Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis Pupuk Kandang Terhadap Perkembangan Penyakit Penting Tanaman Jagung ( Zea Mays l. ) Di Lapangan

(1)

PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA JENIS PUPUK

KANDANG TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT

PENTING TANAMAN JAGUNG ( Zea mays L. ) DI

LAPANGAN

SKRIPSI

OLEH :

MARISTELLA SIMAMORA

030302043 / HPT

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA JENIS PUPUK

KANDANG TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT

PENTING TANAMAN JAGUNG ( Zea mays L. ) DI

LAPANGAN

SKRIPSI

MARISTELLA SIMAMORA

030302043/ HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Menempuh Ujian Akhir di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

( Ir. Kasmal Aripin, MSi )

2008

( Ir. Lahmuddin Lubis, MP ) Ketua Anggota

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRACT

MARISTELLA SIMAMORA “The Effect of Manure Application on the Development of Main Diseases on Corn (Zea mays L.) in the Demonstration Plot”. This research was conduted in the demonstration plot of the Departement of Pest and Plant disease, Faculty of Agriculturare, University of Sumatera Utara whose location is at about 25 metres above sea level. This research employed a non factorial randomized block design group with 6 different action for 4 blocks. The application of manure per block as follow P0 = 0.00 kg manure, P1=15 kg of Chicken manure, P2=15 kg of Cow manure, P3=15 kg of Goat manure, P4=15 kg of Quail manure, P5=15 kg of Horse manure. The parameters were observed the Intensity of Southern Corn Leaf Blight attack (%), Percentage of Sorghum Downy Mildew attack (%), the Intensity of Common Corn Rust attack (%), production (ton/ha) and the height of the plant (Cm). The Result of this research reveals that the highest attack intensity/percentage of Peronosclerospora maydis attack on P5=37.50%, Drechslera maydis attack on P4 = 6.51%, Puccinia sp. attack on P1 = 24.38% while the lowest intensity/percentage of Peronosclerospora maydis attack are on P1 and P2 = 0.00%, Drechslera maydis attack on P2 = 10.18%,

Puccinia sp. attack on P0=3.39%. The highest corn height is found on P4 = 218

Cm and the lowest corn height is found on P0 = 153.19 Cm. The highest production is found on P3 = 6.60 ton/ha and the lowest production is found on P0 = 3.54 ton/ha. The administration application of different manure of animal has different effect on the development of Corn Main Diseases.


(4)

ABSTRAK

MARISTELLA SIMAMORA “ Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis Pupuk Kandang Terhadap Perkembangan Penyakit Penting Pada Tanaman Jagung ( Zea mays l.) di Lapangan”. Penelitian ini dilaksanakan di lahan penelitian dan praktikum Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan dengan ketinggian tempat ± 25 m diatas permukaan laut. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial dengan perlakuan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan dengan memberikan pupuk kandang yaitu : P0 = tanpa pupuk kandang, P1 = 15 kg pupuk kandang ayam per petak perlakuan, P2 = 15 kg pupuk kandang Lembu per petak perlakuan, P3 = 15 kg pupuk kandang Kambing per petak perlakuan, P4 = 15 kg pupuk kandang burung Puyuh per petak perlakuan, P5 = 15 kg pupuk kandang Kuda per petak perlakuan. Parameter yang diamati adalah Persentase Serangan Bulai Peronosclerospora maydis (%), intensitas serangan Hawar daun Drechslera maydis (%), intensitas serangan Karat daun

Puccinia sp. (%), produksi (kg/plot), tinggi tanaman (cm). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa Persentase/ intenitas serangan penyakit-penyakit yang tertiggi untuk Peronosclerospora maydis pada perlakuan P5 = 37,50%, serangan

Drechslera maydis pada perlakuan P4 = 6.51%, Puccinia sp. pada perlakuan P1 =

24,38%. Persentase/ intensitas serangan penyakit-penyakit paling ringan untuk

Peronosclerospora maydis pada perlakuan P1 dan P2 = 0,00%, Drechslera maydis pada perlakuan P2 = 10,18%, Puccinia sp. pada perlakua P0 =

3,39%.Produksi tertinggi terdapat pada perlakuan P3 = 6,60 ton/ha dan produksi terendah pada perlakuan P0 = 3,54 ton/ha.Tinggi tanaman Jagung tertinggi terdapat pada perlakuan P4 = 218,00 cm dan tinggi tanaman Jagung terendah pada perlakuan P0 = 153,19 cm. Pemberian pupuk kandang yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan beberapa penyakit penting tanaman jagung.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Maristella Simamora lahir tanggal 24 Oktober 1984 di Simarompuompu Kec. Siborongborong Kab. Tapanuli Utara, Sumatera Utara dari Ayahanda A. Simamora dan Ibunda D. Samosir. Penulis merupakan Putri ke-2 dari 5 bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMU N Siborongborong dan lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten di laboratorium Ilmu Gulma dan asisten di laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman. Aktif sebagai pengurus organisasi Ikatan Mahasiswa Katolik (IMK St. Fransiskus Xaverius) dan sebagai anggota Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK St. Albertus Magnus) Universitas Sumatera Utara. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di PT. Perkebunan Nusantara IV Kebun Bah Birung Ulu Pematang Siantar.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nyalah penulis dapat menyusun usulan skripsi ini dengan baik.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA JENIS PUPUK KANDANG TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) DI LAPANGAN” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menempuh Ujian Akhir di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi

pembimbing saya yaitu Bapak Ir. Kasmal Aripin, MSi selaku ketua dan Bapak Ir. Lahmudin Lubis, MP selaku anggota telah membimbing saya dalam penulisan

skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Ayah dan Ibu serta seluruh keluarga atas segala doa dan perhatiannya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, Februari 2008


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penulisan ... 7

Hipotesa Penelitian... 8

Kegunaan Penulisan ... 8

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Biologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) ... 9

Syarat Tumbuh ... 11

Iklim ... 11

Tanah ... 12

Penyakit-penyakit Penting Tanaman Pada Jagung ... 13

Penyakit Bulai (Downy mildew) ... 13

Penyakit Hawar daun ... 17

Penyakit Karat daun... 20

Penyakit Gosong... 23

PengaruhPemberian Pupuk Organik Terhadap Tanaman Jagung ... 25

BAHAN DAN METODE ... 31

Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

Bahan dan Alat ... 31

Metode Penelitian... 33

Pelaksanaan Penelitian ... 33

Pengolahan Lahan ... 33

Penanaman Benih ... 33

Perlakuan Pemupukan ... 33


(8)

Panen... 34

Parameter Pengamatan ... 35

Intensitas Serangan Penyakit... 35

Persentase Serangan Penyakit Bulai ... 34

Tinggi Tanaman ... 36

Produksi ... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

Persentase Serangan Penyakit Bulai ... 37

Intensitas Serangan Penyakit Hawar daun ... 40

Intensitas Serangan Penyakit Karat daun ... 43

Tinggi tanaman ... 45

Produksi ... 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

Kesimpulan ... 50

Saran ... 51 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No Judul

Hal

1. Persentase kandungan hara pupuk kandang beberapa jenis ternak.... 27 2. Rataan pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap persentase

serangan penyakit Bulai (%) pada 2-7 mst... 37 3. Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas

Serangan Penyakit Hawar daun (%) pada 7-12 mst... 41 4. Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas

Serangan Penyakit Karat daun (%) pada 9-14 mst... 43 5. Rataan pengaruh pemberian pupuk Kandang terhadap Tinggi

Tanaman Jagung (cm)... 46 6. Rataan pengaruh pemberian pupuk Kandang terhadap Produksi


(10)

DAFTAR GAMBAR

No Judul

Hal

1. Konidiofor (A), Sporangium (B), Konidia (C), Oosporas (E) 14

2. Gejala Serangan Penyakit Bulai ... 16

3. Konidiofor (a) dan konidium (b) Drechslera maydis... 18

4. Gejala Serangan Penyakit Hawar daun... 19

5. Urediospora Puccinia sp... 20

6. Gejala Serangan Penyakit Karat... 21

7. Siklus Hidup Puccinia sorghi... 22

8. Gejala Serangan Penyakit Gosong Pada Tongkol... 23

9. Siklus Hidup Ustilago maydis... 24

10.Histogram pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap Persentase serangan Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw.... 39

11.Histogram pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap Intensitas serangan Drechslera maydis... 42

12.Histogram pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap Intensitas Serangan Puccinia sp... 45

13.Histogram pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap tinggi tanaman Jagung... 47

14.Histogram pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap produksi Jagung... 49

15.Lokasi Praktek Penelitian... 79

16.Tongkol Jagung... 83


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul

Hal

1. Bagan Penelitian... 52

2. Bagan Pengambilan Sampel. ... 53

3. Kebutuhan Pupuk Kandang ... 54

4. Deskripsi Tanaman Jagung Hibrida Varietas Jaya 3 ... 55

5. Rataan Pengaruh Pemberian pupuk Kandang terhadap Persentase Serangan Penyakit Bulai dan Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x (%) Pada 2 mst... 56

6. Rataan Pengaruh Pemberian pupuk Kandang terhadap Persentase Serangan Penyakit Bulai dan Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x (%) Pada 3 mst... 57

7. Rataan Pengaruh Pemberian pupuk Kandang terhadap Persentase Serangan Penyakit Bulai dan Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x (%) Pada 4 mst... 59

8. Rataan Pengaruh Pemberian pupuk Kandang terhadap Persentase Serangan Penyakit Bulai dan Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x (%) Pada 5 mst... 61

9. Rataan Pengaruh Pemberian pupuk Kandang terhadap Persentase Serangan Penyakit Bulai dan Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x (%) Pada 6 mst... 63

10.Rataan Pengaruh Pemberian pupuk Kandang terhadap Persentase Serangan Penyakit Bulai dan Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x (%) Pada 7 mst... 65

11.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas Serangan Penyakit Hawar dan Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x (%) Pada 7 mst... 67

12.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas Serangan Penyakit Hawar dan Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x (%) Pada 8 mst... 68

13.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas Serangan Penyakit Hawar dan Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x (%) Pada 9 mst... 69 14.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas


(12)

Transformasi Arcsin √x (%) Pada 10

mst... 70 15.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas

Serangan Penyakit Hawar dan Daftar Analisa Sidik Ragam

Transformasi Arcsin √x (%) Pada 11

mst... 71 16.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas

Serangan Penyakit Hawar dan Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x (%) Pada 9

mst... 72 17.Rataan pengaruh pemberian pupuk Kandang terhadap Intensitas

Serangan Penyakit Karat daun dan Daftar Analisa Sidik Ragam

Transformasi Arcsin √x (%) Pada 10 mst... 73 18.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas

Serangan Penyakit Karat Daun Dan Daftar Analisa Sidik Ragam

Transformasi Arcsin √X (%) Pada 11 mst... 74 19.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas

Serangan Penyakit Karat Daun Dan Daftar Analisa Sidik Ragam

Transformasi Arcsin √X (%) Pada 12 mst... 75 20.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas

Serangan Penyakit Karat Daun Dan Daftar Analisa Sidik Ragam

Transformasi Arcsin √x (%) Pada 13 mst... 76 21.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Intensitas

Serangan Penyakit Karat daun dan Daftar Analisa Sidik Ragam

Transformasi Arcsin √x (%) Pada 14 mstI... 78 22.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Tinggi

Tanaman

Jagung... 80 23.Rataan Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Produksi

Tanaman

Jagung... 81 24.Hasil Analisis Kandungan Hara Pupuk Kompos ... 85 25.Hasil Analisis pH Pupuk Kompos... 86

26.Data Klimatologi Harian Daerah


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman jagung berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan bisnis orang-orang Eropa ke Amerika. Sekitar abad ke-16 orang Portugal menyebarluaskannya ke Asia termasuk Indonesia. Orang Belanda menamakannya mais dan orang Inggris menamakannya corn. Di Indonesia, daerah-daerah penghasil utama tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, D.I. Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus di daerah Jawa Timur dan Madura, budidaya tanaman jagung dilakukan secara intensif karena kondisi tanah dan iklimnya sangat mendukung untuk pertumbuhannya (Wirawan dan Wahab, 2007).

