46 Desa Paras, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali Julius Paur, 2008:
61.
F. Agresi Militer Belanda II Di Boyolali
Pada tanggal 21 Desember 1948 pasukan Belanda menyerang Kota Solo dari arah Barat melalui Kartosuro dan Pada tanggal 22 Desember
1948 pasukan Belanda berhasil menduduki Kota Solo yang sebelumnya telah dihambat TNI yang dibantu oleh Tentara Pelajar Keluarga Besar
SACSA, T.T.:102. Demikian juga dengan kesatuan Tentara Pelajar SACSA yang berkembang menjadi 1 Kompi yang terdiri dari 4 Seksi
dipimpin secara resmi oleh Muktio. Sore hari pada tanggal 21 Desember 1948 diawali dengan bersiap-siap di Nusukan tepatnya di sekolah
Madyotaman sebelah Selatan Stasiun Balapan dengan tujuan untuk melakukan penghadangan pasukan Belanda dari arah Kartosuro dan secara
bersamaan pengambilan alih kepemimpinan atas kesepakatan bersama dari para anggota, pimpinan kesatuan Tentara Pelajar SACSA diserahkan
kepada Hartono Cilik dengan dibantu oleh Haryono,Wasisto dan Robikan. Adanya pergantian Pimpinan karena Muktio pada waktu itu sedang berada
di Kaliboto dan sebagian besar anggota Tentara Pelajar SACSA berada di Kota Solo. Dari usaha Tentara Pelajar SACSA melakukan penghadangan
di Nusukan selama semalam tersebut, ternyata pasukan Belanda tidak kunjung datang. Setelah dipastikan pasukan Belanda tidak datang
melewati Nusukan maka pasukan Tentara Pelajar SACSA yang dipimpin Hartono Cilik, paginya tanggal 22 Desember 1948 memutuskan untuk
47 meneruskan perjalanan ke luar kota Solo menuju Daerah Kalioso dengan
kekuatan 1 Kompi. Setelah sampai di Kalioso pasukan bertemu dengan Letkol Slamet Riyadi. Setelah bertemu dan mendapat tugas dari Letkol
Slamet Riyadi, pada tanggal 23 Desember 1948 pasukan Tentara Pelajar SACSA melanjutkan perjalanan ke Simo melewati daerah Klego dengan
tujuan utama ke Bangak. Kompi SACSA ditugaskan untuk mengganggu konvoi pasukan Belanda dalam pengiriman logistik dari Salatiga di
sepanjang jalan Tengaran sampai Bangak Boyolali Keluarga Besar SACSA, T.T.:66-67.
Daerah Bangak merupakan kawasan perkebunan tembakau yang berada di pinggir jalan raya Solo-Salatiga. Bangak merupakan lokasi
rawan untuk jalur lalu lintas darat antara Solo-Salatiga, khususnya untuk konvoi Tentara Belanda. Selain jalannya yang berkelok dan menanjak,
kendaraan yang akan melewati jalan tersebut harus memperlambat gerakannya. Daerah Bangak merupakan tempat yang disukai oleh para
gerilyawan yang di maksud disini adalah TNI, Tentara Pelajar atau Masyarakat Pejuang untuk menghadang konvoi pasukan Belanda. Hal ini
juga dinyatakan oleh Residen Surakarta yang bernama Link mengatakan secara terang-terangan mengakui bahwa di sepanjang jalan Solo-Salatiga
bagi pihak Belanda tidak aman, berikut isi pernyataan dari Link:
“Als de mensen zeggen dat de weg Solo
-Salatiga veilig is, das hebben we wat
anders te denken. Vooral Teras en omstreken”. Kalau orang-orang berkata bahwa jalan Solo-Salatiga aman, kami berpendapat lain. Terlebih Teras dan
sekitarnya
”Julius Paur, 2008:154. .
