Formulasi Salep Ekstrak Etanol Cacing Tanah (Peryonix sp.) dan Uji Aktivitasnya Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Bagan alir pembuatan ekstrak cacing tanah (Peryonix sp.)

- Dicuci bersih

- Ditimbang (Sebagai berat basah)

- Dikeringkan pada suhu ± 50oC

- Dihaluskan dengan menggunakan blender

- Ditimbang

- Dimaserasi dengan 5 L etanol - Disaring

- Dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu ± 55oC Cacing Tanah (Peryonix

Cacing Tanah (Peryonix sp)

Simplisia Kering 600 gram

Maserat 5 L


(2)

Lampiran 2 Bagan alir pembuatan sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah (Peryonix sp.)

Dibuat ke dalam salep 3 konsentrasi ekstrak masing-masing 50 gram

Ekstrak Kental 350 gram

F I ( Konsentrasi ekstrak 30 % )

F III ( Konsentrasi ekstrak 50 % )

F II ( Konsentrasi ekstrak 40 % )

25 gram ekstrak 25 gram dasar salep 20 gram ekstrak

30 gram dasar salep 15 gram ekstrak

35 gram dasar salep

Evaluasi Sediaan : ‐ Uji homogenitas ‐ Uji kestabilan fisik ‐ Uji antibakteri terhadap

Staphylococcus aureus Sediaan Salep Ekstrak


(3)

Lampiran 3 Bagan uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol cacing tanah (Peryonix sp.)

  Biakan murni bakteri

Bakteri S.aureus hasil peremajaan

Inokulum bakteri S.aureus

Media NA mengandung bakteri

Media yang telah diletakkan pencadang kertas

Diambil 1 ose, kemudian diremajakan dalam media NA miring diinkubasi selam 24 jam

Hasil Inkubasi

Hasil dan Diameter Hambat

Diambil 1-2 ose dimasukkan kedalam 10 media NB, diukur dengan spektrofotometer visilel pada

panjang gelombang 580 nm hingga diperoleh % Transmitannya sebesar 25-30%

Peremajaan dilakukan minimal 3 kali

Diambil 0,1 ml dimasukkan ke dalam petri steril lalu ditambahkan media NA cair

Diratakan dengan cara memutar petri membentuk angka 8 hingga media menjadi padat Diletakkan pencadang kertas yang sudah mengandung larutan uji ke atas permukaan media

Diinkubasi pada suhu 370C selam 18-24 jam


(4)

(5)

Lampiran 5 Gambar cacing tanah (Peryonix sp.) dan simplisia cacing tanah (Peryonix sp.)

a

b

Keterangan: a. Gambar cacing tanah (Peryonix sp.)


(6)

Lampiran 6 Gambar alat rotary evaporator c.

d. e. f. g. h. i. j. k. l.


(7)

Lampiran 7 Gambar hasil uji homogenitas

30%  40% 


(8)

Lampiran 8 Gambar sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah (Peryonix sp.)

a.

b.

Keterangan: a. Gambar sediaan salep ekstrak cacing tanah (Peryonix sp.) pada hari ke-0

b. Gambar sediaan salep ekstrak cacing tanah (Peryonix sp.) pada hari ke-60


(9)

Lampiran 9 Gambar hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol cacing tanah (Peryonix sp.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus menggunakan pencadang logam.

40 % 50 %


(10)

Lampiran 10 Gambar hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol cacing tanah (Peryonix sp.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus menggunakan pencadang kertas

40 % 50 %

Blanko


(11)

Lampiran 11 Gambar hasil uji aktivitas antibakteri sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah (Peryonix sp.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus menggunakan pencadang kertas.


(12)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1986). Ilmu Farmasi. Cetakan Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia. Halaman 61.

Anief, M. (1999). Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Cetakan VII. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 168-169.

Anief. (2007). Farmasetika. Jakarta: UGM Press. Halaman 59.

Ansel, H.J. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Terjemahan Farida Ibrahim. Jakarta: UI Press. Halaman 390.

Arlen, H.J. (1994). Cacing Tanah pada Timbunan Sampah Rumah Tangga di Beberapa Kecamatan Kotamadya Medan. Tesis. Program Studi Biologi FMIPA USU Medan.

Arlen, H.J. (1997). Cacing Tanah Sebagai Sumber Daya Alam Hayati yang Bernilai Ekonomis. Medan: Program Studi Biologi FMIPA USU.

Arlen, H.J., dan Erni. (2000). Aktivitas Amilase, Lipase, dan Protease dari Cacing Peryonix excavates. Jurnal Molekul. 4(2): 115.

Ciptanto dan Ulfah. (2011). Mendulang Emas Hitam Melalui Budidaya Cacing Tanah. Yogyakarta: Penerbit Lily Publisher. Halaman 12-18.

DIFCO. (1977). Manual of Dehydrated Culture Media and Reagents for Microbiology and Clinical Laboratory Procedures. Ninth Edition. Detroit Michigan: Difco Laboratories Incorporated. Halaman 32-33.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Depkes RI. Halaman 9.

Ditjen POM. (1985). Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 32-36.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Depkes RI. Halaman 855, 891-898, 1033.

Ditjen POM. (1978). Formularium Nasional. Edisi Kedua. Jakarta: Depkes RI. Halaman 66.

Ditjen POM. (1999). Cara Pengelolaan Simplisia yang Baik. Jakarta: Depkes RI. Halaman 1-7.


(13)

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Depkes. Halaman 10-11.

Djide dan Sartini. (2008). Dasar-Dasar Mikrobiologi Farmasi. Makasar: Lephas, Halaman 81.

Dwidjoseputro, D. (1994). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan. Halaman 102-105.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Halaman 15, 143-146, 163.

Harris, L.G., Foster, S.J., dan Richard, R.G. (2002). An Introduction to Staphylococcus aureus, and Techniques for Identifying and Quantifying S. aureus Adhesins in Relation Adhesion To Biomaterials: Review journal. European Cells and Materials. 4: 39-60.

Huteri. (2010). Hewan Menjijikkan Itu Bermanfaat, http://www.huteri. com/598/ hewan-menjijikkan-itu-bermanfaat.html. Diakses tanggal 14 April 2014. Irianto, K. (2006). Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jilid I.

Bandung: CV. Yrama Widya. Halaman 75, 85-87.

Jawetz, E., Menick, J.L., dan Adelberg, E.A. (2001). Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa: Eddy Mudihardi, Kuntaman, Eddy Bagus Wasito, Ni Made Mertaniasih, Setio Harsono, dan Lindawati Alimsardjono. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Halaman 317-318, 352, 360.

Khairuman dan Khairul A. (2010). Mengeruk Untung Dari Beternak Cacing. Jakarta: Agromedia Pustaka. Halaman 9-10.

Lay, B.W. (1996). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada. Halaman 34, 42, 44, 70-72.

Pelczar, M.J., dan Chan, E.C.S. (1988). Elements of Microbiology. New York: McGraw-Hill Companies Inc. Terjemahan: Ratna Siri Hadioetomo, Teja Imas, Sutarmi Tjitrosomo dan Sri Lestari Angka. (1988). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit UI-Press. Halaman 145.

Pratiwi, S.T. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Halaman 18, 111, 106, 188, 135.

Radji, M. (2011). Mikrobiologi. Jakarta: Buku Kedokteran ECG. Halaman 62-63. Sajuthi, D. (2003). Efek Antipiretik Ekstrak Cacing Tanah.

http://ulie-prasetyo.blogspot.com. Diakses tanggal 21 Juli 2014.

Siregar, E.P. (2012). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etilasetat dan Ekstrak Etanol Cacing Tanah (Peryonix sp) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi UTND Medan.


(14)

Suin, N.M. (1982). Cacing Tanah dari Biotop Hutan, Belukar, dan Kebun di Kawasan Gambung Jawa Barat. Bandung: ITB press. Halaman 34-35. Sumardi. (1998). Deteksi dan Karakterisasi Senyawa Antibiotik dari Ekstrak dan

Isolat Mikroba Dalam Tubuh Cacing Tanah Allolobophora rosea. Tesis. Bogor: Jurusan BiologiInstitut Pertanian Bogor.

Stanier, R.Y., Adelberg, E.A. dan Ingraham, J.L. (1982). Dunia Mikrobe I. Penerjemah: Agustin Wydia. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Halaman 23-25.

Waluyo, L. (2010). Teknik Dasar Metode Mikrobiologi. Malang: UMM Press. Halaman 105, 130-133.

Wattimena, J. R. (1981). Farmakodinami dan Terapi Antibiotik. Yogyakarta: UGM. Halaman 60-62.


(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental laboratorium secara in vitro, dilakukan terhadap cacing tanah (Peryonix sp.) yang terdiri dari tahapan penyiapan bahan penelitian, determinasi bahan penelitian, pembuatan ekstrak etanol cacing tanah, formulasi sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah, selanjutnya pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Sistematika Hewan (Departemen Biologi) FMIPA USU, Laboratorium Fitokimia USU, Laboratorium Teknologi Sediaan Farmasi I USU, Laboratorium Mikrobiologi USU, dimulai bulan Januari 2014 sampai bulan April 2014.

3.3 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, spatula, batang pengaduk, blender, kertas perkamen, lumpang dan alu, rotary evaporator, water bath, lemari pengering, autoklaf, inkubator, jangka sorong, jarum ose, kamera digital, laminar air flow cabinet, tabung reaksi, lemari pendingin, pinset, pipet mikro, spektrofotometer visibel (Dynamica), dan alat-alat gelas lainnya.


(16)

3.3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing tanah, etanol (Brataco), vaselin (Brataco), adeps lanae (Brataco), propilen glikol

(Brataco), nutrient agar (NA) (Oxoid), nutrient broth (NB) (Oxoid),

dimetilsulfoksida (DMSO), air suling. 3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Pengumpulan sampel

Pengumpulan sampel dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan daerah lain. Sampel yang digunakan adalah cacing tanah

spesies Peryonix sp yang diperoleh dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jalan

Puluh Nibung Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan. 3.4.2 Identifikasi sampel

Identifikasi cacing tanah dilakukan di Laboratorium Sistematika Hewan Departemen Biologi FMIPA USU Medan.