Jagung merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak dan bahan baku industri (Suprapto, 1999).

Upaya peningkatan produksi pangan yang salah, dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan kimia dan pestisida lainnya, memberikan dampak kimia negatif, yang berlanjut pada pertaruhan nilai kesehatan manusia akibat residu kimia yang ditinggalkan. Dampak negatif yang


(14)

serius terhadap lingkungan menyebabkan penurunan kualitas produksi akibat kerusakan unsur hara tanah yang diikat oleh residu kimia dalam tanah (Pranoto, dkk, 2007).

Mengingat dampak negatif tersebut perlu diusahakan penggunaan bahan alami yang lebih ramah lingkungan, mudah didapat dan mudah diaplikasikan. Salah satu bahan alami yang dapat digunakan adalah pupuk kandang. Pemberian pupuk organik akan menjadikan pertumbuhan tanaman menjadi sehat dan lebih tegar sehingga tanaman akan menjadi lebih tahan atau toleran terhadap serangan

hama dan penyakit serta meningkatkan produktivitas tanaman (Omoy et al, 1992 dalam Handayati dan Donald, 1999).

Pertanian organik di definisikan sebagai "sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan". Lebih lanjut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements) menjelaskan pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Sertifikasi produk organik yang dihasilkan, penyimpanan, pengolahan, pasca panen dan pemasaran harus sesuai standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi. Dalam hal ini penggunaan GMOs (Genetically Modified Organisme) tidak diperbolehkan dalam

setiap tahapan pertanian organik mulai produksi hingga pasca panen (Husnain dan Haris Syahbuddin, 2007).


(15)

Dalam pertanian organik yang sesuai dengan standar yang ditetapkan secara umum adalah sebagai berikut :

• Menghindari benih/bibit hasil rekayasa genetika. Sebaiknya benih berasal dari kebun pertanian organik.

• Menghindari penggunaan pupuk kimia sintetis, zat pengatur tumbuh, pestisida. Pengendalian hama dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman.

• Peningkatan kesuburan tanah dilakukan secara alami melalui penambahan pupuk organik, pupuk kandang, sisa tanaman, pupuk alam, dan rotasi dengan tanaman legum

(Husnain dan Haris Syahbuddin, 2007).

Bahan organik dan pupuk kandang adalah bahan-bahan yang berasal dari limbah tumbuhan atau hewan atau produk sampingan seperti pupuk kandang ternak atau unggas, jerami padi yang dikompos atau residu tanaman lainnya, kotoran pada saluran air, bungkil, pupuk hijau, dan potongan leguminosa. Bahan organik atau pupuk kandang biasanya digunakan merata di seluruh sawah, dua atau tiga minggu sebelum dimasukkan kedalam tanah selama persiapan lahan. Kadang-kadang jerami padi dikompos secara langsung di sawah. Pupuk kandang dan sumber organik lainnya digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan kadar bahan organik tanah dan menyediakan mikro hara dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang biasanya tidak disediakan oleh pupuk kimia (anorganik). Penggunaan bahan-bahan ini juga dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba dan perputaran hara dalam tanah (Sutanto, 2002b).


(16)

Selama ini para petani telah banyak memanfaatkan bahan organik sebagai pupuk di lahan pertanian, karena bahan tersebut merupakan bahan yang cepat melapuk. Salah satu contoh bahan organik yang digunakan antara lain kotoran hewan (Lembu, Kambing, Ayam, dll) dan limbah pertanian. Dengan munculnya berbagai pupuk alternatif dan untuk menunjang pembangunan pertanian yang ramah lingkungan, maka saat ini digalakan pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan pembuatan pupuk organik, bahkan beberapa petani/swasta telah mencanangkan adanya pertanian organik. Pada saat ini banyak dijumpai berbagai merk dagang pupuk organik yang dijual di pasaran. Pupuk organik dapat berupa pupuk kandang, kompos dan campuran keduanya. Kunci pokok dalam pemilihan pupuk kandang adalah tingkat kematangan, perbandingan Carbon dan Nitrogen (C/N) dan kandungan unsur hara. Pupuk kandang selain berfungsi untuk memperbaiki sifat tanah juga sebagai sumber unsur hara walaupun dalam jumlah kecil. Dengan sifat fisik tanah yang baik, maka tanaman menjadi lebih subur karena leluasa dalam pengambilan unsur hara. Sedangkan kelebihan kompos yang dibuat dengan memanfaatkan mikroba adalah mengandung mikroba yang berfungsi untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (Sutanto, 2002b).

Penyakit bulai atau downy mildew pada jagung sejak lama dirasa menimbulkan kerugian yang sangat besar, sehingga banyak dikenal antara para petani. Penyakit bulai adalah penyakit terpenting pada pertanian jagung di Indonesia. Kerugian karena penyakit ini dapat mencapai kerugian hingga 90%. Sehingga penyakit ini menyebabkan penanaman jagung mengandung resiko yang tinggi (Silitonga, dkk, 2007).


(17)

Diberitakan bahwa pada baru waktu masuk di Afrika Puccinia sorghi

menimbulkan kerugian sampai sekitar 70% (Hollyday 1980 dalam Semangun, 1993).

Hawar daun terrmasuk penyakit penting tanaman jagung dan telah menyebar di banyak negara di Amerika, Asia, Afrika, dan Eropa. Penyakit ini umumnya berkembang di daerah subtropis. Di daerah tropis, penyakit hawar daun dapat berkembang di dataran tinggi. Di Indonesia, penyakit hawar daun jagung pertama kali dilaporkan berjangkit di dataran tinggi Sumatera Utara pada tahun 1917. Gejala penularannya ditandai oleh munculnya bercak daun yang kemudian berkembang melebar hingga daun jagung mengering (Wakman, 2004).

Gerakan Gaya Hidup Sehat sedang melanda dunia, yang bertemakan

"Back To Nature", dimana masyarakat menginginkan sesuatu makanan yang

benar-benar serba alami bebas dari zat kimia, pestisida, hormon, dan pupuk kimia. Pangan organik dianggap memenuhi persyaratan tersebut sehingga permintaan dan peluang pemasarannya meningkat (Winarno, 2007).

Kerusakan lingkungan akibat pertanian yang intensif sudah lama dirasakan oleh negara-negara maju. Ledakan populasi alga akibat pemupukan pupuk P, bergesernya mikro organisme tanah dan erosi tanah merupakan bukti terjadinya kerusakan lingkunyan. Solusi yang sekarang diminati oleh negara maju adalah pertanian organik. Sistem pertanian ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain mampu mengurangi erosi, meningkatkan kondisi fisik, biologi dan kimia tanah. Faktor-faktor tersebut berguna untuk mengurangi terjadinya epidemi penyakit


(18)

tanpa harus mengendalikan dengan pestisida kimia yang merusak lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat (Yulianti dan Nidar, 1999).

Dewasa ini permintaan akan bahan makanan organik di seluruh dunia semakin meningkat, terutama dari negara-negara maju. Bahan makanan organik yang dimaksud adalah bahan makanan yang dibudidayakan tanpa menggunakan pestisida maupun pupuk kimia sintetis. Pertanian secara organik sudah diterapkan oleh petani jaman dahulu sebelum mereka mengenal teknologi modern. Pertanian modern yang diterapkan saat ini adalah sistem pertanian konvensional yang mengandalkan pemakaian bahan-bahan kimia sintetis dan input dari luar yang begitu tinggi. Sawah diberi input pupuk kimia sintetis yang besar, air tercemar oleh bahan pestisida dan herbisida yang berbahan aktif racun. Dampak negatif pertanian konvensional akan mengganggu keseimbangan alam dengan berkurangnya keanekaragaman hayati. Bahan-bahan kimia sintetis yang digunakan sebagai pupuk maupun pestisida dalam sistem pertaniannya ikut terkonsumsi. Oleh sebab itu penanganan dan produksi sayur diupayakan tidak menggunakan bahan kimia yang berbahaya dan beracun. Pertanian organik mulai diterapkan kembali karena kekhawatiran terhadap pengaruh buruk bagi kesehatan dan keseimbangan lingkungan. Usaha pencegahan serangan OPT pada pertanian organik tidak menekan secara drastis namun dengan memelihara keseimbangan OPT pada batas tertentu. Kegiatan mencegah serangan OPT lebih diutamakan dalam pertanian organik (Pranoto, dkk, 2005). Beberapa penelitian yang sudah dilaksanakan mendukung asumsi bahwa perlakuan pupuk organik maupun anorganik yang berimbang akan akan menunjang ketahanan terhadap serangan penyakit. Bety et al (1995) melaporkan bahwa pemberian pupuk 450 Kg Urea/Ha


(19)

meningkatkan intensitas Serangan penyakit bercak daun yang disebakan

Helminthosporium spp. pada tanaman jagung hibrida Semar. Penambahan pupuk

kandang ke dalam tanah disamping bermanfaat bagi tanaman, juga dapat meningkatkan aktivitas dan kompetisi mikro organisme di dalam tanah termasuk penekanannya terhadap penyakit tanaman (Cook dan Baker, 1983: Voland dan Epstein 1994: Hoitink dan Fahy, 1986). Menurut Rahardjo et al (1998) bahwa media tanam dari pupuk kandang dicampur dengan tanah, intensitas serangan penyakit rebah semai lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan media tanam tanpa perlakuan pupuk kandang.