48 Setelah berjalan kaki sampai di Simo pasukan Tentara Pelajar
SACSA dengan melihat kondisi geografis daerah Simo yang masih jauh dengan daerah Bangak, diputuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju
daerah Sambi. Setelah sampai di Sambi dan pasukan Tentara Pelajar SACSA menumpang hidup bersama warga desa yang sebagian besar
bekerja sebagai petani Keluarga Besar SACSA, T.T.:103. Di Sambi pimpinan Kompi SACSA yang terdiri dari Hartono Cilik, Haryono,
Wasisto dan Robikan mengadakan rapat. Karena Selama perjalanan dari Simo menuju Sambi, ada usulan-usulan dari para anggota Kompi SACSA
yang mempunyai gagasan alternatif dalam menghambat iring-iringan pengiriman logistik pasukan Belanda. Pada waktu yang bersamaan selama
beberapa hari di Sambi dengan melakukan rapat yang diadakan oleh pimpinan Kompi, datanglah seorang utusan Muktio yang bernama
Mulyani untuk menyampaikan pesan bahwa pasukan Kompi SACSA diperintah untuk datang dan berkumpul ke Kaliboto untuk rapat, sehingga
rapat yang baru saja diadakan akhirnya dibubarkan tanpa hasil. Namun setelah utusan dari Muktio selesai menyampaikan pesan, satu kelompok di
dalam kompi SACSA yaitu Regu Badran tidak setuju untuk datang ke Kaliboto karena sudah jelas adanya tugas dari Letkol Slamet Riyadi dan
mengingat sudah melakukan perjalanan gerilya sampai daerah Sambi. Sangat disayangkan apabila harus kembali lagi ke Solo untuk menuju ke
Desa Kaliboto. Untuk meredam ego dari masing-masing anggota, melalu pimpinan diputuskan bahwa kelompok Badran bersama Hartono Cilik
49 tetap tinggal di Sambi untuk sementara waktu dan melaksanakan aksi
percobaan penyerangan dengan Regu Badran di Pos Pasukan Belanda di Bangak dengan tujuan untuk mengukur kekuatan di pihak lawan. Dengan
dipimpin Robikan, Haryono, dan Wasisto bersama utusan dari Muktio yang bernama Mulyani, pasukan Kompi SACSA lainnya berangkat ke
Kaliboto dengan menempuh perjalanan dalam waktu semalam dan paginya sampai di tempat tujuan Keluarga Besar SACSA, T.T.:67-68.
Pasukan Tentara Pelajar SACSA dari Regu Badran dengan jumlah 20 orang, dari sebagian anggotanya sebanyak 7 orang yang masih bertahan
dengan dipimpin Hartono Cilik berangkat dari Desa Sambi untuk melakukan aksi penyerangan ke desa sebelah Timur Bangak yang jaraknya
sekitar 5 Km dari Sambi yang dipisahkan dengan Kali Pepe. Serangan diawali dengan mengganggu pos Pasukan Belanda di Bangak melewati
kebun Tebu. Dua tembakan dari anggota yang bernama Lik Wukirman berhasil membuat 2 orang Tentara Belanda tersungkur dan terjadi
perlawanan dari pihak Tentara Belanda. Setelah dirasa cukup dengan beberapa tembakan, pasukan mundur dari pos Belanda untuk kembali ke
Sambi. Sehari Setelah melakukan penyerangan ke pos Tentara Belanda yang berada di Bangak, Hartono Cilik dengan regu Badran yang berjumlah
20 orang berangkat dari Sambi pada malam hari menuju kearah Timur untuk bergabung bersama dengan teman-teman lainnya dari kesatuan
Tentara Pelajar SACSA yang sudah terlebih dahulu berada di Desa Kaliboto Keluarga Besar SACSA, T.T.:104-105.