3.4.3 Pengolahan sampel

Cacing tanah (Peryonix sp.) dibersihkan dari bahan organik asing dan pengotor lain dengan cara mencucinya dengan air yang bersih, lalu ditiriskan dan ditimbang, kemudian dikeringkan dalam lemari pengering menggunakan lampu pijar 75 watt yang memiliki suhu sekitar 50oC, diambil suhu yang tidak terlalu panas karena sebagian besar komponen cacing tanah merupakan protein yang akan rusak bila dalam suhu yang tinggi. Setelah kering lalu dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga diperoleh simplisia cacing tanah dan siap untuk diekstraksi (Ditjen POM, 1999).


(17)

3.4.4 Pembuatan ekstrak cacing tanah (Peryonix sp.)

Pembuatan ekstrak cacing tanah (Peryonix sp.) dilakukan secara maserasi dengan menggunakan pelarut etanol.

Cara kerja:

Sebanyak 600 g serbuk simplisia cacing tanah (Peryonix sp.) dimaserasi dengan pelarut etanol 96% dalam wadah tertutup rapat selama 5 hari terlindung dari cahaya matahari sambil sering diaduk, kemudian disaring, sehingga diperoleh maserat, pekerjaan maserasi diulangi seperti semula (Ditjen POM, 1979). Maserat diuapkan atau disuling menggunakan rotary evaporator dengan tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 50oC hingga diperoleh ekstrak kental, lalu ditimbang.

3.5 Pembuatan Formula Sediaan 3.5.1 Pembuatan salep

Formula salep diambil dari formula kloramfenikol salep dalam Formularium Nasional halaman 66.

Formula salep:

Kloramfenikol 200 mg

Propilen glikol 1 g

Adeps lanae 1 g

Vaselin album ad 10 g

Propilen glikol pada dasar salep ini selain dapat mempermudah kelarutan juga digunakan sebagai pembasah atau penurun sudut kontak sehingga seluruh ekstrak terdistribusi merata dan dapat meningkatkan kestabilan salep.


(18)

Cara pembuatan dasar salep menggunakan metode pencampuran dimana komponen salep dicampur bersama sama sampai didapat massa sediaan yang homogen

3.5.2 Komposisi sediaan

Sediaan dibuat ke dalam tiga konsentrasi dan satu blanko dimana masing masing sediaan memiliki bobot 50 gram.

Tabel 3.1 Komposisi sediaan masing-masing formula

No Nama Bahan B (g) F I (g) F II (g) F III (g)

1 Ekstrak etanol cacing tanah - 15 20 25

2 Basis salep 50 35 30 25

Keterangan :

B : Formula tanpa mengandung ekstrak etanol cacing tanah

F I : Formula mengandung 30% ekstrak etanol cacing tanah

F II : Formula mengandung 40% ekstrak etanol cacing tanah

F III : Formula mengandung 50% ekstrak etanol cacing tanah 3.5.3 Cara pembuatan sediaan

a. Formula I

Cara pembuatan: ke dalam lumpang dimasukkan 15 g ekstrak etanol cacing tanah lalu ditambahkan 35 g basis salep sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen.

b. Formula II

Cara pembuatan: ke dalam lumpang dimasukkan 20 g ekstrak etanol cacing tanah lalu ditambahkan 30 g basis salep sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen.


(19)

c. Formula III

Cara pembuatan: ke dalam lumpang dimasukkan 25 g ekstrak etanol cacing tanah lalu ditambahkan 25 g basis salep sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen.

3.6 Evaluasi Sediaan

Evaluasi formula meliputi evaluasi fisik dan biologi. Evaluasi fisik meliputi pemeriksaan stabilitas sediaan, pemeriksaan homogenitas. Evaluasi biologi meliputi penentuan aktivitas antibakteri sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah terhadap Staphylococcus aureus dengan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas.

3.6.1 Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan

Sediaan dinyatakan stabil apabila warna, bau dan penampilan tidak berubah secara visual selama penyimpanan dan juga secara visual tidak ditumbuhi jamur. Pengamatan dilakukan pada suhu kamar pada hari ke 0, 30, dan hari ke-60. 3.6.2 Pemeriksaan homogenitas sediaan

Cara: sejumlah tertentu sediaan dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Ditjen POM, 1979).

Pengamatan dilakukan pada suhu kamar pada hari ke 0, 30, dan hari ke-60. 3.7 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri ini disterilkan lebih dahulu sebelum dipakai. Media disterilkan di autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit dan alat-alat gelas lainnya disterilkan di oven pada suhu 160-170oC selama 2-3 jam. Jarum ose dibakar dengan lampu bunsen (Pratiwi, 2008).


(20)

3.8Pembuatan Media

3.8.1 Nutrient Agar (NA)

Komposisi : Bacto beef extract 3,0 g

Bacto peptone 5,0 g

Bacto agar 15,0 g

Air suling ad 1000 ml

Cara pembuatan:

Sebanyak 23 gram serbuk Nutrient Agar (NA) dilarutkan dalam air suling steril sedikit demi sedikit kemudian volumenya dicukupkan hingga 1 liter dengan bantuan pemanasan sampai semua bahan larut sempurna, kemudian disterilkan di autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit (Difco Laboratories, 1977).

3.8.2 Nutrient Broth (NB)

Komposisi : Bacto beef extract 3,0 g

Bacto peptone 5,0 g

Air suling ad 1000 ml

Cara pembuatan:

Sebanyak 8 gram serbuk Nutrient Broth (NB) dilarutkan dalam air suling steril sedikit demi sedikit kemudian volumenya dicukupkan hingga 1 liter dengan bantuan pemanasan sampai semua bahan larut sempurna, kemudian disterilkan di autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit (Difco Laboratories, 1977).

3.9 Pembuatan agar miring

Ke dalam tabung reaksi yang steril dimasukkan 3 ml media nutrient agar steril, didiamkan pada temperatur kamar sampai sediaan membeku pada posisi


(21)

miring membentuk sudut 45o, kemudian disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 5oC (Lay, 1996).

3.10Pembuatan Stok Kultur Bakteri

Satu koloni bakteri diambil dari biakan murni dengan menggunakan jarum ose steril, lalu ditanam pada agar miring nutrient agar. Kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35 ± 2oC selama 18-24 jam (Lay, 1996). 3.11 Pembuatan Inokulum Bakteri

Cara kerja:

Pengukuran jumlah inokulum bakteri dilakukan secara spektrofotometri, diambil 1-2 ose stok kultur bakteri Staphylococcus aureus lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml nutrient broth, diukur pada panjang gelombang 580 nm diatur perbandingan hingga inokulum mempunyai transmittan 25% yang menyatakan bahwa telah diperoleh suspensi bakteri dengan konsentrasi 106 CFU/ml, sebagai blanko digunakan nutrient broth (Ditjen POM, 1995).

3.12 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Etanol Cacing Tanah dengan Berbagai Konsentrasi

Dibuat ke dalam 3 konsentrasi yaitu konsentrasi ekstrak 30%, 40%, dan 50%. Dipilih konsentrasi ini karena pada penelitian sebelumnya tiga konsentrasi ini menghasilkan diameter daya hambat yang paling besar.

Pada penelitian sebelumnya pengujian dilakukan dengan menggunakan pencadang logam yang menghasilkan daya hambat yang tidak terlalu besar, pada penelitian ini dilihat perbedaan hasil antara pencadang kertas dan pencadang logam.

Konsentrasi I (30 %): 0,3 gram ekstrak etanol cacing tanah dilarutkan ke dalam 1 ml pelarut DMSO etanol 1 : 1


(22)

Konsentrasi II (40%) : 0,4 gram ekstrak etanol cacing tanah dilarutkan ke dalam 1 ml pelarut DMSO etanol 1 : 1

Konsentrasi III (50%) : 0,5 gram ekstrak etanol cacing tanah dilarutkan ke dalam 1 ml pelarut DMSO etanol 1 : 1

3.13 Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Cacing Tanah Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan terhadap ekstrak etanol cacing tanah dengan berbagai konsentrasi. Pengujian ini dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas.

Sebanyak 0,1 ml inokulum dimasukkan ke dalam cawan petri steril, setelah itu dituang media nutrient agar sebanyak 20 ml dengan suhu 45-50oC, selanjutnya cawan digoyang di atas permukaan meja agar media dan suspensi bakteri tercampur rata. Pada media yang telah padat diletakkan beberapa pencadang kertas, dipipet 0,1 ml larutan uji ekstrak etanol cacing tanah dengan berbagai konsentrasi, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35 ± 2oC selama 18-24 jam, lalu diukur diameter daerah hambatan (zona jernih) pertumbuhan di sekitar pencadang dengan menggunakan jangka sorong.

3.14Pembuatan Larutan Uji Sediaan

Formula I : ditimbang salep ekstrak etanol cacing tanah 30% sebanyak 1 g lalu dilarutkan dalam 1 ml pelarut DMSO etanol 1 : 1.

Formula II : ditimbang salep ekstrak etanol cacing tanah 40% sebanyak 1 g lalu dilarutkan dalam 1 ml pelarut DMSO etanol 1 : 1.

Formula III : ditimbang salep ekstrak etanol cacing tanah 50% sebanyak 1 g lalu dilarutkan dalam 1 ml pelarut DMSO etanol 1 : 1.


(23)

3.15 Uji Aktivitas Antibakteri Salep Ekstrak Etanol Cacing Tanah (Peryonix sp.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus

Uji mikrobiologi untuk mengetahui aktivitas antibakteri sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah yang dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas dengan cara mengukur diameter hambatan pertumbuhan bakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

Uji ini dilakukan menggunakan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas dengan media padat, penentuan efektivitas antibakteri dilakukan dengan cara mengukur diameter daerah jernih di sekitar pencadang kertas menggunakan jangka sorong.

Sebanyak 0,1 ml inokulum dimasukkan ke dalam cawan petri steril, setelah itu dituang media nutrient agar sebanyak 20 ml dengan suhu 45 - 50oC, selanjutnya cawan digoyang di atas permukaan meja agar media dan suspensi bakteri tercampur rata. Pada media yang telah padat diletakkan beberapa pencadang kertas, dipipet 0,1 ml salep ekstrak cacing tanah dimasukkan ke dalam

pencadang kertas, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35 ± 2oC

selama 18 - 24 jam, setelah itu diukur diameter daerah hambatan (zona jernih) pertumbuhan di sekitar pencadang dengan menggunakan jangka sorong.