Salah satu kendala dalam meningkatkan dan mempertahankan produksi jagung adalah serangan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh

Helminthosporium sp. Penyakit ini menyebabkan kehilangan hasil hingga 59%,

terutama bila infeksi terjadi sebelum bunga betina keluar. Spesies yang dominan

menyerang pertanaman jagung di dataran rendah adalah

Helminthosporium maydis (Pakki, 2005).

Tujuan Penelitian

- Untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa jenis pupuk kandang

terhadap perkembangan beberapa penyakit penting pada tanaman jagung (Zea mays L.) di lapangan

- Untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa jenis pupuk kandang terhadap produksi tanaman jagung (Zea mays L.)


(20)

Hipotesa Penelitian

- Ada pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap perkembangan beberapa penyakit penting pada tanaman tanaman jagung

- Pemberian pupuk kandang yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap intensitas serangan beberapa penyakit pada tanaman Jagung

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Tanaman Jagung ( Zea mays L. )

Dalam taksonomi tumbuhan, kedudukan tanaman jagung dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom :Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledone Ordo : Poales

Famili : Poaceae Genus : Zea

Species : Zea mays L. (Rukmana, 1997).

Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80 - 150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Susunan morfologi tanaman jagung terdiri dari akar, batang, daun, bunga dan buah (Wirawan dan Wahab, 2007).

Perakaran tanaman jagung terdiri dari empat macam akar, yaitu akar utama, akar cabang, akar lateral dan akar rambut. Sitem perakaran tersebut


(22)

berfungsi sebagai alat untuk mengisap air serta garam-garam mineral yang terdapat dalam tanah, mengeluarkan zat organik serta senyawa yang tidak diperlukan dan alat pernapasan. Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 m. Pada tanaman yang sudah cukup dewasa muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga tegaknya tanaman (Suprapto,1999).

Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Batang tanaman jagung beruas-ruas dengan jumlah ruas bervariasi antara 10 – 40 ruas. Tanaman jagung umumnya tidak bercabang. Panjang batang jagung umumnya berkisar antara 60 cm- 300 cm, tergantung pada tipe jagung. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin (Rukmana, 1997).

Daun jagung adalah daun sempurna. Bentuknya memanjang. Antara pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stoma pada daun jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap stoma dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam

respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun (Wirawan dan Wahab, 2007).

Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah (diklin) dalam satu tanaman (monoecious). Tiap kuntum bunga memiliki struktur khas bunga dari suku Poaceae, yang disebut floret. Pada jagung, dua floret dibatasi oleh


(23)

tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence). Serbuk sari berwarna kuning dan beraroma khas. Bunga betina tersusun dalam tongkol. Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun. Pada umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu tongkol produktif meskipun memiliki sejumlah bunga betina (Suprapto, 1999).

Buah jagung terdiri dari tongkol, biji dan daun pembungkus. Biji jagung mempunyai bentuk warna dan kandungan endosperm yang bervariasi, tergantung pada jenisnya. Pada umumnya jagung tersusun dalam barisan yang melekat secara lurus atau berkelok-kelok dan berjumlah antara 8 - 20 baris biji (AAK, 1997).

Syarat Tumbuh

Iklim

Iklim yang dikehendaki oleh tanaman jagung adalah daerah-daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim sub-tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0 – 50 oLU hingga 0 – 40 oLS. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85 - 200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal musim hujan, dan menjelang musim kemarau. Pertumbuhan tanaman jagung sangat membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat dan memberikan hasil biji yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk buah. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21 – 34 0C, akan tetapi bagi pertumbuhan tanaman yang


(24)

ideal memerlukan suhu optimum antara 23 – 27 0C. Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 30 0C. Saat panen jagung yang jatuh pada musim kemarau akan lebih baik daripada musim hujan, karena

berpengaruh terhadap waktu pemasakan biji dan pengeringan hasil (AAK, 1993).

Tanah

Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus. Agar dapat tumbuh optimal tanah harus gembur, subur dan kaya humus. Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain: andosol (berasal dari gunung berapi), latosol, grumosol, tanah berpasir. Pada tanah-tanah dengan tekstur berat (grumosol) masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik dengan pengolahan tanah secara baik. Sedangkan untuk tanah dengan tekstur lempung/liat (latosol) berdebu adalah yang terbaik untuk pertumbuhannya. Keasaman tanah erat hubungannya dengan ketersediaan unsur-unsur hara tanaman. Keasaman tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung adalah pH antara 5,6 - 7,5. Tanaman jagung membutuhkan tanah dengan aerasi dan ketersediaan air dalam kondisi baik. Tanah dengan kemiringan kurang dari 8% dapat ditanami jagung, karena disana kemungkinan terjadinya erosi tanah sangat kecil. Sedangkan daerah dengan tingkat kemiringan lebih dari 8%, sebaiknya dilakukan pembentukan teras dahulu. Jagung dapat ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-1800 m dpl. Daerah dengan ketinggian antara 0 - 600 m di atas permukaan laut merupakan ketinggian yang


(25)

Apabila tanah yang akan ditanami tidak menjamin ketersediaan hara yang cukup maka harus dilakukan pemupukan. Dosis pupuk yang dibutuhkan tanaman sangat bergantung pada kesuburan tanah dan diberikan secara bertahap. Anjuran Dosis pemupukan jagung untuk setiap hektarnya adalah pupuk Urea sebanyak 200-300 kg, pupuk TSP/SP 36 sebanyak 75-100 kg, dan pupuk KCl sebanyak 50-100 kg. Pemupukan dapat dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama (pupuk dasar), pupuk diberikan bersamaan dengan waktu tanam. Pada tahap kedua (pupuk susulan I), pupuk diberikan setelah tanaman jagung berumur 3-4 minggu setelah tanam. Pada tahap ketiga (pupuk susulan II), pupuk diberikan setelah tanaman jagung berumur 8 minggu atau setelah malai keluar (Rukmana, 1997).

Penyakit-penyakit Penting Pada Tanaman Jagung

1. Penyakit bulai (Downy mildew)

Menurut Dwidjoseputro (1978) jamur penyebab penyakit ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Myceteae Divisi : Eumycota Class : Oomycetes Ordo : Peronosporales Family : Peronosporaceae Genus : Peronoslerospora


(26)

Gambar 1. Konidiofor (A), Sporangium (B), Konidia (C), Oospora (E) Sumber :http://www.redpav.avepagro.org.ve/agrotrop/v25_4/254a0502.jpg Suku Peronosporaceae mempunyai sporangiofor yang berbeda jelas dari hifa yang biasa. Sporangiofor mempunyai sumbu yang jelas, umumnya mempunyai percabangan. Sporangiofor waktu permukaan berembun, miselium membentuk konidiofor yang keluar melalui mulut kulit (Semangun, 1996).

Dari satu mulut kulit dapat keluar satu konidiofor atau lebih. Konidium yang masih muda berbentuk bulat, sedang yang sudah masak dapat menjadi jorong, konidium berukuran 12-19 x 10-23 µ m dengan rata-rata 19,2 x 17, 0 µ m. Konidium tumbuh dengan membentuk pembuluh kecambah. Sporangiofor pada sclerospora, panjang dan bercabang-cabang dekat dengan ujung. Sporangium tumbuh pada ujung cabang-cabang. Peronosporaceae tidak menghasilkan


(27)

sporangium terus menerus tetapi sekali saja. Sporangium boleh dikatakan seragam, semuanya serupa jeruk nipis (Dwidjoseputro, 1978).

Daun yang telah terkena infeksi menjadi bergaris-garis putih sampai kekuningan. Pada tingkatan akhir warna daun menjadi kecoklatan dan kering. Pertumbuhan menjadi terlambat. Bila yang terserang tanaman jagung yang baru saja tumbuh biasanya daun menjadi berwarna putih dan akhirnya mati. Kalau umur tanaman sudah beberapa minggu daun akan menguning dan yang baru muncul akan menjadi kaku dan kering. Tanaman ini bisa menjadi kerdil dan mati dan tak bisa berbuah. Bagian bawah daun menjadi kelihatan ada tepung putih yang berasal dari sisa konidia dan konodiofor. Bila umur tanaman sudah kira-kira satu bulan, walaupun sudah diserang oleh cendawan ini namun masih bisa tumbuh dan berbuah. Hanya tongkolnya tak bisa besar, kelobot tidak membungkus secara penuh pada tongkol. Ujung tongkol masih kelihatan. Kadang-kadang bijinya tak penuh, ompong (Pracaya, 1999).

P. maydis tidak dapat hidup secara saprofitik. Pertanaman di bekas pertanaman yang terserang berat dapat sehat sama sekali. Jamur ini harus bertahan dari musim ke musim pada tanaman hidup. Jamur dapat terbawa ke dalam biji tanaman sakit. Namun ini hanya terjadi pada biji yang masih muda dan basah pada jenis jagung yang rentan (Karen and Ruhl, 2007).

Oospora yang berada di dalam tanah sebagai sumber infeksi utama. Oospora membentuk sporangia dari infeksi nampak dalam bentuk bintik-bintik pada daun yang tumbuh berwarna coklat. Infeksi sekunder terlihat dengan adanya sporangia berwarna putih pada tanaman sebelah bawah (Silitonga, dkk, 2007).


(28)

a

Gambar 2. Gejala Serangan Penyakit Bulai (a) Sumber : Foto Langsung dari lapangan penelitian

Penyakit bulai pada jagung terutama terdapat di dataran rendah dan jarang terdapat di daerah-daerah yang lebih tinggi dari 900 - 1200 m dari permukaan laut. Penyakit ini lebih banyak terdapat pada daerah yang ditanam pada musim hujan dengan curah hujan lebih dari 100 mm per tahun. Infeksi hanya terjadi kalau ada air, baik air embun, air hujan atau air gutasi. Infeksi juga ditentukan oleh umur tanaman dan umur daun yang terinfeksi. Tanaman yang berumur lebih dari 3 minggu cukup tahan terhadap infeksi dan makin muda tanaman makin rentan (Pangarsa dan Rahmawati, 2007).


(29)

Jamur menyebar dengan konidia melalui infeksi pada stomata atau lentisel. Perkembangan cendawan sangat baik pada keadaan lembab, curah hujan tinggi, pemupuka n N yang berat dan sifat fisik tanah yang berat. Spora disebarkan oleh angin pada cuaca kering. Konidium berkecambah paling baik pada suhu 30 0C (Pracaya, 1999).

