Upaya Penanggulangan HIV- AIDS Pengertian dan Peran Bidan

mengetahui perihal penyakit yang diidapnya, atau ia selalu menutup rapat permasalahan perilaku yang dapat menularkan penyakit HIV AIDS karena penyakit ini dianggap aib atau perilaku tidak bermoral di kalangan masyarakat sehingga mereka malu untuk megakui penyakit ini .

2.3. Upaya Penanggulangan HIV- AIDS

Di Indonesia sudah ada beberapa upaya penganggulangan dalam pencegahan HIVAIDS. Salah satunya dibuat suatu kebijakan yaitu Strategi dan Rencana Aksi Nasional SRAN, 2010-2014. Kebijakan ini dikembangkan berdasarkan kajian empirik oleh tim yang terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat sipil maupun mitra internasional. Strategi ini ditujukan untuk mencegah dan mengurangi risiko penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA, serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat, agar individu dan masyarakat menjadi produktif dan bermanfaat untuk pembangunan. Skenario strategi dan rencana aksi ini pada tahun 2014 adalah bahwa 80 populasi kunci terjangkau oleh program yang efektif dan 60 populasi kunci berperilaku aman. Strategi yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut: • Meningkatkan dan memperluas cakupan seluruh pencegahan • Meningkatkan dan memperluas cakupan perawatan, dukungan dan pengobatan • Mengurangi dampak negatif dari epidemi dengan meningkatkan akses program mitigasi sosial. • Penguatan kemitraan, sistem kesehatan dan masyarakat. • Meningkatkan koordinasi antara pemangku kepentingan dan mobilisasi penggunaan sumber daya di semua tingkat. Universitas Sumatera Utara • Mengembangkan intervensi struktural. • Penerapan perencanaan, prioritas dan implementasi program berbasis data. Beberapa program layanan penanggulangan HIV-AIDS berdasarkan kelompok resiko; 1. Penasun: LJASS Layanan jarum dan Alat Suntik Steril , layanan TRM Terapi Rumatan Metadon, layanan rujukan VCT Voluntary Counseling and Testing dan layanan terapi pemulihan adiksi. 2. Pekerja seks dan pelanggan, waria, kelompok LSL dan ODHA: promosi penggunaan kondom pada hubungan seksual tidak aman dan pengobatan IMS. 3. Pencegahan penularan dari Ibu dengan HIV ke anak: program layanan KIA Kesehatan Ibu dan Anak yaitu VCT dan PMTCT.

2.4. PMTCT Prevention of Mother to Child Transmission

Program PMTC Prevention of Mother to Child Transmission merupakan program untuk menghentikan penularan HIV-AIDS dari ibu hamil ke bayi yang dikandung. Program ini dimulai dari pencegahan penularan HIV-AIDS untuk kelompok usia reproduktif tinggi hingga pemberian dukungan psikologis serta sosial pada ibu dan bayi pengidap HIV-AIDS. Program PMTCT sangat penting karena penyakit AIDS masih menjadi permasalahan global yang belum bisa diatasi secara tuntas oleh seluruh masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Selain itu, HIV-AIDS memiliki trend yang semakin meningkat, tingkat penularan HIV-AIDS pada kelompok usia umur reproduktif tinggi dan banyaknya bayianak yang terinfeksi HIV-AIDS. Universitas Sumatera Utara PMTCT merupakan program yang diagendakan untuk mewujudkan target MDGS. Millennium Development Goals MDGs merupakan deklarasi yang diadopsi oleh 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa PBB serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi KTT di New York pada bulan September 2000 tersebut. Salah satu targetnya adalah menekan dan menghambat laju pertumbuhan penyakit HIV-AIDS.