50 Setelah beberapa hari di Kaliboto
Pasukan Tentara Pelajar SACSA yang dipimpin kembali oleh Muktio, melanjutkan perjalanan kembali ke
Sambi dan berencana untuk melakukan gerilya di daerah Mojosongo Boyolali. Dengan berjalan kaki dari Kaliboto-Sambi selama 4 malam,
Tentara Pelajar SACSA mendapat pengumuman lagi dari pimpinan Letkol Slamet Riyadi mengenai tugas untuk Kompi I SACSA di daerah
Pager dan Tlatar. Tugasnya sama dengan yang digariskan oleh Letkol Slamet Riyadi pada waktu bertemu di Kaliyoso yaitu mengganggu
jalannya konvoi Pasukan Belanda yang datang dari Salatiga menuju Solo atau sebaliknya Keluarga Besar SACSA, T.T.:107.
Dengan adanya tugas untuk Kompi I SACSA dari sebagian anggota dari Seksi II SACSA, Regu Wasisto berangkat dari Sambi
menuju arah Boyolali Kota dengan menyusuri jalan besar yang jaraknya kurang lebih 2 KM dengan menyeberangi Kali Pepe. Dilanjutkan berjalan
kurang lebih 200 meter, Pasukan Tentara Pelajar SACSA Seksi II Regu Wasisto sampai di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo untuk bermalam.
Karena tidak membawa peta, pada pagi harinya Regu Wasisto diserang pasukan Belanda. Tidak ada perlawanan di pihak pasukan SACSA Seksi
II Regu Wasisto. Pasukan melarikan diri dari kepungan pasukan Belanda menuju Gunung Ketangga. Di Gunung Ketangga Seksi II Regu Wasisto
beristirahat selama satu hari sambil siap siaga untuk menghadapi kemungkinan yang akan terjadi. Setelah sehari di Gunung Ketangga
pasukan SACSA Seksi II Regu Wasisto, sebagian diputuskan untuk tetap
51 tinggal di Gunung Ketangga dan sebagian lagi meneruskan perjalanan
gerilya menuju daerah Mojosongo serta mulai mengadakan pencegatan di pagi hari. Namun, ketika pasukan berada di bagian Selatan pinggir jalan
raya Solo-Salatiga secara kebetulan pasukan Belanda datang mendekat pada saat konvoi menuju Solo dari arah Boyolali kota dengan jarak hanya
50 meter. Karena pasukan SACSA Seksi II Regu Wasisto belum siap melakukan penyerangan, pasukan mengambil inisiatif untuk bersembunyi
di semak-semak dipinggir jalan. Karena pasukan Belanda tidak mengetahui adanya pasukan SACSA Seksi II Regu Wasisto, maka
pasukan Belanda tetap melanjutkan perjalanan ke Bangak Keluarga Besar SACSA, T.T.:68-69.
Sejak Pasukan Belanda dapat menguasai Solo, Pasukan Belanda sering berkonvoi di sepanjang jalan Solo-Salatiga untuk mengirim logistik.
Pasukan Belanda mendirikan pos di sepanjang jalan antara Salatiga –Solo
sampai di dalam kota Solo. Pos-pos Belanda di antaranya terletak di Tengaran, Ampel, Boyolali, Bangak, dan Solo. Pendirian pos-pos tersebut
berguna untuk menjaga keamanan dalam pengiriman logistik konvoi Belanda yang datang dari arah Salatiga-Solo atau sebaliknya karena
mendapat perlawanan dari Tentara Pelajar, TNI, maupun masyarakat pejuang baik dari sisi kanan dan kiri jalan di sepanjang jalur logistik
Pasukan Belanda Wawancara dengan Sidik Suwarno, 16 Januari 2014. Karena pasukan SACSA dari Seksi II Regu Wasisto pada aksi
yang pertama mengalami kegagalan di daerah Mojosongo akibat
52 kurangnya persiapan, Seksi II Regu Wasisto mengadakan penghadangan
yang kedua kalinya dengan di bantu masyarakat sekitar. Dengan cara memotong pohon lalu ditumbangkan di Tengah jalan raya Solo-Salatiga
tepatnya di daerah antara Teras dan Mojosongo untuk menghadang konvoi Belanda. Adanya pohon yang menghalangi di Tengah jalan, pasukan
Belanda berhenti dan menyingkirkannya ke tepi jalan. Dari kelengahan pasukan Belanda karena fokus perhatian tertuju untuk menyingkirkan
pohon yang berada di tengah jalan tersebut, dengan kesempatan itu dimanfaatkan oleh pasukan SACSA Seksi II Regu Wasisto untuk
menyerang dengan cara menembaki. Di tempat lain di daerah Boyolali Kota, Pasukan SACSA Seksi II Regu Suharno Gandul sebagian besar
sedang menunggu patroli pasukan Belanda di daerah Singkil. Karena pasukan Belanda masih mencurigai daerah Metuk dan sekitarnya sebagai
markas para Pasukan SACSA dari Seksi II Regu Wasisto, pasukan Belanda memutuskan untuk melakukan operasi kembali ke daerah Metuk.