Sebagai kontrol pencadang kertas berisi basis salep yang dilarutkan dalam DMSO etanol 1 : 1.


(24)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Sampel

Identifikasi cacing tanah di lakukan di Laboratorium Sistematika Hewan Departemen Biologi FMIPA USU menyatakan bahwa cacing tanah yang

digunakan dalam penelitian ini adalah cacing tanah (Peryonix sp.). Hasil

identifikasi dapat dilihat di Lampiran 1.

4.2 Hasil Ekstraksi Cacing Tanah (Peryonix sp.)

Hasil penimbangan cacing tanah (Peryonix sp.) diperoleh sebanyak 8 kg, setelah dikeringkan dihasilkan simplisia cacing tanah sebanyak 600 gram. Hasil maserasi 600 gram simplisia cacing tanah dengan menggunakan pelarut etanol 96% sebanyak 5 liter dipekatkan dengan rotary evaporator dan ekstrak kental yang didapat ditimbang, diperoleh ekstrak etanol kental 350 gram. Ekstrak kental yang didapat lalu diformulasi menjadi sediaan salep dengan berbagai konsentrasi dan kemudian diuji aktivitas antibakterinya terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

4.3Hasil Evaluasi Salep

4.3.1 Hasil uji homogenitas

Pengamatan homogenitas sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah dilakukan terhadap tiga formula: FI (Formula mengandung 30% ekstrak), FII (Formula mengandung 40% ekstrak) dan FIII (Formula mengandung 50% ekstrak) dilakukan dengan cara mengoleskan sejumlah tertentu sediaan pada sekeping kaca transparan. Hasil dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini.


(25)

Tabel 4.1 Data pengamatan homogenitas sediaan

Pengamatan Sediaan

Lama Pengamatan (Hari)

0 30 60

Homogenitas

F I H H H

F II H H H

F III H H H

Keterangan: H = Homogen

Hasil pemeriksaan homogenitas pada awal menunjukkan bahwa seluruh sediaan salep tidak memperlihatkan adanya butir-butir kasar pada saat sediaan dioleskan pada kaca transparan. Kemudian pada hari ke 30 sediaan msih menunjukkan homogenitas yang baik terlihat tidak adanya butir-butir kasar pada saat sediaan dioleskan pada kaca transparan. Begitupun pada hari ke 60 sediaan masih menunjukkan homogenitas yang baik terlihat tidak adanya butir-butir kasar pada saat sediaan dioleskan pada kaca transparan. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan yang dibuat mempunyai susunan yang homogen (Ditjen POM, 1979). 4.3.2 Hasil pemeriksaan stabilitas fisik sediaan

Hasil pemeriksaan stabilitas dilakukan terhadap sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah dilakukan pada tiga formula: FI (Formula mengandung 30% ekstrak), FII (Formula mengandung 40% ekstrak) dan FIII (Formula mengandung 50% ekstrak) dengan melihat perubahan bentuk, warna dan bau sediaan. Pemeriksaan dilakukan secara visual pada suhu kamar selama 60 hari dengan rentang waktu pemeriksaan 30 hari. Sediaan salep yang terlihat baik terlihat dari konsistensi salep yang baik, sediaan salep bewarna coklat kehitaman tanpa pemisahan dan berbau khas ekstrak cacing tanah.


(26)

Tabel 4.2 Data pemeriksaan uji stabilitas fisik sediaan

Pengamatan Sediaan

Lama Pengamatan (Hari)

0 30 60

Bentuk

F I b b b

F II b b b

F III b b b

Warna

F I c c c

F II c c c

F III c c c

Bau

F I bk bk bk

F II bk bk bk

F III bk bk bk

Keterangan : b = baik

c = coklat kehitaman

bk = bau khas ekstrak cacing tanah

Dari hasil uji stabilitas salep ekstrak etanol cacing tanah mempunyai bentuk, warna dan bau sediaan yang stabil.

Suatu sediaan memiliki bentuk yang baik jika Selma proses penyimpanan tidak terjadi bleeding yaitu terjadinya pemisahan antara basis salep dengan ekstrak yang dapat terjadi karena basis salep dan ekstrak tidak tercampur sempurna. Selain itu salep msih dapat dikatakan baik jika Selma penyimpanan bentuk, warna, dan bau sediaan masih sama jika dibandingkan dengan awal salep dibuat.

Sediaan salep yang homogen mengindikasikan bahwa ketercampuran dari bahan-bahan salep serta ekstrak cacing tanah yang digunakan baik sehingga tidak


(27)

didapati gumpalan ataupun butiran kasar pada sediaan. Suatu sediaan salep yang dibuat harus homogen agar terdistribusi merata ketika digunakan.

4.4 Hasil Uji Mikrobiologi Ekstrak Etanol Cacing Tanah Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus.

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etanol cacing tanah dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak akan menghasilkan diameter daerah hambat yang semakin besar. Pada konsentrasi 500 mg/ml memiliki daya hambat sebesar 15,97 mm, pada konsentrasi 400 mg/ml memiliki daya hambat sebesar 14,47 mm, pada konsentrasi 300 mg/ml memiliki daya hambat sebesar 12,61 mm.

Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol cacing tanah (Peyonix sp) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat dalam tabel 4.3 berikut

Tabel 4.3 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol cacing tanah terhadap bakteri Staphylococcus aureus menggunakan pencadang kertas.

Ekstrak Rata-Rata Diameter Daerah Hambat (mm)

30% 12,61 40% 14,47 50% 15,97

Metode yang digunakan pada pengujian ini adalah metode difusi agar menggunakan pencadang kertas dengan mengukur diameter zona hambat pertumbuhan bakteri, dimana diameter zona hambat akan meningkat dengan adanya peningkatan konsentrasi ekstrak, sehingga antara peningkatan konsentrasi ekstrak dengan peningkatan diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus memiliki korelasi positif. Dengan dilihat dari hasil yang


(28)

didapat ternyata pengaruh penggunaan jenis pencadang juga berpengaruh terhadap hasil uji. Pencadang logam yang digunakan pada penelitian sebelumnya menghasilkan daya hambat yang lebih kecil (konsentrasi 50% 13,87 mm) daripada pencadang kertas karena pencadang logam mempengaruhi kecepatan difusi ekstrak ke media agar.

Sebelum menngunakan pencadang kertas, peneliti juga mencoba menggunakan pencadang logam untuk mengetahui pencadang mana yang menghasilkan hasil yang labih baik.

Tabel 4.4 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol cacing tanah terhadap bakteri Staphylococcus aureus menggunakan pencadang logam.

Ekstrak Rata-Rata Diameter Daerah Hambat (mm)

30% 8,56 40% 10,12 50% 12,12

Menurut Ditjen POM (1995), suatu zat dikatakan memiliki daya hambat yang memuaskan dengan diameter daerah hambatan lebih kurang 14 sampai 16 mm.

4.5 Hasil Uji Mikrobiologi Salep Ekstrak Etanol Cacing Tanah Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus

Uji mikrobiologi sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah dilakukan terhadap tiga formula: F I (Formula mengandung 30% ekstrak), F II (Formula mengandung 40% ekstrak) dan F III (Formula mengandung 50% ekstrak) dengan metode difusi agar terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Hasil dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut.


(29)

Tabel 4.5 Hasil uji aktivitas antibakteri salep ekstrak etanol cacing tanah terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

Sediaan

Diameter Daerah Hambat (mm) Rata-Rata Diameter Daerah Hambat (mm) I II III

Blanko - - - -

F I 12,05 12,30 12,05 12,13

F II 13,50 14,40 14,90 14,27

F III 15,80 15,90 17,70 16,47

Keterangan :

B : Formula tanpa mengandung ekstrak etanol cacing tanah

F I : Formula mengandung 30% ekstrak etanol cacing tanah

F II : Formula mengandung 40% ekstrak etanol cacing tanah

F III : Formula mengandung 50% ekstrak etanol cacing tanah

Hasil uji aktivitas antimikroba dari salep ekstrak etanol cacing tanah memiliki sedikit perbedaan dengan hasil uji ekstrak cacing tanah. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yang mungkin terjadi seperti keaktivan bakteri, banyaknya larutan uji yang terserap ke dalam pencadang kertas atau karena perbedaan kecil dari transmitan inokulum bakteri yang mempengaruhi banyaknya bakteri di dalam media uji.

Pada uji mikrobiologi yang ketiga konsentrasi 50% terdapat hasil yang jauh menyimpang dari hasil-hasil sebelumnya yaitu mengalami peningkatan diameter hambat yang cukup besar. Hal ini disebabkan karena uji mikrobiologi dilakukan pada hari terakhir sehingga dikhawatirkan konsentrasi bakteri yang digunakan sudah semakin melemah sehingga berpengaruh pada diameter hambat bakteri selain itu dikarenakan kondisi listrik yang kurang stabil selama pengujian menyebabkan suhu inkubator terkadang tidak sesuai dengan suhu optimum


(30)

pertumbuhan bakteri. Menurut Wattimena (1981) beberapa faktor yang mempengaruhi metode difusi agar yaitu suhu inkubasi yang kebanyakan bakteri

tumbuh baik pada suhu 370C dan waktu inkubasi yang disesuaikan dengan

pertumbuhan bakteri, karena luas daerah hambat ditentukan beberapa jam pertama, setelah diinokulasikan pada media agar, maka daerah hambat dapat diamati segera setelah adanya pertumbuhan bakteri.

Menurut Ditjen POM (1995), suatu zat dikatakan memiliki daya hambat yang memenuhi persyaratan dengan diameter daerah hambatan lebih kurang 14 sampai 16 mm. Sediaan yang memenuhi persyaratan tersebut adalah sediaan F II (mengandung 40% ekstrak etanol cacing tanah) dan F III (mengandung 50% ekstrak etanol cacing tanah ).


(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Ekstrak etanol cacing tanah dapat dibuat ke dalam bentuk sediaan salep dan selama penyimpanan dua bulan memiliki kestabilan yang baik terlihat dari bentuk fisik berupa parameter warna, bentuk, dan bau sediaan yang tidak berubah, jadi salep ini dapat digunakan untuk penggunaan topikal.

Sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah dengan konsentrasi ekstrak 40% sudah efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan diameter zona hambat sebesar 14,27 mm dan untuk konsentrasi 50% memiliki zona hambat sebesar 16,47 mm. Sedangkan salep dengan konsentrasi 30% tidak memenuhi persyaratan zona hambat minimum yang baik karena hanya sebesar 12,13 mm. Sehingga hanya F II (konsentrasi ekstrak 40%) dan F III (Konsentrasi ekstrak 50%) yang memenuhi persyaratan.

Salep ekstrak etanol cacing tanah masih memiliki zona hambat yang masih memenuhi persyaratan sehingga tidak memiliki perbedaan dengan zona hambat ekstrak etanol cacing tanah.

5.2 Saran

Karena konsentrasi ekstrak yang digunakan dalam salep terlalu tinggi, maka akan kurang efektif untuk dibuat dalam sediaan salep. Untuk itu pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pengujian dengan menggunakan jenis bakteri yang lebih beragam untuk mengetahui pada bakteri apa saja sediaan salep ini akan lebih efektif.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cacing Tanah

 Disebut cacing tanah (earthworm) karena hewan ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di tanah. Cacing tanah merupakan hewan tingkat rendah yang tidak memiliki tulang belakang (avertebrata) dan bertubuh lunak. Cacing tanah digolongkan ke dalam filum Annelida karena seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang berbentuk seperti cincin (Khairuman dan Khairul, 2010). Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi, karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa pasang seta, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior, pada bagian anteriornya terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium (Arlen dan Erni, 2000).

Suin (1982), menyatakan bahwa keanekaragaman jenis cacing tanah yang terdapat di Indonesia cukup tinggi, yaitu tercatat dan telah diketahui sebanyak 55 jenis cacing tanah. Jenis cacing tanah yang telah ditemukan di Pulau Sumatera adalah Friedericia bulbosa Rosa, Pontoscolex corethrurus Fr. Mull., Pheretima darliensis Sims dan Easton, Planapheretima moultoni Michaelsen, Megascolex

sp.. Sedangkan dari hasil penelitian Arlen (1994), di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan timbunan sampah rumah tangga pada beberapa Kecamatan Kotamadya Medan-Sumatra Utara didapatkan 6 jenis cacing yaitu Megascolex


(33)

Cacing tanah telah diakui oleh ahli biologi maupun pertanian sebagai indikator tingkat kesuburan tanah. Sebagai makroorganisme, cacing tanah berperan sangat besar dalam proses pelapukan bahan organik di dalam tanah dan sangat menentukan kesuburan tanah (Ciptanto dan Ulfah, 2011).

2.1.1 Taksonomi cacing tanah

Dunia hewan berdasarkan tingkatnya terbagi dalam 15 phyla. Cacing tanah termasuk dalam Phylum Annelida yang berarti seluruh tubuhnya terdiri dari beberapa segmen atau ruas (Ciptanto dan Ulfah, 2011).

Ciri-ciri phylum Annelida adalah tubuhnya simetri bilateral, silindris, dan bersegmen-segmen. Pada permukaan tubuh terdapat sederetan dinding tipis atau sekat-sekat, bernapas dengan kulit atau insang, mempunyai peredaran darah tertutup dan darahnya mengandung hemoglobin (Ciptanto dan Ulfah, 2011 ).

Phylum Annelida terbagi dalam tiga kelas yaitu Polychaeta, Oligochaeta, dan Hirudinea. Cacing tanah memiliki banyak famili atau suku. Famili cacing tanah yang banyak dibudidayakan sebagai komoditas adalah famili

Acanthrodrilidae, Lumbricidae, Megascolicidae,dan Octochatidae (Ciptanto dan Ulfah, 2011).

2.1.2 Taksonomi cacing tanah (Peryonix sp.)

Dalam taksonomi cacing tanah Peryonix sp. memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Annelida

Kelas : Chaetopoda


(34)

Famili : Megascolecidae

Genus : Peryonix

Spesies : Peryonix sp.

2.1.3 Morfologi dan anatomi cacing tanah (Peryonix sp.)

Ciri-ciri eksternal: Panjang tubuh cacing tanah dewasa adalah 14-20 cm, ukuran tubuh lebih besar dibandingkan cacing tanah lainnya, bentuk tubuh bulat, berwarna coklat keunguan atau sedikit kelabu, jumlah segmen 75-165, klitelium terletak pada segmen 13 dan 17 (Ciptanto dan Ulfah, 2011).

Cacing tanah ini termasuk jenis cacing lokal. Cacing ini sangat aktif, jika disentuh tubuhnya akan menggeliat dan segera melarikan diri. Tubuh cacing tanah selalu ditutupi lapisan lendir yang menyebabkan tubuhnya menjadi licin. Selama hidupnya cacing tanah hidup di dalam tanah, tubuhnya selalu tertutup lapisan lendir pelindung yang agar selalu basah karena cacing tanah bernapas melalui kulit yang basah. Fungsi lendir adalah untuk membantu pernapasan, mempermudah dalam menerobos tanah dan melindungi agar zat-zat kimia penting tetap berada di dalam tubuhnya (Ciptanto dan Ulfah, 2011).

Cacing tanah mempunyai saluran pencernaan makanan yang lengkap dan sistem peredaran darah yang sudah menggunakan pembuluh-pembuluh darah dan disebut sebagai sistem peredaran darah tertutup. Darah cacing terdiri dari plasma yang berisi sel darah putih (leukosit) dan darah merah. Sistem pencernaan makanan terdiri dari mulut pada segmen pertama, pharynx, kerongkongan, crop yang merupakan pelebaran dari kerongkongan, perut otot, usus dan anus pada segmen terakhir (Ciptanto dan Ulfah, 2011).


(35)

Sistem saraf yang mengatur gerakan cacing tanah terdiri dari simpul saraf bagian depan, simpul saraf bagian perut, serta saraf-saraf serabut. Simpul saraf di bagian depan dapat disamakan dengan otak pada hewan umumnya yang diketahui. Cacing bertindak tidak normal bila ada cahaya dan tidak dapat bertahan apabila terkena cahaya ultraviolet, apabila cacing terkena cahaya ultra violet lebih dari 1 menit, cacing akan mati (Ciptanto dan Ulfah, 2011).

Pada cacing tanah yang telah dewasa memiliki klittelium yang merupakan alat untuk perkembangbiakan dalam memproduksi kokon. Cacing tanah memiliki dua kelamin dalam satu tubuh, jantan dan betina atau disebut juga hermaphrodite biparenteral. Akan tetapi tidak dapat membuahi sendiri melainkan dengan bantuan cacing lain (Ciptanto dan Ulfah, 2011).

Siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon hingga menetas menjadi cacing muda, cacing produktif dan menjadi cacing tua. Setelah kokon menetas cacing tanah muda akan hidup dan mencapai dewasa dalam waktu 2,5 - 3 bulan. Masa produktif cacing tanah akan berlangsung selama 4 - 10 bulan dan akan menurun hingga cacing mengalami kematian. Cacing yang sudah tidak produktif lagi biasanya bagian ekornya agak pipih dan warna kuning pada ekornya sudah mencapai punggung, sedangkan masa produktif warna kuning tersebut masih berada di ujung ekor. Lama siklus hidup cacing tanah tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan dan jenis cacing itu sendiri (Ciptanto dan Ulfah, 2011).


(36)

2.1.4 Habitat cacing tanah (Peryonix sp.)

Cacing tanah Peryonix sp. biasanya dapat ditemukan hidup di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan timbunan sampah, tempat yang disukai cacing tanah untuk tumbuh dan berkembang biak adalah tempat yang lembab dan tidak terkena sinar matahari langsung, umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya yang telah mati, kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran (Arlen dan Erni, 2000).

2.1.5 Kandungan kimia cacing tanah

Kandungan kimia cacing tanah dalam bentuk bahan kering untuk jenis cacing tanah Lumbricus rubellus adalah protein (58-78%), lemak (3-10%), kalsium (0,55%), fosfor (1%), serat (1,08%), dan abu (8-10%). Kandungan asam-asam amino esensial dan non esensial cacing tanah adalah arginine (4,13%), fenilalanin (2,25%), histidin (1,56%), isoleusin (2,58%), leusin (4,84%), lisin (4,33%), metionin (2,18%), treonin (2,95%), valin (3,01%), glisin (2,92%), sistin (2,29%), serin (2,88%), dan tirosin (1,36%) (Khairuman dan Khairul, 2010).

2.1.6 Manfaat cacing tanah

Pemanfaatan cacing tanah mulai dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan (Ciptanto dan Ulfah, 2011):

1. Sebagai bahan sediaan farmasi

Secara tradisional, cacing tanah sering digunakan dalam pengobatan penyakit antara lain:

a. Menurunkan demam

Berdasarkan hasil penelitian FMIPA IPB menyebutkan cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai penurun demam dan menggantikan parasetamol.


(37)

b. Menurunkan tekanan darah tinggi

Ba Hoang, seorang dokter di Vietnam, yang berpraktik pengobatan tradisional China, telah membuktikan efektivitas cacing tanah untuk mengobati pasien-pasiennya yang mengidap stroke, hipertensi, penyumbatan pembuluh darah, epilepsi, dan berbagai penyakit infeksi. Resep-resepnya telah banyak dijadikan obat paten untuk pengobatan alergi, radang usus, dan stroke. Di Jepang, seorang peneliti bernama Mihara Hisasi berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing tanah yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Karena berasal dari cacing tanah Lumbricus, maka enzim tersebut dinamakan lumbrokinase. Penelitian tersebut kemudian dikembangkan di Kanada oleh Canada RNA Biochemical dan berhasil menstandarkan enzim lumbrokinase menjadi obat stroke. Obat yang berasal dari cacing tanah ini populer dengan nama dagang “Boluoke”. Lazim diresepkan untuk mencegah dan mengobati penyumbatan pembuluh darah jantung yang beresiko mengundang penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi dan stroke. Penelitian terhadap khasiat cacing tanah sudah pernah dilakukan juga secara besar-besaran di China sejak tahun 1990, melibatkan tiga lembaga besar, yakni Xuanwu Hospital of Capital Medical College, Xiangzi Provincial People’s Hospital, dan Xiangxi Medical College. Uji coba klinis serbuk enzim cacing tanah ini dilakukan terhadap 453 pasien penderita gangguan pembuluh darah dengan 73% kesembuhan total (Ciptanto dan Ulfah, 2011).

c. Mengobati infeksi saluran pencernaan seperti tipus, disentri, diare, serta gangguan perut lainnya seperti maag.