2.4.1. Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Ada tiga faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak yaitu :

1. Faktor ibu

Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke anak adalah kadar HIV viral load dalam darah ibu pada saat menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Kadar HIV tertinggi sebesar 10 juta kopiml darah biasanya terjadi 3–6 minggu setelah terinfeksi atau kita sebut sebagai infeksi primer. Setelah beberapa minggu, biasanya kadar HIV mulai berkurang dan relatif rendah selama beberapa tahun pada periode tanpa gejala, periode ini kita sebut sebagai fase asimptomatik. Ketika memasuki masa stadium AIDS, dimana tanda- tanda gejala AIDS mulai muncul, kadar HIV kembali meningkat. Cukup banyak orang dengan HIV-AIDS ODHA yang kadar HIV-nya sangat rendah sehingga menjadi sulit untuk diditeksi kurang dari 50 kopiml. Kondisi ini biasanya terjadi pada ODHA yang telah minum obat antiretroviral secara teratur dengan benar. Universitas Sumatera Utara Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah kurang dari 1.000 kopiml, sementara jika kadar HIV di atas 100.000 kopiml, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi tinggi. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 350 selmm3. Semakin rendah jumlah sel CD4, pada umumnya risiko penularan HIV akan semakin besar. Sebuah studi menunjukkan bahwa ibu dengan CD4 350 selmm3 memiliki risiko untuk menularkan HIV ke anaknya jauh lebih besar. Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita Infeksi Menular Seksual IMS atau infeksi reproduksi lainnya maka kadar HIV akan meningkat, sehingga meningkatkan pula risiko penularan HIV ke anak. Sifilis ditularkan dari ibu ke bayi yang dikandungnya, dan dengan adanya sifilis akan meningkatkan risiko penularan HIV. Malaria bisa meningkatkan risiko penularan HIV karena parasit malaria merusak plasenta sehingga memudahkan HIV melewati sawar plasenta. Selain itu, malaria juga meningkatkan risiko bayi lahir prematur yang dapat memperbesar risiko penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain yang diderita oleh ibu, seperti mastitis, abses dan luka di puting payudara. Sebagian besar masalah payudara dapat dicegah dengan teknik menyusui yang baik. Konseling manajemen laktasi sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko penularan HIV. Universitas Sumatera Utara

2. Faktor Bayi dan Anak

Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah diduga lebih rentan untuk tertular HIV dikarenakan sistem organ tubuh bayi belum berkembang dengan baik, seperti sistem kulit dan mukosanya. Sebuah studi di Tanzania menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkan sebelum umur kehamilan 34 minggu memiliki risiko tertular HIV yang lebih tinggi pada saat persalinan dan masa awal kelahiran. Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi masih dimungkinkan akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI. Dengan pemberian susu formula, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat dihindarkan, namun pemberian susu formula hasus memenuhi syarat AFASS Acceptable, Feasible, Affordable,Sustainable and Safe. Bayi yang diberikan ASI eksklusif kemungkinan memiliki risiko terinfeksi HIV lebih rendah dibandingkan bayi yang mengkonsumsi makanan campuran mixed feeding, yaitu dengan mengkombinasi pemberian ASI dengan susu formula atau makanan padat lainnya. Penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa bayi dari ibu HIV positif yang diberi ASI eksklusif selama tiga bulan memiliki risiko tertular HIV lebih rendah 14,6 dibandingkan bayi yang mendapatkan makanan campuran, yaitu susu formula dan ASI 24,1. Hal ini diperkirakan karena air dan makanan yang kurang bersih terkontaminasi akan merusak usus bayi yang mendapatkan makanan campuran, sehingga HIV pada ASI bisa masuk ke tubuh bayi. HIV juga terdapat dalam ASI, meskipun konsentrasinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan HIV di Universitas Sumatera Utara dalam darah. Antara 10–15 bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat risiko penularan HIV melalui pemberian ASI, yaitu:  Umur Bayi Risiko penularan melalui ASI akan lebih besar pada bayi yang baru lahir. Antara 50–70 dari semua penularan HIV melalui ASI terjadi pada usia enam bulan pertama bayi. Semakin lama pemberian ASI, akan semakin besar kumulatif risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Pada usia 6 bulan pertama pemberian ASI diperkirakan risiko penularan sebesar 0,7 per bulan. Antara 6–12 bulan, risiko bertambah sebesar 0,5 per bulan dan antara 13–24 bulan, risiko bertambah lagi sebesar 0,3 per bulan. Dengan demikian, memperpendek masa pemberian ASI dapat mengurangi risiko bayi terinfeksi HIV.  Luka di Mulut Bayi dan Anak Pada bayi atau anak yang memiliki luka di mulutnya, risiko untuk tertular HIV lebih besar ketika diberikan ASI.

