27
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Geografis Desa Kebonbimo
Desa Kebonbimo masuk wilayah di Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali. Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pager
Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Dlingo Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali, sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Mudal Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngargosari
Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Desa Kebonbimo terletak sekitar 4 KM ke arah Utara dari pusat kota Boyolali. Desa ini beriklim tropis dan
kaya akan sumber mata air yang pada masa pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1945 sumber mata air tersebut dijadikan tempat untuk
mencuci Serat, karena di lokasi dekat sumber mata air itu dahulu berdiri sebuah pabrik Serat yang dibangun tahun 1918 dan mulai beroperasi dari
tahun 1922 - 1945 Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013.
Menurut penuturan dari Minto Suwarno yang didapat dari cerita orang tuanya yang bernama Marto Rejo, mengatakan bahwa sebelum
Republik Indonesia berdiri. Tanah Desa Kebonbimo dulunya merupakan tanah milik Keraton Kasunanan Surakarta. Karena Raja yang berkuasa
pada masa itu lebih berpihak dengan Belanda, melalui politik sewa tanah
28 yang dilakukan, Pemerintah Hindia Belanda membuat proyek di wilayah
Desa Kebonbimo dengan mendirikan perkebunan Kopi, namun dalam perkembangannya mulai tahun 1918 perkebunan Kopi diganti dengan
ditanami Serat dan dibarengi dengan membangun Pabrik Serat yang berada di Dukuh Tlatar yang dapat digunakan mulai tahun 1922. Karena
secara kebetulan orang tua dari Minto Suwarno yang bernama Marto Rejo merupakan salah satu pegawai pabrik sejak awal berdiri dari perkebunan
kopi sampai dengan perkebunan Serat. Selain sebagai kaki tangan orang Belanda yaitu dijadikan “
Jongos
” pembantu Laki-laki, Marto Rejo juga sebagai perawat dan penebang di perkebunan Wawancara dengan Minto
Suwarno, 13 Oktober 2013. Luas wilayah Desa Kebonbimo sebagian besar masih berupa tanah
bekas perkebunan Serat yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda. Tanaman serat memiliki bentuk menyerupai tanaman nanas, karena hanya
dapat melihat dan menyebutkan ciri-ciri bentuk fisiknya yang menyerupai pohon nanas maka masyarakat Desa Kebonbimo dan sekitarnya sering
menyebut dengan nama Serat nanas. Sebelum banyaknya tali tambang yang terbuat dari bahan plastik dan senar, pada masa penjajahan Belanda
dalam membuat tali tambang menggunakan bahan dari serat. Jenis tanaman serat yang ditanam di perkebunan milik Belanda di Desa
Kebonbimo dan sekitarnya dari tahun 1918-1945 di produksi sebagai bahan pembuatan tali tambang
Dadung
dengan ukuran besar yang digunakan untuk kebutuhan kapal-kapal Belanda. Khusus pada masa
29 Jepang ditambah dengan jenis produksi yang tidak hanya membuat tali
tambang tetapi juga membuat karung goni dan selendang serat. Berikut ciri-ciri fisik dari pohon serat yang ditanam di perkebunan milik Belanda
di Desa Kebonbimo diantaranya sebagai berikut Wawancara dengan Henri Sugiman, 12 Mei 2014:
a. Bentuk pohon serat seperti pohon nanas, tetapi pohon serat lebih
besar dan tinggi. b.
Tebal daun serat, kurang lebih 1 cm. c.
Mempunyai bunga warna putih dan jika sudah tua tangkai bunga tinggi menjorok ke atas.
d. Tinggi pohon serat, kurang lebih 150 cm.
e. Panjang helai daun serat, kurang lebih 100 cm.
f. Pohon serat tidak berbuah.
g. Daun serat berduri dibagian tepi dan di bagian pucuk depan berduri
dengan warna hitam. h.
Lebar daun serat, kurang lebih 10-15 cm. i.
Setiap pohon serat mempunyai daun kurang lebih berjumlah 20 helai daun.
j. Daun serat yang digunakan yaitu daun yang sudah tua untuk
diproses produksi di pabrik serat di Dukuh Tlatar. k.