(38)

Cacing tanah mengandung antibiotik yang mampu melumpuhkan bermacam bakteri pathogen, khususnya Escherichia coli penyebab diare. Antibiotik membunuh mikroorganisme biasanya dengan dua mekanisme:

1. Menghentikan jalur metabolik yang dapat menghasilkan nutrient yang dibutuhkan oleh mikroorganisme atau menghambat enzim spesifik yang dibutuhkan untuk membantu menyusun dinding sel bakteri.

2. Mekanisme yang dilakukan oleh protein yang dimiliki oleh cacing tanah dengan membuat pori di dinding sel bakteri. Hal ini menyebabkan sitoplasma sel bakteri menjadi terpapar dengan lingkungan luar yang dapat mengganggu aktivitas dalam sel bakteri dan menyebabkan kematian.

2. Bahan campuran kosmetik

Cacing tanah dapat menghasilkan minyak yang mengandung berbagai macam enzim dengan cara ekstraksi. Di Negara-negara maju, enzim cacing tanah digunakan sebagai bahan industri kosmetik untuk menghaluskan dan mengencangkan kulit, pelembut kulit, pelembab wajah, antiinfeksi dan bahan baku pembuatan lipstik.

Enzim yang terkandung dalam tubuh cacing tanah:

a. Enzim peroksidase katalase yang berfungsi untuk memperlambat penuaan sel.

b. Selulase lignase, berfungsi mengembalikan dan menstabilkan fungsi pencernaan.

c. Asam arakidonat, berfungsi untuk mempercepat pembentukan sel-sel baru.


(39)

d. Alfa-tokoferol, berfungsi mempertahankan elastisitas dan peremajaan kulit.

e. Taurin, berfungsi mempercepat metabolisme lemak untuk menambah energi.

3. Sebagai agen penyubur lahan pertanian

4. Sebagai pengolah sampah dan penghasil pupuk kascing 5. Sebagai bahan pakan ternak.

2.2Ekstraksi

2.2.1 Pengertian ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses untuk memperoleh sediaan pekat dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).

2.2.2 Tujuan ekstraksi

Tujuan ekstraksi dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat dalam simplisia masih berada dalam kadar yang tinggi sehingga memudahkan untuk mengatur dosis zat berkhasiat karena dalam sediaan ekstrak dapat distandardisasikan kadar zat berkhasiat sedangkan kadar zat berkhasiat dalam simplisa sukar diperoleh kadar yang sama (Anief, 1999).


(40)

2.2.3 Jenis ekstraksi

Menurut Ditjen POM (2000) jenis-jenis ekstraksi terdiri dari: 1. Ekstraksi secara dingin

A. Metode maserasi

Maserasi meupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks, dan lilin. Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana. Sedang kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras.

B. Metode perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Keuntungan metode ini adalah tidak memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat telah terpisah dari ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas dibandingkan dengan metode refluks dan pelarut menjadi dingin selama proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien.

2. Ekstraksi secara panas A. Metode refluks

Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung.


(41)

Kerugiannya adalah membutuhkan volume pelarut yang besar dan sejumlah manipulasi dari operator.

B. Metode destilasi uap

Destilasi uap adalah metode yang popular untuk ekstraksi minyak-minyak menguap (esensial) dari sampel tanaman. Metode destilasi uap air diperuntukkan menyari simplisia yang mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal.

C. Metode soxhletasi

Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon

2.3 Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (Ditjen POM, 1979).

Fungsi salep adalah:

a. Pembawa (vehicle) substansi obat untuk pengobatan kulit. b. Pelumas (emollient) pada kulit dan

c. Pelindung (protective) untuk mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan rangsang terhadap kulit (Anief, 1986).


(42)

Salep dapat mengandung obat atau tidak mengandung obat, yang disebutkan terakhir biasanya dikatakan sebagai “dasar salep” dan digunakan sebagai pembawa dalam penyiapan salep yang mengandung obat (Ansel, 1989).

Dasar salep digolongkan ke dalam 4 kelompok besar: dasar salep hidrokarbon, dasar salep absorpsi, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dan dasar salep yang larut dalam air (Ansel, 1989).

1. Dasar salep hidrokarbon: bersifat lemak dan sukar dicuci dengan air. Misalnya adalah parafin, vaselin, minyak nabati.

2. Dasar salep serap (absorpsi)

Dasar salep dapat menyerap air dalam jumlah terbatas. Misalnya adalah: Adeps lanae, lanolin, lilin (cera). 3. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air

Dasar salep yang merupakan emulsi minyak dalam air, misalnya salep hidrofilik, vanishing cream.

4. Dasar salep yang dapat larut dalam air, yaitu dasar salep yang mengandung komponen larut dalam air. Misalnya adalah: polietilenglikol (Ditjen POM, 1979).

Kualitas dasar salep adalah:

a. stabil, selama dalam proses pengobatan. Maka salep harus bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu dan kelembaban pada suhu kamar.

b. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi dan inflamasi. c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit.


(43)

d. Dasar salep yang cocok, yaitu dasar salep yang kompatibel secara fisika dan kimia dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak atau menghambat aksi terapi dari obat yang mampu melepas obatnya pada daerah yang diobati.

e. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar salep padat atau cair pada pengobatan (Anief, 2007).

Menurut Anief (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi efek absorpsi obat dalam salep oleh kulit adalah:

1. Segi fisiologi: keadaan kulit, luas daerah pemakaian, banyaknya pemakaian, letak pemakaian dan lama pemakaian.

2. Keadaan hidrasi pada stratum corneum. 3. Temperatur kulit.

4. Adanya pelarut yang dapat campur atau melarut dalam stratum corneum. 5. Konsentrasi obat.

2.4 Sterilisasi

Sterilisasi dalam mikrobiologi merupakan proses penghilangan semua jenis organisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat pada suatu benda atau bahan (Pratiwi, 2008).

2.4.1 Sterilisasi uap

Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh di bawah tekanan berlangsung di suatu bejana yang disebut autoklaf, dan mungkin merupakan proses sterilisasi yang paling banyak digunakan (suatu siklus autoklaf yang ditetapkan dalam farmakope untuk media atau pereaksi adalah selama 15 menit


(44)

pada suhu 121ºC kecuali dinyatakan lain). Prinsip dasar kerja alat adalah udara di dalam bejana sterilisasi diganti dengan uap jenuh, dan hal ini dicapai dengan menggunakan alat pembuka atau penutup khusus (Ditjen POM, 1995).

2.4.2 Sterilisasi panas kering

Proses sterilisasi termal untuk bahan yang tertera di Farmakope dengan menggunakan panas kering biasanya dilakukan dengan suatu proses bets di dalam suatu oven yang didesain khusus untuk tujuan itu. Oven modern dilengkapi dengan udara yang dipanaskan dan disaring, didistribusikan secara merata ke seluruh bejana dengan cara sirkulasi atau radiasi menggunakan sistem semprotan dengan peralatan sensor, pemantau, dan pengendali parameter kritis. Validasi fasilitas sterilisasi panas kering dilakukan dengan cara yang sama seperti pada sterilisasi panas uap. Unit yang digunakan untuk sterilisasi komponen seperti wadah untuk larutan intravena, harus dijaga agar dapat dihindari akumulasi partikel di dalam bejana sterilisasi. Rentang suhu khas yang dapat diterima di dalam bejana sterilisasi kosong adalah lebih kurang 15 menit, jika alat sterilisasi beroperasi pada suhu tidak kurang dari 250ºC (Ditjen POM, 1995).

Sebagai penambahan pada proses bets tersebut di atas, suatu proses berkesinambungan digunakan untuk sterilisasi dan depirogenisasi alat kaca sebagai suatu bagian sistem pengisian dan penutupan kedap secara aseptik yang berkesinambungan terpadu (Ditjen POM, 1995).

2.4.3 Sterilisasi gas

Pilihan untuk menggunakan sterilisasi gas sebagai alternatif dari sterilisasi termal sering dilakukan jika bahan yang akan disterilkan tidak tahan terhadap suhu tinggi pada proses sterilisasi uap atau panas kering. Bahan aktif yang


(45)

umumnya digunakan pada sterilisasi gas adalah etilen oksida dengan kualitas mensterilkan yang dapat diterima. Keburukan dari bahan aktif ini antara lain sifatnya yang sangat mudah terbakar, walaupun sudah dicampur dengan gas inert yang sesuai, bersifat mutagenik, dan kemungkinan adanya residu toksik di dalam bahan yang disterilkan, terutama yang mengandung ion klorida. Proses sterilisasi pada umunya berlangsung di dalam bejana bertekanan yang didesain sama seperti pada autoklaf, tetapi dengan tambahan bagian khusus yang hanya terdapat pada alat sterilisasi yang menggunakan gas. Fasilitas yang menggunakan bahan sterilisasi seperti ini harus didesain sedemikian rupa hingga mampu mengeluarkan gas sesudah proses sterilisasi, mampu untuk memantau mikroba yang masih hidup, dan mengurangi paparan gas yang sangat berbahaya terhadap petugas yang menangani alat tersebut (Ditjen POM, 1995).

2.4.4 Sterilisasi dengan radiasi ion

Perkembangan yang cepat alat kesehatan yang tidak tahan terhadap sterilisasi panas dan kekhawatiran tentang keamanan etilen oksida mengakibatkan peningkatan penggunaan sterilisasi radiasi. Tetapi cara ini juga dapat digunakan pada bahan obat dan bentuk sediaan akhir. Keunggulan sterilisasi iradiasi meliputi reaktivitas kimia rendah, residu rendah yang dapat diukur, dan kenyataan yang membuktikan bahwa variabel yang dikendalikan lebih sedikit. Kenyataannya sterilisasi radiasi adalah sesuatu kekhususan dalam dasar pengendalian yang penting adalah dosis radiasi yang diserap, dan dapat diukur secara tepat. Oleh karena sifat khas tersebut, banyak prosedur baru yang telah dikembangkan untuk menetapkan dosis sterilisasi. Walaupun begitu, hal ini masih dalam peninjauan dan pertimbangan, terutama mengenai kegunaannya, paling tidak, untuk


(46)

pengendalian tambahan dan tindakan keamanan. Iradiasi hanya menimbulkan sedikit kenaikan suhu, tetapi dapat mempengaruhi kualitas dan jenis plastik atau kaca tertentu (Ditjen POM, 1995).