3. Faktor Tindakan Obstetrik

Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan, karena saat persalinan tekanan pada plasenta meningkat yang bisa menyebabkan terjadinya koneksi antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, saat persalinan bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Kulit bayi yang baru lahir masih sangat Universitas Sumatera Utara lemah dan lebih mudah terinfeksi jika kontak dengan HIV. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah ataupun lendir ibu. Faktor – faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi selama persalinan adalah sebagai berikut : 1. Jenis persalinan resiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar daripada per abdominalSC 2. Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak juga semakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam. 3. Faktor lain yang kemungkinan meningkatkan risiko penularan selama proses persalinan adalah penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forseps dan tindakan episiotomi.

2.4.2. Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45. Risiko penularan 15-30 terjadi pada Universitas Sumatera Utara saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20 dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui. Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30 dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25 dan risiko penularan sebesar 5-15 apabila ibu tidak menyusui PASI. Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral ART jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2 Pedoman PMTCT, 2012.

2.4.3. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan melalui kegiatan komprehensif yang meliputi empat pilar 4 prong, yaitu: 1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 15-49 tahun 2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif 3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya 4. Dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya Universitas Sumatera Utara

2.4.3.1. Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia

Reproduksi Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 15-49 tahun pencegahan primer. Pencegahan primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV. Upaya pencegahan ini tentunya harus dilakukan dengan penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait penyakit HIV-AIDS, dan penyakit IMS dan didalam koridor kesehatan reproduksi. Isi pesan yang disampaikan tentunya harus memperhatikan usia, norma, dan adat istiadat setempat, sehingga proses edukasi termasuk peningkatan pengetahuan komprehensif terkait HIV-AIDS dikalangan remaja semakin baik. Untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi “ABCD”, yaitu:  A Abstinence, artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah;  B Be Faithful, artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks tidak berganti-ganti pasangan; Universitas Sumatera Utara  C Condom, artinya cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom;  D Drug No, artinya Dilarang menggunakan narkoba. Kegiatan yang dapat dilakukan pada pencegahan primer antara lain: 1. Menyebarluaskan Komunikasi, Informasi dan Edukasi KIE tentang HIV-AIDS dan Kesehatan Reproduksi, baik secara individu maupun kelompok, untuk: a. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menghindari penularan HIV dan IMS b. Menjelaskan manfaat mengetahui status atau tes HIV sedini mungkin c. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang tatalaksana ODHA perempuan d. Meningkatkan keterlibatan aktif keluarga dan komunitas untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV dan IMS. 2. Mobilisasi masyarakat a. Melibatkan petugas lapangan seperti kader kesehatanPKK, PLKB, atau posyandu sebagai pemberi informasi pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan b. Menjelaskan tentang cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS, termasuk melalui penggunaan kondom dan alat suntik steril c. Melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi Universitas Sumatera Utara 3. Layanan tes HIV Konseling dan tes HIV dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan KTIP dan Konseling dan Tes Sukarela KTS, yang merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes darah dilakukan dengan memperhatikan 3c yaitu counselling, confidentiality, dan informed consent. Jika status HIV ibu sudah diketahui, maka : a. HIV positif: lakukan intervensi PPIA komprehensif agar ibu tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya b. HIV negatif: lakukan konseling tentang cara menjaga agar tetap HIV negatif. Layanan konseling dan tes HIV diintegrasikan dengan pelayanan KIA sesuai dengan strategi Layanan Komprehensif Berkesinambungan, agar: a Konseling dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV- AIDS b Layanan konseling dan tes HIV di layanan KIA akan menjangkau banyak ibu hamil, sehingga pencegahan penularan ibu ke anaknya dapat dilakukan lebih awal dan sedini mungkin. c Penyampaian informasi dan tes HIV dapat dilakukan oleh semua petugas di fasilitas pelayanan kesehatan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV-AIDS. d Pelaksanaan konseling dan tes HIV mengikuti Pedoman Konseling dan Tes HIV; petugas wajib menawarkan tes HIV dan melakukan pemeriksaan IMS, termasuk Universitas Sumatera Utara tes sifilis, kepada semua ibu hamil mulai kunjungan antenatal pertama bersama dengan pemeriksaan laboratorium lain untuk ibu hamil inklusif dalam paket pelayanan ANC terpadu. e Tes HIV ditawarkan juga bagi pasangan laki-laki perempuan dan ibu hamil yang dites couple conselling f Di setiap jenjang layanan kesehatan yang memberikan layanan PPIA dalam paket pelayanan KIA, harus ada petugas yang mampu melakukan konseling dan tes HIV g Di layanan KIA, konseling pasca tes bagi perempuan HIV negatif difokuskan pada informasi dan bimbingan agar klien tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya h Konseling penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang HIV positif juga memberikan kesempatan untuk dilakukan konseling berpasangan dan penawaran tes HIV bagi pasangan laki-laki i Pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV harus terjamin j Menjalankan konseling dan tes HIV di klinik KIA berarti mengintegrasikan juga program HIV-AIDS dengan layanan lainnya, seperti pemeriksaan rutin untuk IMS, pengobatan IMS, layanan kesehatan reproduksi, pemberian gizi tambahan, dan keluarga berencana k Upaya pengobatan IMS menjadi satu paket dengan pemberian kondom sebagai bagian dari upaya pencegahan. Universitas Sumatera Utara 4. Dukungan untuk perempuan yang HIV negatif a Ibu hamil yang hasil tesnya HIV negatif perlu didukung agar status dirinya tetap HIV negatif b Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV c Membuat pelayanan KIA yang bersahabat untuk pria, sehingga mudah dan dapat diakses oleh suamipasangan ibu hamil d Mengadakan kegiatan konseling berpasangan pada saat kunjungan ke layanan KIA e Peningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil, dan mendorong dialog yang lebih terbuka antara suami dan istri pasangannya tentang perilaku seksual yang aman f Memberikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami bahwa dengan melakukan hubungan seksual yang tidak aman, dapat berakibat pada kematian calon bayi, istri dan dirinya sendiri g Menyampaikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami tentang pentingnya memakai kondom untuk mencegah penularan HIV.