Untuk mengendalikan penyakit bulai pada jagung dapat dianjurkan untuk melakukan langkah-langkah pengendalian secara terpadu :

1. Penggunaan varietas tahan terhadap penyakit ini seperti Kalingga, Wijasa, Bromo. Parikesit dan Jagung Hibrida

2. Bila musim hujan datang, udara lembab dan serangan bulai banyak. Tanaman yang terserang segera dicabut.

3. Melakukan rotasi tanaman, dimaksudkan untuk memutus siklus hidup penyakit.

4. Pengobatan benih dengan menggunakan Ridomil 35 SD atau Saromyl 35 SD. Untuk pertanaman digunakan Ridomil Gold 350 EC

5. Pemupukan bersamaan saat tanam juga dapat membantu mencegah serangan penyakit. Tanaman akan tumbuh sehat dan kokoh sehingga mempunyai kekuatan untuk menangkal penyakit

(Semangun, 1993; Dadang, 2006).

2. Penyakit Hawar Daun

Sistematika jamur penyebab penyakit Hawar daun diklasifikasikan sebagai berikut :


(30)

Divisi : Eumycota Class : Deutromycetes Ordo : Moniliales Family : Dematiaceae Genus : Drechslera

Species : Drechslera maydis (Nisik.) Subram. et Jain (Dwidjoseputro, 1978).

Konidiofor terbentuk dalam kelompok, sering dari stromata yang datar, berwarna coklat tua atau hitam. Konidiofor lurus atau lentur. Kadang-kadang memounyai bengkokan seperti lutut. Konidium jelas bengkok berbentuk seperti

perahu, mempunyai 5 - 11 sekat palsu dan kebanyakan mempunyai panjang 70 - 160 µm (Semangun, 1993).

a

b

Gambar 3. Konidiofor (a) dan konidium (b) Drechslera sp. Sumber : Pengamatan di Mikroskop Perbesaran 40x

Gejala pada daun tampak bercak memanjang dan teratur berwarna kuning dan dikelilingi warna coklat, bercak berkembang dan meluas dari ujung daun hingga ke pangkal daun, semula bercak tampak basah, kemudian berubah warna


(31)

menjadi coklat kekuning-kuningan, kemudian berubah menjadi coklat tua.

Akhirnya seluruh permukaan daun berwarna coklat (Pangarsa dan Rahmawati, 2007)

a

Gambar 4. Gejala Serangan Drechslera sp. (a) Sumber : Foto Langsung di Lahan Penelitian

Konidium dipencarkan oleh angin. Di udara konidium yang terbanyak terdapat menjelang tengah hari. Konidium berkecambah dan pembuluh kecambah mengadakan infeksi melalui mulut kulit atau dengan mengadakan penetrasi secara langsung, yang didahului dengan pembentukan apresorium (Wakman, 2004).

Suhu optimum untuk perkecambahan konidiumnya ± 30 0C, sedikit lebih tinggi daripada suhu optimum untuk E. turcicum. Jamur ini lebih banyak terdapat

di dataran rendah. Sedang suhu optimum untuk pembentukan peritesium adalah 26 - 27 0C. Konidium tidak terbentuk pada kelembaban nisbi kurang dari 93% (Pakki, 2007).

Pengendalian dapat dilakukan dengan pergiliran tanaman hendaknya selalu dilakukan guna menekan meluasnya cendawan, mekanis dengan mengatur kelembaban lahan agar kondisi lahan tidak lembab, kimiawi dengan pestisida antara lain; Daconil 75 WP, Difolatan 4 F, penanaman jagung dilakukan bila


(32)

curah hujan rata-rata selama 10 hari kurang dari 55 mm. Menanam varietas tahan yaitu Arjuna, Antasena, Lamuru (Semangun, 1993).

3. Penyakit karat Daun

Sistematika Jamur Puccinia sp. diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Myceteae

Divisi : Eumycota Class : Basidiomycetes Ordo : Uredinales Family : Pucciniaceae Genus : Pucciniaceae Species : Puccinia sp. (Dwidjoseputro, 1978).

Urediospora bulat atau jorong, 24-29 µm x 22-29 µm, berdinding coklat kemerahan, berduri-duri halus. Teliospora jorong, berbentuk tabung atau gada. Aesiospora bulat atau jorong, bergaris tengah 12-24µ m, berdinding hialin (Hollyday, 1980; Nyvall, 1979 dalam Semangun, 1993).

a

Gambar 5. Urediospora Puccinia sp. (a)


(33)

Puccinia sp. membentuk urediosorus bulat atau jorong. Di lapangan

kadang- kadang epidermis tetap menutupi ureidiosorus sampai matang. Tetapi ada kalanya epidermis pecah dan massa spora dalam jumlah besar menjadi tampak. Setelah terbuka ureidiosorus berwarna jingga atau jingga tua. Jamur membentuk banyak ureidiosorus pada daun dan kadang kadang juga pada upih daun. Karena adanya sorus ini permukaan atas daun menjadi kasar. Pada tingkatan yang jauh

penyakit karat menyebabkan mengeringnya bagian bagian daun (Pangarsa dan Rahmawati, 2007).

Tanaman jagung yang terserang cendawan ini memperlihatkan gejala bercak kuning kemerahan (seperti karatan) pada daun, bunga dan kelobot buah. Jika serangan berat maka tanaman dapat mengalami kematian (Tjahjadi, 2005).

a

Gambar 6 Gejala Serangan Penyakit Karat (a) Sumber : Foto langsung di lahan penelitian

Jamur karat tidak dapat hidup sebagai saprofit, sehingga tidak mempertahankan diri pada sisa tanaman jagung. Puccinia sp. mempertahankan diri pada tanaman jagung yang hidup dan dipencarkan oleh urediospora. Spora ini dapat diterbangkan jauh oleh angin dengan tetap hidup, karena kering dan mempunyai dinding yang cukup tebal (Semangun, 1993).


(34)

Penyakit dibantu oleh suhu 16 - 23 oC. Urediospora terdapat di udara paling banyak di waktu siang, pada tengah hari dan setelah tengah hari. Infeksi

terjadi melalui mulut kulit, pada umumnya dengan pembentukan apresorium (Hollyday, 1980; Nyvall, 1979 dalam Semangun, 1993).

Gambar 7 : Siklus hidup Puccinia sorghi

Sumber : http://vegetablemdonline.ppath.cornell.edu

Pengendalian dapat dilakukan dengan mengatur kelembaban pada areal tanam, menanam varietas unggul atau varietas yang tahan terhadap penyakit, melakukan sanitasi pada areal pertanaman jagung, kimiawi menggunakan pestisida seperti Daconil 75 WP, Difolatan 4 (Pangarsa dan Rahmawati, 2007).


(35)

4. Penyakit Gosong

Menurut Dwidjoseputro (1978) jamur penyebab penyakit ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Myceteae Divisi : Eumycota Class : Basidiomycetes Ordo : Ustilaginales Family : Ustilaginaceae Genus : Ustilago

Species : Ustilago maydis (Dwidjoseputro, 1978).

Tanaman yang terserang menunjukkan gejala-gejala tongkolnya membengkak, mula-mula berwarna putih, kemudian setelah cendawan membentuk spora, warna putih tersebut berubah menjadi warna hitam. Kelobot pecah, akibat pembengkakan biji jagung yang berada di dalam tongkol tersebut. Pada serangan berat, batang biasanya membengkak, batang itu akan menonjol dan makin lama akan makin besar. Pada bagian epidermis akan keluar cairan lendir seperti blendok yang berwarna hitam (Matnawy, 2007).

a

Gambar 8. Gejala Serangan Penyakit Gosong Pada Tongkol (a) Sumber : http/www. vegetabelmdonline.ppath.cornell.edu


(36)

Dalam kelenjar jamur membentuk teliospora, bulat atau jorong, dengan garis tengah 8-11 µ m, hifa, dengan banyak duri halus. Teliospora berkecambah dengan membentuk basidium atau promiselium lalu membentuk basidiospora atau sporidium. Sporidium dapat berkecambah dengan cara membentuk hifa (Semangun, 1993).

Jamur dapat bertahan sebagai saprofit dalam bentuk teliospora pada sisa-sisa tanaman sakit, pada pupuk organik, atau dalam tanah. Spora tersebut mempunyai ketahanan yang sangat tinggi sehingga dapat bertahan selama bertahun-tahun. Pada keadaan yang cocok teliospora berkecambah membentuk sporidium yang dipencarkan oleh angin atau air (Semangun, 1993).

Gambar 9 : Siklus hidup Ustilago maydis Sumber : Internet

Penyakit gosong lebih banyak terdapat di daerah pegunungan yan suhunya lebih rendah. Penyakit lebih banyak terdapat di lahan subur dan lembab dimana tanaman jagung tumbuh dengan subur. Makin panjang umur tanaman makin besar kemungkinan terserang penyakit (Semangun, 1993).


(37)

Pengendalian dapat dilakukan dengan mengatur kelembaban areal pertanaman jagung dengan cara pengeringan dan irigasi, memotong bagian tanaman kemudian dibakar, benih yang akan ditanam dicampur dengan fungisida secara merata hingga semua permukaan benih terkena (Semangun, 1993).

Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Tanaman Jagung

Kesehatan tanaman secara langsung berhubungan dengan serangan hama dan penyakit. Tanaman yang kekurangan unsur hara akan mudah terserang hama dan penyakit, sebaliknya pemupukan berlebihan juga akan memudahkan tanaman terserang hama dan penyakit. Pemberian pupuk yang berlebihan memberikan daya tarik bagi hama dan mendorong populasi hama berkembang lebih besar, pertumbuhan tanaman akan berlebihan tetapi rapuh terhadap serangan hama (Sutanto, 2002a).

Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tidak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia. Kesehatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan. Hal ini tidak saja sekedar bebas dari penyakit, tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik, mental, sosial dan ekologi. Ketahanan tubuh, keceriaan dan pembaharuan diri


(38)

merupakan hal mendasar untuk menuju sehat. Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Mengingat hal tersebut, maka harus dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif makanan yang dapat berefek merugikan kesehatan (Pranoto, dkk, 2007).

Dalam pertanian organik yang sesuai dengan standar yang ditetapkan secara umum adalah sebagai berikut:

• Menghindari benih/bibit hasil rekayasa genetika. Sebaiknya benih berasal dari kebun pertanian organik,

• Menghindari penggunaan pupuk kimia sintetis, zat pengatur tumbuh, pestisida. Pengendalian hama dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman,

Peningkatan kesuburan tanah dilakukan secara alami melalui penambahan pupuk

organik, sisa tanaman, pupuk alam, dan rotasi dengan tanaman legume (Husnain dan Syahbudin, 2007).

Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibandingkan bahan pembenah lainnya. Nilai pupuk yang dikandung pupuk organik pada umumnya rendah dan sangat bervariasi, misalkan unsur Nitrogen (N), fosfor (P), dan Kalium (K) tetapi juga mengandung unsur mikro esensial


(39)

terjadinya erosi dan mengurangi terjadinya retakan tanah. Pemberian bahan organik mampu menambah kelembaban tanah (Sutanto, 2002b).

