73 mengakibatkan situasi desa menjadi kacau karena masyarakat berlarian
menyelamatkan diri ke daerah yang aman. Biasanya jika ada patroli pasukan Belanda, masyarakat Desa Kebonbimo mengungsi kearah
Utara wilayah Kabupaten Semarang seperti: Desa Pager bagian Utara, Siwal dan sekitarnya bahkan sampai Desa Kradenan. Apabila Pasukan
Belanda sudah keluar dari Desa Kebonbimo, masyarakat kembali lagi ke Desa Kebonbimo setelah ada warga
“Cenguk” atau mata-mata yang memberi kabar untuk memastikan atau menjamin bahwa desa sudah
aman. Pasukan Belanda ini yang sering melakukan patroli, beranggotakan 2 sampai 3 orang Belanda asli, sedangkan yang lain
adalah orang-orang pribumi atau Indonesia yang masuk menjadi Tentara Belanda. Pasukan Belanda memasukkan para tawanan untuk
dimanfaatkan sebagai prajurit Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013. Maka tidak mengherankan jika sistem patroli pasukan
Belanda dilakukan secara mendadak karena sudah mengetahui daerah atau lokasi, dengan cara memanfaatkan orang-orang Indonesia yang
menjadi anggota Tentara Belanda maupun tawanan mereka.
2. Bidang Logistik
Masyarakat desa terutama suku Jawa dikenal dengan memiliki kesadaran solidaritas yang sangat tinggi. Salah satunya yaitu adanya
sistem saling tolong menolong dengan tanpa mengharapkan imbalan seperti Gotong Royong dalam Bahasa Jawa diistila
hkan “
sambat sinambat
“ atau “
sambata
n” Dengan sifat yang demikian sangat
74 diperlukan dalam mendukung perjuangan selama masa perang
kemerdekaan. Hal ini membuktikan bahwa peranan masyarakat desa cukup besar selama Agresi Militer Belanda II. Masyarakat banyak
membantu kesulitan-kesulitan yang dialami pasukan-pasukan gerilya yang berjuang di garis pertempuran. Dengan demikian masyarakat
telah memainkan peranan penting dalam membantu perjuangan melawan Belanda Chusnul Hajati, 1997:49. Dukungan masyarakat
yang sangat besar dengan ditambah keinginan yang kuat di kalangan masyarakat. Perang melawan Belanda adalah perang melawan
penjajahan, perang untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Masyarakat ikhlas berkorban baik dengan harta
benda maupun jiwanya yang menjadikan sebagai sumber kekuatan Republik Indonesia dalam berperang menghadapi Agresi Militer
Belanda II Moehkardi 1983:177. Dalam sambutan dari sesepuh orang yang dituakan Eks
Tentara Pelajar SACSA pada peresmian gedung SMA Tlatar Boyolali di Dukuh Tlatar mengatakan bahwa betapa besar bantuan serta
dukungan masyarakat Tlatar dan sekitarnya kepada Tentara Pelajar SACSA para pejuang gerilya. Semua itu diberikan dengan secara tulus
ikhlas tanpa mengharapkan imbalan dengan dibuktikannya para Tentara Pelajar SACSA sudah dianggap sebagai keluarga sendiri,
rumah dibukakan untuk berlindung dari ancaman Tentara Belanda dan makanan yang sudah pas-pasan disisihkan untuk Tentara Pelajar
75 SACSA tanpa menghitung apa dan berapa yang sudah diberikan
dengan tulus ikhlas Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar-Boyolali, 1982:7.