2.4.3.2. Prong 2: Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada

Perempuan dengan HIV Perempuan dengan HIV berpotensi menularkan virus kepada bayi yang dikandungnya jika hamil. Karena itu, ODHA perempuan disarankan untuk mendapatkan akses layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Konseling yang berkualitas,penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta Universitas Sumatera Utara penggunaan kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan HIV agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan. Perlu diingat bahwa infeksi HIV bukan merupakan indikasi aborsi.  Perempuan dengan HIV yang tidak ingin hamil dapat menggunakan kontrasepsi yang sesuai dengan kondisinya dan disertai penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV dan IMS.  Perempuan dengan HIV yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi disarankan untuk menggunakan kontrasepsi mantap dan tetap menggunakan kondom. Dalam konseling perlu juga disampaikan bahwa perempuan dengan HIV yang belum terindikasi untuk terapi ARV bila memutuskan untuk hamil akan menerima seumur hidupnya. Jika ibu sudah mendapatkan terapi ARV, jumlah virus HIV di tubuhnya menjadi sangat rendah tidak terdeteksi, sehingga risiko penularan HIV dari ibu ke anak menjadi kecil, artinya, ia mempunyai peluang besar untuk memiliki anak HIV negatif. Ibu dengan HIV berhak menentukan keputusannya sendiri atau setelah berdiskusi dengan pasangan, suami atau keluarganya. Perlu selalu diingatkan walau ibu pasangannya sudah mendapatkan ARV demikian penggunaan kondom harus tetap dilakukan setiap hubungan seksual untuk pencegahan penularan HIV pada pasangannya. Universitas Sumatera Utara