Pupuk organik dapat berupa pupuk kandang, kompos dan campuran keduanya. Kunci pokok dalam pemilihan pupuk kandang adalah tingkat kematangan, perbandingan Carbon dan Nitrogen (C/N) dan kandungan unsur hara. Pupuk kandang selain berfungsi untuk memperbaiki sifat tanah juga sebagai sumber unsur hara walaupun dalam jumlah kecil. Dengan sifat fisik tanah yang baik, maka tanaman menjadi lebih subur karena leluasa dalam pengambilan unsur hara. Sedangkan kelebihan kompos yang dibuat dengan memanfaatkan aktif atau mikroba adalah mengandung mikroba yang berfungsi untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (Musnamar, 2003).

Di Indonesia, pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk kandang telah sejak lama dipraktekkan oleh petani tradisional. Meskipun tidak ada catatan mengenai sejak kapan petani memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik. Pupuk kandang selalu diaplikasikan sebelum atau pada saat tanah diolah sebelum benih atau bibit ditanam. Pupuk kandang setelah menyebar merata di permukaan tanah dibajak dan digaru (Pranoto, dkk, 2007).

Dari berbagai jenis kotoran ternak, umumnya petani lebih menyukai kotoran Ayam, karena kandungan nitrogennya lebih tinggi dibandingkan kotoran ternak lain. Kotoran Lembu biasanya digunakan dengan dicampur bahan lain dan dikomposkan. Ternak Lembu dewasa, kuda, dan kerbau dapat memproduksi kotoran rata-rata 3 kg/hari, kambing dan domba 0,5 kg/hari, dan ayam 200 g/hari. Apabila kotoran tersebut dikomposkan maka akan terjadi penyusutan sekitar 50%.


(40)

Berdasarkan data populasi ternak pada tahun 2002 maka dalam kurun waktu satu tahun dapat diproduksi kotoran ternak basah 57,88 juta ton. Apabila kotoran tersebut dikomposkan dapat diproduksi sekitar 29 juta ton kompos per tahun apabila kompos tersebut dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik untuk tanaman pangan, maka untuk setiap musim tanam tersedia sekitar 14,5 juta ton kompos pupuk kandang (Sofyan, 2007).

Pupuk kandang mengandung unsur hara lengkap yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya disamping mengandung unsur makro seperti nitrogen (N), Posfor (P) dan Kalium (K), pupuk kandang juga mengandung unsur mikro seperti Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Sulfur (S). Unsur Posfor dalam pupuk kandang sebagian besar berasal dari kotoran padat. Kandungan hara dalam kotoran ayam tiga kali lebih besar dari hewan ternak lainnya. Hal ini disebabkan lubang pembuangan ayam hanya satu sehingga kotoran cair dan padat bercampur (Musnamar, 2003).

Tabel 1. Persentase Kandungan Hara Beberapa Pupuk Kandang (%) Jenis Ternak N (%) P2O5 (%) K2O (%)

Kambing Lembu Ayam Burung Puyuh Kuda 0,83-0,95 0,10-0,96 1,00-3,13 2,21 233,93 0,35-0,51 0,64-1,15 0,35-0,41 2,35 0,882 1,00-1,20 0, 45-1,00 0,40-2,90 3,321 1,044

Sumber : Musnamar, 2003 dan hasil analisa di laboratorium

Banyak petani di Indonesia, khususnya di luar Jawa petani organik karena mereka belum terpengaruh oleh ‘green revolution’ dan meneruskan sistem pertanian secara tradisional. Di daerah lain, akibat krisis ekonomi yang menyebabkan harga-harga melonjak naik, petani tidak mampu lagi untuk membeli obat-obat pestisida dan pupuk buatan. Ini berarti bahwa argumentasi tentang


(41)

pertanian organik sangat masuk diakal. Beberapa kelompok petani dan LSM melihat pertanian organik sebagai cara protes terhadap dampak kehancuran dari green revolution, dan dengan membebaskan petani dari dominasi green revolution

dan ketergantungan pada pupuk kimia, pestisida dan sebagainya (Yulianti dan Nidar, 2000).

Kotoran Puyuh dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman sayuran, tanaman lain dan campuran bahan pakan (konsentrat) ternak. Kandungan gizi kotoran Puyuh sangat bervariasa, tergantung ransum, temperatur lingkungan, kandungan air dan cara penyimpanan serta pengolahannya. Kotoran Puyuh dapat diambil setiap hari karena puyuh banyak mengeluarkan kotoran. Pengelolaan kotoran dilakukan dengan mengumpulkan kotoran Puyuh dari dropping board (papan penampung tinja) di setiap unit kandang. Peneliti yang dilakukan oleh Riza ZA, et al dari Balitvet dan IPB ini menghasilakan kesimpulan sebagai berikut. 1) Penyimpana kotoran puyuh selama 6 bulan dapat meningkatkan kadar air,

kalsium klorida (KCL), kalsium (Ca), kalium (K), magnesium (Mg) dan natrium (Na)

2) Penyimpanan selama 2 bulan meningkatkan nilai C organik dan N total. 3) Kadar fosfat (P) yang paling besar diperoleh tampa penyimpanan.

Oleh sebab itu, pemanfaatan kotoran puyuh sebagai pupuk tanaman harus memperhatikan lama penyimpanannya agar unsur hara yang diperlukan tersedia secara maksimal (Kafrawi, 2007).

Penambahan pupuk kandang ke dalam tanah disamping bermanfaat bagi tanaman, juga dapat meningkatkan aktivitas dan kompetisi mikro organisme di dalam tanh termasuk penekanannya terhadap penyakit tanaman (Cook dan Baker,


(42)

1983: Voland dan Epstein 1994: Hoitink dan fahy, 1986). Menurut Rahardjo et al (1998) bahwa media tanam dari pupuk kandang dicampur dengan tanah, intensitas serangan penyakit rebah semai lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan media tanam tanpa perlakuan pupuk kandang (Vandyk, 2007).


(43)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Lahan Percobaan dan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat berada pada ± 25 m di atas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan bulan Desember 2007.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih Jagung Hibrida Jaya 3, pupuk kandang dari kotoran Ayam, pupuk kandang dari kotoran Lembu, pupuk kandang dari kotoran Kambing, pupuk kandang dari kotoran Burung Puyuh, pupuk kandang dari kotoran Kuda, air dan bahan pendukung lainnya.

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cangkul, gembor, papan sampel, papan nama, tugal, timbangan, mikroskop, meteran, alat-alat tulis, tali plastik dan alat pendukung lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial yang terdiri dari 7 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang dilakukan adalah sebagai berikut :

P0 : Kontrol (Tanpa Pupuk)


(44)

P2 : Pupuk Kandang dari kotoran Lembu 15kg/petak perlakuan P3 : Pupuk Kandang dari kotoran Kambing 15kg/petak perlakuan P4 : Pupuk Kandang dari kotoran Burung puyuh 15kg/petak perlakuan P5 : Pupuk Kandang dari kotoran Kuda 15kg/petak perlakuan

Model linear Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial adalah : Yij = µ + i + j + ij ; dimana : i = 1,2,..,5

j = 1,2,3,4

Yij = Respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan Ulangan ke-j

µ = nilai tengah umum (rataan)

i = pengaruh (efek) perlakuan ke-i j = pengaruh (efek) ulangan ke-j

(Sastrosupadi, 2000).

Jumlah Ulangan ada 4 diperoleh dari : (t - 1) (r - 1) ≥ 15

(6 - 1) (r - 1) ≥ 15 5(r - 1) ≥ 15 5r ≥ 20 r ≥ 4

Selanjutnya bila hasil Analisa sidik ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata maka perlu dilakukan Uji Jarak Duncan untuk mengetahui perbedaan masing-masing perlakuan (Sastrosupadi, 2000).


(45)

Pelaksanaan Penelitian

Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan dimulai dengan pembersihan areal, setelah areal bersih dilakukan pencangkulan tanah sedalam 20 cm – 30 cm, menghancurkan bongkahan tanah dan meratakan tanah yang telah dicangkul dan sekaligus membuat petak-petak percobaan dengan ukuran 2,5 m x 2 m sebanyak 24 petak. Jarak antar petak 0,5 m dan jarak antar blok adalah 1 m. Kemudian yang terakhir dilakukan adalah penggemburan tanah kembali dan dicampur dengan pupuk kandang sesuai dengan masing-masing perlakuan dan dibiarkan selama seminggu.

Penanaman Benih

Benih yang ditanam adalah benih yang sehat dan seragam. Sebelum benih ditanam, dibuat lubang tanam pada setiap plot percobaan dengan menggunakan tugal. Kedalaman lubang tanam antara 3 – 5 cm dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm. Setiap lubang tanam diisi dengan 3 biji Jagung lalu lubang ditutupi tanah.

Perlakuan Pemupukan

Pemupukan dilakukan pada saat tanah diolah sebelum benih atau bibit ditanam. Pupuk kandang dari kotoran Ayam, Pupuk Kandang dari kotoran Lembu, Pupuk Kandang dari kotoran Kambing, pupuk kandang dari kotoran burung Puyuh, pupuk kandang dari kotoran Kuda disebar merata di permukaan tanah per perlakuan sebanyak 15 kg per petak dan dibiarkan selama 1 minggu. Kemudian tanah digemburkan dan pupuk kandang dicampur merata pada saat pengolahan lahan kembali.


(46)

Rekomendasi dosis pemupukan untuk tanaman jagung adalah sebanyak 20-25 ton/ha untuk pemakaian pupuk kandang

Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan Tanaman meliputi penyiraman, penyulaman , penjarangan, penyiangan gulma, pembumbunan tanaman dan pengendalian hama.

Penyiraman dilakukan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari, jika terjadi hujan penyiraman cukup dilakukan di sekitar akar tanaman.

Penyulaman dilakukan apabila tanaman mati, persentase pertumbuhan kurang dari 100%. Waktu penyulaman dilakukan pada waktu tanaman berumur 7 – 14 hari.

Penjarangan dilakukan setelah tanaman berumur 14 hari. Hal ini dilakuka n apabila disetiap lubang tanam, tanaman tumbuh lebih dari satu dan tanaman yang dibiarkan tumbuh adalah tanaman yang pertumbuhannya lebih baik.

Pembumbunan dilakukan dengan cara mengumpulkan tanah disekitar barisan tanaman yang bertujuan untuk menutup akar yang terbuka dan membuat tanaman menjadi tegak.

Pengendalian hama dilakukan secara mekanis yaitu dengan mengutip hama yang tampak dan mengumpulkannya kemudian dimatikan.