Pada masa Agresi Militer Belanda II, Desa Kebonbimo menjadi salah satu daerah yang dijadikan markas Tentara Pelajar
SACSA. Untuk makan dan tempat tinggal dibantu oleh masyarakat Desa Kebonbimo. Masyarakat bertanggung jawab dalam pemenuhan
kebutuhan bagi Tentara Pelajar SACSA terutama dalam hal makan dan tempat tinggal. Dari pemerintah Desa Kebonbimo, selain Kepala
Desa dan Perangkat Desa juga sudah menunjuk dan membagi kepada warga masyarakat yang dianggap mampu untuk bertanggung jawab
kepada Tentara Pelajar SACSA. Di Desa Kebonbimo hanya 3 Dukuh yakni: Tlatar, Gatak, dan Kebonbimo yang terlihat secara kebetulan
masyarakatnya dianggap mampu untuk bertanggung jawab kepada Tentara Pelajar SACSA sehingga tidak membebankan kepada rakyat
yang tidak mampu. Ada 5 keluarga di setiap dukuh yang ditunjuk Kepala Desa Kebonbimo yaitu Citro Budoyo, diutamakan yang
berketempatan untuk bertanggung jawab memberi makan dan menyediakan tempat tinggal. Kepala Desa bertanggung jawab untuk
10 Tentara Pelajar SACSA, Perangkat Desa bertanggung jawab untuk 5 Tentara Pelajar SACSA, sedangkan untuk masyarakat biasa maupun
Modin tokoh agama bertanggung jawab untuk 2 sampai 3 orang Tentara Pelajar SACSA Wawancara dengan Henri Sugiman 5
76 Oktober 2013. Pada masa Agresi Militer Belanda II di Desa
Kebonbimo terutama Dukuh Tlatar selain dijadikan markas dari kesatuan Tentara Pelajar SACSA juga kedatangan dari kesatuan
lainnya seperti eks Pesindo dan Kepolisian yang mana juga diperlakukan sama dengan Tentara Pelajar SACSA dalam hal
perlindungan, tempat tinggal maupun Logistik seperti kebutuhan makan Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014.
Di Dukuh Tlatar yang diberikan tanggung jawab untuk memberi makan dan tempat untuk perlindungan maupun beristirahat
Tentara Pelajar SACSA diantaranya yaitu rumah Kepala Desa Kebonbimo Citro Budoyo, Carik Mangun Suyoto, Yatman putra
Iman Ghozali Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014. Sedangkan untuk kesatuan eks Pesindo dan Kepolisian yang
bertanggung jawab yaitu Kami dan Mustawi orang tua Karso Diharjo Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014. Masyarakat yang
tidak ditunjuk bertanggung jawab untuk para Tentara Pelajar SACSA maupun para gerilyawan lainnya, apabila ada yang ingin membantu
sesuai kemampuan berupa bahan makanan dari hasil kebun, mereka berinisiatif dengan sukarela datang sendiri ke rumah Kepala Desa yang
pada waktu itu berfungsi juga sebagai kantor Balai Desa Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014.
Sedangkan di Dukuh Gatak, para Tentara Pelajar SACSA bertempat di rumah Towirjo, Karto Pawiro, Wiryo Tinoyo, Joyo
77 Suwito, dan Iman Subari. Tentara Pelajar SACSA yang bertempat di
rumah Karto Pawiro orang tua Henri Sugiman bernama Sudomo dan Noli sedangkan yang ada di Dukuh Tlatar, empat diantaranya bernama
Bawono, Gembur, Sunardi dan Sri Mulyono Herlambang Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014. Di Dukuh Kebonbimo yang
ditunjuk Lurah Citro Budoyo untuk dijadikan tempat perlidungan dan istirahat maupun bertanggung jawab memberi makan, 3 diantaranya di
rumah Cokrorejo orang tua Tarjo Suwito, Kromorejo dan Kartorejo. Dalam hal memberikan kebutuhan makan untuk Tentara Pelajar
SACSA, masyarakat Desa Kebonbimo memanfaatkan hasil kebun untuk dibuat sayur seperti daun bayam, daun singkong, daun pepaya.