Pasukan Belanda melanjutkan operasinya ke Dukuh Tawangsari, Desa Dlingo dekat Gunung Ketangga, Kecamatan Mojosongo untuk
menyerang Regu Wasisto setelah mengetahui regu tersebut tidak berada di Desa Metuk. Setelah diberi info oleh masyarakat sekitar bahwa pasukan
Belanda berjalan menuju ke Dukuh Tawangsari Pasukan Seksi II dari Regu Wasisto yang masih bertahan di Gunung Ketangga mengambil
keputusan untuk melakukan aksi turun gunung yang bertujuan untuk menghadang gerak pasukan Belanda yang datang dari arah Desa Metuk.
53 Namun pasukan Tentara Pelajar SACSA Seksi II dari Regu Wasisto
dalam aksi turun gunung tersebut sudah didahului dihadang pasukan Belanda dan akhirnya pasukan Seksi II Regu Wasisto terjebak di Dukuh
Ngangkrang sehingga terjadilah pertempuran. Setelah pasukan SACSA seksi II pimpinan Suharno Gandul yang ada di Singkil mengetahui
bahwa pasukan Belanda yang akan dihadang sudah berada di Desa Metuk untuk melakukan kembali operasi kepada Regu Wasisto, sehingga Regu
Suharno yang berada di Singkil datang dari arah Barat memutuskan untuk bergabung dan membantu pasukan Tentara Pelajar SACSA Seksi II Regu
Wasisto yang sudah terjebak di Dukuh Ngangkrang, Desa Dlingo, Kecamatan Mojosongo. Dalam pertempuran itu, Suharno pimpinan
Pasukan SACSA Seksi II dari Regu Suharno terkena tembakan ditangannya. Akhirnya pimpinan Seksi II Regu Suharno digantikan oleh
Mulyani, namun tidak disetujui oleh para anggota Regu Suharno. Sehingga kemudian pimpinan digantikan oleh anggota lain dari Seksi II
Regu Suharno yaitu Sunardi Kebo. Pergantian kepemimpinan juga dilakukan oleh Seksi I dari Kompi I SACSA yang berada di daerah Teras
di bawah pimpinan Soeyono menggantikan Hartono Cilik dikarenakan Hartono Cilik pergi ke Jawa Barat Keluarga Besar SACSA, T.T.:69.
Setelah terjadinya pertempuran di daerah Metuk dan sekitarnya disertai dengan secara kebetulan terjadi pergantian komandan seksi-seksi di
pasukan Kompi I SACSA, pasukan Kompi I SACSA mendapat tugas di wilayah Sub Wehkreise SWK yang dipimpin Mayor Supardi yang
54 meliputi wilayah Boyolali. Sedangkan daerah yang ditugaskan untuk
pasukan SACSA Kompi I dibagi menjadi 3 Subsektor yaitu : a.