Panen

Panen dilakukan setelah tanaman berumur ± 3 – 4 bulan. Ciri jagung yang siap dipanen yaitu umur panen adalah 86 - 96 hari setelah tanam, tongkol atau kelobot mulai mengering yang ditandai dengan adanya lapisan hitam pada biji


(47)

bagian lembaga dan biji kering, keras, dan mengkilat, apabila ditekan tidak membekas.

Parameter Pengamatan

Intensitas Serangan

Pengamatan Intensitas serangan dilakukan pada saat tanaman terinfeksi pertama kali di lapangan dan diamati satu minggu sekali sebanyak enam kali pengamatan, dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

% 100 ) (

x NxZ

nxv

I =

Dimana:

I : Intensitas Serangan Penyakit (%)

n : Jumlah bagian tanaman yang terserang (helai) V : Nilai skala daun yang terserang

N : Jumlah seluruh daun yang diamati

Z : Skala tertinggi dari kategori skala serangan Kategori Skala Serangan :

Skala Keterangan

0 Tidak terdapat gejala serangan (sehat)

1 > 1 % - ≤ 15% luas permukaan daun terserang

2 > 5 % - ≤ 25% luas permukaan daun terserang

3 > 25 % - ≤ 50% luas permukaan daun terserang

4 > 50 % - ≤ 75% luas permukaan daun terserang

5 >75% -≤ 100% luas permukaan daun terserang


(48)

P

Peerrsseennttaasseesseerraannggaannppeennyyaakkiittbbuullaaiiddiigguunnaakkaannrruummuuss ::

:

:

100% a

P x

N =

D

Diimmaannaa,, P

P ==PPeerrsseennttaasseeSSeerraannggaann a

a ==JJuummllaahhttaannaammaannaattaauubbaaggiiaannttaannaammaannyyaannggtteerrsseerraanngg

N

N ==JJuummllaahhttaannaammaannaattaauubbaaggiiaannttaannaammaannyyaannggddiiaammaattii

T

TiinnggggiiTTaannaammaann

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada saat tanaman berumur 2,5 bulan dan dilakukan sekali saja. Tinggi tanaman diukur dalam satuan centimeter (cm).

Produksi

Pengamatan produksi tanaman dilakukan saat panen. Ini dilakukan dengan cara menimbang berat bersih pipilan jagung dan perpetak perlakuan dalam Kilogram kemudian dikonversikan kedalam ton perhektar dengan rumus :

L X

Y =

Y = Produksi dalam ton/ ha X = Produksi dalam Kg/ plot L = Luas Plot (m2)


(49)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian pengaruh pemberian beberapa jenis pupuk kandang terhadap perkembangan penyakit penting pada tanaman Jagung (Zea mays L.) di lapangan adalah sebagai berikut :

1. Persentase Serangan Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw

Hasil analisa sidik ragam pengamatan persentase serangan penyakit Bulai

Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw (lampiran 5-10) menunjukkan bahwa

pemberian pupuk kandang berpengaruh tidak nyata pada 2 mst tetapi berpengaruh nyata pada 3,4,5,6 dan 7 mst.

Untuk menentukan perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan seperti telihat pada tabel 3.

Tabel 2. Rataan Persentase Serangan Penyakit Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw pada 2-7 mst

Perlakuan

Minggu setelah tanam (mst)

2 3 4 5 6 7

P0 0,00 0,00b 25,00a 25,00a 25,00ab 25,00a

P1 0,00 0,00b 0,00b 0,00b 0,00c 0,00b

P2 0,00 0,00b 0,00b 0,00b 0,00c 0,00b

P3 0,00 6,25b 6,25b 6,25b 6,25c 6,25b

P4 0,00 0,00b 0,00b 6,25b 12,50bc 12,50b P5 6,25 25,00a 25,00a 31,25a 31,25a 37,50a

Keterangan : Angka dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji jarak Duncan


(50)

Dari tabel terlihat bahwa persentase serangan penyakit Bulai sangat rendah sekali ditemui di lapangan. Persentase serangan tertinggi terdapat pada perlakuan Pupuk Kandang Kuda yaitu pada 3-6 mst sebesar 12,5 %. Persentase serangan penyakit Bulai yang rendah di lapangan pada perlakuan pupuk kandang Ayam dan pupuk kandang Lembu yaitu 0,00 % atau sama sekali tidak ada serangan penyakit Bulai. Pada 2 minggu setelah tanam (mst) perlakuan pupuk kandang Kuda berbeda nyata terhadap tanpa perlakuan pemupukan, pupuk kandang Ayam, pupuk kandang Lembu, pupuk kandang Kambing dan pupuk kandang burung Puyuh. Pada 3 minggu setelah tanam (mst) perlakuan pupuk kandang kuda tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tanpa pupuk kandang tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan pupuk kandang Ayam, pupuk kandang Lembu, pupuk kandang Kambing dan pupuk kandang burung Puyuh. Pada 4, 5 dan 7 minggu setelah tanam (mst) perlakuan pupuk kandang Kuda berbeda nyata terhadap pupuk kandang Ayam, pupuk kandang Lembu, pupuk kandang Kambing dan pupuk kandang burung Puyuh dan tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tanpa pupuk kandang. Sedangkan pada 6 minggu setelah tanam (mst) pupuk kandang Kuda tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tanpa pupuk kandang pupuk kandang burung Puyuh tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan yang lainnya.

Perkembangan penyakit ini di lapangan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca yaitu kondisi cuaca yang lembab. Dari data cuaca harian di lahan penelitian (lampiran 29) dapat dilihat curah hujan selama penelitian (musim hujan). Curah hujan harian rata-rata sebesar 12,5 mm/hari dan kelembaban udara 83,45 % sedangkan suhu udara rata-rata sebesar 26,39 oC. Selain itu, parit sering tergenang


(51)

karena lahan merupakan aliran pembuangan air dari rumah kaca sehingga meningkatkan kelembaban udara dan mendorong perkembangan penyakit. Perkembangan penyakit juga dapat lebih cepat pada tanaman yang pertumbuhannya tidak baik atau kurang subur. Pada perlakuan pupuk kandang Kuda, serangan Bulai selalu ditemui pada tiap pengamatan, sedang pada perlakuan pupuk kandang Ayam dan pupuk kandang Lembu persentase serangan Bulai sangat rendah bahkan 0% pada akhir pengamatan atau tanpa serangan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan N, P dan K yang rendah dari pupuk kandang Kuda (lampiran 27) berdasarkan hasil analisa di laboratorium, begitu juga dengan nisbah C/N yang masih cukup tinggi yaitu sebesar 25, 52 (lampiran 28). Menurut Sutanto (2002) nisbah C/N yang baik dapat berkisar antara 5-20. Sedangkan kisaran pH kompos yang baik adalah 6-7,5.

0 0

25 25 25 25

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6, 25 6, 25 6, 25 6, 25 6, 25

0 0 0

6, 25 12, 5 12, 5 6, 25 25 25 31, 25 31, 25 37, 5 0 5 10 15 20 25 30 35 40

2 3 4 5 6 7

Minggu Pengamatan (mst)

P er sen tase S er an g an P . m ayd is (% ) P0 P1 P2 P3 P4 P5

Gambar 10: Histogram pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap Persentase serangan

Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw

Dari gambar 10 dapat dilihat bahwa persentase serangan tertinggi terjadi pada Pengamatan IV (6 mst) – VI (8 mst) dan tidak terjadi peningkatan persentase serangan penyakit. Hal ini dikarenakan tanaman telah dewasa, sehingga lebih tahan terhadap serangan penyakit Bulai. Hal ini sesuai dengan pernyataan


(52)

Semangun (1991) yang menyatakan bahwa infeksi juga ditentukan oleh umur tanaman, tanaman yang telah berumur 3 minggu cukup tahan terhadap infeksi, makin muda tanaman makin rentan. Jagung berumur lebih dari 2 bulan tidak begitu peka dan mudah terhindar dari serangan.

Perkembangan penyakit ini di lahan penelitian cukup tinggi pada perlakuan pupuk kandang burung Puyuh dan pupuk kandang Kuda. Pada perlakuan pupuk kandang Ayam dan pupuk kandang Lembu serangan sama sekali tidak ditemui pada semua perngamatan. Agrios (1996) menyatakan secara umum tumbuhan yang mendapatkan hara yang seimbang yaitu semua kebutuhan tersedia dengan jumlah yang cukup akan lebih mampu melindungi dirinya dari infeksi baru dan membatasi infeksi yang terjadi dibanding dengan bila salah satu hara dalam keadaan kelebihan atau kekurangan. Berdasarkan analisa tanah pada pupuk kandang mempunyai kandungan N sebesar 2,51%, pupuk kandang Lembu5

sebesar 3,435% dan K2O sebesar 2,027%. Sedangkan nisbah C/N sebesar 7,16

dan pH sebesar 7,01 yang berarti pupuk kandang Ayam tersebut sudah termasuk kriteria kompos yang baik. Begitu juga dengan pupuk kandang Lembu (pupuk kandang Lembu) dimana kandungan N-nya sebesar 2,59%, pupuk kandang Lembu5 sebesar 0,887% dan K2O sebesar 2,027%. Sedangkan nisbah C/N sebesar

7,8 dan pH sebesar 6,57.

2. Intensitas Serangan Drechslera maydis (Nisik.) Subram. et Jain

Hasil analisa sidik ragam pengamatan intensitas penyakit Hawar daun terdapat pada lampiran 10 – 15 menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang berpengaruh tidak nyata pada 7,8,9,10,11 dan 12 mst.


(53)

Tabel 3. Rataan Persentase Serangan Penyakit Drechslera maydis pada 7-12 mst Perlakuan

Minggu setelah tanam (mst)

7 8 9 10 11 12

P0 0,00 0,00 0,20 0 2,34 3,39

P1 0,00 0,00 0,00 0,50 1,65 3,65

P2 0,00 0,09 0,10 0,30 3,56 3,64

P3 0,00 0,18 0,30 0,88 3,65 5,3

P4 0,00 0,00 0,00 2,08 4,85 6,51

P5 6,25 0,00 0,2 1,38 2,34 3,39

Keterangan : Hasil analisa sidik ragam untuk semua perlakuan pada setiap pengamatan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata.

Dari tabel dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi sebesar 6,51% terdapat pada perlakuan pupuk kandang burung Puyuh pada 12 mst, sedangkan Intensitas serangan terendah sebesar 3,39 % pada perlakuan tanpa pupuk kandang (12 mst).