Ada dua jenis radiasi ion yang digunakan, yaitu disintegrasi radioaktif dari radioisotop (radiasi gamma) dan radiasi berkas elektron. Pada kedua jenis tersebut, dosis radiasi yang dapat menghasilkan derajat jaminan sterilitas yang diperlukan harus ditetapkan sedemikian rupa hingga dalam rentang satuan dosis minimum dan maksimum, sifat bahan yang disterilkan dpat diterima (Ditjen POM, 1995).

2.4.5 Sterilisasi dengan penyaringan

Sterilisasi larutan yang labil terhadap panas sering dilakukan dengan penyaringan menggunakan bahan yang dapat menahan mikroba, hingga mikroba yang dikandung dapat dipisahkan secara fisika. Perangkat penyaring umumnya terdiri dari suatu matriks berpori bertutup kedap atau dirangkaikan pada wadah yang tidak permeabel. Efektivitas suatu penyaring media atau penyaring substrat tergantung pada ukuran pori bahan dan dapat tergantung pada daya adsorpsi bakteri pada atau di dalam matriks penyaring atau tergantung pada mekanisme pengayakan. Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa pengayakan merupakan komponen yang lebih penting dari mekanisme. Penyaring yang melepas serat, terutama yang mengandung asbes, harus dihindarkan penggunaanya kecuali tidak ada cara penyaringan alternatif lain yang mungkin digunakan. Jika penyaring yang melepas serat memang diperlukan, merupakan keharusan, bahwa proses penyaringan meliputi adanya penyaring yang tidak melepas serat diletakkan pada arah hilir atau sesudah langkah penyaringan awal (Ditjen POM, 1995).


(47)

2.5 Uraian Bakteri

Nama bakteri berasal dari kata “bacterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1994).

Berdasarkan proses pewarnaan gram, bakteri dibagi menjadi dua golongan yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif menyerap zat warna pertama yaitu kristal violet yang menyebabkan warna ungu, sedangkan bakteri gram negatif menyerap zat warna kedua yaitu safranin dan menyebabkannya berwarna merah. Perbedaan hasil dalam pewarnaan gram disebabkan perbedaan struktur, terutama dinding sel kedua bakteri tersebut (Waluyo, 2010).

2.5.1 Morfologi sel bakteri

Ada beberapa bentuk dasar sel bakteri menurut Fardiaz (1992), yaitu bulat (tunggal: coccus, jamak: cocci), batang atau silinder (tunggal: bacillus, jamak: bacilli), dan bentuk spiral.

a. Bentuk bulat (cocci)

Berdasarkan pengelompokkan selnya, bakteri berbentuk bulat dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain diplococci (sel yang berpasangan atau dua sel), streptococci (rangkaian sel yang membentuk rantai panjang atau pendek), tetrad (empat sel bulat yang membentuk persegi empat), staphylococci (kumpulan sel yang tidak beraturan seperti buah anggur), dan sarcina (kumpulan sel berbentuk kubus yang terdiri dari 8 sel atau lebih).


(48)

b. Bentuk bacilli

Sebagian besar bacilli tampak sebagai batang tunggal. Terbagi dalam dua bentuk yaitu diplobacilli (bentuk berpasangan) dan streptobacilli (membentuk rantai).

c. Bentuk spiral

Bakteri berbentuk spiral (tunggal, spirilium; jamak, spirila) terdapat secara terpisah-pisah (tunggal), tetapi masing-masing spesies berbeda dalam panjang, jumlah, dan lekukan spiralnya. Bakteri yang ukurannya pendek dengan spiral yang tidak lengkap disebut bakteri koma atau vibrio.

2.5.2 Pengaruh faktor lingkungan pada pertumbuhan

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dapat dibedakan menjadi faktor fisik dan faktor kimia. Faktor fisik meliputi temperatur, pH, dan tekanan osmosis. Faktor kimia meliputi karbon, oksigen, trace element

dan faktor-faktor pertumbuhan organik termasuk nutrisi yang terdapat dalam media pertumbuhan (Pratiwi, 2008).

A. Pengaruh faktor fisik pada pertumbuhan I. Temperatur

Temperatur menentukan aktivitas enzim yang terlibat dalam aktivitas kimia. Peningkatan temperatur sebesar 10ºC dapat meningkatkan aktivitas enzim sebesar dua kali lipat. Pada temperatur yang sangat tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein yang tidak dapat balik (irreversible) sedangkan pada temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan berhenti. Pada temperatur pertumbuhan optimal akan terjadi kecepatan pertumbuhan optimal dan dihasilkan


(49)

jumlah sel yang maksimal. Berdasarkan kisaran temperatur tumbuh, mikroorganisme dibagi atas empat golongan:

a. Psikrofil, tumbuh pada temperatur maksimal 20oC dengan suhu optimal 0

sampai 15oC.

b. Psikrofil fakultatif/psikotrof, tumbuh pada temperatur maksimal 30ºC dengan suhu optimal 20 sampai 30ºC, dapat tumbuh pada 0ºC.

c. Mesofil, tumbuh pada temperatur 15 sampai 45oC dengan suhu optimal 20

sampai 40oC.

d. Termofil, tumbuh pada temperatur 45 sampai 100oC dengan suhu optimal 55 sampai 65oC.

II. pH

pH merupakan indikasi konsentrasi ion hidrogen. Peningkatan dan penurunan konsentrasi ion hidrogen dapat menyebabkan ionisasi gugus-gugus dalam protein, amino dan karboksilat. Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein yang mengganggu pertumbuhan sel. Kebanyakan bakteri memiliki pH optimum terletak antara 6,5 dan 7,5.

III. Tekanan osmosis

Tekanan osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan akibat adanya proses osmosis. Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media. Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel mikroorganisme, sedangkan dalam larutan hipertonik air akan ke luar dari dalam sel mikroorganisme sehingga membran plasma mengerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis), serta menyebabkan sel secara metabolik tidak aktif (Pratiwi, 2008).


(50)

B. Pengaruh faktor kimia pada pertumbuhan I. Nutrisi

Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yaitu makroelemen, yaitu elemen yang diperlukan dalam jumlah banyak dan mikroelemen yaitu elemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah sedikit (Pratiwi, 2008).

II. Media kultur

Bahan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme di laboratorium disebut media kultur.

III. Oksigen

Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan kebutuhan oksigen dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:

a. Aerob mutlak, oksigen sebagai syarat utama metabolisme.

b. Anaerob mutlak, tidak mentoleransi adanya oksigen atau akan mati bila ada oksigen.

c. Anaerob fakultatif, mampu tumbuh baik dalam suasana dengan atau tanpa oksigen.

d. Mikroaerofilik, hanya tumbuh baik pada konsentrasi oksigen yang rendah yaitu kurang dari 20%, pada konsentrasi oksigen yang tinggi menyebabkan toksik (Pratiwi, 2008).

2.5.3 Staphylococcus aureus


(51)

Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Micrococaceae Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk bulat (kokus) dengan diameter 0,7-0,9 μm yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetrad, atau berkelompok seperti buah anggur. Nama bakteri ini berasal dari bahasa latin “staphele” yang berarti anggur. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, tumbuh secara anaerobik fakultatif, tumbuh dengan cepat pada temperatur 37ºC namun pembentukan pigmen yang terbaik yaitu pada temperatur kamar (25-30ºC), patogen utama pada manusia, biasanya membentuk koloni abu-abu hingga kuning emas (Fardiaz, 1992; Jawetz, et al., 2001).

2.5.4 Media pertumbuhan bakteri

Pembiakan bakteri di laboratorium memerlukan media yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi bakteri. Zat hara diperlukan untuk pertumbuhan, sintesis sel, keperluan energi dalam metabolisme dan pergerakan. Lazimnya, media biakan mengandung air, sumber energi, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen dan hidrogen, ke dalam bahan dasar media dapat pula ditambahkan faktor pertumbuhan berupa asam amino dan vitamin. Media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu:


(52)

I. Berdasarkan asalnya, media dibagi atas:

a. Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat. b. Media non-sintetik yaitu media yang kandungan dan isinya tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan bahan yang terdapat di alam. Contohnya: ekstrak daging, pepton (Lay, 1996).

II. Berdasarkan kegunaannya, dapat dibedakan menjadi: a. Media umum

Media yang paling sering digunakan dalam penelitian mikrobiologi, contohnya : Nutrient Agar merupakan media yang kaya dan subur.

b. Media selektif

Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembang biakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi, contohnya: MCA, PDA, Saboaraut Agar (SA).

c. Media diferensial

Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar, contohnya: EMB, SSA.

d. Media diperkaya

Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit, beberapa zat organik yang mengandung zat karbon dan nitrogen (Irianto, 2006).


(53)

III. Berdasarkan konsistensinya, dibagi atas (Irianto, 2006): a. Media padat/ solid

b. Media semi solid c. Media cair

2.5.5 Metode isolasi biakan bakteri

a) Cara gores

Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang diencerkan, lalu dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling menutupi di atas permukaan agar yang telah padat.

b) Cara sebar

Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat.

c) Cara tuang

Pengenceran inokulum yang berturut-turut diletakkan pada cawan petri steril dan dicampurkan dengan medium agar cair, lalu dibiarkan memadat. Koloni yang berkembang akan tertanam di dalam media tersebut (Stanier, et al., 1982).

2.5.6 Pengukuran aktivitas antibakteri

Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antibakteri tertentu dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok yaitu dilusi atau difusi. Penting sekali menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba.

a. Metode dilusi

Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri


(54)

uji dan dieramkan. Tahap akhir dimasukkan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja (Jawetz, et al., 2001).

b. Metode difusi

Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan baik (Jawetz, et al., 2001).

c. Metode turbidimetri

Bakteri yang bertambah banyak pada media cair akan menyebabkan media menjadi keruh. Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah spektrofotometer dengan cara membandingkan densitas optik antara media tanpa pertumbuhan bakteri dan media pertumbuhan bakteri (Pratiwi, 2008).