Subsektor I meliputi daerah Banyudono-Teras yang dipimpin oleh Soeyono
b. Subsektor II meliputi daerah Teras-Boyolali yang dipimpin oleh
Sunardi Kebo c.
Subsektor III daerah Boyolali-Tengaran dipimpin oleh Supomo. Markas Seksi II yang awalnya dari Metuk pindah ke Tlatar dan Seksi I
dari daerah Teras Pindah ke Metuk Keluarga Besar SACSA, T.T.:70.
Desa Kebonbimo merupakan markas Tentara Pelajar SACSA dari Seksi IIKompi I yang dipimpin oleh Sunardi Kebo. Anggotanya tersebar
di wilayah Desa Kebonbimo dan Ngargosari. Sedangkan Seksi I yang dipimpin oleh Soeyono para anggotanya tersebar di Desa Metuk, Dlingo
dan Mudal. Kompi I SACSA yang dipimpin oleh Muktio bermarkas di Timur Desa Pager tepatnya di Dukuh Kentengsari, Desa Kener yang
masuk wilayah dari Kabupaten Semarang Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar-Boyolali, 1982:5. Selama Agresi Militer Belanda II tahun
1948-1949 masyarakat ikut berjuang dengan tidak memperdulikan jiwa raga maupun harta bendanya bersama Tentara Pelajar SACSA dengan
umur rata-rata 14 sampai 18 tahun. Meskipun masih sangat muda situasi dan kondisi yang pada waktu itu memaksa untuk berfikir dewasa sebelum
waktunya. Musuh Tentara Pelajar SACSA adalah Tentara Belanda yang
55 sudah
professional dan mempunyai pengalaman dalam Perang Dunia II. Tentara Belanda dikenal dengan perilaku keji, kejam dan tidak segan-
segan untuk menembaki rakyat yang tidak bersalah, membakar rumah dan merampas harta benda. Apalagi daerah Tlatar dan sekitarnya yang sudah
terkepung oleh markas Tentara Belanda yang berada di Kota Boyolali, Bangak, Simo dan Ampel Ex Tentara Pelajar SACSA, 1994:2.
Secara tidak resmi Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo menjadi pusat tempat berkumpulnya Tentara Pelajar SACSA dari Kompi I yang meliputi
Seksi I yang bermarkas di Desa Metuk, Seksi II di Desa Kebonbimo maupun pasukan Staf Kompi yang bermarkas di Dukuh Kentengsari Desa
Kener Timur Desa Pager. Dengan seringnya Dukuh Tlatar digunakan sebagai tempat berkumpul, sehingga pasukan Belanda mengira bahwa
Tlatar adalah sebagai markas resmi dari Pasukan SACSA Kompi I pimpinan Muktio. Karena sebetulnya hanya dari Seksi II yang bemarkas di
Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:17.
Selain ada kesatuan dari Tentara Pelajar SACSA yang bermarkas di Desa Kebonbimo, juga terdapat kesatuan-kesatuan lainnya seperti
Kepolisian yang dipimpin oleh Bapak Heru Santoso Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:5. Sedangkan untuk desa - desa
disekitar Desa Kebonbimo, seperti: Desa Siwal, Pager, Udanuwuh dan Kradenan dijadikan tempat berpindah-pindah dari kesatuan Tentara Pelajar
56 SACSA maupun Kepolisian yang bermarkas di Desa Kebonbimo Panitia
Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:16. Herwin Soemarso Gembur dan teman-teman, dari Seksi II Kompi
I mengatakan bahwa Staff Komando SACSA berada di Dukuh Kentengsari Desa Kener dipimpin oleh Muktio. Dimana yang
menggabungkan ke Sektor Muktio adalah CPM Salatiga yang kurang lebih berjumlah 30 orang yang menjadi Seksi III SACSA dari Kompi I dengan
ditambah beberapa orang yang turut ikut bergabung Keluarga Besar SACSA T.T.:70.