Rendahnya intensitas serangan hawar daun ini disebabkan oleh karena faktor lingkungan yang tidak sesuai dengan perkembangan penyakit ini. Musim hujan selama penelitian (lampiran 29) tidak mendukung perkembangan penyakit ini. Hal ini dapat dilihat dai suhu harian selama penelitian yang rendah yaitu 26,39oC dan kelembaban udara harian sebesar 83,45 % serta curah hujan sebesar 12,5 mm/hari. Menurut Pakky (2005) kondisi terbaik untuk perkembangan penyakit ini adalah pada suhu 30 oC dengan kelembaban >90%. Menurut Sudjono (1990) bahwa dengan curah hujan yang rendah (6-16,50 mm/bulan) Intensitas penyakit hawar daun sangat rendah di lapangan. Intensitas serangan penyakit hawar daun sangat rendah dibanding pada musim hujan dengan curah hujan


(54)

210-480 mm/bulan. Perkembangan penyakit tersebut berkaitan dengan suhu dan kelembaban. Pada musim kemarau, suhu udara meningkat dan pada siang hari kelembaban menurun. Sebaliknya pada musim hujan suhu siang hari lebih rendah dan stabil serta kelembaban cenderung lebih tinggi. Kondisi tersebut mengakibatkan sporulasi meningkat atau spora di udara cukup tersedia sehingga peluang terjadinya infeksi cukup besar.

0 0 0,

2 0 2, 34 3, 39

0 0 0

0, 5 1, 65 3, 65 0 0, 09 0,

1 0,3

3,

56

3,

64

0 0,

18 0,3

0, 88 3, 65 5, 3

0 0 0

2, 08 4, 85 6, 51

0 0 0

1, 38 3, 81 4, 69 0 1 2 3 4 5 6 7

7 8 9 10 11 12

Minggu setelah tanam (mst)

In ten si tas S er an g an D . m ayd is ( % ) P0 P1 P2 P3 P4 P5

Gambar 11: Histogram pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap Intensitas serangan

Drechslera maydis

Diagram pada gambar di atas dapat dilihat pengaruh pupuk kandang terhadap penyakit Hawar daun. Munculnya penyakit pada tanaman terjadi pada 7 mst namun tidak terdapat pada tanaman sampel. Pada perlakuan pupuk kandang Lembu 0,09 % dan pupuk kandang Kambing 0,18 % pada 8 mst. Pada daun terjadi bercak-bercak coklat yang meluas pada permukaan daun, bercak dimulai pada daun terbawah. Menurut Semangun (1993) Penyakit Hawar daun menyebabkan bercak agak memanjang pada daun, bagian tengah agak melebar, berwarna coklat keabuan dikelilingi oleh warna kuning sejajar tulang daun dan bercak terutama terdapat pada daun bawah. Dari gambar 8 dapat dilihat bahwa


(55)

peningkatan Intensitas serangan penyakit Hawar daun di lapangan pada semua perlakuan terus meningkat pada tiap pengamatan. Namun intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk kandang burung Puyuh sebesar 14,65% dan diikuti oleh perlakuan pupuk kandang Kambing sebesar 13,13% pada 12 mst yaitu pada akhir pengamatan. Tanaman terserang penyakit Hawar di lapangan menunjukkan gejala berupa bercak berbentuk lonjong, bercak berwarna kuning dikelilingi oleh warna cokelat. Penyakit menyerang daun, pelepah dan tongkol.

3. Intensitas Serangan Puccinia sp.

Hasil analisa sidik ragam pada pengamatan intensitas serangan penyakit Karat daun (lampiran 16-21) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang berpengaruh tidak nyata terhadap perkembangan penyakit Karat daun

Puccinia sp. pada pengamatan 9-12 mst dan berpengaruh sangat nyata pada 13-14

mst.

Untuk menentukan perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan seperti pada tabel berikut :

Tabel 4. Rataan Intensitas Serangan Puccinia sp (%) pada 9 – 14 mst Perlakuan

minggu setelah tanam (mst)

9 10 11 12 13 14

P0 0,00 0,00 0,58 2,55 2,93c 3,39c

P1 0,20 0,46 4,87 1,39 15,86a 24,38a

P2 0,00 0,69 0,69 2,32 4,39c 4,73c

P3 1,00 2,20 4,29 1,28 15,35a 18,41ab

P4 0,00 0,23 1,97 1,74 11,58ab 21,29a

P5 0,10 0,12 0,58 3,13 6,24bc 8,85bc

Keterangan : Angka dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji jarak Duncan


(56)

Dari tabel dapat dilihat bahwa perlakuan memberi pengaruh yang berbeda-beda pada perkembangan penyakit karat pada tiap-tiap pengamatan. Pada 9-12 minggu setelah tanam (mst) perlakuan tanpa pupuk kandang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan yang lainnya. Pada pengamatan minggu ke-5 (13 mst) dan ke-6 (14 mst) dapat dilihat pada bahwa perlakuan tanpa pupuk kandang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan pupuk kandang Lembu dan pupuk kandang Kuda. Sedangkan perlakuan pupuk kandang Kambing, pupuk kandang Ayam dan pupuk kandang burung Puyuh tidak menunjukkan perbedaan yang nyata tetapi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan tanpa pupuk kandang, pupuk kandang Lembu, pupuk kandang Kuda. Intensitas serangan tertingi terdapat pada perlakuan pupuk kandang Ayam yaitu sebesar 24,38 % dan terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk kandang sebesar 3,39 %.

Menurut Semangun (1993) suhu optimum untuk perkecambahan urediospora adalah 27 - 28 oC. Data cuaca harian di lahan penelitian (lampiran 29) menunjukkan bahwa suhu udara harian rata-rata 26,39 oC. sehingga mendukung perkembangan penyakit karat di lapangan.

Gejala serangan di lapangan ditemui setelah 9 mst, yaitu pada saat adanya noda kecil berwarna merah karat di atas permukaan daun bagian atas. Pada bercak terdapat berwarna cokelat kuning, kalau diraba dengan tangan menyebabkan seperti terkena tepung seperti karat. Menurut Semangun (1993) jamur membentuk urediosorus pada daun dan kadang-kadang juga pada upih daun. Karena adanya sorus ini permukaan atas daun menjadi kasar dan. Pada tingkatan yang jauh penyakit karat menyebabkan mengeringnya bagian-bagian daun.


(57)

0 0 0,

58 2,

55 2,93 3,39

0, 2 0, 46 4, 87 1, 39 15, 86 24, 38 0 0, 69 0,

69 2,32 4,

39 4,73

1 2, 2 4, 29 1, 28 15, 35 18, 41

0 0,23 1,

97 1, 74 11, 58 21, 29 0, 1 0,

12 0,58 3,

13 6, 24 8, 85 0 5 10 15 20 25 30

9 10 11 12 13 14

Minggu Pengamatan (mst)

In ten si tas S er an g an P u cci n ia s p . (% ) P0 P1 P2 P3 P4 P5

Gambar 12: Histogram pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap Intensitas Serangan

Puccinia sp.

Dari gambar 9 dapat dilihat bahwa Intensitas serangan Puccinia sp. mengalami perkembangan pada tiap pengamatan. Perkembangan penyakit

Puccinia sp. di lapangan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca. Penyakit Karat

dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang lembab.

Menurut Semangun (1996) perkembangan penyakit karat dipengaruhi oleh suhu. Suhu optimum untuk perkecambahan urediospora adalah 27-28 oC. Data cuaca harian di lahan penelitian ( lampiran 29) menunjukkan bahwa suhu udara harian rata-rata 26,39 oC sehingga mendukung perkembangan penyakit karat di lapangan. Intensitas serangan tertingi terdapat pada perlakuan pupuk kandang Ayam yaitu sebesar 24,38 % dan terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk kandang sebesar 3,39 %.

4. Tinggi Tanaman

Hasil analisa sidik ragam tinggi tanaman jagung dari tiap-tiap plot terdapat pada lampiran 46. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa


(58)

pemberian pupuk kandang berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman Jagung.

Untuk menentukan perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan seperti pada tabel berikut :

Tabel 6: Rataan tinggi tanaman jagung (cm)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

P0 105,25 176,75 204,25 126,50 612,75 153,19b

P1 198,25 211,75 213,75 238,50 862,25 215,56a

P2 202,00 175,75 200,00 184,25 762,00 190,50a

P3 215,00 224,75 218,50 212,00 870,25 217,56a

P4 202,00 211,75 226,00 233,25 873,00 218,25a

P5 160,25 211,75 212,75 203,00 787,75 196,94a

Total 1082,75 1212,50 1275,25 1197,50 4768,00 Rataan 180,46 202,08 212,54 199,58 198,67 Keterngan : Angka dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada taraf 5%.

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tinggi jagung pada perlakuan pupuk kandang burung Puyuh, pupuk kandang Kambing, pupuk kandang kuda, pupuk kandang Lembu dan pupuk kandang Ayam berbeda sangat nyata terhadap tinggi jagung pada perlakuan tanpa pupuk kandang. Tinggi tanaman Jagung tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk kandang burung Puyuh sebesar 218 cm dan tinggi terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk kandang sebesar 153,19 cm. Perlakuan tanpa pupuk kandang (kontrol) mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kurang subur. Kekurangan Nitrogen mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan pada batang dan daun tidak optimal. Jika Posfor dalam keadaan kurang, pembelahan sel di dalam tanaman tertunda dan pertumbuhan dihalangi akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi kerdil.


(59)

Untuk lebih jelas, pemberian pupuk kandang terhadap tinggi tanaman Jagung dapat dilihat pada gambar berikut:

105, 25 198, 25 202, 00 215, 00 202, 00 160, 25 176, 75 211, 75 175, 75 224, 75 211, 75 211, 75 204, 25 213, 75 200, 00 218, 50 226, 00 212, 75 126, 50 238, 50 184, 25 212, 00 233, 25 203, 00 0,00 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00 300,00

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Perlakuan T in g g i T a n a m a n ( c m ) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV

Gambar 13: Histogram pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap tinggi tanaman Jagung

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa tinggi tanaman jagung tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk kandang Puyuh yaitu setinggi 218 cm dan tinggi tanaman Jagung terendah pada perlakuan tanpa pupuk kandang yaitu setinggi 153,19 cm. Perlakuan (kontrol) tanpa pemberian pupuk kandang mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kurang subur yang berakibat pertumbuhan yang tidak optimal.

5. Produksi Jagung

Hasil analisa sidik ragam produksi buah jagung dari tiap-tiap plot terdapat pada lampiran 46. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang berpengaruh sangat nyata terhadap produksi Jagung.


