Versi Lontar Interpretasi TINJAUAN PUSTAKA

Butung, pantai Kota Raha. Di tempatnya masing-masing, mereka merasa aman sehingga memutuskan untuk menetap hingga sekarang.

b. Versi Lontar

Berdasarkan versi lontar xvi yang dikemukakan oleh Kamaruddin Tanzibar yang dikutip Sudjatmoko xvii , suku Bajo berasal dari wilayah sebelah selatan dan tenggara Kairo dan Mesir. Syahdan, Malaikat Jibril menurunkan hujan dan membuat si nenek moyang Bajo ketiduran di perahu. Mereka akhirnya terdampar di daerah Luwuk, Sulawesi Tengah. Selanjutnya, para pendahulu suku Bajo terus berkembang dan berinteraksi dengan sejumlah suku di kerajaan Bone dan Gowa. Suku Bajo yang merasa tidak dapat melanjutkan hidupnya di daerah kerajaan Bone dan Gowa kemudian melanjutkan pengembaraannya di laut mencari penghidupan yang lebih layak. Mereka kemudian terdampar di pulau-pulau yang masuk dalam wilayah Sulawesi Tenggara, seperti Buton, Bindono, dan Lemo Bajo. Mereka yang terdampar kemudian memutuskan untuk menetap di daerah itu dan terus berkembang hingga sekarang. Cerita di atas menggambarkan tentang asal-usul masyarakat suku Bajo yang bermukim di Sulawesi Tenggara. Meskipun demikian, kebenaran cerita ini sulit untuk dibuktikan. Selain itu, banyak versi cerita mengenai asal-usul suku Bajo yang berkembang di tengah masyarakat. Misalnya cerita mengenai putri Sultan Johor, versi lain beranggapan bahwa sang putri tidak meninggal. Sang puteri selamat dan memilih menetap di Sulawesi, sedangkan orang-orang yang mencarinya lambat laun memilih tinggal pula di Sulawesi dan tidak lagi kembali ke Johor. Versi lain xviii , sang puteri menikah dengan pangeran Bugis. Dia kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe. Sedangkan versi lainnya lagi menyebutkan karena tidak dapat menemukan sang puteri, akhirnya orang-orang asal Johor ini memilih menetap di kawasan Teluk Tomini, baik di Gorontalo maupun Kepulauan Togian.

2.3 Interpretasi

Riffaterre 1978: 81 mengatakan, “The shift from meaning to significance necessitates the concept of interpretant, that is, a sign that translates the text’s surface signs and explains what else the text sugges”, artinya: “Pemindahan dari arti ke pemaknaan membutuhkan konsep interpretan, yaitu sebuah tanda yang menerjemahkan tanda-tanda yang ada dipermukaan teks dan menjelaskan hal lain yang terdapat dalam teks”. Lebih lanjut, Riffaterre mengemukakan bahwa ada dua bentuk interpretasi, yaitu interpretasi lexematic dan interpretasi textual. Lexematic merupakan proses interpretasi dengan menghubungkan kata-kata yang memiliki tanda rangkap karena tanda-tanda itu menghubungkan dua teks secara simultan dalam puisi. Dalam hal ini, satu teks harus dipahami dengan dua cara yang berbeda. Textual merupakan proses interpretasi dengan menghubungkan teks yang dikutip dari puisi. Proses interpretasi yang dikemukakan oleh Riffaterre di atas sejalan dengan konsep interpretasi yang dikemukakan oleh Poespopradjo 1987: 192 sebagai proses memperantarai dan menyampaikan pesan yang secara eksplisit dan implisit termuat dalam realitas. Interpretasi berfungsi mengungkapkan, membiarkan tampak, dan membukakan sesuatu yang merupakan pesan realitas dari suatu teks. Jadi, interpretasi dalam hal ini berkaitan dengan pengertian membawa suatu hal dari tidak dapat ditangkap kepada dapat ditangkap. Interpretasi semiotik yang akan dilakukan terhadap mantra melaut suku Bajo merupakan sebuah usaha untuk memaknai mantra tersebut. Proses interpretasi tersebut akan membantu untuk melihat adanya teks lain yang terpisah tetapi mempunyai hubungan yang erat dengan mantra melaut suku Bajo. Teks lain ini secara sadar atau tidak sadar berpengaruh terhadap penciptaan mantra melaut suku Bajo, sehingga menyarankan adanya intertekstualitas sebagaimana yang dikemukakan oleh Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry xix . Kajian intertekstualitas akan sangat membantu proses interpretasi terhadap mantra melaut suku Bajo sehingga akan menghasilkan pemaknaan yang lebih tajam. 2.4 Semiotik 2.4.1 Pengertian Semiotik