Selain itu juga ada Jagung sebagai pengganti Beras, jika persediaan Beras habis. Para Pager Desa Kebonbimo sering berkumpul di Dukuh
Tlatar di tempat Kepala Desa. Sebelum melakukan gerilya ke Jembatan darurat Kenteng maupun keliling di dalam Desa Kebonbimo
untuk berjaga-jaga, jika Belanda datang dapat diketahui Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014. Pada masa perang gerilya
Tentara Pelajar SACSA yang tidak ada kegiatan melakukan gerilya mereka membantu masyarakat terutama kepada keluarga yang
ditempati selama perang gerilya dengan mencangkul di sawah maupun kebun, karena mata pencaharian masyarakat Desa Kebonbimo
sebagian besar sebagai Petani Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013.
78 Tugas dari para wanita pada masa Agresi Militer Belanda II
yaitu memasak atau menyediakan makan untuk keluarga dan Tentara Pelajar SACSA. Tentara Pelajar SACSA tidak dibedakan dengan
keluarga yang ditinggali dan sudah dianggap menjadi keluarga sendiri. Semuanya membaur dan menyatu saling membantu Wawancara
dengan Slamet, 13 Oktober 2013. Peran wanita pada masa perang gerilya selain memasak seperti yang dilakukan oleh kakak pertama
dari Haryono yang bernama Sri Harti, juga menerima setiap bantuan dari masyarakat yang tidak bertanggung jawab ditempati para Tentara
Pelajar SACSA sebagai wakil dari pemerintah Desa Kebonbimo. Bagi yang ingin membantu, masyarakat datang sendiri ke rumah Citro
Budoyo. Sri Harti sering berkeliling dukuh untuk mengurus mengumpulkan bantuan bahan makanan dari masyarakat seperti:
Beras, Jagung, Singkong, Ketela, kedelai, Kelapa maupun sayur- sayuran hasil kebun seperti daun Pepaya, buah Pepaya muda, daun
Bayam, Bambu muda dan daun Singkong dari warga masyarakat Kebonbimo yang dikumpulkan di rumahnya. Karena pada waktu itu
rumahnya menjadi pusat para gerilyawan yaitu Tentara Pelajar SACSA, eks Pesindo, Kepolisian maupun Pager Desa Kebonbimo
dalam sistem membantu pengumpulan bahan pangan ada masyarakat yang datang sendiri dan ada juga lewat sistem didatangi tiap rumah-
rumah. Sehingga dulu rumah dari Kepala Desa selain berfungsi sebagai pusat berkumpulnya para gerilyawan juga sebagai dapur
79 umum Desa Kebonbimo. Meskipun sudah dibagi-bagi oleh pemerintah
Desa Kebonbimo dalam mengurus untuk bertanggung jawab kepada Tentara Pelajar SACSA maupun gerilyawan yang lain, tetapi
pemerintah desa tetap mendirikan dapur umum Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014.
Masa Agresi Militer Belanda II masyarakat Desa Kebonbimo sebagian besar bermata pencaharian sebagai Petani, kebijakan dari
pemerintah Desa Kebonbimo setelah adanya siasat bumihangus pada tahun 1948, untuk membagikan tanah bekas perkebunan Serat nanas
milik Belanda, yang pernah dikuasai pemerintah militer jepang pada tahun 1942-1945. Tanah perkebunan serat tersebut masyarakat Desa
Kebonbimo lebih mengenal dengan tanah DC. Dengan kebijakan pemerintah Desa Kebonbimo untuk membagi tanah DC kepada
masyarakat Desa Kebonbimo yang pada waktu itu disesuaikan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masing-masing kepala keluarga
sudah tepat karena setelah diserahkan kepada masyarakat, perkebunan tersebut menjadi penopang peningkatan pendapatan ekonomi
masyarakat selain itu juga pada masa perang gerilya dari hasil perkebunan masyarakat dapat membantu sebagai persediaan bahan
pangan bagi para gerilyawan, salah satunya Jagung yang berguna sebagai pengganti Beras, apabila persediaan Beras sudah habis.
80
3. Bidang Komunikasi