2.4.3.3. Prong 3: Pencegahan penularan HIV dari Ibu Hamil dengan HIV ke

Bayi yang di Kandungnya Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif mencakup kegiatan sebagai berikut: 1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV 2. Diagnosis HIV 3. Pemberian terapi antiretroviral 4. Persalinan yang aman 5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi dan anak 6. Menunda dan mengatur kehamilan 7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak 8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak Semua jenis kegiatan di atas akan mencapai hasil yang efektif jika dijalankan secara berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada periode kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran. Pelayanan KIA yang komprehensif meliputi pelayanan pra-persalinan dan pasca-persalinan serta layanan kesehatan anak. Pelayanan KIA bisa menjadi pintu masuk upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak bagi seorang ibu hamil. Pemberian informasi pada ibu hamil dan suaminya ketika datang ke klinik KIA akan Universitas Sumatera Utara meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang kemungkinan adanya risiko penularan HIV di antara mereka, termasuk risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke anak. Tes HIV atas inisiatif petugas serta skrining IMS harus ditawarkan kepada semua ibu hamil sesuai kebijakan program.Harapannya, dengan kesadaran sendiri ibu mau dites dengan sukarela.

2.4.3.4. Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawatan

kepada Ibu HIV Positif Beserta Anak dan Keluarganya Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak terhenti setelah ibu melahirkan. Ibu tersebut akan terus menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya, ia membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Sangat penting dijaga faktor kerahasiaan status HIV si ibu. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya. Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh ibu HIV positif antara lain:  Pengobatan ARV jangka panjang.  Pengobatan gejala penyakitnya.  Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV termasuk CD4 ataupun viral load .  Konseling dan dukungan untuk kontrasepsi dan pengakhiran reproduksi.  Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi.  Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri dan bayinya. Universitas Sumatera Utara  Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan pencegahannya.  Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat.  Kunjungan ke rumah home visit.  Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu HIV positif.  Adanya pendamping saat sedang dirawat.  Dukungan dari pasangan.  Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga  Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak Namun dari strategi diatas pada kenyataannya pada saat pelaksanaan masih banyak ditemukannya kendala–kendala yang menyebabkan program ini tidak berjalan maksimal. Kendala tersebut adalah:  Program PMTCT yang berjalan belum Komprehensif prong 3 Akses Informasi yang terbatas pada perempuan HIV positif  Praktek sterilisasi paksa pada perempuan HIV +  Jarak tempuh yang jauh untuk mengakses layanan PMTCT bagi odha perempuan di KabupatenKota tidak sampai tuntas  Informasi terkait efek samping ARV serta konseling kepatuhan  Biaya penyerta test laboratorium  Jenis obat yang tidak ramah bagi anak tablet  Cara penggunaan obatdosis yang diberikan  Konseling serta dukungan Universitas Sumatera Utara

2.5. Pengertian dan Peran Bidan

Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun internasional. Pengertian bidan dan bidang prakteknya telah diakui oleh International Confederation Midwives ICM, International Federation of Gynaecologist, Obstetrion FIGO serta World Health Organitation WHO. Secara lengkap pengertian bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi ijin untuk menjalankan praktek kebidanan di negeri itu. Bidan harus mampu memberikan asuhan dan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita pada masa hamil, persalinan, pasca persalinan, memimpin persalinan atas tanggungjawabnya sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak Syafrudin Cs, 2009. Asuhan yang dimaksud termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu dan bayi serta mengupanyakan bantuan medis, melakukan tindakan pertolongan gawat darurat pada saat tidak hadirnya tenaga medik lainnya. Bidan mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pedidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita hamil, bersalin dan pasca pesalinan saja tetapi juga untuk keluarga dan komunitasnya. Pendidikan yang dimaksud mencakup pendidikan untuk kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, persiapan menjadi orang tua, keluarga berencana, kesehatan bayi dan anak. Bidan bisa praktek di Rumah Sakit Klinik, Unit kesehatan, Rumah- rumah perawatan dan fasilitas kesehatan lainnya. Syafrudin Cs, 2009. Universitas Sumatera Utara

2.6. Kerangka Pikir