Daun serat berwarna hijau keputih-putihan. Pada tahun 1948 Desa Kebonbimo terdiri dari 10 padukuhan,
diantaranya yaitu: Wates, Gombol, Tlatar, Gatak, Baturan, Dukuh, Titang,
30 Kebonbimo, Karang Tengah, dan Ngablak. Dukuh Tlatar mempunyai
jumlah kepala keluarga paling banyak dibandingkan dengan dukuh lain di wilayah Desa Kebonbimo yakni sekitar 30 kepala keluarga, sedangkan
dukuh yang lainnya rata-rata sekitar 10 kepala keluarga. Jumlah penduduk Desa Kebonbimo kurang lebih 500 orang Wawancara dengan Henri
Sugiman, 28 Januari 2014. Dukuh Tlatar memiliki jumlah penduduk paling banyak, hal ini
dikarenakan Dukuh Tlatar berfungsi sebagai pusat pemerintahan Desa Kebonbimo dan terdapat pabrik Serat yang pada waktu masih aktif
berproduksi memiliki tenaga kerja yang cukup banyak sehingga mempengaruhi peningkatan jumlah warga Wawancara dengan Haryono, 3
Februari 2014. Menurut Henri Sugiman, di lokasi sekitar pabrik Serat di Dukuh Tlatar terdapat perumahan atau mess. Mess tersebut pada waktu
pabrik masih aktif berproduksi digunakan untuk tempat tinggal bagi karyawan-karyawan pabrik Serat yang berasal dari luar daerah seperti:
Klaten dan Tasikmadu, yang bekerja di bagian teknisi mesin pabrik. Pabrik Serat berproduksi sampai kekuasaan Jepang berakhir di Indonesia
tahun 1945. Selama periode tahun 1942-1945 pabrik Serat tetap memproduksi seperti biasanya, tetapi tidak seaktif pada masa hindia
Belanda. Setelah kekuasaan Jepang di Indonesia berakhir pada tahun 1945, bangunan pabrik Serat tersebut pada masa Agresi Militer Belanda I
dijadikan asrama sementara dari pasukan Pesindo. Menjelang terjadinya Agresi Militer Belanda II tahun 1948 komplek bangunan pabrik Serat
31 dibumihanguskan oleh masyarakat Desa Kebonbimo dibarengi dengan
penghancuran Jembatan Tlatar yang di bangun pada tahun 1922. Tujuan bumihangus kawasan pabrik dan penghancuran jembatan adalah supaya
Belanda tidak kembali lagi ke Desa Kebonbimo untuk menguasai pabrik Serat dan Desa Kebonbimo. Lokasi pabrik serat telah berubah menjadi
perkampungan warga Umbul Rejo Timur, kurang lebih mulai tahun 1950 dan disusul dengan dukuh-dukuh baru yang lainnya di wilayah Desa
Kebonbimo, objek wisata Umbul Tlatar serta sebagai saluran irigasi tanah pertanian masyarakat Desa Kebonbimo dan Desa Pager. Selain Dukuh
Umbul Rejo Timur, ada juga dukuh-dukuh baru lainnya yang merupakan sebagian dari bekas perkebunan Serat diantaranya seperti: Umbul Rejo
Barat, Gatak Baturan, Kebon Rejo, dan Karang Mojo Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014. Tempat yang dulunya masih berupa
lapangan di Dukuh Tlatar, sekarang sudah berdiri bangunan SMA N 2 Boyolali. Lapangan tersebut merupakan lokasi Perang Pruputan pada
tanggal 14 Juli 1949. Perang Pruputan adalah perang yang dilakukan pada waktu masih pagi-pagi buta Wawancara dengan Karso Diharjo, 27
Januari 2014. Pada tahun 1922-1945 mata pencaharian masyarakat Kebonbimo
pada umumnya menjadi pegawai buruh kasar Kuli pabrik Serat, adapun tugas mereka ialah Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014:
32 a.