(55)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat alami yang digunakan oleh masyarakat semuanya bersumber dari alam. Bahan-bahan dari alam tersebut dapat berupa komponen-komponen biotik seperti tumbuhan maupun hewan serta komponen abiotik lainnya. Pengetahuan pemanfaatan obat alami, terutama yang bersumber dari hewan merupakan kekayaan bangsa yang telah diwariskan secara turun temurun (Sumardi, 1998). Hewan-hewan yang telah dijadikan sebagai obat antara lain seperti cacing tanah, lintah, teripang, kelelawar, undur-undur, tokek dan bekicot (Huteri, 2010).

Cacing tanah merupakan hewan penghuni tanah yang kelihatan lemah dan menjijikkan seolah-olah tidak ada manfaatnya. Tetapi bila diperhatikan dan diteliti ternyata hewan tingkat rendah ini adalah salah satu sumber daya alam yang mempunyai potensi yang menakjubkan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia (Arlen, 1997).

Dunia pengobatan tradisional Tiongkok telah menggunakan cacing tanah dalam ramuan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti untuk menyembuhkan mata bengkak merah, sakit gigi, gusi berdarah, lidah membengkak, kerongkongan bengkak, telinga bernanah dan bisul. Kemudian di Bogor dan Sukabumi banyak warga setempat yang telah menggunakan cacing tanah sebagai ramuan yang sangat mujarab dalam menyembuhkan tifus kronis (Arlen, 1997).


(56)

Aktivitas antibakteri dari cacing tanah telah banyak diteliti dan dievaluasi oleh sejumlah peneliti (Sumardi, 1998). Menurut Sumardi (1998) senyawa antibakteri yang terdapat pada cacing tanah memiliki mekanisme kerja dengan cara menghambat sintesis peptidoglikan dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Bakteri yang memiliki kandungan peptidoglikan pada dinding selnya relatif besar akan mudah rusak apabila biosintesis peptidoglikannya dihambat sehingga bakteri akan mati.

Penyakit infeksi masih merupakan jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab penyakit infeksi adalah bakteri. Bakteri merupakan mikroorganisme yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi hanya dapat dilihat dengan bantuan

mikroskop (Radji, 2011). Bakteri patogen lebih berbahaya dan menyebabkan

infeksi baik secara sporadik maupun endemik, antara lain Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa (Djide dan Sartini, 2008).

Antibakteri adalah senyawa yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme bakteri, sehingga senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan

membunuh bakteri (Pelczar dan Chan, 1988). Staphylococcus aureus merupakan

bakteri gram positif yang berbentuk bulat dan merupakan patogen utama pada

manusia (Jawetz, et al., 2001). Kulit dan membran mukosa merupakan barrier

yang sangat baik terhadap invasi lokal Staphylococcus aureus. Dapat

menyebabkan infeksi lokal pada kulit, hidung, uretra, saluran pernafasan dan saluran pencernaan (Harris, et al., 2002).

Pada penelitian sebelumnya sudah diuji bahwa ekstrak etanol cacing tanah


(57)

yang pada konsentrasi 500 mg/ml memiliki daya hambat 13,87 mm (Siregar, 2012). Ini membuktikan bahwa benar cacing tanah memiliki daya hambat terhadap bakteri.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Sajuthi (2003), menemukan bahwa dalam ekstrak cacing tanah terdapat sejumlah enzim seperti lumbrokinase, peroksidase, katalase, dan selulase. Komponen lain adalah zat antipiretik (penurun panas) yaitu asam arakhidonat, antipurin, antiracun, dan vitamin. Ekstrak cacing tanah juga mengandung enzim lisosim yang mempunyai kemampuan sebagai antimikroba yang sangat efektif untuk merusak dinding sel bakteri gram positif.

Salep merupakan sediaan farmasi berbentuk setengah padat atau semi solid dan digunakan pada permukaan tubuh atau kulit (Ditjen POM, 1995). Komposisi salep terdiri dari bahan obat atau zat aktif dan basis salep atau biasa dikenal dengan sebutan zat pembawa bahan aktif (Ansel, 1989). Salep memiliki fungsi sebagai bahan pembawa zat aktif untuk mengobati penyakit pada kulit, sebagai pelumas pada kulit dan berfungsi sebagai pelindung kulit (Anief, 2007). Karena ekstrak etanol cacing tanah pada penelitian ini ditujukan untuk pengobatan secara topikal maka bahan dasar salep yang digunakan yaitu dasar salep yang sukar tercuci dengan air dimana hanya sejumlah komponen air atau senyawa polar yang dapat dicampur kedalamnya sehingga memungkinkan untuk memperpanjang kontak antara ekstrak dengan kulit, sukar tercuci dan tidak mengering. Digunakan pelarut etanol dalam proses ekstraksi ini juga berguna untuk mempermudah pengujian antibakteri karena ekstrak yang dihasilkan nantinya dapat mempermudah ekstrak untuk berdifusi dalam media agar yang bersifat polar. Karena jika penelitian ini berhasil maka akan dapat lebih memanfaatkan


(58)

kandungan zat aktif yang terkandung dalam cacing tanah untuk digunakan dalam sediaan topikal terutama untuk mencegah terjadinya infeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian untuk melihat bagaimana aktivitas antibakteri ekstrak cacing tanah yang telah diformulasi dalam sediaan salep.

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etanol cacing tanah Peryonix sp. dapat diformulasi dalam sediaan salep?

2. Apakah sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah masih memiliki

aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus? 1.3 Hipotesis

1. Ekstrak etanol cacing tanah dapat diformulasi dalam sediaan salep

2. Sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah masih memiliki aktivitas

antibakteri sebagai antibakteri. 1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk membuat formulasi sediaan salep topikal yang mengandung

ekstrak etanol cacing tanah.

2. Untuk melihat apakah sediaan salep ekstrak etanol masih memiliki


(59)

1.5 Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan akan memberikan pandangan atau gambaran untuk nantinya dapat dilakukan pengembangan potensi aktivitas yang ada dalam cacing tanah untuk kepentingan masyarakat.


(60)

FORMULASI SALEP EKSTRAK ETANOL CACING TANAH

(Peryonix sp.) dan UJI AKTIVITASNYA TERHADAP BAKTERI

Staphylococcus aureus

ABSTRAK

Penyakit infeksi pada kulit masih merupakan salah satu jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang. Salah satu penyebab penyakit infeksi kulit adalah bakteri seperti Staphylococcus aureus.

Cacing tanah secara tradisional telah banyak digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Cacing tanah jenis Peryonix sp. telah diteliti memiliki aktivitas antiinfeksi terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang umumnya terdapat pada permukaan kulit. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membuat formulasi sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah yang sesuai dan untuk melihat apakah salep masih memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri

Staphylococcus aureus.

Metode penelitian yang dilakukan antara lain: pembuatan ekstrak cacing tanah Peryonix sp. dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%, formula dibuat dengan basis salep vaselin, adeps lanae, dan propilen glikol. Dibuat dalam tiga konsentrasi ekstrak. F I, F II, F III masing-masing 30%, 40%, 50%. Selanjutnya dilakukan evaluasi sediaan berupa evaluasi stabilitas fisik salep dan homogenitas, dan uji aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas.

Hasil menunjukkan bahwa salep memiliki kestabilan fisik dan homogenitas yang baik selama 60 hari penyimpanan dalam temperatur kamar. Uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa diameter hambat F I, F II, F III masing-masing 12,13 mm, 14,27 mm, 16,47 mm. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa salep ekstrak etanol cacing tanah dapat dibuat menjadi salep dan masih memiliki daya hambat yang memadai terhadap bakteri

Staphylococcus aureus.

Kata kunci: Salep, Ekstrak Etanol Cacing tanah (Peryonix sp.), Uji Aktivitas, Staphylococcus aureus.  

                     


(61)

OINTMENT FORMULATION OF EARTHWORM (Peryonix sp)

ETHANOL EXTRACT AND ACTIVITY TEST AGAINST

Staphylococcus aureus BACTERIA

ABSTRACT

Infectious diseases of the skin still is one of the most disease suffered by people in developing countries. One cause of the skin infection disease is a bacterial such as Staphylococcus aureus. Earthworms have traditionally been widely used to treat diseases caused by bacteria. Earthworms Peryonix sp have been studied have anti-infection activity against Staphylococcus aureus that commonly found on the skin surface. The purpose of this research was to create a suitable ointment formulations and to see if the ointment still have antibacterial activity against Syaphylococcus aureus.

Research methods included: preparation of earthworm ethanol extract by maceration using ethanol solvent, ointment formulation using ointment base vaseline, adeps lanae, and propylene glycol. This ointment formulation created in three concentrations of the extract. F I, F II, F III were 30%, 40% 50%, respectively. Further evaluation preparations such as ointments evaluation of physical stability and homogeneity, and test activity against Staphylococcus aureus by agar diffusion method using disc paper.

The results showed that the ointment had good physical stability and homogeneity for 60 days of storage at room temperature. The activity test showed that the diameter of inhibition zone for F I, F II, F III were 12.13 mm, 14.27 mm, 16.47 mm, respectively. Based on the result it can be concluded that the ethanol extract of earthworm ointment can be made into an ointment dosage and still have sufficient inhibition against Staphylococcus aureus.

Keywords: Ointment, Earthworm (Peryonix sp.) ethanol extract, Activity test, Staphylococcus aureus.


(62)

FORMULASI SALEP EKSTRAK ETANOL CACING

TANAH (Peryonix sp.) dan UJI AKTIVITASNYA

TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus

SKRIPSI

OLEH:

AJI MUHIDDIN LUBIS NIM 101501071

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(63)

FORMULASI SALEP EKSTRAK ETANOL CACING

TANAH (Peryonix sp.) dan UJI AKTIVITASNYA

TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara OLEH:

AJI MUHIDDIN LUBIS NIM 101501071

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(64)

PENGESAHAN SKRIPSI

FORMULASI SALEP EKSTRAK ETANOL CACING TANAH

(Peryonix sp.) dan UJI AKTIVITASNYA TERHADAP BAKTERI

Staphylococcus aureus

OLEH:

AJI MUHIDDIN LUBIS NIM 101501071

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: 27 Agustus 2014

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Sudarmi, M.Si., Apt. Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt.