Selama masa Agresi militer Belanda II pasukan Tentara Pelajar SACSA yang berada di Desa Kebonbimo beserta Pager Desa yang
dibentuk oleh pemerintah Desa Kebonbimo sering mengadakan penghadangan iring-iringan pasukan Belanda yang datang dari di jalan
raya arah Salatiga-Solo atau sebaliknya di Jembatan darurat Kenteng. Usaha yang dilakukan yaitu melakukan pembongkaran jembatan yang
bagian-bagiannya masih terbuat dari kayu menggunakan peralatan seadanya. Cara ini telah diketahui pasukan Belanda karena seringnya
Jembatan darurat Kenteng dirusak oleh warga sekitar termasuk Pager Desa Kebonbimo yang dipimpin Bayan Suroso. Pasukan Belanda mempunyai
inisiatif untuk menjebak Pager Desa dengan cara bersembunyi terlebih dahulu di sekitar Jembatan darurat Kenteng Wawancara dengan Henri
Sugiman, 28 Januari 2014.
57 Sebelum sampai di Desa Ngargosari salah satu warga dari Dukuh
Ngablak yang juga sebagai mata-mata sudah mengingatkan para pasukan Pager Desa dari kelompok Bayan Suroso untuk tidak melakukan aksi
gerilya ke Jembatan darurat Kenteng karena ada Tentara Belanda, tetapi Pager Desa kelompok Bayan Suroso tidak percaya dan tetap melanjutkan
perjalanan menuju Barat Desa Kebonbimo. Setelah sampai di Desa Ngargosari kembali untuk yang kedua kali diingatkan oleh warga bahwa
Tentara Belanda sudah ada di sekitar Jembatan darurat Kenteng, namun kembali tidak dihiraukan oleh Pager Desa Kebonbimo pimpinan Bayan
Suroso dan tetap melanjutkan perjalanan untuk mengadakan aksi gerilya dengan melakukan sabotase di Jembatan darurat Kenteng seperti biasanya
dan pada akhirnya hingga terjebak oleh pasukan Belanda yang sebelumnya sudah bersembunyi di sekitar Jembatan darurat Kenteng Wawancara
dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014. Bayan Suroso tertembak hingga meninggal di tempat. Setelah
melihat dari pimpinan Pager Desa Kebonbimo tertembak, Para anggota Pager Desa yang lainnya dari kelompok pimpinan Bayan Suroso, lari ke
arah Timur menuju Desa Kebonbimo untuk menyelamatkan diri dari serangan pasukan Belanda karena kalah dalam persenjataan Wawancara
dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013. Tentara Pelajar SACSA dari Seksi II yang dipimpin Sunardi Kebo bersama masyarakat sekitar, sering
juga melakukan sabotase di Jembatan darurat Kenteng. Masyarakat yang memanggil Tentara Pelajar SACSA dengan nama Mase Tepe bahu
58 membahu membongkar Jembatan darurat Kenteng yang berada di jalan
raya Ampel-Boyolali Kota hingga tidak dapat dilalui kendaraan pasukan Belanda. Dalam melakukan penghadangan konvoi Belanda yaitu dengan
cara memasang Howitzer yang dijadikan ranjau darat Keluarga Besar SACSA, T.T.: 70-71.
