2.2.2 Asal-Usul Suku Bajo di Sulawesi Tenggara
Suku Bajo dapat dikatakan sebagai salah satu suku terasing di Indonesia yang umumnya bertempat tinggal di laut. Khusus di daerah Sulawesi Tenggara, sebagian suku
Bajo tinggal berkelompok di pesisir laut dan sebagian lagi tinggal di tengah laut yang dekat dengan pulau-pulau kecil. Keadaan yang demikian menyulitkan masyarakat luar untuk
menjangkau daerah pemukiman masyarakat suku Bajo, sehingga tidak terjadi interaksi yang maksimal. Hag 2004: 52 mengatakan bahwa pola hidup masyarakat suku Bajo cenderung
memisahkan diri dari kehidupan kelompok masyarakat yang tinggal di darat. Asal-usul mengenai kehidupan masyarakat suku Bajo yang menetap di Sulawesi
Tenggara sampai sekarang masih simpang-siur. Sebagian orang beranggapan bahwa sesungguhnya suku Bajo berasal dari Luwu, salah satu daerah di Sulawesi Selatan. Ada pula
sebagian orang yang beranggapan bahwa suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Untuk setiap anggapan itu, lahir berbagai macam cerita tentang suku Bajo dengan versi yang
berbeda-beda. Di bawah ini adalah dua versi cerita tentang asal-usul suku Bajo.
a. Versi Masyarakat Suku Bajo di Kendari
xiv
Sejak abad ke-15 Masehi, di Semenanjung Malaka berdiri sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Johor. Kerajaan ini diperintah oleh seorang sultan bernama Sultan
Mahmud. Konon, Sultan Mahmud memiliki seorang putri
xv
yang cantik jelita. Beliau sangat menyayangi putrinya. Hampir di setiap kesempatan, beliau selalu ditemani oleh putrinya.
Suatu ketika, putri Sultan Mahmud bermain-main di pinggir laut bersama dengan teman-temannya. Karena keasyikan, tanpa sadar putri Sultan Mahmud bermain agak ke
tengah laut. Pada saat itu, tiba-tiba datang gelombang laut yang besar dan menerjang tubuh putri itu. Dalam sekejap, tubuh putri itu lenyap terbawa gelombang.
Sultan Mahmud yang mengetahui berita ini dari salah seorang pengawalnya menjadi sangat murka. Dia lalu memerintahkan seluruh rakyatnya untuk mencari putrinya yang
hilang. “Pantang bagi kalian untuk kembali ke kerajaan ini tanpa membawa serta putriku.”
Dalam pada itu, berangkatlah segenap rakyat Kerajaan Johor mengarungi samudera dengan arah yang tidak menentu. Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan mereka terus
berlayar dengan harapan dapat menemukan putri itu. Namun, dalam pencarian itu, mereka tetap tidak dapat menemukan Sang Putri. Akhirnya, mereka yang diberi tugas untuk mencari
Sang Putri menduga bahwa Sang Putri telah hanyut di laut dan tidak ada bekas apa pun yang dapat mereka ambil sebagai barang bukti untuk meyakinkan Sultan Mahmud. Karena tidak
berani lagi kembali ke Kerajaan Johor untuk menghadap sultan, mereka pun lalu memutuskan untuk terus berlayar mengikuti tiupan angin.
Dalam pelayaran tersebut, ada beberapa perahu yang terdampar di pesisir laut Sulawesi Selatan, yaitu di Teluk Bone Bajoe. Pada saat itu, perairan Bajoe belum dihuni
oleh masyarakat Bone. Mereka yang terdampar itu oleh orang Bugis Bone digelari To Bajo yang artinya bayang-bayang. Hal ini karena mereka selalu tampak seperti bayang-bayang
dalam penglihatan orang Bugis Bone. Untuk menyambung hidup, mereka mencari ikan. Justru itu, mereka selalu mencari
tempat atau pula-pulau yang lebih bagus untuk mereka tinggali dan mencari ikan. Tempat tinggal mereka pun bergantung dari ketersediaan sumber hidup mereka. Sebagian dari
mereka ada yang berlayar sampai di beberapa kepulauan di Kabupaten Muna, Buton, dan Kendari. Pada saat munculnya gerombolan, banyak orang Bajo yang dikejar-kejar oleh
mereka. Untuk menyelamatkan diri, mereka tersebar lagi di beberapa tempat seperti Lasolo, Tobea, Pulau Tiga, Tanjung Perak, Labuan, Buton, dan bahkan ada yang sampai di Butung-
Butung, pantai Kota Raha. Di tempatnya masing-masing, mereka merasa aman sehingga memutuskan untuk menetap hingga sekarang.
b. Versi Lontar