NIP 195409101983032001 NIP 195504241983031003

Pembimbing II, Dra. Sudarmi, M.Si., Apt.

NIP 195409101983032001

Drs. Suryanto, M.Si., Apt. Dr. Masfria, M.S., Apt.

NIP 196106191991031001 NIP 195707231986012001

Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt.

NIP 195306251986012001

Medan, Oktober 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(65)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirrohiim,

Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Formulasi Salep Ekstrak

Etanol Cacing Tanah (Peryonix sp.) dan Uji Aktivitasnya Terhadap Bakteri

Staphylococcus aureus” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama pendidikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dra. Sudarmi, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Suryanto, M.Si., Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan dan nasihat selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., dan Ibu Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran, arahan, kritik dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, S.U., Apt., selaku penasehat akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama ini serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan.


(66)

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Ayahandaku H. Hamdani Lubis dan Ibundaku Hj. Siti Hawa Nasution, Abangnda Isnan Hudaya Lubis, S.T., dan Hotma Suryansyah Lubis, S. Kom., Kakak-kakak, Abang-abang senior dan adik-adik junior, serta teman-teman tersayang yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu memberikan doa, dorongan dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun pada skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2014 Penulis,

Aji Muhiddin Lubis NIM 101501071


(67)

FORMULASI SALEP EKSTRAK ETANOL CACING TANAH

(Peryonix sp.) dan UJI AKTIVITASNYA TERHADAP BAKTERI

Staphylococcus aureus

ABSTRAK

Penyakit infeksi pada kulit masih merupakan salah satu jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang. Salah satu penyebab penyakit infeksi kulit adalah bakteri seperti Staphylococcus aureus. Cacing tanah secara tradisional telah banyak digunakan untuk mengobati penyakit

yang disebabkan oleh bakteri. Cacing tanah jenis Peryonix sp. telah diteliti

memiliki aktivitas antiinfeksi terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang umumnya terdapat pada permukaan kulit. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membuat formulasi sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah yang sesuai dan untuk melihat apakah salep masih memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

Metode penelitian yang dilakukan antara lain: pembuatan ekstrak cacing

tanah Peryonix sp. dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%,

formula dibuat dengan basis salep vaselin, adeps lanae, dan propilen glikol. Dibuat dalam tiga konsentrasi ekstrak. F I, F II, F III masing-masing 30%, 40%, 50%. Selanjutnya dilakukan evaluasi sediaan berupa evaluasi stabilitas fisik salep dan homogenitas, dan uji aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas.

Hasil menunjukkan bahwa salep memiliki kestabilan fisik dan homogenitas yang baik selama 60 hari penyimpanan dalam temperatur kamar. Uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa diameter hambat F I, F II, F III masing-masing 12,13 mm, 14,27 mm, 16,47 mm. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa salep ekstrak etanol cacing tanah dapat dibuat menjadi salep dan masih memiliki daya hambat yang memadai terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

Kata kunci: Salep, Ekstrak Etanol Cacing tanah (Peryonix sp.), Uji Aktivitas, Staphylococcus aureus.  

                     


(68)

OINTMENT FORMULATION OF EARTHWORM (Peryonix sp)

ETHANOL EXTRACT AND ACTIVITY TEST AGAINST

Staphylococcus aureus BACTERIA

ABSTRACT

Infectious diseases of the skin still is one of the most disease suffered by people in developing countries. One cause of the skin infection disease is a bacterial such as Staphylococcus aureus. Earthworms have traditionally been widely used to treat diseases caused by bacteria. Earthworms Peryonix sp have been studied have anti-infection activity against Staphylococcus aureus that commonly found on the skin surface. The purpose of this research was to create a suitable ointment formulations and to see if the ointment still have antibacterial activity against Syaphylococcus aureus.

Research methods included: preparation of earthworm ethanol extract by maceration using ethanol solvent, ointment formulation using ointment base vaseline, adeps lanae, and propylene glycol. This ointment formulation created in three concentrations of the extract. F I, F II, F III were 30%, 40% 50%, respectively. Further evaluation preparations such as ointments evaluation of physical stability and homogeneity, and test activity against Staphylococcus aureus by agar diffusion method using disc paper.

The results showed that the ointment had good physical stability and homogeneity for 60 days of storage at room temperature. The activity test showed that the diameter of inhibition zone for F I, F II, F III were 12.13 mm, 14.27 mm, 16.47 mm, respectively. Based on the result it can be concluded that the ethanol extract of earthworm ointment can be made into an ointment dosage and still have sufficient inhibition against Staphylococcus aureus.

Keywords: Ointment, Earthworm (Peryonix sp.) ethanol extract, Activity test, Staphylococcus aureus.


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Cacing Tanah ... 6

2.1.1 Taksonomi cacing tanah ... 7

2.1.2 Taksonomi cacing tanah (Peryonix sp.) ... 7

2.1.3 Morfologi dan anatomi cacing tanah (Peryonix sp.) 8 2.1.4 Habitat cacing tanah (Peryonix sp.) ... 10

2.1.5 Kandungan kimia cacing tanah ... 10

2.1.6 Manfaat cacing tanah ... 10


(2)

2.2.1 Pengertian ekstraksi ... 13

2.2.2 Tujuan ekstraksi ... 13

2.2.3 Jenis ekstraksi ... 14

2.3 Salep ... 15

2.4 Sterilisasi ... 17

2.4.1 Sterilisasi uap ... 18

2.4.2 Sterilisasi panas kering ... 18

2.4.3 Sterilisasi gas ... 19

2.4.4 Sterilisasi dengan radiasi ion ... 19

2.4.5 Sterilisasi dengan penyaringan ... 20

2.5 Uraian Bakteri ... 21

2.5.1 Morfologi sel bakteri ... 21

2.5.2 Pengaruh faktor lingkungan pada pertumbuhan ... 22

2.5.3 Staphylococcus aureus ... 25

2.5.4 Media pertumbuhan bakteri ... 25

2.5.5 Metode isolasi biakan bakteri ... 27

2.5.6 Pengukuran aktivitas antibakteri ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Metode Penelitian ... 29

3.2 Tempat dan Waktu ... 29

3.3 Alat dan Bahan ... 29

3.3.1 Alat ... 29

3.3.2 Bahan ... 30


(3)

3.4.1 Pengumpulan sampel ... 30

3.4.2 Identifikasi sampel ... 30

3.4.3 Pengolahan sampel ... 30

3.4.4 Pembuatan ekstrak cacing tanah (Peryonix sp.) ... 31

3.5 Pembuatan Formula Sediaan ... 31

3.5.1 Pembuatan salep ... 31

3.5.2 Komposisi sediaan ... 32

3.5.3 Cara pembuatan sediaan ... 32

3.6 Evaluasi ... 33

3.6.1 Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan ... 33

3.6.2 Pemeriksaan homogenitas sediaan ... 33

3.7 Sterilisasi Alat ... 33

3.8 Pembuatan Media ... 34

3.8.1 Nutrient agar (NA) ... 34

3.8.2 Nutrient broth (NB) ... 34

3.9 Pembuatan Agar Miring ... 34

3.10 Pembuatan Stok Kultur Bakteri ... 35

3.11 Pembuatan Inokulum Bakteri ... 35

3.12 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Etanol Cacing Tanah Dengan Berbagai Konsentrasi ... 35

3.13 Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Cacing Tanah Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ... 36

3.14 Pembuatan Larutan Uji Sediaan ... 36

3.15 Uji Aktivitas Antibakteri Salep Ekstrak Etanol Cacing Tanah (Peryonix sp.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ... 37


(4)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1 Hasil Identifikasi Sampel ... 38

4.2 Hasil Ekstrak Cacing Tanah (Peryonix sp.) ... 38

4.3 Hasil Evaluasi salep ... 38

4.3.1 Hasil uji homogenitas ... 38

4.3.2 Hasil pemeriksaan stabilitas fisik sediaan ... 39

4.4 Hasil Uji Mikrobiologi Ekstrak Etanol Cacing Tanah Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ... 41

4.5 Hasil Uji Mikrobiologi Salep Ekstrak Etanol Cacing Tanah Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ... 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(5)

DAFTAR TABEL Halaman

Tabel 3.1 Komposisi sediaan masing-masing formula ... 32 Tabel 4.1 Data pengamatan homogenitas sediaan ... 39 Tabel 4.2 Data pemeriksaan uji stabilitas fisik sediaan ... 40 Tabel 4.3 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol cacing tanah

menggunakan pencadang kertas ... 41 Tabel 4.4 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol cacing

tanah terhadap bakteri Staphylococcus aureus menggunakan

pencadang logam . ... 42 Tabel 4.5 Hasil uji aktivitas antibakteri salep ekstrak etanol cacing


(6)

DAFTAR LAMPIRAN Halaman

Lampiran1 Bagan alir pembuatan ekstrak etanol cacing tanah

(Peryonix sp.) ... 49 Lampiran2 Bagan alir pembuatan salep ekstrak etanol cacing tanah

(Peryonix sp.) ... 50 Lampiran3 Bagan uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol cacing

tanah (Peryonix sp.) ... 51 Lampiran 4 Hasil identifikasi sampel ... 52 Lampiran 5 Gambar cacing tanah (Peryonix sp.) dan simplisia cacing

tanah (Peryonix sp.) ... 53 Lampiran 6 Gambar alat rotary evaporator ... 54 Lampiran 7 Gambar hasil uji homogenitas ... 55 Lampiran 8 Gambar sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah

(Peryonix sp.) ... 56 Lampiran 9 Gambar hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol

cacing tanah (Peryonix sp.) terhadap bakteri

Staphylococcus aureus menggunakan pencadang logam . .. 57 Lampiran10 Gambar hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol

cacing tanah (Peryonix sp.) terhadap bakteri

Staphylococcus aureus menggunakan pencadang kertas ... 58 Lampiran11 Gambar hasil uji aktivitas antibakteri sediaan salep

ekstrak etanol cacing tanah (Peryonix sp.) terhadap bakteri Staphylococcuus aureus menggunakan