(60)

Untuk menentukan perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan seperti pada tabel berikut :

Tabel 5: Rataan Produksi Jagung (Ton/ha)

Perlakuan Rataan

P0 3,54cC

P1 5,58abAB

P2 5,34bAB

P3 6,60aA

P4 4,80bBC

P5 4,40bcBC

Keterangan : Angka dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji jarak Duncan

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa produksi jagung pada perlakuan pupuk kandang Kambing berbeda sangat nyata terhadap produksi jagung pada perlakuan tanpa pupuk kandang, pupuk kandang burung Puyuh dan pupuk kandang Kuda meski tidak berbeda nyata terhadap perlakuan pupuk kandang Ayam tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan pupuk kandang Lembu. Sedangkan perlakuan dengan pupuk kandang Ayam menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap perlakuan dengan pupuk kandang Lembu dan perlakuan pupuk kandang burung Puyuh. Produksi tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk kandang Kambing sebesar 6,60 ton/ha dan produksi terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk kandang sebesar 3,54 ton/ha. Perlakuan tanpa pupuk kandang (kontrol) mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kurang subur yang berakibat pada timbulnya beberapa penyaki-penyakit penting yang diamati yaitu P. maydis, D.


(61)

Untuk lebih jelas, pemberian pupuk kandang terhadap produksi Jagung dapat dilihat pada gambar berikut:

1,77 2,79 2,67 3,3 2,4 2,2 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Perlakuan P ro d u k s i ( K g /p l Rataan

Gambar 14: Histogram pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap produksi Jagung

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa produksi jagung tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk kandang Kambing sebesar 6,6 ton/ha, diikuti oleh perlakuan pupuk kandang Ayam sebesar 5,58 ton/ha, perlakuan pupuk kandang Lembu sebesar 5,34 ton/ha, perlakuan pupuk kandang burung Puyuh sebesar da 4,68 ton/ha, perlakuan pupuk kandang kuda sebesar 4,40 ton/ha dan produksi terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk kandang sebesar 3,54 ton/ha. Perlakuan tanpa pupuk kandang (kontrol) mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kurang subur yang berakibat pada timbulnya beberapa penyaki-penyakit penting yang diamati yaitu P. maydis, D. maydis, Puccinia sp. sehingga produksi jagung pada perlakuan ini juga rendah karena pertumbuhan tanaman kurang optimal.


(62)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Persentase/intensitas serangan penyakit-penyakit yang paling berat untuk

Peronosclerospora maydis pada perlakuan P5 = 37,50 %, serangan

Drechslera maydis pada perlakuan P4 = 6,51%, Puccinia sp. pada

perlakuan P1 = 24,81%.

2. Persentase/intensitas serangan penyakit-penyakit paling ringan untuk

P. maydis pada perlakuan P1 dan P2 = 0,00 %, D. maydis pada

perlakuan P0 = 3,39%, Puccinia sp. pada perlakuan P0 = 2,86 %.

3. Persentase/intensitas serangan penyakit yang berpengaruh terhadap produksi Jagung di lapangan adalah antara lain penyakit P. maydis,

D. maydis, Puccinia sp.

4. Tinggi tanaman Jagung tertinggi terdapat pada perlakuan P4 (pupuk kandang Puyuh) yaitu setinggi 218 Cm dan tinggi tanaman Jagung terendah pada perlakuan P0 (tanpa pupuk kandang) yaitu setinggi 153,19 Cm.

5. Produksi tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (pupuk kandang Kambing) yaitu sebesar 6,6 ton/ha dan produksi terendah pada perlakuan P0 (0,00 kg pupuk kandang) yaitu sebesar 3,54 ton/ha.


(63)

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang penggunaan pupuk organik pada intensitas serangan penyakit pada tanaman jagung dengan penggunaan varietas non hibrida dan dosis yang berbeda di lapangan.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

AAK, 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Yogyakarta. Kanisius.

Balai Penelitian Tanaman Serealia, 2007. Penge lolaan Hama dan Penyakit Jagung.

Dadang, 2006. Jagung Bule Jelas Memble. Diakses dari:

Diah, S., 2007. Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Pertanian. Diakses dari: : 17 November 2006.

Dwidjoseputro, 1987. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni, Bandung.

Handayani, W. dan D. Sihombing, 2000. Pengaruh Pupuk Organik dan Mulsa Jerami Terhadap Serangan Aphid sp. Dan Alternaria porry Pada Bawang Daun dalam Prosiding kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Husnain dan Syahbudin, 2007. Mungkinkah Pertanian Organik di Indonesia?

Peluang dan Tantangan. Diakses dari : Akses : 17 November 2006.

Kafrawi, 2007. Sikecil yang Bermanfaat. Diakses dari : Akses : 17 November 2006.

Karen, R and G. Ruhl, 2007.

Diakses dari : http://www.btny.purdue.edu/Extension/Pathology/CropDiseases/Corn/

Tanggal Akses : 11 September 2007

Matnawy, H., 2007. Perlindungan Tanaman. Kanisius, Yogyakarta. Hal 33

Marsono dan P. Sigit, 2002. Pupuk Akar: Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Musnamar, E.I., 2003. Pupuk Organik : Cair & Padat, Pembuatan dan Aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta.


(65)

Pakki, S., 2005. Epidemiologi dan Pengendalian Bercak Daun Pada Tanaman Jagung. Balai penelitian Tanaman Serealia.

Pangarsa, N dan D. Rahmawati, 2007. Pengendalian Hama dan Penyakit Penting Pada Tanaman jagung. Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian, Jawa Timur.

Pracaya, 1999. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.

Pranoto, Y.H., K. Idaharvina dan Natalia, 2007. Intensitas Serangan Penyakit Pada Budidaya Sayur Organik Dengan Sistem Pertanaman Ganda. UGM, Yogyakarta.

Rukmana, R., 1997. Usaha Tani Jagung. Kanisius, Yogyakarta.

Sastrosupadi, A., 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Kanisius, Yogyakarta.

Semangun, H., 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia.. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Silitonga, S.T., Budiarti, S.A. Rais, I.H. Sumantri dan M. Machmud., 2007. Evaluasi Ketahanan Plasma Nufah Padi terhadap Penyakit Hawar daun Bakteri dan Blas dan Jagung terhadap Bulai.

Sofyan, S., 2007. Penggunaan Pupuk kandang Tingkatkan Produksi Pertanian.

Suprapto, 1999. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sutanto, R., 2002a. Pertanian Organik-Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta.

Sutanto, R., 2002b.. Penerapan Pertanian Organik - Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius, Yogyakarta.

Tejasarwana dan Rahardjo, 2000. Pengaruh Pupuk Urea, Pupuk Hayati Azolla dan pupuk Kandang Terhadap intensitas Serangan Bercak Ungu Pada Tanaman Bawang Daun.dalam Prosiding kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, universitas JenderalSoedirman, Purwokerto.


(66)

Vandyk, J., 2007. Manure Application and Soybean Disease. Iowa State University, Iowa.

Wakman, W., 2004. Varietas Jagung Tahan Penyakit Hawar

Winarno, F.G., 2007. Pangan Organik dan Pengembangannya di Indonesia.

Diakses dari:

Wirawan G.N dan M.I. Wahab, 2007. Teknologi Budidaya Jagung. Oktober 2007.

Yulianti, T. dan Nidar, I., 2000. Pertanian Organik dan Penyakit tanaman dalam Prosiding kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, universitas JenderalSoedirman, Purwokerto.


(67)

Lampiran 1

BAGAN PENELITIAN

III II I IV

Keterangan :

P0 : Kontrol (Tanpa Pupuk)

P1 : Pupuk Kandang dari kotoran Ayam 20 kg/petak perlakuan P2 : Pupuk Kandang dari kotoran Lembu 20 kg/petak perlakuan P3 : Pupuk Kandang dari kotoran Kambing 20 kg/petak perlakuan P4 : Pupuk kandang dari kotoran Burung Puyuh 20 kg/petak P5 : Pupuk kandang dari kotoran Kuda 20 kg/petak perlakuan

P1 P4

P0 P3

P1 P2 P3

P4 P5

P4

P3 P0

P0 P5 P1

P2 P3 P5

P0 P2 P4

U

P2 P5


(68)

Lampiran 2

Bagan Pengambilan Sampel

X 70 cm X X 10cm X

X Xa X X

X X Xa X

X Xa X 20 cm X 2 m

X X Xa X

20cm X X X X

2,5 m Keterangan :

X = Tanaman Utama ( 24 tanaman ) Xa = Tanaman Sampel ( 4 tanaman )

Jumlah unit pecobaan = 6 x 4 = 24

Luas Lahan = 15,5 m x 14 m

Luas Plot = 2,5 m x 2 m

Jarak antar perlakuan = 50 cm Jarak antar Ulangan = 100 cm

Jarak Tanam = 70 cm x 20 cm

Jumlah Populasi/plot = 24 tanaman

Jumlah Populasi = 24 x 24 = 576 tanaman Jumlah Tanaman Sampel /plot = 4 tanaman


(69)

Lampiran 3

Kebutuhan Pupuk Kandang

P0 : 0 kg

P1 : 20 kg/petak perlakuan x 4 ulangan = 80 Kg P2 : 20 kg/petak perlakuan x 4 ulangan = 80 Kg P3 : 20 kg/petak perlakuan x 4 ulangan = 80 Kg P4 : 20 kg/petak perlakuan x 4 ulangan = 80 Kg P5 : 20 kg/petak perlakuan x 4 ulangan = 80 Kg


(1)

a .b

Lampiran 23. Rataan Produksi Jagung Pipilan Kering (Ton/ha)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

P0 3,12 3,72 4,92 2,40 14,16 3,54

P1 5,88 6,24 6,60 3,60 22,32 5,58

P2 4,20 6,60 7,56 3,00 21,36 5,34

P3 5,40 7,08 7,32 6,60 26,40 6,60

P4 4,80 4,20 6,00 4,20 19,20 4,80

P5 4,20 4,74 5,64 3,00 17,58 4,40

Total 27,60 32,58 38,04 22,80 121,02

Rataan 4,60 5,43 6,34 3,80 5,04

Daftar Analisa Sidik Ragam

SK dB JK KT F Hit F 0,05 F 0,01

Ulangan 3 21,44 7,15 12,25 ** 2,51 3,71

Perlakuan 5 22,16 4,43 7,59 ** 2,51 3,71

Galat 15 8,75 0,58

Total 23 52,35

KK = 15,15% FK = 610,24

Keterangan : ** = Sangat Nyata * = Nyata tn = Tidak Nyata

Uji Jarak Duncan

Sy = 0,38

P 2 3 4 5 6

SSR 0.05 3,01 3,16 3,25 3,31 3,36

LSR 0.05 1,15 1,21 1,24 1,26 1,28

SSR 0.01 4,17 4,37 4,5 4,58 4,64

LSR 0.01 1,59 1,67 1,72 1,75 1,77

Perlakuan P0 P5 P4 P2 P1 P3


(2)

A B

C Lampiran 25. Foto Jagung


(3)

Lampiran 27. Foto Pupuk Kandang

FOTO PUPUK KANDANG SEBELUM DIAPLIKASI

Pupuk Kandang Ayam Pupuk Kandang Kambing


(4)

Pupuk Kandang Burung Puyuh

Foto Lahan Penelitian


(5)

(6)