Serangan operasi yang dilakukan pasukan Belanda di Desa Kebonbimo merupakan akibat diketahuinya pelaku pengrusakan Jembatan
darurat Kenteng yang dilakukan setiap sore menjelang malam oleh Pager Desa Kebonbimo. Menurut Henri Sugiman, saat pemimpin Pager Desa
tertembak oleh pasukan Belanda, Bayan Suroso membawa lampu “
Senter
” yang di dalamnya terdapat selembar kertas yang bertuliskan nama-nama
anggota Pager Desa Kebonbimo yang kebanyakan beralamat di Dukuh Tlatar. Hal ini menyebabkan pasukan Belanda mencurigai bahwa di Desa
Kebonbimo terutama Dukuh Tlatar merupakan sebagai pusat gerilyawan yang sering mengganggu konvoi Pasukan Belanda Wawancara dengan
Henri Sugiman, 5 Oktober 2013. Desa Kebonbimo menjadi incaran Tentara Belanda karena mengira
bahwa markas Kompi I dari Tentara Pelajar SACSA berada di Dukuh Tlatar. Karena Desa Kebonbimo terletak paling belakang dibandingkan
desa-desa yang ditempati selain dari Seksi II, karena yang lainnya berada di dekat dengan kota Boyolali. Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo sering
didatangi teman-teman dari Seksi I yang bermarkas di Desa Metuk, maupun pasukan eks Pesindo untuk mandi atau berenang karena ada mata
59 air yang jernih dan melimpah. Selama masa Agresi Militer Belanda II di
Desa Kebonbimo diserang Belanda sebanyak 3 kali. Pada serangan yang pertama pasukan
Belanda menghujani mortir dari luar Desa Kebonbimo. Serangan yang kedua Tentara Belanda berhasil dipukul mundur karena
Tentara Pelajar SACSA sudah mengetahui dan bersiap ketika pasukan Belanda sudah sampai di pinggir Desa Kebonbimo. Serangan ketiga terjadi
pada dini hari kurang lebih pukul 04.00 WIB Keluarga Besar SACSA, T.T.:71-72.
Untuk serangan yang ketiga kalinya, Tentara Belanda sudah masuk Desa Kebonbimo dan membangunkan Tentara Pelajar SACSA yang
dikenal dengan “TNI Bangun”. Tepatnya pada hari Sabtu tanggal 14 Juli 1949 dini hari, pasukan Belanda menyerang dari Boyolali melewati Dukuh
Karang Tengah, Kebonbimo, dan Gatak yang datang dari arah Desa Kiringan. Pada saat itu kebetulan Tentara Pelajar SACSA masih belum
pulas tidurnya setelah pulang dari Boyolali untuk bergerilya. Begitu mendengar Belanda masuk di depan pintu rumah bagian luar yang
ditinggali, Tentara Pelajar SACSA berhasil meloloskan diri melewati belakang dan berhenti di lapangan. Setelah pasukan Belanda mengetahui
para Tentara Pelajar SACSA berhasil lolos melarikan diri ke arah Timur menuju Dukuh Tlatar melewati pintu belakang, sehingga pasukan Belanda
mengejar Tentara Pelajar SACSA dari anggota Seksi II pimpinan Sunardi Kebo yang berada di Dukuh Kebonbimo dan Dukuh Gatak untuk
bergabung dengan Tentara Pelajar SACSA yang berada di Tlatar. Dengan
60 terjadinya kejar-kejaran dari arah Barat Desa Kebonbimo, setelah sampai
di lapangan Dukuh Tlatar terjadi insiden tembak menembak antara pasukan Belanda dengan Tentara Pelajar SACSA yang dibantu oleh
masyarakat Tlatar dan sekitarnya Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:17.
Pada waktu terjadinya serangan Pasukan Belanda di Tlatar, yang berpusat dilapangan Dukuh Tlatar. Para Tentara Pelajar SACSA dengan
masyarakat sekitar
memberikan perlawanan
disertai dengan
menyelamatkan diri melalui jalan kearah Timur Dukuh Tlatar karena pada waktu itu pasukan Belanda menyerang dari berbagai arah, salah satu jalan
untuk keluar dari kepungan pasukan Belanda hanya bisa melewati jalan arah Timur dari lapangan Dukuh Tlatar Wawancara dengan Karso
Diharjo, 18 Maret 2014. Dukuh Tlatar sudah terkepung rapat oleh Tentara Belanda. Hanya ada sedikit celah untuk menghindari kepungan dari
Tentara Belanda yaitu menuju arah Timur yaitu ke arah Umbul. Kekuatan sama sekali tidak seimbang karena satu kompi pasukan komando Tentara
Belanda berjumlah 120 orang, sedangkan melawan satu regu Tentara Pelajar SACSA yang hanya berjumlah 15 orang. Pasukan Belanda
mengira bahwa dengan penyusupan mendadak ke tengah markas gerilya Tentara Pelajar SACSA banyak yang terbunuh dan ada yang menyerah
diri untuk ditawan. Tetapi perkiraan dari Pasukan Belanda itu tidak tepat, malah sebaliknya dengan gigih berani Tentara Pelajar SACSA melawan
meskipun kalah dalam persenjataan Ex Tentara Pelajar SACSA,1994:4.