Perawat dan penebang di perkebunan Serat. Salah satu karyawannya bernama Marto Rejo orang tua dari Minto Suwarno yang bertempat
tinggal di Dukuh Gatak. b.
Penyortir Serat. c.
Bagian gerobak yang bertugas mengangkut Serat dari kebun ke pusat pabrik di Dukuh Tlatar.
d. Pencuci Serat yang sudah terbentuk seperti helai benang.
e. Tukang penjemuran Serat setelah selesai dicuci di Umbul.
Kedatangan pemerintah militer Jepang pada tahun 1942 membuat wilayah seluruh kekuasaan Belanda dan aset-aset yang dimiliki Belanda
beralih ke tangan Jepang. Setelah adanya peralihan kekuasaan, pabrik Serat yang berada di Dukuh Tlatar tetap beroperasi. Atas kebijakan
pemerintah militer Jepang selain perkebunan Serat masih tetap ada, bagi warga masyarakat yang mempunyai tanah tidak termasuk tanah
perkebunan serat seperti tanah pekarangan di sekitar rumah tempat tinggal diwajibkan untuk menanam jarak maupun palawija, salah satunya
seperti Jagung. Bagi masyarakat yang mempunyai tanah sawah diwajibkan untuk menanam padi dan setiap panen, minimal setengah dari
jumlah total hasilnya harus diserahkan kepada Jepang. Hal ini bertujuan untuk mendukung kebutuhan perang dan sebagai cadangan persediaan
pangan, dengan memanfaatkan tenaga-tenaga masyarakat Desa Kebonbimo sebagai pekerja, Selama masa pendudukan Jepang pada
tahun 1942-1945 masyarakat Desa Kebonbimo menjadi buruh kasar tanpa
33 upah di perkebunan serat yang sebagian besar bertugas sebagai pekerja
lapangan seperti perawat dan penebang Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014. Masyarakat Desa Kebonbimo selama
pendudukan Jepang diajarkan pendidikan semi militer terutama bagi para pemuda-pemuda, yang sangat berguna pada masa perang gerilya tahun
1948-1949 Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013. Di Desa Kebonbimo pada masa pendudukan Jepang, para pemuda yang
berusia 15 tahun ke atas dalam satu kelurahan dilatih pendidikan semi militer yang di pusatkan di lapangan Dukuh Tlatar Wawancara dengan
Tarjo Suwito, 27 Januari 2014. Setelah berakhirnya kekuasaan pemerintah militer Jepang pada
tahun 1945, tanah perkebunan di wilayah Desa Kebonbimo antara tahun 1945-1948 terbengkalai. Dengan adanya siasat bumihangus menjelang
Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948, secara otomatis tanah perkebunan menjadi tanpa pemilik. Atas kebijakan dari pemerintah Desa
Kebonbimo yang dipimpin Citro Budoyo, tanah perkebunan yang sudah ditinggalkan Belanda tersebut kemudian di bagi-bagikan kepada
masyarakat Desa Kebonbimo. Tanah bekas perkebunan oleh masyarakat Desa Kebonbimo dikenal dengan nama tanah DC. Masyarakat Desa
Kebonbimo rata-rata mendapat jatah tanah DC seluas 1000 M
2
- 2000 M
2
. Pembagian tanah diatur secara merata disesuaikan dengan kondisi ekonomi setiap masyarakat. Setelah adanya pembagian tanah DC,
masyarakat Desa Kebonbimo pada tahun 1948 bermata pencaharian
34 sebagai petani penggarap lahan sendiri Wawancara dengan Henri
Sugiman, 28 Januari 2014. Menurut Haryono, yang disebut dengan tanah
Drooge Culture
DC yaitu tanah tanaman kering peninggalan milik
Belanda. Adapun luas dari wilayah Desa Kebonbimo kurang lebih 239 Ha, terdiri dari 119 Ha luas tanah DC dan 120 Ha yang terdiri dari luas
padukuhan dan sawah Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014.
B. Kondisi Pemerintahan Desa Kebonbimo