kemudian dikembangkan di Kanada oleh Canada RNA Biochemical dan berhasil menstandarkan enzim lumbrokinase menjadi obat stroke. Obat yang berasal dari cacing tanah ini populer dengan nama dagang “Boluoke”. Lazim diresepkan untuk mencegah dan mengobati penyumbatan pembuluh darah jantung yang beresiko mengundang penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi dan stroke. Penelitian terhadap khasiat cacing tanah sudah pernah dilakukan juga secara besar-besaran di China sejak tahun 1990, melibatkan tiga lembaga besar, yakni Xuanwu Hospital of Capital Medical College, Xiangzi Provincial People’s Hospital, dan Xiangxi Medical College. Uji coba klinis serbuk enzim cacing tanah ini dilakukan terhadap 453 pasien penderita gangguan pembuluh darah dengan 73 kesembuhan total Ciptanto dan Ulfah, 2011. c. Mengobati infeksi saluran pencernaan seperti tipus, disentri, diare, serta gangguan perut lainnya seperti maag. Universitas Sumatera Utara 12 Cacing tanah mengandung antibiotik yang mampu melumpuhkan bermacam bakteri pathogen, khususnya Escherichia coli penyebab diare. Antibiotik membunuh mikroorganisme biasanya dengan dua mekanisme: 1. Menghentikan jalur metabolik yang dapat menghasilkan nutrient yang dibutuhkan oleh mikroorganisme atau menghambat enzim spesifik yang dibutuhkan untuk membantu menyusun dinding sel bakteri. 2. Mekanisme yang dilakukan oleh protein yang dimiliki oleh cacing tanah dengan membuat pori di dinding sel bakteri. Hal ini menyebabkan sitoplasma sel bakteri menjadi terpapar dengan lingkungan luar yang dapat mengganggu aktivitas dalam sel bakteri dan menyebabkan kematian. 2. Bahan campuran kosmetik Cacing tanah dapat menghasilkan minyak yang mengandung berbagai macam enzim dengan cara ekstraksi. Di Negara-negara maju, enzim cacing tanah digunakan sebagai bahan industri kosmetik untuk menghaluskan dan mengencangkan kulit, pelembut kulit, pelembab wajah, antiinfeksi dan bahan baku pembuatan lipstik. Enzim yang terkandung dalam tubuh cacing tanah: a. Enzim peroksidase katalase yang berfungsi untuk memperlambat penuaan sel. b. Selulase lignase, berfungsi mengembalikan dan menstabilkan fungsi pencernaan. c. Asam arakidonat, berfungsi untuk mempercepat pembentukan sel-sel baru. Universitas Sumatera Utara 13 d. Alfa-tokoferol, berfungsi mempertahankan elastisitas dan peremajaan kulit. e. Taurin, berfungsi mempercepat metabolisme lemak untuk menambah energi. 3. Sebagai agen penyubur lahan pertanian 4. Sebagai pengolah sampah dan penghasil pupuk kascing 5. Sebagai bahan pakan ternak.

2.2 Ekstraksi