61 Dalam melarikan diri ke Timur dari lapangan Tlatar para Tentara
Pelajar SACSA maupun masyarakat setelah sampai di Umbul lalu masuk sungai untuk menyeberang dengan cara berenang di Timur Dukuh Tlatar
yaitu sungai Pepe Kali Pepe untuk mencari tempat yang aman dan akhirnya bersembunyi di kebun dan persawahan di sebelah Timur Dukuh
Gombol Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014. Akibat dari kontak senjata dari kedua belah pihak, maka dari salah satu anggota
Tentara Pelajar SACSA yang bernama Sugiman, tertembak di bagian betis. Pasukan Belanda tidak berhasil melumpuhkan dan menghabisi
pasukan dari Tentara Pelajar SACSA Seksi II yang ada di Dukuh Tlatar. Hal ini membuat Tentara Belanda frustasi dan sebagai pelampiasan
kegagalannya, Tentara Belanda menyerang dan membunuh siapa saja yang bertemu mereka di Dukuh Tlatar, Desa Kebonbimo. Akibat dari tembakan
yang dilepaskan oleh pasukan Belanda di pihak masyarakat Kebonbimo khususnya warga Dukuh Tlatar mengakibatkan 7 orang menjadi korban.
Rumah yang dicurigai pihak Belanda sebagai tempat persembunyian Tentara Pelajar SACSA dibakar, harta benda dirampok sampai kuda pun
dibawa untuk mengangkut korban mereka sendiri dari pihak Tentara Belanda.
Peristiwa ini dikalangan masyarakat Dukuh Tlatar dan sekitarnya dinamakan dengan “Perang Pruputan”.
Selang beberapa minggu setelah peristiwa dari tanggal 14 Juli 1949, terjadi serangan dengan cara yang
lebih besar di Markas Kompi I yang berada di Dukuh Kentengsari, Desa Kener dengan cara diserang dan dikepung dari berbagai arah oleh Tentara
62 Belanda yang diantaranya datang dari Simo dan Bangak. Akibat dari itu
seorang penduduk dan seorang anggota dari pasukan pengawas staf gugur di Desa Udanuwuh Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali,
1982:17. Peristiwa yang pernah terjadi di Desa Kebonbimo dan sekitarnya
terutama yaitu peristiwa di Jembatan darurat Kenteng dan Perang Pruputan, telah di gambarkan dalam bentuk ukiran di pintu kantor sekolah
SMA N 2 Boyolali yang intinya melukiskan kepahlawanan masyarakat Kebonbimo dalam membongkar Jembatan darurat Kenteng yang dibuat
Belanda maupun pada saat Perang Pruputan Ex. Tentara Pelajar SACSA 1994:6. Ukiran mengenai gambaran peristiwa Jembatan darurat Kenteng
dan Perang Pruputan yang pernah terjadi dan dialami oleh masyarakat di Desa Kebonbimo merupakan salah satu cara penanaman jiwa patriotisme
dan nasionalisme kepada generasi muda melalui media Seni Ukir terutama bagi para peserta didik yang bersekolah di SMA N 2 Boyolali, karena
peristiwa perjuangan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah suatu bangsa.
G. Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan